BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1.1 Kanker Pengertian Kanker Kanker merupakan pertumbuhan abnormal dari sel-sel disebabkan oleh beberapa perubahan yang dalam ekspresi gen yang menyebabkan keseimbangan, disregulasi, proliferasi, dan kemati sel, dan pada akhirnya sel-sel tersebut berkembang menjadi populasi sel yang dapat menyerang jaringan dan bermetastasis ke sel atau jaringan lainnya, menyebabkan morbiditas, dan jika tidak ditangani akan menyebabkan kematian dari host (Ruddon, 2007). Kanker merupakan penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan sel abnormal mulai dari pertumbuhan pramaligna sampai ganas atau metastasis yang bersifat parasit pada manusia (Brooker, 2008). Kanker adalah pertumbuhan sel abnormal yang cenderung menyerang jaringan di sekitarnya dan menyebar ke organ tubuh lain yang letaknya jauh. Proliferasi sel yang tidak terkontrol terjadi pada sel kanker yang akhirnya menyebakan perubahan genetik secara krusial pada sel tersebut (Corwin, 2008). Berdasarkan uraian dari para ahli, dapat disimpulkan bahwa kanker merupakan suatu penyakit yang disebabkan pertumbuhan sel yang abnormal karena adanya perubahan dalam ekspresi gen, menyerang sel 11 12 atau jaringan di sekitarnya sehingga terjadi kerusakan, dan dapat menyebabkan kematian. 2.1.2 Epidemiologi Kanker Menurut data data International Agency for Research on Vancer (IARC), ada sekitar 12,7 juta kasus baru kanker pada tahun 2008 di seluruh dunia, di mana 5,6 juta terjadi di Negara ekonomi maju dan 7,1 juta pada Negara berkembang. Estimasi pederita kanker pada tahun 2030 di seluruh dunia mencapai 21,4 juta kasus baru, dan 13,2 juta kematian akibat kanker. Estimasi kasus kanker yang menduduki peringkat pertama pada laki-laki adalah kanker paru dan bronkus, pada wanita yang menduduki peringkat pertama adalah kanker payudara (GLOBOCAN, 2012). 2.1.3 Etiologi Kanker Etiologi penyebab kanker menurut Davey tahun 2006 dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah faktor genetik, faktor kimia, virus atau organisme lain, faktor diet, paparan radiasi, dan beberapa tidak diketahui penyebab pastinya. a. Faktor genetik atau kanker yang diturunkan misalnya kanker neuroblastoma (40% kasus), kanker payudara, neurotromatosis, kanker kolon, tumor wilms, kanker ovarium, xeroderma pigmentosum. b. Faktor kimia yang dapat menyebabkan terjadinya kanker antara lain asap rokok yang dapat menyebabkan kanker paru, mulut, bibir, laring, 13 esophagus, kandung kemih, dan pankreas. Bahan kimia lain yang dapat memicu terjadinya kanker adalah asbes, pewarna natraien, parasetamol dengan dosis berlebih, asap rokok, hormon seks eksogen, afiatoksin, dan alkohol. c. Faktor diet pada kanker adalah diet yang menimbukan risiko tinggi terjadinya kanker seperti diet yang kurang sayur, diet tinggi garam, nutrisi berlebih, lemak dan daging yang berlebih, diet rendah polisakarida selain pati, kandungan pengawet tinggi, rendah vitamin C. d. Faktor paparan radiasi meliputi paparan radiasi radon terjadi secara alami, sumber radioaktif alami, penggunaan radioaktif pada diagnose medis, dan radiasi buatan manusia seperti radiasi senjata nuklir. e. Virus atau organisme lain yang menyebabkan kanker diantaranya virus Eipstein-Barr yang dapat menyebabkan kanker nasofaring, limfoma Hodgkin. Hepatitis B/C, Helicobacter pylori, Human Papiloma Virus (HVP),infeksi HIV yang dapat memicu terjadinya Kaposi (HHVB), Limfoma (EBV) termasuk Non Hodgkin, dan serviks primer. f. Faktor yang tidak diketahui penyebabnya sebanyak 30% dan idiopatik. Etiologi kanker yang diungkapkan oleh Manuaba, Sudarsa, Wim de Jong, Sukardja dalam Sjamsuhidajat, tahun 2007 umunya sama dengan yang diungkapkan oleh Davey tahun 2005, yaitu bersifat multifaktorial. Namun, ada beberapa faktor yang dijelaskan lebih rinci diantaranya parasit, inflamasi kronik, hormon, serta penurunan imunitas. 14 a. Parasit Keganasan yang disebabkan oleh parasit adalah keganasan pada bulubuli nontransisional, yang disebabkan oleh Schistosoma hematobium. Keganasan ini banyak dijumpai di Mesir sepanjang sungai Nil. b. Inflamasi Kronik Kanker yang terjadi karena inflamasi adalah karsinoma kolorektal, yang didahului dengan koitis ulseratif atau penyakit Crhon kronis, kanker kulit seperti karsinoma sel basal atau sel skuamosa, sering didapatkan pada pasien yang menderita xeroderma pigmentosum, suatu kelaianan gen perbaikan DNA. c. Peranan Hormon Keterlibatan hormon dalam pencetus terjadinya kanker telah terbukti secara klinis maupun eksperimental. Bukti eksperimental pada tikus, kanker uterus lebih mudah terjadi pada tikus yang diberi sediaan esterogen, dan pada manusia pemberian terapi esterogen pasca menopause memengaruhi perkembangan karsinoma korpus uteri. Kanker clear cell carcinoma pada vulva dan vagina anak perempuan berusia lebih dari 15 tahun disebakan adanya pemberian terapi dietilstilbestrol (DES), yang digunakan untuk mencegah terjadinya abortus. Selain itu, terdapat cacat bawaan pada alat kelamin luar dan dalam anak lelaki serta perempuan. d. Sunat dan Fimosis Sunat atau sirkumsisi dapat mencegah terjadinya kanker penis, namun sirkumsisi yang tidak lengkap menyebabkan fimosis. Smegma yang 15 tertimbun antara glands dan prepusium pada keadaan fimosis menyebabkan iritasi kronik yang mungkin disertai balanopostitis. Iritasi setempat yang berlangsung lama dan menahun ini dapat menybabkan kanker planoselular di glans penis atau permukaan dalam prepusium. e. Penurunan Imunitas Penurunan imunitas yang biasa terjadi dipicu oleh tindakan medis yang menyebabkan terjadinya penurunan imun seperti tindakan kemoterapi dan pemberian kotikosteroid dalam jangka waktu yang lama, atau penyinaran yang luas dapat menyebabkan kanker setelah sepuluh tahun atau lebih. Kanker yang terjadi biasanya adalah limfoma maligna dan leukemia. Imunosupresi oleh infeksi HIV menyebabkan tumor Kaposi. 2.1.4 Patofisiologi Kanker Kanker terjadi diawali dengan adanya faktor-faktor yang mencetuskan kanker yang dapat merusak DNA seperti kimiawi, radiasi, dan virus. Zat-zat tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan sel, jika perbaikan DNA pada sel-sel yang rusak gagal, maka terjadi mutasi genum sel somatik. Mutasi ini menyebabkan terjadinya aktivasi onkogen-pemicu pertumbuhan, inaktivasi gen supresor tumor, hal-hal tersebut menyebakan terjadinya proliferasi sel yang tidak terkontrol. Mutasi gen juga menyebabkan terjadinya perubahan pada gen yang mengatir apoptosis, sehingga apoptosis menurun. Akibat adanya proliferasi yang tidak terkontrol dan apoptosis yang menurun terjadilah ekspansi klonal yang akan menyebakan terjadinya progresi tumor, progresi 16 tumor menjadi keganasan dipengaruhi oleh angiogenesis. Angiogenesis didefinisikan sebagai pertumbuhan pembuluh darah baru. Proses ini sangat penting untuk penyembuhan, pertumbuhan, perkembangan, dan pemeliharaan. Faktor lain yang mempengaruhi keganasan adalah mutasi tambahan dan imunitas. Sel kanker yang sudah terbentuk akan mengalami invasi lokal, kemudian berkembang menjadi metastase ke jaringan atau organ lainnya (Manuaba, Sudarsa, Wim de Jong, Sukardja dalam Sjamsuhidajat, 2007). 