BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tekanan Darah 2.1.1 Definisi Tekanan darah merupakan daya yang dihasilkan oleh darah terhadap setiap satuan luas dinding pembuluh. Bila seseorang mengatakan bahwa tekanan dalam pembuluh adalah 100 mmHg hal itu berarti bahwa daya yang dihasilkan cukup untuk mendorong kolom air raksa melawan gravitasi sampai setinggi 100 mm (Guyton dan Hall, 2008). Tekanan darah juga didefinisikan sebagai kekuatan lateral pada dinding arteri oleh darah yang didorong dengan tekanan dari jantung (Potter dan Perry, 2005). Tekanan puncakterjadi saat ventrikel berkontraksi dan disebut tekanan sistolik. Tekanan diastolik adalah tekanan terendah yang terjadi saat jantung beristirahat. Tekanan darah biasanya digambarkan sebagai rasio tekanan sistolik terhadap tekanan diastolik, dengan nilai dewasa normalnya berkisar dari 100/60 sampai 140/90. Rata-rata tekanan darah normal biasanya 120/80 (Smeltzer dan Bare, 2001). Tekanan darah timbul ketika bersirkulasi di dalam pembuluh darah. Organ jantung dan pembuluh darah berperan penting dalam proses ini dimana jantung sebagai pompa muskular yang menyuplai tekanan untuk menggerakkan darah, dan pembuluh darah yang memiliki dinding yang elastis dan ketahanan 9 10 yang kuat (Hayens, 2003). Tekanan darah diukur dalam satuan milimeter air raksa (mmHg) (Palmer, 2007). 2.1.2 Fisiologi Tekanan Darah Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan resistensi pembuluh darah perifer (tahanan perifer). Curah jantung (cardiac output) adalah jumlah darah yang dipompakan oleh ventrikel ke dalam sirkulasi pulmonal dan sirkulasi sistemik dalam waktu satu menit, normalnya pada dewasa adalah 4-8 liter. Cardiac output dipengaruhi oleh volum sekuncup (stroke volume) dan kecepatan denyut jantung (heart rate). Resistensi perifer total (tahanan perifer) pada pembuluh darah dipengaruhi oleh jari-jari arteriol dan viskositas darah. Stroke volume atau volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompakan saat ventrikel satu kali berkontraksi normalnya pada orang dewasa normal yaitu ±7075 ml atau dapat juga diartikan sebagai perbedaan antara volume darah dalam ventrikel pada akhir diastolik dan volume sisa ventrikel pada akhir sistolik. Heart rate atau denyut jantung adalah jumlah kontraksi ventrikel per menit. Volume sekuncup dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu volume akhir diastolik ventrikel, beban akhir ventrikel (afterload), dan kontraktilitas dari jantung (Dewi, 2012). Tubuh mensuplai darah ke seluruh jaringan, sehingga mampu memberikan gaya dorong berupa tekanan arteri rata-rata dan derajat vasokonstriksi arteriol-arteriol jaringan tersebut. Tekanan arteri rata-rata merupakan gaya utama yang mendorong darah ke jaringan. Tekanan arteri ratarata harus dipantau dengan baik karena apabila tekanan ini terlalu tinggi dapat 11 memperberat kerja jantung dan meningkatkan risiko kerusakan pembuluh darah serta terjadinya ruptur pada pembuluh-pembuluh darah halus. Tekanan arteri akan tetap normal melalui penyesuaian jangka pendek (dalam hitungan detik) dan penyesuaian jangka panjang (dalam hitungan menit sampai hari). Penyesuaian jangka pendek dilakukan dengan mengubah curah jantung dan resistensi perifer total yang diperantarai oleh sistem saraf otonom pada jantung, vena dan arteriol. Penyesuaian jangka panjang dilakukan dengan menyesuaikan volume darah total dengan cara menyeimbangkan garam dan air melalui mekanisme rasa haus dan pengeluaran urin (Sherwood, 2001). Penyimpangan pada arteri rata-rata akan mengaktivasi reflek baroresptor untuk dapat menormalkan kembali tekanan darah yang diperantarai oleh saraf otonom. Hal ini yang mempengaruhi kerja jantung dan pembuluh darah dalam upaya menyesuaikan curah jantung dan resistensi perifer total. Reflek dan respon lain yang mempengaruhi tekanan darah yaitu reseptor volume atrium kiri, osmoreseptor hipotalamus yang penting dalam mengatur keseimbangan air dan garam, kemoreseptor yang terletak di arteri karotis dan aorta yang secara reflek akan meningkatkan pernafasan sehingga lebih banyak oksigen yang masuk. Respon lainnya yaitu respon yang berkaitan dengan emosi, kontrol hipotalamus terhadap arteriol kulit untuk mendahulukan pengaturan suhu daripada kontrol pusat kardiovaskular dan zat-zat vasoaktif yang dikeluarkan oleh sel-sel endotel seperti endothelium-derived relaxing factor (ERDF) atau nitric oxide (NO) (Sherwood, 2001). 