naskah publikasi hubungan kontrol diri dengan perilaku seksual

advertisement
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN KONTROL DIRI DENGAN
PERILAKU SEKSUAL REMAJA
Oleh:
ERLINA SAFITRI
QUROTUL UYUN
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM IDONESIA
YOGYAKARTA
2007
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN KONTROL DIRI DENGAN
PERILAKU SEKSUAL REMAJA
Telah Disetujui Pada Tanggal
Dosen Pembimbing
( Qurotul Uyun S. Psi., M. Si, Psikolog)
HUBUNGAN KONTROL DIRI DENGAN
PERILAKU SEKSUAL REMAJA
Erlina Safitri
Qurotul Uyun
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kontrol diri dengan
perilaku seksual pada remaja. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif
antara kontrol diri dengan perilaku seksual pada remaja. Semakin tinggi kontrol diri, maka
semakin rendah perilaku seksual remaja.
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMA Binatama. Teknik pengambilan sampel
yang digunakan adalah dengan menggunakan teknik sampling aksidental dengan jumlah
sampel penelitian sebanyak 60 orang.
Alat penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah Skala Perilaku
Seksual dan Skala Kontrol Diri. Metode analisis data yang digunakan adalah teknik korelasi
product moment dari Karl Pearson dengan bantuan komputer program SPSS 11 for Windows
xp.
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis data adalah bahwa terdapat hubungan
yang negatif yang sangat signifikan antara kontrol diri dengan perilaku seksual pada remaja
(r = -0,353, p < 0,01). Hasil tersebut memperlihatkan bahwa siswa yang memiliki kontrol diri
yang tinggi perilaku seksualnya rendah. Dengan demikian hipotesis yang diajukan dalam
penelitian yakni ada hubungan negatif antara kontrol diri dengan perilaku seksual pada
remaja dapat diterima kebenarannya.
Kata Kunci : perilaku seksual, kontrol diri, remaja.
IDENTITAS PENULIS
Nama
: Erlina Safitri
Alamat
: Lodadi no 15 Umbulmartani Ngemplak Sleman 55584
Telephon/HP
: 085668054508
PENGANTAR
Latar Belakang Masalah
Fenomena seks bebas di kalangan remaja akhir-akhir ini semakin banyak dijumpai dalam
masyarakat. Hal ini mengakibatkan sejumlah remaja melakukan pernikahan dini atau menikah
di bawah usia yang dianggap layak untuk melakukan pernikahan. Menurut Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pasal 7, usia boleh menikah bagi pria adalah 19 tahun dan
usia 16 tahun bagi wanita. Namun masyarakat terdidik memiliki persepsi yang berbeda bahwa
usia sekolah SMA sampai dengan Perguruan Tinggi dianggap sebagai usia dini. Oleh karena
itu, siswa SMA atau mahasiswa aktif yang melakukan pernikahan dianggap menikah di usia
dini karena pada usia tersebut anak masih sangat tergantung secara psikis maupun ekonomi
pada sokongan orangtuanya (Mbharasi, 2006).
Remaja yang terpaksa melakukan pernikahan dini akibat melakukan hubungan seks
pranikah dari tahun ke tahun terus meningkat. Hal itu didukung hasil beberapa penelitian yang
dilakukan di antaranya oleh BKKBN pada tahun 2003 menunjukkan jumlah remaja Indonesia
yang menikah sebelum berusia 15 tahun sebesar 7,5 persen dari seluruh jumlah remaja
Indonesia (Wilopo, 2004). Penelitian yang dilakukan terhadap 2.880 responden usia 15-24
tahun di enam kota di Jawa Barat juga memperlihatkan sebesar 39,65 persen responden pernah
melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Meskipun angka ini tidak bisa
menggambarkan perilaku seksual remaja di Indonesia, namun hasil survei tersebut layak untuk
dijadikan cermin bahwa perilaku seksual remaja sudah sampai taraf yang memprihatinkan.
Penelitian lain juga dilakukan pada bulan September 2005 oleh Diahhadi Setyonaluri dari
Lembaga Demografi FEUI dengan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
memperlihatkan sebanyak 30,4% remaja usia 11-14 tahun telah menikah (Diahhadi
Setyonaluri, 2005). Penelitian ini melingkupi 44 kecamatan di seluruh DKI Jakarta, termasuk
kepulauan seribu, dengan melibatkan 2.271 responden. Riri Wijaya dan Hadi (2007) juga
menyebutkan bahwa pada saat ini ada 82 juta remaja menikah di usia dini antara usia 15-18
tahun.
Dampak buruk dari pernikahan dini sebagai akibat perilaku seksual yang kurang baik
pada remaja adalah dapat menggangu kesehatan reproduksi remaja. Ketidaksiapan di bidang
ekonomi dapat menimbulkan berbagai masalah bagi pasangan yang menikah dini. Selain itu,
pasangan yang menikah dini juga lebih rentan terhadap perceraian karena kurangnya
kedewasaan dalam menyelesaikan atau memecahkan berbagai permasalahan dalam rumah
tangganya (Al-Ghifari, 2005).
Fenomena seks bebas pada sebagian remaja seperti yang terjadi pada akhir-akhir ini,
tidak terlepas dari minimnya pendidikan seks yang diterima anak baik dari lingkungan
keluarga maupun di sekolah. Sebagian masyarakat masih menganggap bahwa membicarakan
seks pada anak merupakan sesuatu hal yang tabu dan tidak layak dibicarakan. Kurangnya
pendidikan seks yang diterima remaja, mengakibatkan anak mencari informasi tentang segala
sesuatu yang berhubungan dengan seks dengan orang lain di luar rumah seperti pada temanteman.
Pentingnya pendidikan seks diberikan pada masa remaja sebagai masa peralihan dari
masa anak-anak menuju dewasa adalah agar anak memiliki pengertian dan pemahaman yang
benar mengenai seks. Pembekalan pendidikan seks pada masa remaja dapat menghindari atau
memperkecil risiko terjadi perilaku seksual yang salah atau menyimpang. Pada masa remaja,
seorang anak sedang mengalami suatu pematangan fisik dan pematangan sosial yang terjadi
pada saat yang bersamaan. Dalam pematangan fisik, remaja mengalami proses perubahan
struktur dan fungsi jasmaniah (fisiologis) yang mengarah pada kedewasaan fisik. Hal itu
ditandai dengan perubahan alat kelamin remaja baik remaja perempuan maupun laki-laki. Pada
masa ini, remaja harus dibekali pendidikan seks secara benar sehingga tidak menyalahgunakan
tubuhnya untuk aktivitas-aktivitas seks yang keliru.