2.1.5 Tanda dan Gejala Kanker Tanda dan gejala pada kanker berbeda-beda menurut jenisnya. Manifestasi klinis atau tanda dan gejala kanker menurut Manuaba, Sudarsa, Wim de Jong, Sukardja dalam Sjamsuhidajat (2007) diantaranya adalah lesi primer dapat berupa benjolan, plakat, pembengkakan, atau luka, baik itu luka erosi atau ulkus pada kulit, payudara, kelenjar gondok, mulut, otot atau organ dalam. Infiltrasi dan pengerutan pengerutan dan penyusutan terjadi karena adanya jaringan parut karena terjadi penyusupan atau infiltrasi yang mengandung banyak jaringan ikat. Bendungan pembuluh darah atau pembuluh limfe, edema di sekitar tumor, obstruksi, tampilan gejala klinis yang terjadi saat obstroksi berupa ganguan alat yang bersangkutan, misalnya ileus pada karsinoma kolon. Stridor dapat terjadi akibat penyumbatan trachea oleh karsioma tiroid, atau 17 atelectasis lobus paru karena karsinoma bronkus menutup bronkus. Ikterus di sekitar tumor, perdarahan dan nyeri. Menurut gejala klinis yang ditimbulkan oleh kanker dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu kelainan yang disebabkan langsung oleh adanya masa tumor, dan kelainan fisiologis yang timbul secara tidak langsung. Gejala klinis yang dapat terjadi dapat berupa perubahan pada kebiasaan buang air besar ataupun kecil, ulkus yang tidak sembuh, perdarahan atau pengeluaran secret abnormal, penebalan atau benolan pada payudara atau tempat lainnya, kesulitan mencerna, atau menelan, perubahan nyata pada kutil atau nevus, dan batuk atau suara serak yang sangat mengganggu (Shires et al, 2000). Menurut Carlson et al (2004) dalam Grassi & Riba, data yang dikumpulkan dari 2071 pasien didapatkan lima penyebab yang paling sering menimbulkan masalah yang terkait dengan distress pada pasien kanker adalah kelelahan, mengantuk, nyeri, ketakutan adan kecemasan akan masa depan. 2.1.6 Jenis-jenis Kanker Kanker, karsinoma, atau sarkoma tumbuhnya menyusup (infiltratif) ke jaringan sekitar sambil merusaknya (destruktif), dapat menyebar ke bagian lain tubuh, dan umumnya fatal jika dibiarkan. Neoplasma jinak memiliki batas yang tegas dan tidak menyusup, tidak merusak, tetapi dapat terus membesar sehingga menekan jaringan disekitarnya dan umunya tidak 18 bermetastasis, contoh umum dari neoplasma jinak adalah limpoma (Manuaba, Sudarsa, Wim de Jong, Sukardja dalam Sjamsuhidajat, 2007). Gambar 2.1. Bagan perbedaan neoplasma dan non neoplasma (Sumber : Manuaba, Sudarsa, Wim de Jong, Sukardja dalam Sjamsuhidajat tahun 2007) Menurut Tambayong (2000) neoplasma diklasifikasikan menurut asal selnya. Nama sel neoplasma berasal dari dua terminologi. Terminologi pertama didasarkan pada tipe jaringan asal, dan yang kedua sufiks “-oma” (tumor) pada bagian akhirnya. Berikut merupakan klasifikasi atau jenis maligna atau sel kanker berdasarkan jenis sel terbentuknya kanker. 19 Tabel 2.1. Klasifikasi maligna atau sel kanker berdasarkan sel terbentuknya a. b. c. d. Sel Epitel Skuamosa Sel basal Glandular Terpigmentasi Maligna a. b. c. d. a. b. Otot Otot polos Otot Rangka a. b. Karsinoma sel skuamosa Karsinoma sel basal Adenokarsinoma Melanoma maligna Sel Jaringan penyambung a. Fibrosa b. Lemak c. Tulang d. Kartilago e. Pembuluh darah f. Pembuluh limfe g. Sumsum tulang Limfoid Maligna a. b. c. d. e. f. g. h. Leimoisarkoma Rabdomiosarkoma a. b. c. d. e. a. b. c. d. Saraf Pembungkus saraf Sel glial Sel ganglion Meninges a. b. c. Neurofibrosarkoma Glioblastoma Meningioma maligna Sel darah lain a. Eritrosit b. Granulosit c. Monosit d. Sel plasma e. Limfosit T atau B a. b. c. d. e. Fibrosarkoma Liposarkoma Osteosarkoma Kondrosarkoma Angiosarkoma Limfangiosarkom a Mieloma multiple Leukemia\Sarkom a Ewig Limfoma maligna Limfosarkoma Sarkoma sel reticulum Leukemia limfatik Penyakit Hodgkin Pilisitemia vera Leukemia mielogsitik Leukemia monositik Mieloma multiple Leukemia limfositik. (Sumber : Bullock, 1996, dalam Tambayong (2000). Neoplasma juga dapat dibedakan berdasakan stadium perkembangannya, ini bertujuan untuk menentukan seberapa jauh penyakit ini berkembang dan menentukan pengobatan dan Survival rate ( Tambayong,2000). Berikut merupakan tahap perkembangan sel kanker atau maligna. 20 Gambar 2.2. Tahap atau stadium neoplasma (Sumber : Tambayong (2000). 2.1.7 Terapi pada Kanker Menururt Manuaba, Sudarsa, Wim de Jong, Sukardja dalam Sjamsuhidajat (2007) perencanaan terapi kanker meliputi penentuan apakah tumor hanya memerlukan tindakan bedah saja, atau memerlukan modalitas terapi lain, baik sebelum (terapi prabedah/neo-adjuvant) maupun sesudah bedah (terapi pasca bedah/adjuvant). Terapi sistemik pra atau pasca bedah mempunyai target terapi yang kurang lebih sama yaitu mencegah terjadinya mikrometastasis. 21 a. Terapi Pembedahan Terapi pembedahan mempunyai berbagai fungsi, antara lain sebagai alat diagnostik, staging, terapi definitif, profilaksis, paliatif, atau kedaruratan onkologis, rekonstruktif, sitoreduktif/debulking, dan sebagai persiapan untuk akses vascular. b. Radioterapi Radioterapi adalah penyinaran yang menyebabkan ionisasi pada sasaran sehingga merusak DNA sel yang berada dalam salah satu fase pembiakan sel dan menimbulkan apoptosis sel. Terapi radiasi merupakan terapi setempat atau lokal c. Terapi Paliatif Terapi paliatif bertujuan mengobati dan menghilangkan gejala yang menggangu kehidupan penderita sehari-hari. Terapi paliatif terutama ditujukan pada penderita kanker yang sudah tidak dapat diobati lagi dan diperkirakan akan meninggal dunia dalam waktu yang relatif singkat. Masalah-masalah yang timbul pada penderita kanker terminal adalah masalah sosioekonomi, psikologis, dan fisik. Terapi paliatif yang penting menurut WHO adalah manajemen nyeri yang baik. Dalam terapi paliatif, hal terpenting yang harus diperhatikan adalah komunikasi yang baik, sikap suportif, saling percaya, empati, dan simpati. Bimbingan rohani harus selalu dianjurkan bagi pasien dan keluarga. 22 d. Terapi sistemik Terapi sistemik terdiri dari tiga golongan , yaitu kemoterapi menggunakan obat sitostatik, terapi hormon menggunakan sediaan hormon dan antihormon, dan terapi imun. Umumnya terapi sistemik diberikann melalui saluran cerna atau peredaran darah. Konsep kemoterapi adalah membunuh sel kanker . Kemoterapi bekerja pada tiap fase siklus sel. Pada umumnya kemoterapi bekerja pada siklus S (sinteis DNA) dan sikuls M (mitosis). Semakin aktif sel tumor berproliferasi (bersiklus) semakin sensitif sel tumor terhadap kemoterapi. Pada umumnya, kemoterapi bekerja pada sel kanker dengan menstimulasi apoptosis sel. Menurut Davey (2006), kemoterapi bekerja dengan cara merusak DNA dari sel-sel yang membelah cepat dan cara yang kedua adalah dengan merusak apparatus spindel sel untuk mencegah terjadinya pembelahan sel, dan menghambat sintesis DNA. Kemoterapi menyebabkan mielosupresi sehingga menimbulkan risiko infeksi (neutropenia) dan perdarahan (trombositopenia). Kerusakan memberan mukosa menyebabkan nyeri pada mulut, diare, dan stimulasi zona pemicu kemotaksis menimbulkan mual dan muntah. Jaringan yang membelah dengan cepat seperti folikel rambut, epitel saluran germinal, menjadi menurun sehingga menyebabkan kebotakan (alopesia) dan infertilitas. Banyak kasus efek lanjut seperti keganasan sekunder juga ditemukan (Davey, 2006). 23 Efek kemoterapi dasarnya adalah pada sel tubuh yang aktif berproliferasi, seperti sel darah, sel mukosa usus/mulut, sumsum tulang, dan sel folikel rambut. Efek samping yang sering muncul meliputi mual dan muntah, hiperpigmentasi kulit (jari, wajah), stomatitis, diare, enteritis, handfoot syndrome, alopesia, infeksi pada pasien immunocompromised), dan penekanan terhadap sumsum tukang. Semua efek samping tersebut bersifat reversible atau sementara. Kemoterapi juga berisiko memunculkan keganasan baru, mulai lima tahun setelah pengunaannnya. Risiko ini tidak terlalu tinggi, tetapi tetap ada seumur hidup. Sering terjadi resistensi tumor terhadap kemoterapi. Efek ini dapat dihindari sebagian dengan pemberian kemoterapi kombinasi beberapa obat yang berbeda mekanisme kerjanya, yang tidak menyebabkan efek samping serupa dan dalam dosis yang lebih kecil dibandingkan dengan penggunaan tunggal (Manuaba, Sudarsa, Wim de Jong, Sukardja dalam Sjamsuhidajat (2007). 