Bab II Profil Kampung Meosbekwan

advertisement
Widayatun, I.G.P. Antariksa, Haning Romdiati
Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia/ Widayatun, I.G.P.
Antariksa, Haning Romdiati. – Jakarta: COREMAP, 2002
xix, 109 hlm, 22 cm
Seri Penelitian COREMAP-LIPI No. 5/2002
ISSN 1412-7245
1. Terumbu Karang
2. Pengelolaan
I. Judul
II. COREMAP-LIPI
3. Degradasi
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Studi Kasus: Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong,
Propinsi Papua
Editor : Widayatun
Desain isi : Puji Hartana
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang
Diterbitkan oleh COREMAP-LIPI.
Ringkasan
Dalam rangka mempersiapkan Program COREMAP tahap II Pemerintah Daerah
Propinsi Papua telah menetapkan Distrik Waigeo Utara sebagai lokasi intervensi. Studi
ini dilakukan di salah satu desa yang ada di Distrik Waigeo Utara, yaitu Kampung
Meosbekwan. Pemilihan lokasi studi ini didasarkan pada berbagai pertimbangan,
diantaranya adalah adanya ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya laut
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Tujuan dari studi ini adalah untuk mengumpulkan dan menganalisa data dasar
mengenai kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pesisir berkaitan dengan
pemanfaatan sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Hasil studi ini diharapkan
dapat dimanfaatkan sebagai masukan dalam merancang, melaksanakan dan memantau
program COREMAP. Di samping itu, studi ini juga diharapkan dapat dipakai sebagai
acuan dalam menyusun indikator keberhasilan program COREMAP.
Studi ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dalam
mengumpulkan data. Pendekatan kuantitatif dilakukan melalui sensus terhadap seluruh
rumah tangga yang ada di Kampung Meosbekwan. Data sensus yang dikumpulkan
dengan menggunakan kuesioner ini terdiri dari dua kategori. Kategori pertama adalah
data menyangkut keadaan rumah tangga yang meliputi karakteristik demografi anggota
rumah tangga dan keadaan ekonomi rumah tangga. Kategori ke dua merupakan data
individu yang diperoleh dari salah satu anggota rumah tangga berumur 15 tahun ke atas
yang dipilih secara acak. Informasi yang dikumpulkan dalam data individu ini adalah
mengenai pengetahuan dan sikap responden tentang ekosistem terumbu karang.
Sementara itu data kualitatif diperoleh melalui berbagai tehnik pengumpulan data
kualitatif seperti observasi, wawancara mendalam, fokus group discussion/ FGD
(wawancara terfokus) dan kaji bersama (jisam).
Pengumpulan data sensus dibantu oleh dua tenaga lokal yang keduanya
berprofesi sebagai guru. Penduduk Kampung Meosbekwan semuanya adalah Suku Biak
yang mempunyai dialek yang hanya dapat dimengerti oleh penduduk lokal.
Mempertimbangkan keadaan tersebut maka pemanfaatan tenaga lokal dalam
melakukan sensus ini diharapkan dapat memperlancar komunikasi dan memudahkan
dalam menyampaikan pertanyaan yang ada dalam kuestioner.
Pengumpulan data kualitatif dilakukan sendiri oleh peneliti dengan menggunakan
berbagai tehnik, seperti wawancara mendalam, FGD dan jisam. Wawancara mendalam
dilakukan terhadap berbagai informan seperti nelayan, pedagang pengumpul, ibu-ibu
nelayan, pemuka masyarakat seperti perangkat desa, guru, pendeta dan tokoh
masyarakat lainnya. Sementara itu jisam dilakukan terhadap beberapa orang yang
dapat mewakili berbagai kelompok seperti tokoh agama, nelayan, guru dan ibu-ibu
nelayan. Wawancara mendalam, jisam dan FGD dilakukan dengan menggunakan
pedoman (guide line) yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Kampung Meosbekwan merupakan salah satu dari lima kampung yang ada di
Kepulauan Ayau yang terletak di Lautan Pasifik yang dapat digolongkan sebagai daerah
terpencil. Dari ibukota Kabupaten Sorong maupun dari ibukota Distrik Waigeo Utara
belum ada jalur transportasi laut yang secara rutin melayani pelayaran ke Kepulauan
Ayau. Untuk keperluan trasportasi masing-masing kampung memiliki kapal yang dikelola
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
1
oleh masyarakat dan pengurus gereja. Kampung Meosbekwan mempunyai kapal yang
oleh masyarakat setempat dikenal dengan ‘body besar’ berkekuatan mesin 40 PK.
Waktu tempuh dari Kepulauan Ayau ke ibukota Kabupaten sekitar 8-9 jam dan ke
Ibukota Distrik Waigeo Utara sekitar 4 jam. Pada musim ombak besar kapal tersebut
tidak bisa berlayar ke Ibu Kota Distrik atau kota kabupaten. Penduduk telah terbiasa
menghadapi kesulitan alam dan keterpencilan daerahnya. Dalam menyiasati
keterbatasan sarana transportasi dan keterpencilan tersebut penduduk biasanya
membeli keperluan hidup sehari-hari seperti beras, sagu, sabun, minyak tanah untuk
keperluan hidup sampai tiga bulan atau sampai musim ombak besar berakhir.
Potensi sumber daya laut yang ada di wilayah perairan pulau Meosbekwan
adalah gugusan terumbu karang yang lokasinya dekat dengan garis pantai (sekitar 2
mil). Gugusan terumbu karang ini mengelilingi pulau kecil yang luasnya hanya sekitar
1,2 Km2. Dengan adanya gugusan terumbu karang ini, wilayah perairan Meosbekwan
kaya akan berbagai jenis ikan karang seperti napoleon dan kerapu. Selain ikan karang,
di perairan wilayah ini juga kaya akan berbagai jenis ikan permukaan seperti cakalang,
tenggiri dan tongkol. Eksploitasi secara intensif ikan napoleon dan kerapu dimulai pada
tahun 1994, yaitu sejak beroperasinya pedagang pengumpul di daerah ini. Hasil dari
penangkapan ikan napoleon dan kerapu ini merupakan sumber pendapatan utama
nelayan. Hasil produksi ikan napoleon dan kerapu untuk seluruh Kepulauan Ayau (terdiri
dari lima kampung) sekitar 3 ton per bulan. Sebelum tahun 1994 penghasilan nelayan
tergantung dari penjualan ikan kering dan hasil laut lainnya seperti pia, lola, teripang dan
lobster. Selain potensi sumber daya laut, kampung ini tidak mempunyai sumber daya
alam lain di darat yang bisa dikelola. Semua kebutuhan pokok seperti bahan makan
sagu dan beras harus didatangkan dari ibukota distrik atau ibukota kabupaten.
Penduduk Kampung Meosbekwan semuanya adalah Suku Biak yang bermigrasi
ke wilayah Kepulauan Ayau sejak akhir abad 19. Hampir semua penduduk bekerja
sebagai nelayan, hanya ada beberapa orang yang bukan nelayan. Mereka adalah dua
orang guru SD dan satu perawat. Tingkat pendidikan penduduk relatif rendah. Sekitar
93 persen penduduk berusia 6 tahun ke atas berpendidikan SD ke bawah. Jenis
ketrampilan berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut adalah ketrampilan
membudidayakan rumput laut yang diperkenalkan pada tahun 1999.
Sementara itu dilihat dari segi pendapatannya menunjukkan bahwa sebagian
besar rumah tangga (70 persen) mempunyai pendapatan antara Rp 200.000,- sampai
dengan Rp 600.000,- per bulan. Jumlah pendapatan tersebut kelihatannya cukup besar,
namun secara riil pendapatan tersebut sangat rendah karena harga berbagai kebutuhan
sehari-hari dan keperluan lain seperti bahan bangunan perumahan sangat mahal.
Berbagai kebutuhan sehari-hari tersebut harus dibeli di ibukota distrik (Kabare) atau
ibukota kabupaten (Sorong).
Sumber pendapatan utama rumah tangga sepenuhnya berasal dari pemanfaatan
sumber daya laut, yaitu dari hasil penjualan ikan napoleon dan kerapu serta hasil
budidaya rumput laut dan berbagai biota lain seperti gurita dan cacing. Hasil penjualan
ikan napoleon dan kerapu ini meskipun secara proporsi mempunyai kontribusi besar
terhadap pendapatan rumah tangga, akan tetapi tidak bisa secara kontinyu memberikan
sumbangan terhadap pendapatan rumah tangga. Hal tersebut dikarenakan pada musim
ombak besar dua jenis ikan ini tidak bisa dieksploitasi oleh nelayan yang hanya
menggunakan peralatan sederhana. Dalam cuaca buruk tersebut para nelayan hanya
mencari ikan untuk dikonsumsi sendiri, pencarian napoleon dan kerapu untuk sementara
2
Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
dihentikan. Sementara itu meskipun kecil kontribusinya terhadap pendapatan rumah
tangga, hasil budidaya rumput laut yang mulai diperkenalkan pada tahun 1999 dapat
secara kontinyu memberikan sumbangan terhadap pendapatan rumah tangga. Hasil
panen rumput laut dapat dinikmati oleh nelayan hampir setiap bulan.
Selain pendapatan dan tingkat pendidikan, rendahnya tingkat kesejahteraan
masyarakat Kampung Meosbekwan juga dapat dilihat dari aset rumah tangga yang
dimiliki, mencakup sarana produksi dan non-produksi serta kondisi perumahan dan
sanitasi lingkungan. Secara umum aset produksi yang digunakan dalam memanfaatkan
sumber daya laut yang dimiliki masyarakat Kampung Meosbekwan tergolong sangat
sederhana. Hampir semua rumah tangga hanya menggunakan perahu semang (perahu
tanpa motor) untuk melaut. Perahu motor hanya dimiliki oleh empat rumah tangga.
Sementara itu kepemilikan aset non-produksi, terutama barang elektronik (radio) relatif
sedikit. Diantara 35 rumah tangga yang ada hanya sekitar 12 rumah tangga (sepertiga)
yang memiliki radio. Kepemilikan benda bernilai sosial tinggi menurut masyarakat
seperti piring antik dan gelang (saraka) relatif tinggi. Dari 35 rumah tangga sekitar 45
persen mempunyai benda bernilai sosial tinggi tersebut. Mengenai kondisi perumahan
penduduk dapat digambarkan bahwa sebagian besar rumah terbuat dari kayu,
dindingnya terbuat dari papan atau daun rumbia sedangkan atapnya hampir semua
memakai daun rumbia, hanya sebagian kecil yang memakai seng. Sedangkan lantainya
umumnya dibuat dari semen tipis dengan permukaan kasar.
Studi ini berhasil mengidentifikasi adanya degradasi sumber daya laut,
khususnya terumbu karang di perairan Kepulauan Ayau pada umumnya dan perairan
Kampung Meosbekwan pada khususnya. Dampak dari adanya degradasi tersebut telah
mulai dirasakan oleh nelayan setempat. Para nelayan sudah mulai sulit untuk
mendapatkan jenis-jenis ikan karang (napoleon dan kerapu) yang menjadi komoditi
utama nelayan. Penyebab kerusakan tersebut diantaranya adalah penggunaan bom dan
potas oleh nelayan luar untuk menangkap ikan-ikan permukaan. Di samping itu,
penggunaan akar bore (akar tuba) dengan target tangkapan ikan napoleon oleh nelayan
setempat yang sudah berlangsung selama lima tahun terakhir diperkirakan juga turut
andil terhadap terjadinya kerusakan terumbu karang. Meskipun belum ada penelitian
yang membuktikan adanya kerusakan yang ditimbulkan oleh penggunaan akar bore,
tetapi ditengarai racun dari akar ini akan mencemari terumbu karang dan akhirnya juga
dapat menurunkan kualitas terumbu karang.
Secara resmi telah ada larangan mengenai penggunaan bahan peledak, racun
dan akar tuba (akar bore) berupa surat edaran Camat Waigeo Utara yang
disebarluaskan di seluruh kampung nelayan. Meskipun telah ada larangan, akan tetapi
nelayan setempat sebagian besar masih menggunakan akar tersebut. Di kalangan
nelayan masih ada perdebatan mengenai penggunaan akar bore untuk menangkap ikan
Napoleon. Sebagian masyarakat mengatakan bahwa akar bore tersebut tidak merusak
terumbu karang. Akan tetapi ada pula yang berpendapat bahwa akar bore juga
berpotensi untuk merusak terumbu karang karena terbukti ikan-ikan menjadi pingsan
bila terkena racun tersebut.
Penangkapan ikan napoleon dan kerapu hidup dimulai sejak tahun 1994. Dalam
eksploitasi ikan napoleon ini diperlakukan sistim pola kemitraan. Nelayan sebagai
plasma yang mempunyai ijin penangkapan, sedangkan perusahaan pengumpul sebagai
inti memiliki ijin pengumpulan. Di samping itu, perusahaan inti mempunyai kewajiban
untuk melakukan budidaya. Ada empat perusahaan (pedagang pengumpul) yang
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
3
beroperasi di wilayah Kepulauan Ayau, termasuk didalamnya satu pedagang yang ada
di Kampung Meosbekwan.
Ditemukan berbagai permasalahan yang menyangkut implementasi dari pola
kemitraan ini. Permasalahan tersebut antara lain adalah harga jual yang masih banyak
ditentukan oleh pengusaha (pedagang pengumpul). Nelayan tidak mempunyai posisi
tawar untuk menentukan harga jual. Pola kemitraan yang diharapkan dapat saling
menguntungkan kedua belah pihak, yaitu antara inti (pengusaha pengumpul) dan
nelayan setempat sebagai plasma, belum dapat tercapai karena keuntungan besar
masih dinikmati oleh pengusaha.
Dari hasil studi ini dapat diambil beberapa pembelajaran (lessons learned),
diantaranya:
1. Aspek Ekonomi:
Ø Perlunya membangun transportasi laut ke Kepulauan Ayau untuk membuka
keterisoliran daerah ini dengan mengoperasikan kembali pelayaran perintis yang
pernah ada pada tahun 1997. Dengan dibukanya transportasi ini akan memudahkan
masyarakat mendapatkan akses terhadap fasilitas sosial dan ekonomi, seperti
pasar, pendidikan dan kesehatan. Di samping itu, dengan adanya pelayaran perintis
akan menurunkan biaya hidup yang dirasakan cukup tinggi oleh masyarakat.
Ø Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan ataupun ketrampilan
yang relevan, seperti ketrampilan penanganan paska panen (pembuatan ikan kering)
Ø Mendukung dan menggalakkan budidaya rumput laut dan memberikan bantuan
pemasaran.
2. Aspek Sosial:
Ø Peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat lokal terhadap pentingnya
pengelolaan dan pelestarian ekosistem terumbu karang.
Ø Peningkatan kesadaran dan partisipasi nelayan pendatang yang sering melakukan
pengeboman di wilayah Kepulauan Ayau mengenai pentingnya pengelolaan dan
rehabilitasi ekosistem terumbu karang.
Ø Untuk mengatasi kerusakan terumbu karang yang kemungkinan timbul akibat
pencemaran racun dari akar bore yang digunakan untuk menangkap ikan napoleon
oleh nelayan lokal, tidak cukup hanya dengan membuat peraturan tentang
pelarangan penggunaan bahan tersebut. Pelarangan tersebut tidak akan efektif
karena masyarakat tetap akan melanggar, meskipun diantara mereka ada yang telah
sadar bahwa racun akar bore tersebut kemungkinan juga bisa merusak terumbu
karang. Pelanggaran tersebut dilakukan karena mereka tidak mempunyai alternatif
bahan lain yang dapat dipergunakan untuk menangkap ikan napoleon yang tidak
mempunyai efek merusak terumbu karang. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu
studi laboratorium untuk mencari alternatif bahan yang aman dan tidak merusak
lingkungan yang dapat dipakai untuk memudahkan menangkap ikan napoleon.
Ø Dalam upaya mengatasi perdebatan mengenai akibat yang ditimbulkan oleh
penggunaan racun akar bore terhadap terumbu karang dan ekosistemnya perlu
dilakukan studi yang secara cermat meneliti efek dari racun akar bore ini terhadap
kerusakan terumbu karang.
4
Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
3. Aspek Kebijakan, Hukum dan Perundang-undangan
Ø Dalam rangka membendung terjadinya degradasi sumber daya laut, khususnya
terumbu karang di wilayah perairan Kepulauan Ayau yang disebabkan oleh
penggunaan bahan peledak dan potas oleh nelayan luar perlu lebih meningkatkan
pengawasan. Mengingat wilayah perairan Kepulauan Ayau yang cukup luas serta
berhadapan dengan laut lepas maka pengawasan yang paling efektif adalah
pengawasan yang dilakukan oleh penduduk setempat. Pengawasan yang selama ini
telah dilakukan oleh nelayan setempat perlu didukung dengan memberikan fasilitas
peralatan yang memadai. Peralatan yang dimiliki oleh nelayan setempat masih
sangat sederhana, yaitu perahu layar atau perahu motor dengan mesin kecil. Selain
pengawasan perlu pula usaha-usaha untuk meningkatkan kesadaran para nelayan
dari luar yang selama ini selalu menggunakan berbagai alat tangkap yang merusak
lingkungan (bom dan potas).
Ø Kegiatan pedagang pengumpul yang selama ini bertindak sebagai inti dalam pola
kemitraan eksploitasi ikan napoleon dan kerapu perlu dimonitor. Pola kemitraan ini
kalau berjalan dengan baik akan membantu nelayan dan saling memberikan
keuntungan kepada inti dan plasma. Akan tetapi implementasi di lapangan masih
ditemui berbagai permasalahan yang mengakibatkan nelayan ada di pihak yang
sangat dirugikan.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
5
Bab I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Sebagai negara kepulauan yang memiliki 17.508 pulau besar dan kecil dengan
garis pantai terpanjang di dunia, kurang lebih 81.000 km dan 63 persen wilayahnya
merupakan perairan, Indonesia telah menjadi pusat keanekaragaman hayati dunia.
Salah satu keanekaragaman hayati tersebut adalah terumbu karang. Luas sebaran
terumbu karang di Indonesia diperkirakan sekitar 75.000 kilometer persegi atau sekitar
14 persen dari sebaran terumbu karang dunia.
Telah diketahui bahwa terumbu karang memberi peranan penting secara
ekologis untuk kelangsungan sumber daya lautnya dan ekosistem lainnya yang
terasosiasi di dalamnya. Ekosistem terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang
berada di laut dengan keanekaragaman jenis yang tinggi. Hal ini dikarenakan pada
ekosistem ini dijumpai bermacam -macam jenis hewan laut yang mencari makan dan
hidup di ekosistem ini.
Selain hutan bakau dan padang lamun, terumbu karang juga merupakan
ekosistem yang penting di daerah pesisir. Secara alami ekosistem terumbu karang
melindungi pantai dari pengikisan arus laut (abrasi) dan hempasan ombak yang kuat.
Dalam kondisi normal, gelombang air dan energi gelombang akan sampai ke pantai.
Dengan adanya karang, gelombang tersebut akan memecah dan teredam sehingga
ketika gelombang sampai ke pantai energi yang dikeluarkan semakin kecil.
Manfaat terumbu karang tidak hanya berhubungan dengan keberadaan laut
tempat ekosistem tersebut tinggal, tetapi juga mempunyai fungsi lain seperti sebagai
penunjang produksi perikanan, sumber makanan maupun industri. Dalam hal ini
terumbu karang dapat diidentifikasikan sebagai salah satu komponen utama yang
sangat penting sebagai penunjang berbagai aspek dari kehidupan manusia dan juga
dalam pembangunan berkelanjutan. Terumbu karang sebagai sumber bahan baku untuk
berbagai kegiatan manusia seperti batu karang dan pasir sebagai bahan bangunan,
karang hitam sebagai perhiasan. Selain itu, karena keindahannya terumbu karang juga
menjadi sumber devisa bagi negara. Saat ini wisata bahari Indones ia tengah
berkembang pesat dan terumbu karang merupakan salah satu aset utamanya.
Bagaimana kondisi terumbu karang di Indonesia? Dalam sepuluh tahun terakhir
ini kondisi terumbu karang Indonesia mengalami penurunan sampai pada tingkat yang
mengkhawatirkan karena adanya berbagai tekanan. Menurut studi yang dilakukan oleh
LIPI (1995) sekitar 40 persen terumbu karang Di Indonesia ada dalam status buruk,
sedangkan yang kondisinya sangat bagus tinggal 6 persen, selebihnya masuk dalam
kategori sedang dan cukup.
Beberapa penyebab utama rusaknya terumbu karang tersebut lebih dikarenakan
oleh ulah manusia, seperti penangkapan ikan dan biota terumbu karang lain secara
terus menerus dan dalam jumlah yang berlebihan dan penggunaan racun dan bahan
peledak untuk menangkap sumber daya terumbu karang. Selain itu, kerusakan
ekosistem terumbu karang juga disebabkan oleh pembangunan di daerah pesisir yang
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
7
tak terkendali. Penebangan hutan dan tumbuhan di sepanjang bantalan sungai
mengakibatkan pelumpuran di daerah terumbu karang dan akan mematikan terumbu
karang.
Dalam menanggapi masalah kerusakan terumbu karang pemerintah Indonesia
telah meluncurkan suatu program pengelolaan yang dinamakan COREMAP (Coral Reef
Rehabilitation and Management Program) yang bertujuan untuk menumbuhkan dan
meningkatkan usaha pengelolaan serta rehabilitasi terumbu karang agar sumber daya
laut dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Kegiatan COREMAP pada dasarnya mengacu pada prinsip partisipasi aktif
masyarakat (pengelolaan berbasis masyarakat). Sistim pengelolaan yang diharapkan
adalah sistim terpadu yang perumusan dan perencanaanya dilaksanakan dengan
pendekatan dari bawah berdasarkan aspirasi masyarakat dan untuk kepentingan
masyarakat.
Mengingat masyarakat di sekitar kawasan terumbu karang merupakan kalangan
yang paling berkepentingan dalam pemanfaatannya dan kalangan ini pula yang akan
menerima akibat yang timbul dari kondisi baik maupun buruknya ekosistem ini, maka
salah satu kegiatan COREMAP akan difokuskan pada masyarakat lokal. Kegiatan
tersebut diantaranya adalah membangun dan meningkatkan kesadaran masyarakat
akan peranan penting terumbu karang sebagai tempat hidup aneka binatang dan
tumbuhan yang dapat dimanfaatkan untuk dikonsumsi, bahan baku industri maupun
sebagai komoditi perdagangan dunia. Selain itu, kegiatan COREMAP yang lain adalah
melakukan pengembangan berbagai pendapatan alternatif sehingga tekanan terhadap
ekosistem terumbu karang akan berkurang.
Dalam rangka menunjang seluruh kegiatan COREMAP, utamanya dalam
merancang program dan jenis intervensi yang cocok untuk masyarakat diperlukan
berbagai data berkaitan dengan potensi sumber daya laut; kondisi sosial-ekonomi dan
budaya masyarakat
setempat dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
kerusakan terumbu karang, seperti teknologi yang dipakai dalam pemanfaatan
(ekploitasi) sumber daya laut dan stakeholders yang terkait dengan eksploitasi tersebut.
Selain itu, diperlukan pula data berkaitan dengan adanya permasalahan-permasalahan
yang muncul sehubungan dengan pemanfaatan sumber daya laut, aspirasi masyarakat
dan kendala-kendala yang dihadapi.
Propinsi Papua telah menentukan wilayah Distrik Waigeo Utara sebagai salah
satu lokasi intervensi program COREMAP tahap II. Wilayah Distrik Waigeo Utara
mempunyai wilayah daratan yang cukup luas yang meliputi sebagian daratan bagian
utara Pulau Waigeo dan beberapa pulau yang terletak di Kepulauan Ayau. Sementara
itu wilayah lautannya juga cukup luas meliputi sebagian perairan pantai Timur Pulau
Waigeo dan perairan di sekitar Kepulauan Ayau yang menghadap lautan pasifik.
Wilayah Kepulauan Ayau memiliki hamparan terumbu karang yang sangat luas dan
berbagai biota karang serta ikan. Di perairan ini ditemukan diatas 200 jenis ikan dan
sekitar 122 jenis terumbu karang. Selain itu, di kepulauan ini dijumpai pantai berpasir
putih (sandy beach) yang merupakan habitat peneluran berbagai jenis penyu (Mckinnon
dan Artha, 1981; Salm dan Halim 1984; Farid dan Suryadi, 2001).
Kepulauan Ayau terdiri dari em pat pulau berpenghuni yaitu Rutum, Reni, Runi
dan Meosbekwan dan beberapa pulau kosong. Pada empat pulau yang berpenghuni
tersebut terdapat empat desa, salah satunya adalah Kampung Meosbekwan yang
dijadikan lokasi penelitian aspek sosial terumbu karang.
8
Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
1.2. Tujuan
Secara umum studi ini bertujuan untuk mengumpulkan dan menganalisa data
dasar mengenai kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat berkaitan
dengan pemanfaatan sumber daya laut, khususnya terumbu karang untuk dipakai
sebagai masukan-masukan dalam merancang, melaksanakan dan memantau program
COREMAP. Data dasar tersebut dimaksudkan untuk memberikan perspektif sosial dan
sosial agenda agar program COREMAP dapat berjalan secara baik untuk kelestarian
terumbu karang dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan.
Secara khusus, studi ini bertujuan untuk:
1. Menggambarkan kondisi sumber daya laut, khususnya terumbu karang dan
ekosistemnya di wilayah Kampung Meosbekwan termasuk di dalamnya potensi, pola
pemanfaatan, tehnologi yang dipakai, permodalan, pemasaran serta pengetahuan
dan perilaku masyarakat berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaannya.
2. Mengidentifikasi stakeholders dan menganalisa kegiatan-kegiatan yang berkaitan
dengan pemanfaatan sumber daya laut yang mengancam kelestarian terumbu
karang maupun yang berpotensi untuk mengelola. Di samping itu, mengantisipasi
potensi konflik kepentingan antar sesama stakeholders sebagai akibat adanya usaha
konservasi dan pengelolaan terumbu karang.
3. Mendeskripsikan kondisi sumber daya manusia Kampung Meosbekwan dan
memotret tingkat kesejahteraan masyarakat yang dilihat antara lain dari keberadaan
aset rumah tangga, kondisi perumahan, pendapatan dan pengeluaran, tabungan,
dan hutang.
4. Memberikan masukan –masukan pada para
pengambil kebijakan dalam
merancang, melaksanakan dan memantau program COREMAP.
5. Memberikan masukan untuk membuat indikator- indikator yang dapat dipakai
sebagai tolok ukur untuk membandingkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat
sebelum dan sesudah intervensi program COREMAP.
1.3. Metodologi
1.3.1. Pemilihan Lokasi
Walaupun penduduk Distrik Waigeo yang tinggal di daratan mempunyai akses
yang cukup besar pada wilayah perairan yang kaya akan sumber daya laut, khususnya
terumbu karang dan ekosistemnya serta berbagai biota yang hidup di dalamnya tetapi
masyarakatnya tidak menggantungkan hidupnya pada sumber daya laut ini. Mata
pencaharian penduduk yang utama adalah petani (pekebun) yang mengolah tanaman
keras seperti sagu, kelapa dan berbagai tanaman sela di dalamnya. Penduduk Distrik
Waigeo yang benar-benar menggantungkan hidupnya pada kekayaan sumber daya laut,
termasuk didalamnya terumbu karang dan ekosistemnya adalah mereka yang tinggal di
wilayah Kepulauan Ayau yang tersebar di empat pulau yaitu Pulau Reni, Rutum, Runi
dan Pulau Meosbekwan.
Wilayah perairan sekitar Kepulauan Ayau merupakan wilayah perairan yang
mempunyai lokasi terumbu karang yang luas. Wilayah perairan ini telah lama dijadikan
‘fishing ground’ oleh beberapa perusahaan penangkapan ikan karena dikenal sebagai
daerah yang kaya akan sumber daya laut, khususnya ikan-ikan karang. Hampir semua
penduduk yang menempati pulau-pulau yang ada di wilayah ini sangat tergantung pada
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
9
pemanfaatan sumber daya laut. Sumber daya alam lainnya, seperti pertanian sangat
kecil kontribusinya terhadap pendapatan penduduk. Semua penduduk kampungkampung ini bekerja sebagai nelayan. Hanya ada beberapa orang mempunyai profesi
tertentu seperti guru dan tenaga kesehatan.
Mengingat wilayah terumbu karang di perairan ini yang cukup luas dan perlu
dilestarikan guna dimanfaatkan secara optimal oleh penduduk maka adanya program
COREMAP diharapkan akan dapat memelihara kondisi terumbu karang di wilayah ini
agar dapat digunakan secara lestari oleh masyarakat setempat. Dari lima kampung yang
ada di Kepulauan Ayau, yaitu Kampung Rutum, Reni, Dorehkar, Yankawir dan
Meosbekwan, telah dipilih tiga kampung sebagai lokasi penelitian. Kampung
Meosbekwan merupakan salah satu dari tiga lokasi penelitian aspek sosial terumbu
karang yang dilakukan di wilayah Kepulauan Ayau. Kampung ini merupakan satusatunya kampung yang tidak mempunyai sumber daya alam, selain sumber daya laut.
Kehidupan masyarakat kampung ini sangat tergantung sepenuhnya pada pemanfaatan
sumber daya laut.
1.3.2. Pengumpulan data
Studi ini menggunakan dua pendekatan dalam mengumpulkan data. Pertama,
data yang dikumpulkan melalui sensus dan survai; dan kedua data kualitatif yang
diperoleh melalui berbagai tehnik pengumpulan data kualitatif seperti observasi,
wawancara mendalam, fokus group discussion/ FGD (wawancara terfokus) dan kaji
bersama (jisam).
Data sensus dan survai ini dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner. Data
yang diperoleh melalui kuesioner terdiri dari dua kategori. Kategori pertama adalah data
menyangkut keadaan rumah tangga yang meliputi karakteristik demografi anggota
rumah tangga dan keadaan ekonomi rumah tangga. Data mengenai karakteristik
demografi anggota rumah tangga terdiri antara lain jumlah, umur, jenis kelamin,
pendidikan dan pekerjaan anggota rumah tangga. Sementara data tentang kondisi
ekonomi rumah tangga meliputi data pendapatan, pengeluaran, tabungan dan data
mengenai kepemilikan aset rumah tangga seperti alat produksi perikanan dan
perumahan. Kategori ke dua merupakan data individu yang diperoleh dari salah satu
anggota rumah tangga berumur 15 tahun ke atas yang dipilih secara acak. Informasi
yang dikumpulkan dalam data individu ini adalah mengenai pengetahuan dan sikap
responden tentang terumbu karang.
Kampung Meosbekwan merupakan kampung dengan jumlah rumah tangga yang
sedikit. Pemerintah kampung belum mempunyai data tentang jumlah rumah tangga
yang pasti. Informasi awal yang bisa didapat adalah bahwa jumlah rumah tangga sekitar
40. Oleh karena jumlah rumah tangga yang sangat kecil tersebut kemudian diputuskan
untuk melakukan sensus seluruh rumah tangga. Dari hasil sensus tersebut berhasil
dikumpulkan data dari 35 rumah tangga. Ada dua rumah tangga yang tidak berada di
tempat pada saat penelitian dilakukan. Sampai penelitian ini berakhir ke dua rumah
tangga tersebut belum kembali ke kampung.
Pengumpulan data sensus dibantu oleh dua tenaga lokal yang keduanya
berprofesi sebagai guru. Penduduk Kampung Meosbekwan semuanya adalah Suku Biak
yang mempunyai dialek yang hanya dapat dimengerti oleh penduduk lokal.
Mempertimbangkan keadaan tersebut maka pemanfaatan tenaga lokal dalam
10
Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
melakukan sensus ini diharapkan dapat memperlancar komunikasi dan memudahkan
dalam menyampaikan pertanyaan yang ada dalam kuesioner.
Pengumpulan data kualitatif dilakukan sendiri oleh peneliti dengan menggunakan
berbagai tehnik, seperti wawancara mendalam, FGD dan jisam. Wawancara mendalam
dilakukan terhadap berbagai informan seperti nelayan, pedagang pengumpul, ibu-ibu
nelayan, pemuka masyarakat seperti perangkat desa, guru, pendeta dan tokoh
masyarakat lainnya. Sementara itu jisam dilakukan terhadap beberapa orang yang
dapat mewakili berbagai kelompok seperti tokoh agama, nelayan, guru dan ibu-ibu
nelayan. Wawancara mendalam, jisam dan FGD dilakukan dengan menggunakan
pedoman (guide line) yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Pengumpulan data kualitatif ini dimaksudkan untuk menggali lebih dalam
mengenai berbagai aspek menyangkut kondisi kehidupan masyarakat Kampung
Meosbekwan dan kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya laut, khususnya
terumbu karang. Selain itu, data kualitatif ini juga untuk melengkapi dan menggali lebih
dalam lagi berbagai informasi yang telah didapatkan melalui survai.
Dalam melakukan pengumpulan data, baik data kualitatitatif maupun kuantitatif
(survai) tidak ditemui kendala yang cukup berarti. Luas Kampung Meosbekwan hanya
sekitar 1,2 hektar dengan jumlah rumah tangga sekitar 38 memudahkan pewawancara
untuk melakukan tugasnya mendatangi rumah-rumah responden. Di samping itu, karena
masyarakat di kampung ini merupakan komunitas kecil di area yang juga sangat kecil
maka hampir semua penduduk mengenal satu dengan yang lain. Sebelum wawancara
terhadap rumah tangga yang akan disensus dimulai, perangkat kampung terlebih dahulu
menyebarluaskan informasi tentang kedatangan tim peneliti dan maksud diadakannya
penelitian melalui ‘microphone’ gereja. Dengan disebarluaskannya informasi tersebut
maka setiap rumah tangga telah mengetahui bahwa rumahnya akan didatangi oleh guru
yang akan membantu melakukan wawancara. Penyebarluasan informas i tersebut
sangat membantu jalannya wawancara. Setiap warga yang didatangi telah siap dan
tidak ada kecurigaan tentang maksud kedatangan pewawancara.
Wawancara umumnya dilakukan pada malam hari, karena pada siang hari para
laki-laki dewasa warga pergi melaut dan warga perempuan dewasa mengerjakan
pekerjaan di area budidaya rumput yang dimiliki oleh setiap rumah tangga. Dalam
melakukan wawancara, pewawancara terpaksa membawa lampu petromak untuk lampu
penerangan. Hal tersebut dikarenakan kampung ini belum ada penerangan listrik, untuk
penerangan warga menggunakan lampu minyak tanah. Dengan hanya menggunakan
lampu minyak agak sulit untuk menuliskan jawaban-jawaban pada lembar kuesioner.
1.3.3. Analisa data
Data yang diperoleh melalui kuesioner dianalisa secara kuantitatif dengan
menggunakan tabulasi silang untuk melihat hubungan antara variabel-variabel yang
diteliti. Data kualitatif yang diperoleh melalui wawancara mendalam, FGD dan Jisam
dianalisa dengan tehnik content analysis. Dari berbagai informasi yang diperoleh dari
informan dideskripsikan sesuai dengan isu yang ada dan digunakan untuk menjelaskan
dan memberikan nuansa pada temuan-temuan yang penting.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
11
1.4. Organisasi Penulisan
Buku ini terdiri dari tujuh bab. Bab pertama, merupakan pendahuluan yang
menerangkan latar belakang diadakannya studi, tujuan dan metodologi yang dipakai
dalam penelitian. Gambaran tentang profil lokasi penelitian disajikan pada Bab II. Bab ini
antara lain menguraikan tentang keadaan geografis, kondisi sumber daya alam, kondisi
kependudukan, pendidikan dan mata pencaharian penduduk serta sarana dan
prasarana sosial yang tersedia di desa.
Bab III dari buku ini berisi uraian mengenai aspek-aspek yang berkaitan dengan
masalah pengelolaan sumber daya laut yang dilakukan oleh mas yarakat sekitar dan
berbagai pihak yang terkait di dalamnya. Di dalam bab ini akan dikupas tentang
pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap pengelolaan sumber daya laut, termasuk
didalamnya pengetahuan tentang wilayah pengelolaan dan teknologinya. Uraian
mengenai berbagai stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan
terumbu karang dan ekosistemnya yang ada di lokasi penelitian juga disajikan dalam
bab ini.
Besarnya produksi sumber daya laut dan rantai pemasaran serta pihak-pihak
yang terkait dengan pemasaran akan disajikan pada Bab IV. Sementara itu Bab V akan
secara khusus mendiskripsikan potret tingkat kesejahteraan masyarakat. Aspek yang
akan dilihat dalam rangka memotret tingkat kesejahteraan masyarakat antara lain
adalah pendapatan, pengeluaran, tabungan dan pemilikan aset rumah tangga.
Bab VI dari buku ini akan mengupas masalah degradasi sumber daya laut dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Uraian mengenai bagaimana kondisi sumber daya
laut yang ada di lokasi penelitian akan disajikan pada bagian pertama dari Bab ini.
