ETIKA BIROKRAT PADA KANTOR PELAYANAN PERIZINAN SATU ATAP (SINTAP) DI KOTA PAREPARE (STUDI KASUS PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN) THE BUREAUCRAT ETHICAL AT THE OFFICE OF LICENSING SERVICES ONESTOP (SINTAP) IN PAREPARE CITY (CASE STUDY THE SERVICES OF BUILDING PERMIT) Muchlas M. Tahir,1 Deddy T. Tikson,2 Atta Irene Allorante,3 1 Bagian Administrasi Pembangunan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin, Makassar, 2Bagian Administrasi Pembangunan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin, Makassar, 3Bagian Administrasi Pembangunan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin, Makassar. Alamat Korespondensi: Muchlas M. Tahir Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP: 085217151622 Email : [email protected] 1 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis manifestasi etika birokrat pada Kantor Pelayanan Perizinan Satu Atap (Sintap) di Kota Parepare dilihat dari dimensi kebenaran, kebaikan, keindahan, kebebasan, persamaan, dan keadilan. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian etnografi, yaitu jenis penelitian yang digunakan untuk meneliti perilaku-perilaku etis atau tidak etis birokrat dalam pelayanan publik. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan wawancara mendalam. Penentuan informan penelitian dilakukan secara accidential, yaitu siapa saja masyarakat yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti di lapangan ditetapkan sebagai informan. Sedangkan informan dari pihak penyedia layanan, digunakan teknik snowball, sehingga memungkinkan melibatkan pihak lain selain kepala Kantor Pelayanan Perizinan Satu Atap (Sintap) Kota Parepare. Data dianalisis melalui empat bentuk, yaitu analisis domain, analisis taksonomi, analisis komponensial, dan analisis tema kultural. Hasil penelitian menunjukkan bahwa manifestasi etika birokrat pada Kantor Pelayanan Perizinan Satu Atap (Sintap) Kota Parepare dalam memberikan pelayanan izin mendirikan bangunan (IMB) kepada mayarakat dilihat dari dimensi kebenaran, kebaikan, keindahan, kebebasan, persamaan, dan keadilan pada dasarnya sudah menunjukkan perilaku etis. Kata Kunci: Etika birokrat, pelayanan publik. Abstract This study aims to analyze the manifestation of bureaucrat ethical at the office of licensing services onestop (Sintap) in Parepare City, seen from the dimensions of truth, goodness, beauty, freedom, equality, and justice.The Method in this research is a qualitative approach to the type of ethnographic research, that is the type of research use to examine the bureaucrat’s ethical or unethical behavior in the public service. The data collecting technique was done by observatory participant technique and in-depth interview. Determination of informant research was done by accidential that is based on the principle of chance people who by chance met with researchers in the field designated as an informant. While the informants of the provider of services, use snowball technique, so that allowing involve other parties except the head office of licensing services one-stop (Sintap) of Parepare City. Data were analyzed through four form: domain, taxonomic, componential, and cultural themes analysis. The result of study showed that teh manifestation of bureaucrat ethics at the office of licensing services one-stop (Sintap) of Parepare City in providing the services of building permit (IMB) to communities is seen from the truth, goodness, beauty, freedom, equality, and justice dimensions which essensitially behave ethically. Keywords : Bureaucrat ethics, public services 2 PENDAHULUAN Dalam paradigma “dikotomi politik dan administrasi” ditegaskan bahwa pemerintah memiliki dua fungsi yang berbeda, yaitu fungsi politik yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan (public policy making) atau pernyataan apa yang menjadi keinginan negara, dan fungsi administrasi yang berkenaan dengan pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut. Dengan demikian, kekuasaan membuat kebijakan publik berada pada kekuasaan politik (political master), dan untuk melaksanakan kebijakan politik tadi merupakan kekuasaan administrasi negara. Namun karena administrasi negara dalam menjalankan kebijakan politik memiliki kewenangan secara umum disebut discretionary power, yakni keleluasaan untuk menafsirkan suatu kebijakan politik dalam bentuk program dan proyek, maka