fenomena bintang tampak berkedip dan kaitannya

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Atmosfer Bumi
Atmosfer berasal dari bahasa Yunani yaitu atmos (uap) dan sphaira (bola/bumi). Jadi
atmosfer menurut bahasanya dapat diartikan selubung berwujud gas yang mengelilingi
bumi. Atmosfer terdiri atas sejumlah lapisan. Penamaanya didasarkan pada perbedaan
karakteristik masing-masing lapisan. Atmosfer memiliki banyak manfaat yaitu
diantaranya;
1. Oksigen dan nitrogennya yang sangat penting untuk kelangsungan kehidupan
di bumi.
2. Melindungi manusia dan makhluk hidup lainnya dari bahaya sinar ultraviolet
dan sinar gamma yang dipancarkan matahari dan bintang.
3. Menjaga kesinambungan siklus air di permukaan bumi
4. Untuk proses pelapukan bebatuan.
5. Memberikan kontribusi terhadap perubahan bentuk permukaan bumi, dan
6. Memungkinkan untuk terjadinya komunikasi radio jarak jauh.
(Konrad, Beiser , 1960).
Bagi para astronom yang berada di Bumi ( astronom terrestrial), keberadaan
atmosfer bumi memberikan gangguan yang cukup berarti. Untuk dapat mengamati
benda langit secara keseluruhan maka akan terdapat kesalahan yang ditimbulkan dari
fungsi atmosfer sebagai filter yang hanya melewatkan spektrum gelombang
elektromagnetik pada daerah jangkauan panjang gelombang tertentu, sehingga
diciptakan roket astronomi untuk dapat mengamati benda langit di luar pengaruh
atmosfer bumi.
Universitas Sumatera Utara
Atmosfer bumi menimbulkan efek langit biru yang menyebabkan bintang tidak
tampak pada siang hari. Cahaya matahari yang dipancarkan ke segala arah, hanya
sebagian kecil yang sampai ke bumi. Sebagian besarnya diserap, dipantulkan dan
dihamburkan oleh gas dan debu yang berukuran sangat kecil (mikroskopik). Partikel
debu memiliki kemampuan yang lebih baik
daripada molekul gas dalam
memantulkan dan menghamburkan cahaya. (Stuard J. Inglish, 1963)
2.1.1 Pembagian Lapisan Atmosfer Bumi.
Dengan memakai suhu sebagai dasar pembagian atmosfer, maka atmosfer terdiri dari
lapisan troposfer, stratosfer, mesosfer dan thermosfer. Gambar 2.1 menunjukkan
pembagian wilayah lapisan atmosfer bumi.
Gambar 2.1 Pembagian lapisan atmosfer berdasarkan suhu.
1. Lapisan Troposfer
Gejala cuaca (awan, petir, topan, badai dan hujan) terjadi di lapisan
troposfer. Pada lapisan ini terdapat penurunan suhu yang terjadi karena pada
lapisan troposfer penyerapan radiasi gelombang pendek dari matahari sangat
sedikit. Pertukaran panas banyak terjadi pada troposfer bawah. Permukaan
tanah akan mendistribusikan panas yang diterimanya ke lapisan atmosfer di
atasnya melalui konduksi, konveksi, kondensasi dan sublimasi, sehingga suhu
Universitas Sumatera Utara
pada lapisan troposfer semakin turun dengan pertambahan ketinggian yaitu
sekitar 0,5oC sampai 1o C untuk setiap kenaikan ketinggian 100 meter.
Tropopause adalah lapisan udara yang berada diantara troposfer dan
stratosfer. Ketinggian tropopause berbeda antara di kutub dengan di
khatulistiwa. Di kutub, lapisan tropopause berada pada ketinggian 6 km
dengan suhu -40oC, sedangkan di khatulistiwa lapisan tropopause berada pada
ketinggian 18 km dengan suhu -80oC. Hal ini menunjukkan bahwa lapisan
atmosfer di khatulistiwa lebih tebal daripada di kutub.
2. Lapisan Stratosfer
Lapisan atmosfer diatas tropopause merupakan lapisan inversi yaitu
lapisan yang suhunya semakin tinggi seiring pertambahan ketinggiannya
(kebalikan dari lapisan traposfer). Lapisan Stratosfer disebut juga lapisan
isotermis.
Kenaikan suhu yang terjadi pada lapisan stratosfer disebabkan
keberadaan ozon pada lapisan ini yang memiliki kemampuan menyerap radiasi
ultraviolet dari matahari. Bagian atas stratosfer dibatasi oleh lapisan
stratopause yang berada pada ketinggian 60 km dengan suhu 0oC.
3. Lapisan Mesosfer
Lapisan mesosfer ditandai dengan penurunan suhu 0,4oC setiap
kenaikan ketinggian sebesar 100 meter, lapisan ini mempunyai keseimbangan
radiasi yang negatif. Lapisan ini terletak pada ketinggian antara 60-85 km dari
permukaan bumi. Lapisan ini melindungi bumi dari meteor atau benda langit
lainnya yang menuju bumi. Temperatur terendahnya berada pada lapisan
mesopause yaitu sekitar -100oC.
4. Lapisan Termosfer (Ionosfer)
Lapisan ini terletak pada ketinggian 85 dan 300 km yang ditandai
dengan kenaikan suhu dari kenaikan suhu dari -100o C sampai ratusan bahkan
Universitas Sumatera Utara
ribuan derajat. Lapisan yang paling tinggi dalam termosfer adalah termopause.
Termperatur pada lapisan termopause konstan terhadap ketinggian, tetapi
berubah terhadap waktu seperti tampak pada gambar 2.2 berikut.
Gambar 2.2 Lapisan Termosfer.
Pada lapisan ini terjadi ionisasi partikel udara akibat penyerapan radiasi
sinar gamma dan sinar ultra violet, sehingga memungkinkan terjadinya
pemantulan/ perambatan gelombang radio yang sangat bermanfaat dalam
komunikasi jarak jauh.
5. Lapisan Eksosfer.
Lapisan ini merupakan
lapisan terluar dari atmosfer bumi dan
merupakan lapisan paling panas sehingga terjadi gerakan partikel udara secara
tidak beraturan. Lapisan ini tersusun dari gas hidrogen dan tekanan udaranya
mendekati 0 cmHg (daerah vakum).
Mempelajari pembagian dari lapisan atmosfer dan karakteristik dari setiap
lapisan diperlukan untuk mengetahui pengaruh keberadaan atmosfer terhadap
perambatan cahaya yang bersumber dari matahari dan bintang.(Muhammadiyah,M.,
2010)
.
Universitas Sumatera Utara
2.1.2 Komposisi Atmosfer
Komposisi udara bersih sangat bervariasi untuk setiap daerah di permukaan bumi
Rata-rata persentase (per volume) gas dalam udara bersih dan kering yaitu nitrogen
sebanyak 78%, oksigen sebanyak 20,8%, argon sebanyak 0,9% dan gas lainnya
sebanyak 0,3%.
Komposisi gas lainnya yang sebanyak 0,3% ini terdiri dari gas permanen dan gas
yang tidak permanen. Gas permanen adalah gas yang selalu ditemukan pada setiap
kondisi dan ketinggian sedangkan gas yang tidak permanen keberadaannya sangat
dipengaruhi oleh kondisi dan ketinggian. Adapun gas yang keberadaannya tetap (gas
permanen) yaitu helium, neon, krypton, xenon, hydrogen, dan metana. Gas yang tidak
permanen misalnya karbondioksida, ozon, amoniak, uap air, karbonmonoksida,
sulfurdioksida. Daerah gurun (udara kering) mengandung kadar uap air yang lebih
kecil dari daerah tropis. Daerah hutan tropis (udara basah ) kandungan uap airnya
adalah sebesar 0,018 %. (Muhammadiyah, M, 2010)
Tabel 2.1 menunjukkan komposisi gas di atmosfer pada ketinggian permukaan
laut (ketinggian 0 km).
Gas
Persentase
Nitrogen
78.08
Oksigen
20,95
Argon
0,93
Karbon dioksida
0,03
Neon
0,0018
Helium
0,00052
Metana
0,00015
Krypton
0,00011
Hidrogen, karbon monoksida, xenon, <0,0001
ozon, radon
Tabel 2.1 Komposisi gas atmosfer pada ketinggian 0 km di atas permukaan laut.
Universitas Sumatera Utara
Gaya gravitasi bumi menahan agar molekul udara di lapisan atmosfer tidak
terlepas ke angkasa luar. Untuk dapat melepaskan diri dari pengaruh atmosfer bumi,
molekul udara tersebut harus bergerak berlawanan dengan arah gaya gravitasi bumi
dengan kecepatan yang cukup besar. Kecepatan molekul udara untuk dapat lolos dari
pengaruh gravitasi bumi adalah sebesar 1,169 x 104 meter/detik sedangkan bulan
hanya sebesar 0,25 x 104 meter /detik. (Konrad, Beiser, 1960)
2.1.3 Perambatan Cahaya Melalui Atmosfer Bumi
Sebelum sampai ke permukaan bumi, cahaya yang berasal dari matahari atau bintang
akan melewati atmosfer bumi. Molekul udara yang terdapat di lapisan atmosfer bumi
akan menyerap sebagian cahaya tersebut, memantulkannya kembali ke luar angkasa
dan selebihnya akan diteruskan. Penyerapan dan pemantulan cahaya yang terjadi di
lapisan atmosfer menyebabkan intensitas cahaya yang diterima pengamat di
permukaan bumi berkurang sehingga bintang tampak lebih redup. Gambar 2.3 berikut
ini memperlihatkan perambatan cahaya bintang melalui lapisan atmosfer bumi.
