44 Bionature Vol. 11 (1): Hlm: 44 - 49, April 2010 ISSN: 1411-4720 Pembentukan Kapsul/Nodul Larva Helicoverpa armigera Hubner (Lepidoptera : Noctuidae) Pacsa Infeksi HaNPV (Helicoverpa armigera NUCLEAR POLYHEDROSIS VIRUS) Capsules/Nodules Formation Helicoverpa armigera Hubner (Lepidoptera : Noctuidae) Larvae Postinfection HaNPV (Helicoverpa armigera NUCLEAR POLYHEDROSIS VIRUS) Nani Kurnia Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Makassar Abstract NPV is one of the biological insecticides that kills the target by infecting their cells including hemocytes. Hemocytes play a key role on defence mechanism against pathogens like NPV. This defense mechanism may cause the insect to become more tolerant as well as to chemical insectisides. The tolerances of insect to NPV could be induced by cellular immune system (CIS). One of the CIS is capsules/nodules formation. Based on that assumption, this research was conducted to observe the alteration of capsules/nodules formation of Helicoverpa armigera larvae post sublethal infection of HaNPV (Helicoverpa armigera nuclear polyhedrosis viruses). The fifth instar Helicoverpa armigera ware infected by sublethal doses of HaNPV. 24 hour post infection, partly of survive larvae reared to get their first (NPV-F1) and second filial (NPV-F2). Another survivor induced by hit killed Bacillus cereus, and then its haemocoel were exposed under stereo microscope (total magnification, 60 X) to watch capsules/nodules that appear as black spots on haemolymph. This procedure also conducted to fifth instar larvae of NPV-F1, NPV-F2, control (KP) and their filial (K-F1 and K-F2), blank and placebo. The result showed that the number of nodules/capsules on larvae were not significant between control and the NPV-treat larvae on every generation, which was about 4 nodules/capsules. It showed that there is no cellular immune respon changed on NPV-P larvae, so their immune ability are similar to larvae K-P. The recoveries of NPV-P larvae cause it have a good capability to produce offspring with good immune response. So, NPV-F1 and NPV-F2 larvae have same ability as K-F1 and K-F2 larvae. It can be concluded that the use of sublethal dosage of HaNPV has not changed formation of capsules/nodules of H. armigera larvae and their offspring. Keywords : Helicoverpa armigera, HaNPV, cellular immun sistem response Pembentukan Kapsul/Nodul Larva Helicoverpa armigera Hubner (Lepidoptera : Noctuidae) A. Pendahuluan Infeksi serangga oleh NPV terjadi jika virus ini masuk ke dalam usus tengah larva dan infeksi awal terjadi pada sel epitel usus tengah. Pada larva Lepidoptera, turunan virion hasil replikasi pada epitel usus tengah tersebut akan dilepaskan ke hemosol (rongga tubuh serangga) (Flipsen, 1995) yang mengandung hemolimf (darah serangga) dan hemosit (sel darah serangga). Hemosit, berperan penting dalam sistem pertahanan untuk menghadapi benda asing termasuk patogen (Pech and Strand, 1996). Sistem pertahanan yang dapat dilakukan oleh hemosit diantaranya adalah sistem imun seluler dan humoral. Secara seluler, hemosit dapat melakukan koagulasi hemolimf, fagositosis serta enkapsulasi dan nodulasi. Secara humoral, hemosit merupakan sumber senyawa humoral1 dan enzimatik yang berperan penting dalam sistem seluler seperti enzim phenoloxidase dan peptida anti bakteri (Azambuja et al., 1999). Sistem imun serangga diduga akan terganggu jika hemosit terinfeksi NPV. Pennacchio