HARMONISASI HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DI INDONESIA DAN PENGELOLAAN TANAH DI NEGARA Arditya Wicaksono dan Romi Nugroho1 Abstract Abstract: Land Management and natural resources in Indonesia is burdened regulation that is not synchronized and consistency. Administration of it’s the management is burdened by immeasurable institute so that inefficient. This article is empirical law study where many field facts that is each other impinges so that to the fore need to integrate institute.Furthermore, it takes understanding the regulation of natural resource management, agrarian reform and natural resource management as well as the codification and unification of the rules of natural resources. explanation reference setting natural resources especially land, as comparisons in other countries are expected to add the ability to decompose problem of natural resources which more accurate. Keyword: land, natural resources, disharmony law Abstrak Abstrak: Pengelolaan tanah dan sumber daya alam di Indonesia terkendala regulasi yang tidak sinkron dan konsisten. Administrasi pengelolaannya terkendala lembaga yang beragam sehingga tidak efisien. Tulisan ini merupakan kajian hukum empiris dimana banyak fakta lapangan yang saling berbenturan sehingga kedepan perlu integrasi lembaga. Lebih lanjut, dibutuhkan kesepahaman dalam peraturan pengelolaan sumber daya alam, pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam serta kodifikasi dan unifikasi peraturan sumber daya alam. Gambaran referensi pengaturan sumber daya alam khusunya pertanahan sebagaimana perbandingan di negara lain diharapkan mampu menambah kekuatan untuk mengurai persoalan sumber daya alam yang lebih tepat. Kata K unci Kunci unci: Tanah, Sumber Daya Alam, Inkonsistensi Aturan A. Pengantar Tanah merupakan sumber daya alam (SDA) yang penting bagi negara dan menguasai hajat orang banyak karena berkaitan dengan kemaslahatan umum (public utilities) dan pelayanan umum (public services), sehingga harus dikuasai negara dan dijalankan oleh pemerintah, sebab sumber daya alam tersebut harus dapat dinikmati oleh rakyat secara berkeadilan, keterjangkauan, dalam suasana kemakmuran dan kesejahteraan umum yang adil dan merata (Faiz 2012). Oleh karena itu sudah sewajarnya pengelolaan tanah harus memberikan kemakmuran 1 Arditya Wicaksono, Peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan, Kementerian ATR/BPN. Email: [email protected]. Romi Nugroho, Peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian ATR/ BPN. Email: [email protected] Diterima: 31 Agustus 2015 rakyat sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Selain itu, tanah merupakan sumber daya alam baik hayati maupun non hayati dan merupakan unsur lingkungan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Pentingnya sumber daya alam secara eksplisit telah disebutkan dalam pasal di atas. Pasal ini mengamanatkan bahwa pemanfaatan sumber daya alam khususnya berkaitan dengan tanah dan seisinya harus ditujukan untuk kepentingan rakyat banyak.Di dalam politik hukum pertanahan tidak lain adalah kewenangan atau kekuasaan untuk mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan unsurunsur agraria yang meliputi: bumi, air dan ruang angkasa (dalam batas-batas tertentu) yang dituangkan dalam kebijakan (policy) yang dalam kenyataannya tertuang pada kaidah-kaidah hukum agraria (Koeswahyono dkk. 2007). Direview: 2 Oktober 2015 Disetujui: 20 Oktober 2015 124 Bhumi Vol. 1, No. 2, November 2015 Amanat konstitusi di bidang pertanahan produk hukum, duabelas diantaranya berupa menuntut agar politik dan kebijakan pertanahan dapat memberikan kontribusi nyata dalam proses undang-undang yang dari semua itu tidak ada yang taat asas keadilan sosial, antar undang-undang yang mewujudkan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” (Sila kelima Pancasila dalam terkait dengan pertanahan tersebut saling overlap dan tidak harmonis. Kondisi inilah yang disebut Pembukaan UUD 1945) dan mewujudkan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” (Pasal 33 dengan Jungle of Regulation (Joyowinoto 2010). Berkaca pada pandangan tersebut hendaknya ayat (3) UUD 1945). Nilai-nilai dasar ini mensyaratkan dipenuhinya hak rakyat untuk sinergitas aturan mutlak diperlukan sebab bagaimanapun pengelolaan negara pasti dapat mengakses berbagai sumber kemakmuran, terutama tanah. Tanah adalah sesuatu yang sangat memerlukan sumber daya yang melimpah dimana tanah merupakan salah satu potensi yang vital bagi sebagian besar rakyat Indonesia yang susunan masyarakat dan perekonomiannya dalam pengelolaan tanah di Indonesia seluas 190 juta hektar (BPN 2010) tidaklah mampu optimal bercorak agraris. Tanah adalah kehidupan, dengan terbukanya akses rakyat kepada tanah apabila kita masih terkotak-kotak dan tanpa koordinasi. Sayang sampai sekarang produk dan melalui kuatnya hak rakyat atas tanah, maka kesempatan rakyat untuk memperbaiki sendiri hukum yang ada tidak memasukkan UUPA sebagai pandangan untuk sinergi, justru investasi kesejahteraan sosial-ekonominya akan semakin besar serta martabat sosialnya akan meningkat. negara yang ada sekarang membuat kita tidak bisa bergerak sejalan dan padu serasi akibat undang- Hak-hak dasarnya akan terpenuhi, rasa keadilan rakyat sebagai warga