CONTINUING MEDICAL CONTINUING EDUCATION CONTINUINGMEDICAL MEDICALEDUCATION EDUCATION Akreditasi PB IDI–3 SKP Drug-Induced Liver Injury – Tantangan dalam Diagnosis Imelda Maria Loho, Irsan Hasan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta, Indonesia ABSTRAK Jejas hati imbas obat (drug-induced liver injury, DILI), atau hepatotoksisitas imbas obat, merupakan jejas hati yang disebabkan oleh pajanan terhadap obat atau agen non-infeksius. Jejas yang ditimbulkan oleh obat bervariasi, mulai dari tidak bergejala, ringan, hingga gagal hati akut yang mengancam nyawa. Insidens hepatotoksisitas imbas obat terbilang rendah, yaitu antara 1 dari 10.000 sampai 1 dari 100.000 pasien, tampaknya karena sulitnya diagnosis dan angka pelaporan yang masih rendah. Kunci penting diagnosis DILI adalah pajanan obat harus terjadi sebelum onset jejas hati dan penyakit lain yang dapat menyebabkan jejas hati harus disingkirkan. Selain itu, jejas hati akan membaik bila penggunaan obat tertentu dihentikan dan jejas hati dapat terjadi lebih cepat dan lebih berat pada pajanan berikutnya, khususnya bila jejas hati tersebut terjadi akibat proses imunologis. Kata kunci: Drug-induced liver injury, diagnosis, obat ABSTRACT Drug-induced liver injury or drug-related hepatotoxicity is injury to the liver caused by exposure to a drug or another noninfectious agent. The clinical signs could vary from very mild condition without any clinical symptoms to severe and life-threatening acute liver failure. Drug-related hepatotoxicity has a low reported incidence, ranging from 1 in 10.000 and 1 in 100.000 patients, but its true incidence may be higher because of difficulties in detection or diagnosis and underreporting. Key elements in assessing cause in the diagnosis of drug-related hepatotoxicity were: Exposure to a drug must precede the onset of liver injury. Other disease should be ruled out. Condition may improve when the drug is stopped and may recur more rapidly and severely on repeated exposure, especially if immunological process is involved. Imelda Maria Loho, Irsan Hasan. Drug-Induced Liver Injury – Diagnostic Challenges. Key words: Drug-induced liver injury, diagnosis, drug PENDAHULUAN Jejas hati imbas obat (drug-induced liver injury, DILI) merupakan salah satu masalah kesehatan yang memiliki tantangan diagnosis tersendiri. Luputnya diagnosis DILI sering terjadi karena DILI memiliki spektrum yang luas, mulai dari tidak bergejala sama sekali sampai gagal hati akut yang mengancam nyawa. Karena itu, pendekatan diagnosis yang tepat merupakan hal yang sangat penting. Dalam artikel ini, akan dibahas secara singkat mengenai epidemiologi, klasifikasi, mekanisme, diagnosis, dan tata laksana DILI. EPIDEMIOLOGI Perkembangan dunia kedokteran, yang antara lain diwarnai dengan makin banyaknya jenis Alamat korespondensi obat, meningkatkan harapan kesembuhan dari berbagai penyakit. Akan tetapi, perkembangan ini juga membawa dampak tersendiri, seperti makin meningkatnya risiko dan angka kejadian efek samping obat.1,2 Meskipun efek samping obat dapat terjadi pada semua sistem organ tubuh, hati merupakan organ yang paling rentan karena sebagian besar obat menjalani metabolisme parsial maupun komplet serta eliminasi melalui hati. Berbagai survei di dunia menunjukkan bahwa frekuensi DILI sebagai penyebab penyakit hati akut maupun kronik relatif rendah.3-5 Insidens hepatotoksisitas imbas obat dilaporkan sebesar 1:10.000 sampai 1:100.000 pasien.6 Meskipun demikian, insidens DILI yang sebenarnya sulit diketahui. Jumlah aktual dapat jauh lebih besar karena sistem pelaporan yang belum memadai, kesulitan mendeteksi atau mendiagnosis, dan kurangnya observasi terhadap pasien-pasien yang mengalami DILI.7 KLASIFIKASI Hepatotoksisitas akibat obat secara umum dibagi menjadi dua kategori besar, yaitu hepatotoksisitas intrinsik (disebut juga hepatotoksisitas direk atau dapat diprediksi) dan hepatotoksisitas idiosinkratik (disebut juga hepatotoksisitas indirek atau tidak dapat diprediksi). Contoh hepatotoksisitas intrinsik adalah hepatotoksisitas akibat pajanan terhadap zat kimia industri maupun email: [email protected] CDK-214/ vol. 41 no. 3, th. 2014 167 CONTINUING MEDICAL EDUCATION lingkungan atau toksin, seperti karbon tetraklorida, fosfor, atau beberapa jenis jamur yang menyebabkan jejas hati. Sebaliknya, hepatotoksisitas idiosinkratik merupakan hepatotoksisitas yang disebabkan oleh obatobat konvensional dan produk herbal yang menyebabkan hepatotoksisitas hanya pada sejumlah kecil resipien (1:10.000-1:100.000).8 Klasifikasi Berdasarkan Pola Jejas Hati Pada tahun 2001, American Association for the Study of Liver Diseases (AASLD) menetapkan bahwa peningkatan kadar alanin aminotransferase (ALT) lebih dari tiga kali batas atas normal (BAN) dan peningkatan bilirubin total lebih dari dua kali BAN dapat digunakan sebagai kriteria untuk meenentukan ada tidaknya kelainan signifikan pada parameter laboratorik hati.9 Peningkatan kadar enzim hati alanin transaminase (ALT), aspartat aminotransferase (AST), dan fosfatase alkali (ALP) dianggap sebagai indikator jejas hati, sedangkan peningkatan bilirubin total dan terkonjugasi merupakan parameter untuk menilai fungsi hati secara keseluruhan. Penilaian pola jejas hati sangat penting karena obat-obat tertentu cenderung menyebabkan jejas dengan pola khas pula (Tabel 1). Jejas hati hepatoselular (atau sitolitik) menyebabkan peningkatan kadar ALT dan AST serum yang bermakna, biasanya mendahului peningkatan bilirubin total, disertai sedikit peningkatan ALP. Contohnya adalah jejas hati imbas isoniazid. Sebaliknya, jejas kolestatik ditandai dengan peningkatan ALP yang mendahului atau relatif lebih menonjol dibanding peningkatan ALT maupun AST. Selain ketiga macam jejas hati di atas, terdapat jejas mitokondria yang dapat dinilai melalui biopsi hati. Jejas mitokondria ini menyebabkan steatosis mikrovaskular yang terlihat pada biopsi hati, asidosis laktat, serta sedikit peningkatan enzim aminotransferase, seperti yang terjadi pada jejas hati imbas asam valproat maupun tetrasiklin parenteral dosis tinggi.7,10 Perlu diingat bahwa peningkatan kadar enzim ini lebih dari tiga kali BAN tidak selalu berhubungan dengan kerusakan hati yang signifikan. Hal ini karena kapasitas hati yang besar untuk menyembuhkan jejas serta kemampuan hati untuk melakukan mekanisme toleransi adaptif. Apabila peningkatan enzim ini disertai timbulnya gejala tidak spesifik, 168 Tabel 1 Pola Jejas Hati dan Obat-Obat Penyebab8 Hepatoselular (Peningkatan ALT) Akarbose Asetaminofen/parasetamol Alopurinol Amiodaron Bupropion Fluoksetin HAART (highly active antiretroviral therapy) Herbal: kava kava, germander Isoniazid Ketokonazol Lisinopril Losartan Metotreksat NSAID Omeprazol Paroksetin Pirazinamid Rifampin Risperidon Sertralin Statin Tetrasiklin Trazodon Trovafloksasin Asam valproat Campuran (Peningkatan ALP dan ALT) Amitriptilin Azatioprin Kaptopril Karbamazepin Klindamisin Siproheptadin Enalapril Flutamid Nitrofurantoin Fenobarbital Fenitoin Sulfonamid Trazodon Trimetoprim-sulfametoksazol Verapamil seperti kelelahan, anoreksia, mual, nyeri perut kanan atas, serta urin berwarna gelap, bisa merupakan petunjuk awal hepatotoksisitas.7 Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang jejas tipe hepatoselular mengikuti “hukum Hy”. Hukum ini dipopulerkan oleh Hyman Zimmerman, seorang hepatolog yang tertarik pada DILI. Hukum Hy menyebutkan bahwa 10% pasien DILI mengalami ikterus dan, dari jumlah tersebut, 10% akan meninggal karena DILI. Angka fatalitas kasus (case fatality rates) pasien gagal hati fulminan imbas obat terlapor sangat tinggi (sekitar 75%) untuk obat-obat selain asetaminofen. Sebaliknya, angka fatalitas kasus gagal hati fulminan yang disebabkan asetaminofen jauh lebih rendah, kurang lebih 25%.10 PATOGENESIS DILI Kematian hepatosit pada DILI dapat terjadi melalui dua proses, yaitu proses yang diperantarai apoptosis atau nekrosis. Pada apoptosis, terjadi pengerutan dan fragmentasi sel menjadi pecahan-pecahan kecil dengan membran sel tetap utuh. Pecahan-pecahan ini akan dibersihkan melalui proses fagositosis dan umumnya tidak merangsang respons imun pejamu. Sebaliknya, nekrosis menyebabkan hilangnya fungsi mitokondria dan deplesi ATP yang menyebabkan pembengkakan dan lisis sel yang merangsang terjadinya proses inflamasi lokal.7 Kolestatik (Peningkatan ALP dan Bilirubin Total) Amoksisilin-asam klavulanat Steroid anabolik Klorpromazin Klopidogrel Kontrasepsi oral Eritromisin Estrogen Irbesartan Mirtazapin Fenotiazin Terbinafin Antidepresan trisiklik Proses apoptosis dan nekrosis tersebut dapat tercetus melalui berbagai mekanisme. Pada sebagian besar kasus, DILI diawali dengan bioaktivasi obat menjadi metabolit reaktif yang mampu berinteraksi dengan makromolekul seluler, seperti protein, lemak, dan asam nukleat. Hal ini menyebabkan disfungsi protein, peroksidasi lipid, kerusakan DNA, dan stres oksidatif. Selain itu, metabolit reaktif ini dapat mencetuskan gangguan pada gradien ionik dan penyimpanan kalsium intraseluler, menyebabkan terjadinya disfungsi mitokondria dan gangguan produksi energi. Gangguan fungsi seluler ini pada akhirnya dapat menyebabkan kematian sel dan gagal hati.11 PREDIKTOR KERENTANAN TERHADAP DILI Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan seseorang lebih rentan mengalami hepatotoksisitas imbas obat. Ada bukti bahwa seiring bertambahnya usia, risiko mengalami DILI meningkat.12 Hal ini terjadi karena tampaknya banyak orang usia lanjut yang mengonsumsi sejumlah obat yang dapat menyebabkan perubahan farmakokinetik obat dan berhubungan dengan proses penuaan yang mengakibatkan penurunan metabolisme, distribusi, serta eliminasi obat.8 Prediktor penting lainnya adalah hepatitis viral kronik, baik hepatitis B maupun C yang CDK-214/ vol. 41 no. 3, th. 2014 CONTINUING MEDICAL EDUCATION Tabel 2 Panduan Kunci untuk Mengenali dan Mencegah Hepatotoksisitas dalam Praktik Klinis7 Jangan mengabaikan gejala Jika sebuah obat digunakan dalam jangka panjang, dapat timbul hepatotoksisitas yang gejalanya bervariasi, mulai dari mual, anoreksia, malaise, lemah, nyeri abdomen kanan atas, sampai ikterus. Lakukan pemeriksaan jejas dan gangguan fungsi hati. Lakukan anamnesis dengan seksama Lakukan anamnesis teliti mengenai tanggal dan dosis penggunaan obat-obat over the counter (OTC), herbal, dan obat-obat lain yang diresepkan. Hentikan agen penyebab Hentikan obat-obat yang dicurigai, khususnya bila gejala sudah muncul dan gangguan fungsi hati sudah terjadi (peningkatan kadar bilirubin atau pemanjangan waktu protrombin). Lakukan pemantauan gejala dan, bila memburuk, konsultasikan dengan spesialis penyakit dalam atau ahli gastroenterologi dan hepatologi. Perhatikan “hukum Hy” Ikterus yang muncul setelah DILI merupakan kondisi serius yang berpotensi fatal. Segera konsultasikan dengan spesialis. telah ada sebelumnya. Pada beberapa penelitian, didapatkan peningkatan risiko DILI pada pasien hepatitis kronik yang diterapi dengan INH dan rifampisin.13,14 Risiko DILI juga meningkat pada pasien HIV dengan koinfeksi hepatitis B atau C yang mendapat terapi antiretroviral.15 Obesitas dan non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) dikatakan tidak meningkatkan risiko DILI.16 PENDEKATAN DIAGNOSTIK DILI DAN PENILAIAN KAUSALITAS PADA DILI Mendiagnosis DILI dengan pasti tidaklah mudah. Hal penting yang menjadi pegangan diagnosis DILI: Pertama, hepatotoksisitas imbas obat dapat menyerupai hampir semua jenis penyakit hati, dan saat ini diagnosis DILI dilakukan per eksklusionam karena tidak terdapat penanda biologis maupun pemeriksaan spesifik yang dapat menegakkan diagnosis DILI. Karena itu, semua penyebab jejas hati yang dapat memberikan gambaran serupa harus disingkirkan terlebih dulu. Kedua, menggali seluruh data klinis maupun biokimia yang berhubungan dengan jejas hati; data ini merupakan kunci penting untuk menentukan karakteristik dan pola jejas hati agar dapat membantu menegakkan diagnosis. Ketiga, perlu diingat bahwa kondisi medis yang mengharuskan penggunaan obat dapat menyebabkan disfungsi hati; hal ini bisa semakin menyulitkan diagnosis DILI. Keempat, karena umumnya beberapa obat diberikan bersamaan, interaksi sinergistik antarobat dapat terjadi sekaligus menimbulkan pertanyaan obat mana yang menyebabkan DILI.7 Terdapat dua metode utama untuk menentukan kausalitas pada DILI, yaitu penilaian berdasarkan kondisi klinis pasien CDK-214/ vol. 41 no. 3, th. 2014 dan penggunaan sistem penskoran. Metode pertama menekankan ketajaman analisis seorang dokter terhadap kondisi klinis dan biokimia pasien yang berhubungan dengan penggunaan obat atau produk herbal. Akan tetapi, pendekatan ini terlalu subjektif dan akurasinya sangat tergantung pada keterampilan melakukan anamnesis dan menyingkirkan kemungkinan penyebab hepatotoksisitas lain.8 Pendekatan lebih objektif adalah penilaian kausalitas menggunakan metode RUCAM (Roussel-Uclaf Causality Assessment Method). Dalam metode ini, terdapat tujuh parameter yang dinilai, yaitu jangka waktu terjadinya penyakit hati dari pertama kali mengonsumsi obat, perjalanan penyakit hati yang dialami saat ini, faktor risiko untuk mengalami jejas hati, eksklusi penyebab jejas hati lain, informasi mengenai hepatotoksisitas yang ditimbulkan oleh obat tersangka, serta respons terhadap pemberian ulang obat.18 Instrumen tersebut saat ini digunakan secara luas dalam berbagai penelitian untuk menilai hepatotoksisitas, tetapi masih sulit diaplikasikan dalam praktik klinis sehari-hari, sehingga sebagian besar dokter masih menggunakan penilaian klinis dalam mendiagnosis DILI.8,17 Sewaktu melakukan evaluasi terhadap tersangka DILI, hal pertama yang harus dilakukan adalah menyingkirkan penyebab lain jejas hati, seperti hepatitis A, hepatitis B, dan terkadang hepatitis C akut, hepatitis autoimun atau alkoholik, kelainan traktus biliaris, dan gangguan hemodinamik. Hepatitis viral dapat dievaluasi dengan memeriksa antibodi IgM terhadap hepatitis A, hepatitis B surface antigen (HBsAg), dan antibodi antihepatitis C. Kelainan traktus biliaris dapat menyebabkan jejas hati melalui proses obstruksi atau infeksi, seperti yang terjadi pada kolesistitis maupun kolangitis. Karena itu, perlu dilakukan ultrasonografi abdomen dan, jika perlu, CT scan abdomen.7,8,17 Jejas hati imbas alkohol harus dicurigai apabila terdapat riwayat konsumsi alkohol pada saat yang berdekatan dengan timbulnya gejala, kadar alkohol yang terdeteksi dalam serum, atau kadar AST yang meningkat lebih tinggi dari ALT dengan perbandingan 2:1. Penyakit autoimun harus dicurigai apabila jejas hati disertai adanya antinuclear antibody (ANA) atau antibodi anti-smooth-muscle positif. Kondisi hemodinamik yang tidak stabil, seperti syok kardiovaskular atau gagal jantung, dapat juga menyebabkan jejas hati. Kelainan metabolik dan endokrin juga dapat menyebabkan jejas hati, seperti hemokromatosis, penyakit Wilson, dan defisiensi α-1 antitripsin.8 Setelah menyingkirkan penyebab jejas hati akut lain, langkah berikutnya adalah menetapkan jenis obat penyebab. Hal ini dapat dilakukan dengan anamnesis teliti mengenai semua jenis obat yang diberikan dalam 12 bulan terakhir, termasuk herbal maupun suplemen. Hal penting lain dalam menegakkan diagnosis adalah menentukan jangka waktu dari pertama kali konsumsi obat hingga onset penyakit hati, pola atau tipe jejas hati (hepatoselular, kolestasis, atau campuran), juga menentukan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk penyembuhan setelah obat dihentikan (Tabel 2).8 TATA LAKSANA Tata laksana DILI yang paling penting adalah segera menghentikan obat yang dicurigai sebagai penyebab. Pada sebagian besar kasus, jejas hati akan menyembuh sendiri setelah obat dihentikan. Akan tetapi, apabila DILI bermanifestasi sebagai hepatitis autoimun dan penyembuhan tidak terjadi dengan penghentian obat, kortikosteroid sering digunakan sebagai terapi meskipun bukti ilmiahnya masih kontroversial.19,20 Overdosis asetaminofen harus ditangani segera dengan pemberian N-asetilsistein (NAC). Untuk orang dewasa yang menelan asetaminofen kurang dari 24 jam sebelum ke rumah sakit, dosis awal NAC sebesar 140 mg/ kgBB harus diberikan, dilanjutkan 70 mg/kgBB setiap 4 jam, sebanyak 17 dosis, dimulai 4 jam 169 CONTINUING MEDICAL EDUCATION setelah dosis awal diberikan.10 Asam ursodeoksikolat dapat diberikan pada DILI tipe kolestatik dengan dosis 20-30 mg/ kgBB/hari dalam dua dosis terbagi. Apabila timbul rasa gatal yang hebat, dapat diberikan kolestiramin, tetapi obat ini harus diberikan pada waktu yang berbeda dengan saat pemberian asam ursodeoksikolat dan obatobat lain karena kolestiramin akan mengikat dan menghalangi penyerapan obat lain. Kolestiramin disarankan diberikan pada pagi hari ketika terjadi regenerasi maksimal biliary pool.10 SIMPULAN Jejas hati imbas obat (drug-induced liver injury, DILI) merupakan masalah kesehatan yang sering luput terdiagnosis oleh dokter. Tidak adanya alat diagnostik spesifik mengharuskan seorang klinisi benar-benar cermat dalam mendiagnosis DILI. DAFTAR PUSTAKA 1. Timbo BB, Roiss MP, McCarthy PV, Lin CT. Dietary supplements in a national survey: Prevalence of use and reports of adverse events. J Am Diet Assoc. 2006;106:1966-74. 2. McDonnell PJ, Jacobs MR. Hospital admissions resulting from preventable adverse reactions. Ann Pharmacother. 2002;329:15-9. 3. Sgro C, Clinard F, Ouazir K, Chanay H, Allard C, Guilleminet C, et al. Incidence of drug-induced hepatic injuries: A French population-based study. Hepatology. 2002;36:451-5. 4. Olsson R, Brunlof G, Johansson ML, Persson M. Drug-induced hepatic injury in Sweden. Hepatology. 2003;38:531-2. 5. Friia H, Andreasen PB. Drug-induced hepatic injury: An analysis of 1100 cases reported to the Danish Committee on Adverse Drug Reactions between 1978 and 1987. J Intern Med. 1992;232:133-8. 6. Larrey D. Epidemiology and individual susceptibility to adverse drug reactions affecting the liver. Semin Liver Dis. 2002;22:145-55. 7. Navarro VJ, Senior JR. Drug-related hepatotoxicity. N Engl J Med. 2006;354:731-9. 8. Seeff LB, Fontana RJ. Drug-induced liver injury. In: Dooley JS, Lok ASF, Burroughs AK, Heathcote EJ, editors. Sherlock’s diseases of the liver and biliary system. 12th ed. USA: Blackwell Publishing Ltd; 2011. 9. FDA Working Group. CDER-PhRMAAASLD Conference 2000: Clinical white paper on drug-induced hepatotoxicity [Internet]. 2000 [cited 2011 Sep 2]. Available from: http://www.fda.gov/ cder/livertox/clinical. 10. Bonkovsky HL. Drug-induced liver injury. In: Boyer, TD, Teresa LW, Michael PM, editors. Zakim and Boyer’s hepatology: A textbook of liver disease. 5th ed. USA: Elsevier; 2006. p. 503-38. 11. Lee WM. Drug-induced hepatotoxicity. N Engl J Med [serial on Internet]. 2003 [cited 2009 Sep 28]; 349: 474-85. 12. Lucena MI, Andrade RJ, Fernandez MC, Pachkoria K, Pelaez G, Durán JA, et al. Determinants of the clinical expression of amoxicillin-clavulanate hepatotoxicity: A prospective series from Spain. Hepatology. 2006;44:850-6. 13. Wong WM, Wu PC, Yuen MF, Cheng CC, Yew WW, Wong PC, et al. Antituberculosis drug-related liver dysfunction in chronic hepatitis B infection. Hepatology. 2000;31:201-6. 14. Wu JC, Lee SD, Yeh PF, Chan CY, Wang YJ, Huang YS, et al. Isoniazid-rifampin-induced hepatitis in hepatitis B carriers. Gastroenterology. 1990;98:502-4. 15. Labarga P, Soriano V, Vispo ME. Hepatotoxicity of antiretroviral drugs in patients with liver disease. Aliment Pharmacol Ther. 2008;29:1021-41. 16. Vuppalanchi R, Teal E, Chalasani N. Patients with elevetaed baseline liver enzymes do not have higher frequency of hepatotoxicity from lovastatin than those with normal baseline liver enzymes. Am J Med Sci. 2005;325:62-5. 17. Tajiri K, Yukihiro S. Practical guidelines for diagnosis and early management of drug-induced liver injury. World J Gastroenterol. 2008;14:6774-85. 18. Benichou C. Criteria of drug-induced liver disorders: report of an International consensus meeting. J Hepatol. 1990;11:272-6. 19. Dechene A, Treicherl U, Gerken G. Effectiveness of a steroid and ursodeoxycholic acid combination therapy with drug-induced subacute liver failure. Hepatology. 2005;42:A358. 20. Rakela J, Mosley JW, Edwards VM. A double-blind randomized trial of hydrocortisone in acute hepatic failure. Dig Dis Sci. 1991;36:1223-8. 170 CDK-214/ vol. 41 no. 3, th. 2014