BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tekanan Darah 2.1.1 Definisi

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tekanan Darah
2.1.1
Definisi
Tekanan darah merupakan daya yang dihasilkan oleh darah terhadap
setiap satuan luas dinding pembuluh. Bila seseorang mengatakan bahwa tekanan
dalam pembuluh adalah 100 mmHg hal itu berarti bahwa daya yang dihasilkan
cukup untuk mendorong kolom air raksa melawan gravitasi sampai setinggi 100
mm (Guyton dan Hall, 2008). Tekanan darah juga didefinisikan sebagai kekuatan
lateral pada dinding arteri oleh darah yang didorong dengan tekanan dari jantung
(Potter dan Perry, 2005).
Tekanan puncakterjadi saat ventrikel berkontraksi dan disebut tekanan
sistolik. Tekanan diastolik adalah tekanan terendah yang terjadi saat jantung
beristirahat. Tekanan darah biasanya digambarkan sebagai rasio tekanan sistolik
terhadap tekanan diastolik, dengan nilai dewasa normalnya berkisar dari 100/60
sampai 140/90. Rata-rata tekanan darah normal biasanya 120/80 (Smeltzer dan
Bare, 2001).
Tekanan darah timbul ketika bersirkulasi di dalam pembuluh darah.
Organ jantung dan pembuluh darah berperan penting dalam proses ini dimana
jantung sebagai pompa muskular yang menyuplai tekanan untuk menggerakkan
darah, dan pembuluh darah yang memiliki dinding yang elastis dan ketahanan
9
10
yang kuat (Hayens, 2003). Tekanan darah diukur dalam satuan milimeter air
raksa (mmHg) (Palmer, 2007).
2.1.2
Fisiologi Tekanan Darah
Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan resistensi pembuluh
darah perifer (tahanan perifer). Curah jantung (cardiac output) adalah jumlah
darah yang dipompakan oleh ventrikel ke dalam sirkulasi pulmonal dan sirkulasi
sistemik dalam waktu satu menit, normalnya pada dewasa adalah 4-8 liter.
Cardiac output dipengaruhi oleh volum sekuncup (stroke volume) dan kecepatan
denyut jantung (heart rate). Resistensi perifer total (tahanan perifer) pada
pembuluh darah dipengaruhi oleh jari-jari arteriol dan viskositas darah. Stroke
volume atau volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompakan saat
ventrikel satu kali berkontraksi normalnya pada orang dewasa normal yaitu ±7075 ml atau dapat juga diartikan sebagai perbedaan antara volume darah dalam
ventrikel pada akhir diastolik dan volume sisa ventrikel pada akhir sistolik. Heart
rate atau denyut jantung adalah jumlah kontraksi ventrikel per menit. Volume
sekuncup dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu volume akhir diastolik ventrikel, beban
akhir ventrikel (afterload), dan kontraktilitas dari jantung (Dewi, 2012).
Tubuh mensuplai darah ke seluruh jaringan, sehingga mampu
memberikan gaya dorong berupa tekanan arteri rata-rata dan derajat
vasokonstriksi arteriol-arteriol jaringan tersebut. Tekanan arteri rata-rata
merupakan gaya utama yang mendorong darah ke jaringan. Tekanan arteri ratarata harus dipantau dengan baik karena apabila tekanan ini terlalu tinggi dapat
11
memperberat kerja jantung dan meningkatkan risiko kerusakan pembuluh darah
serta terjadinya ruptur pada pembuluh-pembuluh darah halus. Tekanan arteri
akan tetap normal melalui penyesuaian jangka pendek (dalam hitungan detik)
dan penyesuaian jangka panjang (dalam hitungan menit sampai hari).
Penyesuaian jangka pendek dilakukan dengan mengubah curah jantung dan
resistensi perifer total yang diperantarai oleh sistem saraf otonom pada jantung,
vena dan arteriol. Penyesuaian jangka panjang dilakukan dengan menyesuaikan
volume darah total dengan cara menyeimbangkan garam dan air melalui
mekanisme rasa haus dan pengeluaran urin (Sherwood, 2001).
Penyimpangan pada arteri rata-rata akan mengaktivasi reflek
baroresptor untuk dapat menormalkan kembali tekanan darah yang diperantarai
oleh saraf otonom. Hal ini yang mempengaruhi kerja jantung dan pembuluh
darah dalam upaya menyesuaikan curah jantung dan resistensi perifer total.
Reflek dan respon lain yang mempengaruhi tekanan darah yaitu reseptor volume
atrium kiri, osmoreseptor hipotalamus yang penting dalam mengatur
keseimbangan air dan garam, kemoreseptor yang terletak di arteri karotis dan
aorta yang secara reflek akan meningkatkan pernafasan sehingga lebih banyak
oksigen yang masuk. Respon lainnya yaitu respon yang berkaitan dengan emosi,
kontrol hipotalamus terhadap arteriol kulit untuk mendahulukan pengaturan suhu
daripada kontrol pusat kardiovaskular dan zat-zat vasoaktif yang dikeluarkan
oleh sel-sel endotel seperti endothelium-derived relaxing factor (ERDF) atau
nitric oxide (NO) (Sherwood, 2001).
