zakat hasil tangkapan laut di kelurahan kamal muara kecamatan

advertisement
ZAKAT HASIL TANGKAPAN LAUT DI KELURAHAN
KAMAL MUARA KECAMATAN PENJARINGAN
JAKARTA UTARA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy.)
Oleh :
Saidah Hijriah
NIM :1110043100037
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H / 2015 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “ZAKAT HASIL TAGKAPAN LAUT DI KELURAHAN
KAMAL MUARA KECAMATAN PENJARINGAN JAKARTA UTARA” telah
diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi
Perbandingan Mazhab Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
pada tanggal 22 Oktober 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi
Perbandingan Mazhab dan Hukum.
Jakarta, 22 Oktober 2015
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Dr. Asep Saepudin Jahar, MA
NIP. 196912161996031001
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
Ketua
: Fahmi Muhammad Ahmadi, MSi
NIP. 197412132003121002
( ............................. )
Sekretaris
: Hj. Siti Hana, S.Ag, Lc, MA
NIP.197402162008012013
( ............................. )
Pembimbing I : Fahmi Muhammad Ahmadi, MSi
NIP. 197412132003121002
( ............................. )
Pembimbing II: Hj. Ummu Hana Yusuf Saumin,MA
NIP.150277548
( ............................. )
Penguji I
: Drs. Sirril Wafa, MA
NIP. 196003181991031001
( ............................. )
Penguji II
: Dr, H. Ahmad Tholabi Kharlie, MA
NIP 197608072003121001
( ............................. )
i
1437 H/2015 M
ii
ABSTRAK
Saidah Hijriah, NIM 1110043100037, Zakat Hasil Tangkapan Laut di
Kelurahan Kamal Muara Kec. Penjaringan Jakarta Utara, Program Studi
Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fiqih,
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
1436/2015M.
Nelayan di Kelurahan Kamal mempunyai beberapa metode dalam pencarian
dilaut diantaranya pertambakan dan hasil tangkapan laut menggunakan perahu yang
dimiliki oleh juragan. Dari pendapatan-pendapatan tersebut dapat digolongkan
sebagai pendapatan yang berpotensi zakat atau tidak. Apabila pendapatan-pendapatan
tersebut tergolong pendapatan yang berpotensi zakat, maka bagaimanakah cara
penghitungan zakatnya.
Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kualitatif dengan
menggunakan instrumen penelitian lapangan (field research), dan penelitian
kepustakaan yang didasarkan pada suatu pembahasan dengan menggunakan metode
studi kepustakaan (library research), metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode deskriptif, yakni penulis berusaha menyajikan fakta-fakta yang
objektif sesuai dengan kondisi dan situasi yang sebenarnya terjadi pada saat
penelitian dilakukan.
Hasil analisis ini disimpulkan bahwa pendapatan nelayan di Kelurahan Kamal
Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara belum dapat digolongkan sebagai
pendapatan yang berpotensi zakat, khususnya untuk nelayan yang hasil tangkapan
dari laut, karena pendapatan tersebut belum mencapai nishab (kuota), ada beberapa
faktor diantaranya kondisi cuaca saat ini, dan pengaruh limbah terhadap air laut yang
tercemar. Lain halnya dengan pendapatan yang di peroleh melalui pertambakan maka
harus dikeluarkan zakatnya karena penghasilan yang besar dan mecapai nisab dan
cara perhitungannya adalah dengan setiap kali panen kemudian diambil zakatnya
tanpa harus menunggu setahun, hal itu di qiyaskan pada zakat pertanian, begitupun
jika hasil nelayan yang menangkap ikan dilaut pengeluaran zakatnya sama dengan
hasil pertambakan yaitu di qiyas-kan dengan zakat pertanian yang prosentasenya
sebesar 5% - 10%.
Pembimbing
: Fahmi Muhammad Ahmadi, M. Si.
Ummu Hana Yusuf Saumin, MA.
Daftar Pustaka
: Tahun 1969-2013.
iv
KATA PENGANTAR
Dengan penuh kerendahan hati, kutengadahkan kedua tangan ini. Untuk
sekedar meluapkan rasa, kemudian sujud syukur kepada Allah SWT. bibir dan hati ini
seakan menyatu menyimpulkan kata “Alhamdulillah” segala puji kupersembahkan
kepada-Nya. Karena penulis dapat menuntaskan kewajiban studinya, yaitu penulisan
skripsi guna memenuhi syarat dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Syari’ah pada
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Shalawat teriring salam penulis haturkan kepada suri tauladan umat, sang
baginda Rasulullah SAW, para keluarga, sahabat dan orang-orang yang tercerahkan
untuk membumikan hukum-hukumnya. Dalam kesempatan ini pula, penulis
menghaturkan banyak terimakasih atas kerjasama dan bantuannya, baik moril
maupun materiil. Karena penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak
mungkin terwujud tanpa orang-orang disekelilingku. Untuk itu penulis
sepantasnyalah menyampaikan rasa terimakasih kepada:
1. Bapak, Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak (Abah) Fahmi Muhammad Ahmadi, M. Si, selaku ketua jurusan PMH
dan dosen pembimbing sekaligus kyai dan guru yang telah rela meluangkan
waktunya dan selalu sabar memberikan masukan, arahan dan kritikan yang
konstruktif serta mendo’akan penulis, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan,
dan Ibu Siti Hana Harun Lc, selaku sekeretaris Jurusan PMH yang telah
memberikan arahan, bimbingan dan dorongan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi.
3. Ibu Hj. Ummu Hanah Yusuf Saumin, MA, selaku dosen pembimbing yang
telah banyak memberikan arahan, meluangkan waktu dengan penuh
keikhlasan, dan kesabaran serta dukungan do’a, waktu, dan motivasi sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
4. Bapak/Ibu dosen Fakultas Syari’ah dan hukum yang telah memberi ilmu,
pengalaman dan nasehat kepada penulis. Semoga ilmu yang penulis dapatkan
dari Bapak/Ibu dapat bermanfaat dunia dan akhirat serta menjadi amal
kebaikan bagi Bpak/Ibu dosen.
5. Seluruh staf karyawan Perpustakaan Utama dan staf karyawan fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas kerjasamanya
dalam pelayanan yang terbaik dalam pengumpulan materi skripsi dan
kelancaran administrasi.
6. Pejabat Kantor Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta
Utara, beserta jajarannya yang telah membantu proses kelancaran dalam
memperoleh data-data yang diperlukan untuk penelitian ini.
vi
7. Para relawan yang telah bersedia untuk diwawancarai sehingga membantu
kelancaran dalam memperoleh data-data yang diperlukan untuk penelitian ini.
8. Ayahanda tercinta (Sanusi) dan Ibunda tersayang (Jubaedah) yang selalu
menjadi penyejuk hati, penenang jiwa, penyemangat hidup, yang tak pernah
kenal lelah untuk terus berkorban bagi anaknya. Senyum mu adalah
penyemangat penulis dalam menjalani kehidupan ini, serta doa yang tak
pernah terhingga sepanjang masa untuk keberhasilan studi penulis, mudahmudahan Allah SWT selalu memberikan limpahan rahmat dan kasih sayangNya, segala hormat dan cinta yang tak terhingga penulis persembahkan.
Seluruh keluarga besarku, yang senantiasa memberikan motivasi dan
dukungan agar penulis tetap semangat dalam menempuh studi di kampus
tercinta ini dan selalu memberikan keceriaan dalam bingkai kebersamaan baik
suka maupun duka.
9. Kepada sahabat-sahabat penulis dan teman-teman Perbandingan Mazhab
Fikih angkatan 2010 yang telah memberikan bantuan berupa dorongan moral
kepada penulis untuk menyelesaikan Skripsi ini dan memberikan kesan
tersendiri bagi penulis selama menuntut ilmu di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Besar harapan bagi penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
siapa saja yang memerlukannya dan dapat memberikan khazanah baru dalam
dunia akademik. Sebagai manusia yang dhoif, yang memiliki keterbatasan dan
kekurangan, tentunya skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Akhirnya,
hanya kepada Allah SWT juga kita memohon agar apa yang telah kita lakukan
menjadi sesuatu investasi yang sangat berharga dan kelak dapat membantu
kita di yaumil akhir.
Jakarta, 16 Oktober 2015M
03 Muharram 1437H
vi
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .............................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iii
ABSTRAK ........................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ......................................................................................... v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah ............................................. 7
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ....................................................... 7
D. Review Study Terdahulu ................................................................ 8
E. Metode Penelitian ............................................................................ 10
F. Sistematika Penulisan ...................................................................... 11
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZAKAT
A. Definisi dan Dasar Hukum Zakat .................................................... 13
1. Definisi Zakat .............................................................................. 13
2. Dasar Hukum Zakat .................................................................... 16
B. Syarat Wajib dan Rukun Zakat dalam Islam ................................... 19
1. Syarat Wajib ................................................................................ 19
2. Rukun Zakat.................................................... ............................ 22
3. Macam-Macam Zakat ................................................................. 23
4. Orang-Orang Yang Berhak Menerima Zakat ............................ 23
C. Jenis-jenis Harta Kekayaan yang Wajib Dikeluarkan Zakatnya ..... 32
1. Jenis Kekayaan ......................................................................... 32
2. Zakat Modal Usaha .................................................................... 37
vii
3. Zakat Rikaz ................................................................................ 37
4. Zakat ma’din .............................................................................. 38
5. Zakat Hasil Laut......................................................................... 49
D. Tujuan dan Hikmah Zakat ............................................................... 41
1. Tujuan Zakat .............................................................................. 41
2. Hikmah Zakat ............................................................................ 43
BAB III PENDAPATAN NELAYAN DI KELURAHAN KAMAL MUARA
KECAMATAN PENJARINGAN JAKARTA UTARA
A. Gambaran Umum Kelurahan Kamal Muara ..................... ............... 47
1. Letak Geografis.......................................................................... 47
2. Keadaan Demografis.................................................................. 49
3. Keadaan Sosiologis .................................................................... 49
B. Sistem Penangkapan Nelayan Kelurahan Kamal Muara........... ...... 50
BAB IV ANALISIS ZAKAT HASIL TANGKAPAN LAUT KELURAHAN
KAMAL MUARA KECAMATAN PENJARINGAN JAKARTA
UTARA
A. Analisis Hukum Islam Tentang Zakat Hasil Tangkapan Laut ......... 53
B. Analisis Tentang Pendapatan Nelayan Yang Berpotensi Zakat ...... 61
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................... 69
B. Saran-saran....................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 71
LAMPIRAN – LAMPIRAN
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Zakat merupakan salah satu rukun Islam, yang merupakan ibadah kepada
Allah dan sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan, untuk
mempersucikan dan mempertumbuhkan harta serta jiwa pribadi para wajib zakat,
mengurangi penderitaan masyarakat, memelihara keamanan serta meningkatkan
pembangunan. Pada hakikatnya bagian dari peraturan Islam tentang kehartabendaan
(Nizamul Islam al-Mali wal Ijtima’i), dibahas dalam kitab as-siyasah asy-syar’iyyah.
Adapun disebutkannya dalam ibadah adalah karena ia menjadi saudara kandung dari
shalat.1
Zakat adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu, yang Allah
SWT.mewajibkan
kepada
pemiliknya,
untuk
diserahkan
kepada
yang
berhakmenerimanya, dengan persyaratan tertentu pula. 2 Zakat diwajibkan secara
resmi di Mekah pada masa awal perkembangan Islam.Pada saat itu, zakat tidak
dibatasi seberapa besar harta yang wajib dikeluarkan zakatnya dan tidak pula jumlah
yang harus dikeluarkan zakatnya.Semua itu diserahkan kepada kesadaran dan
kemurahan hati kaum muslimin. Pada tahun kedua setelah hijriah, menurut
1
Yusuf al-Qardhawi, Fiqhu al-Zakah, cet. ke-1 (Beirut: Darul Irsyad, 1969), hlm.7.
2
Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani, 2002, hlm.
7.
1
2
keterangan yang paling masyhur, mulai ditetapkan kadar dan jumlah dari setiap jenis
harta yang harus dikeluarkan zakatnya.3
Zakat merupakan salah satu ibadah kepada Allah SWT setelah manusia
dikarunia keberhasilan dalam bekerja dengan melimpahnya harta benda. Bagi orang
muslim, pelunasan harta semata-mata sebagai cermin kualitas imannya kepada Allah
SWT kepentingan zakat merupakan kewajiban agama seperti halnya sholat dan
menunaikan ibadah haji. Islam memandang bahwa harta benda kekayaan adalah
mutlak milik Allah SWT. sedangkan manusia dalam hal ini hanya sebatas pengurusan
dan pemanfaatannya saja. Harta adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan
pembelajarannya diakhirat nanti. Dengan demikian, setiap muslim yang kekayaannya
telah mencapai nisab dan hawl berkewajiban untuk mengeluarkan zakat baik zakat
fitrah maupun zakat mal.4
Yusuf Qardawi menyatakan bahwa zakat adalah kewajiban yang besifat
tetap dan terus menerus. Ia akan berjalan terus selama islam dan kaum muslimin ada
dimuka bumi ini, kewajiban tersebut tidak akan dapat dihapuskan oleh siapapun.
Seperti halnya shalat, zakat merupakan tiang agama dan pokok ajaran islam. Ia
merupakan ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT, karenanya memerlukan
keikhlasan ketika menunaikannya. Disamping sebagai ibadah yang mengandung
3
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jakarta: Cakrawala Publishing, Cet, ke-3, 2012, hlm. 57.
4
Muhammad, Zakat Profesi: Wacana Pemikiran dalam Fiqh Kontemporer, Jakarta:
Salemba Diniyah, 2002, hlm. 2.
3
berbagai hikmah yang sangat penting dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
umat.5
Ada banyak sekali usaha yang dilakukan oleh manusia untuk mendapatkan
kekayaan. Salah satunya adalah mencari penghasilan di laut, di Kelurahan Kamal
Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara, merupakan salah satu wilayah pesisir di
Kecamatan Penjaringan,ditinjau dari letak geografisnya yang berhadapan dengan
Laut Jawa menyebabkan Kelurahan Kamal Muara mempunyai potensi sumber daya
kelautan yang cukup besar untuk dapat dimanfaatkan masyarakat pesisir khususnya
nelayan. Di Kelurahan Kamal Muara, sebagian mata pencaharian penduduknya
adalah nelayan yang menangkap ikan dilaut kemudian hasilnya dijual. Ada dua
metode dalam pencarian nafkah dilaut diantaranya penangkapan ikan dengan
menggunakan perahu dan pertambakan kerang hijau yang hanya menggunakan alat
sederhana seperti tali dan bambu, yang mereka pasang di sekitar pinggir pantai Kamal
Muara.
Pertambakan di Kamal Muara hanya ada pertambakan kerang hijau, tidak
ada pertambakan ikan, dikarenakan lokasinya yang tidak memadai untuk
menjadikannya sebagai pertambakan ikan. Dari masing-masing pertambakan, nelayan
mempunyai beberapa ternak dalam pertambakan kerang hijau, dari penghasilan yang
didapat dari pertambkan sangat mencukupi kebutuhan mereka, bahkan bisa
membiayai anak-anak mereka sampai ke jenjang perkuliahan. Sedangkan nelayan
5
Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani, 2002, hlm.
57.
4
yang menggunakan perahu dalam pencarian ikan terdiri dari dua macam yaitu juragan
(pemilik perahu) dan nelayan buruh. Dengan adanya perbedaan tersebut, maka
pendapatan yang diperoleh pun berbeda-beda, pendapatan juragan jauh lebih banyak
jika dibandingkan dengan pendapatan nelayan buruh, karena juragan adalah selaku
pemilik modal, modal awal yang dibutuhkan untuk melaut didapatkan dari
perorangan dalam hal ini didapatkan dari juragan/pemilik kapal. Tetapi dalam
pembagian hasilnya, dibagikan sesuai dengan jumlah nelayan buruh, setelah dipotong
dengan awal modal.Sedangkan nelayan yang mempunyai pertambakan kerang hijau
mereka mempunyai anak buah untuk mengerjakan pertambakan tersebut.Kegiatan ini
mampu mendatangkan keuntungan bagi para nelayan.
Berdasarkan besarnya potensi laut dan didukung dengan pemanfaatan yang
maksimal oleh para nelayan, maka dapat dikatakan bahwa para nelayan mendapatkan
kesejahteraan yang cukup layak karena mereka menguasai laut yang berpotensi
besar,Para nelayan tidak setiap musim melaut.Biasanya jika musim barat 6 tiba para
nelayan tidak ada yang pergi melaut dikarenakan cuaca dilaut sangat buruk,
gelombang tinggi, badai dan angin kencang hampir setiap saat terjadi pada musim ini.
Musim barat biasanya dimanfaatkan oleh para nelayan untuk memperbaiki perahu,
mesin dan jaring jika ada yang rusak, dan akan digunakan lagi pada saat musim barat
telah usai. Pada saat melaut biasanya satu perahu diisi kurang lebih 3 sampai 5 orang
6
Musim barat yakni musim yang dipengaruhi oleh angin barat, artinya angijn yang bertiup
dari arah barat, dan arus selatan, artinya arus yang menerjang arah selatan yang mengakibatkan perahu
nelayan sulit berlayar.
5
dengan lama perjalanan 7-15 hari atau sedikitnya para nelayan melaut dua kali dalam
satu bulan, dan ada juga nelayan yang setiap harinya pulang. Penghasilan yang
didapat tidak menentu, kadang bisa mencapai puluhan juta rupiah, kadang juga hanya
