IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gejala Klinis Hasil pengamatan makroskopik terhadap ikan-ikan yang terinfeksi varian KHV yang berbeda tidak menemukan adanya perbedaan gejala klinis yang signifikan. Seluruh ikan-ikan sampel (100%) menunjukkan kelainan tingkah laku selalu berenang ke arah permukaan air atau berkumpul di permukaan air, frekuensi pernafasan meningkat, dan gerakan lemah. Gejala gerakan ikan tidak terarah ditemukan pada 73%, insang pucat atau mengalami pendarahan ditemukan pada 86%, pendarahan pada tubuh 100%, lesi pada kulit ditemukan pada 91%, warna kulit pucat pada 82%, dan sekresi mukus berlebihan ditemukan pada 82% dari total ikan yang diduga terinfeksi KHV. Selanjutnya, kelainan berupa hati pucat ditemukan pada 63%, tekstur hati lembek pada 63%, ginjal pucat ditemukan pada 55%, dan jantung pucat ditemukan pada 18% dari total ikan-ikan yang diteliti (Gambar 9 dan Tabel 2). Perubahan-perubahan di atas cocok dengan gejala klinis akibat infeksi KHV seperti yang telah disebutkan oleh Bondad (2002), yaitu adanya erosi insang dan insang tampak pucat, letargi (mulut ikan selalu mengarah ke permukaan), mata ke dalam (sunken eyes), sekresi mukus yang berlebihan, diskolorasi dan kulit ikan mengelupas. Tidak semua gejala klinis tersebut muncul pada setiap infeksi KHV. Menurut Gray et al. (2002), diskolorasi dan peningkatan frekuensi pernafasan merupakan dua hal utama yang pasti muncul pada setiap infeksi KHV. Oh et al. (2001) melaporkan bahwa gejala klinis utama KHVD adalah kulit mengelupas, kulit dan insang yang berwarna pucat dan nekrotik. 43 a b c d e f Gambar 9 Gejala klinis ikan mas sampel terduga terinfeksi KHV: a. selalu berenang ke arah permukaan, nafsu makan menurun dan sekresi mukus berlebihan; b. sirip pektoral dan kaudal geripis; c. erosi dan busuk insang (nekrotik); d. kulit ikan melepuh/mengelupas; e. diskolorasi; f. pendarahan terutama pada bagian ventral abdomen Ikan-ikan yang terserang KHV juga menunjukkan perubahan pada organ internalnya. Hati terlihat membengkak, terdapat bercak-bercak putih, tekstur lembek, pucat, dan terdapat petechiae. Ginjal membengkak dan terlihat pucat. Studi yang dilakukan beberapa peneliti menemukan bahwa ikan yang terinfeksi KHV mengalami disfungsi hati dan sistem osmoregulasi, hipoproteinemia, serta imunosupresif sehingga rentan terhadap infeksi patogen sekunder (Hedrick et al., 2000; Perelberg et al., 2003; Taukhid et al., 2004). Hedrick et al. (2000) dan Goodwin et al. (2003) juga melaporkan perubahan makroskopik organ visceral pada infeksi KHV yang utama adalah adanya perlekatan organ dalam pada cavitas abdominales dan adanya bintik-bintik pada beberapa organ dalam. 44 V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V - V - V - - V - V V V V - V - V - - V - V V V - V V V - V V - V V V - - - - - - - - V - - V - V V V V V V - - V V V V V V V V V V Persen kejadian (%) V V V V - Sulut V V V V V Gorontalo V V V V V V V V V V V - V V V V V V V V Sumsel V V V V Jatim V V V V Kaltim 2 V V V V V V V V V V V V V V V V V V V - - V V - V V V V V V V V V V V V Riau V V V NTB 8 Kalbar 2 7 Sumut DKI.Jakarta Bengkulu 6 Kaltim 1 5 D.I.Aceh 4 Sumbar Bali 3 NTT Jabar 1 2 3 4 Kalbar 1 III 1 2 3 4 5 Pap.Bar II 1 2 3 4 2 Kelainan tingkah laku Ikan berkumpul di permukaan air Frekuensi pernafasan meningkat Gerakan tidak terarah Gerakan lemah Kelainan eksternal Insang pucat atau pendarahan Pendarahan di badan Lesi pada kulit/tubuh Warna kulit pucat/diskolorasi Sekresi mukus berlebihan Kelainan organ internal Hati pucat Tekstur hati lembek Ginjal pucat Jantung pucat Lampung 1 I Gejala Klinis Kalsel NO D.I.Yogyakarta Varian KHV Jumlah ekor (N=22) Tabel 2 Gejala klinis infeksi varian KHV pada Cyprinus carpio 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 V - V V V V V V V V V V V V V - V V V V V - V V V V V V V V V V V V V V V V V V V 22 100 V V V 22 100 V - V 16 73 V V V 22 100 V - V V V V V V V V V V V V V V V V V - V V V V V V - V V V - V V - V V V - 19 22 20 18 18 86 100 91 82 82 V V V V - V 14 63 V V V V - V 14 63 - V - - V - 12 55 V - - V - - 4 18 45 Berkaitan dengan gejala klinis yang muncul, suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan KHV. Hampir seluruh wabah penyakit KHV terjadi pada saat suhu air sekitar 18-26°C (Hedrick et al., 2000; Perelberg et al., 2003). Pada suhu air yang lebih rendah atau lebih tinggi dari kisaran tersebut, virus dapat menginfeksi ikan tanpa menginduksi gejala klinis. Namun, pada suhu yang memungkinkan perkembangan KHV, gejala klinis akan tampak dan selanjutnya dapat menyebabkan mortalitas (Gilad et al., 2004 dalam Hedrick et al., 2005). Pada ikan-ikan yang rentan, invasi KHV dapat menimbulkan perubahan dan kerusakan pada organ-organ target, serta akhirnya menimbulkan kematian. Kematian ikan dapat berlangsung sangat cepat, sekitar 24-48 jam setelah gejala klinis pertama kali terlihat (Taukhid et al., 2004). Perubahan tingkah laku berupa selalu berenang ke arah permukaan atau berkumpul di permukaan air dan frekuensi pernafasan meningkat, merupakan salah satu petunjuk adanya gangguan atau kerusakan pada organ insang, sedangkan gerakan yang tidak terarah dapat disebabkan oleh gangguan atau kerusakan yang terjadi pada otak dan sistem syaraf ikan. Insang dan otak merupakan organ-organ target KHV (Hedrick et al., 2000; Gray et al., 2002; Gilad et al., 2003; dan Gilad et al., 2004). Hasil penelitian Gilad et al. (2004), menemukan konsentrasi DNA KHV yang tinggi pada organ-organ insang dan otak. Kulit yang merupakan permukaan dan pembungkus tubuh ikan berfungsi sebagai garis pertahanan pertama terhadap penyakit dan faktor-faktor lingkungan. Dalam beberapa hal, kulit dapat juga berfungsi sebagai alat respirasi, ekskresi, dan osmoregulasi (Sjafei et al., 1990). Permukaan tubuh ikan merupakan tempat ideal 46 bagi pertumbuhan organisme, meskipun kebanyakan organisme yang berkoloni di bagian luar tubuhnya membentuk interaksi komensalis. Namun jika jumlahnya sangat besar, ketika keadaan lingkungan menjadi buruk atau ikan dalam kondisi stress, dapat menyebabkan abnormalitas pada lapisan luar tubuh sehingga merusak sistem pertahanannya. Sebelum memasuki permukaan tubuh dan menimbulkan kerusakan, agen patogen harus terlebih dulu menembus lapisan terluar kulit yang berupa kutikula atau glycocalyx yang merupakan lapisan mucopolysaccharidae dengan ketebalan kira-kira 1 µm. Lapisan kutikula mengandung imunoglobulin spesifik dan lysozyme, serta asam lemak bebas, yang diketahui memiliki aktivitas anti patogen yang merupakan bagian dari sistem pertahanan mukosa pada ikan. Bekerja bersama-sama dengan kinetika proliferasi seluler yang secara kontinyu melepaskan mikroorganisme dari permukaan tubuh (Speared and Mirasalimi, 1992 dalam Roberts, 2001). Gejala sekresi mukus yang berlebihan merupakan respons perlindungan tubuh ikan terhadap invasi agen patogen termasuk KHV, serta perubahan yang terjadi pada lingkungan hidupnya. Mukus pada kulit terdapat pada lapisan epidermis yang berfungsi sebagai pertahanan tubuh ikan. Selain mukus, pada lapisan epidermis juga terdapat sel-sel yang dapat bermigrasi secara bebas seperti limfosit dan makrofag. Sel-sel ini mempunyai peranan penting dalam imunitas kulit. Limfosit pada lapisan epidermis menyekresikan imunoglobulin ke dalam mukus kulit (Takashima et al., 1995; Roberts, 2001). Lapisan mukus yang terdiri dari mucopolysaccharides, memiliki fungsi yaitu: 1) membentuk lapisan licin di kulit sehingga mengurangi gesekan gerakan dalam air, 2) melindungi tubuh 47 dengan cara membentuk penghalang bagi agen patogen, 3) melindungi permukaan tubuh dari abrasi dan 4) berperan dalam proses osmoregulasi (Takashima et al., 1995; Hoole et al., 2001). Selain sekresi mukus yang berlebihan, gejala yang ditemukan pada permukan tubuh ikan adalah pendarahan dan luka pada kulit. Gejala pendarahan yang terjadi disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah. Pecahnya arteri atau vena dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti trauma, peradangan, atau erosi pada dinding pembuluh darah. Luka atau kerusakan kulit dapat disebabkan oleh penanganan yang kasar dan atau infestasi ektoparasit sehingga mengakibatkan kepekaan terhadap infeksi sekunder menjadi meningkat. Beberapa ektoparasit dapat menjadi penyebab utama abrasi kulit meskipun tidak parah, namun luka tersebut merupakan pintu bagi masuknya agen-agen infeksi (Roberts, 2001). Gejala lain yang ditemukan adalah diskolorasi kulit. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain adanya invasi agen patogen atau terjadinya perubahan lingkungan yang kurang menguntungkan bagi kehidupan ikan. Sistem endokrin yang terdiri dari kelenjar-kelenjar yang mensekresi hormon membantu memelihara dan mengatur fungsi-fungsi vital antara lain respon terhadap stress dan cedera. Jika terjadi stress atau cedera, sistem endokrin memacu serangkaian reaksi yang ditujukan untuk mempertahankan hidup. Salah satu reaksi ikan terhadap serangan agen patogen maupun lingkungan yang kurang menguntungkan adalah perubahan warna pada tubuhnya. Perubahan warna menjadi lebih pucat antara lain disebabkan oleh gangguan terhadap sel-sel pembentuk pigmen (chromatophores) yang terletak pada lapisan dermis kulit, dan 48 atau penyebab lainnya. Terjadinya kerusakan atau kematian jaringan atau adanya lesi pada kulit ikan, juga dapat menyebabkan perubahan warna menjadi pucat. Terkait dengan invasi KHV pada permukaan tubuh ikan, hasil penelitian Costes et al. (2009) menemukan jalur infeksi awal KHV adalah melalui kulit dan kemudian berlanjut menjadi infeksi sistemik. Pada hari ke 2 atau 3 setelah penetrasi, KHV akan bereplikasi pada titik masuk tersebut. Replikasi KHV pada titik masuk merupakan replikasi awal, dan hal tersebut dibuktikan dengan adanya partikel-partikel viral yang terdeteksi melalui mikroskop elektron. KHV baru hasil replikasi awal tersebut, kemudian melanjutkan infiltrasi ke lapisan yang lebih dalam dari kulit. Sementara itu, sebagian KHV lainnya jatuh ke perairan dan menyebar ke populasi ikan di sekitarnya. Pada 2 atau 3 hari pasca infeksi, ikanikan yang terinfeksi akan merasa tidak nyaman dengan adanya luka pada kulit akibat aktivitas replikasi KHV. Hal tersebut menyebabkan ikan saling menggosok-gosokkan tubuhnya satu sama lain. Tingkah laku tersebut membuat penyebaran KHV semakin meluas dan merupakan pola penyebaran skin to skin mode of transmission (Costes et al., 2009). 