HUBUNGAN ANTARA MASKULINITAS DAN FEMININITAS SERTA EMPATI DENGAN SIKAP NEGATIF TERHADAP PEREMPUAN KORBAN PEMERKOSAAN PADA POLISI ANGGOTA UNIT PPA DI DKI JAKARTA Mutiara Asri Septiani [email protected] Pingkan C. B. Rumondor, S.Psi., M.Psi. [email protected] Universitas Bina Nusantara ABSTRACT This research aim to examine the relationship between masculinity and femininity as well as empathy and negative attitude towards women victims of rape. The participants are 38 police officers of Women and Children Service Unit in DKI Jakarta. The method used in this research is quantitative, non-experimental research, and data collection process is done by distributing questionnaires. The result shows that there is a negative relationship between femininity with the negative attitude towards rape victims (r=-0.353, p = 0.030), and also between masculinity and empathy (r= 0.385, p= 0.017) and between femininity and empathy (r= 0.521, p= 0.001). However, there are no relationship found between masculinity and empathy with the negative attitude towards rape victims. Implication and suggestion for future research are discussed. Keywords: Masculinity, Femininity, Empathy, Negative Attitude towards Rape Victims, Gender Role ABSTRAK Penelitian dilakukan untuk mencari tahu hubungan antara maskulinitas dan femininitas serta empati dengan sikap negatif terhadap perempuan korban pemerkosaan. Penelitian dilakukan terhadap 38 orang polisi anggota unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) yang tersebar di wilayah DKI Jakarta. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian kuantitatif non-eksperimental, dan pengambilan data dilakukan dengan penyebaran kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara femininitas dengan sikap negatif terhadap korban pemerkosaan (r=-0.353, p = 0.030), dan antara maskulinitas dengan empati r= 0.385, p= 0.017 dan femininitas dengan empati (r= 0.521, p=0.001). Sedangkan antara maskulinitas dan empati dengan sikap negatif terhadap korban pemerkosaan tidak terdapat hubungan. Dampak dan saran untuk penelitian selanjutnya akan dibahas. Kata Kunci: Maskulinitas, Femininitas, Empati, Sikap Negatif terhadap Korban Pemerkosaan, Peran Gender PENDAHULUAN Pelecehan seksual adalah bentuk perilaku yang terkait seksual yang tidak dikehendaki, baik secara verbal maupun non verbal, yang membuat penerimanya merasa tersinggung, terhina, dan/atau terintimidasi (ILO, 2011). Pelecehan seksual dapat dialami oleh siapa saja, baik laki-laki atau perempuan, dewasa maupun anak-anak. Penggunaan istilah pelecehan seksual seringkali digunakan secara tumpang tindih dengan kekerasan seksual, karena keduanya merupakan bentuk perbuatan yang berkonotasi atau mengarah pada hal-hal seksual. Menilai dari definisi kata pelecehan dan kekerasan menurut KBBI, pelecehan merupakan perbuatan yang bersifat merendahkan sementara kekerasan merupakan perbuatan yang menimbulkan cedera, kematian, atau kerusakan. Berdasarkan definisi ini, dapat disimpulkan bahwa pengertian pelecehan seksual dan kekerasan seksual memang saking berkaitan. Meskipun pelecehan dan kekerasan seksual dapat terjadi kepada laki-laki dan perempuan, ada lebih banyak kasus yang dilaporkan dengan perempuan sebagai korbannya. Pada tahun 2012, laporan yang masuk ke Komnas HAM menunjukkan bahwa ada 4.336 kasus pelecehan seksual kepada perempuan (Tempo.co, 2013). Komnas Perempuan (2013) mencatat bahwa dalam tiga belas tahun terakhir, terdapat 93.960 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Hingga tahun 2013, Komnas Perempuan membedakan bentuk kekerasan seksual menjadi 14 bentuk. Dari 93.960 kasus, 85.176 kasus diantaranya merupakan gabungan dari kasus pemerkosaan, pelecehan seksual, dan eksploitasi seksual. 