ratusan ribu rupiah dan bahkan bisa juga tidak mendapatkan hasil sama sekali.
Disamping itu mayoritas penduduk Kelurahan Kamal, Kecamatan Penjaringan
adalah muslim, bagi seorang muslim suatu kewajiban baginya untuk menunaikan
perintah agama yaitu membayar zakat hasil penangkapan ikan dilaut, setelah ia
mendapatkan keberhasilan dalam usahanya dengan melimpahkan harta benda. dengan
pendapatan yang demikian selama ini para nelayan disana belum mengeluarkan zakat
pendapatan nelayan, dikarenakan kurangnya pemahaman dan informasi mengenai
zakat pendapatan itu sendiri.
Pemahaman para nelayan di Kelurahan Kamal Muara tentang zakat hanya
seputar zakat fitrah dan zakat mal yang sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat al
Qu’randan hadits Nabi, yaitu meliputi pertanian, peternakan, perdagangan, emas dan
perak, dan harta rikazatau harta terpendam. Padahal dengan menggunakan metode
analogy (qiyas) zakat tidak hanya pada harta yang telah disebutkan diatas saja, akan
tetapi terdapat pula sumber-sumber zakat baru yang sesuai dengan perekonomian
modern saat ini, sumber zakat tersebut adalah zakat profesi, zakat perusahaan, zakat
surat-surat berharga (saham dan obligasi), zakat perdagangan mata uang, zakat hewan
ternak yang diperdagangkan, zakat madu dan produksi hewan, zakat investasi
properti (pabrik, gedung dan yang sejenisnya), zakat asuransi syari’ah, zakat tanaman
6
anggrek, ikan hias, sarang burung wallet, dan sektor modern lainnya yang sejenis, dan
zakat sektor rumah tangga modern.7
Akibat dari kurangnya pemahaman mengenai persoalan tersebut dan zakat
pendapatan tidak disebutkan dalam al Qur’an dan hadits secara langsung
sebagaimana zakat-zakat diatas, maka masyarakat Kamal Muara menganggap bahwa
tidak ada zakat untuk penghasilan/pendapatan yang telah diperoleh dari
pekerjaan/profesi mereka (nelayan). Akan tetapi, jika seseorang nelayan memperoleh
pendapatan yang cukup banyak atau lebih dari biasanya, maka nelayan tersebut akan
membagikan uang atau ikan hasil tangkapannya kepada kerabat dan para tetangga
mereka yang kurang mampu. Namun perlu diingat bahwa pembagian tersebut bukan
dimaksudkan untuk menunaikan zakat tetapi hanya untuk sadaqah.
Dari kedua macam pendapatan diatas, apakah pendapatan-pendapatan
tersebut dapat digolongkan sebagai pendapatan yang berpotensi zakat atau tidak.
Apabila pendapatan-pendapatan tersebut tergolong pendapatan yang berpotensi zakat,
maka bagaimanakah cara penghitungannya karena ada syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh seorang muslim untuk menunaikan kewajiban membayar zakat agar
sesuai dengan ketentuan hukum Islam.
Sehubungan dengan latar belakang diatas, penulis tertarik mengkaji masalah
tersebut.Penulis berpendapat bahwa kasus tersebut layak untuk diteliti dan dikaji
7
Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern (Jakarta: Gema Insani Press,
2002), hlm.93-123.
7
lebih lanjut. Dalam hal ini penulis mencoba menyusun sebagai karya skripsi penulis
dengan judul: “ZAKAT HASIL TANGKAPANLAUT di Kel. Kamal Muara Kec.
Penjaringan Jakarta Utara”.
B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar pembahasan skripsi ini tidak melebar dari yang diinginkan, maka penulis
membatasi fokus pembahasan masalah hanya sebatas bagaimanacara pengeluaran zakat
hasil tangkapan ikan laut pada masyarakat di Kel.Kamal muara Kec.penjaringan.
Dari pembatasan masalah diatas, dan kemudian supaya pembahasan lebih
terfokus sesuai dengan judul skripsi yang penuliskemukakan, maka dapat di rumuskan
masalahnyasebagai berikut:
1. Apakah pendapatan nelayan di Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan
dapat digolongkan sebagai pendapatan yang berpotensi zakat?
2. Apabila pendapatan nelayan tersebut dapat digolongkan sebagai pendapatan
berpotensi zakat, maka bagaimanakah cara penghitungan zakatnya?
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini terangkum beberapa tujuan diantaranya:
1. Untuk mengetahui pendapatan nelayan di Kelurahan Kamal Muara Kecamatan
Penjaringan yang dapat digolongkan sebagai pendapatan yang berpotensi zakat.
2. Memperoleh gambaran atau deskripsi mengenai bagaimana cara perhitungan
zakatnya.
3. Untuk tercapainya pemberdayaan zakat secara benar.
8
Adapun manfaat penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk memenuhi perbendaharaan isi perpustakaan fakultas Syari’ah dan Hukum
dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bagi kalangan akademisi dan masyarakat umum, penelitian ini diharapkan dapat
memberiskan kontribusi besar keilmuan bagi yang berminat untuk mengkaji
aspek-aspek yang berhubungan dengan dinamika perkembangan hukum Islam di
Indonesia.
3. Sebagai
informasi
sekaligus
menambah
pengetahuan
tentang kewajiban
melaksanakan zakat pendapatan nelayan bagi para nelayan pada umumnya dan
khususnya bagi para nelayan di Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan
Jakarta Utara.
D.
Review Studi Terdahulu
Untuk menghindari penelitian dengan objek yang sama, maka diperlukan
kajian terdahulu. Berdasarkan pengamatan dan pengkajian yang telah dilakukan
terhadap beberapa sumber kepustakaan terkait dengan permasalahan yang dibahas
dalam penulisan skripsi ini, penulis telah membaca skripsi, baik dari Fakultas
Syari’ah dan Hukum, maupun Fakultas lain, bahkan Universitas lain yang terkait
dengan permasalahan yang akan dibahas, namun karakteristiknya berbeda-beda.
Adapun beberapa karya yang mempunyai korelasi dengan permasalahan yang akan
diangkat oleh penulis antara lain sebagai berikut:
Deni Jazuli, dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2005), pada tulisannya
yang berjudul “Pembagian Hasil Nelayan di Desa Weru Kecamatan Paciran
9
Kabupaten Lamongan Jawa Timur Ditinjau dari Hukum Islam”. Pembahasan dalam
penelitian ini tentang bagaimana kerjasama bagi hasil penangkapan ikan di Desa
Weru yang berdasarkan adat istiadat yang berlangsung di sana. Selanjutnya juga
dijelaskan mengenai cara-cara bagi hasil penangkapan ikan di desa Weru yang
menurut Hukum Islam telah sesuai dengan syari’at islam.
Muhammad Ali, dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2003) pada
tulisannya yang berjudul “Praktek Jual Beli Hasil Laut Antara bakul dan Nelayan di
Desa Gebang Mekar Kecamatan Babakan Kabupaten Cirebon. Tulisan ini
memfokuskan bagaimana terajadinya praktek jual beli hasil laut antara bakul dan
nelayan, kemudian dijelaskan pula dalam hal transaksi di anatara mereka dan
bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap praktek tersebut.
Sri Wahyuni, dari UIN Sunan Kalijaga (2006), “Etos Kerja Nelayan di
Desa Torjek Kecamatan Kangayan Kabupaten Sumenep”.Tulisan ini membahas
tentang pandangan nelayan terhadap pekerjaannya, nelayan di Desa Torjek memiliki
pandangan bahwa kerja merupakan suatu keharusan dan kewajiban bagi setiap
manusia untuk memenuhi kebutuhannya, kemudian mengenai perilaku nelayan dalam
bekerja dilihat dari sikap kerjanya, ketekunan dalam bekerja, efisiensi kerjanya dan
pemanfaatan hasilnya. Sedangkan yang membedakan dari penelitian ini membahas
tentang zakat hasil tangkapan ikan laut, jika pendapatannya mencapai nishab maka
wajib mengeluarkan zakat sesuai ketentuan syari’ah berdasarkan analogi qiyas.
Dengan demikian sangat jelas terlihat beda antara penelitian yang penulis susun
dengan penelitian-penelitian tersebut di atas.
10
E.
Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kualitatif dengan
menggunakan instrumen penelitian lapangan (field research), dan penelitian
kepustakaan yang didasarkan pada suatu pembahasan dengan menggunakan metode
studi kepustakaan (library research), yaitu suatu metode yang dilakukan dengan
mengumpulkan data-data dan bahan-bahan penelitian melalui studi kepustakaan yang
diperoleh melalui kajian undang-undang dan peraturan-peraturan yang ada
dibawahnya serta bahan-bahan yang lainnya yang berhubungan dengan data-data
penelitian.8
Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif, yakni penulis berusaha menyajikan fakta-fakta yang objektif sesuai dengan
kondisi dan situasi yang sebenarnya terjadi pada saat penelitian dilakukan.9
2. Sumber Data
a. Primer, adapun data primer berasal dari study kepustakaan, seperti: kitab-kitab
Fiqh, seperti: Kitab Zakat karangan Yusuf Qardhawi, Wahbah al-Zuhayly, kitabkitab hadits seperti Shahih al-Bukhari.
b. Sekunder yaitu didapat dari buku-buku yang berkaitan dengan tema dalam skripsi
ini.
8
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2006).
9
200.
Sugiono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, (Bandung: Alfabeta, 2004), hlm.
11
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, penulis menggunakan
beberapa teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Teknik observasi adalah suatu cara mengumpulkan data dengan pengamatan dan
pencatatan terhadap fenomena-fenomena yang diteliti. 10 Tujuan pengamatan ini
adalah untuk memperoleh data sebagaimana mestinya.
b. Teknik interview atau wawancara adalah metode pengumpulan data dengan
menggunakan tanya jawab langsung, yang dikerjakan secara sistematik dan
dilandaskan pada tujuan penelitian. 11 Interview yang digunakan adalah bebas
terpimpin, artinya dilakukan dengan kerangka-kerangka pertanyaan baru yang
berhubungan dengan permasalahan.Metode ini digunakan dalam melaksanakan
wawancara dengan para nelayan di kelurahan Kamal Muara seputar pelaksanaan
zakat hasil laut yang mereka praktekkan.
4. Teknik Penulisan Skripsi
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2012”.
F.
Sistematika Penulisan
Dalam skripsi ini penulis membagi pembahasan ke dalam (5) lima Bab,
dimana masing-masing bab mempunyai sub bahasan, hal ini dimaksudkan untuk
10
Sutrisno Hadi, Metode Rised, Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1987, hlm. 62.
11
Sutrisno Hadi, Metode Rised, Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1987, hlm.. 193.
12
memberikan penekanan pembahasan mengenai topik-topik tertentu dalam penulisan
skripsi ini sehingga mendapatkan gambaran dan penjelasan yang utuh. Lebih
jelasnya, gambaran sistematika pembahasan penulisan skripsi ini sebagai berikut:
BAB I
Merupakan pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II
Menguraikan kewajiban zakat secara umum yang terdiri dari
pengertian, dan dasar hukum zakat,macam-macam zakat, harta yang
wajib dizakati, orang-orang yang berhak menerima zakat, serta tujuan
dan hikmah zakat.
BAB III
Dideskripsikan tentang gambaran umum wilayah yang dijadikan
tempat penelitian, yang bertujuan untuk mengetahui keadaan
masyarakat di daerah tersebut, juga akan diuraikan mengenai letak
geografisnya agar dapat diketahui dengan jelas letak daerah tersebut,
kemudian akan diuraikan pula mengenai pendapatan nelayan di
Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara.
BAB IV
Adalah bagian yang berisi analisa dari data-data yang telah diperoleh
sebagaimana diuraikan dalam bab tiga yaitu mengenai pendapatan
nelayan di Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta
Utara.
BAB V
Merupakan kesimpulan penutup yang terdiri atas kesimpulan
penelitian ini, saran-saran dan penutup.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ZAKAT
A.
Definisi dan Dasar Hukum Zakat
1. Definisi Zakat
Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat mempunyai beberapa arti, yaitu albarakatu “keberkahan”, al-namaa, “pertumbuhan dan perkembangan”, al-Taharah,
“kesucian”, dan al-Salah, “keberesan”.1 Menurut terminologi istilah zakat adalah
nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu pula yang
diwajibkan oleh Allah SWT. untuk dikeluarkan dan diberikan kepada orang-orang
yang berhak menerimanya.2
Zakat menurut syara‟, Al-Mawardi dalam kitab Al-Hawi berkata:
‫الزكا ة اسن صزيح ألخذ شي ء هخصىص هي ها ل هخصىص على أوصاف‬
3
‫هخصىصة لطا ئفة هخصىصة‬
Artinya:“Zakat itu nama bagi pengambilan tertentu dari harta yang tertentu,
menurut sifat-sifat yang tertentu untuk diberikan kepada golongan yang
tertentu.”
Kata zakat merupakan kata dasar dari zaka memiliki beberapa arti, yaitu
berkembang, bertumbuh, dan bertambah.4 Menurut lisan al Arab, kata zaka
1
Majma Lughah al-Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasith, (Mesir: daar al-Ma‟arif,
1972) Juz I,
hlm.396.
2
Muhammad, Zakat Profesi: Wacana Pemikiran dalam Fiqh Kontemporer, (Jakarta:
Salemba Diniyah, 2002), hlm. 10.
3
Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Hubaid, Al-Bishri, Al-Baghdadi, Cet.1 Juz 3, 1984,
hlm. 71.
13
14
mengandung arti suci, tumbuh, berkah, dan terpuji. Zakat menurut istilah fiqh adalah
sejumlah harta tertentu yang harus diserahkan kepada orang-orang yang berhak
menurut syari‟at Allah SWT.5 Sedangkan secara istilah, meskipun
para ulama
mengemukakannya dengan redaksi yang agak berbeda antara satu dan lainnya, akan
tetapi pada prinsipnya sama, yaitu bahwa zakat adalah bagian dari harta dengan
persyaratan tertentu, yang Allah SWT mewajibkan kepada pemiliknya, untuk
diserahkan kepada yang berhak menerimanya, dengan persyaratan tertentu pula.
Hubungan antara pengertian zakat menurut bahasa dengan pengertian menurut istilah
sangat nyata dan erat sekali, yaitu bahwa setiap harta yang dikeluarkan zakatnya akan
menjadi berkah, tumbuh, bertambah, suci dan beres (baik).
Adapun definisi zakat yang telah dikemukakan oleh beberapa ulama,
diantaranya: Ulama‟ Madzhab Maliki mendefinisikan dengan “mengeluarkan
sebagian yang khusus pula yang telah mencapai nishab (batas kuantitas yang
mewajibkan zakat) kepadaorang yang berhak menerimanya (mustahiqq)-nya.”
Dengan catatan, kepemilikan itu penuh dan mencapai hawl(setahun), bukan barang
tambang dan bukan pertanian.6
Ulama‟ Madzhab Hanafi mendefinisikannya dengan “pemilikan bagian
tertentu dari harta tertentu yang dimiliki seseorang berdasarkan ketetapan Allah
4
Ahmad Warso Munawar, Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997), hlm. 577.
5
Mursyidi, Akutansi Zakat Kontemporer, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2003), hlm. 75
6
Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
1995), cet. Ke-6 hlm. 83.
15
Ta‟ala.” Definisi inipun hanya untuk zakat harta karena pengertian “harta tertentu”
dimaksudkan sebagai harta yang telah mencapai nisab. Ulama‟ Madzhab Syafi‟i
mendifinisikan dengan “sesuatu yang dikeluarkan dari harta/jiwa dengan cara
tertentu.” Dalam definisi ini secara jelas ditunjukkan bahwa zakat yang mereka
maksudkan adalah zakat harta dan zakat fitrah. Ulama‟ Madzhab Hambali
mendefinisikan dengan “hak wajib pada harta tertentu bagi (merupakan hak)
kelompok orang tertentu pada waktu yang tertentu pula.” Definisi inipun hanya
menyangkut harta saja.7
Dari definisi diatas jelaslah bahwa zakat menurut terminologi fuqoha,
dimaksudkan sebagai penunaian, yakni penunaian hak yang wajib yang terdapat
dalam harta.8 Zakat merupakan salah satu sendi agama Islam yang menyangkut harta
benda dan bertujuan kemasyarakatan. Sedangkan zakat dalam undang-undang
Republik Indonesia nomor 38 pasal 1 ayat 2 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat
diformulasikan sebagai harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan
yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan
kepada yang berhak menerimanya.9 Menurut Quraisy Shihab yang perlu diperhatikan
bahwa zakat adalah satu ketetapan Tuhan menyangkut harta, bahkan saadaqah dan
infaqpun demikian. Karena Allah menjadikan harta benda sebagai sarana kehidupan
7
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid 6 Cet I, (Jakarta: Ichtiar Baru van
Hove Ichtiar, 1996)
8
Muhammad, Zakat Profesi: Wacana Pemikiran dalam Fiqh Kontemporer, (Jakarta:
Salemba Diniyah, 2002), hlm. 10.
9
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat.
16
untuk umat manusia seluruhnya maka harta harus diarahkan guna kepentingan
bersama.10
Berdasarkan pendapat dan ketentuan diatas, zakat merupakan perintah Tuhan
untuk menciptakan kesejahteraan umat manusia dan pemerataan ekonomi. Penulis
memahami zakat sebagai sarana ibadah sosial, disitu dapat diambil pengertian bahwa
zakat yang berarti kemurnian dan kebersihan. Islam menggunakan makna itu untuk
menyebut tindakan menyisihkan sebagian kekayaan untuk diberikan kepada orangorang yang memerlukan termasuk untuk membiayai kebutuhan umat. Hal tersebut
amatlah penting karena pada dasarnya di dalam harta benda yang kita miliki itu ada
hak orang Islam. Dengan diberikan kepada orang yang berhak menerimanya itu,
kekayaan tersebut menjadi bersih.
2. Dasar Hukum Zakat
Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang lima. Zakat juga merupakan
salah satu kewajiban yang ada didalamnya.11 Hukum mengeluarkan zakat adalah
fardhu „ain. Zakat telah di wajibkan di Madinah, pada bulan Syawal tahun kedua
Hijriah, yaitu setelah kepada umat Islam diwajibkan berpuasa Ramadhan.12 Tetapi,
zakat tidak diwajibkan atas para nabi, pendapat yang terakhir ini disepakati para
ulama karena zakat dimaksudkan sebagai penyucian untuk orang-orang yang berdosa
10
M. Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 23.
11
Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
1995), cet. Ke-6 hlm. 89.
12
Zurinal Z dan Aminuddin, Fiqh Ibadah, (Jakarta: Lemabaga Penelitian UIN), hlm. 159.
17
sedangkan para nabi terbebas dari hal demikian.Lagi pula, mereka mengemban titipan
Allah; disamping itu mereka tidak memiliki harta, dan tidak diwarisi.13
Zakat dalam Al-Qura‟an disebut sebanyak 82 kali.14Adapun mengenai dasar
hukum banyak termaktub didalam Al-Quran‟an, Sunnah, dan Ijma‟/kesepakatan
ulama.15
a. Al-Qur’an
1) Surat Al-Baqarah: 43
       