Pentingnya pembekalan anak dengan pendidikan seks adalah untuk menghindari
terjadinya hubungan seks pranikah. Ajaran Islam menganggap bahwa perilaku hubungan
seksual pranikah merupakan perbuatan zina. Dosa zina dikategorikan sebagai dosa terbesar
setelah menyekutukan Allah SWT. Hal ini ditegaskan dalam sabda Rasulullah Saw bahwa
“Tidak ada dosa besar setelah syirik yang lebih besar bagi Allah daripada air sperma yang
diletakkan oleh laki-laki di dalam rahim perempuan yang tidak halal baginya (atau berzina).”
Allah SWT sangat murka kepada hamba-Nya yang melakukan perbuatan ini sehingga
menurunkan azab yang berat bagi para pezina. Perbuatan zina dapat menimbulkan berbagai
malapetaka seperti penyakit menular seksual, pelacuran, dan kriminalitas. Larangan Allah
SWT pada hamba-Nya untuk tidak berbuat zina terdapat dalam QS. Al-Isra’: 32 dan QS. AlBaqarah: 169. Dalam QS. Al-Isra’: 32, Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu
mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang
buruk.” Perbuatan zina juga menuai hukuman yang berat bagi para pelakunya. Hukuman bagi
pelaku zina adalah kifarat bagi dosa zinanya. Dasar penetapan hukum bagi pezina sesuai
dengan dalil-dalil yang diterangkan dalam QS. An-Nisa: 15 berikut:
Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji (zina), hendaklah ada
empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka
telah memberikan persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam
rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain
kepadanya.
Meskipun terdapat larangan-larangan melakukan hubungan seks pranikah seperti
dikemukakan di atas, namun perilaku seks sekarang ini seperti yang terjadi di kalangan remaja
tetap banyak terjadi. Pemahaman seks yang kurang tepat oleh remaja, mengakibatkannya
mudah terjerumus pada perilaku seks bebas seperti berpegangan tangan, berciuman,
berpelukan, melakukan hubungan intim dengan pacar, melakukan hubungan seks sebelum
menikah (sexual intercouse pre-marital), melakukan hubungan seks dengan berganti-ganti
pasangan, bahkan terjun sebagai pekerja seks komersial (PSK). Pengertian atau pemahaman
remaja yang keliru mengenai seks tercermin dari cara pandang sebagian remaja yang
beranggapan bahwa seorang remaja yang belum melakukan hubungan seks dianggap orang
yang ketinggalan zaman dan kurang gaul.
Pemahaman yang keliru mengenai seks mendorong remaja terjerumus pada perilaku seks
bebas terutama yang tinggal di kota-kota besar. Bagi sebagian remaja, menganggap bahwa
virginitas bukan lagi sesuatu yang penting dijaga atau dipertahankan oleh seorang perempuan.
Akibatnya, banyak remaja yang terjerumus pada perilaku seksual pranikah yakni dengan cara
melakukan hubungan intim dengan pacar sebelum menikah. Hal ini dapat juga berpengaruh
bagi remaja yang berusaha mempertahankan dan menjunjung virginitas yakni dengan cara
ikut-ikutan melakukan hubungan seks pranikah agar dianggap gaul dan modern.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku seksual remaja adalah karena rasa ingin
tahu yang besar untuk mencoba segala hal yang belum diketahui. Hal itu erat kaitannya
dengan ciri-ciri remaja pada umumnya yang ingin mengetahui banyak hal yang hanya dapat
dipuaskan serta diwujudkannya melalui pengalamannya sendiri (Learning by doing).
Perilaku seksual pranikah pada umumnya juga dapat dipicu karena tekanan sosial,
misalnya pengaruh lingkungan yang mendorong rasa ingin tahu dan menumbuhkan minat
terhadap seks. Hal ini membuat remaja selalu berusaha mencari banyak informasi mengenai
seks, membaca atau menonton adegan yang mampu merangsang dan menimbulkan perilaku
seksual (Hurlock, 1999). Banyaknya media informasi yang memperlihatkan adegan seks, juga
cenderung membuat generasi muda tergoda untuk mencoba (Sarwono, 1995).
Perilaku seksual remaja dapat dicontohkan dengan berbagai kasus yang menimpa
remaja. Sarlito mencontohkannya dengan sepasang remaja yang melakukan bunuh diri di rel
kereta api seperti yang dikutip dari Harian Kompas 24 April 1988. Remaja laki-laki yang baru
berusia 17 tahun dan perempuan berusia 13 tahun, nekad melakukan bunuh diri secara
bersama-sama dengan cara merebahkan diri di rel kereta api yang sedang melaju cepat dari
arah Jakarta menuju Bogor sambil berpelukan. Alasan tindakan bunuh diri yang dilakukan
sepasang remaja ini adalah untuk menutupi aib orangtuanya karena telah melakukan hubungan
intim layaknya suami isteri.
Dariyo (2004) mengemukakan kasus sepasang kekasih yang sedang menuntut ilmu di
sebuah perguruan tinggi. Sepasang kekasih yang sama-sama tinggal di asrama telah
berpacaran selama satu setengah tahun. Selama berpacaran, pasangan ini telah sering
melakukan hubungan suami isteri sehingga mengakibatkan perempuan hamil 4,5 bulan. Untuk
menutupi aibnya, pasangan ini memutuskan untuk menggugurkan kandungan melalui jasa
seorang bidan dengan membayar jasa sebesar Rp. 2.000.000.-. Proses aborsi yang tidak
berjalan dengan baik mengakibatkan perempuan kehilangan nyawa karena mengalami
pendarahan yang hebat.
Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja adalah kontrol diri.
Kontrol diri (self control) dapat diartikan sebagai kemampuan mengatur proses fisik,
psikologis, dan perilaku dalam menghadapi stimulus sehingga dapat menghindari konsekuensi
yang tidak diinginkan (Calhoun dan Acocella, 1990). Safarino (1997) mengemukakan bahwa
kontrol diri diperlukan untuk mengatur perilaku yang diinginkan dan yang tidak diinginkan
pada saat seseorang berhadapan dengan stimulus-stimulus. Berdasarkan pengertian tersebut
dapat dikatakan bahwa kontrol diri merupakan salah satu faktor dari dalam diri manusia yang
sangat penting sehingga dapat terhindar dari perilaku seksual pranikah di kalangan remaja.
