BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1.1 Gambaran Umum Obyek Penelitian Letak Geografis Bandar Udara Kuala Namu Lokasi bandar udara merupakan bekas areal perkebunan PT. Perkebunan Nusantara II Tanjung Morawa, terletak di Kuala Namu, Desa Beringin, Kecamatan Beringin, Kabupaten Deli Serdang. Secara geografis terletak pada 3°37' – 3°38' Lintang Utara dan 98°51' - 98°52' Bujur Timur. Untuk itu topografi Kuala Namu cenderung miring ke utara dan berada pada ketinggian 2,5 - 37,5 meter di atas permukaan laut. Bandara Polonia Medan Bandara Kuala Namu Gambar 2.1 Lokasi Bandara Kuala Namu (Sumber : Google Earth) 7 8 2.1.2 Karakteristik Bandar Udara Kuala Namu Karakteristik pembangunan Bandar Udara Internasional Kuala Namu adalah sebagai berikut : a. Pengangkutan Pembangunan Tahap I disertai pula oleh pembangunan jalur kereta api dari Stasiun Aras Kabu di Kecamatan Beringin ke bandara yang berjarak sekitar 450 meter. Stasiun Aras Kabu sendiri terhubung ke Stasiun Medan dengan jarak 22,96 km. Diperkirakan jarak tempuh dari Medan hingga Kuala Namu akan berkisar antara 1630 menit. b. Luas Bandara dan Kapasitas Tahap I bandara diperkirakan dapat menampung 7 juta penumpang hingga 10 juta penumpang, dan 10.000 kali pergerakan pesawat pertahun, pertumbuhan sementara setelah selesainya Tahap II bandara ini rencananya akan menampung 25 juta penumpang pertahun. Luas terminal penumpang yang akan dibangun adalah sekitar 6,5 hektar dengan fasilitas area komersial seluas 3,5 hektar dan fasilitas kargo seluas 1,3 hektar. Bandara International Kuala Namu memiliki panjang landas pacu 4.450 meter dan sanggup didarati oleh pesawat berbadan lebar. Diperkirakan pembangunan Bandar Udara Internasional Kuala Namu akan selesai pada pertengahan tahun 2012 dan akan dioperasikan akhir 2012. 9 Gambar 2.2 Bandara Kuala Namu (Sumber: www. autoages.blogspot.com) Gambar 2.3 Layout Bandar Udara Kuala Namu (Sumber: Departemen Perhubungan Udara) 10 2.2 Perencanaan Landasan Pacu Untuk membuat perencanaan sebuah landasan pacu, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengetahui karakteristik dari pesawat yang akan menggunakan fasilitas tersebut. Secara umum karakteristik sebuah pesawat terdiri dari komponen yang terdapat dalam pesawat. Komponen pesawat terdiri dari badan, flap, sayap (wing), leading edge, mesin, vertical fin, propeller, pengendali gerak dan roda. Sedangkan kondisi fisik pesawat terdiri dari lebar sayap (wingspan), panjang badan pesawat (length), Jarak roda (wheel base), jarak antara roda pendaratan (wheel tread), dan tinggi pesawat (height). Setiap jenis pesawat memiliki karakteristik yang berbeda-beda, sehingga dalam perencanaan landasan lapangan terbang perlu ditentukan jenis pesawat yang sering menggunakan fasilitas landasan. Selain itu, perlu diketahui pula Annual Flight dari pesawat yang menggunakan fasilitas lapangan terbang. Dari tipe pesawat yang kita dapatkan dan data penerbangan dapat dilakukan perencanaan geometri dan tebal perkerasan runway dengan ketentuan-ketentuan yang telah ada di standar internasional penerbangan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perencanaan geometrik landasan pacu adalah sebagai berikut: a. Karakteristik dan ukuran pesawat yang direncanakan akan beroperasi di bandar udara b. Perkiraan volume penumpang c. Kondisi meteorologi (rata-rata temperatur udara maksimum dan rata-rata kecepatan angin) d. Elevasi permukaan bandar udara 11 e. Kondisi lingkungan setempat, misalnya ketinggian gedung-gedung eksisting yang ada disekitar bandar udara. Gambar 2.4 Istilah yang Berhubungan dengan Ukuran Pesawat (Sumber: Planning and Design of Airport, Rohert Horonjeff/Francis X.McKelvey) 12 2.3 Kondisi Fisik Pesawat 1. Wingspan Wingspan adalah panjangnya bentang sayap utama pesawat dari ujung paling kanan ke ujung paling kiri. Setiap pesawat memiliki panjang Wingspan yang berbeda-beda, tergantung karakteristik pesawat tersebut. Wingspan berguna untuk menentukan daerah bebas dikanan dan dikiri lintasan. 2. Outer Main Gear Wheel Span (OMGWS) OMGWS adalah jarak antara roda utama bagian kanan dan kiri pesawat. Besarnya OMGWS dalam perencanaan bandar udara ini dipakai untuk menghitung lebar lintasan. 3. Fuselage Length Fuselage length adalah panjang pesawat dari ujung depan pesawat hingga ujung ekor pesawat. Dalam perencanaan berguna untuk menentukan belokan. 4. Wheel Base Wheel Base adalah jarak antara roda depan dengan roda belakang pesawat yang mempengaruhi tekanan pada struktur perkerasan landasan pacu. 5. Konfigurasi Roda Pendaratan Konfigurasi roda pendaratan menunjukkan jumlah roda pesawat yang dimiliki oleh pesawat serta letaknya yang pengaruhnya nanti adalah distribusi beban ke landasan pacu. Adapun macam-macam konfigurasi roda pendaratan dapat dilihat dibawah ini: 13 Tabel 2.1 Konvensi Standar Penamanaan untuk Konfigurasi Sumbu Pesawat Gear Designation S Gear Designation Airplane Example Single Wheel-45 D B737-100 2S C-130 2D B767-200 3D B777-200 2T C-17A 2D/D1 DC10-30/40 14 Gear Designation 2D/2D1 Gear Designation Airplane Example A340-600 std 2D/2D2 B747-400 2D/3D2 A380-800 5D An-124 (sumber: FAA AC No: 150/5320-6E Airport Pavement Design and Evaluation) 15 2.4 Berat Pesawat 1. Operating Weight Empty (OWE) Operating weight empty adalah beban utama pesawat, termasuk awak pesawat dan konfigurasi roda pesawat tetapi tidak termasuk muatan dan bahan bakar 2. Payload Payload adalah beban pesawat yang diperbolehkan untuk diangkut oleh pesawat sesuai dengan persyaratan angkut pesawat. Secara teoritis beban maksimum ini merupakan perbedaan antara berat bahan bakar kosong dan berat operasi kosong. 3. Zero Fuel Weight Zero fuel weight adalah batasan berat, spesifik pada setiap jenis pesawat, diatas batasan berat itu ditambahkan berat bahan bakar, sehingga ketika pesawat sedang terbang, tidak terjadi momen lentur yang berlebihan pada sambungan, beban maksimum yang terdiri dari berat operasi kosong, beban penumpang dan barang. 4. Maximum Structural Take-Off Weight (MTOW). MTOW adalah beban maksimum pada awal lepas landas sesuai dengan bobot pesawat dan persyaratan kelayakan penerbangan. Beban ini meliputi berat operasi kosong, bahan bakar dan cadangan (tidak termasuk bahan bakar yang digunakan untuk melakukan gerakan awal) dan muatan (payload). 5. Maximum Structural Landing Weight Maximum Structural Landing Weight adalah beban maksimum pada saat roda pesawat menyentuh lapis perkerasan (mendarat) sesuai dengan bobot pesawat dan persyaratan kelayakan penerbangan. 16 6. Maximum Ramp Weight Maximum Ramp Weight adalah beban maksimum untuk melakukan gerakan, atau berjalan dari parkit pesawat ke pangkal landas pacu. 7. Main Gear dan Nose Gear Pembagian beban statik antara roda pendaratan utama (main gear) dan nose gear, tergantung pada jenis pesawat dan tempat pusat gravitasi pesawat. Batas-batas dan pembagian beban disebutkan dalam buku petunjuk tiap-tiap jenis pesawat yang mempunyai perhitungan lain dan ditentukan oleh pabrik. 