BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Hewan Teripang adalah hewan tidak bertulang belakang dengan tubuh berbentuk silinder. Bentuk tersebut menyerupai mentimun sehingga teripang dikenal dengan nama mentimun laut (sea cucumber). Mulut dan anus terletak di ujung poros berlawanan, yaitu mulut di anterior dan anus di posterior, disekitar mulut teripang terdapat tentakel yang dapat dijulurkan dan ditarik dengan cepat (Karnila, 2011). Tentakel berfungsi untuk mengumpulkan makanan. Pada kelompok teripang dikenal dua cara makan, yaitu menangkap plankton dengan tentakel (pada Dendrochirotida) dan dengan menelan pasir kemudian mengambil detritus yang terkandung (pada Aspidochirotida). Pasir tersebut kemudian akan dikeluarkan kembali melalui anus. Jenis makanan adalah partikel-partikel pasir ataupun hancuran-hancuran karang, dan cangkang-cangkang hewan lainnya (Darsono, 1998). Klasifikasi termasuk salah satu hewan berkulit duri atau Echinodermata, namun demikian tidak semua jenis teripang mempunyai duri pada kulitnya karena ada beberapa jenis teripang yang tidak berduri (Widodo, 2013). Teripang mempunyai endoskeleton kalkarius berukuran mikroskopis sebagai “spikula”. Bentuk spikula bervariasi dan karateristik untuk setiap jenis (species), sehingga spikula sangat penting dan menentukan dalam klasifikasi maupun identifikasi (Darsono, 1998). Teripang mengandung bahan aktif yang bermanfaat sebagai antibakteri, antifungi (antijamur), antitumor dan antikoagulan (Roihanah, 2012). 5 2.1.1 Teripang Pasir Variasi warna di Samudera Pasifik dan Asia Tenggara, teripang pasir berwarna hitam, abu-abu atau hijau kecoklat-coklatan, terkadang disertai dengan garis hitam keabu-abuan. Di samudera Hindia, teripang selalu berwarna abu gelap dengan garis putih atau kuning. Bagian perut berwarna putih atau abu terang dengan bintik-bintik gelap. Badan berbentuk oval; bagian punggung melengkung dan bagian perut rata. Permukaan dorsal memiliki kerutan kedalam (3 mm) dan papila yang pendek (1,5 mm). Badan terkadang ditutupi oleh pasir berlumpur. Mulut dibagian depan dengan 20 tentakel-tentakel kecil, keabu-abuan. Anus dibagian belakang tanpa adanya gigi. Pada permukaan tubuh ditemukan spikula yang sedikit berbentuk rod, sedikit berbentuk tables, tetapi banyak yang berbentuk button(Purcell, dkk., 2012). 2.1.2 Sistematika Hewan Determinasi/identifikasi sampel teripang di Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, dengan hasil sebagai berikut: Filum : Echinodermata Kelas : Holothuroidea Ordo : Aspidochirotida Grube, 1840 Famili : Holothuriidae Ludwig, 1894 Genus : Holothuria Linnaeus, 1767 Spesies : Holothuria scabra Jaeger, 1833 2.1.3 Habitat Habitat reripang dapat ditemukan hampir di seluruh perairan pantai di Indonesia, mulai dari daerah pasang-surut yang dangkal sampai perairan yang 6 lebih dalam. Teripang lebih menyukai perairan yang jernih dan airnya relatif tenang. Umumnya, masing-masing jenis teripang mempunyai habitat yang spesifik, ada jenis teripang yang hidup berkelompok dan ada pula yang hidup soliter (sendiri). Makanan utama teripang adalah organisme-organisme kecil, detritus (hasil dari penguraian binatang laut yang telah mati) dan rumput laut. (Widodo, 2013). Penyebaran teripang di Indonesia sangat luas. Beberapa daerah penyebarannya antara lain meliputi perairan pantai