8.784 kasus lainnya adalah kasus kekerasan seksual terpilah, dan dari jumlah tersebut, lebih dari 50 persen merupakan kasus pemerkosaan. Menurut Komnas Perempuan, jumlah kasus yang tercatat belum tentu merupakan gambaran nyata mengenai jumlah kasus kekerasan seksual yang terjadi. Terdapat kemungkinan adanya kondisi dimana korban tidak melaporkan kejadian yang dialaminya, baik karena adanya tekanan dari pihak pelaku, rasa takut atau malu menghadapi penilaian orang, dan sebagainya. Dalam sebuah kasus di Balikpapan, korban menerima komentar yang melecehkan dari penegak hukum yang menangani kasusnya (tempo.co, 2012). Melalui media sosial, penulis mengamati bahwa terdapat sejumlah masyarakat yang menilai bahwa kekerasan seksual dapat terjadi karena kesalahan pihak korban. Bahkan, hal ini juga ditemukan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sakarlli-Uurlu, Salman, & Turgut (2010), bahwa menurut responden dalam penelitian tersebut, meskipun pelecehan seksual merupakan permasalahan sosial yang sangat penting, namun mungkin saja hal itu terjadi karena adanya provokasi dari pihak korban, dalam hal ini perempuan. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa sikap yang cenderung negatif dari masyarakat, seperti blame atau menyalahkan pihak korban, dan trivialization atau meremehkan terjadinya pemerkosaan, yang keduanya merupakan bagian dari sikap negatif terhadap korban pemerkosaan. Selain kedua hal tersebut, denigration atau fitnah/pencemaran nama korban, credibility atau kredibilitas korban, responsibility atau letak tanggung jawab pada pemerkosaan, deservingness atau kepantasan/kelayakan korban dalam pemerkosaan adalah dimensi lain dari sikap negative terhadap korban pemerkosaan. Mengingat bahwa pemerkosaan sendiri sudah menimbulkan dampak negatif bagi korban baik secara fisik maupun psikologis (Vasquez, 2013), adanya sikap atau respon negatif dari lingkungan terhadap korban pemerkosaan, seperti dalam yang telah disebutkan, dapat mempersulit korban untuk mengatasi dan memulihkan diri dari pemerkosaan yang mereka alami (Miller, Amacker, & King, 2011). Berkaitan dengan hal tersebut, sebuah penelitian mengenai sikap terhadap korban pemerkosaan di 14 negara menunjukkan bahwa di 13 negara diantaranya, responden laki-laki menunjukkan sikap yang lebih tidak mendukung terhadap korban pemerkosaan dibandingkan dengan responden perempuan (Ward et al, 1992). Dari penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin individu dapat mempengaruhi sikap negatif terhadap korban pemerkosaan. Meskipun demikian, jenis kelamin individu tidak selalu menentukan peran yang dijalankan oleh individu tersebut. Alice Eagly mengemukakan social role theory, yang menyatakan bahwa perbedaan gender merupakan hasil dari perbedaan peran dari perempuan dan laki-laki (Santrock, 2010). Teori tersebut menunjukkan bahwa terdapat peran-peran tertentu yang akan membedakan laki-laki dan perempuan. Adanya peran-peran ini menimbulkan gender stereotype atau stereotip gender, yang merupakan kesan umum mengenai laki-laki dan perempuan. Gender stereotyping antara laki-laki dan perempuan banyak terjadi, seperti bahwa laki-laki lebih mudah menunjukkan amarah dan harga diri (Plant, et al, 2000 dalam Santrock, 2010), perempuan lebih lemah dan rapuh (Fischer, 1993 dalam Scolnick, et al, 2013). Hal ini membuat perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dimana kedudukan laki-laki seringkali dianggap lebih tinggi daripada perempuan, baik dalam hak untuk mendapat pendidikan, bekerja, dan sebagainya. Kini, peran yang dapat dijalankan laki-laki dan perempuan semakin setara. Perempuan dan laki-laki dapat menjalankan peran yang sama. Perempuan dan laki-laki yang tinggal di negara-negara industri yang relatif kaya lebih menilai diri mereka sama atau setara dibandingkan dengan mereka yang tinggal di negara-negara yang kurang berkembang atau maju (William & Best, 1989 dalam Santrock, 2010). Hal ini terlihat juga di kota-kota besar di Indonesia, yaitu peran yang di masa lalu