BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mencapai kemerdekaannya pada tahun 1945, namun masih memiliki banyak ketimpangan sosial. Salah satu dari tugas pemerintah yang belum terselesaikan adalah penyebaran penduduknya yang tidak merata. Pada tahun 1971, Indonesia berpenduduk 119 juta jiwa, 65% di antaranya berada di Jawa dan Bali, dengan kepadatan penduduk yang berkisar antara 380 hingga 1.000 jiwa/km². Pulaupulau lain, yang disebut “tanah seberang”, berpenduduk sedikit, Potensi pertaniannya belum dikelola secara intensif. Kondisi geografi sosial yang kontras itulah mendorong pemerintah menyelenggarakan program transmigrasi1. Transmigrasi adalah istilah Indonesia untuk migrasi yang diselenggarakan oleh Pemerintah dimana semua pembiayaannya ditanggung oleh pemerintah. Transmigrasi merupakan salah satu upaya pemerintah dalam mewujudkan keseimbangan penyebaran penduduk, memperluas kesempatan kerja, meningkatkan produksi dan meningkatkan pendapatan. Selain itu program pelaksanaan transmigrasi, melaksanakan pemerataan pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial transmigran. Transmigrasi juga berfungsi untuk mempercepat bagi perubahan 1 Lihat J.Harjono, Transmigran in Indonesia,1977, dalam buku Muriel Charas Dari Hutan Angker Hingga Tumbuhan Dewata,( Yogyakarta:Gadjah Mada University Press,1997),hlm 1. yang merupakan analisis paling mutakhir mengenai masalah ini.karya tersebut menggambarkan dengan jelas sekali keragamaan geografi Indonesia serta perkembangan sasaran proyek transmigrasi sejak kemerdekaan. 1 pengelompokan dan penggolongan manusia dan membentuk jalinan hubungan sosial dan interaksi sosial yang baru untuk menjaga integrasi antar daerah karena di Indonesia terdiri dari suku. Dalam konteks ini, transmigrasi juga bertujuan membangun persatuan nasional melalui kebijaksanaan pembauran etnis: “ Transmigrasi bertujuan untuk mengintegrasikan dan mengasimilasikan suku-suku bangsa kita yang berbeda-beda. Di samping itu transmigrasi bertujuan pula untuk membangun daerah luar Jawa, dengan memanfaatkan lahan-lahan luas yang belum dikelola, mengubah tanah yang belum digarap menjadi tanah subur dan produktif.2 Berdasarkan keputusan presiden No.2 tahun 1973 tertanggal 4 Januari 1973 Propinsi Sulawesi Selatan ditunjuk sebagai salah satu propinsi penerima transmigran3. Didaerah Propinsi Sulawesi Selatan terdapat beberapa pemukiman transmigran sebelum perang dunia kedua. Tempat pemukiman yang sudah berkembang, dari zaman sebelum Perang Dunia Kedua, adalah Wonomulyo di Kabupaten Polmas.. Apabila di hitung mulai tahun 1971 hingga tahun 1975, maka kenaikan itu sejumlah 243.354, atau rata-rata tiap tahunnya 81.118, atau 1,2 %. Data Statistik menunjukkan terjadi pertumbuhan penduduk di Sulawesi Selatan. Di antara daerah-daerah Kabupaten yang mengalami kenaikan penduduk lebih dari 10% dalam 2 Patrice Levang. Ayo ke Tanah Sabrang, (Jakarta: KPG Kepustakaan Populer Gramedia,2003) hlm. 26. 3 Keputusan Presiden mengenai ketentuan-ketentuan pokok transmigrasi. 2 tempo 3 tahun, ialah Kabupaten Luwu (17%), Ujung Pandang (29%), Kabupaten Majene (15,7) dan Kabupaten Mamuju (13,7%).4 Luwu salah satu daerah penerima transmigran di antaranya unit Bone-Bone, Mangkutana, Wotu dan Masamba5. Kecamatan Bone-Bone terdiri dari 17 desa, enam di antaranya dibentuk pada tahun 1969-1974 dengan maksud untuk dapat menerima transmigran dari Jawa dan Bali, Ke enam desa tersebut adalah Bone-Bone, Sidomukti, Patila, Tamuku, Sidomakmur, Sukaraya. Perkampungan untuk transmigran Bali adalah desa Sidomakmur yang dibangun pada tahun 1970, Sidomakmur menerima transmigran dari Jawa Timur dan Bali sebanyak 250 KK atau kurang lebih 1129 orang/jiwa. Kepadatan penduduk di Sidomakmur 4.1 per Ha dengan tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 1.01% per tahun. Luas wilayaj Sidomakmur 5,25 Km², disebelah utara berbatasan dengan Patila, sebelah Timur berbatasan dengan Tamuku, sebelah Selatan berbatasan dengan Tamuku, sebelah barat berbatasan dengan Sidomukti. Luas areal proyek 520 Ha, Pembukaan luas areal pada tahun 1970 seluas 250 ha dan pada tahun 1976 menjadi 450 Ha. Sidomukti dan Sidomakmur digabung menjadi satu pada tahun 1979 dan meliputi empat kampung yaitu Banyu urip, Sidomulyo, Sidorejo dan Sidomakmur dan pusat administrasi desanya berada di Sidomukti6. Sebelum menjadi perkampungan Sidomakmur adalah rawa-rawa dan hutan yang cukup lebat, namun dengan ketekunan dari para 4 Muriel Charas, op. cit., hlm. 19. Ibid., hlm 27 6 Team Universitas Hasanuddin, Evaluasi Dampak Sistim Irigasi Bone-Bone di Kabupaten Luwu-Sulawesi Selatan, Ujung Pandang Maret.1981., hlm. 8. 5 3 transmigran Bali mereka bergotong royong untuk membuka daerah tersebut untuk menjadi sebuah perkampungan yang layak huni. Mereka kemudian diberikan tanah untuk lahan pertanian dan rumah. Lahan pertanian yang diberikan pemerintah kepada transmigran seluas 2 Ha, biasanya ditanami padi (sawah-ladang), jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar, dan tembakau. Disamping bertani, hasil pertanian transmigran biasanya untuk dikonsumsi sendiri. Para transmigran itupun menghasilkan barang-barang hasil kerajinan tangan (industri rumah tangga) dan jasa. Dalam usaha meningkatkan taraf hidup transmigran Bali, pemerintah melakukan intervensi pertanian dengan menerapkan panca usaha tani, panca usaha tani berkaitan dengan penggunaan bibit unggul, pengolahan tanah yang baik, pemupukan yang tepat, pengendalian hama atau penyakit, dan pengairan atau irigasi. Untuk mendukung terlaksananya program ini jawatan transmigrasi mendirikan balai penyuluhan pertanian. Sistem irigasi Bone-Bone adalah salah satu dari empat sub proyek yang termasuk dalam proyek pengembangan wilayah dan transmigrasi di Luwu. Dari 17 desa yang ada di Bone-Bone hanya 4 desa saja yang mempunyai sistim irigasi yakni desa Bone-Bone, Sidomukti, Patila, Tamuku ditambah dengan sebahagian dari desa Sidomakmur. Sistim irigasi ini mulai dibangun pada tahun 1939 oleh pemerintah Belanda sebagai salah satu usaha Kolonisasi di Luwu. Pada tahun 1969 sistim ini direhabilitasi dan dikembangkan oleh pemerintah pada tahun 1972/1973. Program irigasi bertujuan untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat desa , meningkatkan produktivitas pertanian, pendapatan dan perluasaan kesempatan kerja. Bukti nyata 4 dari adanya sistim Irigasi Bone-Bone adalah terdapat perbedaan yang berarti dalam hasil produksi padi per hektar antara sebelum dan sesudah adanya irigasi. irigasi telah meningkatkan hasil produksi per hektar kurang lebih 121 % di desa Sidomukti ratarata hasil produksi padi sebelum ada irigasi 2464 kg per Ha sedangkan sesudah ada irigasi meningkat menjadi 5454 kg, bahkan di desa Sidomakmur produksi padi sebelum ada irigasi 2749 kg per Ha kemudian meningkat setelah ada irigasi sebesar 6599 kg per Ha naik sampai 212 %. Produktivitas padi di Sidomakmur sangat tinggi namun hal ini tidak diikuti dengan peningkatan jumlah tenaga kerja. Sistem irigasi tidak terlepas dari transmigran karena sebelum transmigran ada di Bone-Bone tidak pernah ada program irigasi yang dibuat pemerintah untuk menyejahterakan kehidupan petani. Pemerintah kemudian mengintensifkan penyuluhan tentang cara-cara produksi baru pada usaha tani yang sudah ada, cara menerapkan teknologi produksi yang maju, dan cara memasarkan hasil produksi ke daerah-daerah minus dengan lancar. Hal ini kemudian diharapkan dapat meningkatkan pembangunan di Bone-Bone.7 Dengan melakukan migrasi ke daerah tujuan transmigran mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Potret kehidupan daerah transmigrasi merupakan hasil interaksi antara masyarakatnya sendiri. Interaksi antara alam dengan manusia, manusia dengan manusia, serta manusia dengan Sang Pencipta. Interaksi transmigran Bali dengan penduduk lokal yang dapat dilihat dalam dalam hubungan perkawinan dengan penduduk asli di sekitar desa Sidomakmur, 7 ibid 5 misalnya seorang transmigran Bali yang beragama Hindu menikah dengan wanita Bugis yang beragama islam.8 Transmigran Bali memberikan corak adat budaya dan kebiasaan yang berbeda di Kecamatan Bone-Bone dengan kebudayaan asli Luwu. Perkampungan Bali yang ada di Bone-Bone dibangun seperti perkampungan Bali yang sesungguhnya. Ornamen-ornamen dan simbol-simbol yang seyogyanya ada dibuat di setiap rumah. Interaksi sosial orang Bali dengan penduduk setempat cukup baik. Kajian transmigrasi di Kecamatan Bone-Bone sangat menarik untuk dikaji karena orang Bali merupakan salah satu suku yang mempertahankan keunikan kebudayaan mereka. Meskipun telah banyak karya sejarah yang ditulis silih berganti namun masih kurang perhatian menyangkut sejarah sosial khususnya transmigrasi orang Bali di Kecamatan Bone-Bone. Migran Bali merupakan migran terbanyak yang ada di Kecamatan Bone-Bone. Migran Bali membentuk koloni untuk membangun sebuah perkampungan untuk orang Bali, hingga kini terdapat 3 perkampungan Bali. 1.2 Batasan dan Rumusan Masalah Batasan spasial kajian ini adalah Desa Sidomakmur di Kecamatan Bone-Bone Kabupaten Luwu Utara, sementara batasan temporalnya tahun 1970-1990. Penulis mengawali tahun 1970 sebagai periode awal dari penelitian ini karena pada tahun 1969 arus migrasi yang datang ke Sulawesi mengalami peningkatan yang cukup drastis. Pada tahun 1970 perkampungan Sidomakmur mulai dibangun oleh para transmigran sebagai perkampungan Bali yang pertama yang ada di Kecamatan Bone8 Wayan Widiana : wawancara, 10 desember 2012, Sidomakmur. 6 Bone. Tahun 1990 sebagai periode akhir penulisan dikarenakan penulis ingin melihat perkembangan yang terjadi terhadap transmigran, Pada rentan waktu 1970 hingga 1990 banyak hal yang dialami oleh transmigran, sepuluh tahun pasca dibangunnya Sidomakmur tidak jarang di antara transmigran memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya di Bali, sebagian dari mereka memilih untuk tetap tinggal, dan sebagian lagi membeli tanah di tempat lain hal ini terjadi pada tahun 1980. Dari sini penulis ingin melihat perkembangan transmigran tiap 10 tahun dimulai dari tahun 1970-1990. Di dalam suatu penulisan, rumusan masalah sangat penting sebab akan memudahkan penulis didalam mengarahankan pengumpulan data yang relevan. Inilah yang akan menjadi landasan dalam penulisan nantinya pada bab-bab selanjutnya. Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas ada beberapa pokok permasalahan yang akan dikaji yaitu : 1. Bagaimana awal perkembangan didirikannya Desa Sidomakmur? 2. Bagaimana pola hubungan sosial antara transmigran Bali dengan penduduk lokal? 3. Bagaimana perkembangan ekonomi dan dampak yang terjadi di wilayah itu pasca adanya transmigran Bali? 1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian yang dirumuskan secara umum merupakan cara untuk memperoleh gambaran umum dari objek yang akan diteliti, Sehingga dapat 7 dipergunakan sebagai bahan untuk menyempurnakan perencanaan dasar dari perumusan masalah. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui proses awal terbentuknya Desa Sidomakmur. 2. Untuk mengetahui pola-pola hubungan sosial antara transmigran Bali dengan penduduk lokal. Berkaitan dengan interaksi sosial yang terjadi mulai dari awal kedatangan transmigran Bali hingga kini. 3. Untuk mengetahui perkembangan dan dampak apa saja yang terjadi dengan adanya Transmigran Bali menyangkut sistem tatanan sosial yang terjadi pada Transmigran Bali dan penduduk asli di Kecamatan Bone-Bone. Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah : 1. Menambah literatur kepustakaan yang dapat dimanfaatkan bagi pengembangan dunia ilmu pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan sejarah. 2. Sebagai suatu sarana informasi bagi pihak yang berkepentingan baik dalam praktek penanganan wilayah transmigran maupun penelitian mengenai sejarah sosial terkhusus pada sejarah Transmigrasi. 3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian sejarah berikutnya. 