Madura, Bali, Lombok, Aceh, Bengkulu, Bangka, Riau dan sekitarnya, Belitung, Kalimantan (bagian barat, timur dan selatan), Sulawesi, Maluku, Timor dan Kepulauan Seribu (Widodo, 2013). Habitat teripang pasir ditemukan di perairan dangkal, tetapi terkadang ditemukan pada kedalaman 20 m. Umumnya ditemukan di dalam terumbu karang dan di pesisir pantai serta daerah padang rumput laut disertai pasir berlumpur. Teripang dewasa dan teripang muda, kedua-duanya menguburkan diri di dalam pasir ataupun pasir berlumpur (Purcell, dkk., 2012). 2.1.4 Morfologi Badan teripang berbentuk memanjang (longitudinal). Mulut pada bagian depan, memiliki tentakel (Gambar 2.1) yang digunakan hewan untuk mengambil makanan (terutama materi organik). Anus pada bagian ujung posterior dan tentakel terdiri juga dari perpanjangan sistem vaskular, Jumlah tentakel bervariasi antara 10 dan 30, secara umumnya meruakan keliatan 5. Aspidochirotida memiliki ukuran tentakel yang sama, tetai Dendrochirotida daat memiliki ukuran tentakel yang berbeda (Purcell, dkk., 2012). 7 Gambar 2.1 Anatomi luar dari hewan teripang 2.1.5 Kandungan Kimia dan Manfaat Ratusan tahun teripang sudah digunakan sebagai obat-obatan di Cina yang diyakini mampu menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Efek penyembuhan tersebut mungkin disebabkan senyawa bioaktif yang terdapat pada tubuh teripang seperti saponin (triterpen glikosida) (Albuntana, 2011). Teripang secara spesifik mengandung sapogenin steroid, triterpen glikosida dan holostan yang berfungsi sebagai antibakteri, antimikroba dan antijamur (Bordbar, dkk., 2011). Nilai gizi teripang cukup tinggi dan rasanya sangat lezat. Teripang kering mempunyai kadar protein tinggi, yaitu 82%. Kandungan protein teripang yang cukup tinggi ini menunjukkan bahwa teripang memiliki nilai gizi yang baik sebagai makanan. Protein pada teripang mempunyai asam amino yang lengkap, baik asam amino esensial maupun asam amino non esensial. Asam amino sangat berguna dalam sintesa protein dalam pembentukan otot dan dalam pembentukan hormon (Karnila, 2011). Kandungan gizi teripang secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 2.1 (Widodo, 2013). 8 Tabel 2.1 Komposisi Kandungan Gizi Teripang Komposisi Air Protein Lemak Abu Karbohidrat Kalsium Fosfor Zat besi Natrium Kalium Vitamin A Vitamin B Tiamin Ribloflavin Niasin Total Kalori Persentase (%) 8,90 82,00 1,70 8,60 4,80 0,308 0,023 0,0417 0,770 0,091 0,455 0,00004 0,0007 0,0004 385,00 kal/100 g 2.2 Uraian Kimia 2.2.1 Saponin Saponin merupakan senyawa glikosida triterpenoida ataupun glikosida steroida yang merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisa sel darah merah. Pola glikosida saponin yang mempunyai satuan gula sampai lima dan komponen yang umum ialah asam glukuronat (Harborne, 1987). Glikosida saponin adalah glikosida yang aglikonnya berupa sapogenin. Keberadaan saponin sangat mudah ditandai dengan pembentukkan larutan koloidal dengan air yang apabila digojog sangat mudah menimbulkan buih yang stabil. Saponin merupakan senyawa yang berasa pahit menusuk dan menyebabkan bersin dan sering mengakibatkan iritasi terhadap selaput lendir. Saponin juga bersifat bisa menghancurkan butir darah merah lewat reaksi hemolisis, bersifat 9 racun bagi hewan berdarah dingin, dan banyak di antaranya digunakan sebagai racun ikan. Saponin bila