negara akan tercukupi dan undang sektoral yang bertentangan satu sama lain. Mulyanto (2010) dalam orasi pengukuhan harmoni sosial akan tercipta. Kesemuanya ini akan menjamin keberlanjutan sistem kemasya- guru besarnya mengurai bahwa posisi tanah sebagai matrik dasar sistem penyangga kehidupan rakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Uraian di atas menunjukkan bahwa Indonesia belum sepenuhnya dipahami khalayak, termasuk para mahasiswa. Pemahaman yang diajarkan di menggunakan konsep negara kesejahteraan karena tujuan negara adalah untuk kesejahteraan ilmu tanah selama ini hanya aspek teknis semata, tapi kurang dari sisi pembahasan aspek-aspek umum dan negara dipandang hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan bersama kemakmuran lainnya. Dimensi tanah itu bukan hanya f isik, tetapi beragam dimensi kehidupan semuanya dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Pemerintah dalam negara kesejahteraan diberi tugas berhubungan dengan tanah. Untuk itu menurutnya perlu pemahaman ilmu tanah. membangun kesejahteraan umum dalam berbagai lapangan (bestuurzorg) dengan konsekuensi Lebih lanjut Mulyanto (2010) menyebutkan peningkatan jumlah penduduk di bumi ini pemberian kemerdekaan kepada administrasi negara dalam perjalanannya. Tugas pemerintah menyebabkan peningkatan tekanan pada tanah. Kehidupan di permukaan bumi tidak saja bukan hanya lagi sebagai penjaga malam (nachtwakkersstaat) dan tidak boleh berdiam diri membutuhkan pangan dan energi, tetapi juga memerlukan tapak untuk bermukim serta secara pasif, tetapi harus turut serta secara aktif dalam kegiatan masyarakat sehingga kesejahteraan infrastruktur bagi kegiatannya. Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan kelangkaan bagi semua orang dapat lebih terjamin. Joyowinoto menyebutkan di BPN dan instansi tanah (land scarcity) yang makin hari semakin nyata oleh karena luas bumi ini relatif tetap. pemerintah lainnya terkait pertanahan terdapat 538 Kondisi ini menyebabkan intensitas dan frekuensi Arditya Wicaksono & Romi Nugroho: Harmonisasi Hukum ...: 123-134 125 permasalahan yang berhubungan dengan tanah Permusyawaratan Rakyat tentang Pembaruan makin meningkat seperti masalah kemiskinan, pengangguran, ketimpangan penguasaan dan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan melaporkan pelaksanaannya pada Sidang penggunaan tanah, kerusakan lingkungan, kelangkaan pangan dan energi, serta sengketa Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia”. dan konflik pertanahan. Mengingat hubungan antara tanah dengan Di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 diberi tafsiran yang longgar berkenaan dengan konsep kehidupan adalah multi aspek maka pengembangan Lembaga Pertanahan perlu diarahkan pada “hak menguasai negara” dan “sebesar-besamya kemakmuran rakyat”, yang dalam operasio- pengembangan perspektif bersifat multi-dimensi dan holistik sebagai matrik dasar sistem penyangga nalisasinya diwujudkan dalam berbagai undangundang organik seperti UUPA, Undang-Undang kehidupan. Pengembangan lembaga pertanahan yang demikian sangat diperlukan untuk penataan Kehutanan, Undang-Undang Pertambangan dan lain-lain (Maria Sumrdjono 2008). Ketidak- kembali hubungan antara tanah dengan kehidupan, terutama penataan penguasaan dan penggunaan sinkronan antara berbagai undang-undang yang mengatur sumber daya agraria/sumber daya alam, tanah untuk menguatkan Reforma Agraria dalam upaya mewujudkan tanah untuk keadilan dan walaupun sama-sama berpijak pada pasal di atas, namun karena egoisme sektoral yang begitu kesejahteraan rakyat. Bertitik tolak pada persoalan di atas maka rumusan masalah pada tulisan ini tinggi, masing-masing sektor merasa paling berkompeten mengatur tentang sumber daya adalah apakah Undang-Undang Pengelolaan Sumber Daya Alam telah sesuai dengan prinsip- alam. Walaupun disadari bahwa segenap unsur sumber daya agraria/sumber daya alam meru- prinsip negara hukum. Penggunaan pendekatan kajian hukum pakan satu ekosistem, tetapi kesadaran masingmasing sektor hanya mengatur fungsi tertentu empiris akan memberikan gambaran pada halhal apa saja yang menjadi hambatan dan dari pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam sulit diwujudkan. Berbagai peraturan ketidakharmonisan pengelolaan sumber daya alam termasuk di dalamnya pengelolaan bidang perundang-undangan di bidang sumber daya agraria/sumber daya alam yang tidak konsisten pertanahan. Disamping itu pendekatan ini akan memudahkan menganalisa antar peraturan yang antara satu dan lainnya makin diperparah oleh inkonsistensi antara peraturan dan implemen- tidak selaras, dengan dibuktikan adanya peraturan yang tumpang tindih. Poin penting tasinya. Unif ikasi hukum yang diupayakan melalui berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi tujuan yaitu ditemukan titik temu langkah penanganan yang bersifat solutif tanpa ternyata tidak mampu mengakomodasi keanekaragaman hukum yang masih berlaku di harus mengedepankan ego sektoral. masyarakat. Pertanahan merupakan subsistem dari sumber B. Harmonisasi Hukum Pengelolaan SDA daya agraria dan sumber daya alam. Diantara keduanya terdapat hubungan yang sangat erat, 1) Konflik Kewenangan TAP MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, 9 November 2001 Pasal 7 menetapkan: “Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia untuk segera melaksanakan Ketetapan Majelis baik dalam kaitan hubungan subsistemnya maupun dalam kaitan hubungannya dengan manusia/masyarakat dan negara. Namun demikian, di sisi lain peraturan perundangundangan di bidang sumber daya agraria dan 126 Bhumi Vol. 1, No. 2, November 2015 sumber daya alam termasuk pertanahan belum c. Peraturan-peraturan itu tidak boleh berlaku terpadu bahkan dalam beberapa hal bertentangan. Keadaan ini sering menimbulkan surut; d. Perumusan peraturan-peraturan itu harus jelas konflik penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (Murad 1991). TAP MPR dan terperinci, ia harus dapat dimengerti oleh rakyat; Nomor IX/MPR/2001 Pasal 5 ayat (1) huruf a, menetapkan pengkajian ulang terhadap semua e. Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin; peraturan yang berkenaan dengan pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam f. Sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain; termasuk pertanahan. Tujuannya agar terdapat sinkronisasi kebijakan antar sektor pembangunan g. Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah, dalam rangka prinsip-prinsip tersebut di atas. Pemenuhan pemberian perlindungan hukum h. Harus terdapat kesesuaian antara tindakantindakan para pejabat hukum dan peraturan- dalam suatu peraturan perundang-undangan merupakan sasaran yang akan dicapai dengan peraturan yang telah dibuat. Ketidaksinkronan pengaturan menimbulkan adanya kepastian hukum. Kepastian hukum akan tercapai apabila sesuatu peraturan dirumuskan konflik kewenangan maupun konflik kepentingan. Seringkali hukum pertanahan kurang secara jelas dan dapat menjadi pedoman untuk pelaksanaannya, dan peraturan yang ada dapat diterapkan secara konsisten sehingga keadaan ini berpengaruh terhadap kualitas dilaksanakan secara konsekuen serta konsisten sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukumnya. Di tengah-tengah era reformasi beragam (Soerodjo 2003). Disamping itu kepastian hukum akan tercapai apabila peraturan terlihat kurang adanya harmonisasi dalam rangka mewujudkan tuntutan reformasi, yaitu: yang diterbitkan memenuhi persyaratan formal berkenaan dengan bentuk pengaturan sesuai tata supremasi hukum, keterbukaan dan keberpihakan pada kepentingan rakyat. Ketiga hal ini, urutan peraturan perundang-undangan, dan materi yang diatur secara substansial tidak tampaknya supremasi hukum kurang memperoleh perhatian yang seimbang dari segenap tumpang tindih atau bahkan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatannya elemen bangsa. Hal ini terlihat dari seringnya penyelesaian masalah yang lebih menekankan (dis-sinkronisasi secara vertikal), ataupun bertentangan dengan peraturan lain yang sejajar pada power based baik melalui people-power, pengerahan masa dan sebagainya dari pada tingkatannya (dis-sinkronisasi secara horisontal). Menurut Fuller (dalam Rahardjo 1980), ada 8 menggunakan rights-based yang menekankan pada aspek legalitas yuridis. Hukum dibentuk (delapan) nilai-nilai yang harus diwujudkan oleh hukum. Kedelapan nilai-nilai tersebut dinamakan untuk kepentingan masyarakat. Eksistensi hukum dimaksudkan untuk menciptakan “delapan prinsip legalitas” yaitu: a. Harus ada peraturan-peraturan terlebih keadilan, memberikan manfaat bagi masyarakat, serta memberi jaminan kepastian hukum. dahulu; bahwa tidak ada tempat bagi keputusan-keputusan secara ad-hoc, atau Penegakan hukum menjadi bagian penting untuk memberikan jaminan kepastian hukum. Menurut tindakan-tindakan yang bersifat arbitrer; b. Peraturan-peraturan itu harus diumumkan Soekanto (1993) Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu: secara layak; a. Hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini Arditya Wicaksono & Romi Nugroho: Harmonisasi Hukum ...: 123-134 akan dibatasi pada undang-undang saja; 127 serta selaras dan serasi dengan anggapan dan b. Penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum; pandangan masyarakat mengenai keadilan (Goesnadhie 2006,108). Harmonisasi atau c. Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; keselarasan dalam hukum dimulai dari konsep hukum sebagai sistem. Dalam hal ini, sistem d. Masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; didef inisikan sebagai seperangkat unsur yang menempati relasi yang ketat satu sama lain dan e. Kebudayaan, yakni hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam relasi dengan lingkungannya, sehingga sebagai sistem, hukum seperti bagian dalam satu undang- pergaulan hidup. Beranjak dari uraian di atas, terlihat bahwa undang maupun keseluruhan peraturan perundang-undangan merupakan satu kesatuan dari faktor perangkat pemerintah terlihat kurang tegas dalam mengurai benang kusut yang berhubungan satu sama lain. Dalam rangka menata sistem hukum nasional yang menyeluruh pengelolaan sumber daya alam baik itu tanah, hutan dan tambang sehingga semakin larut dan terintegrasi, penting dilakukan harmonisasi hukum dengan maksud melakukan penataan dan justru semakin membuat kekayaan alam bukan menjadi sumber kesejahteraan dan penyesuaian unsur-unsur tatanan hukum nasional dengan meletakkan pola pikir yang masyarakat luas akan tetapi kekayaan milik sebagian kecil orang untuk di eksploitasi. melandasi penyusunan kerangka