2.2 KECEMASAN 2.2.1 Pengertian Kecemasan Kecemasan merupakan suatu respon emosional seperti ketakutan, tekanan, dan rasa kegelisahan, untuk mengantisipasi suatu bahaya, dimana sumber dari kecemasan tersebut tidak diketahui atau tidak dikenali. Kecemasan dianggap patologis ketika mengganggu kelangsungan hidup, keinginan untuk berprestasi dan mencapai tujuan, atau kepuasan, atau menjadi alasan sebagai ketidaknyamanan emosional (Shahrokh & Hales, 2003 dalam 24 Tonwsend, 2008). Ansietas atau kecemasan merupakan suatu keadaan yang berkaitan dengan perasaan yang tidak pasti dan tidak berdaya, kondisi ini dialami secara subjektif dan dikumunikasikan dalam hubungan interpersonal, dan tidak memiliki objek yang spesifik dan dianggap sebagai objek yang berbahaya dan diperlukan untuk bertahan hidup (Stuart & Sundeen, 2005). Kecemasan atau ansietas merupakan perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh situasi. Ketika rasa cemas ada, individu akan merasa tidak nyaman, takut, atau memiliki firasat akan ditimpa bahaya, sedangkan individu tersebut tidak mengetahui kenapa perasaan tersebut muncul, dan stimulus penyebab kecemasan tersebut tidak teridentifikasi dengan jelas (Comer, 1992 dalam Videbeck, 2008). Definisi kecemasan dapat disimpulkan sebagai suatu respon emosional individu seperti timbulnya rasa gelisah, tidak nyaman, perasaan akan terjadinya bahaya, tanpa mengetahui objek atau sumber penyebab timbulnya respon tersebut. 2.2.2 Etiologi dan Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kecemasan atau ansietas menurut Stuart & Sundeen (2005) meliputi dua fator yaitu faktor predisposisi dan fator stresor pencetus. Faktor-faktor tersebut adalah: a. Faktor Predisposisi Teori-teori yang dikembangkan untuk menjelaskan timbulnya kecemasan adalah: 25 1. Teori psikodinamik Teori ini menjelaskan bahwa ansietas atau kecemasan timbul karena adanya koonflik adatara dua elemen kepribadian, yaitu id dan superego. Id mencerminkan adanya dorongan insting dan impuls primitif dari individu seseorang, sedangkan superego merupakan hati nurani dan dikendalikan oleh norma-norma dan budaya yang dianut oleh individu. Konflik yang terjadi antara id dan superego ditengahi oleh ego atau aku, fungsinya adalah untuk menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentanhgan tersebut, dan fungsi ansietas adalah sebagai penanda atau pengingat bahwa ada tanda dari bahaya. 2. Teori Intepersonal Penjelasan timbulnya kecemasan akibat adanya rasa takut terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal. Kecemasan juga dikaitkan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan kelemahan spesifik. 3. Teori perilaku Menurut teori ini kecemasan merupakan suatu hasil dari perasaan frustasi, yaitu segala sesuatu yang menggangu kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Pakar lain menyebutkan bahwa kecemasan atau ansietas 26 merupakan suatu dorongan atau keinginan dari dalam individu untuk belajar dengan tujuan menghindari kepedihan. 4. Teori Kajian Keluarga Kajian keluarga menunjukkan bahwa gangguan ansietas merupakan hal yang biasa ditemui dalam suatu keluarga. Ada tumpang tindih dalam gangguan ansietas antara gangguan ansietas dengan depresi. 5. Teori Kajian Biologis Kecemasan timbul karena otak mengandung reseptor khusus untuk benzodiazepine. Reseptor ini mungkin membantu mengatur ansietas. Penghambat asam aminobutiri-gamma nerogultor (GABA) juga mungkin memainkan peran utama dalam mekanisme biologis berhubungan dengan kecemasan, sebagaimana halnya dengan endorphin. Selain itu, telah dibuktikan bahwa kesehatan umum seseorang mempunyai akibat nyata sebagai predisposisi terhadap ansietas. Kecemasan mungkin disertai dengan gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan kapasitas seseorang untuk mengatasi stressor. b. Stresor Pencetus Stresor pencetus mungkin berasal dari sumber internal atau eksternal. Stresor pencetus dapat dikelompokkan dalam dua kategori yaitu: Ancaman terhadap integritas seseorang, hal ini meliputi ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau menurunnya 27 kapasitas untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Ancaman terhadap sistem diri seseorang yaitu, ancaman terhadap sistem individu ini dapat membahayakan identitas, harga diri, dan fungsi sosial yang terintegrasi seseorang. Teori lain yang disebutkan oleh Videbeck tahun 2008, menyebutkan ada dua teori biologi dan psikodinamik. Berikut penjelasan tentang teori tersebut: a. Teori biologi 1. Teori gentik Teori ini mengungkapkan bahwa pewarisan sifat pada individu yang mengalami kecemasan terjadi. Insiden gangguan panic mencapai 25% pada kerabat tingkat pertama, dengan wanita berisiko dua kali lipat lebih besar dari pada pria. Kembar monozigot memiliki concordance lima kali lebih besar dari pada kembar dizigot (DSM-IV-TR, 2000). Dijelaskan lagi oleh peneliti Horrwath dan Weissman (2000), suatu kemungkinan “sindrom kromosom 13”. Kromosom ini dikatakan terlibat dalam hubungan genetic yang mungkin pada gangguan panik, sakit kepala hebat, dan masalah ginjal, kantung kemih, atau tiroid, atau prolapse katup mitral. 2. Teori Neurokimia Asam gama-amino butirat (GABA) merupakan neurotransmiter asam amino yang diyakini tidak berfungsi pada gangguan ansietas. Gaba , suatu neurotransmitter inhibitor, berfungsi sebagai agen antiansietas alami tubuh dengan mengurangi ekstabilitas sel sehingga mengurangi frekuensi bangkitan neuron. Karena GABA mengurangi ansietas dan noreprinefrin 28 meningkatkan ansietas, diperkirakan bahwa masalah pengaturan neurotransmitter ini menimbulkan gangguan ansietas. Benzodiazepin merupakan obat kelas ansiolitik, yang membantu mengurangi frekuenasi bangkitan sel dan mengurangi ansietas. Serotonin (5-HT), neurotrasnmiter indolamin yag biasanya terlibat dalam psikosis dan gangguan mood, memiliki banyak subtype, dan tipe 5-HT1a berperan dalam terjadinya ansietas, juga memengaruhi agresi dan mood. 3. Teori psikodinamik a. Intrapsikis atau psikoanalitis Kecemasan yang dialami oleh seseorang merupakan mekanisme pertahanan untuk mengendalikan kesadaran terhadap kecemasan itu sendiri. Jika seseorang memiliki pikiran dan perasaan yang tidak tepat sehingga meningkatkan perasaan ansietas, individu tersebut menyimpan impuls yang tidak tepat tersebut ke dalam alam bawah sadar sehingga impuls tersebut tidak dapat diingat kembali. b. Teori Interpersonal Teori ini menjelaskan bahwa kecemasan timbul dari masalahmasalah dalam hubungan interpersonal. Pada Individu dewasa, kecemasan timbul akibat dari kebutuhan individu tersebut untuk menyesuaikan diri dengan norma dan nilai kelompok budayanya. Semakin tinggi tingkat kecemasan yang dialami, semakin rendah kemampuan untuk mengkomunikasikan dan menyelesaikan masalah, 29 dan semakin besar pula kesempatan untuk menderita gangguan kecemasan. c. Teori Perilaku Para ahli menyatakan teori perilaku adalah bagaimana kecemasan dipandang sebagai sesuatu yang diperlajari melalui pengalaman individu. Namun sebaliknya, perilaku dapat diubah atau ditinggalkan melalui pengalaman baru. Ahli teori perilaku percaya bahwa individu dapat memodifikasi perilaku maladaptif tanpa memahami penyebab perilaku tersebut. Mereka menyatakan bahwa perilaku yang mengganggu kehidupan individu dapat ditiadakan atau ditingalkan melalui pengalaman berulang yang dipandu oleh seorang ahli terapi terlatih. 