terhidrolisis akan menghasilkan aglikon yang disebut sapogenin. Ini merupakan suatu senyawa yang mudah dikristalkan lewat asetilasi sehingga dapat dimurnikan dan dipelajari lebih lanjut. Saponin yang berpotensi keras atau beracun seringkali disebut sapotoksin (Gunawan dan Mulyani, 2010). Saponin memiliki berat molekul tinggi sehingga upaya isolasi untuk mendapatkan saponin yang murni menemui banyak kesulitan. Berdasarkan struktur aglikonnya (sapogeninnya), saponin dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tipe steroid dan tipe triterpenoida. Kedua senyawa ini memiliki hubungan glikosodik pada atom C-3 dan memiliki asal usul biogenetika yang sama lewat asam mevalonat dan satuan-satuan isoprenoid. H3C CH3 CH3 H H Kerangka steroid Kerangka triterpenoid Gambar 2.2 Struktur saponin steroid dan saponin triterpenoid 2.2.1.1 Reaksi Identifikasi Saponin Reaksi identifikasi saponin dijelaskan sebagai berikut: penentuan kuantitatif, indeks buih, indeks ikan dan indeks hemolisis. Penentuan Kuantitatif Saponin relatif merupakan senyawa stabil, tetapi lama-lama sebagian saponin akan diubah menjadi senyawa tidak aktif. Kemampuan hemolitik dari 10 segena akan menurun pada penyimpanan, tetapi sarsaparilla tidak menurun. Ternyata sarsaparilla yang disimpan selama 50 tahun masih tetap memiliki aktivitas penuh seperti aktivitas awalnya. Indeks Buih Indeks buih menunjukkan angka pengenceran dari bahan yang diperiksa. Reaksi identifikasi ini yang akan memberikan lapisan buih setinggi 1 cm bila larutan sampel ditambah air digojog dalam gelas ukur selama 15 detik dan selanjutnya dibiarkan selama 15 menit sebelum dilakukan pengamatan. Indeks Ikan Ikan kecil dimasukkan ke dalam larutan obat dengan berbagai kadar. Angka kebalikan pengenceran yang diperlukan untuk membunuh 60% ikan dalam waktu satu jam disebut indeks ikan. Indeks Hemolisis Suatu seri pengenceran dekokta air dari simplisia ditambahkan ke dalam larutan garam fisiologis yang mengandung 2,5% darah bebas fibrin. Hemolisis akan terjadi bila ditambahkan saponin yang cukup, yaitu suspensi darah kemudian menjadi bening. Pengenceran tersebar terjadi dari saponin yang mengakibatkan hemolisis total disebut sebagai indeks hemolisis (Gunawan dan Mulyani, 2010). 2.2.2 Steroid Steroid adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidrofenantrena. Dahulu steroida dianggap sebagai senyawa satwa tetapi makin banyak senyawa steroida yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan (fitosterol). Tiga senyawa yang disebut fitosterol yaitu: sitosterol, stigmasterol dan kampesterol (Harborne, 1987). 11 2.2.3 Triterpenoid Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C-30 asiklik yaitu skualena. Triterpenoid dapat dibagi atas empat golongan yaitu triterpenoid sebenarnya, steroid, saponin dan gikosida jantung. Triterpenoid merupakan senyawa yang tidak berwarna, berbentuk kristal, bertitik leleh tinggi dan optik aktif, yang umumnya sukar dicirikan karena tidak mempunyai kereaktifan kimia. Kebanyakan senyawa ini memberikan warna hijau-biru dengan pereaksi Liebermann-Burchard (asam asetat anhidrid-asam sulfat) (Harbone, 1897). 