BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lalat buah Bactrocera spp. (Diptera : Tephritidae) merupakan salah satu hama yang sangat merugikan pada tanaman hortikultura diantaranya mangga, belimbing, jambu, nangka, semangka, melon, cabai, dan lain-lain. Akibat serangan hama ini menyebabkan rendahnya produksi dan mutu buah. Hal ini dapat menurunkan daya saing komoditas hortikultura Indonesia di pasar dalam dan luar negeri. Sifat khas dari Bactrocera spp. adalah hanya bertelur dan hidup dalam buah, kemudian larva menetas dan hidup di dalam daging buah, sehingga menimbulkan kerusakan. Pada populasi tinggi, intensitas serangannya dapat mencapai 100% (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2004a). Menurut Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat di Bogor (2008), Bactrocera spp. merusak buah dengan cara meletakkan telur di dalam buah. Tiga hari kemudian telur menetas dan larvanya berkembang dengan menggerogoti daging buah sehingga buah menjadi busuk. Larva hidup di dalam buah selama 1216 hari, kemudian meloncat ke tanah dan menjadi pupa. Setelah tiga hari, pupa menjadi lalat dewasa yang siap kawin dan bertelur kembali pada buah yang segar. Penggunaan pestisida kimia sering menjadi tumpuan dalam pengendalian Bactrocera spp.. Pengendalian dengan menggunakan pestisida cenderung menjadi pilihan terbaik bagi para petani untuk memperoleh hasil yang memuaskan tanpa memperhatikan kondisi lingkungan, tetapi ternyata penggunaan pestisida 1 2 mengakibatkan dampak yang sebelumnya tidak diperhitungkan. Pestisida dapat menyebabkan terjadinya resistensi pada patogen tumbuhan dan hama, populasi hama dapat meningkat setelah disemprot pestisida berkali-kali, bahkan dapat terjadi ledakan hama yang dulunya dianggap tidak penting. Hal yang lebih penting lagi adalah dampak negatif pestisida terhadap kesehatan manusia dan pelestarian lingkungan (Abadi, 2005), serta turunnya populasi musuh alami (Nugroho et al., 2001). Kerugian berupa timbulnya dampak buruk penggunaan pestisida, dapat dikelompokkan atas tiga bagian, yaitu berpengaruh negatif terhadap kesehatan manusia, berpengaruh buruk terhadap kualitas lingkungan, dan dapat meningkatkan perkembangan populasi jasad penganggu tanaman (Girsang, 2009). Dijelaskan lebih lanjut bahwa pemakaian insektisida yang terus menerus akan menimbulkan resistensi hama serangga, resurgensi hama, eksplosi hama kedua sehingga kerusakan terhadap tanaman akan semakin meningkat. Pada tahun 2006, terdaftar lebih dari 1.300 merek dagang pestisida beredar di Indonesia (Djojosumarto, 2008: 340). Akibat banyaknya pengaruh buruk yang disebabkan karena penggunaan pestisida, maka dibutuhkan alternatif lain yang dapat menekan penggunaan pestisida. Serangga fitopagus dalam menemukan lokasi inang yang sesuai, baik sebagai sumber makanan maupun tempat peletakan telur bagi serangga tersebut ataupun untuk keturunannya salah satunya menggunakan senyawa semiokimia yang dihasilkan oleh tanaman. Oleh karena itu, salah satu alternatif yang dapat menekan penggunaan pestisida adalah dengan pemanfaatan senyawa semiokimia. 3 Pemanfaatan senyawa semiokimia untuk mengendalikan serangga dapat dilakukan dengan beberapa metode (Cox, 2004), yaitu dengan menggunakan senyawa kimia yang dapat menarik atau menolak serangga. Senyawa kimia yang berperan sebagai penarik (atraktan) adalah senyawa volatil (mudah menguap). Senyawa tersebut dapat dideteksi oleh serangga tertentu ketika senyawa tersebut dilepaskan ke udara. Atraktan dapat digunakan untuk mengendalikan hama lalat buah dalam tiga cara, yaitu mendeteksi atau memonitor populasi lalat buah, menarik lalat buah untuk kemudian dibunuh dengan perangkap dan mengacaukan lalat buah dalam melakukan perkawinan, berkumpul ataupun tingkah laku makan (Kardinan et al., 2009; Weinzierl et al., 2009). Teknik pengendalian Bactrocera spp. yang telah