BAGIAN I PRINSIP-PRINSIP HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI

advertisement
BAGIAN I
PRINSIP-PRINSIP HUKUM INTERNASIONAL
MENGENAI YURISDIKSI NEGARA
Yurisdiksi negara tidak dapat dipisahkan dari Azas
Kedaulatan Negara (State Souvereignty) yang merupakan ciri
hakiki dari setiap negara. Yurisdiksi Negara merupakan
konsekuensi logis dari adanya azas kedaulatan ataupun hakhak tertentu yang dapat dimiliki negara. Negara memiliki
yurisdiksi dalam batas-batas teritorialnya karena negara
memiliki kedaulatan yang menunjukkan adanya kekuasaan
tertinggi dalam bidang apapun di dalam batas-batas teritorial
dari negara yang bersangkutan (Mochtar Kusumaatmadja,
1972:15). Inilah yang disebut Kedaulatan Teritorial (Territorial
Souvereignty) yang dengan sendirinya menimbulkan apa yang
disebut Yurisdiksi Teritorial (Territorial Jurisdiction).
Menurut Malcolm N. Shaw (1986:342), yurisdiksi itu
menyangkut kewenangan negara untuk mempengaruhi orangorang, harta benda dan keadaan serta merefleksikan adanya
prinsip dasar mengenai Kedaulatan Negara (State Souvereignty), persamaan negara-negara (equality of states) dan tidak
campur tangan dalam urusan domestik (non-interference in
domestic affairs). Sesungguhnya yurisdiksi adalah suatu ciri
hakiki dan vital dari kedaulatan negara karena yurisdiksi
adalah suatu pelaksanaan kekuasaan yang dapat mengganti
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
1
atau menciptakan atau mengakhiri hubungan dan kewajiban
hukum.
Yurisdiksi itu dapat dicapai atau diwujudkan dengan
mempergunakan (by means of) tindakan legislatif atau tindakan eksekutif atau tindakan pengadilan sehingga keadaan
seperti ini menimbulkan dua macam kategori yurisdiksi,
yaitu: 1) Yurisdiksi Preskriptif (Prescriptive Jurisdiction), yaitu
kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan
atau menciptakan aturan-aturan hukum, dan 2) Yurisdiksi
Pelaksanaan (Enforcement Jurisdiction), yaitu kekuasaan untuk menerapkan aturan-aturan tersebut melalui tindakan
peradilan atau eksekutif (judicial or executive action).
Parlemen yang meloloskan undang-undang yang sifatnya mengikat, pengadilan yang membuat putusan yang
mengikat dan aparat pemerintah memiliki kekuasaan dan
yurisdiksi atau kewenangan hukum untuk memaksakan
aturan-aturan hukum (legal authority to enforce the rules of
law). Perbedaan antara kemampuan atau kewenangan untuk
membuat peraturan hukum (the prescriptive jurisdiction) dan
kewenangan untuk menjamin pentaatan terhadap peraturanperaturan
hukum
tersebut
(the enforcement jurisdiction)
menjadi dasar untuk memahami yurisdiksi negara.
Sesungguhnya pengertian yurisdiksi itu sendiri jauh
lebih luas daripada pengertian kedaulatan negara, karena
pengertian yurisdiksi tidak hanya mencakup pengertian
yurisdiksi teritorial, tetapi juga dapat mencakup pengertian
2
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
yurisdiksi yang menjangkau seseorang atau beberapa orang,
hal-hal atau masaalah-masalah yang berada atau terjadi di
luar batas-batas teritorial suatu negara.
Apabila yurisdiksi teritorial adalah merupakan konsekuensi logis dari adanya azas kedaulatan teritorial serta
hanya dapat menjangkau siapa atau apa saja yang berada
atau terjadi dalam batas-batas teritorial negara tersebut
(wilayah daratan, perairan pedalaman, laut wilayah dan
perairan kepulauan), maka pengertian yurisdiksi dalam arti
yang luas keberadaannya bersumber bukan hanya dari azas
kedaulatan negara melainkan juga bersumber atau didasarkan atas hak atau kewenangan dalam bidang-bidang tertentu
yang diberikan oleh hukum internasional kepada suatu negara, karena pengertian yurisdiksi negara bukan saja meliputi
pengertian yurisdiksi teritorial, maka dalam hukum internasional dikenal dan diakui adanya berbagai bentuk atau variasi
dari (pengertian) yurisdiksi negara.
Ada yang disebut yurisdiksi negara dalam bidang
legislatif atau yurisdiksi legislatif, yurisdiksi eksekutif, yurisdiksi administratif dan yurisdiksi yudikatif. Ada juga yang
dinamakan yurisdiksi personal, yurisdiksi kebendaan, yurisdiksi kriminal, yurisdiksi sipil atau yurisdiksi dalam perkara
perdata dan yurisdiksi ekstra territorial (extra territorial jurisdiction), seperti misalnya yurisdiksi negara di jalur tambahan,
di zona ekonomi eksklusif, di landas kontinen, yurisdiksi di
laut bebas, yurisdiksi di ruang udara dan ruang angkasa,
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
3
yurisdiksi universal dan pelbagai macam yurisdiksi yang bisa
timbul sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat internasional di masa mendatang.
Namun demikian di antara segala macam bentuk atau
variasi pengertian yurisdiksi negara, maka yang paling menonjol dan signifikan adalah pengertian yurisdiksi teritorial.
Yurisdiksi teritorial itu paling menonjol dan signifikan karena
yurisdiksi semacam inilah sepanjang terpenuhi persyaratannya, maka paling efektif untuk diterapkan atau dilaksanakan oleh Negara setempat. Yurisdiksi teritorial adalah hak,
kekuasaan atau kewenangan dari suatu negara untuk
membuat peraturan-peraturan hukum nasionalnya (prescripttive
jurisdiction),
memaksakan
menerapkan
berlakunya
atau
melaksanakan
peraturan-peraturan
dan
tersebut
terhadap siapapun yang melanggarnya (enforcement jurisdiction).
Yurisdiksi
teritorial
sebagaimana
dikemukakan
pengertiannya oleh J. G. Starke (1984:194) adalah yurisdiksi
yang dimiliki oleh suatu negara terhadap orang, benda,
peristiwa atau masalah yang terdapat dan atau terjadi di
dalam batas-batas teritorialnya. Siapapun orangnya baik
warganegara maupun orang asing yang berada di dalam
wilayah suatu negara harus tunduk pada yurisdiksi atau
kekuasaan hukum dari negara yang bersangkutan.
Setiap
benda
apapun
bentuknya
baik
bergerak
maupun tidak bergerak yang terdapat di dalam wilayah suatu
4
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
negara harus tunduk pada kekuasaan hukum negara tersebut. Demikian pula peristiwa atau masalah apapun yang
berlangsung atau terjadi di dalam batas-batas teritorial suatu
negara
dapat
diselesaikan
menurut
peraturan-peraturan
hukum dari negara yang bersangkutan.
Apapun yang terjadi di negara tersebut harus tunduk
pada yurisdiksi teritorialnya. Negara tersebut mempunyai hak
atau kewenangan untuk menciptakan peraturan-peraturan
hukumnya sendiri, menerapkan dan memaksakan berlakunya
peraturan-peraturan tersebut dalam kaitan dengan siapapun
atau apapun yang berada atau terjadi di dalam batas-batas
teritorial dari negara tersebut. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi terutama teknologi transportasi dan
komunikasi maupun informasi mengakibatkan timbulnya
perluasan yurisdiksi teritorial mengingat kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta hasil-hasilnya bagaimanapun harus dapat ditampung dan diakomodasi oleh masyarakat dan hukum internasional.
Hal ini disebabkan karena kemajuan dan kecanggihan
teknologi tersebut tidak jarang dapat dimanfaatkan dan
disalahgunakan oleh mereka yang berniat melakukan pelanggaran
atas
peraturan-peraturan
hukum
nasional
suatu
negara dan mereka itu dapat meloloskan diri dari kekuasaan
hukum negara tersebut dengan menggunakan fasilitas teknologi yang semakin lama semakin canggih. Dengan latar
belakang seperti ini hukum internasional memperkenankan
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
5
suatu negara untuk memperluas yurisdiksi teritorialnya dan
perluasan ini dapat dilakukan melalui dua pendekatan.
Kedua pendekatan ini adalah pendekatan berdasarkan prinsip Teritorial Subyektif (the Subjective Territorial
Principle) dan pendekatan yang didasarkan atas prinsip
Territorial Obyektif (the Objective Territorial Principle). Kedua
macam
prinsip
tersebut
dengan
demikian
mengandung
semacam muatan yang disebut Persaingan Yurisdiksi (Concurrent Jurisdiction), yakni persaingan yurisdiksi di antara
negara tempat terjadinya pelanggaran atau tindak pidana
dengan
negara
yurisdiksi
sering
tempat
tidak
pelakunya
terhindarkan
berada.
dalam
Persaingan
hubungan
antarnegara, namun tidak perlu selalu dipersoalkan sebab hal
ini terkait dengan azas kedaulatan dan yurisdiksi teritorial
dari masing-masing negara yang berkepentingan atas suatu
kasus.
Apabila salah satu negara yang merasa berkepentingan dan mempunyai kemampuan dan kemauan untuk
menjalankan yurisdiksinya dan melakukan tindakan hukum
terhadap pelaku tindak pidana atau terhadap mereka yang
terlibat karena mereka ini berada di wilayah negara tersebut,
maka negara lain yang juga memiliki kepentingan sama harus
dapat menerima pelaksanaan kekuasaan hukum dari negara
yang disebut terlebih dahulu karena negara inilah yang paling
efektif untuk melaksanakan yurisdiksi teritorialnya, kendati
pelanggaran atau tindak pidana tadi tidak dilakukan di
6
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
negara yang disebut terlebih dahulu, tetapi dilakukan di
negara lain.
Hal ini menunjukkan bahwa setelah melakukan suatu
tindak pidana di suatu negara, dia mungkin melarikan diri ke
negara lain dengan memanfaatkan produk teknologi maju,
dan apabila negara ini merasa memiliki kepentingan serta
memiliki kemauan dan kemampuan, maka sesungguhnya
negara ini harus diakui paling efektif untuk melakukan
tindakan hukum terhadap pelakunya, karena pelakunya
sudah berada di dalam genggaman kekuasaan hukumnya,
sehingga negara tempat terjadinya tindak pidana tidak boleh
mempermasalahkan pelaksanaan yurisdiksi teritorial oleh
negara tempat pelakunya berada.
Ada juga kemungkinan sebagian pelakunya dikenai
tindakan hukum di negara tempat kejahatan itu terjadi sebab
mereka kebetulan berada di sana, tetapi sebagian lainnya
harus menjalani proses hukum di negara lain sebab masingmasing negara mempunyai kepentingan yang sama dan
secara efektif dapat menjalankan yurisdiksi teritorialnya
terhadap mereka yang tersangkut tindak pidana tersebut.
Prinsip teritorial subyektif menunjukkan pengertian
bahwa suatu negara diperkenankan untuk mengklaim dan
menjalankan yurisdiksi teritorialnya atas suatu tindak pidana
yang mulai terjadi atau mulai dilakukan di dalam wilayahnya
sendiri, tetapi tindak pidana itu berakhir dan diselesaikan di
negara lain. Prinsip ini tidak lazim diterapkan oleh negara-
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
7
negara sehingga prinsip ini tidak menjadi kaidah hukum
kebiasaan internasional.
Namun demikian prinsip teritorial subyektif yang
mungkin pada awalnya adalah suatu teori atau doktrin,
ternyata diterapkan dalam beberapa perjanjian internasional,
seperti misalnya Konvensi Geneva mengenai Pemberantasan
Mata Uang Palsu pada tahun 1929 (Convention on the
Suppression of Counterfeiting Currency 1929), dan Konvensi
mengenai Pemberantasan Obat-Obat Terlarang tahun 1936
(Convention on the Suppression of the Illicit Drug Traffic 1936).
Berdasarkan prinsip teritorial subyektif, negara tempat dimulainya kejahatan pemalsuan mata uang, ataupun
kejahatan memproduksi obat-obat terlarang, mempunyai
kewenangan untuk mengklaim atau menyatakan yurisdiksinya atas kejahatan tersebut, maupun pelakunya, sekalipun
kejahatan tersebut berakhir dan mendatangkan bahaya bagi
negara lain. Dalam keadaan demikian tentu sering tidak dapat
dihindari terjadinya persaingan yurisdiksi antarnegara peserta, ataupun persaingan yurisdiksi dengan negara bukan
peserta perjanjian itu sesuai dengan kepentingannya masingmasing.
Dalam hal ini persaingan yurisdiksi antara negara
tempat mulai dilakukannya kejahatan tersebut (kegiatan
produksi obat-obat terlarang ataupun pemalsuan mata uang)
di satu pihak, dengan negara tempat kejahatan itu berakhir
dan membahayakan negara tersebut (negara tempat pereda-
8
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
ran atau pemasaran obat terlarang ataupun peredaran mata
uang palsu) di lain pihak.
Dalam praktek perlu dilakukan kerjasama internasional, termasuk pula kerjasama regional dan bilateral guna
mengatasi timbulnya persaingan yurisdiksi, sehingga negara
manapun yang merasa mempunyai kepentingan, serta kemauan dan kemampuan untuk melaksanakan kekuasaan
hukumnya terkait kasus pemalsuan mata uang maupun obatobat terlarang, sehingga diakui paling efektif untuk melakukan tindakan hukum atas pelakunya, atau mereka yang
terlibat tidak perlu dipermasalahkan oleh negara lain yang
juga mempunyai kepentingan yang sama atas kasus tersebut.
Negara lain mempunyai kewajiban untuk menghormati tindakan hukum, dan pelaksanaan yurisdiksi teritorial
oleh negara yang secara efektif dapat menjalankannya, sebab
hal ini bersangkut paut dengan prinsip kedaulatan negara
yang tidak dapat diintervensi oleh negara lain.
Berbeda dengan prinsip teritorial subyektif, maka
prinsip Teritorial Obyektif (the Objective Territorial Principle)
memperkenankan
suatu
negara
untuk
mengklaim
dan
menyatakan yurisdiksinya atas suatu tindak pidana yang
terjadi di luar negeri, namun tindak pidana ini diselesaikan
serta mendatangkan bahaya terhadap wilayah, masyarakat,
bangsa dan negaranya. Prinsip teritorial obyektif sudah lazim
digunakan dalam praktik negara-negara, sehingga prinsip ini
telah berkembang menjadi kaidah hukum kebiasaan interna-
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
9
sional, malahan prinsip ini juga telah diterima melalui
pelbagai instrumen perjanjian internasional.
Kedua konvensi yang telah dikemukakan sebelumnya,
yaitu the Geneva Convention on the Suppression of Counterfeiting Currency 1929, dan the Geneva Convention on the
Suppression of the Illicit Drug Traffic 1936, serta pelbagai
perjanjian
internasional
lainnya,
seperti
Konvensi
PBB
mengenai anti korupsi (UN Convention against Corruption),
Konvensi
PBB
mengenai
Pemberantasan
Terorisme
(UN
Convention on the Suppression of Terrorism), ternyata sudah
menerapkan prinsip tersebut di mana negara-negara pesertanya, diperkenankan untuk mengklaim dan menyatakan
yurisdiksinya, terhadap siapapun yang terlibat dalam tindak
pidana pemalsuan mata uang dan obat-obat terlarang,
maupun peredaran dan pemasarannya, terutama apabila
tindak pidana seperti itu yang mulai dilakukan di luar negeri,
tetapi berakhir di negaranya serta membahayakan negaranya
sendiri.
Perjanjian-perjanjian tersebut bertujuan untuk mengatasi kemungkinan timbulnya persaingan yurisdiksi di
antara beberapa negara, khususnya di antara negara tempat
dimulainya kejahatan, misalnya, pemalsuan mata uang ataupun obat-obat terlarang di satu pihak, dengan negara tempat
diselesaikannya kejahatan tersebut dan membahayakan negara tersebut, dan juga negara tempat para pelakunya berada
maupun melarikan diri di lain pihak.
10
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
Dalam praktik perlu dijalin kerjasama internasional,
regional
ataupun
bilateral
untuk
mengatasi
persaingan
yurisdiksi terkait dengan kasus pemalsuan mata uang ataupun obat-obat terlarang, dan tentu saja pelbagai kejahatan
lain yang bersifat transnasional, sehingga negara manapun
yang pada akhirnya dapat menjalankan yurisdiksi territorialnya, entah negara tempat mulainya tindak pidana tersebut
dilakukan (negara produsen), atau negara korban tempat
tindak pidana tersebut berakhir (negara tempat pemasaran
hasil-hasil kejahatan itu), ataukah negara tempat para
pelakunya berada atau melarikan diri, sesungguhnya tidak
perlu dipersoalkan, sebab yang paling utama adalah bahwa
kasus kejahatan tadi tidak boleh dibiarkan berlalu tanpa
proses hukum dari negara setempat, tetapi negara setempat di
mana
para
pelakunya
berada
seharusnya
melakukan
tindakan hukum seperti penangkapan, penahanan, penyidikan, penuntutan, peradilan hingga dilaksanakannya keputusan pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dari negara yang bersangkutan.
Bilamana hal ini dapat dijalankan secara efektif oleh
negara tempat para pelakunya berada, sesuai dengan kepentingannya,
maka
negara-negara
lain
yang
juga
memiliki
kepentingan yang sama harus menghormati proses hukum,
atau pelaksanaan yurisdiksi territorial terkait dengan kasus
tersebut, sebab apa yang dilakukan oleh negara yang
bersangkutan adalah bagian dari kedaulatannya yang tidak
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
11
dapat dicampuri oleh negara manapun (I Wayan Parthiana,
1990:301).
Prinsip teritorial obyektif yang menurut Starke selain
telah menjadi kaidah hukum kebiasaan internasional, serta
diterima dan diterapkan di dalam pelbagai macam perjanjian
internasional, juga penerapannya dapat ditemukan di dalam
sebuah putusan yang sangat terkenal dari Mahkamah Internasional Permanen (the Permanent Court of International
Justice) dalam hubungan dengan timbulnya kasus Lotus (the
Lotus Case) pada tahun 1927 (L.C. Green, 1978:211). Kasus
ini melibatkan dua negara, yakni Perancis dan Turki. Perkara
ini timbul karena adanya tubrukan kapal yang terjadi di laut
bebas di luar perairan teritorial Turki.
Peristiwa
ini
mengakibatkan
tenggelamnya
kapal
Turki, sebagian awak dan penumpangnya tewas ataupun
hilang. Kapal Perancis yang bernama MV Lotus berhasil
menyelamatkan sebagian orang yang berasal dari kapal
pengangkut batu bara atau kapal Turki. Kemudian kapal
Lotus meneruskan perjalanannya menuju pelabuhan Turki.
Setibanya di tempat tujuan, maka mereka yang dianggap
bertanggungjawab
khususnya
atas
nahkoda
timbulnya
kapal
Perancis
musibah
tersebut,
dikenai
tindakan
penahanan oleh aparat hukum negeri Turki. Dia diseret ke
depan pengadilan Turki, dengan tuduhan bahwa dia telah
melakukan
12
tindak
pidana
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
pembunuhan
(manslaughter),
disebabkan kelalaiannya sehingga kedua kapal bertubrukan
dan menewaskan banyak orang berkewarganegaraan Turki.
Hukum pidana Turki menyatakan bahwa barang siapa
melakukan tindak pidana di luar negeri dan menimbulkan
kerugian terhadap bangsa dan warganegara Turki, diancam
dengan sanksi pidana penjara paling lama 5 tahun. Peraturan
hukum pidana negeri tersebut memuat semacam azas perlindungan warganegara atas kejahatan di luar wilayah
nasionalnya, tetapi menimbulkan kerugian terhadap bangsa
dan warganegaranya. Dengan menerapkan ketentuan pasal
hukum pidana Turki, pengadilan menjatuhkan putusan yang
mempersalahkan dan menghukum kapten kapal Lotus.
Pemerintah Perancis mengajukan protes terhadap
Pemerintah Turki akibat putusan tersebut. Pemerintah Perancis beranggapan bahwa tindakan Turki yang menjalan-kan
kekuasaan hukum atau yurisdiksi teritorialnya atas tindak
pidana (criminal jurisdiction) yang terjadi di luar batas-batas
teritorialnya
adalah
sesuatu
yang
bertentangan
dengan
hukum internasional umum.
Sebaliknya pihak Turki berpendapat bahwa peristiwa
tubrukan yang menewaskan banyak warganegaranya itu
harus tunduk di bawah yurisdiksi (yurisdiksi teritorial) Turki.
Karena kedua negara tidak dapat menyelesaikannya secara
bilateral, maka dengan menggunakan dan menerapkan suatu
perjanjian yang disebut perjanjian Laussanne yang telah
mengikat banyak negara pada waktu itu, termasuk kedua
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
13
negara yang bersangkutan, maka Pemerintah Perancis yang
merasa dirugikan kemudian mengajukan gugatan melawan
Pemerintah Turki di depan Mahkamah Internasional Permanen.
Tuntutan Perancis antara lain adalah agar Mahkamah
Internasional menyatakan bahwa yurisdiksi teritorial dalam
perkara
kriminal
(criminal
jurisdiction)
yang
dijalankan
pengadilan Turki adalah tidak sah serta bertentangan dengan
kaidah hukum kebiasaan internasional.
Di samping itu Perancis juga menuntut kompensasi
atau sejumlah uang gantirugi atas kerugian yang dideritanya
akibat tindakan pengadilan Turki yang menghukum warga
Perancis. Masalah yang dipersengketakan di depan Mahkamah Internasional adalah apakah yurisdiksi yang dijalankan
pengadilan Turki terhadap kapten kapal Lotus dalam kasus
tubrukan kapal di laut bebas adalah bertentangan dengan
hukum internasional umum? Pemerintah Perancis berpendapat bahwa hanya Negara Bendera (Flag State) yang dapat
menjalankan yurisdiksinya terhadap setiap peristiwa yang
terjadi di atas kapal yang sedang berlayar di perairan laut
bebas.
Pemerintah Perancis berpegang pada apa yang disebut
doktrin laut bebas sebagai prinsip yang berlaku umum.
Menurut doktrin ini Laut bebas (High Seas) memiliki status
sebagai bagian laut yang terlepas dari kedaulatan negara
manapun, dan dengan demikian laut lepas tidak tunduk di
14
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
bawah yurisdiksi, atau kekuasaan hukum dari negara manapun, terkecuali kekuasaan hukum dari negara bendera (Flag
State), yaitu kekuasaan hukum atau yurisdiksi dari negara
yang benderanya dipergunakan dan dikibarkan oleh kapal
yang bersangkutan.
Karena kapal yang melakukan tubrukan dan menimbulkan korban jiwa di laut bebas adalah kapal yang
berbendera Perancis, maka negeri Perancis selaku negara
bendera yang mempunyai wewenang untuk menjalankan
yurisdiksi, atau kekuasaan hukumnya terhadap peristiwa
tubrukan di laut bebas di luar wilayah laut teritorial Turki.
Turki mengemukakan pendapat bahwa suatu kapal di
manapun berlayar atau berada, baik di laut teritorial maupun
di laut bebas adalah merupakan bagian dari wilayah negara
bendera. Pandangan Turki ini didasarkan atas doktrin
mengenai Pulau Terapung (Floating Island). Dengan pendekatan demikian, kapal Turki yang berada di laut bebas di luar
laut teritorialnya, adalah bagian integral dari wilayah teritorial
Turki. Peristiwa apapun yang dialami kapal tersebut, khususnya peristiwa tubrukan kapal, harus tunduk pada kekuasaan
hukum dan yurisdiksi teritorial Turki, yang berarti peristiwa
tersebut harus diselesaikan berdasarkan hukum Turki.
Hukum Pidana Turki harus diterapkan dalam kasus
tubrukan yang menyebabkan kapal Turki tenggelam, dan
sebagian awaknya tewas. Ketentuan hukum pidana negeri itu
(Turki) antara lain menyatakan bahwa siapapun yang melaku-
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
15
kan tindak pidana di luar negeri, atau di luar wilayah nasional
Turki, dan menyebabkan kerugian terhadap bangsa dan
warganegaranya, diancam dengan sanksi pidana paling lama
5 tahun. Ketentuan hukum negeri itu memuat suatu Azas
Perlindungan (Protective Principle), atau memuat yurisdiksi
negara menurut azas perlindungan (jurisdiction according to
the protective principle), yang memperkenankan Turki untuk
menangani kasus tubrukan yang membawa korban jiwa
terhadap warganegaranya.
Mahkamah Internasional Permanen tidak mempermasalahkan sah tidaknya penerapan hukum pidana negeri itu
di dalam hukum internasional umum, sebab hukum pidana
Turki memang memuat suatu azas hukum internasional yang
disebut
yurisdiksi
negara
menurut
azas
perlindungan.
Mahkamah hanya menyatakan bahwa tidak terdapat larangan
di dalam hukum kebiasaan internasional bagi suatu negara
untuk melaksanakan yurisdiksinya terhadap suatu peristiwa
yang terjadi di luar wilayahnya, namun merugikan negara
tersebut ataupun warganya.
Dengan demikian berdasarkan hukum kebiasaan
internasional,
Turki
tidak
dilarang
untuk
menjalankan
yurisdiksi teritorialnya, dan menerapkan ketentuan hukum
pidananya, terhadap kasus tubrukan kapal yang terjadi di
perairan laut lepas di luar perairan teritorialnya.
Hukum
Pidana
Turki
memberikan
kewenangan
kepada aparat hukumnya untuk bertindak dalam kasus terse-
16
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
but guna memberikan perlindungan bagi warganegaranya
(jurisdiction according to the protective principle). Di samping
azas perlindungan yang melandasi kekuasaan hukum dan
yurisdiksi territorial Turki, Mahkamah Internasional juga
ternyata menggunakan dan menerapkan prinsip teritorial
obyektif (the objective territorial principle), sebagai landasan
kekuasaan hukum, dan yurisdiksi teritorialnya dalam menangani kasus tubrukan kapal di laut bebas.
Diterapkannya prinsip teritorial obyektif oleh Mahkamah Internasional, karena menurutnya, kapal Turki yang
mengalami
musibah
akibat
bertubrukan
dengan
kapal
Perancis, dipersamakan dengan wilayah teritorial atau wilayah nasional Turki. Turki mempunyai kewenangan untuk
menjalankan yurisdiksi teritorialnya terhadap peristiwa tubrukan yang membawa korban jiwa, karena peristiwa ini mulai
terjadi di atas kapal Perancis di laut bebas, tetapi berakhir di
atas kapal Turki, dan menimbulkan kerugian bagi negara
tersebut sehingga tindakan aparat hukum Turki adalah sah
atau tidak bertentangan dengan hukum internasional umum.