4.2. Uji Polymerase Chain Reaction (PCR) Uji PCR dilakukan untuk memastikan ikan mas dan koi (Cyprinus carpio) benar-benar terinfeksi KHV. Dari sampel yang menunjukkan gejala klinis KHV di 20 provinsi, sebanyak 18 sampel menunjukkan positif KHV dengan uji PCR. Hasil uji PCR disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 10. Metoda PCR yang digunakan pada penelitian ini telah membuktikan adanya penyebaran KHV pada ikan mas dan koi, bahkan lama setelah terjadinya outbreak. Dengan menggunakan primer set SphI-5, sebanyak 18 sampel 49 menunjukkan hasil positif KHV. Primer set SphI-5 didisain untuk mengamplifikasi suatu produk dengan ukuran 290 bp, dan tidak mengamplifikasi produk DNA dari cetakan herpesvirus lainnya kecuali KHV. Penggunaan primer set hasil temuan Gray et al. (2002) tersebut bersifat spesifik untuk pemeriksaan KHV. Primer set ini telah digunakan dalam inspection procedure for KHV di beberapa negara Asia. Hasil penelitian pendahuluan untuk mengetahui sensitivitas primer set dalam mendeteksi varian-varian KHV di Indonesia, menunjukkan primer set SphI-5 yang didisain oleh Gray et al. (2002) lebih sensitif daripada primer set thymidine kinase yang didisain oleh Bercovier et al. (2005). Tabel 3 Lokasi sampel ikan yang positif KHV menggunakan metoda PCR dan Imunohistokimia. 50 Gambar 10 4.3. Hasil pemeriksaan sampel ikan dengan gejala klinis KHV menunjukkan18 sampel positif KHV dengan metode PCR, yaitu DI Aceh (4), Sumut (5), Sumbar (7), Riau (8), Bengkulu (10), Lampung(11), DKI Jakarta (12), Jabar (3), DI Yogyakarta (14), Bali (18), NTT (19), NTT (20), Kalbar 1 (21), Kalbar 2 (23), Kaltim 1 (25), Kaltim 2 (26), Kalsel (27), Papua Barat (28). Untuk marker (M), kontrol positif (Pc), kontrol negatif (Nc), masing-masing dengan kode 1, 2, dan 3. Uji Imunohistokimia Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap sampel ikan bergejala klinis KHV yang berasal dari 20 provinsi, 18 sampel ditemukan positif KHV dengan metoda PCR dan imunohistokimia, sedangkan 4 sampel lainnya menunjukkan hasil negatif dengan PCR, namun memberikan hasil positif dengan metoda imunohistokimia (Gambar 11). Hal tersebut menunjukkan bahwa 4 sampel genom tidak dapat diamplifikasi melalui PCR. Rincian hasil pengujian imunohistokimia pada seluruh ikan sampel disajikan pada Tabel 3. 51 a b c d e f Gambar 11 Hasil uji imunohistokimia terhadap beberapa sampel bergejala klinis KHV dari : (a) Sumatera Selatan, (b) Jawa Timur, (c) Gorontalo, (d) Sulawesi Utara, menunjukkan hasil positif (warna cokelat pada jaringan). Sebagai kontrol positif dan negatif masing-masing adalah (e) dan (f). Sampel-sampel genom yang tidak berhasil diamplifikasi adalah genom asal Jawa Timur, Sumatera Selatan, Gorontalo, dan Sulawesi Utara. Beberapa hal yang dapat menyebabkan kegagalan amplifikasi tersebut antara lain adalah penggunaan primer yang tidak spesifik untuk sampel-sampel genom dari 4 provinsi tersebut. Adanya variasi genetik KHV yang relatif tinggi atau jarak genetik yang relatif jauh pada sampel-sampel genom dari 4 lokasi tersebut dibandingkan dengan sampel-sampel genom yang berhasil diamplifikasi, dapat merupakan penyebab kegagalan proses amplifikasi. Menurut Walker (2000), variasi genetik karena 52 mutasi sekuen nukleotida dapat mencegah mengikatnya primer-primer PCR pada sekuen target. Dalam pengujian KHV di laboratorium, dilakukan juga pengujian menggunakan metoda selain PCR untuk konfirmasi hasil yang diperoleh, sebagai contoh penerapan metoda imunohistokimia. Hal tersebut diperlukan untuk menghindari kekeliruan dalam menarik kesimpulan hasil uji yang dilakukan. Rosenkranz et al. (2008) melaporkan bahwa metoda imunohistokimia memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi dalam mendiagnosa KHV selain dengan PCR. Metoda imunohistokimia memiliki kelebihan dalam deteksi KHV karena kemampuannya berikatan dengan salah satu membran protein yang dikode oleh gen ORF81 (Open Reading Frame 81). Gen ORF81 merupakan produk KHV yang memiliki berat molekul 26 kDa, bersifat non-glycosylated, berlokasi di dalam sitoplasma sel yang terinfeksi dan atau di dalam amplop virion. Selanjutnya menurut Rosenkranz et al. (2008), metoda yang paling baik untuk mendeteksi keberadaan membran protein yang dikode oleh ORF81 adalah imunohistokimia, immunofluorescense dan immunoelectron microscopy. 4.4. Variasi Genetik dan Sebaran Biogeografis KHV Sekuensing DNA dilakukan terhadap produk PCR dari 18 sampel ikan positif KHV, dan hasilnya disajikan pada Tabel 4. Selanjutnya dengan menggunakan metoda Neighbor Joining dengan 100X replikasi menggunakan software ClustalX, hasil sekuensing DNA digunakan sebagai dasar pembuatan pohon filogenetik KHV. Sebagai pembanding, digunakan sekuen fragmen DNA KHV dan Cyprinid Herpesvirus 3 (CyHV-3) yang berasal dari Jepang. 53 Berdasarkan hasil sekuensing DNA KHV (Tabel 4) dan konstruksi pohon filogenetik yang dibuat (Gambar 12), ada 17 varian dari 18 sampel positif KHV yang ditemukan, sedangkan varian KHV dan CyHV-3 yang berasal dari Jepang merupakan varian-varian yang berbeda. Selanjutnya, varian-varian KHV yang ditemukan tersebut dapat dikelompokkan dalam 2 clusters cabang utama yang terdiri dari kelompok I meliputi varian-varian KHV yang berasal dari Kalimantan Selatan, Lampung, Papua Barat, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Bali, Nusa Tenggara Timur, DI Yogyakarta, Sumatera Barat, Bengkulu, DI Aceh, dan Kalimantan Timur. Kelompok II terdiri dari varian-varian KHV yang berasal dari Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Nusa Tengara Barat, Riau, Kalimantan Timur dan DKI Jakarta. Sampel-sampel DNA KHV yang termasuk dalam kelompok I memiliki tingkat similaritas atau kemiripan yang relatif tinggi atau memiliki jarak satu sama lain yang relatif dekat, bahkan sekuen DNA KHV yang berasal dari DI Aceh dan Kalimantan Timur (1) memiliki tingkat homologi 100%. Beberapa sekuen DNA KHV lainnya yang memiliki kemiripan yang relatif tinggi ( >95 %) adalah Bali dengan Nusa Tenggara Timur, DI Aceh, Kalimantan Timur (1), Bengkulu, Sumatera Barat, DI Yogyakarta, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat (1); Nusa Tenggara Timur dengan DI Aceh, Kalimantan Timur (1), Bengkulu, Sumatera Barat, DI Yogyakarta, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat (1); DI Aceh dengan Kalimantan Timur (1), Bengkulu, Sumatera Barat, DI Yogyakarta, dan Jawa Barat; Kalimantan Timur (1) dengan Bengkulu, Sumatera Barat, DI Yogyakarta, dan Jawa Barat; Bengkulu dengan Sumatera Barat, DI Yogyakarta, dan Jawa Barat; Sumatera Barat dengan DI Yogyakarta, dan Jawa Barat; DI Yogyakarta 54 dengan Jawa Barat, serta Jawa Barat dengan Kalimantan Barat (1). Selanjutnya, sampel-sampel DNA KHV yang termasuk dalam kelompok II yang memiliki tingkat similaritas yang relatif tinggi ( > 90 %) adalah Kalimantan Timur (2) dan DKI Jakarta. Similaritas dan jarak genetik varian-varian KHV yang ditemukan dapat dilihat pada Gambar 13 dan Tabel 5, sedangkan sebaran biogeografis molekuler KHV di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 14. Berkaitan dengan variasi genetik KHV yang ditemukan dalam penelitian ini, tingkat similaritas atau jarak genetik yang diperoleh dari hasil sekuensing DNA dan pohon filogenetik KHV dapat menggambarkan hubungan antara DNA KHV dari berbagai provinsi dan dapat memprediksi kemungkinan penyebarannya. Sebagai contoh, varian yang memiliki tingkat kemiripan yang relatif tinggi atau sangat tinggi, kemungkinan berasal dari sumber atau lokasi yang sama. Meningkatnya lalulintas perdagangan ikan koi dan mas antar daerah di wilayah Indonesia maupun antar negara, membawa kemungkinan menyebarnya varian-varian KHV yang sebelumnya tidak ditemukan di wilayah atau negara-negara tertentu. Variasi genetik pada virus merupakan salah satu cara alamiah untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungannya. Virus-virus harus menghadapi perubahan lingkungan yang terus menerus di inangnya, maupun saat melintas dari satu inang ke inang lainnya. Mereka harus berhadapan dengan respon pertahanan atau sistem imunitas inang. Menghindar dari pertahanan inang merupakan ciri pokok strategi bertahan pada seluruh virus (Walker, 2000). Variasi genetik virus terjadi melalui mekanisme mutasi dan rekombinasi genetik (Trun dan Trempy, 2004; Walker, 2000). Pada penelitian ini, tipe mutasi yang ditemukan adalah microlesions dan macrolesions. Jenis microlesions yang 55 ditemukan meliputi mutasi titik (transisi dan transverse) dan frameshift (berupa delesi atau penghapusan dan insersi atau penyisipan satu pasang basa dalam suatu gen. Jenis macrolesions yang ditemukan meliputi mutasi frameshift yang berupa delesi atau penghapusan dan insersi atau penyisipan basa dalam jumlah banyak. Menurut Walker (2000), mutasi dapat terjadi setiap saat dalam pertumbuhan suatu populasi virus. Mutasi dapat terjadi secara spontan, maupun dapat diinduksi oleh agen-agen fisika dan kimia terhadap DNA. Mutasi spontan dapat terjadi karena kekeliruan pasangan antar basa selama replikasi DNA atau selama proses reparasi atau perbaikan DNA. Selain itu mutasi spontan dapat terjadi karena perubahan “tanpa makna” basa-basa dalam DNA, radiasi tingkat rendah, perubahan spontan basa-basa pada depurinasi atau deaminasi atau rekombinasi. Laju mutasi dapat meningkat dengan adanya mutagen-mutagen kimia atau fisika yang dapat menginduksikan perubahan-perubahan nukleotida dalam molekul-molekul DNA (Trun dan Trempy, 2004). Adanya mutasi dan rekombinasi gen-gen memungkinkan virus beradaptasi terhadap perubahan lingkungannya dengan sangat mudah, dan varian-varian yang muncul mempunyai potensi meningkatkan kelangsungan hidup virus. Variasi genetik juga dapat menyebabkan strain virus yang berhubungan dekat memiliki sifat-sifat biologis yang berbeda seperti patogenesitas, tissue tropism, atau kisaran inang (Walker, 2000). Tidak semua mutasi mempunyai pengaruh yang merusak gen, banyak juga mutasi yang tidak merusak atau tidak berbahaya. Sebagai contoh, suatu mutasi titik yang terjadi dalam suatu gen namun tidak mengubah pengkodean protein sehingga mutasi tersebut tidak ada pengaruhnya. Tipe mutasi titik ini disebut 56 silent, terjadi jika substitusi satu pasang basa dengan basa lainnya tidak menyebabkan perubahan asam amino yang dihasilkan. Sebaliknya, ada mutasi titik dalam suatu gen yang secara signifikan mengubah urutan asam amino dari suatu protein. Mutasi missense terjadi jika substitusi satu pasang basa dengan basa lainnya mengubah asam amino yang dihasilkan. Sebagai contoh, kodon UGG dalam mRNA atau TTG dalam DNA mengkode tryptophan. Mutasi yang terjadi pada basa pertama dari kodon, mensubstitusi satu T menjadi satu G, sehingga hasilnya pengkodean untuk glycine sebagai pengganti tryptophan. Beberapa mutasi missense dapat mengubah sama sekali fungsi protein atau masih dapat berfungsi secara parsial. Pada mutasi nonsense, mutan-mutan nonsense dimana suatu kodon yang menspesifikasi asam amino diubah menjadi suatu kodon penghenti (stop codon). Dengan demikian mengakibatkan terbentuknya produk polipeptida yang terputus dan biasanya tidak aktif. 