  
Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta
orang-orang yang ruku. (QS. Al-Baqarah: 43)
Wajhu Dalalah:
Lafadz ‫ أَقِيْوُىالصَلَىة‬merupakan perintah (amr) yang bermakna wajib,
maka dari itu, dalam hal ini tidak ada perbedaan dikalangan para ulama
terhadap kewajibannya sholat.
Lafadz “َ‫ ” َوءَاتُىالزَكَىة‬juga bermakna perintah yang bermakna wajib,
yang juga mempunyai arti menyerapkan dan memberi.16
13
Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
1995), cet. Ke-6 hlm. 89.
14
Mohd. Salleh Hj. Din, Zakat dan Wirausaha, (Jakarta: CED, 2005), cet. Ke-1, hlm. 7.
15
Zakiah Daradjat, Zakat Pembersih Harta dan Jiwa, (Jakarta: YPI RUHAMA, 1993),cet ke-
4, hlm. 9.
16
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Gholib, Tafsir At-Thobri, (Beirut: Daarul
Fikr) hlm. 342.
18
Lafadz“‫”وَارْكَعُىهَعَ الزَكِعِيْي‬ulama berbeda pendapat dalam mengartikan
kalimat perintah, dalam ayat ini ada yang mengatakan bahwa makna kalimat
perintah dalam ayat ini adalah sunnah dan ada yang mengatakan bahwa kalimat
perintah ini adalah wajib. Ulama yang mengatakan ayat ini bermakna sunnah
maka berpendapat bahwa sholat berjama‟ah itu sunnah tidak wajib, dan adapun
ulama yang mengatakan kalimat perintah dalam ayat ini wajib, maka ulama itu
berpendapat bahwa sholat jama‟ah itu wajib.17
b. As-Sunnah
Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin
Umar Rasulullah bersabda:
،‫ واقام الصالة‬،‫االسالم على خوس شهادة أى ال اله االاهلل وأى هحوذا رسىل ااهلل‬
18
.‫ وصىم رهضاى‬،‫ والحخ‬،‫وايتاءالزكاة‬
Artinya: “Islam itu ditegakkan atas lima pilar: syahadat yang menegaskan
bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah,
mendirikan shalat, membayar zakat, menunaikan haji dan berpuasa
pada bulan ramadlan” (HR. Bukhari Muslim)
c. Ijma’ Ulama’
Adapun dalil berupa ijma‟ ialah adanya kesepakatan semua (ulama)
umat islam di semua negara kesepakatan bahwa zakat adalah wajib. Bahkan para
sahabat Nabi SAW. sepakat untuk membunuh orang-orang yang enggan
mengeluarkan zakat. Dengan demikian barang siapa mengingkari kefardhuannya,
17
Abul Fada‟ Ismail bin Umar bin Katsir bin Al Qursy Ad Damsyiqi Tafsir Ibnu Katsier,
(Beirut, Daarul Fikr) hlm.109.
18
Imam Al Bukhari, Shahih Al Bukhari, Kitab al- Iman, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), I:10.
Hadits riwayat Bukhari dari Ibnu Umar.
19
berarti dia kafir atau jika sebelumnya dia merupakan seorang Muslim yang
dibesarkan di daerah Muslim, menurut kalangan para ulama murtad. Kepadanya
diterapkan hukum-hukum orang murtad. Seseorang hendaknya menganjurkannya
untuk bertobat. Anjuran itu dilakukan sebanyak tiga kali.Jika dia tidak mau
bertobat, mereka harus dibunuh. Barang siapa mengingkari kefardhuan zakat
karena tidak tahu, baik karena baru memeluk Islam maupun karena dia hidup di
daerah yang jauh dari tempat ulama, hendaknya dia beritahu tentang hukumnya.
Dia tidak dihukumi sebagai orang kafir sebab dia memiliki uzur.19
B.
Syarat Wajib dan Rukun Zakat dalam Islam
Berbicara masalah zakat, maka perlu dibagi tentang syarat wajib zakat
(muzakki) yaitu orang yang berdasarkan ketentuan hukum Islam diwajibkan
mengeluarkan zakat atas harta yang dimilikinya dan rukun zakat.Menurut
kesepakatan ulama, syarat wajib zakat adalah merdeka, Islam, baligh, berakal,
memiliki harta kekayaan dengan persyaratan tertentu. Untuk lebih jelasnya penulis
akan uraikan dibawah ini:
1. Syarat Wajib Zakat
a. Islam
Menurut ijma‟ zakat tidak wajib bagi orang kafir karena zakat merupakan
ibadah mahdhah yang suci sedangkan orang kafir bukan orang yang suci.20 Hal ini
19
Wahbah Al-Zuhaily, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
1995), cet. Ke-6, hlm. 90.
20
Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1995), cet. Ke-6, hlm.99.
20
sejalan dengan sabda Rasulullah SAW yang disampaikan kepada Muaz bin Jabal
ketika diutus ke Yaman menjadi Kadi bahwasanya Rasul bersabda: “jika engkau
berhadapan dengan ahlul kitab maka tindakan pertama adalah menyeru mereka
agar bersyahadat. Jika mereka menyambut seruan itu, maka mereka bahwa Allah
mewajibkan sholat lima kali sehari semalam, mewajibkan berzakat yang diambil
dari harta orang-orang kaya dan diserahkan kepada fakir miskin.” Jadi jelaslah
bahwa yang wajib dikenai zakat adalah orang kaya muslim.21
b. Merdeka
Menurut ijma‟ para ahli fiqih, zakat tidak diwajibkan atas hamba sahaya
karena secara hukum mereka tidak mempunyai hak milik, tidak memiliki harta.22
Begitu pula budak mukatab (budak yang dijanjikan kemerdekaannya) tidak wajib
mengeluarkan karena kendatipun dia memiliki harta, hartanya tidak dimiliki secara
penuh.23 Madzhab maliki berpendapat bahwa tidak ada kewajiban zakat pada harta
milik seorang hamba sahaya baik atas nama hamba sahaya itu sendiri maupun atas
nama tuannya karena harta milik hamba sahaya tidak sempurna (naqish), padahal
zakat pada hakikatnya hanya diwajibkan pada harta yang dimiliki secara penuh.24
c. Baligh dan berakal
21
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, 1987.
22
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam,1987.
23
24
Ally As‟ad, Fathul Muin jilid 2, (Kudus: Menara Kudus), hlm. 2.
Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
1995),cet. Ke-6 hlm.99.
21
Syari‟at ini dikemukakan oleh madzhab Hanafi. Oleh sebab itu, anak
kecil dan orang gila tidak dikenai kewajiban zakat. Karena keduanya tidak
termasuk dalam ketentuan orang yang wajib mengerjakan ibadah seperti sholat dan
puasa. Akan tetapi, jumhur ulama fiqh tidak menerima syarat ini dengan
berpendirian bahwa apabila anak kecil atau orang gila memiliki harta satu nishab
atau lebih maka wajib dikeluarkan zakatnya dengan alasan bahwa Al Qur‟an
maupun hadits tidak membedakan apakah pemiliknya baligh dan berakal atau
tidak.25
Menurut para ahli hukum Islam, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi
agar kewajiban zakat dapat dibebankan pada harta yang dipunyai oleh seorang
muslim. Syarat-syarat itu adalah:26
a.
Pemilikan yang pasti. Artinya sepenuhnya berada dalam kekuasaan yang
punya, baik kekuasaan pemanfaatan maupun kekuasaan menikmati hasilnya.
b.
Berkembang. Artinya harta itu berkembang, baik secara alami berdasarkan
sunnatullah maupun bettambah karena ikhtiar atau usaha manusia.
c.
Melebihi kebutuhan pokok. Artinya harta yang dipunyai oleh seseorang itu
melebihi kebutuhan pokok yang diperlukan oleh diri dan keluarganya untuk
hidup wajar sebagai manusia.
25
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam,1988.
26
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat Dan Wakaf
Indonesia UI-Press, 1988), cet. Ke-1, hlm. 41.
(Jakarta:Universitas
22
d.
Bersih dari hutang. Artinya harta yang dipunyai oleh seseorang itu bersih dari
hutang, baik hutang kepada Allah (nazar, wasiat) maupun hutang kepada
sesama manusia.
e.
Mencapai nishab. Artinya mencapai jumlah minimal yang wajib dikeluarkan
zakatnya.
f.
Mencapai hawl. Artinya harus mencapai waktu tertentu pengeluaran zakat,
biasanya dua belas bulan atau setiap kali menuai atau panen.
Ada 2 kelompok benda zakat yaitu zakat modal dan zakat pendapatan,
persyaratan “berlaku satu tahun” hanya diterapkan pada zakat modal, misalnya
ternak, uang dan harta benda dagang. Sedangkan pada zakat pendapatan,
persyaratan “berlaku satu tahun” tidak diberlakukan, karena zakat yang
dikeluarkannya adalah pada saat pendapatan diterima.27
2. Rukun Zakat
Rukun zakat ialah mengeluarkan sebagian dari nishab (harta), dengan
melepaskan kepemilikan terhadapnya, menjadikannya sebagai milik orang fakir, dan
menyerahkannya kepadanya, atau harta tersebut diserahkan kepada wakilnya; yakni
imam atau orang yang bertugas untuk memungut zakat.28
27
Yusuf al-Qardhawi, Fiqh Az-Zakah, hlm. 161.
28
Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
1995), cet. Ke-6, hlm.97-98.
23
3. Macam-Macam Zakat
Zakat terdiri dari dua macam yakni:
1. Zakat mal atau zakat harta adalah bagian dari harta kekayaan seseorang (juga
badan hukum) yang wajib dikeluarkan untuk golongan orang-orang tertrentu
setelah dipunyai selama jangka waktu tertentu dalam jumlah minimal tertentu.
2. Zakat Fitrah adalah zakat pengeluaran wajib dilakukan oleh setiap Muslim yang
mempunyai kelebihan dari keperluan keluarga yang wajar pada malam dan hari
raya Idulfitri.29
4. Orang-Orang yang Berhak Menerima Zakat (Mustahiq Zakat)
Para ulama madzhab sependapat bahwa golongan yang berhak menerima
zakat itu ada delapan, dari semuanya sudah disebutkan dalam al-Qur‟an Surat atTaubah (9) ayat 60, seperti berikut:
    
      
              