17 Tabel 2.2 Karakterist Pesawat Aircraft Manufactur Wingspan Length Wheel base A-380-800 A-330-200 A-300-600 A-310-300 Airbus Industri Airbus Industri Airbus Industri Airbus Industri 261'08'' 239'03'' 197'10'' 193'7" 147'01" 175'06" 144'00" 153'01" 99'08'' 55'2'' 61'01" 49'11" A-300-B2 A-320-200 A-340-200 B-727-200 B-737-200 B-737-300 B-737-400 B-737-500 B-747-100 B-747-200B B-747-300 B-747-400 B-747SP B-757-200 B-767-200 B-767-300 B-777-200 DC-8-73 DC-9-32 DC-9-51 MD-81 MD-87 MD-90-30 DC-10-10 DC-10-30 DC-10-40 MD-11 L-1011-550 BAe111-500 F-100 F-28-1000 F-28-4000 Sngl Whel-30 Airbus Industri Airbus Industri Airbus Industri Boeing Boeing Boeing Boeing Boeing Boeing Boeing Boeing Boeing Boeing Boeing Boeing Boeing Boeing McDonnell-Douglas McDonnell-Douglas McDonnell-Douglas McDonnell-Douglas McDonnell-Douglas McDonnell-Douglas McDonnell-Douglas McDonnell-Douglas McDonnell-Douglas McDonnell-Douglas Lockheed British Aerospace Fokker Fokker Fokker Single Wheel 144'31' 111'03" 197'10 108'00" 93'00" 94'09" 94'09" 94'09" 195'08" 195'08" 195'08" 213'00" 195'08" 124'10" 156'01" 156'01" 199'11" 148'05" 95'04" 93'04" 107'10" 107'10" 107'10" 155'04" 165'04" 165'04" 170'06" 164'04" 93'06" 92'03" 77'4" 82'0'' 70'2" 48'15'' 41'05" 62'11" 63'03" 37'04" 40'10" 46'10" 36'04" 84'00" 84'00" 84'00" 84'00" 67'04" 60'00" 67'04" 74'08" 84'11" 77'06" 53'02" 60'11" 72'05" 62'11" 77'02" 72'05" 72'05" 72'05" 80'09" 61'08" 41'05" 45’93" 58'9'' 33'11" 30'5" 173' 3'' 123'03" 195'00" 153'02" 100'02" 109'07" 109'07" 101'09" 231'10" 231'10" 231'10" 231'10" 184'09" 155'03" 159'02" 180'03" 209'01" 187'05" 119'04" 133'07" 147'10" 130'05" 152'07" 182'03" 182'03" 182'03" 201'04" 164'03" 107'00" 116'52" 89'11" 97'02" 84'8" MSTOW Runway Length MLW(lb) (lb) (ft) 1,235,000 850000 10000 509047 396900 7280 363765 304240 7600 330690 271170 7575 315041 158730 558900 184800 100000 140000 138500 115500 710000 775000 710000 877000 630000 220000 315000 345000 535000 355000 121000 121000 140000 149500 156000 458000 572000 555000 602500 510000 119048 101000 66500 73000 30000 335,000 134480 399000 150000 95000 114000 121000 110000 564000 564000 564000 574000 450000 198000 272000 300000 445000 258000 110000 110000 128000 130000 142000 363500 403000 403000 430000 368000 109127 88000 44434 69500 30000 7400 5630 7600 8600 5600 6300 7300 5100 9500 12200 7700 5800 6000 8000 8700 10000 5530 7100 7250 7600 6800 9000 9290 14500 9800 9200 6900 5200 11300 5561 5350 10830 3475 (Sumber : Planning & Design of Airport, Robert Horonjeft, Francis X Mc Kelvey) *MSTOW = Maximum Structural Take Off Weight; MLW = Maximum Landing Weight 18 2.5 Konfigurasi Landasan Pacu 2.5.1 Runway Runway adalah jalur perkerasan yang dipergunakan oleh pesawat terbang untuk mendarat dan lepas landas. Menurut Horonjeff (1994) sistem runway suatu bandara terdiri dari perkerasan struktur, bahu landasan (shoulder), bantalan hembusan (blast pad), dan daerah aman landasan pacu (runway end safety area). Untuk membuat sebuah runway pada bandar udara yang harus diperhatikan adalah panjang, jumlah, lebar, jarak terhadap taxiway dan orientasi angin. Penjelasan mengenai sistem runway adalah sebagai berikut: Gambar 2.10 Elemen Geometrik Landasan Pacu Gambar 2.5 Unsur-Unsur Runway 1. Pavement 2. Shoulder 3. Blaspad 4. Runway Safety Area 5. Runway Object Free Area Pavement 19 1. Perkerasan struktur (structural pavement) berfungsi untuk mendukung beban yang bekerja pada landasan pacu yaitu kendali, stabilitas, dan kriteria dimensi operasi lainnya sehingga mampu melayani lalulintas pesawat. 2. Bahu landasan (shoulder), yang terletak berdekatan dengan tepi perkerasan yang berfungsi untuk menahan erosi akibat hembusan mesin jet dan menampung peralatan untuk pemeliharaan saat kondisi darurat. 3. Bantalan hembusan (blast pad) adalah suatu area yang dirancang khusus untuk mencegah erosi permukaan pada ujung-ujung landasan pacu akibat hembusan mesin jet yang tserus-menerus atau berulang-ulang. Biasanya area ini ditanami dengan rumput. FAA menetapkan panjang bantal hembusan harus 100 kaki untuk penggunaan pesawat kelas I, 150 kaki untuk penggunaan pesawat kelas II, 200 kaki untuk penggunaan pesawat kelas III dan IV dan 400 kaki untuk kelompok rancangan V dan VI. (Horonjeff, 1994). 4. Daerah aman untuk landasan pacu (runway safety area) adalah daerah yang bersih tanpa benda-benda yang mengganggu, dimana terdapat saluran drainase, memiliki permukaan yang rata, dan mencakup bagian perkerasan, bahu landasan, bantalan hembusan, dan daerah perhentian, apabila diperlukan. Daerah ini selain harus mampu untuk mendukung peralatan pemeliharaan saat keadaan darurat juga harus mampu menjadi tempat aman bagi pesawat seandainya pesawat keluar dari jalur landasan pacu. FAA menetapkan bahwa daerah aman landsan pacu harus memiliki panjang 240 kaki dari ujung landasan pacu untuk pesawat kecil dan 1000 kaki untuk seluruh rancangan kelas pesawat rencana. (Horonjeff, 1994). 20 5. Perluasan area aman (safety area extended), dibuat apabila dianggap perlu, yang bertujuan untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan terjadinya kecelakaan. Panjang area ini normalnya adalah 800 kaki, tetapi itu bukan suatu ukuran baku karena bergantung pada kebutuhan lokal dan luas area yang tersedia. Bandara yang melayani penerbangan umum lebih besar dan tipe pesawat komuter biasanya Bandara Referensi Kode B-II atau B-III. Bandara kecil hingga menengah yang melayani maskapai penerbangan biasanya Bandara Referensi Kode C-III, sementara bandarabandara udara yang lebih besar biasanya Bandara Referensi Kode D-VI atau DV. Menurut sistem pengoperasiannya, secara umum runway dapat dibagi menjadi dua jenis: a. Non Instrument Runway Operasi runway ini dimaksudkan untuk pesawat yang menggunakan prosedur pendaratan secara visual (pilot memperhitungkan pendaratan berdasarkan penglihatannya). b. Instrument Runway Operasi runway ini dimaksudkan untuk pesawat yang menggunakan prosedur pendaratan secara instrument (pilot memperhitungkan pendaratan menggunakan alat bantu, tidak berdasarkan penglihatan). Secara garis besar, mesin pesawat terbagi menjadi dua, yaitu bermesin piston dan bermesin turbo/turbin. Untuk pesawat terbang bermesin turbin dalam menentukan panjang runway harus mempertimbangkan tiga keadaan umum agar pengoperasian pesawat aman. Ketiga keadaan tersebut adalah: 21 1. Lepas landas normal Suatu keadaan dimana seluruh mesin dapat dipakai dan runway yang cukup dibutuhkan untuk menampung variasi-variasi dalam teknik pengangkatan dan karakteristik khusus dari pesawat terbang tersebut. Keadaan normal (Gambar 2.6c) memberikan definisi jarak lepas landas (take off distance = TOD) untuk bobot pesawat terbang harus 115 persen dan jarak sebenarnya yang ditempuh pesawat terbang untuk mencapai ketinggian 35 ft. Tidak seluruh jarak ini harus dengan perkerasan kekuatan penuh. 2. Pendaratan Merupakan suatu keadaan dimana runway yang cukup dibutuhkan untuk memungkinkan variasi normal dari teknik pendaratan, pendaratan yang melebihi jarak yang ditentukan. Keadaan pendaratan (Gambar 2.6a), peraturan menyebutkan bahwa jarak pendaratan yang dibutuhkan oleh setiap pesawat terbang yang menggunakan bandar udara, harus cukup untuk memungkinkan pesawat terbang benar-benar berhenti pada jarak pemberhentian yaitu 60 persen dari jarak pendaratan, dengan menganggap bahwa penerbang membuat pendekatan pada kepesatan yang semestinya dan melewati ambang runway pada ketinggian 50 ft. 3. Lepas landas dengan suatu kegagalan mesin Merupakan keadaan dimana runway yang cukup dibutuhkan untuk memungkinkan pesawat terbang lepas landas walaupun kehilangan daya atau bahkan direm untuk berhenti (Gambar 2.6b). Keadaan ini memerlukan jarak yang cukup untuk menghentikan pesawat terbang dan bukan untuk melanjutkan gerakan lepas landas. 