Applying The Principles: Aging, Death and Dying, and Mental Illness Sebelumnya, kita telah membahas mengenai 4 prinsip dasar dalam sosiologi kesehatan, diantaranya : (1) definisi dan asumsi dari sehat dan sakit; (2) konsep utama sakit; (3) kondisi pelayanan kesehatan; (4) hubungan pasien dan praktisi kesehatan. Tujuan dari bab ini adalah menggunakan prinsip tersebut untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih baik mengenai hubungan antara kesehatan dengan masalah sosial tentang usia, kematian dan penyakit kejiwaan. Aging Ketika kita bicara mnegenai usia, kita harus mengingat bahwa, usia sama dengan kesehatan. Usia terdiri dari tiga dimensi utama: (1) dimensi fisiologis; (2) dimensi sosial; (3) dan dimensi psikologis. Usia individu berada pada semua dimensi tersebut, tidak perlu kesemuanya sama tinggi atau pada waktu yang sama. Berdasarkan ketiga dimensi tersebut, jika kita ingin lebih memahami mengenai masalah usia, maka kita harus mulai dengan meningkatkan suatu pemahaman dari tiga dimensi dalam lingkar kehidupan dan peran yang ada disetiap tingkat. The Life Cycle and Its Associated Roles Gambar 7.1 The nine stages in the life cycle infancy 0 2 Preschool Childhood Adolescence 5 12 17 Early maturity 25 Maturity 40 Middle age 55 Later maturity Old age 75 Didalam gambar 7.1 terdapat model spesifik mengenai lingkar kehidupan yang mewakilkan tahap dasar dan kronologi perkembangan usia. Diantara keseluruhan tingkat yang terdapat didalam gambar tersebut, yang menjadi fokus diskusi mengenai usia hanyalah tiga tingkat terakhir, yaitu usia menengah, dewasa akhir, dan usia tua. Ketika kita berbicara usia sebagai sebuah masalah sosial, hal tersebut menyederhanakan sedikit banyak untuk membatasi pembahasan ini, kepada fokus utama yaitu ketiga tahapan akhir dari lingkar kehidupan, terutama pada masa tua. Berdasarkan pada pembahasan diatas kita harus membahas aspek fisiologis, psikologis dan sosiologis sebagai proses usia menuju masa tua. Didalam studi mengenai aspek fisiologis dari usia, kita menemukan beberapa teori mengenai usia yang secara terpisah didalam menjelaskan proses biologis. Pada dua dekade yang lalu, teori ini telah dikombinasikan kedalam teori yang lebih general yaitu, senescence general, yang menjelaskan kenapa tubuh manusia kurang peka, dan lebih peka dengan umur. Kart (1976) telah mengidentifikasikan delapan aspek biologis yang konsisten dalam permasalahan usia berdasarkan teori senescence: (1) kulit menjadi berkerut dan berflek; (2) kekuatan dan tinggi tubuh menjadi berkurang akibat dari pembungkukan tubuh; (3) persepsi sensor dan reflek menurun; (4) kumpulan sel – sel otak fungsinya semakin menurun dan memburuk; (5) keluarnya sistem peredaran dan elastisitasnya menurun; (6) kapasitas sistem pernafasan secara signifikan menurun; (7) sistem pencernaan; dan (8) efektifitas dari sistem reproduksi, ukuran pinggang, sistem pengaturan suhu tubuh terus menurun. Karts juga menjelaskan dua fakta penting dari kedelapan aspek ini. Pertama, fisiologis usia tidak terjadi pada semua individu pada suatu kronologis usia yang sama, atau pada tingkat yang sama. Kedua, faktor usia ini juga dipengaruhi oleh pertimbangan psikologis dan sosial. Aspek psikologis dari usia, berdasarkan Birren (1968) psikologis usia individu bisa didefinisikan sebagai tingkat dari adaptasi kapasitas. Definisi Birren mengenai proses usia psikologis adalah berdasarkan pada menurunnya kemampuan individu untuk dapat beradaptasi dengan keseluruhan lingkungan dan termasuk menurunya akurasi dan kecepatan dari persepsi, penalaran, memori, dan kapabilitas belajar. Dengan kata lain, proses psikologis usia termasuk didalamnya menurunya kemampuan mental. Isu utama didalam studi mengenai proses psikologis usia adalah, apakah fungsi mental dalam setiap tingkatan usia yang lebih tinggi semakin memburuk, atau tidak. Secara general, dipercaya bahwa fungsi mental menurun dengan semakin bertambahnya usia. Aspek sosial dari usia bisa sangat baik sekali diilustrasikan dengan merubah peran sosial yang diambil dan dimainkan oleh individu sebagai tanda berkembangnya usia. Dari usia balita sampai dewasa awal, proses individual menjalani masa belajar yang sangat panjang dan penuh perhatian untuk menjadi manusia dewasa yang sesungguhnya berperan. Secara pintas setelah mendapatkan peran usia dewasa yang