Zenit
Atmosfer atas
A
X
B
S
ζ
dx
ζ
ds
Permukaan bumi
PP
Gambar 2.3 Perambatan cahaya bintang melalui atmosfer bumi
Misalkan P adalah posisi pengamat di bumi. Cahaya bintang menembus
atmosfer bumi sejauh s dan membentuk sudut sebesar ζ terhadap zenit. Besar
penyerapan cahaya yang berasal dari bintang per cm dapat dinyatakan dengan
Universitas Sumatera Utara
koefisien absorbsi σλ yang nilainya bergantung pada panjang gelombang cahaya yang
diserap . Maka pengurangan intensitas cahaya bintang yang terjadi akibat penyerapan
adalah sebesar,
dE λ = − E λ σ λ ds atau
dE λ
= −σ λ ds
Eλ
(2.1)
dengan :
dE λ adalah besar pengurangan fluks pancaran akibat penyerapan yang terjadi di
lapisan atmosfer bumi yang bergantung pada panjang gelombang cahaya yang
diserap dinyatakan dalam Watt /m2
Eλ
adalah Fluks pancaran yang diterima pengamat setelah terjadinya penyerapan
dinyatakan dalam Watt /m2.
ds
jarak yang ditempuh cahaya untuk sampai ke pengamat dinyatakan dalam meter
atau centimeter.
Tanda negatif berarti fluks berkurang dengan pertambahan jarak. Apabila
diintegrasikan persamaan (2.1) akan didapatkan:
Eλ
s
dEλ
∫E Eλ = −∫0 σ λ ds
oλ
(2.2)
s
Eλ
= − ∫ σ λ ds
E0λ
0
(2.3)
ln
 s

Eλ
= exp − ∫ σ λ ds ) 
E0λ
 0

(2.4)
 s

E λ = E 0 λ exp − ∫ σ λ ds 
 0

(2.5)
E 0 λ adalah fluks yang di amati di atas lapisan atmosfer. Bila didefinisikan tebal optis
( τ λ ) untuk jarak yang ditempuh cahaya sejauh s adalah :
s
τ λ = ∫ σ λ ds
0
(2.6)
Maka persamaan (2.5) dapat dituliskan menjadi,
Universitas Sumatera Utara
Eλ = E0λ exp(−τ λ ) atau Eλ = E0λ e −τ λ
(2.7)
Jika m0λ adalah magnitudo bintang yang diamati di atas atmosfer dan mλ adalah
magnitudo yang diamati di bumi, maka dari rumus Pogson yaitu,
m0 λ − mλ = −2,5 log
E0λ
Eλ
(2.8)
Dan dengan mensubstitusikan persamaan (2.7) ke persamaan (2.8) diperoleh,
m 0λ − m λ = −2,5log
E 0λ
= −2,5log(e τ λ ) = −2,5τ λ log(e) = −1,086τ λ (2.9)
−τλ
E 0λ e
Persamaan (2.9) di atas menunjukkan bahwa cahaya bintang pada waktu melewati
atmosfer bumi dilemahkan sebesar 1,0856 τ λ .
Selain itu karena rotasi bumi maka ζ yaitu besar sudut yang dibentuk bintang
terhadap zenit pengamat berubah terhadap waktu pengamatan, maka harga ekstingsi
atmosfer (pengurangan intensitas cahaya bintang karena diserap dan disebarkan oleh
atmosfer bumi) juga berubah terhadap waktu pengamatan. Sehingga harga ekstingsi
atmosfer dinyatakan sebagai fungsi waktu sebagai berikut,
Dari gambar 2.3 diperoleh,
ds = sec ζ dx
(2.10)
Oleh karena ζ berubah terhadap waktu bukan terhadap jarak maka bila persamaan
(2.10) disubstitusikan ke dalam persamaan (2.6) yaitu
s
s
s
0
0
0
τ λ = ∫ σ λ ds = ∫ σ λ sec ζdx = sec ζ ∫ σ λ dx
(2.11)
Maka pada saat sudut zenit ζ=0 , sec ζ = 1 persamaan (2.11) dapat dituliskan menjadi,
s
τ 0λ = ∫ σ λ dx
(2.12)
0
τ 0λ adalah tebal optis atmosfer bumi saat bintang berada di zenit pengamat. Sehingga
bila persamaan (2.12) disubstitusikan ke dalam persamaan (2.11) diperoleh,
τ λ = τ 0λ sec ζ
(2.13)
Selanjutnya bila persamaan (2.13) disubstitusikan ke dalam persamaan (2.9) diperoleh
besar perubahan magnitudo ( kecerahan relatif) bintang akibat penyerapan cahayanya
oleh lapisan atmosfer bumi sebesar,
Universitas Sumatera Utara
mλ − m0 λ = 1,086τ 0 λ sec ζ
(2.14)
Untuk menentukan harga τ0λ bintang harus dilakukan pengamatan paling
sedikit dalam dua posisi. Sebagai contoh, pada waktu pengamatan pertama (t1),
magnitudo sebuah bintang yang diamati adalah mλ1 dengan besar sudut zenit ζ1. Pada
waktu pengamatan kedua (t2), magnitudo yang diamati adalah mλ2 dan besar sudut
zenitnya ζ2. Jadi dari persamaan (2.14) diperoleh,
mλ1 = m0λ + 1,086 τ0λ sec ζ1
mλ2 = m0λ + 1,086 τ0λ sec ζ2
_
mλ1- mλ2 = 1,086 τ0λ (sec ζ1 - sec ζ2)
atau
τ 0λ =
mλ 1 − mλ 2
1,086(sec ζ 1 − sec ζ 2 )
(2.15)
melalui persamaan (2.15) kita dapat mengetahui besar pengurangan intensitas cahaya
yang diterima pengamat dan dapat ditentukan magnitudo bintang sebelum mengalami
penyerapan oleh atmosfer bumi.
2.2 Sifat Fisis Cahaya.
2.2.1 Pembagian Spektrum Gelombang Elektromagnetik.
Bintang yang mendapatkan energi melalui reaksi fusi nuklir berantai akan meradiasi
energinya tersebut dalam bentuk radiasi gelombang eletromagnetik dan radiasi
partikel. Radiasi partikel yang dipancarkan bintang disebut sebagai angin bintang
yang berwujud pancaran tetap partikel-partikel bermuatan listrik seperti proton bebas,
partikel alpha dan partikel beta serta pancaran tetap neutrino yang berasal dari inti
bintang.. Gelombang elektromagnetik yang dipancarkan benda langit tersebut terjadi
dalam berbagai variasi panjang gelombang. Cahaya yang kita amati hanya merupakan
bagian dari gelombang elektromagnet. (http://id.wikipedia.org/wiki/Bintang)
Pancaran gelombang elektromagnetik dapat dibagi dalam beberapa jenis
bergantung pada panjang gelombangnya ( λ ). Pembagiannya adalah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
1.Pancaran gelombang radio dengan λ antara beberapa milimeter sampai 20
meter.
o
2. Pancaran gelombang inframerah, dengan λ ≈ 7500 A sampai sekitar 1 mm.
o
3. Pancaran gelombang optik (cahaya tampak) dengan λ sekitar 3800 A sampai
o
7500 A . Panjang gelombang optik terbagi atas;
- warna merah
o
λ : 6300-7500 A
o
- warna merah-jingga λ : 6000-6300 A
o
- warna jingga
λ : 5900-6000 A
- warna kuning
λ : 5700-5900 A
o
o
- warna kuning hijau λ : 5500-5700 A
-warna hijau
o
λ : 5100-5500 A
o
-warna hijau biru λ : 4800- 5100 A
-warna biru
o
λ : 4500-4800 A
o
-warna biru ungu λ : 4200-4500 A
-warna ungu
o
λ : 3800-4200 A
o
4. Pancaran gelombang ultraviolet, sinar x dan sinar γ mempunyai λ < 3500 A
Bintang memancarkan semua jenis gelombang elektromagnetik, tetapi tidak
semua pancaran gelombang elektromagnetik tersebut sampai ke bumi. Atmosfer bumi
hanya meneruskan sebagian panjang gelombang itu, sedangkan sebagian lainnya
diserap oleh molekul gas yang terdapat di atmosfer. Gelombang elektromagnetik
yang tidak diteruskan (atau mengalami penyerapan di lapisan atmosfer bumi yaitu
gelombang mikro dan gelombang inframerah yang mengalami penyerapan oleh gas
CO2 dan H2O, gelombang ultraviolet yang diserap oleh gas O3 dan sinar x dan γ
yang
diserap oleh molekul lainnya yang terdapat di atmosfer. Sementara itu
gelombang elektromagnetik yang diteruskan (bisa menembus atmosfer bumi) yaitu
gelombang cahaya kasat mata (optik) dan gelombang radio.