timbul suatu pertanyaan, apakah ada jaminan dan bagaimana menjamin bahwa kewenangan itu digunakan secara baik dan tidak secara buruk (Widodo, 2001). Atas dasar inilah etika diperlukan dalam administrasi publik. Etika dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh aparat birokrasi dalam menjalankan kebijakan politik, dan sekaligus digunakan sebagai standar penilaian apakah perilaku aparat birokrasi dalam menjalankan kebijakan politik dapat dikatakan baik atau buruk. Ada enam ide agung landasan etika yang dapat dijadikan pedoman dalam bertindak, yaitu: (1) kebenaran (truth), yang mempertanyakan esensi dari nilai-nilai moral beserta pembenarannya dalam kehidupan sosial, (2) kebaikan (goodness), yaitu sifat atau karakteristik dari sesuatu yang menimbulkan pujian, (3) keindahan (beauty), yang menyangkut prinsipprinsip estetika mendasari segala sesuatu yang mencakup penikmatan rasa senang terhadap keindahan, (4) kebebasan (liberty), yaitu keleluasaan untuk bertindak atau tidak bertindak berdasarkan pilihan-pilihan yang tersedia bagi seseorang, (5) persamaan (equality), yaitu adanya persamaan antar manusia yang satu dengan yang lain, dan (6) keadilan (justice), yaitu kemauan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya. (Adler, 1984). Dalam konteks birokrasi, etika birokrasi digambarkan sebagai suatu panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan pada masyarakat. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasinya. Etika harus diarahkan pada pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar mengutamakan kepentingan masyarakat luas (Dwiyanto, 2002). Oleh karena itu, etika pelayanan publik harus menunjukkan cara dalam melayani publik dengan menggunakan 3 kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik (Kumorotomo (1996). Di Indonesia, etika birokrasi merupakan bagian dari aturan main dalam organisasi birokrasi atau pegawai negeri yang secara struktural telah diatur aturan mainnya, dan dikenal sebagai “Kode Etik Pegawai Negeri Sipil (PNS)”. Adapun dasar hukum ditetapkannya etika PNS adalah (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999, (2) Undangundang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bebas KKN, (3) Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. (4) Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil. Tantangan besar yang kini dihadapi pemerintah adalah bagaimana menampilkan aparatur yang memiliki sikap mental dan perilaku yang mencerminkan keunggulan watak, keluhuran budi, dan berbagai asas etis yang bersumber pada kebajikan moral, khususnya keadilan. Oleh karena itu, setiap aparat birokrasi wajib memahami asas-asas etis yang bersumber pada berbagai kebajikan moral, kemudian membina diri sehingga sungguhsungguh menghayati asas-asas etis itu, dan terakhir benar-benar menerapkannya sebanyak mungkin dalam tindakan jabatannya (The Liang Gie, 1991). Banyak kasus membuktikan bahwa kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih tinggi justru mendikte perilaku seorang birokrat atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki independensi dalam bertindak etis. Banyaknya tindakan indisipliner yang dilakukan birokrat juga akan mengurangi kredibilitas dan performanya sebagai pelayan publik. Misalnya pada sebuah kesempatan sidak (inspeksi mendadak) yang dilakukan oleh seorang pejabat daerah setempat, didapati sebanyak 50% lebih pegawai pada sebuah kantor dinas daerah mangkir dari pekerjaannya. Bahkan dinyatakan sebagian besarnya tersebut membolos tanpa keterangan. Lebih memperihatinkan lagi, ternyata kondisi seperti itu hampir terjadi setiap harinya (Suara Merdeka, 6 Oktober 2003). Kinerja birokrasi dalam hal etika memang masih mengecewakan, dan dibutuhkan suatu kajian untuk mengetahui etika birokrat dalam pelayanan publik. Penelitian ini ingin menganalisis manifestasi etika birokrat pada Kantor Pelayanan Perizinan Satu Atap (Sintap) di Kota Parepare dilihat dari dimensi kebenaran (truth), kebaikan (goodness), keindahan (beauty), kebebasan (liberty), persamaan (equality), dan keadilan (justice). 4 BAHAN DAN METODE Lokasi dan Rancangan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kantor Pelayanan Perizinan Satu Atap (Sintap) di Kota Parepare. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian etnografi, yaitu suatu jenis penelitian yang digunakan untuk meneliti perilaku-perilaku manusia dalam setting sosial dan budaya tertentu (Spradley, 2007). Informan Penelitian Informan penelitian terdiri atas masyarakat penerima manfaat pelayanan pada Kantor Pelayanan Perizinan Satu Atap (Sintap) Kota Parepare. Teknik penentuan informan dilakukan secara accidential yaitu dilakukan berdasarkan prinsip kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti maka itulah yang ditetapkan sebagai informan. Sedangkan informan dari penyedia layanan dilakukan secara snowball, dimulai dari Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Satu Atap (Sintap) Kota Parepare. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui observasi mendalam, dengan melakukan pengamatan secara langsung terhadap obyek penelitian untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian ini. Wawancara mendalam (In-depth interview), dengan menggunakan alat penelitian verbal (voice recording) dan pedoman wawancara. Teknik pengumpulan data ini digunakan untuk menggali informasi secara mendalam tentang etika birokrasi pelayanan publik pada Kantor Pelayanan Perizinan Satu Atap (Sintap) Kota Parepare. Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis domain, analisis taksonomi, analisis komponensial, dan analisis tema kultural (Spradley, 1980). Analisis domain digunakan untuk memperoleh gambaran umum atau pengertian menyeluruh tentang manifestasi etika birokrat pada Kantor Pelayanan Perizinan Satu Atap (Sintap) Kota Parepare dalam memberikan pelayanan izin mendirikan bangunan (IMB). Analisis taksonomi digunakan untuk menjabarkan secara rinci manifestasi etika birokrat pada Kantor Pelayanan Perizinan Satu Atap (Sintap) Kota Parepare dalam memberikan pelayanan izin mendirikan bangunan (IMB). Hal ini dilakukan melalui pengamatan yang lebih terfokus. Analisis komponen digunakan untuk memperdalam data manifestasi etika birokrat pada Kantor Pelayanan Perizinan Satu Atap (Sintap) Kota Parepare dalam memberikan pelayanan izin 5 mendirikan bangunan (IMB)yang telah ditemukan melalui pengajuan sejumlah pertanyaan kontras atau mengkontraskan antar dimensi etika dalam suatu domain. Analisis tema kultural dilakukan dengan cara mencari benang merah di antara dimensi etika birokrat pada Kantor Pelayanan Perizinan Satu Atap (Sintap) Kota Parepare dalam memberikan pelayanan izin mendirikan bangunan (IMB). Hal ini dilakukan untuk memperoleh tema-tema seperti nilainilai, etos, atau orientasi kognitif. HASIL Analisis Domain Etika Birokrat Untuk mengetahui gambaran umum akan etika dari birokrat pada Kantor SINTAP, maka kita perlu mengetahui proses awal hingga akhir dari apa yang dibutuhkan pelanggan (masyarakat) hingga masuk pada prosedur pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB). Sehingga Dari situlah kita bisa mengukur sejauh mana etika pelayanan aparat pemerintah selama memberikan layanan kepada masyarakat termasuk gambaran Jumlah orang yang mengurus izin mendirikan bangunan (IMB) pada Kantor Pelayanan Perizinan Satu Atap (Sintap) Kota Parepare ditentukan berdasarkan rentang waktu keberadaan peneliti di lapangan (sesuai definisi penelitian etnografi), yaitu terhitung dari tanggal 19 Juli 2012 – 27 Juli 2012, didapatkan jumlah orang yang mengurus izin mendirikan bangunan (IMB) sebanyak 18 orang. Analisis Taksonomi Etika Birokrat Etika Birokrat dalam pelayanan izin mendirikan bangunan (IMB) merupakan seperangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan aparatur pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mengurus izin mendirikan bangunan (IMB), yang dilihat melalui dimensi; kebenaran (truth), kebaikan (goodness), keindahan (beauty), kebebasan (liberty), persamaan (equality), dan keadilan (justice). Dimensi kebenaran (truth) berkaitan dengan sistem aturan dan metode kerja. Perilaku etis birokrat dalam memberikan pelayanan IMB termanifestasi dalam bentuk masuk kerja dan mentaati ketentuan jam kerja, serta patuh dan taat terhadap SOP. Dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan terhadap indikator ini terlihat bahwa adanya upaya untuk melaksanakan waktu pelayanan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan dan pemangkasan tahapan prosedur dan lintas instansi; pemangkasan biaya; pengurangan jumlah persyaratan; pengurangan jumlah paraf/tanda tangan dan pengurangan atau memperpendek waktu proses. Masalah perilaku tidak etis hanya terlihat pada tingkat kelurahan dan 6 