sistem hukum nasional yang dijiwai Pancasila dan bersumber 2) Disharmoni Arah Kebijakan pada UUD 1945. Dalam perspektif demikian, harmonisasi hukum dimaksud koheren dengan Pemerintah Anekdot ganti pemerintahan ganti kebijakan sebetulnya bukan masalah sebab eranya memang terjadi seperti itu, yang kemudian muncul kepermukaan adalah apabila negara ini dijalankan dengan melanggar konstitusi dimana prinsipprinsip negara hukum, dan inkonsistensi dalam menjalankan peraturan perundang-undangan membuat persoalan SDA semakin terpuruk. Alam kehidupan bermasyarakat dan bernegara mengenai aturan-aturan atau norma-norma tertentu yang sejiwa dengan asas dan nilai yang menjadi sumber norma-norma tersebut. Normanorma atau aturan-aturan tersebut berkembang menjadi sistem hukum, meliputi hukum yang tertulis dan hukum yang tidak tertulis. Sistem hukum nasional menganut asas nilai-nilai yang bersumber pada pandangan hidup Bangsa Indonesia dan merasakannya sebagai sistem hukum yang selaras dan serasi dengan perasaan keadilan (sense of justice) dan cita hukum (rechtsidee), sasaran program pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu “terciptanya harmonisasi peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan”. Peraturan sumber daya alam khsusunya pada bidang pertanahan saat ini masih ditemukan disharmoni dalam kebijakannya, yaitu: 1. Perbedaan antara berbagai undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang terkait; 2. Perbedaan antara peraturan perundangundangan dengan kebijakan instansi pemerintah (petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis dan lain lain); 3. Perbedaan antara peraturan perundangundangan dengan yurisprudensi; 4. Perbedaan kebijakan instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah; 5. Benturan antara wewenang instansi-instansi pemerintah karena pembagian wewenang yang tidak sistematis dan jelas. 128 Bhumi Vol. 1, No. 2, November 2015 Merujuk uraian di atas, maka harmonisasi lahan mereka dan akibatnya menimbulkan Kebijakan Pengelolaan SDA perlu dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih wewenang dan konflik agraria yang juga semakin masif. Untuk itu alangkah baiknya agar tidak terjadi benturan perbedaan mekanisme penyelesaian. Sebagai gambaran belum jelasnya pengelolaan sumber di lapangan karena secara f isik terdapat perbedaan penggunaan dan pemanfaatan lahan perlu daya alam adalah data yang diperoleh dari Kementerian Kehutanan menunjuk luas kawasan dilakukan sinkronisasi dan penetapan batasan secara jelas. Penetapan ulang batas dan kewajiban hutan adalah 136,94 juta hektar atau 69 persen wilayah Indonesia. Sementara proses lanjutan menjaga “kepemilikan” lahan hutan dengan lahan penduduk akan mampu mengurai serta mengu- setelah penunjukan (Penetapan Tata Guna Hutan Kesepakatan atau TGHK) tidak pernah dijalankan rangi potensi konflik sumber daya alam. Menurut data BPN hingga bulan September secara serius oleh pemerintah dan sampai kini 121, 74 juta (88%) hektar kawasan hutan belum ditata 2013 kasus pertanahan telah mencapai 4.223 kasus, sementara laporan akhir tahun Konsorsium batas. Dengan demikian, dapat diambil benang merahnya bahwa kawasan hutan yang ada selama Pembaruan Agraria (KPA) pada tahun 2011 mencatat 163 konflik yang menyebar seluruh In- ini dan dipakai oleh pemerintah untuk mengusir rakyat adalah ilegal dan tidak sesuai dengan donesia. Terjadi peningkatan drastis jika dibandingkan dengan tahun 2010 (106 konflik). ketentuan yang berlaku. Jika dicermati lebih lanjut ada masalah besar di sana, sebab di dalam kawasan Dari sisi korban, terdapat 22 petani/warga yang meninggal di wilayah-wilayah sengketa dan hutan yang ditunjuk secara sepihak, terdapat sekitar 19.000 desa yang penduduknya setiap hari konflik agraria. Konflik yang terjadi melibatkan lebih dari 69.975 kepala keluarga, sementara luas rawan mengalami kriminalisasi, penggusuran dan pengusiran paksa dengan dalih kawasan hutan. area konflik mencapai 472.948,44 hektar. Dari 163 kasus yang terjadi, terdapat 97 kasus pada sektor Luas Hutan Tanaman Industri (HTI) hingga kini mencapai 9,39 juta hektar dan dikelola oleh perkebunan, 36 kaus di sektor kehutanan, dan 1 kasus pada wilayah tambak/pesisir. 262 unit perusahaan dengan izin hingga 100 tahun. Bandingkan dengan izin Hutan Tanaman Banyak peraturan BPN tidak dapat berlaku di kawasan hutan dan beberapa kementerian lain. Rakyat (HTR) yang sampai sekarang hanya seluas 631.628 hektar. Sementara, luas Hak Pengusahaan Beberapa faktor menyebabkan peraturan pertanahan tidak bisa mengatur tanah secara op- Hutan (HPH) di Indonesia 214,9 juta hektar dari 303 perusahaan HPH. Implikasinya yang dapat timal dimana seyogyanya jika soal tanah seluruh peraturan hukum yang berlaku mengacu pada ditimbulkan lebih jauh adalah berupa meluasnya konflik yang terjadi di kawasan hutan. Sementara UUPA bukan mengesampingkannya sehingga kepentingan masyarakat kurang diperhatikan.1 itu, orientasi ekonomi untuk memenuhi tuntutan pasar global pada komuditas tertentu (dulu kopi, gula, lalu belakangan karet, dan terahir sawit) perkebunan menyebabkan pola ekstraksi intensif perkebunan ini terus dilanggengkan. Bahkan belakangan semakin masif sejak beberapa dekade terahir ketika komoditas sawit menjadi primadona global. Ekstraksi intensif