PENGARUH APLIKASI HIGH PULSED ELECTRIC FIELD DENGAN FREKUENSI DAN WAKTU BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN Salmonella Typhimurium ATCC 14028 DAN KANDUNGAN NUTRISI PADA SUSU KAMBING SKRIPSI LIA ROSTINI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 RINGKASAN Lia Rostini. D14051402. 2010. Pengaruh Aplikasi High Pulsed Electric Field dengan Frekuensi dan Waktu Berbeda terhadap Pertumbuhan Salmonella Typhimurium ATCC 14028 dan Kandungan Nutrisi pada Susu Kambing. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA Pembimbing Anggota : Ahmad Yani, STP, M.Si Susu kambing memiliki keistimewaan yaitu tinggi kandungan protein dan vitamin A, memiliki jumlah laktosa yang lebih sedikit sehingga tidak menyebabkan diare, anti alergi serta memiliki bentuk butiran lemak susu yang homogen dan berdiameter kecil sehingga mudah diserap organ pencernaan. Jaminan keamanan produk pangan asal susu kambing perah perlu mendapat perhatian khusus karena terdapat kepercayaan di masyarakat akan khasiat susu kambing bagi kesehatan jika dikonsumsi dalam keadaan mentah, semantara hasil penelitian mendapatkan rendahnya kualitas mikrobiologis susu kambing mentah yang beredar di pasaran (Taufik el al., 2008). Penelitian ini bertujuan mengaplikasikan suatu teknologi pasteurisasi non konvensional yaitu teknologi pasteurisasi non termal dengan medan pulsa listrik tegangan tinggi (High Pulse Electric Field/HPEF) dan mempelajari pengaruh frekuensi dan lama waktu aplikasi yang berbeda dari metode HPEF dalam menekan pertumbuhan bakteri patogen Salmonella Typhimurium ATCC 14028 dan pengaruhnya terhadap kandungan nutrisi susu kambing. Aplikasi metode pasteurisasi dengan HPEF didasarkan pada dua teori utama, yaitu electrical breakdown dan teori elektroporasi membran sel akibat adanya medan pulsa listrik tegangan tinggi yang mengakibatkan inaktivasi sel mikroba. Materi yang digunakan pada penelitian adalah susu kambing segar yang disterilisasi, kemudian direkontaminasi dengan S. Typhimurium ATCC 14028 hingga mencapai populasi 105 cfu/ml. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola faktorial 4x7. Faktor pertama adalah frekuensi alat yang terdiri atas empat taraf (0, 10, 15 dan 20Hz). Faktor kedua yaitu lama waktu aplikasi yang terdiri atas tujuh taraf (0, 30, 60, 90, 120, 150 dan 180 menit) dengan tiga ulangan. Peubah yang diamati adalah jumlah bakteri S. Typhimurium dan kandungan nutrisi susu kambing sebelum,selama dan setelah diberi perlakuan. Data dianalisis dengan sidik ragam pada α = 0,01. Perbedaan antara perlakuan diuji dengan uji Tukey pada taraf α = 0,01. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara frekuensi dan lama waktu aplikasi HPEF nyata berpengaruh (P<0,01) terhadap pertumbuhan S. Typhimurium ATCC 14028. Tanpa perlakuan HPEF, pertumbuhan S.Typhimurium ATCC 14028 meningkat 0,64 log siklus, mencapai 6,12 log 10 cfu/ml selama 180 menit. Perlakuan HPEF dengan frekuensi 15Hz selama 120 menit memberikan hambatan terbaik dari populasi S. Typhimurium dengan penurunan 0,61 log siklus. Lama waktu aplikasi HPEF mampu mempertahankan kualitas nutrisi susu kambing sesuai dengan ketentuan Thai Agricultural Standard karena tidak menimbulkan perubahan terhadap suhu susu kambing selama proses berlangsung. Kata-kata kunci: susu kambing, S. Typhimurium, high pulsed electric field ABSTRACT Effect of High Pulsed Electric Field with Different Frequency and Treatment Time on The Growth of Salmonella Typhimurium ATCC 14028 and Nutrition Value of Goat Milk Rostini, L., R. R. A. Maheswari and A. Yani Milk is one of the most important foods in human nutrition that is susceptible to both spoilage and pathogenic microorganisms. S. Typhimurium is classified as pathogenic bacterium to human and animals. Thermal processing had been the most commonly used in milk industry to increase shelf-life and maintain food safety of milk product by inactivating spoilage and pathogenic microorganisms. The high pulsed electric field (HPEF), a novel nonthermal processing technique, is an alternative process to inactivate microorganisms in foods without the significant adverse effects on the flavour, taste and nutrients. HPEF involves a very short discharge period and minimize the heating of the foods. The influence of frequency and treatment time of HPEF treatment on depressed the growth of Salmonella and nutrition value in recontaminated goat milk was investigated. In this study, square wave waveform pulses and 9,5 kV peak electric field strength were used. The data evaluated using analysis of variance and continued with Tukey test. A 4x7 factorial completely random design was used. First factor was the frequency of high pulsed electric field (Hz), i.e., 0,10,15 and 20. Second factor was the treatment time (minutes), i.e 0, 30, 60, 90, 120,150 and 180, which replicates 3 times of each treatment. The result showed that interaction between frequency and treatment time has significantly influenced (P<0,01) on the growth of S. Typhimurium ATCC 14028. Application of HPEF could prolong the lag phase and at 15Hz during 120 minutes gave the reduction of S. Typhimurium population 0,61 log cycle compared to control. Treatment time of HPEF did not significantly effecting the nutrition value of goat milk due to constant temperature during the process. Keywords : goat milk, S. Typhimurium, high pulsed electric field PENGARUH APLIKASI HIGH PULSED ELECTRIC FIELD DENGAN FREKUENSI DAN WAKTU BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN Salmonella Typhimurium ATCC 14028 DAN KANDUNGAN NUTRISI PADA SUSU KAMBING LIA ROSTINI D14051402 Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 Judul Skripsi : Pengaruh Aplikasi High Pulsed Electric Field dengan Frekuensi dan Waktu Berbeda terhadap Pertumbuhan Salmonella Typhimurium ATCC 14028 dan Kandungan Nutrisi pada Susu Kambing. Nama : Lia Rostini NIM : D14050717 Menyetujui: Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota, (Dr. Ir.Rarah R.A.Maheswari. DEA) NIP : 19620504 198703 2 002 (Ahmad Yani, STP, MSi) NIP. 19720503 199903 1 004 Mengetahui: Ketua Departemen, Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (Prof. Dr.Ir. Cece Sumantri M. Agr.Sc) NIP : 19591212 198603 1 004 Tanggal Ujian: 1 Juli 2010 Tanggal Lulus: RIWAYAT HIDUP Lia Rostini lahir di Jakarta pada tanggal 26 Februari 1987. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Rosidi dan Ibu Siti Aminah. Penulis menjalani pendidikan dasar di SD Negeri Larangan Utara 04 Tangerang dari tahun 1993-1999. Pendidikan lanjutan tingkat pertama ditempuh di SLTP Negeri 29 Jakarta dari tahun 1999-2002. Setelah lulus pendidikan menengah pertama, penulis melanjutkan pendidikan menengah atas di SMU Negeri 6 Jakarta. Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) dan tahun 2006 penulis diterima di Departemen Ilmu Produksi dan teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan. Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak (Himaproter), dan kelompok pencinta alam Fakultas Peternakan (Kepal-D), Institut Pertanian Bogor. Penulis pernah melaksanakan magang di Taurus Dairy Farm pada tahun 2007 dan menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Teknologi Pengolahan Susu tahun 2008. Penulis merupakan salah satu penerima beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) serta beasiswa PT Indorama Synthetics Tbk Jakarta. KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim, Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah SWT. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya serta seluruh kaum muslimin yang senantiasa teguh dijalannya. Berkat karunia dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Aplikasi High Pulsed Electric Field dengan Frekuensi dan Waktu Berbeda terhadap Pertumbuhan Salmonella Typhimurium ATCC 14028 dan Kandungan Nutrisi pada Susu Kambing”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penulisan skripsi ini juga bertujuan untuk memberikan satu sumbangan untuk kemajuan di dunia peternakan, khususnya keamanan mikrobiologi susu kambing. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium pengolahan susu dan laboratorium mikrobiologi Bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor pada bulan Agustus 2009 sampai Februari 2010. Sampel susu kambing direkontaminasi dengan bakteri patogen S. Typhimurium selanjutnya diberi perlakuan pasteurisasi non termal menggunakan metode High Pulsed Electric Field dengan frekuensi dan waktu yang berbeda. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pengaruh aplikasi metode HPEF dengan frekuensi dan waktu yang berbeda, khususnya dalam menekan pertumbuhan S. Typhimurium dan terhadap kandungan nutrisi pada susu kambing yang direkontaminasi. Walaupun disadari bahwa skripsi ini belum sempurna, namun Penulis berharap bahwa skripsi ini dapat memperkaya khazanah keilmuan serta menjadi sumbangan bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Amin. Bogor, Juli 2010 Penulis DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN..................... ....................................................................... i ABSTRACT................................................................................................ ii LEMBAR PERNYATAAN........................................................................ iii LEMBAR PENGESAHAN........................................................................ iv RIWAYAT HIDUP.................................................................................... v KATA PENGANTAR................................................................................ vi DAFTAR ISI ............................................................................................. vii DAFTAR TABEL....................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR.................................................................................. x DAFTAR LAMPIRAN............................................................................... xi PENDAHULUAN....................................................................................... 1 Latar Belakang................................................................................ Tujuan............................................................................................. 1 2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 3 Susu Kambing................................................................................ Bakteri Patogen.............................................................................. Salmonella Typhimurium............................................................... High Pulsed Electric Field............................................................. Penerapan HPEF pada Susu........................................................... 3 4 5 8 10 METODE.................................................................................................... 11 Lokasi dan Waktu........................................................................... Materi.............................................................................................. Bahan.................................................................................... Alat......................................................................................... Rancangan Percobaan.................................................................... Peubah................................................................................... Prosedur............................................................................................ Persiapan Bakteri Uji............................................................ Pewarnaan Gram....................................................... Pengujian Sifat Katalase………………................... Penyegaran Bakteri Uji………………………..…...... Persiapan Peralatan HPEF.................................................... Persiapan Susu Kambing....................................................... Proses Perlakuan HPEF………………………………........ Pasteurisasi Low Temperature Long Time…………..…… Penghitungan Bakteri Salmonella……………………….… 11 11 11 11 11 12 12 12 12 13 13 13 14 15 15 16 Analisis Kualitas Nutrisi Susu Kambing………………...... Aplikasi HPEF Sistem Kontinu.............................................. Berat Jenis………………………………………..... Kadar Lemak............................................................ Bahan Kering dan Bahan Kering Tanpa Lemak..... Kadar Protein............................................................... Pengukuran Suhu Sampel Susu Kambing………………… 16 17 17 17 17 18 18 HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................................... 19 Karakteristik Bakteri Uji S. Typhimurium ATCC 14028............. Pengaruh antara Kombinasi Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi HPEF terhadap Pertumbuhan S. Typhimurium............. Pertumbuhan S. Typhimurium ATCC 14028 tanpa Aplikasi HPEF (0Hz)....................................................... Pertumbuhan S. Typhimurium ATCC 14028 dengan Aplikasi HPEF 10 Hz....................................................... Pertumbuhan S. Typhimurium ATCC 14028 dengan Aplikasi HPEF 15 Hz....................................................... Pertumbuhan S. Typhimurium ATCC 14028 dengan Aplikasi HPEF 20 Hz....................................................... Pengaruh Pasteurisasi LTLT terhadap Pertumbuhan S. Typhimurium ATCC 14028.......................................................... Kualitas Nutrisi Susu Kambing dalam HPEF dengan Sistem Batch............................................................................................. Kadar Lemak.................................. .................................. Kadar Bahan Kering Tanpa Lemak Susu Kambing......... Kadar Protein Susu Kambing........................................... Kadar Laktosa Susu Kambing.......................................... Berat Jenis Susu Kambing.................................................. Kualitas Nutrisi Susu Kambing dalam HPEF dengan Sistem Kontinu................................... ...................................................... Pengaruh Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi terhadap Suhu Susu Kambing............................................................ ................... Pengaruh Frekuensi Berbeda terhadap Suhu Susu Kambing............................................................................ Pengaruh Lama Waktu Aplikasi HPEF terhadap Suhu Kambing........................................................................... Kebutuhan Daya Listrik................................................... 19 KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................. 38 UCAPAN TERIMA KASIH...................................................................... 39 DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 40 LAMPIRAN............................................................................................... 44 20 22 22 23 23 27 27 28 29 30 31 32 33 34 35 35 37 2 DAFTAR TABEL Halaman Nomor 1. Komposisi Kimia Susu Kambing.................................................. 3 2. Tingkat Kualitas Susu Kambing Segar Berdasarkan Karakteristiknya............................................................................................. 4 3. Karakteristik biokimia Salmonella................................................. 6 4. Rataan populasi S. Typhimurium (log10 cfu/ml) pada Frekuensi dan Lama Aplikasi HPEF Berbeda................................................ 21 5. Kadar Lemak Susu Kambing pada Lama Aplikasi dan Frekuensi HPEF Berbeda............................................................................... 28 6. Kadar Bahan Kering Tanpa Lemak Susu Kambing pada Lama Aplikasi dan Frekuensi HPEF Berbeda........................................ 29 7. Kadar Protein Susu Kambing pada Lama Aplikasi dan Frekuensi HPEF Berbeda............................................................................... 30 8. Kadar Laktosa Susu Kambing pada Lama Aplikasi dan Frekuensi HPEF Berbeda............................................................................... 31 9. Kadar Berat Jenis Susu Kambing pada Lama Aplikasi dan Frekuensi HPEF Berbeda............................................................... 32 10. Kualitas Nutrisi Susu Kambing Sebelum dan Setelah Aplikasi HPEF Sistem Kontinu dan Pasteurisasi LTLT............................... 33 o 11. Rataan Suhu Susu ( C) pada Frekuensi dan Lama Aplikasi HPEF Berbeda........................................................................................... 35 12. Kebutuhan Biaya Listrik pada Frekuensi yang berbeda selama Tiga Jam Aplikasi HPEF................................................................ 37 3 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. S. Typhimurium a. S. Typhimurium pada media SS Agar.......................................... b. Sel Salmonella. Typhimurium..................................................... 5 5 2. Skematik Rangkaian Teknologi Pasteurisasi HPEF..................... 8 3. Elektroporasi Membran Sel.......................................................... 9 4. Kerusakan Elektrik Sel................................................................. 9 5. Peralatan HPEF a. Rangkaian Alat HPEF ......................................................... b. Treatment Chamber Tampak Depan.................................... c. Treatment Chamber Tampak Samping............................... 14 14 14 6. Bentuk Pulsa Persegi a. Pulsa Persegi 10Hz.................................................................. b. Pulsa Persegi 15Hz................................................................. c. Pulsa Persegi 20Hz................................................................. 14 14 14 7. Diagram Alir Proses Penelitian...................................................... 15 8. S. Typhimurium a. Koloni pada Media SSA....................................................... b. Morfologi Sel secara Mikroskopis............................................ c. Katalase Positif..................................................................... 19 19 19 9. Kurva Pertumbuhan S. Typhimurium Selama Tiga Jam Aplikasi HPEF dengan Frekuensi yang Berbeda......................................... 22 10. Kurva Perubahan Suhu Susu Selama Tiga Jam Aplikasi HPEF dengan Frekuensi yang Berbeda........................... ......................... 36 4 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Sidik Ragam Pengaruh Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi HPEF terhadap Populasi S. Typhimurium...................................... 45 2. Uji Tukey Pengaruh Frekuensi terhadap Populasi S. Typhimurium.................................................................................. 45 3. Uji Tukey Pengaruh Waktu terhadap Populasi S. Typhimurium... 45 4. Uji Tukey Pengaruh Interaksi antara Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi HPEF terhadap Populasi S. Typhimurium....................... 46 5. Sidik Ragam Pengaruh Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi HPEF terhadap Suhu Susu.............................................................. 46 6. Uji Tukey Pengaruh Frekuensi terhadap Suhu Susu Kambing....... 47 7. Uji Tukey Pengaruh Waktu terhadap Suhu Susu Kambing............ 47 8. Sidik Ragam Pengaruh Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi HPEF terhadap kadar Kadar Lemak............................................... 48 9. Uji Tukey Pengaruh Interaksi antara Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi HPEF terhadap Kadar Lemak........................................... 48 10. Sidik Ragam Pengaruh Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi HPEF terhadap Kadar BKTL.......................................................... 49 11. Uji Tukey Pengaruh Interaksi antara Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi HPEF terhadap Kadar BKTL........................................... 49 12. Sidik Ragam Pengaruh Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi HPEF terhadap BJ........................................................................... 50 13. Uji Tukey Pengaruh Interaksi antara Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi HPEF terhadap Kadar Berat Jenis.................................... 50 14. Sidik Ragam Pengaruh Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi HPEF terhadap Kadar Protein........................................................ 51 15. Uji Tukey Pengaruh Interaksi antara Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi HPEF terhadap Kadar Protein.......................................... 51 16. Sidik Ragam Pengaruh Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi HPEF terhadap Laktosa.................................................................. 52 17. Uji Tukey Pengaruh Frekuensi terhadap Kadar Laktosa................ 52 5 18. Alat Penelitian................................................................................ 52 19. Hasil Pemupukan S. Typhimurium pada Frekuensi 15Hz............. 53 20. Hasil Pemupukan S. Typhimurium pada Proses Pasteurisasi LTLT.............................................................................................. 53 21. Penghitungan Kebutuhan Daya dan Biaya Listrik........................ 53 6 PENDAHULUAN Latar Belakang Susu segar merupakan hasil sekresi biologis dari kelenjar susu mamalia serta sumber zat gizi terbaik bagi manusia yang baru dilahirkan. Susu disebut sebagai bahan pangan yang hampir sempurna karena kandungan zat gizinya yang lengkap. Para peneliti telah menemukan lebih dari 100.000 jenis molekul yang terkandung dalam susu. Selain air dan lemak, molekul-molekul tersebut mencakup protein, karbohidrat, mineral, enzim serta vitamin A, C dan D. Susu kambing memiliki keistimewaan yaitu tinggi kandungan protein dan vitamin A, memiliki jumlah laktosa yang lebih sedikit sehingga tidak menyebabkan diare, anti alergi karena tidak memiliki protein β-laktoglobulin yang merupakan stimulan utama untuk reaksi alergi serta memiliki bentuk butiran lemak susu yang homogen dan berdiameter kecil sehingga mudah diserap organ pencernaan. Susu dapat menjadi salah satu sarana bagi bakteri patogen dalam menularkan penyakit dan menyebabkan berbagai kasus keracunan pangan. Jenis bakteri patogen yang sudah lama dikenal dan dilaporkan sebagai penyebab utama keracunan salah satunya adalah Salmonella sp. Bakteri ini dapat menyebabkan keracunan dan infeksi saluran pencernaan pada manusia maupun hewan yang memakannya (United States of Food and Drug Administration, 1999). Kejadian luar biasa keracunan makanan karena Salmonella (salmonelosis) masih terjadi di banyak negara. Survey terhadap susu segar di USA dan susu segar di UK ditemukan Salmonella secara berturut-turut sebesar 4,7% dan 0,06% (Anon, 1998). Kontaminasi Salmonella pada susu segar biasanya terjadi karena proses pemerahan yang tidak bersih serta sanitasi yang buruk. Jaminan keamanan produk pangan asal susu kambing perah perlu mendapat perhatian khusus terkait dengan kepercayaan akan khasiat susu kambing bagi kesehatan jika dikonsumsi dalam keadaan mentah dan kenyataan rendahnya kualitas mikrobiologis susu kambing mentah yang beredar di pasaran. Taufik et al. (2008) mendapatkan hasil bahwa kualitas susu kambing mentah yang dipasarkan di Bogor dan sekitarnya memiliki kandungan bakteri diantaranya Staphylococcus spp, Staphylococcus koagulasi positif, Staphylococcus koagulasi negatif dan coliform dengan prevalensi konsumen masing-masing 78,7 %, 37,7 %, 66% dan 46,3%. 7 Adanya bakteri patogen pada susu dapat menyebabkan susu menjadi tidak layak untuk dikonsumsi dan membahayakan konsumen. Pemanasan merupakan cara yang umum dilakukan untuk membunuh bakteri perusak dan patogen dalam susu sehingga dihasilkan susu yang aman untuk dikonsumsi. Proses pemanasan (pasteurisasi dan sterilisasi) tidak hanya membunuh mikroorganisme berbahaya namun juga mengakibatkan perubahan rasa, adanya cooked flavor (masak atau gosong) serta kehilangan sebagian kandungan nutrisi seperti vitamin dan protein. Berdasarkan kondisi di atas maka diperlukan suatu cara pengolahan pangan yang dapat menginaktivasi mikroorganisme perusak maupun patogen namun memberikan pengaruh minimal terhadap penurunan kualitas dan nutrisi susu. Salah satu cara adalah dengan pengolahan non termal menggunakan medan pulsa listrik (HPEF) yaitu dengan memberikan kejutan listrik tegangan tinggi pada susu sehingga mampu menginaktifkan bakteri-bakteri yang tidak dikehendaki tetapi dapat meminimalkan perubahan kualitas dan kandungan nutrisi susu. Penggunaan metode non termal dengan HPEF sudah lama diteliti dan dikembangkan secara komersial di negara lain seperti Amerika, Jerman, Belanda, Spanyol, India dan Inggris. Penelitian mengenai HPEF di Indonesia baru mulai dilakukan dan hasilnya diharapkan dapat diaplikasikan pada tingkat peternak usaha kecil menengah di masyarakat untuk menggantikan proses pasteurisasi low temperature long time. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh aplikasi metode High Pulsed Electric Field (HPEF) dengan frekuensi dan lama waktu aplikasi yang berbeda dalam menekan pertumbuhan bakteri patogen Salmonella Typhimurium pada susu kambing yang direkontaminasi serta mempelajari perubahan kualitas nutrisi yang diakibatkan oleh metode tersebut. 8 TINJAUAN PUSTAKA Susu Kambing Susu merupakan cairan yang disekresikan oleh spesies mamalia betina yang mempunyai fungsi utama memenuhi kebutuhan nutrisi bayi yang baru lahir. Susu merupakan makanan bernutrisi lengkap yang mengandung protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan anak (Early, 1998). Mengacu pada SNI 01-3141-1998 mengenai susu segar, susu kambing didefinisikan sebagai cairan yang berasal dari ambing sehat yang bersih, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah suatu apapun dan tidak mendapat perlakuan apapun, kecuali proses pendinginan tanpa mempengaruhi kemurniannya. Kandungan protein susu kambing menurut Devendra dan Burn (1994) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan susu manusia dalam kaitannya dengan jumlah kalori. Energi total yang terkandung dalam susu kambing sebanyak 50% berasal dari lemak dan masing-masing 25% dari laktosa serta protein sedangkan proporsi dalam susu manusia adalah 55% dari lemak, 38% dari laktosa dan hanya 7% dari protein. Komposisi kimia susu kambing dari berbagai peneliti diperlihatkan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Kimia Susu Kambing Lemak Protein Laktosa Abu Bahan Padat Tanpa Lemak Total Bahan Padat Sumber --------------------------------(%)----------------------------Blakely dan Blade (1991) 4,21 3,52 4,27 0,86 8,79 13,00 4,21 3,75 4,76 0,82 9,33 13,54 Devandra dan Burns (1994) 4,10 3,60 4,70 0,80 9,10 13,20 Fox (2001) 4,50 2,90 4,10 0,80 8,70 13,20 Chandan et al. (2007) Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa susu kambing memiliki nilai nutrisi yang tinggi karena sifat metaboliknya yang unik sehingga dapat dikonsumsi manusia dengan baik. Karakteristik susu kambing diantaranya : (1) warnanya lebih putih; (2) globula lemak susunya lebih kecil dan beremulsi dengan susu; (3) lemak susu kambing lebih mudah dicerna (4) susu kambing mengandung vitamin dalam jumlah memadai atau berlebih, kecuali vitamin C, D, piridoksin dan asam folat. Kualitas susu kambing segar menurut Thai Agricultural Standard dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Tingkat Kualitas Susu Kambing Segar Berdasarkan Karakteristiknya Premium Karakteristik\Tingkat Kualitas Good 4 Total Bakteri (cfu/ml) < 5x 10 Sel Somatik (sel/ml) <7x 10 5 Standard 4 5 5 6 5 5x10 - 10 7x10 - 10 5 >10 - 2x10 6 6 >10 - 1,5 x 10 Protein (%) >3,7 >3,4 - 3,7 3,1 - 3,4 Lemak (%) >4 >3,5 - 4 3,25 - 3,5 >13 >12 - 13 11,7 - 12 Bahan kering(%) Sumber: Thai Agricultural Standard Bakteri Patogen Bakteri pencemar dalam susu dibedakan menjadi dua golongan, yaitu bakteri patogen dan bakteri pembusuk. Kelompok bakteri tersebut dapat menimbulkan penyakit yang disebabkan oleh mengkonsumsi susu atau dikenal dengan milkborne diseases seperti tuberkulosis, demam tipoid/typhoid fever dan bruselosis (Shiddieqy, 2009). Bakteri berdasarkan sensitifitas dinding sel terhadap pewarnaan dibedakan menjadi bakteri Gram positif dan Gram negatif. Kelompok bakteri Gram positif diantaranya Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes, Clostridium perfringens, sedangkan Gram negatif adalah Eschericia coli dan Salmonella Typhimurium (Suriawiria, 2005). Menurut United States of Food and Drug Administration (1999), patogen-patogen yang sudah lama dikenal sebagai penyebab utama keracunan disebabkan kemampuannya untuk berpenetrasi, bertahan hidup dan bermultiplikasi pada sel inang diantaranya adalah Salmonella sp., Staphylococcus aureus, Clostridium perfringens, Bacillus cereus, Camphylobacter sp., Shigella sp., Clostridium botulinum dan Escherichia coli. Tingkat bahaya bakteri tersebut bergantung pada beberapa faktor antara lain lingkungan (komposisi makanan, suhu) dan faktor bakteri seperti galur dan jenis toksin (Stewart et al., 2003). 