j Teraju REPUBLIKA KAMIS, 3 NOVEMBER 2011 INDIA MEDAN 23 SEPTIANDA PERDANA/ANTARA India Medan, Bung! Oleh Selamat Ginting Di Kampung Madras, dulunya masyarakat India tinggal dan bermukim. Kini tak banyak lagi warga keturunan India yang tinggal di sana. M enyusuri Jalan Zainul Arifin di Kota Medan, Sumatra Utara, mata kita akan tertuju pada dua buah bangunan tua yang cukup unik. Dua tempat ibadah yang berada dalam perkampungan sebuah komunitas disebut Kampung Madras. Sebelumnya, kampung ini dikenal dengan istilah Kampung Keling. “Ada Masjid Ghaudiyah dan Kuil Shri Mariamman. Kedua tempat ibadah itu dibangun pada 1880-an oleh perkumpulan masyarakat keturunan India di Kota Medan,” ujar Selw Kumar, pemuda keturunan Tamil. Masjid Ghaudiyah dibangun oleh perkumpulan etnis India Selatan yang beragama Islam, South Indian Muslims Foundation, pada 1887. Sultan Deli memberi yayasan ini dua lokasi untuk membangun masjid. Di Jalan Kejaksaan khusus untuk masjid, sementara di Jalan Zainul Arifin untuk masjid dan pekuburan. Pada awalnya, Masjid Ghaudiyah sangat terkenal dengan arsitektur bergaya khas India. Oleh karena itu, masjid ini sering disebut sebagai masjid India. Melihat gerbang masjid, masyarakat langsung menduga bahwa itu adalah masjid bergaya India. Halamannya yang luas dan dua kolam untuk mengambil air untuk wudhu, menjadikan masjid ini terlihat cukup megah. Namun disayangkan, pada 1962, gerbang dan kolamnya harus diruntuhkan untuk pelebaran Jalan Zainul Arifin. Kini, letak masjid bersejarah itu seperti terpencil, tersembunyi di balik gedunggedung bertingkat. Di sisi lain, Kuil Shri, Mariamman merupakan kuil Hindu tertua dan kini menjadi salah satu landmark Kota Medan. Kuil ini dibangun pada 1884. Namun, ada pula yang menyebutkan dibangun pada 1881 dan selesai 1884. Pintu gerbang kuil ini dihiasi sebuah gopuram, yaitu menara bertingkat yang biasanya dapat ditemukan di pintu gerbang kuil-kuil Hindu dari India Selatan atau semacam gapura. Kuil ini menjadi tempat pemujaan terhadap lima dewa, yakni Dewa Siwa, Wisnu, Ganesha, Dewi Durga (Kali), dan Dewi Aman. Perkampungan ini menjadi tempat berkumpulnya komunitas India di Kota Medan dan terdapat beberapa situs keberadaan Suku Tamil. Pada masa kolonial, orang-orang Tamil bermukim di sekitar lokasi- lokasi perkebunan yang ada di sekitar Kota Medan dan Sumatra Timur. Setelah masa kemerdekaan, umumnya mereka berdiam di sekitar Kota Medan, Binjai, Lubuk Pakam, dan Tebing Tinggi. Permukiman mereka yang tertua di Kota Medan terdapat di Jalan Zainul Arifin. Dahulu bernama Jalan Calcutta. Kawasan ini lazim juga dikenal dengan P sebutan Kampung Keling dan sekarang sudah dikembalikan namanya menjadi Kampung Madras. Pada masa sekarang ini, permukiman orang Tamil sudah menyebar di sejumlah tempat di seluruh Medan dan sekitarnya. Sebelum kemerdekaan Indonesia pada 1945, nuansa India begitu terasa di kawasan ini. Misalnya, tecermin dari namanama jalan yang sampai kini beberapa di antaranya masih digunakan. Dahulu ada Jalan Kalkuta (Calcutta), Jalan Bombay, Jalan Nagapatam, Jalan Ceylon, dan Jalan Madras di seputaran kawasan tersebut. Namun sekarang, diantara nama-nama itu ada yang sudah berganti. Seperti Kelurahan Madras, Jalan PJ Nehru, Muara Takus, Candi Biara, Gajah Mada, Majapahit, Taruma, dan Candi Prambanan, yang bernuansa Hindu, agama mayoritas bangsa India. Kalau nama Nehru ada di Medan, Indonesia, tidak demikian dengan nama Soekarno di India. Padahal Bung Karno begitu dikenal di India sebagai pendiri Gerakan Nonblok. “Pemerintah India pernah sakit hati karena Soekarno tidak memasukkan India dalam poros antineokolonialisme. Hanya ada Poros Jakarta, Peking, dan Pyongyang,” ujar Dubes Indonesia di New Delhi, Andi M Ghalib. Di Kampung Madras ini, puluhan bangunan tua khas zaman kolonial Belanda masih bisa ditemukan. Bangunan-bangunan ini adalah bangunan bersejarah peninggalan masa keemasan tembakau Deli. Di kawasan ini dulunya masyarakat India tinggal dan bermukim. Sekarang tak banyak lagi warga keturunan India yang tinggal di sana. Akibat tekanan ekonomi, kelompok masyarakat ini banyak yang tergusur ke pinggiran. Sekarang populasi terbesar mereka berada di Kampung Angrung dan Kampung Kubur, di sekitar kawasan Jalan Monginsidi, Medan. Di Jalan Zainul Arifin, jalan utama daerah ini, terlihat layaknya sebuah jalan di India. Misalnya, terdapat Toko Bombay yang menjual aneka kain sari India, Toko Kasturi yang menjual berbagai kebutuhan bahan makanan India, perlengkapan makan, kecantikan, sembahyang, dan berbagai kebutuhan lainnya. Ada juga restoran-restoran yang menyajikan makanan khas India, seperti Restoran Cahaya Baru, De Deli Dar Bar, dan Restoran Bollywood. Ada juga tokotoko yang