BAB II KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Teori 1. Hakikat Disfemia a. Pengertian Disfemia Sebagaimana dikutip dari Wikipedia (2003) bahwa berdasarkan makna yang dikandung, pemakaian bahasa dalam masyarakat dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu; disfemia (pengerasan atau pengasaran), netral (biasa), dan eufemisme (penghalusan atau pelunakkan). Dengan kata lain, ketiga jenis makna tersebut diwujudkan dalam kata-kata yang bernilai rasa halus atau sopan, netral atau biasa, dan kasar atau tidak sopan. Contoh kata-kata tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Disfemia, Makna Biasa (Netral), dan Eufemisme dalam Bahasa Inggris. Dysphemism Neutral Euphemism Prick penis genitals take a shit go to the bathroom defecate Stingy careful thrifty terrorist rebel freedom fighter pigheaded stubborn firm slut, tramp promiscuous (person) playboy, ladykiller, Don Juan Disfemia berasal dari bahasa Yunani dys atau dus (bad, abnormal, difficult= bahasa Inggris) yang berarti ‘buruk’, adalah kebalikan dari eufemisme, lebih lanjut berarti menggunakan dengan sengaja kata-kata yang bermakna kasar atau mengungkapkan sesuatu yang bukan sebenarnya (Wikipedia, 2003). Senada dengan pendapat di atas, Abdul Chaer (1995: 145) menyatakan bahwa disfemia 9 10 merupakan kebalikan dari eufemisme, yaitu usaha untuk mengganti kata yang maknanya halus atau bermakna biasa dengan kata yang maknanya kasar. Pengertian disfemia di dalam Webster’s Third New International Dictionary-Volume 1 (Gove, 1981: 712) yang terjemahannya bahwa disfemia adalah pengganti untuk kata-kata halus, sopan atau ramah, atau ungkapan secara kasar dan tidak sopan atau tidak ramah, seperti laki-laki tua untuk menyebut ayah; bisa juga berarti kata atau ungkapan yang digantikan—kebalikan dari eufemisme. Selaras dengan pengertian di atas, Panuti Sudjiman (1990: 21) menyatakan pengertian disfemia adalah, “ungkapan yang kasar sebagai pengganti ungkapan yang halus atau yang tidak menyinggung perasaan”. Allan dan Burridge (dalam Iorio, 2003) menyatakan bahwa disfemia merupakan suatu ungkapan dengan konotasi kasar, tidak sopan, atau menyakitkan hati mengenai sesuatu atau seseorang atau keduanya, dan merupakan pengganti untuk ungkapan netral (biasa) atau eufemisme karena alasan-alasan tertentu. Disfemia menjadikan sesuatu terdengar lebih buruk atau lebih jelek. Seperti yang diungkapkan Smith (2003) bahwa disfemia merupakan suatu pernyataan yang berfungsi menjadikan sesuatu terdengar lebih buruk atau lebih serius daripada kenyataannya dan kebalikan dari eufemisme. Disfemia adalah pengganti untuk kata-kata vulgar dan merupakan kebalikan dari eufemisme (Wikipedia, 2003). Selanjutnya, dikatakan bahwa disfemia bersinonim dengan ungkapan-ungkapan yang menyakitkan hati atau menjijikkan, kasar atau tidak sopan, vulgar, tabu, dan tidak senonoh. Endro Sutrisno dan Susi Harliani (dalam Kompas, 2005) mencontohkan kata-kata vulgar yang juga merupakan bentuk pemakaian disfemia, seperti kata dijual dan menjual pada kalimat Amin Rais tidak akan laku lagi dijual pada pemilu 2004 dan Hukum berat pelaku yang menjual uang rakyat. Disfemia dipakai karena berbagai alasan. Disfemia biasanya digunakan untuk menunjukkan kejengkelan atau dilakukan orang dalam situasi yang tidak ramah (Abdul Chaer, 1995: 145). Misalnya kata atau ungkapan masuk kotak untuk menggantikan kata kalah, seperti dalam kalimat Liem Swie King sudah masuk kotak. Contoh lain yang merupakan disfemia adalah kata mendepak dipakai untuk 11 mengganti kata mengeluarkan, seperti dalam kalimat Dia berhasil mendepak bapak A dari kedudukannya. Allan dan Burridge (2005) menyatakan bahwa disfemia digunakan sebagai “senjata” untuk menghadapi orang lain atau melepaskan kekesalan hati untuk suatu kemarahan dan kekecewaan. Pernyataan yang sama juga diungkapkan Sagarin (dalam Iorio, 2003) bahwa seseorang memakai disfemia atau istilahistilah tertentu pada saat marah untuk mengungkapkan kekecewaan atau frustasi. Disfemia juga digunakan untuk lebih memberikan suatu tekanan, tetapi tanpa terasa kekasarannya (Abdul Chaer, 1995: 146). Misalnya kata menggondol yang biasa dipakai untuk binatang, seperti pada anjing menggondol tulang. Akan tetapi, kata menggondol juga dipakai dalam kalimat Regu bulu tangkis kita berhasil menggondol Piala Thomas Cup. Begitu juga dengan kata mencuri yang dipakai dalam kalimat Kontingen Suriname berhasil mencuri satu medali emas dari cabang renang. Kata mencuri tidak tepat dipakai dalam konteks kalimat di atas karena mencuri merupakan suatu tindak kejahatan yang dapat diancam dengan hukuman penjara. Abdul Chaer (2003: 315) menyatakan, “usaha untuk mengasarkan atau disfemia sengaja dilakukan untuk mencapai efek pembicaraan menjadi tegas”. Misalnya kata mengambil (dengan seenaknya) diganti dengan kata mencaplok, kata kalah diganti dengan masuk kotak, urutan kata memasukkan ke penjara diganti dengan menjebloskan ke penjara. Hal senada juga diungkapkan Alwi (dalam Ali Masri, dkk., 2001: 62) bahwa disfemia atau bentuk pengasaran biasanya dipakai untuk menghujat atau mengeraskan makna. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemakaian disfemia selain memiliki nilai rasa kasar juga untuk menguatkan makna dalam konteks tertentu. Misalnya, kata menggenjot dalam kalimat Bank Indonesia merespon permintaan Ditjen Pajak yang ingin membuka kerahasiaan bank dalam rangka menggenjot penerimaan pajak. Pemakaian disfemia menggenjot dalam konteks di atas hanya untuk menguatkan makna. Eriyanto (dalam Fakhrurradzie M.G., 2002) menyatakan bahwa disfemia dipakai untuk menyebut tindakan yang dilakukan rakyat bawah. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian mengenai pemberitaan media di Medan tentang 12 konflik antara petani dengan PT Perkebunan Negara II. Ditemukan pemakaian kata “pencaplok” untuk menyebut tindakan petani. Pemakaian kata tersebut dapat mengeraskan atau menggambarkan seolah-olah yang dilakukan petani adalah tindakan anarkis, tidak sah atau ilegal. Disfemia menurut Fakhrurradzie M.G. (2002) adalah “mengeraskan atau mengasarkan fakta melalui kata atau kalimat sehingga maknanya berbeda dari yang sebenarnya atau sesungguhnya”. Contoh pemakaian disfemia adalah pemakaian kata-kata pemerasan, teror, memburu, peperangan, dan pembersihan dalam konteks konflik politik Aceh. Kata-kata tersebut dipakai untuk menggambarkan perilaku GAM dan usaha pihak tentara untuk menaklukkan GAM. Pemakaian bahasa yang mengasarkan dan mengeraskan fakta tersebut dipakai oleh elite politik atau mereka yang terlibat konflik untuk memperoleh simpati publik atau berhasil menanamkan hegemoninya. Ada beberapa kesulitan untuk menentukan suatu kata masuk dalam kategori disfemia, netral (biasa), atau eufemisme (Wikipedia, 2003). Kesulitankesulitan tersebut, yaitu: (1) istilah-istilah tertentu (seperti pada tabel. 