BAB IV

advertisement
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil Penelitian
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh hasil sebagai
berikut.
12
11
10
Perolehan Ikan
10
8
8
7
7
6
6
6
Stasiun I
Stasiun II
4
4
2
0
I
II
III
IV
Pengambilan ke-
Gambar 5. Populasi ikan betutu pada stasiun I Wuryantoro dan stasiun II
Baturetno
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh ikan betutu
sebanyak 23 ekor pada stasiun I Wuryantoro dan sebanyak 36 ekor pada stasiun II
Baturetno kemudian dilakukan pengukuran pada panjang dan berat ikan betutu
maka diperoleh data rincian berat dan panjang yang terdapat di lampiran. Selain
itu diperoleh juga data fisik lingkungan berupa suhu, pH air waduk, kadar oksigen
terlarut dan tingkat kejernihan perairan. Seluruh data fisik lingkungan juga
terdapat dalam lampiran.
25
26
Tabel 1. Berat rata-rata ikan betutu pada stasiun I dan stasiun II
No.
1.
2.
3.
4.
5.
Hari Ke-
Stasiun I
Berat Rata-rata
I
148,25 gram
II
153
gram
III
135,83 gram
IV
153
gram
Total rata-rata 147,5 gram
Stasiun II
Berat Rata-rata
141,45 gram
135,57 gram
141,80 gram
141,50 gram
140,08 gram
Faktor-faktor fisik lingkungan waduk juga berperan dalam menentukan
besar kecilnya jumlah populasi yang terdapat pada suatu daerah tertentu. Hal ini
dapat dilihat berdasarkan tekstur tempat pada stasiun I Wuryantoro merupakan
daerah bukit berbatu cadas, di daerah tepi waduk merupakan tempat penambangan
batu kapur untuk pembuatan kompor. Dasar perairan waduk diduga juga berkapur
dan tidak banyak lumpur, padahal menurut Sterba (1973) dalam Warjono (1989)
menyatakan bahwa ikan betutu paling senang hidup di perairan tawar yang
mempunyai kedalaman 40 cm, dasar perairan tersebut tenang dan berlumpur,
sehingga ikan betutu akan dapat membenamkan diri di dalamnya.
27
Stasiun II Baturetno merupakan bekas ladang jagung yang tergenangi air
waduk Gajah Mungkur, dasar perairan waduk berlumpur pekat. Dasar perairan
yang berlumpur dan tenang merupakan tempat yang paling disukai ikan betutu,
sehingga diperoleh sampel ikan betutu yang cukup banyak pada stasiun ini.
Berdasarkan gambar 4, maka dapat diketahui bahwa populasi ikan betutu
di kecamatan Wuryantoro dan kecamatan Baturetno dapat dikatakan tersebar
secara merata pada kedua tempat yang dijadikan obyek penelitian, karena
keduanya termasuk daerah – daerah yang dapat dikatakan jauh dari tempat
pembudidayaan ikan betutu dengan menggunakan karamba.
B.
Populasi Ikan Betutu (Oxyeleotris marmorata, Bleeker)
Berdasarkan data penelitian yang diperoleh dari dua stasiun penelitian
maka dapat ketahui bahwa populasi ikan betutu pada kedua stasiun tersebut dapat
dikatakan merata. Hal ini dapat diketahui dengan total perolehan ikan betutu pada
stasiun I atau di daerah Wuryantoro dengan perolehan sebanyak 23 ekor dan pada
stasiun II atau di daerah Baturetno, dusun Boto dengan perolehan sebanyak 36
ekor. Perbedaan 13 ekor ikan betutu dapat dikatakan cukup besar bila dilihat dari
luas daerah pengambilan sampel yaitu ± 625 m2. Luas daerah pengambilan sampel
ini diperoleh dari panjang jaring yang ditebarkan sepanjang 25 m, dan setiap
pemasangan jaring membuat bentuk bujur sangkar pada bagian waduk.
