Makalah Sosped_Kelompok 3

advertisement
Tugas Praktikum Sosiologi Pedesaan (KPM 230)
Dampak Berlangsungnya Komunikasi Antar Budaya terhadap Stabilitas
Masyarakat Multikultural
Oleh:
Kelompok 3
Fitri Munggarani
Hillariana Ikhlash
Syifa Ibtisamah
Nella Gabrielle
Elsa Detriapani
/ I34120087
/ I34120102
/ I34120123
/ I34120147
/ I34120167
Dosen :
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS
Dr. Sofyan Sjaf
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masyarakat multikultural adalah sebuah masyarakat yang rentan
mengalami konflik.Konflik terjadi dikarenakan adanya perbedaan pemahaman
terhadap symbol yang digunakan untuk melakukan komunikasi antar budaya.
Menurut Soekanto konflik merupakan suatu proses sosial dimana individu atau
kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak
lawan yang disertai dengan ancaman dan / kekuasaan (Soekanto, 2007: 91).
Indonesia sangat rentan mengalami konflik antar budaya.Berbagai
peristiwa konflik antarbudaya pernah terjadi di Indonesia.Tentunya, sebagai
masyarakat Indonesia kita tidak menginginkan konflik itu terjadi lagi.Belajar dari
sejarah adalah hal terbaik untuk menghindari kemungkinan konflik di masa
mendatang. Berbagai penelitian juga telah bertujuan untuk menjelaskan faktorfaktor kultural dan politis penyebab resistensi daerah terhadap program
penyelenggaraan transmigrasi dan merumuskan secara komprehensif respon
kebijakan pusat yang diperlukan guna penyelesaian resistensi tersebut. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa resistensi atau benturan kebijakan di daerah perlu
diselesaikan, melalui perubahan kebijakan transmigrasi yang berbasis pada
budaya setempat.
Penelitian lain juga merumuskan kebencian orang pribumi terhada etnis
Tionghoa juga tidak terlepas dari campur tangan pihak Belanda yang telah
melakukan adu domba antara pihak pribumi dengan etnis Tionghoa yang
menimbulkan kesalahpahaman serta pandangan negatif dari kedua belah pihak.
Adanya berbagai penyebab yang menjurus kearah perbedaan budaya tersebut
membuat penulis tertarik untuk menuliskan sebuah makalah berjudul “Dampak
Berlangsungnya Komunikasi Antar Budaya terhadap Stabilitas Masyarakat
Multicultural”.
Rumusan Masalah
1.
2.
3.
4.
Apa itu masyarakat multicultural?
Apa penyebab terjadinya ketidakstabilan dalam masyarakat multicultural?
Mengapa kita harus menciptakan stabilitas masyarakat multicultural?
Bagaimana cara menciptakan stabilitas masyarakat multicultural?
1
Tujuan
1. Mendeskripsikan masyarakat multicultural di Indonesia
2. Menjelaskan penyebab terjadinya ketidakstabilan pada masyarakat
multicultural di Indonesia
3. Mengetahui pentingnya stabilitas dalam masyarakat multicultural
4. Mengetahui cara menciptakan stabilitas pada masyarakat multicultural
2
BAB 2
Tinjauan Pustaka
Pertentangan atau pertikaian atau konflik merupakan suatu proses sosial dimana
individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan
menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan / kekuasaan (Soekanto,
2007: 91).
Sebagai suatu proses, akomodasi menunjuk pada usaha – usaha manusia untuk
meredakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha untuk mencapai kestabilan
(Soekanto, 2007: 68).
Asimilasi ditandai dengan adanya usaha – usaha mengurangi perbedaan –
perbedaan yang terdapat antara orang perorangan atau kelompok – kelompok
manusia dan juga meliputi usaha – usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak,
sikap, dan proses – proses mental dengan memperhatikan kepentingan –
kepentingan dan tujuan – tujuan bersama (Soekanto, 2007 : 73).
Akulturasi terjadi bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan yang
tertentu dihadapkan pada unsur – unsur suatu kebudyaan asing yang berbeda
sedemikian rupa sehingga unsur – unsur kebudayaan asing itu dengan lambat laun
diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri (Koentjaningrat dalam
Soekanto, 2007:168).
