1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wanita sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang istimewa sangat rentan dengan berbagai penyakit kewanitaan. Salah satu penyakit umum yang sering dialami oleh wanita adalah Vaginitis atau dalam istilah awam lebih dikenal dengan keputihan. Banyak faktor yang dapat menyebabkan vaginitis . Salah satu penyebab umumnya adalah ketidakseimbangan mikroflora dalam vagina serta ketidakstabilan tingkat keasaman (pH) vagina (pH 3,5-4,5). Pada pH ini hidup beragam mikroflora yang terdiri dari bakteri anaerob dan bakteri aerob (Kale, Trivedi et al. 2005). Salah satu bakteri anaerob yang hidup dan sangat mempengaruhi keseimbangan vagina adalah bakteri Lactobaccilus sp. . Populasi Lactobaccilus sp. dalam vagina hampir 95% sehingga aktifitas Lactobaccilus sp. penting untuk melindungi wanita dari infeksi genital dan untuk menjaga keseimbangan alami dari flora vagina (Donati, Di Vico et al. 2010). Sekresi asam laktat dari Lactobaccilus sp. berperan penting untuk mempertahankan pH asam dalam vagina. Selain asam laktat, Lactobaccilus sp. juga menghasilkan hidrogen peroksida dan antimikroba (Laktosin dan Basitrasin) yang mencegah pertumbuhan mikroorganisme patogen dalam vagina (Aroutcheva, Gariti et al. 2001). Koloni mikroflora dalam vagina dapat menurunkan jumlah Lactobaccilus sp. . Kondisi ketidakstabilan mikroflora dalam vagina dapat diobati dengan memperbanyak produksi asam laktat, probiotik dan antibiotik ataupun kombinasi dengan sediaan obat yang berefek lokal seperti supositoria untuk vagina yang dikenal dengan istilah ovula (Kale, Trivedi et al. 2005). Terapi dari Lactobaccilus sp. ini bertujuan untuk memulihkan pH keasaman dari lumen vagina. Kerugian dari penggunaan ovula ini yaitu dari migrasi dalam vagina yang mengakibatkan distribusi zat aktif yang tidak tepat. Penggunaan polimer untuk pengembangan ovula dapat mencegah terjadinya migrasi di dalam vagina dan pelepasan zat aktif yang terkendali (Fontaine, 1990). 2 Dalam penelitian ini digunakan basis berupa Polietilen glikol (PEG 4000) kerena memiliki peleburan yang mudah (Leuner and Dressman, 2000). Basis PEG 4000 aman digunakan untuk ovula yang mengandung Lactobaccilus sp. , antimikroba dan asam laktat ataupun dalam kombinasi. Pelepasan asam laktat menjadi molekul yang lebih kecil akan menurunkan pH saluran vagina yang menghambat perkembangan bakteri (Petrova, 2007), sedangkan antimikroba dapat menghambat pertumbuhan patogen mikroba untuk jangka panjang. Salah satu antimikroba yang dapat digunakan adalah metronidazol. Metronidazol memiliki aktivitas yang baik terhadap bakteri anaerob di dalam vagina. Oleh kerena aktivitas yang baik tersebut, maka dibuat kombinasi ovula Lactobaccilus sp. Metronidazol dengan basis Polietilen glikol (PEG). 1.2 Tujuan Penelitian 1. Membuat supositoria vaginal ( ovula ) yang mengandung Lactobaccilus sp. dikombinasi dengan Metronidazol dengan 2 (dua) metode . 2. Menentukan stabilitas Ovula Lactobaccilus sp. yang dikombinasi dengan Metronidazol pada penyimpanan suhu sejuk 5-15 oC dan suhu kamar 25-30 oC selama 2 bulan. 3. Menentukan pertumbuhan mikroorganisme Lactobaccilus sp. dalam sediaan ovula. 1.3 Hipotesis 1. Lactobaccilus sp. dapat diformulasikan sebagai bahan probiotik dalam bentuk kombinasi ovula Lactobaccilus sp. -Metronidazol. 2. Formulasi sediaan Ovula Lactobaccilus sp. yang dikombinasi dengan Metronidazol stabil pada penyimpanan suhu sejuk 5-15 oC dan suhu kamar 25-30 oC selama 2 bulan. 3. Mikroorganisme Lactobaccilus sp. dapat hidup dalam sediaan. 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian ovula Ovula adalah salah satu bentuk sediaan farmasi yang digunakan untuk obat luar, dalam hal ini melalui vaginal yang ditujukan untuk mencapai efek lokal maupun sistemik. Menurut Farmakope Indonesia edisi IV yang dimaksud dengan sediaan ovula adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk yang diberikan melalui vagina. Ovula umumnya meleleh, melunak, atau melarut pada suhu tubuh. Bahan dasar ovula umumnya lemak coklat, gelatin trigliserinasi, minyak nabati terhidrogenasi, campuran polietilen glikol berbagai bobot molekul dan ester asam lemak Polietilen glikol. Bentuk dan ukuran ovula harus sedemikian rupa sehingga dapat dengan mudah dimasukkan ke dalam lubang atau celah yang diinginkan tanpa meninggalkan kejanggalan begitu masuk, harus dapat bertahan untuk suatu waktu tertentu (Ansel, 2005) Penggunaan ovula bertujuan untuk tujuan sistemik karena dapat diserap oleh membran mukosa dalam vagina, untuk memperoleh kerja lebih cepat, dan untuk menghindari perusakan obat oleh enzim di dalam saluran gastrointestinal dan perubahan obat secara biokimia di dalam hati (Syamsuni, 2005). 2.2 Lactobaccilus sp. Lactobaccilus sp. adalah genus bakteri gram-positif, anaerobik fakultatif atau mikroaerofilik. Genus bakteri ini terbentuk sebagian besar dari kelompok bakteri asam laktat, dinamakan demikian karena kebanyakan anggotanya dapat mengubah laktosa dan gula lainnya menjadi asam laktat. Kebanyakan dari bakteri ini umumnya tidak berbahaya bagi kesehatan. 