sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Oseana, Volume XVIII, Nomor 1 : 25 - 34 ISSN 0216-1877 "MIMI" ("HORSE SHOE CRAB" ) PENYEBAR MAUT YANG DILINDUNGI oleh Rianta Pratiwi 1) ABSTRACT "MIMI" '( "HORSE SHOE CRAB" ), THE DEATH SPREADER WHICH IS PROTECTED. This animal belong to the rarely catagories and protected, known as "King Crab" or "Horse Shoe Crab". It called Horse Shoe Crab because of the body likes 'Horse Shoe". This primitive marine animal (Ordovician period), although commonly called a crab, is nor really a crustacean but is more closely related to the Arachnid group (a member of the group called Xiphosurans). So making it allied to spiders rather than crabs. The population of this animal in the nature unknown so need to make effort of conservation of this animal, and for preventive them from extinction. In fact Mimi can be poisonous more over death. The strange thing is, that Mimi is exactly used as a daily food for the fishermen. What is the cause ? It will be discussed in this paper. PENDAHULUAN purba). Bagi orang awam, binatang ini memang menakutkan bila pertama kali melihatnya. Dengan tubuh yang seperti “tempurung” (dilihat dari atas), berwarna kecoklatan, berduri panjang dibagian belakang, membuatnya nampak seperti kendaraan “lapis baja” ( “panser” ) yang berjalan perlahan-lahan di sepanjang pantai ( Gambar 1. ) . Seperti halnya pada beberapa hewan perairan pada umumnya, ada beberapa jenis hewan yang dianggap berbahaya dan dapat mencelakai manusia. Mimi (Horse Shoe Crab), adalah salah satu hewan-hewan berbahaya tersebut yang digolongkan ke dalam kelompok Xiphosura (sebangsa laba-laba 1) Balai Penelitian dan Pengembangan Biologi Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi - LIPI, Jakarta. 25 Oseana, Volume XVIII No. 1, 1993 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id 26 Oseana, Volume XVIII No. 1, 1993 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Sesungguhnya hewan ini bukan merupakan mahluk yang asing lagi bagi penduduk pantai, terutama masyarakat sekitar Laut Jawa ( Jawa Tengah ). Mereka mengenalnya dengan sebutan "Mimi" (bila ditemukan sendiri) dan "Mimi Mintuno" (bila ditemukan sepasang). Bagi nelayan disekitar pantaipun sudah merupakan hal yang biasa kalau menemukan hewan ini, karena hampir setiap hari "Mimi Mintuno"ini terjaring. Hewan ini juga merupakan hasil sampingan yang dapat dijual secara langsung di pasar (tidak harus lewat TPI), di samping juga merupakan makanan sehari-hari yang sangat digemari oleh keluarganya. Melihat struktur tubuh Mimi yang hampir keseluruhannya terdiri dari cangkang yang keras, maka hampir dapat dipastikan hewan ini tidak begitu digemari dipasaran. Di samping itu juga dagingnya relatif sedikit, sehingga bagian yang biasa dimakan oleh nelayan ( penduduk setempat ) hanyalah telur-telurnya saja. Sebenarnya Mimi, King Crab atau Horse Shoe Crab ini dianggap sebagai hewan laut langka (primitive marine animal) dan dikelompokkan kedalam katagori rawan. Dalam "Red Date Book", Mimi dikategorikan ke dalam jarang (rare). Mengingat status populasi hewan ini yang belum diketahui secara pasti tetapi cenderung sering terjaring dan ditangkap oleh nelayan, maka telah dilakukan tindakan perlindungan terhadap hewan tersebut dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. : 12/Kpts. 11/1987 PPSDAHP (1987/1988). kanlah termasuk kelompok Crustacean, tetapi tergolong ke dalam kelompok Xiphosura (sebangsa laba-laba purba) yang masih berkerabat dengan kalajengking dan Iaba4aba. Kedudukannya dalam klasifikasi menurut MARSHALL & WILLIAMS ( 1972 ) sebagai berikut: Filum : Arthropoda Anak-filum: Chelicerata Kelas : Merostomata Anak-kelas : Xiphosura Marga : Carcinoscorpius Limulus Tachypleus Jenis : Carcinocorpius rotundicunda