UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSA JANTUNG KORONER DI SALAH SATU RUMAH SAKIT JAKARTA UTARA SKRIPSI ANNISSA FADILLA MARTHA 1112102000021 FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA OKTOBER 2016 UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSA JANTUNG KORONER DI SALAH SATU RUMAH SAKIT JAKARTA UTARA SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi ANNISSA FADILLA MARTHA 1112102000021 FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA OKTOBER 2016 ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar. Nama : Annissa Fadilla Martha NIM : 1112102000021 Tanda Tangan : Tanggal : 10 Oktober 2016 iii iv v ABSTRAK Nama : Annissa Fadilla Martha NIM : 1112102000021 Program Studi : Farmasi Judul Skripsi : Evaluasi Drug Related Problem pada Pasien dengan Diagnosa Penyakit Jantung Koroner di Salah Satu Rumah Sakit Jakarta Utara Penyakit jantung koroner (PJK) atau penyakit kardiovaskular saat ini adalah penyebab mortalitas tertinggi di dunia, dimana dilaporkan sebanyak 30% dari mortalitas global. Pada tahun 2010, penyakit kardiovaskular tercatat telah membunuh 18 juta orang, 80% terdapat di negara berkembang seperti Indonesia. Beberapa penelitian melaporkan bahwa Drug Related Problems (DRPs) yang terjadi pada pasien dengan penyakit kardiovaskular disebabkan karena pemakaian obat yang cukup banyak atau yang disebut polifarmasi. Drug Related Problems (DRPs) merupakan suatu kejadian atau masalah yang tidak diinginkan terkait terapi obat pasien yang berpengaruh pada outcome yang diharapkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah kejadian DRPs yang meliputi ketidaktepatan dosis yaitu dosis kurang dan dosis lebih, indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, potensial interaksi serta ketidaktepatan pemilihan obat pada terapi pengobatan pasien dengan diagnosa penyakit jantung koroner di instalasi rawat inap salah satu Rumah Sakit Jakarta Utara. Penelitian ini bersifat retrospektif dimana data diperoleh melalui data sekunder berupa rekam medis pasien periode Januari-Mei 2016 dengan desain penelitian cross-sectional. Teknik pengambilan data berupa total sampling, didapatkan 45 sampel yang sesuai kriteria inklusi. Hasil penelitian Drug Related problems (DRPs) yang terjadi adalah potensial interaksi obat sebesar 81,02%, dosis obat kurang dari dosis terapi (underdose) sebesar 14,42%, dosis obat melebihi dosis terapi (overdose) sebesar 3,98%, obat tanpa indikasi sebesar 0,56% dan tidak ditemukannya kategori indikasi tanpa obat dan ketidaktepatan pemilihan obat. Hal ini menunjukkan bahwa pentingnya peran apoteker dalam melakukan pemantauan terapi obat pada pasien untuk meminimalisir terjadinya DRPs. Kata kunci : Drug Related Problems, DRPs Jantung Koroner, Interaksi obat, Penyakit Jantung Koroner. vi ABSTRACT Name : Annissa Fadilla Martha NIM : 1112102000021 Program Study : Pharmacy Tittle : Evaluation of Drug Related Problem in patients with Coronary Artery Disease at one hospital north Jakarta. Nowadays, coronary artery disease or cardiovascular disease causing the highest mortality in the world, it is reported that there are 30 percent cases from global mortality. In 2010, cardiovascular disease was recorded killed 18 million people, and 80 percent of it happened in developing countries like Indonesia. Some studies reported that Drug Related Problems (DRPs) occurs in patients who suffer cardiovascular diseases due to the overusing of drugs or it is usually called polypharmacist. Drug Related Problems (DRPs) are events or unwanted problems related to the patient’s drug therapy which affects the desired outcome. The purpose of this research is to know the total incidence number of DRPs categories, wich the under dose, high dose, drug without indication, indication without drug, potential drug interaction and inaccuracy of drugs selecting in medical therapy of patients with coronary artery disease in installation inpatient at one hospital north Jakarta. This study is a retrospective where the data was obtained through secondary data from medical records of patients in the periodic from January to May 2016 with a cross-sectional study design. Data collection techniques using total sampling, obtained 45 samples of corresponding study inclusion criteria. The result of Drug Related Problems (DRPs) there are 81,02% of potential drug interactions, 14,42% of the dose of drug less than the therapy (underdose), 3,98% of drug dose exceeds the therapeutical dose (overdose), 0,56% of drug without an indication and there is not finding category indication without drugs and inaccuracy of drugs selecting. Therefore, the role of the pharmacist is important for monitoring patient drug therapy to minimize the occurrence of DRPs. Keywords : Coronary Artery Disease, Drug Related Problems, Drug interactions, DRPs Coronary artery Disease. vii KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan anugerah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Evaluasi Drug Related Problem pada Pasien dengan Diagnosa Penyakit Jantung Koroner di Salah Satu Rumah Sakit Jakarta Utara” Shalawat beriring salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana farmasi di Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, penyusunan skripsi ini akan dirasa lebih sulit. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Kedua orangtua, Ayahanda Tarmizi syahrie dan Ibunda Sumarni yang tiada henti memberikan dukungan dan bantuan materil dan non materil. Memberikan motivasi, semangat, dan do’a kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, juga kepada kakak Dicky Erlangga Martha, Intan Prayitno, Bayu Prasetyo Martha, Febri Handayani serta adik tercinta Hasna Dzakiyah Martha yang secara tidak langsung membantu dalam penulisan skripsi ini. 2. Ibu Nelly Suryani Ph.D, Msi., Apt. selaku pembimbing pertama dan Bapak Yardi Ph.D., Apt. selaku pembimbing kedua, yang senantiasa memberi arahan, dukungan, semangat, saran, dan solusi dalam proses penelitian dan penyelesaian skripsi ini. Semoga segala bantuan dan bimbingan beliau mendapat imbalan yang setimpal di sisi-Nya. 3. Ibu Vidya Arlaini Anwar, S.si.,Apt, beserta seluruh pihak karyawan ruang administrasi medik dan farmasi yang telah banyak membantu dalam pengambilan data. viii 4. Dr. Delina Hasan, M.Kes., Apt. dan Bapak Dr.Yanis Musdja, M.Si., Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan sumbangan pikiran, saran, dan masukan kepada penulis. 5. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M. Kes, selaku Dekan Fakultas Kedoktern dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt. selaku Ketua Program Studi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 7. Ibu/Bapak Dosen dan Staf Akademika Program Studi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada penulis. 8. Keluarga tersayang, Buyah Hatta, Umi Wiliani, Wakibu Nurmaili, Pakde Soeryadi, Paksu Hairul dan Made Berthalina serta keluarga besar yang berada di jakarta atas dukungan, masukan dan semangat yang telah diberikan selama ini. 9. Sepupu tersayang, Uni Ririn, Kak Sally, Bella, dan Tasya yang senantiasa mendengarkan keluh kesah serta memberikan dukungan tiada henti selama ini. 10. Sahabat Cera Alba (Endang, Risha, Icak, Zakiyah, Nisa Utami, Moethia, Laila, Putri, Azmi, dan Dian ) yang tak henti memberikan semangat, menemani penulis selama proses perkuliahan, memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 11. Teman yang senantiasa menemani penulis serta selalu memberikan semangat selama penelitian dan penyusunan skripsi ini Gadis Pujiastuti 12. Kak Randika dan kak Prima serta teman seperjuangan di BEM FKIK 2013 yang telah membantu dalam menyelesaikan hasil serta memberikan motivasi, berbagi ilmu dan pendapat. 13. Adik-adik KESOR DEMA FKIK 2014/2015 Lidza, Fariz dan Pages yang senantiasa meluangkan waktu untuk menghibur dan selalu memberikan motivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. 14. Teman-teman Kosan Almuna Dian Mutia, Hana, Nusa, Icak, Kresna, Hafni, Fefi, Azizah, dan Teh Putri yang senantiasa menemani penulis, berbagi cerita, memberikan dukungan serta motivasi kepada penulis. ix 15. Seluruh sahabat dan teman seperjuangan Program Studi Farmasi angkatan 2012 yang telah memberikan dukungan dan semangat. 16. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut membantu menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran, kritik, dan masukan sangat diharapkan demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat memberi sumbangan bagi para pembacanya. Jakarta, Oktober 2016 x DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .................................................................................... ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ...................................... iii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... iv HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... v ABSTRAK ................................................................................................... vi ABSTRACT ................................................................................................ vii KATA PENGANTAR ................................................................................. ix DAFTAR ISI ............................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xiv DAFTAR TABEL ...................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xvi BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 4 1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 4 1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................... 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 6 2.1.Drug Related Problem (DRPs) ................................................................. 6 2.1.1.klasifikasi Drug Related Problem (DRPs) ...................................... 7 2.2 Anatomi dan fisiologi jantung ............................................................... 10 2.2.1. Anatomi jantung .......................................................................... 10 2.2.2.Struktur jantung............................................................................. 11 2.2.3. Fisiologi jantung .......................................................................... 13 2.2.4. Sirkulasi koroner .......................................................................... 13 2.2.5.Histologi pembuluh darah ............................................................. 14 2.3. Jantung koroner ..................................................................................... 16 2.3.1. Pengertian jantung koroner ......................................................... 16 2.3.2. Etiologi penyakit jantung koroner ................................................ 16 2.3.3. Klasifikasi PJK ............................................................................. 17 2.3.4. Penyebab jantung koroner ............................................................ 18 xi 2.3.5. Gejala penyakit jantung koroner .................................................. 18 2.3.6. Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan PJK ...................... 19 2.3.7. Faktor resiko jantung koroner ...................................................... 20 2.3.8. Patologi penyakit jantung koroner ............................................... 22 2.3.9. Manifestasi klinis penyakit jantung koroner ................................ 23 2.3.10. Penatalaksanaan ......................................................................... 26 2.4. Peran farmasi pada penyakit jantung koroner ...................................... 39 2.4.1 Rencana asuhan kefarmasian ........................................................ 40 2.4.2. Sebelum ke rumah sakit ..................................................................... 41 2.4.3. Di rumah sakit .................................................................................... 41 2.4.3.1. IGD/UGD ................................................................................. 41 2.4.3.2. Rawat inap, ICCU/CVC ........................................................... 41 2.5. Rumah sakit........................................................................................... 42 2.5.1. Tugas dan fungsi rumah sakit ..................................................... 43 2.5.2. Jenis dan klasifikasi rumah sakit................................................. 43 2.5.2.1. Jenis rumah sakit secara umum ...................................... 43 2.5.22. Klasifikasi rumah sakit umum ......................................... 44 2.6. Rekam Medis ........................................................................................ 45 2.7 Profil Rumah Sakit “X” ......................................................................... 45 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN .................................................. 47 3.1 Tempat dan waktu Penelitian ................................................................ 47 3.1.1.Tempat penelitian ......................................................................... 47 3.1.2. Waktu penelitian .......................................................................... 47 3.2 Desain Penelitian .................................................................................... 47 3.3 Kerangka konsep ................................................................................... 48 3.4. Populasi dan sampel penelitian ............................................................. 48 3.4.1. Populasi ........................................................................................ 48 3.4.2. Sampel .......................................................................................... 48 3.5.Definisi operasional ............................................................................... 50 3.6. Alur penelitian ....................................................................................... 55 3.6.1. Persiapan (permohonan izin penelitian)...................................... 55 3.6.2. Pelaksanaan pengumpulan data .................................................. 55 xii 3.6.3. Manajemen data .......................................................................... 56 3.6.4. Pengelohan data .......................................................................... 56 3.6.5. Rencana analisis data .................................................................. 57 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................... 58 4.1 Hasil Penelitian ..................................................................................... 58 4.1.1. Karakteristik Pasien .................................................................... 58 4.1.2. Profil Penggunaan Obat .............................................................. 60 4.1.2.1. Profil Penggunaan Obat Injeksi ...................................... 60 4.1.2.2. Profil Penggunaan Obat Oral .......................................... 61 4.1.2.3. Jumlah Penggunaan Obat ............................................... 62 4.1.3. Drug Related Problems (DRPs) .................................................. 62 4.1.4. Tingkat Keparahan Interaksi Obat .............................................. 63 4.2 Pembahasan ............................................................................................ 65 4.2.1. Karakteristik Pasien .................................................................... 65 4.2.2. Profil Penggunaan Obat Pada Pasien PJK .................................. 66 4.2.2.1 Jumlah Penggunaan Obat Pada Pasien PJK .................... 68 4.2.3. Drug Related Problems (DRPs).................................................. 69 4.2.3.1 DRPs Indikasi Tanpa Obat .............................................. 70 4.2.3.2 DRPs Ketidaktepatan Pemilihan Obat ............................. 71 4.2.3.3 DRPs Obat Tanpa Indikasi .............................................. 71 4.2.3.4 DRPs Dosis Obat Melebihi Dosis Terapi ........................ 73 4.2.3.5 DRPs Dosis Obat Kurang Dari Dosis Terapi .................. 74 4.2.3.6 DRPs Interaksi Obat ........................................................ 74 4.3 Keterbatasan Penelitian .......................................................................... 76 4.3.1 Kendala ........................................................................................ 76 4.3.2 Kelemahan ................................................................................... 77 4.4 Kekuatan Penelitian ............................................................................... 77 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 78 5.1 Kesimpulan ............................................................................................ 78 5.2 Saran ....................................................................................................... 78 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 79 xiii DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Kedudukan jantung ................................................................. 11 Gamabr 2.2 Belahan jantung bagian dalam ................................................. 12 Gambar 2.3 Arteri dan vena koroner dibagian anterior .............................. 14 Gambar 2.4 Algoritma evaluasi awal pasien dengan gejala angina ............. 26 Gambar 2.5 Jalur iskemia akut pada pasien PJK dan terapi ........................ 27 Gambar 2.6 Algoritma manajemen obat untuk angina stabil PJK ............... 28 Gambar 3.1 Bagan kerangka konsep ........................................................... 47 xiv DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Klasifikasi rekomendasi tatalaksana sindrom koroner akut ....... 29 Tabel 2.2 Jenis dan dosis beta inhibitor untuk IMA .................................... 30 Tabel 2.3 Jenis dan dosis nitrat untuk terapi IMA ....................................... 31 Tabel 2.4 Jenis dan dosis penghambat kanal untuk terapi IMA ................. 33 Tabel 2.5 Jenis dan dosis antiplatelet untuk terapi IMA .............................. 35 Tabel 2.6 Jenis dan dosis antikoagulan untuk terapi IMA ........................... 36 Tabel 2.7 Jenis dan dosis ACE inhibitor untuk terapi IMA ......................... 38 Tabel 2.8 Empat prinsip dasar tujuan dari pharmacetical care .................. 40 Tabel 3.1 Definisi operasional variabel dalam penelitian ........................... 49 Tabel 4.1 Distribusi pasien berdasarkan karakteristik ................................ 57 Tabel 4.2 Distribusi penyakit penyerta pada pasien PJK ............................ 58 Tabel 4.3 Presentase distribusi penggunaan obat injeksi ............................ 59 Tabel 4.4 Presentase distribusi penggunaan obat oral ................................ 60 Tabel 4.5 Presentase distribusi jumlah penggunaan obat............................. 61 Tabel 4.6 Data distribusi pasien yang mengalami DRP ............................... 62 Tabel 4.7 Data distribusi potensial tingkat keparahan interaksi .................. 63 Tabel 4.8 Data obat-obatan yang mengalami interaksi ................................ 64 xv DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Surat Permohonan Data dari UIN .......................................... 83 Lampiran 2 Contoh Rekapitulasi 5 Data Sampel Penelitian ....................... 84 Lampiran 3 Hasil Rekapitulasi Obat yang Mengalami DRPs ..................... 93 Lampiran 4 Hasil Rekapitulasi Obat yang Mengalami DRPs .................... 110 Lampiran 5 Interaksi Obat yang Paling Banyak Terjadi ............................ 112 Lampiran 6 Alur Kerja ............................................................................... 116 Lampiran 7 Hasil Coding Data dan interaksi ............................................. 119 xvi DAFTAR ISTILAH ACS : Acute Coronary Sindrom ADR : Adverse Drug Reactions CAD : Coronary Artery Disease CHF : Congestive Heart Failure CKD : Chronic Kidney Disease DM : Diabetes Melitus DRPs : Drug Related Problems EKG : Elektrokardiogram GDP : Gula Darah Puasa GDS : Gula Darah Sewaktu GERD : Gastro Esophageal Reflux Disease HDL : High Density Lipoprotein IM : Infark Miokard PJK : Penyakit Jantung Koroner xvii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penyakit jantung koroner adalah gangguan fungsi jantung akibat otot jantung kekurangan darah karena adanya penyempitan pembuluh darah koroner. Secara klinis, ditandai dengan nyeri dada, terasa tidak nyaman di dada atau dada terasa seperti tertekan sesuatu yang berat ketika sedang mendaki maupun melakukan kerja berat serta ketika terburu-buru pada saat berjalan di jalan datar atau berjalan jauh. Didefinisikan sebagai penyakit jantung koroner jika pernah didiagnosis menderita penyakit jantung koroner / sindrom koroner akut (seperti angina pectoris dan atau infark miokard) oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita penyakit jantung koroner / sindrom koroner akut tetapi pernah mengalami gejala atau riwayat nyeri serta rasa tidak nyaman di dada bagian tengah, dada kiri depan, dan rasa nyeri menjalar ke lengan kiri, namun nyeri di dada tersebut hilang ketika menghentikan aktifitas (istirahat) (Riskesdas, 2013). Penyakit Jantung Koroner (PJK) atau penyakit kardiovaskular saat ini adalah penyebab mortalitas tertinggi di dunia, dimana dilaporkan sebanyak 30% dari mortalitas global. Pada tahun 2010, penyakit kardiovaskular telah membunuh 18 juta orang. Sebanyak 80% terdapat di negara berkembang seperti Indonesia (Raharjoe, 2011) . Data prevalensi jantung koroner berdasarkan wawancara terdiagnosis dokter tanpa menunjukkan gejala yang menempati urutan tertinggi yaitu Provinsi Sulawesi Tengah (0,8%), kemudian diikuti Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan Aceh masing-masing 0,7%. Sementara prevalensi jantung koroner menurut diagnosis dengan gejala tertinggi di Nusa Tenggara Timur (4,4%), diikuti Sulawesi Tengah (3,8%), Sulawesi Selatan (2,9%) dan Sulawesi Barat (2,6%) (Riskesdas, 2013). Penyakit jantung koroner (PJK) yang terdiagnosis dokter tanpa menunjukkan gejala dan yang terdiagnosis dengan gejala menunjukkan bahwa semakin bertambahnya umur semakin meningkat prevalensi kejadian penyakit jantung koroner. Yang tertinggi pada kelompok umur 65-74 tahun yaitu 2,0% dan 36%. Prevalensi penyakit jantung koroner yang terdiagnosa dokter tanpa menunjukkan 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2 gejala maupun yang terdiagnosis dengan gejala lebih tinggi ditemukan pada jenis kelamin perempuan yaitu sebesar (0,5% dan 1,5%). Prevalensi penyakit jantung koroner lebih tinggi ditemukan pada masyarakat tidak bersekolah dan tidak berkerja. Selain itu penyakit jantung koroner yang terdiagnosis tanpa menunjukkan gejala prevalensi lebih tinggi terjadi di perkotaan, dibandingkan dengan penyakit jantung koroner yang terdiagnosa dengan gejala lebih tinggi diperdesaan (Riskesdas,2013). Jantung koroner dapat disebabkan oleh beberapa faktor, beberapa diantaranya yaitu umur, jenis kelamin, obesitas, merokok, diabetes mellitus, hipertensi, dan dyslipidemia dan beberapa penyakit lain (Dipiro 7th). Pada pasien jantung koroner yang disebabkan oleh penyakit lain pasti akan menggunakan obat terapi yang cukup banyak untuk mengatasi gejala dari penyakit komplikasinya. Semakin banyak obat terapi yang digunakan (polifarmasi) pastinya akan menimbulkan potensi adanya drug related problem pada proses terapinya. Hasil penelitian Al-Amin et al (2012) dengan judul studi polifarmasi pada pasien kardiovaskular ditemukan pengobatan yang mendominasi mengalami polifarmasi adalah pengobatan jantung (48,04%), pengobatan saluran cerna (24,03%), dan pengobatan sistem saraf (18,1%). Christin (2013) juga menemukan adanya drug related problem pada pasien rawat inap yang mendapatkan obat dalam jumlah banyak (polifarmasi) dengan kategori DRPs yang ditemukan adalah indikasi tidak diterapi (47,16%), permasalahan terkait pemberian obat yang berlebihan dengan indikasi yang tidak jelas (20,21%), pemberian obat yang berlebihan untuk indikasi yang sama (10,28%). DRPs (Drug Related Problem) di definisikan sebagai suatu peristiwa yang tidak diinginkan atau risiko yang dialami oleh pasien, yang melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat (Strand et all.,1990). Terjadinya DRPs dapat mengurangi pencapaian terapi yang diharapkan timbul pada pasien. DRPs sebenarnya adalah peristiwa yang telah terjadi pada pasien, sedangkan potensial DRPs adalah suatu peristiwa yang kemungkinan besar akan terjadi jika apoteker tidak melakukan intervensi yang tepat untuk mengurangi DRPs tersebut (Nurhalimah,2012). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3 Menurut penelitian Rani (2013), ditemukan adanya DRPs pada pengobatan kardiovaskular dengan kategori interaksi obat (46,19%), obat dengan dosis tinggi (17,26%), obat dengan dosis rendah (10,41%), duplikasi obat (11,17%) dan DRPs yang tinggi ditemukan pada obat seperti antihipertensi, antiplatelet, antikoagulan, antihiperlipidemia dan obat antiulcers. Penelitian lain yang dilakukan oleh Hadiatussalamah (2013) pada pasien dengan diagnosa gagal jantung kongestif (CHF) didapatkan data Drug Related problems dengan kategori indikasi yang tidak diterapi sebanyak (13,56%), terapi tanpa indikasi sebanyak (45,76%), dosis terlalu tinggi sebanyak (1,70%), dan interaksi obat sebanyak (38,98%). Hasil penelitian Winda H.Furqani, dkk (2015) dengan judul penelitian permasalahan terkait obat pada penatalaksanaan penyakit ginjal kronis dengan penyulit penyakit jantung koroner di dapatkan hasil adanya DRPs dengan kategori ketidaktepatan pemilihan obat, adanya terapi obat yang tidak diperlukan (pemberian kalsium polistiren sulfonat), ketidaktepatan dosis (pada saat pemberian obat amoksisilin-kaptopril), dan resiko interaksi merugikan (kaptoprilfurosemid, kaptopril-isosorbid dinitrat, dan kaptopril-natrium bikarbonat). Menurut Permenkes RI No. 58 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit disebutkan bahwa pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mencegah, mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah terkait obat. Selain itu farmasi dituntut untuk merealisasikan perluasan paradigma pelayanan kefarmasian dari orientasi hanya kepada produk (drug oriented) menjadi oarientasi kepada pasien (patient oriented) dengan filosofi pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care). Pharmaceutical care ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien serta untuk menimalisir kesalahan dalam pemberian pengobatan atau drug related problem. Dari pemaparan diatas, menunjukan bahwa sangat penting untuk melakukan evaluasi Drug Related Problem (DPRs) pada pasien jantung koroner agar tercapai suatu keberhasilan terapi, sehingga nantinya dapat membantu meningkatkan kualitas layanan di Rumah Sakit. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4 1.2 Rumus Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan masalah menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini : 1. Jumlah pasien penyakit jantung koroner cukup tinggi 2. Banyaknya penyakit penyerta menyebabkan terjadinya pengobatan yang kompleks. 3. Pengobatan yang kompleks dapat menyebabkan terjadinya DRPs. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi DRPs pada pengobatan pasien jantung koroner yang mendapatkan terapi obat di instalasi rawat inap Rumah Sakit “X” Jakarta Utara periode Januasi-Mei 2016 ditinjau dari : 1. Indikasi tanpa obat 2. Obat tanpa indikasi 3. Ketidaktepatan pemilihan obat 4. dosis terlalu rendah (under dosage) 5. dosis terlalu tinggi (over dosage) 6. Interaksi obat. 1.3.2 Tujuan khusus a. Mengetahui profil penggunaan obat yang digunakan oleh pasien dengan diagnosa PJK. b. Mengetahui presentase kejadian DRPs pada pengobatan pasien dengan diagnosa PJK yang mendapatkan terapi obat. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 5 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan, bagaimana cara mengevaluasi DRPs pada pasien penyakit jantung koroner di Rumah Sakit “X” Jakarta Utara. 1.4.2 Metodologi Metode dalam penelitian ini nantinya dapat digunakan untuk mengevaluasi DRPs dengan kategori indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, ketidaktepatan pemilihan obat, ketidaktepatan penyesuaian dosis (dosis terlalu tingi dan dosis terlalu rendah), dan interaksi obat pada pasien dengan diagnosa penyakit jantung koroner. 1.4.3 Aplikatif Secara aplikatif hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan suatu bahan pertimbangan ataupun informasi bagi dokter, apoteker dan tenaga kesehatan lainnya dalam pemberian obat yang tepat sesuai dengan diagnosa, dosis obat yang tepat dengan pertimbangan kondisi pasien, serta dapat memberikan obat dengan mempertimbangkan interaksi yang terjadi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Sebagai seorang farmasis, peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang berorientasi kepada pasien atau yang lebih dikenal dengan patient oriented sangat penting untuk dilakukan. Praktek pharmaceutical care merupakan suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien (Anonim, 2014), salah satu dari upaya peningkatan mutu pelayanan terhadap pasien ini dapat dilakukan melalui suatu proses pelayanan kefarmasian salah satunya dengan cara melakukan pengkajian terhadap masalahmasalah terkait penggunaan obat yang sekarang lebih dikenal dengan drug related problem. 2.1. Drug related probem (DRPs) Drug related problem merupakan peristiwa yang tidak diinginkan yang dialami pasien yang memerlukan atau diduga memerlukan terapi obat dan berkaitan dengan tercapainya tujuan terapi yang diinginkan. Identifikasi DPRs menjadi fokus penilaian dan pengambilan keputusan terakhir dalam proses dari patient care (Cippole, stand, morley, 2004). Menurut Pharmaceutical Care Network Europe (2006) drug related problem (DRPs) adalah kejadian suatu kondisi terkait dengan terapi obat yang secara nyata atau potensial mengganggu hasil klinis kesehatan yang diinginkan. Drug related problem (DRPs) sering disebut juga dengan Drug Therapy problem atau masalah-masalah terkait penggunaan obat. Kejadian DRPs ini menjadi masalah aktual maupun potensial yang sering dibicarakan dalam hubungan antara farmasi dengan dokter. Masalah aktual DRPs yang dimaksud adalah masalah yang sudah terjadi pada pasien dan sebagai farmasis harus berusaha untuk menyelesaikan masalahnya, sedangkan masalah DRPs potensial adalah suatu masalah yang mungkin menjadi resiko yang dapat berkembang pada pasien jika seorang farmasis tidak melakukan tindakan untuk mencegahnya 6 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 7 (Rovers,2003). Sehingga seorang farmasis sangat memegang peranan penting dalam mencegah maupun mengendalikan masalah tersebut. 2.1.1 Klasifikasi Drug Related Problem (DRPs) Menurut Cipolle et al.(1998), secara luas mengkategorikan drug related problem (DRPs) kedalam 7 kelompok : 1. Indikasi tanpa obat Indikasi tanpa obat adalah terjadi ketika ada kebutuhan untuk mengobati indikasi sebelumnya yang tidak diobati (terapi tambahan), untuk menambahkan terapi obat sinergis atau potensiasi atau untuk memberikan terapi obat profilaksis atau pencegahan. Misalnya, jika seorang pasien sedang diobati dengan tepat untuk penyakit pembuluh darah perifer, namun tidak menerima pengobatan untuk efek samping yaitu anemia, kondisi utamanya sedang diobati tetapi tidak ada terapi obat yang diberikan untuk mengobati penyakit baru. Contoh lain dari indikasi tanpa obat adalah menggunakan terapi obat tunggal bukan kombinasi obat yang tepat untuk mengobati kondisi medis (Mahmoud, 2008). 2. Obat tanpa indikasi Obat tanpa indikasi adalah suatu kejadian ketika pasien mendapatkan terapi obat yang tidak diperlukan, yang indikasi klinisnya tidak ada pada saat itu. Ada beberapa penyebab obat tanpa indikasi. Yang pertama, kondisi medis dapat lebih tepat diobati dengan terapi tanpa obat seperti diet, olahraga atau operasi. Yang kedua, pasien mungkin akan mendapatkan Adverse Drug Reactions (ADR) dari obat utama atau yang sedang dikonsumsi misalnya pasien sedang mengkonsumsi obat antihistamin akan mendapatkan obat tambahan seperti antasida untuk mengurangi efek samping dari obat antihistamin yaitu peningkatan asam lambung. Yang ketiga, penyalahgunaan narkoba, tembakau dan konsumsi alkohol semua mungkin menyebabkan masalah. Keempat, terapi obat kombinasi dapat digunakan untuk mengobati kondisi yang hanya membutuhkan terapi obat tunggal. Sebagai contoh, beberapa pasien menerima lebih dari satu pencahar untuk pengobatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 8 sembelit; beberapa pasien menerima lebih dari satu antidiare untuk pengobatan diare; dan beberapa pasien menerima lebih dari satu analgesik untuk pengobatan nyeri (Mahmoud, 2008). 3. Ketidaktepatan Pemilihan Obat Ketidaktepatan pemilihan obat merupakan keadaan dimana pasien telah diresepkan obat yang salah. Seperti : a. Terapi obat yang digunakan untuk mengobati kondisi medis pasien tidak efektif; b. Terdapat banyak obat yang lebih efektif tetap tidak diresepkan untuk pasien; c. Obat yang kontraindikasi atau menimbulkan alergi pada pasien diresepkan untuk pasien; d. Pasien menerima terapi obat kombinasi yang sama efektifnya dengan terapi obat tunggal; e. Pasien menerima obat yang lebih mahal bukan obat yang lebih murah dan memiliki efektivitas yang sama. (Mahmoud,2008). 4. Ketidaktepatan pemberian dosis Ketidaktepatan pemberian dosis dibagi 2 yaitu: Dosis rendah Hal ini sering menantang bagi tenaga kesehatan untuk memastikan dosis obat yang sesuai untuk pasien yang melakukan dialisis karena potensi kenaikan komorbiditas dari waktu ke waktu dan menggubah parameter laboratorium, parameter farmakokinetik dan farmakodinamik dan pada pasien yang mendapat perawatan dialisis (Mahmoud, 2008). Penyebab dosis rendah, seperti frekuensi pemberian dosis yang tidak sesuai, jarak dan waktu pemberian terapi obat terlalu singkat, penyimpanan obat yang tidak sesuai (misalnya, menyimpan obat di tempat yang terlalu panas atau lembab, menyebabkan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 9 degradasi bentuk sediaan dan dosis subterapi), pemberian obat yang tidak sesuai dan interaksi obat (Mahmoud, 2008). Dosis tinggi Seperti yang dikatakan oleh Cipolle et al. (1998), ketika seorang pasien menerima dosis obat yang terlalu tinggi dan mengalami efek toksik yang tergantung dosis atau konsentrasi menunjukkan pasien mengalami DRPs kategori dosis tinggi. 5. Reaksi obat yang merugikan Seperti yang dinyatakan oleh Cipolle et al. (1998), reaksi obat yang merugikan didefinisikan sebagai efek negatif yang tidak diinginkan yang disebabkan oleh obat-obatan yang tidak dapat diprediksi berdasarkan konsentrasi dosis atau tindakan farmakologis. Menurut WHO, reaksi obat yang merugikan (Adverse Drug Reactions/ADR) digambarkan sebagai tanggapan terhadap obat yang berbahaya dan yang tidak diinginkan, dan yang terjadi pada dosis yang biasanya digunakan untuk profilaksis, diagnosis atau terapi penyakit, atau untuk modifikasi fungsi fisiologis (Mahmoud, 2008). Pasien dapat mengalami reaksi obat yang merugikan karena pemberian obat yang tidak aman, reaksi alergi, pemberian obat yang salah, interaksi obat, penurunan atau peningkatan dosis yang cepat atau efek yang tidak diinginkan dari obat yang tidak bisa diprediksi. Interaksi obat merupakan hasil interaksi dari obat dengan obat, obat dengan makanan dan obat dengan laboratorium. Hal ini dapat terjadi pada pasien yang menerima obat dari kelas farmakologis yang berbeda serta dalam kelas farmakologis yang sama. Misalnya, pendarahan karena dosis yang lebih tinggi dari obat antikoagulan seperti warfarin atau heparin (Mahmoud, 2008). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 10 6. Ketidakpatuhan pasien Menurut tilson (2004), istilah “adherence” lebih disukai daripada “compliance” dalam praktek medis. Compliance menunjukkan bahwa pasien menyetujui atau mematuhi intruksi dokter, sedangkan adherence mendefinisikan pasien sebagai orang yang cerdas dan mandiri yang mampu membuat keputusan pengobatan berdasarkan rekomendasi dari resep tersebut. Perbedaan utama antara adherence dan compliance adalah adherence membutuhkan kesepakatan pasien untuk rekomendasi resep itu (Mahmoud, 2008). Ketidakpatuhan pasien merupakan ketidakmampuan pasien atau keengganan untuk mengikuti regimen obat yang telah diresepkan oleh dokter dan dinilai secara klinis tepat, efektif dan mampu memberikan hasil yang diinginkan tanpa efek berbahaya (Mahmoud, 2008). 2.2 Anatomi dan fisiologi jantung 2.2.1 Anatomi jantung Jantung adalah organ berupa otot, berbentuk kerucut, berongga, basisnya di atas dan puncaknya di bawah. Apeksnya (puncak) miring ke sebelah kiri. Berat jantung kira-kira 300 gram. Kedudukan jantung, jantung berada di dalam toraks, antara kedua paru-paru dan di belakang sternum, dan lebih menghadap ke kiri daripada ke kanan. Kedudukannya yang tepat dapat digambarkan pada kulit dada kita. Sebuah garis yang ditarik dari tulang rawan iga ketiga kanan, 2 cm dari sternum, ke atas tulang rawan iga kedua kiri. 1 cm dari sternum, menunjukan kedudukan jantung, tempat pembuluh darah masuk dan keluar. Titik di sebelah kiri antara iga kelima dan keenam, atau di dalam ruang interkostal kelima kiri, 4cm dari garis medial, menunjukan kedudukan apeks jantung, yang merupakan ujung tajam ventrikel (Evelyn,2006) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 11 Gambar 2.1 kedudukan jantung dalam perbandingan terhadap sternum, iga-iga, dan tulang rawan kostal ( Sumber: Evelyn C, 2006.) 2.2.2 Skruktur Jantung Ukuran jantung kira-kira sebesar kepalan tangan. Jantung orang dewasa beratnya antara 220 sampai 260 gram. Jantung terbagi oleh sebuah septum (Sekat) menjadi dua belah, yaitu kiri dan kanan. Sesudah lahir tidak ada hubungan antara kedua belahan ini. Setiap belahan kemudian dibagi-bagi lagi dalam dua ruang, yang diatas disebut atrium dan yang bawah ventrikel. Maka di kiri terdapat 1 atrium dan 1 ventrikel. Disetiap sisi ada hubungan antara atrium dan ventrikel melalui lubang atrio-ventrikuler dan setiap lubang tersebut terdapat katup: yang kanan bernama katup (valvula) trikuspidalis dan yang kiri katup mitral atau katup biskuspidalis (istilah atrium atau aurikel adalah sama). Katup atrio-ventrikel mengizinkan darah mengalir hanya ke satu jurusan, yaitu dari atrium ke ventrikel dan menghindarkan darah mengalir kembali dari ventrikel ke atrium. Katup trikuspidalis terdiri atas tiga kelopak atau kuspa katup mitral terdiri atas dua kelopak karena mirip topi seorang uskup atau mitre, dari situlah nama itu diambil. Jantung tersusun atas otot yang bersifat khusus dan terbungkus sebuah membran yang disebut perikardium. Membran itu terdiri atas dua lapis: perikardium viseral adalah membran serus yang lekat sekali pada jantung dan perikardium parietal adalah lapisan fibrus yang terlipat keluar dari basis jantung dan membungkus jantung sebagai kantong longgar. Karena susunan ini, jantung berada di dalam dua lapis kantong perikardium, dan di antara dua lapisan itu ada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 12 cairan serus. Karena sifat meminyaki dari cairan itu, jantung dapat bergerak bebas. Di sebelah dalam jantung di lapisis endotelium. Lapisan ini disebut endokardium. Katup-katupnya hanya merupakan bagian yang lebih tebal dari membran ini. Tebal dinding jantung terdiri atas 3 lapis : 1. Perikardium, atau di sebut juga pembungkus luar 2. Miokardium, lapisan otot tengah 3. Endokardium, batas dalam Dinding otot jantung tidak sama tebalnya. Dinding ventrikel paling tebal dan dinding di sebelah kiri lebih tebal dari dinding ventrikel sebelah kanan, sebab kekuatan kontraksi ventrikel kiri jauh lebih besar daripada yang kanan. Dinding atrium tersusun atas otot yang lebih tipis. Sebelah dalam dinding ventrikel ditandai berkas-berkas otot yang tebal. Beberapa berbentuk putting, yaitu otot –otot papilaris. Pada tepi bawah otot-otot ini terkait benang-benang tendon tipis, yaitu kordae tendinae. Benang-benang ini mempunyai kaitan kedua yaitu pada tepi bawah katup atrio-ventrikuler. Kaitan ini menghindarkan kelopak katup terdorong masuk kedalam atrium, bila ventrikel berkontraksi. (Evelyn,2006) Gambar 2.2 Belahan jantung bagian dalam (sumber: Syaifuddin,2010) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 13 2.2.3 Fisiologi jantung Semua jaringan tubuh selalu bergantung pada aliran darah yang disalurkan oleh kontraksi dan denyut jantung. Jantung mendorong darah melintasi pembuluh darah untuk disampaikan dalam jumlah yang cukup. Jantung berfungsi untuk menjalankan sistem sirkulasi dan transportasi dalam tubuh. Pada dasarnya sistem sirkulasi terdiri dari 3 komponen dasar yaitu : 1. Jantung berfungsi sebagai pompa yang melakukan tekanan terhadap darah untuk menimbulkan gradien tekanan yang diperlukan agar darah mengalir ke jaringan. 2. Pembuluh darah berfungsi sebagai saluran untuk mengarahkan dan mendistribusikan darah dari jantung ke semua bagian tubuh dan kemudian mengembalikannya ke jantung. 3. Darah berfungsi sebagai medium transportasi tempat bahan-bahan yang akan disalurkan dilarutkan, diendapkan (Sherwood, 2001). 2.2.4 Sirkulasi koroner Walaupun jantung memompa darah keseluruh tubuh, namun jantung tidak menerima nutrisi dari darah yang dipompanya. Nutrisi tidak dapat menyebar cukup cepat dari darah yang ada dalam bilik jantung untuk memberikan nutrisi kesemua lapisan sel pada dinding jantung. Untuk itu maka miokardium memliki jaringan pembuluh darah sendiri, yaitu sirkulasi koroner (Tortora, 2012). Jantung kaya akan pasokan darah, yang berasal dari arteri koronaria kiri dan kanan. Arteri-arteri ini muncul secara terpisah dari sinus aorta pada dasar aorta, dibelakang tonjolan katup aorta. Arteri ini tidak di blockade oleh tonjolan katup selama sistol karena adanya aliran sirkular dan tetap sepanjang siklus jantung. Arteri koronaria kanan berjalan diantara trunkus pulmonalis dan atrium kanan, menuju sulkus AV. Saat arteri tersebut menuruni tepi bawah jantung, arteri terbagi menjadi cabang descendens posterior dan cabang marginal kanan. Arteri koronaria kiri berjalan dibelakang trunkus pulmonalis dan kemudian berjalan diantara trunkus pulmonalis dan atrium kiri. Arteri ini terbagi menjadi cabang sirkumfleksa, marginal kiri, dan descendens anterior. Terdapat anastomosis antara cabang marginal kanan dan kiri, serta arteri descendens anterior dan posterior, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 14 meskipun anastomosis ini tidak cukup untuk mempertahankan perfusi jika salah satu sisi sirkulasi koroner tersumbat. Sebagian besar darah kembali ke atrium kanan melalui sinus koronarius dan vena jantung anterior. Vena koronaria besar dan kecil secara berturut-turut terletak paralel terhadap arteri koronaria kiri dan kanan, dan berakhir di dalam sinus. Banyak pembuluh-pembuluh kecil lainnya yang langsung berakhir di dalam ruang jantung, termasuk vena thebesian dan pembuluh arterisinusoidal. Sirkulasi koroner mampu membentuk sirkulasi tambahan yang baik pada penyakit jantung iskemik , misalnya oleh plak ateromatosa. Sebagian besar ventrikel kiri disuplai oleh arteri koronaria kiri, dan oleh sebab itu adanya sumbatan pada arteri tersebut sangat berbahaya. AVN dan nodus sinus disuplai oleh arteri koronaria kanan pada sebagian besar orang, penyakit pada arteri ini dapat menyebabkan lambatnya denyut jantung dan blockade AV (Aaronson, 2010). Gambar 2.3. Arteri dan vena koroner di bagian anterior (Sumber: Tortora, 2012) 2.2.5. Histologi pembuluh darah Pembuluh darah yang lebih besar umumnya memiliki struktur 3 lapis. Lapisan dalam yang tipis disebut tunika intima, terdiri dari selapis (monolayer) sel endotel (endotelium) yang disokong oleh jaringan ikat. Sel-sel endotel yang melapisi lumen vascular dirapatkan oleh suatu tight junction, yang membatasi difusi molekul besar melewati endothelium. Sel-sel endotel memiliki peran krusial dalam mengendalikan permeabilitas vascular, vasokonstriksi, angiogenesis, dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 15 regulasi hemostatis. Intima relatif lebih tebal pada arteri yang lebih besar, dan mengandung beberapa sel otot polos dalam arteri yang lebih besar, dan mengandung beberapa sel otot polos dalam arteri dan vena yang berukuran besar dan sedang. Lapisan tengah yang tebal, tunika media, dipisahkan dari tunika intima oleh suatu selubung berfenestrasi (berperforasi), lamina elastika interna, yang sebagian besar tersusun atas elastin. Lapisan media ini mengandung sel otot polos yang terbenam dalam matriks ekstraselular yang terutama tersusun atas kolagen, elastin, dan proteoglikan. Sel-sel tersebut berbentuk seperti silinder yang memanjang dan irregular dengan ujung tumpul, dan memiliki panjang 15-100 m. Dalam sistem arterial, sel-sel ini tersusun secara sirkular atau dalam spiral bersusun rendah, sehingga lumen vaskular menyempit saat sel-sel berkontraksi. Masing-masing sel cukup panjang untuk melapisi sekeliling arteriol kecil beberapa kali. Sel-sel otot polos yang berdekatan membentuk gap junction. Ini merupakan area dari kontak selular yang berdekatan dimana susunan kanal besar yang disebut konekson menghubungkan kedua membrane sel, memungkinkan otot polos membentuk sinsitium, dimana depolarisasi menyebar dari satu sel ke sel di sebelahnya. Lamina elastika eksterna memisahkan antara tunika media dari lapisan bagian luar, tunika adventisia. Lapisan ini mengandung jaringan kolagen yang yang menyokong fibroblast dan saraf. Pada arteri dan vena besar, adventitia mengandung vasa vasorum, yaitu pembuluh darah kecil yang juga menembus ke dalam bagian luar media dan menyuplai dinding vascular dengan oksigen dan nutrisi. Protein elastin didapatkan terutama dalam arteri. Molekul elastin tersusun menjadi jalinan serabut yang berbentuk kumparan acak. Molekul (seperti pegas) ini memungkinkan arteri melebar selama sistol dan kemudian kembali mengecil selama diastol agar menjaga darah tetap mengalir kedepan. Hal ini sangat penting untuk aorta dan arteri elastik besar lainnya, dimana media mengandung lapisan elastin berpenetrasi yang memisahkan sel-sel otot polos menjadi lapisan konsentrik multipel (Lamela). Protein fibrosa kolagen terdapat dalam ketiga lapisan dinding vascular, dan berfungsi sebagai kerangka yang menahan sel otot polos tetap pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 16 tempatnya. Pada tekanan internal yang tinggi, jalinan kolagen menjadi sangat kaku, dan membatasi pelebaran pembuluh darah. Hal ini sangat penting untuk vena, yang memiliki kandungan kolagen lebih banyak dari arteri (Aaronson, 2010). 2.3 Jantung koroner 2.3.1 Pengertian penyakit jantung koroner Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), penyakit jantung koroner (PJK) adalah ketidaksanggupan jantung akut atau kronis yang timbul karena kekurangan suplai darah pada myokardium sehubungan dengan proses penyakit pada sistem nadi koroner (Knight, 1996). Pengertian lain untuk PJK adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh terjadinya penyempitan dan hambatan arteri yang mengalihkan darah ke otot jantung. Apabila penyempitan ini menjadi parah, maka dapat menimbulkan serangan jantung (Soeharto,2004). Penyakit jantung koroner adalah suatu penyakit yang terjadi akibat adanya penyempitan, penyumbatan atau kelainan pembuluh darah nadi koroner. Penyempitan atau penyumbatan ini dapat menghentikan aliran darah ke otot jantung yang sering ditandai dengan rasa nyeri (yenrina, krisnatuti, 1999). 2.3.2 Etiologi Penyakit Jantung Koroner Penyakit jantung koroner disebabkan oleh penumpukan lemak pada dinding dalam pembuluh darah jantung (pembuluh koroner), dan hal ini lama kelamaan diikuti oleh berbagai proses seperti penimbunan jaringan ikat, perkapuran, pembekuan darah yang semuanya akan mempersempit atau menyumbat pembuluh darah tersebut. Hal ini akan mengakibatkan otot jantung di daerah tersebut mengalami kekurangan aliran darah dan dapat menimbulkan berbagai akibat yang cukup serius dari angina pectoris (nyeri dada) sampai infark jantung, yang dalam masyarakat luas mengenal dengan serangan jantung yang menyebabkan kematian mendadak. Pembuluh arteri ini akan menyempit dan bila parah terjadi penghentian darah. Setelah itu terjadi proses penggumpalan dari berbagai substansi dalam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 17 darah sehingga dapat menghalangi aliran darah dan akan terjadi atherosklerosis. Manifestasi klinik dari penyakit jantung koroner adalah tanpa gejala, angina pectoris, infark miokard akut, aritmia, payah jantung, kematian mendadak (Soeharto, 2004). 2.3.3 Klasifikasi PJK Menurut kusumawidjaja (2004), kelainan akibat insufiensi koroner dapat dibagi menjadi 3 jenis yang umumnya hampir serupa, diantaranya adalah 1. Penyakit jantung Disease/ASHD). arteriosklerotik ASHD (Arteriosclerotic menyebabkan fibrosis merata Heart yang disebabkan oleh aliran darah yang lambat laun akan berkurang. Iskemi yang relatif ringan, namun berlangsung lama menyebabkan artrofi myocardium yang progresif dan diakhiri dengan fibrosis. Perubahan ini dapat pula menyerang katup jantung. Dalam golongan penyakit jantung arteriosklerotik termasuk pula penyakit jantung senilis (presbycardia). 2. Angina Pectoris Merupakan suatu gejala kompleks yang tidak disertai kelainan morfologik yang permanen pada myocardium disebabkan oleh insufisiensi relatif yang sementara dari pembuluh darah koroner. Gejala utama ialah rasa nyeri pada dada yang episodik. Angina pectoris biasanya menunjukkan adanya penyakit jantung arteriosklerotik dan biasanya juga merupakan permulaan dari infark myocardium. 3. Infark Myocardium (Myocardial Infarction = MCI) Merupakan penyakit pembuluh darah jantung koroner yang paling penting dan paling gawat. Nekrosis iskhemik yang mendadak pada daerah myocardium yang terbatas (discrete), disebabkan oleh insufisiensi arteri koroner. Infark myocardium hampir selalu didahului berbagai kelainan antomik yang disebabkan oleh arteriosklerosis. Walaupun lebih jarang daripada ASHD, infark myocardium lebih berbahaya dan jarang ditemukan pada bedah mayat, meskipun hanya 25%, tetapi merupakan sebab kematian yang utama. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 18 2.3.4 Penyebab jantung koroner Penyebab jantung koroner ada 2 hal yaitu proses atherosclerosis dan proses trombosis. a. Proses atherosclerosis Terbentuknya plak di dalam arteri pembuluh darah jantung. Plak terdiri atas kolesterol yang berlebihan, kalsium dan bahan lain di dalam pembuluh darah yang lama kelamaan menumpuk di dalam dinding pembuluh darah jantung (arteri koronaria). b. Proses trombosis Timbunan lemak dalam pembuluh darah bukan hanya berisi lemak, namun juga jaringan bekas luka akibat adanya kolesterol. Ini akan membentuk fibrous cap (tutup fibrosa) diatas timbunan yang lebih keras daripada dinding pembuluh darah itu sendiri. Bila ada tekanan dapat mengakibatkan kerusakan pada pembuluh darah, sehingga dapat mengakibatkan, timbul bekuan darah yang lebih besar yang nantinya akan menyumbat pembuluh darah sehingga darah tidak bisa mencapai otot jantung dan mengakibatkan kematian pada sebagian otot jantung (Maulana, 2008). 2.3.5 Gejala Penyakit Jantung Koroner Penyakit jantung koroner terbentuk secara perlahan-lahan dan dalam waktu yang lama, kebanyakan orang yang pengidap penyakit ini tidak menyadari jika mereka sudah atau mengalami penyakit jantung koroner ini sejak lama, dan menyadari jika telah parah. Biasanya gejala yang paling awal adalah nyeri dada atau angina serta sesak napas. Tidak semua nyeri dada disebabkan oleh penyakit jantung koroner. Angina atau nyeri dada biasanya timbul jika penderita jantung koroner melakukan aktifitas berat dan kemudian hilang jika mereka beristirahat. Rasa nyeri ini timbul karena otot jantung tidak mendapatkan oksigen yang cukup. Angina biasanya berlangsung selama 2-3 menit dan tidak lebih dari 10 menit. (Soeharto, 2004). Berikut adalah cara mengenali nyeri dada karena penyakit jantung korner : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 19 a. Rasa nyeri yang tidak bertambah parah saat menarik napas. b. Biasanya rasa nyeri terasa di tengah dada, lalu menyebar kesisi kiri, kedua lengan, sampai ke leher dan rahang. c. Dada terasa sesak, terbakar, tertusuk-tusuk, atau tertekan. (Maulana, 2008). d. Gejala lain : napas pendek, berkeringat dingin dan sering merasa kelemahan yang menyeluruh atau kelelahan (Soeharto, 2004). 2.3.6 Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan penyakit jantung koroner a. Diabetes mellitus Penyakit ini disebabkan karena kekurangan hormon insulin yang berfungsi mengontrol penyebaran gula (glukosa) ke sel-sel di seluruh tubuh melalui aliran darah. Kadar gula dalam darah meningkat karena kurangnya insulin yang bertindak sebagai kunci pembuka masuknya gula ke dalam sel-sel tubuh yang membutuhkan. Kelebihan kadar gula dalam darah ini dapat meningkatkan resiko gangguan di dalam peredaran darah termasuk serangan jantung. Selain itu, diabetes juga meningkatkan kadar lemak dalam darah termasuk kolesterol tinggi yang menjadi faktor resiko terjadinya serangan jantung (Maulana, 2008). b. Hipertensi Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko PJK. Jika dibiarkan tanpa perawatan yang tepat maka dapat menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Keadaan hipertensi sering ditemukan terjadi bersamaan dengan dislipidemia. Tekanan darah yang tinggi secara terus-menerus menambah beban pembuluh arteri secara perlahan-lahan. Arteri mengalami proses pengerasan menjadi tebal dan kaku sehingga mengurangi elastisitasnya. Hipertensi juga mendorong proses terbentuknya plak pada arteri koroner (Soeharto, 2004). c. Kegemukan Kegemukan merupakan salah satu faktor resiko PJK. Kegemukan diartikan kurangnya tenaga yang dikeluarkan dibanding masukan sehingga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 20 zat makanan yang dimakan akan tersimpan dan tertumpuk dalam tubuh sebagai lemak (Soeharto, 2004). d. Sirosis hepatis Hati memegang peranan penting pada hampir setiap fungsi metabolik tubuh. Pembentukan dan ekskresi empedu merupakan fungsi utama hati, sedangkan garam empedu penting untuk pencernaan dan absorpsi lemak dan usus halus. Sirosis hati adalah penyakit hati kronik yang pada kasus lanjutan menyebabkan kegagalan fungsi hati secara bertingkat. Sirosis lennec merupakan jenis sirosis. e. Dislipidemia Kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam plasma yang dapat meningkatkan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, kenaikan kadar trigliserida dan dapat menurunkan kadae kolesterol HDL sehingga membentuk proses terjadinya aterosklerosis (Ganong, 2000). 