kecamatan, yaitu tidak jelasnya waktu pengurusan kelengkapan berkas IMB, dan seringnya pegawai tidak berada di tempat. Dimensi kebaikan (goodness) berkaitan dengan sifat atau karakterisasi dari sesuatu yang menimbulkan pujian. mengandung sifat seperti persetujuan, pujian, keunggulan, kekaguman, atau ketepatan. Serta diperlukannya sikap-sikap sadar hukum, saling menghormati, perilaku yang baik (good habits), dan sebagainya. Indikator yang digunakan yaitu bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan negara, dan memberikan pelayanan dengan empati, hormat dan santun, tanpa pamrih dan tanpa unsur pemaksaan. Dari hasil wawancara dan pengamatan secara langsung yang dilakukan menunjukkan bahwa Perilaku aparat sudah sesuai dengan keinginan masyarakat yaitu adanya transparansi biaya, santun, dan bekerja tanpa pamrih. Masalah perilaku tidak etis justru terjadi di kelurahan dan kecamatan, dengan tidak adanya standar biaya yang transparan dalam hal pembuatan surat keterangan bebas sengketa, yang menyebabkan terjadinya pungutan liar, disamping mental pegawai yang mengharap imbalan. Dimensi keindahan (beauty) berkaitan dengan upaya untuk tampil secara sederhana, rapih dan sopan dalam menunjang pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dalam memberikan pelayanan serta menggunakan dan memelihara barang-barang milik negara dengan sebaikbaiknya. Indikator yang digunakan berpenampilan sederhana, rapih dan sopan dalam menunjang pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dalam memberikan pelayanan serta upaya memelihara barang-barang milik negara dengan sebaik-baiknya. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan yang langsung yang dilakukan menunjukkan bahwa Pegawai sudah berperilaku etis dalam penggunaan seragam dan atribut kantor setiap harinya serta Kantor Pelayanan Perizinan Satu Atap (Sintap) Kota Parepare, kondisi dan penyediaan sarana dan prasarana sudah sangat menunjang untuk terselenggaraanya proses pelayanan yang prima. Dimensi kebebasan (liberty) berkaitan dengan kemampuan untuk menentukan pilihan dan mengendalikan pilihan-pilihannya, yang diukur berdasarkan indicator bagaimana menghargai perbedaan pendapat dan memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengembangkan karier. Indikator yang digunakan yaitu pimpinan memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengembangkan karier berdasarkan kemampuannya, dan bagaimana pegawai menghargai perbedaan pendapat baik antara sesama pegawai, maupun dengan masyarakat yang dilayani. Kantor Pelayanan Sintap Kota Parepare sangat memahami arti pentingnya pengembangan karir pegawai. Oleh karena itu pegawai senantiasa diberi ruang untuk pengembangan dirinya. Pada kantor Pelayanan Perizinan Satu Atap (Sintap) Kota Parepare dengan menyediakan sistem SMS Center. Sistem ini berfungsi untuk menerima dan 7 menampung berbagai macam saran, usul, kritikan baik yang datang dari pegawai sendiri maupun yang datang dari masyarakat pemohon. Selain itu, upaya menghargai pendapat telah terwujud secara efektif dikalangan internal pegawai, dengan adanya beberapa sistem pelayanan yang tercipta dari hasil musyawarah pegawai. Dimensi persamaan (equality), yaitu pemberian perlakuan pelayanan dengan penuh kesungguhan dan ketulusan tanpa memandang siapa yang dilayani serta melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab. Indikator yang digunakan:(1) melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab, (2) bertindak dengan penuh kesungguhan dan ketulusan. Pegawai bekerja menurut ketentuan yang berlaku. Bukti tanggung jawab pegawai terhadap masyarakat pemohon IMB diwujudkan dengan memberikan pelayanan semudah mungkin melalui pemberian arahan dan petunjuk dari satu tahap ke tahap berikutnya sampai IMB keluar serta Proaktif menghubungi masyarakat pemohon (melalui SMS) dan memberikan informasi perkembangan urusan mereka. Dimensi keadilan (justice), merupakankemauan yang kuat untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya, yang diukur berdasarkan indikator pemberian pelayanan secara cepat, tepat, terbuka, dan adil serta tidak diskriminatif serta memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepadamasyarakat. Perilaku etis birokrat dalam memberikan pelayanan IMB termanifestasi dalam bentuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya, cepat, tepat, terbuka, adil dan tidak diskriminatif. Masalah perilaku tidak etis hanya terlihat pada tingkat kelurahan dan kecamatan yang terkesan tidak sopan, diskriminatif atau membeda-bedakan antara pemohon yang satu dengan pemohon yang lainnya. Analisis Komponen Etika Birokrat Hal utama yang dilihat masyarakat (pemohon) yaitu etika aparat dalam melayani masyarakat. Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam proses pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) ada 3 (tiga) instansi yang dilalui oleh pemohon yaitu Kelurahan, Kecamatan, dan Kantor Pelayanan Perijinan Satu Atap (Sintap) Kota Parepare dengan berbagai loket-loket yang ada. Tiga instansi tersebut memperlihatkan etika yang berbedabeda dalam melayani masyarakat. Analisis Tema Kultural Etika Birokrat Tabel 1 memperlihatkan bahwa analisis tema kultural yang dilakukan, menunjukkan bahwa etika birokrat pada kantor Pelayanan Perizinan Satu Atap (Sintap) Kota Parepare pada 8 dasarnya sudah menunjukkan kecenderungan perilaku etis dalam memberikan pelayanan pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB) dan sesuai dengan harapan yang diinginkan masyarakat. Namun demikian, perilaku tersebut bersifat parsial (berjalan sendiri-sendiri) karena masih melibatkan birokrasi kelurahan dan kecamatan yang bersifat tradisional, yang kurang mampu bersinergi dalam pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB) yang pada akhirnya akan menimbulkan rasa ketidakpuasan dari masyarakat sebagai penerima layanan. PEMBAHASAN Dalam penelitian ini terlihat bahwa etika birokrat pada kantor Pelayanan Perizinan Satu Atap (Sintap) Kota Parepare pada dasarnya sudah menunjukkan kecenderungan perilaku etis dalam memberikan pelayanan pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB) dan sesuai dengan harapan yang diinginkan masyarakat. Namun demikian, mengingat pelayanan izin mendirikan bangunan juga melibatkan instansi kelurahan dan kecamatan, maka dengan melihat tabel 1, dapat dikatakan bahwa masalah proses pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB) masih berorientasi internal, lebih dominan memperhatikan kepentingan internal organisasi masing-masing (Kelurahan, Kecamatan dan Sintap), kurang fokus pada pencapaian kinerja yang diharapkan oleh masyarakat sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku birokrasi yang tercermin adalah perilaku birokrasi yang sifatnya tradisional dimana tidak menyenangi adanya perubahan yang revolusioner dan hanya menciptakan hubungan-hubungan pribadi secara internal birokrasi (Thoha, 2002), karena secara esensial benang merah atau fokus masalah yang sebenarnya adalah bagaimana menjalankan fungsi pengaturan dan pelayanan administratif yang diberikan kepada masyarakat secara simultan (bersama-sama) yang mampu menciptakan sinergi diantara instansi yang terkait dalam pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB) yang pada akhirnya akan menimbulkan rasa puas dari masyarakat. Hasi penelitian menunjukkan bahwa perilaku etis birokrat bersifat parsial (cenderung berjalan sendiri-sendiri) dan temporer dalam artian tidak menjamin perilaku etis itu akan berlangsung terus menerus karena kurang didasarkan pada keunggulan watak dan keluhuran budi dan cenderung terjebak pada aturan-aturan. Adler dalam konsep “Six Great Ideas” menyatakan bahwa konsep etis pada perilaku seseorang menyangkut hasrat untuk merasa memikul kewajiban penuh dan ikatan kuat dalam pelaksanaan semua tugas pekerjaan secara memuaskan, dan menjalankan tugas-tugas pekerjaan dengan semua tenaga (pikiran dan otot atau mental dan fisik), seluruh semangat kegairahan, dan kepenuh perhatian tanpa pamrih serta apa-apa yang bersifat pribadi. Kesadaran seseorang untuk setulusnya patuh kepada 9 tujuan hidup bersama demi tercapainya cinta-cita bersama yang ditetapkan akan mencerminkan kemauan dan kemampuan seseorang untuk memperhatikan serta siaga terhadap berbagai perkembangan yang baru, situasi yang berubah, dan kebutuhan yang timbul dalam kehidupan masyarakat dari waktu ke waktu dengan disertai usaha-usaha untuk menanggapi dengan sebaik-baiknya. Disamping itu perlakuan yang adil tidak secara semenamena atau berdasarkan kepentingan pribadi tidak boleh dilakukan oleh setiap orang yang adil dan senantiasa mengacu pada suatu hal yang sepatutnya menurut pertimbangan moral atau nilai etis yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Dari konsep di atas, maka untuk