Berdasarkan hal tersebut maka kerapatan populasi ikan betutu yang ada di
waduk Gajah Mungkur untuk stasiun I atau yang berada di daerah Wuryantoro
sebesar 23 ekor per 625 m2, sedangkan untuk stasiun II atau yang berada di daerah
Baturetno sebesar 36 ekor per 625m2. Jika dilihat dari sisi kerapatan tersebut
28
maka bila dikaitkan dengan faktor lingkungan waduk maka dapat diketahui bahwa
hal ini sangat berhubungan dengan faktor-faktor lingkungan yang ada.
Perolehan pada stasiun I yang hanya diperoleh total sebanyak 23 ekor,
karena kondisi kehidupan disana tidak cukup baik sebagai habitat ikan betutu
karena daerah tersebut merupakan daerah bukit berbatu cadas dan merupakan
bekas penambangan batu yang tergenang oleh air waduk Gajah Mungkur,
sehingga dasar perairan tidak berlumpur, padahal ikan betutu paling senang di
daerah berlumpur, juga tidak adanya lubang-lubang tempat untuk bersembunyinya
ikan betutu sebagai tempat istirahat ikan tersebut.
Stasiun II Baturetno diketahui merupakan bekas ladang jagung yang ikut
terendam air karena naiknya air waduk disebabkan curah hujan yang deras di
waktu musim penghujan. Tergenangnya ladang jagung tentu akan mengakibatkan
banyak pembusukan dari batang tanaman jagung yang mati sehingga akan banyak
pula detritivor dan plankton yang hidup di daerah tersebut yang dapat menjadi
makanan bagi ikan-ikan kecil dan ikan betutu pun akan mendapatkan makanan
yang berlimpah di daerah tersebut.
29
C.
Struktur Populasi Ikan betutu
Berdasarkan data yang diperoleh maka diperkirakan berat ikan betutu
berkisar antara 100 – 230 gram per ekornya. Mengacu pada tabel 2 maka dapat
diperkirakan dengan kisaran berat tersebut maka umur ikan betutu diperkirakan
antara 13 – 18 bulan atau lebih.
Tabel 2. Pertumbuhan Panjang dan Berat betutu yang Dipelihara di Kolam
Umur
Panjang Rata-rata
Berat Rata-rata
(Bulan)
(cm)
(gram)
Baru menetas
0,4
0,0002
2
3,5
0,6
6
13,5
33,5
7
15,0
42,5
8
16,5
53,0
9
18,0
55,0
10
18,5
66,0
11
18,5
72,0
12
19,0
77,0
13
19,0
100,0
16
21,5
130,0
17
23,0
175,0
18
23,0
200,0
Sumber : Komarudin, 2000.
Secara khusus struktur populasi yang terbentuk pada penelitian ini dapat
dianalisa pada dua bentuk yaitu dilihat dari sisi umur dan berat ikan betutu. Pada
stasiun I Wuryantoro diperoleh total ikan betutu sebanyak 23 ekor dan diperoleh
berat total rata-rata sebesar 147,5 gram. Jika di uraikan dalam perolehan perhari
maka akan diperoleh hasil seperti tabel 1 pada halaman sebelumnya
Adapun berdasarkan strata berat ikan betutu maka dibuat penggolongan
berat ikan betutu seperti pada tabel 3. Strata berat ikan betutu pada stasiun I
Wuryantoro menunjukkan bahwa ikan betutu dengan kisaran berat antara 90 –
120 gram sebanyak 8 ekor atau sekitar 34,8 % dari keseluruhan sampel yang
30
diperoleh pada stasiun I. Namun, ikan betutu dengan berat antara 121 – 150 gram
sebanyak 9 ekor atau sekitar 39,1 % dari keseluruhan sampel. Jika dilihat dari
kedua golongan kisaran berat tersebut maka jika di total sudah sebanyak 17 ekor
atau sekitar 74% dari total keseluruhan sampel. Jika mengacu pada tabel 2 tentang
pertumbuhan berat ikan betutu di dalam kolam maka dapat diperkirakan bahwa
dengan berat antara 90 – 150 gram, ikan betutu tersebut berumur antara 13 – 17
bulan per ekornya, sedangkan yang mempunyai berat lebih dari 150 gram
diperkirakan umurnya lebih dari dari 17 bulan.