   
Artinya:“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang
dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah (9): 60)
29
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat Dan Wakaf, (Jakarta:Universitas
Indonesia UI-Press, 1998), cet. Ke-1, hlm. 42.
24
Berdasarkan ayat diatas dapat kita ketahui golongan penerima zakat yaitu:
1. Fakir
Menurut pandangan mayoritas (jumhur) ulama fikih, fakir adalah orang yang
tidak memiliki harta dan penghasilan yang halal, atau yang mempunyai harta yang
kurang dari nishab zakat dan kondisinya lebih buruk dari pada orang miskin.30 Oleh
karena itu fakir menjadi prioritas utama dalam menyalurkan dana zakat.
2. Miskin
Miskin adalah orang yang memiliki mata pencaharian tetap, tetapi
penghasilannya belum cukup untuk keperluan minimal bagi kebutuhan diri dan
keluarganya.31 Miskin menurut mayoritas (jumhur) ulama adalah orang yang tidak
memiliki harta dan tidak mempunyai pencarian yang layak untuk memenuhi
kebutuhannya.32
Secara umum pengertian yang dipaparkan oleh para ulama mazhab untuk
fakir dan miskin tidak jauh dari indikator ketidakmampuan secara materi untuk
memenuhi kebutuhannya, atau indikator (kemampuannya) mencari nafkah (usaha),
dimana dalam hasil usaha tersebut belum bisa memenuhi kebutuhannya. Dengan
demikian, indikator umum yang ditekankan para imam mazhab adalah:33
30
Hikmat Kurnia, Ade Hidayat, Panduan Pintar Zakat (Jakarta: Qultum Media, 2008), hlm.
140.
31
Al-Furqon Hasbi, 125 Masalah Zakat (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2008), hlm.
155.
32
Hikmat Kurnia, Ade Hidayat, Panduan Pintar Zakat, hlm. 141.
33
M. Arief Mufraini, Akutansi dan Manajemen Zakat: Mengomunikasikan Kesadaran dan
Membangun Jaringan (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 183.
25
a. Ketidakmapuan pemenuhan kebutuhan materi.
b. Ketidakmampuan dalam mencari nafkah.
3. Amil
Para pemungut zakat atau amilin adalah orang yang ditugaskan oleh imam
kepala pemerintah atau wakilnya untuk mengumpulkan zakat. Dengan demikian
mereka adalah pemungut-pemungut zakat, termasuk para penyimpan, pengembalapengembala ternak, dan yang mengurus administrasinya.34
Oleh karena itu, amil zakat berhak mendapat bagian dari kuota amil yang
diberikan oleh pihak mengangkat mereka dengan catatan bagian tersebut tidak
melebihi dari upah yang pantas. Supaya total gaji para amil dan biaya administrasi itu
tidak lebih dari seperdelapan zakat.35 Sehingga mustahik yang lain akan tetap
mendapat bagian dari dana zakat sesuai dengan porsinya.
4. Muallaf
Muallaf adalah orang yang sudah masuk Islam tetapi keislamannya masih
lemah maka ia diberi zakat agar imannya semakin kuat. Jadi tujuan pemberian zakat
terhadapnya adalah untuk melunakkan hatinyaagar tetap dalam Islam. Pada mulanya
golongan ini terdiri dari orang-orang kafir Quraisy yang turut serta pada perang
Hunain dan kepada mereka diberikan berbagai macam sedekah oleh Rasulullah
SAW.terutama sekali harta rampasan, bahkan kadang-kadang bagian mereka lebih
34
Al-Furqon Hasbi, 125 Masalah Zakat (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2008),hlm.
163.
35
Hikmat Kurnia, Ade Hidayat, Panduan Pintar Zakat, hlm. 143.
26
besar dari bagian orang Islam sendiri. Gunanya ialah untuk membujuk dan
menjinakkan hati mereka, agar mereka berniat masuk agama Islam.
Sebagian ulama berpendapat, bahwa muallaf itu sendiri dari kaum Yahudi
dan Nasrani yang telah memeluk Islam.Sebagiannya pula berpendapat, terdiri dari
kepala-kepala orang-orang musyrik yang mempunyai pengaruh dan pengikut yang
banyak.Kepada mereka diberikan zakat, agar mereka memeluk Islam, dan dengan itu
ikut serta pula pengikut mereka yang banyak itu. Rasulullah SAW. pernah
memberikan harta yang banyak kepada mereka seperti Abu Sufyan bin Harb, Haris
bin Hisyam, Suhail bin Amru, Huwaitib bin Abdul Uzza, masing-masingnya
mendapat 100 ekor unta.
Apakah golongan muallaf itu masih didapati sampai akhir zaman? Umar bin
Khattab, Hasan, Sya‟bi berkata, sudah habis masa muallaf itu, karena Islam telah
menjadi kuat. Demikian pendapat yang kuat dalam mazhab Malik dan ahli
rakyu.Menurut keterangan sebagian ulama dari kalangan Hanafiah, para sahabat telah
ijmak mengatakan sebagaimana yang dikatakan Umar itu.Berkata jumhur ulama,
bagian mereka tetap ada, karena kadang-kadang imam merasa perlu untuk membujuk
mereka ke dalam Islam, seperti biaya dan perbelanjaan dakwah Islam yang amat
diperlukan, istimewa pada masa sekarang ini.
Kalau kita perhatikan alasan Umar yang menghentikan bagian golongan
muallaf itu karena katanya Islam itu telah kuat, maka dengan alasannya itu juga, jika
27
Islam itu masih lemah atau telah lemah, tentu bagian mereka itu akan diperoleh
kembali, karena umat perlu akan yang demikian itu.36
5. Riqab
Riqab adalah pembebasan budak dan usaha menghilangkan segala bentuk
perbudakan.37 Dalam kajian fikih klasik yang dimaksud dengan para budak, dalam
hal ini jumhur ulama, adalah perjanjian seorang muslim (budak belian) untuk bekerja
dan mengabdi kepada majikannya, dimana pengabdian tersebut dapat dibebaskan bila
si budak belian memenuhi kewajiban pembayaran sejumlah uang, namun si budak
belian tersebut tidak memiliki kecukupan materi untuk membayar tebusan atas
dirinya tersebut. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk memberikan zakat kepada
orang itu agar dapat memerdekakan diri mereka sendiri.38
Menurut Mawardi dalam kitabnya Ahkam Al-Sulthaniyah yang telah
ditafsirkan, melihat kondisi sekarang ini tidak terdapatnya lagi budak-budak yang
mesti dimerdekakan, karena perbudakan itu telah dihapuskan, tentulah untuk
sementara bagiannya itu ditiadakan, tapi tidak berarti dihapuskan sama sekali. Karena
andaikata perbudakan itu timbul pula kembali, maka dengan sendirinya bagian itu
akan ada pula.39
36
Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. Ke-1,hlm. 494-495.
37
Peraturan Gubernur Provinsi daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 51 Tahun 2006,
pasal 1, Ayat 24.
38
M. Arief Mufraini, Akutansi dan Manajemen Zakat:(Mengomunikasikan Kesadaran dan
Membangun Jaringan), hlm. 200.
39
Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam,(Jakarta: Kencana, 2006), cet. Ke-1,hlm. 495-496.
28
Mengingat golongan ini sekarang tidak ada lagi, maka kuota zakat mereka
dialihkan ke golongan mustahiq lain menurut pendapat mayoritas ulama fikih
(jumhur). Namun sebagian ulama berpendapat bahwa golongan ini masih ada, yaitu
para tentara muslim yang menjadi tawanan.
6. Gharimin
Gharimin adalah orang-orang yang mempunyai hutang dan sulit untuk
membayarnya.40 Orang yang berhutang berhak menerima bagian zakat golongan ini
adalah:
Orang yang berhutang untuk kepentingan pribadi yang tidak bisa
dihindarkan, dengan syarat-syarat sebagai berikut:41
a. Utang itu tidak timbul karena kemaksiatan.
b. Utang itu melilit pelakunya.
c. Sudah tidak sanggup lagi melunasi utangnya.
d. Utang itu sudah jatuh tempo, atau sudah harus dilunasi ketika zakat itu diberikan
kepada orang yang berhutang.
Untuk konteks kemaslahatan, tegas masdar perlu definisi kekinian atas
konteks gharim yaitu tidak hanya dinisbahkan pada hutang perorangan atau kepailitan
40
Al-Furqon Hasbi, 125 Masalah Zakat(Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2008), hlm.
179.
41
Hikmat Kurnia, Ade Hidayat, Panduan Pintar Zakat Jakarta: (Qultum Media, 2008), hlm.
147.
29
perorangan, namun juga lembaga-lembaga Islam yang karena manajemennya tidak
begitu baik jatuh pailit atau berhutang.42
7. Sabilillah
Sabil artinya ialah jalan.43Sabilillah adalah usaha dan kegiatan perorangan
atau badan yang bertujuan untuk menegakkan kepentingan agama atau kemaslahatan
umat.44 Pada dasarnya sabilillah itu dimaknai dengan thariq at-taqarrub ila Allah
(jalan mendekatkan diri kepada Allah) yang meliputi amalan kebajikan, baik untuk
invidu maupun masyarakat, seperti yang telah disinggung dalam makna mufradat.
Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat mengenai makna sabilillah yang terdapat
dalam ashnaf mustahiq zakat ini. Perbedaan berikut ialah sebagai berikut:
a. Mazhab Hanafi
Para ulama Hanafiyah sebenarnya tidak sepakat
dalam mendifinisikan
sabilillah.Akan tetapi, secara umum dapat dikatakan bahwa sabilillah bagi mereka
adalah orang yang berjuang dalam kebajikan, sperti menuntut ilmu dan tentara
yang berjuang melawan musuh-musuh Islam.Mazhab ini juga membuat
persyaratan sabilillah yang berhak menerima zakat, yaitu fakir ataupun miskin.
b. Mazhab Maliki
Masdar F. Mas‟udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam,
(Jakarta Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 150.
42
43
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Zakat, (Semarang:
Rizki Putra, 1999), hlm. 185.
44
Pustaka
Peraturan Gubernur Provinsi daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 51 Tahun 2006,
pasal 1, Ayat 24.
30
Menurut kaum Malikiyah, sabilillah itu adalah segala sesuatu yang berhubungan
dengan perang, baik tentara maupun alat yang digunakan untuk berperang, dan
mereka juga sepakat bahwa sabilillah berhak menerima zakat walaupun kaya.
c. Mazhab Asy-Syafi’I dan Hambali
Kedua mazhab ini berpendapat, sabilillah itu adalah para tentara yang melawan
musuh Islam yang tidak mendapat gaji dari pemerintah, para pejuang diberi zakat
walaupun mereka kaya.
Yusuf Al-Qardhawi mengenai makna sabilillah yaitu sebagai berikut:45
a)
Jihad termasuk dalam kategori sabilillah.
b) Zakat itu diberikan pada individu para pejuang.
c)
Tidak boleh memberi zakat atas nama sabilillah kepada jalan kebajikan atau
kemaslahatan umum, seperti membangun masjid, madrasah, ataupun jembatan.
Akan tetapi, banyak ulama muta’akhkhirin yang memaknai sabilillah dengan
arti yang lebih luas sesuai dengan makna dasarnya, seperti Rasyid Ridha, dan
Saltut.Menurut mereka, sabilillah tidak hanya individu para pejuang tetapi segala
kebajikan, seperti membangun masjid dan madrasah.Pendapat ini juga dipegang oleh
Muhammad Mahmud Hijazi. Dengan demikian, menurut mereka masjid, madrasah,
serta jalan kebajikan lainnya berhak mendapatkan bagian dari zakat atas nama
sabilillah.46
45
46
Yusuf Al-Qardhawi, Fiqh Az-Zakah, hlm. 643-644.
Kadar M. Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam, (Jakarta: Amzah, 2013), cet. Ke-1, hlm. 97-98.
31
8. Ibnu Sabil
Ibnu sabil sebagaimana diterangkan dalam al-Qur‟an yang dimaksud ibnu
sabil ialah musafir yang perjalanannya bukan untuk melakukan maksiat. Dalam hal
ini ia boleh menerima zakat karena melakukan perjalanan ibadah atau perjalanan
yang sifatnya adalah mubah seperti perjalanan untuk mencari barangnya yang
hilang.47 Para fuqoha selama ini mengartikan ibnu sabil dengan musafir yang
kehabisan bekal.Pengertian ini sampai saat sekarang masih sangat relevan. Tetapi
pengertian yang telah ada belum mencakup seluruhnya. Kini ketika keadaan
masyarakat sudah menjadi kompleks, maka perlu menengok arti awal dari ibnu
sabil.Anak jalanan, sebagaimana yang difahami pada saat ini adalah mengacu pada
pengertian orang-orang yang tengah dalam keadaan tuna wisma, atau terpental dari
tempat tinggalnya.Bukan karena kefakiran dan kemiskinan yang dideritanya,
melainkan lebih disebabkan oleh hal-hal yang bersifat kecelakaan. Pengertian
tersebut tentunya lebih luas lagi dari sekedar hanya pelancong yang kehabisan bekal.
Tentunya dalam konteks pentasarufan zakat untuk golongan ini dapat dialokasikan
untuk para pengungsi, baik mereka mengungsi karena pergolakan politik dan perang
maupun karena bencana alam.48
47
Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, (Surabaya: PT. Bina
Ilmu,1997), cet. Ke-2, hlm. 405.
48
Masdar F. Mas‟udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (pajak) dalam Islam,
Pustaka Firdaus),hlm.162.
(Jakarta:
32
C.
Jenis-Jenis Harta Kekayaan yang Wajib Dikeluarkan Zakatnya
1. Jenis Kekayaan
Benda yang harus dizakati ialah emas, perak, harta simpanan, hasil bumi,
binatang ternak, dagangan, hasil usaha, hasil jasa (honorarium) yang berjumlah besar,
harta rikaz, harta makdin, dan hasil laut.
a. Emas dan perak.
Dasar hukum wajib zakat emas, perak, simpanan: Al-Qur‟an surat At-Taubah (9):
35.
        
 
     
       
Artinya:“pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam nerakajahannam, lalu
dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan pinggang mereka (lalu
dikatakan kepada mereka). inilah hartabendamu yang kamu simpan untuk
dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu
simpan itu.”(At-Taubah: 35).
Tafsirnya
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Abbas yang bercerita, “Tatkala
turun ayat “emas dan perak” ini menjadi resahlah sahabat Rasulullah dan mengeluh.
“Tidak seorang di antara kami yang dapat meninggalkan harta untuk anaknya
sekarang ini.” Maka pergilah Umar diikuti oleh Tsauban bertanya kepada rasulullah
saw. “Ya Nabi Allah, menjadi resahlah para sahabatmu karena ayat ini.”49
49
Salim Bahreisy dan Said Bahreisy Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsier,(Surabaya: PT.
Bina Ilmu, 1988), Jilid 4, hlm.. 46-47.
33
Emas simpanan dikenakan zakat baik berupa mata uang atau batangan asal
dalam simpanan telah cukup satu tahun (haul) dan jumlahnya cukup senisab (yaitu 20
dinar atau kurang lebih 94 gram emas) zakatnya 2 ½ persen.Perak simpanan juga
dikenakan zakat, baik berupa mata uang atau batangan yang dalam simpanan telah
cukup satu tahun (hawl) dan jumlahnya cukup senisab (yaitu 200 dirham, sama
dengan 27 7/9 real Mesir, sama dengan 555 ½ qurus Mesir atau lebih kurang 672
gram). Emas dan perak simpanan yang masing-masing kurang dari senisab tidak
perlu
dikumpulkan
agar
menjadi
senisab
yang
kemudian
dikeluarkan
zakatnya.Misalnya seorang yang mempunyai simpanan 10 dinar emas, (setengah
nisab) dan 100 dirham perak (setengah nisab) tidak dikenakan zakat pada keduaduanya.
b. Harta Dagangan.
Dasar hukum wajib zakat dagangan ialah Al-Qur‟an surat Al-Baqarah (2):
267.
              
            
          
 
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian
dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang
34
buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu
sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata
terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji. (QS. Al-Baqarah (2): 267).
Syarat wajib zakat dagang adalah jumlah nilainya ada senisab emas (20
dinar) dan harus sudah berjalan setahun.Jadi zakat dagang harus dilakukan setiap
setahun sekali.Cara pelaksanaannya ialah setelah dagang berjalan satu tahun, uang
kontan yang ada dan segala macam barang dagangan ditaksir, kemudian jumlah
yang didapat dikeluarkan zakatnya 2 ½ %. Dari hasil zakat dagangan ini, jika
semua pedagang muslim berzakat akan terkumpul sejumlah zakat yang besar
sekali.
c. Hasil Bumi.
Dasar hukum zakat hasil bumi ialah Al-Qur‟an surat Al-An‟am: 141.
 