Kontrol diri yang tinggi sangat dibutuhkan sehingga seorang individu tidak gampang
terpengaruh oleh stimulus yang bersifat negatif (Walgito, 2002).
Keterkaitan kontrol diri dengan perilaku seksual remaja dapat dilihat dari tingginya seks
pranikah pada remaja. Seorang remaja yang tidak mampu mengendalikan diri, mengakibatkan
dirinya terjerumus ke dalam kehidupan seksual bebas, misalnya seks pranikah, kumpul kebo,
dan prostitusi yang berakibat negatif pada diri sendiri seperti terjangkit STD’s (seksually
transmitted diseases), kehamilan (pregnancy) dan drop out dari sekolah. Seseorang yang
mempunyai pengetahuan yang memadai mengenai seks, namun apabila tidak disertai dengan
kontrol diri yang kuat akan jatuh pada perilaku seksual yang tidak sehat (Dariyo, 2004).
Hasil-hasil penelitian mendukung keterkaitan kontrol diri dengan perilaku seksual dapat
dikemukakan seperti penelitian yang dilakukan Safardan (2003) yang meneliti mengenai
variabel-variabel yang mempengaruhi remaja untuk melakukan hubungan seks ditinjau dari
model Planned Behavior Theory (Fishben & Ajzen). Hasil penelitiannya memperlihatkan ada
hubungan negatif antara planned behavior control (PBC) dengan perilaku seks remaja.
Semakin tinggi planned behavior control maka semakin rendah perilaku seks remaja.
Sebaliknya, semakin rendah planned behavior control maka semakin tinggi intensi untuk
melakukan hubungan seks di kalangan remaja.
Hasil penelitian lain yang mendukung dikemukakan oleh Suri (2004) mengenai
hubungan antara konformitas dan pengetahuan seksual dengan persimisivitas perilaku seksual
pada remaja. Hasil penelitin tersebut menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara
konformitas, dan pengetahuan seksual dengan permisivitas perilaku seksual pada remaja.
Semakin tinggi konformitas dan pengetahuan seksual remaja maka semakin rendah
persimisivitas perilaku seksual pada remaja. Sebaliknya, semakin rendah konformitas dan
pengetahuan seksual remaja maka semakin tinggi persimisivitas perilaku seksual pada remaja.
Rendahnya kontrol diri remaja sehingga mengakibatkan perilaku seksual tinggi didukung
oleh Boyke sebagai salah seorang dokter yang banyak menangani masalah-masalah seputar
seksual. Menurutnya, sebesar 16 - 20% remaja yang datang berkonsultasi telah melakukan
hubungan seks pranikah. Dalam catatannya jumlah kasus itu cenderung naik, dibandingkan
dengan awal tahun 1980-an yang hanya berkisar 5 - 10%. Penelitian lain dilakukan oleh
Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis dan Humaniora (LSCK
PUSBIH) kepada mahasiswi diYogyakarta. Hasil penelitian memperlihatkan hampir 97,05
persen mahasiswi di Yogyakarta sudah hilang keperawanannya saat kuliah. Hal ini
mengindikasikan rendahnya kontrol diri sehingga mudah terjerumus pada perilaku seksual
yang tidak sehat.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut memperlihatkan bahwa kontrol diri memiliki
keterkaitan dengan perilaku seksual pada remaja. Keterkaitan antara kontrol diri dengan
perilaku seksual pada remaja memperlihatkan bahwa kemampuan mengendalikan diri remaja
berperan penting dalam menekan perilaku seksual. Kontrol diri yang tinggi dapat menekan
kecenderungan perilaku seksual remaja. Dengan adanya kontrol diri yang kuat, remaja dapat
menekan stumulus-stimulus negatif baik dari dalam diri maupun dari luar diri yang dapat
mempengaruhi perilaku seksual remaja. Dengan kata lain, perilaku seksual pada remaja dapat
ditekan apabila terdapat kontrol diri yang kuat. Sebaliknya, kontrol diri yang lemah akan
mengakibatkan tingginya perilaku seksual.
Tinjauan Pustaka
Pengertian Perilaku Seksual Pada Remaja
Perilaku merupakan reaksi yang timbul akibat adanya dorongan stimulus baik yang
bersumber dari dalam maupun luar diri individu. Reaksi yang timbul atas adanya stimulus
dapat bersifat sederhana, kompleks, dan diferensial. Hal ini dimaksudkan bahwa stimulus yang
sama tidak selalu menimbulkan reaksi yang sama pula pada individu. Sebaliknya, reaksi yang
sama belum tentu disebabkan oleh stimulus yang sama (Azwar, 2003).
Seksual merupakan suatu konsep dan konstruksi sosial terhadap nilai, orientasi, dan
perilaku yang berkaitan dengan seks (Raharjo, 1996). Seks adalah ciri-ciri anatomi biologis
yang memberikan pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Menurut Gunarsa dan Gunarsa
(2000), seksual adalah dorongan yang timbul untuk melakukan hubungan fisik dengan lawan
jenis yang disertai dengan kematangan organ-organ seks.
Remaja (adolescence) merupakan masa transisi dari masa anak ke dewasa yang ditandai
dengan adanya perubahan-perubahan fisik maupun psikis (Hurlock, 1999). Ditinjau dari
golongan usia, remaja berkisar antara usia 12 sampai dengan 21 tahun. Menurut Sarwono
(2005), remaja identik dengan usia belasan tahun yang menunjukkan tingkah laku tertentu.
Monks dkk (2004) mengungkapkan bahwa masa remaja memiliki kedudukan yang tidak jelas
dalam rangkaian proses perkembangan individu. Hal ini disebabkan pada masa remaja, anak
masih belum selesai perkembangannya tetapi sudah mengalami perubahan baik dari segi fisik
maupun psikisnya. Remaja tidak termasuk golongan anak, tetapi juga tidak termasuk dalam
golongan orang dewasa. Remaja masih belum mampu menguasai fungsi-fungsi fisik dan
psikisnya.
Perilaku seksual pada remaja merupakan segala bentuk perilaku yang dilakukan oleh
anak dengan usia antara 12 hingga 21 tahun akibat adanya dorongan seksual (Tim Sahabat
Remaja Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, 2003). Menurut Nurharjadmo (1999),
perilaku seksual merupakan reaksi yang timbul berdasarkan pengalaman, persepsi,
pemahaman, dan penafsiran atas situasi atau stimulus yang berkaitan dengan seks. Perilaku
seksual individu dipengaruhi oleh lingkungannya. Sarwono (1981) mengungkapkan bahwa
lingkungan berpengaruh penting dalam proses perkembangan seksualitas manusia.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual
pada remaja merupakan segala reaksi yang dilakukan oleh anak dengan usia antara 12 sampai
dengan 21 tahun akibat adanya dorongan seksual yang timbul berdasarkan pengetahuan atau
persepsi, pemahaman, penafsiran, dan pengalaman.
