Widayatun, I.G.P. Antariksa, Haning Romdiati Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia/ Widayatun, I.G.P. Antariksa, Haning Romdiati. – Jakarta: COREMAP, 2002 xix, 109 hlm, 22 cm Seri Penelitian COREMAP-LIPI No. 5/2002 ISSN 1412-7245 1. Terumbu Karang 2. Pengelolaan I. Judul II. COREMAP-LIPI 3. Degradasi DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Studi Kasus: Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Propinsi Papua Editor : Widayatun Desain isi : Puji Hartana Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang Diterbitkan oleh COREMAP-LIPI. Ringkasan Dalam rangka mempersiapkan Program COREMAP tahap II Pemerintah Daerah Propinsi Papua telah menetapkan Distrik Waigeo Utara sebagai lokasi intervensi. Studi ini dilakukan di salah satu desa yang ada di Distrik Waigeo Utara, yaitu Kampung Meosbekwan. Pemilihan lokasi studi ini didasarkan pada berbagai pertimbangan, diantaranya adalah adanya ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya laut untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tujuan dari studi ini adalah untuk mengumpulkan dan menganalisa data dasar mengenai kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pesisir berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Hasil studi ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai masukan dalam merancang, melaksanakan dan memantau program COREMAP. Di samping itu, studi ini juga diharapkan dapat dipakai sebagai acuan dalam menyusun indikator keberhasilan program COREMAP. Studi ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dalam mengumpulkan data. Pendekatan kuantitatif dilakukan melalui sensus terhadap seluruh rumah tangga yang ada di Kampung Meosbekwan. Data sensus yang dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner ini terdiri dari dua kategori. Kategori pertama adalah data menyangkut keadaan rumah tangga yang meliputi karakteristik demografi anggota rumah tangga dan keadaan ekonomi rumah tangga. Kategori ke dua merupakan data individu yang diperoleh dari salah satu anggota rumah tangga berumur 15 tahun ke atas yang dipilih secara acak. Informasi yang dikumpulkan dalam data individu ini adalah mengenai pengetahuan dan sikap responden tentang ekosistem terumbu karang. Sementara itu data kualitatif diperoleh melalui berbagai tehnik pengumpulan data kualitatif seperti observasi, wawancara mendalam, fokus group discussion/ FGD (wawancara terfokus) dan kaji bersama (jisam). Pengumpulan data sensus dibantu oleh dua tenaga lokal yang keduanya berprofesi sebagai guru. Penduduk Kampung Meosbekwan semuanya adalah Suku Biak yang mempunyai dialek yang hanya dapat dimengerti oleh penduduk lokal. Mempertimbangkan keadaan tersebut maka pemanfaatan tenaga lokal dalam melakukan sensus ini diharapkan dapat memperlancar komunikasi dan memudahkan dalam menyampaikan pertanyaan yang ada dalam kuestioner. Pengumpulan data kualitatif dilakukan sendiri oleh peneliti dengan menggunakan berbagai tehnik, seperti wawancara mendalam, FGD dan jisam. Wawancara mendalam dilakukan terhadap berbagai informan seperti nelayan, pedagang pengumpul, ibu-ibu nelayan, pemuka masyarakat seperti perangkat desa, guru, pendeta dan tokoh masyarakat lainnya. Sementara itu jisam dilakukan terhadap beberapa orang yang dapat mewakili berbagai kelompok seperti tokoh agama, nelayan, guru dan ibu-ibu nelayan. Wawancara mendalam, jisam dan FGD dilakukan dengan menggunakan pedoman (guide line) yang telah dipersiapkan sebelumnya. Kampung Meosbekwan merupakan salah satu dari lima kampung yang ada di Kepulauan Ayau yang terletak di Lautan Pasifik yang dapat digolongkan sebagai daerah terpencil. Dari ibukota Kabupaten Sorong maupun dari ibukota Distrik Waigeo Utara belum ada jalur transportasi laut yang secara rutin melayani pelayaran ke Kepulauan Ayau. Untuk keperluan trasportasi masing-masing kampung memiliki kapal yang dikelola DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA 1 oleh masyarakat dan pengurus gereja. Kampung Meosbekwan mempunyai kapal yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan ‘body besar’ berkekuatan mesin 40 PK. Waktu tempuh dari Kepulauan Ayau ke ibukota Kabupaten sekitar 8-9 jam dan ke Ibukota Distrik Waigeo Utara sekitar 4 jam. Pada musim ombak besar kapal tersebut tidak bisa berlayar ke Ibu Kota Distrik atau kota kabupaten. Penduduk telah terbiasa menghadapi kesulitan alam dan keterpencilan daerahnya. Dalam menyiasati keterbatasan sarana transportasi dan keterpencilan tersebut penduduk biasanya membeli keperluan hidup sehari-hari seperti beras, sagu, sabun, minyak tanah untuk keperluan hidup sampai tiga bulan atau sampai musim ombak besar berakhir. Potensi sumber daya laut yang ada di wilayah perairan pulau Meosbekwan adalah gugusan terumbu karang yang lokasinya dekat dengan garis pantai (sekitar 2 mil). Gugusan terumbu karang ini mengelilingi pulau kecil yang luasnya hanya sekitar 1,2 Km2. Dengan adanya gugusan terumbu karang ini, wilayah perairan Meosbekwan kaya akan berbagai jenis ikan karang seperti napoleon dan kerapu. Selain ikan karang, di perairan wilayah ini juga kaya akan berbagai jenis ikan permukaan seperti cakalang, tenggiri dan tongkol. Eksploitasi secara intensif ikan napoleon dan kerapu dimulai pada tahun 1994, yaitu sejak beroperasinya pedagang pengumpul di daerah ini. Hasil dari penangkapan ikan napoleon dan kerapu ini merupakan sumber pendapatan utama nelayan. Hasil produksi ikan napoleon dan kerapu untuk seluruh Kepulauan Ayau (terdiri dari lima kampung) sekitar 3 ton per bulan. Sebelum tahun 1994 penghasilan nelayan tergantung dari penjualan ikan kering dan hasil laut lainnya seperti pia, lola, teripang dan lobster. Selain potensi sumber daya laut, kampung ini tidak mempunyai sumber daya alam lain di darat yang bisa dikelola. Semua kebutuhan pokok seperti bahan makan sagu dan beras harus didatangkan dari ibukota distrik atau ibukota kabupaten. Penduduk Kampung Meosbekwan semuanya adalah Suku Biak yang bermigrasi ke wilayah Kepulauan Ayau sejak akhir abad 19. Hampir semua penduduk bekerja sebagai nelayan, hanya ada beberapa orang yang bukan nelayan. Mereka adalah dua orang guru SD dan satu perawat. Tingkat pendidikan penduduk relatif rendah. Sekitar 93 persen penduduk berusia 6 tahun ke atas berpendidikan SD ke bawah. Jenis ketrampilan berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut adalah ketrampilan membudidayakan rumput laut yang diperkenalkan pada tahun 1999. Sementara itu dilihat dari segi pendapatannya menunjukkan bahwa sebagian besar rumah tangga (70 persen) mempunyai pendapatan antara Rp 200.000,- sampai dengan Rp 600.000,- per bulan. Jumlah pendapatan tersebut kelihatannya cukup besar, namun secara riil pendapatan tersebut sangat rendah karena harga berbagai kebutuhan sehari-hari dan keperluan lain seperti bahan bangunan perumahan sangat mahal. Berbagai kebutuhan sehari-hari tersebut harus dibeli di ibukota distrik (Kabare) atau ibukota kabupaten (Sorong). Sumber pendapatan utama rumah tangga sepenuhnya berasal dari pemanfaatan sumber daya laut, yaitu dari hasil penjualan ikan napoleon dan kerapu serta hasil budidaya rumput laut dan berbagai biota lain seperti gurita dan cacing. Hasil penjualan ikan napoleon dan kerapu ini meskipun secara proporsi mempunyai kontribusi besar terhadap pendapatan rumah tangga, akan tetapi tidak bisa secara kontinyu memberikan sumbangan terhadap pendapatan rumah tangga. Hal tersebut dikarenakan pada musim ombak besar dua jenis ikan ini tidak bisa dieksploitasi oleh nelayan yang hanya menggunakan peralatan sederhana. Dalam cuaca buruk tersebut para nelayan hanya mencari ikan untuk dikonsumsi sendiri, pencarian napoleon dan kerapu untuk sementara 2 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua dihentikan. Sementara itu meskipun kecil kontribusinya terhadap pendapatan rumah tangga, hasil budidaya rumput laut yang mulai diperkenalkan pada tahun 1999 dapat secara kontinyu memberikan sumbangan terhadap pendapatan rumah tangga. Hasil panen rumput laut dapat dinikmati oleh nelayan hampir setiap bulan. Selain pendapatan dan tingkat pendidikan, rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat Kampung Meosbekwan juga dapat dilihat dari aset rumah tangga yang dimiliki, mencakup sarana produksi dan non-produksi serta kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan. Secara umum aset produksi yang digunakan dalam memanfaatkan sumber daya laut yang dimiliki masyarakat Kampung Meosbekwan tergolong sangat sederhana. Hampir semua rumah tangga hanya menggunakan perahu semang (perahu tanpa motor) untuk melaut. Perahu motor hanya dimiliki oleh empat rumah tangga. Sementara itu kepemilikan aset non-produksi, terutama barang elektronik (radio) relatif sedikit. Diantara 35 rumah tangga yang ada hanya sekitar 12 rumah tangga (sepertiga) yang memiliki radio. Kepemilikan benda bernilai sosial tinggi menurut masyarakat seperti piring antik dan gelang (saraka) relatif tinggi. Dari 35 rumah tangga sekitar 45 persen mempunyai benda bernilai sosial tinggi tersebut. Mengenai kondisi perumahan penduduk dapat digambarkan bahwa sebagian besar rumah terbuat dari kayu, dindingnya terbuat dari papan atau daun rumbia sedangkan atapnya hampir semua memakai daun rumbia, hanya sebagian kecil yang memakai seng. Sedangkan lantainya umumnya dibuat dari semen tipis dengan permukaan kasar. Studi ini berhasil mengidentifikasi adanya degradasi sumber daya laut, khususnya terumbu karang di perairan Kepulauan Ayau pada umumnya dan perairan Kampung Meosbekwan pada khususnya. Dampak dari adanya degradasi tersebut telah mulai dirasakan oleh nelayan setempat. Para nelayan sudah mulai sulit untuk mendapatkan jenis-jenis ikan karang (napoleon dan kerapu) yang menjadi komoditi utama nelayan. Penyebab kerusakan tersebut diantaranya adalah penggunaan bom dan potas oleh nelayan luar untuk menangkap ikan-ikan permukaan. Di samping itu, penggunaan akar bore (akar tuba) dengan target tangkapan ikan napoleon oleh nelayan setempat yang sudah berlangsung selama lima tahun terakhir diperkirakan juga turut andil terhadap terjadinya kerusakan terumbu karang. Meskipun belum ada penelitian yang membuktikan adanya kerusakan yang ditimbulkan oleh penggunaan akar bore, tetapi ditengarai racun dari akar ini akan mencemari terumbu karang dan akhirnya juga dapat menurunkan kualitas terumbu karang. Secara resmi telah ada larangan mengenai penggunaan bahan peledak, racun dan akar tuba (akar bore) berupa surat edaran Camat Waigeo Utara yang disebarluaskan di seluruh kampung nelayan. Meskipun telah ada larangan, akan tetapi nelayan setempat sebagian besar masih menggunakan akar tersebut. Di kalangan nelayan masih ada perdebatan mengenai penggunaan akar bore untuk menangkap ikan Napoleon. Sebagian masyarakat mengatakan bahwa akar bore tersebut tidak merusak terumbu karang. Akan tetapi ada pula yang berpendapat bahwa akar bore juga berpotensi untuk merusak terumbu karang karena terbukti ikan-ikan menjadi pingsan bila terkena racun tersebut. Penangkapan ikan napoleon dan kerapu hidup dimulai sejak tahun 1994. Dalam eksploitasi ikan napoleon ini diperlakukan sistim pola kemitraan. Nelayan sebagai plasma yang mempunyai ijin penangkapan, sedangkan perusahaan pengumpul sebagai inti memiliki ijin pengumpulan. Di samping itu, perusahaan inti mempunyai kewajiban untuk melakukan budidaya. Ada empat perusahaan (pedagang pengumpul) yang DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA 3 beroperasi di wilayah Kepulauan Ayau, termasuk didalamnya satu pedagang yang ada di Kampung Meosbekwan. Ditemukan berbagai permasalahan yang menyangkut implementasi dari pola kemitraan ini. Permasalahan tersebut antara lain adalah harga jual yang masih banyak ditentukan oleh pengusaha (pedagang pengumpul). Nelayan tidak mempunyai posisi tawar untuk menentukan harga jual. Pola kemitraan yang diharapkan dapat saling menguntungkan kedua belah pihak, yaitu antara inti (pengusaha pengumpul) dan nelayan setempat sebagai plasma, belum dapat tercapai karena keuntungan besar masih dinikmati oleh pengusaha. Dari hasil studi ini dapat diambil beberapa pembelajaran (lessons learned), diantaranya: 1. Aspek Ekonomi: Ø Perlunya membangun transportasi laut ke Kepulauan Ayau untuk membuka keterisoliran daerah ini dengan mengoperasikan kembali pelayaran perintis yang pernah ada pada tahun 1997. Dengan dibukanya transportasi ini akan memudahkan masyarakat mendapatkan akses terhadap fasilitas sosial dan ekonomi, seperti pasar, pendidikan dan kesehatan. Di samping itu, dengan adanya pelayaran perintis akan menurunkan biaya hidup yang dirasakan cukup tinggi oleh masyarakat. Ø Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan ataupun ketrampilan yang relevan, seperti ketrampilan penanganan paska panen (pembuatan ikan kering) Ø Mendukung dan menggalakkan budidaya rumput laut dan memberikan bantuan pemasaran. 2. Aspek Sosial: Ø Peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat lokal terhadap pentingnya pengelolaan dan pelestarian ekosistem terumbu karang. Ø Peningkatan kesadaran dan partisipasi nelayan pendatang yang sering melakukan pengeboman di wilayah Kepulauan Ayau mengenai pentingnya pengelolaan dan rehabilitasi ekosistem terumbu karang. Ø Untuk mengatasi kerusakan terumbu karang yang kemungkinan timbul akibat pencemaran racun dari akar bore yang digunakan untuk menangkap ikan napoleon oleh nelayan lokal, tidak cukup hanya dengan membuat peraturan tentang pelarangan penggunaan bahan tersebut. Pelarangan tersebut tidak akan efektif karena masyarakat tetap akan melanggar, meskipun diantara mereka ada yang telah sadar bahwa racun akar bore tersebut kemungkinan juga bisa merusak terumbu karang. Pelanggaran tersebut dilakukan karena mereka tidak mempunyai alternatif bahan lain yang dapat dipergunakan untuk menangkap ikan napoleon yang tidak mempunyai efek merusak terumbu karang. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu studi laboratorium untuk mencari alternatif bahan yang aman dan tidak merusak lingkungan yang dapat dipakai untuk memudahkan menangkap ikan napoleon. Ø Dalam upaya mengatasi perdebatan mengenai akibat yang ditimbulkan oleh penggunaan racun akar bore terhadap terumbu karang dan ekosistemnya perlu dilakukan studi yang secara cermat meneliti efek dari racun akar bore ini terhadap kerusakan terumbu karang. 4 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua 3. Aspek Kebijakan, Hukum dan Perundang-undangan Ø Dalam rangka membendung terjadinya degradasi sumber daya laut, khususnya terumbu karang di wilayah perairan Kepulauan Ayau yang disebabkan oleh penggunaan bahan peledak dan potas oleh nelayan luar perlu lebih meningkatkan pengawasan. Mengingat wilayah perairan Kepulauan Ayau yang cukup luas serta berhadapan dengan laut lepas maka pengawasan yang paling efektif adalah pengawasan yang dilakukan oleh penduduk setempat. Pengawasan yang selama ini telah dilakukan oleh nelayan setempat perlu didukung dengan memberikan fasilitas peralatan yang memadai. Peralatan yang dimiliki oleh nelayan setempat masih sangat sederhana, yaitu perahu layar atau perahu motor dengan mesin kecil. Selain pengawasan perlu pula usaha-usaha untuk meningkatkan kesadaran para nelayan dari luar yang selama ini selalu menggunakan berbagai alat tangkap yang merusak lingkungan (bom dan potas). Ø Kegiatan pedagang pengumpul yang selama ini bertindak sebagai inti dalam pola kemitraan eksploitasi ikan napoleon dan kerapu perlu dimonitor. Pola kemitraan ini kalau berjalan dengan baik akan membantu nelayan dan saling memberikan keuntungan kepada inti dan plasma. Akan tetapi implementasi di lapangan masih ditemui berbagai permasalahan yang mengakibatkan nelayan ada di pihak yang sangat dirugikan. DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA 5 Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Sebagai negara kepulauan yang memiliki 17.508 pulau besar dan kecil dengan garis pantai terpanjang di dunia, kurang lebih 81.000 km dan 63 persen wilayahnya merupakan perairan, Indonesia telah menjadi pusat keanekaragaman hayati dunia. Salah satu keanekaragaman hayati tersebut adalah terumbu karang. Luas sebaran terumbu karang di Indonesia diperkirakan sekitar 75.000 kilometer persegi atau sekitar 14 persen dari sebaran terumbu karang dunia. Telah diketahui bahwa terumbu karang memberi peranan penting secara ekologis untuk kelangsungan sumber daya lautnya dan ekosistem lainnya yang terasosiasi di dalamnya. Ekosistem terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang berada di laut dengan keanekaragaman jenis yang tinggi. Hal ini dikarenakan pada ekosistem ini dijumpai bermacam -macam jenis hewan laut yang mencari makan dan hidup di ekosistem ini. Selain hutan bakau dan padang lamun, terumbu karang juga merupakan ekosistem yang penting di daerah pesisir. Secara alami ekosistem terumbu karang melindungi pantai dari pengikisan arus laut (abrasi) dan hempasan ombak yang kuat. Dalam kondisi normal, gelombang air dan energi gelombang akan sampai ke pantai. Dengan adanya karang, gelombang tersebut akan memecah dan teredam sehingga ketika gelombang sampai ke pantai energi yang dikeluarkan semakin kecil. Manfaat terumbu karang tidak hanya berhubungan dengan keberadaan laut tempat ekosistem tersebut tinggal, tetapi juga mempunyai fungsi lain seperti sebagai penunjang produksi perikanan, sumber makanan maupun industri. Dalam hal ini terumbu karang dapat diidentifikasikan sebagai salah satu komponen utama yang sangat penting sebagai penunjang berbagai aspek dari kehidupan manusia dan juga dalam pembangunan berkelanjutan. Terumbu karang sebagai sumber bahan baku untuk berbagai kegiatan manusia seperti batu karang dan pasir sebagai bahan bangunan, karang hitam sebagai perhiasan. Selain itu, karena keindahannya terumbu karang juga menjadi sumber devisa bagi negara. Saat ini wisata bahari Indones ia tengah berkembang pesat dan terumbu karang merupakan salah satu aset utamanya. Bagaimana kondisi terumbu karang di Indonesia? Dalam sepuluh tahun terakhir ini kondisi terumbu karang Indonesia mengalami penurunan sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan karena adanya berbagai tekanan. Menurut studi yang dilakukan oleh LIPI (1995) sekitar 40 persen terumbu karang Di Indonesia ada dalam status buruk, sedangkan yang kondisinya sangat bagus tinggal 6 persen, selebihnya masuk dalam kategori sedang dan cukup. Beberapa penyebab utama rusaknya terumbu karang tersebut lebih dikarenakan oleh ulah manusia, seperti penangkapan ikan dan biota terumbu karang lain secara terus menerus dan dalam jumlah yang berlebihan dan penggunaan racun dan bahan peledak untuk menangkap sumber daya terumbu karang. Selain itu, kerusakan ekosistem terumbu karang juga disebabkan oleh pembangunan di daerah pesisir yang DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA 7 tak terkendali. Penebangan hutan dan tumbuhan di sepanjang bantalan sungai mengakibatkan pelumpuran di daerah terumbu karang dan akan mematikan terumbu karang. Dalam menanggapi masalah kerusakan terumbu karang pemerintah Indonesia telah meluncurkan suatu program pengelolaan yang dinamakan COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program) yang bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan usaha pengelolaan serta rehabilitasi terumbu karang agar sumber daya laut dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kegiatan COREMAP pada dasarnya mengacu pada prinsip partisipasi aktif masyarakat (pengelolaan berbasis masyarakat). Sistim pengelolaan yang diharapkan adalah sistim terpadu yang perumusan dan perencanaanya dilaksanakan dengan pendekatan dari bawah berdasarkan aspirasi masyarakat dan untuk kepentingan masyarakat. Mengingat masyarakat di sekitar kawasan terumbu karang merupakan kalangan yang paling berkepentingan dalam pemanfaatannya dan kalangan ini pula yang akan menerima akibat yang timbul dari kondisi baik maupun buruknya ekosistem ini, maka salah satu kegiatan COREMAP akan difokuskan pada masyarakat lokal. Kegiatan tersebut diantaranya adalah membangun dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan peranan penting terumbu karang sebagai tempat hidup aneka binatang dan tumbuhan yang dapat dimanfaatkan untuk dikonsumsi, bahan baku industri maupun sebagai komoditi perdagangan dunia. Selain itu, kegiatan COREMAP yang lain adalah melakukan pengembangan berbagai pendapatan alternatif sehingga tekanan terhadap ekosistem terumbu karang akan berkurang. Dalam rangka menunjang seluruh kegiatan COREMAP, utamanya dalam merancang program dan jenis intervensi yang cocok untuk masyarakat diperlukan berbagai data berkaitan dengan potensi sumber daya laut; kondisi sosial-ekonomi dan budaya masyarakat setempat dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kerusakan terumbu karang, seperti teknologi yang dipakai dalam pemanfaatan (ekploitasi) sumber daya laut dan stakeholders yang terkait dengan eksploitasi tersebut. Selain itu, diperlukan pula data berkaitan dengan adanya permasalahan-permasalahan yang muncul sehubungan dengan pemanfaatan sumber daya laut, aspirasi masyarakat dan kendala-kendala yang dihadapi. Propinsi Papua telah menentukan wilayah Distrik Waigeo Utara sebagai salah satu lokasi intervensi program COREMAP tahap II. Wilayah Distrik Waigeo Utara mempunyai wilayah daratan yang cukup luas yang meliputi sebagian daratan bagian utara Pulau Waigeo dan beberapa pulau yang terletak di Kepulauan Ayau. Sementara itu wilayah lautannya juga cukup luas meliputi sebagian perairan pantai Timur Pulau Waigeo dan perairan di sekitar Kepulauan Ayau yang menghadap lautan pasifik. Wilayah Kepulauan Ayau memiliki hamparan terumbu karang yang sangat luas dan berbagai biota karang serta ikan. Di perairan ini ditemukan diatas 200 jenis ikan dan sekitar 122 jenis terumbu karang. Selain itu, di kepulauan ini dijumpai pantai berpasir putih (sandy beach) yang merupakan habitat peneluran berbagai jenis penyu (Mckinnon dan Artha, 1981; Salm dan Halim 1984; Farid dan Suryadi, 2001). Kepulauan Ayau terdiri dari em pat pulau berpenghuni yaitu Rutum, Reni, Runi dan Meosbekwan dan beberapa pulau kosong. Pada empat pulau yang berpenghuni tersebut terdapat empat desa, salah satunya adalah Kampung Meosbekwan yang dijadikan lokasi penelitian aspek sosial terumbu karang. 8 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua 1.2. Tujuan Secara umum studi ini bertujuan untuk mengumpulkan dan menganalisa data dasar mengenai kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut, khususnya terumbu karang untuk dipakai sebagai masukan-masukan dalam merancang, melaksanakan dan memantau program COREMAP. Data dasar tersebut dimaksudkan untuk memberikan perspektif sosial dan sosial agenda agar program COREMAP dapat berjalan secara baik untuk kelestarian terumbu karang dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan. Secara khusus, studi ini bertujuan untuk: 1. Menggambarkan kondisi sumber daya laut, khususnya terumbu karang dan ekosistemnya di wilayah Kampung Meosbekwan termasuk di dalamnya potensi, pola pemanfaatan, tehnologi yang dipakai, permodalan, pemasaran serta pengetahuan dan perilaku masyarakat berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaannya. 2. Mengidentifikasi stakeholders dan menganalisa kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut yang mengancam kelestarian terumbu karang maupun yang berpotensi untuk mengelola. Di samping itu, mengantisipasi potensi konflik kepentingan antar sesama stakeholders sebagai akibat adanya usaha konservasi dan pengelolaan terumbu karang. 3. Mendeskripsikan kondisi sumber daya manusia Kampung Meosbekwan dan memotret tingkat kesejahteraan masyarakat yang dilihat antara lain dari keberadaan aset rumah tangga, kondisi perumahan, pendapatan dan pengeluaran, tabungan, dan hutang. 4. Memberikan masukan –masukan pada para pengambil kebijakan dalam merancang, melaksanakan dan memantau program COREMAP. 5. Memberikan masukan untuk membuat indikator- indikator yang dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk membandingkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat sebelum dan sesudah intervensi program COREMAP. 1.3. Metodologi 1.3.1. Pemilihan Lokasi Walaupun penduduk Distrik Waigeo yang tinggal di daratan mempunyai akses yang cukup besar pada wilayah perairan yang kaya akan sumber daya laut, khususnya terumbu karang dan ekosistemnya serta berbagai biota yang hidup di dalamnya tetapi masyarakatnya tidak menggantungkan hidupnya pada sumber daya laut ini. Mata pencaharian penduduk yang utama adalah petani (pekebun) yang mengolah tanaman keras seperti sagu, kelapa dan berbagai tanaman sela di dalamnya. Penduduk Distrik Waigeo yang benar-benar menggantungkan hidupnya pada kekayaan sumber daya laut, termasuk didalamnya terumbu karang dan ekosistemnya adalah mereka yang tinggal di wilayah Kepulauan Ayau yang tersebar di empat pulau yaitu Pulau Reni, Rutum, Runi dan Pulau Meosbekwan. Wilayah perairan sekitar Kepulauan Ayau merupakan wilayah perairan yang mempunyai lokasi terumbu karang yang luas. Wilayah perairan ini telah lama dijadikan ‘fishing ground’ oleh beberapa perusahaan penangkapan ikan karena dikenal sebagai daerah yang kaya akan sumber daya laut, khususnya ikan-ikan karang. Hampir semua penduduk yang menempati pulau-pulau yang ada di wilayah ini sangat tergantung pada DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA 9 pemanfaatan sumber daya laut. Sumber daya alam lainnya, seperti pertanian sangat kecil kontribusinya terhadap pendapatan penduduk. Semua penduduk kampungkampung ini bekerja sebagai nelayan. Hanya ada beberapa orang mempunyai profesi tertentu seperti guru dan tenaga kesehatan. Mengingat wilayah terumbu karang di perairan ini yang cukup luas dan perlu dilestarikan guna dimanfaatkan secara optimal oleh penduduk maka adanya program COREMAP diharapkan akan dapat memelihara kondisi terumbu karang di wilayah ini agar dapat digunakan secara lestari oleh masyarakat setempat. Dari lima kampung yang ada di Kepulauan Ayau, yaitu Kampung Rutum, Reni, Dorehkar, Yankawir dan Meosbekwan, telah dipilih tiga kampung sebagai lokasi penelitian. Kampung Meosbekwan merupakan salah satu dari tiga lokasi penelitian aspek sosial terumbu karang yang dilakukan di wilayah Kepulauan Ayau. Kampung ini merupakan satusatunya kampung yang tidak mempunyai sumber daya alam, selain sumber daya laut. Kehidupan masyarakat kampung ini sangat tergantung sepenuhnya pada pemanfaatan sumber daya laut. 1.3.2. Pengumpulan data Studi ini menggunakan dua pendekatan dalam mengumpulkan data. Pertama, data yang dikumpulkan melalui sensus dan survai; dan kedua data kualitatif yang diperoleh melalui berbagai tehnik pengumpulan data kualitatif seperti observasi, wawancara mendalam, fokus group discussion/ FGD (wawancara terfokus) dan kaji bersama (jisam). Data sensus dan survai ini dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner. Data yang diperoleh melalui kuesioner terdiri dari dua kategori. Kategori pertama adalah data menyangkut keadaan rumah tangga yang meliputi karakteristik demografi anggota rumah tangga dan keadaan ekonomi rumah tangga. Data mengenai karakteristik demografi anggota rumah tangga terdiri antara lain jumlah, umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan anggota rumah tangga. Sementara data tentang kondisi ekonomi rumah tangga meliputi data pendapatan, pengeluaran, tabungan dan data mengenai kepemilikan aset rumah tangga seperti alat produksi perikanan dan perumahan. Kategori ke dua merupakan data individu yang diperoleh dari salah satu anggota rumah tangga berumur 15 tahun ke atas yang dipilih secara acak. Informasi yang dikumpulkan dalam data individu ini adalah mengenai pengetahuan dan sikap responden tentang terumbu karang. Kampung Meosbekwan merupakan kampung dengan jumlah rumah tangga yang sedikit. Pemerintah kampung belum mempunyai data tentang jumlah rumah tangga yang pasti. Informasi awal yang bisa didapat adalah bahwa jumlah rumah tangga sekitar 40. Oleh karena jumlah rumah tangga yang sangat kecil tersebut kemudian diputuskan untuk melakukan sensus seluruh rumah tangga. Dari hasil sensus tersebut berhasil dikumpulkan data dari 35 rumah tangga. Ada dua rumah tangga yang tidak berada di tempat pada saat penelitian dilakukan. Sampai penelitian ini berakhir ke dua rumah tangga tersebut belum kembali ke kampung. Pengumpulan data sensus dibantu oleh dua tenaga lokal yang keduanya berprofesi sebagai guru. Penduduk Kampung Meosbekwan semuanya adalah Suku Biak yang mempunyai dialek yang hanya dapat dimengerti oleh penduduk lokal. Mempertimbangkan keadaan tersebut maka pemanfaatan tenaga lokal dalam 10 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua melakukan sensus ini diharapkan dapat memperlancar komunikasi dan memudahkan dalam menyampaikan pertanyaan yang ada dalam kuesioner. Pengumpulan data kualitatif dilakukan sendiri oleh peneliti dengan menggunakan berbagai tehnik, seperti wawancara mendalam, FGD dan jisam. Wawancara mendalam dilakukan terhadap berbagai informan seperti nelayan, pedagang pengumpul, ibu-ibu nelayan, pemuka masyarakat seperti perangkat desa, guru, pendeta dan tokoh masyarakat lainnya. Sementara itu jisam dilakukan terhadap beberapa orang yang dapat mewakili berbagai kelompok seperti tokoh agama, nelayan, guru dan ibu-ibu nelayan. Wawancara mendalam, jisam dan FGD dilakukan dengan menggunakan pedoman (guide line) yang telah dipersiapkan sebelumnya. Pengumpulan data kualitatif ini dimaksudkan untuk menggali lebih dalam mengenai berbagai aspek menyangkut kondisi kehidupan masyarakat Kampung Meosbekwan dan kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Selain itu, data kualitatif ini juga untuk melengkapi dan menggali lebih dalam lagi berbagai informasi yang telah didapatkan melalui survai. Dalam melakukan pengumpulan data, baik data kualitatitatif maupun kuantitatif (survai) tidak ditemui kendala yang cukup berarti. Luas Kampung Meosbekwan hanya sekitar 1,2 hektar dengan jumlah rumah tangga sekitar 38 memudahkan pewawancara untuk melakukan tugasnya mendatangi rumah-rumah responden. Di samping itu, karena masyarakat di kampung ini merupakan komunitas kecil di area yang juga sangat kecil maka hampir semua penduduk mengenal satu dengan yang lain. Sebelum wawancara terhadap rumah tangga yang akan disensus dimulai, perangkat kampung terlebih dahulu menyebarluaskan informasi tentang kedatangan tim peneliti dan maksud diadakannya penelitian melalui ‘microphone’ gereja. Dengan disebarluaskannya informasi tersebut maka setiap rumah tangga telah mengetahui bahwa rumahnya akan didatangi oleh guru yang akan membantu melakukan wawancara. Penyebarluasan informas i tersebut sangat membantu jalannya wawancara. Setiap warga yang didatangi telah siap dan tidak ada kecurigaan tentang maksud kedatangan pewawancara. Wawancara umumnya dilakukan pada malam hari, karena pada siang hari para laki-laki dewasa warga pergi melaut dan warga perempuan dewasa mengerjakan pekerjaan di area budidaya rumput yang dimiliki oleh setiap rumah tangga. Dalam melakukan wawancara, pewawancara terpaksa membawa lampu petromak untuk lampu penerangan. Hal tersebut dikarenakan kampung ini belum ada penerangan listrik, untuk penerangan warga menggunakan lampu minyak tanah. Dengan hanya menggunakan lampu minyak agak sulit untuk menuliskan jawaban-jawaban pada lembar kuesioner. 