Bagian selanjutnya akan berisi uraian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya degradasi sumber daya laut. Faktor-faktor tersebut akan dikelompokkan
menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal. Buku ini ditutup dengan diskusi dan
kesimpulan yang akan disajikan pada Bab VII.
12
Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Bab II
Profil Kampung Meosbekwan
2.1. Keadaan Geografis
Kepulauan Ayau merupakan bagian dari gugusan Kepulauan Raja Ampat yang
secara adminstrasi masuk dalam wilayah Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong.
Kepulauan ini terletak di Samodra Pasifik dan terdiri dari empat pulau yang berpenghuni
yaitu pulau Runi, Rutum, Reni dan Meosbekwan dan beberapa pulau kosong, antara
lain: Meos Mandum, Kanober, Abidon, Meos Ros, Kafot, Pulau Dua, Padarnker, Abris
dan Pulau Tukan. Secara administratif ke empat pulau yang berpenghuni tersebut
terbagi dalam empat kampung yaitu kampung Rutum, Reni, Yankawir, Dorehkar dan
Kampung Meosbekwan.
Nama Kampung Meosbekwan dalam
bahasa lokal
mempunyai arti pulau panjang (Meos: pulau; Bekwan: panjang). Pulau ini panjangnya
sekitar 1200 meter dengan lebar hanya sekitar 100 meter (Lihat Peta 1).
Topografi pulau ini datar dengan pantai yang berpasir putih. Jenis tanahnya
berpasir dan tumbuhan yang bisa hidup hanya pohon kelapa, sukun dan beberapa
pohon perindang lainnya. Dengan kondisi pulau yang sangat landai dan tidak ada
karang penghalang yang bisa menahan badai maka pulau ini relatif beresiko tinggi
apabila terjadi tsunami. Bentuk pantai yang sangat landai dan sedikitnya pohon
penghalang juga menyebabkan pantai Timur pulau ini yang menghadap langsung
dengan Samodra Pasifik mudah terkikis.Tanda-tanda abrasi laut sudah mulai terlihat di
sepanjang pantai Timur ini.
Pulau Meosbekwan pada khususnya dan Kepulauan Ayau pada umumnya
terletak di garis khatulistiwa sehingga daerah ini merupakan daerah tropis dengan suhu
udara yang sangat panas dengan curah hujan jang cukup tinggi. Iklim daerah ini
dipengaruhi oleh angin Barat (dalam bahasa lokal Wamres) yang terjadi pada bulan
Oktober sampai dengan bulan Maret. Pada bulan Oktober sampai dengan Maret ombak
besar, disertai dengan hujan badai. Angin kencang dan ombak besar akan mencapai
puncaknya pada bulan Desember sampai dengan Januari. Sementara angin selatan
(Wambraw) terjadi pada bulan Agustus selama satu bulan. Angin Timur (Wamrem) yang
cukup kencang bertiup pada bulan April sampai dengan Juni. Pada bulan-bulan ini hasil
ikan akan sedikit karena nelayan jarang melaut. Demikian pula pada musim utara
(Wamsios) hasil ikan juga tidak banyak karena angin bertiup kencang. Musim ikan,
khususnya ikan kerapu terjadi bulan September dan Februari, dimana pada bulan ini
bertiup angin Barat Laut (Wam Barek).
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
13
Peta 1
KEPULAUAN AYAU
P. Abris
P. Reni
P. Padarnker
P. Rutum
P. Apop
Samudera Pasifik
P. Kafot
P. Abidon
P. Meosmandum
P. Ros
P. Meosbekwan
P. Dua
P. Dorekhar
P. Tukan
Sumber: hasil pemetaan bersama dengan narasumber di Kepulauan Ayau
14
Studi Kasus : Kam pung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
2.2. Kondisi Sumber Daya Alam
Luas Kampung Meosbekwan hanya sekitar 120.000 meter persegi atau sekitar
1,2 hektar. Dengan kondisi tanah berpasir maka tidak ada potensi sumber daya alam
lain selain sumber daya laut yang bisa dikembangkan di kampung ini. Tumbuhan
produktif yang bisa berkembang baik hanya pohon kelapa dan sukun. Hasil dari
tanaman kelapa dan sukun umumnya hanya dikonsumsi oleh penduduk setempat, tidak
pernah dipasarkan ke luar kampung (kota distrik atau ke kota kabupaten). Sulitnya
transportasi yang menyebabkan penduduk tidak memasarkan kelapa dan sukun ke
Sorong. Perjalanan dari pulau ini ke Sorong memerlukan waktu perjalanan sekitar
delapan sampai sembilan jam. Di samping itu, secara ekonomis tidak menguntungkan
karena harganya murah sedangkan ongkos angkut ke kota relatif mahal.
Tidak adanya sumber daya alam selain sumber daya laut yang bisa
dikembangkan maka untuk keperluan kebutuhan primer, khususnya bahan pangan
seperti sagu dan beras harus didatangkan dari pulau besar (Pulau Waigeo) atau dari
daratan pulau Irian (Sorong). Beberapa keluarga yang tinggal di kampung ini
mempunyai kebun sagu di pulau besar (Pulau Waigeo). Pada musim tertentu mereka
tinggal beberapa hari di Waigeo Utara untuk menokok sagu (membuat sagu) sampai
berminggu-minggu.
Hampir semua jenis ikan karang dan udang batu (lobster) termasuk dalam
potensi sumber daya laut yang ada di daerah ini. Daerah ini kaya akan jenis ikan
karang, khususnya jenis ikan kerapu (indaf) dan napoleon (in maming) dan ikan kakap.
Jenis sumber daya laut selain ikan karang antara lain adalah ikan samandar (baronang),
ikan pari dan ikan ekor kuning yang merupakan jenis -jenis ikan permukaan. Selain jenis
ikan karang, potensi sumber daya laut lainnya yang berpotensi untuk lebih
dikembangkan adalah rumput laut. Rumput laut mulai dibudidayakan di kampung ini
pada tahun 1999. Hampir semua rumah tangga di kampung ini mengusahakan budidaya
rumput laut. Setiap rumah tangga rata-rata mempunyai 10 tali dengan panjang tali
sekitar 40 meter. Produksi rumput laut kering di kampung ini sekitar satu ton per bulan
dan dipasarkan ke Sorong setiap bulannya.
Sumber air bersih adalah sumur gali dengan kedalaman antara 3-5 meter.
Meskipun merupakan daerah pesisir, air tanah tidak terasa asin, mengindikasikan tidak
adanya intrusi air laut. Hampir setiap rumah tangga di kampung ini mempunyai sumur
sebagai sumber air bersih untuk memasak, cuci dan mandi.
2.3. Kependudukan
Jumlah dan komposisi penduduk
Berdasarkan data sensus penduduk Kampung Meosbekwan, dari 35 rumah
tangga yang terdiri dari 176 orang tampak dengan jelas adanya kecenderungan bahwa
persentase penduduk semakin kecil pada usia yang semakin tua, meskipun terjadi
distorsi pada kelompok usia 35-39 dan 45-49 tahun (Tabel 2.1). Keadaan ini
mengindikasikan bahwa penduduk di Kampung Meosbekwan termasuk pada kelompok
struktur muda. Penduduk pada usia produktif utama (30-44 tahun) hanya sekitar
seperlima dari jumlah anggota rumah tangga yang terkena sampel. Mereka yang berada
pada kelompok usia sekolah, khususnya usia wajib belajar 9 tahun (7-15 tahun)
sebanyak 24,4 persen. Proporsi yang cukup tinggi (bahkan merupakan angka tertinggi
menurut kelompok umur) juga ditunjukkan oleh mereka pada usia balita, yaitu hampir
mencapai seperlima dari jumlah responden. Keadaan ini mengindikasikan bahwa angka
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
15
kelahiran masih cukup tinggi. Perkiraan ini juga didukung oleh data mengenai rata-rata
jumlah anggota rumah tangga yang mencapai 5,1 orang per rumah tangga, atau
melebihi anjuran program keluarga berencana yang hanya 4 orang per keluarga.
Angka beban ketergantungan yang merupakan jumlah anak-anak (0-14 tahun)
dan penduduk usia tua (65 tahun+) menunjukkan angka yang tinggi (63,0 persen).
Angka ini menggambarkan beban penduduk usia produktif masih sangat berat, karena
setiap 100 orang dewasa harus menanggung sebsanyak 63 anak-anak dan orang tua.
Tabel 2.1:
Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, Kampung
Meosbekwan, 2001
Kelompok
Laki-laki
Perempuan
Laki+Perempuan
umur
0–4
16,9
9,2
13,1
5–9
12,4
14,9
13,6
10-14
14,6
9,2
11,9
15-19
10,1
14,9
12,5
20-24
9,0
13,8
11,4
25-29
9,0
9,2
6,3
30-34
5,6
6,9
6,3
35-39
5,6
12,6
9,1
40-44
6,7
1,1
4,0
45-49
5,6
6,9
6,3
50+
4,5
1,1
2,8
Jumlah
100,0
100,0
100,0
N
89
87
176
Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2001
Rasio jenis kelamin adalah 102,3 yang berarti terdapat 102 laki-laki setiap 100
perempuan. Secara umum tidak terdapat perbedaan mencolok antara laki-laki dan
perempuan. Perbedaan cukup besar antara laki-laki dan perempuan terlihat pada
kelompok umur 0-4 tahun, dimana persentase laki-laki hampir mencapai dua kali lipat
dari angka untuk perempuan. Walaupun proporsinya kecil, penduduk laki-laki pada
kelompok usia 50 + jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Suatu kondisi
yang jarang terjadi, karena dalam demografi, dikenal secara umum bahwa pada saat
usia tua, jumlah perempuan umumnya lebih tinggi daripada laki-laki.
Perbandingan penduduk laki-laki dan perempuan pada usia sekolah
menunjukkan bahwa persentase penduduk perempuan pada usia sekolah pendidikan
dasar lebih tinggi daripada laki-laki. Data menunjukkan, proporsi penduduk laki-laki usia
sekolah SD (7-12 tahun) sebesar 72,0 persen, lebih rendah dari pada proporsi
perempuan (83,3 persen). Keadaan sebaliknya terjadi pada kelompok usia lanjutan
pertama (13-15 tahun), yaitu persentase perempuan lebih rendah (18,7 persen)
daripada laki-laki (28 persen). Tingginya proporsi perempuan pada usia sekolah SD,
pada kenyataannya juga diikuti dengan tingginya persentase anak perempuan usia
sekolah yang sedang mengikuti pendidikan formal (lihat Tabel 2.2.).
Dari hasil survei juga diketahui komposisi penduduk menurut besar anggota
rumah tangga. Rata-rata anggota rumah tangga masih termasuk besar, yaitu 5,1 orang
per rumah tangga, sebagaimana dikemukakan di atas. Kebanyakan penduduk memiliki
16
Studi Kasus : Kam pung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
anggota rumah tangga antara 4-5 orang (45,8 persen). Jumlah anggota rumah tangga
terendah adalah dua orang, sedang yang tertinggi delapan orang. Proporsi rumah
tangga dengan jumlah ART delapan orang mencapai 14,3 persen. Keadaan ini
menggambarkan bahwa rumah tangga Di Kampung Meosbekwan masih tergolong pada
keluarga besar. Sebagai daerah pesisir dengan tumpuan kehidupan sebagai nelayan,
kebutuhan tenaga kerja keluarga mungkin menjadi salah satu faktor penyebab untuk
memiliki keluarga besar.
Pendidikan
Informasi/data tentang pendidikan penduduk merupakan salah satu
data/informasi dasar yang perlu diperhatikan dalam pengembangan intervensi program.
Data pendidikan yang diuraikan dalam bagian ini adalah tingkat pendidikan tertinggi
yang ditamatkan. Pendidikan dapat dipakai untuk mengukur tingkat pengetahuan
masyarakat/penduduk di suatu daerah. Telah diketahui secara umum bahwa kondisi
pendidikan di daerah-daerah yang belum berkembang pada umumnya masih belum
baik. Keadaan sama juga ditemui di daerah penelitian, yaitu misalnya ditunjukkan oleh
hasil survei dimana mayoritas penduduk yang tercakup dalam sampel hanya
berpendidikan SD kebawah, dan hanya sekitar 8 persen yang memiliki pendidikan tamat
sekolah lanjutan (Tabel 2.2.).
Tabel 2.2.
Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan dan
Jenis Kelamin, Kampung Meosbekwan 2001
Tingkat pendidikan
Laki-laki
Perempuan
Laki+Perempuan
Tdk. Sekolah
4,1
2,64
3,3
Tdk. Tamat SD
34,2
6,8
40,7
SD
47,9
48,1
48,0
SLTP
6,8
1,3
4,0
SLTA+
6,8
1,3
4,0
Jumlah
100,0
100,0
100,0
N
73
77
150
Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2001
Dilihat tingkat pendidikan penduduk menurut jenis kelamin, tampak adanya
kesenjangan dalam pencapaian pendidikan antara laki-laki dan perempuan. Meskipun
proporsinya kecil, tampak pada Tabel 2.2 bahwa penduduk laki-laki memiliki pendidikan
lebih tinggi daripada perempuan. Pada tingkat pendidikan lanjutan (SLTP dan SLTA),
proporsi laki-laki mencapai kira-kira lima kali lipat dibandingkan dengan proporsi
perempuan. Sebaliknya, pada tingkat pendidikan tidak/belum tamat SD, proporsi
perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Pada tingkat pendidikan belum/tidak sekolah,
proporsi laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Termasuk penduduk dengan tingkat
pendidikan tidak/belum tamat SD adalah mereka yang pada saat ini masih sekolah.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
17
Tabel 2.3
Penduduk Berstatus Sekolah Berdasarkan Usia Sekolah dan Jenis Kelamin,
Kampung Meosbekwan, 2001
Usia sekolah
Laki-laki
Perempuan
Laki+Perempuan
7-12
72,7
73.7
73,2
13-15
18,2
15,8
17,1
16-18
9,1
10,5
9,7
Jumlah
100,0
100,0
100,0
N
22
19
41
Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2001
Tabulasi silang antara umur dan status kegiatan ekonomi menunjukkan bahwa
diantara penduduk yang pada saat survei memiliki kegiatan sekolah (41 orang atau 32,7
persen dari seluruh penduduk), sebanyak 73,2 persen masih berada pada tingkat
pendidikan sekolah dasar (Tabel 2.3). Semakin tinggi jenjang pendidikan, persentase
penduduk semakin menurun. Tidak terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan,
kecuali mereka pada usia pendidikan lanjutan pertama, dimana persentase penduduk
laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Keadaan ini mungkin dapat menggambarkan
bahwa tidak terjadi kesenjangan partisipasi sekolah antara anak laki-laki dan
perempuan.
Pencapaian tingkat pendidikan dan partisipasi sekolah yang masih rendah
tersebut tampaknya dipengaruhi oleh faktor keterbatasan fasilitas pendidikan. Fasilitas
pendidikan yang ada di kampung Meosbekwan hanya sampai tingkat SD. Sedangkan
sekolah untuk tingkat SLTP ada di kampung Dorehkar yang baru dibuka pada tahun
1998. Sebelum tahun 1998, untuk melanjutkan pendidikan sampai tingkat SLTP harus
ke Kabare (Ibukota Distrik) atau ke Sorong.
Di samping itu, penduduk yang telah berhasil menc apai pendidikan tingkat SLTA
keatas umumnya sudah keluar menetap di luar kampung. Mereka tersebar di kota
Distrik, kabupaten bahkan di berbagai kota besar di Indonesia Timur. Seorang informan
mengatakan sedikitnya telah ada tiga sarjana yang berasal dari kampung ini yang
sekarang bekerja sebagai dosen di Manado. Sementara yang bekerja di Kota Sorong
cukup banyak dan mereka ini tetap membantu penduduk kampung dalam hal
peningkatan pendidikan penduduk. Mereka yang telah berhasil mencapai pendidikan
tinggi dan bekerja di Sorong umumnya bersedia menampung anak-anak dari kampung
Meosbekwan yang sedang menempuh pendidikan di tingkat SLTP atau SLTA.
Dari wawancara mendalam dengan beberapa informan dapat diketahui bahwa
motivasi orang tua untuk melanjutkan pendidikan anak-anaknya cukup besar. Meskipun
fasilitas pendidikan sangat minim, tetapi motivasi untuk meningkatkan pendidikan ke
jenjang pendidikan tinggi cukup besar. Orang tua umumnya mengirim anak-anak
mereka ke Kota Sorong untuk menempuh pendidikan lebih tinggi. Di kota Sorong
mereka tinggal dengan famili atau kerabat dengan cuma-cuma dan orang tua cukup
mengirim biaya sekolah dan ongkos untuk membeli peralatan sekolah. Untuk biaya
makan dan keperluan sehari-hari mereka ditanggung oleh keluarga yang
menampungnya. Sampai sekarang ini sudah banyak sarjana yang umumnya bekerja di
berbagai kota besar di Indonesia Timur yang berasal dari Kampung Meosbekwan.
Selain pendidikan formal, ada berbagai jenis
ketrampilan yang telah
diperkenalkan kepada masyarakat kampung ini, diantaranya adalah ketrampilan
membudidayakan rumput laut. Ketrampilan ini pada awalnya diperkenalkan oleh sebuah
18
Studi Kasus : Kam pung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
perusahaan CV Paksina pada tahun 1999. Perusahaan ini memperkenalkan budidaya
rumput laut di seluruh kepulauan Ayau yang meliputi kampung Meosbekwan, Yankawir,
Dorehkhar, Rutum dan Reni. Pihak perusahaan menyediakan bibit dan tali secara cumacuma tetapi penduduk diharuskan menjual hasil panennya ke perusahaan tersebut
selama dua tahun berturut-turut. Pengenalan budidaya rumput laut ini diikuti pula
dengan pengenalan ketrampilan membuat kue dan minuman yang bahan bakunya dari
rumput laut. Ketrampilan yang sampai sekarang masih dikembangkan oleh penduduk
adalah ketrampilan menanam rumput laut, sedangkan ketrampilan membuat kue dan
minuman jarang dipraktekkan oleh masyarakat karena sulitnya pemasaran, sementara
untuk penduduk lokal kurang ada permintaan. Kursus ketrampilan budidaya rumput laut
ini kemudian dilanjutkan lagi oleh Fakultas Perikanan Universitas Manokwari pada tahun
1999.
Agama
Semua penduduk Kampung Meosbekwan memeluk agama Kristen Protestan.
Agama Kristen masuk ke kampung ini pada tahun 1934 yang diperkenalkan oleh
seorang pendeta bernama Mirino. Gereja pertama dibangun pada tahun 1945 yang
kemudian terus direnovasi. Gereja yang ada sekarang merupakan bangunan baru yang
dibangun secara gotong royong oleh penduduk. Untuk keperluan pembiayaan
pembangunan gereja tersebut penduduk menerapkan sasi gereja untuk hasil laut
berupa lola. Hasil penjualan lola tersebut dikumpulkan dan dipakai untuk membeli bahan
bangunan, sedangkan tenaga pembangunannya dilakukan sendiri oleh penduduk
secara bergotong royong.
Mata Pencaharian
Informasi tentang mata pencaharian penduduk merupakan asupan penting
terhadap intervensi program yang berkaitan dengan income generating. Temuan
penelitian memperlihatkan bahwa sub sektor perikanan merupakan sektor andalan bagi
penduduk di Kampung Meosbekwan. Sumber daya laut merupakan sumber mata
pencaharian pokok bagi mayoritas penduduk. Sensus rumah tangga menemukan,
hampir semua penduduk bekerja sebagai nelayan. Dari 93 anggota rumah tangga yang
bekerja, sebesar 95,7 persen bekerja dengan status sebagai nelayan keluarga,
selebihnya bekerja sebagai pegawai negeri yang terdiri dari tiga orang guru dan seorang
tenaga perawat.
Pekerjaan nelayan di Kampung Meosbekwan umumnya dalam skala usaha
keluarga. Kegiatan memancing ikan yang dalam istilah lokal ‘mencari’ umumnya
dilakukan sendiri oleh kepala keluarga atau anggota rumah tangga laki-laki yang telah
remaja dan dewasa. Sementara itu, aktifitas berkaitan dengan pemanfaatan sumber
daya laut lainnya adalah usaha budidaya rumput laut yang juga hanya melibatkan
anggota rumah tangga. Pekerjaan nelayan ini tidak tergantung musim, artinya walupun
musim ombak mereka tetap ‘mencari’, walaupun hasil perolehannya kadang-kadang
hanya untuk konsumsi sendiri. Sementara itu, usaha budidaya rumput laut, tidak
mengenal musim dan bisa diusahakan sepanjang tahun.
Pekerjaan sebagai nelayan bukan hanya dilakukan oleh laki-laki, tetapi juga
perempuan. Diantara penduduk dengan mata pencaharian sebagai nelayan, persentase
penduduk perempuan sedikit lebih tinggi (51,7 persen) dibandingkan laki-laki (48,3
persen). Terdapat pembagian kerja yang jelas antara laki-laki dan perempuan dalam
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
19
mengeks ploitasi jenis sumber daya laut. Para perempuan umumnya ‘mencari’ jenis-jenis
SDL seperti gurita, cacing laut dan lola, sementara itu penangkapan jenis sumberdaya
laut lain seperti ikan dan lobster dilakukan oleh laki-laki. Dibandingkan dengan jenis
sumber daya laut lainnya, penangkapan gurita, cacing laut dan lola relatif kurang
memerlukan tenaga yang besar karena SDL tersebut tingkat mobilitasnya rendah, tidak
sebagaimana layaknya ikan. Di samping itu, daerah tangkapan gurita, cacing laut dan
lola umumnya diperairan dekat pantai. Menangkap cacing laut dan lola dilakukan pada
saat air surut (meti). Di samping ‘mencari’ gurita, cacing laut dan lola, perempuan juga
bekerja sebagai pengelola utama budidaya rumput laut. Usaha budidaya rumput laut ini
sepenuhnya menjadi tanggung jawab perempuan, anggota keluarga lainnya seperti,
suami dan anak sifatnya hanya membantu.
Dikaitkan dengan status dalam keluarga juga menunjukkan bahwa persentase
tertinggi dari pekerjaan sebagai nelayan keluarga adalah mereka yang berstatus
sebagai isteri (36,0 persen), sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan persentase
penduduk berstatus kepala rumah tangga (34,8 persen). Selebihnya adalah mereka
dengan status anak menantu (22,5 persen) dan hanya 6,7 persen yang merupakan
keluarga lain. Keadaan ini menggambarkan bahwa pekerjaan nelayan pada umumnya
dilakukan oleh keluarga sendiri. Hal ini juga terlihat dari data mengenai rata-rata
anggota rumah tangga yang bekerja, yaitu sebesar 2,6 orang per rumah tangga.
Data sama memperlihatkan, kebanyakan rumah tangga memiliki anggota rumah
tangga yang bekerja sebanyak 2 orang (57,1 persen), sedang yang memiliki ART
bekerja 3 orang kira-kira mencapai seperlima dari keseluruhan rumah tangga (35 rumah
tangga). Hanya 5,7 persen rumah tangga yang hanya mempunyai satu ART yang
bekerja. Angka hampir sama ditunjukkan oleh rumah tangga yang memiliki ART bekerja
5 orang (5,7 persen). Sisanya adalah mereka yang memiliki ART bekerja 4 orang (8,6
persen) dan 6 orang (2,9 persen yang merupakan proporsi terendah). Temuan ini
merefleksikan bahwa pekerja keluarga berperan besar dalam pekerjaan nelayan di
daerah penelitian yang masih termasuk pada kategori nelayan tradisional.
Kesehatan
Sekitar akhir tahun 1980an sampai dengan pertengahan tahun 1990an penyakit
lepra pernah berjangkit di kampung ini. Untuk mengatasinya pihak dinas kesehatan
menempatkan seorang mantri khusus lepra yang sampai sekarang masih bertugas di
kampung ini walaupun sudah tidak ada warga yang mengidap penyakit lepra. Penyakit
lain yang umum diderita oleh penduduk, seperti halnya penduduk Papua pada umumnya
adalah penyakit malaria. Di samping itu, penyakit Ispa (saluran pernapasan atas) dan
penyakit yang berhubungan dengan pencernaan makanan juga sering diderita oleh
penduduk. Menurut informasi dari petugas kesehatan kasus-kasus sakit telinga karena
menyelam juga relatif besar. Meskipun kasusnya cukup besar tetapi oleh penduduk
dianggap hal yang biasa dan dianggap sebagai resiko orang bekerja.
Mengenai pola makan, dari pengamatan dan wawancara mendalam diketahui
bahwa penduduk cukup mengkonsumsi ikan segar. Hal ini tidak seperti yang dilakukan
oleh kebanyakan nelayan di daerah lain yang cenderung mengkonsumsi ikan dengan
kualitas yang kurang baik karena kualitas yang baik dijual. Penduduk kampung ini
umumnya mengkonsumsi ikan segar yang berkualitas. Ikan tersebut umumnya dimasak
kuah atau dibakar. Jenis ikan yang dikonsumsi adalah ikan-ikan karang seperti
baronang, ikan ekor kuning, ikan pari. Penduduk jarang yang mengkonsumsi ikan asin
atau ikan-ikan yang kurang baik kualitasnya. Hal tersebut dikarenakan jenis ikan yang
20
Studi Kasus : Kam pung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
laku dan dijual oleh para nelayan adalah hanya ikan napoleon dan ikan karapu. Seluruh
hasil tangkapan di luar ikan Napoleon dan Kerapu, dikonsumsi atau dibagi-bagikan pada
tetangga.
Konsumsi ikan di kalangan penduduk cukup tinggi, hampir setiap kali makan
memakai ikan, bahkan jumlah ikannya dapat dikatakan lebih banyak dari sagu atau
nasinya. Karena komunitas mereka cukup kecil rasa gotong royong diantara mereka
cukup tinggi. Apabila ada keluarga nelayan yang berhalangan (baik karena sakit atau
ada keperluan sehingga mereka tidak bisa mendapatkan ikan tetanggaya akan memberi
sekedar untuk makan. Bagi keluarga yang kepala keluarganya bukan nelayan, seperti
guru dan petugas kesehatan akan mendapat ikan secara cuma-cuma dari penduduk
yang secara bergantian memberinya. Ikan yang dikonsumsi adalah segala jenis ikan
karang dan ikan permukaan lainnya, kecuali ikan napoleon yang harganya cukup mahal.
Sebelum penduduk mengetahui bahwa harga ikan napoleon mempunyai nilai ekonomi
yang cukup tinggi penduduk juga terbiasa mengkonsumsinya sebagaimana halnya
ikan-ikan lainnya. Sekitar tahaun 1994-1995, penduduk mengetahui bahwa harga ikan
tersebut mahal dan banyak permintaan dari pengusaha yang menampung hasil
tangkapan. Oleh karena itu, penduduk tidak mengkonsumsinya lagi dan mulai
menjualnya pada penampung yang sudah mulai beroperasi di wilayah Kepulauan Ayau
pada tahun 1995.
Penduduk jarang mengkonsumsi sayur karena sayuran tidak bisa tumbuh di
kampung ini. Penduduk baru bisa menikmati sayur apabila mereka pergi ke pulau Runi
(ke Kampung Dorehkhar atau Yan Kawir) meminta sayuran kepada kerabat atau famili
yang tinggal di kampung tersebut.
Mobilitas Penduduk
Semua penduduk kampung Meosbekwan adalah Suku Biak dari marga Burdam
yang berasal dari Biak Numfor. Nenek moyang mereka telah bermigrasi dari Biak
Numfor ke Kepulauan Raja Ampat sejak kira-kira pertengahan abad 19. Menurut tradisi
suku Biak perjalanan jauh merupakan prestasi sosial dan prestise tersendiri. Budaya
mengarungi samudera luas adalah bagian yang tak terpisahkan dari ekosistensi
kehidupan mereka. Hal ini tercermin dari ungkapan mereka ‘favis ia fa sinan inggo
besya si babores we sub bondi in sa indo sna snonsnon ro kabasa si do’ yang
terjemahan bebasnya berarti pada masa silam orang-orang tua kami senantiasa
melakukan perjalanan nun jauh ke seberang lautan supaya mereka memperoleh
pengakuan status sosial yang tinggi dan penghargaan di kalangan orang banyak
(Mambraku, 1996).
Migrasi orang Biak ke Kepulauan Raja Ampat umumnya dilakukan untuk mencari
penghidupan baru. Karena kehidupan mereka di tempat asal berkaitan dengan
pemanfaatan sumber daya laut maka di tempat yang baru aktifitas penghidupan yang
dipilih juga berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut. Oleh karena itu umumnya
mereka memilih tempat di pulau – pulau kecil atau di daratan Pulau Waigeo dan tinggal
di daerah pantai.
Migrasi orang Biak Ke Kepulauan Raja Ampat dilakukan secara bergelombang.
Paling sedikit ada empat gelombang dimana masing-masing gelombang terdiri dari
kelompok marga yang berbeda-beda. Gelombang pertama adalah kelompok yang
datang ke Kepulauan Raja Ampat dan bermukim di bagian Selatan daerah Waigeo.
Mereka ini umumnya dari marga Mambrasar, Dimara, Mambraku, Suyai, Rumwaropen.
Kelompok pertama ini dikenal dengan kelompok ‘Betew’. Gelombang ke dua, masuk ke
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
21
Kepulauan Raja Ampat melalui ujung timur Waigeo, kemudian menyeberang ke selatan
dan menetap di pulau Batanta. Marga yang datang pada gelombang ke dua ini
diantaranya adalah Dimora, Soor, Rumbewas, Kapisa, Saleo dan Kabes dan kemudian
oleh orang Biak dikenal sebagai ‘Kafdarun’.
Kelompok ‘Wardo’ dan ‘Usba’ adalah kelompok yang datang pada gelombang ke
tiga. Kelompok ‘Wardo’ bermukim di daratan utara pulau Waigeo, seperti di daerah
Puper, Bonni, Asokweri, Rauki dan Kapadiri. Sementara itu, kelompok ‘Usba’ mendiami
pulau-pulau di Waigeo Utara, termasuk diantaranya di Kepulauan Ayau yang bermukim
di Meosbekwan, Dorekhar, Yenkawir, Rutum dan Reni. Marga yang bermukim disini
antara lain Mayor, Paraibo, Sanadi, Umpes, Mambrisau, Rumbewas, Wanma dan
Burdam yang bermukim di Meosbekwan.
Marga Burdam yang sekarang masih tinggal di kampung ini merupakan generasi
ke empat dari nenek moyang mereka. Keret Burdam yang tinggal di Meosbekwan terdiri
dari lima sub marga yaitu Burdam Sanumbu atau Warwe, Marau, Wakre dan Aom. Sub
marga Sanumbu atau Warwe adalah merupakan kelompok pertama yang datang ke
Meosbekwan yang kemudian disusul berturut-turut oleh Marau, Wakre dan Aom.
Kelompok
yang datang dari daerah Samber dan Numfor datang pada
gelombang ke empat dan bermukim di di daerah Salawati dan Pulau Batanta bagian
Utara. Kelompok yang bermukim di Salawati berasal dari daerah Samber sehingga
dikenal sebagai ‘Samber’. Marga yang masuk dalam kelompok ini antara lain adalah
Bukorpioper, Mampioper, Sanadi, Mambrasar, Mabraku, Rumaseb dan Wospakrik.
Sementara yang menetap di daerah Salawati dikenal sebagai kelompok “Numfor Doreh’.
Meskipun semua orang Biak yang sekarang menetap di Kepulauan Raja Ampat
merupakan pendatang yang bermigrasi secara bergelombang mereka memperoleh
legitimasi dan pengakuan untuk hidup berdampingan dengan kolektifitas etnis asli.
Bahkan bahasa Biak telah menjadi bahasa komunikasi (lingua franka) antara orang Biak
dan etnis asli. Mereka juga menganggap dirinya sebagai orang lokal bukan pendatang
(Mambraku, 1996).
Penduduk Meosbekwan yang telah berpendidikan umumnya telah bermigrasi ke
luar kampung. Keterbatasan lapangan pekerjaan membuat mereka harus pergi
meninggalkan kampung guna mencari penghidupan. Penduduk yang sekarang tinggal
umumnya adalah para orang tua dan anak-anak usia sekolah SD serta balita.
2.4. Sarana dan prasarana sosial dan ekonomi
Jarak Kampung Meosbekwan dengan ibukota Distrik Waigeo Utara (Kabare) dapat
ditempuh sekitar tiga sampai empat jam menggunakan kapal motor berkekuatan 40 PK.
Sementara itu jarak kampung ini dengan ibukota Kabupaten Sorong sekitar 130 mil laut
dan memerlukan waktu sekitar delapan sampai dengan sembilan jam perjalanan dengan
menggunakan kapal motor berkekuatan 40 PK.
Sarana transportasi dari kampung ke ibukota distrik maupun ke ibukota
kabupaten sangat minim. Pada saat ini tidak ada angkutan laut yang secara reguler
melayani penduduk untuk pergi ke ibukota distrik maupun ibukota kabupaten. Karena
kelangkaan sarana transportasi tersebut penduduk secara turun temurun
mengusahakan kapal angkutan secara bersama-sama. Sejak jaman nenek moyang,
penduduk telah mempunyai kebiasaan gotong royong mengusahakan kapal angkutan
untuk seluruh warga kampung. Kapal tersebut digunakan untuk transportasi ke ibukota
distrik atau kabupaten dalam rangka menjual hasil laut maupun belanja kebutuhan
22
Studi Kasus : Kam pung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
sehari-hari seperti beras dan sagu. Sebelum bisa mengusahakan kapal motor,
penduduk menggunakan kapal layar untuk pergi ke ibukota distrik dan kabupaten.
Dengan menggunakan kapal layar untuk pergi ke Kabare memerlukan waktu sedikitnya
satu hari, sedangkan untuk ke Sorong memerlukan waktu paling sedikit sehari semalam.
Pada tahun 1984 penduduk mulai dapat mengusahakan kapal motor secara bersamasama. Sejak saat itu penduduk menggunakan kapal motor untuk transportasi ke ibukota
distrik maupun ibukota kabupaten.
Antara tahun 1990 sampai dengan 1999 ada kapal perintis yang dimiliki oleh
perusahaan swasta yang sempat beroperasi melayani pengangkutan penumpang dan
barang ke Sorong. Pada saat itu masyarakat kampung merasa sangat terbantu dengan
beroperasinya kapal perintis tersebut, meskipun pelayaran hanya diadakan dua kali
dalam satu bulan. Dengan beroperasinya kapal perintis tersebut penduduk bisa menjual
hasil laut secara rutin ke Sorong dengan ongkos yang relatif lebih murah. Ongkos untuk
sekali jalan ke Sorong hanya dikenakan biaya sebesar Rp 7.000. Setelah kapal perintis
tersebut tidak beroperasi lagi penduduk kembali lagi secara bergotong royong
mengusahakan kapal yang dapat memuat sekitar 20 orang dan 3 ton barang dengan
mesin 40 PK. Paling sedikit sebulan sekali kapal tersebut digunakan oleh penduduk
pergi ke Sorong baik untuk belanja maupun menjual hasil laut seperti ikan asin dan
rumput laut. Sekali jalan tiap penumpang dibebani ongkos sebesar Rp 50.000 untuk
mengganti ongkos bahan bakar dan perbaikan kapal.
Di Kepulauan Ayau pada umumnya dan Kampung Meosbekwan pada khususnya
sampai saat ini belum tersedia fasilitas ekonomi seperti pasar atau tempat pelelangan
ikan. Penduduk harus pergi ke ibukota distrik atau ibukota kabupaten untuk belanja
kebutuhan sehari-hari sekaligus menjual hasil laut seperti ikan asin dan rumput laut.
Sementara itu untuk menampung hasil produksi laut berupa ikan segar (ikan napoleon
dan kerapu) telah ada perusahan pengumpul ikan yang menampung. Untuk Kampung
Meosbekwan perusahaan pengumpul ini tergabung dalam PT Mariat Utama yang
berkedudukan di Sorong yang mulai beroperasi tahun 1998. Selain di Meosbekwan,
perusahaan ini juga mempunyai pangkalan lain di Rutum, Meosbekwan, Boni dan
Pupper. Sebelum tahun 1998, nelayan memasarkan ikan napoleon dan kerapu ke
pedagang pengumpul yang ada di Kampung Dorehkar.
Kampung ini belum mempunyai fasilitas penerangan listrik. Penduduk umumnya
menggunakan lampu minyak sebagai alat penerangan rumah tangga. Pada acara-acara
tertentu, terutama yang berkaitan dengan upacara keagamaan yang dilakukan pada
malam hari pihak gereja mengoperasikan generator yang bisa menerangi sebagian
lampu-lampu jalan kampung sekitar tempat upacara. Pada tahun 1991 pihak Puskopal
yang pernah mempunyai izin usaha menangkap ikan di perairan wilayah kampung ini
membantu generator untuk penerangan kampung. Generator ini hanya berfungsi sekitar
satu tahun karena rusak dan penduduk kurang bisa memeliharanya. Di samping itu,
sering pula tidak bisa beroperasi karena sulitnya mendapatkan bahan bakar.
