Disfemia

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN,
DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Kajian Teori
1. Hakikat Disfemia
a. Pengertian Disfemia
Sebagaimana dikutip dari Wikipedia (2003) bahwa berdasarkan makna
yang dikandung, pemakaian bahasa dalam masyarakat dapat dikategorikan
menjadi tiga, yaitu; disfemia (pengerasan atau pengasaran), netral (biasa), dan
eufemisme (penghalusan atau pelunakkan). Dengan kata lain, ketiga jenis makna
tersebut diwujudkan dalam kata-kata yang bernilai rasa halus atau sopan, netral
atau biasa, dan kasar atau tidak sopan. Contoh kata-kata tersebut dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Disfemia, Makna Biasa (Netral), dan Eufemisme dalam Bahasa
Inggris.
Dysphemism
Neutral
Euphemism
Prick
penis
genitals
take a shit
go to the bathroom
defecate
Stingy
careful
thrifty
terrorist
rebel
freedom fighter
pigheaded
stubborn
firm
slut, tramp
promiscuous (person)
playboy, ladykiller, Don Juan
Disfemia berasal dari bahasa Yunani dys atau dus (bad, abnormal,
difficult= bahasa Inggris) yang berarti ‘buruk’, adalah kebalikan dari eufemisme,
lebih lanjut berarti menggunakan dengan sengaja kata-kata yang bermakna kasar
atau mengungkapkan sesuatu yang bukan sebenarnya (Wikipedia, 2003). Senada
dengan pendapat di atas, Abdul Chaer (1995: 145) menyatakan bahwa disfemia
9
10
merupakan kebalikan dari eufemisme, yaitu usaha untuk mengganti kata yang
maknanya halus atau bermakna biasa dengan kata yang maknanya kasar.
Pengertian disfemia di dalam Webster’s Third New International
Dictionary-Volume 1 (Gove, 1981: 712) yang terjemahannya bahwa disfemia
adalah pengganti untuk kata-kata halus, sopan atau ramah, atau ungkapan secara
kasar dan tidak sopan atau tidak ramah, seperti laki-laki tua untuk menyebut ayah;
bisa juga berarti kata atau ungkapan yang digantikan—kebalikan dari eufemisme.
Selaras dengan pengertian di atas, Panuti Sudjiman (1990: 21) menyatakan
pengertian disfemia adalah, “ungkapan yang kasar sebagai pengganti ungkapan
yang halus atau yang tidak menyinggung perasaan”.
Allan dan Burridge (dalam Iorio, 2003) menyatakan bahwa disfemia
merupakan suatu ungkapan dengan konotasi kasar, tidak sopan, atau menyakitkan
hati mengenai sesuatu atau seseorang atau keduanya, dan merupakan pengganti
untuk ungkapan netral (biasa) atau eufemisme karena alasan-alasan tertentu.
Disfemia menjadikan sesuatu terdengar lebih buruk atau lebih jelek. Seperti yang
diungkapkan Smith (2003) bahwa disfemia merupakan suatu pernyataan yang
berfungsi menjadikan sesuatu terdengar lebih buruk atau lebih serius daripada
kenyataannya dan kebalikan dari eufemisme.
Disfemia adalah pengganti untuk kata-kata vulgar dan merupakan
kebalikan dari eufemisme (Wikipedia, 2003). Selanjutnya, dikatakan bahwa
disfemia bersinonim dengan ungkapan-ungkapan yang menyakitkan hati atau
menjijikkan, kasar atau tidak sopan, vulgar, tabu, dan tidak senonoh. Endro
Sutrisno dan Susi Harliani (dalam Kompas, 2005) mencontohkan kata-kata vulgar
yang juga merupakan bentuk pemakaian disfemia, seperti kata dijual dan menjual
pada kalimat Amin Rais tidak akan laku lagi dijual pada pemilu 2004 dan Hukum
berat pelaku yang menjual uang rakyat.
Disfemia dipakai karena berbagai alasan. Disfemia biasanya digunakan
untuk menunjukkan kejengkelan atau dilakukan orang dalam situasi yang tidak
ramah (Abdul Chaer, 1995: 145). Misalnya kata atau ungkapan masuk kotak untuk
menggantikan kata kalah, seperti dalam kalimat Liem Swie King sudah masuk
kotak. Contoh lain yang merupakan disfemia adalah kata mendepak dipakai untuk
11
mengganti kata mengeluarkan, seperti dalam kalimat Dia berhasil mendepak
bapak A dari kedudukannya.
Allan dan Burridge (2005) menyatakan bahwa disfemia digunakan sebagai
“senjata” untuk menghadapi orang lain atau melepaskan kekesalan hati untuk
suatu kemarahan dan kekecewaan. Pernyataan yang sama juga diungkapkan
Sagarin (dalam Iorio, 2003) bahwa seseorang memakai disfemia atau istilahistilah tertentu pada saat marah untuk mengungkapkan kekecewaan atau frustasi.
Disfemia juga digunakan untuk lebih memberikan suatu tekanan, tetapi tanpa
terasa kekasarannya (Abdul Chaer, 1995: 146). Misalnya kata menggondol yang
biasa dipakai untuk binatang, seperti pada anjing menggondol tulang. Akan tetapi,
kata menggondol juga dipakai dalam kalimat Regu bulu tangkis kita berhasil
menggondol Piala Thomas Cup. Begitu juga dengan kata mencuri yang dipakai
dalam kalimat Kontingen Suriname berhasil mencuri satu medali emas dari
cabang renang. Kata mencuri tidak tepat dipakai dalam konteks kalimat di atas
karena mencuri merupakan suatu tindak kejahatan yang dapat diancam dengan
hukuman penjara.
Abdul Chaer (2003: 315) menyatakan, “usaha untuk mengasarkan atau
disfemia sengaja dilakukan untuk mencapai efek pembicaraan menjadi tegas”.
Misalnya kata mengambil (dengan seenaknya) diganti dengan kata mencaplok,
kata kalah diganti dengan masuk kotak, urutan kata memasukkan ke penjara
diganti dengan menjebloskan ke penjara. Hal senada juga diungkapkan Alwi
(dalam Ali Masri, dkk., 2001: 62) bahwa disfemia atau bentuk pengasaran
biasanya dipakai untuk menghujat atau mengeraskan makna. Lebih lanjut
dikatakan bahwa pemakaian disfemia selain memiliki nilai rasa kasar juga untuk
menguatkan makna dalam konteks tertentu. Misalnya, kata menggenjot dalam
kalimat Bank Indonesia merespon permintaan Ditjen Pajak yang ingin membuka
kerahasiaan bank dalam rangka menggenjot penerimaan pajak. Pemakaian
disfemia menggenjot dalam konteks di atas hanya untuk menguatkan makna.
Eriyanto (dalam Fakhrurradzie M.G., 2002) menyatakan bahwa disfemia
dipakai untuk menyebut tindakan yang dilakukan rakyat bawah. Hal ini
didasarkan pada hasil penelitian mengenai pemberitaan media di Medan tentang
12
konflik antara petani dengan PT Perkebunan Negara II. Ditemukan pemakaian
kata “pencaplok” untuk menyebut tindakan petani. Pemakaian kata tersebut dapat
mengeraskan atau menggambarkan seolah-olah yang dilakukan petani adalah
tindakan anarkis, tidak sah atau ilegal.
Disfemia menurut Fakhrurradzie M.G. (2002) adalah “mengeraskan atau
mengasarkan fakta melalui kata atau kalimat sehingga maknanya berbeda dari
yang sebenarnya atau sesungguhnya”. Contoh pemakaian disfemia adalah
pemakaian kata-kata pemerasan, teror, memburu, peperangan, dan pembersihan
dalam konteks konflik politik Aceh. Kata-kata tersebut dipakai untuk
menggambarkan perilaku GAM dan usaha pihak tentara untuk menaklukkan
GAM. Pemakaian bahasa yang mengasarkan dan mengeraskan fakta tersebut
dipakai oleh elite politik atau mereka yang terlibat konflik untuk memperoleh
simpati publik atau berhasil menanamkan hegemoninya.