sesungguhnya, bagaimanapun individu memasuki usia pertengahan, dimana realisasi diri terhadap usia terjadi, berpasangan dengan pengenalan kemantian sebagai fenomena yang nyata dimana tidak ada seseorang yang dapat menghindarinya. Sebagai hasil dari pengenalan, individu pada usia menengah mulai berorientasi pada perspektifnya dari masa depan ke masa lalu, sebagai cara untuk mengatasi ketidakmampuan dalam mengenali kematian. Sebagai tambahan, aktifitas dimulai untuk berorientasi kembali oleh usia pertengahan individu dari fisik kepada iltelektual, sebagai hasi dari persepsi mereka dari menurunnya tingkat energi. Ketika individu memasuki masa dewasa akhir, orientasi kembali ini didalam aktivitas dan berkungannya waktu, disiapkan untuk melakukan aktifitas umum dan hubungan sosial. Negative Aspects of The Aging Process as a Social Problem Efek negatif dari proses fisiologis, psikologis, dan sosiologis pada usia bisa dilihat sebagai masalah sosial dengan dua alasan. Pertama, seperti kebanyakan masalah sosial kontemporer lainnya yang sedang dihadapi, kita belum dapat menangani masalah mengenai penuaan dengan sangat baik. Ketika kita mulai mengenal aspek-aspek negatif yang muncul bersamaan dengan ketiga dimensi dari proses penuaan, kita belum menemukan pengobatan/ penyelesaian bagi mereka, hal ini berarti penderitaan yang dialami oleh para manula/orangorang tua tersebut akan terus berlanjut selama mereka melalui proses penuaan. Kedua, seperti masalah sosial kontemporer lainnya yang juga sedang kita hadapi, aspek negatif dari proses penuaan semakin mempengaruhi penduduk/ warga negara (kita). Dengan kata lain, masyarakat yang terkena dampak negarif dari proses penuaan semakin hari semakin meningkat. Hal ini membawa kita kepada dua pertanyaan yang menarik: (1) apa yang melatar belakangi meningkatnya populasi orang tua? (2) apa yang menyebabkan bertambahnya populasi orang tua dalam sistem kesehatan?. Alasan meningkatnya populasi orang tua. Pada tahun 1900, rata – rata dari angka harapan hidup di Amerika hanya 47 tahun. Pada tahun 1970, angka harapan hidup dapat mencapai 72 tahun, dan berlanjut menanjak sampai saat ini. Hal tersebut dapat terjadi karena dua alasan, Pertama, tumbuhnya industrialisasi dan urbanisasi pada masyarakat Amerika selama dua abad sebelumnya telah membawa peningkatan dari pelayanan kesehatan publik, terutama dalam hal pemeliharaan kesehatan. Perkembangan sanitasi dimulai sejak adanya pengembangan kondisi perumahan serta pekerjaan, tingkat nutrisi, dan ekspansi fasilitas ruang publik. Bersama dengan berkembangnya kesehatan publik dan perubahan gaya hidup maka meningkat pula angka harapan hidup secara kuantitas, kualitas dan ketersediaan pelayanan kesehatan. Saat ini kita memiliki lebih banyak psikiater dan petugas kesehatan lainnya yang lebih terlatih dan lebih dapat dijangkau, dibandinhgkan sejarah Amerika sebelumnya, hal ini turut berkontribusi dalam meningkatkan tingkat harapan hidup. Kombinasi dari ukuran kesehatan publik, perubahan gaya hidup, dan peningkatan pelayanan kesehatan, telah membantu meningkatkan persentase orang yang dapat hidup sampai usia tua. Pendekatan Teoretis terhadap Proses Penuaan Dalam melihat dan proses penuaan atau gerontology sosial, terdapat 5 pendekatan teoretis yang berasal dari pengadaptasian teori-teori ilmu sosial seperti sosiologi dan psikologi, yaitu: 1) the role theory approach; 2) the disengagement theory approach; 3) the subcultural theory approach; 4) the activity theory approach; dan 5) the age-stratification theory approach. 1. The Role Theory Approach The role theory approach ini melihat bahwa ketika orang menua, maka mereka harus dapat menyesuaikan diri terhadap bebagai kondisi yang bukan merupakan bagian dari peran-peran sosial mereka sebelumnya. Secara umum, proses penyesuaian diri ini dapat dikategorikan ke dalam 2 kategori besar: 1) melepaskan berbagai peran sosial yang berhubungan dengan adulthood/kedewasaan; dan 2) menerima peran sosial baru sebagai orang tua. Penyesuaian ini mencakup 9 perubahan yang dialami selama meninggalkan peran dewasa yang merepresentasikan perilaku masyarakat telah menantikan kehadiran manula: 1) pensiun atau pelepasan dari pekerjaan rumah tangga; 2) pengunguran diri dari peran kepemimpinan di komunitas ataupun organisasi sosial lain; 3) pembubaran pernikahan disebabkan