EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs)

advertisement
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs)
PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSA JANTUNG
KORONER DI SALAH SATU RUMAH SAKIT
JAKARTA UTARA
SKRIPSI
ANNISSA FADILLA MARTHA
1112102000021
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
OKTOBER 2016
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs)
PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSA JANTUNG
KORONER DI SALAH SATU RUMAH SAKIT
JAKARTA UTARA
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Farmasi
ANNISSA FADILLA MARTHA
1112102000021
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
OKTOBER 2016
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Annissa Fadilla Martha
NIM
: 1112102000021
Tanda Tangan
:
Tanggal
: 10 Oktober 2016
iii
iv
v
ABSTRAK
Nama
: Annissa Fadilla Martha
NIM
: 1112102000021
Program Studi
: Farmasi
Judul Skripsi
: Evaluasi Drug Related Problem pada Pasien dengan
Diagnosa Penyakit Jantung Koroner di Salah Satu Rumah
Sakit Jakarta Utara
Penyakit jantung koroner (PJK) atau penyakit kardiovaskular saat ini adalah
penyebab mortalitas tertinggi di dunia, dimana dilaporkan sebanyak 30% dari
mortalitas global. Pada tahun 2010, penyakit kardiovaskular tercatat telah
membunuh 18 juta orang, 80% terdapat di negara berkembang seperti Indonesia.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa Drug Related Problems (DRPs) yang
terjadi pada pasien dengan penyakit kardiovaskular disebabkan karena pemakaian
obat yang cukup banyak atau yang disebut polifarmasi. Drug Related Problems
(DRPs) merupakan suatu kejadian atau masalah yang tidak diinginkan terkait
terapi obat pasien yang berpengaruh pada outcome yang diharapkan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui jumlah kejadian DRPs yang meliputi ketidaktepatan
dosis yaitu dosis kurang dan dosis lebih, indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi,
potensial interaksi serta ketidaktepatan pemilihan obat pada terapi pengobatan
pasien dengan diagnosa penyakit jantung koroner di instalasi rawat inap salah satu
Rumah Sakit Jakarta Utara. Penelitian ini bersifat retrospektif dimana data
diperoleh melalui data sekunder berupa rekam medis pasien periode Januari-Mei
2016 dengan desain penelitian cross-sectional. Teknik pengambilan data berupa
total sampling, didapatkan 45 sampel yang sesuai kriteria inklusi. Hasil penelitian
Drug Related problems (DRPs) yang terjadi adalah potensial interaksi obat
sebesar 81,02%, dosis obat kurang dari dosis terapi (underdose) sebesar 14,42%,
dosis obat melebihi dosis terapi (overdose) sebesar 3,98%, obat tanpa indikasi
sebesar 0,56% dan tidak ditemukannya kategori indikasi tanpa obat dan
ketidaktepatan pemilihan obat. Hal ini menunjukkan bahwa pentingnya peran
apoteker dalam melakukan pemantauan terapi obat pada pasien untuk
meminimalisir terjadinya DRPs.
Kata kunci : Drug Related Problems, DRPs Jantung Koroner, Interaksi obat,
Penyakit Jantung Koroner.
vi
ABSTRACT
Name
: Annissa Fadilla Martha
NIM
: 1112102000021
Program Study
: Pharmacy
Tittle
: Evaluation of
Drug Related Problem in patients with
Coronary Artery Disease at one hospital north Jakarta.
Nowadays, coronary artery disease or cardiovascular disease causing the highest
mortality in the world, it is reported that there are 30 percent cases from global
mortality. In 2010, cardiovascular disease was recorded killed 18 million people,
and 80 percent of it happened in developing countries like Indonesia. Some
studies reported that Drug Related Problems (DRPs) occurs in patients who suffer
cardiovascular diseases due to the overusing of drugs or it is usually called
polypharmacist. Drug Related Problems (DRPs) are events or unwanted problems
related to the patient’s drug therapy which affects the desired outcome. The
purpose of this research is to know the total incidence number of DRPs categories,
wich the under dose, high dose, drug without indication, indication without drug,
potential drug interaction and inaccuracy of drugs selecting in medical therapy of
patients with coronary artery disease in installation inpatient at one hospital north
Jakarta. This study is a retrospective where the data was obtained through
secondary data from medical records of patients in the periodic from January to
May 2016 with a cross-sectional study design. Data collection techniques using
total sampling, obtained 45 samples of corresponding study inclusion criteria. The
result of Drug Related Problems (DRPs) there are 81,02% of potential drug
interactions, 14,42% of the dose of drug less than the therapy (underdose), 3,98%
of drug dose exceeds the therapeutical dose (overdose), 0,56% of drug without an
indication and there is not finding category indication without drugs and
inaccuracy of drugs selecting. Therefore, the role of the pharmacist is important
for monitoring patient drug therapy to minimize the occurrence of DRPs.
Keywords : Coronary Artery Disease, Drug Related Problems, Drug interactions,
DRPs Coronary artery Disease.
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala
rahmat dan anugerah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi yang berjudul “Evaluasi Drug Related Problem pada Pasien dengan
Diagnosa Penyakit Jantung Koroner di Salah Satu Rumah Sakit Jakarta Utara”
Shalawat beriring salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada junjungan
Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan para pengikutnya
hingga akhir zaman.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk mencapai
gelar sarjana farmasi di Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, penyusunan skripsi ini akan dirasa lebih sulit. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Kedua orangtua, Ayahanda Tarmizi syahrie dan Ibunda Sumarni yang
tiada henti memberikan dukungan dan bantuan materil dan non materil.
Memberikan motivasi, semangat, dan do’a kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini, juga kepada kakak Dicky Erlangga Martha,
Intan Prayitno, Bayu Prasetyo Martha, Febri Handayani serta adik tercinta
Hasna Dzakiyah Martha yang secara tidak langsung membantu dalam
penulisan skripsi ini.
2. Ibu Nelly Suryani Ph.D, Msi., Apt. selaku pembimbing pertama dan
Bapak Yardi Ph.D., Apt. selaku pembimbing kedua, yang senantiasa
memberi arahan, dukungan, semangat, saran, dan solusi dalam proses
penelitian dan penyelesaian skripsi ini. Semoga segala bantuan dan
bimbingan beliau mendapat imbalan yang setimpal di sisi-Nya.
3. Ibu Vidya Arlaini Anwar, S.si.,Apt, beserta seluruh pihak karyawan ruang
administrasi medik dan farmasi yang telah banyak membantu dalam
pengambilan data.
viii
4. Dr. Delina Hasan, M.Kes., Apt. dan Bapak Dr.Yanis Musdja, M.Si., Apt.
selaku dosen penguji yang telah memberikan sumbangan pikiran, saran,
dan masukan kepada penulis.
5. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M. Kes, selaku Dekan Fakultas
Kedoktern dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt. selaku Ketua Program Studi Farmasi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Ibu/Bapak Dosen dan Staf Akademika Program Studi Farmasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.
8. Keluarga tersayang, Buyah Hatta, Umi Wiliani, Wakibu Nurmaili, Pakde
Soeryadi, Paksu Hairul dan Made Berthalina serta keluarga besar yang
berada di jakarta atas dukungan, masukan dan semangat yang telah
diberikan selama ini.
9. Sepupu tersayang, Uni Ririn, Kak Sally, Bella, dan Tasya yang senantiasa
mendengarkan keluh kesah serta memberikan dukungan tiada henti selama
ini.
10. Sahabat Cera Alba (Endang, Risha, Icak, Zakiyah, Nisa Utami, Moethia,
Laila, Putri, Azmi, dan Dian ) yang tak henti memberikan semangat,
menemani penulis selama proses perkuliahan, memberikan bantuan dan
motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
11. Teman yang senantiasa menemani penulis serta selalu memberikan
semangat selama penelitian dan penyusunan skripsi ini Gadis Pujiastuti
12. Kak Randika dan kak Prima serta teman seperjuangan di BEM FKIK 2013
yang telah membantu dalam menyelesaikan hasil serta memberikan
motivasi, berbagi ilmu dan pendapat.
13. Adik-adik KESOR DEMA FKIK 2014/2015 Lidza, Fariz dan Pages yang
senantiasa meluangkan waktu untuk menghibur dan selalu memberikan
motivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
14. Teman-teman Kosan Almuna Dian Mutia, Hana, Nusa, Icak, Kresna,
Hafni, Fefi, Azizah, dan Teh Putri yang senantiasa menemani penulis,
berbagi cerita, memberikan dukungan serta motivasi kepada penulis.
ix
15. Seluruh sahabat dan teman seperjuangan Program Studi Farmasi angkatan
2012 yang telah memberikan dukungan dan semangat.
16. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut
membantu menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu saran, kritik, dan masukan sangat diharapkan demi
penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat memberi
sumbangan bagi para pembacanya.
Jakarta, Oktober 2016
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ...................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... v
ABSTRAK ................................................................................................... vi
ABSTRACT ................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ................................................................................. ix
DAFTAR ISI ............................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xiv
DAFTAR TABEL ...................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xvi
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................... 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 6
2.1.Drug Related Problem (DRPs) ................................................................. 6
2.1.1.klasifikasi Drug Related Problem (DRPs) ...................................... 7
2.2 Anatomi dan fisiologi jantung ............................................................... 10
2.2.1. Anatomi jantung .......................................................................... 10
2.2.2.Struktur jantung............................................................................. 11
2.2.3. Fisiologi jantung .......................................................................... 13
2.2.4. Sirkulasi koroner .......................................................................... 13
2.2.5.Histologi pembuluh darah ............................................................. 14
2.3. Jantung koroner ..................................................................................... 16
2.3.1. Pengertian jantung koroner ......................................................... 16
2.3.2. Etiologi penyakit jantung koroner ................................................ 16
2.3.3. Klasifikasi PJK ............................................................................. 17
2.3.4. Penyebab jantung koroner ............................................................ 18
xi
2.3.5. Gejala penyakit jantung koroner .................................................. 18
2.3.6. Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan PJK ...................... 19
2.3.7. Faktor resiko jantung koroner ...................................................... 20
2.3.8. Patologi penyakit jantung koroner ............................................... 22
2.3.9. Manifestasi klinis penyakit jantung koroner ................................ 23
2.3.10. Penatalaksanaan ......................................................................... 26
2.4. Peran farmasi pada penyakit jantung koroner ...................................... 39
2.4.1 Rencana asuhan kefarmasian ........................................................ 40
2.4.2. Sebelum ke rumah sakit ..................................................................... 41
2.4.3. Di rumah sakit .................................................................................... 41
2.4.3.1. IGD/UGD ................................................................................. 41
2.4.3.2. Rawat inap, ICCU/CVC ........................................................... 41
2.5. Rumah sakit........................................................................................... 42
2.5.1. Tugas dan fungsi rumah sakit ..................................................... 43
2.5.2. Jenis dan klasifikasi rumah sakit................................................. 43
2.5.2.1. Jenis rumah sakit secara umum ...................................... 43
2.5.22. Klasifikasi rumah sakit umum ......................................... 44
2.6. Rekam Medis ........................................................................................ 45
2.7 Profil Rumah Sakit “X” ......................................................................... 45
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN .................................................. 47
3.1 Tempat dan waktu Penelitian ................................................................ 47
3.1.1.Tempat penelitian ......................................................................... 47
3.1.2. Waktu penelitian .......................................................................... 47
3.2 Desain Penelitian .................................................................................... 47
3.3 Kerangka konsep ................................................................................... 48
3.4. Populasi dan sampel penelitian ............................................................. 48
3.4.1. Populasi ........................................................................................ 48
3.4.2. Sampel .......................................................................................... 48
3.5.Definisi operasional ............................................................................... 50
3.6. Alur penelitian ....................................................................................... 55
3.6.1. Persiapan (permohonan izin penelitian)...................................... 55
3.6.2. Pelaksanaan pengumpulan data .................................................. 55
xii
3.6.3. Manajemen data .......................................................................... 56
3.6.4. Pengelohan data .......................................................................... 56
3.6.5. Rencana analisis data .................................................................. 57
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................... 58
4.1 Hasil Penelitian ..................................................................................... 58
4.1.1. Karakteristik Pasien .................................................................... 58
4.1.2. Profil Penggunaan Obat .............................................................. 60
4.1.2.1. Profil Penggunaan Obat Injeksi ...................................... 60
4.1.2.2. Profil Penggunaan Obat Oral .......................................... 61
4.1.2.3. Jumlah Penggunaan Obat ............................................... 62
4.1.3. Drug Related Problems (DRPs) .................................................. 62
4.1.4. Tingkat Keparahan Interaksi Obat .............................................. 63
4.2 Pembahasan ............................................................................................ 65
4.2.1. Karakteristik Pasien .................................................................... 65
4.2.2. Profil Penggunaan Obat Pada Pasien PJK .................................. 66
4.2.2.1 Jumlah Penggunaan Obat Pada Pasien PJK .................... 68
4.2.3. Drug Related Problems (DRPs).................................................. 69
4.2.3.1 DRPs Indikasi Tanpa Obat .............................................. 70
4.2.3.2 DRPs Ketidaktepatan Pemilihan Obat ............................. 71
4.2.3.3 DRPs Obat Tanpa Indikasi .............................................. 71
4.2.3.4 DRPs Dosis Obat Melebihi Dosis Terapi ........................ 73
4.2.3.5 DRPs Dosis Obat Kurang Dari Dosis Terapi .................. 74
4.2.3.6 DRPs Interaksi Obat ........................................................ 74
4.3 Keterbatasan Penelitian .......................................................................... 76
4.3.1 Kendala ........................................................................................ 76
4.3.2 Kelemahan ................................................................................... 77
4.4 Kekuatan Penelitian ............................................................................... 77
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 78
5.1 Kesimpulan ............................................................................................ 78
5.2 Saran ....................................................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 79
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kedudukan jantung ................................................................. 11
Gamabr 2.2 Belahan jantung bagian dalam ................................................. 12
Gambar 2.3 Arteri dan vena koroner dibagian anterior .............................. 14
Gambar 2.4 Algoritma evaluasi awal pasien dengan gejala angina ............. 26
Gambar 2.5 Jalur iskemia akut pada pasien PJK dan terapi ........................ 27
Gambar 2.6 Algoritma manajemen obat untuk angina stabil PJK ............... 28
Gambar 3.1 Bagan kerangka konsep ........................................................... 47
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Klasifikasi rekomendasi tatalaksana sindrom koroner akut ....... 29
Tabel 2.2 Jenis dan dosis beta inhibitor untuk IMA .................................... 30
Tabel 2.3 Jenis dan dosis nitrat untuk terapi IMA ....................................... 31
Tabel 2.4 Jenis dan dosis penghambat kanal untuk terapi IMA ................. 33
Tabel 2.5 Jenis dan dosis antiplatelet untuk terapi IMA .............................. 35
Tabel 2.6 Jenis dan dosis antikoagulan untuk terapi IMA ........................... 36
Tabel 2.7 Jenis dan dosis ACE inhibitor untuk terapi IMA ......................... 38
Tabel 2.8 Empat prinsip dasar tujuan dari pharmacetical care .................. 40
Tabel 3.1 Definisi operasional variabel dalam penelitian ........................... 49
Tabel 4.1 Distribusi pasien berdasarkan karakteristik ................................ 57
Tabel 4.2 Distribusi penyakit penyerta pada pasien PJK ............................ 58
Tabel 4.3 Presentase distribusi penggunaan obat injeksi ............................ 59
Tabel 4.4 Presentase distribusi penggunaan obat oral ................................ 60
Tabel 4.5 Presentase distribusi jumlah penggunaan obat............................. 61
Tabel 4.6 Data distribusi pasien yang mengalami DRP ............................... 62
Tabel 4.7 Data distribusi potensial tingkat keparahan interaksi .................. 63
Tabel 4.8 Data obat-obatan yang mengalami interaksi ................................ 64
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Permohonan Data dari UIN .......................................... 83
Lampiran 2 Contoh Rekapitulasi 5 Data Sampel Penelitian ....................... 84
Lampiran 3 Hasil Rekapitulasi Obat yang Mengalami DRPs ..................... 93
Lampiran 4 Hasil Rekapitulasi Obat yang Mengalami DRPs .................... 110
Lampiran 5 Interaksi Obat yang Paling Banyak Terjadi ............................ 112
Lampiran 6 Alur Kerja ............................................................................... 116
Lampiran 7 Hasil Coding Data dan interaksi ............................................. 119
xvi
DAFTAR ISTILAH
ACS
: Acute Coronary Sindrom
ADR
: Adverse Drug Reactions
CAD
: Coronary Artery Disease
CHF
: Congestive Heart Failure
CKD
: Chronic Kidney Disease
DM
: Diabetes Melitus
DRPs
: Drug Related Problems
EKG
: Elektrokardiogram
GDP
: Gula Darah Puasa
GDS
: Gula Darah Sewaktu
GERD
: Gastro Esophageal Reflux Disease
HDL
: High Density Lipoprotein
IM
: Infark Miokard
PJK
: Penyakit Jantung Koroner
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Penyakit jantung koroner adalah gangguan fungsi jantung akibat otot jantung
kekurangan darah karena adanya penyempitan pembuluh darah koroner. Secara
klinis, ditandai dengan nyeri dada, terasa tidak nyaman di dada atau dada terasa
seperti tertekan sesuatu yang berat ketika sedang mendaki maupun melakukan
kerja berat serta ketika terburu-buru pada saat berjalan di jalan datar atau berjalan
jauh. Didefinisikan sebagai penyakit jantung koroner jika pernah didiagnosis
menderita penyakit jantung koroner / sindrom koroner akut (seperti angina
pectoris dan atau infark miokard) oleh dokter atau belum pernah didiagnosis
menderita penyakit jantung koroner / sindrom koroner akut tetapi pernah
mengalami gejala atau riwayat nyeri serta rasa tidak nyaman di dada bagian
tengah, dada kiri depan, dan rasa nyeri menjalar ke lengan kiri, namun nyeri di
dada tersebut hilang ketika menghentikan aktifitas (istirahat) (Riskesdas, 2013).
Penyakit Jantung Koroner (PJK) atau penyakit kardiovaskular saat ini adalah
penyebab mortalitas tertinggi di dunia, dimana dilaporkan sebanyak 30% dari
mortalitas global. Pada tahun 2010, penyakit kardiovaskular telah membunuh 18
juta orang. Sebanyak 80% terdapat di negara berkembang seperti Indonesia
(Raharjoe, 2011) .
Data prevalensi jantung koroner berdasarkan wawancara terdiagnosis dokter
tanpa menunjukkan gejala yang menempati urutan tertinggi yaitu Provinsi
Sulawesi Tengah (0,8%), kemudian diikuti Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan
Aceh masing-masing 0,7%. Sementara prevalensi jantung koroner menurut
diagnosis dengan gejala tertinggi di Nusa Tenggara Timur (4,4%), diikuti
Sulawesi Tengah (3,8%), Sulawesi Selatan (2,9%) dan Sulawesi Barat (2,6%)
(Riskesdas, 2013).
Penyakit jantung koroner (PJK) yang terdiagnosis dokter tanpa menunjukkan
gejala dan yang terdiagnosis dengan gejala menunjukkan bahwa semakin
bertambahnya umur semakin meningkat prevalensi kejadian penyakit jantung
koroner. Yang tertinggi pada kelompok umur 65-74 tahun yaitu 2,0% dan 36%.
Prevalensi penyakit jantung koroner yang terdiagnosa dokter tanpa menunjukkan
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2
gejala maupun yang terdiagnosis dengan gejala lebih tinggi ditemukan pada jenis
kelamin perempuan yaitu sebesar (0,5% dan 1,5%). Prevalensi penyakit jantung
koroner lebih tinggi ditemukan pada masyarakat tidak bersekolah dan tidak
berkerja. Selain itu penyakit jantung koroner yang terdiagnosis tanpa
menunjukkan gejala prevalensi lebih tinggi terjadi di perkotaan, dibandingkan
dengan penyakit jantung koroner yang terdiagnosa dengan gejala lebih tinggi
diperdesaan (Riskesdas,2013).
Jantung koroner dapat disebabkan oleh beberapa faktor, beberapa diantaranya
yaitu umur, jenis kelamin, obesitas, merokok, diabetes mellitus, hipertensi, dan
dyslipidemia dan beberapa penyakit lain (Dipiro 7th). Pada pasien jantung koroner
yang disebabkan oleh penyakit lain pasti akan menggunakan obat terapi yang
cukup banyak untuk mengatasi gejala dari penyakit komplikasinya. Semakin
banyak obat terapi yang digunakan (polifarmasi) pastinya akan menimbulkan
potensi adanya drug related problem pada proses terapinya.
Hasil penelitian Al-Amin et al (2012) dengan judul studi polifarmasi pada
pasien kardiovaskular ditemukan pengobatan yang mendominasi mengalami
polifarmasi adalah pengobatan jantung (48,04%), pengobatan saluran cerna
(24,03%), dan pengobatan sistem saraf (18,1%).
Christin (2013) juga menemukan adanya drug related problem pada pasien
rawat inap yang mendapatkan obat dalam jumlah banyak (polifarmasi) dengan
kategori DRPs yang ditemukan adalah indikasi tidak diterapi (47,16%),
permasalahan terkait pemberian obat yang berlebihan dengan indikasi yang tidak
jelas (20,21%), pemberian obat yang berlebihan untuk indikasi yang sama
(10,28%).
DRPs (Drug Related Problem) di definisikan sebagai suatu peristiwa yang
tidak diinginkan atau risiko yang dialami oleh pasien, yang melibatkan atau
diduga melibatkan terapi obat (Strand et all.,1990). Terjadinya DRPs dapat
mengurangi pencapaian terapi yang diharapkan timbul pada pasien. DRPs
sebenarnya adalah peristiwa yang telah terjadi pada pasien, sedangkan potensial
DRPs adalah suatu peristiwa yang kemungkinan besar akan terjadi jika apoteker
tidak melakukan intervensi yang tepat untuk mengurangi DRPs tersebut
(Nurhalimah,2012).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3
Menurut penelitian Rani (2013), ditemukan adanya DRPs pada pengobatan
kardiovaskular dengan kategori interaksi obat (46,19%), obat dengan dosis tinggi
(17,26%), obat dengan dosis rendah (10,41%), duplikasi obat (11,17%) dan DRPs
yang tinggi ditemukan pada obat seperti antihipertensi, antiplatelet, antikoagulan,
antihiperlipidemia dan obat antiulcers. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Hadiatussalamah (2013) pada pasien dengan diagnosa gagal jantung kongestif
(CHF) didapatkan data Drug Related problems dengan kategori indikasi yang
tidak diterapi sebanyak (13,56%), terapi tanpa indikasi sebanyak (45,76%), dosis
terlalu tinggi sebanyak (1,70%), dan interaksi obat sebanyak (38,98%).
Hasil penelitian Winda H.Furqani, dkk (2015) dengan judul penelitian
permasalahan terkait obat pada penatalaksanaan penyakit ginjal kronis dengan
penyulit penyakit jantung koroner di dapatkan hasil adanya DRPs dengan kategori
ketidaktepatan pemilihan obat, adanya terapi obat yang tidak diperlukan
(pemberian kalsium polistiren sulfonat), ketidaktepatan dosis (pada saat
pemberian obat amoksisilin-kaptopril), dan resiko interaksi merugikan (kaptoprilfurosemid, kaptopril-isosorbid dinitrat, dan kaptopril-natrium bikarbonat).
Menurut Permenkes RI No. 58 tahun 2014 tentang standar pelayanan
kefarmasian di rumah sakit disebutkan bahwa pelayanan kefarmasian merupakan
kegiatan yang bertujuan untuk mencegah, mengidentifikasi dan menyelesaikan
masalah terkait obat. Selain itu farmasi dituntut untuk merealisasikan perluasan
paradigma pelayanan kefarmasian dari orientasi hanya kepada produk (drug
oriented) menjadi oarientasi kepada pasien (patient oriented) dengan filosofi
pelayanan kefarmasian (pharmaceutical
care). Pharmaceutical care ini
dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien serta untuk menimalisir
kesalahan dalam pemberian pengobatan atau drug related problem.
Dari pemaparan diatas, menunjukan bahwa sangat penting untuk melakukan
evaluasi Drug Related Problem (DPRs) pada pasien jantung koroner agar tercapai
suatu keberhasilan terapi, sehingga nantinya dapat membantu meningkatkan
kualitas layanan di Rumah Sakit.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4
1.2 Rumus Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan masalah
menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini :
1. Jumlah pasien penyakit jantung koroner cukup tinggi
2. Banyaknya penyakit penyerta menyebabkan terjadinya pengobatan yang
kompleks.
3. Pengobatan yang kompleks dapat menyebabkan terjadinya DRPs.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi DRPs pada pengobatan
pasien jantung koroner yang mendapatkan terapi obat di instalasi rawat inap
Rumah Sakit “X” Jakarta Utara periode Januasi-Mei 2016 ditinjau dari :
1. Indikasi tanpa obat
2. Obat tanpa indikasi
3. Ketidaktepatan pemilihan obat
4. dosis terlalu rendah (under dosage)
5. dosis terlalu tinggi (over dosage)
6. Interaksi obat.
1.3.2
Tujuan khusus
a. Mengetahui profil penggunaan obat yang digunakan oleh pasien
dengan diagnosa PJK.
b. Mengetahui presentase kejadian DRPs pada pengobatan pasien dengan
diagnosa PJK yang mendapatkan terapi obat.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1
Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu
pengetahuan, bagaimana cara mengevaluasi DRPs pada pasien penyakit jantung
koroner di Rumah Sakit “X” Jakarta Utara.
1.4.2
Metodologi
Metode dalam penelitian ini nantinya dapat digunakan untuk mengevaluasi
DRPs dengan kategori indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, ketidaktepatan
pemilihan obat, ketidaktepatan penyesuaian dosis (dosis terlalu tingi dan dosis
terlalu rendah), dan interaksi obat pada pasien dengan diagnosa penyakit jantung
koroner.
1.4.3
Aplikatif
Secara aplikatif hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan suatu bahan
pertimbangan ataupun informasi bagi dokter, apoteker dan tenaga kesehatan
lainnya dalam pemberian obat yang tepat sesuai dengan diagnosa, dosis obat yang
tepat dengan pertimbangan kondisi pasien, serta dapat memberikan obat dengan
mempertimbangkan interaksi yang terjadi.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Sebagai seorang farmasis, peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang
berorientasi kepada pasien atau yang lebih dikenal dengan patient oriented sangat
penting untuk dilakukan. Praktek pharmaceutical care merupakan suatu
pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan
sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan
mutu kehidupan pasien (Anonim, 2014), salah satu dari upaya peningkatan mutu
pelayanan terhadap pasien ini dapat dilakukan melalui suatu proses pelayanan
kefarmasian salah satunya dengan cara melakukan pengkajian terhadap masalahmasalah terkait penggunaan obat yang sekarang lebih dikenal dengan drug related
problem.
2.1. Drug related probem (DRPs)
Drug related problem merupakan peristiwa yang tidak diinginkan yang
dialami pasien yang memerlukan atau diduga memerlukan terapi obat dan
berkaitan dengan tercapainya tujuan terapi yang diinginkan. Identifikasi DPRs
menjadi fokus penilaian dan pengambilan keputusan terakhir dalam proses dari
patient care (Cippole, stand, morley, 2004).
Menurut Pharmaceutical Care Network Europe (2006) drug related problem
(DRPs) adalah kejadian suatu kondisi terkait dengan terapi obat yang secara nyata
atau potensial mengganggu hasil klinis kesehatan yang diinginkan.
Drug related problem (DRPs) sering disebut juga dengan Drug Therapy
problem atau masalah-masalah terkait penggunaan obat. Kejadian DRPs ini
menjadi masalah aktual maupun potensial yang sering dibicarakan dalam
hubungan antara farmasi dengan dokter. Masalah aktual DRPs yang dimaksud
adalah masalah yang sudah terjadi pada pasien dan sebagai farmasis harus
berusaha untuk menyelesaikan masalahnya, sedangkan masalah DRPs potensial
adalah suatu masalah yang mungkin menjadi resiko yang dapat berkembang pada
pasien jika seorang farmasis tidak melakukan tindakan untuk mencegahnya
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7
(Rovers,2003). Sehingga seorang farmasis sangat memegang peranan penting
dalam mencegah maupun mengendalikan masalah tersebut.
2.1.1 Klasifikasi Drug Related Problem (DRPs)
Menurut Cipolle et al.(1998), secara luas mengkategorikan drug related
problem (DRPs) kedalam 7 kelompok :
1. Indikasi tanpa obat
Indikasi tanpa obat adalah terjadi ketika ada kebutuhan untuk
mengobati indikasi sebelumnya yang tidak diobati (terapi tambahan), untuk
menambahkan terapi obat sinergis atau potensiasi atau untuk memberikan
terapi obat profilaksis atau pencegahan. Misalnya, jika seorang pasien sedang
diobati dengan tepat untuk penyakit pembuluh darah perifer, namun tidak
menerima pengobatan untuk efek samping yaitu anemia, kondisi utamanya
sedang diobati tetapi tidak ada terapi obat yang diberikan untuk mengobati
penyakit baru. Contoh lain dari indikasi tanpa obat adalah menggunakan
terapi obat tunggal bukan kombinasi obat yang tepat untuk mengobati kondisi
medis (Mahmoud, 2008).
2. Obat tanpa indikasi
Obat tanpa indikasi adalah suatu kejadian ketika pasien mendapatkan
terapi obat yang tidak diperlukan, yang indikasi klinisnya tidak ada pada saat
itu. Ada beberapa penyebab obat tanpa indikasi. Yang pertama, kondisi medis
dapat lebih tepat diobati dengan terapi tanpa obat seperti diet, olahraga atau
operasi. Yang kedua, pasien mungkin akan mendapatkan Adverse Drug
Reactions (ADR) dari obat utama atau yang sedang dikonsumsi misalnya
pasien sedang mengkonsumsi obat antihistamin akan mendapatkan obat
tambahan seperti antasida untuk mengurangi efek samping dari obat
antihistamin yaitu peningkatan asam lambung. Yang ketiga, penyalahgunaan
narkoba, tembakau dan konsumsi alkohol semua mungkin menyebabkan
masalah. Keempat, terapi obat kombinasi dapat digunakan untuk mengobati
kondisi yang hanya membutuhkan terapi obat tunggal. Sebagai contoh,
beberapa pasien menerima lebih dari satu pencahar untuk pengobatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8
sembelit; beberapa pasien menerima lebih dari satu antidiare untuk
pengobatan diare; dan beberapa pasien menerima lebih dari satu analgesik
untuk pengobatan nyeri (Mahmoud, 2008).
3. Ketidaktepatan Pemilihan Obat
Ketidaktepatan pemilihan obat merupakan keadaan dimana pasien telah
diresepkan obat yang salah. Seperti :
a. Terapi obat yang digunakan untuk mengobati kondisi medis
pasien tidak efektif;
b. Terdapat banyak obat yang lebih efektif tetap tidak diresepkan
untuk pasien;
c. Obat yang kontraindikasi atau menimbulkan alergi pada pasien
diresepkan untuk pasien;
d. Pasien menerima terapi obat kombinasi yang sama efektifnya
dengan terapi obat tunggal;
e. Pasien menerima obat yang lebih mahal bukan obat yang lebih
murah dan memiliki efektivitas yang sama. (Mahmoud,2008).
4. Ketidaktepatan pemberian dosis
Ketidaktepatan pemberian dosis dibagi 2 yaitu:

Dosis rendah
Hal ini sering menantang bagi tenaga kesehatan untuk
memastikan dosis obat yang sesuai untuk pasien yang melakukan
dialisis karena potensi kenaikan komorbiditas dari waktu ke waktu
dan menggubah parameter laboratorium, parameter farmakokinetik
dan farmakodinamik dan pada pasien yang mendapat perawatan
dialisis (Mahmoud, 2008).
Penyebab dosis rendah, seperti frekuensi pemberian dosis
yang tidak sesuai, jarak dan waktu pemberian terapi obat terlalu
singkat, penyimpanan obat yang tidak sesuai (misalnya, menyimpan
obat di tempat yang terlalu panas atau lembab, menyebabkan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
9
degradasi bentuk sediaan dan dosis subterapi), pemberian obat yang
tidak sesuai dan interaksi obat (Mahmoud, 2008).