2.2.3 Tanda dan Gejala Kecemasan Tanda dan gejala kecemasan menurut Stuart & Sundeen (2005) dibagi menjadi respon fisiologis, perilaku, kognitif, dan afektif. a. Respon fisiologis 1. Kardiovaskular Pada sistem ini individu dapat mengalami palpitasi jantung berdebar, tekanan darah meninggi dan mengalami respon parasimpatis diantaranya adalah rasa mau pingsan, pingsan, tekanan darah menurun, dan denyut nadi menurun. 30 2. Respirasi Perubahan pada sistem pernapasan pada individu yang mengalami ansietas atau kecemasan adalah napas cepat, napas pendek, tekanan pada dada, napas dangkal, pembengkakan pada tenggorok, sensasi tercekik, terengah-engah. 3. Neuromuskular Reflek meningkat, reaksi kejutan, mata berkedip-kedip, insomnia, tremor, rigiditas, gelisah, wajah tegang, kelemahan umum, kaki goyah, gerakan yang janggal. 4. Gastrointestinal Kehilangan napsu makan, menolak makan, respon parasimpatis antara lain rasa tidak nyaman pada abdomen, mula, rasa terbakar pada jantung, dan diare. 5. Traktus Urinarius Sering berkemih dan tidak dapat menahan kencing. 6. Kulit Pada kulit wajah terdapat kemerahan, berkeringat lokal atau setempat (pada telapak tangan), gatal, rasa panas dan dingin pada kulit, wajah pucat, dan berkeringat seluruh tubuh. b. Respon perilaku Respon perilaku pada individu yang mengalami kecemasan antara lain adalah gelisah, ketegangan fisik, tremor, gugup, bicara cepat, kurang 31 koordinasi, cenderung mendapat cedera, menarik diri dan hubungan interpersonal, menghindar, hiperventilasi c. Respon Kognitif Respon kognitif pada kecemasan adalah dapat mengalami perhatian yang terganggu, konsentrasi yang buruk, pelupa, salah dalam memberikan penilaian, preokupasi, hambatan berpikir, bidang persepsi menurun, kreativitas menurun, bingung, sangat waspada, kesadaean diri meningkat, kehilangan objektivitas, takut kehilangan kontrol, takut pada gambaran visual, takut cedera atau kematian. d. Respon Afektif Mudah terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang, gugup, ketakutan, alarm, teror, dan gelisah. 2.2.4 Dampak kecemasan Diagnosis kecemasan pada pasien dengan perawatan paliatif dapat didukung dengan adanya beberapa respon somatik sebagai akibat dari kecemasan itu sendiri. Respon somatik dari kecemasan diantaranya adalah nyeri yang memburuk dan tidak dapat dijelaskan, insomnia, kehilangan nafsu makan, atau peningkatan mual dan muntah. Respon nonsomatik (kognitif atau psikologik) dari kecemasan yang dapat timbul pada pasien dengan perawatan paliatif adalah keraguan dan ketidakmampuan untuk membuat keputusan, konsentrasi yang buruk, pikiran yang tidak menyenangkan tentang 32 kanker, ketakutan akan kematian, dan ketergantungan pada orang lain (Quill & Miller, 2014). Kuebler, Heidrich, & Esper (2007) masalah-masalah yang dapat ditimbulkan akibat adanya kecemasan meliputi masalah fisik, masalah medis ataupun masalah yang berpengaruh terhadap psikososial, emosional dan spiritual dari individu. Dampak kecemasan tersebut dijelaskan sebagai berikut : a. Dampak kecemasan pada fisik 1. Setiap gejala yang tidak bisa dihilangkan seperti rasa nyeri atau dipsnea. 2. Proses yang mendasari (hipoksia dan sepsis) 3. Reaksi obat yang merugikan seperti akatsia (haloperidol), psikosis (kortikosteroid), atau toksisitas (meperidin) 4. Obat-obatan atau zat withdrawal (alkohol, antikonvulsan, benzodiazepine, nikotin, dan opioid. 5. Delirium yang aktual atau yang mungin terjadi. b. Masalah medis yang dikaitkan dengan kecemasan adalah 1. Kardiovaskular : angina, aritmia, penyakir valvular, gagal jantung kongestif, infraksi miokardial. 2. Keseimbangan cairan dan elektrolit : dehidrasi, hiponatremi, hiperkalemia, hiperkalsemia, atau hipokalemia. 3. Endokrin : hipotiroid, hipertiroid, Cushing’s syndrome, penyakit Addison, hiperparatiroid, abnormalitas kadar glukosa. 33 4. Pernapasan : hipoksia, pneumothoraks, emboli paru, penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), dipsnea, asma, sleep apnea, pneumonia. 5. Neurologi : ensepalopati, vertigo, delirium, serebrovaskular, multiple sclerosis, transient ischemic attacks, hematoma. 6. Hematologi/ malignansi : beberapa metastasi ke otak, anemia, pheochromocytoma. 7. Nutrisional : Anemia, defisiensi folat, defisiensi vitamin B12. 8. Obat dan efek samping pengobatan : contohnya , bronkodilator, phenothiazines stimulant digunakan untuk menangkal efek sedatif samping opioid: kafein, methylphenidate (Ritalin), amfetamin, 9. Beberapa proses infeksi contohnya pneumonia dan infeksi pada saluran kemih. c. Dampak kecemasan pada psikososial, emosional, dan spiritual 1. Reaksi normal pada situasi yang mengancam 2. Indikasi adanya gangguan kecemasan (Anxiety Disorder). 3. Ekspresi eksistensial pada duka cita spiritual. (Kuebler, Heidrich, & Esper.2007). 2.2.5 Mekanisme Timbulanya Kecemasan Kecemasan diawali dengan adanya stimulus dari internal dan eksternal, stimulus tersebut akan diambil kembali oleh amygdala kemudian dianalisis. Respon emosional yang didapatkan dari stresor akan mestimulasi komponen stres dan sistem dopaminergic. Adanya stimulasi 34 tersebut menyebabkan neuron dari Corticotropin Releasing Hormone ((CRH) pada amygdala merespon adanya glukokortikoid dengan cara merangsang terjadinya keccemasan (Tsigos & Chrousos, 1996 dalam Parker, 2012). Kecemasan dan ketakutan akan mengaktifkan respon dari sistem saraf autonom yang mengaktifkan respon involunter dan otomatis kemudian mempengaruhi sistem saraf parasimpatis (membalikan respon stress) dan simpatis (menyiapkan tubuh untuk stress) kemudian muncul reaksi fisik dari ketakutan dan kecemasan (Anxiety Carre UK, 2014). 2.2.6 Tingkat atau jenis kecemasan Menurut Videbeck (2008), tingkat kecemasan dibedakan menjadi empat, dan setiap tingkat kecemasan memiliki respon yang berbeda-beda mulai dari respon fisik, kognitif dan emosional. Tingkat kecemasan tersebut meliputi : 1) Kecemasan ringan (1+) a. Respon Fisik : Ketegangan otot ringan, sadar akan lingkungan, rileks atau sedikit gelisah, penuh perhatian, dan rajin. b. Respon Kognitif : lapang persepsi luas, terlihat tenang, percaya diri, perasaan gagal sedikit, waspada dan memerhatikan banyak hal, mempertimbangkan informasi, tingkat pembelajaran optimal. c. Respon Emosional : perilaku otomatis, sedikit tidak sabar, aktivitas menyendiri, terstimulasi, dan tenang. 35 2) Kecemasan Sedang (2+) a. Respon Fisik : Ketegangan otot sedang, tanda-tanda vital meningkat, pupil dilatasi, mulai berkeringat, sering mondarmandir, memukulkan tangan, suara berubah bergetar, nada suara meningkat, sering berkemih, sakit kepala, pola tidur berubah, nyeri punggung. b. Respon Kognitif : lapang persepsi menurun, tidak perhatian secara selektif, fokus terhadap stimulus meningkat, rentang perhatian menurun, penyelesaian masalah menurun, pembelajaran terjadi dengan memfokuskan. c. Respon Emosional : tidak nyaman, mudah tersinggung, kepercayaan diri goyah, tidak sabar, dan gembira. 3) Kecemasan Berat (3+) a. Respon Fisik : Ketegangan otot berat, hiperventilasi, kontak mata buruk, pengeluaran keringat meningkat, bicara cepat, nada suara tinggi, tindakan, tanpa tujuan dan serampangan, rahang menegang, menggertakan gigi, kebutuhan ruang gerak meningkat, mondar-mandir, berteriak, meremas tangan, gemetar. b. Respon Kognitif : lapang persepsi terbatas, proses berpikir terpecah-pecah, sulit berpikir, penyelesaian masalah buuruk, tidak mampu mempertimbangkan informasi, hanya memperhatikan ancaman, preokupasi dengan pikiran sendiri, dan egosentris. 