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
17
18
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
BAGIAN II
PELBAGAI MACAM YURISDIKSI DAPAT DI KLAIM
SELAIN DARIPADA YURISDIKSI TERITORIAL
Hukum Internasional mengakomodasi dan mengakui
hak suatu negara untuk mengklaim apa yang dinamakan
yurisdiksi perseorangan atau Yurisdiksi Personal (Personal
Jurisdiction), atau yurisdiksi negara menurut azas personalitas, yaitu yurisdiksi terhadap seseorang, baik dia adalah
warganegaranya sendiri ataupun orang asing, yang melakukan kesalahan atau pelanggaran atas peraturan hukum
nasionalnya. Hanya saja, orang yang bersangkutan tidak
berada di dalam batas-batas teritorial, atau tidak berada di
dalam wilayah kedaulatan, ataupun wilayah yurisdiksi dari
negara yang bersangkutan, tetapi berada di dalam wilayah
dari negara lain (J. G. Starke, 1984:224).
Negara tersebut baru dapat menjalankan yurisdiksi
atau kekuasaan hukumnya, dan melakukan proses hukum
terhadap orang itu, hanya apabila dia sudah berada di dalam
wilayah dari negara tersebut (yurisdiksi territorial). Pertanyaannya adalah bagaimana dia bisa berada di dalam wilayah
kekuasaan dari negara tersebut? Ada beberapa kemungkinan
jawabannya. Kemungkinan pertama dia berada kembali dalam
wilayah kekuasaannya, karena orang tersebut datang sendiri
secara sukarela, atau tanpa tekanan maupun paksaan.
Kemungkinan kedua dia berada kembali dalam wilayah ke-
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
19
daulatannya, karena dia didatangkan dengan cara paksaan,
misalnya melalui proses ekstradisi.
Proses ekstradisi dapat dilakukan baik berdasarkan
perjanjian ekstradisi, ataupun berdasarkan azas saling menghormati dalam hubungan antarnegara, khususnya di antara
negara-negara yang berkepentingan atas pelaku pelanggaran
atau tindak pidana tersebut.
Hukum Internasional memperkenankan suatu negara,
untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksi atau kewenangannya, atas suatu kasus tindak pidana yang terjadi di luar
negeri, karena pelaku dan atau korbannya adalah warganegara dari negara yang bersangkutan. Negara tersebut
berkepentingan untuk menyatakan yurisdiksi atau kekuasaan
hukumnya berdasarkan azas personalitas. Penggunaan azas
personalitas untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya, atas kasus yang terjadi di luar wilayah dari negara yang
bersangkutan didasarkan atas dua macam prinsip, yaitu Prinsip Nasionalitas Aktif (Active Nationality Principle) serta Prinsip
Nasionalitas Pasif (Passive Nationality Principle).
Prinsip nasionalitas aktif memperkenankan suatu negara
untuk
mengklaim,
dan
menyatakan
yurisdiksinya,
terhadap seseorang yang bersalah dalam pengertian melakukan pelanggaran terhadap peraturan hukum nasionalnya.
Klaim dan pernyataan yurisdiksi seperti ini, dapat dilakukan
oleh negara tersebut apabila pelakunya adalah warganegaranya sendiri. Seorang warganegara di manapun dia berada,
20
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
serta ke manapun dia pergi, akan selalu diikuti dengan
hukum nasional dari negerinya sendiri.
Dia berada di luar negeri dan melakukan suatu tindak
pidana, seperti pembunuhan, penganiayaan atau kejahatankejahatan lain yang semuanya ini diatur dalam hukum
nasional dari negara-negara pada umumnya, termasuk pula
hukum nasional dari negara asal pelakunya. Apabila Negara
asalnya merasa berkepentingan atas kasus yang melibatkan
warganya di luar negeri, maka negara itu dapat mengklaim
dan menyatakan yurisdiksinya berdasarkan prinsip nasionalitas aktif.
Untuk dapat melaksanakan yurisdiksinya dan melakukan tindakan hukum secara nyata dan efektif terhadap
warganegaranya yang melakukan tindak pidana di luar negeri,
maka tidak ada jalan kecuali orang yang bersangkutan harus
kembali atau dikembalikan oleh negara setempat kepada
negara asalnya.
Sejauh mana negara setempat akan mengembalikan
orang tersebut kepada negeri asalnya, sehingga negeri ini
benar-benar dapat menjalankan yurisdiksinya secara efektif,
hal ini adalah merupakan urusan domestik dari negara
setempat. Kalau negara setempat mengembalikan atau menyerahkan si pelaku kepada negara asalnya, maka sudah
barang tentu negara asalnya yang mengklaim yurisdiksi
berdasarkan prinsip nasionalitas, dapat melakukan tindakan
hukum secara efektif terhadap warganya, sesuai dengan
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
21
peraturan hukum nasionalnya, asal saja yang bersangkutan
sudah berada di dalam wilayah teritorial negara asalnya.
Hal ini berarti negara asalnya telah dapat menjalankan yurisdiksi teritorialnya secara nyata dan efektif, terhadap
warganya yang sudah berada di wilayah kekuasaan hukum
negara asalnya. Sebaliknya, kalau negara setempat berkepentingan untuk tidak mengembalikan, karena negara tersebut
mampu dan mau menjalankan proses hukum, terhadap orang
yang bersangkutan sesuai dengan peraturan hukum nasionalnya sendiri, maka dalam hal ini kita melihat timbulnya
Persaingan Yurisdiksi (Concurrent Jurisdiction) antara kedua
negara,
yaitu
antara
negara
asal
dari
warganya
yang
kebetulan tidak berada di negaranya sendiri, di satu pihak
dengan negara tempat kejahatan itu terjadi, dan atau negara
tempat pelakunya berada pada lain pihak.
Namun demikian, dengan dilaksanakannya yurisdiksi
teritorial dan tindakan hukum oleh negara setempat, maka
negara asalnya harus menerima dan menghormati yurisdiksi,
dan proses hukum yang dijalankan oleh negara setempat,
karena apa yang dijalankannya adalah merupakan pelaksanaan dari kedaulatan, dan yurisdiksi teritorialnya yang tidak
dapat dicampuri oleh negara manapun, termasuk negara asal
dari pelaku kejahatan tersebut.
Kasus pembunuhan dua warganegara Indonesia, dan
seorang warganegara India, serta pelaku kejahatan ini adalah
seorang warganegara Indonesia yang terjadi di Los Angeles
22
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
(Amerika Serikat/AS) belasan tahun lalu, sesungguhnya telah
menimbulkan persaingan yurisdiksi antara AS dan Indonesia.
AS mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya, berdasarkan
azas yurisdiksi territorial terkait dengan tempat kejadian,
korban kejahatan, alat bukti dan barang bukti semuanya terdapat di dalam wilayah teritorial AS. Sebaliknya, negeri kita
(Indonesia) mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya juga
berdasarkan atas azas yurisdiksi teritorial dan azas yurisdiksi
personal.
Yurisdiksi atau kewenangan Indonesia, berdasarkan
azas yurisdiksi teritorial itu dikaitkan dengan fakta, di mana
pelaku kejahatan dengan nama Harmoko Dewantono alias
Oki, telah terlanjur masuk ke dalam wilayah Indonesia,
kendati yang bersangkutan memakai paspor palsu. Klaim
yurisdiksi Indonesia menurut azas yurisdiksi personal, harus
dikaitkan dengan kenyataan di mana pelaku peristiwa pembunuhan di AS adalah seorang warganegara Indonesia, demikian
pula korban kejahatan yaitu Gina Sutan Aswar, serta adik
kandung dari si pelaku sendiri yang bernama Erik, adalah
juga warganegara Indonesia, sehingga Indonesia mempunyai
kepentingan untuk menangani kasus tersebut.
Walaupun aparat hukum AS telah berkali-kali mengajukan permintaan ekstradisi, namun hal ini ditolak oleh
Pemerintah Republik Indonesia. Sikap Indonesia ini didasarkan atas alasan tidak ada perjanjian ekstradisi antara kedua
negara.
Seandainya
juga
terdapat
perjanjian
ekstradisi,
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
23
pelaksanaan ekstradisi dalam kasus seperti itu mungkin sulit
dijalankan, sebab berdasarkan prinsip-prinsip umum yang
berlaku dalam pelbagai perjanjian ekstradisi, pada umumnya
suatu negara yang dimintai ekstradisi tidak terikat untuk
menyerahkan warganegaranya sendiri guna menjalani proses
hukum di negara yang meminta ekstradisi.
Demikian pula dengan Indonesia, tidak berkewajiban
untuk menyerahkan warganegaranya sendiri (Oki) kepada
aparat hukum AS, kendati misalnya ada perjanjian ekstradisi
yang berlaku di antara kedua negara, apalagi kalau kedua
negara tidak memiliki perjanjian ekstradisi.
Karena negeri kita (Indonesia), berkepentingan dengan
kasus kejahatan yang terjadi di Los Angeles, terkait dengan
fakta-fakta tersebut di atas, mempunyai kemauan serta
kemampuan untuk melaksanakan tindakan hukum, apalagi
pelakunya telah berada di dalam wilayah kedaulatan dan
kekuasaan hukum Indonesia, maka negeri kita (Indonesia)
harus diakui paling efektif untuk menjalankan yurisdiksi
teritorialnya, terhadap pelaku kejahatan yang terjadi di luar
negeri.
Pihak AS ternyata menghormati tindakan dan proses
hukum yang dilakukan oleh aparat hukum Indonesia, serta
menyerahkan seluruh alat bukti dan barang bukti kepada
aparat hukum kita (Indonesia) dalam usaha menyelesaikan
kasus tersebut sesuai dengan hukum Indonesia.
24
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
Di samping prinsip yurisdiksi teritorial dan yurisdiksi
personal, menurut azas nasionalitas aktif yang melandasi
klaim kewenangan Indonesia, klaim kewenangan ini juga
didasarkan atas prinsip nasionalitas pasif, mengingat para
korban kejahatan lebih banyak yang berasal dari Indonesia.
Para korban, termasuk pihak keluarga korban adalah
warganegara Indonesia, yang menuntut perlindungan hukum
dan keadilan dari Pemerintah Republik Indonesia. Klaim
yurisdiksi personal telah berkembang dan beralih menjadi
klaim yurisdiksi territorial, dan yurisdiksi territorial ini
ternyata dapat dilaksanakan secara efektif, karena pelaku
kejahatan yang terjadi di AS, sudah berada dalam wilayah
kedaulatan dan yurisdiksi teritorial Indonesia.
Prinsip Nasionalitas Pasif (the Passive Nationality
Principle atau the passive Personality principle), memungkinkan dan memperkenankan suatu negara, untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya atas suatu tindak
pidana yang terjadi di luar negeri, di mana pelakunya adalah
orang asing, tetapi korbannya adalah warganegaranya sendiri.
Orang asing yang melakukan suatu tindak pidana di luar
negeri, serta menimbulkan kerugian terhadap warganegaranya sendiri, maka negara yang warganya menjadi korban
dapat mengklaim, dan menyatakan yurisdiksinya guna melakukan proses hukum, baik dari segi pidana maupun perdata.
Proses hukum ini dapat dijalankan secara nyata dan
efektif, sepanjang pelakunya sudah berada di dalam wilayah
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
25
kedaulatan dan yurisdiksi territorial dari negara korban, yaitu
di negara yang warganya dirugikan, misalnya akibat penghinaan atau pencemaran nama baik. Kasus terkenal (the
leading case), mengenai azas ini adalah the Cutting Case pada
tahun 1886, yang menyangkut sebuah pemberitaan di Texas
yang berisi pernyataan fitnah yang dilakukan oleh warga
Amerika terhadap seorang warganegara Meksiko (Malcolm N.
Shaw, 1986:357).
Cutting ditahan sementara di Meksiko, serta dihukum
atas kejahatan memfitnah (kejahatan di bawah hukum
Meksiko), serta Meksiko mempertahankan hak yurisdiksinya
berdasarkan Azas Personalitas Pasif (the Passive Personality
Principle). AS mengecam keras tindakan Meksiko, tetapi
karena hal ini tidak meyakinkan, maka pihak yang dirugikan
terpaksa menanggung akibatnya.
Kasus
pencemaran
nama
baik
mantan
Presiden
Republik Indonesia (Soeharto dan keluarganya) pernah terjadi
beberapa tahun lalu, ketika Majalah Time yang kantor
pusatnya berkedudukan di AS, memberitakan tentang harta
kekayaannya dalam jumlah spektakuler, yang berbentuk
valuta asing dan tersimpan di perbankan luar negeri.
Bagi mantan Presiden RI dan keluarganya, berita
majalah mingguan itu adalah sesuatu yang tidak benar
sehingga dianggap fitnah dan merupakan pencemaran nama
baik. Kuasa hukum mantan Presiden ini melaporkan dan
mengadukan masalah tersebut kepada Kepolisian RI agar
26
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
melakukan
proses
hukum
terhadap
Kantor
Perwakilan
Majalah Time yang ada di Jakarta.
Pengacaranya juga mengajukan gugatan gantirugi
melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kedua belah pihak
sudah sempat melakukan perdebatan, baik di depan aparat
penyidik maupun terutama di pengadilan. Bagaimana kelanjutan proses hukumnya dalam sidang perkara pencemaran
nama baik mantan Presiden RI tersebut, baik dari aspek
pidana maupun perdata, masih belum jelas sampai saat ini.
Mungkin kasusnya sudah dihentikan penyidikannya atau di
SP3 kan. Mungkin pula telah diselesaikan secara damai
antara keluarga Pak Harto dengan pihak majalah Time tanpa
suatu publikasi sehingga tidak diketahui masyarakat luas.
Terlepas dari hal ini, maka sebenarnya kasus pencemaran nama baik tersebut mengandung unsur persaingan
yurisdiksi antara AS
dan Indonesia, yang masing-masing
memiliki kepentingan. AS berkepentingan untuk menyatakan
ataupun tidak menyatakan yurisdiksinya berdasarkan azas
yurisdiksi
territorial,
mengingat
pelakunya
yaitu
pihak
Majalah Time (pemilik, pengelola dan lain-lainnya termasuk
asset-asetnya) berada di dalam wilayah kedaulatan atau
wilayah hukum AS. Sedangkan Indonesia berkepentingan
untuk mengklaim atau menyatakan yurisdiksinya berdasarkan azas personalitas pasif, mengingat korban pencemaran
nama baik adalah warganegara Indonesia.
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
27
Sesuai dengan kepentingannya AS tidak berbuat apaapa, atau tidak menyatakan yurisdiksinya dalam kaitan
dengan kasus pencemaran tersebut, tetapi sesuai pula dengan
kepentingannya, pihak Indonesia menyatakan yurisdiksinya
dan berupaya untuk menjalankan proses hukum kendati
upaya ini tidak dapat berjalan secara efektif mengingat pelaku
utamanya berada di dalam wilayah hukum AS.
Selain azas yurisdiksi teritorial dan yurisdiksi personal, maupun bermacam-macam azas yurisdiksi lainnya yang
dapat digunakan oleh suatu negara untuk mengklaim dan
menyatakan yurisdiksinya atas suatu kasus, maka di dalam
hukum internasional, diakui juga apa yang dinamakan azas
yurisdiksi universal, atau yurisdiksi negara menurut azas
universal (jurisdiction according to the universal principle atau
the principle of universal jurisdiction).
Terdapat berbagai macam tindak pidana yang memungkinkan semua negara tanpa terkecuali, untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya terhadap beberapa
tindak pidana tertentu maupun pelakunya. Karakteristik dari
pelbagai tindak pidana seperti pembajakan laut (piracy),
pembajakan udara (hijacking), kejahatan perang (war crimes),
kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity),
kejahatan
terhadap
perdamaian
dunia
(crimes
against
international peace), kejahatan terorisme (terrorism crimes) dan
berbagai kejahatan kemanusiaan lainnya, memungkinkan dan
memperkenankan semua negara tanpa terkecuali, untuk
28
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya guna melakukan
proses
hukum,
mengadili
dan
menghukum
siapapun
pelakunya, tanpa memperhatikan kebangsaan dari pelakunya,
atau mereka yang terlibat tindak pidana tersebut, tanpa
memperhatikan siapa yang menjadi korban tindak pidana
tersebut, apakah korbannya adalah warganegara dari negaranya sendiri, ataukah dari negara lain, juga tanpa memperhatikan kapan terjadinya maupun tempat terjadinya tindak
pidana tersebut.
Secara
singkat,
dapat
dikatakan
bahwa
hukum
internasional memperkenankan semua negara, untuk mengklaim dan menyatakan kekuasaan hukumnya, dalam hal
terjadi kejahatan-kejahatan yang dapat menggerogoti kepentingan semua negara, atau seluruh umat manusia, karena
kejahatan-kejahatan seperti itu bertentangan dengan sendisendi
kemanusiaan,
serta
keadilan
bagi
seluruh
umat
manusia, tanpa melihat nasionalitas dari pelaku dan korbannya, maupun tanpa memperhatikan waktu dan tempat
terjadinya kejahatan tersebut.
Namun
untuk
dapat
menjalankan
yurisdiksinya
secara efektif, maka pertama-tama masing-masing negara
yang merasa berkepentingan, seharusnya mengatur melalui
hukum nasionalnya sesuai dengan kepentingannya terkait
dengan pelbagai jenis kejahatan yang bertentangan dengan
perasaan kemanusiaan dan keadilan dalam rangka mengan-
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
29
tisipasi, mencegah serta menanggulangi timbulnya kejahatankejahatan seperti itu.
Misalnya saja Indonesia yang telah berhasil mengundangkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15
Tahun 2003 mengenai Pemberantasan Terorisme, karena
kejahatan terorisme (sebagaimana halnya dengan pelbagai
macam
kejahatan
melawan
kemanusiaan),
memberikan
yurisdiksi atau kekuasaan hukum kepada masing-masing
negara tanpa terkecuali, untuk melakukan tindakan hukum
sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasionalnya.
Para pelakunya ataupun mereka yang terlibat dalam
aksi terorisme, sudah banyak yang dinyatakan terbukti
bersalah,
serta
dijatuhi
hukuman
berat
berdasarkan
keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum
tetap.
Sejauh mana suatu negara entah negara tempat
terjadinya kejahatan, negara asal dari pelakunya, negara asal
dari korban, negara tempat pelaku berada, atau negara
tempat pelarian, ataukah negara lain yang juga merasa
berkepentingan telah mengimplementasikan yurisdiksi negara
menurut azas universal atau azas yurisdiksi universal? maka
jawabannya
sangat
bergantung
pada
kepentingan
dan
kemauan politik dari negara yang bersangkutan, sehingga
dalam konteks ini, suatu negara dapat memiliki kepentingan,
baik untuk menyatakan yurisdiksinya, maupun untuk tidak
menyatakannya terkait dengan suatu kasus tindak pidana
30
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
yang sesungguhnya tunduk di bawah azas yurisdiksi universal.
Preseden (Precedent) yang menjadi tonggak awal
timbulnya pengakuan masyarakat internasional, atas yurisdiksi negara menurut azas universal adalah ketika terbentuk
Mahkamah Pengadilan Kriminal Internasional di Nuremberg
dan Tokyo berdasarkan perjanjian London (the London
Agreement tahun 1942I, yaitu suatu perjanjian internasional
yang diadakan oleh negara-negara sekutu yang menjadi
pemenang perang dalam Perang Dunia II.
Sejak terbentuknya, maka banyak pelaku kejahatan
yang berhasil diseret ke depan pengadilan nasional di pelbagai
negara, khususnya pengadilan nasional di negara-negara yang
menjadi korban dalam Perang Dunia II atau negara-negara
yang warganya banyak dibunuh oleh para pejabat Nazi
(Hitler).
Salah satu negara yang dianggap paling menderita
selama Perang Dunia II, akibat kekejaman rezim Nazi terhadap jutaan warganya adalah Negara Yahudi atau Negara Israel
yang baru eksis sebagai satu negara merdeka dan berdaulat
beberapa tahun usai Perang Dunia II. Ketika bangsa Yahudi
yang selama berabad-abad warganya kebanyakan hidup
tersebar di benua Eropa (diaspora), katanya mengalami
perlakuan yang sangat kejam dari para pejabat Nazi, maka
pada waktu itu bangsa Yahudi atau Israel belum eksis sebagai
satu negara merdeka dan berdaulat.
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
31
Kasus kejahatan perang dan kejahatan terhadap
kemanusiaan yang sangat terkenal setelah Perang Dunia II,
adalah kasus Rudolph Eichmann (Eichmann Case). Kasus ini
diadili dan diputuskan melalui Pengadilan Nasional Israel,
dan merupakan kasus kejahatan perang dan kejahatan
kemanusiaan yang sangat tersohor, dan sekaligus kontroversial. Hal ini disebabkan karena perbuatan yang dituduhkan atas diri Eichmann, yaitu melakukan kejahatan perang,
kejahatan terhadap kemanusiaan khususnya, terhadap bangsa Yahudi yang dituduhkan terhadapnya berlangsung selama
Perang Dunia II, yang pada waktu itu bangsa Yahudi belum
eksis sebagai negara berdaulat.
Dengan demikian belum memiliki sebuah sistem
hukum, termasuk dan terutama peraturan hukum pidana,
yang dapat digunakan dalam melakukan proses hukum,
khususnya yang terkait dengan kasus kejahatan tersebut.
Setelah merdeka karena diberi kemerdekaan oleh
Inggeris yang merupakan tindak lanjut dari Balfour Declaration (sebuah deklarasi yang dibuat oleh Menteri Luar Negeri
Inggeris pada waktu itu), maka Pemerintah Negara Yahudi
membuat pelbagai macam peraturan hukum, termasuk peraturan hukum pidana yang dapat menjerat mereka yang
dianggap
bertanggungjawab
atas
kejahatan
perang
dan
kejahatan terhadap kemanusiaan, yang katanya menyebabkan jutaan orang Yahudi tewas dan hilang.
32
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
Salah
seorang
penjahat
perang
yang
bernama
Rudolph Eichmann, yang sejak lama menjadi buronan pihak
intelijen Israel (mossad), telah berhasil diculik dari Argentina,
dan kemudian diterbangkan ke Israel untuk menjalani proses
hukum sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku di
negeri tersebut.
Pengadilan Nasional Israel berhasil membuktikan
kesalahan terdakwa, yaitu terbukti melakukan kejahatan
perang, kejahatan terhadap perdamaian dunia, serta kejahatan terhadap kemanusiaan, khususnya terhadap bangsa
Yahudi, sehingga pengadilan menjatuhkan putusan hukuman
mati atas diri Eichmann, yang pelaksanaan atau eksekusi ini
dijalankan di atas kursi beraliran listrik.
Pelbagai kalangan, terutama kalangan ahli hukum
melontarkan kecaman atas tindakan pengadilan Israel yang
menjatuhkan
putusan
hukuman
mati
atas
terdakwa
Eichmann. Protes yang dilontarkan itu pada prinsipnya
didasarkan atas terjadinya penyimpangan dari azas hukum
yang pada waktu itu dianggap berlaku secara universal, yaitu
azas legalitas atau azas Nullum Delictum. Azas ini menegaskan
bahwa tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum
apabila tidak ada peraturan hukum yang telah dibuat sebelum terjadinya perbuatan itu.
Berdasarkan azas ini, Negara Israel atau pengadilan
distrik
dari
negara
Yahudi,
sesungguhnya
tidak
boleh
menerapkan peraturan hukum pidananya atas perbuatan
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
33
yang dituduhkan telah dilakukan oleh Eichmann, karena
perbuatan
yang
dituduhkan
berupa
kejahatan
perang,
kejahatan terhadap perdamaian dunia dan kejahatan melawan kemanusiaan, khususnya kejahatan terhadap bangsa
Yahudi itu terjadi sebelum dibuatnya hukum pidana negara
itu, bahkan negara itu sendiri belum eksis.
Pada waktu itu, Perbuatan yang dituduhkan atas diri
Eichmann, dilakukan sebelum bangsa Yahudi mendapat
kemerdekaan dari Inggeris, sehingga banyak yang beranggapan bahwa tindakan pengadilan Israel dengan menjatuhkan
hukuman mati atas diri Eichmann merupakan suatu penggerogotan, atau penyimpangan terhadap azas legalitas yang
ketika itu masih dianut secara universal, yakni azas yang
melarang suatu negara untuk menerapkan atau memberlakukan secara retroaktif (surut) peraturan hukum nasionalnya,
pada perbuatan yang dilakukan sebelum peraturan hukum
itu sendiri dibuat.
Kasus kejahatan perang, serta kejahatan terhadap
kemanusiaan umumnya diadili melalui Mahkamah Pengadilan
Internasional di Nuremberg (The Nuremberg Tribunal atau the
Nuremberg Trial) dan di Tokyo (the Tokyo Tribunal atau the
Tokyo Trial), yang terbentuk berdasarkan Perjanjian London.
Akan tetapi tidak sedikit kasus-kasus kejahatan seperti itu
yang diajukan dan diselesaikan melalui pengadilan nasional
dari pelbagai negara, terutama negara-negara yang menjadi
korban kejahatan tersebut.
34
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
Mereka yang terlibat dalam kejahatan perang dan
kejahatan melawan kemanusiaan, baik pejabat tinggi negara
atau pejabat pemerintah, pejabat tinggi militer dan lainlainnya, dibebani dengan pertanggungjawaban yang bersifat
individual (individual responsibility), sehingga mereka tidak
boleh berlindung di belakang kepentingan dan tanggungjawab
dari negaranya sendiri (State Responsibility).
Para pelakunya, terutama para pejabat dari rezim
Hitler dan pejabat negeri Sakura, dan negara-negara lain yang
dikategorikan sebagai negara-negara poros yang diadili, baik
di
depan
pengadilan
internasional
maupun
pengadilan
nasional dari beberapa negara, sekalipun mereka senantiasa
membela diri, dengan menyatakan bahwa tindakan mereka
dilakukan atas kebijakan, instruksi maupun perintah dari
negara atau pemerintahnya sendiri, namun pihak pengadilan
pada umumnya menolak alasan dan dalih seperti itu, karena
kejahatan-kejahatan
yang
tunduk
di
bawah
yurisdiksi
universal harus dipertanggungjawabkan secara individual.
Pada tahun 1998 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
melalui Majelis Umum, mensahkan atau mengadopsi sebuah
perjanjian internasional yang disepakati di Roma, yaitu
perjanjian
mengenai
pembentukan
Mahkamah
Kriminal
Internasional (The International Criminal Court), yang berkedudukan di Den Haag.
Perjanjian internasional yang berhasil dirumuskan
dan disepakati dalam bentuk Statuta Roma (The Rome
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
35
Statute),
dimaksudkan
untuk
membawa
siapapun
yang
tersangkut atau terbukti terlibat dalam pelbagai kejahatan
perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk
kejahatan etnis (Genocide), entah mereka itu pejabat tinggi
sipil ataupun militer, dapat diajukan ke depan Mahkamah
Kriminal Internasional guna mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Pembentukan Mahkamah ini, dilatarbelakangi dengan
pelbagai kejadian yang menimpa rakyat dari berbagai negara,
seperti peristiwa pembantaian etnis yang disebut Ethnic
Cleansing terhadap rakyat Bosnia, yang mayoritas penduduknya adalah muslim atau beragama Islam, pembantaian etnis
Albania di Kosovo. Bosnia dan Kosovo, selain Herzegovina,
Kroasia dan Slovenia maupun Serbia adalah merupakan
negara-negara bagian yang tergabung di dalam Negara Federal
Yugoslavia.