Perilaku seksual mencakup dimensi yang luas di antaranya adalah dimensi biologis,
psikologis, sosial, dan kultural (Pratiwi, 2004). Dimensi-dimensi perilaku seksual memiliki
cakupan yang luas yaitu biologis, psikologis, sosial, dan kultural. Dimensi biologis berkaitan
dengan kematangan organ reproduksi, dimensi psikologis berkaitan dengan menjalankan
fungsi dan peran sebagai makhluk seksual, dimensi sosial berkaitan dengan pembentukan
pandangan mengenai perilaku seksual, dan dimensi kultural berkaitan dengan membudayakan
keterbukaan dalam memberi dan menerima informasi tentang perilaku seksual.
Menurut Wagner dan Yatim (1997), perilaku seksual dapat dibedakan berdasarkan
bentuk, jenis, dan caranya. Berdasarkan bentuknya, perilaku seksual dapat dikategorikan
menjadi 2 (dua) yaitu masturbasi atau onani dan senggama. Perilaku seks menurut jenisnya
juga dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu homoseksual dan heteroseksual. Berdasarkan caranya,
perilaku seksual dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu oral seks, anal seks atau
sodomi,vaginal seks.
Gunarsa dan Gunarsa (2000) mengungkapkan bahwa bentuk-bentuk perilaku seksual
pada remaja dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. Masturbasi
Perilaku seksual ini seringkali dianggap sebagai kebiasaan buruk. Perilaku ini dapat
menimbulkan goncangan-goncangan pribadi dan emosional. Penyebab dari perilaku
seksual ini di antaranya adalah unsur ketidaksengajaan, pengaruh dari teman, dan
rangsangan atau stimulus yang timbul melalui gambar atau film.
b. Pacaran
Perilaku seksual ini dapat mengarah pada terjadinya hubungan seksual. Remaja yang
berpacaran pada awalnya menunjukkan perilaku seksual yang ringan seperti bersentuhan,
berpegangan tangan, sampai pada berciuman. Perilaku seksual yang ringan tersebut secara
lebih lanjut dapat menimbulkan dorongan yang lebih besar untuk melakukan perilaku seks
yang lebih berat seperti menyentuh organ-organ seks pasangan sampai dengan melakukan
hubungan seks.
c. Senggama
Perilaku seksual ini mengarah pada pemuasan dorongan seks. Perilaku ini
menunjukkan kegagalan remaja untuk mengendalikan diri atau meredam dorongan seks
dan mengalihkannya pada kegiatan-kegiatan lain yang sebenarnya dapat dilakukan.
Remaja yang melakukan perilaku seksual ini cenderung kurang stabil kepribadiannya
karena terlalu mengikuti dorongan yang hanya mendasarkan pada prinsip kesenangan
tanpa memperhitungkan konsekuensinya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual remaja secara
garis besar dapat dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu masturbasi, pacaran, dan senggama.
Masturbasi sebagai bentuk perilaku seksual dilakukan dengan menyentuh, meraba, dan
mempermainkan alat kelaminnya sendiri. Pacaran sebagai bentuk perilaku seksual ringan
dilakukan secara berpasangan dengan saling menyentuh, memegang, dan mencium. Sementara
senggama sebagai bentuk perilaku seksual juga dilakukan secara berpasangan tetapi tergolong
perilaku yang berat karena hanya untuk mengejar kesenangan tanpa mempertimbangkan
konsekuensinya. Dalam penelitian ini, perilaku seksual pada remaja diukur dengan mengacu
pada bentuk-bentuk yang dikemukakan oleh Gunarsa dan Gunarsa (2000) yaitu masturbasi,
pacaran, dan senggama.
Pengertian Kontrol Diri
Kontrol diri merupakan kemampuan membaca situasi diri dan lingkungan serta
mengelola faktor-faktor perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi. Kontrol diri juga dapat
diartikan sebagai kemampuan menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan berbagai
bentuk perilaku yang mengarah pada konsekuensi positif. Menurut Lazarus (1976), kontrol
diri merupakan kemampuan individu mengambil keputusan melalui pertimbangan kognitif
untuk menyatukan perilaku yang telah disusun guna mencapai hasil dan tujuan yang
diinginkan.
Kontrol diri didefinisikan Roberts (1991) sebagai suatu jalinan yang secara utuh atau
terintegrasi antara individu dengan lingkungannya. Individu yang memiliki kontrol diri tinggi
berusaha menemukan dan menerapkan cara yang tepat untuk berperilaku dalam situasi yang
bervariasi. Kontrol diri mempengaruhi individu untuk mengubah perilakunya sesuai dengan
situasi sosial sehingga dapat mengatur kesan lebih responsif terhadap petunjuk situasional,
fleksibel, dan bersikap hangat serta terbuka.
Menurut Strayhorn (2002), kontrol diri merupakan kemampuan untuk menghadapi
berbagai kesulitan. Kontrol diri memiliki hubungan tetapi tidak diidentikkan dengan kapasitas
pemusatan perhatian.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kontrol diri
merupakan kemampuan individu untuk menahan diri atau mengendalikan dorongan-dorongan
dari dalam dirinya agar tidak menunjukkan perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai dan
norma-norma yang berlaku di masyarakat. Individu yang memiliki kontrol diri yang kuat dapat
menemukan cara berperilaku yang tepat untuk mengatasi permasalahan yang dihadapinya.
Sebaliknya, individu yang kontrol dirinya lemah cenderung kurang mampu mengatasi
permasalahan yang dihadapi.
Menurut Lazarus (1979), salah satu jenis kontrol diri adalah under control. Under control
merupakan kecenderungan individu untuk melepaskan impuls dengan bebas tanpa
memperhitungkan segala kemungkinan akibat yang akan muncul. Individu yang berada dalam
kondisi under control memiliki kecenderungan untuk melepaskan impuls atau dorongan dari
dalam diri dengan bebas tanpa memperhitungkan segala kemungkinan akibat yang muncul.
Perrone dkk (2004) mengemukakan bahwa individu yang memiliki impulsivitas mampu
mengendalikan desakan atau dorongan yang timbul dari dalam diri sehingga remaja yang
kontrol dirinya tinggi cenderung mampu menahan diri untuk tidak berperilaku seks bebas.