22 Jarak ini disebut jarak percepatan berhenti. Untuk pesawat terbang yang digerakkan turbin karena jarang mengalami lepas landas yang gagal maka peraturan mengijinkan penggunaan perkerasan dengan kekuatan yang lebih kecil, dikenal dengan daerah henti, untuk bagian jarak percepatan berhenti diluar pacuan lepas landas. Gambar 2.6 Tiga Keadaan Umum Saat Penerbangan Pesawat (Sumber: Horonjeff, Planning and Design of Airport) Panjang runway yang dibutuhkan diambil yang terpanjang dari ketiga analisa di atas. Peraturan-peraturan yang berkenaan dengan pesawat terbang bermesin piston secara prinsip mempertahankan kriteria diatas, tetapi kriteria yang pertama tidak digunakan. Peraturan khusus ini ditujukan pada manuver lepas landas normal setiap hari, karena kegagalan mesin pada pesawat terbang yang digerakkan turbin lebih jarang terjadi. Pada dasarnya runway diatur sedemikian rupa untuk: 23 a. Memenuhi persyaratan pemisahan lalu lintas udara. b. Meminimalisasi gangguan akibat operasional suatu pesawat dengan pesawat lainnya, serta akibat penundaan pendaratan. c. Memberikan jarak landas hubung yang sependek mungkin dari daerah terminal menuju landasan pacu. d. Memberikan jumlah landasan hubung yang cukup sehingga pesawat yang mendarat dapat meninggalkan landasan pacu yang secepat mungkin dan mengikuti rute yang paling pendek ke daerah terminal. Konfigurasi landasan pacu ada bermacam-macam dan konfigurasi itu biasanya merupakan kombinasi dari beberapa macam konfigurasi dasar. Jumlah landasan bergantung pada volume lalu-lintas dan orientasi landasan tergantung pada arah angin. Landasan pacu bandara terdiri dari beberapa macam konfigurasi yang dirancang sesuai dengan kebutuhan dari dan kondisi dari lingkungan sekitar bandar udara. Gambar 2.7 di bawah adalah jenis-jenis landasan pacu. 24 Gambar 2.7 Tipe Konfigurasi Landasan Pacu : (a) Landasan Pacu Tunggal, (b) Landasan Pacu Paralel, (c) Landasan Pacu Dua Jalur, (d) Landasan Pacu empat paralel (e) Landasan Pacu yang Berpotongan, (f) Landasan Pacu Berpotongan, (g) Landasan Pacu Berpotongan, (h) Landasan Pacu V-terbuka (Sumber: Planning & Design Of Airports, Horonjeff) a. Landasan Pacu Tunggal Konfigurasi ini merupakan konfigurasi yang paling sederhana. Kapasitas landasan pacu jenis ini dalam kondisi VFR berkisar diantara 50 sampai 100 operasi per jam, sedangkan dalam kondisi IFR kapasitasnya berkurang menjadi 50 sampai 70 operasi, tergantung pada komposisi campuran pesawat terbang dan alat-alat bantu navigasi yang tersedia. 25 b. Landasan Pacu Paralel Kapasitas sistem ini sangat tergantung pada jumlah landasan pacu dan jarak diantaranya. Untuk runway sejajar berjarak rapat, menengah dan renggang kapasitasnya perjam dapat bervariasi di antara 100 sampai 200 operasi dalam kondisikondisi VFR, tergantung pada komposisi campuran pesawat terbang. Sedangkan dalam kondisi IFR kapasitas perjam untuk yang berjarak rapat berkisar di antara 50 sampai 60 operasi, tergantung pada komposisi pesawat terbang. Untuk landasan pacu sejajar yang berjarak menengah kapasitas per jam berkisarantara 60 sampai 75 operasi dan untuk yang berjarak renggang antara 100 sampai 125 operasi perjam. c. Landasan Pacu Dua Jalur Landasan pacu dua jalur dapat menampung lalu lintas paling sedikit 70 persen lebih banyak dari landasan pacu tunggal dalam kondisi VFR dan kira-kira 60 persen lebih banyak dari landasan pacu tunggal dalam kondisi IFR. d. Landasan Pacu Berpotongan Kapasitas landasan pacu yang bersilangan sangat tergantung pada letak persilangannya dan pada cara pengoperasian landasan pacu yang disebut strategi (lepas landas atau mendarat). Makin jauh letak titik silang dari ujung lepas landas runway dan ambang pendaratan, kapasitasnya makin rendah. Kapasitas tertinggi dicapai apabila titik silang terletak dekat dengan ujung lepas landas dan ambang pendaratan. e. Landasan Pacu V-terbuka Landasan pacu V terbuka merupakan runway yang arahnya memencar tetapi tidak berpotongan. Strategi yang menghasilkan kapasitas tertinggi adalah apabila operasi penerbangan dilakukan menjauhi V. 26 1. Aeroplane Reference Field Length (ARFL) Dalam semua perhitungan untuk panjang landasan pacu dipakai standar yang disebut Aeroplane Reference Field Length. ARFL adalah landasan pacu minimum yang dibutuhkan untuk lepas landas. Pada saat maximum takeoff weight, elevasi muka air laut, standar atmosfir, keadaan tanpa ada angin bertiup, dan landasan pacu tanpa kemiringan (Heru Basuki, 1986). Setiap jenis pesawat memiliki ARFL yang berbeda-beda tergantung perusahaan pembuat pesawat tersebut. Untuk mengetahui panjang landasan pacu bila pesawat take off di ARLF, dipergunakan rumus : ARLF = Dimana, Fe = Ketinggian altitude Ft = Faktor koreksi temperatur Fs = Faktor koreksi kemiringan Secara umum, faktor yang mempengaruhi perpanjangan landasan pacu adalah sebagai berikut: 27 Tiga Faktor Kinerja Pesawat Karakteristik Bandara Kebijakan Operasi Penerbangan Operating Weight Empty Elevasi Landasan Rute Terjauh yang dilayanai Temperatur Landasan Payload Berat Kebutuhan Bahan Bakar Kemiringan Landasan Arah dan Kecepatan Angin Gambar 2.8 Diagram Faktor yang Mempengaruhi Panjang Landasan Pacu (Sumber: Planning & Design Of Airports, Horonjeff) 2. Aerodrome Reference Code (ARC) Setelah panjang landasan menurut ARFL diketahui, dilakukan kontrol kembali dengan Aerodrome Reference (ARC) dengan tujuan untuk mempermudah membaca hubungan antara beberapa spesifikasi pesawat terbang dengan bagian karakteristik bandar udara. Kontrol ARC dapat dilakukan berdasarkan pada tabel berikut ini: 28 Tabel 2.3 Kode Referensi Pesawat Kategori A B C D E Pendekatan Kecepatan (knot) <90 91-120 121-140 141-165 166 atau lebih Kelompok Lebar Sayap (kaki) I II III IV V VI <49 48-79 79-118 118-171 171-214 214-262 (Sumber: Planning & Design Of Airports, Horonjeff) 2.5.2 Faktor yang mempengaruhi perencanaan panjang landasan pacu 1. Faktor koreksi ketinggian dari muka air laut ( Altitude of the Airport), jika letak pelabuhan udara semakin tinggi dari muka air laut, maka udara semakin tipis, temperatur semakin kecil, sehingga panjang landasan pacu harus semakin panjang. L1 = (1+0,07 x elevasi / 300) × panjang landasan pacu 2. Faktor koreksi temperatur, keadaan temperatur di bandar udara pada tiap tempat tidak sama, semakin tinggi temperatur disuatu bandar udara, maka semakin panjang landasan pacu yang dibutuhkan. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi temperatur udara maka semakin kecil jumlah density yang mengakibatkan daya desak pesawat berkurang sehingga dituntut panjang landasan pacu yang lebih panjang. L2 = (1+0,01 x (temperatur-temperatur standar)) × panjang landasan pacu 3. Faktor koreksi kemiringan memanjang, dimana tanjakan pada landasan akan menyebabkan kebutuhan landasan pacu yang lebih panjang dan pada landasam pacu yang datar. Begitu juga sebaliknya, apabila landasan menurun maka panjang 29 landasan pacu dapat lebih pendek. Sebagai standarisasi untuk landasan pacu, tiap 1% kenaikan gradien landasan akan membutuhkan penambahan. L3 = (1+0,1 × kemiringan) × panjang landasan pacu Tabel 2.4 Kemiringan Transversal Landasan pacu Code Letter A B C Transverse slope 2% (Sumber: Horonjeff, Planning & Design Of Airports) D 1,50% E 4. Faktor koreksi angin (Surface wind), dimana apabila kondisi arah angin sejajar dengan arah gerak pesawat maka kebutuhan akan panjang landasan akan semakin besar, sebaliknya apabila arah angin berlawanan dengan arah gerak pesawat maka kebutuhan akan panjang landasan pacu akan semakin kecil. 5. Faktor koreksi kondisi permukaan landasan, dimana apabila pada permukaan landasan pacu terdapat genangan air, maka pada saat pesawat akan mengudara akan mengalami hambatan kecepatan, sehingga dibutuhkan landasan pacu yang lebih panjang. 