8 1.4 Tinjauan Pustaka Dalam melakukan penelitian, penelitian kepustakaan sangat penting bagi penelitian yang dikaji. Dalam penelitian ini, penulis membuat penuntun ataupun acuan yaitu berupa literatur kepustakaan yang berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan serta penulis akan mengungkapkan beberapa defenisi yang berkaitan dengan penelitian ini. Menurut Muriel Charras, dalam bukunya Dari Hutan Angker Hingga Tumbuhan Dewata (Transmigrasi di Indonesia: Orang Bali di Sulawesi). bahwa transmigrasi yang terorganisasi untuk orang Bali telah dimulai setelah proklamasi, yaitu pada tahun 1953. Transmigran Bali yang datang ke Sulawesi pada tahun 19501968 sekitar 4,0 % pada tahun 1969-1974 26,2 %. Sejak tahun 1969 terjadi Diversifikasi tujuan transmigran, tidak jarang para calon transmigran menunda keberangkatannya, hal ini karena mereka ingin bertransmigrasi ke Sulawesi, karena menurut mereka Sulawesi lebih menjanjikan sebagai daerah penerima transmigran. Itulah mengapa terjadi pertumbuhan penduduk yang menyolok di Sulawesi. Salah satu daerah yang menjadi daerah penerima transmigran adalah kecamatan BoneBone9. Pada tahun 1950-1968 hanya sedikit orang Bali yang bertransmigrasi ke Sulawesi hal ini disebabkan pada tahun tersebut terjadi kekacauan politik terutama di Luwu. Pada saat itu terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Kahar Muzakkar, 9 Muriel Charras, Dari hutan Angker Hingga Tumbuhan Dewata. Transmigrasi di Indonesia : Orang Bali di Sulawesi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,1997., hlm. 5. 9 namun setelah pemberontakan usai para transmigran Bali mulai berani bertransmigrasi ke Sulawesi. Menurut Sarita Pawiloy dalam bukunya Sejarah Luwu. tanah Luwu adalah tanah yang subur dan memiliki hutan terluas di Sulawesi Selatan yang menyebabkan banyak pendatang masuk mencari nafkah dan membuka lahan-lahan baru. Pendatang pertama berhasil, dan menyusul pendatang baru, baik dari tanah Bugis maupun dari Tana Toraja. Orang Bugis pendatang adalah pedagang, sementara orang Toraja ke Luwu sebagai petani, pengumpul hasil hutan, seperti rotan dan damar. Sebagian dari pendatang itu hanya datang berdagang, tetapi yang lain kemudian tinggal dan menikah dengan penduduk setempat.10 Banyaknya transmigran yang datang ke Luwu dikarenakan daerah Luwu adalah daerah yang subur dan masih banyak terdapat hutan, Hal itu berarti masih banyak lahan yang belum digarap, lahan yang belum digarap inilah yang nantinya dapat menjadi penopang hidup bagi para transmigran. Keberhasilan para pendatang terdahulu memberikan harapan bagi para pendatang baru. Pendatang terdahulu kini telah mempunyai tempat tinggal dan lahan pertanian yang cukup luas, hasil dari pertanian inilah yang menjadi penopang hidup mereka. Keberhasilan transmigran terdahulu memberikan daya tarik terhadap calon transmigran baru. Mereka berharap dapat berhasil sama seperti pendahulunya, sehingga mereka rela untuk melakukan transmigrasi untuk kehidupan ekonomi yang lebih baik. 10 Sarita Pawiloy. Sejarah Lokal Sulawesi Selatan (Ujung pandang: Modul Iba Integrasi Bahan Ajar): Universitas Negeri Makassar 1999), hlm. 32. 10 Menurut Soerjono Soekamto, dalam bukunya Sosiologi, Suatu Pengantar, bahwa interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-perorangan, antara kelompok-kelompok manusia. Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi antara kelompok tersebut sebagai kesatuan dan biasanya tidak menyangkut pribadi anggota- anggotanya. Berlangsungnnya suatu proses interaksi didasarkan pada berbagai faktor antara lain : faktor imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati. Imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku, sugesti berlangsung apabila seseorang memberi suatu pandangan atau sesuatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima pihak lain. Sedangkan identifikasi sebenarnya merupakan kecenderungan-kecenderungan atau keinginan-keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Suatu interaksi sosial tidak mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat yakni adanya kontak sosial dan adanya komunikasi11. Setiap transmigran Bali haruslah melakukan interaksi dengan penduduk setempat agar mereka dapat diterima dengan baik. Mereka juga harus berusaha mengikuti pola-pola hubungan yang telah ada di daerah penerima transmigran agar dapat menyesuaikan diri, karena dengan adanya komunikasi sikap-sikap dan perasaan-perasaan suatu kelompok manusia atau orang-perorangan dapat diketahui oleh kelompok-kelompok lain atau orang-orang lainnya. Hal ini juga akan dapat 11 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta, Divisi Buku Perguruan Tinggi, Pt RajaGrafindo Persada, 2010).hlm 55-57. 11 meredam terjadinya konflik yang dapat memicu perpecahan. Transmigran adalah orang yang bertransmigrasi. Transmigrasi yaitu perpindahan penduduk dari pulau ke pulau lainnya dalam suatu Negara.12 Everett S. Lee (1976) dalam tulisannya yang berjudul A Theory Of Migration mengungkapkan bahwa volume migrasi di suatu wilayah berkembang sesuai dengan tingkat keanekaragaman daerah di wilayah tersebut. Di daerah asal dan di daerah tujuan ada faktor positif (+), negatif (-), ada pula faktor netral (o). Faktor posistif adalah faktor yang menguntungkan kalau bertempat tinggal di daerah itu, misalnya di daerah tersebut terdapat sekolah, kesempatan kerja atau iklim yang baik. Faktor negatif adalah faktor yang memberikan nilai negatif pada daerah yang bersangkutan sehingga seseorang ingin pindah dari tempat tersebut karena kebutuhan tertentu tidak terpenuhi. Perbedaan nilai kumulatif antara kedua tempat tersebut cenderung menimbulkan arus migrasi penduduk. Besar kecilnya arus migrasi juga dipengaruhi oleh rintangan, misalnya ongkos pindah yang tinggi, sarana transportasi yang terbatas atau pajak masuk ke daerah tujuan tinggi. Faktor yang tidak kalah pentingnya adalah individu itu sendiri13. Robert Noris (1972) berpendapat bahwa diagram Lee perlu ditambah dengan tiga komponen yaitu migrasi kembali, kesempatan antara, dan migrasi paksaan (force migration) lee menekankan bahwa faktor individu adalah faktor terpenting. Di daerah asal seseorang lahir dan sebelum sekolah orang itu hidup didaerah tersebut. Dia tahu 12 Sulchan Yasyin, Kamus pintar Bahasa Indonesia dengan EYD dan kosakata baru, amanah Surabaya:1995. Hlm 125. 13 Ida Bagoes Mantra, Demografi umum, (Yogyakarta,Pustaka Pelajar,2000). hlm 180-181. 12 benar tentang kondisi daerah asal dan bermain dengan teman-teman sebayanya. Penduduk migrant adalah penduduk yang bersifat bi local population di manapun mereka bertempat tinggal, pasti mengadakan hubungan dengan daerah asal. Itulah mengapa Norris berpendapat lain bahwa faktor daerah asal merupakan faktor terpenting.14 Makin jauh suatu daerah makin sedikit migran yang menuju daerah tersebut (Hukum distance-decay) distance decay adalah istilah geografis yang menjelaskan pengaruh jarak terhadap interaksi budaya atau spasial. Distance decay menyatakan bahwa nilai interaksi antara dua penghuni menurun berbanding dengan nilai jarak antara mereka yang meningkat. Dari tulisan Sanusi Daeng Pane Luwu dalam Revolusi menyebutkan bahwa dulunya Luwu adalah sebuah kerajaan yang cukup besar dan memiliki daerah jajahan yang luas pula. Daya tarik Luwu dalam Buku ini dapat memberikan gambaran umum kepada penulis keadaan daerah Luwu sebelum datangnya transmigran Bali ke tanah Luwu. H. Achmad Lamo dalam bukunya To’dopuli 1966-1978 bahwa berdasarkan keputusan presiden No.2 tahun 1973 tertanggal 4 Januari 1973 Propinsi Sulawesi Selatan ditunjuk sebagai salah satu propinsi penerima transmigran. Kegiatan transmigran bukan hanya diikuti oleh kegiatan-kegiatan konsultasi, tetapi juga kegiatan pembinaan dan pengembangan desa transmigrasi. Kegiatan pembinaan dan 14 Ibid., hlm 182 13 pengembangan terutama didasarkan pada swakarya dan swadaya transmigran untuk bisa mencapai desa swasembada. Dari sini penulis menyimpulkan bahwa orang-orang yang menjadi transmigran diberikan pembinaan agar mereka tidak lagi bergantung pada pemerintah maupun penduduk setempat, sehingga mereka lebih mandiri. Dengan adanya pembinaan ini para transmigran diharapakan dapat lebih mandiri, misalnya dalam bidang pertaniaan mereka tidaklah bertani hanya untuk kebutuhan mereka sendiri tapi juga untuk kebutuhan pasar hal ini dapat menunjang kehidupan ekonomi mereka sekaligus membantu membangun daerah penerima transmigran. Hasil produksi pertanian dijual di pasar tradisional. di pasar inilah kemudian terjadi aktivitas jualbeli barang kebutuhan, sebagian penghasilan disisihkan untuk kebutuhan sehari-hari dan sebagiannya lagi ditabung untuk keperluan yang mendesak. Mirwanto Manuwiyoto, dengan buku Mengenal dan Memahami Transmigrasi. Memberikan gambaran bahwa transmigrasi pada hakekatnya adalah gerak penduduk dari suatu tempat ke tempat lain untuk menetap dan mendapatkan peluang peningkatan kesejahteraan diri dan keluarganya. Sementara itu gerak keruangan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain akan terjadi jika kekurangan yang dialami tidak dapat terpenuhi didaerah asal namun dapat terpenuhi didaerah tujuan, jika tidak gerak keruangan itu tidak akan terjadi. Oleh karena itu rumusan pengertian transmigrasi dalam pasal 1 butir 2 UU No.15 tahun 1997 yang menyatakan bahwa “ Transmigrasi adalah perpindahan penduduk secara sukarela untuk meningkatka kesejahteraan dan menetap di wilayah pengembangan 14 transmigrasi (WPT) atau lokasi pemukiman transmigrasi (LPT)” pengertian tersebut mengandung dua makna secara terintegrasi yang harus dicapai. Pertama, bahwa perpindahan penduduk yang terjadi adalah sukarela untuk meningkatkan kesejahteraan. Kedua, bahwa perpindahan tersebut sekaligus untuk mengembangkan potensi sumberdaya wilayah negeri ini demi kemajuan dan kesejahteraan bersama dalam rangka mewujudkan berdiri kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada tanggal 12 Desember 1950 sejumlah 77 orang transmigran diberangkatkan dari Jawa Tengah menuju Lampung yang selanjutnya kini diperingati sebagai Hari Bhakti Transmigrasi.15 Team Universitas Hasanuddin, Evaluasi Dampak Sistem irigasi Bone-Bone di Kabupaten Luwu-Sulawesi Selatan 1981. Kecamatan Bone-Bone terdiri atas 17 desa, enam diantaranya dibentuk pada tahun 1969-1974 dengan maksud untuk menerima transmigran dari Jawa Timur dan Bali. Kedatangan transmigran di kecamatan BoneBone diikuti dengan pembangunan irigasi, hal ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pangan sehingga taraf kehidupan petani meningkat. Sidomakmur merupakan salah satu desa yang mnerima bantuan untuk dibuatkan irigasi, Produktivitas pangannya meningkat sangat tinggi pasca adanya irigasi ini, namun tenaga kerjanya sangat sedikit, hal inilah yang kemudian menjadi alasan pemerintah untuk menambah jumlah transmigran di Sidomakmur sebagai Tenaga kerja. Para 15 Mirwanto Manuwiyoto, Mengenal dan Memahami Transmigrasi,(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,2004), hlm,38. 15 Transmigran ini kemudian diberikan lahan garapan sebagai daya tarik agar mereka mau tinggal menetap.16 Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, MA. Dalam bukunya Ajeg Bali, memberikan gambaran karakter orang Bali. Menurutnya, karakter orang Bali adalah ramah, murah senyum, terbuka, toleran, santun dan jujur. Hal inilah membuat orang Bali dapat berinteraksi dan berdaptasi dengan orang Luwu sebagai daerah penerima transmigran. Orang Bali juga mengenal Budaya bergotong-royong.17 1.5 Metode Penelitian Sejarah Metode penelitian merupakan suatu cara atau teknik yang dilakukan sebagai upaya memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip guna mewujudkan kebenaran dari suatu permasalahan yang ada. Penelitian yang dilakukan adalah berupa penelitian sejarah (historis). Untuk mendapatkan hasil penulisan yang berdasarkan penelitian sejarah, maka penelitian ini diupayakan untuk membuat suatu tulisan sejarah (histografi). Langkah-langkah yang ditempuh untuk menghasilkan tulisan sejarah adalah dengan mengikuti metode sejarah yang mencakup heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. 18 1. Heuristik 16 Team Universitas Hasanuddin, Evaluasi Dampak Sistim Irigasi Bone-Bone di Kabupaten Luwu-Sulawesi-Selatan, Ujung Pandang, Maret 1981. 17 Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, MA, Ajeg Bali Gerakan, Identitas Kultural, dan globalisasi. (Yogyakarta: Lkis, 2010),hlm, 402. 18 Gotschalk Louis, Mengerti Sejarah, Terjemahan Nugroho Notosusanto, (Jakarta: UI Press,1973), hlm 18. 