Ada beberapa kesulitan untuk menentukan suatu kata masuk dalam
kategori disfemia, netral (biasa), atau eufemisme (Wikipedia, 2003). Kesulitankesulitan tersebut, yaitu: (1) istilah-istilah tertentu (seperti pada tabel. 1) tidak
memiliki sinonim mutlak; (2) kata-kata atau ungkapan dikategorikan sebagai
disfemia, netral (biasa), atau eufemisme tergantung dari konteks yang
melatarinya. Misalnya, kata menstruate bermakna netral dalam konteks akademis,
tapi merupakan eufemisme dalam konteks atau suasana santai, dan bernilai rasa
kasar atau tidak sopan dalam suasana atau konteks formal, dickhead bermakna
atau bernilai rasa ramah bagi orang Australia, tapi bermakna kasar bagi orang
Amerika. Dengan kata lain, penentuan suatu istilah termasuk dalam disfemia,
netral (biasa), atau eufemisme akan berbeda-beda tergantung yang menentukan,
misalnya ditentukan oleh laki-laki atau perempuan, kelompok masyarakat yang
berbeda umur, atau budaya yang berbeda-beda; (3) beberapa istilah dapat disebut
sebagai eufemisme maupun disfemia. Misalnya, ungkapan beat the meat atau
drain the snake yang terdengar lebih halus. Akan tetapi, ungkapan tersebut tidak
selamanya terdengar sopan dibanding dengan masturbate atau urinate.
Seperti dituliskan sebelumnya bahwa disfemia merupakan kebalikan dari
eufemisme. Kata eufemisme atau eufemismus diturunkan dari kata Yunani
13
euphemizein yang berarti menggunakan kata-kata dengan arti yang baik atau
dengan tujuan yang baik. Sebagai gaya bahasa, eufemisme berupa ungkapanungkapan yang halus yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapanungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan
menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak
menyenangkan (Gorys Keraf, 2002: 132). Misalnya, Ayahnya sudah tak ada di
tengah-tengah mereka, Pikiran sehatnya semakin merosot saja akhir-akhir ini,
dan Anak saudara memang tidak terlalu cepat mengikuti pelajaran seperti anakanak lainnya. Ketiga kalimat tersebut untuk menghaluskan kata mati, gila, dan
bodoh. Moeliono (1989: 177) menguatkan pendapat tersebut eufemisme adalah,
“ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar,
yang dianggap merugikan, atau tidak menyenangkan”.
Misalnya meninggal,
bersenggama, tinju, dan tunakarya.
Eufemisme merupakan ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti
ungkapan yang dirasakan kasar, yang dianggap merugikan atau tidak
menyenangkan (Panuti Sudjiman, 1990: 30). Pengertian eufemisme di dalam
Webster’s Third New International Dictionary-volume 1 (Gove, 1981: 784) yang
terjemahannya bahwa eufemisme adalah pengganti untuk kata-kata atau ungkapan
kasar, tidak sopan atau tidak ramah, tidak menyenangkan, ataupun tabu; sindiran
untuk sesuatu yang buruk dengan ungkapan sopan atau halus—kebalikan dari
disfemia.
Eufemisme merupakan usaha untuk menghaluskan ungkapan dengan
kosakata yang memiliki sifat tersebut (Abdul Chaer, 2003: 314-315). Misalnya
kata korupsi diganti dengan ungkapan menyalahgunakan jabatan, kata pemecatan
diganti dengan pemutusan hubungan kerja, dan kata babu diganti dengan
pembantu rumah tangga yang kini menjadi pramuwisma. Abdul Chaer dalam
bukunya yang lain (1995: 144-145) menyatakan bahwa penghalusan atau
eufemisme berhadapan dengan gejala ditampilkannya kata-kata atau bentukbentuk yang dianggap memiliki makna yang lebih halus, atau lebih sopan
daripada yang akan digantikan. Misalnya, kata penjara atau bui diganti dengan
kata atau ungkapan yang maknanya dianggap lebih halus, yaitu Lembaga
14
Pemasyarakatan, kata dipenjara atau dibui diganti menjadi dimasukkan ke
Lembaga Pemasyarakatan, dan kata atau ungkapan kenaikan harga diganti
dengan perubahan harga, penyesuaian tarif, atau pemberlakuan tarif baru.
Allan dan Burridge (dalam Iorio, 2003) menyatakan bahwa eufemisme
digunakan sebagai suatu pilihan untuk mengungkapkan rasa tidak suka agar
terhindar dari rasa malu. Eufemisme berarti menghaluskan fakta melalui
penggunaan kata-kata atau kalimat sehingga maknanya berbeda dari yang
sesungguhnya (Fakhrurradzie M.G., 2002). Dengan kata lain, mengganti kata-kata
yang mempunyai makna buruk dengan bahasa eufemisme dapat merubah realitas
yang tadinya kasar menjadi halus. Hal tersebut dapat mengakibatkan seseorang
tidak bisa melihat kenyataan yang sebenarnya. Pemakaian eufemisme juga bisa
menipu terutama rakyat bawah. Seperti penyebutan kata relokasi
untuk
menggantikan kata penggusuran, dan aparat keamanan untuk menggantikan kata
tentara atau militer. Pendapat yang sama juga diungkapkan Anton M. Moeliono
(1989: 177) bahwa eufemisme dapat dengan mudah melemahkan kekuatan diksi
karangan. Misalnya, pemakaian ungkapan penyesuaian harga, kemungkinan
kekurangan makan, dan membebastugaskan.
Eufemisme maupun disfemia dapat diciptakan melalui bahasa kiasan
(Iorio, 2002). Dengan kata lain, eufemisme dan disfemia merupakan suatu
pengungkapan yang memiliki makna tidak langsung. Seperti yang ditemukan
dalam Wikipedia (2003) bahwa eufemisme dan disfemia sama-sama menyangkut
tentang ketidaklangsungan makna. Misalnya, dalam bahasa Inggris seorang
pekerja wanita yang sedang menstruasi (menstration= bahasa Inggris) akan
menyatakan pada pimpinannya (laki-laki) menggunakan kiasan monthly visitor is
here. Dengan demikian, kata menstration yang memiliki makna tabu dapat
dihindari dengan memakai kiasan yang menunjuk pada kata tersebut. Pemakaian
kiasan monthly visitor is here selain menunjuk secara tidak langsung pada kata
menstration, juga menghindari pekerja tersebut dari rasa malu pada pimpinannya.
Dengan kata lain, pekerja tersebut harus memakai penghalusan atau eufemisme
untuk menggantikan kata menstration dalam suasana formal.
15
Eufemisme dan disfemia dapat diketahui dari konteks suatu kalimat
(peristiwa). Selain itu, melalui konteks kalimat (peristiwa) dapat diketahui muatan
nilai rasa yang terdapat pada pemakaian eufemisme dan disfemia. Hal ini senada
dengan yang diungkapkan Iorio (2003) bahwa penulis biasanya menggunakan
disfemia atau eufemisme untuk memperlihatkan bahwa suatu konteks dapat
menciptakan kekuatan suatu bahasa. Selain itu, juga untuk memperlihatkan bahwa
penulis dapat menciptakan akibat-akibat tertentu dari bentuk kebahasaan yang ia
pilih. Hal tersebut dikarenakan eufemisme dan disfemia dapat diketahui dari
konteks suatu peristiwa.
Sejumlah ungkapan atau kata dapat menjadi disfemia atau eufemisme
tergantung dari konteksnya (Wikipedia, 2003). Misalnya, dalam bahasa Inggris
untuk menyebut orang yang telah meninggal memakai ungkapan passed away,
sedangkan untuk yang bernilai rasa kasar memakai kicked the bucket atau worm
food. Selanjutnya, suatu ungkapan atau kata tertentu dalam suasana santai atau
bercanda dapat menjadi disfemia ataupun eufemisme. Misalnya, ungkapan dalam
bahasa Inggris spank the monkey dapat menjadi disfemia ataupun eufemisme.
Spank the monkey merupakan eufemisme dari kata masturbate atau justru dengan
sengaja untuk memprovokasi atau mengasarkan. Semua itu tergantung dari
pendengar.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa disfemia merupakan cara
mengungkapkan pikiran dan fakta melalui kata-kata atau ungkapan-ungkapan
yang bermakna keras, kasar, tidak ramah, atau berkonotasi tidak sopan karena
alasan-alasan tertentu (misalnya untuk melepaskan kekesalan hati, kemarahan,
kekecewaan, frustasi, dan rasa benci atau tidak suka) juga untuk menggantikan
kata atau ungkapan yang maknanya halus, biasa, atau yang tidak menyinggung
perasaan. Singkatnya, disfemia merupakan kebalikan dari eufemisme. Pemakaian
disfemia dapat menyebabkan sesuatu terdengar lebih buruk dan lebih serius
daripada
kenyataannya.
Dengan
kata
lain,
pemakaian
disfemia
dapat
menyebabkan suatu kata-kata atau ungkapan memiliki makna yang berbeda dari
sesungguhnya. Pemakaian disfemia dapat diketahui dari konteks peristiwa atau
kalimat yang melatarinya.