hanya bisa dijalankan oleh laki-laki kini sudah umum dijalankan oleh perempuan. Seiring dengan berubahnya gender stereotyping tradisional ini, perbedaan antar individu kini lebih cenderung dapat ditemukan dalam gender role atau peran gender. Peran gender merupakan serangkaian ekspektasi mengenai bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya berpikir dan berperilaku (Santrock, 2010). Berdasarkan definisi peran gender di atas, apabila perbedaan dalam sikap laki-laki dan perempuan dipengaruhi oleh hasil dari ekspektasi yang diasosiasikan dengan peran sosial masing-masing gender, maka dapat diperkirakan bahwa adanya perubahan peran gender dapat mengakibatkan adanya perubahan pula dalam sikap laki-laki dan perempuan (Lloyd & Archer, 2002). Saat ini, peran gender laki-laki bisa dijalankan oleh perempuan dan begitu juga sebaliknya. Ekspektasi terhadap cara berpikir dan berperilaku laki-laki dan perempuan dapat mengalami perubahan juga seiring dengan adanya perubahan pada peran gender tersebut. Sikap yang awalnya diharapkan untuk ada dalam diri laki-laki, atau karakter maskulin, mungkin saja kini diharapkan juga keberadaannya dalam diri perempuan. Begitu juga sebaliknya. Hal ini pun berlaku dalam sikap negatif terhadap korban pemerkosaan. Penelitian Ward (1992) yang menyatakan bahwa sikap laki-laki terhadap korban pemerkosaan cenderung lebih negatif, mungkin saja mengalami perubahan, karena bukan hal yang mustahil bahwa karakter maskulin yang lebih tinggi ditemukan dalam diri perempuan. Hubungan peran gender dengan sikap negatif terhadap korban pemerkosaan ini terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Vasquez (2013), yang menjelaskan bahwa apabila dibandingkan, sikap simpati terhadap korban pemerkosaan dari partisipan dengan machismo atau maskulinitas yang lebih tinggi cenderung lebih kecil atau kurang menonjol dibandingkan dengan partisipan dengan marianismo atau femininitas yang lebih tinggi. Sikap negatif terhadap korban pemerkosaan dapat juga dipengaruhi oleh adanya empati dalam diri seseorang. Barnabas (2013) mengatakan dalam penelitiannya bahwa adanya empati mempengaruhi munculnya dampak positif dari sikap dan perilaku, dan sebaliknya, kurang atau tidak adanya empati menyebabkan adanya dampak negatif dari sikap dan perilaku. Mengaitkan dengan sikap terhadap korban pemerkosaan, adanya empati dalam diri seseorang dapat memberikan pengaruh atas sikap positif atau negatif yang ditujukan kepada korban pemerkosaan. Secara umum, jenis kelamin seseorang berhubungan dengan kemampuan orang tersebut berempati (Barnabas, 2013). Mengacu pada penjelasan sebelumnya bahwa jenis kelamin memiliki hubungan dengan peran gender, perubahan peran laki-laki dan perempuan dapat menyebabkan adanya perubahan ekspektasi mengenai bagaimana individu seharusnya bersikap dan berperilaku atau maskulinitas dan femininitas individu, maka dapat dikatakan bahwa empati dan maskulinitas serta femininitas juga memiliki suatu keterkaitan. Selain maskulinitas dan femininitas, penelitian yang dilakukan oleh Ward (1992) juga menunjukkan bahwa berdasarkan pembagian profesi, responden dengan profesi psikolog dan pekerja sosial menunjukkan sikap yang lebih baik atau mendukung terhadap korban pemerkosaan, dan responden dengan profesi polisi menunjukkan sikap yang paling tidak baik atau tidak mendukung terhadap korban pemerkosaan. Di Indonesia, penanganan kasus berkaitan dengan pemerkosaan dilakukan oleh unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA). Unit PPA dapat ditemukan di Kepolisian Daerah atau Polda dan Kepolisian Resort atau Polres, dan terus dikembangkan sampai saat ini memiliki anggota di Kepolisian Sektor atau Polsek. Menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah tugas unit PPA, mulai dari menerima dan membuat laporan kasus hingga selanjutnya menjadi pihak yang cukup banyak berinteraksi dengan