Rekomendasi penanganan atrofi vagina perempuan postmenopause 1 Oktober 2010 D. W. Sturdee and N. Panay*, on behalf of the International Menopause Society Writing Group Department of Obstetrics & Gynaecology, Heart of England NHS Foundation Trust, Solihull Hospital, Solihull; *Queen Charlotte’s & Chelsea Hospital, London, UK International Menopause Society Writing Group D. F. Archer, R. Baber, C. Castelo Branco, T. J. de Villiers, A. Gompel, F. Guidozzi, K.-E. Huang, M. Kandil, S. Khandelwal, R. Lobo, R. M. Mostafa, R. E. Nappi, S. Palacios, N. Panay, A. Pines, J. A. Simon, S. O. Skouby, C. A. Stuenkel, D. W. Sturdee, L. Ulrich, P. Villaseca ABSTRAK Tidak seperti halnya gejolak panas (hot flushes) dan keringat malam yang dapat menghilang spontan dengan berjalannya waktu, gejala atrofi pada vagina dan saluran kemih bagian bawah seringkali justru memberat dan sering memerlukan pengobatan. Prevalensi keringnya vagina meningkat dengan bertambahnya usia perempuan pada masa postmenopause, menyebabkan gatal, rasa terbakar, dispareunia, serta gangguan saat bersenggama. Namun walaupun sebenarnya telah tersedia pilihan terapi yang bervariasi dan cukup aman, hanya sedikit (sekitar 25% di negara barat dan lebih sedikit lagi pada daerah lainnya) yang mencari pertolongan medis. Keengganan ini banyak dipengaruhi oleh dampak publikasi terapi sulih hormon beberapa tahun belakangan ini yang memberi impresi mengenai peningkatan risiko kanker payudara, penyakit jantung, dan stroke. Namun terlepas dari benar tidaknya rasa kekhawatiran tersebut, terapi lokal untuk atrofi vagina sama sekali tidak memiliki risiko seperti yang mungkin ditimbulkan oleh terapi sulih hormon. Hambatan lain sebagai alasan dari keengganan mencari upaya terapi, adalah aspek budaya serta rasa malu untuk berdiskusi khususnya dengan dokter pria. Dilain fihak, tenaga medis profesional juga harus menyadari akan kekurangannya dalam mengenali keluhan atau gejala atrofi vagina pada perempuan postmenopause. 1 Vagina kering dapat diatasi dengan pemakaian jeli, namun terapi terbaik untuk atrofi urogenital ialah dengan estrogen topikal, karena bersifat aman, efektif dan memiliki indikasikontra minimal. Diharapkan panduan dan rekomendasi ini, yang dibuat bersamaan dengan peringatan World Menoupause Day 2010, dapat memberi pencerahan tentang makna dan pengertian atropi vagina sebagai penyebab tersering kesakitan dan ganguan kualitas hidup perempuan, serta dapat membuat mereka untuk tidak enggan mencari pengobatan dari tenaga kesehatan yang terandal di seluruh pelosok dunia. PENDAHULUAN Proses menopause pada perempuan yang terjadi bersamaan dengan hilangnya fungsi ovarium, menyebabkan perubahan pada hampir semua organ di tubuh. Gejolak panas (Hot flushes) dan keringat malam sangat dikenal sebagai gambaran umum keluhan menopause perempuan di dunia barat, sedangkan di tempat berbeda, prevalensi gejala lain dapat lebih sering dijumpai. Saluran urogenital merupakan organ yang sangat sensitif terhadap perubahan penurunan estrogen dan hampir setengah perempuan postmenopause mengalami gejala yang berhubungan dengan atrofi urogenital, yang pada akhirnya mempengaruhi fungsi seksual dan kualitas hidup mereka. Atrofi vagina akan tampak secara klinis pada 4–5 tahun setelah menopause, dan perubahan obyektif yang sejalan dengan timbulnya keluhan subyektif akan terjadi pada 25–50% pada wanita postmenopause. FISIOLOGI VAGINA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN KEKURANGAN ESTROGEN Kadar estradiol serum pada perempuan premenopause berkisar dari 147 hingga 1468 pmol/l (40–400 pg/ml) dan turun sampai kurang dari 73 pmol/l (20 pg/ml) pada postmenopause1. Fluktuasi perubahan kadar estrogen dalam sirkulasi darah dapat tergambarkan dengan jelas dalam fisiologi dan kemungkinan timbulnya gejala pada vagina (gambar 1). Vagina merupakan indikator biologis yang sensitif dari penurunan dan rendahnya kadar estrogen pada wanita postmenopause. Hilangnya produksi estrogen ovarium berhubungan dengan atrofi vagina, dan perburukan keadaan hipoestrogenik. Namun sebaliknya respon vagina terhadap terapi estrogen berlangsung dengan awitan yang cepat dan bertahan lama. Perempuan postmenopause yang aktif secara seksual dilaporkan memiliki gejala yang lebih sedikit dan kejadian atrofi vagina lebih jarang serta terbukti memiliki kadar androgen yang sedikit lebih tinggi2. Hilangnya rugae dan menipisnya epitel vagina akan tampak pada 2– 3 tahun postmenopause, sementara awitan penemuan kelainan secara fisik sangat beragam. Hilangnya rugae tersebut terjadi akibat terurainya jaringan penyokong kolagen pada epitel vagina. Turnover kolagen meningkat sejalan dengan 2 Lactobasilus Doderlein mengubah glikogen dari sel vagina Pembentukan glikogen Lapisan Mukosa pH Vagina Asam laktat ESTROGEN Mempertahankan ketebalan (3.5 -4.5) Melindungi dari : epitel skuamosa vagina, rugae ,warna kemerahan ,dan kelembaban Infeksi streptokokus, stafilokokus,ko liform,dan difteroid Proliferasi jaringan konektif Fragmentasi Elastin Hialinisasi kolagen Gambar 1 Diagram skematis efek estrogen pada epitel vagina. Estrogen memicu pembentukan glikogen dalam epitel skuamosa. Lactobacilus Döderlein’s, bagian dari flora normal vagina, bergantung pada glikogen sebagai sumber energi dan mengkonversi glikogen menjadi asam laktat, membuat pH vagina tetap asam. pH asam berguna untuk mengurangi masuknya kuman patogen. Estrogen juga membantu memelihara ketebalan epitel gepeng berlapis vagina, yang membuat tampilan vagina berwarna merah muda , tetap memiliki kontur rugae, dan lembab. Tanpa adanya estrogen, proliferasi jaringan konektif meningkat, elatstin menjadi terfragmentasi, dan kolagen menjadi terhialinisasi. Gambar dibuat dari informasi Ballagh65 dan Bachmann dan Nevadunsky9. Direproduksi dengan ijin dari Archer DF. Efficacy and tolerability of local estrogen therapy for urogenital atrophy. Menopause 2010;17:194–203 penambahan usia seorang perempuan tanpa terapi hormon, dan perubahan ini penting pada patofisiologi terjadinya prolaps vagina3-5. Keringnya vagina terjadi pada awal periode postmenopause dan paling banyak dirasakan oleh perempuan yang aktif secara seksual, dengan konsekuensi timbulnya rasa nyeri atau dispareunia saat bersanggama1,6. Wanita postmenopause memiliki laju produksi cairan vagina kurang lebih 0,0825 g per 3 15 menit, dibandingkan 0,214 g pada wanita usia reproduksi. Sebagian besar lendir vagina pada wanita postmenopause dihasilkan dari epitel vagina7. Kadar pH vagina perempuan premenopause kurang dari 4,5, yang disebabkan adanya produksi asam laktat oleh organisme laktobaksilus. PH tersebut akan meningkat menjadi 6 atau lebih pada perempuan postmenopause akibat menurunnya koloni laktobasilus di vagina yang terjadi sekunder akibat berkurangnya sel superfisial, dengan dampak kemudian berupa menurunnya produksi glikogen serta penipisan epitel vagina1,8. Akibat kejadian ini vagina perempuan postmenopause akan dihadapkan pada peningkatan risiko terhadap infeksi dan peradangan, walaupun bukti peningkatan kejadian infeksi vagina belum didukung oleh data yang memadai8-10. Uretra dan kandung kemih berhubungan dalam perkembangan vagina saat masa embrio. Uretra mengandung reseptor estrogen yang tinggi karena berasal dari jaringan yang sama dengan vagina bagian distal1. Setelah menopause, akan terjadi atropi uretra yang ditandai dengan meningkatnya epitel sel transisional yang terjadi bersamaan dengan menurunnya sel skuamosa intermediate dan superfisial11. Dengan penambahan usia, otot polos saluran urogenital bawah mengalami atropi secara bertahap, dimana kecepatan penurunan terbesar akan terjadi pada masa transisi menopause. Perubahan mendadak di awal menopause ini memberi pengaruh negatif pada lapisan otot trigonum, uretra dan vagina bagian proksimal dan distal, serta lamina proprium trigonum dan uretra bagian distal12. Penurunan estrogen dalam darah pada masa transisi menopause berkaitan erat dengan: berkurangnya bakteri laktobasilus vagina, peningkatan pH, perubahan morfologi epitel, menurunnya vaskularisasi dan berkurangnya sekresi cairan di vagina. FUNGSI SEKSUAL, KESEHATAN SALURAN KEMIH, DAN KUALITAS HIDUP Kesehatan vagina berperan penting pada kesehatan seksual, dan estrogen mengatur proses hemodinamika dalam siklus respon seksual. Saat atropi vagina terjadi, wanita menopause akan mengalami vagina kering, sehingga bila mereka masih terkatagori aktif secara seksual akan mengalami nyeri seperti dispareunia. Baik pada saat sanggama maupun tidak, perempuan mungkin dapat merasakan perubahan sensasi di organ genital, vasokongesti dan gangguan lubrikasi, yang pada akhirnya mengacu pada keluhan gangguan seksual lain seperti berkurangnya keinginan untuk melakukan sanggama, gairah seksual yang menurun, sensasi penerimaan rangsangan yang tidak adekuat dan kesulitan mencapai orgasme, serta berakhir dengan kegagalan dalam mengecap makna hubungan seksual. Kesehatan saluran kemih berhubungan erat dengan timbulnya keluhan di vagina disaat 4 kekurangan estrogen. Keluhan berkemih, seperti frekuensi/polakisuria, urgensi, nokturia, disuria, inkontinensia dan infeksi pasca sanggama, sering dikeluhkan saat terjadi atropi vagina13. Perempuan yang mengalami keluhan seksual dan berkemih akibat atrofi vagina harus didiagnosis dan diberi terapi sesegera mungkin untuk mencegah berlangsungnya tataran perjalanan