oleh meninggalnya salah satu pasangan; 4) pengeliminasian tempat tinggal pribadi; 5) pengurangan ketertarikan dalam membuat pencapaian jangka panjang; 6) peningkatan ketergantungan terhadap orang lain; 7) subordinasi terhadap anak sendiri; 8) pengikutsertaan secara sukarela ke dalam asosiasi bagi manula; 9) pengadopsian orientasi harian untuk tujuan perencanaan. Pada intinya, pendekatan ini mengasumsikan bahwa ketika seseorang menua, dia mulai mengambil atau menjalani peran-peran sosial barunya sebagai respon dari tingkat kehidupan yang baru dimasukinya. Dalam menjelaskan gerontology sosial, pendekatan ini melihat bagaimana seseorang menyesuaikan dirinya terhadap perubahan peran yang terakhir dalam hidupnya. 2. The Disengagement Theory Approach Pendekatan ini melihat proses pengambilan/pengunduran diri yang bersifat mutual yang terjadi antara seorang yang sudah memasuki fase manula dan masyarakat bersifat tipikal, tidak dapat dihindarkan, serta merupakan suatu hal yang pantas dilakukan agar proses penuaan bisa dilewati secara sukses. Apakah orang tua/manula tersebut atau masyaarakat yang memulai proses tersebut, keduanya dapat berujung pada hasil: 1) tercipta jarak yang signifikan antara orang yang sudah tua dengan orang lain di sekitarnya; dan 2) solidaritas yang ada tidak lagi tercipta berdasarkan penampilan peran independent, melainkan karena kesamaan dan ikatan sentimental yang muncul. Untuk menghindari gangguan terhadap sistem sosial di masyarakat, maka orang yang sudah tua harus dilepaskan dari peranperan sosial mereka dalam struktur sosial yang saling bergantung sebelum ketidakmampuan mereka dan kematian mereka (yang dianggap akan terjadi dalam waktu dekat) memberikan dampak yang terlalu besar. Tapi perlu dilihat bahwa pelepasan peran sosial ini tidak hanya memberikan keuntungan bagi masyarakat, namun juga memberikan keuntungan bagi para manula, yaitu mereka akan memiliki kebebasan yang lebih karena lebih sedikit obligasi atau harapan yang ditumpukan masyarakat terhadap mereka. 3. The Subcultural Theory Approach Menurut Rose (1965), sub-budaya muncul ketika sekelompok orang berinteraksi dengan orang lain lebih dari interaksinya dengan yang lain disebabkan oleh 2 alasan: 1) sebagai hasil dari afinitas positif yang terjadi diantara mereka; atau 2) karena keseluruhan anggota dari kelompok tersebut tereksklusikan dari proses interaksi dengan anggota dari kelompok sosial lainnya. Sub-budaya yang muncul dari orang-orang tua mencakup beberapa karakteristik yang membedakannya dari sub-budaya lain, yaitu: 1) sistem dualstatus didasari pada status yang didapat oleh orang tua lewat masyarakat secara umum dan status yang didapatkannya dari sub-budaya tersebut; 2) pengurang ketertarikan terhadap seks; 3) pengurangan perbedaan dalam hal peran ekonomi berdasarkan criteria sosial dan seksual; 4) tingkah laku khusus yang tercipta akibat kesadaran terhadap kematian yang semakin mendekat; dan 5) pendominasian kehidupan sehari-hari oleh kegiatan di waktu luang. Pada intinya, pendekatan ini melihat bahwa masalah sosial mengenai hal penuaan dapat dilihat sebagai masalah subkultural dan dilihat sama seperti masalah-masalah sosial lain yang terdapat di masyarakat. 4. The Activity Theory Approach Dalam melihat gerontology sosial, pendekatan ini berfokus pada hubungan antara kegiatan sosial dan kepuasan hidup yang dikemukakan oleh Havighurst dan Albrecht (1953). Dalam mengembangkan pendekatan ini, aktivitas sosial dikaitkan dengan peran sosial seseorang; ketika seseorang dilepaskan dari peran sosialnya tersebut, maka aktivitas sosial orang tersebut akan berkurang dan berujung pada berkurangnya kepuasan hidupnya. Pada intinya, pendekatan ini menjelaskan bahwa perilaku seseorang ketika dia tua dapat dianalisa sebagai hasil dari pengurangan aktivitas sosial yang disebabkan oleh hilangnya peran yang mereka jalani sebelumnya. Selain itu, pendekatan ini juga berkonsentrasi pada perubahan seseorang terhadap konsep diri mereka ketika mereka mulai memasuki fase penuaan, tahap terakhir dalam kehidupan mereka. 