Assyifa|Seorang Pria 57 Tahun dengan Gagal Jantung Kongestif yang Disebabkan Karena Penyakit Hipertensi Seorang Pria 57 Tahun dengan Gagal Jantung Kongestif yang Disebabkan Karena Penyakit Hipertensi Assyifa Anindya, Rekha Nova Iyos Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Gagal jantung adalah keadaan patofisiologik dimana jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Angka kejadian gagal jantung semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pasien seorang pria, 57 tahun datang dengan keluhan perut dan tungkai yang semakin membesar sejak 1 bulan yang lalu. Pasien juga mengeluhkan sesak nafas setelah beraktivitas, sering terbangun karena sesak. Pasien memiliki riwayat darah tinggi sejak 5 tahun yang lalu namun tidak rutin berobat. Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan Jugular Venous Pressure (JVP) 5+7 cmH20, ronki basah paru +/+, batas jantung membesar, murmur pansistolik, asiites dan edema ekstremitas. Pasien ini memenuhi kriteria Framingham Heart Study terdapat 5 kriteria mayor dan 3 kriteria minor. Simpulan, masalah pada pasien ini adalah gagal jantung kongestif karena penyakit hipertensi. Terapi yang diberikan meliputi terapi suportif dan medikamentosa. Kata kunci: gagal jantung kongestif, hipertensi A 57 Years Old Man with Congestive Heart Failure because Of Hypertension Disease Abstract Heart failure is a pathophysiology condition which heart as a pump insufficient the blood needs for tissue metabolism. Heart failure incidence increase from year to year. A man, 57 years old comes with edema stomach and legs since one month ago. Patient also complain dyspneu after daily exercise, he often awakened because of dyspneu. Patient has history of high blood pressure since 5 years ago, without routine treatment. On physical examination found increasing of Jugular Venous Pressure (JVP) 5 + 7 cmH20, wet crackles lung + / +, heart enlarged, murmur pansystolic, acites and limb edema. Patient meet the criteria of the Framingham Heart Study, there are 5 major criteria and 3 minor criteria. Conclusion, problem in this patients is congestive heart failure because of hypertension disease. The management is supportive and medical therapy. Keywords : congestive heart failure, hypertension Korespondensi : Assyifa Anindya, S.Ked, alamat Sutomo 24, HP 089639733576, e-mail [email protected] Pendahuluan Gagal jantung adalah keadaan patofisiologik dimana jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan.1 Angka kejadian Congestive Heart Failure (CHF) semakin meningkat dari tahun ke tahun, tercatat 1,5% sampai 2% orang dewasa di Amerika Serikat menderita CHF dan 700.000 diantaranya harus dirawat di rumah sakit per tahun. Faktor risiko terjadinya gagal jantung yang paling sering adalah usia lanjut, 75% pasien yang dirawat dengan CHF berusia antara 65 dan 75 tahun. Hipertensi adalah faktor risiko terpenting kedua untuk CHF. Faktor risiko lain terdiri dari kardiomiopati, aritmia, gagal ginjal, dan penyakit katup jantung.2 Pasien sering kembali ke klinik atau rumah sakit diakibatkan adanya kekambuhan episode gagal jantung. Kebanyakan kekambuhan gagal jantung terjadi karena pasien tidak memenuhi terapi yang dianjurkan, misalnya tidak melaksanakan terapi pengobatan dengan tepat, melanggar pembatasan diet, tidak mematuhi tindak lanjut medis, melakukan aktivitas fisik yang berlebihan, dan tidak dapat mengenali gejala kekambuhan.14,16,17 Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Rumah Sakit (RS) Kota Yogyakarta pada tahun 2009 terdapat 72 orang (4%) yang dirawat karena penyakit gagal jantung kongestif, dan sekitar 80% pasien yang dirawat karena gagal jantung kongestif merupakan rawat inap ulang.15 Dengan data perkembangan seperti ini, penyakit jantung kongestif akan menyebabkan permasalahan yang signifikan bagi masyarakat global dan bukan tidak mungkin dalam kurun beberapa tahun kedepan angka