2.2.4 Alkaloid Kebanyakan alkaloid bersifat basa. Sifat tersebut tergantung pada adanya pasangan elektron pada nitrogen dan sebagian besar atom nitrogen ini meruakan bagian dari cincin heterosiklisnya, jika gugus fungsional yang berdekatan dengan nitrogen bersifat melepaskan elektron, sebagai gugus alkil, maka ketersediaan elektron pada nitrogen naik dan senyawa lebih bersifat basa (Sastrohamidjojo, 1996). Kebanyakan alkaloid yang telah diisolasi berupa padatan kristal dengan titik lebur yang tertentu atau mempunyai kisaran dekomposisi. Sedikit alkaloid yang bebentuk amorf, dan beberapa seperti nikotin dan koniin berupa cairan. Kebanyakan alkaloid tidak berwarna, tetapi beberapa senyawa yang kompleks, spesies aromatik berwarna (contoh, berberin berwarna kuning dan betanin merah). Pada umumnya basa bebas alkaloid hanya larut dalam pelarut organik, meskipun beberapa pseudo dan protoalkaloid larut dalam air. Garam alkaloid dan alkaloid quartener sangat larut dalam air (Sastrohamidjojo, 1996). 12 2.2.4.1 Klasifikasi Alkaloid Banyak usaha untuk mengklasifikasikan alkaloid. Sistem klasifikasi yang paling banyak diterima, menurut Hegnauer, alkaloid dikelompokkan sebagai alkaloid sesungguhnya, protoalkaloid dan pseudoalkaloid, meskipun demikian terdapat beberapa perkecualian. Akaloid Sesungguhnya Alkaloid sesungguhnya adalah racun, senyawa tersebut menunjukkan aktivitas fisiologi yang luas, hampir tanpa terkecuali bersifat basa; lazim mengandung nitrogen dalam cincin heterosiklis; diturunkan asam amino; biasanya terdapat dalam tanaman sebagai garam asam organik. Beberapa perkecualian terhadap “aturan” tersebut adalah kolkhisin dan asam aristolokhat yang bersifat bukan basa dan tidak memiliki cincin heterosiklis dan alkaloid quartener, yang bersifat agak asam daripada bersifat basa. Protoalkaloid Protoalkaloid merupakan amin yang relatif sederhana dalam mana nitrogen asam amino tidak terdapat dalam cincin heterosiklis. Protoalkaloid diperoleh berdasarkan biosintesis dari asam amino yang bersifat basa. Pengertian “amin biologis” sering digunakan untuk kelompok ini. Contoh adalah meskalin, ephedin, dan N,N-dimetiltriptamin. Pseudoalkaloid Pseudoalkaloid tidak diturunkan dari prekursor asam amino. Senyawa biasanya bersifat basa. Ada dua seri alkaloid yang penting dalam kelas ini, yaitu alkaloid stereoidal (contoh, konessin) dan purin (contoh kafein) (Sastrohamidjojo, 1996). 13 2.3 Ekstraksi Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia yang diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein dan lain-lain. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Senyawa aktif yang dikandung simplisia, jika diketahui akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 2000). Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstrak zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM, 1995). 2.3.1 Metode Ekstraksi Menurut Ditjen POM (2000), ada beberapa metode ekstraksi: cara dingin dan cara panas. 2.3.1.1 Cara dingin Ekstraksi dengan cara dingin terdiri dari: maserasi dan perkolasi. Maserasi Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. 14 Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan. 2.3.1.2 Cara Panas Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna. Soxhlet Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Digesti Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50⁰C. Infus Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98⁰C) selama waktu tertentu (15-20 menit). 15 Dekok Dekok adalah infus pada waktu yang lebih≥30 lama ( menit) dan temperatur sampai titik didih air (Ditjen POM, 2000). 