1) tidak memiliki sinonim mutlak; (2) kata-kata atau ungkapan dikategorikan sebagai disfemia, netral (biasa), atau eufemisme tergantung dari konteks yang melatarinya. Misalnya, kata menstruate bermakna netral dalam konteks akademis, tapi merupakan eufemisme dalam konteks atau suasana santai, dan bernilai rasa kasar atau tidak sopan dalam suasana atau konteks formal, dickhead bermakna atau bernilai rasa ramah bagi orang Australia, tapi bermakna kasar bagi orang Amerika. Dengan kata lain, penentuan suatu istilah termasuk dalam disfemia, netral (biasa), atau eufemisme akan berbeda-beda tergantung yang menentukan, misalnya ditentukan oleh laki-laki atau perempuan, kelompok masyarakat yang berbeda umur, atau budaya yang berbeda-beda; (3) beberapa istilah dapat disebut sebagai eufemisme maupun disfemia. Misalnya, ungkapan beat the meat atau drain the snake yang terdengar lebih halus. Akan tetapi, ungkapan tersebut tidak selamanya terdengar sopan dibanding dengan masturbate atau urinate. Seperti dituliskan sebelumnya bahwa disfemia merupakan kebalikan dari eufemisme. Kata eufemisme atau eufemismus diturunkan dari kata Yunani 13 euphemizein yang berarti menggunakan kata-kata dengan arti yang baik atau dengan tujuan yang baik. Sebagai gaya bahasa, eufemisme berupa ungkapanungkapan yang halus yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapanungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan (Gorys Keraf, 2002: 132). Misalnya, Ayahnya sudah tak ada di tengah-tengah mereka, Pikiran sehatnya semakin merosot saja akhir-akhir ini, dan Anak saudara memang tidak terlalu cepat mengikuti pelajaran seperti anakanak lainnya. Ketiga kalimat tersebut untuk menghaluskan kata mati, gila, dan bodoh. Moeliono (1989: 177) menguatkan pendapat tersebut eufemisme adalah, “ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, yang dianggap merugikan, atau tidak menyenangkan”. Misalnya meninggal, bersenggama, tinju, dan tunakarya. Eufemisme merupakan ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, yang dianggap merugikan atau tidak menyenangkan (Panuti Sudjiman, 1990: 30). Pengertian eufemisme di dalam Webster’s Third New International Dictionary-volume 1 (Gove, 1981: 784) yang terjemahannya bahwa eufemisme adalah pengganti untuk kata-kata atau ungkapan kasar, tidak sopan atau tidak ramah, tidak menyenangkan, ataupun tabu; sindiran untuk sesuatu yang buruk dengan ungkapan sopan atau halus—kebalikan dari disfemia. Eufemisme merupakan usaha untuk menghaluskan ungkapan dengan kosakata yang memiliki sifat tersebut (Abdul Chaer, 2003: 314-315). Misalnya kata korupsi diganti dengan ungkapan menyalahgunakan jabatan, kata pemecatan diganti dengan pemutusan hubungan kerja, dan kata babu diganti dengan pembantu rumah tangga yang kini menjadi pramuwisma. Abdul Chaer dalam bukunya yang lain (1995: 144-145) menyatakan bahwa penghalusan atau eufemisme berhadapan dengan gejala ditampilkannya kata-kata atau bentukbentuk yang dianggap memiliki makna yang lebih halus, atau lebih sopan daripada yang akan digantikan. Misalnya, kata penjara atau bui diganti dengan kata atau ungkapan yang maknanya dianggap lebih halus, yaitu Lembaga 14 Pemasyarakatan, kata dipenjara atau dibui diganti menjadi dimasukkan ke Lembaga Pemasyarakatan, dan kata atau ungkapan kenaikan harga diganti dengan perubahan harga, penyesuaian tarif, atau pemberlakuan tarif baru. Allan dan Burridge (dalam Iorio, 2003) menyatakan bahwa eufemisme digunakan sebagai suatu pilihan untuk mengungkapkan rasa tidak suka agar terhindar dari rasa malu. Eufemisme berarti menghaluskan fakta melalui penggunaan kata-kata atau kalimat sehingga maknanya berbeda dari yang sesungguhnya (Fakhrurradzie M.G., 2002). Dengan kata lain, mengganti kata-kata yang mempunyai makna buruk dengan bahasa eufemisme dapat merubah realitas yang tadinya kasar menjadi halus. Hal tersebut dapat mengakibatkan seseorang tidak bisa melihat kenyataan yang sebenarnya. Pemakaian eufemisme juga bisa menipu terutama rakyat bawah. Seperti penyebutan kata relokasi untuk menggantikan kata penggusuran, dan aparat keamanan untuk menggantikan kata tentara atau militer. Pendapat yang sama juga diungkapkan Anton M. Moeliono (1989: 177) bahwa eufemisme dapat dengan mudah melemahkan kekuatan diksi karangan. Misalnya, pemakaian ungkapan penyesuaian harga, kemungkinan kekurangan makan, dan membebastugaskan. Eufemisme maupun disfemia dapat diciptakan melalui bahasa kiasan (Iorio, 2002). Dengan kata lain, eufemisme dan disfemia merupakan suatu pengungkapan yang memiliki makna tidak langsung. Seperti yang ditemukan dalam Wikipedia (2003) bahwa eufemisme dan disfemia sama-sama menyangkut tentang ketidaklangsungan makna. Misalnya, dalam bahasa Inggris seorang pekerja wanita yang sedang menstruasi (menstration= bahasa Inggris) akan menyatakan pada pimpinannya (laki-laki) menggunakan kiasan monthly visitor is here. Dengan demikian, kata menstration yang memiliki makna tabu dapat dihindari dengan memakai kiasan yang menunjuk pada kata tersebut. Pemakaian kiasan monthly visitor is here selain menunjuk secara tidak langsung pada kata menstration, juga menghindari pekerja tersebut dari rasa malu pada pimpinannya. Dengan kata lain, pekerja tersebut harus memakai penghalusan atau eufemisme untuk menggantikan kata menstration dalam suasana formal. 15 Eufemisme dan disfemia dapat diketahui dari konteks suatu kalimat (peristiwa). Selain itu, melalui konteks kalimat (peristiwa) dapat diketahui muatan nilai rasa yang terdapat pada pemakaian eufemisme dan disfemia. Hal ini senada dengan yang diungkapkan Iorio (2003) bahwa penulis biasanya menggunakan disfemia atau eufemisme untuk memperlihatkan bahwa suatu konteks dapat menciptakan kekuatan suatu bahasa. Selain itu, juga untuk memperlihatkan bahwa penulis dapat menciptakan akibat-akibat tertentu dari bentuk kebahasaan yang ia pilih. Hal tersebut dikarenakan eufemisme dan disfemia dapat diketahui dari konteks suatu peristiwa. Sejumlah ungkapan atau kata dapat menjadi disfemia atau eufemisme tergantung dari konteksnya (Wikipedia, 2003). Misalnya, dalam bahasa Inggris untuk menyebut orang yang telah meninggal memakai ungkapan passed away, sedangkan untuk yang bernilai rasa kasar memakai kicked the bucket atau worm food. Selanjutnya, suatu ungkapan atau kata tertentu dalam suasana santai atau bercanda dapat menjadi disfemia ataupun eufemisme. Misalnya, ungkapan dalam bahasa Inggris spank the monkey dapat menjadi disfemia ataupun eufemisme. Spank the monkey merupakan eufemisme dari kata masturbate atau justru dengan sengaja untuk memprovokasi atau mengasarkan. Semua itu tergantung dari pendengar. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa disfemia merupakan cara mengungkapkan pikiran dan fakta melalui kata-kata atau ungkapan-ungkapan yang bermakna keras, kasar, tidak ramah, atau berkonotasi tidak sopan karena alasan-alasan tertentu (misalnya untuk melepaskan kekesalan hati, kemarahan, kekecewaan, frustasi, dan rasa benci atau tidak suka) juga untuk menggantikan kata atau ungkapan yang maknanya halus, biasa, atau yang tidak menyinggung perasaan. Singkatnya, disfemia merupakan kebalikan dari eufemisme. Pemakaian disfemia dapat menyebabkan sesuatu terdengar lebih buruk dan lebih serius daripada kenyataannya. Dengan kata lain, pemakaian disfemia dapat menyebabkan suatu kata-kata atau ungkapan memiliki makna yang berbeda dari sesungguhnya. Pemakaian disfemia dapat diketahui dari konteks peristiwa atau kalimat yang melatarinya. 