perkebunan ini menyebabkan penyingkiran rakyat pada akses 1 Terbitnya UU Nomor32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan daerah semakin besar ketentuan undang-undang tersebut di atas, antara pemerintah pusat dan daerah mempunyai kewenangan masing-masing. Khusus untuk wilayah hutan, jika akan dilakukan “kegiatan” diharuskan memperoleh ijin pinjam pakai dari Menteri Kehutanan. Kalimantan Tengah provinsi yang sebagian besar wilayahnya adalah hutan, kementerian kehutanan menetapkan provinsi ini masuk dalam kawasan kehutanan. Perbedaan dalam penentuan suatu kawasan hutan, antara Pemerintah Pusat menentukan Kalimantan Tengah masuk Kawasan Tata Guna Arditya Wicaksono & Romi Nugroho: Harmonisasi Hukum ...: 123-134 129 Sebagai contoh disharmoni hukum yang terjadi alam yang terkandung di dalamnya. Komposisi/ di Provinsi Kalimantan Tengah dimana BPN masih mengakui adanya alas hak yang dimiliki struktur UUPA memuat 67 Pasal: 58 Pasal + 9 Pasal ketentuan konversi terdiri dari: masyarakat sebelum berlakunya UUPA dan tanah ulayat, sementara itu Kementerian Kehutanan a. Pasal-Pasal yang memuat dasar dan ketentuan pokok: 10 Pasal. membuat TGHK dan Pemerintah Provinsi membuat peraturan daerah tentang tata ruang b. Pasal-Pasal yang mengatur tentang tanah: 53 Pasal. yang membuat BPN tidak bisa melakukan layanan kepada masyarakat dan kondisi ini c. Pasal-Pasal yang mengatur di luar a dan b: 4 Pasal berdampak pada tidak berlakunya hukum tanah nasional di Provinsi Kalimantan Tengah. Degradasi UUPA karena disejajarkan dengan UU Sektoral. Penerbitan berbagai peraturan Ruang lingkup pengaturan UUPA sejatinya meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan perundang-undangan sektoral didorong oleh semangat pragmatis, yakni untuk mengako- Hutan Kesepakatan (TGHK) sesuai Keputusan Menteri Pertanian Nomor 759/KPTS/UM/10/1982, Pemerintah Provinsi Kalteng membuat Perda Nomor 8 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 1992 jo UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menetapkan tidak semuawilayahProvinsiKalimantanTengahmerupakankawasan hutan, tetapi ada yang peruntukan sebagai KPPL dan APL. Tumpang tindih penentuan suatu kawasan hutan dalam suatu wilayah khususnya di Kalimantan Tengah. Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) pada saat ini tidak bisa dijadikan acuan kepastian hukum untuk penentuan suatu kawasan hutan, karena TGHK tidak mempunyai payung hukum. RTRWP Kalimantan Tengah dengan Perda Nomor 8 Tahun 2003 tentang RTRWP pembentukannya didasarkan pada UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang. Ketetapan Pasal 14 ayat 2 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa pengukuhan kawasan hutan harus memperhatikan rencana tata ruang wilayah melalui proses, diantaranya penunjukkan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan. Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo. Pasal 18 ayat (2) PP Nomor44 Tahun 2004 dijelaskan bahwa pengukuhan hutan yang diawali dengan penunjukan kawasan hutan untuk wilayah provinsi yang dilakukan oleh Menteri dengan memperhatikan RTRWP dan/atau pemaduserasian antara TGHK dengan RTRWP. Sesuai dengan penjelasan Pasal 18 ayat (2) PP Nomor 44 Tahun 2004 dijelaskan bahwa untuk penunjukan kawasan hutan provinsi yang dilakukan sebelum ditetapkan RTRWP tetap mengacu pada penunjukan kawasan hutan provinsi sebelumnya. Jelas bahwa Perda Nomor 8 Tahun 2003 dapat dijadikan acuan penentuan kawasan hutan. Tumpang tindih dan ketidakharmonisan peraturan perundang-undangan kawasan hutan mempersulit masyarakat mengurus kepemilikan tanah. modasi investasi dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi “pembangunanisme”. Lebih jauh falsafah, tujuan dan prinsip-prinsip dari UUPA tidak diakomodasi dalam UU Sektoral. Pada saat penerbitan UUPA, masalah berkenaan dengan sumberdaya agraria selain tanah belum merupakan hal yang strategis, sehingga masalah berkenaan dengan penanaman modal dan konflik penguasaan serta pemanfaatan sumberdaya agraria belum diantisipasi (Sumardjono 2011, 1-13). Berikut penjabaran tentang disharmoni atau inkonsistensi Antar UU Sektoral. Tabel 1. Gambaran Disharmoni Antar UU Sektoral Orientasi Eksploitasi atau konservasi Kebepihakan Pro-rakyat atau pro-kapital Pengelolaan dan implementasinya Sentralistik/desentralistik, sikap terhadap pluralisme hukum. Implementasinya: sektoral, koordinasi, orientasi produksi Gender, pengakuan Masyarakat Hukum Adat [MHA], penyelesaian sengketa Partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) Pengaturan good governance Hubungan orang dengan sumber daya alam Hak atau izin Hubungan Negara dengan sumber daya alam Hak Menguasau Negara, Hak Bangsa Sumber: Maria SW. Sumardjono, Semiloka “Menuju Kawasan Hutan yang Berkepastian Hukum dan Berkeadilan”, 2012. 