Kini negara-negara bagian tersebut, umumnya telah
berstatus sebagai negara-negara merdeka dan berdaulat, tetapi ditinjau dari beberapa aspek, negara-negara ini sangat kecil
dan lemah ketimbang ketika negara-negara bagian tersebut
masih berada di bawah naungan Negara Federal Yugoslavia.
Sebagian besar dari negara-negara bagian tersebut
telah merdeka, setelah meletusnya perang saudara antara
pasukan pemerintah negara federal yang dikuasai oleh etnis
Serbia, berhadapan dengan pasukan dari masing-masing
36
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
megara bagiannya, khususnya dari negara bagian Kroatia
serta Bosnia.
Selama perang saudara yang sebenarnya adalah
urusan domestik dari Negara Federal Yugoslavia, dan tidak
dapat diintervensi oleh negara manapun, bahklan oleh PBB
sekalipun, terkecuali untuk tujuan kemanusian (humanitarian
intervention), maka kelompok negara-negara tertentu dengan
motif yang sangat primitif dan tidak terkait dengan tujuan
kemanusiaan, dan dengan mengatasnamakan masyarakat
internasional,
melontarkan
tudingan
bahwa
pemerintah
Yugoslavia yang dikuasai oleh etnis Serbia, melakukan
kejahatan perang dan kemanusiaan, serta kejahatan genocide
khususnya terhadap komunitas muslim di negara bagian
Bosnia, maupun terhadap etnis Albania di negara bagian
Kosovo.
Seusai Perang saudara yang menelan banyak korban
jiwa,
dengan
dukungan
negara-negara
tertentu
yang
mengatasnamakan masyarakat internasional, dan memberikan bantuan kemanusiaan kepada pemerintah negara-negara
bagian tersebut, pada akhirnya bermuara pada kemerdekaan
negara-negara bagian tersebut. Timbulnya pelbagai kejahatan
kemanusiaan dan genosida (genocide) di bekas negara-negara
bagian Yugoslavia, berkontribusi bagi terbentuknya Mahkamah Kriminal Internasional yang bersifat ad hoc untuk
menangani kasus pembantaian etnis di Yugoslavia, di mana
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
37
pembentukannya didasarkan atas Pasal 24 dan Pasal 25
Piagam PBB.
Mereka
tersebut,
yang
harus
dianggap
terlibat
dalam
kejahatan
diserahkan kepada pengadilan
kriminal
internasional ad hoc di Den Haag untuk menjalani proses
peradilan. Kendati demikian diserahkan tidaknya mereka itu
sangat tergantung pada kebijakan negara setempat. Apabila
negara atau pemerintah negara setempat tidak berkeinginan
menyerahkan pelakunya, hal ini tidak menjadi permasalahan,
selama
pemerintah
negara
setempat
masih
mempunyai
komitmen untuk melakukan proses hukum berdasarkan
peraturan hukum nasional yang mengacu pada standar
internasional.
Berdasarkan
standar
internasional,
mereka
yang
tersangkut kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan,
tidak boleh dibatasi hanya pada tingkatan tertentu saja, tetapi
peradilannya
seharusnya
dapat
menjangkau
siapapun,
termasuk pejabat tinggi bahkan pejabat tertinggi sekalipun,
baik dari kalangan sipil maupun militer sehingga mereka yang
diadili bukan hanya terdiri dari para pelaku operasional,
melainkan juga dan terutama mereka yang mempunyai
kebijakan dan memberikan perintah ataupun membiarkan
terjadinya tindak kejahatan tersebut.
Melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB tahun 1993
yang sesungguhnya bersumber dari ketentuan Pasal 24 dan
Pasal 25 Piagam PBB, disepakati pembentukan Mahkamah
38
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
Kriminal Internasional yang bersifat ad hoc, yang secara
khusus bertugas untuk mengusut kasus pembantaian etnis
yang terjadi di daerah Balkan atau di bekas negara bagian
Yugoslavia, atau yang dikenal dengan The International
Criminal Tribunal for Yugoslav Case tahun 1993.
Demikian pula dengan kejadian di salah satu Negara
Afrika yang dilanda perang saudara, sehingga menimbulkan
pembantaian etnis atas salah satu suku di Negara Rwanda,
Dewan Keamanan PBB juga berhasil menyepakati pembentukan peradilan internasional, guna melakukan pengusutan
atas kejahatan kemanusiaan, berupa pembantaian etnis Tutsi
yang merupakan etnis minoritas di negeri tersebut. Peradilan
internasional yang juga sifatnya ad hoc dikenal dengan The
International Criminal Tribunal for Rwanda Case yang dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB tahun 1994
yang berlandaskan Pasal 24 dan Pasal 25 Piagam PBB.
Pemerintah Yugoslavia, yang sebelum dan selama
berkecamuknya perang saudara di wilayah Balkan, dianggap
bertanggungjawab atas apa yang dinamakan kejahatan pembersihan etnis atas penduduk Bosnia yang sebagian besar
beragama
Islam,
juga
dianggap
bertanggungjawab
atas
kejahatan perang dan kemanusiaan atas penduduk Kroatia,
yang mayoritasnya beragama Katolik maupun bertanggungjawab atas kejahatan perang dan kemanusiaan atas penduduk Kosovo yang kebanyakan berasal dari etnis Albania.
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
39
Para pejabat Serbia yang pada waktu itu menguasai
dan mengendalikan pemerintahan Yugoslavia, baik sipil maupun militer yang menjadi sasaran untuk diserahkan dan
diajukan di depan The International Criminal Tribunal for the
former Yugoslavia (ICTY), antara lain adalah mantan Presiden
Yugoslavia, Slobodan Milosevic, pemimpin Serbia di negara
bagian Bosnia, Radovan Karadzik dan lain-lainnya, yang
semuanya harus mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan yang telah dilakukannya.
Mantan Presiden Yugoslavia telah berhasil diekstradisi
kepada ICTY di Den Haag, atas kerjasama antara PBB dengan
pemerintah baru Yugoslavia, yang menggantikan Slobodan
Milosevic. Kejahatan kemanusiaan yang dilakukan mantan
Presiden
itu
sebenarnya
dapat
saja
diadili
di
negeri
Yugoslavia, tetapi karena pemerintah baru negeri itu dianggap
tidak mampu untuk membentuk pengadilan nasional yang
khusus menangani kasus kejahatan itu, maka atas Resolusi
Dewan Keamanan PBB tahun 1993 dibentuk peradilan
khusus yang disebut The International Criminal Tribunal for
the former Yugoslavia (ICTY).
Demikian pula mereka yang terlibat kasus kejahatan
kemanusiaan di negeri Rwanda, tempat terjadinya pembantaian etnis Tutsi yang dilakukan orang-orang dari suku Hutu,
dapat saja ditangani melalui pengadilan nasionalnya. Namun
Pemerintah Rwanda yang diduga tersangkut dalam kejahatan
tersebut, atau paling tidak pemerintahnya sendiri membiar-
40
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
kan terjadinya tindak kekejaman itu, dianggap tidak memiliki
kemampuan dan kemauan untuk membentuk pengadilan di
tingkat nasionalnya, sehingga PBB dalam rangka memulihkan
situasi yang terjadi di negeri Rwanda, dan membahayakan
perdamaian dan keamanan internasional, terpaksa membentuk peradilan internasional yang bersifat ad hoc pada tahun
1994 yang dinamakan The International Criminal Tribunal for
Rwanda (ICTR).
Apakah mereka yang dianggap bertanggungjawab atas
kejahatan kemanusiaan selama Perang Saudara di negeri
Rwanda telah diserahkan kepada pengadilan internasional di
Den Haag? Jawabannya tergantung pada siapa yang memegang kekuasaan pemerintahan di negeri tersebut. Sampai saat
ini belum ada orang dari kalangan pemerintah dan militer
Rwanda yang diduga tersangkut dalam kejahatan etnis yang
berhasil diserahkan kepada ICTR yang dibentuk berdasarkan
Resolusi Dewan Keamanan PBB tahun 1994. Hal ini menunjukkan bahwa negeri Afrika tersebut, tidak mempunyai kemampuan dan kemauan untuk melakukan proses hukum
terhadap mereka yang terlibat, padahal para pelakunya sebenarnya berada di negeri tersebut.
Pemerintah Rwanda mungkin sekali tidak berkepentingan dengan kasus kejahatan etnis, sebab ada kemungkinan mereka sendiri secara langsung atau tidak langsung
adalah bagian dari kasus kejahatan itu sendiri, sehingga hal
ini membuka peluang bagi masyarakat internasional guna
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
41
melakukan tekanan terhadap Pemerintah Rwanda, guna
membentuk pengadilan nasional ataupun menyerahkan para
pelakunya kepada ICTR di Den Haag.
Kasus kejahatan kemanusiaan atas jutaan orang di
Kamboja yang terkenal dengan istilah The Killing Fields, yang
terjadi selama masa pemerintahan Khmer Merah, telah
mendesak
masyarakat
internasional
untuk
membentuk
pengadilan internasional yang khusus menangani musibah
kemanusiaan di negeri itu. Masyarakat internasional melalui
PBB bersuara agar dibentuk Mahkamah Internasional bagi
kasus kejahatan kemanusiaan di Kamboja (The International
Criminal Tribunal for Campuchea), dalam usaha mengadili
para mantan petinggi Khmer Merah, baik sipil maupun militer
yang diduga bertanggungjawab atas tewas dan hilangnya
kurang
lebih
dua
juta
warga
Kamboja
selama
masa
pemerintahan Khmer Merah, pimpinan Perdana Menteri Pol
Pot yang terkenal sangat kejam terhadap rakyat tidak
berdosa.
Hingga kini, desakan dan wacana pembentukan peradilan internasional untuk mengusut kasus kejahatan kemanusiaan di negeri itu belum dapat diwujudkan, karena
Perdana Menteri Hun Sen selaku kepala pemerintahan
Kamboja,
menolak
dibentuknya
peradilan
internasional
seperti itu, karena pemerintahnya masih memiliki kemampuan untuk menyelesaikan sendiri masalah tersebut, dan
42
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
mengadili para mantan pejabat Khmer Merah di depan
pengadilan nasionalnya.
Rencana
pembentukan
Mahkamah
Kriminal
Internasional untuk kasus the Killing Fields (1975 – 1979)
mengalami penangguhan untuk sementara, hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi aparat hukum
negeri tersebut, untuk mengadili mantan pejabat Khmer
Merah yang dianggap bertanggungjawab atas tragedi kemanusiaan.
Pengadilan Kamboja sudah menggelar peradilan atas
beberapa orang mantan pejabat tinggi Khmer Merah, seperti
Noan Chea, Khieu Samphan, Dukh yang masing-masing
didakwa telah melakukan kejahatan perang dan kejahatan
terhadap kemanusiaan, terutama dituduh beranggungjawab
atas tewas dan atau hilangnya 1,7 (satu koma tujuh) juta
rakyat Kamboja pada masa pemerintahan Khmer Merah di
bawah pimpinan bekas PM Pol Pot yang terkenal sangat
kejam, suatu pertanda bahwa Pemerintahan Kamboja yang
dipimpin
Perdana
Menteri
Hun
Sen
tidak
menyia-nyia
kesempatan dan kepercayaan yang diberikan kepadanya oleh
masyarakat initernasional, sekaligus membuktikan martabat,
harga diri dan kedaulatannya yang tidak perlu diintervensi
oleh siapapun, termasuk PBB sekalipun.
Dugaan masyarakat internasional atas kemungkinan
terjadinya kejahatan kemanusiaan di bekas Propinsi Republik
Indonesia ke-27, Timor Timur (East Timor), sebelum dan
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
43
terutama
setelah
pelaksanaan
referendum
atau
jajak
pendapat juga turut menggugah sebagian masyarakat internasional untuk memikirkan dan merencanakan kemungkinan
pembentukan Mahkamah Kriminal Internasional untuk kasus
kejahatan internasional yang terjadi di wilayah itu (The
International Criminal Tribunal for East Timor).
PBB telah membentuk apa yang dinamakan Komisi
Penyelidik Internasional (The International Inquiry Commission), guna menyelidiki pelbagai bentuk kejahatan yang terjadi
di Timor Timur, dan terutama menyelidiki orang-orang, baik
dari kalangan Pemerintah Pusat dan daerah, kalangan militer,
kalangan milisi pro integrasi maupun dari kalangan masyarakat luas yang terlibat dalam kejahatan kemanusiaan, seperti
pembunuhan, penganiayaan dan perlakuan tidak manusiawi
atas warga sipil yang tidak bersenjata ataupun atas warga
sipil yang terlibat secara aktif dalam konflik bersenjata di
wilayah itu.
Aksi pembantaian terhadap warga Timor Timur yang
tidak bersenjata, terutama dari kelompok pro kemerdekaan,
aksi perkosaan, pembumihangusan infrastruktur di Timor
Timur serta pelbagai tindak kekejaman, khususnya setelah
jajak pendapat yang menghasilkan opsi kemerdekaan dan
menolak integrasi, serta mereka yang diduga terlibat dalam
pelbagai bentuk kejahatan kemanusiaan itu, menjadi obyek
penyelidikan komisi tersebut, yang hasilnya akan digunakan
44
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
sebagai masukan bagi kemungkinan pembentukan Mahkamah Kriminal Internasional untuk kasus Timor Timur.
Namun demikian Pemerintah Republik Indonesia yang
ketika itu di bawah pimpinan Presiden Gus Dur (Kiai Haji
Abdurrachman Wahid), secara tegas menyatakan penolakannya terhadap rencana dan pemikiran bagi kemungkinan
pembentukan pengadilan internasional yang bersifat ad hoc.
Hal ini disebabkan karena kita sendiri sebagai negara
berdaulat, masih mampu untuk melakukan proses hukum
terhadap mereka yang diduga tersangkut dalam kejahatan
perang dan kemanusiaan, yang di negeri ini (Indonesia)
dinamakan pelanggaran HAM berat.
Kita tidak menghendaki adanya intervensi dari mereka
yang menamakan diri sebagai masyarakat internasional, termasuk intervensi dari PBB yang berupaya mendesak segera
dibentuknya Mahkamah Kriminal Internasional untuk kasus
Timor Timur, sebab kita sendiri masih mempunyai kehendak
dan kemampuan untuk membentuk peradilan khusus, guna
mengadili mereka yang terlibat.
Peradilan HAM ad hoc yang terbentuk beberapa tahun
lalu adalah bukti bahwa Pemerintah Republik Indonesia
benar-benar mempunyai kemauan dan kemampuan untuk
menjalankan proses hukum atas kasus pelanggaran HAM
berat yang terjadi di bekas propinsi Republik Indonesia yang
ke-27 tersebut. Proses peradilan melalui pengadilan HAM ad
hoc terhadap mereka yang diduga terlibat sudah
berjalan,
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
45
dan beberapa di antaranya telah dijatuhi hukuman karena
terbukti bersalah.
Namun mereka yang terbukti tidak bersalah, dibebaskan dari segala tuduhan dan dakwaan. Para terpidana
dipersilahkan menempuh upaya-upaya hukum, seperti upaya
hukum banding dan kasasi maupun upaya-upaya hukum lain
berdasarkan peraturan hukum yang berlaku di Indonesia.
Pembentukan pengadilan internasional ad hoc seperti
ICTY tahun 1993 dan ICTR tahun 1994, didasarkan atas
Resolusi Dewan Keamanan PBB No.808 dan 827 pada tahun
1993 (ICTY), serta Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 935
dan 955 pada tahun 1994 (ICTR), di mana kedua resolusi
tersebut
dihasilkan
sesuai
dengan
kewenangan
Dewan
Keamanan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 25
Piagam PBB.
Dengan demikian, yurisdiksi atau kewenangan dari
kedua pengadilan internasional yang sifatnya ad hoc (ICTY
dan ICTR), berlandaskan pada masing-masing resolusi tersebut, di mana Dewan Keamanan PBB membuat kedua resolusi
terkait pembentukan ICTY dan ICTR (dan tidak tertutup
kemungkinan pembentukan tribunal-tribunal lainnya), wewenangnya bersumber dari Pasal 24 dan Pasal 25 dari United
Nations Charter.
Sedangkan apa yang dinamakan International Criminal
Court (ICC) yang juga berkedudukan di Den Haag dibentuk
berdasarkan Statuta Roma tahun 1998, yang telah berlaku
46
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
secara efektif sejak 1 Juli 2002. Yurisdiksi Mahkamah ICC
didasarkan atas Statuta Roma dan bukan atas Resolusi
Dewan Keamanan PBB.
Yurisdiksi ICC menjangkau pelanggaran HAM berat
(gross violation of human rights) seperti kejahatan genosida
(crimes of genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes
against
humanity),
kejahatan
perang
(war
crimes)
dan
kejahatan agresi (crimes of aggression), dan pelbagai bentuk
kejahatan kemanusiaan lainnya.
ICC berwenang untuk menangani dan menyelesaikan
kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh siapapun,
entah mereka itu pejabat tinggi negara atau bahkan pejabat
tertinggi
negara
sekalipun,
pejabat
pemerintah,
pejabat
militer, namun mereka berkewajiban untuk bertanggungjawab
secara individual, sehingga mereka tidak dapat lagi berlindung di belakang tanggungjawab negara (State Responsibility).
ICC bukanlah pengadilan pada Instansi Pertama (the
First Resort), melainkan pengadilan terakhir dari Instansi
Terakhir (the Last of the Last Resort), sehingga dengan demikian, sistem peradilannya tidak akan menggerogoti kedaulatan negara peserta ICC atau negara peserta Statuta Roma. ICC
hanya berfungsi sebagai pengadilan pelengkap terhadap
pengadilan domestik. Sebab ICC, mengutamakan penerapan
Upaya-Upaya Hukum Setempat (Exhaustion of Local Remedies).
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
47
Selama negara peserta ICC masih mau dan mampu
menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, maka ICC tidak
memiliki yurisdiksi untuk menangani dan mengadili kasus
pelanggaran HAM berat yang terjadi di negara peserta
tersebut. Selain daripada itu, ICC juga hanya memiliki
yurisdiksi untuk mengadili kasus pelanggaran HAM berat
yang terjadi setelah tanggal 1 Juli tahun 2002 dan bukan
sebelumnya.
48
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
BAGIAN III
PENGECUALIAN DARI AZAS YURISDIKSI TERITORIAL
Hukum Internasional dan hukum nasional, mengenal
apa yang disebut dengan pengecualian dan pembebasan dari
yurisdiksi territorial yang dinamakan dengan Azas Kekebalan
(Immunity), yaitu suatu azas yang dapat mengecualikan dan
membebaskan mereka yang tersangkut dalam suatu pelanggaran hukum di suatu negara, dari pelaksanaan kekuasaan
hukum negara setempat.
Dalam hukum internasional diakui adanya lembagalembaga, jabatan-jabatan, orang-orang, benda-benda, baik
bergerak maupun tidak bergerak yang memiliki kekebalan
dari penerapan peraturan-peraturan hukum nasional yang
berlaku di negara setempat. Mereka dikecualikan dan dibebaskan dari penerapan atau pelaksanaan yurisdiksi teritorial,
dan negara setempat berkewajiban untuk menghormati kekebalan yang melekat pada mereka.
Pertanyaan yang dapat diajukan antara lain adalah,
siapa-siapa serta apa saja yang berdasarkan hukum internasional umum dapat menikmati kekebalan (immunity)? Hukum
Internasional mengakui adanya kekebalan yang melekat pada
negara, Kepala Negara (Head of State), Kepala Pemerintahan
(Head of Government), para pembantu dan para pejabatnya
yang kebetulan berada di suatu negara, dibebaskan dan
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
49
dikecualikan dari pelaksanaan kekuasaan hukum di negara
itu.
Mereka senantiasa menikmati kekebalan dari penerapan yurisdiksi territorial negara setempat. Meskipun mereka
tersangkut dalam suatu pelanggaran hukum di negara lain,
mereka tidak dapat dikenai proses hukum di negara tersebut,
karena mereka menikmati dan memiliki kekebalan, baik
berdasarkan hukum internasional maupun hukum nasional.
Kekebalan negara dan Kepala Negara atau Kepala
Pemerintahan didasarkan pada azas yang dinamakan Par In
Parem Non Habet Imperium yang menyatakan bahwa, suatu
negara berdaulat tidak dapat menjalankan yurisdiksi teritorialnya terhadap negara berdaulat lainnya, termasuk terhadap
Kepala
Negaranya
ataupun
para
pejabatnya,
terkecuali
terhadap warganegara asing yang berada di wilayah negara
setempat.
Warganegara asing, yang tersangkut pelanggaran hukum di negara setempat, tidak dibebaskan dari penerapan
yurisdiksi territorial negara setempat, sehingga ketika tersangkut dalam suatu pelanggaran hukum, dia dapat menjalani proses hukum di negara setempat karena kekebalan
hanya diberikan kepada negaranya, terutama kepala negara
serta para pejabatnya dan bukan kepada orang yang bersangkutan.
Ada juga prinsip yang dinamakan Azas Resiprositas
atau Azas Komitas (Reciprocity or Comity Principle), yang
50
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
menyatakan bahwa kekebalan dari suatu negara berdaulat
ataupun Kepala Negaranya di negara lain, hanya dapat diakui
apabila hal ini dilakukan secara timbal balik, atau dengan
kata lain kedua negara yang bersangkutan harus saling
mengakui dan menerima adanya kekebalan seperti itu secara
timbal balik.
Kepala Negara dari Negara A dapat menikmati kekebalan ketika berada di Negara B, sebagaimana Negara B atau
Kepala Negaranya juga menikmati kekebalan yang sama
ketika berada di Negara A, demikian pula sebaliknya. Ada juga
azas hukum internasional yang menyatakan bahwa keputusan pengadilan dari suatu negara tidak mungkin dapat
dilaksanakan terhadap negara lain. Bilamana keputusan tadi
dijalankan, maka hal ini akan dianggap sebagai pelanggaran
internasional yang dapat menimbulkan masalah tanggungjawab negara.
Masih terdapat beberapa prinsip lain yang melandasi
pemberian kekebalan kepada negara atau kepala negara,
maupun para pejabatnya ketika mereka tersangkut dalam
pelanggaran hukum di negara setempat, sehingga aparat
hukumnya tidak boleh melakukan tindakan hukum terhadap
mereka berdasarkan kekebalan (immunity) yang melekat pada
mereka. Inilah yang di dalam referensi internasional dinamakan Kekebalan Kedaulatan (Souvereign Immunity).
Dalam suatu kasus klasik yang pernah terjadi pada
Abad Ke-19, yang melibatkan seorang perempuan Inggeris
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
51
bernama Mighel dengan Sultan Johor. Wanita bernama Mighel
menggugat Alberth Baker, yakni nama samaran Sultan Johor
selama berada di Inggeris. Gugatan diajukan karena tergugat
dianggap
melakukan
perbuatan
melawan
hukum,
yaitu
tergugat telah melakukan perbuatan ingkar janji. Tergugat
mengingkari janjinya untuk mengawini penggugat, sehingga
penggugat menuntut tanggungjawab dari pihak tergugat,
sebab di Inggeris perbuatan ingkar janji dapat dikualifikasi
sebagai perbuatan melawan hukum atau perbuatan yang
dapat dihukum.
Pihak Penggugat meminta kepada pengadilan, agar
menyatakan bahwa perbuatan tergugat yang tidak mau
mengawini penggugat, adalah merupakan perbuatan ingkar
janji dan perbuatan melawan hukum, dan agar pihak tergugat
membayar gantirugi atas kerugian yang diderita penggugat.
Pengadilan Inggeris ternyata mengesampingkan perkara gugatan tersebut, dengan alasan pengadilan merasa tidak berkompeten, atau tidak berwenang untuk mengadili kasus gugatan
tersebut, mengingat tergugatnya adalah seorang Sultan,
seorang Raja atau Kepala Negara, yang padanya melekat
kekebalan yang mengecualikan, serta membebaskan pihak
tergugat dari pelaksanaan kekuasaan hukum atau yurisdiksi
territorial Inggeris.
Kekebalan Sultan Johor sebagai kepala negara, didasarkan atas pengakuan dan penghormatan Kerajaan Inggeris
terhadap Kerajaan Malaka (kini disebut Malaysia) sebagai
52
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
Negara merdeka dan berdaulat, dan dengan demikian memiliki martabat negara yang sama seperti Kerajaan Inggeris.
Selain daripada itu, kekebalan Sultan Johor selaku Kepala
Negara juga didasarkan atas prinsip resiprositas atau prinsip
saling menghormati, kekebalan kedaulatan dalam hubungan
antara kedua kerajaan (Kerajaan Inggeris dan Kerajaan Johor
di negeri Malaka) secara timbal balik. Raja Malaka, termasuk
Sultan Johor menikmati kekebalan ketika berada di negeri
Inggeris, sebagaimana halnya Raja Inggeris atau Keluarga
Kerajaan Inggeris juga menikmati kekebalan yang sama selaku Kepala Negara ketika berada di negeri Johor (Malaka).
Menurut Starke, Kekebalan dari yurisdiksi teritorial
tidak hanya meliputi kekebalan dari proses hukum di negara
setempat, tetapi juga kekebalan dari eksekusi keputusan
pengadilan, sehingga dengan demikian, harta kekayaan yang
dimiliki oleh suatu negara asing yang berada atau berlokasi di
dalam wilayah suatu negara, tidak bisa dieksekusi dan disita
oleh aparat hukum negara setempat.
Sejalan dengan hal ini, Malcolm N. Shaw (1986:373)
menyatakan, kasus klasik yang dapat menjelaskan adanya
hubungan
antara
Yurisdiksi Territorial
(Territorial Juris-
diction), serta Kekebalan Kedaulatan (Souvereign Immunity),
adalah kasus “the Schooner Exchange Vs. McFaddon” yang
pada awalnya diadili dan diputuskan melalui Pengadilan
Distrik Philadelphia, tetapi pada akhirnya kasus ini tiba di
tangan Mahkamah Agung AS (the US Supreme Court).
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
53
Sebuah kapal milik orang Amerika yang semula
bernama MV. The Schooner Exchange, disita oleh Pemerintah
Perancis
atas dekrit
dan perintah
dari
Raja Napoleon
Bonaparte ketika kapal itu sedang berada di perairan laut
bebas. Setelah dilakukan penyitaan, kapal tersebut digunakan
sebagai kapal Angkatan Laut Perancis, dan dengan begitu
menjadi kapal perang milik Pemerintah Perancis.
Suatu saat, kapal tersebut mengalami kerusakan
hebat akibat badai di tengah laut, sehingga terpaksa harus
diseret masuk ke pelabuhan terdekat, yaitu pelabuhan
Philadelphia (AS). Bekas pemilik kapal yang mengetahui hal
ini lalu mencoba mengajukan gugatan melalui pengadilan di
AS, dengan menuntut dikembalikannya kapal tersebut kepada
penggugat. Sesuai dengan hukum acara yang berlaku di AS,
maka Pemerintah Perancis sebagai tergugat dapat diwakili
oleh Jaksa Agung AS dalam hal timbul kasus gugatan
perdata.