5. The Age Stratification Theory Approach Riley (1971) mengatakan bahwa fenomena penuaan dapat dimengerti dengan menyelidiki stratifikasi dari kelas-kelas usia. Riley mengidentifikasi 4 set pertanyaan yang berfokus pada proses penuaan yang digunakan oleh pendekatan ini, yaitu: 1) bagaimana usia seseorang dapat menghubungkannya dengan sifat dan perilakunya; 2) bagaimana seseorang berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda kelas usianya dengan dirinya; 3) kesulitan-kesulitan akibat penempatannya dalam strata yang baru dimasukinya sehubungan dengan penuaan usianya; 4) bagaimana perbedaan dalam sifat dan perilaku seseorang dalam strata usia yang berbeda menciptakan tekanan bagi perubahan sosial. Esensinya, dalam menjelaskan gerontology sosial, pendekatan ini melihat bahwa dalam setiap strata usia merepresentasikan sebuah perbedaan peran sosial yang harus dipelajari bagi siapapun yang memasukinya, dan dimainkan oleh mereka yang tetap berada di dalamnya, dan dilepaskan oleh mereka yang meninggalkannya. Pendekatan ini memfokuskan analisis terhadap proses penuaan pada hubungan sosial yang terjadi antara dan di dalam strata-strata usia. Dari semua pendekatan yang disebutkan diatas, dapat dilihat bahwa meskipun kesemuanya memiliki fokusnya masing-masing dalam melihat proses penuaan, mereka semua berfokus pada 1 faktor, yaitu perubahan dalam kehidupan sosial dari seseorang yang mengalami proses penuaan. Kesemua pendekatan teoretis yang digunakan dalam melihat gerontology sosial dapat dilihat sebagai variasi dari perspektif sebuah teori peran yang mirip dengan teori peran dan konseptualisasi sistem dari peran sakit yang dikemukakan oleh Parsons (1951). Aging Viewed From Both Sides Dengan mengacu pada pendekatan yang digunakan tentang Aging/penuaan, setidaknya terdapat dua pandangan mengenai hal tersebut: (1) bagaiaman masyarakat memandang kaum jompo; (2) bagaimana kaum jompo memandang diri mereka sendiri. Masyarakat memandang kaum jompo dan proses penuaan dengan stereotype yang negatif, karena kaum jompo dilihat sebagai kondisi yang tidak berguna. Di kalangan masyarakat Amerika, hal ini menjadi suatu konstruksi sosial dan semakin menguat dengan berbagai bentuk informasi tentang kaum jompo dan proses penuaan yang dilakukan oleh institusi media massa, seperti koran, majalah, radio, dan televisi. Pemberitaan yang disajikan dalam media massa tersebut menitikberatkan pada bagaimana cara agar tetap terlihat muda, merasa muda, bahkan berperilaku layaknya anak muda. Akhirnya, masyarakat Amerika menjadi masyarakat youth-oriented, karena masa tua dan proses penuaan dilihat sebagai suatu hal yang menggelisahkan dan menakutkan. Kondisi ini tidak hanya berpengaruh pada aspek psikologis, tetapi juga diikuti oleh pengembalian pada penurunan status sosial. Sementara itu, kaum jompo memandang diri mereka sendiri sebagai bagian dari warga negara yang masih memiliki kemampuan dan kontribusi terhadap masyarakat. Berdasarkan survey yang dilakukan terhadap 2000 kaum jompo, setidaknya terdapat empat kategori kepribadian kaum jompo: (1) the integrative personality, ditandai dengan keterbukaan, kepuasaan, kesiagaan, dan konsep diri yang positif; (2) the defended personality, ditandai dengan sifat ambisius, berorientasi pada penghargaan dan menolak terhadap stereotype yang diberikan kepada mereka; (3) the passive-dependent personality, ditandai dengan kebutuhan yang kuat untuk direspon oleh orang lain dan bertahan atas diri mereka sendiri; (4) the disintegrated personality, ditandai dengan kondisi psikologis yang kacau dan membutuhkan pendampingan keluarga jika berada di luar institusi. Selain beberapa karakter kepribadian sepert yang telah dijelaskan, terdapat beberapa faktor yang juga berpengaruh dalam cara pandang kaum jompo terhadap diri mereka sendiri, antara lain kesehatan, seks, dan status sosial ekonomi. Orang jompo yang sehat akan lebih dapat beradaptasi terhadap proses penuaan. Sementara itu, kaum jompo laki-laki ternyata lebih sulit untuk beradaptasi terhadap proses penuaan disbandingkan kaum jompo laki-laki. Terakhir, mereka yang memiliki lebih banyak sumber daya, lebih memiliki aktivitas yang produktif dibandingkan mereka yang tidak memiliki sumber daya. Yang perlu disadari dalam memandang masa tua dan proses penuaan yaitu kondisi dan proses tersebut berlangsung dalam tiga dimensi (fisiologis, psikologis, dan sosial), walaupun belum tentu berlangsung dalam waktu dan cara yang sama. Death and Dying Mati dan proses kematian merupakan kondisi yang terkait erat dengan masa tua dan proses penuaan. Lebih dari itu, mati dan proses kematian