statistik ini akan bergerak naik jika para praktisi medis khususnya tidak segera memperhatikan faktor J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016|34 Assyifa|Seorang Pria 57 Tahun dengan Gagal Jantung Kongestif yang Disebabkan Karena Penyakit Hipertensi risiko utama yang menjadi awal mula penyakit ini. Dengan demikian perlu adanya penanganan dari segala aspek baik secara biomedik maupun biopsikososial. Untuk itu, kasus ini diangkat sebagai salah satu bentuk tanggung jawab sebagai praktisi medis agar dapat mengenal penyakit ini lebih rinci sebelum benar-benar mengaplikasikan teori pengobatan yang rasional. Kasus Seorang pria usia 57 tahun datang dengan keluhan utama perut dan tungkai yang semakin membesar sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Sebelum datang ke RS Abdul Moeloek pasien pernah dirawat di RS Kotabumi selama 1 minggu namun tidak ada perubahan. Pasien juga mengeluhkan sesak nafas yang memberat dibandingkan dengan 5 tahun yang lalu saat pertama kalinya pasien mengeluhkan sesak. Sesak nafas muncul setelah pasien berjalan ke kamar mandi, disertai dada yang berdebar-debar. Malam hari pasien sering tiba-tiba terbangun karena merasa sesak. Sekarang ini pasien lebih sering duduk dibandingkan berbaring, saat tidur pasien juga lebih nyaman mengunakan bantal. Tidak ada keluhan nyeri dada. Pasien juga mengeluhkan batuk, batuk berdahak kental warna putih, tidak ada darah. Saat batuk pasien merasa sakit pada perutnya. Pasien merasa perutnya semakin penuh, pasien mual setiap mau makan, namun tidak disertai dengan muntah. Sehingga sejak perutnya membesar nafsu makannya menurun dan berat badannya pun menurun. Pasien mengatakan buang air kecilnya banyak setelah minum obat, sehari 7x ke kamar mandi, jumlah kencingnya banyak. Pasien memiliki riwayat darah tinggi sejak 5 tahun yang lalu. Pasien tidak rutin berobat selama kurang lebih 5 tahun ini pasien hanya 3 kali berobat ke poli jantung yaitu saat pasien merasa ada keluhan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 60 kali/menit, teratur, isi dan tegangan cukup, pernafasan 28 kali/menit, suhu 36,5°C, berat badan 60 kg, tinggi badan 170 cm, status gizi normal. Status generalis kulit tidak pucat, pemeriksaan mata tidak didapatkan adanya konjungtiva anemis maupun sklera ikterik, pada pemeriksaan leher tidak didapatkan adanya pembesaran kelenjar getah bening, terdapat peningkatan JVP 5+7 cmH20. Pemeriksaan thoraks paru didapatkan inspeksi terlihat simetris kanan dan kiri dan tidak ada retraksi, palpasi ekspansi simetris dan taktil fremitus kanan kiri sama, perkusi sonor, auskultasi suara nafas vesikuler, terdengar ronki basah, tidak ada wheezing. Pemeriksaan thoraks jantung didapatkan inspeksi terlihat ictus cordis, palpasi teraba ictus cordis, perkusi batas jantung kanan intercostal (ICS) IV garis parasternal dekstra, batas jantung kiri ICS V garis aksila anterior sinistra, auskultasi bunyi jantung 1 dan 2 ireguler, terdengar murmur pansistolik. Pemeriksaan abdomen didapatkan inspeksi cembung, palpasi tidak ada nyeri tekan, hepar dan splen sulit dinilai, perkusi timpani-redup (acites), shifting dullnes (+), auskultasi bising usus normal. Pada ekstremitas bawah didapatkan adanya edema. Pemeriksaan laboratorium belum dilakukan. Diagnosis pasien gagal jantung kogestif New York Heart Association (NYHA) III ec penyakit hipertensi. Terapi yang diberikan pada pasien meliputi terapi suportif dan medikamentosa. Terapi suportif yaitu tirah baring/istirahat yang cukup, pembatasan cairan 1 gelas/hari (800 cc), pembatasan garam 1 sdt/hari. Terapi medikamentosa yaitu infus RL 10 tpm, furosemid 1 ampul/12 jam, valsartan 1x80 mg, ambroxol syrup 3x1C. Pembahasan Pada anamnesis pasien ini didapatkan paroxysmal nocturnal dyspneu, ortopneu, dyspneu d’effort dan batuk berdahak. Pasien memiliki riwayat hipertensi tidak terkontrol sejak 5 tahun yang lalu. Dari