pihak korban, misalnya dalam proses penyelidikan, konseling, pengamanan korban apabila diperlukan, dan sebagainya. Terkait dengan sikap polisi di Indonesia, Yolandasari (2013) menemukan bahwa rata-rata tingkat rape myth acceptance pada polisi lebih tinggi dibandingkan pada orangtua dengan anak perempuan usia dewasa muda. Rape myth acceptance merupakan praduga, stereotip, atau keyakinan yang salah mengenai pemerkosaan, korban pemerkosaan, dan pelaku pemerkosaan (Burt, 1980). Hasil ini menunjukkan bahwa di Indonesia, polisi memiliki kecenderungan yang lebih tinggi dalam menyetujui mitos-mitos yang berkaitan dengan pemerkosaan, serta korban dan pelakunya. Mitos-mitos yang ada seperti bahwa apabila korban tidak menginginkan pemerkosaan terjadi pasti perlawanan dapat dilakukan, apabila pemerkosaan terjadi lebih dari sekali maka pasti terdapat dasar suka sama suka, dan sebagainya. Krahe dalam Ward (1995) menyatakan bahwa adanya dukungan atau persetujuan terhadap rape myth berhubungan dengan atribusi tanggung jawab korban pelecehan seksual, dalam hal ini pemerkosaan. Mengingat bahwa polisi anggota unit PPA merupakan salah satu pihak yang sering berinteraksi dengan korban maupun keluarga korban pemerkosaan, penting untuk diketahui bagaimana sikap dan empati mereka terhadap korban pemerkosaan. Berdasarkan hal ini, penelitian akan dilakukan pada partisipan polisi yang merupakan bagian dari unit PPA. Dari penjabaran di atas, dapat dilihat bahwa tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mencari tahu hubungan antara maskulinitas dan femininitas serta empati dengan sikap negatif terhadap perempuan korban pemerkosaan pada polisi anggota unit PPA di DKI Jakarta. METODE PENELITIAN SAMPEL PENELITIAN Subjek yang dipilih untuk menjadi sampel dalam penelitian ini adalah 38 orang laki-laki dan perempuan yang berprofesi sebagai polisi dan merupakan bagian dari unit pelayanan perempuan dan anak (PPA) di Polres Jakarta Utara, Selatan, Timur, Barat, Pusat, dengan usia antara 18-55 tahun. Dalam menentukan partisipan penelitian ini, teknik sampling yang digunakan adalah metode non-probability sampling, yaitu convenience sampling atau accidental sampling. Teknik sampling ini adalah teknik pengambilan sampel dengan dasar ketersediaan dan kemauan untuk merespon atau berpartisipasi (Gravetter & Forzano, 2012). Teknik sampling ini dipilih untuk mempermudah proses perolehan sampel. ALAT UKUR Alat Ukur Sikap Negatif Terhadap Korban Pemerkosaan Untuk mengukur sikap negatif terhadap korban pemerkosaan, alat ukur yang digunakan adalah Attitude toward Rape Victim Scale (ARVS) yang dikembangkan oleh Colleen Ward pada tahun 1988. ARVS berisi 25 item pernyataan. Setiap item bernilai 0-4, mewakili respon sangat tidak setuju = 0, tidak setuju = 1, netral = 2, setuju = 3, dan sangat setuju = 4. Item nomor 3, 5, 7, 10, 12, 15, 19, dan 22 dinilai secara terbalik (reversed). Nilai masing-masing item dijumlahkan, menghasilkan skor dalam rentang 0-100, dengan nilai 100 menggambarkan sikap yang lebih tidak baik terhadap korban pemerkosaan. Setelah dilakukan pengambilan data, terdapat 12 item yang dihilangkan, menjadikan alat ukur ini berisi 13 item. Total nilai yang bisa didapatkan berkisar antara 0-52, dengan nilai 52 menggambarkan sikap yang lebih negatif terhadap korban pemerkosaan. Alat Ukur Maskulinitas dan Femininitas Untuk mengukur maskulinitas dan femininitas,alat ukur yang digunakan adalah Bem Sex Role Inventory (BSRI). Alat ukur ini dikembangkan oleh Sandra Bem pada tahun 1971 untuk mengukur adanya karakter maskulin dan feminin dalan satu individu, atau androgini (Santrock, 2010). Pada akhirnya, BSRI mengklasifikasikan karakter individu menjadi maskulin, feminin, androgini, dan undifferentiated. BSRI terdiri atas 60 item berupa kata sifat, yang nilainya berada dalam skala 1-7, mulai dari tidak pernah atau hampir tidak pernah benar (never