menjadi masalah sosial, karena pemahaman yang kurang mengenai hal itu dengan penelitian yang juga kurang dan belum ada teknologi yang mampu memperhitungkan mati dan proses kematian. Changing Societal Atitudes and Values: Toward A Redefinition of Death Illich (1976) telah mengidentifikasi enam tahapan yang berbeda mengenai sejarah pembangunan pandangan atas kematian. Pada abad ke-15, kematian dilihat sebagai suatu hinaan terhadap kehidupan. Ketika memasuki abad pencerahan, kematian dipandang sebagai akhir dari kehidupan dan awal dari keabadiaan. Dalam era borjuis, pandangan mereka terhadap kematian menyebabkan kematian merupakan suatu kondisi yang dapat dicegah dengan perawatan dokter. Kemudian pada abad ke-19, kematian dianggap sebagai proses yang alamiah, di mana para dokter berusaha untuk mencegah pasien dari kematian. Dapat disimpulkan bahwa tahapan tersebut telah mengubah persepsi mengenai kematian di masyarakat, dari kejadian yang alamiah menjadi kekuatan alamiah yang memerlukan penanganan medis dan menelan biaya. Definisi tentang kematian pun tidak memiliki kepastian. Dalam hal ini terdapat juga usaha untuk menegaskan mengenai definisi kematian dengan adanya pengajuan oleh dua lembaga medis, yaitu berupa The Harvard Plan dan Kansas Statute. Namun setidaknya kematian didefinisikan sebagai terhentinya fungsi-fungsi organis dan aliran darah dalam tubuh. Berhubungan dengan kematian dan kondisi menuju kematian (sekarat) : Tahapan dalam proses kondisi menuju kematian. Dalam kehidupan makhluk hidup, khususnya manusia tentunya akan menemui akhir dari segala perjalanan kehidupannya yakni pada kematian. Dari adanya anggapan mengenai kematian munculah berbagai pertanyaan dalam benak manusia terkait kematian dan kondisi sekarat. Tiga pertanyaan utama yang umumnya diajukan adalah seperti apakah kondisi sekarat itu?, apakah kematian merupakan suatu hal yang pasti akan terjadi untuk kita semua ?, dan bagaimana kondisi sekarat dipandang dari orang yang sedang mengalami hal tersebut?. Pada tahun 1986, Elisabeth Kübler-Ross dalam bukunya yang berjudul On Death and Dying ia menjelaskan mengenai lima tahapan yang dilalui oleh pasien dalam kondisi sekarat. Dimana dalam menjelaskan hal tersebut sebelumnya ia melakukan wawancara mendalam kepada 400 orang pasien yang telah didiagnosis oleh tenaga medis bahwa waktunya sudah tidak akan lama lagi bagi mereka untuk mencapai kematian akibat penyakit yang dideritanya. Kelima tahapan tesebut diantaranya adalah 1) Tahap penolakan (Denial), 2) Tahap kemarahan (Anger), 3) Tahap penawaran (Bargaining), 4) Tahap bersiap menuju kematian/depresi (Preparatory grief/Deppression), 5. Tahap penerimaan (Acceptance). Kelima tahap yang dibentuk oleh Kübler-Ross sedikit banyak mampu memberikan gambagaran bagi kita untuk memperkirakan bagaimana perilaku dan apa yang dirasakan oleh orang yang berada dalam proses menuju kematian (sekarat). Pada tahap pertama yakni penolakan, pasien cenderung merasakan kondisi terguncang dan menolak diagnosa dari tenaga medis bahwa penyakit yang dideritanya sudah sangat parah dan memang sudah tidak lama lagi waktu yang ia miliki untuk tetap hidup di dunia. Menurut Kübler-Ross pada tahap ini umumnya pasien memberikan reaksi seperti “Hal ini tidak mungkin, dan tidak mungkin saya yang harus mengalami hal ini, setiap harinya banyak orang lain diluar sana memang mengalami hal ini tapi kenapa sekarang harus saya yang mengalami hal ini, setidaknya tidak untuk hari ini”. Penolakan yang terjadi dalam diri pasien mengenai kematian yang telah dekat baginya untuk dialami disebabkan juga oleh adanya persepsi yang selama ini tertanam kuat dalam pemahaman manusia pada umumnya bahwa sesulit apapun kondisinya dan sebesar apapun biaya yang harus dikeluarkan untuk menyelamatkan nyawa manusia dari kematian hal tersebut haruslah dilakukan dan ketika seseorang menerima kondisi dan berbicara bahwa ia mengalami kondisi sakit yang parah dan menuju kematian maka orang tersebut dipandang sebagai orang yang gagal dalam menjalani tugas dengan baik atas kehidupan di dunia yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Pada tahap kedua yakni kemarahan, pada tahap ini perasaan terguncang yang dialami pasien berubah menjadi kemarahan yang menurut Kübler –Ross identik dengan respon “Bukan saya” dan “Kenapa harus saya”. Dalam hal ini yang