Konformitas berarti proses penyesuaian diri dengan masyarakat dengan cara
mengindahkan kaidah dan nilai – nilai masyarakat (Soekanto, 2007:189).
Sistem tertutup dapat dilihat dengan jelas dalam masyarakat Indian yang berkasta,
dalam batas – batas tertentu pada masyarakat Bali, juga dapat dijumpai di
Amerika Serikat di mana terdapat pemisahan antara golongan kulit putih dan
golongan kulit berwarna khususnya negro yang dikenal dengan istilah segregation
atau sistem apartheid di Afrika Selatan ( Suyanto & Narwoko, 2011:162)
Menurut Koentjaningrat (1983), konsep yang tercakup dalam istilah suku bangsa
adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan
kesatuan kebudayaan, dan kesadaran dan identitas tadi sering kali – tetapi tidak
selalu- juga dikuatkan oleh kesatuan atau persamaan bahasa (Koentjaningrat
dalam Suyanto & Narwoko, 2011:197)
Pendatang adalah suatu kelompok baru datang untuk menetap di suatu daerah
yang telah ada penduduknya yang merupakan masyarakat asli daerah
tersebut.(Suyanto & Narwoko, 2011)
Pribumi adalah penghuni asli yang berasal dari tempat yang bersangkutan (KBBI,
2003)
3
BAB 3
PEMBAHASAN
Mendeskripsikan Masyarakat Multikultural di Indonesia
Menurut Koentjaningrat (1983), konsep yang tercakup dalam istilah suku
bangsa adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas
akan kesatuan kebudayaan, dan kesadaran dan identitas tadi sering kali – tetapi
tidak selalu- juga dikuatkan oleh kesatuan atau persamaan bahasa (Koentjaningrat
dalam Suyanto & Narwoko, 2011:197). Etnisitas merupakan ciri khas dari Tanah
Air ini. Berbagai suku tinggal tersebar di seluruh kawasan Indonesia. Mereka
menggunakan identitas mereka untuk saling mengenal satu sama lain. Etnisitas
yang tinggal berdampingan mencetuskan suatu kehidupan masyarakat
multikultural.
Salah satu contoh kehidupan dari masyarakat multicultural adalah
lingkungan tempat etnis Cina dan Pribumi tinggal. Etnis Cina yang sampai saat ini
masih dianggap sebagai warga asing.Sebenarnya telah memiliki keterlibatan yang
panjang dengan negara kita tercinta. Kunjungan Fa Hsien pada abad ke – 5 dan
keikutsertaan muslim Cina untuk membangun kesultanan Demak adalah contoh
nyata dari bukti keberadaan etnis Cina di masa lampau.Etnis Cina telah beranak
pinak di Tanah Air kita tercinta ini hidup berdampingan dengan pribumi,
melewati masa penjajahan Belanda, bahkan Jepang.Setelah kemerdekaan, Ki
Hajar Dewantara dalam kalimat Nasion Hindia Belanda mencoba menyatukan
etnis – etnis di Indonesia.Namun, pelaksanaannya sampai sekarang masih sulit
untuk dicapai, Etnis Cina sebagai minoritas begitu juga etnis – etnis minoritas
lainnya seringkali kerap mengalami diskriminasi.
. Kedatangan etnis Cina ke Indonesia tidak terlepas dari campur tangan
pihak Belanda yang memberikan akses kepada etnis Tionghoa untuk tinggal dan
beraktivitas di Indonesia. Ketika itu, orang pribumi yang sudah menderita akibat
pemerintahan belanda yang seenaknya semakin termarjinalkan karena datangnya
para imigran dari Cina yang memiliki strata sosial lebih tinggi baik dari segi
politik maupun ekonomi. Kebencian pribumi terhada etnis Tionghoa juga tidak
terlepas dari campur tangan pihak Belanda yang telah melakukan adu domba
antara pihak pribumi dengan etnis Tionghoa yang menimbulkan kesalahpahaman
orang serta pandangan negatif dari kedua belah pihak. Hal ini, sebenarnya
merupakan bom waktu yang diwarisi Belanda dan dapat meledak kapanpun.
