BAB V. PRINSIP UMUM IMUNITAS INNATE DAN ADAPTIF

advertisement
BAB V
PRINSIP UMUM IMUNITAS INNATE
DAN ADAPTIF
Pada imunitas innate makrofag dan neutrofil memegang
peranan penting sebagai pertahanan pertama dalam melawan
mikroorganisme patogen. Kedua sel tersebut langsung bisa bekerja
dan tidak mengenal spesifikasi. Makrofag akan memfagosit semua
macam bakteri jika sel tersebut dapat mengenalinya demikian juga
neutrofil akan mengadakan serangan secara langsung tanpa
membedakan mikroorganisme yang masuk. Namun demikian, dalam
hal tertentu kedua sel imunokompten ini tidak berhasil mengeliminasi
patogen yang masuk bahkan tidak dapat mengenali patogen tersebut.
Imunitas innate merupakan langkah awal untuk memulai terjadinya
imunitas adaptif. Adanya imunitas innate memberikan keuntungan
yang besar bagi tubuh karena pada tahap awal datangnya infeksi
sesungguhnya tubuh belum siap dengan sistem pertahanan imunitas
adaptif. Imunitas adaptif pada umumnya bekerja 4-7 hari setelah
terjadinya infeksi. Pada saat imunitas adaptif mulai dipersiapkan maka
imunitas innate merupakan satu-satunya sistim pertahanan yang
bertanggungjawab untuk mengontrol perkembangan patogen yang
masuk. Satu keuntungan yang sangat besar dari imunitas adaptif
adalah adanya perkembangan sel-sel memori. Sel-sel ini merupakan
klon spesifik yang dipelihara tetap hidup dalam waktu relatif lama.
Jika dalam periode tertentu tubuh terpapar lagi oleh antigen yang
sama, maka sel-sel memori akan merespon dengan cepat dengan
membentuk sel-sel plama atau efektor untuk mengatasi patogen yang
masuk.
Hampir semua agen penginfeksi akan menimbulkan terjadinya
inflamasi yang diawali oleh aktifnya imunitas innate. Mikroorganisme
seperti bakteri yang berhasil menembus jaringan epitel segera
bertemu dengan molekul pertahanan dan juga sel-sel yang berperan
pada imunitas innate. Makrofag sebagai sel fagosit mengenali bakteri
dengan reseptor yang ada pada permukaan sel. Reseptor tersebut
120
mengenal konstituen yang ada pada permukaan sel bakteri. Molekul
yang berada pada permukaan sel bakteri berikatan dengan reseptor
yang ada pada makrofag dan merangsang makrofag untuk
memfagosit bakteri tersebut. Makrofag yang teraktifkan mampu
mensekresi sitokin. Sitokin merupakan protein yang disekresi suatu
sel dan memiliki efek mengubah tingkah laku sel lain yang
mempunyai reseptor untuk sitokin tersebut. Makrofag yang
teraktifkan juga mensekresi protein yang dikenal dengan nama
kemokin. Kemokin mempunyai kemampuan merekrut sel-sel lain
yang memiliki reseptor kemokin, seperti neutrofil dan monosit dari
sirkulasi darah. Sitokin dan kemokin yang dihasilkan makrofag
sebagai respon terhadap molekul yang terdapat pada bakteri akan
mengawali proses inflamasi.
Bakteri merangsang makrofag
untuk mensekresi sitokin
dan kemokin
Vasodilasi dan peningkatan
permeabilitas vasculer menyebabkan
kemerahan, panas, dan bengkak
Sel inflamator bermigrasi masuk
jaringan dan mensekresi mediator
inflamasi yang menyebabkan rasa sakit
bakteri
neutrofil
kemokin
sitokin
cairan
protein
Gambar 45. Infeksi bakteri memicu terjadinya inflamasi. Makrofag yang
bertemu dengan antigen pada suatu jaringan akan melepaskan sitokin yang
menyebabkan permeabilitas pembuluh darah meningkat. Keadaan ini
memungkinkan cairan dan protein menembus dan masuk dalam jaringan.
Makrofag juga memproduksi kemokin yang dapat menarik neutrofil bermigrasi
ke arah infeksi. Daya lekat (stickiness) sel endotel pembuluh darah juga berubah
sehingga sel yang melekat pada sel endotel dapat melekat kuat dan menembus
keluar dari darah menuju jaringan. Yang mula-mula melakukan penembusan
pembuluh darah adalah neutrofil dan diikuti oleh monosit. Akumulasi sel dan
cairan pada sisi luka menyebabkan warna kemerahan, bengkak, panas, dan sakit,
yang secara keseluruhan disebut inflamasi. Neutrofil dan makrofag merupakan
sel inflamator paling penting. Limfosit yang teraktivasi pada respon imun dapat
menyumbangkan kejadian inflamasi.
121
Inflamasi dan fagositosis juga dipacu oleh aktivitas
komplemen yang bekerja pada permukaan sel bakteri. Komplemen
merupakan protein dalam plasma yang mengaktifkan reaksi
proteolisis pada permukaan mikrobia tetapi tidak pada sel host.