2.5.3 Lebar Landasan Lebar perkerasan struktural landasan tidak boleh kurang dari yang tercantum pada tabel berikut ini: Tabel 2.5 Klasifikasi Bandar Udara Tanda kode Panjang landasan (ft) A B C D E >7000 5000-7000 3000-5000 2500-3000 2000-2500 (Sumber: Planning & Design Of Airports, Horonjeff) Panjang landasan (m) >2133 1524-2133 914-1524 762-914 610-762 30 Tabel 2.6 Standar Dimensi Landasan kategori C,D, dan E I II Airplane Design Group III IV Runway Width Shoulder Width Blast pad Width Lenght Safety area width lenght Object-free area Width Lenght Obstacle-free Zone 100 100 100 150 10 10 20 25 120 120 140 200 100 150 200 200 500 500 500 500 1000 1000 1000 1000 800 800 800 800 1000 1000 1000 1000 400 400 400 400 200 200 200 200 (Sumber: Horonjeff, Planning & Design Of Airports) V VI 150 35 220 400 500 1000 800 1000 400 200 200 40 280 400 500 1000 800 1000 400 200 Tabel 2.7 Lebar Landasan pacu Aerodrome Code Letter B C D A Pavement Width Aerodrome Code Number 1 18 18 2 23 23 3 30 30 4 Pavement and Shoulder Width (Sumber: Horonjeff, Planning & Design Of Airports) 23 30 30 45 60 45 45 60 E 45 60 31 2.6 Perkerasan 2.6.1 Defenisi Perkerasan adalah struktur yang terdiri dari beberapa lapisan dengan daya dukung yang berlainan. Perkerasan yang dibuat dari campuran aspal dengan agregat, digelar di atas suatu permukaan material granular mutu tinggi disebut perkerasan lentur, sedangkan perkerasan yang dibuat dari slab-slab beton (Portland Cemen Concrete) disebut perkerasan kaku (FAA, 2009). Pada struktur bekerja muatan roda pesawat terjadi sampai beberapa juta kali selama periode rencana. Setiap kali muatan ini lewat, terjadi defleksi lapisan permukaan dan lapisan dibawahnya. Pengulangan beban (repetisi) menyebabkan terjadinya retakan yang pada akhirnya mengakibatkan kerusakan. Perkerasan dibuat dengan tujuan untuk memberikan permukaan yang halus dan aman pada segala kondisi cuaca, serta ketebalan dari setiap lapisan harus cukup aman untuk menjamin bahwa beban pesawat yang bekerja tidak merusak perkerasan lapisan dibawahnya (Basuki, 1986). Perkerasan lentur terdiri dari satu lapisan bahan atau lebih yang digolongkan sebagai lapisan permukaan (surface course), lapisan pondasi atas (base course), dan lapisan pondasi bawah (subbase course) yang telah dipersiapkan. Lapisan tanah dasar dapat berupa galian dan timbunan. Lapisan permukaan terdiri dari campuran bahan bitumen atau biasanya aspal dan agregat, yang tebalnya bervariasi tergantung dari kebutuhan. Fungsi utamanya adalah untuk memberikan permukaan yang rata agar lalu-lintas menjadi aman dan nyaman dan juga untuk memikul beban yang bekerja diatasnya dan meneruskannya kelapisan yang ada dibawahnya. Lapisan pondasi atas dapat terdiri dari material berbutir kasar dengan bahan pengikat (misalnya dengan aspal atau semen) atau 32 tanpa bahan pengikat tetapi menggunakan bahan penguat (misalnya kapur). Lapisan pondasi bawah dapat terdiri dari batu alam yang dipecahkan terlebih dahulu atau yang alami. Sering kali digunakan bahan sirtu (batu-pasir) yang diproses terlebih dahulu atau bahan yang dipilih dari hasil galian di tempat pekerjaan. Semakin besar kemampuan tanah dasar untuk memikul beban, maka tebal lapisan perkerasan yang dibutuhkan semakin kecil. Karena keseluruhan struktur perkerasan didukung sepenuhnya oleh tanah dasar, maka identifikasi dan evaluasi terhadap struktur tanah dasar adalah sangat penting bagi perencanaan tebal perkerasan. Pada perencanaan perkerasan pada runway, memiliki konsep dasar yang sama dengan perencanaan perkerasan pada jalan raya, dimana perencanaan berdasarkan beban yang bekerja dan kekuatan bahan yang digunakan untuk mendukung beban yang bekerja. Namun, pada aplikasi sesungguhnya, tentu terdapat perbedaan pada perencanaan perkerasan runway dan jalan raya, yaitu : 1. Jalan raya dirancang untuk kendaraan yang berbobot sekitar 9000 lbs, sedangkan runway dirancang untuk memikul beban pesawat yang rata-rata berbobot jauh lebih besar yaitu sekitar 100.000 lbs. 2. Jalan raya direncanakan mampu melayani perulangan beban (repetisi) 1000-2000 truk per harinya. Sedangkan runway direncanakan untuk melayani repetisi beban 20.000 sampai 40.000 kali selama umur rencana. 3. Tekanan ban pada kendaran yang bekerja kira-kira 80-90 psi. Sedangkan pada runway tekanan ban yang bekerja diatasnya adalah mencapai 400 psi. 4. Perkerasan jalan raya mengalami distress yang lebih besar karena beban bekerja lebih dekat ke tepi lapisan, berbeda pada runway dimana beban bekerja pada bagian tengah perkerasan. 33 Jenis perkerasan landasan pacu yang akan digunakan dalam perhitungan adalah perkerasan lentur. Faktor pemilihan jenis perkerasan lentur adalah sebagai berikut: a. Jenis pesawat yang beroperasi pada landasan pacu tersebut b. Beban dari pesawat c. Volume lalu lintas d. Kondisi lingkungan bandar udara 2.6.2 Lapisan Struktur Perkerasan Lentur Menurut Heru Basuki (1986) perkerasan lentur adalah suatur perkerasan yang mempunyai sifat elastis, maksudnya adalah perkerasan akan melendut saat diberi pembebanan. Keseluruhan struktur perkerasan lentur didukung sepenuhnya oleh tanah dasar lapisan penutup melindungi lapis pondasi atas dari perembesan air permukaan, memberikan permukaan yang rata, terikat baik dan bebas dari butiran-butiran lepas, memikul gaya geser yang disebabkan oleh beban pesawat dan memberikan permukaan yang tidak menimbulkan keausan pada ban yang tidak semestinya. Adapun struktur lapisan perkerasan lentur sebagai berikut : 1. Tanah dasar (Sub Grade) Tanah dasar pada perencanaan tebal perkerasan akan menentukan kualitas konstruksi perkerasan sehingga sifat-sifat tanah dasar menentukan kekuatan dan keawetan konstruksi landasan pacu. Untuk menentukan daya dukung tanah dasar dengan cara CBR (California Bearing Ratio), MR (Resilient Modulus), dan K (Modulus Reaksi Tanah Dasar). Di Indonesia daya dukung tanah dasar untuk kebutuhan perencanaan tebal lapisan perkerasan ditentukan dengan menggunakan pemeriksaan CBR. Penentuan daya dukung tanah dasar berdasarkan evaluasi hasil pemeriksaan laboratorium, sifat-sifat daya dukung tanah dasar sepanjang suatu bagian jalan. 34 Koreksi-koreksi perlu dilakukan baik dalam tahap perencanaan detail maupun tahap pelaksanaan, disesuaikan dengan kondisi tempat. Koreksi-koreksi semacam ini akan diberikan pada gambar rencana atau spesifikasi pelaksanaan. Umumnya persoalan yang menyangkut tanah dasar adalah sebagai berikut: a. Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) dari macam tanah tertentu akibat beban lalu lintas. b. Sifat mengembang dan menyusut dari tanah tertentu akibat perubahan kadar air. c. Daya dukung tanah yang tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti pada daerah dengan macam tanah yang sangat berbeda sifat dan kedudukannya, atau akibat pelaksanaan. d. Lendutan selama dan sesudah pembebanan lalu lintas dari macam tanah tertentu. e. Tambahan pemadatan akibat pembebanan lalu lintas dan penurunan yang diakibatkanya, yaitu pada tanah berbutir kasar yang tidak dipadatkan secara baik pada saat pelaksanaan. 2. Lapisan Pondasi Bawah (Sub Base Course) Lapisan pondasi bawah (Sub Base Course) adalah bagian dari konstruksi perkerasan landasan pacu yang terletak di antara tanah dasar (Sub Grade) dan lapisan pondasi atas (Base Course). Menurut Horonjeff dan McKelvey, (1993) fungsi lapisan pondasi bawah adalah sebagai berikut : a. Bagian dari konstruksi perkerasan yang telah mendukung dan menyebarkan beban roda ke tanah dasar. b. Mencapai efisiensi penggunaan material yang murah agar lapisan-lapisan selebihnya dapat dikurangi tebalnya (penghematan biaya konstruksi). c. Untuk mencegah tanah dasar masuk kedalam lapisan pondasi atas. 35 3. Lapisan Pondasi Atas (Base Coarse) Lapisan pondasi atas adalah bagian dari perkerasan landasan pacu yang terletak diantara lapisan pondasi bawah dan lapisan permukaan. Fungsi pondasi atas adalah sebagai berikut: a. Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda dan menyebarkan beban lapisan dibawahnya. b. Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah c. Bantalan terhadap lapisan pondasi bawah. 4. Lapisan Permukaan (Surface Course) Lapisan permukaan adalah lapisan yang terletak paling atas fungsinya adalah sebagai berikut : a. Lapisan perkerasan penahan beban roda, lapisan yang mempunyai stabilitas yang tinggi untuk menahan roda selama masa pelayanan. b. Lapisan kedap air, sehingga air hujan yang jatuh diatasnya tidak meresap ke lapisan dibawahnya. c. Lapisan aus, lapisan yang menderita gesekan akibat rem kendaraan sehingga mudah menjadi aus. d. Lapisan yang menyebarkan beban kelapisan bawah, sehingga lapisan bawah yang memikul daya dukung lebih kecil akan menerima beban yang kecil juga. Penggunaan lapisan aspal diperlukan agar lapisan dapat bersifat kedap air, disamping itu bahan aspal sendiri memberikan tegangan tarik, yang berarti mempertinggi daya dukung lapisan terhadap beban terhadap beban roda lalu lintas. Pemilihan bahan untuk lapisan permukaan perlu dipertimbangkan kegunaan, umur rencana serta 36 pentahapan konstruksi agar tercapai manfaat yang sebesar-besarnya dari biaya yang dikeluarkan. Gambar 2.9 Lapisan-Lapisan Perkerasan Lentur (sumber: http://www.tc.gc.ca/eng/civilaviation/standards/international-technicalpavement-important-3991.htm) 2.6.3 Material Perkerasan Perkerasan lentur terdiri dari lapisan permukaan hot mix asphalt di atas lapisan pondasi (base course) dan jika diperlukan akibat kondisi tanah dasar di atas lapisa pondasi bawah (subbase course). Keseluruhan susunan struktur perkerasan tersebut sepenuhnya didukung oleh tanah dasar (subgrade). Definisi atas fungsi masing-masing lapisan perkerasan lentur dapat diuraikan sebagai berikut : 37 1. Lapisan Permukaan Untuk lapisan permukaan digunakan item P-401 HMA (Hot Mix Asphalt) Item ini terdiri dari agregat mineral dan material aspal yang dicampr di dalam satu central mixing plant. Pencampuran yang dilakukan harus sesuai dengan spesifikasi yang disyaratkan. Adapun materi yang dignakan adalah agregat, mineral pengisi dan material aspal. 2. Lapisan Pondasi Atas. Lapisan pondasi atas terdiri dari material berbutir dengan bahan pengikat misalnya semen dengan portland atau aspal, atau bahan pengikat. Spesifikasi terkait dengan komponen, gradasi, control manipulasi dan persiapan berbagai material pondasi yang digunakan di bandara untuk beban 30.000 lbs (13.608 kg) atau lebih adalah sebagai berikut: a. Item P-209 – (Crushed Aggregate Base Course) b. Item P-211 –(Lime Rock Base Course) c. Item P-304 – (Cement Treated Base Course) d. Item P-306 – (Econocrete Subbase Course) Penggunaan jenis P-209, sebagai material pondasi terbatas untuk perkerasan yang didesain untuk beban kotor ≤ 100.000 lbs (45.359 kg). 3. Lapis Pondasi Bawah (Subbase Course). Lapisan pondasi bawah terdiri dari bahan batu yang dipecah dulu atau yang alamiah. Spesifikasi terkait dengan kualitas komponen, gradasi, kontrol manipulasi dan persiapan dari berbagai tipe lapisan pondasi bawah yang digunakan pada bandara untuk beban rencana ≥ 30.000 lbs (13.608 kg) adalah sebagai berikut: a. Item P-154 – (Subbase Course) 38 b. Item P-208– (Aggregate Base Course) c. Item P-210 –(Caliche Base Course) d. Item P-212 – (Shell Base Course) e. Item P-213 – (Sand Clay Base Course) f. Item P-301 – (Soil Cement Base Course) 4. Tanah Dasar. Lapisan tanah dasar mendapat tegangan paling kecil dibanding lapisan permukaan, pondasi dan pondasi bawah. Tegangan di lapis tanah dasar dikontrol pada bagian atas tanah dasar, kecuali jika ada kondisi tak biasa. Kemampuan partikel tanah untuk menahan regangan dan penurunan bervariasi menurut kepadatan dan kadar air. DCP atau Dynamic Cone Penetrometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur daya dukung tanah dasar langsung di tempat. Daya dukung tanah dasar tersebut diperhitungkan berdasarkan pengolahan atas hasil test DCP yang dilakukan dengan cara mengukur berapa dalam (mm) ujung konus masuk ke dalam tanah dasar tersebut setelah mendapat tumbukan palu geser pada landasan batang utamanya. Korelasi antara banyaknya tumbukan dan penetrasi ujung konus dari alat DCP ke dalam tanah akan memberikan gambaran kekuatan tanah dasar pada titik-titik tertentu. Makin dalam konus yang masuk untuk setiap tumbukan artinya makin lunak tanah dasar tersebut. Pengujian dengan menggunakan alat DCP akan menghasilkan data yang setelah diolah akan menghasilkan CBR lapangan tanah dasar pada titik yang ditinjau. Peralatan dan perlengkapan pengujian adalah sebagai berikut: 39 Sebuah palu geser dengan berat 8,0 kg, dan dengan tinggi jatuh 57,5 cm. Palu geser akan bergerak jatuh sepanjang batang baja 20 mm untuk memukul suatu landasan. Sebuah batang utama baja keras (standard shaft) dengan 20 mm, panjang 100 cm yang disambungkan dengan konus yang terbuat dari baja keras sudut 600 atau 300 dan bergaris tengah terbesar 20 mm. Pada batang baja tersebut telah pula dibuatkan skala dalam mm untuk membaca setiap masuknya ujung konus ke dalam tanah. Sebuah batang kedua baja keras (hammer shaft) dengan 20 mm, panjang minimum 72 cm, sebagai batang geser palu. Perlengkapan lainnya yang dibutuhkan sebagai alat-alat pendukung adalah: meter, cangkul dan singkup kecil, belincong, dan linggis. Pengujian dengan alat DCP dilakukan sebagai berikut: Ukuran lubang bergaris tengah 20 cm Pilih titik-titik uji di as landasan baru atau jalan yang akan direkonstruksi, kemudian cari posisi subgade sesuai dengan plan & profile atau pra rencana landasan untuk mengetahui dimana posisi alat DCP harus diletakkan sebelum pengujian dimulai. Galian dilakukan sampai posisi tepi atas subgrade. Sampel tanah dasar untuk pengujian CBR diuji dalam laboratorium untuk menentukan nilai CBR. Pengujian dilakukan dengan melakukan pemadatan dengan kadar air tertentu. Dalam penentuan nilai CBR, apabila pada tiap area yang dari sampel tanah 40 didapat nilai CBR yang berbeda, maka perencanaan tebal perkerasan ditentukan berbeda-beda sesuai dengan nilai CBR dari tanah pada area tersebut. 2.7 Metode Perkerasan Ada beberapa metode perencanaan perkerasan landasan pacu yaitu metode CBR, metode FAA, dan metode ICAO. Namun yang akan dijelaskan pada tugas akhir ini adalah metode FAA. Untuk menghasilkan desain perkerasan yang aman dan terjamin ada beberapa pertimbangan bahan untuk dalam desain perkerasan landasan pacu yaitu sebagai berikut: a. Prosedur pengujian bahan untuk subgrade dan komponen-komponen lainnya harus akurat dan teliti. b. Metode yang dipakai harus sudah dapat diterima umum dan sudah terbukti telah menghasilkan desain perkerasan yang memuaskan. c. Dapat dipakai untuk mengatasi persoalan-persoalan perkerasan landasan pacu dalam waktu yang relatif singkat. 2.7.1 Metode FAA Perkerasan Lentur Cara Manual Metode perencanaan FAA yang dibahas pada bab ini adalah metode perencanaan yang mengacu pada standar perencanaan pekerasan FAA Advisory Circular (AC) No.150_5320_6D. Metode ini adalah pengembangan perencanaan berdasarkan metode CBR. Perencanaan konstruksi perkerasan dengan menggunakan grafik-grafik, tabeltabel, yang telah dibuat bersasarkan hasil pengamatan yang telah ada. Pada perhitungan dengan metoda yang mengacu pada Advisory Circular (AC) No. 150_5320_6D, telah mengeluarkan grafik-grafik (dilampirkan dalam lampiran D hal L20-L29) yang berisi 41 hubungan keberangkatan tahunan desain, berat pesawat kotor, nilai CBR (California Bearing Ratio) dengan ketebalan lapisan perkerasan. 