10 Keberadaan mikroorganisme patogen pada susu segar telah banyak dilaporkan. Saat ini, susu yang terkontaminasi bakteri patogen bertanggungjawab sebagai penyebar penyakit serius seperti tuberkolosis, bruselosis dan tifus. Beberapa patogen yang berhubungan dengan susu segar antara lain Campylobacter jejuni, E. coli, L. monocytogenes, Brucella, Micobacterium, Staphylococcus, Salmonella serovar dan Y. Enterocolitica. Patogen ini dapat mempengaruhi kesehatan siapa saja yang meminum susu segar, terutama bagi konsumen yang memiliki resiko tinggi seperti wanita hamil, anak-anak, orang tua dan orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah. Peningkatan sanitasi dan inovasi pasteurisasi telah mampu meminimalkan infeksi penyakit yang disebabkan oleh susu yang terkontaminasi (Jayarao et al., 2006). Salmonella Typhimurium Klasifikasi S. Typhimurium menurut Brenner et al. (2000) adalah termasuk dalam kingdom Eubacteria, filum Proteobacteria, kelas Gamma Proteobacteria, ordo Enterobacteriales, famili Enterobacteriaceae, genus Salmonella, spesies S. enterica, subspesies enteritica, serotipe Typhimurium. Koloni S. enteritica serotipe Typhimurium (S. Typhimurium) pada media Salmonella dan Shigella Agar dan sel bakteri Salmonella secara mikroskopis diperlihatkan pada Gambar 1. (a) (b) Gambar 1. (a) Koloni S. Typhimurium pada SSA dan (b) sel S. Typhimurium Sumber: (Todar, 2009) S. Typhimurium memiliki bentuk batang dan bersifat motil dengan flagel peritrikus. Salmonella tidak membentuk spora, tidak berkapsul, bersifat motil (kecuali S. Pullorum dan S. Gallinarum). S. Typhimurium mempunyai ukuran panjang 2-3 µm dan lebar 0,6-0,7 µm dan mampu tumbuh pada kondisi anaerobik maupun aerobik. Bakteri ini tumbuh pada kisaran suhu 2-47oC dengan kisaran pH 11 3,6-9,5 (dengan pH optimum untuk pertumbuhan 6,5-7,5). Nilai aw optimum untuk pertumbuhan adalah 0,94-0,99. Bakteri ini merupakan bakteri patogen berbahaya, selain dapat menyebabkan gejala gastrointestinal, juga dapat menyebabkan demam tifus (Fardiaz, 1992). Media SSA merupakan media selektif untuk mengisolasi spesies Shigella dan Salmonella. Bakteri yang tidak memfermentasi laktosa seperti Salmonella tumbuh dengan ciri koloni yang tidak berwarna, produksi H2S oleh Salmonella membuat bagian tengah koloni menjadi berwarna hitam. Tiosulfat yang berkombinasi dengan besi digunakan sebagai indikator terbentuknya sulfida yang diindikasikan dengan menghitamnya bagian tengah koloni (Oxoid, 2009). Karakteristik biokimia Salmonella dapat dilihat pada Tabel 3. Bakteri Gram positif dan koliform pada media ini dihambat pertumbuhannya karena adanya komponen penghambat hijau briliant, garam empedu, tiosulfat dan sitrat. Tabel 3. Karakteristik Biokimia Salmonella Karakteristik Reaksi Katalase + Oksidase - produksi asam dari laktosa - produksi gas dari glukosa + produksi urease - produksi hidrogen sulfit dari TSI agar + Sumber : Blackburn dan McClure (2003) Nama Salmonella diambil dari nama penemunya yaitu Daniel Salmon, seorang dokter bedah hewan pada tahun 1885. Saat ini, lebih dari 2200 jenis Salmonella yang telah diidentifikasi, namun yang paling utama penyebab keracunan adalah S. enteritidis. Salmonella hidup di perut dan saluran pencernaan hewan dan manusia. Bakteri ini dapat menyebabkan mual, pusing, demam, diare dan pada beberapa kasus dapat mengancam kondisi kesehatan khususnya jika infeksi menyebar ke bagian tubuh yang lainnya seperti darah dan tulang. Kebanyakan orang menderita infeksi Salmonella karena memakan makanan mentah yang belum dimasak seperti telur, daging dan susu (BBC News, 2005). Strain Salmonella secara 12 antigen dapat dibedakan oleh reaksi aglutinasi (terbentuknya agregat/clump) dengan antisera homolog dan kombinasi dari antigen yang dimiliki oleh masing-masing strain. Serotipe Salmonella spp. berdasarkan immunoreaktivitas dibedakan menjadi tiga kelompok antigen yaitu antigen O (somatik), antigen H (flagelar) dan antigen K (kapsular). Lebih dari 2500 serotipe Salmonella telah dilaporkan dan angka tersebut terus bertambah setiap tahun. Salmonella pada makanan dengan aktivitas air yang tinggi (> 0,98) dapat dimatikan dengan proses pemanasan, namun pada bahan makanan dengan aktivitas air yang rendah dan mengandung lemak yang tinggi, suhu yang lebih tinggi dibutuhkan untuk membunuh bakteri ini (Jay et al., 2005). Susu dan produk olahan susu telah diidentifikasi sebagai pembawa untuk menularkan pada kira-kira 5% kasus salmonellosis di Amerika. Penularan Salmonella dari hewan ternak ke manusia dapat terjadi melalui beberapa jalur diantaranya mengkonsumsi susu atau daging yang terkontaminasi dan penularan melalui kontak langsung dengan feses (Centers for Disease Control and Prevention, 2000). Salmonella adalah salah satu bakteri penyebab infeksi yang sangat umum terjadi di daerah-daerah dengan sanitasi dan kebersihan lingkungan yang kurang terpelihara. Jumlah Salmonella yang dapat menyebabkan infeksi dilaporkan sebanyak 100.000 sel. Salmonella Typhimurium dapat menyebabkan penyakit gastroenteritis dengan karakteristik penyakit seperti diare, sakit pencernaan, demam, pengeluaran cairan berkelanjutan, mual dan muntah. Salmonella Typhimurium memiliki masa inkubasi 12-72 jam, biasanya 12-36 jam dan keracunan berlangsung 2-7 hari (Bell dan Kyriakides, 2002). Salmonella Typhimurium dengan jumlah 11.000 sel sudah dapat menimbulkan gejala keracunan. Salmonella spesies lain ada yang menyebabkan gejala hanya dengan jumlah 100 sampai 1000 sel, bahkan ada yang dengan jumlah 50 sudah dapat menyebabkan gejala keracunan. Perkembangan Salmonella pada tubuh manusia dapat dihambat oleh asam lambung yang ada pada tubuh atau dapat dihambat pula oleh bakteri lain. Gejala keracunan Salmonella dapat terjadi dengan cepat pada anak-anak, walaupun pada manusia dewasa gejala datang dengan perlahan (Damianus, 2008). 13 High Pulsed Electric Field Metode medan pulsa listrik tegangan tinggi adalah metode non-termal dalam pengawetan makanan yang menggunakan kuat medan listrik untuk menginaktivasi mikroba dan mengakibatkan pengaruh minimal atau sedikit terhadap kualitas bahan pangan (Ramaswamy et al., 2009). Skematik alat dengan teknologi medan pulsa listrik tegangan tinggi (high pulsed electric field) yang terdiri atas rangkaian tahanan, kapasitor dan muatan listrik yang mengalir dari sumber listrik tegangan tinggi DC dapat dilihat Pada Gambar 2. Arus listrik dialirkan melalui tahanan dan selanjutnya tersimpan di kapasitor. Ketika saklar terhubung maka muatan listrik tegangan tinggi akan melewati bahan pangan yang akan diproses sehingga akan terbentuk medan listrik tegangan tinggi dengan frekuensi sesuai dengan waktu yang ditentukan pada saklar (Castro et al., 1993). R Sumber Tegangan tinggi Saklar Ruang Pasteurisasi Kapasitor C Bahan yang di Proses Gambar 2. Skematik Rangkaian Teknologi Pasteurisasi HPEF Sumber : Castro et al. (1993) Barbosa-Cánovas et al. (1999) mengatakan bahwa inaktivasi mikroorganisme dengan medan pulsa listrik dipengaruhi oleh (a) kondisi perlakuan, waktu perlakuan, kekuatan medan listrik, suhu, bentuk dan lebar pulsa; (b) jenis, konsentrasi dan tingkat pertumbuhan mikroba dan (c) media perlakuan. Castro et al. (1993) menyatakan inaktivasi mikroorganisme dengan medan pulsa listrik disebabkan ketidakstabilan membran sel atau elektroporasi. Elektroporasi (Gambar 3) adalah peristiwa destabilisasi membran sel karena adanya pengaruh medan pulsa tegangan listrik sesaat, sedangkan menurut Vega-Mercado (1996) destabilisasi dinding sel diawali dari terjadinya gejala meningkatnya permeabilitas dinding sel diikuti oleh penggelembungan dinding sel dan akhirnya kerapuhan membran sel. 14 permulaan pori arus air Pecahnya membran medan listrik air pembengkakan lisis sel sel inaktif Gambar 3. Elektroporasi Membran Sel Sumber: Barbosa-Cánovas et al. (1999) Zimmermann (1986) menjelaskan mekanisme inaktivasi mikroba yang disebabkan pengaruh medan listrik dalam teori ‘electrical breakdown’ (Gambar 4). Teori ‘electrical breakdown’ adalah sebagai berikut: membran sel dapat diumpamakan sebagai sebuah kapasitor yang terisi oleh larutan dielektrikum. Pada kondisi normal beda potensial diantara celah tersebut adalah V’ dengan adanya pengaruh medan listrik sebesar E maka beda potensial antara keduanya meningkat. Hal ini akan mengakibatkan ketebalan dinding sel mengecil. Kerusakan membran sel akan terjadi apabila beda potensial antara keduanya mencapai titik kritis sebesar Vc, hal ini dapat terjadi bila terdapat intervensi pengaruh medan listrik yang mencukupi sebesar E. Pada tahap ini kerusakan dinding sel masih bersifat dapat pulih, akan tetapi dengan terus bertambahnya pengaruh medan listrik maka akan menyebabkan kerusakan permanen. sitoplasma m e d i a Gambar 4. Kerusakan Elektrik Sel Sumber: Barbosa-Cánovas et al. (1999) 15 Penerapan HPEF pada Susu Barbosa-Cánovas et al. (1999) melaporkan inaktivasi E. coli (ATCC 11229) pada SMUF (simulated milk ultraviolet) mencapai penurunan sebesar 4-5 log setelah diberi perlakuan 60 pulsa dan 16 kV/cm di dalam ruang perlakuan dengan volume sebesar 0,1 ml. Aplikasi pulsa sebesar 20 pulsa pada tegangan 25 kV/cm dan suhu 25oC oleh Zhang et al yang disitir Barbosa-Cánovas et al. (1999) diperoleh hasil penurunan sebesar 3 log siklus dengan volume ruang perlakuan 25 ml. Medan listrik yang semakin tinggi, dibutuhkan pulsa yang lebih sedikit untuk mencapai tingkat inaktivasi yang sama. Fernandez-Molina et al. (1999) melaporkan susu segar yang dipasteurisasi dengan medan pulsa listrik tegangan tinggi sebesar 30 kV/cm, 30 pulsa, lebar pulsa 2 μs dan suhu proses tidak lebih dari 28 oC mempunyai masa simpan 22 hari dengan kandungan total mikroba 3,60 x 10 cfu/ml dan coliform negatif. Sobrino-López et al. (2006) melakukan percobaan terhadap susu penuh dan susu skim yang diinokulasi dengan S. aureus. Maksimum inaktivasi sebesar 4,50 log siklus dicapai dengan menggunakan 150 pulsa, waktu 8µs dan tegangan 35 kV/cm. Variabel jumlah pulsa, lebar pulsa, intensitas medan listrik secara signifikan mempengaruhi jumlah S. aureus yang terinaktivasi, namun kandungan lemak dalam susu tidak mempengaruhi. Dunn dan Pearlman (1987) melakukan percobaan pada susu yang diinokulasi Salmonella dan dikenai medan pulsa listrik tegangan tinggi 36,7 kV/cm dan 40 pulsa atau selama 25 menit, ternyata setelah disimpan 8 hari pada suhu 7-9oC tidak terdapat Salmonella. Susu yang tidak dipasteurisasi jumlah total mikroba meningkat 107 cfu/ml dan susu yang dipasteurisasi mempunyai jumlah mikroba 4 x 102 cfu/ml. Inaktivasi S. Typhimurium sebesar 5 log siklus dari jumlah bakteri awal sebanyak 109 cfu/ml didapatkan oleh Gupta dan Murray (1988), bakteri dilarutkan dalam buffer NaCl dengan menggunakan 20 pulsa bentuk eksponensial dan kuat medan listrik sebesar 83 kV/cm. Tingkat inaktivasi yang dihasilkan lebih besar 0,50 log siklus dibandingkan jika menggunakan 60 kV/cm. Treatment chamber yang digunakan bentuk statis dengan elektroda stainless steel parallel yang dipisahkan lexan insulator dengan jarak 6,35 mm. 16 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bagian Teknologi Hasil Ternak (THT), Institut Pertanian Bogor, Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 sampai Februari 2010. Materi Bahan Bahan-bahan yang digunakan adalah susu kambing, bakteri uji yaitu S. Typhimurium ATCC 14028 koleksi laboratorium mikrobiologi THT Fakultas Peternakan IPB, safranin, spirtus, tipol, iodium Gram, alkohol 70%, etanol 95, %, asam belerang 91-92%, amilalkohol, fenolftalien 1%, kalium oksalat jenuh, NaOH 0.1 N, formalin 40%, kristal violet, nutrient broth (NB), Buffer Pepton Water (BPW), aquades, Salmonella and Shigella Agar (SSA), alumunium foil, plastik wrap, plastik HDPE dan kapas. Alat Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah seperangkat alat HPEF, oscilloscope (Atten tipe ADS 1022 C), multimeter (Sanwa DMM CD 771), Vortex mixer, thermocouple, milkotester, oven, panci, kaca objek, mikroskop, inkubator, spektrofotometer, waterbath, tabung reaksi, botol Schott, botol butirometer, sentrifus Gerber, labu Erlenmeyer, gelas piala, penyumbat karet, jarum Öse, pipet volumetrik, pipet Pasteur, mikro pipet dan tip, penangas listrik, otoklaf, pemanas Bunsen dan cawan Petri. Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola faktorial 4x7. Faktor pertama adalah frekuensi dari alat HPEF yang terdiri atas 4 taraf yaitu 0, 10, 15 dan 20Hz. Faktor kedua yaitu lama waktu aplikasi yang terdiri atas 7 taraf yaitu 0 (kontrol tanpa aplikasi HPEF) 30, 60, 90, 120, 150 dan 180 menit. Masing-masing kombinasi perlakuan mendapat 3 ulangan. Model matematika rancangan tersebut menurut Steel dan Torrie (1991): Yijk = μ + Pi + Yj + PYij + εij Keterangan : Yijk = variabel respon akibat pengaruh taraf frekuensi ke-i dan taraf waktu uji ke-j pada ulangan ke-k µ = nilai tengah umum Pi = pengaruh frekuensi alat HPEF level ke-i Yi = pengaruh waktu uji level ke-j Pyij = pengaruh interaksi antara frekuensi ke-i dengan waktu uji ke-j Εij = pengaruh galat percobaan pada unit percobaan ke-k dalam kombinasi perlakuan ke-ij. Sebelum dianalisis, data diuji asumsi yaitu uji kenormalan, keaditifan, kehomogenan dan kebebasan galat. Apabila telah memenuhi semua asumsi tersebut maka data dianalisis ragam (ANOVA). Data yang tidak memenuhi salah satu uji asumsi ditransformasi terlebih dahulu. Perbedaan antara kombinasi perlakuan diuji menggunakan uji Tukey pada α = 1% (P<0,01). Peubah Peubah yang diamati adalah perubahan jumlah bakteri S. Typhimurium, kualitas nutrisi kambing sebelum, selama dan setelah mendapat perlakuan HPEF. Prosedur Persiapan Bakteri Uji Persiapan bakteri uji S. Typhimurium dilakukan dengan pemeriksaan kemurnian bakteri melalui pengamatan mikroskopik terhadap preparat bakteri dengan bantuan pewarnaan Gram untuk penentuan keseragaman sel dan ketiadaan dari kontaminan. Pengujian katalase dilakukan dengan penambahan H2O2 terhadap preparat bakteri. Penyegaran dilakukan untuk mendapatkan bakteri berumur 24 jam. ƒ Pewarnaan Gram (Fardiaz, 1989) Sampel bakteri dari koloni yang homogen dibuat preparat pada kaca objek lalu difiksasi panas. Olesan bakteri ditetesi dengan kristal violet dan didiamkan selama satu menit kemudian dibilas dengan akuades. Setelah kering, olesan bakteri ditetesi iodium Gram dan didiamkan dua menit lalu dibilas akuades dan ditiriskan. Preparat dicuci dengan etanol 95% tetes demi tetes selama 30 detik, kemudian dicuci segera dengan akuades dan ditiriskan. Selanjutnya preparat 18 ditetesi dengan safranin selama 30 detik lalu dibilas akuades. Preparat dikeringkan lalu diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 100 kali. Bakteri Gram negatif akan berwarna merah, sedangkan bakteri Gram positif berwarna biru. ƒ Pengujian Sifat Katalase (DSN, 1998) Pengujian katalase dilakukan dengan cara mengisi tabung katalase dengan 10ml sampel S. Typhimurium. Larutan H2O2 0,5 % sebanyak 5 ml ditambahkan kemudian dihomogenkan dengan cara membalik-balikkan tabung. Campuran larutan tersebut ditempatkan di bagian tabung yang vertikal dan dijaga agar tidak ada gelembung udara di puncaknya. Tabung disumbat dengan kapas kemudian dimasukkan ke dalam inkubator 37oC. Sifat katalase positif ditunjukkan dengan adanya gelembung gas O2 yang terkumpul di puncak tabung setelah 3 jam diinkubasi. ƒ Penyegaran Bakteri Uji Penyegaran bakteri bertujuan untuk mendapatkan bakteri uji dengan umur 24 jam. Sebanyak 1 ml bakteri S. Typhimurium yang ditumbuhkan dalam media nutrient broth dibiakkan ke dalam tabung berisi 9 ml media NB baru, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. Standardisasi populasi bakteri dilakukan dengan cara mengukur nilai optical density (OD) menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 620 nm untuk mendapatkan populasi uji sebesar 105 cfu/ml atau setara dengan OD sebesar 0,250. Persiapan Peralatan HPEF Alat HPEF yang digunakan adalah (a) sistem batch atau statis skala laboratorium atau sistem kontinu untuk skala yang lebih besar. Pembangkit tegangan tinggi yang digunakan berasal dari koil mobil. Treatment chamber (b) terdiri dari dua elektroda stainless steel yang dipisahkan oleh insulator akrilik. Lebar elektroda sebesar 40 mm dan tinggi 250 mm dengan jarak antar elektroda yaitu 3 mm. Konfigurasi lempengan paralel dari elektroda dipilih karena kemudahan dalam pembuatan dan keseragaman kekuatan medan listrik pada treatment chamber. Penggunaan koil mobil sebagai sumber tegangan disebabkan koil mobil mudah didapat dan memikili tegangan yang tinggi, namun koil mobil memiliki kuat arus listrik yang kecil. Kuat arus diukur dengan multimeter (Sanwa DMM CD 771) 19 sebesar 0,11 mA. Tegangan puncak alat yang terukur oscilloscope sebesar 9,50 kV. Jarak elekroda yang digunakan adalah 3 mm sehingga menghasilkan kuat medan listrik sebesar 31,67 kV/cm. Rangkaian alat HPEF dan treatment chamber dapat dilihat pada Gambar 7. a b c Gambar 5. Rangkaian Alat HPEF (a) dan Treatment Chamber, Tampak Depan (b) Tampak Samping (c) Hasil pengamatan menggunakan oscilloscope pada alat HPEF menunjukkan alat HPEF yang digunakan memiliki bentuk pulsa persegi (square-wave). Bentuk pulsa persegi pada berbagai frekuensi dapat dilihat pada Gambar 8. Frekuensi yang digunakan sebagai perlakuan sebesar 10, 15 dan 20Hz. a b c Gambar 6. Bentuk Pulsa Persegi 10Hz (a), 15Hz (b) dan 20Hz (c) Persiapan Susu Kambing Susu kambing sebanyak 250 ml disterilisasi dengan otoklaf pada suhu 115oC selama 3 menit. Sebanyak 150 ml susu ini kemudian diukur nilai pH dan diuji kualitas nutrisi meliputi kadar protein, lemak, bahan kering, bahan kering tanpa lemak dan berat jenisnya. Sampel susu sebanyak 99 ml yang telah steril direkontaminasi dengan 1 ml bakteri S. Typhimurium yang berumur 4 jam (populasi 107 cfu/ml) sehingga populasinya sejumlah yang dikehendaki (105 cfu/ml). 20 Proses Perlakuan HPEF Susu dimasukkan sebanyak 30 ml ke dalam treatment chamber dengan menggunakan pipet steril. Perlakuan HPEF dengan frekuensi dan lama waktu aplikasi berbeda diberikan. Setiap 30 menit dilakukan pengukuran suhu dan penghitungan populasi S. Typhimurium. Diagram alir proses penelitian ditunjukkan pada Gambar 5. Persiapan susu kambing steril dan uji kualitas nutrisi Persiapan S. Typhimurium umur 24 jam dan alat HPEF Rekontaminasi susu dengan S. Typhimurium Populasi awal 105cfu/ml Kontrol, tanpa aplikasi HPEF Proses HPEF selama 3 jam Kontrol, tanpa aplikasi HPEF (0 Hz) Proses HPEF pada sistem batch dan sistem kontinyu dengan Frekuensi : 10, 15 dan 20Hz Lama aplikasi : 0, 30, 60, 90, 120, 150 dan 180 menit Pengamatan Sistem batch: - perubahan populasi S.Typhimurium dalam susu kambing - kandungan nutrisi susu kambing - perubahan suhu susu kambing Sistem kontinu : - kandungan nutrisi susu kambing Pasteurisasi LTLT 65oC, 30 menit Pengamatan populasi S.Typhimurium Analisis data Gambar 7. Diagram Alir Proses Penelitian Pasteurisasi Low Temperature Long Time (LTLT) Proses persiapan bahan pangan yang berbahan baku susu mempunyai syarat aplikasi proses pemanasan pasteurisasi. Proses pasteurisasi yang mungkin dilakukan ditingkat peternakan adalah LTLT dan selanjutnya dipilih sebagai pembanding. Pada 21 metode LTLT susu dipanaskan pada suhu 65oC selama 30 menit. Sebanyak 30 ml susu kambing steril dimasukkan ke dalam Erlenmeyer secara aseptik lalu direkontaminasi dengan S. Typhimurium. Pasteurisasi dilakukan dengan metode batch dalam waterbath yang bersuhu 65±1oC, setelah suhu susu di dalam Erlenmeyer mencapai 65oC, pemanasan dipertahankan selama 30 menit. Penentuan efektifitas pasteurisasi terhadap bakteri S. Typhimurium dan kualitas susu kambing dilakukan dengan membandingkan hasil uji sebelum dan setelah proses pasteurisasi. Penghitungan Bakteri Salmonella (DSN, 1998) Sampel susu dalam treatment chamber diambil sebanyak 1 ml dengan menggunakan pipet Pasteur steril kemudian dimasukkan ke dalam 9 ml BPW sebagai pengenceran sepersepuluh (P-1). Pengenceran desimal selanjutnya dilakukan dengan memipet sebanyak 1 ml dari tabung P-1 untuk diencerkan lagi ke dalam 9 ml BPW sehingga didapatkan pengenceran seperseratus (P-2). Demikian pengenceran ini terus dilakukan hingga diperoleh P-5. Pemupukan dilakukan terhadap pengenceran P-3, P-4 dan P-5 secara triplo. Sebanyak 1 ml dari masing-masing pengenceran P-3, P-4 dan P-5 dipipet ke dalam cawan Petri steril dan dipupukkan dengan medium SSA steril dengan suhu kira-kira 37-40oC sebanyak 12-15 ml. Campuran tersebut dihomogenkan dengan cara cawan Petri digerakkan membentuk angka delapan. Setelah agar mengeras, cawan Petri diinkubasi dengan posisi terbalik pada suhu 37 + 1oC selama 24 jam. Analisis Kualitas Nutrisi Susu Kambing Analisis kualitas nutrisi susu kambing pada aplikasi HPEF sistem batch dilakukan dengan menggunakan alat milkotester karena jumlah sampel uji yang diperoleh tidak mencukupi untuk melakukan analisis laboratorium. Sampel susu sebanyak 30 ml dimasukkan ke dalam treatment chamber. Pada frekuensi berbeda diaplikasikan HPEF. Setiap 30 menit selama 3 jam susu diambil dari treatment chamber untuk diuji kualitas nutrisi dengan milkotester. Hasil kualitas yang diperoleh dengan milkotester meliputi kadar lemak, bahan kering tanpa lemak, protein, laktosa dan berat jenis. Setiap pengujian dilakukan dengan tiga kali ulangan. 22 Aplikasi HPEF Sistem Kontinu Aplikasi sistem kontinu atau mengalir dilakukan terhadap susu kambing segar. Sebanyak 3 liter susu kambing dimasukkan ke dalam alat pasteurisasi kemudian diberi aplikasi HPEF selama 3 jam. Analisis kualitas nutrisi susu kambing dilakukan sebelum dan setelah perlakuan yang meliputi kadar protein, berat jenis (BJ), kadar lemak, bahan kering (BK) dan bahan kering tanpa lemak/BKTL/solid non fat (SNF) serta nilai pH berdasarkan Standar Nasional Indonesia 01-2782-1998. ƒ Berat Jenis Sebanyak 250 ml susu pada suhu antara 21-30oC dimasukan ke dalam gelas ukur. Laktodensimeter dicelupkan perlahan-lahan. Nilai berat jenis dapat dibaca pada skala yang tertera pada laktodensimeter, kemudian dilakukan penyetaraan pada suhu 27,5oC. ƒ Kadar Lemak Sebanyak 10 ml H2SO4 dipipet ke dalam tabung butirometer, kemudian ditambahkan 10,75 ml susu secara hati-hati melalui dinding mulut butirometer dan ditambahkan 1 ml amylalkohol. Setelah butirometer ditutup dengan sumbat karet dan dihomogenkan, butirometer dimasukan ke dalam penangas air pada suhu 70oC selama ± 10 menit. Tahap selanjutnya adalah dilakukan pemusingan menggunakan sentrifuge Gerber pada kecepatan 1200 rpm (putaran/menit) selama 5 menit, kemudian butirometer dimasukkan kembali ke dalam penangas air minimal 2 menit. Butirometer dipegang vertikal dan karet penutup diatur sehingga tepat pada suatu garis pada skala butirometer dan dibaca persen kadar lemaknya. ƒ Bahan Kering dan Bahan Kering Tanpa Lemak Bahan kering dan kering tanpa lemak dapat dihitung setelah kadar lemak dan berat jenis diperoleh dengan rumus Fleischmann: BK (%) = 1,311 L + 2,738 100 (BJ – 1) BJ BKTL (%) = BK (%) – L (%) Keterangan : BK=Bahan Kering; BKTL=Bahan Kering Tanpa Lemak; L=Kadar Lemak; BJ= Berat Jenis 23 ƒ Kadar Protein Sebanyak 10 ml susu dimasukkan ke dalam Erlemeyer, kemudian ditambahkan 2 sampai 3 tetes phenolphthalein 1% dan 0,4 ml kalium oksalat jenuh. Setelah itu dititrasi dengan NaOH 0,1 N sampai timbul warna merah muda. Selanjutnya ditambahkan 2 ml formalin 40% sehingga warna merah muda hilang dan larutan jernih kembali. Titrasi dilanjutkan hingga terbentuk kembali warna merah muda untuk kedua kalinya. Angka hasil titrasi kali ini dicatat, yaitu banyaknya NaOH (dalam ml) yang terpakai dimisalkan sebagai p. Titrasi blanko dibuat dengan cara 10 ml air destilata dimasukkan ke dalam Erlemeyer, kemudian ditambahkan 0,4 ml kalium oksalat jenuh dan ditambahkan 2 ml formalin 40% serta 2 sampai 3 tetes fenoftalein 1%. Setelah itu dilakukan titrasi dengan NaOH 0,1 N sampai terbentuk waran merah muda, kemudian dicatat banyaknya NaOH 0,1 N (dalam ml) yang terpakai dan dimisalkan dengan q. Kadar protein dihitung dengan rumus berikut : Kadar protein (%) = (p – q )ml x 1,95 (faktor formol susu kambing) Pengukuran Suhu Sampel Susu Kambing Perubahan suhu susu kambing sebelum, selama dan setelah perlakuan diukur dengan menggunakan thermocouple. Pengukuran dilakukan setiap 30 menit selama 3 jam. Pengukuran suhu dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu yang dihasilkan oleh proses HPEF terhadap penghambatan pertumbuhan S. Typhimurium. Pengukuran dilakukan pada bagian tengah treatment chamber dengan asumsi bahwa medan listrik yang ditimbulkan oleh kedua elektroda yang sejajar paralel akan terkonsentrasi di tengah. Pengukuran suhu susu dilakukan di ruangan yang memiliki rataan suhu 26,75 ± 0,75oC. 24 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Bakteri Uji S. Typhimurium ATCC 14028 Bakteri uji S. Typhimurium terlebih dahulu diperiksa karakteristiknya melalui pengamatan mikroskopik terhadap preparat bakteri dengan bantuan pewarnaan Gram untuk penentuan keseragaman sel dan ketiadaan kontaminan. Karakteristik S. Typhimurium dapat dilihat pada Gambar 6. Karakteristik morfologi S. Typhimurium ATCC 14028 menunjukkan bentuk sel batang yang seragam dengan susunan tunggal maupun rantai pendek dan tergolong bakterti Gram negatif karena menghasilkan warna merah ketika dilakukan pewarnaan Gram (Gambar 8b). Menurut Fardiaz (1992) bakteri Gram negatif merupakan bakteri yang memiliki lapisan peptidoglikan yang tipis (5-20%) pada dinding selnya sehingga ketika dilakukan uji pewarnaan Gram yaitu pada tahap pencucian dengan alkohol akan menyebabkan lemak terekstraksi dari dinding sel dan pori-pori sel akan membesar sehingga mencuci kristal violet dan iodium keluar dari dinding sel bakteri. Pewarnaan selanjutnya dengan safranin menyebabkan sel bakteri berwarna merah karena menyerap safranin. Bell dan Kryakides (2002) menjelaskan bahwa bakteri Salmonella mempunyai karakteristik Gram negatif berbentuk batang, tidak membentuk spora, aerob/fakultatif anaerob. (a) (b) (c) Gambar 8. Koloni pada Media SSA (a), Morfologi Sel secara Mikroskopis (b) dan Katalase Positif (c) Koloni Salmonella yang ditumbuhkan pada media selektif Shigella dan Salmonella Agar mempunyai ciri-ciri yang spesifik (Gambar 8a). Bakteri yang tidak