     
    
          
   
         
        
 
  
Artinya: “Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan ang
tidak berjunjung, pohon korma,tanam-tanaman yang bermacam-macam
buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan
tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya(yang bermacam-macam
itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya
(dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu
35
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan”. (QS. Al-An’am: 141).
Tafsirnya:
Ibnu Umar, Atha‟, Mujahid dan Sa‟id bin Jubair mengatakan ayat ini
“muhkamat”. Wajiblah atas orang yang mengetam atau menuai, meberikan sedikit
hasilnya itu kepada orang miskin yang datang meminta kepadanya. Namun Ibnu
Abbas, Muhammad bin Hanafiah, Hasan, Nakha‟i, Thawus, Abu Tsa‟tsa‟,
Qatadah, Dhahhak, dan Ibnu Juraih mengatakan, bahwa ayat ini telah di nasakhkan oleh ayat zakat. Itulah yang dipilih Ibnu Jarir, karena ayat adalah ayat
makkiyah, sedang ayat zakat adalah ayat madaniah, jadi ayat madaniyah itu menasakh-kan ayat makkiyah.50
Zakat hasil bumi tanpa syarat hawl, sebab setiap kali panen harus
dikeluarkan zakatnya. Sedangkan panen hasil bumi ada yang sekali setahun, ada
yang dua kali, ada yang tiga kali, bahkan ada yang empat kali. Setiap kali panen
jika hasilnya ada senisab dikeluarkan zakatnya dan jika tidak cukup senisab tidak
usah hasil panen itu dikumpulkan dengan hasil panen yang lain guna mengejar
nisab.
d. Binatang ternak.
Binatang ternak di Indonesia yang dikenakan zakat adalah sapi, kerbau dan
kambing. Zakat ini harus dengan syarat haul.
Adapun nisabnya sebagai berikut:
50
Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. Ke-1,hlm. 417-418.
36
Kambing
1) Mulai dikenakan zakat (senisab) setelah ada sejumlah 40 ekor
2) Dari jumlah 40 s/d 120 zakatnya seekor kambing
3) Dari jumlah 121 s/d 200 zakatnya dua ekor kambing
4) Dari jumlah 201 s/d 300 zakatnya tiga ekor kambing
5) Selebihnya setiap ada 100 ekor zakatnya satu kambing
Sapi
1) Mulai dikenakan zakat (senisab) setelah ada sejumlah 30 ekor sapi.
2) Dari jumlah 30 s/d 39 zakat seekor sapi berumur setahun lebih, sapi ini diberi
nama “Tabii”.
3) Dari jumlah 40 s/d 59 zakatnya seekor sapi berumur dua tahun lebih, sapi ini
diberi nama “Musinnah”.
4) Dari jumlah 60 s/d 69 zakatnya dua ekor sapi berumur satu tahun lebih.
5) Dari jumlah 70 s/d 79 zakatnya dua ekor sapi, seekor berumur satu tahun lebih,
seekor beumur dua tahun lebih.
6) Selebihnya dari itu setiap ada tambahan 30 zakatnya seekor sapi tabii, dan
setiap ada tambahan 40 zakatnya seekor sapi musinnah. (jadi jika ada 120 ekor
dapat dianggap 30 kali 4 atau 40 kali 3).
Kerbau
Zakat kerbau persis sama dengan zakat sapi.
Unta
Di Indonesia tidak ada unta, karena itu tidak perlu dibahas zakatnya disini.
37
2. Zakat Modal Usaha (Syirkah)
Sejumlah orang mengumpulkan modal meskipun masing-masing tidak sama
besarnya, untuk usaha misalnya mendirikan pabrik atau berdagang, jika harta usaha
itu cukup senisab dan telah berjalan cukup setahun, harus dikeluarkan zakatnya.
Zakat ini adalah zakat syirkah/koperasi.Oleh karena itu janganlah diperhitungkan
besar kecilnya modal masing-masing anggota.
Demikian disebutkan dalam Fikhussunnah jilid I halaman 371:
“Menurut ulama syafi‟iyah, bahwa setiap bagian dari modal yang dicampur
itu mempengaruhi dalam zakat, sehingga modal dua orang atau beberapa
orang itu seperti modal seorang.Yang kemudian hal itu dapat
memeprngaruhi ada tidaknya zakat.”
Sekedar penjelasan misalnya: modal itu sekiranya dipecah-pecah tidak wajib
zakat, karena masing-masing belum ada senisab, akan tetapi karena modal itu
dikumpulkan menjadi satu dan jumlah itu cukup senisab , maka kesemuanya itu
terkena zakat.51
3. Zakat Rikaz
Rikaz adalah barang yang dikumpulkan tanpa mengeluarkan biaya dan kerja
keras.Al-Babarty dibuku al-Inayah, menyatakan “Dan harta yang keluar dari dalam
perut bumi terbagi menjadi tiga macam, yaitu barang simpanan, barang tambang, dan
rikaz.Barang simpanan adalah barang yang ditimbun oleh manusia sendiri didalam
51
Pedoman Zakat 9 Seri, (Jakarta: Proyek Penigkatan Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan
Wakaf, 1998)
38
tanah. Barang tambang adalah suatu benda yang diciptakan Allah SWT.yang biasa
terdapat didalam perut bumi.Sedangkan rikaz merupakan gabungan diantara
keduanya.52 Menurut Hukum Islam, rikaz ada permasalahannya sebagai berikut:
“Kata Imam Malik: persoalan yang tidak ada perbedaan pendapat dikalangan
Malikiyah dan saya mendengar para ahli ilmu mengatakan bahwa rikaz itu
adalah barang terpendam yang ditemukan dari pendaman zaman kuno yang
diperoleh tanpa pengeluaran uang, tidak dengan biaya dan tidak dengan daya
upaya berat, itulah rikaz. Adapun yang ditemukan dengan pembayaran uang
dan dengan kerja keras dan berat itupun kadang-kadang dapat dan kadangkadang tidak dapat, maka itu bukan rikaz.”
Zakat rikaz adalah sebagai berikut:
“Rikaz yang wajib dikeluarkan zakat seperlima (20 persen) ialah berupa apa
saja yang ada harganya, seperti emas, perak, besi, timah, kuningan, barang
berbentuk wadah/hiasan dan yang serupa itu.Kaidah itu adalah pendapat
Imam Hanafi, Hambali, Ishak, Ibnu Mundir, riwayat dari Imam Malik dan
salah satu daripendapat Syafi‟i.”
Adapun zakat rikaz dan siapa yang memilinya adalah sebagai berikut:
“Diatas telah diperjelas, bahwa rikaz itu barang terpendam orang-orang
zaman kuno dan zakatnya seperlima. Adapun yang keempat perlima (80 persen) bagi
pemilik tanah yang pertama jika ia masih ada, jika ia telah wafat maka bagi para ahli
warisnya jika masih ada dan diketahui. Dan jika mereka sudah tidak ada maka yang
empat perlima itu dimasukkan ke baitul mal, inilah pendapat Abu Hanifah, Maliki,
Syafi‟I dan ahmad (4 mazhab).
4. Zakat Ma’din
Harta Ma‟din ialah sebagaimana dijelaskan berikut ini:
“Imam Ahmad berpendapat bahwa makdin itu ialah benda yang dikeluarkan
dari bumi, terjadi dibumi, tapi bukan bumi (bukan dari tanah) sedangkan harta
itu berharga.
52
Abdul Al-Hamid Mahmud Al-Ba‟iy, Ekonomi Zakat: sebuah kajian moneter dan keuangan
syari‟ah, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2006), hlm. 42-43.
39
Harta ma‟din yang berupa besi, baja, tembaga, kuningan, timah, minyak,
batu bara dan lain-lain di Indonesia dikuasai oleh Negara, oleh karena itu di sini tidak
usah dibicarakan. Adapun yang berupa batu-batuan, emas dan perak, oleh pemerintah
masyarakat masih diperbolehkan menambangnya. Makdin inilah yang dikenakan
zakat, ialah 2 ½ %. Adapun nisabnya seharga nisab emas, ialah 20 dinar atau 94
gram. Zakat makdin tidak mempergunakan syarat haul.
Demikian dasar hukumnya, “Syarat wajib zakat makdin ialah jika keadaan
atau nilai harganya senisab emas dan zakatnya 2 ½ %., dan tasaruf zakat ini sama
dengan tasaruf zakat yang lain-lain. Demikian pendapat Imam Maliki, Syafi‟i, dan
Hambali.”53
5. Zakat Hasil Laut
Imam Ahmad berpendapat, bahwa barang yang dihasilkan dari laut seperti
ikan, mutiara dan lain-lain dikenakan zakat jika jumlah harganya sejumlah harga hasil
bumi senisab. Pendapat itu diperkuat oleh Abu Yusuf dari mazhab Hanafi terutama
mengenai batu-batuan.54 Sedangkan menurut Prof. Dr. Muhammad Abu Zahrah
berpendapat bahwa ikanyang dihasilkan dari laut hendaknya diqiyaskan kepada hasil
pertambangan. Karena kekuasaan Negara atas laut kini telah ditetapkan, khususnya
perairan yang ada dipinggiran Negara maupun yang ada dalam wilayahnya. Dewasa
ini perairan pinggiran itu telah ditetapkan 12 mil dari pantai suatu Negara.Sementara
53
Pedoman Zakat 9 Seri, (Jakarta: Proyek Penigkatan Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan
Wakaf, 1998)
54
Pedoman Zakat 9 Seri, (Jakarta: Proyek Penigkatan Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan
Wakaf, 1998), hlm. 135-150.
40
hasil ikan pun kini telah menjadi sumber kekayaan yang dinikmati orang banyak,
yang kadang-kadang tidak kalah melimpahnya dibanding dengan hasil pertambangan.
Jadi hasil dari ikan laut itu dipungut seperlimanya, dengan dasar qiyas kepada mutiara
dan ambar, dan juga qiyas kepada hasil tambang. Memang setahu kita, Jumhur AlFuqoha tidak menganggap perlu dipungutnya seperlima dari hasil ikan. Tapi itu
hukum di jaman mereka, karena kekuasaan atas lautan dimasa itu belum tetap, dan
juga dikarenakan orang yang berburu ikan waktu itu hanyalah sekedar mencari makan
untuk sehari. Lain dari ituperikanan belumlah menjadi sasaran perhatian dan
pendidikan, dan hasilnya pun belum diatur secara sistematis seperti sekarang ini.
Padahal seandainya para Fuqoha itu sempat hidup dizaman sekarang, mereka pasti
mengambil keputusan seperti keputusan kita kini.Jadi perbedaan diantara kita dengan
mereka hanyalah peerbedaan waktu dan jaman saja, bukan perbedaan dalil ataupun
alasan.55
Adapun industri ikan ataupun lainnya yang menggunakan bahan dari
kekayaan laut, zakatnya diqiaskan kepada zakat perniagaan seharga 2,5 % dari modal
dan keuntungan, pada tiap-tiap akhir tahun apabila mencapai nishab.56
Bagi ulama yang mewajibkan zakat, ada tiga pendapat yang menetapkan
besar zakat yang dikeluarkan.
55
Syauqi Isma‟il Syahhatih, Penerapan Zakat dalam Dunia Modern, (METROPOS: Pustaka
Dian/Antar Kota. 1987), cet. Ke-1, hlm. 301-302.
56
Muhammad, Zakat Profesi Wacana Pemikiran dalam Fiqih Kontemporer, (Salemba
Diniyah), hlm. 334.
41
1. Zakat 20 % diqiyaskan pada ghanimah dan barang tambang yang dihasilkan dari
perut bumi.
2. Zakatnya 10 % diqiyaskan dengan zakat pertanian.
3. Zakat 2,5 % diqiyaskan dengan zakat perdagangan.
Menurut pendapat Imam Malik dan Syafi‟i besar zakatnya harus
dibedakan, sesuai dengan berat ringannya mengusahakannya, besar biaya atau
tidaknya pengelolaannya, apakah 20 %, 10% atau 2,5 %.57
D.
Tujuan dan Hikmah Zakat
1. Tujuan Zakat
Zakat sebagai salah satu rukun Islam mempunyai kedudukan yang sangat
penting.Hal ini dapat dilihat dari segi tujuan dan fungsi zakat dalam meningkatkan
martabat hidup manusia dalam masyarakat.Zakat mempunyai tujuan yang banyak
(multi purpose). Tujuan-tujuan itu dapat ditinjau dari berbagai aspek:
a. Hubungan manusia dengan Allah
Zakat sebagai sarana beribadah kepada Allah sebagaimana halnya saranasaranalain adalah berfungsi mendekatkan diri kepada Allah, makin taat manusia
menjalankan perintah dan meninggalkan larangan Allah, maka ia makin dekat
dengan Allah. nabi Muhammad melukiskan bagaimana dekatnya manusia dengan
Allah, apabila ia suka menolong manusia lain.58
57
M. Ali Hasan, Tuntunan Puasa Dan Zakat, (Jakarta, PT. Grafindo Persada, 2001), hlm.
183-184.
58
Zakiyah Darajad Zakat Pembersih Harta dan Jiwa, (Jakarta: YPI RUHAMA, 1993), cet.
Ke-4,hlm.233.
42
b. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri
Dari
satu
segi
zakat
menggambarkan
kaitan
manusia
dengan
harta
benda.Adakalanya manusia memandang harta benda itu sebagai alat mencapai
tujuan hidup. Maka dari itu, zakat merupakan salah satu cara memberantas
pandangan hidup materialistis. Manusia dididik untuk melepaskan sebagian harta
benda yang dimilikinya, dan secara pelan-pelan menghilangkan pandangan yang
menjadikan materi sebagai tujuan hidup.Islam benar-benar mengecam perilaku
sombong, kikir boros, egois dalam pengertian hanya memikirkan dirinya
saja.Setiap investasi, baik berupa materi, waktu maupun ucapan dinilainya sebagai
amal. Jadi tidak ada yang sia-sia, dan dari situlah maka berbuat kebajikan kepada
yang lain yang membutuhkan adalah merupakan amal dan seharusnya menjadi
kepuasan batin dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak.59
c. Hubungan manusia dengan manusia lain (masyarakat)
Di dalam masyarakat selalu terdapat perbedaan tingkat kemampuan dalam bidang
ekonomi, sehingga melahirkan adanya golongan ekonomi lemah dan golongan
ekonomi kuat.Dalam keadaan perbedaan ekonomi yang lebih menyolok terdapat
pula dalam masyarakat adanya golongan fakir miskin, karena tujuan pertama dari
zakat adalah memenuhi kebutuhan orang-orang fakir.Masyarakat fakir miskin
59
A. Qodri Azizy, Membangun Fondasi Ekonomi Umat (Meneropong Prospek
Berkembangnya Ekonomi Islam). (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), cet. Ke-I, hlm. 140.
43
adalah pertama dari pengeluaran zakat.60 Dalam hal ini diharapkan akan timbul
gairah usaha memperbaiki hidup bagi yang miskin, sehingga keadaan kehidupan
didepan mereka lebih meningkat dari sebelumnya. Akhirnya dengan dorongan
zakat, jurang perbedaan ekonomi antara yang kaya dan yang miskin makin
berkurang dan pergaulan mereka dalam masyarakat bertambah baik, karena
diantara mereka tumbuh rasa persaudaraan saling bantu membantu.61
d. Hubungan manusia dengan harta benda.
Pada umumnya manusia beranggapan bahwa semua harta kekayaan yang
dimilikinya di dunia ini adalah hak miliknya mutlak tidak dapat di ganggu
gugat.Zakat merupakan sarana pendidikan bagi manusia bahwa harta benda atau
materi itu bukanlah tujuan hidup dan bukan hak milik mutlak dari manusia yang
memilikinya, tetapi merupakan titipan Allah.
Zakat juga bertujuan menciptakan masyarakat yang berbahagia yang dapat
merasakan keberkatan harta benda yang diperolehnya, karena hak-hak orang lain
atau hak agama atas harta itu sudah diberikan.
2. Hikmah Zakat
Zakat mengandung hikmah dan manfaat yang demikian besar dan mulia,
baik yang berkaitan dengan orang yang berzakat (muzaki), penerimanya (mustahiq),
60
Yusuf Qardhawi, Musykilat al-Faqr wa Kaifa’Ala Joha al-Islam, Ter. A.
MaimunSyamsuddin, A. Wahid Hasan, “Theologi Kemiskinan : Doktrin Dasar dan Solusi Islam
atasProblem Kemiskinan”.(Yogyakarta: 2002), cet. Ke-1, hlm.131.
61
Zakiyah Darajad Zakat Pembersih Harta dan Jiwa, (Jakarta: YPI RUHAMA, 1993), cet.
Ke-4, hlm. 236-237.
44
harta yang dikeluarkan zakatnya, maupun bagi masyarakat keseluruhan.Hikmah dan
manfaat tersebut antara lain tersimpul sebagai berikut:62