1.3.3. Analisa data Data yang diperoleh melalui kuesioner dianalisa secara kuantitatif dengan menggunakan tabulasi silang untuk melihat hubungan antara variabel-variabel yang diteliti. Data kualitatif yang diperoleh melalui wawancara mendalam, FGD dan Jisam dianalisa dengan tehnik content analysis. Dari berbagai informasi yang diperoleh dari informan dideskripsikan sesuai dengan isu yang ada dan digunakan untuk menjelaskan dan memberikan nuansa pada temuan-temuan yang penting. DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA 11 1.4. Organisasi Penulisan Buku ini terdiri dari tujuh bab. Bab pertama, merupakan pendahuluan yang menerangkan latar belakang diadakannya studi, tujuan dan metodologi yang dipakai dalam penelitian. Gambaran tentang profil lokasi penelitian disajikan pada Bab II. Bab ini antara lain menguraikan tentang keadaan geografis, kondisi sumber daya alam, kondisi kependudukan, pendidikan dan mata pencaharian penduduk serta sarana dan prasarana sosial yang tersedia di desa. Bab III dari buku ini berisi uraian mengenai aspek-aspek yang berkaitan dengan masalah pengelolaan sumber daya laut yang dilakukan oleh mas yarakat sekitar dan berbagai pihak yang terkait di dalamnya. Di dalam bab ini akan dikupas tentang pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap pengelolaan sumber daya laut, termasuk didalamnya pengetahuan tentang wilayah pengelolaan dan teknologinya. Uraian mengenai berbagai stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan terumbu karang dan ekosistemnya yang ada di lokasi penelitian juga disajikan dalam bab ini. Besarnya produksi sumber daya laut dan rantai pemasaran serta pihak-pihak yang terkait dengan pemasaran akan disajikan pada Bab IV. Sementara itu Bab V akan secara khusus mendiskripsikan potret tingkat kesejahteraan masyarakat. Aspek yang akan dilihat dalam rangka memotret tingkat kesejahteraan masyarakat antara lain adalah pendapatan, pengeluaran, tabungan dan pemilikan aset rumah tangga. Bab VI dari buku ini akan mengupas masalah degradasi sumber daya laut dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Uraian mengenai bagaimana kondisi sumber daya laut yang ada di lokasi penelitian akan disajikan pada bagian pertama dari Bab ini. Bagian selanjutnya akan berisi uraian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya degradasi sumber daya laut. Faktor-faktor tersebut akan dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal. Buku ini ditutup dengan diskusi dan kesimpulan yang akan disajikan pada Bab VII. 12 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua Bab II Profil Kampung Meosbekwan 2.1. Keadaan Geografis Kepulauan Ayau merupakan bagian dari gugusan Kepulauan Raja Ampat yang secara adminstrasi masuk dalam wilayah Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong. Kepulauan ini terletak di Samodra Pasifik dan terdiri dari empat pulau yang berpenghuni yaitu pulau Runi, Rutum, Reni dan Meosbekwan dan beberapa pulau kosong, antara lain: Meos Mandum, Kanober, Abidon, Meos Ros, Kafot, Pulau Dua, Padarnker, Abris dan Pulau Tukan. Secara administratif ke empat pulau yang berpenghuni tersebut terbagi dalam empat kampung yaitu kampung Rutum, Reni, Yankawir, Dorehkar dan Kampung Meosbekwan. Nama Kampung Meosbekwan dalam bahasa lokal mempunyai arti pulau panjang (Meos: pulau; Bekwan: panjang). Pulau ini panjangnya sekitar 1200 meter dengan lebar hanya sekitar 100 meter (Lihat Peta 1). Topografi pulau ini datar dengan pantai yang berpasir putih. Jenis tanahnya berpasir dan tumbuhan yang bisa hidup hanya pohon kelapa, sukun dan beberapa pohon perindang lainnya. Dengan kondisi pulau yang sangat landai dan tidak ada karang penghalang yang bisa menahan badai maka pulau ini relatif beresiko tinggi apabila terjadi tsunami. Bentuk pantai yang sangat landai dan sedikitnya pohon penghalang juga menyebabkan pantai Timur pulau ini yang menghadap langsung dengan Samodra Pasifik mudah terkikis.Tanda-tanda abrasi laut sudah mulai terlihat di sepanjang pantai Timur ini. Pulau Meosbekwan pada khususnya dan Kepulauan Ayau pada umumnya terletak di garis khatulistiwa sehingga daerah ini merupakan daerah tropis dengan suhu udara yang sangat panas dengan curah hujan jang cukup tinggi. Iklim daerah ini dipengaruhi oleh angin Barat (dalam bahasa lokal Wamres) yang terjadi pada bulan Oktober sampai dengan bulan Maret. Pada bulan Oktober sampai dengan Maret ombak besar, disertai dengan hujan badai. Angin kencang dan ombak besar akan mencapai puncaknya pada bulan Desember sampai dengan Januari. Sementara angin selatan (Wambraw) terjadi pada bulan Agustus selama satu bulan. Angin Timur (Wamrem) yang cukup kencang bertiup pada bulan April sampai dengan Juni. Pada bulan-bulan ini hasil ikan akan sedikit karena nelayan jarang melaut. Demikian pula pada musim utara (Wamsios) hasil ikan juga tidak banyak karena angin bertiup kencang. Musim ikan, khususnya ikan kerapu terjadi bulan September dan Februari, dimana pada bulan ini bertiup angin Barat Laut (Wam Barek). DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA 13 Peta 1 KEPULAUAN AYAU P. Abris P. Reni P. Padarnker P. Rutum P. Apop Samudera Pasifik P. Kafot P. Abidon P. Meosmandum P. Ros P. Meosbekwan P. Dua P. Dorekhar P. Tukan Sumber: hasil pemetaan bersama dengan narasumber di Kepulauan Ayau 14 Studi Kasus : Kam pung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua 2.2. Kondisi Sumber Daya Alam Luas Kampung Meosbekwan hanya sekitar 120.000 meter persegi atau sekitar 1,2 hektar. Dengan kondisi tanah berpasir maka tidak ada potensi sumber daya alam lain selain sumber daya laut yang bisa dikembangkan di kampung ini. Tumbuhan produktif yang bisa berkembang baik hanya pohon kelapa dan sukun. Hasil dari tanaman kelapa dan sukun umumnya hanya dikonsumsi oleh penduduk setempat, tidak pernah dipasarkan ke luar kampung (kota distrik atau ke kota kabupaten). Sulitnya transportasi yang menyebabkan penduduk tidak memasarkan kelapa dan sukun ke Sorong. Perjalanan dari pulau ini ke Sorong memerlukan waktu perjalanan sekitar delapan sampai sembilan jam. Di samping itu, secara ekonomis tidak menguntungkan karena harganya murah sedangkan ongkos angkut ke kota relatif mahal. Tidak adanya sumber daya alam selain sumber daya laut yang bisa dikembangkan maka untuk keperluan kebutuhan primer, khususnya bahan pangan seperti sagu dan beras harus didatangkan dari pulau besar (Pulau Waigeo) atau dari daratan pulau Irian (Sorong). Beberapa keluarga yang tinggal di kampung ini mempunyai kebun sagu di pulau besar (Pulau Waigeo). Pada musim tertentu mereka tinggal beberapa hari di Waigeo Utara untuk menokok sagu (membuat sagu) sampai berminggu-minggu. Hampir semua jenis ikan karang dan udang batu (lobster) termasuk dalam potensi sumber daya laut yang ada di daerah ini. Daerah ini kaya akan jenis ikan karang, khususnya jenis ikan kerapu (indaf) dan napoleon (in maming) dan ikan kakap. Jenis sumber daya laut selain ikan karang antara lain adalah ikan samandar (baronang), ikan pari dan ikan ekor kuning yang merupakan jenis -jenis ikan permukaan. Selain jenis ikan karang, potensi sumber daya laut lainnya yang berpotensi untuk lebih dikembangkan adalah rumput laut. Rumput laut mulai dibudidayakan di kampung ini pada tahun 1999. Hampir semua rumah tangga di kampung ini mengusahakan budidaya rumput laut. Setiap rumah tangga rata-rata mempunyai 10 tali dengan panjang tali sekitar 40 meter. Produksi rumput laut kering di kampung ini sekitar satu ton per bulan dan dipasarkan ke Sorong setiap bulannya. Sumber air bersih adalah sumur gali dengan kedalaman antara 3-5 meter. Meskipun merupakan daerah pesisir, air tanah tidak terasa asin, mengindikasikan tidak adanya intrusi air laut. Hampir setiap rumah tangga di kampung ini mempunyai sumur sebagai sumber air bersih untuk memasak, cuci dan mandi. 2.3. Kependudukan Jumlah dan komposisi penduduk Berdasarkan data sensus penduduk Kampung Meosbekwan, dari 35 rumah tangga yang terdiri dari 176 orang tampak dengan jelas adanya kecenderungan bahwa persentase penduduk semakin kecil pada usia yang semakin tua, meskipun terjadi distorsi pada kelompok usia 35-39 dan 45-49 tahun (Tabel 2.1). Keadaan ini mengindikasikan bahwa penduduk di Kampung Meosbekwan termasuk pada kelompok struktur muda. Penduduk pada usia produktif utama (30-44 tahun) hanya sekitar seperlima dari jumlah anggota rumah tangga yang terkena sampel. Mereka yang berada pada kelompok usia sekolah, khususnya usia wajib belajar 9 tahun (7-15 tahun) sebanyak 24,4 persen. Proporsi yang cukup tinggi (bahkan merupakan angka tertinggi menurut kelompok umur) juga ditunjukkan oleh mereka pada usia balita, yaitu hampir mencapai seperlima dari jumlah responden. Keadaan ini mengindikasikan bahwa angka DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA 15 kelahiran masih cukup tinggi. Perkiraan ini juga didukung oleh data mengenai rata-rata jumlah anggota rumah tangga yang mencapai 5,1 orang per rumah tangga, atau melebihi anjuran program keluarga berencana yang hanya 4 orang per keluarga. Angka beban ketergantungan yang merupakan jumlah anak-anak (0-14 tahun) dan penduduk usia tua (65 tahun+) menunjukkan angka yang tinggi (63,0 persen). Angka ini menggambarkan beban penduduk usia produktif masih sangat berat, karena setiap 100 orang dewasa harus menanggung sebsanyak 63 anak-anak dan orang tua. Tabel 2.1: Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, Kampung Meosbekwan, 2001 Kelompok Laki-laki Perempuan Laki+Perempuan umur 0–4 16,9 9,2 13,1 5–9 12,4 14,9 13,6 10-14 14,6 9,2 11,9 15-19 10,1 14,9 12,5 20-24 9,0 13,8 11,4 25-29 9,0 9,2 6,3 30-34 5,6 6,9 6,3 35-39 5,6 12,6 9,1 40-44 6,7 1,1 4,0 45-49 5,6 6,9 6,3 50+ 4,5 1,1 2,8 Jumlah 100,0 100,0 100,0 N 89 87 176 Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2001 Rasio jenis kelamin adalah 102,3 yang berarti terdapat 102 laki-laki setiap 100 perempuan. Secara umum tidak terdapat perbedaan mencolok antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan cukup besar antara laki-laki dan perempuan terlihat pada kelompok umur 0-4 tahun, dimana persentase laki-laki hampir mencapai dua kali lipat dari angka untuk perempuan. Walaupun proporsinya kecil, penduduk laki-laki pada kelompok usia 50 + jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Suatu kondisi yang jarang terjadi, karena dalam demografi, dikenal secara umum bahwa pada saat usia tua, jumlah perempuan umumnya lebih tinggi daripada laki-laki. Perbandingan penduduk laki-laki dan perempuan pada usia sekolah menunjukkan bahwa persentase penduduk perempuan pada usia sekolah pendidikan dasar lebih tinggi daripada laki-laki. Data menunjukkan, proporsi penduduk laki-laki usia sekolah SD (7-12 tahun) sebesar 72,0 persen, lebih rendah dari pada proporsi perempuan (83,3 persen). Keadaan sebaliknya terjadi pada kelompok usia lanjutan pertama (13-15 tahun), yaitu persentase perempuan lebih rendah (18,7 persen) daripada laki-laki (28 persen). Tingginya proporsi perempuan pada usia sekolah SD, pada kenyataannya juga diikuti dengan tingginya persentase anak perempuan usia sekolah yang sedang mengikuti pendidikan formal (lihat Tabel 2.2.). Dari hasil survei juga diketahui komposisi penduduk menurut besar anggota rumah tangga. Rata-rata anggota rumah tangga masih termasuk besar, yaitu 5,1 orang per rumah tangga, sebagaimana dikemukakan di atas. Kebanyakan penduduk memiliki 16 Studi Kasus : Kam pung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua anggota rumah tangga antara 4-5 orang (45,8 persen). Jumlah anggota rumah tangga terendah adalah dua orang, sedang yang tertinggi delapan orang. Proporsi rumah tangga dengan jumlah ART delapan orang mencapai 14,3 persen. Keadaan ini menggambarkan bahwa rumah tangga Di Kampung Meosbekwan masih tergolong pada keluarga besar. Sebagai daerah pesisir dengan tumpuan kehidupan sebagai nelayan, kebutuhan tenaga kerja keluarga mungkin menjadi salah satu faktor penyebab untuk memiliki keluarga besar. Pendidikan Informasi/data tentang pendidikan penduduk merupakan salah satu data/informasi dasar yang perlu diperhatikan dalam pengembangan intervensi program. Data pendidikan yang diuraikan dalam bagian ini adalah tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Pendidikan dapat dipakai untuk mengukur tingkat pengetahuan masyarakat/penduduk di suatu daerah. Telah diketahui secara umum bahwa kondisi pendidikan di daerah-daerah yang belum berkembang pada umumnya masih belum baik. Keadaan sama juga ditemui di daerah penelitian, yaitu misalnya ditunjukkan oleh hasil survei dimana mayoritas penduduk yang tercakup dalam sampel hanya berpendidikan SD kebawah, dan hanya sekitar 8 persen yang memiliki pendidikan tamat sekolah lanjutan (Tabel 2.2.). Tabel 2.2. Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan dan Jenis Kelamin, Kampung Meosbekwan 2001 Tingkat pendidikan Laki-laki Perempuan Laki+Perempuan Tdk. Sekolah 4,1 2,64 3,3 Tdk. Tamat SD 34,2 6,8 40,7 SD 47,9 48,1 48,0 SLTP 6,8 1,3 4,0 SLTA+ 6,8 1,3 4,0 Jumlah 100,0 100,0 100,0 N 73 77 150 Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2001 Dilihat tingkat pendidikan penduduk menurut jenis kelamin, tampak adanya kesenjangan dalam pencapaian pendidikan antara laki-laki dan perempuan. Meskipun proporsinya kecil, tampak pada Tabel 2.2 bahwa penduduk laki-laki memiliki pendidikan lebih tinggi daripada perempuan. Pada tingkat pendidikan lanjutan (SLTP dan SLTA), proporsi laki-laki mencapai kira-kira lima kali lipat dibandingkan dengan proporsi perempuan. Sebaliknya, pada tingkat pendidikan tidak/belum tamat SD, proporsi perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Pada tingkat pendidikan belum/tidak sekolah, proporsi laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Termasuk penduduk dengan tingkat pendidikan tidak/belum tamat SD adalah mereka yang pada saat ini masih sekolah. DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA 17 Tabel 2.3 Penduduk Berstatus Sekolah Berdasarkan Usia Sekolah dan Jenis Kelamin, Kampung Meosbekwan, 2001 Usia sekolah Laki-laki Perempuan Laki+Perempuan 7-12 72,7 73.7 73,2 13-15 18,2 15,8 17,1 16-18 9,1 10,5 9,7 Jumlah 100,0 100,0 100,0 N 22 19 41 Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2001 Tabulasi silang antara umur dan status kegiatan ekonomi menunjukkan bahwa diantara penduduk yang pada saat survei memiliki kegiatan sekolah (41 orang atau 32,7 persen dari seluruh penduduk), sebanyak 73,2 persen masih berada pada tingkat pendidikan sekolah dasar (Tabel 2.3). Semakin tinggi jenjang pendidikan, persentase penduduk semakin menurun. Tidak terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan, kecuali mereka pada usia pendidikan lanjutan pertama, dimana persentase penduduk laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Keadaan ini mungkin dapat menggambarkan bahwa tidak terjadi kesenjangan partisipasi sekolah antara anak laki-laki dan perempuan. Pencapaian tingkat pendidikan dan partisipasi sekolah yang masih rendah tersebut tampaknya dipengaruhi oleh faktor keterbatasan fasilitas pendidikan. Fasilitas pendidikan yang ada di kampung Meosbekwan hanya sampai tingkat SD. Sedangkan sekolah untuk tingkat SLTP ada di kampung Dorehkar yang baru dibuka pada tahun 1998. Sebelum tahun 1998, untuk melanjutkan pendidikan sampai tingkat SLTP harus ke Kabare (Ibukota Distrik) atau ke Sorong. Di samping itu, penduduk yang telah berhasil menc apai pendidikan tingkat SLTA keatas umumnya sudah keluar menetap di luar kampung. Mereka tersebar di kota Distrik, kabupaten bahkan di berbagai kota besar di Indonesia Timur. Seorang informan mengatakan sedikitnya telah ada tiga sarjana yang berasal dari kampung ini yang sekarang bekerja sebagai dosen di Manado. Sementara yang bekerja di Kota Sorong cukup banyak dan mereka ini tetap membantu penduduk kampung dalam hal peningkatan pendidikan penduduk. Mereka yang telah berhasil mencapai pendidikan tinggi dan bekerja di Sorong umumnya bersedia menampung anak-anak dari kampung Meosbekwan yang sedang menempuh pendidikan di tingkat SLTP atau SLTA. Dari wawancara mendalam dengan beberapa informan dapat diketahui bahwa motivasi orang tua untuk melanjutkan pendidikan anak-anaknya cukup besar. Meskipun fasilitas pendidikan sangat minim, tetapi motivasi untuk meningkatkan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi cukup besar. Orang tua umumnya mengirim anak-anak mereka ke Kota Sorong untuk menempuh pendidikan lebih tinggi. Di kota Sorong mereka tinggal dengan famili atau kerabat dengan cuma-cuma dan orang tua cukup mengirim biaya sekolah dan ongkos untuk membeli peralatan sekolah. Untuk biaya makan dan keperluan sehari-hari mereka ditanggung oleh keluarga yang menampungnya. Sampai sekarang ini sudah banyak sarjana yang umumnya bekerja di berbagai kota besar di Indonesia Timur yang berasal dari Kampung Meosbekwan. Selain pendidikan formal, ada berbagai jenis ketrampilan yang telah diperkenalkan kepada masyarakat kampung ini, diantaranya adalah ketrampilan membudidayakan rumput laut. Ketrampilan ini pada awalnya diperkenalkan oleh sebuah 18 Studi Kasus : Kam pung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua perusahaan CV Paksina pada tahun 1999. Perusahaan ini memperkenalkan budidaya rumput laut di seluruh kepulauan Ayau yang meliputi kampung Meosbekwan, Yankawir, Dorehkhar, Rutum dan Reni. Pihak perusahaan menyediakan bibit dan tali secara cumacuma tetapi penduduk diharuskan menjual hasil panennya ke perusahaan tersebut selama dua tahun berturut-turut. Pengenalan budidaya rumput laut ini diikuti pula dengan pengenalan ketrampilan membuat kue dan minuman yang bahan bakunya dari rumput laut. Ketrampilan yang sampai sekarang masih dikembangkan oleh penduduk adalah ketrampilan menanam rumput laut, sedangkan ketrampilan membuat kue dan minuman jarang dipraktekkan oleh masyarakat karena sulitnya pemasaran, sementara untuk penduduk lokal kurang ada permintaan. Kursus ketrampilan budidaya rumput laut ini kemudian dilanjutkan lagi oleh Fakultas Perikanan Universitas Manokwari pada tahun 1999. Agama Semua penduduk Kampung Meosbekwan memeluk agama Kristen Protestan. Agama Kristen masuk ke kampung ini pada tahun 1934 yang diperkenalkan oleh seorang pendeta bernama Mirino. Gereja pertama dibangun pada tahun 1945 yang kemudian terus direnovasi. Gereja yang ada sekarang merupakan bangunan baru yang dibangun secara gotong royong oleh penduduk. Untuk keperluan pembiayaan pembangunan gereja tersebut penduduk menerapkan sasi gereja untuk hasil laut berupa lola. Hasil penjualan lola tersebut dikumpulkan dan dipakai untuk membeli bahan bangunan, sedangkan tenaga pembangunannya dilakukan sendiri oleh penduduk secara bergotong royong. Mata Pencaharian Informasi tentang mata pencaharian penduduk merupakan asupan penting terhadap intervensi program yang berkaitan dengan income generating. Temuan penelitian memperlihatkan bahwa sub sektor perikanan merupakan sektor andalan bagi penduduk di Kampung Meosbekwan. Sumber daya laut merupakan sumber mata pencaharian pokok bagi mayoritas penduduk. Sensus rumah tangga menemukan, hampir semua penduduk bekerja sebagai nelayan. Dari 93 anggota rumah tangga yang bekerja, sebesar 95,7 persen bekerja dengan status sebagai nelayan keluarga, selebihnya bekerja sebagai pegawai negeri yang terdiri dari tiga orang guru dan seorang tenaga perawat. Pekerjaan nelayan di Kampung Meosbekwan umumnya dalam skala usaha keluarga. Kegiatan memancing ikan yang dalam istilah lokal ‘mencari’ umumnya dilakukan sendiri oleh kepala keluarga atau anggota rumah tangga laki-laki yang telah remaja dan dewasa. Sementara itu, aktifitas berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut lainnya adalah usaha budidaya rumput laut yang juga hanya melibatkan anggota rumah tangga. Pekerjaan nelayan ini tidak tergantung musim, artinya walupun musim ombak mereka tetap ‘mencari’, walaupun hasil perolehannya kadang-kadang hanya untuk konsumsi sendiri. Sementara itu, usaha budidaya rumput laut, tidak mengenal musim dan bisa diusahakan sepanjang tahun. Pekerjaan sebagai nelayan bukan hanya dilakukan oleh laki-laki, tetapi juga perempuan. Diantara penduduk dengan mata pencaharian sebagai nelayan, persentase penduduk perempuan sedikit lebih tinggi (51,7 persen) dibandingkan laki-laki (48,3 persen). Terdapat pembagian kerja yang jelas antara laki-laki dan perempuan dalam DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA 19 mengeks ploitasi jenis sumber daya laut. Para perempuan umumnya ‘mencari’ jenis-jenis SDL seperti gurita, cacing laut dan lola, sementara itu penangkapan jenis sumberdaya laut lain seperti ikan dan lobster dilakukan oleh laki-laki. Dibandingkan dengan jenis sumber daya laut lainnya, penangkapan gurita, cacing laut dan lola relatif kurang memerlukan tenaga yang besar karena SDL tersebut tingkat mobilitasnya rendah, tidak sebagaimana layaknya ikan. Di samping itu, daerah tangkapan gurita, cacing laut dan lola umumnya diperairan dekat pantai. Menangkap cacing laut dan lola dilakukan pada saat air surut (meti). Di samping ‘mencari’ gurita, cacing laut dan lola, perempuan juga bekerja sebagai pengelola utama budidaya rumput laut. Usaha budidaya rumput laut ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab perempuan, anggota keluarga lainnya seperti, suami dan anak sifatnya hanya membantu. Dikaitkan dengan status dalam keluarga juga menunjukkan bahwa persentase tertinggi dari pekerjaan sebagai nelayan keluarga adalah mereka yang berstatus sebagai isteri (36,0 persen), sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan persentase penduduk berstatus kepala rumah tangga (34,8 persen). Selebihnya adalah mereka dengan status anak menantu (22,5 persen) dan hanya 6,7 persen yang merupakan keluarga lain. Keadaan ini menggambarkan bahwa pekerjaan nelayan pada umumnya dilakukan oleh keluarga sendiri. Hal ini juga terlihat dari data mengenai rata-rata anggota rumah tangga yang bekerja, yaitu sebesar 2,6 orang per rumah tangga. Data sama memperlihatkan, kebanyakan rumah tangga memiliki anggota rumah tangga yang bekerja sebanyak 2 orang (57,1 persen), sedang yang memiliki ART bekerja 3 orang kira-kira mencapai seperlima dari keseluruhan rumah tangga (35 rumah tangga). Hanya 5,7 persen rumah tangga yang hanya mempunyai satu ART yang bekerja. Angka hampir sama ditunjukkan oleh rumah tangga yang memiliki ART bekerja 5 orang (5,7 persen). Sisanya adalah mereka yang memiliki ART bekerja 4 orang (8,6 persen) dan 6 orang (2,9 persen yang merupakan proporsi terendah). Temuan ini merefleksikan bahwa pekerja keluarga berperan besar dalam pekerjaan nelayan di daerah penelitian yang masih termasuk pada kategori nelayan tradisional. Kesehatan Sekitar akhir tahun 1980an sampai dengan pertengahan tahun 1990an penyakit lepra pernah berjangkit di kampung ini. Untuk mengatasinya pihak dinas kesehatan menempatkan seorang mantri khusus lepra yang sampai sekarang masih bertugas di kampung ini walaupun sudah tidak ada warga yang mengidap penyakit lepra. Penyakit lain yang umum diderita oleh penduduk, seperti halnya penduduk Papua pada umumnya adalah penyakit malaria. Di samping itu, penyakit Ispa (saluran pernapasan atas) dan penyakit yang berhubungan dengan pencernaan makanan juga sering diderita oleh penduduk. Menurut informasi dari petugas kesehatan kasus-kasus sakit telinga karena menyelam juga relatif besar. Meskipun kasusnya cukup besar tetapi oleh penduduk dianggap hal yang biasa dan dianggap sebagai resiko orang bekerja. Mengenai pola makan, dari pengamatan dan wawancara mendalam diketahui bahwa penduduk cukup mengkonsumsi ikan segar. Hal ini tidak seperti yang dilakukan oleh kebanyakan nelayan di daerah lain yang cenderung mengkonsumsi ikan dengan kualitas yang kurang baik karena kualitas yang baik dijual. Penduduk kampung ini umumnya mengkonsumsi ikan segar yang berkualitas. Ikan tersebut umumnya dimasak kuah atau dibakar. Jenis ikan yang dikonsumsi adalah ikan-ikan karang seperti baronang, ikan ekor kuning, ikan pari. Penduduk jarang yang mengkonsumsi ikan asin atau ikan-ikan yang kurang baik kualitasnya. Hal tersebut dikarenakan jenis ikan yang 20 Studi Kasus : Kam pung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua laku dan dijual oleh para nelayan adalah hanya ikan napoleon dan ikan karapu. Seluruh hasil tangkapan di luar ikan Napoleon dan Kerapu, dikonsumsi atau dibagi-bagikan pada tetangga. Konsumsi ikan di kalangan penduduk cukup tinggi, hampir setiap kali makan memakai ikan, bahkan jumlah ikannya dapat dikatakan lebih banyak dari sagu atau nasinya. Karena komunitas mereka cukup kecil rasa gotong royong diantara mereka cukup tinggi. Apabila ada keluarga nelayan yang berhalangan (baik karena sakit atau ada keperluan sehingga mereka tidak bisa mendapatkan ikan tetanggaya akan memberi sekedar untuk makan. Bagi keluarga yang kepala keluarganya bukan nelayan, seperti guru dan petugas kesehatan akan mendapat ikan secara cuma-cuma dari penduduk yang secara bergantian memberinya. Ikan yang dikonsumsi adalah segala jenis ikan karang dan ikan permukaan lainnya, kecuali ikan napoleon yang harganya cukup mahal. Sebelum penduduk mengetahui bahwa harga ikan napoleon mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi penduduk juga terbiasa mengkonsumsinya sebagaimana halnya ikan-ikan lainnya. Sekitar tahaun 1994-1995, penduduk mengetahui bahwa harga ikan tersebut mahal dan banyak permintaan dari pengusaha yang menampung hasil tangkapan. Oleh karena itu, penduduk tidak mengkonsumsinya lagi dan mulai menjualnya pada penampung yang sudah mulai beroperasi di wilayah Kepulauan Ayau pada tahun 1995. Penduduk jarang mengkonsumsi sayur karena sayuran tidak bisa tumbuh di kampung ini. Penduduk baru bisa menikmati sayur apabila mereka pergi ke pulau Runi (ke Kampung Dorehkhar atau Yan Kawir) meminta sayuran kepada kerabat atau famili yang tinggal di kampung tersebut. Mobilitas Penduduk Semua penduduk kampung Meosbekwan adalah Suku Biak dari marga Burdam yang berasal dari Biak Numfor. Nenek moyang mereka telah bermigrasi dari Biak Numfor ke Kepulauan Raja Ampat sejak kira-kira pertengahan abad 19. Menurut tradisi suku Biak perjalanan jauh merupakan prestasi sosial dan prestise tersendiri. Budaya mengarungi samudera luas adalah bagian yang tak terpisahkan dari ekosistensi kehidupan mereka. Hal ini tercermin dari ungkapan mereka ‘favis ia fa sinan inggo besya si babores we sub bondi in sa indo sna snonsnon ro kabasa si do’ yang terjemahan bebasnya berarti pada masa silam orang-orang tua kami senantiasa melakukan perjalanan nun jauh ke seberang lautan supaya mereka memperoleh pengakuan status sosial yang tinggi dan penghargaan di kalangan orang banyak (Mambraku, 1996). Migrasi orang Biak ke Kepulauan Raja Ampat umumnya dilakukan untuk mencari penghidupan baru. Karena kehidupan mereka di tempat asal berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut maka di tempat yang baru aktifitas penghidupan yang dipilih juga berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut. Oleh karena itu umumnya mereka memilih tempat di pulau – pulau kecil atau di daratan Pulau Waigeo dan tinggal di daerah pantai. Migrasi orang Biak Ke Kepulauan Raja Ampat dilakukan secara bergelombang. Paling sedikit ada empat gelombang dimana masing-masing gelombang terdiri dari kelompok marga yang berbeda-beda. Gelombang pertama adalah kelompok yang datang ke Kepulauan Raja Ampat dan bermukim di bagian Selatan daerah Waigeo. Mereka ini umumnya dari marga Mambrasar, Dimara, Mambraku, Suyai, Rumwaropen. Kelompok pertama ini dikenal dengan kelompok ‘Betew’. Gelombang ke dua, masuk ke DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA 21 Kepulauan Raja Ampat melalui ujung timur Waigeo, kemudian menyeberang ke selatan dan menetap di pulau Batanta. Marga yang datang pada gelombang ke dua ini diantaranya adalah Dimora, Soor, Rumbewas, Kapisa, Saleo dan Kabes dan kemudian oleh orang Biak dikenal sebagai ‘Kafdarun’. Kelompok ‘Wardo’ dan ‘Usba’ adalah kelompok yang datang pada gelombang ke tiga. Kelompok ‘Wardo’ bermukim di daratan utara pulau Waigeo, seperti di daerah Puper, Bonni, Asokweri, Rauki dan Kapadiri. Sementara itu, kelompok ‘Usba’ mendiami pulau-pulau di Waigeo Utara, termasuk diantaranya di Kepulauan Ayau yang bermukim di Meosbekwan, Dorekhar, Yenkawir, Rutum dan Reni. Marga yang bermukim disini antara lain Mayor, Paraibo, Sanadi, Umpes, Mambrisau, Rumbewas, Wanma dan Burdam yang bermukim di Meosbekwan. Marga Burdam yang sekarang masih tinggal di kampung ini merupakan generasi ke empat dari nenek moyang mereka. Keret Burdam yang tinggal di Meosbekwan terdiri dari lima sub marga yaitu Burdam Sanumbu atau Warwe, Marau, Wakre dan Aom. Sub marga Sanumbu atau Warwe adalah merupakan kelompok pertama yang datang ke Meosbekwan yang kemudian disusul berturut-turut oleh Marau, Wakre dan Aom. Kelompok yang datang dari daerah Samber dan Numfor datang pada gelombang ke empat dan bermukim di di daerah Salawati dan Pulau Batanta bagian Utara. Kelompok yang bermukim di Salawati berasal dari daerah Samber sehingga dikenal sebagai ‘Samber’. Marga yang masuk dalam kelompok ini antara lain adalah Bukorpioper, Mampioper, Sanadi, Mambrasar, Mabraku, Rumaseb dan Wospakrik. Sementara yang menetap di daerah Salawati dikenal sebagai kelompok “Numfor Doreh’. Meskipun semua orang Biak yang sekarang menetap di Kepulauan Raja Ampat merupakan pendatang yang bermigrasi secara bergelombang mereka memperoleh legitimasi dan pengakuan untuk hidup berdampingan dengan kolektifitas etnis asli. Bahkan bahasa Biak telah menjadi bahasa komunikasi (lingua franka) antara orang Biak dan etnis asli. Mereka juga menganggap dirinya sebagai orang lokal bukan pendatang (Mambraku, 1996). Penduduk Meosbekwan yang telah berpendidikan umumnya telah bermigrasi ke luar kampung. Keterbatasan lapangan pekerjaan membuat mereka harus pergi meninggalkan kampung guna mencari penghidupan. Penduduk yang sekarang tinggal umumnya adalah para orang tua dan anak-anak usia sekolah SD serta balita. 