dimaksudkan bahwa pasien marah dengan kondisi menuju kematian yang dibebankan kepadanya karena membuatnya merasa sendiri ketika orang-orang disekitarnya tidak berada bersamanya lagi seperti saat ia sehat dan mampu beraktifitas dengan baik dalam kehidupannya. Kemarahan yang ada pada dirinya akan kondisi sebenarnya coba disembunyikan oleh pasien yang kemudian berimbas pada dilepaskannya kemarahan yang ia rasakan kepada orang-orang sekelilingnya yang mencoba memberikan perhatian kepadanya seperti kepada para dokter, perawat, teman, keluarga dengan mengatakan bahwa ia merasa terganggu dengan kehadiran mereka, ia baikbaik saja dan mampu mengurus dirinya sendiri dan sebagainya. Pada tahap ketiga yakni penawaran, pada tahap ini pasien sudah lebih mampu mengontrol emosinya dan mulai menyadari bahwa sebesar apapun kemarahan yang ia rasakan tidak akan mampu membuatnya berada pada kondisi yang lebih baik maka ia mencoba untuk memikirkan hal apa yang sebaiknya dilakukan untuk memanfaatkan waktunya yang sudah tidak lama lagi di dunia. Dengan kesadarannya bahwa memang saat ini dirinyalah yang berada pada kondisi kematian pasien masih berusaha untuk kembali kepada sang penciptanya dan melakukan penawaran kepada Tuhan, yang memang hal tersebut cenderung dapat dipahami sebagai permohonan pasien tersebut kepada tuhannya dengan harapan agar diberikan waktu untuk hidup yang lebih panjang dan berjanji untuk menjalani kehidupan degan lebih baik. Semisalnya pasien tersebut berdoa dan berjanji ketika diberi kesembuhan dan waktu untuk hidup lebih lama lagi maka ia akan lebih berbakti kepada orang tua, taat beragama, memperhatikan kehidupan anak yatim, dan sebagainya. Pada tahap keempat yakni persiapan menuju kematian atau depresi, pada tahap ini terjadi perubahan dalam diri pasien yang sebelumnya memberikan reaksi bahwa “bukan saya” yang kemudian menjadi “iya, saya”. Yang dimaksud dari hal ini adalah pasien telah berusaha menerima kenyataan bahwa memang waktu kematiannya akan tiba dalam waktu yang tidak lama lagi dan proses penawaran (permohonan) yang ia lakukan terhadap Tuhannya telah berakhir. Kemudian pada tahap ini pula pasien mulai untuk meneguhkan hatinya untuk perlahan mengiklaskan untuk melepaskan hubungannya selama di dunia dengan orangorang terkasihnya untuk menuju akhir dari kehidupan. Kemudian pada tahap kelima yang merupakan tahap terakhir, pada tahap penerimaan ini pasien merasa bahwa kematian sudah tidak lagi dapat dihindari dan siap untuk mencapai kematian dengan perasaan yang tenang dan iklas bukan dengan perasaan yang merasa kalah dan terpaksa harus menerima kematian. Menurut Kübler-Ross reaksi yang umunya dilakukan oleh pasien adalah “ Saya telah menyelesaikan segala urusan saya, saya talah mengucapkan segala hal yang harus saya katakan, dan saya sudah siap untuk pergi meninggalkan dunia”. Maka pada tahap ini pasien telah yakin dan tenang dalam mencapai kematiannya yang dijelaskan pula oleh Kübler-Ross bahwa di dunia yang berbeda dari dunia manusia pasien tersebut akan menjalani kehidupannya yang baru. Pemikiran dari Kübler-Ross ini mendapatkan tiga kritik yang diantaranya kelima tahap menuju proses kematian ini hanya bisa digunakan bagi pasien yang mengalami penyakit keras yang memiliki kemampuan dan waktu untuk menghadapi dan menilai dari fakta yang terjadi bahwa dirinya telah berada pada posisi krisis. Yang dimaksud dari hal ini adalah hanya bagi orang yang memiliki kemampuan mental sehingga mampu memahami implikasi dari situasi yang sedang dialaminya, dan seseorang yang mampu menyadari akan kematiannya yang sudah dekatlah yang bisa menggunakan kelima tahapan ini. Namun bagaimana dengan orang yang semisalnya tiba-tiba mengalami kecelakaan fatal kemudian mengalami sekarat dan ternyata nyawanya tidak tertolong, tentunya orang tersebut tidak memiliki kemampuan waktu dan mental untuk memahami kondisinya dan melewati kelima tahap tersebut. Kritik kedua adalah Küber-Ross dalam pemikirannya ditujkan kepada kondisi yang dialami pada pasien kelas menengah. Seperti yang disampaikan Parsons mengenai peran sakit, peran sakit yang dijalani pasien khususnya pada tahap penawaran(bargaining) dan tahap penerimaan (acceptance) sikap dan emosi yang ditunjukkan pasien dalam menghadapi kondisi pasien menuju pada kondisi kematiannya menggambarkan reaksi dari kelompok kelas