et al. (2003) mengatakan bahwa virus PDV (Polydnaviridae) dapat mengekspresikan protein yang dapat mengganggu penyusunan kembali sitoskeleton sel. Hal ini dapat menyebabkan hemosit tidak dapat menyebar, menempel maupun 2 melakukan apoptosis . Asgari et al. (1997) menjelaskan bahwa virus CrV memiliki gen CrV1, yang hanya diekspresikan pada hemosit yang diinfeksi. Protein CrV1 akan disekresikan oleh hemosit yang terinfeksi CrV. Protein tersebut akan berinteraksi dengan sel-sel badan lemak dan hemosit lain sehingga dapat menghambat respon imun seluler. Protein CrV1 juga dapat 1 Humoral adalah senyawa yang terlarut dalam darah Apoptosis merupakan kematian sel terprogram berkaitan dengan fisiologi normal dan bukan karena kerusakan sel. 2 44 mengganggu ikatan lektin-karbohidrat yang merupakan tahap awal pengenalan benda asing oleh hemosit. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan tersebut telah memberikan kesimpulan bahwa infeksi serangga oleh virus dapat mengganggu sistem imun seluler serangga inang. Namun bentuk gangguan respon imun tersebut belum diketahui. Karenanya perlu dilakukan penelitian tersebut antara lain dengan cara mengamati kemampuan hemosit membentuk kapsul/nodul. B. Metode penelitian Penelitian ini dimulai dengan aklimasi instar 5 H. Armigera yang diperoleh dari lapangan, selama 1 hari di laboratorium. Larva tersebut kemudian diinfeksi dengan HaNPV dan selanjutnya dipelihara kembali selama 1 hari. Keesokan harinya, sebagian larva diamati respon imunnya dan sisanya dipelihara kembali sampai mengahasilkan keturunan F1 dan F2. Pengamatan respon imun juga dilakukan pada instar 5 dari masing-masing generasi tersebut. Pembentukan kapsul/nodul diinduksi dengan injeksi Bacillus cereus mati, dan kemudian diamati dibawah mikroskop stereo. Dalam penelitian ini serangga uji yang digunakan adalah instar 5 awal Helicoverpa armigera. Infeksi dilakukan dengan cara mengkontaminasi pakannya dengan dosis subletal (1,1 x 106 PIB/larva) HaNPV. Dosis subletal ini menyebabkan kematian 40% populasi instar 5 H. armigera. Pengamatan respon dilakukan pada 24 jam setelah infeksi (jsi) (NPV-P) serta pada instar 5 generasi pertama (NPV-F1) dan generasi kedua (NPV-F2). Sebagai kontrol digunakan instar yang sama baik untuk parental (K-P) maupun keturunannya (K-F1 dan K-F2) Pengamatan pendahuluan dilakukan untuk mengetahui waktu pembentukan kapsul/nodul terbanyak. Waktu pembentukan kapsul/nodul terbanyak akan digunakan untuk menentukan Pembentukan Kapsul/Nodul Larva Helicoverpa armigera Hubner (Lepidoptera : Noctuidae) waktu inkubasi larva setelah injeksi benda asing. Pengamatan ini dilakukan pada instar 5 kontrol pada 3, 6, 12 dan 24 jam setelah injeksi B. cereus mati. Dalam penelitian ini B. cereus dianggap sebagai benda asing target pembentukan kapsul/nodul. Larva diinjeksi dengan B. cereus menggunakan “microsyringe” Hamilton ® Microliter tipe 701N, kemudian larva dipelihara kembali (inkubasi) selama 3, 6, 12 dan 24 jam. Selanjutnya, larva dibius dengan mendinginkannya pada es. Pada saat larva mulai tidak bergerak, larva dibedah sehingga hemosol terdedah. Kapsul/nodul dapat diamati secara in vivo di bawah mikroskop stereo berupa bintik hitam pada hemolimf atau melekat pada organ-organ dalam larva misalnya pada saluran pencernaan. Penghitungan jumlah kapsul/nodul harus segera dilakukan sebelum hemolimf menjadi hitam akibat melanisasi. Setelah penghitungan selesai, saluran