Tabel 3. Strata berat ikan betutu pada stasiun I Wuryantoro
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kisaran Berat (gram)
90 – 120
121 – 150
151 – 180
181 – 210
211 – 230
231 – 250
Total
Jumlah
8
9
1
1
4
23
Persentase
34,8 %
39,1 %
4,3 %
4,3 %
17,4 %
100 %
231 - 250
0%
211 - 230
17%
90 - 120
35%
181 - 210
4%
151 - 180
4%
121 - 150
40%
Gambar 6. Persentase struktur populasi berdasarkan strata
Stasiun I Wuryantoro
berat ikan betutu di
31
> 17 bulan
26%
13 - 17 bulan
74%
Gambar 7. Persentase struktur populasi berdasarkan strata
Stasiun I Wuryantoro
umur ikan betutu di
Berdasarkan hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa struktur
populasi ikan betutu pada stasiun I Wuryantoro jika di susun atas strata berat
maka mempunyai jumlah populasi ikan terbanyak dengan berat antara 90 – 150
gram sejumlah 17 ekor, dengan umur ikan betutu antara 13 – 17 bulan per
ekornya.
Pembagian strata umur ikan betutu di dasarkan pada tabel 2 tentang
pertumbuhan ikan betutu di dalam kolam. Ikan betutu dengan berat 90 – 150 gram
di masukkan ke dalam golongan umur 13 – 17 bulan, sedangkan untuk ikan betutu
dengan berat lebih dari 150 gram di masukkan ke dalam golongan umur lebih
dari 17 bulan. Berdasarkan data tersebut maka untuk golongan umur 13 – 17
mendominasi hingga 74 %, golongan umur lebih dari 17 bulan hanya 26 % saja.
32
Perolehan total ikan betutu pada stasiun II Baturetno sebanyak 36 ekor dan
diperoleh berat total rata-rata sebesar 140,08 gram. Jika di uraikan dalam
perolehan perhari maka akan diperoleh hasil seperti pada tabel 1 di halaman
sebelumnya.
Tabel 4. Strata berat ikan betutu pada stasiun II Baturetno
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kisaran Berat (gram)
90 – 120
121 – 150
151 – 180
181 – 210
211 – 230
231 – 250
Total
211 - 230
6%
Jumlah
13
13
5
2
2
1
36
Persentase
36,1 %
36,1 %
13,9 %
5,5 %
5,5 %
2,9 %
100 %
231 - 250
3%
181 - 210
6%
90 - 120
35%
151 - 180
14%
121 - 150
36%
Gambar 8. Persentase struktur populasi berdasarkan strata
Stasiun II Baturetno
berat ikan betutu di
Strata berat ikan betutu pada stasiun II Baturetno menunjukkan bahwa
ikan betutu dengan kisaran berat antara 90 – 120 gram sebanyak 13 ekor atau
sekitar 36,1% dari keseluruhan sampel yang diperoleh pada stasiun II. Ikan betutu
dengan berat antara 121 – 150 gram juga sebanyak 13 ekor atau sekitar 36,1 %
33
dari keseluruhan sampel. Jika dilihat dari kedua golongan kisaran berat tersebut
maka jika di total sudah sebanyak 26 ekor atau sekitar 72% dari total keseluruhan
sampel. Jika mengacu pada tabel 2 tentang pertumbuhan berat ikan betutu di
dalam kolam maka dapat diperkirakan bahwa dengan berat antara 90 – 150 gram,
ikan betutu tersebut berumur antara 13 – 17 bulan per ekornya, sedangkan yang
lebih dari 150 gram diperkirakan umurnya lebih dari dari 17 bulan.