36 c. Respon Emosional : Sangat cemas, agitasi, takut, bingung, merasa tidak adekuat, menarik diri, peyangkalan, ingin bebas. 4) Panik (4+) a. Respon Fisik : flight, fight, atau freeze, ketegangan otot sangat berat, agitasi motoric kasar, pupil dilatasi, tanda-tanda vital meningkat kemudian menurun, tidak dapat tidur, hormone stress dan neurotrasnmiter berkurang, mulut ternganga. b. Respon Kognitif : persepsi sangat sempit, pikiran tidak logis, tergangu, kepribadian kacau, tidak dapat menyelesaikan masalah, fokus pada pikiran sendiri, tidak rasional, sulit memahami stimulus eksternal, halusinasi, waham, ilusi mungin terjadi. c. Respon Emosional : merasa terbebani, merasa tidak mampu, tidak berdaya, lepas kendali, mengamuk, putus asa, marah sangat takut, mengharapkan hasil sangat buruk, kaget, takut, lelah. Menurut Shoemaker, N, 2005 dalam Kuebler, Heidrich, & Esper, (2007) kecemasan dibedakan menjadi empat jenis, dan memiliki manifestasi yang berbeda baik dari manifestasi fisik, emosional dan kognitif, Tingkat kecemasan tersebut dapat dilihat dalam Tabel 2 berikut: 37 Tabel 2.2. Tingkat kecemasan dan manifestasi klinis Tingkat Manifestasi Manifestasi kecemasan fisik emosional Ringan (Mild) Peningkatan denyut nadi dan tekanan darah Afek positif Sedang (Moderate) Manifestasi kognitif Waspada, dapat menyelesaikan masalah, menyiapkan diri untuk belajar atau menerima informasi baru. Perhatian fokus pada satu objek, mungkin dapat berkonsentrasi jika diarahkan. Peningkatan Tegang, dan tanda-tanda ketakutan vital, ketegangan otot, diaporesis Berat (Severe) Fight or flight distres Penurunan persepsi dan respon, mulut sensori, dapat fokus hanya kering,mati rasa pada detail, tidak dapat pada menerima atau belajar ekstremitas informasi yang baru Panik (Panic) Perburukan dari Benar-benar Mengabaikan isyarat tanda dan gejala merasa ekstternal, fokus pada dari kecemasan terbebani stimulus internal, tidak dapat berat belajar Sumber : Shoemaker, N, 2005 dalam Kuebler, Heidrich, & Esper, 2007 2.2.7 Pengukuran Tingkat Kecemasan Tingkat kecemasan pada seseorang dapat diketahui dengan menggunakan alat ukur (instrumen) kecemasan. Instrumen pengukuran cemas ada berbagai macam yang sudah teruji validitas dan reabilitasya. Instrumen-instrumen tersebut antara lain adalah Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS-A), Beck Anxiety Inventory (BAI), Depression Anxiety and Stress Scales (DASS). Menurut Hawari (2008) HRS-A merupakan alat ukur kecemsan yang terdiri dari 14 kelompok gejala kecemasan yang terdiri atas perasan cemas, ketegangan, ketakutan, gangguan tidur, gangguan kecerdasan, perasaan depresi, gejala somatik fisik dan sensorik, 38 gejala kardiovaskuler, gejala respiratori, gejala urogenital, gejala autonom, dan tingkal laku saat wawancara. Responden diminta untuk menjawab 14 kelompok gejala tersebut dengan pilihan jawaban (skor) antara 0-4, yang artinya 0 = tidak ada gejala sama sekali, 1 = 1 dari gejala yang ada, 2 = separuh gejala yang ada, 3 = lebih dari separuh gekala yang ada, 4 = semua gejala ada. Skor dari ke 14 kelompok gejala akan dijumlahkan dan diinterpreatsikan, skor <14 = ridak ada kcemasan, 14-20 = kecemsan ringan, 21-27 kecemasan sedang, 28-41 = kecemasan berat, dan 42-56 = kecemasan berat sekali. Instrumen BAI merupakan instrumen yang digunakan sebagai alat ukur yang digunakan untuk megukur tingkat kecemasan dan terdiri dari 21 pertanyaan. Setiap pertanyaan pada BAI merupakan deskripsi singkat mengenai gejala kecemasan, yaitu gejala subjektif misalnya tidak dapat santai, gejala neurofisiologis misalnya mati rasa atau kesemutan, gejala autonomy misalnya merasa panas atau gerah, dan gejala yang berhubungan dengan panik yaitu sulit berkonsentrasi Responden diminta menjawab 21 pertanyaan dengan pilihan jawaban ( skor) 0 = tidak pernah dialami, 1 = gejala ringan ( mengalami gejala tetapi tidak merasa terganggu), 3 = gejala berat ( sangat mengganggu dengan gejala yang cukup dialami). Skor tersebut kemudian dijumlahkan dan diinterpretasikan dengan kategori skor 0-7 = ridak cemas, 8-15 = cemas ringan, 16-25 = cemas sedang, dan 26-63 = cemas berat (Leyfer et al, 2006). 39 Menurut Mc Dowell (2006) DASS merupakan instrument yang digunakan oleh peneliti untuk menilai keparahan gejala inti depresi, kecemasan, dan stress. Instrumen ini terdiri dari 42 pertanyaan atau seperangkat skala subjektif yang dibentuk untuk mengukur status emosional negatif dari depresi, kecemasan dan stress. Setiap skala subjektif tersebut terdiri atas 14 butir pertanyaan. Selanjutnya, responden diminta menjawab 14 butir pertanyaan dari masing-masing skala yang akan diukur dengan pilihan jawaban (skor) 0 = tidak pernah dialami sama sekali, 1 = jarang dialami, 2 = sering dialami, 3 = selalu dialami. Setelah responden menjawab pertanyaan tersrbut, skor dijumlahkan dan diinterpretasikan. Khusus untuk kecemasan , jumlah skor 0-7 = normal, 8-9 = ringan, 10-14 = sedang, 15-19 = berat, >20 = sangat berat. Instrumen BAI adalah istrumen baku yang sudah diuji validitas dan reabilitanya. Hasil penelitian yang dilakukan bahwa BAI dapat mencerminkan tingkatan kecemasan pada pasien yang mendapat perawatan primer atau inap dan pasien rawat jalan yang mendapatkan pengobatan. Dari ketiga jenis intrumen tersebut, peneliti akan menggunakan istrumen BAI sebagai istrumen untuk mengukur tingkat kecemasan pada pasien yang menjalani kemoterapi. BAI dipilih sebagai istrumen karena BAI dapat digunakan untuk mengukur tingkat kecemasan pada remaja 40 sampai lansia. BAI mengandung deskripsi singkat tentang gejala kecemasan yang dialami seseorang sehingga pengukuran tingkat kecemasan dapat dilakukan dengan mudah dan dalam waktu relatif singkat. 2.2.8 Terapi untuk Mengatasi Kecemasan Menurut Hawari (2008), manajemen untuk mengurangi kecemasan dapat dilakukan dengan: a) Terapi Psikofarmaka Obat-obatan yang digunakan adalah obat anticemas (anxiolityc) dan obat antidepresi (antidepreant). Obat-obatan tersebut adalah Diazepam, Clobazam, Bromazepam, Lorazepam, Buspirone HCL, Methprobamate, Alprazolam, Chlordiazepoxide HCL, Oxazolam, Hidroxyne HCL, Kava-kava rhizome adalah jenis obat anticemas. Obat-obatan anti depresi diantaranya adalah Clomipramine HCl, Imipramine, Amitriptyline, Doxepin, Maprotiline, Mianserin, Amoxapine, Molobemide, Fluvoxamine maleate, opipramol diHCl, fluoxetine HCl, Tranzodone,, Sentraline HCl (SSRI), Citalopram, Mirtazapine, dan Tianeptine. b) Terapi Somatik Terapi ini diberikan pada orang yang mengalami kecemasan dengan gejala somatic (fisik) seperti keluhan pada sistem pencernaan, kardiovaskuler, pernapasan, urogenital, otot, dan tulang. Terapi 41 somatik berupa pemberian obat-obatan untuk mengurangi gejala somatic yang timbul pada pasien. c) Psikoterapi Psikoterapi dalah terapi penunjang yang digunakan untuk mengatasi kecemasan selain diberikan farmakoterapi, dan terapi somatik. Psikoterapi diantaranya adalah terapi suportif, terapi reedukatif, re-kostruktif, kognitif, psikodinamik, perilaku, dan keluarga. Tujuan dari terapi psikoterapi adalah untuk memperkuat struktur kepribadian, kepercayaan diri, ketahanan, dan kekebalan baik fisik maupun mental serta kemampuan beradaptasi dan menyelesaikan stressor pada diri seseorang. d) Terapi Psikoreligius Terapi psikoreligius erat hubunganya dengan kekebalan dan daya dalam menghadapai berbagai problem kehidupan yang merupakan strsor psikososial. Terapi psikoreligius sudah banyak diteliti, dan hasilnya menunjukkan bahwa komponen agama menduduki tempat yang penting di dalam manajemen kecemasan. e) Terapi Psikososial Terapi psikososial bertujuan untuk memulihkan kembali kemampuan adaptasi agar individu dapat kembali berfungsi secara wajar dalam kehidupan sehari-hari baik di rumah, di sekolah/kampus, di tempat kerja, maupun di lingkungan pergaulan sosialnya. Terapi ini tergantung dari jenis stesor psikososial yang dihadapi seseorang. 