31 HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan darah dilakukan sesaat sebelum operasi penanaman material implan (H0), dan beberapa hari setelah operasi penanaman, yaitu hari ke-3, 7, 14, 21, 30 , 60 dan 90. Pemilihan waktu pemeriksaan dilakukan berdasarkan waktu proses persembuhan tulang dan kerusakan jaringan (Cheville 2006). Pemeriksaan darah yang dilakukan adalah jumlah total sel darah putih dan diferensial sel darah putih yang meliputi jumlah neutrofil, limfosit, monosit, eosinofil dan basofil. Jumlah Total Sel Darah Putih (/µl) Jumlah Total Sel Darah Putih (Leukosit) 20000.00 16000.00 12000.00 HA-TKF 8000.00 HA-Kitosan Normal 4000.00 0.00 0 3 7 14 21 30 60 90 Waktu (hari) Gambar 15 Rataan jumlah total sel darah putih domba sebelum dan setelah operasi penanaman material implan tulang. Keterangan: Data pada H60=2 ekor , H90=1 ekor. Gambar 15 memperlihatkan bahwa kelompok perlakuan HA-Kitosan memiliki pola yang relatif stabil namun berada dibatas atas ambang normal, yaitu berkisar antara 4.000–12.000 µl (Lawhead & Baker 2005). Peningkatan jumlah total sel darah putih pada kelompok HA-Kitosan yang cukup tinggi terjadi pada hari ke-3 setelah operasi. Hal ini merupakan respon alami tubuh dalam mengatasi kerusakan jaringan akibat trauma setelah operasi (Underwood 1992). Kerusakan jaringan meningkatkan kebutuhan sel darah putih menuju jaringan tersebut. Jika kebutuhan tidak mencukupi, maka di dalam sumsum tulang akan terjadi peningkatan produksi dan melepaskan sel darah putih dalam jumlah yang lebih 32 banyak ke dalam sirkulasi (Bush 1991). Peningkatan jumlah total sel darah putih yang melebihi batas kisaran normal terjadi pada hari ke-90. Hal ini diduga karena material implan HA-Kitosan lebih sulit terdegradasi dibandingkan HA-TKF, sehingga keberadaannya yang tidak terserap sempurna pada akhir pemeriksaan, direspon oleh tubuh sebagai benda asing. Hasil penelitian Nurlaela (2009) menunjukkan bahwa morfologi komposit HA-Kitosan terlihat lebih rapat dibandingkan dengan HA-TKF yang lebih rapuh, sehingga HA-Kitosan lebih sulit terdegradasi dibandingkan HA-TKF. Kelompok HA-TKF memiliki jumlah total sel darah putih yang masih berada dalam kisaran normal. Kelompok ini memperlihatkan pola yang menyerupai kurva terbalik, terjadi peningkatan hingga mencapai puncak kurva pada hari ke-14 dan kemudian mengalami penurunan hingga hari terakhir pengamatan (hari ke-90) menuju nilai awal sebelum diberi perlakuan (hari ke-0). Namun demikian, nilai tersebut masih berada dalam kisaran normal. Peningkatan jumlah total sel darah putih terjadi hingga hari ke-14 merupakan respon tubuh akibat kerusakan jaringan. Menurut Underwood (1992), apabila terjadi kerusakan jaringan, tubuh akan merespon dengan cara sumsum tulang melepaskan cadangan sel darah putih ke dalam sirkulasi darah, sehingga jumlah total sel darah putih dalam darah akan meningkat. Jumlah total sel darah putih yang menurun hingga hari ke-90 merupakan indikasi bahwa HA-TKF memberikan persembuhan yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok HA-Kitosan. Hal ini dikarenakan sifat senyawa HA-TKF yang biodegradable (Cai et al. 2009), biokompatibiliti sempurna, osteokonduktif (Shi 2004). Material TKF memiliki sifat biologis non-reaktif dan resorbable, bertindak sebagai scaffold untuk pertumbuhan ke dalam tulang sehingga penggantian tulang dapat mengalami degradasi progresif (Lange et al. 1986). HA terbukti memiliki kemampuan osteokompatibiliti dan osteokonduktif yang mempercepat proses regenerasi tulang (Fujishiro et al. 2005). Struktur HA relatif stabil, memiliki sifat biokompatibilitas yang baik sehingga cepat bergabung dengan jaringan tulang (Ratajska et al. 2008). Brown et al. (2002) melaporkan bahwa HA-TKF menyebabkan reaksi inflamasi yang minimal, sehingga peningkatan jumlah total sel darah putih yang terjadi masih berada dalam kisaran normal. 