Jaksa Agung menyatakan di depan pengadilan, bahwa
pihak yang menjadi tergugat adalah Pemerintah Perancis,
demikian pula dengan kapal yang dituntut oleh Penggugat,
agar pengadilan melakukan tindakan penyitaan, serta menyerahkannya kepada pihak penggugat, kapal Angkatan Laut
atau kapal Pemerintah Perancis. Oleh karena itu kuasa
hukum
tergugat
meminta
kepada
pengadilan
distrik
Philadelphia, agar mengesampingkan gugatan tersebut karena
tergugatnya memiliki kekebalan (souvereign immunity), yang
54
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
mengecualikan tergugat dari proses hukum di AS, demikian
pula barang yang diminta, agar disita dengan sendirinya, juga
memiliki kekebalan (kekebalan kapal perang ataupun kekebalan kapal pemerintah).
Akhirnya pengadilan distrik Philadelphia menolak
gugatan penggugat, sebab pihak pengadilan merasa tidak
berwenang untuk mengadili negara lain. Dengan demikian
pengadilan tidak berwenang untuk melakukan tindakan
penyitaan atas kapal milik Pemerintah asing. Karena Pihak
Penggugat merasa tidak puas dengan keputusan pengadilan
distrik Philadelphia, maka pihak penggugat Naik Banding (The
Court of Appeal) ke US Supreme Court.
Ketua Majelis dari Mahkamah Agung AS (Chief Justice
Marshall) menyatakan bahwa yurisdiksi suatu negara, di
dalam wilayahnya sendiri bersifat eksklusif
dan absolute,
tetapi yurisdiksi itu tidak mencakup negara asing (foreign
souvereigns). Chief Justice Marshall menyatakan bahwa,
persamaan atau kesamaan yang sempurna dan kemerdekaan
yang absolute, yang dimiliki negara telah memberi pelajaran
mengenai kasus, di mana setiap negara dianggap melepaskan
pelaksanaan
sebagian
dari
yurisdiksi
teritorialnya
yang
bersifat eksklusif dan penuh, yang dinyatakan sebagai hakikat dari setiap negara.
Hal ini berarti bahwa menyangkut kasus perkara yang
bersangkutan,
kapal
perang
dari
suatu
negara
yang
memasuki pelabuhan dari suatu negara sahabat, yang
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
55
terbuka untuk menerima kapal tersebut, harus dianggap
dikecualikan atau dibebaskan dari yurisdiksi negara pelabuhan dengan persetujuan dari negara ini. Aturan-aturan
seperti ini tidak akan berlaku pada Kapal-Kapal Swasta (the
Private Ships) yang rentan dikenai Yurisdiksi Asing di Luar
Negeri (Foreign Jurisdiction Abroad).
Kekebalan kedaulatan (souvereign immunity) melekat,
baik pada Kepala Negara (Head of State), Kepala Pemerintahan
(Head of Government) maupun melekat pada para pembantunya. Pembantu Kepala Negara ataupun Kepala Pemerintahan seperti Menteri serta para pejabatnya, dikecualikan dan
dibebaskan dari yurisdiksi territorial ketika berada di negara
lain, dalam hal tersangkut dalam suatu pelanggaran hukum
di negara setempat, karena mereka juga diakui kekebalannya
selama menjalakan tugasnya di negara tersebut.
Kasus pelecehan seksual yang pernah menimpa
Menteri Pariwisata Republik Indonesia (Joop Ave) ketika
berada di negeri, tepatnya di Selandia Baru (New Zealand)
belasan tahun lalu, dapat diajukan sebagai salah satu contoh
kasus yang menunjukkan bahwa, selaku pembantu Presiden
Soeharto dia dibebaskan dari pelaksanaan yurisdiksi teritorial
negeri Selandia Baru.
Aparat hukum negara itu tidak boleh melakukan
tindakan hukum apapun, seperti penahanan, penuntutan
serta peradilan terhadapnya, kendati yang bersangkutan
tersangkut pelanggaran hukum, akibat melakukan pelecehan
56
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
seksual atas seorang pramusaji di negeri tersebut. Hal ini
terjadi karena aparat hukumnya memahami dan menghormati
azas kekebalan kedaulatan yang melekat pada diri Joop Ave,
dalam
kedudukannya
sebagai
Menteri
atau
Pembantu
Presiden.
Namun demikian Pemerintah RI meminta maaf kepada pemerintah negara tersebut (Selandia Baru), sebagai bentuk dan bukti pertanggungjawaban negara dan Pemerintah RI
atas pelanggaran hukum yang terjadi di negeri Selandia Baru.
Permintaan maaf ini perlu dilakukan untuk memelihara
hubungan baik di antara kedua negara, sehingga pada masamasa mendatang diharapkan tidak terjadi lagi penyalahgunaan atas prinsip kekebalan kedaulatan, yang merupakan
prinsip hukum internasional yang membebaskan dan mengecualikan suatu negara asing atau kepala negaranya, kepala
pemerintahannya termasuk para pejabatnya dari pelaksanaan
yurisdiksi territorial negara setempat.
Di samping kasus kekebalan kedaulatan yang melibatkan Menteri Pariwisata RI. Pada tahun 2007 lalu, telah terjadi
pula kasus kekebalan kedaulatan yang menyangkut Gubernur
DKI Jakarta (Sutiyoso), ketika berada di Sydney (New South
Wales) yang merupakan salah satu negara bagian dari
Australia. Insiden terjadi ketika dua Polisi Federal Australia,
Sersan Steve Thomas dan detektif senior Constable Scrzvens,
menerobos masuk kamar hotel tempat Sutiyoso menginap,
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
57
pada tanggal 29 Mei 2007 di Hotel Shangri-La, Sydney (lihat
Harian Kompas, 2 Juni 2007, Hlm.10).
Kedua
polisi
federal
tersebut,
meminta
Sutiyoso
menandatangani surat undangan untuk datang ke Pengadilan
Sydney, guna memberi keterangan mengenai kasus Balibo
yang terjadi di masa lalu. Hal ini jelas merupakan pelanggaran terhadap azas kekebalan kedaulatan, sebab bagaimanapun sebagai pejabat negara, yaitu sebagai seseorang yang
masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada waktu
itu, beliau masih memiliki kekebalan kedaulatan yang tidak
memperkenankan aparat hukum negara setempat, dalam hal
ini Polisi Federal Australia untuk melakukan tindakan
menerobos masuk ke dalam kamar hotel tempat Sutiyoso
menginap, serta memaksanya untuk menandatangani surat
panggilan Pengadilan Sydney, guna menghadiri dan memberi
keterangan mengenai kasus terbunuhnya lima wartawan
Australia di Timor Timur pada tahun 1975.
Akibat
terjadinya
pelanggaran
azas
kekebalan
kedaulatan (souvereign immunity) oleh pihak Australia, maka
terjadi demonstrasi hebat di depan Kedutaan Besar Australia
di Jakarta, yang dilakukan oleh ratusan orang yang menuntut
agar Australia segera mengadili kedua polisi yang menerobos
masuk ke kamar Sutiyoso. Menyadari terjadinya insiden
pelanggaran azas kekebalan kedaulatan oleh aparat hukum
Australia, maka Perdana Menteri New South Wales (NSW),
pada akhirnya telah meminta maaf melalui surat yang
58
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
disampaikan oleh Duta besar Australia untuk RI (Bill Farmer)
kepada Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso atas insiden yang
menimpanya di Sydney.
Kekebalan negara dan Kepala Negara, Kepala Pemerintahan serta para pejabatnya yang berada di wilayah negara
lain, serta terlibat dalam suatu pelanggaran hukum, pernah
diterima sebagai suatu prinsip yang berlaku secara universal
dan mutlak, sehingga tidak dapat diganggugugat oleh siapapun di negara setempat.
Sebagaimana dikemukakan oleh Malcolm N. Shaw
(1986:373-374), peranan negara dan pemerintah yang relatif
tidak rumit pada abad 18 – 19, secara logis menimbulkan
Konsep mengenai Kekebalan Absolut (the Concept of Absolute
Immunity) dari yurisdiksi negara asing dalam kasus apapun,
tanpa memperhatikan keadaan-keadaan yang timbul. Negara
yang terutama mempraktikkan doktrin absolute immunity
adalah Inggeris, di mana doktrin ini dapat dilihat dan ditemukan dalam berbagai kasus klasik.
Selain kasus Sultan Johor dan kasus MV. The
Schooner Exchange, juga kasus the Parlement Belge, di mana
dalam kasus yang disebut terakhir ini, pengadilan banding di
negeri Inggeris (The Court of Appeal) menggarisbawahi bahwa,
setiap negara harus menolak melalui pengadilan nasionalnya,
pelaksanaan yurisdiksi teritorialnya terhadap pribadi dari
setiap penguasa negara (the person of any souvereign), duta
besar (ambassador) dari negara lain, ataupun terhadap harta
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
59
kekayaan
dari
negara
manapun
yang
digunakan
bagi
kepentingan publik (public property of any state), meskipun
pribadi penguasa, duta besar dan harta kekayaannya berada
di dalam wilayah dari negara setempat.
Inilah yang dinamakan Doktrin Kekebalan Mutlak (the
Absolute Souvereign Immunity). Akan tetapi pertumbuhan
yang tidak paralel dalam kegiatan-kegiatan negara, terutama
menyangkut masalah-masalah komersial, telah menimbulkan
permasalahan-permasalahan dan kebanyakan negara telah
melakukan modifikasi terhadap prinsip kekebalan mutlak itu.
Jumlah badan-badan pemerintah, industri-industri
yang dinasionalisasi dan organ-organ lain yang dimiliki
negara, menciptakan reaksi dan tantangan terhadap konsep
absolute immunity, karena untuk sebagian hal-hal seperti ini,
memungkinkan Perusahaan Negara (State Enterprises) untuk
mendapatkan
keuntungan
melebihi
Perusahaan
Swasta
(Private Companies).
Dengan demikian, banyak negara mulai menganut
dan menerapkan Doktrin mengenai Kekebalan Terbatas (Restrictive Immunity), di mana berdasarkan doktrin ini, kekebalan
itu dapat diberikan apabila menyangkut Kegiatan Pemerintahan (the Governmental Activity), namun kekebalan itu tidak
dapat diberikan atau tidak ada dan menjadi hilang, apabila
negara melakukan Kegiatan Komersial / the Commercial Activity (Malcolm N. Shaw, 1986:74).
60
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
Perbuatan atau Tindakan Pemerintah (the Governmental Acts) yang terhadapnya kekebalan itu dapat diberikan
diistilahkan dengan acts jure imperii, sedangkan tindakan
yang berkaitan dengan kegiatan privat atau kegiatan perdagangan diistilahkan dengan acts jure gestionis.
Sejalan dengan doktrin restrictive immunity yang
dikemukakan oleh Malcolm N. Shaw, maka menurut Sudargo
Gautama, ada beberapa negara yang sudah tidak sepenuhnya
dapat menerapkan azas kekebalan kedaulatan yang melekat
pada negara secara mutlak (absolute immunity). Misalnya saja
peraturan hukum nasional AS yang dinamakan “The Foreign
Souvereign Immunity Act” (FSIA) atau Undang-Undang Kekebalan Kedaulatan Negara Asing, yang menyatakan bahwa
kekebalan dari negara, Kepala Negara, Kepala Pemerintahan
termasuk para pejabatnya tidak bisa lagi dipandang sebagai
sesuatu yang bersifat sakral atau absolute, karena dalam halhal tertentu kekebalan seperti itu tidak selalu dapat diakui di
depan pengadilan AS, sehingga ketika mereka tersangkut
dalam pelanggaran hukum, mereka tidak dikecualikan dari
yurisdiksi territorial AS.
Dalam hubungan ini FSIA yang telah diundangkan
pada tahun 1976 membedakan Perbuatan Negara (Act of
State) atas perbuatan negara yang dikualifikasi sebagai Iure
Imperii serta perbuatan negara yang dikualifikasi sebagai Iure
Gestionis. Tindakan negara dalam kualifikasi Iure Imperii
menunjukkan pengertian bahwa, apa yang dilakukan oleh
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
61
negara tersebut mempunyai tujuan yang terkait dengan
kepentingan publik dari negara yang bersangkutan, atau
dengan kata lain tindakan tersebut adalah merupakan
tindakan publik dan bukan tindakan komersial. Sedangkan
tindakan negara dalam kualifikasi Iure Gestionis mempunyai
arti bahwa tindakan yang dilakukan oleh negara mempunyai
tujuan yang terkait dengan kepentingan komersial, sehingga
tindakannya disebut tindakan komersial dan bukan tindakan
publik.
Terhadap tindakan yang bersifat publik (Iure Imperii),
maka berdasarkan FSIA, kekebalan yang melekat pada negara
asing masih dapat diakui dan dihormati oleh aparat hukum
AS, termasuk oleh pengadilan di negara tersebut. Sedangkan
terhadap tindakan komersial atau tindakan negara yang
mempunyai tujuan komersial (Iure Gestionis), maka aparat
hukum AS tidak dapat lagi mengakui kekebalan yang melekat
pada negara asing atau pejabatnya.
Undang-Undang Kekebalan Kedaulatan AS ini pernah
digunakan oleh Organisasi Serikat Buruh AS untuk menggugat negara-negara yang tergabung di dalam Organisasi
Negara-Negara Pengekspor Minyak (Organization of Petroleum
Exporting Countries atau OPEC) di depan Pengadilan Distrik
Los Angeles AS. Gugatan ini diajukan karena pihak Serikat
Buruh merasa sangat dirugikan oleh negara-negara anggota
OPEC, yang membuat dan menerapkan suatu kebijakan yang
disebut Price Fixing, dengan cara menaikkan harga minyak
62
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
dunia di pasar internasional, sehingga hal ini menyebabkan
para buruh di AS terpaksa harus mengeluarkan biaya hidup
yang berlipat ganda.
Mereka mengalami penderitaan akibat tingginya harga
kebutuhan hidup sehari-hari, sejak terjadinya kenaikan harga
minyak yang demikian tinggi. Para buruh AS yang tergabung
di dalam Organisasi Serikat Buruh, kemudian mengajukan
tuntutan agar pengadilan distrik menyatakan bahwa, tindakan negara-negara OPEC yang membuat dan menerapkan
kebijakan Price Fixing, yang menyebabkan naiknya harga
minyak adalah merupakan tindakan yang dilakukan untuk
kepentingan komersial (Iure Gestionis) dan bukan tindakan
publik (Iure Imperii) sehingga dengan demikian negara-negara
OPEC termasuk para pejabatnya, tidak dapat menikmati
kekebalan di depan pengadilan AS.
Selanjutnya pihak penggugat juga menuntut gantirugi
kepada para tergugat, agar membayar gantirugi atas kerugian
yang diderita oleh pihak penggugat akibat penetapan harga
minyak (Price Fixing). Sebaliknya para wakil negara-negara
OPEC menyatakan bahwa penetapan harga minyak, yang
berakibat terhadap tingginya harga minyak dunia, dilakukan
dengan tujuan untuk mengatur dan menata kembali sumbersumber kekayaan alam yang terdapat di dalam wilayah
negara-negara OPEC, sehingga tindakan mereka bukan merupakan tindakan yang bertujuan untuk memperoleh keuntu-
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
63
ngan komersial semata-mata, melainkan terutama untuk
kepentingan publik.
Dengan kata lain tindakan penetapan harga minyak
(Price Fixing) adalah tindakan negara dalam kualifikasi Iure
Imperii dan bukan Iure Gestionis, sehingga bagaimanapun
mereka masih memiliki dan menikmati kekebalan dari
yurisdiksi territorial, dan dengan begitu pengadilan AS harus
menyatakan diri tidak berwenang untuk memeriksa kasus
gugatan tersebut.
Pengadilan distrik AS ternyata dapat menerima dan
mengabulkan alasan yang dikemukakan oleh pihak tergugat.
Pengadilan mengesampingkan gugatan Organisasi Serikat
Buruh AS, karena pengadilan merasa tidak berwenang untuk
memeriksa dan mengadili negara-negara OPEC, yang masih
diakui kekebalan kedaulatannya, karena penetapan harga
minyak dengan tujuan untuk menata kembali sumber daya
alam (natural resources) yang terdapat di dalam wilayahnya,
dan merupakan tindakan negara dalam kualifikasi Iure
Imperii.
Dengan demikian keputusan pengadilan distrik AS di
Los Angeles, memberi kemenangan kepada negara-negara
OPEC dan apabila dianalisis keputusan tersebut, sesungguhnya hal ini tidak terlepas dari latarbelakang dan pertimbangan politik dan ekonomi AS di berbagai negara, khususnya
di dalam wilayah dari negara-negara OPEC.
64
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
Demikianlah
uraian
atau
pembahasan
mengenai
Kekebalan Kedaulatan (Souvereign Immunity), yang melekat
pada negara, Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan serta
para pejabat negara yang menjalankan tugas di negara lain.
Kekebalan juga dapat dinikmati oleh lembaga internasional
atau organisasi internasional termasuk pula Markas Besarnya
(Head Quarter) di suatu negara, gedung perwakilan maupun
para pejabatnya yang sedang menjalankan tugas di pelbagai
negara.
Walaupun pejabat dari lembaga atau organisasi internasional tersangkut dalam suatu pelanggaran hukum, terutama tindak pidana berat, namun aparat hukum negara
setempat tidak dapat melakukan tindakan hukum terhadapnya. Kekebalan yang dimiliki organisasi internasional dan
para pejabatnya, didasarkan atas prinsip-prinsip hukum
internasional, dan terutama perjanjian internasional yang
dinamakan Convention on the Privileges and Immunities of the
United Nations and of Specialized Agencies.
Organisasi regional negara-negara Asia Tenggara yang
beranggotakan 10 negara, termasuk di dalamnya Indonesia
juga telah memiliki Piagam ASEAN (ASEAN Charter), setelah
para Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan menandatangani Piagam tersebut di dalam Konferensi Tingkat Tinggi di
Singapura pada tanggal 20 November 2007. Piagam ASEAN
telah berlaku secara efektif dan di dalamnya terdapat pelbagai
macam ketentuan yang menunjukkan Organisasi tersebut
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
65
bukan
lagi
sebagai
sebuah perhimpunan
yang
bersifat
longgar, melainkan sebagai sebuah organisasi regional yang
sifatnya permanent.
Hal ini bisa dilihat antara lain dari adanya pengaturan
atas azas kekebalan kedaulatan yang melekat pada suatu
negara anggota, termasuk para pejabatnya di negara anggota
lainnya. Pengaturan azas kekebalan kedaulatan (souvereign
immunity) di dalam Piagam ASEAN, yang dapat dinikmati oleh
organisasi ASEAN, markas besar di salah satu negara anggotanya, kantor perwakilan di masing-masing negara anggota
maupun para pejabatnya, tentu saja berpedoman pada
Konvensi
mengenai
hak-hak
istimewa
serta
kekebalan
oraganisasi PBB dan badan-badan khusus organisasi ini
(Convention on the Privileges and Immunities of the United
Nations and of Specialized Agencies).
Di samping itu kekebalannya juga diberikan oleh
negara setempat, atau peraturan hukum dari negara yang
bersangkutan, sebab selain menyangkut jaminan kepastian
hukum soal kekebalan, juga terutama untuk memperlancar
pelaksanaaan
tugasnya
secara
bersangkutan.
66
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
efektif
di
negara
yang
BAGIAN IV
NEGARA DAN YURISDIKSI
MAHKAMAH KRIMINAL INTERNASIONAL
Mahkamah Kriminal Internasional (International Criminal Court) didirikan berdasarkan Statuta Roma yang diadopsi
pada tanggal 17 Juli 1998 oleh 120 negara, yang berpartisipasi dalam suatu konferensi yang dikenal dengan “United
Nations Diplomatic Conferenmce of Plenipotentiaries on the
Establishment of an International Criminal Court” di kota
Roma, Italia. Pada tanggal 1 Juli 2002, Mahkamah Kriminal
Internasional berlaku secara efektif berdasarkan artikel 126
dari Statuta Roma mengenai Mahkamah Kriminal Internasional (Rome Statute of the International Criminal Court), yang
telah dideklarasikan pada tanggal 17 Juli 1998 di Roma,
Italia.
Sebenarnya pada tanggal 11 April 2002, sebanyak 60
negara sudah meratifikasi Statuta Roma, sehingga telah memenuhi persyaratan bagi berlakunya (come into force) perjanjian tentang pembentukan Mahkamah Kriminal Internasional
(International Criminal Court atau disingkat dengan ICC).
Dunia agaknya tidak pernah sepi dari pelanggaran berat Hak
Azasi Manusia (HAM). Patut disayangkan banyak di antara
pelaku pelanggaran belum atau tidak bisa diadili di Negara
tempat kejahatan berlangsung, karena sistem hukum yang
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
67
berlaku di negara tersebut tidak memadai, atau rezim yang
berkuasa cenderung untuk melindungi para pelakunya.
Dengan demikian, praktik impunity (adanya kejahatan
tanpa proses hukum) dengan mudah dapat ditemukan di
dalam negara-negara yang memang tidak serius dalam hal
penegakan hak-hak azasi manusia. Di Negara-negara seperti
itu, para pelanggar HAM berat secara leluasa berkeliaran
tanpa proses hukum. Walaupun ada proses hukum, maka hal
ini sebenarnya tidak lebih dari rekayasa dan dalam kejahatan
HAM berat dinyatakan bebas oleh pengadilan. Publik dengan
perih menyaksikan semua kenyataan pahit tersebut tanpa
bisa berbuat banyak.
Hingga saat ini, Pemerintah Republik Indonesia belum
meratifikasi Statuta Roma, kenyataan ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak segera menunjukkan komitmen dan
kemauan politiknya untuk mengakhiri praktik impunity,
sehingga pelaku pelanggaran HAM berat bebas berkeliaran
tanpa proses hukum. Padahal selama ini, pemerintah sangat
rajin
dalam
mengeluarkan
pernyataan
politik
mengenai
kesungguhannya dalam penegakan supremasi hukum, dan
penghormatan terhadap hak-hak azasi manusia seperti dituntut oleh gerakan reformasi.
Kenyataan belum diratifikasinya Statuta Roma, menunjukkan bahwa Pemerintah Republik Indonesia sesungguhnya tidak serius dalam melaksanakan penegakan hukum, dan
68
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
menghentikan rantai impunitas bagi para pelanggar HAM
berat.
Mahkamah Kriminal Internasional sebagai mahkamah
yang bersifat permanen, mempunyai yurisdiksi atas delik
pelanggaran hak azasi manusia berat (gross violation of human
rights), seperti genosida (crimes of genocide), kejahatan
terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan
perang (war crimes) dan kejahatan agresi (crimes of aggression). Dengan demikian, Statuta Roma mengatur kewenangan
ICC untuk mengadili empat kejahatan paling serius yang
mendapatkan perhatian dari masyarakat internasional, yaitu
“crimes of genocide”, “crimes against humanity”, “war crimes”
dan “crimes of aggression”.
Yurisdiksi ICC terhadap empat macam kejahatan ini,
dinamakan yurisdiksi berdasarkan materi atau ruang lingkup
kejahatan yang menjadi kewenangan ICC (ratione materiae),
sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dari Statuta Roma. ICC
juga mempunyai yurisdiksi berdasarkan pelaku kejahatan
yang dinamakan yurisdiksi ratione personae, sebagaimana
dapat ditemukan dalam Pasal 25 Statuta Roma.
Dalam hal ini setiap orang (natural person) yang
memiliki kebangsaan, dari salah satu negara peserta Statuta
ICC, atau melakukan suatu kejahatan dalam cakupan yurisdiksi ICC, di dalam wilayah negara peserta, harus bertanggungjawab secara pidana atas kejahatan tersebut apabila:
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
69
(1) Melakukan kejahatan tersebut (baik secara individu, bekerjasama atau melalui orang lain;
(2) Memerintahkan, mengajak, atau mendorong pelaksanaan kejahatan tersebut;
(3) Membantu atau bersekongkol, atau membantu pelaksanaan atau percobaan pelaksanaan kejahatan
tersebut;
(4) Dengan cara lain turut menyumbang pada pelaksanaan, atau percobaan pelaksanaan kejahatan
tersebut, oleh sekelompok orang yang bertindak
dengan tujuan yang sama;
(5) Berkaitan dengan kejahatan genosida, secara
langsung atau menghasut orang lain secara terbuka untuk melakukan genosida.
Demikian ICC mempunyai yurisdiksi, terkait dengan
orang-orang atau siapa saja yang terlibat dalam kejahatankejahatan tersebut di atas. Inilah yang dinamakan yurisdiksi
ratione personae (Manfred Nowak, 2003:374).
Kejahatan Agresi (Crime of Aggression) dapat ditemukan dalam Statuta Roma (the Rome Statute of the International
Criminal Court) tahun 1998. Akan tetapi struktur kejahatan
agresi itu belum dirinci dan diyurisdiksikan, karena Statuta
Roma menyatakan kejahatan seperti itu akan diatur lebih
lanjut melalui amandemen yang akan dilakukan setelah 7
tahun berlakunya Statuta Roma. Ada kemungkinan tidak
diaturnya struktur kejahatan agresi dalam Statuta Roma,
70
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
adalah
merupakan
akibat
dari
adanya
tekanan
yang
dilakukan oleh negara adidaya, karena negara seperti ini
mempunyai maksud terselubung untuk melakukan agresi ke
berbagai negara dalam kurun waktu satu dasawarsa ke depan
terhitung sejak 1998.
Dengan melihat ke belakang, sebenarnya kejahatan
agresi dapat ditemukan di dalam Convention for the Definition
of Agression tahun 1933, Charter of the International Military
Tribunal tahun 1945, dan Principles of the Nuremberg Tribunal
tahun 1950. Dua perjanjian terakhir ini menyebut istilah
Kejahatan Terhadap Perdamaian (Crimes Against Peace), yaitu
merencanakan, memprakarsai perang, atau memulai perang
agresi, atau sebuah perang yang melanggar hukum internasional.
Ketentuan mengenai Kejahatan Perang (War Crimes),
selain terdapat dalam ketentuan tersebut di atas, juga dapat
ditemukan dalam “Geneva Convention tahun 1949” dan
“Additional Protocol tahun 1977”, “Statute for the International
Tribunal for Rwanda tahun 1995”, dan “Statute for the
International Tribunal for the Former Yugoslavia tahun 1993
(amended 1998).
Kejahatan perang, di antaranya melancarkan serangan atas seorang atau sekelompok warga sipil atau obyek
sipil. Melancarkan serangan yang menyebabkan kerugian bagi
orang sipil, kerusakan obyek sipil atau kerusakan meluas,
berjangka panjang dan berat terhadap lingkungan alam.
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
71
Menyerang atau mengebom kota-kota, desa, perumahan atau
gedung yang tidak dipertahankan atau bukan obyek militer.
Melakukan serangan atas gedung-gedung untuk tujuan
keagamaan, pendidikan, kesenian, keilmuan atau social,
monumen bersejarah, rumah sakit. Membunuh atau melukai
secara curang pihak musuh atau perlakuan mempermalukan
tawanan perang.
Selanjutnya mengenai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Against Humanity), juga dapat ditemukan dalam
pelbagai ketentuan yang telah dikemukakan sebelumnya.