16
b. Bentuk Pemakaian Disfemia
Pemakaian disfemia dapat ditemukan dalam bahasa Inggris maupun
bahasa Indonesia. Selanjutnya, bentuk pemakaian disfemia dituliskan di bawah
ini.
1) Bentuk pemakaian disfemia berupa kata
a) Seperti dikutip dari Wikipedia (2003) bentuk pemakaian disfemia berupa
kata, sebagai berikut:
 kata jerk untuk menggantikan kata stupid
 kata prick untuk menggantikan kata penis
 kata stingy untuk menggantikan kata careful
 kata terrorist untuk menggantikan kata rebel
 kata pigheaded untuk menggantikan kata stubborn
 kata slut (tramp) untuk menggantikan kata promiscuous (person)
 kata sucks untuk menggantikan frasa very unpleasant
b) Abdul Chaer (1995: 145-146) mencontohkan bentuk pemakaian disfemia
yang berupa kata, sebagai berikut:
 Dengan seenaknya Israel mencaplok wilayah Mesir itu.
Kata mencaplok merupakan disfemia untuk menggantikan frasa
mengambil dengan begitu saja.
 Dia berhasil mendepak bapak A dari kedudukannya.
Kata mendepak merupakan disfemia untuk mengganti kata mengeluarkan.
 Polisi menjebloskannya ke dalam sel.
Kata menjebloskannya merupakan disfemia untuk menggantikan kata
memasukkan.
 Akhirnya regu bulu tangkis kita berhasil menggondol pulang piala
Thomas Cup itu.
Kata menggondol merupakan disfemia untuk lebih memberi tekanan, tapi
tanpa terasa kekasarannya. Kata menggondol biasa dipakai untuk hewan.
c) Ali Masri, dkk. (2001: 65-79) menuliskan bentuk pemakaian disfemia yang
berupa kata, sebagai berikut:
17
 “Saat itu Bapak Bimantoro mengaku pada Presiden bahwa dirinya
dipolitisir dan dijadikan amunisi oleh lawan politik Presiden,” kata Adie
Masardie.
Tampak bahwa kata amunisi dipilih sebagai disfemia dari kata alat.
 “Kita ingin tahu ucapan dan perbuatan itu. Apakah mereka masuk
kelompok sontoloyo,” kata Matori Abdul Djalil.
Kata sontoloyo pada kalimat di atas dipilih sebagai disfemia dari frasa asal
bicara. Interpretasi ini didasarkan pada konteks kalimat, yakni ucapan dan
perbuatannya.
 Mantan Kasospol ABRI, Letjen (pur) Harsudiono Hartas menilai rakyat
sudah muak dengan konflik elit politik.
Kata muak dipilih sebagai disfemia dari kata bosan. Kata muak
merupakan titik puncak yang dapat dibangun dari kata bosan yang
berulang-ulang.
 Sebab itu, diduga Gus Dur ingin menggunakan Lopa sebagai bumper dari
serangan lawan politiknya.
Kata bumper dipilih sebagai disfemia dari kata tameng. Kata bumper pada
kalimat di atas tidak lazim dipakai karena bumper diambil dari nama
bagian belakang mobil (kendaraan).
 Gus Dur saat ini sudah kembali ke habitat semula.
Kata habitat dipilih sebagai disfemia dari kata lingkungan. Kata habitat
lebih cocok dipakai untuk kelompok/golongan/kalangan hewan/binatang
daripada manusia. Jadi, kata habitat pada kalimat di atas bernilai rasa
kasar karena dipakai untuk konteks manusia.
 Ada pihak ketiga yang mengobok-obok kebersamaan yang selama ini
terjalin.
Kata mengobok-obok merupakan disfemia dari kata mengganggu, yang
berfungsi untuk mengeraskan makna.
 Prajogo Pangestu dibidik dalam kasus dugaan korupsi dana reboisasi
Hutan Tanaman Industri (HIT) di Sumatera Selatan yang merugikan
negara sebesar Rp 331 miliyar.
18
Kata dibidik dipilih sebagai disfemia dari kata diincar. Kata dibidik
biasanya dipakai dalam konteks perburuan atau hewan yang diburu. Jadi,
pemakaiannya lebih tepat untuk sesuatu yang diburu.
 Akrobat politik Gus Dur mendapat kritikan tajam dari praktisi hukum,
Adnan Buyung Nasution, dan pakar hukum ketatanegaraan, Jily
Asshiddiqie.
Kata akrobat dimaksud sebagai disfemia dari kata permainan.
 Perampok juga berhasil menggasak uang sebesar Rp 38 juta.
Kata menggasak dipilih sebagai disfemia dari kata mengambil.
 Kader PDIP yang melacur akan digantung.
Kata melacur dipakai sebagai disfemia dari kata membelot.
 “Untuk apa mereka menjadi pimpinan kalau untuk melaksanakan
pemilihan bupati saja mereka tidak becus,” kata Askolani.
Kata becus dipilih sebagai disfemia untuk menggantikan kata cakap.
 Ketua komisi E DPRD Palembang berang atas kinerja pegawai Dinas
Kesehatan Pemkot Palembang.
Kata berang dipilih sebagai disfemia untuk menggantikan kata marah,
karena memiliki nilai rasa lebih kasar.
d) Fakhrurradzie M.G. (2002) mencontohkan pemakaian disfemia dalam
bentuk kata di surat kabar, seperti pemerasan, teror, memburu,
peperangan, dan pembersihan, dalam konteks konflik politik Aceh. Bentuk
pemakaian disfemia tersebut dipakai untuk menggambarkan perilaku GAM.
Alasan dipakainya bentuk disfemia tersebut oleh pihak tentara adalah untuk
menaklukkan GAM, sedangkan untuk elite politik dan mereka yang terlibat
konflik adalah untuk meraih simpati publik atau agar berhasil menanamkan
hegemoninya.
e) Pemakaian disfemia dalam bentuk kata yang ditemukan dalam Webster’s
Third New International Dictionary-Volume 1 (Gove, 1981: 712) adalah
kata heap untuk menggantikan kata car.
19
2) Bentuk pemakaian disfemia berupa frasa
a) Ali Masri, dkk. (2001: 73-77) mencontohkan bentuk pemakaian disfemia
berupa frasa, sebagai berikut:
 Khasmir banjir darah 14 tewas.
Frasa banjir darah dipilih sebagai disfemia dari kata kisruh.
 Bila Mega naik menjadi Presiden, maka sasaran tembak yang empuk
adalah Taufik Kemas.
Frasa sasaran tembak dipakai sebagai disfemia untuk menggantikan kata
terget.
b) Sagarin (dalam Ioroi, 2003) mencontohkan disfemia yang berupa frasa,
yaitu shut the fuck up untuk menggantikan kata quiet.
3) Bentuk pemakaian disfemia berupa ungkapan
a) Bentuk pemakaian disfemia yang berupa ungkapan, seperti dikutip dari
Wikipedia (2003), sebagai berikut:
 ungkapan take a shit untuk menggantikan frase go to the bathroom
 ungkapan spank the monkey, beat the meat, dan drain the snake untuk
menggantikan kata masturbate
 ungkapan kicked the bucket, bought the farm, taking a dirt nap, worm
food, sleeps with the fishes, dan pushing up daises untuk menggantikan
kata death
b) Smith (2003) mencontohkan bentuk pemakaian disfemia yang berupa
ungkapan, yaitu: baby killer, evil empire, ruthlessly exploited, dan tax and
spend untuk menggantikan ungkapan negative political
c) Abdul Chaer (1995: 149-150) mencontohkan bentuk pemakaian disfemia
yang berupa ungkapan, yaitu ungkapan masuk kotak dalam kalimat: Liem
Swie King sudah masuk kotak. Ungkapan masuk kotak merupakan
disfemia untuk menggantikan kata kalah.
Berdasarkan contoh-contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa bentuk
pemakaian disfemia dapat berupa kata, frasa dan ungkapan, baik dalam bahasa
Indonesia maupun bahasa Inggris. Selanjutnya, bentuk pemakaian disfemia yang
berupa frasa adalah frasa yang terdiri dari dua kata, seperti, banjir darah dan
20
sasaran tembak. Bentuk pemakaian disfemia yang berupa ungkapan, misalnya
masuk kotak, take a shit, worm food, dan sebagainya.