2.4. Sarana dan prasarana sosial dan ekonomi Jarak Kampung Meosbekwan dengan ibukota Distrik Waigeo Utara (Kabare) dapat ditempuh sekitar tiga sampai empat jam menggunakan kapal motor berkekuatan 40 PK. Sementara itu jarak kampung ini dengan ibukota Kabupaten Sorong sekitar 130 mil laut dan memerlukan waktu sekitar delapan sampai dengan sembilan jam perjalanan dengan menggunakan kapal motor berkekuatan 40 PK. Sarana transportasi dari kampung ke ibukota distrik maupun ke ibukota kabupaten sangat minim. Pada saat ini tidak ada angkutan laut yang secara reguler melayani penduduk untuk pergi ke ibukota distrik maupun ibukota kabupaten. Karena kelangkaan sarana transportasi tersebut penduduk secara turun temurun mengusahakan kapal angkutan secara bersama-sama. Sejak jaman nenek moyang, penduduk telah mempunyai kebiasaan gotong royong mengusahakan kapal angkutan untuk seluruh warga kampung. Kapal tersebut digunakan untuk transportasi ke ibukota distrik atau kabupaten dalam rangka menjual hasil laut maupun belanja kebutuhan 22 Studi Kasus : Kam pung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua sehari-hari seperti beras dan sagu. Sebelum bisa mengusahakan kapal motor, penduduk menggunakan kapal layar untuk pergi ke ibukota distrik dan kabupaten. Dengan menggunakan kapal layar untuk pergi ke Kabare memerlukan waktu sedikitnya satu hari, sedangkan untuk ke Sorong memerlukan waktu paling sedikit sehari semalam. Pada tahun 1984 penduduk mulai dapat mengusahakan kapal motor secara bersamasama. Sejak saat itu penduduk menggunakan kapal motor untuk transportasi ke ibukota distrik maupun ibukota kabupaten. Antara tahun 1990 sampai dengan 1999 ada kapal perintis yang dimiliki oleh perusahaan swasta yang sempat beroperasi melayani pengangkutan penumpang dan barang ke Sorong. Pada saat itu masyarakat kampung merasa sangat terbantu dengan beroperasinya kapal perintis tersebut, meskipun pelayaran hanya diadakan dua kali dalam satu bulan. Dengan beroperasinya kapal perintis tersebut penduduk bisa menjual hasil laut secara rutin ke Sorong dengan ongkos yang relatif lebih murah. Ongkos untuk sekali jalan ke Sorong hanya dikenakan biaya sebesar Rp 7.000. Setelah kapal perintis tersebut tidak beroperasi lagi penduduk kembali lagi secara bergotong royong mengusahakan kapal yang dapat memuat sekitar 20 orang dan 3 ton barang dengan mesin 40 PK. Paling sedikit sebulan sekali kapal tersebut digunakan oleh penduduk pergi ke Sorong baik untuk belanja maupun menjual hasil laut seperti ikan asin dan rumput laut. Sekali jalan tiap penumpang dibebani ongkos sebesar Rp 50.000 untuk mengganti ongkos bahan bakar dan perbaikan kapal. Di Kepulauan Ayau pada umumnya dan Kampung Meosbekwan pada khususnya sampai saat ini belum tersedia fasilitas ekonomi seperti pasar atau tempat pelelangan ikan. Penduduk harus pergi ke ibukota distrik atau ibukota kabupaten untuk belanja kebutuhan sehari-hari sekaligus menjual hasil laut seperti ikan asin dan rumput laut. Sementara itu untuk menampung hasil produksi laut berupa ikan segar (ikan napoleon dan kerapu) telah ada perusahan pengumpul ikan yang menampung. Untuk Kampung Meosbekwan perusahaan pengumpul ini tergabung dalam PT Mariat Utama yang berkedudukan di Sorong yang mulai beroperasi tahun 1998. Selain di Meosbekwan, perusahaan ini juga mempunyai pangkalan lain di Rutum, Meosbekwan, Boni dan Pupper. Sebelum tahun 1998, nelayan memasarkan ikan napoleon dan kerapu ke pedagang pengumpul yang ada di Kampung Dorehkar. Kampung ini belum mempunyai fasilitas penerangan listrik. Penduduk umumnya menggunakan lampu minyak sebagai alat penerangan rumah tangga. Pada acara-acara tertentu, terutama yang berkaitan dengan upacara keagamaan yang dilakukan pada malam hari pihak gereja mengoperasikan generator yang bisa menerangi sebagian lampu-lampu jalan kampung sekitar tempat upacara. Pada tahun 1991 pihak Puskopal yang pernah mempunyai izin usaha menangkap ikan di perairan wilayah kampung ini membantu generator untuk penerangan kampung. Generator ini hanya berfungsi sekitar satu tahun karena rusak dan penduduk kurang bisa memeliharanya. Di samping itu, sering pula tidak bisa beroperasi karena sulitnya mendapatkan bahan bakar. Mengenai fasilitas pendidikan, sampai tahun 2001 sekolah yang ada adalah sekolah dasar yang didirikan pada tahun 1949. Sekolah Dasar ini adalah merupakan sekolah Yayasan Kristen-Protestan (Gereja Kristen Injili). Guru yang bertugas di sekolah ini ada dua orang, satu guru umum dan satu guru agama yang menetap di kampung ini. Rata-rata tiap kelas muridnya sekitar 7 sampai 10 orang. Untuk fasilitas pendidikan tingkat SLTP terdapat di kampung Dorehkhar yang baru didirikan pada tahun 1999. Kampung Dorehkhar terletak di pulau Runi, pulau terdekat dari Pulau Meos Bekwan. Perjalanan ke pulau Runi memerlukan waktu sekitar 1 jam dengan menggunakan kapal berkekuatan sekitar 15 PK. Umumnya anak-anak yang melanjutkan ke jenjang DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA 23 pendidikan tingkat SLTP tinggal di Kampung Dorehkhar dengan menumpang pada famili atau kenalan orang tuanya. Sebelum tahun 1999 penduduk yang melanjutkan pendidikan ke tingkat SLTP harus pergi ke ibukota Distrik (Kabare) atau di kota Sorong). Sementara itu fasilitas pendidikan tingkat SLTA yang terdekat terdapat di Distrik Waigeo Selatan di kepulauan Raja Ampat. Namun demikian penduduk umumnya melanjutkan pendidikan tingkat SLTAnya ke kota Sorong karena sama-sama harus pergi dari kampung dan transportasi ke Sorong lebih mudah dibandingkan ke Waigeo Selatan. Fasilitas pelayanan kesehatan yang ada adalah seorang mantri kesehatan. Mantri kesehatan ini pada awalnya bertugas sebagai tenaga kesehatan khusus untuk menangani pemberantasan penyakit lepra pada tahun 1994. Meskipun penyakit lepra sudah dinyatakan tidak ada di kampung tersebut karena sampai sekarang belum ada tenaga kesehatan lainnya yang ditugaskan maka mantri tersebut masih memberikan pelayanan kesehatan umum kepada masyarakat. Pada awal tahun 2000 telah ditempatkan satu bidan desa, tetapi karena sangat terpencil bidan tersebut hanya bertahan satu bulan saja dan kemudian pindah ke Kota Sorong. Meskipun telah ada satu mantri yang bersedia memberikan pelayanan kesehatan, namun masyarakat belum memanfaatkannya secara optimal. Alasan mereka kurang memanfaatkan pelayanan yang diberikan mantri karena menganggap bahwa mantri tersebut bukan yang secara resmi ditugaskan dan dahulunya hanya menangani masalah penyakit lepra. Penduduk cenderung untuk menggunakan obat-obatan tradisional dari daun-daunan untuk menyembuhkan penyakit yang diderita. Di samping menggunakan obat-obatan tradisional penduduk juga mengatasi segala macam penyakit dengan bantuan doa. 2.5. Kelembagaan Sosial, Ekonomi dan Budaya Kelembagaan sosial yang menonjol di Kampung Meosbekwan adalah organisasi gereja. Bagi penduduk di Kampung Meosbekwan, gereja mempunya peranan yang sangat dominan, bukan hanya kegiatan yang menyangkut keagamaan, tetapi juga dalam aspek lain yang berhubungan dengan aspek sosial dan ekonomi. Sementara itu kelembagaan yang umumnya ada di setiap kampung seperti Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) kegiatannya belum bisa berjalan dengan semestinya. Setelah ada perubahan dari LKMD ke Badan Perwakilan Desa (BPD), sampai pertengahan tahun 2001 lembaga ini belum terbentuk. Agama Kristen pertama kali masuk ke Kampung Meosbekwan pada tahun 1934. Menurut seorang narasumber, misionaris yang datang ke Kampung Meosbekwan adalah marga Mirino yang berasal dari Yenkawir. Gereja yang di kawasan kepulauan Ayau merupakan bagian dari Gereja Kristen Injili (GKI) yang berpusat di Jayapura dan dibawah binaan (klasis) GKI Sorong. Sampai saat ini tidak ada pendeta atau pun guru jemaat yang khusus melayani jemaat di Kampung Meosbekwan. Struktur organisasi gereja di Kampung Meosbekwan disesuaikan dengan pengelompokan masyarakat. Setiap kelompok marga mempunyai seorang perwakilan yang dipilih oleh anggotanya untuk menjadi majelis. Kemudian diantara majelis tersebut dipilih seorang yang diangkat sebagai ketua majelis yang berperan sebagai pemimpin ibadah minggu. Untuk pembinaan, anggota jemaat dibagi ke dalam empat kelompok persekutuan, Persekutuan Kaum Bapa (PKB), Persekutuan Wanita (PW), Persekutuan Angkatan Muda (PAM) dan Persekutuan Anak dan Remaja (PAR). Kegiatan rutin dari 24 Studi Kasus : Kam pung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua masing-masing kelompok ini adalah melakukan ibadah setiap minggu sore dan latihan paduan suara. Tempat ibadah sore adalah di rumah anggotanya secara bergiliran. Selain mengurusi kegiatan yang berhubungan dengan masalah keagamaan, kelompok persekutuan juga mempunyai fungsi ekonomi. Masing-masing anggota kelompok, termasuk anak-anak mempunyai kewajiban untuk membayar iuran setiap bulannya. Iuran anggota PW sebesar Rp 20.000 per tahun, anggota PKB sebesar Rp 30.000 dan iuran PAR sebesar Rp 15.000. Iuran tersebut digunakan untuk kegiatan organisasi dan kepentingan anggotanya, termasuk bila ada yang kekurangan uang, dapat meminjam ke organisasi tanpa dipungut bunga. Jemaat gereja Meosbekwan memiliki sebuah perahu besar (bodi besar) yang dikelola bersama-sama. Perahu ini biasanya dipergunakan oleh penduduk untuk pergi ke Sorong dan ke Kabare dengan menggunakan motor yang dimiliki oleh kelompok marga. Untuk ke Sorong setiap orang di pungut bayaran Rp. 80.000 pp sebagai pengganti bahan bakar. Tradisi memiliki kapal secara bersama-sama ini telah ada sejak jaman nenek moyang. Body besar dibuat dengan cara bergotong-royong. Masyarakat Kampung Meosbekwan mengenal suatu sistem untuk mengelola sumber daya alam yang dikenal dengan nama ‘sasi’ atau dalam bahasa lokal disebut ‘kabus’. Penetapan dan penggunaan ‘sasi’ seperti sama dengan masyarakat di Maluku. ‘Sasi’ diterapkan dengan tujuan agar pemanfaatan potensi alam dapat berkelanjutan. ‘Sasi’ merupakan aturan dan strategi sosial untuk mengelola lingkungan secara efektif, guna memastikan: 1. Kesempatan yang adil dan sama bagi masyarakat lokal untuk mendapatkan hasil dan manfaat dari kawasan laut dan darat yang dijaga, 2. Kesinambungan pengelolaan sumber daya alam yang tersedia, 3. Kesempatan yang sama bagi masyarakat lokal untuk memperoleh manfaat tambahan dari biota laut yang ada ( Mayalibit, 1994). Dalam ‘sasi’ dikenal istilah buka dan tutup ‘sasi’. Tutup ‘sasi’ adalah pelarangan mengambil/mengeksploitasi sumber daya yang di ‘sasi’ selama kurun waktu tertentu. Buka sasi adalah masa untuk mengambil/mengeksploitasi sumber daya yang di ‘sasi’ secara bersama-sama. Hasil ini biasanya digunakan untuk keperluan bersama. Sumber daya darat yang sering di sasi adalah kopra, sedangkan untuk sumber daya laut adalah lola dan lobster. Ada dua macam sasi, yaitu ‘sasi’ adat dan ‘sasi’ gereja. ‘Sasi’ adat adalah sasi yang dibuat oleh kelompok adat, sedangkan sasi gereja adalah ‘sasi’ yang di sahkan oleh gereja. Menurut seorang nara sumber, sekarang ini ‘sasi’ adat sudah tidak di pergunakan lagi, karena tidak ada sangsi yang mengikat. Sekarang lebih sering digunakan sasi gereja. Hal ini disebabkan ‘sasi’ gereja lebih efektif. Bila menggunakan ‘sasi’ gereja orang-orang lebih mentaatinya, sedangkan ‘sasi’ adat kurang ditaati. Selain lembaga gereja, masyarakat juga mempunyai kelompok adat yang anggotanya berdasarkan kelompok marga yang dikenal dengan sebutan ‘keret’. Setiap ‘keret’ mempunyai seorang ketua, biasanya orang yang dianggap tua atau yang dituakan di kelompok tersebut. DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA 25 Bab III Pengelolaan Sumberdaya Laut Pengelolaan wilayah dan sumberdayanya di kawasan laut Indonesia dilakukan oleh tiga pihak, yaitu: pemerintah, pengusaha dan masyarakat. Pengelolaan wilayah laut yang dilakukan oleh pemerintah terwujud dalam berbagai peraturan perundangan seperti larangan penangkapan ikan dengan potasium dan bom, larangan penambangan karang, pengaturan tentang wilayah tangkap serta berbagai bentuk peraturan pengelolaan wilayah laut yang lain. Dalam perkembangannya, sistem pengelolaan yang dibuat oleh pemerintah dijadikan sebagai acuan dalam pengelolaan sumberdaya laut di seluruh kawasan laut wilayah Indonesia. Dengan demikian, pengelolaan wilayah laut yang dilakukan oleh pemerintah bersifat top-down. Ini berarti bahwa semua kegiatan pengelolaan sumberdaya laut mulai dari pembuatan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan monitoring dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah, tanpa melibatkan partisipasi masyarakat lokal yang sehari-hari hidupnya dari hasil pemanfaatan sumberdaya laut. Selain dilakukan oleh pemerintah, pengelolaan wilayah laut dilakukan juga oleh pengusaha yang ada kaitannya dengan sumberdaya laut. Dengan berbekal izin dari pemerintah, beberapa pengusaha mengklaim suatu wilayah laut tertentu dan mengeksplorasi sumberdaya yang ada di dalamnya serta melarang pihak lain (baca: masyarakat nelayan di sekitarnya) untuk memasuki wilayah tersebut. Sering pula diketemukan para pengusaha memiliki hak eksklusif (baca: monopoli) dalam membeli dan menentukan harga komoditas yang dihasilkan oleh masyarakat dengan memberikan bantuan modal usaha dan alat tangkap. Jauh sebelum pemerintah dan industri melakukan pengelolaan wilayah laut, masyarakatlah yang pertama-tama melakukannya, yakni di sekitar tempat tinggal mereka yang sekaligus sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pengelolaan wilayah laut yang dilakukan oleh masyarakat, sampai saat ini masih dipraktekkan di kawasan Timur Indonesia, seperti sasi di Maluku, pele karang di kabupaten Jayapura, Irian Jaya, malombo di Pulau Sangihe dan paroppo di Sulawesi Selatan. Walaupun pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat dirasakan sangat menguntungkan bagi mereka, namun dari pihak pemerintah dianggap merugikan. Oleh pemerintah, praktek yang dilakukan oleh masyarakat akan menganulir eksistensi sebuah izin usaha penangkapan yang berarti pula mengurangi pendapatan asli daerah sekaligus juga menurunkan kewibawaan pemerintah. Uraian berikut ini akan membahas secara khusus pengelolaan sumberdaya laut yang dilakukan oleh masyarakat Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Irian Jaya. Namun demikian tidak dapat dihindarkan bahasan akan menyangkut pula kawasan Kepulauan Ayau, karena wilayah ini, baik lingkungan fisik maupun sumberdaya alamnya serupa. 3.1. Analisis Stakeholder Uraian sebelumnya telah menggambarkan bahwa pengelolaan wilayah laut dilakukan oleh tiga pihak. Masing-masing pihak memiliki pandangan yang beragam terhadap lingkungan wilayah laut, sehingga dalam memperlakukannya pun menjadi 27 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA berbeda pula. Perbedaan itu sering menimbulkan konflik dalam memperlakukan wilayah laut yang pada gilirannya berdampak pada kerusakan lingkungan laut dan over fishing. Dalam realitasnya yang disebut pemerintah adalah jamak. Selain terdiri dari berbagai kelembagaan yang menangani sektor-sektor tertentu yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah laut, seperti Departemen Kelautan dan Perikanan, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Departemen Kehutanan dan Kantor Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata. Pemerintah juga memiliki hirarkhi yang bersifat vertikal, mulai dari tingkat pusat, propinsi, kabupaten, kecamatan sampai dengan tingkat desa. Peran pemerintah dalam pengelolaan wilayah dan sumberdaya laut pada umumnya sebagai pembuat peraturan, fasilitator untuk pembangunan sarana dan prasarana (darmaga, TPI, kapal penangkap ikan) sekaligus juga memegang peran sebagai pelaksana program dan pengawas atas peraturan perundangan yang dibuatnya. Di wilayah laut di Kepulauan Ayau (di dalamnya termasuk Kampung Meosbekwan) peran pemerintah yang tampak menonjol dalam pengelolaan adalah dalam pembuatan peraturan yang di keluarkan oleh tingkat pusat, propinsi dan kabupaten. Peraturan perundangan yang dimaksud berupa Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 803/KPTS/07-210/12/94 tanggal 13 Desember 1994 yang mengatur penyerahan urusan pemerintah pusat kepada daerah otonomi tingkat II dalam menerbitkan izin usaha perikanan bagi nelayan yang memiliki kapal ikan berkapasitas di bawah 10 GT. Selanjutnya, Peraturan Daerah Propinsi Dati I rI ian Jaya No. 12 tahun 1995 yang mengatur penyerahan sebagian urusan Pemerintah Dati I untuk bidang perikanan kepada Dati II Sorong. Perda tersebut ditindaklanjuti dengan SK Gubernur Propinsi Dati I Irian Jaya dalam bidang usaha perikanan kepada Pemda Dati II Sorong untuk menerbitkan izin usaha perikanan bagi kapal ikan yang berkapasitas 10 s/d 30 GT. Masih dalam kaitannya dengan izin usaha perikanan, Pemda Dati II Sorong mengeluarkan SK Bupati No. 239 tahun 2000. Dalam SK itu diatur tentang perizinan usaha perikanan yang diwajibkan dan dikecualikan untuk memiliki IUP serta larangan pemegang IUP menggunakan alat atau bahan yang dapat merusak atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan. Khusus mengenai larangan penggunaan alat atau bahan yang dapat merusak sumberdaya ikan pada level pemerintahan paling bawah dituangkan dalam Surat Kepala Wilayah Distrik Waigeo Utara No. 300/329/98. Pada surat ini secara tegas dinyatakan bahwa eksploitasi sumberdaya laut tidak boleh menggunakan potasium, akar bore/akar tuba dan bahan peledak di seluruh wilayah Distrik Waigeo Utara. Peraturan perundangan lain berupa Perda Kabupaten Dati II Sorong No. 11 tahun 1996 tentang pelelangan ikan. Pada intinya Perda itu mengatur penempatan pelelangan ikan, jumlah retribusi yang dipungut kepada nelayan dan pembeli serta penggunaan pungutan retribusi. Jumlah pungutan retribusi yang harus dibayarkan oleh nelayan dan pembeli sebesar 6% (suatu besaran yang lebih tinggi dari rata-rata pungutan retribusi di Pulau Jawa, sebesar 5 %). Sementara penggunaan retribusi paling besar untuk Pemda (65 %), biaya operasional TPI (25 %) dan untuk kesejahteraan nelayan hanya 10 %. Perda ini sama sekali tidak efektif untuk masyarakat nelayan di Kepulauan Ayau, sebab jenis sumberdaya yang dijual dalam keadaan hidup dan biasanya secara langsung menjual kepada pembeli yang datang ke daerah mereka. Dalam laporan tahunan Dinas Perikanan Dati II Sorong tahun 2000 menyebutkan bahwa usaha-usaha yang telah dilakukan oleh Dinas Perikanan dalam pengelolaan sumberdaya laut yang didasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku adalah: 1. Melarang penggunaan alat atau bahan yang dapat merusak atau mencemari lingkungan laut. 28 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua 2. Hanya menerbitkan izin usaha penangkapan ikan kerapu dan napoleon kepada masyarakat nelayan lokal. 3. Memberikan rekomendasi usaha pengumpulan ikan kerapu dan napoleon dengan memenuhi syarat: memiliki kelompok nelayan binaan yang berasal dari daerah setempat melalui kerjasama dalam bentuk pola PIR. 4. Melakukan pembatasan perdagangan ikan napoleon hanya ukuran 1-3 kg baik untuk antar pulau maupun untuk antar daerah. 5. Hanya merekomendasikan penggunaan alat tangkap ikan dan udang yang ramah lingkungan. 6. Mengarahkan usaha budidaya ketimbang usaha penangkapan di laut untuk mengurangi dampak penggunaan alat tangkap yang merusak. Seperti halnya dengan pemerintah, pengusaha juga tidak dapat dikatakan tunggal. Selain perbedaan bahan baku yang mendasari perbedaan kepentingan, juga tidak menutup kemungkinan perbedaan kepentingan antara pengusaha satu dengan lainnya walaupun bahan baku yang diusahakan sama. Berbeda dari pemerintah, pengusaha (pengumpul ikan kerapu dan napoleon serta pedagang rumput laut) sangat berkepentingan terhadap terjaminnya ketersediaan sumberdaya laut untuk kelangsungan usahanya. Itulah sebabnya pihak pengusaha dalam praktiknya memberikan bantuan alat-alat penangkapan atau bantuan bahanbahan sekaligus bibit untuk budidaya rumput laut dan bahkan sampai memberikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan sembilan bahan pokok para nelayan. Dengan praktik semacam itu terciptalah hubungan saling ketergantungan antara pengusahanelayan yang tidak setara. Jika dilihat dari stratifikasinya, pihak pengusaha memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada nelayan, karena kemudian pengusaha dapat menentukan secara sepihak penetapan harga sumberdaya laut yang menguntungkan dirinya dan dirasakan merugikan oleh nelayan. Dengan demikian kepentingan utama para pengusaha adalah memperoleh keuntungan sebesar mungkin dengan biaya yang sangat rendah. Dalam realitasnya, apa yang disebut masyarakat itu sangat heterogen. Dalam perspektif terbatas, masyarakat bisa diartikan sebagai orang-orang yang kehidupannya tergantung langsung pada sumberdaya laut, yaitu nelayan. Akan tetapi nelayan itu sendiri tidaklah tunggal, karena di dalamnya terdapat perbedaan teknologi yang digunakan, perbedaan sumberdaya yang ditangkap, dan perbedaan etnik. Selain itu, masyarakat yang kehidupannya tergantung pada hasil laut juga bukan hanya yang langsung mengeksploitasi sumberdaya laut, melainkan juga mereka yang tidak secara langsung memperoleh manfaat dari pengelolaan lingkungan laut, seperti pedagang ikan. Dengan demikian yang disebut masyarakat juga meliputi pihak-pihak lain yang berkepentingan terhadap kelestarian lingkungan hidup, seperti lembaga swadaya masyarakat. Namun demikian, khusus untuk nelayan di Kepulauan Ayau, perbedaanperbedaan seperti telah disebutkan di atas tidak tampak menonjol. Artinya, nelayan di Kampung Meosbekwan dalam mengeksploitasi sumberdaya laut menggunakan semua alat yang umum digunakan oleh masyarakat nelayan. Pada hari ini seorang nelayan menggunakan pancing, tetapi keesokan hari bisa menggunakan senapan dan begitu seterusnya pada hari yang lain. Pertimbangan pokok nelayan dalam menggunakan alat tangkap tertentu sangat tergantung pada sumberdaya yang hendak ditangkap. Begitu juga halnya dengan etnik, masyarakat Meosbekwan dapat dikatakan sebagai etnik yang sama bahkan keret yang sama pula. Dengan kata lain nelayan Kampung Meosbekwan 29 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA dan umumnya di Kepulauan Ayau dapat dikatakan homogen dalam menggunakan alat tangkap dan etnik, sehingga kepentingan mereka dapat dianggap tunggal, yaitu menangkap ikan dan budidaya rumput laut, memproses menjadi bahan jadi/setengah jadi sampai dengan memasarkan sumberdaya laut sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup. 3.2. Pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya laut 3.2.1. Pengetahuan Tentang Terumbu Karang Dari hasil survai terhadap masyarakat Meosbekwan berkaitan dengan istilah “terumbu karang”, tampak jelas mereka sangat memahaminya. Mereka memiliki kosakata bosen yang sama artinya dengan terumbu karang. Hal itu dapat dimengerti, sebab wilayah laut Kepulauan Ayau merupakan wilayah terumbu karang terbesar di wilayah Kabupaten Dati II Sorong, yaitu 168.380 ha (Laporan Tahun 2000 Dinas Perikanan Dati II Sorong, h. 5). Dari pengamatan di lapangan, keberadaan bosen di pulau-pulau yang merupakan gugusan Kepulauan Ayau keberadaannya mulai dari pinggir pantai sampai dengan dua mil ke tengah laut. Dengan demikian setiap pulau di kawasan itu dikelilingi oleh hamparan terumbu karang. Masyarakat Meosbekwan mengenal dengan baik beberapa jenis karang dan sumberdaya laut lainnya yang hidup di dalamnya. Dengan cara menunjukkan gambargambar yang ada dalam buku Mengenal Terumbu Karang Indonesia, Buku Panduan Lapangan Nasib Terumbu Karang di Tangan Anda yang diterbitkan oleh Sekretariat Coremap, sejumlah narasumber dapat dengan mudah mengidentifikasi berbagai jenis terumbu karang yang ada di wilayah perairan Kepulauan Ayau. Tabel berikut menunjukkan jenis-jenis terumbu karang dan nama lokal yang dikenal oleh masyarakat. Tabel 3.1. Nama-nama Sumberdaya Laut yang Dikenal Masyarakat Meosbekwan No Nama Indonesia 1 2 3 4 5 6 7 8 Karang mati Karang hidup Karang Karang (dengan batang besar) Bulu seribu Karang akar bahar Kipas laut Karang 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Lili laut Karang Lili laut Napoleon Kerapu bebek Udang batu/lobster Baronang lada Lingkis Gurita Ubur-ubur Bintang laut linkia Triton Cumi-cumi Nama Lokal Bosen inmar Bosen ibie Ros Ros kenapure Romanam Kasiombite Kasiombit fanandike Ros wempin mawai atau wempin nike Kankung rame Mannawe Mansiriap Inmaming Indaf arkar Amos Indos Insarek Kait komrof Kangkun Mansawandum Kuwur Fara Nama Ilmiah Stylophora Stylophora Acanthaster Ellisella Subergorgia Seriatopora Crinoid Montipora Lamprometra ? Ephinephelus Panulirus Penicillatus Siganus Siganus Octopus Mastigias Linckia Charonia Loligo Spp Sumber: Wawancara Mendalam dengan Beberapa Narasumber di Kepulauan Ayau, COREMAPLIPI, 2001. 30 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua Mengenai pengetahuan tentang kegunaan terumbu karang hasil survai menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa terumbu karang merupakan sumber berbagai bahan baku (74,3 %). Selain sebagai sumber bahan baku, sebagian besar responden juga setuju bahwa terumbu karang bernilai ekonomi, perdagangan dan industri (54,3 %). Berkaitan dengan kegunaan terumbu karang sebagai tempat ikan hidup, bertelur dan mencari makan hanya sekitar 22,9 % yang menjawab setuju. Pengetahuan responden terhadap kegunaan terumbu karang sebagai pelindung pantai dari ombak dan badai, dan melestarikan keanekaragaman hayati serta sebagai obyek pariwisata relatif rendah. Hanya sekitar 8,6 persen yang menjawab bahwa terumbu karang berguna untuk melindungi pantai dari ombak. Sementara itu responden yang menjawab bahwa terumbu karang berguna untuk keanekaragaman hayati dan sebagai objek pariwisata masing-masing hanya sekitar 3 persen. Dengan pengetahuan seperti tersebut di atas menunjukkan bahwa masyarakat yang mata pencahariannya sebagai nelayan, menyadari bahwa sebagian besar bahan baku untuk kepentingan hidupnya diperoleh dari terumbu karang. Begitu juga halnya dengan pengetahuan bahwa terumbu karang sebagai tempat ikan hidup, bertelur dan mencari makan, adalah keadaan yang sangat biasa mereka lihat dalam usaha “mencari”. Namun mereka belum paham bahwa terumbu karang juga berguna untuk menahan ombak, melestarikan keanekaragaman hayati serta memiliki potensi untuk ekoturisme. Tabel 3.2. Pengetahuan Masyarakat Tentang Kegunaan Terumbu Karang (N=35) No Pengetahuan Tentang Kegunaan Terumbu Persen Karang 1. Sumber berbagai bahan baku 74,3 2. Nilai ekonomi, perdagangan dan industri 54,3 3. Tempat ikan hidup, bertelur dan mencari makan 22,9 4. Melindungi pantai dari ombak dan badai 8,6 5. Melestarikan keanekaragaman hayati 2,9 6. Obyek pariwisata 2,9 Sumber: Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2001 Pengetahuan mengenai dampak dari kerusakan terumbu karang sangat terkait dengan pengetahuan mengenai kegunaan terumbu karang. Hal tersebut terlihat dari cukup besarnya proporsi responden (77,1 % dan 57 %) yang mengatakan bahwa jika terumbu karang rusak bahan baku akan berkurang dan nilai ekonomi menurun. Dengan landasan pengetahuan yang dimiliki oleh responden semacam itu dapat menuntun mereka kepada sikap dan prilaku positif dalam mengelola lingkungan laut. Hal tersebut dikarenakan pada saat ini dan pada masa yang akan datang, satu-satunya sumber pendapatan masyarakat adalah dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada di alam sekitarnya. 31 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Tabel 3.3. Pengetahuan Responden Mengenai Dampak Dari Kerusakan Terumbu Karang No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Pengetahuan Tentang Dampak Dari Kerusakan Terumbu Karang Bahan baku menurun Nilai ekonomi menurun Jumlah dan jenis ikan berkurang Kerusakan pantai Keanekaragaman hayati berkurang Merusak potensi pariwisata Persen N= 35 77,1 57,1 22,9 11,4 5,7 2,9 Sumber: Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2001 Menurut persepsi masyarakat, degradasi kulitas lingkungan terumbu karang di lingkungan perairan kawasan Kepulauan Ayau sudah terjadi. Hal ini tercermin dari cukup besarnya (82,9 %) proporsi responden yang menyatakan bahwa kondisi terumbu karang di wilayah perairan Kepulauan Ayau pada saat ini dalam kondisi rusak. Indikasi telah terjadi kerusakan tersebut sejalan dengan hasil wawancara mendalam dengan beberapa informan. Menurut mereka, di beberapa tempat ditemukan bosen inmar (karang mati), terutama di bagian selatan dan utara Pulau. Kerusakan itu karena ulah para pengusaha menggunakan alat tangkap yang merusak, seperti penggunaan racun sianida yang dilakukan oleh para penangkap ikan Napoleon dari perusahaan Grevis pada tahun 1990 sampai dengan 1993 dan Puskopal serta akibat pengeboman yang dilakukan oleh nelayan dari Ternate. Namun demikian ada responden yang mengatakan sebaliknya, yaitu kondisi terumbu karang lima tahun lalu lebih buruk (8,6 %) dari kondisi sekarang. Pendapat terakhir ini agak berlawanan dengan hasil wawancara mendalam seperti telah disebutkan di atas, yakni dengan ditemukannya kerusakan terumbu karang yang sebelumnya diketahui dalam kondisi baik. Bisa jadi jawaban ini muncul bukan berasal dari suatu perbandingan antara fakta keadaan terumbu karang masa lalu dengan masa kini. Diduga responden hanya memiliki pengetahuan kondisi terumbu karang pada masa lalu saja, yaitu ketika awal-awalnya sumberdaya laut (napoleon, kerapu dan lobster) memiliki nilai ekonomis tinggi, sehingga para nelayan yang bekerja/memasok sumberdaya laut tersebut kepada perusahaan pengumpul hasil laut, mengeksploitasi secara intensif dengan menggunakan racun sianida. Kini mereka tidak lagi secara aktif “mencari” karena alasan umur dan kesehatan, sehingga tidak tahu persis keadaan terumbu karang saat ini. Tabel 3.4.: Pengetahuan tentang kondisi terumbu karang saat ini dibandingkan dan Lima Tahun Yang Lalu (N=35) Pengetahuan Mengenai Kondisi Terumbu Karang Pada Saat ini dan Lima Tahun yang Lalu • Kondisi Terumbu Karang Pada Saat Ini Baik Kurang Baik Rusak • Kondisi Terumbu Karang Lima Tahun yg Lalu Baik Kurang Baik Rusak Sumber: 32 Persentase N= 35 8,6 82,9 5,7 22,9 68,6 8,7 Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2001 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua 3.2.2. Pengetahuan Tentang Alat Tangkap Dalam hal pengetahuan mengenai alat tangkap, responden dapat membedakan secara jelas antara alat tangkap yang tidak merusak dengan alat tangkap yang merusak terumbu karang. Dari variasi jawaban jenis-jenis alat tangkap, sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang benar, sehingga diharapkan di masa mendatang dengan berbekal pengetahuannya itu mereka dapat menjaga lingkungan lautnya. Sebagian besar responden menyatakan bahwa alat tangkap yang digolongkan dapat merusak adalah: bom (94,3 %) dan racun/sianida/akar bore (71,4 %), sedangkan alat tangkap bagan, bubu dan jaring dapat dianggap tidak merusak, karena proporsinya sangat kecil. Tabel 3.5: Pengetahuan Responden Tentang Jenis Alat Tangkap yang Merusak N= 35 Jenis Alat Tangkap yg Merusak Persentase Bom 94,3 Racun/sianida/akar bore 71,4 Jaring 11,4 Bagan 5,7 Bubu 2,9 Sumber: Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, PPK-LIPI, 2001. Sebagian besar responden telah mengetahui bahwa alat tangkap bom dianggap sebagai alat yang paling merusak terumbu karang, walaupun hanya seorang responden yang mengakui pernah menggunakan bom. Dari wawancara dengan beberapa narasumber, diperoleh informasi bahwa pengetahuan itu didapat dengan melihat langsung dampak dari penggunaan bom, yakni sewaktu mereka melakukan pengamatan kerusakan setelah para pengebom yang ditengarai berasal dari Ternate berlalu dari lokasi pengeboman. Pada intinya mereka katakan, bom memiliki daya rusak yang luar biasa dan seketika dan tidak ada sumberdaya laut yang dapat bertahan hidup dalam radius lima meter dari pusat ledakan. Responden juga memiliki pengetahuan tentang racun/sianida/akar bore yang digolongkan sebagai alat tangkap yang paling merusak setelah bom. Suatu pengetahuan yang signifikan, karena akar bore merupakan alat tangkap yang secara tradisi digunakan untuk menangkap ikan dasar/karang. Dari pengalamannya itu mereka tahu persis akibat dari penggunaan akar bore, yaitu ikan-ikan kecil mati dan karang di sekitar tempat biasanya mereka membuang akar bore menjadi rusak. Akan tetapi, kerusakan terumbu karang yang diakibatkan oleh akar bore tidaklah separah yang diakibatkan oleh sianida atau potas. Sejalan dengan pengetahuan responden mengenai alat tangkap yang merusak terumbu karang di atas, responden juga memiliki pengetahuan yang signifikan terhadap peraturan pelarangan penggunaan bom dan sianida/akar bore yang ditunjukkan dengan besarnya proporsi responden yang memberi jawaban “ya”, yaitu berturut-turut (93,9 persen) dan (82,9 persen. Sementara itu untuk larangan pengambilan karang (77,1 persen) dan larangan menggunakan pukat harimau besarnya (57,1 persen). Hal yang sama berlaku untuk pengetahuan responden terhadap sanksi pelanggaran penggunaan bom yang proporsinya (81,8 persen) dan (69 persen) untuk sianida/akar bore. Pendapat responden menyangkut larangan penggunaan bom, sianida/akar bore dan pukat harimau proporsinya relatif besar, yaitu berturut-turut 100 persen, 96,6 persen dan 90 persen. Data ini mengindikasikan bahwa mas yarakat sudah memiliki kesadaran menolak penggunaan alat tangkap yang dapat merusak terumbu karang. 33 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Pengetahuan lainnya yang dimiliki oleh responden adalah menyangkut pengetahuan mereka terhadap orang lain menggunakan alat tangkap bom, sianida/akar bore dan pukat harimau. Untuk alat tangkap bom, akar bore dan pukat harimau ternyata tidak seorang responden pun yang menyatakan mengetahui orang lain menggunakan. Demikian pula dengan alat tangkap akar bore, mereka menyatakan belum pernah mengetahui orang lain menggunakannya. Hasil survai ini berbeda dengan hasil wawancara mendalam di mana beberapa narasumber menyatakan bahwa mereka seringkali melihat dan mendengar orang lain menggunakan bom di sekitar permukiman mereka. Berkaitan dengan perilaku responden da lam menggunakan ketiga alat tangkap tersebut, diperoleh angka-angka: hanya 2,9 % responden mengaku pernah menggunakan bom, dan tidak ada responden yang pernah menggunakan pukat harimau. Dari paparan data di atas dapat dijelaskan bahwa ketidaktahuan responden di Meosbekwan, dan bahkan mungkin di seluruh kawasan Kepulauan Ayau dalam menggunakan pukat harimau sangat masuk akal, sebab sudah sejak lama pengoperasian pukat harimau dilarang, di samping pukat harimau tidak cocok dioperasikan pada kawasan yang berkarang. Hal yang perlu mendapat perhatian adalah tidak adanya responden yang menyatakan menggunakan akar bore sebagai alat untuk menangkap ikan. Hasil survai ini sangat berbeda dengan hasil wawancara mendalam yang dapat mengungkapkan adanya kebiasaan masyarakat menggunakan akar bore untuk menangkap ikan napoleon. Keengganan responden untuk secara terus terang menyatakan menggunakan akar bore untuk menangkap ikan diduga karena masyarakat ‘takut’ dianggap melanggar peraturan karena mereka sudah mengetahui adanya larangan penggunaan akar bore tersebut. Penggunaan akar bore tetap berlangsung hingga kini karena mereka tidak mempunyai alternatif alat lain untuk menangkap ikan napoleon hidup. 