12 2.1.3 Regulasi Tekanan Darah Pengaturan tekanan darah secara umum dibagi menjadi dua yaitu pengaturan tekanan darah untuk jangka pendek dan pengaturan tekanan darah untuk jangka panjang. a. Pengaturan tekanan darah jangka pendek 1) Sistem Saraf Sistem saraf mengontrol tekanan darah dengan mempengaruhi tahanan pembuluh darah. Kontrol ini bertujuan untuk mempengaruhi distribusi darah sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan bagian tubuh yang spesifik, dan mempertahankan tekanan arteri rata-rata yang adekuat dengan mempengaruhi diameter pembuluh darah. Umumnya kontrol sistem saraf terhadap tekanan darah melibatkan baroreseptor, kemoreseptor, dan pusat otak tertinggi (hipotalamus dan serebrum) (Mayuni, 2013). Menurut Sherwood (2006) refleks baroreseptor merupakan sensor utama pendeteksi perubahan tekanan darah. Setiap perubahan pada tekanan darah rata-rata akan mencetuskan refleks baroreseptor yang diperantarai secara otonom, seperti yang disajikan pada Gambar 2.1. Sistem baroreseptor bekerja sangat cepat untuk mengkompensasi perubahan tekanan darah. Baroreseptor yang penting dalam tubuh manusia terdapat di sinus karotis dan arkus aorta. Baroreseptor secara terus menerus memberikan informasi mengenai tekanan darah, dan secara kontinu menghasilkan potensial aksi sebagai respon terhadap tekanan didalam arteri. Jika tekanan arteri meningkat, 13 potensial aksi juga akan meningkat sehingga kecepatan pembentukan potensial aksi di neuron eferen yang bersangkutan juga ikut meningkat. Begitu juga sebaliknya, jika terjadi penurunan tekanan darah. Setelah mendapat informasi bahwa tekanan arteri terlalu tinggi oleh peningkatan potensial aksi tersebut, pusat kontrol kardiovaskuler merespon dengan mengurangi aktivitas simpatis dan meningkatkan aktivitas parasimpatis. Sinyal-sinyal eferen ini menurunkan kecepatan denyut jantung, menurunkan volume sekuncup, menimbulkan vasodilatasi arteriol dan vena serta menurunkan curah jantung dan resistensi perifer total, sehingga tekanan darah kembali normal. Begitu juga sebaliknya jika tekanan darah turun dibawah normal. Gambar 2.1 Sistem Baroreseptor untuk Mengendalikan Tekanan Arteri. Sumber: Guyton dan Hall, 2008. 2) Kontrol kimia 14 Kadar oksigen dan karbondioksida membantu proses pengaturan tekanan darah melalui refleks kemoreseptor. Beberapa kimia darah juga mempengaruhi tekanan darah melalui kerja pada otot polos dan pusat vasomotor. Hormon yang penting dalam pengaturan tekanan darah adalah hormon yang dikeluarkan oleh medula adrenal (norepinefrin dan epinefrin), natriuretik atrium, hormon antidiuretik, angiostensin II, dan nitric oxide (Mayuni, 2013). b. Pengaturan tekanan darah jangka panjang Organ ginjal memiliki peran penting dalam pengaturan tekanan darah jangka panjang. Organ ginjal mempertahankan keseimbangan tekanan darah secara langsung dan secara tidak langsung. Mekanisme secara langsung dengan meregulasi volume darah rata-rata 5 liter/menit, sementara secara tidak langsung dengan melibatkan mekanisme renin angiostesin. Pada saat tekanan darah menurun, ginjal akan mengeluarkan enzim renin ke dalam darah yang akan mengubah angiotensin menjadi angiotensin II yang merupakan vasokontriktor yang kuat (Mayuni, 2013). Walaupun hanya berada 1 atau 2 menit dalam darah, tetapi angiotensin II mempunyai pengaruh utama yang dapat meningkatkan tekanan arteri, yaitu sebagai vasokonstriksi di berbagai daerah tubuh serta menurunkan eksresi garam dan air oleh ginjal (Ronny, 2009). 15 2.1.4 Klasifikasi Tekanan Darah Tekanan darah diklasifikasikan berdasarkan pada pengukuran rata-rata dua kali atau lebih pengukuran pada dua kali atau lebih kunjungan. Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC VII. Klasifikasi tekanan darah Normal Prehipertensi Hipertensi tahap I Hipertensi tahap II 2.1.5 Tekanan darah sistolik (mmHg) <120 120 –139 140 –159 Tekanan darah diastolik (mmHg) Dan < 80 Atau 80 – 89 Atau 90 – 99 > 160 Atau >100 Pengukuran Tekanan Darah Alat ukur yang digunakan untuk mengukur tekanan darah adalah sphygmomanometer dan stethoscope yang telah dikalibrasi dengan tepat, seperti yang disajikan pada Gambar 2.2. Menurut Potter dan Perry (2005), pengukuran tekanan darah dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut ini: a. Kaji tempat paling baik untuk melakukan pengukuran tekanan darah. b. Siapkan sphygmomanometer dan stetoskop serta alat tulis. c. Anjurkan pasien untuk menghindari kafein dan merokok 30 menit sebelum pengukuran. d. Bantu pasien mengambil posisi duduk atau berbaring. e. Posisikan lengan atas setinggi jantung dan telapak tangan menghadap keatas. 16 f. Gulung lengan baju bagian atas lengan. g. Palpasi arteri brakialis dan letakkan manset 2,5 cm diatas nadi brakialis, selanjutnya dengan manset masih kempis pasang manset dengan rata dan pas di sekeliling lengan atas. h. Pastikan sphygmomanometer diposisikan secara vertikal sejajar mata dan pengamat tidak boleh lebih jauh dari 1 meter. i. Letakkan earpieces stetoskop pada telinga dan pastikan bunyi jelas, tidak redup (muffled). j. Ketahui letak arteri brakialis dan letakkan belt atau diafragma chestpiece diatasnya serta jangan menyentuh manset atau baju pasien. k. Tutup kayup balon tekanan searah jarum jam sampai kencang. l. Gembungkan manset 30 mmHg diatas tekanan sistolik yang dipalpasi kemudian dengan perlahan lepaskan dan biarkan air raksa turun dengan kecepatan 2-3 mmHg per detik. m. Catat titik pada manometer saat bunyi pertama jelas terdengar . n. Lanjutkan mengempiskan manset, catat titik pada manometer sampai 2 mmHg terdekat atau saat bunyi tersebut hilang. o. Kempiskan manset dengan cepat dan sempurna. Buka manset dari lengan kecuali jika ada rencana untuk mengulang. p. Bantu pasien kembali ke posisi yang nyaman dan rapikan kembali lengan atas serta beritahu hasil pengukuran pada pasien. 17 Gambar 2.2 Cara Auskultasi untuk Mengukur Tekanan Arteri Sistolik dan Diastolik. Sumber: Guyton dan Hall, 2008. 2.2 Pre-hypertension 2.2.1 DefinisiPre-hypertension Pada tahun 2003, The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and treatment of High Blood Pressure memperkenalkan pre-hypertension sebagai kategori baru dalam klasifikasi tekanan darah. Pre-hypertension dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi pada seseorang yang memiliki tekanan darah sistolik berkisar 120-139 mmHg dan tekanan darah diastolik berkisar 80-89 mmHg. Kondisi pre-hypertension selalu dihubungkan dengan peningkatan insiden penyakit kardiovaskuler. Tujuan dari mendefinisikan kondisi pre-hypertension ini yaitu untuk menekankan risiko yang berhubungan dengan tekanan darah pada rentang ini dan untuk memfokuskan perhatian pada kesehatan publik dan klinis sebagai suatu tindakan preventif (Yu,et al., 2008). 18 2.2.2 Etiologi Pre-hypertension Kondisi pre-hypertension merupakan kondisi awal terjadinya peningkatan darah dimana banyak orang belum menyadari kondisi tersebut hingga akhirnya timbul berbagai macam keluhan. Berbagai macam faktor dapat memicu meningkatnya tekanan darah dari normal menjadi tinggi. a. Usia Semakin tinggi umur seseorang semakin tinggi tekanan darahnya, jadi orang yang lebih tua cenderung mempunyai tekanan darah yang lebih tinggi dari orang yang berusia lebih muda (Isselbacher, et al., 2000). Progresifitas hipertensi dimulai dari pre-hypertension pada pasien umur 10-30 tahun (dengan meningkatnya curah jantung) kemudian menjadi hipertensi dini pada pasien umur 20-40 tahun (dimana tahanan perifer meningkat) kemudian menjadi hipertensi pada umur 30-50 tahun dan akhirnya menjadi hipertensi dengan komplikasi pada usia 40-60 tahun. Pengaruh usia terhadap