Berkaitan dengan sinonim, bentuk pemakaian disfemia berupa kata tidak
hanya bersinonim dengan tataran kata, tetapi juga frasa. Misalnya bentuk disfemia
berupa kata prick dan menggasak yang bersinonim dengan kata penis dan
mengambil. Lalu, bentuk disfemia berupa kata sontoloyo bersinonim, dengan
frasa asal bicara. Begitu juga dengan bentuk disfemia berupa frasa yang
bersinonim dengan tataran kata dan frasa. Misalnya, bentuk disfemia berupa frasa
sasaran tembak bersinonim dengan kata target, shut the fuck up bersinonim
dengan kata quiet. Lalu, bentuk disfemia berupa ungkapan evil empire besinonim
dengan frasa negative political.
2. Hakikat Semantik
Semantik merupakan salah satu cabang bahasa yang cukup kompleks
dalam kajian bahasa. Dikatakan demikian, karena makna sebagai objek kajian di
samping sifatnya yang abstrak juga menyangkut mental psikologi dan tingkah
laku (Oka dan Suparno, 1994: 229).
Kata semantik dalam bahasa Indonesia (bahasa Inggris: semantics) berasal
dari bahasa Yunani sema (kata benda) yang berarti ‘tanda’, sedangkan kata
kerjanya semaino yang berarti ‘menandai’ (Djajasudarma, 1999: 1). Lebih lanjut
Aminuddin (2003: 15) menyatakan bahwa semantik yang diturunkan dari bahasa
Yunani, mempunyai makna to signify yang berarti ‘memaknai’.
Lyons (1996: 3) menyatakan bahwa semantik secara tradisional
didefinisikan sebagai studi tentang makna. Verhaar (dalam Oka dan Suparno,
1994: 229) menyatakan bahwa semantik sebagai teori makna atau teori arti.
Begitu juga dengan Pateda (2001: 2) yang menyatakan bahwa kata semantik
sebenarnya merupakan istilah teknis yang mengacu pada studi tentang makna.
Pengertian semantik juga ditemukan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2003: 1025), yaitu ilmu tentang makna kata dan kalimat, pengetahuan mengenai
seluk beluk dan pergeseran arti kata.
21
Harimurti Kridalaksana (2001: 193) menjelaskan pengertian semantik,
yaitu: (1) bagian struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan
juga dengan struktur makna suatu wicara; dan (2) sistem dan penyelidikan makna
dan arti dalam suatu bahasa atau bahasa pada umumnya. Senada dengan definisi
yang kedua, Parera (1990: 14) menyatakan semantik adalah, “suatu studi dan
analisis tentang makna-makna linguistik”. Lebih lengkapnya Slametmuljana
(dalam Djajasudarma, 1999: 14) menyatakan:
Semantik adalah penelitian makna kata dalam bahasa tertentu menurut
sistem penggolongan. Semantik adalah ilmu makna, membicarakan arti
bagaimana mula adanya makna sesuatu (misal, sejarah kata, dalam arti
bagaimana kata itu muncul), bagaimana perkembangannya, dan mengapa
terjadi perubahan makna dalam sejarah bahasa.
Berdasarkan pengertian semantik yang diajukan oleh Slametmuljana di
atas, semantik selain mempelajari makna kata juga mempelajari sejarah dalam
serangkaian perkembangan bahasa. Lebih dari itu, Pateda (2001: 3) menyatakan
bahwa sebenarnya semantik belum tegas membicarakan makna atau belum tegas
membahas makna sebagai objeknya, sebab yang dibahas lebih banyak yang
berhubungan dengan sejarahnya. Semantik dalam hubungannya dengan sejarah
juga melibatkan sejarah pemakai bahasa (masyarakat bahasa). Bahasa berubah,
berkembang tidak luput dari segi unsurnya, antara lain kosakata sebagai unsur
yang paling tidak mantap.
Sedikit berbeda dari pendapat sebelumnya, pengertian semantik dalam
Ensiklopedia Britanika (dalam Pateda, 2001: 7) adalah studi tentang hubungan
antara suatu pembeda linguistik dengan hubungan proses mental atau simbol
dalam aktivitas berbicara. Ada yang meyatakan bahwa proses mental tidak perlu
dipelajari karena membingungkan, ada pula yang menyatakan harus dipelajari
secara terpisah dari semantik, atau bahasa harus dipelajari secara terpisah, lepas
dari semantik tanpa menyinggung proses mental. Terlepas dari pernyataan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa semantik adalah subdisiplin linguistik yang
membicarakan makna.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa semantik adalah
bagian dari linguistik yang mempelajari makna kata dan kalimat dalam bahasa
22
tertentu. Objek kajian utama semantik adalah makna kata. Selain itu, semantik
juga mempelajari sejarah perkembangan dan latar belakang terjadinya perubahan
makna suatu kata dalam serangkaian perkembangan bahasa. Dengan kata lain,
semantik mempelajari seluk beluk dan pergeseran kata.
2. Hakikat Makna
a. Pengertian Makna
Makna dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003: 619) diartikan
sebagai: (1) arti; (2) maksud pembicara atau penulis; (3) pengertian yang
diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Senada dengan pendapat di atas,
Gorys Keraf (2000: 25) menyatakan bahwa makna adalah segi yang menimbulkan
reaksi dan pikiran pembaca atau pendengar. Selanjutnya, Lyons (dalam
Djajasudarma, 1999: 5) menyatakan bahwa mengkaji atau memberikan makna
suatu kata ialah memaknai kajian kata tersebut yang berkenaan dengan hubunganhubungan makna yang membuat kata tersebut berbeda dari kata-kata lain.
Djajasudarma (1999: 5) menyatakan bahwa pengertian makna (bahasa
Inggris: sense) dibedakan dengan pengertian arti yang dalam bahasa Inggris
disebut meaning. Makna adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa
itu sendiri (terutama kata-kata). Berbeda dengan arti yang maknanya lebih pada
makna leksikal dari kata-kata yang cenderung terdapat di dalam kamus, sebagai
leksem. Menguatkan pendapat di atas, Edi Subroto (2002: 110) menyatakan
bahwa arti adalah arti lingual atau arti linguistik, yaitu arti yang terdapat di dalam
bahasa, yang terstrukturkan oleh dan di dalam bahasa, dipahami secara lebih
kurang sama oleh pengguna bahasa dalam suatu masyarakat bahasa, dipakai
secara umum dan wajar dalam proses komunikasi sehari-hari. Selanjutnya, Edi
Subroto (2002: 113) menyatakan makna adalah, “arti sebuah butir leksikal atau
sebuah tuturan kalimat berdasarkan konteks pemakaian, situasi yang melatarinya,
dan intonasinya”. Dengan demikian, jelas bahwa Edi Subroto membedakan antara
arti dengan makna.
Ullman (dalam Pateda, 2001: 82) menyatakan bahwa makna adalah
hubungan antara nama dengan pengertian, sedangkan acuan tidak disebut-sebut
23
karena acuan berada di luar jangkauan linguis. Pernyataan ini diperkuat Palmer
(dalam Djajasudarma, 1999: 5) bahwa makna hanya menyangkut intrabahasa.
Masih dalam batasan yang sama, Ogden dan Richards (dalam Pateda, 2001: 83)
menyatakan makna adalah, “penggunaan lambang yang dapat sesuai dengan yang
dimaksud”.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa makna hanya
mempelajari masalah intrabahasa, yaitu hubungan antara nama dengan pengertian.
Dengan kata lain, antara nama dan pengertian memiliki hubungan langsung,
sedangkan antara nama dengan acuan memiliki hubungan tidak langsung. Hal ini
sesuai dengan pendapat Oka dan Suparno (1994: 231):
Berdasarkan konfigurasi model segitiga Ogden dan Richards dapat
dikatakan bahwa makna merupakan konsep yang melibatkan tiga
komponen, yakni pikiran, simbol (kata), dan acuan. Ketiga komponen itu
berhubungan: pikiran dan simbol serta pikiran dan acuan memiliki
hubungan langsung, sedangkan simbol dan acuan memiliki hubungan tidak
langsung.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa
pengertian makna dibedakan dari arti. Makna adalah maksud pembicara atau
penulis yang diberikan kepada bentuk kebahasaan berdasarkan konteks
pemakaian, situasi yang melatari, dan intonasi. Makna adalah hubungan secara
langsung antara pikiran (pengertian) dengan nama (simbol) serta pikiran
(pengertian) dengan acuan. Berbeda antara simbol dengan acuan yang memiliki
hubungan tidak langsung. Dalam hal ini, hakikat atau konsep makna lebih pada
makna dalam hubungannya dengan kata-kata atau bentuk kebahasaan berdasarkan
konteks pemakaian.
b. Nilai Rasa
Djajasudarma (dalam Ali Masri, dkk., 2001: 71-72) menyatakan bahwa
makna emotif adalah muatan nilai rasa pada makna yang dibawa oleh suatu kata.