Dosis tinggi
Seperti yang dikatakan oleh Cipolle et al. (1998), ketika
seorang pasien menerima dosis obat yang terlalu tinggi dan
mengalami efek toksik yang tergantung dosis atau konsentrasi
menunjukkan pasien mengalami DRPs kategori dosis tinggi.
5. Reaksi obat yang merugikan
Seperti yang dinyatakan oleh Cipolle et al. (1998), reaksi obat yang
merugikan didefinisikan sebagai efek negatif yang tidak diinginkan yang
disebabkan oleh obat-obatan yang tidak dapat diprediksi berdasarkan
konsentrasi dosis atau tindakan farmakologis.
Menurut
WHO,
reaksi
obat
yang
merugikan
(Adverse
Drug
Reactions/ADR) digambarkan sebagai tanggapan terhadap obat yang
berbahaya dan yang tidak diinginkan, dan yang terjadi pada dosis yang
biasanya digunakan untuk profilaksis, diagnosis atau terapi penyakit, atau
untuk modifikasi fungsi fisiologis (Mahmoud, 2008).
Pasien dapat mengalami reaksi obat yang merugikan karena pemberian
obat yang tidak aman, reaksi alergi, pemberian obat yang salah, interaksi
obat, penurunan atau peningkatan dosis yang cepat atau efek yang tidak
diinginkan dari obat yang tidak bisa diprediksi. Interaksi obat merupakan
hasil interaksi dari obat dengan obat, obat dengan makanan dan obat dengan
laboratorium. Hal ini dapat terjadi pada pasien yang menerima obat dari kelas
farmakologis yang berbeda serta dalam kelas farmakologis yang sama.
Misalnya, pendarahan karena dosis yang lebih tinggi dari obat antikoagulan
seperti warfarin atau heparin (Mahmoud, 2008).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10
6. Ketidakpatuhan pasien
Menurut tilson (2004), istilah “adherence” lebih disukai daripada
“compliance” dalam praktek medis. Compliance menunjukkan bahwa pasien
menyetujui
atau
mematuhi
intruksi
dokter,
sedangkan
adherence
mendefinisikan pasien sebagai orang yang cerdas dan mandiri yang mampu
membuat keputusan pengobatan berdasarkan rekomendasi dari resep tersebut.
Perbedaan utama antara adherence dan compliance adalah adherence
membutuhkan kesepakatan pasien untuk rekomendasi resep itu (Mahmoud,
2008).
Ketidakpatuhan
pasien
merupakan
ketidakmampuan
pasien
atau
keengganan untuk mengikuti regimen obat yang telah diresepkan oleh dokter
dan dinilai secara klinis tepat, efektif dan mampu memberikan hasil yang
diinginkan tanpa efek berbahaya (Mahmoud, 2008).
2.2 Anatomi dan fisiologi jantung
2.2.1 Anatomi jantung
Jantung adalah organ berupa otot, berbentuk kerucut, berongga, basisnya di
atas dan puncaknya di bawah. Apeksnya (puncak) miring ke sebelah kiri. Berat
jantung kira-kira 300 gram. Kedudukan jantung, jantung berada di dalam toraks,
antara kedua paru-paru dan di belakang sternum, dan lebih menghadap ke kiri
daripada ke kanan. Kedudukannya yang tepat dapat digambarkan pada kulit dada
kita. Sebuah garis yang ditarik dari tulang rawan iga ketiga kanan, 2 cm dari
sternum, ke atas tulang rawan iga kedua kiri. 1 cm dari sternum, menunjukan
kedudukan jantung, tempat pembuluh darah masuk dan keluar. Titik di sebelah
kiri antara iga kelima dan keenam, atau di dalam ruang interkostal kelima kiri,
4cm dari garis medial, menunjukan kedudukan apeks jantung, yang merupakan
ujung tajam ventrikel (Evelyn,2006)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11
Gambar 2.1 kedudukan jantung dalam perbandingan terhadap sternum, iga-iga,
dan tulang rawan kostal
( Sumber: Evelyn C, 2006.)
2.2.2 Skruktur Jantung
Ukuran jantung kira-kira sebesar kepalan tangan. Jantung orang dewasa
beratnya antara 220 sampai 260 gram. Jantung terbagi oleh sebuah septum (Sekat)
menjadi dua belah, yaitu kiri dan kanan. Sesudah lahir tidak ada hubungan antara
kedua belahan ini. Setiap belahan kemudian dibagi-bagi lagi dalam dua ruang,
yang diatas disebut atrium dan yang bawah ventrikel. Maka di kiri terdapat 1
atrium dan 1 ventrikel. Disetiap sisi ada hubungan antara atrium dan ventrikel
melalui lubang atrio-ventrikuler dan setiap lubang tersebut terdapat katup: yang
kanan bernama katup (valvula) trikuspidalis dan yang kiri katup mitral atau katup
biskuspidalis (istilah atrium atau aurikel adalah sama). Katup atrio-ventrikel
mengizinkan darah mengalir hanya ke satu jurusan, yaitu dari atrium ke ventrikel
dan menghindarkan darah mengalir kembali dari ventrikel ke atrium. Katup
trikuspidalis terdiri atas tiga kelopak atau kuspa katup mitral terdiri atas dua
kelopak karena mirip topi seorang uskup atau mitre, dari situlah nama itu diambil.
Jantung tersusun atas otot yang bersifat khusus dan terbungkus sebuah
membran yang disebut perikardium. Membran itu terdiri atas dua lapis:
perikardium viseral adalah membran serus yang lekat sekali pada jantung dan
perikardium parietal adalah lapisan fibrus yang terlipat keluar dari basis jantung
dan membungkus jantung sebagai kantong longgar. Karena susunan ini, jantung
berada di dalam dua lapis kantong perikardium, dan di antara dua lapisan itu ada
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12
cairan serus. Karena sifat meminyaki dari cairan itu, jantung dapat bergerak
bebas.
Di sebelah dalam jantung di lapisis endotelium. Lapisan ini disebut
endokardium. Katup-katupnya hanya merupakan bagian yang lebih tebal dari
membran ini. Tebal dinding jantung terdiri atas 3 lapis :
1. Perikardium, atau di sebut juga pembungkus luar
2. Miokardium, lapisan otot tengah
3. Endokardium, batas dalam
Dinding otot jantung tidak sama tebalnya. Dinding ventrikel paling tebal
dan dinding di sebelah kiri lebih tebal dari dinding ventrikel sebelah kanan, sebab
kekuatan kontraksi ventrikel kiri jauh lebih besar daripada yang kanan. Dinding
atrium tersusun atas otot yang lebih tipis.
Sebelah dalam dinding ventrikel ditandai berkas-berkas otot yang tebal.
Beberapa berbentuk putting, yaitu otot –otot papilaris. Pada tepi bawah otot-otot
ini terkait benang-benang tendon tipis, yaitu kordae tendinae. Benang-benang ini
mempunyai kaitan kedua yaitu pada tepi bawah katup atrio-ventrikuler. Kaitan ini
menghindarkan kelopak katup terdorong masuk kedalam atrium, bila ventrikel
berkontraksi. (Evelyn,2006)
Gambar 2.2 Belahan jantung bagian dalam
(sumber: Syaifuddin,2010)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13
2.2.3 Fisiologi jantung
Semua jaringan tubuh selalu bergantung pada aliran darah yang disalurkan
oleh kontraksi dan denyut jantung. Jantung mendorong darah melintasi pembuluh
darah untuk disampaikan dalam jumlah yang cukup. Jantung berfungsi untuk
menjalankan sistem sirkulasi dan transportasi dalam tubuh. Pada dasarnya sistem
sirkulasi terdiri dari 3 komponen dasar yaitu :
1. Jantung berfungsi sebagai pompa yang melakukan tekanan terhadap
darah untuk menimbulkan gradien tekanan yang diperlukan agar darah
mengalir ke jaringan.
2. Pembuluh darah berfungsi sebagai saluran untuk mengarahkan dan
mendistribusikan darah dari jantung ke semua bagian tubuh dan
kemudian mengembalikannya ke jantung.
3. Darah berfungsi sebagai medium transportasi tempat bahan-bahan yang
akan disalurkan dilarutkan, diendapkan (Sherwood, 2001).
2.2.4 Sirkulasi koroner
Walaupun jantung memompa darah keseluruh tubuh, namun jantung tidak
menerima nutrisi dari darah yang dipompanya. Nutrisi tidak dapat menyebar
cukup cepat dari darah yang ada dalam bilik jantung untuk memberikan nutrisi
kesemua lapisan sel pada dinding jantung. Untuk itu maka miokardium memliki
jaringan pembuluh darah sendiri, yaitu sirkulasi koroner (Tortora, 2012).
Jantung kaya akan pasokan darah, yang berasal dari arteri koronaria kiri dan
kanan. Arteri-arteri ini muncul secara terpisah dari sinus aorta pada dasar aorta,
dibelakang tonjolan katup aorta. Arteri ini tidak di blockade oleh tonjolan katup
selama sistol karena adanya aliran sirkular dan tetap sepanjang siklus jantung.
Arteri koronaria kanan berjalan diantara trunkus pulmonalis dan atrium
kanan, menuju sulkus AV. Saat arteri tersebut menuruni tepi bawah jantung, arteri
terbagi menjadi cabang descendens posterior dan cabang marginal kanan. Arteri
koronaria kiri berjalan dibelakang trunkus pulmonalis dan kemudian berjalan
diantara trunkus pulmonalis dan atrium kiri. Arteri ini terbagi menjadi cabang
sirkumfleksa, marginal kiri, dan descendens anterior. Terdapat anastomosis antara
cabang marginal kanan dan kiri, serta arteri descendens anterior dan posterior,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14
meskipun anastomosis ini tidak cukup untuk mempertahankan perfusi jika salah
satu sisi sirkulasi koroner tersumbat. Sebagian besar darah kembali ke atrium
kanan melalui sinus koronarius dan vena jantung anterior. Vena koronaria besar
dan kecil secara berturut-turut terletak paralel terhadap arteri koronaria kiri dan
kanan, dan berakhir di dalam sinus. Banyak pembuluh-pembuluh kecil lainnya
yang langsung berakhir di dalam ruang jantung, termasuk vena thebesian dan
pembuluh arterisinusoidal. Sirkulasi koroner mampu membentuk sirkulasi
tambahan yang baik pada penyakit jantung iskemik , misalnya oleh plak
ateromatosa. Sebagian besar ventrikel kiri disuplai oleh arteri koronaria kiri, dan
oleh sebab itu adanya sumbatan pada arteri tersebut sangat berbahaya. AVN dan
nodus sinus disuplai oleh arteri koronaria kanan pada sebagian besar orang,
penyakit pada arteri ini dapat menyebabkan lambatnya denyut jantung dan
blockade AV (Aaronson, 2010).
Gambar 2.3. Arteri dan vena koroner di bagian anterior
(Sumber: Tortora, 2012)
2.2.5. Histologi pembuluh darah
Pembuluh darah yang lebih besar umumnya memiliki struktur 3 lapis.
Lapisan dalam yang tipis disebut tunika intima, terdiri dari selapis (monolayer) sel
endotel (endotelium) yang disokong oleh jaringan ikat. Sel-sel endotel yang
melapisi lumen vascular dirapatkan oleh suatu tight junction, yang membatasi
difusi molekul besar melewati endothelium. Sel-sel endotel memiliki peran krusial
dalam mengendalikan permeabilitas vascular, vasokonstriksi, angiogenesis, dan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
15
regulasi hemostatis. Intima relatif lebih tebal pada arteri yang lebih besar, dan
mengandung beberapa sel otot polos dalam arteri yang lebih besar, dan
mengandung beberapa sel otot polos dalam arteri dan vena yang berukuran besar
dan sedang.
Lapisan tengah yang tebal, tunika media, dipisahkan dari tunika intima
oleh suatu selubung berfenestrasi (berperforasi), lamina elastika interna, yang
sebagian besar tersusun atas elastin. Lapisan media ini mengandung sel otot polos
yang terbenam dalam matriks ekstraselular yang terutama tersusun atas kolagen,
elastin, dan proteoglikan. Sel-sel tersebut berbentuk seperti silinder yang
memanjang dan irregular dengan ujung tumpul, dan memiliki panjang 15-100 m.
Dalam sistem arterial, sel-sel ini tersusun secara sirkular atau dalam spiral
bersusun rendah, sehingga lumen vaskular menyempit saat sel-sel berkontraksi.
Masing-masing sel cukup panjang untuk melapisi sekeliling arteriol kecil
beberapa kali. Sel-sel otot polos yang berdekatan membentuk gap junction. Ini
merupakan area dari kontak selular yang berdekatan dimana susunan kanal besar
yang disebut konekson menghubungkan kedua membrane sel, memungkinkan
otot polos membentuk sinsitium, dimana depolarisasi menyebar dari satu sel ke
sel di sebelahnya.
Lamina elastika eksterna memisahkan antara tunika media dari lapisan
bagian luar, tunika adventisia. Lapisan ini mengandung jaringan kolagen yang
yang menyokong fibroblast dan saraf. Pada arteri dan vena besar, adventitia
mengandung vasa vasorum, yaitu pembuluh darah kecil yang juga menembus ke
dalam bagian luar media dan menyuplai dinding vascular dengan oksigen dan
nutrisi. Protein elastin didapatkan terutama dalam arteri. Molekul elastin tersusun
menjadi jalinan serabut yang berbentuk kumparan acak. Molekul (seperti pegas)
ini memungkinkan arteri melebar selama sistol dan kemudian kembali mengecil
selama diastol agar menjaga darah tetap mengalir kedepan. Hal ini sangat penting
untuk aorta dan arteri elastik besar lainnya, dimana media mengandung lapisan
elastin berpenetrasi yang memisahkan sel-sel otot polos menjadi lapisan
konsentrik multipel (Lamela).
Protein fibrosa kolagen terdapat dalam ketiga lapisan dinding vascular,
dan berfungsi sebagai kerangka yang menahan sel otot polos tetap pada
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16
tempatnya. Pada tekanan internal yang tinggi, jalinan kolagen menjadi sangat
kaku, dan membatasi pelebaran pembuluh darah. Hal ini sangat penting untuk
vena, yang memiliki kandungan kolagen lebih banyak dari arteri (Aaronson,
2010).
2.3 Jantung koroner
2.3.1 Pengertian penyakit jantung koroner
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), penyakit jantung koroner
(PJK) adalah ketidaksanggupan jantung akut atau kronis yang timbul karena
kekurangan suplai darah pada myokardium sehubungan dengan proses penyakit
pada sistem nadi koroner (Knight, 1996).
Pengertian lain untuk PJK adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh
terjadinya penyempitan dan hambatan arteri yang mengalihkan darah ke otot
jantung. Apabila penyempitan ini menjadi parah, maka dapat menimbulkan
serangan jantung (Soeharto,2004).
Penyakit jantung koroner adalah suatu penyakit yang terjadi akibat adanya
penyempitan, penyumbatan atau kelainan pembuluh darah nadi koroner.
Penyempitan atau penyumbatan ini dapat menghentikan aliran darah ke otot
jantung yang sering ditandai dengan rasa nyeri (yenrina, krisnatuti, 1999).
2.3.2 Etiologi Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner disebabkan oleh penumpukan lemak pada dinding
dalam pembuluh darah jantung (pembuluh koroner), dan hal ini lama kelamaan
diikuti oleh berbagai proses seperti penimbunan jaringan ikat, perkapuran,
pembekuan darah yang semuanya akan mempersempit atau menyumbat pembuluh
darah tersebut. Hal ini akan mengakibatkan otot jantung di daerah tersebut
mengalami kekurangan aliran darah dan dapat menimbulkan berbagai akibat yang
cukup serius dari angina pectoris (nyeri dada) sampai infark jantung, yang dalam
masyarakat luas mengenal dengan serangan jantung yang menyebabkan kematian
mendadak.
Pembuluh arteri ini akan menyempit dan bila parah terjadi penghentian
darah. Setelah itu terjadi proses penggumpalan dari berbagai substansi dalam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
17
darah sehingga dapat menghalangi aliran darah dan akan terjadi atherosklerosis.
Manifestasi klinik dari penyakit jantung koroner adalah tanpa gejala, angina
pectoris, infark miokard akut, aritmia, payah jantung, kematian mendadak
(Soeharto, 2004).
2.3.3 Klasifikasi PJK
Menurut kusumawidjaja (2004), kelainan akibat insufiensi koroner dapat
dibagi menjadi 3 jenis yang umumnya hampir serupa, diantaranya adalah
1. Penyakit
jantung
Disease/ASHD).
arteriosklerotik
ASHD
(Arteriosclerotic
menyebabkan
fibrosis
merata
Heart
yang
disebabkan oleh aliran darah yang lambat laun akan berkurang. Iskemi
yang relatif ringan, namun berlangsung lama menyebabkan artrofi
myocardium yang progresif dan diakhiri dengan fibrosis. Perubahan
ini dapat pula menyerang katup jantung. Dalam golongan penyakit
jantung arteriosklerotik termasuk pula penyakit jantung senilis
(presbycardia).
2. Angina Pectoris Merupakan suatu gejala kompleks yang tidak disertai
kelainan morfologik yang permanen pada myocardium disebabkan
oleh insufisiensi relatif yang sementara dari pembuluh darah koroner.
Gejala utama ialah rasa nyeri pada dada yang episodik. Angina
pectoris
biasanya
menunjukkan
adanya
penyakit
jantung
arteriosklerotik dan biasanya juga merupakan permulaan dari infark
myocardium.
3. Infark Myocardium (Myocardial Infarction = MCI) Merupakan
penyakit pembuluh darah jantung koroner yang paling penting dan
paling gawat. Nekrosis iskhemik yang mendadak pada daerah
myocardium yang terbatas (discrete), disebabkan oleh insufisiensi
arteri koroner. Infark myocardium hampir selalu didahului berbagai
kelainan antomik yang disebabkan oleh arteriosklerosis. Walaupun
lebih jarang daripada ASHD, infark myocardium lebih berbahaya dan
jarang ditemukan pada bedah mayat, meskipun hanya 25%, tetapi
merupakan sebab kematian yang utama.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
18
2.3.4
Penyebab jantung koroner
Penyebab jantung koroner ada 2 hal yaitu proses atherosclerosis dan
proses trombosis.
a. Proses atherosclerosis
Terbentuknya plak di dalam arteri pembuluh darah jantung. Plak
terdiri atas kolesterol yang berlebihan, kalsium dan bahan lain di dalam
pembuluh darah yang lama kelamaan menumpuk di dalam dinding
pembuluh darah jantung (arteri koronaria).
b. Proses trombosis
Timbunan lemak dalam pembuluh darah bukan hanya berisi lemak,
namun juga jaringan bekas luka akibat adanya kolesterol. Ini akan
membentuk fibrous cap (tutup fibrosa) diatas timbunan yang lebih keras
daripada dinding pembuluh darah itu sendiri. Bila ada tekanan dapat
mengakibatkan kerusakan pada pembuluh darah, sehingga dapat
mengakibatkan, timbul bekuan darah yang lebih besar yang nantinya akan
menyumbat pembuluh darah sehingga darah tidak bisa mencapai otot
jantung dan mengakibatkan kematian pada sebagian otot jantung
(Maulana, 2008).
2.3.5 Gejala Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner terbentuk secara perlahan-lahan dan dalam waktu
yang lama, kebanyakan orang yang pengidap penyakit ini tidak menyadari jika
mereka sudah atau mengalami penyakit jantung koroner ini sejak lama, dan
menyadari jika telah parah. Biasanya gejala yang paling awal adalah nyeri dada
atau angina serta sesak napas. Tidak semua nyeri dada disebabkan oleh penyakit
jantung koroner.
Angina atau nyeri dada biasanya timbul jika penderita jantung koroner
melakukan aktifitas berat dan kemudian hilang jika mereka beristirahat. Rasa
nyeri ini timbul karena otot jantung tidak mendapatkan oksigen yang cukup.
Angina biasanya berlangsung selama 2-3 menit dan tidak lebih dari 10 menit.
(Soeharto, 2004).
Berikut adalah cara mengenali nyeri dada karena penyakit jantung korner :
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
19
a. Rasa nyeri yang tidak bertambah parah saat menarik napas.
b. Biasanya rasa nyeri terasa di tengah dada, lalu menyebar kesisi kiri,
kedua lengan, sampai ke leher dan rahang.
c. Dada terasa sesak, terbakar, tertusuk-tusuk, atau tertekan. (Maulana,
2008).
d. Gejala lain : napas pendek, berkeringat dingin dan sering merasa
kelemahan yang menyeluruh atau kelelahan (Soeharto, 2004).
2.3.6
Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan penyakit jantung
koroner
a. Diabetes mellitus
Penyakit ini disebabkan karena kekurangan hormon insulin yang berfungsi
mengontrol penyebaran gula (glukosa) ke sel-sel di seluruh tubuh melalui
aliran darah. Kadar gula dalam darah meningkat karena kurangnya insulin
yang bertindak sebagai kunci pembuka masuknya gula ke dalam sel-sel tubuh
yang membutuhkan. Kelebihan kadar gula dalam darah ini dapat
meningkatkan resiko gangguan di dalam peredaran darah termasuk serangan
jantung. Selain itu, diabetes juga meningkatkan kadar lemak dalam darah
termasuk kolesterol tinggi yang menjadi faktor resiko terjadinya serangan
jantung (Maulana, 2008).
b. Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko PJK. Jika dibiarkan tanpa
perawatan yang tepat maka dapat menimbulkan komplikasi yang berbahaya.
Keadaan hipertensi sering ditemukan terjadi bersamaan dengan dislipidemia.
Tekanan darah yang tinggi secara terus-menerus menambah beban pembuluh
arteri secara perlahan-lahan. Arteri mengalami proses pengerasan menjadi
tebal dan kaku sehingga mengurangi elastisitasnya. Hipertensi juga
mendorong proses terbentuknya plak pada arteri koroner (Soeharto, 2004).
c. Kegemukan
Kegemukan merupakan salah satu faktor resiko PJK. Kegemukan
diartikan kurangnya tenaga yang dikeluarkan dibanding masukan sehingga
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
20
zat makanan yang dimakan akan tersimpan dan tertumpuk dalam tubuh
sebagai lemak (Soeharto, 2004).
d. Sirosis hepatis
Hati memegang peranan penting pada hampir setiap fungsi metabolik
tubuh. Pembentukan dan ekskresi empedu merupakan fungsi utama hati,
sedangkan garam empedu penting untuk pencernaan dan absorpsi lemak dan
usus halus. Sirosis hati adalah penyakit hati kronik yang pada kasus lanjutan
menyebabkan kegagalan fungsi hati secara bertingkat. Sirosis lennec
merupakan jenis sirosis.
e. Dislipidemia
Kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan maupun
penurunan fraksi lipid dalam plasma yang dapat meningkatkan kadar kolesterol
total, kolesterol LDL, kenaikan kadar trigliserida dan dapat menurunkan kadae
kolesterol HDL sehingga membentuk proses terjadinya aterosklerosis (Ganong,
2000).
2.3.7 Faktor resiko jantung koroner
Faktor
resiko
adalah
keadaan-keadaan
yang
berkaitan
dengan
meningkatnya kemungkinan terkena penyakit (Laker, 2006).
a. Keturunan
Latar belakang keluarga yang mempunyai penyakit jantung dan tekanan
darah tinggi dapat meningkatkan terjadinya resiko penyakit jantung koroner
(Soeharto, 2004).
b. Jenis kelamin dan usia
Penyakit jantung koroner banyak dijumpai pada jenis kelamin laki-laki
daripada jenis kelamin perempuan. Sebenarnya proses aterosclerosis terjadi
dalam waktu yang lama sejak usia umur 15 tahun, pada laki-laki usia 40
tahun ke atas kenaikan kadar kolesterol dalam darah mempunyai resiko
yang tinggi khususnya LDL untuk pembentukan penyakit jantung koroner,
sedangkan perempuan mempunyai perlindungan alami dari resiko penyakit
koroner, yaitu hormon estrogen yang bisa sangat membantu dalam
pengendalian kolesterol. Namun jika perempuan
sudah mencapai usia
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21
menopouse, pelindungan alami tersebut sudah tidak berproduksi kembali
dan itu yang kemudian akan menjadikan perempuan juga rentan terkena
penyakit jantung koroner apabila tidak berpola hidup sehat (Maulana, 2008).
c. Gaya hidup atau pola hidup
Gaya hidup yang berpengaruh terhadap kejadian PJK antara lain
aktifitas fisik, merokok konsumsi alkohol. Gaya hidup ini adalah faktor
resiko yang dapat dikendalikan. Cara untuk mengendalikan jantung koroner
dari gaya hidup ini dengan cara :
a. Aktifitas fisik
Penelitian
menunjukkan
bahwa
aktivitas
fisik
mendorong
kebugaran tubuh dan mengurangi terjadinya penyakit jantung koroner.
Tingkat aktivitas fisik ini mempengaruhi kesehatan, kualitas hidup dan
daya tahan hidup (Soeharto, 2004)
b. Merokok
Resiko penyakit jantung dari faktor resiko merokok ini setara
dengan 100 pon kelebihan berat badan. Zat-zat kimia yang terkandung
dalam rokok dapat terserap ke dalam aliran darah dari paru-paru lalu
nantinya akan beredar ke seluruh tubuh, dan mempengaruhi sel tubuh.
Zat-zat kimia ini sering menyebabkan pembuluh darah menyempit dan
membuat sel-sel darah yang disebut trombosit menjadi sangat kental
dan lengket sehingga sangat mudah membentuk gumpalan kemudian
akan terjadi atherosklerosis. Semakin banyak batang rokok yang
seseorang konsumsi tiap harinya maka semakin tinggi resiko terkena
serangan jantung (Soeharto, 2004).
c. Alkohol
Dalam tubuh manusia konsumsi alkohol mempunyai efek ganda
dalam penyakit jantung koroner, karena mengkonsumsi alkohol untuk
seseorang yang meminum alkohol dapat menimbulkan efek yang
menguntungkan dan merugikan. Apabila minum sedikit alkohol akan
mengurangi kejadian penyakit jantung dengan jalan meningkatkan
kadar HDL (High Density Lipoprotein) dalam darah. Namun, bila
minum alkohol dalam jumlah yang banyak alkohol maka akan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
22
menambah dan memperparah penyakit jantung. Anjuran yang bisa
diberikan adalah untuk pria tidak boleh lebih dari 21 satuan alkohol
seminggu sedangkan wanita jangan lebih dari 14 satuan. Satu saruan
artinya satu gelas anggur, satu sloki minuman keras dan seperempat bir
(Mike Laker, 2006).
2.3.8. Patologi jantung koroner
Aterosklerosis pembuluh koroner merupakan penyebab penyakit arteri
koronaria paling sering ditemukan. Aterosklerosis menyebabkan penimbunan
lipid dan jaringan fibrosa dalam arteri koronaria, sehingga secara progresif
mempersempit lumen pembuluh darah. Bila lumen menyempit maka resistensi
terhadap aliran darah akan meningkat dan membahayakan alian darah
miokardium. Bila penyakit ini semakin lanjut, maka penyempitan lumen akan
diikuti perubahan pembuluh darah yang mengurangi kemampuan pembuluh untuk
melebar. Dengan demikian keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan
oksigen menjadi tidak stabil sehingga membahayana miokardium yang terletak di
sebelah distal dari daerah lesi. Lesi diklasifikasikan sebagai endapan lemak, plak
fibrosa, dan lesi komplikata, sebagai berikut :
1. Endapan lemak, yang terbentuk sebagai tanda awal aterosklerosis,
dicirikan dengan penimbunan makrofag dan sel-sel otot polos terisi
lemak (terutama kolesterol oleat) pada daerah fokal tunika intima
(lapisan terdalam arteri). Endapan lemak mendatar dan bersifat nonobstruktif dan mungkin terlihat oleh mata telanjang sebagai bercak
kekuningan pada permukaan endotel pembuluh darah. Endapan
lemak biasanya dijumpai dalam aorta pada usia 10 tahun dan dalam
arteri koronaria pada usia 15 tahun. Sebagian endapan lemak
berkurang, tetapi yang lain berkembang menjadi plak fibrosa.
2. Plak fibrosa (atau plak ateromatosa) merupakan daerah penebalan
tunika intima yang meninggi dan dapat diraba yang mencerminkan
lesi paling khas aterosklerosis lanjut dan biasanya tidak timbul
hingga usia decade ketiga. Biasanya, plak fibrosa berbentuk kubah
dengan permukaan opak dan mengilat yang menyembul k eke arah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
23
lumen sehingga menyebabkan obstrukksi. Plak fibrosa terdiri atas
inti pusat lipid dan ddebris sel nekrotik yang ditutupi oleh jaringan
fibromuskular mengandung banyak sel-sel otot polos dan kolagen.
Plak fibrosa biasanya terjadi di tempat percabangan, lekukan atau
penyempitan arteri. Sejalan dengan semakin matangnya lesi,
terjadinya pembatasan aliran darah koroner dari ekspansi abluminal,
remodeling vascular, dan stenosis luminal. Setelah itu terjadi
perbaikan plak dan disrupsi berulang yang menyebabkan rentan
timbulnya fenomena yang disebut “rupture plak” dan akhirnya
trombosis vena.
3. Lesi lanjut atau komplikata terjadi bila suatu plak fibrosa rentan
mengalami
gangguan
akibat
kalsifikasi,
nekrosis
sel,
perdarahan,trombosis, atau ulserasi dan dapat menyebabkan infark
miokardium (Sylvia,2005).
2.3.9 Manifestasi klinis penyakit jantung koroner (PJK)
1. Asimptomatik (Silent Myocardial Ischemia),
Kadang penderita penyakit jantung koroner diketahui secara kebetulan
misalnya saat dilakukan check up kesehatan. Kelompok penderita ini tidak
pernah mengeluh adanya nyeri dada (angina) baik pada saat istirahat maupun
saat aktifitas. Secara kebetulan penderita menunjukkan iskemia saat dilakukan
uji beban latihan. Ketika EKG menunjukkan depresi segmen ST, penderita
tidak mengeluh adanya nyeri dada. Pemeriksaan fisik, foto dada dan lain-lan
dalam batas-batas normal. Mekanisme silent iskemia diduga oleh karena
ambang nyeri yang meningkat, neuropati otonomik (pada penderita diabetes),
meningkatnya produksi endomorfin, derajat stenosis yang ringan.
2. Angina Pektoris Stabil (Stable Angina),
Nyeri dada yang timbul saat melakukan aktifitas, bersifat kronis (> 2
bulan). Nyeri precordial terutama di daerah retrosternal, terasa seperti tertekan
benda berat atau terasa panas, seperti di remas ataupun seperti tercekik.rasa nyeri
sering menjalar ke lengan kiri atas / bawah bagian medial, ke leher, daerah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
24
maksila hingga ke dagu atau ke punggung, tetapi jarang menjalar ke lengan
kanan. Nyeri biasanya berlangsung seingkat (1-5) menit dan rasa nyeri hilang
bila penderita istirahat. Selain aktifitas fisik, nyeri dada dapat diprovokasi oleh
stress / emosi, anemia, udara dingin dan tirotoksikosis. Pada saat nyeri, sering
disertai keringat dingin. Rasa nyeri juga cepat hilang dengan pemberian obat
golongan nitrat. Jika ditelusuri, biasanya dijumpai beberapa faktor risiko PJK.
Pemeriksaan elektrokardiografi sering normal (50 – 70% penderita). Dapat juga
terjadi perubahan segmen ST yaitu depresi segmen ST atau adanya inversi
gelombang T (Arrow Head). Kelainan segmen ST (depresi segmen ST) sangat
nyata pada pemeriksaan uji beban latihan.
Mekanisme terjadinya iskemia
Pada prinsipnya iskemia yang terjadi pada PJK disebabkan oleh karena terjadi
gangguan keseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen miokard. Dengan
adanya aterosklerosis maka aliran darah koroner akan berkurang, terutama pada
saat kebutuhan meningkat (saat aktifitas) sehingga terjadilah iskemia miokard
(Ischemia On Effort).
3.Angina Pektoris Tidak Stabil (Unstable Angina)
Pada subset klinis ini, kualitas, lokasi, penjalaran dari nyeri dada sama
dengan penderita angina stabil. Tetapi nyerinya bersifat progresif dengan
frekuensi timbulnya nyeri yang bertambah serta pencetus timbulnya keluhan
juga berubah. Sering timbul saat istirahat. Pemberian nitrat tidak segera
menghilangkan keluhan. Keadaan ini didasari oleh patogenesis yang berbeda
dengan angina stabil. Angina tidak stabil sering disebut sebagai Pre-Infarction
sehingga penanganannya memerlukan monitoring yang ketat. Pada angina tidak
stabil, plaque aterosklerosis mengalami trombosis sebagai akibat plaque rupture
(fissuring), di samping itu diduga juga terjadi spasme namun belum terjadi
oklusi total atau oklusi bersifat intermitten. Pada pemeriksaan elektrokardiografi
didapatkan adanya depresi segmen ST, kadar enzim jantung tidak mengalami
peningkatan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
25
4. Variant Angina (Prinzmetal’s Angina)
Variant angina atau Prinzmetal’s angina pertama kali dikemukakan pada
tahun 1959 digambarkan sebagai suatu sindroma nyeri dada sebagai akibat
iskemia miokard yang hampir selalu terjadi saat istirahat. Hampir tidak pernah
dipresipitasi oleh stress / emosi dan pada pemeriksaan EKG didapatkan adanya
elevasi segmen ST. Mekanisme iskemia pada Prinzmetal’s angina terukti
disebabkan karena terjadinya spasme arteri koroner. Kejadiannya tidak didahului
oleh meningkatnya kebutuhan oksigen miokard. Hal ini dapat terjadi pada arteri
koroner yang mengalami stenosis ataupun normal. Proses spasme biasanya
bersifat lokal hanya melibatkan satu arteri koroner dan sering terjadi pada daerah
arteri koroner yang mengalami stenosis. (Rahman,2005).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
26
2.3.10 Penatalaksanaan
Algoritma manajemen ACS
Dicurigai penyakit paru
Evaluasi klinis
Riwayat dan fisik
dan tes EKG
CXR
Sindrom angina
tidak stabil
Dicurigai gagal jantung ,
sebelumnya MI, ekg
tidak normal atau
pemeriksaan hipertensi
atau DM
Penilaian ISKEMIA
Pelaksanaan EKG
Atau
gambaran penekanan farmakologi atau
pelaksanaan gambaran penekanan
Meyakinkan, merujuk
pada pemeriksaan dan
atau membuat
tatalaksana diagnosa
alternatif yang sesuai
Menilai kemungkinan iskemia sebagai penyebab gejala
Echocardiography
(atau MRI) untuk menilai struktural
atau kelainan fungsional
Tidak ada bukti untuk
penyebab gejala jantung
Mengevaluasi prognosis atas dasar evaluasi klinis dan uji non invasif
Jika diagnosis CAD telah dikukuhkan,
tetapi penilaian fungsi kerja ventrikel
belum dilakukan untuk kelas indikasi,
maka penilaian fungsi kerja ventrikel
dilakukan pada tahap ini
Resiko rendah (mortalitas CV tahunan
1%pertahun)
Terapi medis
Arteriografi koroner
jika belum dilakukan
Resiko menengah (mortalitas CV
tahunan 1-2% pertahun)
Terapi medis
Arteriografi koroner tergantung pada
tingkat gejala dan penilaian klinis
Berisiko tinggi (mortalitas CV
tahunan >2% pertahun
Terapi medis dan
arteriografi koroner untuk
stratifikasi resiko yang lebih
lengkap dan penilaian
kebutuhan revascularistion
Evaluasi respon untuk terapi medis
JIKA KONTROL GEJALA YANG TIDAK
MEMUASKAN, PERTIMBANGKAN
KESESUAIAN UNTUK REVASKULARISASI
(PCI/CABG)
NO Berisiko tinggi dan ada
manfaat dari
revaskularisasi
YES
Revascularize
Gambar 2.4 algoritma untuk evaluasi awal pasien dengan gejala angina
(dikutip dari : the task force on the management of stable angina pectoris of the european society
of cardiology).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
27
Iskemia berulang dan atau ST
segmen berubah atau dalam inversi