menengah. Kemudian kritik yang ketiga adalah tiap tahap yang disampaikan oleh Küber-Ross mencoba menggambarkan secara pasti bagaimana sikap dari orang yang mengalami proses menuju kematian namun pada kenyataannya hal tersebut tidak bisa digunakan untuk sebuah generalisasi. Sebab tidak semua individu mengalami lima tahapan tersebut yang sebagai efeknya terdapat berbagai variasi sikap dari seseorang yang mengalami kondisi menuju kematian. Untuk membantu seseorang yang tengah menghadapi kondisi menuju kematian, terdapat enam cara yang diajukan oleh Pattison(1969). Pertama, upayakan untuk berbagi dengan orang yang mengalami kondisi tersebut guna mengurangi kegelisahan dan kebingungannya menghadapi kondisi tersebut. Kedua, menjelaskan secara spesifik mengenai kondisi yang sebenarnya terjadi dalam kehidupannya. Ketiga, Dampingi orang tersebut dalam melepas peran yang selama ini melekat pada dirinya dalam kehidupan, dengan memberikan pemahaman yang baik bahwa hubungan dengan segala sesuatu yang ada didunia akan terlepas. Keempat, usahakan untuk mengurangi beban fisik dan psikologis yang dialaminya dengan tidak membuatnya merasa rendah diri. Kelima, Bantu orang tersebut untuk membesarkan hatinya dalam menerima situasi akhir dari kehidupannya dengan segala keutuhan jiwa dan martabat. Keenam pelihara hubungan sosial dengan orang-orang lingkungan sekitarnya yang bermanfaat dan mampu membantu bagi kondisi orang tersebut dalam menghadapi kondisi menuju kematiannya Berhadapan dengan kematian dan situasi sekarat : Kesadaran akan situasi sekarat Dalam memahami proses sekarat seorang pasien maka sebelumnya kita harus menyadari situasi sekarat itu dahulu. Kubler-Ross yang meneliti tentang keadaan sekarat yang dialami pasien heran dengan sikap personil atau pegawai rumah sakit yang seakan enggan mengidentifikasi pasien yang sekarat. Kubler-Ross melakukan penelitian tersebut karena pada saat itu setengah dari orang Amerika meninggal di rumah sakit, berbagai konteks mengenai kesadaran akan keadaan sekarat dan kematian menjadi hal yang penting dalam memahami keseluruhan isu tersebut. Para personil rumah sakit melihat keadaan sekarat dan kematian sebagai hal yang dapat sangat mengganggu atau mengacaukan setting sosial yang dibuat order. Personil rumah sakit memanipulasi situasi sosial untuk meminimalisasi gangguan terhadap situasi sosial yang telah order seperti keadaan sekarat pasien dan kematian. Dalam buku Awareness of Dying Glaser dan Strauss (1996) mengidentifikasi adanya 4 tipe keadaan kesadaran rumah sakit terhadap keadaan sekarat dan kematian pasien yaitu : Closed awareness, suspected awareness, mutual pretense awareness dan open awareness. Keadaan yang saling mempengaruhi antara pasien dan personil rumah sakit tergantung pada konteks kesadaran terhadap situasi serta cepat dan lambatnya kesadaran terhadap situasi sekarat tersebut. Closed Awareness Situasi closed awareness terjadi apabila personil rumah sakit menyadari bahwa si pasien dalam keadaan sekarat namun pasien itu sendiri tidak menyadari. Glaser dan strauss mengidentifikasikan 5 faktor yang menyebabkan terjadinya close awareness yaitu : pertama, kebanyakan pasien tidak memiliki pengalaman dalam mengenali tanda-tanda sekarat sehingga dirinya tidak menyadari sedang menjelang ajal; kedua, para psikiater juga biasanya tidak memberitahukan samasekali pada pasien atau keluarganya bahwa pasien bahwa ia sedang menjelang ajal untuk menghindari guncangan emosional; ketiga, Keluarga mengetahui bahwa pasien dalam keadaan sekarat namun tidak diberitahukan pada pasien agar tidak membuatnya sedih; keempat adanya struktur rumah sakit yang membuat informasi medis dalam bentuk dokumen dan pengetahuan yang dimiliki staff tidak dapat diakses oleh pasien; kelima, pasien yang sekarat tidak memiliki keinginan untuk mencari tahu informasi apakah dirinya sekarat atau tidak. Terdapat beberapa keuntungan dari keadaan closed awareness ini yaitu psiakiater tidak perlu mendiskusikan tentang proses kematian dengan pasien, kedua trauma emosional terhadap kematian dapat dihindarkan, serta pasien dapat bertahan menghadapi tahap yang membuatnya menderita dalam proses sekarat dan menjelang ajal. Suspected awareness Konteks suspected awareness terjadi saat si pasien mencurigai dirinya bahwa ia sekarat dan tidak yakin namun para personil rumah sakit juga