3.2.3. Pengetahuan Tentang Peraturan Berkaitan Dengan Sumber Daya Laut. Sejalan dengan pengetahuan responden mengenai alat tangkap yang merusak terumbu karang di atas, responden juga memiliki pengetahuan yang signifikan terhadap peraturan pelarangan penggunaan bom, sianida/akar bore dan pukat harimau. Hampir semua responden (94 persen) mengetahui adanya larangan penggunaan bom dan 83 persen mengatakan mengetahui larangan penggunaan sianida/akar bore. Sedangkan responden yang mengetahui adanya larangan menggunakan pukat harimau lebih sedikit (57 persen). Pengetahuan responden mengenai larangan penggunaan bom sejalan dengan pengetahuan mereka mengenai adanya sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut. Semua responden yang mengetahui adanya larangan penggunaan bom mengaku mengetahui adanya sanksi pelanggaran peraturan tersebut. Sedangkan mereka yang mengetahui adanya larangan penggunaan sianida/akar bore dan pukat harimau, 69 persen dan 50 persen (berturut-turut) mengetahui sanksi terhadap pelanggaran penggunaan alat tangkap tersebut. Pada dasarnya, penduduk Kampung Meosbekwan mempunyai kesadaran yang cukup baik terhadap perlunya melestarikan sumberdaya laut, khususnya terumbu karang. Hal ini tercermin dari pendapat mereka yang umumnya menyetujui adanya larangan terhadap penggunaan alat tangkap yang merusak lingkungan. Semua responden setuju terhadap larangan penggunaan bom dan yang setuju terhadap larangan penggunaan sianida/akar bore dan pukat harimau berturut-turut adalah 97 persen dan 90 persen dari jumlah mereka yang mengetahui adanya peraturan yang melarang penggunanan alat tangkap tersebut. 34 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua 3.3. Wilayah Pengelolaan Pada masa lalu, ketika batas-batas wilayah laut secara ketat dipraktekkan oleh masyarakat Kepulauan Ayau, wilayah pengelolaan laut ditentukan berdasarkan keret, bukan atas wilayah administratif. Tampaknya pembatasan semacam itu umum berlaku pada masyarakat pesisir yang memiliki pranata pengelolaan wilayah laut, seperti masyarakat Irian lainnya (Tobati, Depapre dan Demta), Masyarakat Maluku (Nolloth) ataupun masyarakat Sangir. Peta Pulau Meosbekwan menggambarkan wilayah laut yang utuh; tidak terbagibagi menurut keret seperti halnya di Pulau Dorekhar. Hal itu sangat dimungkinkan, sebab masyarakat Meosbekwan adalah masyarakat dengan keret tunggal, yaitu keret Burdam. Oleh karena itu keret Burdam yang tinggal di Desa Dorekhar fishing groundnya ada di wilayah laut Meosbekwan. Seperti lazimnya pengelolaan wilayah secara tradisional di beberapa tempat di Indonesia, batas-batas wilayah pengelolaan senantiasa dikaitkan dengan kemampuan masyarakat itu sendiri dalam mengeksploitasi sumberdaya yang ada di dalamnya. Dengan teknologi yang sederhana (perahu dayung), daerah operasi nelayan paling jauh hanya dua mil ke tengah. Biasanya, batas dua mil berkaitan erat dengan kondisi fisik lingkungan laut, yaitu merupakan batas antara laut dangkal dengan laut dalam. Khusus untuk kawasan Kepulauan Ayau, laut dangkal merupakan hamparan terumbu karang. Di tempat yang “dangkal” inilah mereka melakukan aktifitas “mencari”, seperti tergambar dalam peta, yaitu yang disebut dengan: “fishing ground keret atau hak atas karang keret” (Lihat Peta 2) Dalam pengelolaan sumberdaya laut, Masyarakat Meosbekwan atau masyarakat di kawasan Kepulauan Ayau mengenal istilah “kabus” atau dalam bahasa yang lebih umum disebut “sasi”. Kabus atau sasi didefinisikan sebagai suatu upaya masyarakat untuk memberi “kesempatan” kepada sumberdaya tertentu berkembang menjadi lebih besar dan lebih banyak di wilayah tertentu dengan cara menerapkan larangan untuk mengeksploitasi dalam kurun waktu tertentu pula, karena adanya kepentingan bersama. 35 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Peta 2 Gambaran Pemahaman Masyarakat Desa Meosbekwan Dalam Penguasaan Wilayah Terumbu Karang P. Abidon P. Ros P. Tukan P. Meosbekwan 9 Hak atas karang (Fishing ground) Keret Burdam Hak atas Karang Keret Imbir 10 11 12 Keterangan Gambar: Fishsing spot Keret Burdam: 9 : Batu besar (Abor Karubeba) 10 : Batu-batu besar yg terkumpul (Abor Mamor Iba) : Batas fishing ground : Terumbu karang Rumput laut 36 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua Keputusan untuk melaksanakan kabus (tanam kabus), pertama-tama didasarkan atas aspirasi masyarakat untuk melakukan kegiatan bersama yang membutuhkan barang atau dana yang relatif besar. Artinya dana tersebut tidak mungkin diperoleh hanya dengan mengumpulkan iuran dari warga masyarakat, seperti membangun gereja atau kepentingan umum lainnya (upacara adat). Jika kemudian masyarakat telah bersepakat bahwa ada kepentingan bersama, maka dengan musyawarah masyarakat memutuskan tanam kabus. Dalam musyawarah tersebut ada empat hal pokok yang harus diputuskan, yaitu: 1. Kapan tanam kabus dimulai? 2. Di wilayah mana tanam kabus tersebut dilakukan? 3. Berapa lama tanam kabus itu dilaksanakan? 4. Sumberdaya apa yang akan di-kabus? Setelah dicapai kesepakatan empat hal pokok di atas, maka yang pertama-tama dilakukan adalah memasang batas-batas wilayah tanam kabus dengan batang daun kelapa yang ditancapkan. Di samping itu, tidak kalah pentingnya adalah memberitahukan kepada warga desa tetangga. Hal ini dimaksudkan agar tetangga mereka tahu bahwa di wilayahnya sedang tanam kabus. Jadi jika terjadi pelanggaran, misalnya mengambil sumberdaya di dalam wilayah kabus, si pelanggar tidak dapat mengelak dengan alasan tidak tahu. Wilayah yang dijadikan tempat tanam kabus adalah wilayah yang dekat pemukiman mereka, sebagai upaya untuk mempermudah pengawasan terhadap pelanggaran wilayah tangkap dan habitat yang cocok dengan sumberdaya yang akan dikabus. Lamanya waktu yang diperlukan untuk tanam kabus sangat tergantung pada tujuan dari tanam kabus tersebut dilaksanakan. Artinya jika diperhitungkan jumlah dana yang dibutuhkan relatif besar, maka akan berlangsung lebih lama. Akan tetapi menurut kelaziman di Kepulauan Ayau, sekitar enam bulan sampai dengan satu tahun. Sumberdaya yang di-kabus umumnya adalah bia lola (trochus). Sumberdaya ini relatif banyak hidup di kawasan ini, terutama di bagian timur Pulau Meosbekwan. Secara teoritis, sebenarnya sumberdaya yang di-kabus tidak hanya bia lola, namun juga udang karang (lobster) dan ikan. Akan tetapi dalam praktiknya karena ikan mempunyai mobilitas tinggi, maka kemungkinan besar akan ke luar dari wilayah tanam kabus, maka tidak dijadikan sumberdaya yang di-kabus. Beberapa hari sebelum tanam kabus dinyatakan selesai, masyarakat kembali mengadakan musyawarah untuk menentukan saat yang tepat mengambil sumberdaya yang di-kabus. Pada saat itu juga dibicarakan pembagian kerja dari masing-masing keluarga dan lamanya waktu (umumnya satu minggu) untuk mengambil sumberdaya. Waktu pengambilan sumberdaya penting ditentukan lamanya, karena di luar waktu yang telah ditentukan, sumberdaya dapat dieksploitasi dengan bebas, artinya tidak lagi untuk keperluan kepentingan umum, namun telah berubah menjadi hak yang mengeksploitasi. Sumberdaya dari hasil tanam kabus, jika berupa bia lola, dagingnya dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang menangkap, sedangkan cangkangnya dikumpulkan dan kemudian dijual. Pada saat penelitian ini dilakukan, harga cangkang bia lola dibeli oleh pedagang seharga Rp 60.000,00/kg. Agar pelaksanaan tanam kabus dapat berlangsung secara optimal, maka sanksi terhadap pelanggaran menjadi bagian penting dari pranata ini. Sebelum ajaran agama Kristen mempengaruhi kepercayaan masyarakat di kawasan kepulauan ini, mereka menerapkan kabus sesuai dengan tradisi adat mereka, sehingga disebut dengan “kabus 37 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA adat”. Dengan demikian penerapan sanksi pun berupa adat, yaitu dengan membayar denda berupa barang-barang berharga (manik-manik, piring gantung) atau kemudian berubah menjadi denda uang sesuai dengan tingkat kesalahannya dan ditambah lagi menyerahkan semua hasil tangkapannya. Dengan masuknya agama Kristen, pranata pengelolaan sumberdaya laut sedikit demi sedikit berubah, yang pada akhirnya eksistensi “kabus adat” berhenti, dan menjelma menjadi “kabus Gereja”. Dalam pelaksanaannya perubahan tersebut paling nyata terlihat dari pembacaan mantera yang merupakan tradisi nenek moyang mereka menjadi pembacaan doa-doa Kristen pada saat hendak tanam kabus dan sesaat sebelum kabus dinyatakan selesai. Tergantikannya sanksi adat berupa pembayaran denda serta perampasan hasil tangkapan menjadi sanksi gereja yang bersifat magis. Dengan kata lain, masyarakat telah menyepelekan pelaksanaan sanksi adat, karena kurangnya pengawasan, sehingga menjadi tidak efektif untuk memberikan efek jera kepada pelanggar. Sebaliknya sanksi gereja sangat ditakuti oleh masyarakat, karena dapat berakibat sakit yang tidak tersembuhkan dan bahkan meninggal bagi si pelanggar. Seorang informan menuturkan, bahwa pada tahun 1998 telah terjadi kecelakaan fatal, yaitu meninggalnya seorang yang berasal dari Maluku setelah dia melakukan penangkapan ikan dengan cara molo (menyelam) di wilayah kabus Gereja. Dalam perkembangannya sekarang, masyarakat di kawasan Kepulauan Ayau tidak lagi disiplin dalam menerapkan bagian-bagian dari aturan adat menyangkut wilayah laut. Artinya hampir semua wilayah dapat dieksploitasi sumberdayanya oleh masyarakat yang berada di sekitarnya, asalkan menggunakan alat tangkap yang serupa dengan masyarakat pada umumnya, kecuali wilayah yang tertutup bagi semua, karena diterapkannya sasi. Sebab lainnya adalah fishing ground ataupun fishing spot yang mereka kuasai tidak lagi memadai untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam menyediakan sumber daya tertentu yang memiliki nilai ekonomi tinggi (ikan Napoleon, Kerapu dan Lobster) yang sejak sekitar tahun 1995 menjadi komoditas primadona di kawasan ini. 3.4. Teknologi Pengelolaan Teknologi pengelolaan diartikan sebagai alat-alat yang digunakan untuk mengeksploitasi sumberdaya laut. Alat-alat yang dimaksud adalah: (1) alat tangkap, yang secara langsung dipakai untuk menangkap sumberdaya; (2) alat bantu tangkap; yang digunakan untuk membantu mengoptimalkan alat tangkap. Data survai menunjukkan bahwa alat tangkap yang dimiliki oleh semua responden adalah aria (penangkap cacing laut) dan arsyam (penangkap gurita). Kedua alat ini dapat dikatakan sebagai alat yang spesial digunakan oleh kaum perempuan, terutama para ibu, karena kedua jenis sumberdaya itu relatif mudah untuk ditangkap. Cacing laut ditangkap pada saat air laut surut, yaitu pada wilayah gosong pasir, sedangkan gurita juga pada waktu air surut namun pasir masih terendam air. Aria terbuat dari batang kayu yang pada ujungnya dibentuk semacam celah untuk menjepit, sedangkan arsyam terbuat dari kawat berjumlah tiga sampai empat dan pada ujungnya dibuat semacam kait. Aria digunakan dengan cara menekan ke dalam pasir, sampai kemudian cacing terjepit oleh jepitan yang ada pada bagian ujung alat, sementara arsyam digunakan persis seperti tombak, yaitu dengan cara menancapkan ujung alat pada bagian tubuh gurita. Selanjutnya rincian pemilikan teknologi pengelolaan yang dimiliki oleh masyarakat Meosbekwan dapat dilihat seperti tabel di bawah ini. 38 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua Tabel 3.6. Pemilikan Teknologi Pengelolaan Masyarakat Meosbekwan (N=35) No . 1 2 Nama Alat Jenis Alat Jenis SDL yg Jml Pemilikan(%) ditangkap/penggunaan Akar bore Alat tangkap Napoleon Pancing Alat tangkap Kerapu dan berbagai 91,4 jenis ikan 3 Kalawai Alat tangkap Lobster 34,3 4 Jaring Alat tangkap Berbagai jenis ikan 5,8 permukaan 5 Arsyam dan Alat tangkap Ikan gurita dan cacing 31,4 arial laut 6 Senapan Alat tangkap Berbagai jenis SDL 77,8 molo demersal 7 Kaca molo Alat bantu Penyelaman sewaktu 17,1 tangkap me-nangkap ikan Napoleon dan Lobster dan SDL lainnya 8 Bubu Alat tangkap Berbagai jenis ikan 2,9 Sumber: Penelitian Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2001 Jika para ibu di Meosbekwan memiliki alat tangkap utama arsyam dan aria, maka para Bapak memiliki akar bore, pancing dan jerat. Ketiga alat itu berturut-turut digunakan untuk menangkap sumberdaya laut ikan Napoleon, Kerapu dan udang Batu/Lobster. Uraian selanjutnya akan difokuskan pada alat tangkap akar bore dan jerat, sementara alat tangkap pancing hanya disinggung selintas, sebab alat ini tidak spesifik daerah, melainkan sangat umum digunakan oleh nelayan di berbagai tempat. Bagi nelayan ketiga jenis sumberdaya tersebut yang menjadi perhatian mereka sehari-hari dalam “mencari”. Ini didasarkan pada pada tingginya nilai jual tiga jenis sumber daya laut tersebut. Jika dalam sekali melaut seorang nelayan memperoleh tiga ekor Napoleon, maka sudah dapat dipastikan paling sedikit akan memperoleh penghasilan sebesar Rp 100.000,00. Oleh karena itu pula dari ketiga sumberdaya tadi, Napoleon merupakan sumber penghasilan yang paling utama masyarakat Meosbekwan dan Kepulauan Ayau. Jenis ikan ini tidak mengenal musim, jadi setiap saat dapat ditangkap, harganya paling tinggi dan yang paling pokok mudah memasarkannya, karena pembeli ada di sekitar wilayah tempat tinggal mereka. Satu hal lagi keunggulan Napoleon adalah, memiliki daya tahan hidup yang jauh lebih baik dibandingkan dengan ikan Kerapu maupun Lobster. Dari tabel di atas tidak tampak adanya pemilikan akar bore, sebab akar tuba ini memang “tidak milik siapa-siapa”, dapat dimanfaatkan oleh siapapun juga, tersedia banyak dan hidup di berbagai tempat di luar Pulau Meosbekwan (Pulau Runi yaitu di Kampung Dorekhar dan Yenkawir). Dari hasil survai tidak terekam adanya penggunaan akar bore untuk menangkap Napoleon. Tampak ada keengganan dari masyarakat untuk mengaku menggunakan, sebab mereka tahu bahwa penggunaan akar bore menyalahi peraturan. Akan tetap i, dari wawancara dengan berbagai informan diperoleh pengetahuan bahwa, akar bore merupakan alat tangkap pertama yang mereka kenal dan sudah dipakai sejak nenek moyang mereka. Dalam perkembangannya, ternyata akar bore sangat cocok digunakan untuk menangkap Napoleon. Dengan ukuran yang tepat, akar bore hanya menjadikan Napoleon pingsan, dan beberapa saat kemudian akan segar kembali. Itulah sebabnya keramba/apolo menjadi sangat penting, karena di sinilah Napoleon disegarkan dulu sebelum dijual hidup kepada pedagang. 39 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Persoalannya adalah kenapa harus menggunakan akar bore, padahal dengan pancing pun bisa dan akar bore dikategorikan oleh pemerintah sebagai alat tangkap yang diduga dapat merusak kelestarian terumbu karang? Jawaban yang mereka kemukakan adalah: bila Napoleon ditangkap dengan pancing, maka akan terluka dan Napoleon sangat rentan terhadap luka, sehingga kemungkinan dapat bertahan hidup menjadi kecil. Di samping itu, menangkap dengan pancing membutuhkan waktu yang lebih lama, sebab Napoleon bukanlah jenis ikan yang rakus untuk memangsa umpan. Jawaban mereka sangat rasional dan didasari oleh pemikiran ekonomi, yaitu: “dengan waktu singkat memperoleh hasil maksimal”. Jika di kemudian hari, akar bore dapat dibuktikan secara ilmiah sebagai alat tangkap yang tidak ramah lingkungan; yakni dapat merusak terumbu karang, maka sebuah tantangan besar bagi teknisi alat tangkap untuk merancang alat tangkap Napoleon yang ramah lingkungan, paling tidak memenuhi unsur-unsur efektifitas, mudah dan murah, seperti halnya akar bore. Proses pembuatan akar bore sangat sederhana dan murah. Akar bore diperoleh dengan cuma-cuma, yakni dengan cara mencabut pohon bore yang tumbuh di kebunkebun mereka, kemudian ditumbuk dengan batu atau benda keras lainnya sampai hancur. Langkah selanjutnya adalah mencampur tumbukan tadi dengan air, lalu diaduk atau diremas-remas. Campuran inilah yang digunakan untuk menangkap ikan Napoleon, setelah disaring dan dimasukkan ke dalam kantong-kantong plastik. Dengan cara menyelam (membutuhkan alat bantu kaca molo), cairan akar bore tersebut ditaburkan pada muka lubang karang tempat ikan Napoleon berlindung. Namun perlu memperoleh catatan khusus, bahwa tidak setiap karang ditaburi, berdasarkan dugaan di dalamnya ada ikan Napoleon, melainkan karang yang sungguh-sungguh diketahui ada ikan Napoleon yang berlindung. Hanya dibutuhkan sepuluh menit dari saat penaburan sampai ikan Napoleon tidak berdaya. Pada saat inilah waktu yang tepat bagi nelayan untuk segera mengangkatnya dan menempatkan pada tempat yang telah disediakan. Setelah mereka merasa cukup “mencari” hasil tangkapan segera dipindahkan ke dalam keramba/apolo. Tempat ini berfungsi sebagai karantina, yaitu untuk memulihkan kesegaran ikan bersangkutan. Waktu yang digunakan untuk menyegarkan kembali ikan Napoloen paling lama satu minggu. Setelah satu minggu ikan Napoleon sudah siap ditransaksikan dengan pembeli. Alat tangkap lain yang spesifik adalah jerat. Alat tangkap ini khusus digunakan untuk menangkap udang Batu/Lobster. Oleh karena jerat dioperasikan pada malam hari, maka dibutuhkan alat bantu tangkap berupa kaca molo dan lampu senter dengan daya 7 volt (enam baterai). Penjeratnya sendiri dibuat dari tali yang kuat namun lentur. Kedua ujung tali dibuat lingkaran yang masing-masing ujungnya diikat pada batang kayu sepanjang satu meter. Tali penjerat direkayasa agar dapat diulur dan dikerutkan, sehingga lingkaran yang dibentuk dapat mengecil dan membesar sesuai dengan ukuran lobster yang hendak ditangkap. Tali jerat yang dapat bergerak secara fleksibel itu dimaksudkan juga berfungsi mengikat/menjerat badan lobster pada saat batang penjerat ditarik. Cara pengoperasiannya sederhana saja. Pertama-tama yang harus dilakukan oleh nelayan adalah menyelam sambil melihat-lihat keberadaan Lobster dengan bantuan cahaya lampu senter. Andaikata Lobster telah diketemukan, maka dengan sangat hati-hati tali jerat diseret pada tempat lobster berada dari arah kepala ke ekor. Ketika setengah dari badan lobster masuk ke tali penjerat, batang penjerat ditarik dengan cepat. Kini Lobster telah terikat kuat, dan siap diangkat dan ditaruh dalam kotak. 40 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua Hasil tangkapan berupa lobster tidak dapat dengan segera dipasarkan, karena pembeli hanya ada di Sorong. Dengan demikian harus menunggu waktu yang tidak tentu, sampai tiba saatnya ada anggota masyarakat pergi ke Sorong. Sumberdaya ikan Kerapu paling banyak ditangkap oleh masyarakat, karena populasinya masih cukup tinggi di perairan Kepulauan Ayau. Di samping itu Kerapu relatif mudah ditangkap dengan pancing. Akan tetapi, kelemahan utama ikan jenis ini adalah mudah mati, karena rentan terhadap luka dan memiliki ambang stress yang tinggi, sehingga perubahan tempat jadi masalah bagi ikan ini. 3.5. Hubungan Kerja dalam Pengelolaan Sumberdaya Hasil pengamatan pada komunitas nelayan tradisional di kawasan Irian, umumnya adalah nelayan individual atau maksimal nelayan keluarga. Hal tersebut menjadi wajar karena keterbatasan ruang yang tersedia pada armada tangkap mereka. Perahu yang biasa mereka gunakan untuk menangkap ikan berukuran relatif kecil, yakni memiliki dimensi 50-75 x 200-250 cm dan digerakkan dengan kayuhan pendayung. Dengan ukuran sebesar itu, perahu hanya akan dapat memuat dua orang dewasa dan sedikit barang. Tidak berbeda halnya dengan yang diceritakan di atas, berlaku juga untuk perahu nelayan Meosbekwan. Hanya saja perahu mereka dilengkapi dengan semang tunggal pada bagian sisi kanan yang berguna sebagai penyeimbang. Pada bagian atas semang itulah dipasang para-para yang dimanfaatkan untuk menaruh barang-barang bawaan. Di samping kapasitas perahu yang terbatas, alat tangkap yang digunakan adalah dari jenis yang dapat dioperasikan sendiri, sehingga tidak membutuhkan suatu bentuk kerjasama dalam mengoperasikannya. Jadi dengan kondisi kerja semacam itu keberadaan orang lain dalam satu perahu bukanlah dalam rangka “bekerjasama”, namun dalam arti “bekerja bersama-sama”. Dua kata tersebut mengandung arti yang sangat berbeda; “bekerjasama” adalah bekerja dengan orang lain dan dengan pembagian kerja yang jelas, artinya masing-masing bekerja dengan tugas yang berbeda, namun dalam satu sistem. Sedangkan “bekerja bersama-sama” diartikan sebagai bekerja sendiri-sendiri dengan orang lain, tanpa ada pembagian kerja yang jelas. Jadi di sini masing-masing orang mengerjakan suatu pekerjaan dari awal sampai akhir, tanpa bantuan orang lain. Seorang nelayan jika bersama orang lain dalam satu perahu untuk “mencari”, maka orang lain itu akan membawa alat tangkap sendiri yang bisa sama atau berbeda. Hal tersebut menunjukkan bahwa mereka memiliki rencana sendiri-sendiri dan akan bekerja sendiri-sendiri dalam satu perahu. Dengan bekerja sendiri-sendiri, bisa jadi salah satunya memperoleh tangkapan lebih banyak dari yang lain atau bahkan mungkin yang satu tidak dapat apa-apa, sedangkan yang lainnya memperoleh hasil banyak. Jika hal itu terjadi, maka dapat dipastikan bahwa pihak yang memperoleh hasil tangkapan sedikit atau yang tidak dapat sama sekali akan memperoleh “subsidi” dari teman sekerjanya. Hal itu sangat dimungkinkan, karena mereka itu biasanya adalah sanak famili; bisa anak yang sudah dewasa, saudara (kandung, keret), mantu dan seterusnya. Ringkas kata mereka memiliki pola kerja yang primordial, sehingga hal-hal yang bersifat “untung-rugi” mereka kesampingkan jauh-jauh. Akan tetapi kemudian, paling tidak ketika ada sumberdaya yang memiliki harga jual sangat tinggi pada sekitar tahun 1995, tampaknya pola hubungan kerja yang 41 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA egaliter mengalami metamorfose menjadi hubungan yang telah mempertimbangkan beban kerja, keahlian dan senioritas. Pada masa lalu, nelayan Meosbekwan dalam “mencari” memiliki arti menangkap berbagai jenis sumberdaya yang ditemui, maka kini sejak dari rumah telah menetapkan jenis apa yang hendak ditangkap. Jenis sumberdaya yang akan ditangkap sangat menentukan alat tangkap apa yang hendak dibawa. Ketika berkeinginan menangkap ikan Napoleon, maka akar bore (tuba) dijadikan alat tangkap utama, sedangkan jika ikan Kerapu, maka alat tangkap pancinglah yang sesuai. Demikian halnya dengan Lobster, alat tangkap jenis jerat yang dibawa. Pembagian kerja akan semakin tampak ketika nelayan memutuskan untuk menangkap ikan Napoleon. Paling tidak dibutuhkan dua orang untuk menangkap jenis ikan ini. Satu orang dengan kemampuan menyelam dan satu orang lagi sebagai tenaga bantu untuk mendayung, dan terutama bertugas untuk menepuk-nepuk permukaan air setelah mendapat tanda dari penyelam. Tanda itu akan diberikan oleh penyelam pada saat dia telah menemukan ikan Napoleon berada di luar karang. Tepukan permukaan air dimaksudkan agar ikan ters ebut masuk ke dalam celah-celah karang sambil diamati oleh penyelam. Ketika ikan telah masuk, maka oleh penyelam segera ditebarkan cairan akar bore. Akar bore akan memberikan efek pingsan pada ikan, sehingga mudah ditangkap dan masih dalam keadaan hidup. Dengan pola kerja semacam itu, yang bertugas menyelam akan memperoleh bagian lebih banyak dari hasil penjualan. Persentase pembagian tidak ditetapkan secara kaku, sebab yang diajak bekerjasama adalah sanak famili. Sedikit berbeda dengan penangkapan, pekerjaan budidaya rumput laut dilakukan lebih banyak oleh kaum perempuan, mulai dari menanam, merawat sampai dengan memanen dan menjemur. Laki-laki dalam soal ini hanya bertugas untuk memasang tiang-tiang pancang pengikat tali bibit rumput laut. Pemasangan tiang pancang memang membutuhkan tenaga fisik ekstra, sebab tiang harus bisa menahan hempasan arus. Akan tetapi ada kalanya kaum laki-laki juga membantu menanam bibit dan memanen hasil sewaktu mereka tidak ”mencari”. Usaha budidaya rumput laut di Meosbekwan dilakukan oleh keluarga inti. 42 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua Bab IV Produksi dan Pemasaran Sumberdaya Laut Pada bagian ini akan diuraikan mengenai produksi sumber daya laut, pemanfaatan dan pemasaran hasil. Uraian akan ditekankan pada jenis sumber daya laut yang dominan, yaitu yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan banyak ditangkap oleh masyarakat. Selain itu, sumber daya laut lain yang bisa dikategorikan dominan adalah jenis yang diproduksi sepanjang tahun dan dapat memberikan kesinambungan bagi pendapatan masyarakat setempat. Potensi sumber daya laut di wilay ah perairan Meosbekwan meliputi berbagai jenis ikan karang seperti ikan napoleon (in maming), ikan kerapu (indaf), lobster/udang batu dan ikan kakap. Selain berbagai jenis ikan karang, wilayah perairan sekitar Kepulauan Ayau juga mempunyai potensi berbagai jenis ikan perairan dasar (demersal) seperti ikan pari. Ikan pari merupakan ikan yang lebih suka hidup di dasar laut, terutama di daerah pasir. Sebagian wilayah perairan kepulauan Ayau tertutup oleh pasir yang diakibatkan oleh perubahan arus yang terjadi sehingga potensi ikan pari di daerah ini relatif besar. Sementara itu, jenis ikan permukaan yang juga terdapat di wilayah perairan Kepulauan Ayau adalah ikan kakak tua, baronang, ekor kuning dan ikan gutila/lencam. Jenis sumber daya laut lainnya yang juga dimanfaatkan oleh penduduk setempat adalah gurita, cacing laut, lola dan japing-japing. Dari jenis-jenis sumber daya laut tersebut di atas ada tiga jenis yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, yaitu ikan napoleon (in maming) atau dalam bahasa umumnya maming, ikan kerapu (geropa) dan rumput laut. Sejak tahun 1995, ikan napoleon mulai mempunyai nilai ekonomis tinggi di wilayah Kepulauan Ayau pada umumnya dan di desa Meosbekwan pada khususnya. Pada tahun tersebut mulai ada permintaan dari Hongkong melalui berbagai perusahaan eksportir yang berpusat di Sorong. Perusahaan tersebut menampung dari para pengusaha yang bertindak sebagai pedagang pengumpul yang beroperasi di wilayah Kepulauan Ayau. Sebelum tahun 1995, jenis ikan ini dikonsumsi oleh penduduk sebagaimana jenis-jenis ikan lainnya. Setelah mengetahui harga ikan ini sangat mahal dan ada pedagang pengumpul yang bersedia menampung, penduduk tidak lagi mengkonsumsi jenis ikan ini. Selain berbagai jenis ikan dan udang, sumber daya laut lainnya yang dominan dan berpotensi untuk dikembangkan oleh penduduk setempat dan juga telah dibudidayakan adalah rumput laut. Budidaya rumput laut ini mulai dikembangkan pada tahun 1999. Budidaya ini diperkenalkan oleh sebuah perusahaan pengumpul ikan. Pihak perusahaan memberikan bibit dan peralatan tanam seperti tali dan penduduk diwajibkan menjual hasilnya ke perusahaan tersebut. Hasil dari usaha budidaya rumput laut ini meskipun secara ekonomis tidak memberikan sumbangan kepada pendapatan rumah tangga dalam nilai yang besar, namun secara terus -menerus dapat dijadikan andalan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, apalagi keadaan laut tidak ramah untuk melakukan kegiatan penangkapan. 43 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA 4.1. Hasil Produksi dan Teknologi Penangkapan • Ikan Napoleon Hasil produksi ikan napoleon di kampung ini pada bulan Agustus 2001 berdasarkan catatan pembelian yang dilakukan oleh pedagang pengumpul sekitar 50 kg yang terdiri dari berbagai jenis. Ikan napoleon berdasarkan ukuran beratnya digolongkan kedalam empat golongan, yaitu baby, super, ekor kecil, ekor besar dan up. Golongan baby beratnya antara 0,3 kg sampai 0,5 kg; golongan super beratnya antara 0,6 kg sampai 1,2 kg; golongan ekor kecil mempunyai ukuran berat antara 1,3 kg sampai dengan 3 kg; ikan dengan ukuran antara 3,1 kg sampai dengan 5 kg termasuk ke dalam golongan ekor besar dan ikan yang mempunyai berat di atas 5,1 kg masuk dalam kategori up. Tidak ada data yang tersedia yang secara kuantitas bisa menjelaskan hasil produksi ikan napoleon pada periode lima tahun yang lalu. Akan tetapi menurut penuturan beberapa informan bahwa pada saat ini sudah mulai susah mendapatkan ikan napoleon. Beberapa tahun sebelumnya, seorang nelayan dapat dengan mudah mendapatkan ikan napoleon sejumlah lima ekor setiap kali pergi melaut, sedangkan pada saat sekarang ini, seorang nelayan rata-rata hanya bisa mendapatkan dua ekor ikan napoleon dalam sekali melaut. Seperti yang dikemukakan oleh seorang informan: Dulu kalau saya ‘mencari’, bisa mendapatkan lima ekor. Sekarang paling-paling hanya mendapat dua ekor. Saya pikir karena sudah banyak ditangkap, ikan-ikan itu menjadi kurang. Pernyataan “bisa mendapatkan dua ekor dalam sekali melaut”, harus dipahami bahwa tidak setiap melaut mereka memperoleh ikan napoleon, namun dalam arti bahwa jika mereka memperoleh napoleon, maksimal dua ekor dalam sekali melaut. Jenis ikan napoleon ini dapat ditangkap hampir sepanjang tahun karena keberadaanya tidak dipengaruhi musim-musim tertentu, akan tetapi penduduk tidak bisa mengekploitasi jenis ikan ini secara optimal pada saat terjadi ombak besar. Peralatan tangkap yang hanya menggunakan perahu semang tidak memungkinkan mereka melaut pada saat ombak besar. Di samping itu, pada saat ombak besar dasar laut di sekitar karang tempat napoleon hidup menjadi keruh sehingga mengaburkan pandangan nelayan di dalam air. Ombak besar terutama terjadi pada bulan Oktober sampai dengan bulan Maret. Alat tangkap yang dipakai untuk menangkap ikan napoleon umumnya adalah sejenis racun yang terbuat dari akar bore yang ditumbuk kemudian diambil airnya. Di Kampung Meosbekwan tanaman akar bore tidak bisa tumbuh, tetapi penduduk dapat dengan mudah mendapatkannya di Pulau Runi (Kampung Dorehkar dan Yenkawir) yang hanya berjarak sekitar satu jam menggunakan perahu motor berkekuatan 15 PK. Cara menggunakan cairan akar bore untuk menangkap ikan adalah dengan menuangkan cairan tersebut pada lubang-lubang di sekitar terumbu karang tempat ikan napoleon bersembunyi. Pada awalnya nelayan menyelam untuk mengetahui ada-tidaknya napoleon. Jika telah dipastikan napoleon ada, maka mereka membuat suara-suara gaduh di permukaan supaya ikan napoleon masuk ke dalam lubang-lubang. Setelah ikan-ikan tersebut masuk ke lubang, kemudian nelayan menyelam dan menuangkan cairan akar bore tersebut ke sekitar lubang supaya ikan napoleon tersebut pingsan. Dalam beroperasi menangkap ikan napoleon akan lebih mudah dilakukan jika dibantu oleh anggota keluarga lainnya. Waktu melaut dilakukan mulai pagi hingga sore hari. Armada tangkap yang dipakai adalah perahu tanpa mesin (semang). Hampir 44 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua setiap rumah tangga di kampung ini mempunyai perahu semang. Perahu semang ini dapat dibeli di daerah daratan pulau Waigeo, terutama di ibukota Kecamatan (Kabare) dengan harga sekitar Rp 400.000.