2.3.7 Faktor resiko jantung koroner Faktor resiko adalah keadaan-keadaan yang berkaitan dengan meningkatnya kemungkinan terkena penyakit (Laker, 2006). a. Keturunan Latar belakang keluarga yang mempunyai penyakit jantung dan tekanan darah tinggi dapat meningkatkan terjadinya resiko penyakit jantung koroner (Soeharto, 2004). b. Jenis kelamin dan usia Penyakit jantung koroner banyak dijumpai pada jenis kelamin laki-laki daripada jenis kelamin perempuan. Sebenarnya proses aterosclerosis terjadi dalam waktu yang lama sejak usia umur 15 tahun, pada laki-laki usia 40 tahun ke atas kenaikan kadar kolesterol dalam darah mempunyai resiko yang tinggi khususnya LDL untuk pembentukan penyakit jantung koroner, sedangkan perempuan mempunyai perlindungan alami dari resiko penyakit koroner, yaitu hormon estrogen yang bisa sangat membantu dalam pengendalian kolesterol. Namun jika perempuan sudah mencapai usia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 21 menopouse, pelindungan alami tersebut sudah tidak berproduksi kembali dan itu yang kemudian akan menjadikan perempuan juga rentan terkena penyakit jantung koroner apabila tidak berpola hidup sehat (Maulana, 2008). c. Gaya hidup atau pola hidup Gaya hidup yang berpengaruh terhadap kejadian PJK antara lain aktifitas fisik, merokok konsumsi alkohol. Gaya hidup ini adalah faktor resiko yang dapat dikendalikan. Cara untuk mengendalikan jantung koroner dari gaya hidup ini dengan cara : a. Aktifitas fisik Penelitian menunjukkan bahwa aktivitas fisik mendorong kebugaran tubuh dan mengurangi terjadinya penyakit jantung koroner. Tingkat aktivitas fisik ini mempengaruhi kesehatan, kualitas hidup dan daya tahan hidup (Soeharto, 2004) b. Merokok Resiko penyakit jantung dari faktor resiko merokok ini setara dengan 100 pon kelebihan berat badan. Zat-zat kimia yang terkandung dalam rokok dapat terserap ke dalam aliran darah dari paru-paru lalu nantinya akan beredar ke seluruh tubuh, dan mempengaruhi sel tubuh. Zat-zat kimia ini sering menyebabkan pembuluh darah menyempit dan membuat sel-sel darah yang disebut trombosit menjadi sangat kental dan lengket sehingga sangat mudah membentuk gumpalan kemudian akan terjadi atherosklerosis. Semakin banyak batang rokok yang seseorang konsumsi tiap harinya maka semakin tinggi resiko terkena serangan jantung (Soeharto, 2004). c. Alkohol Dalam tubuh manusia konsumsi alkohol mempunyai efek ganda dalam penyakit jantung koroner, karena mengkonsumsi alkohol untuk seseorang yang meminum alkohol dapat menimbulkan efek yang menguntungkan dan merugikan. Apabila minum sedikit alkohol akan mengurangi kejadian penyakit jantung dengan jalan meningkatkan kadar HDL (High Density Lipoprotein) dalam darah. Namun, bila minum alkohol dalam jumlah yang banyak alkohol maka akan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 22 menambah dan memperparah penyakit jantung. Anjuran yang bisa diberikan adalah untuk pria tidak boleh lebih dari 21 satuan alkohol seminggu sedangkan wanita jangan lebih dari 14 satuan. Satu saruan artinya satu gelas anggur, satu sloki minuman keras dan seperempat bir (Mike Laker, 2006). 2.3.8. Patologi jantung koroner Aterosklerosis pembuluh koroner merupakan penyebab penyakit arteri koronaria paling sering ditemukan. Aterosklerosis menyebabkan penimbunan lipid dan jaringan fibrosa dalam arteri koronaria, sehingga secara progresif mempersempit lumen pembuluh darah. Bila lumen menyempit maka resistensi terhadap aliran darah akan meningkat dan membahayakan alian darah miokardium. Bila penyakit ini semakin lanjut, maka penyempitan lumen akan diikuti perubahan pembuluh darah yang mengurangi kemampuan pembuluh untuk melebar. Dengan demikian keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan oksigen menjadi tidak stabil sehingga membahayana miokardium yang terletak di sebelah distal dari daerah lesi. Lesi diklasifikasikan sebagai endapan lemak, plak fibrosa, dan lesi komplikata, sebagai berikut : 1. Endapan lemak, yang terbentuk sebagai tanda awal aterosklerosis, dicirikan dengan penimbunan makrofag dan sel-sel otot polos terisi lemak (terutama kolesterol oleat) pada daerah fokal tunika intima (lapisan terdalam arteri). Endapan lemak mendatar dan bersifat nonobstruktif dan mungkin terlihat oleh mata telanjang sebagai bercak kekuningan pada permukaan endotel pembuluh darah. Endapan lemak biasanya dijumpai dalam aorta pada usia 10 tahun dan dalam arteri koronaria pada usia 15 tahun. Sebagian endapan lemak berkurang, tetapi yang lain berkembang menjadi plak fibrosa. 2. Plak fibrosa (atau plak ateromatosa) merupakan daerah penebalan tunika intima yang meninggi dan dapat diraba yang mencerminkan lesi paling khas aterosklerosis lanjut dan biasanya tidak timbul hingga usia decade ketiga. Biasanya, plak fibrosa berbentuk kubah dengan permukaan opak dan mengilat yang menyembul k eke arah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 23 lumen sehingga menyebabkan obstrukksi. Plak fibrosa terdiri atas inti pusat lipid dan ddebris sel nekrotik yang ditutupi oleh jaringan fibromuskular mengandung banyak sel-sel otot polos dan kolagen. Plak fibrosa biasanya terjadi di tempat percabangan, lekukan atau penyempitan arteri. Sejalan dengan semakin matangnya lesi, terjadinya pembatasan aliran darah koroner dari ekspansi abluminal, remodeling vascular, dan stenosis luminal. Setelah itu terjadi perbaikan plak dan disrupsi berulang yang menyebabkan rentan timbulnya fenomena yang disebut “rupture plak” dan akhirnya trombosis vena. 3. Lesi lanjut atau komplikata terjadi bila suatu plak fibrosa rentan mengalami gangguan akibat kalsifikasi, nekrosis sel, perdarahan,trombosis, atau ulserasi dan dapat menyebabkan infark miokardium (Sylvia,2005). 2.3.9 Manifestasi klinis penyakit jantung koroner (PJK) 1. Asimptomatik (Silent Myocardial Ischemia), Kadang penderita penyakit jantung koroner diketahui secara kebetulan misalnya saat dilakukan check up kesehatan. Kelompok penderita ini tidak pernah mengeluh adanya nyeri dada (angina) baik pada saat istirahat maupun saat aktifitas. Secara kebetulan penderita menunjukkan iskemia saat dilakukan uji beban latihan. Ketika EKG menunjukkan depresi segmen ST, penderita tidak mengeluh adanya nyeri dada. Pemeriksaan fisik, foto dada dan lain-lan dalam batas-batas normal. Mekanisme silent iskemia diduga oleh karena ambang nyeri yang meningkat, neuropati otonomik (pada penderita diabetes), meningkatnya produksi endomorfin, derajat stenosis yang ringan. 2. Angina Pektoris Stabil (Stable Angina), Nyeri dada yang timbul saat melakukan aktifitas, bersifat kronis (> 2 bulan). Nyeri precordial terutama di daerah retrosternal, terasa seperti tertekan benda berat atau terasa panas, seperti di remas ataupun seperti tercekik.rasa nyeri sering menjalar ke lengan kiri atas / bawah bagian medial, ke leher, daerah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 24 maksila hingga ke dagu atau ke punggung, tetapi jarang menjalar ke lengan kanan. Nyeri biasanya berlangsung seingkat (1-5) menit dan rasa nyeri hilang bila penderita istirahat. Selain aktifitas fisik, nyeri dada dapat diprovokasi oleh stress / emosi, anemia, udara dingin dan tirotoksikosis. Pada saat nyeri, sering disertai keringat dingin. Rasa nyeri juga cepat hilang dengan pemberian obat golongan nitrat. Jika ditelusuri, biasanya dijumpai beberapa faktor risiko PJK. Pemeriksaan elektrokardiografi sering normal (50 – 70% penderita). Dapat juga terjadi perubahan segmen ST yaitu depresi segmen ST atau adanya inversi gelombang T (Arrow Head). Kelainan segmen ST (depresi segmen ST) sangat nyata pada pemeriksaan uji beban latihan. Mekanisme terjadinya iskemia Pada prinsipnya iskemia yang terjadi pada PJK disebabkan oleh karena terjadi gangguan keseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen miokard. Dengan adanya aterosklerosis maka aliran darah koroner akan berkurang, terutama pada saat kebutuhan meningkat (saat aktifitas) sehingga terjadilah iskemia miokard (Ischemia On Effort). 3.Angina Pektoris Tidak Stabil (Unstable Angina) Pada subset klinis ini, kualitas, lokasi, penjalaran dari nyeri dada sama dengan penderita angina stabil. Tetapi nyerinya bersifat progresif dengan frekuensi timbulnya nyeri yang bertambah serta pencetus timbulnya keluhan juga berubah. Sering timbul saat istirahat. Pemberian nitrat tidak segera menghilangkan keluhan. Keadaan ini didasari oleh patogenesis yang berbeda dengan angina stabil. Angina tidak stabil sering disebut sebagai Pre-Infarction sehingga penanganannya memerlukan monitoring yang ketat. Pada angina tidak stabil, plaque aterosklerosis mengalami trombosis sebagai akibat plaque rupture (fissuring), di samping itu diduga juga terjadi spasme namun belum terjadi oklusi total atau oklusi bersifat intermitten. Pada pemeriksaan elektrokardiografi didapatkan adanya depresi segmen ST, kadar enzim jantung tidak mengalami peningkatan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 25 4. Variant Angina (Prinzmetal’s Angina) Variant angina atau Prinzmetal’s angina pertama kali dikemukakan pada tahun 1959 digambarkan sebagai suatu sindroma nyeri dada sebagai akibat iskemia miokard yang hampir selalu terjadi saat istirahat. Hampir tidak pernah dipresipitasi oleh stress / emosi dan pada pemeriksaan EKG didapatkan adanya elevasi segmen ST. Mekanisme iskemia pada Prinzmetal’s angina terukti disebabkan karena terjadinya spasme arteri koroner. Kejadiannya tidak didahului oleh meningkatnya kebutuhan oksigen miokard. Hal ini dapat terjadi pada arteri koroner yang mengalami stenosis ataupun normal. Proses spasme biasanya bersifat lokal hanya melibatkan satu arteri koroner dan sering terjadi pada daerah arteri koroner yang mengalami stenosis. (Rahman,2005). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 26 2.3.10 Penatalaksanaan Algoritma manajemen ACS Dicurigai penyakit paru Evaluasi klinis Riwayat dan fisik dan tes EKG CXR Sindrom angina tidak stabil Dicurigai gagal jantung , sebelumnya MI, ekg tidak normal atau pemeriksaan hipertensi atau DM Penilaian ISKEMIA Pelaksanaan EKG Atau gambaran penekanan farmakologi atau pelaksanaan gambaran penekanan Meyakinkan, merujuk pada pemeriksaan dan atau membuat tatalaksana diagnosa alternatif yang sesuai Menilai kemungkinan iskemia sebagai penyebab gejala Echocardiography (atau MRI) untuk menilai struktural atau kelainan fungsional Tidak ada bukti untuk penyebab gejala jantung Mengevaluasi prognosis atas dasar evaluasi klinis dan uji non invasif Jika diagnosis CAD telah dikukuhkan, tetapi penilaian fungsi kerja ventrikel belum dilakukan untuk kelas indikasi, maka penilaian fungsi kerja ventrikel dilakukan pada tahap ini Resiko rendah (mortalitas CV tahunan 1%pertahun) Terapi medis Arteriografi koroner jika belum dilakukan Resiko menengah (mortalitas CV tahunan 1-2% pertahun) Terapi medis Arteriografi koroner tergantung pada tingkat gejala dan penilaian klinis Berisiko tinggi (mortalitas CV tahunan >2% pertahun Terapi medis dan arteriografi koroner untuk stratifikasi resiko yang lebih lengkap dan penilaian kebutuhan revascularistion Evaluasi respon untuk terapi medis JIKA KONTROL GEJALA YANG TIDAK MEMUASKAN, PERTIMBANGKAN KESESUAIAN UNTUK REVASKULARISASI (PCI/CABG) NO Berisiko tinggi dan ada manfaat dari revaskularisasi YES Revascularize Gambar 2.4 algoritma untuk evaluasi awal pasien dengan gejala angina (dikutip dari : the task force on the management of stable angina pectoris of the european society of cardiology). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 27 Iskemia berulang dan atau ST segmen berubah atau dalam inversi gelombang –T atau positif jantung Diberikan : aspirin, beta blockers, nitrat, antithrombin, GP IIb/ Iia inhibitor dan monitorin (irama jantung dan iskemia Strategi invasif awal Angiografi langsung 12-24 jam angiografi Strategi konservatif awal Gejala berulang/ gagal jantung, iskemia dan aritmia serius Pasien stabil Evaluasi fungsi LV EF < 40 EF ≥40 TES DIBERI TEKANAN Tidak ada resiko Resiko rendah Ikuti resep obat Gambaran 2.5 Penanganan pasien dengan PJK dan reaksi setelah pemberian terapi. (dikutip : Committe on the Management of Patients With Unstable Angina). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 28 Angina stabil untuk manajemen medis Bantuan jangka pendek Short acting sublingual atau nitrat bukal Aspirin 75-150mg Pengobata n bertujuan untuk meningkat kan prognosis Kontraindikasi (misal: alergi aspirin Clopidogrel 75mg Intoleran atau kontraindikasi Pergantian statin, atau ezetimibe dengan statin dosis rendah, atau menganti dengan alternatif agen penurun hiperlipid Statin +/- titrasi dosis ↑ untuk kolesterol mendapatkan target ACE inhibitor jika CVD terbukti Beta blocker pasca MI Beta bloker sebelum MI Intolerant (seperti kelelahan) atau kontraindikasi* Gejala tidak terkendali setelah diberikan dosis optimasi Diberikan antagonis calcium atau long acting nitrat Antagonis kalsium atau long-acting nitrat atau pembuka chanel K atau jika inhibitor intolerant Gejala tidak terkendali setelah pemberian dosis optimasi Gejala tidak terkendali setelah diberikan dosis optimasi Antara penggantian alternatif subkelas antagonis kalsium atau long acting nitrat Kombinasi nitrat dan antagonis kalsium atau pembuka chanel K Pertimbangkan kesesuaian untuk revaskularisasi Gejala tidak terkendali setelah pemberian dosissoptimasi Gambar 2.6 algoritma manajemen obat untuk angina stabil pada pasien dengan CAD (dikutip : The Task Force on the Management of Stable Angina Pectoris of European Society of Cardiology) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 29 1. Farmakologi Untuk pengobatan farmakologi yang diperlukan dalam menangani Sindom koroner akut, berdasarkan pedoman tatalaksana sindrom koroner akut yang disusun oleh perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular indonesia 2015 yang disusun melalui proses penelaahan berbagai publikasi ilmiah dan mempertimbangkan konsistensi dengan berbagai konsensus dan pedoman yang dibuat oleh berbagai perkumpulan profesi kardiovaskular. Klasifikasi rekomendasi tatalaksana sindrom koroner akut Tabel 2.1. Klasifikasi rekomendasi tatalaksana sindrome koroner akut (Sumber: Himpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia 2015) Kelas I Bukti dan atau kesepakatan bersama bahwa pengobatan tersebut bermanfaat dan efektif Kelas II Bukti dan atau pendapat yang berbeda tentang manfaat pengobatan tersebut Kelas Iia Bukti dan pendapat lebih mengarah kepada manfaat atau kegunaan, sehingga beralasan untuk dilakukan. Kelas Iib Manfaat atau efektifitas kurang didukung oleh bukti atau pendapat namun dapat dipertimbangkan untuk dilakukan. Kelas III Bukti atau kesepakatan bersama bahwa pengobatan tersebut tidak berguna atau tidak efektif, bahkan pada beberapa kasus kemungkinan membahayakan. Tingkat bukti A Data berasal dari beberapa penelitian klinik acak berganda atau meta analisis Tingkat bukti B Data berasal dari satu penelitian acak berganda atau beberapa penelitian tidak acak Tingkat bukti C Data berasal dari konsensus opini para ahli dan atau penelitian kecil, studi retrospektif atau registri Obat –obatan yang diperlukan dalam menangani PJK/SKA adalah : 1. Anti Iskemia a. Penyekat Beta (Beta blocker). Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya terhadap reseptor beta-1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen miokardium. Terapi hendaknya tidak diberikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 30 pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-ventrikler yang signifikan, asma bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri. Pada kebanyakan kasus, preparat oral cukup memadai dibandingkan injeksi. Penyekat beta direkomendasikan bagi pasien UAP atau NSTEMI, terutama jika terdapat hipertensi dan/atau takikardia, dan selama tidak terdapat indikasi kontra (Kelas I-B). penyekat beta oral hendaknya diberikan dalam 24 jam pertama (Kelas I-B). Penyekat beta juga diindikasikan untuk semua pasien dengan disfungsi ventrikel kiri selama tidak ada indikasi kontra (Kelas IB). Pemberian penyekat beta pada pasien dengan riwayat pengobatan penyekat beta kronis yang datang dengan SKA tetap dilanjutkan kecuali bila termasuk klasifikasi Kilip ≥III (Kelas I-B). Tabel 2.2. Jenis dan dosis penyekat beta untuk terapi IMA (Sumber: Himpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia 2015) Penyekat beta Selektivitas Aktivitas Dosis untuk agonis parsial angina Atenolol B1 - 50-200mg/hari Bisoprolol B1 - 10mg/hari Metoprolol B1 - 50-200mg/hari Propanolol Nonselektif - 2x20-80mg/hari Carvedilol Α dan β + 2x6,25 mg/hari, titrasi sampai maksimum 2x25mg/hari b. Nitrat. Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolik ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik yang normal maupun yang mengalami aterosklerosis. 1. Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase akut dari episode angina (Kelas IC). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 31 2. Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut. sebaiknya mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali pemberian, setelah itu harus dipertimbangkan penggunaan nitrat intravena jika tidak ada indikasi kontra (Kelas I-C). 3. Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal jantung, atau hipertensi dalam 48 jam pertama UAP/NSTEMI. Keputusan menggunakan nitrat intravena tidak boleh menghalangi pengobatan yang terbukti menurunkan mortalitas seperti penyekat beta atau angiotensin converting enzymes inhibitor (ACE-I) (Kelas I-B). 4. Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik 90 mmHg atau >30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat (<50 kali permenit), takikardia tanpa gejala gagal jantung, atau infark ventrikel kanan (Kelas III-C). 5. Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi inhibitor fosfodiesterase: sidenafil dalam 24 jam, tadalafil dalam 48 jam. Waktu yang tepat untuk terapi nitrat setelah pemberian vardenafil belum dapat ditentukan (Kelas III-C). Tabel 2.3 Jenis dan dosis nitrat untuk terapi IMA. (Sumber: Himpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia 2015) Nitrat Isosorbid dinitrate (ISDN) Dosis Sublingual 2,5-15mg (onset 5menit) Oral 15-80mg/hari dibagi 2-3 dosis Intravena 1,25-5mg/hari Isosorbid 5 mononitrate Oral 2x20mg/hari Nitroglicerin (trinitrin, TNT, Sublingual tablet 0,3-0,6 mg- glyceryl trinitrate) 1,5mg Intravena 5-200mcg/menit. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 32 c. Calcium channel blockers (CCBs). Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek vasodilator arteri dengan sedikit atau tanpa efek pada SA Node atau AV Node. Sebaliknya verapamil dan diltiazem mempunyai efek terhadap SA Node dan AV Node yang menonjol dan sekaligus efek dilatasi arteri. Semua CCB tersebut di atas mempunyai efek dilatasi koroner yang seimbang. Oleh karena itu CCB, terutama golongan dihidropiridin, merupakan obat pilihan untuk mengatasi angina vasospastik. Studi menggunakan CCB pada UAP dan NSTEMI umumnya memperlihatkan hasil yang seimbang dengan penyekat beta dalam mengatasi keluhan angina. 1. CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala bagi pasien yang telah mendapatkan nitrat dan penyekat beta (Kelas I-B). 2. CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien NSTEMI dengan indikasi kontra terhadap penyekat beta (Kelas I-B). 3. CCB nondihidropiridin (long-acting) dapat dipertimbangkan sebagai pengganti terapi penyekat beta (Kelas IIb-B). 4. CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina vasospastik (Kelas I-C). 5. Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediaterelease) tidak dikombinasi direkomendasikan dengan penyekat beta. kecuali (Kelas bila III- B).umumnya memperlihatkan hasil yang seimbang dengan penyekat beta dalam mengatasi keluhan angina. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 33 Tabel 2.4. Jenis dan dosis penghambat kanal untuk terapi IMA (Sumber: Himpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia 2015) Penghambat kanal kalsium Dosis Verapamil 180-240mg/hari dibagi 2-3 dosis Diltiazem 120-360mg/hari dibagi 3-4 dosis Nifedipine GITS (Long acting 30-90mg/hari Amlodipine 5-10mg/hari 2. Antiplatelet 1. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra dengan dosis loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya untuk jangka panjang, tanpa memandang strategi pengobatan yang diberikan (Kelas I-A). 2. Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera mungkin dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi kontra seperti risiko perdarahan berlebih (Kelas I-A). 3. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan bersama DAPT (dual antiplatelet therapy aspirin dan penghambat reseptor ADP) direkomendasikan pada pasien dengan riwayat perdarahan saluran cerna atau ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada pasien dengan beragam faktor risiko seperti infeksi H. pylori, usia ≥65 tahun, serta konsumsi bersama dengan antikoagulan atau steroid (Kelas I-A). 4. Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12 bulan sejak kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis (Kelas I-C). 5. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian iskemik sedang hingga tinggi (misalnya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 34 peningkatan troponin) dengan dosis loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian dilakukan tanpa memandang strategi pengobatan awal. Pemberian ini juga dilakukan pada pasien yang sudah mendapatkan clopidogrel (pemberian clopidogrel kemudian dihentikan) (Kelas I-B). 6. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg setiap hari (Kelas I-A). 7. Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300 mg diikuti dosis tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk pasien yang dijadwalkan menerima strategi invasif ketika tidak bisa mendapatkan ticagrelor (Kelas I-B). 8. Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap hari) perlu dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang dilakukan IKP tanpa risiko perdarahan yang meningkat (Kelas IIa-B). 9. Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor ADP yang perlu menjalani pembedahan mayor non-emergensi (termasuk CABG), perlu dipertimbangkan penundaan pembedahan selama 5 hari setelah penghentian pemberian ticagrelor atau clopidogrel bila secara klinis memungkinkan, kecuali bila terdapat risiko kejadian iskemik yang tinggi (Kelas IIa-C). 10. Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan (atau dilanjutkan) setelah pembedahan CABG begitu dianggap aman (Kelas IIa-B). 11. Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat COX- 2 selektif dan NSAID non-selektif ) (Kelas III-C). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 35 Keterangan: DAPT perlu tetap diberikan selama 12 bulan tanpa memperdulikan jenis stent. Tabel 2.5. Jenis dan dosis antiplatelet untuk terapi IMA (Sumber: Himpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia 2015) Antiplatelet Aspirin Dosis Dosis loading 150-300mg, dosis pemeliharaan 75-100mg Ticagrelor Dosis loading 180mg, dosis pemeliharaan 2x90mg/hari Clopidogrel Dosis loading 300mg, dosis pemeliharaan 75mg/hari 3. Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa Pemilihan kombinasi agen antiplatelet oral, agen penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa dan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko kejadian iskemik dan perdarahan (Kelas I-C). Penggunaan penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa dapat diberikan pada pasien IKP yang telah mendapatkan DAPT dengan risiko tinggi (misalnya peningkatan troponin, trombus yang terlihat) apabila risiko perdarahan rendah (Kelas I-B). Agen ini tidak disarankan diberikan secara rutin sebelum angiografi (Kelas III-A) atau pada pasien yang mendapatkan DAPT yang diterapi secara konservatif (Kelas III-A). 4. Antikogulan. Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat mungkin. 1. Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang mendapatkan terapi antiplatelet (Kelas I-A). 2. Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia, dan berdasarkan profil efikasikeamanan agen tersebut. (KelasI-C). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 36 3. Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding risiko yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari secara subkutan (Kelas I-A). 4. Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks, penambahan bolus UFH (85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yang mendapatkan penghambat reseptor GP Iib/IIIa) perlu diberikan saat IKP (Kelas I-B). 5. Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan risiko perdarahan rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia (Kelas I-B). 6. Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 5070 detik atau heparin berat molekul rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang direkomendasikan) diindaksikan apabila fondaparinuks atau enoksaparin tidak tersedia (Kelas I-C). 7. Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi perlu dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit (Kelas I-A). 8. Crossover heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan (Kelas III-B). Tabel 2.6. Jenis dan dosis antikoagulan untuk terapi IMA (Sumber: Himpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia 2015) Antikoagulan Dosis Fondaparinuks 2,5mg subkutan Enoksaparin Img/kg, 2x1 Heparin tidak Bolus i.v 60 U/G, dosis maksimal 4000 U. terfraksi Infus i.v. 12 U/kg selama 24-48 jam dengan dosis maksimal 1000 U/jam target Aptt/1,52X kontrol UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 37 5. Kombinasi Antiplatelet dan Antikoagulan 1. Penggunaan warfarin bersama aspirin dan/atau clopidogrel meningkatkan risiko perdarahan dan oleh karena itu harus dipantau ketat (Kelas I-A). 2. Kombinasi aspirin, clopidogrel dan antagonis vitamin K jika terdapat indikasi dapat diberikan bersama-sama dalam waktu sesingkat mungkin dan dipilih targen INR terendah yang masih efektif. (Kelas IIa-C). 3. Jika antikoagulan diberikan bersama aspirin dan clopidogrel, terutama pada penderita tua atau yang risiko tinggi perdarahan, target INR 2- 2,5 lebih terpilih (Kelas IIb-B). 6. Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam mengurangi remodeling dan menurunkan angka kematian penderita pascainfark-miokard yang disertai gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung klinis. Penggunaannya terbatas pada pasien dengan karakteristik tersebut, walaupun pada penderita dengan faktor risiko PJK atau yang telah terbukti menderita PJK, beberapa penelitian memperkirakan adanya efek antiaterogenik. 1. Inhibitor ACE diindikasikan penggunaannya untuk jangka panjang, kecuali ada indikasi kontra, pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40% dan pasien dengan diabetes mellitus, hipertensi, atau penyakit ginjal kronik (PGK) (Kelas I-A). 2. Inhibitor ACE hendaknya dipertimbangkan pada semua penderita selain seperti di atas (Kelas IIa-B). Pilih jenis dan dosis inhibitor ACE yang telah direkomendasikan berdasarkan penelitian yang ada (Kelas IIa-C). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 38 3. Penghambat reseptor angiotensin diindikasikan bagi pasien infark mikoard yang intoleran terhadap inhibitor ACE dan mempunyai fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40%, dengan atau tanpa gejala klinis gagal jantung (Kelas IB). Tabel 2.7. Jenis dan dosis inhibitor ACE untuk terapi IMA (Sumber: Himpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia 2015) Inhibitor ACE Dosis Captopril 2-3 x 6,25-50 mg Ramipril 2,5-10 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis Lisinopril 2,5-20 mg/hari dalam 1 dosis Enalapril 5-20 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis 7. Statin Tanpa melihat hasil pemeriksaan awal kolesterol LDL pasien dan tanpa mempertimbangkan modifikasi diet untuk menurunkan kolesterol, inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase (statin) harus diberikan pada semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang telah menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat indikasi kontra (Kelas I-A). Terapi statin dosis tinggi hendaknya dimulai sebelum pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi untuk mencapai kadar kolesterol LDL <100 mg/ dL (Kelas I-A). Menurunkan kadar kolesterol LDL sampai <70 mg/dL mungkin untuk dicapai. 2. Non farmakologi untuk mengurangi resiko dari penyakit jantung koroner : a. Merubah gaya hidup, berhenti merokok dan minum minuman beralkohol b. Olahraga dapat meningkatkan HDL kolesterol dan memperbaiki kolateral koroner sehingga PJK dapat dikurangi, olahraga bermanfaat karena: 1. memperbaiki fungsi paru dan pemberian O2 ke miokard UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 39 2. menurunkan berat badan sehingga lemak tubuh yang berlebih berkurang bersama-sama dengan menurunnya LDL kolesterol 3. menurunkan tekanan darah c. Diet untuk menanggulangi hiperkolesterolemi. (Dede,1996) . 2.4 Peran Farmasi pada penyakit jantung koroner Paradigma pengobatan atau strategi terapi medis penderita penyakit jantung koroner berubah dan mengalami kemajuan pesat dengan adanya hasilhasil penelitian mengenai patogenesis penyakit jantung koroner dan petunjukpetunjuk penatalaksanaan baru. Kemajuan pesat dalam terapi medis tersebut mencakup terapi untuk mengendalikan faktor resiko (terpenting statin untuk dislipidemia, obat antihipertensi terutama obat ACE-I, obat penghambat reseptor A-II), obat-obat baru antitrombotik, gagal jantung dan aritmia. Berbagai pedoman dan standar terapi telah dibuat untuk penatalaksanaan penderita penyakit jantung koroner. Agar standar dan strategi pengobatan serta penatalaksanaan pasien penyakit jantung koroner berlangsung secara optimal, efektif dan efisien sesuai dengan pedoman atau standar terapi yang telah ditetapkan, maka perlu adanya suatu sitem dan/atau mekanisma yang secara terus menerus memonitor dan memantau terapi obat yang diterima pasien. Hal tersebut diatas menunjukkan, penatalaksanaan PJK memerlukan suatu pendekatan yang holistik, baik dalam upaya pencegahan maupun pengobatan. Serta pelayanan yang terpadu dan berkelanjutan antara sistem dan atau subsistem pelayan yang terdapat disuatu rumah sakit seperti aspek pelayanan medik (medik Care), asuhan kefarmasian (pharmaceutical care), dan asuhan keperawatan (nursing care). Untuk itulah perlu adanya bekal pengetahuan praktis yang cukup bagi apoteker untuk dapat berperan dalam menangani pasien-pasien PJK dengan baik dari sisi kefarmasian bersama-sama dengan tim kesehatan lainnya. Pengetahuan praktis seperti itu perlu diperbaharui secara terus menerus sesuai dengan perkembangan ilmu kefarmasian dan kedokteran. Pelaksanaan secara optimal asuhan kefarmasian (Pharmaceutical care) dalam penatalaksanaan pasien penyakit jantung koroner, yang meliputi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 40 manajemen DRPs adalah pilihan yang tepat dan strategis. Dalam upaya menunjang klinis bekerjasama untuk mencapai dan menjamin proses terapi medis yang optimal atau proses pengobatan berjalan sesuai dengan standar pelayanan profesi maupun kode etik yang telah ditetapkan. Managemen DRPs adalah suatu proses yang meliputi semua fungsi yang perlu untuk menjamin terapi obat yang aman untuk pengobatan pasien, efektif dan ekonomis yang dilaksanakan secara terus menerus. Managemen DRPs terdiri dari fungsi utamanya adalah mengidentifikasi masalah-masalah yang berkaitan dengan DRPs yang potensial maupun aktual, mengatasi DRPs yang aktual dan mencegah terjadinya DRPs yang potensial. Implikasi dari managemen DRPs terjadi optimalisasi peran apoteker dalam proses sakit dan sehatnya seseorang pasien. Selain itu untuk melaksanakan asuhan kefarmasian secara optimal dengan cara menjalin komunikasi antara apoteker dengan pasien serta dengan anggota tim yang merawat pasien. 2.4.1 Rencana asuhan kefarmasian. Rencana asuhan kefarmasian bagi pasien PJK secara garis besar pada prinsipnya adalah terdiri dari empat komponen yakni melaksanakan managemen DRPs, menjaga dan berupaya agar pedoman penatalaksanaan pasien PJK berjalan sebagaimana telah disepakati berdasarkan standar pelayanan profesi dan kode etik yang telah ditetapkan, melaksanakan pemberdayaan pasien dalam hal penggunaan obat secara cerdas serta bijak dan pengetahuan tentang penyakit jantung koroner. Dengan tujuan untuk kepuasan pasien dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan serta sebagai bentuk pemenuhan hak dasar sebagai pasien. Tabel 2.8 empat prinsip dasar tujuan dari rencana Pharmaceutical Care (Direktorat bina farmasi komunitas dan klinik ditjen bina kefarmasian dan alat kesehatan departemen kesehatan, 2006) No Empat prinsip dasar tujuan dari renacana pharmaceutical care 1. Melaksanakan managemen DRPs 2. Terapi berjalan sesuai Guidelines penatalaksanaan SKA 3. Pendidikan dan informasi 4. Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 41 Pada umumnya penderita penyakit jantung koroner yang dirawat di rumah sakit dengan kondisi multiple disease serta mendapat terapi lebih dari satu macam obat (multiple drug therapy). Kondisi tersebut dapat menjadi berisiko tinggi atau cenderung mengalami masalah-masalah yang berkaitan dengan obat atau drugrelated problems (DRPs) yang akan mempengaruhi outcome dari penggunaan obat tersebut. Karena biasanya penderita yang menggunakan banyak obat dan mengalami multiple disease, merupakan faktor yang dapat meningkatkan terjadinya drug induced disease, interaksi, efek samping obat dan kurang efisiennya prose pengobatan. Pelaksanaan asuhan kefarmasian, apoteker dapat berperan dari awal atau bisa dilaksanakan sebelum penderita ke rumah sakit, dirumah sakit dan atau setelah keluar dari rumah sakit atau komunitas. 2.4.2 Sebelum kerumah sakit Pada prinsipnya pelaksanaan pharmaceutical care sebelum ke rumah sakit adalah seorang apoteker harus dapat mengenali bahwa seseorang telah terkena PJK dari gejala dan keluhan yang dirasakan oleh penderita. Berdasarkan gejala dan keluhan yang spesifik dari pasien dengan kemungkinan PJK, maka : 1. Berikan asetil salisilat 300mg dikunyah 2. Berikan nitrat sublingual 3. Kirim ke fasilitas yang memungkinkan 2.4.3 Di rumah sakit 2.4.3.1 IGD/UGD Rencana pharmaceutical care yang dibuat harus mencakup dan mempunyai tujuan dalam hal menjamin dan memastikan ketersediaan dan distribusi barang-barang kefarmasian untuk terlaksananya terapi atau penatalaksanaan pasien PJK secara optimal. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 42 2.4.3.2 Rawat inap, ICCU/CVC Rencana asuhan kefarmasian yang dibuat untuk penderita PJK harus mempunyai tujuan untuk mengatasi masalah gejala yang muncul dan meningkatkan kesempatan bertahan untuk jangka waktu lama dengan kondisi bebas dari terapi. Hal-hal yang diperlukan harus mencakup : 1. Pengoptimasi regimen obat antiangina penderita PJK untuk menjamin kerasionalannya apakah penambahan terapinya sampai tercapai kontrol gejala yang baik. 2. Memonitor setiap penambahan dan atau penggantian regimen obat pada pasien pjk untuk melihat keberhasilan dan kemampuan toleransinya dengan melakukan pengukuran hasil pengobatan melalui analisa frekuensi serangan angina yang terjadi pada pasien. 3. Memberikan konsultasi pada pasien untuk memastikan bahwa dia mengerti tujuan dari pengobatan dan menggunakan obatnya dengan tepat sehingga tercapai efek maksimum terapi dan minimalisasi efek samping. Menjelaskan kepada pasien, alasan pemberian setiap obat yang digunakannya serta hubungannya dengan gejala dan keluhan yang dirasakannya. 4. Memberikan konsultasi pada pasien perihal pola hidupnya (seperti diet, merokok, dll) untuk memastikan bahwa dia tidak mengkompromikan pengobatannya dalam cara apapun. 5. Memastikan bahwa pasien mendapatkan saran dan obat yang kontinu ketika keluar dari rumah sakit. Sebelum pulang ke rumah, pasien harus mendapatkan petunjuk yang detail mengenai pengobatannya termasuk penjelasan bagaimana mendapatkan obat selanjutnya dan apa yang harus dilakukan jika gejala yang muncul tidak terkontrol atau jika dia terkena efek samping dari pengobatannya. 6. Memastikan prinsip-prinsip dari managemen DRPs sudah berjalan dengan optimal. (direktorat bina farmasi komunitas dan klinik ditjen bina kefarmasian dan alat kesehatan, 2006). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 43 2.5 Rumah Sakit Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Rawat sakit juga merupakan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan yaitu setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan dilakukan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu serta berkesinambungan (Siregar,2004). 2.5.1 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, rumah sakit mempunyai fungsi : a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit . b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna. c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan. 2.5.2 Jenis dan Klasifikasi Rumah Sakit 2.5.2.1 Jenis Rumah Sakit Secara Umum Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, rumah sakit dapat dibagi berdasarkan jenis pelayanan dan penggelolaannya : 1. Berdasarkan jenis pelayanan a. Rumah sakit umum: memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 44 b. Rumah sakit khusus: memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya. 2. Berdasarkan pengelolaan a. Rumah sakit publik, dikelola oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba. Rumah sakit publik yang dikelola pemerintah dan pemerintah daerah diselenggarakan berdasarkan pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. b. Rumah sakit privat, dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk perseroan terbatas atau persero. 2.5.2.2 Klasifikasi Rumah Sakit Umum Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara berjenjang dan fungsi rujukan, rumah sakit umum diklasifikasikan berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan rumah sakit: a. Rumah sakit umum kelas A, adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik luas dan subspesialistik luas b. Rumah sakit umum kelas B, adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik sekurangkurangnya sebelas spesialistik dan subspesialistik luas. c. Rumah sakit umum kelas C, adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampua pelayanan medik spesialistik dasar. d. Rumah sakit umum kelas D, adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik dasar. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 45 2.6 Rekam Medis Rekam medis menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Sedangkan menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, rekam medis adalah keterangan baik yang tertulis/terekam tentang identitas pasien, anamnesa, penentuan fisik, laboratorium, diagnosa segala pelayanan dan tindakan yang diberikan kepada pasien dan pengobatan baik dirawat jalan, rawat inap dan gawat darurat. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 1996, yang diwajubkan untuk membuat rekam medis adalah tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan langsung kepada pasien, adalah sebagai berikut : a. Tenaga medis (dokter dan dokter gigi) b. Tenaga keperawatan (perawat dan bidan) c. Tenaga kefarmasian (apoteker, analisa farmasi, dan asisten apoteker) d. Tenaga kesehatan masyarakat (administrator kesehatan) e. Tenaga gizi (nutrisionis dan dietis) f. Tenaga keterapian fisik (fisioterapis) g. Tenaga keteknisian medis (radiografer teknisi elektromedis analis kesehatan dan perekam medis). Tujuan rekam medis adalah untuk menunjang tercapainya tertib administrasi dalam rangka upaya peningkatan kesehatan di rumah sakit. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 46 2.7. Profil Rumah Sakit “X” Rumah Sakit “X” berasal dari PHC (Port Health Center). Kelas rumah sakit ini kelas C plus dan jumlah bed sebanyak 145 tempat tidur. Rumah Sakit “X” ini ditunjang oleh tenaga-tenaga profesional yang terdiri dari : 1. 19 Dokter Umum 2. 5 Dokter Gigi 3. 28 Dokter Spesialis 4. 4 Dokter Sub Spesialis 5. 2 Apoteker 6. 1 Psikolog 7. 10 Sarjana Keperawatan dan tenaga paramedis serta tenaga non medis yang handal. Rumah sakit “X” ini juga di lengkapi dengan fasilitas dan pelayanan penunjang, diantaranya : Radiologi, Ultra Sono Grafi (USG), CT scan, Endoscopy, Audiogram, Treadmill untuk uji latih jantung, spirometri, EEG, EMG, laboratorium dan apotik. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1 Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan Rumah Sakit “X” Jakarta Utara, Jakarta Utara 14260. 3.1.2 Waktu Penelitian Pengambilan data penelitian dilaksankan pada bulan Juni-Juli 2016. Analisis data dilaksanakan pada bulan Juli-September 2016. 3.2 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental yang menggunakan pendekatan cross-sectional (potong lintang), yaitu mempelajari dinamika korelasi antara faktor pengaruh dan faktor terpengaruh dengan cara pendekatan, observasi, pengumpulan data sekaligus, dimana menekankan waktu pengukuran hanya satu kali pada satu saat (Notoatmodjo, 2002). Penelitian non eksperimental merupakan penelitian yang observasinya dilakukan terhadap sejumlah kecil subjek (variabel) tanpa ada manipulasi dari peneliti (Praktiknya, 2001). Pengumpulan data variabel untuk mendapatkan pola drug related problems (DRPs) yang terjadi pada pasien dengan diagnosa PJK dengan pengumpulan data secara retrospektif. Data yang digunakan adalah data rekam medis pasien dengan diagnosa PJK di ruang rawat inap Rumah Sakit “X” Jakarta Utara selama periode bulan Januari – Mei 2016. Analisa yang dilakukan secara deskriptif, yaitu dengan menggambarkan pola DRPs yang terjadi pada pasien PJK. 47 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 48 3.3 Kerangka Konsep Kerangka konsep merupakan dasar dari penelitian agar pembaca dapat memahami konsep penelitian yang dirancang (Nurrakhmani, 2014). Gambar 3.1 Bagan kerangka konsep Variabel bebas 1.Karakteristik Pasien Usia Jenis kelamin Penyakit penyerta 2.Profil penggunaan obat pada pasien 3.Polifarmasi Variabel terikat Jumlah DRPs yang terjadi pada pasien dengan diagnosa jantung koroner : 1. Indikasi tanpa obat 2. Obat tanpa indikasi 3. Ketidaktepatan pemilihan obat 4. Dosis terlalu tinggi (over dosage) 5. Dosis terlalu rendah (under dosage) 6. Interaksi obat 3.4 Populasi dan Sampel Penelitian 3.4.1 Populasi Populasi adalah seluruh objek penelitian yang memiliki kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk diteliti dan ditarik kesimpulannya (Arikunto, 2002). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien rawat inap Rumah Sakit “X” Jakarta utara yang didiagnosis PJK priode bulan Januari-Mei 2016. 3.4.2 Sampel Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki dari populasi (Sugiyono, 2005). Sampel dalam penelitian ini adalah populasi yang memenuhi kriteria inklusi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling, total sampling yaitu semua pasien yang memenuhi kriteria diambil sebagai penelitian. Ada 2 macam tipe kriteria : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 49 a. Kriteria inklusi Kriteria inklusi adalah kriteria dimana subjek penelitian dapat mewakili dalam sampel penelitian, memenuhi syarat sebagai sampel. Kriteria inklusi untuk sampel kasus dalam penelitian ini adalah : Pasien rawat inap yang di diagnosa penyakit jantung koroner di ruang rawat inap priode Januari- Mei 2016; Pasien dengan rekam medis yang lengkap dan dapat dibaca. b. Kriteria ekslusi Kriteria ekslusi merupakan keadaan yang menyebabkan subjek tidak dapat diikut sertakan dalam penelitian. Adapun yang termasuk kriteria eksklusi adalah : Pasien pulang paksa Pasien dengan data rekam medik yang tidak lengkap 3.5 Definisi Operasional Menurut koentjaraningrat, definisi operasional adalah suatu definisi yang didasarkan pada karakteristik yang dapat diobservasi dari apa yang sedang didefinisikan atau “mengubah konsep-konsep yang berupa konstruk dengan katakata yang menggambarkan perilaku atau gejala yang dapat diamati dan yang dapat diuji serta dapat ditentukan kebenarannya oleh lain-lain” (Siregar, 2011). Dengan kata lain, definisi operasional dalam penelitian merupakan bentuk operasional dari variabel-variabel yang digunakan, biasanya berisi definisi konseptual, indikator yang digunakan, alat ukur yang digunakan (bagaimana cara mengukur) dan penilaian alat ukur (Siregar, 2011). Kegunaan definisi operasional untuk membatasi ruang lingkup atau pengertian variabel-variabel yang diamati atau diteliti dan definisi operasional juga bermanfaat untuk mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan terhadap variabel-variabel yang bersangkutan serta pengembangan instrumen (Alat ukur) (Notoatmodjo, 2002). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 50 Tabel 3.1. Definisi operasional variabel dalam penelitian No 1. Variabel Definisi Cara dan alat Skala ukur ukur Karakteristik Kondisi fisik yang Melihat data pasien menentukan status rekam medis Jenis seseorang laki-laki pasien kelamin atau perempuan. Usia Perhitungan umur Melihat data pasien PJK dengan rekam medis penyakit penyerta. pasien a. b. nominal Kategori 0. Laki-laki 1. wanita ordinal 0. 5-11 1. Penggolongan usia berdasarkan 2. 1.) 5-11 tahun: tahun 4. 2.) 12-16 tahun: tahun 5. 3.) 17-25 tahun tahun 6. 4.) 26-35 tahun Masa lansia akhir: 55-65 : masa 5.) 35-45 tahun Masa lansia awal : 46-65 : masa dewasa awal Masa dewasa akhir: 35-45 masa remaja remaja Masa dewasa awal : 26-35 masa kanak- awal Masa remaja akhir : 17-25 3. kanak Masa remaja awal : 12-16 DEPKES RI (2009), yaitu : Kanak-kanak : tahun 7. Manula : ≥ 65 tahum : masa dewasa akhir 6.) 46-55 tahun : masa dewasa akhir 7.) 55-65 tahun : masa lansia akhir 8.) ≥ 65 tahun : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 51 manula 2. Penyakit Keadaan klinis yang Melihat data Nominal penyerta di derita oleh pasien rekam medis 1. Hipertensi PJK yang pasien 2. Diabetes menyebabkan dan 0. Tidak ada melitus menyertai PJK atau 3. CKD tidak menyebabkan 4. Dll dan menyertai PJK. 3. Drug Related Peristiwa atau Studi literatur Problem (DRPs) kejadian yang dan melibatkan terapi disesuaikan obat yang benar- dengan benar atau berpotensi Kategori mengganggu hasil DRPs menurut klinis kesehatan yang cipolle et al. diinginkan (1998). Kategori DRPs Minimal menurut cipolle et al terjadi 1 drp nominal 0. tidak terjadinya DRPs 1.terjadi DRPs (1998) : 1. indikasi tanpa obat 2. obat tanpa indikasi 3. ketidaktepat an pemilihan obat 4. dosis terlalu tinggi 5. dosis terlalu rendah 6. efek yang merugikan (efek samping) 7. interaksi obat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 52 4. Kelas DRP’s a. Pasien mempunyai Melihat rekam dosis kondisi medis dan medis dan terlalu mendapatkan obat dibandingkan tinggi. yang benar tetapi dengan dosis obat yang literatur. terlalu tinggi dapat Literatur yang menimbulkan digunakan toksisitas atau efek (mims, iso, yang tidak diinginkan drug lainnya (stand et al, information 1990). handbook, Nominal 0.tepat dosis 1.tidak tepat dosis dipiro dan b. dosis terlalu rendah. Pasien mempunyai aplikasi kondisi medis dan medscape). 0.tepat dosis 1.tidak tepat dosis mendapatkan obat yang benar tetapi dosis yang terlalu rendah sehingga tidak menimbulkan efek yang diinginkan (stand et al, 1990). c. Interaksi Karena penyakit Melihat rekam nominal 0.Tidak potensi obat. jantung disertai medis dan adanya interaksi dengan penyakit dibandingkan 1.potensi adanya penyerta maka di dengan interaksi lihat apakah ada literatur interaksi atau tidak (aplikasi antar obat untuk medscape, penyakit jantung drug koroner dengan obat interaction obatan untuk handbook, penyakit penyerta. mims, iso dan stockley’s drug interactions) d. Indikasi Keadaan dimana Melihat data tanpa pasien membutuhkan rekam medis obat. obat untuk mengobati pasien, Nominal 0.Tidak ada 1.Ada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 53 indikasi tetapi tidak kemudian menerima dibandingkan pengobatan (butuh dengan terapi tambahan). Guidelines penyakit CAD e. Obat Ketika pasien Melihat data tanpa diberikan terapi obat rekam medis indikasi. yang tidak sesuai pasien, dengan indikasi kemudian klinis. dibandingkan Nominal 0.Tidak ada 1.Ada dengan Guidelines penyakit CAD. f. Ketidakt Keadaan dimana Melihat rekam epatan pasien telah medis pasien, pemiliha diresepkan obat yang kemudian n obat. salah atau tidak dibandingkan sesuai dengan kondisi dengan pasien. Guidelines Nominal 0.Tidak ada 1.Ada penyakit CAD. 5. Tingkat Tingkat keparahan Melihat rekam keparahan interaksi obat medis dan interaksi obat menurut (Bailie, dibandingkan 2004) : dengan 1.keparahan minor : jika interaksi mungkin terjadi tetapi dipertimbangkan signifikan potensial berbahaya terhadap pasien jika terjadi kelalaian. literatur ordinal 1.keparahan minor 2.keparahan moderat 3.keparahan major (aplikasi medscape, drug interaction handbook, mims, iso dan stockley’s drug 2. keparahan interactions) moderate: jika satu dari bahaya potensial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 54 mungkin terjadi pada pasien, dan beberapa tipe intervensi/ monitor sering diperlukan. Efek interaksi moderate mungkin menyebabkan perubahan status klinis pasien, menyebabkan perawatan tambahan, dan memperlama tinggal di rumah sakit. 3. keparahan major: jika terdapat probabilitas yang tinggi kejadian yang membahayakan pasien termasuk kejadian yang menyangkut nyawa pasien dan terjadi kerusakan permanen/ kecacatan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 55 3.6 Bagan Alur Penelitian Pengumpulan Rekam Medik (data diambil dari semua pasien yang ditangani oleh dr spesialis jantung pada bulan Januari-Mei 2016 dan diambil pasien dengan diagnosa PJK Seleksi Rekam Medik yang memenuhi kriteria inklusi Pengambilan Data Pengolahan Data Analisis Data Hasil Interpretasi 3.6.1 Persiapan (Permohonan Izin Penelitian) a. Pembuatan dan penyerahan surat permohonan izin pelaksanaan penelitian dari Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Program Studi Farmasi Universitas Islam Negeri Jakarta kepada Rumah Sakit “X” Priok Jakarta Utara. b. Penyerahan surat persetujuan penelitian dari Rumah Sakit “X” Jakarta Utara. 3.6.2 Pelaksanaan Pengumpulan Data a. Penelusuran data pasien di ruang rawat inap dan bagian rekam medik Rumah “X” Jakarta Utara yang menderita jantung koroner priode bulan Januari-Mei 2016. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 56 b. Proses pemilihan pasien yang masuk ke dalam kriteria inklusi c. Pengambilan dan pencatatan data hasil rekam medis di ruang administrasi medis, berupa : i. Nomor rekam medis; ii. Identifikasi pasien (nama, jenis kelamin dan usia); iii. Tanggal perawatan; iv. Penyakit penyerta; v. Terapi obat yang digunakan untuk pengobatan penyakit jantung koroner serta obat yang digunakan untuk pengobatan penyakit penyerta pada pasien Jantung koroner. 3.6.3 Manajemen Data Pelaksanaan verifikasi data rekam medis dan jenis DRPs yang terjadi pada pasien dengan diagnosa jantung koroner, dilanjutkan transkrip data yang dikumpulkan ke dalam logbook dan komputer. 3.6.4 Pengolahan Data a. Editing Proses pemeriksaan ulang kelengkapan data dan mengeluarkan datadata yang tidak memenuhi kriteria agar dapat diolah dengan baik serta memudahkan proses analisa. Kesalahan data dapat diperbaiki dan kekurangan data di lengkapi dengan mengulang pengumpulan data atau dengan cara penyisipan data (interpolasi) b. Coding Kegiatan pemberian kode tertentu pada tiap-tiap data yang termasuk kategori yang sama. Kode adalah isyarat yang dibuat dalam bentuk angkaangka atau huruf untuk membedakan antara data atau identitas data yang akan dianalisia. Peneliti melakukan coding data yang terpilih dari proses seleksi untuk mempermudah analisa di program Microsoft Excel. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 57 c. Tabulasi Proses penempatan data ke dalam bentuk tabel yang telah diberi kode sesuai dengan kebutuhan analisa. Tabel-tabel yang dibuat sebaiknya mampu meringkas agar memudahkan dalam proses analisa data. d. Cleaning Data yang sudah diinput diperiksa kembali untuk memastikan data bersih dari kesalahan dan siap untuk dianalisa lebih lanjut. 3.6.5 Rencana Analisis Data Analisis data dilakukan dengan deskriptif secara retrospektif-cross sectional, meliputi pengamatan demografi pasien untuk menentukan kasus yang terjadi di ruang rawat inap Rumah Sakit “X”. Analisis DRPs pada pasien dengan diagnosa jantung koroner digunakan untuk menggambarkan pola DRPs pada pasien dengan diagnosa jantung koroner serta menggambarkan jenis penyakit penyerta yang paling sering terjadi di ruang rawat inap Rumah Sakit “X Jakarta Utara. Setelah melakukan analisis DRPs pada pasien dengan diagnosa jantung, selanjutnya peneliti melakukan analisa dengan uji statistik univariat dengan menggunakan program SPSS (Statistical Package for the sosial sciences). Analisa univariat adalah analisa yang digunakan untuk menganalisa setiap variabel yang ada secara deskriptif. Data yang telah di kategorikan ditampilkan sebagai frekuensi kejadian. Adapun variabel yang diteliti berupa jenis DRPs dengan kategori obat tanpa indikasi, indikasi tanpa obat, ketidaktepatan pemilihan obat, dosis terlalu tinggi (over dosage), dosis terlalu rendah (under dosage) dan interaksi obat. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Karakteristik Pasien Demografi pasien meliputi jenis kelamin, usia dan jenis penyakit penyerta. Evaluasi Drug Related Problems pada pasien dengan diagnosa penyakit jantung koroner digambarkan secara deskriptif dalam bentuk presentase. Jumlah pasien dengan diagnosa jantung koroner di Rumah Sakit “X” Jakarta Utara, terdapat 51 pasien yang menderita penyakit jantung koroner dalam 5 bulan. Lalu didapat 45 pasien yang masuk kriteria inklusi adalah pasien rawat inap dengan penyakit jantung koroner yang memiliki rekam medis yang lengkap. Tabel 4.1 Distribusi Pasien Berdasarkan Karakteristik No. Karakteristik Pasien 1. Berdasarkan jenis kelamin : 2. N=45 Persentase (%) Perempuan 16 35,55 Laki-laki 29 64,45 Masa dewasa (35-45) 5 11,11 Masa dewasa akhir (46-55) 14 31,11 Masa lansia (56-65) 12 26,67 Masa manula (>65) 14 31,11 Berdasarkan usia (Depkes RI 2009) : Dari tabel diatas, dapat ditemukan bahwa pasien yang menderita PJK paling banyak adalah pada jenis kelamin laki-laki sebanyak 29 pasien (64,45%) dan perempuan sebanyak 16 pasien (35,55%). Berdasarkan usia pasien yang menderita penyakit jantung koroner yang paling banyak pada usia masa manula >65 tahun yakni sebanyak 14 pasien (31,11%), dan masa dewasa akhir 46-55 tahun sebanyak 14 pasien (31,11%), sedangkan sisanya pada masa lansia 56-65 tahun sebanyak 12 pasien (26,67%), dan pada masa dewasa 35-45 tahun sebanyak 5 pasien (11,11%). 