Selain impulsivitas, individu yang mampu memusatkan diri untuk menekan beragamnya
dorongan yang timbul dari dalam diri juga mencerminkan kontrol diri yang tinggi. Remaja
dengan pemusatan diri yang tinggi akan mampu menekan dorongan seksual yang timbul
dengan berkonsentrasi pada hal atau dorongan yang lain.
Averill (dalam Zulkarnain, 2002) menggunakan istilah kontrol personal untuk menyebut
kontrol diri. Kontrol personal mencakup 3 (tiga) jenis yaitu kontrol perilaku (behavior
control), kontrol kognitif (cognitive control), dan kontrol keputusan (decisional control).
Ketiga jenis tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Kontrol perilaku (behavior control)
Kontrol perilaku menunjukkan kesiapan suatu respon yang secara langsung dapat
mempengaruhi atau memodifikasi keadaan yang tidak menyenangkan. Kontrol perilaku
dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
1) Kemampuan mengatur pelaksanaan (regulated administration), yaitu kemampuan
individu menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan yaitu dirinya atau
orang lain.
2) Kemampuan memodifikasi stimulus (stimulus modifiability), yaitu kemampuan
individu mengetahui cara dan waktu menghadapi stimulus yang tidak dikehendaki.
Stimulus dapat dihadapi dengan menggunakan beberapa cara di antaranya adalah
mencegah atau menjauhi stimulus, menempatkan tenggang waktu diantara rangkaian
stimulus yang sedang berlangsung, dan menghentikan stimulus sebelum waktunya
berakhir serta membatasi intensitasnya.
b. Kontrol kognitif (cognitive control)
Kontrol kognitif menunjukkan kemampuan individu mengolah informasi yang tidak
dikehendaki dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menghubungkan suatu kejadian
dalam kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis. Kontrol kognitif terdiri dari dua
komponen yaitu:
1) Kemampuan memperoleh informasi (information gain), yaitu kemampuan individu
mengantisipasi keadaan atau peristiwa baik atau buruk melalui pertimbangan yang
objektif terhadap informasi yang diperoleh. Informasi mengenai keadaan yang tidak
menyenangkan dapat membantu individu untuk mengantisipasi keadaan tersebut
dengan berbagai pertimbangan.
2) Kemampuan melakukan penilaian (appraisal), yaitu kemampuan menilai dan
menafsirkan keadaan atau peristiwa tertentu dengan memperhatikan segi-segi positif
secara objektif.
c. Kontrol keputusan (decisional control)
Kontrol keputusan menunjukkan kemampuan individu menentukan hasil atau tujuan
yang diinginkan. Kontrol keputusan dapat berfungsi dengan baik apabila terdapat
kesempatan dan kebebasan dalam diri individu untuk memiliki berbagai kemungkinan
tindakan.
Dari uraian jenis-jenis kontrol diri tersebut dapat ditentukan aspek-aspek yang
digunakan untuk mengukur kontrol diri. Aspek-aspek kontrol diri adalah sebagai berikut:
a. Kemampuan mengontrol perilaku
b. Kemampuan mengontrol stimulus
c. Kemampuan mengantisipasi suatu peristiwa atau kejadian
d. Kemampuan menafsirkan peristiwa atau kejadian
e.
Kemampuan mengambil keputusan
Keterkaitan Kontrol Diri dengan Perilaku Seksual Remaja
Kontrol diri memiliki keterkaitan dengan perilaku seksual pada remaja. Keterkaitan
antara kontrol diri dengan perilaku seksual pada remaja memperlihatkan bahwa kemampuan
mengendalikan diri remaja berperan penting dalam menekan perilaku seksualnya. Perilaku
seksual pada remaja dapat ditekan apabila terdapat kontrol diri yang kuat. Remaja yang
memiliki kontrol diri kuat mampu menahan atau mengendalikan dorongan-dorongan seksual
yang timbul dari dalam dirinya. Setiap dorongan seksual yang muncul dapat dikendalikan
remaja dengan cara mengalihkan pikiran dalam arti tidak memikirkan hal-hal yang dapat
semakin mendorong gairah seksualnya. Selain itu, remaja yang memiliki kontrol diri kuat juga
dapat mengalihkan timbulnya dorongan seksual pada kegiatan-kegiatan yang bermanfaat
seperti olah raga atau terlibat dalam kegiatan sosial. Banyaknya aktivitas atau kegiatan yang
dilakukan oleh remaja merupakan salah satu faktor yang dapat meminimalkan terjadinya
perilaku seksual dalam bentuk apapun.
Perilaku seksual pada remaja dipengaruhi oleh banyak faktor seperti perubahan
hormonal, pergaulan bebas, pemahaman yang kurang mengenai seks, dan kontrol diri. Remaja
yang mampu mengatur dirinya akan berkurang perilaku seksualnya dibandingkan dengan
remaja yang merasa dirinya mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar dirinya (Sarwono,
2005). Selain itu, remaja yang ingin dikagumi atau membutuhkan pengakuan dari lawan jenis
tentang tubuhnya juga kurang memiliki kontrol diri terhadap perilaku seksualnya. Kontrol diri
remaja yang lemah mengakibatkan terjadinya perilaku seksual seperti berpegangan tangan,
berpelukan, berciuman, memegang alat kelamin, bahkan berhubungan seksual. Perkembangan
hormonal pada diri remaja tanpa disertai dengan pengetahuan yang memadai tentang
seksualitas menyebabkan remaja kurang mampu mengolah atau mengendalikan diri atas
peningkatan libidonya (Dariyo, 2004).
Kontrol diri pada remaja mencakup tiga aspek yaitu kontrol perilaku, kognitif, dan
keputusan (Averill, 1993). Ketiga aspek tersebut berperan penting dalam mengendalikan
perilaku seksual yang muncul akibat adanya dorongan atau impuls yang berkaitan dengan
seksual. Perilaku seksual pada remaja menyangkut berbagai dimensi yaitu biologis, psikologis,
sosial, dan kultural (Pratiwi, 2004). Remaja yang memiliki kontrol perilaku, kognitif, dan
keputusan kuat akan mampu memahami dengan baik fungsi organ tubuhnya terutama organ
seksualnya, menjaga perasaannya terhadap seksualitasnya sendiri, mencari informasi yang
benar dan tepat mengenai seks, dan berperan serta dalam menyebarkan informasi tentang seks
kepada masyarakat secara lebih luas.