33 Kelompok HA-Kitosan secara umum memiliki jumlah total sel darah putih yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok HA-TKF. HA merupakan garam kristal yang terdapat pada matriks organik tulang (Guyton & Hall 2006) dan TKF merupakan mineral kalsium yang terdapat dalam tubuh dalam jumlah rendah (Samuelson 2007), sehingga komposisi HA dan TKF dapat diterima oleh tubuh. Sunil et al. (2008) mengatakan bahwa TKF memiliki kemampuan biodegradation dan incorporation yang lebih baik ketika digabungkan dengan HA. Dalam penelitian ini tujuan penggunaan kitosan adalah sebagai perekat dalam penggunaannya dengan HA (Ratajaska et al. 2008), dan secara morfologi HA-Kitosan memiliki struktur yang lebih rapat (Nurlaela 2009), sehingga kitosan dimungkinkan lebih sulit terdegradasi. Jumlah Neutrofil 7000.00 Jumlah Neutrofil (/µl) 6000.00 5000.00 4000.00 HA-TKF 3000.00 HA-Kitosan 2000.00 Normal 1000.00 0.00 0 3 7 14 21 30 60 90 Waktu (hari) Gambar 16 Rataan jumlah neutrofil domba sebelum dan setelah operasi penanaman material implan tulang. Keterangan: Data pada H60=2 ekor , H90=1 ekor. Gambar 16 menunjukkan bahwa jumlah neutrofil pada kelompok HAKitosan secara umum masih berada dalam kisaran normal, yaitu berkisar antara 700–6.000 µl (Jain 1993). Kelompok HA-Kitosan mengalami peningkatan jumlah neutrofil pada hari ke-3, ke-30 dan pada hari terakhir pemeriksaan. 34 Peningkatan jumlah neutrofil kelompok HA-Kitosan yang terjadi pada hari ke-3 merupakan respon alami tubuh dalam mengatasi kerusakan jaringan. Peningkatan jumlah neutrofil terjadi akibat meningkatnya kebutuhan yang disebabkan oleh kerusakan jaringan. Kerusakan sel akan melepaskan mediator yang menghasilkan akumulasi sel polimorfik (neutrofil, eosinofil dan basofil) dan makrofag, serta faktor humoral seperti antibodi menuju lokasi kerusakan (Wolfensohn dan Lloyd 2000). Jika kebutuhan tidak mencukupi, maka di dalam sumsum tulang akan terjadi peningkatan produksi dan pelepasan neutrofil dalam jumlah yang lebih banyak ke dalam sirkulasi. Produksi sel neutrofil yang terjadi di sumsum tulang distimuli dalam 1-2 hari dan setelah itu neutrofil dilepaskan, sehingga neutrofil akan terlihat di dalam sirkulasi (Bush 1991). Penurunan jumlah neutrofil kelompok HA-Kitosan terjadi pada hari ke-7 dan mendekati nilai pada awal pemeriksaan. Hal ini merupakan sistem pengaturan tubuh setelah sumsum tulang memproduksi sel neutrofil yang berlebihan untuk mengatasi kerusakan jaringan yang terjadi (Jain 1993), sehingga jumlah neutrofil yang ditemukan dalam sirkulasi darah pada hari ke-7 menurun mendekati nilai pada awal pemeriksaan. Peningkatan jumlah neutrofil kelompok HA-Kitosan yang terjadi pada hari ke-30 diduga disebabkan akumulasi stres. Stres dapat meningkatkan jumlah neutrofil dalam darah (Kelly 1984). Stres ini dimungkinkan terjadi akibat handling yang dilakukan setiap hari. Menurut Kelly (1984), stres akibat rasa sakit, takut ataupun exercise yang berlebihan juga dapat meningkatkan frekuensi nafas dan denyut jantung. Hal ini didukung oleh pemeriksaan klinis setelah operasi yang dilakukan Paradisa (2010) yang menunjukkan bahwa terjadi peningkatan frekuensi nafas dan denyut jantung melebihi