gelombang –T atau positif jantung
Diberikan : aspirin, beta blockers,
nitrat, antithrombin, GP IIb/ Iia
inhibitor dan monitorin (irama jantung
dan iskemia
Strategi invasif awal
Angiografi langsung
12-24 jam
angiografi
Strategi konservatif awal
Gejala berulang/
gagal jantung,
iskemia dan
aritmia serius
Pasien stabil
Evaluasi fungsi LV
EF < 40
EF ≥40
TES DIBERI
TEKANAN
Tidak ada
resiko
Resiko
rendah
Ikuti resep
obat
Gambaran 2.5 Penanganan pasien dengan PJK dan reaksi setelah pemberian terapi.
(dikutip : Committe on the Management of Patients With Unstable Angina).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
28
Angina stabil untuk manajemen medis
Bantuan
jangka
pendek
Short acting sublingual atau nitrat
bukal
Aspirin 75-150mg
Pengobata
n
bertujuan
untuk
meningkat
kan
prognosis
Kontraindikasi (misal: alergi
aspirin
Clopidogrel 75mg
Intoleran atau
kontraindikasi
Pergantian statin, atau
ezetimibe dengan statin
dosis rendah, atau
menganti dengan
alternatif agen penurun
hiperlipid
Statin
+/- titrasi dosis ↑ untuk kolesterol
mendapatkan target
ACE inhibitor jika CVD terbukti
Beta blocker pasca MI
Beta bloker sebelum MI
Intolerant (seperti kelelahan) atau kontraindikasi*
Gejala tidak terkendali setelah diberikan
dosis optimasi
Diberikan antagonis calcium
atau long acting nitrat
Antagonis kalsium atau long-acting nitrat atau
pembuka chanel K atau jika inhibitor
intolerant
Gejala tidak terkendali setelah pemberian
dosis optimasi
Gejala tidak terkendali setelah diberikan
dosis optimasi
Antara penggantian alternatif
subkelas antagonis kalsium atau
long acting nitrat
Kombinasi nitrat dan
antagonis kalsium atau
pembuka chanel K
Pertimbangkan kesesuaian untuk
revaskularisasi
Gejala tidak terkendali setelah pemberian
dosissoptimasi
Gambar 2.6 algoritma manajemen obat untuk angina stabil pada pasien dengan CAD
(dikutip : The Task Force on the Management of Stable Angina Pectoris of European Society of
Cardiology)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
29
1. Farmakologi
Untuk pengobatan farmakologi yang diperlukan dalam menangani
Sindom koroner akut, berdasarkan pedoman tatalaksana sindrom koroner
akut yang disusun oleh perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular
indonesia 2015 yang disusun melalui proses penelaahan berbagai publikasi
ilmiah dan mempertimbangkan konsistensi dengan berbagai konsensus dan
pedoman yang dibuat oleh berbagai perkumpulan profesi kardiovaskular.
Klasifikasi rekomendasi tatalaksana sindrom koroner akut
Tabel 2.1. Klasifikasi rekomendasi tatalaksana sindrome koroner akut (Sumber:
Himpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia 2015)
Kelas I
Bukti dan atau kesepakatan bersama bahwa pengobatan
tersebut bermanfaat dan efektif
Kelas II
Bukti dan atau pendapat yang berbeda tentang manfaat
pengobatan tersebut
Kelas Iia
Bukti dan pendapat lebih mengarah kepada manfaat atau
kegunaan, sehingga beralasan untuk dilakukan.
Kelas Iib
Manfaat atau efektifitas kurang didukung oleh bukti atau
pendapat namun dapat dipertimbangkan untuk dilakukan.
Kelas III
Bukti atau kesepakatan bersama bahwa pengobatan tersebut
tidak berguna atau tidak efektif, bahkan pada beberapa kasus
kemungkinan membahayakan.
Tingkat bukti A
Data berasal dari beberapa penelitian klinik acak berganda atau
meta analisis
Tingkat bukti B
Data berasal dari satu penelitian acak berganda atau beberapa
penelitian tidak acak
Tingkat bukti C
Data berasal dari konsensus opini para ahli dan atau penelitian
kecil, studi retrospektif atau registri
Obat –obatan yang diperlukan dalam menangani PJK/SKA adalah :
1.
Anti Iskemia
a.
Penyekat Beta (Beta blocker).
Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada
efeknya terhadap reseptor beta-1 yang mengakibatkan turunnya
konsumsi oksigen miokardium. Terapi hendaknya tidak diberikan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
30
pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-ventrikler yang
signifikan, asma bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri. Pada
kebanyakan kasus, preparat oral cukup memadai dibandingkan
injeksi. Penyekat beta direkomendasikan bagi pasien UAP atau
NSTEMI, terutama jika terdapat hipertensi dan/atau takikardia, dan
selama tidak terdapat indikasi kontra (Kelas I-B). penyekat beta
oral hendaknya diberikan dalam 24 jam pertama (Kelas I-B).
Penyekat beta juga diindikasikan untuk semua pasien dengan
disfungsi ventrikel kiri selama tidak ada indikasi kontra (Kelas IB). Pemberian penyekat beta pada pasien dengan riwayat
pengobatan penyekat beta kronis yang datang dengan SKA tetap
dilanjutkan kecuali bila termasuk klasifikasi Kilip ≥III (Kelas I-B).
Tabel 2.2. Jenis dan dosis penyekat beta untuk terapi IMA (Sumber:
Himpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia 2015)
Penyekat beta
Selektivitas
Aktivitas
Dosis untuk
agonis parsial
angina
Atenolol
B1
-
50-200mg/hari
Bisoprolol
B1
-
10mg/hari
Metoprolol
B1
-
50-200mg/hari
Propanolol
Nonselektif
-
2x20-80mg/hari
Carvedilol
Α dan β
+
2x6,25 mg/hari,
titrasi
sampai
maksimum
2x25mg/hari
b.
Nitrat.
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang
mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolik
ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang.
Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik
yang normal maupun yang mengalami aterosklerosis.
1. Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan
keluhan dalam fase akut dari episode angina (Kelas IC).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
31
2. Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri
dada berlanjut. sebaiknya mendapat nitrat sublingual
setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali pemberian,
setelah itu harus dipertimbangkan penggunaan nitrat
intravena jika tidak ada indikasi kontra (Kelas I-C).
3.
Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang
persisten, gagal jantung, atau hipertensi dalam 48 jam
pertama UAP/NSTEMI. Keputusan menggunakan nitrat
intravena tidak boleh menghalangi pengobatan yang
terbukti menurunkan mortalitas seperti penyekat beta
atau angiotensin converting enzymes inhibitor (ACE-I)
(Kelas I-B).
4. Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah
sistolik 90 mmHg atau >30 mmHg di bawah nilai awal,
bradikardia berat (<50 kali permenit), takikardia tanpa
gejala gagal jantung, atau infark ventrikel kanan (Kelas
III-C).
5. Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah
mengkonsumsi inhibitor fosfodiesterase: sidenafil dalam
24 jam, tadalafil dalam 48 jam. Waktu yang tepat untuk
terapi nitrat setelah pemberian vardenafil belum dapat
ditentukan (Kelas III-C).
Tabel 2.3 Jenis dan dosis nitrat untuk terapi IMA. (Sumber:
Himpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia 2015)
Nitrat
Isosorbid dinitrate (ISDN)
Dosis
Sublingual 2,5-15mg (onset
5menit)
Oral 15-80mg/hari dibagi 2-3 dosis
Intravena 1,25-5mg/hari
Isosorbid 5 mononitrate
Oral 2x20mg/hari
Nitroglicerin (trinitrin, TNT,
Sublingual tablet 0,3-0,6 mg-
glyceryl trinitrate)
1,5mg
Intravena 5-200mcg/menit.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
32
c. Calcium channel blockers (CCBs).
Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek vasodilator
arteri dengan sedikit atau tanpa efek pada SA Node atau AV Node.
Sebaliknya verapamil dan diltiazem mempunyai efek terhadap SA
Node dan AV Node yang menonjol dan sekaligus efek dilatasi arteri.
Semua CCB tersebut di atas mempunyai efek dilatasi koroner yang
seimbang. Oleh karena itu CCB, terutama golongan dihidropiridin,
merupakan obat pilihan untuk mengatasi angina vasospastik. Studi
menggunakan
CCB
pada
UAP
dan
NSTEMI
umumnya
memperlihatkan hasil yang seimbang dengan penyekat beta dalam
mengatasi keluhan angina.
1. CCB
dihidropiridin
direkomendasikan
untuk
mengurangi gejala bagi pasien yang telah mendapatkan
nitrat dan penyekat beta (Kelas I-B).
2. CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien
NSTEMI dengan indikasi kontra terhadap penyekat beta
(Kelas I-B).
3. CCB
nondihidropiridin
(long-acting)
dapat
dipertimbangkan sebagai pengganti terapi penyekat beta
(Kelas IIb-B).
4. CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina
vasospastik (Kelas I-C).
5. Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediaterelease)
tidak
dikombinasi
direkomendasikan
dengan
penyekat
beta.
kecuali
(Kelas
bila
III-
B).umumnya memperlihatkan hasil yang seimbang
dengan penyekat beta dalam mengatasi keluhan angina.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
33
Tabel 2.4. Jenis dan dosis penghambat kanal untuk terapi IMA
(Sumber: Himpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia
2015)
Penghambat kanal kalsium
Dosis
Verapamil
180-240mg/hari dibagi 2-3
dosis
Diltiazem
120-360mg/hari dibagi 3-4
dosis
Nifedipine GITS (Long acting
30-90mg/hari
Amlodipine
5-10mg/hari
2. Antiplatelet
1.
Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi
kontra dengan dosis loading 150-300 mg dan dosis
pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya untuk jangka
panjang, tanpa memandang strategi pengobatan yang
diberikan (Kelas I-A).
2.
Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin
sesegera mungkin dan dipertahankan selama 12 bulan
kecuali ada indikasi kontra seperti risiko perdarahan
berlebih (Kelas I-A).
3.
Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole)
diberikan bersama DAPT (dual antiplatelet therapy aspirin dan penghambat reseptor ADP) direkomendasikan
pada pasien dengan riwayat perdarahan saluran cerna atau
ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada pasien dengan
beragam faktor risiko seperti infeksi H. pylori, usia ≥65
tahun, serta konsumsi bersama dengan antikoagulan atau
steroid (Kelas I-A).
4.
Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen
dalam 12 bulan sejak kejadian indeks tidak disarankan
kecuali ada indikasi klinis (Kelas I-C).
5.
Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan
risiko kejadian iskemik sedang hingga tinggi (misalnya
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
34
peningkatan troponin) dengan dosis loading 180 mg,
dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian dilakukan
tanpa memandang strategi pengobatan awal. Pemberian ini
juga dilakukan pada pasien yang sudah mendapatkan
clopidogrel (pemberian clopidogrel kemudian dihentikan)
(Kelas I-B).
6.
Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa
menggunakan ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah
300 mg, dilanjutkan 75 mg setiap hari (Kelas I-A).
7.
Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis
loading 300 mg diikuti dosis tambahan 300 mg saat IKP)
direkomendasikan
untuk
pasien
yang
dijadwalkan
menerima strategi invasif ketika tidak bisa mendapatkan
ticagrelor (Kelas I-B).
8.
Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg
setiap hari) perlu dipertimbangkan untuk 7 hari pertama
pada pasien yang dilakukan IKP tanpa risiko perdarahan
yang meningkat (Kelas IIa-B).
9.
Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat
reseptor ADP yang perlu menjalani pembedahan mayor
non-emergensi (termasuk CABG), perlu dipertimbangkan
penundaan pembedahan selama 5 hari setelah penghentian
pemberian ticagrelor atau clopidogrel bila secara klinis
memungkinkan, kecuali bila terdapat risiko kejadian
iskemik yang tinggi (Kelas IIa-C).
10. Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk
diberikan (atau dilanjutkan) setelah pembedahan CABG
begitu dianggap aman (Kelas IIa-B).
11. Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID
(penghambat COX- 2 selektif dan NSAID non-selektif )
(Kelas III-C).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
35
Keterangan: DAPT perlu tetap diberikan selama 12 bulan
tanpa memperdulikan jenis stent.
Tabel 2.5. Jenis dan dosis antiplatelet untuk terapi IMA (Sumber:
Himpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia 2015)
Antiplatelet
Aspirin
Dosis
Dosis loading 150-300mg, dosis
pemeliharaan 75-100mg
Ticagrelor
Dosis loading 180mg, dosis pemeliharaan
2x90mg/hari
Clopidogrel
Dosis loading 300mg, dosis pemeliharaan
75mg/hari
3. Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa
Pemilihan
kombinasi
agen
antiplatelet
oral,
agen
penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa dan antikoagulan dibuat
berdasarkan risiko kejadian iskemik dan perdarahan (Kelas I-C).
Penggunaan penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa dapat
diberikan pada pasien IKP yang telah mendapatkan DAPT dengan
risiko tinggi (misalnya peningkatan troponin, trombus yang
terlihat) apabila risiko perdarahan rendah (Kelas I-B). Agen ini
tidak disarankan diberikan secara rutin sebelum angiografi (Kelas
III-A) atau pada pasien yang mendapatkan DAPT yang diterapi
secara konservatif (Kelas III-A).
4. Antikogulan.
Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi
antiplatelet secepat mungkin.
1. Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien
yang mendapatkan terapi antiplatelet (Kelas I-A).
2. Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko
perdarahan dan iskemia, dan berdasarkan profil efikasikeamanan agen tersebut. (KelasI-C).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
36
3. Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil
keamanan berbanding risiko yang paling baik. Dosis
yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari secara
subkutan (Kelas I-A).
4. Bila
antikoagulan
yang
diberikan
awal
adalah
fondaparinuks, penambahan bolus UFH (85 IU/kg
diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yang
mendapatkan penghambat reseptor GP Iib/IIIa) perlu
diberikan saat IKP (Kelas I-B).
5. Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk
pasien dengan risiko perdarahan rendah apabila
fondaparinuks tidak tersedia (Kelas I-B).
6. Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 5070 detik atau heparin berat molekul rendah (LMWH)
lainnya
(dengan
dosis
yang
direkomendasikan)
diindaksikan apabila fondaparinuks atau enoksaparin
tidak tersedia (Kelas I-C).
7. Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian
antikoagulasi perlu dilanjutkan hingga saat pasien
dipulangkan dari rumah sakit (Kelas I-A).
8. Crossover heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan
(Kelas III-B).
Tabel 2.6. Jenis dan dosis antikoagulan untuk terapi IMA (Sumber:
Himpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia 2015)
Antikoagulan
Dosis
Fondaparinuks
2,5mg subkutan
Enoksaparin
Img/kg, 2x1
Heparin tidak
Bolus i.v 60 U/G, dosis maksimal 4000 U.
terfraksi
Infus i.v. 12 U/kg selama 24-48 jam dengan
dosis maksimal 1000 U/jam target Aptt/1,52X kontrol
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
37
5. Kombinasi Antiplatelet dan Antikoagulan
1. Penggunaan warfarin bersama aspirin dan/atau clopidogrel
meningkatkan risiko perdarahan dan oleh karena itu harus
dipantau ketat (Kelas I-A).
2. Kombinasi aspirin, clopidogrel dan antagonis vitamin K
jika terdapat indikasi dapat diberikan bersama-sama dalam
waktu sesingkat mungkin dan dipilih targen INR terendah
yang masih efektif. (Kelas IIa-C).
3. Jika
antikoagulan
diberikan
bersama
aspirin
dan
clopidogrel, terutama pada penderita tua atau yang risiko
tinggi perdarahan, target INR 2- 2,5 lebih terpilih (Kelas
IIb-B).
6. Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin
Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna
dalam mengurangi remodeling dan menurunkan angka kematian
penderita pascainfark-miokard yang disertai gangguan fungsi
sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung klinis.
Penggunaannya terbatas pada pasien dengan karakteristik tersebut,
walaupun pada penderita dengan faktor risiko PJK atau yang telah
terbukti menderita PJK, beberapa penelitian memperkirakan
adanya efek antiaterogenik.
1. Inhibitor ACE diindikasikan penggunaannya untuk
jangka panjang, kecuali ada indikasi kontra, pada pasien
dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40% dan pasien
dengan diabetes mellitus, hipertensi, atau penyakit
ginjal kronik (PGK) (Kelas I-A).
2.
Inhibitor ACE hendaknya dipertimbangkan pada semua
penderita selain seperti di atas (Kelas IIa-B). Pilih jenis
dan dosis inhibitor ACE yang telah direkomendasikan
berdasarkan penelitian yang ada (Kelas IIa-C).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
38
3. Penghambat reseptor angiotensin diindikasikan bagi
pasien infark mikoard yang intoleran terhadap inhibitor
ACE dan mempunyai fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40%,
dengan atau tanpa gejala klinis gagal jantung (Kelas IB).
Tabel 2.7. Jenis dan dosis inhibitor ACE untuk terapi IMA
(Sumber: Himpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia
2015)
Inhibitor ACE
Dosis
Captopril
2-3 x 6,25-50 mg
Ramipril
2,5-10 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis
Lisinopril
2,5-20 mg/hari dalam 1 dosis
Enalapril
5-20 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis
7. Statin
Tanpa melihat hasil pemeriksaan awal kolesterol LDL
pasien dan tanpa mempertimbangkan modifikasi diet untuk
menurunkan kolesterol, inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme
A reductase (statin) harus diberikan pada semua penderita
UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang telah menjalani terapi
revaskularisasi, jika tidak terdapat indikasi kontra (Kelas I-A).
Terapi statin dosis tinggi hendaknya dimulai sebelum pasien keluar
rumah sakit, dengan sasaran terapi untuk mencapai kadar kolesterol
LDL <100 mg/ dL (Kelas I-A). Menurunkan kadar kolesterol LDL
sampai <70 mg/dL mungkin untuk dicapai.
2. Non farmakologi
untuk mengurangi resiko dari penyakit jantung koroner :
a. Merubah gaya hidup, berhenti merokok dan minum minuman
beralkohol
b. Olahraga
dapat
meningkatkan
HDL
kolesterol
dan
memperbaiki kolateral koroner sehingga PJK dapat dikurangi,
olahraga bermanfaat karena:
1. memperbaiki fungsi paru dan pemberian O2 ke miokard
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
39
2. menurunkan berat badan sehingga lemak tubuh yang
berlebih berkurang bersama-sama dengan menurunnya
LDL kolesterol
3. menurunkan tekanan darah
c. Diet untuk menanggulangi hiperkolesterolemi. (Dede,1996) .
2.4 Peran Farmasi pada penyakit jantung koroner
Paradigma pengobatan atau strategi terapi medis penderita penyakit
jantung koroner berubah dan mengalami kemajuan pesat dengan adanya hasilhasil penelitian mengenai patogenesis penyakit jantung koroner dan petunjukpetunjuk penatalaksanaan baru. Kemajuan pesat dalam terapi medis tersebut
mencakup terapi untuk mengendalikan faktor resiko (terpenting statin untuk
dislipidemia, obat antihipertensi terutama obat ACE-I, obat penghambat reseptor
A-II), obat-obat baru antitrombotik, gagal jantung dan aritmia. Berbagai pedoman
dan standar terapi telah dibuat untuk penatalaksanaan penderita penyakit jantung
koroner. Agar standar dan strategi pengobatan serta penatalaksanaan pasien
penyakit jantung koroner berlangsung secara optimal, efektif dan efisien sesuai
dengan pedoman atau standar terapi yang telah ditetapkan, maka perlu adanya
suatu sitem dan/atau mekanisma yang secara terus menerus memonitor dan
memantau terapi obat yang diterima pasien.
Hal tersebut diatas menunjukkan, penatalaksanaan PJK memerlukan suatu
pendekatan yang holistik, baik dalam upaya pencegahan maupun pengobatan.
Serta pelayanan yang terpadu dan berkelanjutan antara sistem dan atau subsistem
pelayan yang terdapat disuatu rumah sakit seperti aspek pelayanan medik (medik
Care), asuhan kefarmasian (pharmaceutical care), dan asuhan keperawatan
(nursing care). Untuk itulah perlu adanya bekal pengetahuan praktis yang cukup
bagi apoteker untuk dapat berperan dalam menangani pasien-pasien PJK dengan
baik dari sisi kefarmasian bersama-sama dengan tim kesehatan lainnya.
Pengetahuan praktis seperti itu perlu diperbaharui secara terus menerus sesuai
dengan perkembangan ilmu kefarmasian dan kedokteran.
Pelaksanaan secara optimal asuhan kefarmasian (Pharmaceutical care)
dalam penatalaksanaan pasien penyakit jantung koroner, yang meliputi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
40
manajemen DRPs adalah pilihan yang tepat dan strategis. Dalam upaya
menunjang klinis bekerjasama untuk mencapai dan menjamin proses terapi medis
yang optimal atau proses pengobatan berjalan sesuai dengan standar pelayanan
profesi maupun kode etik yang telah ditetapkan.
Managemen DRPs adalah suatu proses yang meliputi semua fungsi yang
perlu untuk menjamin terapi obat yang aman untuk pengobatan pasien, efektif dan
ekonomis yang dilaksanakan secara terus menerus. Managemen DRPs terdiri dari
fungsi utamanya adalah mengidentifikasi masalah-masalah yang berkaitan dengan
DRPs yang potensial maupun aktual, mengatasi DRPs yang aktual dan mencegah
terjadinya DRPs yang potensial. Implikasi dari managemen DRPs terjadi
optimalisasi peran apoteker dalam proses sakit dan sehatnya seseorang pasien.
Selain itu untuk melaksanakan asuhan kefarmasian secara optimal dengan cara
menjalin komunikasi antara apoteker dengan pasien serta dengan anggota tim
yang merawat pasien.
2.4.1 Rencana asuhan kefarmasian.
Rencana asuhan kefarmasian bagi pasien PJK secara garis besar pada
prinsipnya adalah terdiri dari empat komponen yakni melaksanakan managemen
DRPs, menjaga dan berupaya agar pedoman penatalaksanaan pasien PJK berjalan
sebagaimana telah disepakati berdasarkan standar pelayanan profesi dan kode etik
yang telah ditetapkan, melaksanakan pemberdayaan pasien dalam hal penggunaan
obat secara cerdas serta bijak dan pengetahuan tentang penyakit jantung koroner.
Dengan tujuan untuk kepuasan pasien dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan
serta sebagai bentuk pemenuhan hak dasar sebagai pasien.
Tabel 2.8 empat prinsip dasar tujuan dari rencana Pharmaceutical Care (Direktorat bina
farmasi komunitas dan klinik ditjen bina kefarmasian dan alat kesehatan departemen
kesehatan, 2006)
No
Empat prinsip dasar tujuan dari renacana pharmaceutical care
1.
Melaksanakan managemen DRPs
2.
Terapi berjalan sesuai Guidelines penatalaksanaan SKA
3.
Pendidikan dan informasi
4.
Penelitian
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
41
Pada umumnya penderita penyakit jantung koroner yang dirawat di rumah
sakit dengan kondisi multiple disease serta mendapat terapi lebih dari satu macam
obat (multiple drug therapy). Kondisi tersebut dapat menjadi berisiko tinggi atau
cenderung mengalami masalah-masalah yang berkaitan dengan obat atau drugrelated problems (DRPs) yang akan mempengaruhi outcome dari penggunaan
obat tersebut. Karena biasanya penderita yang menggunakan banyak obat dan
mengalami multiple disease, merupakan faktor yang dapat meningkatkan
terjadinya drug induced disease, interaksi, efek samping obat dan kurang
efisiennya prose pengobatan.
Pelaksanaan asuhan kefarmasian, apoteker dapat berperan dari awal atau
bisa dilaksanakan sebelum penderita ke rumah sakit, dirumah sakit dan atau
setelah keluar dari rumah sakit atau komunitas.
2.4.2 Sebelum kerumah sakit
Pada prinsipnya pelaksanaan pharmaceutical care sebelum ke rumah sakit
adalah seorang apoteker harus dapat mengenali bahwa seseorang telah terkena PJK
dari gejala dan keluhan yang dirasakan oleh penderita. Berdasarkan gejala dan
keluhan yang spesifik dari pasien dengan kemungkinan PJK, maka :
1. Berikan asetil salisilat 300mg dikunyah
2. Berikan nitrat sublingual
3. Kirim ke fasilitas yang memungkinkan
2.4.3 Di rumah sakit
2.4.3.1 IGD/UGD
Rencana pharmaceutical care yang dibuat harus mencakup dan
mempunyai tujuan dalam hal menjamin dan memastikan ketersediaan dan distribusi
barang-barang kefarmasian untuk terlaksananya terapi atau penatalaksanaan pasien
PJK secara optimal.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
42
2.4.3.2 Rawat inap, ICCU/CVC
Rencana asuhan kefarmasian yang dibuat untuk penderita PJK harus
mempunyai tujuan untuk mengatasi masalah gejala yang muncul dan meningkatkan
kesempatan bertahan untuk jangka waktu lama dengan kondisi bebas dari terapi.
Hal-hal yang diperlukan harus mencakup :
1. Pengoptimasi regimen obat antiangina penderita PJK untuk menjamin
kerasionalannya apakah penambahan terapinya sampai tercapai kontrol
gejala yang baik.
2. Memonitor setiap penambahan dan atau penggantian regimen obat pada
pasien pjk untuk melihat keberhasilan dan kemampuan toleransinya
dengan melakukan pengukuran hasil pengobatan melalui analisa
frekuensi serangan angina yang terjadi pada pasien.
3. Memberikan konsultasi pada pasien untuk memastikan bahwa dia
mengerti tujuan dari pengobatan dan menggunakan obatnya dengan
tepat sehingga tercapai efek maksimum terapi dan minimalisasi efek
samping. Menjelaskan kepada pasien, alasan pemberian setiap obat
yang digunakannya serta hubungannya dengan gejala dan keluhan yang
dirasakannya.
4. Memberikan konsultasi pada pasien perihal pola hidupnya (seperti diet,
merokok, dll) untuk memastikan bahwa dia tidak mengkompromikan
pengobatannya dalam cara apapun.
5. Memastikan bahwa pasien mendapatkan saran dan obat yang kontinu
ketika keluar dari rumah sakit. Sebelum pulang ke rumah, pasien harus
mendapatkan petunjuk yang detail mengenai pengobatannya termasuk
penjelasan bagaimana mendapatkan obat selanjutnya dan apa yang
harus dilakukan jika gejala yang muncul tidak terkontrol atau jika dia
terkena efek samping dari pengobatannya.
6. Memastikan prinsip-prinsip dari managemen DRPs sudah berjalan
dengan optimal. (direktorat bina farmasi komunitas dan klinik ditjen
bina kefarmasian dan alat kesehatan, 2006).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
43
2.5 Rumah Sakit
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009
tentang rumah sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
Rawat sakit juga merupakan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan
yaitu setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta
bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat.
Upaya kesehatan dilakukan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan
kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit
(kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara serasi dan
terpadu serta berkesinambungan (Siregar,2004).
2.5.1 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009
tentang rumah sakit, rumah sakit mempunyai fungsi :
a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit .
b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna.
c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka
peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
2.5.2 Jenis dan Klasifikasi Rumah Sakit
2.5.2.1 Jenis Rumah Sakit Secara Umum
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.44 Tahun 2009
tentang rumah sakit, rumah sakit dapat dibagi berdasarkan jenis pelayanan dan
penggelolaannya :
1. Berdasarkan jenis pelayanan
a. Rumah sakit umum: memberikan pelayanan kesehatan pada semua
bidang dan jenis penyakit.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
44
b. Rumah sakit khusus: memberikan pelayanan utama pada satu bidang
atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan
umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya.
2. Berdasarkan pengelolaan
a. Rumah sakit publik, dikelola oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan
badan hukum yang bersifat nirlaba. Rumah sakit publik yang dikelola
pemerintah dan pemerintah daerah diselenggarakan berdasarkan
pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum
Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Rumah sakit privat, dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit
yang berbentuk perseroan terbatas atau persero.
2.5.2.2 Klasifikasi Rumah Sakit Umum
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2009
tentang rumah sakit, dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan
secara berjenjang dan fungsi rujukan, rumah sakit umum diklasifikasikan
berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan rumah sakit:
a. Rumah sakit umum kelas A, adalah rumah sakit umum yang
mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik
luas dan subspesialistik luas
b. Rumah sakit umum kelas B, adalah rumah sakit umum yang
mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik sekurangkurangnya sebelas spesialistik dan subspesialistik luas.
c. Rumah sakit umum kelas C, adalah rumah sakit umum yang
mempunyai fasilitas dan kemampua pelayanan medik spesialistik
dasar.
d. Rumah sakit umum kelas D, adalah rumah sakit umum yang
mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik dasar.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
45
2.6 Rekam Medis
Rekam medis menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 adalah berkas yang berisikan
catatan dan dokumen tentang identitas, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan
pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Sedangkan menurut
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, rekam medis adalah keterangan
baik yang tertulis/terekam tentang identitas pasien, anamnesa, penentuan fisik,
laboratorium, diagnosa segala pelayanan dan tindakan yang diberikan kepada
pasien dan pengobatan baik dirawat jalan, rawat inap dan gawat darurat.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 1996, yang
diwajubkan untuk membuat rekam medis adalah tenaga kesehatan yang
memberikan pelayanan langsung kepada pasien, adalah sebagai berikut :
a. Tenaga medis (dokter dan dokter gigi)
b. Tenaga keperawatan (perawat dan bidan)
c. Tenaga kefarmasian (apoteker, analisa farmasi, dan asisten
apoteker)
d. Tenaga kesehatan masyarakat (administrator kesehatan)
e. Tenaga gizi (nutrisionis dan dietis)
f. Tenaga keterapian fisik (fisioterapis)
g. Tenaga keteknisian medis (radiografer teknisi elektromedis
analis kesehatan dan perekam medis).
Tujuan rekam medis adalah untuk menunjang tercapainya tertib
administrasi dalam rangka upaya peningkatan kesehatan di rumah sakit.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
46
2.7. Profil Rumah Sakit “X”
Rumah Sakit “X” berasal dari PHC (Port Health Center). Kelas rumah
sakit ini kelas C plus dan jumlah bed sebanyak 145 tempat tidur. Rumah Sakit
“X” ini ditunjang oleh tenaga-tenaga profesional yang terdiri dari :
1. 19 Dokter Umum
2. 5 Dokter Gigi
3. 28 Dokter Spesialis
4. 4 Dokter Sub Spesialis
5. 2 Apoteker
6. 1 Psikolog
7. 10 Sarjana Keperawatan dan tenaga paramedis serta tenaga non medis
yang handal.
Rumah sakit “X” ini juga di lengkapi dengan fasilitas dan pelayanan
penunjang, diantaranya : Radiologi, Ultra Sono Grafi (USG), CT scan,
Endoscopy, Audiogram, Treadmill untuk uji latih jantung, spirometri, EEG,
EMG, laboratorium dan apotik.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
3.1.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan Rumah Sakit “X” Jakarta Utara, Jakarta Utara
14260.
3.1.2 Waktu Penelitian
Pengambilan data penelitian dilaksankan pada bulan Juni-Juli 2016.
Analisis data dilaksanakan pada bulan Juli-September 2016.
3.2 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental yang menggunakan
pendekatan cross-sectional (potong lintang), yaitu mempelajari dinamika korelasi
antara faktor pengaruh dan faktor terpengaruh dengan cara pendekatan, observasi,
pengumpulan data sekaligus, dimana menekankan waktu pengukuran hanya satu
kali pada satu saat (Notoatmodjo, 2002). Penelitian non eksperimental merupakan
penelitian yang observasinya dilakukan terhadap sejumlah kecil subjek (variabel)
tanpa ada manipulasi dari peneliti (Praktiknya, 2001). Pengumpulan data variabel
untuk mendapatkan pola drug related problems (DRPs) yang terjadi pada pasien
dengan diagnosa PJK dengan pengumpulan data secara retrospektif. Data yang
digunakan adalah data rekam medis pasien dengan diagnosa PJK di ruang rawat
inap Rumah Sakit “X” Jakarta Utara selama periode bulan Januari – Mei 2016.
Analisa yang dilakukan secara deskriptif, yaitu dengan menggambarkan pola
DRPs yang terjadi pada pasien PJK.
47
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
48
3.3 Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan dasar dari penelitian agar pembaca dapat
memahami konsep penelitian yang dirancang (Nurrakhmani, 2014).
Gambar 3.1 Bagan kerangka konsep
Variabel bebas
1.Karakteristik Pasien



