MEMBANGUN PARADIGMA OPTIMALISASI KOMPETENSI MAHASISWA MELALUI PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI DAN SEKSUAL ESAI KRITIS OLIIMPIADE ILMIAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA RAHMAT SAH SARAGIH 1106056365 UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 2014 MEMBANGUN PARADIGMA OPTIMALISASI KOMPETENSI MAHASISWA MELALUI PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI DAN SEKSUAL Rahmat Sah Saragih 1106056365 Dalam suatu diskusi yang saya ikuti awal bulan Juni lalu, seorang perempuan paruh baya membawa selembar kertas plano ke tengah ruangan. Kepada para peserta—yang semuanya berasal dari kalangan remaja—perempuan ini bertanya, “apa saja yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin?” Jawaban mengalir dengan lancar dari mulut para peserta. Pemimpin itu harus adil; harus bijaksana; harus berpikir dewasa; harus mampu mempengaruhi orang lain; harus berani; harus tegas; harus mampu memberikan teladan—dan seterusnya. Selesai mencatat masukan dari para peserta, perempuan ini berbalik dan menggelengkan kepala. “Masih ada yang kurang,” ujarnya. Seisi ruangan terdiam, bingung, kehabisan ide. Ia melanjutkan, “memang benar, pemimpin itu harus adil, bijaksana, berani, mendengarkan aspirasi—kita tidak perlu sangsikan lagi. Tapi,” ia berhenti sejenak, “pemimpin juga harus sehat, kan?” Sehat merupakan kriteria yang selayaknya dimiliki seorang pemimpin. Bagaimana seseorang dapat menjalankan tugasnya sebagai pemimpin apabila ia masih bermasalah dengan dirinya sendiri? Bagaimana seseorang dapat mengerahkan potensi yang ada di dalam dirinya apabila ia masih mengalami, misalnya: penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA (narkoba, psikotropika, dan zat adiktif lain); tekanan sosial akibat kehamilan yang tidak diinginkan; infeksi menular seksual yang tidak tertangani; trauma akibat kekerasan dalam pacaran; maupun diskriminasi gender? Di sisi lain, sistem pendidikan nasional belum mendorong remaja untuk memahami tubuhnya, terutama dalam aspek kesehatan reproduksi dan seksual. Ketika menghadapi masalah kesehatan reproduksi dan seksual, remaja kerap mengalami kebingungan lantaran tidak tahu harus pergi ke mana dan melakukan apa. 2 Populasi remaja yang berada pada angka 26,67% dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 237,6 juta jiwa bukanlah porsi yang kecil.1 Terhadap populasi ini disematkan harapan—sekaligus tuntutan—untuk senantiasa meningkatkan kompetensi diri, khususnya dalam menghadapi persaingan global yang kian hari kian ketat. Salah satu sub-populasi dari remaja yang dimaksud di atas adalah mahasiswa, yakni remaja yang menjadi peserta didik pada jenjang perguruan tinggi; berada pada angka 28,00% dari total jumlah remaja.2 Menempatkan remaja untuk dapat bersaing dengan segala potensinya secara maksimal di skala global nampaknya sulit terwujud apabila sehat tidak menjadi persyaratannya. Agar sehat, sebagai langkah preventif tentu mahasiswa perlu memahami risiko yang dapat timbul akibat tindakan yang ia lakukan terhadap tubuhnya. Membekali remaja dengan pengetahuan, keterampilan, serta nilai untuk membuat keputusan terkait dengan kehidupan sosial dan seksualnya untuk mencegah perilaku berisiko sejatinya merupakan tujuan dari Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual (PKRS) yang sayangnya belum dikenal dalam dunia pendidikan kita. Remaja Sehat untuk Persaingan yang Sehat Merujuk pada definisi yang diberikan oleh World Health Organization (WHO), sehat bukanlah semata-mata bebas dari penyakit, melainkan suatu keadaan sejahtera baik secara fisik, mental, dan sosial.3 Sehat secara fisik ialah 1 Sensus Penduduk (SP) tahun 2010 sebagaimana dikutip dari Dwi Wahyuni dan Rahmadewi, “Kajian Profil Penduduk Remaja (10-24 Tahun): Ada Apa dengan Remaja?” Policy Brief Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan Badan Kependudukan dan Keluaga Berencana Nasional Seri I No.6/Pusdu-BKKBN/Desember 2011, (Desember 2011), hlm. 1. 2 Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi (APK Dikti) tahun 2011 berada pada angka 28,00%. Artinya, 28,00% dari jumlah remaja berusia 19-23 tahun di Indonesia pada tahun 2011 duduk di perguruan tinggi. ”Aline Rogeleonick, “Target 2015, Angka Partisipasi Kasar Perguruan Tinggi 35 Persen” http://www.kemdikbud.go.id/kemdikbud/berita/2083, diunduh 30 Juli 2014. 3 “Health is a state of complete physical, mental and social well-being and not merely the absence of disease or infirmity,” sebagaimana dikutip dari preambul 1946 Constitution of the World Health Organization. 