NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU SEKSUAL REMAJA Oleh: ERLINA SAFITRI QUROTUL UYUN PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM IDONESIA YOGYAKARTA 2007 NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU SEKSUAL REMAJA Telah Disetujui Pada Tanggal Dosen Pembimbing ( Qurotul Uyun S. Psi., M. Si, Psikolog) HUBUNGAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU SEKSUAL REMAJA Erlina Safitri Qurotul Uyun INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kontrol diri dengan perilaku seksual pada remaja. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara kontrol diri dengan perilaku seksual pada remaja. Semakin tinggi kontrol diri, maka semakin rendah perilaku seksual remaja. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMA Binatama. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah dengan menggunakan teknik sampling aksidental dengan jumlah sampel penelitian sebanyak 60 orang. Alat penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah Skala Perilaku Seksual dan Skala Kontrol Diri. Metode analisis data yang digunakan adalah teknik korelasi product moment dari Karl Pearson dengan bantuan komputer program SPSS 11 for Windows xp. Kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis data adalah bahwa terdapat hubungan yang negatif yang sangat signifikan antara kontrol diri dengan perilaku seksual pada remaja (r = -0,353, p < 0,01). Hasil tersebut memperlihatkan bahwa siswa yang memiliki kontrol diri yang tinggi perilaku seksualnya rendah. Dengan demikian hipotesis yang diajukan dalam penelitian yakni ada hubungan negatif antara kontrol diri dengan perilaku seksual pada remaja dapat diterima kebenarannya. Kata Kunci : perilaku seksual, kontrol diri, remaja. IDENTITAS PENULIS Nama : Erlina Safitri Alamat : Lodadi no 15 Umbulmartani Ngemplak Sleman 55584 Telephon/HP : 085668054508 PENGANTAR Latar Belakang Masalah Fenomena seks bebas di kalangan remaja akhir-akhir ini semakin banyak dijumpai dalam masyarakat. Hal ini mengakibatkan sejumlah remaja melakukan pernikahan dini atau menikah di bawah usia yang dianggap layak untuk melakukan pernikahan. Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pasal 7, usia boleh menikah bagi pria adalah 19 tahun dan usia 16 tahun bagi wanita. Namun masyarakat terdidik memiliki persepsi yang berbeda bahwa usia sekolah SMA sampai dengan Perguruan Tinggi dianggap sebagai usia dini. Oleh karena itu, siswa SMA atau mahasiswa aktif yang melakukan pernikahan dianggap menikah di usia dini karena pada usia tersebut anak masih sangat tergantung secara psikis maupun ekonomi pada sokongan orangtuanya (Mbharasi, 2006). Remaja yang terpaksa melakukan pernikahan dini akibat melakukan hubungan seks pranikah dari tahun ke tahun terus meningkat. Hal itu didukung hasil beberapa penelitian yang dilakukan di antaranya oleh BKKBN pada tahun 2003 menunjukkan jumlah remaja Indonesia yang menikah sebelum berusia 15 tahun sebesar 7,5 persen dari seluruh jumlah remaja Indonesia (Wilopo, 2004). Penelitian yang dilakukan terhadap 2.880 responden usia 15-24 tahun di enam kota di Jawa Barat juga memperlihatkan sebesar 39,65 persen responden pernah melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Meskipun angka ini tidak bisa menggambarkan perilaku seksual remaja di Indonesia, namun hasil survei tersebut layak untuk dijadikan cermin bahwa perilaku seksual remaja sudah sampai taraf yang memprihatinkan. Penelitian lain juga dilakukan pada bulan September 2005 oleh Diahhadi Setyonaluri dari Lembaga Demografi FEUI dengan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memperlihatkan sebanyak 30,4% remaja usia 11-14 tahun telah menikah (Diahhadi Setyonaluri, 2005). Penelitian ini melingkupi 44 kecamatan di seluruh DKI Jakarta, termasuk kepulauan seribu, dengan melibatkan 2.271 responden. Riri Wijaya dan Hadi (2007) juga menyebutkan bahwa pada saat ini ada 82 juta remaja menikah di usia dini antara usia 15-18 tahun. Dampak buruk dari pernikahan dini sebagai akibat perilaku seksual yang kurang baik pada remaja adalah dapat menggangu kesehatan reproduksi remaja. Ketidaksiapan di bidang ekonomi dapat menimbulkan berbagai masalah bagi pasangan yang menikah dini. Selain itu, pasangan yang menikah dini juga lebih rentan terhadap perceraian karena kurangnya kedewasaan dalam menyelesaikan atau memecahkan berbagai permasalahan dalam rumah tangganya (Al-Ghifari, 2005). Fenomena seks bebas pada sebagian remaja seperti yang terjadi pada akhir-akhir ini, tidak terlepas dari minimnya pendidikan seks yang diterima anak baik dari lingkungan keluarga maupun di sekolah. Sebagian masyarakat masih menganggap bahwa membicarakan seks pada anak merupakan sesuatu hal yang tabu dan tidak layak dibicarakan. Kurangnya pendidikan seks yang diterima remaja, mengakibatkan anak mencari informasi tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan seks dengan orang lain di luar rumah seperti pada temanteman. Pentingnya pendidikan seks diberikan pada masa remaja sebagai masa peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa adalah agar anak memiliki pengertian dan pemahaman yang benar mengenai seks. Pembekalan pendidikan seks pada masa remaja dapat menghindari atau memperkecil risiko terjadi perilaku seksual yang salah atau menyimpang. Pada masa remaja, seorang anak sedang mengalami suatu pematangan fisik dan pematangan sosial yang terjadi pada saat yang bersamaan. Dalam pematangan fisik, remaja mengalami proses perubahan struktur dan fungsi jasmaniah (fisiologis) yang mengarah pada kedewasaan fisik. Hal itu ditandai dengan perubahan alat kelamin remaja baik remaja perempuan maupun laki-laki. Pada masa ini, remaja harus dibekali pendidikan seks secara benar sehingga tidak menyalahgunakan tubuhnya untuk aktivitas-aktivitas seks