Pasal 7 Statuta Roma menyatakan bahwa, untuk tujuan
statute ini, kejahatan terhadap kemanusiaan, dapat diklasifikasikan sebagai salah satu dari tindakan berikut: apabila
dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik, yang ditujukan kepada penduduk sipil dengan mengetahui serangan itu. Pembunuhan; pemusnahan; perbudakan;
deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa; penahanan ataupun bentuk lain, perampasan kebebasan fisik seseorang yang melanggar aturan dasar hukum internasional;
penyiksaan; pemerkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan
prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi atau
bentuk lain kekerasan seksual yang setara beratnya; persekusi terhadap kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas politik, rasial, nasional, etnik, budaya, agama, jender
atau atas dasar lainnya; penghilangan orang dengan secara
paksa;
72
kejahatan
apartheid;
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
tindakan
tidak
manusiawi
lainnya, dengan karakteristik serupa yang dilakukan dengan
sengaja dan menyebabkan penderitaan hebat, atau luka
serius terhadap tubuh ataupun kesehatan mental atau fisik.
Semua kondisi ini, digambarkan secara spesifik dan
didefinisikan dalam Statuta Roma dan dalam elemen-elemen
kejahatan. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sebenarnya
sudah memiliki Mahkamah Internasional (International Court
of Justice atau ICJ) yang bermarkas di Den Haag, Belanda.
Akan tetapi ICJ tidak dapat mengadili kejahatan internasional, seperti kejahatan perang dan kejahatan hak azasi
manusia.
Di samping itu ICJ juga lebih efektif untuk mengadili
perkara yang menyangkut negara, bukan orang (aktor bukan
negara) yang melakukan kejahatan HAM. Hanya negaranegara (states)
yang dapat menjadi pihak-pihak dalam
perkara-perkara di depan mahkamah, sebagaimana tertera
dalam Pasal 4 Statuta ICJ (only states may be parties before
the court).
Dengan demikian, ICJ menempatkan negara (state)
sebagai subyek penanggungjawab, sedangkan ICC menempatkan individu sebagai subyek penanggungjawab, walaupun
baik ICJ maupun ICC mempunyai tempat kedudukan yang
sama di Den Haag, Belanda. Perjanjian internasional yang
dinamakan Statuta Roma (The Rome Statute), dimaksudkan
untuk membawa siapapun yang tersangkut atau terbukti
terlibat dalam Kejahatan Perang (War Crimes), dan Kejahatan
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
73
Terhadap Kemanusiaan (Crimes Against Humanity), kejahatan
etnis atau suku bangsa (genocide), entah mereka itu pejabat
tinggi
sipil
ataupun
militer,
dapat
diajukan
ke
depan
Mahkamah Kriminal Internasional guna mempertanggungjawabkan perbuatannya secara individual, sehingga mereka
tidak dapat berlindung di belakang kepentingan dan tanggungjawab negara.
Artikel 17 dari Statuta Roma menyatakan bahwa,
Mahkamah Kriminal Internasional bukanlah pengadilan “the
first resort”, tetapi “the last of the last resort”. ICC bukanlah
merupakan upaya hukum pertama, melainkan upaya hukum
terakhir dari upaya hukum terakhir, sehingga ICC tidak akan
merusak kedaulatan dari negara pesertanya. ICC mengutamakan apa yang dinamakan “exhaustion of local remedies”, yang
artinya negara peserta yang bersangkutan, harus terlebih
dahulu mengutamakan penggunaan semua remedy domestic
atau semua upaya hukum yang tersedia.
Negara peserta tetap mengadili terlebih dahulu pelaku
pelanggaran HAM berat, dengan memanfaatkan segala upaya
hukum yang tersedia di negara tersebut. Apabila negara
tersebut tidak mempunyai keinginan (unwilling) atau tidak
mempunyai
kemampuan
(unable),
untuk
menyelesaikan
kasus kejahatan tersebut secara tuntas, maka barulah
kemudian menjadi yurisdiksi ICC dan terbuka akses ke ICC.
Dengan demikian, lembaga seperti ini hanya mempunyai
74
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
fungsi sebagai pengadilan yang sifatnya komplementer dan
melengkapi pengadilan domestik.
ICC
tidak
memiliki
yurisdiksi
untuk
mengadili
kejahatan yang terjadi (ratione temporis) sebelum tanggal 1
Juli
2002.
Hingga
saat
ini
Republik
Indonesia
belum
meratifikasi Statuta Roma yang sudah dinyatakan berlaku
secara efektif sejak 1 Juli 2002. Namun apabila pada suatu
saat Indonesia meratifikasi Statuta Roma, maka yurisdiksi
ICC hanya dapat menjangkau kejahatan kemanusiaan yang
terjadi setelah tanggal ratifikasi. Kejahatan kemanusiaan yang
terjadi sebelum tanggal ratifikasi, tidak termasuk dalam ruang
lingkup yurisdiksi ICC.
Akan tetapi, sekalipun Statuta Roma tidak atau belum
diratifikasi, Indonesia dapat meminta pelaksanaan yurisdiksi
ICC, dengan terlebih dahulu menyampaikan deklarasi penerimaan kepada Panitera ICC di Den Haag, Belanda (Pasal 11
dan Pasal 12 Statuta Roma).
Semua dugaan delik pelanggaran HAM berat yang
pernah mengemuka dan muncul ke permukaan, seperti
dugaan pelanggaran HAM di Timor Timur (sekarang Negara
Timor Leste), peristiwa Tanjung Priok, kasus penghilangan
orang secara paksa pada masa Orde Baru, dan pelbagai kasus
kejahatan kemanusiaan lainnya yang pernah terjadi, pada
masa lampau tidak termasuk dalam yurisdiksi ICC. Walaupun
delik-delik seperti itu tidak menjadi yurisdiksi ICC, namun
perlu dicermati, bahwa tidak tertutup kemungkinan dapat
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
75
digelar semacam peradilan internasional, ketika kita dianggap
tidak serius menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat
secara tuntas.
Melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB, maka dapat
dibentuk tribunal internasional yang bersifat ad hoc atau
sementara, seperti pembentukan Tribunal Internasional untuk bekas Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the
Former Yugoslavia atau ICTY), di mana ICTY ditetapkan oleh
Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 808 dan 827 Tahun
1993; sedangkan ICTR ditetapkan dengan Resolusi Dewan
Keamanan PBB Nomor 935 dan 955 Tahun 1994, di mana
kedua resolusi ini dibuat berdasarkan Pasal 24 dan Pasal 25
Piagam PBB (Charter of the United Nations).
Pasal 24 ayat (1) Piagam PBB menyatakan bahwa,
agar PBB dapat menjamin adanya tindakan segera dan efektif,
maka para anggotanya menyerahkan tangguingjawab utama
(primary responsibility) kepada Dewan Keamanan, dalam
rangka memelihara perdamaian dan keamanan internasional,
serta para anggota PBB sepakat, bahwa dalam menjalankan
kewajiban yang menjadi tanggungjawabnya, Dewan Keamanan
bertindak
atas
nama
para
anggota
PBB
(Michael
Akehurst, 1983:173).
Selanjutnya Pasal 25 dari Piagam PBB menyatakan
bahwa, para anggota PBB bersepakat untuk menerima dan
melaksanakan putusan dari Dewan Keamanan PBB menurut
Piagam. Dengan demikian Dewan Keamanan PBB mempunyai
76
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
wewenang untuk mengambil putusan yang bersifat mengikat
(binding decisions), dan para negara anggota PBB berkewajiban untuk mematuhi putusan tersebut.
Resolusi Dewan Keamanan terkait pembentukan ICTY
pada tahun 1993, dan pembentukan ICTR pada tahun 1994,
harus dipandang sebagai tindakan yang harus segera diambil,
karena tindakan seperti ini sangat penting untuk melaksanakan tanggungjawab utama, yang dibebankan pada pundak
Dewan Keamanan PBB dalam rangka memelihara perdamaian
dan keamanan internasional secara efektif.
Disinilah
terletak
perbedaan antara ICC
dengan
tribunal internasional, karena ICC melaksanakan yurisdiksinya tanpa melalui resolusi Dewan Keamanan PBB, tetapi
kewenangannya ditentukan dalam Statuta Roma. Sedangkan
yurisdiksi dari tribunal internasional yang bersifat ad hoc
tidak dibatasi oleh ratione temporis, tetapi tergantung pada
kasus yang hendak diangkat oleh PBB, disinilah ratione
temporis itu diidentifikasi.
Kita tidak mengetahui secara tepat, mengapa Pemerintah Republik Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma
mengenai pembentukan Mahkamah Kriminal Internasional.
Karena pihak pemerintah sendiri memang tidak menjelaskan
persoalan penting ini kepada publik. Sesungguhnya terdapat
beberapa alasan yang menyebabkan Pemerintah Republik
Indonesia, mengambil posisi tidak atau belum melakukan
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
77
ratifikasi terhadap perjanjian tersebut, atau dengan kata lain
belum menjadi peserta ICC.
Alasan pertama, adalah Pemerintah menyadari bahwa
kondisi penegakan hukum di negeri ini masih rendah.
Sementara di sisi lain, pelanggaran HAM berat masih terjadi.
Kenyataan ini membuka peluang bagi para korban untuk
mengadu ke ICC. Sebagaimana diketahui prinsip mekanisme
kerja dari ICC, adalah sebagai mahkamah yang sifatnya
melengkapi yurisdiksi pidana yang dijalankan oleh peradilan
nasional. Hal ini berarti bahwa, mahkamah harus mendahulukan sistem peradilan nasional, terkecuali jika sistem
peradilan nasional yang ada benar-benar tidak mampu dan
tidak bersedia, melakukan penyelidikan dan tidak obyektif.
Itu alasan pertama, sedangkan alasan kedua adalah,
Pemerintah Indonesia masih berminat melanggengkan praktik
impunitas bagi oknum-oknum tertentu. Sebagaimana Indonesia, Amerika pada masa pemerintahan Clinton, juga telah
menandatangani Statuta Roma, tetapi pemerintah penggantinya, yaitu pemerintahan Presiden George Walker Bush,
terkenal sebagai penggemar perang dan potensial tercatat
sebagai penjahat perang, dan kemanusiaan dalam sejarah
dunia, kemudian menolak meratifikasi Statuta Roma tersebut.
Padahal jika suatu negara tidak meratifikasi, maka
negara tersebut, dalam hal ini AS sangat khawatir bakal
mendapat kendala, jika hendak melakukan agresi terhadap
negara lain. Agresi dan pendudukan Afganistan dan Irak oleh
78
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
pasukan koalisi pimpinan AS, memberikan kontribusi bagi
kekhawatiran negeri Paman Sam (julukan negara AS) terhadap yurisdiksi ICC, terkait dengan kejahatan perang dan
kemanusiaan, yang dilakukan oleh pihak militer AS sehingga
pemerintahnya tidak meratifikasi Statuta Roma.
AS negara yang mengaku dirinya sebagai negara paling demokrasi, penjaga ketertiban dan hak-hak azasi manusia di seluruh dunia, menentang disahkannya perjanjian
tersebut. Di samping itu, Amerika berdiri pada barisan
terdepan
dari
negara-negara
yang
menentang
ratifikasi
Statuta Roma, sehingga negara tersebut dianggap sebagai
negara yang tidak konsisten, ambiguous dan gemar menerapkan standar ganda (double standard).
Bahkan AS pernah mengancam untuk menghentikan
bantuan militer sebesar lebih dari 47 juta dollar AS kepada 35
negara, termasuk Negara Kolombia dan calon-calon anggota
NATO, karena negara-negara tersebut mendukung Mahkamah
Kriminal Internasional, dan tidak membebaskan warga AS
dari kemungkinan diadili. Keputusan untuk menghentikan
bantuan itu merupakan serangan yang pernah dilancarkan
oleh mantan Presiden Bush terhadap ICC.
Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anggota
Militer AS tahun 2002, yang merupakan dasar penghentian
bantuan tersebut, Presiden Bush dapat mengeluarkan pernyataan pengecualian, bagi negara-negara yang menandatangani
kesepakatan kekebalan, yang disebut kesepakatan Artikel 98,
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
79
atau ketika dia beranggapan bahwa bantuan militer dapat
diberikan demi kepentingan nasional.
Presiden Bush mengeluarkan pernyataan pengecualian bagi 22 negara pada tahun 2003, saat batas waktu lewat
bagi pemerintah negara-negara tersebut untuk menandatangani kesepakatan kekebalan. Namun dari 22 negara tersebut, Negara Kolombia dan negara-negara Eropa Timur dan
Baltik, seperti Bulgaria, Slovakia, Slovenia, Estonia, Latvia
dan Lithuania sebagai negara-negara yang seharusnya menerima bantuan tidak termasuk dalam 22 negara yang dimaksud.
80
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
BAGIAN V
KEKEBALAN DIPLOMATIK
Perwakilan diplomatik, gedungnya, pribadi pejabat
atau wakil diplomatik, tempat kediaman pejabat diplomatik,
keluarganya, arsip surat menyurat pejabat diplomatik maupun paket diplomatik (diplomatic package), tidak dapat diganggu gugat oleh aparat hukum negara setempat. Inilah
yang dinamakan Prinsip Inviolability.
Mereka khususnya pribadi pejabat diplomatik, memiliki kekebalan dari yurisdiksi territorial Negara Penerima
(Receiving State) dalam perkara pidana, administratif maupun
perkara perdata. Namun demikian, kekebalan seorang pejabat
diplomatik dapat dibatalkan atau dihapuskan, dan ditarik
kembali oleh Pemerintah Negara Pengirim (Sending State),
ataupun oleh Kepala perwakilan diplomatik itu sendiri.
Kekebalan Diplomatic (Diplomatic Immunity) bukanlah
merupakan hak prerogatif atau hak istimewa (praerogative
right) dari pejabat diplomatik yang bersangkutan, melainkan
sesungguhnya merupakan kekebalan dari Pemerintah Negara
Pengirim (Sending State), sehingga kekebalan tersebut hanya
dapat dibatalkan oleh negara pengirim, dan tidak mungkin
dapat dibatalkan sendiri oleh pejabat diplomatik yang bersangkutan, kecuali dengan persetujuan dari negara pengirimnya.
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
81
Kalau seorang pejabat diplomatik harus dihapuskan
atau dibatalkan kekebalannya, maka pertanyaannya adalah
dalam hal-hal apa saja kekebalan itu dapat dibatalkan?
Jawabannya dapat dikemukakan berikut ini.
Seorang pejabat diplomatik terlibat dalam tindak pidana di negara penerima, terutama dalam tindak pidana yang
benar-benar serius, dalam pengertian tindak pidana tersebut
dapat mengganggu atau membahayakan keamanan dan ketertiban umum di negara penerima, maka memang yang
bersangkutan tetap dianggap memiliki kekebalan dan dikecualikan dari pelaksanaan kekuasaan hukum negara setempat, sehingga dia tidak dapat menjalani proses hukum di
negara setempat.
Kendati demikian, negara penerima mempunyai hak
dan wewenang untuk membuat Pernyataan Persona Non Grata
(Person Not Wanted), atas diri pribadi pejabat diplomatik yang
bermasalah. Dengan dijatuhkannya pernyataan persona non
grata terhadap yang bersangkutan, maka implikasinya adalah
pejabat diplomatik tersebut harus meninggalkan negara
penerima dalam tenggang waktu yang telah ditetapkan oleh
negara penerima.
Seorang pejabat diplomatik yang tidak menjalankan
tugasnya sebagaimana mestinya, karena melakukan pelanggaran terhadap peraturan hukum negara penerima, seperti
terlibat dalam kejahatan narkotika dan atau psikotropika
ataupun
82
kejahatan-kejahatan
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
berat
lainnya,
melakukan
tindakan yang bertujuan untuk mencampuri urusan dalam
negeri dari negara penerima, dapat menjadi alasan bagi
negara penerima untuk mem-persona non grata-kan pejabat
diplomatik
tersebut,
dan
dalam
tenggang
waktu
yang
ditetapkan, dia diharuskan meninggalkan negara penerima
serta kembali ke negeri asalnya, yakni negara pengirim.
Pernyataan persona non grata merupakan hak dari
negara penerima, yang tentu saja bersumber dari azas
kedaulatan negara. Pernyataan persona non grata dilakukan
dengan maksud, untuk mengimbangi dan sekaligus menjadi
terobosan terhadap prinsip kekebalan diplomatic (diplomatic
immunity), yang melekat pada setiap wakil diplomatik, yang
tersangkut aksi kriminal sehingga dapat mengganggu dan
membahayakan keamanan serta ketertiban umum di negara
penerima.
Walaupun pejabat diplomatik tetap memiliki kekebalan yang membebaskannya dari penerapan yurisdiksi teritorial negara penerima, dalam hal tersangkut suatu tindak
pidana di negara penerima, namun setelah dia dinyatakan
persona
non
grata
dan
kembali
ke
negerinya
(negara
pengirim), maka dia tidak dibebaskan dari masalah Tanggungjawab Hukum (Legal Liability) di negerinya sendiri.
Negara pengirim mempunyai kewajiban untuk meminta pertanggungjawaban dari orang yang bersangkutan, atas
kesalahan yang dilakukannya di negara penerima. Prinsip ini
didasarkan atas ketentuan pasal yang terdapat dalam Kon-
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
83
vensi Wina Tahun 1961 (Vienna Convention on Diplomatic
Relations), yang antara lain menegaskan bahwa, wakil diplomatik atas dasar kekebalan yang dimilikinya memang dikecualikan dan dibebaskan dari yurisdiksi teritorial negara
penerima, namun dia tidak dibebaskan dari tanggungjawab
hukum (legal liability) dari negara pengirim.
Beberapa kasus yang pernah terjadi, dalam hubungan
dengan persona non grata terhadap diplomat, yang tersangkut
aksi kriminal di negara penerima, dapat kiranya dikemukakan
untuk mematangkan pemahaman kita soal kekebalan diplomatik. Kasus dua orang diplomat AS di Indonesia tahun 1994,
kasus diplomat Uni Soviet tahun 1982, demikian pula kasus
yang pernah melibatkan diplomat RI di negeri Tanzania (yang
penulis namakan kasus gading gajah), serta kasus yang
melibatkan putera Duta Besar RI (Nana Sutresna) di Inggeris
tahun 2003, yang semuanya ini dapat memberi klarifikasi soal
kekebalan diplomatik dan aspek-aspek terkait khususnya
persona non grata.
Mengenai kasus diplomat Uni Soviet, pada tanggal 9
Januari 1982 seorang diplomat Uni Soviet yang bernama S.P.
Egorov yang pada waktu itu menjabat sebagai Asisten Atase
Militer pada Kantor Kedutaan Besar Uni Soviet di Jakarta,
dijatuhi pernyataan persona non grata oleh Pemerintah RI,
sehingga diplomat ini harus meninggalkan Indonesia serta
kembali ke negerinya. Pemerintah RI mem-persona non gratakan diplomat dari negara yang pada waktu itu terkenal
84
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
sebagai negara tirai besi (Egorov), serta mengusirnya karena
dia tersangkut dalam kegiatan mata-mata, yang berarti
melakukan tindakan yang sifatnya mencampuri urusan
domestik Indonesia sebagai negara penerima.
Berdasarkan Konvensi Wina Tahun 1961 mengenai
Hubungan Diplomatik, seorang pejabat diplomatik mempunyai kewajiban untuk tidak melanggar peraturan-peraturan
hukum yang berlaku di negara penerima, serta tidak boleh
mencampuri urusan dalam negeri negara penerima, seperti
tidak boleh melakukan kegiatan mata-mata (espionage).
Diplomat Uni Soviet diperintahkan untuk meninggalkan
Indonesia setelah dia di persona non grata-kan oleh Pemerintah RI, akibat kegiatan mata-mata yang dilakukannya bersama dengan seorang warga Uni Soviet yang bernama Alexander
Finenko, yang kemudian ditangkap oleh aparat keamanan
Indonesia.
Orang yang disebut terakhir ini (Alexander Finenko)
bukan seorang pejabat diplomatik, melainkan sebagai Kepala
Kantor Dinas Penerbangan Uni Soviet Aeroflot di Jakarta.
Akan tetapi di balik tugasnya itu, ternyata Alexander Finenko
diduga sebagai anggota teras dari Dinas Rahasia Uni Soviet
KGB, sehingga penangkapan atas dirinya oleh pihak aparat
keamanan adalah sesuatu yang tepat. Demikian pula pernyataan persona non grata dan pengusiran terhadap Egorov oleh
Departemen Luar Negeri RI waktu itu (saat ini bernama
Kementerian Luar Negeri RI), adalah merupakan tindakan
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
85
yang tepat karena berbeda dengan Alexander Finenko yang
bukan seorang diplomat, melainkan anggota teras KGB.
S. P. Egorov justru seorang diplomat yang tidak
mungkin dapat ditangkap oleh aparat keamanan Indonesia,
sebab dia memiliki kekebalan yang mengecualikan dan membebaskannya dari penerapan yurisdiksi teritorial Indonesia.
Mengenai kasus dua diplomat AS yang dikenai tindakan atau pernyataan persona non grata dan kemudian diusir
dari negeri Indonesia, hal ini disebabkan karena kedua diplomat tersebut ternyata terlibat dalam sindikat kejahatan narkoba, di mana keduanya adalah salah satu mata rantai
penting jaringan peredaran narkoba di kawasan Asia Tenggara, sehingga dapat mengancam dan membahayakan keamanan negara-negara Asia Tenggara.
Ditinjau dari sudut Konvensi Wina Tahun 1961, keterlibatan kedua diplomat negara adidaya tersebut (AS), dalam
kejahatan yang sangat membahayakan tersebut, dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap kewajibannya sebagai
pejabat diplomatik, untuk tidak melakukan pelanggaran terhadap peraturan-peraturan hukum negara penerima, sehingga sudah sewajarnya apabila mereka di persona non gratakan.
Demikian pula tindakan pengusiran (expulsion) oleh
Pemerintah RI terhadap kedua diplomat tadi (diplomat AS),
adalah suatu tindakan yang tepat, guna memulihkan dan
menunjukkan martabat kita sebagai negara berdaulat. Kedua
86
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
diplomat tersebut setelah di persona non grata-kan serta
diusir, harus mempertanggungjawabkan kesalahannya di
negaranya sendiri (AS), sebab sesuai peraturan hukum yang
berlaku, walaupun seorang pejabat diplomatik dibebaskan
dari
pelaksanaan
yurisdiksi
teritorial
negara
penerima,
namun pejabat diplomatik, tidak dibebaskan dari tanggungjawab hukum (legal liability) di negara pengirim.
Setibanya di AS, kedua diplomat tersebut harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan pengadilan
AS. Keduanya dinyatakan bersalah oleh pengadilan AS,
dipecat dan dihukum sesuai dengan peraturan hukum AS.
Kedua kasus yang dikemukakan tersebut (Kasus
diplomat Uni Soviet tahun 1982 dan kasus dua diplomat AS
tahun 1994), Pemerintah RI yang menjatuhkan pernyataan
persona non grata terhadap diplomat asing sesuai dengan
kedudukan Indonesia sebagai negara penerima (receiving
state), maka dalam kasus gading gajah di Tanzania, kasus Leo
Lopulisa di Filipina dan kasus Nana Sutresna di Inggeris,
justru para diplomat Indonesia yang dikenai pernyataan
persona non grata oleh masing-masing negara penerima,
sementara
Indonesia
mempunyai
posisi
sebagai
negara
pengirim yang berkewajiban untuk meminta pertanggungjawaban dari diplomatnya yang telah melakukan kesalahan di
negara penerima.
Dalam kasus gading gajah, seorang pejabat diplomatik
Indonesia (bernama Abdul Gani), diketahui sudah sering
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
87
melakukan aksi penyelundupan gading gajah dalam jumlah
sangat besar, padahal binatang ini termasuk satwa yang
dilindungi oleh Pemerintah Negeri Tanzania, karena fauna
seperti ini sudah sangat langka dan dikhawatirkan terancam
bahaya kepunahan.
Peraturan hukum negeri ini (Tanzania) melarang
siapapun untuk menangkap, membunuh, memperjualbelikan,
menyimpan,
menyelundupkan
bagian-bagiannya.
dengan
pidana
Barang
penjara
binatang
siapa
gajah
dan
melakukannya
selama
sekian
atau
diancam
tahun.
Karena
pelanggaran atas peraturan hukum negeri tersebut, dilakukan
oleh diplomat Indonesia, maka Pemerintah Tanzania mempersona non grata-kan yang bersangkutan (diplomat RI) serta
memerintahkan untuk segera meninggalkan Tanzania dan
kembali ke Indonesia.
Aparat hukum Tanzania tidak dapat melakukan
proses hukum terhadap yang bersangkutan, karena pemerintahnya
menghormati
kekebalan
diplomatik
dari
pejabat
diplomatik Indonesia, yang bertugas di negeri tersebut.
Namun demikian dia tidak dibebaskan dari tanggungjawab
hukum (legal liability) di Indonesia sebagai negara pengirim.
Otoritas terkait telah menjatuhkan sanksi administratif dalam
bentuk
tindakan
pemecatan
atas
diplomat
yang
telah
melakukan kesalahan di Tanzania.
Atas peristiwa yang sangat memalukan itu, Pemerintah RI telah menyampaikan permintaan maaf kepada Peme-
88
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
rintah
Tanzania,
terhadap
sebagai
pelanggaran
wujud
hukum
tanggungjawab
yang
dilakukan
negara
diplomat
Indonesia ketika bertugas di negara itu (Tanzania). Namun
terlepas dari masalah tanggungjawab negara, kasus Gading
Gajah juga memperlihatkan prinsip kekebalan diplomatik,
yang mengecualikan dan membebaskan pejabat diplomatik
dari pelaksanaan yurisdiksi teritorial dari negara penerima.
Tentang kasus Duta Besar RI (Leo Lopulisa) yang
terjadi pada tahun 1980-an, Pemerintah Filipina di bawah
Presiden Marcos melalui Departemen Luar Negerinya, telah
menjatuhkan pernyataan persona non grata dan meminta
kepada Pemerintah RI, agar menarik kembali Duta Besarnya
dari Filipina. Pernyataan persona non grata serta pengusiran
atas diplomat Indonesia dilakukan dengan alasan bahwa,
ucapan-ucapan yang pernah dilontarkan Duta Besar Indonesia dianggap telah mencampuri urusan dalam negeri negara
tetangga (Filipina), sehingga dia pernah dipanggil menghadap
Menteri Luar Negeri Filipina (Carlos Romulo) pada waktu itu,
sebelum di persona non grata-kan dan ditarik kembali ke
Indonesia.
Pemerintah RI kemudian memanggil pulang dan
memberhentikannya sebagai pejabat diplomatik, serta meminta maaf kepada Pemerintah Filipina dalam rangka pertanggungjawaban Pemerintah RI atas terjadinya penyalahgunaan
kekebalan
diplomatik,
di
mana
kekebalan
ini
memang
membebaskan Leo Lopulisa sebagai Duta besar dari penera-
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
89
pan yurisdiksi territorial Filipina, tetapi tidak membebaskannya dari tanggungjawab hukum di Indonesia.