58 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 59 Tabel 4.2 Distribusi Penyakit Penyerta Pada Pasien Jantung Koroner No. Penyakit Penyerta N=45 Persentase (%) 1. Hipertensi 17 37,77 2. CHF 12 26,66 3. Diabetes Melitus 14 31,11 4. Gangguan irama jantung dan riwayat jantung 3 6,66 5. Stroke hemmoragic 2 4,44 6. Dispepsia 2 4,44 7. Cephalgia 1 2,22 8. GERD 5 11,11 9. Tanpa penyakit penyerta 1 2,22 Keterangan : CHF = Congestive Heart Failure; GERD = Gastroesophageal Reflux Disease. Dari tabel diatas, Berdasarkan penyakit penyerta terbanyak adalah hipertensi sebanyak 17 pasien (37,77%), diabetes melitus sebanyak 14 pasien (31,11%), CHF sebanyak 12 pasien (26,66%), GERD sebanyak 5 pasien (11,11%), gangguan irama jantung dan riwayat jantung sebanyak 3 pasien (6,66%), stroke hemmoragic sebanyak 2 pasien (4,44%), dispepsia sebanyak 2 pasien (4,44%), cephalgia sebanyak 1 pasien (2,22%) dan tanpa penyakit penyerta sebanyak 1 pasien (2,22%). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 60 4.1.2 Profil Penggunaan Obat 4.1.2.1 Profil Penggunaan Obat Injeksi Berdasarkan profil penggunaan obat injeksi, pasien rawat inap yang menderita PJK dapat dilihat ditabel dibawah ini. Tabel 4.3 Presentase Distribusi Jumlah Pasien Berdasarkan Profil Penggunaan Obat Injeksi. No. Golongan Obat Berdasarkan Kelas Terapi Frekuensi Persentase % 1. Saluran cerna 66 39,52 2. Sistem kardiovaskular 13 7,78 3. Diuretik dan obat saluran kemih 19 11,37 4. Hormon endokrin dan antidiabetik parenteral 8 4,79 5. Saluran syaraf 11 6,58 6. Analgesik non narkotik, antipiretik, antiinflamasi 17 10,17 nonsteroid dan antipirai 7. Vitamin dan mineral 5 2,99 8. Antialergi dan anafilaksis 1 0,59 9. Antiinfeksi 22 12,57 10. Larutan IV & steril lainnya 6 3,59 Jumlah 167 100 Dari tabel 4.3. dapat dilihat bahwa penggunaan obat yang paling banyak digunakan oleh pasien rawat inap yang menderita penyakit jantung koroner adalah golongan obat dengan kelas terapi saluran cerna sebanyak 66 (39,52%) , antiinfeksi sebanyak 22 (12,57%), diuretik dan obat saluran kemih sebanyak 19 (11,37%), kemudian obat dengan golongan anelgesik non narkotika, antipiretik, dan antiinflamasi sebanyak 17 (10,17%), darah dan obat kardiovaskular sebanyak 13 (7,78%), saluran syaraf sebanyak 11 (6,58%), hormon endokrin dan antidiabetik parenteral sebanyak 8 (4,79%), larutan iv dan larutan steril lainnya sebanyak 6 (3,59%), vitamin dan mineral sebanyak 5 (2,99), antialergi dan anafilaksis sebanyak 1 (0,59%). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 61 4.1.2.2 Profil Penggunaan Obat Oral Berdasarkan profil penggunaan obat oral, pasien rawat inap yang menderita PJK dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 4.4. Presentase Distribusi Jumlah Pasien Berdasarkan Profil Penggunaan obat Oral (%) No. Golongan Obat Berdasarkan Kelas Terapi Frekuensi Presentase % 1. Saluran cerna 23 8,48 2. Kardiovaskular 129 47,60 3. Antiinfeksi 9 3,32 4. Analgesik non narkotika, antipiretik dan antipirai 11 4,05 5. Vitamin dan mineral 12 4,42 6. Antihiperlipidemia 30 11,07 7. Saluran Nafas 11 4,05 8. Elektrolit 3 1,10 9. Psikofarmaka dan antikonvulsan 14 5,16 10. Diuretik dan saluran kemih 19 7,01 11. Antimigran dan vertigo 3 1,10 12. Saluran syaraf 5 1,84 13. Relaksasi Otot 2 0,73 Jumlah 271 100 Dari tabel 4.4. dapat dilihat bahwa penggunaan obat yang paling banyak digunakan oleh pasien rawat inap yang menderita penyakit jantung koroner adalah golongan obat dengan kelas terapi kardiovaskular sebanyak 129 (47,60%), antihiperlipidemia sebanyak 30 (11,07%), saluran cerna sebanyak 23 (8,48%) diuretik dan saluran kemih sebanyak 19 (7,01%), psikofarmaka dan antikonvulsan sebanyak 14 (5,16%), vitamin dan mineral sebanyak 12 (4,42%), saluran nafas sebanyak 11 (4,05), analgesik non narkotika, antipiretik dan antipirai sebanyak 11 (4,05%), kemudian sisanya obat dengan golongan terapi antiinfeksi sebanyak 9 (3,32%), saluran syaraf sebanyak 5 (1,84%), elektrolit sebanyak 3 (1,10%) , antimigran dan vertigo sebanyak 3 (1,10%), dan relaksasi otot sebanyak 2 (0,73). Total keseluruhan jumlah obat yang digunakan di rawat inap sebanyak 271 jenis obat. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 62 4.1.2.3 Jumlah Pengggunaan Obat Berdasarkan profil penggunaan obat yang digunakan oleh pasien dengan diagnosa penyakit jantung koroner pada bulan Januari-Mei 2016 didapatkan bahwa penggunaan obat selama dirawat inap sebanyak 167 jenis sediaan injeksi (Tabel 4.3) dan sebanyak 271 jenis sediaan oral (Tabel 4.4) dan total seluruh obat yang digunakan adalah 438 jenis obat yang digunakan. Dan berdasarkan pengelompokan jenis penggunaan obat yang digunakan masing-masing pasien dapat digambarkan pada tabel di bawah ini. Tabel 4.5 Data Distibusi Jenis Penggunaan Obat yang Digunakan oleh Pasien Dengan Diagnosa Jantung koroner di Instalasi Rawat inap Periode Januari-Mei 2016. Jenis Penggunaan Obat Pasien Jumlah Pasien 1-5 obat 0 6-10 obat 15 >10 obat 30 Total 45 Dari tabel 4.5 dapat dilihat jumlah penggunaan obat pada pasien dengan diagnosa jantung koroner selama menjalani perawatan di rawat inap Rumah Sakit “X” Jakarta Utara periode Januari hingga Mei 2016. Jumlah Penggunaan obat >10 obat merupakan jenis obat yang paling banyak diterima pasien yaitu sebanyak 30 pasien dari total pasien 45 pasien, diikuti jenis obat 6-10 sebanyak 15 pasien. Sedangkan untuk pasien yang menggunakan 1-5 jenis obat tidak ada. 4.1.3 Drug Related Problems (DRPs) Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien dengan diagnosa penyakit jantung koroner digambarkan secara deskriptif dalam bentuk tabel dan presentase. Berdasarkan kejadian Drug Related Problems (DRPs) digambarkan pada tabel dibawah ini. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 63 Tabel 4.6 Data Distribusi Pasien Berdasarkan Kategori DRPs Pada Pasien Dengan Diagnosa Penyakit Jantung Koroner Periode Januari-Mei 2016. Kategori DRPs Pasien Presentase Frekuensi Presentase (N=45) (%) (N=527) (%) Obat Tanpa Indikasi 2 4,44 3 0,57 Indikasi Tanpa Obat 0 0,00 0 0 Ketidaktepatan Pemilihan Obat 0 0,00 0 0 16 35,55 19 3,61 37 82,22 76 14,47 44 97,77 427 81,33 525 100 Ketidaktepatan Penyesuaian Dosis : a. Dosis obat melebihi dosis terapi (overdose) b. Dosis obat kurang dari dosis terapi (underdose) Interaksi Obat Total Dari tabel 4.6 terlihat bahwa kategori DRPs yang paling tinggi adalah interaksi obat sebesar 81,02%, lalu diikuti dengan kategori dosis obat kurang dari terapi (underdose) sebesar 14,47%, dosis obat melebihi dosis terapi (overdose) sebesar 3,61% dan obat tanpa indikasi sebesar 0,57%. 4.1.4 Tingkat Keparahan Interaksi Obat Tingkat keparahan interaksi obat pada pasien dengan diagnosa PJK pada Rumah Sakit “X” Jakarta Utara digambarkan secara deskriptif dalam bentuk tabel dan presentase. Berdasarkan kejadian keparahan interaksi obat digambarkan pada tabel dibawah ini. Tabel 4.7 Data Distribusi Potensial Tingkat Keparahan Interaksi Obat pada pasien dengan diagnosa PJK . Tingkat keparahan interaksi Frekuensi Presentase (%) 1.Mayor 44 10,30 2.Moderate 285 66,74 3.Minor 98 22,95 Jumlah 427 100 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 64 Dari tabel 4.7 menggambarkan potensial tingkat keparahan interaksi obat pada pasien dengan diagnosa PJK yang paling banyak adalah potensial moderate sebanyak 285 kejadian (66,74%), lalu diikuti dengan potensial tingkat keparahan minor sebanyak 98 kejadian (22,95%), dan potensial tingkat keparahan mayor sebanyak 10,30%. Tabel 4.8 Data obat-obatan yang mengalami interaksi berdasarkan tingkat keparahan interaksi. No Obat–obatan yang mengalami interaksi Level frekuensi Signifikan 1. 2. 3. Presentase (%) Tingkat keparahan mayor : Rhindopump x clopidogrel Level 1 15 34,09 Amlodipin x simvastatin Level 2 5 11,36 Aspirin x ketorolac Level 1 6 13,63 Tingkat keparahan moderate ISDN x ramipril Level 3 13 4,56 Alprazolam x ISDN Level 4 9 3,15 Furosemid x digoxin Level 3 9 3,15 Tingkat keparahan minor ISDN X omeprazol Level 4 13 13,26 Furosemid x aspirin Level 5 12 12,24 Aspirin x bisoprolol Level 4 7 7,14 Pada tabel 4.8 terlihat bahwa obat-obatan yang banyak mengalami interaksi pada masing-masing tingkat keparahan interaksi adalah pada tingkat keparahan mayor yang paling banyak adalah rhidopump (omeprazol) x clopidogrel sebanyak 15 (34,09%), aspirin (asam salisilat) x ketorolac sebanyak 6 (13,63%), amlodipin x simvastatin sebanyak 5 (11,36%) dari total 44 frekuensi kejadian tingkat keparahan mayor. Pada tingkat keparahan moderate yang paling banyak adalah ISDN x ramipril sebanyak 13 (4,56%), alprazolam x ISDN sebanyak 9 (3,15%), furosemid x digoxin sebanyak 9 (4,56%) dari total 285 frekuensi kejadian tingkat keparahan interaksi moderate. Dan Pada tingkat keparahan minor yang paling banyak adalah ISDN x omeprazole sebanyak 13 (13,26%), furosemid x aspirin sebanyak 12 (12,24%), aspirin x bisoprolol sebanyak 7 (7,14%) dari total frekuensi kejadian tingkat keparahan interaksi minor 98. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 65 4.2 Pembahasan 4.2.1 Karakteristik Pasien Pada tabel 4.1 ditemukan bahwa penderita penyakit jantung koroner sering terjadi pada pasien dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 29 pasien (64,45%) dari pada pasien dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 16 (35,55%), hal ini dikarenakan sebenarnya proses aterosclerosis terjadi dalam waktu yang lama sejak usia 15 tahun, pada laki-laki usia 40 tahun keatas kenaikan kadar kolesterol dalam darah mempunyai resiko yang tinggi khususnya LDL untuk pembentukan penyakit jantung koroner, sedangkan perempuan mempunyai perlindungan alami dari resiko penyakit jantung koroner yaitu hormon estrogen yang bisa sangat membantu dalam pengendalian kolesterol. Selain itu juga pola hidup yang kurang sehat seperti merokok juga menambah faktor resiko dari jenis kelamin laki-laki. Hasil dari penelitian ini bertolak belakang dengan Riskesdas 2013, dimana prevalensi PJK lebih tinggi pada jenis kelamin perempuan, namun hasil penelitian sejalan dengan penelitian Ismantri tahun 2009 dimana hasil penelitiannya didapatkan sekitar 75,9% responden penderita PJK adalah laki-laki dan sisanya 24.1% adalah perempuan dan penelitian ini juga sejalan dengan teori Laker 2006 tentang faktor resiko jantung koroner. Berdasarkan rentan umur, dapat ditemukan bahwa pasien yang menderita PJK yang paling banyak adalah pasien dengan >65 tahun sebanyak 14 pasien (31,11%), masa dewasa akhir 46-55 tahun sebanyak 14 pasien (31,11%), masa lansia 56-65 tahun sebanyak 12 pasien (26,67%) dan masa dewasa 35-45 tahun sebanyak 5 pasien (11,11%). Hal ini sejalan dengan Riskesdas 2013, dimana prevalensi penyakit jantung koroner berdasarkan wawancara yang didiagnosa dokter serta yang didiagnosa dokter atau gejala meningkat seiring dengan bertambahnya umur, dan kelompok tertinggi pada rentan umur 65-74 tahun yaitu 2,0 % dan 3,6% , selain itu hasil penelitian ismantri pada tahun 2009 juga menyatakan pasien yang banyak didiagnosa penyakit jantung koroner pada rentang usia 45 dan lebih dari 60 tahun dan hasil dari penelitian ini juga sejalan dengan teori Laker, 2006 tentang faktor resiko jantung koroner, yaitu semakin bertambahnya usia kenaikan kadar kolesterol dalam darah juga bertambah dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 66 untuk perempuan yang telah mencapai usia menopouse, tidak lagi memiliki perlindungan alami karena hormon estrogen tidak berproduksi kembali. Berdasarkan penyakit penyerta dari tabel 4.2 penyakit penyerta yang menyertai penyakit jantung koroner adalah penyakit hipertensi sebanyak 17 pasien (37,77%), diabetes melitus sebanyak 14 pasien (31,11%), CHF sebanyak 12 pasien (26,66%), GERD sebanyak 5 pasien (11,11%), gangguan irama jantung dan riwayat jantung sebanyak 3 pasien (6,66%), stroke hemmoragic sebanyak 2 pasien (4,44%), dispepsia sebanyak 2 pasien (4,44%), cephalgia sebanyak 1 pasien (2,22%) dan tanpa penyakit penyerta sebanyak 1 pasien (2,22%) dari jumlah sampel 45 orang. Hasil dari penelitian ini sejalan penelitian yang dilakukan Krishnan, dkk tahun 2013 dimana kematian akibat penyakit jantung koroner yang disertai dengan hipertensi meningkat sekitar 9,4% dari tahun 2008, dan selain itu penelitian Townsend tahun 2012 menyatakan 50% penyakit jantung koroner dinegara berkembang yang terjadi disebabkan oleh hipertensi. 4.2.2 Profil Penggunaan Obat Pada Pasien PJK Profil penggunaan obat adalah seluruh kelompok obat yang digunakan oleh pasien PJK yang disertai maupun yang tidak disertai dengan penyakit penyerta dari beberapa golongan obat, dan masing-masing mempunyai tujuan pengobatan yang disesuaikan dengan kondisi pasien. Penggolongan obat ini dilakukan berdasarkan literatur MIMS indonesia tahun 2016 dan dipiro 7th. Dari tabel 4.3 dan tabel 4.4 diatas dapat diketahui terapi obat yang digunakan oleh semua pasien. Obat yang paling banyak digunakan pertama yaitu obat sistem kardiovaskular (32,42%) dan diurutan kedua yaitu obat saluran cerna (20,31%). Obat yang paling banyak adalah obat pada sistem kardiovaskular, dikarenakan dominan penyakit penyerta yang paling banyak adalah kardiovaskular yaitu hipertensi sebanyak 17 kejadian dan diikuti dengan DM sebanyak 14 kejadian. a. Obat sistem kardiovaskular Penyakit kardiovaskular merupakan salah satu penyakit yang sering muncul pada usia lanjut. Salah satunya, hipertensi merupakan salah satu faktor yang menginisiasi penyakit jantung koroner (Dipiro ed 7th ). Penggunaan obat kardiovaskular merupakan obat terbanyak yang digunakan oleh pasien dengan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 67 diagnosa PJK dan jenis obat kardiovaskular yang banyak digunakan yaitu clopidogrel sebanyak 37 pasien dari 45 pasien. Clopidogrel memiliki efek farmakologis sebagai antiplatelet. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Trisna tahun 2015 dimana banyak ditemukan obat-obat kardiovaskular yang digunakan pada pasien dengan diagnosa gagal ginjal kronik dengan penyakit penyerta PJK dan yang paling banyak obat kardiovaskular yang digunakan yaitu clopidogrel pada 15 pasien (65,21%). Berdasarkan evidence-based medicine antiplatelet merupakan lini pertama untuk pengobatan ACS. Clopidogrel merupakan prodrug, clopidogrel secara kompetitif dan ireversibel menghambat adenosine diphospate (ADP) P2Y12 reseptor. Adenosine diphosphate yang berikatan dengan P2Y1 reseptor menginduksi perubahan ukuran platelet serta dapat menurunkan agregasi platelet untuk sementara (Nguyen, 2005). Tidak seperti aspirin obat ini tidak memiliki efek terhadap metabolisme prostaglandin (Katzung, 2003). Clopidogrel juga memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan ticlopidine yaitu supresi sumsum tulang belakang dan thrombotic thrombocytopenia purpura pada beberapa kasus (Katzung, 2003). Penggunaan obat golongan obat kardiovaskular cukup banyak, hal ini sesuai seperti yang digambarkan pada karakteristik subjek penelitian berdasarkan penyakit komplikasi yang paling banyak diderita yaitu hipertensi (Gunawan, dkk, 2009). b. Obat saluran cerna Obat saluran cerna merupakan obat kedua yang paling banyak digunakan oleh pasien rawat inap pada pasien dengan diagnosa PJK di Rumah Sakit “X” Jakarta Utara. Obat saluran cerna yang digunakan adalah obat golongan antitukak peptik, antispasmodik, PPI, antagonis histamin H2, antiemetik, antidiare, pencahar, serta enzim pencernaan. Obat-obat dari saluran cerna ini digunakan untuk memberikan terapi untuk penyakit penyerta, selain itu obat saluran cerna juga digunakan untuk mengatasi efek samping yang timbul dari penggunaan obat kardiovaskular dan obat lainnya yang digunakan oleh pasien untuk mengatasi keluhan lainnya. Contohnya golongan PPI (omeprazole) dapat digunakan pada pasien dengan penyakit penyerta GERD, Peptic Ulcer UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 68 Disease dan penyakit peptik lainnya, selain itu obat antagonis reseptor serotonin yaitu ondansentron yang berguna sebagai anti mual dan anti muntah diberikan pada pasien yang mendapatkan obat kardiovaskular seperti clopidogrel untuk mengatasi efek samping mual. Obat ini berkerja secara selektif memblokir serotonin (Drug Information Handbook). Berdasarkan hasil penelitian didapatkan obat saluran cerna yang paling banyak digunakan pada pasien dengan diagnosa PJK adalah ranitidin. Ranitidin adalah obat golongan antagonis histamin H2. Ranitidin dapat dengan cepat menyerap diusus, selain itu ranitidin mengalami metabolisme lintas pertama dihati sehingga membuat bioavailabilitasnya menjadi sekitar 50%. Golongan antagonis H2 menunjukkan inhibisi kompetitif di reseptor H2 sel parietal dan menekan sekresi asam lambung, baik eksresi asam basal maupun yang diragsang oleh makanan, dan bergantung pada dosis yang diberikan. Obat ini sangat selektif dan tidak mempengaruhi reseptor H1 dan H2, serta tidak mempengaruhi volume sekresi lambung dan kadar pepsin dalam tubuh (Katzung, 2010). 4.2.2.1 Jumlah Penggunaan Obat Pada Pasien PJK Pasien dengan diagnosa penyakit jantung koroner selama dirawat tidak hanya menerima obat-obatan untuk mengurangi gejala namun juga diberikan obat-obatan lain untuk mengatasi masalah penyakit penyerta dan keluhan-keluhan lain selama di rawat inap di rumah sakit, selain itu juga penyakit jantung koroner sering menggunakan pengobatan kombinasi, sehingga penggunaan obat lebih dari satu yang diterima oleh pasien dan hal ini disebut dengan polifarmasi. Polifarmasi adalah jika pasien mengkonsumsi enam atau lebih obat pada waktu yang sama (Al-Amin et al, 2012). Penggunaan obat lebih dari satu menyebabkan masalah ketidaksesuaian pengobatan seperti interaksi obat, efek samping yang tidak diinginkan dan menyebabkan ketidakpatuhan pasien (Hajar dkk, 2007). Hasil penelitian didapatkan bahwa semua pasien mengalami polifarmasi 45 pasien (100%). Dan 45 pasien yang mendapatkan obat dengan polifarmasi selama perawatan semua mengalami DRPs (100%). DRPs terbanyak yaitu kategori potensial interaksi obat dan potensial tingkat keparahan interaksi obat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 69 cukup parah yaitu interaksi obat keparahan mayor. Pada hasil penelitian juga didapatkan pada pasien nomor 45 yang menerima obat paling banyak jenis obat yaitu 16 jenis obat ditemukan DRPs paling banyak dengan kategori interaksi sebanyak 26 kejadian dan dosis obat dibawah dosis terapi sebanyak 2 kejadian. Hal ini sejalan dengan penelitian chistin tahun 2013 dimana pasien yang mendapatkan terapi lebih dari 5 obat (polifarmasi) memiliki kemungkinan mengalami DRPs dan DRPs yang yang paling banyak ditemukan adalah interaksi obat. 4.2.3 Drug Related Problems (DRPs) Menurut Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) drug related problems (DRPs) adalah suatu kondisi atau keadaan terkait dengan terapi obat yang secara nyata atau potensial mengganggu hasil klinis kesehatan yang diinginkan (PCNE, 2010). Pada pemberian terapi untuk pasien PJK cenderung mengalami DRPs dikarenakan pada pasien dengan diagnosa penyakit jantung koroner juga mengalami penyakit penyerta selain dari penyakit jantung koronernya itu sendiri, sehingga obat yang digunakan untuk mencapai keberhasilan terapi banyak. Hal ini yang banyak menimbulkan DRPs atau kesalahan-kesalahan pada pemberian obat. Untuk permasalahan ini, peran farmasi sangat dibutuhkan untuk meminimalisir terjadinya DRPs. Dan evaluasi DRPs sangat mendukung untuk menghindari terjadinya DRPs. Evaluasi ini bertujuan untuk menjamin pengobatan yang diberikan kepada pasien dapat mencapai efek terapi dan pasien pun mendapatkan pengobatan yang aman, berkhasiat dan bermutu (Sari Novita, 2015). Evaluasi DRPs terdiri dari berbagai kategori yaitu: indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, ketidaktepatan pemilihan obat, dosis tinggi, dosis rendah, interaksi obat, efek samping dan ketidakpatuhan pasien. Namun, pada penelitian ini tidak dilakukan evaluasi kategori ketidakpatuhan pasien dan efek samping dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian bersifat retrospektif (kejadian yang telah berlalu). Pada evaluasi DRPs, pasien dikatakan mengalami DRPs jika pasien mengalami salah satu dari kategori DRPs yang diteliti tersebut dan pasien yang tidak mengalami DRPs jika pasien tidak mengalami satupun kategori DRPs. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 70 Gambaran penelitian evaluasi DRPs pada pasien dengan diagnosa penyakit jantung koroner pada periode Januari-Mei 2016 dapat digambarkan pada tabel 4.6. Berdasarkan data DRPs pada pasien PJK dengan atau tanpa penyakit penyerta diinstalasi rawat inap Rumah Sakit “X” Jakarta Utara dapat dilihat bahwa jumlah DRPs yang paling banyak terjadi adalah interaksi obat sebanyak 427 kejadian (81,33%), dosis obat kurang dari dosis terapi sebanyak 76 kejadian (14,47%), dosis obat melebihi dosis terapi sebanyak 19 kejadian (3,61%), obat tanpa indikasi sebanyak 3 kejadian (0,57%), indikasi tanpa obat 0 kejadian (0,00%) dan ketidaktepatan pemilihan obat sebanyak 0 kejadian (0,00%). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian christin tahun 2013 menemukan adanya drug related problem pada pasien rawat inap yang mendapatkan obat dalam jumlah banyak (polifarmasi) dengan kategori DRPs yang ditemukan adalah terapi obat tanpa indikasi (1,49%), indikasi tanpa obat (7,46%), ketidaktepatan pemilihan obat (1,49%), dosis terlalu rendah (10,45%), dosis terlalu tinggi (2,99%), interaksi obat (40,30%), dan ketidakpatuhan (35,82%). 4.2.3.1 DRPs indikasi tanpa obat Indikasi tanpa obat atau yang lebih dikenal DRPs kategori butuh tambahan obat merupakan kondisi dimana pasien mempunyai indikasi lain dan indikasi tersebut dapat ditegakkan kebenarannya, namun tidak mendapatkan obat untuk mengobati indikasi tersebut. Penilaian analisa DRPs indikasi tanpa obat pada pasien dengan diagnosa penyakit jantung koroner dengan atau tanpa penyakit penyerta didasarkan pada diagnosa masuk, hasil uji laboratorium, dan kondisi pasien selama dirawat dirumah sakit. Pasien dikatakan butuh tambahan obat jika obat yang diterima pasien sesuai dengan keluhan pasien, hasil uji laboratorium maupun hasil dari diagnosa pasien ketika masuk rumah sakit. Di indonesia dilaporkan bahwa penyakit jantung koroner adalah penyebab utama dan pertama dari seluruh kematian, yakni sebesar 26,4%, angka ini empat kali lebih tinggi dari angka kematian yang disebabkan oleh kanker (6%) (Muchid,2006). Tujuan utama yaitu menghilangkan rasa sakit pasien dan memperkecil resiko dari komplikasi yang dapat menyebabkan kematian. Penyakit UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 71 jantung koroner sebenarnya tidak dapat disembuhkan tapi harus senangtiasa dikontrol (Majid, 2007). Pengobatan penyakit jantung koroner dimaksudkan tidak hanya sekedar mengurangi atau bahkan menghilangkan keluhan, yang paling penting adalah memelihara fungsi jantung sehingga harapan hidup akan meningkat (Yahya, 2010). Hasil penelitian pada tabel 4.6 tidak ditemukannya indikasi tanpa obat pada pasien dengan diagnosa jantung koroner. Hal ini menggambarkan bahwa Rumah Sakit “X” Jakarta Utara telah memberikan obat sesuai dengan diagnosa, hasil uji laboratorium dan kondisi pasien. 4.2.3.2 DRPs Ketidaktepatan Pemilihan Obat Ketidaktepatan pemilihan obat adalah suatu keadaan dimana pasien mendapatkan terapi obat yang tidak tepat, maksud dari obat yang tidak tepat adalah obat yang bukan paling efektif atau tidak sesuai dengan keadaan pasien (fungsi fisologis pasien) contohnya pasien menderita gagal ginjal kronik dan mempunyai penyakit penyerta lain seperti pneumoni dan diberikan obat antibiotik golongan aminoglikosida padahal penggunaan obat antibiotik golongan aminoglikosida pada gagal ginjal knonik dapat memperburuk kondisi pasien sebaiknya diberikan antibiotik golongan lain seperti golongan sepalosporin. contoh lain DRPs ketidaktepatan pemilihan obat jika pasien yang mempunyai alergi antibiotik penisilin diberikan obat antibiotik penisilin. Berdasarkan hasil penelitian tidak ditemukan obat-obatan yang mengalami DRPs kategori ketidaktepatan pemilihan obat, karena terapi dan obat yang diberikan oleh dokter Rumah Sakit “X” diberikan dengan disesuaikan oleh kondisi fisiologis pasien seperti fungsi ginjal dan riwayat alergi obat. 4.2.3.3 DRPs obat tanpa indikasi Obat tanpa indikasi adalah suatu keadaan dimana pasien memperoleh terapi obat yang tidak sesuai dengan indikasi penyakit yang dideritanya. Pasien dapat didiagnosa PJK yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti faktor resiko. Faktor resiko ini dapat dibedakan menjadi 2 yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh misalnya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 72 keturunan, umur, dan telah memiliki penyakit kardiovaskular lainnya, sedangkan faktor ekstrinsik adalah faktor yang berasal dari luar tubuh seperti gaya hidup yang kurang sehat contohnya malas untuk berolahraga, merokok dan juga mimum minuman beralkohol (soeharto, 2004). Penilaian untuk mendiagnosa pasien dengan PJK yang pertama adalah melihat apakah angina yang dirasakan pasien merupakan angina stabil atau angina tidak stabil dengan cara mengevaluasi klinis seperti riwayat dan tes fisik (seperti tes berjalan pada treadmill) selanjutnya dilakukan tes EKG setelah itu jika hasilnya + angina stabil maupun angina tidak stabil diberikan obat aspirin/ betablocker/ nitrat/ antithrombolitik/ inhibitor GP IIb/IIa untuk mengurangi gejala angina (bantuan jangka pendek) dan dilanjutkan dengan terapi penunjang lainnya, selanjutnya dilakukan tes angiografi untuk benar-benar memastikan keadaan pembuluh darah arteri (The Task Force on the Management of Stable Angina Pectoris of European Society of Cardiology, 2016), namun tidak semua Rumah Sakit diindonesia mempunyai fasilitas tes angiografi, dikarenakan alat angiografi yang cukup mahal. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 3 obat yang diberikan tanpa indikasi yang jelas, yaitu pasien nomor 4 dan 5. Pada pasien nomor 4 diberikan obat antibiotik golongan quinolon dengan merek dagang farlev yang biasanya diberikan untuk pasien dengan diagnosa pneumonia, pasien masuk dengan diagnosa febris (demam) dan diagnosa keluar CAD, DM tipe II. Pasien awal masuk mengalami demam dicurigai terkena infeksi, namun hasil lab menunjukan diagnosa tersebut tidak bisa di tegakkan karena hasil leukosit normal, hasil trombosit, MCV, MCH, MCHC, dan RDW-SD semua normal dan hasil thorax pulmo/cor normal yang artinya tidak ada kelainan atau perbesaran pada paru-paru pasien. Hal serupa juga ditemukan pada pasien nomor 5 diberikan antibiotik golongan makrolid untuk infeksi saluran nafas bawah dengan merek dagang mezatrin kandungannya azitromisin dan diberikan antibiotik lain golongan penisilin yang biasanya digunakan untuk infeksi kulit dan intra abdomen dengan merek dagang cinam kandungannya penisilin. Pasien masuk dengan diagnosa hipokalemia, CAD dan diagnosa keluar: CHF, hipertensi. Tidak ada diagnosis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 73 yang mengatakan bahwa pasien mengalami infeksi dan hasil lab leukosit menunjukkan normal. 