Selanjutnya, nilai rasa itu dapat bersifat positif (baik, sopan, hormat, dan sakral)
dan dapat pula bersifat negatif (kasar, jelek, kotor, tidak sopan, dan porno).
24
Pergantian nilai rasa dalam percakapan dari kurang sopan menjadi lebih
sopan dapat ditemukan dalam eufemisme (Wikipedia Indonesia, 2006).
Dicontohkan percakapan “Di mana tempat kencingnya?” dapat diganti dengan “Di
mana kamar kecilnya?”. Kata “tempat kencing” (dalam bahasa Indonesia disebut
juga WC) tidak cocok digunakan untuk percakapan yang sopan atau suasana
formal. Kata “kamar kecil” dapat menggantikan kata “tempat kencing”. Hal
tersebut dikarenakan kata “kamar kecil” memiliki konotasi lebih sopan daripada
kata “tempat kencing”.
Kalau dalam eufemisme ditemukan adanya pergantian nilai rasa dari
kurang sopan menjadi lebih sopan maka dalam disfemia adalah sebaliknya.
Pemakaian disfemia adalah upaya penggantian (kata atau bentuk lain) yang
bernilai rasa positif atau netral dengan kata lain yang dinilai bernilai rasa kasar
atau negatif.
Ali Masri, dkk. (2001:72-74) menyatakan bahwa dilihat dari nilai rasa,
pemakaian
disfemia
dalam
surat
kabar
menunjukkan
kecenderungan
menyeramkan (seram), mengerikan, menakutkan, menjijikkan, dan menguatkan.
Muatan nilai rasa tersebut terdapat pada pemakaian disfemia di bawah ini.
1) meyeramkan (seram)
Contoh:
Perbuatan bejat itu terjadi Jumat (25/6) lalu selitar pukul 23.00 WIB.
Pada kalimat di atas kata bejat dipakai untuk menggantikan kata asusila.
Dilihat dari makna emotif, kata bejat dan asusila memiliki nilai rasa yang
berbeda karena kata bejat mempunyai nilai rasa lebih kasar atau lebih buruk
daripada kata asusila.
Perbuatan bejat itu membuat korban hilang kegadisannya.
Kata bejat pada kalimat di atas juga dipakai untuk menggantikan kata asusila
dalam tindak pemerkosaan. Kata bejat memiliki nilai rasa yang lebih kasar
atau lebih seram karena dapat merusak.
2) mengerikan
Contoh:
Tauke jagung dicincang pedagang gara-gara menagih hutang.
25
Kata dicincang pada kalimat di atas dipakai untuk menggantikan kata
dibunuh. Selain bernilai rasa kasar, bentuk penggantian tersebut juga
menggambarkan hal yang mengerikan dan tidak lazim dilakukan pada
manusia.
Khasmir banjir darah 14 tewas.
Frasa banjir darah pada contoh di atas dipakai untuk menggantikan kata
kisruh. Selain bernilai rasa kasar, frasa banjir darah juga mengacu pada hal
yang mengerikan. Logikanya, kalau cuma 14 orang yang tewas tertembak,
tentu darah korban hanya berceceran, tidak sampai membanjiri Khasmir.
3) menakutkan
Contoh:
Kita berharap agar tidak ada dajal politik dalam kabinet.
Kata dajal pada kalimat di atas dipakai untuk menggantikan kata setan.
Kedua kata itu sama, tetapi memiliki nilai rasa yang berbeda. Kata dajal
bernilai rasa lebih kasar (lebih menakutkan daripada kata setan, karena dajal
mengacu pada raja setan berupa ‘raksasa besar’.
4) menjijikkan
Contoh:
Terjadinya disclaimer kali ini tidak terlepas dari banyaknya borok dalam
BPPN.
Kata borok pada kalimat di atas dipakai sebagai disfemia untuk
menggantikan kata masalah. Kata borok, selain memiliki nilai rasa yang lebih
kasar, juga mengacu kepada sesuatu yang menjijikkan (penyakit).
5) menguatkan
Contoh:
“Untuk apa mereka menjadi pemimpin kalau untuk melaksanakan pemilihan
bupati saja mereka tidak becus,” kata Askolani.
Kata becus pada kalimat di atas dipilih untuk menggantikan kata cakap.
Selain bernilai rasa lebih kasar, kata becus juga digunakan untuk menguatkan
makna negatif. Selain itu, kata becus lazim didahului oleh bentuk negasi
26
tidak, sama dengan konstruksi kata tidak senonoh. Ini berbeda dengan kata
cakap yang jarang digunakan dalam bentuk negasi.
Bank Indonesia merespon permintaan Ditjen Pajak yang ingin membuka
kerahasiaan bank dalam rangka menggenjot penerimaan pajak.
Kata menggenjot pada kalimat di atas dipakai sebagai disfemia untuk
menggantikan kata meningkatkan. Kata menggenjot bernilai rasa lebih kasar
daripada kata meningkatkan yang bernilai rasa netral. Oleh sebab itu,
pemakaian disfemia menggenjot dalam konteks di atas hanya untuk
menguatkan makna.
Shipley (dalam Pateda, 2001: 101) menyatakan makna emotif adalah,
“makna yang timbul akibat adanya reaksi pembicara atau sikap pembicara
mengenai atau terhadap apa yang dipikirkan atau dirasakan”. Misalnya, kata
kerbau yang muncul pada urutan kata engkau kerbau. Kata kerbau menimbulkan
perasaan tidak enak bagi pendengar atau mengandung makna emotif. Hal tersebut
karena kata kerbau dihubungkan dengan perilaku malas, lamban, dan dianggap
sebagai penghinaan. Orang yang mendengarnya merasa tersinggung dan
perasaannya tidak enak. Begitu juga dengan kata meninggal, mati, tewas, dan
mampus yang memiliki makna emotif yang berbeda-beda, tetapi memiliki makna
kognitif yang sama yaitu ‘tidak lagi bernyawa’. Orang yang membaca atau
mendengar urutan kata Si Ali mampus memperlihatkan perasaan orang yang
menuliskannya atau mengucapkannya. Selain itu, juga menimbulkan perasaan
tertentu pada pembaca atau pendengar.
Senada dengan contoh di atas, Gorys Keraf (2002:29-30) mencontohkan
kata mati, meninggal, wafat, gugur, mangkat, dan berpulang. Kata-kata tersebut
memiliki denotasi yang sama, yaitu ‘peristiwa di mana jiwa seseorang telah
meninggalkan badannya’. Akan tetapi, kata meninggal, wafat, dan berpulang
mempunyai makna emotif tertentu, yaitu mengandung nilai kesopanan atau
dianggap lebih sopan. Berbeda lagi dengan kata mangkat yang memiliki makna
emotif lain, yaitu mengandung nilai kebesaran, sedangkan kata gugur
mengandung nilai keagungan dan keluhuran.
27
Contoh yang sama juga diungkapkan Pateda (2001: 224) bahwa kata
meninggal bernilai rasa lebih halus jika dibandingkan dengan kata mati. Begitu
juga dengan kata korupsi yang bernilai rasa lebih keras daripada urutan kata
menggelapkan uang. Contoh lain adalah kata hamil dengan kata bunting. Kedua
kata tersebut mengandung makna yang sama. Akan tetapi, kata hamil bernilai
lebih halus dibandingkan dengan kata bunting. Seseorang dapat mengatakan atau
menuliskan sapi saya sudah hamil atau sapi saya sudah bunting. Akan tetapi,
sangat janggal kalau seseorang mengatakan atau menuliskan istri bupati telah
bunting.
Gorys Keraf (2002: 29) menyatakan makna emotif adalah, “suatu jenis
makna di mana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional”.
Selanjutnya, makna emotif dipakai karena pembicara ingin menimbulkan perasaan
setuju atau tidak setuju, senang atau tidak senang, dan sebagainya. Selain itu, juga
untuk memperlihatkan perasaan yang dipendam penulis atau pembicara.
Pengertian yang sama juga diungkapkan Pateda (2001: 102) makna emotif adalah,
“makna yang terdapat dalam kata yang menimbulkan emosi”. Misalnya, dalam
bahasa Indonesia terdapat kata-kata peti es, dipetieskan, dan kotak dengan urutan
katanya masuk kotak. Kata–kata tersebut dipakai dalam kalimat Usulmu akan
kami petieskan; Saran rakyat hanya dipetieskan; Si Dul masuk kotak setelah
beberapa tahun menjadi kepala kantor tertentu di Batam. Urutan kata kami
petieskan, dipetieskan, dan masuk kotak, menimbulkan efek emotif bagi orang
yang terkena perlakuan tersebut.