Mengenai fasilitas pendidikan, sampai tahun 2001 sekolah yang ada adalah
sekolah dasar yang didirikan pada tahun 1949. Sekolah Dasar ini adalah merupakan
sekolah Yayasan Kristen-Protestan (Gereja Kristen Injili). Guru yang bertugas di sekolah
ini ada dua orang, satu guru umum dan satu guru agama yang menetap di kampung ini.
Rata-rata tiap kelas muridnya sekitar 7 sampai 10 orang. Untuk fasilitas pendidikan
tingkat SLTP terdapat di kampung Dorehkhar yang baru didirikan pada tahun 1999.
Kampung Dorehkhar terletak di pulau Runi, pulau terdekat dari Pulau Meos Bekwan.
Perjalanan ke pulau Runi memerlukan waktu sekitar 1 jam dengan menggunakan kapal
berkekuatan sekitar 15 PK. Umumnya anak-anak yang melanjutkan ke jenjang
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
23
pendidikan tingkat SLTP tinggal di Kampung Dorehkhar dengan menumpang pada famili
atau kenalan orang tuanya. Sebelum tahun 1999 penduduk yang melanjutkan
pendidikan ke tingkat SLTP harus pergi ke ibukota Distrik (Kabare) atau di kota Sorong).
Sementara itu fasilitas pendidikan tingkat SLTA yang terdekat terdapat di Distrik Waigeo
Selatan di kepulauan Raja Ampat. Namun demikian penduduk umumnya melanjutkan
pendidikan tingkat SLTAnya ke kota Sorong karena sama-sama harus pergi dari
kampung dan transportasi ke Sorong lebih mudah dibandingkan ke Waigeo Selatan.
Fasilitas pelayanan kesehatan yang ada adalah seorang mantri kesehatan.
Mantri kesehatan ini pada awalnya bertugas sebagai tenaga kesehatan khusus untuk
menangani pemberantasan penyakit lepra pada tahun 1994. Meskipun penyakit lepra
sudah dinyatakan tidak ada di kampung tersebut karena sampai sekarang belum ada
tenaga kesehatan lainnya yang ditugaskan maka mantri tersebut masih memberikan
pelayanan kesehatan umum kepada masyarakat. Pada awal tahun 2000 telah
ditempatkan satu bidan desa, tetapi karena sangat terpencil bidan tersebut hanya
bertahan satu bulan saja dan kemudian pindah ke Kota Sorong.
Meskipun telah ada satu mantri yang bersedia memberikan pelayanan
kesehatan, namun masyarakat belum memanfaatkannya secara optimal. Alasan mereka
kurang memanfaatkan pelayanan yang diberikan mantri karena menganggap bahwa
mantri tersebut bukan yang secara resmi ditugaskan dan dahulunya hanya menangani
masalah penyakit lepra. Penduduk cenderung untuk menggunakan obat-obatan
tradisional dari daun-daunan untuk menyembuhkan penyakit yang diderita. Di samping
menggunakan obat-obatan tradisional penduduk juga mengatasi segala macam
penyakit dengan bantuan doa.
2.5. Kelembagaan Sosial, Ekonomi dan Budaya
Kelembagaan sosial yang menonjol di Kampung Meosbekwan adalah organisasi
gereja. Bagi penduduk di Kampung Meosbekwan, gereja mempunya peranan yang
sangat dominan, bukan hanya kegiatan yang menyangkut keagamaan, tetapi juga
dalam aspek lain yang berhubungan dengan aspek sosial dan ekonomi. Sementara itu
kelembagaan yang umumnya ada di setiap kampung seperti Lembaga Ketahanan
Masyarakat Desa (LKMD) kegiatannya belum bisa berjalan dengan semestinya. Setelah
ada perubahan dari LKMD ke Badan Perwakilan Desa (BPD), sampai pertengahan
tahun 2001 lembaga ini belum terbentuk.
Agama Kristen pertama kali masuk ke Kampung Meosbekwan pada tahun 1934.
Menurut seorang narasumber, misionaris yang datang ke Kampung Meosbekwan
adalah marga Mirino yang berasal dari Yenkawir. Gereja yang di kawasan kepulauan
Ayau merupakan bagian dari Gereja Kristen Injili (GKI) yang berpusat di Jayapura dan
dibawah binaan (klasis) GKI Sorong. Sampai saat ini tidak ada pendeta atau pun guru
jemaat yang khusus melayani jemaat di Kampung Meosbekwan.
Struktur organisasi gereja di Kampung Meosbekwan disesuaikan dengan
pengelompokan masyarakat. Setiap kelompok marga mempunyai seorang perwakilan
yang dipilih oleh anggotanya untuk menjadi majelis. Kemudian diantara majelis tersebut
dipilih seorang yang diangkat sebagai ketua majelis yang berperan sebagai pemimpin
ibadah minggu.
Untuk pembinaan, anggota jemaat dibagi ke dalam empat kelompok
persekutuan, Persekutuan Kaum Bapa (PKB), Persekutuan Wanita (PW), Persekutuan
Angkatan Muda (PAM) dan Persekutuan Anak dan Remaja (PAR). Kegiatan rutin dari
24
Studi Kasus : Kam pung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
masing-masing kelompok ini adalah melakukan ibadah setiap minggu sore dan latihan
paduan suara. Tempat ibadah sore adalah di rumah anggotanya secara bergiliran.
Selain mengurusi kegiatan yang berhubungan dengan masalah keagamaan, kelompok
persekutuan juga mempunyai fungsi ekonomi. Masing-masing anggota kelompok,
termasuk anak-anak mempunyai kewajiban untuk membayar iuran setiap bulannya.
Iuran anggota PW sebesar Rp 20.000 per tahun, anggota PKB sebesar Rp 30.000 dan
iuran PAR sebesar Rp 15.000. Iuran tersebut digunakan untuk kegiatan organisasi dan
kepentingan anggotanya, termasuk bila ada yang kekurangan uang, dapat meminjam ke
organisasi tanpa dipungut bunga.
Jemaat gereja Meosbekwan memiliki sebuah perahu besar (bodi besar) yang
dikelola bersama-sama. Perahu ini biasanya dipergunakan oleh penduduk untuk pergi
ke Sorong dan ke Kabare dengan menggunakan motor yang dimiliki oleh kelompok
marga. Untuk ke Sorong setiap orang di pungut bayaran Rp. 80.000 pp sebagai
pengganti bahan bakar. Tradisi memiliki kapal secara bersama-sama ini telah ada sejak
jaman nenek moyang. Body besar dibuat dengan cara bergotong-royong.
Masyarakat Kampung Meosbekwan mengenal suatu sistem untuk mengelola
sumber daya alam yang dikenal dengan nama ‘sasi’ atau dalam bahasa lokal disebut
‘kabus’. Penetapan dan penggunaan ‘sasi’ seperti sama dengan masyarakat di Maluku.
‘Sasi’ diterapkan dengan tujuan agar pemanfaatan potensi alam dapat berkelanjutan.
‘Sasi’ merupakan aturan dan strategi sosial untuk mengelola lingkungan secara efektif,
guna memastikan:
1. Kesempatan yang adil dan sama bagi masyarakat lokal untuk mendapatkan hasil
dan manfaat dari kawasan laut dan darat yang dijaga,
2. Kesinambungan pengelolaan sumber daya alam yang tersedia,
3. Kesempatan yang sama bagi masyarakat lokal untuk memperoleh manfaat
tambahan dari biota laut yang ada ( Mayalibit, 1994).
Dalam ‘sasi’ dikenal istilah buka dan tutup ‘sasi’. Tutup ‘sasi’ adalah pelarangan
mengambil/mengeksploitasi sumber daya yang di ‘sasi’ selama kurun waktu tertentu.
Buka sasi adalah masa untuk mengambil/mengeksploitasi sumber daya yang di ‘sasi’
secara bersama-sama. Hasil ini biasanya digunakan untuk keperluan bersama.
Sumber daya darat yang sering di sasi adalah kopra, sedangkan untuk sumber
daya laut adalah lola dan lobster. Ada dua macam sasi, yaitu ‘sasi’ adat dan ‘sasi’
gereja. ‘Sasi’ adat adalah sasi yang dibuat oleh kelompok adat, sedangkan sasi gereja
adalah ‘sasi’ yang di sahkan oleh gereja. Menurut seorang nara sumber, sekarang ini
‘sasi’ adat sudah tidak di pergunakan lagi, karena tidak ada sangsi yang mengikat.
Sekarang lebih sering digunakan sasi gereja. Hal ini disebabkan ‘sasi’ gereja lebih
efektif. Bila menggunakan ‘sasi’ gereja orang-orang lebih mentaatinya, sedangkan ‘sasi’
adat kurang ditaati.
Selain lembaga gereja, masyarakat juga mempunyai kelompok adat yang
anggotanya berdasarkan kelompok marga yang dikenal dengan sebutan ‘keret’. Setiap
‘keret’ mempunyai seorang ketua, biasanya orang yang dianggap tua atau yang
dituakan di kelompok tersebut.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
25
Bab III
Pengelolaan Sumberdaya Laut
Pengelolaan wilayah dan sumberdayanya di kawasan laut Indonesia dilakukan
oleh tiga pihak, yaitu: pemerintah, pengusaha dan masyarakat. Pengelolaan wilayah laut
yang dilakukan oleh pemerintah terwujud dalam berbagai peraturan perundangan
seperti larangan penangkapan ikan dengan potasium dan bom, larangan penambangan
karang, pengaturan tentang wilayah tangkap serta berbagai bentuk peraturan
pengelolaan wilayah laut yang lain. Dalam perkembangannya, sistem pengelolaan yang
dibuat oleh pemerintah dijadikan sebagai acuan dalam pengelolaan sumberdaya laut di
seluruh kawasan laut wilayah Indonesia. Dengan demikian, pengelolaan wilayah laut
yang dilakukan oleh pemerintah bersifat top-down. Ini berarti bahwa semua kegiatan
pengelolaan sumberdaya laut mulai dari pembuatan kebijakan, perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi dan monitoring dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah, tanpa
melibatkan partisipasi masyarakat lokal yang sehari-hari hidupnya dari hasil
pemanfaatan sumberdaya laut.
Selain dilakukan oleh pemerintah, pengelolaan wilayah laut dilakukan juga oleh
pengusaha yang ada kaitannya dengan sumberdaya laut. Dengan berbekal izin dari
pemerintah, beberapa pengusaha mengklaim suatu wilayah laut tertentu dan
mengeksplorasi sumberdaya yang ada di dalamnya serta melarang pihak lain (baca:
masyarakat nelayan di sekitarnya) untuk memasuki wilayah tersebut. Sering pula
diketemukan para pengusaha memiliki hak eksklusif (baca: monopoli) dalam membeli
dan menentukan harga komoditas yang dihasilkan oleh masyarakat dengan
memberikan bantuan modal usaha dan alat tangkap.
Jauh sebelum pemerintah dan industri melakukan pengelolaan wilayah laut,
masyarakatlah yang pertama-tama melakukannya, yakni di sekitar tempat tinggal
mereka yang sekaligus sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Pengelolaan wilayah laut yang dilakukan oleh masyarakat, sampai saat ini masih
dipraktekkan di kawasan Timur Indonesia, seperti sasi di Maluku, pele karang di
kabupaten Jayapura, Irian Jaya, malombo di Pulau Sangihe dan paroppo di Sulawesi
Selatan. Walaupun pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat dirasakan sangat
menguntungkan bagi mereka, namun dari pihak pemerintah dianggap merugikan. Oleh
pemerintah, praktek yang dilakukan oleh masyarakat akan menganulir eksistensi
sebuah izin usaha penangkapan yang berarti pula mengurangi pendapatan asli daerah
sekaligus juga menurunkan kewibawaan pemerintah.
Uraian berikut ini akan membahas secara khusus pengelolaan sumberdaya laut
yang dilakukan oleh masyarakat Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten
Sorong, Irian Jaya. Namun demikian tidak dapat dihindarkan bahasan akan menyangkut
pula kawasan Kepulauan Ayau, karena wilayah ini, baik lingkungan fisik maupun
sumberdaya alamnya serupa.
3.1. Analisis Stakeholder
Uraian sebelumnya telah menggambarkan bahwa pengelolaan wilayah laut
dilakukan oleh tiga pihak. Masing-masing pihak memiliki pandangan yang beragam
terhadap lingkungan wilayah laut, sehingga dalam memperlakukannya pun menjadi
27
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
berbeda pula. Perbedaan itu sering menimbulkan konflik dalam memperlakukan wilayah
laut yang pada gilirannya berdampak pada kerusakan lingkungan laut dan over fishing.
Dalam realitasnya yang disebut pemerintah adalah jamak. Selain terdiri dari
berbagai kelembagaan yang menangani sektor-sektor tertentu yang berkaitan dengan
pengelolaan wilayah laut, seperti Departemen Kelautan dan Perikanan, Kantor Menteri
Negara Lingkungan Hidup, Departemen Kehutanan dan Kantor Menteri Negara
Kebudayaan dan Pariwisata. Pemerintah juga memiliki hirarkhi yang bersifat vertikal,
mulai dari tingkat pusat, propinsi, kabupaten, kecamatan sampai dengan tingkat desa.
Peran pemerintah dalam pengelolaan wilayah dan sumberdaya laut pada
umumnya sebagai pembuat peraturan, fasilitator untuk pembangunan sarana dan
prasarana (darmaga, TPI, kapal penangkap ikan) sekaligus juga memegang peran
sebagai pelaksana program dan pengawas atas peraturan perundangan yang
dibuatnya. Di wilayah laut di Kepulauan Ayau (di dalamnya termasuk Kampung
Meosbekwan) peran pemerintah yang tampak menonjol dalam pengelolaan adalah
dalam pembuatan peraturan yang di keluarkan oleh tingkat pusat, propinsi dan
kabupaten. Peraturan perundangan yang dimaksud berupa Surat Keputusan Menteri
Pertanian No. 803/KPTS/07-210/12/94 tanggal 13 Desember 1994 yang mengatur
penyerahan urusan pemerintah pusat kepada daerah otonomi tingkat II dalam
menerbitkan izin usaha perikanan bagi nelayan yang memiliki kapal ikan berkapasitas di
bawah 10 GT. Selanjutnya, Peraturan Daerah Propinsi Dati I rI ian Jaya No. 12 tahun
1995 yang mengatur penyerahan sebagian urusan Pemerintah Dati I untuk bidang
perikanan kepada Dati II Sorong. Perda tersebut ditindaklanjuti dengan SK Gubernur
Propinsi Dati I Irian Jaya dalam bidang usaha perikanan kepada Pemda Dati II Sorong
untuk menerbitkan izin usaha perikanan bagi kapal ikan yang berkapasitas 10 s/d 30
GT. Masih dalam kaitannya dengan izin usaha perikanan, Pemda Dati II Sorong
mengeluarkan SK Bupati No. 239 tahun 2000. Dalam SK itu diatur tentang perizinan
usaha perikanan yang diwajibkan dan dikecualikan untuk memiliki IUP serta larangan
pemegang IUP menggunakan alat atau bahan yang dapat merusak atau
membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan.
Khusus mengenai larangan penggunaan alat atau bahan yang dapat merusak
sumberdaya ikan pada level pemerintahan paling bawah dituangkan dalam Surat
Kepala Wilayah Distrik Waigeo Utara No. 300/329/98. Pada surat ini secara tegas
dinyatakan bahwa eksploitasi sumberdaya laut tidak boleh menggunakan potasium, akar
bore/akar tuba dan bahan peledak di seluruh wilayah Distrik Waigeo Utara.
Peraturan perundangan lain berupa Perda Kabupaten Dati II Sorong No. 11
tahun 1996 tentang pelelangan ikan. Pada intinya Perda itu mengatur penempatan
pelelangan ikan, jumlah retribusi yang dipungut kepada nelayan dan pembeli serta
penggunaan pungutan retribusi. Jumlah pungutan retribusi yang harus dibayarkan oleh
nelayan dan pembeli sebesar 6% (suatu besaran yang lebih tinggi dari rata-rata
pungutan retribusi di Pulau Jawa, sebesar 5 %). Sementara penggunaan retribusi
paling besar untuk Pemda (65 %), biaya operasional TPI (25 %) dan untuk
kesejahteraan nelayan hanya 10 %. Perda ini sama sekali tidak efektif untuk masyarakat
nelayan di Kepulauan Ayau, sebab jenis sumberdaya yang dijual dalam keadaan hidup
dan biasanya secara langsung menjual kepada pembeli yang datang ke daerah mereka.
Dalam laporan tahunan Dinas Perikanan Dati II Sorong tahun 2000 menyebutkan
bahwa usaha-usaha yang telah dilakukan oleh Dinas Perikanan dalam pengelolaan
sumberdaya laut yang didasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku adalah:
1. Melarang penggunaan alat atau bahan yang dapat merusak atau mencemari
lingkungan laut.
28
Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
2. Hanya menerbitkan izin usaha penangkapan ikan kerapu dan napoleon kepada
masyarakat nelayan lokal.
3. Memberikan rekomendasi usaha pengumpulan ikan kerapu dan napoleon dengan
memenuhi syarat: memiliki kelompok nelayan binaan yang berasal dari daerah
setempat melalui kerjasama dalam bentuk pola PIR.
4. Melakukan pembatasan perdagangan ikan napoleon hanya ukuran 1-3 kg baik
untuk antar pulau maupun untuk antar daerah.
5. Hanya merekomendasikan penggunaan alat tangkap ikan dan udang yang ramah
lingkungan.
6. Mengarahkan usaha budidaya ketimbang usaha penangkapan di laut untuk
mengurangi dampak penggunaan alat tangkap yang merusak.
Seperti halnya dengan pemerintah, pengusaha juga tidak dapat dikatakan
tunggal. Selain perbedaan bahan baku yang mendasari perbedaan kepentingan, juga
tidak menutup kemungkinan perbedaan kepentingan antara pengusaha satu dengan
lainnya walaupun bahan baku yang diusahakan sama.
Berbeda dari pemerintah, pengusaha (pengumpul ikan kerapu dan napoleon
serta pedagang rumput laut) sangat berkepentingan terhadap terjaminnya ketersediaan
sumberdaya laut untuk kelangsungan usahanya. Itulah sebabnya pihak pengusaha
dalam praktiknya memberikan bantuan alat-alat penangkapan atau bantuan bahanbahan sekaligus bibit untuk budidaya rumput laut dan bahkan sampai memberikan
bantuan untuk memenuhi kebutuhan sembilan bahan pokok para nelayan. Dengan
praktik semacam itu terciptalah hubungan saling ketergantungan antara pengusahanelayan yang tidak setara. Jika dilihat dari stratifikasinya, pihak pengusaha memiliki
kedudukan yang lebih tinggi daripada nelayan, karena kemudian pengusaha dapat
menentukan secara sepihak penetapan harga sumberdaya laut yang menguntungkan
dirinya dan dirasakan merugikan oleh nelayan. Dengan demikian kepentingan utama
para pengusaha adalah memperoleh keuntungan sebesar mungkin dengan biaya yang
sangat rendah.
Dalam realitasnya, apa yang disebut masyarakat itu sangat heterogen. Dalam
perspektif terbatas, masyarakat bisa diartikan sebagai orang-orang yang kehidupannya
tergantung langsung pada sumberdaya laut, yaitu nelayan. Akan tetapi nelayan itu
sendiri tidaklah tunggal, karena di dalamnya terdapat perbedaan teknologi yang
digunakan, perbedaan sumberdaya yang ditangkap, dan perbedaan etnik. Selain itu,
masyarakat yang kehidupannya tergantung pada hasil laut juga bukan hanya yang
langsung mengeksploitasi sumberdaya laut, melainkan juga mereka yang tidak secara
langsung memperoleh manfaat dari pengelolaan lingkungan laut, seperti pedagang ikan.
Dengan demikian yang disebut masyarakat juga meliputi pihak-pihak lain yang
berkepentingan terhadap kelestarian lingkungan hidup, seperti lembaga swadaya
masyarakat.
Namun demikian, khusus untuk nelayan di Kepulauan Ayau, perbedaanperbedaan seperti telah disebutkan di atas tidak tampak menonjol. Artinya, nelayan di
Kampung Meosbekwan dalam mengeksploitasi sumberdaya laut menggunakan semua
alat yang umum digunakan oleh masyarakat nelayan. Pada hari ini seorang nelayan
menggunakan pancing, tetapi keesokan hari bisa menggunakan senapan dan begitu
seterusnya pada hari yang lain. Pertimbangan pokok nelayan dalam menggunakan alat
tangkap tertentu sangat tergantung pada sumberdaya yang hendak ditangkap. Begitu
juga halnya dengan etnik, masyarakat Meosbekwan dapat dikatakan sebagai etnik yang
sama bahkan keret yang sama pula. Dengan kata lain nelayan Kampung Meosbekwan
29
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
dan umumnya di Kepulauan Ayau dapat dikatakan homogen dalam menggunakan alat
tangkap dan etnik, sehingga kepentingan mereka dapat dianggap tunggal, yaitu
menangkap ikan dan budidaya rumput laut, memproses menjadi bahan jadi/setengah
jadi sampai dengan memasarkan sumberdaya laut sebagai upaya untuk memenuhi
kebutuhan hidup.
3.2. Pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya laut
3.2.1. Pengetahuan Tentang Terumbu Karang
Dari hasil survai terhadap masyarakat Meosbekwan berkaitan dengan istilah
“terumbu karang”, tampak jelas mereka sangat memahaminya. Mereka memiliki
kosakata bosen yang sama artinya dengan terumbu karang. Hal itu dapat dimengerti,
sebab wilayah laut Kepulauan Ayau merupakan wilayah terumbu karang terbesar di
wilayah Kabupaten Dati II Sorong, yaitu 168.380 ha (Laporan Tahun 2000 Dinas
Perikanan Dati II Sorong, h. 5). Dari pengamatan di lapangan, keberadaan bosen di
pulau-pulau yang merupakan gugusan Kepulauan Ayau keberadaannya mulai dari
pinggir pantai sampai dengan dua mil ke tengah laut. Dengan demikian setiap pulau di
kawasan itu dikelilingi oleh hamparan terumbu karang.
Masyarakat Meosbekwan mengenal dengan baik beberapa jenis karang dan
sumberdaya laut lainnya yang hidup di dalamnya. Dengan cara menunjukkan gambargambar yang ada dalam buku Mengenal Terumbu Karang Indonesia, Buku Panduan
Lapangan Nasib Terumbu Karang di Tangan Anda yang diterbitkan oleh Sekretariat
Coremap, sejumlah narasumber dapat dengan mudah mengidentifikasi berbagai jenis
terumbu karang yang ada di wilayah perairan Kepulauan Ayau. Tabel berikut
menunjukkan jenis-jenis terumbu karang dan nama lokal yang dikenal oleh masyarakat.
Tabel 3.1.
Nama-nama Sumberdaya Laut yang Dikenal Masyarakat Meosbekwan
No
Nama Indonesia
1
2
3
4
5
6
7
8
Karang mati
Karang hidup
Karang
Karang (dengan batang besar)
Bulu seribu
Karang akar bahar
Kipas laut
Karang
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
Lili laut
Karang
Lili laut
Napoleon
Kerapu bebek
Udang batu/lobster
Baronang lada
Lingkis
Gurita
Ubur-ubur
Bintang laut linkia
Triton
Cumi-cumi
Nama Lokal
Bosen inmar
Bosen ibie
Ros
Ros kenapure
Romanam
Kasiombite
Kasiombit fanandike
Ros wempin mawai atau
wempin nike
Kankung rame
Mannawe
Mansiriap
Inmaming
Indaf arkar
Amos
Indos
Insarek
Kait komrof
Kangkun
Mansawandum
Kuwur
Fara
Nama Ilmiah
Stylophora
Stylophora
Acanthaster
Ellisella
Subergorgia
Seriatopora
Crinoid
Montipora
Lamprometra
?
Ephinephelus
Panulirus Penicillatus
Siganus
Siganus
Octopus
Mastigias
Linckia
Charonia
Loligo Spp
Sumber: Wawancara Mendalam dengan Beberapa Narasumber di Kepulauan Ayau,
COREMAPLIPI, 2001.
30
Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Mengenai pengetahuan tentang kegunaan terumbu karang hasil survai
menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa terumbu karang
merupakan sumber berbagai bahan baku (74,3 %). Selain sebagai sumber bahan baku,
sebagian besar responden juga setuju bahwa terumbu karang bernilai ekonomi,
perdagangan dan industri (54,3 %). Berkaitan dengan kegunaan terumbu karang
sebagai tempat ikan hidup, bertelur dan mencari makan hanya sekitar 22,9 % yang
menjawab setuju. Pengetahuan responden terhadap kegunaan terumbu karang sebagai
pelindung pantai dari ombak dan badai, dan melestarikan keanekaragaman hayati serta
sebagai obyek pariwisata relatif rendah. Hanya sekitar 8,6 persen yang menjawab
bahwa terumbu karang berguna untuk melindungi pantai dari ombak. Sementara itu
responden yang menjawab bahwa terumbu karang berguna untuk keanekaragaman
hayati dan sebagai objek pariwisata masing-masing hanya sekitar 3 persen.
Dengan pengetahuan seperti tersebut di atas menunjukkan bahwa masyarakat
yang mata pencahariannya sebagai nelayan, menyadari bahwa sebagian besar bahan
baku untuk kepentingan hidupnya diperoleh dari terumbu karang. Begitu juga halnya
dengan pengetahuan bahwa terumbu karang sebagai tempat ikan hidup, bertelur dan
mencari makan, adalah keadaan yang sangat biasa mereka lihat dalam usaha
“mencari”. Namun mereka belum paham bahwa terumbu karang juga berguna untuk
menahan ombak, melestarikan keanekaragaman hayati serta memiliki potensi untuk
ekoturisme.
Tabel 3.2.
Pengetahuan Masyarakat Tentang Kegunaan Terumbu Karang (N=35)
No
Pengetahuan Tentang Kegunaan Terumbu
Persen
Karang
1.
Sumber berbagai bahan baku
74,3
2.
Nilai ekonomi, perdagangan dan industri
54,3
3.
Tempat ikan hidup, bertelur dan mencari makan
22,9
4.
Melindungi pantai dari ombak dan badai
8,6
5.
Melestarikan keanekaragaman hayati
2,9
6.
Obyek pariwisata
2,9
Sumber: Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2001
Pengetahuan mengenai dampak dari kerusakan terumbu karang sangat terkait
dengan pengetahuan mengenai kegunaan terumbu karang. Hal tersebut terlihat dari
cukup besarnya proporsi responden (77,1 % dan 57 %) yang mengatakan bahwa jika
terumbu karang rusak bahan baku akan berkurang dan nilai ekonomi menurun.
Dengan landasan pengetahuan yang dimiliki oleh responden semacam itu dapat
menuntun mereka kepada sikap dan prilaku positif dalam mengelola lingkungan laut. Hal
tersebut dikarenakan pada saat ini dan pada masa yang akan datang, satu-satunya
sumber pendapatan masyarakat adalah dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada
di alam sekitarnya.
31
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Tabel 3.3.
Pengetahuan Responden Mengenai Dampak Dari Kerusakan Terumbu Karang
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Pengetahuan Tentang Dampak Dari Kerusakan
Terumbu Karang
Bahan baku menurun
Nilai ekonomi menurun
Jumlah dan jenis ikan berkurang
Kerusakan pantai
Keanekaragaman hayati berkurang
Merusak potensi pariwisata
Persen
N= 35
77,1
57,1
22,9
11,4
5,7
2,9
Sumber: Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2001
Menurut persepsi masyarakat, degradasi kulitas lingkungan terumbu karang di
lingkungan perairan kawasan Kepulauan Ayau sudah terjadi. Hal ini tercermin dari
cukup besarnya (82,9 %) proporsi responden yang menyatakan bahwa kondisi terumbu
karang di wilayah perairan Kepulauan Ayau pada saat ini dalam kondisi rusak.
Indikasi telah terjadi kerusakan tersebut sejalan dengan hasil wawancara
mendalam dengan beberapa informan. Menurut mereka, di beberapa tempat ditemukan
bosen inmar (karang mati), terutama di bagian selatan dan utara Pulau. Kerusakan itu
karena ulah para pengusaha menggunakan alat tangkap yang merusak, seperti
penggunaan racun sianida yang dilakukan oleh para penangkap ikan Napoleon dari
perusahaan Grevis pada tahun 1990 sampai dengan 1993 dan Puskopal serta akibat
pengeboman yang dilakukan oleh nelayan dari Ternate.
Namun demikian ada responden yang mengatakan sebaliknya, yaitu kondisi
terumbu karang lima tahun lalu lebih buruk (8,6 %) dari kondisi sekarang. Pendapat
terakhir ini agak berlawanan dengan hasil wawancara mendalam seperti telah
disebutkan di atas, yakni dengan ditemukannya kerusakan terumbu karang yang
sebelumnya diketahui dalam kondisi baik. Bisa jadi jawaban ini muncul bukan berasal
dari suatu perbandingan antara fakta keadaan terumbu karang masa lalu dengan masa
kini. Diduga responden hanya memiliki pengetahuan kondisi terumbu karang pada masa
lalu saja, yaitu ketika awal-awalnya sumberdaya laut (napoleon, kerapu dan lobster)
memiliki nilai ekonomis tinggi, sehingga
para nelayan yang bekerja/memasok
sumberdaya laut tersebut kepada perusahaan pengumpul hasil laut, mengeksploitasi
secara intensif dengan menggunakan racun sianida. Kini mereka tidak lagi secara aktif
“mencari” karena alasan umur dan kesehatan, sehingga tidak tahu persis keadaan
terumbu karang saat ini.
Tabel 3.4.:
Pengetahuan tentang kondisi terumbu karang saat ini dibandingkan dan
Lima Tahun Yang Lalu (N=35)
Pengetahuan Mengenai Kondisi Terumbu Karang Pada Saat ini dan
Lima Tahun yang Lalu
• Kondisi Terumbu Karang Pada Saat Ini
Baik
Kurang Baik
Rusak
• Kondisi Terumbu Karang Lima Tahun yg Lalu
Baik
Kurang Baik
Rusak
Sumber:
32
Persentase
N= 35
8,6
82,9
5,7
22,9
68,6
8,7
Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2001
Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
3.2.2. Pengetahuan Tentang Alat Tangkap
Dalam hal pengetahuan mengenai alat tangkap, responden dapat membedakan
secara jelas antara alat tangkap yang tidak merusak dengan alat tangkap yang merusak
terumbu karang. Dari variasi jawaban jenis-jenis alat tangkap, sebagian besar
responden memiliki pengetahuan yang benar, sehingga diharapkan di masa mendatang
dengan berbekal pengetahuannya itu mereka dapat menjaga lingkungan lautnya.
Sebagian besar responden menyatakan bahwa alat tangkap yang digolongkan dapat
merusak adalah: bom (94,3 %) dan racun/sianida/akar bore (71,4 %), sedangkan alat
tangkap bagan, bubu dan jaring dapat dianggap tidak merusak, karena proporsinya
sangat kecil.
Tabel 3.5:
Pengetahuan Responden Tentang Jenis Alat Tangkap yang Merusak N=
35
Jenis Alat Tangkap yg Merusak
Persentase
Bom
94,3
Racun/sianida/akar bore
71,4
Jaring
11,4
Bagan
5,7
Bubu
2,9
Sumber: Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, PPK-LIPI, 2001.
Sebagian besar responden telah mengetahui bahwa alat tangkap bom dianggap
sebagai alat yang paling merusak terumbu karang, walaupun hanya seorang responden
yang mengakui pernah menggunakan bom. Dari wawancara dengan beberapa
narasumber, diperoleh informasi bahwa pengetahuan itu didapat dengan melihat
langsung dampak dari penggunaan bom, yakni sewaktu mereka melakukan
pengamatan kerusakan setelah para pengebom yang ditengarai berasal dari Ternate
berlalu dari lokasi pengeboman. Pada intinya mereka katakan, bom memiliki daya rusak
yang luar biasa dan seketika dan tidak ada sumberdaya laut yang dapat bertahan hidup
dalam radius lima meter dari pusat ledakan.
Responden juga memiliki pengetahuan tentang racun/sianida/akar bore yang
digolongkan sebagai alat tangkap yang paling merusak setelah bom. Suatu
pengetahuan yang signifikan, karena akar bore merupakan alat tangkap yang secara
tradisi digunakan untuk menangkap ikan dasar/karang. Dari pengalamannya itu mereka
tahu persis akibat dari penggunaan akar bore, yaitu ikan-ikan kecil mati dan karang di
sekitar tempat biasanya mereka membuang akar bore menjadi rusak. Akan tetapi,
kerusakan terumbu karang yang diakibatkan oleh akar bore tidaklah separah yang
diakibatkan oleh sianida atau potas.
Sejalan dengan pengetahuan responden mengenai alat tangkap yang merusak
terumbu karang di atas, responden juga memiliki pengetahuan yang signifikan terhadap
peraturan pelarangan penggunaan bom dan sianida/akar bore yang ditunjukkan dengan
besarnya proporsi responden yang memberi jawaban “ya”, yaitu berturut-turut (93,9
persen) dan (82,9 persen. Sementara itu untuk larangan pengambilan karang (77,1
persen) dan larangan menggunakan pukat harimau besarnya (57,1 persen). Hal yang
sama berlaku untuk pengetahuan responden terhadap sanksi pelanggaran penggunaan
bom yang proporsinya (81,8 persen) dan (69 persen) untuk sianida/akar bore.
Pendapat responden menyangkut larangan penggunaan bom, sianida/akar bore
dan pukat harimau proporsinya relatif besar, yaitu berturut-turut 100 persen, 96,6 persen
dan 90 persen. Data ini mengindikasikan bahwa mas yarakat sudah memiliki kesadaran
menolak penggunaan alat tangkap yang dapat merusak terumbu karang.
33
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Pengetahuan lainnya yang dimiliki oleh responden adalah menyangkut
pengetahuan mereka terhadap orang lain menggunakan alat tangkap bom, sianida/akar
bore dan pukat harimau. Untuk alat tangkap bom, akar bore dan pukat harimau ternyata
tidak seorang responden pun yang menyatakan mengetahui orang lain menggunakan.
Demikian pula dengan alat tangkap akar bore, mereka menyatakan belum pernah
mengetahui orang lain menggunakannya. Hasil survai ini berbeda dengan hasil
wawancara mendalam di mana beberapa narasumber menyatakan bahwa mereka
seringkali melihat dan mendengar orang lain menggunakan bom di sekitar permukiman
mereka.
Berkaitan dengan perilaku responden da lam menggunakan ketiga alat tangkap
tersebut, diperoleh angka-angka: hanya 2,9 % responden mengaku pernah
menggunakan bom, dan tidak ada responden yang pernah menggunakan pukat
harimau. Dari paparan data di atas dapat dijelaskan bahwa ketidaktahuan responden di
Meosbekwan, dan bahkan mungkin di seluruh kawasan Kepulauan Ayau dalam
menggunakan pukat harimau sangat masuk akal, sebab sudah sejak lama
pengoperasian pukat harimau dilarang, di samping pukat harimau tidak cocok
dioperasikan pada kawasan yang berkarang. Hal yang perlu mendapat perhatian adalah
tidak adanya responden yang menyatakan menggunakan akar bore sebagai alat untuk
menangkap ikan. Hasil survai ini sangat berbeda dengan hasil wawancara mendalam
yang dapat mengungkapkan adanya kebiasaan masyarakat menggunakan akar bore
untuk menangkap ikan napoleon. Keengganan responden untuk secara terus terang
menyatakan menggunakan akar bore untuk menangkap ikan diduga karena masyarakat
‘takut’ dianggap melanggar peraturan karena mereka sudah mengetahui adanya
larangan penggunaan akar bore tersebut. Penggunaan akar bore tetap berlangsung
hingga kini karena mereka tidak mempunyai alternatif alat lain untuk menangkap ikan
napoleon hidup.
3.2.3. Pengetahuan Tentang Peraturan Berkaitan Dengan Sumber Daya Laut.
Sejalan dengan pengetahuan responden mengenai alat tangkap yang merusak
terumbu karang di atas, responden juga memiliki pengetahuan yang signifikan terhadap
peraturan pelarangan penggunaan bom, sianida/akar bore dan pukat harimau. Hampir
semua responden (94 persen) mengetahui adanya larangan penggunaan bom dan 83
persen mengatakan mengetahui larangan penggunaan sianida/akar bore. Sedangkan
responden yang mengetahui adanya larangan menggunakan pukat harimau lebih sedikit
(57 persen). Pengetahuan responden mengenai larangan penggunaan bom sejalan
dengan pengetahuan mereka mengenai adanya sanksi terhadap pelanggaran peraturan
tersebut. Semua responden yang mengetahui adanya larangan penggunaan bom
mengaku mengetahui adanya sanksi pelanggaran peraturan tersebut. Sedangkan
mereka yang mengetahui adanya larangan penggunaan sianida/akar bore dan pukat
harimau, 69 persen dan 50 persen (berturut-turut) mengetahui sanksi terhadap
pelanggaran penggunaan alat tangkap tersebut.