42 f) Konseling Terapi-terapi yang digunakan dalam manajemen kecemasan khususnya psikoterapi dilakukan melalui konseling. Konselor memberikan konseling bukan hanya pada individu tetapi juga pada keluarga, kawan dekat, suami/istri, dan anak atau anggota keluarga lain. Konseling ini dilakukan secara terprogram baik dalam tahapantahapan konsultasi, maupun frekuensi dari konsultasi yang dimaksud. Menurut Jacobs & Gundling dalam Bradly, Jacobs, dan Gundling (2009), terapi yang dapat digunakan untuk mengatasi kecemasan dapat berupa Complementary Altervative Medicine (CAM) yang digunakan sebagai kombinasi terapi selain terapi utama pada pasien dengan gangguan kecemasan. Terapi-terapi komplemter tersebut adalah: a. Akupuntur Akupuntur sering dikaitkan dengan perubahan fisiologis dan biokimia pada sistem saraf seperti peningkatan dalam endomorphin-1, beta endorphin, encephalin, dan tingkat serotonin. Banyak dari efek fisiologis yang berhubungan dengan relaksasi dan analgesia. b. Aromaterapi Aromaterapi menyangkut penggunaan minyak atsiri yang penting untuk penyembuhan. Aplikasi penggunaan aromaterapi diterapkan pada kulit, dihirup, atau diencerkan pada vaporizer. Dalam penelitian-penelitian yang telah dilakukan tidak ada bukti yang menunujukkan bahwa 43 aromaterapi adalah pengobatan yang efektif untuk gangguan kecemasan. Namun, ada manfaat anxiolytic jangka pendek pada pasien rawat inap yang diberikan terapi pijat yang dikombinasikan dengan aromaterapi. c. Meditasi Meditasi memungkinkan seseorang untuk secara sadar mengatur perhatian mereka atau mengatur kesadaran. Jenis-jenis meditasi yang biasanya digunakan di Amerika Serikat adalah concentration meditation and mindfulness meditation, tujuan utama dari meditasi adalah memusatkan perhatian pada satu objek, suara, gambar, atau napas seseorang. Meditasi yang paling sering digunakan adalah relaxation response and transcendental Meditation. Penelitian lain mengidentifikasi lima uji klinis yang dilakukan secara acak mengevaluasi pengaruh dari meditasi pada kondisi kecemasan dan menyimpulkan ada bukti yang cukup mengenai efektivitas terapi meditasi untuk gengguan kecemasan. d. Terapi Relaksasi Terapi relaksasi meliputi rentang terapi yang mengutamakan ketenangan rasa tenang dan kesejahteraan. Jenis terapi relaksasi yang paling popular yang ditemukan oleh Herbert Bensin adalah relaksasi otot progresif dan respon relaksasi. Teknik relaksasi mengajarkan pasien untuk mengenali gejala kecemasan, seperti faktor pemicu terjadinya kecemasan dan tanda kecemasan itu sendiri. 44 Menurut Medifocus (2011), terapi komplementer yang dapat digunakan untuk memanagenemen kondisi pada pasien dengan penyakit-penyakit kronis seperti kecemasan, nyeri kronis, gangguan tidur dan stress. Terapi-terapi tersebut adalah Mind-body terapi yang sangat populer digunakan terapi tersebut meliputi meditasi, hipnotis, guided imagery, dan terapi relaksasi. Jenis meditasi yang diketahui ada dua yaitu concentration meditation dan mindfulness meditation. a. Consentration Meditation adalah meditasi yang berfokus pada satu objek misalkan mantra, yaitu sebuah kata yang diulang dalam waktu tertentu. Contohnya adalah meditasi transcendental dan relaxation response. b. Mindfulness Meditation adalah konsentrasi bukan hanya pada satu objek atau mantra saja, fokus dari tipe meditasi ini adalah berbagai aspek pengalaman manusia seperti sensasi fisik. 2.2.9 Kecemasan pada Pasien Kemoterapi Kecemasan adalah suatu respon yang normal terjadi terhadap adanya ancaman, ketidakpastian, dan kehilangan kontrol. Kecemasan pada pasien kanker muncul pada saat dinyatakan menderita kanker, dan kecemasan timbul karena menjalani proses pengobatan kanker yang menyebabkan stres dan traumatis. Saat pertama kali mendapatkan informasi mengenai diagnosis penyakitnya pasien bisanya merasa cemas dan mudah tersinggung (Levenson,2011). 45 Kemoterapi adalah masalah utama dari distres emosional termasuk kecemasan. Pengetahuan tentang toksisitas dapat menjadi penyebab kecemasan sebelum dilakukannya kemoterapi, tapi pengulangan postinfuse mual dan muntah sering menimbulkan stres yang terjadi pada preinfusi. Studi terbaru mengindikasikan bahwa kecemasan yang diantisipasi (anticipatory anciety), memiliki kondisi yang sama terjadi pada beberpa pasien dan saling mempengaruhi dengan antisipasi terhadap mual (antisipatory nausea), yang masing-masing dapat saling meningkatakan proses terjadinya kecemasan ataupun mual (Noyes & Saric, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Lutfa dan Maliya di Rumah Sakit DR. Moewardi Surakarta, analisis dilakukan terhadap 44 psaien pada pasien yang menjelani kemoterapi lebih dari tiga kali, faktor-faktor yang diduga menyebabkan kecemasan adalah umur, pendidikan pasien, frekuensi dilakukan kemoterapi, dan tingkat adaptasi. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa uji regresi yang dilakukan dengan melihat nilai p terkecil dari seluruh nilai p yang dianalisis diidapatkan nilai variabel adaptasi mempunyai nilai p terkecil yaitu 0,012. Interpreatsi nilai p pada variabel tingkat adaptasi adalah variabel adaptasi pasien yang paling mempengaruhi kecemasan pada pasien yang menjalani kemoterapi (Lutfa & Maliya, 2008). 46 Namun pada analisis statistik didapatkan usia pasien juga mempengaruhi secara signifikan terhadap tingkat kecemasan pada pasien. Dari hasil penelitin ini dapat diketahui juga bahwa pasien yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi memiliki tingkat kecemasan yang relatif lebih rendah (Lutfa & Maliya, 2008). Penelitian mengenai dampak kecemasan pada pasien kemoterapi juga dilakukan oleh Winie et al, peneltian ini dilakukan pada pasien kanker wanita, hasil dari penelitian ini menunujukkan bahwa presentasi kecemasan dan depresi lebih besar dibandingkan dengan pasien kanker yang menjalani radioterapi, kecemasan dan depresi memiliki efek merugikan pada domain secara keseluruhan dan kualitas hidup wanitawanita yang menjalani terapi adjuvan untuk kanker payudara (Winie et all, 2010 ). Penelitian lain yang dilakukan oleh Breen, et al menemukan bahwa prevalensi kecemasan didapatkan sebanyak 45% dan depresi 25% . Survei ini dilakukan pada 192 pasien yang menjalani kemoterapi dengan berbagai macam jenis kanker. Sindrom distres yang timbul antara lain gejala pada gastrointestinal (mual, muntah, nyeri), malaise umum (kelelahan, merasa lemah, sakit kepala), emosional (merasa depresi, merasa cemas), gejala fisik umum (masalah pada mulut dan tenggorokan, napas pendek). Namun, kelompok yang memberikan hubungan yang signifikan pada terjadinya kecemasan adalah malaise umum, dan gejala lain tidak berkontibusi secara sigifikan (Breen, et al, 2009). 47 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecemasan yang timbul pada pasien kemoterapi dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah, usia, tingkat penidikan, adaptasi pasien, dan efek samping yag timbul karena kemoterapi juga mempengaruhi kecemasan pada pasien kemoterapi. Mual dan muntah yang terjadi pada pasien dapat menimbulkan kecemasan, dan sebaliknya kecemasan dapat menimbukkan mual dan muntah pada pasien sebelum dilakukannya kemoterapi. Kecemasan pada pasien kemoterapi juga mempengaruhi kualitas hidup pasien. 