memfermentasi laktosa seperti Salmonella tumbuh dengan ciri koloni yang tidak berwarna, produksi H2S oleh Salmonella membuat bagian tengah koloni menjadi berwarna hitam. Tiosulfat yang berkombinasi dengan besi (Fe) sebagai indikator terbentuknya sulfid diindikasikan oleh menghitamnya bagian tengah koloni (Oxoid, 2009). Hasil uji katalase mendapatkan bahwa bakteri S. Typhimurium bersifat katalase positif (Gambar 8c) yang ditunjukkan dengan dihasilkannya O2 berupa gelembung-gelembung gas O2 pada media pertumbuhan yag ditetesi H2O2. Hal ini sejalan dengan penjelasan Blackburn dan McClure (2003) bahwa bakteri Salmonella memiliki karakteristik biokimia katalase positif. Bakteri ini memproduksi enzim katalase yang dapat memecah H2O2 menjadi H2O dan O2. Bakteri yang bersifat katalase positif sebagai contoh Salmonella sp. dapat menghasilkan gelembung oksigen karena adanya pemecahan H2O2 (hidrogen peroksida) oleh enzim katalase yang juga merupakan hasil metabolisme bakteri. Komponen H2O2 ini merupakan salah satu hasil respirasi aerobik bakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri karena bersifat toksik bagi bakteri itu sendiri. Oleh karena itu, komponen ini harus dipecah agar tidak bersifat toksik lagi. Mekanisme enzim katalase memecah H2O2 yaitu saat melakukan respirasi, bakteri menghasilkan berbagai macam komponen salah satunya H2O2. Bakteri yang memiliki kemampuan memecah H2O2 dengan enzim katalase maka segera membentuk suatu sistem pertahanan dari toksik H2O2 yang dihasilkannya sendiri. Bakteri katalase positif akan memecah H2O2 menjadi H2O dan O2 dengan parameter yang menunjukkan adanya aktivitas katalase tersebut adalah adanya gelembung oksigen seperti pada percobaan yang telah dilakukan. Pengaruh Kombinasi antara Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi HPEF terhadap Pertumbuhan S. Typhimurium Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi antara lama waktu aplikasi dan frekuensi sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan S. Typhimurium (P<0,01). Perubahan populasi S. Typhimurium selama aplikasi HPEF pada frekuensi dan lama aplikasi HPEF yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 4. 26 Tabel 4. Rataan Populasi S. Typhimurium (log10 cfu/ml) pada Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi HPEF yang Berbeda Waktu Frekuensi (Hz) (menit) 0 10 15 20 Rataan±SD 0 5,48AB ±0,07 5,33BC ±0,16 5,41ABC ±0,07 5,43ABC ±0,10 5,41 AB ±0,11 30 5,26BC ±0,05 5,29BC ±0,18 5,27BC ±0,06 5,40ABC ±0,31 5,31ABC ±0,16 60 5,05BC ±0,32 5,29BC ±0,25 5,18BC ±0,05 5,14BC ±0,27 5,17BCD ±0,23 90 5,10BC ±0,04 5,12BC ±0,09 5,12BC ±0,22 5,12BC ±0,43 5,12CD ±0,21 120 5,25BC ±0,07 5,13BC ±0,10 4,80C ± 0,10 4,85BC ± 0,10 5,01C ±0,23 AB BC BC ABC 150 5,51 180 6,12A ±0,22 5,34BC ±0,04 5,10BC ±0,09 5,46ABC ±0,08 Rataan±SD 5,40A ±0,39 5,26AB ±0,15 5,14B ± 0,22 5,25AB ±0,29 ±0,44 5,25 ±0,12 5,09 ±0,19 5,44 ±0,03 5,32ABC ±0,27 5,51A ±0,41 Keterangan: Huruf superskrip berbeda pada kolom dan baris yang sama, berbeda (P<0,01) Susu yang diberi aplikasi HPEF (10, 15 dan 20Hz) memiliki populasi akhir yang sangat nyata lebih rendah 0,56-1,02 log10 cfu/ml dibandingkan kontrol (0 Hz). Perlakuan kontrol (0 Hz) memiliki rataan populasi akhir terbesar karena tidak ada kejutan listrik yang diberikan pada perlakuan ini sehingga bakteri dapat tumbuh dengan baik dan populasinya terus meningkat mencapai 6,12 log10 cfu/ml pada menit 180. Frekuensi dan lama waktu aplikasi HPEF, keduanya berperan dalam menentukan pertumbuhan bakteri uji S. Typhimurium. Populasi awal S. Typhimurium 5,33-5,43 log10 cfu/ml, setelah mendapat aplikasi HPEF dengan frekuensi berbeda yaitu 10Hz hingga 20Hz mempunyai populasi akhir yang relatif sama yaitu antara 5,10-5,46 log cfu/ml. Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi HPEF pada frekuensi 10Hz hingga 20Hz mampu menekan perkembangbiakan S. Typhimurium. Pada perlakuan HPEF dengan frekuensi 15Hz hingga 120 menit, populasi bakteri terus mengalami penurunan hingga mencapai 0,61 log10 cfu/ml. Inaktivasi mikroorganisme akan meningkat dengan meningkatnya waktu aplikasi HPEF. Populasi bakteri meningkat kembali pada setelah aplikasi HPEF selama 150 dan 180 menit, hal ini disebabkan kerusakan sel bakteri oleh medan listrik belum terjadi secara permanen, sehingga sel-sel masih dapat pulih kembali. Kurva pertumbuhan S. Typhimurium ATCC 14028 selama aplikasi HPEF pada frekuensi dan waktu yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 9. 27 Gambar 9. Kurva Pertumbuhan S. Typhimurium Selama Tiga Jam Aplikasi HPEF dengan Frekuensi yang Berbeda Pertumbuhan S. Typhimurium ATCC 14028 tanpa Aplikasi HPEF (0Hz) Tanpa adanya perlakukan HPEF (kontrol), S. Typhimurium ATCC 14028 dalam susu kambing mengalami fase adaptasi selama 90 menit, sebelum mulai menunjukkan pertumbuhan awal setelah 120 menit. S. Typhimurium menunjukkan pertumbuhan pada fase logaritmik setelah 150 hingga 180 menit, dengan waktu generasi sebesar 85 menit. Peningkatan populasi S. Typhimurium ATCC 14028 terjadi sebesar 1 log siklus selama 180 menit, yaitu dengan populasi 6,12 log10 cfu/ml. Pertumbuhan S. Typhimurium ATCC 14028 dengan Aplikasi HPEF 10Hz Pertumbuhan S. Typhimurium ATCC 14028 pada aplikasi HPEF dengan frekuensi 10Hz menunjukkan bahwa bakteri mengalami fase adaptasi yang panjang yaitu sebesar 120 menit. Pada 60 menit pertama aplikasi HPEF, populasi bakteri relatif stabil, selanjutnya hingga 90 menit aplikasi bakteri mengalami penurunan populasi hingga 0,40 log siklus, lalu pertumbuhannya kembali meningkat tetapi tidak melebihi populasi awal hingga akhir waktu aplikaasi HPEF yaitu selama 180 menit. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan HPEF pada 10Hz mampu menekan pertumbuhan S. Typhimurium ATCC 14028 sama dengan populasi awalnya hingga 180 menit. 28 Pertumbuhan S. Typhimurium ATCC 14028 dengan Aplikasi HPEF 15Hz Pertumbuhan S. Typhimurium ATCC 14028 pada aplikasi HPEF dengan frekuensi 15Hz menunjukkan bahwa bakteri mengalami fase adaptasi yang panjang yaitu lebih besar dari 180 menit. Pada 120 menit pertama aplikasi HPEF, populasi bakteri terus mengalami penurunan sebesar 0,61 log siklus dibanding populasi awalnya. Selanjutnya bakteri bangkit kembali untuk tumbuh, tetapi populasi akhir tidak berhasil menyamai populasi awalnya dan bahkan masih lebih rendah dari populasi akhir perlakuan HPEF dengan 10Hz hingga akhir waktu aplikaasi HPEF yaitu selama 180 menit. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan HPEF pada 15Hz mampu memperpanjang waktu adapatasi yang lebih lama dengan menekan pertumbuhan S. Typhimurium ATCC 14028 lebih tinggi dibandingkan perlakuan 10Hz untuk waktu pengamatan yang sama. Pertumbuhan S. Typhimurium ATCC 14028 dengan Aplikasi HPEF 20Hz S. Typhimurium ATCC 14028 pada aplikasi HPEF dengan frekuensi 20Hz menunjukkan kecenderungan pertumbuhan yang sama dengan perlakuan 10 dan 15Hz, yaitu bakteri mengalami fase adaptasi yang panjang sebesar 120 menit. Populasi bakteri stabil pada 30 menit pertama, lalu mengalami penurunan setelah aplikasi selama 60 menit, selanjutnya populasi bakteri relatif stabil hingga menit ke 90, dan menurun dengan drastis sebesar 0,60 log siklus setelah 120 menit aplikasi HPEF. Pada menit ke 150 populasi bakteri meningkat menunjukkan pertumbuhan awal hingga akhir pengamatan yaitu pada menit ke 180, namun dengan populasi akhir yang tidak jauh berbeda dengan populasi awalnya. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan HPEF dengan frekuensi 20Hz selama 180 menit mampu memperpanjang fase adaptasi dan menekan pertumbuhan S. Typhimurium ATCC 14028 tidak melebihi populasi awalnya. Menurut Raso et al. (1999) peningkatan frekuensi akan meningkatkan suhu yang dapat menyebabkan perubahan pada nilai konduktivitas media sampel dan akan menyebabkan menurunnya inaktivasi bakteri. Barbosa-Cánovas et al. (1999) menyatakan bahwa pangan dengan nilai konduktivitas tinggi akan sulit untuk diaplikasikan HPEF karena menghasilkan puncak medan listrik yang lebih kecil melintasi treatment chamber. Peningkatan konduktivitas akan meningkatkan kekuatan ion media sampel dan berakibat pada meningkatnya perpindahan elektron melalui larutan dan menurunkan tingkat inaktivasi mikroba. 29 Interaksi antara frekuensi dan waktu aplikasi HPEF yang berbeda mampu memperpanjang fase adaptasi S. Typhimurium ATCC 14028 yang lebih lama dibandingkan dengan kontrol. Pada kontrol (0 Hz), populasi bakteri memerlukan waktu adaptasi sebesar 90 menit untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan pertumbuhannya yaitu susu kambing, karena pada awalnya bakteri ditumbuhkan dalam media nutrient broth. Aplikasi HPEF pada frekuensi 10Hz dan 20Hz, mampu memperpanjang fase adaptasi hingga 180 menit dan pertumbuhan awal baru diamati kemudian hingga menit ke 120, sedangkan dengan frekuensi 15Hz fase adaptasi mampu dipertahankan hingga lebih dari 180 menit. Jika bakteri dipindahkan ke dalam suatu media yang berbeda dari media tumbuh awalnya, maka bakteri mulamula akan mengalami masa adaptasi untuk menyesuaikan dengan substrat dan lingkungan di sekitarnya. Pada fase ini belum terjadi pembelahan sel karena beberapa enzim mungkin belum disintesa sehingga jumlahnya mengalami penurunan. Fase adaptasi bakteri yang lebih panjang dari 90 menit pada perlakuan HPEF dengan frekuansi yang berbeda menunjukkan adanya peran medan pulsa listrik tegangan tinggi terhadap pertumbuhan S. Typhimurium. S. Typhimurium menunjukkan pertumbuhan awal, setelah melewati fase adapatasi tampak adanya peningkatan populasi karena bakteri mulai membelah, walaupun masih dengan kecepatan yang masih rendah karena baru selesai dari tahap penyesuian diri. Pertumbuhan kembali S. Typhimurium dapat disebabkan proses kerusakan sel bakteri yang terjadi belum secara permanen atau masih dapat pulih kembali. Barbosa-Cánovas et al. (1999) menyatakan bahwa faktor-faktor dari mikroba yang mempengaruhi inaktivasi mikroba adalah tipe mikroorganisme, populasi dan fase pertumbuhan mikroorganisme. Faktor dari media yang mempengaruhi inaktivasi mikroba antara lain pH media, adanya antimikroba, konduktivitas dan kekuatan ion media. Tipe mikroorganisme (Gram positif, Gram negatif, khamir dan pembentuk spora) akan menentukan karakteristik spesifik seperti ukuran sel dan struktur membran yang akan menghasilkan perbedaan tingkat inaktivasi pada pangan yang diberikan perlakuan HPEF yang sama. Bakteri Gram positif lebih resisten terhadap HPEF dibanding Gram negatif. Hal ini terkait dengan struktur dinding sel bakteri Gram negatif yang memiliki lapisan peptidoglikan lebih tipis dibanding bakteri Gram 30 positif. Konsentrasi mikroba pada sampel memiliki pengaruh terhadap inaktivasi. Meningkatkan konsentrasi bakteri akan menghasilkan tingkat inaktivasi yang lebih rendah. Meningkatnya konsentrasi S. cerevisiae pada jus apel menghasilkan inaktivasi yang lebih rendah denagn 1 pulsa pada medan listrik 25kV/cm (BarbosaCánovas et al., 1999). S. Typhimurium merupakan bakteri Gram negatif dengan tebal dinding sel 10 nanometer dan berukuran panjang 2-3 µm serta lebar 0,60-0,70 µm. Konsentrasi S. Typhimurium yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 105 cfu/ml yang diasumsikan bahwa bakteri S. Typhimurium sejumlah tersebut dapat menyebabkan kasus keracunan makanan. Sale dan Hamilton (1968) menyatakan bahwa medan listrik menyebabkan membran kehilangan fungsi sebagai pertahanan semipermiabel antara sel bakteri dan lingkungannya dan inilah yang menyebabkan kematian sel. HPEF menyebabkan kehilangan kemampuan bergerak dan menghambat sintesis enzim. Membran sel melindungi bakteri dari kondisi lingkungan sekitarnya. Ini merupakan fungsi membran sebagai semipermiabel yang mengontrol lewatnya nutrisi ke dalam sel dan keluarnya produk akhir dari aktivitas sel. Membran sel mengendalikan aktivitas metabolis sel dengan menjaga batas efektif osmosis antara sel dan lingkungan. Ketika diberikan medan listrik, membran sel pecah. Ini menyebabkan keluarnya kandungan intraseluler, yang akan menyebabkan hilangnya aktifitas metabolis sel. Sel bakteri yang kehilangan kemampuannya untuk tumbuh dan membelah pada media akan menjadi inaktif. Zimmermann (1986) menjelaskan teori electrical breakdown yang mengumpamakan membran sel sebagai sebuah kapasitor yang terisi oleh larutan dielektrikum. Pada kondisi normal beda potensial diantara celah tersebut adalah V’. Adanya pengaruh medan listrik sebesar E, maka beda potensial antara keduanya akan meningkat, sehingga mengakibatkan ketebalan dinding sel mengecil. Kerusakan membran sel akan terjadi apabila beda potensial antara keduanya mencapai titik kritis sebesar Vc. Hal ini dapat terjadi bila terdapat intervensi pengaruh medan listrik yang mencukupi sebesar E. Pada tahap ini kerusakan dinding sel masih bersifat dapat pulih, akan tetapi dengan terus bertambahnya pengaruh medan listrik, maka akan menyebabkan kerusakan permanen. 