Pada dasarnya, penduduk Kampung Meosbekwan mempunyai kesadaran yang
cukup baik terhadap perlunya melestarikan sumberdaya laut, khususnya terumbu
karang. Hal ini tercermin dari pendapat mereka yang umumnya menyetujui adanya
larangan terhadap penggunaan alat tangkap yang merusak lingkungan. Semua
responden setuju terhadap larangan penggunaan bom dan yang setuju terhadap
larangan penggunaan sianida/akar bore dan pukat harimau berturut-turut adalah 97
persen dan 90 persen dari jumlah mereka yang mengetahui adanya peraturan yang
melarang penggunanan alat tangkap tersebut.
34
Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
3.3. Wilayah Pengelolaan
Pada masa lalu, ketika batas-batas wilayah laut secara ketat dipraktekkan oleh
masyarakat Kepulauan Ayau, wilayah pengelolaan laut ditentukan berdasarkan keret,
bukan atas wilayah administratif. Tampaknya pembatasan semacam itu umum berlaku
pada masyarakat pesisir yang memiliki pranata pengelolaan wilayah laut, seperti
masyarakat Irian lainnya (Tobati, Depapre dan Demta), Masyarakat Maluku (Nolloth)
ataupun masyarakat Sangir.
Peta Pulau Meosbekwan menggambarkan wilayah laut yang utuh; tidak terbagibagi menurut keret seperti halnya di Pulau Dorekhar. Hal itu sangat dimungkinkan,
sebab masyarakat Meosbekwan adalah masyarakat dengan keret tunggal, yaitu keret
Burdam. Oleh karena itu keret Burdam yang tinggal di Desa Dorekhar fishing groundnya ada di wilayah laut Meosbekwan.
Seperti lazimnya pengelolaan wilayah secara tradisional di beberapa tempat di
Indonesia, batas-batas wilayah pengelolaan senantiasa dikaitkan dengan kemampuan
masyarakat itu sendiri dalam mengeksploitasi sumberdaya yang ada di dalamnya.
Dengan teknologi yang sederhana (perahu dayung), daerah operasi nelayan paling jauh
hanya dua mil ke tengah. Biasanya, batas dua mil berkaitan erat dengan kondisi fisik
lingkungan laut, yaitu merupakan batas antara laut dangkal dengan laut dalam. Khusus
untuk kawasan Kepulauan Ayau, laut dangkal merupakan hamparan terumbu karang. Di
tempat yang “dangkal” inilah mereka melakukan aktifitas “mencari”, seperti tergambar
dalam peta, yaitu yang disebut dengan: “fishing ground keret atau hak atas karang
keret” (Lihat Peta 2)
Dalam pengelolaan sumberdaya laut, Masyarakat Meosbekwan atau masyarakat
di kawasan Kepulauan Ayau mengenal istilah “kabus” atau dalam bahasa yang lebih
umum disebut “sasi”. Kabus atau sasi didefinisikan sebagai suatu upaya masyarakat
untuk memberi “kesempatan” kepada sumberdaya tertentu berkembang menjadi lebih
besar dan lebih banyak di wilayah tertentu dengan cara menerapkan larangan untuk
mengeksploitasi dalam kurun waktu tertentu pula, karena adanya kepentingan bersama.
35
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Peta 2
Gambaran Pemahaman
Masyarakat Desa Meosbekwan Dalam
Penguasaan Wilayah Terumbu Karang
P. Abidon
P. Ros
P. Tukan
P. Meosbekwan
9
Hak atas karang
(Fishing ground)
Keret Burdam
Hak atas Karang
Keret Imbir
10
11
12
Keterangan Gambar:
Fishsing spot Keret Burdam:
9
: Batu besar (Abor Karubeba)
10 : Batu-batu besar yg terkumpul
(Abor Mamor Iba)
: Batas fishing ground
: Terumbu karang
Rumput laut
36
Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Keputusan untuk melaksanakan kabus (tanam kabus), pertama-tama didasarkan atas
aspirasi masyarakat untuk melakukan kegiatan bersama yang membutuhkan barang
atau dana yang relatif besar. Artinya dana tersebut tidak mungkin diperoleh hanya
dengan mengumpulkan iuran dari warga masyarakat, seperti membangun gereja atau
kepentingan umum lainnya (upacara adat). Jika kemudian masyarakat telah bersepakat
bahwa ada kepentingan bersama, maka dengan musyawarah masyarakat memutuskan
tanam kabus. Dalam musyawarah tersebut ada empat hal pokok yang harus
diputuskan, yaitu:
1. Kapan tanam kabus dimulai?
2. Di wilayah mana tanam kabus tersebut dilakukan?
3. Berapa lama tanam kabus itu dilaksanakan?
4. Sumberdaya apa yang akan di-kabus?
Setelah dicapai kesepakatan empat hal pokok di atas, maka yang pertama-tama
dilakukan adalah memasang batas-batas wilayah tanam kabus dengan batang daun
kelapa yang ditancapkan. Di samping itu, tidak kalah pentingnya adalah
memberitahukan kepada warga desa tetangga. Hal ini dimaksudkan agar tetangga
mereka tahu bahwa di wilayahnya sedang tanam kabus. Jadi jika terjadi pelanggaran,
misalnya mengambil sumberdaya di dalam wilayah kabus, si pelanggar tidak dapat
mengelak dengan alasan tidak tahu.
Wilayah yang dijadikan tempat tanam kabus adalah wilayah yang dekat
pemukiman mereka, sebagai upaya untuk mempermudah pengawasan terhadap
pelanggaran wilayah tangkap dan habitat yang cocok dengan sumberdaya yang akan dikabus. Lamanya waktu yang diperlukan untuk tanam kabus sangat tergantung pada
tujuan dari tanam kabus tersebut dilaksanakan. Artinya jika diperhitungkan jumlah dana
yang dibutuhkan relatif besar, maka akan berlangsung lebih lama. Akan tetapi menurut
kelaziman di Kepulauan Ayau, sekitar enam bulan sampai dengan satu tahun.
Sumberdaya yang di-kabus umumnya adalah bia lola (trochus). Sumberdaya ini
relatif banyak hidup di kawasan ini, terutama di bagian timur Pulau Meosbekwan.
Secara teoritis, sebenarnya sumberdaya yang di-kabus tidak hanya bia lola, namun juga
udang karang (lobster) dan ikan. Akan tetapi dalam praktiknya karena ikan mempunyai
mobilitas tinggi, maka kemungkinan besar akan ke luar dari wilayah tanam kabus, maka
tidak dijadikan sumberdaya yang di-kabus.
Beberapa hari sebelum tanam kabus dinyatakan selesai, masyarakat kembali
mengadakan musyawarah untuk menentukan saat yang tepat mengambil sumberdaya
yang di-kabus. Pada saat itu juga dibicarakan pembagian kerja dari masing-masing
keluarga dan lamanya waktu (umumnya satu minggu) untuk mengambil sumberdaya.
Waktu pengambilan sumberdaya penting ditentukan lamanya, karena di luar waktu yang
telah ditentukan, sumberdaya dapat dieksploitasi dengan bebas, artinya tidak lagi untuk
keperluan kepentingan umum, namun telah berubah menjadi hak yang mengeksploitasi.
Sumberdaya dari hasil tanam kabus, jika berupa bia lola, dagingnya dapat
dimanfaatkan oleh orang-orang yang menangkap, sedangkan cangkangnya
dikumpulkan dan kemudian dijual. Pada saat penelitian ini dilakukan, harga cangkang
bia lola dibeli oleh pedagang seharga Rp 60.000,00/kg.
Agar pelaksanaan tanam kabus dapat berlangsung secara optimal, maka sanksi
terhadap pelanggaran menjadi bagian penting dari pranata ini. Sebelum ajaran agama
Kristen mempengaruhi kepercayaan masyarakat di kawasan kepulauan ini, mereka
menerapkan kabus sesuai dengan tradisi adat mereka, sehingga disebut dengan “kabus
37
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
adat”. Dengan demikian penerapan sanksi pun berupa adat, yaitu dengan membayar
denda berupa barang-barang berharga (manik-manik, piring gantung) atau kemudian
berubah menjadi denda uang sesuai dengan tingkat kesalahannya dan ditambah lagi
menyerahkan semua hasil tangkapannya.
Dengan masuknya agama Kristen, pranata pengelolaan sumberdaya laut sedikit
demi sedikit berubah, yang pada akhirnya eksistensi “kabus adat” berhenti, dan
menjelma menjadi “kabus Gereja”. Dalam pelaksanaannya perubahan tersebut paling
nyata terlihat dari pembacaan mantera yang merupakan tradisi nenek moyang mereka
menjadi pembacaan doa-doa Kristen pada saat hendak tanam kabus dan sesaat
sebelum kabus dinyatakan selesai. Tergantikannya sanksi adat berupa pembayaran
denda serta perampasan hasil tangkapan menjadi sanksi gereja yang bersifat magis.
Dengan kata lain, masyarakat telah menyepelekan pelaksanaan sanksi adat, karena
kurangnya pengawasan, sehingga menjadi tidak efektif untuk memberikan efek jera
kepada pelanggar. Sebaliknya sanksi gereja sangat ditakuti oleh masyarakat, karena
dapat berakibat sakit yang tidak tersembuhkan dan bahkan meninggal bagi si pelanggar.
Seorang informan menuturkan, bahwa pada tahun 1998 telah terjadi kecelakaan fatal,
yaitu meninggalnya seorang yang berasal dari Maluku setelah dia melakukan
penangkapan ikan dengan cara molo (menyelam) di wilayah kabus Gereja.
Dalam perkembangannya sekarang, masyarakat di kawasan Kepulauan Ayau
tidak lagi disiplin dalam menerapkan bagian-bagian dari aturan adat menyangkut
wilayah laut. Artinya hampir semua wilayah dapat dieksploitasi sumberdayanya oleh
masyarakat yang berada di sekitarnya, asalkan menggunakan alat tangkap yang serupa
dengan masyarakat pada umumnya, kecuali wilayah yang tertutup bagi semua, karena
diterapkannya sasi. Sebab lainnya adalah fishing ground ataupun fishing spot yang
mereka kuasai tidak lagi memadai untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam
menyediakan sumber daya tertentu yang memiliki nilai ekonomi tinggi (ikan Napoleon,
Kerapu dan Lobster) yang sejak sekitar tahun 1995 menjadi komoditas primadona di
kawasan ini.
3.4. Teknologi Pengelolaan
Teknologi pengelolaan diartikan sebagai alat-alat yang digunakan untuk
mengeksploitasi sumberdaya laut. Alat-alat yang dimaksud adalah: (1) alat tangkap,
yang secara langsung dipakai untuk menangkap sumberdaya; (2) alat bantu tangkap;
yang digunakan untuk membantu mengoptimalkan alat tangkap.
Data survai menunjukkan bahwa alat tangkap yang dimiliki oleh semua
responden adalah aria (penangkap cacing laut) dan arsyam (penangkap gurita). Kedua
alat ini dapat dikatakan sebagai alat yang spesial digunakan oleh kaum perempuan,
terutama para ibu, karena kedua jenis sumberdaya itu relatif mudah untuk ditangkap.
Cacing laut ditangkap pada saat air laut surut, yaitu pada wilayah gosong pasir,
sedangkan gurita juga pada waktu air surut namun pasir masih terendam air.
Aria terbuat dari batang kayu yang pada ujungnya dibentuk semacam celah
untuk menjepit, sedangkan arsyam terbuat dari kawat berjumlah tiga sampai empat dan
pada ujungnya dibuat semacam kait. Aria digunakan dengan cara menekan ke dalam
pasir, sampai kemudian cacing terjepit oleh jepitan yang ada pada bagian ujung alat,
sementara arsyam digunakan persis seperti tombak, yaitu dengan cara menancapkan
ujung alat pada bagian tubuh gurita. Selanjutnya rincian pemilikan teknologi pengelolaan
yang dimiliki oleh masyarakat Meosbekwan dapat dilihat seperti tabel di bawah ini.
38
Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Tabel 3.6.
Pemilikan Teknologi Pengelolaan Masyarakat Meosbekwan (N=35)
No
.
1
2
Nama Alat
Jenis Alat
Jenis SDL yg
Jml Pemilikan(%)
ditangkap/penggunaan
Akar bore
Alat tangkap
Napoleon
Pancing
Alat tangkap
Kerapu dan berbagai
91,4
jenis ikan
3 Kalawai
Alat tangkap
Lobster
34,3
4 Jaring
Alat tangkap
Berbagai jenis ikan
5,8
permukaan
5 Arsyam dan Alat tangkap
Ikan gurita dan cacing
31,4
arial
laut
6 Senapan
Alat tangkap
Berbagai
jenis
SDL
77,8
molo
demersal
7 Kaca molo
Alat bantu
Penyelaman sewaktu
17,1
tangkap
me-nangkap ikan
Napoleon dan Lobster
dan SDL lainnya
8 Bubu
Alat tangkap
Berbagai jenis ikan
2,9
Sumber: Penelitian Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2001
Jika para ibu di Meosbekwan memiliki alat tangkap utama arsyam dan aria,
maka para Bapak memiliki akar bore, pancing dan jerat. Ketiga alat itu berturut-turut
digunakan untuk menangkap sumberdaya laut ikan Napoleon, Kerapu dan udang
Batu/Lobster. Uraian selanjutnya akan difokuskan pada alat tangkap akar bore dan jerat,
sementara alat tangkap pancing hanya disinggung selintas, sebab alat ini tidak spesifik
daerah, melainkan sangat umum digunakan oleh nelayan di berbagai tempat.
Bagi nelayan ketiga jenis sumberdaya tersebut yang menjadi perhatian mereka
sehari-hari dalam “mencari”. Ini didasarkan pada pada tingginya nilai jual tiga jenis
sumber daya laut tersebut. Jika dalam sekali melaut seorang nelayan memperoleh tiga
ekor Napoleon, maka sudah dapat dipastikan paling sedikit akan memperoleh
penghasilan sebesar Rp 100.000,00. Oleh karena itu pula dari ketiga sumberdaya tadi,
Napoleon merupakan sumber penghasilan yang paling utama masyarakat Meosbekwan
dan Kepulauan Ayau. Jenis ikan ini tidak mengenal musim, jadi setiap saat dapat
ditangkap, harganya paling tinggi dan yang paling pokok mudah memasarkannya,
karena pembeli ada di sekitar wilayah tempat tinggal mereka. Satu hal lagi keunggulan
Napoleon adalah, memiliki daya tahan hidup yang jauh lebih baik dibandingkan dengan
ikan Kerapu maupun Lobster.
Dari tabel di atas tidak tampak adanya pemilikan akar bore, sebab akar tuba ini
memang “tidak milik siapa-siapa”, dapat dimanfaatkan oleh siapapun juga, tersedia
banyak dan hidup di berbagai tempat di luar Pulau Meosbekwan (Pulau Runi yaitu di
Kampung Dorekhar dan Yenkawir). Dari hasil survai tidak terekam adanya penggunaan
akar bore untuk menangkap Napoleon. Tampak ada keengganan dari masyarakat untuk
mengaku menggunakan, sebab mereka tahu bahwa penggunaan akar bore menyalahi
peraturan. Akan tetap i, dari wawancara dengan berbagai informan diperoleh
pengetahuan bahwa, akar bore merupakan alat tangkap pertama yang mereka kenal
dan sudah dipakai sejak nenek moyang mereka. Dalam perkembangannya, ternyata
akar bore sangat cocok digunakan untuk menangkap Napoleon. Dengan ukuran yang
tepat, akar bore hanya menjadikan Napoleon pingsan, dan beberapa saat kemudian
akan segar kembali. Itulah sebabnya keramba/apolo menjadi sangat penting, karena di
sinilah Napoleon disegarkan dulu sebelum dijual hidup kepada pedagang.
39
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Persoalannya adalah kenapa harus menggunakan akar bore, padahal dengan
pancing pun bisa dan akar bore dikategorikan oleh pemerintah sebagai alat tangkap
yang diduga dapat merusak kelestarian terumbu karang? Jawaban yang mereka
kemukakan adalah: bila Napoleon ditangkap dengan pancing, maka akan terluka dan
Napoleon sangat rentan terhadap luka, sehingga kemungkinan dapat bertahan hidup
menjadi kecil. Di samping itu, menangkap dengan pancing membutuhkan waktu yang
lebih lama, sebab Napoleon bukanlah jenis ikan yang rakus untuk memangsa umpan.
Jawaban mereka sangat rasional dan didasari oleh pemikiran ekonomi, yaitu: “dengan
waktu singkat memperoleh hasil maksimal”.
Jika di kemudian hari, akar bore dapat dibuktikan secara ilmiah sebagai alat
tangkap yang tidak ramah lingkungan; yakni dapat merusak terumbu karang, maka
sebuah tantangan besar bagi teknisi alat tangkap untuk merancang alat tangkap
Napoleon yang ramah lingkungan, paling tidak memenuhi unsur-unsur efektifitas, mudah
dan murah, seperti halnya akar bore.
Proses pembuatan akar bore sangat sederhana dan murah. Akar bore diperoleh
dengan cuma-cuma, yakni dengan cara mencabut pohon bore yang tumbuh di kebunkebun mereka, kemudian ditumbuk dengan batu atau benda keras lainnya sampai
hancur. Langkah selanjutnya adalah mencampur tumbukan tadi dengan air, lalu diaduk
atau diremas-remas. Campuran inilah yang digunakan untuk menangkap ikan Napoleon,
setelah disaring dan dimasukkan ke dalam kantong-kantong plastik.
Dengan cara menyelam (membutuhkan alat bantu kaca molo), cairan akar bore
tersebut ditaburkan pada muka lubang karang tempat ikan Napoleon berlindung. Namun
perlu memperoleh catatan khusus, bahwa tidak setiap karang ditaburi, berdasarkan
dugaan di dalamnya ada ikan Napoleon, melainkan karang yang sungguh-sungguh
diketahui ada ikan Napoleon yang berlindung.
Hanya dibutuhkan sepuluh menit dari saat penaburan sampai ikan Napoleon
tidak berdaya. Pada saat inilah waktu yang tepat bagi nelayan untuk segera
mengangkatnya dan menempatkan pada tempat yang telah disediakan. Setelah mereka
merasa cukup “mencari” hasil tangkapan segera dipindahkan ke dalam keramba/apolo.
Tempat ini berfungsi sebagai karantina, yaitu untuk memulihkan kesegaran ikan
bersangkutan. Waktu yang digunakan untuk menyegarkan kembali ikan Napoloen paling
lama satu minggu. Setelah satu minggu ikan Napoleon sudah siap ditransaksikan
dengan pembeli.
Alat tangkap lain yang spesifik adalah jerat. Alat tangkap ini khusus digunakan
untuk menangkap udang Batu/Lobster. Oleh karena jerat dioperasikan pada malam hari,
maka dibutuhkan alat bantu tangkap berupa kaca molo dan lampu senter dengan daya 7
volt (enam baterai). Penjeratnya sendiri dibuat dari tali yang kuat namun lentur. Kedua
ujung tali dibuat lingkaran yang masing-masing ujungnya diikat pada batang kayu
sepanjang satu meter. Tali penjerat direkayasa agar dapat diulur dan dikerutkan,
sehingga lingkaran yang dibentuk dapat mengecil dan membesar sesuai dengan ukuran
lobster yang hendak ditangkap. Tali jerat yang dapat bergerak secara fleksibel itu
dimaksudkan juga berfungsi mengikat/menjerat badan lobster pada saat batang
penjerat ditarik.
Cara pengoperasiannya sederhana saja. Pertama-tama yang harus dilakukan
oleh nelayan adalah menyelam sambil melihat-lihat keberadaan Lobster dengan
bantuan cahaya lampu senter. Andaikata Lobster telah diketemukan, maka dengan
sangat hati-hati tali jerat diseret pada tempat lobster berada dari arah kepala ke ekor.
Ketika setengah dari badan lobster masuk ke tali penjerat, batang penjerat ditarik
dengan cepat. Kini Lobster telah terikat kuat, dan siap diangkat dan ditaruh dalam kotak.
40
Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Hasil tangkapan berupa lobster tidak dapat dengan segera dipasarkan, karena
pembeli hanya ada di Sorong. Dengan demikian harus menunggu waktu yang tidak
tentu, sampai tiba saatnya ada anggota masyarakat pergi ke Sorong.
Sumberdaya ikan Kerapu paling banyak ditangkap oleh masyarakat, karena
populasinya masih cukup tinggi di perairan Kepulauan Ayau. Di samping itu Kerapu
relatif mudah ditangkap dengan pancing. Akan tetapi, kelemahan utama ikan jenis ini
adalah mudah mati, karena rentan terhadap luka dan memiliki ambang stress yang
tinggi, sehingga perubahan tempat jadi masalah bagi ikan ini.
3.5. Hubungan Kerja dalam Pengelolaan Sumberdaya
Hasil pengamatan pada komunitas nelayan tradisional di kawasan Irian,
umumnya adalah nelayan individual atau maksimal nelayan keluarga. Hal tersebut
menjadi wajar karena keterbatasan ruang yang tersedia pada armada tangkap mereka.
Perahu yang biasa mereka gunakan untuk menangkap ikan berukuran relatif kecil, yakni
memiliki dimensi 50-75 x 200-250 cm dan digerakkan dengan kayuhan pendayung.
Dengan ukuran sebesar itu, perahu hanya akan dapat memuat dua orang dewasa dan
sedikit barang.
Tidak berbeda halnya dengan yang diceritakan di atas, berlaku juga untuk
perahu nelayan Meosbekwan. Hanya saja perahu mereka dilengkapi dengan semang
tunggal pada bagian sisi kanan yang berguna sebagai penyeimbang. Pada bagian atas
semang itulah dipasang para-para yang dimanfaatkan untuk menaruh barang-barang
bawaan.
Di samping kapasitas perahu yang terbatas, alat tangkap yang digunakan adalah
dari jenis yang dapat dioperasikan sendiri, sehingga tidak membutuhkan suatu bentuk
kerjasama
dalam mengoperasikannya. Jadi dengan kondisi kerja semacam itu
keberadaan orang lain dalam satu perahu bukanlah dalam rangka “bekerjasama”,
namun dalam arti “bekerja bersama-sama”. Dua kata tersebut mengandung arti yang
sangat berbeda; “bekerjasama” adalah bekerja dengan orang lain dan dengan
pembagian kerja yang jelas, artinya masing-masing bekerja dengan tugas yang
berbeda, namun dalam satu sistem. Sedangkan “bekerja bersama-sama” diartikan
sebagai bekerja sendiri-sendiri dengan orang lain, tanpa ada pembagian kerja yang
jelas. Jadi di sini masing-masing orang mengerjakan suatu pekerjaan dari awal sampai
akhir, tanpa bantuan orang lain.
Seorang nelayan jika bersama orang lain dalam satu perahu untuk “mencari”,
maka orang lain itu akan membawa alat tangkap sendiri yang bisa sama atau berbeda.
Hal tersebut menunjukkan bahwa mereka memiliki rencana sendiri-sendiri dan akan
bekerja sendiri-sendiri dalam satu perahu. Dengan bekerja sendiri-sendiri, bisa jadi
salah satunya memperoleh tangkapan lebih banyak dari yang lain atau bahkan mungkin
yang satu tidak dapat apa-apa, sedangkan yang lainnya memperoleh hasil banyak. Jika
hal itu terjadi, maka dapat dipastikan bahwa pihak yang memperoleh hasil tangkapan
sedikit atau yang tidak dapat sama sekali akan memperoleh “subsidi” dari teman
sekerjanya. Hal itu sangat dimungkinkan, karena mereka itu biasanya adalah sanak
famili; bisa anak yang sudah dewasa, saudara (kandung, keret), mantu dan seterusnya.
Ringkas kata mereka memiliki pola kerja yang primordial, sehingga hal-hal yang bersifat
“untung-rugi” mereka kesampingkan jauh-jauh.
Akan tetapi kemudian, paling tidak ketika ada sumberdaya yang memiliki harga
jual sangat tinggi pada sekitar tahun 1995, tampaknya pola hubungan kerja yang
41
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
egaliter mengalami metamorfose menjadi hubungan yang telah mempertimbangkan
beban kerja, keahlian dan senioritas.
Pada masa lalu, nelayan Meosbekwan dalam “mencari” memiliki arti menangkap
berbagai jenis sumberdaya yang ditemui, maka kini sejak dari rumah telah menetapkan
jenis apa yang hendak ditangkap. Jenis sumberdaya yang akan ditangkap sangat
menentukan alat tangkap apa yang hendak dibawa. Ketika berkeinginan menangkap
ikan Napoleon, maka akar bore (tuba) dijadikan alat tangkap utama, sedangkan jika ikan
Kerapu, maka alat tangkap pancinglah yang sesuai. Demikian halnya dengan Lobster,
alat tangkap jenis jerat yang dibawa.
Pembagian kerja akan semakin tampak ketika nelayan memutuskan untuk
menangkap ikan Napoleon. Paling tidak dibutuhkan dua orang untuk menangkap jenis
ikan ini. Satu orang dengan kemampuan menyelam dan satu orang lagi sebagai tenaga
bantu untuk mendayung, dan terutama bertugas untuk menepuk-nepuk permukaan air
setelah mendapat tanda dari penyelam. Tanda itu akan diberikan oleh penyelam pada
saat dia telah menemukan ikan Napoleon berada di luar karang. Tepukan permukaan air
dimaksudkan agar ikan ters ebut masuk ke dalam celah-celah karang sambil diamati
oleh penyelam. Ketika ikan telah masuk, maka oleh penyelam segera ditebarkan cairan
akar bore. Akar bore akan memberikan efek pingsan pada ikan, sehingga mudah
ditangkap dan masih dalam keadaan hidup. Dengan pola kerja semacam itu, yang
bertugas menyelam akan memperoleh bagian lebih banyak dari hasil penjualan.
Persentase pembagian tidak ditetapkan secara kaku, sebab yang diajak bekerjasama
adalah sanak famili.
Sedikit berbeda dengan penangkapan, pekerjaan budidaya rumput laut dilakukan
lebih banyak oleh kaum perempuan, mulai dari menanam, merawat sampai dengan
memanen dan menjemur. Laki-laki dalam soal ini hanya bertugas untuk memasang
tiang-tiang pancang pengikat tali bibit rumput laut. Pemasangan tiang pancang memang
membutuhkan tenaga fisik ekstra, sebab tiang harus bisa menahan hempasan arus.
Akan tetapi ada kalanya kaum laki-laki juga membantu menanam bibit dan memanen
hasil sewaktu mereka tidak ”mencari”. Usaha budidaya rumput laut di Meosbekwan
dilakukan oleh keluarga inti.
42
Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Bab IV
Produksi dan Pemasaran Sumberdaya Laut
Pada bagian ini akan diuraikan mengenai produksi sumber daya laut,
pemanfaatan dan pemasaran hasil. Uraian akan ditekankan pada jenis sumber daya laut
yang dominan, yaitu yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan banyak ditangkap oleh
masyarakat. Selain itu, sumber daya laut lain yang bisa dikategorikan dominan adalah
jenis yang diproduksi sepanjang tahun dan dapat memberikan kesinambungan bagi
pendapatan masyarakat setempat.
Potensi sumber daya laut di wilay ah perairan Meosbekwan meliputi berbagai
jenis ikan karang seperti ikan napoleon (in maming), ikan kerapu (indaf), lobster/udang
batu dan ikan kakap. Selain berbagai jenis ikan karang, wilayah perairan sekitar
Kepulauan Ayau juga mempunyai potensi berbagai jenis ikan perairan dasar (demersal)
seperti ikan pari. Ikan pari merupakan ikan yang lebih suka hidup di dasar laut, terutama
di daerah pasir. Sebagian wilayah perairan kepulauan Ayau tertutup oleh pasir yang
diakibatkan oleh perubahan arus yang terjadi sehingga potensi ikan pari di daerah ini
relatif besar. Sementara itu, jenis ikan permukaan yang juga terdapat di wilayah
perairan Kepulauan Ayau adalah ikan kakak tua, baronang, ekor kuning dan ikan
gutila/lencam. Jenis sumber daya laut lainnya yang juga dimanfaatkan oleh penduduk
setempat adalah gurita, cacing laut, lola dan japing-japing. Dari jenis-jenis sumber daya
laut tersebut di atas ada tiga jenis yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, yaitu ikan
napoleon (in maming) atau dalam bahasa umumnya maming, ikan kerapu (geropa) dan
rumput laut.
Sejak tahun 1995, ikan napoleon mulai mempunyai nilai ekonomis tinggi di
wilayah Kepulauan Ayau pada umumnya dan di desa Meosbekwan pada khususnya.
Pada tahun tersebut mulai ada permintaan dari Hongkong melalui berbagai perusahaan
eksportir yang berpusat di Sorong. Perusahaan tersebut menampung dari para
pengusaha yang bertindak sebagai pedagang pengumpul yang beroperasi di wilayah
Kepulauan Ayau. Sebelum tahun 1995, jenis ikan ini dikonsumsi oleh penduduk
sebagaimana jenis-jenis ikan lainnya. Setelah mengetahui harga ikan ini sangat mahal
dan ada pedagang pengumpul yang bersedia menampung, penduduk tidak lagi
mengkonsumsi jenis ikan ini.
Selain berbagai jenis ikan dan udang, sumber daya laut lainnya yang dominan
dan berpotensi untuk dikembangkan oleh penduduk setempat dan juga telah
dibudidayakan adalah rumput laut. Budidaya rumput laut ini mulai dikembangkan pada
tahun 1999. Budidaya ini diperkenalkan oleh sebuah perusahaan pengumpul ikan. Pihak
perusahaan memberikan bibit dan peralatan tanam seperti tali dan penduduk diwajibkan
menjual hasilnya ke perusahaan tersebut. Hasil dari usaha budidaya rumput laut ini
meskipun secara ekonomis tidak memberikan sumbangan kepada pendapatan rumah
tangga dalam nilai yang besar, namun secara terus -menerus dapat dijadikan andalan
untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, apalagi keadaan laut tidak ramah untuk
melakukan kegiatan penangkapan.
43
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
4.1. Hasil Produksi dan Teknologi Penangkapan
•
Ikan Napoleon
Hasil produksi ikan napoleon di kampung ini pada bulan Agustus 2001
berdasarkan catatan pembelian yang dilakukan oleh pedagang pengumpul sekitar 50 kg
yang terdiri dari berbagai jenis. Ikan napoleon berdasarkan ukuran beratnya digolongkan
kedalam empat golongan, yaitu baby, super, ekor kecil, ekor besar dan up. Golongan
baby beratnya antara 0,3 kg sampai 0,5 kg; golongan super beratnya antara 0,6 kg
sampai 1,2 kg; golongan ekor kecil mempunyai ukuran berat antara 1,3 kg sampai
dengan 3 kg; ikan dengan ukuran antara 3,1 kg sampai dengan 5 kg termasuk ke dalam
golongan ekor besar dan ikan yang mempunyai berat di atas 5,1 kg masuk dalam
kategori up.
Tidak ada data yang tersedia yang secara kuantitas bisa menjelaskan hasil
produksi ikan napoleon pada periode lima tahun yang lalu. Akan tetapi menurut
penuturan beberapa informan bahwa pada saat ini sudah mulai susah mendapatkan
ikan napoleon. Beberapa tahun sebelumnya, seorang nelayan dapat dengan mudah
mendapatkan ikan napoleon sejumlah lima ekor setiap kali pergi melaut, sedangkan
pada saat sekarang ini, seorang nelayan rata-rata hanya bisa mendapatkan dua ekor
ikan napoleon dalam sekali melaut. Seperti yang dikemukakan oleh seorang informan:
Dulu kalau saya ‘mencari’, bisa mendapatkan lima ekor. Sekarang
paling-paling hanya mendapat dua ekor. Saya pikir karena sudah
banyak ditangkap, ikan-ikan itu menjadi kurang.
Pernyataan “bisa mendapatkan dua ekor dalam sekali melaut”, harus dipahami
bahwa tidak setiap melaut mereka memperoleh ikan napoleon, namun dalam arti bahwa
jika mereka memperoleh napoleon, maksimal dua ekor dalam sekali melaut.
Jenis ikan napoleon ini dapat ditangkap hampir sepanjang tahun karena
keberadaanya tidak dipengaruhi musim-musim tertentu, akan tetapi penduduk tidak bisa
mengekploitasi jenis ikan ini secara optimal pada saat terjadi ombak besar. Peralatan
tangkap yang hanya menggunakan perahu semang tidak memungkinkan mereka melaut
pada saat ombak besar. Di samping itu, pada saat ombak besar dasar laut di sekitar
karang tempat napoleon hidup menjadi keruh sehingga mengaburkan pandangan
nelayan di dalam air. Ombak besar terutama terjadi pada bulan Oktober sampai dengan
bulan Maret.
Alat tangkap yang dipakai untuk menangkap ikan napoleon umumnya adalah
sejenis racun yang terbuat dari akar bore yang ditumbuk kemudian diambil airnya. Di
Kampung Meosbekwan tanaman akar bore tidak bisa tumbuh, tetapi penduduk dapat
dengan mudah mendapatkannya di Pulau Runi (Kampung Dorehkar dan Yenkawir) yang
hanya berjarak sekitar satu jam menggunakan perahu motor berkekuatan 15 PK. Cara
menggunakan cairan akar bore untuk menangkap ikan adalah dengan menuangkan
cairan tersebut pada lubang-lubang di sekitar terumbu karang tempat ikan napoleon
bersembunyi. Pada awalnya nelayan menyelam untuk mengetahui ada-tidaknya
napoleon. Jika telah dipastikan napoleon ada, maka mereka membuat suara-suara
gaduh di permukaan supaya ikan napoleon masuk ke dalam lubang-lubang. Setelah
ikan-ikan tersebut masuk ke lubang, kemudian nelayan menyelam dan menuangkan
cairan akar bore tersebut ke sekitar lubang supaya ikan napoleon tersebut pingsan.
Dalam beroperasi menangkap ikan napoleon akan lebih mudah dilakukan jika
dibantu oleh anggota keluarga lainnya. Waktu melaut dilakukan mulai pagi hingga sore
hari. Armada tangkap yang dipakai adalah perahu tanpa mesin (semang). Hampir
44
Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
setiap rumah tangga di kampung ini mempunyai perahu semang. Perahu semang ini
dapat dibeli di daerah daratan pulau Waigeo, terutama di ibukota Kecamatan (Kabare)
dengan harga sekitar Rp 400.000.- Peralatan lainnya yang dipakai adalah kaca mata
untuk menyelam (bahasa kaca molo). Kaca molo ini dibuat sendiri oleh nelayan dengan
bahan baku kaca, karet dan plastik. Dari ketiga bahan baku tersebut yang dibeli hanya
kaca, sedangkan karet dan plastik memanfaatkan ban bekas dan kaleng-kaleng plastik
bekas.
Oleh karena ekploitasi ikan napoleon yang dilakukan oleh penduduk Desa
Meosbekwan masih menggunakan peralatan dan cara yang sederhana maka modal
yang dikeluarkan tidak besar. Dengan hanya menggunakan perahu tanpa motor,
nelayan tidak perlu mengeluarkan modal untuk beli bahan bakar. Alat tangkap berupa
akar bore tidak perlu dibeli karena tanaman tersebut mudah didapat tanpa harus
membeli. Modal yang secara riil dikeluarkan hanya sebungkus nasi, minuman dan
sebungkus rokok yang diperkirakan sekitar empat sam pai lima ribu rupiah.
•
Ikan Kerapu
Ada tiga jenis ikan kerapu yang ditangkap oleh nelayan desa Meosbekwan yaitu
jenis GH, tongseng dan saiseng. Ikan kerapu tongseng merupakan jenis yang paling
disukai di pasar Hongkong karena rasanya lebih enak dan langka dibandingkan dengan
jenis yang lain. Masing-masing jenis ikan tersebut juga digolongkan dalam ketiga
macam sesuai dengan beratnya, yaitu baby, super dan up. Secara keseluruhan jumlah
hasil produksi selama bulan Agustus 2001 untuk jenis ikan kerapu GH sebesar 113,2 kg,
jenis saiseng 192 kg dan tongseng hanya sekitar 1 kg. Jenis tongseng relatif lebih kecil
hasil produksinya karena jenis ini populasinya juga relatif kecil (Tabel 4.1).
Tabel 4.1
Produksi ikan kerapu dalam Bulan Agustus 2001
Jenis
Golongan
GH
Saiseng
Baby
1,5 kg
7,3 kg
Super
15,2 kg
159,9 kg
Up
96,5 kg
24,8 kg
Jumlah
113,2 kg
192 kg
Sumber: Wawancara Mendalam Dengan Narasumber
Pengumpul) di Kampung Meosbekwan.
Tongseng
0,3 kg
0,6 kg
1 kg
(Beberapa Pedagang
Ikan kerapu ini tersedia sepanjang tahun, tetapi pada musim-musim tertentu
populasi ikan ini meningkat. Di Kepulauan Ayau musim ikan kerapu terjadi pada bulan
September sampai dengan bulan April. Menurut informasi dari beberapa informan pada
musim ikan kerapu, sekali ‘mencari’ bisa mendapatkan sekitar 10 ekor ikan, sedangkan
pada musim biasa, sekali melaut rata-rata mendapatkan dua ekor ikan. Apabila kita
kaitkan dengan hasil produksi bulan Agustus yang rata-rata bisa menghasilkan sekitar 3
kwintal ikan kerapu dari berbagai jenis, maka bisa diperkirakan hasil produksi pada
musim ikan akan jauh lebih besar.