tekanan darah terjadi akibat penurunan elastisitas pembuluh darah arteri perifer sehingga meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer. Peningkatan tahanan perifer akan meningkatkan tekanan darah (Guyton dan Hall, 2008). b. Jenis kelamin Berdasarkan Journal of Clinical Hypertension, Oparil menyatakan bahwa perubahan hormonal yang sering terjadi pada wanita menyebabkan wanita lebih cenderung memiliki tekanan darah tinggi. Hal ini juga menyebabkan 19 risiko wanita untuk terkena penyakit jantung menjadi lebih tinggi (Miller, 2010).Wanita diketahui cenderung mempunyai tekanan darah lebih tinggi daripada laki-laki dengan usia yang sama, hal ini sering dikaitkan dengan semakin berkurangnya hormon seks wanita yang jumlahnya terus menurun setelah masa menopause dimana telah diketahui bahwa hormone seks wanita seperti estrogen bertanggung jawab dalam mengurangi mencegah kekakuan arteri, endothelial dysfunction dan penumpukan lemak dalam darah (Arifin, 2012). c. Stres Stres merupakan suatu keadaan yang bersifat internal, yang dapat disebabkan oleh tuntutan fisik, lingkungan, dan situasi sosial yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol (Sriati, 2007). Kondisi stres memicu aktivasi dari hipotalamus yang mengendalikan dua sistem neuroendokrin, yaitu sistem saraf simpatis dan korteks adrenal. Aktivasi dari sistem saraf simpatis memicu peningkatan aktivasi berbagai organ dan otot polos salah satunya meningkatkan kecepatan denyut jantung serta pelepasan epinefrin dan norepinefrin ke aliran darah oleh medula adrenal (Shewood, 2010). Stimulasi aktivitas saraf simpatis akan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah jantung sehingga akan berdampak pada perubahan tekanan darah yaitu peningkatan tekanan darah secara intermiten atau tidak menentu (Nasution, 2011). d. Indeks Massa Tubuh (IMT) 20 Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan suatu pengukuran yang membandingkan berat badan dengan tinggi badan (Angraini, 2014). Rumus penghitungan Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah IMT = Berikut merupakan klasifikasi IMT berdasarkan kriteria Asia Pasifik: Tabel 2.2 Klasifikasi IMT (WHO, Western Asia Pasifik) Klasifikasi Berat Tubuh (Kg/m2) Kurus <18,5 Normal 18,5 – 22,9 Kelebihan Berat Badan 23 – 24,9 Obesitas 1 25 – 29,9 Obesitas II >30 Sumber: Angraini, 2014 Peningkatan indeks massa tubuh sering dihubungkan dengan kelainan kardiovaskular. Salah satu kelainan kardiovaskular yang terpenting adalah hipertensi. Banyak peneliti yang melaporkan bahwa indeks massa tubuh berkaitan dengan kejadian hipertensi dan diduga peningkatan berat badan berperan penting pada mekanisme timbulnya hipertensi pada penderita obes. Mekanisme terjadinya hipertensi pada kasus obesitas belum sepenuhnya dipahami, tetapi telah diketahui bahwa pada orang yang 21 mengalami obesitas terdapat peningkatan volume plasma dan curah jantung yang akan meningkatkan tekanan darah (Angraini, 2014). e. Kebiasaan Merokok Merokok merupakan aktivitas menghisap asap tembakau yang dibakar ke dalam tubuh lalu menghembuskannya keluar (Armstrong, 2007). Merokok merupakan salah satu kebiasaan hidup yang dapat mempengaruhi tekanan darah. Rokok yang dihisap dapat mengakibatkan peningkatan tekanan darah. Hal tersebut dikarenakan, rokok akan mengakibatkan vasokonstriksi pembuluh darah perifer dan pembuluh di ginjal sehingga terjadi peningkatan tekanan darah. Merokok sebatang setiap hari akan meningkatkan tekanan sistolik 10–25 mmHg dan menambah detak jantung 5–20 kali per menit (Mangku, 2000). f. Makanan, alkohol dan kurangnya aktivitas fisik juga merupakan faktorfaktor resiko pre-hypertension. Makanan yang dikonsumsi seseorang memberikan kontribusi besar bagi kemungkinan pre-hypertension, dimana pada orang yang mengkonsumsi berlebihan garam menjadi beresiko lebih tinggi. Seseorang yang biasa dengan gaya hidup instan dan kurang aktivitas olahraga juga beresiko tinggi mengalamipre-hypertension. Konsumsi alkohol dalam jumlah besar juga rentan akan resiko peningkatan tekanan darah. (Dewi, 2014). 