16 b. Bentuk Pemakaian Disfemia Pemakaian disfemia dapat ditemukan dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia. Selanjutnya, bentuk pemakaian disfemia dituliskan di bawah ini. 1) Bentuk pemakaian disfemia berupa kata a) Seperti dikutip dari Wikipedia (2003) bentuk pemakaian disfemia berupa kata, sebagai berikut: kata jerk untuk menggantikan kata stupid kata prick untuk menggantikan kata penis kata stingy untuk menggantikan kata careful kata terrorist untuk menggantikan kata rebel kata pigheaded untuk menggantikan kata stubborn kata slut (tramp) untuk menggantikan kata promiscuous (person) kata sucks untuk menggantikan frasa very unpleasant b) Abdul Chaer (1995: 145-146) mencontohkan bentuk pemakaian disfemia yang berupa kata, sebagai berikut: Dengan seenaknya Israel mencaplok wilayah Mesir itu. Kata mencaplok merupakan disfemia untuk menggantikan frasa mengambil dengan begitu saja. Dia berhasil mendepak bapak A dari kedudukannya. Kata mendepak merupakan disfemia untuk mengganti kata mengeluarkan. Polisi menjebloskannya ke dalam sel. Kata menjebloskannya merupakan disfemia untuk menggantikan kata memasukkan. Akhirnya regu bulu tangkis kita berhasil menggondol pulang piala Thomas Cup itu. Kata menggondol merupakan disfemia untuk lebih memberi tekanan, tapi tanpa terasa kekasarannya. Kata menggondol biasa dipakai untuk hewan. c) Ali Masri, dkk. (2001: 65-79) menuliskan bentuk pemakaian disfemia yang berupa kata, sebagai berikut: 17 “Saat itu Bapak Bimantoro mengaku pada Presiden bahwa dirinya dipolitisir dan dijadikan amunisi oleh lawan politik Presiden,” kata Adie Masardie. Tampak bahwa kata amunisi dipilih sebagai disfemia dari kata alat. “Kita ingin tahu ucapan dan perbuatan itu. Apakah mereka masuk kelompok sontoloyo,” kata Matori Abdul Djalil. Kata sontoloyo pada kalimat di atas dipilih sebagai disfemia dari frasa asal bicara. Interpretasi ini didasarkan pada konteks kalimat, yakni ucapan dan perbuatannya. Mantan Kasospol ABRI, Letjen (pur) Harsudiono Hartas menilai rakyat sudah muak dengan konflik elit politik. Kata muak dipilih sebagai disfemia dari kata bosan. Kata muak merupakan titik puncak yang dapat dibangun dari kata bosan yang berulang-ulang. Sebab itu, diduga Gus Dur ingin menggunakan Lopa sebagai bumper dari serangan lawan politiknya. Kata bumper dipilih sebagai disfemia dari kata tameng. Kata bumper pada kalimat di atas tidak lazim dipakai karena bumper diambil dari nama bagian belakang mobil (kendaraan). Gus Dur saat ini sudah kembali ke habitat semula. Kata habitat dipilih sebagai disfemia dari kata lingkungan. Kata habitat lebih cocok dipakai untuk kelompok/golongan/kalangan hewan/binatang daripada manusia. Jadi, kata habitat pada kalimat di atas bernilai rasa kasar karena dipakai untuk konteks manusia. Ada pihak ketiga yang mengobok-obok kebersamaan yang selama ini terjalin. Kata mengobok-obok merupakan disfemia dari kata mengganggu, yang berfungsi untuk mengeraskan makna. Prajogo Pangestu dibidik dalam kasus dugaan korupsi dana reboisasi Hutan Tanaman Industri (HIT) di Sumatera Selatan yang merugikan negara sebesar Rp 331 miliyar. 18 Kata dibidik dipilih sebagai disfemia dari kata diincar. Kata dibidik biasanya dipakai dalam konteks perburuan atau hewan yang diburu. Jadi, pemakaiannya lebih tepat untuk sesuatu yang diburu. Akrobat politik Gus Dur mendapat kritikan tajam dari praktisi hukum, Adnan Buyung Nasution, dan pakar hukum ketatanegaraan, Jily Asshiddiqie. Kata akrobat dimaksud sebagai disfemia dari kata permainan. Perampok juga berhasil menggasak uang sebesar Rp 38 juta. Kata menggasak dipilih sebagai disfemia dari kata mengambil. Kader PDIP yang melacur akan digantung. Kata melacur dipakai sebagai disfemia dari kata membelot. “Untuk apa mereka menjadi pimpinan kalau untuk melaksanakan pemilihan bupati saja mereka tidak becus,” kata Askolani. Kata becus dipilih sebagai disfemia untuk menggantikan kata cakap. Ketua komisi E DPRD Palembang berang atas kinerja pegawai Dinas Kesehatan Pemkot Palembang. Kata berang dipilih sebagai disfemia untuk menggantikan kata marah, karena memiliki nilai rasa lebih kasar. d) Fakhrurradzie M.G. (2002) mencontohkan pemakaian disfemia dalam bentuk kata di surat kabar, seperti pemerasan, teror, memburu, peperangan, dan pembersihan, dalam konteks konflik politik Aceh. Bentuk pemakaian disfemia tersebut dipakai untuk menggambarkan perilaku GAM. Alasan dipakainya bentuk disfemia tersebut oleh pihak tentara adalah untuk menaklukkan GAM, sedangkan untuk elite politik dan mereka yang terlibat konflik adalah untuk meraih simpati publik atau agar berhasil menanamkan hegemoninya. e) Pemakaian disfemia dalam bentuk kata yang ditemukan dalam Webster’s Third New International Dictionary-Volume 1 (Gove, 1981: 712) adalah kata heap untuk menggantikan kata car. 19 2) Bentuk pemakaian disfemia berupa frasa a) Ali Masri, dkk. (2001: 73-77) mencontohkan bentuk pemakaian disfemia berupa frasa, sebagai berikut: Khasmir banjir darah 14 tewas. Frasa banjir darah dipilih sebagai disfemia dari kata kisruh. Bila Mega naik menjadi Presiden, maka sasaran tembak yang empuk adalah Taufik Kemas. Frasa sasaran tembak dipakai sebagai disfemia untuk menggantikan kata terget. b) Sagarin (dalam Ioroi, 2003) mencontohkan disfemia yang berupa frasa, yaitu shut the fuck up untuk menggantikan kata quiet. 3) Bentuk pemakaian disfemia berupa ungkapan a) Bentuk pemakaian disfemia yang berupa ungkapan, seperti dikutip dari Wikipedia (2003), sebagai berikut: ungkapan take a shit untuk menggantikan frase go to the bathroom ungkapan spank the monkey, beat the meat, dan drain the snake untuk menggantikan kata masturbate ungkapan kicked the bucket, bought the farm, taking a dirt nap, worm food, sleeps with the fishes, dan pushing up daises untuk menggantikan kata death b) Smith (2003) mencontohkan bentuk pemakaian disfemia yang berupa ungkapan, yaitu: baby killer, evil empire, ruthlessly exploited, dan tax and spend untuk menggantikan ungkapan negative political c) Abdul Chaer (1995: 149-150) mencontohkan bentuk pemakaian disfemia yang berupa ungkapan, yaitu ungkapan masuk kotak dalam kalimat: Liem Swie King sudah masuk kotak. Ungkapan masuk kotak merupakan disfemia untuk menggantikan kata kalah. Berdasarkan contoh-contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa bentuk pemakaian disfemia dapat berupa kata, frasa dan ungkapan, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Selanjutnya, bentuk pemakaian disfemia yang berupa frasa adalah frasa yang terdiri dari dua kata, seperti, banjir darah dan 20 sasaran tembak. Bentuk pemakaian disfemia yang berupa ungkapan, misalnya masuk kotak, take a shit, worm food, dan sebagainya. Berkaitan dengan sinonim, bentuk pemakaian disfemia berupa kata tidak hanya bersinonim dengan tataran kata, tetapi juga frasa. Misalnya bentuk disfemia berupa kata prick dan menggasak yang bersinonim dengan kata penis dan mengambil. Lalu, bentuk disfemia berupa kata sontoloyo bersinonim, dengan frasa asal bicara. Begitu juga dengan bentuk disfemia berupa frasa yang bersinonim dengan tataran kata dan frasa. Misalnya, bentuk disfemia berupa frasa sasaran tembak bersinonim dengan kata target, shut the fuck up bersinonim dengan kata quiet. Lalu, bentuk disfemia berupa ungkapan evil empire besinonim dengan frasa negative political. 