- Peralatan lainnya yang dipakai adalah kaca mata untuk menyelam (bahasa kaca molo). Kaca molo ini dibuat sendiri oleh nelayan dengan bahan baku kaca, karet dan plastik. Dari ketiga bahan baku tersebut yang dibeli hanya kaca, sedangkan karet dan plastik memanfaatkan ban bekas dan kaleng-kaleng plastik bekas. Oleh karena ekploitasi ikan napoleon yang dilakukan oleh penduduk Desa Meosbekwan masih menggunakan peralatan dan cara yang sederhana maka modal yang dikeluarkan tidak besar. Dengan hanya menggunakan perahu tanpa motor, nelayan tidak perlu mengeluarkan modal untuk beli bahan bakar. Alat tangkap berupa akar bore tidak perlu dibeli karena tanaman tersebut mudah didapat tanpa harus membeli. Modal yang secara riil dikeluarkan hanya sebungkus nasi, minuman dan sebungkus rokok yang diperkirakan sekitar empat sam pai lima ribu rupiah. • Ikan Kerapu Ada tiga jenis ikan kerapu yang ditangkap oleh nelayan desa Meosbekwan yaitu jenis GH, tongseng dan saiseng. Ikan kerapu tongseng merupakan jenis yang paling disukai di pasar Hongkong karena rasanya lebih enak dan langka dibandingkan dengan jenis yang lain. Masing-masing jenis ikan tersebut juga digolongkan dalam ketiga macam sesuai dengan beratnya, yaitu baby, super dan up. Secara keseluruhan jumlah hasil produksi selama bulan Agustus 2001 untuk jenis ikan kerapu GH sebesar 113,2 kg, jenis saiseng 192 kg dan tongseng hanya sekitar 1 kg. Jenis tongseng relatif lebih kecil hasil produksinya karena jenis ini populasinya juga relatif kecil (Tabel 4.1). Tabel 4.1 Produksi ikan kerapu dalam Bulan Agustus 2001 Jenis Golongan GH Saiseng Baby 1,5 kg 7,3 kg Super 15,2 kg 159,9 kg Up 96,5 kg 24,8 kg Jumlah 113,2 kg 192 kg Sumber: Wawancara Mendalam Dengan Narasumber Pengumpul) di Kampung Meosbekwan. Tongseng 0,3 kg 0,6 kg 1 kg (Beberapa Pedagang Ikan kerapu ini tersedia sepanjang tahun, tetapi pada musim-musim tertentu populasi ikan ini meningkat. Di Kepulauan Ayau musim ikan kerapu terjadi pada bulan September sampai dengan bulan April. Menurut informasi dari beberapa informan pada musim ikan kerapu, sekali ‘mencari’ bisa mendapatkan sekitar 10 ekor ikan, sedangkan pada musim biasa, sekali melaut rata-rata mendapatkan dua ekor ikan. Apabila kita kaitkan dengan hasil produksi bulan Agustus yang rata-rata bisa menghasilkan sekitar 3 kwintal ikan kerapu dari berbagai jenis, maka bisa diperkirakan hasil produksi pada musim ikan akan jauh lebih besar. Seperti halnya menangkap ikan napoleon, para nelayan Kampung Meosbekwan dalam menangkap ikan akan lebih mudah jika dilakukan dengan dibantu orang lain. Perahu yang dipakai untuk menangkap ikan ini adalah perahu semang dan alat yang dipakai untuk menangkap ikan kerapu adalah pancing dan umpannya memakai ikanikan kecil yang dipotong-potong. Bekal yang dibawa, seperti halnya menangkap ikan 45 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA napoleon adalah satu botol minuman dan sebungkus nasi atau makanan lain untuk persediaan makan siang. Dalam menangkap ikan kerapu umumnya dilakukan pada pagi sampai siang hari. Para nelayan mendapatkan pengetahuan tentang waktu yang baik untuk memancing ikan kerapu dari nelayan Hongkong melalui pedagang pengumpul. Waktu memancing ikan kerapu sebaiknya dilakukan antara jam 10 sampai jam 11 siang. Pada saat tersebut adalah saat ikan kerapu mencari makan. • Rumput Laut Menurut informasi dari berbagai sumber, perairan barat Pulau Meosbekwan sangat cocok untuk budidaya rumput laut. Arus dan salinitasnya memenuhi syarat untuk mengembangkan budidaya rumput laut. Sejak diperkenalkan budidaya rumput laut pada tahun 1999, hampir semua keluarga di desa ini mengusahakan tanaman rumput laut. Umumnya budidaya rumput laut ini menjadi tanggung jawab kaum perempuan (isteri) yang dibantu oleh anggota keluarga lain, seperti anak dan suami. Walaupun tanaman rumput laut menjadi tanggung jawab perempuan, tetapi dalam pengelolaanya tetap melibatkan seluruh anggota keluarga. Mulai dari menanam, memanen dan menjemur melibatkan seluruh anggota rumah tangga. Suami pada saat tidak melaut juga ikut membantu mengerjakan budidaya rumput laut, seperti menanam, memanen dan penanganan pasca penen. Masa tanam rumput laut hingga dapat dipanen antara 30 sampai 40 hari. Setelah dipanen, rumput laut dikeringkan dengan cara dijemur di atas para-para. Apabila cuaca baik, maka dalam seminggu rumput laut tersebut sudah kering dan bisa siap untuk dipasarkan. Pada saat penelitian dilakukan, rata-rata setiap rumah tangga mempunyai sekitar 40 tali dengan panjang tali 10 meter. Dengan 40 tali tersebut setiap bulannya satu keluarga bisa memanen rumput laut kering sekitar 20-30 kg. Jumlah produksi rumput laut tergantung pada kondisi arus serta ada dan tidaknya serangan hama. Apabila arus terlalu kencang dan ada serangan hama maka dengan tanaman 40 tali maka produksinya akan berkurang menjadi hanya sekitar 10 kg sampai dengan 20 kg. 4.2. Pemanfaatan Hasil Laut Dari berbagai potensi sumber daya laut yang ada diperairan Kampung Meosbekwan, hanya jenis ikan napoleon dan kerapu serta udang batu (lobster) yang semua hasil produksinya dijual ke pedagang penampung. Sebelum penduduk mengetahui bahwa jenis ikan dan udang tersebut mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, mereka mengkonsumsinya dalam bentuk ikan segar. Pada saat ini penduduk baru mengkonsumsi ikan tersebut apabila sudah tidak bisa diterima oleh pedagang pengumpul karena sudah rusak. Sementara itu jenis sumber daya laut yang umumnya dikonsumsi dalam bentuk ikan hidup adalah semua jenis ikan demersal, seperti ikan pari dan ikan merah dan berbagai jenis ikan permukaan seperti baronang, gutila, ekor kuning dan kakak tua. Secara umum konsumsi ikan segar penduduk desa relatif cukup besar. Ikan ini biasanya dikonsumsi bersama dengan makanan pokok penduduk yaitu beras dan sagu. Proporsi konsumsi antara makan beras dan sagu hampir berimbang, meskipun masih lebih besar sagunya dibandingkan dengan beras. Besarnya konsumsi ikan penduduk di daerah ini antara lain disebabkan karena dari semua hasil produksi ikan hanya jenis 46 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua Napoleon dan Kerapu yang bisa dijual dalam bentuk ikan segar. Untuk jenis ikan lainnya karena belum ada pedagang pengumpul yang ada di desa yang menampung sehingga semua hasil tangkapan ikan selain Napoleon dan Kerapu semuanya dikonsumsi oleh masyarakat. Di desa ini sudah menjadi kebiasaan membagi-bagikan ikan kepada warga yang kebetulan tidak mempunyai persediaan ikan untuk dikonsumsi. Nelayan yang sedang tidak ‘mencari’ mendapatkan ikan secara cuma-cuma dari nelayan yang mandapatkan ikan. Sementara itu penduduk yang tidak bekerja sebagai nelayan mendapatkan ikan secara cuma-cuma dari nelayan secara bergiliran. Penduduk juga mempunyai kebiasaan membuat ikan asin dengan memanfaatkan sisa-sisa ikan segar yang tidak habis dikonsumsi. Ikan yang dimanfaatkan sebagai bahan baku ikan asin diantaranya adalah ikan kakap, gutila, belanak, kakak tua dan kerapu yang telah mati. Hasil laut lain yang juga dimanfaatkan sebagai bahan baku ikan asin adalah gurita dan cacing laut. 4.3. Pemasaran Seperti telah dijelaskan pada uraian terdahulu bahwa ada tiga jenis sumber daya laut di kampung Meosbekwan yang dominan, yaitu ikan napoleon, ikan kerapu dan rumput laut. Untuk ikan Napoleon dan ikan Kerapu hidup mempunyai sistem dan mata rantai pemasaran yang sama dengan orientasi pasar internasional. Sedangkan rumput laut dan berbagai jenis ikan hasil olahan (diasinkan dan dikeringkan) mempunyai sistem dan mata rantai pemasaran tersendiri dengan orientasi pasar domestik. 4.3.1. Ikan Napoleon dan Kerapu • Rantai pemasaran Pemasaran ikan Napoleon dan ikan Kerapu di Kawasan Kepulauan Ayau mempunyai pola yang sama (lihat bagan). Mata rantai pemasarannya adalah dari nelayan dijual ke pedagang pengumpul, kemudian dari pedagang pengumpul ke pedagang besar. Dari pedagang besar terus dijual (diekspor) ke pedagang besar di Hongkong yang kemudian meneruskan lagi ke distributor-distributor. Dari distributor di Hongkong dijual ke konsumen yang pada umumnya adalah restoran-restoran bertaraf internasional. Di Desa Meosbekwan terdapat satu pedagang pengumpul yang beroperasi mulai tahun 1998. Sebelum tahun 1998, nelayan di desa ini menjual hasil tangkapannya ke pedagang pengumpul yang ada di desa Dorehkar. Untuk ke desa ini memerlukan waktu sekitar satu jam perjalanan dengan memakai perahu 15 PK. Hasil tangkapan dari nelayan biasanya tidak langsung dijual ke pedagang pengumpul, melainkan ditampung dulu dalam keramba selama dua sampai tujuh hari. Hal tersebut dikarenakan pada saat turun dari ‘mencari’ hari sudah terlalu malam sehingga tidak memungkinkan langsung dijual pedagang pengumpul. Selain itu, ada kalanya pedagang pengumpul kehabisan uang tunai sehingga tidak bisa menerima hasil tangkapan dari para nelayan. Alasan lain mengapa para nelayan menampung dahulu di keramba adalah ingin melihat perkembangan harga dengan membandingkan antara pedagang pengumpul yang ada di kampung dan pedagang pengumpul yang ada di kampung lain (Dorehkar). Dengan menampung dahulu hasil tangkapan di keramba milik bersama, para nelayan menanggung resiko rugi apabila ikan tersebut mati pada saat masih di keramba. 47 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Di tingkat pedagang pengumpul ikan-ikan tersebut juga ditampung di keramba sampai ada kapal yang mengangkut untuk dikirim ke Hongkong. Kapal yang mengangkut ke Hongkong tersebut mengambil ikan ke pedagang pengumpul setelah kira-kira dapat memuat sekitar 5 ton ikan untuk seluruh kawasan Kepulauan Ayau. Tempat penampungan ikan hidup milik pedagang pengumpul di Kawasan Kepulaun Ayau terdapat di empat pulau, masing-masing di Pulau Dorehkar, Meosbekwan, Rutum dan Reni. Target muatan sekitar 5 ton tersebut pada umumnya dapat tercapai dalam satu bulan. Selama ditampung di dalam keramba ini tingkat kematian ikan rata-rata sekitar 20 persen. Bagan 4.1 Rantai pemasaran ikan Napoleon dan Ikan Kerapu di Kawasan Kepulauan Ayau. Nelayan (Napoleon/ Kerapu) Konsumen (restoran sea food bertaraf Internasional) • Pedagang Pengumpul Distributor Eksportir/ Pedagang besar Importir di Hongkong & Singapora Harga Harga ikan napoleon dan ikan kerapu sangat bervariasi tergantung pada ukuran beratnya. Seperti telah dijelaskan sebelumnya ada empat golongan ikan napoleon berdasarkan ukuran beratnya yaitu baby, super, ekor kecil dan ekor besar. Sedangkan untuk ikan kerapu digolongkan menjadi tiga yaitu baby, super dan up. Harga di tingkat pedagang pengumpul (pembelian dari nelayan) per satu kg untuk masing-masing jenis ikan menurut ukuran beratnya dapat dilihat pada Tabel 4.2. Dari tabel terlihat bahwa harga ikan napoleon tertinggi adalah untuk golongan super dengan berat 0,6 kg sampai dengan 1,2 kg. Ukuran ini dianggap ideal disajikan menjadi 1 porsi untuk satu orang. Dari tabel ini juga dapat diketahui bahwa semakin besar ukuran ikan harga per kgnya semakin turun. Untuk golongan ekor kecil harganya Rp 130.000 per ekor, sedangkan untuk golongan ekor besar harganya Rp 160.000 per ekor. Hal ini dikarenakan ukuran diatas 1,3 kg dianggap kurang ideal untuk disajikan dan kalau ukurannya terlalu besar rasanya kurang enak dibandingkan dengan ikan dengan ukuran dibawah 1,3 kg per ekornya. Berbeda dengan ikan napoleon, harga ikan kerapu per kg semakin mahal dengan besarnya ukuran per ekornya. Untuk ukuran baby harga per ekor jenis GH Rp 6.000, ukuran super Rp 15.000 dan ukuran up harganya Rp 15.000. Untuk jenis Saiseng harga ukuran baby dan super sama dengan jenis GH, sedangkan ukuran up harganya Rp 17.000 per kg. Jenis ikan kerapu tongseng harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan kedua jenis ikann yang lain. Untuk ukuran baby harga per kgnya Rp 17.000, ukuran super Rp 27.000 per kg dan ukuran up harga per kgnya Rp 30.000. Perbedaan harga ini dikarenakan jenis ikan kerapu tongseng rasanya jauh lebih enak dibandingkan dengan jenis GH dan saiseng. Disamping itu, populasi jenis ikan kerapu tonseng ini lebih sedikit. 48 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua Tabel 4.2. Harga Ikan Napoleon dan Kerapu per Kg Golongan Ikan Napoleon Ikan Kerapu GH Saiseng Tongseng Baby (0,3 kg – 0,5kg) Rp 50.000 Rp 6.000 Rp 5.000 Rp 17.000 Super (0,6 kg – 1,2 kg) Rp 120.000 Rp 15.000 Rp 15.000 Rp 27.000 Up (1,3 kg +) Rp 15.000 Rp 20.000 Rp 30.000 Ekor kecil (1,3 kg – 3 kg) Rp 130.000* TB TB TB Ekor besar (3,1 kg – 5 kg) Rp 160.000* TB TB TB Di atas 5,1 kg (Up) Rp 30.000 Sumber: Hasil Wawancara Mendalam dengan Narasumber di Kepulauan Ayau. Catatan: TB: Ikan Kerapu tidak ada ukuran ekor kecil dan ekor besar * : Harga per ekor Informasi mengenai harga ikan Napoleon dan Kerapu di tingkat pedagang besar (dari pedagang pengumpul ke pedagang besar) agak sulit didapatkan. Akan tetapi sebagai gambarannya pedagang pengumpul paling sedikit mendapatkan keuntungan bersih sebesar 35 persen dari harga pembelian, dengan menanggung resiko kematian ikan antara 15 –20 persen. Dengan demikian adapat diperkirakan bahwa minimal harga ikan di tingkat pedagang besar tersebut dua kali lipat dari harga di tingkat nelayan. 4.3.2. Rumput Laut dan berbagai jenis ikan asin/ikan kering • Rantai Pemasaran Rantai pemasaran rumput laut dan ikan asin atau ikan kering lebih sederhana dibandingkan dengan pemasaran ikan hidup (lihat Bagan). Rumput laut dan ikan asin/ikan kering oleh penduduk dipasarkan ke pasar Sorong setiap bulan sekali. Penjualan ini selalu dilakukan secara bersama-sama seluruh warga dengan menggunakan kapal milik desa (body susun). Rumah tangga yang mempunyai persediaan rumput laut, tetapi tidak bisa pergi menjual ke Sorong dapat menitipkan kepada tetangganya untuk dijualkan. Di pasar Sorong rumput laut tersebut dibeli oleh pedagang pengumpul yang kemudian menjualnya kembali kepada pedagang besar untuk diantarpulaukan ke konsumen di luar pulau. Konsumen rumput laut ini pada umumnya adalah perusahaan makanan dan obat-obatan. Di samping konsum en di luar pulau, terdapat juga beberapa perusahaan makanan dan obat-obatan lokal (di Kota Sorong). Sebelum memasarkan rumput laut sendiri ke pasar Sorong pernah ada pengusaha yang bersedia menampung hasil rumput laut dari para nelayan kampung Meosbekwan. Pengusaha tersebut adalah yang memperkenalkan budidaya rumput laut dan memberikan benih serta tali secara cuma-cuma kepada penduduk. Pada waktu diperkenalkan (tahun 1999) ada semacam perjanjian antara penduduk dan pengusaha yang isinya adanya kewajiban penduduk untuk menjual hasil rumput lautnya selama dua tahun berturut – turut kepada pengusaha. Akan tetapi belum ada dua tahun penduduk sudah berani menjualnya sendiri ke Sorong karena perbedaan harga yang terlalu tinggi. Pengusaha tersebut memberikan harga yang terlalu rendah dibandingkan dengan harga di Pasar Sorong. Perbedaan harga tersebut berkisar antara Rp 500 sampai dengan Rp 1000 per kg. Sampai saat ini tidak ada satupun penduduk yang menjual hasil panennya ke pengusaha. Beralihnya pemasaran dari dijual ke pengusaha menjadi dijual sendiri ke 49 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA pasar Sorong tidak menjadi masalah buat si pengusaha. Hal tersebut dikarenakan pengusaha telah mengalihkan usahanya dari menampung rumput laut beralih menjadi menampung ikan Napoleon dan Kerapu yang lebih memberikan keuntungan besar. Pemasaran ikan asin dan ikan kering dilakukan melalui dua jalur. Jalur pertama dipasarkan langsung kepada konsumen dan jalur kedua dipasarkan melalui pedagang yang kemudian menjualnya lagi ke konsumen. Pada jalur pertama penduduk membawa ikan tersebut ke pasar. Di pasar, mereka menggelar tikar dan menjajakannya langsung kepada pembeli. Sementara itu jalur kedua ikan asin/ikan kering tersebut dijual kepada pedagang yang kemudian menjualnya lagi ke konsumen. Selain itu adakalanya ikan asin tersebut juga ditukar dengan beberapa kebutuhan pokok lain, seperti sagu atau beras. Pemasaran secara barter ini umumnya terjadi di pasar Kabare (ibukota Kecamatan Waigeo Utara). Penjualan secara barter ini dilakukan karena penduduk di sekitar Kabare memang membutuhkan hasil laut seperti ikan asin atau cacing dan gurita untuk lauk pauk, sementara penduduk desa Meosbekwan membutuhkan sagu yang tidak dapat diproduksi di desa. • Harga Harga rumput laut sangat berfluktuasi, tergantung pada pasokan dan permintaan pasar. Fluktuasi tersebut berkisar antara Rp 2000 sampai dengan Rp 3500 per kg. Pada penjualan bulan Agustus 2001 harga per kg Rp 3.500 dan untuk seluruh desa dapat terjual sekitar 1,2 ton rumput laut. Sementara itu harga ikan asin satu ikat yang terdiri dari dua potong dengan berat sekitar 1 kg sekitar Rp 5000. Bagan 4.2 Nelayan (rumput laut kering) Rantai pemasaran rumput laut di Kepulauan Ayau Pedagang Pengumpul di Sorong Industri rumah tangga Pedagang besar di Sorong Industri kosmetik dan obat-obatan 4.3. Tehnologi Pasca Panen Dari ketiga sumber daya laut dominan yang ada di desa Meosbekwan ini hanya rumput laut yang memerlukan penanganan pasca panen. Kedua jenis sumber daya laut, ikan napoleon dan kerapu langsung dijual segar ke pedagang pengumpul. Apabila nelayan belum bisa langsung menjual ke pedagang pengumpul maka ikan-ikan tersebut dipelihara dahulu di dalam keramba untuk beberapa waktu. 50 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua Penanganan rumput laut pasca panen sangat mudah dan sederhana serta tidak memerlukan modal besar. Setelah rumput laut berumur satu bulan, waktunya bisa dipanen. Umumnya panen ini dilakukan oleh para ibu-ibu yang dibantu oleh anak-anak yang telah remaja dan dewasa. Para bapak-bapak kalau mempunyai waktu senggang (tidak sedang melaut) juga membantu memanen rumput laut. Oleh karena rumput laut yang dipanen memiliki ranting yang banyak dalam satu tangkai, maka untuk memudahkan penjemuran dan cepat kering maka rumput laut tersebut dipotong-potong terlebih dahulu. Setelah dipotong-potong kemudian dijemur di sinar matahari sampai kering. Dalam cuaca bagus (tidak sering hujan) maka rumput laut bisa kering selama kurang lebih 10 hari. Setelah kering rumput laut tersebut kemudian di simpan dalam karung-karung plastik dan siap untuk dipasarkan. Sebagai tempat penjemuran, umumnya para warga membuat para-para yang dibuat dari kayu setinggi kurang lebih 1,25 meter. Hampir setiap rumah tangga umumnya mempunyai para-para dengan lebar kurang lebih dua kali dua meter. 51 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Bab V Pendapatan dan Kesejahteraan Masyarakat Banyak indikator yang dapat dipakai untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat, baik indikator ekonomi maupun non ekonomi. Namun, sangat sulit untuk mengukur indikator non ekonomi (misalnya kesejahteraa n batin) untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat. Bagian ini mendiskripsikan kesejahteraan masyarakat dengan menekankan pada beberapa indikator ekonomi, yaitu (1) pendapatan dan pengeluaran, (2) strategi dalam pengelolaan keuangan, (3) pemilikan dan penguasaan asset serta (4) kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan. 5.1. Pendapatan dan Pengeluaran Analisis tentang pendapatan dan perilaku masyarakat dalam membelanjakan pendapatannya bermanfaat bagi perumusan kebijakan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pendapatan dan pengeluaran dapat dipakai sebagai tolok ukur kesejahteraan masyarakat, dimana antara dua variabel ini saling terkait satu dengan yang lain. Pada umumnya pola pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh besar kecilnya pendapatan rumah tangga. Semakin tinggi pendapatan rumah tangga, proporsi pengeluaran rumah tangga menjadi semakin tinggi dan beragam. Sebaliknya, rumah tangga yang memiliki pendapatan rendah, pendapatan banyak dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan makanan dengan tingkat pengeluaran rendah. Kajian ini berfokus pada diskusi tentang pendapatan dan pengeluaran rumah tangga di Kampung Meosbekwan yang masyarakatnya relatif homogen, yaitu sebagai nelayan. Pendapatan Ketergantungan masyarakat Kampung Meosbekwan pada hasil sumberdaya laut yang hanya menggunakan teknologi penangkapan sederhana, berpengaruh terhadap tingkat pendapatan dan kesejahteraan (ekonomi) mereka yang umumnya masih rendah. Pendapatan rumah tangga dalam kajian ini mencakup semua pendapatan dari pekerjaan utama dan tambahan yang diperoleh dari semua anggota rumah tangga bekerja. Hasil survei memperlihatkan, rata-rata pendapatan rumah tangga dalam sebulan terakhir adalah Rp 568.827,-. Pendapatan rumah tangga terendah sebesar Rp 200.000,-, sedang pendapatan tertinggi mencapai Rp 1.755.800 per bulan. Persentase rumah tangga yang memiliki pendapatan diatas pendapatan rata-rata hanya sebesar 31,4 persen, tidak ada separuhnya dari persentase rumah tangga yang berpendapatan sama dengan dan kurang dari pendapatan secara rata-rata (Tabel 5.1). Rumah tangga yang memiliki pendapatan tinggi antara lain karena adanya kontribusi dari beberapa anggota rumah tangga bekerja. Tampak pada Tabel 5.1 bahwa ada hubungan positif antara jumlah anggota rumah tangga yang bekerja dan besar pendapatan rumah tangga. Semakin banyak jumlah anggota rumah tangga yang bekerja, maka persentase rumah tangga dengan pendapatan tinggi (di atas pendapatan rata-rata) semakin meningkat. Data menunjukkan, persentase rumah tangga yang memiliki anggota rumah tangga bekerja sebanyak 3-4 orang dan berpendapatan tinggi 53 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA adalah lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga yang hanya memiliki 1-2 anggota rumah tangga bekerja. Selanjutnya, meskipun kasusnya sangat kecil, terlihat bahwa persentase rumah tangga yang mempunyai pendapatan tinggi dan mempunyai ART bekerja antara 5-6 orang adalah sekitar dua kali lebih besar dibandingkan rumah tangga yang hanya memiliki 3-4 ART bekerja pada kategori pendapatan sama. Peran yang cukup besar dari anggota rumah tangga bekerja dalam mempengaruhi tingginya pendapatan rumah tangga tersebut mungkin terkait erat dengan kegiatan budidaya rumput laut yang bisa dilakukan oleh semua anggota rumah tangga dewasa, baik lakilaki maupun perempuan. Pengamatan dan wawancara dengan beberapa sumber memperlihatkan bahwa pekerjaan budidaya rumput laut dilakukan sepanjang tahun dan melibatkan banyak anggota rumah tangga, sehingga memberikan kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga. Tabel 5.1 Rumah Tangga Berdasarkan Besar Pendapatan dan Anggota Rumah Tangga Bekerja, Kampung Meosbekwan, 2001. Besar Pendapatan < 568.827 (rendah) > 568.827 (tinggi) 1-2 ART Bekerja 3-4 Jumlah 5-6 72,7 27,3 70,0 30,0 33,3 66,7 68,6 31,4 Jumlah 100,0 100,0 100,0 100,0 N 22 10 3 35 Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, COREMAP-LIPI, 2001 Pendapatan rumah tangga di Kampung Meosbekwan termasuk rendah bila dibandingkan dengan kampung-kampung kajian lainnya1. Hal ini terlihat dari kecenderungan pengelompokan persentase responden pada pendapatan antara Rp 200-599 ribu (lampiran Tabel 5.1). Hanya terdapat sekitar sepertujuh rumah tangga yang memiliki pendapatan diatas Rp 1 juta pada periode sebulan terakhir (14,3 persen). Termasuk pada kelompok ini adalah guru dan mantri kesehatan, meskipun juga ada 2 orang yang berstatus nelayan. Menurut masyarakat, sumber pendapatan utama diperoleh dari hasil penangkapan ikan in maming (napoleon), garopa (kerapu) dan lobster. Diantara tiga sumberdaya laut bernilai tinggi ini, ikan napoleon tersedia sepanjang tahun, sehingga memberikan kontribusi pendapatan yang tidak sedikit bagi nelayan, meskipun pada saat musim ombak besar (Bulan April s/d Juni dan Oktober s/d Maret) nelayan tidak bisa menangkap ikan napoleon. Sementara sumber pendapatan dari ikan kerapu dan lobster tidak selalu diperoleh sepanjang tahun. Ikan kerapu tersedia cukup banyak pada Bulan September s/d Pebruari. Lobster tersedia sepanjang tahun, tetapi karena pemasaran sulit, yaitu harus dijual dalam keadaan segar di Kota Sorong yang berjarak tempuh sekitar 9 jam, nelayan sering lebih senang mengambil ikan. Ikan napoleon dan kerapu 1 Pengelompokan/kategorisasi rumah tangga berdasarkan besar pendapatan didasarkan pada hasil survei pendapatan dari semua kampung kajian (4 di Propinsi Papua/Irian Jaya dan 4 di Propinsi Sulawesi Tenggara), sehingga data yang terkumpul dapat dibandingkan antar kampung kajian. Namun, konsekuensi dari penentuan kategori pendapatan seperti ini adalah adanya nilai nol (0) pada beberapa kategori. Untuk kasus Kampung Meosbekwan, nilai nol (0) terkonsentrasi di kategori rumah tangga dengan pendapatan tinggi (di atas Rp 1,8 juta)(lihat lampiran Tabel 5.1). 54 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua bisa dijual di dalam kampung, karena sudah tersedia penampungan milik pengusaha luar kampung, sehingga memudahkan nelayan untuk memasarkannya. Pendapatan yang diperoleh dari ikan napoleon untuk sekali melaut (yang tidak selalu dilakukan setiap hari) adalah berkisar antara 2-3 ekor dengan harga jual yang bervariasi tergantung pada besar-kecilnya ukuran ikan napoleon2. Pendapatan yang diperoleh oleh nelayan dalam sekali melaut dan mendapatkan ikan napoleon berkisar antara Rp 100.000 sampai dengan Rp 300.000. Untuk ikan kerapu, pendapatan sekali melaut berkisar antara Rp 50.000 sampai dengan Rp 75.000 yang berasal dari hasil tangkapan kurang lebih 5 kg. Sebagaimana dengan ikan napoleon, harga ikan kerapu tergantung pada jenis dan ukurannya 3. Pendapatan tersebut sudah bersih karena secara nyata tidak ada ongkos produksi yang berarti karena dalam melaut nelayan cukup berbekal satu bungkus nasi dan lauknya serta sebotol minuman. Pendapatan dari hasil tangkapan lobster tidak menentu, tetapi biasanya mendapat 3-5 kg dalam sekali melaut dengan harga Rp 130 ribu per kg. Disamping itu, masyarakat di Kampung Meosbekwan juga memiliki sumber pendapatan dari budidaya rumput laut. Pada umumnya, setiap rumah tangga memiliki sebanyak 40 tali yang dapat menghasilkan antara 20-30 kg per bulan (satu kali panen per bulan). Dengan harga antara Rp 2.500 - Rp3.500,- per kg, maka pendapatan rumah tangga nelayan berkisar antara Rp 50.000 s/d Rp 105.000,-. Meskipun tidak dalam jumlah besar, budidaya rumput laut dapat memberikan pendapatan kepada rumah tangga nelayan secara berkesinambungan. Keadaan ini tampaknya perlu mendapat perhatian untuk pengembangannya dalam upaya peningkatan pendapatan penduduk. Pemberian fasilitas pemasaran di dalam kampung melalui penyediaan tempat penampungan/pengumpul hasil rumput laut di kampung tampaknya lebih memudahkan nelayan dalam menjual hasil panen. Pada saat sekarang, nelayan harus menjual hasil panen rumput laut ke Sorong. Sumber pendapatan lain adalah berbagai jenis ikan, seperti kakap, baronang dan gurita. Jenis ikan ini pada umumnya untuk konsumsi sendiri dan sebagian lagi dijadikan ikan olahan. Gurita dan cacing yang tersedia sepanjang waktu pada saat air laut surut, pada umumnya dimanfaatkan oleh ibu-ibu untuk dikeringkan dan kemudian dijual bersama-sama dengan hasil laut lainnya ke Kota Sorong. Temuan penelitian dengan pendekatan kualitatif menemukan bahwa pendapatan yang diperoleh bervariasi menurut musim. Pada musim banyak ikan, terutama ikan Kerapu yang terjadi pada bulan September sampai dengan April dalam sekali melaut nelayan bisa mendapatkan antara 5kg sampai dengan 10 kg atau sekitar 10 ekor ikan dengan harga jual antara Rp 75.000 sampai dengan Rp 200.000. Sementara itu pada saat tidak musim, setiap kali melaut mendapat sekitar 3 sampai dengan 4 ekor ikan dengan harga jual sekitar Rp 50.000. Pada saat ombak besar yang terjadi pada bulan sekitar bulan April sampai Juni, para nelayan tidak mencari ikan napoleon atau kerapu. Pada saat ombak besar dasar laut di sekitar karang menjadi keruh sehingga sulit untuk menangkap ikan napoleon dan kerapu. Di samping itu, para nelayan umumnya tidak mempunyai perahu motor sehingga tidak bisa melaut dalam kondisi ombak besar. Pada saat ombak besar 2 Harga ikan napoleon per kg untuk ukuran 0-6-1,2 kg adalah Rp 120 ribu, 1,3-3kg = Rp 130 ribu, dan ukuran 3,1-5 kg dihargai Rp 160 ribu. Harga untuk ukuran besar (lebih besar dari 5 kg) tidak dihitung per kg, tetapi dihitung per satuan, yaitu Rp 30 ribu/ekor. 3 Terdapat 3 jenis ikan kerapu: geha, tongseng dan siseng. Jenis geha memiliki nilai harga tinggi, yaitu Rp 6 ribu per kg untuk ukuran kecil (baby) dan Rp15 ribu untuk ukuran sedang (super), sedang untuk ukuran besar (up) adalah Rp 15 ribu per ekor. 55 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA tersebut para nelayan mencari ikan baronang, ikan kakak tua dan berbagai jenis ikan pelagis lain yang terdapat di sekitar perairan dekat pantai. Ikan-ikan tersebut tidak dijual, hanya untuk dikonsumsi sendiri dan sisanya biasanya dibuat ikan asin atau dikeringkan. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pendapatan rumah tangga di Kampung Meosbekwan yang rendah terutama dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama berkaitan dengan penggunaan alat tangkap sederhana, yaitu pancing untuk menangkap ikan kerapu, akar bore (sebagai racun) untuk menangkap ikan napoleon, sedang kaca dan senapan molo untuk menangkap lobster. Dengan alat-alat tangkap sederhana semacam ini menyebabkan hasil tangkapan ikan tidak banyak, sehingga berpengaruh terhadap rendahnya pendapatan rumah tangga. Kedua, faktor alam, terutama ombak besar sangat berpengaruh terhadap kegiatan kenelayanan. Pada saat ombak besar, aktivitas laut berhenti total, sehingga penduduk Kampung Meosbekwan yang mayoritas sebagai nelayan hanya mengandalkan sumber penghasilan dari hasil laut. Selama lima tahun terakhir ini pendapatan cenderung menurun. Informasi dari beberapa informan menunjukkan bahwa dibanding lima tahun yang lalu pendapatan nelayan sekarang ini jauh lebih kecil. Disebutkan bahwa sekitar lima tahun yang lalu dalam sekali melaut umumnya para nelayan bisa mendapatkan sekitar 5 ekor ikan napoleon. Pada saat ini dalam sekali melaut untuk mendapatkan dua ekor ikan napoleon sudah sangat sulit. Justeru sering terjadi nelayan sudah berniat dari rumah untuk mencari napoleon, ternyata sampai sore tidak mendapatkan apa-apa. Hari berikutnya mereka beralih untuk mencari kerapu yang sekarang ini masih relatif mudah didapat. Pengeluaran Telah disebutkan di atas bahwa pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator kesejahteraan masyarakat yang bersifat positif. Artinya, semakin sejahtera suatu masyarakat semakin besar pengeluaran untuk berbagai kebutuhan pokok dan bukan kebutuhan pokok. Sebaliknya, masyarakat yang kurang sejahtera pada umumnya memiliki pola pengeluaran yang terkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan pokok. Kasus seperti ini ditemui pula di daerah penelitian. Rendahnya tingkat pendapatan rata-rata rumah tangga nelayan berpengaruh terhadap pengeluaran yang rendah pula. Pengeluaran rumah tangga di Kampung Meosbekwan berkisar antara Rp 65.000,- sampai dengan Rp 950.000,-. Besarnya pengeluaran rata-rata rumah tangga dalam satu bulan terakhir adalah Rp 309.897,-. Angka ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan pendapatan rata-rata pada periode satu bulan terakhir. Pengeluaran untuk makanan meliputi bahan makanan pokok (beras dan sagu), gula, kopi, teh dan rokok. Pembelian makanan biasanya dilakukan sebulan sekali, bahkan terkadang tiga bulan sekali jika sedang musim ombak besar. Pembelian konsumsi makanan dilakukan di Kota Sorong atau di kecamatan, karena di kampung tidak tersedia warung. Pada saat sangat membutuhkan dan tidak bisa pergi ke luar kampung, pemenuhan kebutuhan makanan bisa dipinjam dulu kepada tetangga atau menukar barang (biasanya piring gantung/mangkok) dengan bahan pangan. Sebagaimana dengan pendapatan, pengeluaran rumah tangga dalam satu bulan terakhir juga terkonsentrasi pada kelompok terendah (lampiran Tabel 5.2). Berdasarkan sensus rumah tangga, mayoritas rumah tangga membelanjakan uangnya kurang dari Rp 400.000,- per bulan (82,9 persen). Dengan kata lain, hanya sedikit rumah tangga yang 56 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua memiliki pengeluaran rumah tangga diatas pengeluaran rata-rata. Proporsi terbesar adalah rumah tangga yang memiliki pengeluaran antara Rp 200.000 – Rp 299.000,-, yaitu mencapai 51,4 persen. Pengeluaran rumah tangga tersebut, kebanyakan dipergunakan untuk mengkonsumsi antara 3-6 anggota rumah tangga, yang mencapai 61,7 persen (Tabel 5.2). Tabel 5.2. Rumah Tangga Berdasarkan Pengeluaran Dalam Periode Satu Bulan Terakhir, Kampung Meosbekwan Besar pengeluaran Besar anggota rumah tangga Jumlah 1-2 3-4 5-6 7-8 < 309.897 100,0 92,3 62,5 45,5 70,6 >309.879 0,0 7,7 37,5 54,5 29,4 Jumlah 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 N 2 13 8 11 34 Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, COREMAP -LIPI, 2001 Pola pengeluaran antara lain dipengaruhi oleh banyaknya anggota keluarga. Tabulasi silang antara besar pengeluaran rumah tangga dan jumlah ART memperlihatkan bahwa besarnya pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh jumlah anggota rumah tangga. Semakin besar anggota rumah tangga, semakin besar pula pengeluaran rumah tangga. Data memperlihatkan, persentase rumah tangga dengan pengeluaran diatas pengeluaran rata-rata semakin membesar dengan meningkatnya jumlah anggota rumah tangga. Sebaliknya, persentase rumah tangga dengan pengeluaran dibawah atau sama besar dengan pengeluaran rata-rata semakin mengecil sejalan dengan meningkatnya anggota rumah tangga. Keadaan ini mudah dipahami karena anggota rumah tangga yang besar juga memerlukan kebutuhan yang besar dan beragam. Apabila diperhatikan pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan, rata-rata pengeluaran sebulan terakhir untuk keperluan makanan lebih besar (Rp 203.129,-) dibandingkan dengan pengeluaran rata-rata untuk bukan makanan (Rp 106.676,-). Dikaitkan dengan jumlah pengeluaran rata-rata seluruhnya, maka sebanyak 65,5 persen dari pengeluaran rumah tangga dipergunakan untuk membeli kebutuhan makanan. Dalam perspektif ekonomi, keadaan ini dapat menggambarkan bahwa kebanyakan rumah tangga di Kampung Meosbekwan masih termasuk dalam keluarga miskin. Pengeluaran yang cukup besar untuk makanan tampaknya juga dipengaruhi oleh harga makanan yang tinggi. Harga beras dengan kualitas biasa mencapai Rp 3.000 per kg, sedang harga sagu sebesar Rp 30.000 - Rp 40.000 per tumang. Dalam satu bulan, satu rumah tangga dengan 2-4 anggota rumah tangga dapat menghabiskan kira-kira 50 kg beras dan 2 tumang sagu. Dengan demikian pengeluaran untuk makanan pokok dalam satu rumah tangga dengan 3-4 ART mencapai diatas Rp 200.000,-. Sebaliknya pengeluaran untuk bukan makanan yang bernilai rendah adalah karena sebagian besar hanya untuk biaya pendidikan yang terbatas pada SPP dan pembelian buku. Tampaknya dalam satu bulan terakhir tidak ada pengeluaran untuk keperluan sosial, seperti kebiasaan pesta adat yang memakan biaya cukup tinggi dan menjadi tanggung jawab seluruh penduduk. Bahkan, apabila ada hubungan keluarga, sumbangan untuk pembiayaan pesta juga diberikan pada keluarga yang tinggal di luar kampung. 