12
2.1.3
Regulasi Tekanan Darah
Pengaturan tekanan darah secara umum dibagi menjadi dua yaitu
pengaturan tekanan darah untuk jangka pendek dan pengaturan tekanan darah
untuk jangka panjang.
a. Pengaturan tekanan darah jangka pendek
1) Sistem Saraf
Sistem saraf mengontrol tekanan darah dengan mempengaruhi tahanan
pembuluh darah. Kontrol ini bertujuan untuk mempengaruhi distribusi
darah sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan bagian tubuh yang
spesifik, dan mempertahankan tekanan arteri rata-rata yang adekuat dengan
mempengaruhi diameter pembuluh darah. Umumnya kontrol sistem saraf
terhadap tekanan darah melibatkan baroreseptor, kemoreseptor, dan pusat
otak tertinggi (hipotalamus dan serebrum) (Mayuni, 2013). Menurut
Sherwood (2006) refleks baroreseptor merupakan sensor utama pendeteksi
perubahan tekanan darah. Setiap perubahan pada tekanan darah rata-rata
akan mencetuskan refleks baroreseptor yang diperantarai secara otonom,
seperti yang disajikan pada Gambar 2.1. Sistem baroreseptor bekerja sangat
cepat untuk mengkompensasi perubahan tekanan darah. Baroreseptor yang
penting dalam tubuh manusia terdapat di sinus karotis dan arkus aorta.
Baroreseptor secara terus menerus memberikan informasi mengenai
tekanan darah, dan secara kontinu menghasilkan potensial aksi sebagai
respon terhadap tekanan didalam arteri. Jika tekanan arteri meningkat,
13
potensial aksi juga akan meningkat sehingga kecepatan pembentukan
potensial aksi di neuron eferen yang bersangkutan juga ikut meningkat.
Begitu juga sebaliknya, jika terjadi penurunan tekanan darah. Setelah
mendapat informasi bahwa tekanan arteri terlalu tinggi oleh peningkatan
potensial aksi tersebut, pusat kontrol kardiovaskuler merespon dengan
mengurangi aktivitas simpatis dan meningkatkan aktivitas parasimpatis.
Sinyal-sinyal eferen ini menurunkan kecepatan denyut jantung,
menurunkan volume sekuncup, menimbulkan vasodilatasi arteriol dan
vena serta menurunkan curah jantung dan resistensi perifer total, sehingga
tekanan darah kembali normal. Begitu juga sebaliknya jika tekanan darah
turun dibawah normal.
Gambar 2.1 Sistem Baroreseptor untuk Mengendalikan Tekanan Arteri.
Sumber: Guyton dan Hall, 2008.
2) Kontrol kimia
14
Kadar oksigen dan karbondioksida membantu proses pengaturan tekanan
darah melalui refleks kemoreseptor. Beberapa kimia darah juga
mempengaruhi tekanan darah melalui kerja pada otot polos dan pusat
vasomotor. Hormon yang penting dalam pengaturan tekanan darah adalah
hormon yang dikeluarkan oleh medula adrenal (norepinefrin dan
epinefrin), natriuretik atrium, hormon antidiuretik, angiostensin II, dan
nitric oxide (Mayuni, 2013).
b. Pengaturan tekanan darah jangka panjang
Organ ginjal memiliki peran penting dalam pengaturan tekanan darah jangka
panjang. Organ ginjal mempertahankan keseimbangan tekanan darah secara
langsung dan secara tidak langsung. Mekanisme secara langsung dengan
meregulasi volume darah rata-rata 5 liter/menit, sementara secara tidak
langsung dengan melibatkan mekanisme renin angiostesin. Pada saat tekanan
darah menurun, ginjal akan mengeluarkan enzim renin ke dalam darah yang
akan mengubah angiotensin menjadi angiotensin II yang merupakan
vasokontriktor yang kuat (Mayuni, 2013). Walaupun hanya berada 1 atau 2
menit dalam darah, tetapi angiotensin II mempunyai pengaruh utama yang
dapat meningkatkan tekanan arteri, yaitu sebagai vasokonstriksi di berbagai
daerah tubuh serta menurunkan eksresi garam dan air oleh ginjal (Ronny,
2009).
15
2.1.4
Klasifikasi Tekanan Darah
Tekanan darah diklasifikasikan berdasarkan pada pengukuran rata-rata
dua kali atau lebih pengukuran pada dua kali atau lebih kunjungan.
Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC VII.