Komplemen bekerja dengan menempel pada permukaan dinding sel
mikrobia dengan fragmen yang dikenali oleh reseptor makrofag yang
selanjutnya difagosit oleh makrofag. Dalam proses ini makrofag juga
mensekresikan peptida yang menyumbangkan terjadinya inflamasi.
Inflamasi secara umum dapat digambarkan sebagai peradangan
dengan ciri-ciri timbulnya panas, rasa sakit, timbul warna merah, dan
swelling. Kondisi demikian ini merupakan akibat kerja sitokin dan
faktor inflamasi lain pada pembuluh darah di suatu tempat.
Terjadinya delatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah
selama inflamasi akan meningkatkan aliran darah pada daerah yang
mengalami infeksi. Adanya permeabilitas yang tinggi memungkinkan
cairan dari darah akan menembus keluar pembuluh darah menuju
jaringan, dan menyebabkan panas, merah, dan swelling. Sitokin dan
komplemen juga memberi sumbangan penting pada perubahan
fisiologi dari sel endotel. Sel endotel mempunyai daya ikat yang tinggi
atas pengaruh dua molekul tersebut di atas. Daya ikat tersebut
memungkinkan sel-sel leukosit yang sedang bersirkulasi untuk
melekat pada sel-sel endotel pada dinding pembuluh darah. Setelah
pelekatan tersebut sel-sel leukosit dengan mudah menembus di antara
sel-sel endotel menuju daerah infeksi dengan dipandu oleh gradien
kemokin. Pindahnya leukosit dari pembuluh darah menuju jaringan
menimbulkan rasa sakit. Neutrofil merupakan sel terpenting di awal
terjadinya inflamasi. Neutrofil adalah sel yang paling cepat menuju
daerah inflamasi. Sebagaimana makrofag, neutrofil memiliki reseptor
di permukaan sel yang secara umum mampu mengenal molekul pada
permukaan sel bakteri dan komplemen. Neutrofil merupakan sel
penting yang mampu menelan dan menghancurkan mikroorganisma
penginfeksi. Aktivitas neutrofil ini segera diikuti oleh berubahnya
monosit menjadi makrofag, sehingga makrofag dan neutrofil disebut
sel inflamator. Selanjutnya peristiwa inflamasi ini juga menimbulkan
reaksi limfosit. Limfosit T akan bekerja setelah mengenal antigen
yang dipresentasikan oleh APC. Sedangkan limfosit B mempunyai
kemampuan secara langsung untuk merespon antigen dengan
mensekresikan antibodi. Sebagian klon limfosit B ada yang memiliki
kemampuan untuk menelan bakteri dan berlaku sebagai APC.
122
Limfosit B semakin aktif jika memperoleh sitokin yang tepat yang
disekresikan oleh limfosit T. Imunitas innate memberi kontribusi
penting bagi terjadinya imunitas adaptif. Inflamasi meyebabkan
meningkatnya aliran cairan lymph yang mengandung antigen dan sel
yang membawa antigen masuk jaringan limfoid. Makrofag yang telah
memfagosit bakteri mempunyai kemampuan mengaktifkan sel-sel
limfosit. Namun demikian, sel yang secara khusus didesain untuk
mempresentasikan antigen kepada sel T adalah sel dendritik, dan
inilah awal dari terjadinya respon imunitas adaptif.
Aktivasi APC Menginduksi Imunitas Adaptif.
Induksi imunitas adaptif dimulai ketika patogen dicerna oleh
sel dendritik immature pada jaringan yang terinfeksi. Sel fagosit ini
tersebar pada berbagai macam jaringan dan mengalami pembaharuan
pada kecepatan yang sangat rendah. Sel dendritik sebagaimana
makrofag berasal dari prekursor dalam sumsum tulang, dan
bermigrasi dari sumsum tulang menuju jaringan periperal tempat
berhentinya, pada tempat yang baru ini sel dendritik berperan untuk
menjaga lingkungannya dari serangan patogen. Sel dendritik yang
telah memperoleh antigen akan segera memasuki pembuluh limfa
dam masuk lymph node. Pada lymph node sel dendritik akan
mengenalkan antigen yang dibawa kepada sel T naive.
Sel dendritik immature mempunyai reseptor pada permukaan
sel yang mengenali sifat umum patogen, misalnya dinding sel bakteri
yang berupa proteoglikan. Sebagaimana yang terjadi pada makrofag
dan neutrofil, bakteri yang berikatan dengan reseptor sel dendritik
akan ditelan oleh sel tersebut dan didegradasi intraselluler. Sel
dendritik immature secara terus menerus mengambil material
ekstraselluler, termasuk virus dan bakteri yang ada pada lingkungan
itu dengan mekanisme makropinositosis yang tidak tergantung
reseptornya. Fungsi utama sel dendritik sebenarnya bukan untuk
menghancurkan patogen tetapi untuk membawa antigen dari patogen
itu pada organ limfoid periferal dan mempresentasikan antigen itu
pada sel limfosit T. Ketika sel dendritik menelan patogen pada
jaringan yang terinfeksi, sel dendritik teraktivasi dan bergerak menuju
lymph node yang terdekat. Karena aktivasi itu sel dendritik
mengalami pemasakan menjadi sel APC yang sangat efektif dan
berubah sifat menjadi sel yang mampu mengaktifkan sel limfosit
123
spesifik yang berada pada lymph node (Gambar 42). Sel dendritik
yang teraktivasi mensekresi sitokin yang berpengaruh terhadap
imunitas innate maupun adaptif.