Rasa ingin tahu remaja yang tidak ditunjang dengan pengetahuan dan pemahaman yang
memadai tentang seks dapat memperlemah kontrol dirinya. Hal ini disebabkan remaja hanya
ingin memuaskan rasa ingin tahunya tanpa mempertimbangkan atau memperhitungkan segala
konsekuensi atas perilakunya. Oleh sebab itu, informasi yang tepat mengenai seks penting
bagi kalangan remaja agar dapat meningkatkan kontrol dirinya terhadap dorongan-dorongan
yang mengarah pada timbulnya perilaku seksual. Dengan demikian, semakin kuat kontrol diri
yang dimiliki remaja, maka perilaku seksualnya semakin rendah. Sebaliknya, apabila kontrol
diri yang dimiliki remaja semakin lemah, maka perilaku seksualnya semakin tinggi.
Hipotesis
Ada hubungan negatif antara kontrol diri dengan perilaku seksual pada remaja. Semakin
kuat kontrol diri maka perilaku seksual pada remaja semakin rendah. Sebaliknya, semakin
lemah kontrol diri maka perilaku seksual pada remaja semakin tinggi.
Metode Penelitian
Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel tergantung
: perilaku seksual pada remaja (Y)
2. Variabel bebas
: kontrol diri (X)
Subjek Penelitian
Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian yaitu semua individu yang hendak
dikenai generalisasi dari kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari sampel penelitian
(Arikunto, 2002). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMA Binatama Sleman
Yogyakarta. Dari populasi tersebut diambil contoh atau sampel yang diharapkan dapat
mewakili populasi. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah sampling aksidental
yakni pengambilan sampel secara kebetulan bertemu dengan peneliti (Nasution, 2000). Jumlah
sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 60 orang
Metode Pengumpulan Data
Skala dalam penelitian ini terdiri dari dua yaitu perilaku seksual pada remaja dan kontrol
diri. Jumlah aitem yang disusun pada skala perilaku seksual adalah sebanyak 30 aitem.
Sementara untuk skala kontrol diri sebanyak 40 aitem. Kedua skala menggunakan model
rating yang dijumlahkan (method of summated ratings) terdiri dari dua yaitu aitem favorable
dan unfavorable. Aitem favorable adalah pernyataan yang disusun searah dengan konsep yang
dikemukakan, sedangkan aitem unfavorable adalah pernyataan yang disusun berlawanan
dengan konsep yang dikemukakan.
Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistik dengan
teknik korelasi product moment. Penggunaan metode analisis tersebut sesuai dengan tujuan
penelitian yaitu untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara kontrol diri dengan perilaku
seksual pada remaja. Untuk dapat melakukan analisis tersebut, terlebih dahulu dilakukan uji
asumsi yaitu uji normalitas dan linearitas. Pengujian terhadap hipotesis ini dilakukan dengan
menggunakan uji korelasi product moment K Pearson. Data yang diperoleh diolah dengan
menggunakan bantuan komputer yaitu program SPSS (Software Statistical Package for Social
Sciences) versi 11.0.
Hasil Penelitian
Deskripsi Data Penelitian
Perilaku seksual antara siswa laki-laki dan perempuan tergolong dalam kategori sedang.
Hal ini ditunjukkan dengan frekwensi responden yang sebagian besar memiliki total jawaban
pada kategori sedang. Akan tetapi, perilaku seksual pada siswa perempuan tergolong lebih
tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Hal tersebut dapat dilihat dari rerata empirik perilaku
seksual pada perempuan yang lebih besar dibandingkan dengan laki-laki yakni sebesar 68,86
yang terdapat dalam rentang nilai 53,95 ? X < 83,76 sedangkan laki-laki sebesar 61,21 yang
berada pada rentang nilai 46,88 ? X < 75,53.
Data memperlihatkan bahwa kontrol diri siswa tergolong dalam kategori sedang. Hal ini
ditunjukkan dengan sebagian besar responden yang total jawabannya termasuk dalam kategori
tersebut. Selain itu, kontrol diri yang sedang juga ditunjukkan dengan rerata empirik sebesar
111,93 yang berada pada rentang nilai 94,50 ? X < 129,36.
Uji Normalitas
Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 11.0 dengan
teknik kolmogorove-smirnov test. Hasil pengujian memperlihatkan bahwa data pada
variabel perilaku seksual pada remaja terdistribusi normal. Hal ini ditunjukkan dengan nilai
KS-Z sebesar 0,700 dengan asymp. sig. sebesar 0,712 (p > 0,05). Data pada variabel
kontrol diri juga terdistribusi normal yang ditunjukkan dengan nilai KS-Z sebesar 1,336
dengan asymp. sig. sebesar 0,056 (p > 0,05).
Uji Linearitas
Hasil uji linearitas memperlihatkan bahwa variabel bebas yaitu kontrol diri memiliki
hubungan yang linear dengan variabel tergantung yaitu perilaku seksual pada remaja. Hal
ini ditunjukkan dengan nilai F yang diperoleh sebesar 6,395 dengan nilai signifikansi
sebesar 0,017 (p < 0,05).
Uji Hipotesis
Hasil analisis memperlihatkan bahwa hubungan atau korelasi (r) antara variabel kontrol
diri dengan variabel perilaku seksual pada remaja adalah sebesar –0,353 dengan p sebesar
0,003, sehingga p < 0,01. Hal ini berarti bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan
antara variabel kontrol diri dengan variabel perilaku seksual. Dengan demikian, hipotesis yang
diajukan dapat diterima kebenarannya.
Adanya hubungan negatif variabel kontrol diri dengan variabel perilaku seksual pada
remaja juga ditunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,125. Hal ini berarti bahwa
sumbangan efektif variabel kontrol diri terhadap perilaku seksual pada remaja adalah sebesar
0,125 atau 12,5%.
Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis korelasi product moment dari Pearson diperoleh hasil nilai
koefisien korelasi sebesar –0,353 dengan nilai p sebesar 0,003 yang berarti bahwa nilai p lebih
kecil dari tingkat signifikansi yang ditentukan yakni 0,01. Hasil tersebut memperlihatkan
bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara kontrol diri dengan perilaku
seksual pada remaja yang menunjukkan semakin tinggi kontrol diri pada remaja, maka
semakin rendah perilaku seksual pada remaja atau siswa SMA Binatama Sleman Yogyakarta.