16 Menurut terminologinya heuristik (heuristic) dari bahasa yunani heuristikan yaitu mengumpulkan atau menemukan sumber. Yang dimaksud dengan sumber sejarah (historical sources) sejumlah materi sejarah yang tersebar dan terdifersifikasi19. Sumber sejarah dibedakan atas sumber primer dan sekunder. a) Data Primer Data primer diperoleh melalui studi lapangan di lokasi penelitian dengan cara berikut : melakukan Observasi, yaitu penulis akan mengadakan pengamatan langsung dilokasi penelitian, serta ke Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Propinsi Sulawesi Selatan guna mencari dan mendapatkan arsip-arsip yang berhubungan dengan penelitian penulis. Kemudian melakukan wawancara, yaitu penulis dalam mengumpulkan data melakukan komunikasi langsung dengan informan yang dipandang atau dianggap penulis dapat memberikan keterangan mengenai objek kajian sehingga memferifikasi data pustaka dan melengkapi data yang telah dikumpulkan. Peneliti juga mengunjungi Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, Badan Pusat Statistik Kab.Luwu, Badan Pusat Statistik Kotamadya Palopo, Badan Pusat Stastik Kab. Luwu Utara. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sulsel dan Kab. Luwu untuk mendapatkan data kependudukan sebagai data pelengkap dalam penulisan Skripsi. 19 Suhartono Pranoto, Teori metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010)., hlm 29. 17 b) Data Sekunder Data sekunder yaitu data yang diperoleh memulai studi kepustakaan. Dengan data sekunder ini penulis mengambil dan mengumpulkan data-data tertulis yang berhubungan dengan objek yang diteliti berupa buku-buku dan dokumen, Jurnal, karya ilmiah (Skripsi, tesis, dan disertasi) yang relevan terdapat perpustakaan daerah Luwu, perpustakaan Universitas Hasanuddin, perpustakaan Fakultas Sastra, perpustakaan Ilmu Sejarah dan berbagai hal yang berhubungan dengan objek kajian penulis. 2. Verifikasi atau Kritik Sumber Setelah sumber dikumpulkan tahap selanjutnya penulis melakukan kritik sumber untuk menentukan otensitas dan kredibilitas sumber sejarah. Semua sumber yang telah dikumpulkan terlebih dahulu diverifikasi sebelum digunakan. Sebab tidak semuanya langsung digunakan dalam penulisan. Dua aspek yang dikritik ialah otentisitas (keaslian sumber) dan kredibilitas (tingkat kebenaran informasi) sumber sejarah. Penentuan keaslian sumber itu berkaitan dengan bahan yang digunakan dari sumber tersebut itu biasanya disebut kritik eksternal. Sedangkan, penyeleksian informasi yang terkandung dalam sumber sejarah, dapat dipercaya atau tidak, dikenal dengan kritik internal. Tahap penyeleksiannya harus sistematis, yakni diawali dengan kritik eksternal kemudian kritik internal. Jika tahap pertama suatu sumber sejarah tidak memenuhi syarat sebuah sumber sejarah (dari segi otensitasnya), tidak 18 perlu dilanjutkan verifikasi tahap berikutnya. Bila sumber berupa dokumen tertulis, maka untuk mengetahui otensitas diuji dengan beberapa pertanyaan: kapan dan di mana sumber dibuat? Dan bagaimana kerangka konseptualnya? Begitu juga dengan sumber lisan penelitian harus cermat. Untuk memperoleh data yang akurat, maka aspek yang diperhatikan adalah siapa, kapan, dimana dan bagaimana peran yang dimainkan oleh pengkisah atau tingkat keterlibatannya dalam peristiwa itu?. Kritik internal dilakukan dalam rangka menguji keotentikan suatu sumber dengan jalan meneliti tulisan, guna mengetahui apakah sumber itu asli, sumber juga diuji keabsahannya. Kritik eksternal bertugas menjawab 3 (tiga) pertanyaan mengenai suatu sumber yaitu,”a). Apakah memang sumber itu yang kita kehendaki?. b). Apakah sumber itu asli atau tiruan?. c). Apakah sumber itu utuh atau telah diubah-ubah?. Sedangkan kritik yang dilakukan untuk mengetahui isi atau pandangan sumber sejarah.20. contoh kritik internal yang dilakukan oleh penulis dalam penulisan skripsi ini adalah dengan membaca beberapa buku yang berkaitan dengan transmigran Bali kemudian mencocokkannya dengan hasil wawancara yang dilakukan dengan narasumber. 19 3. Interpretasi dan Analisa Metode interpretasi sejarah terkait erat dengan pandangan para ahli filsafat. Ada dua aliran pemikiran besar dalam hal ini, yaitu : (1) interpretasi monistik, (2) interpretasi pluralistik.21 interpretasi monistik bersifat tunggal atau suatu penafsiran yang hanya mencatat peristiwa besar dan perbuatan orang terkemuka. Interpretasi ini meliputi empat ranah. Pertama, interpretasi teologis yang bertumpu pada takdir Tuhan (Theosentris). Ke dua, interpretasi geografis, bahwa gerak sejarah umat manusia dipengaruhi oleh faktor geografi. Cara pandang ini mengikuti aliran pemikiran kaum deterministik. Ke tiga, interpretasi ekonomi, yakni faktor pengaruh ekonomi dalam sejarah. Ke empat, interpretasi rasial, yakni penafsiran yang bertumpu pada aspek ras atau bangsa. Interpretasi pluralistik dimunculkan oleh para ahli filsuf pada abad ke-19. Dalam pandangan mereka, sejarah mengikuti perkembangan-perkembangan sosial, budaya, politik, dan multikompleks. Dalam konteks ini sejarawan Sartono Kartodirdjo mengembangkan pendekatan multidimensional dalam studi sejarah. Pada tahap interpretasi inilah ilmu sejarah tidak berani berdiri sendiri. Diperlukan sejumlah konsep dan pendekatan teoritis dari ilmu-ilmu lain, 21 Abd Rahman Hamid & Muhammad Saleh Majid, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta, Ombak, 2011), hlm 75-76. 20 terutama ilmu-ilmu sosial, sehingga konstruksi masa lalu lebih kritis dan analitis.22 Dari uraian diatas mengenai interpretasi penulis berpendapat bahwa interpretasi terhadap sebuah tulisan atau karya merupakan hak preogratif seorang penulis. Interpretasi adalah hasil pengolahan dari data-data yang telah dikumpulkan, setelah data-data sudah terkumpul kemudian dikelompokkan sesuai dengan tempat dan tahun, dengan tujuan agar penulisan dapat mengetahui data yang tidak penting dan dipisahkan agar tidak mengganggu penulis dalam merekonstruksikan peristiwa sejarah. Maka dari itu penulis memilih interpretasi pluralistik karena tulisan yang dibuat oleh penulis membutuhkan ilmu bantu lain selain sejarah, untuk memahami bagaimana polapola sosial yang berlaku pada masyarakat transmigran penulis menggunakan ilmu bantu sosiologi. 4. Historiografi atau Penulisan Sejarah Hal tersebut di atas dilakukan dengan mengingat bahwa sejarah sebagai ilmu dituntut objektifitasnya agar nilai-nilai ilmiahnya terjaga. Namun disadari sepenuhnya bahwa subjektifitas penulis tidak mungkin dapat dihindari. Dengan demikian data dan keterangan atau sumber-sumber yang kredibilitas dan validitasnya dapat ditemukan kemudian dipergunakan untuk membuat sintesis dalam bentuk penulisan skripsi yang deskriptis narasi. 22 Abd Rahman Hamid & Muhammad Saleh Madjid, pengantar Ilmu Sejarah,( Yogyakarta, Ombak, 2011).,hlm 50-51. 21 1.6 Komposisi Bab Adapun komposisi pada skripsi ini terdiri dari 5 bab Bab I memberikan gambaran latar belakang pokok-pokok penelitian yang dikemukan oleh penulis yang menjadi dasar dalam penulisan skripsi ini. Bab II berisi tentang latarbelakang kebijakan pemerintah Hindia Belanda mengenai kolonisasi sebagai realisasi dari politik etis. perpindahan penduduk dari Jawa ke pulau lain sebagai tenaga kerja dan dalam rangka mengisi pulaupulau yang dianggap kosong disebut kolonisasi. Selain itu pada 17 Agustus 1945 ketika Indonesia mendapat kemerdekaannya, pemerintah Indonesia kemudian membuat sebuah program pemindahan penduduk secara terorganisir itu dengan nama transmigrasi, hal ini dilakukan untuk menghilangkan citra kolonial. Pada bab ini juga dibahas mengenai peraturan perundangan-undangan penyelenggaraan transmigrasi yang melandasi diselenggarakannya program transmigrasi di Indonesia khususnya di Sulawesi. Selain itu memberikan gambaran seperti apa latarbelakang sosialbudaya transmigran Bali dan menjelaskan kedatangan awal transmigran Bali. Bab III pada bab ini diberikan gambaran secara umum kondisi para transmigran Bali ketika pertama kali datang ke Sulawesi dan garis besar perkembangannya. Bab IV membahas perkembangan dan interaksi transmigran Bali dengan penduduk lokal dan orang jawa, penulis mencoba menganalisa apakah terjadi pembauran dengan suku lain sebab transmigran 22 telah lama menetap, dari sini penulis dapat menyimpulkan dampak apa yang timbul dengan adanya transmigran. Bab V di bab ini penulis menyimpulkan isi dari tulisan mengenai transmigran Bali didesa Sidomakmur. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang dapat membuat skripsi ini menjadi lebih baik. 23 BAB II TRANSMIGRASI DI KECAMATAN BONE-BONE 2.1 Kebijakan Pemerintah Belanda Tentang Kolonisasi Dalam majalah De Gids, Amsterdam (1899), CTH Van Deventer seorang anggota Raad van Indie dalam tulisannya yang berjudul Een Eere Schuld, menguraikan kemelaratan penduduk Jawa akibat kerja paksa dan cultur stelsel, Ia menghimbau pemerintah Belanda untuk melakukan tindakan-tindakan guna memperbaiki nasib rakyat. Ketika depresi ekonomi 1900 memukul mati kebijakan laisser-faire, kebijakan etis konstruktif yang baru berupaya mengubah ini semua dengan membangun Provinsi-propinsi luar menjadi sebaik Jawa, dan memanfaatkan sumber daya Negara untuk mendorong kemajuan ekonomi, bukan hanya dalam pertanian, tapi dalam produksi pertambangan dan dalam industri serta perniagaan, baik secara langsung oleh perusahaan Negara, maupun, tidak langsung dengan menghimpun kekayaan material dan kesejahteraan manusia. Van Deventer mengumumkan tema itu dengan Irigasi, Imigrasi, dan pendidikan.23 Pada tahun 1901 Raja Belanda memberi pengarahan dalam Pidato kerajaannya antara lain untuk 23 J.S Furnivall, Hindi Belanda Studi tentang Ekonomi Majemuk, (Jakarta: Freedom Institute, 2009), hlm,319. 24 memperbaiki kemakmuran rakyat Jawa. Sehubungan dengan itu, Minister van Kolonien meminta kepada Van Deventer untuk memberikan sarannya. Perumusan pokok yang diajukan oleh van Deventer adalah edukasi, irigasi, dan imigrasi, yaitu melaksanakan pembangunan sekolah perbaikan produksi bahan makanan, dan pemindahan penduduk dari Jawa ke daerah-daerah lain di luar Jawa. Perumusan itu kemudian menjadi the guieding principles dalam melaksanakan kebijakan polotik kolonial pemerintah Belanda. Pemerintah Hindia Belanda menugaskan seorang Asisten Residen bernama H.G. Heyting agar mempelajari kemungkinan pemindahan penduduk dari Jawa ke daerah lain yang penduduknya dan cadangan tanah pertaniannya masih luas. Pada tahun 1903 Heyting melaporkan usulan program yang maksudnya adalah membangun 500 kk di setiap desa inti dengan bantuan secukupnya agar ekonomi mereka lekas kuat dan menjadi basis bagi para kolonis baru membuka daerah sekitarnya. Daerah pertama yang merupakan cikal bakal kolonisasi adalah ketika pemerintah Hindia Belanda menugaskan H.G. Heyting, Asisten Residen Sukabumi dibantu oleh Wedana Ronodimedjo dari Kutoarjo dan dua orang mantri ukur, memberangkatkan 155 KK dari Kedu dan Banyumas. Sebagai kelompok pertama pada bulan November 1905 menempati Gedong Tataan. Desa kolonosasi pertama ini diberi nama Bagelen sesuai dengan kabupatenkabupaten yang berada di “ daerah” Bagelen (Banyumas). Pengiriman kedua dilaksanakan pada tahun 1906, dengan penempatan di Gading Rejo sebanyak 555 25 KK. Pengiriman ketiga tahun 1910 dilokasi yang sama. Pada saat itu para kolonis mendapatkan 20 gulden per KK (1 gulden sekitar Rp. 1.430) ditambah biaya transportasi yang sepenuhnya ditanggung pemerintah. Para kolonis ditempatkan di bedeng-bedeng dan bekerja di saluran irigasi dengan upah 0,4 gulden per hari. Pada waktu itu para kolonis mendapatkan lahan seluas 0,7 Ha untuk sawah dan 0,3 Ha sebagai lahan pekarangan. Desa inti pertama dibangun pada tahun 1905 di Gedong Tataan kira-kira 25 km dari Bandar Lampung (Tanjungkarang) di pinggir jalan ke Kota Agung. Pembangunan desa ini ditangani sendiri oleh Heyting menurut pola dari Jawa. Sampai tahun 1911 dibangun 5 desa inti. Segala sesuatunya diatur seperti di Jawa, termasuk struktur pemerintahannya dengan kamituo, lurah, dan asisten wedana yang berbeda dengan struktur pemerintahan masyarakat sekitarnya, yang merupakan masyarakat adat. Sistem pertaniannyapun berbeda. Jadi daerah kolonisasi merupakan enclave sosial dan politik.24 Fase kedua, dilakukan dalam kerjasama dengan Bank Rakyat Lampung, The Lampongsche Volksbank (1911-1928). Gagasan ini lahir karena pertimbangan bahwa biaya yang harus ditanggung oleh Pemerintah Hindia Belanda selama ini dirasakan terlalu berat. Setiap pemindahan satu keluarga rata-rata mencapai 750 gulden. Pemerintah Hindia Belanda merasa tidak mampu. Dalam program baru ini pemerintah hanya mensubsidi biaya transportasi sebesar 22,5 gulden. Untuk kebutuhan hidup dan modal usaha tani yang berupa bibit, pupuk, alat-alat pertanian, 24 Muhajir Utomo dan Rofiq Ahmad. 90 Tahun Kolonisasi 45 Tahun Transmigrasi, (Jakarta: PT Penebar Swadaya,April 1997)., hlm. 45. 