pemeriksaan fisik ditemukan ronki basah paru, JVP 5+7 cmH2O, cardiomegali, refluks hepatojugular, edema ekstremitas bawah. Pada pasien ini belum dilakukan pemeriksaan laboratorium. Kriteria diagnosis gagal jantung menurut Framingham Heart Study (1993) ada kriteria mayor dan minor. Kriteria mayor terdiri dari paroksismal nokturnal dispneu, ronki paru, edema akut paru, kardiomegali, gallop, distensi vena leher, refluks hepatojugular, peningkatan tekanan vena jugularis. Kriteria minor terdiri dari edema ekstremitas, batuk malam hari, hepatomegali, dispnea d’effort, efusi pleura, takikardi (120x/menit), kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal. Diagnosis gagal jantung ditegakkan dengan dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan 2 kriteria minor.5 J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016|35 Assyifa|Seorang Pria 57 Tahun dengan Gagal Jantung Kongestif yang Disebabkan Karena Penyakit Hipertensi Pada pasien ini didapatkan lima kriteria mayor. Pertama terdapatnya paroksismal nokturnal dispneu dari hasil anamnesis. Kedua, dari hasil pemeriksaan fisik perkusi jantung, didapatkan adanya pembesaran jantung. Batas jantung kanan terdapat pada ICS 4 linea parasternalis dekstra, batas kiri pada linea aksilaris anterior sinistra. Ketiga, dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan JVP yaitu 5+7 cmH2O. Keempat dari auskultasi lapang paru terdengar adanya ronki basah. Dan terdapat refluks hepatojugular, saat menekan bagian hepar terjadi peningkatan JVP. Sedangkan untuk kriteria minor didapatkan batuk malam hari. Kedua terdapatnya dispnea d’effort yang didapatkan dari hasil anamnesis pasien mengeluh sesak saat berjalan ke kamar mandi (±20 m). Ketiga dari pemeriksaan fisik didapatkan edema pada ekstremitas bawah. Oleh karena itu pada pasien ini dapat disimpulkan diagnosis fungsionalnya adalah gagal jantung kongestif. NYHA (2005) membagi gagal jantung menjadi 4 kelas. Kelas I penderita dengan gagal jantung tanpa adanya pembatasan aktivitas fisik dimana aktivitas biasa tidak menimbulkan rasa lelah dan sesak napas. Kelas II adanya pembatasan aktivitas fisik yang ringan merasa lega jika beristirahat. Kelas III adanya pembatasan aktivitas fisik yang ringan kegiatan fisik yang lebih ringan dari kegiatan biasa sudah memberi gejala lelah dan sesak napas. Kelas IV tidak sanggup melakukan kegiatan apapun tanpa keluhan, gejala sesak napas tetap ada walaupun saat beristirahat.5 Pasien ini merasa sesak saat berjalan ke kamar mandi, pasien mengaku tidak bisa melakukan kegiatan seharihari karena merasa sesak. Oleh karena itu pasien ini termasuk NYHA III. Gagal jantung kongestif merupakan keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada jika disertai dengan peninggian volume diastolik secara abnormal. Gagal jantung kongestif biasanya disertai dengan kegagalan pada jantung kiri dan jantung kanan.2 Gejala awal dari gagal jantung kongestif adalah kelelahan. Lalu dispnea, atau perasaan sulit bernapas. Dispnea saat beraktivitas menunjukkan gejala awal dari gagal jantung kiri. Ortopnea (dispnea saat berbaring) terutama disebabkan oleh redistribusi aliran darah dari bagian-bagian tubuh yang di bawah ke arah sirkulasi sentral. Paroxysmal nocturnal dispnea dipicu oleh timbulnya edema paru intertisial. Batuk non produktif juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama pada posisi berbaring. Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru adalah ciri khas dari gagal jantung, ronki pada awalnya terdengar di bagian bawah paru-paru karena pengaruh gaya gravitasi. Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronkial yang terjadi akibat distensi vena. Gagal pada sisi kanan jantung menimbulkan gejala dan tanda kongesti vena sistemik. Dapat diamati peningkatan tekanan vena jugularis. Hepatomegali, nyeri tekan hati dapat terjadi akibat peregangan kapsula hati. Gejala saluran cerna yang lain seperti anoreksia, rasa penuh, atau mual dapat disebabkan kongesti hati dan usus. Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial. Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema anasarka. Seiring dengan semakin parahnya gagal jantung kongestif, pasien dapat mengalami sianosis dan asidosis akibat penurunan perfusi jaringan. Aritmia ventrikel akibat iritabilitas miokardium dan aktivitas berlebihan sistem saraf simpatis sering terjadi dan merupakan penyebab penting kematian mendadak dalam situasi ini. Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung meliputi keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, meningkatkan beban akhir, atau menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal (preload) meliputi regurgitasi aorta, dan cacat septum ventrikel. Beban akhir (afterload) meningkat pada keadaan-keadaan seperti stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokardium dan kardiomiopati.3 Selain itu, terdapat faktorfaktor fisiologis lain yang dapat menyebabkan jantung gagal bekerja sebagai pompa. Faktorfaktor yang mengganggu pengisian ventrikel (misal, stenosis katup atrioventrikularis), perikarditis konstriktif dan tamponade jantung mengakibatkan gagal jantung.3 Pada pasien ini sudah mengalami Hypertensive Heart Disease sejak 5 tahun yang lalu, dan tidak rutin meminum obat darah tinggi, sehingga menyebabkan meningkatnya beban kerja jantung dan akhirnya J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016|36 Assyifa|Seorang Pria 57 Tahun dengan Gagal Jantung Kongestif yang Disebabkan Karena Penyakit Hipertensi mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung. Tekanan darah yang tinggi mengakibatkan penurunan curah jantung, mengakibatkan terjadinya rangsangan simpatis, aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron, hipertrofi ventrikel.1,5-7 Meningkatnya aktivitas adrenergik simpatis merangsang pengeluaran katekolamin dari saraf-saraf adrenergik jantung dan medula adrenal. Katekolamin ini akan menyebabkan kontraksi lebih kuat otot jantung (efek inotropik positif) dan peningkatan kecepatan jantung. Selain itu juga terjadi vasokontriksi arteri perifer untuk menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi volume darah dengan mengurangi aliran darah ke organ-organ yang metabolismenya rendah misal kulit dan ginjal untuk mempertahankan perfusi ke jantung dan otak. Vasokonstriksi akan meningkatkan aliran balik vena ke sisi kanan jantung, untuk selanjutnya menambah kekuatan kontraksi sesuai dengan hukum Starling.1, 4, 6 Aktivasi sistem renin-angiotensinaldosteron menyebabkan retensi natrium dan air oleh ginjal, meningkatkan volume ventrikel. Namun apapun mekanisme pastinya, penurunan curah jantung akan memulai serangkaian peristiwa berikut, penurunan aliran darah ginjal dan penurunan laju filtrasi glomerulus, pelepasan renin dari apparatus jukstaglomerulus, interaksi renin dan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan angiotensin I, konversi angotensin I menjadi angiotensin II, rangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal, retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus kolektifus. Angiotensin II juga menghasilkan efek vasokonstriksi yang meningkatkan tekanan darah.1, 5-7 Gambar 1. Sistem Renin – Angiotensin - Aldosteron Respon kompensatorik terakhir adalah hipertrofi miokardium atau bertambah tebalnya dinding. Hipertrofi miokardium akan mengakibatkan peningkatan kekuatan kontraksi ventrikel. Awalnya, respon kompensatorik sirkulasi memiliki efek yang menguntungkan, namun akhirnya mekanisme kompensatorik dapat menimbulkan gejala, meningkatkan kerja jantung, dan memperburuk derajat gagal jantung. Retensi cairan yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan kontraktilitas menyebabkan terbentuknya edema dan kongesti vena paru dan sistemik. Vasokontriksi arteri juga meningkatkan beban akhir dengan memperbesar