Kontrol diri mampu menjelaskan perilaku seksual pada remaja sebesar 12,5%, sedangkan
sisanya yakni sebesar 87,5% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dikontrol dalam
penelitian ini di antaranya perubahan hormonal, pendidikan dan pengetahuan tentang seks,
lingkungan pergaulan, kesalahan persepsi tentang pacaran, religiusitas, dan kematangan
biologis.
Adanya hubungan antara kontrol diri dengan perilaku seksual juga ditunjukkan oleh
hasil uji linearitas yang dilakukan terhadap kedua variabel tersebut. Hal itu ditunjukkan
dengan hasil uji linearitas dengan nilai F sebesar 6,395 dengan nilai p sebesar 0,017 (p < 0,05).
Hasil tersebut memperlihatkan bahwa hubungan antara kontrol diri dengan perilaku seksual
pada remaja bersifat linear, dalam arti bahwa kedua variabel saling berhubungan satu sama
lain.
Tingkat perilaku seksual oleh subjek penelitian yakni siswa SMA Binatama Sleman
Yogyakarta dengan membedakan antara laki-laki dan perempuan diperoleh hasil bahwa
perilaku seksual perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Hal itu dapat
ditunjukkan nilai rerata empirik perilaku seksual siswa perempuan yang lebih besar dari lakilaki. Hal yang sama juga terjadi pada kontrol diri perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan
siswa laki-laki yang ditunjukkan nilai rerata empirik kontrol diri. Sementara tanpa
membedakan antara laki-laki dan perempuan, memperlihatkan perilaku seksual siswa berada
dalam kategori sedang yakni dengan rata-rata sebesar 64,02 atau sebesar 71,7%. Kontrol diri
remaja juga berada pada kategori sedang yang ditunjukkan nilai rerata sebesar 111,93 atau
sebesar 68,3%.
Adanya hubungan negatif antara kontrol diri dengan perilaku seksual siswa ini
memperlihatkan bahwa semakin tinggi kontrol diri siswa, maka semakin rendah perilaku
seksual siswa. Sebaliknya, semakin rendah kontrol diri sisiwa, maka semakin tinggi perilaku
seksual siswa. Hasil penelitian yang memperlihatkan kontrol diri dan perilaku siswa berada
pada kategori sedang dapat diartikan, bahwa apabila kontrol diri siswa dari kategori sedang
meningkat ke kategori tinggi, maka akan mengakibatkan perilaku seksual siswa semakin
rendah. Sebaliknya, apabila kontrol diri siswa yang berada dalam kategori sedang semakin
rendah atau menurun, maka akan mengakibatkan semakin tingginya perilaku seksual siswa.
Adanya hubungan yang negatif antara kontrol diri dengan perilaku seksual pada remaja
ini memperlihatkan besarnya peranan penguasaan diri pada remaja untuk mengendalikan diri
dari pengaruh hal-hal yang bersifat negatif khususnya berhubungan dengan perilaku seksual.
Keterkaitan antara kontrol diri dengan perilaku seksual pada remaja memperlihatkan bahwa
kemampuan mengendalikan diri remaja berperan penting dalam menekan perilaku seksualnya.
Perilaku seksual pada remaja dapat ditekan apabila terdapat kontrol diri yang kuat. Remaja
yang memiliki kontrol diri kuat mampu menahan atau mengendalikan dorongan-dorongan
seksual yang timbul dari dalam dirinya.
Rasa ingin tahu remaja yang tidak ditunjang dengan pengetahuan dan pemahaman yang
memadai tentang seks dapat memperlemah kontrol dirinya. Hal ini disebabkan remaja hanya
ingin memuaskan rasa ingin tahunya tanpa mempertimbangkan atau memperhitungkan segala
konsekuensi atas perilakunya. Oleh sebab itu, informasi yang tepat mengenai seks penting
bagi kalangan remaja agar dapat meningkatkan kontrol dirinya terhadap dorongan-dorongan
yang mengarah pada timbulnya perilaku seksual. Dengan demikian, semakin kuat kontrol diri
yang dimiliki remaja, maka perilaku seksualnya semakin rendah. Sebaliknya, apabila kontrol
diri yang dimiliki remaja semakin lemah, maka perilaku seksualnya semakin tinggi.
Penutup
Kesimpulan
Dari hasil analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya,
maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Kontrol diri berhubungan negatif dengan perilaku seksual pada siswa SMA Binatama
Sleman Yogyakarta. Hubungan negatif tersebut ditunjukkan dengan nilai koefisien
korelasi (r) sebesar -0,353 dengan signifikansi p = 0,003 < 0,01. Nilai tersebut
menunjukkan hubungan antara kontrol diri dengan perilaku seksual pada remaja. Semakin
tinggi kontrol diri, maka semakin rendah perilaku seksual pada remaja. Sebaliknya,
semakin rendah kontrol diri maka semakin tinggi perilaku seksual pada remaja.
2. Kontrol diri mampu menjelaskan perilaku seksual pada remaja. Hal itu ditunjukkan dengan
nilai koefisien determinasi (r2) sebesar 0,125 atau 12,57%. Artinya perilaku seksual pada
remaja dipengaruhi kontrol diri sebesar 12,5% sementara sebesar 87,5% lainnya
dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dikontrol dalam penelitian ini seperti perubahan
hormonal, pendidikan dan pengetahuan tentang seks, lingkungan pergaulan, kesalahan
persepsi tentang pacaran, religiusitas, dan kematangan biologis.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka saran-saran yang dapat diajukan
adalah sebagai berikut:
1. Bagi Siswa
Hasil penelitian yang diperoleh dapat disarankan kepada siswa perlu meningkatkan kontrol
diri terutama pada hal-hal yang dapat mempengaruhi perilaku seksual. Untuk itu, siswa
diharapkan dapat memperdalam pengetahuannya mengenai seks, menghindari pergaulan
bebas, dan melakukan berbagai aktivitas yang positif seperti olag raga, membaca, dan
berbagai kegiatan-kegiatan lainnya.
2. Bagi Peneliti Lain
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kontrol diri hanya memberikan sumbangan efektif
sebesar 12,5% sementara sumbangan efektif lainnya yakni sebesar 87,5% ditentukan
faktor-faktor lainnya. Untuk itu, bagi para peneliti berikutnya, disarankan untuk dapat
mempertimbangkan beberapa hal berikut:
a. Peneliti selanjutnya meneliti faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku seksual pada
remaja sehingga ddiketahui faktor-faktor yang lebih beragam.
b. Diharapkan peneliti selanjutnya menggunakan sampel dengan jumlah yang lebih banyak
yang diambil dari beberapa sekolah sehingga dapat diketahui perilaku secara umum
remaja.
c. Peneliti harus lebih teliti lagi dalam menyusun alat ukur penelitian, karena semakin
sempurna alat ukur suatu penelitian, maka akan semakin akurat data atau hasil yang
diperoleh.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Azwar, S. 1999. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
-------------. 2001. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
-------------. 2003. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
-------------. 2003. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bachtiar, A. 2004. Cinta Remaja: Mengungkap Pola dan Perilaku Cinta Remaja. Yogyakarta:
Saujana.
