Kemandirian Ekonomi Nasional: Bagaimana Kita Membangunnya? Umar Juoro Pendahuluan Kemandirian ekonomi semestinya didefinisikan secara fleksibel dan bersifat dinamis. Kemandirian lebih dilihat dari kemampuan suatu bangsa mengembangkan perekonomiannya dengan sebesar mungkin mempergunakan daya sendiri, terutama dalam bentuk daya saing yang tinggi, untuk kemakmuran rakyatnya. Kemandirian tidak dilihat dari keterisolasian terhadap perekonomian negara lain atau perekonomian dunia, tetapi bagaimana dalam perekonomian yang semakin terbuka dan terintegrasi dengan perekonomian global, daya saing dan kemamkmuran rakyat dapat terus ditingkatkan. Pengalaman membangun kemandirian Pengalaman Indonesia memperlihatkan pasang naiknya upaya membangun kemandirian perekonomian nasional. Istilah kemandirian ini seringkali dipergunakan oleh rezim pemerintahan yang telah beberapa kali berganti. Pada Masa Orde Lama kemandirian diartikan sebagai berdikari, berdiri di atas kaki sendiri, anti-kapitalisme dan mengedepankan peranan negara dalam banyak kegiatan ekonomi. Namun Orde Lama berakhir dengan hiperinflasi dan kesesejahteraan rakyat yang rendah, sekalipun asset ekonomi utama masih dapat dikatakan sepenuhnya berada di tangan pemerintah Indonesia, karena praktis modal asing sangatlah minim, dan perekonomian sangat minim dari pengaruh ekonomi global. Pada masa Orde Baru kemandirian tidaklah banyak dinyatakan pada awal pemerintahan karena perhatian utama adalah pada stabilitas ekonomi, terutama memenuhi kebutuhan pangan dan mengendalikan inflasi. Tambahan lagi modal asing sangat diharapkan untuk mengelola asset yang masih terpendam terutama Sumber Daya Alam (SDA). Pertumbuhan ekonomi dapat meningkat dengan cukup tinggi dengan stabilas perekonomian yang terjaga. Modal asing juga semakin memasuki banyak sektor perekonomian, sehingga beberapa kali menimbulkan protes dalam bentuk demonstrasi mahasiswa yang menantang modal asing ini. Baru pada masa mendekati akhir Orde Baru, slogan kemandirian perekonomian mulai kembali 1 dikumandangkan terutama berkaitan dengan posisi Menko Perekonomian yang dipegang oleh Ginanjar Kartasasmita. Pada masa reformasi, kemandirian ekonomi mendapatkan suara yang keras, namun keterbatasan pemerintah untuk mengimplementasikannya tidak banyak terealisasikan dalam kenyataannya. Politik yang demokratis semakin keras menyuarakan kemandirian ekonomi, tetapi semakin sulit dalam pelaksanaannya karena kekuasaan yang tersebar menyebabkan kebijakan ekonomi tidak begitu efektif. Sekarang ini istilah kemandirian juga masih sering disebut, tetapi pragmatisme ekonomi lebih mendominasi. Dengan keterbatasan pemerintah yang ada kemandirian tidak lebih dari sekedar disebutkan dalam beberapa pidato atau program pemerintah, tetapi tidak sungguh-sungguh dilaksanakan. Perkembangan ekonomi dan peranan modal asing Indonesia kini masuk ke dalam kelompok G-20 yaitu negara-negara dengan PDB 20 terbesar di dunia. Indonesia berada pada urutan ke 16 di luar Masyarakat Eropa. PDB perkapita Indonesia sudah mencapai sekitar $ 3000 per kapita. Perkembangan ekonomi ini tentu menggembirakan mengingat ekonomi Indonesia mengalami krisis yang dalam pada tahun 1998. Indonesia telah pulih dari krisis dengan pertumbuhan ekonomi pada tingkatan moderat sekitar 6%. Tingkat kemiskinan juga mengalami penurunan sekalipun masih relative tinggi pada tingkatan sekitar 12,5%. Utang luar negeri Indonesia sekalipun secara abosult cukup besar sekitar Rp 2.000 triliun, namun secara relative rendah dan cenderung menurun pada tingkatan sekitar 27% dari PDB. Perkembangan modal asing di Indonesia tidaklah sebesar modal asing yang masuk ke negara Asia lainnya, seperti China, Singapura, dan bahkan Malaysia dan Thailand. Baru pada tahun 2010 modal asing yang masuk ke Indonesia tergolong besar sekitar $ 12 miliar, sebelum itu modal asing adalah berkisar $3 -$ 5 miliarn pertahunnya. Bandingkan dengan China yang mencapai sekitar $ 50 triliun. Karena itu sebenarnya perekonomian Indonesia belum dapat dikatakan sebagai dikuasai modal asing, karena masih relative rendahnya modal asing yang masuk ke Indonesia. Kekhawatiran terhadap masuknya modal asing terutama adalah dalam bentuk portofolio. Penguasaan asing terhadap kapitalisasi pasar modal mencapai sekitar 60%. Kepemilikan asing