SEL DENDRITIK IMMATURE
BERTEMPAT PADA JARINGAN
PERIFERAL
SEL DENDRITIK BERMIGRASI
MENUJU LYMPH NODE MELEWATI
PEMBULUH LIMFAAFFERENT
SEL DENDRITIK MATURE PADA
KORTEK DALAM
limfosit spesifik
sel dendritik
mature
folikel
limfoid
kortek
dalam
makropinosom
lymph node
HEV
medula
limfosit naive
Gambar 46. Sel dendritik menginiasiasi imunitas adaptif. Sel dendritik
belum masak yang terletak pada daerah luka akan menangkap patogen dengan
reseptor yang memediasi fagositosis, sedangkan antigennya akan ditangkap
dengan makropinositosis. Sel dendritik ini terstimuli dan bermigrasi ke lymph
node terdekat melalui pembuluh limfatik. Pada LN sel dendritik telah masak
sempurna dan kehilangan kemampuan sebagai sel fagosit. Pada LN, sel
dendritik tertemu dan mengaktifkan sel T yang masuk LN melalui pembuluh
darah khusus yang disebut high endothelial venule (HEV). Sel endotel yang
menyusun HEV sangat spesifik berbentuk kuboid.
Limfosit Yang Teraktivasi Dapat Memediasi Respon Imunitas Adaptif.
Sistem pertahanan imunitas innate efektif untuk melawan
berbagai macam patogen. Namun demikian sistem ini kerjanya juga
terbatas karena mengandalkan reseptor yang terbentuk selama proses
perkembangannnya, sedangkan mikroorganisme dapat berubah
melebihi kecepatan host menyelaraskan sistem imun yang ada. Hal ini
menjelaskan mengapa sistem imunitas innate hanya dapat mengenali
mikroorganisme yang membawa molekul yang umumnya sama untuk
semua jenis patogen yang secara evolusi kemampuan tersebut telah
terpelihara. Imunitas innate akan bekerja dengan cepat terhadap agen
apapun yang masuk, termasuk mikroorganisme yang mempunyai
124
kecepatan berevolusi sangat tinggi selama reseptor nonspesifik dapat
mengenalinya. Sistem imunitas innate dapat mengenali struktur
molekul yang berada pada patogen yang umumnya tidak dimiliki host.
Telah diketahui bahwa bakteri patogen dapat terus melakukan
perubahan struktur kapsul sehingga terhindar dari pengenalan sel-sel
fagosit. Virus membawa berbagai macam molekul yang secara umum
berbeda dengan bakteri dan jarang dapat dikenali langsung oleh
makrofag. Namun demikian virus dan bakteri berkapsul dapat
diambil oleh sel dendritik dengan proses makropinositosis yang tidak
tergantung pada reseptor, sehingga molekul yang menunjukkan sifat
sebagai penginfeksi bisa diketahui, dan sel dendritik teraktivasi akan
mempresentasikan antigen pada limfosit. Mekanisme pengenalan
pada sistem imunitas adaptif yang dilakukan oleh sel limfosit telah
berevolusi untuk mengatasi keterbatasan imunitas innate. Adanya
evolusi itu memungkinkan terjadinya pengenalan terhadap diversitas
antigen yang tak terbatas, sehingga setiap antigen dapat menjadi target
bagi limfosit yang spesifik.
Setiap sel limfosit yang masuk pada sirkulasi darah hanya
memiliki satu macam reseptor yang spesifik untuk satu macam
antigen. Sifat spesifik limfosit ini terbentuk selama proses
perkembangan limfosit mulai pada sumsum tulang dan timus untuk
membentuk varian gen yang menyandi molekul reseptor limfosit.
Karena setiap sel limfosit mempunyai reseptor yang spesifikasinya
berbeda satu dengan yang lain, maka setiap individu mempunyai
berjuta-juta klon sel limfosit, lymphocyte receptor repertoire. Selama
hidup manusia limfosit mengalami proses yang mirip seleksi alam.
Hanya limfosit yang menemukan antigen yang dapat teraktivasi dan
berubah menjadi sel efektor. Clonal selection theory, sebenarnya telah
berkembang sejak tahun 1950. Pada saat itu Macfarlane Burnet
beranggapan bahwa di dalam setiap individu telah tersedia sel-sel yang
mempunyai potensi menghasilkan antibodi yang berbeda-beda. Jika
sel tersebut mengikat antigen yang sesuai akan teraktivasi dan
membelah menjadi progeni yang identik, yang disebut klon. Sel yang
teraktivasi itu sekarang dapat mensekresi antibodi yang sama, dan
mempunyai spesifikasi yang sama pula dengan reseptor yang pertama
kali terstimuli.