26 alat dapur dan obat-obatan, mereka mendapat pinjaman dari Bank Rakyat Lampung sebesar 200 gulden per KK dengan bunga 9%. Untang ini dicicil selama 10 tahun dengan grace period 3 tahun. Pemukiman baru pada fase ini ditempatkan di Wonosobo, kawasan Teluk Semangka, sebelah barat Kota Agung. Dipemukiman ini kolonis bukan sebagai petani , tetapi kuli perkebunan. Ternyata setelah berjalan 15 tahun, Bank Rakyat Lampung bangkrut, sehingga tidak mampu membiayai lagi. Menurut hasil penelitian pihak bank, para kolonis tidak mampu membayar cicilan utangnya karena uang pinjaman dipakai berfoya-foya. Sampai tahun 1927 untuk seluruh program, bank telah mengeluarkan uang sebanyak 3.650.000 gulden. Terdapat analisis lain dari Plezer’, ia menyatakan bahwa jumlah uang yang diperlukan kolonis per KK adalah 720 gulden atau 144 gulden per jiwa, tetapi pihak bank hanya menyediakan pinjaman 200 gulden. Jadi uang pinjaman tersebut tidak cukup untuk mengolah lahan. Karena Bank Lampung bangkrut, maka pemerintah melakukan likuidasi dan program kolonisasi dengan kredit bank semacam itu dihentikan pada tahun 1927.25 Fase ketiga, Bawon (1923-1942). Program ini dipilih dengan melihat derasnya migrasi spontan dari pulau Jawa ke Lampung untuk melakukan panen dengan upah (bawon). Ternyata model ini lebih berhasil. Pemerintah Hindia Belanda pun tidak perlu mengeluarkan banyak biaya. Selama fase ini pemerintah telah membuka areal 25 Loc. cit 27 seluas 50.888-64.000 Ha di sekitar Kota Metro dan mampu menarik migrasi secara spontan terus mengalir ke Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. 2.2 Peraturan Pemerintah Mengenai Transmigran 2.2.1 Transmigrasi Pra-Repelita Setelah proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, kedaulatan penuh ditangan pemerintah Indonesia. Penyelenggaraan perpindahan penduduk dari Jawa ke luar Jawa tetap dilakukan. Selanjutnya istilah kolonisasi berubah menjadi transmigrasi, orientasinya ke arah penyebaran penduduk yang sebanyak-banyaknya. Dalam menyelenggarakan perpindahan penduduk tersebut, pemerintah mengalami berbagai permasalahan serius. Hal ini disebabkan karena pemerintah belum mempunyai pengalaman. Masalah utama yang dihadapi adalah tidak stabilnya lembaga pemerintah yang bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan transmigrasi. Setiap kabinet kementerian berubah, berubah pula penanggungjawab penyelenggara transmigrasi. Pada masa pra-pelita, belum dikeluarkan pemberangkatan dan peraturan tentang waktu penerimaan transmigran, sehingga daerah-daerah asal transmigran mengirimkan calon transmigrannya ke daerah penerima tanpa ada koordinasi sebelumnya. Akibatnya , sering terjadi rumah-rumah dan bangunan belum selesai, tetapi transmigran telah datang, sehingga terpaksa dititipkan ke rumah-rumah 28 transmigran lama atau di gudang-gudang. Masalah lahan untuk calon transmigran belum begitu mengalami kesulitan, karena lahan yang ada masih luas. Namun, setelah hutan dibabat dan dijadikan lahan terbuka, ada beberapa lokasi yang diklaim masyarakat setempat, sehingga menimbulkan permasalahan. Pola-pola usaha masa pra-pelita adalah pertanian pangan. Kendala yang dialami pada tanaman padi adalah belum adanya pembangunan irigasi. Pembangunan irigasi didirikan 10 sampai 20 tahun setelah proyek transmigrasi berdiri. 2.2.2 Kebijakan Pemerintah Mengenai Transmigrasi di Sulawesi Peraturan Menteri Pembangunan Masyarakat RI No. 1 tahun 1950 telah didirikan kantor transmigrasi yang diberi tugas khusus untuk melaksanakan penyelenggaraan trasnmigrasi . pada 1 Mei 1950 kantor ini dijadikan jawatan dengan penetapan Menteri Pembangunan masyarakat RI No. 5/26 tahun 1950 dibawah pimpinan Suratno Sastroadmodjojo. Dengan berdirinya Negara kesatuan yang mengakibatkan penggabungan Negara-negara RI dan RIS (Republik Indonesia Serikat) maka kementrian pembangunan masyarakat ditiadakan dan Jawatan Transmigrasi dimasukkan kedalam kementerian sosial pada oktober 1950. Jawatan Transmigrasi dari pemerintah RI baru melebarkan sayapnya ke Sulawesi pada pertengahan tahun 1951 dengan mengirim 29 Ramlan Kosasih ke Makassar untuk untuk meninjau kemungkinan pendirian kantor jawatan transmigrasi untuk Propinsi Sulawesi.26 2.3 Faktor Pendorong Untuk Bertransmigrasi Ada beberapa hal yang mendorong petani untuk melakukan transmigrasi diantaranya : 1 terjadinya kepadatan penduduk didaerahnya (daerah asal). Pada tahun 1971 penduduk Indonesia berjumlah 119 juta jiwa, 65 % di antaranya berada di Jawa dan Bali 2 kemiskinan yang selalu menjadi momok yang menakutkan, Indonesia adalah salah satu Negara yang kaya akan sumber daya alam namun karena pengelolaannya kurang maksimal sehingga menyebabkan terjadinya tumpang tindih kematangan ekonomi penduduknya, banyak penduduk Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan, tidak memiliki rumah dan pekerjaan yang tetap. 3 tidak kondusifnya suasana politik yang membuat mereka merasa tidak nyaman dan memilih untuk meninggalkan kampung halamannya. Misalnya disuatu daerah terjadi pemberontakan atau perang yang berkepanjangan yang 26 Republik Indonesia Propinsi Sulawesi, kementerian Penerangan. 30 membuat penduduknya menjadi terisolir dan tidak dapat melakukan kegiatan kesehariannya yang kemudian memaksa mereka untuk pindah dan mencari pemukiman baru yang lebih layak dan aman. 4 Banyaknya daerah-daerah yang subur dengan sumber daya alam yang kaya namun sedikit sumberdaya manusia yang menggarapnya. 5 tidak tersedianya lahan pertanian untuk digarap, seyogyanya seorang petani dapat dikatakan sebagai petani apabila memiliki lahan yang menjadi garapannya, jika tak ada lagi lahan yang dapat ia garap maka ia tidak lagi dapat dikatakan sebagai seorang petani. 6 Memiliki lahan, adanya keinginan untuk memiliki lahan sendiri agar mendapatkan penghasilan yang tetap menjadi salah satu alasan yang mendasar bagi petani untuk melakukan transmigrasi. 7 harapan bahwa dengan melakukan transmigrasi mereka akan mempunyai penghidupan yang lebih baik dengan iming-iming mereka akan diberikan tanah untuk persawahan dan perumahan dari pemerintah. 8 Adanya faktor yang dianggap menguntungkan didaerah tujuan migrasi misalnya, daerah tersebut terdapat sekolah, kesempatan kerja atau iklim yang baik. 9 Keberhasilan transmigran terdahulu memberikan daya tarik terhadap calon transmigran baru, sebab mereka berharap dapat berhasil sama seperti pendahulunya. 31 Hal yang mendasar yang mendorong transmigran Bali untuk melakukan transmigrasi adalah karena tak punya lahan dan ingin memperbaiki kehidupan ekonominya, padatnya penduduk di Bali membuat para petani kehilangan lahan untuk digarap sebab lahan pertanian telah berubah menjadi pemukiman. Kebanyakan dari transmigran Bali yang Bertransmigrasi ke Luwu umumnya berpropesi sebagai petani Bawon (upahan) pencari kayu di hutan, dan petani yang mempunyai lahan yang sangat sedikit. Harapan besar bagi petani adalah mempunyai lahan sendiri untuk digarap dan dapat memperbaiki kehidupannya. 2.4 Kedatangan Awal Transmigran Bali 2.4.1 Latar Belakang Sosial Budaya Transmigran Bali Masyarakat Bali sangat terikat dengan budayanya, hal ini tercermin pada tata nilai pemukimannya, dalam sistem budaya penataan rumah di Bali terdapat konsep dualistis, yang selalu memiliki arti yang saling bertentangan, yang amat kuat berakar dalam pandangan dan kepercayaan orang Bali. Dalam konsep ini didapatkan suatu bentuk tata arah yang disimbolkan dengan istilah kaja-kelod, luan-teben, niskalasekala dan sebagainya. Arah kaja selalu disimbolkan dengan arah yang menghadap ke gunung, merupakan kategori peletakan sesuatu yang dianggap suci dan mulia. Oleh karena itulah arah sembahyang orang Hindu di Bali, arah tidur dan sebagainya selalu menghadap kea rah gunung. Arah kelod merupakan arah yang selalu 32 disimbolkan mengarah ke laut, merupakan arah pembuangan yang dianggap kotor dan merupkan manifestasi dari hal-hal yang tidak disucikan. Misalnya kuburan, kandang ternak pembuangan sampah, aliran air dan sebagainya. Konsep pemukiman Bali sudah diatur dalam suatu pedoman pokok yang dikenal dengan nama Asta Kosala (Asta Bumi). Aturan ini mengatur bahwa hubungan manusia dan alam lingkungannya dan dapat pula merupakan aturan spiritual, filosofi, etika, dan ritual. Dalam ajaran Hindu disebut dengan tatwa, susila, dan upakara. Konsep pemukiman tradisional di Bali membagi suatu wilayah atau kelompok nistha, madya, dan utama, dalam arah vertikal maupun horizontal. Pencerminan kelompok ini merupakan dasar filosofis pengaturan aktivitas manusia. Arah terbit dan terbenamnya matahari disimbolkan sebagai simbol spiritual, orientasi aktivitas keagamaan. 27 2.4.2 Tiba di Daerah tujuan Transmigrasi orang Bali ke Sulawesi dimulai pada tahun 1953, tetapi kedatangannya ini belum menjadikan daerah Luwu sebagai daerah tujuan transmigrasi. Pada tahun 1970 ketika pemerintah mengadakan program transmigrasi untuk mengatasi kepadatan penduduk di pulau Jawa dan Bali, Pemerintah mengutus pegawai jawatan transmigrasi untuk mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa pemerintah mempunyai sebuah program yang diberi nama transmigrasi yang bertujuan untuk mensejahterakan kehidupan rakyat. Kali kedua pegawai jawatan 27 Pola Pemukiman Pedesaan Daerah Bali. (Jakarta, Departemen Pendidikan dan kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1982)., hlm 67. 33 transmigrasi datang di Bali mereka langsung mendata warga yang ingin melakukan transmigrasi yang dibiayai oleh pemerintah. Setelah didata calon transmigran kemudian menunggu jadwal pemberangkatan ke daerah tujuan transmigrasi. Setelah ditetapkan pada bulan Agustus 1970, 100 KK dari Bali diberangkatkan dengan dengan Kapal menuju Sulawesi. Transmigran Bali yang melakukan transmigrasi ke Sulawesi khususnya di Desa Sidomakmur berasal dari Kabupaten Tabanan, Buleleng, Nusa, Bangli, Negare, Sampalan dan Jembrana. Perjalanan yang dilakukan oleh transmigran untuk sampai di Sulawesi menggunakan Kapal selama dua hari tiga malam. Dikapal para transmigran diberi makanan dan minuman, semua biaya perjalanan ditanggung oleh pemerintah. Setiap transmigran biasanya membawa tabungan dan binatang ternak seperti babi sebagai bekal hidup. Menurut penuturan pak Sudi, ia membawa uang sebesar Rp. 7000 dari Bali, uang ini nantinya dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. 28 Kapal pertama ini tiba di Munte pada tahun 1970, untuk sampai ke Sidomukti pemerintah telah menyediakan 5 truk untuk mengangkut para transmigran. Para transmigran tidak langsung dibawa ke Sidomakmur sebab Rumah yang dibangun oleh pemerintah belum Rampung pada saat itu, membutuhkan waktu selama 25 hari untuk menyelesaikan rumah-rumah yang belum rampung, akhirnya diputuskan bahwa para transmigran Bali ditampung dirumah Koloni Jawa selama 25 Hari. Sebelum ditempatkan di rumah koloni Jawa pemerintah daerah Luwu telah menetapkan 28 Sudi : wawancara 30 Desember 2012, Sidomakmur. 34 rumah-rumah mana saja yang akan menampung transmigran Bali. Selama 25 hari transmigran Bali bergotong royong untuk membuka lahan Hutan yang lebat untuk dijadikan tanah persawahan, hal ini dikerjakan oleh kaum laki-laki sedangkan para ibu menyiapkan makanan untuk suaminya. Setelah 25 hari transmigran kemudian meninggalkan rumah koloni Jawa dan menempati rumahnya sendiri di Desa Sidomakmur. Jarak Sidomukti dan Sidomakmur sekitar 2 km. Rumah yang disediakan oleh pemerintah untuk ditinggali transmigran Bali adalah rumah panggung seluas 4 x 7 M dengan atap rumbia, dinding rumbia, dan lantai papan. Pada saat itu pemerintah membangun 250 rumah untuk ditinggali oleh tranmigran Bali. Rumah transmigran sengaja dibuat rumah panggung sebab daerah ini adalah daerah bekas rawa. Jarak antara rumah yang satu dengan rumah yang lainnya adalah 50 meter. Untuk akses jalan transmigran membuat papan titian sebagai pijakan kaki. Ranting kayu bekas tebangan pohon dimanfaatkan oleh transmigran sebagai kayu bakar. Rumah ini ditinggali oleh transmigran selama dua tahun dan setelah itu mereka membuat rumah sendiri. Selama delapan bulan transmigran diberikan jaminan berupa sembako ( beras, minyak tanah, ikan teri, dan kacang-kacangan) untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Karena pemerintah merasa transmigran belum mampu untuk mencukupi kebutuhannya, maka pemerintah yang dibantu oleh jawatan transmigrasi memberikan bantuan lagi selama empat bulan kepada transmigran berupa beras dan ikan kaleng. Namun jaminan yang diberikan pemerintah dirasa tidak cukup oleh warga maka dari itu uang tabungan yang dibawa oleh transmigran digunakan sebagai modal untuk berjual sayur untuk memenuhi 35 kebutuhan hidup, beberapa diantara mereka menjual kayu bakar. Dalam hal ini biasanya koloni Jawa memberi bantuan makanan berupa ubi atau jagung. Transmigran Bali menyesuaikan diri dengan makan makanan asli penduduk lokal yakni kapurung. Orang Bugis dan orang Rongkong biasanya mengajari orang Bali bagaimana caranya membuat kapurung, hal ini dirasa sangat berguna oleh transmigran Bali sebab dengan memakan sagu mereka dapat menghemat sembako yang diberikan oleh pemerintah dan dapat cukup hingga satu bulan. 