Seperti halnya menangkap ikan napoleon, para nelayan Kampung Meosbekwan
dalam menangkap ikan akan lebih mudah jika dilakukan dengan dibantu orang lain.
Perahu yang dipakai untuk menangkap ikan ini adalah perahu semang dan alat yang
dipakai untuk menangkap ikan kerapu adalah pancing dan umpannya memakai ikanikan kecil yang dipotong-potong. Bekal yang dibawa, seperti halnya menangkap ikan
45
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
napoleon adalah satu botol minuman dan sebungkus nasi atau makanan lain untuk
persediaan makan siang. Dalam menangkap ikan kerapu umumnya dilakukan pada pagi
sampai siang hari. Para nelayan mendapatkan pengetahuan tentang waktu yang baik
untuk memancing ikan kerapu dari nelayan Hongkong melalui pedagang pengumpul.
Waktu memancing ikan kerapu sebaiknya dilakukan antara jam 10 sampai jam 11 siang.
Pada saat tersebut adalah saat ikan kerapu mencari makan.
•
Rumput Laut
Menurut informasi dari berbagai sumber, perairan barat Pulau Meosbekwan
sangat cocok untuk budidaya rumput laut. Arus dan salinitasnya memenuhi syarat untuk
mengembangkan budidaya rumput laut. Sejak diperkenalkan budidaya rumput laut
pada tahun 1999, hampir semua keluarga di desa ini mengusahakan tanaman rumput
laut. Umumnya budidaya rumput laut ini menjadi tanggung jawab kaum perempuan
(isteri) yang dibantu oleh anggota keluarga lain, seperti anak dan suami. Walaupun
tanaman rumput laut menjadi tanggung jawab perempuan, tetapi dalam pengelolaanya
tetap melibatkan seluruh anggota keluarga. Mulai dari menanam, memanen dan
menjemur melibatkan seluruh anggota rumah tangga. Suami pada saat tidak melaut
juga ikut membantu mengerjakan budidaya rumput laut, seperti menanam, memanen
dan penanganan pasca penen.
Masa tanam rumput laut hingga dapat dipanen antara 30 sampai 40 hari. Setelah
dipanen, rumput laut dikeringkan dengan cara dijemur di atas para-para. Apabila cuaca
baik, maka dalam seminggu rumput laut tersebut sudah kering dan bisa siap untuk
dipasarkan.
Pada saat penelitian dilakukan, rata-rata setiap rumah tangga mempunyai sekitar
40 tali dengan panjang tali 10 meter. Dengan 40 tali tersebut setiap bulannya satu
keluarga bisa memanen rumput laut kering sekitar 20-30 kg. Jumlah produksi rumput
laut tergantung pada kondisi arus serta ada dan tidaknya serangan hama. Apabila arus
terlalu kencang dan ada serangan hama maka dengan tanaman 40 tali maka
produksinya akan berkurang menjadi hanya sekitar 10 kg sampai dengan 20 kg.
4.2. Pemanfaatan Hasil Laut
Dari berbagai potensi sumber daya laut yang ada diperairan Kampung
Meosbekwan, hanya jenis ikan napoleon dan kerapu serta udang batu (lobster) yang
semua hasil produksinya dijual ke pedagang penampung. Sebelum penduduk
mengetahui bahwa jenis ikan dan udang tersebut mempunyai nilai ekonomi yang tinggi,
mereka mengkonsumsinya dalam bentuk ikan segar. Pada saat ini penduduk baru
mengkonsumsi ikan tersebut apabila sudah tidak bisa diterima oleh pedagang
pengumpul karena sudah rusak. Sementara itu jenis sumber daya laut yang umumnya
dikonsumsi dalam bentuk ikan hidup adalah semua jenis ikan demersal, seperti ikan pari
dan ikan merah dan berbagai jenis ikan permukaan seperti baronang, gutila, ekor kuning
dan kakak tua.
Secara umum konsumsi ikan segar penduduk desa relatif cukup besar. Ikan ini
biasanya dikonsumsi bersama dengan makanan pokok penduduk yaitu beras dan sagu.
Proporsi konsumsi antara makan beras dan sagu hampir berimbang, meskipun masih
lebih besar sagunya dibandingkan dengan beras. Besarnya konsumsi ikan penduduk di
daerah ini antara lain disebabkan karena dari semua hasil produksi ikan hanya jenis
46
Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Napoleon dan Kerapu yang bisa dijual dalam bentuk ikan segar. Untuk jenis ikan lainnya
karena belum ada pedagang pengumpul yang ada di desa yang menampung sehingga
semua hasil tangkapan ikan selain Napoleon dan Kerapu semuanya dikonsumsi oleh
masyarakat. Di desa ini sudah menjadi kebiasaan membagi-bagikan ikan kepada warga
yang kebetulan tidak mempunyai persediaan ikan untuk dikonsumsi. Nelayan yang
sedang tidak ‘mencari’ mendapatkan ikan secara cuma-cuma dari nelayan yang
mandapatkan ikan. Sementara itu penduduk yang tidak bekerja sebagai nelayan
mendapatkan ikan secara cuma-cuma dari nelayan secara bergiliran.
Penduduk juga mempunyai kebiasaan membuat ikan asin dengan
memanfaatkan sisa-sisa ikan segar yang tidak habis dikonsumsi. Ikan yang
dimanfaatkan sebagai bahan baku ikan asin diantaranya adalah ikan kakap, gutila,
belanak, kakak tua dan kerapu yang telah mati. Hasil laut lain yang juga dimanfaatkan
sebagai bahan baku ikan asin adalah gurita dan cacing laut.
4.3. Pemasaran
Seperti telah dijelaskan pada uraian terdahulu bahwa ada tiga jenis sumber daya
laut di kampung Meosbekwan yang dominan, yaitu ikan napoleon, ikan kerapu dan
rumput laut. Untuk ikan Napoleon dan ikan Kerapu hidup mempunyai sistem dan mata
rantai pemasaran yang sama dengan orientasi pasar internasional. Sedangkan rumput
laut dan berbagai jenis ikan hasil olahan (diasinkan dan dikeringkan) mempunyai sistem
dan mata rantai pemasaran tersendiri dengan orientasi pasar domestik.
4.3.1. Ikan Napoleon dan Kerapu
•
Rantai pemasaran
Pemasaran ikan Napoleon dan ikan Kerapu di Kawasan Kepulauan Ayau
mempunyai pola yang sama (lihat bagan). Mata rantai pemasarannya adalah dari
nelayan dijual ke pedagang pengumpul, kemudian dari pedagang pengumpul ke
pedagang besar. Dari pedagang besar terus dijual (diekspor) ke pedagang besar di
Hongkong yang kemudian meneruskan lagi ke distributor-distributor. Dari distributor di
Hongkong dijual ke konsumen yang pada umumnya adalah restoran-restoran bertaraf
internasional. Di Desa Meosbekwan terdapat satu pedagang pengumpul yang
beroperasi mulai tahun 1998. Sebelum tahun 1998, nelayan di desa ini menjual hasil
tangkapannya ke pedagang pengumpul yang ada di desa Dorehkar. Untuk ke desa ini
memerlukan waktu sekitar satu jam perjalanan dengan memakai perahu 15 PK.
Hasil tangkapan dari nelayan biasanya tidak langsung dijual ke pedagang
pengumpul, melainkan ditampung dulu dalam keramba selama dua sampai tujuh hari.
Hal tersebut dikarenakan pada saat turun dari ‘mencari’ hari sudah terlalu malam
sehingga tidak memungkinkan langsung dijual pedagang pengumpul. Selain itu, ada
kalanya pedagang pengumpul kehabisan uang tunai sehingga tidak bisa menerima hasil
tangkapan dari para nelayan. Alasan lain mengapa para nelayan menampung dahulu di
keramba adalah ingin melihat perkembangan harga dengan membandingkan antara
pedagang pengumpul yang ada di kampung dan pedagang pengumpul yang ada di
kampung lain (Dorehkar). Dengan menampung dahulu hasil tangkapan di keramba milik
bersama, para nelayan menanggung resiko rugi apabila ikan tersebut mati pada saat
masih di keramba.
47
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Di tingkat pedagang pengumpul ikan-ikan tersebut juga ditampung di keramba
sampai ada kapal yang mengangkut untuk dikirim ke Hongkong. Kapal yang
mengangkut ke Hongkong tersebut mengambil ikan ke pedagang pengumpul setelah
kira-kira dapat memuat sekitar 5 ton ikan untuk seluruh kawasan Kepulauan Ayau.
Tempat penampungan ikan hidup milik pedagang pengumpul di Kawasan Kepulaun
Ayau terdapat di empat pulau, masing-masing di Pulau Dorehkar, Meosbekwan, Rutum
dan Reni. Target muatan sekitar 5 ton tersebut pada umumnya dapat tercapai dalam
satu bulan. Selama ditampung di dalam keramba ini tingkat kematian ikan rata-rata
sekitar 20 persen.
Bagan 4.1 Rantai pemasaran ikan Napoleon dan Ikan Kerapu di Kawasan Kepulauan
Ayau.
Nelayan
(Napoleon/
Kerapu)
Konsumen
(restoran sea
food bertaraf
Internasional)
•
Pedagang
Pengumpul
Distributor
Eksportir/
Pedagang
besar
Importir di
Hongkong &
Singapora
Harga
Harga ikan napoleon dan ikan kerapu sangat bervariasi tergantung pada ukuran
beratnya. Seperti telah dijelaskan sebelumnya ada empat golongan ikan napoleon
berdasarkan ukuran beratnya yaitu baby, super, ekor kecil dan ekor besar. Sedangkan
untuk ikan kerapu digolongkan menjadi tiga yaitu baby, super dan up. Harga di tingkat
pedagang pengumpul (pembelian dari nelayan) per satu kg untuk masing-masing jenis
ikan menurut ukuran beratnya dapat dilihat pada Tabel 4.2. Dari tabel terlihat bahwa
harga ikan napoleon tertinggi adalah untuk golongan super dengan berat 0,6 kg sampai
dengan 1,2 kg. Ukuran ini dianggap ideal disajikan menjadi 1 porsi untuk satu orang.
Dari tabel ini juga dapat diketahui bahwa semakin besar ukuran ikan harga per kgnya
semakin turun. Untuk golongan ekor kecil harganya Rp 130.000 per ekor, sedangkan
untuk golongan ekor besar harganya Rp 160.000 per ekor. Hal ini dikarenakan ukuran
diatas 1,3 kg dianggap kurang ideal untuk disajikan dan kalau ukurannya terlalu besar
rasanya kurang enak dibandingkan dengan ikan dengan ukuran dibawah 1,3 kg per
ekornya. Berbeda dengan ikan napoleon, harga ikan kerapu per kg semakin mahal
dengan besarnya ukuran per ekornya. Untuk ukuran baby harga per ekor jenis GH Rp
6.000, ukuran super Rp 15.000 dan ukuran up harganya Rp 15.000. Untuk jenis
Saiseng harga ukuran baby dan super sama dengan jenis GH, sedangkan ukuran up
harganya Rp 17.000 per kg. Jenis ikan kerapu tongseng harganya jauh lebih mahal
dibandingkan dengan kedua jenis ikann yang lain. Untuk ukuran baby harga per kgnya
Rp 17.000, ukuran super Rp 27.000 per kg dan ukuran up harga per kgnya Rp 30.000.
Perbedaan harga ini dikarenakan jenis ikan kerapu tongseng rasanya jauh lebih enak
dibandingkan dengan jenis GH dan saiseng. Disamping itu, populasi jenis ikan kerapu
tonseng ini lebih sedikit.
48
Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Tabel 4.2.
Harga Ikan Napoleon dan Kerapu per Kg
Golongan
Ikan
Napoleon
Ikan Kerapu
GH
Saiseng
Tongseng
Baby (0,3 kg – 0,5kg)
Rp 50.000
Rp 6.000
Rp 5.000
Rp 17.000
Super (0,6 kg – 1,2 kg)
Rp 120.000 Rp 15.000
Rp 15.000
Rp 27.000
Up (1,3 kg +)
Rp 15.000
Rp 20.000
Rp 30.000
Ekor kecil (1,3 kg – 3 kg)
Rp 130.000* TB
TB
TB
Ekor besar (3,1 kg – 5 kg)
Rp 160.000* TB
TB
TB
Di atas 5,1 kg (Up)
Rp 30.000
Sumber: Hasil Wawancara Mendalam dengan Narasumber di Kepulauan Ayau.
Catatan: TB: Ikan Kerapu tidak ada ukuran ekor kecil dan ekor besar
* : Harga per ekor
Informasi mengenai harga ikan Napoleon dan Kerapu di tingkat pedagang besar
(dari pedagang pengumpul ke pedagang besar) agak sulit didapatkan. Akan tetapi
sebagai gambarannya pedagang pengumpul paling sedikit mendapatkan keuntungan
bersih sebesar 35 persen dari harga pembelian, dengan menanggung resiko kematian
ikan antara 15 –20 persen. Dengan demikian adapat diperkirakan bahwa minimal harga
ikan di tingkat pedagang besar tersebut dua kali lipat dari harga di tingkat nelayan.
4.3.2. Rumput Laut dan berbagai jenis ikan asin/ikan kering
•
Rantai Pemasaran
Rantai pemasaran rumput laut dan ikan asin atau ikan kering lebih sederhana
dibandingkan dengan pemasaran ikan hidup (lihat Bagan). Rumput laut dan ikan
asin/ikan kering oleh penduduk dipasarkan ke pasar Sorong setiap bulan sekali.
Penjualan ini selalu dilakukan secara bersama-sama seluruh warga dengan
menggunakan kapal milik desa (body susun). Rumah tangga yang mempunyai
persediaan rumput laut, tetapi tidak bisa pergi menjual ke Sorong dapat menitipkan
kepada tetangganya untuk dijualkan. Di pasar Sorong rumput laut tersebut dibeli oleh
pedagang pengumpul yang kemudian menjualnya kembali kepada pedagang besar
untuk diantarpulaukan ke konsumen di luar pulau. Konsumen rumput laut ini pada
umumnya adalah perusahaan makanan dan obat-obatan. Di samping konsum en di luar
pulau, terdapat juga beberapa perusahaan makanan dan obat-obatan lokal (di Kota
Sorong).
Sebelum memasarkan rumput laut sendiri ke pasar Sorong pernah ada
pengusaha yang bersedia menampung hasil rumput laut dari para nelayan kampung
Meosbekwan. Pengusaha tersebut adalah yang memperkenalkan budidaya rumput laut
dan memberikan benih serta tali secara cuma-cuma kepada penduduk. Pada waktu
diperkenalkan (tahun 1999) ada semacam perjanjian antara penduduk dan pengusaha
yang isinya adanya kewajiban penduduk untuk menjual hasil rumput lautnya selama dua
tahun berturut – turut kepada pengusaha. Akan tetapi belum ada dua tahun penduduk
sudah berani menjualnya sendiri ke Sorong karena perbedaan harga yang terlalu tinggi.
Pengusaha tersebut memberikan harga yang terlalu rendah dibandingkan dengan harga
di Pasar Sorong. Perbedaan harga tersebut berkisar antara Rp 500 sampai dengan Rp
1000 per kg. Sampai saat ini tidak ada satupun penduduk yang menjual hasil panennya
ke pengusaha. Beralihnya pemasaran dari dijual ke pengusaha menjadi dijual sendiri ke
49
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
pasar Sorong tidak menjadi masalah buat si pengusaha. Hal tersebut dikarenakan
pengusaha telah mengalihkan usahanya dari menampung rumput laut beralih menjadi
menampung ikan Napoleon dan Kerapu yang lebih memberikan keuntungan besar.
Pemasaran ikan asin dan ikan kering dilakukan melalui dua jalur. Jalur pertama
dipasarkan langsung kepada konsumen dan jalur kedua dipasarkan melalui pedagang
yang kemudian menjualnya lagi ke konsumen. Pada jalur pertama penduduk membawa
ikan tersebut ke pasar. Di pasar, mereka menggelar tikar dan menjajakannya langsung
kepada pembeli. Sementara itu jalur kedua ikan asin/ikan kering tersebut dijual kepada
pedagang yang kemudian menjualnya lagi ke konsumen.
Selain itu adakalanya ikan asin tersebut juga ditukar dengan beberapa
kebutuhan pokok lain, seperti sagu atau beras. Pemasaran secara barter ini umumnya
terjadi di pasar Kabare (ibukota Kecamatan Waigeo Utara). Penjualan secara barter ini
dilakukan karena penduduk di sekitar Kabare memang membutuhkan hasil laut seperti
ikan asin atau cacing dan gurita untuk lauk pauk, sementara penduduk desa
Meosbekwan membutuhkan sagu yang tidak dapat diproduksi di desa.
•
Harga
Harga rumput laut sangat berfluktuasi, tergantung pada pasokan dan permintaan
pasar. Fluktuasi tersebut berkisar antara Rp 2000 sampai dengan Rp 3500 per kg.
Pada penjualan bulan Agustus 2001 harga per kg Rp 3.500 dan untuk seluruh desa
dapat terjual sekitar 1,2 ton rumput laut. Sementara itu harga ikan asin satu ikat yang
terdiri dari dua potong dengan berat sekitar 1 kg sekitar Rp 5000.
Bagan 4.2
Nelayan
(rumput laut
kering)
Rantai pemasaran rumput laut di Kepulauan Ayau
Pedagang
Pengumpul
di Sorong
Industri rumah
tangga
Pedagang besar
di Sorong
Industri kosmetik
dan obat-obatan
4.3. Tehnologi Pasca Panen
Dari ketiga sumber daya laut dominan yang ada di desa Meosbekwan ini hanya
rumput laut yang memerlukan penanganan pasca panen. Kedua jenis sumber daya laut,
ikan napoleon dan kerapu langsung dijual segar ke pedagang pengumpul. Apabila
nelayan belum bisa langsung menjual ke pedagang pengumpul maka ikan-ikan tersebut
dipelihara dahulu di dalam keramba untuk beberapa waktu.
50
Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Penanganan rumput laut pasca panen sangat mudah dan sederhana serta tidak
memerlukan modal besar. Setelah rumput laut berumur satu bulan, waktunya bisa
dipanen. Umumnya panen ini dilakukan oleh para ibu-ibu yang dibantu oleh anak-anak
yang telah remaja dan dewasa. Para bapak-bapak kalau mempunyai waktu senggang
(tidak sedang melaut) juga membantu memanen rumput laut. Oleh karena rumput laut
yang dipanen memiliki ranting yang banyak dalam satu tangkai, maka untuk
memudahkan penjemuran dan cepat kering maka rumput laut tersebut dipotong-potong
terlebih dahulu. Setelah dipotong-potong kemudian dijemur di sinar matahari sampai
kering. Dalam cuaca bagus (tidak sering hujan) maka rumput laut bisa kering selama
kurang lebih 10 hari. Setelah kering rumput laut tersebut kemudian di simpan dalam
karung-karung plastik dan siap untuk dipasarkan. Sebagai tempat penjemuran,
umumnya para warga membuat para-para yang dibuat dari kayu setinggi kurang lebih
1,25 meter. Hampir setiap rumah tangga umumnya mempunyai para-para dengan lebar
kurang lebih dua kali dua meter.
51
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Bab V
Pendapatan dan Kesejahteraan Masyarakat
Banyak indikator yang dapat dipakai untuk mengukur tingkat kesejahteraan
masyarakat, baik indikator ekonomi maupun non ekonomi. Namun, sangat sulit untuk
mengukur indikator non ekonomi (misalnya kesejahteraa n batin) untuk melihat tingkat
kesejahteraan masyarakat. Bagian ini mendiskripsikan kesejahteraan masyarakat
dengan menekankan pada beberapa indikator ekonomi, yaitu (1) pendapatan dan
pengeluaran, (2) strategi dalam pengelolaan keuangan, (3) pemilikan dan penguasaan
asset serta (4) kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan.
5.1. Pendapatan dan Pengeluaran
Analisis tentang pendapatan dan perilaku masyarakat dalam membelanjakan
pendapatannya bermanfaat bagi perumusan kebijakan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Pendapatan dan pengeluaran dapat dipakai sebagai tolok
ukur kesejahteraan masyarakat, dimana antara dua variabel ini saling terkait satu
dengan yang lain. Pada umumnya pola pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh
besar kecilnya pendapatan rumah tangga. Semakin tinggi pendapatan rumah tangga,
proporsi pengeluaran rumah tangga menjadi semakin tinggi dan beragam. Sebaliknya,
rumah tangga yang memiliki pendapatan rendah, pendapatan banyak dibelanjakan
untuk memenuhi kebutuhan makanan dengan tingkat pengeluaran rendah. Kajian ini
berfokus pada diskusi tentang pendapatan dan pengeluaran rumah tangga di Kampung
Meosbekwan yang masyarakatnya relatif homogen, yaitu sebagai nelayan.
Pendapatan
Ketergantungan masyarakat Kampung Meosbekwan pada hasil sumberdaya laut
yang hanya menggunakan teknologi penangkapan sederhana, berpengaruh terhadap
tingkat pendapatan dan kesejahteraan (ekonomi) mereka yang umumnya masih rendah.
Pendapatan rumah tangga dalam kajian ini mencakup semua pendapatan dari
pekerjaan utama dan tambahan yang diperoleh dari semua anggota rumah tangga
bekerja. Hasil survei memperlihatkan, rata-rata pendapatan rumah tangga dalam
sebulan terakhir adalah Rp 568.827,-. Pendapatan rumah tangga terendah sebesar Rp
200.000,-, sedang pendapatan tertinggi mencapai Rp 1.755.800 per bulan. Persentase
rumah tangga yang memiliki pendapatan diatas pendapatan rata-rata hanya sebesar
31,4 persen, tidak ada separuhnya dari persentase rumah tangga yang berpendapatan
sama dengan dan kurang dari pendapatan secara rata-rata (Tabel 5.1).
Rumah tangga yang memiliki pendapatan tinggi antara lain karena adanya
kontribusi dari beberapa anggota rumah tangga bekerja. Tampak pada Tabel 5.1 bahwa
ada hubungan positif antara jumlah anggota rumah tangga yang bekerja dan besar
pendapatan rumah tangga. Semakin banyak jumlah anggota rumah tangga yang
bekerja, maka persentase rumah tangga dengan pendapatan tinggi (di atas pendapatan
rata-rata) semakin meningkat. Data menunjukkan, persentase rumah tangga yang
memiliki anggota rumah tangga bekerja sebanyak 3-4 orang dan berpendapatan tinggi
53
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
adalah lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga yang hanya memiliki 1-2
anggota rumah tangga bekerja. Selanjutnya, meskipun kasusnya sangat kecil, terlihat
bahwa persentase rumah tangga yang mempunyai pendapatan tinggi dan mempunyai
ART bekerja antara 5-6 orang adalah sekitar dua kali lebih besar dibandingkan rumah
tangga yang hanya memiliki 3-4 ART bekerja pada kategori pendapatan sama. Peran
yang cukup besar dari anggota rumah tangga bekerja dalam mempengaruhi tingginya
pendapatan rumah tangga tersebut mungkin terkait erat dengan kegiatan budidaya
rumput laut yang bisa dilakukan oleh semua anggota rumah tangga dewasa, baik lakilaki maupun perempuan. Pengamatan dan wawancara dengan beberapa sumber
memperlihatkan bahwa pekerjaan budidaya rumput laut dilakukan sepanjang tahun dan
melibatkan banyak anggota rumah tangga, sehingga memberikan kontribusi terhadap
pendapatan rumah tangga.
Tabel 5.1
Rumah Tangga Berdasarkan Besar Pendapatan dan Anggota Rumah Tangga
Bekerja, Kampung Meosbekwan, 2001.
Besar Pendapatan
< 568.827 (rendah)
> 568.827 (tinggi)
1-2
ART Bekerja
3-4
Jumlah
5-6
72,7
27,3
70,0
30,0
33,3
66,7
68,6
31,4
Jumlah
100,0
100,0
100,0
100,0
N
22
10
3
35
Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, COREMAP-LIPI,
2001
Pendapatan rumah tangga di Kampung Meosbekwan termasuk rendah bila
dibandingkan dengan kampung-kampung kajian lainnya1. Hal ini terlihat dari
kecenderungan pengelompokan persentase responden pada pendapatan antara Rp
200-599 ribu (lampiran Tabel 5.1). Hanya terdapat sekitar sepertujuh rumah tangga
yang memiliki pendapatan diatas Rp 1 juta pada periode sebulan terakhir (14,3 persen).
Termasuk pada kelompok ini adalah guru dan mantri kesehatan, meskipun juga ada 2
orang yang berstatus nelayan.
Menurut masyarakat, sumber pendapatan utama diperoleh dari hasil
penangkapan ikan in maming (napoleon), garopa (kerapu) dan lobster. Diantara tiga
sumberdaya laut bernilai tinggi ini, ikan napoleon tersedia sepanjang tahun, sehingga
memberikan kontribusi pendapatan yang tidak sedikit bagi nelayan, meskipun pada saat
musim ombak besar (Bulan April s/d Juni dan Oktober s/d Maret) nelayan tidak bisa
menangkap ikan napoleon. Sementara sumber pendapatan dari ikan kerapu dan lobster
tidak selalu diperoleh sepanjang tahun. Ikan kerapu tersedia cukup banyak pada Bulan
September s/d Pebruari. Lobster tersedia sepanjang tahun, tetapi karena pemasaran
sulit, yaitu harus dijual dalam keadaan segar di Kota Sorong yang berjarak tempuh
sekitar 9 jam, nelayan sering lebih senang mengambil ikan. Ikan napoleon dan kerapu
1
Pengelompokan/kategorisasi rumah tangga berdasarkan besar pendapatan didasarkan pada hasil survei pendapatan
dari semua kampung kajian (4 di Propinsi Papua/Irian Jaya dan 4 di Propinsi Sulawesi Tenggara), sehingga data yang
terkumpul dapat dibandingkan antar kampung kajian. Namun, konsekuensi dari penentuan kategori pendapatan seperti
ini adalah adanya nilai nol (0) pada beberapa kategori. Untuk kasus Kampung Meosbekwan, nilai nol (0) terkonsentrasi di
kategori rumah tangga dengan pendapatan tinggi (di atas Rp 1,8 juta)(lihat lampiran Tabel 5.1).
54
Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
bisa dijual di dalam kampung, karena sudah tersedia penampungan milik pengusaha
luar kampung, sehingga memudahkan nelayan untuk memasarkannya.
Pendapatan yang diperoleh dari ikan napoleon untuk sekali melaut (yang tidak
selalu dilakukan setiap hari) adalah berkisar antara 2-3 ekor dengan harga jual yang
bervariasi tergantung pada besar-kecilnya ukuran ikan napoleon2. Pendapatan yang
diperoleh oleh nelayan dalam sekali melaut dan mendapatkan ikan napoleon berkisar
antara Rp 100.000 sampai dengan Rp 300.000.
Untuk ikan kerapu, pendapatan sekali melaut berkisar antara Rp 50.000 sampai dengan
Rp 75.000 yang berasal dari hasil tangkapan kurang lebih 5 kg. Sebagaimana dengan
ikan napoleon, harga ikan kerapu tergantung pada jenis dan ukurannya 3. Pendapatan
tersebut sudah bersih karena secara nyata tidak ada ongkos produksi yang berarti
karena dalam melaut nelayan cukup berbekal satu bungkus nasi dan lauknya serta
sebotol minuman. Pendapatan dari hasil tangkapan lobster tidak menentu, tetapi
biasanya mendapat 3-5 kg dalam sekali melaut dengan harga Rp 130 ribu per kg.
Disamping itu, masyarakat di Kampung Meosbekwan juga memiliki sumber
pendapatan dari budidaya rumput laut. Pada umumnya, setiap rumah tangga memiliki
sebanyak 40 tali yang dapat menghasilkan antara 20-30 kg per bulan (satu kali panen
per bulan). Dengan harga antara Rp 2.500 - Rp3.500,- per kg, maka pendapatan rumah
tangga nelayan berkisar antara Rp 50.000 s/d Rp 105.000,-. Meskipun tidak dalam
jumlah besar, budidaya rumput laut dapat memberikan pendapatan kepada rumah
tangga nelayan secara berkesinambungan. Keadaan ini tampaknya perlu mendapat
perhatian untuk pengembangannya dalam upaya peningkatan pendapatan penduduk.
Pemberian fasilitas pemasaran di dalam kampung melalui penyediaan tempat
penampungan/pengumpul hasil rumput laut di kampung tampaknya lebih memudahkan
nelayan dalam menjual hasil panen. Pada saat sekarang, nelayan harus menjual hasil
panen rumput laut ke Sorong.
Sumber pendapatan lain adalah berbagai jenis ikan, seperti kakap, baronang
dan gurita. Jenis ikan ini pada umumnya untuk konsumsi sendiri dan sebagian lagi
dijadikan ikan olahan. Gurita dan cacing yang tersedia sepanjang waktu pada saat air
laut surut, pada umumnya dimanfaatkan oleh ibu-ibu untuk dikeringkan dan kemudian
dijual bersama-sama dengan hasil laut lainnya ke Kota Sorong.
Temuan penelitian dengan pendekatan kualitatif menemukan bahwa pendapatan
yang diperoleh bervariasi menurut musim. Pada musim banyak ikan, terutama ikan
Kerapu yang terjadi pada bulan September sampai dengan April dalam sekali melaut
nelayan bisa mendapatkan antara 5kg sampai dengan 10 kg atau sekitar 10 ekor ikan
dengan harga jual antara Rp 75.000 sampai dengan Rp 200.000. Sementara itu pada
saat tidak musim, setiap kali melaut mendapat sekitar 3 sampai dengan 4 ekor ikan
dengan harga jual sekitar Rp 50.000.
Pada saat ombak besar yang terjadi pada bulan sekitar bulan April sampai Juni,
para nelayan tidak mencari ikan napoleon atau kerapu. Pada saat ombak besar dasar
laut di sekitar karang menjadi keruh sehingga sulit untuk menangkap ikan napoleon dan
kerapu. Di samping itu, para nelayan umumnya tidak mempunyai perahu motor
sehingga tidak bisa melaut dalam kondisi ombak besar. Pada saat ombak besar
2
Harga ikan napoleon per kg untuk ukuran 0-6-1,2 kg adalah Rp 120 ribu, 1,3-3kg = Rp 130 ribu, dan ukuran 3,1-5 kg
dihargai Rp 160 ribu. Harga untuk ukuran besar (lebih besar dari 5 kg) tidak dihitung per kg, tetapi dihitung per satuan,
yaitu Rp 30 ribu/ekor.
3
Terdapat 3 jenis ikan kerapu: geha, tongseng dan siseng. Jenis geha memiliki nilai harga tinggi, yaitu Rp 6 ribu per kg
untuk ukuran kecil (baby) dan Rp15 ribu untuk ukuran sedang (super), sedang untuk ukuran besar (up) adalah Rp 15 ribu
per ekor.
55
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
tersebut para nelayan mencari ikan baronang, ikan kakak tua dan berbagai jenis ikan
pelagis lain yang terdapat di sekitar perairan dekat pantai. Ikan-ikan tersebut tidak dijual,
hanya untuk dikonsumsi sendiri dan sisanya biasanya dibuat ikan asin atau dikeringkan.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pendapatan rumah tangga di Kampung
Meosbekwan yang rendah terutama dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama berkaitan
dengan penggunaan alat tangkap sederhana, yaitu pancing untuk menangkap ikan
kerapu, akar bore (sebagai racun) untuk menangkap ikan napoleon, sedang kaca dan
senapan molo untuk menangkap lobster. Dengan alat-alat tangkap sederhana semacam
ini menyebabkan hasil tangkapan ikan tidak banyak, sehingga berpengaruh terhadap
rendahnya pendapatan rumah tangga. Kedua, faktor alam, terutama ombak besar
sangat berpengaruh terhadap kegiatan kenelayanan. Pada saat ombak besar, aktivitas
laut berhenti total, sehingga penduduk Kampung Meosbekwan yang mayoritas sebagai
nelayan hanya mengandalkan sumber penghasilan dari hasil laut.
Selama lima tahun terakhir ini pendapatan cenderung menurun. Informasi dari
beberapa informan menunjukkan bahwa dibanding lima tahun yang lalu pendapatan
nelayan sekarang ini jauh lebih kecil. Disebutkan bahwa sekitar lima tahun yang lalu
dalam sekali melaut umumnya para nelayan bisa mendapatkan sekitar 5 ekor ikan
napoleon. Pada saat ini dalam sekali melaut untuk mendapatkan dua ekor ikan
napoleon sudah sangat sulit. Justeru sering terjadi nelayan sudah berniat dari rumah
untuk mencari napoleon, ternyata sampai sore tidak mendapatkan apa-apa. Hari
berikutnya mereka beralih untuk mencari kerapu yang sekarang ini masih relatif mudah
didapat.
Pengeluaran
Telah disebutkan di atas bahwa pengeluaran rumah tangga merupakan salah
satu indikator kesejahteraan masyarakat yang bersifat positif. Artinya, semakin sejahtera
suatu masyarakat semakin besar pengeluaran untuk berbagai kebutuhan pokok dan
bukan kebutuhan pokok. Sebaliknya, masyarakat yang kurang sejahtera pada umumnya
memiliki pola pengeluaran yang terkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan pokok.
Kasus seperti ini ditemui pula di daerah penelitian.
Rendahnya tingkat pendapatan rata-rata rumah tangga nelayan berpengaruh
terhadap pengeluaran yang rendah pula. Pengeluaran rumah tangga di Kampung
Meosbekwan berkisar antara Rp 65.000,- sampai dengan Rp 950.000,-. Besarnya
pengeluaran rata-rata rumah tangga dalam satu bulan terakhir adalah Rp 309.897,-.
Angka ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan pendapatan rata-rata pada
periode satu bulan terakhir. Pengeluaran untuk makanan meliputi bahan makanan
pokok (beras dan sagu), gula, kopi, teh dan rokok. Pembelian makanan biasanya
dilakukan sebulan sekali, bahkan terkadang tiga bulan sekali jika sedang musim ombak
besar. Pembelian konsumsi makanan dilakukan di Kota Sorong atau di kecamatan,
karena di kampung tidak tersedia warung. Pada saat sangat membutuhkan dan tidak
bisa pergi ke luar kampung, pemenuhan kebutuhan makanan bisa dipinjam dulu kepada
tetangga atau menukar barang (biasanya piring gantung/mangkok) dengan bahan
pangan.
Sebagaimana dengan pendapatan, pengeluaran rumah tangga dalam satu bulan
terakhir juga terkonsentrasi pada kelompok terendah (lampiran Tabel 5.2). Berdasarkan
sensus rumah tangga, mayoritas rumah tangga membelanjakan uangnya kurang dari Rp
400.000,- per bulan (82,9 persen). Dengan kata lain, hanya sedikit rumah tangga yang
56
Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
memiliki pengeluaran rumah tangga diatas pengeluaran rata-rata. Proporsi terbesar
adalah rumah tangga yang memiliki pengeluaran antara Rp 200.000 – Rp 299.000,-,
yaitu mencapai 51,4 persen. Pengeluaran rumah tangga tersebut, kebanyakan
dipergunakan untuk mengkonsumsi antara 3-6 anggota rumah tangga, yang mencapai
61,7 persen (Tabel 5.2).
Tabel 5.2.
Rumah Tangga Berdasarkan Pengeluaran Dalam Periode Satu Bulan
Terakhir, Kampung Meosbekwan
Besar
pengeluaran
Besar anggota rumah tangga
Jumlah
1-2
3-4
5-6
7-8
< 309.897
100,0
92,3
62,5
45,5
70,6
>309.879
0,0
7,7
37,5
54,5
29,4
Jumlah
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
N
2
13
8
11
34
Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, COREMAP -LIPI,
2001
Pola pengeluaran antara lain dipengaruhi oleh banyaknya anggota keluarga.
Tabulasi silang antara besar pengeluaran rumah tangga dan jumlah ART
memperlihatkan bahwa besarnya pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh jumlah
anggota rumah tangga. Semakin besar anggota rumah tangga, semakin besar pula
pengeluaran rumah tangga. Data memperlihatkan, persentase rumah tangga dengan
pengeluaran diatas pengeluaran rata-rata semakin membesar dengan meningkatnya
jumlah anggota rumah tangga. Sebaliknya, persentase rumah tangga dengan
pengeluaran dibawah atau sama besar dengan pengeluaran rata-rata semakin mengecil
sejalan dengan meningkatnya anggota rumah tangga. Keadaan ini mudah dipahami
karena anggota rumah tangga yang besar juga memerlukan kebutuhan yang besar dan
beragam.
Apabila diperhatikan pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan, rata-rata
pengeluaran sebulan terakhir untuk keperluan makanan lebih besar (Rp 203.129,-)
dibandingkan dengan pengeluaran rata-rata untuk bukan makanan (Rp 106.676,-).
Dikaitkan dengan jumlah pengeluaran rata-rata seluruhnya, maka sebanyak 65,5 persen
dari pengeluaran rumah tangga dipergunakan untuk membeli kebutuhan makanan.