130 Bhumi Vol. 1, No. 2, November 2015 Undang-Undang sektoral yang diterbitkan tersebut akan menjadi modal penting bagi pada awal tahun 1970-an cenderung tidak konsisten, bahkan saling bertentangan menyangkut kelanjutannya. Adanya kesepahaman yang tertuang dalam satu dokumen yang menjadi isu/substansi tertentu. Maria S.W Sumardjono (2012) juga menjelaskan bahwa dampak ketidak- pegangan seluruh lembaga terkait dalam merumuskan peraturan akan memudahkan konsistenan peraturan sumber daya alam yang bersifat sektoral adalah: 1. Kelangkaan dan ke- mencapai tujuan khususnya dalam pengelolaan sumber daya alam. Pada tingkatan munduran kualitas dan kuantitas SDA; 2. Ketimpangan struktur penguasaan/pemilikan, perun- yang lebih tinggi dapat pula dibentuk lembaga yang mengkoordinir seluruh lembaga terkait tukan, penggunaan, dan pemanfaatan SDA; 3. Timbulnya berbagai konflik dan sengketa dalam agar memiliki kemudahan dan meminimalkan terjadinya “konflik” kewenangan. penguasaan/pemilikan, dan pemanfaatan SDA (antar sektor, antara sektor dengan Masyarakat 2. Pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam Hukum Adat, antara investor dengan Masyarakat Hukum Adat, antar investor terkait hak/izin Pembaruan yang dimaksud merupakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, pemanfaatan SDA). penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka 3) Alternatif Solusi Ketidakharmonisan Pengelolaan Hukum Pengelolaan tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran Sumber Daya Alam Atas ketidakhamonisan pengelolaan sumber daya alam dan dalam pelaksanaannya sering menimbulkan benturan antar lembaga, maka diperlukan solusi untuk mengurai sehingga menjadi satu kesatuan yang selaras. Alternatif solusi atas kondisi yang dialami tersebut, antara lain berupa: 1. Kesepahaman dalam peraturan pengelolaan sumber daya alam Dalam penyusunan rancangan undangundang sudah barang tentu diperlukan kajian yang mendalam tanpa mendiskreditkan dan mengurangi f ilosof i tujuan yang sudah menjadi bagian luhur untuk kemakmuran masyarakat, bangsa dan negara. Hal-hal yang bersifat sektoral dan menganggap suatu kewenangan (bidang) dari lembaga tertentu adalah yang paling benar sebaiknya ditinggal kemudian digantikan dengan semangat membangun satu kesatuan agar tidak saling tumpang tindih. Meskipun untuk memulainya cukup berat, namun dengan semangat bagi seluruh rakyat Indonesia, sedangkan pengelolaan sumber daya alam adalah segala yang terkandung di daratan, laut dan angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan (TAP. MPR No. X/ MPR/2001). Kedual hal tersebut sebenarnya memiliki landasan filosf is yang sama, artinya didasarkan atas pedoman dan tujuan dalam mengelola sumber daya. Agraria (UUPA) yang memilki makna lebih luas, mampu menjadi sumber rujukan dan patokan untuk penerbitan peraturan turunan yang tidak saling berbenturan bukan justru sebaliknya. Hal ini sejalan dalam TAP MPR tersebut yang mengamanatkan pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Disamping itu juga dengan mencabut, mengubah dan/atau mengganti seluruh undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan. 3. Kodif ikasi dan unifikasi Perlunya kodif ikasi serta unif ikasi hasil harmonisasi atas peraturan-peraturan agraria Arditya Wicaksono & Romi Nugroho: Harmonisasi Hukum ...: 123-134 dan sumber daya alam yang sudah ada maupun hasil penggantian peraturan yang tumpang tindih. Apabila hasil unifikasi sudah terkunci maka akan memudahkan dan menselaraskan kegiatan dari masing-masing lembaga. Jikapun dalam perjalanannya kedepan terdapat dinamika yang mengakibatkan perubahan, seyogyanya mengacu pada hasil unif ikasi tersebut. 4) Belajar Pengelolaan di Negara Lain a) Pengelolaan di Republik Rakyat Cina China mereformasi hukum-hukum agraria khususnya tanah tergabung dalam sumber daya alam dengan memberikan perubahan substantif pelajaran yang mungkin berguna bagi negara lain untuk mencoba menanggapi melalui cara yang konstruktif terhadap tantangan yang ditimbulkan oleh perubahan kondisi ekonomi dan sosial serta kelangkaan tanah. Pendekatan yang dipilih oleh China didasarkan pada pola bertahap dan agak pragmatis dalam pendekatannya, bersama dengan pelaksanaan desentralisasi di tingkat lokal. Penekanan pada eksperimentasi dan percontohan yang kemudian dapat dimodifikasi dan ditingkatkan atau dibuang tergantung pada hasil yang dicapai. Pemberian tanggung jawab kepada pemerintah daerah dengan cara ini telah memberikan gambaran tidak hanya menggunakan f leksibilitas yang diperlukan untuk mengatasi kebutuhan spesifik lokasi tetapi juga memberikan dasar untuk bergerak maju dengan penerapan yang jauh lebih cepat daripada mencoba mengembangkan sebuah “ideal” hukum yang tidak sinkron dengan realitas tanah. China pernah mencoba untuk mendesentralisasikan administrasi tanah tanpa mekanisme yang memadai akuntabilitas dan kontrol dapat meningkatkan daya diskresioner elit lokal, bukan penguatan hak atas tanah. To be responsible for the planning, administration, protection and rational utilization of such natural resources 131 as land , mineral and marine resources in the People’s Republic of China. Major functions and responsibilities assigned to the Ministry of Land and Resources. To compile and implement the national comprehensive planning for land and re-sources, overall plan for land use and other specific plans; to participate in the examination and verification of urban overall plans submitted to the State Council to organize the survey and evaluation of mineral and marine resources (Ministry of Land and Resources PRC, 2007); Bukti dari China, seperti dalam kasus pembatasan secara bertahap kekuatan-kekuatan pemerintah lokal untuk sewenang-wenang mengambil tanah, menggambarkan bahwa desentralisasi