dilakukan di Hawaii adalah dengan pemanfaatan senyawa semiokimia tersebut, yaitu dengan menggunakan senyawa atraktan dengan bahan aktif metil eugenol yang dapat mengurangi penggunaan pestisida sebesar 75-95% (Vargas, 2007). Banyak penelitian yang telah dilakukan mengenai potensi tumbuhan sebagai atraktan Bactrocera spp. yang memang mengandung senyawa metil eugenol didalamnya, diantaranya adalah Ocimum sanctum (Amalia, 2007 ; Pasaribu et al., 2007; Kardinan et al., 2009) yang memiliki kandungan metil eugenol 56% (Poentyanti et al., 2008), Melaleuca brachteata (Wikardi et al., 1998), bunga kemuning (Murraya paniculata) (Chuah, 2001) dan Syzygium aromaticum yang mengandung senyawa utama eugenol (Kardinan, 2003). Selain itu, tanaman lain yang belum digali potensinya untuk dijadikan bahan pengendalian Bactrocera adalah Spathiphyllum sp. Spathiphyllum sp. memiliki kandungan metil eugenol pada bagian spadix 4 nya (Chuah et al., 2006). Berdasarkan asumsi tersebut, maka dimungkinkan adanya ketertarikan Bactrocera spp. pada perbungaan Spathiphyllum sp. karena adanya senyawa yang terkandung dalam tanaman ini yang nantinya dapat dimanfaatkan sebagai bahan semiokimia untuk mengendalikan Bactrocera spp.. Spadix (tongkol bunga) merupakan tempat tumbuhnya perbungaan Spathiphyllum sp.. Perbungaan tanaman ini memiliki sifat khas yaitu bersifat protogini (bunga betina masak terlebih dahulu sebelum bunga jantan), dan memiliki fase yang berbeda setiap perkembangannya dengan periode perbungaan yang lama (Prana, 2007), sehingga sulit untuk menentukan pada fase perbungaan mana yang paling efektif digunakan sebagai bahan semiokimia untuk mengendalikan Bactrocera spp.. Berdasarkan permasalahan tersebut, sebagai penelitian dasar, penelitian ketertarikan Bactrocera spp. pada perbungaan Spathiphyllum sp. ini dilakukan sejalan dengan perkembangannya untuk mendapatkan fase perbungaan yang paling tepat digunakan dalam mengendalikan Bactrocera spp. dengan metode pengamatan langsung. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: ”Bagaimana ketertarikan Bactrocera spp. pada perbungaan Spathiphyllum sp. sejalan dengan perkembangan bunganya?” Dari rumusan masalah di atas, dapat dibagi lagi menjadi beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 5 1. Berapakah rata-rata jumlah Bactrocera spp. yang hinggap pada setiap fase perbungaan Spathiphyllum sp.? 2. Bagaimanakah pola kunjungan Bactrocera spp. pada setiap fase perbungaan Spathiphyllum sp.? C. Batasan Masalah Untuk memfokuskan hal-hal yang perlu diamati dan dikerjakan selama penelitian, maka masalah dalam penelitian ini dibatasi sebagai berikut: 1. Pengamatan dilakukan pada enam fase perbungaan Spathiphyllum sp., yaitu fase kuncup, fase pra-reseptif, fase reseptif, fase polen viabel, fase pasca polen viabel dan fase layu (berdasarkan hasil pengamatan pra-penelitian). 2. Parameter yang diukur pada penelitian adalah jumlah Bactrocera spp. yang hinggap pada setiap fase perbungaan Spathiphyllum sp. 3. Perbungaan Spathiphyllum sp. yang diamati adalah bagian spadix (tongkol bunga). D. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui ketertarikan Bactrocera spp. pada perbungaan Spathiphyllum sp. sejalan dengan perkembangan bunganya dan memperoleh fase perbungaan Spathiphyllum sp. yang paling banyak menarik Bacrocera spp. 6 E. Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan: 1. Bagi para petani, mendapatkan informasi sebagai acuan dalam rangka mengembangkan pengendalian hama Bactrocera spp. dengan menggunakan bahan alami yang ramah lingkungan. 2. Dapat mengetahui fase perbungaan Spathiphyllum sp. mana yang paling banyak menghasilkan metil eugenol. F. Asumsi Penelitian 1. Spathiphyllum cannaefolium mengandung senyawa kimia metil eugenol (Chuah et al., 1996). 2. Metil eugenol sangat efektif sebagai atraktan untuk lalat buah jantan (Iwahashi, 1996 ; Kardinan, 2003).