> 17 bulan
28%
13 - 17 bulan
72%
Gambar 9. Persentase struktur populasi berdasarkan strata
Stasiun II Baturetno
umur ikan betutu di
Berdasarkan hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa struktur
populasi ikan betutu pada stasiun II Baturetno jika di susun atas strata berat maka
mempunyai jumlah populasi ikan terbanyak dengan berat antara 90 – 150 gram
sejumlah 26 ekor, dengan umur ikan betutu diperkirakan antara 13 – 17 bulan per
ekornya.
Pembagian strata umur ikan betutu di dasarkan pada tabel 2 tentang
pertumbuhan ikan betutu di dalam kolam. Ikan betutu dengan berat 90 – 150 gram
di masukkan ke dalam golongan umur 13 – 17 bulan, sedangkan untuk ikan betutu
dengan berat lebih dari 150 gram di masukkan ke dalam golongan umur lebih
34
dari 17 bulan. Berdasarkan data tersebut maka untuk golongan umur 13 – 17
mendominasi hingga 72 %,sedangkan golongan umur lebih dari 17 bulan hanya
28 % saja.
Jika dikaitkan dengan faktor-faktor lingkungan yang diambil berupa suhu
air, pH, DO, dan juga kejernihan perairan maka diketahui bahwa pada stasiun I
suhu air tidak terlalu berpengaruh karena tidak ada perbedaan yang signifikan
antara kedua stasiun tersebut, dengan perolehan total ikan betutu pada stasiun I
diperoleh 23 ekor dan stasiun II diperoleh sebanyak 36 ekor.
Berdasarkan waktu pengambilan sampel ikan betutu yang dilakukan pada
bulan Juni 2005 sedangkan masa memijah ikan betutu menurut Komaruddin
(2000) adalah pada awal musim penghujan maka bulan Juni dapat dikatakan
sebagai bulan pembesaran, jika telah terjadi pemijahan di awal bulan Oktober
2004 maka pada bulan Juni 2005 umur ikan betutu paling kecil adalah 9 bulan,
sehingga yang tertangkap tidak lagi ikan betutu yang masih kecil tapi ikan betutu
yang sudah cukup dewasa bahkan jika hidup dalam kondisi lingkungan yang baik
maka perkembangan dan pertumbuhannya akan lebih cepat. Berdasarkan data,
ikan betutu yang ditangkap dan mempunyai berat antara 90 – 150 gram lebih
banyak dan mendominasi, baik pada stasiun I maupun stasiun II. Hal ini dapat
terjadi jika disesuaikan dengan waktu pemijahan maka ikan betutu yang paling
banyak diperoleh adalah ikan betutu dengan umur sekitar 9 bulan atau lebih dan
jika mengacu pada tabel 2 maka pada umur tersebut berat ikan betutu sekitar 55
gram, namun tentu saja terjadi perbedaan pertumbuhan antara di alam bebas
dengan di kolam pemeliharaan.
35
Namun bila terhitung masa memijah dan menetas mereka adalah bulan
Januari 2004 yang juga masih termasuk awal musim hujan, maka saat dilakukan
penelitian di bulan Juni tahun 2005 berarti usia ikan betutu berkisar pada usia 18
bulan dan usia ini adalah saat kemampuan untuk memijah berkembang dengan
baik, dan pada penelitian kali ini di dapat ikan betutu yang mempunyai berat ideal
untuk memijah.
Berdasar hal tersebut, di duga ikan betutu yang banyak di dapat pada
penelitian ini adalah ikan betutu yang memijah pada bulan Januari 2004, sehingga
pada saat dilakukan penelitian telah berumur kurang lebih 18 bulan dan
mempunyai kisaran berat antara 90 – 150 gram, sedangkan yang mempunyai berat
lebih dari 150 gram adalah yang telah berumur lebih dari 18 bulan. Hal ini tentu
sama dengan pemeliharaan ikan betutu di dalam kolam sesuai dengan tabel 2.