Dengan
mengamati pancaran gelombang
elektromagnetik
kita dapat
mempelajari beberapa hal yaitu :
1. Arah
pancaran
akan
menunjukkan
letak
dan
gerak
benda
yang
memancarkannya.
2. Kuantitas pancaran akan menunjukkan kuat atau kecerahan pancaran dan,
3. Kualitas pancaran akan menunjukkan warna, spektrum dan polarisasinya.
(Chatief Kunjaya,2006)
Universitas Sumatera Utara
2.2.2 Pemantulan dan Pembiasan Cahaya oleh Medium.
Gambar 2.4 berikut akan menunjukkan bagaimana pemantulan dan pembiasan
cahaya oleh dua medium yang berbeda kerapatannya (indeks biasnya).
Garis normal
Sinar pantul
Sinar datang
θ1
θ1 '
Medium I
Medium II
θ2
Sinar bias
Gambar 2.4 Pemantulan dan Pembiasan Cahaya Melalui dua medium dengan
Indeks Bias (n1 > n2)
Keadaan seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.4 dapat dijelaskan oleh
hukum-hukum mengenai pemantulan dan pembiasan sebagai berikut :
1. Sinar yang dipantulkan, sinar yang dibiaskan dan garis normal terletak pada
satu bidang datar.
2. Untuk pemantulan, θ1 = θ1 ' .
3. Untuk pembiasan,
sin θ1 n2
=
= n21
sin θ 2 n1
dengan :
θ1 adalah sudut yang dibentuk sinar datang dan garis normal.
θ1 ' adalah sudut yang dibentuk sinar pantul dan garis normal
n1 adalah indeks bias medium 1
n2 adalah indeks bias medium 2
n21 adalah indeks bias relatif medium 2 terhadap medium 1.
(Halliday, Resnick, 1992)
Universitas Sumatera Utara
Teori tentang prinsip pembiasan dan pemantulan cahaya untuk dua medium
yang memiliki indeks bias yang berbeda perlu dijabarkan untuk menjelaskan
pembiasan yang dialami cahaya ketika melalui lapisan atmosfer yang memiliki
kerapatan yang berbeda.
2.2.3 Sifat-Sifat Khusus Lainnya Yang Dimiliki Cahaya
Selain cahaya mengalami pembiasan dan pemantulan cahaya juga mempunyai sifat
khas lainnya yaitu :
1. Cahaya merambat membentuk garis lurus. Sinar merupakan kata lain untuk
cahaya tunggal yang merambat, sedangkan berkas sinar terdiri dari beberapa
sinar yang merambat dalam arah tertentu. Berkas sinar dapat berupa kumpulan
sinar sejajar, divergen (menyebar), atau konvergen (mengumpul).
2. Cahaya dapat berinterferensi atau mengalami penguatan/pelemahan intensitas
karena penggabungan dua gelombang cahaya. Penguatan atau pelemahan
ditentukan oleh beda fase masing-masing gelombang cahaya.
3. cahaya juga mengalami difraksi yakni dibelokkan ke arah tertentu oleh celah
kecil serta polarisasi yakni pengkutupan arah getaran gelombang cahaya.
Dengan mengetahui sifat-sifat cahaya, kita dapat lebih memahami tentang bagaimana
cahaya merambat dari sumbernya sampai ke mata kita. Bintang yang tampak berupa
titik cahaya dapat kita pastikan sebagai cahaya tunggal, bukan sebagai berkas cahaya.
2.3 Bintang
Bintang merupakan benda langit yang memancarkan cahayanya sendiri.. Menurut
ilmu astronomi, definisi bintang adalah semua benda massif (bermassa antara 0,08
hingga 200 kali massa matahari) yang sedang atau pernah melakukan pembangkitan
energi melalui fusi nuklir berantai. Oleh sebab itu bintang katai putih yang sudah tidak
memancarkan cahaya atau energi juga tetap disebut sebagai bintang.
Universitas Sumatera Utara
Reaksi fusi nuklir (reaksi termonuklir) adalah sebuah proses saat dua inti atom
bergabung, membentuk inti atom yang lebih besar dan melepaskan energi. Fusi nuklir
adalah sumber energi yang menyebabkan bintang bersinar. Proses ini membutuhkan
energi yang besar untuk menggabungkan inti nuklir. Energi yang dihasilkan dari
reaksi fusi nuklir ini lebih besar dari energi yang dibutuhkan untuk menggabungkan
dua inti atom menjadi inti atom yang lebih besar. Ada dua jenis reaksi fusi hidrogen,
yaitu rantai proton-proton dan siklus CNO yang keberlangsungannya bergantung pada
ukuran bintang. Untuk bintang-bintang seukuran matahari atau lebih kecil, reaksi
rantai proton-proton mendominasi, sementara untuk bintang berukuran lebih besar
dari matahari siklus CNO yang mendominasi. Reaksi inti lainnya seperti reaksi fusi
helium dan karbon juga terjadi bergantung terutama pada tahapan evolusi bintang.
Reaksi fusi antara dua inti atom yang lebih ringan daripada besi dan nikel, melepaskan
energi. Sedangkan, reaksi fusi antara dua inti atom yang lebih berat daripada besi dan
nikel, menyerap energi. (A.W, Wisnu,2000)
Planet merupakan benda langit yang tidak mengalami fusi nuklir pada intinya.
Planet tampak bercahaya karena memantulkan cahaya matahari atau bintang yang
berada di dekatnya. Cahaya yang dipantulkan planet sangat lemah dan planet terlihat
sebagai piringan cahaya dan tidak berkelip seperti halnya bintang. (Chatief Kunjaya,
2006)
2.3.1 Jarak Bintang
Jarak bintang terhadap matahari merupakan karakteristik yang sulit untuk ditentukan
tetapi sangat penting. Semua proses kehidupan bintang ditentukan oleh rata-rata
jumlah dan jenis energi yang diradiasikan. Jumlah energi bintang yang diradiasikan ke
jagat raya tidak dapat diketahui sampai jaraknya dapat ditentukan.
Metode pertama yang digunakan untuk menentukan jarak bintang dari matahari
yaitu metode heliosentrik paralaks yang memiliki sifat yang terbatas. Bila bintang
terdekat nampak berotasi membelakangi dan kemudian berada di depan latar belakang
bintang disebabkan revolusi bumi terhadap matahari, maka sudut paralaks p (gambar
Universitas Sumatera Utara
2.4) menunjukkan besar perubahan posisi bintang. Sudut ini dapat ditinjau secara
trigonometri yaitu dengan mengambil radius orbit bumi dan jarak OS.
E2
bumi
900
S
O
S1
p
Star
matahari
S2
E1
Gambar 2.5 Paralaks bintang
Dari gambar, jarak bintang terhadap matahari dapat ditentukan dari,
tan p =
OE
OS
(2.16)
OE merupakan radius orbit bumi dan OS merupakan jarak bintang terhadap matahari.
Apabila jarak matahari terhadap bintang diketahui maka jarak bintang terhadap bumi
juga dapat ditentukan. Satuan yang sering digunakan dalam astronomi untuk
menyatakan jarak suatu bintang adalah parsek dan tahun cahaya. Satu parsek (pc)
didefinisikan sebgai jarak bintang yang paralaksnya satu detik busur sedangkan satu
tahun cahaya (ly) didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh cahaya selama satu
tahun.
Pergeseran posisi tahunan yang terlihat terhadap bintang terdekat inilah yang
disebut heliosentrik paralaks. Ketika posisi bumi di E1 maka bintang seolah-olah
tampak berada di S1 dan enam bulan kemudian ketika posisi bumi di E2 maka bintang
seolah-olah berada di S2. (Stuard J. Ingglis, 1963). Paralaks bintang tampak sebagai
pergeseran posisi yang cukup besar untuk ribuan bintang terdekat. Bintang terdekat
adalah Proxima Centauri yang berjarak 4 x 1016 meter dari matahari.
2.3.2 Perubahan Posisi Bintang
Kecepatan bintang berubah posisi (berpindah) mendekat atau menjauh dari bumi dapat
diperhatikan dari pergeseran Doppler dalam garis spektrumnya. Perubahan posisi
bintang yang terlihat sesuai dengan arah pengamatan. Besar perubahan posisi bintang
Universitas Sumatera Utara
yang terjadi menunjukkan bahwa perpindahannya terlalu lambat, sangat lambat
sehingga bintang dianggap seperti tidak berpindah.