penyakit jatuh pada tingkat yang ireversibel. Walaupun demikian, perlu dipahami bahwa ekspresi keluhan seksual setiap wanita bersifat unik dan khas dan dipengaruhi tidak saja hanya oleh faktor usia dan menopause namun juga oleh keterkaitan yang kompleks antara faktor kepribadian terhadap dampaknya pada kualitas hidup dan makna hubungan terhadap pasangannya14. Makna yang terjadi bukan hanya sekedar masalah perubahan status hormonal saja, lebih jauh dari pada itu adalah hilangnya fungsi reproduksi yang akan menyebabkan perubahan peranan wanita15. Hal ini dapat menimbulkan beragam persepsi tentang pandangan cara fikir dan kepercayaan diri. Sebagai tambahan, keluhan klimakterik juga dapat berpengaruh negatif terhadap kesejahteraan kesehatan fisik dan mental, bersamaan dengan perubahan dalam memaknai hubungan pesonal, keluarga, dan kehidupan sosial lainnya. Sikap kondisi pasangan pada aspek fisik, mental dan tingkat kesehatan seksual, serta ada tidaknya kepuasan dalam mengartikan hubungan diantara mereka, akan dapat menentukan tingkat stres akibat keluhan seksual dan besarnya motivasi untuk berkonsultasi pada dokter untuk keluhan atrofi vagina. Atrofi vagina merupakan salah satu faktor penentu penting terhadap fungsi seksual dan kesehatan urogenital, yang sangat berpengaruh pada kualitas hidup. VARIASI GLOBAL DALAM MENYIKAPI ATROPI VAGINA Sebagian besar data berasal dari dunia barat (umumnya Amerika Utara, Australia dan dan UK), untuk menambah gambaran secara global, data terkait dari daerah lain disajikan. Eropa Kesehatan vagina perempuan postmenopause di Eropa telah dipelajari melalui survey yang menyertakan jumlah responden yang besar untuk mengetahui pendapat, sikap dan persepsi mengenai wanita postmenopause perihal menopause secara umum dan penatalaksanannya16. Kriteria inklusi adalah perempuan berusia antara 45 dan 59 tahun (n = 4201). Prevalensi vagina kering/nyeri dalam kurun waktu 5 tahun terakhir adalah 29%, bervariasi antara 19% di Jerman hingga 40% di Spanyol. Pada suatu survey perempuan usia 55–85 tahun di Inggris (n = 2045), ditemukan bahwa respon terhadap 5 pertanyaan mengenai vagina kering, 42% perempuan tidak berobat karena menganggap memang tidak memerlukan terapi, 36% mencari pengobatan yang tidak memerlukan resep dokter, 13% mempertimbangkan perlunya mencari pengobatan, dan 10% merasa malu untuk membicarakannya masalahnya dengan dokter17. Pada survey di negara Eropa lainnya18, aspek mental dan persepsi kenyamanan seksual berinteraksi dengan kepercayaan diri dan keinginan untuk menikmati hidup, begitu pula halnya dengan rasa tidak nyaman pada vagina. Pada survey ini ditemukan bahwa wanita paruh baya di Eropa mengalami menopause sebagai proses yang menyangkut perubahan mood dan seksual dan dapat berpengaruh negatif terhadap kehidupan seksual mereka. Wanita Eropa berhak untuk informasi dan edukasi yang lebih baik mengenai dampak atrofi vagina pada kualitas hidup mereka. Asia Seperti telah diketahui bahwa perempuan Asia cenderung lebih tabu dalam mengungkapkan pendapat dan kebutuhan mereka dibandingkan dengan perempuan barat, khususnya yang berkaitan dengan masalah organ genital dan fungsi seksual. Atropi vagina merupakan perubahan tak terelakkan di antara wanita postmenopause, yang berakibat vaginitis berulang dan disfungsi seksual. Survey multinasional baru-baru ini19 menunjukkan bahwa kebanyakan perempuan postmenopause Asia tidak pernah mengeluhkan masalah vagina pada dokter, walaupun sebenarnya mereka mengalami disfungsi seksual. Sebaliknya saat perempuan postmenopause ditanya alasan mengapa mereka berobat, ternyata secara berurutan 17% dan 13% wanita menunjukkan berkurangnya keinginan sanggama dan nyeri vagina. Angka ini ternyata lebih besar daripada angka wanita di Eropa, yaitu 7% dan 8%. Pada survey di Asia, 71% wanita mengalami penurunan fungsi seksual dan libido, 75% mengalami ketidaknyamanan saat sanggama; 68% dan 64% merasa puas dengan hubungan dan fungsi seksual mereka; 63% mereka merasa tidak perlu mencari pengobatan karena berpendapat bahwa masalah vagina adalah sesuatu yang bersifat alami setelah menopause. Sebagian besar wanita ini sebenarnya tetap percaya bahwa memperbaiki kesehatan vagina akan dapat memperbaiki kualitas hidup, dan mereka akan bersedia mendiskusikannya bila pihak dokter berinisiatif untuk memulai bertanya mengenai hal tersebut. Tenaga kesehatan di Asia harus menghargai perspektif wanita dan kebutuhan pada kesehatan vagina. 6 India Di India hambatan psikologis dan sikap negatif akan atrofi vagina cukup sering dijumpai. Masalah yang berhubungan dengan atrofi vagina, terutama disfungsi seksual jarang dilaporkan oleh kelompok perempuan dengan strata tingkat pendidikan yang rendah, yang memang juga tidak terlalu perduli akan gejala menopause secara umum. Ihwal tersebut diperberat dengan adanya penghayatan akan paradigma untuk “menyimpan masalah pribadi mereka sendiri”. Perempuan daerah perkotaanpun yang kenyataannya lebih berpendidikan, tetap menunjukkan adanya hambatan budaya yang sama. Mereka sangat tidak terbuka terhadap isu atropi vagina, sehingga tidak berupaya untuk mencari pertolongan masalah seksual. Walaupun memiliki hambatan, sebenarnya keengganan untuk mendiskusikan masalah tersebut akan hilang bila dokter berinisiatif untuk memulai diskusi dan menawarkan bantuan sehubungan dengan masalah seksual. Oleh karena atrofi vagina merupakan akibat dari menopause yang tak mungkin terelakan, diagnosis dini dan intervensi merupakan pilihan tepat untuk mencegah vaginitis atrofi. Di India, terapi sulih hormon hanya ditawarkan secara ilmiah-proporsional sebagai suatu alternatif secara individual. Wanita disarankan untuk menjaga higiene kesehatan vagina ke arah yang lebih baik dan dianjurkan untuk tetap bersanggama, sebagai pilihan solusi alternatif non farmaka demi mencegah atrofi vagina dan pengisutan. Hal ini secara tidak langsung dapat memperbaiki kesehatan fisik dan mental baik pada kelompok kota maupun desa, dan merupakan sikap yang positif. Wanita India membutuhkan makna pengertian yang lebih besar akan akibat dari atrofi vagina dan keuntungan pemberian terapi dini. Amerika Latin Di Amerika Latin, terdapat kultur yang bersifat negatif tentang menopause yang mengaitkan kejadian menopause dengan proses penuaan dan hilangnya fungsi kewanitaan. Perempuan sering mengekspresikan kekhawatiran mereka tentang bagaimana menopause akan mungkin dapat merubah kehidupan seksual mereka, dan walaupun mereka berusaha untuk mencari bantuan, namun pada kenyataannya tetap kurang tertarik dan enggan untuk mempergunakan lubrikan atau terapi estrogen lokal. The Collaborative Group for Research of the Climacteric in Latin America (REDLINC) menganalisa indeks fungsi seksual perempuan (The Female Sexual Function Index/FSFI) pada 7243 wanita usia 40–59 tahun di 11 negara Amerika Latin dan menjumpai tingkat prevalensi yang tinggi akan disfungsi seksual (56,8%). 7 FSFI menilai beberapa domain fungsi seksual: dorongan (desire), gairah (arousal), orgasme, rasa nyeri, lubrikasi dan tingkat kepuasan (satisfaction). Faktor risiko terpenting untuk disfungsi seksual adalah vagina kering (odds ratio 3,86, 95% CI 3,37–4,43)20. Penelitian pada perempuan asli Bolivian Movima ternyata menunjukkan bahwa gejala yang berkaitan dengan atropi genital menjadi bagian dari salah satu gejala keluhan menopause terbanyak: dispareunia (40%), gatal di genitalia (40,8%) dan hilangnya libido (51%). Sedangkan prevalensi gejolak panas/hot flushes sendiri adalah 45% dari populasi perempuan yang diteliti21. Pada wanita Amerika Latin, atropi vagina merupakan penyebab penting dari gejala keluhan menopause, serta mengganggu fungsi seksual dan kualitas hidup. Afrika Sub Sahara Berbicara mengenai kesehatan menopause di Afrika harus merujuk pada statistik penduduk 2010 di Republik Afrika Selatan22, suatu negara yang paling maju di kawasan tersebut. Populasi total adalah 50 juta orang dengan hanya 2 juta wanita berusia lebih dari 60 tahun. Usia menopause perempuan Afrika di Afrika Selatan sebanding dengan usia perempuan di Eropa yaitu 50 tahun23, usia harapan hidup-lahir hanya 55 tahun. Angka prevalensi HIV/AIDS secara keseluruhan ialah 10,5%. Sehingga dari sudut prioritas kesehatan, dapatlah dimengerti mangapa ulasan-artikel (peer-reviewied articles) mengenai menopause secara umum dan kesehatan vagina khususnya pada perempuan hitam Afrika sangat terbatas. Walaupun mitos dan tradisi tentang persepsi menopause pada wanita Afrika tidak diketahui secara menyeluruh dan ditengarai berbeda antar etnik, tidak beralasan untuk mempercayai bahwa gejala menopause termasuk atropi vagina yang mereka alami bersifat berbeda dari pengertian umum. Usia menopause pada sebagian perempuan di kawasan lain Afrika, mungkin terjadi lebih cepat akibat multiparitas yang terjadi dalam periode yang singkat24. Sehingga disadari kemungkinan adanya perbedaan persepsi mengenai menopause dengan rentang antara “datangnya akhir masa fertilitas, yang akan diikuti dengan terjadinya peningkatan status sosial bagi mereka yang memiliki keturunan”, hingga keputusasaan bagi nulipara atau perempuan wanita yang infertil. Belum tersedia adanya referensi khusus mengenai sikap dan pandangan perempuan Afrika terhadap arti manfaat terapi sulih hormon atau estrogen vagina untuk pengobatan atropi vagina postmenoopause. Akan tetapi dengan melihat