terhadap SUN (Surat Utang Pemerintah) mencapai sekitar 21%. Kepemilikan asing terhadap SBI (Sertifikat Bank Indonesia) sekitar 18%. Keadaan ini mengkhawatirkan karena jika karena alasan tertentu investor asing menarik dananya dari Indonesia, maka akan terjadi kegoncangan dalam stabilitas ekonomi yang dapat melemahkan nilai rupiah dan bisa berpengaruh pada fundamental ekonomi. Kepemilikan asing di sektor perbankan juga sering mendapatkan sorotan. Sekalipun demikian penguasaan asing terhadap asset perbankan masih sekitar 35%. Kekhawatirannya adalah karena perbankan merupakan urat nadi perekonomian, dan 2 dengan semakin sulitnya investor domestik untuk memenuhi persyaratan permodalan perbankan, maka semakin banyak bank yang akan jatuh ke tangan asing. Sekalipun demikian pada umumnya para nasabah tidaklah terlalu mempermasalahkan kepemilikan bank, selama kepercayaan dan pelayanan dari perbankan dipandang baik. Dilihat dari ekspor, perekonomian Indonesia juga tidak terlalu bergantung pada perekonomian dunia. Pangsa ekspor terhadap perekonomian hanya sekitar 28% jauh lebih rendah dari negara-negara tetangga. Rendahnya pangsa ekspor ini juga menyebabkan Indonesia tidak terlalu terpukul oleh krisis ekonomi global pada tahun 2008. Jadi dari berbagai data khususnya yang berkaitan dengan peran modal asing, perekonomian Indonesia pada umumnya masih bersifat domistik. Kecenderungan kepemilikan asing terhadap asset perekonomian memang meningkat, namun masih jauh dari keadaan yang tergolong dikuasai asing. Bahkan Indonesia masih membutuhkan modal asing yang lebih besar terutama di sektor riil, seperti manufaktur, pertanian, dan pertambangan. Keadaan yang mengkhawatirkan adalah pada sektor keuangan khususnya investasi portofolio. Besarnya kepemilikan asing pada investasi portofolio beresiko tinggi terhadap pengaruh pembalikan arus modal yang dapat mengganggu kestabilan perekonomian. Kemandirian dan daya saing Kemandirian dalam keadaan perekonomian yang terbuka yang terintegrasi pada perekonomian dunia membutuhkan pengertian yang lebih sesuai. Kemandirian menjadi lebih sesuai jika terkait dengan daya saing. Dengan daya saing yang kuat maka suatu perekonomian dapat eksis dalam persaingan global yang semakin keras. Daya saing Indonesia semakin bergeser kembali pada SDA. Daya saing Indonesia secara keunggulan komparatif terletak pada CPO, batubara, dan karet. Sedangkan daya saing produk manufaktur semakin lemah terutama menghadapi persaingan dengan produk-produk China. Keadaan ini menjadi kurang menguntungkan bagi Indonesia karena dengan perekonomian yang besar, Indonesia tidak hanya dapat mengandalkan pada SDA, tetapi juga harus mengembangkan daya saing industri manufakturnya. Industri manufaktur semestinya menjadi pencipta kesempatan kerja yang utama. Kelemahan daya saing produk manufaktur Indonesia disebabkan karena beberapa hambatan utama. Persaingan dengan produk-produk China sangat memukul industri dalam negeri. Buruknya infrastruktur, seperti listrik, jalan, dan pelabuhan membuat biaya produksi dan transportasi semakin mahal. Permasalahan kekakuan peraturan ketenagakerjaan juga membuat industri pada karya enggan untuk melakukan investasi yang lebih besar. Untuk menyaingi produk-produk manufaktur China sangatlah berat. Salah satu strategi adalah menarik investasi manufaktur China ke Indonesia sehingga Indonesia 3 tidak hanya menjadi pasar produk impor dari China, tetapi juga mendorong perkembangan industri di dalam negeri dan menciptakan kesempatan kerja. Selain itu pengembangan industri pengolahan SDA dapat juga menjadi unggulan Indonesia. Tentu saja perbaikan infrastruktur dan peraturan sangat menentukan dalam pengembangan industri dalam negeri. Kemandirian dan pembangunan daerah Kemandirian menjadi lemah pada saat terjadi ketimpangan secara regional. Perkembangan ekonomi Indonesia sangat bias ke Jawa. Sumbangan Jawa terhadap PDB mencapai sekitar 58%, Sumatra sekitar 23%, dan Kalimantan sekitar 9%. Pada umumnya kegiatan industri dan jasa terpusat di Jawa. Ketimpangan secara regional membuat perekonomian nasional menjadi tidak kokoh, dan rentan terhadap permasalahan social yang berasal dari kekecewaan daerah. Upaya untuk menyeimbangkan ketimpangan daerah ini tidaklah mudah. Alokasi anggaran ke daerah yang mencapai