A
B
Gambar 2.6 Pergeseran besar susunan bintang sekarang dan yang diperkirakan
terlihat 100.000 tahun yang lalu
Susunan bintang A merupakan susunan bintang sekarang dan susunan bintang
B merupakan susunan bintang yang terlihat 100.000 tahun yang lalu. Banyak bintang
berpindah tidak sepanjang atau bersebrangan dengan arah pengamatan melainkan
membentuk sudut miring terhadapnya. Spektrum bintang menunjukkan bahwa bintang
bergerak dengan kecepatan tertentu mendekati atau menjauhi pengamat, dan arah
pengamatan menunjukkan perpindahan posisi terjadi dalam arah tertentu yaitu
bersebrangan dari arah garis pengamatan. Bila jarak bintang diketahui, maka
kecepatan perubahan posisi dapat dihitung. Perubahan posisi bintang dapat ditentukan
melalui penjumlahan vektor kecepatan yang diamati. Dari perhitungan yang dilakukan
sedemikian didapatkan banyak bintang bergerak dengan kecepatan ribuan meter per
detik.
Dari perubahan posisi bintang dapat diasumsikan bahwa matahari juga
bergerak. Perubahan posisi bintang terjadi secara beraturan. Bila matahari bergerak
mendekati daerah tertentu dari jagat raya, bintang dalam arah rata-ratanya akan
terlihat mendekati kita. Perubahan posisi bintang rata-rata dapat diamati dari gugusan
bintang. Kajian lebih lanjut dari gerak ini menunjukkan bahwa matahari dan kerabat
planetnya bergerak mendekati Hercules dengan kecepatan sekitar 2 x 104 meter per
detik. (Konrad K., Arthur Beiser, 1960)
Universitas Sumatera Utara
2.3.3 Karakteristik Bintang
Karakteristik bintang dalam pembahasan ini dibahas antara lain temperatur, diameter,
massa jenis, kecepatan dan kecerahan bintang. Pembahasan ini dianggap penting
karena dengan mengetahui karakteristik bintang maka dapat dibedakan bintang
dengan benda langit lainnya yang nampak seperti bintang.
1. Temperatur.
Temperatur bintang ditentukan dari spektrumnya. Berikut
ini
merupakan deretan spektrum bintang dari bintang terpanas sampai bintang
yang paling dingin yang disusun berdasarkan alfabet untuk mempermudah
mengingat yaitu bintang tipe O B A F G K M R N S. Bintang tipe R, N dan S
memiliki komposisi kimia yang sedikit berbeda dari bintang lainnya relatif
dingin.
No
Tipe Bintang
Temperatur (K)
Keterangan
Pita TiO mendominasi, garis logam netral
1
M
2500-3000
tampak jelas dan berwarna merah. Contoh
bintang Betelgeues dan Antares.
Garis logam mendominasi, gas hidogen
2
K
3500-5000
lemah sekali dan berwarna jingga kemerahan.
Contoh: Arcturus dan Aldebaran
Garis hidrogen lebih lemah dari kelas F.
3
G
5000-6000
Garis logam netrala tampak dan berwarna
putih kekuningan. Contoh : Matahari dan
Capella
Garis hdrogen lebih lemah dari bintang kelas
4
F
6000-7500
A, garis logam lainnya mulai terlihat dan
berwarna biru keputihan. Contoh : Canopus
dan Proycon
5
A
7500-11000
Garis hidrogen tampak kuat dan berwarna
biru. Contoh: Sirrius
Universitas Sumatera Utara
Garis hidrogen tampak lebih jelas dari
6
B
11000-30000
bintang tipe O dan berwarna biru. Contoh :
Bintang Rigel dan Spica
7
Garis absorbsi yang nampak sangat sedikit
dan berwarna biru. Contoh bintang : 10
Lacerta.
Tabel 2.2 Klasifikasi bintang berdasarkan temperaturnya.
Bintang dengan garis-garis serapan sangat kuat dari atom hidrogen
digolongkan sebagai tipe I berwarna putih, bintang dengan garis-garis serapan
sangat kuat dari ion logam digolongkan sebagai tipe II berwarna kuning, dan
bintang dengan pita-pita serapan lebar digolongkan sebagai tipe III berwarna
merah berdasarkan hasil pengamatan Angelo Secchi.
Temperatur permukaan bintang sangat dekat hubungan dengan
warnanya. Umumnya dapat dikatakan bintang terpanas tampak berwarna biruputih, bintang dengan temperatur sedang berwarna putih kekuningan dan yang
paling dingin berwarna merah. (Chatief Kunjaya, 2006)
Bintang yang dapat diamati oleh pengamat di bumi dengan mata
telanjang adalah bintang yang kecerahan semunya (magnitudo) lebih kecil
dari 6, dan bintang yang kecerahan semunya lebih besar dari 6 tidak dapat
diamati karena sangat redup. Bintang bermagnitudo semu 1 lebih cerah 100
kali lebih cerah dibandingkan bintang bermagnitudo semu 6.
2. Diameter bintang
Pengukuran temperatur bintang dan kecerahan intrinsiknya memberi
kemungkinan dalam menentukan besar diameternya. Dikarenakan temperatur
menentukan intensitas radiasi dari permukaan bintang, maka pengukuran
temperatur akan menunjukkan jumlah radiasi yang dipancarkan per luas
permukaan bintang. Kecerahan intrinsik adalah suatu pengukuran total radiasi
bintang yang sampai ke permukaannya. Hanya dibutuhkan pembagian total
Universitas Sumatera Utara
radiasi per centimeter persegi untuk dapat menentukan luas permukaan
bintang. Dari luas permukaan bintang dapat ditentukan diameter dan volume
bintang dengan mudah.
Suatu bintang yang mempunyai kecepatan 1,67 x 105 meter per detik
terlihat perpindahannya dari bumi sangat kecil dibandingkan perpindahan
sebenarnya. Demikian juga beberapa bintang yang memiliki diameter lebih
besar dari matahari akan terlihat hanya berupa titik cahaya. Hal ini terjadi
karena posisi bintang sangat jauh dari bumi.
3. Massa jenis
Bila massa dan volume bintang diketahui maka massa jenis rata-rata
bintang dengan perhitungan sederhana dapat ditentukan. Seperti halnya
parameter lainnya yang menjadi karakteristik bintang, massa jenis bintang juga
sangat bervariasi. Bintang berukuran raksasa seperti Antares memiliki rapat
massa 1000 kali lebih kecil dari massa jenis udara vakum di bumi. Hal ekstrim
lainnya adalah massa jenis beberapa bintang yang berukuran kecil seperti
bintang Sirius memiliki rapat massanya sangat besar yaitu 6,1 x10-2 ton/cm3
atau 6,1 x 107 kg/m3 (Konrad, Beiser, 1960)
4. Kecepatan
Pergeseran spektrum Doppler dapat digunakan untuk menentukan
kecepatan bintang dalam arah pengamatan yang disebut kecepatan radial.
Kecepatan yang ditunjukkan memang hanya dalam satu arah, tetapi tentu saja
bintang tidak hanya bergerak menjauhi atau mendekati matahari. Sehingga
untuk itu harus ada setidaknya dua jenis kecepatan yang disebut kecepatan
nyata. Komponen kecepatan lainnya selain kecepatan radial adalah kecepatan
tangensial yang memperlihatkan bahwa bintang bergerak tegak lurus terhadap
arah pengamatan. Kecepatan tangensial dapat digambarkan sebagai perubahan
sudut per satuan waktu yaitu satu detik busur per tahun yang disebut besar
perubahan posisi sebenarnya. Kecepatan relatif bintang terhadap matahari
didapatkan melalui teorema Phytagoras dari kecepatan radial dan kecepatan
Universitas Sumatera Utara
tangensialnya. Kecepatan relatif inilah yang disebut dengan kecepatan bintang
terhadap matahari.
Bila perubahan posisi matahari terhadap kelompok bintang lokal
dikurangi kecepatan relatifnya akan didapatkan kecepatan istimewa bintang.
Kecepatan kebanyakan bintang yang bertetangga dengan matahari hampir
sama dengan matahari yaitu 2 x 104 meter per detik tetapi terdapat bintang
tertentu yang berkecepatan tinggi mencapai 1,67 x 105 meter per detik.
Kecepatan bintang mengelilingi kelompok bintang lokal di sekitar
pusat galaksi disebut kecepatan rotasi karena gerak bintang merupakan bagian
dari rotasi galaksi. (Stuart J. Inglis, 1963)
5. Kecerahan bintang
Berdasarkan
hukum
Stefan-Boltzmann,
temperatur
bintang
menentukan berapa energi yang dipancarkan per satuan luas permukaan
bintang. Bila ada dua bintang yang memiliki ukuran yang sama maka bintang
paling panas di antara keduanya akan memancarkan energi yang lebih besar.
Pada dasarnya kecerahan bintang ditentukan oleh dua faktor yaitu temperatur
dan ukurannya.
Kecerahan bintang seperti yang terlihat di langit tidak hanya
bergantung pada luminositasnya ( jumlah energi yang dipancarkan per satuan
waktu) tetapi juga bergantung pada jaraknya terhadap matahari. Bila kita
memiliki 3 bintang dengan luminositas yang sama pada jarak 1, 2 dan 3
parsek, kecerahannya semakin berkurang dengan pertambahan jarak sesuai
dengan hukum kuadrat invers.
Magnitudo bintang merupakan angka yang menunjukkan tingkat
kecerahan
suatu
bintang.