penerimaan penggunaan mikrobiotik untuk pencegahan penyakit seksual menular dikalangan generasi 8 muda perempuan Afrika, tampaknya tidak terlihat adanya budaya yang menentang terhadap penggunaan sesuatu obat ke dalam vagina, seperti jel vagina. Provider dan praktisi diharapkan jangan mengabaikan kebutuhan wanita menopause di Afrika Sub Sahara khususnya atropi vagina Penelitian tentang hal di atas ini sebaiknya diprioritaskan dengan juga memperhitungkan pola komposisi multi etnik di area ini. Dengan berkurangnya usia harapan hidup, lebih sedikit jumlah wanita yang mengalami atrofi vagina postmenopause, Timur Tengah Tabu yang berhubungan dengan budaya dan kepercayaan di Timur Tengah tentang kehidupan seksual dan implikasinya, menjadikan hambatan bagi kaum perempuan disana; terutama bagi kelompok sosial ekonomi rendah; untuk mendiskusikan mengenai vagina kering dan isu seksual kepada tenaga kesehatan. Sangat jarang dijumpai perempuan postmenopause datang ke klinik untuk keluhan dispareuni atau vagina kering. Biasanya wanita postmenopause datang ke klinik untuk keluhan lain, seperti stres inkontinensia atau perdarahan postmenopause. Pada akhir pemeriksaan biasanya terbuka kemungkinan untuk membahas isu atropi vagina postmenopause kepada mereka, dan lazimnya akan direspon dengan baik melalui pertanyaan di kwesioner tentang masalah seksual dan kesehatan vagina mereka. Bila telah diyakini tidak ada kontraindikasi, mereka dapat ditawarkan untuk menggunakan terapi hormon lokal jangka pendek sebagai bagian pengobatan yang dilengkapi pengawasan follow-up. Akan tetapi disadari bahwa hanya wanita dengan kelas sosioekonomi sedang/tinggi saja yang kelak dapat melanjutkan terapi yang bersifat relatif mahal. EVALUASI PRA TERAPI Gejala Walaupun mekanisme yang jelas untuk menggambarkan antara gejala defisiensi estrogen dan atropi urogenital serta gejala penuaan belum ada, upaya untuk membuat daftar gejala vulva, vagina dan saluran kemih dapat ditampilkan dalam Tabel 1. Gejala yang paling umum dari atropi vagina adalah sensasi kering (sekitar 75%), dispareunia (sekitar 38%), dan gabungan sensasi gatal di vagina, keputihan dan nyeri (sekitar 15%). Walaupun prevalensi dua gejala tersering (dispareunia dan kering) dapat 9 berubah; karena sangat dipengaruhi dan tergantung oleh frekuensi sanggama yang dilakukan pada saat penelitian dilakukan; akan tetapi kedua gejala tersebut tetap dianggap sebagai dua gejala terpenting. Dispareunia berdampak negatif pada kualitas hidup perempuan postmenopause atau bisa memperberat problem gangguan seksual yang memang telah ada sebelumnya25. Vagina kering dalam konteks ini tidak perlu selalu terkait dengan aktifitas seksual. Gejala ini dapat berdiri sendiri berupa perasaan kering di vagina atau sensasi rasa gesekan kasar diantara dua daerah selangkang. Walaupun gejala dan prevalensi gejala atropi urogenital sangat beragam dan sangat sering (Tabel 1), hanya 25% perempuan yang mengemukakan informasi tersebut pada tenaga kesehatan professional, dan 70% sisanya menganggap & mengungkapkan bahwa ihwal mengenai masalah vagina kering tersebut jarang atau hampir tidak pernah ditanyakan oleh tenaga kesehatan yang menangani26. Sepertinya masih terlihat adanya fenomena bahwa baik pasien maupun dokter, masih menganggap bahwa gejala ini bersifat alami dan merupakan perjalanan proses penuaan yang tidak dapat dihindarkan. Diagnosis banding Beberapa kondisi kelainan seperti berbagai variasi distrofi vulva, infeksi dan keganasan dapat mempunyai gejala yang sama dengan daftar gejala di Tabel 1, diagnosis kelainan-kelainan tersebut tidak akan dibahas pada makalah ini. Kondisi hipoestrogen non menopause juga dapat memberi gejala yang sama. Contoh keadaan defisiensi atau hipoestrogen akibat pengobatan adalah: menyusui eksklusif yang lama, terapi hormon seperti selective estrogen receptor modulators (SERMs), gonadotropin releasing hormone agonist/antagonist, aromatse inhibitor dan progestogen dosis tinggi jangka panjang. Wanita dengan penyakit diabetes juga dapat mengalami penurunan lubrikasi dan berakibat vagina kering, yang mungkin terjadi akibat dari neuropati diabetik dan penyakit mikrovaskular. Tanda klinis Estrogen yang menurun membuat mukosa serviks, epitel vagina dan vulva menjadi tipis dan rapuh (Gambar 2). 10 Tabel 1 Defisiensi estrogen dalam kaitannya dengan gejala urogenital. Fisiologis dan perubahan anatomis Vulva Menghilangnya bantalan lemak labia Mengisut dan menghilangnya kontur labia majora dan labia minora Memendeknya preputium dan terpaparnya klitoris secara berlebihan Rentan akan iritasi kimiawi dan fisik, trauma mekanik dan infeksi Menghilangnya rambut pubis Vagina Kelembaban berkurang dan Kering Aliran darah kurang Dispareunia Gatal Sensasi terbakar Luka lecet Hilangnya elastisitas Penipisan jaringan vagina dan perubahan keratinisasi Kerusakan pada mukosa termasuk petekie, mikrofisura, ulkus dan inflamasi Pemendekan, fibrosis, obliterasi tumpul vagina, dan/atau penyempitan introitus vagina Forniks melembut, rugae vagina menjadi rata Rentan terhadap trauma mekanik Gangguan proses penyembuhan pada lesi mekanik atau pasca bedah Indeks maturasi vagina abnormal: menurunnya persentase lapisan sel superficial, meningkatnya sel parabasal Kandungan glikogen di sel epitel vagina menurun Perubahan flora vagina yang mengandung mikroorganisme Meningkatnya pH vagina di atas 5,0 Keputihan dan/atau sekresi abnormal berbau Infiltrasi lapisan submukosa oleh limfosit dan sel plasma Kandung kemih dan uretra Retensi urin di kandung kemih meningkat setelah miksi Berkurangnya kapasitas kandung kemih Menurunnya tekanan maksimal otot detrusor kandung kemih selama miksi Menurunnya ambang rasa sensitifitas kandung kemih untuk berkemih (perasaan pertama kali urgensi) Menurunnya tekanan penutupan uretra Menurunnya perfusi pleksus vena periuretra Menurunnya aliran urin di uretra Indeks maturasi uretra abnormal: menurunnya persentase sel lapisan superficial, meningkatnya persentase sel parabasal Gejala disuria, nokturia dan urgensi Inkontinensia urin Infeksi saluran kemih berulang Gangguan biosintesis kolagen dalam jaringan konektif periuretra 11 Gambar 2 Preparat histologi dari vagina dengan pewarnaan hematoxylin & eosin (pembesaran 10 ×). Premenopause (gambar atas), epitel dibawah pengaruh estrogen,lapisan epitel gepeng berlapis dengan suplai pembuluh darah yang baik, dan sel superfisial yang kaya akan glikogen. Postmenopause (gambar bawah), adalah atrofi karena defisiensi estrogen yang ditandai dengan penipisan epitel, berkurangnya suplai darah dan hilangnya glikogen Berkurangnya rugae vagina, membuat tampilan dinding vagina tampak menjadi lebih halus disertai vaskularisasi yang terbatas, dengan gambaran dinding yang lebih pucat disertai petekhie atau tanda inflamasi. Keasaman normal vagina dibawah pengaruh estrogen berada dalam rentang pH 3,5–5 yang cocok untuk berkembangnya laktobasilus, dan akan meningkat dengan turunnya kadar estrogen menjadi pH 6,0–8,0 yang memungkinkan organisme patogen, termasuk jamur dan bakteri seperti coliform untuk tumbuh. Perubahan pH menjadi lebih alkalis menimbulkan perubahan flora vagina menjadi bakteri koli, yang bersamaan dengan perubahan proses atropi, menjadi lebih rentan dan bertanggung jawab terhadap menjadi seringnya infeksi terjadi yang disertai aroma yang tidak sedap27. Mikro lesi dengan fokus perdarahan trauma akibat sanggama atau sekunder dari pemasangan spekulum pada pemeriksaan 12 ginekologis, juga menjadi mudah terjadi. Baik luka mikro atau makroskopis pada epitel vagina dapat timbul secara spontan atau akibat trauma ringan. Untuk pasein yang tidak aktif seksual atau jarang/tidak melakukan penetrasi, atropi berat dapat berakibat menyempitnya vagina, disertai pemendekan dan obliterasi puncak organ tersebut. Keadaan ekstrim seperti ini lazim dijumpai pada wanita nullipara, dimana terjadi stenosis introitus yang sering disertai terjadinya dispareuni hebat pada awal penetrasi. Walaupun secara fisik tanda atropi di vulva dan vagina jelas terlihat saat pemeriksaan klinis ginekologis, perubahan anatomi dan fisiologi dalam saluran kemih akibat defisiensi estrogen menyebabkan gambaran klinis yang sering lebih menonjol sebagai disfungsi selama berkemih, termasuk meningkatnya gejala frekuensi, disuria, nokturia, urge, stres dan mixed inkontinensia urin28. Defisiensi estrogen memang mengakibatkan berbagai perubahan seperti atropi di trigonum vesika urinaria, turunnya tegangan otot dan jaringan penunjang diafragma urogenital, kelainan metabolisme kolagen dan menurunnya aktifitas sistim saraf alfa adrenergik baik di leher vesika atau sfingter uretra29. Mukosa uretra yang juga sensitif terhadap estrogen, menjadi tipis sepanjang submucosal plexus vascular. Kombinasi seluruh keadaan di atas pada akhirnya dapat menurunkan tekanan intrauretra yang merupakan mekanisme penting pada proses kontinensia urin, sehingga berakibat terjadinya kelainan inkontinensia. Begitu pula peran faktor pH dan perubahan flora bakteri vagina dapat memberikan kontribusi memperberat risiko terjadinya uretritis, sistitis akut, dan rekurensi infeksi saluran kemih bagian bawah. Diagnosis Walaupun kebanyakan dokter dapat membuat diagnosis atropi vulvovagina menggunakan kemampuan kompetensi “keputusan klinik/Clinical judgement” mereka (gabungan anamnesis, tanda klinis dan inspeksi visual), para