2. Hakikat Semantik Semantik merupakan salah satu cabang bahasa yang cukup kompleks dalam kajian bahasa. Dikatakan demikian, karena makna sebagai objek kajian di samping sifatnya yang abstrak juga menyangkut mental psikologi dan tingkah laku (Oka dan Suparno, 1994: 229). Kata semantik dalam bahasa Indonesia (bahasa Inggris: semantics) berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda) yang berarti ‘tanda’, sedangkan kata kerjanya semaino yang berarti ‘menandai’ (Djajasudarma, 1999: 1). Lebih lanjut Aminuddin (2003: 15) menyatakan bahwa semantik yang diturunkan dari bahasa Yunani, mempunyai makna to signify yang berarti ‘memaknai’. Lyons (1996: 3) menyatakan bahwa semantik secara tradisional didefinisikan sebagai studi tentang makna. Verhaar (dalam Oka dan Suparno, 1994: 229) menyatakan bahwa semantik sebagai teori makna atau teori arti. Begitu juga dengan Pateda (2001: 2) yang menyatakan bahwa kata semantik sebenarnya merupakan istilah teknis yang mengacu pada studi tentang makna. Pengertian semantik juga ditemukan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003: 1025), yaitu ilmu tentang makna kata dan kalimat, pengetahuan mengenai seluk beluk dan pergeseran arti kata. 21 Harimurti Kridalaksana (2001: 193) menjelaskan pengertian semantik, yaitu: (1) bagian struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan juga dengan struktur makna suatu wicara; dan (2) sistem dan penyelidikan makna dan arti dalam suatu bahasa atau bahasa pada umumnya. Senada dengan definisi yang kedua, Parera (1990: 14) menyatakan semantik adalah, “suatu studi dan analisis tentang makna-makna linguistik”. Lebih lengkapnya Slametmuljana (dalam Djajasudarma, 1999: 14) menyatakan: Semantik adalah penelitian makna kata dalam bahasa tertentu menurut sistem penggolongan. Semantik adalah ilmu makna, membicarakan arti bagaimana mula adanya makna sesuatu (misal, sejarah kata, dalam arti bagaimana kata itu muncul), bagaimana perkembangannya, dan mengapa terjadi perubahan makna dalam sejarah bahasa. Berdasarkan pengertian semantik yang diajukan oleh Slametmuljana di atas, semantik selain mempelajari makna kata juga mempelajari sejarah dalam serangkaian perkembangan bahasa. Lebih dari itu, Pateda (2001: 3) menyatakan bahwa sebenarnya semantik belum tegas membicarakan makna atau belum tegas membahas makna sebagai objeknya, sebab yang dibahas lebih banyak yang berhubungan dengan sejarahnya. Semantik dalam hubungannya dengan sejarah juga melibatkan sejarah pemakai bahasa (masyarakat bahasa). Bahasa berubah, berkembang tidak luput dari segi unsurnya, antara lain kosakata sebagai unsur yang paling tidak mantap. Sedikit berbeda dari pendapat sebelumnya, pengertian semantik dalam Ensiklopedia Britanika (dalam Pateda, 2001: 7) adalah studi tentang hubungan antara suatu pembeda linguistik dengan hubungan proses mental atau simbol dalam aktivitas berbicara. Ada yang meyatakan bahwa proses mental tidak perlu dipelajari karena membingungkan, ada pula yang menyatakan harus dipelajari secara terpisah dari semantik, atau bahasa harus dipelajari secara terpisah, lepas dari semantik tanpa menyinggung proses mental. Terlepas dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa semantik adalah subdisiplin linguistik yang membicarakan makna. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa semantik adalah bagian dari linguistik yang mempelajari makna kata dan kalimat dalam bahasa 22 tertentu. Objek kajian utama semantik adalah makna kata. Selain itu, semantik juga mempelajari sejarah perkembangan dan latar belakang terjadinya perubahan makna suatu kata dalam serangkaian perkembangan bahasa. Dengan kata lain, semantik mempelajari seluk beluk dan pergeseran kata. 2. Hakikat Makna a. Pengertian Makna Makna dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003: 619) diartikan sebagai: (1) arti; (2) maksud pembicara atau penulis; (3) pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Senada dengan pendapat di atas, Gorys Keraf (2000: 25) menyatakan bahwa makna adalah segi yang menimbulkan reaksi dan pikiran pembaca atau pendengar. Selanjutnya, Lyons (dalam Djajasudarma, 1999: 5) menyatakan bahwa mengkaji atau memberikan makna suatu kata ialah memaknai kajian kata tersebut yang berkenaan dengan hubunganhubungan makna yang membuat kata tersebut berbeda dari kata-kata lain. Djajasudarma (1999: 5) menyatakan bahwa pengertian makna (bahasa Inggris: sense) dibedakan dengan pengertian arti yang dalam bahasa Inggris disebut meaning. Makna adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata). Berbeda dengan arti yang maknanya lebih pada makna leksikal dari kata-kata yang cenderung terdapat di dalam kamus, sebagai leksem. Menguatkan pendapat di atas, Edi Subroto (2002: 110) menyatakan bahwa arti adalah arti lingual atau arti linguistik, yaitu arti yang terdapat di dalam bahasa, yang terstrukturkan oleh dan di dalam bahasa, dipahami secara lebih kurang sama oleh pengguna bahasa dalam suatu masyarakat bahasa, dipakai secara umum dan wajar dalam proses komunikasi sehari-hari. Selanjutnya, Edi Subroto (2002: 113) menyatakan makna adalah, “arti sebuah butir leksikal atau sebuah tuturan kalimat berdasarkan konteks pemakaian, situasi yang melatarinya, dan intonasinya”. Dengan demikian, jelas bahwa Edi Subroto membedakan antara arti dengan makna. Ullman (dalam Pateda, 2001: 82) menyatakan bahwa makna adalah hubungan antara nama dengan pengertian, sedangkan acuan tidak disebut-sebut 23 karena acuan berada di luar jangkauan linguis. Pernyataan ini diperkuat Palmer (dalam Djajasudarma, 1999: 5) bahwa makna hanya menyangkut intrabahasa. Masih dalam batasan yang sama, Ogden dan Richards (dalam Pateda, 2001: 83) menyatakan makna adalah, “penggunaan lambang yang dapat sesuai dengan yang dimaksud”. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa makna hanya mempelajari masalah intrabahasa, yaitu hubungan antara nama dengan pengertian. Dengan kata lain, antara nama dan pengertian memiliki hubungan langsung, sedangkan antara nama dengan acuan memiliki hubungan tidak langsung. Hal ini sesuai dengan pendapat Oka dan Suparno (1994: 231): Berdasarkan konfigurasi model segitiga Ogden dan Richards dapat dikatakan bahwa makna merupakan konsep yang melibatkan tiga komponen, yakni pikiran, simbol (kata), dan acuan. Ketiga komponen itu berhubungan: pikiran dan simbol serta pikiran dan acuan memiliki hubungan langsung, sedangkan simbol dan acuan memiliki hubungan tidak langsung. Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian makna dibedakan dari arti. Makna adalah maksud pembicara atau penulis yang diberikan kepada bentuk kebahasaan berdasarkan konteks pemakaian, situasi yang melatari, dan intonasi. Makna adalah hubungan secara langsung antara pikiran (pengertian) dengan nama (simbol) serta pikiran (pengertian) dengan acuan. Berbeda antara simbol dengan acuan yang memiliki hubungan tidak langsung. Dalam hal ini, hakikat atau konsep makna lebih pada makna dalam hubungannya dengan kata-kata atau bentuk kebahasaan berdasarkan konteks pemakaian. b. Nilai Rasa Djajasudarma (dalam Ali Masri, dkk., 2001: 71-72) menyatakan bahwa makna emotif adalah muatan nilai rasa pada makna yang dibawa oleh suatu kata. Selanjutnya, nilai rasa itu dapat bersifat positif (baik, sopan, hormat, dan sakral) dan dapat pula bersifat negatif (kasar, jelek, kotor, tidak sopan, dan porno). 