Magnitudo
bintang
ditentukan
dengan
membandingkan kecerahan bintang yang satu dengan bintang lainnya.
Hipparchos seorang astronom Yunani sekitar tahun 129 SM membagi bintang
Universitas Sumatera Utara
menurut kecerahannya dalam enam kelompok. Bintang yang paling terang
bermagnitudo 1 danyang lebih lemah bermagnitudo 2 dan seterusnya.
Luminositas bintang dapat ditentukan apabila jarak bintang diketahui. Skala
yang digunakan untuk mengukur luminositas mendekati skala magnitudo
kecerahan yang terlihat yang biasanya. Skala luminositas bintang merupakan
magnitudo mutlaknya yang merupakan suatu indikasi jumlah total cahaya yang
diradiasikan bintang.
2.3.4 Evolusi Bintang
Bintang seperti halnya dengan makhluk hidup di bumi mengalami tahapan kehidupan
yaitu bintang dilahirkan, berkembang dan akhirnya cahayanya padam (mati). Bintang
terbentuk di dalam awan molekul. Gaya gravitasi antar molekul gas yang terdapat
dalam awan molekul memegang peranan penting dalam proses pembentukan bintang.
Peristiwa ini dimulai dengan ledakan bintang yang menyebabkan materi antar bintang
disekitarnya menjadi lebih mampat. Bagian terluar dari kumpulan materi antar bintang
akan tertarik oleh gravitasi materi ke bagian dalamnya, sehingga awan molekul akan
mengalami kondensasi. Akibat dari kondensasi ini, tekanan di dalam awan molekul
meningkat dan melawan pengerutan. Bila gaya gravitasi materi di dalamnya tidak
dapat mengimbangi tekanan yang timbul akibat proses kondensasi maka awan
molekul akan tercerai kembali dan tidak membentuk awan molekul yang lebih besar.
Di dalam awan molekul yang besar ini terdapat juga ratusan bahkan ribuan
awan molekul yang terus mengalami pengerutan gravitasi. Pengerutan gravitasi
meningkatkan suhu dari awan molekul sehingga awan molekul tersebut memijar dan
menjadi embrio bintang (protostar). Bintang tidak terbentuk sendiri tetapi melainkan
terbentuk dalam suatu kesatuan berupa gugusan bintang.
Protostar yang telah mengakhiri proses fragmentasinya akan terus mengerut
akibat gravitasinya sendiri.
Materi yang terdapat dalam protostar sebagian besar
adalah hidrogen dengan kerapatan seragam. Evolusi
protostar
ditandai dengan
keruntuhan yang sangat cepat. Pada tahap ini, temperatur pusat bintang cukup tinggi
Universitas Sumatera Utara
yaitu mencapai 10 juta Kelvin sehingga terjadi reaksi fusi nuklir di inti bintang. Ketika
tekanan
di dalam bintang cukup tinggi, pengerutannya pun berhenti. Bintang
selanjutnya menjadi bintang deret penting. Bila massa bintang terlalu kecil, suhu di
pusat bintang tidak akan cukup tinggi untuk terjadinya reaksi fusi nuklir sehingga
bintang akhirnya mendingin menjadi bintang katai gelap tanpa ada reaksi inti yang
berarti.
Reaksi fusi nuklir yang terjadi di matahari dan kebanyakan bintang adalah
reaksi fusi hidrogen menjadi helium. Di jagat raya, hidrogen merupakan unsur yang
paling besar jumlahnya (kelimpahannya) yaitu sekitar 90 % dan kurang dari 10 %
merupakan unsur helium. Reaksi fusi nuklir yang terjadi dalam inti bintang
mempunyai dua tahapan yaitu reaksi rantai proton dan siklus CNO. Reaksi rantai
proton yaitu sebagai berikut :
1
H1 + 1H1
2
H1 + e+ + v (Q = 1,44 MeV)
2
H1 + 1H1
3
He2 + γ (Q = 5,49 MeV)
3
He2 + 3He2
4
He2 + 2 1H1 + v (Q = 12,86 MeV)
Sehingga reaksi perubahan 4 atom hidrogen menjadi 1 atom helium seperti
ditunjukkan berikut ini akan menghasilkan energi sebesar 26,7 MeV.
41H1
4
He2 + 2 e+ + 2 v
Bintang yang mencapai deret utama memiliki komposisi materi yang masih
homogen yang mencerminkan komposisi awan antar bintang yg membentuknya.
Perlahan-lahan, akibat reaksi fusi pada inti bintang yaitu helium dari penggabungan
atom hidrogen merubah komposisi di pusat bintang yakni hidrogen berkurang dan
helium bertambah sehingga struktur bintang berubah menjadi lebih terang, jari-jarinya
bertambah besar dan temperatur efektifnya berkurang.
Ketika reaksi penggabungan atom hidrogen membentuk atom helium telah
menghasilkan 10 % sampai 20 % helium di inti bintang maka dimulailah tahapan
reaksi fusi lainnya yakni reaksi fusi helium (penggabungan unsur helium untuk
membentuk unsur bermassa lebih besar). Reaksi fusi helium akan membentuk unsur
yang lebih berat pada bagian inti dari bintang. Tahapan reaksi lainnya pun terjadi yaitu
siklus karbon atau siklus CNO yaitu :
Universitas Sumatera Utara
12
C6 + 1H1
13
13
N7
C6 + 1H1
15
Dalam kasus ini
13
N7 + γ
13
14
C6 + e++ v
N7 + C
14
N7
15
O8 + γ
15
O8
15
N7 + e+ + v
N7 +1H1
12
C6 + 4He2
12
C6 bertindak sebagai katalis untuk membantu proses fusi. Siklus
karbon berjalan lebih cepat dari pada siklus proton-proton. Siklus karbon dominan
terjadi pada temperatur yang lebih tinggi daripada temperaur terjadinya proton-proton.
Bintang yang telah mengubah seluruh hidrogen yang dimilikinya akan mengalami
reaksi fusi helium yaitu 34He2
12
C6 pada temperatur yang lebih tinggi yang
dibutuhkan untuk menetrasi gaya coulomb. ( Kenneth S., Krane, 1987)
Terdapat perbedaan pada proses evolusi bintang. Proses evolusi bintang
bergantung pada ukuran bintang tersebut. Bintang berukuran besar akan lebih cepat
menghabiskan persediaan hidrogennya dan pada akhirnya mengalami reaksi siklus
CON yang terkonsentrasi di inti bintang. Bintang tipe ini, pada bagian selubungnya
tidak terjadi reaksi inti sehingga komposisi materinya tidak mengalami perubahan
yang disebut pusat konveksi. Lain halnya dengan bintang berukuran kecil,
pembangkitan energi tidak terkonsentrasi di pusatnya. Reaksi fusi hidrogen menjadi
helium berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama, dan setelah persedian
hidrogen habis terjadi siklus CNO.
Akibat reaksi fusi hidrogen menjadi helium, jumlah helium di pusat bintang
bertambah, sehingga terjadi pengerutan gravitasi secara perlahan. Bila massa helium
di pusat bintang ini mencapai 10 % hingga 20% massa bintang, pusat helium tidak
lagi mengerut dengan perlahan namun runtuh dengan cepat. Saat itu struktur bintang
berubah, bagian luar bintang akan memuai dengan cepat, bintang berubah menjadi
bintang raksasa merah. Saat itu, bintang mempunyai dua sumber energi yaitu reaksi
fusi hidrogen menjadi helium di selubung bintang dan reaksi fusi helium menjadi
unsur yang lebih berat di pusat bintang.
Universitas Sumatera Utara
Evolusi tahap akhir suatu bintang tidak dapat dipastikan. Dari perhitungan
yang dilakukan didapatkan unsur kimia yg lebih berat dari karbon terbentuk di pusat
bintang. Inti helium berubah menjadi karbon yang selanjutnya membentuk oksigen.
Hal ini menyebabkan temperatur pusat meningkat. Pada saat mencapai suhu 600oK,
inti karbon akan berinteraksi membentuk magnesium, neon dan natrium. Demikian
seterusnya akan terjadi pembakaran unsur kimia dalam bintang sampai akhirnya
terbentuk inti besi. Besi merupakan inti yg paling mantap dan tidak akan bereaksi
membentuk inti yang lebih berat. Selanjutnya, terjadi keruntuhan gravitasi menuju
pusat bintang yang terdiri dari unsur besi, dan akhirnya meledak menjadi supernova.
Tetapi tidak semua bintang mengakhiri hidupnya dengan meledak menjadi
supernova yaitu hanya terjadi pada bintang yang massanya 8 kali massa matahari atau
lebih massif dari matahari. Supernova akan terjadi ketika bintang tersebut tidak lagi
memiliki cukup bahan bakar untuk proses fusi di inti bintang sehingga menciptakan
tekanan keluar yang dipicu terjadinya dorongan gravitasi ke arah inti bintang.
Saat ledakan terjadi, bintang akan melepaskan sejumlah besar energi dan
memuntahkan unsur berat seperti kalisum dan besi ke ruang antar bintang. Materi
yang dilepaskan ini kemudian menjadi unsur pengisi awan debu dan gas dimana
bintang dan planet baru akan dilahirkan.