1. Klasifikasi Tanah Metode yang dikembangkan oleh Federal Aviation Administration (FAA) ini pada dasarnya menggunakan statistik perbandingan kondisi lokal dari tanah, sistem drainase dan cara pembebanan untuk berbagai tingkah laku beban. FAA telah membuat klasifikasi tanah, untuk perencanaan perkerasan yang dibagi dalam 13 kelas dari E1 sampai E13. Klasifikasi dari Airport Paving FAA, Advisory Circular, adalah sebagai berikut : a. Kelas EI Adalah jenis tanah yang mempunyai gradasi tanah yang baik, kasar, butiranbutiran tanahnya tetap stabil walaupun sistem drainasenya tidak baik. b. Kelas E2 Jenis tanah mirip grup E1, tetapi kandungan pasirnya lebih sedikit, dan mungkin mengandung presentase lumpur dan tanah liat yang lebih banyak. Tanah dalam kelas ini bisa menjadi tidak stabil apabila sistem drainasenya tidak baik. c. Kelas E3 dan E4 Terdiri dari tanah yang berbutir halus, tanah berpasir dengan geradasi lebih jelek dibanding dengan grup E1 dan E2. Grup ini terdiri dari pasir berbutir halus tanpa daya kohesi, atau tanah liat berpasir dengan kualitas pengikatan mulai dari cukup sampai baik. d. Kelas E5 Terdiri dari tanah yang bergradasi yang kurang baik, dengan kandungan lumpur dan tanah liat campuran lebih dari 35% tetapi kurang dari 45%. 42 e. Kelas E6 Terdiri dari lumpur yang berpasir dengan indeks plastisitas yang sangat rendah. Jenis ini relatif stabil bila kering atau pada moisture content rendah. Stabilitasnya akan kurang bahkan hilang dan menjadi sangat lembek dalam keadaan basah, maka sangat sukar dipadatkan kecuali jika moisture content dikontrol dengan sangat teliti sesuai kebutuhan. f. Kelas E7 Temasuk didalamnya tanah liat berlumpur, tanah liat berpasir, pasir berlempung dan lumpur berlempung, mempunyai rentangan konsistensi kaku sampai lunak ketika kering dan plastis ketika basah. g. Kelas E8 Mirip dengan E7, tetapi pada liquid limit yang lebih tinggi akan menghasilkan derajat pemempatan yang lebih besar, pengembangan pengerutan dan stabilitas yang lebih rendah dibawah kondisi kelembaban yang kurang menguntungkan. h. Kelas E9 Terdiri dari campuran lumpur dan tanah liat sangat elastis dan sangat sulit dipadatkan. Stabilitasinya rendah, baik keadaan basah dan kering. i. Kelas E10 Adalah tanah liat yang berlumpur dan tanh liat yang membentuk gumpalan keras dalam keadaan kering, serta sangat pastis bila basah. Pada masa pemadatan perubahan volumenya sangat besar, mempunyai kemampuan mengembang menyusut dan sangat elastis. 43 j. Kelas E11 Mirip dengan tanah grup E10, tetapi mempunyai liquid limit yang lebih tinggi, termasuk didalamnya tanah dengan liquid limit antara 70-80, dengan index plastisitas diatas 30. k. Kelas E12 Jenis tanah yang mempunyai liquid limit di atas 80, tidak diukur berapapun index plastisitasnya. l. Kelas E13 Meliputi semua jenis tanah rawa organik, seperti gambut, mudah dikenal di lapangan. Dalam keadaan asli, sangat rendah stabilitasnya, sangat rendah density dan sangat tinggi kelembabannya. 44 Tabel 2.8 Klasifikasi Tanah Dasar untuk Perencanaan Perkerasan oleh FAA Kelas Tanah Analisa saringan % Bahan lebih kecil dari saringan no. 10 % bahan tersisa Pasir saringan kasar no. 10 lolos saringan no. 10 tapi ditahan saringan no. 40 Drainase baik Drainase jelek Fa / Fa Fa / Ra F1 / Fa F1 / Ra Fa / Ra F1 / Ra F2 / Rb F3 / Rb Pasir halus lewat saringan no. 40 ditahan no. 200 Campur an lumpur dan tanah liat lolos no. 200 Liquid Limit 60 85 15 25 25 35 25 25 25 35 6 6 6 10 45 45 45 45 45 45 45 45 40 40 50 60 40 70 80 80 15 10 10-30 15-40 30 20-50 30 Kerikil E1 E2 E3 E4 0-45 0-45 0-45 0-45 Butiran halus E5 E6 E7 E8 E9 E10 E11 E12 0-55 0-55 0-55 0-55 0-55 0-55 0-55 0-55 E13 Tanah gambut, tidak bisa digunakan 40 15 Plastic ity index Subgrade Class F3 / Rb F4 / Rc F5 / Rc F6 / Rc F7 / Rd F8 / Rd F9 / Re F10 / Fa (Sumber: Basuki 1986) 2. Menentukan Tipe Roda Pendaratan Utama Penentuan tebal perkerasan harus memakai maximm takeoff weight. Perancangan tebal perkerasan lentur dengan anggapan 95% gross weight diterima oleh main gear dan 5% sisanya diterima oleh nose gear. 45 a. Sumbu Tunggal Roda Tunggal ( Single ) Gambar 2.10 Konfigurasi Roda Pendaratan Untuk Pesawat Roda Tunggal (sumber: Yang, 1984) b. Sumbu Tunggal Roda Ganda ( Dual wheel ) Gambar 2.11 Konfigurasi Roda Pendaratan Untuk Pesawat Roda Ganda (sumber: Yang, 1984) 46 c. Sumbu Tandem Roda Ganda ( Dual Tandem ) Gambar 2.12 Konfigurasi Roda Pendaratan Untuk Pesawat Roda Tandem Ganda (sumber: Yang, 1984) d. Sumbu Tandem Roda Ganda Dobel ( DDT ) Gambar 2.13 Konfigurasi roda pendaratan untuk pesawat roda ganda dobel (sumber: Yang, 1984) 47 3. Menentukan pesawat rencana Pada Pesawat rencana dapat ditentukan dengan melihat jenis pesawat yang beroperasi dan besar MSTOW (Maksimum Structural Take Off Weight) dan data jumlah keberangkatan tiap jenis pesawat. Kemudian dipilih jenis pesawat yang menghasilkan tebal perkerasan yang paling besar. Pemilihan pesawat rencana ini pada dasarnya bukanlah berasumsi harus berbobot paling besar, tetapi jumlah keberangkatan yang paling banyak melalui landasan pacu. Pesawat rencana kemudian ditetapkan sebagai pesawat yang membutuhkan tebal perkerasan yang paling besar dan tidak perlu pesawat yang paling besar yang beroperasi di dalam bandar udara. Karena pesawat yang beroperasi di bandara memiliki angka keberangkatan tahunan yang berbeda-beda, maka harus ditentukan keberangkatan tahunan ekivalen dari setiap pesawat dengan konfigurasi roda pendaratan dari pesawat rencana. 4. Menentukan Beban Roda Pendaratn Utama Pesawat (W2) Untuk pesawat berbadan lebar yang dianggap mempunyai MTOW cukup tinggi dengan roda pendaratan utama tunggal dalam perhitungan Equivalent Annual Departure (R1) ditentukan beban roda tiap pesawat, 95% berat total dari pesawat ditopang oleh roda pendaratan utama, dalam perhitungan dengan menggunakan rumus : W2 = P x MSTOW x x ..................................................................(2.1) Dimana : MSTOW = Berat kotor pesawat saat lepas landas A = Jumlah konfigurasi roda B = Jumlah roda per satu konfigurasi 48 P = Persentase beban yang diterima roda pendaratan utama W2 = Beban roda pendaratan dari masing-masing jenis pesawat. 5. Menentukan Nilai Ekuivalen Keberangkatan Tahunan Pesawat Rencana Pada lalu-lintas pesawat, struktur perkerasan harus mampu melayani berbagai macam jenis pesawat, yang mempunyai tipe roda pendaratan yang berbeda-beda dan bervariasi beratnya. Pengaruh dari beban yang diakibatkan oleh semua jenis model lalulintas itu harus dikonversikan ke dalam pesawat rencana dengan equivalent annual departure dari pesawat-pesawat campuran, sehingga dapat disimpulkan bahwa perhitungan ini berguna untuk mengetahui total keberangkatan keseluruhan dari bermacam pesawat yang telah dikonversikan ke dalam pesawat rencana. Untuk menentukan R1 dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : Log = ............................................................................(2.2) Dimana : R1 = keberangkatan tahunan ekivalen oleh pesawat rencana R2 = jumlah keberangkatan tahunan oleh pesawat berkenaan dengan konfigurasi roda pendaratan rencana W1 = beban roda dari pesawat desain W2 = beban roda dari pesawat yang harus dirubah Pesawat berbadan lebar mempunyai konfigurasi roda pendaratan utama yang berbeda dengan pesawat kecil, maka pengaruhnya terhadap perkerasan diperhitungkan dengan menggunakan berat lepas landas kotor dengan susunan roda pendaratan utama adalah roda tunggal yang dikonversikan dengan nilai yang ada. Dengan anggapan demikian maka dapat dihitung keberangkatan tahunan ekivalen (Equivalent Annual Departure,R1). 