31 Proses inaktivasi bakteri dipengaruhi oleh kuat medan listrik yang dikenakan. Medan listrik pada penelitian ini adalah sebesar 31,67 kV/cm. Medan listrik ini cukup besar, namun mempunyai arus lisrik yang kecil sehingga penurunan jumlah bakteri tidaklah besar. Dunn dan Pearmlman (1987) melakukan penelitian dengan menginokulasi susu dengan Salmonella dan dikenai medan pulsa listrik tegangan tinggi dengan kuat medan listrik sebesar 36,70 kv/cm dan 40 pulsa selama 25 menit. Dan setelah disimpan selama 8 hari pada suhu 7-9oC tidak terdapat Salmonella. Pada menit 120 dengan frekuensi 15Hz, populasi bakteri S.Typhimurium mengalami penurunan terbesar, namun meningkat lagi pada menit 150 dan 180, hal ini disebabkan kerusakan dinding sel masih bersifat dapat pulih atau belum permanen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa medan listrik yang berperan menekan pertumbuhan S. Typhimurium, karena hasil pengamatan yang ditampilkan pada sub bab tersendiri membuktikan bahwa kisaran suhu yang diperoleh dari aplikasi HPEF hanya berkisar 27-30oC, tidak melebihi 30oC. Hal ini dapat membedakan antara inaktivasi karena kekuatan medan listrik atau karena pengaruh pemanasan. Suhu lingkungan yang dihasilkan selama aplikasi HPEF belum merupakan suhu kritis untuk dapat membunuh S. Typhimurium. Menurut BarbosaCánovas et al. (1999), bila terjadi kenaikan suhu yang tinggi, maka suhu dapat menjadi indikator sumber kesalahan hasil percobaan karena dalam inaktivasi mikroorganisme oleh HPEF, pemanasan harus diperkecil. Hasil yang diperoleh sesuai dengan yang diharapkan karena fenomena penurunan mikroorganisme yang terjadi tidak dipengaruhi oleh adanya peningkatan suhu. Hasil penelitian mendapatkan bahwa waktu aplikasi HPEF selama 180 menit belum cukup untuk menyebabkan kerusakan bakteri secara permanen, sehingga untuk membunuh secara permanen dapat dilakukan dengan memperbesar kuat medan listrik atau memperpanjang waktu perlakuan. Gupta dan Murray (1988) berhasil menginaktivasi S. Typhimurium sebesar 5 log dari jumlah bakteri awal sebanyak 109 cfu/ml dengan menggunakan kuat medan listrik sebesar 83 kV/cm. Kuat medan listrik alat HPEF pada penelitian ini cukup besar yaitu 31,67 kV/cm, namun memiliki arus listrik yang kecil yaitu 0,11 mA. Stefani (2009) berhasil menurunkan mikroorganisme total pada susu sapi segar hingga 1,70 log siklus dari populasi awal 1,50 x 105 cfu/ml dengan alat yang sama, namun menggunakan sumber tegangan 32 berupa fly back televisi dengan kuat medan listrik sebesar 2,77 kV/cm, frekuensi sebesar 25 kHz dengan arus listrik sebesar 14,60 mA. Perbedaan gaya yang cukup besar antara kedua alat menentukan pula kemampuan penghambatan terhadap bakteri uji. Besarnya frekuensi menyebabkan amper listrik yang dialirkan dalam satuan waktu juga lebih besar sehingga menghasilkan jumlah kematian yang lebih besar pada bakteri, selain itu waktu perlakuan yang digunakan juga lebih lama yaitu 5 jam. Pengaruh Pasteurisasi LTLT terhadap Pertumbuhan S. Typhimurium ATCC 14028 Aplikasi HPEF diharapkan dapat menggantikan perlakuan pemanasan minimal yang harus diaplikasikan pada produk pangan yaitu proses pasteurisasi. Pasteurisasi dengan pemanasan pada suhu 63-66oC selama minimum 30 menit (BSN, 1995) dipilih sebagai pembanding untuk menentukan efektiivitas dari perlakuan HPEF. S. Typhimurium ATCC 14028 dengan populasi awal sebesar 2,8 x 105 cfu/ml pada susu kambing, setelah mendapat perlakuan pemanasan LTLT, tidak ditemukan lagi pertumbuhannya dalam media SSA. Menurut Bell dan Kyriakides (2002), suhu maksimum bagi pertumbuhan S. Typhimurium adalah 46,2oC. Proses pemanasan pada suhu 65oC selama 30 menit menyebabkan kematian pada seluruh bakteri uji. Masing-masing bakteri mempunyai suhu optimum, minimum dan maksimum untuk pertumbuhannya. Pada kondisi di bawah suhu minimum dan di atas suhu maksimum, aktivitas enzim dalam bakteri akan terhenti, bahkan pada suhu yang terlalu tinggi akan terjadi denaturasi enzim. Pada bahan pangan yang memiliki kandungan lemak tinggi, dibutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk membunuh Salmonella (Labbe dan Garcia, 2001). Salmonella pada makanan dengan aktivitas air yang tinggi (> 0,98) dapat dimatikan dengan proses pemanasan, namun pada bahan makanan dengan aktivitas air yang rendah dan mengandung lemak yang tinggi, suhu yang lebih tinggi dibutuhkan untuk membunuh bakteri ini (Jay et al., 2005). Kualitas Nutrisi Susu Kambing dalam HPEF dengan Sistem Batch Kualitas nutrisi susu kambing dapat ditentukan berdasarkan kadar lemak, bahan kering tanpa lemak, kadar protein, laktosa dan berat jenis. Standar kualitas susu kambing belum tersedia dalam SNI, sehingga biasanya masih mengacu kepada standar susu sapi atau dapat mengacu pada Thai Agricultural Standard (2008). 33 Kadar Lemak Susu Kambing Lemak merupakan komponen terpenting dalam susu. Lemak menimbulkan cita rasa pada susu dan produk olahan susu dikarenakan terdiri atas berbagai jenis asam lemak. Kadar lemak susu kambing pada frekuensi dan lama waktu aplikasi HPEF yang berbeda sistem batch yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Kadar Lemak Susu Kambing (%) pada Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi HPEF yang Berbeda Frekuensi (Hz) Waktu (menit) 10 15 20 Rataan±SD 0 6,09c ± 0,16 6,24abc ± 0,09 6,31a ± 0,03 6,22ab± 0,13 30 6,21abc ± 0,07 6,31a ± 0,02 6,31a ± 0,04 6,28a ± 0,06 60 6,19abc ± 0,07 6,31a ± 0,03 6,28abe ± 0,02 6,26ab± 0,07 90 6,20abc ± 0,05 6,23abc ± 0,01 6,21abc ± 0,02 6,22ab± 0,03 120 6,18abc ± 0,01 6,18abc ± 0,02 6,23abc ± 0,04 6,20b ± 0,03 150 6,20abc ± 0,04 6,15bc ± 0,03 6,22abc ± 0,03 6,19b ± 0,04 180 6,20abc ± 0,00 6,11c ± 0,02 6,23abc ± 0,02 6,19b ± 0,06 6,19b ± 0,08 6,22b ±0,08 6,26a ±0,05 Rataan ± SD Huruf superskrip berbeda pada kolom dan baris yang sama, berbeda (P<0,05) Uji statistik menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara frekuensi dan lama waktu aplikasi HPEF yang berbeda terhadap kadar lemak susu kambing (Tabel 5). Kadar lemak susu kambing walau mengalami penurunan dengan semakin lama waktu aplikasi HPEF yang diberikan, namun masih memenuhi standar SNI yang berlaku. Hasil pengujian mendapatkan nilai yang kurang konsisten, hal ini disebabkan sifat lemak yang membentuk gumpalan pada suhu ruang, sehingga menempel pada treatment chamber yang menyebabkan rekuperasi lemak dalam produk hasil HPEF tidak dapat maksimal. Gumpalan ini terjadi karena karakteristik penyusun lemak susu yaitu beberapa asam lemak akan berbentuk padat dalam suhu ruang dengan titik lebur di atas 27oC. Asam-asam lemak ini antara lain adalah stearat, miristat, laurat, capric dan palmitat. Titik lebur masing-masing asam lemak ini secara berturut-turut adalah 69,6; 54,4; 43,2; 31,6 dan 63,1oC (Chevreul, 2010). Susu kambing yang digunakan tidak mengalami homogenisasi sehingga, tanpa adanya pengadukan akan menyebabkan lemak memisah di permukaan karena mempunyai BJ yang lebih rendah dari air. Selama tiga jam aplikasi HPEF dilakukan 34 dalam treatment chamber sistem batch yang statis sehingga terjadi pemisahan lemak. Syarat mutu lemak berdasarkan SNI-3141-1998 adalah minimal 3,0%. Susu kambing memiliki kadar lemak lebih tinggi dibanding susu sapi dengan rataan sekitar 6,0%. Selain itu globula lemak susu kambing lebih kecil dan beremulsi dengan baik dalam susu. Lemak di dalam susu terdapat dalam jutaan bola kecil yang berdiameter antara 1-20 µm. Diameter globula lemak susu kambing berkisar antara 0,92- 8,58 µm, sedangkan susu sapi berkisar antara 0,92-15,75 µm (Attaie dan Richter, 2000). Metode medan pulsa listrik tegangan tinggi adalah metode non-termal dalam pengawetan makanan yang menggunakan kuat medan listrik untuk menginaktivasi mikroba dan memberikan pengaruh yang minimal terhadap perubahan kualitas bahan pangan, diantaranya adlah kandungan lemak susu (Ramaswamy et al., 2009). Kadar Bahan Kering Tanpa Lemak Susu Kambing Bahan kering tanpa lemak terdiri dari semua komponen selain lemak. Kadar bahan kering tanpa lemak yang menjadi syarat mutu dalam SNI 01-3141-1998 mengenai susu segar adalah sebesar 8,0 % (Badan Standardisasi Nasional, 1998). Kadar bahan kering tanpa lemak susu kambing pada frekuensi dan lama waktu aplikasi HPEF sistem batch yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Kadar Bahan Kering Tanpa Lemak (%) Susu Kambing dalam HPEF dengan Sistem Batch pada Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi yang Berbeda Waktu (menit) 0 30 60 90 120 150 180 Rataan ± SD Frekuensi (Hz) 10 9,66ab ± 0,14 a 9,69 ± 0,09 ab 9,64 ± 0,11 abcd 9,58 9,58 ± 0,05 abcd abc 9,62 ± 0,03 ± 0,04 ab 15 9,62abc ± 0,09 abcd 9,56 bcde 9,52 cdef 9,45 ± 0,02 ± 0,04 ± 0,02 def 9,41 ± 0,02 ef 9,37 ± 0,05 f 20 9,59abc ± 0,01 Rataan±SD 9,62a ± 0,09 abc ± 0,02 ab 9,62ab ± 0,08 ± 0,02 9,60abc ± 0,08 9,61 9,63 abcd 9,58 ± 0,02 9,54c ± 0,07 abc ± 0,05 abc 9,54c ± 0,09 ± 0,02 9,53c ± 0,13 9,61 9,61 ab 9,64 ± 0,01 9,34 ± 0,03 9,64 ± 0,01 9,63a± 0,08 9,47b±0,10 9,61a± 0,03 9,54bc ± 0,15 Huruf superskrip berbeda pada kolom atau baris yang sama, menunjukkan berbeda (P<0,05) Uji statistik menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara frekuensi dan lama waktu aplikasi HPEF yang berbeda terhadap kadar bahan kering tanpa lemak susu 35 kambing (Tabel 6). Bahan kering tanpa lemak susu kambing memenuhi syarat mutu dalam SNI 01-3141-1998 mengenai susu segar dengan rataan sebesar 9,34-9,66 %. Walapun kadar bahan kering tanpa lemak mengalami penurunan dengan semakin lamanya waktu aplikasi HPEF yang diberikan, namun rataan BKTL susu kambing masih memenuhi ketentuan SNI untuk susu segar dan Thai Agricultural Standards yang menetapakan berat kering tanpa lemak tidak boleh kurang dari 8,25%. Frekuensi 15Hz memiliki penurunan kadar BKTL paling besar dibandingkan 10 dan 20Hz. Pada perlakuan 10 dan 20Hz penurunannya tidak terlampau besar. Kadar BKTL terendah didapat pada kombinasi perlakuan 15Hz selama 180 menit. Kadar Protein Susu Kambing Selain lemak, protein juga merupakan salah satu komponen susu yang penting. Protein dalam susu dibedakan menjadi dua tipe, protein whey dan kasein. Kandungan kasein dalam protein susu adalah sekitar 80% dari total protein pada susu (Chandan et al., 2008). Kadar protein susu kambing pada frekuensi dan lama waktu aplikasi HPEF sistem batch yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 7. Uji statistik menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara frekuensi dan lama waktu aplikasi HPEF yang berbeda terhadap kadar protein susu kambing (Tabel 8). Tabel 7. Kadar Protein (%) Susu Kambing dalam HPEF dengan Sistem Batch pada Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi yang Berbeda Waktu (menit) 0 30 60 90 120 150 180 Rataan ± SD Frekuensi (Hz) 10 5,25 ± 0,09 15 5,24 ab ± 0,05 20 5,23 ab ± 0,01 5,28a ± 0,05 5,22 abc ± 0,01 5,24 ab ± 0,01 a 5,26 ± 0,06 abc ± 0,03 5,22 5,22 abc 5,24 ab 5,25 ab ± 0,02 ± 0,02 ± 0,01 5,24a ± 0,04 abcd Rataan±SD 5,24ab ± 0,05 5,25a ± 0,04 5,25 ab 5,22 abc ± 0,01 5,20ab ± 0,04 5,24 ab ± 0,03 5,19b ± 0,05 5,24 ab ± 0,01 5,19b ± 0,07 5,09 ± 0,01 5,25 ab ± 0,01 5,19b ± 0,08 5,16b ± 0,06 5,24a ± 0,02 5,20 bcde 5,16 cde 5,13 ± 0,02 ± 0,01 ± 0,01 de 5,11 ± 0,02 e ± 0,01 5,23ab ± 0,04 Huruf superskrip berbeda pada kolom dan baris yang sama, berbeda (P<0,05) Rataan kadar protein susu kambing adalah 5,09-5,26 % memenuhi ketentuan SNI susu segar yaitu sebesar 2,7 %. Pada perlakuan 15Hz, kadar protein semakin menurun dengan semakin lamanya aplikasi HPEF yang diberikan. Penurunan 36 mencapai 0,147 atau sebesar 2,81% dari kadar protein awal yaitu sebesar 5,240 hingga akhir pengaplikasian HPEF menjadi 5,09 berbeda dengan perlakuan dengan frekuensi 10Hz yang kadar proteinnya hanya berkurang 0,003%. Perlakuan HPEF dengan sistem batch mampu mempertahankan kadar protein dalam susu kambing. Kerusakan protein dapat terjadi karena aktivitas enzim, asam dan panas. Pada penelitian ini peningkatan panas yang terjadi masih pada kisaran suhu yang tidak menyebabkan kerusakan protein. Kadar Laktosa Susu Kambing Laktosa merupakan karbohidrat utama yang terdapat di dalam susu dan merupakan disakarida yang terdiri atas glukosa dan galaktosa serta terdapat dalam fase larutan sesungguhnya sehingga mudah diasimilasikan sebagai makanan dengan proses hidrolisa menjadi glukosa dan galaktosa oleh enzim laktase. Kadar laktosa susu kambing pada frekuensi dan lama waktu aplikasi HPEF sistem batch yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Kadar Laktosa (%) Susu Kambing dalam HPEF dengan Sistem Batch pada Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi yang Berbeda Frekuensi (Hz) Waktu (menit) 10 15 20 Rataan±SD 0 3,49 ± 0,05 3,47 ± 0,032 3,45 ± 0,01 3,467± 0,02 30 3,50 ± 0,03 3,44 ± 0,012 3,46 ± 0,01 3,46 ± 0,03 60 3,48 ± 0,04 3,42 ± 0,015 3,47 ± 0,01 3,46 ± 0,03 90 3,45 ± 0,01 3,40 ± 0,006 3,45 ± 0,01 3,43 ± 0,03 120 3,55 ± 0,17 3,39 ± 0,006 3,46 ± 0,02 3,47 ± 0,08 150 3,47 ± 0,02 3,37 ± 0,015 3,47 ± 0,01 3,44 ± 0,06 180 3,48 ± 0,01 3,37 ± 0,012 3,48 ± 0,01 3,44 ± 0,06 a b a 3,49 ± 0,03 3,41 ± 0,04 3,46 ± 0,01 Rataan ± SD Huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama, menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) Uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara frekuensi dan lama waktu aplikasi terhadap kadar laktosa susu kambing. Rataan kadar laktosa dalam susu kambing hanya dipengaruhi oleh perbedaan frekuensi, khususnya pada 15Hz. Perlakuan frekuensi 10Hz dan 20Hz, memiliki pengaruh yang sama terhadap kadar laktosa susu kambing yang mendapat perlakuan HPEF dengan sistem batch. Hasil penelitian ini menampilkan pula bahwa kadar laktosa susu kambing lebih 37 rendah dari susu sapi. Kadar laktosa susu kambing menurut Chandan et al (2007) adalah sebesar 4,1 %. Laktosa atau gula susu merupakan komponen gula yang penting dalam susu, terutama untuk bayi. Laktosa dapat membantu asimilasi kalsium dan fosfor sehingga membentuk tulang dan gizi yang bayi dan dapat menurunkan kebutuhan vitamin D. Berat Jenis Susu Kambing Menurut Badan Standar Nasional (1998), berat jenis susu menjadi syarat mutu susu segar dalam SNI 01-3141-1998 adalah minimum 1,0280 pada suhu 27,5oC. Berat jenis susu erat kaitannya dengan komponen padatan susu dan BK konsentrat dalam ransum. Berat jenis susu kambing pada frekuensi dan lama waktu aplikasi HPEF sistem batch yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Berat Jenis (kg/m3)Susu Kambing dalam HPEF dengan Sistem Batch pada Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi yang Berbeda Waktu (menit) 0 Frekuensi (Hz) 10 1,0313a ± 0,0004 ab 1,0314 ± 0,0003 30 ab 1,0312 ± 0,0004 60 90 120 150 180 1,0310 ab 1,0310 ab 1,0311 ab 1,0312 ab ± 0,0001 ± 0,0000 ± 0,0001 ± 0,0000 15 1,0311 ab ± 0,0003 1,0308 ab 1,0307 ab ± 0,0000 ± 0,0001 bc 1,0305 ± 0,0000 c 