36 BAB III GAMBARAN UMUM DESA SIDOMAKMUR 3.1 Keadaan Geografis Kabupaten Luwu merupakan salah satu wilayah Daerah Tingkat II Propinsi Sulawesi Selatan yang mempunyai 16 Kecamatan. Adapun letak geografis proyekproyek transmigrasi di Kabupaten Luwu terletak antara 120Ëš20’-121Ëš40’ Lintang Selatan dan tersebar di dalam empat Kecamatan. Di antara empat Kecamatan tersebut, yang merupakan salah satu daerah transmigrasi yaitu kecamatan Bone-Bone, Selain itu terdapat Kecamatan Masamba, Wotu dan Mangkutana. Kecamatan BoneBone terletak kurang lebih 476 km disebelah utara ibu kota propinsi Sulawesi Selatan.29 Kecamatan Bone-Bone memiliki 17 desa, enam diantaranya dibentuk pada tahun 1969-1974 dengan maksud untuk dapat menerima transmigran dari Jawa dan Bali. Salah satu desa yang menjadi daerah penerima transmigran di Kecamatan BoneBone yakni Desa Sidomakmur. 29 Proyek Transmigrasi Luwu Sulawesi Selatan (laporan Singkat, Badan Pembina Pembangunan Daerah Transmigrasi Propinsi Sulawesi Selatan 1976), hal. 4. 37 Desa Sidomakmur adalah salah satu dari 17 desa yang ada di Kecamatan BoneBone. Pada tahun 1969 sebelum menjadi perkampungan desa Sidomakmur adalah rawa-rawa dan hutan yang cukup lebat. Karena ketekunan dari para transmigran Bali mereka bergotong royong untuk membuka daerah tersebut untuk menjadi perkampungan yang layak huni. Setelah perkampungan ini dibuka kemudian diberi nama “Sidomakmur” yang mempunyai arti akan makmur (selalu makmur). Transmigran Bali berharap dengan memberi desa dengan nama Sidomakmur hal itu akan sejalan dengan kehidupan mereka nantinya. Desa ini terbentuk pada tahun 1970 dan terdiri dari 2 dusun yakni dusun Tirto Agung dan dusun Sumber Urip. Luas wilayah Sidomakmur 5,25 km², di sebelah utara berbatasan dengan desa Patila, sebelah timur berbatasan Desa Tamuku, sebelah Selatan berabatasan dengan desa Tamuku, dan sebelah barat berbatasan dengan desa Sidomukti. Wilayahnya berupa dataran rendah dengan ketinggian tanah dari permukaan air laut 200 M. Pada umumnya keadaan alamnya berupa perkebunan, persawahan dan rawa.30 Letak persawahan milik transmigran Bali berada pada batas desa yang memisahkan antara desa Sidomakmur dengan desa Tamuku. Desa Sidomakmur terletak 5 Km dari ibu kota kecamatan Bone-Bone, serta diairi oleh Sungai Lamoa yang panjangnya 13 km, Sungai Bone-Bone yang panjangnya 27 km, serta Sungai Makowong yang panjangnya 15 km.31 Desa 30 31 Profil Desa Sidomakmur Kecamatan Bone-Bone dalam Angka 2011. Badan Pusat statistik Kabupaten Luwu Utara 38 Sidomakmur mempunyai curah hujan tertinggi pada bulan Desember-Februari, suhu terendah adalah 18Ëš celcius dan tertinggi adalah 22Ëš celcius sepanjang tahun. Pada tahun 1971 hasil pertanian yang diperoleh oleh petani belum mencapai target yang diinginkan. Hal tersebut disebabkan sarana dan prasarana produksi yang belum memungkinkan, serta tanah persawahan yang baru terbuka. Hasil yang diperoleh oleh transmigran hanya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Masyarakat Sidomakmur merupakan ciri-ciri masyarakat desa dimana sebahagian mata pencahariannya berorientasi pada sektor pertanian. Mata pencaharian mereka sangat terbatas pada pertanian tradisional dan dikerjakan dengan sangat sederhana karena terkendala oleh kondisi alam. Tanah-tanah di daerah ini pada umumnya berupa rawa, jadi pada musim penghujan akan terjadi banjir dan sawahsawah terendam air, tidak hanya itu, banjir kiriman dari sungai Bone-Bone juga terkadang datang. Masing-masing keluarga transmigran diberikan tanah persawahan 1 Ha. Untuk membuka lahan persawahan ini dibutuhkan tenaga dan alat-alat yang cukup besar, maka dari itu para transmigran dibagi-bagi kedalam beberapa kelompok untuk membuka lahan. Setiap grup dikepalai oleh satu kepala kelompok. Hasil produksi dari persawahan pada mulanya hanya untuk dikonsumsi keluarga, namun setelah desa Sidomakmur memanfaatkan sistem irigasi hasil produksi pangan meningkat dan dapat dipasarkan. 39 Tabel 1 Luas obyek tanah yang telah dibuka, luas tanah yang diusahakan, luas tanah yang belum dibuka pada proyek transmigrasi Kab.Luwu Propinsi Sulawesi Selatan tahun 1973 adalah sebagai berikut No. Nama proyek Luas proyek Luas tanah yang belum dibuka 520 Luas tanah Yang telah dibuka 270 1. Sidobinangun 2. Sidomakmur 520 250 270 3. Sukaraya 429 250 195 250 Sumber : kantor wilyah Dirjen Transmigrasi Propinsi Sulawesi 40 Kepala desa pertama desa Sidomakmur adalah pak Darsin Struktur organisasi pemerintahan desa Sidomakmur Kepala desa LKMD sekretaris KA. Ur Pemerintahan Kepala Dusun Tirto Agung RT I RT II KA.Ur Pembangunan KA.Ur Umum Kepala Dusun Sumber Urip RT III RT I RT II 41 3.2 Keadaan Demografi Terjadinya kepadatan penduduk di Indonesia membuat pemerintah bekerja keras untuk membuat suatu program yang dapat menyamaratakan penduduk, sehingga tidak terjadi ketimpangan penduduk. Persebaran penduduk yang merata dapat membantu pemerintah dalam mengembangkan suatu wilayah. Rakyat hendaknya diberikan pengertian bahwa apabila pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat tidak dapat dikontrol , maka pembangunan tidak akan tercapai. Negara Republik Indonesia mempunyai sumberdaya alam yang kaya namun belum dikelola dengan baik oleh pemerintah dan rakyatnya lambat laun akan memberikan hasil yang tidak memuaskan. Merujuk dari hal inilah akhirnya pemerintah memutuskan untuk mengirim sebagian penduduk yang ditinggal di pulau padat penduduk kedaerah-daerah yang dianggap masih kosong. Kecamatan Bone-Bone merupakan suatu kecamatan yang dapat dikategorikan sebagai daerah yang berpenduduk kurang padat. Kepadatan penduduk ini tidak sebanding dengan luas daerahnya yaitu 12 orang perkilometer persegi. Jumlah penduduk yang demikian kurang ini, menarik perhatian pemerintah untuk 42 melaksanakan program transmigrasi ke daerah tersebut. karena luas wilayahnya masih sangat memungkinkan untuk pembukaan lahan-lahan baru yang dapat dimanfaatkan dalam pengelolaan lahan pertanian yang potensial. Pada tahun 1970 ketika Sulawesi ditetapkan sebagai daerah tujuan transmigrasi, 250 KK dari Bali di kirim di daerah ini tepatnya di desa Sidomakmur. Sidomakmur yang mulanya hutan lebat berubah menjadi perkampungan yang ramai karena kedatangan transmigran Bali. Kedatangan transmigran ini secara otomatis menambah penduduk di kecamatan Bone-Bone. sehingga tidak mengherankan jika penduduk di kecamatan Bone-Bone terdiri dari bermacam-macam suku antara lain orang Bugis yang merupakan pendatang dari Bone, Soppeng, dan Pinrang , orang Rongkong adalah salah satu penduduk asli tanah Luwu, orang Jawa yang datang pada 1930-an karena proyek kolonisasi pemerintah Hindia Belanda, suku Toraja, dan penduduk penduduk asli Luwu. Desa Sidomakmur adalah unit desa transmigrasi yang dibangun pada tahun 1970. Jika diamati dari tabel, jumlah penduduk Sidomakmur pada tahun 1970 adalah 250 KK dengan 1.129 jiwa. Kedatangan transmigran pada periode ini ada dua gelombang, gelombang pertama terdiri dari 100 KK dan gelombang kedua terdiri dari 150 KK. Seiring pertambahan tahun jumlah penduduk desa Sidomakmur meningkat 1,12% menjadi 261 KK atau 1.241 jiwa pada tahun 1975. Pada tahun 1980 terjadi peningkatan penduduk sebanyak 8,8% . jika dilihat dari jumlah penduduknya ratarata transmigran Bali memiliki 2 anak. 43 Tabel 2 Jumlah Penduduk di Desa Sidomakmur Tahun 1970-1990 1970 No. 1980 Desa KK 1. 1975 Sidomakmur 250 Jiwa 1.129 KK 261 Jiwa KK Jiwa 1.241 270 1.329 Sumber: kantor wilayah Direjen Transmigrasi Propinsi Sulawesi Selatan Desa Sidomakmur berpenduduk mayoritas Hindu dengan jumlah 965 jiwa, disamping agama-agama lain seperti Kristen Protestan 129 jiwa, dan islam 35 jiwa. Adapun jumlah sarana ibadah yang ada di desa Sidomakmur yaitu pura umum 1, pura pribadi 250, 1 gereja dan 1 mussollah. Khusus untuk agama Hindu sebagai agama mayoritas dalam hal pembinaan agama bagi anak-anak dan remaja pada Sabtu malam diberikan pelatihan dan pengajaran mengenai agama. Untuk sarana pendidikan dibangun 1 sekolah dasar yang diperuntukkan bagi anak-anak transmigran Bali. Sekolah yang dibuat sangat sederhana yakni terbuat dari kayu. Beberapa guru yang mengajar disekolah ini didatangkan dari Bone-bone dan sisanya adalah transmigran Bali yang secara sukarela menyumbangkan tenaganya sebagai tenaga pengajar. Bangunan SMP dan SMA tidak tersedia di Sidomakmur, untuk SMP anak-anak transmigran Bali bersekolah di Bone-Bone, sedangkan untuk SMA mereka harus ke 44 Sukamaju karena pada saat itu di Bone-Bone belum dibangun SMA. Untuk akses kesehatan transmigran Bali harus ke Bone-Bone karena puskesmas terdekat berada di Bone-Bone. Sarana lain yang dibagun di desa ini adalah Baruga sederhana yang dperuntukkan sebagai tempat rapat warga desa, baruga ini dibangun tepat disamping pura umum. Transmigran Bali mengunakan 2 bahasa untuk berinteraksi sehari-hari, bahasa yang digunakan adalah bahasa Bali dan bahasa Indonesia. Bahasa Bali digunakan untuk berkomunikasi dengan transmigran Bali lainnya, sedangkan bahasa Indonesia digunakan untuk berkomunikasi dengan orang Bugis dan orang Jawa. Pada tahun 1973 pemerintah mengeluarkan sertifikat tanah untuk transmigran Bali, hal ini bertujuan agar tak terjadi sengketa lahan antar transmigran. Untuk sertifikat yang dikeluarkan oleh pemerintah ini tidak dipungut biaya atau gratis. Transmigran Bali yang datang ke desa Sidomakmur tidak hanya berpropesi sebagai seorang petani beberapa diantara mereka mempunyai keahlian khusus, Komposisi pekerjaaan di desa ini pada tahun 1975 terdiri dari petani, pedagang, tukang jahit, tukang kayu, tukang batu dan lain-lain. 45 Tabel 3 Daftar: Jasa Pada Proyek Transmigrasi Propinsi Sulawesi Selatan Keadaan Tahun 1975 No. Unit desa Tukang jahit Jenis jasa Tukang Tukang kayu batu 1. Sidomakmur 3 orang 75 orang 6 orang Lain-lain 26 orang Sumber: kantor wilayah Direjen Transmigrasi Propinsi Sulawesi Selatan32 3.3 Agama dan Kepercayaan . Pada tahun 1970 ketika para transmigran memutuskan untuk melakukan transmigrasi ke Sulawesi, mereka tetap mempertahankan agama dan kepercayaannya, terbukti dengan mereka tetap menjalankan semua ritual dan upacara-upacara keagamaan. Pada awal kedatangannya mereka membuat pura sederhana yang terbuat dari kayu. Setelah kehidupan ekonominya mulai membaik, mereka membangun sebuah pura umum yang cukup besar untuk tempat sembahyang. Dana yang digunakan untuk membiayai pembangunan tersebut diperoleh dengan swadaya masyarakat, Setiap kali panen transmigran Bali yang beragama Hindu haruslah menyetor 1 kwintal padi. Hal ini masih berlaku hingga kini. Disetiap rumah biasanya 32 Lihat Pada Lampiran 46 dibangun pura, pura ini disebut sebagai pura pribadi. Biasanya kualitas suatu pura tergantung dari kemampuan ekonomi seseorang karena untuk membangun pura sederhana saja dibutuhkan dana sekitar Rp. 50.000.000. Hari-hari besar seperti Nyepi, Galungan, dan upacara-upacara keagamaan tetap dilaksanakan, Dalam waktu 1 bulan biasanya dilakukan 2 kali sembahyang di pura besar. Pura dianggap sebagai tempat suci untuk memuja kekuatan adikodrati yang disebut Brahman, Tuhan atau dewa sebagai personifikasinya, maupun tempat penyembahan roh leluhur. Agama Hindu percaya terhadap Tuhan Yang maha Esa atau disebut monotheisme. Pada tempat suci ini manusia sebagai homo religius melakukan sistem ritual, dalam bentuk aneka perilaku, misalnya sembahyang, bersaji, berdoa, menari, menyanyi, dan lain-lain. Melalui doa petisi mereka memohon sesuatu kepada kekuatan adikodrati, misalnya keselamatan dan kesejahteraan. Agama Hindu menekankan pada pengendalian Kama, hasrat, keinginan, atau nafsu. Karena tujuan hidup manusia adalah mewujudkan kesejahteraan di dunia maupun di akhirat. Untuk itu, spiritualitas agama sangat penting, bahkan modal utama bagi kehidupan manusia.33 3.4 Kehidupan Ekonomi Kegiatan ekonomi migran Bali bersifat agraris, pada hakekatnya dalam masyarakat yang agraris, tanah merupakan sumber produksi dan kekayaan utama. 