a. Sebagai perwujudan keimanan kepada Allah SWT, mensyukuri nikmat-Nya,
menumbuhkan
akhlak
mulia
dengan
rasa
kemanusiaan
yang
tinggi,
menghilangkan sifat kikir, rakus dan materialistis, menumbuhkan ketenangan
hidup, sekaligus membersihkan mengembangkan harta yang dimiliki.
b. Karena zakat merupakan hak mustahik, maka zakat berfungsi untuk menolong,
membantu, dan membina mereka, terutama fakir miskin kerah kehidupan yang
lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup
dengan layak, dapat beribadah kepada Allah SWT, terhindar dari bahaya
kekufuran, sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki dan hasad yang mungkin
timbul dari kalangan mereka, ketika mereka melihat orang kaya yang memiliki
harta yang cukup banyak. Zakat sesungguhnya bukanlah sekedar memenuhi
kebutuhan para mustahik, terutama fakir miskin yang bersifat konsumtif dalam
waktu sesaat, akan tetapi memberikan kecukupan dan kesejahteraan kepada
mereka, dengan cara menghilangkan atau memperkecil penyebab kehidupan
mereka menjadi miskin dan menderita.Kebakhilan dan keengganan berzakat,
disamping akan menimbulkan sifat hasad dan dengki dari orang-orang miskin dan
menderita, juga akan mengundang azab Allah SWT.
62
Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam perekonomian Modern, (Jakarta: Gema
2002), h. 9-15.
Insani,
45
c. Sebagai pilar amal bersama (jama‟i) antara orang-orang kaya yang berkecukupan
hidupnya dan para mujahid seluruh waktunya digunakan untuk berjihad dijalan
Allah SWT, yang karena kesibukannya tersebut, ia tidak memiliki waktu dan
kesempatan untuk berusaha dan berikhtiar bagi kepentingan nafkah diri dan
keluarganya. Disamping sebagai pilar amal bersama, zakat merupakan salah satu
bentuk konkret jaminan sosial yang disyari‟atkan oleh ajaran Islam.Melalui zakat,
kehidupan orang-orang fakir, miskin dan orang-orang menderita lainnya akan
terpelihara dengan baik. Zakat merupakan salah satu bentuk perintah Allah
SWT.untuk senantiasa melakukan tolong-menolong kebaikan dan takwa.
d. Sebagai salah satu sumber bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang
harus dimiliki umat Islam, seperti sarana ibadah, pendidikan, kesehatan, sosial
maupun ekonomi, sekaligus sebagai sarana pengembangan kualitas sumber daya
manusia muslim. Hampir semua ulama sepakat bahwa orang yang menuntut ilmu
berhak menerima zakat atas nama golongan fakir dan miskin maupun sabilillah.
e. Untuk memasyarakatkan etika bisnis yang benar, sebab zakat itu bukanlah
membersihkan harta yang kotor, akan tetapi mengeluarkan bagian dari hak orang
lain dari harta yang kita usahakan dengan baik dan benar sesuai dengan ketentuan
Allah SWT yang terdapat dalam
f. Dari sisi pembanguna kesejahteraan umat, zakat merupakan salah satu instrumen
pemerataan pendapatan. Zakat yang dikelola dengan baik, memungkinkan terjadi
pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan, economic with equity.
Monzer Kahf menyatakan zakat dan sistem pewarisan Islam cenderung kepada
46
distribusi harta yang egaliter dan bahwa sebagai manfaat dari zakat, harta akan
selalu beredar. Zakat akan mencegah akumulasi harta pada suatu tangan dan pada
saat
yang
sama
mendorong
manusia
untuk
melakukan
investasi
dan
mempromosikan distribusi. Zakat juga merupakan institusi yang komphrensif
untuk distribusi harta karena hal ini menyangkut harta setiap muslim secara
praktis, saat harta telah sampai melewati nishab.
g. Dorongan ajaran Islam yang begitu kuat kepada orang-orang yang beriman untuk
berzakat, berinfak dan bersedekah. Menunjukkan bahwa ajaran Islam mendorong
umatnya untuk menjadi orang kaya, sehingga dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya. Zakat yang dikelola dengan baik akan mampu membuka lapangan kerja
dan usaha yang luas, sekaligus penguasaan aset-aset oleh umat Islam.63
63
hlm. 9-15.
Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani, 2002),
BAB III
PENDAPATAN NELAYAN DI KELURAHAN KAMAL MUARA
KECAMATAN PENJARINGAN
A.
Gambaran Umum Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta
Utara
1. LetakGeografis
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No. 2561/2003
tanggal 30 Juli 2003 tentang pemecahan, penyatuan, penetapan batas perubahan nama
Kelurahan di DKI Jakarta dan penegasan dari Walikota Jakarta Utara bahwa wilayah
Kelurahan Kamal Muara merupakan pecahan dan gabungan dari Kelurahan Kapuk,
Kelurahan Tegal Alur dan Kelurahan Kamal. Bahwa mengenai batas wilayah
Kelurahan Kamal Muara mempunyai luas wilayah -+1.053 Ha dengan batas-batas
sebagai berikut:
Sebelah Utara
: Pantai LautJawa
SebelahTimur
: Kali Cengkareng Drain
Sebelah Selatan
: Sepanjang jalan Kapuk Kamal
Sebelah Barat
: Desa Dadap Kabupaten Tangerang Banten
Berdasarkan data dari badan pusat statistic Kelurahan Kamal Muara,
47
48
luas tanah dan proyek pertanahan akan dilampirkan sebagai berikut:
1. Luas Wilayah Menurut Status Tanah
Wilayah Kelurahan Kamal Muara yang luasnya -+ 1.053 Ha tanahnya pada
umumnya adalah tanah Negara dan tanah HGB, sedangkan sebagian adalah tanah
garapan. Namun demikian tanah garapan sebagian sudah memiliki hak dengan
mengurus Sertifikat baik secara perorangan maupun melalui prona. Untuk yang HGB
sebagian sudah diurus peningakatannya menjadi SHM.1
2. Wilayah Menurut Peruntukannya
Wilayah Kelurahan menurut peruntukannya adalah untuk pemukiman,
perindustrian/pergudangan dan kawasan hutan lindung. Untuk kawasan pemukiman
yang sudah lama adalah wilayah RW. 01 dan RW. 04 dan yang baru dan sedang
berkembang
ada
diwilayah
RW.03,
05,
dan
06.
Untuk
kawasan
perindustrian/pergudangan ada di wilayah RW. 06 yang tanamannya berupa pohon
bakau yang dikenal dengan tamanWisata Alam (TWA).
3. Wilayah MenurutJenis Tanah
Keadaan Wilayah Kelurahan Kamal Muara sebagian besar adalah berupa
empang yang pada akhirnya diurug yang sekarang dijadikan pemukiman itu hampir
disepanjang pesisir laut jawa yang masuk wilayah Kelurahan Kamal Muara.
4. PemindahanHakAtas Tanah
Administrasi pertahanan yang dilakukan oleh Kasi Pemerintah dan Tramtib
hanya sebatas pelayanan kepada masyarakat yang memiliki Surat Jual Beli Bangunan
1
BukuMonografiKelurahan Kamal Muara 2015
49
diatas Tanah Negara sedangkan yang memiliki Sertifikat HGB dan Sertifikat Hak
Milik diarahkan pejabat PPAT/Notaris.
2. KeadaanDemografisKelurahan Kamal Muara
Sebagai suatu wilayah yang terletak di pesisir pantai Laut Jawa sebagian
wilayahnya berupa rawa dan banyak berdiri industry dan pergudangan maka sebagian
besar penduduk Kelurahan Kamal Muara mata pencahariannya sebagian nelayan dan
buruh pabrik. Dengan kondisi wilayah seperti itu maka menyebabkan banyaknya
pendatang sehingga terbentuk masyarakat yang heterogen dengan suku dominan
Bugis, Jawa, Sunda, Palembang, dan keturunan Cina.2
3. KeadaanSosiologisKelurahan Kamal Muara
a. BidangSosial
Dalam rangka pengumpulan
Zakat, Infaq, dan Shodaqoh. Pemerintah
Kelurahan Kamal Muara bekerjasama dengan pengurus RT/RW, memberikan
sosialisasi kepada masyarakat, menghimbau para dermawan. Hal itu dilakukan guna
menggugah kesadaran warga sehingga ZIS yang ditargetkan oleh Pemerintah Tingkat
Kota Administrasi Jakarta Utara bisa tercapai bahkan bisa melampaui. Adapun target
tahun 2015 ditetapkan sebesar Rp. 100.000.000,b. Bidang Agama
Dengan Penduduk kelurahan Kamal Muara yang heterogen yakni bermacam
suku, etnis, dan agama namun dalam kehidupan dalam bertoleransi antar umat sangat
baik. Mayoritas penduduk untuk saat ini adalah beragama Islam.
2
BukuMonografiKelurahan Kamal Muara 2015
50
c. BidangKesehatan
Dalam rangka meningkatkan taraf kesehatan maupun pengetahuan kesehatan
Pemerintah Kelurahan Kamal Muara bekerja sama dengan Puskesmas Kelurahan
Kamal Muara memberikan pembinaan dan penyuluhan kesehatan secara langsung
dan juga melalui kader kesehatan yang dibina, dan juga telah diberikan Kartu Jakarta
Sehat yang kemudian mulai bulan Januari diberikan JKN oleh BPJS untuk berobat
kepada keluarga tidak mampu yang berguna untuk berobat dengan pembayaran iuran
bulanan pembebasan dari biaya.
d. KeadaanSosialPendidikan
Tingkat pendidikan warga Kamal Muara tergolong cukup baik, yang dapat
dilihat dengan adanya penduduk yang menyelesaikan pendidikannya ditingkat sarjana
( S-1 sampai S-2 ). Meskipun masih terdapat penduduk dengan status pendidikannya
yang masih rendah atau bahkan putus sekolah. Masih ada remaja yang mengalami
putus sekolah karena kurangnya motivasi yang kuat dari lingkungan keluarga ketika
anak tidak mau sekolah dan seakan membiarkan, bahkan ada yang kurangnya mental
yang disebabkan perekonomiannya terbatas.3
B.
Sistem Penangkapan Nelayan di Kelurahan Kamal Muara Kecamatan
Penjaringan Jakarta Utara
Pada masa sekaran gini, ada beberapa hal yang memang menjadi bahan
perbincangan mengenai modernisasi yang majemuknya profesi manusia. Salah
satunya profesi manusia yang semakin beraneka ragam, yaitu industri-industri dan
3
BukuMonografiKelurahan Kamal Muara 2015
51
sejenisnya dari berbagai profesi yang dapat memberikan penghasilan tetap dan
merupakan asset yang besar bagi sejumlah orang. Khususnya sebagian masyarakat
Kamal Muara berprofesi sebagai nelayan, yang mencari penghasilan dilaut. Hasil
tangkapan laut bias didapat melalui beberapa metode pertama melalui pertambakan
kerang hijau yang menggunakan bamboo dan tali, dan kedua melalui tangkapan yang
diperoleh dengan cara menggunakan perahu.
Penulis terlebih dahulu menjelaskan tntang hasil tangkapan melalui
pertambakan, tambak adalah kolam buatan, biasanya didaerah pantai, yang diisi air
dan dimanfaatkan sebagai sarana budidaya perairan (akuakultur). Hewan yang
dibudidayakan adalah hewan air, terutama ikan, udang, serta kerang. Jenis hewan air
yang diperoleh melalui pertambakan di Kamal Muara adalah kerang hijau, dengan
menggunakan alat sederhana yaitu bamboo dan tali. Seperti yang diungkapkan oleh
Bapak H. Lala, beliau adalah seorang yang mempunyai pertambakan kerang hijau di
Kamal Muara, beliau mempunyai beberapa ternak pertambakan kerang hijau, yang
setiap kali panen 5 bulan sekali, penghasilan yang di dapat dalam 1 bulan mencapai
60 juta.4 Selanjutnya H. Ile beliau juga mempunyai beberapa pertambakan kerang
hijau yang penghasilanya dalam satu bulan mencapai 20 sampai 30 juta. Hanya
dengan menggunakan modal awal 3 sampai 4 juta.5
Selanjutnya penjelasan mengenai hasil tangkapan laut yang dilakukan oleh
paranelayan di Kamal Muara, dari hasil penelitian penulis terhadap para nelayan
4
WawancaradenganBapak H. Lalatgl 20 September 2015
5
WawancaradenganBapak H. Ile tgl 20 September 2015
52
Kamal Muara, seperti yang diungkapkan oleh Bapak Boy, selaku juragan (pemilik
perahu) yang mempunyai beberapa anak buah, beliau memaparkan bahwa modal
awal yang dikeluarkan untuk biaya melaut yaitu Rp. 1.055.000,-yang digunakan
untuk beberapa keperluan yang ingin dibeli, seperti solar, es balok, dan lain
sebagainya. Dengan membawa peralatan sederhana seperti jala, jaring, dan lainlain.
Keuntungan bersih yang didapat oleh Bapak Boy selaku juragan (pemilikperahu)
dalam sehari sebesar Rp. 70.000 itu sudah bersih dan sudah termasuk memberi upah
kepada anak buahnya.6
Lain lagi menurut Bapak Sana selaku pemilik perahu, dan mempunyai
beberapa awak kapal, yang berkontribusi kepada beliau sebesar Rp.200.000 per-orang
sebagai ganti bahan bakar perahu. Modal awalnya sebesar Rp.1.000.000. Berbeda
dengan Bapak Boy yang setiap harinya pulang dalam melaut, kalau Bapak Sana dan
para awak kapalnya menempuh perjalan selama tiga hari, dengan tujuan dari pulau
satu kepulau yang lain, beliau berangkat melaut delapan kali dalam satu bulan.
Pendapatan kotor yang didapat oleh Bapak Sana sebesar Rp. 1.000.000,-
dari
pendapatan kotor tersebut, beliau membagi hasilnya menjadi tiga, dua untuk para
awak kapal, dan yang satu untuk beliau sendiri, dikarenakan perahu ini milik Bapak
sana, jadi beliaulah yang mendapatkan bagian terbesar dari hasil tangkapannya dilaut,
dengan kisaran jumlah pendapatan bersih yang beliau terima yaitu Rp.500.000,- per
tiga hari.7
6
WawancaradenganBapak Boy tgl 25 September 2015
WawancaradenganBapak Sana tgl 25 September 2015
7
BAB IV
ANALISIS ZAKAT HASIL TANGKAPAN LAUT DI KELURAHAN KAMAL
MUARA KECAMATAN PENJARINGAN JAKARTA UTARA
A.
Analisis Hukum Islam TentangZakat Hasil Tangkapan Laut
Zakat secara harfiah berarti berkembang, kesucian, pengembangan,
pembersih dan berkah bagi manusia, dikatakan bahwa tanaman dianggap berkembang
jika telihat segar. Harta akan berkembang jika diberkati oleh Allah SWT. Sedangkan
secara istilah zakat adalah: “sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah SWT.
menyerahkan kepada orang-orang yang berhak”.1 Menurut Yusuf Al-Qardhawi,
zakat juga bisa berarti mengeluarkan jumlah harta tertentu itu sendiri atau perbuatan
seseorang untuk mengeluarkan hak wajib dari harta itu sendiri dan bagian tertentu
yang dikeluarkan dari harta itupun dinamakan zakat.2 Dengan demikian, perintah
untuk mengeluarkan zakat bukan hanya pada zakat hewan, tanaman, emas, dan perak,
ataupun pada perdagangan. Akan tetapi, zakat mencakup semua harta kekayaan yang
dihasilkan dengan usaha profesi dan usaha dari produk pembibitan hewan karena
tujuan utama dari zakat itu sendiri adalah memenuhi kebutuhan orang-orang fakir.3
Hal ini berdasarkan firman Allah yang berbunyi:
1
M. Baghir Al-Habsyi, Fiqh Praktis: Menurut al-Qur‟an, as-Sunnah, dan Pendapat Para
Ulama (Bandung: Mizan Media Utama, 2002), hlm. 3.
2
Yusuf al-Qardhawi, Fiqh az-Zakah (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1969), hlm. 37.
3
Yusuf al-Qardhawi, Musykilatul Faqr Wakaifa „Alajaha, diterj. Maimun Syamsudin dan
Wahid Hasan, Teologi Kemiskinan (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002), hlm. 133.
53
54
            