2.3 2.3.1 TERAPI NYANYIAN (CHANTING) MANTRA OM Pengertian Terapi Nyanyian (Chanting) Mantra Om Mantra adalah suatu suara, suku kata, kata, atau kelompok kata yang terdiri kata-kata yang mempertimbangkan kekuatan atau kemampuan untuk menciptakan transformasi. Dalam bahasa sansekerta, mantra terdiri atas akar kata “man” yang berarti berpikir dan akhiran “tra” menunjukkan peralatan atau instrument, jadi dapat diartikan mantra adalah instrument dari pikiran (Macdonell, 192,dalam Whitney, 2003, dalam Gelfo, 2013 ). Mantra umumnya dinyanyikan dan kadang diucapkan dalam acara ritual seperti pemujaan, berdoa untuk penghormatan kepada Tuhan, dan untuk mengurangi rasa ego diri dan meningkatnya perasaan terhubung dengan Tuhan selama kehidupan (Gelfo, 2013). 48 Kata “mantra” dalam bahasa sansekerta diartikan sebagai sesuatu yang membebaskan pikiran. Sebuah mantra adalah nyanyian dari kata atau suara yang digunakan, bukan hanya mengacu pada artinya tapi pada kualitas bunyi atau suara yang mengalunkan atau menyanyikannya (Weiss,2008). Banyak orang yang baru dalam menjalani meditasi mempunyai pemikiran tentang apa itu suara dengungan yang dibuat pada saat orang-orang bermeditasi. Beberapa praktisioner meditasi mengucapkan “Om” atau “Aum”. Om adalah ucapan yang menjadi suara dari semua suara yang berasal dari satu sumber, kumpulan dari suara di seluruh alam semesta (Nijar, 2014). Nyanyian (Chanting) om adalah suatu jalan yang digunakan untuk mencapai ketenangan sejati yang didapatkan dari mengucapakan atau menyanyikan mantra OM. Chanting om membangkitkan kembali jiwa manusia untuk sadar dan mengenali kembali Tuhan (Ray,2010). Dalam yoga, chanting om dipercaya dapat menghubungkan jiwa pada alam semesta. Fisika moderen menyatakan bahwa alam semesta terbentuk dari partikel-partikel dan gelombang-gelombang. Suara adalah gelombang yang menciptakan partikel yang bergetar, sebaliknya goyangan partikel dapat menghasilkan gelombang suara.(Brown & Patricia, 2012). 49 Chanting om adalah tradisi Hindu dimana menyanyikan kata OM atau AUM. Kata itu diucapkan dengan membuka lebar mulut untuk menciptakan A (AH) yang panjang yang muncul dari tenggorokan belakang. Suara tersebut diikuti dengan meneruskannya melalui pengucapan u (OO dengan bibir yang membulat) sampai mulut tertutup rapat sambil dan terdengar suara M (Angelo, 2011). Chanting om adalah suatu cara dimana mantra om dinyanyikan sehingga menghasilkan getaran yang dirasakan oleh orang yang menyanyikannya. Chanting om menciptakan gelombang suara dan dipercaya dapat menyadarkan diri untuk mengenali dan merasakan Tuhan dan menghubungkan jiwa dengan alam semesta. 2.3.2 Tahapan Terapi Nyanyian (Chanting) Mantra Om Menurut Brown & Patricia (2012) tahapan dari chanting om ada tujuh tahapan, suara om biasanya dinyanyikan pada notasi rendah dibandingkan notasi tinggi. Vibrasi dari notasi yang tinggi cenderung diam pada tenggorokan dan kepala, dimana notasi yang rendah menghasilkan vibrasi yang lebih baik dan menyentuh tubuh. Tahapan tersrbut meliputi: a. Chanting om dapat dilakukan dalam berbagai posisi. Untuk meningkatkan kemampuan diri dalam merasakan vibrasi, dapat diawalai dengan mengambil posisi duduk pada kursi. b. Duduk pada kursi dengan posisi tulang belakang lurus, kaki dalam keadaan nyaman dan lurus. Menapak pada lantai, tangan istirahat. 50 Tutup mata dan ambil napas pelan sebanyak dua kali, tarik napas melalui hidung dan keluarkan melalui mulut. c. Ambil napas dalam secara perlahan, dan ketika napas dihembuskan keluar, nyanyikan om secara perlahan dengan nada rendah : o…o…o…o…m…m…m… d. Ucapkan kata “AUM” dalam tiga bagian suara : a….a….a….o..o…o..m..m…m… e. Tutup mata dan ulangi a…o…m… sebanyak tiga kali, menhentikan suara tersebut setelah dirasakan ada tempat dalam tubuh di mana setiap suara menciptakan vibrasi paling intens, biarkan mata tertutup setelah pengucapan a…o…m… panjang, perhatikan bagaimana perasaan anda. Gambar 2.3. Posisi saat melakukan Terapi Nyanyian (Chanting) Mantra Om (Sumber : http://thenoticeca.com/wp-content/uploads/2013/03/Sitting-Mountain.jpg ) 51 Chanting om dilakukan dalam keadaan rileks, damai, dan dalam waktu dan durasi yang nyaman menurut seseorang, dan disesuaikan dengan gaya hidup. Waktu dan durasi tidak masalah dalam melakukan chanting om baik itu lima atau 30 menit, hal penting yang harus diperhatikan adalah tentukan waktu yang diinginkan dan lakukan setiap hari, dan lakukan sampai waktu yang ditentukan habis (Ray, 2010). Tahapan dalam melakukan chanting om menurut (Ray, 2010). adalah a. Duduk dengan nyaman, dengan punggung yang tegak dan tangan tangan disatukan, mata tertutup, b. Pikirkan menyanyikan kata “O-o-oM-m-m,” perlahan dan seirama dengan pernapasan. c. Jangan berusaha untuk menganggu pernapasan normal d. Panjang nyanyian tergantung dari lama pernapasan, jika mempunyai pernapasan yang panjang maka pengucapan dapat panjang, namun jika pernapasan pendek maka pengucapan juga pendek. e. Jika dirasaksan sudah cukup mengucapkan dalam pikiran maka, dapat diawali dengan nyanyian secara perlahan. f. Awali dengan menarik napas dalam, kemudian ketika menghembuskan perlahan nyanyikan mantra om. g. Setelah dirasakan waktu untuk chanting om cukup maka rasakan sensasi yang dirasakan setelah melakukan chanting om. 52 Menurut Angelo (2011) chanting om, dengan cara: a. Duduk pada posisi meditasi, atau duduk pada kursi dengan kaki disilangkan pada lantai, dengan tangan yang diistirahatkan, punggung dan leher lurus dan buat posisi senyaman mungkin b. Ambil tiga kali napas dalam, tubuh rileks saat menarik dan menghembuskan napas. c. Pada napas dalam selanjutnya, nyanyikan kata OM. Perhatikan seluruh suara dari awal hingga akhir terdengar. d. Bernapas dalam lagi dan ucapkan kata om sepanjang menghembuskan napas, dan lakukan dengan keadaan yang nyaman. Lakukan selama lima menit, jika dirasakan kurang, maka dapat dilakukan selama sepuluh menit. e. Kemudian nyanyikan mantra Om, perhatikan seolah-olah nyanyian om tersebut dapat mengentuh samapai ke kening. f. Fokuskan perhatian pada seluruh suara dari awal samapai akhir. g. Lakukan selama lima menit dan rasakan kenyamanannya. Kemudian buka mata perlahan, gerakkan jari-jari, dan gosokkan tangan bersamaan. 53 2.3.3 Manfaat Terapi Nyanyian (Chanting) Mantra Om Chanting Om menyembuhkan di semua tingkatan, baik itu fisik, emosional, mental, dan spiritual. Chanting om mempunyai efek untuk penyembuhan dan memurnikan tubuh, pikiran, dan membangkitkan semangat (Ray, 2010). Chanting om mengoreksi ketidakseimbangan emosi dan fungsi otak yang penting (Brown & Gerbarg, 2012). Suara mempunyai efek menyembuhkan, karena suara memproduksi vibrasi. Vibrasi ini membawa energi yang dimunculkan dari sumber yang menghasilkan energy tersebut (Nijar, 2014). Chanting om telah dijadikan acuan untuk relaksasi, seperti meditasi untuk mengurangi respon kecemasan dengan mengaktifkan struksur yang terlibat dalam respon relaksasi seprti cingulate cortex, dorsolateral, prefrontal, partial cortices, hippocampus dan temporal lobe. Chanting om menenangkan emosi, dan membantu dalam mengambil keputusan. Chanting om mempunyai efek positif yang besar pada tubuh dan jiwa. Dengan melakukan Chanting om akan membantu dalam menghilangkan kesulitan, dan menghilangkan agitasi, dan kecemasan (Rhoutman & Ruhela, 2014). 