125
Seleksi Klon Limfosit Sangat Penting Pada Imunitas Adaptif.
Ketika Burner mengemukakan clonal selection theory,
sesungguhnya saat itu ilmuwan belum tahu apapun tentang reseptor
antigen pada limfosit, tentu saja fungsi limfosit itu sendiri pada waktu
itu masih belum diketahui. Limfosit tidak pernah menjadi perhatian
sebelum seorang ilmuwan bernama James Gowans menemukan
bahwa penghapusan limfosit pada tikus menyebabkan hilangnya
respon imunitas adaptif tahun1960. Respon imunitas adaptif itu akan
pulih jika sejumlah limfosit dikembalikan. Kejadian ini menyadarkan
peneliti bahwa limfosit merupakan unit clonal selection yang
dikemukakan oleh Bunrnet pada zamannya. Penemuan Gowan
mengilhami konsep baru yang memfokuskan aspek biologi pada
bidang imunologi selluler. Saat buku ini ditulis imunologi selluler
telah memfokuskan kajian pada bidang sel regulator, yaitu populasi
sel limfosit yang mengekspresikan molekul CD4+CD25+FOXP3+.
1.
2.
3.
4.
Hipotesis Seleksi Klon
Setiap limfosit membawa satu macam tipe reseptor yang
spesifik untuk satu macam antigen
Interaksi antara reseptor limfosit dengan molekul asing
dapat mengikat molekul itu dan mengakibatkan limfosit
teraktivasi
Efektor yang berasal dari limfosit yang teraktivasi membawa
membawa reseptor yang identik dengan induknya
Limfosit dengan reseptor yang mengenali self-antigen
dengan kuat akan dieliminasi pada tahap awal perkembangan
limfosit sehingga sel seperti itu tidak ada dalam bentuk sel
yang masak
Gambar 47. Empat konsep dasar seleksi klon (clonal selection).
Seleksi klon pada perkembangan limfosit yang menunjukkan
luasnya diversitas reseptor dapat menerangkan terjadinya imunitas
adaptif namun menyisakan satu permasalahan penting. Jika reseptor
antigen limfosit terbentuk secara random selama kehidupan individu,
126
bagaimana limfosit dicegah dari mengenali self-antigen pada jaringan
dan bagaimana pula menghindari serangan limfosit itu? Ray Owen
pada akhir tahun 1944 menunjukkan bahwa sapi kembar yang secara
genetika memiliki perbedaan menunjukkan adanya toleransi
imunologi pada transplantasi setiap jaringan. Pada tahun 1953 Peter
Medawar menunjukkan bahwa mencit yang diekpose dengan jaringan
asing selama proses perkembangan embrio akan toleran terhadap
jaringan asing itu. Burnet meyakini bahwa selama perkembangan
limfosit, limfosit yang reaktif terhadap self-antigen akan dihapus
sebelum limfosit itu dewasa, yang diistilahkan dengan clonal selection.
Clonal selection pada limfosit merupakan hal yang paling penting pada
imunitas adaptif. Postulat tersebut disarikan pada Gambar 43.
Masalah terakhir dari teori clonal selection adalah bagaimana diversitas
reseptor antigen limfosit dibentuk, dan telah terjawab tahun 1970
ketika biologi molekuler telah berkembang dan telah berhasil
melakukan klon terhadap gen yang menyandi molekul antibodi.
Struktur Antibodi Menggambarkan Rumitnya Sistem Imunitas
Adaptif.
Antibodi merupakan reseptor sel B yang disekresikan. Karena
antibodi diproduksi dalam jumlah yang sangat besar pada saat terjadi
respon pada antigen, maka antibodi dapat dipelajari dengan teknik
biokimia tradisional. Struktur antibodi telah diketahui jauh sebelum
teknik rekombinasi DNA ditemukan. Dari studi biokimia diketahui
bahwa molekul antibodi tersusun atas dua bagian yang berbeda.
Pertama adalah bagian yang disebut konstan. Bagian ini merupakan
satu struktur dari lima kemungkinan bentuk yang ada. Yang kedua
adalah bagian yang disebut variabel. Bagian ini mempunyai bentuk
struktur yang sangat bervariasi dan nampaknya variasinya tidak
terhingga, sehingga apapun antigen yang masuk pasti ada antibodi
yang mengikat secara spesifik. Struktur antibodi digambarkan sebagai
molekul yang berbentuk huruf Y. Dua bagian variabel yang identik
pada setiap satu molekul antibodi menentukan spesifikasi antibodi
tersebut terhadap antigen. Bagian konstan menentukan bagaimana
antibodi memusnahkan antigen ketika antibodi itu terikat.