Hampir sama dengan masyarakat multikultural yang berada di tanah
Jawa,di Papua masyarakat pribumi (warga asli Papua) dan masyarakat pendatang
hidup bertetangga. Transmigrasi bertujuan untuk mempercepat pembangunan
sehingga diramalkan akan terjadi saling ‘share’ antar masyarakat, dan dapat
4
membantu finansial masyarakat Papua. Namun, hal yang sebaliknya terjadi,
penerapan transmigrasi Papua memang membuat jumlah penduduk meningkat.
Tetapi jumlah penduduk yang meningkat adalah jumlah penduduk pendatang.
Masyarakat Papua yang sedikit menjadi minoritas. Sedangkan,masyarakat Jawa
terus datang untuk mengeksploitasi SDA dan mencari ladang – ladang pekerjaan
orang Papua.
Perspektif
Kritis
3 Perspektif
Memandang
Masyarakat
Multikultural di
Papua
Perspektif
Moderat
Perspektif
Mendukung
Gambar 1. Tiga Perspektif Memandang Masyarakat Multikultural di Indonesia
Meninggalkan tanah Jawa dan Papua kita beralih kepada pulau
Kalimantan. Salah satu contoh masyarakat multikultural yang ada di Kalimantan
adalah masyarakat Sampit dan Madura. Beberda dengan masyarakat multikultural
sebelumnya. Masyarakat Dayak dan Sampit sudah dideskripsikan secara
stereotype. Stereotipe mereka sungguh berbeda, suku Dayak di pandang sebagai
suku yang terbelakang, malas dan barbar.Hal ini karena dibandingkan dengan
suku Madura yang memang rata-rata tingkat pendidikannya lebih tinggi dan
pandai berdagang. Namun demikian, stereotype yang melekat pada suku Madura
pun tidak kalah jeleknya, suku Madura dianggap seperti suka bohong, tidak
menepati janji, mudah menggunakan cara-cara kekerasan, dan hidup eksklusif.Hal
ini dibuktikan oleh kebiasaan orang Madura yang beragama Islam cenderung
hanya mau bersembahyang ke Masjid atau Musholla khusus Madura. Lekatnya
streotipe ini menimbulkan berbagai konflik laten yang kemudian berubah menjadi
manifest sekitar tahun 2000.
5
Menjelaskan Penyebab Terjadinya KetidakstabilanPada Masyarakat
Multicultural di Indonesia
Dalam masyarakat multikultural khususnya Indonesia kita tentu sudah
mengetahui bagaimana konflik antar etnis seringkali terjadi. Konflik merupakan
suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi
tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan
/kekuasaan (Soekanto, 2007: 91). Konflik bisa terjadi karena disebabkan oleh
berbagai hal.
Dalam masyarakat multicultural Cina dan Pribumi, pertentangan antar
etnis disebabkan karena adanya konflik laten yang semakin lama semakin tumbuh
dan menjadi dendam dalam kian tahun. Konflik laten tersebut diantaranya adalah
stratifikasi sosial pada zaman penjajahan Belanda dimana saat itu Etnis Cina yang
pintar berdagang sangat dianak emaskan oleh kolonial. Penyebab lainnya adalah
kecemburuan sosial dalam hal ekonomi.Dan tradisi etnis Cina yang hanya bergaul
dengan sesamanya.Kurangnya interaksi sosial antara etnis Cina dan etnis Pribumi
menyebabkan etnis Cina tidak bisa memberikan pemahaman yang baik terkait
dengan perbedaan kebudayaan antar mereka.