4 Gambar 1. Bakteri Lactobaccilus sp. Sumber : Anonim, 2010 Di dalam tubuh manusia, bakteri ini dapat ditemukan di dalam vagina dan sistem pencernaan, dimana mereka bersimbiosis dan merupakan sebagian kecil dari flora usus. Produksi asam laktatnya membuat lingkungannya bersifat asam dan mengganggu pertumbuhan beberapa bakteri merugikan. Beberapa Lactobaccilus sp. dan bakteri asam laktat lainnya mungkin memiliki potensi untuk pengobatan dan terapi, termasuk pereda rasa nyeri, antikanker, dan kemampuan lainnya. Studi riset telah mendemonstrasikan efek perlindungan sebagian jenis bakteri ini memiliki pengaruh anti-tumor dan antikanker. Pengaturan asupan makanan membantu tubuh bertahan dari risiko jenis kanker tertentu dan menekan kejadian tumor kolonik, volum dan kemampuan membelah yang dirangsang berbagai zat karsinogen. Pemberian beberapa jenis bakteri secara oral dapat efektif menurunkan formasi ikatan DNA (Dioksi Nukleo Acid), memperbaiki kerusakan DNA dan mencegah lesi yang putatif preneoplastik, seperti abberant crypt foci yang dirangsang zat kimia karsinogen di sistem pencernaan (Aroutcheva, Gariti et al. 2001). Lactobaccilus sp. juga digunakan untuk mengembalikan keseimbangan fisiologis tertentu seperti ekosistem vagina (ginoflora). Peran Lactobaccilus sp. ditinjau dari segi fisis melindungi epitelium vagina dengan membangun lapisan tebal yang memisahkan epitelium dengan patogen. Secara fisiologis menjaga keseimbangan ekosistem vagina dengan mempertahankan pH pada 4,5 dan 3,5. 5 Serta membentuk hidrogen peroksida yang melawan mikroorganisme patogen (Aroutcheva, Gariti et al. 2001). 2.3. Anatomi dan Fisiologi Vagina (Bhalla, 2007) Vagina adalah fibro otot bergaris dengan epitel berlapis, menghubungkan eksternal dan internal organ-organ reproduksi dan mempunyai bentuk ke atas dan ke belakang pada sudut sekitar 45° antara kandung kemih di depan dan rektum dan anus belakang. Pada dewasa, anterior dinding sekitar 7,5 cm (3 inhes) panjang dan dinding posterior adalah sekitar 9,0 cm. Perbedaan ini disebabkan oleh penonjolan serviks melalui dinding anterior. Vagina memiliki penutup lapisan luar areolar, lapisan tengah otot polos dan lapisan dalam berupa jaringan epitel yang dialiri banyak pembuluh darah. Tidak memiliki sekresi kelenjar, tetapi permukaan tetap lembab oleh sekresi serviks. Antara pubertas dan Lactobaccilus sp. mikroba menopause biasanya hadir dan mereka mengeluarkan laktat asam, mempertahankan pH antara 3,5 dan 4,5. Keasaman menghambat pertumbuhan mikroba yang dapat memasuki vagina dari perineum. Penyerapan berbagai macam obat dari vagina telah dipelajari. Sebuah tinjauan yang menjelaskan studi tentang penyerapan vagina steroid, prostaglandin, antimikroba, antivirus, protein dan nonxynol-9. Sama dengan pemberian obat lain yang melalui mukosa. Perjalanan obat melewati membran vagina dapat terjadi melalui beberapa mekanisme : a) Difusi melalui sel karena konsentrasi gradien (rute transelular) b) Vesikular atau mekanisme transport aktif c) Difusi antara sel-sel melalui membran intraseluler Dalam beberapa kasus, obat yang diberikan melalui rute intravaginal memiliki bioavailabilitas lebih tinggi dibandingkan dengan rute oral. Hal ini karena obat masuk langsung ke dalam sistemik sirkulasi tanpa melewati 6 metabolism hati. Dinding vagina ini sangat cocok untuk absorpsi obat untuk penggunaan sistemik, karena berisi jaringan yang luas dari pembuluh darah. 2.4. Metronidazol Metronidazol adalah anggota kelas imidazol sebagai agen antibakteri dan diklasifikasikan sebagai antiprotozoa dan agen antibakteri. Nama kimia,metronidazol adalah 2-methyl-5-nitroimidazole-1-etanol yang memiliki rumus kimia dari C6H9N3O3, berat molekul 171,16, dan memiliki struktur sebagai berikut (Anonim, 1979) CH2CH2OH O2N N CH3 N Gambar 2 : Struktur Metronidazol Sumber : Anonim, 1979 Ditinjau dari segi mikrobiologi, sasaran intraseluler metronidazol pada anaerob sangat tidak dikenal. Kelompok 5-nitro dari metronidazol berkurang oleh metabolik anaerob yang aktif, dan studi telah menunjukkan bahwa bentuk pengurangan obat berinteraksi dengan DNA bakteri. Namun, tidak jelas apakah interaksi dengan DNA sendiri merupakan komponen penting dalam aksi bakterisidal metronidazol pada organisme anaerobik. Uji kepekaan bakteri tidak secara rutin dilakukan untuk menegakkan diagnosis vaginosis bakteri. Metodologi standar untuk pengujian kerentanan patogen potensial vaginosis bakteri, vaginalis Gardnerella, Mobiluncus spp, dan. Mycoplasma hominis, belum didefinisikan. Meskipun demikian, metronidazol adalah agen antimikroba aktif in vitro terhadap sebagian besar strain organisme berikut yang sudah dilaporkan dikaitkan dengan vaginosis bakteri (Beigi, Austin et al. 2004) : Bacteroides spp. , Gardnerella vaginalis, Mobiluncus spp. , Peptostreptococcus spp. Penggunaan metronidazol diindikasikan dalam pengobatan vaginosis bakteri (dahulu disebut sebagai Haemophilus vaginitis, Gardnerella vaginitis, 7 spesifik vaginitis, Corynebacterium vaginitis, atau vaginosis anaerob). Untuk diagnosis klinis vaginosis bakteri biasanya ditentukan oleh adanya cairan vagina homogen yang memiliki pH lebih besar dari 4,5, memancarkan “amis” bau amina bila dicampur dengan 10%. larutan KOH. Identifikasi klinis lebih lanjut ditunjukkan oleh cairan vagina yang mengandung sel petunjuk pada pemeriksaan mikroskopis. Gram stain hasil yang konsisten dengan diagnosis vaginosis bakteri termasuk morfologi Lactobaccilus sp. nyata berkurang atau tidak ada, dominasi Gardnerella morphotype, dan tidak ada atau sedikit sel darah putih. Patogen lain yang umumnya terkait dengan vulvovaginitis, misalnya, vaginalis Trichomonas, Chlamydia trachomatis, N.gonorrhoeae, Candida albicans, dan virus Herpes simplex harus disingkirkan (Beigi, Austin et al. 2004). 