pencernaan dihilangkan untuk mengamati kapsul/nodul pada bagian hemosol yang lainnya (Miller et al., 1996 dan Jurenka et al., 1997). Pengamatan kapsul/nodul setelah infeksi HaNPV dilakukan terhadap instar 5 H. armigera. Pengamatan dilakukan secara in vivo dengan cara yang sama dengan pengamatan pendahuluan. Waktu pembentukan kapsul/nodul terbanyak yang diperoleh berdasarkan pengamatan pendahuluan, digunakan sebagai waktu inkubasi setelah larva diinjeksi B. cereus. Pengamatan kapsul/nodul juga diamati pada kontrol. Selain itu, Sebagai pembanding, pengamatan kapsul/nodul dilakukan juga pada larva kontrol yang diinjeksi “aqudes pro injection” (plasebo) dan tanpa perlakuan apapun (“blank”). C. Hasil dan Pembahasan Hasil uji pendahuluan menunjukkan bahwa pembentukan kapsul/nodul terbanyak terjadi pada jam ke 12 setelah injeksi 105 sel B. cereus mati (Tabel 1). 45 Tabel 1. Jumlah kapsul/nodul hasil uji pendahuluan. Jam 3 6 12 24 Jumlah kapsul/nodul 2,93 2,34 4,13 1,55 4,67 1,68 3,80 2,21 Hasil pengamatan jumlah nodul dalam penelitian ini jauh berbeda dengan hasil pengamatan Miller et al. (1996) dengan serangga uji Zophobas atratus (Tenebrio). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa waktu pembentukan nodul terbanyak adalah jam ke 18 setelah injeksi 105 sel bakteri Serratia marcescens mati dengan volume 10 µl. Jumlah nodul yang dapat diamati adalah 40 nodul. Di lain pihak, Jurenka et al. (1997) mengamati hal yang sama pada Agrotis ipsilon (Noctuidae) dan Pseudaletia unipuncta (Noctuidae). Jumlah nodul yang terbentuk dengan injeksi bakteri yang sama adalah 57 nodul pada jam ke 2 setelah injeksi. Dalam penelitian ini jumlah bakteri yang diinjeksikan sama dengan Miller et al. (1996) dan Jurenka et al. (1997) yaitu 105 sel dengan volume 10 µl, namun jenis bakteri yang digunakan berbeda. Penelitian ini menggunakan bakteri B. cereus yang bukan merupakan patogen serangga. Terbentuknya kapsul/nodul sebagai respon terhadap bakteri bergantung pada daya patogennya terhadap inang. Injeksi bakteri patogen menghasilkan nodul lebih cepat dibandingkan dengan injeksi bakteri yang tidak patogen (Walters & Ratcliffe, 1983). Respon pembentukan kapsul/nodul pasca infeksi NPV menunjukkan bahwa jumlah kapsul/nodul pada perlakuan tidak berbeda nyata dengan kontrol untuk semua generasi (Tabel 2). Pembentukan Kapsul/Nodul Larva Helicoverpa armigera Hubner (Lepidoptera : Noctuidae) Tabel 2. Jumlah kapsul/nodul pada H. armigera PERLAKUAN Kontrol (K) NPV GENERASI P 4,67 1,68 a 4,70 1,60 a F1 4,33 1,91 a 5,00 0,89 a F2 4,10 2,84 a 4,50 2,46 a Pada H. zea yang diinfeksi AcMNPVhsp70/lacZ, NPV ditemukan pada hemolimf 14 jsi. Kebanyakan sel hemosit H. Zea, tidak mendukung replikasi virus meskipun hemosit menelan virus dan nukleokapsidnya mencapai inti sel hemosit. Hampir semua H. Zea dalam penelitian ini gagal untuk amplifikasi virus bahkan menghilangkannya dari hemolimf. Kegagalan hemosit H. zea menyebabkan tereduksinya titer virus dalam hemolimf dan menghentikan penerusan penyakit (Trudeau et al., 2000). Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dalam penelitian ini diduga bahwa tidak adanya perbedaan jumlah nodul antara perlakuan dengan kontrol, disebabkan oleh kemampuan hemosit mengeliminasi NPV. Hal ini disebabkan dosis NPV yang digunakan dalam penelitian ini merupakan dosis subletal. Hemosit dapat dengan cepat menghilangkan NPV dari hemolimf dan menghentikan infeksi. Setelah NPV hilang dari hemolimf maka sistem imun seluler, dalam hal ini pembentukkan nodul, telah kembali normal. Dengan demikian, sistem imun larva kontrol dan larva perlakuan kembali setara. Jika dosis yang digunakan merupakan dosis lebih tinggi atau letal (mematikan hampir semua populasi larva), dengan masa inkubasi yang sama, dapat diduga bahwa jumlah nodul larva perlakuan akan lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Hal ini diamati oleh Trudeau et al. (2000) pada H. virescen yang diinfeksi NPV dengan dosis letal. Hemosit digunakan oleh virus untuk mengamplifikasi dirinya. Pada saat ini, 46 hemosit masih dalam keadaan aktif melawan infeksi virus, sehingga jika hemosit diinduksi dengan benda asing (misalnya dalam penelitian ini, B. cereus), kemampuan hemosit membentuk nodul akan menurun. Pada keadaan ini jumlah nodul yang terbentuk akan lebih rendah dibandingkan dengan larva kontrol. Hal tersebut di atas akan terjadi juga bila larva yang digunakan adalah larva yang lemah karena infeksi NPV dosis rendah. Larva yang lemah ini dapat ditemukan pada setiap populasi walaupun dalam jumlah yang terbatas. Pada suatu populasi terdapat variasi antar individu dalam menghadapi infeksi penyakit (NPV). Pourmirza (2000) mengatakan variasi tingkat kelemahan melawan infeksi juga dapat terjadi karena adanya variasi genetik dalam patogen. Jumlah virion dalam satu polihedra dapat berbeda sehingga dapat menimbulkan tingkat patogenitas yang berbeda. Soderhall & Aspan (1993) menyatakan bahwa setiap nodul yang terbentuk pada akhirnya akan dihilangkan dari sirkulasi. Berdasarkan hal ini, diduga bahwa akan didapatkan jumlah nodul yang lebih banyak apabila pengamatan dilakukan pada saat yang tepat, yaitu pada saat pembentukan nodul terhadap NPV belum dihilangkan dari hemolimf dan kemudian ditambah lagi dengan jumlah nodul terhadap B. cereus. Pengamatan pada larva NPV-F1 dan NPVF2 dilakukan untuk mengetahui perubahan respon imun yang diakibatkan infeksi NPV pada induknya. Hal ini didasari asumsi bahwa inang akan mengembangkan mekanisme sistem imun dan mewariskan sifat tersebut pada generasi selanjutnya, sehingga generasi tersebut dapat tahan terhadap serangan patogen (McKean & Nunney, 2001 dan Cotter & Wilson, 2002). Kenyataan di lapangan juga menunjukkan bahwa pada setiap generasi yang diinfeksi NPV, dosis aplikasi selalu meningkat. Pembentukan Kapsul/Nodul Larva Helicoverpa armigera Hubner (Lepidoptera : Noctuidae) Berdasarkan pengamatan, nampak tidak terdapat perbedaan repon imun pada larva NPV-F1, NPV-F2 maupun K-F1 dan K-F2. Hal ini dapat terjadi karena pada pengamatan NPV-P pun tidak menunjukkan adanya perubahan respon imun. Sehingga diduga larva NPV-P memiliki kemampuan sama dengan larva K-P dalam menghasilkan keturuan yang memiliki respon imun yang baik. Jika dikaitkan dengan kemampuan serangga mengembangkan ketahanannya terhadap insektisida, dalam penelitian ini mungkin perubahan respon imun akan terdeteksi setelah banyak generasi dan setiap generasi didedahkan dengan NPV. Seperti telah diketahui bahwa resistensi diakibatkan karena hilangnya ikatan antara protein toksin dengan protein reseptor pada membran sel inang. (Darboux et al., 2002 and Tabashnik et al., 1994). Resistensi itu sendiri baru dapat terjadi setelah beberapa generasi, misalnya pada Amblyseius deleoni yang resisten terhadap azadirahtin pada generasi ke 50 (Sudding, 2002). Berdasarkan hal ini dapat diduga bahwa perubahan respon