Klasifikasi
tekanan darah
Normal
Prehipertensi
Hipertensi tahap
I
Hipertensi tahap
II
2.1.5
Tekanan darah
sistolik (mmHg)
<120
120 –139
140 –159
Tekanan darah
diastolik (mmHg)
Dan < 80
Atau 80 – 89
Atau 90 – 99
> 160
Atau >100
Pengukuran Tekanan Darah
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur tekanan darah adalah
sphygmomanometer dan stethoscope yang telah dikalibrasi dengan tepat, seperti
yang disajikan pada Gambar 2.2. Menurut Potter dan Perry (2005), pengukuran
tekanan darah dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut ini:
a. Kaji tempat paling baik untuk melakukan pengukuran tekanan
darah.
b. Siapkan sphygmomanometer dan stetoskop serta alat tulis.
c. Anjurkan pasien untuk menghindari kafein dan merokok 30 menit sebelum
pengukuran.
d. Bantu pasien mengambil posisi duduk atau berbaring.
e. Posisikan lengan atas setinggi jantung dan telapak tangan menghadap keatas.
16
f. Gulung lengan baju bagian atas lengan.
g. Palpasi arteri brakialis dan letakkan manset 2,5 cm diatas nadi brakialis,
selanjutnya dengan manset masih kempis pasang manset dengan rata dan pas
di sekeliling lengan atas.
h. Pastikan sphygmomanometer diposisikan secara vertikal sejajar mata dan
pengamat tidak boleh lebih jauh dari 1 meter.
i. Letakkan earpieces stetoskop pada telinga dan pastikan bunyi jelas, tidak
redup (muffled).
j. Ketahui letak arteri brakialis dan letakkan belt atau diafragma chestpiece
diatasnya serta jangan menyentuh manset atau baju pasien.
k. Tutup kayup balon tekanan searah jarum jam sampai kencang.
l. Gembungkan manset 30 mmHg diatas tekanan sistolik yang dipalpasi
kemudian dengan perlahan lepaskan dan biarkan air raksa turun dengan
kecepatan 2-3 mmHg per detik.
m. Catat titik pada manometer saat bunyi pertama jelas terdengar .
n. Lanjutkan mengempiskan manset, catat titik pada manometer sampai 2 mmHg
terdekat atau saat bunyi tersebut hilang.
o. Kempiskan manset dengan cepat dan sempurna. Buka manset dari lengan
kecuali jika ada rencana untuk mengulang.
p. Bantu pasien kembali ke posisi yang nyaman dan rapikan kembali lengan atas
serta beritahu hasil pengukuran pada pasien.
17
Gambar 2.2 Cara Auskultasi untuk Mengukur Tekanan Arteri Sistolik dan Diastolik.
Sumber: Guyton dan Hall, 2008.
2.2
Pre-hypertension
2.2.1
DefinisiPre-hypertension
Pada tahun 2003, The Seventh Report of the Joint National Committee
on Prevention, Detection, Evaluation, and treatment of High Blood Pressure
memperkenalkan pre-hypertension sebagai kategori baru dalam klasifikasi
tekanan darah. Pre-hypertension dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi pada
seseorang yang memiliki tekanan darah sistolik berkisar 120-139 mmHg dan
tekanan darah diastolik berkisar 80-89 mmHg. Kondisi pre-hypertension selalu
dihubungkan dengan peningkatan insiden penyakit kardiovaskuler. Tujuan dari
mendefinisikan kondisi pre-hypertension ini yaitu untuk menekankan risiko yang
berhubungan dengan tekanan darah pada rentang ini dan untuk memfokuskan
perhatian pada kesehatan publik dan klinis sebagai suatu tindakan preventif
(Yu,et al., 2008).
18
2.2.2
Etiologi Pre-hypertension
Kondisi
pre-hypertension
merupakan
kondisi
awal
terjadinya
peningkatan darah dimana banyak orang belum menyadari kondisi tersebut
hingga akhirnya timbul berbagai macam keluhan. Berbagai macam faktor dapat
memicu meningkatnya tekanan darah dari normal menjadi tinggi.
a.
Usia
Semakin tinggi umur seseorang semakin tinggi tekanan darahnya, jadi
orang yang lebih tua cenderung mempunyai tekanan darah yang lebih
tinggi dari orang yang berusia lebih muda (Isselbacher, et al., 2000).
Progresifitas hipertensi dimulai dari pre-hypertension pada pasien umur
10-30 tahun (dengan meningkatnya curah jantung) kemudian menjadi
hipertensi dini pada pasien umur 20-40 tahun (dimana tahanan perifer
meningkat) kemudian menjadi hipertensi pada umur 30-50 tahun dan
akhirnya menjadi hipertensi dengan komplikasi pada usia 40-60 tahun.