resistensi terhadap ejeksi ventrikel; beban akhir juga meningkat karena 8 dilatasi ruang jantung. Akibatnya, kerja jantung dan kebutuhan oksigen miokardium juga meningkat. Hipertrofi miokardium dan rangsangan simpatis lebih lanjut akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Jika peningkatan kebutuhan oksigen tidak dapat dipenuhi akan terjadi iskemia miokardium dan gangguan miokardium lainnya. Hasil akhir dari peristiwa yang saling berkaitan ini adalah meningkatnya beban miokardium dan terus berlangsungnya gagal jantung.1, 4,6,7 Seharusnya dilakukan pemeriksaan penunjang pada pasien seperti laboratotium darah meliputi pemeriksaan darah lengkap, kimia klinik seperti Serum Glutamat Piruvat Transaminase (SGPT), Serum Glutamat J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016|37 Assyifa|Seorang Pria 57 Tahun dengan Gagal Jantung Kongestif yang Disebabkan Karena Penyakit Hipertensi Oksaloasetat Transaminase (SGOT), ureum, kreatinin, natrium, kalium, klorida, kolesterol total, Low Density Lipoprotein (LDL), High Density Lipoprotein (HDL). Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dalam kasus kardiogenik, EKG dapat menunjukkan bukti Miocardium Infark (MI) atau iskemia, namun dalam kasus non kardiogenik, EKG biasanya normal. Pemeriksaan radiologi, meliputi foto thoraks, computed tomography dan ekokardiografi. Fungsi utama pemeriksaan foto toraks adalah mengetahui ukuran dan bentuk siluet jantung, serta edema di dasar paru-paru. Pemeriksaan radiologi memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung dan bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan kadang-kadang efusi pleura. Ekokardiografi Doppler dapat digunakan untuk menentukan kinerja sistolik dan diastolik ventrikel kiri, cardiac output (fraksi ejeksi), dan tekanan arteri pulmonalis dan pengisian ventrikel. Echocardiography juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyakit katup penting secara klinis. Tingkat kepercayaan di Echocardiography adalah tinggi, dan tingkat temuan positif palsu dan negatif palsu yang rendah.9 Gagal jantung akut yang berat merupakan kondisi emergensi dimana memerlukan penatalaksanaan yang tepat termasuk mengetahui penyebab, perbaikan hemodinamik, menghilangan kongesti paru, dan perbaikan oksigenasi jaringan. Menempatkan penderita dengan posisi duduk dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi dengan masker sebagai tindakan pertama yang dapat dilakukan. Monitoring gejala serta produksi kencing yang akurat dengan kateterisasi urin serta oksigenasi jaringan dilakukan di ruangan khusus. Base excess menunjukkan perfusi jaringan, semakin rendah menunjukkan adanya asidosis laktat akibat metabolisme anerob dan merupakan prognosa yang buruk. Koreksi hipoperfusi memperbaiki asidosis, pemberian bikarbonat hanya 13 diberikan pada kasus yang refrakter. Terapi farmakologik terdiri atas Angiotensin Converting Enzim (ACE) inhibitor, antagonis angiotensin II, diuretik, antagonis aldosteron, β-blocker, vasodilator lain, digoksin, obat inotropik lain, anti-trombotik, dan anti-aritmia.14,15 Penatalaksanaan gagal jantung berdasarkan klasifikasi NYHA adalah sebagai berikut untuk gagal jantung NYHA I, berikan ACE inhibitor/Angiotensin Reseptor Blocker (ARB) jika intoleran ACE inhibitor lanjutkan antagonis aldosteron, jika pasca MI tambahkan β-blocker. Untuk gejala edema bisa dilakukan pengurangan garam atau diuretik. Untuk gagal jantung NYHA II ACE inhibitor sebagai terapi lini pertama, ARB jika intoleran ACE inhibitor, tambah β-blocker dan antagonis aldoteron jika pasca MI. Untuk gejala edema diberikan diuretik tergantung retensi cairan. Gagal jantung NYHA III diberikan ACE inhibitor+ARB, atau ARB saja jika intoleran ACE inhibitor, tambah β-blocker dan antagonis aldoteron jika pasca MI. Untuk gejala diberikan diuretik dan digitalis. Gagal jantung NYHA IV diberikan ACE inhibitor atau ARB, β-blocker, antagonis