127
bagian variabel
(sisi ikatan antigen)
bagian konstant
(fungsi efektor)
Gambar 48. Skema struktur molekul antibodi. Dua lengan molekul antibodi
yang berbentuk huruf Y merupakan bagian variabel yang membentuk antigenbinding site (ABS) yang identik. Bagian lain adalah daerah yang disebut konstan
yang terlibat pada mekanisme efektor.
Setiap molekul antibodi mempunyai dua lipatan aksis yang
simetri dan tersusun atas dua rantai berat yang identik dan dua rantai
ringan yang identik pula (Gambar 45). Rantai berat dan rantai ringan
kedua-duanya mempunyai bagian konstan dan variabel. Bagian
variabel dari rantai berat dan ringan bergabung membentuk sisi ikatan
antigen. Dengan demikian, baik rantai berat maupun ringan
mempunyai kontribusi untuk membentuk spesifikasi ikatan dengan
antigen pada molekul antibodi tersebut.
rantai
ringan
rantai
berat
128
rantai
ringan
rantai
berat
Gambar 49. Antibodi disusun oleh
empat rantai protein. Ada dua tipe
rantai pada molekul antibodi, yaitu rantai
berat yang disebut heavy chain, dan rantai
ringan yang disebut light chain. Setiap
rantai antibodi punya daerah variabel dan
konstan. Pada setiap molekul antibodi ada
dua rantai ringan yang identik dan juga
dua rantai berat yang identik.
Satu proginetor yang sama berkembang
menjadi berbagai macam limfosit dengan
reseptor yang berbeda spesifikasinya
Penghapusan klon yang punya potensial reaktif terhadap
tubuh dengan “clonal deletion”
self antigen
self antigen
limfosit masak (naive/belum tersentisisasi)
antigen asing
Proliferasi dan diferensiasi limfosit spesifik yang
teraktifasi membentuk efektor dari klon yang sama
Gambar 50. Seleksi klon (clonal
selection). Setiap progenitor
limfosit dapat berkembang menjadi
bermacam-macam limfosit yang
membawa reseptor yang berbeda.
Limfosit
yang
reseptornya
mengikat kuat pada self antigen
akan dieliminasi sebelum sel
tersebut dewasa (mature). Jika sel
tersebut
telah
dewasa
dan
mengenali antigen maka sel
tersebut akan teraktivasi dan
melakukan pembelahan. Hasil
pembelahan sel yang telah masak
ini merupakan klon yang identik,
jadi semua sel anakannya akan
mengenali antigen yang sama. Sifat
spesifik terhadap antigen ini akan
tetap terjaga walaupun sel telah
mengalami aktivasi, proliferasi, dan
menjadi sel efektor. Jika antigen
sudah berhasil dieliminasi maka
respon imun berhenti.
TCR Berkembang Dengan Menyusun Ulang Gen Penyandinya.
Sebelum tahun 1976 para ilmuwan tidak bisa menjelaskan
mengapa reseptor antigen mempunyai diversitas yang tidak terhingga
jumlahnya, padahal jumlah gen terbatas. Pada tahun 1976 Susumu
Tonegawa menemukan bahwa gen yang menyandi bagian variabel
diwariskan sebagai segmen gen, masing-masing segmen menyandi
bagian variabel rantai polipeptida imunoglobulin (Gambar 21).
Selama proses perkembangan sel B pada sumsum tulang, segmen gen
digabungkan dengan cara rekombinasi DNA membentuk rentangan
DNA yang menyandi bagian variabel itu secara utuh. Penggabungan
segmen-segmen DNA itu bersifat irreversibel. Karena banyaknya
segmen gen yang berbeda pada setiap set rentangan DNA di atas, dan
129
segmen gen yang berbeda bergabung secara random pada setiap sel,
sehingga setiap sel mempunyai gen yang unik dan berbeda satu sama
lain pada gen yang menyandi bagian variabel dari rantai ringan dan
rantai berat molekul imunoglobulin. Apabila rekombinasi di atas telah
sukses menghasilkan reseptor yang fungsional, rekombinasi
selanjutnya dihentikan, sehingga setiap limfosit hanya memiliki satu
macam reseptor yang spesifik. Mekanisme ini mempunyai tiga macam
konskwensi. Pertama, menyebabkan segmen gen yang jumlahnya
terbatas menghasilkan protein dalam variasi yang sangat besar.
Kedua, karena setiap sel menggabungkan segmen gen yang berbeda,
maka setiap sel mengekspresikan reseptor yang spesifik. Ketiga,
karena penyusunan ulang gen bersifat irreversibel, maka semua
turunan dari sel tersebut mewarisi gen yang sama yang menyandi
reseptor spesifik yang sama pula. Mekanisme itu juga berlaku pada
pembentukan reseptor pada limfosit T. Perbedaan utama antara
reseptor limfosit T dan B adalah adanya dua reseptor pengenalan
antigen yang identik dan dapat disekresikan pada sel B, sedangkan
pada sel T hanya ada satu reseptor pengenalan antigen dan tidak
dapat disekresikan. Reseptor antigen pada sel T tetap berada pada
permukaan sel.