2.4 Bakteri 2.4.1 Tinjauan Mengenai Bakteri Bakteri merupakan mikroba uniseluler yang pada umumnya tidak mempunyai klorofil. Bakteri tersebar luas di alam, di dalam tanah, di dalam air, pada sumber air panas, dalam tubuh hewan, manusia, dan tumbuhan. Bakteri umumnya berukuran kecil dengan karateristik dimensi 1 µm. Beberapa kelompok memiliki flagella dan dapat bergerak aktif. Bakteri memiliki berat jenis 1,05-1,1 g cm-3 dan berat sekitar 10-12 g. Ukuran aktual tergantung dari laju pertumbuhan, media tumbuh dan sebagainya (Hidayat, dkk., 2006). Dinding sel bakteri yang kaku dapat mempertahankan bentuknya dan melindungi sel dari perubahan tekanan osmotik antara sel dengan lingkungannya. Dinding sel Gram-positif memiliki lapisan peptidoglikan yang tebal dan membran sel, sementara dinding sel Gram-negatif memiliki tiga lapisan: membran dalam, membran luar, dan lapisan peptidoglikan yang lebih tipis (Gillespie dan Bamford, 2008). Bakteri merupakan organisme prokariot, yaitu memiliki kromosom tunggal di dalam sel, DNA menggulung (coil dan supercoil); suatu proses yang diperantai oleh sistem enzim DNA girase. Ribosom bakteri berbeda dengan ribosom eukariot, menjadikannya target untuk terapi antibakteri. Bakteri juga mengandung DNA tambahan dalam bentuk plasmid (Gillespie dan Bamford, 2008). 16 2.4.2 Ukuran Bakteri Ukuran tubuh bakteri sangat kecil, umumnya bentuk tubuh bakteri dapat dilihat menggunakan mikroskop dengan perbesaran 1000 kali atau lebih. Satuan ukuran tubuh bakteri umumnya mikrometer atau mikron. Lebar tubuhnya antara 1-2 mikron sedangkan panjangnya antara 2-5 mikron (Waluyo, 2004). 2.4.3 Bentuk Bakteri Bentuk-bentuk bakteri, yaitu bulat (tunggal: coccus, jamak: cocci), batang atau silinder (tunggal: bacillus, jamak: bacilli), dan spiral yaitu berbentuk batang melengkung atau melingkar-lingkar (Pratiwi, 2008). Bentuk cocci umumnya bulat atau oval. Cocci yang tetap berpasangan setelah membelah disebut diplococci. Cocci yang membelah namun tetap melekat dalam dua bidang dan tetap melekat membentuk kelompok 4 coccus disebut tetrad, Cocci yang membelah tiga bidang dan tetap melekat membentuk kubus dengan 8 coccus disebut sacrina, sedangkan cocci yang membelah pada banyak bidang dan membentuk kumpulan yang menyerupai buah anggur disebut staphylococci (Gillespie dan Bamford, 2008). Bacilli membelah hanya melalui sumbu pendeknya. Sebagian besar bacilli tampak sebagai batang tunggal. Diplobacilli muncul dari pasangan bacilli setelah pembelahan dan streptobacilli muncul dalam bentuk rantai. Beberapa bacilli tampak menyerupai cocci dan disebut coccobacilli (Pratiwi, 2008). Bentuk spiral bakteri memiliki satu atau lebih lekukan dan tidak lama bentuk lurus. Bakteri berbentuk spiral ini dibedakan menjadi beberapa jenis. Bakteri yang berpilin kaku disebut spirilla, sedangkan bakteri yang berpilin fleksibel disebut spirochaeta (Pratiwi, 2008). 