Akhirnya kasus kekebalan diplomatik juga pernah
dialami Indonesia beberapa tahun lalu, ketika Nana Sutresna
yang menjabat Duta besar RI untuk Kerajaan Inggeris. Salah
seorang anggota keluarganya, yakni putera dari sang Duta
besar RI ini tersangkut kasus narkoba, sehingga puteranya ini
terpaksa harus berurusan dengan aparat kepolisian Inggeris,
atas dugaan membawa sekian gram heroin yang ditemukan
dalam mobil yang dikemudikannya. Pemerintah RI melalui
Menteri
Luar
Negeri
kemudian
menarik
kembali
Nana
Sutresna dari tugasnya sebagai Kepala Perwakilan Diplomatik
atas alasan dan pertimbangan bahwa, masa tugasnya sebagai
Duta Besar RI bagi Kerajaan Inggeris telah berakhir.
Namun demikian berbagai kalangan bertanya-tanya
apakah kembalinya Nana Sutresna dari posnya di negeri
Inggeris dengan dasar berakhirnya masa tugasnya, bukan
merupakan suatu cara yang sangat diplomatis terkait dengan
kemungkinan adanya pembicaraan rahasia antara kedua
Pemerintah. Apa sebenarnya yang telah terjadi dan ada apa di
balik kembalinya sang Duta Besar RI ini? Ada kemungkinan,
Pemerintah Inggeris sebagai negara penerima telah secara
diam-diam
meminta
kepada
Pemerintah
RI
agar
memulangkan saja Duta Besarnya atas dasar perbuatan
tercela yang melibatkan keluarganya.
90
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
Jawaban atas pertanyaan ini, tidak dapat dilepaskan
dari reputasi atau nama besar yang dimiliki oleh Duta Besar
Nana Sutresna, yang kebesaran namanya telah diakui baik
pada tingkat nasional maupun pada tataran regional dan
internasional.
Namun
demikian,
apabila
dugaan
dan
perkiraan oleh berbagai kalangan, mengenai adanya kontakkontak yang bersifat rahasia di antara kedua negara, yang
bertujuan untuk menyelesaikan kasus yang telah menimpa
anak dari Duta Besar RI yang diakui melekat padanya prinsip
inviolabilitas serta immunitas, maka dugaan dan perkiraan itu
mungkin
mengandung
unsur
kebenaran
yang
dapat
dipertanggungjawabkan, sehingga dalam keadaan demikian
telah terjadi semacam persona non grata yang bersifat
terselubung.
Hal ini dilakukan kedua negara, dengan maksud
untuk memelihara hubungan baik antara kedua negara, dan
sekaligus melindungi nama baik dari seseorang yang begitu
besar jasanya bagi bangsa dan negaranya. Apabila dalam hal
tindak pidana yang dilakukan seorang pejabat diplomatik dan
pejabat ini tetap diakui kekebalannya di negara penerima,
maka keadaan ini tentu berbeda dengan ketika pejabat
tersebut tersangkut kasus perdata.
Pada dasarnya, pejabat diplomatik tetap memiliki
kekebalan
dari
penerapan
yurisdiksi
territorial
ketika
tersangkut perkara perdata, tetapi hal ini tidak berlaku secara
mutlak. Pejabat diplomatik bisa menjalani proses hukum, dan
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
91
diajukan sebagai tergugat ataupun saksi dalam perkara
perdata melalui pengadilan negara setempat.
Di samping itu, dalam masalah administratif yang
melibatkan pejabat diplomatik, dia (diplomat) dapat saja
dikenai semacam sanksi administratif di negara penerima,
seperti tersangkut pelanggaran lalu lintas atau pelanggaran
ringan lainnya, yang dilakukannya di negara penerima,
sehingga sanksi administratif yang dikenakan terhadapnya,
seperti
misalnya
hukuman
denda,
dapat
dijatuhkan
terhadapnya (diplomat) karena hukuman seperti ini dapat
dikatakan
tidak
akan
mempengaruhi
kelancaran
dan
efektifitas pelaksanaan tugas-tugasnya di negara setempat,
yang memang menjadi tujuan dari azas kekebalan diplomatik.
Hukuman ringan seperti itu tidak akan mengurangi dan
menggerogoti kekebalan diplomatik yang melekat pada dirinya
sehingga
tidak
akan
mengganggu
pelaksanaan
tugas-
tugasnya di negara penerima.
Seorang pejabat diplomatik dapat dijadikan tergugat
dalam suatu perkara perdata, sebagaimana halnya dia dapat
bertindak sebagai penggugat di depan pengadilan dari negara
penerima, bilamana gugatan itu bertujuan untuk mendapatkan kembali harta tidak bergerak yang semata-mata bersifat
pribadi. Seorang penduduk atau warganegara dari negara
penerima, dapat saja menggugat pribadi pejabat diplomatik
atas
dasar
suatu
perbuatan
wanprestasi.
92
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
yang
dikualifikasi
sebagai
Dalam hal ada perjanjian atau kontrak di antara dua
pihak, yaitu antara seseorang dengan seorang diplomat, yang
bertindak atas nama pribadinya sendiri, tetapi diplomat ini
ternyata tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana
diatur dalam kontrak tadi, sehingga merugikan pihak lain,
maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan
gugatan terhadap pribadi diplomat itu.
Kelalaian diplomat dalam menjalankan kewajibannya,
atau apa yang disebut dengan istilah wanprestasi, dapat
digunakan sebagai alasan bagi pihak yang merasa dirugikan
untuk menyeret sang diplomat dalam kapasitas pribadinya
sebagai tergugat. Dia juga dapat diseret sebagai tergugat,
apabila dia melakukan apa yang disebut Perbuatan Melawan
Hukum (Onrechmatige Daad). Seorang diplomat dapat melakukan suatu perbuatan yang dikualifikasi sebagai perbuatan
melawan hukum, apabila perbuatannya membawa kerugian
kepada orang lain, baik yang berkaitan dengan masalah
keperdataan, masalah profesi, masalah komersial ataupun
bisnis.
Diplomat yang melakukan perbuatan melawan hukum
yang menimbulkan kerugian kepada orang lain, berkewajiban
untuk membayar gantirugi atas kerugian akibat perbuatan
diplomat yang sifatnya pribadi. Seorang diplomat yang bekerja
sebagai pedagang, akuntan, manager perusahaan, peneliti
ataupun konsultan hukum untuk kepentingan pribadinya,
semata-mata dan samasekali tidak terkait dengan fungsinya
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
93
sebagai pejabat diplomatik, maka dia harus bertanggungjawab
secara pribadi, dan tidak dapat berlindung di balik kekebalannya sebagai pejabat diplomatik, sebab dalam hal-hal
seperti itu, kekebalan tersebut tidak lagi bersifat mutlak.
Pihak yang merasa dirugikan akibat perbuatan diplomat yang
bersifat melawan hukum, dapat menggugat diri pribadi
diplomat itu serta menuntut gantirugi. melalui pengadilan
negara penerima atau pengadilan setempat.
Pembahasan tersebut di atas menunjukkan bahwa,
sebenarnya ada jalan untuk melakukan terobosan terhadap
kekebalan diplomatik, dan menyeret pejabat diplomatik yang
bersangkutan sebagai tergugat di depan pengadilan negara
penerima, dalam hal timbul wanprestasi maupun perbuatan
melawan hukum yang dilakukan pejabat diplomatik, dalam
kapasitas pribadi serta untuk kepentingan pribadinya sematamata.
Namun
demikian,
untuk
melaksanakan
gugatan
tersebut secara efisien dan efektif, maka pihak yang merasa
dirugikan harus menempuh prosedur tertentu, yaitu mengusahakan terlebih dahulu adanya Penghapusan kekebalan atau
pembatalan kekebalan (Waiver of Immunity). Pembatalan
kekebalan harus dilakukan secara tegas dan tertulis oleh
pemerintah
negara
Diplomatiknya.
pengirim,
Pihak
yang
atau
Kepala
menderita
Perwakilan
kerugian
harus
pertama-tama meminta bantuan pada pemerintah negara
penerima untuk menyelesaikannya dengan pemerintah negara
94
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
pengirim atau Kepala Perwakilan Diplomatiknya, menyangkut
penghapusan kekebalan atas diri pejabat diplomatik itu, atas
dasar wanprestasi atau perbuatan melawan hukum yang
merugikan warganegara dari negara penerima.
Setelah terjadi pembatalan kekebalan, maka proses
pemeriksaan gugatan perdata atas diplomat tersebut, dapat
diselenggarakan oleh pengadilan setempat. Wakil diplomatik
yang
telah
melakukan
wanprestasi,
ataupun
perbuatan
melawan hukum dengan sendirinya, sudah dapat diseret
sebagai tergugat di depan pengadilan setempat, atas dasar
adanya penegasan soal penghapusan kekebalan itu.
Penghapusan Kekebalan (Waiver of Immunity), prosesnya dapat berjalan dengan mudah dan lancar, bilamana
sebelum timbulnya kasus gugatan tersebut, sudah ada
semacam kontrak atau perjanjian antara pejabat diplomatik
dalam kapasitasnya selaku pribadi dengan warga negara
setempat, di mana di dalam kontrak itu dapat dicantumkan
semacam klausul atau pasal yang mewajibkan pejabat
diplomatik tersebut, untuk menanggalkan atau melepaskan
kekebalannya dalam hal terjadi pelanggaran kontrak, atau
wanprestasi maupun perbuatan melanggar hukum, yang
menimbulkan kerugian terhadap warganegara dari negara
setempat.
Akan tetapi bilamana sudah ada putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van
gewijsde), maka putusan ini tidak langsung dapat dimohon-
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
95
kan eksekusi atau pelaksanaan putusan. Untuk menjalankan
eksekusi atau pelaksanaan keputusan terkait dengan pribadi
diplomat yang bersangkutan, seperti misalnya dia dihukum
untuk membayar gantirugi kepada penggugat, maka untuk
melaksanakan keputusan pengadilan tersebut, terlebih dahulu harus diupayakan adanya semacam penghapusan kekebalan dari eksekusi secara tersendiri (Separate Waiver).
Hal ini disebabkan karena penghapusan kekebalan
sebelum berlangsungnya proses pemeriksaan gugatan perdata, hanya menyangkut penghapusan kekebalan dari proses
pemeriksaan atau persidangan di pengadilan, dan samasekali
belum menyangkut dan mencakup penghapusan kekebalan
dari eksekusi. Oleh sebab itu diperlukan adanya penghapusan
kekebalan dari eksekusi secara tersendiri, sehingga pengadilan setempat benar-benar dapat menjalankan eksekusi atas
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
96
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
BAGIAN VI
POIN-POIN PENTING TERKAIT DENGAN
PRINSIP-PRINSIP HUKUM INTERNASIONAL
MENGENAI YURISDIKSI NEGARA
Dengan mencermati pembahasan mengenai yurisdiksi
negara, serta pengecualian terhadap pelaksanaan yurisdiksi
teritorial, maka dapat ditarik beberapa poin-poin penting
sebagai berikut. Terdapat berbagai macam azas atau prinsip
dasar yang melandasi kepentingan suatu negara, dalam
mengklaim atau menyatakan kewenangannya atas suatu
peristiwa, atau kasus yang di dalamnya tersangkut seseorang
atau beberapa orang, benda (benda bergerak dan atau tidak
bergerak), baik yang terjadi di dalam wilayahnya sendiri,
maupun di luar wilayahnya sehingga hukum internasional
mengakui berbagai macam yurisdiksi negara, yang sering
berimplikasi atas timbulnya persaingan yurisdiksi di antara
negara-negara, karena masing-masing merasa memiliki kepentingan atas kasus yang sama.
Namun demikian, yang paling menonjol dan signifikan
adalah yurisdiksi teritorial, karena selama orang dan atau
benda yang dipermasalahkan, tidak berada dalam wilayah
kedaulatan suatu negara yang mempunyai kepentingan, maka
negara ini tidak dapat dengan mudah dan efektif melakukan
tindakan
hukum,
sesuai
dengan
peraturan
perundang-
undangan yang berlaku di negara tersebut, atau dengan kata
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
97
lain, efektivitas pelaksanaan yurisdiksi teritorialnya tidak
dapat berjalan sebagaimana mestinya. Sebaliknya, apabila
orang dan atau benda yang bersangkutan berada di dalam
batas-batas teritorilanya, maka negara yang memiliki kepentingan, dapat dengan mudah dan efektif melaksanakan
yurisdiksi teritorialnya.
Pelaksanaan
yurisdiksi
teritorial
atau
penerapan
peraturan hukum negara setempat, bukan sesuatu yang
bersifat mutlak, sebab dalam hukum internasional dan
hukum nasional, diakui apa yang disebut Azas Kekebalan
(Immunity Principle), yang mengecualikan lembaga-lembaga,
jabatan-jabatan atau benda-benda dengan atribut tertentu
dari pelaksanaan yurisdiksi negara setempat. Negara setempat, tidak dapat melakukan tindakan hukum terhadap
mereka yang memiliki kekebalan, seperti Kekebalan Kedaulatan (Souvereign Immunity), Kekebalan Diplomatik (Diplomatic
Immunity), dan Hak-Hak Istimewa (Privileges) yang dimilikinya.
Pada prinsipnya, dalam kasus pidana yang melibatkan mereka yang menikmati kekebalan, kekebalan ini dapat
dikatakan berlaku mutlak, sehingga aparat hukum setempat
tidak dapat melakukan tindakan hukum apapun terhadap
pemegang kekebalan itu, terkecuali ada semacam penghapusan kekebalan, yang dilakukan secara tegas oleh Pemerintah dari negara asal atau negara pengirim. Kekebalan seperti
ini juga berlaku dalam hal timbul kasus perdata, yang meli-
98
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
batkan mereka yang menikmati atau memegang kekebalan
tersebut.
Berbagai macam kasus menunjukkan dan membuktikan kekebalan kedaulatan, tidak hanya membebaskan mereka yang menikmatinya dari proses pemeriksaaan oleh aparat
hukum negara setempat, tetapi juga dari tindakan-tindakan
penyitaan dan eksekusi terhadap harta kekayaan yang
dimiliki oleh para pemegang kekebalan kedaulatan tersebut.
Namun demikian kekebalan dalam kasus perdata, tidak selalu
berlaku secara absolut, sebab dalam praktik negara-negara,
sudah dibedakan antara perbuatan negara yang dinamakan
iure imperii dan iure gestionis.
Perbuatan yang dikualifikasi sebagai iure imperii,
mewajibkan pengadilan negara setempat untuk mengakui dan
menghormati kekebalan tersebut, sehingga pihak pengadilan
setempat seharusnya mengesampingkan gugatan perdata oleh
siapapun terhadap pemegang kekebalan kedaulatan tersebut.
Sebaliknya kalau terbukti perbuatan atau tindakan yang
dilakukan oleh suatu negara, dikategorikan sebagai iure
gestionis, maka pengadilan setempat tidak terikat untuk
mengakui dan menghormati kekebalan tersebut. Pengadilan
negara setempat dapat memeriksa dan menyelesaikan kasus
gugatan perdata atau gugatan gantirugi, yang diajukan oleh
siapapun
terhadap
mereka
yang
menikmati
kekebalan
tersebut.
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
99
Terkait dengan kekebalan diplomatik dalam kasus
pidana berat yang melibatkan pejabat diplomatik, maka pada
prinsipnya kekebalan ini bersifat mutlak, sehingga aparat
setempat tidak dapat melakukan tindakan hukum apapun,
terkecuali pemerintah negara pengirim melakukan pembatalan kekebalan terhadap pejabat diplomatik. Kendati negara
pengirim tidak membatalkan kekebalannya, namun pejabat
yang terlibat, dapat dinyatakan persona non grata oleh negara
penerima, yang kemudian diikuti dengan tindaskan pengusiran terhadap diplomat yang bersangkutan.
Dalam kasus perdata, di mana pejabat diplomatik
melakukan tindakan untuk kepentingan pribadinya, dan tidak
terkait dengan pelaksanaan tugasnya sebagai pejabat diplomatik, maka pada prinsipnya yang bersangkutan tetap memiliki kekebalan dari pelaksanaan hukum di negara setempat
atau
negara
penerima,
terkecuali
terjadi
penghapusan
kekebalan dari proses hukum (waiver of immunity). Penghapusan kekebalan seperti ini dapat terjadi, baik sebelum
munculnya perkara maupun sesudahnya, sehingga pengadilan negara setempat dapat melakukan pemeriksaan tanpa
hambatan. Walaupun sudah ada keputusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap, pelaksanaan atau eksekusinya masih memerlukan penghapusan kekebalan dari
eksekusi secara tersendiri (separate waiver).
100
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
BAGIAN VII
PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI
TANGGUNGJAWAB NEGARA
Yurisdiksi negara, dengan berbagai macam variasi
atau bentuknya, bisa diklaim oleh suatu negara sesuai
kepentingannya. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, yurisdiksi ini bersumber baik dari adanya kedaulatan,
maupun hak-hak berdaulat dan hak-hak lain yang ditentukan
dalam hukum internasional, sehingga pengertian yurisdiksi
negara, jauh lebih luas daripada pengertian kedaulatan itu
sendiri, walaupun dari aspek tertentu yurisdiksi negara,
dalam hal ini Yurisdiksi Teritorial (Territorial Jurusdiction),
adalah merupakan konsekuensi logis dari azas kedaulatan
negara.
Namun demikian, di balik yurisdiksi negara, terdapat
pula
azas
Tanggungjawab
Negara
(State
Responsibility),
bahkan dapat dikatakan penerapan atau pelaksanaan dari
yurisdiksi negara, tidak jarang dan bahkan sering menimbulkan
pertanggungjawaban
negara
(state
responsibility).
J.G.Starke dalam bukunya “Introduction to International Law”,
demikian juga Malcolm N. Shaw dalam bukunya “International
Law” menguraikan secara saksama pengertian tanggungjawab
negara yang pada prinsipnya dapat dikemukakan sebagai
berikut.
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
101
Tanggungjawab Negara (State Responsibility) adalah
suatu azas hukum internasional yang bersifat fundamental,
yang timbul dari hakekat sistem hukum internasional dan
doktrin kedaulatan negara (State Souvereignty), serta Persamaan Negara-Negara (Equality of States). Pertanggungjawaban
negara menunjukkan pengertian bahwa, bilamana suatu
negara melakukan suatu perbuatan yang salah secara
internasional (internationally wrongful act or internationally
unlawful act) terhadap negara lain, maka di antara kedua
negara tersebut tidak dapat dihindari adanya tanggungjawab
internasional.
Jika suatu negara dengan perbuatan atau kelalaiannya, melakukan pelanggaran atas kewajiban internasional,
atau kewajiban yang ditentukan dalam hukum internasional,
maka negara tersebut harus memikul dan dibebani dengan
tanggungjawab internasional. Jika pelanggaran itu membawa
kerugian terhadap negara lain, maka negara yang melakukan
pelanggaran itu, harus bertanggungjawab untuk membayar
gantirugi atas kerugian yang timbul, ataupun meminta maaf
kepada negara yang dirugikan. Sebaliknya negara yang
menderita
kerugian
akibat
pelanggaran
atas
kewajiban
internasional itu, mempunyai hak untuk menuntut pertanggungjawaban, maupun gantirugi dari negara yang melakukan
pelanggaran tersebut.
Menurut Malcolm N. Shaw, tanggungjawab negara
memiliki ciri-ciri atau unsur-unsur pokok sebagai berikut.
102
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
Pertama-tama, di antara dua negara harus terdapat suatu
kewajiban yang ditentukan di dalam hukum internasional.
Kedua, harus ada suatu tindakan atau kelalaian dari suatu
negara, yang merupakan dan dapat dikualifikasi sebagai
pelanggaran kewajiban internasional, serta pelanggaran yang
terjadi ini, dapat dihubungkan dengan negara yang bersangkutan. Ketiga, tindakan atau kelalaian yang dikualifikasi
sebagai pelanggaran kewajiban internasional itu, menimbulkan kerusakan atau kerugian terhadap negara lainnya.
Konsep
mengenai
tanggungjawab
negara
akibat
pelanggaran kewajiban internasional, serta kewajiban negara
yang bersangkutan untuk membayar gantirugi atas kerugian
yang diderita oleh negara lain, dapat ditemukan melalui yurisprudensi internasional, maupun rancangan kodifikasi Den
Haag mengenai tanggungjawab negara, sebagaimana pernah
dirumuskan oleh sebuah komisi yang dibentuk pada zaman
Liga Bangsa-Bangsa (The International Law Commission’s
Draft Articles on State Responsibility).
Mahkamah Internasional Permanen (Permanent Court
of International Justice atau disingkat PCIJ) dalam kasus the
Chorzow Factory (the Chorzow Factory Case) menyatakan
bahwa “adalah prinsip hukum internasional, dan bahkan
sudah menjadi azas hukum umum, bahwa setiap pelanggaran
atas suatu perjanjian menimbulkan kewajiban untuk mengadakan perbaikan, dalam pengertian kewajiban untuk membayar gantirugi”.
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
103
Dengan demikian apabila suatu negara melakukan
pelanggaran terhadap kewajiban yang ditentukan dalam
suatu perjanjian internasional dan pelanggaran ini membawa
kerugian terhadap negara lain, maka negara yang bersangkutan harus bertanggungjawab dan membayar gantirugi atas
kerugian yang diderita oleh negara lain.
Artikel (Pasal) 1 dari The Draft Articles on State Responsibility (ILC Draft), menegaskan kembali apa yang dinyatakan oleh Mahkamah Internasional Permanen dalam kasus
tersebut di atas, dengan menyebutkan bahwa setiap perbuatan yang salah secara internasional yang dilakukan oleh
suatu negara, menghendaki dan menuntut adanya pertanggungjawaban. Selanjutnya di dalam artikel 2 dari ILC Draft
(Draft Articles) dinyatakan bahwa, dalam hal suatu negara
telah melakukan perbuatan yang salah secara internasional,
maka secara internasional negara tersebut harus bertanggungjawab.
Artikel 3 dari The Draft Articles menyatakan bahwa,
suatu perbuatan yang dilakukan oleh suatu negara, dinamakan perbuatan yang salah secara internasional (internationally
wrongful act), apabila perbuatan tadi memenuhi dua unsur
atau dua syarat yaitu: Pertama, perbuatan yang dilakukan
entah berupa tindakan (action), ataukah kelalaian (omission),
dapat dikaitkan dengan negara yang bersangkutan berdasarkan hukum internasional. Kedua, perbuatan tersebut merupakan suatu pelanggaran terhadap kewajiban internasional.
104
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
Dalam hubungannya dengan “internationally wrongful
act”, maka perlu dibedakan antara “international crimes”
dengan “international delicts”. Artikel 19 dari The Draft Articles
menyatakan bahwa, semua pelanggaran atas kewajiban internasional, adalah perbuatan yang salah secara internasional
(internationally wrongful act). Suatu perbuatan yang salah
secara internasional (internationally wrongful act), yang terjadi
karena adanya pelanggaran kewajiban internasional, padahal
kewajiban internasional ini adalah demikian esensialnya
untuk melindungi kepentingan fundamental dari masyarakat
internasional, maka masyarakat internasional secara keseluruhan, dapat menganggap pelanggaran tersebut sebagai suatu
kejahatan internasional (international crime).
Dengan kata lain “internationally wrongful act” dapat
dikualifikasi sebagai “international crime”, apabila suatu
negara melakukan pelanggaran atas suatu kewajiban internasional, yang sedemikian esensial dalam melindungi kepentingan
mendasar
dari
seluruh
masyarakat
internasional.
Sedangkan “internationally wrongful act” lainnya yang tidak
termasuk di dalam “international crime” dinamakan delik
internasional (international delict).
Sebagai contoh yang dapat dikemukakan mengenai
“internationally wrongful act” yang dapat dikualifikasi sebagai
“international crime” adalah tindakan agresi, menciptakan dan
memelihara wilayah kolonial dengan cara kekerasan, kejahatan genosida, pencemaran berat di atmosfer ataupun di laut.
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
105
Permasalahan mengenai apakah suatu negara dapat
dipertanggungjawabkan
dari
sudut
hukum
pidana
atau
hukum kriminal adalah sesuatu yang sangat kontroversial.
Ditinjau dari sudut hukum internasional tradisional, yang
melihat hukum internasional hanya sebagai hukum antarnegara semata-mata, permasalahan ini pernah dibahas oleh
seorang ahli hukum yaitu Ian Brownlie.
Menurutnya konsep pemikiran mengenai tanggungjawab negara dari segi kriminal tidak memiliki nilai yuridis,
dan pada dasarnya tidak dapat dibenarkan atau dipertanggungjawabkan. Kendati konsep tersebut dapat digunakan
dalam bidang politik dan moral, namun penggunaan dan
penerapan konsep tersebut dalam bidang hukum sia-sia saja,
sebab tanggungjawab negara pada dasarnya hanya dibatasi
pada
tanggungjawab
dan
kewajiban
untuk
membayar
gantirugi.
Walaupun
ada
kemungkinan
untuk
menentukan
semacam sanksi pidana terhadap suatu negara, yang dianggap melakukan pelanggaran internasional, namun hal ini
dapat menciptakan semacam ketidakstabilan (instability) dalam hubungan antarnegara (Ian Brownlie, 1979:111). Akan
tetapi, ada juga beberapa ahli yang mempunyai pendapat lain
dengan menyatakan bahwa, terutama sejak tahun 1945 telah
terjadi perubahan sikap dari negara-negara atas kejahatankejahatan tertentu, dan perubahan sikap ini adalah sedemikian rupa, sehingga berbagai jenis kejahatan yang terjadi
106
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
selama Perang Dunia II, telah menciptakan permasalahan dari
segi hukum internasional.
Perubahan sikap negara-negara, atas berbagai jenis
kejahatan itu sejalan dengan terjadinya perubahan-perubahan terutama sejak tahun 1945, di mana perubahan-perubahan ini adalah sebagai berikut: Pertama, perkembangan
konsep jus cogens yang merupakan prinsip-prinsip atau
kaidah-kaidah
dasar
hukum
internasional
umum
(the
peremptory norm of the general international law), yang harus
dipatuhi oleh negara-negara, sehingga tidak boleh dilakukan
penyimpangan dari kaidah-kaidah dasar tersebut.
Kedua, timbulnya pembebanan tanggungjawab pidana, yang secara langsung dibebankan atas individu-individu.
Berdasarkan hukum internasional, individu-individu yang
terlibat dalam kejahatan-kejahatan tertentu, seperti kejahatan
perang, kejahatan terhadap perdamaian dunia, dan kejahatan
kemanusiaan dibebani secara langsung dengan tanggungjawab kriminal atau tanggungjawab pidana.
Perjanjian London (The London Agreement) tahun
1942, mengenai pembentukan pengadilan internasional di
Nuremberg (The Nuremberg Tribunal) dan di Tokyo (The Tokyo
Tribunal), maupun perjanjian yang disebut Konvensi Genosida
“The Genocide Convention” tahun 1948, menjadi bukti terkait
adanya pembebanan secara langsung tanggungjawab pidana,
atas diri individu yang tersangkut dalam kejahatan-kejahatan
tersebut, sehingga siapapun yang terbukti terlibat (pejabat
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
107
negara, pejabat militer, dan lain sebagainya) tidak dapat
berlindung di belakang tanggungjawab dari negaranya sendiri.