Potensi terjadinya diversitas pada sistem pembentukan
reseptor limfosit sangat besar. Hanya beberapa ratus segmen gen
yang berbeda dapat berkombinasi membentuk jutaan reseptor yang
berbeda satu sama lain. Diversitas reseptor limfosit dapat berlipat
ganda dengan adanya junctional diversity, yang terjadi akibat
penambahan ataupun pengurangan selama proses penggabungan
segmen gen, dan fakta menunjukkan bahwa pada setiap reseptor
terbentuk dari pasangan rantai variabel yang berbeda, masing-masing
dikode oleh satu set segmen gen yang berbeda. Pada mekanisme ini
sedikit saja material genetik dapat menyandi diversitas reseptor yang
jumlahnya sangat besar. Pada individu paling tidak terdapat 108 klon
yang berbeda.
130
Gambar 51. Diversitas
reseptor antigen pada
limfosit
terbentuk
dengan cara somatic
gene rearrangements.
Bagian yang berbeda pada
variabel disandi oleh
beberapa set segmen gen.
Selama
proses
perkembangan limfosit,
satu anggota dari setiap
Kombinasi segmen gen dengan
mekanisme ‘somatic gene rearrangement’ set segmen gen bergabung
satu sama lain secara
random. Penggabungan
itu melalui rekombinasi
DNA
dan
bersifat
irreversible. Segmen gen
juxtaposed
merupakan
gen yang lengkap yang
menyandi bagian variabel
dari satu rantai reseptor,
Rantai berpasangan membentuk reseptor
dan bersifat unik untuk
spesifik pada setiap limfosit
satu sel itu. Penggabungan
secara ramdom di atas
terus
terulang
pada
segmen
gen
yang
menyandi rantai lain. Gen
yang
telah
tersusun
melalui mekanisme itu
akan diekspresikan untuk
membentuk dua tipe
rantai polipeptida. Secara
bersama dua rantai polipeptida itu membentuk reseptor antigen yang spesifik
pada permukaan limfosit. Setiap satu sel limfosit mempunyai reseptor yang
sama walaupun jumlahnya sangat banyak dan tersebar pada permukaan sel.
Segmen gen yang diwariskan
Signal Yang Diterima TCR Menentukan Perkembangan dan Survival
Limfosit.
Menjaga repertoire pada periferal sama pentingnya dengan
proses yang terjadi pada pembentukan diversitas reseptor.
Mempertahankan jumlah limfosit periferal dan mempertahankan
kesetimbangan rasio sel B dan sel T agar relatif konstan juga
merupakan proses yang sangat rumit dan teliti pada pengaturan
131
homeostasis individu. Pada peristiwa ini telah diketahui bahwa
pemasakan dan survival limfosit diregulasi oleh signal yang diterima
melalui reseptor antigen. Signal yang sangat kuat yang diterima oleh
limfosit immature mengakibatkan sel tersebut mati atau mengalami
penyusunan reseptor ulang, dan pada mekanisme ini reseptor yang
mengenali atau reaktif terhadap self-antigen akan dihapus dari
repertoire. Namun demikian jika reseptor antigen yang terbentuk sama
sekali tidak mampu menerima signal dari self-antigen juga
mengakibatkan kematian sel itu. Agar limfosit tetap hidup limfosit
harus secara periodik menerima signal yang berasal dari
lingkungannya melalui reseptor antigen. Dengan mekanisme ini tubuh
dapat memastikan bahwa reseptor yang terbentuk berfungsi dan
dapat meregulasi jumlah dan tipe limfosit pada waktu kapanpun.
Signal kehidupan ini datangnya dari sel lain pada organ limfoid yang
disebut molekul self antigen. Apabila terjadi perubahan self environment
juga mengakibatkan perubahan lama hidup limfosit pada lingkungan
itu. Sel B yang berkembang pada sumsum tulang berinteraksi dengan
sel stroma, sedangkan pemasakan akhir dan sirkulasinya sangat
tergantung pada signal kehidupan yang diterima dari folikel sel B pada
jaringan limfoid periferal. Limfosit T menerima signal kehidupan dari
molekul self pada sel epitel yang terspesialisasi pada timus selama
proses perkembangan sel T tersebut. Signal kehidupan yang sama
dapat berasal dari molekul yang diekspresikan oleh sel dendritik pada
jaringan limfoid pada periferal.