24 Pergantian nilai rasa dalam percakapan dari kurang sopan menjadi lebih sopan dapat ditemukan dalam eufemisme (Wikipedia Indonesia, 2006). Dicontohkan percakapan “Di mana tempat kencingnya?” dapat diganti dengan “Di mana kamar kecilnya?”. Kata “tempat kencing” (dalam bahasa Indonesia disebut juga WC) tidak cocok digunakan untuk percakapan yang sopan atau suasana formal. Kata “kamar kecil” dapat menggantikan kata “tempat kencing”. Hal tersebut dikarenakan kata “kamar kecil” memiliki konotasi lebih sopan daripada kata “tempat kencing”. Kalau dalam eufemisme ditemukan adanya pergantian nilai rasa dari kurang sopan menjadi lebih sopan maka dalam disfemia adalah sebaliknya. Pemakaian disfemia adalah upaya penggantian (kata atau bentuk lain) yang bernilai rasa positif atau netral dengan kata lain yang dinilai bernilai rasa kasar atau negatif. Ali Masri, dkk. (2001:72-74) menyatakan bahwa dilihat dari nilai rasa, pemakaian disfemia dalam surat kabar menunjukkan kecenderungan menyeramkan (seram), mengerikan, menakutkan, menjijikkan, dan menguatkan. Muatan nilai rasa tersebut terdapat pada pemakaian disfemia di bawah ini. 1) meyeramkan (seram) Contoh: Perbuatan bejat itu terjadi Jumat (25/6) lalu selitar pukul 23.00 WIB. Pada kalimat di atas kata bejat dipakai untuk menggantikan kata asusila. Dilihat dari makna emotif, kata bejat dan asusila memiliki nilai rasa yang berbeda karena kata bejat mempunyai nilai rasa lebih kasar atau lebih buruk daripada kata asusila. Perbuatan bejat itu membuat korban hilang kegadisannya. Kata bejat pada kalimat di atas juga dipakai untuk menggantikan kata asusila dalam tindak pemerkosaan. Kata bejat memiliki nilai rasa yang lebih kasar atau lebih seram karena dapat merusak. 2) mengerikan Contoh: Tauke jagung dicincang pedagang gara-gara menagih hutang. 25 Kata dicincang pada kalimat di atas dipakai untuk menggantikan kata dibunuh. Selain bernilai rasa kasar, bentuk penggantian tersebut juga menggambarkan hal yang mengerikan dan tidak lazim dilakukan pada manusia. Khasmir banjir darah 14 tewas. Frasa banjir darah pada contoh di atas dipakai untuk menggantikan kata kisruh. Selain bernilai rasa kasar, frasa banjir darah juga mengacu pada hal yang mengerikan. Logikanya, kalau cuma 14 orang yang tewas tertembak, tentu darah korban hanya berceceran, tidak sampai membanjiri Khasmir. 3) menakutkan Contoh: Kita berharap agar tidak ada dajal politik dalam kabinet. Kata dajal pada kalimat di atas dipakai untuk menggantikan kata setan. Kedua kata itu sama, tetapi memiliki nilai rasa yang berbeda. Kata dajal bernilai rasa lebih kasar (lebih menakutkan daripada kata setan, karena dajal mengacu pada raja setan berupa ‘raksasa besar’. 4) menjijikkan Contoh: Terjadinya disclaimer kali ini tidak terlepas dari banyaknya borok dalam BPPN. Kata borok pada kalimat di atas dipakai sebagai disfemia untuk menggantikan kata masalah. Kata borok, selain memiliki nilai rasa yang lebih kasar, juga mengacu kepada sesuatu yang menjijikkan (penyakit). 5) menguatkan Contoh: “Untuk apa mereka menjadi pemimpin kalau untuk melaksanakan pemilihan bupati saja mereka tidak becus,” kata Askolani. Kata becus pada kalimat di atas dipilih untuk menggantikan kata cakap. Selain bernilai rasa lebih kasar, kata becus juga digunakan untuk menguatkan makna negatif. Selain itu, kata becus lazim didahului oleh bentuk negasi 26 tidak, sama dengan konstruksi kata tidak senonoh. Ini berbeda dengan kata cakap yang jarang digunakan dalam bentuk negasi. Bank Indonesia merespon permintaan Ditjen Pajak yang ingin membuka kerahasiaan bank dalam rangka menggenjot penerimaan pajak. Kata menggenjot pada kalimat di atas dipakai sebagai disfemia untuk menggantikan kata meningkatkan. Kata menggenjot bernilai rasa lebih kasar daripada kata meningkatkan yang bernilai rasa netral. Oleh sebab itu, pemakaian disfemia menggenjot dalam konteks di atas hanya untuk menguatkan makna. Shipley (dalam Pateda, 2001: 101) menyatakan makna emotif adalah, “makna yang timbul akibat adanya reaksi pembicara atau sikap pembicara mengenai atau terhadap apa yang dipikirkan atau dirasakan”. Misalnya, kata kerbau yang muncul pada urutan kata engkau kerbau. Kata kerbau menimbulkan perasaan tidak enak bagi pendengar atau mengandung makna emotif. Hal tersebut karena kata kerbau dihubungkan dengan perilaku malas, lamban, dan dianggap sebagai penghinaan. Orang yang mendengarnya merasa tersinggung dan perasaannya tidak enak. Begitu juga dengan kata meninggal, mati, tewas, dan mampus yang memiliki makna emotif yang berbeda-beda, tetapi memiliki makna kognitif yang sama yaitu ‘tidak lagi bernyawa’. Orang yang membaca atau mendengar urutan kata Si Ali mampus memperlihatkan perasaan orang yang menuliskannya atau mengucapkannya. Selain itu, juga menimbulkan perasaan tertentu pada pembaca atau pendengar. Senada dengan contoh di atas, Gorys Keraf (2002:29-30) mencontohkan kata mati, meninggal, wafat, gugur, mangkat, dan berpulang. Kata-kata tersebut memiliki denotasi yang sama, yaitu ‘peristiwa di mana jiwa seseorang telah meninggalkan badannya’. Akan tetapi, kata meninggal, wafat, dan berpulang mempunyai makna emotif tertentu, yaitu mengandung nilai kesopanan atau dianggap lebih sopan. Berbeda lagi dengan kata mangkat yang memiliki makna emotif lain, yaitu mengandung nilai kebesaran, sedangkan kata gugur mengandung nilai keagungan dan keluhuran. 27 Contoh yang sama juga diungkapkan Pateda (2001: 224) bahwa kata meninggal bernilai rasa lebih halus jika dibandingkan dengan kata mati. Begitu juga dengan kata korupsi yang bernilai rasa lebih keras daripada urutan kata menggelapkan uang. Contoh lain adalah kata hamil dengan kata bunting. Kedua kata tersebut mengandung makna yang sama. Akan tetapi, kata hamil bernilai lebih halus dibandingkan dengan kata bunting. Seseorang dapat mengatakan atau menuliskan sapi saya sudah hamil atau sapi saya sudah bunting. Akan tetapi, sangat janggal kalau seseorang mengatakan atau menuliskan istri bupati telah bunting. Gorys Keraf (2002: 29) menyatakan makna emotif adalah, “suatu jenis makna di mana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional”. Selanjutnya, makna emotif dipakai karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju atau tidak setuju, senang atau tidak senang, dan sebagainya. Selain itu, juga untuk memperlihatkan perasaan yang dipendam penulis atau pembicara. Pengertian yang sama juga diungkapkan Pateda (2001: 102) makna emotif adalah, “makna yang terdapat dalam kata yang menimbulkan emosi”. Misalnya, dalam bahasa Indonesia terdapat kata-kata peti es, dipetieskan, dan kotak dengan urutan katanya masuk kotak. Kata–kata tersebut dipakai dalam kalimat Usulmu akan kami petieskan; Saran rakyat hanya dipetieskan; Si Dul masuk kotak setelah beberapa tahun menjadi kepala kantor tertentu di Batam. Urutan kata kami petieskan, dipetieskan, dan masuk kotak, menimbulkan efek emotif bagi orang yang terkena perlakuan tersebut. Masih dalam batasan yang sama, makna emotif di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003: 703) diartikan sebagai makna kata atau frasa yang ditautkan dengan perasaan, ditentukan oleh perasaan. Makna emotif lebih banyak berhubungan dengan perasaan. Dengan demikian, dapat disimpulkan pengertian makna emotif adalah nilai rasa pada makna kata atau frasa yang ditautkan atau ditentukan oleh perasaan, dapat bersifat positif (baik, sopan, hormat, dan sakral) atau negatif (kasar, jelek, kotor, tidak sopan, dan porno) yang dapat menimbulkan emosi. Dengan kata lain, nilai rasa ada karena makna suatu kata atau frasa. Kaitannya dengan disfemia, 28 juga diartikan sebagai makna yang timbul akibat adanya reaksi pembicara terhadap apa yang dipikirkan atau dirasakan, seperti nilai rasa menyeramkan (seram), mengerikan, menakutkan, menjijikkan, dan menguatkan. 