2.5. PEG (Polietilen glikol) PEG (Polietilen glikol) merupakan salah satu jenis bahan pembawa yang sering digunakan sebagai bahan tambahan dalam suatu formulasi untuk meningkatkan pelarutan obat yang sukar larut. Bahan ini merupakan salah satu jenis polimer yang dapat membentuk komplek polimer pada molekul organik apabila ditambahkan dalam formulasi untuk meningkatkan kecepatan pelarutan yang dapat membentuk komplek dengan berbagai obat. Nama lain basis ini adalah Carbowax, Carbowax Sentry, Lipoxol, Lutrol E dan Phenol E. (Anonim, 1979) Polietilen glikol (PEG) disebut juga makrogol, merupakan polimer sintetik dari oksietilen dengan rumus struktur H(OCH2CH2)nOH, dimana n adalah jumlah rata-rata gugus oksietilen. PEG umumnya memiliki bobot molekul antara 200–300. Penamaan PEG umumnya ditentukan dengan bilangan yang menunjukkan bobot molekul rata-rata. Konsistensinya sangat dipengaruhi oleh bobot molekul. PEG dengan bobot molekul 200-600 (PEG 200-600) berbentuk cair, PEG 1500 semi padat, dan PEG 3000-20000 atau lebih berupa padatan semi kristalin, dan PEG dengan bobot molekul lebih besar dari 100000 berbentuk seperti resin pada suhu kamar. Umumnya PEG dengan bobot molekul 1500-20000 yang digunakan untuk pembuatan dispersi padat (Warren, 2005). 8 Polietilen glikol 400 (PEG 400) adalah polyethylene glykol H(O-CH2CH2)nOH Pemerian PEG 400 cairan kental jernih, tidak berwarna atau praktis tidak berwarna,bau khas lemah, agak higroskopik. Dari segi kelarutannya, polimer ini larut dalam air, dalam etanol (95%) P, dalam aseton P, dalam glikol lain dan dalam hidrokarbon aromatik, praktis tidak larut dalam eter P dan dalam hidrokarbon alifatik dengan bobot molekul rata-rata 380-420, Kandungan kelembabannya sangat higroskopis walaupun higroskopis turun dengan meningkatnya bobot molekul, Titik beku 4o-8oC (Nalam, 2009). Polimer ini mudah larut dalam berbagai pelarut, titik leleh dan toksisitasnya rendah, berada dalam bentuk semi kristalin (Harris, 1992). Kebanyakan PEG yang digunakan memiliki bobot molekul antara 4000 dan 20000, khususnya PEG 4000 dan 6000. Proses pembuatan dispersi padat dengan PEG 4000, umumnya menggunakan metode peleburan, karena lebih mudah (Leuner and Dressman, 2000). Dalam pemakaiannya poliettilen glikol (PEG) memiliki beberapa karakteristik diantaranya memiliki titik lebur 40 o C, lambat dalam proses pelelehan dan peleburan zat aktif. Selain itu dapat dilakukan kombinasi PEG untuk mendapatkan basis yang sesuai karena PEG memiliki viskositas yang tinggi. Namun PEG memiliki beberapa kelemahan yakni inkompatibilitas dengan garam bismuth, tannin, fenol, mengurangi aktivitas antimikroba, dan melarutkan beberapa plastik. PEG dengan berat molekul (BM) yang tinggi menyebabkan pelepasan zat aktif rendah (Anonim, 1979). 2.6. Media MRS (de Man, Rogosa Sharpe) Media MRS adalah suatu media agar yang beguna untuk pertumbuhan bakteri. Salah satu bakteri yang dapat hidup dalam media ini yaitu Lactobaccilus sp. . Bakteri Lactobaccilus sp. dapat hidup dan berkembang dengan baik pada suhu 15o C dan membutuhkan nutrisi seperti riboflavin, asam folat, kalsium pantotenat, dan faktor pertumbuhan lain (Engelkirk, 1992). Komposisi MRS terlampir di Lampiran 4. 9 2.7. Uji Stabilitas Pentingnya uji stabilitas pada pengembangan bentuk sediaan farmasi telah diakui dalam industri farmasi. Lachman menyatakan penerapan prinsip fisika kimia tertentu pada pelaksanaan pengkajian stabilitas telah terbukti sangat menguntungkan perkembangan kestabilan sediaan. Hanya pendekatan itu yang memungkinkan pemanfaatan data yang diperoleh dari penyimpanan dalam kondisi yang melebihi keadaan normal, tepat dan memadai. Untuk maksud meramalkan stabilitas pada penyimpanan normal pada jangka waktu lama, sangat penting bagi produsen farmasi untuk meramalkan dengan tepat stabilitas produk baru pada penyimpanan normal dari data penyimpanan data dipercepat, karena keuntungan ekonomis besar yang diperoleh dari pemasaran produk baru secepat mungkin setelah formulasinya selesai (Lachman, 2004). Uji stabilitas dipercepat, dapat memberikan praduga tentang kestabilan suatu produk, dikembangkan mengingat siklus pengembangan produk obat yang relatif sangat singkat. Suatu pelaksanaan yang praktis yaitu dengan menerima suatu dengan yang monitoring secara periodik terhadap produk yang ada di contoh pertinggal yang disimpan pada suhu kamar. Hasil pengamatan dapat digunakan guna memperbaiki kualitas produk dan dalam menaikkan ketepatan metoda yang digunakan untuk pengujian stabilitas (Lachman, 2004) 10 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan dari bulan Januari sampai bulan Maret 2013 di Laboratorium Farmasi Universitas Pakuan di Bogor dan Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor di Bogor. 