or almost never true) hingga hampir selalu atau selalu benar (almost always or always true). Dalam penelitian ini, item yang digunakan hanyalah 40 item, yaitu 20 item karakter maskulin dan 20 item karakter feminin. Setelah dilakukan pengambilan data, terdapat 7 item yang dihilangkan dari alat ukur maskulin dan 7 item dari alat ukur feminin, menjadikan masing-masing alat ukur berisi 14 item. Nilai setiap item yang menggambarkan karakter maskulin akan dijumlahkan, begitu juga dengan item yang menggambarkan karakter feminin. Nilai total yang lebih besar menunjukkan kecenderungan individu, maskulin atau feminin. Alat Ukur Empati Alat ukur yang akan digunakan untuk mengukur empati adalah Interpersonal Reactivity Index (IRI). Alat ukur ini dikembangkan oleh Mark Davis pada tahun 1983 untuk mengukur empat dimensi empati seseorang. IRI terdiri dari 28 butir pernyataan. Masing-masing pernyataan bernilai antara 0-4, dengan 0 mewakili respon ‘tidak menggambarkan diri saya dengan baik’ (does not describe me very well), hingga 4 mewakili respon ‘menggambarkan diri saya dengan baik’ (describe me very well). Item 3, 4, 7, 12, 13, 14, 15, 18, 19 merupakan unfavorable item dan dinilai secara terbalik (reversed). Alat ukur ini dapat digunakan dengan penghitungan total skor perdimensi, dapat juga dihitung secara keseluruhan. Setelah pengambilan data dilakukan, terdapat beberapa item yang perlu dihilangkan. Item yang dihilangkan berjumlah 7 item, menjadikan alat ukur ini berisi 21 butir pernyataan. DESAIN PENELITIAN Untuk penelitian ini, desain penelitian yang digunakan adalah non-eksperimental, dimana tidak dilakukan manipulasi terhadap partisipan dalam penelitian ini. Bentuk penelitiannya adalah penelitian kuantitatif. Penelitian ini merupakan penelitian korelasional, dimana terdapat empat variabel yang dicari nilainya dan diidentifikasi ada atau tidaknya pola hubungan antara keempatnya. Penghitungan korelasi data yang didapatkan dilakukan dengan menggunakan teknik analisa korelasi Spearman. PROSEDUR PENELITIAN Proses pengambilan data diawali dengan pembuatan surat permohonan penyebaran kuesioner untuk masing-masing polres, yang ditujukan kepada Kepala Polres. Kemudian surat tersebut diajukan atau dimasukkan ke polres melalui bagian Seksi Umum atau SIUM. Beberapa hari kemudian, setelah surat permohonan telah disetujui oleh Kepala Polres yang bersangkutan, dan surat disposisi telah diturunkan, baru penyebaran kuesioner untuk pengambilan data bisa dilakukan dengan mendatangi langsung unit PPA polres tersebut. Unit PPA di beberapa polres harus didatangi beberapa kali, karena pada saat kedatangan pertama waktunya tidak tepat untuk melakukan pengambilan data, sehingga perlu dilakukan perjanjian mengenai waktu yang lebih sesuai. Jumlah data yang didapatkan tidak bisa sama di setiap polres, karena pada waktu pengambilan data dilakukan, ada beberapa anggota unit yang tidak ada di tempat, baik itu sedang menjalani pelatihan, bertugas di luar, atau karena hal lainnya. Setelah data terkumpul, akan dilakukan pengolahan dan analisa data. Kemudian akan dilakukan penyusunan hasil analisa data yang telah dibuat untuk keperluan penulisan laporan. HASIL DAN BAHASAN Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut: H01: Tidak ada hubungan atau korelasi antara tingkat maskulinitas dengan sikap negatif terhadap korban pemerkosaan. Ha1: Ada hubungan atau korelasi antara tingkat maskulinitas dengan sikap negatif terhadap korban pemerkosaan. H02: Tidak ada hubungan atau korelasi antara femininitas dengan sikap negatif terhadap korban pemerkosaan. Ha2: Ada hubungan atau korelasi femininitas dengan sikap negatif terhadap korban pemerkosaan. H03: Tidak ada hubungan atau korelasi antara tingkat maskulinitas dengan empati. Ha3: Ada hubungan atau korelasi antara tingkat maskulinitas dengan empati. H04: Tidak ada hubungan atau korelasi antara