36
D.
Hubungan dengan Faktor-Faktor Lingkungan
1. Suhu
Suhu di perairan waduk Gajah Mungkur pada pagi hari berkisar antara
25oC – 30oC. Permukaan air waduk pada pagi hari mengeluarkan uap air dan
terlihat seperti asap yang berada di atas air, sehingga suhu air terasa hangat dan
kisaran suhu berada di atas 29oC. Hal ini disebabkan oleh adanya massa air yang
berada pada permukaan waduk mengalami kondensasi disebabkan air waduk yang
mempunyai suhu lebih tinggi dibandingkan dengan suhu lingkungan yang lebih
rendah sehingga tampak uap air diatas permukaan waduk.
Tabel 5. Suhu air waduk Gajah Mungkur pada stasiun I Wuryantoro dan stasiun
II Beturetno
No.
Pengambilan
Stasiun I
Pagi ( C ) Sore ( oC )
26,75
24,30
28,93
24,71
28,76
25,48
30,34
26,23
28,69
25,18
o
1.
2.
3.
4.
5.
I
II
III
IV
Rata – rata
Stasiun II
Pagi ( C )
Sore ( oC )
27,76
22,62
25,32
21,73
26,84
22,46
25,49
22,25
26,35
22,27
o
Berdasarkan tabel 5 di atas, maka dapat diketahui bahwa perbandingan
suhu antara kedua stasiun pengambilan sampel tidak terlalu berbeda secara
signifikan. Hal ini dapat disebabkan bahwa suhu perairan waduk dapat dikatakan
sama secara merata di keseluruhan daerah waduk. Namun pada pembahasan kali
ini hanya difokuskan pada suhu air waduk di bagian tengah di saat pagi hari
karena ikan yang terjaring berada di bagian tengah. Sedangkan suhu bagian tepi
hanya sebagai data tambahan dan pembanding.
37
Menurut Mulyono (2001) ikan betutu dapat hidup dengan baik pada
kisaran suhu 19oC – 20oC, namun betutu juga masih dapat hidup dengan baik pada
suhu 30oC. Sehingga jika dilihat dari data suhu air waduk yang diperoleh maka
kisaran suhu air waduk Gajah Mungkur merupakan suhu yang masih dapat
digunakan dan layak sebagai habitat ikan betutu. Mulyono (2001) juga
menyatakan bahwa berdasarkan sifat hidupnya, ikan betutu yang selalu diam di
saat sudah kenyang, maka ikan betutu paling suka hidup di perairan yang tenang
seperti di daerah waduk karena aliran air di waduk tidaklah berarus deras seperti
di sungai. Aliran air yang tenang akan menghasilkan suhu air yang stabil pula
dalam hal ini suhu air waduk Gajah Mungkur juga dalam keadaan stabil karena
tidak banyak aliran sungai yang menuju ke dalam waduk Gajah Mungkur.
35
30
25
20
15
10
5
0
Suhu Pagi
Suhu Sore
Populasi
ikan betutu
I
II
III
IV
Pengambilan ke-
Gambar 10. Grafik populasi ikan betutu dan suhu di stasiun I Wuryantoro pada
pengamatan hari ke 1,2,3, dan 4
Hubungan antara suhu dengan populasi ikan betutu pada stasiun I cukup
besar. Berdasarkan perhitungan statistik maka diketahui bahwa terdapat hubungan
yang cukup kuat antara populasi ikan betutu dengan suhu lingkungan yaitu
(0,740) sedangkan signifikansinya lebih besar dari 0,05 yaitu (0,260). Jadi dapat
38
dikatakan bahwa pada stasiun I antara populasi ikan betutu dengan suhu
lingkungan terdapat hubungan yang kuat. Hal ini dapat terjadi dikarenakan pada
stasiun I suhu perairan berada pada wilayah yang terbuka dan sinar matahari
langsung masuk ke dalam perairan yang dapat menyebabkan suhu air naik secara
maksimal.