Dalam perspektif ekonomi, keadaan ini dapat menggambarkan bahwa kebanyakan
rumah tangga di Kampung Meosbekwan masih termasuk dalam keluarga miskin.
Pengeluaran yang cukup besar untuk makanan tampaknya juga dipengaruhi oleh
harga makanan yang tinggi. Harga beras dengan kualitas biasa mencapai Rp 3.000 per
kg, sedang harga sagu sebesar Rp 30.000 - Rp 40.000 per tumang. Dalam satu bulan,
satu rumah tangga dengan 2-4 anggota rumah tangga dapat menghabiskan kira-kira 50
kg beras dan 2 tumang sagu. Dengan demikian pengeluaran untuk makanan pokok
dalam satu rumah tangga dengan 3-4 ART mencapai diatas Rp 200.000,-. Sebaliknya
pengeluaran untuk bukan makanan yang bernilai rendah adalah karena sebagian besar
hanya untuk biaya pendidikan yang terbatas pada SPP dan pembelian buku.
Tampaknya dalam satu bulan terakhir tidak ada pengeluaran untuk keperluan sosial,
seperti kebiasaan pesta adat yang memakan biaya cukup tinggi dan menjadi tanggung
jawab seluruh penduduk. Bahkan, apabila ada hubungan keluarga, sumbangan untuk
pembiayaan pesta juga diberikan pada keluarga yang tinggal di luar kampung.
57
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Dari kelompok konsumsi makanan, persentase terbesar berada pada kelompok
rumah tangga dengan pengeluaran antara Rp 100.000 - Rp 199.000,- (lampiran Tabel
5.3). Kemudian sebanyak 22,9 persen rumah tangga mengkonsumsi makanan dengan
nilai antara Rp 200.000–Rp 299.000,-. Hanya ada 5,7 persen rumah tangga yang
memiliki pengeluaran diatas Rp 500.000,-. Kelompok rumah tangga dengan konsumsi
tinggi untuk pembelian bahan makanan adalah mereka yang baru saja belanja
kebutuhan makanan pokok, misalnya beras dan kebutuhan hidup lainnya. Informasi
yang diperoleh dari pendekatan kualitatif memperlihatkan bahwa konsumsi makanan
pada umumnya dipakai untuk membeli kebutuhan makanan pokok, yaitu beras dan
sagu. Selebihnya dipakai untuk membeli gula, kopi dan rokok.
Memperhatikan kelompok pengeluaran bukan makanan, lebih separuh dari
jumlah rumah tangga memiliki pengeluaran bukan makanan antara Rp100.000 Rp199.000,- (lampiran Tabel 5.4). Sebanyak 29,4 persen membelanjakan
pendapatannya untuk bukan makanan dengan nilai kurang dari Rp 100.000,-.
Pengeluaran terbesar dari konsumsi bukan makanan adalah untuk konsumsi bahan
bakar, pendidikan anak dan aneka barang lainnya serta keperluan adat, misalnya
upacara perkawinan baik keluarga maupun tetangga.
Dalam membelanjakan uang untuk konsumsi rumah tangga pada umumnya
dilakukan secara bersama-sama. Baik isteri maupun suami mempunyai peran yang
seimbang dalam memikirkan dan menentukan barang yang akan dikonsumsi. Meskipun
yang pergi berbelanja ke luar pulau (di ibukota kecamatan atau Kota Sorong) hanya bisa
dilakukan suami saja, misalnya, isteri sudah menitipkan pesanan barang-barang apa
saja yang akan dibeli. Perempuan mempunyai peran cukup besar dalam kehidupan
berumah tangga, terutama menyangkut pengelolaan uang. Disamping memiliki peran
dalam pengeluaran rumah tangga, isteri juga memiliki wewenang dalam memegang
uang. Keadaan ini menggambarkan bahwa kesetaraan jender dalam kehidupan
berumah tangga sudah berlangsung dengan baik yang akan berpengaruh pada
kehidupan yang lebih luas, yaitu di tingkat masyarakat.
5.2. Strategi Dalam Pengelolaan Keuangan
Informasi tentang strategi pengelolaan keuangan rumah tangga dapat dipakai
untuk mengetahu perilaku menabung dan mengatasi kesulitan keuangan yang dilakukan
oleh masyarakat. Perilaku menabung di kalangan masyarakat dipengaruhi oleh banyak
faktor yang dapat diklasifikasikan dalam faktor ekonomi dan non ekonomi
(Tjiptoherijanto, 1998: 94). Dalam konteks penelitian ini dimana penelitian dilakukan di
daerah nelayan, faktor ekonomi yang dilihat adalah besar pendapatan, sedang variabel
bentuk/jenis tabungan dikategorikan dalam faktor non ekonomi.
Rumah tangga yang dapat menabung adalah rumah tangga yang dapat
menyisihkan pendapatannya untuk disimpan, baik dalam bentuk uang maupun bukan
uang. Simpanan dalam bentuk barang/bukan uang bisa pula berupa barang konsumsi
apabila dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan. Pembelian emas yang
dipergunakan untuk perhiasan merupakan barang konsumsi, tetapi simpanan emas
yang diklasifikasikan sebagai tabungan jika emas tersebut juga akan dijual pada saat
membutuhkan.
Berdasarkan sensus rumah tangga diketahui bahwa besarnya pendapatan
rumah tangga tidak berbeda jauh dengan besarnya pengeluaran. Besar pengeluaran
rumah tangga lebih sedikit dibandingkan dengan pendapatan. Perhitungan dari data
58
Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
sensus rumah tangga menemukan, dalam satu bulan terakhir, hampir semua rumah
tangga memilki pendapatan yang lebih besar dari pengeluaran (Tabel 5.3). Hanya
terdapat sebanyak 14,3 persen dari jumlah rumah tangga (5 rumah tangga) yang tidak
memiliki sisa pendapatan. Diantara 5 rumah tangga ini, satu diantaranya menunjukkan
nilai negatif Rp 5000,- yang berarti besar pengeluaran rumah tangga tersebut lebih
tinggi daripada besar pendapatan.
Pada Tabel 5.3, terlihat dengan jelas bahwa persentase tertinggi terdapat pada
rumah tangga yang memiliki selisih pendapatan antara Rp 100.000 – Rp 199.000,-.
Selanjutnya, terlihat bahwa rumah tangga dengan selisih pendapatan Rp 500.000,- dan
diatasnya. Dari data dasar diketahui bahwa rumah tangga dengan selisih pendapatan
yang tinggi adalah rumah tangga pegawai negeri sipil, yaitu seorang guru SD yang
bekerja puluhan tahun.
Tabel 5.3:
Rumah Tangga Berdasarkan Besar Selisih Pendapatan dan
Pengeluaran, Kampung Meosbekwan, 2001.
Selisih pendapatan dan
pengeluaran
(ribuan rupiah)
<0
1- 99
100-199
200-299
300-399
400-499
500+
Sumber:
Frekuensi
5
5
11
4
1
3
6
Jumlah
35
Survei Data Dasar As pek Sosial Terumbu Karang Indonesia,
LIPI, 2001
N
14,3
14,3
31,4
11,4
2,9
8,6
17,1
100,0
COREMAP-
Adanya selisih antara pendapatan dan pengeluaran rumah tangga
menggambarkan bahwa terdapat sebagian rumah tangga yang dapat menyisihkan sisa
pendapatannya untuk menabung. Data yang diperoleh dari pendekatan kuantitatif
memperlihatkan bahwa sebesar 57,1 persen rumah tangga memiliki tabungan.
Bentuk/jenis tabungan pada umumnya berupa uang (95,0 persen) yang disimpan sendiri
oleh rumah tangga bersangkutan. Di Kampung Meosbekwan tidak terdapat lembaga
keuangan (baik formal maupun informal) sebagai wadah/tempat untuk menabung. Minat
masyarakat untuk menabung dalam bentuk uang tunai dan hanya disimpan sendiri
mungkin karena jenis tabungan ini bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan jika
sewaktu-waktu diperluk an. Mereka tidak khawatir uang tabungan akan habis
dibelanjakan karena di kampung ini tidak terdapat warung/sarana ekonomi lainnya.
Kebiasaan menabung sendiri di rumah tidak hanya dilakukan oleh mereka yang
memiliki pendapatan cukup baik, tetapi juga oleh mereka yang berpendapatan rendah.
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan, persentase rumah tangga
yang memiliki tabungan semakin besar pula. Terlihat pada Tabel 5.4, rumah tangga
yang memiliki pendapatan antara Rp 200.000 - Rp 299.000,- sebesar 15 persen dari
mereka memiliki tabungan. Angka ini lebih rendah dari mereka yang tidak memiliki
tabungan (26,7 persen). Sebaliknya, diantara rumah tangga dengan pendapatan lebih
dari Rp 600.000,-, sebesar 35,0 persen mengatakan memilki tabungan, atau lebih tinggi
dari mereka yang tidak memiliki tabungan (28,0 persen).
59
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Tabel 5.4
Rumah Tangga Berdasarkan Besar Pendapatan Dalam Periode Satu
Bulan Terakhir dan Pemilikan Tabungan, Kampung Meosbekwan, 2001.
Besar pendapatan (ribuan)
Pemilikan tabungan
Ya
Tidak
15,0
26,7
20,0
13,3
30,0
20,0
0,0
13,0
35,0
28,6
100,0
100,0
20
15
Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, COREMAP -LIPI,
2001
200 – 299
300 – 399
400 - 499
500 - 599
600 +
Jumlah
Tabel 5.5:
Rumah Tangga Berdasarkan Besar Pendapatan Dalam Periode Satu
Bulan Terakhir dan Kesulitan Keuangan, Kampung Meosbekwan, 2001
Besar pendapatan
(ribuan)
Kesulitan Keuangan
Ya
Tidak
200 – 299
300 – 399
400 – 499
500 – 599
600 +
Jumlah
26,7
15,0
13,3
20,0
20,0
30,0
13,3
0,0
26,7
35,0
100,0
100,0
15
20
Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, COREMAP -LIPI,
2001
Berkaitan dengan kesulitan keuangan, sensus rumah tangga menemukan
adanya sekitar 42,9 persen rumah tangga yang mengalami kesulitan keuangan dalam
enam (6) bulan terakhir. Data tabulasi silang antara besar pendapatan dan kesulitan
keuangan memperlihatkan bahwa kebanyakan rumah tangga yang menghadapi
kesulitan keuangan adalah rumah tangga yang mempunyai pendapatan dibawah
pendapatan rata-rata (Rp 568.827,-), yaitu sebesar 73,3 persen. Diantara
kategori/kelompok pendapatan dibawah pendapatan rata-rata, persentase tertinggi dari
rumah tangga yang menghadapi kesulitan keuangan adalah rumah tangga dengan
pendapatan terendah (Tabel 5.5). Cara mengatasi kesulitan keuangan pada umumnya
dilakukan dengan cara minta bantuan pada keluarga (86,7 persen), yaitu melalui
pinjaman tanpa bunga, meskipun kadang-kadang juga berupa bantuan cuma-cuma
yang umumnya dilakukan oleh mereka yang masih ada hubungan saudara. Cara
mengatasi keuangan yang lain adalah dengan menggadaikan barang, seperti piring
gantung, piring antik dan terkadang kain. Kesulitan keuangan biasanya terjadi pada
saat-saat musim ombak besar, dimana banyak rumah tangga yang tidak dapat pergi
melaut, sehingga pendapatan mereka menjadi berkurang, sementara kebutuhan hidup
tetap harus dipenuhi.
60
Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
5.3. Pemilikan dan Penguasaan Asset
Informasi tentang sistem pemilikan dan penguasaan sumber dapat dipakai untuk
mengetahui pola pemilikan dan penguasaan, baik dalam arti individu maupun kelompok.
Disamping itu, keadaan kehidupan ekonomi penduduk juga dapat digambarkan melalui
kepemilikan asset, baik yang bersifat produktif maupun bukan produktif. Untuk daerah
nelayan seperti halnya Kampung Meosbekwan, asset produktif mencakup armada dan
alat produksi perikanan laut termasuk tempat untuk budidaya rumput laut, sarana dan
asset produksi darat. Asset bukan produktif mencakup pemilikan rumah dan barang
berharga lainnya menurut konsep lokal.
Alat produksi perikanan laut
Telah disebutkan di atas bahwa sumberdaya laut merupakan andalan utama
sebagai sumber pendapatan masyarakat di Kampung Meosbekwan. Dalam konteks ini,
diskripsi tentang pemilikan/penguasaan alat produksi perikanan menjadi penting untuk
dikemukakan. Pemilikan alat produksi perikanan yang ditemukan di daerah penelitian
dapat dilihat pada Tabel 5.6.
Dari hasil sensus rumah tangga diketahui bahwa perahu tanpa motor, yang
dalam istilah lokal dikenal dengan perahu semang dengan ukuran panjang 2 m dan
lebar 0,5 m, cukup banyak dimiliki oleh penduduk Kampung Meosbekwan. Sebanyak
71,4 persen dari jumlah rumah tangga di kampung ini memiliki perahu semang. Harga
perahu semang yang relatif murah, yaitu antara Rp 400.000 – Rp 500.000,- dan dapat
dibeli di kota kecamatan memudahkan nelayan untuk memiliki armada tangkap ini yang
dapat digunakan sebagai sarana kegiatan melaut. Perahu semang menjadi armada
penting bagi nelayan di Kampung Meosbekwan, karena perahu motor yang hanya
dimiliki oleh 4 rumah tangga (11,4 persen) biasanya tidak dipakai sebagai armada
penangkapan ikan. Perahu motor berkapasitas 15 PK ini biasa dipakai untuk alat
transportasi masyarakat jika akan pergi berbelanja atau keperluan lain yang sifatnya
tidak komersial. Artinya, masyarakat tidak dikenakan tarif, tetapi pengguna perahu motor
tersebut secara bersama-sama membiayai ongkos perjalanan, misalnya untuk membeli
bahan bakar.
Tabel 5.6:
Rumah Tangga Berdasarkan Pemilikan/Penguasaan Alat Produksi
Perikanan, Kampung Meosbekwan, 2001.
Alat produksi
perikanan
Ya
Tidak
Jumlah
N
Perahu motor
11,4
88,6
100,0
35
Perahu tanpa motor
71,4
28,6
100,0
35
Jaring
2,9
97,1
100,0
35
Pancing
91,4
8,6
100,0
35
Senapan molo
34,3
65,7
100,0
35
Kacamata molo
17,1
82,9
100,0
35
Kalawai/Manora
54,3
45,7
100,0
35
Manora, Arial
20,0
80,0
100,0
35
Arsyam
11,4
88,6
100,0
35
Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, COREMAP -LIPI,
2001
61
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Diantara pemilikan alat tangkap, pancing merupakan alat tangkap yang paling
banyak dimiliki oleh rumah tangga di lokasi penelitian. Hampir semua rumah tangga
memilki pancing (91,4 persen) yang umumnya digunakan untuk menangkap ikan
kerapu. Tingginya persentase pemilikan pancing ini mengindikasikan bahwa pancing
merupakan alat tangkap utama untuk mengeksploitasi hasil laut, khususnya ikan, seperti
kerapu, ekor kuning, bobara, bolana dan kakaktua. Pemilikan alat tangkap lain yang
cukup banyak ditemukan adalah kalawai (sebagian menyebut manora), yaitu semacam
tombak yang dipakai untuk menangkap ikan dan penyu. Data menunjukkan sebanyak
54,3 persen dari jumlah rumah tangga di Kampung Meosbekwan memiliki
kalawai/manora. Senapan molo, yaitu alat tangkap yang berperan sebagai alat
pembidik, dimiliki oleh sekitar 34,3 persen. Sebagai pasangan dari senapan molo adalah
kaca molo yang hanya dimiliki sedikit rumah tangga (17,1 persen). Senapan dan kaca
molo pada umumnya dipakai untuk menangkap lobster, demikian pula untuk mengambil
ikan napoleon yang sudah dibius dengan akar bore biasanya juga memakai kaca molo.
Rumah tangga dengan pemilikan alat tangkap lainnya tidak terlihat mencolok. Arsyam,
menyerupai linggis, biasa digunakan untuk mencari gurita yang tertinggal di pantai pada
saat air laut sedang surut.
Memperhatikan pemilikan alat produksi perikanan tersebut, tampak nyata bahwa
sebagian besar rumah tangga hanya memiliki armada dan alat tangkap sederhana. Hal
ini mengindikasikan bahwa ekploitasi berlebihan dalam penangkapan sumber daya laut
belum terjadi di daerah penelitian. Disamping pemilikan armada dan alat tangkap,
sebagian besar rumah tangga di Kampung Meosbekwan menguasai wilayah pantai
yang dipergunakan untuk budidaya rumput laut. Sebanyak 88,6 persen rumah tangga
melakukan aktivitas budidaya rumput laut yang dilakukan sepanjang tahun. Penguasaan
wilayah ini diperkirakan dapat berkembang lebih luas mengingat wilayah/tempat untuk
pengembangan rumput laut tersedia di sepanjang pantai.
Sarana/asset produksi di darat dan pemilikan lainnya
Kampung Meosbekwan dengan kondisi tanah berpasir tidak memungkinkan
untuk pengembangan lahan pertanian. Meskipun hasil sensus mencatat ada 5 rumah
tangga (14,3 persen) yang memiliki lahan pertanian, tetapi lokasi lahan pertanian berada
di luar pulau di dekat kota kecamatan yang berjarak tempuh 4 jam dengan
menggunakan perahu motor berkekuatan 5 PK. Lahan pertanian pada umumnya
ditanami kelapa dan sagu. Kelapa dimanfaatkan untuk membuat minyak kelapa, sedang
sagu selain sebagai bahan makanan pokok, pelepahnya dimanfaatkan untuk senat
(semacam tikar) dan bahan dinding rumah.
Rumah tangga yang memiliki lahan pekarangan mencapai 94,3 persen (Tabel
5.7). Namun, lahan pekarangan tidak dimanfaatkan untuk tanaman produktif, kecuali
pohon sukun dan beberapa pohon kelapa untuk konsumsi sendiri. Jenis asset lain yang
dimiliki oleh kebanyakan rumah tangga di Kampung Meosbekwan adalah ayam. Tidak
seperti pola umum, pemeliharaan ayam tidak bertujuan untuk dijual jika ada keperluan
mendesak, tetapi untuk persiapan jika ada pesta.
62
Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Tabel 5.7
Rumah Tangga Berdasarkan Pemilikan/Penguasaan Sarana/aset
Produksi Darat dan Pemilikan Lainnya, Kampung Meosbekwan, 2001
(Persentase).
Pemilikan
Ya
Lahan pekarangan
94,3
Lahan pertanian
14,3
Sarana transportasi
5,7
Ternak ayam
71,4
Elektronik (radio)
34,3
Piring
45,7
gantung/antik/saraka
Rumah
97,1
Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial
LIPI, 2001
Tidak
Jumlah
N
5,7
85,7
94,3
28,6
65,7
64,3
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
35
35
35
35
35
35
2,9
100,0
35
Terumbu Karang Indonesia, COREMAP-
Pemilikan asset yang sifatnya bukan produktif yang terlihat menonjol adalah
pemilikan rumah yang mencapai 97,1 persen. Tampaknya tidak ada kesenjangan yang
mencolok dalam hal pemilikan rumah. Hal ini terlihat dari status pemilikan yang
mayoritas berstatus milik sendiri, disamping kondisi fisik rumah yang hampir sama, yang
akan didiskusikan di bagian 5.4. Hanya sekitar sepertiga dari jumlah rumah tangga
memiliki barang elektronik (radio) yang merupakan sumber informasi penting bagi
penduduk Kampung Meosbekwan. Tidak ada rumah tangga yang memiliki televesi,
mungkin karena tidak ada tenaga listrik maupun diesel/generator. Sebelumnya pernah
ada bantuan generator dari Prinkopal pada tahun 1999, tetapi hanya dapat dipakai
selama kira-kira satu tahun, karena keterbatasan dalam penyediaan bahan bakar dan
perawatan akhirnya rusah hingga sekarang.
Rumah tangga dengan pemilikan piring gantung/antik atau saraka cukup besar
(45 persen). Piring gantung dan piring antik mempunyai nilai ekonomi dan nilai sosial,
sedang saraka (gelang yang terbuat dari uang golden, biasanya didapat dari warisan
nenek moyang) tidak bernilai ekonomis, tetapi hanya memiliki nilai sosial. Piring gantung
dan piring antik dapat dipergunakan sebagai alat pembayaran untuk membeli/menukar
barang-barang kebutuhan hidup. Sejumlah responden menyebutkan bahwa apabila
dikonversi ke nilai rupiah, satu buah piring gantung kira-kira sama dengan Rp 200.000,sedang nilai piring antik lebih tinggi. Piring gantung dan piring antik bernilai sosial tinggi
karena dapat dipakai sebagai mas kawin, meskipun pada saat sekarang nilai sosial
tersebut semakin berkurang. Disamping piring antik dan piring gantung, pemilikan
barang yang mempunyai nilai ekonomi (sebagai alat tukar dengan barang lain) adalah
piring mangkok. Piring mangkok ini memiliki nilai lebih rendah dibandingkan dengan
piring gantung dan piring antik. Selanjutnya, saraka hanya memiliki nilai sosial, yaitu
untuk warisan anak perempuan dan/atau dapat dipakai sebagai mas kawin. Karena nilai
ekonomi dan sosial yang cukup tinggi, maka dapat dimengerti jika hampir separuh dari
jumlah responden memiliki piring antik, piring gantung dan saraka.
5.4. Kondisi Perumahan dan Sanitasi Lingkungan
Bagian ini menguraikan kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan yang
mencakup kondisi fisik perumahan (dinding, lantai dan atap), jamban keluarga,
pembuangan limbah rumah tangga dan ketersediaan air bersih, sumber penerangan
63
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
dan bahan bakar. Telah disinggung di atas, kondisi rumah penduduk di Kampung
Meosbekwan relatif homogen. Bangunan rumah penduduk berderet di sepanjang jalan
utama dengan tatanan teratur. Meskipun rumah satu dengan rumah lain dipisahkan oleh
pekarangan, jarak antara rumah satu dengan rumah lainnya sekitar 25 meter.
Kondisi bangunan rumah pada umumnya semi permanen dengan bahan-bahan
bangunan yang tidak mudah hancur. Dinding terbuat dari papan, atap dari rumbia dan
lantai dilapisi semen tipis dengan permukaan kasar. Ukuran rumah cenderung homogen
yaitu sekitar 6-7 meter untuk ukuran panjang, sedang lebar sekitar 5-6 meter. Ukuran
sebesar ini pada umum nya terdiri dari dua kamar tidur dan satu kamar keluarga.
Bangunan rumah dilengkapi dengan jendela yang berfungsi sebagai ventilasi udara.
Namun, rumah utama ini tidak selalu dipergunakan sendiri oleh pemiliknya. Menurut
kebiasaan mereka, rumah utama ini biasanya diperuntukkan bagi tamu yang menginap
di kampung ini. Mereka lebih senang tidur di dapur (terutama di siang hari atau malam
hari dikala cuaca panas) yang dibangun terpisah dari rumah utama, berjarak sekitar 2
meter. Panjang dapur sekitar 3-4 meter dan lebar antara 2-3 meter. Kondisi bangunan
dapur sangat sederhana, yaitu berlantai pasir putih, dinding terbuat dari pelepah sagu
atau terkadang papan dan atap terbuat dari rumbia. Diantara 39 rumah, terdapat 5
rumah (12,8 persen) yang masuk kategori rum ah permanen dengan ciri berdinding
tembok, lantai semen dan atap terbuat dari seng. Para pemilik rumah permanen ini
adalah perangkat kampung dan dua orang nelayan yang tergolong mempunyai status
ekonomi baik.
Bangunan rumah penduduk pada umumnya tidak di lengkapi dengan sanitasi
lingkungan. Satu-satunya sarana lingkungan yang umum dijumpai adalah tempat mandi
yang berlokasi di dekat sumur. Tidak ada sarana buang air besar. Tempat buang air
besar adalah laut. Sampah juga dibuang di laut. Sarana pembuangan limbah rumah
tangga juga tidak ada, tetapi lingkungan rumah terlihat kering, tidak ditemukan adanya
genangan air. Tanah yang banyak mengandung pasir mempermudah air yang jatuh di
permukaan tanah segera meresap, termasuk air limbah rumah tangga. Perilaku buang
air besar seperti ini bukan karena pengaruh dari kemampuan ekonomi yang rendah
untuk dapat menyediakan jamban keluarga yang memenuhi syarat kesehatan, tetapi
lebih karena faktor kebiasaan. Di sisi lain, ketersediaan wilayah laut yang sangat luas,
sementara jumlah penduduk sangat sedikit jelas mempengaruhi kebiasaan penduduk
untuk tidak merubah kebiasaan perilaku buang air besar.
Sanitasi lingkungan yang mencerminkan kondisi baik terlihat dari sumber air
bersih yang dapat dijumpai di setiap rumah. Sumur gali cukup baik dilihat dari aspek
kesehatan. Sumur dengan diameter satu meter dan kedalaman antara 2,5 - 3 meter
dilindungi dengan cincin yang dibuat dari bekas drum, sedang bibir/dinding sumur
terbuat dari ember plastik bekas. Sumur tidak pernah kering dan air tidak berwarna
(bening), meskipun tampaknya banyak mengandung air kapur. Ini terlihat jelas dari
adanya endapan kapur di tempat memasak air. Tidak seperti di daerah nelayan, rasa air
di daerah ini tidak payau. Kondisi ini mencerminkan bahwa sumber air bersih tidak
menjadi masalah dalam penyediaan, tetapi memerlukan perhatian tersendiri dalam
kaitannya dengan kualitas air minum.
64
Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Bab VI
Degradasi Sumber Daya Laut dan
Faktor-Faktor yang Berpengaruh
Bab ini membahas kondisi sumber daya laut di wilayah perairan Kampung
Meosbekwan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Bahasan mengenai kondisi
sumber daya laut didasarkan pada pengamatan lapangan dan wawancara mendalam
serta kaji bersama dengan berbagai informan, terutama para nelayan Kampung
Meosbekwan yang sehari-harinya selalu berinteraksi dengan sumber daya laut di
wilayah perairan Kepulauan Ayau. Dalam kajian bersama, peserta diminta menggambar
dan menjelaskan peta lokasi sebaran terumbu karang yang berada di wilayah desa,
termasuk lokasi-lokasi yang dapat dimanfaatkan bersama dengan orang luar desa dan
kondisi dan titik-titik lokasi terumbu karang yang sudah rusak. Sementara itu, data
mengenai tingkat degradasi sumber daya laut, khususnya terumbu karang diperoleh dari
survai terhadap responden terpilih. Terhadap responden ini ditanyakan kondisi terumbu
karang pada saat ini dan keadaan lima tahun yang lalu.
Bahasan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi degradasi sumber daya
laut di Kampung Meosbekwan dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama, faktor
internal yang menyebabkan kerusakan sumber daya laut, khususnya terumbu karang
dan ekosistemnya. Termasuk dalam kelompok faktor internal adalah penggunaan
teknologi penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, pengetahuan dan kesadaran
masyarakat setempat terhadap pentingnya pengelolaan sumber daya laut secara lestari.
Kedua adalah faktor eksternal yang antara lain meliputi tingginy a permintaan pasar
terhadap dua jenis ikan karang (napoleon dan kerapu), konflik antara masyarakat lokal
dan nelayan dari luar serta adanya berbagai peraturan tentang pengelolaan sumber
daya laut, termasuk penegakan hukum yang ada.
6.1. Kondisi Sumber Daya Laut
Masyarakat Biak pada umumnya dan penduduk Kampung Meosbekwan pada
khususnya, mengenal pembagian wilayah dari darat sampai laut yang diklaim sebagai
hak milik. Wilayah dimaksud meliputi: (1) siser yaitu batas antara vegetasi darat, pantai
kering dan titik terendah pada waktu air surut; (2) bosen yaitu terumbu karang, batas
antara titik terendah air surut dan laut dalam; (3) arwan yaitu daerah terumbu karang
yang berbentuk landai terbentang meliputi suatu wilayah yang cukup luas; (4) manspar
yaitu daerah tebing karang atau sering disebut kafafar; (5) soren yaitu laut atau batas
terumbu karang dan laut lepas dan (6) irbor yaitu gugusan terumbu karang dan laut
lepas/dalam dan terpisah per gugus. Daerah ini sering diklaim warga sebagai tempat
penangkap ikan di laut lepas.
Kepemilikan wilayah laut, mencakup kepemilikan yang bersifat mutlak (absolut)
dan tidak mutlak (relatif). Kepemilikan yang bersifat mutlak hanya boleh dimanfaatkan
oleh warga kampung setempat dan tidak dapat dimasuki oleh suku atau warga lain
karena sudah ada pranata hukum adat yang berlaku antar penduduk sekitar atau
penduduk antar kampung terdekat. Sedangkan kepemilikan wilayah laut yang bersifat
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
65
tidak mutlak (relatif) adalah wilayah laut yang dapat dimanfaatkan secara bersama-sama
dan dapat dikelola oleh pihak luar, misalnya dari kampung lain yang mempunyai
hubungan darah. Tercakup dalam kepemilikan relatif adalah pemanfaatan irbor
(gugusan terumbu karang) yang letaknya di laut yang jauh dari kampung.
Dalam ‘mencari’ pada umumnya dilakukan sampai ke daerah yang disebut
sebagai soren (batas laut lepas dan terumbu karang) dan irbor atau sering dinamakan
batas penangkapan ikan di laut lepas. Wilayah perairan Kampung Meosbekwan yang
kaya akan berbagai sumber daya laut, khususnya terumbu karang dan ekosistemnya
serta berbagai biota laut yang ada di dalamnya meliputi wilayah yang oleh masyarakat
dikenal sebagai arwan, kafafer, soren dan irbor.
Berbagai jenis ikan karang seperti napoleon, kerapu, lobster dan berbagai jenis
ikan demersal serta ikan permukaan merupakan sumber penghidupan utama bagi
seluruh penduduk desa. Masyarakat sangat bergantung sepenuhnya pada sumber daya
laut yang dimiliki oleh desa ini karena tidak ada potensi sumber daya alam lainnya yang
bisa dimanfaatkan sebagai sumber penghidupan. Eksploitasi berbagai jenis ikan karang
secara intensif dilakukan penduduk pada tahun 1995 yaitu sejak masuknya pengusaha
yang bersedia menampung berbagai jenis ikan karang khususnya napoleon dan kerapu
ke wilayah ini.
Sebelumnya, penduduk memanfaatkan potensi sumber daya laut dengan cara
menangkap segala macam jenis ikan dan tidak secara khusus menangkap ikan karang.
Secara kuantitas penangkapan yang dilakukan tidak banyak, karena kesulitan
pemasaran. Pada masa itu, umumnya hasil tangkapan diolah menjadi ikan kering atau
ikan asin yang kemudian dijual ke Kota Sorong. Penjualan ikan segar tidak bisa
dilakukan karena tidak ada pedagang lokal yang menampung, sedangkan untuk
memasarkan ke Sorong terdapat kendala transportasi. Perjalanan dari Meosbekwan ke
Sorong sekitar delapan jam dan sarana transportasi sangat terbatas. Kalaupun
transportasi lancar, nelayan harus mempunyai cool box (boks pendingin) untuk menjaga
ikan tetap segar selama di perjalanan. Dengan kondisi nelayan yang umumnya
memakai alat tangkap sederhana (perahu tanpa motor dan pancing) tidak
memungkinkan melengkapi alat tangkap tersebut dengan books pendingin.
Selain dimanfaatkan oleh penduduk setempat, wilayah perairan desa ini sudah
cukup lama dijadikan daerah tangkapan (fishing ground) oleh bermacam-macam
nelayan dari luar daerah dan berbagai perusahaan penangkapan ikan berskala besar
yang mempunyai markas di Sorong. Nelayan luar daerah yang sering beroperasi di
wilayah perairan desa ini adalah nelayan dari Buton dan Menado. Sedangkan
perusahaan penangkapan ikan yang pernah beroperasi adalah kapal penangkap ikan
milik Primkopal, PT HMB, Winka dan Ponco Suseco yang umumnya mencari ikan
karang dan juga berbagai jenis ikan permukaan. Eksploitasi oleh berbagai perusahaan
penangkapan ikan berskala besar ini telah mulai dilakukan sejak pertengahan tahun
1980 an. Pada umumnya perusahaan penangkapan tersebut menggunakan armada
besar dan alat tangkap, seperti pukat harimau.
Adanya eksploitasi sumber daya laut (berbagai jenis ikan karang, dem ersal dan
permukaan) yang cukup intensif dengan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah
lingkungan mengakibatkan kondisi terumbu karang dan ekosistemnya mengalami
degradasi. Hasil survai memperlihatkan bahwa menurut pendapat masyarakat kondisi
terumbu karang di wilayah perairan pada saat ini telah mengalami kerusakan. Sekitar 83
persen responden menyatakan bahwa kondisi terumbu karang di wilayah perairan di
sekitar desa dalam keadaan kurang baik dan sekitar 6 persen menyatakan rusak.
66
Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Sementara itu yang menyatakan bahwa kondisi terumbu karang di wilayah perairan
desa masih dalam kondisi baik hanya sekitar 9 persen. Wawancara mendalam dengan
beberapa informan juga mendukung hasil survai. Seorang informan dapat dengan
mudah menceritakan daerah-daerah tertent u, di mana kondisi terumbu karangnya telah
rusak parah akibat pemboman. Seperti diungkapkan:
Di daerah perbatasan antara laut lepas dan terumbu karang (soren)
banyak terumbu karang yang sudah mati karena penggunaan bom oleh
nelayan luar. Mereka menggunakan kapal motor, kita sering mendengar
suara bom. Terakhir kali kita lihat ada orang menggunakan bom pada
bulan lalu (bulan Agustus 2001). Kita kejar mereka lari pakai motor,
akhirnya kita lempari batu.
Kondisi terumbu karang dan ekosistemnya yang telah rusak dikemukakan oleh
beberapa nelayan yang mengatakan bahwa sekarang ini sudah mulai sulit untuk
mendapatkan ikan. Dikatakan bahwa beberapa tahun lalu, dalam sekali melaut (dalam
istilah mereka ‘mencari’) akan dengan mudah mendapatkan 10 ekor ikan kerapu atau
sekitar lima ekor ikan napoleon. Pada saat ini, untuk mendapatkan dua ekor ikan
napoleon saja sudah sangat sulit. Bagi nelayan Kampung Meosbekwan prioritas utama
dalam ‘mencari’ adalah jenis ikan napoleon, karena harga penjualan yang mahal, sekitar
Rp 120.000 per kg untuk ukuran 0,6 kg sampai dengan 1 kg. Jika tidak mendapat ikan
napoleon mereka akan menangkap ikan kerapu. Prioritas penangkapan ikan napoleon
terutama terjadi pada bulan April sampai dengan bulan September di mana pada bulanbulan tersebut populasi jenis ikan ini meningkat.
6.2. Faktor Internal
Uraian mengenai faktor internal yang mempengaruhi degradasi sumber daya
laut, khususnya terumbu karang di wilayah perairan desa Meosbekwan ini akan dibagi
menjadi dua kelompok. Terdapat dua faktor eksternal utama yang berpengaruh
terhadap degradasi sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Pertama, faktor yang
langsung menyebabkan kerusakan sumber daya laut. Termasuk dalam kelompok ini
adalah eksploitasi yang berlebihan (over fishing) dan tehnik penangkapan yang tidak
ramah lingkungan seperti penggunaan racun dan bom. Kedua, adalah faktor-faktor yang
tidak secara langsung berpengaruh terhadap degradasi sumber daya laut seperti
pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang pengelolaan sumber daya laut,
termasuk di dalamnya sistim sasi.
6.2.1. Faktor yang langsung menyebabkan kerusakan sumber daya laut
•
Eksploitasi yang berlebihan (over fishing)
Penangkapan berlebihan bisa timbul karena sifat manusia yang tidak pernah
puas dan ingin mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda. Keserakahan untuk
mendapatkan keuntungan besar telah memotivasi terjadinya penangkapan secara
berlebih ini lebih ditunjang lagi dengan adanya permintaan akan berbagai jenis sumber
daya laut dengan harga yang menggiurkan. Denga n bertambah dan berkembangnya
berbagai restoran yang menyediakan makanan laut (sea food) mengakibatkan
eksploitasi sejumlah biota laut sepertin ikan, udang dan tripang semakin gencar. Di
samping itu, tumbuhnya berbagai industri cindera mata dan obat-obatan yang memakai
bahan baku berbagai biota laut, seperti akar bahar dan berbagai jenis moluska juga
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
67
mengakibatkan beberapa jenis biota laut yang ada di perairan terumbu karang mulai
terancam keberadaannya.