Pengaruh usia terhadap tekanan darah terjadi akibat penurunan elastisitas
pembuluh darah arteri perifer sehingga meningkatkan resistensi pembuluh
darah perifer. Peningkatan tahanan perifer akan meningkatkan tekanan
darah (Guyton dan Hall, 2008).
b.
Jenis kelamin
Berdasarkan Journal of Clinical Hypertension, Oparil menyatakan bahwa
perubahan hormonal yang sering terjadi pada wanita menyebabkan wanita
lebih cenderung memiliki tekanan darah tinggi. Hal ini juga menyebabkan
19
risiko wanita untuk terkena penyakit jantung menjadi lebih tinggi (Miller,
2010).Wanita diketahui cenderung mempunyai tekanan darah lebih tinggi
daripada laki-laki dengan usia yang sama, hal ini sering dikaitkan dengan
semakin berkurangnya hormon seks wanita yang jumlahnya terus menurun
setelah masa menopause dimana telah diketahui bahwa hormone seks
wanita seperti estrogen bertanggung jawab dalam mengurangi mencegah
kekakuan arteri, endothelial dysfunction dan penumpukan lemak dalam
darah (Arifin, 2012).
c.
Stres
Stres merupakan suatu keadaan yang bersifat internal, yang dapat
disebabkan oleh tuntutan fisik, lingkungan, dan situasi sosial yang
berpotensi merusak dan tidak terkontrol (Sriati, 2007). Kondisi stres
memicu aktivasi dari hipotalamus yang mengendalikan dua sistem
neuroendokrin, yaitu sistem saraf simpatis dan korteks adrenal. Aktivasi
dari sistem saraf simpatis memicu peningkatan aktivasi berbagai organ dan
otot polos salah satunya meningkatkan kecepatan denyut jantung serta
pelepasan epinefrin dan norepinefrin ke aliran darah oleh medula adrenal
(Shewood, 2010). Stimulasi aktivitas saraf simpatis akan meningkatkan
resistensi pembuluh darah perifer dan curah jantung sehingga akan
berdampak pada perubahan tekanan darah yaitu peningkatan tekanan darah
secara intermiten atau tidak menentu (Nasution, 2011).
d.
Indeks Massa Tubuh (IMT)
20
Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan suatu pengukuran yang
membandingkan berat badan dengan tinggi badan (Angraini, 2014). Rumus
penghitungan Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah
IMT =
Berikut merupakan klasifikasi IMT berdasarkan kriteria Asia Pasifik:
Tabel 2.2 Klasifikasi IMT (WHO, Western Asia Pasifik)
Klasifikasi
Berat Tubuh (Kg/m2)
Kurus
<18,5
Normal
18,5 – 22,9
Kelebihan Berat Badan
23 – 24,9
Obesitas 1
25 – 29,9
Obesitas II
>30
Sumber: Angraini, 2014
Peningkatan indeks massa tubuh sering dihubungkan dengan kelainan
kardiovaskular. Salah satu kelainan kardiovaskular yang terpenting adalah
hipertensi. Banyak peneliti yang melaporkan bahwa indeks massa tubuh
berkaitan dengan kejadian hipertensi dan diduga peningkatan berat badan
berperan penting pada mekanisme timbulnya hipertensi pada penderita
obes. Mekanisme terjadinya hipertensi pada kasus obesitas belum
sepenuhnya dipahami, tetapi telah diketahui bahwa pada orang yang
21
mengalami obesitas terdapat peningkatan volume plasma dan curah
jantung yang akan meningkatkan tekanan darah (Angraini, 2014).
e.
Kebiasaan Merokok
Merokok merupakan aktivitas menghisap asap tembakau yang dibakar ke
dalam tubuh lalu menghembuskannya keluar (Armstrong, 2007). Merokok
merupakan salah satu kebiasaan hidup yang dapat mempengaruhi tekanan
darah. Rokok yang dihisap dapat mengakibatkan peningkatan tekanan
darah. Hal tersebut dikarenakan, rokok akan mengakibatkan vasokonstriksi
pembuluh darah perifer dan pembuluh di ginjal sehingga terjadi
peningkatan tekanan darah. Merokok sebatang setiap hari akan
meningkatkan tekanan sistolik 10–25 mmHg dan menambah detak jantung
5–20 kali per menit (Mangku, 2000).
f.
Makanan, alkohol dan kurangnya aktivitas fisik juga merupakan faktorfaktor resiko pre-hypertension. Makanan yang dikonsumsi seseorang
memberikan kontribusi besar bagi kemungkinan pre-hypertension, dimana
pada orang yang mengkonsumsi berlebihan garam menjadi beresiko lebih
tinggi. Seseorang yang biasa dengan gaya hidup instan dan kurang aktivitas
olahraga juga beresiko tinggi mengalamipre-hypertension. Konsumsi
alkohol dalam jumlah besar juga rentan akan resiko peningkatan tekanan
darah. (Dewi, 2014).