tidak sama dengan tidak adanya aturan pusat yang dikenakan, bahkan itu merupakan sebaliknya. Bukti menunjukkan bahwa memiliki aturan yang jelas, tegas dan menegakkannya sangat diperlukan (Ministry of Land and Resources PRC, 2007). b) Pengelolaan Tanah di Amerika Serikat Kewenangan agraria khsusnya pertanahan di Amerika Serikat berada pada sebuah lembaga bernama The Bureau of Land Management (BLM). Lembaga ini merupakan bagian dari Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat yang mengelola tanah publik Amerika, dengan total nilai sekitar 253 juta hektar (1.020.000 km2), atau seperdelapan dari luas daratan Amerika Serikat. BLM juga mengelola 700 juta hektar (2.800.000 km2) mineral bawah permukaan yang mendasari pemerintah federal, negara bagian, dan tanah pribadi. Sebagian besar tanah publik yang terletak di bagian barat negara bagian, termasuk Alaska dengan sekitar 10.000 karyawan tetap dan hampir 2.000 karyawan musiman, ini berhasil menjadi lebih dari 21.000 hektar (85 km2) per karyawan. Anggaran badan tersebut adalah US $ 960.000.000 untuk tahun 2010 ($ 3,79 per hektar permukaan, $ 9,38 per hektar). Misi BLM adalah untuk mempertahankan kualitas, keragaman dan produktivitas tanah 132 Bhumi Vol. 1, No. 2, November 2015 publik sehingga dapat digunakan dan dinikmati minyak di Tanah Federal ( Bereu Of Land Man- generasi sekarang dan yang akan datang.BLM menjalankan aturan perundangan pertanahan agement US Department of The Interior 2015). Amerika Serikat yang termaktub dalam The Federal Land Policy and Management (FLPMA), yang c) Pengelolaan Pertanahan di Malaysia merupakan hukum federal mengatur cara dimana tanah publik yang dikelola oleh BLM. Hukum tersebut disahkan pada tahun 1976. Kongres mengakui adanya nilai dari tanah publik dan menyatakan bahwa tanah ini akan tetap dalam kepemilikan umum. National Forest Service, National Park Service, BLM, yang kemudian membatasi penggunaan. FLPMA membahas topik seperti perencanaan penggunaan lahan, pembebasan lahan, biaya dan pembayaran, administrasi tanah federal, manajemen keterjangkauan, dan hak pakai di atas tanah federal. FLPMA memiliki tujuan tertentu dan jangka waktu dimana untuk mencapai tujuan tersebut dengan memberikan kewenangan yang lebih dan menghilangkan ketidakpastian seputar peran BLM dalam penunjukan lokasi lahan dan manajemen. FLPMA yang berkaitan khusus dengan hutan berada di bawah manajemen yang telah ditunjuk. Di sini, BLM juga diberikan kekuasaan untuk menunjuk hutan dan diberikan 15 tahun untuk melakukannya. BLM bekerja dengan melakukan studi, mengelompokkan daerah sebagai daerah hutan studi”. Daerah ini bukan area hutan resmi tetapi maksud dan tujuan diperlakukan seperti itu agar sampai adopsi formal sebagai hutan oleh Kongres. Sekitar 8,8 juta hektar lahan BLM saat ini termasuk dalam Sistem Pelestarian Hutan Nasional sebagai hasil dari review lahan yang diamanatkan oleh FLPMA. Mereka yang diperintahkan untuk melaksanakan kebijakan dari FLPMA adalah karyawan pemerintah yang terlatih menggunakan pedoman secara tegas dalam setiap tindakannya. Selanjutnya yang digunakan FLPMA untuk mengatasi masalah-masalah pertanahan sebagai kebutuhan orang-orang Amerika Serikat, telah diperluas mencakup sumber daya alam seperti Ditinjau dari sisi administrasi keagrariaan khususnya tanah di Negara Malaysia dapat dibedakan kedalam dua sistem kewilayahan yang membedakannya, yaitu adminitrasi tanah wilayah barat (Semenanjung Malaysia) dan dan administrasi tanah wilayah timur (Sabah dan Sarawak). Wilayah barat pengaturan pertanahan dikenal dengan Kanun Tanah Negara (KTN) yang merupakan undang-undang tertinggi di wilayah tersebut. Undang-Undang KTN dikenal juga dengan UU No. 56 Tahun 1965 yang dalam perjalanannya sudah mengalami amandemen untuk penyempurnaan. Di bagian timur (Sabah dan Sarawak) aturan pertanahan menggunakan dua pedoman yang berbeda, khusus untuk wilayah Sabah menggunakan Land Ordinance 1962 dan wilayah Sarawak menggunakan Land Code 1958. Penataan dan pengaturan dalam administrasi pertanahan di Negara Malaysia cukup kompleks karena tidak dalam satu kelembagaan khusus tetapi terdapat pada tiga kementerian, antara lain Kementerian Sumber Daya Alam dan Lingkungan (Ministry of Natural Resources and Environment), Kementrian Perumahan dan Pemerintahan Daerah (Ministry of Housing and Local Government), dan Kementrian Keuangan (Ministry of Finance). Ketiga kementerian tersebut secara tegas dan spesif ik memiliki tugas terkait administrasi pertanahan yang cukup detail serta tidak saling tumpang tindih sehingga pelaksanaan pengadministrasian tanah dapat tertata. Sebagai contoh kewenangan terkait kepemilikan tanah (Land Ownership) dipegang oleh Kementerian Sumber Daya Alam dan Lingkungan, kewenangan dalam penggunaan tanah (Land Use) dipegang oleh Kementrian Perumahan dan Pemerintahan Daerah dan kewenangan dalam hal nilai tanah (Land Value) Arditya Wicaksono & Romi Nugroho: Harmonisasi Hukum ...: 123-134 133 dipegang oleh Kementrian Keuangan. Berikut Berdasarkan acuan pengelolaan tanah di tabel kewenangan administrasi pertanahan oleh tiga kementerian di Malaysia: negara maju dan berkembang pesat sebagaimana uraian di atas dapat diambil sebuah benang merah Tabel 2. Kewenangan Tugas Administrasi Pertanahan di Malaysia Malaysia