Jenis biota laut di Kampung Meosbekwan yang telah dieksploitasi dalam jumlah
banyak dan jangka waktu yang lama adalah lola, teripang dan pia. Pengambilan ketiga
sumber daya laut secara berlebih ini dirangsang oleh keberadaan sebuah perusahaan
(PT Multi Argo Maluku) yang melakukan pengumpulan lola, teripang dan pia sejak tahun
1985an. Sampai pada tahun 1990 perusahaan ini masih beroperasi dan menerima
pasokan berbagai jenis sumber daya laut, khususnya lola, teripang dan pia dari para
nelayan di Kepulauan Ayau, termasuk Kampung Meosbekwan.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa populasi ketiga jenis biota ini pada
tahun 1990 sudah mulai berkurang (Proyek Pengembangan Kawasan Pelestarian Laut,
1990). Menurut para nelayan setempat pada tahun 1990 ketiga jenis biota laut tersebut
masih banyak di tempat-tempat penyebarannya. Namun pengusaha pengumpul hasil
tangkapan para nelayan, mengatakan bahwa volume pembelian lola, teripang dan pia
sudah menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun.
Pada saat ini pengambilan ketiga jenis sumber daya laut tersebut sudah diatur
dengan diterapkannya sasi atau dalam bahasa lokal ‘kabus’. Pengambilan lola, teripang
dan pia hanya dibolehkan untuk kepentingan umum. Pembukaan ‘kabus’ dalam tiga
tahun terakhir ini dimanfaatkan untuk pembangunan gereja. Sampai penelitian ini
dilakukan ‘kabus’ masih ditutup dan direncanakan tahun 2002 dibuka lagi untuk
keperluan menutup biaya pembangunan gereja yang masih belum selesai.
•
Penggunaan potas
Secara umum penggunaan potas atau sianida untuk menangkap ikan belum
banyak dikenal oleh para nelayan Kampung Meosbekwan. Selama ini para nelayan
selalu menggunakan akar bore untuk menangkap ikan. Namun beberapa nelayan luar
desa dengan secara sembunyi-sembunyi telah mulai menggunakan potas. Dalam
operasinya, umumnya selalu memakai perahu motor dan kompresor sebagai alat bantu
selam. Daerah tangkapan sering berada di daerah terumbu karang yang berlokasi di laut
lepas.
Penggunaan potas dikhawatirkan akan semakin meluas karena para nelayan (dari
luar desa) yang mempunyai perahu motor dan mengusahakan kompresor cenderung
menggunakan potas untuk menangkap ikan. Salah seorang informan menyebutkan
bahwa apabila nelayan menggunakan kompresor untuk menyelam, maka bisa
dipastikan yang dipakai untuk menangkap ikan dan udang adalah potas bukan akar
bore, sebagaimana ungkapan berikut ini:
Ada beberapa nelayan yang telah memakai kompresor dalam ‘mencari’, bisa
dipastikan mereka pakai potas. Tidak mungkin mereka tidak memakai potas,
karena kalau hanya pakai akar bore, mereka rugi.
Seperti telah diungkapkan sebelumnya bahwa per ahu semang merupakan alat
yang sering dipakai nelayan Kampung Meosbekwan dalam mencari. Nelayan yang
mempunyai perahu motor hanya sebanyak dua orang. Perahu tersebut tidak pernah
digunakan untuk ‘mencari’. Namun, di masa datang apabila mereka bisa mengusahakan
kompresor memungkinkan para nelayan Kampung Meosbekwan juga akan
menggunakan potas untuk menangkap ikan, seperti halnya yang sudah dilakukan oleh
beberapa nelayan dari luar desa. Gejala meluasnya penggunaan potas oleh nelayan
68
Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
luar desa sudah mulai terlihat, seperti yang diungkapkan oleh seorang informan yang
kebetulan pemuka masyarakat:
Banyak sudah orang luar desa yang mulai menggunakan potas untuk
menangkap ikan. Kita orang susah untuk lawan mereka. Saya khawatir di
masa depan ada nelayan kita yang ikut-ikut menggunakan potas.
•
Penggunaan bom
Meskipun sudah dilarang dan dianggap melanggar hukum penggunaan bom
untuk menangkap ikan masih tetap dilakukan oleh banyak orang. Menangkap ikan
memakai bom dianggap praktis karena tiga alasan utama, yaitu: (1) waktu yang
dibutuhkan tidak terlalu lama dibandingkan dengan memakai pancing, (2) tidak
memerlukan banyak tenaga dan (3) perolehan hasil tangkapan lebih banyak. Dalam
satu kali lempar bom, beribu-ribu ikan tangkapan berhasil diperoleh. Biasanya cara
penangkapan ikan memakai bom ini terjadi di lokasi-lokasi perairan yang banyak
terdapat terumbu karang. Dengan demikian tidak hanya mematikan ikan, tetapi juga
merusak ekosistem terumbu karang sebagai tempat ikan hidup.
Sampai saat ini masyarakat nelayan di Kepulauan Ayau tidak/belum mengenal
teknologi membuat bom dan cara menggunakan bom untuk menangkap ikan. Alat
tangkap yang umum digunakan oleh para nelayan hanyalah alat tangkap sederhana
seperti perahu semang, pancing, tombak dan panah. Alat bantu lain yang dipakai adalah
apa yang ada di alam sekitarnya seperti akar bore.
Meskipun sampai saat ini masyarakat setempat tidak pernah menggunakan bom
untuk menangkap ikan, tetapi perairan di wilayah Kepulauan Ayau telah rusak akibat
penggunaan bom yang dilakukan oleh nelayan dari luar daerah (Lihat Peta 3). Nelayan
dari luar daerah tersebut diantaranya nelayan Buton dan dari Ternate yang biasanya
memakai kapal motor berukuran sedang. Dalam satu motor terdapat beberapa nelayan
(sekitar 4-8 orang) yang dalam operasinya tersebut dibiayai oleh juragan dari daerah
yang sama.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
69
Peta 3
Lokasi Pengeboman
di sekitar P. Meosbekwan
Menurut pemahaman masyarakat setempat
ÐÐÐ
ÐÐÐ
U
P. Abidon
P. Ros
ÐÐ
P. Tukan
P. Meosbekwan
ÐÐÐ
ÐÐÐ
9
Hak atas karang
(Fishing ground)
Keret Burdam
10 ÐÐ
Hak atas Karang
Keret Imbir
11
12 ÐÐÐ
9,10,11,12
ÐÐÐ
Ð
:Fishing spot Keret Burdam
: Batas fishing ground
Terumbu karang
: Lokasi pengeboman
: Rumput laut
Sumber: hasil pemetaan bersama dengan narasumber di Kepulauan Ayau
70
Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Penggunaan akar bore dalam mencari ikan napoleon (maming) dan lobster
Masyarakat kepulauan Ayau berasal dari Biak yang telah bermigrasi ke wilayah
ini kira-kira pertengahan abad 19. Suku Biak telah dikenal mempunyai tradisi suka
melakukan perjalanan laut dan mengarungi samudera luas yang merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari eksistensi kehidupan mereka. Karena kehidupan yang sangat
dekat dengan ekosistem laut, maka mereka telah mempunyai keahlian mengelola dan
memanfaatkan sumber daya laut secara turun-temurun. Berbagai keahlian tersebut
diantaranya adalah menangkap ikan dengan panah dan tombak serta penggunaan
tanaman yang dinamakan bore untuk menangkap ikan, terutama ikan-ikan karang. Cara
menggunakan akar bore untuk menangkap ikan adalah dengan mengambil akarnya
kemudian ditumbuk dan diperas untuk diambil getahnya. Getah tersebut digunakan
untuk menangkap ikan dengan cara menuangkan cairan akar bore tersebut ke sekitar
lubang karang dimana ikan-ikan bersembunyi. Dengan adanya cairan akar bore maka
perairan di sekitar lubang karang tersebut terkontaminasi dengan racun dari akar bore
dan ikan-ikan menjadi pingsan sehingga dapat dengan mudah di tangkap. Peralatan
yang dipakai untuk menangkap ikan dengan menggunakan akar bore adalah kaca molo
yang dipakai untuk melindungi mata pada waktu menyelam. Penyelaman dilakukan
ketika akan menuang cairan bore dan ketika akan menangkap ikan yang sudah pingsan.
Untuk menangkap ikan napoleon umumnya penduduk desa Meosbekwan tidak
menggunakan pancing, tetapi menggunakan akar bore. Dengan menggunakan akar
bore ikan yang ditangkap tidak luka, hanya pingsan sebentar dan setelah ditempatkan di
air yang bersih (tidak ada racunnya) maka ikan akan kembali segar, sehingga tidak
mengurangi harga jual. Penggunaan pancing dapat melukai ikan napoleon bhkan
mematikan jika pancing ditarik terlalu keras.
Penggunaan akar bore untuk menangkap ikan napoleon ini semakin intensif
setelah ada pedagang pengumpul yang menampung hasil tangkapan nelayan. Setelah
ada pedagang pengumpul yang beroperasi di desa, ikan maming menjadi prioritas
utama untuk ditangkap oleh para nelayan desa Meosbekwan. Penangkapan ikan ini
tidak tergantung musim. Sepanjang tahun bisa dilakukan, kecuali pada musim ombak
besar. Pada musim ombak besar perairan di sekitar terumbu karang menjadi keruh
sehingga sulit untuk melakukan penyelaman untuk menangkap ikan. Pada musim
ombak, terutama yang terjadi pada bulan Desember dan Januari intensitas
penangkapan ikan napoleon dengan menggunakan akar bore menjadi berkurang.
Selain untuk menangkap ikan maming, akar bore juga digunakan oleh nelayan
setempat untuk menangkap udang batu (lobster). Penangkapan lobster, terutama
dilakukan pada malam hari, di perairan sekitar terumbu karang. Cara penggunaan akar
bore untuk menangkap udang sama dengan penggunaannya untuk ikan napoleon.
Belum diketahui secara pasti sampai seberapa jauh akibat dari penggunaan akar
bore dalam penangkapan ikan terhadap kerusakan terumbu karang dan ekosistemnya.
Penelitian yang pernah dilakukan masih terbatas pada akibat dari penggunaan racun
sianida (potas) terhadap terumbu karang. Penelitian menunjukkan bahwa meskipun
penggunaan racun untuk menangkap ikan tidak mengakibatkan kehancuran dan
kematian terumbu karang secara langsung seperti halnya penggunaan bom, akan tetapi
mempunyai pengaruh menghambat pertumbuhan dan perkembangan serta
metabolisme dari sel-sel biota laut menjadi kering dan akhirnya mati. Meskipun
kerusakan yang ditimbulkan tidak terlihat nyata, kondisi ini sangat berbahaya karena
berlangsung lama dan terjadi akumulasi racun pada hewan-hewan invertabrata,
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
71
termasuk karang sehingga kerusakan yang ditimbulkan sulit dipulihkan kembali (Ikawati
dkk., 2001).
Di samping kerusakan karang yang terjadi secara perlahan-lahan, penggunaan
sianida dalam penangkapan ikan juga mengakibatkan kerusakan fisik karang. Kondisi ini
terjadi karena ikan, udang (yang menjadi target tangkapan) yang terkena racun menjadi
mabuk dan adakalanya tidak keluar dari lubang melainkan masuk ke dalam ekosistem,
sehingga untuk mengambil hasil tangkapan tersebut para nelayan akan membongkar
dan menghancurkan terumbu karang yang ada.
Sampai seberapa jauh akibat yang ditimbulkan karena penggunaan cairan akar
bore ini terhadap kerusakan karang? Telah dikemukakan, sampai saat ini belum ada
penelitian yang secara serius mengamati akibat penggunaan akar bore terhadap
kerusakan terumbu karang dan ekosistemnya. Diduga kerusakan akibat penggunaan
akar bore ini tetap ada meskipun tidak sebesar kerusakan yang ditimbulkan oleh
penggunaan sianida. Dugaan ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa ikan dan udang
yang menjadi sasaran penangkapan dengan akar bore menjadi mabuk.
6.2.2. Faktor yang tidak langsung
•
Pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang pengelolaan terumbu karang
Salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya degradasi sumber daya
laut adalah pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang pengelolaan sumber daya
laut. Pengetahuan masyarakat sekitar mengenai pengelolaan sumber daya laut yang
cukup baik disertai kesadaran untuk menjaga dan mengelolanya akan mengurangi
tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh faktor manusia. Kalaupun ada ulah manusia
dari luar (pendatang) yang menggunakan teknologi penangkapan yang merusak
lingkungan, setidaknya bisa diawasi oleh masyarakat sekitar yang telah mempunyai
kesadaran tinggi terhadap pengelolaan sumber daya laut tersebut.
Secara umum masyarakat Kepulauan Ayau dan masyarakat Kampung
Meosbekwan sangat menyadari bahwa terumbu karang dan ekosistemnya merupakan
sumber penghidupannya. Ada ungkapan dalam bahasa lokal yang mencerminkan
betapa masyarakat desa sangat tergantung pada keberadaan terumbu karang dan
ekosistemnya. Ungkapan tersebut adalah ‘kenem yedi ro bosen raswan a yedi’ yang
terjemahan bebasnya adalah ‘kehidupan saya ada di terumbu karang’. Dari terumbu
karang dan ekosistemnya, mereka mendapatkan berbagai sum ber daya laut yang bisa
dimanfaatkan sebagai sumber penghasilan. Ketergantungan masyarakat Kampung
Meosbekwan terhadap sumber daya laut ini cukup besar dibandingkan desa-desa
lainnya di Kepulauan Ayau karena Kampung Meosbekwan tidak mempunyai sumber
daya alam lain yang bisa dikembangkan selain sumber daya laut.
Seiring dengan kedekatan mereka terhadap sumber daya laut, tumbuh pula
pengetahuan mereka mengenai berbagai manfaat dari terumbu karang dan
ekosistemnya. Secara umum pengetahuan masyarakat tentang kegunaan terumbu
karang dan ekosistemnya cukup tinggi. Dari 35 responden yang diwawancarai mengenai
berbagai manfaat yang bisa diambil dari ekosistem terumbu karang, hampir sebagian
besar mengetahui bahwa terumbu karang mempunyai berbagai manfaat. Responden
yang mengetahui bahwa terumbu karang merupakan sumber berbagai bahan baku
(makanan dan obat-obatan) cukup tinggi, sebesar 74 persen. Sedangkan yang
menyebutkan bahwa terumbu karang berguna karena mempunyai nilai ekonomi yang
cukup tinggi sekitar 54 persen.
72
Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Pengetahuan masyarakat tentang akibat dari kerusakan terumbu karang juga
cukup baik. Hasil survai menunjukkan bahwa sekitar 77 persen responden menyebutkan
kalau terumbu karang rusak maka berbagai sumber bahan baku makanan dan obatobatan akan berkurang. Akibat lain yang juga dipahami betul oleh masyarakat adalah
berkurangnya nilai ekonomi sumber daya laut yang bisa diambil. Sekitar 43 persen
responden menyebutkan bahwa kalau terumbu karang rusak maka nilai ekonomi
sumber daya laut akan turun.
Secara umum terlihat bahwa pengetahuan tentang teknologi dan alat tangkap
yang merusak dan tidak merusak terumbu karang juga cukup baik yang tercermin dari
besarnya proporsi responden yang menjawab bahwa bom dan sianida dapat merusak
terumbu karang. Sementara itu, pengetahuan mengenai adanya larangan atau
peraturan mengenai penggunaan alat tangkap yang merusak terumbu karang seperti
bom dan sianida dan sanksi-sanksi yang diberikan bila ada orang yang melanggar juga
diketahui oleh kebanyakan masyarakat Kampung Meosbekwan.
Mengenai larangan pengambilan karang dan sanksi yang ada apabila ada
pelanggaran juga sangat diketahui oleh sebagian besar masyarakat. Hampir semua
responden mengatakan bahwa mereka mengetahui larangan tersebut. Menurut
penuturan masyarakat setem pat dan juga pengamatan di lapangan penduduk tidak
pernah mengambil terumbu karang secara langsung (direct) untuk bahan membangun
perumahan atau untuk keperluan lainnya. Penggunaan terumbu karang sebagai bahan
perhiasan rumah juga belum ada.
Pengetahuan masyarakat tentang pengelolan sumber daya laut yang cukup baik
juga diikuti oleh tingginya kesadaran mereka untuk mengelola dan memanfaatkan
sumber daya laut tanpa merusak lingkungan. Tingginya kesadaran tersebut tercermin
dari kecilnya proporsi responden yang menyatakan pernah menggunakan bom dan
sianida untuk menangkap ikan. Selain itu, juga terlihat dari sikap posistip mereka
terhadap keberadaan peraturan yang melarang penggunaan bom dan sianida untuk
menangkap ikan. Secara umum mereka sangat setuju dengan adanya peraturan
tersebut.
Tingginya kesadaran masyarakat terhadap pelestarian terumbu karang dan
ekosistemnya ini terlihat dari tindakan mereka mengejar kapal yang dioperasikan oleh
nelayan luar karena menggunakan bom dan sianida untuk menangkap ikan di perairan
wilayah desa. Meskipun dengan peralatan sederhana seperti perahu motor mesin kecil
(15 PK) mereka berusaha mengejar dan melempari dengan batu pada kapal-kapal
tersebut.
Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa secara umum masyarakat desa
Meosbekwan mempunyai pengetahuan dan kesadaran yang cukup baik untuk menjaga
dan mengelola sumber daya laut, khususnya terumbu karang yang ada di wilayah
perairan desa. Mereka sangat menyadari bahwa kalau terumbu karang rusak,
kehidupan mereka akan terganggu karena sumber daya laut yang ada di wilayah
perairan desa merupakan satu-satunya sumber penghidupan. Selama ini terumbu
karang dan ekosistemnya telah dianggap sebagai ‘ladang’ bagi mereka untuk mencari
makan dan memenuhi berbagai kebutuhan lain.
Cukup baiknya pengetahuan mengenai kegunaan terumbu karang serta cukup
tingginya kesadaran masyarakat desa Meosbekwan dalam menjaga dan mengelola
terumbu karang dan ekosistemnya ini sangat berpengaruh pada usaha-usaha menjaga
kelestarian dan mengurangi degradasi yang terjadi. Meskipun diakui oleh nelayan
setempat bahwa kondisi terumbu karang yang ada di sekitar desa telah mulai
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
73
mengalami kerusakan, tetapi kerusakan tersebut lebih banyak dikarenakan oleh
penggunaan tehnik penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan (bom dan sianida)
oleh nelayan dari luar desa.
•
Adanya sasi untuk pengambilan biota tertentu (lola, kima dan teripang)
Beberapa jenis biota laut tertentu seperti lola, tripang dan pia telah cukup lama
(sejak sekitar tahun 1980an) dieksploitasi secara besar-besaran oleh penduduk.
Eksploitasi secara besar-besaran tersebut dirangsang oleh adanya pengusaha dari PT
Multi Argo Maluku yang melakukan pengumpulan lola, teripang dan pia untuk seluruh
Kepulauan Ayau.
Pada tahun 1990 populasi ketiga jenis biota laut ini mulai menurun yang
diindikasikan dengan semakin menurunnya jumlah pia yang berhasil dikumpulkan oleh
pengusaha pengumpul. Perusahaan ini sejak sekitar pertengahan tahun 1990 an tidak
beroperasi lagi dikarenakan pasokan ketiga jenis biota tersebut sudah sangat menurun.
Upaya mengembalikan populasi jenis lola, teripang dan pia di wilayah perairan
Kepulauan Ayau, termasuk desa Meosbekwan sudah dilakukan oleh penduduk
setempat dengan diberlakukan sistem sasi oleh ketua adat dan peresmiannya dilakukan
di depan majelis gereja yang ada di desa. Sasi atau dalam bahasa lokal disebut ‘kabus ’
ini dimaksudkan untuk melarang pengambilan ketiga biota tersebut (lola, pia dan
teripang) untuk jangka waktu tertentu, biasanya sekitar dua tahun. Pada saat sasi
diberlakukan (tutup sasi), baik masyarakat lokal apalagi masyarakat pendatang dari
daerah lain tidak boleh mengambil atau menangkap dan mengumpulkan lola, pia dan
teripang. Larangan pengambilan tersebut akan dicabut setelah ada pemberitahuan oleh
ketua adat dan dewan/majelis gereja tentang pembukaan sasi, biasanya setelah kurang
lebih dua tahun, terkecuali ada diantara warga masyarakat yang mempunyai hajat,
misalnya mengadakan pernikahan. Dengan demikian, pemberlakuan sasi ini merupakan
salah satu upaya pencegahan eks ploitasi sumber daya laut secara berlebihan.
6.3. Faktor Eksternal
•
Permintaan pasar yang cukup tinggi terhadap ikan napoleon dan kerapu.
Penurunan kondisi terumbu karang juga dapat disebabkan oleh pemanfaatan
ikan penghuni terumbu karang dan biota lain sebagai ikan hias akuarium laut. Bisnis
yang sangat menguntungkan ini, apabila tidak dilakukan dengan hati-hati dan dipantau
secara terus-menerus akan menimbulkan ketidakseimbangan biologis. Hal ini karena
semua makhluk yang mendiami suatu ekosistem, masing-masing mempunyai peranan
yang tidak bisa dilepaskan satu dengan yang lain.
Di wilayah Kepulauan Ayau peningkatan pemanfaatan ikan karang khususnya
ikan kerapu dan napoleon dimulai sejak tahun 1995, yaitu sejak beroperasinya
pengusaha yang bertindak sebagai pedagang pengumpul. Semula penduduk lokal
menangkap jenis ikan ini hanya untuk keperluan konsumsi sendiri bersama dengan
jenis-jenis ikan yang lain. Karena penangkapan hanya untuk konsumsi keluarga, maka
pemanfaatan jenis ikan karang seperti Napoleon dan Kerapu tidak mencapai jumlah
besar. Sejak ada pedagang pengumpul dan para nelayan mengetahui bahwa dua jenis
ikan tersebut bernilai ekonomi tinggi, maka hampir semua nelayan memprioritaskan diri
untuk secara khusus menangkap ke dua jenis ikan ini. Penduduk juga mulai tidak
mengkonsumsi ikan ini karena nilai jualnya tinggi, sehingga sayang kalau hanya
74
Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
dimakan. Penduduk masih menangkap jenis ikan lainnya, tetapi hanya sebatas untuk
konsumsi sehingga jumlahnya juga tidak begitu besar.
Permintaan pasar yang cukup tinggi dan keuntungan yang besar mengakibatkan
jumlah pedagang pengumpul yang merupakan kepanjangan tangan perusahaan ini
bertambah. Sampai dengan tahun 2001 terdapat tiga kelompok pedagang pengumpul
yang masing-masing mempunyai induk perusahaan di Sorong. Salah satu pedagang
pengumpul yang mulai beroperasi di Kampung Meos Bekwan pada tahun 1998, juga
mempunyai ‘base camp’ lain di desa Rutum. Sementara itu, pedagang pengumpul yang
ada di Kampung Dorehkar juga mempunyai ‘base camp’ lain lagi di Kampung Reni.
Ikan-ikan ini dikirim oleh eksportir ke Hongkong untuk memenuhi permintaan restoranrestoran bertaraf internasional. Setiap bulannya rata-rata sekitar 3 ton ikan napoleon
dan kerapu dikirim ke Hongkong dari wilayah Kepulauan Ayau.
Dilihat dari segi ekonomi, permintaan yang cukup tinggi akan jenis ikan kerapu
dan napoleon ini cukup menguntungkan bagi nelayan setempat. Sejak ada permintaan
dan beroperasinya para pedagang pengumpul pendapatan nelayan meningkat cukup
drastis dibandingkan sebelumnya. Pendapatan yang meningkat ini tentunya mempunyai
implikasi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Sebelum ada pedagang
pengumpul, pendapatan para nelayan hanya tergantung pada eksploitasi segala macam
jenis ikan yang dijadikan ikan asin atau ikan kering, ditambah lagi dengan berbagai
komoditi sumber daya laut lain seperti kima dan gurita.
Walaupun secara ekonomi permintaan pasar yang tinggi ini memberikan
keuntungan yang besar bagi nelayan setempat, akan tetapi keuntungan ini tidak akan
berlangsung lama kalau eksploitasi dilakukan secara besar-besaran dan tidak
mengindahkan kaidah-kaidah tehnik penangkapan yang tidak merusak lingkungan.
Eksploitasi secara intensif dengan menggunakan tehnik penangkapan yang merusak
lingkungan akan mengakibatkan ekosistem terumbu karang menjadi terganggu. Karena
ekosistemnya terganggu maka ikan-ikan penghuni karang juga tidak dapat berkembang
biak secara baik. Sudah terlihat tanda-tanda bahwa populasi kedua jenis ikan ini mulai
menurun. Indikasinya adalah adanya keluhan dari para nelayan mengenai sulitnya
mendapatkan kedua jenis ikan Kerapu dan Napoleon pada akhir-akhir ini.
Untuk kompensasi terhadap sumber daya laut, khususnya napoloen dan kerapu
yang dieksploitasi dari wilayah Kepulauan Ayau, masyarakat lokal yang diwakili oleh
ketua adat dan perangkat desa telah menentukan adanya retribusi terhadap
pengumpulan dua jenis ikan ini. Retribusi ini dibebankan kepada pengusaha pengumpul
yang diwajibkan untuk membayar sebesar Rp 5.000 per kg ikan yang telah dikumpulkan
pada saat ‘loading’ ikan. Uang retribusi ini diserahkan kepada majelis gereja dengan
sepengetahuan kepala desa. Penggunaan uang tersebut dilakukan secara musyawarah,
diantaranya adalah dipakai untuk perbaikan sarana ibadah, sarana sosial lain, atau
dapat dipinjam oleh warga yang memerlukan tanpa membayar bunga.
•
Konflik kepentingan antar stakeholders
Seperti telah diuraikan pada bagian terdahulu bahwa nelayan lokal telah
mempunyai kesadaran yang relatif tinggi untuk mengelola dan memelihara sumber daya
laut, khususnya terumbu karang. Mereka umumnya sangat menyadari bahwa
pemeliharaan dan pengelolaan terumbu karang perlu dilakukan untuk menjaga dari
kepunahan. Bagi nelayan lokal termbu karang adalah sebagai sumber kehidupan,
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
75
karenanya mereka sadar jika terumbu karang sampai rusak maka masa depan
kehidupannya akan tidak terjamin.
Menyadari bahwa kondisi terumbu karang harus dijaga kelestariannya supaya
dapat dimanfaatkan sebagai sumber penghidupan maka dalam memanfaatkan sumber
daya laut nelayan lokal umumnya tidak menggunakan teknologi yang sifatnya merusak
lingkungan, seperti potas dan bom. Sampai saat ini para nelayan hanya menggunakan
perahu tanpa motor dan alat tangkap sederhana seperti pancing, panah dan tombak.
Meskipun nelayan lokal tidak pernah menggunakan alat tangkap yang merusak
lingkungan dan berusaha menjaga terumbu karang dan ekosistemnya dari kepunahan,
tetapi ada pihak-pihak luar yang justru memanfaatkan perairan Kepulauan Ayau sebagai
‘fishing ground’ dengan tidak mengindahkan kaidah-kaidah teknologi penangkapan yang
tidak merusak lingkungan. Pihak-pihak luar tersebut diantaranya adalah sekelompok
nelayan yang berasal dari luar daerah (bahkan luar propinsi). Mereka melakukan
operasi secara berkelompok dengan ‘juragan’ yang bertindak sebagai pemberi modal.
Satu kelompok terdiri dari sekitar 8-10 orang nelayan. Tidak seperti nelayan lokal yang
umumnya hanya menggunakan kapal tanpa motor dan alat tangkap sederhana,
kelompok nelayan dari luar tersebut dalam beroperasi menggunakan kapal motor yang
relatif besar (rata-rata di atas 60 PK) dan peralatan tangkap yang ‘modern’ seperti
kompresor dan alat selam lainnya. Mereka juga menggunakan bom dan sianida untuk
menangkap ikan. Selain kelompok nelayan tersebut, pihak luar yang memanfaatkan
perairan Kepulauan Ayau dengan menggunakan kapal besar dan peralatan tangkap
yang modern, seperti jaring yang menyerupai pukat harimau adalah para nelayan
dengan berbagai armada kapal milik perusahaan penangkap ikan yang umumnya
mempunyai ‘base camp’ di Sorong. Armada dari berbagai perusahaan besar ini
umumnya mencari ikan-ikan permukaan (pelagis) seperti cakalang dan tuna.
Daerah operasi kelompok nelayan dan armada kapal milik perusahaan
penangkapan ikan ini pada umumnya terletak di perbatasan antara sebaran terumbu
karang yang merupakan wilayah yang hanya boleh dimanfaatkan nelayan Kampung
Meosbekwan dan sebaran terumbu karang yang ada di laut bebas. Perselisihan dengan
nelayan lokal sering terjadi karena kelompok nelayan ini sering masuk ke wilayah
penangkapan nelayan lokal dan menangkap ikan dengan menggunakan potas dan bom.
Tidak jarang terjadi nelayan lokal beramai-ramai mengejar dan mengusir kapal milik
kelompok nelayan tersebut supaya ke luar dari wilayah tangkapannya. Namun apabila
para nelayan pulang kembali ke desa, kelompok nelayan tersebut kembali lagi ke
wilayah tangkapan nelayan lokal dan menangkap ikan dengan menggunakan bom dan
potas. Diantara kelompok nelayan luar tersebut ada beberapa kelompok yang dalam
beroperasi melengkapi diri dengan senjata api. Ketika nelayan lokal berusaha mengusir
mereka langsung mengeluarkan senjata apinya untuk menakut-nakuti nelayan lokal.
Untuk melawan kelompok nelayan luar ini nelayan lokal hanya melempari mereka
memakai batu hingga kapal ke luar dari wilayah tangkapan nelayan lokal. Pernah terjadi
kasus di mana nelayan lokal secara ramai-ramai bisa menangkap kapal para nelayan
luar tersebut dan melaporkannya ke pemerintah Kecamatan Waigeo Utara. Namun,
karena belum ada aturan dan kewenangan yang jelas untuk mengusut lebih lanjut,
akhirnya para nelayan yang telah dianggap melanggar peraturan dilepas lagi oleh
pemerintah kecamatan dan sampai sekarang tidak ada tindak lanjutnya.
Dalam jangka panjang konflik antara nelayan lokal dan pendatang yang sudah
lama terjadi ini apabila tidak ada penyelesaiannya akan mempunyai dampak pula pada
kerusakan terumbu karang di wilayah perairan Kepulauan Ayau pada umumnya dan
wilayah perairan yang menjadi wilayah tangkapan nelayan Kampung Meosbekwan,
76
Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
pada khususnya. Hal itu terjadi apabila nelayan lokal yang sekarang ini telah
mempunyai kesadaran untuk tetap menjaga kondisi terumbu karang dengan
mengelolanya secara baik melalui penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan
menjadi kesal dan marah. Mereka akan berpikir untuk apa mereka bekerja keras
menjaga terumbu karang dan ekosistemnya tersebut apabila nelayan luar terus menerus merusaknya. Rasa kesal dan marah nelayan lokal ini lama kelamaan akan
mempengaruhi perilakunya. Mereka akan berpikir dengan tetap konsisten menggunakan
alat tangkap yang tidak merusak lingkungan supaya terumbu karang tidak rusak mereka
tidak mendapat apa-apa. Sementara itu, kerusakan terumbu karang terus terjadi karena
tetap beroperasinya nelayan luar dengan menggunakan bom dan potas. Dengan kondisi
sedemikian, bukan tidak mungkin nelayan lokal lama-kelamaan akan ikut menggunakan
bom dan potas supaya hasil tangkapan mereka bisa banyak dan memberikan
keuntungan yang besar. Perubahan perilaku nelayan lokal ini dimungkinkan terjadi
apabila nelayan lokal mulai bisa mengusahakan kapal motor dan kompresor. Hal
tersebut dikarenakan penangkapan ikan dengan menggunakan kapal motor yang
dilengkapi kompresor umumnya pasti memakai potas/sianida untuk membuat ikan
mabuk sehingga dengan mudah ditangkap. Penyelaman dengan menggunakan
kompresor bisa mencapai kedalaman lebih dari 25 meter di mana populasi ikan lebih
banyak. Dengan hanya menggunakan akar bore untuk membuat ikan mabuk dianggap
tidak efisien karena efek racun dari akar bore untuk membuat ikan mabuk tidak secepat
racun sianida/potas.
•
Peraturan dan penegakan hukum
Sumber hukum utama dalam pengelolaan dan pemanfaatan terumbu karang
yang berlaku di tingkat pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten adalah Undangundang perikanan (UU No 9/1985), Undang-Undang No 5 Tahun 1995 tentang
konservasi sumber daya hayati dan undang-undang no 23 tahun 1997 tentang
pengelolaan lingkungan hidup.
Dalam undang-undang perikanan No 9/1985 secara jelas disebutkan dalam
pasal 6 ayat 1 bahwa setiap orang atau badan hukum dilarang menggunakan kegiatan
penangkapan dan pembudidayaan ikan-ikan dengan menggunakan bahan-bahan dan
alat atau alat yang dapat membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan
lingkungannya. Selanjutnya dalam pasal 7 ayat 1 dinyatakan bahwa setiap orang atau
badan hukum dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan
kerusakan sumber daya ikan dan atau lingkungannya. Sanksi hukum akibat
pelanggaran undang-undang adalah penjara selama-lamanya 10 tahun dan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp 100.000.000,. Berkaitan dengan penangkapan ikan Kerapu,
Ikan Karang, Lobster izin diterbitkan oleh Dinas Perikanan Kabupaten berdasarkan SK
Mentri Pertanian No 509/KPTS/IK/120/J/95 jo SK Dirjen Perikanan no 1251/KPTS/KL
420/II/98. Dalam izin tersebut disebutkan tentang larangan penggunaan bahan peledak,
racun, obat bius dan bahan kimia lainnya untuk menangkap ikan. Peralatan tangkap
yang diperbolehkan adalah peralatan tradisional seperti pancing, bubu dan Gill net. Di
samping itu, dalam operasi penangkapan tersebut dilakukan dengan cara kerjasama
kemitraan antara nelayan tradisional (plasma) dan perusahaan (inti) yang mengacu
pada Pedoman Kemitraan Usaha Perikanan dengan pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR).
Dalam hal ini penangkapan ikan hanya boleh dilakukan oleh nelayan tradisional dan
tidak dibenarkan oleh perusahaan.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
77
Peraturan mengenai izin penangkapan ikan napoleon mengacu pada Keputusan
Direktur Jenderal Perikanan Nomor: HK.330/DJ.8259/95 jo nomor; HK.330/DJ.663/96
tentang ukuran lokasi dan tata cara penangkapan ikan napoleon. Izin penangkapan ini
dikeluarkan dengan persyaratan bahwa dalam pelaksanaannya harus dilakukan
kerjasama pola kemitraan (pola PIR) antara perusahaan (Inti) dan kelompok nelayan
(Plasma), dimana perusahaan diberikan izin pengumpulan lokal dan kelompok nelayan
tradisional diberikan izin penangkapan. Lebih lanjut dalam izin tersebut juga disebutkan
bahwa perusahaan diwajibkan melakukan pembudidayaan ikan napoleon di lokasi
pengumpulan.
Pada tingkat kecamatan larangan tentang penggunaan bahan peledak, racun,
obat bius dan bahan kimia lainnya dalam menangkap ikan ditindaklanjuti dengan
dibuatnya surat edaran camat. Dalam surat edaran camat No 300/329/98 tertanggal 18
Nopember 1998 secara jelas disebutkan bahwa setiap orang atau badan usaha dilarang
menangkap ikan dengan menggunakan potasium, akar tuba dan bahan peledak lainnya.
Surat edaran tersebut disebarkan ke desa-desa melalui perangkat desa.
Di Kampung Meosbekwan perusahaan pengumpul (inti) mulai beroperasi pada
tahun 1998. Sebelumnya tahun 1998, para nelayan (plasma) menjual ikan-ikan hasil
tangkapannya ke perusahaan pengumpul yang ada di Kampung Dorehkar. Sampai
sejauh ini belum terlihat adanya pelanggaran penggunaan izin. Perusahaan hanya
melakukan pengumpulan saja (tidak mempunyai armada tangkap serta tidak melakukan
penangkapan) dan penangkapan tetap dilakukan sepenuhnya oleh nelayan tradisional
setempat. Mengenai penggunaan peralatan tangkap dijelaskan secara tegas dalam
surat ijin bahwa penggunaan racun dilarang namun dalam prakteknya para nelayan
tradisional melakukan penangkapan ikan Napoleon dengan menggunakan akar bore
(sejenis racun) dari tumbuh-tumbuhan.
Hasil survai mengenai penggunaan alat tangkap menunjukkan bahwa seratus
persen responden menyatakan bahwa mereka tidak pernah menggunakan racun atau
sejenis racun (termasuk akar tuba) untuk menangkap ikan. Namun dalam wawancara
mendalam terungkap bahwa pada umumnya para nelayan tetap menggunakan akar
bore untuk menangkap ikan Napoleon. Walaupun mereka menyadari bahwa akar bore
mempunyai efek yang kurang lebih sama dengan racun dan seharusnya tidak dipakai
dalam menangkap ikan akan tetapi karena mereka tidak mempunyai alternatif cara
menangkap dengan alat lain maka pelanggaran itu tetap dilakukan.