3 keadaan jasmani yang terbebas dari rasa sakit (penyakit) dan kecacatan; sehat secara mental ialah keadaan psikis yang seimbang, terbebas dari segala bentuk tekanan batin, pikiran hingga perasaan; sedangkan sehat secara sosial ialah keadaan di saat seseorang mampu menjalankan peran dan tugas di masyarakat serta diterima dalam lingkungan masyarakatnya, serta mampu melakukan interaksi sosial dan kegiatan bersama orang lain.4 Hampir serupa dengan definisi yang diberikan oleh WHO, dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, “kesehatan” dimaksudkan sebagai suatu keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Sehat memang seyogyanya tidak didefinisikan secara sempit sebagai ketiadaan penyakit secara fisik belaka. Seorang perempuan yang mengalami tekanan psikis akibat dikeluarkan dari sekolah dengan alasan hamil di luar perkawinan juga merupakan kondisi yang tidak sehat, pun demikian halnya dengan seseorang yang mengalami diskriminasi gender, kekerasan dalam pacaran, atau pengucilan akibat terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Dua tahun yang lalu, saya berkenalan dengan Anna Marsiana, seorang pekerja kemanusiaan yang berbasis di Yogyakarta. Dalam suatu diskusi, ia bertanya kepada kami, “sebutkan satu hal yang dekat namun jauh dari diri kita.” Pertanyaan tersebut tidak mendapatkan respon yang memuaskan. Tak lain tak bukan, jawabannya ialah tubuh kita, yang dekat secara fisik namun jauh secara mental apabila kita belum mengenalnya. Akibat konstruksi sosial yang ada kita cenderung berburuk sangka dan tidak menerima diri ini apa adanya. Bagaimana, Anna menutup diskusi hari itu dengan satu pertanyaan, bagaimana kita dapat nyaman dengan orang lain apabila kita belum nyaman dengan tubuh kita sendiri? Pesan yang saya garisbawahi dari pertanyaan itu adalah, bahwa masalah pertama yang harus kita selesaikan sebelum berperan di tengah masyarakat adalah tak lain diri kita sendiri. Jangan dulu kita berbicara 4 Ryan Fajar Febrianto, Modul E-Course Pendidikan Seksualitas Komprehensif: Anatomi, Fisiologi, Pubertas, dan Kehamilan, (Jakarta: Aliansi Remaja Independen, 2013), hlm. 1. 4 mengenai kompetisi yang sehat apabila terhadap diri ini masih terdapat masalahmasalah internal yang menghambat kita berada pada garis start yang sama. Potensi dan Fakta Remaja Indonesia Sensus Penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia sebesar 237,6 juta jiwa, dengan 63,4 juta di antaranya adalah remaja (berusia 10-24 tahun) yang terdiri dari laki-laki sebanyak 32.164.436 jiwa (50,70%) dan perempuan sebanyak 31.279.012 jiwa (49,30%).5 Dalam perspektif kependudukan yang dihimpun oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), besarnya jumlah penduduk kelompok remaja ini akan sangat mempengaruhi pertumbuhan penduduk di masa yang akan datang. Remaja perlu mendapat perhatian serius mengingat mereka masih termasuk dalam usia sekolah dan usia kerja, mereka akan memasuki angkatan kerja dan memasuki umur reproduksi.6 Remaja, dalam bahasa Inggris dikualifikasikan sebagai “adolesence”, berasal dari bahasa latin “adolescere” yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa. Masa remaja adalah sebagai masa terjadinya perubahan fisik, mental, sosial-ekonomi (WHO, 1975). Keberhasilan penduduk pada kelompok umur dewasa sangat tergantung pada masa remajanya. Apabila remaja memperoleh pendidikan formal dan non formal yang cukup maka kualitas penduduk yang bersangkutan pada umur dewasa akan cenderung lebih baik; dan selanjutnya akan menghasilkan generasi yang berkualitas.7 Kelompok remaja yang ada pada saat ini adalah kelompok remaja yang paling terdidik sepanjang sejarah Indonesia.8 Meski memang hanya 28 dari 100 5 Wahyuni, op. cit., hlm. 2. 6 Ibid. 7 Ibid. 8 Pam Nilan, et. al., “Indonesian Youth Looking Towards the Future” dalam Journal of Youth Studies, Vol. 14, No. 6, (September 2011), hlm. 709. 5 remaja Indonesia yang dapat duduk di bangku perguruan tinggi (Kemdikbud, 2012), namun angka ini lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang hanya 14,00%. Hal ini menandakan bahwa akses remaja terhadap pendidikan tinggi tiap tahun kian meningkat; bahwa jumlah mahasiswa baru tiap tahun kian meningkat pula. Di sisi lain, pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi masih rendah. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia Remaja (SDKIR) tahun 2007, 1 dari 10 remaja tidak mengetahui tanda‐tanda pubertas pada laki‐ laki dan perempuan; 1 dari 4 remaja tidak mengetahui periode subur pada remaja perempuan; setengah dari remaja tidak menganggap bahwa behubungan seksual satu kali berisiko kehamilan; 2 dari 3 remaja tidak mengetahui metode kontrasepsi yang akan mereka gunakan; dan 8 dari 10 remaja tidak memiliki pengetahuan komprehensif tentang pencegahan dan penularan HIV yang benar. Lebih lanjut lagi, paparan informasi mengenai kesehatan reproduksi dan seksual yang diperoleh remaja juga masih rendah. Remaja lajang umur 15-24 tahun yang mendengarkan pesan dari radio tentang penundaan usia kawin hanya sebesar 12,90%, informasi tentang HIV & AIDS sebesar 40,80%, informasi tentang kondom sebesar 29,60%, pencegahan kehamilan sebesar 23,40%, dan infeksi menular seksual sebesar 18,40% (SDKI-R, 2007). Bagi sebagian orang, data di atas barangkali hanya sebatas angka persenan yang tidak berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari mereka yang nyaman dan bebas dari risiko. Tetapi apakah benar demikian? Tercatat sejak