1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecehan seksual adalah bentuk perilaku yang terkait seksual yang tidak dikehendaki, baik secara verbal maupun non verbal, yang membuat penerimanya merasa tersinggung, terhina, dan/atau terintimidasi (ILO, 2011). Pelecehan seksual dapat dialami oleh siapa saja, baik laki-laki atau perempuan, dewasa maupun anak-anak. Penggunaan istilah pelecehan seksual seringkali digunakan secara tumpang tindih dengan kekerasan seksual, karena keduanya merupakan bentuk perbuatan yang berkonotasi atau mengarah pada hal-hal seksual. Menilai dari definisi kata pelecehan dan kekerasan menurut KBBI, pelecehan merupakan perbuatan yang bersifat merendahkan sementara kekerasan merupakan perbuatan yang menimbulkan cedera, kematian, atau kerusakan. Berdasarkan definisi ini, dapat disimpulkan bahwa pengertian pelecehan seksual dan kekerasan seksual memang saking berkaitan. Meskipun pelecehan dan kekerasan seksual dapat terjadi kepada laki-laki dan perempuan, ada lebih banyak kasus yang dilaporkan dengan perempuan sebagai korbannya. Pada tahun 2012, laporan yang masuk ke Komnas HAM menunjukkan bahwa ada 4.336 kasus pelecehan seksual kepada perempuan (Tempo.co, 2013). Komnas Perempuan (2013) mencatat bahwa dalam tiga belas tahun terakhir, terdapat 93.960 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Hingga tahun 2013, Komnas Perempuan membedakan bentuk kekerasan seksual menjadi 14 bentuk. Dari 93.960 kasus, 85.176 kasus diantaranya merupakan gabungan dari kasus pemerkosaan, pelecehan seksual, dan eksploitasi seksual. 8.784 kasus lainnya adalah kasus kekerasan seksual terpilah, dan dari jumlah tersebut, lebih dari 50 persen merupakan kasus pemerkosaan. Menurut Komnas Perempuan, jumlah kasus yang tercatat belum tentu merupakan gambaran nyata mengenai jumlah kasus kekerasan seksual yang terjadi. Terdapat kemungkinan adanya kondisi dimana korban tidak melaporkan kejadian yang dialaminya, baik karena adanya tekanan dari pihak pelaku, rasa takut atau malu menghadapi penilaian orang, dan sebagainya. Dalam sebuah kasus di Balikpapan, korban menerima komentar yang melecehkan dari penegak hukum yang menangani 1 2 kasusnya (tempo.co, 2012). Melalui media sosial, penulis mengamati bahwa terdapat sejumlah masyarakat yang menilai bahwa kekerasan seksual dapat terjadi karena kesalahan pihak korban. Bahkan, hal ini juga ditemukan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sakarlli-Uurlu, Salman, & Turgut (2010), bahwa menurut responden dalam penelitian tersebut, meskipun pelecehan seksual merupakan permasalahan sosial yang sangat penting, namun mungkin saja hal itu terjadi karena adanya provokasi dari pihak korban, dalam hal ini perempuan. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa sikap yang cenderung negatif dari masyarakat, seperti blame atau menyalahkan pihak korban, dan trivialization atau meremehkan terjadinya pemerkosaan, yang keduanya merupakan bagian dari sikap negatif terhadap korban pemerkosaan. Selain kedua hal tersebut, denigration atau fitnah/pencemaran nama korban, credibility atau kredibilitas korban, responsibility atau letak tanggung jawab pada pemerkosaan, deservingness atau kepantasan/kelayakan korban dalam pemerkosaan adalah dimensi lain dari sikap negative terhadap korban pemerkosaan. Mengingat bahwa pemerkosaan sendiri sudah menimbulkan dampak negatif bagi korban baik secara fisik maupun psikologis (Vasquez, 2013), adanya sikap atau respon negatif dari lingkungan terhadap korban pemerkosaan, seperti dalam yang telah disebutkan, dapat mempersulit korban untuk mengatasi dan memulihkan diri dari pemerkosaan yang mereka alami (Miller, Amacker, & King, 2011). Berkaitan dengan hal tersebut, sebuah penelitian mengenai sikap terhadap korban pemerkosaan di 14 negara menunjukkan