yang keliru. Pentingnya pembekalan anak dengan pendidikan seks adalah untuk menghindari terjadinya hubungan seks pranikah. Ajaran Islam menganggap bahwa perilaku hubungan seksual pranikah merupakan perbuatan zina. Dosa zina dikategorikan sebagai dosa terbesar setelah menyekutukan Allah SWT. Hal ini ditegaskan dalam sabda Rasulullah Saw bahwa “Tidak ada dosa besar setelah syirik yang lebih besar bagi Allah daripada air sperma yang diletakkan oleh laki-laki di dalam rahim perempuan yang tidak halal baginya (atau berzina).” Allah SWT sangat murka kepada hamba-Nya yang melakukan perbuatan ini sehingga menurunkan azab yang berat bagi para pezina. Perbuatan zina dapat menimbulkan berbagai malapetaka seperti penyakit menular seksual, pelacuran, dan kriminalitas. Larangan Allah SWT pada hamba-Nya untuk tidak berbuat zina terdapat dalam QS. Al-Isra’: 32 dan QS. AlBaqarah: 169. Dalam QS. Al-Isra’: 32, Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” Perbuatan zina juga menuai hukuman yang berat bagi para pelakunya. Hukuman bagi pelaku zina adalah kifarat bagi dosa zinanya. Dasar penetapan hukum bagi pezina sesuai dengan dalil-dalil yang diterangkan dalam QS. An-Nisa: 15 berikut: Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji (zina), hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberikan persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya. Meskipun terdapat larangan-larangan melakukan hubungan seks pranikah seperti dikemukakan di atas, namun perilaku seks sekarang ini seperti yang terjadi di kalangan remaja tetap banyak terjadi. Pemahaman seks yang kurang tepat oleh remaja, mengakibatkannya mudah terjerumus pada perilaku seks bebas seperti berpegangan tangan, berciuman, berpelukan, melakukan hubungan intim dengan pacar, melakukan hubungan seks sebelum menikah (sexual intercouse pre-marital), melakukan hubungan seks dengan berganti-ganti pasangan, bahkan terjun sebagai pekerja seks komersial (PSK). Pengertian atau pemahaman remaja yang keliru mengenai seks tercermin dari cara pandang sebagian remaja yang beranggapan bahwa seorang remaja yang belum melakukan hubungan seks dianggap orang yang ketinggalan zaman dan kurang gaul. Pemahaman yang keliru mengenai seks mendorong remaja terjerumus pada perilaku seks bebas terutama yang tinggal di kota-kota besar. Bagi sebagian remaja, menganggap bahwa virginitas bukan lagi sesuatu yang penting dijaga atau dipertahankan oleh seorang perempuan. Akibatnya, banyak remaja yang terjerumus pada perilaku seksual pranikah yakni dengan cara melakukan hubungan intim dengan pacar sebelum menikah. Hal ini dapat juga berpengaruh bagi remaja yang berusaha mempertahankan dan menjunjung virginitas yakni dengan cara ikut-ikutan melakukan hubungan seks pranikah agar dianggap gaul dan modern. Faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku seksual remaja adalah karena rasa ingin tahu yang besar untuk mencoba segala hal yang belum diketahui. Hal itu erat kaitannya dengan ciri-ciri remaja pada umumnya yang ingin mengetahui banyak hal yang hanya dapat dipuaskan serta diwujudkannya melalui pengalamannya sendiri (Learning by doing). Perilaku seksual pranikah pada umumnya juga dapat dipicu karena tekanan sosial, misalnya pengaruh lingkungan yang mendorong rasa ingin tahu dan menumbuhkan minat terhadap seks. Hal ini membuat remaja selalu berusaha mencari banyak informasi mengenai seks, membaca atau menonton adegan yang mampu merangsang dan menimbulkan perilaku seksual (Hurlock, 1999). Banyaknya media informasi yang memperlihatkan adegan seks, juga cenderung membuat generasi muda tergoda untuk mencoba (Sarwono, 1995). Perilaku seksual remaja dapat dicontohkan dengan berbagai kasus yang menimpa remaja. Sarlito mencontohkannya dengan sepasang remaja yang melakukan bunuh diri di rel kereta api seperti yang dikutip dari Harian Kompas 24 April 1988. Remaja laki-laki yang baru berusia 17 tahun dan perempuan berusia 13 tahun, nekad melakukan bunuh diri secara bersama-sama dengan cara merebahkan diri di rel kereta api yang sedang melaju cepat dari arah Jakarta menuju Bogor sambil berpelukan. Alasan tindakan bunuh diri yang dilakukan sepasang remaja ini adalah untuk menutupi aib orangtuanya karena telah melakukan hubungan intim layaknya suami isteri. Dariyo (2004) mengemukakan kasus sepasang kekasih yang sedang menuntut ilmu di sebuah perguruan tinggi. Sepasang kekasih yang sama-sama tinggal di asrama telah berpacaran selama satu setengah tahun. Selama berpacaran, pasangan ini telah sering melakukan hubungan suami isteri sehingga mengakibatkan perempuan hamil 4,5 bulan. Untuk menutupi aibnya, pasangan ini memutuskan untuk menggugurkan kandungan melalui jasa seorang bidan dengan membayar jasa sebesar Rp. 2.000.000.-. Proses aborsi yang tidak berjalan dengan baik mengakibatkan perempuan kehilangan nyawa karena mengalami pendarahan yang hebat. Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja adalah kontrol diri. Kontrol diri (self control) dapat diartikan sebagai kemampuan mengatur proses fisik, psikologis, dan perilaku dalam menghadapi stimulus sehingga dapat menghindari konsekuensi yang tidak diinginkan (Calhoun dan Acocella, 1990). Safarino (1997) mengemukakan bahwa kontrol diri diperlukan untuk mengatur perilaku yang diinginkan dan yang tidak diinginkan pada saat seseorang berhadapan dengan stimulus-stimulus. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa kontrol diri merupakan salah satu faktor dari dalam diri manusia yang sangat penting sehingga dapat terhindar dari perilaku seksual pranikah di kalangan remaja. Kontrol diri yang tinggi sangat dibutuhkan sehingga seorang individu tidak gampang terpengaruh oleh stimulus yang bersifat negatif (Walgito, 2002). Keterkaitan kontrol diri dengan perilaku seksual remaja dapat dilihat dari tingginya seks pranikah pada remaja. Seorang remaja yang tidak mampu mengendalikan diri, mengakibatkan dirinya terjerumus ke dalam kehidupan seksual bebas, misalnya seks pranikah, kumpul kebo, dan prostitusi yang berakibat negatif pada diri sendiri seperti terjangkit STD’s (seksually transmitted diseases), kehamilan (pregnancy) dan drop out dari sekolah. Seseorang yang mempunyai pengetahuan yang memadai mengenai seks, namun apabila tidak disertai dengan kontrol diri yang kuat akan jatuh pada perilaku seksual yang tidak sehat (Dariyo, 2004). Hasil-hasil penelitian mendukung keterkaitan kontrol diri dengan perilaku seksual dapat dikemukakan seperti penelitian yang dilakukan Safardan (2003) yang meneliti mengenai variabel-variabel yang mempengaruhi remaja untuk melakukan hubungan seks ditinjau dari model Planned Behavior Theory (Fishben & Ajzen). Hasil penelitiannya memperlihatkan ada hubungan negatif antara planned behavior control (PBC) dengan perilaku seks remaja. Semakin tinggi planned behavior control maka semakin rendah perilaku seks remaja. Sebaliknya, semakin rendah planned behavior control maka semakin tinggi intensi untuk melakukan hubungan seks di kalangan remaja. Hasil penelitian lain yang mendukung dikemukakan oleh Suri (2004) mengenai hubungan antara konformitas dan pengetahuan seksual dengan persimisivitas perilaku seksual pada remaja. Hasil penelitin tersebut menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara konformitas, dan pengetahuan seksual dengan permisivitas perilaku seksual pada remaja. Semakin tinggi konformitas dan pengetahuan seksual remaja maka semakin rendah persimisivitas perilaku seksual pada remaja. Sebaliknya, semakin rendah konformitas dan pengetahuan seksual remaja maka semakin tinggi persimisivitas perilaku seksual pada remaja. Rendahnya kontrol diri remaja sehingga mengakibatkan perilaku seksual tinggi didukung oleh Boyke sebagai salah seorang dokter yang banyak menangani masalah-masalah seputar seksual. Menurutnya, sebesar 16 - 20% remaja yang datang berkonsultasi telah melakukan hubungan seks pranikah. Dalam catatannya jumlah kasus itu cenderung naik, dibandingkan dengan awal tahun 1980-an yang hanya berkisar 5 - 10%. Penelitian lain dilakukan oleh Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis dan Humaniora (LSCK PUSBIH) kepada mahasiswi diYogyakarta. Hasil penelitian memperlihatkan hampir 97,05 persen mahasiswi di Yogyakarta sudah hilang keperawanannya saat kuliah. Hal ini mengindikasikan rendahnya kontrol diri sehingga mudah terjerumus pada perilaku seksual yang tidak sehat. Berdasarkan uraian-uraian tersebut memperlihatkan bahwa kontrol diri memiliki keterkaitan dengan perilaku seksual pada remaja. Keterkaitan antara kontrol diri dengan perilaku seksual pada remaja memperlihatkan bahwa kemampuan mengendalikan diri remaja berperan penting dalam menekan perilaku seksual. Kontrol diri yang tinggi dapat menekan kecenderungan perilaku seksual remaja. Dengan adanya kontrol diri yang kuat, remaja dapat menekan stumulus-stimulus negatif baik dari dalam diri maupun dari luar diri yang dapat mempengaruhi perilaku seksual remaja. Dengan kata lain, perilaku seksual pada remaja dapat ditekan apabila terdapat kontrol diri yang kuat. Sebaliknya, kontrol diri yang lemah akan mengakibatkan tingginya perilaku seksual. Tinjauan Pustaka Pengertian Perilaku Seksual Pada Remaja Perilaku merupakan reaksi yang timbul akibat adanya dorongan stimulus baik yang bersumber dari dalam maupun luar diri individu. Reaksi yang timbul atas adanya stimulus dapat bersifat sederhana, kompleks, dan diferensial. Hal ini dimaksudkan bahwa stimulus yang sama tidak selalu menimbulkan reaksi yang sama pula pada individu. Sebaliknya, reaksi yang sama belum tentu disebabkan oleh stimulus yang sama (Azwar, 2003). Seksual merupakan suatu konsep dan konstruksi sosial terhadap nilai, orientasi, dan perilaku yang berkaitan dengan seks (Raharjo, 1996). Seks adalah ciri-ciri anatomi biologis yang memberikan pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2000), seksual adalah dorongan yang timbul untuk melakukan hubungan fisik dengan lawan jenis yang disertai dengan kematangan organ-organ seks. Remaja (adolescence) merupakan masa transisi dari masa anak ke dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik maupun psikis (Hurlock, 1999). Ditinjau dari golongan usia, remaja berkisar antara usia 12 sampai dengan 21 tahun. Menurut Sarwono (2005), remaja identik dengan usia belasan tahun yang menunjukkan tingkah laku tertentu. Monks dkk (2004) mengungkapkan bahwa masa remaja memiliki kedudukan yang tidak jelas dalam rangkaian proses perkembangan individu. Hal ini disebabkan pada masa remaja, anak masih belum selesai perkembangannya tetapi sudah mengalami perubahan baik dari segi fisik maupun psikisnya. Remaja tidak termasuk golongan anak, tetapi juga tidak termasuk dalam golongan orang dewasa. Remaja masih belum mampu menguasai fungsi-fungsi fisik dan psikisnya. Perilaku seksual pada remaja merupakan segala bentuk perilaku yang dilakukan oleh anak dengan usia antara 12 hingga 21 tahun akibat adanya dorongan seksual (Tim Sahabat Remaja Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, 2003). Menurut Nurharjadmo (1999), perilaku seksual merupakan reaksi yang timbul berdasarkan pengalaman, persepsi, pemahaman, dan penafsiran atas situasi atau stimulus yang berkaitan dengan seks. Perilaku seksual individu dipengaruhi oleh lingkungannya. Sarwono (1981) mengungkapkan bahwa lingkungan berpengaruh penting dalam proses perkembangan seksualitas manusia. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual pada remaja merupakan segala reaksi yang dilakukan oleh anak dengan usia antara 12 sampai dengan 21 tahun akibat adanya dorongan seksual yang timbul berdasarkan pengetahuan atau persepsi, pemahaman, penafsiran, dan pengalaman. Perilaku seksual mencakup dimensi yang luas di antaranya adalah dimensi biologis, psikologis, sosial, dan kultural (Pratiwi, 2004). Dimensi-dimensi perilaku seksual memiliki cakupan yang luas yaitu biologis, psikologis, sosial, dan kultural. Dimensi biologis berkaitan dengan kematangan organ reproduksi, dimensi psikologis berkaitan dengan menjalankan fungsi dan peran sebagai makhluk seksual, dimensi sosial berkaitan dengan pembentukan pandangan mengenai perilaku seksual, dan dimensi kultural berkaitan dengan membudayakan keterbukaan dalam memberi dan menerima informasi tentang perilaku seksual. Menurut Wagner dan Yatim (1997), perilaku seksual dapat dibedakan berdasarkan bentuk, jenis, dan caranya. Berdasarkan bentuknya, perilaku seksual dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu masturbasi atau onani dan senggama. Perilaku seks menurut jenisnya juga dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu homoseksual dan heteroseksual. Berdasarkan caranya, perilaku seksual dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu oral seks, anal seks atau sodomi,vaginal seks. Gunarsa dan Gunarsa (2000) mengungkapkan bahwa bentuk-bentuk perilaku seksual pada remaja dapat dikategorikan sebagai berikut: a. Masturbasi Perilaku seksual ini seringkali dianggap sebagai kebiasaan buruk. Perilaku ini dapat menimbulkan goncangan-goncangan pribadi dan emosional. Penyebab dari perilaku seksual ini di antaranya adalah unsur ketidaksengajaan, pengaruh dari teman, dan rangsangan atau stimulus yang timbul melalui gambar atau film. b. Pacaran Perilaku seksual ini dapat mengarah pada terjadinya hubungan seksual. Remaja yang berpacaran pada awalnya menunjukkan perilaku seksual yang ringan seperti bersentuhan, berpegangan tangan, sampai pada berciuman. Perilaku seksual yang ringan tersebut secara lebih lanjut dapat menimbulkan dorongan yang lebih besar untuk melakukan perilaku seks yang lebih berat seperti menyentuh organ-organ seks pasangan sampai dengan melakukan hubungan seks. c. Senggama Perilaku seksual ini mengarah pada pemuasan dorongan seks. Perilaku ini menunjukkan kegagalan remaja untuk mengendalikan diri atau meredam dorongan seks dan mengalihkannya pada kegiatan-kegiatan lain yang sebenarnya dapat dilakukan. Remaja yang melakukan perilaku seksual ini cenderung kurang stabil kepribadiannya karena terlalu mengikuti dorongan yang hanya mendasarkan pada prinsip kesenangan tanpa memperhitungkan konsekuensinya. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual remaja secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu masturbasi, pacaran, dan senggama. Masturbasi sebagai bentuk perilaku seksual dilakukan dengan menyentuh, meraba, dan mempermainkan alat kelaminnya sendiri. Pacaran sebagai bentuk perilaku seksual ringan dilakukan secara berpasangan dengan saling menyentuh, memegang, dan mencium. Sementara senggama sebagai bentuk perilaku seksual juga dilakukan secara berpasangan tetapi tergolong perilaku yang berat karena hanya untuk mengejar kesenangan tanpa mempertimbangkan konsekuensinya. Dalam penelitian ini, perilaku seksual pada remaja diukur dengan mengacu pada bentuk-bentuk yang dikemukakan oleh Gunarsa dan Gunarsa (2000) yaitu masturbasi, pacaran, dan senggama. Pengertian Kontrol Diri Kontrol diri merupakan kemampuan membaca situasi diri dan lingkungan serta mengelola faktor-faktor perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi. Kontrol diri juga dapat diartikan sebagai kemampuan menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan berbagai bentuk perilaku yang mengarah pada konsekuensi positif. Menurut Lazarus (1976), kontrol diri merupakan kemampuan individu mengambil keputusan melalui pertimbangan kognitif untuk menyatukan perilaku yang telah disusun guna mencapai hasil dan tujuan yang diinginkan. Kontrol diri didefinisikan Roberts (1991) sebagai suatu jalinan yang secara utuh atau terintegrasi antara individu dengan lingkungannya. Individu yang memiliki kontrol diri tinggi berusaha menemukan dan menerapkan cara yang tepat untuk berperilaku dalam situasi yang bervariasi. Kontrol diri mempengaruhi individu untuk mengubah perilakunya sesuai dengan situasi sosial sehingga dapat mengatur kesan lebih responsif terhadap petunjuk situasional, fleksibel, dan bersikap hangat serta terbuka. Menurut Strayhorn (2002), kontrol diri merupakan kemampuan untuk menghadapi berbagai kesulitan. Kontrol diri memiliki hubungan tetapi tidak diidentikkan dengan kapasitas pemusatan perhatian. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kontrol diri merupakan kemampuan individu untuk menahan diri atau mengendalikan dorongan-dorongan dari dalam dirinya agar tidak menunjukkan perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Individu yang memiliki kontrol diri yang kuat dapat menemukan cara berperilaku yang tepat untuk mengatasi permasalahan yang dihadapinya. Sebaliknya, individu yang kontrol dirinya lemah cenderung kurang mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi. Menurut Lazarus (1979), salah satu jenis kontrol diri adalah under control. Under control merupakan kecenderungan individu untuk melepaskan impuls dengan bebas tanpa memperhitungkan segala kemungkinan akibat yang akan muncul. Individu yang berada dalam kondisi under control memiliki kecenderungan untuk melepaskan impuls atau dorongan dari dalam diri dengan bebas tanpa memperhitungkan segala kemungkinan akibat yang muncul. Perrone dkk (2004) mengemukakan bahwa individu yang memiliki impulsivitas mampu mengendalikan desakan atau dorongan yang timbul dari dalam diri sehingga remaja yang kontrol dirinya tinggi cenderung mampu menahan diri untuk tidak berperilaku seks bebas. Selain impulsivitas, individu yang mampu memusatkan