57 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Dari kelompok konsumsi makanan, persentase terbesar berada pada kelompok rumah tangga dengan pengeluaran antara Rp 100.000 - Rp 199.000,- (lampiran Tabel 5.3). Kemudian sebanyak 22,9 persen rumah tangga mengkonsumsi makanan dengan nilai antara Rp 200.000–Rp 299.000,-. Hanya ada 5,7 persen rumah tangga yang memiliki pengeluaran diatas Rp 500.000,-. Kelompok rumah tangga dengan konsumsi tinggi untuk pembelian bahan makanan adalah mereka yang baru saja belanja kebutuhan makanan pokok, misalnya beras dan kebutuhan hidup lainnya. Informasi yang diperoleh dari pendekatan kualitatif memperlihatkan bahwa konsumsi makanan pada umumnya dipakai untuk membeli kebutuhan makanan pokok, yaitu beras dan sagu. Selebihnya dipakai untuk membeli gula, kopi dan rokok. Memperhatikan kelompok pengeluaran bukan makanan, lebih separuh dari jumlah rumah tangga memiliki pengeluaran bukan makanan antara Rp100.000 Rp199.000,- (lampiran Tabel 5.4). Sebanyak 29,4 persen membelanjakan pendapatannya untuk bukan makanan dengan nilai kurang dari Rp 100.000,-. Pengeluaran terbesar dari konsumsi bukan makanan adalah untuk konsumsi bahan bakar, pendidikan anak dan aneka barang lainnya serta keperluan adat, misalnya upacara perkawinan baik keluarga maupun tetangga. Dalam membelanjakan uang untuk konsumsi rumah tangga pada umumnya dilakukan secara bersama-sama. Baik isteri maupun suami mempunyai peran yang seimbang dalam memikirkan dan menentukan barang yang akan dikonsumsi. Meskipun yang pergi berbelanja ke luar pulau (di ibukota kecamatan atau Kota Sorong) hanya bisa dilakukan suami saja, misalnya, isteri sudah menitipkan pesanan barang-barang apa saja yang akan dibeli. Perempuan mempunyai peran cukup besar dalam kehidupan berumah tangga, terutama menyangkut pengelolaan uang. Disamping memiliki peran dalam pengeluaran rumah tangga, isteri juga memiliki wewenang dalam memegang uang. Keadaan ini menggambarkan bahwa kesetaraan jender dalam kehidupan berumah tangga sudah berlangsung dengan baik yang akan berpengaruh pada kehidupan yang lebih luas, yaitu di tingkat masyarakat. 5.2. Strategi Dalam Pengelolaan Keuangan Informasi tentang strategi pengelolaan keuangan rumah tangga dapat dipakai untuk mengetahu perilaku menabung dan mengatasi kesulitan keuangan yang dilakukan oleh masyarakat. Perilaku menabung di kalangan masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor yang dapat diklasifikasikan dalam faktor ekonomi dan non ekonomi (Tjiptoherijanto, 1998: 94). Dalam konteks penelitian ini dimana penelitian dilakukan di daerah nelayan, faktor ekonomi yang dilihat adalah besar pendapatan, sedang variabel bentuk/jenis tabungan dikategorikan dalam faktor non ekonomi. Rumah tangga yang dapat menabung adalah rumah tangga yang dapat menyisihkan pendapatannya untuk disimpan, baik dalam bentuk uang maupun bukan uang. Simpanan dalam bentuk barang/bukan uang bisa pula berupa barang konsumsi apabila dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan. Pembelian emas yang dipergunakan untuk perhiasan merupakan barang konsumsi, tetapi simpanan emas yang diklasifikasikan sebagai tabungan jika emas tersebut juga akan dijual pada saat membutuhkan. Berdasarkan sensus rumah tangga diketahui bahwa besarnya pendapatan rumah tangga tidak berbeda jauh dengan besarnya pengeluaran. Besar pengeluaran rumah tangga lebih sedikit dibandingkan dengan pendapatan. Perhitungan dari data 58 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua sensus rumah tangga menemukan, dalam satu bulan terakhir, hampir semua rumah tangga memilki pendapatan yang lebih besar dari pengeluaran (Tabel 5.3). Hanya terdapat sebanyak 14,3 persen dari jumlah rumah tangga (5 rumah tangga) yang tidak memiliki sisa pendapatan. Diantara 5 rumah tangga ini, satu diantaranya menunjukkan nilai negatif Rp 5000,- yang berarti besar pengeluaran rumah tangga tersebut lebih tinggi daripada besar pendapatan. Pada Tabel 5.3, terlihat dengan jelas bahwa persentase tertinggi terdapat pada rumah tangga yang memiliki selisih pendapatan antara Rp 100.000 – Rp 199.000,-. Selanjutnya, terlihat bahwa rumah tangga dengan selisih pendapatan Rp 500.000,- dan diatasnya. Dari data dasar diketahui bahwa rumah tangga dengan selisih pendapatan yang tinggi adalah rumah tangga pegawai negeri sipil, yaitu seorang guru SD yang bekerja puluhan tahun. Tabel 5.3: Rumah Tangga Berdasarkan Besar Selisih Pendapatan dan Pengeluaran, Kampung Meosbekwan, 2001. Selisih pendapatan dan pengeluaran (ribuan rupiah) <0 1- 99 100-199 200-299 300-399 400-499 500+ Sumber: Frekuensi 5 5 11 4 1 3 6 Jumlah 35 Survei Data Dasar As pek Sosial Terumbu Karang Indonesia, LIPI, 2001 N 14,3 14,3 31,4 11,4 2,9 8,6 17,1 100,0 COREMAP- Adanya selisih antara pendapatan dan pengeluaran rumah tangga menggambarkan bahwa terdapat sebagian rumah tangga yang dapat menyisihkan sisa pendapatannya untuk menabung. Data yang diperoleh dari pendekatan kuantitatif memperlihatkan bahwa sebesar 57,1 persen rumah tangga memiliki tabungan. Bentuk/jenis tabungan pada umumnya berupa uang (95,0 persen) yang disimpan sendiri oleh rumah tangga bersangkutan. Di Kampung Meosbekwan tidak terdapat lembaga keuangan (baik formal maupun informal) sebagai wadah/tempat untuk menabung. Minat masyarakat untuk menabung dalam bentuk uang tunai dan hanya disimpan sendiri mungkin karena jenis tabungan ini bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan jika sewaktu-waktu diperluk an. Mereka tidak khawatir uang tabungan akan habis dibelanjakan karena di kampung ini tidak terdapat warung/sarana ekonomi lainnya. Kebiasaan menabung sendiri di rumah tidak hanya dilakukan oleh mereka yang memiliki pendapatan cukup baik, tetapi juga oleh mereka yang berpendapatan rendah. Tabel 5.4 menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan, persentase rumah tangga yang memiliki tabungan semakin besar pula. Terlihat pada Tabel 5.4, rumah tangga yang memiliki pendapatan antara Rp 200.000 - Rp 299.000,- sebesar 15 persen dari mereka memiliki tabungan. Angka ini lebih rendah dari mereka yang tidak memiliki tabungan (26,7 persen). Sebaliknya, diantara rumah tangga dengan pendapatan lebih dari Rp 600.000,-, sebesar 35,0 persen mengatakan memilki tabungan, atau lebih tinggi dari mereka yang tidak memiliki tabungan (28,0 persen). 59 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Tabel 5.4 Rumah Tangga Berdasarkan Besar Pendapatan Dalam Periode Satu Bulan Terakhir dan Pemilikan Tabungan, Kampung Meosbekwan, 2001. Besar pendapatan (ribuan) Pemilikan tabungan Ya Tidak 15,0 26,7 20,0 13,3 30,0 20,0 0,0 13,0 35,0 28,6 100,0 100,0 20 15 Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, COREMAP -LIPI, 2001 200 – 299 300 – 399 400 - 499 500 - 599 600 + Jumlah Tabel 5.5: Rumah Tangga Berdasarkan Besar Pendapatan Dalam Periode Satu Bulan Terakhir dan Kesulitan Keuangan, Kampung Meosbekwan, 2001 Besar pendapatan (ribuan) Kesulitan Keuangan Ya Tidak 200 – 299 300 – 399 400 – 499 500 – 599 600 + Jumlah 26,7 15,0 13,3 20,0 20,0 30,0 13,3 0,0 26,7 35,0 100,0 100,0 15 20 Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, COREMAP -LIPI, 2001 Berkaitan dengan kesulitan keuangan, sensus rumah tangga menemukan adanya sekitar 42,9 persen rumah tangga yang mengalami kesulitan keuangan dalam enam (6) bulan terakhir. Data tabulasi silang antara besar pendapatan dan kesulitan keuangan memperlihatkan bahwa kebanyakan rumah tangga yang menghadapi kesulitan keuangan adalah rumah tangga yang mempunyai pendapatan dibawah pendapatan rata-rata (Rp 568.827,-), yaitu sebesar 73,3 persen. Diantara kategori/kelompok pendapatan dibawah pendapatan rata-rata, persentase tertinggi dari rumah tangga yang menghadapi kesulitan keuangan adalah rumah tangga dengan pendapatan terendah (Tabel 5.5). Cara mengatasi kesulitan keuangan pada umumnya dilakukan dengan cara minta bantuan pada keluarga (86,7 persen), yaitu melalui pinjaman tanpa bunga, meskipun kadang-kadang juga berupa bantuan cuma-cuma yang umumnya dilakukan oleh mereka yang masih ada hubungan saudara. Cara mengatasi keuangan yang lain adalah dengan menggadaikan barang, seperti piring gantung, piring antik dan terkadang kain. Kesulitan keuangan biasanya terjadi pada saat-saat musim ombak besar, dimana banyak rumah tangga yang tidak dapat pergi melaut, sehingga pendapatan mereka menjadi berkurang, sementara kebutuhan hidup tetap harus dipenuhi. 60 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua 5.3. Pemilikan dan Penguasaan Asset Informasi tentang sistem pemilikan dan penguasaan sumber dapat dipakai untuk mengetahui pola pemilikan dan penguasaan, baik dalam arti individu maupun kelompok. Disamping itu, keadaan kehidupan ekonomi penduduk juga dapat digambarkan melalui kepemilikan asset, baik yang bersifat produktif maupun bukan produktif. Untuk daerah nelayan seperti halnya Kampung Meosbekwan, asset produktif mencakup armada dan alat produksi perikanan laut termasuk tempat untuk budidaya rumput laut, sarana dan asset produksi darat. Asset bukan produktif mencakup pemilikan rumah dan barang berharga lainnya menurut konsep lokal. Alat produksi perikanan laut Telah disebutkan di atas bahwa sumberdaya laut merupakan andalan utama sebagai sumber pendapatan masyarakat di Kampung Meosbekwan. Dalam konteks ini, diskripsi tentang pemilikan/penguasaan alat produksi perikanan menjadi penting untuk dikemukakan. Pemilikan alat produksi perikanan yang ditemukan di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.6. Dari hasil sensus rumah tangga diketahui bahwa perahu tanpa motor, yang dalam istilah lokal dikenal dengan perahu semang dengan ukuran panjang 2 m dan lebar 0,5 m, cukup banyak dimiliki oleh penduduk Kampung Meosbekwan. Sebanyak 71,4 persen dari jumlah rumah tangga di kampung ini memiliki perahu semang. Harga perahu semang yang relatif murah, yaitu antara Rp 400.000 – Rp 500.000,- dan dapat dibeli di kota kecamatan memudahkan nelayan untuk memiliki armada tangkap ini yang dapat digunakan sebagai sarana kegiatan melaut. Perahu semang menjadi armada penting bagi nelayan di Kampung Meosbekwan, karena perahu motor yang hanya dimiliki oleh 4 rumah tangga (11,4 persen) biasanya tidak dipakai sebagai armada penangkapan ikan. Perahu motor berkapasitas 15 PK ini biasa dipakai untuk alat transportasi masyarakat jika akan pergi berbelanja atau keperluan lain yang sifatnya tidak komersial. Artinya, masyarakat tidak dikenakan tarif, tetapi pengguna perahu motor tersebut secara bersama-sama membiayai ongkos perjalanan, misalnya untuk membeli bahan bakar. Tabel 5.6: Rumah Tangga Berdasarkan Pemilikan/Penguasaan Alat Produksi Perikanan, Kampung Meosbekwan, 2001. Alat produksi perikanan Ya Tidak Jumlah N Perahu motor 11,4 88,6 100,0 35 Perahu tanpa motor 71,4 28,6 100,0 35 Jaring 2,9 97,1 100,0 35 Pancing 91,4 8,6 100,0 35 Senapan molo 34,3 65,7 100,0 35 Kacamata molo 17,1 82,9 100,0 35 Kalawai/Manora 54,3 45,7 100,0 35 Manora, Arial 20,0 80,0 100,0 35 Arsyam 11,4 88,6 100,0 35 Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, COREMAP -LIPI, 2001 61 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Diantara pemilikan alat tangkap, pancing merupakan alat tangkap yang paling banyak dimiliki oleh rumah tangga di lokasi penelitian. Hampir semua rumah tangga memilki pancing (91,4 persen) yang umumnya digunakan untuk menangkap ikan kerapu. Tingginya persentase pemilikan pancing ini mengindikasikan bahwa pancing merupakan alat tangkap utama untuk mengeksploitasi hasil laut, khususnya ikan, seperti kerapu, ekor kuning, bobara, bolana dan kakaktua. Pemilikan alat tangkap lain yang cukup banyak ditemukan adalah kalawai (sebagian menyebut manora), yaitu semacam tombak yang dipakai untuk menangkap ikan dan penyu. Data menunjukkan sebanyak 54,3 persen dari jumlah rumah tangga di Kampung Meosbekwan memiliki kalawai/manora. Senapan molo, yaitu alat tangkap yang berperan sebagai alat pembidik, dimiliki oleh sekitar 34,3 persen. Sebagai pasangan dari senapan molo adalah kaca molo yang hanya dimiliki sedikit rumah tangga (17,1 persen). Senapan dan kaca molo pada umumnya dipakai untuk menangkap lobster, demikian pula untuk mengambil ikan napoleon yang sudah dibius dengan akar bore biasanya juga memakai kaca molo. Rumah tangga dengan pemilikan alat tangkap lainnya tidak terlihat mencolok. Arsyam, menyerupai linggis, biasa digunakan untuk mencari gurita yang tertinggal di pantai pada saat air laut sedang surut. Memperhatikan pemilikan alat produksi perikanan tersebut, tampak nyata bahwa sebagian besar rumah tangga hanya memiliki armada dan alat tangkap sederhana. Hal ini mengindikasikan bahwa ekploitasi berlebihan dalam penangkapan sumber daya laut belum terjadi di daerah penelitian. Disamping pemilikan armada dan alat tangkap, sebagian besar rumah tangga di Kampung Meosbekwan menguasai wilayah pantai yang dipergunakan untuk budidaya rumput laut. Sebanyak 88,6 persen rumah tangga melakukan aktivitas budidaya rumput laut yang dilakukan sepanjang tahun. Penguasaan wilayah ini diperkirakan dapat berkembang lebih luas mengingat wilayah/tempat untuk pengembangan rumput laut tersedia di sepanjang pantai. Sarana/asset produksi di darat dan pemilikan lainnya Kampung Meosbekwan dengan kondisi tanah berpasir tidak memungkinkan untuk pengembangan lahan pertanian. Meskipun hasil sensus mencatat ada 5 rumah tangga (14,3 persen) yang memiliki lahan pertanian, tetapi lokasi lahan pertanian berada di luar pulau di dekat kota kecamatan yang berjarak tempuh 4 jam dengan menggunakan perahu motor berkekuatan 5 PK. Lahan pertanian pada umumnya ditanami kelapa dan sagu. Kelapa dimanfaatkan untuk membuat minyak kelapa, sedang sagu selain sebagai bahan makanan pokok, pelepahnya dimanfaatkan untuk senat (semacam tikar) dan bahan dinding rumah. Rumah tangga yang memiliki lahan pekarangan mencapai 94,3 persen (Tabel 5.7). Namun, lahan pekarangan tidak dimanfaatkan untuk tanaman produktif, kecuali pohon sukun dan beberapa pohon kelapa untuk konsumsi sendiri. Jenis asset lain yang dimiliki oleh kebanyakan rumah tangga di Kampung Meosbekwan adalah ayam. Tidak seperti pola umum, pemeliharaan ayam tidak bertujuan untuk dijual jika ada keperluan mendesak, tetapi untuk persiapan jika ada pesta. 62 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua Tabel 5.7 Rumah Tangga Berdasarkan Pemilikan/Penguasaan Sarana/aset Produksi Darat dan Pemilikan Lainnya, Kampung Meosbekwan, 2001 (Persentase). Pemilikan Ya Lahan pekarangan 94,3 Lahan pertanian 14,3 Sarana transportasi 5,7 Ternak ayam 71,4 Elektronik (radio) 34,3 Piring 45,7 gantung/antik/saraka Rumah 97,1 Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial LIPI, 2001 Tidak Jumlah N 5,7 85,7 94,3 28,6 65,7 64,3 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 35 35 35 35 35 35 2,9 100,0 35 Terumbu Karang Indonesia, COREMAP- Pemilikan asset yang sifatnya bukan produktif yang terlihat menonjol adalah pemilikan rumah yang mencapai 97,1 persen. Tampaknya tidak ada kesenjangan yang mencolok dalam hal pemilikan rumah. Hal ini terlihat dari status pemilikan yang mayoritas berstatus milik sendiri, disamping kondisi fisik rumah yang hampir sama, yang akan didiskusikan di bagian 5.4. Hanya sekitar sepertiga dari jumlah rumah tangga memiliki barang elektronik (radio) yang merupakan sumber informasi penting bagi penduduk Kampung Meosbekwan. Tidak ada rumah tangga yang memiliki televesi, mungkin karena tidak ada tenaga listrik maupun diesel/generator. Sebelumnya pernah ada bantuan generator dari Prinkopal pada tahun 1999, tetapi hanya dapat dipakai selama kira-kira satu tahun, karena keterbatasan dalam penyediaan bahan bakar dan perawatan akhirnya rusah hingga sekarang. Rumah tangga dengan pemilikan piring gantung/antik atau saraka cukup besar (45 persen). Piring gantung dan piring antik mempunyai nilai ekonomi dan nilai sosial, sedang saraka (gelang yang terbuat dari uang golden, biasanya didapat dari warisan nenek moyang) tidak bernilai ekonomis, tetapi hanya memiliki nilai sosial. Piring gantung dan piring antik dapat dipergunakan sebagai alat pembayaran untuk membeli/menukar barang-barang kebutuhan hidup. Sejumlah responden menyebutkan bahwa apabila dikonversi ke nilai rupiah, satu buah piring gantung kira-kira sama dengan Rp 200.000,sedang nilai piring antik lebih tinggi. Piring gantung dan piring antik bernilai sosial tinggi karena dapat dipakai sebagai mas kawin, meskipun pada saat sekarang nilai sosial tersebut semakin berkurang. Disamping piring antik dan piring gantung, pemilikan barang yang mempunyai nilai ekonomi (sebagai alat tukar dengan barang lain) adalah piring mangkok. Piring mangkok ini memiliki nilai lebih rendah dibandingkan dengan piring gantung dan piring antik. Selanjutnya, saraka hanya memiliki nilai sosial, yaitu untuk warisan anak perempuan dan/atau dapat dipakai sebagai mas kawin. Karena nilai ekonomi dan sosial yang cukup tinggi, maka dapat dimengerti jika hampir separuh dari jumlah responden memiliki piring antik, piring gantung dan saraka. 5.4. Kondisi Perumahan dan Sanitasi Lingkungan Bagian ini menguraikan kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan yang mencakup kondisi fisik perumahan (dinding, lantai dan atap), jamban keluarga, pembuangan limbah rumah tangga dan ketersediaan air bersih, sumber penerangan 63 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA dan bahan bakar. Telah disinggung di atas, kondisi rumah penduduk di Kampung Meosbekwan relatif homogen. Bangunan rumah penduduk berderet di sepanjang jalan utama dengan tatanan teratur. Meskipun rumah satu dengan rumah lain dipisahkan oleh pekarangan, jarak antara rumah satu dengan rumah lainnya sekitar 25 meter. Kondisi bangunan rumah pada umumnya semi permanen dengan bahan-bahan bangunan yang tidak mudah hancur. Dinding terbuat dari papan, atap dari rumbia dan lantai dilapisi semen tipis dengan permukaan kasar. Ukuran rumah cenderung homogen yaitu sekitar 6-7 meter untuk ukuran panjang, sedang lebar sekitar 5-6 meter. Ukuran sebesar ini pada umum nya terdiri dari dua kamar tidur dan satu kamar keluarga. Bangunan rumah dilengkapi dengan jendela yang berfungsi sebagai ventilasi udara. Namun, rumah utama ini tidak selalu dipergunakan sendiri oleh pemiliknya. Menurut kebiasaan mereka, rumah utama ini biasanya diperuntukkan bagi tamu yang menginap di kampung ini. Mereka lebih senang tidur di dapur (terutama di siang hari atau malam hari dikala cuaca panas) yang dibangun terpisah dari rumah utama, berjarak sekitar 2 meter. Panjang dapur sekitar 3-4 meter dan lebar antara 2-3 meter. Kondisi bangunan dapur sangat sederhana, yaitu berlantai pasir putih, dinding terbuat dari pelepah sagu atau terkadang papan dan atap terbuat dari rumbia. Diantara 39 rumah, terdapat 5 rumah (12,8 persen) yang masuk kategori rum ah permanen dengan ciri berdinding tembok, lantai semen dan atap terbuat dari seng. Para pemilik rumah permanen ini adalah perangkat kampung dan dua orang nelayan yang tergolong mempunyai status ekonomi baik. Bangunan rumah penduduk pada umumnya tidak di lengkapi dengan sanitasi lingkungan. Satu-satunya sarana lingkungan yang umum dijumpai adalah tempat mandi yang berlokasi di dekat sumur. Tidak ada sarana buang air besar. Tempat buang air besar adalah laut. Sampah juga dibuang di laut. Sarana pembuangan limbah rumah tangga juga tidak ada, tetapi lingkungan rumah terlihat kering, tidak ditemukan adanya genangan air. Tanah yang banyak mengandung pasir mempermudah air yang jatuh di permukaan tanah segera meresap, termasuk air limbah rumah tangga. Perilaku buang air besar seperti ini bukan karena pengaruh dari kemampuan ekonomi yang rendah untuk dapat menyediakan jamban keluarga yang memenuhi syarat kesehatan, tetapi lebih karena faktor kebiasaan. Di sisi lain, ketersediaan wilayah laut yang sangat luas, sementara jumlah penduduk sangat sedikit jelas mempengaruhi kebiasaan penduduk untuk tidak merubah kebiasaan perilaku buang air besar. Sanitasi lingkungan yang mencerminkan kondisi baik terlihat dari sumber air bersih yang dapat dijumpai di setiap rumah. Sumur gali cukup baik dilihat dari aspek kesehatan. Sumur dengan diameter satu meter dan kedalaman antara 2,5 - 3 meter dilindungi dengan cincin yang dibuat dari bekas drum, sedang bibir/dinding sumur terbuat dari ember plastik bekas. Sumur tidak pernah kering dan air tidak berwarna (bening), meskipun tampaknya banyak mengandung air kapur. Ini terlihat jelas dari adanya endapan kapur di tempat memasak air. Tidak seperti di daerah nelayan, rasa air di daerah ini tidak payau. Kondisi ini mencerminkan bahwa sumber air bersih tidak menjadi masalah dalam penyediaan, tetapi memerlukan perhatian tersendiri dalam kaitannya dengan kualitas air minum. 64 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua Bab VI Degradasi Sumber Daya Laut dan Faktor-Faktor yang Berpengaruh Bab ini membahas kondisi sumber daya laut di wilayah perairan Kampung Meosbekwan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Bahasan mengenai kondisi sumber daya laut didasarkan pada pengamatan lapangan dan wawancara mendalam serta kaji bersama dengan berbagai informan, terutama para nelayan Kampung Meosbekwan yang sehari-harinya selalu berinteraksi dengan sumber daya laut di wilayah perairan Kepulauan Ayau. Dalam kajian bersama, peserta diminta menggambar dan menjelaskan peta lokasi sebaran terumbu karang yang berada di wilayah desa, termasuk lokasi-lokasi yang dapat dimanfaatkan bersama dengan orang luar desa dan kondisi dan titik-titik lokasi terumbu karang yang sudah rusak. Sementara itu, data mengenai tingkat degradasi sumber daya laut, khususnya terumbu karang diperoleh dari survai terhadap responden terpilih. Terhadap responden ini ditanyakan kondisi terumbu karang pada saat ini dan keadaan lima tahun yang lalu. Bahasan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi degradasi sumber daya laut di Kampung Meosbekwan dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama, faktor internal yang menyebabkan kerusakan sumber daya laut, khususnya terumbu karang dan ekosistemnya. Termasuk dalam kelompok faktor internal adalah penggunaan teknologi penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, pengetahuan dan kesadaran masyarakat setempat terhadap pentingnya pengelolaan sumber daya laut secara lestari. Kedua adalah faktor eksternal yang antara lain meliputi tingginy a permintaan pasar terhadap dua jenis ikan karang (napoleon dan kerapu), konflik antara masyarakat lokal dan nelayan dari luar serta adanya berbagai peraturan tentang pengelolaan sumber daya laut, termasuk penegakan hukum yang ada. 6.1. Kondisi Sumber Daya Laut Masyarakat Biak pada umumnya dan penduduk Kampung Meosbekwan pada khususnya, mengenal pembagian wilayah dari darat sampai laut yang diklaim sebagai hak milik. Wilayah dimaksud meliputi: (1) siser yaitu batas antara vegetasi darat, pantai kering dan titik terendah pada waktu air surut; (2) bosen yaitu terumbu karang, batas antara titik terendah air surut dan laut dalam; (3) arwan yaitu daerah terumbu karang yang berbentuk landai terbentang meliputi suatu wilayah yang cukup luas; (4) manspar yaitu daerah tebing karang atau sering disebut kafafar; (5) soren yaitu laut atau batas terumbu karang dan laut lepas dan (6) irbor yaitu gugusan terumbu karang dan laut lepas/dalam dan terpisah per gugus. Daerah ini sering diklaim warga sebagai tempat penangkap ikan di laut lepas. Kepemilikan wilayah laut, mencakup kepemilikan yang bersifat mutlak (absolut) dan tidak mutlak (relatif). Kepemilikan yang bersifat mutlak hanya boleh dimanfaatkan oleh warga kampung setempat dan tidak dapat dimasuki oleh suku atau warga lain karena sudah ada pranata hukum adat yang berlaku antar penduduk sekitar atau penduduk antar kampung terdekat. Sedangkan kepemilikan wilayah laut yang bersifat DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA 65 tidak mutlak (relatif) adalah wilayah laut yang dapat dimanfaatkan secara bersama-sama dan dapat dikelola oleh pihak luar, misalnya dari kampung lain yang mempunyai hubungan darah. Tercakup dalam kepemilikan relatif adalah pemanfaatan irbor (gugusan terumbu karang) yang letaknya di laut yang jauh dari kampung. Dalam ‘mencari’ pada umumnya dilakukan sampai ke daerah yang disebut sebagai soren (batas laut lepas dan terumbu karang) dan irbor atau sering dinamakan batas penangkapan ikan di laut lepas. Wilayah perairan Kampung Meosbekwan yang kaya akan berbagai sumber daya laut, khususnya terumbu karang dan ekosistemnya serta berbagai biota laut yang ada di dalamnya meliputi wilayah yang oleh masyarakat dikenal sebagai arwan, kafafer, soren dan irbor. Berbagai jenis ikan karang seperti napoleon, kerapu, lobster dan berbagai jenis ikan demersal serta ikan permukaan merupakan sumber penghidupan utama bagi seluruh penduduk desa. Masyarakat sangat bergantung sepenuhnya pada sumber daya laut yang dimiliki oleh desa ini karena tidak ada potensi sumber daya alam lainnya yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber penghidupan. Eksploitasi berbagai jenis ikan karang secara intensif dilakukan penduduk pada tahun 1995 yaitu sejak masuknya pengusaha yang bersedia menampung berbagai jenis ikan karang khususnya napoleon dan kerapu ke wilayah ini. Sebelumnya, penduduk memanfaatkan potensi sumber daya laut dengan cara menangkap segala macam jenis ikan dan tidak secara khusus menangkap ikan karang. Secara kuantitas penangkapan yang dilakukan tidak banyak, karena kesulitan pemasaran. Pada masa itu, umumnya hasil tangkapan diolah menjadi ikan kering atau ikan asin yang kemudian dijual ke Kota Sorong. Penjualan ikan segar tidak bisa dilakukan karena tidak ada pedagang lokal yang menampung, sedangkan untuk memasarkan ke Sorong terdapat kendala transportasi. Perjalanan dari Meosbekwan ke Sorong sekitar delapan jam dan sarana transportasi sangat terbatas. Kalaupun transportasi lancar, nelayan harus mempunyai cool box (boks pendingin) untuk menjaga ikan tetap segar selama di perjalanan. Dengan kondisi nelayan yang umumnya memakai alat tangkap sederhana (perahu tanpa motor dan pancing) tidak memungkinkan melengkapi alat tangkap tersebut dengan books pendingin. Selain dimanfaatkan oleh penduduk setempat, wilayah perairan desa ini sudah cukup lama dijadikan daerah tangkapan (fishing ground) oleh bermacam-macam nelayan dari luar daerah dan berbagai perusahaan penangkapan ikan berskala besar yang mempunyai markas di Sorong. Nelayan luar daerah yang sering beroperasi di wilayah perairan desa ini adalah nelayan dari Buton dan Menado. Sedangkan perusahaan penangkapan ikan yang pernah beroperasi adalah kapal penangkap ikan milik Primkopal, PT HMB, Winka dan Ponco Suseco yang umumnya mencari ikan karang dan juga berbagai jenis ikan permukaan. Eksploitasi oleh berbagai perusahaan penangkapan ikan berskala besar ini telah mulai dilakukan sejak pertengahan tahun 1980 an. Pada umumnya perusahaan penangkapan tersebut menggunakan armada besar dan alat tangkap, seperti pukat harimau. Adanya eksploitasi sumber daya laut (berbagai jenis ikan karang, dem ersal dan permukaan) yang cukup intensif dengan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan mengakibatkan kondisi terumbu karang dan ekosistemnya mengalami degradasi. Hasil survai memperlihatkan bahwa menurut pendapat masyarakat kondisi terumbu karang di wilayah perairan pada saat ini telah mengalami kerusakan. Sekitar 83 persen responden menyatakan bahwa kondisi terumbu karang di wilayah perairan di sekitar desa dalam keadaan kurang baik dan sekitar 6 persen menyatakan rusak. 66 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua Sementara itu yang menyatakan bahwa kondisi terumbu karang di wilayah perairan desa masih dalam kondisi baik hanya sekitar 9 persen. Wawancara mendalam dengan beberapa informan juga mendukung hasil survai. Seorang informan dapat dengan mudah menceritakan daerah-daerah tertent u, di mana kondisi terumbu karangnya telah rusak parah akibat pemboman. Seperti diungkapkan: Di daerah perbatasan antara laut lepas dan terumbu karang (soren) banyak terumbu karang yang sudah mati karena penggunaan bom oleh nelayan luar. Mereka menggunakan kapal motor, kita sering mendengar suara bom. Terakhir kali kita lihat ada orang menggunakan bom pada bulan lalu (bulan Agustus 2001). Kita kejar mereka lari pakai motor, akhirnya kita lempari batu. Kondisi terumbu karang dan ekosistemnya yang telah rusak dikemukakan oleh beberapa nelayan yang mengatakan bahwa sekarang ini sudah mulai sulit untuk mendapatkan ikan. Dikatakan bahwa beberapa tahun lalu, dalam sekali melaut (dalam istilah mereka ‘mencari’) akan dengan mudah mendapatkan 10 ekor ikan kerapu atau sekitar lima ekor ikan napoleon. Pada saat ini, untuk mendapatkan dua ekor ikan napoleon saja sudah sangat sulit. Bagi nelayan Kampung Meosbekwan prioritas utama dalam ‘mencari’ adalah jenis ikan napoleon, karena harga penjualan yang mahal, sekitar Rp 120.000 per kg untuk ukuran 0,6 kg sampai dengan 1 kg. Jika tidak mendapat ikan napoleon mereka akan menangkap ikan kerapu. Prioritas penangkapan ikan napoleon terutama terjadi pada bulan April sampai dengan bulan September di mana pada bulanbulan tersebut populasi jenis ikan ini meningkat. 