3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah biakan dari bakteri Lactobaccilus sp. yang didapat dari Laboratorium Mikrobiologi IPB, PEG 400, PEG 4000, Metronidazol, asam asetat anhidrat, asam perklorat, asam asetat glasial, larutan buffer fosfat, dan media agar MRS (de Man, Rogosa, dan Sharpe). Alat yang digunakan adalah timbangan analitik, gelas piala, spatula, pengaduk kaca, thermometer, cetakan ovula, lemari pendingin , penangas air, pH meter, disintegration tester, alat uji waktu hancur, disolusi tester, buret, erlemeyer, cawan petri dan alat-alat lain yang lazim digunakan di laboratorium kimia. 3.3 Metode Penelitian Lingkup penelitian meliputi pengumpulan dan penyediaan bahan, determinasi bakteri, pembuatan ovula, formulasi sediaan ovula, pembuatan ovula kombinasi Lactobaccilus sp. -Metronidazol dengan basis PEG (Polietilen glikol) 400 dan 4000, evaluasi sediaan ovula. Skema Penelitian terdapat di Lampiran 1. 3.3.1. Isolasi, Identifikasi, dan Pemurnian Bakteri Bakteri Lactobaccilus sp. diisolasi dari Yakult dengan metode pengenceran menggunakan media MRS. Bakteri diisolasi dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 2x24 jam dan dipertahankan kehidupannya pada suhu 2oC pada media MRS (Nighswonger, Brashears et al. 1996). 11 Pada tahap pemurnian bakteri, satu koloni yang terlihat terdiri dari satu sel dipilih, kemudian jarum ose dibakar dan setelah dingin ose disentuhkan ke permukaan koloni bakteri yang digoreskan (streak) pada plat MRS. Goresan ini merupakan goresan primer pada plat MRS. Jarum ose dibakar, angkat lalu didinginkan dan digoreskan melewati goresan primer dan dilanjutkan dengan goresan sekunder tanpa kembali ke goresan primer. Kemudian diulangi untuk goresan tersier tanpa kembali ke goresan sekunder dan primer. Proses identifikasi dilakukan dengan teknik pewarnaan gram. Pewarnaan Gram menurut Hadioetomo, 1985, preparat ulas dibuat pada gelas benda, kemudian difiksasi di atas api Bunsen. Preparat ditetesi dengan larutan Kristal ungu, didiamkan selama 60 detik dan dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Preparat ditetesi dengan larutan iodin dan didiamkan selama 2 menit, dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Preparat ditetesi dengan alkohol 96% sampai warna ungu hilang. Preparat ditetesi dengan safranin dan didiamkan selama 30 detik, dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Preparat ditetesi dengan minyak imersi, dan kemudian preparat diamati dengan mikroskop, jika sel bewarna ungu berarti positif terhadap sel Lactobaccilus sp. . 3.3.2. Pembuatan Konsentrasi Lactobaccilus sp. (Kaewnopparat, Sanae and Nattha, 2009) Konsentrasi Lactobaccilus sp. yang diperlukan dalam penelitian ini adalah 108 CFU (Coloni Factory Unit). Konsentrasi tersebut didapat dengan cara pengenceran sampai 108 dari isolat bakteri murni. Pengenceran yang dibuat dibandingkan dengan metode kekeruhan Mc Farland. Standar Mc Farland 0,5 ml setara dengan suspensi bakteri yang mengandung 1x108 dan 2x108 CFU/ml. Standar 0,5 Mc Farland dibuat dengan 0,5 ml BaCl2 dengan konsentrasi 0,048 mol/liter (1,175% b/v BaCl2 . 2H2O) dan 99,5% H2SO4 0,18mol/liter (1% v/v) dengan pengadukan yang konstan untuk mempertahankan suspensi. Kepadatan suspensi diukur absorbansi pada spektrofotometer dengan absorbansi 625 nm. Kekeruhan suspensi Mc Farland 0,5 harus menunjukkan nilai absorban 0,08-0,13. Kemudian suspensi Mc Farland ditransferkan 4-6 ml ke tabung dengan ukuran 12 yang sama yang digunakan dalam standarisasi inokulum bakteri. Kemudian tabung ditutup dan disimpan dalam wadah tertutup sinar matahari (gelap) pada suhu kamar. Tabel Standar Mc Farland terdapat di Lampiran 4. 3.3.3. Formula dan Prosedur Pembuatan Ovula Lactobaccilus sp. Metronidazol Setiap Formula yang dibuat sebanyak 12 ovula dengan masing-masing ovula mempunyai bobot 3000 mg. Basis ovula yang digunakan adalah PEG 400 dan PEG 4000 dengan perbandingan 1:1 (Kaewnopparat, 2009). Formulasi ovula yang dibuat Lactobaccilus sp. -Metronidazol tampak di Tabel 1. Sediaan ovula kombinasi Lactobaccilus sp. -Metronidazol dibuat sebanyak 12 ovula masing-masing seberat 3 gram. Sediaan ovula ini dibuat dalam 4 formula dengan perbedaan konsentrasi Lactobaccilus sp. dan dosis Metronidazol yang digunakan. Pada Formula I, tidak menggunakan Lactobaccilus sp. dan Metronidazol atau yang disebut dengan plasebo. Formula II, menggunakan dosis Metronidazol 500 mg tanpa menggunakan Lactobaccilus sp. . Formula III, menggunakan konsentrasi Lactobaccilus sp. menggunakan Metronidazol. Formula IV, 108 CFU tanpa menggunakan konsentrasi Lactobaccilus sp. 108 CFU dan dosis Metronidazol 500 mg. Formula I – Formula IV dibuat dengan menggunakan metode pembuatan ovula konvensional, sedangkan Formula V dibuat dengan menggunakan metode pembuatan ovula berongga. Formulasi Ovula Lactobaccilus sp. –Metronidazol Bahan Lactobaccilus sp. Metronidazol PEG 400 PEG 4000 Total Formula I Formula II Formula III 0 mg 0 mg 108 CFU Formula IV & Formula V 108 CFU 0 mg 1 bagian 1 bagian 3000 mg 500 mg 1 bagian 1 bagian 3000 mg 0 mg 1 bagian 1 bagian 3000 mg 500 mg 1 bagian 1 bagian 3000 mg 13 Pembuatan Ovula Konvensional Basis ovula dilebur pada suhu 70o C dan kemudian Lactobaccilus sp. Metronidazol dicampur bersama dengan basis pada suhu 40o – 45oC. Setelah bercampur homogen, campuran dituangkan ke dalam cetakan dan dimasukkan ke dalam lemari pendingin bersuhu 2o-8o C sampai membeku. Setelah membeku, ovula dikeluarkan dari cetakan dan dikemas dengan menggunakan aluminium foil. Pembuatan Ovula Berongga Ovula tipe berongga dibuat dengan cara meleburkan basis pada suhu 70o C kemudian dicetak dalam cetakan berongga, setelah basis dalam keadaan setengah padat yakni pada suhu 40o – 60o C lalu Lactobaccilus sp. -Metronidazol dimasukkan ke dalam cetakan berongga. Kemudian dimasukkan ke dalam lemari pendingin bersuhu 2o-8o C sampai membeku. Setelah membeku, ovula dikeluarkan dari cetakan dan dikemas dengan menggunakan aluminium foil. Alur pembuatan ovula terdapat di Lampiran 2. Basis + Lactobaccilus sp.