22
2.2.3
Patofisiologi Pre-hypertension
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan dilatasi pembuluh darah
terletak di pusat vasomotor pada medula otak. Pusat vasomotor pada medula
otak merupakan tempat bermulanya perjalanan saraf simpatis, yang berlanjut
menuju bagian bawah korda spinalis dan keluar dari kolumna medula spinalis
menuju ke ganglia simpatis pada thoraks dan abdomen. Rangsangan pada pusat
vasomotor yang berupa impuls dihantarkan menuju ganglia simpatis melalui
sistem saraf simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin
yang merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah. Pelepasan
norepinefrin juga terjadi mengakibatkan terjadinya konstriksi pada pembuluh
darah. Berbagai faktor seperti kecemasan, ketakutan dan stres dapat
mempengaruhi pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriktor (Guyton
dan Hall, 2008). Kecemasan, ketakutan dan stres juga merangsang kelenjar
adrenal sehingga kelenjar ini mensekresi epinefrin yang terlibat dalam aktivitas
vasokonstriksi. Korteks adrenal juga mensekresi kortisol dan steroid lainya
yang meningkatkan respon vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi
yang terjadi menurunkan aliran darah ke ginjal dan merangsang pelepasan
renin. Pelepasan renin ini merangsang pembentukan angiotensin I yang
kemudian diubah menjadi angiotensin II berfungsi sebagai vasokonstriktor
yang kuat. Angiotensin II ini akan merangsang sekresi aldosteron yang
berfungsi sebagai retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal. Retensi ini akan
23
menambah volume intravaskular yang akan mencetuskan keadaan peningkatan
pada tekanan darah (Smeltzer dan Bare, 2001).
2.2.4
PenatalaksanaanPre-hypertension
Tujuan pengobatan pasien pre-hypertension adalah:
a. Target tekanan darah yatiu <140/90 mmHg dan untuk individu
berisiko tinggi seperti diabetes melitus, gagal ginjal target tekanan
darah adalah <130/80 mmHg.
b. Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler.
c. Menghambat laju penyakit ginjal.
Terapi dari pre-hypertension terdiri dari terapi non farmakologis dan
farmakologis seperti penjelasan dibawah ini :
1. Terapi Non Farmakologi
a. Menurunkan berat badan bila status gizi berlebih.Bertambahnya
berat badan seiring dengan pertambahan usia sangat bertpengaruh
terhadap tekanan darahnya. Maka dari itu manajemen berat badan
sangat penting dalam mengontrol tekanan darah.
b. Meningkatkan aktifitas fisik.Seseorang yang aktivitas fisiknya
rendah rentan beresiko terkena hipertensi 30-50% dari pada orang
yang aktif bergerak. Pencegahan primer dari hipertensi bisa
dengan melakukan aktivitas fisik antara 30 – 45 menit sebanyak
3x/minggu.
24
c. Mengurangi asupan natrium (diet). Apabila dalam 6 bulan diet
tidak membantu, maka perlu pemberian obat anti hipertensi oleh
dokter.
d. Menurunkan konsumsi kafein dan alkohol. Kafein dapat memacu
jantung bekerja lebih cepat, sehingga mengalirkan lebih banyak
cairan pada setiap detiknya. Sementara konsumsi alkohol lebih
dari 2-3 gelas/hari dapat meningkatkan risiko hipertensi.
e. Metode dalam mengurangi stres seperti latihan pernafasan, yoga,
relaksasi otot progresif dan meditasi transedental telah dianjurkan
sebagai bentuk metode non-farmakologi yang dapat digunakan
dalam menurunkan tekanan darah.
2. Terapi farmakologi
Terapi farmakologi yaitu obat antihipertensi yang dianjurkan oleh
JNC VII yaitu diuretika, terutama jenis thiazide (Thiaz) atau
aldosteron antagonis, beta bloker, kalsium chanel bloker atau
kalsium antagonis, Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor
(ACEI), Angiotensin II Receptor Bloker atau AT1 receptor
antagonist/ blocker (ARB)(Aziza, 2008).
2.3
Pengaturan Kerja Jantung
Menurut Lawson R. (2007), jantung bekerja dalam 3 periode, yaitu:
a. Periode konstriksi (periode sistole)
25
Periode konstriksi merupakan suatu keadaan dimana jantung bagian
ventrikel dalam keadaan menguncup. Katup bikus dan trikuspidalis dalam
keadaan tertutup valvula semilinaris aorta dan valvula semilunaris arteri
pulmonalis terbuka, sehingga darah dari ventrikel dekstra mengalir ke arteri
pulmonalis masuk ke paru-paru kiri dan kanan, sedangkan darah dari
ventrikel sinistra mengalir ke aorta kemudian dialirkan ke seluruh tubuh.