17 2.4.4 Pertumbuhan Bakteri 2.4.4.1 Pertumbuhan Secara Individu dan Secara Populasi Ada 2 segi tinjauan pertumbuhan yaitu: pertumbuhan secara individu dan pertumbuhan secara populasi. Pertumbuhan Secara Individu Pertumbuhan secara individu, sebagai pertambahan bagian-bagian sel, dapat diamati dari pertambahan ukuran sel, dan adanya pembelahan sel. Pertumbuhan Secara Populasi Pertumbuhan secara populasi, sebagai akibat pertumbuhan individu, dapat diamati dari pertambahan jumlah (kuantitas) sel atau masa sel. 2.4.4.2 Reproduksi Sel Bakteri Reproduksi sel bakteri terjadi secara aseksual melalui pembelahan biner (binari fission) yaitu dari 1 sel dihasilkan 2 sel (rumus 2n). Tahap dalam reproduksi sel : 1. Perluasan dinding sel dan membran sel 2. Pembentukan sekat atau invaginasi dinding sel dan distribusi materi genetik ke sel anakan 3. Pemisahan menjadi 2 sel anakan baru (Harti, 2015). 2.4.4.3 Kurva Pertumbuhan Bakteri Kurva pertumbuhan, merupakan hubungan antara jumlah sel dengan waktu pertumbuhan sel. Jumlah sel bakteri biasanya dalam skala logaritma untuk memudahkan analisis daripada skala logaritma. Kurva pertumbuhan bakteri terbagi 4 fase, yaitu: fase lag, fase logaritama, fase tetap maksimum dan fase kematian. 18 Fase Lag = The Lag Phase = Fase Pertumbuhan Kecepatan pertumbuhan nol atau > 0 (tidak maksimum), disebut juga fase adaptasi. Tidak ada pertambahan populasi, tetapi pertambahan substansi intraseluler sehingga ukuran sel bertambah. Fase Logaritma (Log) = The Log Phase = Fase Eksponensial Kecepatan pertumbuhan mencapai maksimum. Massa dan jumlah sel bertambah secara eksponensial dengan waktu generasi sebagai konstanta, sehingga pertumbuhan akan seimbang, yaitu sel membelah dengan kecepatan konstan serta aktivitas metabolisme konstan. Biakan dalam keadaan homogen dengan pertumbuhan sel pada kecepatan dan interval sama. Fase Tetap Maksimum = The Stationary Phase = Fase Statis Kecepatan pertumbuhan mulai menurun, terjadi akumulasi metabolit. Jumlah sel hidup tetap, namun terjadi pengurangan nutrien maka jumlah total sel mati dan hidup tetap secara akumulasi metabolit. Fase Kematian = The Death Phase = Fase Penurunan Laju kematian secara eksponensial dan terjadi penurunan populasi sel-sel hidup hingga mencapai 0. 2.4.4.4 Kebutuhan Pertumbuhan Bakteri Kebutuhan pertumbuhan ada 2 kategori, yaitu: kebutuhan fisika dan kebutuhan kimiawi. Kebutuhan Fisika Temperatur Mikroorganisme dibagi 3 grup berdasarkan suhu pertumbuhannya, yaitu psikrofil (suhu rendah), mesofil (suhu sedang atau moderate) dan termofil (suhu 19 tinggi). Setiap mikroorganisme mempunyai interval suhu pertumbuhan tertentu yang terbagi dalam 3 kisaran suhu minimum, optimum dan maksimum. Mikroorganisme yang mempunyai interval suhu pertumbuhan sempit disebut stenotermal dan mikroorganisme yang punya interval suhu pertumbuhan luas disebut euritermal. Ada beberapa sifat khusus mikroorganisme terkait dengan suhu pertumbuhan yaitu psychrotrophs, sebagai kelompok mikroorganisme yang mampu tumbuh pada suhu rendah dan hyperthermophile sebagai kelompok mikroorganisme yang tumbuh pada suhu tinggi. pH Mikroorganisme dibagi 3 grup berdasarkan pH pertumbuhan, yaitu: asidofil, netrofil dan alkalofil. a. Asidofil, tumbuh pada pH asam yaitu pH 2,0-5,0 b. Netrofil atau mesofil, tumbuh pada pH netral yaitu 5,5-8,0 c. Alkalofil, tumbuh pada pH alkali yaitu 8,4-10,0 Bakteri umumnhya bersifat mesofil sedangkan jamur bersifat asidofil Tekanan Osmosis (Osmotic Pressure) Mikroorganisme membutuhkan kadar air (Aw = available water) 80-90%. Tekanan osmosis mempengaruhi pertukaran air dari dan ke dalam sel. Ada 3 macam konsentrasi larutan, yaitu hipotonis, hipertonis, dan isotonis. Jika konsentrasi substrat hipertonis dari isi sel, maka akan terjadi plasmolisis. Sifat mikroorganisme yang tumbuh pada media hipertonis disebut osmofil. Kebutuhan Kimiawi Kebutuhan kimiawi meliputi sumber C, N, S, P, O, mineral dan faktor pertumbuhan organik (Harti, 2015). 