-Metronidazol Basis ovula Lactobaccilus sp.Metronidazol (A) (B) Gambar 3. Skema ilustrasi dari ovula konvensional (A) dan ovula tipe berongga (B). Sumber : Kaewnopparat, 2009 3.3.4. Evaluasi Mutu Sediaan Ovula Lactobaccilus sp. -Metronidazol Evaluasi mutu sediaan ovula meliputi uji organoleptik, uji kesetaraan bobot, uji waktu hancur, uji kestabilan sediaan, uji kadar metronidazol, dan uji kelangsungan hidup mikroorganisme Lactobaccilus sp. dalam sediaan, dan uji stabilitas sediaan. 14 a) Uji Organoleptik Pada uji organoleptik sediaan yang diamati meliputi bau, warna, dan bentuk dari ovula Lactobaccilus sp. -Metronidazol. b) Uji Keseragaman Bobot Uji kesetaraan bobot ovula dilakukan dengan cara menimbang masing- masing ovula untuk setiap formula, dilakukan secara duplo. Berat dari ovula tidak boleh kurang dan tidak lebih dari 3000 mg ± 7,5 %, jadi tidak kurang dari 2775 mg dan tidak lebih dari 3225 mg (Anonim, 1995) c) Uji Waktu Hancur Uji waktu hancur ovula dilakukan dengan prosedur meletakkan enam ovula pada alat disintegration tester dalam wadah berisi 500 ml air yang bersuhu 36-37 oC, kemudian mesin dihidupkan dan alat akan naik turun sampai seluruh ovula melebur sempurna. Ovula dinyatakan hancur sempurna bila terlarut sempurna atau terdispersi menjadi komponen, bagian basis akan terlarut dalam medium air, karena PEG yang larut dalam air, bagian serbuk yang tidak larut berada di dasar atau terlarut atau menjadi lunak. Waktu yang diperlukan untuk menghancurkan ovula tidak lebih dari 60 menit untuk ovula dengan dasar yang larut dalam air (Anonim, 1979). d) Penetapan Kadar Metronidazol (Anonim, 1979) Penetapan kadar dilakukan dengan cara menimbang saksama sejumlah suppositoria metronidazol yang setara dengan 200 mg metronidazol, kemudian disari sebanyak 6 (enam) kali, tiap kali dengan 10 ml aseton P panas, dikumpulkan sari, dan didinginkan. Ditambahkan pada kumpulan sari 50 ml asetat anhidrat P, kemudian dititrasi dengan asam perklorat 0,1 N menggunakan indikator 2 (dua) tetes larutan hijau berlian P 1 % b/v dalam asam asetat glasial P hingga warna kekuningan. Dilakukan penetapan blangko. 1 e) ml asam perklorat 0,1 N setara dengan 17,12 mg C6H9N3O3 Uji Kelangsungan Hidup Lactobaccilus sp. Uji kelangsungan hidup mikroorganisme Lactobaccilus sp. dilakukan dengan cara melarutkan ovula Lactobaccilus sp. -Metronidazol ke dalam medium disolusi dengan menggunakan kecepatan 100±1 rpm dan temperature 37±0,5 oC. 15 Medium disolusi yang digunakan adalah asam sitrat atau larutan buffer fosfat dengan pH larutan 4,4. Larutan hasil disolusi diambil sebanyak 4 ml dicampurkan dengan media agar MRS pada cawan petri dan diinkubasi pada kondisi anaerob suhu 37 o C selama 48 jam. Setelah 48 jam dilihat apakah masih ada mikroorganisme Lactobaccilus sp. yang hidup ( Kaewnopparat et al, 2009). f) Uji Stabilitas Uji stabilitas ovula Lactobaccilus sp. -Metronidazol dilakukan pada penyimpanan pada suhu sejuk 5-15 oC dan suhu kamar 25-30 oC selama 2 (dua) bulan. Evaluasi yang dilakukan meliputi penampilan, bobot ovula, waktu hancur, dan kehidupan Lactobaccilus sp. . Evaluasi penampilan, bobot ovula dan waktu hancur dilakukan setiap 2 (dua) minggu sekali selama 2 (dua) bulan. Evaluasi kadar metronidazol dilakukan pada evaluasi pada awal pembuatan. Evaluasi kelangsungan hidup Lactobaccilus sp. dilakukan setiap 1 (satu) bulan sekali selama 2 (dua) bulan (Kaewnopparat et al., 2009). Uji stabilitas terdapat pada Lampiran 3. 16 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Isolasi, Identifikasi dan Pemurnian Bakteri Berdasarkan hasil analisis dari Laboratorium Mikrobiologi, Depertemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB Bogor, menerangkan bahwa bakteri yang diisolasi, diidentifikasi dan dilakukan pemurnian bakteri Lactobaccilus sp. sp. (terlampir di Lampiran 5). Hasil menunjukkan bahwa bakteri yang diisolasi dan diidentifikasi memiliki lapisan peptoglikan yang tebal, karena ketika diberi pewarna pembanding yaitu safranin tidak berubah warna, Lactobaccilus sp. tetap bewarna ungu (warna utama). Safranin dan alkohol pada proses identifikasi berfungsi sebagai peluntur lemak pada dinding sel, karena Lactobaccilus sp. memiliki komposisi peptoglikan yang tebal pada dinding sel pada menyusut oleh perlakuan alkohol karena terjadinya dehidrasi, menyebabkan pori-pori dinding sel menutup sehingga mencegah larutnya kompleks ungu Kristal-iodium pada langkah pemucatan. Bakteri Lactobaccilus sp. termasuk dalam kelompok bakteri asam laktat gram positif yang menguntungkan. Bakteri asam laktat didefenisikan sebagai kelompok bakteri yang membentuk asam laktat, baik sebagai satu-satunya produk maupun sebagai produk utama pada metabolisme karbohidrat. Beberapa ciri yang dimiliki oleh bakteri asam laktat adalah termasuk dalam bakteri Gram positif (Stamer, 1979), tidak membentuk spora, berbentuk bulat atau batang dan pada umumnya tidak memiliki katalase (Hasan, 2006). Ciri ini juga tampak dari hasil identifikasi Lactobaccilus sp. . Bakteri ini tidak memiliki enzim katalase, karena enzim katalase mengubah hidrogen peroksida yang diproduksi oleh bakteri menjadi air dan oksigen. Bakteri Lactobaccilus sp. merupakan bakteri anaerob, artinya bakteri tumbuh tanpa oksigen. Hidrogen peroksida dapat membunuh kumankuman yang merugikan bagi tubuh. 