b. Periode dilatasi (periode diastole)
Periode dilatasi merupakan suatu keadaan dimana jantung dalam keadaan
mengembang. Katup bikuspidalis dan trikuspidalis terbuka sehingga darah
dari atrium sinistra masuk ke ventrikel sinistra dan darah dari atrium dekstra
masuk ke ventrikel dekstra. Selanjutnya darah yang ada di paru-paru kiri dan
kanan melalui vena pulmonalis masuk ke atrium sinistra dan darah dari
seluruh tubuh melalui vena cava masuk ke atrium dekstra.
c. Periode istirahat
Periode istirahat yaitu waktu antara periode konstriksi (sistole) dan dilatasi
(diastole) dimana jantung berhenti kira-kira 1/10 detik.
2.4
Middle Age
Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) menggolongkan usia
menjadi 4, yaitu : usia pertengahan (middle age) adalah usia 45-59 tahun, lanjut
(elderly) adalah 60-74 tahun, lanjut usia (old) adalah 75-90 tahun dan usia
sangat tua (very older) di atas 90 tahun (Nugroho, 2008). Middle age atau usia
pertengahan merupakan suatu fase yang terjadi setelah fase dewasa namun
26
belum memasuki fase tua. Usia pertengahan dapat dikategorikan yaitu sekitar
kuartal ketiga dari rentang kehidupan rata – rata dari manusia (Mazlan, 2011).
2.5
Latihan Nafas Dalam (Deep Breathing)
2.5.1
Definisi
Latihan deep breathing merupakan latihan pernapasan dengan
tehnikbernapas
secara
diafragma,sehingga
perlahan
memungkinkan
dan
dalam,
abdomen
menggunakan
terangkat
perlahan
otot
dan
dadamengembang penuh (Smeltzer, et al., 2008). Frekuensi deep breathing
exercise dapat diberikan antara 6-10 kali permenit (Izzo, 2008).
2.5.2 Mekanisme dalam Menurunkan Tekanan Darah
Jerath, et al., (2006) mengemukakan bahwa mekanismepenurunan
metabolisme tubuh pada pernapasan lambat dan dalam masihbelum jelas,
namun menurut hipotesanya napas dalam dan lambat yangdisadari akan
mempengaruhi sistem saraf otonom melalui penghambatansinyal reseptor
peregangan dan arus hiperpolarisasi baik melalui jaringansaraf dan non-saraf
dengan mensinkronisasikan elemen saraf di jantung, paru-paru,sistem limbik,
dan korteks serebri, seperti yang disajikan pada Gambar 2.3. Selama inspirasi,
pereganganjaringan paru menghasilkan sinyal inhibitor atau penghambat
yangmengakibatkan adaptasi reseptor peregangan lambat atau slowly adapting
stretch reseptors (SARs) dan hiperpolarisasi pada fibroblas. Keduapenghambat
impuls dan hiperpolarisasi ini dikenal untuk menyinkronkanunsur saraf yang
menuju ke modulasi sistem saraf dan penurunan aktivitasmetabolik yang
27
merupakan status saraf parasimpatis. Peningkatan status saraf parasimpatis
akan memberikan dampak metabolik yaitu penurunan tekanan darah, denyut
jantung dan konsumsi O2.
Gambar 2.3 Mekanisme yang Terjadi pada Perubahan Otonom Selama Melakukan
Latihan Deep Breathing.
Sumber: Jerath, et al., 2006.
Refleks baroreseptor juga memiliki peranan penting dalam mekanisme
penurunan tekanan darah pada latihan deep breathing. Selama melakukan pernafasan
dalam dengan frekuensi 6-10 kali permenit terjadi peningkatan regangan
kardiopulmonari. Stimulasi peregangan di arkus aorta dan sinus karotis diterima dan
28
diteruskan oleh saraf vagus ke medula oblongata (pusat regulasi kardiovaskuler), yang
selanjutnya merespon terjadinya peningkatan refleks baroreseptor (Suwardianto,
2011). Impuls aferen dari baroreseptor mencapai pusat jantung yang akan merangsang
aktivitas saraf parasimpatis dan menghambat aktivitas saraf simpatis sehingga
menyebabkan vasodilatasi sistemik penurunan denyut dan daya kontraksi jantung.
Sistem saraf parasimpatis yang berjalan ke SA node melalui saraf vagus melepaskan
neurotransmiter asetilkolin yang menghambat kecepatan depolarisasi SA node,
sehingga terjadi penurunan kecepatan denyut jantung (kronotropik negatif).
Perangsangan sistem saraf parasimpatis ke bagian-bagian miokardium lainnya
mengakibatkan penurunan kontraktilitas, volume sekuncup, curah jantung yang
menghasilkan suatu efek inotropik negatif. Pada otot rangka beberapa serabut
vasomotor mengeluarkan asetilkolin yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah.