Usia
Jenis kelamin
Penyakit penyerta
2.Profil penggunaan obat pada
pasien
3.Polifarmasi
Variabel terikat
Jumlah DRPs yang terjadi
pada pasien dengan diagnosa
jantung koroner :
1. Indikasi tanpa obat
2. Obat tanpa indikasi
3. Ketidaktepatan pemilihan
obat
4. Dosis terlalu tinggi (over
dosage)
5. Dosis terlalu rendah (under
dosage)
6. Interaksi obat
3.4 Populasi dan Sampel Penelitian
3.4.1 Populasi
Populasi adalah seluruh objek penelitian yang memiliki kuantitas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk diteliti dan ditarik
kesimpulannya (Arikunto, 2002). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
pasien rawat inap Rumah Sakit “X” Jakarta utara yang didiagnosis PJK priode
bulan Januari-Mei 2016.
3.4.2 Sampel
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki dari
populasi (Sugiyono, 2005). Sampel dalam penelitian ini adalah populasi yang
memenuhi kriteria inklusi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah
total sampling, total sampling yaitu semua pasien yang memenuhi kriteria diambil
sebagai penelitian. Ada 2 macam tipe kriteria :
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
49
a. Kriteria inklusi
Kriteria inklusi adalah kriteria dimana subjek penelitian dapat
mewakili dalam sampel penelitian, memenuhi syarat sebagai sampel.
Kriteria inklusi untuk sampel kasus dalam penelitian ini adalah :