Ketiga, terbentuknya Piagam PBB (United Nations
Charte), di mana negara yang terbukti melakukan tindakantindakan yang mengancam dan membahayakan perdamaian
dunia, ataupun melakukan tindakan agresi, dapat dikenai
dan dijatuhi sanksi oleh Dewan Keamanan PBB (United
Nations Security Council). Berdasarkan Piagam PBB, Dewan
Keamanan dapat melakukan tindakan Penegakan Hukum
(Law Enforcement), dengan menjatuhkan sanksi hukum
terhadap negara yang terbukti melakukan tindakan, yang
mengancam dan membahayakan misi atau tujuan organisasi,
ataupun terbukti menciptakan situasi yang dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional.
Timbulnya persoalan tanggungjawab negara, tentu
saja didasarkan atas adanya suatu pelanggaran internasional,
atau pelanggaran kewajiban internasional. Pelanggaran ini,
bukan hanya pelanggaran atas kewajiban yang ditentukan di
dalam suatu perjanjian internasional, sebagaimana digambarkan dalam perkara antara Jerman dan Polandia (The Chorzow
Factory Case), melainkan juga pelanggaran atas kewajiban
internasional lainnya, termasuk kewajiban yang didasarkan
atas kaidah-kaidah hukum internasional yang bersifat umum,
sebagaimana ternyata dapat dilihat melalui kasus atau
perkara antara Inggeris dan Albania (The Corfu Channel Case).
108
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
Selat Corfu adalah suatu selat internasional, atau laut
wilayah yang sebenarnya dimiliki oleh beberapa negara
termasuk Albania, tetapi selat ini juga mempunyai fungsi
sebagai selat internasional. Di Selat Corfu, bertaburan ranjauranjau yang menurut dugaan Inggeris, pemasangan ranjau
tersebut dilakukan oleh Pemerintah Albania tanpa pemberitahuan. Akibat adanya pemasangan ranjau di perairan selat
itu, maka kapal perang Inggeris ada yang rusak dan tenggelam, serta beberapa awaknya tewas atau hilang.
Peristiwa ini kemudian dilaporkan dan diadukan oleh
Inggeris kepada Dewan Keamanan PBB, tetapi Dewan Keamanan PBB menyarankan agar kedua belah pihak menyerahkan
persengketaan itu kepada Mahkamah Internasional. Mahkamah dalam pertimbangannya antara lain mengatakan bahwa,
negara pantai berkewajiban untuk menjaga keamanan jalur
laut teritorialnya, dan apabila hal ini tidak dilaksanakan,
dapat dianggap sebagai pelanggaran internasional, dan pada
akhirnya dapat menimbulkan pertanggungjawaban. Demikian
dalam perkara ini pihak Albania dinyatakan bersalah, yaitu
tidak melaksanakan kewajibannya sebagai negara pantai,
dalam menjamin keamanan berlayar di Selat Corfu serta
harus membayar gantirugi kepada Inggeris.
Walaupun pada umumnya, tanggungjawab negara
didasarkan atas adanya kesalahan dari negara yang bersangkutan (wrongful act atau unlawful act), namun dalam keadaan
tertentu, suatu negara dapat saja memikul pertanggung-
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
109
jawaban, karena kendati tindakan yang dilakukannya adalah
sah, namun menimbulkan kerugian terhadap negara lain.
Adanya tanggungjawab seperti ini, adakalanya didasarkan
atas apa yang disebut azas yang melarang dilakukannya
penyalahgunaan hak (abuse of rights).
Masalah doktrin “abuse of rights” untuk pertama
kalinya muncul di dalam pertemuan dari “The Advisory
Committee of Jurists” yang ditugaskan untuk membuat rancangan Statuta Mahkamah Internasional. Ketika mereka membahas ketentuan Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional
soal sumber-sumber hukum internasional, salah seorang anggota Komite tersebut asal Italia, menyebut azas larangan
penyalahgunaan hak, sebagai salah satu di antara azas-azas
hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab,
sehingga dapat dipakai oleh Mahkamah dalam memeriksa dan
memutuskan setiap sengketa yang diajukan.
Kemudian para ahli merekomendasikan, agar prinsip
larangan penyalahgunaan hak (abuse of rights), diterapkan
secara progressif sebagai salah satu azas hukum umum yang
dinyatakan dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional.
Prinsip tersebut tentu saja penting, dikaitkan dengan perkembangan hukum internasional, terutama dalam hubungan
dengan prinsip-prinsip hukum yang mengatur soal tanggungjawab negara.
Mengenai tanggungjawab negara atas pelanggaran
kewajiban internasional, atau perbuatan yang salah secara
110
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
internasional (internationally wrongful act atau internationally
unlawful
act),
baik
perbuatan
yang
dilakukan
dengan
kesengajaan atau kelalaian, maka persoalannya adalah,
apakah tanggungjawab negara bersifat mutlak atau terlebih
dahulu harus dibuktikan adanya kesalahan dari pejabat
negara yang melakukannya. Dengan rumusan lain, dalam hal
timbul pelanggaran internasional, apakah negara yang bersangkutan mempunyai tanggungjawab mutlak, ataukah tanggungjawabnya harus didasarkan atas pembuktian terlebih
dahulu, mengenai adanya kesalahan dari negara yang bersangkutan?
Pertanyaan ini dapat dijawab, dengan mempergunakan dua macam pendekatan atau dua macam prinsip, yakni
prinsip Tanggungjawab Obyektif (the Objective Responsibility)
atau Teori Resiko (the Risk Theory atau the Risk Liability
Principle), serta prinsip Tanggungjawab Subyektif (the Subjective Responsibility) atau Teori Kesalahan (the Fault Theory atau
the Fault Liability Principle).
Berdasarkan prinsip tanggungjawab obyektif, maka
tanggungjawab negara adalah sesuatu yang bersifat mutlak
(strict). Hal ini berarti bahwa, apabila terjadi perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh pejabat negara, serta
menimbulkan kerugian terhadap negara lain, maka menurut
hukum internasional, negara itu harus bertanggungjawab
kepada negara yang mengalami kerugian, tanpa memperha-
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
111
tikan
apakah
itikadnya
baik
atau
buruk,
atau
tanpa
memperhatikan apakah negara tersebut bersalah atau tidak.
Sedangkan berdasarkan prinsip tanggungjawab subyektif, maka negara yang bersangkutan, hanya bertanggungjawab atas kerugian yang timbul, apabila dapat dibuktikan
terlebih dahulu adanya kesalahan dari negara yang bersangkutan. Secara lebih tegas kita dapat mengatakan bahwa, berdasarkan prinsip tanggungjawab obyektif, atau disebut juga
Prinsip Tanggungjawab Mutlak (Strict Liability Principle), maka
negara yang melakukan pelanggaran, dan menimbulkan
kerugian terhadap negara lain, harus bertanggungjawab secara mutlak atas kerugian tersebut.
Negara yang menderita kerugian, tidak perlu membuktikan adanya kesalahan dari negara yang telah melakukan
pelanggaran. Selanjutnya berdasarkan prinsip tanggungjawab
subyektif, atau prinsip tanggungjawab atas dasar kesalahan
(fault liability atau liability based on fault), maka negara yang
menderita kerugian, berkewajiban untuk membuktikan adanya kesalahan, dari negara yang telah melakukan pelanggaran yang mengakibatkan timbulnya kerugian.
Dengan demikian, prinsip tanggungjawab mutlak,
membebaskan negara yang menderita kerugian dari kewajiban untuk membuktikan, apakah negara yang menimbulkan
kerugian itu bersalah atau tidak bersalah, sebab berdasarkan
prinsip tanggungjawab mutlak, begitu terjadi kerugian akibat
pelanggaran internasional, mewajibkan negara yang melaku-
112
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
kan pelanggaran serta menimbulkan kerugian itu, untuk
bertanggungjawab serta membayar gantirugi kepada negara
yang menderita kerugian. Selanjutnya prinsip tanggungjawab
yang didasarkan atas kesalahan, membebankan kewajiban
bagi negara yang menderita kerugian, untuk membuktikan
adanya kesalahan dari negara yang melakukan pelanggaran,
serta menimbulkan kerugian (Mieke Komar Kantaatmadja,
1980:45).
Prinsip tanggungjawab mana yang dianut oleh negaranegara pada umumnya, apakah prinsip tanggungjawab yang
dinamakan strict liability ataukah liability based on fault ?.
Walaupun ada kecenderungan untuk menganut pendekatan
strict liability, namun berbagai kasus yang pernah terjadi,
menunjukkan tidak satupun prinsip pertanggung jawaban
yang dikemukakan di atas dapat berlaku secara mutlak dan
terus menerus. Misalnya dalam kasus yang disebut “the Caire
Claim” antara Perancis dan Meksiko, di mana seorang warganegara Perancis, ditembak oleh tentara-tentara Meksiko, karena dia menolak memberikan sejumlah uang (lima ribu dollar
Meksiko) kepada tentara-tentara Meksiko.
Kedua negara bersepakat, membentuk sebuah komisi
untuk memeriksa dan memutuskan kasus tersebut (the
French Mexican Claims Commission). Ketua Komisi berpendapat bahwa, Meksiko harus bertanggungjawab atas kerugian
yang dialami pihak Perancis, sesuai dengan prinsip tanggungjawab mutlak (strict liability). Meksiko harus bertanggung-
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
113
jawab, atas tindakan yang dilakukan oleh para pejabat atau
organ negara, dimana tindakan ini, dapat beralih menjadi
tindakan dari negara Meksiko, yang harus bertanggungjawab
kendatipun mereka tidak bersalah.
Kasus terkenal yang menerapkan pendekatan atau
prinsip tanggungjawab subyektif (fault liability atau liability
based on fault), adalah kasus yang dinamakan “the Home
Missionary Society Claim”, yang melibatkan Inggeris dan
Perancis pada tahun 1920. Dalam kasus ini, penerapan pajak
pemondokan (hut-tax) di dalam wilayah protektorat Inggeris di
Sierra Leone, mengakibatkan meletusnya pemberontakan di
wilayah itu. Peristiwa itu, menimbulkan kerugian atas harta
benda milik komunitas misionaris, serta tewasnya para
misionaris di Sierra Leone.
AS
menuntut
yang
mewakili
kepentingan
pertanggungjawaban
pemberontakan
di
wilayah
para
misionaris,
atas
timbulnya
Inggeris
tersebut.
Namun
demikian
Mahkamah Internasional menolak tuntutan AS, yang mewakili komunitas misionaris dengan menyatakan bahwa, menurut hukum internasional, Pemerintah tidak dapat dituntut
pertanggungjawabannya atas tindakan yang dilakukan oleh
para pemberontak (the acts of rebels), karena pemerintah
tidak bersalah, baik dari segi itikad baik, maupun dari segi
kelalaian dalam menumpas pemberontakan.
Pemerintah
Inggeris,
tidak
dapat
dipertanggung-
jawabkan atas timbulnya kerugian akibat pemberontakan,
114
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
karena terjadinya pemberontakan di wilayah protektoratnya,
bukan
merupakan
suatu
kesengajaan,
dan
Pemerintah
Inggeris tidak lalai dalam menumpas pemberontakan tersebut.
Dalam kasus “the Corfu Channel Case”, Mahkamah
Internasional
agaknya
tanggungjawab
yang
cenderung
didasarkan
menggunakan
atas
prinsip
kesalahan
(fault
liability). Hal ini dapat dilihat dari pertimbangan Mahkamah
Internasional yang antara lain menyatakan bahwa, walaupun
negara pantai berkewajiban untuk menjalankan pengawasan
atas wilayah dan perairannya, namun menurut Mahkamah
Internasional tidak dapat disimpulkan bahwa, negara pantai
yang bersangkutan, harus mengetahui setiap perbuatan yang
bertentangan dengan hukum yang terjadi di wilayah itu.
Demikian
juga,
tidak
dapat
disimpulkan
bahwa
negara tersebut harus mengetahui pelaku atas perbuatan
tersebut. Kenyataan bahwa, negara pantai menjalankan
pengawasan, atas wilayah dan perairannya tidak pertamatama berarti bahwa, negara tersebut bertanggungjawab, tetapi
juga tidak mengubah beban pembuktian. Hal ini berarti
bahwa negara pantai hanya bertanggungjawab apabila negara
korban dapat membuktikan kesalahan dari negara pantai
yang bersangkutan.
Kasus terkenal yang mengadopsi prinsip tanggungjawab yang didasarkan atas kesalahan (fault liability principle),
adalah “the Home Missionary Society Claim”. Perkara yang
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
115
terjadi pada tahun 1920 melibatkan Inggeris dan AS. Perkara
ini terjadi ketika Inggeris menerapkan aturan mengenai pajak
pemondokan (hut-tax), di wilayah protektorat Inggeris (Sierra
Leone), sehingga mengakibatkan terjadinya pemberontakan di
wilayah tersebut. Pemberontakan ini membawa kerugian
terhadap harta benda milik komunitas misionaris, serta
terutama tewasnya para misionaris yang sedang menjalankan
tugas di negeri Sierra Leone.
Komunitas misionaris diwakili oleh Pemerintah AS.
Atas nama keluarga korban, AS menuntut tanggungjawab dari
Pemerintah Inggeris atas kelalaiannya, dalam memberi perlindungan bagi warganegara asing, yang menimbulkan kerugian
harta benda maupun korban jiwa ketika terjadi pemberontakan. Atas pelanggaran serta kerugian ini, Pemerintah AS
juga menuntut gantirugi. Namun Mahkamah Internasional
(PCIJ) menolak tuntutan tersebut, dengan menyatakan bahwa
menurut hukum internasional, pemerintah tidak dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan para pemberontak (the acts
of rebels).
Pemerintah (dalam hal ini Pemerintah Inggeris) tidak
bersalah baik dari segi itikad baik, maupun dari segi kelalaian
dalam menumpas pemberontakan. Pemerintah Inggeris tidak
lalai dalam melindungi kaum misionaris khususnya ketika
terjadi pemberontakan di wilayah protektoratnya.
116
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
BAGIAN VIII
DOKTRIN IMPUTABILITAS
Sebagai suatu kesatuan atau lembaga yang sifatnya
abstrak, maka bagaimanapun negara tidak dapat dan tidak
mungkin bertindak sendiri, tetapi tindakannya harus melalui
wakil, badan, organ atau pejabatnya. Perbuatan yang dilakukan oleh organ atau pejabat negara, dapat saja dikaitkan
dengan negara, sehingga negara yang bersangkutan bertanggungjawab atas perbuatan tersebut. Inilah yang disebut
Doktrin Imputabilitas (the Doctrine of Imputability), yaitu
doktrin yang menyatakan bahwa perbuatan (baik berupa
tindakan atau action ataupun kelalaian atau omission) dari
organ negara, atau pejabat negara dipersamakan dengan
perbuatan dari negara itu sendiri, dan dengan demikian,
negara tersebut harus bertanggungjawab atas kerugian yang
timbul akibat perbuatan tersebut.
Menurut Starke, agar supaya negara bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh organ negara atau
pejabatnya, maka dua syarat harus dipenuhi. Pertama,
Perbuatan dari organ atau pejabat negara menimbulkan apa
yang dinamakan pelanggaran internasional, atau pelanggaran
kewajiban internasional. Kedua, pelanggaran tersebut, dapat
dihubungkan dengan negara yang bersangkutan berdasarkan
kaidah hukum internasional.
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
117
Artikel 5 dari ILC Draft (ILC Draft on State Responsibility) menegaskan bahwa, perbuatan dari setiap organ negara, yang memiliki status sebagai organ negara berdasarkan
hukum nasional, harus dianggap sebagai perbuatan dari
negara (Act of State) menurut hukum internasional, asal saja
organ negara itu melakukan perbuatan sesuai dengan kappasitas atau kewenangannya dalam masalah tersebut.
Kemudian artikel 7 dari ILC Draft menyatakan bahwa,
perbuatan organ negara dari kesatuan pemerintahan teritorial
di dalam suatu negara, harus juga dipersamakan dengan perbuatan negara (Act of State) berdasarkan hukum internasional, apabila organ dari pemerintahan teritorial itu, bertindak sesuai dengan kewenangannya, dalam masalah yang
bersangkutan.
Komisi Hukum Internasional dalam laporannya tahun
1974 menyatakan azas bahwa, negara bertanggungjawab atas
tindakan dan kelalaian dari organ-organ pemerintah teritorial,
seperti kota (municipalities), propinsi (provinces) dan wilayah
(regions) sudah lama diakui secara tegas dalam putusanputusan pengadilan internasional, maupun praktik negaranegara. Bagaimana dengan Negara Federal atau negara yang
terdiri dari negara-negara bagian, demikian pula dengan
negara yang memiliki wilayah protektorat?
Negara bagian atau negara anggota dalam suatu negara federal, sering juga melakukan perbuatan yang menyebabkan kerugian terhadap negara lain, sehingga menimbulkan
118
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
pertanyaan siapa yang bertanggungjawab, apakah negara
federal ataukah negara bagiannya, negara yang memiliki
daerah protektorat (protecting state) ataukah negara anggotanya.
Prinsip yang diterima adalah bahwa, the Federal State
serta the Protecting State harus bertanggungjawab atas
perbuatan yang masing-masing dilakukan oleh negara bagian,
atau negara anggota dari the Federal State maupun oleh
negara anggota (member state atau protected state) dari the
Protecting State. Hal ini disebabkan, karena menyangkut
urusan-urusan luar negeri (foreign affairs), baik the Federal
State maupun the Protecting State itu sendiri, yang diakui
mempunyai kapasitas atau kemampuan untuk mengadakan
hubungan dengan negara-negara lain.
Tindakan yang dilakukan oleh organ atau pejabat dari
negara bagian dalam negara federal, ataupun yang dilakukan
oleh organ atau pejabat dari negara federal itu sendiri,
dipersamakan dengan tindakan dari negara federal itu sendiri,
demikian pula yang menyangkut tindakan dari organ atau
pejabat dari negara anggota, dari the Protecting State serta
tindakan dari organ atau pejabat dari the Protecting State itu
dipersamakan dengan tindakan dari the Protecting State.
Dengan demikian, negara bertanggungjawab atas
tindakan yang dilakukan oleh organ atau pejabat negara,
maupun organ atau pejabat dari pemerintah territorial, tetapi
sejauhmana negara tersebut harus memikul tanggungjawab
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
119
seperti itu, ditentukan oleh dua hal. Pertama, apakah organ
atau pejabat dari negara ataupun dari pemerintah territorial,
yang melakukan perbuatan yang dikualifikasi sebagai pelanggaran internasional, sungguh-sungguh memiliki kewenangan
sebagaimana diatur dalam hukum nasionalnya.
Kedua, jika ternyata organ atau pejabat negara yang
bersangkutan mempunyai kewenangan, maka pelanggaran
yang dilakukannya, jelas dapat dikaitkan dengan negara itu,
sehingga negara yang bersangkutan harus bertanggungjawab
secara internasional. Bagaimana dengan organ atau pejabat
negara yang melakukan tindakan yang sudah melampaui
kewenangannya berdasarkan hukum nasional?
Meskipun tindakan dari organ atau pejabat negara
telah melampaui kewenangannya di dalam hukum nasional,
namun
hukum
internasional
menghubungkan
(attribute)
tindakan atau pelanggaran itu dengan negara yang bersangkutan. Demikian
dalam kasus Youmans (Youmans Case),
seorang perwira dengan pangkat letnan dalam Angkatan
Bersenjata Meksiko, yang mendapat perintah dari atasannya
di sebuah kota untuk mengerahkan pasukannya, dalam
usaha mengatasi huru-hara serta menghentikan serangan
atas warganegara Amerika.
Ketika tiba di lokasi huru-hara, pasukannya seharusnya membubarkan massa, tetapi ternyata menembaki rumah
tempat pelarian orang Amerika sehingga salah seorang di
antaranya tewas. Dua orang Amerika lainnya dipaksa untuk
120
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
meninggalkan rumah tersebut, dan kemudian mereka dibunuh oleh pasukan Pemerintah dan massa. Penembakan
tersebut menunjukkan bahwa, pasukan itu tidak mematuhi
perintah atasannya.
Atas persetujuan AS dan Meksiko, lalu dibentuk
sebuah komisi guna menyelidiki kasus penembakan serta
siapa yang bertanggung jawab. Komisi tersebut memutuskan
bahwa, Pemerintah Meksiko bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan oleh pasukan Meksiko yang dipimpin oleh
Youmans, meskipun tindakan mereka sudah melampaui
wewenang yang telah ditentukan.
Prinsip-prinsip hukum mengenai dikaitkannya tindakan dari organ atau pejabat negara, dengan negara itu sendiri
sehingga negara harus bertanggungjawab, karena tindakan
mereka dipersamakan dengan tindakan negara (Act of State),
ditegaskan kembali dalam artikel 10 dari The Draft Articles
yang menyatakan bahwa, tindakan dari organ negara, kesatuan pemerintah teritorial atau kesatuan yang diberi wewenang untuk menjalankan unsur-unsur kekuasaan pemerintah, dimana organ tersebut bertindak sesuai dengan kapasitas
atau
kewenangannya, harus dianggap
sebagai tindakan
negara (Act of State) berdasarkan hukum internasional, meskipun dalam hal-hal tertentu, organ tersebut bertindak melampaui kewenangannya menurut hukum nasional, atau melanggar instruksi-instruksi menyangkut tugas dan kegiatannya.
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
121
Hal ini ditegaskan kembali melalui laporan yang
dibuat Komisi Hukum Internasional (the International Law
Commission) pada tahun 1974 sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Tindakan seseorang atau sekelompok orang,
yang tidak bertindak atas nama negara, tidak boleh dianggap
sebagai “Act of State”. Apabila suatu perbuatan melawan
hukum dilakukan oleh warganegara biasa, dan bukan oleh
organ atau pejabat negara, maka tidak ada alasan untuk
mengkaitkan perbuatannya itu dengan negaranya, karena
doktrin imputabilitas didasarkan atas asumsi bahwa, pelanggaran itu dilakukan oleh pejabat negara.
Namun demikian, negara tersebut dapat saja memikul
tanggungjawab, apabila negara itu lalai melakukan pengawasan guna mencegah timbulnya perbuatan orang itu. Dalam
beberapa kasus yang sudah pernah diputuskan, negara dapat
bertanggungjawab didasarkan atas keadaan-keadaan yang
menunjukkan adanya kelalaian atasan (superior officers). Hal
ini dapat dilihat melalui kasus yang disebut “the Zafiro Case”,
sebuah kasus yang pernah terjadi antara Inggeris dan AS
pada tahun 1929.
AS dianggap bertanggungjawab atas peristiwa perampokan atau perampasan, yang dilakukan oleh awak kapal
dagang yang ditugaskan sebagai kapal perbekalan oleh pihak
Angkatan Laut AS. Kapal dagang itu berada di bawah perintah
dari kapten kapal dagang, yang selanjutnya berada di bawah
perintah dari pejabat Angkatan laut AS. Mahkamah menekan-
122
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
kan adanya kegagalan (pihak AS atau Angkatan Laut AS)
untuk menjalankan pengawasan yang sewajarnya dalam
situasi itu, yaitu pengawasan yang seharusnya dijalankan
dalam keadaan tertentu, bukan pengawasan aktual.
Pengadilan memutuskan bahwa, AS bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan awak
kapal tersebut, karena para pejabat Angkatan Laut AS terbukti tidak mengambil tindakan efektif, guna mencegah terjadinya
kerugian akibat peristiwa perampokan yang dilakukan oleh
awak kapal dagang AS terhadap warga Inggeris. Dengan
demikian dari kasus “the Zafiro Case”, terlihat bahwa,
tindakan seseorang dapat dikaitkan dengan negara, atau dipersamakan dengan tindakan negara, apabila pejabat negara
gagal dalam melakukan pengawasan atas tindakan orang itu.
Oleh karena itu, dalam artikel 8 dari the Draft Articles
menegaskan bahwa, tindakan seseorang atau sekelompok
orang, harus dianggap sebagai “Act of State” apabila pertama,
seseorang atau sekelompok orang itu terbukti, atau ternyata
bertindak atas nama negara yang bersangkutan. Kedua,
apabila orang atau kelompok orang itu, dalam kenyataannya
menjalankan unsur-unsur kekuasaan negara, atau unsurunsur kekuasaan pemerintah, sejauh tidak ada pejabat pemerintah yang melaksanakan tugas dan kegiatan seperti itu,
ataupun sejauh terdapat keadaan-keadaan yang dapat membenarkan dijalankannya unsur-unsur kekuasaan tersebut.
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
123
Dalam kasus Iran (kasus pendudukan gedung Kedutaan Besar AS, serta penyanderaan sekian banyak diplomat
AS di Teheran), Mahkamah Internasional mengemukakan
bahwa, pada mulanya serangan kaum militan terhadap
Kedutaan Besar AS, tidak dapat dikaitkan dengan negara
Iran, karena kaum militan itu bukanlah agen atau organ
negara tersebut.
Akan tetapi kemudian, dengan adanya restu dari
Ayatollah Khomeini, serta organ-organ lain yang ada di Iran
terhadap serangan kaum militan, dan dengan adanya keputusan untuk tetap mempertahankan pendudukan atas Kedutaan Besar AS, maka hal ini menyebabkan tindakan kaum
militan tersebut bukan lagi tindakan dari sekelompok warganegara biasa, melainkan telah berubah menjadi tindakan
negara Iran (Act of State), sehingga Iran atau Pemerintah Iran
harus bertanggungjawab atas pendudukan gedung perwakilan
AS, serta penyanderaan para diplomatnya yang merupakan
pelanggaran terhadap Konvensi Wina Tahun 1961 mengenai
Hubungan Diplomatik, khususnya terhadap prinsip inviolability dan immunity.
124
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
BAGIAN IX
TANGGUNGJAWAB NEGARA DAN INVALIDITY PERJANJIAN
(MOU HELSINKI 2005 RAWAN TERHADAP INVALIDITY)
Pada bagian 9, tulisan ini sepenuhnya merupakan
salah satu tulisan makalah penulis di tahun 2005 pada
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dengan judul MOU
Helsinki 2005 Rawan Terhadap Invalidity. Istilah MOU (Memorandum of Understanding) sebagaimana digunakan dalam
perjanjian damai Helsinki, adalah salah satu di antara
beraneka ragam istilah yang dapat digunakan untuk menyebut suatu perjanjian sebagai perjanjian internasional. Berbeda
dengan istilah-istilah seperti: treaty, convention, covenant,
statute,
pact,
declaration,
exchange
of
notes,
dan
lain
sebagainya, yang pada dasarnya dipakai dalam hubungan
yang bersifat publik, yang kemudian melahirkan perjanjian
internasional atau perjanjian antarnegara, maka istilah MOU
pada awalnya hanya digunakan oleh individu-individu dengan
kewarganegaraan yang sama atau berbeda atau mereka yang
berdomisili entah di dalam satu negara tertentu ataupun lebih
dari satu negara, di mana individu-individu ini, misalnya para
pedagang menjalin hubungan dalam bidang perdagangan atau
bisnis, yang kemudian melahirkan kesepakatan yang dituangkan dalam suatu perjanjian berbentuk MOU.
Namun demikian perkembangan menunjukkan bahwa, istilah MOU tidak hanya diterapkan dalam hubungan
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
125
dagang atau bisnis semata-mata, tetapi juga dalam hubungan
publik, sebab dewasa ini batas-batas antara hubungan
internasional publik dan bukan publik (dagang atau perdata)
semakin kabur, mengingat kompleks dan canggihnya hubungan
internasional
masa
kini,
dan
terlebih
lagi
masa
mendatang (I Wayan Parthiana, 1990:10).