30
25
20
Suhu Pagi
15
Suhu Sore
10
Populasi
ikan Betutu
5
0
I
II
III
IV
Pengambilan ke-
Gambar 11. Grafik populasi ikan betutu dan suhu di stasiun II Baturetno pada
pengamatan hari ke 1,2,3, dan 4
Hubungan antara suhu dengan populasi ikan betutu pada stasiun II ternyata
juga terdapat korelasi yang kuat sebesar (0,982) sedangkan signifikansinya lebih
kecil dari 0,05 yaitu (0,018). Jadi pada stasiun II antara populasi ikan betutu
dengan lingkungan terdapat korelasi yang kuat. Hal ini dapat disebabkan
banyaknya sampel yang diambil oleh peneliti pada stasiun II lebih banyak
daripada stasiun I, namun secara umum dapat dikatakan bahwa suhu dan keadaan
lingkungan pada stasiun II lebih dapat mendukung kehidupan ikan betutu secara
keseluruhan. Jika dilihat dari perbedaan jumlah sampel yang diperoleh pada
stasiun II lebih banyak maka berdasarkan pengamatan peneliti bahwa pada stasiun
39
II merupakan daerah yang mendukung kehidupan ikan betutu dilihat dari
kestabilan suhu air waduk dan juga lingkungan sekitar yang merupakan bekas
ladang jagung yang tergenang air sehingga dasar perairan berlumpur dan menjadi
tempat hidup ideal bagi ikan betutu.
Stasiun I Wuryantoro sendiri merupakan daerah yang juga memiliki suhu
air waduk yang juga stabil, daerah tersebut merupakan daerah penambangan batu
yang tergenang air yang tentu saja dasar perairan waduk tidak berlumpur. Selain
itu pada stasiun I ini di sisi lain ada daerah aliran sungai yang mengalir menuju
waduk yang tentu saja secara tidak langsung dapat mempengaruhi suhu air waduk
walaupun secara perlahan-lahan.
2. Tingkat Kejernihan Perairan
Berdasarkan data pada tabel 6, maka diketahui bahwa tingkat kejernihan
perairan waduk pada stasiun I yang diukur dari tepi waduk sejauh 50 cm,
diketahui bahwa tingkat kejernihan rata-rata di tepi sedalam 13,8 cm dan lebih
jernih daripada bagian tepi pada stasiun II yang mempunyai rata-rata tingkat
kejernihan kejernihan sedalam 13,63 cm.
Tabel 6. Tingkat kejernihan air waduk pada stasiun I dan stasiun II
No.
Pengukuran
1.
2.
3.
4.
5.
I
II
III
IV
Rata – rata
Stasiun I (cm)
Tepi
Tengah
14,2
22,50
12,3
26,00
13,7
35,50
15
36,50
13,8
30,13
Stasiun II (cm)
Tepi
Tengah
13,8
35,67
13,5
35,70
13,7
26,50
13,5
34,50
13,63
33,09
40
Stasiun II Baturetno merupakan bekas ladang jagung sehingga pada dasar
perairan mempunyai lumpur yang sangat pekat. Ikan betutu lebih senang hidup di
perairan yang lebih pekat atau yang mempunyai tingkat kejernihan kecil karena
menurut Sterba (1973) dalam Warjono (1989) menyatakan bahwa ikan betutu
paling senang hidup di perairan tawar yang mempunyai kedalaman 40 cm dan
mempunyai dasar perairan berlumpur serta berarus tenang, sehingga ikan betutu
akan dapat membenamkan diri dalam lumpur.