Januari 2010 hingga Maret 2013, jumlah remaja usia 15-24 tahun yang dilaporkan terinfeksi HIV berjumlah sebanyak 12.681 orang.9 Dalam periode tersebut, 372 orang di antaranya berstatus sebagai pelajar/mahasiswa. Ini baru permasalahan di isu HIV & AIDS. Di isu lain—perkawinan usia dini, misalnya—baik pemerintah maupun penggiat program pendewasaan usia perkawinan masih bekerja keras mendewasakan usia perkawinan, sebagaimana realita yang ada bahwa 55 dari 100 9 Laporan Situasi Perkembangan HIV & AIDS di Indonesia Tahun 2013, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 6 remaja sudah pernah kawin; 1 dari 100 remaja pernah melahirkan anak; serta 10 dari 1000 remaja berstatus cerai hidup (Sensus Penduduk, 2010). Perkawinan usia dini sendiri tidak dapat dilihat secara sempit sebagai akibat dari ketidaktahuan masyarakat mengenai risiko yang dimilikinya. Lebih dari itu, perkawinan usia dini merupakan bentuk konstruksi budaya yang mengakar dan “kebelummampuan” remaja untuk bernegosiasi kepada keluarga dan masyarakat akibat minim informasi yang dimilikinya. Budaya yang dimaksud, misalnya, adalah keharusan mengawinkan remaja yang diketahui tengah berdua dengan lawan jenis di atas jam malam. Budaya yang dijaga atas nama kehormatan keluarga ini masih kerap dipraktikkan di antaranya di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan dan Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.10 Padahal, sebagaimana kita tahu, perkawinan usia dini cenderung membatasi hak remaja untuk mengakses pendidikan, terutama bagi remaja perempuan.11 Dunia pendidikan kita belum dapat memberi jawaban yang memuaskan mengenai apa yang harus dilakukan terhadap remaja dengan kondisi-kondisi di atas. Seringkali mereka yang diketahui menyandang status HIV positif; atau mengalami kehamilan tidak diinginkan; dikeluarkan dari sekolah, lagi-lagi dengan alasan lama: menjaga reputasi sekolah. Seolah sanksi sosial belum cukup, dunia pendidikan turut memberikan sanksi. Padahal semestinya sekolah menjadi tempat 10 Informasi mengenai budaya kawin paksa di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan dan Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat Penulis peroleh melalui perbincangan dengan remaja lokal dalam suatu kunjungan pada Agustus dan Oktober 2013. 11 Gagasan mengenai pentingnya penundaan usia perkawinan demi pemenuhan hak pendidikan remaja (perempuan) muncul dalam gugatan uji materiil Pasal 7 ayat (1) Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan Yayasan Kesehatan Perempuan ke Mahkamah Agung melalui perkara Nomor 30/PUU-XII/2014, muncul dalam alasan permohonan sebagaimana dikutip berikut, “Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 melindungi hak setiap orang untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan [...] demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Mandat konstitusi ini dilaksanakan dengan ketentuan sistem pendidikan nasional melalui wajib belajar selama 12 tahun. Apabila perkawinan pada perempuan usia 16 tahun dilaksanakan (yang artinya perempuan tersebut belum selesai menggunakan hak konstitusionalnya atas pendidikan selama 12 tahun) maka kerugian konstitusionalnya adalah negara tidak dapat membangun sumber daya manusia yang berkualitas.” 7 yang aman bagi remaja untuk memperoleh ilmu, bebas dari kekerasan dan diskriminasi. Sejauh mana institusi pendidikan—baik itu sekolah maupun universitas— telah mengusahakan “enabling environment” yang menyediakan tempat bagi remaja untuk memperoleh informasi yang membuatnya sehat agar di kemudian hari dapat meningkatkan peran dan kreativitasnya dalam mengasah potensi diri? Selama pendidikan belum mengarahkan remaja untuk memahami dan melindungi tubuhnya sendiri, selama itu pula pendidikan belum mampu menyediakan lingkungan yang sehat. Singkatnya, bagaimana mungkin Indonesia dapat bersaing secara global apabila manusianya saja sakit? Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual (PKRS) Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan.12 Adapun kesehatan seksual merujuk pada keadaan sejahtera secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata terbebas dari penyakit atau kecacatan dalam semua hal yang berkaitan dengan seksualitas seseorang. Kesehatan seksual memerlukan adanya penghargaan terhadap seksualitas seseorang, misalnya dalam hubungan seksual yang aman tanpa paksaan dan kekerasan.13 Tingkat pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi dan seksual yang rendah membuat remaja rentan akan potensi paksaan, kekerasan, eksploitasi, kehamilan yang tidak diinginkan, dan infeksi menular seksual, serta cenderung malu dan bingung apabila ingin bertanya seputar permasalahan kesehatan reproduksi dan seksual karena konten tersebut secara umum dianggap tabu untuk 12 Indonesia (a), Undang-undang Kesehatan, UU No. 36 Tahun 2009, LN No. 144 Tahun 2009, TLN No. 5063, Ps. 71. 13 Febrianto, op. cit., hlm. 2. 