kisaran normal pada domba tersebut. Peningkatan yang terjadi pada hari terakhir pengamatan dapat disebabkan oleh jaringan pada kelompok HA-Kitosan yang mengalami persembuhan jaringan dan degradasi yang lebih lama dibandingkan dengan kelompok HA-TKF. Hal ini karena HA-Kitosan memiliki struktur yang lebih rapat, sehingga tidak ada poripori untuk vaskularisasi yang akan merangsang sel-sel progenitor untuk memperbaiki kerusakan tulang. Idealnya campuran material implan tersebut harus 35 memiliki porositas tinggi, ruang yang besar (berpori), untuk memberi ruang yang cukup bagi perkembangan jaringan dan vaskularisasi baru (Feng Zhao et al. 2002). Peningkatan jumlah neutrofil pada kelompok HA-Kitosan merupakan respon normal setelah operasi dalam proses persembuhan, bukan disebabkan adanya infeksi bakteri, karena berdasarkan hasil penelitian tentang pemeriksaan klinis yang dilakukan oleh Paradisa (2010) tidak memperlihatkan terjadinya demam yang merupakan salah satu indikasi adanya infeksi. Hal ini ditunjukkan dengan temperatur tubuh domba yang masih berada dalam kisaran normal. Kelompok HA-TKF memperlihatkan jumlah neutrofil yang masih berada dalam kisaran normal, yaitu berkisar antara 700–6.000 µl (Jain 1993). Kelompok ini memiliki jumlah neutrofil yang lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok HA-Kitosan. Kelompok ini mengalami peningkatan jumlah neutrofil pada hari ke3 dan hari ke-14 setelah operasi dan secara perlahan mengalami penurunan hingga mencapai nilai seperti pada titik awal pemeriksaan. Underwood (1992) melaporkan bahwa peningkatan jumlah neutrofil merupakan respon alami tubuh yang terjadi akibat trauma operasi. Penurunan yang terjadi pada akhir pengamatan merupakan proses pemulihan (persembuhan), dengan ditandai jumlah neutrofil yang sebelumnya tinggi akan menurun menjadi normal (Bush 1991). Menurut Brown et al. (2002), HA-TKF merupakan bahan sintetik dengan reaksi inflamasi minimal. Neutrofil berperan dalam pertahanan pertama terhadap infeksi bakteri (Underwood 1992). Sel ini memiliki kemampuan fagositik dan bakterisidal serta sangat berperan dalam kondisi inflamasi (McCurnin & Bassert 2006). Neutrofil berperan dalam melawan infeksi dengan cara migrasi menuju jaringan yang terinfeksi oleh bakteri, menembus dinding kapiler dengan cara diapedesis dan memfagosit bakteri tersebut. Neutrofil menuju jaringan yang terluka ataupun diserang, kemudian melepaskan zat-zat kemotoksik. Sel-sel yang mengalami luka atau kerusakan melepaskan histamin yang membantu mengawali proses peradangan (Frandson 1992). Jumlah neutrofil pada kedua kelompok perlakuan secara umum masih berada dalam kisaran normal. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi infeksi bakteri selama proses persembuhan. 36 Jumlah Limfosit Jumlah Limfosit (/µl) 10000.00 8000.00 6000.00 HA-TKF 4000.00 HA-Kitosan Normal 2000.00 0.00 0 3 7 14 21 30 60 90 Waktu (hari) Gambar 17 Rataan jumlah limfosit domba sebelum dan setelah operasi penanaman material implan tulang. Keterangan: Data pada H60=2 ekor , H90=1 ekor Gambar 15 memperlihatkan bahwa kelompok HA-Kitosan masih berada dalam kisaran normal, yaitu berkisar antara 2.000–9.000 µl (Jain 1993). Kelompok HA-Kitosan memiliki jumlah limfosit yang mendekati kelompok HATKF. Kelompok HA-Kitosan memiliki jumlah limfosit yang lebih tinggi dibandingkan kelompok HA-TKF sejak awal hingga hari ke-3 pemeriksaan, namun mengalami penurunan hingga jumlahnya berada dibawah kelompok HATKF. Selanjutnya kelompok ini mengalami peningkatan hingga akhir