Masih dalam batasan yang sama, makna emotif di dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2003: 703) diartikan sebagai makna kata atau frasa yang
ditautkan dengan perasaan, ditentukan oleh perasaan. Makna emotif lebih banyak
berhubungan dengan perasaan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan pengertian makna emotif adalah nilai
rasa pada makna kata atau frasa yang ditautkan atau ditentukan oleh perasaan,
dapat bersifat positif (baik, sopan, hormat, dan sakral) atau negatif (kasar, jelek,
kotor, tidak sopan, dan porno) yang dapat menimbulkan emosi. Dengan kata lain,
nilai rasa ada karena makna suatu kata atau frasa. Kaitannya dengan disfemia,
28
juga diartikan sebagai makna yang timbul akibat adanya reaksi pembicara
terhadap apa yang dipikirkan atau dirasakan, seperti nilai rasa menyeramkan
(seram), mengerikan, menakutkan, menjijikkan, dan menguatkan.
4. Hakikat Sinonim
Hubungan makna atau sering disebut relasi makna dapat ditemui dalam
setiap bahasa termasuk bahasa Indonesia. Relasi makna memiliki pengertian
hubungan makna atau semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu
dengan satuan bahasa lainnya (Abdul Chaer, 1995: 82). Satuan bahasa tersebut
dapat berupa kata, frasa, maupun kalimat. Relasi makna salah satunya
menyangkut atau menyatakan kesamaan makna atau sinonim. Hal ini sesuai
dengan yang dinyatakan Oka dan Suparno (1994: 238) bahwa anggota makna
yang memiliki relasi kesamaan disebut sinonim. Abdul Chaer (1995: 83)
menyatakan bahwa relasi sinonim pada dua buah kata bersifat dua arah. Contoh
kata buruk dengan jelek. Jadi, kalau kata buruk bersinonim dengan kata jelek,
maka kata jelek bersinonim dengan kata buruk. Perhatikan gambar berikut!
BURUK
JELEK
Gambar 1. Relasi Sinonim
(Abdul Chaer, 1995: 83)
Sinonim diturunkan dari bahasa Yunani Kuno onoma yang berarti ‘nama’
dan syn yang berarti ‘dengan’. Jadi, makna harfiahnya adalah nama lain untuk
benda yang sama (Pateda, 2001: 222). Sinonim dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2003: 1072) diartikan sebagai bentuk bahasa yang maknanya mirip
atau sama dengan bentuk bahasa lain.
Sinonim berarti ungkapan (biasanya sebuah kata, tetapi dapat pula berupa
frase atau kalimat) yang kurang lebih sama maknanya dengan suatu ungkapan
yang lain (Verhaar, 1984: 132). Sependapat dengan di atas, Abdul Chaer (2003:
297) menyatakan sinonim adalah, “hubungan semantik yang menyatakan adanya
kesinoniman makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran yang lain,
29
misalnya kata dengan kata, kata dengan frasa, dan kalimat dengan kalimat”.
Pengertian yang hampir sama juga diungkapkan Harimurti Kridalaksana (2001:
198) bahwa sinonim adalah bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama
dengan bentuk lain; kesamaan itu berlaku bagi kata, kelompok kata, atau kalimat,
walaupun umumnya yang dianggap sinonim hanyalah kata-kata saja.
Parera (1990: 49) mengungkapkan sinonim adalah, “dua ujaran-apakah
ujaran dalam bentuk morfem terikat, kata, frase, atau kalimat yang menunjukkan
kesamaan makna”. Jadi, Parera menambahkan satuan ujaran yaitu dalam bentuk
morfem terikat. Senada dengan pendapat tersebut, Verhaar dalam Pateda (2001:
224-225) membedakan sinonim menurut taraf keberadaan bentuk kebahasaan,
yaitu sinonim antarkalimat, antarfrasa, antarkata, dan antarmorfem. Contoh dari
macam sinonim tersebut, yaitu: (1) sinonim antarkalimat, misalnya Ahmad
melihat Ali dan Ali melihat Ahmad; (2) sinonim antarfrasa, misalnya rumah bagus
itu bersinonim dengan rumah yang bagus itu; (3) sinonim antarkata, misalnya kata
nasib dan memuaskan bersinonim dengan kata takdir dan menyenangkan; dan (4)
sinonim antarmorfem (terikat dan bebas), misalnya buku-bukunya bersinonim
dengan buku-buku mereka dan kulihat bersinonim dengan saya lihat.
Bidang kajian sinonim lebih banyak dalam satuan bahasa yang berbentuk
kata. Hal ini sesuai dengan pendapat Djajasudarma (1999: 42) sinonim adalah,
“nama lain (dengan) untuk benda yang sama”. Ada tiga batasan untuk sinonim,
yakni: (1) kata-kata dengan referen ekstra linguistik yang sama; (2) kata-kata yang
memiliki makna yang sama; dan (3) kata-kata yang dapat disulih dalam konteks
yang sama. Dari ketiga batasan di atas, dapat disimpulkan bahwa satuan bahasa
yang banyak dikaji dalam sinonim adalah kata.
Seperti diungkapkan sebelumya, Verhaar memakai istilah “maknanya
kurang lebih sama”. Hal ini berarti meskipun maknanya sama, tetapi dua buah
kata yang bersinonim tetap memperlihatkan perbedaan-perbedaan. Hal ini
diperkuat oleh Agusta dan Ullman (dalam Abdul Chaer, 1995: 83) bahwa dua
buah kata yang bersinonim kesamaannya tidak seratus persen, hanya kurang lebih
saja, kesamaannya tidak bersifat mutlak. Begitu juga dengan Nida (dalam Edi
Subroto, 2002: 119) yang menyatakan:
30
Namun, butir-butir leksikal itu tidak dapat dinyatakan memiliki makna
identik, tetapi memiliki makna yang bertumpang tindih. Hampir tidak
terdapat dua butir leksikal atau lebih yang maknanya identik benar-benar
(sering disebut sinonim absolut). Dua butir leksikal memiliki makna yang
identik kalau butir-butir itu dapat saling menggantikan dalam keseluruhan
kemungkinan konteksnya tanpa mengubah isi konseptualnya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sinonim merupakan sejumlah butir
leksikal yang maknanya bertumpang tindih.
Lyons (dalam Pateda, 2001: 223) membedakan kata-kata yang bersinonim
sempurna dan bersinonim absolut. Bersinonim sempurna apabila kata-kata
tersebut mengandung makna deskriptif, ekspresif, dan sosial yang sama,
sedangkan suatu kata disebut bersinonim absolut apabila kata-kata tersebut
mempunyai distribusi yang sama dan bermakna secara sempurna di dalam
kehadirannya pada semua konteks. Masih pendapat Lyons (dalam Djajasudarma,
1999: 41) bahwa sinonim lengkap terdapat apabila makna kognitif sama dengan
makna emotif, sedangkan sinonim mutlak dipakai untuk sinonim yang dapat
saling menggantikan (saling menyulih) dalam semua konteks. Akan tetapi,
sinonim lengkap dan mutlak sulit sekali ditemukan. Kesulitan tersebut terjadi
karena dalam suatu bahasa tidak ada alasan untuk mempertahankan dua kata yang
maknanya sama (Palmer dalam Djajasudarma, 1999: 41). Hal senada juga
diungkapkan oleh Nida (dalam Edi Subroto, 2003: 119) bahwa tidak terdapat
keidentikan makna secara total dalam relasi bertumpang tindih (sinonim) karena
sejumlah butir leksikal yang memiliki sejumlah komponen makna yang
bersesuaian, sekaligus tetap memperlihatkan perbedaan atau kontras pada
komponen lainnya.
Lyons (dalam Djajasudarma, 1999: 40) membagi sinonim menjadi empat
golongan, yaitu: (1) sinonim lengkap dan mutlak, misal surat kabar dengan
koran; (2) sinonim lengkap dan tidak mutlak, misal orang dan manusia; (3)
sinonim tidak lengkap dan mutlak, misal wanita dan perempuan; dan (4) sinonim
tidak lengkap dan tidak mutlak, misal gadis dan cewek.
Pengertian-pengertian di atas membawa pada suatu kesimpulan bahwa
sinonim merupakan hubungan semantik yang menunjukkan kesamaan makna
31
antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran yang lain yang berupa morfem
terikat dan bebas, kata dengan kata, kata dengan frasa, frasa dengan frasa, serta
kalimat dengan kalimat, yang bersifat dua arah. Meskipun maknanya sama, kata
yang bersinonim tetap menunjukkan perbedaan-perbedaan. Hal itu dikarenakan
dalam suatu bahasa tidak akan mempertahankan dua kata yang maknanya sama.