Berdasarkan data statistik yang diperoleh, fokus penghitungan hanya pada
tingkat kejernihan yang di bagian tengah, maka diketahui bahwa hubungan antara
populasi ikan betutu dengan tingkat kejernihan perairan berbanding terbalik,
semakin pekat atau semakin kecil nilai tingkat kejernihan perairan maka akan
semakin banyak ikan betutu yang hidup di daerah tersebut. Stasiun I diketahui
bahwa hubungan atau korelasi yang terjadi sebesar (-0,920) namun mempunyai
signifikansi lebih besar dari 0,05 yaitu (0,08). Jadi terdapat hubungan namun tidak
signifikan, antara tingkat kejernihan perairan di stasiun I dengan populasi ikan
betutu.
Pada stasiun II Baturetno yang merupakan daerah berlumpur diperoleh
bahwa hubungan atau korelasi antara tingkat kejernihan dengan populasi ikan
betutu sebesar (-0,978) dan mempunyai signifikansi lebih kecil daripada 0,05
yaitu (0,022) sehingga dapat dikatakan bahwa pada stasiun II mempunyai
hubungan yang kuat. Maka dapat diartikan bahwa semakin kecil tingkat
kejernihan suatu perairan maka merupakan lingkungan yang baik bagi ikan
betutu.
41
3. Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman atau lebih dikenal dengan pH merupakan tingkat
keasaman perairan yang dapat dijadikan parameter kelayakan untuk hidup bagi
organisme. Fardiaz (1992) menyatakan bahwa air yang normal adalah yang
mempunyai pH antara 6 – 8.
Tabel 7. Derajat keasaman air waduk Gajah Mungkur pada stasiun I Wuryantoro
dan stasiun II Baturetno
No.
1.
2.
3.
4.
Pengambilan
I
II
III
IV
Rata - Rata
Stasiun I
7,79
7,84
7,81
7,77
7,80
Stasiun II
7,70
7,66
7,80
7,87
7,76
Berdasarkan data pada tabel 7, maka dapat dikatakan bahwa perairan
waduk Gajah Mungkur merupakan perairan yang dapat digunakan dengan baik
untuk pembudidayaan perikanan karena pH perairan masih dalam keadaan baik.
Kestabilan pH waduk ini dapat terjadi dikarenakan luas permukaan waduk yang
cukup besar sehingga fluktuasi perubahan pH tidak terjadi secara ekstrim,
meskipun ada air yang masuk dari sungai-sungai.
42
9
8
7
6
5
pH
4
3
2
Populasi
ikan
1
0
I
II
III
IV
Pengambilan ke-
Gambar 12. Grafik derajat keasaman air waduk Gajah Mungkur dan populasi ikan
betutu pada stasiun I Wuryantoro
Perairan waduk Gajah Mungkur merupakan tempat yang baik bagi
kehidupan ikan betutu karena pHnya berada masih pada sekitar pH normal untuk
perairan air tawar, sehingga populasi ikan betutu di waduk dapat berkembang
secara baik dan cepat. Hal ini dapat dilihat dari diperolehnya ikan pada setiap
harinya oleh nelayan, dan dalam penelitian ini pengambilan sampel dengan jaring
selalu dapat menjaring ikan betutu dengan jumlah selalu lebih dari 3 ekor.
Ikan betutu dapat hidup pada kisaran pH 7 – 8, hal ini dinyatakan oleh
Mulyono (2001) bahwa selain dapat hidup pada kisaran pH tersebut ikan betutu
juga dapat hidup pada pH lebih rendah yaitu 5,5 – 6,5. Nilai pH air waduk Gajah
Mungkur berada pada kisaran 7,5 – 7,8. Hal ini tentu masih dalam batas toleran
untuk kehidupan ikan betutu. Jadi sangat wajar jika ikan betutu dapat berkembang
dengan baik di waduk Gajah Mungkur.