1,0304 ± 0,0000 c 1,0302 ± 0,0001 c 1,0302 ± 0,0001 20 1,0309 ab ± 0,0000 Rataan±SD 1,0312a ± 0,0004 1,0310 ab ± 0,0000 1,0311a ± 0,0003 1,0311 ab ± 0,0000 1,0311a ± 0,0003 1,0310 ab ± 0,0000 1,0309ab ± 0,0003 1,0311 ab ± 0,0002 1,0307b ± 0,0005 1,0311 ab ± 0,0000 1,0307b ± 0,0005 1,0312 ab ± 0,0000 1,0307b ± 0,0005 1,0305c ± 0,0005 1,0310b ± 0,0000 Rataan ± SD 1,0312a ± 0,0004 Huruf superskrip berbeda pada kolom atau baris yang sama, menunjukkan berbeda nyata(P<0,05) Uji statistik menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara perlakuan frekuensi dan lama waktu aplikasi HPEF yang berbeda terhadap berat jenis susu kambing (Tabel 10). Berat jenis susu kambing mempunyai rataan 1,030, memenuhi ketentuan SNI susu segar, walaupun pada frekuensi 15Hz dengan semakin lama waktu aplikasi akan menyebabkan penurunan berat jenis susu kambing. Perlakuan ini memiliki kadar lemak terendah. Susu normal mempunyai kisaran berat jenis antara 1,0291,035. susu dengan kandungnan lemak rendah mempunyai berat jenis yang rendah, sebaliknya susu dengan kandungan lemak yang tinggi mempunyai berat jenis yang 38 tinggi pula. Hal ini terutama karena pada suhu yangn normal, kenaikan kandungan lemak susu juga diikuti dengan kenaikan kandungan bahan padatan bukan lemak sehingga gabungan berat jenis dan komponen-komponen susu lebih menentukan berat jenis susu daripada pengaruh tunggal lemak susu. Kualitas Nutrisi Susu Kambing dalam HPEF dengan Sistem Kontinu Aplikasi HPEF dengan sistem mengalir atau kontinu dilakukan menggunakan prototip alat yang mampu memproses susu kambing dalam jumlah yang lebih besar. Metode ini merupakan pengembangan dari metode batch. Pada metode kontinyu volume susu yang ditampung maksimal adalah 20 liter, sedangkan untuk penelitian ini jumlah susu kambing yang digunakan sebanyak 3 liter dari bangsa kambing yang berbeda sesuai dengan susu kambing yang umum beredar di pasaran, kemudian dialirkan pada treatment chamber selama 3 jam. Hasil komposisi susu kambing sebelum dan setelah perlakuan HPEF pada beberapa bangsa kambing yang diteliti, meliputi bahan kering, bahan kering tanpa lemak, kadar lemak, kadar protein, berat jenis dan pH disajikan pada Tabel 11. Tabel 10. Kualitas Nutrisi Susu Kambing Sebelum dan Setelah Perlakuan HPEF Komposisi PE segar Berat Kering (%) BKTL (%) Lemak (%) Protein (%) Berat Jenis (g/ml) pH HPEF Jenis Kambing Pesa Saanen segar HPEF segar HPEF Jawarandu>< PE segar LTLT* 16,12 16,15 15,37 14,41 13,16 13,28 15,54 15,00 9,12 7,00 3,70 9,15 7,00 3,70 8,77 6,60 3,57 8,91 5,50 3,71 8,46 4,70 3,61 8,63 4,65 3,90 9,64 5,90 4,68 9,20 5,80 3,89 1,0299 1,0281 1,0287 1,0315 1,0299 6,31 6,09 1,0285 1,0286 1,0276 6,33 6,33 6,60 6,50 6,42 6,43 *Pasteurisasi LTLT Komposisi nutrisi susu tiap bangsa kambing menunjukkan perbedaan. Faktorfaktor yang mempengaruhi komposisi susu adalah genetik, tahap laktasi, umur, nutrisi, lingkungan dan prosedur pemerahan. Perbedaan ini dijumpai pada kandungan lemaknya. Menurut Muchtadi dan Sugiono (1992), kadar lemak susu dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah a) genetik ternak, b) makanan, kadar lemak yang rendah dalam makanan dapat menurunkan kadar lemak susu yang dihasilkan, c) pengaruh iklim, musim dingin kadar lemak susu lebih tinggi, d) umur ternak, makin 39 tua ternak maka akan rendah kadar lemak susu yang dihasilkan, e) waktu laktasi dan f) waktu pemerahan. Perubahan yang terjadi pada komposisi susu kambing setelah diaplikasikan HPEF selama 3 jam tidaklah banyak (Tabel 11). HPEF merupakan salah satu proses nonthermal yang hanya menyebabkan sedikit sekali perubahan warna, rasa dan nutrisi pada produk pangan (Barbosa-Cánovas et al., 1999). Suhu akhir susu kambing yang dicapai pada perlakuan HPEF adalah 31oC sehingga tidak memberikan pengaruh terhadap komposisi susu kambing. Hal ini berbeda dengan perlakuan pemanasan yaitu pasteurisasi LTLT (suhu 65oC selama 30 menit) yang menyebabkan turunnya kadar protein susu. Protein merupakan zat gizi utama dalam susu karena mengandung asam-asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh Protein mulai terdenaturasi pada suhu 65oC dan akan terdenaturasi seluruh bagiannya bila dipanaskan pada suhu 90oC selama 60 detik (Early, 1998). Mysore (2009) menyatakan bahwa sejauh ini belum ada penelitian yang melaporkan adanya pengaruh buruk terhadap keamanan pangan produk yang dihasilkan dari metode HPEF ini. Walaupun menggunakan tegangan listrik tinggi, namun frekuensi yang diberikan sangatlah rendah sehingga tidak akan menimbulkan radikal bebas terhadap tubuh. Pengaruh Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi HPEF terhadap Suhu Susu Kambing Frekuensi adalah banyaknya pulsa yang dikenakan per unit waktu. Waktu aplikasi merupakan periode waktu saat bakteri mendapat aplikasi HPEF pada kuat medan secara efektif. Pengukuran suhu dilakukan dengan thermocouple yang diletakkan di titik tengah treatment chamber. Pengukuran di titik tengah dilakukan dengan asumsi bahwa medan listrik yang ditimbulkan oleh kedua elektroda yang terletak sejajar paralel akan terkonsentrasi di posisi tengah dari treatment chamber. Rataan suhu susu selama aplikasi perlakuan frekuensi dan waktu aplikasi yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 4. Interaksi antara frekuensi dan lama waktu aplikasi tidak mempengaruhi suhu susu namun frekuensi dan waktu yang berbeda berpengaruh sangat nyata terhadap suhu susu (P<0,01). 40 Tabel 11. Rataan Suhu Susu Kambing (oC) pada Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi HPEF yang Berbeda Waktu Frekuensi (Hz) (menit) 0 10 0 27,83 ± 0,29 28,17 ± 0,29 28,33± 0,58 28,00 ± 0,50 28,08 B ± 0,42 30 28,17 ± 0,29 28,17 ± 0,29 28,50 ± 1,00 28,17 ± 0,29 28,13 B ± 0,57 60 28,00 ± 0,00 28,00 ± 0,00 28,67 ± 1,04 28,83 ± 1,04 28,31 AB ± 0,79 90 28,50 ± 0,50 28,50 ± 0,50 29,17 ± 0,76 29,00 ± 0,00 28,58 AB ± 0,73 120 28,33 ± 0,29 28,33 ± 0,29 30,00 ± 0,87 29,67 ± 0,56 28,96 A ± 1,05 150 28,33 ± 0,29 28,33 ± 0,29 29,33 ± 1,55 29,33 ± 0,29 28,75 AB ± 0,84 180 28,17 ± 0,29 28,17 ± 0,29 29,50 ± 0,50 29,00 ± 0,00 28,67 AB± 0,72 Rataan±SD 27,82A±0,33 28,24A± 0,30 29,07B ± 0,93 28,86 B ± 0,71 15 20 Rataan±SD Huruf superskrip berbeda pada kolom dan baris yang sama, berbeda (P<0,01) Pengaruh Frekuensi HPEF yang Berbeda terhadap Suhu Susu Kambing Frekuensi 0 Hz atau kontrol, tidak diberikan kejutan listrik sehingga memiliki rataan suhu yang paling rendah yaitu setara dengan suhu ruangan. Uji lanjut memperlihatkan bahwa peningkatan hingga frekuensi 10Hz menghasilkan suhu yang tidak berbeda dengan kontrol dan peningkatan frekuensi hingga 15 dan 20Hz menghasilkan peningkatan suhu yang sangat nyata lebih tinggi (P<0,01). Semakin tinggi frekuensi yang diberikan hingga 15Hz, maka suhu susu yang dihasilkan akan semakin tinggi. Menurut Zhang (1995) jika frekuensi meningkat, pengisian power supply dan saklar listrik kecepatan tinggi menjadi meningkat. Hal ini juga dapat meningkatkan energi yang ditambahkan pada medium sehingga suhu media susu akan meningkat. Raso et al. (1999) mendapatkan bahwa frekuensi yang berbeda dari 1 Hz hingga 5 Hz tidak memberikan pengaruh terhadap inaktivasi S. senftenberg namun memberikan pengaruh terhadap suhu sampel. Suhu sampel yang didapat tidak lebih dari 35oC. Peningkatan frekuensi juga berpengaruh terhadap konduktivitas sampel dan mengakibatkan perubahan kuat medan listrik yang sebenarnya. Pengaruh Lama Waktu Aplikasi HPEF terhadap Suhu Susu Kambing Waktu aplikasi HPEF yang diberikan selama tiga jam sangat nyata (P<0,01) memberikan pengaruh terhadap peningkatan suhu susu. Rataan suhu susu sebelum diberikan aplikasi HPEF adalah sebesar 28,08oC dan sangat nyata meningkat menjadi 41 28,96oC setelah aplikasi HPEF selama 120 menit. Perubahan suhu susu kambing selama aplikasi HPEF pada waktu aplikasi yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 9. Semakin tinggi frekuensi dan semakin lama waktu aplikasi maka suhu susu akan mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya listrik yang mengalir pada sampel susu. Menurut Raso et al. (1999) frekuensi merupakan jumlah pulsa yang diberikan per unit waktu dan pulsa adalah besarnya arus listrik yang terjadi berulang-ulang saat listrik mengalir. Aliran arus listrik merupakan aliran elektron. Elektron bebas yang mengalir ini mendapat hambatan saat melewati atom sebelahnya. Akibatnya terjadi gesekan elektron dengan atom dan ini menyebabkan penghantaran panas. Gambar 10. Kurva Perubahan Suhu Susu Selama Tiga Jam Aplikasi HPEF dengan Frekuensi yang Berbeda Suhu susu kambing selama aplikasi HPEF penting untuk diketahui karena kenaikan suhu dapat mengubah komponen elektrik pada media yang diberi perlakuan dan dapat menginaktivasi sel mikroba jika mencapai nilai suhu letal bakteri. Setelah 180 menit aplikasi HPEF, peningkatan suhu yang terjadi tidaklah drastis, yaitu hanya rata-rata sebesar ±1oC. Kenaikan suhu yang tinggi pada aplikasi HPEF harus dihindari karena tujuan dari HPEF adalah melakukan inaktivasi mikroorganisme dengan menekan pemanasan serendah-rendahnya (Barbosa-Cánovas et al., 1999). Kenaikan suhu dengan rata-rata sebesar 1oC masih dapat diterima, dengan catatan bahwa pada suhu tersebut bukan merupakan suhu optimal pertumbuhan bakteri uji dan lama waktu aplikasi harus lebih pendek dari waktu generasi bakteri tersebut. 42 Kebutuhan Daya Listrik Daya listrik merupakan laju hantaran energi listrik dalam rangkaian listrik. Daya dan biaya listrik alat yang dihasilkan pada frekuensi yang berbeda selama tiga jam aplikasi HPEF dapat dilihat pada Tabel 12. Aplikasi HPEF dengan frekuensi 10Hz selama 3 jam memiliki daya terbesar yaitu 34877 watt sedangkan kebutuhan daya terkecil yaitu 29406 watt dihasilkan oleh aplikasi dengan frekuensi 15Hz. Frekuensi 10Hz memiliki lebar pulsa terbesar sedangkan pada frekuensi 15Hz menghasilkan lebar pulsa terkecil. Tabel 12. Kebutuhan Daya dan Biaya Listrik pada Frekuensi yang Berbeda Selama Tiga Jam Aplikasi HPEF Frekuensi Lebar pulsa (s) Daya Listrik (Watt) Biaya Listrik (Rp) 10 0,255 34877 27901 15 0,215 29406 23524 20 0,250 34193 27354 Semakin besar lebar pulsa, maka semakin tinggi daya yang dihasilkan. Semakin besar daya listrik yang dihasilkan maka akan meningkatkan biaya produksi. Dilihat dari biaya yang dibutuhkan, frekuensi 15Hz membutuhkan biaya operasional yang paling rendah dan 10Hz membutuhkan biaya terbesar selama tiga jam aplikasi HPEF. Semakin besar daya yang dihasilkan maka akan semakin besar pula biaya listrik yang dikeluarkan. Kebutuhan daya dapat dikurangi dengan mengurangi frekuensi, lebar pulsa atau tegangan. Barbosa-Cánovas et al. (1999) menyatakan bahwa kuat medan listrik mempunyai efek nyata daripada lebar pulsa pada laju inaktivasi. Oleh karena itu, efisiensi energi dapat dimaksimalkan dengan meningkatkan kuat medan listrik dan mengurangi atau memperkecil lebar pulsa . 43 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Aplikasi HPEF dengan frekuensi dan waktu yang berbeda sangat mempengaruhi pertumbuhan S. Typhimurium ATCC 14028 dan kualitas nutrisi susu kambing. Aplikasi HPEF mampu memperpanjang masa adaptasi hingga 180 menit dan menekan pertumbuhan S. Typhimurium. Penurunan bakteri paling optimal diperoleh pada perlakuan frekuensi 15Hz dengan waktu aplikasi selama 120 menit yaitu sebesar 0,61 log10 cfu/ml. Lama waktu aplikasi HPEF dapat mempertahankan kualitas nutrisi susu kambing sesuai dengan ketentuan Thai Agricultural Standard karena tidak menimbulkan perubahan suhu susu kambing selama proses berlangsung. Saran Untuk diterapkan langsung dalam industri makanan, penelitian ini masih memerlukan banyak perbaikan. Penelitian lebih lanjut disarankan menggunakan pembangkit tegangan yang lebih besar dengan arus listrik yang besar serta jarak elektrode yang lebih rapat sehingga dihasilkan medan listrik yang tinggi dan waktu perlakuan dapat dipersingkat. Selain itu perlu dilakukan rancangan treatment chamber yang lebih baik serta dikombinasikan dengan metode lain seperti termisasi pada suhu 63-65oC selama 15-16 detik untuk meningkatkan proses inaktivasi. UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran yang tak terbatas cintaNya bagi umat. Salawat dan salam semoga tercurah keharibaan Rasulullah, keluarga dan sahabatnya. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA selaku pembimbing utama dan Ahmad Yani, STP, MSi selaku pembimbing anggota atas bimbingan, nasihat dan ilmu yang diberikan kepada Penulis. Ir. Afton Atabany, MSi dan Dr. Ir. Nahrowi, MSc selaku dosen penguji atas masukan dan saran yang membangun. Pembimbing akademik Dr. Ir. Henny Nuraini, MSi. atas bimbingan dan arahan selama menjalankan perkuliahan. Skripsi ini adalah perwujudan rasa tanggungjawab dan terimakasih Penulis. Penulis mempersembahkan skripsi ini untuk orangtua, Ibunda Siti Aminah dan Bapak Rosidi. Mereka adalah guru pertama dan cinta pertama Penulils. Dina Rosdiana dan Ratna Ningsih, kakak yang selalu memberikan motivasi, doa dan kasih sayang hingga terselesaikannya skripsi ini. Penulis menyampaikan terima kasih kepada rekan satu penelitian, Ir. Budi Hariono, Msi terimakasih atas dukungan, masukan dan saran dalam penulisan skripsi, teknisi dan tenaga penunjang bagian Teknologi Hasil Ternak, Bapak Sukmawijaya Amd, Joni. S, SPt, Devi. M, SPt, ibu Iyom dan pak Parta. Mutia Fani SPt, yang telah banyak membantu selama penulis melakukan penelitian di Laboratorium, Akhis, Feihung, Ayu, Pipit, Kokom, Hida, Ninu, Uni atas bantuan langsung dan doa selama ini. Revan Maulana atas kasih sayang, perhatian dan motivasi.. Sahabat tersayang yang Penulis miliki, Dilla, Tria, Tia, Arief, Koko dan Onyet. Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada civitas akademika Fakultas Peternakan, teman-teman IPTP 42 serta kepada semua pihak yang telah membantu. Semoga Allah membalas dengan kebaikan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kemajuan dunia pendidikan dan peternakan. Penulis berharap Allah meridhai langkah dan usaha kita dalam memajukan usaha petrnak-peternak kambing perah untuk menghasilkan susu kambing yang terjamin keamanan pangannya. Amin. Bogor, Juli 2010 Penulis DAFTAR PUSTAKA Anon. 1998. Surveillance of the microbiological status of raw cows milk on retail sale. Microbiological Food Safety Surveillance. Departement of Health, London. Attaie, R and R. L. Richter. 2000. Size distribution of fat globules in goat milk. J.Dairy Sci. 83:940-944. Badan Standardisasi Nasional Indonesia. 1995. SNI 01-3951-1995. Susu Pasteurisasi. Badan Standardisasi Nasional Indonesia, Jakarta. Badan Standardisasi Nasional Indonesia. 1998. SNI 01-2782-1998. Metoda Pengujian Susu Segar. Badan Standardisasi Nasional Indonesia, Jakarta. Badan Standardisasi Nasional Indonesia. 1998. SNI 01-3141- 1998. Susu segar. Badan Standardisasi Nasional Indonesia, Jakarta.. Badan Standardisasi Nasional Indonesia. 2000. No. 01-6366-2000. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimal Residu dalam Bahan Pangan Asal Hewan. Badan Standardisasi Nasional Indonesia, Jakarta. Barbosa-Cánovas, G. V., M. M. Góngora-Nieto, U. R. Pothakamury, and B. G. Swanson. 1999. Preservation of Food with Pulsed Electric Field. Academic Press, United States of America. BBC News. 2002. Salmonella armoury exposed. http://news.bbc.co.uk [5 Januari 2010] Bell, C and Kyiakides A. 2002. Salmonella: A Practical Approach to The Organism and its Control in Foods, Blackwell Science Ltd, Oxford. Blackburn, C. W and P. J. McClure. 2003. Foodborne Pathogens. Woodhead Publishing Limited, England. Castro, A. J., G. V. Barbosa-Cánovas and B. G. Swanson. 1993. Microbial inactivation of foods by pulsed electric fields. J. Food Process Pres. 17:47-73. Chandan, R.C. 2007. Milk composition, physical and processing characteristics. In: YH Hui, R. C Chandan, S. Clak, N. Cross and J. Dobbs(Eds). Handbook of Food Product Manufacturing. John Wiley and Interscience Publisher, New York. Chandan, R. C., A. Kilara & N. P. Shah. 2008. Dairy Processing and Quality Assurance. Wiley-Blackwell, New Delhi. Chevreul, M. E. 2010. Fats and Oils. Fatty Acid. Cyberlipid Center. http://www.cyberlipid.org/fa/acid0001.htm [5 Januari 2010] Damianus, L. E. S. 2008. Salmonella Typhimurium, Sang jawara penginfeksi dari Genus Salmonella. www. mikrobia.files.wordpress.com/2008/05/SalmonellaTyphimurium1.pdf [2 Januari 2010] Devendra, C dan M. Burns. 1994. Produksi Kambing Di Daerah Tropik. Terjemahan: I. D. K. Harya Putra. Penerbit Institut Teknologi Bandung, Bandung. Dunn, J. E., La Costa R, Pearlman and J. S, inventors. 1987. Methods and apparatus for extending the shelf life of fluid food products. Maxwell Laboratories, Inc.,. United States. Early, R. 1998. The Technology of Dairy Products. 2nd Ed. Blackie Academic and Professional. London-Weinheim-New York-Tokyo-Melbourne-Madras. Fardiaz, S. 1989. Petunjuk Praktek Laboratorium Analisis Mikrobiologi Pangan. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Fernandez-Molina, J. J., Barkstrom, E., Torstensson, P., Barbosa-Cánovas, G. V. and Swanson, B. G. 1999. Shelf-life extension of raw skim milk by combining heat and pulsed electric fields. Food Res Int. 22:149-162. Food Drug Administration. 2003. Handbook of Foodborne. Pathogen. Marcel Dekker Inc, New York. Fox, P. F. 2003. Milk. In: H. Roginski, J. W. Fuquay, P. F. Fox (Eds) Encyclopedia of Dairy Sciences. Academic Press, New York. Gupta, R. P., and Murray, W. 1988. Pulsed high electric field srerilization.IEEE Pulsed Power Conference Record, pp. 58-64. Jay, M. James., Martin J. L., an& David A. G. 2005. 7th Edition. Modern Food Microbiology. Springer, New York. Jayarao, B. M., Donaldson, S. C, Straley, B. A, Sawant, A. A, Hegde, N. V, and Brown, J. L. 2006. A survey of food borne pathogens in bulk tank milk and raw milk consumption among farm families in Pennsylvania. J. Dairy Sci. 89:2451-2458. Labbe, R. G and S. Garcia. 2001. Guide to Foodborne Pathogen. John Wiley and Sons, New York. Muchtadi, T.R. dan Sugiono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Mysore, P. 2009. Pulsed Electric Field-Application In Foods. Food Technologist, Deputy Director(Rtd), Former Chairman, Technology Application Division, 47 CFTRI and currently Chairman, Diversified Food Technologies India. http://vhpotty.blogspot.com [5 Januari 2010] Oxoid. 2009. Salmonella Shigella Agar. http://www.oxoid.com [5 Januari 2010] Cambridge, United Kingdom. Ramaswamy, R., T. Jin., V. M. Balasubramaniam and H. Zhang. 2009. Pulsed Eelectric Processing. Fact Sheet for Food Processors. Departement of Food Science and Technology. The Ohio State University. Raso, J., I, Alvarez., S. Condon., and F. J. Sala. 2000. Predicting inactivation of Salmonella senftenberg by pulsed electric field. Innovative Food Science and Emerging Technology 1:21-29. Sale, A. J. H., and W. A. Hamilton. 1968. Effects of high electric field on microorganisms. III. Lysis of erythrocites and protoplast. Biochim. Biophys. Acta. 163:37-43. Shiddieqy, M. I. 2009. Bakteri menyebabkan keracunan susu. http://www.pikiranrakyat.com [8 Mei 2009] Sobrino-López, A., R. Raybaudi-Maissilia and O. Martin-Belloso. 2006. High intensity pulsed electric field variables affecting Staphylococcus aureus inoculated in milk. J. Dairy Sci. 89:3739-3748. Steel, R. G. D. and J. H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan: B. Sumantri, Jakarta. Stefani, I. A. R. 2009. Kajian Awal Penerapan Medan Pulsa Listrik Tegangan Tinggi (High Pulsed Electric Field) untuk Inaktivasi Mikroorganisme pada Produk Susu Sapi Segar. Skripsi. Fakultas Teknik Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Stewart, C. M., M. B. Cole, and D. W. Schaffner. 2003. Managing the risk of Staphylococcal food poisoning from cream-filled baked goods to meet a food safety objective. J. Food Prot. 66 (7): 1310-1325. Suriawiria, U. 2005. Mikrobiologi Dasar. Penerbit Papas Sinar Sinanti, Jakarta. Taufik, E., T. I. Wirjantoro, K. Kreausukon and G. Hildebrandt. 2008. Microbiological investigation of raw goat milk from commercial dairy goat farms in Bogor, Indonesia. OIE Joint Symposium on Emerging Diseases. Bangkok, Thailand. Thai Agricultural Standards. 2008. Gazzette Magaine. Section E. Todar, K. 2009. Salmonella and Salmonellosis. University of Wisconsin-Madison http://textbookofbacteriology.net [5 Januari 2010] 48 United States of Food and Drug Administration. 1999. Bad Bug Book: Foodborne Pathogenic Microorganism and Natural Toxic Handbook. http://vw.cfsan.fda.gov/mow/intro.html [8 Mei 2009] Vega-Mercado, H., Pothakamury, U. R., Chang, F. J., Zhang, Barbosa-Canovas, G. V., and Swanson, B. G. 1996. Inactivation of E. coli by combining pH, ionic strength and pulsed electric hurdles. Food Rest. Int. 29(2): 117-121. Zhang, Barbosa-Canovas, G. V., and Swanson, B. G. 1995. Engineering aspects of pulsed electric field pasteurization. J. Food Eng. 25:261-281. 49 LAMPIRAN Lampiran 1. Sidik Ragam Pengaruh Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi HPEF terhadap Populasi S. Typhimurium Sumber Keragaman frekuensi Derajat Bebas 3 Jumlah Kuadrat 0,00324 Kuadrat Tengah 0,00108 6,00 0,0013 6 0,01046 0,00174 9,69 0,0000 frekuensi*waktu 18 0,00871 0,00048 2,69 0,0024 galat 56 0,01007 0,00018 total 83 0,03247 waktu F P Lampiran 2. Uji Tukey Pengaruh Frekuensi terhadap Populasi S. Typhimurium Frekuensi (Hz) 0 10 15 20 Rataan 0,8053 0,7964 0,7958 0,7878 Grup Kehomogenan A AB AB B Lampiran 3. Uji Tukey Pengaruh Waktu terhadap Populasi S. Typhimurium Waktu (menit) 0 30 60 90 120 150 180 Rataan 0,8070 0,7996 0,7898 0,7863 0,7785 0,8006 0,8127 Grup Kehomogenan AB ABC BCD CD D ABC A 51 Lampiran 4. Uji Tukey Pengaruh Interaksi antara Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi HPEF terhadap Populasi S. Typhimurium Frekuensi (Hz) Waktu (menit) Rataan Grup kehomogenan 0 0 0,8118 AB 0 30 0,7968 BC 0 60 0,7814 BC 0 90 0,7856 BC 0 120 0,7961 BC 0 150 0,8132 AB 0 180 0,8525 A 10 0 0,8013 BC 10 30 0,7988 BC 10 60 0,7984 BC 10 90 0,7870 BC 10 120 0,7877 BC 10 150 0,7956 BC 10 180 0,8021 BC 15 0 0,8068 ABC 15 30 0,7970 BC 15 60 0,7912 BC 15 90 0,7866 BC 15 120 0,7629 C 15 150 0,7845 BC 15 180 0,7855 BC 20 0 0,8082 ABC 20 30 0,8059 ABC 20 60 0,7881 BC 20 90 0,7860 BC 20 120 0,7674 BC 20 150 0,8091 ABC 20 180 0,8104 ABC 52 Lampiran 5. Sidik Ragam Pengaruh Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi HPEF terhadap Suhu Susu Sumber Keragaman frekuensi Derajat Bebas 3 Jumlah Kuadrat 20,7127 Kuadrat Tengah 6,90425 22,14 0,0000 6 7,8981 1,31635 4,22 0,0014 frekuensi*waktu 18 5,8181 0,32323 1,04 0,4366 galat 56 17,4600 0,31179 total 83 51,8889 waktu F P Lampiran 6. Uji Tukey Pengaruh Frekuensi terhadap Suhu Susu Kambing Frekuensi (Hz) 0 Rataan Grup Kehomogenan 27,82 A 10 28,24 A 15 29,07 B 20 28,86 B Lampiran 7. Uji Tukey Pengaruh Waktu terhadap Suhu Susu Kambing Frekuensi (Hz) 0 Rataan Grup Kehomogenan 28,08 B 30 28,13 B 60 28,31 AB 90 28,58 AB 120 28,96 A 150 28,75 AB 190 28,67 AB 53 Lampiran 8. Sidik Ragam Pengaruh Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi HPEF terhadap Kadar Lemak Sumber Keragaman frekuensi Derajat Bebas 2 Jumlah Kuadrat 0,050414 Kuadrat Tengah 0,025207 6 0,063604 frekuensi*waktu 12 galat total waktu F P 9,78 0,000 0,010601 4,11 0,002 0,110542 0,009212 3,57 0,001 42 0,108250 0,002577 62 0,332810 Lampiran 9. Uji Tukey Pengaruh Interaksi antara Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi HPEF terhadap Kadar Lemak Frekuensi (Hz) Waktu (menit) Rataan Grup kehomogenan 10 0 6,0933 c 10 30 6,2133 abc 10 60 6,1900 abc 10 90 6,2033 abc 10 120 6,1767 abc 10 150 6,2000 abc 10 180 6,2370 abc 15 0 6,2400 abc 15 30 6,3067 a 15 60 6,3067 a 15 90 6,2267 abc 15 120 6,1800 abc 15 150 6,1467 bc 15 180 6,1100 c 20 0 6,3133 a 20 30 6,3067 a 20 60 6,2833 ab 20 90 6,2200 abc 20 120 6,2300 abc 20 150 6,2133 abc 20 180 6,2300 abc 54 Lampiran 10. Sidik Ragam Pengaruh Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi HPEF terhadap BKTL Sumber Derajat Jumlah Kuadrat Keragaman Bebas Kuadrat Tengah F P frekuensi 2 0,334581 0,167290 54,89 0,0000 waktu 6 0,091860 0,015310 5,02 0,001 frekuensi*waktu 12 0,133330 0,011111 3,65 0,001 galat 42 0,128000 0,003048 total 62 0,687771 Lampiran 11. Uji Tukey Pengaruh Interaksi antara Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi HPEF terhadap Kadar BKTL Frekuensi (Hz) Waktu (menit) Rataan Grup kehomogenan 10 0 9,6567 ab 10 30 9,6933 a 10 60 9,6433 ab 10 90 9,5833 abcd 10 120 9,5800 abcd 10 150 9,6167 abc 10 180 9,6367 ab 15 0 9,6167 abc 15 30 9,5567 abcd 15 60 9,5200 bcde 15 90 9,4500 cdef 15 120 9,4133 def 15 150 9,3667 ef 15 180 9,3400 f 20 0 9,5867 abc 20 30 9,6067 abc 20 60 9,2670 ab 20 90 9,5800 abcd 20 120 9,6133 abc 20 150 9,6133 abc 20 180 9,6400 ab 55 Lampiran 12. Sidik Ragam Pengaruh Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi HPEF terhadap BJ Sumber Derajat Jumlah Kuadrat Keragaman Bebas Kuadrat Tengah F P frekuensi 2 0,0000050 0,0000025 39,00 0,000 waktu 6 0,0000032 0,0000005 8,42 0,000 frekuensi*waktu 12 0,0000026 0,0000002 3,42 0,002 galat 42 0,0000027 0,0000001 total 62 0,0000134 Lampiran 13. Uji Tukey Pengaruh Interaksi antara Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi HPEF terhadap Kadar Berat Jenis Frekuensi (Hz) Waktu (menit) Rataan Grup kehomogenan 10 0 1,0317 a 10 30 1,0313 ab 10 60 1,0313 ab 10 90 1,0310 ab 10 120 1,0310 ab 10 150 1,0310 ab 10 180 1,0310 ab 15 0 1,0310 ab 15 30 1,0310 ab 15 60 1,0310 ab 15 90 1,0307 bc 15 120 1,0300 c 15 150 1,0300 c 15 180 1,0300 c 20 0 1,0310 ab 20 30 1,0310 ab 20 60 1,0310 ab 20 90 1,0310 ab 20 120 1,0310 ab 20 150 1,0310 ab 20 180 1,0310 ab 56 Lampiran 14. Sidik Ragam Pengaruh Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi HPEF terhadap Protein Sumber Keragaman frekuensi Derajat Bebas 2 Jumlah Kuadrat 0,0861937 Kuadrat Tengah 0,0430968 F P 43,37 0,0000 6 0,0286413 0,0047735 4,80 0,001 frekuensi*waktu 12 0,0367397 0,0030616 3,08 0,003 galat 42 0,0417333 0,0009937 total 62 0,1933079 waktu Lampiran 15. Uji Tukey Pengaruh Interaksi antara Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi HPEF terhadap Kadar Protein Frekuensi (Hz) Waktu (menit) Rataan Grup kehomogenan 10 0 5,2500 ab 10 30 5,2800 a 10 60 5,2567 a 10 90 5,2233 abc 10 120 5,2200 abc 10 150 5,2367 ab 10 180 5,2467 ab 15 0 5,2400 ab 15 30 5,2167 abc 15 60 5,1967 abcd 15 90 5,1567 bcde 15 120 5,1333 cde 15 150 5,1100 de 15 180 5,0933 e 20 0 5,2333 ab 20 30 5,2400 ab 20 60 5,2500 ab 20 90 5,2200 abc 20 120 5,2400 ab 20 150 5,2400 ab 20 180 5,2533 ab 57 Lampiran 16. Sidik Ragam Pengaruh Frekuensi dan Lama Waktu Aplikasi HPEF terhadap Laktosa Sumber Keragaman frekuensi Derajat Bebas Kuadrat Tengah 0,036100 F P 2 Jumlah Kuadrat 0,072200 21,50 0,000 6 0,011854 0,001976 1,18 0,337 frekuensi*waktu 12 0,029556 0,002463 1,47 0,176 galat 42 0,070533 0,001679 total 62 0,184143 waktu Lampiran 17. Uji Tukey Pengaruh Frekuensi terhadap Kadar Laktosa Frekuensi (Hz) Grup Kehomogenan Rataan 10 3,4886 a 15 3,4071 b 20 3,4614 a Lampiran 18. Alat Penelitian Oscilloscope Rangkaian HPEF multimeter thermocouple treatment chamber 58 Lampiran 19. Hasil Pemupukan S. Typhimurium pada Frekuensi 15Hz Lampiran 20. Hasil Pemupukan S. Typhimurium pada Proses Pasteurisasi LTLT 59 Lampiran 21. Penghitungan Kebutuhan Daya dan Biaya Listrik W= E 2vτ / ρ Biaya listrik = W (kW) x 800 Keterangan: W= Daya listrik (watt) E = kuat medan listrik (volt/cm) v = volume media (liter) τ = lebar pulsa (s) ρ = tahanan media (ohm/cm) kW= kilo watt 1 kwh = Rp 800,.Frekuensi 10Hz E = 31670 volt/cm v = 0,03 liter τ = 0,255 s ρ = 220 ohm/cm Frekuensi 15Hz E = 31670 volt/cm v = 0,03 liter τ = 0,215 s ρ = 220 ohm/cm Frekuensi 20Hz E = 31670 volt/cm v = 0,03 liter τ = 0,25 s ρ = 220 ohm/cm 60