Government Ministry of Natural Resources and Environment Department of Director General of Land and Mines (JKPTG) State and District Land and Mines Office (PTG Several activities: on land registration, land disposal, consent, land revenue, land enforcement, land alienation, land development and land acquisition. Involve on several legalisation such as National Land Code (Act 56 of 1965), State Land Rules, Strata Titles Act 1985 ( Act318), Federal Land Commissioner Act 1957 (Act 349) and Land Acquisition (Compensation) Ministry of Housing and Local Government Department of Federal Town and Country Planning (JPBD) activities: Involve on strengthen the physical, social, and economic development system in urban and rural areas especially to upgrade the standard Organise, regulate and coordinate land development, usage and conservation . implement planning methodologies, policies, plans and guidelines . Involve on several legalisation such as Town and Country Planning Act 1976 (Act 172), Ministry of Finance Department of Valuation and Property Services Several activities: Provide accurate, comprehensive and timely information regarding the demand and supply of property for government agencies, property developers and all parties involved in the property industry. Provide comprehensive, quality and up -to-date property data especially property demand and supply data from various parties. Produce timely and relevant products to meet the requirements of the property industry. Portray the actual situation pertaining to the demand and supply of property. Develop and maintain a national property stock warehouse. Advice the government on property development. Sumber: Halim Hamzah et al.,Spatial Data Infrastructure for Malaysia Land Administration, 2010 pengelolaan tanah sebaiknya: 1. Kelembagaan yang ada hendaknya universal tidak parsial sektoral sebab urgensi dari sebidang tanah dapat melahirkan kekayaan negara misalkan hutan, tambang, pengelolaan ruang; 2. Di negara maju pengelolaan tanah dilakukan oleh lembaga yang memiliki kekuatan hukum dalam sebuah undang-undang yang meletakkan semua sumber daya alam dan potensinya menjadi sebuah satu kesatuan yang holistik; 3. Penguatan peraturan kewenangan lembaga pertanahan dengan menegaskan tugas dan fungsinya sehingga tidak saling berbenturan maupun tumpang tindih terhadap lembaga lain yang dapat mengakibatkan lemahnya fungsi lembaga tersebut. D. Kesimpulan Untuk mengelola sumber daya alam di Indonesia yang peraturannya mengalami jungle of law pemerintah dapat mengambil langkah sebagai berikut: 1. Pemerintah beserta pemerhati sumber daya alam mengkaji kembali undang-undang sektoral yang berbenturan dan tidak sesuai dengan falsafah NKRI didahului dengan mengkaji konflik norma yang ada; 2. Diperlukan kesepahaman dalam peraturan pengelolaan sumber daya alam, pembaruan agraria serta kodif ikasi dan unif ikasi segala peraturan yang bertautan; 3. Perlu pengkajian kembali struktur kelembagaan pengelola SDA jika perlu unif ikasi hendaknya kita belajar ke negara lain dalam mengelola bukan lagi sektoral tetapi sudah dalam lembaga yang terintegrasi. 4. Pengelolaan pertanahan memiliki kekuatan yang mampu menempatkan pada satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan esensi sumber daya alam itu sendiri. 134 Bhumi Vol. 1, No. 2, November 2015 Daftar Pustaka Soerodjo, I 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya Joyowinoto 2010, Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat, forum Dewan Guru Besar Universitas Indonesia, Jakarta. Koeswahyono, Imam, M dan Soimin 2007, Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah, Ref ika Aditama. Sumardjono MSW 2008, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Buku Kompas, Jakarta. Murad, R 1991, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Alumni, Bandung Rahardjo, S 1980, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, Soekanto, S 1993, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Penerbit RajaGraf indo Persada, Jakarta. Mulyanto, B 2010, Pengembangan Ilmu Tanah Untuk Mewujudkan Tanah Untuk Keadilan Dan Kesejahteraan Rakyat’ Orasi Guru Besar IPB Sumardjono, MSW, Penyempurnaan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, presentasi untuk RDPU dengan KOMISI II DPR RI Jakarta, 12 Oktober 2011, hal 1-13 Sumardjono, MSW, Menuju Kawasan Hutan yang Berkepastian Hukum dan Berkeadilan, presentasi Semiloka Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta 13 Desember 2012. Faiz PM, Penafsiran Konsep Penguasaan Negara Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 dan Putusan MK, dilihat pada 22 September 2012, http:// www.jurnalhukum.blogspot.com. Badan Pertanahan Nasional, Rencana Strategis Badan Pertanahan Nasional 2010-2014 Siregar, Papande, H, dan Putri, HI 2010, Comparative Public Administration (Administrasi Keagrariaan (Pertanahan) Antara Negara Indonesia dan Negara Malaysia), Universitas Indonesia, Jakarta. US Department of The Interior Bureu of Land Management, dilihat pada 12 Oktober 2012, http://www.blm.gov/wo/st/en.html Ministry of Land and Resources of People’s Republic of China, Land Administration Law of the People’s Republic of China, dilihat pada 12 Oktober 2012, http://www.mlr.gov.cn/ mlrenglish/laws/200710/ t20071011_656321.htm