Limulus polyphemus Tachypleus gigas Tachypleus tridentatus Karena tubuhnya yang beruas-ruas, Mimi dimasukkan ke golongan binatang berkaki beruas-ruas (Arthropoda). Morfologi Bentuk tubuh Mimi terbagi dalam tiga bagian yaitu 1. Bagian depan (anterior prosoma) yang menyerupai "Tapal Kuda" . Bagian ini mempunyai tepi yang licin, menu-tupi ruas-ruas kepala dan ruas-ruas dada (Cephalothorax) ; 2. Bagian tengah opisthosoma). Bagian ini menutupi 7 ruas perut (abdomen), dimana tepinya terdapat duri-duri yang panjangnya bervariasi tergantung dari jenis kelamin hewan tersebut ; 3. Bagian yang paling belakang dengan bentuk menyerupai dun yang panjang dan runcing, disebut sebagai duri ekor (Gambar 2) (LON-LIPI 1973 ). BIOLOGI MIMI Kedudukan dalam dunia binatang Mimi meskipun dikenal dengan sebutan "Crab" (bangsa kepiting), seyogyanya bu- 27 Oseana, Volume XVIII No. 1, 1993 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Gambar 2. Morfologi Mimi (Limulus polyphemus. A. dorsal; B. ventral, a. anus; ap.813 episthosomatic appendages; chi. chilarium; chl. chilera; d.e.simple dorsal eye; ep. epistome (=upperlip); 1.1, 1.5, first and fifth legs; I.e. compound lateral eye; mo. mouth; op. operculum; 1. Bagian muka (anterior prosoma) 2. Bagian tengah (posterior episthosoma); 3. Bagian belakang (duri ekor) ( LON - LIPI, 1973 dan SNODGRASS, 1952 ). 28 Oseana, Volume XVIII No. 1, 1993 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Di alam bentuk Mimi (betina) dan Mintuno (jantan), hampir sama, hanya pada hewan betina bagian depan tubuhnya (anterior prosoma) agak lebar dan dipenuhi ribuan telur, sedangkan yang jantan bagian depan lebih kecil. Tubuh dapat mencapai ukuran 23 - 24 cm, sedangkan duri ekornya yang runcing, keras dan berwarna hitam pekat dapat mencapai sampai dengan 24 cm. Reproduksi Organ reproduksi biasanya berbentuk seperti tabling yang terdiri dari beberapa lobus anterior anastomosis, dengan lubang kelamin (genital) yang terletak pada segmen ke delapan (MASHALL & WILLIAMS 1972). Usia matang seksual yang biasanya dimulai setelah usia 3 tahun. Bila akan melakukan perkawinan, Mimi jantan biasanya memegang erat Mimi betina dengan pasangan kaki pertama. Mimi jantan akan segera menggali lubang di pasir (daerah pasang surut) dan akan membenamkan diri beberapa bulan sampai saatnya telur-telur terse but dilepaskan. Mimi betina akan bertelur sepanjang tahun dengan jumlah telur yang sangat banyak. Seperti juga halnya dengan jenis kepiting, pembuahan (fertilisasi) Mimi terjadi di dalam tubuh (internal). Telur-telur yang ditetaskan akan menetas menjadi larva yang bersifat pelagis. Di samping mengalami segmentasi (anamery) dan berkembang melalui tingkatan-tingkatan diantaranya trilobita (segmen pertama) dan teloblastic (segmen ke dua). Masa juvenil biasanya merupakan saat yang rawan, karena tubuh masih belum membentuk cangkang yang keras, sehingga banyak predator mengincarnya. Predator yang biasa memangsanya adalah burung dan ikan yang besar-besar. Tetapi setelah mengalami beberapa kali ganti kulit, maka akan terbentuklah cangkang keras (prosoma) dan biasanya sudah tidak ada lagi predator yang menginginkannya, selain keras seperti "baja", dagingnya pun tidaklah banyak (COUSTEAU 1975a). Predator yang mungkin masih ingin memanfaatkannya barangkali hanyalah manusia. Ekologi dan sebaran Hewan-hewan ini biasanya hidup di laut (pantai berlumpur atau berpasir), tetapi sering juga ditemukan di muara-muara sungai. Di Indonesia (Asia Tenggara) yang umum dikenal adalah dua jenis yaitu Tachypleus gigas dan Carcinoscorpius rotundicunda, sedangkan Limulus spp. ditemukan hanya disepanjang pantai Amerika Utara (LON-LIPI 1973, MARSHALL & WILLIAMS 1972). Menurut LON-LIPI (1973) perbedaan Tgigas dan C. rotundicunda hanyalah pada ukurannya saja, dimana T. gigas biasanya berukuran lebih besar dan ekor berbentuk segitiga dalam potongan melintang. Sedangkan C. rotundicunda ukuran lebih kecil, ekor bulat atau lonjong dalam potongan melintang ( Gambar 4.) Seringkali Mimi dan Mintuno ditemukan berpasang-pasangan, berenang atau berjalan perlahan-lahan menyusuri pantai (Gambar 3.). Biasanya hewan jantan terletak di sebelah belakang, ia dapat memegang betinanya dengan pasangan kaki depan yang ujungnya berbentuk sapit ( LON-LIPI 1973). 