22 2.2.3 Patofisiologi Pre-hypertension Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan dilatasi pembuluh darah terletak di pusat vasomotor pada medula otak. Pusat vasomotor pada medula otak merupakan tempat bermulanya perjalanan saraf simpatis, yang berlanjut menuju bagian bawah korda spinalis dan keluar dari kolumna medula spinalis menuju ke ganglia simpatis pada thoraks dan abdomen. Rangsangan pada pusat vasomotor yang berupa impuls dihantarkan menuju ganglia simpatis melalui sistem saraf simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin yang merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah. Pelepasan norepinefrin juga terjadi mengakibatkan terjadinya konstriksi pada pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan, ketakutan dan stres dapat mempengaruhi pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriktor (Guyton dan Hall, 2008). Kecemasan, ketakutan dan stres juga merangsang kelenjar adrenal sehingga kelenjar ini mensekresi epinefrin yang terlibat dalam aktivitas vasokonstriksi. Korteks adrenal juga mensekresi kortisol dan steroid lainya yang meningkatkan respon vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang terjadi menurunkan aliran darah ke ginjal dan merangsang pelepasan renin. Pelepasan renin ini merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II berfungsi sebagai vasokonstriktor yang kuat. Angiotensin II ini akan merangsang sekresi aldosteron yang berfungsi sebagai retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal. Retensi ini akan 23 menambah volume intravaskular yang akan mencetuskan keadaan peningkatan pada tekanan darah (Smeltzer dan Bare, 2001). 2.2.4 PenatalaksanaanPre-hypertension Tujuan pengobatan pasien pre-hypertension adalah: a. Target tekanan darah yatiu <140/90 mmHg dan untuk individu berisiko tinggi seperti diabetes melitus, gagal ginjal target tekanan darah adalah <130/80 mmHg. b. Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler. c. Menghambat laju penyakit ginjal. Terapi dari pre-hypertension terdiri dari terapi non farmakologis dan farmakologis seperti penjelasan dibawah ini : 1. Terapi Non Farmakologi a. Menurunkan berat badan bila status gizi berlebih.Bertambahnya berat badan seiring dengan pertambahan usia sangat bertpengaruh terhadap tekanan darahnya. Maka dari itu manajemen berat badan sangat penting dalam mengontrol tekanan darah. b. Meningkatkan aktifitas fisik.Seseorang yang aktivitas fisiknya rendah rentan beresiko terkena hipertensi 30-50% dari pada orang yang aktif bergerak. Pencegahan primer dari hipertensi bisa dengan melakukan aktivitas fisik antara 30 – 45 menit sebanyak 3x/minggu. 24 c. Mengurangi asupan natrium (diet). Apabila dalam 6 bulan diet tidak membantu, maka perlu pemberian obat anti hipertensi oleh dokter. d. Menurunkan konsumsi kafein dan alkohol. Kafein dapat memacu jantung bekerja lebih cepat, sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya. Sementara konsumsi alkohol lebih dari 2-3 gelas/hari dapat meningkatkan risiko hipertensi. e. Metode dalam mengurangi stres seperti latihan pernafasan, yoga, relaksasi otot progresif dan meditasi transedental telah dianjurkan sebagai bentuk metode non-farmakologi yang dapat digunakan dalam menurunkan tekanan darah. 2. Terapi farmakologi Terapi farmakologi yaitu obat antihipertensi yang dianjurkan oleh JNC VII yaitu diuretika, terutama jenis thiazide (Thiaz) atau aldosteron antagonis, beta bloker, kalsium chanel bloker atau kalsium antagonis, Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI), Angiotensin II Receptor Bloker atau AT1 receptor antagonist/ blocker (ARB)(Aziza, 2008). 