8 diperbincangkan, bahkan di ruang akademik sekalipun. Padahal, seksualitas14 merupakan bagian fundamental dari makhluk hidup, di mana keberagaman merupakan karakteristik dasarnya. Fita Rizki Utami, dari Aliansi Remaja Independen, mengatakan bahwa banyak remaja yang mencapai usia kedewasaan tanpa persiapan sehingga menyebabkan mereka mengalami konflik dan kebingungan terkait dengan seksualitas dan gender. Permasalahan inilah yang disasar oleh Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual (PKRS), dengan tujuan utamanya yakni mempersiapkan remaja dengan pengetahuan, keterampilan, serta nilai untuk membuat keputusan terkait dengan kehidupan sosial dan seksualnya untuk mencegah perilaku berisiko. PKRS yang efektif dapat diberikan kepada remaja sesuai dengan usia, budaya lokal, dan informasi ilmiah yang akurat sehingga remaja mampu mengeksplorasi sikap dan nilai-nilai, mempraktikkan pengambilan keputusan, serta membuat pilihan hidup mereka atas informasi mengenai kehidupan seksual.15 Dalam perancangan PKRS, terdapat lima komponen proses pembelajaran, antara lain: 1. Informasi. PKRS memberikan informasi yang akurat tentang seksualitas manusia, termasuk: pertumbuhan dan perkembangan, anatomi dan fisiologi seksual dan reproduksi, kontrasepsi, kehamilan dan persalinan, HIV & AIDS, infeksi menular seksual lainnya, dan perilaku seksual; 2. Nilai, sikap, dan norma sosial. PKRS memberikan kesempatan kepada remaja dan anak muda untuk mengeksplorasi nilai, sikap, dan norma (pribadi, keluarga, teman sebaya, dan komunitas) yang terkait dengan 14 Seksualitas merupakan pembahasan mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan ketubuhan manusia yang berasal dari pengalaman seks seseorang; seksualitas berisi hal-hal yang bersinggungan dengan kehidupan sosial, agama, budaya, dan politik. Rahmat Sah Saragih, Modul E-Course Pendidikan Seksualitas Komprehensif: Pengantar Seksualitas, (Jakarta: Aliansi Remaja Independen, 2013), hlm. 3. 15 Arya Dwiputra, et. al., “Pendidikan Seksualitas Komprehensif, Solusi Alternatif Pengurangan Masalah Kesehatan Reproduksi Remaja” (makalah Ujian Akhir Semester Analisis Kebijakan dan Perencanaan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Pasca Sarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial Depok, 2012), hlm. 4. 9 perilaku seksual, kesehatan, dan tindakan berisiko, pengambilan keputusan, dengan memperhatikan prinsip toleransi, penghargaan, kesetaraan gender, hak asasi manusia, dan keadilan sosial; 3. Keterampilan interpersonal dan hubungan. PKRS dapat mengembangkan keterampilan remaja dalam pengambilan keputusan, komunikasi asertif, negosiasi, dan melakukan penolakan. Keterampilan ini dapat berkontribusi pada hubungan kekeluargaan dan persahabatan yang lebih sehat dan produktif; 4. Tanggung jawab. PKRS dapat mendorong remaja untuk bertanggung jawab atas segala tindakannya dengan cara penghargaan, penerimaan, toleransi, dan empati terhadap orang lain tanpa melihat status kesehatan, sosial ekonomi, maupun gender. PKRS mendorong remaja untuk memahami kesetaraan gender, menolak kekerasan dalam pacaran, serta perilaku seksual yang aman dan bertanggung jawab. 5. Peer educator. Pendidik sebaya memiliki peran aktif dalam memberikan pembelajaran PKRS. Dapat dipahami bahwa tiap kelompok umur memerlukan pendekatan yang berbeda dalam mengenalkan kesehatan reproduksi dan seksual. Maka dari itu, pada tahun 2009, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), United Nations Population Fund (UNFPA), United Nations Programme on HIV & AIDS (UNAIDS), dan WHO mengeluarkan suatu panduan pendidikan seksualitas bagi sekolah, guru, dan pendidik kesehatan yang dinamakan International Technical Guidance on Sexuality Education: an evidence-informed approached for schools, teachers and health educators (ITGSE) di mana dalam silabusnya, panduan ini membagi tujuan pembelajaran dan ide pokok pembelajaran ke dalam empat tingkat usia, yakni: 1. Usia 5-8 tahun (Tingkat I); 2. Usia 9-12 tahun (Tingkat II); 3. Usia 12-15 tahun (Tingkat III); dan 4. Usia 15-18 tahun lebih (Tingkat IV). 10 Berdasarkan ITGSE, pada saat seseorang telah menuntaskan pendidikan wajibnya, ia diharapkan telah memahami secara utuh pembelajaran mengenai kesehatan reproduksi dan seksual. Bagaimana dengan Indonesia? ITGSE, dengan sifatnya yang hanya merupakan panduan, hingga saat ini belum diadopsi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ke dalam kurikulum nasional. Dengan demikian, pada saat seseorang telah menuntaskan pendidikan wajibnya di Indonesia—umumnya pada usia 19 tahun—belum tentu orang tersebut memahami kesehatan reproduksi dan seksual. Padahal, pada usia-usia tersebut justru frekuensi terpapar faktor risiko yang mengancam kesehatan reproduksi dan seksualnya semakin tinggi. Melanjutkan sketsa di atas, seorang remaja tamatan SMA yang tidak memahami kesehatan reproduksi dan seksual itu pun kemudian duduk di bangku perguruan tinggi. Sebagai mahasiswa, kembali, ia dituntut untuk berperan dan menjadi kreatif dalam mengasah kompetensi diri. Apabila remaja ini suatu ketika—akibat negara tidak membekalinya dengan