4.5. Perubahan Patologis Infeksi KHV Studi yang dilakukan beberapa peneliti dengan menggunakan pengujian patologi mikroskopik dan uji PCR kuantitatif menunjukkan perubahan pada jaringan-jaringan target KHV meliputi insang, ginjal, limpa, kulit, otak, usus, dan hati (Hedrick et al., 2000; Gray et al., 2002; Gilad et al., 2003; Gilad et al., 2004). Hasil penelitian Gilad et al. (2004) menemukan konsentrasi DNA KHV tertinggi terdapat pada insang, ginjal, limpa, dengan jumlah genom yang ekuivalen konsisten yaitu mulai dari 108-109/106 sel-sel inang. Level DNA KHV yang tinggi juga ditemukan pada mukus, hati, usus dan otak. Ikan koi 62-64 hari pasca infeksi dapat bertahan hidup, masih mengandung kopi genom KHV namun dalam jumlah yang lebih rendah (sampai dengan 1,99 x 102/106 sel-sel inang) pada 57 Tabel 4 Hasil sekuensing DNA KHV pada 18 sampel ikan positif dengan metode PCR 58 59 Gambar 12 Pohon filogenetik varian KHV yang ditemukan, terdiri dari dua cluster : Cluster I yaitu: Kalimantan Selatan, Lampung, Papua Barat, Kalimantan Barat (1), Jawa Barat, Bali, NTT, DI Yogyakarta, Sumatera Barat, DI Aceh, Kalimantan Timur (1), dan Bengkulu. Cluster II yaitu: Sumatera Utara, Kalimantan Barat (2), NTB, Riau, Kalimantan Timur (2), dan DKI Jakarta. Sebagai pembanding digunakan sekuen fragmen DNA KHV dan CyHV-3 dari Jepang. 60 Gambar 13 Pohon filogenetik varian KHV yang ditemukan, dan sebagai pembanding digunakan sekuen fragmen DNA KHV dan CyHV-3 dari Jepang. 61 Tabel 5 Jarak genetik dan similaritas varian KHV yang ditemukan SIMILIARITAS ASAL KHV 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 JARAKGENETIK 1 99.568 96.983 96.552 95.279 95.689 97.84 97.408 66.094 93.548 87.069 77.586 65.854 37.639 37.778 25.272 34.076 37.808 2 3 0.004 0.03 0.03 96.989 96.989 100 95.717 98.718 96.129 99.142 96.552 96.989 97.414 96.559 93.576 93.589 92.704 90.149 87.097 84.978 76.344 75.536 61.062 57.616 36.889 36.585 37.029 36.283 33.482 33.63 34.222 33.925 36.161 36.303 4 5 6 7 0.034 0.047 0.043 0.021 0.03 0.042 0.038 0.034 0 0.012 0.008 0.03 0.012 0.008 0.03 98.718 0.021 0.042 99.142 97.863 0.021 96.989 95.717 97.849 96.129 94.861 96.129 96.983 93.162 93.617 93.162 93.576 90.149 90.618 89.293 89.699 84.549 85.47 83.69 84.086 73.819 73.932 74.249 74.193 57.616 57.363 58.94 60.177 37.916 36.865 37.472 37.778 36.283 37.004 37.168 36.585 32.739 33.038 33.63 33.482 33.925 35.099 34.811 34.667 34.966 35.255 35.857 35.714 8 0.025 0.025 0.034 0.038 0.051 0.038 0.03 94.432 91.416 84.516 76.344 59.292 38.222 37.029 33.036 34.667 35.268 9 0.339 0.064 0.064 0.068 0.063 0.068 0.064 0.055 89.339 85.47 79.914 63.516 40.397 40.088 36.142 37.748 40.133 10 0.064 0.072 0.098 0.098 0.093 0.107 0.103 0.085 0.106 89.293 81.584 63.877 40.265 40.397 36.444 38.938 37.778 11 0.129 0.129 0.15 0.154 0.145 0.163 0.159 0.154 0.145 0.107 86.695 66.446 44.124 42.92 42.984 42.794 41.648 12 0.224 0.236 0.244 0.261 0.26 0.257 0.259 0.236 0.2 0.184 0.133 77.483 54.324 53.539 51.893 53.88 51.893 13 0.341 0.389 0.423 0.423 0.426 0.41 0.398 0.407 0.364 0.361 0.335 0.225 73.059 73.121 67.889 68.036 72.018 14 0.623 0.631 0.634 0.62 0.631 0.625 0.622 0.617 0.596 0.597 0.558 0.456 0.269 15 0.622 0.629 0.637 0.637 0.629 0.628 0.634 0.629 0.599 0.596 0.57 0.464 0.268 0.086 16 0.742 0.665 0.663 0.672 0.669 0.663 0.665 0.669 0.638 0.635 0.57 0.481 0.321 0.119 0.165 17 0.659 0.657 0.66 0.66 0.652 0.651 0.653 0.653 0.622 0.61 0.572 0.461 0.319 0.11 0.133 0.055 91.304 88.018 83.448 88.991 86.696 94.47 91.705 90.345 87.963 86.636 18 0.621 0.638 0.636 0.65 0.647 0.641 0.642 0.647 0.598 0.622 0.583 0.481 0.279 0.082 0.096 0.12 0.133 Keterangan: Varian KHV dari Bali (1), NTT (2), DI Aceh (3), Kaltim1 (4), Bengkulu (5), Sumbar (6), DI Yogyakarta (7), Jabar (8), Kalbar 1 (9), Papua Barat (10), Lampung (11), Kalsel (12), Sumut (13), Kalbar 2 (14), Riau (15), Kaltim 2 (16), DKI Jakarta (17), NTB (18). 62 Gambar 14 Peta sebaran biogeografis molekuler KHV di Indonesia. Ada 2 clusters cabang varian KHV yang ditemukan di 16 provinsi di Indonesia yaitu cluster I (warna merah): DI Aceh (Ib2), Sumatera Barat (Ib2), Bengkulu (Ib2), Lampung (Ib1), Jawa Barat (Ib2), DI Yogyakarta (Ib2), Bali (Ib2), Nusa Tenggara Timur (Ib2), Kalimantan Timur 1 (Ib2), Kalimantan Barat1 (Ib2), Kalimantan Selatan (Ia), Papua Barat (Ib2). Cluster II (warna hitam): Sumatera Utara (IIb), Riau (IIa1), DKI Jakarta (IIa2), Nusa Tenggara Barat (IIa1), Kalimantan Timur 2 (IIa2), Kalimantan Barat 2(IIa1). insang, ginjal, atau otak. Selain organ-organ tersebut, jantung juga merupakan target organ KHV. Menurut Wada et al. (2006), infiltrasi KHV menyebabkan degenerasi dan nekrosis otot jantung. 4.5.1. Perubahan Patologis Pada Insang Hasil pengamatan terhadap insang ikan-ikan yang terinfeksi varian KHV yang berbeda ditemukan perubahan patologis berupa proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder pada seluruh jaringan insang yang diperiksa (100%). Selain itu, pada beberapa ikan juga ditemukan adanya hipertrofi sel-sel epitel lamela sekunder (13,6%), inclusion body (9,1%), telangiectasis (9,1%), edema (4,5%), proliferasi 63 lapisan hialin (4,5%), dan fibrosis pada pangkal insang (4,5%). Selanjutnya, hasil pengamatan terhadap perubahan patologis infeksi varian-varian KHV yang dikelompokkan dalam cluster I dan II, tidak menemukan perbedaan yang signifikan antar cluster. Namun demikian, ditemukan perubahan patologis yang relatif berat pada ikan-ikan sampel yang terinfeksi varian-varian KHV yang berasal dari Riau (cluster II), Kalimantan Timur 1 (cluster I) dan Kalimantan Timur 2 (cluster II). Kondisi tersebut dapat disebabkan antara lain oleh kerentanan ikan, kondisi lingkungan yang memungkinkan perkembangan penyakit, patogenisitas varian KHV, stadium lanjut infeksi, dan tissue tropism. Perubahan patologis pada jaringan insang disajikan pada Gambar 15 sampai dengan 19, serta Tabel 6 sampai dengan 8. Perubahan patologis yang ditemukan pada insang merupakan indikasi terjadinya radang sebagai akibat infiltrasi dan aktivitas replikasi virus. Aktivitas replikasi virus dibuktikan dengan penemuan inclusion body. Menurut Claudia (2008), inclusion body pada infeksi KHV dapat ditemukan pada organ insang, ginjal, hati, dan otak. Insang merupakan alat pernafasan pada ikan, terletak di bawah operkula, di kedua belah sisi kepala. Insang berbentuk melingkar, bertulang, mengandung cartilaginous serta kaku, jumlahnya 4 lembar pada masing-masing sisi. Pada bagian medio anterior, terdapat gill raker yang fungsinya menyaring partikel makanan. Lengkung insang (gill arch) menjadi tempat menempelnya filamen-filamen insang yang mengandung kapiler-kapiler darah. darah (arteri afferent Pada lengkung insang terdapat saluran dan efferent), sehingga memungkinkan darah dapat keluar masuk insang. Pada kedua sisi filamen insang terdapat lamela. Lamela merupakan 64 lokasi pertama terjadinya pertukaran gas pada insang. Lamela dibentuk oleh sel-sel epitel eksternal yang tebal dan sel-sel pilar penunjang, fungsinya memfasilitasi aliran darah melalui insang. Selain itu, pertukaran gas difasilitasi juga oleh system countercurrent, dimana arah aliran darah berlawanan dengan arah aliran air. Pertukaran gas jenis ini dijaga dengan jalan mengkoordinasikan perubahan tekanan di mulut dan bukaan operkulum (Hoole et al., 2001; Roberts et al., 2001). Insang juga mengandung sel-sel penghasil mukus dan sel-sel pengekskresi ammonia dan garam yang berlebih. Posisi insang dan strukturnya yang lemah serta selalu bersentuhan dengan air menjadikan insang sangat mudah rusak karena perubahan lingkungan. Selain itu, insang juga menjadi tempat paling menarik bagi virus, bakteri dan parasit untuk menginfeksi karena permukaannya luas dan kaya akan darah (Hoole et al., 2001; Roberts et al., 2001). Berkaitan dengan infeksi KHV pada ikan mas dan koi, insang ditengarai sebagai entry point KHV selain kulit. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Bretzinger et al. (1999) yang melakukan pengamatan pertama kali partikel herpes-like virus yang diisolasi dari epitel insang. Demikian juga dengan Body et al. (2000) yang telah berhasil mengisolasi KHV dari insang koi di Belgia. Penelitian Hedrick et al. (2000) dan Perelberg et al. (2003) menemukan KHV pertama kalinya masuk dan menginfeksi tubuh ikan melalui insang atau usus. Mekanisme infeksi KHV menurut laporan Pikarsky et al. (2004), virus pertama kali masuk ke dalam tubuh ikan melalui insang, selanjutnya bereplikasi di dalam organ tersebut. Aktivitas replikasi tersebut mempengaruhi struktur insang, sehingga terlihat 65 Gambar 15 Proliferasi sel-sel epitel lamella sekunder (a) dan edema (b) pada insang (perbesaran 10 x) Gambar 16 Infiltrasi sel-sel radang pada insang (perbesaran 40x) 66 Gambar 17 Proliferasi sel-sel epitel lamella sekunder pada insang (perbesaran 10x) Gambar 18 Telangiectasis pada insang (perbesaran10x) 67 Tabel 6 Perubahan patologis jaringan Cyprinus carpio positif KHV dengan uji PCR dan imunohistokimia NO. 1 1 Varian KHV/ Anggota kekerabatan 2 Kalimantan Selatan / Ia 2 Lampung / Ib1 3 Papua Barat / Ib2 4 Kalimantan Barat (1) / Ib2 5 Jawa Barat / Ib2 Perubahan Patologik Jaringan Ginjal Hati Limpa Insang Usus Jantung Otak 3 proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder 4 tampak normal 5 tampak normal 6 kongesti, degenerasi hidropik 7 kongesti, infiltrasi MMC 8 haemorhagi, perikarditis 9 Kongesti tampak normal tampak normal degenerasi hidropik kongesti kongesti kongesti, gliosis, nekrosis tampak normal haemorhagi degenerasi hidropik kongesti haemorhagi, Gliosis kongesti, aktivitas selsel goblet meningkat tampak normal kongesti, infiltrasi MMC perikarditis, haemorhagi Kongesti enteritis, fusi vili, nekrosis, edema haemorhagi, fibrosis degenerasi hidropik, kongesti, inclusion body,nekrosis degenerasi hidropik proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder tampak normal miokarditis kongesti, fibrosis, nekrosis 68 1 6 2 Bali / Ib2 3 proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder, telangiectasis proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder 7 Nusa Tenggara Timur (NTT) / Ib2 8 DI Yogyakarta / Ib2 9 Sumatera Barat / Ib2 proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder 10 DI Aceh / Ib2 proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder & tampak potongan cacing 4 tampak normal 5 kongesti, haemorhagi 6 degenerasi hidropik 7 tampak normal 8 kongesti 9 kongesti proliferasi sel-sel goblet, edema, kongesti lambung : deposisi enterolith, edema haemorhagi, kongesti degenerasi hidropik kongesti kongesti pada perikardium, miokarditis kongesti penebalan pada tubulus degenerasi hidropik, kongesti edema perikarditis, kongesti tampak normal haemorhagi, kongesti haemorhagi perikarditis, kongesti, edema aktifitas selsel goblet meningkat haemorhagi, kongesti degenerasi hidropik, perivascular cuffing, kongesti, fibrosis degenerasi hidropik, inclusion body kongesti, gliosis, mononuclear perivascular cuffing, nekrosis kongesti infiltrasi sel-sel radang/limf osit, infiltrasi MMC infiltrasi selsel radang pada endokardium, haemorhagi, vakuolisasi, perikarditis, kongesti kongesti, vakuolisasi, satelitosis, nekrosis 69 1 11 12 2 Kalimantan Timur (1) / Ib2 3 proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder, inclusion body, edema, hipertrofi sel epitel Bengkulu / Ib2 proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder 13 Kalimantan Barat (2)/ IIa1 14 Nusa Tenggara Barat (NTB) / IIa proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder proliferasi sel-sel sekunder 4 tampak normal 5 tampak normal 6 degenerasi hidropik 7 kongesti 8 haemorhagi 9 kongesti haemorhagi haemorhagi, edema, kongesti, inclusion body tampak normal degenerasi hidropik kongesti epikarditis, miokarditis, perikarditis, nekrosis kongesti degenerasi hidropik kongesti tampak normal kongesti, edema kongesti, nekrosis pada glomerulus kongesti, degenerasi hidropik, perivascular cuffing tampak normal haemorhagi, perikarditis, infiltrasi vakuolisasi kongesti enteritis kongesti, aktifitas sel-sel goblet meningkat, enteritis, haemorhagi, nekrosis 70 1 15 2 Riau / IIa1 16 DKI Jakarta / IIa2 17 Kalimantan Timur (2) / IIa2 18 Sumatera Utara / Iib 3 proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder, fusi lamela sekunder, proliferasi lapisan hialin, hipertrofi sel-sel epitel lamela insang Proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder, telangiectasis 4 enteritis, aktivasi selsel goblet meningkat 5 Kongesti 6 degenerasi hidropik, kongesti 7 kongesti 8 epikarditis, kongesti 9 kongesti tampak normal tampak normal degenerasi hidropik, kongesti tampak normal Perikarditis kongesti, gliosis, nekrosis proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder, inclusion body, edema, hipertrofi sel-sel epitel lamela insang proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder "Unknown" Infiltrasi tampak normal kongesti, degenerasi hidropik kongesti, peningkatan aktivitas limfosit tampak normal kongesti, vakuolisa si, nekrosis enteritis, infiltrasi sel-sel, radang proliferasi sel-sel di interstitial, kongesti, nekrosis pada glomerulus tampak normal tampak normal epikarditis, miokarditis perikarditis Gliosis 71 Tabel 7 Perubahan patologis jaringan Cyprinus carpio positif KHV dengan uji imunohistokimia No. 1 1 Asal Sampel Ikan 2 Jawa Timur 2 Sumatera Selatan 3 Gorontalo 4 Sulawesi Utara Organ Hati Insang Usus Ginjal 3 proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder 4 edema 5 tampak normal proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder, fibrosis pada pangkal insang proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder kongesti, enteritis infiltrasi sel-sel radang pada glomerulus tampak normal infiltrasi MMC tampak normal infiltrasi MMC, peningkata n aktifitas limfosit proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder fusi vili, enteritis tampak normal kongesti, degenerasi hidropik tampak normal 6 kongesti, degenerasi melemak, nekrosis degenerasi hidropik Limpa Jantung Otak 7 tampak normal 8 infiltrasi selsel radang 9 gliosis, kongesti kongesti kongesti pada perikardium, perikarditis kongesti tampak tampak droplet lemak, normal miokarditis, infiltrasi limfosit & heterofil tampak kongesti, normal haemorhagi , nekrosis 72 insang mengalami nekrosis pada lapisan mukosanya. Kerusakan insang yang parah merupakan salah satu faktor munculnya gejala klinis pada ikan, seperti peningkatan frekuensi pernafasan dan ikan kelihatan megap-megap, serta selalu berenang ke arah permukaan air. Beberapa peneliti juga meyakini bahwa insang merupakan titik masuk infeksi KHV (Gilad et al., 2004; Dishon et al., 2005; Ilouze et al., 2006; Miyazaki et al., 2008). Hipotesis ini diperkuat beberapa data penelitian. Pertama, Roberts (2001) melaporkan bahwa insang menunjukkan peranannya sebagai titik masuk beberapa agen patogen. Kedua, ikan yang terinfeksi KHV memiliki lesi-lesi pada insang, hal tersebut menjawab pertanyaan mengapa pada awalnya virus ini dikenal sebagai carp interstitial nephritis and gill necrosis virus atau CNGV (Hedrick et al., 2000; Perelberg et al., 2003; Ronen et al., 2003; Pikarsky et al., 2004; Miyazaki et al., 2008). Ketiga, laporan Gilad et al. (2004) dan Pikarsky et al. (2004) menyebutkan bahwa insang ikan yang terinfeksi dan kemudian diperiksa dengan metoda PCR mengandung genom KHV pada stadium awal. Perubahan jaringan berupa proliferasi, hiperplasia dan hipertrofi sel-sel epitel lamela sekunder merupakan respons adaptasi terhadap rangsangan atau stimulus patologik yang terjadi. Sel-sel yang mendapatkan rangsang atau stimulus patologik, secara fisiologik dan morfologik akan mengalami adaptasi perubahan sel sebagai reaksi terhadap stimulus dan sel masih dapat bertahan hidup serta mengatur fungsinya. Namun demikian, apabila stimulus patologik diperbesar hingga melampaui adaptasi sel terhadap stimulus tersebut, maka akan timbul sel yang sakit 73 Tabel 8 Perubahan patologis infeksi varian KHV pada Cyprinus carpio 2 3 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder Hipertrofi sel-sel epitel lamela insang Inclusion body Edema Fusi lamela sekunder Proliferasi lapisan hialin Telangiectasis Fibrosis pada pangkal insang Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ 7 5 2 1 4 4 2 2 31.8 22.7 9.1 4.5 18.2 18.2 9.1 9.1 7 1 2 8 1 1 1 1 1 1 31.8 4.5 9.1 36.4 4.5 4.5 4.5 4.5 4.5 4.5 Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Jaringan Ginjal Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ 26 100 13.6 9.1 9.1 4.5 4.5 9.1 4.5 Ѵ Ѵ 25 22 3 2 2 1 1 2 1 Ѵ Enteritis Aktifitas sel-sel goblet meningkat/Proliferasi sel-sel goblet Haemorhagi Deposit enterolith pada lambung Edema Kongesti Fusi vili Nekrosis Persen Kejadian (%) Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Jumlah Ekor (N=22) Sulut Gorontalo 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Jaringan Saluran Pencernaan Haemorhagi Proliferasi sel-sel di interstitial Nekrosis pada tubulus Kongesti Edema Penebalan pada tubulus Infiltrasi MMC Fibrosis Infiltrsi sel-sel radang pada glomerulus Inclusion body Sumsel Jatim Sumut Kaltim 2 DKI Jakarta Riau NTB 8 Kalbar 2 7 Bengkulu 6 Kaltim 1 5 DI Aceh 4 SumBar Bali 3 DI Yogyakarta Jabar 2 Kalbar 1 Jaringan Insang Pap. Bar 1 1 Lampung Perubahan Patologik Jaringan Kalsel No NTT Varian KHV 74 1 4 5 6 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2 Jaringan Hati Degenerasi hidropik Kongesti Fibrosis Perivascular cuffing Inclusion body Degenerasi melemak Nekrosis Jaringan Limpa Infiltrasi sel-sel radang / limfosit Infiltrasi MMC Haemorhagi Kongesti Edema Jaringan Jantung Infiltrasi sel-sel radang / limfosit Epikarditis Perikarditis Miokarditis Kongesti Haemorhagi Vakuolisasi Edema Nekrosis 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ 86.4 45.5 4.5 9.1 9.1 4,5 9.1 Ѵ Ѵ 2 4 1 11 1 9.1 18.2 4.5 50.0 4.5 Ѵ 3 3 10 5 8 6 2 1 1 13.6 13.6 45.5 22.7 36.4 27.3 9.1 4.5 4.5 V Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ 26 19 10 1 2 2 1 2 Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ 25 75 1 7 Jaringan Otak 1 Kongesti 2 Vakuolisasi 3 Satelitosis 4 Gliosis 5 Haemorhagi 6 Edema 7 Perivascular cuffing 8 Fibrosis 9 Nekrosis 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Ѵ Ѵ 19 2 1 6 1 1 1 1 7 Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ 26 86.4 9.1 4.5 27.3 4.5 4.5 4.5 4.5 31.8 76 (cell injury) yang biasanya bersifat sementara (reversible). Jika stimulus menetap atau bertambah besar, sel akan mengalami lesi yang menetap (irreversible) sehingga sel akan mati atau nekrosis. Sel yang mengalami nekrosis merupakan hasil akhir yang biasanya disebabkan oleh iskemia, infeksi, dan reaksi imun (Sudiono et al., 2003). Menurut Robbins et al. (1995), hiperplasia dan hipertrofi sel dapat dikelompokkan menjadi fisiologik dan patologik. Hiperplasia fisiologik terjadi karena penyebab fisiologis atau normal dalam tubuh, sedangkan hiperplasia patologik disebabkan oleh stimulus hormonal yang berlebihan atau pengaruh faktor pertumbuhan yang diproduksi secara lokal pada sel-sel target. Salah satu penyebab hiperplasia patologik adalah induksi virus yang dapat menyebabkan proliferasi sel-sel epitel skuamosa. Hasil penelitian Perelberg et al. (2003) menemukan perubahan berupa hiperplasia dan hipertrofi terutama pada sel-sel epitel lamela sekunder insang yang terinfeksi KHV, sehingga menyebabkan terjadinya fusi antara lamela sekunder yang berdekatan. Hal tersebut terjadi karena adanya proliferasi dan pembengkakan sel-sel epitel lamela sekunder yang tidak terkontrol akibat infeksi virus. Selain hiperplasia dan hipertrofi, perubahan lain yang tampak pada jaringan insang adalah adanya telangiectasis, edema, dan fibrosis. Perubahan-perubahan tersebut merupakan ciri-ciri terjadinya radang pada jaringan tersebut. Reaksi ini dapat disebabkan oleh infeksi mikrobial (termasuk KHV), faktor fisik, zat kimia, jaringan nekrotik, dan reaksi imunologik. Peran proses peradangan adalah untuk 77 membawa dan mengisolasi trauma, memusnahkan mikroorganisme penginfeksi menginaktifkan toksin, serta untuk mencapai penyembuhan dan perbaikan. Perubahan patologik telangiectasis ditemukan pada jaringan insang yang terinfeksi KHV varian DKI Jakarta dan Nusa Tenggara Timur. Telangiectasis adalah dilatasi pembuluh darah yang berada di dekat permukaan tubuh atau tepi atau berada pada membran mukosa. Adanya infeksi merangsang sistem pertahanan tubuh meningkatkan aliran komponen imun ikan ke jaringan insang. Telangiectasis merupakan kongesti yang berkelanjutan sebagai akibat infeksi sistemik yang menimbulkan dilatasi pembuluh darah insang. Kondisi tersebut terjadi akibat adanya peningkatan aktivitas imun melalui pembuluh darah, sehingga volume darah menuju insang meningkat. Selain hal tersebut, dilatasi juga disebabkan oleh pelepasan faktorfaktor anti radang. Agar dapat berfungsi dengan normal, jaringan membutuhkan sirkulasi darah yang baik, keseimbangan cairan tubuh intravaskular dan ekstravaskular, serta konsentrasi zat-zat dalam cairan yang tetap, termasuk elektrolit. Pada jaringan normal, hal ini diselenggarakan oleh endotel kapiler. Membran ini sangat penting untuk distribusi cairan tubuh dan mempunyai permeabilitas yang selektif. Pada beberapa keadaan, permeabilitas endotel kapiler dapat bertambah. Akibatnya protein plasma akan keluar dari kapiler sehingga tekanan koloid osmotik darah menurun dan sebaliknya tekanan osmotik cairan interstitium bertambah. Hal ini mengakibatkan makin bertambahnya cairan yang meninggalkan kapiler sehingga menimbulkan edema (Robbins et al., 1995). Bertambahnya permeabilitas kapiler dapat terjadi antara lain pada infeksi mikrobial (termasuk KHV), keracunan zat kimia, anoksia 78 yang terjadi akibat berbagai keracunan, tekanan vena yang meningkat, atau kekurangan protein dalam plasma akibat albuminuria. Terjadinya edema, biasanya juga disertai dengan degenerasi jaringan akibat anoksia, bahkan kadang-kadang sampai terjadi nekrosis. Kongesti dan edema yang terjadi relatif lama atau berlarutlarut dapat menyebabkan terjadinya proliferasi jaringan ikat (fibrosis) (Sudiono et al., 2003). Berkaitan dengan kerusakan yang parah pada jaringan insang ikan-ikan yang positif KHV, maka fungsi insang dalam pengikatan oksigen terlarut dalam air akan terganggu. Kondisi ini dapat menimbulkan hipoksia