Hubungan
publik
yang
dulu
hanya
melibatkan
negara-negara dan atau organisasi internasional, kini tidak
jarang dilakukan oleh korporasi nasional dan multinasional,
bahkan juga oleh individu seperti terjadi dalam kasus
perundingan antara Pemerintah RI dan GAM yang berlangsung di Helsinki (ibu kota Finlandia) yang di dalamnya berperan sebuah LSM atau NGO (Non Governmental Organization), yakni sebuah yayasan yang namanya Crisis Management Initiative (CMI).
Perundingan yang berlangsung yang jauh di sana di
negeri Finlandia, yang menghasilkan kesepakatan damai,
dalam bentuk MOU sungguh memiliki Daya Tarik (Captivation) untuk dicermati, karena selain berlangsungnya proses
perundingan di negeri yang berdekatan dengan Laut Utara
(The North Sea), dan bukan di negeri tercinta ataupun di
negara-negara yang benar-benar merasa prihatin atas Konflik
Internal Murni (Pure Internal Conflict), yang terjadi di bumi
serambi Mekkah sejak lama, juga karena pertemuan yang
difasilitasi oleh mantan Presiden Finlandia (Marti Ahtisaari),
mulai terselenggara tidak lama setelah terjadinya secara
126
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
mendadak musibah gempa dan tsunami “alamiah” yang
meluluhlantakkan berbagai wilayah pesisir Samudera Hindia
terutama wilayah pesisir Aceh.
Banyak yang bertanya-tanya, apa sesungguhnya yang
terjadi di balik perundingan, dan mengapa perundingan ini
terkesan mendadak, di tengah masih berlakunya status
darurat sipil bagi Nangroe Aceh Daroessalam (NAD), mengapa
harus di benua Eropa, serta berbagai pertanyaan lain yang
secara keseluruhan menunjukkan keprihatinan, kepedulian
dan kecintaan terhadap bangsa dan negara.
Pasal 2 Konvensi Wina tahun 1969 mengenai Hukum
Perjanjian (Vienna Convention on the Law of Treaties) menyatakan treaty atau perjanjian internasional, adalah suatu
persetujuan internasional yang diadakan di antara negaranegara (states), dalam bentuk tertulis (in written form) dan
diatur oleh hukum internasional, baik dalam satu instrumen
atau lebih atau apapun sebutannya. Demikian Konvensi Wina
tahun 1969 hanya mengatur dan berlaku untuk perjanjian
antarnegara dalam bentuk tertulis.
Akan tetapi Konvensi Wina tahun 1969 juga mengemukakan bahwa, walaupun konvensi ini hanya berlaku pada
perjanjian antarnegara dan dalam bentuk tertulis, konvensi
ini tidak mengingkari kekuatan hukum yang ada pada
perjanjian-perjanjian lain, dalam hal ini perjanjian yang
diadakan antara negara dengan organisasi internasional, atau
perjanjian antarorganisasi internasional ataupun perjanjian
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
127
antara negara, dan atau organisasi internasional dengan
subyek hukum internasional lainnya.
Konvensi Wina tahun 1969 juga tidak mengingkari
kekuatan hukum dari perjanjian yang diadakan tidak dalam
bentuk tertulis. Konvensi Wina tahun 1969 juga tidak melarang, tetapi memperkenankan penerapan azas-azas dan
ketentuan pasal-pasal konvensi pada perjanjian yang dibuat
oleh subyek-subyek hukum internasional lain yang bukan
negara (Mieke Komar Kantaatmadja, 1985:77).
Selanjutnya Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
(selanjutnya disebut Undang-Undang Perjanjian Internasional), menyebutkan perjanjian internasional adalah perjanjian
dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum
internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan
hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Dalam Pasal 4
dari Undang-Undang Perjanjian Internasional tersebut ditegaskan bahwa, Pemerintah Republik Indonesia membuat
perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih,
organisasi internasional atau subyek hukum internasional
lain berdasarkan kesepakatan.
Melalui pendekatan
baik dari segi Konvensi Wina
maupun Undang-Undang Perjanjian Internasional, suatu
perjanjian digolongkan ke dalam perjanjian internasional,
apabila perjanjian itu memenuhi unsur-unsur pengertian
perjanjian internasional, seperti: Pertama, perjanjian itu
128
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
diadakan oleh subyek-subyek hukum internasional. Kedua,
perjanjian itu dinyatakan dalam bentuk tertulis. Ketiga,
perjanjian itu tunduk pada hukum internasional. Keempat,
perjanjian itu dituangkan di dalam satu instrumen atau lebih,
apapun istilahnya.
Apabila dipertanyakan, apakah perjanjian Helsinki
dapat diklasifikasi sebagai suatu perjanjian internasional?
Maka jawabannya adalah perjanjian damai ini dapat diklasifikasi sebagai perjanjian internasional, sebab memenuhi
unsur-unsur pengertian perjanjian internasional, sebagaimana diatur di dalam pasal-pasal Konvensi Wina tahun 1969
serta Undang-Undang Perjanjian Internasional. Misalnya saja,
perjanjian itu diadakan oleh subyek-subyek hukum internasional, dalam hal ini antara Pemerintah Republik Indonesia
dengan gerakan Aceh Merdeka.
Berbagai fakta menunjukkan bahwa, GAM sudah
diakui sebagai subyek hukum internasional, walaupun pengakuan terhadapnya tidak bersifat formal ataupun tegas.
Pernyataan Pemerintah AS lewat Menteri Luar Negeri Negeri
(Collin Powell), dan juga Sekretaris Jenderal PBB pada tahun
2003 yang meminta Pemerintah Republik Indonesia kembali
berunding dengan pihak GAM beberapa saat setelah bencana
gempa dan tsunami di tanah rencong (julukan bagi Propinsi
Aceh), dapat dijadikan indikasi bahwa mereka mengakui GAM
sebagai subyek hukum internasional.
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
129
Demikian pula ketika Pemerintah Republik Indonesia
melakukan perundingan dengan pihak GAM, dengan mediatornya sebuah yayasan yang namanya Henry Dunant Centre di
Geneva pada tahun 2002, yang menghasilkan Perjanjian
Penghentian Permusuhan (The Cessation of Hostilities Agreement atau disingkat COHA), dan berbagai perundingan yang
dilakukan sebelumnya, seperti Perjanjian Jeda Kemanusiaan
(Humanitarian Pause Agreement), dan pada akhirnya perundingan yang difasilitasi oleh sebuah Organisasi Non Pemerintah
(Non Governmental Organization) yang disebut Crisis Management Initiative pada awal tahun 2005, beberapa saat setelah
terjadinya bencana kemanusiaan (humanitarian disaster) di
propinsi yang sebenarnya sangat surplus dilihat dari sumber
kekayaan alam yang ada di sana.
Hal-hal tersebut mengindikasikan bahwa, sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa negara, Pemerintah
Republik Indonesia secara langsung ataupun tidak langsung
telah mengakui GAM sebagai subyek hukum internasional,
sehingga perjanjian damai yang ditandatangani oleh Ketua
Delegasi
Republik
Indonesia
dengan
pihak
GAM
dapat
diklasifikasi sebagai perjanjian internasional. Akan tetapi
ketika dipertanyakan sejauh mana perjanjian tersebut, atau
memiliki tingkat validity yang dapat dipertanggungjawabkan
yang apabila tidak mempunyai bobot keabsahan (validity)
yang dapat dipertanggung jawabkan dari segi hukum? Maka
perjanjian Helsinki, yang baru berlaku setelah ditanda-
130
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
tangani, rawan untuk terseret pada pernyataan invalidity
sehingga bukan mustahil Republik Indonesia berpotensi
untuk membatalkan keterikatannya pada perjanjian tersebut
(consent to be bound by a treaty).
Perjanjian Yang Mengandung
Kerawanan Terhadap
Invalidity. Kerawanan suatu perjanjian internasional terhadap
Invalidity terkait erat dengan alasan-alasan yang dapat
digunakan sebagai pedoman dalam menyatakan bahwa,
persetujuan yang diberikan suatu Negara Peserta (Contracting
State), untuk terikat pada perjanjian adalah tidak sah sehingga rawan untuk dibatalkan. Sejauh mana perjanjian damai
Helsinki
memiliki
kerawanan
terhadap
invalidity
atau
pernyataan tidak sah? Jawabannya tergantung pada masalah
apakah ada alasan untuk sampai pada pernyataan seperti itu.
Konvensi Wina tahun 1969 memaparkan, beraneka
ragam alasan yang dapat dipakai sebagai acuan (guiding
principles) untuk menjatuhkan pernyataan invalidity, terhadap persetujuan yang diberikan dalam rangka keterikatannya
pada suatu perjanjian internasional. Alasan-alasan ini tercantum secara jelas dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal 53
Konvensi Wina tahun 1969 (I.M. Sinclair, C.M. G., 1973:89100).
Adanya pelanggaran terhadap ketentuan yang bersifat
fundamental, yang terdapat dalam hukum nasional negara
peserta, menyangkut masalah kompetensi kuasa penuhnya,
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
131
dapat dijadikan alasan untuk menyatakan persetujuan yang
diberikannya, sebagai sesuatu yang tidak sah.
Walaupun pada prinsipnya, negara peserta tidak
dapat menyatakan bahwa, persetujuannya untuk terikat pada
perjanjian adalah tidak sah, karena menyimpang dari ketentuan hukum nasional, menyangkut kompetensi untuk membuat perjanjian, namun apabila penyimpangan atau pelanggaran ini adalah nyata (manifest), serta menyangkut kaidah
hukum nasional yang bersifat fundamental, maka negara
tersebut
dapat
menyatakan
persetujuan
keterikatan
itu
(consent to be bound by a treaty) tidah sah adanya.
Pertanyaan apakah MOU Helsinki mengandung kerawanan untuk dinyatakan invalidity atas alasan adanya
penyimpangan yang nyata dan mendasar? Kiranya hanya
dapat
dijawab
Helsinki.
dengan
Karena
mencermati
substansi
substansinya bersangkut
perjanjian
paut
dengan
masalah politik, perdamaian, pertahanan-keamanan, penetapan batas-batas wilayah, masalah kedaulatan, hak-hak azasi
manusia, pinjaman dan atau hibah dari luar negeri, serta
pembentukan
kaidah-kaidah
hukum
baru,
dan
dengan
demikian memuat materi yang bersifat sensitif, sehingga para
delegasi Republik Indonesia yang diketuai oleh Menteri
Kehakiman pada waktu itu (Hamid Awaluddin), pada prinsipnya tidak memiliki kompetensi atau kewenangan untuk
mengikatkan bangsa dan negeri tercinta ini (Indonesia) pada
perjanjian tersebut.
132
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
Dengan memperhatikan substansi perjanjian yang
diselenggarakan akibat gempa dan tsunami, seperti status
GAM sebagai satu-satunya wakil masyarakat NAD, pembentukan partai lokal, penetapan batas-batas laut teritorial, mata
uang tersendiri, dan kurs yang berbeda dari apa yang
ditetapkan Bank Sentral, pemberian amnesty bagi para anggota GAM yang terlibat dalam kegiatan separatisme, penghancuran senjata GAM yang hanya berjumlah 840 unit, penarikan pasukan TNI dan POLRI yang non organik dari bumi
Serambi Mekkah, Pembentukan badan pemantau yang dinamakan Aceh Monitoring Mission (AMM), dengan pemberian
kekebalan (immunity) kepada para anggotanya, maka sesungguhnya kewenangan untuk memberikan persetujuan keterikatan pada perjanjian tersebut, seharusnya berada di tangan
Pemerintah Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (Harian Kompas, Edisi Selasa, tanggal 16
Agustus 2005).
Berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang telah
dimandemen, setiap perjanjian internasional lain yang dibuat
oleh Pemerintah, yang mempunyai akibat luas dan mendasar
bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara, dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus mendapatkan persetujuan DPR.
Di samping itu, ketentuan Pasal 10 Undang-Undang
Perjanjian Internasional menegaskan, perjanjian internasional
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
133
yang berisi masalah-masalah politik, perdamaian, pertahanan
dan keamanan, perubahan wilayah atau penetapan batas
wilayah, kedaulatan atau hak-hak berdaulat, hak-hak azasi
dan lingkungan hidup, pembentukan kaidah hukum baru,
soal pinjaman dan atau hibah luar negeri, haruslah disahkan,
serta pengesahannya harus dalam bentuk undang-undang,
sehingga bagaimanapun perjanjian dengan substansi seperti
ini harus mendapatkan persetujuan dari DPR terlebih dahulu,
sebelum pengesahannya dilakukan oleh Presiden Republik
Indonesia.
Ironisnya MOU Helsinki yang materinya cukup sensitif
karena menyentuh konstitusi, serta beberapa peraturan
perundang-undangan termasuk Pasal 10 Undang-Undang
Perjanjian Internasional, MOU ini samasekali tidak mensyaratkan adanya pengesahan, yang merupakan perbuatan
hukum untuk mengikatkan diri pada perjanjian, yang antara
lain dapat dilakukan dalam bentuk ratifikasi, sehingga tidak
sedikit kalangan bertanya-tanya, sejauhmana Ketua Delegasi
Republik Indonesia yang juga menjabat Menteri Hukum dan
HAM Republik Indonesia, mempunyai kompetensi untuk
memberikan persetujuannya untuk terikat pada Perjanjian
Helsinki, yang langsung berlaku setelah ditandatangani pada
tanggal 15 Agustus 2005.
Suatu perjanjian juga dapat terseret pada pernyataan
invalidity, jika ternyata ada kekeliruan atau kesalahan yang
dilakukan oleh negara peserta, atau wakilnya ketika memberi-
134
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
kan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian tersebut.
Adanya kekeliruan atau kesalahan mengenai fakta atau
keadaan yang terkait dengan perjanjian (error in a treaty),
rawan untuk terseret pada pernyataan invalidity (Harian
Kompas, Edisi Selasa, tanggal 16 Agustus 2005).
Namun alasan ini tidak berlaku, apabila negara
peserta itu sendiri turut menyebabkan terjadinya kekeliruan
tersebut, atau setidak-tidaknya telah mengetahui sebelumnya.
Ditinjau dari alasan error, Nota Kesepahaman Republik
Indonesia dan GAM (National Liberation Front of Aceh Sumatra)
tidak memiliki kerawanan untuk dinyatakan invalidity, karena
pihak Indonesia sendiri mempunyai andil atas terjadinya
kekeliruan, setidak-tidaknya kekeliruan ini telah diketahui
dimana Pemerintah Republik Indonesia, atau delegasinya
ternyata keliru dalam menempatkan GAM (NLFAS) sebagai
pihak berperang (belligerency) dan bukan sebagai kaum
pemberontak atau separatis (Insurgency).
Padahal
sesungguhnya
GAM
harus
diposisikan
sebagai kelompok pemberontak, yang selama ini gagal dalam
memisahkan wilayah dan masyarakat Aceh dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga masalah ini
seharusnya dianggap sebagai Masalah Dalam Negeri (Domestic
Jurisdiction) yang harus diselesaikan sendiri oleh seluruh
komponen bangsa, tanpa campur tangan asing. Karena kita
sendiri sudah berbuat keliru (error) dengan menempatkan
GAM sebagai pihak berperang, dan dengan demikian sebagai
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
135
pribadi internasional yang mandiri, ditambah lagi dengan
pelibatan pihak asing yang disebut
Crisis Management
Initiative dengan ketuanya mantan Presiden Finlandia, dalam
kapasitasnya sebagai fasilitator perundingan di Helsinki,
maka alasan terjadinya kekeliruan tidak dapat diterapkan,
sehingga persetujuan yang diberikan untuk terikat pada
perjanjian tersebut tidak rawan terhadap invalidity.
Alasan lain yang dapat digunakan untuk menyatakan
persetujuan untuk terikat pada perjanjian, yang merupakan
sesuatu yang tidak sah adalah karena terjadinya tindak
penipuan, atau Tipu Muslihat (Fraud), maupun Tekanan atau
Paksaan (coercion), yang dilakukan oleh satu negara peserta
terhadap negara peserta lain, atau dilakukan satu pihak
terhadap pihak lainnya (Mieke Komar Kantaatmadja, 1985:5253). Apakah perundingan di Heksinki yang menghasilkan Nota
Kesepahaman (MOU) damai antara Republik Indonesia dan
NLFAS tidak merupakan rekayasa, yang mengandung unsurunsur penipuan,
serta paksaan atau tekanan termasuk
tekanan ekonomi, yang dilakukan negara-negara besar yang
sejak lama memiliki kepentingan besar terhadap GAM atau
NLFAS?
Perundingan yang secara formal diprakarsai mantan
Presiden
Finlandia
(Marti
Ahtisaari),
menurut
berbagai
kalangan mempunyai keterkaitan dengan komitmen dari
negara-negara tertentu, serta lembaga-lembaga internasional
untuk memberikan bantuan kepada Pemerintah Republik
136
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
Indonesia, dalam rangka melaksanakan kegiatan rekonstruksi
dan rehabilitasi Aceh pasca tsunami. Mereka baru bersedia
untuk mencairkan bantuan yang dijanjikan, baik berupa
hibah maupun pinjaman bagi pemerintah, dengan syarat
pemerintah harus melakukan perundingan dengan pihak
GAM, dalam rangka mencapai penyelesaian damai, komprehensif dan bermartabat bagi kedua belah pihak.
Sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat internasional, bahwa bencana kemanusiaan yang menghancurkan
berbagai kawasan pesisir Samudera Hindia, dengan merenggut ratusan ribu bahkan jutaan korban jiwa, adalah hasil
rekayasa dari salah satu negara besar yang berhasil memasang bom nuklir dalam ukuran besar di lepas Pantai Barat
Tanah Rencong (Aceh), dan meledakkannya sehingga menimbulkan gempa (earthquake) yang berkekuatan 8,9 pada Skala
Richter.
Kemudian disusul dengan badai tsunami akibat terjadinya keretakan yang panjangnya ribuan kilometer, mulai dari
Pantai Barat Aceh hingga Pantai Selatan Thailand, serta
lebarnya mencapai 150 kilometer dan menyebabkan kawasan
pesisir menjadi kering untuk beberapa saat, namun kemudian
gelombang air laut dengan ketinggian belasan meter, serta
kecepatan yang melebihi kecepatan pesawat udara, menerjang
apa saja yang terdapat di wilayah pesisir. Hampir semua
infrastruktur menjadi binasa, serta kurang lebih 300.000 (tiga
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
137
ratus ribu) penduduk Aceh yang tewas, maupun hilang akibat
gempa rekayasa dan tsunaminya.
Untuk membangun kembali infrastruktur dari puingpuing kehancuran, dan merehabilitasi kembali kehidupan
masyarakat Aceh, diperlukan anggaran yang luar biasa
jumlahnya, yang tidak mungkin dapat dipenuhi melalui
APBN, sehingga kita terpaksa tergantung pada pihak asing.
Bencana kemanusiaan yang pada mulanya dianggap sebagai
bencana alam yang bersifat alamiah, tetapi rahasia dunia itu
adalah suatu kesengajaan, yang
mengindikasikan adanya
unsur-unsur Penipuan (Fraud) untuk berunding dengan pihak
GAM.
Selain itu, ditambah lagi dengan kenyataan, bahwa
Indonesia terpaksa harus melakukannya akibat Indonesia,
tidak
punya
dana
untuk
melakukan
rekonstruksi
dan
rehabilitasi Aceh, dan terkesan adanya unsur-unsur Pemaksaan atau Penekanan (Coercion), termasuk dalam bidang
ekonomi, kiranya dapat juga dipakai sebagai dasar-dasar
untuk menyatakan Perjanjian Helsinki, maupun persetujuan
terutama persetujuan untuk terikat pada perjanjian ini, hanya
melalui penandatanganan oleh Ketua Delegasi Republik
Indonesia
tanpa
melibatkan
Dewan
Perwakilan
Rakyat
Republik Indonesia, sehingga rawan untuk terseret pada
pernyataan invalidity.
Sebenarnya masih ada alasan-alasan lain, berdasarkan Konvensi Wina tahun 1969 untuk menyatakan suatu
138
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
perjanjian rawan untuk terseret pada pernyataan invalidity.
Seperti
misalnya,
kemungkinan
adanya
unsur-unsur
corruption, atau kemungkinan terjadinya penyuapan yang
dilakukan satu pihak terhadap pihak lain, tetapi kiranya tidak
perlu diuraikan mengingat tuntutan pertanggung jawabannya
yang kadang-kadang inevitable.
Apa yang telah dikemukakan tersebut, sehubungan
dengan kemungkinan rawannya Nota Kesepahaman damai
Helsinki, terhadap pernyataan invalidity semata-mata didasarkan atas kecintaan terhadap bangsa dan negara dalam
naungan NKRI dari Sabang sampai Merauke, yang dibangun
atas tonggak-tonggak sejarah, seperti Sumpah Pemuda yang
dikumandangkan pada tanggal 28 Oktober 1928, Proklamasi
17 Agustus tahun 1945, dan Wawasan Nusantara tanggal 13
Desember 1957 (Hasjim Djalal dalam Harian Kompas, Edisi
19 September tahun 2000).
Sebagai akhir dalam pembahasan ini, maka penulis
dapat memberikan beberapa poin penting sebagai berikut.
Berbagai kenyataan menunjukkan bahwa Nota Kesepahaman
(Memorandum of Understanding) damai yang ditandatangani di
Helsinki pada tanggal 15 Agustus tahun 2005, adalah suatu
perjanjian internasional. Pengakuan yang bersifat informal
atau terselubung terhadap GAM atau NLFAS sebagai subyek
hukum internasional, baik oleh negara-negara yang mempunyai kepentingan tertentu maupun Pemerintah Republik
Indonesia yang menghadiri berbagai pertemuan dengan pihak
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
139
NLFAS yang menghasilkan kesepakatan, termasuk MOU
Helsinki mengindikasikan perjanjian antara Republik Indonesia dengan NLFAS bukan perjanjian biasa, melainkan perjanjian internasional.
Di antara sekian banyak alasan terkait dengan kerawanan Perjanjian Helsinki untuk terseret pada pernyataan
invalidity, maka terjadinya penyimpangan hukum nasional
Republik Indonesia yang bersifat fundamental, dapat dipergunakan sebagai alasan yang kuat untuk suatu saat melakukan
peninjaun kembali terhadap beberapa substansi perjanjian
yang cukup sensitif terhadap keutuhan teritorial NKRI.
140
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
BAGIAN X
PENUTUP
Sebagai penutup, maka dari semua bagian (bagian 1
hingga bagian 9) dalam buku ini, penulis akan menyimpulkan
beberapa hal-hal penting, yakni: terdapat berbagai macam
azas atau prinsip dasar yang melandasi kepentingan suatu
negara, dalam mengklaim atau menyatakan kewenangannya
atas suatu peristiwa, atau kasus yang di dalamnya tersangkut
seseorang atau beberapa orang, benda (benda bergerak dan
atau tidak bergerak), baik yang terjadi di dalam wilayahnya
sendiri, maupun di luar wilayahnya sehingga hukum internasional mengakui berbagai macam yurisdiksi negara.
Hal tersebut berimplikasi terhadap timbulnya persaingan yurisdiksi di antara negara-negara, karena masingmasing merasa memiliki kepentingan atas kasus yang sama.
Namun demikian, yang paling menonjol dan signifikan adalah
yurisdiksi teritorial. Pelaksanaan yurisdiksi teritorial atau
penerapan peraturan hukum negara setempat, bukan sesuatu
yang bersifat mutlak, sebab dalam hukum internasional dan
hukum nasional, diakui apa yang disebut Azas Kekebalan
(Immunity Principle), yang mengecualikan lembaga-lembaga,
jabatan-jabatan atau benda-benda dengan atribut tertentu
dari pelaksanaan yurisdiksi negara setempat.
Negara setempat, tidak dapat melakukan tindakan
hukum terhadap mereka yang memiliki kekebalan, seperti
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
141
Kekebalan
Kedaulatan
(Souvereign
Immunity),
Kekebalan
Diplomatik (Diplomatic Immunity), dan Hak-Hak Istimewa
(Privileges) yang dimilikinya. Pada prinsipnya, dalam kasus
pidana yang melibatkan mereka yang menikmati kekebalan,
kekebalan ini dapat dikatakan berlaku mutlak, sehingga
aparat hukum setempat tidak dapat melakukan tindakan
hukum apapun terhadap pemegang kekebalan itu, terkecuali
ada semacam penghapusan kekebalan, yang dilakukan secara
tegas oleh Pemerintah dari negara asal atau negara pengirim.
Kekebalan seperti ini juga berlaku dalam hal timbul
kasus perdata, yang melibatkan mereka yang menikmati atau
memegang
kekebalan
tersebut.
Berbagai
macam
kasus
menunjukkan dan membuktikan kekebalan kedaulatan, tidak
hanya membebaskan mereka yang menikmatinya dari proses
pemeriksaaan oleh aparat hukum negara setempat, tetapi
juga dari tindakan-tindakan penyitaan dan eksekusi terhadap
harta kekayaan yang dimiliki oleh para pemegang kekebalan
kedaulatan tersebut. Namun demikian kekebalan dalam
kasus perdata, tidak selalu berlaku secara absolut, sebab
dalam
praktik
negara-negara,
sudah
dibedakan
antara
perbuatan negara yang dinamakan iure imperii dan iure
gestionis.
Yurisdiksi negara, dengan berbagai macam variasi
atau bentuknya, bisa diklaim oleh suatu negara sesuai
kepentingannya. Namun demikian, di balik yurisdiksi negara,
terdapat pula azas Tanggungjawab Negara (State Responsi-
142
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
bility), bahkan dapat dikatakan penerapan atau pelaksanaan
dari yurisdiksi negara, tidak jarang dan bahkan sering
menimbulkan pertanggungjawaban negara (state responsibility). Tanggungjawab Negara (State Responsibility) adalah suatu azas hukum internasional yang bersifat fundamental, yang
timbul dari hakekat sistem hukum internasional dan doktrin
kedaulatan negara (State Souvereignty), serta Persamaan
Negara-Negara (Equality of States).
Pertanggungjawaban negara menunjukkan pengertian
bahwa, bilamana suatu negara melakukan suatu perbuatan
yang salah secara internasional (internationally wrongful act or
internationally unlawful act) terhadap negara lain, maka di
antara kedua negara tersebut tidak dapat dihindari adanya
tanggungjawab internasional. Jika suatu negara dengan
perbuatan atau kelalaiannya, melakukan pelanggaran atas
kewajiban internasional, atau kewajiban yang ditentukan
dalam hukum internasional, maka negara tersebut harus
memikul dan dibebani dengan tanggungjawab internasional.
Jika pelanggaran itu membawa kerugian terhadap
negara lain, maka negara yang melakukan pelanggaran itu,
harus bertanggungjawab untuk membayar gantirugi atas
kerugian yang timbul, ataupun meminta maaf kepada negara
yang dirugikan. Sebaliknya negara yang menderita kerugian
akibat pelanggaran atas kewajiban internasional itu, mempunyai hak untuk menuntut pertanggungjawaban, maupun
gantirugi dari negara yang melakukan pelanggaran tersebut.
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
143
Download