imun serangga juga tidak terjadi hanya dengan satu kali infeksi patogen. D. Kesimpulan Berdasarkan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa dosis subletal NPV tidak mengubah kemampuan hemosit membentuk kapsul/nodul sebagai respon sistem imun seluler serangga. E. Daftar Pustaka Asgari S., O. Schmidt, and U. Theopold, (1997), A polydnavirus-encoded protein of an endoparasitoid wasp is an immune suppressor, J. General Virol., 78:30613070. Azambuja P., D. Feder, C.B. Mello, S.A.O. Gomes, and E. S. Garcia, 1999, 47 Immunity in Rhodnius prolixus: Trypanosomatid-vector interaction, Mem. Inst. Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro, 94 (Suppl. I):219-222. Cotter S.C., and K. Wilson, (2002), Heritability of immune function in the caterpillar Spodoptera litoralis, Heredity, 88:229-234. Darboux I., Y. Pauchet, C. Castella, M.H. Silva-Filha, C. Nielsen-Leroux, J-F. Charles, and D. Pauron, 2002, Loss of the membrane anchor of the target receptor is a mechanism of bioinsecticide resistance, Proc. Natl. Acad. Sci. USA, 99: 5830-5835. Flipsen H., 1995, Pathogenitas Induced by (Recombinant) Baculovirus in Insect N W O, Netherlands. Jurenka R. A., J. S. Miller, V. K. Pedibhotla, R.L. Rana, and D. Stanley-Samuelson, 1997, Eicosanoids mediate microaggregation and nodulation responses to bacterial infections in black cutworms, Agrotis ipsilon, and true armyworms, Pseudalettia unipuncta, J. Insect Physiol, 43: 125-133. Mckean K.A., and L. Nunney, 2001, Increased sexual activity reduces male immune function in Drosophila melanogaster, Proc. Natl. Acad. Sci. USA, 98:79047909. Miller J.S., R.W. Howard, T. Nguyen, A. Nguyen, R.M.T. Rosario, and D.W. Stanley-samuelson, 1996, Eicosanoids mediate nodulation responses to bacterial infections in larvae of the tenebrionid Beetle, Zophobas atratus, J. Insect Physiol, 42, 3-12. Pech L.L., and M.R. Strand, 1996, Granular cell are required for encapsulation of foreign targets by insect haemocytes, J. Cell Sci., 109:2053-2060. Pennacchio F., A. Tranfaglia, and C. Malva, (2003) Host-parasitoid anatagonism in insect: new oppurtunities for pest Pembentukan Kapsul/Nodul Larva Helicoverpa armigera Hubner (Lepidoptera : Noctuidae) control?, Agrofood Industry Hi –tech, Juli/Agustus:53-56. Pourmirza A.A., 2000, Relationship between nuclear polyhedrosis virus suscepibility and larval weight in Heliothis armigera, J. Agr. Sci. Tech. (2000) Vol.2:291-298. Soderhal K., and A. Aspan, 1993, Prophenoloxidase activating system and its role in cellular communication, dalam Insect Immunity (Pathak J.P.N, 1993), Kluwer Academic Publishers. Sudding, 2002, Seleksi Tungau Perdator Amblyseius deleoni Muma et Denmark Secara Bertahap di Laboratorium Untuk Mendapatkan Strain Resisten Azadirahtin, Disertasi, Institut Teknologi Bandung. 48 Tabashnik B.E., N. Finson, F.R. Groeters, W.J. Moar, M.W. Johnson, K. Luo, and M.J. Adang, 1994, Reversal of resistance to Bacillus thuringiensis in Plutella xylostella, Proc. Natl. Acad Sci. USA, 91: 4120-4124. Trudeau D., J.O. Washburn, and L.E. Volkman, 2001, Central role of hemocytes in Autographa California M Nucleopolyhedrovirus pathogenesis in Heliothis virescens and Helicoverpa zea, J. of Virology, 75: 996-1003. Walters J.B., and N.A. Ratcliffe, 1983, Studies on the in vivo cellular reactions on insects: fate of pathogenic and nonpathogenic bacteria in Galeria mellonella nodules. J. Insect Physiol., 29:417-424.