sel yang serius. Beberapa penyebab hipoksia adalah : 1) Oksigenasi insang yang tidak memadai; 2) Penyakit pada insang. Menyebabkan berkurangnya luas permukaan lamela-lamela insang sehingga mengakibatkan berkurangnya difusi oksigen dari lingkungan ke insang, 3) Transport oksigen yang tidak memadai oleh darah ke jaringan karena anemia atau hemoglobin abnormal, penurunan sirkulasi umum, penurunan sirkulasi lokal, dan edema jaringan; 4) Kemampuan jaringan untuk menggunakan oksigen tidak memadai. Kerusakan pada organ insang juga menyebabkan menurunnya kemampuan insang mengeluarkan zat-zat toksik yang berbahaya seperti ammonia, CO 2 dan garam-garam yang berlebih dari tubuhnya. Menurut Hoole et al. (2001), ikan-ikan carp dan koki dapat mengekskresikan nitrogen melalui insang 10 kali lebih banyak dibandingkan melalui ginjal. Jika ada gangguan pada insang menyebabkan penurunan kapasitas metabolisme sel akibat kekurangan oksigen dan keracunan zatzat yang bersifat toksik pada tubuh ikan. 79 (Perubahan Patologis) 120.0 100.0 80.0 60.0 40.0 20.0 0.0 Proliferasi sel-sel Hipertrofi sel-sel Inclusion body epitel lamela epitel lamela sekunder insang Edema Fusi lamela sekunder Proliferasi lapisan Telangiectasis hialin Fibrosis pada pangkal Insang (Persen) Gambar 19 Persen frekuensi kejadian perubahan patologis jaringan insang ikan-ikan sampel (n=22 ekor) yang terinfeksi varianvarian KHV (warna ungu). Cluster I (warna biru) terdiri dari varian Kalsel, Lampung, Papua Barat, Kalbar (1), Jabar, Bali, NTT, DI Yogyakarta, Sumbar, DI Aceh, Kaltim (1), Bengkulu. Cluster II(warna merah) terdiri dari varian Sumut, Kalbar (2), NTB, Riau, Kaltim (2), DKI Jakarta. Kelompok yang tidak termasuk Cluster I dan II (warna hijau), terdiri dari Sumsel, Jatim, Gorontalo, dan Sulut. 80 4.5.2. Perubahan Patologis Pada Ginjal Hasil pengamatan patologis terhadap ginjal ikan yang terinfeksi varian KHV ditemukan perubahan berupa haemorhagi (31,8%), kongesti (36,4%), inclusion body (4,5%), infiltrasi MMC (4,5%), infiltrasi sel radang pada glomerulus (4,5%), edema (4,5%), penebalan lumen tubulus (4,5%), fibrosis (4,5%), dan nekrosis pada tubulus (9,1%). Selanjutnya, hasil pengamatan terhadap perubahan patologis infeksi varianvarian KHV yang dikelompokkan dalam cluster I dan II, tidak menemukan perbedaan yang signifikan antar kelompok. Perubahan patologis yang relatif berat ditemukan pada infeksi varian-varian KHV Bengkulu (cluster I), Kalimantan Barat 2 (cluster II), dan Riau (cluster II). Keadaan tersebut dapat disebabkan antara lain oleh faktorfaktor lingkungan yang memungkinkan perkembangan penyakit, kerentanan ikan, stadium lanjut infeksi, patogenisitas varian KHV, dan tissue tropism. Perubahanperubahan patologis yang terjadi pada jaringan ginjal ikan yang terinfeksi KHV dapat dilihat pada Gambar 20 sampai dengan 25, serta Tabel 6 sampai dengan 8. Infeksi virus (termasuk KHV) dapat menyebabkan perubahan patologis sebagaimana diuraikan di atas, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hasil uji imunohistokimia menunjukkan jaringan ginjal merupakan target infeksi KHV. Hedrick et al (2000) dan Perelberg et al (2003) menemukan perubahan patologis utama pada ginjal ikan yang terinfeksi KHV adalah nephritis interstitialis yang ditandai dengan penebalan epitel lumen tubulus, radang dan nekrosis. Etiologi perubahan patologis ginjal disebabkan oleh hipoksia karena kerusakan jaringan insang. Pikarsky et al (2004) juga menemukan perubahan yang sama dengan peneliti sebelumnya, yaitu KHV yang mencapai ginjal dapat menyebabkan terjadinya 81 nephritis interstitialis yang parah. Dari ginjal KHV kemudian menyebar ke seluruh organ ikan. DNA viral akan terdeteksi pada organ ginjal dan darah ikan yang terinfeksi masing-masing pada 3 sampai dengan 5 hari pasca infeksi. Pada penelitian tersebut juga ditemukan adanya inclusion body. Hal yang sama juga ditemukan pada penelitian Kholidin (2007). Inclusion body dalam jaringan ginjal merupakan salah satu ciri utama infeksi KHV. Pembentukan inclusion body merupakan indikator utama adanya aktivitas replikasi virus. Hal tersebut dapat muncul ketika virus berusaha mengekspresikan gen viral ke dalam sel hospes agar mengkode pembentukan protein viral. Adanya tingkatan evolusi yang jauh berbeda antara virus (eukariotik) dengan sel hospes (prokariotik), maka ketika proses pengkodean protein viral selesai, akan terbentuk suatu agregat protein yang bersifat inaktif. Hal tersebut muncul karena protein viral yang baru saja terbentuk memasuki lingkungan mikro (dalam sel hospes) yang sangat berbeda dari asalnya (kapsid virus) (Anonim, 2008). Selain agen penginfeksi seperti virus, beberapa penyebab yang dapat mengakibatkan perubahan-perubahan patologis pada jaringan ginjal antara lain adalah hipoksia (kekurangan oksigen) yang terjadi sebagai akibat: (a) iskemia (kekurangan pasokan darah), (b) oksigenasi tidak mencukupi (sebagai contoh gangguan/kerusakan fungsi insang atau jantung), atau (c) hilangnya akibat kapasitas pembawa oksigen darah. Selain itu, perubahan juga dapat terjadi akibat faktor fisik, bahan-bahan beracun, reaksi imunologik, atau ketidakseimbangan nutrisi (Robbins et al., 1995). Pada perairan tawar, lingkungan hipoosmotik dan air cenderung masuk ke 82 dalam cairan tubuh ikan melalui insang dan permukaan-permukaan permeable pada pharynx. Hal ini dikompensasi melalui ginjal yang memproduksi urin dalam volume yang besar. Oleh karena itu, filtrasi glomerular pada ikan air tawar berperan sangat penting (Roberts, 2001). Gangguan atau kerusakan ginjal akibat agen penginfeksi maupun non infeksi, dapat menyebabkan gangguan fungsi atau disfungsi ginjal. Sebagaimana diketahui, ginjal menjalankan fungsi yang multiguna yaitu: 1) pengeluaran produk sisa metabolisme, bahan-bahan beracun, serta bahan-bahan lain yang tidak diperlukan tubuh; 2) pengaturan konsentrasi ion-ion penting; 3) pengaturan keseimbangan asambasa tubuh; 4) pengaturan produksi sel darah merah; 5) pengaturan tekanan darah; 6) sekresi hormon; dan 7) glukoneogenesis (Sloane, 1994). Gambar 20 Penebalan lumen tubulus dan nekrosis tubulus (perbesaran 40x) 83 Gambar 21 Haemoraghi pada ginjal (perbesaran 40x) Gambar 22 Infiltrasi MMC pada ginjal (perbesaran 40x) 84 a b Gambar 23 Inclusion body (a) dan nekrosis (b) pada ginjal (perbesaran 40x) Gambar 24 Kongesti pada ginjal (perbesaran 40x) 85 (Perubahan Patologis) 40.0 35.0 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0 Haemorhagi Proliferasi Nekrosis sel-sel pada tubulus Interstitial Kongesti Edema Penebalan pada tubulus Infiltrasi MMC Fibrosis Infiltrasi pada glomerulus Inclusion Body (Persen) Gambar 25 Persen frekuensi kejadian perubahan patologis jaringan ginjal ikan-ikan sampel (n=22 ekor) yang terinfeksi varianvarian KHV (warna ungu). Cluster I (warna biru) terdiri dari varian Kalsel, Lampung, Papua Barat, Kalbar (1), Jabar, Bali, NTT, DI Yogyakarta, Sumbar, DI Aceh, Kaltim (1), Bengkulu. Cluster II (warna merah) terdiri dari varian Sumut, Kalbar (2), NTB, Riau, Kaltim (2), DKI Jakarta. Kelompok yang tidak termasuk Cluster I dan II (warna hijau), terdiri dari Sumsel, Jatim, Gorontalo, dan Sulut 86 4.5.3. Perubahan Patologis Pada Limpa Hasil pengamatan patologis limpa ikan yang terinfeksi varian KHV ditemukan perubahan berupa kongesti (50%), infiltrasi MMC (18,2%), infiltrasi sel-sel radang/limfosit (13,6%), haemorhagi (4,5%), dan edema (4,5%), namun ada juga limpa yang tampak normal. Perubahan patologis infeksi KHV pada jaringan limpa dapat dilihat pada Gambar 26 sampai dengan 29 , serta Tabel 6 sampai dengan 8. Organ-organ yang terlibat dalam sistem kekebalan tubuh ikan dapat dikategorikan sebagai organ limfoid primer dan sekunder. Organ limfoid primer adalah produsen komponen sistem kekebalan tubuh. Tugas organ limfoid sekunder adalah menciptakan lingkungan fisiologis yang tepat agar dapat terjadi interaksi antara faktor-faktor kekebalan tubuh dengan molekul asing (antigen) (Hoole et al., 2001). Limpa adalah organ limfoid sekunder yang paling utama. Permukaan limpa diselimuti dengan kapsula fibrous, yang termasuk otot polos. Stroma splenika yang terdapat dalam kapsula terutama tersusun dari korda splenika dan sinus lienalis, yang merupakan kapiler khusus yang memisahkan korda-korda (Takashima et al., 1995). Elemen-elemen utama dari limpa adalah ellipsoids, pulpa putih dan pulpa merah, serta melano-macrophage centres (MMC). Ellipsoids adalah kapiler-kapiler penyaring berdinding tebal, yang merupakan percabangan dari arteriol limpa. Pulpa putih merupakan jaringan limfatik yang mengelilingi dan mengikuti arteri, dan kaya akan limfosit. Selanjutnya pulpa merah lebih banyak dan sering membentuk lempeng-lempeng korda splenika dan kaya akan eritrosit. Ellipsoids efektif menangkap molekul-molekul asing (antigen) yang ditransportasikan melalui sirkulasi 87 darah. Dengan bantuan makrofag di sekeliling ellipsoids serta limfosit dalam korda splenika berinteraksi dan menghasilkan zat anti. Antigen yang ditangkap pertamatama difagositosis oleh makrofag di zona marginal dan pulpa merah, kemudian bermigrasi ke pulpa putih yang kaya akan limfosit (Takashima et al., 1995). Hampir seluruh darah memasuki limpa melalui arteri, memasuki jaringan korda splenika, kemudian mengalir keluar menuju sinus melalui dinding pembuluh darah yang terbuka. Limpa mengatur volume sirkulasi darah melalui pengendalian jumlah sel darah dalam jaringan. Pada saat ikan dalam kondisi tenang, jumlah eritrosit dalam darah perifer relatif sedikit, dan limpa penuh dengan sel-sel darah, sedangkan pada saat ikan bergerak aktif, jumlah eritrosit menjadi relatif besar pada perifer, dan limpa menipis karena terjadi pelepasan sel-sel darah (Takashima et al., 1995; Roberts, 2001). Fungsi limpa antara lain adalah membentuk limfosit, menyimpan darah, dan menghasilkan zat antibodi. Limpa juga membentuk unsur myeloid di dalam embryo. Dalam keadaan patologis tertentu, dapat mengalami metaplasia mieloid, dan menghasilkan semua jenis sel darah. Limpa juga merupakan tempat penyimpanan (reservoar) sel darah yang elastis dan terkendali, yang mampu dengan cepat mengeluarkan sel darah ke dalam peredaran darah dan menyesuaikan volume peredaran darah. Selain itu, fungsi limpa lainnya yang penting adalah menghasilkan zat antibodi. Zat renik asing yang beredar dalam darah dapat merangsang respons imun yang kuat dalam limpa (Leeson et al., 1985). Infeksi virus (termasuk KHV) dapat menyebabkan perubahan patologis sebagaimana telah diuraikan di atas baik secara langsung maupun tidak langsung. 88 Hasil uji imunohistokimia menunjukkan jaringan limpa merupakan target infeksi KHV. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gilad et al.