Pasien rawat inap yang di diagnosa penyakit jantung koroner di
ruang rawat inap priode Januari- Mei 2016;

Pasien dengan rekam medis yang lengkap dan dapat dibaca.
b. Kriteria ekslusi
Kriteria ekslusi merupakan keadaan yang menyebabkan subjek tidak
dapat diikut sertakan dalam penelitian. Adapun yang termasuk kriteria
eksklusi adalah :

Pasien pulang paksa

Pasien dengan data rekam medik yang tidak lengkap
3.5 Definisi Operasional
Menurut koentjaraningrat, definisi operasional adalah suatu definisi yang
didasarkan pada karakteristik yang dapat diobservasi dari apa yang sedang
didefinisikan atau “mengubah konsep-konsep yang berupa konstruk dengan katakata yang menggambarkan perilaku atau gejala yang dapat diamati dan yang dapat
diuji serta dapat ditentukan kebenarannya oleh lain-lain” (Siregar, 2011).
Dengan kata lain, definisi operasional dalam penelitian merupakan bentuk
operasional dari variabel-variabel yang digunakan, biasanya berisi definisi
konseptual, indikator yang digunakan, alat ukur yang digunakan (bagaimana cara
mengukur) dan penilaian alat ukur (Siregar, 2011).
Kegunaan definisi operasional untuk membatasi ruang lingkup atau
pengertian variabel-variabel yang diamati atau diteliti dan definisi operasional
juga bermanfaat untuk mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan
terhadap variabel-variabel yang bersangkutan serta pengembangan instrumen
(Alat ukur) (Notoatmodjo, 2002).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
50
Tabel 3.1. Definisi operasional variabel dalam penelitian
No
1.
Variabel
Definisi
Cara dan alat
Skala
ukur
ukur
Karakteristik
Kondisi fisik yang
Melihat data
pasien
menentukan status
rekam medis
Jenis
seseorang laki-laki
pasien
kelamin
atau perempuan.
Usia
Perhitungan umur
Melihat data
pasien PJK dengan
rekam medis
penyakit penyerta.
pasien
a.
b.
nominal
Kategori
0. Laki-laki
1. wanita
ordinal
0.
5-11
1.
Penggolongan usia
berdasarkan
2.
1.) 5-11 tahun:
tahun
4.
2.) 12-16 tahun:
tahun
5.
3.) 17-25 tahun
tahun
6.
4.) 26-35 tahun
Masa lansia
akhir: 55-65
: masa
5.) 35-45 tahun
Masa lansia
awal : 46-65
: masa
dewasa awal
Masa dewasa
akhir: 35-45
masa remaja
remaja
Masa dewasa
awal : 26-35
masa kanak-
awal
Masa remaja
akhir : 17-25
3.
kanak
Masa remaja
awal : 12-16
DEPKES RI (2009),
yaitu :
Kanak-kanak :
tahun
7.
Manula : ≥ 65
tahum
: masa
dewasa
akhir
6.) 46-55 tahun
: masa
dewasa
akhir
7.) 55-65 tahun
: masa lansia
akhir
8.) ≥ 65 tahun :
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
51
manula
2.
Penyakit
Keadaan klinis yang
Melihat data
Nominal
penyerta
di derita oleh pasien
rekam medis
1. Hipertensi
PJK yang
pasien
2. Diabetes
menyebabkan dan
0. Tidak ada
melitus
menyertai PJK atau
3. CKD
tidak menyebabkan
4. Dll
dan menyertai PJK.
3.
Drug Related
Peristiwa atau
Studi literatur
Problem (DRPs)
kejadian yang
dan
melibatkan terapi
disesuaikan
obat yang benar-
dengan
benar atau berpotensi
Kategori
mengganggu hasil
DRPs menurut
klinis kesehatan yang
cipolle et al.
diinginkan
(1998).
Kategori DRPs
Minimal
menurut cipolle et al
terjadi 1 drp
nominal
0. tidak
terjadinya
DRPs
1.terjadi DRPs
(1998) :
1.
indikasi
tanpa obat
2.
obat tanpa
indikasi
3.
ketidaktepat
an pemilihan
obat
4.
dosis terlalu
tinggi
5.
dosis terlalu
rendah
6.
efek yang
merugikan
(efek
samping)
7.
interaksi
obat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
52
4.
Kelas DRP’s
a.
Pasien mempunyai
Melihat rekam
dosis
kondisi medis dan
medis dan
terlalu
mendapatkan obat
dibandingkan
tinggi.
yang benar tetapi
dengan
dosis obat yang
literatur.
terlalu tinggi dapat
Literatur yang
menimbulkan
digunakan
toksisitas atau efek
(mims, iso,
yang tidak diinginkan
drug
lainnya (stand et al,
information
1990).
handbook,
Nominal
0.tepat dosis
1.tidak tepat dosis
dipiro dan
b.
dosis
terlalu
rendah.
Pasien mempunyai
aplikasi
kondisi medis dan
medscape).
0.tepat dosis
1.tidak tepat dosis
mendapatkan obat
yang benar tetapi
dosis yang terlalu
rendah sehingga tidak
menimbulkan efek
yang diinginkan
(stand et al, 1990).
c.
Interaksi
Karena penyakit
Melihat rekam
nominal
0.Tidak potensi
obat.
jantung disertai
medis dan
adanya interaksi
dengan penyakit
dibandingkan
1.potensi adanya
penyerta maka di
dengan
interaksi
lihat apakah ada
literatur
interaksi atau tidak
(aplikasi
antar obat untuk
medscape,
penyakit jantung
drug
koroner dengan obat
interaction
obatan untuk
handbook,
penyakit penyerta.
mims, iso dan
stockley’s
drug
interactions)
d.
Indikasi
Keadaan dimana
Melihat data
tanpa
pasien membutuhkan
rekam medis
obat.
obat untuk mengobati
pasien,
Nominal
0.Tidak ada
1.Ada
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
53
indikasi tetapi tidak
kemudian
menerima
dibandingkan
pengobatan (butuh
dengan
terapi tambahan).
Guidelines
penyakit CAD
e.
Obat
Ketika pasien
Melihat data
tanpa
diberikan terapi obat
rekam medis
indikasi.
yang tidak sesuai
pasien,
dengan indikasi
kemudian
klinis.
dibandingkan
Nominal
0.Tidak ada
1.Ada
dengan
Guidelines
penyakit
CAD.
f.
Ketidakt
Keadaan dimana
Melihat rekam
epatan
pasien telah
medis pasien,
pemiliha
diresepkan obat yang
kemudian
n obat.
salah atau tidak
dibandingkan
sesuai dengan kondisi
dengan
pasien.
Guidelines
Nominal
0.Tidak ada
1.Ada
penyakit
CAD.
5.
Tingkat
Tingkat keparahan
Melihat rekam
keparahan
interaksi obat
medis dan
interaksi obat
menurut (Bailie,
dibandingkan
2004) :
dengan
1.keparahan minor :
jika interaksi
mungkin terjadi tetapi
dipertimbangkan
signifikan potensial
berbahaya terhadap
pasien jika terjadi
kelalaian.
literatur
ordinal
1.keparahan minor
2.keparahan
moderat
3.keparahan major
(aplikasi
medscape,
drug
interaction
handbook,
mims, iso dan
stockley’s
drug
2. keparahan
interactions)
moderate: jika satu
dari bahaya potensial
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
54
mungkin terjadi pada
pasien, dan beberapa
tipe intervensi/
monitor sering
diperlukan. Efek
interaksi moderate
mungkin
menyebabkan
perubahan status
klinis pasien,
menyebabkan
perawatan tambahan,
dan memperlama
tinggal di rumah
sakit.
3. keparahan major:
jika terdapat
probabilitas yang
tinggi kejadian yang
membahayakan
pasien termasuk
kejadian yang
menyangkut nyawa
pasien dan terjadi
kerusakan permanen/
kecacatan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
55
3.6 Bagan Alur Penelitian
Pengumpulan Rekam Medik
(data diambil dari semua pasien yang ditangani oleh dr spesialis jantung
pada bulan Januari-Mei 2016 dan diambil pasien dengan diagnosa PJK
Seleksi Rekam Medik yang memenuhi kriteria inklusi
Pengambilan Data
Pengolahan Data
Analisis Data
Hasil
Interpretasi
3.6.1
Persiapan (Permohonan Izin Penelitian)
a. Pembuatan dan penyerahan surat permohonan izin pelaksanaan
penelitian dari Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Program
Studi Farmasi Universitas Islam Negeri Jakarta kepada Rumah Sakit
“X” Priok Jakarta Utara.
b. Penyerahan surat persetujuan penelitian dari Rumah Sakit “X” Jakarta
Utara.
3.6.2
Pelaksanaan Pengumpulan Data
a.
Penelusuran data pasien di ruang rawat inap dan bagian rekam medik
Rumah “X” Jakarta Utara yang menderita jantung koroner priode
bulan Januari-Mei 2016.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
56
b.
Proses pemilihan pasien yang masuk ke dalam kriteria inklusi
c.
Pengambilan dan pencatatan data hasil rekam medis di ruang
administrasi medis, berupa :
i.
Nomor rekam medis;
ii.
Identifikasi pasien (nama, jenis kelamin dan usia);
iii.
Tanggal perawatan;
iv.
Penyakit penyerta;
v.
Terapi obat yang digunakan untuk pengobatan penyakit
jantung koroner serta obat
yang digunakan untuk
pengobatan penyakit penyerta pada pasien Jantung koroner.
3.6.3 Manajemen Data
Pelaksanaan verifikasi data rekam medis dan jenis DRPs yang terjadi pada
pasien dengan diagnosa jantung koroner, dilanjutkan transkrip data yang
dikumpulkan ke dalam logbook dan komputer.
3.6.4 Pengolahan Data
a. Editing
Proses pemeriksaan ulang kelengkapan data dan mengeluarkan datadata yang tidak memenuhi kriteria agar dapat diolah dengan baik serta
memudahkan proses analisa. Kesalahan data dapat diperbaiki dan
kekurangan data di lengkapi dengan mengulang pengumpulan data atau
dengan cara penyisipan data (interpolasi)
b. Coding
Kegiatan pemberian kode tertentu pada tiap-tiap data yang termasuk
kategori yang sama. Kode adalah isyarat yang dibuat dalam bentuk angkaangka atau huruf untuk membedakan antara data atau identitas data yang
akan dianalisia. Peneliti melakukan coding data yang terpilih dari proses
seleksi untuk mempermudah analisa di program Microsoft Excel.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
57
c. Tabulasi
Proses penempatan data ke dalam bentuk tabel yang telah diberi kode
sesuai dengan kebutuhan analisa. Tabel-tabel yang dibuat sebaiknya
mampu meringkas agar memudahkan dalam proses analisa data.
d. Cleaning
Data yang sudah diinput diperiksa kembali untuk memastikan data
bersih dari kesalahan dan siap untuk dianalisa lebih lanjut.
3.6.5 Rencana Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan deskriptif secara retrospektif-cross
sectional, meliputi pengamatan demografi pasien untuk menentukan kasus yang
terjadi di ruang rawat inap Rumah Sakit “X”. Analisis DRPs pada pasien dengan
diagnosa jantung koroner digunakan untuk menggambarkan pola DRPs pada
pasien dengan diagnosa jantung koroner serta menggambarkan jenis penyakit
penyerta yang paling sering terjadi di ruang rawat inap Rumah Sakit “X Jakarta
Utara.
Setelah melakukan analisis DRPs pada pasien dengan diagnosa jantung,
selanjutnya peneliti melakukan analisa dengan uji statistik univariat dengan
menggunakan program SPSS (Statistical Package for the sosial sciences).
Analisa univariat adalah analisa yang digunakan untuk menganalisa setiap
variabel yang ada secara deskriptif. Data yang telah di kategorikan ditampilkan
sebagai frekuensi kejadian. Adapun variabel yang diteliti berupa jenis DRPs
dengan kategori obat tanpa indikasi, indikasi tanpa obat, ketidaktepatan pemilihan
obat, dosis terlalu tinggi (over dosage), dosis terlalu rendah (under dosage) dan
interaksi obat.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Karakteristik Pasien
Demografi pasien meliputi jenis kelamin, usia dan jenis penyakit penyerta.
Evaluasi Drug Related Problems pada pasien dengan diagnosa penyakit jantung
koroner digambarkan secara deskriptif dalam bentuk presentase. Jumlah pasien
dengan diagnosa jantung koroner di Rumah Sakit “X” Jakarta Utara, terdapat 51
pasien yang menderita penyakit jantung koroner dalam 5 bulan. Lalu didapat 45
pasien yang masuk kriteria inklusi adalah pasien rawat inap dengan penyakit
jantung koroner yang memiliki rekam medis yang lengkap.
Tabel 4.1 Distribusi Pasien Berdasarkan Karakteristik
No.
Karakteristik Pasien
1.
Berdasarkan jenis kelamin :
2.
N=45
Persentase (%)
Perempuan
16
35,55
Laki-laki
29
64,45
Masa dewasa (35-45)
5
11,11
Masa dewasa akhir (46-55)
14
31,11
Masa lansia (56-65)
12
26,67
Masa manula (>65)
14
31,11
Berdasarkan usia (Depkes RI 2009) :
Dari tabel diatas, dapat ditemukan bahwa pasien yang menderita PJK
paling banyak adalah pada jenis kelamin laki-laki sebanyak 29 pasien (64,45%)
dan perempuan sebanyak 16 pasien (35,55%). Berdasarkan usia pasien yang
menderita penyakit jantung koroner yang paling banyak pada usia masa manula
>65 tahun yakni sebanyak 14 pasien (31,11%), dan masa dewasa akhir 46-55
tahun sebanyak 14 pasien (31,11%), sedangkan sisanya pada masa lansia 56-65
tahun sebanyak 12 pasien (26,67%), dan pada masa dewasa 35-45 tahun sebanyak
5 pasien (11,11%).
58
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
59
Tabel 4.2 Distribusi Penyakit Penyerta Pada Pasien Jantung Koroner
No.
Penyakit Penyerta
N=45
Persentase (%)
1.
Hipertensi
17
37,77
2.
CHF
12
26,66
3.
Diabetes Melitus
14
31,11
4.
Gangguan irama jantung dan riwayat jantung
3
6,66
5.
Stroke hemmoragic
2
4,44
6.
Dispepsia
2
4,44
7.
Cephalgia
1
2,22
8.
GERD
5
11,11
9.
Tanpa penyakit penyerta
1
2,22
Keterangan : CHF = Congestive Heart Failure; GERD = Gastroesophageal
Reflux Disease.
Dari tabel diatas, Berdasarkan penyakit penyerta terbanyak adalah hipertensi
sebanyak 17 pasien (37,77%), diabetes melitus sebanyak 14 pasien (31,11%),
CHF sebanyak 12 pasien (26,66%), GERD sebanyak 5 pasien (11,11%),
gangguan irama jantung dan riwayat jantung sebanyak 3 pasien (6,66%), stroke
hemmoragic sebanyak 2 pasien (4,44%), dispepsia sebanyak 2 pasien (4,44%),
cephalgia sebanyak 1 pasien (2,22%) dan tanpa penyakit penyerta sebanyak 1
pasien (2,22%).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
60
4.1.2 Profil Penggunaan Obat
4.1.2.1 Profil Penggunaan Obat Injeksi
Berdasarkan profil penggunaan obat injeksi, pasien rawat inap yang
menderita PJK dapat dilihat ditabel dibawah ini.
Tabel 4.3 Presentase Distribusi Jumlah Pasien Berdasarkan Profil Penggunaan Obat Injeksi.
No.
Golongan Obat Berdasarkan Kelas Terapi
Frekuensi
Persentase %
1.
Saluran cerna
66
39,52
2.
Sistem kardiovaskular
13
7,78
3.
Diuretik dan obat saluran kemih
19
11,37
4.
Hormon endokrin dan antidiabetik parenteral
8
4,79
5.
Saluran syaraf
11
6,58
6.
Analgesik non narkotik, antipiretik, antiinflamasi
17
10,17
nonsteroid dan antipirai
7.
Vitamin dan mineral
5
2,99
8.
Antialergi dan anafilaksis
1
0,59
9.
Antiinfeksi
22
12,57
10.
Larutan IV & steril lainnya
6
3,59
Jumlah
167
100
Dari tabel 4.3. dapat dilihat bahwa penggunaan obat yang paling banyak
digunakan oleh pasien rawat inap yang menderita penyakit jantung koroner adalah
golongan obat dengan kelas terapi saluran cerna sebanyak 66 (39,52%) ,
antiinfeksi sebanyak 22 (12,57%), diuretik dan obat saluran kemih sebanyak 19
(11,37%), kemudian obat dengan golongan anelgesik non narkotika, antipiretik,
dan antiinflamasi sebanyak 17 (10,17%), darah dan obat kardiovaskular sebanyak
13 (7,78%), saluran syaraf sebanyak 11 (6,58%), hormon endokrin dan
antidiabetik parenteral sebanyak 8 (4,79%), larutan iv dan larutan steril lainnya
sebanyak 6 (3,59%), vitamin dan mineral sebanyak 5 (2,99), antialergi dan
anafilaksis sebanyak 1 (0,59%).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
61
4.1.2.2 Profil Penggunaan Obat Oral
Berdasarkan profil penggunaan obat oral, pasien rawat inap yang
menderita PJK dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 4.4. Presentase Distribusi Jumlah Pasien Berdasarkan Profil Penggunaan obat Oral (%)
No.
Golongan Obat Berdasarkan Kelas Terapi
Frekuensi
Presentase %
1.
Saluran cerna
23
8,48
2.
Kardiovaskular
129
47,60
3.
Antiinfeksi
9
3,32
4.
Analgesik non narkotika, antipiretik dan antipirai
11
4,05
5.
Vitamin dan mineral
12
4,42
6.
Antihiperlipidemia
30
11,07
7.
Saluran Nafas
11
4,05
8.
Elektrolit
3
1,10
9.
Psikofarmaka dan antikonvulsan
14
5,16
10.
Diuretik dan saluran kemih
19
7,01
11.
Antimigran dan vertigo
3
1,10
12.
Saluran syaraf
5
1,84
13.
Relaksasi Otot
2
0,73
Jumlah
271
100
Dari tabel 4.4. dapat dilihat bahwa penggunaan obat yang paling banyak
digunakan oleh pasien rawat inap yang menderita penyakit jantung koroner adalah
golongan obat dengan kelas terapi kardiovaskular sebanyak 129 (47,60%),
antihiperlipidemia sebanyak 30 (11,07%), saluran cerna sebanyak 23 (8,48%)
diuretik dan saluran kemih sebanyak 19 (7,01%), psikofarmaka dan antikonvulsan
sebanyak 14 (5,16%), vitamin dan mineral sebanyak 12 (4,42%), saluran nafas
sebanyak 11 (4,05), analgesik non narkotika, antipiretik dan antipirai sebanyak 11
(4,05%), kemudian sisanya obat dengan golongan terapi antiinfeksi sebanyak 9
(3,32%), saluran syaraf sebanyak 5 (1,84%), elektrolit sebanyak 3 (1,10%) ,
antimigran dan vertigo sebanyak 3 (1,10%), dan relaksasi otot sebanyak 2 (0,73).
Total keseluruhan jumlah obat yang digunakan di rawat inap sebanyak 271 jenis
obat.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
62
4.1.2.3 Jumlah Pengggunaan Obat
Berdasarkan profil penggunaan obat yang digunakan oleh pasien dengan
diagnosa penyakit jantung koroner pada bulan Januari-Mei 2016 didapatkan
bahwa penggunaan obat selama dirawat inap sebanyak 167 jenis sediaan injeksi
(Tabel 4.3) dan sebanyak 271 jenis sediaan oral (Tabel 4.4) dan total seluruh obat
yang digunakan adalah 438 jenis obat yang digunakan. Dan berdasarkan
pengelompokan jenis penggunaan obat yang digunakan masing-masing pasien
dapat digambarkan pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.5 Data Distibusi Jenis Penggunaan Obat yang Digunakan oleh Pasien Dengan Diagnosa
Jantung koroner di Instalasi Rawat inap Periode Januari-Mei 2016.
Jenis Penggunaan Obat Pasien
Jumlah Pasien
1-5 obat
0
6-10 obat
15
>10 obat
30
Total
45
Dari tabel 4.5 dapat dilihat jumlah penggunaan obat pada pasien dengan
diagnosa jantung koroner selama menjalani perawatan di rawat inap Rumah Sakit
“X” Jakarta Utara periode Januari hingga Mei 2016. Jumlah Penggunaan obat >10
obat merupakan jenis obat yang paling banyak diterima pasien yaitu sebanyak 30
pasien dari total pasien 45 pasien, diikuti jenis obat 6-10 sebanyak 15 pasien.
Sedangkan untuk pasien yang menggunakan 1-5 jenis obat tidak ada.
4.1.3 Drug Related Problems (DRPs)
Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien dengan diagnosa
penyakit jantung koroner digambarkan secara deskriptif dalam bentuk tabel dan
presentase. Berdasarkan kejadian Drug Related Problems (DRPs) digambarkan
pada tabel dibawah ini.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
63
Tabel 4.6 Data Distribusi Pasien Berdasarkan Kategori DRPs Pada Pasien Dengan Diagnosa
Penyakit Jantung Koroner Periode Januari-Mei 2016.
Kategori DRPs
Pasien
Presentase
Frekuensi
Presentase
(N=45)
(%)
(N=527)
(%)
Obat Tanpa Indikasi
2
4,44
3
0,57
Indikasi Tanpa Obat
0
0,00
0
0
Ketidaktepatan Pemilihan Obat
0
0,00
0
0
16
35,55
19
3,61
37
82,22
76
14,47
44
97,77
427
81,33
525
100
Ketidaktepatan Penyesuaian Dosis :
a. Dosis obat melebihi dosis terapi
(overdose)
b. Dosis obat kurang dari dosis terapi
(underdose)
Interaksi Obat
Total
Dari tabel 4.6 terlihat bahwa kategori DRPs yang paling tinggi adalah
interaksi obat sebesar 81,02%, lalu diikuti dengan kategori dosis obat kurang dari
terapi (underdose) sebesar 14,47%, dosis obat melebihi dosis terapi (overdose)
sebesar 3,61% dan obat tanpa indikasi sebesar 0,57%.
4.1.4
Tingkat Keparahan Interaksi Obat
Tingkat keparahan interaksi obat pada pasien dengan diagnosa PJK pada
Rumah Sakit “X” Jakarta Utara digambarkan secara deskriptif dalam bentuk tabel
dan presentase. Berdasarkan kejadian keparahan interaksi obat digambarkan pada
tabel dibawah ini.
Tabel 4.7 Data Distribusi Potensial Tingkat Keparahan Interaksi Obat pada pasien dengan
diagnosa PJK .
Tingkat keparahan interaksi
Frekuensi
Presentase
(%)
1.Mayor
44
10,30
2.Moderate
285
66,74
3.Minor
98
22,95
Jumlah
427
100
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
64
Dari tabel 4.7 menggambarkan potensial tingkat keparahan interaksi obat
pada pasien dengan diagnosa PJK yang paling banyak adalah potensial moderate
sebanyak 285 kejadian (66,74%), lalu diikuti dengan potensial tingkat keparahan
minor sebanyak 98 kejadian (22,95%), dan potensial tingkat keparahan mayor
sebanyak 10,30%.
Tabel 4.8 Data obat-obatan yang mengalami interaksi berdasarkan tingkat keparahan interaksi.
No
Obat–obatan yang mengalami interaksi
Level
frekuensi
Signifikan
1.
2.
3.
Presentase
(%)
Tingkat keparahan mayor :