Dariyo, A. 2004. Psikologi Perkembangan Remaja. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Setyonaluri, D. 2005. Pernikahan Remaja di Jakarta Tinggi. http://www.beritaindonesia.com
Dianawati, A. 2003. Pendidikan Seks Untuk Remaja. Jakarta: Kawan Pustaka.
Febriana, U. 2006. Hubungan Komunikasi Orangtua dan Anak Mengenai Seksualitas Dengan
Sikap Remaja Terhadap Perilaku Seksual Pranikah. Skripsi tidak dipublikasikan.
Jakarta: Universitas Tarumanegara.
Forehand, R. 1997. Role of Parenting in Adolescent Deviant Behavior: Replication Across and
Within Two Athnic Groups. Journal of Consulting and Clinical Psychology. 65 (6).
1036-1041.
Ghozali, I. 2001. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.
Gunarsa, S.D., dan Gunarsa, S.D. 2000. Psikologi Praktis: Anak, Remaja, dan Keluarga.
Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.
Harahap, M. 1990. Penyakit Menular Seksual. Jakarta: Gramedia.
Herdt, G., Carballo, M., & Parker, R.G. 1991. Sexual Culture, HIV Transmission and AIDS
Research. The Journal Sex Research. 28 (1). 77-98.
Hurlock, E.B. 1999. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Ikhsan, A.S.R. 2004. Agenda Cinta Remaja Islam: Menyelami Dunia Remaja, Sensasi
Pacaran, Masa Puber dan Gelora Seksualitas. Yogyakarta: Diva Press.
Jensen, L.C. 1985. Adolescence: Theories, Research, Applications. San Fransisco: West
Publishing Co.
Kartono, K. 1996. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Bandung: CV. Mandar Maju.
Lazarus. 1976. Pattern of Adjustment International. Mexico: McGraw-Hill.
Mbhasari. 2006. Pernikahan Dini dalam Masyarakat Muslim: Keuntungan atau
Kebuntungan? http://www.sidogiri.com/modules.php?
Monks, F.J., Knoers, A.M.P., dan Haditono, S.R. 2004. Psikologi Perkembangan Pengantar
dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Motulz Media Center. 2006. Puasa: Terapi Kontrol Diri. http://multiply.com.
Nasution, S. 2000. Metode Research: Penelitian Ilmiah. Jakarta: Bumi Aksara.
Nugroho, G. 1999. Konsep Diri dan Sikap Terhadap Hubungan Seks Pranikah pada Remaja
Putri. Skripsi tidak dipublikasikan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Nurharjadmo, W. 1999. Seksualitas Anak Jalanan. Yogyakarta: Pusat Penelitian
Kependudukan Universitas Gadjah Mada.
Nurhayati, S.R. 2006. Bangun Optimisme! http://docs.yahoo.com/info/terms.
Perrone, D., Sullivan, C.J., Pratt, T.C., & Margaryan, S. 2004. Parental Efficacy, Self-Control,
and Delinquency: A Test of a General Theory of Crime on a Nationally
Representative Sample of Youth. International Journal of Offender Therapy and
Comparative Criminology. 48(3). 298-312.
Pratiwi. 2004. Pendidikan Seks Untuk Remaja. Yogyakarta: Tugu Publisher.
Raharjo, Y. 1996. Seksualitas, Kesehatan Reproduksi, dan Ketimpangan Gender. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Riri Wijaya, Hadi. 2007. Ledakan Penduduk Merupakan Ancaman.
http://www.radio103,4fm.com.
Roberts, K.H., dan Hunt, D.M. 1991. Organizational Behavior. Boston: PWS-Kent Publishing
Co.
Ryan. 2004. Seks Pranikah Remaja, Trendkah? http://www.smu-net.com.
Safardan, I. 2003. Variabel-Variabel yang Mempengaruhi Remaja Untuk Melakukan
Hubungan Seks Pranikah Ditinjau dari Model Planned Behavior Theory (Fishbein &
Ajzen). Studi Korelasi pada Mahasiswa Awal Universitas Tarumanagara. Skripsi
tidak dipublikasikan. Jakarta: Universitas Tarumanegara.
Safarino. 1997. Biofeedback in Education Entertainment. http://www.interactionivrea.it/thesis.
Santrock., J.W. 1998. Adolescence. Boston: McGraw-Hill.
Sarlito. 1988. Indra dan Lela yang Bercinta Bunuh Diri di Rel Kereta Api. Kompas, 24 April.
---------------. 2002. Killa Siswi Kelas II SMP. Hai, XXVI.
Sarwono, S.W. 1995. Seksualitas dan Fertilitas Remaja. Jakarta: Rajawali Press.
---------------. 1987. Sosiologi Kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
---------------. 2005. Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Strayhorn, J.M. 2002. Self Control: Theory and Research. http://www.ncbi.nlm.nih.gov.
Suri, A.W. 2004. Hubungan Antara Konformitas dan Pengetahuan Seksual Dengan
Permisivitas Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja. Skripsi tidak dipublikasikan.
Jakarta: Universitas Tarumanegara.
Thoha. M. 2004. Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: Rajawali
Press.
Tim Sahabat Remaja Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia. 2003. Buku Tanya Jawab
Seputar Seksualitas Remaja. www.funkyhosting.net.
Tobing, L. 1992. Perilaku Seksual. Jakarta: Pustaka Jaya.
Ubaydillah. 2003. Manjaga Stabilitas Hidup. www.e-psikologi.com.
Uci. 2005. Lemahnya Kontrol Diri. www.pikiran-rakyat.com.
Wagner, L., dan Yatim, D.I. 1997. Seksualitas di Pulau Batam. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Wahyuni, D. 2005. Hubungan Pergaulan Bebas dengan Sikap Terhadap Kehamilan Pranikah.
Skripsi tidak dipublikasikan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Walgito, B. 2002. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Wilopo, S. 2004. Kesehatan Reproduksi. http://www.republikaco.id
Download