33 Nengah Bawa Atmadja, Ajeg Bali Gerakan, identitas kultural, dan Globalisasi, Yogyakarta: LKiS, 2010. Hlm. 75 47 Klasifikasi penduduk desa yang tradisonal didasarkan atas kepemilikan tanah karena kepemilikan tanah membawa prestise yang tinggi. Transmigran Bali membuka lahan untuk dijadikan persawahan. Luas lahan persawahan yang diberikan oleh pemerintah adalah 1 Ha, Inilah yang kemudian dikelola oleh para transmigran. Untuk mengaliri sawah, transmigran Bali menggunakan sistem subak. Sistem subak ini adalah sistem yang biasa mereka gunakan di Bali. Biasanya ada satu orang yang mengepalai sistem subak tersebut, apabila terdapat warga yang melanggar peraturan misalnya mencuri air maka mereka akan dikenakan sanksi. Kendala yang sering dihadapi petani adalah bencana alam yakni banjir, banjir yang mengenangi sawah membuat para petani merugi.34 Daerah Sidomakmur memang sangat rawan terkena banjir karena kadang kala mendapat banjir kiriman. Hal ini dikarenakan daerah Sidomakmur adalah dataran rendah bekas rawa. Produksi pertanian mulai meningkat saat dibangun tanggul untuk menanggulangi banjir di desa Sidomakmur. kehidupan petani yang menggunakan sistem subak mulai membaik pada saat itu, sebab panen dilakukan dua kali dalam setahun. tanah persawahan Sidomakmur sangat luas, namun tenaga kerja yang ada sangat sedikit, karena itu dalam rangka mengefisienkan waktu kerja petani, pemerintah mendatangkan transmigran baru sebagai tenaga kerja. 34 Wayan Widiarsa: wawancara, 20 Februari 2013, Sidomakmur 48 Tabel 4 Hasil panen pada proyek transmigrasi Kecamatan Bone-Bone Propinsi Sulawesi Selatan tahun 1975 Padi Sawah No. Padi Ladang Jagung Kedelai Desa Ha Kw Ha Kw Ha Kw Ha Kw 1. Sidobinangun 26 77 5 45 176 1823 72 283,6 2. Sidomakmur 284 3690 126 872 71 358 11 31 3. Sukaraya 160 800 123 638 135 845 137 588 Sumber: kantor wilyah Dirjen Transmigrasi Propinsi Sulawesi Selatan35 No. Kacang Tanah Desa Ubi Kayu Ubi Jalar Sayuran Ha Kw Ha Kw Ha Kw Ha Kw 1. Sidobinangun 17,5 31 33 1150 7,25 86,5 30,75 277,5 2. Sidomakmur 7 18 14 120 33 115 18 108 3. Sukaraya 33 99 64 1285 37 170 33 182 Sumber: kantor wilyah Dirjen Transmigrasi Propinsi Sulawesi Selatan36 35 Lihat pada lampiran 49 Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa pada tahun 1975 produksi padi pada padi sawah dan padi ladang sangat besar. Jika dibandingkan dengan desa lain produksi padi Sidomakmur lebih tinggi. Hal ini dikarenakan lebih banyak tanah yang digarap oleh petani untuk persawahan. Selain itu desa Sidomakmur menggunakan sistem subak yakni sistem pengairan tradisional yang dibuat untuk mengaliri sawah dengan air. Tidak hanya itu hal ini juga didukung oleh kondisi tanah di Sidomakmur yang subur dan posisi strategis desa Sidomakmur yang berada dijalur lintasan sungai Lamoa, Bone-Bone dan Makowong yang memungkinkan para petani mengunakan sistem subak. Hasil produksi pertanian lain yang dihasilkan oleh desa Sidomakmur adalah padi, jagung, kacang kedelai, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar dan sayuran. Tingginya angka produksi pada sektor pertanian ini mampu memperbaiki perekonomian warga desa. Sebagian hasil produksi kemudian dijual di KUD kemudian KUD menjualnya ke Koperasi. Dari koperasi, hasil pertanian transmigran Bali lalu dipasarkan ke Bone-Bone, Palopo, dan Makassar.37 Laju peningkatan hasil produksi pertanian semakin baik pada tahun 1976. Lahan persawahan seluas 568 ha menghasilkan 10.835 kw padi, kebun jagung 61 ha menghasilkan 524 kw jagung, 10 ha tanaman kedelai menghasilkan 61 kw. Produksi pertanian yang berlebih memicu terjadinya stratifikasi sosial ekonomi dengan munculnya petani komersial, petani marginal, dan petani upahan. Petani komersial selalu terdorong untuk maju dengan tidak lagi mengkonsumsi sendiri hasil pertaniannya namun menjualnya kepasar untuk 36 37 Lihat Pada Lampiran Ketut Mangra: wawancara, 17 Februari 2013, Sidomakmur. 50 mendapatkan keuntungan lebih, memiliki mental yang modern dan rasa empati. Petani komersial mau mengeluarkan uangnya membayar petani upahan untuk mengerjakan lahannya sebab di desa Sidomakmur kekurangan tenaga untuk mengelolah lahan persawahan yang sangat luas. Sedangkan petani marginal selalu bersifat tradisional mereka tidak menjual hasil pertaniannya melainkan untuk dikonsumsi sendiri 3.5 Kehidupan Sosial dan Budaya Perwujudan dalam melakukan strategi adaptasi sosial yang dilakukan oleh kelompok pendatang di daerah tujuan, biasanya melakukan interaksi sosial, seperti bertamu, berteman, bercengkrama, keterlibatan dalam gotong royong perbaikan jalan, acara ritual, acara kegiatan keramaian masyarakat sampai akhirnya dimanifestasikan ke tingkat perkawinan maupun penggunaan bahasa sehari-hari penduduk asli..38 Desa Sidomakmur sebagai daerah transmigran Bali masih tetap mempertahankan pola pemukimannya sesuai dengan aturan adat dan agama Hindu. Menurut penuturan dari Nyoman Suamba, untuk membuat sebuah rumah dilakukan upacara, dan terdapat perhitungan tersendiri yang telah ditetapkan mengenai jarak antara dapur dan rumah tinggal, dapur dan tempat sembahyang, serta jarak antara 38 Taufik Arbain. Strategi Migran Banjar.(Yogyakart:Lkis,2009)., Hlm. 151. 51 dapur dan sumur. Sumur selalu berada diluar rumah sebab sumur dianggap sebagai tempat suci.39 Dalam pranata sistem sosial penarikan garis keturunan dalam masyarakat Bali lebih cenderung mengarah kepada pihak laki-laki/patrilineal, karena hampir di dalam semua masyarakat di Bali terdapat perbedaan status dan keturunan masing-masing individu. Perbedaan kedudukan itu tergantung dari keadaan masyarakatnya. masyarakat Bali menganut sistem kasta yang terbagi atas empat golongan: golongan Brahmana merupakan kasta yang tertinggi, golongan Ksatria berada dibawahnya, golongan Waisa merupakan golongan yang ketiga dan yang terakhir adalah golongan jaba (sudra). Golongan jaba berarti golongan rakyat biasa yang berpropesi sebagai petani. Transmigran Bali tetap memberlakukan system kasta ini didesa Sidomakmur namun kebayakan dari mereka yang melakukan transmigrasi berasal dari kasta Sudra. Sistem kasta sangat mempengaruhi proses berlangsungannya suatu perkawinan, misalnya antara seorang wanita dari kasta tinggi jika ingin menikah dengan pria kasta yang kastanya lebih rendah, hal ini tidak dibenarkan, karena dianggap terjadi suatu penyimpangan (Koentjaraningrat, 1980:287). Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang amat penting dalam kehidupan orang Bali, karena dengan hal itu barulah ia dianggap sebagai warga penuh dari masyarakat dan baru memperoleh hak dan kewajibannya sebagai seorang warga kelompok kerabat (nuelear family). 39 Nyoman Suamba: Wawancara, 22 Februari 2013. Sidomakmur. 52 Secara normatif kedudukan wanita Bali dalam hukum Hindu, mendapat penghargaan yang sangat tinggi dan diistemewakan seperti tersurat dalam pustaka suci manu Dharmacastral: Tasmadetah soda puiya bhusanaccha dana canaih bhuti kamairnarair nityam satka resutsawese ca, yang artinya: oleh karena itu orang yang ingin sejahtera harus selalu menghormati wanita pada hari raya dengan memberi hadiah perhiasaan, pakaian dan makanan.40 Masyarakat Bali mengenal adanya sistem pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Biasanya kaum wanita mempunyai pekerjaan di dalam rumah tangga seperti memasak, mengasuh anak, membersihkan pekarangan rumah. Dalam bidang pertanian wanita Bali bertugas sebagai tenaga penanam benih, penuai dan dalam pembuatan dan pelaksanaan upacara yang berhubungan dengan kegiatan pertanian. Dalam mempersiapkan upacara apa saja, wanita memegang peranan penting seperti membuat sajen. Sedangkan kaum laki-laki bertugas mencarikan segala bahan-bahan yang diperlukan dalam upacara, dalam bidang pertanian laki-laki bertugas untuk membajak sawah dan menjaga sistem pengaliran air kedalam sawah, mencari nafkah.41 Sistem pembagian kerja ini masih tetap dipertahankan oleh transmigran Bali, mereka selalu berusaha untuk mempertahankan adat dan kebudayaan dari daerah asal mereka. Contohya pada saat keluarga pak Ketut Mangra mengadakan upacara ulang tahun pura keluarganya, istri pak Ketut menyiapkan sajen untuk upacara. 40 41 Jurnal Ketut Soebandi. Lontar Manu Dharmacastra. 1985. Ibid 53 Untuk menjaga interaksi sosial transmigran Bali mereka saling membantu dalam kehidupan sosialnya, menurut penuturan I Wayan Sunastra apabila ada salah seorang transmigran Bali yang sedang menyelenggarakan sebuah acara atau upacara kematian, ulang tahun pura, dan upacara pernikahan maka migran Bali yang lain akan datang bergotong royong untuk membantu, kaum wanita berada didapur untuk membuat makanan dan sesajen dan kaum pria berada diluar rumah untuk membuat tenda atau mempersiapkan tempat upacara. Dalam suasana seperti ini keakraban antar transmigran terjadi.42 Dalam tataran budaya gotong royong terwujud dalam satuan ide. Tatanan nilai yang mencakup nilai selaras, nilai loyalitas, nilai konformitas dan nilai kebersamaan, merupakan tatanan nilai yang menjiwai sistem gotong royong. Ditingkat sistem sosial gotong royong terwujud sebagai suatu tindakan yang mencakup tolong-menolong dan kegiatan kerja bakti. Gotong royong ditingkat sistem budaya bersifat abstrak, lambat dan sukar berubah, sedangkan di tingkat sistem sosial lebih bersifat konkrit, lebih cepat dan mudah berubah menurut tingkat perkembangan masyarakat yang mengkonsepsikan dan mengaktifkannya. Asas kebersamaan memotivasi manusia untuk lebih berorientasi terhadap sesamanya. Asas berbakti membangkitkan loyalitas. Menurut sistem kepercayaan masyarakat Bali, rasa bakti itu diwujudkan dalam bentuk korban suci yang ditujukan baik terhadap sesama makhluk manusia maupun 42 I Wayan Sunastra: wawancara, 15 februari 2013, Sidomakmur 54 terhadap makhluk lain dari alam makro kosmos ini. Pandangan hidup seperti inilah yang menjadi pedoman masyarakat Bali yang dapat menggerakkan dan mewujudkan perbuatan-perbuatan konkrit dalam bentuk kegiatan gotong-royong, tolong menolong maupun dalam bentuk kerja bakti dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat: bidang ekonomi, teknologi, kemasyarakatan dan religi. Contoh pepatah dan ungkapan yang menunjukkan asas gotong royong antara lain adalah; Buha Sepite maksudnya hidup harmonis dan tolong menolong sebagai satu kesatuan Kik tingkih, arud kelor, ketog semprong, maksudnya serempak secara bersama-sama mengerjakan suatu pekerjaan untuk kepentingan bersama.43 Contoh gotong royong yang dilakukan oleh transmigran Bali dapat dilihat pada saat pembakaran mayat, apabila ada salah satu dari transmigran yang meninggal untuk membawa jenazahnya ke tempat pembakaran maka akan dipikul oleh beberapa orang, dalam upacara yang dilakukan dalam pembakaran mayat ini juga membutuhkan tenaga yang cukup besar untuk membuat sajen dan keranda mayat disinilah transmigran Bali saling bergotong royong untuk meringankan beban mereka.44 43 I Wayan Geriya Dkk. Sitim Gotong royong dalam masyarakat pedesaan daerah Bali, (Bali: Departemen pendidikan dan kebudayaan proyek inventarisasi dan dokumentasi kebudayaan daerah, 1986). , hlm. 70. 44 Wayan Masor: wawancara 25 Februari 2013, Sidomakmur. 55 BAB IV KEHIDUPAN TRANSMIGRAN DI SIDOMAKMUR 4.1 Pola Interaksi Transmigran Bali Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan social yang dinamis yang menyangkut hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut orang- perorangan, antara kelompok-kelompok manusia. Interaksi social antara kelompokkelompok manusia terjadi antara kelompok tersebut sebagai kesatuan dan biasanya tidak menyangkut pribadi anggota-anggotanya. Berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada berbagai faktor lain: imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati. Imitasi dapat mendorong seseorang untuk memenuhi kaidah –kaidah nilai yang berlaku, sugesti berlangsung apabila seseorang memberi suatu pandangan atau sesuatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima pihak lain. Sedangkan identifikasi sebenarnya merupakan kecenderungan-kecenderungan atau keinginan-keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. 