(2004), yang menemukan konsentrasi KHV yang relatif tinggi pada organ limpa ikan. Menurut Gilad et al (2002), organ limpa pada ikan-ikan yang terserang KHV mengalami nekrosis di beberapa lokasi pada sel-sel atau jaringan parenkimnya. Pada sel-sel parenkim limpa ada sebagian inti sel yang mengalami pembengkakan (hipertrofi) dan mengakibatkan terjadinya marjinalisasi kromatin. Hasil penelitian Wada et al (2006) menemukan infiltrasi KHV dalam organ limpa menyebabkan reaksi fagositosis oleh makrofag (Wada et al, 2006). Beberapa perubahan patologis yang terjadi pada jaringan limpa menunjukkan infiltrasi agen infeksi telah menggertak sistem pertahanan tubuh ikan. Hal ini tampak dari infiltrasi sel-sel radang atau limfosit dan MMC pada jaringan limpa. Peningkatan aktivitas limfosit di dalam limpa merupakan indikasi adanya benda asing ataupun infeksi mikroorganisme yang bersifat sistemik. MMC yang juga dikenal sebagai agregat makrofag yang merupakan kelompok sel khusus berpigmen yang biasa ditemukan pada golongan vertebrata heterothermik. Dalam kondisi normal, MMC dapat ditemukan pada bagian stroma jaringan haematopoetik limpa atau ginjal. Khusus pada ikan, MMC dapat pula ditemukan pada jaringan hati. Munculnya MMC merupakan salah satu indikasi penyakit yang berjalan secara kronis. Komposisi MMC biasanya adalah limfosit, makrofag dan deposit pigmen. Pada infeksi oleh mikroorganisme, MMC berperan sebagai focal depository. Pigmen melanin melalui mekanisme tertentu berfungsi sebagai antigen trapping dan pemapar limfosit (Agius dan Roberts, 2003). 89 Perubahan jaringan lainnya yang tampak adalah kongesti. Kongesti adalah keadaan dimana terdapat darah secara berlebihan di dalam pembuluh darah pada daerah tertentu. Jika lebih banyak darah mengalir ke dalam pembuluh arteri daerah itu dari biasanya disebut kongesti aktif atau hiperemia. Contoh kongesti aktif atau hiperemia adalah yang menyertai radang akut sehingga menimbulkan warna mencolok pada jaringan yang disebabkan pertambahan kandungan darah. Selain kongesti, perubahan lain yang tampak adalah edema. Edema adalah penimbunan cairan secara berlebihan di antara sel-sel atau di dalam berbagai rongga tubuh. Timbulnya edema dapat disebabkan faktor-faktor lokal yang mencakup tekanan hidrostatik dalam mikrosirkulasi dan permeabilitas dinding pembuluh darah. Kenaikan tekanan hidrostatik cenderung memaksa cairan masuk ke dalam ruang interstitial jaringan. Karena alasan tersebut, kongesti dan edema cenderung terjadi bersama-sama. Kenaikan permeabilitas lokal dinding pembuluh terhadap protein memungkinkan molekul-molekul besar lolos dari pembuluh, dan secara osmotik cairan akan menyertainya. Oleh karena itu, edema adalah bagian yang mencolok dari reaksi peradangan akut. Penyebab lokal lain dari pembentukan edema adalah obstruksi saluran limfe, yang pada keadaan normal bertanggung jawab atas pengaliran cairan interstitial. Jika saluran tersebut tersumbat, maka dapat mengakibatkan penimbunan cairan yang disebut sebagai limfedema. Faktor-faktor sistemik dapat juga mempermudah pembentukan edema. Selain itu, keadaan yang disertai oleh penurunan konsentrasi protein juga dapat mengakibatkan edema, karena keseimbangan cairan bergantung pada sifat-sifat osmotik protein serum. 90 Jaringan limpa yang tampak normal diduga menunjukkan tahap awal infeksi, sehingga belum tampak perubahan pada jaringan tersebut. Setelah virus menginfiltrasi organ-organ target, selanjutnya akan terjadi proses replikasi dan pelepasan virus yang matang dari sel. Herpesvirus, selain keluar secara biasa melalui sitoplasma dimana virus-virus ini memperoleh amplop, dapat juga berpindah langsung ke sel terdekat tanpa harus terlebih dahulu keluar sel yang terinfeksi. Metode transfer antar sel tersebut memungkinkan virus menyebar dalam tubuh inang walaupun terdapat banyak antibodi di dalam cairan tubuh di luar sel. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya infeksi virus secara laten atau kronis selama berbulan-bulan pada inang yang terlihat sehat (Malole, 1988; Walker, 2000). Gambar 26 Infiltrasi MMC pada limpa (perbesaran 40x) 91 Gambar 27 Kongesti dan infiltrasi MMC pada limpa (perbesaran 40x) Gambar 28 Peningkatan aktivitas limfosit pada limpa (perbesaran 100x) 92 (Perubahan Patologis) 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 Infiltrasi sel-sel radang / Limfosit Infiltrasi MMC Haemorhagi Kongesti Edema (Persen) Gambar 29 Persen frekuensi kejadian perubahan patologis jaringan limpa ikan-ikan sampel (n = 22 ekor) yang terinfeksi varianvarian KHV (warna ungu). Cluster I (warna biru) terdiri dari varian Kalsel, Lampung, Papua Barat, Kalbar (1), Jabar, Bali, NTT, DI Yogyakarta, Sumbar, DI Aceh, Kaltim (1), Bengkulu. Cluster II (warna merah) terdiri dari varian Sumut, Kalbar (2), NTB, Riau, Kaltim (2), DKI Jakarta. Kelompok yang tidak termasuk Cluster I dan II (warna hijau), terdiri dari Sumsel, Jatim, Gorontalo, dan Sumut. 93 4.5.4. Perubahan Patologis Pada Hati Hasil pengamatan histopatologi jaringan hati ikan yang terinfeksi varian KHV menunjukkan perubahan berupa degenerasi hidropik (86,4%), kongesti (45,5%) perivascular cuffing (9,1%), inclusion body (9,1%), fibrosis (4,5%), nekrosis (9,1%), namun ditemukan juga beberapa hati ikan yang tidak menunjukkan perubahan yang menciri. Selanjutnya, pengamatan terhadap patologis varian-varian KHV yang dikelompokkan dalam cluster 1 dan II, tidak menemukan perbedaan yang signifikan antar kelompok. Perubahan patologis pada jaringan hati yang relatif berat ditemukan pada infeksi varian-varian KHV Sumatera Barat (cluster I), Nusa Tenggara Barat (cluster II), dan Kalimantan Barat 1 (cluster I). Keadaan tersebut dapat disebabkan antara lain oleh kerentanan ikan (ikan yang rentan dan atau mengalami stress lebih mudah terserang KHVD), stadium lanjut infeksi, kondisi lingkungan yang memungkinkan perkembangan penyakit, patogenisitas varian KHV, dan tissue tropism. Perubahan-perubahan patologis infeksi varian-varian KHV pada jaringan hati dapat dilihat pada Gambar 30 sampai dengan 32, serta Tabel 6 sampai dengan 8. Perubahan patologis jaringan hati ikan, dapat disebabkan oleh penyebab infeksi dan non infeksi. Penyebab infeksi terdiri dari agen-agen golongan parasit, bakteri, jamur dan virus. Selanjutnya penyebab non infeksi antara lain oleh malnutrisi, bahan-bahan yang bersifat toksik, logam berat, dan bahan-bahan beracun lainnya, kualitas air yang buruk, kelainan genetik dan penyebab lainnya. Perubahan tersebut ada yang dapat pulih (reversible) dan tidak dapat pulih (irreversible). Perubahan-perubahan morfologik pada hati akibat penyebab yang non fatal biasanya masih dapat pulih. Namun demikian apabila berjalan lama dan derajatnya berat, 94 dapat mengakibatkan kematian sel (nekrosis). Perubahan tersebut merupakan tingkat lanjut degenerasi, dan tidak dapat pulih (irreversible). Tampak atau tidaknya sisa selsel hati bergantung pada lamanya dan jenis nekrosis tersebut. Sebagai contoh, pada kebanyakan kerusakan kimia, sel-sel hati mati perlahan-lahan. Selanjutnya pada penyakit virus, sel-sel biasanya hancur terserap menjadi bagian-bagian yang berukuran kecil. Malnutrisi, deplesi glikogen dan anoksia dapat merupakan predisposisi untuk nekrosis sel-sel hati (Price dan Wilson, 1992). Infeksi virus (termasuk KHV), dapat menyebabkan perubahan patologis pada jaringan hati secara langsung maupun tidak langsung. Hasil uji imunohistokimia menunjukkan jaringan hati merupakan target infeksi KHV. Hasil temuan tersebut sesuai dengan hasil penelitian Hedrick et al. (2000), Gray et al. (2002), Gilad et al. (2003), Gilad et al. (2004), yang melaporkan bahwa hati merupakan salah satu jaringan target KHV. Penelitian Gilad et al. (2004) juga menemukan adanya kandungan DNA KHV yang relatif tinggi pada hati ikan yang terinfeksi. Ikan-ikan yang terserang penyakit KHV juga menunjukkan perubahan organ-organ internalnya, seperti hati membengkak, terdapat bercak-bercak putih yang sebenarnya adalah nekrosis, tekstur lembek, pucat dan terdapat petechiae. Ikan yang terinfeksi KHV akan mengalami disfungsi hati (Hedrick et al., 2000; Perelberg et al., 2003). Perubahan patologis yang paling sering ditemukan pada ikan-ikan yang terinfeksi KHV adalah degenerasi hidropik. Menurut Sudiono et al. (2003), degenerasi hidropik adalah pembengkakan sel yang merupakan manifestasi awal terhadap semua jejas sel, yang menyebabkan desakan pada kapiler-kapiler organ seperti kapiler pada sinusoid hati. Jika penimbunan air dalam sel berlanjut karena 95 jejas terhadap sel semakin berat, akan timbul vakuola-vakuola dalam sitoplasma. Vakuola yang terjadi disebabkan oleh pembengkakan retikulum endoplasmik. Degenerasi hidropik merupakan jejas sel yang reversible dengan penimbunan intraselular yang lebih parah dibandingkan dengan degenerasi albumin. Etiologinya dianggap sama dengan pembengkakan sel, hanya intensitas rangsang patologis lebih berat dan jangka waktu terpapar rangsang patologis tersebut lebih lama (Sudiono et al., 2003). Selanjutnya, menurut Price dan Wilson (1992), cedera dapat menyebabkan hilangnya pengaturan volume pada bagian-bagian sel. Dalam rangka menjaga kestabilan lingkungan internal, sel harus mengeluarkan energi metabolik untuk memompa ion natrium keluar sel, dan hal ini terjadi pada tingkat membran sel. Gangguan metabolisme energi dalam sel atau luka pada membran sel, dapat membuat sel tidak mampu memompa ion natrium dengan baik. Kondisi tersebut menyebabkan konsentrasi ion natrium di dalam sel meningkat, yang selanjutnya mengakibatkan masuknya air ke dalam sel. Jika terdapat aliran masuk air yang hebat, sebagian dari organela sitoplasma seperti retikulum endoplasma dapat diubah menjadi kantongkantong yang berisi air. Perubahan ini disebut perubahan hidropik atau degenerasi hidropik, atau dapat disebut juga degenerasi vakuolar (Price dan Wilson, 1992). Perubahan patologis lain yang ditemukan pada jaringan hati ikan adalah degenerasi melemak. Secara mikroskopis, sitoplasma dari sel-sel yang terserang tampak bervakuola mirip dengan yang terlihat pada degenerasi hidropik, tetapi isi vakuola adalah lipid. Menurut Price dan Wilson (1992), penimbunan lemak di dalam sel dapat terjadi akibat gangguan proses pertukaran pada sel-sel hati. Sebagai contoh, jika lipid yang diberikan kepada sel-sel hati berlebihan, maka kemampuan 96 metabolisme dan sintesis dari sel-sel tersebut akan dapat dilampaui, sehingga lipid akan mengumpul di dalam sel. Sebaliknya, meskipun lipid yang mencapai sel-sel hati jumlahnya normal akan tetapi oksidasinya terganggu oleh kelainan sel, maka lipid juga akan tertimbun. Akhirnya, jika proses sintesis lipoprotein pada sel-sel hati dan pengeluarannya mengalami gangguan, maka lipid akan tertimbun juga. Dengan demikian, degenerasi melemak dapat ditemukan pada berbagai keadaan mulai dari malnutrisi yang akan menghalangi sintesis protein, sampai kelebihan makanan yang akan mengakibatkan hati dipenuhi lipid. Selain itu, hipoksia juga dapat mengganggu metabolisme sel yang dapat menyebabkan penimbunan lemak. Berbagai zat beracun dari lingkungan juga dapat mempengaruhi sel-sel sedemikian rupa sehingga mempermudah penimbunan lemak. Degenerasi melemak secara potensial dapat pulih (reversible), tetapi pada