17 4.2. Hasil Pengujian Organoleptik Sediaan Ovula Setelah Pembuatan dan Selama dilakukan Uji Stabilitas Sediaan ovula dibuat dengan menggunakan cetakan suppositoria, maka sediaan yang dihasilkan memiliki bentuk seperti suppositoria. Akan tetapi, disebut ovula karena penggunaan sediaan ini untuk vagina. Sediaan ovula yang dihasilkan memiliki bentuk dan warna yang seragam. Pada Formula I sampai Formula IV yang dibuat dengan metode ovula konvensional memiliki bentuk torpedo, warna putih dan tidak berbau. Formula I tidak berbeda bentuk, warna dan bau dengan Formula II, Formula III dan Formula IV, hal ini dikarenakan zat aktif dalam formula menyatu rata ke dalam basis, sehingga yang terlihat hanya warna putih dari basis, dan juga tidak memiliki bau, karena zat aktif yang berbau seperti Lactobaccilus sp. tertutup oleh basis yang tidak berbau. Pada Formula V yang dibuat dengan metode ovula berongga, meskipun komposisi Formula V sama dengan Formula IV, namun Formula V memiliki organoleptik yang sedikit berbeda dengan Formula IV. Formula V memiliki bentuk torpedo, warna sedikit kecoklatan, dan berbau khas. Bau yang tercium seperti bau dari suspensi Lactobaccilus sp. yang berbau sedikit asam. Adanya perbedaan yang terjadi dikarenakan oleh Lactobaccilus sp. yang ada di dalam rongga ovula berongga sedikit terlihat sehingga bau khas dari Lactobaccilus sp. yang sedikit asam juga ikut tercium. Kesulitan dalam pembuataan ovula ini adalah pada saat mencampurkan suspensi Lactobaccilus sp. ke dalam basis, karena Lactobaccilus sp. merupakan bakteri anaerob yang harus dengan segera diproses agar tidak mati dalam udara yang beroksigen. Kesulitan lain dalam pembuatan adalah pada pembuatan ovula berongga dimana harus dibuat rongga untuk memasukkan zat aktif ke dalam basis. Gambar bentuk ovula dapat dilihat pada Lampiran 7. Sediaan ovula dikemas dalam aluminium foil. Pengujian organoleptik sediaan dilakukan setiap 2 minggu selama 8 minggu pada suhu sejuk (5 -15 °C) dan suhu kamar (25-30 °C) meliputi bentuk, warna dan bau sediaan. Hasil pengujian stabilitas pada suhu sejuk (5-15 °C) dan suhu kamar (25-30 °C) menunjukkan semua formula tidak mengalami perubahan bentuk, warna dan bau. Hasil ini terlihat pada Ovula Konvensial maupun Ovula Tipe Berongga. Hal ini 18 dikarenakan ovula dikemas dalam aluminium foil sehingga terlindung dari cahaya dan udara luar sehingga ovula tidak teroksidasi. 4.3. Hasil Pengujian Keseragaman Bobot Sediaan Ovula Setelah Pembuatan dan Selama dilakukan Uji Stabilitas Uji keseragaman bobot dilakukan setiap 2 minggu sekali sampai waktu 8 minggu. Bobot ovula yang diinginkan seberat 3 gram per ovula. Bobot ini diharapkan tetap stabil selama penyimpanan 8 minggu. Pada Formula I bobot ratarata yang didapat selama penyimpanan 8 minggu adalah 3,038 mg dengan kisaran bobot pada Formula I berkisar 3,01-3,12 gram. Pada Formula II memiliki kisaran bobot berkisar antara 2,99-3,10 gram dengan bobot rata-rata yang didapat 3,014 gram. Pada Formula III memiliki kisaran bobot antara 2,98-3,13 gram. Bobot ratarata yang didapat untuk Formula III selama pengujian stabilita adalah 3,058 gram. Formula IV memiliki kisaran bobot 2,99-3,14 gram, dengan bobot rata-rata sebesar 3,032 gram. Menurut hasil pengujian keseragaman bobot yang dihasilkan dari Formula I sampai Formula IV memiliki bobot yang relatif stabil dan dan tidak menyimpang jauh dengan bobot yang diinginkan. Penyimpangan bobot dari bobot yang diinginkan tidak melebihi 5% (Anonim, 1995), persentase penyimpangan bobot yang didapat dari Formula I sampai Formula IV tidak lebih dari 5% baik pada penyimpanan suhu sejuk maupun penyimpanan suhu kamar. Bobot yang dihasilkan dari Formula V yang memiliki komposisi sama seperti Formula IV, tapi berbeda dalam metode pembuatan ini memiliki kisaran bobot antara 2,97-3,06 gram dengan bobot rata-rata 3,032 gram. Persentase penurunan bobot dari bobot yang diharapkan juga tidak lebih dari 5 %. Jika dibandingkan dengan Formula IV, Formula V tidak memiliki bobot yang tidak jauh berbeda, dan relatif stabil pada penyimpanan suhu sejuk maupun suhu kamar. Grafik keseragaman bobot selama penyimpanan 8 minggu dapat dilihat pada grafik di bawah ini. 19 Gambar 4. Grafik Hasil Uji Keseragaman Bobot Ket. A : Penyimpanan Suhu Sejuk B : Penyimpanan Suhu Kamar Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat, bobot awal minggu ke-0 sampai ke bobot akhir minggu ke-8 mempunyai bobot yang stabil pada penyimpanan suhu sejuk (5-15 °C) dan suhu kamar (25-30 °C). Ovula yang baik seharusnya memiliki bobot yang stabil selama dilakukan pengujian stabilitas. Bobot ovula yang dihasilkan harus memenuhi persyaratan sesuai dengan Farmakope Indonesia. Persyaratan bobot ovula dalam Farmakope Indonesia 2775-3225 mg, hasil bobot ovula yang didapat masuk ke dalam persyaratan FI IV. Tabel hasil pengujian keseragaman bobot terlampir di Lampiran 8. 