Rhindopump x clopidogrel
Level 1
15
34,09

Amlodipin x simvastatin
Level 2
5
11,36

Aspirin x ketorolac
Level 1
6
13,63
Tingkat keparahan moderate

ISDN x ramipril
Level 3
13
4,56

Alprazolam x ISDN
Level 4
9
3,15

Furosemid x digoxin
Level 3
9
3,15
Tingkat keparahan minor

ISDN X omeprazol
Level 4
13
13,26

Furosemid x aspirin
Level 5
12
12,24

Aspirin x bisoprolol
Level 4
7
7,14
Pada tabel 4.8 terlihat bahwa obat-obatan yang banyak mengalami
interaksi pada masing-masing tingkat keparahan interaksi adalah pada tingkat
keparahan mayor yang paling banyak adalah rhidopump (omeprazol) x
clopidogrel sebanyak 15 (34,09%), aspirin (asam salisilat) x ketorolac sebanyak 6
(13,63%), amlodipin x simvastatin sebanyak 5 (11,36%) dari total 44 frekuensi
kejadian tingkat keparahan mayor. Pada tingkat keparahan moderate yang paling
banyak adalah ISDN x ramipril sebanyak 13 (4,56%), alprazolam x ISDN
sebanyak 9 (3,15%), furosemid x digoxin sebanyak 9 (4,56%) dari total 285
frekuensi kejadian tingkat keparahan interaksi moderate. Dan Pada tingkat
keparahan minor yang paling banyak adalah ISDN x omeprazole sebanyak 13
(13,26%), furosemid x aspirin sebanyak 12 (12,24%), aspirin x bisoprolol
sebanyak 7 (7,14%) dari total frekuensi kejadian tingkat keparahan interaksi
minor 98.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
65
4.2 Pembahasan
4.2.1 Karakteristik Pasien
Pada tabel 4.1 ditemukan bahwa penderita penyakit jantung koroner sering
terjadi pada pasien dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 29 pasien (64,45%)
dari pada pasien dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 16 (35,55%), hal ini
dikarenakan sebenarnya proses aterosclerosis terjadi dalam waktu yang lama
sejak usia 15 tahun, pada laki-laki usia 40 tahun keatas kenaikan kadar kolesterol
dalam darah mempunyai resiko yang tinggi khususnya LDL untuk pembentukan
penyakit jantung koroner, sedangkan perempuan mempunyai perlindungan alami
dari resiko penyakit jantung koroner yaitu hormon estrogen yang bisa sangat
membantu dalam pengendalian kolesterol. Selain itu juga pola hidup yang kurang
sehat seperti merokok juga menambah faktor resiko dari jenis kelamin laki-laki.
Hasil dari penelitian ini bertolak belakang dengan Riskesdas 2013, dimana
prevalensi PJK lebih tinggi pada jenis kelamin perempuan, namun hasil
penelitian sejalan dengan penelitian Ismantri tahun 2009 dimana hasil
penelitiannya didapatkan sekitar 75,9% responden penderita PJK adalah laki-laki
dan sisanya 24.1% adalah perempuan dan penelitian ini juga sejalan dengan teori
Laker 2006 tentang faktor resiko jantung koroner.
Berdasarkan rentan umur, dapat ditemukan bahwa pasien yang menderita
PJK yang paling banyak adalah pasien dengan >65 tahun sebanyak 14 pasien
(31,11%), masa dewasa akhir 46-55 tahun sebanyak 14 pasien (31,11%), masa
lansia 56-65 tahun sebanyak 12 pasien (26,67%) dan masa dewasa 35-45 tahun
sebanyak 5 pasien (11,11%). Hal ini sejalan dengan Riskesdas 2013, dimana
prevalensi penyakit jantung koroner berdasarkan wawancara yang didiagnosa
dokter serta yang didiagnosa dokter atau gejala meningkat seiring dengan
bertambahnya umur, dan kelompok tertinggi pada rentan umur 65-74 tahun yaitu
2,0 % dan 3,6% , selain itu hasil penelitian ismantri pada tahun 2009 juga
menyatakan pasien yang banyak didiagnosa penyakit jantung koroner pada
rentang usia 45 dan lebih dari 60 tahun dan hasil dari penelitian ini juga sejalan
dengan teori Laker, 2006 tentang faktor resiko jantung koroner, yaitu semakin
bertambahnya usia kenaikan kadar kolesterol dalam darah juga bertambah dan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
66
untuk perempuan yang telah mencapai usia menopouse, tidak lagi memiliki
perlindungan alami karena hormon estrogen tidak berproduksi kembali.
Berdasarkan penyakit penyerta dari tabel 4.2 penyakit penyerta yang
menyertai penyakit jantung koroner adalah penyakit hipertensi sebanyak 17
pasien (37,77%), diabetes melitus sebanyak 14 pasien (31,11%), CHF sebanyak
12 pasien (26,66%), GERD sebanyak 5 pasien (11,11%), gangguan irama jantung
dan riwayat jantung sebanyak 3 pasien (6,66%), stroke hemmoragic sebanyak 2
pasien (4,44%), dispepsia sebanyak 2 pasien (4,44%), cephalgia sebanyak 1
pasien (2,22%) dan tanpa penyakit penyerta sebanyak 1 pasien (2,22%) dari
jumlah sampel 45 orang. Hasil dari penelitian ini sejalan penelitian yang
dilakukan Krishnan, dkk tahun 2013 dimana kematian akibat penyakit jantung
koroner yang disertai dengan hipertensi meningkat sekitar 9,4% dari tahun 2008,
dan selain itu penelitian Townsend tahun 2012 menyatakan 50% penyakit jantung
koroner dinegara berkembang yang terjadi disebabkan oleh hipertensi.
4.2.2 Profil Penggunaan Obat Pada Pasien PJK
Profil penggunaan obat adalah seluruh kelompok obat yang digunakan
oleh pasien PJK yang disertai maupun yang tidak disertai dengan penyakit
penyerta dari beberapa golongan obat, dan masing-masing mempunyai tujuan
pengobatan yang disesuaikan dengan kondisi pasien. Penggolongan obat ini
dilakukan berdasarkan literatur MIMS indonesia tahun 2016 dan dipiro 7th. Dari
tabel 4.3 dan tabel 4.4 diatas dapat diketahui terapi obat yang digunakan oleh
semua pasien. Obat yang paling banyak digunakan pertama yaitu obat sistem
kardiovaskular (32,42%) dan diurutan kedua yaitu obat saluran cerna (20,31%).
Obat yang paling banyak adalah obat pada sistem kardiovaskular, dikarenakan
dominan penyakit penyerta yang paling banyak adalah kardiovaskular yaitu
hipertensi sebanyak 17 kejadian dan diikuti dengan DM sebanyak 14 kejadian.
a. Obat sistem kardiovaskular
Penyakit kardiovaskular merupakan salah satu penyakit yang sering
muncul pada usia lanjut. Salah satunya, hipertensi merupakan salah satu faktor
yang menginisiasi penyakit jantung koroner (Dipiro ed 7th ). Penggunaan obat
kardiovaskular merupakan obat terbanyak yang digunakan oleh pasien dengan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
67
diagnosa PJK dan jenis obat kardiovaskular yang banyak digunakan yaitu
clopidogrel sebanyak 37 pasien dari 45 pasien. Clopidogrel memiliki efek
farmakologis sebagai antiplatelet. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Trisna
tahun 2015 dimana banyak ditemukan obat-obat kardiovaskular yang
digunakan pada pasien dengan diagnosa gagal ginjal kronik dengan penyakit
penyerta PJK dan yang paling banyak obat kardiovaskular yang digunakan
yaitu clopidogrel pada 15 pasien (65,21%).
Berdasarkan evidence-based medicine antiplatelet merupakan lini pertama
untuk pengobatan ACS. Clopidogrel merupakan prodrug, clopidogrel secara
kompetitif dan ireversibel menghambat adenosine diphospate (ADP) P2Y12
reseptor. Adenosine diphosphate yang berikatan dengan P2Y1 reseptor
menginduksi perubahan ukuran platelet serta dapat menurunkan agregasi
platelet untuk sementara (Nguyen, 2005). Tidak seperti aspirin obat ini tidak
memiliki
efek terhadap metabolisme prostaglandin
(Katzung, 2003).
Clopidogrel juga memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan
dengan ticlopidine yaitu supresi sumsum tulang belakang dan thrombotic
thrombocytopenia purpura pada beberapa kasus (Katzung, 2003). Penggunaan
obat golongan obat kardiovaskular cukup banyak, hal ini sesuai seperti yang
digambarkan pada karakteristik subjek penelitian berdasarkan penyakit
komplikasi yang paling banyak diderita yaitu hipertensi (Gunawan, dkk, 2009).
b. Obat saluran cerna
Obat saluran cerna merupakan obat kedua yang paling banyak digunakan
oleh pasien rawat inap pada pasien dengan diagnosa PJK di Rumah Sakit “X”
Jakarta Utara. Obat saluran cerna yang digunakan adalah obat golongan
antitukak peptik, antispasmodik, PPI, antagonis histamin H2, antiemetik,
antidiare, pencahar, serta enzim pencernaan. Obat-obat dari saluran cerna ini
digunakan untuk memberikan terapi untuk penyakit penyerta, selain itu obat
saluran cerna juga digunakan untuk mengatasi efek samping yang timbul dari
penggunaan obat kardiovaskular dan obat lainnya yang digunakan oleh pasien
untuk mengatasi keluhan lainnya. Contohnya golongan PPI (omeprazole)
dapat digunakan pada pasien dengan penyakit penyerta GERD, Peptic Ulcer
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
68
Disease dan penyakit peptik lainnya, selain itu obat antagonis reseptor
serotonin yaitu ondansentron yang berguna sebagai anti mual dan anti muntah
diberikan pada pasien yang mendapatkan obat kardiovaskular seperti
clopidogrel untuk mengatasi efek samping mual. Obat ini berkerja secara
selektif memblokir serotonin (Drug Information Handbook).
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan obat saluran cerna yang paling
banyak digunakan pada pasien dengan diagnosa PJK adalah ranitidin.
Ranitidin adalah obat golongan antagonis histamin H2. Ranitidin dapat
dengan cepat menyerap diusus, selain itu ranitidin mengalami metabolisme
lintas pertama dihati sehingga membuat bioavailabilitasnya menjadi sekitar
50%. Golongan antagonis H2 menunjukkan inhibisi kompetitif di reseptor H2
sel parietal dan menekan sekresi asam lambung, baik eksresi asam basal
maupun yang diragsang oleh makanan, dan bergantung pada dosis yang
diberikan. Obat ini sangat selektif dan tidak mempengaruhi reseptor H1 dan
H2, serta tidak mempengaruhi volume sekresi lambung dan kadar pepsin
dalam tubuh (Katzung, 2010).
4.2.2.1 Jumlah Penggunaan Obat Pada Pasien PJK
Pasien dengan diagnosa penyakit jantung koroner selama dirawat tidak
hanya menerima obat-obatan untuk mengurangi gejala namun juga diberikan
obat-obatan lain untuk mengatasi masalah penyakit penyerta dan keluhan-keluhan
lain selama di rawat inap di rumah sakit, selain itu juga penyakit jantung koroner
sering menggunakan pengobatan kombinasi, sehingga penggunaan obat lebih dari
satu yang diterima oleh pasien dan hal ini disebut dengan polifarmasi. Polifarmasi
adalah jika pasien mengkonsumsi enam atau lebih obat pada waktu yang sama
(Al-Amin et al, 2012). Penggunaan obat lebih dari satu menyebabkan masalah
ketidaksesuaian pengobatan seperti interaksi obat, efek samping yang tidak
diinginkan dan menyebabkan ketidakpatuhan pasien (Hajar dkk, 2007).
Hasil penelitian didapatkan bahwa semua pasien mengalami polifarmasi
45 pasien (100%). Dan 45 pasien yang mendapatkan obat dengan polifarmasi
selama perawatan semua mengalami DRPs (100%). DRPs terbanyak yaitu
kategori potensial interaksi obat dan potensial tingkat keparahan interaksi obat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
69
cukup parah yaitu interaksi obat keparahan mayor. Pada hasil penelitian juga
didapatkan pada pasien nomor 45 yang menerima obat paling banyak jenis obat
yaitu 16 jenis obat ditemukan DRPs paling banyak dengan kategori interaksi
sebanyak 26 kejadian dan dosis obat dibawah dosis terapi sebanyak 2 kejadian.
Hal ini sejalan dengan penelitian chistin tahun 2013 dimana pasien yang
mendapatkan terapi lebih dari 5 obat (polifarmasi) memiliki kemungkinan
mengalami DRPs dan DRPs yang yang paling banyak ditemukan adalah interaksi
obat.
4.2.3 Drug Related Problems (DRPs)
Menurut Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) drug related
problems (DRPs) adalah suatu kondisi atau keadaan terkait dengan terapi obat
yang secara nyata atau potensial mengganggu hasil klinis kesehatan yang
diinginkan (PCNE, 2010). Pada pemberian terapi untuk pasien PJK cenderung
mengalami DRPs dikarenakan pada pasien dengan diagnosa penyakit jantung
koroner juga mengalami penyakit penyerta selain dari penyakit jantung
koronernya itu sendiri, sehingga obat yang digunakan untuk mencapai
keberhasilan terapi banyak. Hal ini yang banyak menimbulkan DRPs atau
kesalahan-kesalahan pada pemberian obat.
Untuk permasalahan ini, peran farmasi sangat dibutuhkan untuk
meminimalisir terjadinya DRPs. Dan evaluasi DRPs sangat mendukung untuk
menghindari terjadinya DRPs. Evaluasi ini bertujuan untuk menjamin pengobatan
yang diberikan kepada pasien dapat mencapai efek terapi dan pasien pun
mendapatkan pengobatan yang aman, berkhasiat dan bermutu (Sari Novita,
2015). Evaluasi DRPs terdiri dari berbagai kategori yaitu: indikasi tanpa obat,
obat tanpa indikasi, ketidaktepatan pemilihan obat, dosis tinggi, dosis rendah,
interaksi obat, efek samping dan ketidakpatuhan pasien. Namun, pada penelitian
ini tidak dilakukan evaluasi kategori ketidakpatuhan pasien dan efek samping
dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian bersifat retrospektif (kejadian
yang telah berlalu). Pada evaluasi DRPs, pasien dikatakan mengalami DRPs jika
pasien mengalami salah satu dari kategori DRPs yang diteliti tersebut dan pasien
yang tidak mengalami DRPs jika pasien tidak mengalami satupun kategori DRPs.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
70
Gambaran penelitian evaluasi DRPs pada pasien dengan diagnosa penyakit
jantung koroner pada periode Januari-Mei 2016 dapat digambarkan pada tabel
4.6.
Berdasarkan data DRPs pada pasien PJK dengan atau tanpa penyakit
penyerta diinstalasi rawat inap Rumah Sakit “X” Jakarta Utara dapat dilihat
bahwa jumlah DRPs yang paling banyak terjadi adalah interaksi obat sebanyak
427 kejadian (81,33%), dosis obat kurang dari dosis terapi sebanyak 76 kejadian
(14,47%), dosis obat melebihi dosis terapi sebanyak 19 kejadian (3,61%), obat
tanpa indikasi sebanyak 3 kejadian (0,57%), indikasi tanpa obat 0 kejadian
(0,00%) dan ketidaktepatan pemilihan obat sebanyak 0 kejadian (0,00%). Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian christin tahun 2013 menemukan adanya drug
related problem pada pasien rawat inap yang mendapatkan obat dalam jumlah
banyak (polifarmasi) dengan kategori DRPs yang ditemukan adalah terapi obat
tanpa indikasi (1,49%), indikasi tanpa obat (7,46%), ketidaktepatan pemilihan
obat (1,49%), dosis terlalu rendah (10,45%), dosis terlalu tinggi (2,99%),
interaksi obat (40,30%), dan ketidakpatuhan (35,82%).
4.2.3.1 DRPs indikasi tanpa obat
Indikasi tanpa obat atau yang lebih dikenal DRPs kategori butuh tambahan
obat merupakan kondisi dimana pasien mempunyai indikasi lain dan indikasi
tersebut dapat ditegakkan kebenarannya, namun tidak mendapatkan obat untuk
mengobati indikasi tersebut. Penilaian analisa DRPs indikasi tanpa obat pada
pasien dengan diagnosa penyakit jantung koroner dengan atau tanpa penyakit
penyerta didasarkan pada diagnosa masuk, hasil uji laboratorium, dan kondisi
pasien selama dirawat dirumah sakit. Pasien dikatakan butuh tambahan obat jika
obat yang diterima pasien sesuai dengan keluhan pasien, hasil uji laboratorium
maupun hasil dari diagnosa pasien ketika masuk rumah sakit.
Di indonesia dilaporkan bahwa penyakit jantung koroner adalah penyebab
utama dan pertama dari seluruh kematian, yakni sebesar 26,4%, angka ini empat
kali lebih tinggi dari angka kematian yang disebabkan oleh kanker (6%)
(Muchid,2006). Tujuan utama yaitu menghilangkan rasa sakit pasien dan
memperkecil resiko dari komplikasi yang dapat menyebabkan kematian. Penyakit
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
71
jantung koroner sebenarnya tidak dapat disembuhkan tapi harus senangtiasa
dikontrol (Majid, 2007). Pengobatan penyakit jantung koroner dimaksudkan tidak
hanya sekedar mengurangi atau bahkan menghilangkan keluhan, yang paling
penting adalah memelihara fungsi jantung sehingga harapan hidup akan
meningkat (Yahya, 2010).
Hasil penelitian pada tabel 4.6 tidak ditemukannya indikasi tanpa obat
pada pasien dengan diagnosa jantung koroner. Hal ini menggambarkan bahwa
Rumah Sakit “X” Jakarta Utara telah memberikan obat sesuai dengan diagnosa,
hasil uji laboratorium dan kondisi pasien.
4.2.3.2 DRPs Ketidaktepatan Pemilihan Obat
Ketidaktepatan pemilihan obat adalah suatu keadaan dimana pasien
mendapatkan terapi obat yang tidak tepat, maksud dari obat yang tidak tepat
adalah obat yang bukan paling efektif atau tidak sesuai dengan keadaan pasien
(fungsi fisologis pasien) contohnya pasien menderita gagal ginjal kronik dan
mempunyai penyakit penyerta lain seperti pneumoni dan diberikan obat antibiotik
golongan aminoglikosida padahal penggunaan obat antibiotik golongan
aminoglikosida pada gagal ginjal knonik dapat memperburuk kondisi pasien
sebaiknya diberikan antibiotik golongan lain seperti golongan sepalosporin.
contoh lain DRPs ketidaktepatan pemilihan obat jika pasien yang mempunyai
alergi antibiotik penisilin diberikan obat antibiotik penisilin.
Berdasarkan hasil penelitian tidak ditemukan obat-obatan yang mengalami
DRPs kategori ketidaktepatan pemilihan obat, karena terapi dan obat yang
diberikan oleh dokter Rumah Sakit “X” diberikan dengan disesuaikan oleh
kondisi fisiologis pasien seperti fungsi ginjal dan riwayat alergi obat.
4.2.3.3 DRPs obat tanpa indikasi
Obat tanpa indikasi adalah suatu keadaan dimana pasien memperoleh
terapi obat yang tidak sesuai dengan indikasi penyakit yang dideritanya. Pasien
dapat didiagnosa PJK yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti faktor resiko.
Faktor resiko ini dapat dibedakan menjadi 2 yaitu faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh misalnya
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
72
keturunan, umur, dan telah memiliki penyakit kardiovaskular lainnya, sedangkan
faktor ekstrinsik adalah faktor yang berasal dari luar tubuh seperti gaya hidup
yang kurang sehat contohnya malas untuk berolahraga, merokok dan juga mimum
minuman beralkohol (soeharto, 2004).
Penilaian untuk mendiagnosa pasien dengan PJK yang pertama adalah
melihat apakah angina yang dirasakan pasien merupakan angina stabil atau angina
tidak stabil dengan cara mengevaluasi klinis seperti riwayat dan tes fisik (seperti
tes berjalan pada treadmill) selanjutnya dilakukan tes EKG setelah itu jika
hasilnya + angina stabil maupun angina tidak stabil diberikan obat aspirin/
betablocker/ nitrat/ antithrombolitik/ inhibitor GP IIb/IIa untuk mengurangi gejala
angina (bantuan jangka pendek) dan dilanjutkan dengan terapi penunjang lainnya,
selanjutnya dilakukan
tes angiografi untuk benar-benar memastikan keadaan
pembuluh darah arteri (The Task Force on the Management of Stable Angina
Pectoris of European Society of Cardiology, 2016), namun tidak semua Rumah
Sakit diindonesia mempunyai fasilitas tes angiografi, dikarenakan alat angiografi
yang cukup mahal.
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 3 obat yang diberikan tanpa indikasi
yang jelas, yaitu pasien nomor 4 dan 5. Pada pasien nomor 4 diberikan obat
antibiotik golongan quinolon dengan merek dagang farlev yang biasanya
diberikan untuk pasien dengan diagnosa pneumonia, pasien masuk dengan
diagnosa febris (demam) dan diagnosa keluar CAD, DM tipe II. Pasien awal
masuk mengalami demam dicurigai terkena infeksi, namun hasil lab menunjukan
diagnosa tersebut tidak bisa di tegakkan karena hasil leukosit normal, hasil
trombosit, MCV, MCH, MCHC, dan RDW-SD semua normal dan hasil thorax
pulmo/cor normal yang artinya tidak ada kelainan atau perbesaran pada paru-paru
pasien. Hal serupa juga ditemukan pada pasien nomor 5 diberikan antibiotik
golongan makrolid untuk infeksi saluran nafas bawah dengan merek dagang
mezatrin kandungannya azitromisin dan diberikan antibiotik lain golongan
penisilin yang biasanya digunakan untuk infeksi kulit dan intra abdomen dengan
merek dagang cinam kandungannya penisilin. Pasien masuk dengan diagnosa
hipokalemia, CAD dan diagnosa keluar: CHF, hipertensi. Tidak ada diagnosis
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
73
yang mengatakan bahwa pasien mengalami infeksi dan hasil lab leukosit
menunjukkan normal.
4.2.3.4 DRPs dosis obat melebihi dosis terapi
Dosis obat melebihi dosis terapi adalah pasien yang mendapatkan terapi
obat yang benar, namun dosis obat yang diberikan melebihi dosis lazim.
Pemberian obat dengan dosis melebihi dosis terapi dapat mengakibatkan
peningkatan resiko toksisitas. Literatur yag digunakan untuk menetapkan DRPs
ketegori dosis obat melebihi dosis terapi yaitu: MIMS 2016, ISO 2016, Drug
Information Handbook dan jurnal avidance base of medicine.
Pada penelitian rani tahun 2013 tentang drug related problem pada pasien
yang mendapatkan obat kardiovaskular ditemukan bahwa dosis melebihi dosis
terapi sebanyak 20 (7,96%), sedangkan dosis kurang dari dosis lazim sebanyak 31
(12,35%). Drug related problem kategori dosis melebihi dosis terapi ini tidak
lebih banyak dari DRPs kategori dosis kurang dari dosis lazim. Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian yang dilakukan. Pada tabel 4.6 menunjukkan DRPs
dengan ketegori dosis melebihi dosis terapi ditemukan sebanyak 19 kejadian
(3,61%) lebih sedikit ditemukan kejadiannya dibandingkan dengan kejadian DRPs
dengan kategori dosis kurang dari dosis terapi.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan ditemukan obat yang paling
banyak mengalami DRPs kategori dosis obat melebihi dosis terapi adalah obat
citicolin yang mempunyai efek farmakologis mengurangi kerusakan jaringan otak
karena mampu meningkatkan senyawa kimia diotak bernama phosphatidylcholine
yang sangat penting untuk menjalankan fungsi otak, selain itu obat ini mampu
melancarkan aliran darah dan mengantarkan oksigen ke otak. Dosis maksimum
yang diberikan sebesar 1000mg 1x sehari (MIMS, 2016 dan data DOI, 2008),
sedangkan ditemukan 5 pasien diberikan dengan dosis 2x1000mg. Berdasarkan
Food Drug and Administration (FDA), FDA telah menetapkan kriteria
bioekuivalensi obat sebesar 80-125 %, karena pada 90% interval Area Under
Curve (AUC) dan konsentrasi obat dalam darah mencapai maksimum (Cmax) dan
kriteria ini digunakan pada obat baik yang rendah maupun tinggi variabilitasnya
(Food Drug Administration, 2004). Sedangkan citicolin diberikan lebih dari 125%
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
74
dari dosis maksimum sehingga termasuk DRPs kategori dosis melebihi dosis
lazim.
4.2.3.5 DRPs dosis obat kurang dari dosis terapi
Pemberian obat dengan dosis yang terlalu rendah mengakibatkan
ketidakefektifan untuk mencapai efek terapi yang diinginkan. Dosis yang
diberikan harus sesuai dengan keadaan pasien dan dosis yang ditetapkan pada
literatur MIMS, ISO, Drug Information Handbook, dan jurnal avidance base of
medicine. Penilaian evaluasi DRPs dosis terlalu rendah pada pasien berdasarkan
pada dosis regimen yang diberikan (Sari Novita, 2015). berdasarkan Food Drug
and Administration (FDA), FDA telah menetapkan kriteria bioekuivalensi obat
sebesar 80-125 %, karena pada 90% interval Area Under Curve (AUC) dan
konsentrasi obat dalam darah mencapai maksimum (Cmax) dan kriteria ini
digunakan pada obat baik yang rendah maupun tinggi variabilitasnya (Food Drug
Administration, 2004).
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 37 pasien yang mengalami dosis
obat kurang dari dosis terapi dan sebanyak 76 frekuensi kejadian. Berdasarkan
hasil penelitian 3 jenis obat-obatan yang paling banyak ditemukan yang
mengalami DRPs kategori dosis obat kurang dari dosis terapi adalah ranitidin
sebanyak 21 kejadian, mecobalamin sebanyak 11 kejadian, dan bisoprolol
sebanyak 7 kejadian. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian chistian tahun
2013 dengan judul Drug Related Problems Pada Pasien yang Menerima Resep
Polifarmasi, dimana DRPs kategori dosis obat kurang dari dosis terapi merupakan
kategori terbanyak kedua yang ditemukan setelah DRPs kategori interaksi obat.
4.2.3.6 DRPs interaksi obat
Interaksi obat merupakan hal yang sangat dihindari dari pemberian obat
yang diberikan pada pasien. Pada pasien yang mendapatkan obat lebih dari 5 atau
lebih akan berpotensi mengalami interaksi obat karena dengan banyaknya obat
yang diberikan maka kemungkinan terjadinya interaksi obat juga semakin besar.
(Kurniajaturiatama, 2013). DRPs kategori interaksi obat ini dilakukan dengan cara
studi literatur dan tidak mengamati secara langsung, literatur yang digunakan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
75
adalah aplikasi medscape, drugs.com dan dibandingkan dengan Drug Interaction
Fact tahun 2009, Stockley’s Drug Interaction edisi 8, Drug Information
Handbook 2009.
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh terdapat 44 pasien yang
berpotensi mengalami interaksi obat dari total sampel seluruhnya 45 pasien dan
sebanyak 427 kejadian. hal ini sejalan dengan penelitian andi kurnia tahun 2013
dimana andi meneliti interaksi obat pada rawat inap ICCU yang pasien terbanyak
menderita PJK ditemukan 78,43% yang mengalami interaksi obat dan sebanyak
192 kasus interaksi yang terjadi obat dengan obat. Pada tabel 4.7 digambarkan
potensial tingkat keparahan pada pasien PJK yang paling banyak adalah potensial
tingkat keparahan moderate sebanyak 285 kejadian (66,74%), lalu diikuti dengan
potensial tingkat keparahan minor sebanyak 98 kejadian (22,95%), dan potensial
tingkat keparahan mayor sebanyak 10,30%.
Potensial tingkat keparahan moderate yang paling banyak adalah ISDN x
ramipril sebanyak 13 kejadian. Mekanismenya ramipril (ACE inhobitor) dapat
meningkatkan efek hipotensi nitrogliserin, data lain menunjukkan bahwa ramipril
dapat mencegah toleransi nitrat, selain itu ACE inhibitor juga dapat menurunkan
resistensi vaskular sistemik, menurunkan kerja jantung dan lebih meningkatkan
efektivitas nitrogliserin. Manajemennya harus menghentikan nitrat sebelum
memulai ACE inhibitor atau dilanjutkan dengan dosis dikurangi dan juga lakukan
pemantau tekanan darah.
Untuk potensi tingkat keparahan interaksi yang kedua yaitu tingkat
keparahan minor yang paling banyak adalah ISDN x omeprazole sebanyak 13
kejadian mekanismenya omeprazole dapat menghambat pengiriman obat nitrat
oral. Efek antiangina mungkin akan berkurang, dan iskemia miokard dpat
diperburuk. Dan managementnya mengganti terapi asam lambung lain.
Untuk potensi tingkat keparahan interaksi obat mayor yang paling banyak
adalah omeprazol (rhindopump) x clopidogrel sebesar 15 kejadian. Pemberian
golongan PPI bersama dengan clopidogrel dapat mengurangi efek kardioprotektif
clopidogrel, mekanisme interaksi yang dimaksud adalah inhibisi PPI terhadap
bioaktivasi metabolik clopidogrel yang diperantai sitokrom P450 2C19.
Mekanisme ini akan lebih buruk jika terjadi pada penderita yang memiliki
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
76
polimorfisme genetik sitokrom P450 2C19, yang mana tidak ditemukan aktivitas
enzim ini sama sekali dalam tubuh mereka. penggunaan PPI dikaitkan dengan
peningkatan 70% dalam risiko serangan jantung atau angina tidak stabil,
peningkatan 48% dalam risiko gejala stroke atau stroke dan Managemennya
sebaiknya menghindari pemakaian keduanya, harus dipertimbangkan pada pasien
yang beresiko tinggi seperti pasien yang menerima terapi antiplatelet ganda,
pasien dengan riwayat pendarahan gastrointestinal dan pasien yang menerima
terapi antikoagulan bersamaan. Dan setelah evaluasi secara menyeluruh telah
dilakukan terhadap resiko dan keuntungannya, jika golongan PPI masih
diperlukan maka menggunakan alternatif PPI yang lebih aman seperti
pantoprazol,
dexlansoprazole
atau
lansoprazole.
Jika
tidak
maka
bila
memungkinkan dapat meresepkan obat antasida atau antagonis reseptor H2 seperti
ranitidin.
4.3 Keterbatasan Penelitian
4.3.1 Kendala
1. Pengambilan data dan jumlah sampel
Ketika proses pengambilan data ada beberapa data pasien yang kurang
lengkap seperti (hasil lab yang kadang tidak ada) serta ada beberapa
pasien yang rekam mediknya tidak ditemukan atau sedang dirawat
kembali sehingga tidak dapat diambil data pasien dan menyebabkan
sampel mejadi semakin sedikit.
2. Diagnosa data
Hasil laboratorium untuk pemeriksaan tekanan darah, kadar gula darah
tidak dilaksanakan dengan rutin, atau tidak tertulis dalam rekam medik
sehingga peneliti tidak dapat melihat perkembangan secara mendetail.
5. Protokol terapi PJK
Tidak adanya protokol sehingga tidak dapat diketahui kerasionalan
penelitian evaluasi DRPs.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
77
6. Refrensi
Kesulitan mencari refrensi penelitian, karena penelitian DRPs pada
pasien dengan diagnosa PJK ini belum pernah dilakukan sebelumnya
atau tidak terpublis.
4.3.2 Kelemahan
Penelitian ini memiliki kekurangan, diantaranya :
1. Penelitian merupakan penelitian deskriptif retrospektif
Pada penelitian deskriptif hanya dapat dilakukan demografi berupa
hasil analisis ketepatan untuk mengetahui DRPs pada terapi yang
digunakan oleh pasien. Selain itu metode retrospektif, dimana waktu
kejadian sudah terjadi, tidak dapat dilakukan pertanyaan secara
langsung pada pasien, terutama untuk meneliti potensi interaksi obat.
2. Jumlah sampel
Jumlah sampel yang memenuhi kriteria inklusi sedikit dikarenakan
banyak data yang kurang lengkap .
3. Penelitian ini tidak dapat dikatakan rasional, dikarenakan penilaian
diagnosa pasien tidak dilakukan secara langsung, melainkan hanya
menarik kesimpulan dari diagnose yang tercatat saja.
4.4 Kekuatan
Penelitian ini sebelumnya belum pernah dilakukan di Rumah Sakit “X”
Jakarta Utara, Maka diharapkan penelitian ini dapat dijadikan refrensi dan
gambaran Drug Related Problems pada pasien dengan diagnosa PJK .
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Penggunaan obat yang paling banyak digunakan pada pasien dengan
diagnosa PJK adalah obat-obatan golongan kardiovaskular sebanyak 142
(32,42%) dan obat kardiovaskular yang paling banyak digunakan adalah
clopidogrel, yang digunakan oleh 37 dari total 45 orang.
2. Kategori DRPs yang terjadi interaksi obat sebesar 81,02%, kategori dosis
obat kurang dari terapi (underdose) sebesar 14,42%, dosis obat melebihi
dosis terapi (overdose) sebesar 3,98%, obat tanpa indikasi sebesar 0,56% dan
tidak ditemukan DRPs dengan kategori ketidaktepatan pemilihan obat dan
indikasi tanpa obat.
5.2 Saran
1. Perlu adanya monitoring dan evaluasi terapi pada pasien dengan diagnosa
PJK dikarenakan obat-obatan yang digunakan berpotensi mengalami
interaksi obat.
2. Jika akan melakukan penelitian dengan judul yang sama, sebaiknya
menggunakan metode yang berbeda.
3. Perlu adanya peran yang maksimal dan optimal dari farmasi klinik untuk
mengevaluasi serta mencegah DRPs.
4. Perlu adanya kerjasama dan kolaborasi yang tepat antara dokter, apoteker
dan tenaga kesehatan lainnya, sehingga didapatkan terapi yang tepat, efektif,
dan aman.
78
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
79
DAFTAR PUSTAKA
Aaronson, Philip I dan Ward, Jeremy P.T. 2010. At Glance Sistem kardiovaskular.
Erlangga: Jakarta.
Andi, 2013. Interaksi Obat Pada Paien Jantung Ruang Rawat Inap ICCU RSUP
Fatmawati Periode September-November 2012. Skripsi. Jakarta: UIN
Syarif Hidayatulla Jakarta.
Anonim. 2010. PCNE Classification for Drug Related Problems. Pharmaceutical
Care Network Europe Foundation, V6.2 revised 14-01-2010, 1-9.
Anonim. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan RI, Nomor 58 Tahun 2014 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Menteri Kesehatan RI.
Anonim, 2016. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Edisi 15, 2016. Jakarta:
Penerbit Asli (MIMS Pharmacy Guide).
Arikunto, S. 2002. Prosedur Suatu Penelitian, Pendekatan Praktek. Edisi 5.
Jakarta: Rineka Cipta.
Balitbang Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta:
Balitbang Kemenkes RI.
Christina Ayu Kurnia Dewi, Dkk. 2013. Drug Therapy Problems pada pasien
yang menerima resep polifarmasi. Penelitian. Surabaya: Fakultas
Airlangga.
C. Pearce evelyn. 2006. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta:
Gramedia.
Cipolle, R.J, Strand, L.M., Morley P.C. 2004. Pharmaceutical Care Practice The
Clinician’s Guide, Second Edition, 73-119, McGraw-Hill: New York
Committee on the Management of Patients With Unstable Angina. 2016.
ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients With Unstable
Angina and Non-ST Segment Elevation Myocardial Infarction: Executive
Summary and Recommendations. America College of Cardiology and
American Heart Association: Circulation.2000;102:1193-1209.
Dede Kusmana. 1996. Pencegahan dan Rehabilitas Penyakit Jantung Koroner.
Skripsi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 106
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
80
Diah Krisnatuti dan Rina Yenrina. 1999. Panduan Mencegah & Mengobati
Penyakit Jantung. Jakarta: Pustaka Swara.
Dipiro, et al. 2005. Pharmacotherapy Handbook, seventh edition, New York: MC
Graw Hill.
Drs.Tan Hoan Tjay dan Drs. Rahadja Kirana. 2007.obat-obat penting edisi VI.
Jakarta: Elex Media Komputindo. Hal 528.
Drug.com. Online 20-27 Agustus 2016.
http://www.drug.com/druginfo/druginterchecker.
Food Drug and Administration (FDA). 2004, Advisory Commite for
Pharmaceutical Science, 5630 Fisher Lane, Rockville, Maryland.
Gunawan, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru
Ganong, W. F. 2000. Fisiologi Kedokteran, terjemahan Adrianto, P., Buku
Kedokteran EGC, Jakarta
Hadiatussalamah. 2013. Identifikasi Drug Related ProblemS (DRPs) Pada Pasien
Dengan Diagnosa Congestive Heart Failure Di Instalasi Rawat Inap
Rumah Sakit Umum Pusat DR. Mohammad Hoesin Palembang Tahun
2012. Tesis. Yogyakarta: Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada.
Hajjar ER, et.al. 2007. Polipharmacy in Elderly Patients. USA: The American
Journal of Geriatric Pharmacotherapy.
Iman Soeharto. 2004, Jantung Koroner dan Serangan Jantung, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Iman Soeharto. 2004, Serangan Jantung dan Stoke Hubungannya Dengan Lemak
dan Kolesterol, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ismantri. 2009. Prevalensi Penderita Penyakit Jantung Koroner yang Menjalani
Intervensi Koroner Perkutan Di Rumah Sakit Binawaluya Tahun 2008-2009.
Skripsi. Jakarta : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Juwono BS. 1996. Gangguan metabolisme lipid dan penyakit jantung koroner.
Jurnal Kardiologi Indonesia.
Katzung, Bertram G. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10.Jakarta:
EGC.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
81
Kusumawidjaja, Hidayat. 2004. Patologi, Bagian Patologi Anatomik Fakultas
kedokteran universitas indonesia, jakarta.
Krishna, A. dkk. 2013. Hypertension in the South-East Asia Region: an
Overview.Regional Health Forum Vol. 17, Number 1, 2013
Maulana, Mirza. 2008. Mengenal Diabetes Melitus Panduan Praktis Menangani
Penyakit kencing Manis. Jogjakarta : Katahati.
Mahmoud M.A. 2008. Drug Therapy Problems and Quality of Patients with
Chronic Kidney Disease. Universiti Sains Malaysia.