2.3 Pengaturan Kerja Jantung Menurut Lawson R. (2007), jantung bekerja dalam 3 periode, yaitu: a. Periode konstriksi (periode sistole) 25 Periode konstriksi merupakan suatu keadaan dimana jantung bagian ventrikel dalam keadaan menguncup. Katup bikus dan trikuspidalis dalam keadaan tertutup valvula semilinaris aorta dan valvula semilunaris arteri pulmonalis terbuka, sehingga darah dari ventrikel dekstra mengalir ke arteri pulmonalis masuk ke paru-paru kiri dan kanan, sedangkan darah dari ventrikel sinistra mengalir ke aorta kemudian dialirkan ke seluruh tubuh. b. Periode dilatasi (periode diastole) Periode dilatasi merupakan suatu keadaan dimana jantung dalam keadaan mengembang. Katup bikuspidalis dan trikuspidalis terbuka sehingga darah dari atrium sinistra masuk ke ventrikel sinistra dan darah dari atrium dekstra masuk ke ventrikel dekstra. Selanjutnya darah yang ada di paru-paru kiri dan kanan melalui vena pulmonalis masuk ke atrium sinistra dan darah dari seluruh tubuh melalui vena cava masuk ke atrium dekstra. c. Periode istirahat Periode istirahat yaitu waktu antara periode konstriksi (sistole) dan dilatasi (diastole) dimana jantung berhenti kira-kira 1/10 detik. 2.4 Middle Age Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) menggolongkan usia menjadi 4, yaitu : usia pertengahan (middle age) adalah usia 45-59 tahun, lanjut (elderly) adalah 60-74 tahun, lanjut usia (old) adalah 75-90 tahun dan usia sangat tua (very older) di atas 90 tahun (Nugroho, 2008). Middle age atau usia pertengahan merupakan suatu fase yang terjadi setelah fase dewasa namun 26 belum memasuki fase tua. Usia pertengahan dapat dikategorikan yaitu sekitar kuartal ketiga dari rentang kehidupan rata – rata dari manusia (Mazlan, 2011). 2.5 Latihan Nafas Dalam (Deep Breathing) 2.5.1 Definisi Latihan deep breathing merupakan latihan pernapasan dengan tehnikbernapas secara diafragma,sehingga perlahan memungkinkan dan dalam, abdomen menggunakan terangkat perlahan otot dan dadamengembang penuh (Smeltzer, et al., 2008). Frekuensi deep breathing exercise dapat diberikan antara 6-10 kali permenit (Izzo, 2008). 2.5.2 Mekanisme dalam Menurunkan Tekanan Darah Jerath, et al., (2006) mengemukakan bahwa mekanismepenurunan metabolisme tubuh pada pernapasan lambat dan dalam masihbelum jelas, namun menurut hipotesanya napas dalam dan lambat yangdisadari akan mempengaruhi sistem saraf otonom melalui penghambatansinyal reseptor peregangan dan arus hiperpolarisasi baik melalui jaringansaraf dan non-saraf dengan mensinkronisasikan elemen saraf di jantung, paru-paru,sistem limbik, dan korteks serebri, seperti yang disajikan pada Gambar 2.3. Selama inspirasi, pereganganjaringan paru menghasilkan sinyal inhibitor atau penghambat yangmengakibatkan adaptasi reseptor peregangan lambat atau slowly adapting stretch reseptors (SARs) dan hiperpolarisasi pada fibroblas. Keduapenghambat impuls dan hiperpolarisasi ini dikenal untuk menyinkronkanunsur saraf yang menuju ke modulasi sistem saraf dan penurunan aktivitasmetabolik yang 27 merupakan status saraf parasimpatis. Peningkatan status saraf parasimpatis akan memberikan dampak metabolik yaitu penurunan tekanan darah, denyut jantung dan konsumsi O2. Gambar 2.3 Mekanisme yang Terjadi pada Perubahan Otonom Selama Melakukan Latihan Deep Breathing. Sumber: Jerath, et al., 2006. Refleks baroreseptor juga memiliki peranan penting dalam mekanisme penurunan tekanan darah pada latihan deep breathing. Selama melakukan pernafasan dalam dengan frekuensi 6-10 kali permenit terjadi peningkatan regangan kardiopulmonari. Stimulasi peregangan di arkus aorta dan sinus karotis diterima dan 28 diteruskan oleh saraf vagus ke medula oblongata (pusat regulasi kardiovaskuler), yang selanjutnya merespon terjadinya peningkatan refleks baroreseptor (Suwardianto, 2011). Impuls aferen dari baroreseptor mencapai pusat jantung yang akan merangsang aktivitas saraf parasimpatis dan menghambat aktivitas saraf simpatis sehingga menyebabkan vasodilatasi sistemik penurunan denyut dan daya kontraksi jantung. Sistem saraf parasimpatis yang berjalan ke SA node melalui saraf vagus melepaskan neurotransmiter asetilkolin yang menghambat kecepatan depolarisasi SA node, sehingga terjadi penurunan kecepatan denyut jantung (kronotropik negatif). Perangsangan sistem saraf parasimpatis ke bagian-bagian miokardium lainnya mengakibatkan penurunan kontraktilitas, volume sekuncup, curah jantung yang menghasilkan suatu efek inotropik negatif. Pada otot rangka beberapa serabut vasomotor mengeluarkan asetilkolin yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Akibat dari penurunan curah jantung, kontraksi serat-serat otot jantung, dan volume darah membuat tekanan darah menjadi menurun (Muttaqin, 2009). 