56 Suatu interaksi sosial tidak mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat yakni adanya kontak sosial dan adanya komunikasi.45 Setiap transmigran Bali haruslah melakukan interaksi dengan penduduk setempat agar mereka dapat diterima dengan baik. Mereka juga harus berusaha mengikuti pola-pola hubungan yang telah ada didaerah penerima transmigran agar dapat menyesuaikan diri , karena dengan adanya komunikasi sikap-sikap dan perasaan suatu kelompok manusia atau orang-perorangan dapat diketahui oleh kelompok lain. Hal ini juga dapat meredam terjadinya konflik. Secara geografis letak desa Sidomakmur bersebelahan dengan desa koloni Jawa di desa Sidomukti disebelah barat dan desa Tamuku disebelah selatan yang ditinggali oleh orang Bugis. Letak desa yang bersebelahan ini mempengaruhi pola-pola interaksi antara transmigran Bali dengan koloni Jawa dan orang Bugis. 4.1.1 Interaksi dengan Koloni Jawa Interaksi sosial yang terjadi antara transmigran Bali dan koloni Jawa terjalin dengan sangat baik. Pada awal kedatangan transmigran Bali di Kecamatan Bone-bone, mereka terlebih dahulu ditempatkan dirumah koloni Jawa, hal ini dilakukan sebab pada saat itu rumah yang dijanjikan oleh pemerintah belum sepenuhnya rampung. Transmigran Bali tinggal dirumah koloni jawa selama 25 hari sampai rumah yang dijanjikan selesai. Selama 25 45 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta, Divisi buku perguruan Tinggio, Pt RajaGrafindo Persada, 2010).,hlm 55-57. 57 hari itu juga transmigran Bali secara bergotong royong membuka lahan yang belum dibuka oleh pemerintah sebagai lahan untuk persawahan. Untuk membuka lahan tersebut dibutuhkan alat, karena itu koloni Jawa meminjamkan peralatannya kepada transmigran Bali untuk membuka lahan, bahkan terkadang beberapa diantara koloni Jawa ikut membantu membuka lahan. Pekerjaan ini selesai dalam 25 hari bersamaan dengan rampungnnya rumah transmigran Bali yang dibangun oleh jawatan transmigrasi. Selama transmigran Bali tinggal dirumah koloni Jawa mereka berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini dilakukan untuk mempermudah mereka dalam berkomunikasi. Koloni Jawa juga meminjamkan peralatan dapur milik mereka untuk digunakan transmigran Bali memasak. Terkadang mereka memasak bersama dan makan bersama dalam satu meja, saling bercerita tentang pengalaman hidup masing-masing. Saat transmigran Bali pindah dan menempati rumahnya sendiri, komunikasi dengan koloni Jawa masih dijaga dengan baik, sebab transmigran Bali menganggap koloni Jawa sebagai orang tua mereka. Koloni Jawa juga mengajarkan transmigran Bali untuk membuat penganan nasi tiwul dan getuk yang terbuat dari ubi.46 Bukti kongkrit dari interaksi yang terjalin antara transmigran Bali dan koloni Jawa adalah adanya perkawinan yang terjadi antara koloni Jawa yang beragama Islam dengan transmigran Bali yang beragama Hindu. Transmigran Bali juga belajar bahasa 46 Suni : wawancara 28 Februari 2013, Sidomakmur. 58 Jawa. Sebagaian besar dari transmigran Bali mengetahui banyak bahasa Jawa namun ada juga yang mengetahui bahasa Jawa namun tidak fasih dalam pengucapannya. Transmigran Bali yang fasih berbahasa Jawa saat berkomunikasi dengan koloni Jawa akan menggunkaan bahasa Jawa. Hal ini dilakukan sebagai sebuah penghormatan dan untuk lebih mendekatkan diri, meskipun dalam pengucapannya terdengar sedikit berbeda. Hal yang serupa juga dilakukan oleh koloni Jawa. Beberapa penduduk koloni Jawa yang fasih berbahasa Bali juga akan menggunkan bahasa Bali untuk berkomunikasi dengan transmigran Bali.47 Tabel 5 Sejumlah kosa kata dalam Bahasa Jawa yang dipelajari dan dimengerti oleh transmigran Bali 47 No. Kosa kata Arti 1. 2. Arep moro neng oma sampean Rene’ mangan Saya ingin bertamu dirumah kamu Ayo/kesini makan 3. Omah Rumah 4. Rene’ dolanan Ayo main 5. Rene’ kerjo Ayo kerja 6. Kulonuwun Permisi 7. Monggo Silahkan I Wayan Sumadi : wawancara 2 Maret 2013, Sidomakmur. 59 8. Budal Pergi 9. Sopo seng duwe Siapa yang punya 10. Ora nyang sawah saiki Tidak kesawah sekarang 11. Arep kenalan karo sampean 12. Iso ta sile pacule 13. Piye kabare Saya ingin berkenalan dengan anda Bisakah saya miminjam cangkulmu Bagaimana kabarmu 14. Ora ngerti Tidak mengerti 15. Sopo Siapa 16. Mangan Makan 17. Bale’ Pulang 18. Ngumbe’ 19. Arep neng endi 20. Matur suwun Terima kasih 21. Kelambi anyar Baju baru 22. Sual Celana 23. Aku tresno karo koe Saya suka kamu 24. Sampean ayu Kamu cantik 25. Ojo nesu-nesu Jangan marah-marah 26. Ngapusi/ndopo Bohong 27. Nyilih due’ mu Pinjam uangmu 28. Raimu ele’ Mukamu jelek Minum Mau kemana 60 29. Gole opo Cari apa 30. Dolan neng omah ku Mari ke rumahku Sumber: hasil wawancara dengan transmigran Bali di Desa Sidomakmur Menurut perkiraan I Wayan Sunadi selaku kepala desa di Sidomakmur Persentase transmigran Bali yang fasih dalam berbahasa Jawa sekitar 60%, 20% paham akan bahasa Jawa namun sulit dalam pengucapannya, dan 20% lainnya hanya memahami kata-kata dasar dalam bahasa Jawa.48 Hal ini membuktikan bahwa interaksi yang dijalin antara transmigran Bali dan koloni Jawa terjalin dengan baik. 4.1.2 Interaksi dengan Penduduk Lokal Interaksi sosial yang terjalin antara transmigran Bali, orang Bugis dan orang Rongkong terutama terjadi dibidang perdagangan. Pada awal kedatangan transmigran Bali untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, uang tabungan yang mereka bawa dari Bali dipergunakan sebagai modal usaha. Menurut penuturan pak Sunyi seorang mangku adat di desa Sidomakmur, pada awal kedatangannya, ia berjualan sayur dan kayu bakar ke desa Tamuku yang dihuni oleh orang Bugis. Kadangkala sayuran yang dijual oleh pak Sunyi ditukarkan dengan ubi yang dijual oleh orang Bugis. Dalam berkomunikasi dengan orang Bugis, tranmigran Bali menggunakan bahasa Indonesia. Bagi transmigran Bali lebih mudah untuk mempelajari bahasa Jawa dibandingkan dengan bahasa Bugis. Meskipun telah lama hidup berdampingan dengan 48 I Wayan Sumadi: wawancara 8 Maret 2013, Sidomakmur. 61 orang Bugis hanya beberapa kosa kata saja yang dimengerti oleh transmigran Bali. Orang Bugis dan orang Rongkong mengajarkan transmigran Bali untuk mengolah sagu menjadi bahan makanan seperti kapurung, sinole, lanya’(makanan khas tanah Luwu). Hal ini dirasa sangat berguna sebab dapat menekan biaya kebutuhan hidup sehari-hari transmigran Bali. Biasanya sagu ini dibeli oleh transmigran Bali dipedagang Bugis atau Rongkong yang berjualan dipasar Bone-bone.49 Tabel 6 Beberapa kosakata dalam bahasa Bugis yang diketahui oleh transmigran Bali 49 No. Kosa Kata Arti 1. Leppang ki’ ki bola ku Singgah dirumah 2. Mai ki manre Mari makan 3. Cemme Mandi 4. Aga kareba Apa kabar 5. Ana’ dara Anak gadis 6. Kallolo Cowok 7. De’gaga harapang Tidak ada harapan 8. De uissengi Tidak ku tahu 9. Purani Sudah 10. Matinro Tidur 11. Bale Ikan 12. Manu Ayam 13. Bulu Gunung Sunyi: wawancara 20 Februari 2013, Sidomakmur. 62 14. Ta’ siaga yae’ Berapa harganya ini 15. Pa’jokka Tukang jalan Sumber: hasil wawancara dengan transmigran Bali di Desa Sidomakmur 4.1.3 Identitas Sosial: antara lokal dan bawaan Dalam kehidupan sosial transmigran Bali unsur-unsur primordial seperti sistem kekerabatan, sistem kepercyaan (religi dan agama ), bahasa atau dialek serta kebiasaan-kebiasaan social lainnya akan menjadi penanda ciri atau karakter tersendiri yang terwujud dalam sikap dan perilaku budaya. Unsur-unsur primordial yang dimiliki oleh transmigran Bali akan menjadi unsur pembeda identitas diri, juga menjadi referensi ketika mereka harus membangun interaksi sosial dengan kelompok etnik lokal. Dalam sistem interaksi sosial, perilaku budaya akan mengalami "benturan" atau "singgungan" dengan unsur-unsur primordial penduduk lokal sebagai penanda ciri atau karakter mereka. Hal yang menjadi tantangan besar yang dihadapi oleh transmigran Bali adalah mempertahankan identitas etniknya. Contohnya agama adalah hal yang sangat mudah bersinggungan , hampir dapat dipastikan semua transmigran Bali memilih alternatif strategi puritan, tetap mempertahankan agamanya (Hindu) selama hidup di rantau. Dalam perspektif antropologis, bagi transmigran Bali, agama Hindu bukan saja sebagai referensi dalam berpikir, bersikap, bertindak dan berprilaku yang bersumber dari nilai-nilai dewa, melainkan sudah demikian 63 melekat sebagai salah satu elemen terpenting identitas etnik. Sebagai penganut agama Hindu yang taat tidak membuat transmigran Bali menjadi eksklusif. Bahkan kehadiran transmigran Bali justru lebih mewarnai nuansa keagamaan penduduk lokal. Transmigran Bali sangat bangga saat penduduk lokal menyebut mereka sebagai orang Bali. Bagi transmigran, Bali merupakan tempat yang sangat indah dengan adat istiadat dan budaya yang unik yang selalu mengundang orang lain untuk berdecak kagum. Jadi dapat disimupulkan bahwa orang Bali sendirilah yang menamai diri mereka sebagai orang Bali sebab mereka tetap ingin mempertahankan adat istiadat yang mereka bawa dari daerah asal mereka. 4.2 Dampak transmigrasi di Sidomakmur 4.2.1 Bidang Sosial Manusia adalah makhluk sosial mereka tidak dapat hidup sendiri karena saling membutuhkan satu sama lain. Sama halnya dengan kehidupan transmigran. Pada akhir tahun 1980-an sekitar 25 KK atau 100 jiwa meninggalkan desa Sidomakmur dan pindah ke daerah seberang sungai desa Sidomakmur tepatnya sebelah selatan desa Sidomakmur menuju ke desa Tamuku. Mereka kemudian membentuk sebuah perkampungan baru dengan membeli tanah dari orang Bugis. Perkampungan tersebut diberi nama Kembangmakmur. Alasan utama mengapa beberapa transmigran Bali meninggalkan desa dan membentuk perkampungan baru dikarenakan desa Sidomakmur seringkali terkena banjir dan menganggap perkampungan yang baru 64 dapat memberikan penghidupan yang lebih baik karena tanah pada daerah ini lebih tinggi. 50 Tabel 7 Jumlah penduduk desa Sidomakmur tahun 1980-1990 1980 No. 1985 1990 Desa 1. Sidomakmur KK Jiwa KK Jiwa KK Jiwa 270 1.329 245 1.210 235 1.050 Transmigran Bali yang meninggalkan desa Sidomakmur dan memilih pulang ke Bali atau pindah ke desa lain seperti desa Tamuku, Sukaraya, Sumberdadi, Katulungan, membawa dampak yang cukup besar, sebab hal ini dapat merusak mental transmigran Bali yang lain untuk tetap bertahan. Tidak terjadi pertambahan penduduk pada Desa Sidomakmur hingga tahun 1990 dikarenakan banyaknya transmigran yang pergi meninggalkan desa dan beberapa diantara mereka meninggal. Dampak sosial yang terjadi karena adanya interaksi sosial yang dilakukan oleh transmigran Bali dengan penduduk lokal (Bugis, Rongkong) adalah terjadinya 50 Suparmi: wawancara 25 Februari 2013, Dusun Kembangmakmur. 65 pernikahan diantara transmigran Bali yang beragama Hindu dengan orang Bugis yang beragama Islam atau dengan orang Rongkong yang biasanya beragama Kristen. Hal ini bisa terjadi karena adanya pembauran yang terjadi diantara mereka, dimana mereka telah mengadaptasi kebiasaan-kebiasaan lokal. Pernikahan beda agama ini pertama kali dilakukan pada tahun 1982. Pernikahan beda agama ini menimbulkan banyak kontroversi sebab hal yang paling sensitif adalah adanya perbedaan agama dan budaya. Namun karena adanya toleransi beragama yang cukup tinggi dan pembauran yang dilakukan sudah cukup lama dan dapat saling menyesuaikan diri maka pernikahan beda agama diperbolehkan. Dalam sistem sosial transmigran Bali terdapat sistem kasta yang berlaku secara turun-temurun, jadi apabila seorang wanita Bali menikah dengan orang diluar suku Bali, maka secara otomatis garis keturunan bangsawannya tidak akan menurun ke anaknya. Di Bali untuk menjadi seorang kepala adat haruslah berasal dari kasta brahmana. Sebab kaum brahmna dianggap sebagi bangsawan dan sangat memahami agama. Di Sidomakmur terjadi Pergeseran nilai yang terjadi pada masyarakat transmigran Bali terlihat dalam pemilihan mangku adat desa, pemilihan ini tidak lagi berdasarkan garis keturunan melainkan dipilih secara musyawarah mufakat. Orang yang nantinya menjadi mangku adat adalah mereka yang mengetahui ilmu agama, adat istiadat, dapat dipercaya, jujur, dan bertanggungjawab. Pemilihan mangku adat ini hanya dilakukan 1 kali dan berlaku untuk seumur hidup. Apabila mangku adat desa telah 66 wafat atau telah menyatakan dirinya sudah tindak sanggup lagi karena faktor usia maka, barulah akan dilakukan pemilihan mangku adat yang baru. Ketika ekonomi transmigran Bali mulai mapan terjadi pembauran dalam pola pemukiman. Beberapa transmigran Bali tidak lagi mengikuti pola pemukiman dalam membuat rumah seperti yang ada di Bali mereka mulai membuat rumah modern mengikuti pola pemukiman pada umumnya. 