4.4. Hasil Pengujian Waktu Hancur Sediaan Ovula Setelah Pembuatan dan Selama dilakukan Uji Stabilitas Uji waktu hancur dilakukan setiap 2 minggu sekali selama 8 minggu. Pengujian waktu hancur dilakukan dengan tujuan untuk memperkirakan waktu hancur sediaan di tempat pemberiannya. Pengujian waktu hancur sediaan dengan menggunakan alat disintegration tester pada suhu 36-37 oC, digunakan suhu tersebut karena pada suhu yang demikian sesuai dengan suhu tempat ovula akan hancur. 20 Menurut hasil pengujian waktu hancur yang didapat, Formula I memiliki kisaran waktu hancur antara 16-23 menit, baik pada penyimpanan suhu sejuk maupun suhu kamar. Rata-rata waktu hancur untuk Formula I 18 menit. Formula II pada penyimpanan suhu sejuk memiliki kisaran waktu hancur 18-23 menit sedangkan untuk waktu hancur pada penyimpanan suhu kamar memiliki kisaran waktu 16-18 menit. Waktu hancur untuk penyimpanan suhu kamar lebih cepat daripada suhu sejuk, dikarenakan sediaan pada suhu sejuk memiliki tekstur seperti es, sehingga memerlukan waktu lebih lama untuk menstabilkan suhu dengan suhu lingkungan pada media. Formula III pada penyimpanan suhu sejuk memiliki kisaran waktu hancur 18-23 menit dan kisaran waktu hancur pada penyimpanan suhu kamar berkisar 15-17 menit. Untuk formula IV memiliki kisaran waktu hancur 19-24 menit untuk penyimpanan suhu sejuk dan 16-19 menit untuk sediaan pada penyimpanan suhu kamar. Pada Formula V dengan komposisi sama seperti Formula IV berbeda dalam metode pembuatan memiliki kisaran waktu hancur 1719 menit untuk sediaan pada penyimpanan suhu sejuk maupun suhu kamar. Sediaan Formula V lebih cepat hancur disbanding dengan Formula IV, dikarenakan sediaan pada Formula V bertekstur lebih lembut karena rongga yang diisi oleh Lactobaccilus sp. . Hasil uji waktu hancur terlampir di Lampiran 9. Sediaan ovula yang berbasis PEG merupakan polimerisasi etilen glikol dengan berat molekul 300-6000. PEG dengan berat molekul dibawah 1000 berbentuk cair sedangkan diatas 1000 bertekstur padat lunak seperti malam. Ovula berbahan dasar PEG mudah larut dalam cairan dalam rectum, dan tidak ada modifikasi titik lebur yang berarti mudah meleleh pada penyimpanan suhu kamar (Syamsuni, 2006). Waktu maksimal yang diperlukan untuk menghancurkan suppositoria tidak lebih dari 60 menit untuk suppositoria yang larut dalam air. (Depkes, 1995). PEG larut dalam air, sehingga waktu hancur yang diperoleh dari sediaan ovula berbasis PEG memenuhi persyaratan. Grafik waktu hancur ovula dapat dilihat pada grafik dibawah ini. 21 Gambar 5. Grafik Hasil Uji Waktu Hancur Ket. : A : Suhu Sejuk 5-15 °C B : Suhu Kamar 25-30 °C 4.5. Hasil Analisis Kadar Metronidazol Penentuan kadar metronidazol dilakukan pada waktu awal evaluasi. Dari hasil evaluasi dengan asam perklorat yang digunakan sebagai penitrasi hasil titik akhir bewarna kuning. Pada penentuan kadar untuk Formula II yang mengandung zat aktif Metronidazol 500 mg dan basis ovula didapatkan kadar Metronidazol dalam Formula II adalah 94,16%. Pada Formula IV dengan kandungan zat aktif Metronidazol 500 mg yang dikombinasikan dengan Lactobaccilus sp. 108 CFU, kandungan kadar Metronidazol dalam Formula IV adalah 85,06%. Kandungan Metronidazol pada Formula V yang berbeda metode pembuatan ini menghasilkan % kadar Metronidazol adalah 85,06%. Formula II yang hanya mengandung Metronidazol dan basis ovula memiliki kadar lebih tinggi dibandingkan dengan ovula dengan komposisi Metronidazol yang dikombinasi dengan Lactobaccilus sp. . Kadar yang dianalisis dari sediaan setara dengan 200 mg Metronidazol, hasil analisis yang didapat memiliki kisaran persentase kadar 85,06% - 94,16%. Metronidazol merupakan antibiotik bakterisidal diaktifkan oleh anaerob dan 22 berefek menghambat sintesis DNA. Jadi dengan adanya Lactobaccilus sp. sebagai bakteri anaerob, Metronidazol dapat menghambat sintesis DNA bakteri patogen. 4.6. Hasil Evaluasi Uji Kelangsungan Hidup Lactobaccilus sp. Evaluasi uji kehidupan Lactobaccilus sp. dilakukan pada minggu ke-0, minggu ke-4, dan minggu ke-8. Pengujian hanya dilakukan pada Formula yang mengandung Lactobaccilus sp. saja yaitu Formula III, Formula IV, dan Formula V. Formula III pada penyimpanan suhu sejuk, kelangsungan hidup Lactobaccilus sp. lebih tinggi dibandingkan dengan penyimpanan suhu kamar, dikarenakan Lactobaccilus sp. pada suhu penyimpanan 5-15 °C lebih terjaga stabil. Formula IV memiliki tingkat kelangsungan hidup Lactobaccilus sp. lebih rendah dibandingkan dengan Formula V yang dibuat dengan metode ovula berongga. Hasil kelangsungan hidup Lactobaccilus sp. terdapat di Lampiran 9. Grafik hasil uji kelangsungan hidup Lactobaccilus sp. dapat dilihat di bawah ini. Gambar 6. Grafik Kelangsungan Hidup Lactobaccilus sp. Ket. : A : Suhu Sejuk 5-15 °C B : Suhu Kamar 25-30 °C 23 Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa kelangsungan Lactobaccilus sp. menurun pada lama penyimpanan minggu ke-4, terlihat dari Formula III, Formula IV, maupun Formula V baik pada penyimpanan suhu sejuk maupun suhu kamar. Hal ini dikarenakan suhu kisaran suhu pertumbuhan optimum pada suhu termofil, yaitu suhu 25–55 oC. Lactobaccilus sp. termasuk bakteri termofil, sehingga bakteri masih dapat terdeteksi pada penyimpanan suhu kamar. Temperatur di bawah suhu optimum