peneliti dan pengambil kebijakan, tetap bersikeras untuk seyogyanya dapat mengunakan alat ukur yang lebih obyektif dan terandal, termasuk saat menera derajat beratnya keluhan pasien yang harus dapat dilaporkan secara lebih terstandar dan baku30,31. Secara historis, dua alat ukur obyektif yang dianggap primer baik untuk diagnosis dan pengukuran efektifitas terapi, adalah penggukuran pH vagina; menggunakan kertas lakmus atau teknologi yang setara; dan vagina maturation index (VMI). VMI adalah merupakah hitungan persentase relatif antara sel superfisial dibandingkan dengan sel intermediat dan parabasal. Saat ini, penelitian yang dianggap paling sistimatis menyertakan luaran pasien sebagai bagian dari evaluasi. The US Food and Drug Administration mensyaratkan perlunya pendekatan ini. Pasien diperkenankan memilih gejala yang dirasakannya paling mengganggu (vagina kering, dispareunia, iritasi vagina, disuria, lecet-lecet di vagina, perdarahan post-koitus) dan 13 diekspresikan dalam derajat skala angka 3 atau 4. Manfaat terapeutik yang terjadi diukur kemaknaannya secara statisitik pada tiga variable: pH vagina, VMI dan kumulasi nilai skor beratnya gejala, yang dibandingkan antara kelompok pasien yang diberi terapi dan kelompok placebo31. Gejala atropi vulvovagina sangat bervariasi dan sering dijumpai. Penyakit lain dan efek samping pengobatan, dapat memberikan gejala yang mirip dengan keluhan atropi vulvovagina. Tanda klinis dari atropi vulvovagina adalah: hilangnya rugae vagina dan berkurangnya aliran darah yang mengakibatkan vagina tampak pucat; perubahan pH vagina dari bersifat asam (pH 3,5–5,0) menjadi netral (pH 6,0–8,0), dan pergeseran vaginal maturation index. Tenaga kesehatan professional sering tidak terlatih untuk menanyakan kepada perempuan postmenopause mengenai masalah atropi vagina seperti adanya keluhan vagina kering. Bagaimana mendiskusikan atrofi vagina dengan perempuan postmenopause? Saat banyak perempuan begitu bersemangat mengekspresikan revolusi seks bebas diusia muda mereka, sangat ironis bahwa mereka berubah enggan atau merasa malu untuk mendiskusikan keluhan vagina di usia senjanya. Antara 10 dan 40% wanita postmenopause melaporkan gejala atropi vagina, dimana di negara barat hanya 1 dari 4 yang berusaha mencari bantuan pengobatan32. Berbeda halnya dengan keluhan gejolak panas, perempuan mungkin kurang dapat mengerti hubungan antara adanya rasa tidak nyaman di vagina dengan turunnya kadar estrogen. Beberapa wanita menganggap vagina kering yang terjadi pada masa transisi perimenopause disebabkan karena jarangnya bersanggama, hilangnya minat dan kesulitan dalam menjalin hubungan, atau karena proses alami penuaan. Oleh karenanya tenaga kesehatan harus fasih dan terlatih untuk bisa mengangkat topik kesehatan vagina, karena sebagian besar wanita akan merespon positif bila dokter memulai pembicaraan. Salah satu pendekatan misalnya dengan carabertanya, “Sebagian perempuan suka mengeluh bahwa mereka pernah mengalami vagina kering selama hidupnya. Saya ingin mengetahui apakah Ibu pernah mengalami rasa tidak nyaman saat sanggama?”. Sebaiknya bersikaplah untuk mencoba peka dan berhati-hati untuk tidak menyinggung terhadap kemungkinan status pasien apakah masih atau tidak memiliki pasangan dan apakah dia terganggu dengan keluhan tersebut. Apakah pasien terganggu dengan rasa gatal di vagina, rasa terbakar atau keputihan? Termasuk pertanyaan mengenai infeksi vagina, trauma, infeksi saluran kemih berulang, dan upaya mereka untuk mengurangi keluhan. Tergantung pada populasi mana yang akan dilayani, modifikasilah 14 pendekatan sesuai dengan budanya, istilah, dan derajat keluhan. Bila pasien ragu saat anamnesis, tanya ulang setelah pemeriksaan fisik, terutama bila anda menemukan tanda atrofi vagina. Yakinkan pasien bahwa atrofi vagina bersifat reversible. Anggapan bahwa semua bagian menjadi kering setelah menopause, masih secara salah dihayati oleh beberapa kalangan wanita. Lakukan konseling bahwa vagina kering/atrofi bukan merupakan keadaan temporer yang sama seperti hot flushes yang biasanya dapat sembuh spontan dengan waktu. Sebaliknya kelainan ini akan terobati dengan pengobatan spesifik. Dalam rangka meyakinkan wanita terhadap kontroversi terhadap terapi estrogen sistemik, yang masih ditakuti sebagian besar perempuan,tekankan bahwa ada pilihan terapi melalui vagina33. Yakinkan pasien bahwa sediaan vagina adalah aman, bila pasien tidak diperbolehkan menggunakan estrogen sistemik karena riwayat penyakit kardiovaskuler (serangan jantung, stroke, atau penyakit tromboemboli vena). Untuk wanita dengan kanker payudara, konfirmasi dengan onkolog yang merawat mereka, bahwa rekomendasi yang kita berikan sejalan dengan protokol terapi kanker yang mereka berikan. Berikan kesempatan pasien agar cukup nyaman untuk memilih alternatif terapi estrogen vagina yang tersedia. Antisipasi dan wartakan mulai kapan pasien akan dapat merasakan perbaikan terhadap keluhan, dan ingatkan agar terapi jangkap panjang mungkin diperlukan. Diskusikan mengenai penyesuaian dosis dan frekuensi pemberian setelah satu minggu pertama pengobatan. Dapat dijelaskan kepada mereka bahwa kemungkinan terjadinya perdarahan pervaginam atau sensasi tegang di payudara, sebagaimana yang sering dijumpai akibat efek samping terapi estrogen sistemik, tidak perlu dikhawatirkan karena yang sekarang direkomendasikan adalah estrogen vagina dosis rendah. Akhir kata instruksikan pasien anda agar memperhatikan faktor higiene lebih seksama saat memegang produk estrogen (cuci tangan setelah pemakaian, lokasikan di tempat aman untuk penyimpanan dan pembuangan) dan terangkan bahwa kemungkinan terjadinya paparan estrogen sekunder pada pasangan melalui absorbsi oral atau genital kecil adalah sanga tkecil. Ingatkan bahwa estrogen vagina bukanlah berfungsi sebagai lubrikan suplemen saat sanggama, dan untuk tujuan itu anjurkan pilihan lain. Pembicaraan mengenai kesehatan vagina dapat meningkatkan kualitas hidup pasien lebih dari apa yang kita sadari. Jadi ingat akan pentingnya konseling dengan hanya diawali dengan bertanya. Mulai diskusikan mengenai vagina kering; walaupunpada awalnya pasien anda mungkin akan sungkan. Pertimbangkan bahwa masalah ketidakharmonisan hubungan dan topik problem seksual dapat tampil dan berawal dari keluhan rasa ketidaknyamanan di vagina. 15 Ingatlah bahwa wanita yang menggunakan terapi estrogen sistemik mungkin dapat tetap mengalami gejala di vagina. Perlu diingat bahwa beberapa gejala gangguan berkemih terjadi bersamaan dengan atrofi vagina dan akan memberikan respon positif terhadap terapi estrogen vagina. Bantu pasien dalam memilih terapi vagina yang paling nyaman untuknya. PENGOBATAN ATROPI VAGINA Rasionalisasi terapi Manfaat terapi atrofi vagina terhadap kualitas hidup secara umum ataupun kualitas seksual jangan dianggap remeh34. Sampai dengan 50% perempuan akan mengalami gejala urogenital pada masa postmenopause; angka kejadian ini mungkin dilaporkan lebih rendah sehingga tampak seperti kecil35,36. Mengingat preparat vaginal dosis rendah hampir tanpa risiko dan efek samping (walaupun belum ditopang data jangka panjang), maka sebaiknya jangan hanya diberikan pada kasus yang telah ada gejala, tapi dapat diberikan juga sebagai terapi preventif sebelum gejala muncul. Penetapan untuk tindakan preventif ini secara meluas, tentu masih membutuhkan analisia cost effectiveness dan penelitian lebih lanjut. Dasar terapi pada wanita yang sudah menderita atrofi vagina adalah: (1) mengembalikan fisiologi urogenital, dan (2) mengurangi keluhan. Hal ini dapat dirangkum dalam uraian di bawah ini. Pemulihan fisiologi urogenital Defisiensi estrogen postmenopause menyebabkan menurunnya kesehatan vagina secara progresif dan epitel saluran kemih bagian bawah. Rasionalisasi terapi urogenital adalah mengembalikan keadaan fisiologis dari jaringan menjadi normal. Terapi estrogen akan menurunkan pH vagina, menebalkan epitel, meningkatkan aliran darah dan memperbaiki lubrikasi vagina. Pengurangan gejala Pemulihan fisiologi urogenital akan mengurangi gejala vagina seperti vagina kering, superficial dan deep dispareunia, vulvodinia, perdarahan vulvovaginal, inflamasi dan keputihan. Masalah saluran kemih seperti urgensi dan infeksi dapat berkurang. Penggunaan sediaan alternatif, farmakope , dan intervensi hormonal berbasis bukti akan dibicarakan berikut ini, untuk menunjukkan bahwa prinsip di atas dapat diimplementasikan pada praktek sehari-hari. 16 Pilihan terapi Terapi non hormonal/lubrikan Terapi non hormonal dan lubrikan untuk atrofi vagina terutama mengandung kombinasi protektan dengan zat penebal yang larut dalam air, dan zat non hormonal yang mempunyai efek maturasi epitel urogenital. Lubrikan digunakan terutama untuk mengurangi vagina kering saat sanggama semata, sehingga tidak bersifat pemecahan masalah jangka panjang. Walaupun terdapat beberapa fakta bahwa pelembab dan zat lainnya mungkin bisa memiliki efek yang lebih lama jika digunakan secara sinambung. Pilihan non-hormonal terutama ditujukan untuk wanita yang tidak menginginkan terapi hormonal atau memiliki risiko tinggi pada jenis penyakit keganasan yang sensitif hormon seperti kanker payudara atau endometrium. Sebagian besar produk ini tersedia tanpa perlu resep dokter dengan harga yang cukup mahal. Lubrikan Lubrikan bersifat non-fisiologis, hanya memberi efek