mengetahui dan yakin bahwa si pasien dalam keadaan sekarat. Dalam konteks ini si pasien yang sekarat berusaha menggambarkan informasi dan keadaan yang dialaminya dengan kemampuan yang dimilikinya namun pasien dan personil rumah sakit akan menghindari permintaan atau keinginan si pasien untuk mengetahui informasi tentang penyakit atau apa yang dialami pasien agar tidak membuat emosional pasien terguncang sehingga ia bisa dapat bertahan dalam menghadapi situasi sekarat tersebut. Mutual pretense Dalam mutual pretense, antara staff rumah sakit dan pasien sama sama menyadari bahwa si pasien dalam keadaan sekarat dan akan menjelang ajal. Namun si pasien akan cenderung menghindari untuk membicarakannya dan staff rumah sakit memposisikan dirinya untuk tidak membahas hal tersebut dengan pasien walaupun si pasien meminta untuk mendiskusikan atau menanyakannya. Dengan kata lain konteks mutual pretense ini pengetahuan tentang si pasien yang akan menjelang ajal diikuti dengan panghindaran diskusi untuk mencegah terjadinya kesedihan bagi si pasien. Open awareness Pada situasi ini Pasien yang sekarat dan staff rumah sakit sama-sama mengetahui bahwa si pasien sekarat dan akan menjelang ajal serta menyatakan secara terbuka situasi tersebut. Staff rumah sakit berusaha untuk membuat hari-hari terkahir si pasien senyaman mungkin dan tidak mengalami kesakitan da si pasien berusaha menghadapi ajalnya dengan tanggung jawab dan harga diri. Deggan kata lain dalam konteks ini pasien dan personil rumah sakit saling bekerja sama dan mendukung agar si pasien dapat menghadapi masa sekaratnya. Konteks kesadaran terhadap situasi sekarat dan kematian yang diidentifikasi oleh Glaser dan strauss berdasarkan pada setting sosial (termasuk interaksi sosial) dan kontrol informasi mengenai pasien yang sekarat di rumah sakit. Pada konteks closed awareness, setting sosial tertutup dan informasi mengenai keadaan pasien tidak diberitahukan pada pasien sedangkan sebaliknya pada open awareness setting sosial terbuka dan adanya pemberian informasi pada pasien. Dengan kata lain konteks kesadaran yang berbeda merepresentasikan cara yang berbeda dalam mengatur pengalaman keadaan sekarat yang dialami oleh pasien, disaat kondisi sekarat mulai dirasakan oleh pasien lalu pasien dan personil rumah sakit mulai berinteraksi maka konteks kesadaran yang tadinya berada dalam situasi yang tertutup berubah menjadi lebih terbuka.Namun bagi beberapa orang keadaan yang tertutup akan membuatnya lebih mudaj untuk menghadapi kondisi sekarat dan kematian. Konteks kesadaran terhadap sistuasi sekarat dan menghadapi kematian menjadi penting karena adanya peningkatan fakta bahwa orang Amerika meninggal karena keadaan kronis membuat mereka membutuhkan hospitalisasi untuk memperpanjang waktu hidup mereka. Olehh karena itu terjadi peningkatan keadaan sekarat yang dialami oleh pasien di rumah sakit. Dengan memanipulasi setting sosial dan mengendalikan arus informasi yang ada, personil rumah sakit dapat memilih konteks kesadaran yang dianggap paling membuat pasien nyaman dan sesuai dengan keadaan pasien. Pendekatan konteks kesadaran yang diidentifikasi oleh Glaser dan Strauss mirip dengan tahap proses sekarat yang dijelaskan oleh Kubler Ross. Pertama 4 macam konteks kesadaran hanya sesuai dengan saat pasien tersebut sadar dan berada di rumah sakit pada periode yang memungkinkan sebelum ia meninggal, hal tersebut membuat pasien yang dalam keadaan tidak sadar/koma tidak sesuai dengan konteks ini. Kedua konteks kesadaran tersebut hanya dapat diaplikasikan apabila staff rumah sakit mengatur informasi atau pengetahuan tentang kondisi sekarat yang dialami pasien serta terakhir para pasien yang diteliti oleh Glaser dan strauss merupakan pasien dengan status sosial ekonomi diatas rata-rata dan membayar sendiri biaya perawatannya. Hal tersebut menempatkan para pasien yang sekarat tersebut lebih memiliki posisi yang lebih menguntungkankarena dapat bernegosiasi dengan staff rumah sakit untuk mendapatkan informasi dan hasilnya mereka menjadi tidak tipikal. Dengan kata lain Glasser dan Strauss menggambarkan bahwa keadaan sekarat dan kematian dilihat sebagai proses yang disruptive atau menganggu oleh personil rumah sakit yang mengatur setting sosial dan arus informasi dalam rangka meminimalisasi gangguan terhadap setting sosial yang dibuat order.