diri untuk menekan beragamnya dorongan yang timbul dari dalam diri juga mencerminkan kontrol diri yang tinggi. Remaja dengan pemusatan diri yang tinggi akan mampu menekan dorongan seksual yang timbul dengan berkonsentrasi pada hal atau dorongan yang lain. Averill (dalam Zulkarnain, 2002) menggunakan istilah kontrol personal untuk menyebut kontrol diri. Kontrol personal mencakup 3 (tiga) jenis yaitu kontrol perilaku (behavior control), kontrol kognitif (cognitive control), dan kontrol keputusan (decisional control). Ketiga jenis tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Kontrol perilaku (behavior control) Kontrol perilaku menunjukkan kesiapan suatu respon yang secara langsung dapat mempengaruhi atau memodifikasi keadaan yang tidak menyenangkan. Kontrol perilaku dapat dibedakan menjadi dua yaitu: 1) Kemampuan mengatur pelaksanaan (regulated administration), yaitu kemampuan individu menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan yaitu dirinya atau orang lain. 2) Kemampuan memodifikasi stimulus (stimulus modifiability), yaitu kemampuan individu mengetahui cara dan waktu menghadapi stimulus yang tidak dikehendaki. Stimulus dapat dihadapi dengan menggunakan beberapa cara di antaranya adalah mencegah atau menjauhi stimulus, menempatkan tenggang waktu diantara rangkaian stimulus yang sedang berlangsung, dan menghentikan stimulus sebelum waktunya berakhir serta membatasi intensitasnya. b. Kontrol kognitif (cognitive control) Kontrol kognitif menunjukkan kemampuan individu mengolah informasi yang tidak dikehendaki dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menghubungkan suatu kejadian dalam kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis. Kontrol kognitif terdiri dari dua komponen yaitu: 1) Kemampuan memperoleh informasi (information gain), yaitu kemampuan individu mengantisipasi keadaan atau peristiwa baik atau buruk melalui pertimbangan yang objektif terhadap informasi yang diperoleh. Informasi mengenai keadaan yang tidak menyenangkan dapat membantu individu untuk mengantisipasi keadaan tersebut dengan berbagai pertimbangan. 2) Kemampuan melakukan penilaian (appraisal), yaitu kemampuan menilai dan menafsirkan keadaan atau peristiwa tertentu dengan memperhatikan segi-segi positif secara objektif. c. Kontrol keputusan (decisional control) Kontrol keputusan menunjukkan kemampuan individu menentukan hasil atau tujuan yang diinginkan. Kontrol keputusan dapat berfungsi dengan baik apabila terdapat kesempatan dan kebebasan dalam diri individu untuk memiliki berbagai kemungkinan tindakan. Dari uraian jenis-jenis kontrol diri tersebut dapat ditentukan aspek-aspek yang digunakan untuk mengukur kontrol diri. Aspek-aspek kontrol diri adalah sebagai berikut: a. Kemampuan mengontrol perilaku b. Kemampuan mengontrol stimulus c. Kemampuan mengantisipasi suatu peristiwa atau kejadian d. Kemampuan menafsirkan peristiwa atau kejadian e. Kemampuan mengambil keputusan Keterkaitan Kontrol Diri dengan Perilaku Seksual Remaja Kontrol diri memiliki keterkaitan dengan perilaku seksual pada remaja. Keterkaitan antara kontrol diri dengan perilaku seksual pada remaja memperlihatkan bahwa kemampuan mengendalikan diri remaja berperan penting dalam menekan perilaku seksualnya. Perilaku seksual pada remaja dapat ditekan apabila terdapat kontrol diri yang kuat. Remaja yang memiliki kontrol diri kuat mampu menahan atau mengendalikan dorongan-dorongan seksual yang timbul dari dalam dirinya. Setiap dorongan seksual yang muncul dapat dikendalikan remaja dengan cara mengalihkan pikiran dalam arti tidak memikirkan hal-hal yang dapat semakin mendorong gairah seksualnya. Selain itu, remaja yang memiliki kontrol diri kuat juga dapat mengalihkan timbulnya dorongan seksual pada kegiatan-kegiatan yang bermanfaat seperti olah raga atau terlibat dalam kegiatan sosial. Banyaknya aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh remaja merupakan salah satu faktor yang dapat meminimalkan terjadinya perilaku seksual dalam bentuk apapun. Perilaku seksual pada remaja dipengaruhi oleh banyak faktor seperti perubahan hormonal, pergaulan bebas, pemahaman yang kurang mengenai seks, dan kontrol diri. Remaja yang mampu mengatur dirinya akan berkurang perilaku seksualnya dibandingkan dengan remaja yang merasa dirinya mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar dirinya (Sarwono, 2005). Selain itu, remaja yang ingin dikagumi atau membutuhkan pengakuan dari lawan jenis tentang tubuhnya juga kurang memiliki kontrol diri terhadap perilaku seksualnya. Kontrol diri remaja yang lemah mengakibatkan terjadinya perilaku seksual seperti berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, memegang alat kelamin, bahkan berhubungan seksual. Perkembangan hormonal pada diri remaja tanpa disertai dengan pengetahuan yang memadai tentang seksualitas menyebabkan remaja kurang mampu mengolah atau mengendalikan diri atas peningkatan libidonya (Dariyo, 2004). Kontrol diri pada remaja mencakup tiga aspek yaitu kontrol perilaku, kognitif, dan keputusan (Averill, 1993). Ketiga aspek tersebut berperan penting dalam mengendalikan perilaku seksual yang muncul akibat adanya dorongan atau impuls yang berkaitan dengan seksual. Perilaku seksual pada remaja menyangkut berbagai dimensi yaitu biologis, psikologis, sosial, dan kultural (Pratiwi, 2004). Remaja yang memiliki kontrol perilaku, kognitif, dan keputusan kuat akan mampu memahami dengan baik fungsi organ tubuhnya terutama organ seksualnya, menjaga perasaannya terhadap seksualitasnya sendiri, mencari informasi yang benar dan tepat mengenai seks, dan berperan serta dalam menyebarkan informasi tentang seks kepada masyarakat secara lebih luas. Rasa ingin tahu remaja yang tidak ditunjang dengan pengetahuan dan pemahaman yang memadai tentang seks dapat