Limfosit yang tidak dapat menerima signal kehidupan, dan
limfosit T yang bersifat reaktif terhadap self, akan mengalami
apoptosis atau programmed cell death. Apoptosis berasal dari bahasa
Greek yang artinya daun jatuh dari batang. Apoptosis terjadi pada
seluruh jaringan dan kecepatannya relatif konstan pada setiap
jaringan, dan apoptosis ini merupakan cara bagi tubuh untuk
mengatur jumlah sel. Apoptosis terjadi misalnya pada kematian dan
pengelupasan sel-sel kulit, pergantian sel liver, dan kematian sel epitel
tua pada intestin yang secara konstan diganti oleh sel baru. Demikian
pula, sel-sel yang terlibat pada sistem imunitas juga mengalami
regulasi dengan mekanisme yang sama. Setiap hari sumsum tulang
memproduksi berjuta-juta neutrofil, monosit, sel darah merah, dan
limfosit. Produksi sel oleh sumsum tulang harus seimbang dengan
132
kematian sel-sel itu. Kematian sel-sel tersebut diregulasi melalui
proses apoptosis, dan sel-sel yang mati akan difagosit oleh sel-sel
makrofag pada organ hati dan limfa/spleen. Sel-sel limfosit
merupakan hal yang khusus, oleh sebab itu hilangnya satu sel limfosit
naive berarti hilangnya sel spesifik dari repertoire (populasi sel T),
sedangkan sel-sel baru yang terbentuk secara random pada somatic
rearrangemen akan memiliki spesifikasi antigen yang berbeda. Signal
kehidupan yang diterima sel T melalui reseptornya akan mencegah
terjadinya apoptosis pada sel itu, sehingga menjaga komposisi limfosit
dalam tubuh suatu individu.
Sel Efektor dan Memori Merupakan Respon Adanya Antigen.
Diversitas limfosit yang sangat besar akan memastikan
tersedianya beberapa sel limfosit yang dapat mengenali antigen asing
jika antigen asing itu masuk dalam tubuh. Namun demikian karena
setiap limfosit mempunyai reseptor yang berbeda, sehingga jumlah
limfosit yang dapat mengenali antigen yang masuk sangat sedikit.
Untuk membentuk sel limfosit efektor dalam jumlah besar dan
spesifik pada antigen tersebut di atas, maka sel limfosit yang
kompeten itu harus diaktivasi dan berproliferasi sebelum sel-sel itu
berdiferensiasi menjadi sel efektor. Mekanisme ini disebut clonal
expansion, yang merupakan ciri umum dari respon imunitas adaptif.
Aktivasi dan proliferasi limfosit dimulai pada jaringan limfoid, pada
tempat itu limfosit naive dan APC yang teraktivasi dapat tinggal
bersama. Antigen dipresentasikan kepada limfosit naive oleh sel APC
sebelum limfosit itu keluar lagi dari jaringan limfoid lewat pembuluh
limfatik efferent. Jika sel limfosit telah mengenali antigen spesifik
yang dipresentasikan sel APC, limfosit tidak bermigrasi lagi dan
limfosit itu mulai teraktivasi sehingga bentuknya menjadi besar. Pada
kondisi itu kromatin di dalam nukleus tidak tebal, nukleoli muncul,
volume nukleus dan sitoplasma meningkat, RNA dan protein baru
tersintesis. Dalam waktu beberapa jam sel berubah total dan sekarang
disebut limfoblas (Gambar 30). Limfoblas sekarang memulai
membelah diri, normalnya membelah menjadi dua kali sampai empat
kali dalam waktu 24 jam selama 3 samapi 5 hari. Dengan demikian
satu sel limfosit naive akan berkembang menjadi sekitar 1000 sel
133
anakan yang identik. Klon yang telah mengalami ekspansi itu
selanjutnya berdiferensiasi menjadi sel efektor (Gambar 48). Pada sel
B, sel efektor, yang dikenal dengan sel plasma mensekresi antibodi,
sedangkan pada sel T, sel efektor dapat merusak sel yang terinfeksi
atau mengaktifkan sel lain yang terlibat pada sistem imun. Perubahan
yang terjadi pada sel T ini juga mempengaruhi sirkulasinya.
Perubahan yang berupa peningkatan ekspresi molekul adhesi pada
permukaan sel, memungkinkan sel limfosit efektor bermigrasi masuk
menuju daerah yang terinfeksi atau tinggal pada organ limfoid dan
mengaktifkan sel B. Setelah sel limfosit naive teraktivasi, sel-sel
tersebut memerlukan empat sampai lima hari untuk melakukan
ekspansi dalam jumlah besar dan selanjutnya berdiferensiasi menjadi
sel efektor. Itulah sebabnya sehingga imunitas adaptif terjadi beberapa
hari setelah adanya infeksi. Sel efektor mempunyai waktu hidup yang
pendek, jika antigen telah berhasil dimusnahkan, sebagian besar sel T
spesifik yang terbentuk selama proses clonal expansion mengalami
apoptosis. Namun demikian masih ada sel yang tetap hidup setelah
antigen berhasil dieliminasi. Sel yang masih bertahan hidup itu
selanjutnya dikenal dengan sebutan sel momori. Adanya sel memori
ini menjadikan individu lebih siap jika ada antigen yang sama masuk
pada waktu yang lain. Sel memori mempunyai respon jauh lebih cepat
dan efektif dibanding sel naive.
Karakteristik sel memori ini dapat diamati dengan
membandingkan respon antibodi pada individu pada imunisasi
pertama dengan respon yang dirangsang dengan booster dengan
antigen yang sama. Pada Gambar 49 respon antibodi sekunder terjadi
setelah fase lag yang pendek, menghasilkan antibodi dalam jumlah
besar dan mempunyai afinitas yang tinggi dalam hal mengikat antigen.