Majid, 2007. Penyakit Jantung Koroner: Patofisologi, Pencegahan dan
Pengobatan Terkini. Sumatra Utara: Fakultas Kedokteran Sumatra Utara
Md. Mamun Al-Amin et al. 2012. Studi on Polypharmacy in Patiens with
Cardiovaskular. Journal of Applied Pharmaceutical Science. Vol 2
desember 2012. Germany.
Mike Laker. 2006. Memahami Kolesterol. Jakarta: The British Medical
Association. Hal 16-18.
Muchid A, Umar F, Purnama NR, et al. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Pasien
Penyakit Jantung Koroner: Fokus Sindrom Koroner Akut. Departemen
Kesehatan.; 5-22
Notoatmodjo, S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: PT Rineka
Cipta.
Nurhalimah. 2012. Studi Kasus Drug Related Problem Kategori Penyesuaian
Dosis Pada Gagal Ginjal Kronik RSUD dr MM Dunda Limboto.
Gorontalo: Fakultas Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan Universitas
Negeri Gorontalo.
Nurhayati. 2011. Analisis Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner Pada
Penderita di RSD DR. Soebandi Jember. Jember: Fakultas Kedokteran
Gigi.
Nurrakhmani, Azizah. 2014. Kerasionalan Penggunaan Antibiotik pada Pasien
Penderita Sindrom Respons Inflamasi Sistemik (SIRS) di Ruang
Perawatan Intensif (Intensive Care Unit/ICU) Rumah Sakit Angkatan
Laut Dr. Mintohardjo pada Tahun 2012-2013. Depok: Fakultas Farmasi
Universitas Indonesia.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
82
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (PerMenKes) No.58 .2014.
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit Jakarta : Menteri
Kesehatan Republik Indonesia.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (PerMenKes) Nomor 269 .2008.
Rekam Medis: Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Praktiknya, A. W. 2001. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan
Kesehatan, Edisi 4. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Raharjoe, A. 2011. Current Problem Cardiovascular Disease in Indonesia 20th
Annual Scientific Meeting of Indonesia Heart Association (ASMIHA).
Perhimpunan Dokter Spesialir Kardiovaskular Indonesia.
Rahman,Muin. 2005. Penyakit Jantung koroner. Manifestasi Klinis dan Prinsip
Penatalaksanaan. Hal 1091.
Rani.2013. Drug Related Problems and Reactive pharmacist interventions for
Inpatients Receiving Cardiovaskular Drugs. International Journal of
Basic and Pharmacy (IJBMSP) Vol.3,No.2, Desember 2013. India
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). 2013. Pedoman Pewancara Petugas
Pengumpul Data. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes RI.
Sari Novita, (2015).Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien
Diabetes Melitus di Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Utara. Skripsi. Jakarta:
FKIK UIN Syarif Hidayatullah. tidak diterbitkan.
Sarles, W. B., Frazier, W. C., Wilson, J. B., and Knight, S. G. 1969.
Microbiology, 2 nd ed. New York: Harper & Brother. page 94-98, 114116.
Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sugiyono. 2005. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan, Edisi 3.
Jakarta: EGC.
Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson. 2005.Patofisiologi konsep klinis, prosesproses dan penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC. Hal 576.
Tortora, G.J., Derrickson, B., 2012. Principles of Anatomy and Physiology. 13th
ed. USA: John Wiley & Sons.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
83
Townsend, Raymond. 2012. 100 Tanya Jawab Soal Hipertensi.Jakarta: PT Indeks
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009. Rumah Sakit:
Undang- Undang Republik Indonesia.
World Health Organization. Deaths from coronary heart disease 2006; Available
from:www.who.int/cardiovascular_diseases/cvd_14_deathHD.pdf;
diakses tanggal 22 april 2016 pukul 19.00.
Yahya, A.F., 2010, Menaklukkan Pembenuh no. 01: Mencegah dan Mengatasi
Penyakit Jantung Koroner Secara Tepat. PT Mizan Pustaka, Bandung.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
84
Lampiran 1. Surat Permohonan Data dan Izin Penelitian dari UIN syarif
Hidayatullah Jakarta Prodi Farmasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
85
Lampiran 2 Contoh Rekapitulasi 5 data sampel penelitian
(Keterangan : data sampel 45 pasien, namun data tidak dapat ditampilkan semua).
NO
L/P
1.
P
Usia
(tahun
)
59
Diagnosa
Hipokalemia
Hipertensi
CAD
Tanggal
dirawat
17/04/16
sd
21/04/16
Penyakit
penyerta
Hipertensi
Obat yang
digunakan
Nama generik
KET
Rute
Dosis obat
Dosis literatur
Waktu
Pengguna
an
17/04/16
Ascardia
As.asetil
salisilat
anticoagulan
oral
1x80mg
1x80mg
Pladogrel
Clopidogrel
Antikoagulan
Oral
1x75mg
1x75mg
Brainact adis
Citicolin
Cerebral
activator/
neuronics
oral
Maks :
1x1000mg
Divask
Amlodipin
antihipertensi
oral
2x1000mg
(over dose)
standar
125% dari
dosis
standar
1x5mg
17/04/1621/04/16
17/04/1621/04/16
5mg 1x1, dosis
maks : 10mg
17/04/1621/04/16
Provital
-
oral
1x1
1x/hr
sysmuco
Rebamipide
oral
3x1
1tab 3x/hr
Atorvastatin
atorvastatin
Suplement
makanan
Antasida,
antireflux
Kadar kolesterol
oral
1x20mg (m)
Acetensa
losartan
Hipertensi
oral
1x50mg (m)
Mecobalamin
(diberikan pada
pagi hari
Mecobalamin
(500mcg)
Neuropati perifer
oral
Leptica (diberikan
pd malam hari
pregabalin
Nyeri neuropati
perifer
oral
Viopor
suplement
Utk kesehtan
oral
1x1
(under dose
karena
diberikan <
80% dosis
lazim )
1x75mg
(under dose)
karena
diberikan <
80% dari
DL
1x1/hr
DL : 10mg 1x1,
dosmaks : 1080mg
Dosis awal :
50mg 1x/hr, utk
pasien pernah
dialisa 25mg 1/hr
3x1 :
3x500mcg =
1.500mcg
17/04/1621/04/16
17/04/1621/04/16
17/04/1621/04/16
Hasil Lab
TD : selama 3hari
17/4/16-20/4/16
(>120/80)
Pada tanggal 21/4/16
TD : (120/80)
Suhu : (36) Normal
RR : 17/4/16-18/4/16
rendah (64-70)
17/4/16
Hemoglobin : 12,7
(rendah)
Hematokrit : 37,2
(rendah)
Leukosit : 7,4 (normal)
Eritrosit : 4,47 (rendah)
17/04/1621/04/16
Na : 138,61 (normal)
17/04/1621/04/16
K : 3,17 (rendah)
DL: 75mg 2x/hr,
dosmaks :
600mg/hr
17/04/1621/04/16
Cl : 104,64 (Normal)
2x1/hr
17/04/16-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
86
sendi, OA
2.
P
56Thn,
Diagnosa
masuk :
syncope,
GERD, CAD
Diagnosa
keluar :
CHF, CAD,
GERD
10/5/1618/5/16
+ jantung
(digunakan
utk hanya
sebagai
suplement
Aspar-K
K-L aspartate
Elektrolit
oral
3x1
Inpepsa syr
Sukralfat
Antasida, reflux
oral
Rhindopump
(40mg)
omeprazole
Antasida, reflux
IV
2X 1C =
30ml.
(under dose)
karena
diberikan <
80%
2x1 amp
vometraz
ondansentron
antiemetik
iv
2x8mg
ISDN
ISDN
Antiangina
oral
3x10mg
Pladogrel 75mg
(sore)
clopidogrel
antikoagulan
oral
Simvastatin
(malam)
Laxadine syr
simvastatin
antikolesterol
-
Prazotec
(cap 30mg)
lansoprazol
21/04/16
Diberikan sesuai
kebutuhan
Dws : 2sdt 4x/hr
= 40ml
17/04/1621/04/16
17/04/1621/04/16
Tukak lambung
20mg 1x/hr
selama 24minggu dosis
dapat
ditingkatkan
menjadi
40mg/hr.
Sindrom
zollinger ellison
awal 60mg 1x/hr
. bila dosis >
80mg/hr
diberikan 2x/hr
8mg scr inj IV
lambat atau infus
2x/hr.
1-2 tab (5mg) 34x/hr
17/04/1621/04/16
10/5/1618/5/16
TD : naik turun, namun
pada 16/5/16-18/5/16
TD stabil <120/80
1x1
Dws : 75mg
1x/hr
10/5/1618/5/16
oral
1x20mg
Laksative
oral
3x10ml
Antasida, reflux
oral
2x1 = 60mg
(over dose)
Awal 5-10mg/hr
Maks : 40mg/hr
1-2 sdm (1530ml) 1x/hr
1x1/hr = 30mg
10/5/1618/5/16
10/5/1618/5/16
10/5/1618/5/16
Suhu : tanggal 12/5/16
: 39°C
Selain itu normal
Nadi : 10/5/16-17/5/16
: Rendah
RR : 10/5/16 -15/5/16
rendah >80
10/5/16
Hemaglobin : 12
17/04/1621/04/16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
87
3.
L
67
tahun
Diagnosa
masuk :
18/1/1623/1/16
Hipertensi
dan DM
Alganax
alprazolam
ansiolotik
oral
karena
diberikan
lebih dari
125%dari
dosi lazim =
37,5 mg
2x0,25
Letonal
Spironolacton
Oral
Furosemid
(sediaan 40mg)
furosemid
Fluxum 4250 iu
parnaparin
Antihipertensi
(diuretik) utk
menghambat
aldosteron
Antihipertensi 1
gol dengan
spironolakton,
namun beda
mekanisme kerja
Antikoagulan
Rhindopump
(1amp : 40mg)
omeprazol
Antasida, reflux
Clopidogrel
(75mg) diberikan
clopidogrel
Anticoagulant,
antiplatelet
(rendah)
Kecemasan 0,751,5mg 3x1
Gangguan panik
: 0,5-1mg
menjelang tidur
Lansia /
penderita lemah :
0,5 -0,75/hr
dibagi beberapa
dosis.
10/5/1618/5/16
Hematokrit : 36,9
(rendah)
1x 25mg
Dws : 25100mg/hr
10/5/1618/5/16
Leukosit : 11,90
(tinggi)
oral
1x ½ tablet
Dws : 20-80mg
dosis tunggal
pada pagi hari
10/5/1618/5/16
Trombosit : 302
(normal)
Iv
Trombosis vena
dalam 0,6ml
2x/hr = 1,2
10/5/1616/5/16
Eritrosit : 5,03 (normal)
Iv
2x 0,4 : 0,8
(under dose
) karena
diberikan <
80% dari
dosis lazim.
2x1 amp
10/5/1616/5/16
MCH : 24 (rendah)
MCHC : 33 (normal)
RRDW-SD : 39,3
(Normal)
Glukosa sewaktu : 122
(normal)
Troponim : negatif
Na : 138,9 (normal)
K : 3,88 (normal)
Cl: 105,95 (normal)
oral
1x1
Tukak lambung
20mg 1x/hr
selama 24minggu dosis
dapat
ditingkatkan
menjadi
40mg/hr.
Sindrom
zollinger ellison
awal 60mg 1x/hr
. bila dosis >
80mg/hr
diberikan 2x/hr
Dws : 75mg
1x/hr
18/1/1623/1/2016
TD : dari tgl 18/1/1623/1/16 normal
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
88
CAD , CHF,
Anemia dan
CKD
Diagnosa
keluar : CAD
dan CHF
pada sore
Suhu : normal
RR : 19/1/16-21/1/16
menrun rata-rata 60-70
ISDN (5mg)
ISDN
Antiangina
oral
3x5mg
1-2tab 5mg, 3-4x
/hr
18/1/1623/1/2016
Divask (sore)
amlodipin
hipertensi
Oral
1x 5mg
18/1/1623/1/2016
Furosemid (P)
40mg
furosemid
hipertensi
oral
1x1
Letonal (pagi)
spironolaktone
hipertensi
oral
1x25mg
Hipertensi &
angina : 5mg
1x1, dosis maks :
10mg/hr
Dws : 20-80mg
diberikan pada
pagi,
Maksimal:
600mg
Dws : 25mg100mg
lantus
Insulin
glargine
Insulin
Parenter
al
1x10 iu
23/1/16
Novarapid
Insulin aspart
Insulin
parentera
l
3x 10 iu
Rhindopump
(1ampul = 40mg)
omeprazol
Antasida,
antireflux
parentera
l
2x1
Furosemid
(diberikan pd pagi
hari)
Furosemid
antihipertensi
parentera
l
1x1 amp
(1ampul =
20mg/2ml)
Sesuai
kebutuhan,
diberikan secara
1x/hr
Dosis bersifat
individual dan
diberikan secara
SC
Tukak lambung
20mg 1x/hr
selama 24minggu dosis
dapat
ditingkatkan
menjadi
40mg/hr.
Sindrom
zollinger ellison
awal 60mg 1x/hr
. bila dosis >
80mg/hr
diberikan 2x/hr
Dws :
Dosis awal 2040mg IM/IV
18/1/16
Ureum darah : 82
(tinggi)
Creatinin darah : 3,8
(normal)
18/1/1623/1/2016
CrCL : 15,70
20/1/16
Glukosa darah sewaktu
:
21/1/16 : 100 (normal)
22/1/16 : 125 (normal)
23/1/16 : 60 (rendah)
Na : 132 (reNdah)
K : 5,05 (normal)
Cl : 100,95 (normal)
23/1/16
Kreatinin urin : 24
Fosfor : 5
19/1/1623/1/16
Tulang belakang :
edem
19/1/1621/1/16
Thorax : +
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
89
4.
L
49 thn
Diagnosa
masuk :
Febris
Diagnosa
keluar :
CAD, DM
tipe II,
dislipidemia
19/1/1623/1/16
DM tipe 2
Atorvastatin
(20mg)
atorvastatin
dislipidemia
oral
1x1
Edem paru :
40mg scr inj IV
10-80mg
1x1
19/1/16
TD : 19/1/16-23/1/16 :
< 120/80 (normal)
Suhu : 19/1/16-23/1/16
: 36-36,5 (normal)
Nadi : 19/1/16-20/1/16
: 78 (rendah)
Farlev 750mg
levofloxacin
Antibiotik/
quinolon
(digunakan
untuk
pneumoni)
Oral
1x 500mg
Kap 250-750mg
1x/hr selama 714 hr
1x750mg
ambroxol
-
Saluran
pernafasan
antikoagulan
oral
oral
1 tab
3x1
1x75mg
pladogrel
clopidogrel
trolip
fenofobrate
oral
1x300mg
Metformin
Hiperkolesterole
mia (tipe Iia)
antidiabetes
Glucophage
(500mg)
oral
ISDN (5mg)
ISDN
antiangina
oral
bioATP
-
oral
Acetensa
losartan
Vitamin
(kelemahan
muskuler/
neuromuskuler,
gangguan
metabolisme
pada otot jantung
antihipertensi
1x1
(under dose)
diberikan <
80% dari
dosis lazim
1x1
(under dose)
diberikan <
80% dari
dosis lazim
yang
diberikan
2x1 tab
oral
1x25mg
(under dose)
karena
19/1/16
RR : 19/1/16-23/1/16 :
20 (Normal)
19/1/16
Leukosit : 7,31
(normal)
1 tab
3x1
Dws : 75mg
1x/hr
Dws : 300mg/hr
dosis tunggal
1 tab 500mg
3x/hr
20/1/1623/1/16
19/1/1623/1/16
19/1/1623/1/16
19/1/1623/1/16
19/1/1623/1/16
1-2 tab (5mg)
3x1
21/1/1623/1/16
Ureum darah : 19
(normal)
2-4 tablet/ hr
21/1/1623/1/16
Kreatinin darah : 0,6
(normal)
Dosis awal :
50mg 1x/hr, utk
pasien pernah
21/1/1623/1/16
MCV : 83 (normal)
MCH : 29 (Normal)
MCHC : 35 (Normal)
Trombosit : 238
(normal)
Eritrosit : 4,98 (normal)
SGOT (AST) : 10
(rendah)
SGPT (ALT) : 11
(Rendah)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
90
Rhindopump
omeprazole
Antasida,
antireflux dan
antiulcerant
IV
Farmadol
Parasetamol
Analgesic
iv
pasien tidak
ada
penyakit
penyerta
CKD dan
diberikan
dosis <80%
2X 1amp
2x1 vial
(10mg/ml)
Dosis yang
diberikan
under dose,
karena <
80% dari
dosis yang
diberikan
Kalmeco
mecobalamin
Terapi neuropati
perifer
iv
levemir
-
Insulin detemir
antidiabetes
iv
2x1 amp
(kelmeco inj
500mcg)
(under dose
) karena
diberikan <
80% dari
dosis lazim
yg
diberikan
1x12 iu
dialisa 25mg 1/hr
RDW-SD : 38,7
(Normal)
Tukak lambung
20mg 1x/hr
selama 24minggu dosis
dapat
ditingkatkan
menjadi
40mg/hr.
Sindrom
zollinger ellison
awal 60mg 1x/hr
. bila dosis >
80mg/hr
diberikan 2x/hr
Nyeri kronis
hingga berat
yang tidak
memerlukan efek
analgesik cepat :
awal diberikan
25mg/hr
kemudian
dinaikkan 25mg
per 3x/hr.
Untuk efek yang
cepat 50-100mg
4x/hr. Dosis max
: 400mg
Dws : 1.500
mcg/hr dibagi
dlm 3 dosis
19/1/1623/1/16
Glukosa darah sewaktu
: 21/1/16 : 62 (rendah)
22/1/16 – 23/1/16 : >
200 (tinggi)
19/1/1623/1/16
Troponim 1 : negatif
Echocardiography :
kesan CAD
Thorax :
Pulmo/cor : normal
(tidak ada kelainan,
atau perbesaran)
Dosis SK bersifat
individual (1x/hr,
dlm kombinasi
19/1/1623/1/16
19/1/1623/1/16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
91
5.
L
70 thn
4bln
Diagnosa
masuk :
hipokalemia,
CAD
Diagnosa
keluar : CHF
dan
hipertensi
3/5/166/5/16
hipertensi
Sistenol
Parasetamol
Analgesik
Oral
3x 500mg
dg obt
antidiabetes oral)
Dws : 1 kap
3x/hr (1 kap:
500mg)
3/5/166/5/16
TD :
3/5/16 : tinggi
4/5/16-6/5/16 : normal
Suhu :
3/5/16-6/5/16 : normal
Nadi : pada 5/5/16 pagi
(rendah)
losartan
Losartan
antihipertensi
oral
1x 50mg
digoxin
Digoxin
Obat jantung
oral
1x ½
(sediaan
0,25)
CPG
Clopidogrel
antikoagulan
oral
1x75mg
Megabal
Mecobalamin
Neuropati perifer
oral
Aspar-K
-
supplement
oral
1x1
(under dose)
karena
diberikan <
80%
3x1
mezatrin
azitromisin
oral
1x500mg
(obat tanpa
indikasi)
Dws : 500mg/hr
Redasid (250mg)
-
Antibiotik gol
mikrolid utk
saluran infeksi
nafas bawah
Suplemen &
terapi penunjang
untuk meredakan
gangguan
lambung
antihipertensi
oral
2x1
Nyeri ringan 1
kap 1x/hr
Furosemid ½
Furosemid
oral
1x ½
(sediaan
40mg )
1x 50mg/ hr dan
dapat
ditingkatkan
menjadi 100
mg/hr
Dws : 4-6 tab,
kemudian 1 tab
pd interval
tertentu sampai
kompensasi
tercapai. Dosis
pemeliharaan ½ 3 tab/hr
Dws : 75mg
1x/hr
1 kap 3x/hr
3/5/166/5/16
3x1
RR :
3/5/16-6/5/16 : normal
3/5/16
Leukosit : 8,70
(normal)
3/5/166/5/16
Trombosit : 3,28
(normal)
3/5/166/5/16
3/5/166/5/16
Na : 139,5 (normal)
3/5/166/5/16
3/5/166/5/16
Cl : 105,3 (normal)
K : 2,93 (rendah)
3/5/166/5/16
Nyeri sedang s/d
berat 2-3 kap/hr
Dws : 20-80mg
5/5/166/5/16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
92
ISDN 5mg
ISDN
Antiangina
oral
oral
1x1
(under dose)
1x20mg
1-2 tab (5mg)
3x1
10-20mg
Simvastatin
Simvastatin
antidislipidemia
Cinam
Penisilin
Antibiotik gol
penisilin utk
infeksi : kulit &
struktur kulit,
intra abdomen
IV
3x 1 ½ gr
Dws : 1,5 -3 g
3x/hr
5/5/166/5/16
5/5/166/5/16
3/5/166/5/16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
93
Lampiran 3. Hasil rekapitulasi obat yang mengalami DRPs kategori dosis terlalu tinggi dan dosis terlalu rendah.
No
L/P
diagnosa
1.
P
Hipokalemia,
hipertensi dan
CAD
2.
P
Diagnosa masuk
: Syncope,
GERD, CAD
Penyakit
penyerta
Hipertensi
+ jantung
Nama obat yang
mengalami DRPs
Brainact adis
Kandungan obat
Dosis literatur
Dosis obat yang
diberikan
2x 1000mg
Citicolin
Dosis maksimal : 1x
1000mg
Mecobalamin
Mecobalamin
3x 500mcg
1x500mcg
Leptica
Pregabalin
DL : 75mg 2x/hr.
Dosis maksimal :
600mg/hr
1x75mg
Inpepsa syr
Sukralfat
Dws : 2sdt 4x/hr =
40ml
2x 1C = 30ml
Prazotec
Lansoprazole
1x30mg
2x30mg
Fluxum 4250 iu
Parnaparin
Trombosis vena
dalam: 2x 0,6 = 1,2
2x0,4 : 0,8
Diagnosa keluar
:
CHF, CAD,
GERD.
Dosis terlalu
tinggi
overdose karena
diberikan
>125% dari dosis
maksimal
Dosis terlalu
rendah
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan
overdose karena
diberikan
>125% dari dosis
lazim yang
diberikan
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
94
4.
L
Diagnosa masuk
: febris
DM tipe 2
Glucophage
Metformin
3x500mg
1x500mg
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan
ISDN
Isosorbite dinitrat
1-2 tab (5mg)
3x1 tab
1x5mg
Acetensa
Losartan
Dosis awal: 50mg
1x/hr.
1x 25mg
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan
Diagnosa
keluar: CAD,
DM tipe II,
dislipidemia
Farmadol
Parasetamol
Mecobalamin
Mecobalamin
untuk pasien yang
pernah dianalisa
25mg 1/hr
Nyeri kronis hingga
berat yang tidak
memerlukan efek
analgesik cepat :
awal diberikan
25mg/hr kemudian
dinaikkan 25mg per
3x/hr.
Untuk efek yang
cepat 50-100mg
4x/hr. Dosis max :
400mg
3x500mcg
2x1 vial
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan
2x500mcg
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
95
5.
L
Diagnosa masuk
: hipokalemia,
CAD
Hipertensi
Megabal
Mecobalamin
3x500mcg
1x500mcg
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan
ISDN
Isosorbite
dinitrate
1-2 tab (5mg)
3x1
1x5mg
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan
GERD
Vectrine syr
Erdosteine
Dewasa : 10ml
2x/hr = 20ml/hr
3x1C = 3x15ml =
45ml/hr
Hipertensi dan
DM
Biscor
Bisoprolol
5mg-10mg 1x/hr
1x ½ (sedian
5mg)
Brainact adis
Citicolin
Mak : 1x 1000mcg
2x1000mcg
Leptica
Pregabalin
DL : 75mg 2x/hr
1x75mg
Diagnosa keluar
: CHF dan
hipertensi
6.
7.
L
L
Diagnosa masuk
: chestpain,
CAD
Diagnosa keluar
: infark
miokard,
STEMI
Diagnosa masuk
: CVD, CAD
dan hipertensi
overdose karena
diberikan
>125% dari dosis
lazim yang
diberikan
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan
Diagnosa keluar
: stroke
iskemia,CAD
Dosis maksimal :
600mg/hr
overdose karena
diberikan
>125% dari dosis
maksimal
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
96
8.
L
Diagnosa masuk
: CAD
Tanpa penyakit
penyerta
Kalmeco
Mecobalamin
Dws : 3x500mcg
2x500mcg
Ranitidin
Ranitidin
Injeksi : 50mg/2ml
IM atau IV tiap 68jam
2x 1amp
(1amp : 50mg/2ml
Allprazolam
Alprazolam
Kecemasan 0,751,5mg 3x1
Gangguan panik :
0,5-1mg menjelang
tidur
Lansia / penderita
lemah : 0,5 -0,75/hr
dibagi beberapa
dosis.
1x0,25
Fluxum 4250 iu
Parnaparin
Trombo vena dalam
: 0,6ml 2x/hr = 1,2
2x0,4 = 0,8
Bisoprolol
Bisoprolol
Diberikan 5-10mg.
Maksimal 20mg/hr
2x2 ½
(sediaan 5mg) =
25 mg
overdose karena
diberikan
>125% dari dosis
maksimal
1x80mg
1x160mg
overdose karena
diberikan
>125% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Diagnosa keluar
: CAD
9.
10.
L
L
Diagnosa masuk
: dyspnoe
Diagnosa keluar
: CHF, PPOK,
CAD dan edem
paru
Diagnosa masuk
: UAP,
dispepsia
Diagnosa keuar
: CAD, UAP
CHF
Dispepsia
Aspilet
Asam
asetilsalisilat
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
97
11.
L
Diagnosa masuk
: hipertensi dan
GERD
Hipertensi,
cephalgia dan
DM
Ranitidin
Ranitidin
Injeksi : 50mg IM
atau IV tiap 68jam/hr
1x1amp (1amp :
50mg/2ml)
Ondansentrone
ondansentron
8mg secara inj IV
lambat atau infus
2x/hr
1x8mg
Fluxum
Parnaparin
Trombosis vena
dalam : 0,6ml 2x/hr
= 1,2ml
2x0,4ml = 0,8 ml
Bisoprolol
Bisoprolol
Diberikan 5-10mg
1x/hr
1x ½ (5mg)
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan
Dosis maksimal
20mg/hr
Diagnosa keluar
: CAD dan
HHD
Inpepsa syr
Sukralfat
Dws : 2sdt 4x/hr =
40ml perhari
4x15ml = 60ml
perhari
Vectrine syr
Erdosteine
Dws : 10ml 2x/hr =
20ml/hr
3x1C =45ml/hr
Ranitidin
Ranitidin
Injeksi : 50mg IM
atau IV tiap 68jam/hr
2x1 amp (1amp:
10mg/2ml)
overdose karena
diberikan
>125% dari dosis
lazim.
overdose karena
diberikan
>125% dari dosis
lazim.
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
98
12.
P
Diagnosa masuk
: dyspesia dan
CAD
Dispepsia
Kalmeco
Mecobalamin
Dws : 3x 500mcg
2x 1amp
(iamp: 500mcg)
Prazotec
Lansoprazole
1x30mg
2x30mg = 60mg
Fixacep
Cefixime
Dws : 400mg 1x/hr
selama 2 minggu
2x ½ (tab 200mg)
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Ondansentron
Ondansentron
3x 8mg
2x8mg
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Cefixime
Cefixime
Dws : 400mg 1x/hr
selama 2 minggu
2x100mg
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Kalmeco
Mecobalamin
Dws : 3x 500mcg
2x 1amp
(1amp 500mcg)
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Diagnosa keluar
: CAD
13.
L
Diagnosa masuk
: chestpain
Hipertensi
Diagnosa keluar
: CAD dan
GERD
14.
P
Diagnosa masuk
: hipertensi,
vertigo dan
CAD
Hipertensi dan
DM
overdose karena
diberikan
>125% dari dosis
lazim.
Diagnosa keluar
: CVD dan
CAD
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
99
15.
P
Diagnosa masuk
: CAD,
hipertensi, SNH
DM
Ranitidin
Ranitidin
Injeksi : 50mg IM
atau IV tiap 68jam/hr
2x1amp
(1amp :
50mg/2ml)
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Farmadol
Parasetamol
2x 1 vial
(1vial : 10mg/ml)
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
v-block
Carvediol
1x6,25
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Ranitidin
Ranitidin
Nyeri kronis hingga
berat yang tidak
memerlukan efek
analgesik cepat :
awal diberikan
25mg/hr kemudian
dinaikkan 25mg per
3x/hr.
Untuk efek yang
cepat 50-100mg
4x/hr. Dosis max :
400mg
Dosis awal : 12,5mg
1x/hr untuk 1-2 hari
pertama kemudian
25mg 1x/hr . setelah
2minggu dosis
dapat ditingkatkan
sampai maks
50mg/hr.
Injeksi : 50mg IM
atau IV tiap 68jam/hr
1x1 amp
(1amp:
50mg/2ml)
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Mecobalamin
Mecobalamin
Dws : 1.500 mcg/hr
dibagi dlm 3 dosis
2x1 amp
(1ap : 500mcg)
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Diagnosa keluar
: CAD, DM
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
100
16.
L
Diagnosa masuk
: DM
DM
CPZ
Chlorpromazin
Dws : 10-25mg tiap
4-6 jam
Psikosis : 200800mg/hr
Anak-anak :
0,5mg/kgBB
Injeksi : 50mg IM
atau IV tiap 68jam/hr
1x12,5mg
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Ranitidin
Ranitidin
2x 1amp
(1amp :
50mg/2ml)
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Captopril
Captopril
Hipertensi awal
12,5 mg 2-3x/hr,
dapat ditingkatkan
hingga 25-50mg 23x/hr.
1x5mg
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Bisoprolol
Bisoprolol
5mg 1x/hr
1x ½
(sedian 5mg)
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Lansoprazol
Lansoprazol
1x30mg
2x30mg
Inpepsa syr
Sukralfate
Dws : 2 sdt 4x/hr
2x1 C
Diagnosa keluar
: GERD, CAD
dan CHF
17.
L
Diagnosa masuk
: UAP dan
hipertensi
Hipertensi
Diagnosa keluar
: CAD dan
HHD
18.
P
Diagnosa masuk
: CAD
Diagnosa keluar
:
haematemensis,
GERD dan
melena
Stroke
hemoragic
overdose karena
diberikan
>125% dari dosis
lazim.
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
101
19.
20.
P
L
Diagnosa masuk
: CHF, CAD
dan GERD
Diagnosa keluar
: CHF dan
GERD
Diagnosa
masuk: CAD,
GERD dan
hipertensi
Vometraz
Ondansentrone
8mg scr inj IV
lambat atau infus
2x/hr.
1x8mg
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
CHF dan GERD
Ranitidin
Ranitidin
Injeksi : 50mg IM
atau Iv tiap 6-8
jam/hr
2x 1amp
(1amp : 50mg/2ml
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Hipertensi
Lacidofil
Lactobacillus
rhamnosus
Dws : 1kap 2x/hr
3x1 kap
overdose karena
diberikan
>125% dari dosis
lazim.
Prazotec
lansoprazol
1x30mg
2x30mg
overdose karena
diberikan
>125% dari dosis
lazim.
Farmadol
Parasetamol
Nyeri kronis hingga
berat yang tidak
memerlukan efek
analgesik cepat :
awal diberikan
25mg/hr kemudian
dinaikkan 25mg per
3x/hr.Untuk efek
yang cepat 50100mg 4x/hr. Dosis
max : 400mg.
2x 1 vial
(1 vial : 10mg/ml)
Diagnosa keluar
: HHD dan
GERD
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
102
21.
22.
L
L
Diagnosa masuk
: UAP, CHF dan
CAD
Diagnosa keluar
: CAD
Diagnosa masuk
: CAD dan
GERD
Ranitidin
Ranitidin
Injeksi : 50mg IM
atau IV tiap 68jam/hr
1x1 amp
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
CHF
Ranitidin
Ranitidin
Injeksi : 50mg IM
atau IV tiap 68jam/hr
1x1 amp
(1 amp : 50mg)
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
DM
biscor
Bisoprolol
5mg 1x/hr
1x ½ tablet 5mg
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
ranitidin
Ranitidin
Injeksi : 50mg IM
atau IV tiap 68jam/hr
2x1 amp
(1amp : 50mg/2ml
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
CHF
Bisoprolol
Bisoprolol
1 tablet (5mg) DL :
5-10mg/hr diberikan
pada pagi hari.
Beberapa pasien
membutuhkan
sampai 20mg/hr .
1-0-0
(25mg)
CHF
Alprazolam
Alprazolam
Kecemasan 0,751,5mg 3x1
Gangguan panik :
0,5-1mg menjelang
tidur
Lansia / penderita
lemah : 0,5 -0,75/hr
1x0,25
Diagnosa keluar
: CAD
23.
24.
L
L
Diagnosa masuk
: disponae,
CAD dan
aritmia
Diagnosa keluar
: CHF
Diagnosa masuk
: CAD dan CHF
Diagnosa keluar
overdose karena
diberikan
>125% dari dosis
maksimal.
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
103
dibagi beberapa
dosis.
25.
26.
L
L
Diagnosa masuk
: UAP, CHF dan
CAD
Diagnosa
keluar: HHD
dan CAD
Diagnosa masuk
: GERD
Ranitidin
Ranitidin
Injeksi : 50mg IM
atau IV tiap 68jam/hr
2x1 amp
(1amp :
50mg/2ml)
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Hipertensi dan
DM
Ranitidin
Ranitidin
Injeksi : 50mg IM
atau IV tiap 68jam/hr
2x1 amp
(1amp :
50mg/2ml)
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
GERD
Persantin
Dipiridamol
Pencegahan angina
pektoris jangka
panjang : 50mg
3x/hr.
Pada kasus berat
dapat dinaikan
sampai 600mg.
2x25mg
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Pencegahan
thromboemboli
setelah pergantian
katub jantung : 75100 4x/hr
Injeksi : 50mg IM
atau IV tiap 68jam/hr
2x1 amp
(1amp:
50mg/2ml)
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Dws : 1.500 mcg/hr
dibagi dlm 3 dosis
2x1amp
(1amp : 500mcg)
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
Diagnosa keluar
: GERD,
hipokalemia dan
CAD
Ranitidin
Ranitidin
Kalmeco
Mecobalamin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
104
lazim yang
diberikan.
28.
L
diagnosa masuk
: CVD/CAD
Hipertensi
v-block
Carvediol
Dosis awal : 12,5mg
1x/hr untuk 1-2 hari
pertama kemudian
25mg 1x/hr . setelah
2minggu dosis
dapat ditingkatkan
sampai maks
50mg/hr.
Dws : 3x500mcg
1x6,25
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Mecobalamin
Mecobalamin
2x500mcg
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Brainact adis
Citicolin
Maksimal :
1x1000mg
2x1000mg
overdose karena
diberikan
>125% dari dosis
maksimal.
Citicolin
Citicolin
Maksimal :
1x1000mg
2x1000mg
overdose karena
diberikan
>125% dari dosis
maksimal.
CHF
v-block
Carvediol
1x6,25
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
GERD
v-block
Carvediol
Dosis awal : 12,5mg
1x/hr untuk 1-2 hari
pertama kemudian
25mg 1x/hr . setelah
2minggu dosis
dapat ditingkatkan
sampai maks
50mg/hr.
Dosis awal : 12,5mg
1x/hr untuk 1-2 hari
pertama kemudian
1x6,25
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
diagnosa keluar:
sinus, aritmia,
hipertensi
emergency dan
CAD.
29.
L
Diagnosa masuk
: CAD
Diagnosa
keluar: CAD
dan CHF
30.
P
Diagnosa
masuk: GERD,
hipokalemia,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
105
dan CAD
25mg 1x/hr . setelah
2minggu dosis
dapat ditingkatkan
sampai maks
50mg/hr.
Diagnosa
keluar: GERD,
CAD
31.
P
Diagnosa
masuk: GERD,
DM tipe 2
DM tipe 2
Ranitidin
Ranitidin
Injeksi : 50mg IM
atau IV tiap 68jam/hr
2x1 amp
(1amp :
50mg/2ml)
Bisoprolol
Bisoprolol
Diberikan 5-10mg
perhari
½-0-0
Dosis maksimal :
20mg/hr
Diagnosa
keluar: GERD,
DM tipe 2,
CAD dan
hipokalemia
32.
L
Diagnosa
masuk: CHF
Diagnosa
keluar:
CHF,CAD dan
DM
lazim yang
diberikan.
DM
Ranitidin
Ranitidin
Injeksi : 50mg IM
atau IV tiap 68jam/hr
2x1 amp
(1amp:
50mg/2ml)
Persantin
Dipiridamol
Pencegahan angina
pektoris: 50mg
3x/hr.
Pada kasus berat
dapat dinaikan
sampai 600mg.
2x25mg
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Pencegahan
thromboemboli
setelah pergantian
katub jantung : 75100 4x/hr.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
106
33.
P
Diagnosa masuk
: GERD, CHF
Ranitidin
Ranitidin
Injeksi : 50mg IM
atau IV tiap 68jam/hr
2x1 amp
(1amp: 50mg/2ml
Ranitidin
Ranitidin
Injeksi : 50mg IM
atau IV tiap 68jam/hr
2x1 amp
(1amp: 50mg/2ml
Farmadol
Parasetamol
2x1amp
(1amp : 10mg/ml)
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
CHF
Ranitidin
Ranitidin
Nyeri kronis hingga
berat yang tidak
memerlukan efek
analgesik cepat :
awal diberikan
25mg/hr kemudian
dinaikkan 25mg per
3x/hr.
Untuk efek yang
cepat 50-100mg
4x/hr. Dosis max :
400mg
Injeksi : 50mg IM
atau IV tiap 68jam/hr
2x1 amp
(1amp: 50mg/2ml
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Hipertensi
Neciblock
Sucralfate
Dws : 1g 4xhr
selama 4-8 minggu
3x1 C : 45ml x
500mg/5ml :
4.500mg = 4,5 gr
GERD dan CHF
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Diagnosa
keluar: GERD,
anemia, CAD
34.
35.
L
P
Diagnosa masuk
: CHF
Diagnosa keluar
: CHF dan CAD
Diagnosa
masuk:
HHD,CHF
overdose karena
diberikan
>125% dari dosis
lazim.
Diagnosa keluar
: pneumonia,
HHD, CHF dan
CAD.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
107
37.
P
diagnosa
masuk: CAD,
GERD
Metil prednisolon
Metil prednisolon
Dosis IV/IM alergi
dan inflamasi : 5mg
dan
Maksimal 60mg/hr.
2x62,5 mg
(sediaan 1amp :
125mg)
Ranitidin
Ranitidin
Injeksi : 50mg/2ml
IM atau IV tiap 68jam/hr.
2x1amp
(1amp:
50mg/2ml)
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Mecobalamin
Mecobalamin
3x500mcg
2x500mcg
CHF
Ranitidin
Ranitidin
Injeksi : 50mg/2ml
IM atau IV tiap 68jam/hr
2x1amp
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
DM dan
hipertensi
Bisoprolol
Bisoprolol
Diberikan 5-10mg
Maks : 20mg/hr
2x2 ½
(sediaan 5mg)
Cefixime
Cefixime
Dws : 400mg 1x/hr
selama 2 minggu
2x100mg
Stroke
hemoragic
overdose karena
diberikan
>125% dari dosis
lazim.
diagnosa keluar
: GERD,
hipokalemia
38.
39.
L
L
Diagnosa
masuk:
dyspenoe, CHF,
CAD, UAP
Diagnosa
keluar: GERD
dan insomnia
Diagnosa
masuk:
CHF,HHD,
CAD dan DM
overdose karena
diberikan
>125% dari dosis
maksimal.
Diagnosa
keluar: CHF dan
DM.
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
108
40.
41
L
L
Diagnosa masuk
: GERD, CAD
dan CHF
Diagnosa keluar
: UAP dan CAD
Diagnosa
masuk:
chestpain
DM
Bisoprolol
Bisoprolol
Diberikan 5-10mg
Maks : 20mg/hr
1x ½
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
DM
Ranitidin
Ranitidin
Injeksi : 50mg/2ml
IM atau IV tiap 68jam/hr
2x1amp
(1amp :
20mg/2ml)
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Fluxum 4250 iu
Parnaparin
Trombosis vena
dalam 0,6ml 2x/hr =
1,2
2x 0,4
fendex
Dexketoprofen
2x1 amp
(1amp : 25mg)
Codein
Codein
Injeksi 50mg secara
IM lambat/ IV bolus
tiap 8-12 jam. Dosis
total maks :
150mg/hr
Dws :
nyeri : 15-60mg
4x/hr . max :
360mg/hr.
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Diagnosa keluar
: HHD, UAP,
NSTEMI
42.
P
Diagnosa masuk
: CAD,
dyspnoe,
dyspepsia
CHF
Diagnosa keluar
: CHF
3x 10mg
Untuk penekan
batuk : 15-30mg 34x/hr.
Neurodex
Vit B1
Diare akut : 1560mg 3-4x/hr
Dewasa : 1tab 23x/hr.
1x1
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
109
44.
P
Diagnosa masuk
: CVD/CAD
Riwayat jantung
dan hipertensi
v-block
Carvediol
Citicolin
Citicolin
Diagnosa keluar
: CVD, scoliosis
cardiomegali
Laxadine syr
45.
L
Diagnosa
masuk: chest
discomfort, DM
dan hipertensi
Hipertensi
Dosis awal : 12,5mg
1x/hr untuk 1-2 hari
pertama kemudian
25mg 1x/hr . setelah
2minggu dosis
dapat ditingkatkan
sampai maks
50mg/hr.
Maks : 1x1000mg
1x6,25
1-2 sdm (15-30ml)
1x/hr
1x5ml
2x 1000mg
Kalmeco
Mecobalamin
Dws : 1.500 mcg/hr
dibagi dlm 3 dosis
2x1amp
(1amp : 500mcg)
Alprazolam
Alprazolam
1x0,25
Forbetes
Metformin
Kecemasan 0,751,5mg 3x1
Gangguan panik :
0,5-1mg menjelang
tidur
Lansia / penderita
lemah : 0,5 -0,75/hr
dibagi beberapa
dosis.
1 tab 500mg 3x/hr
Diagnosa
keluar: UAP,
HHD dan CAD
1x500mg
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
overdose karena
diberikan
>125% dari dosis
maksimal.
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim yang
diberikan.
Underdose
karena diberikan
<80% dari dosis
lazim.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
110
Lampiran 4. Hasil rekapitulasi obat yang mengalami DRPs kategori obat tanpa indikasi.
No
L/P
diagnosa
4.
L
Diagnosa
masuk: febris
Diagnosa
keluar: CAD,
DM tipe 2 dan
dislipidemia
Penyakit
penyerta
DM tipe 2
Hasil laboratorium
TD : 19/1/16-23/1/16 : < 120/80
(normal)
Suhu : 19/1/16-23/1/16 : 36-36,5
(normal)
Nadi : 19/1/16-20/1/16 : 78
(rendah)
RR : 19/1/16-23/1/16 : 20
(Normal)
Nama obat yang
mengalami DRPs
Farlev 750mg
Kandungan
obat
Levofloxacin
Indikasi
Dosis literatur
Dosis obat
yang diberikan
Antibiotik
golongan
quinolon
digunakan untuk
pneumoni.
Kap 250-750mg
1x/hr selama 714 hr
1x 500mg :
19/1/16
1x750mg:
20/1/16-23/1/16
19/1/16 :
Leukosit : 7,31 (normal)
Trombosit : 238 (normal)
Eritrosit : 4,98 (normal)
SGOT (AST) : 10 (rendah)
SGPT (ALT) : 11 (Rendah)
Ureum darah : 19 (normal)
Kreatinin darah : 0,6 (normal)
MCV : 83 (normal)
MCH : 29 (Normal)
MCHC : 35 (Normal)
RDW-SD : 38,7 (Normal)
Glukosa darah sewaktu :
21/1/16 : 62 (rendah)
22/1/16 : 244 (tinggi)
23/1/16 : 243 ( tinggi)
Troponim 1 : negatif
Echocardiography : kesan CAD
Thorax :
Pulmo/cor : normal (tidak ada
kelainan, atau perbesaran)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
111
5.
L
Diagnosa
masuk:
hipokalemia,
CAD.
Diagnosa
keluar: CHF dan
hipertensi
Hipertensi
TD :
3/5/16 : tinggi
4/5/16-6/5/16 : normal
Mezatrin
Azitromisin
Antibiotik
golongan
mikrolida
digunakan
untuk saluran
infeksi nafas
bawah.
Dws : 500mg/hr
1x500mg :
3/5/16
Cinam
Penisilin
Antibiotik
golongan
penisilin
digunakan
untuk infeksi
kulit, struktur
kulit dan intra
abdomen
Dws : 1,5-3
gram 3x/hr
3x1,5 gram :
3/5/16-6/5/16
Suhu :
3/5/16-6/5/16 : normal
Nadi : pada 5/5/16 pagi (rendah)
RR :
3/5/16-6/5/16 : normal
2/5/16
Leukosit : 8,70 (normal)
Trombosit : 3,28 (normal)
Na : 139,5 (normal)
K : 2,93 (rendah)
Cl : 105,3 (normal)
Dalam catatan integrasi perawat
tidak ada keluhan mengenai
pernafasan bawah dan infeksi
kulit
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
112
LAMPIRAN 5. Interaksi obat yang paling banyak terjadi
No
1.
2.
Obat-obat
yang
mengalami
interaksi
Omeprazole x
clopidogrel
Mekanisme
interaksi obat
Managemen
Tingkat
keparahan
obat
Level
signifikan
Inhibisis PPI
terhadap
bioaktivasi
metabolik
clopidogrel yang
diperantai sitokrom
P450 2C19 dan
interaksi ini akan
lebih buruk jika
terjadi pada
penderita yang
memiliki
polimorfisme
genetik sitokrom
P450 2C19, yang
mana tidak
ditemukan aktivitas
enzim ini sama
sekali dalam tubuh
mereka.
Mayor
Level 1
Amlodipin x
simvastatin
Pemberian
amlodipine dengan
simvastatin
bersamaan secara
signifikan dapat
meningkatkan
konsentrasi plasma
simvastatin dan
metabolit aktif,