pengetahuan terkait— terinfeksi HIV dan tidak mengakses terapi sebagaimana mestinya, apakah perannya sebagai mahasiswa aktif masih dapat ia laksanakan? Sketsa ini bukanlah lukisan di atas langit. Remaja seperti ini nyata adanya. Mereka adalah bukti hidup—atau setengah hidup—mengenai bagaimana negara seyogyanya mampu melihat kebutuhan akan PKRS bukan lagi berada pada tataran perdebatan ketabuannya. PKRS di Finlandia dan Inggris: Sebuah Perbandingan Singkat Finlandia, sebagai salah satu negara yang dikenal memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia,16 menerapkan PKRS dengan nama Education on 16 Penilaian ini diambil berdasarkan Programme for International Assessment (PISA) 2012 di mana Finlandia berada pada peringkat 12 dengan skor matematika 519, skor membaca 524, dan skor sains 545. Indonesia berada di peringkat dua terbawah, peringkat 64, dengan skor matematika 375, skor membaca 396, dan skor sains 382. Ami Sedghi, et. al., “PISA 2012 Results: Which Country Does Best at Reading, Maths and Science?” 11 Human Relationships and Sex (SRE) sejak tahun 1970 sebagai mata pelajaran wajib di sekolah. Dengan dasar kebijakan nasional yang jelas, penerapan PKRS di Finlandia dapat berdampak pada perubahan perilaku seksual remaja. Terbukti hingga tahun 1980-an, angka kehamilan tidak diinginkan dan aborsi pada remaja menurun. Namun pada tahun 1994, SRE diturunkan mandatnya menjadi mata pelajaran pilihan. Dampaknya, Finlandia mengalami kenaikan jumlah remaja yang melakukan aborsi sebesar 50,00%, kenaikan jumlah remaja yang memulai status seksual aktifnya pada usia 14 tahun, dan penurunan penggunaan alat kontrasepsi. Pada tahun 2001, Finlandia kembali memasukkan SRE sebagai mata pelajaran wajib. Guru-guru diberikan pelatihan. Peserta didik diberikan porsi 20 jam pelajaran per semester. Tren perilaku seksual pun kembali berubah, remaja perempuan kini cenderung menunda usia seksual aktif serta lebih banyak menggunakan alat kontrasepsi. Angka melahirkan dan aborsi pada remaja di Finlandia juga berkurang.17 Di Inggris, remaja yang memperoleh PKRS cenderung menunda hubungan seksual pertamanya pada usia yang lebih dewasa. Sebaliknya, tidak ditemukan bukti bahwa PKRS mendorong remaja untuk melakukan hubungan seksual lebih dini, sebagaimana ditemukan dalam penelitian oleh Kirby 2007,18 UNESCO 2009,19 dan NICE 2010.20 Pendekatan PKRS Inggris yang memberikan remaja pilihan dalam menentukan apakah ingin melakukan hubungan seksual secara aman atau tidak sama sekali (abstinensi) terbukti efektif. Hal ini sejalan dengan http://www.theguardian.com/news/datablog/2013/dec/03/pisa-results-country-best-reading-mathsscience, diunduh 30 Juli 2014. 17 Apter, “Sexuality education programmes and sexual health services; links for better sexual and reproductive health (SRH)” Entre Nous, The European Magazine for Sexual and Reproductive Health, 69, (2009) hlm. 12-14, sebagaimana dimuat dalam Lucy Emmerson, Does sex and relationshops education work?: A Sex Education Forum evidence briefing, (London: National Children’s Bureau, 2010). 18 Kirby, Emerging Answers 2007: Research Findings on Programs to Reduce Teen Pregnancy and Sexually Transmitted Diseases, (Washington DC: National Campaign to Prevent Teen and Unplanned Pregnancy, 2007). 19 UNESCO, International guidelines on sexuality education; an evidence informed approach to effective sex, relationships and HIV/STI education, (Paris: UNESCO, 2009). 20 NICE, “Public Health draft guidance: School, college and community-based personal, social, health and economic education focusing on sex and relationships and alcohool education” http://www.nice.org.uk/nicemedia/live/11673/49240/49240.pdf, diunduh 30 Juli 2014. 12 temuan bahwa program PRKS yang menekankan semata-mata pada abstinensi tidak berdampak kepada perubahan perilaku seksual ke arah yang lebih aman (Kirby, 2007). Pelaksanaan PKRS di Finlandia dan Inggris secara nyata berdampak pada perubahan perilaku seksual remaja. Perubahan yang dimaksud yakni berupa penundaan hubungan seksual, menurunkan frekuensi hubungan seks yang tidak aman, menurunkan jumlah partner seks, mengurangi risiko kehamilan yang tidak diinginkan, serta mengurangi risiko penularan HIV dan infeksi meluar seksual lainnya. Wacana penerapan PKRS di Indonesia seharusnya diiringi dengan kesadaran sedemikian rupa. Pengetahuan, keterampilan, serta nilai yang terdapat dalam PKRS idealnya dapat membentengi remaja dari perilaku berisiko, yang berarti menghindarkan mereka pula dari hal-hal yang dapat mengganggu proses optimalisasi kompetensi diri. Peluang Yuridis PKRS di Indonesia Mengingat kembali di tahun 1994 mengenai kesepakatan internasional di Kairo (The Cairo Consensus)21 tentang kesehatan reproduksi yang berhasil ditandatangani oleh 184 negara termasuk Indonesia, diputuskan tentang perlunya pendidikan seksualitas bagi para remaja. Dalam salah satu butir konsensus tersebut ditekankan tentang upaya untuk mengusahakan dan merumuskan perawatan kesehatan seksual dan reproduksi serta menyediakan informasi yang komprehensif termasuk bagi para remaja.22 Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, sesungguhnya bukan tidak mungkin PKRS diadopsi ke dalam kurikulum nasional. Pasal 3 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 21 The Cairo Consensus: The Right Agenda for the Right Time is the International Women’s Health Coalition’s (IWHC) analysis of the remarkable consensus forged at the United Nations’ International Conference on Population and Development (ICPD) in Cairo, September 1994. 