Konflik Laten Etnis Cina
dan Pribumi
Stratifikasi Sosial Zaman Penjajahan
Belanda
Kecemburuan Sosial dalam hal
ekonomi
Tradisi etnis Cina yang hanya bergaul
dengan sesamanya
Tabel1. Konflik Laten Etnis Cina dan Pribumi
Konflik etnis Cina yang lebih khusus dapat dilihat pada daerah Situbondo
Jawa Timur. Pecah konflik yang terjadi antara etnis Tionghoa dan pribumi di
Besuki terjadi pada tahun 1976 dan 1998. Ketika rezim orde baru memang terlihat
bahwa etnis Tionghoa dan masyarakat Padhalungan tidak menunjukan konflik
secara terbuka, tetapi ketika rezim orde baru runtuh konflik antar etnik yang
terjadi di indonesia mulai bermunculan kepermukaan. Kekerasan, penjarahan, dan
penghancuran sarana ibadah tidak dapat dihindarkan, ketika itu indonesia
berkecamuk akibat konflik antar etnis yang terjadi khususnya di daerah jawa yang
sebagian besar warga Tionghoa bermukim di sana, salah satunya di daerah Besuki
– Situbondo. Selain faktor sejarah yang menjadi latar belakang terjadinya konflik
antar etnis, kesenjangan sosial yang terjadi antara masyarakat Padhalungan
dengan etnis Tionghoa menimbulkan kecemburuan sosial diantara masyarakat
Padhalungan. Masyarakat Padhalungan merasa terpinggirkan karena
6
perekonomian di daerah Besuki dikuasai oleh etnis Tionghoa. Kesenjangan di
bidang ekonomi dapat mempengaruhi bidang lainnya, misalnya bidang politik.
Ketika suatu etnis tertentu memiliki kelebihan di bidang ekonomi maka hal
tersebut juga berbanding lurus dengan bidang politik.
Proses sosial yang bersifat destruktif ini dapat diamati pula di Papua. Salah
satu perspektif kritis menganggap di kalangan masyarakat asli Papua, telah
berkembang prasangka negatif terhadap transmigrasi, seperti muncul istilah
“Kolonisasi”, “Jawanisasi”, dan “Islamisasi”. Ada kekhawatiran akan terjadinya
dominasi demografis etnis non-Papua di Papua, kekhawatiran akan munculnya
kecemburuan sosial ekonomi atas kesuksesan sosial-ekonomi orang-orang nonPapua. Bahkan menurut aktivis mahasiswa transmigrasi dianggap hanya
memindahkan kemiskinan orang Jawa di Papua.Papua bukan hanya surga bagi
pengeksploitasi SDA, tetapi juga surga bagi pencari kerja, bahkan yang tak punya
skill sekalipun.Akibatnya populasi penduduk asli Papua semakin kecil. Tanah
adat telah diambil alih Pemerintah untuk dijadikan lahan transmigrasi. Hutanhutan tempatmasyarakat adat hidup, dan lahan tempat perburuan mereka ditebang
dan di-land-clearing, banyak kasus binatang buruan masyarakat adat kemudian
diburu warga transmigrasi bersama aparat keamanan.
Demikian pula, beberapa tempat masyarakat adat mencari makanan sagu
telah beralih fungsi menjadi lahan kelapa sawit. Hal ini menjadikan sebagian
masyarakat Papua berpandangan bahwa Pemerintah Pusat, atas nama
pembangunan, telah menggusur eksistensi masyarakat Papua. Statement Haluk
yang lain juga menyinggung soal kegagalan otonomi khusus, bahwa hakikat dari
Undang- Undang Otonomi Khusus memuat tiga hal yakni: pemberdayaan,
perlindungan dan penyelamatan bagi manusia dan ekosistem di tanah Papua.
Akan tetapi selama 9 tahun ini, tampaknya Undang-Undang ini gagal karena tidak
menyelamatkan manusia dan ekosistem di tanah Papua.
Sedangkan, di Tanah Kalimantan, Lembaga Musyawarah Masyarakat
Dayak dan Daerah Kalimantan Tengah atau dapat disingkat LMMDD-KT
mencatat ketegangan antara Dayak vs Madura sudah muncul sejak 1970. Dua
bulan sebelum puncak kerusuhan, 17 Desember 2000, terjadi perkelahian antara
dua kelompok preman Madura dan Dayak yang menewaskan seorang suku Dayak
di sebuah kota kecil Kereng Pangi, kawasan pelacuran terselubung antara Sampit
dan Palangkaraya. LKMMDD-KT juga menyatakan bahwa orang Madura
seringkali melakukan kekerasan seperti pembunuhan, pemerkosaan, dan lain-lain
namun sebagian besar tidak diselesaikan dengan persidangan dan hanya
dikenakan sanksi dengan membayar denda.LKMMDD bersikeras bahwa Ikatan
Keluarga Madura atau IKAMA melindungi pelaku kekerasan tersebut dari
sukunya sendiri.