asam simvastatin,
dan mempotensiasi
resiko miopati .
mekanismennya
adalah dengan
penghambatan
amlodipine
metabolisme
simvastatin melalui
usus dan hati
CYP450 3A4.
Menghindari pemakaian
keduanya, harus
dipertombangkan pada
pasien yang beresiko
tinggi, seperti pasien
yang menerima terapi
antiplatelet ganda,
pasien dengan riwayat
GI dan pasien yang
menerima terapi
antikoagulan bersamaan.
Lakukan evaluasi
menyeluruh tentang
resiko dan
keuntungannya, jika PPI
masih harus digunakan
maka menggunakan
alternatif PPI yang lebih
aman (pantoprazole,
dexlansoprazole atau
lansoprazole) jika
memungkinkan dapat
meresepkan obat
antasida atau
angiotensin reseptor H2
seperti ranitidin.
Dosis simvastatin tidak
boleh melebihi 20mg
setiap hari bila
digunakan dalam
kombinasi dengan
amlodipin.
Manfaat dari kombinasi
harus dipertimbangkan
secara hati-hati terhadap
potensial peningkatan
resiko miopati termasuk
rhabdomyolysis.
Fluvastatin, pravastatin
dan rosuvastatin
merupakan alternatif
yang lebih aman untuk
pasien yang menerima
amlodipin, karena obat
tersebut tidak
dimetabolisme oleh
mayor
Level 2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
113
3.
Aspirin x
ketorolac
4.
ISDN x
ramipril
5.
Alprazolam x
ISDN
Penggunaan
ketorolac dengan
kombinasi obat anti
inflamasi
(NSAIDs) dapat
meningkatkan
resiko efek
samping yang
serius termasuk
gagal ginjal dan
peradangan GI,
ulserasi dan
perforasi.
Angiotensin
Converting Enzyme
(ACE) inhibitor
dapat
meningkatkan
vasodilatasi dan
efek hipotensi
nitrogliserin. Data
lain juga
menunjukkan
bahwa captopril
dapat mencegah
toleransi nitrat.
ACE inhibitor
dapat menurunkan
resistensi vaskular
sistemik dan kerja
jantung, lebih
meningkatkan
efektivitas
nitrogliserin
Banyak psikoterapi
dan SSP
menunjukkan efek
hipotensi, terutama
inisiasi terapi dan
CYP450 3A4. Semua
pasien yang menerima
terapi statin dan
amlodipin harus segera
melaporkan kepada
dokter setiap terjadi
nyeri otot, atau lemas
terutama jika disertai
demam, malaise dan
urin berwarna gelap,
selain itu terapi harus
dihentikan jika kreatinin
meningkat .
Penggunaan ketorolac
bersama dengan NSAID
lain atau aspirin
dianggap kontraindikasi.
mayor
Level 1
Nitrat dan vasodilator
Moderate
lainnya harus dihentikan
sebelum memulai ACE
inhibitor atau
dilanjutkan dengan dosis
dikurangi dan
pemantauan tekanan
darah disarankan.
Level 3
Pemantauan hipotensi .
pasien harus dianjurkan
untuk menghindari naik
tiba-tiba dari posisi
duduk atau berbaring
Level 4
moderate
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
114
6.
Furosemid x
digoxin
7.
ISDN x
omeprazole
8.
Furosemid x
aspirin
dosis eskalasi.
Coadministration
dengan
antihipertensi dan
obat hipotensi
lainnya, vasodilator
tertentu dan alphablocker dapat
mengakibatkan
efek aditif pada
tekanan darah dan
orthostasis.
Mekanisme
interaksinya tidak
diketahui
Furosemid dan
digoxin jika
diberikan bersamasama akan
menyebabkan
hipokalemia dan
hipomagnesemia
dan menyebabkan
aritmia. Mekanisme
interaksi tidak
diketahui
Omeprazole dapat
menghambat
pengiriman obat
nitrat oral. Efek
antiangina mungkin
akan berkurang,
dan iskemia
miokard dapat
memperburuk.
Asam salisilat
dapat menghabat
efek dari diuretik
loop pada ginjal
yang dimediasi
oleh prostaglandin,
termasuk
peningkatan
ekskresi natrium,
aliran darah ke
ginjal dan aktivitas
renin plasma.
dan untuk memberitahu
dokter jika mengalami
pusing, sinkop dan
orthostasis atau
takikardia
Untuk efek hipokalemia
dan hipomagnesemia
harus diobati dengan
tepat. Penyesuaian dosis
mungkin diperlukan.
Pasien harus
diberitahukan tandatanda kemungkinan
keracunan digoxin atau
gangguan elektrolit,
seperti : kelemahan,
anoreksia, gangguan
penglihatan, detak
jantung yang tidak
teratur dan nyeri otot
atau kram
Jika interaksi dicurigai,
terapi penekan asam
alternatif harus
dipertimbangkan
moderate
Level 3
minor
Level 4
Tidak ada intervensi
minor
klinis, namun diperlukan
dipertimbangkan
kemungkinan interaksi
potensial .
Level 5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
115
9.
Aspirin x
bisoprolol
Mekanismenya
yang terjadi adalah
penghambatan
sintesis
prostaglandin.
Bisoprolol (betablocker) dapat
menghasilkan efek
antiplatelet, yang
mungkin aditif
dengan efek dari
salisislat.
Metaprolol juga
dapat
meningkatkan
penyerapan dari
aspirin dan atau
konsentrasi plasma
salisilat, namun
efek signifikansi
tidak diketahui.
Pasien yang
membutuhkan efek
terapi secara bersamaan
harus dipantau untuk
respon antihipertensi
setiap kali salisilat
dimulai dan dihentikan
atau ketika dosis yang
dimodifikasi.
minor
Level 4
Keterangan :
1. Level 1 : Hindari kombinasi, resiko yang merugikan pasien lebih besar
dari manfaat.
2. Level 2 : Sebaiknya hindari kombinasi, penggunaan kombinasi hanya
dapat dilakukan pada keadaan khusus. Penggunaan obat alternatif dapat
dilakukan jika memungkinkan. Pasien harus dipantau dengan sebaikbaiknya jika obat tepat diberikan.
3. Level 3 : Menimalkan resiko, ambil tindakan yang perlu untuk
meminimalkan resiko.
4. Level 4 : Tidak dibutuhkan tindakan. Resiko yang mungkin timbul relatif
kecil. Potensi bahaya pada pasien rendah dan tidak ada tindakan spesifik
yang direkomendasikan, tetap waspada pada kemungkinan terjadinya
interaksi obat.
5. Level 5 : Diragukan terjadinya interakdi, tidak ada bukti yang baik dari
efek klinis yang berubah (Tarto, 2009).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
116
Lampiran 6. Alur Kerja
Pertama melakukan rekapitulasi data dari data rekam medik Rumah Sakit
Pelabuhan, lalu melakukan analisis DRPs meliputi 6 kategori yaitu :
1. Indikasi tanpa obat
2. Obat tanpa indikasi
3. Dosis terlalu rendah dari dosis terapi
4. Dosis terlalu tinggi dari dosis terapi
5. Ketidaktepatan pemilihan obat
6. Interaksi obat.
Kedua melakukan rekapitulasi karakteristik pasien, meliputi :
1. Jenis kelamin
2. Usia pasien
3. Penyakit penyerta
4. Profil penggunaan pasien.
Ketiga hasil yang didapat dibuat menjadi coding-coding untuk mempermudah
perhitungan, lalu dihitung secara manual dan dicocokan dengan menggunakan
aplikasi SPSS. Alur :
1. Membuat variabel view di aplikasi SPPS
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
117
2. Kembali ke menu data view dan masukan analisis yang didapat berupa
coding
3. Klik analyze
4. descriptive statistik, pilih frequencies
5. klik ctrl+a, dan klik panah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
118
6. lalu klik , OK lalu didapatkan hasil output
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
119
Lampiran 7. Hasil Coding data dan Interaksi
No
Kode pasien
Nama obat
Jenis
sediaan
1.
Perempuan
59 tahun
Ascardia
Oral
Pladogrel
2.
Perempuan
DRPs
Dosi
terlalu
tinggi
Dosis
terlalu
rendah
Indikasi
tanpa
obat
Obat tanpa
indikasi
1
0
0
0
Oral
0
0
Brainact adis
Oral
1
Divask
Provital
Sysmuco
Atorvastatin
Acetensa
Mecobalamin
Leptica
Viopor
Aspar-K
Inpepsa syr
Rhindopump
(omeprazole)
Vometraz
ISDN
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Injeksi
Injeksi
Oral
Poli
farmasi
1
Interaksi
obat
Tingkat keparahan interaksi
obat
0
Ketidak
tepatan
pemilihan
obat
0
1
0
0
0
1
0
0
0
0
0
1.Mayor
-rhindopump (omeprazole) x
clopidogrel
2. moderate
- Ascardia (aspirin) x
amlodipine
- ascardia (aspirin) x losartan
- ascardia (aspirin) x
clopidogrel
-omeprazole x atorvastatin
-Losartan x pregabalin
-atorvastatin x clopidogrel
3.Minor
-Ascardia (Aspirin) x
omeprazole (rhindopump
(omeprazole))
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
1
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1.Mayor
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
120
56 tahun
3.
Laki-laki 67
tahun
Pladogrel
Oral
0
0
0
0
0
1
Simvastatin
Oral
0
0
0
0
0
1
Laxadin syr
Prazotec
Alganax
Letonal
Furosemid
Fluxum
Rhindopump
(omeprazole)
Clopidogrel
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Injeksi
Injeksi
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
ISDN
Oral
0
0
0
0
0
0
Divask
Oral
0
0
0
0
0
0
Furosemid
Letonal
Lantus
Novarapid
Rhindopump
(omeprazole)
Furosemid
Oral
Oral
Injeksi
Injeksi
injeksi
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
Injeksi
0
0
0
0
0
1
Oral
1
-omeprazole x clopidogrel
2.Moderate
-furosemid x alprazolam
- lansoprazol x simvastatin
-lansoprazole x furosemide
-omeprazole x simvastatin
-alprazolam x spironolactone
-Alprazolam x omeprazole
-omeprazole x furosemid
-alprazolam x ISDN
-lansoprazole x clopidogrel
3.Minor
- Isdn x omeprazole
1.Mayor
- rhindopump (omeprazole) x
clopidogrel
2.Moderate
- furosemide x omeprazole
-furosemid x lantus
-furosemid x novarapid
3.Minor
- Isdn x omeprazole
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
121
4.
5.
Laki-laki 49
tahun
Laki –laki
70 tahun 4
bulan
Atorvastatin
Oral
0
0
0
0
0
1
Farlev (antibiotik )
Oral
0
0
0
1
0
1
Ambroxol
Oral
0
0
0
0
0
0
pladogrel
glucophage
trolip
ISDN
BioATP
Acetensa
Rhindopump
(omeprazole)
Farmadol
kalmeco
Levemir
Sistenol
Oral
oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Iv
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
0
1
0
Iv
iv
Iv
oral
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
losartan
oral
0
0
0
0
0
0
Digoxin
clopidogrel
Megabal
Aspar- K
Mezatrin (antibiotik)
Oral
oral
Oral
Oral
Oral
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
1
0
0
0
1
1
1
1.Mayor
-omeprazole x clopidogrel
-atorvastatin x trolip
2. Moderate
-trolip x levemir
-farlev x levemir
-atorvastatin x clopidogrel
-losartan x levemir
-metformin x levemir
-metformin x farlev
-omeprazole x atorvastatin
3.Minor
- Isdn x omeprazole
1.Moderate
-Furosemid x digoxin
-azitromicin x digoxin
-azitromicin (mezatrin) x
simvastatin
2.Minor
-azitromicin x penicillin
(cinam)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
122
6.
7.
Laki –laki
54 tahun 4
bulan
Laki-laki 71
tahun 4
bulan
Redasid
Furosemid
ISDN
Simvastatin
Cinam
ISDN
Oral
Oral
Oral
Oral
Iv
Oral
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
1
Diltiazem
Oral
0
0
0
0
0
1
Diazepam
Oral
0
0
0
0
0
1
laxadin
Pladogrel
Aspilet
Vectrine syr
Arixtra
Rhindopump
(omeprazole)
Vometraz
Fasorbid
oral
Oral
Oral
Oral
Injeksi
Injeksi
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Canderin
Oral
0
0
0
0
0
1
Iv
Oral
1
1
1.Mayor
Clopidogrel x arixtra
-aspilet x arixtra
-omeprazole x clopidogrel
2.Moderate
-Aspilet x clopidogrel
- diltiazem x diazepam
-diazepam x omeprazole
-ISDN x diazepam
-diltiazem x aspirin
3.Minor
-Aspilet (Aspirin) x
omeprazole (rhindopump
(omeprazole))
1.Moderate
-asam mefenamat x
thromboaspilet
-aspirin x candesartan
-bisoprolol x asam mefenamat
-asam mefenamat x
candesartan
2.Minor
-ranitidin x asam mefenamat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
123
-aspirin x bisoprolol.
8.
9.
Laki-laki 63
tahun 7
bulan
Laki-laki 53
tahun
Thrombo aspilet
Biscor
Simvastatin
Amoxicilin
Asam mefenamat
Brainact adis
leptica
Asam folat
Kalmeco
Ranitidin
ISDN
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
1
0
0
0
0
0
1
Pladogrel
Oral
0
0
0
0
0
0
Simvastatin
Oral
0
0
0
0
0
0
Acetensa
Sysmuco
Laxadin
Alprazolam
Opigran
pantoprazol
Gastridin
Rhindopump
(omeprazole)
Fluxum 4250
vometraz
curcuma
Aspilet
Oral
Oral
Oral
Oral
iv
Iv
Iv
iv
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
injeksi
iv
iv
Oral
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1.Mayor
-rhindopump (omeprazole) x
clopidogrel
2.Moderate
-alprazolam x ISDN
-alprazolam x omeprazole
-omeprazole x simvastatin
-alprazolam x losartan
-clopidogrel x pantoprazole
-simvastatin x pantoprazole
3.Minor
- Isdn x omeprazole
1.Mayor
-spironolactone x candesartan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
124
10.
Laki-laki 47
tahun 4
bulan
Clopidogrel
Oral
0
0
0
0
0
0
Simvastatin
Oral
0
0
0
0
0
0
Laxadin
KSR
Spironolakton
ISDN
Ambroxol syr
Digoxin
Bisoprolol
Canderin
Furosemid
Fluxum 4250
Clopidogrel
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
injeksi
Injeksi
Oral
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
1
1
1
0
0
0
Aspilet
Oral
1
0
0
0
0
0
Simvastatin
Oral
0
0
0
0
0
0
ISDN
Laxadin syr
Oral
Oral
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
-ksr x candesartan
-ksr x spironolactone
2.Moderate
-aspirin x candesartan
-aspirin x clopidogrel
-spironolactone x bisoprolol
-digoxin x bisoprolol
-furosemid x bisoprolol
-furosemid x digoxin
3.minor
-digoxin x spironolactone
-aspirin x bisoprolol
-aspirin x spironolactone
-furosemid x aspirin
1.Mayor
-aspirin x ketorolac
2.Moderate
-furosemid x ketorolac
-aspirin x clopidogrel
-ketorolac x clopidogrel
3.Minor
-furosemid x aspirin
-ranitidin x ketorolac
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
125
11.
12.
Laki-laki 41
tahun
Perempuan
44 tahun
5bulan
Ranitidin
Ondansentron
Ketorolac
Fluxum 4250 iu
Lasix
Lansoprazole
Iv
Iv
Iv
Injeksi
Iv
Oral
0
0
0
0
0
0
1
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
Bisoprolol
Oral
0
1
0
0
0
1
Inpepsa syr
Diazepam
Vectrine syr
Metformin
Simvastatin
clopidogrel
ISDN
Ranitidin
Ketorolac
KSR
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Iv
iv
Oral
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
1
1
1
1
1
1
0
Bicnat
Oral
0
0
0
0
0
0
Pladogrel
Oral
0
0
0
0
0
0
1
1
1.Moderate
-ketorolac x clopidogrel
-lansoprazole x clopidogrel
-sucralfate x lansoprazole
-Simvastatin x lansoprazole
-sucralfate x metformin
-ranitidin x metformin
-diazepam x bisoprolol
-ketorolac x bisoprolol
2.Minor
-sucralfate x bisoprolol
-ranitidin x ketorolac
1.Mayor
-omeprazole x clopidogrel
2.Moderate
-lansoprazole x atorvastatin
-omeprazole x atorvastatin
-atorvastatin x clopidogrel
-lansoprazole x clopidogrel
3.Minor
-isdn x omeprazole
-omeprazole x vit b12
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
126
-ksr x vitamin b12
-vitamin b12 x lansoprazole
13.
14.
Laki-laki 55
tahun 7
bulan
Perempuan
78 tahun 10
bulan
Imdur
Atorvastatin
Ceftriaxone
Rhindopump
(omeprazole)
Kalmeco
Prazotec
fixacep
Vitamin B12
Pladogrel
Oral
Oral
injeksi
iv
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
iv
Oral
Oral
injeksi
Oral
0
1
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
ISDN
Oral
0
0
0
0
0
1
Sysmuco
Ramipril
Ondansentron
Ranitidin tab
Cefixime
Ranitidin
Ketorolac
Ondansentron
Ceftriaxone
Fraxiparine
Mertigo
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Iv
iv
iv
Injeksi
Injeksi
Oral
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
1
1
0
0
0
0
Amlodipin
Oral
0
0
0
0
0
0
Atorvastatin
Oral
0
0
0
0
0
0
1
1
1.Moderate
-Ketorolac x ramipril
-ISDN x ramipril
-ketorolac x clopidogrel
2.Minor
-ranitidin x ketorolac
1Mayor
-amlodipin x simvastatin
2.Moderate
-ketorolac x amlodipine
-simvastatin x atorvastatin
-ketorolac x ibersartan
(iretensa)
3.Minor
-ranitidin x paracetamol
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
127
-ranitidin x ketorolac
15.
16.
Perempuan
59 tahun 7
bulan
Laki-laki 64
tahun
Flunarizin
Simvastatin
Iretensa
Glikuidone
Neurotam
Kalmeco
Ketoroloac
Ondansentron
Ranitidin
Ceftriaxone
Farmadol
Amlodipin
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Iv
iv
iv
Iv
Injeksi
Iv
Oral
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
1
1
Simvastatin
Oral
0
0
0
0
0
1
mertigo
Oral
0
0
0
0
0
0
Glukotika
Captopril
Thrombo aspilet
Asam folat
v-block
Citicolin
Ranitidin
Ketorolac
Mecobalamin
Amlodipin
Oral
Oral
Oral
oral
oral
Injeksi
Iv
Iv
Iv
Oral
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
1
1
0
1
1
1
1.Mayor
-amlodipin x simvastatin
2.Moderate
-captopril x thromboaspilet
-captopril x metformin
-aspirin x amlodipine
-amlodipin x asam folat
3.Minor
-captopril x amlodipine
-ranitidin x ketorolac
-thromboaspilet x asam folat
1.Moderate
-chlorpromazine x losartan
-chlorpromazine x
ondansentron
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
128
17.
Laki –laki
51 tahun 5
bulan
Clopidogrel
Oral
0
0
0
0
0
0
Digoxin
Losartan
chlorpromazine
N-diatab
Antasida
Parasetamol
ISDN
Furosemid
Ceftriaxone
Ranitidin
Ondansentron
ISDN
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Injeksi
Injeksi
Iv
Oral
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
1
Captopril
Oral
0
1
0
0
0
1
1
-chlorpromazine x amlodipine
-chorpromazine x ISDN
-furosemid x digoxin
-ceftriaxone x furosemide
2.Minor
-ranitidin x antasida
-digoxin x antasida
-chlorpromazine x antasida
-ranitidin x paracetamol
1.Mayor
-amlodipin x simvastatin
2.Moderate
-captopril x diazepam
-aspirin x clopidogrel
-simvastatin x lansoprazole
-aspirin x ramipril
-ISDN x ramipril
-diazepam x ramipril
-diazepam x bisoprolol
-lansoprazole x clopidogrel
-captopril x thromboaspilet
-diazepam x ISDN
-captopril x ISDN
-thromboaspilet x amlodipine
-amlodipin x bisoprolol
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
129
18.
19.
Perempuan
62 tahun 5
bulan
Perempuan
67 tahun
Clopidogrel
Oral
0
0
0
0
0
1
Amlodipin
Simvastatin
Diazepam
Ramipril
Thrombo aspilet
Bisoprolol
Lansoprazol
Inpepsa syr
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
0
Sysmuco
Oral
0
0
0
0
0
0
Kalnex
Injeksi
0
0
0
0
0
0
Rhindopump
(omeprazole)
Vitamin k
vometraz
Ondansentron
Ceftriaxone
Nymiko
ISDN
Simvastatin
Clopidogrel
Digoxin
Iv
1
0
0
0
0
0
iv
iv
Iv
Injeksi
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
ISDN
Oral
0
0
0
0
0
1
1
1
3.Minor
-captopril x amlodipine
-amlodipin x ramipril
-aspirin x lansoprazole
-aspirin x bisoprolol
1.Mayor
-omeprazole x clopidogrel
2.Moderate
omeprazole x simvastatin
3.Minor
-ISDN x omeprazole
1.Mayor
-spironolactone x ramipril
2.Moderate
-ceftriaxone x furosemide
-digoxin x carvedilol
-furosemid x v-block
-spironolactone x v-block
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
130
-ketorolac x v-block
-digoxin x ramipril
-ISDN x ramipril
-furosemide x ramipril
-ketorolac x ramipril
-ketorolac x spironolactone
-digoxin x ketorolac
-furosemid x ketorolac
-furosemid x digoxin
-furosemid x cefixime
-ketorolac x clopidogrel
20.
Laki-laki 78
tahun 9
bulan
Pladogrel
Oral
0
0
0
0
0
0
Letonal
Laxadin syr
Simvastatin
Ambroxol
Furosemid
Ceftriaxone
Ranitidin
Ketorolac
Ondansentron
Ramipril
v-block
Cefixime
Cobazym
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Iv
Iv
Iv
Oral
Oral
Oral
Oral
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
Lacidofil
Oral
1
0
0
0
0
0
Ambroxol
Oral
0
0
0
0
0
0
1
3.Minor
-digoxin x spironolactone
-ranitidin x ketorolac
1.Moderate
-ceftriaxone x furosemide
-furosemid x omeprazole
-furosemid x sanbutamol
-sanbutamol (theobron syr) x
ondansentron
-furosemid x lansoprazole
2.Minor
-ranitidin x pct
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
131
21.
Laki-laki 48
tahun
Letonal
Furosemid
Theobron syr
Prazotec
Parasetamol
Suprasma inh
Farmadol
Rhindopump
(omeprazole)
Vometraz
Ceftriaxone
Ranitidin
Nebulezer
ISDN
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Inhalasi
Iv
Iv
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
1
0
iv
Injeksi
Iv
Inhalasi
oral
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
Aspilet
Oral
0
0
0
0
0
0
Clopidogrel
Simvastatin
Laxadin syr
Ambroxol syr
Alprazolam
Furosemid
Ramipril
lasix
Fluxum
Ranitidin
Ceftriaxone
Combiven inhalasi
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Iv
Injeksi
Injeksi
Injeksi
Inhalasi
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
1
0
1
1.Moderate
-ceftriaxone x furosemide
-furosemid x alprazolam
-alprazolam x ISDN
-furosemid x ramipril
-ISDN x ramipril
-alprazolam x ramipril
-Aspirin x ramipril
-aspirin x clopidogrel
2.Minor
-furosemid x aspirin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
132
22.
23.
24.
Laki-laki 50
tahun 1
bulan
Laki-laki 59
tahun 3
bulan
Laki- laki 43
tahun 7
bulan
ISDN
Oral
0
0
0
0
0
0
1.Mayor
-diltiazem x simvastatin
Pladogrel
Oral
0
0
0
0
0
1
Simvastatin
Oral
0
0
0
0
0
0
2.Moderate
-tromboaspilet x clopidogrel
3.Minor
-tromboaspilet x bisoprolol
-diltiazem x insulin aspart
Diltiazem
Thrombo aspilet
Laxadin
Biscor
Leptica
Ranitidin
Ondansentron
Ceftriaxone
Novarapid
Spironolakton
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Iv
Iv
Injeksi
Injeksi
Oral
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
Aspilet
Oral
0
0
0
0
0
1
ISDN
Oral
0
0
0
0
0
0
Simvastatin
Losartan
Bisoprolol
Parasetamol
Lasix
Digoxin
Oral
Oral
Oral
Iv
Iv
Oral
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
1
Letonal
Oral
0
0
0
1
1
1
0
0
1.Mayor
-spironolactone x losartan
2.Moderate
-furosemid x bisoprolol
-spironolactone x bisoprolol
-aspirin x losartan
3.Minor
-furosemid x aspirin
-aspirin x spironolactone
-aspirin x bisoprolol
1.Mayor
-spironolactone x ramipril
-captopril x spironolactone
2.Moderate
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
133
25.
Laki –laki
65 tahun 7
bulan
ISDN
Oral
0
0
0
0
0
1
Imdur
Alprazolam
Ramipril
Captopril
Aspilet
Amlodipin
Ranitidin
Furosemid
Ondansentron
Ceftriaxone
Ramipril
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Iv
Injeksi
Iv
Injeksi
Oral
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
0
1
0
1
1
Aspilet
Oral
0
0
0
0
0
1
1
-ceftriaxone x furosemide
-alprazolem x ramipril
-ISDN x ramipril
-furosemid x ramipril
-furosemid x ramipril
-alprazolam x spironolactone
-captopril x imdur
-alprazolam x imdur
-captopril x ISDN
-captopril x furosemide
-furosemid x alprazolam
-captopril x alprazolam
-furosemid x digoxin
-Alprazolam x digoxin
-captopril x digoxin
-alprazolam x ISDN
-digoxin x ramipril
3.Minor
-digoxin x spironolacton
1.Mayor
-aspirin x ketorolac
-omeprazole x clopidogrel
2.Moderate
-aspilet x clopidogrel
-omeprazole x simvastatin
-aspilet x ramipril
-ISDN x ramipril
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
134
26.
27.
Laki-laki 77
tahun 11
bulan
Perempuan
46 tahun 10
bulan
Clopidogrel
Oral
0
0
0
0
0
0
Simvastatin
Laxadin syr
ISDN
Ambroxol
Omeprazole
Ketoroloac
Ranitidin
Persantin
Oral
Oral
Oral
Oral
Iv
Iv
Iv
Oral
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
Parasetamol
Oral
0
0
0
0
0
1
Curcuma
Sysmuco
Clopidogrel
ISDN
Vasedon
Ranitidin tab
Ranitidin
Ondansentron
Kalmeco
Rhindopump
(omeprazole)
Aspilet
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Iv
Iv
Iv
Iv
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
Oral
1
1
-ketorolac x clopidogrel
3.Minor
-aspirin x omeprazole
-ISDN x omeprazole
-ranitidin x ketorolac
1.Mayor
-omeprazole x clopidogrel
2.Minor
-Ranitidine x paracetamol
-ISDN x omeprazole
1.Moderate
-furosemid x carvedilol
-omeprazole x simvastatin
-aspirin x ramipril
-ISDN x ramipril
-furosemid x ramipril
-furosemid x omeprazole
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
135
28.
29.
Laki-laki 73
tahun 5
bulan
Laki-laki 41
tahun 6
bulan
ISDN
Oral
0
0
0
0
0
1
Simvastatin
v-block
Ramipril
Lasix
Ranitidin tab
Omeprazole
Furosemid
Thrombo aspilet
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Iv
Injeksi
Oral
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
1
1
0
Acetensa
Oral
0
0
0
0
0
0
v-block
Oral
0
1
0
0
0
1
Amlodipin
Asam folat
Brainact adis
Mecobalamin
Citicolin
Ketorolac extra
Parasetamol flash
ISDN
Oral
Oral
Oral
Oral
Injeksi
Iv
Iv
Oral
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
Aspilet
Oral
0
0
0
0
0
1
1
1
2.Minor
-aspirin x omeprazole
-ISDN x omeprazole
-aspirin x carvedilol
-furosemid x aspirin
1.Mayor
-aspirin x ketorolac
2.Moderate
-aspirin x amlodipine
-ketorolac x amlodipine
-aspirin x losartan
-ketoroloac x losartan
-ketorolac x carvedilol
-amlodipin x carvedilol
3.Minor
-aspirn x carvedilol
1.Mayor
-amlodipine x simvastatin
-aspirin x ketorolac
2.Moderate
-captopril x furosemide
-amlodipin x carvedilol
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
136
30.
Perempuan
63 tahun 11
bulan 21
hari
Simvastatin
Oral
0
0
0
0
0
0
v-block
Captopril
Amlodipin
Lasix
lasix
Ranitidin
Ketorolac
Aspar-K
Oral
Oral
Oral
Oral
Iv
Iv
Iv
Oral
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
Sistenol
Oral
0
0
0
0
0
0
v-block
Oral
0
1
0
0
0
1
ISDN
Asam mefenamat
Ondansentron
Ranitidin
Cinam
Dexametason
Ketorolac
Oral
Oral
iv
iv
Iv
Iv
Iv
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
1
1
-ketorolac x amlodipine
-aspirin x amlodipine
-furosemid x carvedilol
-furosemid x ketorolac
-captopril x ketorolac
-captopril x ISDN
-captopril x aspirin
3.Minor
-ranitidin x ketorolac
-aspirin x carvedilol
-furosemid x aspirin
-captopril x amlodipin
1.Mayor
-ketorolac x asam mefenamat
2.Moderate
-dexametason x carvedilol
-ketorolac x carvedilol
-asam mefenamat x carvedilol
3.Minor
-Ranitidin x parasetamol
-ranitidin x asam mefenamat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
137
31.
32.
33.
Perempuan
54 tahun 2
bulan
Laki-laki 76
tahun 2
bulan
Perempuan
68 tahun 5
bulan
Sysmuco
Oral
1
0
0
0
0
0
0
Glikuidone
ISDN
Pladogrel
Bisoprolol
Ranitidin
Ondansentron
Ceftriaxone
Letonal
Oral
Oral
Oral
Oral
Iv
Iv
Injeksi
Oral
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
Vitamin B12
Oral
0
0
0
0
0
0
Furosemid
Digoxin
ISDN
Persantin
Glikuidone
Sysmuco
Metformin
Furosemid
Ceftriaxone
Ondansentron
Ranitidin
Furosemid
ISDN
Oral
oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Injeksi
Injeksi
Iv
Iv
Injeksi
Oral
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
1
0
1
0
0
1
0
Aspilet
Oral
0
0
0
0
0
0
Sysmuco
Laxadin
Oral
Oral
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
Tidak ada interaksi obat
1.Moderate
-ceftriaxone x furosemide
-furosemid x digoxin
-Spironolactone x metformin
-digoxin x metformin
2.Minor
-digoxin x spironolactone
1.Moderate
-Ceftriaxone x furosemid
2.Minor
-ranitidin x parasetamol
-furosemid x aspirin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
138
34.
35.
Laki-laki 69
tahun 2bulan
Perempuan
47 tahun 11
bulan
Parasetamol
Lasix
Ranitidin
Ceftriaxone
Farmadol
Vitamin K
Kalnex
ISDN
Oral
Iv
Iv
Injeksi
Iv
Iv
Injeksi
Oral
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
1
Aspilet
Oral
0
0
0
0
0
1
Spironolakton
Oral
0
0
0
0
0
1
Ramipril
Digoxin
Furosemid
Simvastatin
Ambroxol
Lasix
Ranitidin
Furosemid
Ambroxol syr
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Iv
Iv
Injeksi
Oral
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
0
0
0
0
0
1
1
1.Mayor
-spironolactone x ramipril
2.Moderate
-aspirin x ramipril
-digoxin x ramipril
-ISDN x ramipril
-furosemid x ramipril
-furosemid x digoxin
-aspirin x digoxin
3.Minor
-digoxin x spironolactone
-aspirin x spironolactone
-furosemid x aspirin
1.Moderate
-ceftriaxone x furosemid
-metilprednisolon x
candesartan
-metilprednisolon x bisoprolol
-furosemid x sucralfate
-furosemid x omeprazole
-furosemid x metilprednisolon
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
139
36.
Perempuan
51 tahun
Candesartan
Oral
0
0
0
0
0
1
Azitromisin
Meptin mini
Neciblok
Aspilet
Biscor
Ceftriaxone
Metil prednisolon
Omeprazole
Lasix
Combiven
RL
Mertigo
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Iv
Injeksi
Iv
Iv
Inhalasi
Infus
Oral
0
0
1
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
0
0
0
Parasetamol
Oral
0
0
0
0
0
0
Inpepsa syr
Oral
0
0
0
0
0
1
Myonal
Clopidogrel
Oral
Oral
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
-aspirin x metilprednisolon
-aspirin x candesartan
2.Minor
-Aspirin x omeprazole
-aspirin x bisoprolol
-sucralfate x bisoprolol
-furosemid x aspirin
1.Mayor
-omeprazole x clopidogrel
2.Moderate
-lansoprazole x clopidogrel
-alprazolam x carvedilol
-sucralfate x lansoprazole
-simvastatin x lansopeazole
-omeprazole x simvastatin
-alprazolam x ramipril
-ISDN x ramipril
-alprazolam x omeprazole
-alprazolam x ISDN
3.Minor
-sucralfate x carvedilol
-ISDN x omeprazole
-ranitidin x ketorolac
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
140
37.
38.
Perempuan
51 tahun 6
bulan
Laki-laki 37
tahun 6
Simvastatin
ISDN
Ramipril
Spasmonmen
Lansoprazole
Alprazolam
v-block
Gastrofer
Ranitidin
Ondansentron
ketorolac
Curcuma
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Iv
Iv
Iv
Iv
Oral
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
1
1
1
0
0
0
0
0
Imdur
Oral
0
0
0
0
0
1
Letonal
Oral
0
0
0
0
0
1
Vitamin B12
Furosemid
Ramipril
Pladogrel
Simvastatin
Ranitidin
Ondansentron
mecobalamin
Ceftriaxone
Pronalges sup
ISDN
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Iv
Iv
Oral
Injeksi
Inejksi
Oral
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1.Mayor
-spironolactone x ramipril
2.Moderate
-ketoprofen x clopidogrel
-ISDN x ramipril
-ketoprofen x ramipril
-furosemid x ramipril
-ketoprofen x spironolactone
-ceftriaxone x furosemid
-ketoprofen x furosemid
3.Minor
-ranitidin x vitamin b12
-ranitidin x ketoprofen
1.Moderate
-ceftriaxone x furosemid
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
141
bulan
39.
Laki-laki 62
tahun 9
bulan
Pladogrel
Oral
0
0
0
0
0
0
Laxadine syr
Letonal
Digoxin
Furosemid
PCT
Sysmuco
Imdur
Cap camp
Ranitidin tab
Domperidon
Alprazolam
Ranitidin
Ondansentron
Ceftriaxone
Bisoprolol
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Iv
Iv
Injeksi
oral
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
1
0
0
0
0
0
1
Ramipril
Oral
0
0
0
0
0
1
1
-furosemid x alprazolam
-furosemid x digoxin
-alprazolam x digoxin
-alprazolam x ISDN
-Alprazolam x ISDN
-alprazolam x spironolactone
2.Minor
-ranitidin xparacetamol
-digoxin x spironolactone
1.Moderate
-ramipril x glimepiride
-bisoprolol x glimepiride
-ranitidin x glimepiride
-aspirin x glimepiride
-ramipril x metformin
-ranitidin x metformin
-furosemid x metformin
-furosemid x glimepiride
-aspirin x ramipril
-ISDN x ramipril
-furosemid x ramipril
-furosemid x bisoprolol
2.Minor
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
142
-aspirin x bisoprolol
-ranitidin x paracetamol
40.
Laki-laki 63
tahun 9
bulan
Atorvastatin
Glimepirid
Metformin
ISDN
Aspilet
Sanmol
Cefixime
Ranitidin tab
Lasix
Furosemid
Sysmuco
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Iv
Injeksi
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
1
1
0
1
0
0
0
Inpepsa syr
Oral
0
0
0
0
0
1
ISDN
Oral
0
0
0
0
0
1
1
1.Mayor
-spironolactone x losartan
-aspirin x ketorolac
2.Moderate
-furosemid x alprazolam
-furosemid x sucralfate
-furosemid x bisoprolol
-alprazolam x bisoprolol
-ketorolac x bisoprolol
-spironolactone x bisoprolol
-omeprazole x simvastaton
-aspirin x losartan
-alprazolam x losartan
-ketorolac x spironolactone
-alprazolam x spironolactone
-alprazolam x ISDN
-furosemid x ketorolac
-ketorolac x losartan
-furosemid x omeprazole
-alprazolamx omeprazole
3.Minor
-ISDN x omeprazole
-aspirin x omeprazole
-sucralfate x bisoprolol
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
143
-ranitidin x ketorolac
-aspirin x spironolactone
-furosemid x aspirin
-aspirin x bisoprolol
41.
42.
Laki-laki 57
tahun 3
bulan
Perempuan
73 tahun 7
bulan
Bisoprolol
Acetensa
Simvastatin
Aspilet
Alprazolam
Letonal
Rhindopump
Vometraz
Ranitidin
Ketorolac
Furosemid
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Iv
Iv
Iv
Iv
Injeksi
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
1
1
1
0
1
1
1
Aspilet
Oral
0
0
0
0
0
1
1.Mayor
-amlodipin x simvastatin
Clopidogrel
Oral
0
0
0
0
0
0
2.Moderate
-diazepam x ISDN
-apririn x amlodipin
-diazepam x cetrizine
-aspirin x clopidogrel
ISDN
Laxadin syr
Divask
Diazepam
Simvastatin
Ranitidin
Fluxum 4250 iu
fendex
Clopidogrel
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Iv
Injeksi
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
1
0
1
0
1
0
ISDN
Oral
0
0
0
0
0
Oral
1
1
1
1.Mayor
-omeprazole x clopidogrel
-ramipril x losartan
2.Moderate
-furosemid x ramipril
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
144
43.
Laki-laki 50
tahun 3
bulan
Sukralfat
Oral
0
0
0
0
0
1
Digoxin
Codein
Losartan
Ramipril
Ambroxol syr
nuerodex
Cap camp
Omeprazol
Lasix
Dexametason
Ceftriaxone
RL / 24jam
Aspilet
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Iv
Iv
Iv
Injeksi
Infus
Oral
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
0
0
0
1
1
0
1
0
1
1
-ISDN x ramipril
-codein x ramipril
-dexametason x ramipril
-metilprednisolon x ramipril
-dogixin x ramipril
-dexametason x losartan
-metilprednisolon x losartan
-codein x losartan
-furosemid x sucralfate
-digoxin x sucralfate
-codei x furosemid
-furosemid x dexametasone
-furosemid x digoxin
-dexametason x digoxin
-codein x ISDN
-furosemid x metilprednisolon
-digoxin x metilprednisolon
-furosemid x omeprazole
-dgoxin x omepraxole
-ceftriaxone x furosemid
3.Minor
-ISDN x omeprazole
1.Moderate
-furosemid x diazepam
-diazepam x ISDN
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
145
44.
Perempuan
86 tahun 1
bulan
Clopidogrel
Oral
0
0
0
0
0
0
Simvastatin
Laxadin syr
Candesartan
Diazepam
ISDN
Lasix
Fluxum
Lasix
Ar/8 jam
Asam folat
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
Injeksi
Iv
infus
Oral
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
0
0
0
Condaron
Oral
0
0
0
0
0
0
Thrombo aspilet
Oral
0
0
0
0
0
1
Cap camp
Sanadryl
Parasetamol extra
v-block
Citicolin
Laxadin syr
Ketorolac
Parasetamol extra
Dexametason
Kalmeco
Oral
Oral
Iv
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
Injeksi
Oral
Injeksi
Injeksi
Injeksi
Iv
1
-aspirin x clopidogrel
-daiazepam x candesartan
-aspirin x candesartan
2.Minor
-furosemid x aspirin
1.Mayor
-amiodarone x ondansetron
-aspirin x ketorolac
2.Moderate
-amiodarone x carvedilol
-dexamethasone x carvedilol
-ketorolac x carvedilol
-dexamethasone x ketorolac
-aspirin x dexametason
3.Minor
-aspirin x carvedilol
-ranitidin x ketorolac
-ranitidin x paracetamol
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
146
45.
Laki-laki 69
tahun 6
bulan
Ranitidin extra
Ondansentron
Ceftriaxone
Carnevit
Ascardia
Iv
Iv
Injeksi
Injeksi
Oral
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
Tensivask
Oral
0
0
0
0
0
1
Hypril
Oral
0
0
0
0
0
1
Simvastatin
Cedocard/forsoreid
Alprazolam
Forbetes
Letonal
Oral
Oral
Oral
Oral
Oral
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1.mayor
-Aspirin x arixtra
-spironolactone x ramipril
-amlodipin x simvastatin
2.Moderate
-ramipril x metformin
-furosemid x metformin
-spironolactone x metformin
-simvastatin x lansoprazole
-omeprazole x simvastatin
-aspirin x ramipril
-alprazolam x ramipril
-furosemid x lansoprazole
-furosemid x alprazolam
-ISDN x ramipril
-furosemid x ramipril
-aspirin x amlodipin
-alprazolam x spironolactone
-alprazolam x omeprazole
-alprazolam x ISDN
-furosemid x omeprazol
3.Minor
-furosemid x aspirin
-apirin x lansoprazole
-ISDN x omeprazole
-aspirin x omeprazole
-aspirin x spironolactone
-amlodipin x ramipril
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
147
Lansoprazol
Lasix
neurosanbe
ISDN
Rhindopump
Aritra
Lasix
Ca gluconas
Oral
Oral
Oral
Oral
iv
Injeksi
Iv
Iv
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Download