pertumbuhan, dapat menekan laju metabolisme, dan apabila suhu terlalu rendah, maka metabolisme serta pertumbuhan akan terhenti. Suhu rendah sangat bermanfaat untuk mengawetkan biakan karena mikroorganisme mempunyai kemampuan yang unik untuk dapat bertahan hidup pada keadaan yang sangat dingin. Lactobaccilus sp. dapat tetap hidup selama berbulan-bulan pada temperatur 2-8 oC, karena pada suhu beku ini bakteri dianggap dorman karena tidak memperlihatkan adanya aktivitas metabolik yang terdeteksi, atau dengan kata lain bakteri menjadi inaktiv. Maka untuk pengawetan bakteri dapat digunakan penyimpanan pada suhu beku (Pelczar, 1986). Akan tetapi pada lama penyimpanan 4 minggu, Lactobaccilus sp. dalam sediaan populasinya menurun, hal ini dikarenakan bakteri mati lebih cepat daripada terbentuknya bakteri baru. Faktor penyebabnya antara lain berkurangnya nutrisi untuk melangsungkan metabolisme, akumulasi produk metabolisme yang mungkin bersifat asam atau basa yang toksik. 24 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan 1. Lactobaccilus sp. dengan konsentrasi 108CFU dapat diformulasikan sebagai bahan probiotik dalam bentuk kombinasi ovula Lactobaccilus sp. -Metronidazol. 2. Sediaan ovula Lactobaccilus sp. -Metronidazol stabil pada suhu sejuk (5-15 °C) dan suhu kamar (25-30 oC) selama penyimpanan 2 bulan (8 minggu). 3. Lactobaccilus sp. sp. Masih dapat terdeteksi dalam sediaan ovula Lactobaccilus sp. -Metronidazol selama pengujian 2 bulan (8 minggu). 5.2 Saran Dalam penggunaannya ovula perlu disimpan pada suhu 2-8 oC, mengingat pada suhu tersebut dapat digunakan untuk pengawetan bakteri, sehingga bakteri dapat hidup lebih lama. 25 DAFTAR PUSTAKA Anief. 2006. Ilmu Meracik Obat. Universitas Gajah Mada Press Yogyakarta. Anonim. 1978. Formularium Nasional edisi II. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. ______. 1979. Farmakope Indonesia edisi III. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. ______. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Jakarta. ______.2009.http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/12/anatomi_dan _fisiologi_alat_reproduksi_wanita.pdf. Diakses 28 Februari 2013 ______.2010.online.http://iheartfoods.wordpress.com/2010/06/23/lactobacillus/D akses 28 Februari 2013 ______. 2012. Panduan Skripsi Program Studi Farmasi FMIPA-UNPAK. Bogor. Ansel. 2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Universitas Indonesia Press Jakarta. Aroutcheva, A., D. Gariti, et al. 2001. Defense factors of vaginal lactobacilli. American Journal of Obstetrics and Gynecology 1852: 375-379. Beigi, R., M. Austin, et al. 2004. Antimicrobial resistance associated with the treatment of bacterial vaginosis. American journal of obstetrics and gynecology 1914: 1124-1129. Bhalla, P. C., R. Garg,S. 2007. Prevalence of bacterial vaginosis among women in Delhi, India. Indian J Med Res 125February: 167-172. Donati, L., A. Di Vico, et al. 2010. Vaginal microbial flora and outcome of pregnancy. Archives of Gynecology and Obstetrics 2814: 589-600. Engelkirk, P. G., Duben-Engelkirk, J. and Dowell, V. R. 1992. Principles and Practices of Clinical Anaerobic Bacteriology. Star Publishing Co., Belmont, CA 94002. Hasan, Z.H. 2006. Isolasi Lactobacillus, Bakteri Asam Laktat dari Feses dan Organ Saluran Pencernaan Ayam. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006. 26 Fontaine, E. A. and D. Taylor-Robinson 1990. Comparison of quantitative and qualitative methods of detecting hydrogen peroxide produced by human vaginal strains of lactobacilli. Journal of Applied Bacteriology 693: 326331. Kaewnopparat, Sanae and Nattha. 2009. Formulation and Evaluation of Vaginal Suppositories Containing Lactobacillus. World Academy of Science, Engineering and Technologi Kale, V. V., R. V. Trivedi, et al. 2005. Development and Evaluation of a Suppository Formulation Containing Lactobacillus and Its Application in Vaginal Diseases, Annals. New York Academy of Sciences. 1056: 359365. Launer and Dressman. 2000. Teori Dan Praktek Farmasi Industri. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Lachman, L., Lieberman, H. A dan Kanigh, J.L. 2004. Teori dan Praktek Farmasi Industri. Vol II. Edisi III. Terjemahan Siti Suyatmi. Universitas Indonesia. Jakarta. Nalam, Prathima C.; Clasohm, Jarred N.; Mashaghi, Alireza; Spencer, Nicholas D. 2009. Macrotribological Studies of PolyL-lysine-graft-Polyethylene glycol in Aqueous Glycerol Mixtures. Tribology Letters 37 3: 541. doi:10.1007/s11249-009-9549-9 Nighswonger, B. D., M. M. Brashears, et al. 1996. Viability of Lactobacillus acidophilus and Lactobacillus casei in Fermented Milk Products During Refrigerated Storage. J. Dairy Sci. 792: 212-219. Pelczar, M.J., Chan, E.C.S. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi jilid 1. Universitas Indonesia, Jakarta. Petrova, P., K. Petrov, et al. 2007. Probiotic properties of Bulgarian vaginal lactobacillus isolates. Comptes Rendus de L'Academie Bulgare des Sciences 608: 871-878. Stamer,J.R. 1979. The Lactic Acid Bacteria. Microbes of Diversity. J. Food Technol. Syamsuni, A. 2006. Ilmu Resep. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Warren, R., A. Bauer, et al. 2005. Journal of Transepidermal water loss dynamics of human vulvar and thigh skin. Skin Pharmacology and Physiology 183: 139-143 27