29 Oseana, Volume XVIII No. 1, 1993 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Gambar 3. Sepasang mimi jantan (belakang) & betina (depan) menyusuri pantai (QOUSTEAU 1975 b) 30 Oseana, Volume XVIII No. 1, 1993 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Gambar 4. Perbedaan jenis mimi Tachypleus gigas (A) dan Carcinoscorpio rotundicunda(B) (P30 - LIPI 1973 ). 31 Oseana, Volume XVIII No. 1, 1993 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id COUSTEAU (1975b) berdasarkan pengamatnya, mengatakan bahwa he wan ini sangat menyukai moluska dan cacing yang di temukan di dalam pasir atau lumpur. Hewanhewan tersebut didapatkan dengan cara mengaduk pasir atau lumpur, yang dilakukan dengan membalikkan tubuhnya (seperti orang berjungkir balik), dengan bantuan ekornya yang runcing dan karapasnya yang keras. Walaupun bentuk tubuhnya menakutkan dan dilengkapi dengan sapit diseluruh pasangan kaki, hewan ini tidaklah menggigit. Sapit-sapitnya digunakan hanya untuk mencari makan dan senjata untuk melindungi dirinya dari ancaman predator. MIMI DAN KEPERCAYAAN NELAYAN Ada mitos yang masih dipercaya para nelayan dan diturunkan ke anak cucu, bahwa bila ingin mengkonsumsi Mimi haruslah sejodoh (sepasang). Karena bila kedua Mimi Mintuno tersebut dimasak bersama, racun yang ada pada tubuh hewan tersebut dapat ternetralisir (menjadi netral atau pudar). Dan mereka beranggapan bahwa Mimi (si betina) berfungsi sebagai "penawar racun"bagi Mintuno (si j ant an) yang mengandung racun di tubuhnya. Hal ini disebabkan karena terjadi reaksi dari bagian tubuh betina yang berupa juntai-juntai di atas pangkal kaki, sewaktu dimasak bersama sang jantan. Apabila pelaksanaan ini tidak dipatuhi akan mengakibatkan keracunan bahkankematian, tetapi bila dipatuki maka akan selamatlah mereka. Benarkah Mimi beracun ? . Untuk itu perlu adanya penyuluhan agar penduduk atau nelayan tidak lagi menagkap atau mengkonsumsi hewan tersebut. Mengingat populasinya di alam yang belum diketahui dengan pasti dan dapat menyebab- kan kematian bila tidak berhati-hati did?lam mengkonsumsiny a. Lain halnya dengan "suku laut" yang hidup dipinggiran pantai Kabupaten Riau dan Bengkalis, terhadap binatang laut yang satu ini. Masyarakat Riau menyebutnya dengan sebutan "Tapak Kuda" . Tapak Kuda memiliki makna tersendiri bagi keluarga yang juga diturunkan turun temurun ke anak cucu. Mereka menganggap binatang tersebut sebagai jimat penolak bala bagi anak-anaknya, dengan cara menggantungkan mimi di leher anak-anak, agar tidak terserang penyakit dan tidak didekati roh jahat. Untuk memakainya, terlebih dahulu mimi dibersihkan dan dikeringkan, setelah itu dibuatkan rantai untuk dikalungkan ke leher. Seolah-olah mimi dijadikan seperti "liontinnya". Sedangkan ekornya yang keras dapat dimanfaatkan oleh kaum wanita sebagai tusukkonde. Maka tepatlah kiranya apabila melalui tulisan ini dapat disajikan informasi dan gambaran jelas tentang status "Mimi" yang langka dan dilindungi serta bahayanya racun di tubuh hewan tersebut. Di samping juga lebih mendorong upaya untuk melestarikannya. RACUN DAN PENCEGAHANNYA Sampai sejauh ini, pihak Dinas perikanan atau instansi terkait belum ada yang meneliti secara khusus mengenai Mimi, terutama bagian tubuh mana yang mengandung racun yang