Prinsip dasar sel memori ini adalah ekspansi dan diferensiasi klon
tersebut, sehingga keseluruhan sel anakannya merupakan sel yang
spesifik untuk antigen yang pernah memapar pada waktu yang
lampau. Sel memori ini yang menjadikan vaksinasi dapat berhasil dan
mencegah terjadinya infeksi oleh patogen yang telah dimusnahkan
oleh imunitas adaptif. Sel memori merupakan bagian yang paling
penting pada terbentuknya imunitas adaptif, walaupun mekanisme
selluler dan mollekuler belum sepenuhnya diketahui.
134
Limfosit naive
Limfoblas
Sel B efektor (sel plasma)
Sel T efektor
Gambar 52. Berbagai tahap aktivasi limfosit sampai terbentuknya
efektor. Limfosit naive nampak kecil sebelum terpapar antigen. Sitoplasma
masih belum menunjukkan adanya retikulum endoplasma kasar, kromatin
tampak terkondensasi, semua mengindikasikan bahwa sel tersebut belum
teraktivasi. Gambaran seperti itu dapat berlaku baik sel B maupun sel T.
Beberapa sel limfosit yang bersirkulasi akan segera tertambat pada lymph node
pada saat reseptornya mengenali antigen yang dibawa APC pada tempat
tersebut. Adanya stimulasi oleh antigen menyebabkan sel limfosit berubah
mejadi limfoblas. Limfoblas menunjukkan ciri-cri antara lain: ukuran besar,
nukleuli terlihat, nukleus membesar dan kromatin terdifusi. Kondisi ini berlaku
untuk sel B dan sel T. Pada tahap limfoblas ini sel limfosit mengalami
pembelahan berulang-ulang dan diikuti dengan diferensiasi efektor. Pada panel
paling bawah menunjukkan gambar efektor sel B dan sel T. Pada tahap ini
jumlah mitokondria sangat banyak, nekleoli pada nukleus sangat menonjol,
retikulum endoplasma kasar sangat jelas kelihatan, ciri-ciri tersebut
menunjukkan bahwa sel sedang teraktivasi. Retikulum endoplasma sangat
menonjol terutama pada sel B efektor yang sedang mensintesis protein dalam
bentuk antibodi.
135
Aktivasi Limfosit Memerlukan Antigen dan Interaksi Dengan Sel Lain.
Jaringan limfoid periferal tidak saja berfungsi untuk
memperangkap sel fagosit yang telah mencerna antigen, tapi juga
berfungsi untuk menstimuli terjadinya interaksi antara APC dengan
limfosit yang diperlukan untuk memulai respon imunitas adaptif.
Lymph node dan spleen merupakan organ penting untuk dimulainya
imunitas adaptif ini.
Semua respon imun diinisiasi oleh pengenalan antigen asing.
Pengenalan itu pada akhirnya menimbulkan reaksi aktivasi pada
limfosit yang kompeten dengan antigen yang masuk. Semua rangkaian
reaksi aktivasi itu pada akhirnya ditujukan untuk mengeliminasi
antigen asing itu. Respon imun spesifik dapat dibagi menjadi tiga fase.
Fase tersebut berturut-turut adalah pengenalan (cognitif), aktivasi,
dan efektor. Fase pengenalan ditandai dengan ikatan antigen asing
dengan reseptor spesik pada limfosit yang mature. Limfosit B yang
merupakan komponen imunitas humoral mengekspresikan molekul
antibodi pada permukaan sel yang dapat mengikat antigen asing baik
berupa protein, polisakarida, atau lipida dalam keadaan terlarut
maupun berada pada target yang tidak terlarut. Sel T hanya dapat
mengenali antigen asing jika antigen tersebut dipresentasikan oleh sel
lain dalam bentuk komplek peptida:MHC.
Fase aktivasi merupakan kelanjutan dan konsekuwensi dari
fase pengenalan. Fase aktivasi ini ditandai dengan proliferasi dan
terjadi ekspansi klon yang spesifik untuk suatu antigen, sehingga
meningkatkan kemampuan protektif terhadap antigen itu. Sel B yang
mengenali antigen akan memproduksi antibodi dan antibodi yang
diproduksi itu akan berikatan dengan targetnya yang berupa antigen
spesifik. Beberapa limfosit T ada yang berkembang menjadi sel yang
mampu mengaktifkan sel fagosit sehingga sel fagosit dapat
membunuh bakteri intraselluler dalam sel fagosit itu. Di samping itu
beberapa sel T juga mampu membunuh secara langsung sel lain yang
terinfeksi virus. Secara umum aktivasi limfosit memerlukan dua
signal. Pertama signal dari antigen, kedua signal dari sel lain yang
dapat berupa sel helper atau sel aksesori (APC). Aktvasi limfosit
sangat penting dalam sistem imun karena dapat memperbanyak klon
yang spesifik dan sel yang teraktivasi mempunyai kemampuan
bergerak menuju antigen yang menjadi sasaran.
136
Download