4.2.3.4 DRPs dosis obat melebihi dosis terapi Dosis obat melebihi dosis terapi adalah pasien yang mendapatkan terapi obat yang benar, namun dosis obat yang diberikan melebihi dosis lazim. Pemberian obat dengan dosis melebihi dosis terapi dapat mengakibatkan peningkatan resiko toksisitas. Literatur yag digunakan untuk menetapkan DRPs ketegori dosis obat melebihi dosis terapi yaitu: MIMS 2016, ISO 2016, Drug Information Handbook dan jurnal avidance base of medicine. Pada penelitian rani tahun 2013 tentang drug related problem pada pasien yang mendapatkan obat kardiovaskular ditemukan bahwa dosis melebihi dosis terapi sebanyak 20 (7,96%), sedangkan dosis kurang dari dosis lazim sebanyak 31 (12,35%). Drug related problem kategori dosis melebihi dosis terapi ini tidak lebih banyak dari DRPs kategori dosis kurang dari dosis lazim. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan. Pada tabel 4.6 menunjukkan DRPs dengan ketegori dosis melebihi dosis terapi ditemukan sebanyak 19 kejadian (3,61%) lebih sedikit ditemukan kejadiannya dibandingkan dengan kejadian DRPs dengan kategori dosis kurang dari dosis terapi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan ditemukan obat yang paling banyak mengalami DRPs kategori dosis obat melebihi dosis terapi adalah obat citicolin yang mempunyai efek farmakologis mengurangi kerusakan jaringan otak karena mampu meningkatkan senyawa kimia diotak bernama phosphatidylcholine yang sangat penting untuk menjalankan fungsi otak, selain itu obat ini mampu melancarkan aliran darah dan mengantarkan oksigen ke otak. Dosis maksimum yang diberikan sebesar 1000mg 1x sehari (MIMS, 2016 dan data DOI, 2008), sedangkan ditemukan 5 pasien diberikan dengan dosis 2x1000mg. Berdasarkan Food Drug and Administration (FDA), FDA telah menetapkan kriteria bioekuivalensi obat sebesar 80-125 %, karena pada 90% interval Area Under Curve (AUC) dan konsentrasi obat dalam darah mencapai maksimum (Cmax) dan kriteria ini digunakan pada obat baik yang rendah maupun tinggi variabilitasnya (Food Drug Administration, 2004). Sedangkan citicolin diberikan lebih dari 125% UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 74 dari dosis maksimum sehingga termasuk DRPs kategori dosis melebihi dosis lazim. 4.2.3.5 DRPs dosis obat kurang dari dosis terapi Pemberian obat dengan dosis yang terlalu rendah mengakibatkan ketidakefektifan untuk mencapai efek terapi yang diinginkan. Dosis yang diberikan harus sesuai dengan keadaan pasien dan dosis yang ditetapkan pada literatur MIMS, ISO, Drug Information Handbook, dan jurnal avidance base of medicine. Penilaian evaluasi DRPs dosis terlalu rendah pada pasien berdasarkan pada dosis regimen yang diberikan (Sari Novita, 2015). berdasarkan Food Drug and Administration (FDA), FDA telah menetapkan kriteria bioekuivalensi obat sebesar 80-125 %, karena pada 90% interval Area Under Curve (AUC) dan konsentrasi obat dalam darah mencapai maksimum (Cmax) dan kriteria ini digunakan pada obat baik yang rendah maupun tinggi variabilitasnya (Food Drug Administration, 2004). Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 37 pasien yang mengalami dosis obat kurang dari dosis terapi dan sebanyak 76 frekuensi kejadian. Berdasarkan hasil penelitian 3 jenis obat-obatan yang paling banyak ditemukan yang mengalami DRPs kategori dosis obat kurang dari dosis terapi adalah ranitidin sebanyak 21 kejadian, mecobalamin sebanyak 11 kejadian, dan bisoprolol sebanyak 7 kejadian. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian chistian tahun 2013 dengan judul Drug Related Problems Pada Pasien yang Menerima Resep Polifarmasi, dimana DRPs kategori dosis obat kurang dari dosis terapi merupakan kategori terbanyak kedua yang ditemukan setelah DRPs kategori interaksi obat. 4.2.3.6 DRPs interaksi obat Interaksi obat merupakan hal yang sangat dihindari dari pemberian obat yang diberikan pada pasien. Pada pasien yang mendapatkan obat lebih dari 5 atau lebih akan berpotensi mengalami interaksi obat karena dengan banyaknya obat yang diberikan maka kemungkinan terjadinya interaksi obat juga semakin besar. (Kurniajaturiatama, 2013). DRPs kategori interaksi obat ini dilakukan dengan cara studi literatur dan tidak mengamati secara langsung, literatur yang digunakan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 75 adalah aplikasi medscape, drugs.com dan dibandingkan dengan Drug Interaction Fact tahun 2009, Stockley’s Drug Interaction edisi 8, Drug Information Handbook 2009. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh terdapat 44 pasien yang berpotensi mengalami interaksi obat dari total sampel seluruhnya 45 pasien dan sebanyak 427 kejadian. hal ini sejalan dengan penelitian andi kurnia tahun 2013 dimana andi meneliti interaksi obat pada rawat inap ICCU yang pasien terbanyak menderita PJK ditemukan 78,43% yang mengalami interaksi obat dan sebanyak 192 kasus interaksi yang terjadi obat dengan obat. Pada tabel 4.7 digambarkan potensial tingkat keparahan pada pasien PJK yang paling banyak adalah potensial tingkat keparahan moderate sebanyak 285 kejadian (66,74%), lalu diikuti dengan potensial tingkat keparahan minor sebanyak 98 kejadian (22,95%), dan potensial tingkat keparahan mayor sebanyak 10,30%. Potensial tingkat keparahan moderate yang paling banyak adalah ISDN x ramipril sebanyak 13 kejadian. Mekanismenya ramipril (ACE inhobitor) dapat meningkatkan efek hipotensi nitrogliserin, data lain menunjukkan bahwa ramipril dapat mencegah toleransi nitrat, selain itu ACE inhibitor juga dapat menurunkan resistensi vaskular sistemik, menurunkan kerja jantung dan lebih meningkatkan efektivitas nitrogliserin. Manajemennya harus menghentikan nitrat sebelum memulai ACE inhibitor atau dilanjutkan dengan dosis dikurangi dan juga lakukan pemantau tekanan darah. Untuk potensi tingkat keparahan interaksi yang kedua yaitu tingkat keparahan minor yang paling banyak adalah ISDN x omeprazole sebanyak 13 kejadian mekanismenya omeprazole dapat menghambat pengiriman obat nitrat oral. Efek antiangina mungkin akan berkurang, dan iskemia miokard dpat diperburuk. Dan managementnya mengganti terapi asam lambung lain. Untuk potensi tingkat keparahan interaksi obat mayor yang paling banyak adalah omeprazol (rhindopump) x clopidogrel sebesar 15 kejadian. Pemberian golongan PPI bersama dengan clopidogrel dapat mengurangi efek kardioprotektif clopidogrel, mekanisme interaksi yang dimaksud adalah inhibisi PPI terhadap bioaktivasi metabolik clopidogrel yang diperantai sitokrom P450 2C19. Mekanisme ini akan lebih buruk jika terjadi pada penderita yang memiliki UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 76 polimorfisme genetik sitokrom P450 2C19, yang mana tidak ditemukan aktivitas enzim ini sama sekali dalam tubuh mereka. penggunaan PPI dikaitkan dengan peningkatan 70% dalam risiko serangan jantung atau angina tidak stabil, peningkatan 48% dalam risiko gejala stroke atau stroke dan Managemennya sebaiknya menghindari pemakaian keduanya, harus dipertimbangkan pada pasien yang beresiko tinggi seperti pasien yang menerima terapi antiplatelet ganda, pasien dengan riwayat pendarahan gastrointestinal dan pasien yang menerima terapi antikoagulan bersamaan. Dan setelah evaluasi secara menyeluruh telah dilakukan terhadap resiko dan keuntungannya, jika golongan PPI masih diperlukan maka menggunakan alternatif PPI yang lebih aman seperti pantoprazol, dexlansoprazole atau lansoprazole. Jika tidak maka bila memungkinkan dapat meresepkan obat antasida atau antagonis reseptor H2 seperti ranitidin. 4.3 Keterbatasan Penelitian 4.3.1 Kendala 1. Pengambilan data dan jumlah sampel Ketika proses pengambilan data ada beberapa data pasien yang kurang lengkap seperti (hasil lab yang kadang tidak ada) serta ada beberapa pasien yang rekam mediknya tidak ditemukan atau sedang dirawat kembali sehingga tidak dapat diambil data pasien dan menyebabkan sampel mejadi semakin sedikit. 2. Diagnosa data Hasil laboratorium untuk pemeriksaan tekanan darah, kadar gula darah tidak dilaksanakan dengan rutin, atau tidak tertulis dalam rekam medik sehingga peneliti tidak dapat melihat perkembangan secara mendetail. 5. Protokol terapi PJK Tidak adanya protokol sehingga tidak dapat diketahui kerasionalan penelitian evaluasi DRPs. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 77 6. Refrensi Kesulitan mencari refrensi penelitian, karena penelitian DRPs pada pasien dengan diagnosa PJK ini belum pernah dilakukan sebelumnya atau tidak terpublis. 4.3.2 Kelemahan Penelitian ini memiliki kekurangan, diantaranya : 1. Penelitian merupakan penelitian deskriptif retrospektif Pada penelitian deskriptif hanya dapat dilakukan demografi berupa hasil analisis ketepatan untuk mengetahui DRPs pada terapi yang digunakan oleh pasien. Selain itu metode retrospektif, dimana waktu kejadian sudah terjadi, tidak dapat dilakukan pertanyaan secara langsung pada pasien, terutama untuk meneliti potensi interaksi obat. 2. Jumlah sampel Jumlah sampel yang memenuhi kriteria inklusi sedikit dikarenakan banyak data yang kurang lengkap . 3. Penelitian ini tidak dapat dikatakan rasional, dikarenakan penilaian diagnosa pasien tidak dilakukan secara langsung, melainkan hanya menarik kesimpulan dari diagnose yang tercatat saja. 4.4 Kekuatan Penelitian ini sebelumnya belum pernah dilakukan di Rumah Sakit “X” Jakarta Utara, Maka diharapkan penelitian ini dapat dijadikan refrensi dan gambaran Drug Related Problems pada pasien dengan diagnosa PJK . UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1. Penggunaan obat yang paling banyak digunakan pada pasien dengan diagnosa PJK adalah obat-obatan golongan kardiovaskular sebanyak 142 (32,42%) dan obat kardiovaskular yang paling banyak digunakan adalah clopidogrel, yang digunakan oleh 37 dari total 45 orang. 2. Kategori DRPs yang terjadi interaksi obat sebesar 81,02%, kategori dosis obat kurang dari terapi (underdose) sebesar 14,42%, dosis obat melebihi dosis terapi (overdose) sebesar 3,98%, obat tanpa indikasi sebesar 0,56% dan tidak ditemukan DRPs dengan kategori ketidaktepatan pemilihan obat dan indikasi tanpa obat. 5.2 Saran 1. Perlu adanya monitoring dan evaluasi terapi pada pasien dengan diagnosa PJK dikarenakan obat-obatan yang digunakan berpotensi mengalami interaksi obat. 2. Jika akan melakukan penelitian dengan judul yang sama, sebaiknya menggunakan metode yang berbeda. 3. Perlu adanya peran yang maksimal dan optimal dari farmasi klinik untuk mengevaluasi serta mencegah DRPs. 4. Perlu adanya kerjasama dan kolaborasi yang tepat antara dokter, apoteker dan tenaga kesehatan lainnya, sehingga didapatkan terapi yang tepat, efektif, dan aman. 78 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 79 DAFTAR PUSTAKA Aaronson, Philip I dan Ward, Jeremy P.T. 2010. At Glance Sistem kardiovaskular. Erlangga: Jakarta. Andi, 2013. Interaksi Obat Pada Paien Jantung Ruang Rawat Inap ICCU RSUP Fatmawati Periode September-November 2012. Skripsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatulla Jakarta. Anonim. 2010. PCNE Classification for Drug Related Problems. Pharmaceutical Care Network Europe Foundation, V6.2 revised 14-01-2010, 1-9. Anonim. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan RI, Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Menteri Kesehatan RI. Anonim, 2016. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Edisi 15, 2016. Jakarta: Penerbit Asli (MIMS Pharmacy Guide). Arikunto, S. 2002. Prosedur Suatu Penelitian, Pendekatan Praktek. Edisi 5. Jakarta: Rineka Cipta. Balitbang Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang Kemenkes RI. Christina Ayu Kurnia Dewi, Dkk. 2013. Drug Therapy Problems pada pasien yang menerima resep polifarmasi. Penelitian. Surabaya: Fakultas Airlangga. C. Pearce evelyn. 2006. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia. Cipolle, R.J, Strand, L.M., Morley P.C. 2004. Pharmaceutical Care Practice The Clinician’s Guide, Second Edition, 73-119, McGraw-Hill: New York Committee on the Management of Patients With Unstable Angina. 2016. ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients With Unstable Angina and Non-ST Segment Elevation Myocardial Infarction: Executive Summary and Recommendations. America College of Cardiology and American Heart Association: Circulation.2000;102:1193-1209. Dede Kusmana. 1996. Pencegahan dan Rehabilitas Penyakit Jantung Koroner. Skripsi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 106 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 80 Diah Krisnatuti dan Rina Yenrina. 1999. Panduan Mencegah & Mengobati Penyakit Jantung. Jakarta: Pustaka Swara. Dipiro, et al. 2005. Pharmacotherapy Handbook, seventh edition, New York: MC Graw Hill. Drs.Tan Hoan Tjay dan Drs. Rahadja Kirana. 2007.obat-obat penting edisi VI. Jakarta: Elex Media Komputindo. Hal 528. Drug.com. Online 20-27 Agustus 2016. http://www.drug.com/druginfo/druginterchecker. Food Drug and Administration (FDA). 2004, Advisory Commite for Pharmaceutical Science, 5630 Fisher Lane, Rockville, Maryland. Gunawan, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru Ganong, W. F. 2000. Fisiologi Kedokteran, terjemahan Adrianto, P., Buku Kedokteran EGC, Jakarta Hadiatussalamah. 2013. Identifikasi Drug Related ProblemS (DRPs) Pada Pasien Dengan Diagnosa Congestive Heart Failure Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat DR. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2012. Tesis. Yogyakarta: Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Hajjar ER, et.al. 2007. Polipharmacy in Elderly Patients. USA: The American Journal of Geriatric Pharmacotherapy. Iman Soeharto. 2004, Jantung Koroner dan Serangan Jantung, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Iman Soeharto. 2004, Serangan Jantung dan Stoke Hubungannya Dengan Lemak dan Kolesterol, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Ismantri. 2009. Prevalensi Penderita Penyakit Jantung Koroner yang Menjalani Intervensi Koroner Perkutan Di Rumah Sakit Binawaluya Tahun 2008-2009. Skripsi. Jakarta : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Juwono BS. 1996. Gangguan metabolisme lipid dan penyakit jantung koroner. Jurnal Kardiologi Indonesia. Katzung, Bertram G. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10.Jakarta: EGC. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 81 Kusumawidjaja, Hidayat. 2004. Patologi, Bagian Patologi Anatomik Fakultas kedokteran universitas indonesia, jakarta. Krishna, A. dkk. 2013. Hypertension in the South-East Asia Region: an Overview.Regional Health Forum Vol. 17, Number 1, 2013 Maulana, Mirza. 2008. Mengenal Diabetes Melitus Panduan Praktis Menangani Penyakit kencing Manis. Jogjakarta : Katahati. Mahmoud M.A. 2008. Drug Therapy Problems and Quality of Patients with Chronic Kidney Disease. Universiti Sains Malaysia. Majid, 2007. Penyakit Jantung Koroner: Patofisologi, Pencegahan dan Pengobatan Terkini. Sumatra Utara: Fakultas Kedokteran Sumatra Utara Md. Mamun Al-Amin et al. 2012. Studi on Polypharmacy in Patiens with Cardiovaskular. Journal of Applied Pharmaceutical Science. Vol 2 desember 2012. Germany. Mike Laker. 2006. Memahami Kolesterol. Jakarta: The British Medical Association. Hal 16-18. Muchid A, Umar F, Purnama NR, et al. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Jantung Koroner: Fokus Sindrom Koroner Akut. Departemen Kesehatan.; 5-22 Notoatmodjo, S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: PT Rineka Cipta. Nurhalimah. 2012. Studi Kasus Drug Related Problem Kategori Penyesuaian Dosis Pada Gagal Ginjal Kronik RSUD dr MM Dunda Limboto. Gorontalo: Fakultas Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan Universitas Negeri Gorontalo. Nurhayati. 2011. Analisis Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner Pada Penderita di RSD DR. Soebandi Jember. Jember: Fakultas Kedokteran Gigi. Nurrakhmani, Azizah. 2014. Kerasionalan Penggunaan Antibiotik pada Pasien Penderita Sindrom Respons Inflamasi Sistemik (SIRS) di Ruang Perawatan Intensif (Intensive Care Unit/ICU) Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo pada Tahun 2012-2013. Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 82 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (PerMenKes) No.58 .2014. Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit Jakarta : Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (PerMenKes) Nomor 269 .2008. Rekam Medis: Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Praktiknya, A. W. 2001. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, Edisi 4. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Raharjoe, A. 2011. Current Problem Cardiovascular Disease in Indonesia 20th Annual Scientific Meeting of Indonesia Heart Association (ASMIHA). Perhimpunan Dokter Spesialir Kardiovaskular Indonesia. Rahman,Muin. 2005. Penyakit Jantung koroner. Manifestasi Klinis dan Prinsip Penatalaksanaan. Hal 1091. Rani.2013. Drug Related Problems and Reactive pharmacist interventions for Inpatients Receiving Cardiovaskular Drugs. International Journal of Basic and Pharmacy (IJBMSP) Vol.3,No.2, Desember 2013. India Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). 2013. Pedoman Pewancara Petugas Pengumpul Data. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes RI. Sari Novita, (2015).Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Diabetes Melitus di Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Utara. Skripsi. Jakarta: FKIK UIN Syarif Hidayatullah. tidak diterbitkan. Sarles, W. B., Frazier, W. C., Wilson, J. B., and Knight, S. G. 1969. Microbiology, 2 nd ed. New York: Harper & Brother. page 94-98, 114116. Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Sugiyono. 2005. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan, Edisi 3. Jakarta: EGC. Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson. 2005.Patofisiologi konsep klinis, prosesproses dan penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC. Hal 576. Tortora, G.J., Derrickson, B., 2012. Principles of Anatomy and Physiology. 13th ed. USA: John Wiley & Sons. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 83 Townsend, Raymond. 2012. 100 Tanya Jawab Soal Hipertensi.Jakarta: PT Indeks Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009. Rumah Sakit: Undang- Undang Republik Indonesia. World Health Organization. Deaths from coronary heart disease 2006; Available from:www.who.int/cardiovascular_diseases/cvd_14_deathHD.pdf; diakses tanggal 22 april 2016 pukul 19.00. Yahya, A.F., 2010, Menaklukkan Pembenuh no. 01: Mencegah dan Mengatasi Penyakit Jantung Koroner Secara Tepat. PT Mizan Pustaka, Bandung. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 84 Lampiran 1. Surat Permohonan Data dan Izin Penelitian dari UIN syarif Hidayatullah Jakarta Prodi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 85 Lampiran 2 Contoh Rekapitulasi 5 data sampel penelitian (Keterangan : data sampel 45 pasien, namun data tidak dapat ditampilkan semua). NO L/P 1. P Usia (tahun ) 59 Diagnosa Hipokalemia Hipertensi CAD Tanggal dirawat 17/04/16 sd 21/04/16 Penyakit penyerta Hipertensi Obat yang digunakan Nama generik KET Rute Dosis obat Dosis literatur Waktu Pengguna an 17/04/16 Ascardia As.asetil salisilat anticoagulan oral 1x80mg 1x80mg Pladogrel Clopidogrel Antikoagulan Oral 1x75mg 1x75mg Brainact adis Citicolin Cerebral activator/ neuronics oral Maks : 1x1000mg Divask Amlodipin antihipertensi oral 2x1000mg (over dose) standar 125% dari dosis standar 1x5mg 17/04/1621/04/16 17/04/1621/04/16 5mg 1x1, dosis maks : 10mg 17/04/1621/04/16 Provital - oral 1x1 1x/hr sysmuco Rebamipide oral 3x1 1tab 3x/hr Atorvastatin atorvastatin Suplement makanan Antasida, antireflux Kadar kolesterol oral 1x20mg (m) Acetensa losartan Hipertensi oral 1x50mg (m) Mecobalamin (diberikan pada pagi hari Mecobalamin (500mcg) Neuropati perifer oral Leptica (diberikan pd malam hari pregabalin Nyeri neuropati perifer oral Viopor suplement Utk kesehtan oral 1x1 (under dose karena diberikan < 80% dosis lazim ) 1x75mg (under dose) karena diberikan < 80% dari DL 1x1/hr DL : 10mg 1x1, dosmaks : 1080mg Dosis awal : 50mg 1x/hr, utk pasien pernah dialisa 25mg 1/hr 3x1 : 3x500mcg = 1.500mcg 17/04/1621/04/16 17/04/1621/04/16 17/04/1621/04/16 Hasil Lab TD : selama 3hari 17/4/16-20/4/16 (>120/80) Pada tanggal 21/4/16 TD : (120/80) Suhu : (36) Normal RR : 17/4/16-18/4/16 rendah (64-70) 17/4/16 Hemoglobin : 12,7 (rendah) Hematokrit : 37,2 (rendah) Leukosit : 7,4 (normal) Eritrosit : 4,47 (rendah) 17/04/1621/04/16 Na : 138,61 (normal) 17/04/1621/04/16 K : 3,17 (rendah) DL: 75mg 2x/hr, dosmaks : 600mg/hr 17/04/1621/04/16 Cl : 104,64 (Normal) 2x1/hr 17/04/16- UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 86 sendi, OA 2. P 56Thn, Diagnosa masuk : syncope, GERD, CAD Diagnosa keluar : CHF, CAD, GERD 10/5/1618/5/16 + jantung (digunakan utk hanya sebagai suplement Aspar-K K-L aspartate Elektrolit oral 3x1 Inpepsa syr Sukralfat Antasida, reflux oral Rhindopump (40mg) omeprazole Antasida, reflux IV 2X 1C = 30ml. (under dose) karena diberikan < 80% 2x1 amp vometraz ondansentron antiemetik iv 2x8mg ISDN ISDN Antiangina oral 3x10mg Pladogrel 75mg (sore) clopidogrel antikoagulan oral Simvastatin (malam) Laxadine syr simvastatin antikolesterol - Prazotec (cap 30mg) lansoprazol 21/04/16 Diberikan sesuai kebutuhan Dws : 2sdt 4x/hr = 40ml 17/04/1621/04/16 17/04/1621/04/16 Tukak lambung 20mg 1x/hr selama 24minggu dosis dapat ditingkatkan menjadi 40mg/hr. Sindrom zollinger ellison awal 60mg 1x/hr . bila dosis > 80mg/hr diberikan 2x/hr 8mg scr inj IV lambat atau infus 2x/hr. 1-2 tab (5mg) 34x/hr 17/04/1621/04/16 10/5/1618/5/16 TD : naik turun, namun pada 16/5/16-18/5/16 TD stabil <120/80 1x1 Dws : 75mg 1x/hr 10/5/1618/5/16 oral 1x20mg Laksative oral 3x10ml Antasida, reflux oral 2x1 = 60mg (over dose) Awal 5-10mg/hr Maks : 40mg/hr 1-2 sdm (1530ml) 1x/hr 1x1/hr = 30mg 10/5/1618/5/16 10/5/1618/5/16 10/5/1618/5/16 Suhu : tanggal 12/5/16 : 39°C Selain itu normal Nadi : 10/5/16-17/5/16 : Rendah RR : 10/5/16 -15/5/16 rendah >80 10/5/16 Hemaglobin : 12 17/04/1621/04/16 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 87 3. L 67 tahun Diagnosa masuk : 18/1/1623/1/16 Hipertensi dan DM Alganax alprazolam ansiolotik oral karena diberikan lebih dari 125%dari dosi lazim = 37,5 mg 2x0,25 Letonal Spironolacton Oral Furosemid (sediaan 40mg) furosemid Fluxum 4250 iu parnaparin Antihipertensi (diuretik) utk menghambat aldosteron Antihipertensi 1 gol dengan spironolakton, namun beda mekanisme kerja Antikoagulan Rhindopump (1amp : 40mg) omeprazol Antasida, reflux Clopidogrel (75mg) diberikan clopidogrel Anticoagulant, antiplatelet (rendah) Kecemasan 0,751,5mg 3x1 Gangguan panik : 0,5-1mg menjelang tidur Lansia / penderita lemah : 0,5 -0,75/hr dibagi beberapa dosis. 10/5/1618/5/16 Hematokrit : 36,9 (rendah) 1x 25mg Dws : 25100mg/hr 10/5/1618/5/16 Leukosit : 11,90 (tinggi) oral 1x ½ tablet Dws : 20-80mg dosis tunggal pada pagi hari 10/5/1618/5/16 Trombosit : 302 (normal) Iv Trombosis vena dalam 0,6ml 2x/hr = 1,2 10/5/1616/5/16 Eritrosit : 5,03 (normal) Iv 2x 0,4 : 0,8 (under dose ) karena diberikan < 80% dari dosis lazim. 2x1 amp 10/5/1616/5/16 MCH : 24 (rendah) MCHC : 33 (normal) RRDW-SD : 39,3 (Normal) Glukosa sewaktu : 122 (normal) Troponim : negatif Na : 138,9 (normal) K : 3,88 (normal) Cl: 105,95 (normal) oral 1x1 Tukak lambung 20mg 1x/hr selama 24minggu dosis dapat ditingkatkan menjadi 40mg/hr. Sindrom zollinger ellison awal 60mg 1x/hr . bila dosis > 80mg/hr diberikan 2x/hr Dws : 75mg 1x/hr 18/1/1623/1/2016 TD : dari tgl 18/1/1623/1/16 normal UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 88 CAD , CHF, Anemia dan CKD Diagnosa keluar : CAD dan CHF pada sore Suhu : normal RR : 19/1/16-21/1/16 menrun rata-rata 60-70 ISDN (5mg) ISDN Antiangina oral 3x5mg 1-2tab 5mg, 3-4x /hr 18/1/1623/1/2016 Divask (sore) amlodipin hipertensi Oral 1x 5mg 18/1/1623/1/2016 Furosemid (P) 40mg furosemid hipertensi oral 1x1 Letonal (pagi) spironolaktone hipertensi oral 1x25mg Hipertensi & angina : 5mg 1x1, dosis maks : 10mg/hr Dws : 20-80mg diberikan pada pagi, Maksimal: 600mg Dws : 25mg100mg lantus Insulin glargine Insulin Parenter al 1x10 iu 23/1/16 Novarapid Insulin aspart Insulin parentera l 3x 10 iu Rhindopump (1ampul = 40mg) omeprazol Antasida, antireflux parentera l 2x1 Furosemid (diberikan pd pagi hari) Furosemid antihipertensi parentera l 1x1 amp (1ampul = 20mg/2ml) Sesuai kebutuhan, diberikan secara 1x/hr Dosis bersifat individual dan diberikan secara SC Tukak lambung 20mg 1x/hr selama 24minggu dosis dapat ditingkatkan menjadi 40mg/hr. Sindrom zollinger ellison awal 60mg 1x/hr . bila dosis > 80mg/hr diberikan 2x/hr Dws : Dosis awal 2040mg IM/IV 18/1/16 Ureum darah : 82 (tinggi) Creatinin darah : 3,8 (normal) 18/1/1623/1/2016 CrCL : 15,70 20/1/16 Glukosa darah sewaktu : 21/1/16 : 100 (normal) 22/1/16 : 125 (normal) 23/1/16 : 60 (rendah) Na : 132 (reNdah) K : 5,05 (normal) Cl : 100,95 (normal) 23/1/16 Kreatinin urin : 24 Fosfor : 5 19/1/1623/1/16 Tulang belakang : edem 19/1/1621/1/16 Thorax : + UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 89 4. L 49 thn Diagnosa masuk : Febris Diagnosa keluar : CAD, DM tipe II, dislipidemia 19/1/1623/1/16 DM tipe 2 Atorvastatin (20mg) atorvastatin dislipidemia oral 1x1 Edem paru : 40mg scr inj IV 10-80mg 1x1 19/1/16 TD : 19/1/16-23/1/16 : < 120/80 (normal) Suhu : 19/1/16-23/1/16 : 36-36,5 (normal) Nadi : 19/1/16-20/1/16 : 78 (rendah) Farlev 750mg levofloxacin Antibiotik/ quinolon (digunakan untuk pneumoni) Oral 1x 500mg Kap 250-750mg 1x/hr selama 714 hr 1x750mg ambroxol - Saluran pernafasan antikoagulan oral oral 1 tab 3x1 1x75mg pladogrel clopidogrel trolip fenofobrate oral 1x300mg Metformin Hiperkolesterole mia (tipe Iia) antidiabetes Glucophage (500mg) oral ISDN (5mg) ISDN antiangina oral bioATP - oral Acetensa losartan Vitamin (kelemahan muskuler/ neuromuskuler, gangguan metabolisme pada otot jantung antihipertensi 1x1 (under dose) diberikan < 80% dari dosis lazim 1x1 (under dose) diberikan < 80% dari dosis lazim yang diberikan 2x1 tab oral 1x25mg (under dose) karena 19/1/16 RR : 19/1/16-23/1/16 : 20 (Normal) 19/1/16 Leukosit : 7,31 (normal) 1 tab 3x1 Dws : 75mg 1x/hr Dws : 300mg/hr dosis tunggal 1 tab 500mg 3x/hr 20/1/1623/1/16 19/1/1623/1/16 19/1/1623/1/16 19/1/1623/1/16 19/1/1623/1/16 1-2 tab (5mg) 3x1 21/1/1623/1/16 Ureum darah : 19 (normal) 2-4 tablet/ hr 21/1/1623/1/16 Kreatinin darah : 0,6 (normal) Dosis awal : 50mg 1x/hr, utk pasien pernah 21/1/1623/1/16 MCV : 83 (normal) MCH : 29 (Normal) MCHC : 35 (Normal) Trombosit : 238 (normal) Eritrosit : 4,98 (normal) SGOT (AST) : 10 (rendah) SGPT (ALT) : 11 (Rendah) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 90 Rhindopump omeprazole Antasida, antireflux dan antiulcerant IV Farmadol Parasetamol Analgesic iv pasien tidak ada penyakit penyerta CKD dan diberikan dosis <80% 2X 1amp 2x1 vial (10mg/ml) Dosis yang diberikan under dose, karena < 80% dari dosis yang diberikan Kalmeco mecobalamin Terapi neuropati perifer iv levemir - Insulin detemir antidiabetes iv 2x1 amp (kelmeco inj 500mcg) (under dose ) karena diberikan < 80% dari dosis lazim yg diberikan 1x12 iu dialisa 25mg 1/hr RDW-SD : 38,7 (Normal) Tukak lambung 20mg 1x/hr selama 24minggu dosis dapat ditingkatkan menjadi 40mg/hr. Sindrom zollinger ellison awal 60mg 1x/hr . bila dosis > 80mg/hr diberikan 2x/hr Nyeri kronis hingga berat yang tidak memerlukan efek analgesik cepat : awal diberikan 25mg/hr kemudian dinaikkan 25mg per 3x/hr. Untuk efek yang cepat 50-100mg 4x/hr. Dosis max : 400mg Dws : 1.500 mcg/hr dibagi dlm 3 dosis 19/1/1623/1/16 Glukosa darah sewaktu : 21/1/16 : 62 (rendah) 22/1/16 – 23/1/16 : > 200 (tinggi) 19/1/1623/1/16 Troponim 1 : negatif