bahwa di 13 negara diantaranya, responden laki-laki menunjukkan sikap yang lebih tidak mendukung terhadap korban pemerkosaan dibandingkan dengan responden perempuan (Ward et al, 1992). Dari penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin individu dapat mempengaruhi sikap negative terhadap korban pemerkosaan. Meskipun demikian, jenis kelamin individu tidak selalu menentukan peran yang dijalankan oleh individu tersebut. Alice Eagly mengemukakan social role theory, yang menyatakan bahwa perbedaan gender merupakan hasil dari perbedaan peran dari perempuan dan laki-laki (Santrock, 2010). Teori tersebut menunjukkan bahwa terdapat peran-peran tertentu yang akan membedakan laki-laki dan perempuan. Adanya peranperan ini menimbulkan gender stereotype atau stereotip gender, yang merupakan kesan umum mengenai laki-laki dan perempuan. 3 Gender stereotyping antara laki-laki dan perempuan banyak terjadi, seperti bahwa laki-laki lebih mudah menunjukkan amarah dan harga diri (Plant, et al, 2000), perempuan lebih lemah dan rapuh (Fischer, 1993 dalam Scolnick, et al, 2013). Hal ini membuat perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dimana kedudukan laki-laki seringkali dianggap lebih tinggi daripada perempuan, baik dalam hak untuk mendapat pendidikan, bekerja, dan sebagainya. Kini, peran yang dapat dijalankan laki-laki dan perempuan semakin setara. Perempuan dan laki-laki dapat menjalankan peran yang sama. Perempuan dan laki-laki yang tinggal di negara-negara industri yang relatif kaya lebih menilai diri mereka sama atau setara dibandingkan dengan mereka yang tinggal di negara-negara yang kurang berkembang atau maju (William & Best, 1989 dalam Santrock, 2010). Hal ini terlihat juga di kota-kota besar di Indonesia, yaitu peran yang di masa lalu hanya bisa dijalankan oleh laki-laki kini sudah umum dijalankan oleh perempuan. Seiring dengan berubahnya gender stereotyping tradisional ini, perbedaan antar individu kini lebih cenderung dapat ditemukan dalam gender role atau peran gender. Peran gender merupakan serangkaian ekspektasi mengenai bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya berpikir dan berperilaku (Santrock, 2010). Berdasarkan definisi peran gender di atas, apabila perbedaan dalam sikap laki-laki dan perempuan dipengaruhi oleh hasil dari ekspektasi yang diasosiasikan dengan peran sosial masingmasing gender, maka dapat diperkirakan bahwa adanya perubahan peran gender dapat mengakibatkan adanya perubahan pula dalam sikap laki-laki dan perempuan (Lloyd & Archer, 2002). Saat ini, peran gender laki-laki bisa dijalankan oleh perempuan dan begitu juga sebaliknya. Ekspektasi terhadap cara berpikir dan berperilaku laki-laki dan perempuan dapat mengalami perubahan juga seiring dengan adanya perubahan pada peran gender tersebut. Sikap yang awalnya diharapkan untuk ada dalam diri laki-laki, atau karakter maskulin, mungkin saja kini diharapkan juga keberadaannya dalam diri perempuan. Begitu juga sebaliknya. Hal ini pun berlaku dalam sikap negatif terhadap korban pemerkosaan. Penelitian Ward (1992) yang menyatakan bahwa sikap laki-laki terhadap korban pemerkosaan cenderung lebih negatif, mungkin saja mengalami perubahan, karena bukan hal yang mustahil bahwa karakter maskulin yang lebih tinggi ditemukan dalam diri perempuan. 