43
12
10
8
6
pH
4
Populasi
ikan betutu
2
0
I
II
III
IV
Pengambilan ke-
Gambar 13. Grafik derajat keasaman air waduk Gajah Mungkur dan populasi ikan
betutu pada stasiun II Baturetno
Hubungan antara besarnya pH dengan populasi ikan betutu ternyata
berbanding terbalik pada stasiun II sebesar (-0,965) dan pada stasiun I sebesar
(0,961). Pada dasarnya sebagian perairan waduk bersifat netral karena pada
kisaran pH bernilai 7.
4. Oksigen Terlarut
Kadar oksigen terlarut dalam air mempunyai hubungan yang sangat erat
dengan keberadaan ikan betutu, hal ini karena berkaitan dengan sumber makanan
ikan betutu yang berupa ikan-ikan kecil karena sumber makanan tersebut hidup di
tempat yang mempunyai jumlah kadar oksigen yang rendah, disebabkan di daerah
yang mempunyai kadar oksigen rendah banyak terdapat zooplankton sebagai
makanan bagi ikan-ikan kecil (Wibowo, 2004).
Hubungan kadar oksigen terlarut dengan jumlah sampel ikan betutu yang
diperoleh dapat dilihat dengan jelas pada stasiun II. Pada stasiun tersebut
44
diperoleh jumlah ikan betutu yang lebih banyak dibanding dengan stasiun I yang
mempunyai kadar oksigen yang lebih tinggi.
Ikan betutu merupakan ikan yang dapat menyerap oksigen langsung dari
udara, sehingga ikan betutu sangat tahan terhadap kondisi air yang kurang baik
atau perairan tersebut kurang dalam kadar oksigen yang terlarutnya (Mulyono,
2001). Berdasar tabel 8 diketahui bahwa kadar oksigen terlarut yang ada pada
waduk Gajah Mungkur sendiri berada dalam titik kritis perairan, hal ini diketahui
dari data penelitian fisik lingkungan yang diperoleh karena menurut Odum (1993)
bahwa kadar oksigen pada tekanan 1 atmosfer kisaran 3 – 6 mg/L merupakan titik
kritis bagi kehidupan dalam air. Namun, karena ikan betutu dapat hidup pada
kadar oksigen terlarut yang kurang maka hal ini tidak terlalu menjadi kendala bagi
kehidupan ikan betutu.
Tabel 8. Kadar oksigen terlarut pada stasiun I dan stasiun II
No.
1.
2.
3.
4.
Pengambilan
I
II
III
IV
Rata - Rata
Stasiun I
(ml/L)
4,19
3,47
4,21
4,75
4,16
Stasiun II
(ml/L)
3,72
3,65
3,83
3,87
3,77
Hubungan yang paling jelas memang terlihat pada stasiun II dengan
jumlah sampel ikan sebanyak 36 ekor maka berdasarkan perhitungan statistik
diketahui hubungan atau korelasi yang besar antara ikan betutu dengan kadar
oksigen telarut berbanding terbalik sebesar (-0,956) dan mempunyai signifikansi
lebih kecil dari 0,05 yaitu (0,044). Jadi dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan
yang sangat besar dan juga signifikan antara banyaknya populasi ikan betutu
45
dengan kadar oksigen sehingga semakin banyak ikan betutu terdapat di suatu
tempat maka akan semakin kecil kadar oksigen yang ada di perairan tersebut.
Hubungan kadar oksigen dengan populasi ikan betutu pada stasiun I
sebesar (-0,995) dan signikansinya lebih kecil dari 0,01 yaitu (0,05). Jadi juga
dapat dikatakan terdapat korelasi yang besar dan signifikan pada level 0,01 antara
besarnya populasi ikan betutu dengan kadar oksigen yang ada. Namun hubungan
yang terjadi juga berbanding terbalik seperti pada stasiun II, semakin banyak ikan
betutu akan semakin sedikit kadar oksigen yang ada.
Download