2.5.3 Teknik Aplikasi Seperti yang disajikan pada Gambar 2.4 dan Gambar 2.5, teknik latihan deep breathing diantaranya meliputi: a. Mengatur posisi klien senyaman mungkin dengan posisi duduk di kursi ataupun dengan posisi tidur. b. Meletakkan satu tangan klien di atas abdomen (tepat di bawah iga) dan tangan lainnya pada tengah dada untuk merasakan gerakan dada dan abdomen saat bernafas. 29 c. Menarik nafas dalam melalui hidung selama 4 detik sampai dada dan abdomen terasa terangkat maksimal, jaga mulut tetap tertutup selama inspirasi, tahan nafas selama 2 detik. d. Menghembuskan nafas melalui bibir yang dirapatkan dan sedikit terbuka sambil mengencangkan (kontraksi) otot-otot abdomen dalam 4 detik. e. Melakukan latihan selama 10-15 menit (Smeltzer, et al., 2008). Gambar 2.4 Latihan Deep Breathing dengan Posisi Tidur. Sumber: Suwardianto, 2011. 30 Gambar 2.5 Latihan Deep Breathing dengan Posisi Duduk. Sumber: Suwardianto, 2011. 2.6 Slow Stroke Back Massage 2.6.1 Definisi Slow Stroke Back Massage (SSBM) adalah salah satu stimulasi kulit dengan usapan perlahan di daerah punggung yang dapat mengurangi persepsi nyeri dan ketegangan otot. Slow Stroke Back Massage (SSBM) merupakan intervensi yang diberikan dengan cara memberikan usapan secara perlahan, tegas, berirama dengan kedua tangan menutup area selebar 5 cm diluar tulang belakang yang dimulai dari kepala hingga area sacrum(Potter dan Perry, 2005). Dengan menggunakan tindakan massage pada punggung atau bahu dengan usapan yang perlahan (slow stroke back massage) akan menurunkan tekanan darah dengan durasi massage selama 3-10 menit (Dewi, 2014). 2.6.2 Indikasi dan Kontraindikasi Beberapa penelitian yang menggunakan slow stroke back massage menemukan bahwa intervensi ini sangat membantu dalam relaksasi dan peningkatan tidur (Casanelia dan Stelfox, 2009). Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan indikasi untuk SSBM, yaitu: a. Penurunan intensitas nyeri dan kecemasan (Mook E, 2003). b. Menurunkan kecemasan (Kozier, et al., 2004). 31 c. Meningkatkankualitas tidur (Richards; dalam Kozier, et al., 2004). Slow-stroke back massage tidak boleh dilakukan pada kulit di daerah punggung yang mengalamiluka bakar, luka memar, ruam kulit, inflamasi, dan kulit di bawah tulang yangfraktur dikarenakan memijat jaringan yang sensitif dapat menyebabkan cederajaringan yang lebih lanjut sedangkan memijat di daerah kulit yang kemerahanmeningkatkan kerusakan kapiler pada jaringan di bawahnya (Potter dan Perry,2005). 2.6.3 Mekanisme dalam Menurunkan Tekanan Darah Slow-stroke back massage merupakan stimulasi yang dilakukan pada kulit punggung dengan usapan yang perlahan. Massage ini dapat menghasilkan relaksasi oleh stimulasi taktil di jaringan tubuh yang menyebabkan respon neurohumoral yang kompleks dalam The Hypothalamic–Pituitary Axis (HPA) ke sirkuit melalui pusat jalur sistem saraf. Stimulus tersebut didistribusikan otak tengah melalui korteks di otak dan diinterpretasikan sebagai respon relaksasi (Lawton, 2003). Sistem saraf otonom yang paling berperan dalam mekanisme ini yaitu saraf parasimpatis. Sistem saraf parasimpatis bekerja dengan mengeluarkan neurotransmiter asetilkolin yang dapat menghambat depolarisasi SA node dan AV node akibat aktivitas sistem saraf simpatis yang mengeluarkan neurotransmiter norepinephrin. Hal ini menyebabkan terjadinya vasodilatasi sistemik dan penurunan kontraktilitas sehingga menimbulkan dampak penurunan kecepatan denyut jantung, curah jantung, dan volume sekuncup sehingga terjadi perubahan tekanan darah yaitu penurunan tekanan darah. 