Bintang yang bermassa sedang yaitu sebesar matahari atau lebih kecil akan
berubah menjadi bintang katai putih. Bintang bermassa 1,4 – 3 kali massa matahari
setelah membentuk bintang super raksasa merah akan berubah menjadi bintang
neutron. Sedangkan yang massanya lebih besar dari 3 kali massa matahari akan
berubah menjadi lubang hitam. (Diayri, 2006)
2.3.5 Hubungan Jarak Bintang dan Kecerahannya.
Seperti yang kita ketahui, kecerahan bintang
tidak hanya bergantung kepada
luminositasnya tetapi juga bergantung kepada jaraknya terhadap matahari. Bintang
yang memiliki jarak 2 parsecs, kecerahannya
1
4
kali bintang yang berjarak 1 parsecs
Universitas Sumatera Utara
dari matahari. Kecerahan yang dimaksud disini adalah magnitudo semu (magnitdo
yang terlihat) oleh pengamat.
Fenomena bintang tampak berkelip sangat dipengaruhi oleh magnitudo
semunya. Semakin cerah suatu bintang maka semakin mudah kita dapat
mengamatinya. Persamaan hubungan kecerahan dengan jarak bintang adalah :
B=
L
D2
(2.17)
dengan B merupakan kecerahan bintang, L luminositasnya dan D adalah jarak bintang
terhadap matahari.
Luminositas bintang sendiri adalah jumlah total energi yang dipancarkan
setiap detik. Luminositas bintang sangat bergantung pada temperatur dan diameter
bintang.
Menurut Planck, suatu benda hitam yang memiliki temperatur permukaan (T)
akan memancarkan energi dengan panjang gelombang antara λ d an λ + d λ d eng an
intensitas spesifik sebesar Bλ(T)dλ dengan :
Bλ (T ) =
2hc 2
λ
5
1
e
hc / λkT
(2.18)
−1
dengan :
h adalah konstanta Plank yaitu 6,626 x 10-34 J.s
c adalah nilai cepat rambat cahaya di ruang hampa yaitu 3 x 108 m/s
k adalah konstanta Stefan Boltzman yaitu 1,38 x 10-23 J/K
T adalah temperatur permukaan bintang.
Energi total yang dipancarkan benda hitam untuk setiap panjang gelombang atau
frekuensi dapat ditentukan dengan mengintegrasikan Bλ(T) yaitu :
∞
B(T ) = ∫ Bλ (T )dλ
(2.19)
0
Dari integrasi ini diperoleh,
B(T ) =
2(πkT ) 4
15h 3 c 2
(2.20)
Universitas Sumatera Utara
B(T ) =
atau
σ=
dengan
σ 4
T
π
(2.21)
2π 5 k 4
= 5,67 x 10-5erg cm-2 K-4s-1
3 2
15h c
(2.22)
Persamaan (2.21 ) disebut Hukum Stefan-boltzmann dengan σ disebut tetapan Stefan
Boltzmann.
Dari intensitas spesifik B(T) dapat ditentukan jumlah energi yang dipancarkan
per cm2 oleh permukaan benda hitam per detik ke segala arah, yaitu:
atau
F = πB (T )
(2.23)
F = σT 4
(2.24)
Besaran F disebut fluks energi benda hitam (J m-2 s-1)
Jika suatu benda berbentuk bola dengan jari-jari R dan temperatur T
memancarkan radiasi seperti benda hitam, energi yang dipancarkan benda tersebut ke
semua arah per detik adalah :
atau
L = 4πR 2 F
(2.25)
L = 4πR 2σT 4
(2.26)
L adalah luminositas benda dan temperatur bintang yang ditentukan dari hukum
Stefan Boltzmann disebut temperatur efektif yaitu temperatur paling luar dari suatu
bintang.
Jumlah energi yang diterima pengamat yang berjarak d dari benda hitam,
bintang dianggap sebagai benda hitam karena bintang dengan temperatur 54.000 K
distribusi energinya hampir sama dengan benda hitam adalah :
E=
L
4πd 2
(2.27)
E adalah fluks pancaran pada jarak d. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa
semakin jauh bintang dari pengamat maka energi yang diterima pengamat semakin
kecil dan bintang akan tampak lebih redup atau bahkan tidak dapat diamati dengan
mata telanjang.
Universitas Sumatera Utara
2.3.6 Diagram Hertzsprung-Russel.
Massa dan
volume besar
dan massa
jenis kecil
maharaksa
sa
-4
-2
Raksasa
0
+2
et
er
ut
a
am
Peningkatan kecerahan
D
+4
+6
+8
+10
+12
Massa dan
volume kecil
dan massa
jenis besar
Katai puth
+14
B
A
F
G
K
M
Penurunan temperatur
Gambar 2.7 Diagram Herztsprung-Russel
Gambar 2.6 merupakan diagram Hertzprung-Russel. Diagram ini menunjukkan
hubungan kecerahan bintang dan temperatur efektif). Diagram ini ditemukan secara
terpisah oleh dua orang astronom, Ejnar Hertzsprung di Denmark dan Henry Norring
Russel di Amerika. Dari diagram dapat dilihat bahwa sebagian besar bintang
menempati suatu jalur dari kiri ke atas (bintang-bintang yang panas dengan tingkat
kecerahan yang tinggi) dan ke kanan bawah (bintang-bintang yang dingin dengan
kecerahan yang rendah). Deret ini disebut deret utama. Matahari berada pada deret ini.
Selain deret utama, ada pengelompokan lain yaitu bintang maharaksasa dan, raksasa
dan katai putih. Diagram Hertzprung-Russel menunjukkan tahapan evolusi bintang.
(Konrad K., Arthur Beiser, 1960)
Universitas Sumatera Utara
2.3.7 Materi Antar Bintang
Materi antar bintang dapat dibedakan ke dalam tiga golongan yaitu : nebula terang
(bright nebulae), nebula gelap (dark nebulae), gas dan debu antar bintang.
1. Nebula terang (bright nebulae)
Nebula terang yang dikenal dengan nebula difusi berkaitan erat dengan
luminositas bintang. Bintang merupakan penyebab nebula menjadi terang. Gas
murni tidak dapat memantulkan cahaya karena komposisi atom masing-masing
gas terlalu kecil, sehingga para astronom mengansumsikan bahwa cahaya
dipantulkan oleh partikel kecil dari debu angkasa. Selain itu nebula menjadi
terang karena gas dalam nebula yang memiliki tekanan rendah
yang
memancarkan cahaya. Hal ini ditunjukkan oleh spektogram nebula orion.
Pemantulan bintang terjadi jika nebula memiliki bintang yang jenis
spektrumnya di atas kelompok bintang B2. Nebula yang di dalamnya terdapat
kelompok bintang di atas B2 akan memantulkan lebih banyak cahaya sehingga
spektrum nebulanya tidak sama seperti spektrum absorbsi bintang yang paling
terang tetapi merupakan spektrum kontinu yang redup dengan garis emisi yang
lebih terang berada di atasnya.
2. Nebula gelap (dark nebulae)
Gas nebula yang tidak memantulkan cahaya dari bintang di
sekelilingnya dan tidak juga memancarkan cahayanya sendiri disebut nebula
gelap. Keberadaannya dapat ditemukan dengan keberadaan benda cerah yang
tersembunyi di belakangnya.
Nebula gelap tidak sepenuhnya menyembunyikan cahaya bintang di
belakangnya tetapi hanya menyebabkan bintang tersebut terlihat lebih redup
sehingga jumlah bintang memiliki magnitudo yang masih dapat terlihat dalam
Universitas Sumatera Utara
wilayah yang tertutupi gas gelap masih dapat dihitung. Nebula gelap memiliki
komposisi yang terlihat hampir sama seperti material penyusun nebula terang.
3. Gas antar bintang
Kita dapat mengetahui suatu daerah tertutupi dengan efek yang
ditimbulkan ketika cahaya melewatinya. Terdapat dua kemungkinan yaitu bila
material terdiri dari partikel debu, cahaya mengalami sedikit pemerahan oleh
hamburan dan bila material terdiri dari gas menyebabkan garis absorpsi
spektrum bintang yang cahayanya menembus material tersebut meningkat.
Banyak kajian
yang menunjukkan keberadaan gas dan debu antar
bintang dapat ditentukan dengan menganalisa adakah terjadi penurunan
intensitas spektrum bintang B. Massa jenis gas antar bintang sangat kecil
dibandingkan dengan nebula emisi. Hal ini menunjukkan bahwa dalam awan
gas antar bintang rata-rata terdapat 200 atom per inc3 atau 1,05 x 107 atom per
m3 tetapi ada juga awan yang di dalamnya hanya terdapat 1,05 x 106 atom per
m3 atau hanya sepersepuluhnya yang merupakan daerah vakum tinggi.