kondisi yang parah dapat menyebabkan kematian sel (nekrosis) (Price dan Wilson, 1992). Selain degenerasi hidropik dan degenerasi melemak, kongesti juga merupakan gejala yang sering muncul (45,5%), sedangkan perivascular cuffing hanya ditemukan pada hati ikan yang terinfeksi varian KHV Sumatera Barat (cluster I) dan Nusa Tenggara Barat (cluster II). Adanya sel radang dalam perivascular cuffing, merupakan salah satu indikator infiltrasi oleh mikroorganisme ke dalam sel hati. Hati pada ikan merupakan organ yang bersifat masif dan secara anatomis terletak pada bagian ventral abdomen dan cranial cavitas visceral. Bentuknya secara makroskopik beradaptasi sesuai dengan ruang yang tersedia diantara organ-organ lain di dalam cavitas visceralis. Pada golongan vertebrata, hati memiliki struktur utama yang terdiri dari hepatosit, kanalikuli, dan sinusoid, serta stroma dan parenkim yang 97 bersifat tiga dimensional (Geyer dan Swanepoel, 1996). Hepatosit memiliki bentuk yang bervariasi, mulai bulat sampai oval. Pada setiap hepatosit mengandung nucleus yang besar, bulat dan terletak pada bagian tengah dengan nukleolus berwarna gelap. Susunan hepatosit menyerupai struktur vakuolar di dalam sel-sel hati. Hal tersebut dimungkinkan karena keberadaan lemak dan saluran empedu (Mir dan Channa, 2011). Menurut Vicentini et al. (2005), hepatosit ikan memiliki nukleus tunggal berbentuk bulat dan terletak sentralis. Kromatinnya bersifat granuler yang mengandung heterokromatin, terkondensasi dalam jumlah yang banyak dan terletak pada bagian tepi nukleus. Nukleolus hepatosit bersifat homogenous dan memiliki tingkat kerapatan yang tinggi. Retikulum endoplasma seringkali terlihat tersusun secara paralel dengan membran nukleus, dan berhubungan dengan mitokondria yang memiliki bentuk bulat atau memanjang. Selanjutnya, vakuola sitoplasmik dalam berbagai ukuran juga ditemukan dalam sitoplasma. Lumen sinusoid mengandung banyak eritrosit dan makrofag, sedangkan pada bagian permukaan luminal endothelium sinusoid terdapat sel kupffer. Sinusoid diselubungi sel-sel endhotelial yang memiliki nukleus pipih (Mir dan Channa, 2011). Menurut Hinton dan Lauren (1990), beberapa fungsi hati ikan diantaranya sebagai penyimpanan lipid, karbohidrat, vitamin A dan zat besi; membantu dalam pencernaan dengan menghasilkan zat empedu; berperan dalam reproduksi dengan menghasilkan vitellogenin; membantu sistem peredaran darah; berperan dalam sistem kekebalan melalui sistem retikuloendotelial dan menghasilkan immunoglobulin; detoksifikasi toksin dan polutan, serta katabolisme nitrogen. Penelitian Mir dan Channa, (2011), 98 menemukan adanya deposit zat besi di dalam sitoplasma sel-sel hepatik, dan tersimpan dalam bentuk ferric. Menurut Michell (1996), zat besi di dalam hati ikan akan dibongkar dalam berbagai kondisi fisiologis tertentu. Zat besi merupakan komponen utama dari haemoglobin, myoglobin dan sitokrom yang berperan dalam transport oksigen dan oksidasi seluler. Selain deposit zat besi, pada hati ikan juga ditemukan adanya deposit protein. Hal tersebut mengindikasikan bahwa hepatosit memiliki kemampuan memproduksi protein dengan cara menggabung-gabungkan asam amino melalui berbagai kombinasi dan sekuen. Protein-protein yang dihasilkan memiliki fungsi yang berguna dalam sistem metabolisme hormon, antibodi dan produksi zat-zat yang memiliki aktivitas biologis tertentu berdasarkan aktivitas ikan (Abdelmeguid et al., 2002). Depositdeposit zat lainnya yang ditemukan dalam hati ikan antara lain adalah lipid dan glikogen (Mir dan Channa, 2011). Selain fungsi-fungsi penyimpanan (storage), hati ikan juga memiliki fungsi fisiologis dalam mendukung metabolisme tubuh. Diantara fungsi fisiologis tersebut adalah adanya aktivitas beberapa enzim yaitu alkaline phosphatase, acid phosphatase, ATPase dan lipase di dalam sitoplasma sel hepatosit (Mir dan Channa, 2011). Berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada sel-sel hati ikan, kerusakan yang berat pada sel-sel tersebut dapat menyebabkan gangguan fungsi organ, bahkan dapat menyebabkan gagal fungsi dan kematian ikan. Gangguan fungsi hati tersebut antara lain: (1) gangguan dalam metabolism karbohidrat, lemak, dan protein; (2) gangguan dalam absorpsi dan pengiriman nutrient ke seluruh tubuh oleh sel-sel darah; (3) gangguan dalam penyimpanan dan distribusi berbagai vitamin dan mineral 99 yang diperlukan tubuh ikan; (4) gangguan dalam proses detoksikasi material-material asing. Gambar 30 Perivascular cuffing pada hati (perbesaran 40x) b c a Gambar 31 Degenerasi hidropik (a), kongesti (b), infiltrasi MMC (c), pada hati (perbesaran 40 x) 100 (Perubahan Patologis) 100.0 90.0 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 Degenerasi hidropik Kongesti Fibrosis Perivascular Cuffing Inclusion body Degenerasi melemak Nekrosis (Persen) Gambar 32 Persen frekuensi kejadian perubahan patologis jaringan hati ikan-ikan sampel (n = 22) yang terinfeksi varian-varian KHV (warna ungu). Cluster I (warna biru) terdiri dari varian Kalsel, Lampung, Papua Barat, Kalbar (1), Jabar, Bali, NTT, DI Yogyakarta, Sumbar, DI Aceh, Kaltim (1), Bengkulu. Cluster II (warna merah) terdiri dari varian Sumut, Kalbar (2), NTB, Riau, Kaltim (2), DKI Jakarta. Kelompok yang tidak termasuk Cluster I dan II (warna hijau) terdiri dari Sumsel, Jatim, Gorontalo, dan Sulut. 101 4.5.5. Perubahan Patologis Pada Usus Hasil pengamatan terhadap ikan-ikan yang terinfeksi varian KHV menemukan adanya perubahan patologis berupa enteritis (31,8%), proliferasi sel-sel goblet (22,7%), edema (18,2%), kongesti (18,2%), haemorhagi (9,1%), fusi vili (9,1%), deposit enterolith pada lambung (4,5%), dan nekrosis pada krypta (4,5%). Pengamatan terhadap perubahan patologis infeksi varian-varian KHV yang termasuk cluster I dan II, tidak menemukan perbedaan yang signifikan antar cluster. Perubahan patologis yang relatif berat pada jaringan usus ditemukan pada infeksi varian-varian KHV Nusa Tenggara Barat (cluster II) dan Jawa Barat (cluster I). Kondisi tersebut dapat disebabkan antara lain oleh kerentanan ikan terhadap infeksi KHV, patogenisitas varian KHV, stadium lanjut infeksi KHV, tissue tropism, dan keadaan lingkungan yang memungkinkan perkembangan penyakit. Perubahan patologik yang terjadi pada jaringan usus dapat dilihat pada Gambar 33 sampai dengan 37, serta Tabel 6 sampai dengan 8. Infeksi virus (termasuk KHV) dapat menyebabkan perubahan patologis pada jaringan usus secara langsung maupun tidak langsung. Hasil uji imunohistokimia menunjukkan jaringan usus merupakan target infeksi KHV. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gilad et al. (2004), yang menemukan konsentrasi KHV yang relatif tinggi pada organ usus ikan. Demikian pula hasil penelitian Hedrick et al. (2000) dan Perelberg et al.(2003) yang menemukan KHV pertama kalinya masuk dan menginfeksi tubuh ikan melalui insang dan atau usus. Usus merupakan salah satu jaringan target, yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya DNA KHV. Hal tersebut dikarenakan virus yang lepas ke dalam perairan 102 dapat terserap ke dalam tubuh ikan melalui usus. Infiltrasi dan replikasi virus di dalam jaringan usus memicu terjadinya radang. Kondisi tersebut ditandai dengan peningkatan aktivitas sel-sel goblet. Sel-sel goblet merupakan sel-sel penghasil mukus, sehingga adanya proliferasi sel ini menghasilkan sekresi mukus yang berlebihan. Selain itu, akibat peradangan akan meningkatkan ukuran vili, dan dapat menyebabkan perlekatan antar vili (Hedrick, 2004). Deposisi kristal enterolith dalam jaringan usus merupakan indikator kekurangan asupan nutrisi karena berbagai faktor, salah satunya adalah sebagai akibat dari suatu penyakit (Anonim, 2006). Pembentukan kristal enterolith di dalam jaringan usus terjadi akibat ketidakseimbangan proses penyerapan. Kristal enterolith pada dasarnya memiliki 3 bentuk yaitu asam empedu, kalsium oksalat dan fosfat (Fowweather, 1955). Menurut Reifel dan Travill (1979), lumen usus ikan tersusun dari sel-sel epitel kolumner sederhana (enterocyte) dan juga mengandung banyak sel goblet. Lapisan epitel usus bersama dengan lamina propria yang terletak di bawahnya merupakan bagian yang dikenal sebagai mukosa usus (Buddington et al, 1992). Bagian proksimal usus ikan memiliki bagian–bagian yang sama dengan vertebrata lain, diantaranya lapisan epitel mukosa, lamina propria atau lapisan mukosa tanpa jaringan ikat, tunika muskularis dan lapisan serosa eksternal (Bakary dan Gamal, 2000). Bagian permukaan usus dilengkapi dengan banyak lipatan yang dalam dan memanjang yang disebut villi. Selain itu, terdapat pula jajaran microvilli dengan epitel kolumner simpleks, serta terdapat sel-sel goblet yang mampu menyekresikan mukus. Pada banyak spesies ikan, mukosa usus memiliki lipatan yang berbentuk 103 pendek, bercabang-cabang dan mengandung banyak vili yang di dalamnya terdapat lapisan tipis sel-sel epitel kolumner penyerap atau dikenal sebagai enterocyte. Sel tersebut memiliki “brush border”. Sejumlah kecil sel goblet tersebar diantara epitel dan dapat ditemukan di seluruh bagian vili (Bakary dan Gamal, 2000). Sel-sel goblet yang terletak di antara epitelium usus, diketahui memproduksi mukus pelindung. Keanekaragaman sel mukus mengindikasikan bahwa zat-zat yang dihasilkan memiliki beberapa peran dalam proses pencernaan (Reifel dan Travill, 1997). Selain mukus, usus juga menghasilkan musin yang memiliki fungsi lubrikasi dan melindungi mukosa terhadap senyawa-senyawa kimia, parasit dan asam. Musin juga memiliki peran sebagai barrier difusi beberapa ion (Veggeti et al, 1999; Desantis et al, 2009). Bagian usus lainnya adalah lapisan submukosa, muskularis (longitudinal dan sirkular) dan serosa. Selain itu, pada usus ikan juga terdapat jaringan ikat yang melekat pada jaringan mesenterika (Buddington et al, 1992; Kupperman dan Kuzmania, 1994; Kozaric et al, 2007). Bagian submukosa merupakan lapisan yang tebal dan kaya akan pembuluh darah dan bagian lamina propria terlihat masuk sampai lipatan usus. Bagian serosa mengandung sel-sel mesothelial, sedikit pembuluh darah, sel-sel darah dan jaringan ikat polos (Bakary dan Gamal, 2010). Seperti kebanyakan hewan vertebrata lainnya dan juga golongan spesies terrestrial, pencernaan makanan pada ikan melibatkan proses mekanik dan biokimiawi (Smith, 1991). Fungsi usus di dalam pencernaan terutama adalah digesti dan absorpsi. Proses digesti dalam usus disempurnakan oleh sejumlah enzim dalam 104 getah usus. Banyak diantara enzim-enzim tersebut terdapat pada “brush border” vili dan mencerna zat-zat makanan sambil diabsorpsi. Absorpsi merupakan pemindahan Gambar 33 Proliferasi sel-sel goblet pada usus (perbesaran 40x) Gambar 34 Edema pada saluran pencernaan (perbesaran 40 x) 105 Gambar 35 Fusi vili pada usus (perbesaran 10 x) Gambar 36 Haemoraghi pada saluran pencernaan (perbesaran 40 x) 106 (Perubahan Patologis) 35.0 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0 Enteritis Proliferasi sel-sel goblet Haemorhagi Deposit enterolith pada lambung Edema Kongesti Fusi vili Nekrosis (Persen) Gambar 37 Persen frekuensi kejadian perubahan patologis jaringan usus ikan-ikan sampel (n = 22) yang terinfeksi varianvarian KHV (warna ungu). Cluster I (warna biru) terdiri dari varian Kalsel, Lampung, Papua Barat, Kalbar (1), Jabar, Bali, NTT, DI Yogyakarta, Sumbar, DI Aceh, Kaltim (1), Bengkulu. Cluster II (warna merah) terdiri dari varian Sumut, Kalbar (2), NTB, Riau, Kaltim (2), DKI Jakarta. Kelompok yang tidak termasuk Cluster I dan II (warna hijau), terdiri dari Sumsel, Jatim, Gorontalo, dan Sulut. 