memperlemah kontrol dirinya. Hal ini disebabkan remaja hanya ingin memuaskan rasa ingin tahunya tanpa mempertimbangkan atau memperhitungkan segala konsekuensi atas perilakunya. Oleh sebab itu, informasi yang tepat mengenai seks penting bagi kalangan remaja agar dapat meningkatkan kontrol dirinya terhadap dorongan-dorongan yang mengarah pada timbulnya perilaku seksual. Dengan demikian, semakin kuat kontrol diri yang dimiliki remaja, maka perilaku seksualnya semakin rendah. Sebaliknya, apabila kontrol diri yang dimiliki remaja semakin lemah, maka perilaku seksualnya semakin tinggi. Hipotesis Ada hubungan negatif antara kontrol diri dengan perilaku seksual pada remaja. Semakin kuat kontrol diri maka perilaku seksual pada remaja semakin rendah. Sebaliknya, semakin lemah kontrol diri maka perilaku seksual pada remaja semakin tinggi. Metode Penelitian Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variabel tergantung : perilaku seksual pada remaja (Y) 2. Variabel bebas : kontrol diri (X) Subjek Penelitian Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian yaitu semua individu yang hendak dikenai generalisasi dari kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari sampel penelitian (Arikunto, 2002). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMA Binatama Sleman Yogyakarta. Dari populasi tersebut diambil contoh atau sampel yang diharapkan dapat mewakili populasi. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah sampling aksidental yakni pengambilan sampel secara kebetulan bertemu dengan peneliti (Nasution, 2000). Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 60 orang Metode Pengumpulan Data Skala dalam penelitian ini terdiri dari dua yaitu perilaku seksual pada remaja dan kontrol diri. Jumlah aitem yang disusun pada skala perilaku seksual adalah sebanyak 30 aitem. Sementara untuk skala kontrol diri sebanyak 40 aitem. Kedua skala menggunakan model rating yang dijumlahkan (method of summated ratings) terdiri dari dua yaitu aitem favorable dan unfavorable. Aitem favorable adalah pernyataan yang disusun searah dengan konsep yang dikemukakan, sedangkan aitem unfavorable adalah pernyataan yang disusun berlawanan dengan konsep yang dikemukakan. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistik dengan teknik korelasi product moment. Penggunaan metode analisis tersebut sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara kontrol diri dengan perilaku seksual pada remaja. Untuk dapat melakukan analisis tersebut, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yaitu uji normalitas dan linearitas. Pengujian terhadap hipotesis ini dilakukan dengan menggunakan uji korelasi product moment K Pearson. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan bantuan komputer yaitu program SPSS (Software Statistical Package for Social Sciences) versi 11.0. Hasil Penelitian Deskripsi Data Penelitian Perilaku seksual antara siswa laki-laki dan perempuan tergolong dalam kategori sedang. Hal ini ditunjukkan dengan frekwensi responden yang sebagian besar memiliki total jawaban pada kategori sedang. Akan tetapi, perilaku seksual pada siswa perempuan tergolong lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Hal tersebut dapat dilihat dari rerata empirik perilaku seksual pada perempuan yang lebih besar dibandingkan dengan laki-laki yakni sebesar 68,86 yang terdapat dalam rentang nilai 53,95 ? X < 83,76 sedangkan laki-laki sebesar 61,21 yang berada pada rentang nilai 46,88 ? X < 75,53. Data memperlihatkan bahwa kontrol diri siswa tergolong dalam kategori sedang. Hal ini ditunjukkan dengan sebagian besar responden yang total jawabannya termasuk dalam kategori tersebut. Selain itu, kontrol diri yang sedang juga ditunjukkan dengan rerata empirik sebesar 111,93 yang berada pada rentang nilai 94,50 ? X < 129,36. Uji Normalitas Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 11.0 dengan teknik kolmogorove-smirnov test. Hasil pengujian memperlihatkan bahwa data pada variabel perilaku seksual pada remaja terdistribusi normal. Hal ini ditunjukkan dengan nilai KS-Z sebesar 0,700 dengan asymp. sig. sebesar 0,712 (p > 0,05). Data pada variabel kontrol diri juga terdistribusi normal yang ditunjukkan dengan nilai KS-Z sebesar 1,336 dengan asymp. sig. sebesar 0,056 (p > 0,05). Uji Linearitas Hasil uji linearitas memperlihatkan bahwa variabel bebas yaitu kontrol diri memiliki hubungan yang linear dengan variabel tergantung yaitu perilaku seksual pada remaja. Hal ini ditunjukkan dengan nilai F yang diperoleh sebesar 6,395 dengan nilai signifikansi sebesar 0,017 (p < 0,05). Uji Hipotesis Hasil analisis memperlihatkan bahwa hubungan atau korelasi (r) antara variabel kontrol diri dengan variabel perilaku seksual pada remaja adalah sebesar –0,353 dengan p sebesar 0,003, sehingga p < 0,01. Hal ini berarti bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara variabel kontrol diri dengan variabel perilaku seksual. Dengan demikian, hipotesis yang diajukan dapat diterima kebenarannya. Adanya hubungan negatif variabel kontrol diri dengan variabel perilaku seksual pada remaja juga ditunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,125. Hal ini berarti bahwa sumbangan efektif variabel kontrol diri terhadap perilaku seksual pada remaja adalah sebesar 0,125 atau 12,5%. Pembahasan Berdasarkan hasil analisis korelasi product moment dari Pearson diperoleh hasil nilai koefisien korelasi sebesar –0,353 dengan nilai p sebesar 0,003 yang berarti bahwa nilai p lebih kecil dari tingkat signifikansi yang ditentukan yakni 0,01. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara kontrol diri dengan perilaku seksual pada remaja yang menunjukkan semakin tinggi kontrol diri pada remaja, maka semakin rendah perilaku seksual pada remaja atau siswa SMA Binatama Sleman Yogyakarta. Kontrol diri mampu menjelaskan perilaku seksual pada remaja sebesar 12,5%, sedangkan sisanya yakni sebesar 87,5% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dikontrol dalam penelitian ini di antaranya perubahan hormonal, pendidikan dan pengetahuan tentang seks, lingkungan pergaulan, kesalahan persepsi tentang pacaran, religiusitas, dan kematangan biologis. Adanya hubungan antara kontrol diri dengan perilaku seksual juga ditunjukkan oleh hasil uji linearitas yang dilakukan terhadap kedua variabel tersebut. Hal itu ditunjukkan dengan hasil uji linearitas dengan nilai F sebesar 6,395 dengan nilai p sebesar 0,017 (p < 0,05). Hasil tersebut memperlihatkan bahwa hubungan antara kontrol diri dengan perilaku seksual pada remaja bersifat linear, dalam arti bahwa kedua variabel saling berhubungan satu sama lain. Tingkat perilaku seksual oleh subjek penelitian yakni siswa SMA Binatama Sleman Yogyakarta dengan membedakan antara laki-laki dan perempuan diperoleh hasil bahwa perilaku seksual perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Hal itu dapat ditunjukkan nilai rerata empirik perilaku seksual siswa perempuan yang lebih besar dari lakilaki. Hal yang sama juga terjadi pada kontrol diri perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa laki-laki yang ditunjukkan nilai rerata empirik kontrol diri. Sementara tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, memperlihatkan perilaku seksual siswa berada dalam kategori sedang yakni dengan rata-rata sebesar 64,02 atau sebesar 71,7%. Kontrol diri remaja juga berada pada kategori sedang yang ditunjukkan nilai rerata sebesar 111,93 atau sebesar 68,3%. Adanya hubungan negatif antara kontrol diri dengan perilaku seksual siswa ini memperlihatkan bahwa semakin tinggi kontrol diri siswa, maka semakin rendah perilaku seksual siswa. Sebaliknya, semakin rendah kontrol diri sisiwa, maka semakin tinggi perilaku seksual siswa. Hasil penelitian yang memperlihatkan kontrol diri dan perilaku siswa berada pada kategori sedang dapat diartikan, bahwa apabila kontrol diri siswa dari kategori sedang meningkat ke kategori tinggi, maka akan mengakibatkan perilaku seksual siswa semakin rendah. Sebaliknya, apabila kontrol diri siswa yang berada dalam kategori sedang semakin rendah atau menurun, maka akan mengakibatkan semakin tingginya perilaku seksual siswa. Adanya hubungan yang negatif antara kontrol diri dengan perilaku seksual pada remaja ini memperlihatkan besarnya peranan penguasaan diri pada remaja untuk mengendalikan diri dari pengaruh hal-hal yang bersifat negatif khususnya berhubungan dengan perilaku seksual. Keterkaitan antara kontrol diri dengan perilaku seksual pada remaja memperlihatkan bahwa kemampuan mengendalikan diri remaja berperan penting dalam menekan perilaku seksualnya. Perilaku seksual pada remaja dapat ditekan apabila terdapat kontrol diri yang kuat. Remaja yang memiliki kontrol diri kuat mampu menahan atau mengendalikan dorongan-dorongan seksual yang timbul dari dalam dirinya. Rasa ingin tahu remaja yang tidak ditunjang dengan pengetahuan dan pemahaman yang memadai tentang seks dapat memperlemah kontrol dirinya. Hal ini disebabkan remaja hanya ingin memuaskan rasa ingin tahunya tanpa mempertimbangkan atau memperhitungkan segala konsekuensi atas perilakunya. Oleh sebab itu, informasi yang tepat mengenai seks penting bagi kalangan remaja agar dapat meningkatkan kontrol dirinya terhadap dorongan-dorongan yang mengarah pada timbulnya perilaku seksual. Dengan demikian, semakin kuat kontrol diri yang dimiliki remaja, maka perilaku seksualnya semakin rendah. Sebaliknya, apabila kontrol diri yang dimiliki remaja semakin lemah, maka perilaku seksualnya semakin tinggi. Penutup Kesimpulan Dari hasil analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Kontrol diri berhubungan negatif dengan perilaku seksual pada siswa SMA Binatama Sleman Yogyakarta. Hubungan negatif tersebut ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi (r) sebesar -0,353 dengan signifikansi p = 0,003 < 0,01. Nilai tersebut menunjukkan hubungan antara kontrol diri dengan perilaku seksual pada remaja. Semakin tinggi kontrol diri, maka semakin rendah perilaku seksual pada remaja. Sebaliknya, semakin rendah kontrol diri maka semakin tinggi perilaku seksual pada remaja. 2. Kontrol diri mampu menjelaskan perilaku seksual pada remaja. Hal itu ditunjukkan dengan nilai koefisien determinasi (r2) sebesar 0,125 atau 12,57%. Artinya perilaku seksual pada remaja dipengaruhi kontrol diri sebesar 12,5% sementara sebesar 87,5% lainnya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dikontrol dalam penelitian ini seperti perubahan hormonal, pendidikan dan pengetahuan tentang seks, lingkungan pergaulan, kesalahan persepsi tentang pacaran, religiusitas, dan kematangan biologis. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka saran-saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut: 1. Bagi Siswa Hasil penelitian yang diperoleh dapat disarankan kepada siswa perlu meningkatkan kontrol diri terutama pada hal-hal yang dapat mempengaruhi perilaku seksual. Untuk itu, siswa diharapkan dapat memperdalam pengetahuannya mengenai seks, menghindari pergaulan bebas, dan melakukan berbagai aktivitas yang positif seperti olag raga, membaca, dan berbagai kegiatan-kegiatan lainnya. 2. Bagi Peneliti Lain Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kontrol diri hanya memberikan sumbangan efektif sebesar 12,5% sementara sumbangan efektif lainnya yakni sebesar 87,5% ditentukan faktor-faktor lainnya. Untuk itu, bagi para peneliti berikutnya, disarankan untuk dapat mempertimbangkan beberapa hal berikut: a. Peneliti selanjutnya meneliti faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku seksual pada remaja sehingga ddiketahui faktor-faktor yang lebih beragam. b. Diharapkan peneliti selanjutnya menggunakan sampel dengan jumlah yang lebih banyak yang diambil dari beberapa sekolah sehingga dapat diketahui perilaku secara umum remaja. c. Peneliti harus lebih teliti lagi dalam menyusun alat ukur penelitian, karena semakin sempurna alat ukur suatu penelitian, maka akan semakin akurat data atau hasil yang diperoleh. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Azwar, S. 1999. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. -------------. 2001. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. -------------. 2003. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. -------------. 2003. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bachtiar, A. 2004. Cinta Remaja: Mengungkap Pola dan Perilaku Cinta Remaja. Yogyakarta: Saujana. Dariyo, A. 2004. Psikologi Perkembangan Remaja. Jakarta: Ghalia Indonesia. Setyonaluri, D. 2005. Pernikahan Remaja di Jakarta Tinggi. http://www.beritaindonesia.com Dianawati, A. 2003. Pendidikan Seks Untuk Remaja. Jakarta: Kawan Pustaka. Febriana, U. 2006. Hubungan Komunikasi Orangtua dan Anak Mengenai Seksualitas Dengan Sikap Remaja Terhadap Perilaku Seksual Pranikah. Skripsi tidak dipublikasikan. Jakarta: Universitas Tarumanegara. Forehand, R. 1997. Role of Parenting in Adolescent Deviant Behavior: Replication Across and Within Two Athnic Groups. Journal of Consulting and Clinical Psychology. 65 (6). 1036-1041. Ghozali, I. 2001. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Gunarsa, S.D., dan Gunarsa, S.D. 2000. Psikologi Praktis: Anak, Remaja, dan Keluarga. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. Harahap, M. 1990. Penyakit Menular Seksual. Jakarta: Gramedia. Herdt, G., Carballo, M., & Parker, R.G. 1991. Sexual Culture, HIV Transmission and AIDS Research. The Journal Sex Research. 28 (1). 77-98. Hurlock, E.B. 1999. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga. Ikhsan, A.S.R. 2004. Agenda Cinta Remaja Islam: Menyelami Dunia Remaja, Sensasi Pacaran, Masa Puber dan Gelora Seksualitas. Yogyakarta: Diva Press. Jensen, L.C. 1985. Adolescence: Theories, Research, Applications. San Fransisco: West Publishing Co. Kartono, K. 1996. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Bandung: CV. Mandar Maju. Lazarus. 1976. Pattern of Adjustment International. Mexico: McGraw-Hill. Mbhasari. 2006. Pernikahan Dini dalam Masyarakat Muslim: Keuntungan atau Kebuntungan? http://www.sidogiri.com/modules.php? Monks, F.J., Knoers, A.M.P., dan Haditono, S.R. 2004. Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Motulz Media Center. 2006. Puasa: Terapi Kontrol Diri. http://multiply.com. Nasution, S. 2000. Metode Research: Penelitian Ilmiah. Jakarta: Bumi Aksara. Nugroho, G. 1999. Konsep Diri dan Sikap Terhadap Hubungan Seks Pranikah pada Remaja Putri. Skripsi tidak dipublikasikan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Nurharjadmo, W. 1999. Seksualitas Anak Jalanan. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada. Nurhayati, S.R. 2006. Bangun Optimisme! http://docs.yahoo.com/info/terms. Perrone, D., Sullivan, C.J., Pratt, T.C., & Margaryan, S. 2004. Parental Efficacy, Self-Control, and Delinquency: A Test of a General Theory of Crime on a Nationally Representative Sample of Youth. International Journal of Offender Therapy and Comparative Criminology. 48(3). 298-312. Pratiwi. 2004. Pendidikan Seks Untuk Remaja. Yogyakarta: Tugu Publisher. Raharjo, Y. 1996. Seksualitas, Kesehatan Reproduksi, dan Ketimpangan Gender. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Riri Wijaya, Hadi. 2007. Ledakan Penduduk Merupakan Ancaman. http://www.radio103,4fm.com. Roberts, K.H., dan Hunt, D.M. 1991. Organizational Behavior. Boston: PWS-Kent Publishing Co. Ryan. 2004. Seks Pranikah Remaja, Trendkah? http://www.smu-net.com. Safardan, I. 2003. Variabel-Variabel yang Mempengaruhi Remaja Untuk Melakukan Hubungan Seks Pranikah Ditinjau dari Model Planned Behavior Theory (Fishbein & Ajzen). Studi Korelasi pada Mahasiswa Awal Universitas Tarumanagara. Skripsi tidak dipublikasikan. Jakarta: Universitas Tarumanegara. Safarino. 1997. Biofeedback in Education Entertainment. http://www.interactionivrea.it/thesis. Santrock., J.W. 1998. Adolescence. Boston: McGraw-Hill. Sarlito. 1988. Indra dan Lela yang Bercinta Bunuh Diri di Rel Kereta Api. Kompas, 24 April. ---------------. 2002. Killa Siswi Kelas II SMP. Hai, XXVI. Sarwono, S.W. 1995. Seksualitas dan Fertilitas Remaja. Jakarta: Rajawali Press. ---------------. 1987. Sosiologi Kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. ---------------. 2005. Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Strayhorn, J.M. 2002. Self Control: Theory and Research. http://www.ncbi.nlm.nih.gov. Suri, A.W. 2004. Hubungan Antara Konformitas dan Pengetahuan Seksual Dengan Permisivitas Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja. Skripsi tidak dipublikasikan. Jakarta: Universitas Tarumanegara. Thoha. M. 2004. Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: Rajawali Press. Tim Sahabat Remaja Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia. 2003. Buku Tanya Jawab Seputar Seksualitas Remaja. www.funkyhosting.net. Tobing, L. 1992. Perilaku Seksual. Jakarta: Pustaka Jaya. Ubaydillah. 2003. Manjaga Stabilitas Hidup. www.e-psikologi.com. Uci. 2005. Lemahnya Kontrol Diri. www.pikiran-rakyat.com. Wagner, L., dan Yatim, D.I. 1997. Seksualitas di Pulau Batam. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Wahyuni, D. 2005. Hubungan Pergaulan Bebas dengan Sikap Terhadap Kehamilan Pranikah. Skripsi tidak dipublikasikan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Walgito, B. 2002. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Penerbit Andi. Wilopo, S. 2004. Kesehatan Reproduksi. http://www.republikaco.id