Konflik di berbagai daerah terjadi karena warga asli daerah tersebut
merasa terkalahkan atau tersisihkan oleh kaum pendatang.Masalah yang baru pun
7
muncul, siapakah yang layak disebut sebagai penduduk asli?Apakah yang lahir di
tempat tersebut dan dibesarkan dengan adat istiadat di lingkungan stempat? Pada
kenyataannya, suku Jawa sebagai suku dengan jumlah penduduk paling banyak di
Indonesia yang bertransmigrasi ke daerah lain sehingga membentuk Jawaisme.
Lalu hipotesis yang mengatakan kalau semakin besar jumlah penduduk suatu etnis
maka pertumbuhan etnis tersebut pun akan semakin besar? Data yang didapat dari
Arifin Suryadinata dan Ananta (2003) menyatakan bahwa hal tersebut tidak
terbukti. Karena terlihat bahwa Jawa dengan jumlah penduduk sekitar 201 juta
jiwa nyatanya pertumbuhan penduduk pada tahun 1930-2000 hanya sebesar 1,78.
BErbanding terbalik dengan suku Melayu yang ranking jumlah penduduk hanya
berada di posisi ke 7 dengan jumlah penduduk sekitar 6,9 juta jiwa berada di
posisi pertama pada tingkat pertumbuhan penduduknya.
Pada hasil Susenas 1996 dan 1999 tentang kemiskinan absolute yang
diukur dengan jumlah pengeluaran per kapita, lalu presentase jumlah penduduk
miskin dihubungkan dengan konflik. Antara kedua variable yaitu kemiskinan
absolute dengan konflik tidak menunjukan hubungan.Artinyakonflik dapat terjadi
paddaprovinsi dengan presentase penduduk miskin yang rendah, sedang ataupun
tingggi, seperti halnya HPI dan konflik.
Pentingnya Stabilitas Dalam Masyarakat Multicultural
Stabilitas penting dikarenakan konflik laten bisa berujung kepada konflik
manifest. Dalam sejarah kelam Indonesia, masyarakat Cina dan pribumi telah
berkali – kali mengalami konflik manifest. Puncaknya adalah Kerusuhan ‘Mei
Kelabu’ 1998 yang telah menelan korban ratusan jiwa dan harta benda milik etnis
Cina yang jumlahnya begitu besar. Begitu juga stabilitas di kalangan masyarakat
luar Jawa, Walaupun masyarakat Papua tidak memiliki kekuasaan dan wewenang
terhadap aturan transmigrasi, namun mereka memiliki kekuatan jumlah penduduk
yang sewaktu-waktu dapat memberontak karena tidak setuju dengan adanya
transmigrasi Papua. Menilik dari pengalaman sejarah, stabilitas dalam masyarakat
multikultural perlu dijaga agar kejadian di masa lalu tidak terjadi lagi.
Selain berbicara masalah Jawa dan Luar Jawa dan konflik manifest yang
mungkin saja terjadi jika tidak stabil. Mengkaji masalah kestabilan antar
keragaman keyakinan juga menjadi penting. Agama berbeda dengan budaya
sehingga tidak boleh dicampur adukkan. Akan tetapi, dalam masyarakat
multicultural, sudah seharusnya kita mengenal toleransi. Gusdur dalam kalimat
pribumisasi Islam berusaha untuk mencetuskan sebuah pemahaman yang
mempertimbangkan kebutuhan – kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum –
hukum agama tanpa mengubah hukum – hukum itu sendiri. Dalam proses ini
pembauran Islam dengan budaya menurut Gus Dur tidak boleh terjadi sebab
berbaur berarti hilangnya sifat – sifat asli. Islam harus tetap pada keislamannya.
8
Bagi Gus Dur universalisme Islam itu tercermin dalam ajaran – ajarannya yang
mempunyai kepedulian terhadap nilai – nilai kemanusiaan yang dibuktikan
dengan memberikan perlindungan kepada masyarakat dari kezaliman dan
kewenang – wenangan.