pemeriksaan. Peningkatan jumlah limfosit terjadi pada hari ke-3, 60 dan 90, namun demikian peningkatan yang terjadi masih berada dalam kisaran normal. Menurut Jain (1993), peningkatan jumlah limfosit distimuli oleh paparan antigen akibat adanya infeksi bakteri, virus dan agen parasit. Kelompok HA-TKF memiliki jumlah limfosit yang masih berada dalam kisaran normal, yaitu berkisar antara 2.000–9.000 µl (Jain 1993). Pada hari terakhir pengamatan, kelompok HA-TKF mengalami penurunan jumlah limfosit hingga mencapai batas bawah nilai awal pengamatan, namun demikian nilainya masih berada dalam kisaran normal. Hal ini menunjukkan bahwa material implan HA-TKF dapat memberikan persembuhan tulang yang baik karena senyawa ini 37 memiliki sifat fisis, kimia, mekanis, dan biologis yang mirip dengan struktur tulang (Guyton & Hall 2006), sehingga keberadaannya dapat diterima dengan baik di dalam tubuh. Jumlah limfosit domba pada kedua kelompok perlakuan masih berada dalam kisaran jumlah limfosit domba normal. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa yang terkandung dalam material implan HA-TKF dan HA-Kitosan masih dapat diterima oleh tubuh dan tidak mempengaruhi dinamika limfosit domba. HA tidak menimbulkan respon tubuh terhadap material asing (Aprilia 2008), sehingga tidak menimbulkan respon imun berupa respon penolakan terhadap implan. Jumlah Monosit 800.00 Jumlah Monosit (/µl) 700.00 600.00 500.00 400.00 HA-TKF 300.00 HA-Kitosan 200.00 Normal 100.00 0.00 0 3 7 14 21 30 60 90 Waktu (hari) Gambar 18 Rataan jumlah monosit domba sebelum dan setelah operasi penanaman material implan tulang. Keterangan: Data pada H60=2 ekor , H90=1 ekor Gambar 18 memperlihatkan jumlah monosit kelompok HA-Kitosan memiliki jumlah monosit yang masih berada dalam kisaran normal, yaitu berkisar antara 0-750 µl (Jain 1993). Kelompok HA-Kitosan memiliki pola yang fluktuatif. Peningkatan jumlah monosit terjadi pada hari ke-3, 14, 21 dan 90. Peningkatan jumlah monosit terjadi akibat adanya respon untuk melakukan fagositosit benda asing seperti jaringan yang mati (sel debris) (Underwood 1992), sel rusak atau sel yang tidak berfungsi (Bush 1991). Sel ini memfagosit partikel besar dan sel 38 debris yang tidak dapat ditangani oleh sel neutrofil (McCurnin & Bassert 2006). Penurunan jumlah monosit terjadi pada hari ke-7. Jain (1993) melaporkan jumlah monosit dalam darah juga dipengaruhi oleh konsentrasi kortikosteroid. Steroid menginduksi penurunan jumlah monosit yang akan menghambat pelepasan monosit dari sumsum tulang atau terjadi penurunan jumlah produksi. Kelompok HA-TKF mulai awal hingga akhir pengamatan menunjukkan pola yang relatif stabil dan memiliki jumlah monosit yang cenderung rendah dibandingkan dengan HA-Kitosan. Namun demikian, jumlah monosit kelompok ini masih berada dalam kisaran normal, yaitu berkisar antara 0-750 µl (Jain 1993). Peningkatan dan penurunan yang ditunjukkan pada Gambar 18 memperlihatkan jumlah monosit kedua kelompok masih dalam kisaran normal. Bush (1991) mengatakan bahwa monosit dalam darah normal jumlahnya sangat sedikit. Hal serupa dipaparkan oleh Reece (2006) bahwa monosit bersirkulasi di dalam darah kurang dari 24 jam, sehingga jumlahnya dalam darah normal sangat sedikit. Monosit berada di sirkulasi darah dalam waktu yang pendek, kemudian masuk ke dalam jaringan dan berubah menjadi makrofag akibat adanya respon untuk melakukan fagositosit benda asing seperti bakteri (Frandson 1992) dan jaringan yang mati (sel debris) (Underwood 1992), sel rusak atau sel yang tidak berfungsi (Bush 1991). Kemampuan biocompatible yang dimiliki HA-TKF (Shi 2004, Fujishiro et al. 2005) dan HA-Kitosan (Maachou et al. 2008) menunjukkan bahwa pada material tersebut terjadi harmonisasi dengan sistem tubuh, tidak mempunyai efek toksik atau mengganggu fungsi biologis (Dorland 2002). HA-TKF memiliki reaksi inflamasi yang minimal (Brown et al. 2002) dan HA-Kitosan memiliki kemampuan bakteriostatik dan fungistatik yang mencegah infeksi (Aprilia 2008), sehingga tubuh tidak merespon kedua material implan sebagai benda asing dan dapat diterima oleh tubuh. Jumlah Eosinofil Gambar 19 memperlihatkan bahwa kelompok HA-Kitosan memiliki jumlah eosinofil yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok HA-TKF. Kelompok HA-Kitosan mengalami peningkatan dan penurunan jumlah eosinofil 39 yang fluktuatif, namun masih berada dalam kisaran normal, yaitu berkisar antara 0–2.400 µl (Jain 1993). Peningkatan jumlah eosinofil terjadi pada hari ke-3, 14 dan 90, sedangkan penurunan jumlah eosinofil terjadi pada hari ke-7 dan 60 yang mencapai nilai di bawah nilai awal pemeriksaan. Bush (1991) melaporkan bahwa peningkatan jumlah eosinofil dapat juga terjadi akibat kerusakan jaringan kronis. Kerusakan jaringan mengandung sejumlah besar sel mast (terutama pada kulit, sehingga sel mast melepaskan histamin). Hal ini akan menarik lebih banyak eosinofil menuju ke lokasi jaringan yang rusak. Penurunan jumlah eosinofil dapat disebabkan stres dan rasa takut akibat handling. Jain (1993) melaporkan bahwa penurunan jumlah eosinofil terlihat dalam kondisi stres, yang ditandai dengan peningkatan pelepasan glukokortikoid oleh korteks adrenal. Glukokortikoid ini akan menurunkan pelepasan eosinofil dari sumsum tulang, sehingga jumlah eosinofil dalam sirkulasi menurun. Jumlah Eosinofil (/µl) 3000.00 2500.00 2000.00 1500.00 HA-TKF 1000.00 HA-Kitosan Normal 500.00 0.00 0 3 7 14 21 30 60 90 Waktu (hari) Gambar 19 Rataan jumlah eosinofil domba sebelum dan setelah operasi penanaman material implan tulang. Keterangan: Data pada H60=2 ekor , H90=1 ekor Jumlah eosinofil pada kelompok HA-TKF relatif stabil, kecuali pada hari ke-14 terjadi sedikit peningkatan. Menurut Frandson (1992), peningkatan ini dapat disebabkan juga oleh adanya respon tubuh terhadap reaksi alergi. Tubuh dalam merespon adanya reaksi alergi, akan meningkatkan jumlah eosinofil. Eosinofil berperan dalam merespon adanya reaksi alergi dan pertahanan terhadap 40 infeksi agen parasit (Underwood 1992) dan mengurangi inflamasi (Bush 1991). Menurut Frandson (1992), eosinofil yang bersirkulasi dalam darah normal jumlahnya sedikit. Pergerakan jumlah eosinofil pada hari terakhir pemeriksaan yang mencapai nilai awal merupakan indikasi bahwa selama proses persembuhan tulang, domba tidak mengalami infeksi parasit, reaksi alergi atau reaksi hipersensitivitas anafilaksis yang merupakan peran eosinofil dalam mengontrol reaksi tersebut, sehingga jumlah eosinofil dalam darah yang ditemukan pada kelompok HA-TKF berada dalam kisaran normal dan mancapai nilai awal sebelum diberi perlakuan. Jumlah Basofil Jumlah Basofil (/µl) 350.00 300.00 250.00 200.00 HA-TKF 150.00 HA-Kitosan 100.00 Normal 50.00 0.00 0 3 7 14 21 30 60 90 Waktu (hari) Gambar 20 Rataan jumlah basofil domba sebelum dan setelah operasi penanaman material implan tulang. Keterangan: Data pada H60=2 ekor , H90=1 ekor Gambar 20 memperlihatkan bahwa jumlah basofil kelompok HA-Kitosan masih berada dalam kisaran normal, yaitu berkisar antara 0–300 µl (Jain 1993). Jumlah basofil yang ditemukan pada