54 2.3.4 Pengaruh Terapi Nyanyian (Chanting) Mantra Om dan Kecemasan Penelitian tentang bagaimana Chanting Mantra Om dapat menurunkan kecemasan dan organ apa yang dipengaruhi sehinggga dapat menurunkan kecemasan. Salah satunya dilakukan oleh Kalyani et al (2011). Penelitian yang dilakukan oleh Kalyani et al yaitu meneliti tentang bagaimana Chanting Om dalam mempengaruhi otak, dan bagian mana saja yang dipengaruhi. Kalyani et al meyakini adanya stimulus nervus vagus dari vibrasi saat menyanyikan mantra OM yang memberikan efek positif terhadap tubuh. Studi ini dilakukan pada 9 orang laki-laki yang tidak memiliki masalah baik psikis maupun fisik, dengan rentang usia 22-39 tahun. Dalam penelitian ini peserta diinstruksikan untuk melakukan Chanting Mantra Om tanpa tekanan dan interupsi. Pertama bagian huruf O diucapkan selama 5 detik diikuti dengan konsonan M bagian selanjutnya bagian OM diucapkan selama 10 detik. Studi elektrofisiologi mengenai penggunaan Chanting OM, dan Chanting Om secara keras dipilih dalam studi ini. Ini dilakukan utuk membantu dalam melakukannya secara objektif selama fMRI seperti halnya untuk menimbulkan sensasi vibrasi dan stimulasi nervus vagus melalui auricular braches , kondisi yang digunakan sebagai kontrol adalah dengan mengeluarkan suara “ssssss….” Dalam durasi yang sama yaitu 15 detik. 55 Hasil yang didapatkan dari pernelitian ini adalah tidak ada aktivasi otak secara signifikan selama Chanting Om, namun ditemukan deaktivasi secara signifikan dari amiglada, anterior cingulate gyrus, hippocampus insula, orbitofrontal cortex, parahippocampal gyrus dan thalamus selama Chanting Om. Kalyani et al (2011). Amigdala, anterior cingulate gyrus, hippocampus insula, orbitofrontal cortex, parahippocampal gyrus dan thalamus adalah bagian dari sistem limbik, dan hipotalamus memiliki peran kunci dalam pengaturan sistem limbik. Sistem limbik sendiri memiliki fungsi internal yaitu pengaturan fungsi vegetatif otak dan pengaturan yang erat berkaitan dengan pengaturan perilaku. Banyak fungsi perilaku yang dicetuskan dari hiputalamus dan struktur-struktus limbik lainnya juga dijalarkan melalui nuclei reticular di batang otak dan nukeli asosiasinya (Guyton & Hall, 2006). Pakar Naad Yoga (suara yoga) menemukan bahwa ada 84 reflek poin pada langit-langit atas mulut, yang terhubung dengan kelenjar pituritary yang letaknya tidak jauh dan hipotalamus, yang mengasilkan energi sejenis dengan meridian akupuntur. Ketika lidah menyentuh point meridian tersebut dengan chanting, energi akan terbentuk seperti akupreser dan menstimulasi pituitary dan hipotalamus, dan mempengaruhi kerja endokrin dan sistem saraf (Khalsa, 2001: 115 dalam Gelfo, 2013). 56 Penelitian yang dilakukan oleh Rotham dan Ruhela (2014), meneliti tentang pengaruh chanting mantra om terhadap tingkat kecemasan pada pada 84 orang yang masuk dalam National Sports Organization (NSO). Sampel dibagi menjadi tiga kelompok, kelompok A mendapatkan perlakuan chating ditambah musik, kelompok B mendapatkan perlakuan tanpa musik, dan kelompok C tidak mendapatkan perlakuan. Namun sebelum perlakuan ketiga kelompok melakukan latihan terlebih dahulu selama 40 menit, seperti yoga, aerobic, atau kick boxing. Tingkat kecemasan diukur sebelum intervensi dilakukan, kelompok A dan B mendapatkan intervensi dengan durasi 20 menit selama delapan minggu. Hasilnya adalah intervensi Chanting Om baik dengan musik atau tanpa musik terbukti signifikan dapat menurunkan kecemasan. Dengan hasil nilai P<0,005, sedangkan perbedaan penurunan tingkat kecemasan pada grup A yang mendapatkan intervensi Chanting Om dan musik dengan grup B yang mendapat intervensi Chanting Om saja, didapatkan P< 0,001 dengan interpretasi tidak ada perbedaan yang signifikan antara intervensi pada grup A dan B. 57 Daftar pustaka Angelo, J. (2012). Self-Healing with Breathwork. US : Inner Traditions. Breen, et al. (2009). Is Symptom Burden A Predictor of Anxiety and Depression in Patients with Cancer About to Commence Chemotherapy?. Medical Journal of Australia, (Online) Volume 190, Number 7. https://www.mja.com.au/ diakses 30 Desember 2014. Brown & Gerbarg. (2012). The Healing Power of Breath : Simple Techniques Reduce Stress and Anxiety, Enhance Concetration, and Balance Your Emotions. United States of America : Random House, Inc. 58 Copel, Linda C. (2007). Kesehatan Jiwa & Psikiatrik Pedoman Klinis Perawat. Jakarta : EGC. Davey,Patrick.(2005). At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga Hawari, D.H. (2008). Manajemen Stres, Cemas, dan Depresi. Cetakan Kedua, Edisi Kedua. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kalyani, et al. (2011). Neurohemodynamic Correlates of „OM‟ Chanting : A Pilot Fuctional Magnetic Resonance Imaging Study. International Journal of Yoga Volume 4 Number 1 (Online). http://www. ncbi.nlm.nih.gov diakses 1 Januari 2015. Kuebler, Heidrich & Esper (2007). Palliative & End of Life Care. Missouri : Elsevier Health Sciences, Inc. Levenson, J.L. (2011). Textbook of Psychopsysiologic Disorder Psychiatric Care of the Medically Ill. Arlington : American Psychiatric Publishing, Inc Leyfer, Ruberg, and Borden. (2006). Examination of Util-ity of The Beck Anxiety Inventory and It‟s Factors as Screener for Anxiety Disorder. Journal Of Anxiety Disorder, Volume 20, Number 3 : 444-458. Lutfa & Maliya. (2008). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Pasien dalam Tindakan Kemoterapi di Rumah Sakit DR. Moewardi Surakarta Berita Ilmu Keperawatan, Volume 1, No 4. McDowell, I. (2006). Measuring Health : A Guide to Rating Scales and Quetionaries, Third Edition. New York : Oxford University Press 59 Nijar, P. (2014). Everithing I Thought I Was & What I Came To Be. United Satates of America : Xlibris LLC. Noyes & Saric. (2006). The Anxiety Disorder. Cambridge : Cambridge University Press Parker, Rolland. S. (2012). Conscussive Brain Trauma Neurobehavioral Impairment and Maladaptation Second Edition. US : CRC Press Quill & Miller. (2014). Palliative Care and Ethics. New York : Oxford University Press. Ray, A. (2010). Om Chanting & Meditation.Uttarakhand : Inner Light Publisher. Ruddon, Raymond W. (2007). Cancer Biology Fourth Edition. New York : Oxford University Press Shires et al. (2000). Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah Edisi 6. Jakarta :EGC Tambayong, Jan. (2000). Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta :EGC Weiss, G. (2008). The Healing Power of Meditation. California : Basic Health Publication, Inc. Winnie, et al.(2010). Anxiety, depression and quality of life among Chinese breast cancer patients during adjuvant therapy. European Journal of Oncology Nursing (Online), Volume 14, Issue http://www.ejoncologynursing.com/issue/S1462-3889(10)X0002-3 30 Desember 2014 1 diakses 60 Bradly, Jacobs, dan Gundling. (2009).The ACP Evidance-Based Guide to Complementary & Alternative Medicine..United States of America : Scribe,Inc. Medifocus . (2011). Medifocus Guidebook on : Complementary Cancer Therapies.(Online) http://www.medifocus.com/2009/index.php?a=a Diakses 10 Januari 2014. Guyton & Hall. (2006). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC. Dhansioa, Bhargav, dan Metri. (2015). Immediate Effet of Mind Sound Resonance Technique on State Anxiety and Cognitive Function in Patients Suffering from Generalized Anxiety disorder : A self Controlled Pilot Study. International Journal of Yoga. Volume 8 , Issue 1(Online). http://www.ijoy.org.in/article.asp?issn=09736131;year=2015;volume=8;issue=1;spage=70;epage=73;aulast=Dhanso ia Diakses 10 Januari 2015 61