4. Hakikat Sinonim Hubungan makna atau sering disebut relasi makna dapat ditemui dalam setiap bahasa termasuk bahasa Indonesia. Relasi makna memiliki pengertian hubungan makna atau semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya (Abdul Chaer, 1995: 82). Satuan bahasa tersebut dapat berupa kata, frasa, maupun kalimat. Relasi makna salah satunya menyangkut atau menyatakan kesamaan makna atau sinonim. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Oka dan Suparno (1994: 238) bahwa anggota makna yang memiliki relasi kesamaan disebut sinonim. Abdul Chaer (1995: 83) menyatakan bahwa relasi sinonim pada dua buah kata bersifat dua arah. Contoh kata buruk dengan jelek. Jadi, kalau kata buruk bersinonim dengan kata jelek, maka kata jelek bersinonim dengan kata buruk. Perhatikan gambar berikut! BURUK JELEK Gambar 1. Relasi Sinonim (Abdul Chaer, 1995: 83) Sinonim diturunkan dari bahasa Yunani Kuno onoma yang berarti ‘nama’ dan syn yang berarti ‘dengan’. Jadi, makna harfiahnya adalah nama lain untuk benda yang sama (Pateda, 2001: 222). Sinonim dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003: 1072) diartikan sebagai bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk bahasa lain. Sinonim berarti ungkapan (biasanya sebuah kata, tetapi dapat pula berupa frase atau kalimat) yang kurang lebih sama maknanya dengan suatu ungkapan yang lain (Verhaar, 1984: 132). Sependapat dengan di atas, Abdul Chaer (2003: 297) menyatakan sinonim adalah, “hubungan semantik yang menyatakan adanya kesinoniman makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran yang lain, 29 misalnya kata dengan kata, kata dengan frasa, dan kalimat dengan kalimat”. Pengertian yang hampir sama juga diungkapkan Harimurti Kridalaksana (2001: 198) bahwa sinonim adalah bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain; kesamaan itu berlaku bagi kata, kelompok kata, atau kalimat, walaupun umumnya yang dianggap sinonim hanyalah kata-kata saja. Parera (1990: 49) mengungkapkan sinonim adalah, “dua ujaran-apakah ujaran dalam bentuk morfem terikat, kata, frase, atau kalimat yang menunjukkan kesamaan makna”. Jadi, Parera menambahkan satuan ujaran yaitu dalam bentuk morfem terikat. Senada dengan pendapat tersebut, Verhaar dalam Pateda (2001: 224-225) membedakan sinonim menurut taraf keberadaan bentuk kebahasaan, yaitu sinonim antarkalimat, antarfrasa, antarkata, dan antarmorfem. Contoh dari macam sinonim tersebut, yaitu: (1) sinonim antarkalimat, misalnya Ahmad melihat Ali dan Ali melihat Ahmad; (2) sinonim antarfrasa, misalnya rumah bagus itu bersinonim dengan rumah yang bagus itu; (3) sinonim antarkata, misalnya kata nasib dan memuaskan bersinonim dengan kata takdir dan menyenangkan; dan (4) sinonim antarmorfem (terikat dan bebas), misalnya buku-bukunya bersinonim dengan buku-buku mereka dan kulihat bersinonim dengan saya lihat. Bidang kajian sinonim lebih banyak dalam satuan bahasa yang berbentuk kata. Hal ini sesuai dengan pendapat Djajasudarma (1999: 42) sinonim adalah, “nama lain (dengan) untuk benda yang sama”. Ada tiga batasan untuk sinonim, yakni: (1) kata-kata dengan referen ekstra linguistik yang sama; (2) kata-kata yang memiliki makna yang sama; dan (3) kata-kata yang dapat disulih dalam konteks yang sama. Dari ketiga batasan di atas, dapat disimpulkan bahwa satuan bahasa yang banyak dikaji dalam sinonim adalah kata. Seperti diungkapkan sebelumya, Verhaar memakai istilah “maknanya kurang lebih sama”. Hal ini berarti meskipun maknanya sama, tetapi dua buah kata yang bersinonim tetap memperlihatkan perbedaan-perbedaan. Hal ini diperkuat oleh Agusta dan Ullman (dalam Abdul Chaer, 1995: 83) bahwa dua buah kata yang bersinonim kesamaannya tidak seratus persen, hanya kurang lebih saja, kesamaannya tidak bersifat mutlak. Begitu juga dengan Nida (dalam Edi Subroto, 2002: 119) yang menyatakan: 30 Namun, butir-butir leksikal itu tidak dapat dinyatakan memiliki makna identik, tetapi memiliki makna yang bertumpang tindih. Hampir tidak terdapat dua butir leksikal atau lebih yang maknanya identik benar-benar (sering disebut sinonim absolut). Dua butir leksikal memiliki makna yang identik kalau butir-butir itu dapat saling menggantikan dalam keseluruhan kemungkinan konteksnya tanpa mengubah isi konseptualnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sinonim merupakan sejumlah butir leksikal yang maknanya bertumpang tindih. Lyons (dalam Pateda, 2001: 223) membedakan kata-kata yang bersinonim sempurna dan bersinonim absolut. Bersinonim sempurna apabila kata-kata tersebut mengandung makna deskriptif, ekspresif, dan sosial yang sama, sedangkan suatu kata disebut bersinonim absolut apabila kata-kata tersebut mempunyai distribusi yang sama dan bermakna secara sempurna di dalam kehadirannya pada semua konteks. Masih pendapat Lyons (dalam Djajasudarma, 1999: 41) bahwa sinonim lengkap terdapat apabila makna kognitif sama dengan makna emotif, sedangkan sinonim mutlak dipakai untuk sinonim yang dapat saling menggantikan (saling menyulih) dalam semua konteks. Akan tetapi, sinonim lengkap dan mutlak sulit sekali ditemukan. Kesulitan tersebut terjadi karena dalam suatu bahasa tidak ada alasan untuk mempertahankan dua kata yang maknanya sama (Palmer dalam Djajasudarma, 1999: 41). Hal senada juga diungkapkan oleh Nida (dalam Edi Subroto, 2003: 119) bahwa tidak terdapat keidentikan makna secara total dalam relasi bertumpang tindih (sinonim) karena sejumlah butir leksikal yang memiliki sejumlah komponen makna yang bersesuaian, sekaligus tetap memperlihatkan perbedaan atau kontras pada komponen lainnya. Lyons (dalam Djajasudarma, 1999: 40) membagi sinonim menjadi empat golongan, yaitu: (1) sinonim lengkap dan mutlak, misal surat kabar dengan koran; (2) sinonim lengkap dan tidak mutlak, misal orang dan manusia; (3) sinonim tidak lengkap dan mutlak, misal wanita dan perempuan; dan (4) sinonim tidak lengkap dan tidak mutlak, misal gadis dan cewek. Pengertian-pengertian di atas membawa pada suatu kesimpulan bahwa sinonim merupakan hubungan semantik yang menunjukkan kesamaan makna 31 antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran yang lain yang berupa morfem terikat dan bebas, kata dengan kata, kata dengan frasa, frasa dengan frasa, serta kalimat dengan kalimat, yang bersifat dua arah. Meskipun maknanya sama, kata yang bersinonim tetap menunjukkan perbedaan-perbedaan. Hal itu dikarenakan dalam suatu bahasa tidak akan mempertahankan dua kata yang maknanya sama. Selain itu, juga disebabkan oleh sejumlah leksikal yang memiliki kesesuaian pada sejumlah komponen maknanya, tetapi tetap memperlihatkan perbedaan pada komponen lainnya. 