Komposisi gas antar bintang yang mengandung nebula difusi tidak tampak
berbeda jauh dari komposisi gas yang ditemukan di matahari
2.2.8 Perambatan Cahaya Melalui Ruang Antar Bintang.
Telah dibahas sebelumnya bahwa ruang antar bintang tidak hampa melainkan terdapat
materi antar bintang yang berupa debu dan gas antar bintang, nebula terang dan nebula
gelap. Seperti halnya pada lapisan atmosfer bumi, pelemahan cahaya bintang juga
terjadi ketika cahaya bintang melalui ruang antar bintang. Materi antar bintang akan
menyerap cahaya bintang yang melewatinya dan membelokkannya.
Misalkan σλ adalah koefisien absorbsi dalam cm-1 yang bergantung pada λ.
Ketebalan optis τλ antara bumi dengan bintang pada jarak s adalah
Universitas Sumatera Utara
s
τ λ = ∫ σ λ ds
(2.28)
0
Akibat penyerapan oleh materi antar bintang ini, maka fluks yang diamati di
bumi (di luar atmosfer) adalah :
E 0 λ = E λ e −τλ
(2.29)
dengan E0λ adalah fluks pancaran sebelum diserap materi antar bintang yang
melemahkan magnitudonya sebesar,
∆mλ = mλ − m0 λ = 1,086τ λ
(2.30)
dengan mλ adalah magnitudo yang diamati di bumi dan m0λ adalah magnitudo bintang
sebenarnya atau magnitudo intrinsik (magnitudo sebelum diserap oleh materi antar
bintang). Untuk menyatakan besarnya penyerapan atau absorbsi ini digunakan simbol
Aλ yaitu,
∆mλ = mλ − m0 λ = Aλ
(2.31)
Untuk magnitudo intrinsik harus ditambah koreksi penyerapan oleh materi
antar bintang yaitu,
mλ = M λ − 5 + 5 log d + Aλ
(2.32)
Dengan melakukan pengamatan dalam dua panjang gelombang misalkan λ1 dan λ2
persamaan (2.31) dapat dituliskan menjadi,
mλ1 − m0 λ1 = Aλ1
mλ 2 − m0 λ 2 = Aλ 2
(mλ1 − m0λ1 ) − (mλ 2 − m0λ 2 ) = Aλ1 − Aλ 2
(mλ1 − mλ 2 ) − (mλ1 − mλ 2 )0 = Aλ1 − Aλ 2
(mλ1 − mλ 2 )0 disebut warna intrinsik dan (mλ1 − mλ 2 ) − (mλ1 − mλ 2 )0 disebut ekses warna
yang diberi simbol Eλ12. Sehingga dapat didefinisikan perbandingan absorbsi sebagai :
R=
Aλ1
E λ12
(2.33)
Makin besar R maka absorbsi yang disebabkan oleh Materi antar bintang juga akan
semakin besar. Absorbsi cahaya bintang oleh materi antar bintang disebut juga sebagai
efek pemerahan. (Chatief Kunjaya, 2006)
Universitas Sumatera Utara
2.3 Efek Doppler
Efek Doppler untuk kasus bunyi, berubah bergantung dari apakah sumber atau
pengamatnya atau keduanya bergerak. Keadaan ini seakan-akan bertentangan dengan
prinsip relativitas. Tetapi gelombang bunyi itu sendiri sangat bergantung pada
keberadaan medium yang merupakan kerangka acuan dimana terhadap kerangka
inilah gerak sumber dan pengamat dapat diamati dan diukur. Keberadaan medium
inilah yang membedakan efek Doppler untuk bunyi dengan efek Doppler untuk
cahaya.
Efek Doppler untuk kasus cahaya berkaitan dengan perubahan warna dari
cahaya yang ditentukan oleh panjang gelombangnya. Perubahan warna bergantung
pada kecepatan relatif antara sumber dan pengamat. Kecepatan ini sangat kecil
dibandingkan dengan kecepatan cahaya yang tetap tidak bergantung terhadap jarak
tempuhnya.
Bintang yang mendekati pengamat panjang gelombang cahayanya terlihat
sedikit lebih pendek dan warnanya sedikit lebih biru. Keseluruhan spektrum cahaya
bintang akan bergeser. Bila bintang menjauhi pengamat, panjang gelombangnya
sedikit lebih panjang dan cahayanya sedikit lebih merah.
Jika v adalah kecepatan gerak relatif kerangka inersia bintang terhadap
kerangka inersia pengamat, v dan v0 masing-masing adalah frekuensi cahaya bintang
yang diterima pengamat dan frekuensi cahaya bintang yang dipancarkan bintang
(sumber cahaya) serta c adalah cepat rambat cahaya, maka untuk tiga macam keadaan
gerak bintang terhadap pengamat akan diperoleh persamaan efek Dopplernya sebagai
berikut :
1. Pengamat bergerak tegak lurus terhadap sumber cahaya (tranversal)
Dalam kerangka acuan pengamat t = t 0 / 1 − v 2 / c 2 , jadi frekuensi
yang diamati
v2
1− 2
2
1
c = v 1− v
v= =
0
t
t0
c2
(2.34)
Frekuensi yang diamati selalu lebih kecil daripada frekuensi sumber.
Universitas Sumatera Utara
2. Pengamat menjauhi sumber cahaya.
Pengamat yang menempuh jarak vt menjauhi sumber cahaya maka
cahaya mengambil waktu
vt/c lebih panjang untuk sampai kepadanya
sehingga,
T =t+
1+ v c 1+ v c
1+ v c
1+ v c
vt
= t0
= t0
= t0
c
1- v c
1+ v c 1− v c
1- v2 c2
(2.35)
dan didapatkan frekuensi yang teramati oleh pengamat adalah,
v=
1
=
T
1
t0
1+ v / c
1− v / c
= v0
1− v / c
1+ v / c
(2.36)
3. Pengamat mendekati sumber cahaya
Pengamatnya dalam hal ini menempuh jarak vt/c mendekati sumber
cahaya, sehingga gelombang cahaya mengambil vt/c lebih pendek untuk
sampai padanya. Dalam kasus ini T = t − vt c dan hasilnya
v = v0
1+ v c
1− v c
(2.37)
Frekuensi yang teramati lebih tinggi daripada frekuensi sumber. (Arthur
Beiser, 1983)
2.4. Gerak Bumi dan Matahari
Matahari tidak pernah diam. Untuk menentukan pergerakan matahari
digunakan bintang terdekat sebagai kerangka acuan untuk melihat arah gerak
matahari. Dalam tabel 2.3 dipaparkan tentang 3 macam gerak matahari meliputi gerak
matahari dalam galaksi bima sakti bersama dengan grup galaksi lokal. Sedangkan
bumi mengalami tiga macam gerak yaitu rotasi, revolusi dan presesi. Gerak presesi
bumi disebut juga gerak gasing bumi, maksudnya adalah perputaran sumbu rotasi
mengedari suatu bidang ekliptika. Gerak ini terjadi akibat kemiringan sumbu bumi
terhadap bidang ekliptika sebesar 66o30. Gerak presesi bumi ini terjadi 26.000 tahun
sekali. (Clyde B. Clason , 1958)
Universitas Sumatera Utara
Gerak
Gerak bumi
1. Rotasi
Sumbu Pusat
Kerangka Acuan
Sekitar sumbu bumi Matahari atau
bintang
Periode
Kecepatan
1 hari
1.000 mil per
jam di
khatulistiwa.
18,6 mil per
detik
-
2. Revolusi
Sekitar matahari
Bintang
1 tahun
3. Presesi
Tegak lurus
terhadap bidang
orbit bumi
Bintang
26.000
Tahun
Gerak matahari
4. Dalam grup
bintang
lokal
5. Dengan
grup bintang
lokal
6. Dengan
galaksi
Bima Sakti
-
Pusat galaksi
Grup bintang
lokal
Grup galaksi
lokal
-
200 juta
tahun
-
Grup galaksi
lokal
Tabel 2.3 Gerak Bumi dan Matahari
12 mil
detik
per
Sekitar
200
mil per detik
50 mil per
detik
2.5 Teori Relativitas Einstein
Dari tabel 2.3 dapat diketahui bahwa bumi melakukan gerak rotasi pada sumbunya,
presesi dan berevolusi terhadap matahari. Setiap gerak ini dapat dikaitkan terhadap
matahari atau bintang lainnya. Bumi bersama dengan matahari bergerak relatif
terhadap bintang lokal dan bintang lokal (termasuk di dalamnya matahari) bergerak
mengelilingi pusat galaksi bima sakti. Gerak galaksi ini menjadi acuan terhadap gerak
galakasi lainnya. Gerak galaksi kita terhadap galaksi lainnya merupakan bentuk dari
gerak grup galaksi lokal. Tidak terdapat gerak spesifik yang menunjukkan adanya
kerangka acuan universal yang absolut. Konsep gerak relatif ini dinamakan teori
relativitas.
Relativitas merupakan subjek yang penting berkaitan dengan pengukuran
(pengamatan) tentang di mana dan kapan suatu kejadian terjadi dan bagaimana
kejadian tersebut dianalisa (diukur) menurut suatu kerangka acuan yang bergerak
relatif terhadap kerangka yang lain. Topik tentang relativitas sebenarnya ada 2 bagian
Universitas Sumatera Utara
yaitu relativitas Khusus (Special Relativity) dan relativitas Umum (General
Relativity).