49 Tabel 2.9 Faktor Konversi Keberangkatan Ekivalen Poros roda pendaratan pesawat sebenarnya Roda Tunggal Poros roda pendaratan pesawat rencana Roda ganda Tandem ganda Faktor pengali untuk keberangkaran ekivalen 0,8 0,5 Roda Ganda Roda ganda Tandem ganda 1,3 0,6 Tandem Ganda Roda tunggal Roda ganda 2 1,7 Roda ganda 1,7 Tandem berganda dua Tandem ganda 1 (Sumber : Planning & Design Of Airports, Horonjeff) 6. Menentukan Susunan Tebal Perkerasan. Perencanaan perkerasan yang dikembangkan oleh FAA ini adalah perencanaan untuk masa umur rencana, dimana selama masa layan tersebut harus tetap dilakukan pemeliharaan secara berkala. Pada tahapan ini, data-data awal seperti CBR tanah dasar, CBR Subbase, dan Equivalent Departure dijadikan input untuk menentukan tebal perkerasan. Data tersebut diatas dimasukkan pada kurva rencana yang telah sesuai standar FAA sehingga menghasilkan tebal perkerasan yang nantinya perlu dikoreksi, perhitungan secara detail dijelaskan sebagai berikut: a. Tebal Perkerasan Total Tebal perkerasan total dihitung dengan memplotkan data CBR Subgrade, MTOW (Maximum Take Off Weight) pesawat rencana, dan nilai Equivalent Annual Departure ke dalam grafik 2.14 penentuan tebal perkerasan untuk pesawat rencana. Perencanaan perkerasan yang dikembangkan oleh FAA ini adalah perencanaan untuk masa umur rencana, dimana selama masa layan tersebut harus tetap dilakukan pemeliharaan secara berkala. 50 Grafik-grafik pada perencanaan perkerasan FAA menunjukkan ketebalan perkerasan total yang dibutuhkan (tebal pondasi bawah + tebal pondasi atas + tebal lapisan permukaan). Nilai CBR tanah dasar digunakan bersama-sama dengan berat lepas landas kotor dan keberangkatan tahunan ekivalen dari pesawat rencana. Beban lalulintas pesawat pada umumnya akan disebarkan pada daerah lateral dari permukaan selama operasional. Demikian juga pada sebagian landasan pacu, pesawat akan meneruskan beban ke perkerasan, oleh karena itu FAA memperbolehkan perubahan tebal perkerasan pada permukaan yang berbedabeda: Tebal penuh T pada seluruh daerah kritis, yang digunakan untuk tempat pesawat yang akan berangkat, seperti apron daerah tunggu (Holding Apron), bagian tengah landasan hubung dan landasan pacu Tebal perkerasan 0,9 T diperlukan untuk jalur pesawat yang akan datang, seperti belokan landasan pacu berkecepatan tinggi. Tebal perkerasan 0,7 T diperlukan untuk tempat yang jarang dilalui pesawat, seperti tepi luar landasan hubung dan tepi luar landasan pacu. 51 Gambar 2.14 Grafik Perencanaan Perkerasan Lentur Untuk Pesawat Dual Tandem (Sumber : Planning & Design Of Airports, Horonjeff) Grafik perencanaan digunakan dengan memulai menarik garis lurus dari sumbu CBR, ditentukan secara vertikal ke kurva berat lepas landas kotor (MSTOW), kemudian diteruskan kearah horizontal ke kurva keberangkatan tahunan ekivalen 52 dan akhirnya diteruskan vertikal ke sumbu tebal perkerasan dan tebal total perkerasan didapat. b. Menentukan tebal perkerasan Subbase Dengan nilai CBR Subbase yang ditentukan, MTOW dan Equivalent Annual Departure maka dari grafik 2.14 didapat harga yang merupakan tebal lapisan diatas subbase, yaitu lapisan surface dan lapisan base. Maka, tebal Subbase sama dengan tebal perkerasan total dikurangi tebal lapisan diatas subbase. d. Tebal perkerasan Base Coarse Tebal Base Course sama dengan tebal lapisan diatas Subbase Course dikurangi tebal lapisan permukaan (Surface Course). Hasil ini harus dicek dengan membandingkannya terhadap tebal Base Course minimum dari grafk. Apabila tebal Base Course minimum lebih besar dari Base Course hasil perhitungan, maka selisihnya diambil dari lapisan Subbase Course, sehingga tebal Subbase Course berubah. 53 Gambar 2.15 Grafik Penentuan Tebal Base Course Minimum. (Sumber : Merancang dan Merenanakan Lapangan Terbang, Ir.Heru Basuki) 54 Tabel 2.10 Tebal Minimum Base Course Design Load Range Design Aircraft (pound) Single Wheel Duel Wheel Duel Wheel B-757 B-767 DC-10 L101 I B-747 C-130 (kg) Minimum Base Course Thickness (in) (mm) 30.000-50.000 50.000-70.000 50.000-100.000 100.000-200.000 100.000-250.000 250.000-400.000 (13.600-22.700) 22.700-34.000) (22.700-45.000) 45.000-90.700) (45.000-113.400) (113.400-181.000) 4 6 6 8 6 8 100 150 150 200 150 200 200.000-400.000 (90.700-181.000) 6 150 400.000-600.000 (181.000-272.000) 8 200 400.000-600.000 600.000-850.000 75.000-125.000 12.500-175.000 (181.000-272.000) (272.000-385.700) (34.000-56.700) (56.700-79.400) 6 8 4 6 150 200 100 150 (Sumber: AC No. 150_5320_6d) Grafik perencanaan grafik 2.14 adalah grafik perencanaan untuk tingkat keberangkatan tahunan maksimum 25.000 keberangkatan. Untuk keberangkatan tahunan diatas 25.000, grafik tersebut juga dapat digunakan dengan mengalikan hasil akhir tebal total perkerasan yang didapat dengan menggunakan grafik keberangkatan tahunan 25.000 dengan angka persentase yang diberikan di tabel 2.11 dibawah ini: Tabel 2.11 Persentase pengali untuk tingkat keberangkatan tahunan diatas 25.000 Tingkat Keberangkatan Tahunan % Tebal Total Keberangkatan Tahunan >25000 50.000 104 100.000 108 150.000 110 200.000 112 (Sumber : Planning & Design Of Airports, Horonjeff) 55 2.7.2 Perencanaan Perkerasan Dengan Software FAARFIELD FAARFIELD (Federal Aviation Administration Rigid and Flexible Iterative Elastic Layered Design) merupakan suatu program komputer untuk mendesain tebal perkerasan lentur maupun kaku pada landasan pacu bandar udara. FAARFIELD juga dapat mendesain tebal overlay perkerasan lentur atau kaku. Prosedur perhitungan dan desain ketebalan dalam program ini berdasarkan metode FAA-AC No: 150/5320-6E. Program ini meninjau dan menghitung kebutuhan setiap jenis pesawat, namun program ini terbatas untuk perhitungan lain seperti analisa mawar angin, dan geometrik landasan pacu. Gambar 2.16 Softwere FAARFIELD 56 Prosedur perencanaan perkerasan sudah di implementasikan di dalam program FAA. FAARFIELD menerapkan prosedur layer elastic dan finite element untuk merencanakan perkerasan baru pada perkerasan lentur 1. Prinsip dasar perhitungan tebal perkerasan FAARFIELD yang didasarkan pada AC 150/5320-6E: a. Masukkan semua pesawat penggun landasan dan tidak melakukan ekivalen pesawat ke pesawat rencana. b. Jarak roda pendaratan utama setiap pesawat dari garis tengah landasan mempengaruhi kumulatif (Cummulative Dammage Factor). c. Konsep pesawat rencana tidak dipakai dalam FAARFIELD. 2. Pass-to-coverage ratio (PCR) Rasio jumlah lintasan terhadap beban penuh per satuan luas perkerasan disebut sebagai pass-to-coverage ratio. Jumlah coverages harus diturunkan secara matematika berdasarkan PCR untuk masing-masing jenis pesawat. Secara definisi, satu coverage terjadi ketika satu satuan luas perkerasan mendapatkan respon maksimum regangan untuk perkerasan lentur akibat pesawat tertentu. Pada perkerasan lentur, coverages area diukur sebagai jumlah repetisi regangan maksimum yang terjadi di atas tanah dasar. Pada perkerasan lentur, untuk keruntuhan atas regangan di lapis tanah dasar, lebar efektif didefinisikan di atas tanah dasar. Responses line digambar dengan kemiringan 1:2 dari pinggir kontak hingga ke puncak tanah dasar, seperti diilustrasikan dalam Gambar 2.17 dan Gambar 2.18. Roda dipertimbangkan untuk kondisi terpisah atau kombinasi, bergantung pada overlap response lines. Semua perhitungan lebar efektif roda dan PCR dilakukan di dalam program FAARFIELD. 