Selain itu, juga disebabkan oleh sejumlah leksikal yang memiliki kesesuaian pada
sejumlah komponen maknanya, tetapi tetap memperlihatkan perbedaan pada
komponen lainnya.
6. Hakikat Opini
a. Pengertian Opini
Opini diartikan sebagai pendapat atau pandangan seseorang atau kelompok
terhadap masalah atau peristiwa yang sedang terjadi (Totok Djuroto dan Bambang
Suprijadi, 2003: 7). Menguatkan pendapat di atas, Harimurti Kridalaksana (1984:
65) menyatakan opini adalah, “anggapan, pendirian atau pendapat yang
mengungkapkan suatu sikap”.
Pengertian opini dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2003: 800) dituliskan lebih singkat, yaitu pendapat, pikiran, atau
pendirian. Kaitannya dalam jurnalistik, menyebut opini biasanya diartikan sebagai
artikel, yakni karangan prosa dalam media massa yang membahas pokok
persoalan secara lugas (Koesworo, dkk., 1994: 103)
Romli (2003) menyatakan bahwa opini dalam kaitannya dengan surat
kabar termasuk salah satu jenis berita, seperti halnya berita langsung (straight
news), berita interpretative (interpretativ news), berita mendalam (depth news),
berita penjelasan (explanatory news), dan berita penyelidikan (investigative news).
Berita opini itu sendiri berarti berita mengenai pendapat, pernyataan, atau gagasan
seseorang (cendekiawan, tokoh masyarakat, ahli, atau pejabat) mengenai suatu
masalah atau peristiwa. Dengan kata lain, opini berfungsi sebagai media untuk
menyampaikan pandangan, gagasan, serta argumentasi dari berita-berita atau
situasi yang terjadi (Totok Djuroto dan Bambang Suprijadi, 2003: 8).
Totok Djuroto (2000: 67) menyatakan bahwa opini dalam penerbitan pers
dapat berasal dari masyarakat luas yang disebut pendapat umum (public opinion)
32
dan yang berasal dari penerbitnya sendiri dinamakan pendapat redaksi (desk
opinion). Pendapat umum (public opinion) adalah pendapat, pandangan, atau
pemikiran lain dari masyarakat luas, untuk menanggapi atau membahas suatu
permasalahan yang dimuat dalam penerbitan pers. Opini penerbit adalah
pandangan, pendapat atau opini dari redaksi terhadap sesuatu masalah yang terjadi
di tengah masyarakat dan dijadikan sajian dalam penerbitannya.
Menurut Ensiklopedia Pers Indonesia (dalam Koesworo, dkk., 1994: 103)
yang dinamakan dengan opini, public opinion atau pendapat umum, dan general
opinion atau anggapan umum adalah persatuan (sintesis) pendapat-pendapat yang
banyak, sedikit banyak harus didukung orang banyak, baik setuju atau tidak
setuju, ikatannya dalam bentuk perasaan atau emosi, dapat berubah, timbul
melalui diskusi sosial. Definisi lain dari opini publik adalah unsur-unsur dari
pandangan, perspektif, dan tanggapan masyarakat mengenai suatu kejadian,
keadaan, dan desas-desus tentang peristiwa-peristiwa tertentu (Wikipedia, 2005).
Ciri yang paling mudah dilihat untuk menentukan suatu tulisan merupakan
opini atau bukan opini adalah dengan melihat setelah judul apakah tertera nama
narasumber atau penulis. Kalau setelah judul tertera nama narasumber maka
tulisan tersebut merupakan opini. Seperti yang diungkapkan Romli (2003) bahwa
penulis opini dalam surat kabar ditandai dengan dicantumkannya nama penulis
atau narasumber setelah penulisan judul. Selain itu, juga ditandai dengan
pernyataan atau kesimpulan pernyataan yang dianggap paling menarik. Ciri
lainnya adalah penulisan opini dimulai dengan Teras Pernyataan (Statement Lead)
atau Teras Kutipan (Quotion Lead) yakni mengedepankan ucapan yang isinya
dianggap paling penting atau paling menarik.
Tulisan-tulisan
yang
berupa
opini
memiliki
karakteristik
yang
membedakan dari tulisan-tulisan lainnya. Seperti yang diungkapkan Farid Gaban
(2005) bahwa tulisan-tulisan opini mempunyai karakteristik, yaitu: (1) mewakili
opini si penulis tentang suatu hal atau peristiwa; (2) memiliki lebih banyak unsur
subjektivitas, walaupun dimaksudkan sebagai analisis maupun pengamatan yang
objektif, dan (3) memiliki lebih banyak unsur imbauan si penulis daripada sekedar
33
paparan serta berfungsi untuk mempengaruhi pembaca agar menerima sikap dan
pemikiran penulis bahkan agar bertindak sesuai dengan yang dilakukan penulis.
Dengan demikian, dapat disimpulkan pengertian opini adalah pendapat,
pandangan, anggapan, pendirian, gagasan, pernyataan, maupun tanggapan
masyarakat atau seseorang (cendekiawan, tokoh masyarakat, ahli, atau pejabat)
mengenai suatu masalah, peristiwa, keadaan, atau kejadian tertentu yang bisa
disetujui atau tidak disetujui oleh orang lain. Kaitannya dengan penerbitan pers,
opini dikelompokkan menjadi dua, yaitu opini yang berasal dari masyarakat luas
(opini umum) dan opini yang berasal dari penerbit (opini redaksi).
b. Karakteristik Bahasa Opini
Bahasa opini harus memiliki karakteristik layaknya bahasa jurnalistik. Hal
tersebut karena opini merupakan salah satu jenis informasi yang ada pada
jurnalistik, khususnya media massa cetak (Romli, 2003). Karakteristik bahasa
opini dijelaskan di bawah ini.
1) Jelas yang berarti bahasa yang digunakan mudah dipahami dan tidak
menimbulkan makna ganda, serta tidak menggunakan bahasa kiasan.
2) Sederhana yang berarti menggunakan bahasa awam dan menghindari
penggunaan kata dan istilah asing yang terlalu teknis dan ilmiah. Jika terpaksa
menggunakan maka harus menjelaskan pengertiannya.
3) Hemat kata yang berarti tidak memakai kata-kata yang maknanya sama secara
bersamaan, seperti kemudian lalu, kurang lebih sekitar, terkejut kaget,
barangkali mungkin, dan semakin kian.
4) Menghindari pemakaian kata mubazir (kata yang bisa dihilangkan) dan kata
jenuh (ungkapan klise).
5) Singkat.
6) Dinamis dan tidak monoton terutama dalam penyebutan nama tokoh atau
tempat secara berulang.
7) Membatasi pemakaian singkatan atau akronim, bila terpaksa memakai maka
pada awal tulisan harus dijelaskan kepanjangannya.
8) Penulisan kalimat dan isi tetap menaati kaidah bahasa.
34
9) Menulis dengan teratur serta lengkap.
10) Satu kalimat untuk satu gagasan dan semaksimal mungkin menghindari
penulisan anak kalimat yang mengandung banyak kata atau kalimat.
11) Mendisiplinkan pikiran yang berarti tidak mencampuradukkan bentuk kalimat
pasif dengan kalimat aktif serta lebih banyak menggunakan bentuk kalimat
akif untuk memunculkan kesan hidup dan kuat.
J.S. Badudu (dalam Suroso, 2001) menyatakan secara lebih ringkas
karakteristik atau ciri bahasa opini (dalam lingkup lebih luas adalah ciri bahasa
jurnalistik), yaitu singkat, padat, sederhana, lugas, menarik, lancar, dan jelas. Ciri
bahasa opini dijelaskan di bawah ini.
1) Singkat yang berarti harus menghindari penjelasan yang panjang dan berteletele.
2) Padat yang berarti dengan bahasa yang singkat sudah mampu menyampaikan
informasi yang lengkap. Semua yang diperlukan pembaca sudah tertampung di
dalamnya serta membuang kata-kata mubazir dan menerapkan ekonomi kata.
3) Sederhana yang berarti sebisa mungkin memilih kalimat tunggal dan
sederhana, bukannya kalimat majemuk yang panjang, rumit, dan kompleks.
Kalimat yang dipakai adalah kalimat efektif, praktis, sederhana, dan tidak
berlebihan pengungkapannya.
4) Lugas yang berarti mampu menyampaikan pengertian atau makna informasi
secara langsung dengan menghindari bahasa yang berbunga-bunga.