6. Hakikat Opini a. Pengertian Opini Opini diartikan sebagai pendapat atau pandangan seseorang atau kelompok terhadap masalah atau peristiwa yang sedang terjadi (Totok Djuroto dan Bambang Suprijadi, 2003: 7). Menguatkan pendapat di atas, Harimurti Kridalaksana (1984: 65) menyatakan opini adalah, “anggapan, pendirian atau pendapat yang mengungkapkan suatu sikap”. Pengertian opini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003: 800) dituliskan lebih singkat, yaitu pendapat, pikiran, atau pendirian. Kaitannya dalam jurnalistik, menyebut opini biasanya diartikan sebagai artikel, yakni karangan prosa dalam media massa yang membahas pokok persoalan secara lugas (Koesworo, dkk., 1994: 103) Romli (2003) menyatakan bahwa opini dalam kaitannya dengan surat kabar termasuk salah satu jenis berita, seperti halnya berita langsung (straight news), berita interpretative (interpretativ news), berita mendalam (depth news), berita penjelasan (explanatory news), dan berita penyelidikan (investigative news). Berita opini itu sendiri berarti berita mengenai pendapat, pernyataan, atau gagasan seseorang (cendekiawan, tokoh masyarakat, ahli, atau pejabat) mengenai suatu masalah atau peristiwa. Dengan kata lain, opini berfungsi sebagai media untuk menyampaikan pandangan, gagasan, serta argumentasi dari berita-berita atau situasi yang terjadi (Totok Djuroto dan Bambang Suprijadi, 2003: 8). Totok Djuroto (2000: 67) menyatakan bahwa opini dalam penerbitan pers dapat berasal dari masyarakat luas yang disebut pendapat umum (public opinion) 32 dan yang berasal dari penerbitnya sendiri dinamakan pendapat redaksi (desk opinion). Pendapat umum (public opinion) adalah pendapat, pandangan, atau pemikiran lain dari masyarakat luas, untuk menanggapi atau membahas suatu permasalahan yang dimuat dalam penerbitan pers. Opini penerbit adalah pandangan, pendapat atau opini dari redaksi terhadap sesuatu masalah yang terjadi di tengah masyarakat dan dijadikan sajian dalam penerbitannya. Menurut Ensiklopedia Pers Indonesia (dalam Koesworo, dkk., 1994: 103) yang dinamakan dengan opini, public opinion atau pendapat umum, dan general opinion atau anggapan umum adalah persatuan (sintesis) pendapat-pendapat yang banyak, sedikit banyak harus didukung orang banyak, baik setuju atau tidak setuju, ikatannya dalam bentuk perasaan atau emosi, dapat berubah, timbul melalui diskusi sosial. Definisi lain dari opini publik adalah unsur-unsur dari pandangan, perspektif, dan tanggapan masyarakat mengenai suatu kejadian, keadaan, dan desas-desus tentang peristiwa-peristiwa tertentu (Wikipedia, 2005). Ciri yang paling mudah dilihat untuk menentukan suatu tulisan merupakan opini atau bukan opini adalah dengan melihat setelah judul apakah tertera nama narasumber atau penulis. Kalau setelah judul tertera nama narasumber maka tulisan tersebut merupakan opini. Seperti yang diungkapkan Romli (2003) bahwa penulis opini dalam surat kabar ditandai dengan dicantumkannya nama penulis atau narasumber setelah penulisan judul. Selain itu, juga ditandai dengan pernyataan atau kesimpulan pernyataan yang dianggap paling menarik. Ciri lainnya adalah penulisan opini dimulai dengan Teras Pernyataan (Statement Lead) atau Teras Kutipan (Quotion Lead) yakni mengedepankan ucapan yang isinya dianggap paling penting atau paling menarik. Tulisan-tulisan yang berupa opini memiliki karakteristik yang membedakan dari tulisan-tulisan lainnya. Seperti yang diungkapkan Farid Gaban (2005) bahwa tulisan-tulisan opini mempunyai karakteristik, yaitu: (1) mewakili opini si penulis tentang suatu hal atau peristiwa; (2) memiliki lebih banyak unsur subjektivitas, walaupun dimaksudkan sebagai analisis maupun pengamatan yang objektif, dan (3) memiliki lebih banyak unsur imbauan si penulis daripada sekedar 33 paparan serta berfungsi untuk mempengaruhi pembaca agar menerima sikap dan pemikiran penulis bahkan agar bertindak sesuai dengan yang dilakukan penulis. Dengan demikian, dapat disimpulkan pengertian opini adalah pendapat, pandangan, anggapan, pendirian, gagasan, pernyataan, maupun tanggapan masyarakat atau seseorang (cendekiawan, tokoh masyarakat, ahli, atau pejabat) mengenai suatu masalah, peristiwa, keadaan, atau kejadian tertentu yang bisa disetujui atau tidak disetujui oleh orang lain. Kaitannya dengan penerbitan pers, opini dikelompokkan menjadi dua, yaitu opini yang berasal dari masyarakat luas (opini umum) dan opini yang berasal dari penerbit (opini redaksi). b. Karakteristik Bahasa Opini Bahasa opini harus memiliki karakteristik layaknya bahasa jurnalistik. Hal tersebut karena opini merupakan salah satu jenis informasi yang ada pada jurnalistik, khususnya media massa cetak (Romli, 2003). Karakteristik bahasa opini dijelaskan di bawah ini. 1) Jelas yang berarti bahasa yang digunakan mudah dipahami dan tidak menimbulkan makna ganda, serta tidak menggunakan bahasa kiasan. 2) Sederhana yang berarti menggunakan bahasa awam dan menghindari penggunaan kata dan istilah asing yang terlalu teknis dan ilmiah. Jika terpaksa menggunakan maka harus menjelaskan pengertiannya. 3) Hemat kata yang berarti tidak memakai kata-kata yang maknanya sama secara bersamaan, seperti kemudian lalu, kurang lebih sekitar, terkejut kaget, barangkali mungkin, dan semakin kian. 4) Menghindari pemakaian kata mubazir (kata yang bisa dihilangkan) dan kata jenuh (ungkapan klise). 5) Singkat. 6) Dinamis dan tidak monoton terutama dalam penyebutan nama tokoh atau tempat secara berulang. 7) Membatasi pemakaian singkatan atau akronim, bila terpaksa memakai maka pada awal tulisan harus dijelaskan kepanjangannya. 8) Penulisan kalimat dan isi tetap menaati kaidah bahasa. 34 9) Menulis dengan teratur serta lengkap. 10) Satu kalimat untuk satu gagasan dan semaksimal mungkin menghindari penulisan anak kalimat yang mengandung banyak kata atau kalimat. 11) Mendisiplinkan pikiran yang berarti tidak mencampuradukkan bentuk kalimat pasif dengan kalimat aktif serta lebih banyak menggunakan bentuk kalimat akif untuk memunculkan kesan hidup dan kuat. J.S. Badudu (dalam Suroso, 2001) menyatakan secara lebih ringkas karakteristik atau ciri bahasa opini (dalam lingkup lebih luas adalah ciri bahasa jurnalistik), yaitu singkat, padat, sederhana, lugas, menarik, lancar, dan jelas. Ciri bahasa opini dijelaskan di bawah ini. 1) Singkat yang berarti harus menghindari penjelasan yang panjang dan berteletele. 2) Padat yang berarti dengan bahasa yang singkat sudah mampu menyampaikan informasi yang lengkap. Semua yang diperlukan pembaca sudah tertampung di dalamnya serta membuang kata-kata mubazir dan menerapkan ekonomi kata. 3) Sederhana yang berarti sebisa mungkin memilih kalimat tunggal dan sederhana, bukannya kalimat majemuk yang panjang, rumit, dan kompleks. Kalimat yang dipakai adalah kalimat efektif, praktis, sederhana, dan tidak berlebihan pengungkapannya. 4) Lugas yang berarti mampu menyampaikan pengertian atau makna informasi secara langsung dengan menghindari bahasa yang berbunga-bunga. 