4 Hubungan peran gender dengan sikap negatif terhadap korban pemerkosaan ini terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Vasquez (2013), yang menjelaskan bahwa apabila dibandingkan, sikap simpati terhadap korban pemerkosaan dari partisipan dengan machismo atau maskulinitas yang lebih tinggi cenderung lebih kecil atau kurang menonjol dibandingkan dengan partisipan dengan marianismo atau femininitas yang lebih tinggi. Sikap negatif terhadap korban pemerkosaan dapat juga dipengaruhi oleh adanya empati dalam diri seseorang. Barnabas (2013) mengatakan dalam penelitiannya bahwa adanya empati mempengaruhi munculnya dampak positif dari sikap dan perilaku, dan sebaliknya, kurang atau tidak adanya empati menyebabkan adanya dampak negatif dari sikap dan perilaku. Mengaitkan dengan sikap terhadap korban pemerkosaan, adanya empati dalam diri seseorang dapat memberikan pengaruh atas sikap positif atau negatif yang ditujukan kepada korban pemerkosaan. Secara umum, jenis kelamin seseorang berhubungan dengan kemampuan orang tersebut berempati (Barnabas, 2013). Mengacu pada penjelasan sebelumnya bahwa jenis kelamin memiliki hubungan dengan peran gender, perubahan peran laki-laki dan perempuan dapat menyebabkan adanya perubahan ekspektasi mengenai bagaimana individu seharusnya bersikap dan berperilaku atau maskulinitas dan femininitas individu, maka dapat dikatakan bahwa empati dan maskulinitas serta femininitas juga memiliki suatu keterkaitan. Selain maskulinitas dan femininitas, penelitian yang dilakukan oleh Ward (1992) juga menunjukkan bahwa berdasarkan pembagian profesi, responden dengan profesi psikolog dan pekerja sosial menunjukkan sikap yang lebih baik atau mendukung terhadap korban pemerkosaan, dan responden dengan profesi polisi menunjukkan sikap yang paling tidak baik atau tidak mendukung terhadap korban pemerkosaan. Di Indonesia, penanganan kasus berkaitan dengan pemerkosaan dilakukan oleh unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA). Unit PPA dapat ditemukan di Kepolisian Daerah atau Polda dan Kepolisian Resort atau Polres, dan terus dikembangkan sampai saat ini memiliki anggota di Kepolisian Sektor atau Polsek. Menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah tugas unit PPA, mulai dari menerima dan membuat laporan kasus hingga selanjutnya menjadi pihak 5 yang cukup banyak berinteraksi dengan pihak korban, misalnya dalam proses penyelidikan, konseling, pengamanan korban apabila diperlukan, dan sebagainya. Terkait dengan sikap polisi di Indonesia, Yolandasari (2013) menemukan bahwa rata-rata tingkat rape myth acceptance pada polisi lebih tinggi dibandingkan pada orangtua dengan anak perempuan usia dewasa muda. Rape myth acceptance merupakan praduga, stereotip, atau keyakinan yang salah mengenai pemerkosaan, korban pemerkosaan, dan pelaku pemerkosaan (Burt, 1980). Hasil ini menunjukkan bahwa di Indonesia, polisi memiliki kecenderungan yang lebih tinggi dalam menyetujui mitosmitos yang berkaitan dengan pemerkosaan, serta korban dan pelakunya. Mitos-mitos yang ada seperti bahwa apabila korban tidak menginginkan pemerkosaan terjadi pasti perlawanan dapat dilakukan, apabila pemerkosaan terjadi lebih dari sekali maka pasti terdapat dasar suka sama suka, dan sebagainya. Krahe dalam Ward (1995) menyatakan bahwa adanya dukungan atau persetujuan terhadap rape myth berhubungan dengan atribusi tanggung jawab korban pelecehan seksual, dalam hal ini pemerkosaan. Mengingat bahwa polisi anggota unit PPA merupakan salah satu pihak yang sering berinteraksi dengan korban maupun keluarga korban pemerkosaan, penting untuk diketahui bagaimana sikap dan empati mereka terhadap korban pemerkosaan. Berdasarkan hal ini, penelitian akan dilakukan pada partisipan polisi yang merupakan bagian dari unit PPA. 1.2. Rumusan Permasalahan Masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam pertanyaan penelitian berikut: Adakah hubungan antara maskulinitas dan femininitas serta empati dengan sikap negatif terhadap perempuan korban pemerkosaan pada polisi anggota unit PPA di DKI Jakarta? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mencari tahu hubungan antara maskulinitas dan femininitas serta empati dengan sikap negatif terhadap perempuan korban pemerkosaan pada polisi anggota unit PPA di DKI Jakarta. 6