6.2. Faktor Internal Uraian mengenai faktor internal yang mempengaruhi degradasi sumber daya laut, khususnya terumbu karang di wilayah perairan desa Meosbekwan ini akan dibagi menjadi dua kelompok. Terdapat dua faktor eksternal utama yang berpengaruh terhadap degradasi sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Pertama, faktor yang langsung menyebabkan kerusakan sumber daya laut. Termasuk dalam kelompok ini adalah eksploitasi yang berlebihan (over fishing) dan tehnik penangkapan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan racun dan bom. Kedua, adalah faktor-faktor yang tidak secara langsung berpengaruh terhadap degradasi sumber daya laut seperti pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang pengelolaan sumber daya laut, termasuk di dalamnya sistim sasi. 6.2.1. Faktor yang langsung menyebabkan kerusakan sumber daya laut • Eksploitasi yang berlebihan (over fishing) Penangkapan berlebihan bisa timbul karena sifat manusia yang tidak pernah puas dan ingin mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda. Keserakahan untuk mendapatkan keuntungan besar telah memotivasi terjadinya penangkapan secara berlebih ini lebih ditunjang lagi dengan adanya permintaan akan berbagai jenis sumber daya laut dengan harga yang menggiurkan. Denga n bertambah dan berkembangnya berbagai restoran yang menyediakan makanan laut (sea food) mengakibatkan eksploitasi sejumlah biota laut sepertin ikan, udang dan tripang semakin gencar. Di samping itu, tumbuhnya berbagai industri cindera mata dan obat-obatan yang memakai bahan baku berbagai biota laut, seperti akar bahar dan berbagai jenis moluska juga DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA 67 mengakibatkan beberapa jenis biota laut yang ada di perairan terumbu karang mulai terancam keberadaannya. Jenis biota laut di Kampung Meosbekwan yang telah dieksploitasi dalam jumlah banyak dan jangka waktu yang lama adalah lola, teripang dan pia. Pengambilan ketiga sumber daya laut secara berlebih ini dirangsang oleh keberadaan sebuah perusahaan (PT Multi Argo Maluku) yang melakukan pengumpulan lola, teripang dan pia sejak tahun 1985an. Sampai pada tahun 1990 perusahaan ini masih beroperasi dan menerima pasokan berbagai jenis sumber daya laut, khususnya lola, teripang dan pia dari para nelayan di Kepulauan Ayau, termasuk Kampung Meosbekwan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa populasi ketiga jenis biota ini pada tahun 1990 sudah mulai berkurang (Proyek Pengembangan Kawasan Pelestarian Laut, 1990). Menurut para nelayan setempat pada tahun 1990 ketiga jenis biota laut tersebut masih banyak di tempat-tempat penyebarannya. Namun pengusaha pengumpul hasil tangkapan para nelayan, mengatakan bahwa volume pembelian lola, teripang dan pia sudah menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun. Pada saat ini pengambilan ketiga jenis sumber daya laut tersebut sudah diatur dengan diterapkannya sasi atau dalam bahasa lokal ‘kabus’. Pengambilan lola, teripang dan pia hanya dibolehkan untuk kepentingan umum. Pembukaan ‘kabus’ dalam tiga tahun terakhir ini dimanfaatkan untuk pembangunan gereja. Sampai penelitian ini dilakukan ‘kabus’ masih ditutup dan direncanakan tahun 2002 dibuka lagi untuk keperluan menutup biaya pembangunan gereja yang masih belum selesai. • Penggunaan potas Secara umum penggunaan potas atau sianida untuk menangkap ikan belum banyak dikenal oleh para nelayan Kampung Meosbekwan. Selama ini para nelayan selalu menggunakan akar bore untuk menangkap ikan. Namun beberapa nelayan luar desa dengan secara sembunyi-sembunyi telah mulai menggunakan potas. Dalam operasinya, umumnya selalu memakai perahu motor dan kompresor sebagai alat bantu selam. Daerah tangkapan sering berada di daerah terumbu karang yang berlokasi di laut lepas. Penggunaan potas dikhawatirkan akan semakin meluas karena para nelayan (dari luar desa) yang mempunyai perahu motor dan mengusahakan kompresor cenderung menggunakan potas untuk menangkap ikan. Salah seorang informan menyebutkan bahwa apabila nelayan menggunakan kompresor untuk menyelam, maka bisa dipastikan yang dipakai untuk menangkap ikan dan udang adalah potas bukan akar bore, sebagaimana ungkapan berikut ini: Ada beberapa nelayan yang telah memakai kompresor dalam ‘mencari’, bisa dipastikan mereka pakai potas. Tidak mungkin mereka tidak memakai potas, karena kalau hanya pakai akar bore, mereka rugi. Seperti telah diungkapkan sebelumnya bahwa per ahu semang merupakan alat yang sering dipakai nelayan Kampung Meosbekwan dalam mencari. Nelayan yang mempunyai perahu motor hanya sebanyak dua orang. Perahu tersebut tidak pernah digunakan untuk ‘mencari’. Namun, di masa datang apabila mereka bisa mengusahakan kompresor memungkinkan para nelayan Kampung Meosbekwan juga akan menggunakan potas untuk menangkap ikan, seperti halnya yang sudah dilakukan oleh beberapa nelayan dari luar desa. Gejala meluasnya penggunaan potas oleh nelayan 68 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua luar desa sudah mulai terlihat, seperti yang diungkapkan oleh seorang informan yang kebetulan pemuka masyarakat: Banyak sudah orang luar desa yang mulai menggunakan potas untuk menangkap ikan. Kita orang susah untuk lawan mereka. Saya khawatir di masa depan ada nelayan kita yang ikut-ikut menggunakan potas. • Penggunaan bom Meskipun sudah dilarang dan dianggap melanggar hukum penggunaan bom untuk menangkap ikan masih tetap dilakukan oleh banyak orang. Menangkap ikan memakai bom dianggap praktis karena tiga alasan utama, yaitu: (1) waktu yang dibutuhkan tidak terlalu lama dibandingkan dengan memakai pancing, (2) tidak memerlukan banyak tenaga dan (3) perolehan hasil tangkapan lebih banyak. Dalam satu kali lempar bom, beribu-ribu ikan tangkapan berhasil diperoleh. Biasanya cara penangkapan ikan memakai bom ini terjadi di lokasi-lokasi perairan yang banyak terdapat terumbu karang. Dengan demikian tidak hanya mematikan ikan, tetapi juga merusak ekosistem terumbu karang sebagai tempat ikan hidup. Sampai saat ini masyarakat nelayan di Kepulauan Ayau tidak/belum mengenal teknologi membuat bom dan cara menggunakan bom untuk menangkap ikan. Alat tangkap yang umum digunakan oleh para nelayan hanyalah alat tangkap sederhana seperti perahu semang, pancing, tombak dan panah. Alat bantu lain yang dipakai adalah apa yang ada di alam sekitarnya seperti akar bore. Meskipun sampai saat ini masyarakat setempat tidak pernah menggunakan bom untuk menangkap ikan, tetapi perairan di wilayah Kepulauan Ayau telah rusak akibat penggunaan bom yang dilakukan oleh nelayan dari luar daerah (Lihat Peta 3). Nelayan dari luar daerah tersebut diantaranya nelayan Buton dan dari Ternate yang biasanya memakai kapal motor berukuran sedang. Dalam satu motor terdapat beberapa nelayan (sekitar 4-8 orang) yang dalam operasinya tersebut dibiayai oleh juragan dari daerah yang sama. DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA 69 Peta 3 Lokasi Pengeboman di sekitar P. Meosbekwan Menurut pemahaman masyarakat setempat ÐÐÐ ÐÐÐ U P. Abidon P. Ros ÐÐ P. Tukan P. Meosbekwan ÐÐÐ ÐÐÐ 9 Hak atas karang (Fishing ground) Keret Burdam 10 ÐÐ Hak atas Karang Keret Imbir 11 12 ÐÐÐ 9,10,11,12 ÐÐÐ Ð :Fishing spot Keret Burdam : Batas fishing ground Terumbu karang : Lokasi pengeboman : Rumput laut Sumber: hasil pemetaan bersama dengan narasumber di Kepulauan Ayau 70 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua Penggunaan akar bore dalam mencari ikan napoleon (maming) dan lobster Masyarakat kepulauan Ayau berasal dari Biak yang telah bermigrasi ke wilayah ini kira-kira pertengahan abad 19. Suku Biak telah dikenal mempunyai tradisi suka melakukan perjalanan laut dan mengarungi samudera luas yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari eksistensi kehidupan mereka. Karena kehidupan yang sangat dekat dengan ekosistem laut, maka mereka telah mempunyai keahlian mengelola dan memanfaatkan sumber daya laut secara turun-temurun. Berbagai keahlian tersebut diantaranya adalah menangkap ikan dengan panah dan tombak serta penggunaan tanaman yang dinamakan bore untuk menangkap ikan, terutama ikan-ikan karang. Cara menggunakan akar bore untuk menangkap ikan adalah dengan mengambil akarnya kemudian ditumbuk dan diperas untuk diambil getahnya. Getah tersebut digunakan untuk menangkap ikan dengan cara menuangkan cairan akar bore tersebut ke sekitar lubang karang dimana ikan-ikan bersembunyi. Dengan adanya cairan akar bore maka perairan di sekitar lubang karang tersebut terkontaminasi dengan racun dari akar bore dan ikan-ikan menjadi pingsan sehingga dapat dengan mudah di tangkap. Peralatan yang dipakai untuk menangkap ikan dengan menggunakan akar bore adalah kaca molo yang dipakai untuk melindungi mata pada waktu menyelam. Penyelaman dilakukan ketika akan menuang cairan bore dan ketika akan menangkap ikan yang sudah pingsan. Untuk menangkap ikan napoleon umumnya penduduk desa Meosbekwan tidak menggunakan pancing, tetapi menggunakan akar bore. Dengan menggunakan akar bore ikan yang ditangkap tidak luka, hanya pingsan sebentar dan setelah ditempatkan di air yang bersih (tidak ada racunnya) maka ikan akan kembali segar, sehingga tidak mengurangi harga jual. Penggunaan pancing dapat melukai ikan napoleon bhkan mematikan jika pancing ditarik terlalu keras. Penggunaan akar bore untuk menangkap ikan napoleon ini semakin intensif setelah ada pedagang pengumpul yang menampung hasil tangkapan nelayan. Setelah ada pedagang pengumpul yang beroperasi di desa, ikan maming menjadi prioritas utama untuk ditangkap oleh para nelayan desa Meosbekwan. Penangkapan ikan ini tidak tergantung musim. Sepanjang tahun bisa dilakukan, kecuali pada musim ombak besar. Pada musim ombak besar perairan di sekitar terumbu karang menjadi keruh sehingga sulit untuk melakukan penyelaman untuk menangkap ikan. Pada musim ombak, terutama yang terjadi pada bulan Desember dan Januari intensitas penangkapan ikan napoleon dengan menggunakan akar bore menjadi berkurang. Selain untuk menangkap ikan maming, akar bore juga digunakan oleh nelayan setempat untuk menangkap udang batu (lobster). Penangkapan lobster, terutama dilakukan pada malam hari, di perairan sekitar terumbu karang. Cara penggunaan akar bore untuk menangkap udang sama dengan penggunaannya untuk ikan napoleon. Belum diketahui secara pasti sampai seberapa jauh akibat dari penggunaan akar bore dalam penangkapan ikan terhadap kerusakan terumbu karang dan ekosistemnya. Penelitian yang pernah dilakukan masih terbatas pada akibat dari penggunaan racun sianida (potas) terhadap terumbu karang. Penelitian menunjukkan bahwa meskipun penggunaan racun untuk menangkap ikan tidak mengakibatkan kehancuran dan kematian terumbu karang secara langsung seperti halnya penggunaan bom, akan tetapi mempunyai pengaruh menghambat pertumbuhan dan perkembangan serta metabolisme dari sel-sel biota laut menjadi kering dan akhirnya mati. Meskipun kerusakan yang ditimbulkan tidak terlihat nyata, kondisi ini sangat berbahaya karena berlangsung lama dan terjadi akumulasi racun pada hewan-hewan invertabrata, DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA 71 termasuk karang sehingga kerusakan yang ditimbulkan sulit dipulihkan kembali (Ikawati dkk., 2001). Di samping kerusakan karang yang terjadi secara perlahan-lahan, penggunaan sianida dalam penangkapan ikan juga mengakibatkan kerusakan fisik karang. Kondisi ini terjadi karena ikan, udang (yang menjadi target tangkapan) yang terkena racun menjadi mabuk dan adakalanya tidak keluar dari lubang melainkan masuk ke dalam ekosistem, sehingga untuk mengambil hasil tangkapan tersebut para nelayan akan membongkar dan menghancurkan terumbu karang yang ada. Sampai seberapa jauh akibat yang ditimbulkan karena penggunaan cairan akar bore ini terhadap kerusakan karang? Telah dikemukakan, sampai saat ini belum ada penelitian yang secara serius mengamati akibat penggunaan akar bore terhadap kerusakan terumbu karang dan ekosistemnya. Diduga kerusakan akibat penggunaan akar bore ini tetap ada meskipun tidak sebesar kerusakan yang ditimbulkan oleh penggunaan sianida. Dugaan ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa ikan dan udang yang menjadi sasaran penangkapan dengan akar bore menjadi mabuk. 6.2.2. Faktor yang tidak langsung • Pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang pengelolaan terumbu karang Salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya degradasi sumber daya laut adalah pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang pengelolaan sumber daya laut. Pengetahuan masyarakat sekitar mengenai pengelolaan sumber daya laut yang cukup baik disertai kesadaran untuk menjaga dan mengelolanya akan mengurangi tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh faktor manusia. Kalaupun ada ulah manusia dari luar (pendatang) yang menggunakan teknologi penangkapan yang merusak lingkungan, setidaknya bisa diawasi oleh masyarakat sekitar yang telah mempunyai kesadaran tinggi terhadap pengelolaan sumber daya laut tersebut. Secara umum masyarakat Kepulauan Ayau dan masyarakat Kampung Meosbekwan sangat menyadari bahwa terumbu karang dan ekosistemnya merupakan sumber penghidupannya. Ada ungkapan dalam bahasa lokal yang mencerminkan betapa masyarakat desa sangat tergantung pada keberadaan terumbu karang dan ekosistemnya. Ungkapan tersebut adalah ‘kenem yedi ro bosen raswan a yedi’ yang terjemahan bebasnya adalah ‘kehidupan saya ada di terumbu karang’. Dari terumbu karang dan ekosistemnya, mereka mendapatkan berbagai sum ber daya laut yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber penghasilan. Ketergantungan masyarakat Kampung Meosbekwan terhadap sumber daya laut ini cukup besar dibandingkan desa-desa lainnya di Kepulauan Ayau karena Kampung Meosbekwan tidak mempunyai sumber daya alam lain yang bisa dikembangkan selain sumber daya laut. Seiring dengan kedekatan mereka terhadap sumber daya laut, tumbuh pula pengetahuan mereka mengenai berbagai manfaat dari terumbu karang dan ekosistemnya. Secara umum pengetahuan masyarakat tentang kegunaan terumbu karang dan ekosistemnya cukup tinggi. Dari 35 responden yang diwawancarai mengenai berbagai manfaat yang bisa diambil dari ekosistem terumbu karang, hampir sebagian besar mengetahui bahwa terumbu karang mempunyai berbagai manfaat. Responden yang mengetahui bahwa terumbu karang merupakan sumber berbagai bahan baku (makanan dan obat-obatan) cukup tinggi, sebesar 74 persen. Sedangkan yang menyebutkan bahwa terumbu karang berguna karena mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi sekitar 54 persen. 72 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua Pengetahuan masyarakat tentang akibat dari kerusakan terumbu karang juga cukup baik. Hasil survai menunjukkan bahwa sekitar 77 persen responden menyebutkan kalau terumbu karang rusak maka berbagai sumber bahan baku makanan dan obatobatan akan berkurang. Akibat lain yang juga dipahami betul oleh masyarakat adalah berkurangnya nilai ekonomi sumber daya laut yang bisa diambil. Sekitar 43 persen responden menyebutkan bahwa kalau terumbu karang rusak maka nilai ekonomi sumber daya laut akan turun. Secara umum terlihat bahwa pengetahuan tentang teknologi dan alat tangkap yang merusak dan tidak merusak terumbu karang juga cukup baik yang tercermin dari besarnya proporsi responden yang menjawab bahwa bom dan sianida dapat merusak terumbu karang. Sementara itu, pengetahuan mengenai adanya larangan atau peraturan mengenai penggunaan alat tangkap yang merusak terumbu karang seperti bom dan sianida dan sanksi-sanksi yang diberikan bila ada orang yang melanggar juga diketahui oleh kebanyakan masyarakat Kampung Meosbekwan. Mengenai larangan pengambilan karang dan sanksi yang ada apabila ada pelanggaran juga sangat diketahui oleh sebagian besar masyarakat. Hampir semua responden mengatakan bahwa mereka mengetahui larangan tersebut. Menurut penuturan masyarakat setem pat dan juga pengamatan di lapangan penduduk tidak pernah mengambil terumbu karang secara langsung (direct) untuk bahan membangun perumahan atau untuk keperluan lainnya. Penggunaan terumbu karang sebagai bahan perhiasan rumah juga belum ada. Pengetahuan masyarakat tentang pengelolan sumber daya laut yang cukup baik juga diikuti oleh tingginya kesadaran mereka untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya laut tanpa merusak lingkungan. Tingginya kesadaran tersebut tercermin dari kecilnya proporsi responden yang menyatakan pernah menggunakan bom dan sianida untuk menangkap ikan. Selain itu, juga terlihat dari sikap posistip mereka terhadap keberadaan peraturan yang melarang penggunaan bom dan sianida untuk menangkap ikan. Secara umum mereka sangat setuju dengan adanya peraturan tersebut. Tingginya kesadaran masyarakat terhadap pelestarian terumbu karang dan ekosistemnya ini terlihat dari tindakan mereka mengejar kapal yang dioperasikan oleh nelayan luar karena menggunakan bom dan sianida untuk menangkap ikan di perairan wilayah desa. Meskipun dengan peralatan sederhana seperti perahu motor mesin kecil (15 PK) mereka berusaha mengejar dan melempari dengan batu pada kapal-kapal tersebut. Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa secara umum masyarakat desa Meosbekwan mempunyai pengetahuan dan kesadaran yang cukup baik untuk menjaga dan mengelola sumber daya laut, khususnya terumbu karang yang ada di wilayah perairan desa. Mereka sangat menyadari bahwa kalau terumbu karang rusak, kehidupan mereka akan terganggu karena sumber daya laut yang ada di wilayah perairan desa merupakan satu-satunya sumber penghidupan. Selama ini terumbu karang dan ekosistemnya telah dianggap sebagai ‘ladang’ bagi mereka untuk mencari makan dan memenuhi berbagai kebutuhan lain. Cukup baiknya pengetahuan mengenai kegunaan terumbu karang serta cukup tingginya kesadaran masyarakat desa Meosbekwan dalam menjaga dan mengelola terumbu karang dan ekosistemnya ini sangat berpengaruh pada usaha-usaha menjaga kelestarian dan mengurangi degradasi yang terjadi. Meskipun diakui oleh nelayan setempat bahwa kondisi terumbu karang yang ada di sekitar desa telah mulai DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA 73 mengalami kerusakan, tetapi kerusakan tersebut lebih banyak dikarenakan oleh penggunaan tehnik penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan (bom dan sianida) oleh nelayan dari luar desa. • Adanya sasi untuk pengambilan biota tertentu (lola, kima dan teripang) Beberapa jenis biota laut tertentu seperti lola, tripang dan pia telah cukup lama (sejak sekitar tahun 1980an) dieksploitasi secara besar-besaran oleh penduduk. Eksploitasi secara besar-besaran tersebut dirangsang oleh adanya pengusaha dari PT Multi Argo Maluku yang melakukan pengumpulan lola, teripang dan pia untuk seluruh Kepulauan Ayau. Pada tahun 1990 populasi ketiga jenis biota laut ini mulai menurun yang diindikasikan dengan semakin menurunnya jumlah pia yang berhasil dikumpulkan oleh pengusaha pengumpul. Perusahaan ini sejak sekitar pertengahan tahun 1990 an tidak beroperasi lagi dikarenakan pasokan ketiga jenis biota tersebut sudah sangat menurun. Upaya mengembalikan populasi jenis lola, teripang dan pia di wilayah perairan Kepulauan Ayau, termasuk desa Meosbekwan sudah dilakukan oleh penduduk setempat dengan diberlakukan sistem sasi oleh ketua adat dan peresmiannya dilakukan di depan majelis gereja yang ada di desa. Sasi atau dalam bahasa lokal disebut ‘kabus ’ ini dimaksudkan untuk melarang pengambilan ketiga biota tersebut (lola, pia dan teripang) untuk jangka waktu tertentu, biasanya sekitar dua tahun. Pada saat sasi diberlakukan (tutup sasi), baik masyarakat lokal apalagi masyarakat pendatang dari daerah lain tidak boleh mengambil atau menangkap dan mengumpulkan lola, pia dan teripang. Larangan pengambilan tersebut akan dicabut setelah ada pemberitahuan oleh ketua adat dan dewan/majelis gereja tentang pembukaan sasi, biasanya setelah kurang lebih dua tahun, terkecuali ada diantara warga masyarakat yang mempunyai hajat, misalnya mengadakan pernikahan. Dengan demikian, pemberlakuan sasi ini merupakan salah satu upaya pencegahan eks ploitasi sumber daya laut secara berlebihan. 6.3. Faktor Eksternal • Permintaan pasar yang cukup tinggi terhadap ikan napoleon dan kerapu. Penurunan kondisi terumbu karang juga dapat disebabkan oleh pemanfaatan ikan penghuni terumbu karang dan biota lain sebagai ikan hias akuarium laut. Bisnis yang sangat menguntungkan ini, apabila tidak dilakukan dengan hati-hati dan dipantau secara terus-menerus akan menimbulkan ketidakseimbangan biologis. Hal ini karena semua makhluk yang mendiami suatu ekosistem, masing-masing mempunyai peranan yang tidak bisa dilepaskan satu dengan yang lain. Di wilayah Kepulauan Ayau peningkatan pemanfaatan ikan karang khususnya ikan kerapu dan napoleon dimulai sejak tahun 1995, yaitu sejak beroperasinya pengusaha yang bertindak sebagai pedagang pengumpul. Semula penduduk lokal menangkap jenis ikan ini hanya untuk keperluan konsumsi sendiri bersama dengan jenis-jenis ikan yang lain. Karena penangkapan hanya untuk konsumsi keluarga, maka pemanfaatan jenis ikan karang seperti Napoleon dan Kerapu tidak mencapai jumlah besar. Sejak ada pedagang pengumpul dan para nelayan mengetahui bahwa dua jenis ikan tersebut bernilai ekonomi tinggi, maka hampir semua nelayan memprioritaskan diri untuk secara khusus menangkap ke dua jenis ikan ini. Penduduk juga mulai tidak mengkonsumsi ikan ini karena nilai jualnya tinggi, sehingga sayang kalau hanya 74 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua dimakan. Penduduk masih menangkap jenis ikan lainnya, tetapi hanya sebatas untuk konsumsi sehingga jumlahnya juga tidak begitu besar. Permintaan pasar yang cukup tinggi dan keuntungan yang besar mengakibatkan jumlah pedagang pengumpul yang merupakan kepanjangan tangan perusahaan ini bertambah. Sampai dengan tahun 2001 terdapat tiga kelompok pedagang pengumpul yang masing-masing mempunyai induk perusahaan di Sorong. Salah satu pedagang pengumpul yang mulai beroperasi di Kampung Meos Bekwan pada tahun 1998, juga mempunyai ‘base camp’ lain di desa Rutum. Sementara itu, pedagang pengumpul yang ada di Kampung Dorehkar juga mempunyai ‘base camp’ lain lagi di Kampung Reni. Ikan-ikan ini dikirim oleh eksportir ke Hongkong untuk memenuhi permintaan restoranrestoran bertaraf internasional. Setiap bulannya rata-rata sekitar 3 ton ikan napoleon dan kerapu dikirim ke Hongkong dari wilayah Kepulauan Ayau. Dilihat dari segi ekonomi, permintaan yang cukup tinggi akan jenis ikan kerapu dan napoleon ini cukup menguntungkan bagi nelayan setempat. Sejak ada permintaan dan beroperasinya para pedagang pengumpul pendapatan nelayan meningkat cukup drastis dibandingkan sebelumnya. Pendapatan yang meningkat ini tentunya mempunyai implikasi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Sebelum ada pedagang pengumpul, pendapatan para nelayan hanya tergantung pada eksploitasi segala macam jenis ikan yang dijadikan ikan asin atau ikan kering, ditambah lagi dengan berbagai komoditi sumber daya laut lain seperti kima dan gurita. Walaupun secara ekonomi permintaan pasar yang tinggi ini memberikan keuntungan yang besar bagi nelayan setempat, akan tetapi keuntungan ini tidak akan berlangsung lama kalau eksploitasi dilakukan secara besar-besaran dan tidak mengindahkan kaidah-kaidah tehnik penangkapan yang tidak merusak lingkungan. Eksploitasi secara intensif dengan menggunakan tehnik penangkapan yang merusak lingkungan akan mengakibatkan ekosistem terumbu karang menjadi terganggu. Karena ekosistemnya terganggu maka ikan-ikan penghuni karang juga tidak dapat berkembang biak secara baik. Sudah terlihat tanda-tanda bahwa populasi kedua jenis ikan ini mulai menurun. Indikasinya adalah adanya keluhan dari para nelayan mengenai sulitnya mendapatkan kedua jenis ikan Kerapu dan Napoleon pada akhir-akhir ini. Untuk kompensasi terhadap sumber daya laut, khususnya napoloen dan kerapu yang dieksploitasi dari wilayah Kepulauan Ayau, masyarakat lokal yang diwakili oleh ketua adat dan perangkat desa telah menentukan adanya retribusi terhadap pengumpulan dua jenis ikan ini. Retribusi ini dibebankan kepada pengusaha pengumpul yang diwajibkan untuk membayar sebesar Rp 5.000 per kg ikan yang telah dikumpulkan pada saat ‘loading’ ikan. Uang retribusi ini diserahkan kepada majelis gereja dengan sepengetahuan kepala desa. Penggunaan uang tersebut dilakukan secara musyawarah, diantaranya adalah dipakai untuk perbaikan sarana ibadah, sarana sosial lain, atau dapat dipinjam oleh warga yang memerlukan tanpa membayar bunga. • Konflik kepentingan antar stakeholders Seperti telah diuraikan pada bagian terdahulu bahwa nelayan lokal telah mempunyai kesadaran yang relatif tinggi untuk mengelola dan memelihara sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Mereka umumnya sangat menyadari bahwa pemeliharaan dan pengelolaan terumbu karang perlu dilakukan untuk menjaga dari kepunahan. Bagi nelayan lokal termbu karang adalah sebagai sumber kehidupan, DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA 75 karenanya mereka sadar jika terumbu karang sampai rusak maka masa depan kehidupannya akan tidak terjamin. Menyadari bahwa kondisi terumbu karang harus dijaga kelestariannya supaya dapat dimanfaatkan sebagai sumber penghidupan maka dalam memanfaatkan sumber daya laut nelayan lokal umumnya tidak menggunakan teknologi yang sifatnya merusak lingkungan, seperti potas dan bom. Sampai saat ini para nelayan hanya menggunakan perahu tanpa motor dan alat tangkap sederhana seperti pancing, panah dan tombak. Meskipun nelayan lokal tidak pernah menggunakan alat tangkap yang merusak lingkungan dan berusaha menjaga terumbu karang dan ekosistemnya dari kepunahan, tetapi ada pihak-pihak luar yang justru memanfaatkan perairan Kepulauan Ayau sebagai ‘fishing ground’ dengan tidak mengindahkan kaidah-kaidah teknologi penangkapan yang tidak merusak lingkungan. Pihak-pihak luar tersebut diantaranya adalah sekelompok nelayan yang berasal dari luar daerah (bahkan luar propinsi). Mereka melakukan operasi secara berkelompok dengan ‘juragan’ yang bertindak sebagai pemberi modal. Satu kelompok terdiri dari sekitar 8-10 orang nelayan. Tidak seperti nelayan lokal yang umumnya hanya menggunakan kapal tanpa motor dan alat tangkap sederhana, kelompok nelayan dari luar tersebut dalam beroperasi menggunakan kapal motor yang relatif besar (rata-rata di atas 60 PK) dan peralatan tangkap yang ‘modern’ seperti kompresor dan alat selam lainnya. Mereka juga menggunakan bom dan sianida untuk menangkap ikan. Selain kelompok nelayan tersebut, pihak luar yang memanfaatkan perairan Kepulauan Ayau dengan menggunakan kapal besar dan peralatan tangkap yang modern, seperti jaring yang menyerupai pukat harimau adalah para nelayan dengan berbagai armada kapal milik perusahaan penangkap ikan yang umumnya mempunyai ‘base camp’ di Sorong. Armada dari berbagai perusahaan besar ini umumnya mencari ikan-ikan permukaan (pelagis) seperti cakalang dan tuna. Daerah operasi kelompok nelayan dan armada kapal milik perusahaan penangkapan ikan ini pada umumnya terletak di perbatasan antara sebaran terumbu karang yang merupakan wilayah yang hanya boleh dimanfaatkan nelayan Kampung Meosbekwan dan sebaran terumbu karang yang ada di laut bebas. Perselisihan dengan nelayan lokal sering terjadi karena kelompok nelayan ini sering masuk ke wilayah penangkapan nelayan lokal dan menangkap ikan dengan menggunakan potas dan bom. Tidak jarang terjadi nelayan lokal beramai-ramai mengejar dan mengusir kapal milik kelompok nelayan tersebut supaya ke luar dari wilayah tangkapannya. Namun apabila para nelayan pulang kembali ke desa, kelompok nelayan tersebut kembali lagi ke wilayah tangkapan nelayan lokal dan menangkap ikan dengan menggunakan bom dan potas. Diantara kelompok nelayan luar tersebut ada beberapa kelompok yang dalam beroperasi melengkapi diri dengan senjata api. Ketika nelayan lokal berusaha mengusir mereka langsung mengeluarkan senjata apinya untuk menakut-nakuti nelayan lokal. Untuk melawan kelompok nelayan luar ini nelayan lokal hanya melempari mereka memakai batu hingga kapal ke luar dari wilayah tangkapan nelayan lokal. Pernah terjadi kasus di mana nelayan lokal secara ramai-ramai bisa menangkap kapal para nelayan luar tersebut dan melaporkannya ke pemerintah Kecamatan Waigeo Utara. Namun, karena belum ada aturan dan kewenangan yang jelas untuk mengusut lebih lanjut, akhirnya para nelayan yang telah dianggap melanggar peraturan dilepas lagi oleh pemerintah kecamatan dan sampai sekarang tidak ada tindak lanjutnya. Dalam jangka panjang konflik antara nelayan lokal dan pendatang yang sudah lama terjadi ini apabila tidak ada penyelesaiannya akan mempunyai dampak pula pada kerusakan terumbu karang di wilayah perairan Kepulauan Ayau pada umumnya dan wilayah perairan yang menjadi wilayah tangkapan nelayan Kampung Meosbekwan, 76 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua pada khususnya. Hal itu terjadi apabila nelayan lokal yang sekarang ini telah mempunyai kesadaran untuk tetap menjaga kondisi terumbu karang dengan mengelolanya secara baik melalui penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan menjadi kesal dan marah. Mereka akan berpikir untuk apa mereka bekerja keras menjaga terumbu karang dan ekosistemnya tersebut apabila nelayan luar terus menerus merusaknya. Rasa kesal dan marah nelayan lokal ini lama kelamaan akan mempengaruhi perilakunya. Mereka akan berpikir dengan tetap konsisten menggunakan alat tangkap yang tidak merusak lingkungan supaya terumbu karang tidak rusak mereka tidak mendapat apa-apa. Sementara itu, kerusakan terumbu karang terus terjadi karena tetap beroperasinya nelayan luar dengan menggunakan bom dan potas. Dengan kondisi sedemikian, bukan tidak mungkin nelayan lokal lama-kelamaan akan ikut menggunakan bom dan potas supaya hasil tangkapan mereka bisa banyak dan memberikan keuntungan yang besar. Perubahan perilaku nelayan lokal ini dimungkinkan terjadi apabila nelayan lokal mulai bisa mengusahakan kapal motor dan kompresor. Hal tersebut dikarenakan penangkapan ikan dengan menggunakan kapal motor yang dilengkapi kompresor umumnya pasti memakai potas/sianida untuk membuat ikan mabuk sehingga dengan mudah ditangkap. Penyelaman dengan menggunakan kompresor bisa mencapai kedalaman lebih dari 25 meter di mana populasi ikan lebih banyak. Dengan hanya menggunakan akar bore untuk membuat ikan mabuk dianggap tidak efisien karena efek racun dari akar bore untuk membuat ikan mabuk tidak secepat racun sianida/potas. • Peraturan dan penegakan hukum Sumber hukum utama dalam pengelolaan dan pemanfaatan terumbu karang yang berlaku di tingkat pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten adalah Undangundang perikanan (UU No 9/1985), Undang-Undang No 5 Tahun 1995 tentang konservasi sumber daya hayati dan undang-undang no 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Dalam undang-undang perikanan No 9/1985 secara jelas disebutkan dalam pasal 6 ayat 1 bahwa setiap orang atau badan hukum dilarang menggunakan kegiatan penangkapan dan pembudidayaan ikan-ikan dengan menggunakan bahan-bahan dan alat atau alat yang dapat membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya. Selanjutnya dalam pasal 7 ayat 1 dinyatakan bahwa setiap orang atau badan hukum dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan dan atau lingkungannya. Sanksi hukum akibat pelanggaran undang-undang adalah penjara selama-lamanya 10 tahun dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 100.000.000,. Berkaitan dengan penangkapan ikan Kerapu, Ikan Karang, Lobster izin diterbitkan oleh Dinas Perikanan Kabupaten berdasarkan SK Mentri Pertanian No 509/KPTS/IK/120/J/95 jo SK Dirjen Perikanan no 1251/KPTS/KL 420/II/98. Dalam izin tersebut disebutkan tentang larangan penggunaan bahan peledak, racun, obat bius dan bahan kimia lainnya untuk menangkap ikan. Peralatan tangkap yang diperbolehkan adalah peralatan tradisional seperti pancing, bubu dan Gill net. Di samping itu, dalam operasi penangkapan tersebut dilakukan dengan cara kerjasama kemitraan antara nelayan tradisional (plasma) dan perusahaan (inti) yang mengacu pada Pedoman Kemitraan Usaha Perikanan dengan pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Dalam hal ini penangkapan ikan hanya boleh dilakukan oleh nelayan tradisional dan tidak dibenarkan oleh perusahaan. DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA 77 Peraturan mengenai izin penangkapan ikan napoleon mengacu pada Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Nomor: HK.330/DJ.8259/95 jo nomor; HK.330/DJ.663/96 tentang ukuran lokasi dan tata cara penangkapan ikan napoleon. Izin penangkapan ini dikeluarkan dengan persyaratan bahwa dalam pelaksanaannya harus dilakukan kerjasama pola kemitraan (pola PIR) antara perusahaan (Inti) dan kelompok nelayan (Plasma), dimana perusahaan diberikan izin pengumpulan lokal dan kelompok nelayan tradisional diberikan izin penangkapan. Lebih lanjut dalam izin tersebut juga disebutkan bahwa perusahaan diwajibkan melakukan pembudidayaan ikan napoleon di lokasi pengumpulan. Pada tingkat kecamatan larangan tentang penggunaan bahan peledak, racun, obat bius dan bahan kimia lainnya dalam menangkap ikan ditindaklanjuti dengan dibuatnya surat edaran camat. Dalam surat edaran camat No 300/329/98 tertanggal 18 Nopember 1998 secara jelas disebutkan bahwa setiap orang atau badan usaha dilarang menangkap ikan dengan menggunakan potasium, akar tuba dan bahan peledak lainnya. Surat edaran tersebut disebarkan ke desa-desa melalui perangkat desa. Di Kampung Meosbekwan perusahaan pengumpul (inti) mulai beroperasi pada tahun 1998. Sebelumnya tahun 1998, para nelayan (plasma) menjual ikan-ikan hasil tangkapannya ke perusahaan pengumpul yang ada di Kampung Dorehkar. Sampai sejauh ini belum terlihat adanya pelanggaran penggunaan izin. Perusahaan hanya melakukan pengumpulan saja (tidak mempunyai armada tangkap serta tidak melakukan penangkapan) dan penangkapan tetap dilakukan sepenuhnya oleh nelayan tradisional setempat. Mengenai penggunaan peralatan tangkap dijelaskan secara tegas dalam surat ijin bahwa penggunaan racun dilarang namun dalam prakteknya para nelayan tradisional melakukan penangkapan ikan Napoleon dengan menggunakan akar bore (sejenis racun) dari tumbuh-tumbuhan. Hasil survai mengenai penggunaan alat tangkap menunjukkan bahwa seratus persen responden menyatakan bahwa mereka tidak pernah menggunakan racun atau sejenis racun (termasuk akar tuba) untuk menangkap ikan. Namun dalam wawancara mendalam terungkap bahwa pada umumnya para nelayan tetap menggunakan akar bore untuk menangkap ikan Napoleon. Walaupun mereka menyadari bahwa akar bore mempunyai efek yang kurang lebih sama dengan racun dan seharusnya tidak dipakai dalam menangkap ikan akan tetapi karena mereka tidak mempunyai alternatif cara menangkap dengan alat lain maka pelanggaran itu tetap dilakukan. • Penegakan hukum yang masih lemah Meskipun berbagai peraturan telah dikeluarkan tetapi dalam implementasi penegakan hukum menemui banyak kendala. Salah satu kendala tersebut adalah adanya tumpang tindih mengenai kewenangan melakukan penyidikan apakah polisi ataukah pegawai negeri sipil dan angkatan laut. Hal tersebut dikarenakan dalam peraturan undang-undang perikanan disebutkan bahwa yang mempunyai kewenangan menyidik adalah pegawai negeri sipil atau angkatan laut. Sementara itu kalau disidik oleh pegawai negeri sipil atau angkatan laut, jaksa tidak dapat menindaklanjuti