Echocardiography : kesan CAD Thorax : Pulmo/cor : normal (tidak ada kelainan, atau perbesaran) Dosis SK bersifat individual (1x/hr, dlm kombinasi 19/1/1623/1/16 19/1/1623/1/16 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 91 5. L 70 thn 4bln Diagnosa masuk : hipokalemia, CAD Diagnosa keluar : CHF dan hipertensi 3/5/166/5/16 hipertensi Sistenol Parasetamol Analgesik Oral 3x 500mg dg obt antidiabetes oral) Dws : 1 kap 3x/hr (1 kap: 500mg) 3/5/166/5/16 TD : 3/5/16 : tinggi 4/5/16-6/5/16 : normal Suhu : 3/5/16-6/5/16 : normal Nadi : pada 5/5/16 pagi (rendah) losartan Losartan antihipertensi oral 1x 50mg digoxin Digoxin Obat jantung oral 1x ½ (sediaan 0,25) CPG Clopidogrel antikoagulan oral 1x75mg Megabal Mecobalamin Neuropati perifer oral Aspar-K - supplement oral 1x1 (under dose) karena diberikan < 80% 3x1 mezatrin azitromisin oral 1x500mg (obat tanpa indikasi) Dws : 500mg/hr Redasid (250mg) - Antibiotik gol mikrolid utk saluran infeksi nafas bawah Suplemen & terapi penunjang untuk meredakan gangguan lambung antihipertensi oral 2x1 Nyeri ringan 1 kap 1x/hr Furosemid ½ Furosemid oral 1x ½ (sediaan 40mg ) 1x 50mg/ hr dan dapat ditingkatkan menjadi 100 mg/hr Dws : 4-6 tab, kemudian 1 tab pd interval tertentu sampai kompensasi tercapai. Dosis pemeliharaan ½ 3 tab/hr Dws : 75mg 1x/hr 1 kap 3x/hr 3/5/166/5/16 3x1 RR : 3/5/16-6/5/16 : normal 3/5/16 Leukosit : 8,70 (normal) 3/5/166/5/16 Trombosit : 3,28 (normal) 3/5/166/5/16 3/5/166/5/16 Na : 139,5 (normal) 3/5/166/5/16 3/5/166/5/16 Cl : 105,3 (normal) K : 2,93 (rendah) 3/5/166/5/16 Nyeri sedang s/d berat 2-3 kap/hr Dws : 20-80mg 5/5/166/5/16 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 92 ISDN 5mg ISDN Antiangina oral oral 1x1 (under dose) 1x20mg 1-2 tab (5mg) 3x1 10-20mg Simvastatin Simvastatin antidislipidemia Cinam Penisilin Antibiotik gol penisilin utk infeksi : kulit & struktur kulit, intra abdomen IV 3x 1 ½ gr Dws : 1,5 -3 g 3x/hr 5/5/166/5/16 5/5/166/5/16 3/5/166/5/16 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 93 Lampiran 3. Hasil rekapitulasi obat yang mengalami DRPs kategori dosis terlalu tinggi dan dosis terlalu rendah. No L/P diagnosa 1. P Hipokalemia, hipertensi dan CAD 2. P Diagnosa masuk : Syncope, GERD, CAD Penyakit penyerta Hipertensi + jantung Nama obat yang mengalami DRPs Brainact adis Kandungan obat Dosis literatur Dosis obat yang diberikan 2x 1000mg Citicolin Dosis maksimal : 1x 1000mg Mecobalamin Mecobalamin 3x 500mcg 1x500mcg Leptica Pregabalin DL : 75mg 2x/hr. Dosis maksimal : 600mg/hr 1x75mg Inpepsa syr Sukralfat Dws : 2sdt 4x/hr = 40ml 2x 1C = 30ml Prazotec Lansoprazole 1x30mg 2x30mg Fluxum 4250 iu Parnaparin Trombosis vena dalam: 2x 0,6 = 1,2 2x0,4 : 0,8 Diagnosa keluar : CHF, CAD, GERD. Dosis terlalu tinggi overdose karena diberikan >125% dari dosis maksimal Dosis terlalu rendah Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan overdose karena diberikan >125% dari dosis lazim yang diberikan Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 94 4. L Diagnosa masuk : febris DM tipe 2 Glucophage Metformin 3x500mg 1x500mg Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan ISDN Isosorbite dinitrat 1-2 tab (5mg) 3x1 tab 1x5mg Acetensa Losartan Dosis awal: 50mg 1x/hr. 1x 25mg Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan Diagnosa keluar: CAD, DM tipe II, dislipidemia Farmadol Parasetamol Mecobalamin Mecobalamin untuk pasien yang pernah dianalisa 25mg 1/hr Nyeri kronis hingga berat yang tidak memerlukan efek analgesik cepat : awal diberikan 25mg/hr kemudian dinaikkan 25mg per 3x/hr. Untuk efek yang cepat 50-100mg 4x/hr. Dosis max : 400mg 3x500mcg 2x1 vial Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan 2x500mcg Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 95 5. L Diagnosa masuk : hipokalemia, CAD Hipertensi Megabal Mecobalamin 3x500mcg 1x500mcg Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan ISDN Isosorbite dinitrate 1-2 tab (5mg) 3x1 1x5mg Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan GERD Vectrine syr Erdosteine Dewasa : 10ml 2x/hr = 20ml/hr 3x1C = 3x15ml = 45ml/hr Hipertensi dan DM Biscor Bisoprolol 5mg-10mg 1x/hr 1x ½ (sedian 5mg) Brainact adis Citicolin Mak : 1x 1000mcg 2x1000mcg Leptica Pregabalin DL : 75mg 2x/hr 1x75mg Diagnosa keluar : CHF dan hipertensi 6. 7. L L Diagnosa masuk : chestpain, CAD Diagnosa keluar : infark miokard, STEMI Diagnosa masuk : CVD, CAD dan hipertensi overdose karena diberikan >125% dari dosis lazim yang diberikan Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan Diagnosa keluar : stroke iskemia,CAD Dosis maksimal : 600mg/hr overdose karena diberikan >125% dari dosis maksimal Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 96 8. L Diagnosa masuk : CAD Tanpa penyakit penyerta Kalmeco Mecobalamin Dws : 3x500mcg 2x500mcg Ranitidin Ranitidin Injeksi : 50mg/2ml IM atau IV tiap 68jam 2x 1amp (1amp : 50mg/2ml Allprazolam Alprazolam Kecemasan 0,751,5mg 3x1 Gangguan panik : 0,5-1mg menjelang tidur Lansia / penderita lemah : 0,5 -0,75/hr dibagi beberapa dosis. 1x0,25 Fluxum 4250 iu Parnaparin Trombo vena dalam : 0,6ml 2x/hr = 1,2 2x0,4 = 0,8 Bisoprolol Bisoprolol Diberikan 5-10mg. Maksimal 20mg/hr 2x2 ½ (sediaan 5mg) = 25 mg overdose karena diberikan >125% dari dosis maksimal 1x80mg 1x160mg overdose karena diberikan >125% dari dosis lazim yang diberikan. Diagnosa keluar : CAD 9. 10. L L Diagnosa masuk : dyspnoe Diagnosa keluar : CHF, PPOK, CAD dan edem paru Diagnosa masuk : UAP, dispepsia Diagnosa keuar : CAD, UAP CHF Dispepsia Aspilet Asam asetilsalisilat Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 97 11. L Diagnosa masuk : hipertensi dan GERD Hipertensi, cephalgia dan DM Ranitidin Ranitidin Injeksi : 50mg IM atau IV tiap 68jam/hr 1x1amp (1amp : 50mg/2ml) Ondansentrone ondansentron 8mg secara inj IV lambat atau infus 2x/hr 1x8mg Fluxum Parnaparin Trombosis vena dalam : 0,6ml 2x/hr = 1,2ml 2x0,4ml = 0,8 ml Bisoprolol Bisoprolol Diberikan 5-10mg 1x/hr 1x ½ (5mg) Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan Dosis maksimal 20mg/hr Diagnosa keluar : CAD dan HHD Inpepsa syr Sukralfat Dws : 2sdt 4x/hr = 40ml perhari 4x15ml = 60ml perhari Vectrine syr Erdosteine Dws : 10ml 2x/hr = 20ml/hr 3x1C =45ml/hr Ranitidin Ranitidin Injeksi : 50mg IM atau IV tiap 68jam/hr 2x1 amp (1amp: 10mg/2ml) overdose karena diberikan >125% dari dosis lazim. overdose karena diberikan >125% dari dosis lazim. Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 98 12. P Diagnosa masuk : dyspesia dan CAD Dispepsia Kalmeco Mecobalamin Dws : 3x 500mcg 2x 1amp (iamp: 500mcg) Prazotec Lansoprazole 1x30mg 2x30mg = 60mg Fixacep Cefixime Dws : 400mg 1x/hr selama 2 minggu 2x ½ (tab 200mg) Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Ondansentron Ondansentron 3x 8mg 2x8mg Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Cefixime Cefixime Dws : 400mg 1x/hr selama 2 minggu 2x100mg Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Kalmeco Mecobalamin Dws : 3x 500mcg 2x 1amp (1amp 500mcg) Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Diagnosa keluar : CAD 13. L Diagnosa masuk : chestpain Hipertensi Diagnosa keluar : CAD dan GERD 14. P Diagnosa masuk : hipertensi, vertigo dan CAD Hipertensi dan DM overdose karena diberikan >125% dari dosis lazim. Diagnosa keluar : CVD dan CAD UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 99 15. P Diagnosa masuk : CAD, hipertensi, SNH DM Ranitidin Ranitidin Injeksi : 50mg IM atau IV tiap 68jam/hr 2x1amp (1amp : 50mg/2ml) Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Farmadol Parasetamol 2x 1 vial (1vial : 10mg/ml) Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. v-block Carvediol 1x6,25 Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Ranitidin Ranitidin Nyeri kronis hingga berat yang tidak memerlukan efek analgesik cepat : awal diberikan 25mg/hr kemudian dinaikkan 25mg per 3x/hr. Untuk efek yang cepat 50-100mg 4x/hr. Dosis max : 400mg Dosis awal : 12,5mg 1x/hr untuk 1-2 hari pertama kemudian 25mg 1x/hr . setelah 2minggu dosis dapat ditingkatkan sampai maks 50mg/hr. Injeksi : 50mg IM atau IV tiap 68jam/hr 1x1 amp (1amp: 50mg/2ml) Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Mecobalamin Mecobalamin Dws : 1.500 mcg/hr dibagi dlm 3 dosis 2x1 amp (1ap : 500mcg) Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Diagnosa keluar : CAD, DM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 100 16. L Diagnosa masuk : DM DM CPZ Chlorpromazin Dws : 10-25mg tiap 4-6 jam Psikosis : 200800mg/hr Anak-anak : 0,5mg/kgBB Injeksi : 50mg IM atau IV tiap 68jam/hr 1x12,5mg Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Ranitidin Ranitidin 2x 1amp (1amp : 50mg/2ml) Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Captopril Captopril Hipertensi awal 12,5 mg 2-3x/hr, dapat ditingkatkan hingga 25-50mg 23x/hr. 1x5mg Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Bisoprolol Bisoprolol 5mg 1x/hr 1x ½ (sedian 5mg) Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Lansoprazol Lansoprazol 1x30mg 2x30mg Inpepsa syr Sukralfate Dws : 2 sdt 4x/hr 2x1 C Diagnosa keluar : GERD, CAD dan CHF 17. L Diagnosa masuk : UAP dan hipertensi Hipertensi Diagnosa keluar : CAD dan HHD 18. P Diagnosa masuk : CAD Diagnosa keluar : haematemensis, GERD dan melena Stroke hemoragic overdose karena diberikan >125% dari dosis lazim. Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 101 19. 20. P L Diagnosa masuk : CHF, CAD dan GERD Diagnosa keluar : CHF dan GERD Diagnosa masuk: CAD, GERD dan hipertensi Vometraz Ondansentrone 8mg scr inj IV lambat atau infus 2x/hr. 1x8mg Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. CHF dan GERD Ranitidin Ranitidin Injeksi : 50mg IM atau Iv tiap 6-8 jam/hr 2x 1amp (1amp : 50mg/2ml Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Hipertensi Lacidofil Lactobacillus rhamnosus Dws : 1kap 2x/hr 3x1 kap overdose karena diberikan >125% dari dosis lazim. Prazotec lansoprazol 1x30mg 2x30mg overdose karena diberikan >125% dari dosis lazim. Farmadol Parasetamol Nyeri kronis hingga berat yang tidak memerlukan efek analgesik cepat : awal diberikan 25mg/hr kemudian dinaikkan 25mg per 3x/hr.Untuk efek yang cepat 50100mg 4x/hr. Dosis max : 400mg. 2x 1 vial (1 vial : 10mg/ml) Diagnosa keluar : HHD dan GERD Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 102 21. 22. L L Diagnosa masuk : UAP, CHF dan CAD Diagnosa keluar : CAD Diagnosa masuk : CAD dan GERD Ranitidin Ranitidin Injeksi : 50mg IM atau IV tiap 68jam/hr 1x1 amp Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. CHF Ranitidin Ranitidin Injeksi : 50mg IM atau IV tiap 68jam/hr 1x1 amp (1 amp : 50mg) Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. DM biscor Bisoprolol 5mg 1x/hr 1x ½ tablet 5mg Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. ranitidin Ranitidin Injeksi : 50mg IM atau IV tiap 68jam/hr 2x1 amp (1amp : 50mg/2ml Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. CHF Bisoprolol Bisoprolol 1 tablet (5mg) DL : 5-10mg/hr diberikan pada pagi hari. Beberapa pasien membutuhkan sampai 20mg/hr . 1-0-0 (25mg) CHF Alprazolam Alprazolam Kecemasan 0,751,5mg 3x1 Gangguan panik : 0,5-1mg menjelang tidur Lansia / penderita lemah : 0,5 -0,75/hr 1x0,25 Diagnosa keluar : CAD 23. 24. L L Diagnosa masuk : disponae, CAD dan aritmia Diagnosa keluar : CHF Diagnosa masuk : CAD dan CHF Diagnosa keluar overdose karena diberikan >125% dari dosis maksimal. Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 103 dibagi beberapa dosis. 25. 26. L L Diagnosa masuk : UAP, CHF dan CAD Diagnosa keluar: HHD dan CAD Diagnosa masuk : GERD Ranitidin Ranitidin Injeksi : 50mg IM atau IV tiap 68jam/hr 2x1 amp (1amp : 50mg/2ml) Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Hipertensi dan DM Ranitidin Ranitidin Injeksi : 50mg IM atau IV tiap 68jam/hr 2x1 amp (1amp : 50mg/2ml) Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. GERD Persantin Dipiridamol Pencegahan angina pektoris jangka panjang : 50mg 3x/hr. Pada kasus berat dapat dinaikan sampai 600mg. 2x25mg Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Pencegahan thromboemboli setelah pergantian katub jantung : 75100 4x/hr Injeksi : 50mg IM atau IV tiap 68jam/hr 2x1 amp (1amp: 50mg/2ml) Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Dws : 1.500 mcg/hr dibagi dlm 3 dosis 2x1amp (1amp : 500mcg) Underdose karena diberikan <80% dari dosis Diagnosa keluar : GERD, hipokalemia dan CAD Ranitidin Ranitidin Kalmeco Mecobalamin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 104 lazim yang diberikan. 28. L diagnosa masuk : CVD/CAD Hipertensi v-block Carvediol Dosis awal : 12,5mg 1x/hr untuk 1-2 hari pertama kemudian 25mg 1x/hr . setelah 2minggu dosis dapat ditingkatkan sampai maks 50mg/hr. Dws : 3x500mcg 1x6,25 Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Mecobalamin Mecobalamin 2x500mcg Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Brainact adis Citicolin Maksimal : 1x1000mg 2x1000mg overdose karena diberikan >125% dari dosis maksimal. Citicolin Citicolin Maksimal : 1x1000mg 2x1000mg overdose karena diberikan >125% dari dosis maksimal. CHF v-block Carvediol 1x6,25 Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. GERD v-block Carvediol Dosis awal : 12,5mg 1x/hr untuk 1-2 hari pertama kemudian 25mg 1x/hr . setelah 2minggu dosis dapat ditingkatkan sampai maks 50mg/hr. Dosis awal : 12,5mg 1x/hr untuk 1-2 hari pertama kemudian 1x6,25 Underdose karena diberikan <80% dari dosis diagnosa keluar: sinus, aritmia, hipertensi emergency dan CAD. 29. L Diagnosa masuk : CAD Diagnosa keluar: CAD dan CHF 30. P Diagnosa masuk: GERD, hipokalemia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 105 dan CAD 25mg 1x/hr . setelah 2minggu dosis dapat ditingkatkan sampai maks 50mg/hr. Diagnosa keluar: GERD, CAD 31. P Diagnosa masuk: GERD, DM tipe 2 DM tipe 2 Ranitidin Ranitidin Injeksi : 50mg IM atau IV tiap 68jam/hr 2x1 amp (1amp : 50mg/2ml) Bisoprolol Bisoprolol Diberikan 5-10mg perhari ½-0-0 Dosis maksimal : 20mg/hr Diagnosa keluar: GERD, DM tipe 2, CAD dan hipokalemia 32. L Diagnosa masuk: CHF Diagnosa keluar: CHF,CAD dan DM lazim yang diberikan. DM Ranitidin Ranitidin Injeksi : 50mg IM atau IV tiap 68jam/hr 2x1 amp (1amp: 50mg/2ml) Persantin Dipiridamol Pencegahan angina pektoris: 50mg 3x/hr. Pada kasus berat dapat dinaikan sampai 600mg. 2x25mg Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Pencegahan thromboemboli setelah pergantian katub jantung : 75100 4x/hr. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 106 33. P Diagnosa masuk : GERD, CHF Ranitidin Ranitidin Injeksi : 50mg IM atau IV tiap 68jam/hr 2x1 amp (1amp: 50mg/2ml Ranitidin Ranitidin Injeksi : 50mg IM atau IV tiap 68jam/hr 2x1 amp (1amp: 50mg/2ml Farmadol Parasetamol 2x1amp (1amp : 10mg/ml) Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. CHF Ranitidin Ranitidin Nyeri kronis hingga berat yang tidak memerlukan efek analgesik cepat : awal diberikan 25mg/hr kemudian dinaikkan 25mg per 3x/hr. Untuk efek yang cepat 50-100mg 4x/hr. Dosis max : 400mg Injeksi : 50mg IM atau IV tiap 68jam/hr 2x1 amp (1amp: 50mg/2ml Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Hipertensi Neciblock Sucralfate Dws : 1g 4xhr selama 4-8 minggu 3x1 C : 45ml x 500mg/5ml : 4.500mg = 4,5 gr GERD dan CHF Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Diagnosa keluar: GERD, anemia, CAD 34. 35. L P Diagnosa masuk : CHF Diagnosa keluar : CHF dan CAD Diagnosa masuk: HHD,CHF overdose karena diberikan >125% dari dosis lazim. Diagnosa keluar : pneumonia, HHD, CHF dan CAD. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 107 37. P diagnosa masuk: CAD, GERD Metil prednisolon Metil prednisolon Dosis IV/IM alergi dan inflamasi : 5mg dan Maksimal 60mg/hr. 2x62,5 mg (sediaan 1amp : 125mg) Ranitidin Ranitidin Injeksi : 50mg/2ml IM atau IV tiap 68jam/hr. 2x1amp (1amp: 50mg/2ml) Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Mecobalamin Mecobalamin 3x500mcg 2x500mcg CHF Ranitidin Ranitidin Injeksi : 50mg/2ml IM atau IV tiap 68jam/hr 2x1amp Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. DM dan hipertensi Bisoprolol Bisoprolol Diberikan 5-10mg Maks : 20mg/hr 2x2 ½ (sediaan 5mg) Cefixime Cefixime Dws : 400mg 1x/hr selama 2 minggu 2x100mg Stroke hemoragic overdose karena diberikan >125% dari dosis lazim. diagnosa keluar : GERD, hipokalemia 38. 39. L L Diagnosa masuk: dyspenoe, CHF, CAD, UAP Diagnosa keluar: GERD dan insomnia Diagnosa masuk: CHF,HHD, CAD dan DM overdose karena diberikan >125% dari dosis maksimal. Diagnosa keluar: CHF dan DM. Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 108 40. 41 L L Diagnosa masuk : GERD, CAD dan CHF Diagnosa keluar : UAP dan CAD Diagnosa masuk: chestpain DM Bisoprolol Bisoprolol Diberikan 5-10mg Maks : 20mg/hr 1x ½ Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. DM Ranitidin Ranitidin Injeksi : 50mg/2ml IM atau IV tiap 68jam/hr 2x1amp (1amp : 20mg/2ml) Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Fluxum 4250 iu Parnaparin Trombosis vena dalam 0,6ml 2x/hr = 1,2 2x 0,4 fendex Dexketoprofen 2x1 amp (1amp : 25mg) Codein Codein Injeksi 50mg secara IM lambat/ IV bolus tiap 8-12 jam. Dosis total maks : 150mg/hr Dws : nyeri : 15-60mg 4x/hr . max : 360mg/hr. Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Diagnosa keluar : HHD, UAP, NSTEMI 42. P Diagnosa masuk : CAD, dyspnoe, dyspepsia CHF Diagnosa keluar : CHF 3x 10mg Untuk penekan batuk : 15-30mg 34x/hr. Neurodex Vit B1 Diare akut : 1560mg 3-4x/hr Dewasa : 1tab 23x/hr. 1x1 Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 109 44. P Diagnosa masuk : CVD/CAD Riwayat jantung dan hipertensi v-block Carvediol Citicolin Citicolin Diagnosa keluar : CVD, scoliosis cardiomegali Laxadine syr 45. L Diagnosa masuk: chest discomfort, DM dan hipertensi Hipertensi Dosis awal : 12,5mg 1x/hr untuk 1-2 hari pertama kemudian 25mg 1x/hr . setelah 2minggu dosis dapat ditingkatkan sampai maks 50mg/hr. Maks : 1x1000mg 1x6,25 1-2 sdm (15-30ml) 1x/hr 1x5ml 2x 1000mg Kalmeco Mecobalamin Dws : 1.500 mcg/hr dibagi dlm 3 dosis 2x1amp (1amp : 500mcg) Alprazolam Alprazolam 1x0,25 Forbetes Metformin Kecemasan 0,751,5mg 3x1 Gangguan panik : 0,5-1mg menjelang tidur Lansia / penderita lemah : 0,5 -0,75/hr dibagi beberapa dosis. 1 tab 500mg 3x/hr Diagnosa keluar: UAP, HHD dan CAD 1x500mg Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. overdose karena diberikan >125% dari dosis maksimal. Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim yang diberikan. Underdose karena diberikan <80% dari dosis lazim. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 110 Lampiran 4. Hasil rekapitulasi obat yang mengalami DRPs kategori obat tanpa indikasi. No L/P diagnosa 4. L Diagnosa masuk: febris Diagnosa keluar: CAD, DM tipe 2 dan dislipidemia Penyakit penyerta DM tipe 2 Hasil laboratorium TD : 19/1/16-23/1/16 : < 120/80 (normal) Suhu : 19/1/16-23/1/16 : 36-36,5 (normal) Nadi : 19/1/16-20/1/16 : 78 (rendah) RR : 19/1/16-23/1/16 : 20 (Normal) Nama obat yang mengalami DRPs Farlev 750mg Kandungan obat Levofloxacin Indikasi Dosis literatur Dosis obat yang diberikan Antibiotik golongan quinolon digunakan untuk pneumoni. Kap 250-750mg 1x/hr selama 714 hr 1x 500mg : 19/1/16 1x750mg: 20/1/16-23/1/16 19/1/16 : Leukosit : 7,31 (normal) Trombosit : 238 (normal) Eritrosit : 4,98 (normal) SGOT (AST) : 10 (rendah) SGPT (ALT) : 11 (Rendah) Ureum darah : 19 (normal) Kreatinin darah : 0,6 (normal) MCV : 83 (normal) MCH : 29 (Normal) MCHC : 35 (Normal) RDW-SD : 38,7 (Normal) Glukosa darah sewaktu : 21/1/16 : 62 (rendah) 22/1/16 : 244 (tinggi) 23/1/16 : 243 ( tinggi) Troponim 1 : negatif Echocardiography : kesan CAD Thorax : Pulmo/cor : normal (tidak ada kelainan, atau perbesaran) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 111 5. L Diagnosa masuk: hipokalemia, CAD. Diagnosa keluar: CHF dan hipertensi Hipertensi TD : 3/5/16 : tinggi 4/5/16-6/5/16 : normal Mezatrin Azitromisin Antibiotik golongan mikrolida digunakan untuk saluran infeksi nafas bawah. Dws : 500mg/hr 1x500mg : 3/5/16 Cinam Penisilin Antibiotik golongan penisilin digunakan untuk infeksi kulit, struktur kulit dan intra abdomen Dws : 1,5-3 gram 3x/hr 3x1,5 gram : 3/5/16-6/5/16 Suhu : 3/5/16-6/5/16 : normal Nadi : pada 5/5/16 pagi (rendah) RR : 3/5/16-6/5/16 : normal 2/5/16 Leukosit : 8,70 (normal) Trombosit : 3,28 (normal) Na : 139,5 (normal) K : 2,93 (rendah) Cl : 105,3 (normal) Dalam catatan integrasi perawat tidak ada keluhan mengenai pernafasan bawah dan infeksi kulit UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 112 LAMPIRAN 5. Interaksi obat yang paling banyak terjadi No 1. 2. Obat-obat yang mengalami interaksi Omeprazole x clopidogrel Mekanisme interaksi obat Managemen Tingkat keparahan obat Level signifikan Inhibisis PPI terhadap bioaktivasi metabolik clopidogrel yang diperantai sitokrom P450 2C19 dan interaksi ini akan lebih buruk jika terjadi pada penderita yang memiliki polimorfisme genetik sitokrom P450 2C19, yang mana tidak ditemukan aktivitas enzim ini sama sekali dalam tubuh mereka. Mayor Level 1 Amlodipin x simvastatin Pemberian amlodipine dengan simvastatin bersamaan secara signifikan dapat meningkatkan konsentrasi plasma simvastatin dan metabolit aktif, asam simvastatin, dan mempotensiasi resiko miopati . mekanismennya adalah dengan penghambatan amlodipine metabolisme simvastatin melalui usus dan hati CYP450 3A4. Menghindari pemakaian keduanya, harus dipertombangkan pada pasien yang beresiko tinggi, seperti pasien yang menerima terapi antiplatelet ganda, pasien dengan riwayat GI dan pasien yang menerima terapi antikoagulan bersamaan. Lakukan evaluasi menyeluruh tentang resiko dan keuntungannya, jika PPI masih harus digunakan maka menggunakan alternatif PPI yang lebih aman (pantoprazole, dexlansoprazole atau lansoprazole) jika memungkinkan dapat meresepkan obat antasida atau angiotensin reseptor H2 seperti ranitidin. Dosis simvastatin tidak boleh melebihi 20mg setiap hari bila digunakan dalam kombinasi dengan amlodipin. Manfaat dari kombinasi harus dipertimbangkan secara hati-hati terhadap potensial peningkatan resiko miopati termasuk rhabdomyolysis. Fluvastatin, pravastatin dan rosuvastatin merupakan alternatif yang lebih aman untuk pasien yang menerima amlodipin, karena obat tersebut tidak dimetabolisme oleh mayor Level 2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 113 3. Aspirin x ketorolac 4. ISDN x ramipril 5. Alprazolam x ISDN Penggunaan ketorolac dengan kombinasi obat anti inflamasi (NSAIDs) dapat meningkatkan resiko efek samping yang serius termasuk gagal ginjal dan peradangan GI, ulserasi dan perforasi. Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor dapat meningkatkan vasodilatasi dan efek hipotensi nitrogliserin. Data lain juga menunjukkan bahwa captopril dapat mencegah toleransi nitrat. ACE inhibitor dapat menurunkan resistensi vaskular sistemik dan kerja jantung, lebih meningkatkan efektivitas nitrogliserin Banyak psikoterapi dan SSP menunjukkan efek hipotensi, terutama inisiasi terapi dan CYP450 3A4. Semua pasien yang menerima terapi statin dan amlodipin harus segera melaporkan kepada dokter setiap terjadi nyeri otot, atau lemas terutama jika disertai demam, malaise dan urin berwarna gelap, selain itu terapi harus dihentikan jika kreatinin meningkat . Penggunaan ketorolac bersama dengan NSAID lain atau aspirin dianggap kontraindikasi. mayor Level 1 Nitrat dan vasodilator Moderate lainnya harus dihentikan sebelum memulai ACE inhibitor atau dilanjutkan dengan dosis dikurangi dan pemantauan tekanan darah disarankan. Level 3 Pemantauan hipotensi . pasien harus dianjurkan untuk menghindari naik tiba-tiba dari posisi duduk atau berbaring Level 4 moderate UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 114 6. Furosemid x digoxin 7. ISDN x omeprazole 8. Furosemid x aspirin dosis eskalasi. Coadministration dengan antihipertensi dan obat hipotensi lainnya, vasodilator tertentu dan alphablocker dapat mengakibatkan efek aditif pada tekanan darah dan orthostasis. Mekanisme interaksinya tidak diketahui Furosemid dan digoxin jika diberikan bersamasama akan menyebabkan hipokalemia dan hipomagnesemia dan menyebabkan aritmia. Mekanisme interaksi tidak diketahui Omeprazole dapat menghambat pengiriman obat nitrat oral. Efek antiangina mungkin akan berkurang, dan iskemia miokard dapat memperburuk. Asam salisilat dapat menghabat efek dari diuretik loop pada ginjal yang dimediasi oleh prostaglandin, termasuk peningkatan ekskresi natrium, aliran darah ke ginjal dan aktivitas renin plasma. dan untuk memberitahu dokter jika mengalami pusing, sinkop dan orthostasis atau takikardia Untuk efek hipokalemia dan hipomagnesemia harus diobati dengan tepat. Penyesuaian dosis mungkin diperlukan. Pasien harus diberitahukan tandatanda kemungkinan keracunan digoxin atau gangguan elektrolit, seperti : kelemahan, anoreksia, gangguan penglihatan, detak jantung yang tidak teratur dan nyeri otot atau kram Jika interaksi dicurigai, terapi penekan asam alternatif harus dipertimbangkan moderate Level 3 minor Level 4 Tidak ada intervensi minor klinis, namun diperlukan dipertimbangkan kemungkinan interaksi potensial . Level 5 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 115 9. Aspirin x bisoprolol Mekanismenya yang terjadi adalah penghambatan sintesis prostaglandin. Bisoprolol (betablocker) dapat menghasilkan efek antiplatelet, yang mungkin aditif dengan efek dari salisislat. Metaprolol juga dapat meningkatkan penyerapan dari aspirin dan atau konsentrasi plasma salisilat, namun efek signifikansi tidak diketahui. Pasien yang membutuhkan efek terapi secara bersamaan harus dipantau untuk respon antihipertensi setiap kali salisilat dimulai dan dihentikan atau ketika dosis yang dimodifikasi. minor Level 4 Keterangan : 1. Level 1 : Hindari kombinasi, resiko yang merugikan pasien lebih besar dari manfaat. 2. Level 2 : Sebaiknya hindari kombinasi, penggunaan kombinasi hanya dapat dilakukan pada keadaan khusus. Penggunaan obat alternatif dapat dilakukan jika memungkinkan. Pasien harus dipantau dengan sebaikbaiknya jika obat tepat diberikan. 3. Level 3 : Menimalkan resiko, ambil tindakan yang perlu untuk meminimalkan resiko. 4. Level 4 : Tidak dibutuhkan tindakan. Resiko yang mungkin timbul relatif kecil. Potensi bahaya pada pasien rendah dan tidak ada tindakan spesifik yang direkomendasikan, tetap waspada pada kemungkinan terjadinya interaksi obat. 5. Level 5 : Diragukan terjadinya interakdi, tidak ada bukti yang baik dari efek klinis yang berubah (Tarto, 2009). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 116 Lampiran 6. Alur Kerja Pertama melakukan rekapitulasi data dari data rekam medik Rumah Sakit Pelabuhan, lalu melakukan analisis DRPs meliputi 6 kategori yaitu : 1. Indikasi tanpa obat 2. Obat tanpa indikasi 3. Dosis terlalu rendah dari dosis terapi 4. Dosis terlalu tinggi dari dosis terapi 5. Ketidaktepatan pemilihan obat 6. Interaksi obat. Kedua melakukan rekapitulasi karakteristik pasien, meliputi : 1. Jenis kelamin 2. Usia pasien 3. Penyakit penyerta 4. Profil penggunaan pasien. Ketiga hasil yang didapat dibuat menjadi coding-coding untuk mempermudah perhitungan, lalu dihitung secara manual dan dicocokan dengan menggunakan aplikasi SPSS. Alur : 1. Membuat variabel view di aplikasi SPPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 117 2. Kembali ke menu data view dan masukan analisis yang didapat berupa coding 3. Klik analyze 4. descriptive statistik, pilih frequencies 5. klik ctrl+a, dan klik panah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 118 6. lalu klik , OK lalu didapatkan hasil output UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 119 Lampiran 7. Hasil Coding data dan Interaksi No Kode pasien Nama obat Jenis sediaan 1. Perempuan 59 tahun Ascardia Oral Pladogrel 2. Perempuan DRPs Dosi terlalu tinggi Dosis terlalu rendah Indikasi tanpa obat Obat tanpa indikasi 1 0 0 0 Oral 0 0 Brainact adis Oral 1 Divask Provital Sysmuco Atorvastatin Acetensa Mecobalamin Leptica Viopor Aspar-K Inpepsa syr Rhindopump (omeprazole) Vometraz ISDN Oral Oral Oral Oral Oral Oral Oral Oral Oral Oral Injeksi Injeksi Oral Poli farmasi 1 Interaksi obat Tingkat keparahan interaksi obat 0 Ketidak tepatan pemilihan obat 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1.Mayor -rhindopump (omeprazole) x clopidogrel 2. moderate - Ascardia (aspirin) x amlodipine - ascardia (aspirin) x losartan - ascardia (aspirin) x clopidogrel -omeprazole x atorvastatin -Losartan x pregabalin -atorvastatin x clopidogrel 3.Minor -Ascardia (Aspirin) x omeprazole (rhindopump (omeprazole)) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1.Mayor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 120 56 tahun 3. Laki-laki 67 tahun Pladogrel Oral 0 0 0 0 0 1 Simvastatin Oral 0 0 0 0 0 1 Laxadin syr Prazotec Alganax Letonal Furosemid Fluxum Rhindopump (omeprazole) Clopidogrel Oral Oral Oral Oral Oral Injeksi Injeksi 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 ISDN Oral 0 0 0 0 0 0 Divask Oral 0 0 0 0 0 0 Furosemid Letonal Lantus Novarapid Rhindopump (omeprazole) Furosemid Oral Oral Injeksi Injeksi injeksi 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 Injeksi 0 0 0 0 0 1 Oral 1 -omeprazole x clopidogrel 2.Moderate -furosemid x alprazolam - lansoprazol x simvastatin -lansoprazole x furosemide -omeprazole x simvastatin -alprazolam x spironolactone -Alprazolam x omeprazole -omeprazole x furosemid -alprazolam x ISDN -lansoprazole x clopidogrel 3.Minor - Isdn x omeprazole 1.Mayor - rhindopump (omeprazole) x clopidogrel 2.Moderate - furosemide x omeprazole -furosemid x lantus -furosemid x novarapid 3.Minor - Isdn x omeprazole UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 121 4. 5. Laki-laki 49 tahun Laki –laki 70 tahun 4 bulan Atorvastatin Oral 0 0 0 0 0 1 Farlev (antibiotik ) Oral 0 0 0 1 0 1 Ambroxol Oral 0 0 0 0 0 0 pladogrel glucophage trolip ISDN BioATP Acetensa Rhindopump (omeprazole) Farmadol kalmeco Levemir Sistenol Oral oral Oral Oral Oral Oral Iv 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 1 0 Iv iv Iv oral 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 losartan oral 0 0 0 0 0 0 Digoxin clopidogrel Megabal Aspar- K Mezatrin (antibiotik) Oral oral Oral Oral Oral 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 1 1.Mayor -omeprazole x clopidogrel -atorvastatin x trolip 2. Moderate -trolip x levemir -farlev x levemir -atorvastatin x clopidogrel -losartan x levemir -metformin x levemir -metformin x farlev -omeprazole x atorvastatin 3.Minor - Isdn x omeprazole 1.Moderate -Furosemid x digoxin -azitromicin x digoxin -azitromicin (mezatrin) x simvastatin 2.Minor -azitromicin x penicillin (cinam) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 122 6. 7. Laki –laki 54 tahun 4 bulan Laki-laki 71 tahun 4 bulan Redasid Furosemid ISDN Simvastatin Cinam ISDN Oral Oral Oral Oral Iv Oral 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 1 Diltiazem Oral 0 0 0 0 0 1 Diazepam Oral 0 0 0 0 0 1 laxadin Pladogrel Aspilet Vectrine syr Arixtra Rhindopump (omeprazole) Vometraz Fasorbid oral Oral Oral Oral Injeksi Injeksi 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Canderin Oral 0 0 0 0 0 1 Iv Oral 1 1 1.Mayor Clopidogrel x arixtra -aspilet x arixtra -omeprazole x clopidogrel 2.Moderate -Aspilet x clopidogrel - diltiazem x diazepam -diazepam x omeprazole -ISDN x diazepam -diltiazem x aspirin 3.Minor -Aspilet (Aspirin) x omeprazole (rhindopump (omeprazole)) 1.Moderate -asam mefenamat x thromboaspilet -aspirin x candesartan -bisoprolol x asam mefenamat -asam mefenamat x candesartan 2.Minor -ranitidin x asam mefenamat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 123 -aspirin x bisoprolol. 8. 9. Laki-laki 63 tahun 7 bulan Laki-laki 53 tahun Thrombo aspilet Biscor Simvastatin Amoxicilin Asam mefenamat Brainact adis leptica Asam folat Kalmeco Ranitidin ISDN Oral Oral Oral Oral Oral Oral Oral Oral Oral Oral Oral 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 0 0 0 0 0 1 Pladogrel Oral 0 0 0 0 0 0 Simvastatin Oral 0 0 0 0 0 0 Acetensa Sysmuco Laxadin Alprazolam Opigran pantoprazol Gastridin Rhindopump (omeprazole) Fluxum 4250 vometraz curcuma Aspilet Oral Oral Oral Oral iv Iv Iv iv 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 injeksi iv iv Oral 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1.Mayor -rhindopump (omeprazole) x clopidogrel 2.Moderate -alprazolam x ISDN -alprazolam x omeprazole -omeprazole x simvastatin -alprazolam x losartan -clopidogrel x pantoprazole -simvastatin x pantoprazole 3.Minor - Isdn x omeprazole 1.Mayor -spironolactone x candesartan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 124 10. Laki-laki 47 tahun 4 bulan Clopidogrel Oral 0 0 0 0 0 0 Simvastatin Oral 0 0 0 0 0 0 Laxadin KSR Spironolakton ISDN Ambroxol syr Digoxin Bisoprolol Canderin Furosemid Fluxum 4250 Clopidogrel Oral Oral Oral Oral Oral Oral Oral Oral injeksi Injeksi Oral 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 1 1 1 0 0 0 Aspilet Oral 1 0 0 0 0 0 Simvastatin Oral 0 0 0 0 0 0 ISDN Laxadin syr Oral Oral 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 -ksr x candesartan -ksr x spironolactone 2.Moderate -aspirin x candesartan -aspirin x clopidogrel -spironolactone x bisoprolol -digoxin x bisoprolol -furosemid x bisoprolol -furosemid x digoxin 3.minor -digoxin x spironolactone -aspirin x bisoprolol -aspirin x spironolactone -furosemid x aspirin 1.Mayor -aspirin x ketorolac 2.Moderate -furosemid x ketorolac -aspirin x clopidogrel -ketorolac x clopidogrel 3.Minor -furosemid x aspirin -ranitidin x ketorolac UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 125 11. 12. Laki-laki 41 tahun Perempuan 44 tahun 5bulan Ranitidin Ondansentron Ketorolac Fluxum 4250 iu Lasix Lansoprazole Iv Iv Iv Injeksi Iv Oral 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 Bisoprolol Oral 0 1 0 0 0 1 Inpepsa syr Diazepam Vectrine syr Metformin Simvastatin clopidogrel ISDN Ranitidin Ketorolac KSR Oral Oral Oral Oral Oral Oral Oral Iv iv Oral 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 Bicnat Oral 0 0 0 0 0 0 Pladogrel Oral 0 0 0 0 0 0 1 1 1.Moderate -ketorolac x clopidogrel -lansoprazole x clopidogrel -sucralfate x lansoprazole -Simvastatin x lansoprazole -sucralfate x metformin -ranitidin x metformin -diazepam x bisoprolol -ketorolac x bisoprolol 2.Minor -sucralfate x bisoprolol -ranitidin x ketorolac 1.Mayor -omeprazole x clopidogrel 2.Moderate -lansoprazole x atorvastatin -omeprazole x atorvastatin -atorvastatin x clopidogrel -lansoprazole x clopidogrel 3.Minor -isdn x omeprazole -omeprazole x vit b12 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 126 -ksr x vitamin b12 -vitamin b12 x lansoprazole 13. 14. Laki-laki 55 tahun 7 bulan Perempuan 78 tahun 10 bulan Imdur Atorvastatin Ceftriaxone Rhindopump (omeprazole) Kalmeco Prazotec fixacep Vitamin B12 Pladogrel Oral Oral injeksi iv 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 iv Oral Oral injeksi Oral 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 ISDN Oral 0 0 0 0 0 1 Sysmuco Ramipril Ondansentron Ranitidin tab Cefixime Ranitidin Ketorolac Ondansentron Ceftriaxone Fraxiparine Mertigo Oral Oral Oral Oral Oral Iv iv iv Injeksi Injeksi Oral 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 0 0 0 0 Amlodipin Oral 0 0 0 0 0 0 Atorvastatin Oral 0 0 0 0 0 0 1 1 1.Moderate -Ketorolac x ramipril -ISDN x ramipril -ketorolac x clopidogrel 2.Minor -ranitidin x ketorolac 1Mayor -amlodipin x simvastatin 2.Moderate -ketorolac x amlodipine -simvastatin x atorvastatin -ketorolac x ibersartan (iretensa) 3.Minor -ranitidin x paracetamol UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 127 -ranitidin x ketorolac 15. 16. Perempuan 59 tahun 7 bulan Laki-laki 64 tahun Flunarizin Simvastatin Iretensa Glikuidone Neurotam Kalmeco Ketoroloac Ondansentron Ranitidin Ceftriaxone Farmadol Amlodipin Oral Oral Oral Oral Oral Iv iv iv Iv Injeksi Iv Oral 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 1 1 Simvastatin Oral 0 0 0 0 0 1 mertigo Oral 0 0 0 0 0 0 Glukotika Captopril Thrombo aspilet Asam folat v-block Citicolin Ranitidin Ketorolac Mecobalamin Amlodipin Oral Oral Oral oral oral Injeksi Iv Iv Iv Oral 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 1 1 0 1 1 1 1.Mayor -amlodipin x simvastatin 2.Moderate -captopril x thromboaspilet -captopril x metformin -aspirin x amlodipine -amlodipin x asam folat 3.Minor -captopril x amlodipine -ranitidin x ketorolac -thromboaspilet x asam folat 1.Moderate -chlorpromazine x losartan -chlorpromazine x ondansentron UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 128 17. Laki –laki 51 tahun 5 bulan Clopidogrel Oral 0 0 0 0 0 0 Digoxin Losartan chlorpromazine N-diatab Antasida Parasetamol ISDN Furosemid Ceftriaxone Ranitidin Ondansentron ISDN Oral Oral Oral Oral Oral Oral Oral Oral Injeksi Injeksi Iv Oral 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 Captopril Oral 0 1 0 0 0 1 1 -chlorpromazine x amlodipine -chorpromazine x ISDN -furosemid x digoxin -ceftriaxone x furosemide 2.Minor -ranitidin x antasida -digoxin x antasida -chlorpromazine x antasida -ranitidin x paracetamol 1.Mayor -amlodipin x simvastatin 2.Moderate -captopril x diazepam -aspirin x clopidogrel -simvastatin x lansoprazole -aspirin x ramipril -ISDN x ramipril -diazepam x ramipril -diazepam x bisoprolol -lansoprazole x clopidogrel -captopril x thromboaspilet -diazepam x ISDN -captopril x ISDN -thromboaspilet x amlodipine -amlodipin x bisoprolol UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 129 18. 19. Perempuan 62 tahun 5 bulan Perempuan 67 tahun Clopidogrel Oral 0 0 0 0 0 1 Amlodipin Simvastatin Diazepam Ramipril Thrombo aspilet Bisoprolol Lansoprazol Inpepsa syr Oral Oral Oral Oral Oral Oral Oral Oral 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 Sysmuco Oral 0 0 0 0 0 0 Kalnex Injeksi 0 0 0 0 0 0 Rhindopump (omeprazole) Vitamin k vometraz Ondansentron Ceftriaxone Nymiko ISDN Simvastatin Clopidogrel Digoxin Iv 1 0 0 0 0 0 iv iv Iv Injeksi Oral Oral Oral Oral Oral 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 ISDN Oral 0 0 0 0 0 1 1 1 3.Minor -captopril x amlodipine -amlodipin x ramipril -aspirin x lansoprazole -aspirin x bisoprolol 1.Mayor -omeprazole x clopidogrel 2.Moderate omeprazole x simvastatin 3.Minor -ISDN x omeprazole 1.Mayor -spironolactone x ramipril 2.Moderate -ceftriaxone x furosemide -digoxin x carvedilol -furosemid x v-block -spironolactone x v-block UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 130 -ketorolac x v-block -digoxin x ramipril -ISDN x ramipril -furosemide x ramipril -ketorolac x ramipril -ketorolac x spironolactone -digoxin x ketorolac -furosemid x ketorolac -furosemid x digoxin -furosemid x cefixime -ketorolac x clopidogrel 20. Laki-laki 78 tahun 9 bulan Pladogrel Oral 0 0 0 0 0 0 Letonal Laxadin syr Simvastatin Ambroxol Furosemid Ceftriaxone Ranitidin Ketorolac Ondansentron Ramipril v-block Cefixime Cobazym Oral Oral Oral Oral Oral Oral Iv Iv Iv Oral Oral Oral Oral 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 Lacidofil Oral 1 0 0 0 0 0 Ambroxol Oral 0 0 0 0 0 0 1 3.Minor -digoxin x spironolactone -ranitidin x ketorolac 1.Moderate -ceftriaxone x furosemide -furosemid x omeprazole -furosemid x sanbutamol -sanbutamol (theobron syr) x ondansentron -furosemid x lansoprazole 2.Minor -ranitidin x pct UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 131 21. Laki-laki 48 tahun Letonal Furosemid Theobron syr Prazotec Parasetamol Suprasma inh Farmadol Rhindopump (omeprazole) Vometraz Ceftriaxone Ranitidin Nebulezer ISDN Oral Oral Oral Oral Oral Inhalasi Iv Iv 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 1 0 iv Injeksi Iv Inhalasi oral 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 Aspilet Oral 0 0 0 0 0 0 Clopidogrel Simvastatin Laxadin syr Ambroxol syr Alprazolam Furosemid Ramipril lasix Fluxum Ranitidin Ceftriaxone Combiven inhalasi Oral Oral Oral Oral Oral Oral Oral Iv Injeksi Injeksi Injeksi Inhalasi 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1.Moderate -ceftriaxone x furosemide -furosemid x alprazolam -alprazolam x ISDN -furosemid x ramipril -ISDN x ramipril -alprazolam x ramipril -Aspirin x ramipril -aspirin x clopidogrel 2.Minor -furosemid x aspirin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 132 22. 23. 24. Laki-laki 50 tahun 1 bulan Laki-laki 59 tahun 3 bulan Laki- laki 43 tahun 7 bulan ISDN Oral 0 0 0 0 0 0 1.Mayor -diltiazem x simvastatin Pladogrel Oral 0 0 0 0 0 1 Simvastatin Oral 0 0 0 0 0 0 2.Moderate -tromboaspilet x clopidogrel 3.Minor -tromboaspilet x bisoprolol -diltiazem x insulin aspart Diltiazem Thrombo aspilet Laxadin Biscor Leptica Ranitidin Ondansentron Ceftriaxone Novarapid Spironolakton Oral Oral Oral Oral Oral Iv Iv Injeksi Injeksi Oral 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 Aspilet Oral 0 0 0 0 0 1 ISDN Oral 0 0 0 0 0 0 Simvastatin Losartan Bisoprolol Parasetamol Lasix Digoxin Oral Oral Oral Iv Iv Oral 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 Letonal Oral 0 0 0 1 1 1 0 0 1.Mayor -spironolactone x losartan 2.Moderate -furosemid x bisoprolol -spironolactone x bisoprolol -aspirin x losartan 3.Minor -furosemid x aspirin -aspirin x spironolactone -aspirin x bisoprolol 1.Mayor -spironolactone x ramipril -captopril x spironolactone 2.Moderate UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 133 25. Laki –laki 65 tahun 7 bulan ISDN Oral 0 0 0 0 0 1 Imdur Alprazolam Ramipril Captopril Aspilet Amlodipin Ranitidin Furosemid Ondansentron Ceftriaxone Ramipril Oral Oral Oral Oral Oral Oral Iv Injeksi Iv Injeksi Oral 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 Aspilet Oral 0 0 0 0 0 1 1 -ceftriaxone x furosemide -alprazolem x ramipril -ISDN x ramipril -furosemid x ramipril -furosemid x ramipril -alprazolam x spironolactone -captopril x imdur -alprazolam x imdur -captopril x ISDN -captopril x furosemide -furosemid x alprazolam -captopril x alprazolam -furosemid x digoxin -Alprazolam x digoxin -captopril x digoxin -alprazolam x ISDN -digoxin x ramipril 3.Minor -digoxin x spironolacton 1.Mayor -aspirin x ketorolac -omeprazole x clopidogrel 2.Moderate -aspilet x clopidogrel -omeprazole x simvastatin -aspilet x ramipril -ISDN x ramipril UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 134 26. 27. Laki-laki 77 tahun 11 bulan Perempuan 46 tahun 10 bulan Clopidogrel Oral 0 0 0 0 0 0 Simvastatin Laxadin syr ISDN Ambroxol Omeprazole Ketoroloac Ranitidin Persantin Oral Oral Oral Oral Iv Iv Iv Oral 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 Parasetamol Oral 0 0 0 0 0 1 Curcuma Sysmuco Clopidogrel ISDN Vasedon Ranitidin tab Ranitidin Ondansentron Kalmeco Rhindopump (omeprazole) Aspilet Oral Oral Oral Oral Oral Oral Iv Iv Iv Iv 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 Oral 1 1 -ketorolac x clopidogrel 3.Minor -aspirin x omeprazole -ISDN x omeprazole -ranitidin x ketorolac 1.Mayor -omeprazole x clopidogrel 2.Minor -Ranitidine x paracetamol -ISDN x omeprazole 1.Moderate -furosemid x carvedilol -omeprazole x simvastatin -aspirin x ramipril -ISDN x ramipril -furosemid x ramipril -furosemid x omeprazole UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 135 28. 29. Laki-laki 73 tahun 5 bulan Laki-laki 41 tahun 6 bulan ISDN Oral 0 0 0 0 0 1 Simvastatin v-block Ramipril Lasix Ranitidin tab Omeprazole Furosemid Thrombo aspilet Oral Oral Oral Oral Oral Iv Injeksi Oral 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 1 0 Acetensa Oral 0 0 0 0 0 0 v-block Oral 0 1 0 0 0 1 Amlodipin Asam folat Brainact adis Mecobalamin Citicolin Ketorolac extra Parasetamol flash ISDN Oral Oral Oral Oral Injeksi Iv Iv Oral 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 Aspilet Oral 0 0 0 0 0 1 1 1 2.Minor -aspirin x omeprazole -ISDN x omeprazole -aspirin x carvedilol -furosemid x aspirin 1.Mayor -aspirin x ketorolac 2.Moderate -aspirin x amlodipine -ketorolac x amlodipine -aspirin x losartan -ketoroloac x losartan -ketorolac x carvedilol -amlodipin x carvedilol 3.Minor -aspirn x carvedilol 1.Mayor -amlodipine x simvastatin -aspirin x ketorolac 2.Moderate -captopril x furosemide -amlodipin x carvedilol UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 136 30. Perempuan 63 tahun 11 bulan 21 hari Simvastatin Oral 0 0 0 0 0 0 v-block Captopril Amlodipin Lasix lasix Ranitidin Ketorolac Aspar-K Oral Oral Oral Oral Iv Iv Iv Oral 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 Sistenol Oral 0 0 0 0 0 0 v-block Oral 0 1 0 0 0 1 ISDN Asam mefenamat Ondansentron Ranitidin Cinam Dexametason Ketorolac Oral Oral iv iv Iv Iv Iv 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 1 1 -ketorolac x amlodipine -aspirin x amlodipine -furosemid x carvedilol -furosemid x ketorolac -captopril x ketorolac -captopril x ISDN -captopril x aspirin 3.Minor -ranitidin x ketorolac -aspirin x carvedilol -furosemid x aspirin -captopril x amlodipin 1.Mayor -ketorolac x asam mefenamat 2.Moderate -dexametason x carvedilol -ketorolac x carvedilol -asam mefenamat x carvedilol 3.Minor -Ranitidin x parasetamol -ranitidin x asam mefenamat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 137 31. 32. 33. Perempuan 54 tahun 2 bulan Laki-laki 76 tahun 2 bulan Perempuan 68 tahun 5 bulan Sysmuco Oral 1 0 0 0 0 0 0 Glikuidone ISDN Pladogrel Bisoprolol Ranitidin Ondansentron Ceftriaxone Letonal Oral Oral Oral Oral Iv Iv Injeksi Oral 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 Vitamin B12 Oral 0 0 0 0 0 0 Furosemid Digoxin ISDN Persantin Glikuidone Sysmuco Metformin Furosemid Ceftriaxone Ondansentron Ranitidin Furosemid ISDN Oral oral Oral Oral Oral Oral Oral Injeksi Injeksi Iv Iv Injeksi Oral 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 0 1 0 0 1 0 Aspilet Oral 0 0 0 0 0 0 Sysmuco Laxadin Oral Oral 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 Tidak ada interaksi obat 1.Moderate -ceftriaxone x furosemide -furosemid x digoxin -Spironolactone x metformin -digoxin x metformin 2.Minor -digoxin x spironolactone 1.Moderate -Ceftriaxone x furosemid 2.Minor -ranitidin x parasetamol -furosemid x aspirin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 138 34. 35. Laki-laki 69 tahun 2bulan Perempuan 47 tahun 11 bulan Parasetamol Lasix Ranitidin Ceftriaxone Farmadol Vitamin K Kalnex ISDN Oral Iv Iv Injeksi Iv Iv Injeksi Oral 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 1 Aspilet Oral 0 0 0 0 0 1 Spironolakton Oral 0 0 0 0 0 1 Ramipril Digoxin Furosemid Simvastatin Ambroxol Lasix Ranitidin Furosemid Ambroxol syr Oral Oral Oral Oral Oral Iv Iv Injeksi Oral 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1.Mayor -spironolactone x ramipril 2.Moderate -aspirin x ramipril -digoxin x ramipril -ISDN x ramipril -furosemid x ramipril -furosemid x digoxin -aspirin x digoxin 3.Minor -digoxin x spironolactone -aspirin x spironolactone -furosemid x aspirin 1.Moderate -ceftriaxone x furosemid -metilprednisolon x candesartan -metilprednisolon x bisoprolol -furosemid x sucralfate -furosemid x omeprazole -furosemid x metilprednisolon UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 139 36. Perempuan 51 tahun Candesartan Oral 0 0 0 0 0 1 Azitromisin Meptin mini Neciblok Aspilet Biscor Ceftriaxone Metil prednisolon Omeprazole Lasix Combiven RL Mertigo Oral Oral Oral Oral Oral Iv Injeksi Iv Iv Inhalasi Infus Oral 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 Parasetamol Oral 0 0 0 0 0 0 Inpepsa syr Oral 0 0 0 0 0 1 Myonal Clopidogrel Oral Oral 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 -aspirin x metilprednisolon -aspirin x candesartan 2.Minor -Aspirin x omeprazole -aspirin x bisoprolol -sucralfate x bisoprolol -furosemid x aspirin 1.Mayor -omeprazole x clopidogrel 2.Moderate -lansoprazole x clopidogrel -alprazolam x carvedilol -sucralfate x lansoprazole -simvastatin x lansopeazole -omeprazole x simvastatin -alprazolam x ramipril -ISDN x ramipril -alprazolam x omeprazole -alprazolam x ISDN 3.Minor -sucralfate x carvedilol -ISDN x omeprazole -ranitidin x ketorolac UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 140 37. 38. Perempuan 51 tahun 6 bulan Laki-laki 37 tahun 6 Simvastatin ISDN Ramipril Spasmonmen Lansoprazole Alprazolam v-block Gastrofer Ranitidin Ondansentron ketorolac Curcuma Oral Oral Oral Oral Oral Oral Oral Iv Iv Iv Iv Oral 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 1 1 1 0 0 0 0 0 Imdur Oral 0 0 0 0 0 1 Letonal Oral 0 0 0 0 0 1 Vitamin B12 Furosemid Ramipril Pladogrel Simvastatin Ranitidin Ondansentron mecobalamin Ceftriaxone Pronalges sup ISDN Oral Oral Oral Oral Oral Iv Iv Oral Injeksi Inejksi Oral 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1.Mayor -spironolactone x ramipril 2.Moderate -ketoprofen x clopidogrel -ISDN x ramipril -ketoprofen x ramipril -furosemid x ramipril -ketoprofen x spironolactone -ceftriaxone x furosemid -ketoprofen x furosemid 3.Minor -ranitidin x vitamin b12 -ranitidin x ketoprofen 1.Moderate -ceftriaxone x furosemid UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 141 bulan 39. Laki-laki 62 tahun 9 bulan Pladogrel Oral 0 0 0 0 0 0 Laxadine syr Letonal Digoxin Furosemid PCT Sysmuco Imdur Cap camp Ranitidin tab Domperidon Alprazolam Ranitidin Ondansentron Ceftriaxone Bisoprolol Oral Oral Oral Oral Oral Oral Oral Oral Oral Oral Oral Iv Iv Injeksi oral 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 Ramipril Oral 0 0 0 0 0 1 1 -furosemid x alprazolam -furosemid x digoxin -alprazolam x digoxin -alprazolam x ISDN -Alprazolam x ISDN -alprazolam x spironolactone 2.Minor -ranitidin xparacetamol -digoxin x spironolactone 1.Moderate -ramipril x glimepiride -bisoprolol x glimepiride -ranitidin x glimepiride -aspirin x glimepiride -ramipril x metformin -ranitidin x metformin -furosemid x metformin -furosemid x glimepiride -aspirin x ramipril -ISDN x ramipril -furosemid x ramipril -furosemid x bisoprolol 2.Minor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 142 -aspirin x bisoprolol -ranitidin x paracetamol 40. Laki-laki 63 tahun 9 bulan Atorvastatin Glimepirid Metformin ISDN Aspilet Sanmol Cefixime Ranitidin tab Lasix Furosemid Sysmuco Oral Oral Oral Oral Oral Oral Oral Oral Iv Injeksi 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 1 0 1 0 0 0 Inpepsa syr Oral 0 0 0 0 0 1 ISDN Oral 0 0 0 0 0 1 1 1.Mayor -spironolactone x losartan -aspirin x ketorolac 2.Moderate -furosemid x alprazolam -furosemid x sucralfate -furosemid x bisoprolol -alprazolam x bisoprolol -ketorolac x bisoprolol -spironolactone x bisoprolol -omeprazole x simvastaton -aspirin x losartan -alprazolam x losartan -ketorolac x spironolactone -alprazolam x spironolactone -alprazolam x ISDN -furosemid x ketorolac -ketorolac x losartan -furosemid x omeprazole -alprazolamx omeprazole 3.Minor -ISDN x omeprazole -aspirin x omeprazole -sucralfate x bisoprolol UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 143 -ranitidin x ketorolac -aspirin x spironolactone -furosemid x aspirin -aspirin x bisoprolol 41. 42. Laki-laki 57 tahun 3 bulan Perempuan 73 tahun 7 bulan Bisoprolol Acetensa Simvastatin Aspilet Alprazolam Letonal Rhindopump Vometraz Ranitidin Ketorolac Furosemid Oral Oral Oral Oral Oral Oral Iv Iv Iv Iv Injeksi 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 1 1 0 1 1 1 Aspilet Oral 0 0 0 0 0 1 1.Mayor -amlodipin x simvastatin Clopidogrel Oral 0 0 0 0 0 0 2.Moderate -diazepam x ISDN -apririn x amlodipin -diazepam x cetrizine -aspirin x clopidogrel ISDN Laxadin syr Divask Diazepam Simvastatin Ranitidin Fluxum 4250 iu fendex Clopidogrel Oral Oral Oral Oral Oral Iv Injeksi 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 0 1 0 1 0 ISDN Oral 0 0 0 0 0 Oral 1 1 1 1.Mayor -omeprazole x clopidogrel -ramipril x losartan 2.Moderate -furosemid x ramipril UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 144 43. Laki-laki 50 tahun 3 bulan Sukralfat Oral 0 0 0 0 0 1 Digoxin Codein Losartan Ramipril Ambroxol syr nuerodex Cap camp Omeprazol Lasix Dexametason Ceftriaxone RL / 24jam Aspilet Oral Oral Oral Oral Oral Oral Oral Iv Iv Iv Injeksi Infus Oral 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 1 1 0 1 0 1 1 -ISDN x ramipril -codein x ramipril -dexametason x ramipril -metilprednisolon x ramipril -dogixin x ramipril -dexametason x losartan -metilprednisolon x losartan -codein x losartan -furosemid x sucralfate -digoxin x sucralfate -codei x furosemid -furosemid x dexametasone -furosemid x digoxin -dexametason x digoxin -codein x ISDN -furosemid x metilprednisolon -digoxin x metilprednisolon -furosemid x omeprazole -dgoxin x omepraxole -ceftriaxone x furosemid 3.Minor -ISDN x omeprazole 1.Moderate -furosemid x diazepam -diazepam x ISDN UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 145 44. Perempuan 86 tahun 1 bulan Clopidogrel Oral 0 0 0 0 0 0 Simvastatin Laxadin syr Candesartan Diazepam ISDN Lasix Fluxum Lasix Ar/8 jam Asam folat Oral Oral Oral Oral Oral Oral Injeksi Iv infus Oral 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 Condaron Oral 0 0 0 0 0 0 Thrombo aspilet Oral 0 0 0 0 0 1 Cap camp Sanadryl Parasetamol extra v-block Citicolin Laxadin syr Ketorolac Parasetamol extra Dexametason Kalmeco Oral Oral Iv 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 Injeksi Oral Injeksi Injeksi Injeksi Iv 1 -aspirin x clopidogrel -daiazepam x candesartan -aspirin x candesartan 2.Minor -furosemid x aspirin 1.Mayor -amiodarone x ondansetron -aspirin x ketorolac 2.Moderate -amiodarone x carvedilol -dexamethasone x carvedilol -ketorolac x carvedilol -dexamethasone x ketorolac -aspirin x dexametason 3.Minor -aspirin x carvedilol -ranitidin x ketorolac -ranitidin x paracetamol UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 146 45. Laki-laki 69 tahun 6 bulan Ranitidin extra Ondansentron Ceftriaxone Carnevit Ascardia Iv Iv Injeksi Injeksi Oral 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 Tensivask Oral 0 0 0 0 0 1 Hypril Oral 0 0 0 0 0 1 Simvastatin Cedocard/forsoreid Alprazolam Forbetes Letonal Oral Oral Oral Oral Oral 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1.mayor -Aspirin x arixtra -spironolactone x ramipril -amlodipin x simvastatin 2.Moderate -ramipril x metformin -furosemid x metformin -spironolactone x metformin -simvastatin x lansoprazole -omeprazole x simvastatin -aspirin x ramipril -alprazolam x ramipril -furosemid x lansoprazole -furosemid x alprazolam -ISDN x ramipril -furosemid x ramipril -aspirin x amlodipin -alprazolam x spironolactone -alprazolam x omeprazole -alprazolam x ISDN -furosemid x omeprazol 3.Minor -furosemid x aspirin -apirin x lansoprazole -ISDN x omeprazole -aspirin x omeprazole -aspirin x spironolactone -amlodipin x ramipril UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 147 Lansoprazol Lasix neurosanbe ISDN Rhindopump Aritra Lasix Ca gluconas Oral Oral Oral Oral iv Injeksi Iv Iv 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta