BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Krisis Eropa 2.1.1 Penyebab Krisis Eropa Krisis ekonomi yang sedang terjadi di beberapa bagian negara Eropa telah menjadi kegelisahan yang sangat luar biasa. Krisis di zona Eropa memiliki andil yang cukup besar pada sektor lembaga keuangan serta para pelaku investor yang telah banyak memiliki Surat Utang Negara (SUN), yang sedang mengalami krisis perekonomian tersebut. Adanya ketidak jujuran pemerintah Yunani yang mengutakatik nilai pertumbuhan ekonomi makro-nya pun merupakan awal jatuhnya perekonomian Yunani di mana pemerintah Yunani berusaha menutup-nutupi angka defisit negara yang disebabkan oleh banyaknya kasus penggelapan pajak, yang diperkirakan telah merugikan negara hingga US$ 20 milyar per tahun. Dan pada awal tahun tidak ada yang memperhatikan fakta bahwa utang Yunani sudah terlalu besar. Malah dari tahun 2000 hingga 2007, Yunani mencatat pertumbuhan ekonomi hingga 4.2% per tahun, yang merupakan angka tertinggi di zona Eropa, hasil dari membanjirnya modal asing ke negara tersebut. Keadaan berbalik ketika pasca krisis global 2008 dimana negara-negara lain mulai bangkit dari resesi, dua dari sektor ekonomi utama Yunani yaitu 11 sektor pariwisata dan perkapalan, justru mencatat penurunan pendapatan hingga 15%. Orang-orang pun mulai sadar bahwa mungkin ada yang salah dengan perekonomian Yunani. Setelah Yunani, Italia tergolong negara yang krisisnya begitu disorot dunia internasional, terlebih dengan adanya ‘skandal’ kegagalan Berlusconi yang menyebabkan keterpurukan ekonomi namun sempat teguh menolak untuk mengundurkan diri. Kegagalan mengentaskan Yunani dari krisis akan menyeret negara Uni Eropa lain ke dalam krisis yang makin dalam, yang ternyata tidak hanya disebabkan oleh persamaan mata uang. Uni Eropa, yang konon kini menyisakan tiga negara kuat; yaitu Belanda, Perancis, dan Jerman telah berupaya memberikan dana talangan, baik teratasnamakan negara dan juga teratasnamakan komisi Uni Eropa. Integrasi ekonomi yang sukses ini menyisakan bentuk ketergantungan yang sangat signifikan antar anggota, sehingga satu krisis sudah cukup untuk menggoyahkan kestabilan negara-negara anggota yang lain. Penyebab lainnya, adalah karena sejauh ini monitoring pengelolaan kelembagaan untuk bantuan bersyarat kurang jelas dan ditambah lemahnya pengaturan pasar obligasi euro. Banyak sekali mekanisme solutif berhasil dilakukan, namun gagal mencapai sasaran penyelesaian dan justru menyisakan banyak ‘tugas rumah’ bagi Uni Eropa. Seperti yang sempat diangkat tadi, konsep Welfare State yang menjanjikan begitu melimpahnya jaminan sosial yang mahal, akhirnya justru memanjakan banyak masyarakat Eropa dengan segala kemudahan, sehingga ketika ada satu ide penghematan 12 ditawarkan, masyarakat menjadi reaktif untuk menolak terlihat dari banyak demo yang terjadi akibat cetusan gagasan penghematan. Faktor mayor dan minor, semuanya berkolaborasi menciptakan suatu krisis yang seakan mustahil diselesaikan dalam waktu yang singkat. (Gunawan, 2012: 53-58) 2.1.2 Dampak Krisis Eropa di Indonesia Krisis keuangan Eropa memiliki dampak terhadap sektor keuangan domestik, kondisi perekonomian Global serta gejolak harga yang selanjutnya memberi dampak terhadap perekonomian domestik (Gambar 2.1). Gambar 2.1 Dampak Gejolak Ekonomi di Eropa dan Amerika bagi Perekonomian Domestik Gejolak Harga Komoditas Krisis Keuangan Eropa dan AS Pelemahan Ekonomi Global Pasar Keuangan IDN Harga Saham turun Rupiah Melemah Penget atan Kredit Yield SUN naik Dampak Ekonomi Domestik Volume . Sumber : William Walace, 2009 dan nilai Ekspor Investasi Pendapatan masy. melemah Dampak Inflasi Kebutuhan 2.1.2.1 Dampak Krisis Eropa Saat ini terhadap Perekonomian Pembiayaan Pemerintah Indonesia Sumber : William Walance, 2009 13 Menurut Bappenas (2011) Dampak krisis Eropa terhadap perekonomian di Indonesia: 1. Indeks Bursa Saham menurun 2. Kepemilikan asing menurun 3. Tingkat kepercayaan sempat menurun 4. Nilai tukar melemah 5. Inflasi masih terkendali ditengah gejolak harga komoditas international 2.2 Saham 2.2.1 Definisi Saham Menurut Joel G. Siegel dalam Fahmi (2012:103) Saham adalah: a. tanda bukti penyertaan kepemilikan modal/dana pada suatu perusahaan b. kertas yang tercantum dengan jelas nilai nominal, nama perusahaan dan diikuti dengan hak dan kewajiban yang dijelaskan kepada setiap pemegangnya. c. Persediaan yang siap untuk dijual. 2.2.2 Karakteristik Saham Suatu perusahaan dapat menjual hak kepemilikannya dalam bentuk saham (stock). karakteristik saham adalah sebagai berikut: a. Common Stock (Saham Biasa) Menurut Fahmi (2012;81) Common Stock (Saham Biasa) adalah suatu surat berharga yang dijual oleh suatu perusahaan yang menjelaskan nilai nominal (rupiah, dolar, yen dan sebagainya) dimana pemegangnya diberi hak untuk mengikuti RUPS (Rapat 14 Umum Pemegang Saham) dan RUPSLB (Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa) serta berhak untuk menentukan membeli right issue (penjualan saham terbatas) atau tidak, yang selanjutnya akhir tahun akan memperoleh keuntungan dalam bentuk dividen. b. Preferred Stock (Saham Istimewa) Menurut Fahmi (2012;81) Preferred Stock (saham istimewa) adalah suatu surat berharga yang dijual oleh suatu perusahaan yang menjelaskan nilai nominal (rupiah, dolar, yen, dan sebagainya) dimana pemegangnya akan memperoleh pendapatan dalam bentuk dividen yang akan diterima setiap kuartal (tiga bulan). c. Treasury Stock (Saham Tresuri) Treasury Stock (Saham Tresuri) adalah saham perusahaan yang pernah dikeluarkan dan beredar yang kemudian dibeli kembali oleh perusahaan untuk di pesiunkan tetapi disimpan sebagai tresuri. 2.2.3 Keuntungan Memiliki Saham Menurut Fahmi (2012; 86) Bagi pihak yang memiliki saham akan memperoleh beberapa keuntungan sebagai bentuk kewajiban yang harus diterima, yaitu: a. memperoleh deviden yang akan diberikan pada setiap akhir tahun b. memperoleh capital gain, yaoti keuntungan pada saat saham yang dimiliki tersebut dijual kembali pada harga yang lebih mahal. c. Memiliki hak suara bagi pemegang saham jenis common stock (saham biasa) 15 2.2.4 Kondisi yang Menentukan Naik dan Turunnya Harga Saham Menurut beberapa sumber dalam Fahmi (2012:57) ada beberapa kondisi dan situasi yang menentukan suatu saham itu akan mengalami fluktuasi, yaitu: a. Kondisi mikro dan makro ekonomi; b. Kebijakan perusahaan dalam memutuskan untuk ekspansi (perluasan usaha), seperti membuka kantor cabang (brand office), kantor cabang pembantu (sub brand office) baik yang dibuka di domestik maupun luar negeri; c. Pergantian direksi secara tiba-tiba; d. Adanya direksi atau pihak komisaris perusahaann yang terlibat tindak pidana dan kasusnya sudah masuk ke pengadilan; e. Kinerja perusahaan yang terus mengalami penurunan dalam setiap waktunya; f. Risiko sistematis (systematic risk), yaitu suatu bentuk risiko yang terjadi secara menyeluruh dan telah ikut menyebabkan perusahaan ikut terlibat; g. Efek psikologi pasar yang ternyata mampu menekan kondisi tehnika; jual beli saham. 2.3 Kebangkrutan 2.3.1 Definisi Kebangkrutan Kegagalan perusahaan bukanlah cacat bagi serorang pengusaha akan tetapi, merupakan suatu dimensi dari risiko usaha. 16 Suwarno (2001: 5) dalam Hadi (2012: 50) mengemukakan pengertian kebangkrutan sebagai berikut : “Suatu keadaan perusahaan yang mengalami deteriorasi adaptasi perusahaan dengan lingkungannya yang sampai membawa akibat pada rendahnya kinerja untuk jangka waktu tertentu yang berkelanjutan yang pada akhirnya menjadikan perusahaan tersebut kehilangan sumber daya dan dana yang dimiliki sebagai akibat dari gagalnya perusahaan melakukan pertukaran yang sehat antara keluaran (output) yang dihasilkan dengan masukan (input) baru yang diperoleh.” . Bank Indonesia (1999) dalam Hadi (2012: 54-55) menjelaskan kesulitan keuangan suatu perusahaan bisa terjadi bermacam-macam tipe. Dalam teori keuangan perusahaan yang lazim di kenal pada manajamen keuangan perusahaan menjadi: 1. Economic Failure, yang berarti bahwa pendapatan perusahaan tidak dapat menutup biaya total, termasuk biaya modal. Usaha yang mengalami economic failure dapat meneruskan operasinya sepanjang kreditor berkeinginan untuk menyediakan tambahan modal dan pemilik dapat menerima tingkat pengembalian (return) di bawah tingkat bunga pasar. 2. Business Failure. Istilah ini digunakan oleh Dun & Bradstreet yang merupakan penyusun utama failure statistic, untuk mendefinisikan usaha yang menghentikan operasinya dengan akibat kerugian bagi kreditor. Dengan demikian, suatu usaha dapat di klasifikasikan kebangkrutan sebagai secara gagal normal. meskipun Juga suatu tidak usaha melalui dapat 17 menghentikan/menutup usahanya tetapi tidak dianggap sebagai gagal. 3. Technical Insolvency. Sebuah perusahaan dapat dinilai bangkrut apabila tidak memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo. Technical insolvency ini mungkin menunjukan kekurangan likuiditas yang sifatnya sementara di mana pada suatu waktu perusahaan dapat mengumpulkan uang untuk memenuhi kewajibannya dan tetap hidup. Di pihak lain, apabila tehnical insolvency ini merupakan gejala awal dari economic failure, maka hal ini merupakan tanda ke arah bencana keuangan (financial disaster). 4. Insolvency in Bankruptcy. Sebuah perusahaan di katakana insolvency bankruptcy bilamana nilai buku dari total kewajiban melebihi nilai pasar dari asset perusahaan. Hal ini merupakan suatu keadaan yang lebih serius bila dibandingkan dengan tehnical insolvency, sebab pada umumnya hal ini merupakan pertanda dari economic failure yang mengarah ke likuidasi suatu perusahaan. 5. Legal Bankruptcy. Kepailitan ini adalah putusan kepailitan yang dijatuhkan oleh pengadilan sesuai dengan undang-undang karena mengalami tahapan-tahapan kesulitan keuangan tersebut di atas. 2.3.2 Penyebab Kebangkrutan Menurut Ingerbresten (2003 : 19-26) dalam Hadi (2012: 5556) mengemukakan ada sepuluh alasan besar mengapa suatu perusahaan akan bangkrut, yakni: 1. Membiarkan harga saham mendikte strategi 18 2. Perusahaan yang tumbuh terlalu cepat 3. Mengabaikan konsumen 4. Mengabaikan pergeseran paradigma 5. Melibatkan diri dalam perang harga berkepanjangan 6. Mengabaikan kewajiban-ancaman-krisis 7. Berinovasi terlalu sering 8. Perencanaan suksesi yang buruk 9. Sinergi-sinergi yang gagal 10. Arogansi dari perusahaan. Menurut Hadi (2012;56) Kelemahan-kelemahan tersebut mengakibatkan perusahaan rentan terhadap kekeliruan, seperti: 1. Pihak manajemen cenderung malas mengembangkan sistem akuntansi yang lebih efektif. Contohnya: lemahnya pengendalian internal. 2. Perusahaan menjadi kurang tanggap terhadap perubahan sehingga sering gagal menyesuaikan diri dengan perkembangan ekonomi yang kurang menguntungkan, terutama resesi. Contoh: tidak melakukan inovasi dan target pasar yang kurang tepat. 3. Pihak manajemen kurang cermat melaksanakan proyek investasi yang sebenarnya terlalu besar dibandingkan dengan ukuran perusahaannya sendiri. Contoh: perencanaan investasi yang buruk. 4. Pihak manajemen terlalu gampang menarik pinjaman yang pada akhirnya akan menempatkan perusahaan pada posisi yang berbahaya. Contoh: lemahnya pengaturan syarat dilakukannya pinjaman. 19 2.3.3 Metode Altman Z-Score Pada tahun 1968, Edward. I Altman memberikan formula yang berfungsi untuk memprediksi potensi kebangkrutan suatu perusahaan. Altman mempergunakan angka-angka di dalam laporan keuangan dan merepresentasikannya dalam suatu angka, yaitu Z-Score yang dapat menjadi acuan untuk menentukan apakah suatu perusahaan berpotensi untuk bangkrut atau tidak. Formula untuk mendapatkan Altman Z-Score adalah sebagai berikut (Harahap, 2011: 353) : Z-Score = 1,2X1 + 1,4X2 + 3,3X3 + 0,6X4 + 0,999X5 (1-1) Dimana: X1 = Modal Kerja/Total Aktiva X2 = Laba Ditahan/Total Aktiva X3 = Laba sebelum Bunga dan Pajak/Total Aktiva X4 = Harga Pasar dari equity pemilik/Nilai buku total hutang X5 = Penjualan/Total Aktiva Nilai Z adalah indeks keseluruhan fungsi multiple discriminan analysis. Menurut Altman, terdapat angka-angka cut off nilai z yang dapat menjelaskan apakah perusahaan akan mengalami kegagalan atau tidak pada masa mendatang dan ia membaginya ke dalam tiga kategori, yaitu: a. Jika nilai Z < 1,8 maka termasuk perusahaan yang bangkrut. 20 b. Jika nilai 1,8 < Z < 2,99 maka termasuk grey area (tidak dapat ditentukan apakah perusahaan sehat ataupun mengalami kebangkrutan). c. Jika nilai Z > 2,99 maka termasuk perusahaan yang tidak bangkrut. Menurut Altman (2000) dalam Febrianasari (2012:9) daripada hanya memasukkan variabel proxy ke model yang sudah ada untuk menghitung z-score, Altman menganjurkan reestimasi lengkap dari model, mengganti nilai buku ekuitas untuk nilai pasar dalam X4. Salah satu keahlian bahwa semua koefisien akan berubah (tidak hanya parameter variabel baru) dan bahwa kriteria klasifikasi dan nilai cut off terkait juga akan berubah. Berdasarkan pengembangan Altman tersebut rumus z-score dapat digunakan oleh perusahaan yang go public dan perusahaan yang tidak go-public dimana perusahaan ini tidak mempunyai nilai pasar, sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut : Z’ = 0,717X1 + 0,847X2 + 3,107X3 + 0,420X4 + 0,998X5 (1-2) Kriteria yang digunakan untuk memprediksi kebangkrutan perusahaan dengan model ini adalah, perusahaan yang mempunyai skor Z>2,90 diklasifikasikan sebagai perusahaan sehat, sedangkan perusahaan yang mempunyai skor Z<1,20 diklasifikasikan sebagai perusahaan potensial bangkrut. Selanjutnya skor antara 1,20 sampai 2,90 diklasifikasikan sebagai perusahaan pada grey area atau daerah kelabu. 21 Seiring dengan berjalannnya waktu dan penyesuaian terhadap berbagai jenis perusahaan. Altman kemudian memodifikasi modelnya supaya dapat diterapkan pada semua perusahaan, sepeti manufaktur, non manufaktur, dan perusahaan penerbit obligasi di negara berkembang (emerging market). Dalam z-score modifikasi ini Altman mengeliminasi variable X5 (sales/total asset) karena rasio ini sangat bervariatif pada industri dengan ukuran asset yang berbeda- beda. Berikut persamaan z-score yang telah dikembangkan oleh Altman : Z” = 6,56X1 + 3,26X2 + 6,72X3 + 1,05X4 (1-3) Dimana: Z” = bankrupcy index X1 = working capital/total asset X2 = retained earnings / total asset X3 = earning before interest and taxes/total asset X4 = book value of equity/book value of total debt Klasifikasi perusahaan yang sehat dan bangkrut didasarkan pada nilai z-score model Altman Modifikasi yaitu : jika nilai Z” < 1,1 maka termasuk perusahaan yang bangkrut, jika nilai 1,1 < Z” < 2,6 maka termasuk grey area (tidak dapat ditentukan apakah perusahaan sehat ataupun mengalami kebangkrutan), dan jika nilai Z” > 2,6 maka termasuk perusahaan yang tidak bangkrut. 22 2.5 Kerangka Pemikiran Krisis Eropa yang puncaknya terjadi pada tahun 2010 memberikan dampak ke perusahaan-perusahaan dagang di Indonesia. Menurunnya harga komoditas ekspor ke Eropa menyebabkan kerugian bagi perusahaan dagang di Indonesia, salah satunya perusahaan Batubara. Batubara merupakan bahan bakar yang digunakan sebagai pembangkit listrik perusahaan. Dengan terjadinya krisis Eropa, banyak perusahaan yang tutup akibat bangkrut. Sehingga permintaan ekspor Batubara di Eropa menurun. Menurunnya ekspor mengakibatkan oversupply Batubara. Imbasnya, harga Batubara juga ikut menurun. Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa krisis Eropa mempengaruhi harga Batubara. Mungkin banyak faktor lain yang dipengaruhi oleh terjadinya krisis Eropa tetapi indikator yang paling mendekati krisis Eropa adalah harga Batubara. Oleh karena itu, diperlukan adanya penelitian untuk mengetahui sejauh mana krisis Eropa mempengaruhi harga Batubara di Indonesia. Terdapat beberapa alat yang dapat digunakan untuk melakukan penelitian tersebut, seperti Metode Altman Z-Score untuk memprediksi kebangkrutan. Penelitian metode Z-Score adalah formula yang diterapkan Altman pada tahun 1984 untuk memprediksi kebangkrutan suatu perusahaan, untuk dapat mengetahui hasilnya Altman mengolah rasio Modal Kerja terhadap Total Aktiva, rasio Laba Ditahan terhadap Total Aktiva, rasio Laba Sebelum Bunga dan Pajak terhadap Total Aktiva, dan rasio Nilai Pasar/Buku Saham terhadap Nilai Buku Total Hutang. Sehingga hasilnya dapat diketahui apakah 23 suatu perusahaan dapat dikategorikan tidak bangkrut, berada pada daerah rawan (grey area), atau berada pada kategori bangkrut. Perubahan kondisi perekonomian dunia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan, selain itu juga terdapat faktor lainnya seperti menurunnya permintaan komoditas yang pada akhirnya kedua hal itu berpengaruh pula pada harga saham. Banyaknya peristiwa yang mempengaruhi kondisi perekonomian di Indonesia akhir-akhir ini mendorong peneliti untuk menguji pengaruh krisis Eropa dan Z-Score terhadap harga saham. Seperti yang di gambarkan pada model penelitian berikut: Gambar 2.2 Model Penelitian Perubahan Kondisi Perekonomian (Krisis Eropa) Harga Komoditas (Batubara) Kinerja Keuangan Perusahaan Harga Batubara Acuan Kebangkrutan dengan Metode ZScore Harga Saham 24 Sehingga dari model penelitian tersebut menghasilkan hipotesis sebagai berikut: Ha1: Terdapat pengaruh secara simultan krisis Eropa dan Z-Score terhadap harga saham pada perusahaan pertambangan batubara Bursa Efek Indonesia Ha2: Terdapat pengaruh krisis Eropa terhadap harga saham pada perusahaan pertambangan batubara di Bursa Efek Indonesia Ha3: Terdapat pengaruh Z-Score terhadap harga saham perusahaan pertambangan batubara di Bursa Efek Indonesia. 25