aldosteron. Untuk gejala diberikan diuretik, digitalis, inotropik.1 Pemberian loop diuretik intravena seperti furosemid akan menyebabkan venodilatasi yang akan memperbaiki gejala walaupun belum ada diuresis. Loop diuretik juga meningkatkan produksi prostaglandin vasdilator renal. Efek ini dihambat oleh prostaglandin inhibitor seperti obat antiflamasi nonsteroid, sehingga harus dihindari bila memungkinkan.13 Pada pasien ini diberikan terapi Inj. Furosemid 1 amp/12 jam (diuretik), valsartan 1x80mg (ARB), ambroxol syrup 3x1C (mukolitik). Pasien ini terdapat edema di ekstremitas bawahnya dan perutnya asites, indikasi pemberian diuretik pada pasien gagal jantung apabila ada gejala retensi air. Pemakaian intravena loop diuretik seperti furosemid dengan efek cepat dan kuat lebih disukai pada gagal jantung. Dapat diberikan kombinasi dengan spironolakton, kombinasi dengan dosis rendah lebih efektif dibandingkan dosis tunggal sendiri.1 Jadi seharusnya pada pasien ini diberikan furosemide 40 mg 1ampul/12 jam dan spironolakton 25mg 1x sehari. Pada pasien ini memiliki riwayat darah tinggi, walaupun sekarang tekanan darah J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016|38 Assyifa|Seorang Pria 57 Tahun dengan Gagal Jantung Kongestif yang Disebabkan Karena Penyakit Hipertensi normal tetap harus diberikan obat golongan ACE inhibitor atau ARB. Karena obat ini kerjanya langsung menghambat Angiotensinogen Converting Enzime atau menghambat Angiotensin II. Sehingga tidak terjadi retensi cairan dan Na. Pada pasien ini diberikan obat golongan ARB sebagai alternatif dari golongan ACE inhibitor, pasien batuk sehingga tidak bisa diberikan obat golongan ACE inhibitor, oleh karena itu diberikan valsartan 80mg 1x sehari. Tidak diberikan obat β-blocker, karena pasien mempunyai nadi yang agak lambat 60x/menit, sedangkan obat βblocker diindikasikan untuk pasien takikardi, ada peningkatan kontraktilitas miokard. Tidak diberikan obat digitalis karena tidak ada atrial fibrilasi, pasien juga tidak mengeluhkan nyeri dada.1 Ambroxol diberikan 3x1C karena pasien mengeluhkan batuk berdahak, obat ini golongan mukolitik yang kerjanya mengencerkan dahak. Selain terapi farmakologis pasien juga mendapatkan terapi nonfarmakologis, seperti : 1) diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung ringan dan 1 g pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan, 2) hentikan rokok dan alkohol, 3) aktivitas fisik (latihan jasmani jalan 3-5 kali/minggu selama 20-30 menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang), 4) istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut. Prognosis pada penderita gagal jantung yang mendapat terapi dengan kelas NYHA III, mortalitas 5 tahun 50-70%. Pada pasien ini dengan yang sudah memiliki tekanan darah tinggi sejak 5 tahun yang lalu, tidak terkontrol, sehingga mengakibatkan gagal jantung kongestif membuat prognosis menjadi lebih buruk, sehingga quo ad vitam dan quo ad functionam adalah dubia ad malam. Berdasarkan fungsi sosialnya pasien mengalami keterbatasan dalam beraktivitas sehingga prognosis quo ad sanationam adalah dubia ad malam. Simpulan Pada pasien ini didapatkannya lima kriteria mayor yaitu, paroxismal nocturnal dispneu, adanya pembesaran jantung, peningkatan JVP yaitu 5+7 cmH2O, adanya ronki basah paru, dan refluks hepatojugular, saat menekan bagian hepar terjadi peningkatan JVP. Sedangkan untuk kriteria minor didapatkan batuk malam hari, dispnea d’effort, edema pada ekstremitas bawah. Oleh karena itu pada pasien ini kami simpulkan diagnosis fungsionalnya adalah gagal jantung kongestif. Pasien ini merasa sesak saat berjalan ke kamar mandi, pasien mengaku tidak bisa melakukan kegiatan sehari-hari karena merasa sesak. Oleh karena itu pasien ini termasuk NYHA III. Terapi yang diberikan pada pasien meliputi terapi suportif dan medikamentosa. Terapi suportif yaitu tirah baring/istirahat yang cukup, pembatasan cairan 1 gelas/hari (800cc), pembatasan garam 1 sdt/hari. Terapi medikamentosa yaitu infus RL 10 tpm, furosemid 1 ampul/12 jam, valsartan 1x80mg, ambroxol syrup 3x1C. Daftar Pustaka 1. Panggabean MM. Gagal jantung. Dalam: Sudoyo WA, Editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. hlm.1503-14. 