sekitar sepertiga dari APBN belum dapat mengurangi ketimpangan daerah secara berarti. Daerah-daerah yang mendapatkan alokasi bagi hasil yang besar, seperti Riau dan Kalimantan Timur belum dapat memanfaatkan dana tersebut untuk mendorong perkembangan ekonomi daerah tersebut. Permasalahan baru sebagai ekses desentralisasi justru menghambat pembangunan daerah. Pemerintah daerah seringkali bukannya memfasilitasi investasi, tetapi membuat peraturan yang justru menghambat investasi. Bagaimanapun ketimpangan daerah ini harus dikurangi dengan membuat pusat pertumbuhan baru di luar Jawa. Pemerintah sedang menyiapkan percepatan pembangunan ekonomi dengan memprioritaskan pembangunan di koridor Sumatra Timur, Jawa Utara, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan Maluku-Papua. Namun rencana pembangunan koridor ini kemungkinan berkembangnya baru di Sumatra Timur dan Jawa Utara yang memang telah berkembang. Membutuhkan upaya yang lebih besar untuk mengembangkan koridor lainnya. Kemandirian, ketimpangan, pengangguran, dan kemiskinan Secara resmi ketimpangan pendapatan di Indonesia adalah relative rendah dengan Gini Koefisien sekitar 0,2. Namun perhitungan Gini Koefisien ini mempergunakan pengeluaran sehingga tidak menggambarkan tingkat ketimpangan yang sebenarnya. Dilihat dari penguasaan asset jelas sekali ketimpangan lebih tinggi dan cenderung meningkat. Sedangkan tingkat pengangguran secara resmi juga tidaklah terlalu tinggi sekitar 8%. Namun definisi pengangguran sangatlah longgar. Dengan memperhitungkan pengangguran tersembunyi tingkat pengangguran dapat mencapai sekitar 30%. Data juga menunjukkan bahwa hanya sepertiga dati pekerja yang bekerja di sektor formal, sisanya bekerja di sektor informal. Tambahan lagi pekerja Indonesia 4 sebagian besar masih berpendidikan rendah. Dengan keadaan pekerja seperti ini maka masih jauh bagi Indonesia untuk dapat berdaya saing dan mempunyai tingkat kemandirian yang tinggi. Upaya untuk memperluas kesempatan kerja di sektor formal dan meningkatkan kualitas pekerja akan sangat menentukan daya saing dan kemandirian perekonomian nasional. Tingkat kemiskinan juga cenderung menurun ke tingkatan sekitar 12,5%. Namun definisi pengangguran juga longgar sekitar $1 per hari. Jika batas kemiskinan dinaikkan menjadi $2 per hari maka tingkat kemiskinan menjadi sekitar 50%. Masih besarnya jumlah penduduk miskin ini yang cenderung bertambah jika inflasi tinggi tentu saja membuat kemandirian ekonomi menjadi lemah. Upaya untuk menurunkan tingkat kemiskinan dengan menjaga inflasi rendah, menciptakan kesempatan kerja, dan memberikan akses lebih besar pada golongan miskin pada pendidikan dan kesehatan akan meningkatkan kemandirian perekonomian nasional. Kesimpulan Kemandirian perekonomian nasional semestinya dilihat secara dinamis. Kemandirian tidak dapat dilihat dari keterisolasian perekonomian terhadap asing dan perkonomian dunia. Pendekatannya haruslah realistas yaitu bagaimana kemandirian dibangun dengan perekonomian yang terbuka dan semakin terintegrasi pada perekonomian global. Perekonomian Indonesia jauh dari keadaan dikuasai asing sebagaimana dikhawatirkan beberapa pihak. Dilihat dari rasio hutang terhadap PDB adalah relative rendah sekitar 27% dan cenderung menurun. Begitu pula modal asing di Indonesia belumlah tergolong besar dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Ekspor juga baru sekitar 28% dari PDB sehingga ketergantungan perekonomian Indonesia terhadap perekonomian dunia tidaklah tinggi. Membangun kemandirian sebaiknya terkait dengan daya saing. Untuk itu daya saing perekonomian Indonesia yang kembali bergeser ke SDA dan melemah di produk manufaktur harus dirubah dengan memperkuat daya saing produk manufaktur. Tentu saja upaya ini tidak mudah apalagi harus menghadapi persaingan dengan produkproduk China. Perbaikan infrastruktur dan berbagai peraturan harus pula dilakukan untuk merevitalisasi dan meningkatkan daya saing produk manufaktur. Membangun kemandirian juga terkait dengan upaya untuk mengurangi ketimpangan daerah, dimana pembangunan masih bias ke Jawa. Kemandirian juga terkait dengan upaya untuk mengurangi ketimpangan dalam kepemilikan asset, mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Derngan demikian maka kemandirian menjadi bersifat totalitas. 5