tingkat femininintas dengan empati. Ha4: Ada hubungan atau korelasi antara tingkat femininitas dengan empati. H05: Tidak ada hubungan atau korelasi antara tingkat empati dengan sikap negatif terhadap korban pemerkosaan. Ha5: Ada hubungan atau korelasi antara tingkat empati dengan sikap negatif terhadap korban pemerkosaan. Berdasarkan hasil pengolahan data, terlihat bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara femininitas dengan sikap negatif terhadap korban pemerkosaan (r=-0.353, p = 0.030). Sementara, antara maskulinitas dengan sikap negatif terhadap korban pemerkosaan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p = 0.333). Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan Ha2 diterima dan H02 ditolak, sementara Ho1 diterima dan Ha1 ditolak. Dapat terlihat juga bahwa antara maskulinitas dengan empati terdapat hubungan positif yang signifikan (r= 0.385, p= 0.017). Begitu juga antara femininitas dengan empati terdapat hubungan positif yang signifikan (r= 0.521, p= 0.001). Dari data tersebut, maka disimpulkan bahwa Ha3 dan Ha4 diterima, sementara H03 dan H04 ditolak. Sementara itu, nilai signifikansi antara skor sikap negatif terhadap korban pemerkosaan (skor ARVS) dengan skor empati (skor IRI) adalah p= 0.359. Nilai p > 0.05, maka korelasi antara sikap negatif terhadap korban pemerkosaan dan empati tidak signifikan. Karena itu, disimpulkan bahwa H05 diterima dan Ha5 ditolak. Dari uji hipotesis tersebut, ditemukan bahwa tidak ada hubungan antara maskulinitas individu dengan sikap negatif terhadap perempuan korban pemerkosaan, yang berarti meningkat atau menurunnya karakter kelaki-lakian yang dimiliki oleh seseorang tidak berhubungan dengan lebih positif atau lebih negatifnya penilaian orang tersebut terhadap perempuan yang menjadi korban pemerkosaan. Akan tetapi, terdapat hubungan negatif antara femininitas dengan sikap negatif terhadap korban pemerkosaan, yang berarti meningkatnya karakter keperempuanan yang dimiliki oleh seseorang dapat memiliki hubungan dengan lebih rendahnya sikap negatif orang tersebut terhadap orang yang menjadi korban pemerkosaan. Sedangkan, antara empati individu dengan sikap negatif terhadap korban pemerkosaan tidak terdapat hubungan. Dapat dikatakan bahwa tidak ada hubungan antara kemampuan seseorang untuk menempatkan diri di posisi emosional orang lain dengan lebih positif atau lebih negatifnya penilaian orang tersebut terhadap orang yang menjadi korban pemerkosaan. Sementara itu, terdapat hubungan positif antara maskulinitas dan femininitas dengan empati individu. Artinya, meningkatnya karakter kelaki-lakian atau keperempuanan yang dimiliki oleh seseorang berhubungan dengan meningkatnya seseorang untuk menempatkan diri di posisi emosional orang lain. Begitu juga sebaliknya, semakin tinggi kemampuan menempatkan diri di posisi emosional orang lain, semakin meningkat karakter kelaki-lakian atau keperempuanan orang tersebut. Meskipun maskulinitas dan femininitas sama-sama berhubungan dengan empati, namun hubungan lebih mungkin ditemukan diantara adanya karakter feminin dengan empati dibandingkan dengan karakter maskulin dengan empati SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pada polisi anggota unit PPA di DKI Jakarta terdapat hubungan negatif antara femininitas dengan sikap negatif terhadap korban pemerkosaan. Terdapat juga hubungan positif antara maskulinitas maupun femininitas terhadap empati. Sedangkan antara antara empati dengan sikap negatif terhadap korban pemerkosaan tidak terdapat hubungan, sementara antara maskulinitas dengan sikap negatif terhadap korban pemerkosaan tidak terdapat hubungan. Meskipun antara empati dengan sikap negatif terhadap korban pemerkosaan tidak ditemukan hubungan, namun karena adanya hubungan antara empati dengan femininitas, dan antara femininitas dengan sikap negatif terhadap korban pemerkosaan, maka dapat dikatakan