Konflik Manifest Etnis Cina
dan Pribumi
Kerusuhan tahun 1912 di Surabaya
Kerusuhan 1918 di Kudus
Peristiwa Natal kelabu di berbagai daerah di
Pulau Jawa
Kerusuhan 12 sampai 14 Mei 1998
Tabel2. Konflik Manifest etnis Cina dan Pribumi
Menciptakan Stabilitas Pada Masyarakat Multikultural
Stabilitas masyarakat multikultural dapat diciptakan melalui komunikasi
lintas budaya. Dengan komunikasi lintas budaya, memungkinkan orang – orang
yang terlibat menjadi saling mengerti kebudayaan di pihak lain. Dalam salah satu
contoh, perbedaan kultural antara etnis Cina dan pribumi dapat di serasikan
dengan cara sebagai berikut :
1, Penyebutan warga pribumi dan non pribumi dihilangkan
2. Menghilangkan diskriminasi etnis
3. Introspeksi ke dalam etnis Cina
Dewasa ini, walaupun masyarakat Padhalungan dan etnis Tionghoa hidup
berdampingan secara harmonis, rukun, dan damai tetapi konflik laten yang ada di
masyarakat tersebut masih saja ada. Sebagai contoh, ketika seorang masyarakat
merasa sakit hati atau tidak terima atas perlakuan etnis Tionghoa yang sebenarnya
tidak terlalu penting maka hal tersebut dapat menjadi konflik antar etnis karena
masalah kecil dapat mengusik eksistensi suatu komunitas tertentu. Hal lain yang
dapat memicu konflik yaitu kesalahan dalam berkomunikasi. Komunikasi yang
beik merupakan langkah awal untuk meluruskan kesalahpahaman yang terjadi
antara masyarakat Padhalungan dan etnis Tionghoa. Stategi EC (Equal
Communication) dapat menjadi salah satu upaya preventif konflik yang dapat
diterapkan. Dimulai dengan membangun kepercayaan antar kedua belah pihak,
kebersamaan, dan saling mendukung dapat membangun pondasi saling
menghargai dan saling percaya antara masyarakat Padhalungan dan etnis
Tionghoa. Perbedaan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Padhalungan dan
etnis Tionghoa juga dapat memicu konflik.
9
Fenomena konflik dapat dilihat proses sosiasi, yang dapat memberikan
hasil positif yaitu asosiasi dimana masyarakat bersatu membentuk kelompok yang
baru gabungan dari dua atau lebih pihak yang berkonflik maupun memberikan
hasil negadif yaitu disasosiasi dimana masyarakat saling bermusuhan satu sama
lain. Bagaimanapun, konflik antar masyarakat atau antar etnis tidak dapat
dihindari. Perbedaan budaya serta stereotype sederhana yang telah mengakar
dalam fikiran masyarakat juga menjadi dasar mengapa etnis yang berbeda dapat
berkonflik apabila ada di bermukim dan menggunakan sumber daya yang sama
terlepas dari latar belakang sejarah yang mendahuluinya. Adanya kelompok
mayoritas dan minoritas, serta golongan kuat dan lemah dapat menjadi indikasi
adanya kesenjangn sosial yang dapat mengakibatkan kecemburuan sosial dimana
adasalah satu pihak tidak dapat menggunakan akses tertentu akibat dominasi dari
pihak lain. Oleh sebab itu, peleburan antar masyarakat pandhalungan dan etnis
Tionghoa harus dilakukan dan memperbaiki komunikasi antar keduanya juga
harus dilakukan agar konflik laten tidak terjadi sehingga tidak ada lagi bom waktu
di masa yang akan datang.
Direktorat Jenderal Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi
(P2KT) perlu melakukan dialog-dialog kebijakan secara intensif dengan
pemerintah daerah (provinsi) Papua, sebagai upaya untukmembangun kesamaan
persepsi tentang manfaat dan relevansi program transmigrasi bagi kepentingan
pembangunan daerah. Secara lebih spesifik, agar Direktorat PIK Ditjen P2KT
mengalokasikan sumber daya untuk mempromosikan transmigrasi di “daerah
resisten” ini (Papua), sehingga transmigrasi dapat diterima kembali sebagai bagian
dari kebutuhan dan pembangunan daerah. Secara kultural, dilakukan melalui
pendekatan dialog-dialog intensif antara Pusat dan Daerah (Papua), dengan
menawarkan kebijakan baru transmigrasi khusus Papua, yang benar-benar
berbasis pada aspirasi dan budaya setempat.Kebijakan pembangunan kawasan
transmigrasi kedepan, perlu memperhitungkan kondisi kultural daerah setempat.