32 Massage juga menstimulasi penurunan suhu tubuh dan level hormon stres diantaranya norepinephrin dan adrenalin (Stein, 2004). Turkhaninov (2003) juga mengemukakan bahwa massage dapat menurunkan tekanan darah. Tekanan mekanis dari back massage akan menstimulasi terbentuknya peizeo-electric effect yang membantu melonggarkan, merenggangkan dan memperpanjang serabut otot sehingga dengan adanya proses perenggangan otot ini maka akan meningkatkan sirkulasi darah dan membawa kembali O2 serta nutrisi kembali ke area tubuh yang tegang. Efek perenggangan otot polos ini juga terjadi pada arteri vertebra yang cenderung vasokontriksi pada lansia sehingga sirkulasi darah menuju medulla spinalis kembali normal yang berakibat pada penurunan tekanan darah secara fisiologis. Kembalinya sirkulasi darah juga akan mengurangi nyeri otot akibat pH asam yang ditimbulkan oleh timbunan asam laktat sehingga sensitifitas reseptor ASIC3 (Acid-Sensing Ion Channel Number 3) menurun dan menimbulkan perasaan tenang, rileks dan lebih baik (Molliver, 2005). Mekanisme timbulnya perasaan tenang dan rileks ini selanjutnya juga diinduksi oleh menurunnya aktifitas gelombang α dan β serta meningkatnya aktifitas gelombang δ pada system saraf pusat saat dan setelah pemberian masase. Gelombang δ adalah gelombang otak yang secara normal muncul saat seseorang telah tertidur (Arifin, 2012). Efek relaksasi melalui penurunan sekresi hormon katekolamin akan berlanjut pada penurunan aktifitas saraf 33 simpatis disertai penurunan tekanan darah. Rasa enak dan nyaman akan tercapai sehingga secara psikis memberikan dampak positif bagi rasa tenang, nyaman, rileks, dan stres yang menurun. Respons positif ini melalui jalur HPA Aksis yang akan merangsang hipotalamus dan Locus Coerulus (LC). Hipotalamus akan menurunkan sekresiCorticotropin Releasing Hormone (CRH) Adrenocorticotropic Hormone sehingga (ACTH) menurun dan merangsang Pro-opimelanocortin (POMC) yang juga akan menurunkan produksi ACTH dan menstimulasi produksi endorphin. LC yang bertanggung jawab untuk menengahi banyak efek simpatik selama stres, dalam keadaan rileks akan menurunkan sintesis norepinefrin di medulla adrenal yang akan merangsang penurunan AVP (arginine vasopressin). Penurunan AVP dan ACTH serta peningkatan endorphin akan menurunkantahanan perifer dan cardiac output sehingga tekanan darah akan menurun (Valentino dan Bockstaele, 2008). 2.6.4 Teknik Aplikasi Pemberian Slow stroke back massage dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, tetapi salah satu metode yang paling sering dilakukan adalah dengan mengusap kulit klien secara perlahan dan berirama dengan tangan dengan kecepatan 60 kali usapan per menit, seperti yang disajikan pada Gambar 2.14 dan Gambar 2.15. Kedua tangan menutup suatu area yang lebarnya 5 cm pada kedua sisi tonjolan tulang belakang, dari ujung kepala sampai area sakrum. Massage ini diberikan dengan durasi 3-10 menit (Potter dan Perry, 2005). 34 Gambar 2.6 Gerakan Sirkular dalam Pemberian Stimulus Kutaneus SSBM. Sumber: Arisanti. (2012). Gambar 2.7 Area Usapan Stimulus Kutaneus SSBM. Sumber : Cadwell & Hegner (2003). Menurut Potter dan Perry (2005), prosedur kerja pemberian slow-stroke back massage adalah sebagai berikut: a. Jelaskan prosedur dan posisi yang diinginkan klien. 35 b. Persiapkan peralatan dan bahan yang diperlukan. c. Persilahkan untuk memilih posisi yang diinginkan selama intervensi, bisatidur miring, telungkup, atau duduk. d. Buka punggung klien, bahu, dan lengan atas. Tutup sisanya denganselimut mandi. e. Tuang sedikit lotion di tangan. Jelaskan padaresponden bahwa lotion akan terasa dingin dan basah. Gunakan lotion sesuaikebutuhan. f. Lakukan usapan pada punggung dengan menggunakan diameter dan telapak tangan sesuai dengan metode di atas selama 3-10 menit. Jika responden mengeluh tidak nyaman, prosedur langsung dihentikan. g. Akhiri usapan dengan gerakan memanjang dan beritahu klien bahwa terapis mengakhiri usapan. h. Bersihkan kelebihan dari lubrikan dari punggung dan bahu klien dengan handuk mandi. i. Bantu klien memakai baju atau piyama.