menciptakan sinergitas atau kesamaan perilaku etis di masyarakat, maka diperlukan koordinasi perumusan kebijakan dalam rangka menciptakan keteraturan, ketertiban dan keserasian dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat, mulai pada tingkat kelurahan, kecamatan, sampai pada tingkat dinas teknis yang menangani pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB), sehingga perilaku etis aparat birokrat mulai dari tingkat kelurahan, kecamatan dan pada pelayanan tingkat dinas teknis (Sintap) dapat tercipta sesuai pertimbangan moral yang dianut dan berlaku dalam masyarakat. KESIMPULAN DAN SARAN Manifestasi etika birokrat pada Kantor Pelayanan Perizinan Satu Atap (Sintap) Kota Parepare dalam memberikan pelayanan izin mendirikan bangunan (IMB) kepada mayarakat pada dasarnya sudah menunjukkan perilaku etis. Namun demikian perilaku etis ini hanya bersifat parsial (cenderung berjalan sendiri-sendiri) karena ternyata pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB) pada Kantor Sintap Kota Parepare masih melibatkan birokrasi pada tingkat kelurahan dan kecamatan yang cenderung masih bersifat birokrasi tradisional. Di tingkat kelurahan dan kecamatan inilah, terjadi adanya perilaku-perilaku tidak etis dalam berbagai bentuknya. Oleh karena itu, untuk semakin meningkatkan etika birokrat dalam memberikan pelayanan IMB kepada masyarakat, maka diperlukan penataan ulang terhadap perumusan kebijakan penyelenggaranan pelayanan izin mendirikan bangunan (IMB) dalam rangka menciptakan keteraturan, ketertiban dan keserasian dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat, agar tercipta standar pelayanan yang terpadu antara kelurahan, kecamatan, dan kantor Pelayanan Perizinan Satu Atap (Sintap) Kota Parepare. 10 DAFTAR PUSTAKA Adler, Mortimer J. (1984). Six great ideas. New York: Touchstone Rockefeller Center. Bertens, K. (2005). Etika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Dwiyanto Agus. (2002). Reformasi birokrasi publik di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK). UGM. Denhardt, Kathryn G. (1988). The ethics of public service. USA: Greenwood Press Inc. Kumorotomo, Wahyudi. (2011). Etika administrasi negara. Jakarta: Rajawali Pers. Poedjawijatna. (1996). Etika filsafat tingkah laku. Jakarta: PT Rineka Cipta. Spradley, J. (1980). Participant observation. New York: Holt, Rinehart and Winston. __________. (2007). Metode etnografi. (terjemahan). Edisi Kedua. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Syafiie, Inu Kencana. (2011). Etika pemerintahan. Jakarta: Rineka Cipta. The Liang Gie. (1991). Etika administrasi pemerintahan. Jakarta: Karunika Universitas Terbuka. Thoha, Miftah. (2002). Perspektif perilaku birokrasi. Jakarta: Rajawali Press. Thompson, Dennis F. (2002). Etika politik pejabat negara. Penerjemah: Benyamin Molan. Edisi Kedua. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Widodo, Joko. (2001). Good governance, telaah dari dimensi akuntabilitas dan kontrol birokrasi pada era desentralisasi dan otonomi daerah. Surabaya: Insan Cendekia Widjaja, A.W. (1994). Etika administrasi negara. Jakarta: PT. Bumi Aksara. 11 Tabel 1. Analisis tema kultural etika birokrat TEMA KULTURAL ETIKA BIROKRAT INSTANSI ETIKA BIROKRAT KEDISIPLINAN DAN TANGGUNG JAWAB BIAYA YANG DIKELUARKAN Kelurahan/ Kecamatan Masih terjadi perilaku tidak etis dalam bentuk diskriminatif, serta ketidaksopanan dalam memberikan layanan pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB) Ketidakjelasan jam buka layanan serta ketidakpastian waktu dalam proses pengurusan Tidak jelas berapa yang harus dibayar, sehingga menimbulkan pungutanpungutan liar Sarana dan prasarana penunjang apa adanya dan kurang menunjang pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB) Sintap Kota Parepare Perilaku cenderung etis, tidak diskriminatif, sopan dan sudah sesuai dengan harapan masyarakat yang mengurus izin mendirikan bangunan (IMB) Jam buka layanan telah jelas yaitu pukul 07.30 s/d 16.00, dan dari segi waktu penyelesaian izin sudah sesuai ketentuan yang berlaku Sudah jelas hitunghitungannya berapa besaran biaya yang harus dibayar oleh masyarakat (pemohon) karena semua telah ada dalam SKRD dan tempat pembayaran retribusi telah disediakan loket khusus untuk BANK Sarana dan prasarana sangat memadai dalam menunjang pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB) SARANA DAN PRASARANA 12