sangat sementara dalam mengurangi gejala, bahkan sering diikuti dengan timbulnya iritasi vagina. Vaselin dapat memecah lapisan latex dari kondom. Pelembab Pelembab bersifat hidrofilik, tidak larut dalam air, berikatan silang sebagai polimer. Bersifat bio-adhesive di tempat melekatnya pada musin dan sel epitel dinding vagina sehingga menahan air. Pelembab akan dieliminasi dengan pergantian sel epitel. Efek menguntungkan terhadap gejala atrofi vagina adalah melalui efek dapar (buffer) yang dapat menurunkan pH vagina. Analisis sitomorfometrik dari smir vagina 38 perempuan postmenopause menunjukkan peningkatan rerata area seluler, yang menunjukkan efek positif pada maturasi epitel vagina. Walaupun tidak ada efek pada index maturasi secara keseluruhan37. Efektifitas pada gejala vagina yang dikaji dari publisitas saat ini menunjukkan manfaatnya yang lebih rendah daripada efek estrogen topikal. Dari salah satu penelitian berdisain RCT, yang membandingkan efektifitas pelembab vagina dengan krim estrogen dienosterol pada wanita postmenopause dengan gejala atrofi vagina selama kurun waktu 12 minggu, kedua jenis terapi menunjukkan perbaikan pada indeks untuk keluhan vagina kering pada 1 minggu pertama. Namun dienosterol ternyata tetap lebih efektif daripada preparat non hormonal38. Pada penelitian terkini yang membandingkan pelembab vagina dengan vagina estrogen dosis rendah, 18 pasien mendapat krim estriol (n = 10) atau tablet estradiol (n = 8), dan 8 mendapat pelembab 17 polikarbopilik. Hasilnya ditemukan bahwa kedua preparat hormonal dosis rendah efektif untuk gejala dan kesehatan vagina, sedangkan manfaat pelembab non-hormonal hanya bersifat sementara39. Preparat fitoestrogen Terdapat data mengenai efek menguntungkan dari preparat fitoestrogen isoflavon soy dan red clover terhadap sistem urogenital, namun perlu disadari bahwa sediaan tersebut bukanlah preparat nonhormonal murni karena memiliki sifat serta efek seperti estrogen. Pemberian red clover 40 mg selama 8 minggu mengurangi sel parabasal dan meningkatkan sel superfisial, dan meningkatkan indeks maturasi vagina tanpa efek negatif pada ketebalan endometrium40. Dengan tidak adanya data mengenai keamanan preparat ini pada wanita dengan tumor yang sensitif terhadap hormon, maka dianjurkan untuk berhati-hati saat merekomendasikan penggunaannya pada perempuan dengan keadaan tersebut. Vitamin Pada satu penelitian vitamin E ternyata terbukti dapat meningkatkan lubrikasi vagina41. Vitamin D menunjukkan peran dalam regulasi lapisan stratified squamous epitel vagina42, akan tetapi belum ada data klinis yang menunjukkan manfaatnya pada atropi vagina. Pilokarpin Terbukti mampu meningkatkan lubrikasi vagina dan perbaikan yang bermakna terhadap vagina kering pada wanita dengan gejala atropi pasca kemoterapi43. Anestesi topikal Penggunaan anestesi topikal telah diteliti baik pada wanita dengan vestibulitis vulva (pemberian lidokain salep 5% malam hari) maupun wanita dengan vulvodynia (diberi gabarpentin topikal 6%). Secara teoritis kedua produk tersebut dapat berguna pada wanita dengan nyeri karena atrofi, akan tetapi manfaat tersebut belum didukung data klinis yang cukup. Produk lain Penggunaan terapi alternatif seperti nettle, comfrey root, dong quai root, motherwort, wild yam, bryonia dan kapsul acidophyllus belum terbukti efektif atau aman pada penelitian berdisain RCT44. Dibutuhkan 18 data lanjutan sebelum membuat rekomendasi untuk penggunaan produk-produk herbal tersebut pada atropi vagina45. Terapi estrogen topikal dan sistemik merupakan pengobatan yang paling efektif untuk atropi vagina pada perempuan postmenopause. Untuk wanita yang tidak cocok menggunakan hormon, pelembab vagina dapat memperbaiki lubrikasi. Fitoestrogen memiliki keuntungan bagi sistem urogenital, namun aspek keamanan bagi wanita dengan tumor yang sensitif estrogen belum didukung data yang cukup. Terapi hormon sistemik Sejak gejala urogenital dimasukan sebagai salah satu indikasi untuk terapi sulih hormon, maka sudah banyak dilakukan penelitian berbasis metodologi terandal untuk meniliti produk-produk terkait dengan hasil yang menunjukkan efektifitas yang jelas dan baik. Pemberian estrogen eksogen dapat mengembalikan kadar pH vagina, ketebalan dan vaskularisasi epitel dan meningkatkan lubrikasi vagina. Sebagai hasilnya, terapi sulih hormon akan mengurangi gejala yang terkait dengan atropi vagina, termasuk kering, iritasi, pruritus, dispreunia dan urgensi urin, dan mengurangi kejadian infeksi saluran kemih bagian bawah. Sebagian besar data merupakan data lama, yang dirangkum tahun 1998 oleh penelitian meta-analisis dari 58 penelitian (baik pemberian sistemik maupun lokal), 10 diantaranya menggunakan kontrol-plasebo35. Dari berbagai preparat, hanya yang mengandung estriol yang terbukti kurang efektif. Seperti telah diketahui bahwa sangat sedikit penelitian mengenai efektifitas terapi dilakukan di atas 6 bulan, Women’s Health Initiative merupakan salah satu di antaranya: sekitar 10% wanita pada lengan penelitian gabungan estrogen + progesteron (usia rata-rata 63 tahun) mengeluh vagina kering, 74% di antaranya mengalami perbaikan pada kurun 1 tahun, dibandingkan dengan 54% pada lengan plasebo46. Sedangkan 10–25% dari wanita yang menggunakan terapi hormon sistemik tetap mengalami gejala atrofi urogenital. Berdasarkan data ini ditambah dengan kajian keamanan mengenai penggunaan terapi sulih hormon oral atau transdermal, menjadi alasan mengapa terapi sistemik biasanya tidak direkomendasikan untuk wanita yang hanya mengalami keluhan di vagina saja47. Sebaliknya, pada banyak wanita, kombinasi antara estrogen sistemik dan vagina mungkin diperlukan sebagai tahap awal dari bagan pemberian pengobatan terapi sulih hormon sistemik. 19 Terapi sulih hormon sistemik mengurangi atropi vagina pada 75% wanita. Kombinasi antara terapi sistemik dan lokal mungkin perlu diberikan sebagai terapi awal pada beberapa wanita. Terapi estrogen lokal Seperti telah dikemukakan di atas, walaupun terapi estrogen sistemik dapat mengobati atropi vagina, tetapi terapi estrogen lokal vagina lebih disukai khususnya disaat terapi sistemik tidak dapat digunakan. Hal ini disebabkan karena terapi lokal jelas tidak menimbulkan kejadian efek samping seperti yang disebabkan cara sistemik, dan memang telah terbukti lebih efektif untuk masalah vagina. Terapi lokal estrogen dapat disaji dalam bentuk tablet, pessari/ovula, krim atau vaginal ring. Pilihan hormonnya tersedia dalam jenis estrogen ekuin konjugasi, estradiol, estriol atau estron. Estrogen akan segera diabsorbsi melalui dinding vagina dan berefek tidak hanya secara lokal, kecuali pihak farmasi memang merancang formulasi kemasan yang mencegah absorbsi segera. Pada keadaan dimana epitel vagina masih dalam keadaan atropi, akan terjadi absorbsi terutama disaat permulaan pengobatan. Saat epitel telah menjadi matur sebagai akibat hasil terapi, proses absorbsi akan melambat. Dalam tahap seperti ini, hanya diperlukan dosis estrogen yang rendah untuk mencegah kambuhnya atropi. Memang secara normal untuk mengobati keluhan vagina, hanya dibutuhkan sejumlah dosis kecil saja bila dibandingkan dengan mengobati gejala sistemik. Hal yang sama dijumpai pula bila mempergunakan estrogen potensi rendah seperti estriol, yang hanya memiliki efek pada vagina dengan efek sistemik terbatas. Menurut United States Pharmacopeia Search Index and Summaries of Product Characteristics, kadar awitan estrogen plasma adalah 7–8 pg/ml pada penggunaan vaginal ring berkapasitas pelepasan 7,5 μg/24 jam, dan mencapai puncaknya menjadi 63 pg/ml setelah pemasangan yang pertama, selanjutnya akan mengalami puncak yang lebih rendah pada penggunaan ring berikutnya. Tablet estradiol 25 μg menginduksi kadar awitan estradiol 5–10 pg/ml, sedang tablet 10 μg, kadar awitan serum estradiol tidak lebih dari 5 pg/ml. Seluruh keadaan di atas ternyata masih lebih efektif bila dibandingkan dengan placebo48. Absorbsi estriol tampak baik pada krim maupun tablet estriol vagina, namun karena estriol merupakan estrogen yang lemah, yang tidak akan dikonversi menjadi estron atau estradiol, efek sistemik hanya bersifat minimal49. Kajian Cochrane 2009 mendapatkan 37 penelitian termasuk 19 berbasis perbandingan acak preparat estrogen intra vaginal, dengan jumlah responden 4162 wanita post menopause selama minimal 3 bulan50. Ternyata baik krim, pessari, tablet dan vaginal ring estradiol 20 tampaknya mempunyai efektifitas yang sama dalam mengurangi gejala atropi vagina, dan menunjukkan hasil yang lebih baik secara bermakna daripada placebo dan jel non-hormonal. Satu penelitian menunjukkan efek samping yang bermakna dari penggunaan krim estrogen ekuin konjugasi bila dibandingkan dengan tablet estradiol vagina, berupa perdarahan uterus, nyeri payudara dan regio perineal. Disamping fakta yang telah terbukti mengenai keuntungan terapi estrogen lokal dalam mencegah atropi vagina dan rendahnya kejadian gejala penyerta, metode pengobatan ini juga memiliki indikasikontra untuk sebagian wanita, seperti wanita dengan perdarahan uterus yang belum terdiagnosis, karsinoma endometrium dan bagi yang tidak dapat menerima pilihan tersebut. Sebagian besar preparat efektif dalam menurunkan gejala dan tanda klinis atropi vagina, namun mereka sedikit berbeda dalam hal profil kejadian efek samping. Ring vagina dan tablet menyebabkan keputihan