bahwa antara empati dengan sikap negatif terhadap korban pemerkosaan terdapat hubungan tidak langsung. Peningkatan pada empati individu dapat berhubungan dengan peningkatan femininitas, yang nantinya dapat berhubungan dengan rendahnya sikap negatif terhadap korban pemerkosaan. Hal ini juga berlaku sebaliknya, dimana menurunnya sikap negatif terhadap korban pemerkosaan dapat berhubungan dengan meningkatnya femininitas, dan kemudian dapat berhubungan dengan peningkatan empati individu. Peningkatan empati juga dapat berhubungan dengan peningkatan maskulinitas, namun hal tersebut tidak akan mempengaruhi sikap negatif terhadap korban pemerkosaan menjadi lebih tinggi atau rendah. SARAN Hasil penelitian ini dapat menjadi informasi dan bahan evaluasi bagi penyelenggara penyidikan kasus-kasus pemerkosaan yang berinteraksi dengan korban pemerkosaan. Juga sebagai dasar diadakannya training dan pengembangan karakter. Untuk penelitian selanjutnya, peneliti menyarankan beberapa hal seperti memperluas wilayah pengambilan data agar lebih banyak jumlah partisipan yang bisa didapatkan. Dan jika memungkinkan, pelaksanaan wawancara juga dapat dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih mendalam guna mendukung hasil yang didapatkan dari perhitungan kuesioner. REFERENSI Barnabas, E. N. (2013). Role of gender, emotional empathy, interpersonal attraction on moral judgement. Ife Psychologia, 21(2), 264-276. Davis, M. H. (1980). A multidimensional approach to individual differences in empathy. JSAS Catalog of Selected Documents in Psychology, 10, 85. Gravetter, F. J., & Forzano, L. B. (2012). Research Method for the Behavioral Sciences. Canada: Wadsworth Cengage Learning. ILO. (2011). Asian Decent Work Decade, diakses September 2014 dari http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilojakarta/documents/presentation/wcms_203345.pdf Komnas Perempuan. (2013). Kenali dan Tangani Kekerasan Seksual, diakses 16 September 2014 dari http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2013/12/Kekerasan-Seksual-Kenali-danTangani.pdf Lloyd, B., & Archer, J. (2002). Sex and Gender (2nded). United Kingdom: Cambridge University Press. Miller, A. K., Amacker, A. K., & King, A. R. (2011). Sexual Victimization History and Perceived Similarity to a Sexual Assault Victim: A Path Model of Perceiver Variables Predicting Victim Culpability Attributions. Sex Roles. 64(5-6), 372-381. Sakalli-Uurlu, Nuray., Salman, S., & Turgut, S. (2010). Predictors of turkish women's and men's attitudes toward sexual harassment: Ambivalent sexism, and ambivalence toward men. Sex Roles, 63(11-12), 871-881. Santrock, J. W. (2010). Child Development : an Introduction (13th ed). New York: McGraw-Hill. Scolnick, A. J., Bascom, K. L., & Wilson, D. T. (2013). Gender Role Expectations of Disgust: Men are Low and Women are High. Sex Roles, 69(72-88). Tempo.co. (2013) Sehari, 35 Perempuan Jadi Korban Kekerasan Seksual. Diakses 17 September 2014 dari http://nasional.tempo.co/read/news/2013/12/10/173536106/sehari-35-perempuan-jadi-korban-kekerasan-seksual Vasquez, R. (2013). Examining the Relationship between Gender Roles and Attitudes toward Rape Victims among Latino/as in the United States. Desertasi. Columbia: Universitas Columbia. Ward, C. et all. (1992). The Attitudes Toward Rape Victims Scale: Psychometric data from 14 Countries. Postprints der Universitat Postdam: Humanwissenchaftliche Reihe, 85. Yolandasari, A. R. (2013). Perbandingan Rape Myth Acceptance Antara Orangtua yang Memiliki Anak Perempuan Dewasa Muda Dengan Penyidik Unit Pelayanan Perempuan dan Anak di Jakarta dan Sekitarnya. Skripsi. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. RIWAYAT PENULIS Mutiara Asri Septiani, lahir di Jakarta pada 26 September 1993. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Universitas Bina Nusantara dalam bidang Psikologi pada tahun 2015.