•
Penegakan hukum yang masih lemah
Meskipun berbagai peraturan telah dikeluarkan tetapi dalam implementasi
penegakan hukum menemui banyak kendala. Salah satu kendala tersebut adalah
adanya tumpang tindih mengenai kewenangan melakukan penyidikan apakah polisi
ataukah pegawai negeri sipil dan angkatan laut. Hal tersebut dikarenakan dalam
peraturan undang-undang perikanan disebutkan bahwa yang mempunyai kewenangan
menyidik adalah pegawai negeri sipil atau angkatan laut. Sementara itu kalau disidik
oleh pegawai negeri sipil atau angkatan laut, jaksa tidak dapat menindaklanjuti karena
kewenangan penyidikan di sistim hukum Indonesia adalah polisi.
Selain kendala tumpang tindihnya peraturan yang bersifat umum, terdapat
kendala tehnis di lapangan seperti luasnya sebaran terumbu karang yang harus diawasi.
Wilayah sebaran terumbu karang di Kepulauan Ayau sangat luas dan letaknya terpencil
(cukup jauh dari kota kecamatan dan kabupaten). Sarana transportasi untuk ke daerah
78
Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
ini sangat minim ditambah lagi kondisi alam yang kadang-kadang tidak bersahabat,
misalnya ombak besar pada musim-musim tertentu mengakibatkan sulitnya melakukan
pengawasan.
Mencermati permasalahan dan kendala yang ada dalam melakukan
pengawasan dan penegakan hukum oleh pihak berwajib maka salah satu sistem
pengawasan yang cukup efektif dan efisien adalah pengawasan yang dilakukan oleh
masyarakat lokal. Masyarakat lokal Kampung Meosbekwan pada khususnya dan
Kepulauan Ayau pada umumnya, saat ini relatif telah mempunyai kesadaran untuk
melakukan pengawasan terhadap pelanggaran penggunaan alat penangkapan ikan
yang merusak lingkungan. Masyarakat sering melawan dan mengusir nelayan luar yang
melakukan penangkapan dengan menggunakan bom dan potas untuk menangkap ikan.
Namun, banyak kendala yang dihadapi oleh masyarakat lokal dalam melakukan
pengawasan tersebut. Salah satu kendalanya adalah sarana dan peralatan yang dimiliki
oleh masyarakat lokal masih sangat tradisional, umumnya hanya menggunakan perahu
tanpa motor atau perahu motor berkekuatan kecil. Sementara para nelayan luar yang
melakukan pelanggaran tersebut menggunakan kapal motor berkekuatan besar dan
para nelayan tersebut kadang-kadang juga melengkapi diri dengan senjata api.
Ketimpangan teknologi yang dimiliki antara nelayan tradisional dan para nelayan luar
yang melakukan pelanggaran ini saat ini menjadi kendala besar. Masyarakat lokal
menjadi tidak berdaya untuk mengejar dan mengusir nelayan luar yang melakukan
pelanggaran tersebut.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
79
Bab VII
Diskusi, Kesimpulan dan Saran
7.1. Diskusi
Perairan Kepulauan Ayau pada umumnya dan wilayah Kampung Meosbekwan
pada khususnya mempunyai potensi sumber daya laut yang potensial untuk
dikembangkan. Hamparan terumbu karang di wilayah ini cukup luas dan kaya akan
berbagai jenis ikan karang dan biota lainnya. Selain itu, pantai-pantai di gugusan
Kepulauan Ayau mempunyai pasir putih yang merupakan tempat bertelur berbagai jenis
penyu.
Kekayaan akan sumber daya laut di wilayah kampung ini tidak hanya
dimanfaatkan oleh nelayan setempat, tetapi juga oleh nelayan dari luar daerah, bahkan
luar propinsi. Selain itu, wilayah perairan ini sudah lama dijadikan ‘fishing ground’ oleh
berbagai perusahaan besar seperti PT Usaha Mina dan PT Bintuni Maluku yang
menangkap berbagai jenis ikan permukaan seperti ikan Tuna dan Cakalang.
Dari penelitian ini terungkap bahwa terdapat ketimpangan dalam pemanfaatan
sumber daya laut antara nelayan setempat dengan nelayan yang datang dari luar.
Ketimpangan tersebut diantaranya tercermin dari segi teknologi yang digunakan dan
cara penangkapan. Nelayan lokal pada umumnya hanya memakai peralatan sederhana
untuk menangkap ikan, seperti perahu tanpa motor dan alat tangkap pancing, panah
dan tombak. Sementara nelayan dari luar menggunakan peralatan penangkapan
dengan teknologi yang telah maju, misalnya kapal bermotor ukuran besar serta
memakai alat tangkap (jaring besar, bom dan potas). Dalam kapal juga dilengkapi
sarana penyimpanan ikan (cool box). Hasil tangkapan para nelayan luar ini langsung
dibawa ke Sorong (kota pelabuhan terdekat). Ketimpangan tehnologi yang digunakan
dalam pemanfaatan sumber daya laut ini telah mengakibatkan perbedaan jumlah hasil
tangkapan dan nilai ekonominya.
Nelayan lokal memanfaatkan sumber daya laut secara intensif baru dimulai pada
tahun 1995, sejak adanya pengusaha yang mengumpulkan ikan napoleon dan kerapu
segar. Sebelumnya, penduduk menangkap segala macam jenis ikan untuk konsumsi
sehari-hari. Sisa konsumsi dimanfaatkan untuk dibuat ikan kering atau diasinkan.
Karena hanya untuk konsumsi sendiri maka secara kuantitas jumlah ikan yang
ditangkap tidak banyak. Alat tangkap yang dipakai juga cukup sederhana seperti panah
dan tombak. Cara penangkapan dilakukan dengan menyelam dan menombak atau
memanah ikan satu per satu. Dengan cara tersebut ukuran ikan yang tertangkap akan
lebih terpilih.
Mulai tahun 1995 nelayan lokal mengetahui bahwa ikan-ikan karang, terutama
ikan napoleon dan kerapu yang ada di wilayah perairan Kepulauan Ayau mempunyai
nilai ekonomis yang tinggi. Sejak itu para nelayan secara khusus memburu kedua jenis
ikan ini. Kalau sebelumnya peralatan yang dipakai hanya tombak, panah serta pancing,
maka sejak ada permintaan ikan napoleon segar maka para nelayan mulai
menggunakan sejenis racun yang berasal dari tumbuh-tumbuhan (akar bore atau akar
tuba) untuk memudahkan menangkap ikan dalam keadaan hidup. Perubahan target
tangkapan dari segala macam jenis ikan untuk konsumsi beralih menjadi jenis ikan
81
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
karang yang bernilai ekonomis tinggi telah berpengaruh terhadap ekosistem sumber
daya laut, khususnya terumbu karang. Sebelum nelayan lokal memburu ikan napoloen
dan ikan kerapu, daerah tangkapan hanya terbatas pada wilayah perairan dekat dengan
kampung dan tidak terlalu terfokus pada lokasi terumbu karang. Wilayah tangkapan para
nelayan lokal sekarang ini terfokus pada lokasi terumbu karang karena jenis ikan yang
utama dicari adalah jenis ikan karang. Intensitas pemanfaatan lokasi terumbu karang ini
tentunya mempengaruhi ekosistemnya. Menangkap ikan dengan menggunakan akar
bore memang belum secara ilmiah terbukti merusak terumbu karang. Namun, karena
ikan-ikan menjadi mabuk, terumbu karang tercermar racun. Selain itu, penggunaan akar
tuba untuk menangkap ikan berpotensi juga merusak fisik terumbu karang. Ini terjadi
karena ikan yang telah terkena racun umumnya masuk ke lubang-lubang karang dan
untuk menangkapnya, nelayan sering mengambilnya dengan paksa, seperti memecah
atau membongkar karang.
Eksploitasi ikan karang jenis napoleon dan kerapu di Wilayah Kepulauan Ayau,
termasuk di Kampung Meosbekwan ini secara resmi memang sudah memenuhi
persyaratan perizinan. Dalam hal ini para nelayan lokal bertindak sebagai plasma yang
mempunyai izin menangkap, sedangkan perusahaan pengumpul (inti) hanya
mempunyai izin melakukan pengumpulan. Sampai saat ini belum ada pelanggaran yang
dilakukan oleh perusahaan, dalam arti perusahaan masih tetap melakukan
pengumpulan dan tidak mempunyai armada tangkap dan buruh nelayan yang langsung
menangkap ikan sendiri. Namun demikian dalam pelaksanaan masih ada kewajiban
pengusaha yang harus dipenuhi yaitu melakukan budidaya ikan napoleon. Seperti
diketahui bahwa dalam perizinan dicantumkan kewajiban untuk melakukan budidaya,
guna menjamin kelestarian jenis biota laut ini. Sampai saat ini pihak pengusaha belum
melakukan budidaya ikan napoleon. Umumnya yang dilakukan adalah melakukan
penampungan untuk menunggu sampai kapal pengangkut datang.
Pola hubungan kemitraan (inti dan plasma) dalam penangkapan ikan napoleon
dan kerapu di Kampung Meosbekwan ini kalau berjalan secara baik akan
menguntungkan kedua belah pihak. Nelayan lokal sebagai plasma terbantu untuk
pemasaran dan pengusaha bisa mendapatkan keuntungan dari pengumpulan komoditi
sumber daya laut yang mempunyai nilai jual tinggi di luar negeri, khususnya di
Hongkong. Dari pengamatan lapangan dapat diketahui bahwa dalam penentuan harga
jual dari pihak nelayan (plasma) ke pengusaha lebih banyak ditentukan oleh pengusaha.
Namun informasi tentang harga jual dari pengusaha pengumpul ke pedagang besar
(eksportir) sulit didapatkan. Dikatakan oleh pengusaha pengumpul bahwa dengan
menanggung resiko kematian sampai 30 persen, pihak pengumpul (inti) dapat
menikmati keuntungan sebesar 35 persen. Dengan kondisi sedemikian, jelas bahwa
keuntungan terbesar masih dinikmati oleh penguasaha (plasma). Dalam hal ini nelayan
sebagi plasma kurang mempunyai bargaining power untuk negoisasi soal harga jual.
Beroperasinya beberapa pengusaha pengumpul di Kepulauan Ayau memberikan
berbagai alternatif bagi nelayan untuk menjual ikan pada pengusaha yang mau membeli
dengan harga yang lebih tinggi. Akan tetapi dari pengamatan di lapangan dapat
diketahui bahwa para pengusaha pengumpul tersebut telah mempunyai margin harga
yang hampir sama, walaupun ada perbedaan nilainya tidak begitu besar. Dalam hal ini
nampaknya telah ada kesepakatan antara pedagang pengumpul tentang harga jual dari
nelayan kepada mereka.
Di samping terdapat ketimpangan dalam pemanfaatan sumber daya laut, antara
nelayan lokal dan nelayan pendatang juga mempunyai konflik kepentingan yang telah
berlangsung cukup lama. Nelayan lokal pada umumnya sangat berkepentingan untuk
82
Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
menjaga dan mengelola sumber daya laut, khususnya hamparan terumbu karang yang
ada di wilayah perairan Kepulauan Ayau. Ini dikarenakan hamparan terumbu karang
tersebut oleh nelayan lokal telah dianggap sebagai ‘ladang’ mereka untuk memenuhi
berbagai kebutuhan hidup. Tidak adanya sumber daya alam yang bisa dikembangkan
mengakibatkan nelayan lokal ini sangat tergantung pada kekayaan laut yang ada,
khususnya ekosistem terumbu karang. Mereka sangat menyadari kerusakan terumbu
karang akan mengakibatkan penghidupannya terganggu karena mata pencaharian
mereka sangat tergantung pada keberadaan terumbu karang. Tingginya kepedulian
masyarakat lokal ini mencerminkan baiknya pengetahuan tentang kegunaan terumbu
karang.
Pengetahuan masyarakat Kampung Meosbekwan terhadap beberapa alat
tangkap yang dapat merusak lingkungan terumbu karang cukup tinggi. Umumnya
masyarakat mengetahui bahwa bom, potas dan racun adalah alat tangkap yang dapat
merusak terumbu karang. Mereka juga menyadari bahwa penggunaan akar bore
sebenarnya juga meracuni terumbu karang dan berpotensi mengakibatkan kerusakan.
Akan tetapi, sampai saat ini mereka belum mempunyai alternatif lain untuk menangkap
ikan napoleon dengan cara lain, kecuali dengan menggunakan akar bore tersebut.
Berbeda halnya dengan nelayan lokal, nelayan pendatang umumnya kurang
mempedulikan kondisi terumbu karang yang ada di wilayah Kepulauan Ayau yang
sudah mulai rusak. Para nelayan luar ini umumnya menggunakan bom dan potas untuk
menangkap ikan. Kerusakan yang ditimbulkan oleh penggunaan bom dan potas jauh
lebih besar dibandingkan dengan alat tangkap yang ramah lingkungan. Dengan
menggunakan bom dan potas perolehan ikan-ikan juga lebih banyak. Penggunaan bom
juga akan mengakibatkan ikan-ikan yang tertangkap tidak terseleksi sehingga sangat
menganggu keseimbangan populasi ikan yang ada.
Tindakan nelayan luar yang menggunakan bom dan potas untuk menangkap
ikan ini sangat meresahkan nelayan lokal. Mereka khawatir kalau tindakan ini tidak
dihentikan maka sudah pasti terumbu karang di wilayah Kepulauan Ayau akan rusak.
Kerusakan terumbu karang berarti mematikan sumber pencaharian. Akibat adanya
degradasi sumber daya laut, khususnya terumbu karang, sudah mulai dirasakan oleh
nelayan setempat, yaitu dengan mulai menurunnya populasi ikan-ikan karang jenis
napoleon dan kerapu. Dibandingkan lima tahun yang lalu, populasi kedua jenis ikan ini
jauh lebih sedikit. Nelayan setempat mulai kesulitan mendapatkan ikan napoleon. Oleh
karena itu, nelayan lokal sering berusaha mengejar dan menangkap nelayan luar yang
ketahuan memakai bom dan potas. Namun perbedaan teknologi yang dimiliki oleh
nelayan lokal dan nelayan luar mengakibatkan usaha para nelayan lokal menjadi sia-sia.
Konflik yang sudah lama ini kalau tidak segera ditangani, berpotensi untuk
mempengaruhi perilaku nelayan lokal yang sudah mempunyai kesadaran menjaga
terumbu karang. Perilaku nelayan setempat akan berubah menjadi ikut merusak karena
merasa tindakan menjaga terumbu karang yang sudah dilakukan akan sia-sia kalau
nelayan luar tetap melakukan pengeboman dan penggunaan potas.
Bagaimana dampak dari hasil pemanfaatan sumber daya laut oleh nelayan lokal
dengan teknologi yang sederhana tersebut terhadap kualitas hidup dan
kesejahteraannya? Secara umum potret kesejahteraan masyarakat penduduk Kampung
Meosbekwan menunjukkan keadaan yang masih memprihatinkan. Dari segi pendidikan,
mayoritas penduduk berpendidikan SD kebawah. Tingkat pendidikan tertinggi yang
dimiliki penduduk adalah sekolah lanjutan atas, yaitu hanya mereka yang berprofesi
sebagai guru dan perawat. Penduduk yang telah berhasil menempuh pendidikan tinggi
umumnya sudah tidak tinggal di Kampung ini. Mereka bermigrasi ke kota-kota besar
83
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
yang ada di Indonesia Timur karena di Kampung tidak ada kesempatan kerja yang
sesuai dengan pendidikannya. Sementara itu dilihat dari segi pendapatannya
menunjukkan bahwa sebagian besar rumah tangga (70 persen) mempunyai pendapatan
antara Rp 200.000,- sampai dengan Rp 600.000,- per bulan. Jumlah pendapatan
tersebut kelihatannya cukup besar, namun secara riil pendapatan tersebut sangat
rendah karena harga berbagai kebutuhan sehari-hari dan keperluan lain seperti bahan
bangunan perumahan sangat mahal. Berbagai kebutuhan sehari-hari tersebut harus
dibeli di Ibukota Kecamatan (Kabare) atau Ibukota Kabupaten (Sorong).
Kampung Meosbekwan merupakan kampung yang terpencil dengan sarana dan
prasarana transportasi yang sangat minim. Masalah transportasi menjadi kendala utama
bagi penduduk, baik untuk keperluan menjual komoditi hasil laut ataupun untuk belanja
kebutuhan sehari-hari. Sampai saat ini tidak ada angkutan laut yang secara rutin
melayani penduduk untuk pergi ke kota Kecamatan atau Kabupaten. Untuk menuju ke
kota Kecamatan atau kota kabupaten digunakan kapal milik kampung (body besar) yang
dikelola melalui majelis gereja. Dalam musim ombak besar kapal tersebut tidak bisa
berlayar ke kota Kecamatan atau Kota Kabupaten karena motor hanya berkekuatan 40
PK sehingga tidak bisa melawan gelombang laut yang besar. Penduduk telah terbiasa
menghadapi kesulitan alam dan keterpencilan daerahnya. Dalam menyiasati
keterbatasan sarana transportasi dan keterpencilan tersebut penduduk biasanya
membeli keperluan hidup sehari-hari seperti beras, sagu, sabun, minyak tanah untuk
keperluan hidup sampai tiga bulan atau sampai musim ombak besar berakhir.
Sumber pendapatan utama rumah tangga sepenuhnya berasal dari pemanfaatan
sumber daya laut, yaitu dari hasil penjualan ikan napoleon dan kerapu serta hasil
budidaya rumput laut dan berbagai biota lain seperti gurita dan cacing. Hasil penjualan
ikan napoleon dan kerapu ini meskipun secara proporsi mempunyai kontribusi besar
terhadap pendapatan rumah tangga, akan tetapi tidak bisa secara kontinyu memberikan
sumbangan terhadap pendapatan rumah tangga. Hal tersebut dikarenakan pada musim
ombak besar dua jenis ikan ini tidak bisa dieksploitasi oleh nelayan yang hanya
menggunakan peralatan sederhana. Dalam cuaca buruk tersebut para nelayan hanya
mencari ikan untuk dikonsumsi sendiri, pencarian napoleon dan kerapu untuk sementara
dihentikan. Sementara itu meskipun kecil kontribusinya terhadap pendapatan rumah
tangga, hasil budidaya rumput laut yang mulai diperkenalkan pada tahun 1999 dapat
secara kontinyu memberikan sumbangan terhadap pendapatan rumah tangga. Hasil
panen rumput laut dapat dinikmati oleh nelayan hampir setiap bulan.
Selain pendapatan dan tingkat pendidikan, rendahnya tingkat kesejahteraan
masyarakat Kampung Meosbekwan juga dapat dilihat dari aset rumah tangga yang
dimiliki, mencakup sarana produksi dan non-produksi serta kondisi perumahan dan
sanitasi lingkungan. Secara umum aset produksi yang digunakan dalam memanfaatkan
sumber daya laut yang dimiliki masyarakat Kampung Meosbekwan tergolong sangat
sederhana. Hampir semua rumah tangga hanya menggunakan perahu semang (perahu
tanpa motor) untuk melaut. Perahu motor hanya dimiliki oleh empat rumah tangga.
Sementara itu kepemilikan aset non-produksi, terutama barang elektronik (radio) relatif
sedikit. Diantara 35 rumah tangga yang ada hanya sekitar 12 rumah tangga (sepertiga)
yang memiliki radio. Kepemilikan benda bernilai sosial tinggi menurut masyarakat
seperti piring antik dan gelang (saraka) relatif tinggi. Dari 35 rumah tangga sekitar 45
persen mempunyai benda bernilai sosial tinggi tersebut. Mengenai kondisi perumahan
penduduk dapat digambarkan bahwa sebagian besar rumah terbuat dari kayu,
dindingnya terbuat dari papan atau daun rumbia sedangkan atapnya hampir semua
84
Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
memakai daun rumbia, hanya sebagian kecil yang memakai seng. Sedangkan lantainya
umumnya dibuat dari semen tipis dengan permukaan kasar.
Dari hasil paparan di atas dapat diketahui bahwa rendahnya tingkat
kesejahteraan masyarakat Kampung Meosbekwan terkait dengan beberapa faktor yang
mempengaruhinya. Pertama, hasil dari pemanfaatan sumber daya laut, khususnya ikan
napoleon dan kerapu tidak secara kontinyu memberikan kontribusi terhadap pendapatan
rumah tangga karena sangat tergantung pada faktor cuaca (musim ombak besar atau
tidak). Di samping itu, harga jual kedua jenis sumber daya laut tersebut sangat
ditentukan oleh pengusaha yang bertindak sebagai pedagang pengumpul. Dengan
demikian dari hasil pemanfaatan hasil sumber daya laut yang mempunyai nilai ekonomi
tinggi ini sebagian besar justru dinikmati oleh pengusaha, sementara pendapatan
nelayan tetap rendah. Faktor kedua, adalah minimnya sarana dan prasarana
transportasi mengakibatkan tingginya berbagai kebutuhan pokok masyarakat dan
berbagai bahan untuk keperluan perumahan. Peningkatan pendapatan masyarakat dari
hasil penangkapan ikan napoleon dan kerapu dibandingkan dengan periode lima tahun
ke belakang (sebelum mereka belum mengenal penangkapan kedua jenis sumber daya
laut ini) seakan - akan tidak berarti karena secara riil apa yang diterima masyarakat
sangat kecil.
Kondisi ekonomi masyarakat yang relatif jauh dari ukuran sejahtera ini
dihadapkan pada kenyataan bahwa sumber daya laut yang merupakan satu-satunya
sumber untuk menaikkan taraf kehidupan mereka sudah mengalami degradasi. Secara
umum masyarakat Meosbekwan sangat menyadari bahwa sumber daya laut, khususnya
terumbu karang yang merupakan ‘ladang’ untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup
harus dikelola dan dijaga kelestariannya. Sampai saat ini masyarakat dengan peralatan
sederhana telah berupaya melindungi terumbu karang dari kepunahan akibat berbagai
tindakan nelayan luar yang menggunakan alat yang tidak ramah lingkungan.
Bagaimanakah kondisi di masa depan? Apakah ada jaminan bahwa tidak akan ada
perubahan perilaku masyarakat yang sekarang dapat dianggap sebagai penjaga dan
pengawas terumbu karang yang ada di wilayah perairan Kepulauan Ayau dalam
menghadapi berbagai tekanan kehidupan ekonomi, sementara dihadapan mereka
terjadi eksploitasi sumber daya laut secara tak terkendali dengan menggunakan alat
yang merusak lingkungan?
Antisipasi terhadap terjadinya perubahan perilaku
masyarakat dari menjaga dan mengelola terumbu karang dengan baik menjadi ikut
merusak harus secepatnya dilakukan. Hal ini dikarenakan peluang akan terjadinya
perubahan perilaku tersebut tampaknya cukup besar mengingat adanya berbagai
tekanan ekonomi, ketimpangan pemanfaatan yang telah mengakibatkan nelayan
setempat menjadi kurang mendapat keuntungan dan kecemburuan sosial yang sudah
terjadi.
7.2. Kesimpulan dan Saran
7.2.1. Kesimpulan
Dari diskusi mengenai permasalahan menyangkut pemanfaatan sumber daya
laut oleh nelayan setempat maupun nelayan dari luar dan dampaknya terhadap kondisi
sumber daya laut di wilayah perairan Kepulauan Ayau dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
•
Degradasi sumber daya laut, khususnya terumbu karang di perairan Kepulauan
Ayau pada umumnya dan perairan Kampung Meosbekwan pada khususnya telah
85
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
mulai dirasakan dampaknya oleh nelayan setempat. Para nelayan sudah mulai sulit
untuk mendapatkan jenis-jenis ikan karang (napoleon dan kerapu) yang menjadi
komoditi utama nelayan. Penyebab kerusakan tersebut diantaranya adalah
penggunaan bom dan potas oleh nelayan luar dalam menangkap ikan. Di samping
itu, penggunaan akar bore (akar tuba) oleh nelayan setempat yang sudah
berlangsung selama lima tahun terakhir diperkirakan juga turut andil terhadap
terjadinya kerusakan terumbu karang. Meskipun belum ada penelitian yang
membuktikan adanya kerusakan yang ditimbulkan oleh penggunaan akar bore,
tetapi ditengarai racun dari akar ini akan mencemari terumbu karang dan akhirnya
juga dapat menurunkan kualitas terumbu karang.
•
Terdapat ketimpangan dalam memperoleh manfaat dari eksploitasi sumber daya laut
antara nelayan setempat dengan nelayan luar. Ketimpangan tersebut telah
mengakibatkan adanya kecemburuan sosial dan menciptakan konflik yang tidak
jarang mengakibatkan pertentangan fisik, seperti pengusiran dan pelemparan batu
terhadap nelayan luar yang dalam beroperasi selalu menggunakan bahan peledak
dan potas.
•
Secara umum dapat diketahui bahwa masyarakat Kampung Meosbekwan telah
mempunyai kesadaran yang relatif tinggi untuk melakukan pengelolaan terhadap
sumber daya laut, khususnya terumbu karang (bosen) yang ada di wilayah perairan
Kepulauan Ayau. Bagi masyarakat Kampung Meosbekwan, terumbu karang adalah
sumber penghidupan yang harus dijaga kelestariannya. Karena itu, terumbu karang
harus dijaga dari kerusakan dan kepunahan supaya masa depan kehidupan anak
keturunannya tidak terganggu. Masyarakat Kampung Meosbekwan telah melakukan
berbagai upaya untuk tetap menjaga ekosistem terumbu karang supaya tidak rusak.
Upaya tersebut antara lain adalah melakukan pengawasan terhadap nelayan luar
yang sering melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan potas.
Meskipun sarana yang dimiliki sangat sederhana, yaitu perahu tanpa motor ataupun
perahu motor bermesin kecil (15 PK) mereka berani mengejar nelayan luar yang
umumnya menggunakan kapal berukuran besar dan kadang-kadang dilengkapi
dengan senjata api. Kekompakan dan keberanian masyarakat Kampung ini perlu
mendapat dukungan dari instansi atau lembaga terkait yang berwenang melakukan
pengawasan. Dalam jangka panjang, jika usaha ini tidak mendapat perhatian dan
dukungan, bukan tidak mungkin masyarakat akan berbalik ikut merusak terumbu
karang karena merasa usaha mereka sia-sia.
•
Secara resmi telah ada larangan mengenai penggunaan bahan peledak, racun dan
akar tuba (akar bore) berupa surat edaran Camat Waigeo Utara yang
disebarluaskan di seluruh Kampung nelayan. Meskipun telah ada larangan, akan
tetapi nelayan setempat sebagian besar masih menggunakan akar tersebut. Di
kalangan nelayan masih ada perdebatan mengenai penggunaan akar bore untuk
menangkap ikan Napoleon. Sebagian masyarakat mengatakan bahwa akar bore
tersebut tidak merusak terumbu karang. Akan tetapi ada pula yang berpendapat
bahwa akar bore juga berpotensi untuk merusak terumbu karang karena terbukti
ikan-ikan menjadi pingsan bila terkena racun tersebut.
•
Berkaitan dengan penangkapan ikan napoleon dan kerapu, terdapat permasalahan
menyangkut alat tangkap yang dipakai dan pemasaran hasilnya. Di dalam izin
penangkapan ikan napoleon telah dicantumkan larangan penggunaan racun dan
sejenisnya untuk menangkap ikan napoleon. Di tingkat Kampung juga sudah
beredar Surat Edaran Camat tentang larangan menggunakan bahan peledak,
potasium dan akar bore (akar tuba) yang telah disebarluaskan melalui perangkat
86
Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Kampung. Sampai saat ini masyarakat Kampung masih tetap menggunakan akar
bore untuk menangkap ikan Napoleon, meskipun mereka telah mengetahui bahwa
penggunaan akar tersebut telah dilarang. Selain mengetahui larangan penggunaan
akar bore tersebut, sebagian masyarakat Kampung Meosbekwan juga telah
menyadari bahwa penggunaan racun dari akar tersebut dapat mencemari ekosistem
terumbu karang dan mengakibatkan kerusakan karang. Namun karena mereka
belum mempunyai alternatif alat lain untuk menangkap ikan napoleon, maka
penggunaan akar bore masih tetap berlangsung hingga sekarang.
•
Permasalahan lainnya yang berkaitan dengan penangkapan ikan napoleon adalah
harga jual yang masih banyak ditentukan oleh pengusaha (pedagang pengumpul).
Pola kemitraan yang diharapkan dapat saling menguntungkan kedua belah pihak,
yaitu antara inti (pengusaha pengumpul) dan nelayan setempat sebagai plasma,
belum dapat tercapai.
•
Tingginya permintaan ikan napoleon dan ikan kerapu di pasaran luar negeri
dikhawatirkan akan mendorong penduduk untuk eksploitasi jenis ikan ini secara tidak
terkendali dengan menggunakan cara dan alat tangkap yang tidak ramah
lingkungan.
•
Kegiatan budidaya rumput laut telah dirasakan banyak manfaatnya oleh masyarakat.
Hasil dari rumput laut ini telah secara kontinyu menyumbangkan pendapatan rumah
tangga. Hasil panen rumput laut ini pada tahun-tahun pertama ditampung oleh
pengusaha yang telah memperkenalkan budidaya tanaman ini. Akan tetapi, karena
harganya jauh dari harga pasaran di Kota Sorong maka nelayan tidak mau lagi
menjual ke pengusaha tersebut. Sementara pengusaha tersebut juga sudah beralih
usahanya menjadi pengumpul ikan Napoleon dan Kerapu. Pada saat ini pemasaran
rumput laut dilakukan sendiri oleh nelayan ke Sorong. Secara ekonomi pemasaran
langsung ke Sorong kurang efesien karena ongkos trasportasi yang cukup mahal
(sekitar Rp 80.000 untuk pergi pulang). Biasanya penduduk memasarkan hasil
tersebut sambil berbelanja kebutuhan sehari-hari sehingga ongkos yang relatif
mahal tersebut tidak terlalu dipermasalahkan.
•
Wilayah yang terpencil, faktor alam yang kadang kurang bersahabat (dalam musim
tertentu sering terjadi ombak besar) ditambah minimnya sarana transportasi menjadi
kendala utama bagi msyarakat Kampung Meosbekwan baik untuk pemasaran hasil
perikanan maupun untuk belanja kebutuhan hidup sehari-hari. Minimnya sarana
transportasi ini berimplikasi terhadap tingginya biaya hidup sehari-hari dan
pemenuhan berbagai kebutuhan lain seperti pengadaan papan. Oleh karena itu,
pendapatan yang diterima masyarakat tidak dengan sendirinya mencerminkan
tingkat kesejahteraan karena secara riil pendapatan tersebut jauh dari nilai nominal
yang ada, karena mahalnya biaya hidup dan kebutuhan lainnya.
87
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
7.2.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan dari berbagai isu-isu penting yang muncul berkaitan
dengan pemanfaatan sumber daya laut oleh beberapa stakeholders terkait dapat diambil
beberapa alternatif pemecahan sebagai berikut:
•
Dalam rangka membendung terjadinya degradasi sumber daya laut, khususnya
terumbu karang di wilayah perairan Kepulauan Ayau yang disebabkan oleh
penggunaan bahan peledak dan potas oleh nelayan luar perlu lebih meningkatkan
pengawasan. Mengingat wilayah perairan Kepulauan Ayau yang cukup luas serta
berhadapan dengan laut lepas maka pengawasan yang paling efektif adalah
pengawasan yang dilakukan oleh penduduk setempat. Upaya pengawasan yang
selama ini telah dilakukan oleh nelayan setempat perlu didukung dengan
memberikan fasilitas peralatan yang memadai. Peralatan yang dimiliki oleh nelayan
setempat masih sangat sederhana, yaitu perahu layar atau perahu motor dengan
mesin kecil. Selain pengawasan perlu pula usaha-usaha untuk meningkatkan
kesadaran para nelayan dari luar yang selama ini selalu menggunakan berbagai alat
tangkap yang merusak lingkungan (bom dan potas).
•
Selain melakukan pengawasan, untuk membendung adanya kerusakan terumbu
karang yang semakin besar di wilayah perairan Kepulauan Ayau perlu dilakukan
pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan pendapatan masyarakat.
Peningkatan pendapatan masyarakat Kampung Meosbekwan tidak dapat dilakukan
dengan kegiatan di luar sektor perikanan (pemanfaatan sumber daya laut), karena
tidak adanya sumber daya alam lain yang bisa dikembangkan. Oleh karena itu,
budidaya rumput laut yang sudah berjalan perlu mendapat pendampingan untuk
membantu pemasaran. Dalam hal ini perlu dibentuk semacam lembaga (semacam
koperasi) diantara kelompok nelayan yang dapat mengelola pemasaran rumput laut
sekaligus juga menyediakan kebutuhan pokok sehari-hari. Dengan adanya lembaga
yang menangani pemasaran dan memenuhi kebutuhan sehari-hari, ekonomi biaya
tinggi yang selama ini terjadi akan bisa ditekan.
•
Guna lebih mendorong peningkatan pendapatan masyarakat perlu memperbaiki
sarana transporatsi untuk membuka keteresoliran wilayah Kepulauan Ayau. Jalur
pelayaran perintis yang sempat beroperasi pada beberapa tahun lalu perlu
dihidupkan kembali. Adanya jalur pelayaran ini telah membantu masyarakat untuk
melalukan berbagai aktifitas baik menjual komoditi perikanan atau berbelanja
kebutuhan sehari-hari.
•
Untuk mengatasi kerusakan terumbu karang yang kemungkinan timbul akibat
pencemaran racun dari akar bore yang digunakan untuk menangkap ikan napoleon
oleh nelayan lokal, tidak cukup hanya dengan membuat peraturan tentang
pelarangan penggunaan bahan tersebut. Pelarangan tersebut tidak akan efektif
karena masyarakat tetap akan melanggar, meskipun diantara mereka ada yang telah
sadar bahwa racun akar bore tersebut kemungkinan juga bisa merusak terumbu
karang. Pelanggaran tersebut dilakukan karena mereka tidak mempunyai alternatif
bahan lain yang dapat dipergunakan untuk menangkap ikan napoleon yang tidak
mempunyai efek merusak terumbu karang. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu
studi laboratorium untuk mencari alternatif bahan yang aman dan tidak merusak
lingkungan yang dapat dipakai untuk memudahkan menangkap ikan napoleon.
•
Dalam upaya mengatasi perdebatan mengenai akibat yang ditimbulkan oleh
penggunaan racun akar bore terhadap terumbu karang dan ekosistemnya perlu
88
Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
dilakukan studi yang secara cermat meneliti efek dari racun akar bore ini terhadap
kerusakan terumbu karang.
•
Menanggapi tingginya permintaan pasar akan jenis ikan napoleon dan kerapu perlu
adanya antisipasi terhadap eksploitasi yang dilakukan secara tidak terkendali. Upaya
yang dapat dilakukan antara lain adalah dengan melakukan pengawasan terhadap
kewajiban melakukan budidaya yang selama ini tampaknya belum banyak dilakukan
oleh para pedagang pengumpul. Dalam skala nasional kemungkinan perlu
menetapkan sistim kuota ekspor ikan tersebut.
Mengingat Kampung Meosbekwan ada di wilayah yang jauh dan terpencil dengan
sarana transportasi yang sangat minim maka biaya hidup sangat mahal. Oleh karena itu
untuk mengukur kesejahteraan masyarakat tidak cukup hanya dengan melihat
pendapatannya. Jika hanya diukur dari pendapatan maka akan tidak bisa
menggambarkan potret yang sebenarnya karena secara riil pendapatan yang didapat
masyarakat sangat kecil karena biaya kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan lain terlalu
mahal.
89
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Daftar Pustaka
Abdullah, Ahmad dkk., 1989
Laporan Survai Penilaian Potensi Sumber Daya Alam Laut Dalam Rangka
Penetapan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Ajoe, Irian Jaya. Bogor: Proyek
Pengembangan Kawasan Pelestarian Laut
Farid dan Sryadi, 2001
Laporan Umum Hasil Penelitian RAP di Kepulauan Raja Ampat, Sorong, Irian
Jaya. Jayapura: Conservation Internatioanl Indonesia Program Irian Jaya.
Mambraku, 2000
Pemukiman Migran Biak Di Kepulauan Raja Ampat Kabupaten Sorong: Suatu
Reperkusi Intervensi Kemaritiman. Malakah disampaikan pada Musyawarah
Kerja Nasional Sejarah XIII 9-21 Juli 1996 di Universitas Hasanudin Ujung
Pandang.
Mayalibit, 1996
Laporan Penelitian Hukum, Sasi, Penerapan dan Dampaknya Terhadap
Masayarakat Tradisional Raja Ampat. Jayapura: Fakultas Hukum Uncen
Ikawati, Yuni, Puji s. Hanggarawati, Hening Parlan, Handratini Handini dan
Budiman Siswodihardjo, 2001
Terumbu Karang di Indonesia. Jakarta: Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan
dan Tehnologi bekerja sama dengan Kantor Menteri Negara Riset dan
Tehnologi.
Tjiptoheriyanto, P. dan S. Sumitra, 1998
Pemberdayaan Penduduk dan Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia.
Jakarta: PT Citra Putra Bangsa.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBUK KARANG INDONESIA
91
Download