107 hasil akhir pencernaan karbohidrat, lemak dan protein melalui dinding usus ke sirkulasi darah dan limfe untuk digunakan oleh sel-sel tubuh. Selain itu, air, elektrolit dan vitamin juga diabsorpsi. Absorpsi berbagai zat berlangsung dengan mekanisme transport aktif dan pasif. Berkaitan dengan fungsi usus pada ikan, penyakit-penyakit pada usus seperti tersebut di atas seringkali diikuti oleh perubahan fungsi yang dimanifestasikan oleh sindrom maldigesti dan malabsorpsi. Maldigesti merupakan gangguan dalam mencerna zat-zat gizi, sedangkan malabsorpsi merupakan suatu keadaan dimana terdapat gangguan absorpsi mukosa usus terhadap satu atau banyak zat gizi. 4.5.6. Perubahan Patologis Pada Jantung Berdasarkan hasil pengamatan terhadap jaringan jantung, perubahan patologis yang ditemukan meliputi perikarditis (45,5%), kongesti (36,4%), haemorhagi (27,3%), miokarditis (22,7%), epikarditis (13,6%), infiltrasi sel-sel radang (13,6%), vakuolisasi (9,1%), edema (4,5%), fibrosis (4,5%), dan nekrosis (4,5%). Pengamatan terhadap perubahan patologis infeksi varian-varian KHV yang termasuk dalam cluster I dan II, tidak menemukan perbedaan yang signifikan antar cluster. Perubahan patologis yang relatif berat ditemukan pada ikan-ikan sampel yang terinfeksi varian KHV dari DI Aceh (cluster I), Bengkulu (cluster I), Sumatera Barat (cluster I), NTB (cluster II), dan Sumatera Utara (cluster II). Keadaan tersebut dapat disebabkan antara lain oleh kerentanan ikan (ikan stress lebih mudah terinfeksi KHV), patogenisitas varian KHV, stadium lanjut infeksi, tissue tropism, dan kondisi lingkungan yang memungkinkan perkembangan penyakit. Perubahan patologis 108 jaringan jantung ikan-ikan yang terinfeksi varian-varian KHV dapat dilihat pada Gambar 38 sampai dengan 42, serta Tabel 6 sampai dengan 8. Infeksi virus (termasuk KHV) dapat menyebabkan perubahan patologis pada jaringan jantung secara langsung maupun tidak langsung. Hasil uji imunohistokimia menunjukkan organ jantung merupakan target infeksi KHV. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gilad et al. (2004), yang menemukan perubahan miokarditis pada ikan-ikan positif KHV. Wada et al. (2006) menemukan perubahan tersebut muncul pada hari ke 7 sampai dengan 9 pasca infeksi. Perubahan patologis yang ditemukan pada jantung tersebut antara lain disebabkan kurangnya suplai oksigen. Biasanya miokarditis dan subendothelial vakuolisasi menandai suatu penyakit yang berjalan kronis. Keadaan tersebut terjadi mengingat gangguan dan kerusakan pada insang akan menghambat asupan oksigen. Pada penelitian ini, miokarditis hanya ditemukan pada ikan-ikan sampel yang berasal dari Jawa Barat (cluster I), Nusa Tenggara Timur (cluster I), Bengkulu (cluster I), Sumatera Utara (cluster II), dan Gorontalo. Menurut Robbins (1995), etiologi miokarditis meliputi hampir semua agen mikrobiologi, cedera diperantarai reaksi imun, dan reaksi terhadap agen fisik. Perubahan patologis pada insang akibat infeksi KHV, menyebabkan gangguan pada fungsi insang dalam mengikat oksigen terlarut dalam air. Kerusakan insang yang parah dapat menimbulkan hipoksia yang serius karena oksigenasi insang yang tidak memadai. Penyakit KHV pada insang menyebabkan berkurangnya difusi oksigen dari lingkungan ke insang, karena berkurangnya luas permukaan lamela insang. Dengan demikian terjadi transpor oksigen yang tidak memadai oleh darah ke 109 Gambar 38 Epikarditis pada jantung (perbesaran 40x) Gambar 39 Kongesti pada jantung (perbesaran 40 x) 110 Gambar 40 Vakuolisasi pada jantung (perbesaran 40 x) Gambar 41 Miokarditis pada jantung (perbesaran 40 x) 111 (Perubahan Patologis) 50.0 45.0 40.0 35.0 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0 Infiltrasi selsel radang / Limfosit Epikarditis Perikarditis Miokarditis Kongesti Haemorhagi Vakuolisasi Edema Nekrosis (Persen) Gambar 42 Persen frekuensi kejadian perubahan patologis jaringan jantung ikan-ikan yang terinfeksi varian-varian KHV (warna ungu). Cluster I (warna biru) terdiri dari varian Kalsel, Lampung, Papua Barat, Kalbar (1), Jabar, Bali, NTT, DI Yogyakarta, Sumbar, DI Aceh, Kaltim (1), Bengkulu. Cluster II (warna merah) terdiri dari varian Sumut, Kalbar (2), NTB, Riau, Kaltim (2), DKI Jakarta. Kelompok yang tidak termasuk Cluster I dan II (warna hijau), terdiri dari Sumsel, Jatim, Gorontalo, dan Sulut. 112 jaringan karena anemia atau hemoglobin abnormal, penurunan sirkulasi umum, penurunan sirkulasi lokal, dan edema jaringan. Berkaitan dengan kerusakan insang yang terjadi pada ikan-ikan yang terinfeksi KHV, menyebabkan gangguan suplai oksigen oleh jantung ke jaringan. Jantung akan mengalami gangguan fungsi. Menurut Santer (1985), fungsi utama jantung adalah mempertahankan sirkulasi darah agar berlangsung secara kontinyu sehingga mampu melakukan suplai oksigen dan zat makanan. Selain insang, infeksi KHV pada usus atau saluran pencernaan dapat menyebabkan malabsorpsi dan maldigesti. Kondisi tersebut juga mengganggu fungsi jantung dalam melakukan suplai zat-zat makanan ke dalam jaringan tubuh ikan. Akibat langsung dari infeksi KHV yang terbawa aliran darah ke dalam organ jantung dapat menyebabkan gangguan bahkan kerusakan pada organ tersebut. Adanya infiltrasi sel-sel radang limfosit pada jaringan jantung ikan menunjukkan respon pertahanan tubuh terhadap invasi virus. Pada ikan-ikan yang rentan, infeksi virus dapat cepat meluas dan menimbulkan gangguan bahkan kematian jaringan (nekrosis). 4.5.7. Perubahan Patologis Pada Otak Perubahan patologis yang ditemukan pada jaringan otak ikan-ikan sampel yang terinfeksi varian KHV meliputi kongesti (86,4%), nekrosis (31,8%), gliosis (27,3%) vakuolisasi (9,1%), satelitosis (4,5%), gliosis (13,6%), haemorhagi (4,5%), edema (4,5%), perivascular cuffing (4,5%), dan fibrosis (4,5%). Pengamatan terhadap 113 perubahan patologis infeksi varian-varian KHV yang termasuk cluster I dan II, tidak menemukan perbedaan yang signifikan antar cluster. Namun demikian, gangguan maupun kerusakan otak yang relatif berat ditemui pada ikan-ikan sampel yang terinfeksi varian-varian DI Yogyakarta (cluster I), DI Aceh (cluster I), Lampung (cluster I), Jawa Barat (cluster I), DKI Jakarta (cluster II), dan Kalimantan Timur 2 (cluster II). Keadaan tersebut dapat disebabkan antara lain oleh kerentanan ikan (ikan stress lebih mudah terinfeksi KHV), patogenisitas varian KHV, stadium lanjut infeksi, tissue tropism, dan kondisi lingkungan yang memungkinkan perkembangan penyakit. Perubahan-perubahan patologis yang terjadi pada ikan-ikan sampel yang terinfeksi varian KHV dapat dilihat pada Gambar 43 sampai dengan 47, serta Tabel 6 sampai dengan 8. Berkaitan dengan peran penting otak dan sistem syaraf, perubahan-perubahan jaringan dapat terjadi pada sistem tersebut. Berbagai perubahan yang terjadi dapat disebabkan antara lain oleh agen penginfeksi, hipoksia, faktor fisik, reaksi imunologik, dan ketidakseimbangan nutrisi. Virus merupakan salah satu agen penginfeksi yang dapat menyebabkan perubahan jaringan otak dan sistem syaraf ikan. Umumnya virus menginfeksi organ tersebut melalui darah. Tanda dan gejala infeksi virus pada otak dan sistem syaraf dapat berbeda-beda tergantung pada kerentanan sel terhadap serangan virus. Infeksi virus dapat menyebabkan perubahan patologis seperti diuraikan di atas. Hasil uji imunohistokimia menemukan jaringan otak merupakan target infeksi KHV. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Gilad et al. (2004), yang menemukan KHV dalam 114 konsentrasi yang relatif tinggi. Ikan koi yang dapat bertahan hidup dari infeksi KHV pada 62–64 hari setelah terpapar virus, masih mengandung kopi genom KHV dalam Gambar 43 Kongesti pada otak (perbesaran 40 x) Gambar 44 Gliosis pada otak (perbesaran 40 x) 115 Gambar 45 Infiltrasi sel radang (mononuclear perivascular cuffing) (perbesaran 40x) Gambar 46 Nekrosis pada otak (perbesaran 40x) 116 (Perubahan Patologis) 100.0 90.0 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 Kongesti Vakuolisasi Satelitosis Gliosis Haemorhagi Edema Perivascular Cuffing Fibrosis Nekrosis (Persen) Gambar 47 Persen frekuensi kejadian perubahan patologis jaringan otak ikan-ikan sampel (n = 22 ekor) yang terinfeksi varian KHV (warna ungu). Cluster I (warna biru) terdiri dari varian Kalsel, Lampung, Papua Barat, Kalbar (1), Jabar, Bali, NTT, DI Yogyakarta, Sumbar, DI Aceh, Kaltim (1), Bengkulu. Cluster II (warna merah) terdiri dari varian Sumut, Kalbar (2), NTB, Riau, Kaltim (2), DKI Jakarta. Kelompok yang tidak termasuk Cluster I dan II (warna hijau), terdiri dari Sumsel, Jatim, Gorontalo, dan Sulut. 117 jumlah yang lebih rendah (sampai dengan 1,99 x 10 2 per106 sel-sel inang) pada insang, ginjal, atau otak. Akibat dari infiltrasi KHV pada otak menyebabkan perubahan jaringan berupa degenerasi dan nekrosis sel-sel syaraf (Wada et al., 2006). Perubahan patologis pada organ otak mengindikasikan adanya reaksi peradangan pada jaringan tersebut. Keadaan tersebut dapat terlihat pada mononuclear perivascular cuffing, dimana mekanisme pertahanan di dalam jaringan otak berusaha melokalisir infiltrasi virus. Kerusakan syaraf dengan jelas terindikasi dengan adanya satelitosis dan gliosis. Satelitosis adalah akumulasi sel neuroglia di sekitar jaringan syaraf yang rusak (Anonim, 2011a). Sedangkan gliosis merupakan sel-sel yang memulai proliferasi di sekitar jaringan otak yang rusak (Anonim, 2011b). Berkaitan dengan peran penting otak dan sistem syaraf, perubahan-perubahan patologis yang terjadi dapat mengganggu fungsi organ tersebut. Selain itu, gangguan atau kerusakan otak juga dapat mengganggu fungsi organ-organ lainnya mengingat otak dan jaringan syaraf merupakan organ yang sangat penting, karena semua organ tubuh ikan mengandung unsur syaraf. Sistem syaraf bersama-sama dengan sistem endokrin, melakukan sebagian terbesar fungsi pengaturan untuk tubuh. Pada umumnya, sistem syaraf mengatur kegiatan tubuh seperti kontraksi otot, gerakan renang dan keseimbangan, peristiwa visceral yang berubah dengan cepat, dan bahkan kecepatan sekresi beberapa kelenjar endokrin. Sistem syaraf bersifat khas dalam hal kerumitan tindakan pengaturan yang dapat dilakukannya. Sistem ini menerima ribuan informasi kecil dari berbagai organ sensoris dan kemudian mengintegrasikannya 118 untuk menentukan reaksi yang harus dilakukan tubuh. Selain itu juga berperan dalam respirasi dan osmoregulasi. 119