5) Menarik yang berarti menggunakan pilihan kata yang masih hidup, tumbuh, dan berkembang, serta menghindari kata-kata yang sudah mati. 6) Jelas yang berarti informasi yang disampaikan dapat dengan mudah dipahami oleh khalayak umum (pembaca). Struktur kalimatnya tidak menimbulkan penyimpangan atau pengertian makna yang berbeda, menghindari ungkapan bersayap atau bermakna ganda (ambigu). Dengan kata lain, harus menggunakan kata-kata yang bermakna denotatif. Tajuk rencana atau editorial dan pojok merupakan isi dari “opini” (Koesworo, dkk., 1994: 104). Dengan demikian, bahasa yang dipakai pada tajuk rencana dan pojok juga merupakan bahasa opini. Masih dalam Koesworo, dkk. 35 (1994: 86) menyatakan bahwa bahasa tajuk rencana atau editorial menggunakan kata “kita”, sugestif, mengajak berpikir, mempengaruhi, logis-analitis, dan kadang-kadang bersifat literir, sedangkan bahasa pojok humoristis, menyindir, kalau perlu mengejek, tapi tidak sarkastis, kemahiran mempermainkan bahasa atau kata-kata, dan bisa juga dicampur bahasa asing atau bahasa daerah. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa opini haruslah singkat, jelas, sederhana, padat, lugas, menarik, dinamis atau tidak monoton, hemat kata, menghindari pemakaian singkatan atau akronim. Berkaitan dengan penulisan kalimat, penulisan kalimat dalam opini sebaiknya menghindari pemakaian anak kalimat serta tidak mencampur pemakaian kalimat aktif dengan kalimat pasif. 7. Pengertian Rubrik Opini Pengertian rubrik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003: 965) adalah kepala karangan (ruangan tetap) dalam surat kabar, majalah, dan sebagainya. Rubrik dapat juga diartikan sebagai kelompok karangan, tulisan atau berita yang digolongkan atas dasar aspek tema tertentu (Harimurti Kridalaksana, 1984: 89). Jadi, yang dimaksud dengan rubrik adalah kepala atau kelompok karangan, tulisan atau berita di surat kabar, majalah, dan sebagainya yang digolongkan atas dasar aspek tema atau topik tertentu. Pengertian opini sebagaimana disimpulkan di atas adalah pendapat, pandangan, anggapan, pendirian, gagasan, pernyataan, maupun tanggapan masyarakat atau seseorang (cendekiawan, tokoh masyarakat, ahli, atau pejabat) mengenai suatu masalah, peristiwa, keadaan, atau kejadian tertentu yang bisa disetujui atau tidak disetujui oleh orang lain. Halaman opini biasanya berisi artikel, tajuk rencana, kolom, surat pembaca, dan pojok (Koesworo, dkk., 1994: 104). Terkadang di halaman opini ditempatkan boks redaksi atau pengasuh koran bersangkutan. Dari pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan pengertian rubrik opini adalah ruangan atau halaman tempat karangan pada surat kabar, yang digolongkan atas dasar aspek tema atau topik tertentu yang mengetengahkan 36 pendapat, opini, pandangan, atau pendirian seseorang (cendekiawan, tokoh masyarakat, ahli, atau pejabat) mengenai suatu masalah, peristiwa, keadaan, atau kejadian tertentu yang bisa disetujui atau tidak disetujui oleh orang lain. Selanjutnya, rubrik atau halaman opini biasanya berisi artikel, tajuk rencana, kolom, surat pembaca, dan pojok. B. Penelitian yang Relevan 1. Penelitian yang dilakukan oleh Ali Masri, dkk. (2001) dengan judul “Kesinoniman Disfemia dalam Surat Kabar Terbitan Palembang” berkesimpulan: (1) kajian kesinoniman disfemia dalam surat kabar terbitan Palembang menunjukkan bahwa tidak ada sinonim mutlak dan sempurna antara disfemia dengan bentuk kebahasaan yang digantikannya; (2) faktorfaktor yang mempengaruhi kesinoniman tersebut, yaitu faktor distribusi, kolokasi, makna emotif, dan komponen makna; (3) kelaziman pemakaian bentuk disfemia hanya mempunyai satu kategori, yakni kelaziman yang hanya berlaku pada konteks tertentu, yang dapat disebabkan oleh penggunaan unsur metafora, pergeseran kolokasi, dan pergeseran makna. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Rina Nurwati (1999) dengan judul “Gaya Bahasa Penghalusan dan Pengasaran pada Tajuk Rencana Harian Suara Merdeka” berkesimpulan: (1) dijumpai adanya gaya bahasa penghalusan dan pengasaran pada pemakaian bahasa di tajuk rencana harian Suara Merdeka; (2) faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan makna pada gaya bahasa penghalusan dan pengasaran dalam tajuk rencana harian Suara Merdeka, meliputi faktor perbedaan tanggapan pemakai, faktor psikologis, faktor asosiasi, dan faktor perbedaan bidang pemakaian; (3) frekuensi penggunaan gaya bahasa penghalusan yang paling banyak digunakan pada topik sosial, sedangkan frekuensi penggunaan gaya bahasa pengasaran yang paling besar digunakan pada topik politik, kemudian disusul topik sosial, ekonomi, dan olah raga. 37 C. Kerangka Berpikir Disfemia merupakan suatu ungkapan dengan konotasi kasar, tidak sopan, atau menyakitkan hati mengenai sesuatu atau seseorang karena alasan-alasan tertentu. Selain itu, disfemia biasanya digunakan untuk menunjukkan kejengkelan. Bentuk pemakaian disfemia dapat dipakai dalam penulisan opini sebagai alat untuk mengungkapkan perasaan. Hal itu mengingat bahwa pengertian opini adalah anggapan, pendirian atau pendapat yang mengungkapkan suatu sikap, seperti sikap tidak setuju yang diikuti dengan rasa benci, jengkel, dan marah. Rubrik Gagasan pada surat kabar Solopos merupakan halaman yang khusus memuat opini. Dengan demikian, bentuk pemakaian disfemia dimungkinkan dapat ditemukan dalam rubrik Gagasan surat kabar Solopos. Surat kabar Solopos sudah memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat Surakarta (Solo). Banyak kaum cendekiawan, tokoh masyarakat, ahli, atau pejabat yang mengirimkan opini mereka agar khalayak luas membaca dan bahkan menyetujui pendapat mereka. Disfemia berarti menggunakan dengan sengaja suatu ungkapan atau katakata yang bermakna kasar dan tidak sopan. Selain itu, disfemia bersinonim dengan ungkapan-ungkapan yang menyakitkan hati atau menjijikkan, kasar atau tidak sopan, vulgar, tabu, dan tidak senonoh. Dengan kata lain, pemakaian disfemia adalah upaya penggantian (kata atau bentuk lain) yang bernilai rasa positif atau netral dengan kata lain yang dinilai bernilai rasa kasar atau negatif. Dengan demikian, disfemia erat kaitannya dengan nilai rasa, yaitu makna yang dibawa suatu kata. Disfemia adalah pengganti dari kata-kata halus, sopan atau ramah, atau ungkapan secara kasar dan tidak sopan atau tidak ramah. Selain itu, pengertian disfemia adalah ungkapan yang kasar sebagai pengganti ungkapan yang halus atau yang tidak menyinggung perasaan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa disfemia merupakan kebalikan dari eufemisme Dengan demikian, disfemia dapat dicari penggantinya, yaitu berupa kata atau ungkapan yang lebih halus, lebih sopan, dan lebih ramah. 38 Berikut penulis sajikan kerangka berpikir penelitian yang berjudul “Analisis Pemakaian Disfemia pada Rubrik Gagasan Surat Kabar Solopos”. Nuansa bahasa dalam Surat kabar Solopos Eufemia (penghalusan/ pelunakan) Netral (biasa) Disfemia (pengerasan/ pengasaran) Rubrik Gagasan Surat Kabar Solopos Artikel umum, Pos Pembaca, dan Mimbar Mahasiswa Tajuk rencana dan karikatur Analisis Bentuk pemakaian disfemia Nilai rasa yang terkandung dalam bentuk pemakaian disfemia Gambar 2. Kerangka Berpikir Sinonim bentuk pemakaian disfemia