lebih jarang dibandingjkan dengan pessari dan krim, yang mungkin lebih disukai bagi beberapa wanita; namun demikian bila terapi diperlukan untuk mengatasi disfungsi seksual, penambahan lubrikasi pada pessari dan krim mungkin akan lebih bermanfaat. Karakteristik individual akan menentukan pillihan produk. Semua estrogen topikal yang tersedia saat ini akan mengalami proses absorbsi, yang besarnya tergantung pada jumlah dosis dan jenis formula. Semua jenis preparat adalah efektif; karakteristik individu dari setiap pasien harus dilihat dalam menentukan bentuk terapi yang akan diberikan. Apakah progestin diperlukan saat wanita menggunakan topikal estrogen? Perlunya penambahan komponen progestin untuk wanita yang menggunakan preparat estrogen vaginal telah diteliti pada sejumlah penelitian dan tinjauan Cochrane. Bahan kajian dalam ulasan adalah krim dan pesarium estriol, tablet vagina estradiol dalam dua kemasan dosis yaitu 25 μg dan 10 μg, estrogen ekuin konjugasi dalam dua kemasan dosis dan vaginal ring estradiol. Preparat estriol topikal tampaknya tidak menstimulasi endometrium, sedangkan baik estrogen konjugasi dan preparat estradiol mungkin bisa menstimulasi pada takaran tertentu. Pada ulasan Cochrane 200650, hiperplasia endometrium dilaporkan dalam 2 penelitian yang menggunakan krim estrogen konjugasi dan tidak terjadi pada penggunaan pessarium estriol. Dua penelitian terkini mempergunakan tablet vagina estradiol 25 μg dan krim estrogen ekuin konjugasi dosis rendah selama 1–2 tahun tidak menemukan adanya kejadian hyperplasia. Demikian halnya pada 21 penelitian menggunakan tablet vagina estradiol 10 μg selama 1 tahun. Selama penelitian51, tidak ditemukan adanya kejadian hiperplasia endometrium diantara 284 biopsi, maupun perubahan ketebalan endometrium. Pada penelitian selama 48 minggu yang membandingkan antara vagina ring estradiol dan tablet vagina 25 μg, tidak dijumpai ada perubahan ketebalan endometrium pada kedua kelompok, namun perdarahan lebih jarang pada pengguna cincin estradiol dibandingkan dengan mereka yang menggunakan tablet vagina52. Pada penelitian terkini memakai estrogen ekuin konjugasi dosis rendah (0,3 mg), endometrium proliferatif dilaporkan terjadi pada 6 kasus dari 423 perempuan selama pemantauan 52 minggu. Tidak dijumpai adanya hiperplasia atau karsinoma endometrium53. Kejadian hiperplasia pada penelitian ini jelas sangat rendah dan tidak berbeda dengan apa yang terjadi pada populasi perempuan postmenopause yang tidak mendapat terapi. Tinjauan sepanjang tahun 2009 dari penggunaan estrogen topikal berkesimpulan bahwa tidak ada satupun penelitian yang menunjukkan terjadinya kejadian proliferasi endometrium setelah 6–24 bulan penggunaan54. Dengan demikian, dari kajian literatur/pustaka tersebut dapat diyakinkan mengenai keamanan penggunaan estrogen vagina dosis rendah dan sekaligus tidak menyokong perlunya penggunaan progestin sistemik untuk proteksi endometrium. Fenomena pembuktian ini telah disahkan serta dikutip sebagai petunjuk klinis praktis oleh International Menopause Society55 dan The North American Menopause Society33, bahwa tidak dianggap perlu untuk mempergunakan progestin bagi wanita yang memakai preparat estrogen topikal secara tepat. Yang perlu diperhatikan untuk kepentingan aspek klinis adalah: 1. Terdapat hubungan antara takaran dan tipe estrogen yang digunakan dengan respon endometrium. Para klinisi harus meresepkan dosis efektif terendah dan mengingatkan pasien untuk tidak memakai produk terpilih melebihi dari apa yang sudah dianjurkan, walaupun disadari bahwa pada pasien terrtentu mungkin saja dibutuhkan frekuensi dan takaran pemakaian yang lebih besar untuk mendapatkan respon yang diinginkan. 2. Masih sangat sedikit data berbasis bukti tentang keamanan pemakaian sediaan vagina di atas waktu 1 tahun. Klinikus harus menyadari akan hal tersebut, dan kepada pasien harus dijelaskan akan perlunya dilakukan pemeriksaan seksama bila terjadi perdarahan pervaginam postmenopause yang tidak terjelaskan. 22 Estrogen konjugasi dan preparat estradiol vagina dapat menstimulasi endometrium dalam dosis tertentu. Penggunaan estrogen topikal yang akurat tidak memerlukan tambahan progestin untuk perlindungan endometrium, walaupun disadari bahwa data pengobatan di atas 1 tahun belum banyak dimiliki. Peran androgen dan DHEA Vulva dan vagina mengandung reseptor estrogen dan androgen. Telah diketahui pentingnya hubungan defisiensi reseptor dan kerja androgen dalam patologi penyakit seperti lichen sclerosis. Beberapa data terkini telah pula menunjukkan bahwa di vagina reseptor estrogen alfa memegang peranan penting dalam mengatur kadar reseptor androgen lapisan fibrovaskuler. Kadar tersebut berkaitan erat dengan indeks proliferasi seluler dalam vagina, dan akan menurun pada vaginitis atrofikans56. Dengan demikian secara logika dapat disimpulkan bahwa terapi androgen mungkin berperan penting untuk wanita dengan keluhan atropi vagina. Namun demikian, masih sangat sedikit data yang tersedia mengenai penggunaan terapi testosterone untuk kelainan vagina. Sebagian besar data pada wanita postmenopause berasal dari penelitan penggunaan testosteron transdermal untuk mengobati gangguan seksual. Disamping itu pengobatan yang dipergunakan dalam penelitian tersebut juga menyertakan estrogen sebagai komponen terapi. Walaupun sebagian besar data memperlihatkan keuntungan terapi saat dibandingkan dengan placebo pada berbagai parameter fungsi seksual, akan tetapi data tersebut dengan sendirinya tidak dapat menggambarkan efek testosteron sebagai komponen tunggal pada vagina. Penelitian terkini telah membandingkan efek 1 g krim estrogen ekuin konjugasi (0,625 mg) dengan dosis estrogen yang sama ditambah dengan krim testosterone (0,5 g testosteron 2%) dan placebo. Setelah 12 minggu terapi, kedua kelompok hormon memperlihatkan perbaikan yang sama dan bermakna pada parameter kesehatan vagina dibandingkan placebo. Juga tampak bahwa pada kelompok yang diberi kombinasi testosteron menunjukkan perbaikan yang lebih besar dalam fungsi seksual, akan tetapi disertai dengan peningkatan kadar testosteron bebas di serum hingga, 154%, yang mengarah kepada suatu kesimpulan akan terjadinya efek imbas bentuk terapi sistemik57. Saat ini sedang berjalan penelitian mengenai efek vaginal ring yang melepaskan estradiol atau krim testosteron vagina (1%) pada wanita dengan kanker payudara, namun belum diperoleh hasil definitif penelitian tersebut58. Sejumlah data juga telah diperoleh dari penelitian menggunakan dehidrosiepiandrosteron (DHEA). Dengan berpegangan pada konsep bahwa steroid selain akan disekresikan juga dapat mempunyai efek lokal di jaringan (intrakrinologi), dipergunakanlah DHEA vaginal dalam bentuk ovula basa lipofilik dengan 23 takaran 0,25% (3,25 mg) sampai 1% (13 mg DHEA). Dari penelitian berbasis RCT fase 3 pada wanita postmenopause, terbukti bahwa selama 12 minggu penggunaan vaginal ring tersebut, DHEA, estrogen dan beberapa metabolit lain ternyata tidak meningkat kadarnya bila dibandingkan rentang kadar nilai normal perempuan postmenopause. Data efektifitas menunjukkan perbaikan bermakna pada semua tingkat dosis dibandingkan dengan placebo untuk seluruh parameter maturasi vagina, penurunan pH, dan perbaikan dalam gejala klinis atropi. Begitupula halnya dengan penurunan sensasi rasa nyeri saat melakukan kegiatan aktifitas seksual59. Menariknya, selain tidak menunjukkan efek samping sistemik golongan steroid, DHEA intravagina ternyata terbukti memperbaiki berbagai parameter fungsi seksual, termasuk ranah/domain keinginan untuk melakukan hubungan seksual60. Data hasil penelitian untuk penggunaan dalam skala jangka panjang masih belum dapat diperoleh sampai dengan saat ini. DHEA topikal mungkin dapat berguna sebagai terapi tambahan pada atrofi urogenital. Lama terapi, pemantauan dan efek samping Sampai dengan saat ini tidak terdapat panduan mengenai lama pemberian terapi. Rekomendasi yang dapat diberikan hanya menyebutkan bahwa jika terapi jangka panjang akan diberikan, maka harus digunakan terapi dengan takaran terendah yang efektif. Lazimnya perempuan akan dapat merasakan berkurangnya keluhan dalam waktu 3 minggu terapi, walaupun sebagian wanita mungkin memerlukan waktu 4–6 minggu. Secara keseluruhan 80–90% wanita akan dapat mengalami perbaikan subyektif, dan kegagalan terapi harus dilanjutkan dengan evalusi lebih teliti untuk menyingkirkan kemungkinan kondisi patologi lain seperti dermatitis/ dermatosis atau vulvodynia. Yang sangat mengherankan adalah masih belum terdapat cukup data tentang penggunaan preparat estrogen lokal di atas 6 bulan, walaupun diketahui pasti bahwa umumnya gejala akan timbul kembali jika terapi dihentikan. Alasan dari terjadinya hal ini hal ini adalah karena kebanyakan lisensi preparat yang digunakan untuk penggunaan sinambung hanya diberikan untuk waktu 3–6 bulan. Ihwal tersebut diperberat dengan adanya kekhawatiran yang belum terbukti bahwa penggunaan di atas 6 bulan akan dapat menimbulkan keadaan patologi di endometrium. Efek samping terapi estrogen lokal Sangat jarang dijumpai adanya kejadian efek samping yang serius, kebanyakan hanya berhubungan dengan kejadian efek samping ringan berupa iritasi atau rasa gatal, keputihan, perdarahan pervaginam, nyeri pelvik, rasa tegang di payudara dan perestesia. Kejadian ini biasanya bervariasi sesuai dengan jenis 24 