menjual makanan kecil dan manisan khas India, laundy dan penjahit India, serta yang paling mendominasi, warung kecil penjual martabak India. Selain itu, dahulu terdapat Sekolah Khalsa yang pada masanya adalah satusatunya sekolah yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya. ■ Terasimilasi dengan Suku Karo otret kemajemukan budaya karena perpindahan penduduk secara masif dapat ditemukan di Kota Medan. Sebuah kota yang tumbuh pesat sejak per tengahan abad ke-19. Kota yang didirikan oleh Guru Patimpus Sembiring Pelawi ini berpenduduk majemuk. Bukan hanya dari kalangan penduduk pribumi, melainkan juga imigran dari kawasan Asia, seperti Cina, India, Arab, dan imigran dari kawasan Asia Tenggara. Perpindahan kaum migran ke Kota Medan, antara lain, karena pertumbuhan kota ini sebagai sentra kemajuan ekonomi. Dengan demikian, kota ini dijadikan sebagai tempat tujuan baru yang menjanjikan harapan untuk perbaikan hidup. Apalagi, Kota Medan dan Tanah Deli (Sumatra Timur) pernah dijuluki sebagai “Het Dollar Land” yang berkembang sangat cepat sejak pertengahan abad ke-19. Hal itu seiring dengan perkembangan industri perkebunan tembakau yang dirintis oleh Jacobus Nienhys sejak 1863. Buruhburuh dari Cina, India, dan Pulau Jawa ketika itu didatangkan dalam jumlah besar oleh pengusaha-pengusaha perkebunan. Mereka didatangkan sebagai kuli, kemudian migran lain pun terus berdatangan ke kota ini untuk tujuan berdagang dan mengisi berbagai lowongan pekerjaan yang tersedia. Salah satu yang cukup memengaruhi kota ini adalah kebudayaan India. Proses penyerapan unsur-unsur budaya India oleh berbagai komunitas yang ada di negeri ini juga masih berlangsung hingga hari ini. Temuan-temuan arkeologis di Sumatra maupun di Jawa mulai dari abad ke-7 hingga abad ke-14 Masehi memperlihatkan kesinambungan kehadiran peradaban India di kepulauan nusantara. Untuk konteks Sumatra Utara, misalnya, kehadiran orang-orang India sudah SEPTIANDA PERDANA/ANTARA terekam dalam sebuah prasasti pada 1010 Saka atau 1088 Masehi. Prasasti itu tentang perkumpulan pedagang Tamil di Barus yang ditemukan pada 1873 di situs Lobu Tua (Barus), sebuah kota purba di pinggir pantai Samudra Hindia. Prof KA Nilakanta Sastri (1932), seperti dikutip dari tulisan Y Subbarayalu (2002), menulis tentang prasasti itu sebagai berikut: “Fragmen prasasti dari Loboe Toewa berharga untuk dijadikan sebagai bukti yang jelas bahwa aktivitas perdagangan mereka (yaitu perkumpulan pedagang Tamil) telah menyebar ke Sumatrai” Keberadaan kaum pedagang Tamil pada abad ke-11 di pantai barat Sumatra karena terdesak oleh kekuatan armada pedagang-pedagang dari Arab dan Mesir (Brahma Putro, 1979). Brahma Putro, seorang warga Suku Karo yang menulis buku Karo dari Zaman ke Zaman (1979), menyebutkan bahwa orang-orang Tamil yang terdesak dari Barus kemudian terasimilasi dengan Suku Karo yang tinggal di Dataran Tinggi Tanah Karo (pedalaman Sumatra). Mereka ini pada kemudian hari yang menjadi keturunan marga Sembiring (Maha, Meliala, Brahmana, Depari), Sinulingga, Pandia, Colia, dan Capah. Secara fisik warga Karo dari kelompok marga tersebut memiliki persamaan dengan orang-orang Tamil. Kedatangan orang-orang India dalam jumlah besar dan hingga sekarang menetap dan membentuk suatu komunitas di berbagai bagian wilayah Sumatra Timur, khususnya Medan baru terjadi sejak pertengahan abad ke-19, yaitu sejak dibukanya industri perkebunan di Tanah Deli. Menurut catatan T Lukman Sinar (2001) pada 1874 sudah dibuka 22 perkebunan dengan memakai kuli bangsa Cina 4.476 orang, kuli Tamil 459 orang, dan orang Jawa 316 orang. Perkembangan jumlah kuli semakin meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Selain mereka yang didatangkan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan sebagai kuli, migran orang Cina, India, dan juga Arab mulai berdatangan ke Sumatra Timur untuk berdagang dan menjadi pekerja di bidang-bidang lain. Migran dari India yang datang untuk berdagang, antara lain, adalah orang-orang dari India Selatan (Tamil Muslim) dan juga orang Bombay serta Punjabi. Selain itu, ada kaum Sikh dan orangorang Uttar Pradesh. Begitu juga orangorang Sindi, Telegu, Bamen, Gujarati, dan Maratti (Maharasthra). Tetapi, orang-orang Indonesia pada umumnya tak mengenali perbedaan mereka dan secara sederhana menyebutnya sebagai orang Keling dan orang Benggali saja. Dalam bukunya, Lukman Sinar menyebutkan bahwa pada masa kolonial buruhburuh Tamil yang bekerja di perkebunan biasanya dipekerjakan sebagai tukang angkat air, membetulkan parit dan jalan. Sementara orang-orang Punjabi yang beragama Sikh biasanya bekerja sebagai penjaga keamanan, pengawal di istana dan kantor-kantor, serta penjaga toko. ■ selamat ginting