57 Gambar 2.17 Two Effective Tiew Widths-No Overlap (sumber: FAA AC No: 150/5320-6E Airport Pavement Design and Evaluation) Gambar 2.18 One Effective Tire Width-Overlap (sumber: FAA AC No: 150/5320-6E Airport Pavement Design and Evaluation) Untuk perhitungan nilai coverages diperlukan nilai PCR (pass to coverage ratio) yang merupakan unit kerusakan ekivalen yang terjadi di dalam struktur perkerasan yang disebabkan oleh setiap lintasan roda pesawat udara (Tabel 2.12). Nilai PCR dimaksudkan untuk memperhitungkan kemungkinan pergeseran jalur lintasan roda pesawat udara dalam arah lateral pada perkerasan. Sehingga, Coverages = . . . ...........................................(2.3) Dimana: N = masa layan rencana (tahun) 58 Total Equivalent Annual Departure = jumalh pesawat (tahun) PCR = pass to coverage ratio Tabel 2.12 Pass To Coverage Ratio No. Konfigurasi Sumbu Roda PCR 1 Sumbu Tunggal Roda Tunggal (S) 5,18 2 Sumbu Tunggal Roda Ganda 3,48 3 Sumbu Tandem Roda Ganda (DT) 3,68 4 Sumbu Tandem Roda Ganda Dobel (DDT) 3,70 (Sumber : ICAO, 1983) 3. FAARFIELD Default Value Tabel 2.13 Nilai standar pada Software FAARFIELD Layer Item Modulus (psi) Poisson’s Ratio AC Surface P-401/P-403 200.000 0,35 CTB P304 500.000 0,20 Aggregate Subbase P208 43042 0.35 CTB (max) P306 700.000 0,20 CTB (min) P301 2500.00 0,20 (Sumber: manual FAARIELD) 59 2.8 Pertimbangan Perencanaan Perkerasan Pada pekerjaan ini, dijelaskan pertimbangan metode perhitungan AC No. 150_5320_6d, dan perhitungan FAA AC No: 150/5320-6E Airport Pavement Design and Evaluation. a. Umur Rencana Perencanaan FAA untuk perkerasan berdasarkan umur rencana dua puluh tahun, software FAARFIELD dapat digunakan untuk umur rencanan yang lain, namun penggunaan umur diluar duapuluh tahun akan memberikan standar deviasi FAA. Umur desain struktur perkerasan dijelaskan dibawah ini: Standar untuk umur rencana struktural adalah dua puluh tahaun. Umur rencana struktur mengindikasikan kinerja perkerasan yang disyaratkan menerima beban repetisi yang di ijinkan sebelum terjadi kerusakan pada subgrade. Usia struktur ditentukan dari kedatangan tahunan di kali dua puluh. Kondisi permukaan maupun keadaan berbahaya lainnya yang dapat mempengaruhi penggunaan perkerasan oleh pesawat tidak mewakili desain umum untuk rencana struktur. b. Kombinasi lalu lintas Kombinasi lalu lintas yang terjadi di landasan pacu diperhitungkan secara terpisah dan diakumulasikan sebagai beban yang tersendiri dengan masing-masing letak beban yang didistribusikan oleh roda pesawat. Pesawat rencana ditentukan dengan memilih pesawat dengan daya rusak tertinggi berdasarkan berat dan jumlah keberangkatan pesawat. Prosedur perencanaan tidak mengkonversi campuran lalu-lintas menjadi keberangkatan ekivalen pesawat rencana. FAARFIELD menganalisis kerusakan pada 60 perkerasan untuk masing-masing pesawat dan menentukan tebal akhir untuk kerusakan total. FAARFIELD mempertimbangkan penempatan sumbu utama masingmasing pesawat terkait dengan garis sumbu. c. Keberangkatan Tahunan Pesawat FAARFIELD memperhitungkan annual departure secara kumulatif dan tidak dijadikan equivalent annual departure seperti yang diterapkan pada cara manual. Pada program FAARFIELD, total keberangkatan tahunan pesawat setiap pesawat dihitung untuk masa umur layan perkerasan dan persentase jumlah keberangkatan tahunan. Total keberangkatan tahunan pesawat dihitung dengan persamaan: ...........................................................................................(2.3) Dengan: N = total jumlah keberangkatan L = Umur rencana perkerasan a = angka keberangkatan tiap tahun b = pertumbuhan lalu lintas (%) d. Cumulative Damage Factor FAARFIELD didasarkan pada faktor kerusakan kumulatif. CDF adalah angka yang menunjukkan kelelahan struktural akibat lama masa pelayanan operasionalnya, dengan persamaan: ...................... (2.4) Atau ...................... (2.5) 61 Apabila CDF = 1, maka perkerasan mampu digunakan selama umur rencana sampai kerusakan terjadi. Apabila CDF < 1, maka perkerasan memiliki umur sisa setelah umur rencana terlampaui. Apabila CDF >1, maka perkerasan mengalami kerusakan sebelum umur rencana terlampaui. Persamaan yang menunjukkan hubungan antara c dan regangan vertikal (Ev) pada bagian atas tanah dasar adalah: Diman: c untuk c ≤ 12100 ............................. (2.6) untuk c ≥ 12100 ..............................(2.7) = Jumlah pergerakan (coverage) yang menyebabkan kegagalan Ev = Regangan vertikal pada bagian atas lapisan tanah dasar Persamaan yang menunjukkan hubungan antara jumlah liputan yang mengakibatkan kerusakan (c) dengan regangan horizontal yang terjadi pada bagian bwah lapisan aspal adalah: = 2.68 – 5 x – 2.665 x ..............................(2.8) Dimana: c = Jumlah pergerakan (coverage) yang menyebabkan kegagalan Ea = modulus aspal ԑh = regangan horizontal yang terjadi dibawah lapisan aspal. e. Berdasarkan AC 150/5320-6E tebal lapisan minimum untuk surface dengan material Item P-401 HMA adalah sebesar 5 in. f. Berdasarkan AC 150/5320-6E menentukan tebal minimum base course sesuai kebutuhan setiap pesawat. 62 Tabel 2.14 Tebal Minimum Base Course Untuk Software FAARFIELD Design Load Range Gear Type (pound) S D 2D 2D (B757) 2D (B767) 2D (DC-10) 2D (L1011) 2D /2D 2 (B747) C-130 3D (A380) (kg) Minimum Base Course Thickness (in) (mm) 30.000-50.000 50.000-70.000 50.000-100.000 100.000-200.000 100.000-250.000 250.000-400.000 (13.600-22.700) 22.700-34.000) (22.700-45.000) 45.000-90.700) (45.000-113.400) (113.400-181.000) 4 6 6 8 6 8 100 150 150 200 150 200 200.000-400.000 (90.700-181.000) 6 150 400.000-600.000 (181.000-272.000) 8 200 400.000-600.000 600.000-850.000 75.000-125.000 12.500-175.000 1.239.000-130.5125 (181.000-272.000) (272.000-385.700) (34.000-56.700) (56.700-79.400) (56200-592000) 6 8 4 6 9 150 200 100 150 230 (Sumber: AC No. 150_5320_6E) 2.9 Parameter Penentu Tebal Perkerasan Parameter penentu tebal perkerasan adalah data frekuensi rencana penerbangan masing-masing jenis pesawat udara dengan disertai data karakteristik dari masingmasing jenis pesawat udara. Dimulai dengan menentukan jenis pesawat rencana dan nilai keberangkatan tahunan ekivalen yaitu pesawat udara yang membutuhkan tebal perkerasan terbesar dengan frekuensi maksimal. Umumnya dalam perencanaan bandar udara dibutuhkan data frekuensi rencana 20 tahun ke depan. Jika hanya terdapat selama lima tahun maka data tersebut perlu di regresi linier untuk dapat menunjukkan data rencana 20 tahun ke depan. Karena pesawat udara yang beroperasi di bandar udara mempunyai konfigurasi roda pendaratan yang berbeda, maka perlu menentukan keberangkatan tahuanan ekivalen dari pesawat udara rencana dengan konfigurasi roda tertentu. Keberangakatan tahunan 63 ekivalen dari pesawat rencana ditetapkan dengan menjumlahkan nilai keberangkatan tahunan ekivalen setiap jenis pesawat dalam kelompok satu tahun. 2.10 Kelebihan dan Kekurangan Metode FAA Kelebihan metode FAA ini adalah analisa satistik perbandingan kondisi lokal dari tanah dimana metode ini memberikan gambaran secara lengkap dan detail mengenai kondisi dan jenis-jenis tanah yang akan dihadapi di lapangan serta metode ini cocok dipakai untuk segala cuaca dan berbagai kelas tanah yang ada di lapangan. Metode ini memberikan gambaran secara lengkap dan detail mengenai kondisi dan jenis-jenis tanah yang akan dihadapi di lapangan. Metode ini cocok dipakai untuk segala cuaca dan berbagai kelas tanah yang ada di lapangan. Di segala Negara, metode ini dapat diaplikasikan dengan berbagai jenis cuaca dan kondisi tanah yang ada, perhitungannya pun tidak rumit. Sedangkan kekurangannya adalah dalam hal memperhitungkan investigasi kekuatan daya dukung tanah dasar dimana metode ini hanya memperhitungkan statistik perbandingan kondisi lokal dari tanah yang dihadapi di lapangan.