Akibat dari penurunan curah jantung, kontraksi serat-serat otot jantung, dan volume
darah membuat tekanan darah menjadi menurun (Muttaqin, 2009).
2.5.3 Teknik Aplikasi
Seperti yang disajikan pada Gambar 2.4 dan Gambar 2.5, teknik latihan deep
breathing diantaranya meliputi:
a. Mengatur posisi klien senyaman mungkin dengan posisi duduk di kursi ataupun
dengan posisi tidur.
b. Meletakkan satu tangan klien di atas abdomen (tepat di bawah iga) dan tangan
lainnya pada tengah dada untuk merasakan gerakan dada dan abdomen saat
bernafas.
29
c. Menarik nafas dalam melalui hidung selama 4 detik sampai dada dan abdomen
terasa terangkat maksimal, jaga mulut tetap tertutup selama inspirasi, tahan nafas
selama 2 detik.
d. Menghembuskan nafas melalui bibir yang dirapatkan dan sedikit terbuka sambil
mengencangkan (kontraksi) otot-otot abdomen dalam 4 detik.
e. Melakukan latihan selama 10-15 menit (Smeltzer, et al., 2008).
Gambar 2.4 Latihan Deep Breathing dengan Posisi Tidur.
Sumber: Suwardianto, 2011.
30
Gambar 2.5 Latihan Deep Breathing dengan Posisi Duduk.
Sumber: Suwardianto, 2011.
2.6
Slow Stroke Back Massage
2.6.1 Definisi
Slow Stroke Back Massage (SSBM) adalah salah satu stimulasi kulit
dengan usapan perlahan di daerah punggung yang dapat mengurangi persepsi
nyeri dan ketegangan otot. Slow Stroke Back Massage (SSBM) merupakan
intervensi yang diberikan dengan cara memberikan usapan secara perlahan,
tegas, berirama dengan kedua tangan menutup area selebar 5 cm diluar tulang
belakang yang dimulai dari kepala hingga area sacrum(Potter dan Perry, 2005).
Dengan menggunakan tindakan massage pada punggung atau bahu dengan
usapan yang perlahan (slow stroke back massage) akan menurunkan tekanan
darah dengan durasi massage selama 3-10 menit (Dewi, 2014).
2.6.2 Indikasi dan Kontraindikasi
Beberapa penelitian yang menggunakan slow stroke back massage
menemukan bahwa intervensi ini sangat membantu dalam relaksasi dan
peningkatan tidur (Casanelia dan Stelfox, 2009). Berdasarkan beberapa
penelitian yang dilakukan indikasi untuk SSBM, yaitu:
a. Penurunan intensitas nyeri dan kecemasan (Mook E, 2003).
b. Menurunkan kecemasan (Kozier, et al., 2004).
31
c. Meningkatkankualitas tidur (Richards; dalam Kozier, et al., 2004).
Slow-stroke back massage tidak boleh dilakukan pada kulit di daerah punggung
yang mengalamiluka bakar, luka memar, ruam kulit, inflamasi, dan kulit di
bawah tulang yangfraktur dikarenakan memijat jaringan yang sensitif dapat
menyebabkan cederajaringan yang lebih lanjut sedangkan memijat di daerah
kulit yang kemerahanmeningkatkan kerusakan kapiler pada jaringan di
bawahnya (Potter dan Perry,2005).
2.6.3 Mekanisme dalam Menurunkan Tekanan Darah
Slow-stroke back massage merupakan stimulasi yang dilakukan pada
kulit punggung dengan usapan yang perlahan. Massage ini dapat menghasilkan
relaksasi oleh stimulasi taktil di jaringan tubuh yang menyebabkan respon
neurohumoral yang kompleks dalam The Hypothalamic–Pituitary Axis (HPA)
ke sirkuit melalui pusat jalur sistem saraf. Stimulus tersebut didistribusikan otak
tengah melalui korteks di otak dan diinterpretasikan sebagai respon relaksasi
(Lawton, 2003). Sistem saraf otonom yang paling berperan dalam mekanisme
ini yaitu saraf parasimpatis. Sistem saraf parasimpatis bekerja dengan
mengeluarkan neurotransmiter asetilkolin yang dapat menghambat depolarisasi
SA node dan AV node akibat aktivitas sistem saraf simpatis yang mengeluarkan
neurotransmiter norepinephrin. Hal ini menyebabkan terjadinya vasodilatasi
sistemik dan penurunan kontraktilitas sehingga menimbulkan dampak
penurunan kecepatan denyut jantung, curah jantung, dan volume sekuncup
sehingga terjadi perubahan tekanan darah yaitu penurunan tekanan darah.
32
Massage juga menstimulasi penurunan suhu tubuh dan level hormon stres
diantaranya norepinephrin dan adrenalin (Stein, 2004).