  
            
        
 
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian
dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri
tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata
terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji.”(QS Al-Baqarah: 267)
Menurut Saikh Sulaiman al-Ujaili kata “anfiqu” yang berasal dari kata
infaq, yang maksudnya adalah zakat, dan kata “ma kasabtum” maksudnya adalah
emas, perak, harta dagangan dan binatang ternak, jadi ayat diatas secara tekstual
menegaskan bahwa empat macam harta tersebut wajib dikeluarkan zakatnya.
Sedangkan Syaikh Khozin memberikan suatu pendapat bahwa secara tekstual dan
melihat keumumannya, ayat diatas menjelaskan tentang kewajiban zakat dari semua
hasil bumi dalam jumlah berapapun, namun menurut Imam Syafi‟i ayat diatas masih
di takhshish (di khususkan) oleh hadits atau yang lain, sehingga menurut beliau hasil
bumi yang wajib di zakati hanyalah biji-bijian yang bisa dijadikan makanan pokok
serta buah anggur dan korma, yang semuanya harus sudah mencapai kadar satu
nishab. Lain halnya dengan Imam Abu Hanifah, ayat diatas menurut beliau dibiarkan
dalam keumumannya (tidak di takhshish) sehingga semua hasil bumi dalam jumlah
55
berapapun harus di zakati.Sementara ulama mufassir lainnya ada yang berpendapat
maksud dari kata “anfiqu” diatas adalah shodaqoh sunnat.4
Yusuf al-Qardhawi menegaskan bahwa komoditi yang dihasilkan dari laut
haruslah dikeluarkan zakatnya seperti halnya dengan ikan. Yusuf Al-Qardhawi
melihat bahwa hasil ikan itu sangat besar dan menghasilkan uang yang sangat
banyak, apalagi menggunakan teknologi canggih seperti yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan. Oleh karena itu tidak wajar sama sekali apabila ikan tidak
terkena kewajiban zakat berdasarkan penganalogian terhadap barang tambang, hasil
pertanian, dan lain-lain. Abu Ubaid meriwayatkan dari Yunus bin Ubaid.
‫ كتب عمز به عبد العزيز إلً عاملة‬:‫وقد روي أبى عبيد عه يىوس به عبيد قال‬
5
. ‫ أن ال يأخذ مه السمك شيأ حتً يبلغ مائي درهم‬: ‫علً عمان‬
Artinya:“Umar pernah mengirim surat kepada petugasnya di Oman agar ia tidak
memungut apa pun dari ikan yang kurang harganya dari 200 dirham.Bila
bernilai 200 dirham, yaitu sebesar nisab uang, maka harus di pungut
zakatnya”.
Imam Abu Ubaid sendiri dalam kitab Al-Amwal mengatakan, “kami tidak
pernah mengetahui ada seorang ulama pun yang mempraktikan tentang pembayaran
zakat ikan”. Beliau juga menulis pada zaman Rasulullah tidak ada penghasilan
kekayaan yang dikeluarkan dari laut.6 Oleh karena itu kami Menurut pendapat Imam
Malik dan Syafi‟i, besar zakatnya harus dibedakan, sesuai dengan berat ringannya
4
Fakhruddin, Muhammad bin Umar bin HusainAr-Rozi, Tafsir Al-Kabir (Lebanon:
Darul Fikr, 1981), Juz 2, hlm. 10.
5
Yusuf al-Qardhawi, Fiqh az-Zakah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2006), hlm. 453.
6
Aby Ubaydin al-Qasimi Ibnu Sallam, Al-Amwal (New York: dar as-Salam, 2009), hlm. 347.
56
mengusahakannya, besar biaya atau tidaknya pengelolaannya, apakah 20% atau
2,5%.7
Menurut Yusuf al-Qardhawi meskipun tidak ada dalil yang secara ekspilit
menjelaskan adanya kewajiban untuk zakat hasil laut namun ada metode pengambilan
hukum dengan qiyas atau analogi yaitu mengaitkan sesuatu yang belum ada nashnya
karena suatu illat sebab yang sama. Berdasarkan hal itu maka barang-barang yang
dikeluarkan dari laut lebih beralasan apabila dikeluarkan zakatnya, berdasarkan
analogi dengan kekayaan tambang dan hasil pertanian. Adapun mengenai berapa
besar zakatnya haruslah diatur oleh yang berwenang sesuai dengan yang diterapkan
oleh Umar. Hal ini karena syari‟at menggariskan bahwa besar kecilnya zakat dari
bijian dan buah-buahan berdasarkan kesulitan dan berat atau ringannya usaha
pengairannya, yaitu sebesar 5% dan bisa 10%. Hal ini berdasarkan hadis Abdullah
bin Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Saw. bersabda:
‫ نصفالعشر‬:‫وما سقي بالنضح‬،‫ العشر‬:‫او كان عثريّا‬،‫فيما سقت السماء والعيون‬
Artinya: “Pada pertanian yang tadah hujan atau mata air atau yang menggunakan
penyerapan akar (Atsariyan) diambil sepersepuluh dan yang disirami
dengan penyiraman maka diambil seperduapuluh.” (HR. al-Bukhari)
7
M. Ali Hasan, Tuntunan Puasa Dan Zakat, hlm. 183-184.
57
Demikian pula halnya dengan perolehan nelayan di kamal muara dalam
penangkapan ikan, dilihat dari kondisi cuaca, dan menggunakan modal besar atau
kecil. Sebagaimana telah penulis kemukakan pada paparan diatas, bahwasanya haditshadits
pemikirannya
Yusuf al-Qardhawi dalam menetapkan suatu
hukum
menggunakan 3 dasar hukum yaitu al-Qur‟an, as-Sunnah dan logika. Dengan
demikian Yusuf al-Qardhawi mempunyai metode dalam menetapkan hukum syara‟
yang mana berdasarkan pada kaidah-kaidah hukum Islam. Dalam hal ini dalil-dalil
tentang zakat hasil laut yang mana pertama menurut Yusuf al-Qardhawi adalah
dengan menggunakan al-Qur‟an. Disini seperti halnya dengan ulama yang lainnya
dimana al-Qur‟an adalah sumber dasar hukum yang pertama, hanya perbedaannya
adalah pada penafsiran ayat istinbath hukumnya.
Menurut Yusuf al-Qardhawi diwajibkan zakat hasil laut menggunakan
metode dalalah aam, dan dalalah nash. Sebelum penulis menguraikan lebih lanjut,
maka perlu penulis paparkan terlebih dahulu tentang dalalah „aam dan dalalah nash,
sebagaimana telah disebutkan dalam ilmu ushul fiqh. Menurut Syekh al-Khudri,
dalalah „aam adalah lafadz yang menunjukkan kepada pengertian yang didalamnya
tercakup sejumlah obyek atau satuan yang banyak. “Al-„aam ialah lafadz yang
menunjukkan kepada pengertian dimana didalamnya tercakup sejumlah obyek atau
satuan yang banyak.8
8
Syeikh Muhammad al-Khudri, Ushul al-Fiqh, (Mesir: Dar al-Fikr, 1998), hlm. 142.
58
Dari pengertian tersebut, dapat dipahami hakekat itu sendiri dilihat dari segi
karakteristik lafadz-lafadz itu adalah karena lafadz-lafadz itu sendiri dilihat dari segi
karakteristik dan nilainya mengandung arti banyak dan tidak menunjuk kepada obyek
tertentu saja. Dengan kata lain, suatu lafadz-lafadz dikategorikan kepada yang umum
jika kandungan maknanya tidak memberikan batasan jumlah obyek yang tercakup
didalamnya, yang menjadi permasalahannya sekarang adalah dalalah lafadz-lafadz
al-„am itu qat‟I ataukah zany? Tentang hal ini, kalangan ulama ushul pun saling
berbeda pendapat. Mazhab hanafi berpendapat bahwa adalah lafadz al-„aam itu qat‟i,
bukan zanny, sama halnya dengan dalalah lafadz khas dari segi maknanya karena
lafadz al-„aam itu mengandung makna pasti, tegas sampai ada dalil yang
menyalahinya. Dalam hal ini mazhab Hanafi mengemukakan dengan dasar kaidah
sebagai berikut:
“Apabila terdapat sesuatu lafadz yang umum, maka maksud seluruh satuansatuannya yang terdapat di dalamnya adalah qathiy, sampai ada dalil yang
mengkhususkan dan membatasi sebagian dari satuan-satuan yang mencakup
di dalamnya”.
Kemudian dari kalangan jumhur ulama. Seperti mazhab Syafi‟i menyatakan
bahwa dalalah lafadz al-„am itu adalah zany, bukan qati, oleh karena itu, setiap
lafadz al-„am harus di takhsis sebelum diamalkan, bahkan kalangan Syafi‟iyah
menegaskan: “lafadz al-„am tidak dapat diamalkan, kecuali setelah dikhususkan
sebagian dari satuan-satuannya”. Dalam hal ini, Yusuf al-Qardhawi menggunakan
kaidah-kaidah yang pertama yaitu lafadz al-„aam, sebagaimana mereka beristinbath
dari ayat-ayat berikut:
59
        
      
      
Artinya: “Ambillah zakat dari harta mereka guna membersihkan dan menyucikan
mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu
(menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka.Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui”. (QS. At-Taubah: 103)
Tafsirnya:
Allah SWT. dalam ayat ini memerintahkan Rasul-Nya memungut zakat dari
umatnya untuk menyucikan dan membersihkan mereka dengan zakat itu. Juga
diperintahkan agar beliau berdoa dan beristighfar bagi mereka yang menyerahkan
bagian zakat. Ayat ini dijadikan alasan oleh orang-orang yang menolak menyerahkan
zakat kepada Khalifah Abu Bakar sesudah wafatnya Rasulullah saw. mereka
berpendapat bahwa hanya Rasulullah sendirilah yang patut menerima dan memungut
zakat, karena perintah Allah dalam ayat ini ditujukan kepada beliau pribadi. Akan
tetapi pendapat mereka itu ditolak oleh Abu Bakar dan bahkan mereka, karena
penolakan menyerahkan zakat yang wajib itu dinyatakan sebagai orang-orang murtad
yang patut diperangi. Maka karena sikap tegas Abubakar r.a. akhirnya menyerahlah
orang-orang pembangkang itu dan kembali ke jalan yang benar. Berkata Abubakar
r.a. mengenai peristiwa ini, “Demi Allah, andaikan mereka menolak menyerahkan
60
kepadaku seutas tali yang pernah mereka serahkannya sebagai kewajiban berzakat
kepada Rasulullah niscaya akan kuperangi mereka karena penolakannya itu.9
Menurut Yusuf al-Qardhawi, ayat tersebut menunjukkan adanya keumuman
tentang disyariatkannya kewajiban untuk mengeluarkan zakat atas harta benda yang
dimiliki tanpa adanya pentakhsisan pada suatu harta benda tertentu.Sedangkan
menurut hemat penulis, dalil-dalil tersebut sangatlah relevan untuk dijadikan hujjah
bahwa hasil laut wajib dikeluarkan zakatnya.Karena dalil-dalil tersebut masih bersifat
umum, maka dari itu suatu jenis kekayaan suatu harta tidak dapat membedakan antara
satu jenis kekayaan terhadap kekayaan yang lainnnya.
Dalam arti luas ahli tahqiq mengatakan bahwa “ijtihad ialah qiyas dan
mengeluarkan (mengistinbathkan) hukum dari kaidah-kaidah syara‟ yang umum.10
Sedangkan ulama ushul menetapkan bahwa ijtihad itu artinya mempergunakan segala
kesanggupan untuk mengeluarkan hukum syara dari kitabullah dan hadits Rasul.Hal
inilah yang jadi landasan hukum bagi Yusuf al-Qardhawi dimana zakat hasil laut diqiyaskan dengan zakat barang tambang atau bisa juga dengan zakat pertanian karena
merupakan penghasilan yang diperoleh dari bumi dinilai sama dengan penghasilan
yang diperoleh dari laut. Yusuf al-Qardhawi juga berkeyakinan bahwa syariat islam
tidak membeda-bedakan dua hal yang sama, dan tidak mempersamakan dua hal yang
berbeda .
9
Abul Fada‟ Ismail bin Umar bin Katsir bin Al Qursy Ad Damsyiqi Tafsir Ibnu Katsier,
(Beirut, Daarul Fikr), hlm. 677.
10
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam Semarang: Pustaka Rizki Putra,
1997, hlm. 50.
61
B.
Analisis Tentang Pendapatan Nelayan yang Berpotensi Zakat Hasil
Sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelumnya bahwa zakat mal adalah
ibadah maaliyah ijtima‟iyyah, artinya ibadah di bidang harta yang memiliki
kedudukan yang sangat penting dalam membangun masyarakat. Karena ibadah
maaliyah ijtima‟iyyah tidak dilaksanakan tersendiri, tetapi harus dalam hubungan
dengan sesama manusia dalam masyarakat, dan tidak pula merupakan hubungan
langsung antara manusia dengan Tuhannya, tetapi manusia sesama manusia, yaitu
melalui amalnya terhadap sesama manusialah maka manusia dapat melaksanakan
ibadah ijtima‟iyyah atau ibadah sosial.
Seperti ibadah lainnya, seorang muslim dituntut untuk mencapai tingkat
kesempurnaan tertentu dalam pelaksanaan ibadah zakat. Untuk itu dalam menentukan
dan menghitung zakat adalah hal yang wajar jika seorang muslim diwajibkan untuk
menentukan dan menghitung kewajiban zakat malnya dengan tingkat kepatutan dan
kehati-hatian tertentu. Apalagi terdapat seperangkat prinsip-prinsip akutansi yang
dapat dijadikan alat pendekatan kesempurnaan ibadah. Membayar zakat adalah
kewajiban yang sangat penting bagi muslim bahkan agama Islam sangat
menganjurkan kepada umat muslim untuk menjadi dermawan dalam membelanjakan
setiap kekayaannya. Namun demikian dalam menjalankan kewajiban zakat, umat
muslim tetap harus hati-hati dan bisa memastikan bahwa aset pendapatan yang
dihitung tidak berlebihan dan pengeluarannya tidak terkurangi.
62
Yusuf al-Qardhawi mengatakan bahwa hasil laut hukumnya wajib
dikeluarkan zakatnya karena hasil laut suatu kekayaan yang diberikan Allah SWT.
kepada hamba-hamba-Nya dan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT.
kepada Allah SWT. yang telah menganugrahkan kenikmatan-Nya. Sebagaimana
Firman Allah dalam QS.an-Nahl: 14
 
        
   
 
  

          
  