Hal ini memerlukan sebuah kebijakan perencanaan pembangunan transmigrasi
dengan pendekatan sosialbudaya, yaitu suatu proses pembangunan transmigrasi
yang sejak dari perencanaan, hingga pembinaan pasca penempatan,
mempertimbangkan unsur-unsur budaya terutama budaya penduduk setempat
(masyarakat lokal). 4. Perdasi Papua perlu segera dibahas atau ditinjau
ulang,melalui proses komunikasi, interaksi, dan dialog intensif antara Pemerintah
Pusat, Provinsi, dan kelompok- kelompokmasyarakat sipil (LSM) di Papua. Jika
ternyata terjadi deadlock dalam dialog kebijakan, maka Perdasi Papua bisa
diajukan ke Mahkamah Agung (MA) untuk dilakukan uji-materil sehingga
keputusan apapun dari Kementerian Dalam Negeri dapat menjadi dasar bagi
penentuan kebijakan secara jalan tengah (win-win solution) tentang masa depan
transmigrasi di Papua.
10
BAB IV
KESIMPULAN
Fenomena konflik antar etnis yang terjadi di indonesia tidak hanya
menyangkut sejarah dan campur tangan pihak Belanda pada masa lampau. Namun
perbedaan persepsi serta latar belakang budaya yang berbeda juga menjadi salah
satu faktor terjadinya konflik antar etnis. Selain itu, mitos masyarakat serta
stereotype sederhana yang berkonotasi negatif juga mempengaruhi pola pikir
masyarakat dalam memandang etnis tertentu. Perbedaan kemampuan serta
pengetahuan dalam mengelola sumber daya atau hal yang bersinggungan dengan
segala sesuatu tentang sumber kehidupan juga menjadi potensi konflik yang dapat
terjadi. Apabila salah satu pihak memiliki dominasi terhadap suatu sumber daya
tertentu maka akan menimbulkan kecemburuan sosial. Kecemburuan sosial
tersebut terjadi karena adanya kesenjangan sosial bagi pihak yang merasa
dimarjinalkan oleh pihak lain –dalam hal ini penduduk asli- .Proses migrasi
penduduk kewilayah dengan budaya yang berbeda serta etos kerja yang berbeda
dapat merubah tatanan budaya serta norma yang berlaku di suatu wilayah tertentu.
Maka dari itu, biasanya konflik terjadi antar penduduk asli dengan pendatang
akibat tidak adanya pengetahuan tentang budaya dari masing – masing etnis.
Maka dari itu, pengetahuan mengenai budaya setiap etnis, membangun
kepercayaan, serta komunikasi yang baik dapat membantu terciptanya rasa saling
mendukung serta kebersamaan apabila dalam suatu wilayah tertentu ada dua atau
lebih etnis yang tinggal bersama.
11
LAMPIRAN
Bagan 1. Penyelesaian Konflik di Indonesia
Konflik
Masyarakat Multikultural Latar
belakang
di Indonesia
1. Sejarah
2. Campur tangan kolonial
3. Komunikasi yang kurang
baik
Menyebabkan
1. Membangun kepercayaan,
kebersamaan, dan saling
mendukung
antar
masyarakat
2. Menciptakan komunikasi
yang efektif dan efisien
Equal Communication
1. Persepsi
negatif
dan
kesalahpahaman menyebabkan
konflik laten
Upaya preventif
2. Kesenjangan
mengakibatkan
eskalasi konflik
kecemburuan sosial
3. Salingcuriga antar kedua belah
pihak
Tabel 3. Daerah Konflik dan Etnis yang Terlibat
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
Daerah Konflik
Etnis yang Berkonflik
Kalimantan Barat
Dayak dan Melayu
Madura
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Kalimantan Tengah
Maluku
Ambon-Maluku
Bugis,
Buton,
dan Makassar
Maluku Utara
Papua
Penduduk Asli
Pendatang
Nanggroe Aceh Darussalam
Sumber:Alqadrie (2000) dan M. Nursam dkk (2002)
12
Download