karena kewenangan penyidikan di sistim hukum Indonesia adalah polisi. Selain kendala tumpang tindihnya peraturan yang bersifat umum, terdapat kendala tehnis di lapangan seperti luasnya sebaran terumbu karang yang harus diawasi. Wilayah sebaran terumbu karang di Kepulauan Ayau sangat luas dan letaknya terpencil (cukup jauh dari kota kecamatan dan kabupaten). Sarana transportasi untuk ke daerah 78 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua ini sangat minim ditambah lagi kondisi alam yang kadang-kadang tidak bersahabat, misalnya ombak besar pada musim-musim tertentu mengakibatkan sulitnya melakukan pengawasan. Mencermati permasalahan dan kendala yang ada dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum oleh pihak berwajib maka salah satu sistem pengawasan yang cukup efektif dan efisien adalah pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat lokal. Masyarakat lokal Kampung Meosbekwan pada khususnya dan Kepulauan Ayau pada umumnya, saat ini relatif telah mempunyai kesadaran untuk melakukan pengawasan terhadap pelanggaran penggunaan alat penangkapan ikan yang merusak lingkungan. Masyarakat sering melawan dan mengusir nelayan luar yang melakukan penangkapan dengan menggunakan bom dan potas untuk menangkap ikan. Namun, banyak kendala yang dihadapi oleh masyarakat lokal dalam melakukan pengawasan tersebut. Salah satu kendalanya adalah sarana dan peralatan yang dimiliki oleh masyarakat lokal masih sangat tradisional, umumnya hanya menggunakan perahu tanpa motor atau perahu motor berkekuatan kecil. Sementara para nelayan luar yang melakukan pelanggaran tersebut menggunakan kapal motor berkekuatan besar dan para nelayan tersebut kadang-kadang juga melengkapi diri dengan senjata api. Ketimpangan teknologi yang dimiliki antara nelayan tradisional dan para nelayan luar yang melakukan pelanggaran ini saat ini menjadi kendala besar. Masyarakat lokal menjadi tidak berdaya untuk mengejar dan mengusir nelayan luar yang melakukan pelanggaran tersebut. DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA 79 Bab VII Diskusi, Kesimpulan dan Saran 7.1. Diskusi Perairan Kepulauan Ayau pada umumnya dan wilayah Kampung Meosbekwan pada khususnya mempunyai potensi sumber daya laut yang potensial untuk dikembangkan. Hamparan terumbu karang di wilayah ini cukup luas dan kaya akan berbagai jenis ikan karang dan biota lainnya. Selain itu, pantai-pantai di gugusan Kepulauan Ayau mempunyai pasir putih yang merupakan tempat bertelur berbagai jenis penyu. Kekayaan akan sumber daya laut di wilayah kampung ini tidak hanya dimanfaatkan oleh nelayan setempat, tetapi juga oleh nelayan dari luar daerah, bahkan luar propinsi. Selain itu, wilayah perairan ini sudah lama dijadikan ‘fishing ground’ oleh berbagai perusahaan besar seperti PT Usaha Mina dan PT Bintuni Maluku yang menangkap berbagai jenis ikan permukaan seperti ikan Tuna dan Cakalang. Dari penelitian ini terungkap bahwa terdapat ketimpangan dalam pemanfaatan sumber daya laut antara nelayan setempat dengan nelayan yang datang dari luar. Ketimpangan tersebut diantaranya tercermin dari segi teknologi yang digunakan dan cara penangkapan. Nelayan lokal pada umumnya hanya memakai peralatan sederhana untuk menangkap ikan, seperti perahu tanpa motor dan alat tangkap pancing, panah dan tombak. Sementara nelayan dari luar menggunakan peralatan penangkapan dengan teknologi yang telah maju, misalnya kapal bermotor ukuran besar serta memakai alat tangkap (jaring besar, bom dan potas). Dalam kapal juga dilengkapi sarana penyimpanan ikan (cool box). Hasil tangkapan para nelayan luar ini langsung dibawa ke Sorong (kota pelabuhan terdekat). Ketimpangan tehnologi yang digunakan dalam pemanfaatan sumber daya laut ini telah mengakibatkan perbedaan jumlah hasil tangkapan dan nilai ekonominya. Nelayan lokal memanfaatkan sumber daya laut secara intensif baru dimulai pada tahun 1995, sejak adanya pengusaha yang mengumpulkan ikan napoleon dan kerapu segar. Sebelumnya, penduduk menangkap segala macam jenis ikan untuk konsumsi sehari-hari. Sisa konsumsi dimanfaatkan untuk dibuat ikan kering atau diasinkan. Karena hanya untuk konsumsi sendiri maka secara kuantitas jumlah ikan yang ditangkap tidak banyak. Alat tangkap yang dipakai juga cukup sederhana seperti panah dan tombak. Cara penangkapan dilakukan dengan menyelam dan menombak atau memanah ikan satu per satu. Dengan cara tersebut ukuran ikan yang tertangkap akan lebih terpilih. Mulai tahun 1995 nelayan lokal mengetahui bahwa ikan-ikan karang, terutama ikan napoleon dan kerapu yang ada di wilayah perairan Kepulauan Ayau mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Sejak itu para nelayan secara khusus memburu kedua jenis ikan ini. Kalau sebelumnya peralatan yang dipakai hanya tombak, panah serta pancing, maka sejak ada permintaan ikan napoleon segar maka para nelayan mulai menggunakan sejenis racun yang berasal dari tumbuh-tumbuhan (akar bore atau akar tuba) untuk memudahkan menangkap ikan dalam keadaan hidup. Perubahan target tangkapan dari segala macam jenis ikan untuk konsumsi beralih menjadi jenis ikan 81 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA karang yang bernilai ekonomis tinggi telah berpengaruh terhadap ekosistem sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Sebelum nelayan lokal memburu ikan napoloen dan ikan kerapu, daerah tangkapan hanya terbatas pada wilayah perairan dekat dengan kampung dan tidak terlalu terfokus pada lokasi terumbu karang. Wilayah tangkapan para nelayan lokal sekarang ini terfokus pada lokasi terumbu karang karena jenis ikan yang utama dicari adalah jenis ikan karang. Intensitas pemanfaatan lokasi terumbu karang ini tentunya mempengaruhi ekosistemnya. Menangkap ikan dengan menggunakan akar bore memang belum secara ilmiah terbukti merusak terumbu karang. Namun, karena ikan-ikan menjadi mabuk, terumbu karang tercermar racun. Selain itu, penggunaan akar tuba untuk menangkap ikan berpotensi juga merusak fisik terumbu karang. Ini terjadi karena ikan yang telah terkena racun umumnya masuk ke lubang-lubang karang dan untuk menangkapnya, nelayan sering mengambilnya dengan paksa, seperti memecah atau membongkar karang. Eksploitasi ikan karang jenis napoleon dan kerapu di Wilayah Kepulauan Ayau, termasuk di Kampung Meosbekwan ini secara resmi memang sudah memenuhi persyaratan perizinan. Dalam hal ini para nelayan lokal bertindak sebagai plasma yang mempunyai izin menangkap, sedangkan perusahaan pengumpul (inti) hanya mempunyai izin melakukan pengumpulan. Sampai saat ini belum ada pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan, dalam arti perusahaan masih tetap melakukan pengumpulan dan tidak mempunyai armada tangkap dan buruh nelayan yang langsung menangkap ikan sendiri. Namun demikian dalam pelaksanaan masih ada kewajiban pengusaha yang harus dipenuhi yaitu melakukan budidaya ikan napoleon. Seperti diketahui bahwa dalam perizinan dicantumkan kewajiban untuk melakukan budidaya, guna menjamin kelestarian jenis biota laut ini. Sampai saat ini pihak pengusaha belum melakukan budidaya ikan napoleon. Umumnya yang dilakukan adalah melakukan penampungan untuk menunggu sampai kapal pengangkut datang. Pola hubungan kemitraan (inti dan plasma) dalam penangkapan ikan napoleon dan kerapu di Kampung Meosbekwan ini kalau berjalan secara baik akan menguntungkan kedua belah pihak. Nelayan lokal sebagai plasma terbantu untuk pemasaran dan pengusaha bisa mendapatkan keuntungan dari pengumpulan komoditi sumber daya laut yang mempunyai nilai jual tinggi di luar negeri, khususnya di Hongkong. Dari pengamatan lapangan dapat diketahui bahwa dalam penentuan harga jual dari pihak nelayan (plasma) ke pengusaha lebih banyak ditentukan oleh pengusaha. Namun informasi tentang harga jual dari pengusaha pengumpul ke pedagang besar (eksportir) sulit didapatkan. Dikatakan oleh pengusaha pengumpul bahwa dengan menanggung resiko kematian sampai 30 persen, pihak pengumpul (inti) dapat menikmati keuntungan sebesar 35 persen. Dengan kondisi sedemikian, jelas bahwa keuntungan terbesar masih dinikmati oleh penguasaha (plasma). Dalam hal ini nelayan sebagi plasma kurang mempunyai bargaining power untuk negoisasi soal harga jual. Beroperasinya beberapa pengusaha pengumpul di Kepulauan Ayau memberikan berbagai alternatif bagi nelayan untuk menjual ikan pada pengusaha yang mau membeli dengan harga yang lebih tinggi. Akan tetapi dari pengamatan di lapangan dapat diketahui bahwa para pengusaha pengumpul tersebut telah mempunyai margin harga yang hampir sama, walaupun ada perbedaan nilainya tidak begitu besar. Dalam hal ini nampaknya telah ada kesepakatan antara pedagang pengumpul tentang harga jual dari nelayan kepada mereka. Di samping terdapat ketimpangan dalam pemanfaatan sumber daya laut, antara nelayan lokal dan nelayan pendatang juga mempunyai konflik kepentingan yang telah berlangsung cukup lama. Nelayan lokal pada umumnya sangat berkepentingan untuk 82 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua menjaga dan mengelola sumber daya laut, khususnya hamparan terumbu karang yang ada di wilayah perairan Kepulauan Ayau. Ini dikarenakan hamparan terumbu karang tersebut oleh nelayan lokal telah dianggap sebagai ‘ladang’ mereka untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup. Tidak adanya sumber daya alam yang bisa dikembangkan mengakibatkan nelayan lokal ini sangat tergantung pada kekayaan laut yang ada, khususnya ekosistem terumbu karang. Mereka sangat menyadari kerusakan terumbu karang akan mengakibatkan penghidupannya terganggu karena mata pencaharian mereka sangat tergantung pada keberadaan terumbu karang. Tingginya kepedulian masyarakat lokal ini mencerminkan baiknya pengetahuan tentang kegunaan terumbu karang. Pengetahuan masyarakat Kampung Meosbekwan terhadap beberapa alat tangkap yang dapat merusak lingkungan terumbu karang cukup tinggi. Umumnya masyarakat mengetahui bahwa bom, potas dan racun adalah alat tangkap yang dapat merusak terumbu karang. Mereka juga menyadari bahwa penggunaan akar bore sebenarnya juga meracuni terumbu karang dan berpotensi mengakibatkan kerusakan. Akan tetapi, sampai saat ini mereka belum mempunyai alternatif lain untuk menangkap ikan napoleon dengan cara lain, kecuali dengan menggunakan akar bore tersebut. Berbeda halnya dengan nelayan lokal, nelayan pendatang umumnya kurang mempedulikan kondisi terumbu karang yang ada di wilayah Kepulauan Ayau yang sudah mulai rusak. Para nelayan luar ini umumnya menggunakan bom dan potas untuk menangkap ikan. Kerusakan yang ditimbulkan oleh penggunaan bom dan potas jauh lebih besar dibandingkan dengan alat tangkap yang ramah lingkungan. Dengan menggunakan bom dan potas perolehan ikan-ikan juga lebih banyak. Penggunaan bom juga akan mengakibatkan ikan-ikan yang tertangkap tidak terseleksi sehingga sangat menganggu keseimbangan populasi ikan yang ada. Tindakan nelayan luar yang menggunakan bom dan potas untuk menangkap ikan ini sangat meresahkan nelayan lokal. Mereka khawatir kalau tindakan ini tidak dihentikan maka sudah pasti terumbu karang di wilayah Kepulauan Ayau akan rusak. Kerusakan terumbu karang berarti mematikan sumber pencaharian. Akibat adanya degradasi sumber daya laut, khususnya terumbu karang, sudah mulai dirasakan oleh nelayan setempat, yaitu dengan mulai menurunnya populasi ikan-ikan karang jenis napoleon dan kerapu. Dibandingkan lima tahun yang lalu, populasi kedua jenis ikan ini jauh lebih sedikit. Nelayan setempat mulai kesulitan mendapatkan ikan napoleon. Oleh karena itu, nelayan lokal sering berusaha mengejar dan menangkap nelayan luar yang ketahuan memakai bom dan potas. Namun perbedaan teknologi yang dimiliki oleh nelayan lokal dan nelayan luar mengakibatkan usaha para nelayan lokal menjadi sia-sia. Konflik yang sudah lama ini kalau tidak segera ditangani, berpotensi untuk mempengaruhi perilaku nelayan lokal yang sudah mempunyai kesadaran menjaga terumbu karang. Perilaku nelayan setempat akan berubah menjadi ikut merusak karena merasa tindakan menjaga terumbu karang yang sudah dilakukan akan sia-sia kalau nelayan luar tetap melakukan pengeboman dan penggunaan potas. Bagaimana dampak dari hasil pemanfaatan sumber daya laut oleh nelayan lokal dengan teknologi yang sederhana tersebut terhadap kualitas hidup dan kesejahteraannya? Secara umum potret kesejahteraan masyarakat penduduk Kampung Meosbekwan menunjukkan keadaan yang masih memprihatinkan. Dari segi pendidikan, mayoritas penduduk berpendidikan SD kebawah. Tingkat pendidikan tertinggi yang dimiliki penduduk adalah sekolah lanjutan atas, yaitu hanya mereka yang berprofesi sebagai guru dan perawat. Penduduk yang telah berhasil menempuh pendidikan tinggi umumnya sudah tidak tinggal di Kampung ini. Mereka bermigrasi ke kota-kota besar 83 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA yang ada di Indonesia Timur karena di Kampung tidak ada kesempatan kerja yang sesuai dengan pendidikannya. Sementara itu dilihat dari segi pendapatannya menunjukkan bahwa sebagian besar rumah tangga (70 persen) mempunyai pendapatan antara Rp 200.000,- sampai dengan Rp 600.000,- per bulan. Jumlah pendapatan tersebut kelihatannya cukup besar, namun secara riil pendapatan tersebut sangat rendah karena harga berbagai kebutuhan sehari-hari dan keperluan lain seperti bahan bangunan perumahan sangat mahal. Berbagai kebutuhan sehari-hari tersebut harus dibeli di Ibukota Kecamatan (Kabare) atau Ibukota Kabupaten (Sorong). Kampung Meosbekwan merupakan kampung yang terpencil dengan sarana dan prasarana transportasi yang sangat minim. Masalah transportasi menjadi kendala utama bagi penduduk, baik untuk keperluan menjual komoditi hasil laut ataupun untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Sampai saat ini tidak ada angkutan laut yang secara rutin melayani penduduk untuk pergi ke kota Kecamatan atau Kabupaten. Untuk menuju ke kota Kecamatan atau kota kabupaten digunakan kapal milik kampung (body besar) yang dikelola melalui majelis gereja. Dalam musim ombak besar kapal tersebut tidak bisa berlayar ke kota Kecamatan atau Kota Kabupaten karena motor hanya berkekuatan 40 PK sehingga tidak bisa melawan gelombang laut yang besar. Penduduk telah terbiasa menghadapi kesulitan alam dan keterpencilan daerahnya. Dalam menyiasati keterbatasan sarana transportasi dan keterpencilan tersebut penduduk biasanya membeli keperluan hidup sehari-hari seperti beras, sagu, sabun, minyak tanah untuk keperluan hidup sampai tiga bulan atau sampai musim ombak besar berakhir. Sumber pendapatan utama rumah tangga sepenuhnya berasal dari pemanfaatan sumber daya laut, yaitu dari hasil penjualan ikan napoleon dan kerapu serta hasil budidaya rumput laut dan berbagai biota lain seperti gurita dan cacing. Hasil penjualan ikan napoleon dan kerapu ini meskipun secara proporsi mempunyai kontribusi besar terhadap pendapatan rumah tangga, akan tetapi tidak bisa secara kontinyu memberikan sumbangan terhadap pendapatan rumah tangga. Hal tersebut dikarenakan pada musim ombak besar dua jenis ikan ini tidak bisa dieksploitasi oleh nelayan yang hanya menggunakan peralatan sederhana. Dalam cuaca buruk tersebut para nelayan hanya mencari ikan untuk dikonsumsi sendiri, pencarian napoleon dan kerapu untuk sementara dihentikan. Sementara itu meskipun kecil kontribusinya terhadap pendapatan rumah tangga, hasil budidaya rumput laut yang mulai diperkenalkan pada tahun 1999 dapat secara kontinyu memberikan sumbangan terhadap pendapatan rumah tangga. Hasil panen rumput laut dapat dinikmati oleh nelayan hampir setiap bulan. Selain pendapatan dan tingkat pendidikan, rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat Kampung Meosbekwan juga dapat dilihat dari aset rumah tangga yang dimiliki, mencakup sarana produksi dan non-produksi serta kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan. Secara umum aset produksi yang digunakan dalam memanfaatkan sumber daya laut yang dimiliki masyarakat Kampung Meosbekwan tergolong sangat sederhana. Hampir semua rumah tangga hanya menggunakan perahu semang (perahu tanpa motor) untuk melaut. Perahu motor hanya dimiliki oleh empat rumah tangga. Sementara itu kepemilikan aset non-produksi, terutama barang elektronik (radio) relatif sedikit. Diantara 35 rumah tangga yang ada hanya sekitar 12 rumah tangga (sepertiga) yang memiliki radio. Kepemilikan benda bernilai sosial tinggi menurut masyarakat seperti piring antik dan gelang (saraka) relatif tinggi. Dari 35 rumah tangga sekitar 45 persen mempunyai benda bernilai sosial tinggi tersebut. Mengenai kondisi perumahan penduduk dapat digambarkan bahwa sebagian besar rumah terbuat dari kayu, dindingnya terbuat dari papan atau daun rumbia sedangkan atapnya hampir semua 84 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua memakai daun rumbia, hanya sebagian kecil yang memakai seng. Sedangkan lantainya umumnya dibuat dari semen tipis dengan permukaan kasar. Dari hasil paparan di atas dapat diketahui bahwa rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat Kampung Meosbekwan terkait dengan beberapa faktor yang mempengaruhinya. Pertama, hasil dari pemanfaatan sumber daya laut, khususnya ikan napoleon dan kerapu tidak secara kontinyu memberikan kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga karena sangat tergantung pada faktor cuaca (musim ombak besar atau tidak). Di samping itu, harga jual kedua jenis sumber daya laut tersebut sangat ditentukan oleh pengusaha yang bertindak sebagai pedagang pengumpul. Dengan demikian dari hasil pemanfaatan hasil sumber daya laut yang mempunyai nilai ekonomi tinggi ini sebagian besar justru dinikmati oleh pengusaha, sementara pendapatan nelayan tetap rendah. Faktor kedua, adalah minimnya sarana dan prasarana transportasi mengakibatkan tingginya berbagai kebutuhan pokok masyarakat dan berbagai bahan untuk keperluan perumahan. Peningkatan pendapatan masyarakat dari hasil penangkapan ikan napoleon dan kerapu dibandingkan dengan periode lima tahun ke belakang (sebelum mereka belum mengenal penangkapan kedua jenis sumber daya laut ini) seakan - akan tidak berarti karena secara riil apa yang diterima masyarakat sangat kecil. Kondisi ekonomi masyarakat yang relatif jauh dari ukuran sejahtera ini dihadapkan pada kenyataan bahwa sumber daya laut yang merupakan satu-satunya sumber untuk menaikkan taraf kehidupan mereka sudah mengalami degradasi. Secara umum masyarakat Meosbekwan sangat menyadari bahwa sumber daya laut, khususnya terumbu karang yang merupakan ‘ladang’ untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup harus dikelola dan dijaga kelestariannya. Sampai saat ini masyarakat dengan peralatan sederhana telah berupaya melindungi terumbu karang dari kepunahan akibat berbagai tindakan nelayan luar yang menggunakan alat yang tidak ramah lingkungan. Bagaimanakah kondisi di masa depan? Apakah ada jaminan bahwa tidak akan ada perubahan perilaku masyarakat yang sekarang dapat dianggap sebagai penjaga dan pengawas terumbu karang yang ada di wilayah perairan Kepulauan Ayau dalam menghadapi berbagai tekanan kehidupan ekonomi, sementara dihadapan mereka terjadi eksploitasi sumber daya laut secara tak terkendali dengan menggunakan alat yang merusak lingkungan? Antisipasi terhadap terjadinya perubahan perilaku masyarakat dari menjaga dan mengelola terumbu karang dengan baik menjadi ikut merusak harus secepatnya dilakukan. Hal ini dikarenakan peluang akan terjadinya perubahan perilaku tersebut tampaknya cukup besar mengingat adanya berbagai tekanan ekonomi, ketimpangan pemanfaatan yang telah mengakibatkan nelayan setempat menjadi kurang mendapat keuntungan dan kecemburuan sosial yang sudah terjadi. 7.2. Kesimpulan dan Saran 7.2.1. Kesimpulan Dari diskusi mengenai permasalahan menyangkut pemanfaatan sumber daya laut oleh nelayan setempat maupun nelayan dari luar dan dampaknya terhadap kondisi sumber daya laut di wilayah perairan Kepulauan Ayau dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: • Degradasi sumber daya laut, khususnya terumbu karang di perairan Kepulauan Ayau pada umumnya dan perairan Kampung Meosbekwan pada khususnya telah 85 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA mulai dirasakan dampaknya oleh nelayan setempat. Para nelayan sudah mulai sulit untuk mendapatkan jenis-jenis ikan karang (napoleon dan kerapu) yang menjadi komoditi utama nelayan. Penyebab kerusakan tersebut diantaranya adalah penggunaan bom dan potas oleh nelayan luar dalam menangkap ikan. Di samping itu, penggunaan akar bore (akar tuba) oleh nelayan setempat yang sudah berlangsung selama lima tahun terakhir diperkirakan juga turut andil terhadap terjadinya kerusakan terumbu karang. Meskipun belum ada penelitian yang membuktikan adanya kerusakan yang ditimbulkan oleh penggunaan akar bore, tetapi ditengarai racun dari akar ini akan mencemari terumbu karang dan akhirnya juga dapat menurunkan kualitas terumbu karang. • Terdapat ketimpangan dalam memperoleh manfaat dari eksploitasi sumber daya laut antara nelayan setempat dengan nelayan luar. Ketimpangan tersebut telah mengakibatkan adanya kecemburuan sosial dan menciptakan konflik yang tidak jarang mengakibatkan pertentangan fisik, seperti pengusiran dan pelemparan batu terhadap nelayan luar yang dalam beroperasi selalu menggunakan bahan peledak dan potas. • Secara umum dapat diketahui bahwa masyarakat Kampung Meosbekwan telah mempunyai kesadaran yang relatif tinggi untuk melakukan pengelolaan terhadap sumber daya laut, khususnya terumbu karang (bosen) yang ada di wilayah perairan Kepulauan Ayau. Bagi masyarakat Kampung Meosbekwan, terumbu karang adalah sumber penghidupan yang harus dijaga kelestariannya. Karena itu, terumbu karang harus dijaga dari kerusakan dan kepunahan supaya masa depan kehidupan anak keturunannya tidak terganggu. Masyarakat Kampung Meosbekwan telah melakukan berbagai upaya untuk tetap menjaga ekosistem terumbu karang supaya tidak rusak. Upaya tersebut antara lain adalah melakukan pengawasan terhadap nelayan luar yang sering melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan potas. Meskipun sarana yang dimiliki sangat sederhana, yaitu perahu tanpa motor ataupun perahu motor bermesin kecil (15 PK) mereka berani mengejar nelayan luar yang umumnya menggunakan kapal berukuran besar dan kadang-kadang dilengkapi dengan senjata api. Kekompakan dan keberanian masyarakat Kampung ini perlu mendapat dukungan dari instansi atau lembaga terkait yang berwenang melakukan pengawasan. Dalam jangka panjang, jika usaha ini tidak mendapat perhatian dan dukungan, bukan tidak mungkin masyarakat akan berbalik ikut merusak terumbu karang karena merasa usaha mereka sia-sia. • Secara resmi telah ada larangan mengenai penggunaan bahan peledak, racun dan akar tuba (akar bore) berupa surat edaran Camat Waigeo Utara yang disebarluaskan di seluruh Kampung nelayan. Meskipun telah ada larangan, akan tetapi nelayan setempat sebagian besar masih menggunakan akar tersebut. Di kalangan nelayan masih ada perdebatan mengenai penggunaan akar bore untuk menangkap ikan Napoleon. Sebagian masyarakat mengatakan bahwa akar bore tersebut tidak merusak terumbu karang. Akan tetapi ada pula yang berpendapat bahwa akar bore juga berpotensi untuk merusak terumbu karang karena terbukti ikan-ikan menjadi pingsan bila terkena racun tersebut. • Berkaitan dengan penangkapan ikan napoleon dan kerapu, terdapat permasalahan menyangkut alat tangkap yang dipakai dan pemasaran hasilnya. Di dalam izin penangkapan ikan napoleon telah dicantumkan larangan penggunaan racun dan sejenisnya untuk menangkap ikan napoleon. Di tingkat Kampung juga sudah beredar Surat Edaran Camat tentang larangan menggunakan bahan peledak, potasium dan akar bore (akar tuba) yang telah disebarluaskan melalui perangkat 86 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua Kampung. Sampai saat ini masyarakat Kampung masih tetap menggunakan akar bore untuk menangkap ikan Napoleon, meskipun mereka telah mengetahui bahwa penggunaan akar tersebut telah dilarang. Selain mengetahui larangan penggunaan akar bore tersebut, sebagian masyarakat Kampung Meosbekwan juga telah menyadari bahwa penggunaan racun dari akar tersebut dapat mencemari ekosistem terumbu karang dan mengakibatkan kerusakan karang. Namun karena mereka belum mempunyai alternatif alat lain untuk menangkap ikan napoleon, maka penggunaan akar bore masih tetap berlangsung hingga sekarang. • Permasalahan lainnya yang berkaitan dengan penangkapan ikan napoleon adalah harga jual yang masih banyak ditentukan oleh pengusaha (pedagang pengumpul). Pola kemitraan yang diharapkan dapat saling menguntungkan kedua belah pihak, yaitu antara inti (pengusaha pengumpul) dan nelayan setempat sebagai plasma, belum dapat tercapai. • Tingginya permintaan ikan napoleon dan ikan kerapu di pasaran luar negeri dikhawatirkan akan mendorong penduduk untuk eksploitasi jenis ikan ini secara tidak terkendali dengan menggunakan cara dan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. • Kegiatan budidaya rumput laut telah dirasakan banyak manfaatnya oleh masyarakat. Hasil dari rumput laut ini telah secara kontinyu menyumbangkan pendapatan rumah tangga. Hasil panen rumput laut ini pada tahun-tahun pertama ditampung oleh pengusaha yang telah memperkenalkan budidaya tanaman ini. Akan tetapi, karena harganya jauh dari harga pasaran di Kota Sorong maka nelayan tidak mau lagi menjual ke pengusaha tersebut. Sementara pengusaha tersebut juga sudah beralih usahanya menjadi pengumpul ikan Napoleon dan Kerapu. Pada saat ini pemasaran rumput laut dilakukan sendiri oleh nelayan ke Sorong. Secara ekonomi pemasaran langsung ke Sorong kurang efesien karena ongkos trasportasi yang cukup mahal (sekitar Rp 80.000 untuk pergi pulang). Biasanya penduduk memasarkan hasil tersebut sambil berbelanja kebutuhan sehari-hari sehingga ongkos yang relatif mahal tersebut tidak terlalu dipermasalahkan. • Wilayah yang terpencil, faktor alam yang kadang kurang bersahabat (dalam musim tertentu sering terjadi ombak besar) ditambah minimnya sarana transportasi menjadi kendala utama bagi msyarakat Kampung Meosbekwan baik untuk pemasaran hasil perikanan maupun untuk belanja kebutuhan hidup sehari-hari. Minimnya sarana transportasi ini berimplikasi terhadap tingginya biaya hidup sehari-hari dan pemenuhan berbagai kebutuhan lain seperti pengadaan papan. Oleh karena itu, pendapatan yang diterima masyarakat tidak dengan sendirinya mencerminkan tingkat kesejahteraan karena secara riil pendapatan tersebut jauh dari nilai nominal yang ada, karena mahalnya biaya hidup dan kebutuhan lainnya. 87 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA 7.2.2. Saran Berdasarkan kesimpulan dari berbagai isu-isu penting yang muncul berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut oleh beberapa stakeholders terkait dapat diambil beberapa alternatif pemecahan sebagai berikut: • Dalam rangka membendung terjadinya degradasi sumber daya laut, khususnya terumbu karang di wilayah perairan Kepulauan Ayau yang disebabkan oleh penggunaan bahan peledak dan potas oleh nelayan luar perlu lebih meningkatkan pengawasan. Mengingat wilayah perairan Kepulauan Ayau yang cukup luas serta berhadapan dengan laut lepas maka pengawasan yang paling efektif adalah pengawasan yang dilakukan oleh penduduk setempat. Upaya pengawasan yang selama ini telah dilakukan oleh nelayan setempat perlu didukung dengan memberikan fasilitas peralatan yang memadai. Peralatan yang dimiliki oleh nelayan setempat masih sangat sederhana, yaitu perahu layar atau perahu motor dengan mesin kecil. Selain pengawasan perlu pula usaha-usaha untuk meningkatkan kesadaran para nelayan dari luar yang selama ini selalu menggunakan berbagai alat tangkap yang merusak lingkungan (bom dan potas). • Selain melakukan pengawasan, untuk membendung adanya kerusakan terumbu karang yang semakin besar di wilayah perairan Kepulauan Ayau perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan pendapatan masyarakat. Peningkatan pendapatan masyarakat Kampung Meosbekwan tidak dapat dilakukan dengan kegiatan di luar sektor perikanan (pemanfaatan sumber daya laut), karena tidak adanya sumber daya alam lain yang bisa dikembangkan. Oleh karena itu, budidaya rumput laut yang sudah berjalan perlu mendapat pendampingan untuk membantu pemasaran. Dalam hal ini perlu dibentuk semacam lembaga (semacam koperasi) diantara kelompok nelayan yang dapat mengelola pemasaran rumput laut sekaligus juga menyediakan kebutuhan pokok sehari-hari. Dengan adanya lembaga yang menangani pemasaran dan memenuhi kebutuhan sehari-hari, ekonomi biaya tinggi yang selama ini terjadi akan bisa ditekan. • Guna lebih mendorong peningkatan pendapatan masyarakat perlu memperbaiki sarana transporatsi untuk membuka keteresoliran wilayah Kepulauan Ayau. Jalur pelayaran perintis yang sempat beroperasi pada beberapa tahun lalu perlu dihidupkan kembali. Adanya jalur pelayaran ini telah membantu masyarakat untuk melalukan berbagai aktifitas baik menjual komoditi perikanan atau berbelanja kebutuhan sehari-hari. • Untuk mengatasi kerusakan terumbu karang yang kemungkinan timbul akibat pencemaran racun dari akar bore yang digunakan untuk menangkap ikan napoleon oleh nelayan lokal, tidak cukup hanya dengan membuat peraturan tentang pelarangan penggunaan bahan tersebut. Pelarangan tersebut tidak akan efektif karena masyarakat tetap akan melanggar, meskipun diantara mereka ada yang telah sadar bahwa racun akar bore tersebut kemungkinan juga bisa merusak terumbu karang. Pelanggaran tersebut dilakukan karena mereka tidak mempunyai alternatif bahan lain yang dapat dipergunakan untuk menangkap ikan napoleon yang tidak mempunyai efek merusak terumbu karang. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu studi laboratorium untuk mencari alternatif bahan yang aman dan tidak merusak lingkungan yang dapat dipakai untuk memudahkan menangkap ikan napoleon. • Dalam upaya mengatasi perdebatan mengenai akibat yang ditimbulkan oleh penggunaan racun akar bore terhadap terumbu karang dan ekosistemnya perlu 88 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua dilakukan studi yang secara cermat meneliti efek dari racun akar bore ini terhadap kerusakan terumbu karang. • Menanggapi tingginya permintaan pasar akan jenis ikan napoleon dan kerapu perlu adanya antisipasi terhadap eksploitasi yang dilakukan secara tidak terkendali. Upaya yang dapat dilakukan antara lain adalah dengan melakukan pengawasan terhadap kewajiban melakukan budidaya yang selama ini tampaknya belum banyak dilakukan oleh para pedagang pengumpul. Dalam skala nasional kemungkinan perlu menetapkan sistim kuota ekspor ikan tersebut. Mengingat Kampung Meosbekwan ada di wilayah yang jauh dan terpencil dengan sarana transportasi yang sangat minim maka biaya hidup sangat mahal. Oleh karena itu untuk mengukur kesejahteraan masyarakat tidak cukup hanya dengan melihat pendapatannya. Jika hanya diukur dari pendapatan maka akan tidak bisa menggambarkan potret yang sebenarnya karena secara riil pendapatan yang didapat masyarakat sangat kecil karena biaya kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan lain terlalu mahal. 89 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Daftar Pustaka Abdullah, Ahmad dkk., 1989 Laporan Survai Penilaian Potensi Sumber Daya Alam Laut Dalam Rangka Penetapan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Ajoe, Irian Jaya. Bogor: Proyek Pengembangan Kawasan Pelestarian Laut Farid dan Sryadi, 2001 Laporan Umum Hasil Penelitian RAP di Kepulauan Raja Ampat, Sorong, Irian Jaya. Jayapura: Conservation Internatioanl Indonesia Program Irian Jaya. Mambraku, 2000 Pemukiman Migran Biak Di Kepulauan Raja Ampat Kabupaten Sorong: Suatu Reperkusi Intervensi Kemaritiman. Malakah disampaikan pada Musyawarah Kerja Nasional Sejarah XIII 9-21 Juli 1996 di Universitas Hasanudin Ujung Pandang. Mayalibit, 1996 Laporan Penelitian Hukum, Sasi, Penerapan dan Dampaknya Terhadap Masayarakat Tradisional Raja Ampat. Jayapura: Fakultas Hukum Uncen Ikawati, Yuni, Puji s. Hanggarawati, Hening Parlan, Handratini Handini dan Budiman Siswodihardjo, 2001 Terumbu Karang di Indonesia. Jakarta: Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi bekerja sama dengan Kantor Menteri Negara Riset dan Tehnologi. Tjiptoheriyanto, P. dan S. Sumitra, 1998 Pemberdayaan Penduduk dan Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT Citra Putra Bangsa. DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBUK KARANG INDONESIA 91