22 Dwiputra, loc. cit. 13 merumuskan bahwa salah satu tujuan pendidikan nasional ialah megembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang sehat.23 Pada jenjang pendidikan tinggi, sehat juga turut menjadi tujuan penyelenggaraan pendidikan sebagaimana diamanatkan pada Pasal 5 huruf a Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.24 Informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan sesungguhnya merupakan hak setiap orang yang dijamin oleh pemerintah pada Pasal 72 huruf d dan Pasal 73 Undangundang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.25 Dengan demikian, sesungguhnya pemerintah sendiri telah mengakui pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi dan menjamin pendidikan kesehatan reproduksi bagi setiap orang, termasuk remaja, termasuk mahasiswa. Munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi juga kembali menegaskan kewajiban pemerintah mengadakan pendidikan kesehatan reproduksi. Bertujuan untuk mencegah dan melindungi remaja dari perilaku seksual berisiko dan perilaku berisiko lainnya yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi, serta mempersiapkan remaja untuk menjalani kehidupan reproduksi yang sehat dan bertanggung jawab, pelayanan kesehatan reproduksi remaja diberikan dengan menggunakan 23 Indonesia (b), Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 20 Tahun 2003, TLN No. 4301, Ps. 3. “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.” 24 Indonesia (c), Undang-undang Pendidikan Tinggi, UU No. 12 Tahun 2012, LN No. 158 Tahun 2012, TLN No. 5336, Ps. 5 huruf a. “Pendidikan Tinggi bertujuan: berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa.” 25 Indonesia (a), op. cit., Ps. 72 huruf d, “Setiap orang berhak memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan,” dan Pasal 73, “Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat, termasuk keluarga berencana.” 14 penerapan pelayanan kesehatan peduli remaja.26 Adapun peraturan pemerintah ini merumuskan apa yang dimaksud sebagai perilaku seksual berisiko antara lain seks pranikah yang dapat berakibat kehamilan tidak diinginkan, perilaku seksual berganti-ganti pasangan, aborsi tidak aman, dan perilaku berisiko tetular infeksi menular seksual termasuk HIV. Kemudian, perilaku berisiko lain yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi antara lain penyalahgunaan NAPZA dan perilaku gizi buruk yang dapat menyebabkan masalah gizi, khususnya anemia.27 Salah satu bentuk pelayanan kesehatan reproduksi remaja yang dimaksud ialah pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi yang meliputi materi sebagai berikut28 a. Pendidikan keterampilan hidup sehat; b. Ketahanan mental melalui keterampilan sosial; c. Sistem, fungsi, dan proses reproduksi; d. Perilaku seksual yang sehat dan aman; e. Perilaku seksual berisiko dan akibatnya; f. Keluarga berencana; dan g. Perilaku berisiko lain atau kondisi kesehatan lain yang berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi. Apabila dicermati, rincian materi sebagaimana terdapat dalam poin-poin di atas sebenarnya memiliki kemiripan dengan lima komponen proses pembelajaran PKRS serta kerangka ajar dalam ITGSE. Secara garis besar, PKRS versi Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dan versi ITGSE sama-sama berkutat pada pengenalan aspek biologis reproduksi, 26 Indonesia (d), Peraturan Pemerintah Kesehatan Reproduksi, PP No. 61 Tahun 2014, LN No. 169 Tahun 2014, TLN No. 5559, Ps. 11 ayat (1) dan (2). Dalam penjelasannya, “pelayanan kesehatan peduli remaja” diartikan sebagai pelayanan kesehatan yang ditujukan dan dapat dijangkau oleh remaja, menyenangkan, menerima remaja dengan tangan terbuka, menghargai remaja, menjaga kerahasiaan, peka akan kebutuhan terkait dengan kesehatannya, serta efektif dan efisien dalam memenuhi kebutuhan. 27 Ibid, penjelasan Ps. 11 ayat (1) huruf a. 28 Ibid, Ps. 12 ayat (2). 