20 2.5 Penyakit Infeksi 2.5.1 Tinjauan Mengenai Infeksi Penyakit infeksi adalah suatu penyakit yang disebabkan karena masuknya bibit penyakit. Salah satu penyebab penyakit infeksi yang paling utama diantaranya adalah bakteri dan jasad hidup (organisme). Penyakit infeksi ini merupakan penyakit menular. Penularan penyakit infeksi dapat terjadi ketika di rumah sakit, infeksi ini disebut dengan infeksi nosokomial. Penyebab infeksi nosokomial terutama adalah lingkungan disekitar kamar pasien, penyediaan makanan dan suplai udara (Gillespie dan Bamford, 2008). 2.5.2 Infeksi Luka Bakar Luka bakar sangat rentan terhadap kolonisasi bakteri; Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus dan Staphylococcus pyogenes, dan kadangkadang koliform dapat terlibat. Kolonisasi oleh organime yang resisten makin menjadi masalah. Kolonisasi bakteri dapat menyebabkan hilangnya cangkokan kulit dan menyebabkan bakterimia sekunder (Gillespie dan Bamford, 2008). 2.5.3 Bakteri Staphylococcus aureus 2.5.3.1 Sistematika Bakteri Staphylococcus aureus Sistematika Staphylococcus aureus (Breed, dkk., 1957) adalah : Divisi : Eukariota Kelas : Schzomycetes Bangsa : Eubacteriales Suku : Micrococcaceae Marga : Staphylococcus Jenis : Staphylococcus aureus 21 2.5.3.2 Uraian BakteriStaphylococcus aureus Spesies ini pernah dianggap sebagai satu-satunya patogen dari genusnya. Pembawa Staphylococcus aureus yang asimtomatik sering ditemukan, dan organisme ini ditemukan pada 40% orang sehat, di bagian hidung, kulit, ketiak atau perineum (Gillespie dan Bamford, 2008). Staphylococcus aureus memproduksi koagulase yang mengkatalisis perubahan fibrinogen menjadi fibrin dan dapat membantu organisme ini untuk membentuk barisan perlindungan. Bakteri ini juga memiliki reseptor terhadap permukaan sel pejamu dan protein matriks (misalnya fibronektin, kolagen) yang membantu organisme ini untuk melekat. Bakteri ini memproduksi enzim litim ektraseluler (misalnya lipase), yang memecah jaringan pejamu dan membantu invasi. Staphylococcus aureus menyebabkan rentang sindrom infeksi yang luas. Infeksi kulit dapat terjadi pada kondisi hangat yang lembap atau saat kulit terbuka akibat penyakit seperti eksim, luka pembedahan, atau akibat alat intravena (Gillespie dan Bamford, 2008). 2.5.4 Bakteri Psedomonas aeruginosa 2.5.4.1 Sistematika Bakteri Pseudomonas aeruginosa Sistematika bakteri Pseudomonas aeruginosa (Breed, dkk., 1957) adalah : Divisi : Eukariota Kelas : Schizomycetes Bangsa : Pseudomonadales Suku : Pseudomonodaceae Marga : Pseudomonas Jenis : Pseudomonas aeruginosa 22 2.5.4.2 Uraian Bakteri Pseudomonas aeruginosa Organisme ini merupakan basilus Gram-negatif yang motil dan hidup dalam suasana aerob. Bakteri ini terdapat dimana-mana pada lingkungan, tetapi jarang terdapat pada flora orang yang sehat. Jumlah pembawa meningkat dengan perawatan inap rumah sakit. lingkungan yang lembap merupakan tempat hidup Pseudomonas aeruginosa, seperti bak cuci, keran air dan disinfektan yang digunakan lebih dari 24 jam (Gillespie dan Bamford, 2008). Pseudomonas aeruginosa memproduksi sitotoksin dan protease (misalnya eksotoksin A dan S, hemolisis, dan elastase). Luka bakar dapat terkoloni menyebabkan septikemia sekunder akibat Pseudomonas aeruginosa. Septikemia dengan mortalitas tinggi merupakan ancaman tersendiri bagi pasien neutropenia (Gillespie dan Bamford, 2008). 