Dalam Teori Relativitas Khusus subjek yang menjadi fokus adalah kerangka
acuan yang inersial. Kerangka acuan yang inersial yaitu kerangka acuan yang padanya
hukum gerak Newton berlaku. Sedangkan Teori relativitas umum berkaitan dengan
situasi yang lebih rumit dimana kerangka acuan mengalami percepatan gravitasi.
Teori Relativitas Khusus didasari pada postulat Einstein, yang mengubah pemahaman
klasik tentang relativitas.
Postulat Einstein meskipun nampak aneh dan sulit dipahami, namun kenyataan
eskperimen modern sesuai dengan postulat tersebut dan perkembangan teknologi
modern saat ini semua didasari postulat tersebut. Ada tiga asas yang melandasi teori
relatvitas khusus, yaitu :
1. Untuk setiap gerakan berkelajuan rendah (momentum rendah), konsep-konsep dan
hukum relativistik yang muncul harus sesuai dengan konsep-konsep yang telah
ada dalam teori Newton.
2. Semua hukum alam bersifat tetap bentuknya (kovarian) terhadap perpindahan
peninjauan kerangka inersia satu menunju kerangka inersia yang lain.
3. Laju maksimal yang dapat dimiliki oleh isyarat tidak bergantung (invarian) dari
kerangka inersia yang digunakan.
2.5.1 Teori Relativitas Khusus
Teori relativitas khusus telah mampu menampilkan persamaan Maxwell, yang
merupakan persamaan dasar dalam elektrodinamika, dalam bentuk kovarian.
Konsekuensi teori relativitas khusus adalah kelajuan gelombang elektromagnetik
dalam vakum sama dengan c (laju cahaya di ruang hampa). Beberapa percobaan
menunjukkan bahwa dalam elektromagnetik, tidak ada kerangka istimewa. Dalam
kerangka inersia, kelajuan cahaya sama dengan c, dengan kata lain c merupakan
besaran invarian. Selain itu sistem persamaan Maxwell berlaku dalam semua kerangka
inersia, yang oleh karena itu konsep ruang-waktu dan momentum energi mutlak harus
diganti.
Universitas Sumatera Utara
Terdapat dua pendekatan yang digunakan untuk menelusuri kaedah
transformasi antara besar-besaran fisis (transformasi lorentz) dari kerangka inersia
yang satu (K) menuju kerangka inersia lainnya (K’) yang bergerak dengan kecepatan
konstan v terhadap K.
Pendekatan pertama yang digunakan bersifat konvensional yaitu dengan
memilih ruang dan waktu sebagai variabel awal yang digunakan dalam merumuskan
kaedah transformasi Lorentz. Dengan pendekatan ini, kaedah transformasi untuk
besaran momentum dan energi ditelusuri. Pendekatan kedua bersifat pendekatan
energetika, yaitu dengan memilih momentum energi sebagai variabel awal. (Rinto
Anugraha NQZ, 2004)
2.5.2 Teori Relativitas Umum
Relativitas umum (general relativity) adalah sebuah teori geometri mengenai gravitasi
yang diperkenalkan oleh Albert Einstein pada 1916. Teori ini merupakan penjelasan
gravitasi termutakhir dalam fisika modern. Ia menyatukan teori Einstein sebelumnya,
relativitas khusus dengan hukum gravitasi Newton. Hal ini dilakukan dengan melihat
gravitasi bukan sebagai gaya, tetapi lebih sebagai manifestasi dari kelengkungan
ruang dan waktu. Kelengkungan ruang dan waktu ini terjadi karena kehadiran massa
yang dapat diilustrasikan yaitu dengan air yang tenang yang dimasukkan ke dalamnya
suatu benda massif. Benda massif ini akan menghasilkan pusaran air disekelilingnya.
Benda yang kurang massif yang ditempatkan dalam pusaran air tersebut akan
mengikuti pergerakan pusaran air ini.
Banyak prediksi relativitas umum yang berbeda dengan prediksi fisika klasik,
utamanya prediksi mengenai berjalannya waktu, geometri ruang, gerak benda pada
jatuh bebas, dan perambatan cahaya. Contoh perbedaan ini meliputi dilatasi waktu
gravitasional, geseran merah gravitasional cahaya, dan tunda waktu gravitasional.
Prediksi-prediksi relativitas umum telah dikonfirmasikan dalam semua percobaan dan
pengamatan fisika. Walaupun relativitas umum bukanlah satu-satunya teori relativistik
Universitas Sumatera Utara
gravitasi, teori relativitas umum merupakan teori paling sederhana yang konsisten
dengan data-data eksperimen.
Teori Einstein memiliki implikasi astrofisika yang penting. Teori ini
memprediksikan adanya keberadaan daerah lubang hitam yang mana ruang dan waktu
terdistorsi sedemikiannya tiada satu pun, bahkan cahaya pun, yang dapat lolos
darinya. Terdapat bukti bahwa lubang hitam bertanggungjawab terhadap radiasi kuat
yang dipancarkan oleh objek-objek astronomi tertentu, seperti inti galaksi aktif dan
mikrokuasar. Melengkungnya cahaya oleh gravitasi dapat menyebabkan fenomena
pelensaan gravitasi. Relativitas umum juga memprediksikan keberadaan gelombang
gravitasi. Keberadaan gelombang ini telah diukur secara tidak langsung, beberapa
usaha yang dilakukan untuk mengukurnya secara langsung. Selain itu, relativitas
umum adalah dasar dari model kosmologis untuk alam semesta yang terus
berkembang.
2.5.3 Transformasi Galilean.
Transformasi Galilean adalah tranformasi yang bersifat invarian terhadap hukum
mekanika Newton. Hukum mekanika Newton membahas tentang gerak relatif suatu
kerangka inersia terhadap kerangka inersia lainnya. Pada awalnya ada penelitian
tentang fenomena elektrodinamika, cahaya dianggap memiliki kecepatan tak
berhingga, dan kejadian yang sama akan diamati dari kerangka inersia yang berbeda.
Sistem inersia ini didefinisikan sebagai suatu kerangka acuan dimana hukum inersia
Newton (hukum pertama Newton Berlaku).
Untuk suatu kejadian di titik p seperti ditunjukkan pada gambar 2.8 maka
transformasi Galilean akan menunjukkan hubungan untuk dimensi ruang dan waktu
dari kejadian p berdasarkan pengamatan yang dilakukan pengamat pada kerangka
inersianya masing-masing sebagai berikut.
x' = x − vt
y' = y
Universitas Sumatera Utara
z' = z
t' = t
(2.38)
2.5.4 Transformasi Lorentz
Hukum mekanika Newton invarian terhadap transformasi Galilean sehingga
persamaan Newton menggambarkan hubungan kesamaan bentuk yang tidak
bergantung terhadap
kecepatan kerangka acuan. Ketika cahaya dan fenomena
elektrodinamika diselediki timbullah suatu masalah baru yang disebabkan cahaya
memiliki kecepatan berhingga, c sehingga peninjauan terhadap transformasi galilean
bahwa kecepatan relatif terhadap seorang pengamat seharusnya bergantung terhadap
kerangka acuannya maka lahirlah teori relativitas Einstein.
Seperti halnya hukum gerak Newton yang
kesamaan hubungannya
dihubungkan transformasi Lorentz maka teori relativitas Einstein dijelaskan dengan
tentang kelajuan cahaya diamati invarian dalam setiap kerangka acuan yang bergerak
uniform terhadap kerangka acuan yang lain dihubungkan dengan suatu pendekatan
yaitu transformasi Lorentz yang persamaan transformasinya dinyatakan dalam
persamaan (2.38)
Bila dikaji lebih lanjut, koordinat ruang dan koordinat waktu mempunyai
kaitan erat. Waktu pengamatan untuk setiap pengamat tidaklah sama; t’ bergantung
pada x dan juga pada t. Jika dibiarkan c →∝ maka persamaan Lorentz akan tereduksi
menjadi persamaan Galilean.(Halliday, Resnick, 1992)
Berikut ini merupakan sistem persamaan yang diketahui sebagai transformasi
Lorentz yang ditunjukkan dalam gambar 2.8 yang memperlihatkan dua sistem
koordinat yaitu sistem koordinat K yang diam dan sistem koordinat K’ yang bergerak
yang dinyatakan oleh x,y,z,t dan x’.y’,z’ dan t’. Transformasi ini harus menunjukkan
bahwa kecepatan cahaya c sama untuk semua kerangka acuan yang bergerak secara
uniform.
Universitas Sumatera Utara
z’
z
v
P
y’
y
v
v
x’
K’
x
K
Gambar 2.8 Sistem Koordinat ruang K dan K’
Dari sistem koordinat yang ditunjukkan dalam gambar 2.8 didapatkan penyelesaian
yaitu persamaan :
x' =
x − vt
v2
1− 2
c
y' = y
z' = z
v
.x
2
c
t' =
v2
1− 2
c
t−
(2.39)
( Albert Einstein, 1931)
Universitas Sumatera Utara
Download