15 pencegahan perilaku seksual berisiko, serta aspek sosial reproduksi di mana terdapat pengajaran mengenai sikap, nilai, norma, dan keterampilan berkomunikasi asertif. Menarik untuk dicermati bahwa Pasal 12 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi mengatur agar pemberian materi komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai kesehatan reproduksi dilaksanakan melalui proses pendidikan formal, nonformal, serta melalui kegiatan pemberdayaan remaja sebagai pendidik sebaya atau konselor sebaya. Pada penjelasan pasal tersebut, diungkapkan bahwa yang dimaksud dengan “materi komunikasi, informasi, dan edukasi melalui pendidikan formal” adalah materi kesehatan remaja yang terdapat di dalam materi pendidikan yang dipergunakan dalam kurikulum sekolah. Gagasan PKRS sebenarnya memiliki peluang untuk diwujudkan, dilihat dari hadirnya sejumlah peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan dasar. Bahkan, telah ditegaskan pula oleh Pasal 12 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi agar pendidikan tersebut diintegrasikan ke dalam materi pendidikan formal yang dipergunakan dalam kurikulum sekolah. Sampai pada tahap ini, tinggal bagaimana kemauan politik pelaksana kebijakan dapat terus didorong dan dikawal agar PKRS benar-benar dapat diakses oleh remaja. Peran mahasiswa sebagai masyarakat sipil yang memiliki kekhususan karena kapasitas akademiknya memiliki peran di sini. Partisipasi Masyarakat Sipil Upaya mendorong pengintegrasian PKRS ke dalam kurikulum nasional kini tengah dilakukan oleh masyarakat sipil melalui lembaga akademis maupun organisasi non-pemerintah (ornop). Dari lembaga akademis, misalnya, Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (Puskagenseks UI) aktif membuat kajian dengan tujuan utama mewujudkan pengintegrasian PKRS (dengan nama Pendidikan Seksualitas Komprehensif) ke dalam revisi Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. 16 Mahasiswa, sebagai bagian dari masyarakat akademis, diharapkan dapat ambil bagian dalam upaya perubahan ini. Dengan terlebih dahulu memiliki pemahaman bahwa PKRS dapat mendukung terciptanya remaja yang mampu mengasah kompetensinya dengan baik sebagai hasil dari status kesehatannya yang olptimal, melalui disiplin ilmunya masing-masing mahasiswa dapat mendorong upaya integrasi PKRS ke dalam kurikulum nasional. Memberikan rekomendasi kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam bentuk policy brief, misalnya, dapat menjadi langkah yang digunakan oleh mahasiswa hukum. Lembar fakta mengenai pentingnya PKRS bagi remaja dapat disusun melalui penelitian oleh mahasiswa rumpun kesehatan dan sosial, sebagaimana nilai dan norma dikaji secara multidisipliner untuk menghasilkan kesimpulan yang mendukung kesesuaian PKRS terhadap konteks masyarakat Indonesia. Di sisi lain, ornop yang bergerak di isu kesehatan reproduksi dan seksual juga melakukan advokasi kebijakan ke pemerintah agar PKRS diintegrasikan ke dalam kurikulum nasional. Dalam salah satu dokumen rekomendasi yang disusun oleh Aliansi Remaja Independen untuk disampaikan pada 47th Session of the Commission on Population and Development di New York, 7-11 April 2014 lalu, salah satu poin yang diajukan adalah agar pemerintah menyelenggarakan PKRS.29 Selain mengadvokasikan PKRS ke pemerintah, ornop kerap menginisiasi kegiatan pemberian kapasitas kepada remaja sekolah maupun remaja umum terkait kesehatan reproduksi dan seksual. Beberapa ornop—dengan memanfaatkan panduan ITGSE—menyusun sendiri modul mengenai PKRS yang mereka gunakan untuk program masing-masing. Aliansi Remaja Independen sejak 2012 telah menyusun sepaket modul PKRS yang digunakan dalam program E-Course ARI on Comprehensive Sexuality Education. Hal serupa juga dilakukan oleh RAHIMA, sebuah ornop yang mendorong sekelompok guru, santri, serta instansi 29 Dokumen rekomendasi untuk 47th Session of the Commission on Population and Development ini disusun berdasarkan rekomendasi-rekomendasi yang pernah dimunculkan oleh delegasi remaja Indonesia pada 45th Commission on Population and Development yang bertema Adolescent and Youth (2012), Global Youth Forum (2012), UNFPA Global Survey and National Youth Consultation (2012), High-Level Panel on Eminent Persons (HLPEP), the 6th Asia-Pacific Population Conference (2013), the 7th Asia-Pacific Conference on Reproductive and Sexual Health and Rights (APCRSHR), serta pertemuan nasional Youth Forum (2013) yang dilaksanakan oleh Aliansi Satu Visi Indonesia. 17 pemerintah di Kabupaten Jombang, Lamongan, dan Kediri, Jawa Timur untuk terlibat dalam penyusunan modul PKRS yang rencananya akan digunakan oleh pendidik sebaya dalam menyampaikan materi PKRS secara non-formal di pesantren-pesantren setempat. Menarik untuk ditambahkan adalah kolaborasi lembaga akademik dengan onrop yang diwujudkan melalui penyusunan buku materi PKRS populer dengan judul Semua yang Mau Kamu Tahu Tapi Tabu oleh suatu kelompok kerja (pokja) yang dinamakan SEPERLIMA.30 Lebih lanjut lagi, upaya mengintegrasikan PKRS ke dalam kurikulum nasional tidak hanya menjadi perhatian masyarakat sipil. BKKBN, sebagai lembaga pemerintah non departemen yang bertugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang kependudukan dan keluarga berencana, melalui policy brief-nya turut mengeluarkan rekomendasi akan pentingnya menggalakan dan meningkatkan pelaksanaan kebijakan dan program peningkatan pengetahuan kesehatan reproduksi melalui jalur formal (sekolah, institusi pendidikan), non formal (melalui kelompok-kelompok yang ada di masyarakat, semisal Karang Taruna), dan informal (melalui keluarga).31 Dalam mewujudkan