2.6 Media Pertumbuhan Bakteri Pembiakan bakteri dalam laboratorium memerlukan media yang berisi zat hara serta lingkungan pertumbuhan yang sesuai bakteri. Zat harus diperlukan untuk pertumbuhan, sintesis sel, keperluan energi dalam metabolisme dan pergerakan. Lazimnya, media biakan mengandung air, sumber energi, zat hara sebagai sumber karbon, nitrogen, sulfur, fosfat, oksigen dan hidrogen. Dalam bahan dasar media dapat pula ditambahkan faktor pertumbuhan berupa asam amino dan vitamin. Media biakan dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori, yaitu: berdasarkan asalnya, kegunaan dan konsistensi. 2.6.1 Berdasarkan Asalnya Berdasarkan asalnya, dibagi atas: media sintetik dan media non-sintetik. 23 2.6.1.1 Media Sintetik Media yang kandungan dan isi bahan yang ditambahkan diketahui secara terperinci. Contoh: glukosa, kalium fosfat, magnesium fosfat. 2.6.1.2 Media Non-Sintetik Media yang kandungan tidak diketahui secara terperinci dan menggunakan bahan yang terdapat di alam. Contoh: ekstrak daging, pepton (Lay, 1994). 2.6.2 Berdasarkan Kegunaannya Berdasarkan kegunaanya, dibedakan menjadi: media selektif, media diferensial dan media diperkaya. 2.6.2.1 Media Selektif Media selektif adalah media biakan yang mengandung paling sedikit bahan yang dapat menghambat perkembang biakan mikroorganisme yang tidak diinginkan dan memperbolehkan perkembang biakan mikroorganisme tertentu yang ingin diisolasi. 2.6.2.2 Media Diferensial Media ini digunakan untuk menyeleksi suatu mikroorganisme dari berbagai jenis dalam suatu lempengan agar. 2.6.2.3 Media Diperkaya Media ini digunakan untuk menumbuhkan mikroorganisme yang diperoleh dari lingkungan alami karena jumlah mikroorganisme yang ada jumlahnya sedikit (Irianto, 2006). 2.6.3 Berdasarkan Konsistensinya Berdasarkan konsistensinya, dibagi atas: media padat/solid, media semi solid dan media cair (Irianto, 2006). 24 2.7 Pengukuran Aktivitas Bakteri Pengukuran aktivitas antibakteri dapat dilakukan dengan metode dilusi (pengenceran) atau dengan metode difusi. 2.7.1 Metode Dilusi Metode ini menggunakan antimikroba dengan konsentrasi yang berbedabeda dimasukkan pada media cair. Media tersebut langsung diinokulasikan dengan bakteri dan diinkubasi. Tujuan dari percobaan ini adalah menentukan konsentrasi terkecil suatu zat antibakteri dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri uji. Metode dilusi agar membutuhkan waktu lama dalam pengerjaanya sehingga jarang digunakan (Jawetz, dkk., 2001). 2.7.2 Metode Difusi Metode yang paling sering digunakan adalah metode difusi agar dengan menggunakan cakram kertas, cakram kaca, pencetak lubang. Prinsip metode ini adalah mengukur zona hambatan pertumbuhan bakteri yang terjadi akibat difusi zat yang bersifat sebagai antibakteri di dalam media padat melalui pencadang. Daerah hambatan pertumbuhan bakteri adalah jernih disekitar cakram. Luas daerah hambatan berbanding lurus dengan aktivitas antibakteri, semakin kuat daya aktivitas antibakterinya maka semakin luas daerah hambatnya. Metode ini dipengaruhi oleh banyak faktor fisik dan kimia (Jawetz, dkk., 2001). 25