kelompok ini sangat sedikit. Hal ini didukung oleh Underwood (1992) yang melaporkan bahwa jumlah basofil yang bersirkulasi dalam darah normal sangat sedikit. Kelompok HA-Kitosan mengalami peningkatan jumlah basofil pada hari ke-30 hingga hari ke-90, namun peningkatan yang terjadi sangat sedikit, sehingga dapat dikatakan bahwa kelompok HA-Kitosan memiliki jumlah basofil yang relatif stabil. Menurut 41 Frandson (1992), peningkatan ini dapat disebabkan adanya reaksi sel basofil yang merangsang sel mast dalam mengontrol peradangan di lokasi kerusakan jaringan. Kelompok HA-TKF juga memperlihatkan jumlah basofil yang masih berada dalam kisaran normal dan secara umum memiliki jumlah basofil yang lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok HA-Kitosan. Sampai hari terakhir pengamatan, basofil hampir tidak ditemukan pada kelompok HA-TKF, kecuali pada hari ke-30, namun peningkatan yang terjadi dalam jumlah yang sangat sedikit, sehingga dapat dikatakan bahwa kelompok HA-TKF memiliki jumlah basofil yang relatif stabil. Peningkatan ini diakibatkan pelepasan heparin dan histamin oleh sel mast dalam mengontrol peradangan di lokasi kerusakan jaringan (Frandson 1992). Basofil mengandung heparin dan histamin (Underwood 1992). Basofil memiliki fungsi utama dalam reaksi alergi (terutama hipersensitivitas) oleh pelepasan sejumlah mediator termasuk histamin, heparin dan serotonin (Bush 1991). Heparin dilepaskan di daerah peradangan. Basofil merupakan prekusor bagi sel mast. Sel mast dan basofil melepaskan histamin, sedikit bradikinin dan serotonin. Sel-sel ini terlibat dalam reaksi peradangan jaringan dan proses reaksi alergi (Frandson 1992). Gambar 18 menunjukkan bahwa jumlah basofil kedua kelompok perlakuan berada dalam kisaran normal dan memiliki jumlah yang sedikit. Hal ini menggambarkan bahwa selama proses persembuhan tulang, domba pada kedua kelompok perlakuan, yaitu kelompok HA-TKF dan HAKitosan tidak mengalami reaksi alergi yang ditimbulkan oleh kedua material implan. Penanaman material implan tulang yang dilakukan tidak mempengaruhi dinamika sel darah putih domba. Peningkatan sel darah putih pada awal pemeriksaan setelah dilakukan operasi penanaman material implan merupakan reaksi yang normal dalam mengatasi kerusakan jaringan akibat trauma operasi (Underwood 1992). Berdasarkan hasil penelitian Paradisa (2010), dikatakan bahwa terjadi peradangan secara lokal pada bagian proksimal tibia yang ditanami material implan berupa rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (rasa sakit) dan tumor (pembengkakan) selama beberapa hari setelah operasi. Tanda peradangan yang terjadi merupakan reaksi yang normal setelah operasi dan dialami pada 42 proses persembuhan (Wolfensohn & Lloyd 2000). Brown et al. (2002) melaporkan bahwa HA-TKF memiliki reaksi inflamasi minimal dan rekasi imunologi yang rendah, sehingga sel darah putih yang berperan dalam melawan infeksi bakteri maupun dalam reaksi alergi dapat ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit. Pemilihan biomaterial yang tepat sangat penting dalam proses implantasi. Idealnya biomaterial yang dipilih harus bersifat osteogenic, biocompatible, bioresorbable (Nandi et al. 2008), osteoinductive, osteoconductive, biodegradable (Thanaphat et al. 2008) dan memiliki stabilitas mekanik (Pearce et al. 2007). Biomaterial tersebut juga harus memiliki porositas tinggi (berpori) agar dapat memberikan ruang untuk vaskularisasi sehingga akan merangsang sel-sel osteoprogenitor dalam proses osteogenesis (Maachou et al. 2008).