begitu mematikan. Selain itu juga bagaimana pula proses racun tersebut dapat tawar sendiri secara otomatis,apa bila dimasak sekaligus sepasang. Perlu diingat kembali bahwa Mimi merupakan anggota dari sub-kelas Xiphosura 32 Oseana, Volume XVIII No. 1, 1993 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id (bangsa Iaba4aba purba) yang masih mempunyai hubungan dekat dengan kalajengking dan laba-laba dari sub-kelas Arachnida. Jenis hewan tersebut (baik kalajengking pun laba-laba) memiliki kelenjar beracun dalam tubuhnya yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa, sehingga diduga pula halnya dengan bangsa mimi. Menurut MARSHALL & WILLIAMS (1972) , letak kelenjar racun dari kalajengking adalah di bagian ujung dari ekor (segmen terakhir) yang berupa kantong racun dan berfungsi sebagai penyengat. Pada Mimi, ekornya hanya berupa duri panjang yang tidak mengandung apa-apa. Namun diduga bahwa racun yang terkandung di dalam hati dan empedu sangat pekat sekali. Dari dugaan tersebut, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa daging tubuh Mimi memang beracun dan dapat menewaskan pemakannya. Selain dagingnya, nelayan juga sangat menyukai telur Mimi yang setelah direbus diolah menjadi makanan sehari-hari. Namun ternyata telur Mimi juga dapat menyebabkan keracunan bahkan kematian, sehingga nelayan beranggapan bahwa telur-telur tersebut berasal dari induk Mimi yang sendirian (tidak berpasangan). Diduga beberapa telur yang berasal dari induk Mimi betina yang sendirian, ada yang sudah busuk karena tidak sempat dikeluarkan dari tubuh, selain juga tidak ada pejantan yang akan membuahinya. Dari kenyataan itu (makan daging dan makan telur), sebenarnya jelas terlihat dua hal yang harus dibedakan (dipisahkan) secara tegas, yaitu makan daging tubuh Mimi dan makan telurnya.. Bila memakan dagingnya bisa meninggal, tetapi bila makan telurnya tidak. Perlu diadakan penelitian untuk dapat membuktikan kebenarannya. Karena masih adanya kesimpangsiuran pendapat dan masih berpengaruhnya kepercayaan (mitos) terhadap Mimi, maka untuk sementara, kepada nelayan dapat diberikan penyuluhan boleh mengkonsumsi telur Mimi dengan syarat, jangan sekali-kali memakan daging tubuhnya. Selain resiko menelan racun, tubuh Mimi juga tidak memadai. Karena bagian tubuh yang empuk hanyalah insang dan otot-otot yang berada dalam ruas kali. Selain itu juga cara pengolahannya perlu diperhatikan. Sebaiknya sebelum dimasak dibersihkan dahulu hingga tuntas, terutama hati dan kantong empedunya. Jangan sekali-kali mencoba untuk memisahkan jerohannya (jantung, hati, empedu, usus dan Iain-lain), karena tidak mudah Bila caranya salah, akan membuat celaka. Yang terpenting dan perlu digarisbawahi ialah, populasi Mimi di alam masih be lum dapat dipastikan, sehingga perlu dijaga kelestariannya, agar tidak punah. 33 Oseana, Volume XVIII No. 1, 1993 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id MARSHALL, AJ. and WILLIAMS, W.D. 1972. Texbook of Zoology. Vol. 1. Invertebrates. Seventh Edition. English Language Book Society and Macmillan.412 418p. PROYEK PENGEMBANGAN SUMBER YA ALAM HAYATI PUSAT 1987/1988. Diskripsi Biota Laut Langka. Departemen Kehutanan Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Bogor, 170 hal. SNODGRASS, R£. 1952. A Textbook of Arthropod Anatomy. Courtesy of Cornell University Press. DAFTAR PUSTAKA COUSTEAU, J. 1975(a). The Ocean World of Jacques Gousteau. Attack and Defense vol. 6. The Danbury Press, p.66. COSTEAU, J. 1975(b). The Ocean World of Jacques Cousteau. The Adventure of life vol. 14. The Danbury Press, p. 63. LEMBAGA OSEANOLOGI NASIONALLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 1973. Bahan Makanan Dari Laut. Pusat Dokumentasi Ilmiah Nasional h. 78-79. 34 Oseana, Volume XVIII No. 1, 1993