2. Hauser K, Longo B, Jameson F, editor. Harrison’s principle of internal medicine. Edisi ke-17. USA: McGraw-Hill; 2005. 3. Sugeng, Barita S, Irawan J, editor. Buku ajar kardiologi. Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2004. 4. Madeline M. O’Donnell. Carleton PF. Disfungsi mekanis jantung dan bantuan sirkulasi. Dalam: Wilson, Sylvia A, Price, Lorraine M, editor. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta: EGC; 2006. hlm 630-9. 5. Oemar, Hamed, editor. Buku ajar kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2004. 6. Kumar, Cotran, Robbins, editor. Buku ajar patologi. Jakarta: EGC; 2007. 7. Greenberg, Barry H, editor. Congestive heart failure. USA: Lipincott Williams & Wilkins; 2007. 8. Goroll, Allan H, editor. Primary medicine, office evaluation and management of the adult patient. USA: Lipincott Williams & Wilkins; 2009. J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016|39 Assyifa|Seorang Pria 57 Tahun dengan Gagal Jantung Kongestif yang Disebabkan Karena Penyakit Hipertensi 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. Davis, Russell C, editor. ABC of heart failure. Australia: Blackwell publishing; 2006. Lee TH. Practice guidelines for heart failure management. Dalam: Dec GW, editor. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment. New York: Marcel Dekker; 2005. hlm. 449-65. Gillespie ND. The diagnosis and management of chronic heart failure in the older patient. Br Med Bulletin. 2005; 76(1): 49-62. Rodeheffer R. Cardiomyopathies in the adult. Dalam: Dec GW, editor. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment. New York: Marcel Dekker; 2005. hlm. 137-56. Grady KL, Dracus K, Kennedy G. A statement for healthcare professionals from the cardiovascular nursing councils of the American heart association circulation. 2000. Smeltzer, Bare, editor. Buku ajar keperawatan medikal bedah brunner dan suddart. Jakarta: EGC; 2002. Arjunaidi A. Faktor resiko pasien rawat inap berulang pada gagal jantung kongestif. Yogyakarta: Bag. Ilmu Penyakit Dalam FK-UGM/RSUP Dr. Sardjito; 1998. Rich W, Beckham V, Wittenberg C. A multidisciplinary intervention to prevent the readmission of elderly patients with congestive heart failure. N England J. Med. 2001; 333(18):1190-5. Paul S. Impact of nurse managed heart failure clinic. Am J Critical Care. 2000; 9(2):140-6. 18. Harmilah. Hubungan ketaatan berobat klien gagal jantung kongestif dengan rawat inap ulang di rsup dr. sardjito yogyakarta [Skripsi]. Yogyakarta: FIK UGM; 2001. 19. Majid A. Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian rawat inap ulang pasien gagal jantung kongestif di rumah sakit Yogyakarta [Tesis]. Depok: FIK UI; 2010. 20. Zile M, Colucci W. Treatment and prognosis of diastolic heart failure. J Mayo. 2010; 45(2):74-8. 21. Philbin, DiSalvo. Prediction of hospital readmission for heart failure: development of a simple risk score based on administrative data. J. Elsevierhealth. 2004. 114(1):55-9. 22. Mariyono H, Santoso A. Gagal jantung. Ejournal Fakultas Kedokteran Unud. 2008. 32(1):65-9. 23. Niven N. Psikologi kesehatan: pengantar untuk perawat dan profesional kesehatan lain. Jakarta: EGC; 2002. 24. Grossman S, Brown D. Congestive heart failure and pulmonary edema. J. Europe Pubmed Central. 2009; 13 (1):71-75. 25. Hsich. Perbedaan kelamin pengaruhi penyakit gagal jantung [internet]. 2009. [diakses tanggal 10 Mei 2015]. Tersedia dari: http://www.majalah-farmacia.com/ 26. Kaplan HI, Sadock BJ, editor. Synopsis of psychiatry. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016|40