PKRS, sebenarnya pemerintah tidak perlu bekerja sendirian. Penyusunan PKRS dapat dilakukan dengan membentuk pokja di mana semua unsur yang berkepentingan dilibatkan, baik: instansi pemerintah yang membidangi pendidikan, kesehatan, dan pembangunan pemuda; kelompok masyarakat sebagai mitra pembangunan, di mana remaja, guru, dan orang tua menjadi unsurnya; serta pakar pendidikan dan kesehatan sebagai perwakilan dari akademisi. Kerjasama pemerintah dan masyarakat sipil dalam bentuk pokja sudah pernah dibentuk dalam isu penanggulangan HIV & AIDS, di mana unsur masyarakat yang diwakili oleh remaja populasi kunci (gay, waria, dan pekerja 30 SEPERLIMA merupakan suatu kelompok kerja (pokja) yang dibentuk berdasarkan upaya mewujudkan penyelenggaraan PKRS di setiap sekolah di Indonesia dengan melibatkan partisipasi aktif remaja di dalamnya. Organisasi yang tergabung dalam SEPERLIMA meliputi Hivos, Puskagenseks UI, RAHIMA, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), dan PAMFLET. 31 Wahyuni, op. cit., hlm. 3. 18 seks) dan unsur pemerintah yang diwakili oleh Komisi Nasional Penanggulangan AIDS (KPAN) dan Kementerian Kesehatan duduk bersama mencari solusi bagaimana agar layanan tes HIV dan terapi antiretroviral (ARV) dapat berjalan efektif di kalangan remaja populasi kunci. Dengan demikian, konsep kemitraan orang dewasa dan remaja (youth-adult partnership) dalam bidang pendidikan dan kesehatan sebenarnya bukanlah hal yang tidak mungkin. Kesimpulan Pendekatan paradigma optimalisasi kompetensi mahasiswa melalui PKRS perlu diketengahkan sebagai suatu kerangka berpikir di mana semua pihak memahami dengan baik keadaan sejahtera secara fisik-mental-sosial sebagai suatu faktor penting dalam optimalnya kompetensi mahasiswa. Bahwa 63,4 juta remaja Indonesia berhak memperoleh pengetahuan yang komprehensif mengenai kesehatan reproduksi dan seksualnya, hal tersebut menjadi tugas kita— mahasiswa—sebagai bagian dari masyarakat sipil untuk berkontribusi mendorong pemerintah melaksanakan apa yang sudah diamanatkan undang-undang. Mewujudkan kesehatan optimal bagi remaja melalui jalan pendidikan tak lain tak bukan adalah untuk memastikan agar sebelum berlari di arena persaingan yang sehat, kita semua berada pada garis start yang sama. 19 Daftar Pustaka Apter. “Sexuality education programmes and sexual health services; links for better sexual and reproductive health (SRH)” Entre Nous, The European Magazine for Sexual and Reproductive Health, 69, (2009) hlm. 12-14, sebagaimana dimuat dalam Lucy Emmerson, Does sex and relationships education work?: A Sex Education Forum evidence briefing. London: National Children’s Bureau, 2010. Dwiputra, Arya, et. al. “Pendidikan Seksualitas Komprehensif, Solusi Alternatif Pengurangan Masalah Kesehatan Reproduksi Remaja”. Makalah Ujian Akhir Semester Analisis Kebijakan dan Perencanaan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Pasca Sarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial Depok, 2012. Febrianto, Ryan Fajar. Modul E-Course Pendidikan Seksualitas Komprehensif: Anatomi, Fisiologi, Pubertas, dan Kehamilan. Jakarta: Aliansi Remaja Independen, 2013. Indonesia (a). Undang-undang Kesehatan, UU No. 36 Tahun 2009. LN No. 144 Tahun 2009, TLN No. 5063. ---------- (b). Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 20 Tahun 2003. TLN No. 4301. ---------- (c). Undang-undang Pendidikan Tinggi, UU No. 12 Tahun 2012. LN No. 158 Tahun 2012, TLN No. 5336. ---------- (d). Peraturan Pemerintah Kesehatan Reproduksi, PP No. 61 Tahun 2014. LN No. 169 Tahun 2014, TLN No. 5559. Kirby. Emerging Answers 2007: Research Findings on Programs to Reduce Teen Pregnancy and Sexually Transmitted Diseases. Washington DC: National Campaign to Prevent Teen and Unplanned Pregnancy, 2007. 20 Laporan Situasi Perkembangan HIV & AIDS di Indonesia Tahun 2013, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. NICE. “Public Health draft guidance: School, college and community-based personal, social, health and economic education focusing on sex and and relationships alcohool education” http://www.nice.org.uk/nicemedia/live/11673/49240/49240.pdf, diunduh 30 Juli 2014. Nilan, Pam, et. al. “Indonesian Youth Looking Towards the Future” dalam Journal of Youth Studies, Vol. 14, No. 6. September 2011. Rogeleonick, Aline. “Target 2015, Angka Partisipasi Kasar Perguruan Tinggi 35 Persen” http://www.kemdikbud.go.id/kemdikbud/berita/2083. Diunduh 30 Juli 2014. Saragih, Rahmat Sah. Modul E-Course Pendidikan Seksualitas Komprehensif: Pengantar Seksualitas. Jakarta: Aliansi Remaja Independen, 2013. UNESCO. International guidelines on sexuality education; an evidence informed approach to effective sex, relationships and HIV/STI education. Paris: UNESCO, 2009. Wahyuni, Dwi dan Rahmadewi. “Kajian Profil Penduduk Remaja (10-24 Tahun): Ada Apa dengan Remaja?” Policy Brief Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan Badan Kependudukan dan Keluaga Berencana Nasional Seri I No.6/Pusdu-BKKBN/Desember 2011. Desember 2011. 21