5) Menarik yang berarti menggunakan pilihan kata yang masih hidup, tumbuh,
dan berkembang, serta menghindari kata-kata yang sudah mati.
6) Jelas yang berarti informasi yang disampaikan dapat dengan mudah dipahami
oleh khalayak umum (pembaca). Struktur kalimatnya tidak menimbulkan
penyimpangan atau pengertian makna yang berbeda, menghindari ungkapan
bersayap atau bermakna ganda (ambigu). Dengan kata lain, harus
menggunakan kata-kata yang bermakna denotatif.
Tajuk rencana atau editorial dan pojok merupakan isi dari “opini”
(Koesworo, dkk., 1994: 104). Dengan demikian, bahasa yang dipakai pada tajuk
rencana dan pojok juga merupakan bahasa opini. Masih dalam Koesworo, dkk.
35
(1994: 86) menyatakan bahwa bahasa tajuk rencana atau editorial menggunakan
kata “kita”, sugestif, mengajak berpikir, mempengaruhi, logis-analitis, dan
kadang-kadang bersifat literir, sedangkan bahasa pojok humoristis, menyindir,
kalau perlu mengejek, tapi tidak sarkastis, kemahiran mempermainkan bahasa
atau kata-kata, dan bisa juga dicampur bahasa asing atau bahasa daerah.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa opini
haruslah singkat, jelas, sederhana, padat, lugas, menarik, dinamis atau tidak
monoton, hemat kata, menghindari pemakaian singkatan atau akronim. Berkaitan
dengan penulisan kalimat, penulisan kalimat dalam opini sebaiknya menghindari
pemakaian anak kalimat serta tidak mencampur pemakaian kalimat aktif dengan
kalimat pasif.
7. Pengertian Rubrik Opini
Pengertian rubrik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003: 965)
adalah kepala karangan (ruangan tetap) dalam surat kabar, majalah, dan
sebagainya. Rubrik dapat juga diartikan sebagai kelompok karangan, tulisan atau
berita yang digolongkan atas dasar aspek tema tertentu (Harimurti Kridalaksana,
1984: 89). Jadi, yang dimaksud dengan rubrik adalah kepala atau kelompok
karangan, tulisan atau berita di surat kabar, majalah, dan sebagainya yang
digolongkan atas dasar aspek tema atau topik tertentu.
Pengertian opini sebagaimana disimpulkan di atas adalah pendapat,
pandangan, anggapan, pendirian, gagasan, pernyataan, maupun tanggapan
masyarakat atau seseorang (cendekiawan, tokoh masyarakat, ahli, atau pejabat)
mengenai suatu masalah, peristiwa, keadaan, atau kejadian tertentu yang bisa
disetujui atau tidak disetujui oleh orang lain.
Halaman opini biasanya berisi artikel, tajuk rencana, kolom, surat
pembaca, dan pojok (Koesworo, dkk., 1994: 104). Terkadang di halaman opini
ditempatkan boks redaksi atau pengasuh koran bersangkutan.
Dari pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan pengertian rubrik
opini adalah ruangan atau halaman tempat karangan pada surat kabar, yang
digolongkan atas dasar aspek tema atau topik tertentu yang mengetengahkan
36
pendapat, opini, pandangan, atau pendirian seseorang (cendekiawan, tokoh
masyarakat, ahli, atau pejabat) mengenai suatu masalah, peristiwa, keadaan, atau
kejadian tertentu yang bisa disetujui atau tidak disetujui oleh orang lain.
Selanjutnya, rubrik atau halaman opini biasanya berisi artikel, tajuk rencana,
kolom, surat pembaca, dan pojok.
B. Penelitian yang Relevan
1. Penelitian yang dilakukan oleh Ali Masri, dkk. (2001) dengan judul
“Kesinoniman
Disfemia
dalam
Surat
Kabar
Terbitan
Palembang”
berkesimpulan: (1) kajian kesinoniman disfemia dalam surat kabar terbitan
Palembang menunjukkan bahwa tidak ada sinonim mutlak dan sempurna
antara disfemia dengan bentuk kebahasaan yang digantikannya; (2) faktorfaktor yang mempengaruhi kesinoniman tersebut, yaitu faktor distribusi,
kolokasi, makna emotif, dan komponen makna; (3) kelaziman pemakaian
bentuk disfemia hanya mempunyai satu kategori, yakni kelaziman yang hanya
berlaku pada konteks tertentu, yang dapat disebabkan oleh penggunaan unsur
metafora, pergeseran kolokasi, dan pergeseran makna.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Rina Nurwati (1999) dengan judul “Gaya
Bahasa Penghalusan dan Pengasaran pada Tajuk Rencana
Harian Suara
Merdeka” berkesimpulan: (1) dijumpai adanya gaya bahasa penghalusan dan
pengasaran pada pemakaian bahasa di tajuk rencana harian Suara Merdeka;
(2) faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan makna pada gaya
bahasa penghalusan dan pengasaran dalam tajuk rencana harian Suara
Merdeka, meliputi faktor perbedaan tanggapan pemakai, faktor psikologis,
faktor asosiasi, dan faktor perbedaan bidang pemakaian; (3) frekuensi
penggunaan gaya bahasa penghalusan yang paling banyak digunakan pada
topik sosial, sedangkan frekuensi penggunaan gaya bahasa pengasaran yang
paling besar digunakan pada topik politik, kemudian disusul topik sosial,
ekonomi, dan olah raga.
37
C. Kerangka Berpikir
Disfemia merupakan suatu ungkapan dengan konotasi kasar, tidak sopan,
atau menyakitkan hati mengenai sesuatu atau seseorang karena alasan-alasan
tertentu. Selain itu, disfemia biasanya digunakan untuk menunjukkan kejengkelan.
Bentuk pemakaian disfemia dapat dipakai dalam penulisan opini sebagai alat
untuk mengungkapkan perasaan. Hal itu mengingat bahwa pengertian opini
adalah anggapan, pendirian atau pendapat yang mengungkapkan suatu sikap,
seperti sikap tidak setuju yang diikuti dengan rasa benci, jengkel, dan marah.
Rubrik Gagasan pada surat kabar Solopos merupakan halaman yang khusus
memuat opini. Dengan demikian, bentuk pemakaian disfemia dimungkinkan dapat
ditemukan dalam rubrik Gagasan surat kabar Solopos. Surat kabar Solopos sudah
memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat Surakarta (Solo). Banyak kaum
cendekiawan, tokoh masyarakat, ahli, atau pejabat yang mengirimkan opini
mereka agar khalayak luas membaca dan bahkan menyetujui pendapat mereka.
Disfemia berarti menggunakan dengan sengaja suatu ungkapan atau katakata yang bermakna kasar dan tidak sopan. Selain itu, disfemia bersinonim dengan
ungkapan-ungkapan yang menyakitkan hati atau menjijikkan, kasar atau tidak
sopan, vulgar, tabu, dan tidak senonoh. Dengan kata lain, pemakaian disfemia
adalah upaya penggantian (kata atau bentuk lain) yang bernilai rasa positif atau
netral dengan kata lain yang dinilai bernilai rasa kasar atau negatif. Dengan
demikian, disfemia erat kaitannya dengan nilai rasa, yaitu makna yang dibawa
suatu kata.
Disfemia adalah pengganti dari kata-kata halus, sopan atau ramah, atau
ungkapan secara kasar dan tidak sopan atau tidak ramah. Selain itu, pengertian
disfemia adalah ungkapan yang kasar sebagai pengganti ungkapan yang halus atau
yang tidak menyinggung perasaan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa
disfemia merupakan kebalikan dari eufemisme Dengan demikian, disfemia dapat
dicari penggantinya, yaitu berupa kata atau ungkapan yang lebih halus, lebih
sopan, dan lebih ramah.
38
Berikut penulis sajikan kerangka berpikir penelitian yang berjudul
“Analisis Pemakaian Disfemia pada Rubrik Gagasan Surat Kabar Solopos”.
Nuansa bahasa dalam
Surat kabar Solopos
Eufemia
(penghalusan/
pelunakan)
Netral
(biasa)
Disfemia
(pengerasan/
pengasaran)
Rubrik Gagasan
Surat Kabar Solopos
Artikel umum, Pos
Pembaca, dan
Mimbar Mahasiswa
Tajuk rencana dan
karikatur
Analisis
Bentuk
pemakaian
disfemia
Nilai rasa yang
terkandung
dalam bentuk
pemakaian
disfemia
Gambar 2. Kerangka Berpikir
Sinonim bentuk
pemakaian
disfemia
Download