4.2.2 Bidang Ekonomi Pada tahun 1980 ketika rehabilitasi sistem irigasi telah selesai, transmigran Bali yang berpropesi sebagai petani tidak begitu saja meninggalkan sistem subak karena sistem subak ini dianggap sejalan dengan sistem irigasi, sistem pembagian air yang menggunakan sistem irigasi dilakukan oleh petani yang tergabung dalam kelompok P3A (persatuan petani pengguna air).didalamnya terdapat struktur organisasi hal ini dilakukan agar memudahkan dalam pengaturan air. Sidomakmur adalah salah satu dari empat desa dikecamatan Bone-bone yang terkena sistem irigasi. Tabel 8 Pengaruh irigasi terhadap pendapatan usaha-tani dan rumah tangga petani di Sukaraya dan Sidomakmur Indikator pendapatan Nilai produksi Pendapatan Perbedaan Sukaraya Sidomakmur Satuan % 157. 865 343.270 185.405 117 67 usaha tani Pendapatan bersih usaha tani Pendapatan bersih RT tani 124.791 233.616 108.825 87 169.141 258.028 88.887 52 Tabel diatas memperlihatkan bahwa nilai produksi usaha tani dan pendapatan usaha tani di Sidomakmur dan Sukaraya berselisih sebesar 117%, 87 %, dan 52%. Kenaikan pendapatan ini membuat kehidupan petani ekonomi transmigran Bali semakin membaik. Itulah sebabnya mengapa di Sidomakmur kegiatan ekonomi dititik beratkan pada usaha tani, karena mereka menyadari bahwa usaha-tani mereka akan menghasilkan pendapatan yang lebih banyak dari pada sumber yang lain karena adanya irigasi itu. Tabel 9 Adanya sistem irigasi ini juga mempengaruhi jumlah pendapatan transmigran Bali. Untuk lebih jelasnya lihat pada tabel yang ada dibawah ini. Pengaruh irigasi terhadap distribusi pendapatan Frekuensi Sukaraya Tanpa irigasi Golongan pendapatan Sidomakmur Dengan irigasi % Jumlah Jumlah % 0-49.999 17 56 3 10 50.000-99.999 11 37 4 13 100.000-149.999 2 7 8 27 68 150.000-199.999 0 0 6 20 200.000-249.999 0 0 2 7 250.000-299.000 0 0 4 13 300.000-349.999 0 0 2 7 350.000-lebih 0 0 1 3 Desa Sidomakmur adalah salah satu penyuplai beras untuk mencukupi kebutuhan beras di Kecamatan Bone-bone. Hal ini dikarenakan hasil produksi padi yang cukup melimpah. Dengan adanya peningkatan pendapatan transmigran Bali, maka mereka telah dapat menyisihkan penghasilannya, dan dengan demikian akan memungkinkan transmigran untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, minimal dapat memenuhi kebutuhan pokok. Seiring dengan perbaikan ekonomi para transmigran, mereka mulai mempersiapkan rumah-rumah pengganti dengan penyediaan bahan-bahan kayu kelas I atau kelas II dengan papan kelas II dan kelas III, Beberapa diantara mereka juga telah membuat rumah permanen dan semi permanen. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan ekonomi yang cukup tinggi pada transmigran Bali, walaupun masih ada rumah yang menggunakan atap rumbia. Ukuran besar kecil rumah dan pura keluarga dianggap mempengaruhi status sosial masyarakat transmigran Bali. 69 Selain bidang pertanian, para transmigran Bali juga berusaha pada bidang non pertanian. Pertanian memang merupakan tujuan utama meningkatkan taraf hidup para transmigran, tetapi bukan berarti usaha yang lain benar-benar ditinggalkan. Antara saat menanam dan musim panen terdapat waktu luang yang cukup banyak sehingga waktu tersebut perlu dimanfaatkan untuk pekerjaan non pertanian sebagai penambah pendapatan para transmigran. Usaha-usaha non pertanian yang dijalankan oleh para transmigran cukup beragam, usaha-usaha non pertanian ini berupa industri rumah tangga, usaha dibidang jasa dan memelihara binatang ternak. transmigran Bali biasanya beternak babi,ayam dan sapi. Dalam bidang jasa, seperti tukang batu, tukang jahit, dan tukang ojek. Usaha-usaha ini merupakan penunjang yang cukup potensial dalam menambah penghasilan transmigran Bali. Bagi transmigran Bali yang mempunyai modal cukup besar, biasanya mereka membeli tanah untuk perkebunan sawit dan coklat. Jika diamati meningkatnya taraf kehidupan ekonomi transmigran Bali sejalan dengan dibangunnya sistem irigasi, hal ini juga berpengaruh pada pendidikan anakanak transmigran. Mereka menyekolahkan anaknya sampai jenjang pendidikan SMA Beberapa diantara anak-anak transmigran bahkan disekolahkan sampai perguruan tinggi. 4.2.3 Bidang kebudayaan 70 Orang Bali adalah salah satu suku yang ada di Indonesia yang terkenal dengan adat budayanya yang sangat kental. Dalam prakteknya ketika orang Bali memutuskan untuk bertransmigrasi ke Luwu mereka tetap berusaha untuk mempertahankan kebudayaannya. Dalam upacara keagamaan perlengkapan upacara yang biasanya digunakan di Bali namun tidak di temukan di Desa Sidomakmur maka transmigran Bali akan menggantikannya dengan alat atau sajen yang lain, pakaian yang biasanya digunakan untuk sembahyang didatangkan langsung dari Bali. Kehadiran transmigran Bali di Kecamatan Bone-bone memberikan corak kebudayaan yang berbeda. Biasanya pada pagelaran seni di tingkatan sekolah ataupun kecamatan ditampilkan tari-tarian Bali yang sangat menarik. Hal yang lain dari adanya transmigran bali adalah dibangunnya desa Sidomakmur oleh transmigran Bali menyerupai desa-desa yang ada di Bali lengkap dengan ornamen-ornamennya. pada hari raya galungan didepan rumah setiap transmigran akan terpasang bambu kuning yang dihiasi dengan sajen dan daun pandan yang dibentuk sedemikian rupa. Kita dapat melihat bagaimana kehidupan pedesaan di Bali dengan memandang desa Sidomakmur. Pada awal kedatangannya transmigran Bali masih melakukan Kebiasaankebiasaan seperti adu ayam, menenun dan minum alkohol masih dilakukan, kaum laki-laki biasanya mendatangi tempat sabung ayam untuk mengisi waktu luangnya, tidak jarang dari mereka taruhan (berjudi). Namun pada tahun 1990-an kebiasaan ini mulai dihilangkan. Selain itu kegiatan kesenian Bali seperti tari-tarian masih 71 diajarkan pada anak-anak kecil disanggar pura. Seni memahat dan membuat patung sangat jarang dilakukan, karena hanya sedikit dari transmigran Bali yang mempunyai keahlian untuk itu. BAB V KESIMPULAN Berdasarkan keputusan presiden tahun 1973 propinsi Sulawesi selatan ditunjuk sebagai daerah penerima transmigran. Ada empat daerah yang ditetapkan yakni Luwu, Ujung Pandang, Majene dan Mamuju. Di Luwu daerah yang menjadi penerima transmigran adalah unit Bone-Bone, unit Mangkutana dan unit Masamba. Pada tahun 1969-1974 dibone-bone dibangun enam desa yang diperuntukkan untuk transmigran, di antaranya desa Bone-Bone, Patila, Sukaraya, Tamuku, Sidomukti, dan Sidomakmur. Sidomakmur adalah sebuah desa yang dibangun untuk pemukiman transmigran Bali, yang datang pada tahun 1970. Transmigran Bali membuat desa Sidomakmur menyerupai desa di Bali tujuannya adalah untuk membuat lagi Bali ditempat lain, disuatu tempat dimana kondisi ekonomi akan dapat menjadi lebih baik. Struktur 72 sosial orang-orang Bali memungkinkan suatu adaptasi yang cepat pada suatu tempat baru dan pelaksanaan agama yang lebih mendalam. Selama periode 1970-1990 perubahan yang terjadi pada transmigran Bali sangat nyata . Pembauran yang dilakukan oleh transmigran Bali dengan penduduk lokal memunculkan suatu hubungan baru yang kompleks, yang kemudian mempengaruhi kehidupan sosial budaya transmigran Bali. Pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat yang dialami oleh transmigran Bali, memunculkan struktur baru dalam lingkungannya dengan munculnya petani komersial dan petani marginal. Dimana petani marginal seringkali tergantung dengan petani komersial terbukti dengan didatangkannya tenaga kerja baru yang berpropesi sebagai petani yang di upah untuk mengerjakan lahan persawahan milik transmigran Bali. Terjadinya pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat ini tidak terlepas dari adanya system irigasi. Proyek transmigrasi yang dilakukan oleh pemerintah dengan mengirim transmigran Bali ke Desa Sidomakmur dapat dikatakan cukup berhasil karena terjadi perubahan yang cukup signifikan pada kehidupan ekonomi transmigran Bali. Rumahrumah milik transmigran Bali beberapa diantaranya telah permanen (rumah batu), semi permanen, dan rumah kayu. Mereka juga dapat menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Keberhasilan transmigran Bali ikut menyumbang dalam pembangunan ekonomi dikecamatan Bone-Bone. 73 Konflik sosial tak pernah terjadi di daerah ini, hal ini dikarenakan adanya unsur saling memerlukan diantara mereka, daerah yang masih kosong, tidak adanya kepentingan yang berbenturan, toleransi yang tinggi dan sikap saling menghargai satu sama lain dan masih luasnya tanah untuk lahan garapan. DAFTAR PUSTAKA Arbain, Taufik. 2009. Strategi Migran Banjar.Yogyakarta : LkiS 2009 Atmadja, Nengah Bawa. 2010. Ajeg Bali Gerakan, Identitas Kultural, dan globalisasi. Yogyakarta : LKis Charas, Muriel. 1997. Dari Hutan Angker Hingga Tumbuhan Dewata, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press Furnivall, J.S. 2009. Hindia Belanda Studi Majemuk tentang Ekonomi Majemuk, Jakarta: Freedom Institute Geriya, I Wayan dkk. 1986. Sistim Gotong Royong Dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Bali, Bali: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Gotschalk, Louis 1973. Mengerti Sejarah, Terjemahan Nugroho Notosusanto. Jakarta: UI Press 74 Hamid, Abd Rahman & Muhammad Saleh Madjid. 2011. pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta : Ombak Levang, Patrice. 2003. Ayo ke Tanah Sabrang. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Mantra, Ida Bagoes. 2000. Demografi umum, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Manuwiyoto Mirwanto. 2004. mengenal dan memahami Transmigarsi, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Mattulada,M.Arief, M.Johan Nyompa, L.T. Tangdilintin, M. Zainal Abidin, John Poelinggomang. 1976/1977. . Geografi Budaya Daerah Sulawesi Selatan, Sulawesi Selatan:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Kebudayaan Daerah Muhajir Utomo dan Rofiq Ahmad. 90 Tahun Kolonisasi 45 Tahun Transmigrasi, Jakarta: PT Penebar Swadaya Pawiloy, Sarita. 1999. Sejarah Lokal Sulawesi Selatan (Ujung pandang: Modul Iba Integrasi Bahan Ajar): Universitas Negeri Makassar Pranoto. 2010. Teori metodologi Sejarah, Yogyakarta: Graha Ilmu Soekanto Soerjono, 2010. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Divisi Buku Perguruan Tinggi, Pt RajaGrafindo Persada 75 Team Universitas Hasanuddin, 1981. Evaluasi Dampak Sistim Irigasi Bone-Bone di Kabupaten Luwu-Sulawesi Selatan, Ujung Pandang. Yasyin Sulchan. 1995. Kamus pintar Bahasa Indonesia dengan EYD dan kosakata baru, amanah Surabaya. Lampiran I Data Informan 1. Nama Umur : Sunyi : 65 tahun Jenis Kelamin : Laki-Laki Pekerjaan : Mangku Adat didesa Sidomakmur, Petani Alamat : dusun Tirto Agung desa Sidomakmur Wawancara : 20 Februari 2013 2. Nama Umur : Wayan Widiarsa : 53 tahun Jenis Kelamin : Laki-Laki Pekerjaan : Guru Alamat : Dusun Tirto Agung, Sidomakmur Wawancara 3. Nama Umur : 20 Februari 2013 : I Wayan Sunastra : 57 tahun 76 Jenis Kelamin : Laki-Laki Pekerjaan : Petani, Pegawai Di Kantor Kelurahan Alamat : Dusun Tirto Agung , Desa Sidomakmur Wawancara 4. Nama Umur : 15 Februari 2013 : Nyoman Suamba : 39 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Sekertaris desa Alamat : Dusun Tirto Agung, Desa Sidomakmur Wawancara 5. Nama Umur : 22 Februari 2013 : Wayan Masor : 70 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Petani Alamat : Dusun Kembang Makmur Wawancara : 25 Februari 2013 6. Nama : Suparmi Umur : 67 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Alamat : Dusun Kembang Makmur Wawancara : 25 Februari 2013 7. Nama Umur : Sudi : 66 tahun 77 Jenis Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Petani Alamat : Dusun Sumber Urip, desa Sidomakmur Wawancara : 28 Februari 2013 8. Nama Umur : Suni : 66 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Petani Alamat : Dusun Sumber Urip, desa Sidomakmur Wawancara : 28 Februari 2013 9. Nama Umur : Sulastri : 70 tahun Jenis Kelamin : Laki-Laki Pekerjaan : Petani Alamat : Dusun Tirto Agung, desa Sidomakmur Wawancara : 1 Maret 2013 10. Nama Umur : Ketut Mangra : 75 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Petani Alamat : Dusun Tirto Agung, desa Sidomakmur Wawancara : 2 Maret 2013 11. Nama : Wayang Widiana 78 Umur : 56 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Petani Alamat : Dusun Sumber Urip, Desa Sidomakmur Wawancara : 2 Maret 2013 12. Nama Umur : I Wayan Sunadi : 45 tahun Jenis Kelamin : Laki-Laki Pekerjaan : Kepala Desa Sidomakmur Alamat : Sidomakmur Wawancara : 8 Maret 2013 79