preparat yang digunakan, dan tampaknya preparat krim lebih sering menimbulkan efeks samping dibandingkan dengan tablet dan ring vagina. Hal ini banyak disebabkan oleh bentuk kemasan preparat itu sendiri yang memungkinkan tingginya proses absorbsi, atau kesalahan dalam menera takaran yang sering diaplikasi lebih tinggi daripada yang direkomendasikan61. Potensi efek terapi estrogen lokal untuk menimbulkan hiperplasia endometrium telah banyak dibicarakan. Dari semua studi, tidak ditemukan adanya peningkatan kejadian tromboemboli atau peningkatan kejadian metastasis kanker payudara dari pasien yang bertahan hidup, yang menggunakan tablet vagina. Saat ini tampaknya tidak ada alasan bagi perempuan dengan atropi vagina simptomatis untuk tidak menggunakan terapi estrogen vagina lokal dosis rendah, selama mereka merasakan adanya keluhan. Walaupun demikian adalah sangat bijaksana untuk memeriksa secara paripurna dan teliti pasien yang mengalami perdarahan pervaginam untuk menyingkirkan kemungkinan adanya patologi di endometrium62. Penggunaan preparat estrogen vagina topikal dosis rendah untuk jangka panjang, bukan merupakan suatu kontraindikasi. Penggunaan terapi estrogen lokal pada kasus kanker payudara dan ginekologi Metode pengobatan kanker, termasuk bedah, iradiasi, kemoterapi dan/atau manipulasi hormonal (terutama aromatase inhibitor) dapat berpengaruh pada fungsi seksual. Aromatase inhibitor dalpat memperberat atropi vagina. Dokter yang terlibat dalam penanganan wanita dengan keadaan tersebut, harus cermat akan kemungkinan efek terapi pada kehidupan dan aktifitas seksual, terutama pada wanita yang mendapat pengobatan kanker. Pada perempuan dengan kanker payudara atau kanker ginekologis, 30–100% pasien akan mengalami disfungsi seksual63. Walaupun terapi estrogen sistemik sebenarnya merupakan pilihan terapi yang paling efektif, hal ini merupakan kontraindikasi, sementara pelembab vagina yang bersifat non-hormonal dan lubrikan dapat digunakan bebas sebagai pengganti, untuk keperluan sanggama. Penggunaan estrogen vagina topikal biasanya lebih efisien dalam mengurangi keluhan vagina kering. Sebagian besar kanker payudara dan kanker ginekologis bersifat hormon-responsif . Kanker serviks sel skuamosa walaupun bukan termasuk jenis hormon-responsif namun akibat dampak radioterapi lokal yang mengurangi jumlah reseptor estrogen, dapat merubah respon terhadap terapi estrogen topikal. 25 Pertanyaan penting yang perlu dijawab adalah apakah estrogen vagina dapat digunakan dengan aman pada wanita dengan kanker yang hormon-responsif, seperti misalnya pada kanker payudara, ovarium, endometrium serta adenokarsinoma serviks. Sepertinya absorpsi obat di vagina dapat bervariasi dari satu wanita ke wanita lainnya dan peningkatan pemberian takaran dari satu pemakaian perhari (bukan dua kali seminggu, sebagaimana jadwal takaran yang biasa direkomendasikan) dapat menimbulkan rasa tegang di payudara. Sampai saat ini belum ada penelitan yang dapat dipakai sebagai dasar untuk merekomendasikan suatu kebijaksanaan yang berbasis bukti. Walaupun demikian, beberapa hal dapat dijadikan bahan pertimbangan, seperti misalnya bahwa pada wanita yang memakai tamoxifen pascaterapi kanker payudara, penggunaan estrogen lokal dianggap mengurangi terhadap efek terapeutik tamoksifen, padahal justru efektifitas estrogen topikal vagina yang menjadi terganggu oleh tamoxifen. Kondisi ini berbeda dengan perempuan yang diterapi dengan aromatase inhibitor, dimana terjadi proses antagonis produksi estradiol tanpa disertai interaksi terhadap reseptornya. Hanya satu penelitian yang melaporkan 1472 perempuan penderita kanker payudara dan penggunaan estrogen vagina; 23,2% wanita memakai estrogen vagina, namun 4,7% hanya untuk gejala vagina. Sekitar setengahnya (47%) menggunakan tamoxifen64. Tidak ada peningkatan rekurensi yang diamati setelah follow up rata-rata 5,5 tahun, namun desain penelitian ini tidak menyebutkan ada tidaknya risiko akibat pengobatan. Aromatase inhibitor cenderung menyebabkan gejala defisiensi estrogen menjadi lebih berat daripada tamoxifen dan berefek lebih besar pada fungsi seksual. Untuk perempuan dengan kanker payudara, terapi non-hormonal lebih disukai, namun tidak efektif, estrogen vagina dapat digunakan dengan dosis efektif terendah yang harus disertai konseling pasien yang baik. Untuk kasus kanker endometrium, lokasi rekurensi paling sering terjadi di puncak vagina, sehingga meningkatkan risiko akibat terapi estrogen vagina karena berada pada predileksi yang sama. Tidak tersedia data lengkap tentang hal ini. Untuk kasus kanker ovarium, walaupun terdapat kekhawatiran akan penggunaan terapi sistemik, tidak terdapat cukup data mengenai kemungkinan peningkatan risiko rekurensi baik dengan cara penggunaan sistemik atau terapi estrogen lokal. Untuk kasus kanker ginekologis, sebaiknya diskusikan perihal risiko relatif penggunaan estrogen bersama-sama dengan tim onkololgi , dan juga pada pasien. Atropi vagina sering dijumpai sebagai akibat dari terapi kanker ginekologis. 26 Tidak terdapat data yang cukup perihal penggunaan estrogen vagina pada perempuan dengan kanker ginekologis yang hormonal-responsif. Untuk kasus kanker ginekologi, penggunaan estrogen lokal bukan merupakan kontraindikasi; wanita harus mendapat konseling yang memadai mengenai risiko dan keuntungan, faktor risiko inidividu perlu mendapat perhatian untuk dikaji. Penggunaan estrogen lokal pada perempuan yang sedang mendapat tamoxifen atau aromatase inhibitor, memerlukan konseling yang lebih khusus dan seksama. Kerjasama dan diskusi dengan tim onkologi sangat dibutuhkan. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Atropi vagina postmenopause merupakan penyebab tersering dari gejala gangguan akibat defisiensi estsrogen, namun tetap belum selalu dapat dikenali dengan baik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain. Perempuan sering merasa enggan untuk berkonsultasi atau mengeluhkan tentang hal tersebut. Terapi estrogen lokal bersifat sederhana, aman dan terbukti dapat memperbaiki kualitas hidup wanita. Rekomendasi penting dari International Menopause Society Writing Group adalah sebagai berikut: Penting bahwa tenaga kesehatan dapat teribat secara rutin bagi suatu diskusi yang bersifat terbuka dan sensitif dengan perempuan postmenopause mengenai faktor kesehatan organ urogenital mereka, sehingga atropi simptomatik dapat terdeteksi secara dini dan ditatalaksana secara tepat. Pengobatan harus dilakukan sedini mungkin, sebelum terjadi perubahan atropi yang bersifat ireversibel. Pengobatan sebaiknya diberikan secara sinambung dan berkelanjutan untuk mendapatkan hasil yang optimal. Semua sediaan estrogen lokal bersifat efektif dan pasien sendiri yang akan menentukan pilihan terapi yang cocok untuk digunakan. Tambahan progestogen tidak dianjurkan bila sediaan estrogen lokal dosis rendah yang tepat telah digunakan, walaupun belum didukung oleh data penggunaan jangka panjang di atas 1 tahun. Jika estrogen tidak efektif atau tidak diinginkan, penggunaan lubrikan vagina dan pelembab dapat mengurangi gejala akibat vagina kerilng. 27 Conflict of interest: The Writing Group mengumumkan bahwa tidak ada keterikatan atau hubungan finansial dengan perusahaan farmasi manapun, selain untuk persetujuan konsultasi, honorarium kuliah pada pertemuan ilmiah, dan kepentingan penelitian. Keterangan lebih rinci mengenai semua data di atas telah diperbaharui dan disimpan di sekretariat The International Menopause Society. Sumber dana: Selain dana dari International Menopause Society, dana edukasi yang tidak mengikat telah diperoleh dari Bayer Schering Pharma AG, EndoCeutics, Inc, Lil Drug Store Products, MSD Israel, and Novo Nordisk FemCare AG. Pihak farmasi tidak memiliki otoritas dan pengaruh atas pemilihan kontributor, materi dan isi rekomendasi, atau hasil penulisan akhir makalah yang dihasilkan. Translated by: M Sjarief Darmasetiawan, MD, O-G, RE and Rizka Yurianda, MD, O-G. References 1. Archer DF. Efficacy and tolerability of local estrogen therapy for urogenital atrophy. Menopause 2010;17:194–203 2. Leiblum S, Bachmann G, Kemmann E, Colburn D, Swartzman L. Vaginal atrophy in the postmenopausal woman. The importance of sexual activity and hormones. JAMA 1983;249:2195–8 3. Moalli PA, Talarico LC, Sung VW, et al. Impact of menopause on collagen subtypes in the arcus tendineous fasciae pelvis. Am J Obstet Gynecol 2004;190:620–7 4. Phillips CH, Anthony F, Benyon C, Monga AK. Collagen metabolism in the uterosacral ligaments and vaginal skin of women with uterine prolapse. BJOG 2006;113:39–46 5. Tinelli A, Malvasi A, Rahimi S, et al. Age-related pelvic floor modifications and prolapse risk factors in postmenopausal women. Menopause 2010;17:204–12 6. Bachmann GA, Nevadunsky NS. Diagnosis and treatment of atrophic vaginitis. Am Fam Phys 2000;61:3090–6 7. Semmens JP, Wagner G. Estrogen deprivation and vaginal function in postmenopausal women. JAMA 1982;248:445–8 8. Heinemann C, Reid G. Vaginal microbial diversity among postmenopausal women with and without hormone replacement therapy. Can J Microbiol 2005;51:777–81 9. Pabich WL, Fihn SD, Stamm WE, et al. Prevalence and determinants of vaginal flora alterations in postmenopausal women. J Infect Dis 2003;188:1054–8 10. Smith EM, Ritchie JM, Levy BT, et al. Prevalence and persistence of human papillomavirus in postmenopausal age women. Cancer Detect Prevent 2003;27:472–80 11. Bergman A, Karram MM, Bhatia NN. Changes in urethral cytology following estrogen administration. Gynecol Obstet Invest 1990;29:211–13 12. Semmelink HJ, de Wilde PC, van Houwelingen JC, Vooijs GP. Histomorphometric study of the lower urogenital tract in pre- and post-menopausal women. Cytometry 1990;11:700–7 28 13. Pastore LM, Carter RA, Hulka BS, Wells E. Self-reported urogenital symptoms in postmenopausal women: Women’s Health Initiative. Maturitas 2004;49:292–303 14. Nappi RE, Lachowsky M. Menopause and sexuality: prevalence of symptoms and impact on quality of life. Maturitas 2009;63:138–41 15. Dennerstein L, Dudley E, Burger H. Are changes in sexual functioning during midlife due to aging or menopause? Fertil Steril 2001;76:456–60 16. Genazzani AR, Schneider HPG, Panay N, Nijland EA. The European Menopause Survey 2005: Women’s perceptions on the menopause and postmenopause hormone therapy. Gynecol Endocrinol 2006;22:369–75 17. Barlow DH, Cardozo LD, Francis RM, et al. Urogenital ageing and its effect on sexual health in older British women. BJOG 1997;104:87–91 18. Nappi RE, Nijland NA. Women’s perception of sexuality around the menopause: outcomes of a European telephone survey. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol 2008;137:10–16 19. Huang KE, Xu L, I NN, Jaisamrarn U. The Asian Menopause Survey: knowledge, perceptions, hormone treatment and sexual function. Maturitas 2010;65:276–83 20. Blümel JE, Chedraui P, Baron G, et al. Collaborative Group for Research of the Climacteric in Latin America (REDLINC). Sexual dysfunction in middle-aged women: a multicenter Latin American study using the Female Sexual Function Index. Menopause 2009;16:1139–48 21. Castelo-Branco C, Palacios S, Mostajo D, et al. Menopausal transition in Movima women, a Bolivian native-American. Maturitas 2005;51:380–5 22. Statistics South Africa. www.statssa.gov.za 23. Walker AR, Walker BF, Ncongwane J, et al. Age of menopause in black women in South Africa. Br J Obstet Gynaecol 1984;91:797–801 24. Sidibe EH. Menopause in Africa. Ann Endocrinol(Paris) 2005;66:105–7 25. Bachmann GA, Leiblum SR, Kemmann E, et al. Sexual expression and its determinants in the post-menopausal woman. Maturitas 1984;6:19–29 26. Simon JA, Komi J. Vulvovaginal atrophy negatively impacts sexual function, psychosocial well-being, and partner relationships. Poster presented at North American Menopause Association Annual Meeting; October 3–6, 2007, Dallas, Texas 27. Caillouette JC, Sharp CF Jr, Zimmerman GJ, Roy S. Vaginal pH as a marker for bacterial pathogens and menopausal status. Am J Obstet Gynecol 1997;176:1270–5 28. Robinson D, Cardozo L. The menopause and HRT. Urogenital effects of hormone therapy. Best Pract Res Clin Endocrinol Metab 2003;17:91–104 29. Jackson S, James M, Abrams P. The effect of oestradiol on vaginal collagen metabolism in postmenopausal women with genuine stress incontinence. BJOG 2002;109:339–44 30. Greendale GA, Zibecchi L, Petersen L, et al. Development and validation of a physical examination scale to assess vaginal atrophy and inflammation. Climacteric 1999;2:197–204 31. US Department of Health and Human Services. Food and Drug Administration. Center for Drug Evaluation and Research (CDER). Guidance for industry. Estrogen and estrogen/progestin drug products to treat vasomotor symptoms and vulvar and vaginal atrophy symptoms – recommendations for clinical evaluation (Draft Guidance). Available at: http://www.fda.gov/cder/guidance/5412dft.pdf 32. North American Menopause Society. Menopause Practice: A Clinician’s Guide, 3rd edn. The North American Menopause Society, 2007:55 29 33. North American Menopause Society. Estrogen and progestogen use in postmenopausal women; 2010 statement of the North American Menopause Society. Menopause 2010;17:242– 55 34. Graziottin A, Leiblum S. Biological and psychosocial pathophysiology of female sexual dysfunction during the menopause transition. J Sex Med 2005;2:133–45 35. Cardozo L, Bachmann G, McClish D, Fonda D, Birgerson L. Meta-analysis of estrogen therapy in the management of urogenital atrophy in postmenopausal women: second report of the Hormones and Urogenital Therapy Committee. Obstet Gynecol 1998;92:722–7 36. Calleja-Agius J, Brincat M. Urogenital atrophy. Climacteric 2009;12:279–85 37. van der Laak J, de Bie L, de Leeuw H, de Wilde P, Hanselaar A. The effect of Replens on vaginal cytology in the treatment of postmenopausal atrophy: cytomorphology versus computerized cytometry. J Clin Pathol 2002;55:446–51 38. Bygdeman M, Swahn M. Replens versus dienoestrol cream in the symptomatic treatment of vaginal atrophy in postmenopausal women. Maturitas 1996;23:259–63 39. Biglia N, Peano E, Sgandurra P, et al. Low-dose vaginal estrogens or vaginal moistuizer in breast cancer survivors with urogenital atrophy: a preliminary study. Gynecol Endocrinol 2010;26:404–12 40. Woods R, Colville N, Blazquez J, Cooper A, Whitehead M. Effects of red clover isoflavones (Promensil) versus placebo on uterine endometrium, vaginal maturation index and the uterine artery in healthy postmenopausal women. Menopause Int 2004;10:17 41. Weed S. Menopausal Years: The Wise Woman Way – Alternative Approaches for Women. Woodstock, New York: Ash Tree, 1992 42. Yildrim B, Kaleli B, Duzcan E, Topuz O. The effects of postmenopausal Vitamin D treatment on vaginal atrophy. Maturitas 2004;49:334–7 43. Le Veque F, Hendrix S. Oral pilocarpine to treat vaginal xerosis associated with chemotherapy-induced amenorrhoea in premenopausal women. J Clin Oncol 2004;22(Suppl):14S, Abst 8099 44. Castelo-Branco C, Cancelo M, Villero J, Nohales F, Julia M. Management of postmenopausal vaginal atrophy and atrophic vaginitis. Maturitas 2005;52(Suppl 1):S46–52 45. Panay N, Fenton A. Complementary therapies for managing the menopause: has there been any progress? Climacteric 2010;13:201–2 46. Barnabei VM, Cochrane BB, Aragaki AK, et al. Menopausal symptoms and treatment-related effects of estrogen and progestin in the Women’s Health Initiative. Obstet Gynecol 2005;105:1063–73 47. Goldstein I. Recognizing and treating urogenital atrophy in postmenopausal women. J Womens Health (Larchmt) 2010;19:425–32 48. Eugster-Hausmann M, Waitzinger J, Lehnick D. Minimized estradiol absorption with ultralow-dose 10 μg 17β-estradiol vaginal tablets. Climacteric 2010;13:219–27 49. Haspels AA, Luisi M, Kicovic PM. Endocrinological and clinical investigations in postmenopausal women following administration of vaginal cream containing oestriol. Maturitas 1981;3:321–7 50. Suckling J, Kennedy R, Lethaby A, Roberts H. Local oestrogen therapy for vaginal atrophy in post menopausal women. Cochrane Database Syst Rev 2006 Issue 4 CD 001500 30 51. Ulrich L, Naessen T, Elia D, et al. Endometrial safety of ultra-low-dose Vagifem 10 μg in postmenopausal women with vaginal atrophy. Climacteric 2010;13:228–37 52. Weisberg E, Ayton R, Darling G, et al. Endometrial and vaginal effects of low-dose estradiol delivered by vaginal ring or vaginal tablet. Climacteric 2005;8:883–92 53. Bachmann G, Bouchard C, Hoppe D, et al. Efficacy and safety of low dose regimens of conjugated estrogen cream administered vaginally. Menopause 2009;16:719–27 54. Al-Baghdadi O, Ewies AAA. Topical estrogen therapy in the management of postmenopausal vaginal atrophy: an up-to-date overview. Climacteric 2009;12:91–105 55. Pines A, Sturdee DW, Birkhauser MH, et al. IMS Updated Recommendations on postmenopausal hormone therapy. Climacteric 2007;10:181–94 56. Taylor AH, Guzail M, Al-Azzawi F. Differential expression of oestrogen receptor isoforms and androgen receptor in the normal vulva and vagina compared with vulval lichen sclerosus and chronic vaginitis. Br J Dermatol 2008;158:319–28 57. Raghunandan C, Agrawal S, Dubey P, Choudhury M, Jain A. A comparative study of the effects of local estrogen with or without local testosterone on vulvovaginal and sexual dysfunction in postmenopausal women. J Sex Med 2010;7:1284–90 58. Vaginal testosterone cream vs Estring for vaginal dryness or decreased libido in early stage breast cancer patients (E-String). http://clinicaltrials.gov/ct2/show/study/NCT00698035?view=resulys. Accessed 2009 Feb 23 59. Labrie F, Archer D, Bouchard C, et al. Intravaginal dehydroepiandrosterone (Prasterone), a physiological and highly efficient treatment of vaginal atrophy. Menopause 2009;16:907–22 60. Labrie F, Archer D, Bouchard P, et al. Effect of intravaginal dehydroepiandrosterone (Prasterone) on libido and sexual dysfunction in postmenopausal women. Menopause 2009;16:923–31 61. The role of local vaginal estrogen for treatment of vaginal atrophy in postmenopausal women: 2007 position statement of The North American Menopause Society. Menopause 2007;14:357–69 62. Kalentzi T, Panay N. Safety of vaginal oestrogen in postmenopausal women. The Obstetrician & Gynaecologist 2005;7:241–4 63. Krychman ML, Pereira L, Carter J, Amsterdam A. Sexual oncology: sexual health issues in women with cancer. Oncology 2006;71:18–25 64. Dew JE, Wren BG, Eden JA. A cohort study of topical vaginal estrogen therapy in women previously treated for breast cancer. Climacteric 2003;6:45–52 65. Ballagh SA. Vaginal hormone therapy for urogenital and menopausal symptoms. Semin Reprod Med 2005;223:126–40 31