Turkhaninov (2003) juga mengemukakan bahwa massage dapat
menurunkan tekanan darah. Tekanan mekanis dari back massage akan
menstimulasi
terbentuknya
peizeo-electric
effect
yang
membantu
melonggarkan, merenggangkan dan memperpanjang serabut otot sehingga
dengan adanya proses perenggangan otot ini maka akan meningkatkan sirkulasi
darah dan membawa kembali O2 serta nutrisi kembali ke area tubuh yang
tegang.
Efek perenggangan otot polos ini juga terjadi pada arteri vertebra yang
cenderung vasokontriksi pada lansia sehingga sirkulasi darah menuju medulla
spinalis kembali normal yang berakibat pada penurunan tekanan darah secara
fisiologis. Kembalinya sirkulasi darah juga akan mengurangi nyeri otot akibat
pH asam yang ditimbulkan oleh timbunan asam laktat sehingga sensitifitas
reseptor ASIC3 (Acid-Sensing Ion Channel Number 3) menurun dan
menimbulkan perasaan tenang, rileks dan lebih baik (Molliver, 2005).
Mekanisme timbulnya perasaan tenang dan rileks ini selanjutnya juga diinduksi
oleh menurunnya aktifitas gelombang α dan β serta meningkatnya aktifitas
gelombang δ pada system saraf pusat saat dan setelah pemberian masase.
Gelombang δ adalah gelombang otak yang secara normal muncul saat
seseorang telah tertidur (Arifin, 2012). Efek relaksasi melalui penurunan
sekresi hormon katekolamin akan berlanjut pada penurunan aktifitas saraf
33
simpatis disertai penurunan tekanan darah. Rasa enak dan nyaman akan tercapai
sehingga secara psikis memberikan dampak positif bagi rasa tenang, nyaman,
rileks, dan stres yang menurun. Respons positif ini melalui jalur HPA Aksis
yang akan merangsang hipotalamus dan Locus Coerulus (LC). Hipotalamus
akan
menurunkan
sekresiCorticotropin
Releasing
Hormone
(CRH)
Adrenocorticotropic Hormone sehingga (ACTH) menurun dan merangsang
Pro-opimelanocortin (POMC) yang juga akan menurunkan produksi ACTH
dan menstimulasi produksi endorphin. LC yang bertanggung jawab untuk
menengahi banyak efek simpatik selama stres, dalam keadaan rileks akan
menurunkan sintesis norepinefrin di medulla adrenal yang akan merangsang
penurunan AVP (arginine vasopressin). Penurunan AVP dan ACTH serta
peningkatan endorphin akan menurunkantahanan perifer dan cardiac output
sehingga tekanan darah akan menurun (Valentino dan Bockstaele, 2008).
2.6.4 Teknik Aplikasi
Pemberian Slow stroke back massage dapat dilakukan dengan beberapa
pendekatan, tetapi salah satu metode yang paling sering dilakukan adalah
dengan mengusap kulit klien secara perlahan dan berirama dengan tangan
dengan kecepatan 60 kali usapan per menit, seperti yang disajikan pada Gambar
2.14 dan Gambar 2.15. Kedua tangan menutup suatu area yang lebarnya 5 cm
pada kedua sisi tonjolan tulang belakang, dari ujung kepala sampai area sakrum.
Massage ini diberikan dengan durasi 3-10 menit (Potter dan Perry, 2005).
34
Gambar 2.6 Gerakan Sirkular dalam Pemberian Stimulus Kutaneus SSBM.
Sumber: Arisanti. (2012).
Gambar 2.7 Area Usapan Stimulus Kutaneus SSBM.
Sumber : Cadwell & Hegner (2003).
Menurut Potter dan Perry (2005), prosedur kerja pemberian slow-stroke back
massage adalah sebagai berikut:
a. Jelaskan prosedur dan posisi yang diinginkan klien.
35
b. Persiapkan peralatan dan bahan yang diperlukan.
c. Persilahkan untuk memilih posisi yang diinginkan selama intervensi,
bisatidur miring, telungkup, atau duduk.
d. Buka punggung klien, bahu, dan lengan atas. Tutup sisanya denganselimut
mandi.
e. Tuang sedikit lotion di tangan. Jelaskan padaresponden bahwa lotion akan
terasa dingin dan basah. Gunakan lotion sesuaikebutuhan.
f. Lakukan usapan pada punggung dengan menggunakan diameter dan telapak
tangan sesuai dengan metode di atas selama 3-10 menit. Jika responden
mengeluh tidak nyaman, prosedur langsung dihentikan.
g. Akhiri usapan dengan gerakan memanjang dan beritahu klien bahwa terapis
mengakhiri usapan.
h. Bersihkan kelebihan dari lubrikan dari punggung dan bahu klien dengan
handuk mandi.
i. Bantu klien memakai baju atau piyama.
Download