  
Artinya: “Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat
memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan
dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera
berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karuniaNya, dan supaya kamu bersyukur.”(QS. an-Nahl: 14).
Firman Allah tersebut di atas menguatkan pendapat Yusuf al-Qardhawi
tentang wajibnya mengeluarkan zakat dari penghasilan hasil laut selain mengambil
pendapat para ulama yang dianggapnya lebih kuat tentang zakat hasil laut
berdasarkan beberapa alasan, pertama keumuman nash (ayat al-Qur‟an) diantara
firman Allah SWT tersebut sebagai berikut:

63
        
      
      
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan
Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103)
Pada ayat pertama terdapat keumuman nash pada kata “ْ‫( ” َأمْىَاِلهِم‬harta
benda mereka) yang merupakan bentuk jamak dari kata dasar “‫”مال‬, dimana
mencakup semua macam dan jenis-jenis harta benda. “‫ ”امؤال‬disini umum, yang
mempunyai arti: sebagian dari tiap-tiap macam dan jenis harta benda. Jenis harta
benda tersebut diantaranya adalah: emas dan perak, tanam-tanaman, hasil usaha dan
hasil bumi serta menyeluruh, yang mencakup: 1. Perdagangan, 2. Peternakan, 3.
Pertambangan, dan lain sebagainya.11 Jadi, memang benar apa yang diungkapkan
oleh Yusuf al-Qardhawi bahwa pada ayat ini tidak membeda-bedakan satu jenis
kekayaan suatu harta.
Masyarakat nelayan adalah masyarakat yang memenuhi kebutuhan
ekonominya dengan cara berlayar atau melaut. Ada beberapa metode bagi nelayan
dalam mencari penghasilan dilaut, yang pertama dengan cara pertambakan,
pertambakan disini yaitu ternak kerang hijau, yang hasilnya sangat menguntungkan,
11
Syaichul Hadi Purnomo, Perumusan Zakat Dewasa ini: Sumber-sumber penggalian,
pengelolaan, dan sasaran Penggunaannya (Surabaya: C.V. Blok, 1981), hlm. 30.
64
memang terkadang pendapatannya tidak selalu besar. Yang kedua dalam pencarian
melaut dengan menggunakan perahu, untuk perolehan dnegan menggunakan perahu
ini kadang-kadang nelayan memperoleh hasil yang tidak banyak, karena tergantung
kondisi cuaca. Dalam bab sebelumnya telah dipaparkan tentang pendapatan hasil
tangkapan laut, hasil observasi dan wawancara dengan para nelayan di Kelurahan
Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan, bahwa pendapatan nelayan yang berpotensi
zakat hanya dilakukan oleh nelayan yang mempunyai pertambakan karena hasil
keuntungan yang sangat besar. Sedangkan pendapatan nelayan yang pencarian hasil
tangkapan melalui perahu tidak dikenakan zakat, karena mencapai nisab dan memang
belum sesuai syariat hukum Islam, tetapi jika pendapatan nelayan melaui perahu ini
hasilnya mencapai nishab, maka menurut penulis hasil tangkapan laut tersebut di qiyas-kan
dengan zakat hasil bumi karena sifatnya sama. Dari hasil bumi ada barang yang tumbuh
dengan sendirinya dan ada juga yang diproses melalui usaha terlebih dahulu begitupun hasil
laut. Dalam hal ini, penulis lebih sependapat dengan ungkapan Yusuf al-Qardhawi dimana
hasil laut yaitu di qiyas-kan dengan zakat hasil pertanian. Karena penulis memandang bahwa
hasil laut banyak macamnnya dan ada yang didapat dengan mudah dan ada yang melalui
proses penambangan.
Adapun mengenai besar dan nishab zakat hasil laut menurut Yusuf alQardhawi itu harus ditetapkan berdasarkan sulit, mudah, banyak dan harga barang itu.
Jadi Yusuf al-Qardhawi menyerahkan berpendapat bahwa besar kecilnya jumlah
zakat yang dikeluarkan itu diserahkan kepada ijtihad dan keputusan para ahli, apakah
20% atau 5%. Menurut penulis pendapat Yusuf al-Qardhawi tersebut terkesan kurang
65
jelas namun penulis menyadari bahwa penetapan zakat hasil laut memang terlalu
sukar karena disamping tidak adanya dalil yang khusus juga banyak barang ragam
dari hasil eksploitasi laut, namun demikian zakat hasil laut seperti di ungkapkan
Yusuf al-Qardhawi bisa di qiyas-kan (dianalogikan) dengan zakat pertanian, baik
dalam nishab maupun kadar dan prosentasenya.
Menurut Yusuf al-Qardhawi hasil ikan yang ditangkap itu sangat besar dan
menghasilkan uang yang sangat banyak apa lagi di zaman sekarang ini penangkapan ikan
bukan saja oleh para nelayan tetapi juga dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar dan
menggunakan peralatan canggih. Oleh karenanya menurut Yusuf al-Qardhawi berpendapat
bahwa sangat tidak wajar apabila ikan tidak dikenakan zakat berdasarkan penganalogian
barang tambang, hasil pertanian, dan lain-lain.
Dengan demikian penulis berpendapat bahwa ungkapan Yusuf al-Qardhawi
tentang wajibnya zakat hasil laut sangatlah relevan dengan kondisi saat ini, dimana
perkembangan zaman dan teknologi semakin canggih sehingga masyarakat saat ini
sangat mudah menagkap ikan bahkan dalam jumlah yang relative besar dan
menghasilkan milyaran rupiah tiap tahunnya. Seperti pendapatan yang diperoleh oleh
Bapak H. Lala dan Bapak H. Ile pendapatan mereka sangat besar jadi pendapatan
mereka di qiyas-kan dengan zakat pertanian, dimana halnya pertanian yang tadah
hujan diambil sepersepuluh zakatnya, begitu juga untuk ikan tergantung cuaca yang
bagus, berdasarkan landasan hadits berikut ini.
66
‫ وصفالعشز‬:‫وما سقي بالىضح‬،‫ العشز‬:‫او كان عثزيّا‬،‫فيما سقت السماء والعيىن‬
Artinya: “Pada pertanian yang tadah hujan atau mata air atau yang menggunakan
penyerapan akar (Atsariyan) diambil sepersepuluh dan yang disirami
dengan penyiraman maka diambil seperduapuluh.” (HR. al-Bukhari)
Ijtihad menurut Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy ialah kesanggupan
mengistinbathkan hukum syar‟i dari dalil syara (kitabullah dan sunnatur Rasul), dan
ijtihad ini terbagi terbagi dua. Pertama, mengambil hukum dari dharir nash, yaitu
penetapan hukum yang dilengkapi oleh nash; kedua penetapan hukum dari
memahamkan nash,umpamanya sesuatu nash mempunyai „illat, maka disamakan
nash itu hukum inilah yang dinamai qiyas.12
Hal ini juga sesuai dengan kaidah hukum: “Hukum itu berputar atas „illat
hukumnya, ada tidak adanya hukum”.13Artinya dalam kaidah tersebut jika „illatnya
ada, hukum ada dan jika „illatinya tidak ada (situasi dan kondisi telah berubah), maka
hukumnya tidak ada, dengan ini penulis memandang bahwa adanya kewajiban untuk
mengeluarkan zakat terhadap hasil laut seperti ambar, mutiara, rumput dan juga ikan
terdapat „illat hukum yang mewajibkannya dan penganalogian dengan zakat barang
tambang dan pertanian.Yang terpenting di sini adalah bahwa tujuan zakat yang utama
adalah memenuhi kebutuhan orang-orang fakir.
12
Muhammad hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam Semarang: Pustaka Rizki Putra,
1997, hlm.51.
13
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994. hlm. 124.
67
Cara menentukan kadar nishab zakat hasil laut (setara dengan harga 520 kg
beras),dan besaran harta yang dizakatkan antara 5 - 10%, dan dilaksanakan setiap kali
panen, contoh cara perhitungan zakat yang harus dikeluarkan oleh Bapak H.Lala
sebagai berikut:Pendapatan yang diperoleh selama satu bulan sebesar Rp.
60.000.000,- dikurangi biaya operasioanl Rp.4000.000,-
sisa Rp. 56.000.000,-
sedangkan kadar zakatnya 10%. Jadi Rp. 56.000.000 x 10 : 100 = Rp. 5.600.000,-.
Jadi Bapak H. Lala harus mengeluarkan zakat sebesar Rp.5.600.000,- pada setiap kali panen (
perhitungannya 5 bulan sekali dalam memanen kerang hijau).
Selanjutnya penulis akan menjelaskan perhitungan zakat yang harus dikeluarkan
oleh nelayan yang mencari ikannya dilaut meskipun pendapatannya belum mencapai
nisab,jika pendapatannya besar maka wajib dikeluarkan zakatnya, prosentase perhitungannya
sama dengan zakat hasil pertambakan diatas yang di qiyas-kan dengan zakat pertanian, cara
perhitungannya sebagai berikut: Jika pendapatan juragan sudah bersih dan sudah termasuk
dihitung modal yang berjumlah Rp.4.900.000,- x 10 : 100 = Rp. 490.000,-. Jadi zakat yang
harus dikeluarkan oleh nelayan selaku juragan yaitu sebesar Rp. 490.000,-.
Karena zakat bukan hanya sekedar kreatifitas positif atau amal shaleh yang
bersifat individual, lebih dari itu zakat adalah usaha membangun tatanan masyarakat
yang teratur di bawah naungan negara, dengan departemen khusus yang bertugas
untuk menghimpun dan mendistribusikannya, sebab zakat merupakan bagian dari
pendapatan dan kekayaan masyarakat yang berkecukupan yang menjadi hak dan
karena itu harus diberikan kepada yang berhak, terutama untuk memberantas
kemiskinan dan penindasan. Dengan taraf yang berbeda-beda pendapatan yang
68
diperoleh dari usaha diberbagai sektor seperti pertanian, pertambangan, perindustrian,
jasa dan perdagangan perlu dipotong dengan biaya produksinya setiap panennya atau
dalam hitungan setahun, tetapi didistribusikannya dapat dilakukan sepanjang waktu.14
Dalam hal ini, menurut penulis zakat hasil laut di analogikan dengan zakat pertanian
karena kalau kita lihat bahwa zakat pertanian besar zakatnya disesuaikan dengan
tingkat kesusahan dan harga barang tersebut memang benar bahwa meng-istinbathkan
hukum dari kaidah-kaidah syara yang bersifat umum.
14
M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999), hlm. 446.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setelah penyusun mendeskripsikan dan menganalisa pendapatan nelayan
di Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara dalam pembahasan
penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.
Dalam Al-Quran dan Hadis tidak disebutkan secara jelas tentang zakat hasil ikan
laut dan pertambakan, dasar hukumnya masih bersifat umum sehingga harus
dianalisis menurut konteksnya. Zakat hasil laut memang terlalu sukar karena
disamping tidak adanya dalil yang khusus juga banyak barang ragam dari hasil
eksploitasi laut, namun demikian zakat hasil laut seperti di ungkapkan Yusuf alQardhawi bisa di qiyas-kan (dianalogikan) dengan zakat pertanian, baik dalam
nishab maupun kadar dan prosentasenya.
2.
Pendapatan nelayan di Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta
Utara belum dapat digolongkan sebagai pendapatan yang berpotensi zakat,
khususnya untuk nelayan yang hasil tangkapan dari laut, karena pendapatan
tersebut belum mencapai nishab (kuota), ada beberapa faktor diantaranya kondisi
cuaca saat ini, dan pengaruh limbah terhadap air laut yang tercemar. Lain halnya
dengan pendapatan yang di peroleh melalui pertambakan maka harus dikeluarkan
zakatnya karena penghasilan yang besar dan mecapai nisab dan cara
69
70
perhitungannya adalah dengan setiap kali panen kemudian diambil zakatnya
tanpa harus menunggu setahun, hal itu di qiyaskan pada zakat pertanian,
begitupun jika hasil nelayan yang menangkap ikan dilaut pengeluaran zakatnya
sama dengan hasil pertambakan yaitu di qiyas-kan dengan zakat pertanian
dengan prosentase 5% - 10%.
B.
Saran-saran
1.
Dengan adanya karya ini diharapkan dapat membantu para nelayan pada
umumnya dan khususnya nelayan di Kelurahan Kamal Muara Kecamatan
Penjaringan Jakarta Utara, menentukan apakah pendapatan yang diperolehnya
telah memenuhi persyaratan kewajiban mengeluarkan zakat atau belum. Apabila
pendapatan tersebut telah memenuhi persyaratan, maka seyogyanya para nelayan
mengeluarkan zakat untuk setiap pendapatan yang diperolehnya, karena
mengeluarkan zakat untuk umat muslim yang telah memenuhi syarat adalah
wajib hukumnya.
2.
Kepada insan akademisi (mahasiswa, peneliti, dan lain sebagainya), sedianya
hasil penelitian ini bisa dijadikan rujukan awal dan sementara, untuk kemudian
dikembangkan dengan penelitian-penelitian yang lebih mendalam, sehingga
berguna, baik bagi pengembangan keilmuan fiqh Islam, maupun bagi
kesejahteraan dan keadilan ekonomi masyarakat, terutama masyarakat Kelurahan
Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara, sesuai dengan kehendak
dan tujuan syari’at (maqashid al-syari’ah).
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Abu Hasan bin Muhammad bin Hubaid, al-Bishri, al-Baghdadi, 1984
Ali, Muhammad Daud, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: (UI Press)
1988
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka
Cipta, 2006
Azizy, A. Qodri, Membangun Fondasi Ekonomi Umat, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004
Ba’iy, Abdul al-Hamid Mahmud, Ekonomi Zakat, Jakarta: PT. Grafindo Persada,
2006
Bahreisy, Salimdan Said Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsier,
Surabaya: PT. BinaIlmu, 1988
Bakry, Nazar, Fiqhdan Ushul Fiqh, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994
Bukhari, Imam, Shahih al-Bukhari Kitab al-Imam, Beirut: Daar al-Fikr, 1991
Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hove,
1996
Daradjat, Zakiah, Zakat Pembersih Hartadan Jiwa, Jakarta: YPI RUHAMA,
1993
Din, Mohd SallehHj, Zakat dan Wira usaha, Jakarta: CED, 2005
Fakhruddin, Fiqhdan Manajemen Zakat di Indonesia. UIN-Malang Press, Malang:
2008.
Habsyi, M. Baghir, Fiqh Praktis, Bandung: Mizan Media Utama, 2002
Hadi, Sutrisno, Metode Riset, Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1987.
Hafidhuddin, Didin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani
Press, 2002
Hasan, Abdul Halim, Tafsir al-Ahkam, Jakarta: Kencana, 2006
71
72
Hasan, M. Ali, TuntunanPuasadan Zakat, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2001
Hasbi, Furqon, 125 Masalah Zakat, Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2008.
Husaini, Imam Taqiyuddin Abu Bakar, Kifayatul Akhyar, Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 1997
Ismail, Abu Fada’ bin Umar bin Katsir bin al-Qursy ad-Damsyiqi, Tafsir Ibnu
Katsier, Beirut: DaarulFikr
Katsier, Ibnu, Shahih tafsir Ibnu Katsier, Riyadh: Pustaka Ibnu katsir, 2001
Khudri, Syeikh Muhammad, Ushul al-Fiqh, Mesir: Daar al-Fikr, 1998
Kurnia, Hikmat, dan Ade Hidayat, Panduan Pintar Zakat, Jakarta: Qultum Media,
2008
Lughah al-Aarabiyah, Majma, al-Mu’jam al-Wasith, Mesir: Daar al-Ma’arif, 1972
Mas’udi, Masdar F, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993
Mufraini, M. Arief, Akutansidan Manajemen Zakat, Jakarta: Kencana, 2006
Muhammad, Abu Ja’far bin Jarir bin Yazid bin Gholib, Tafsir at-Thobri, Beirut:
DaarulFikr
Muhammad, Fakhruddin bin Umar bin Husain ar-Rozi, Tafsir al-Kabir, Lebanon:
DarulFikr, 1981
Muhammad, ZakatProfesi, Wacana Pemikiran dalam Fikih Kontemporer, Jakarta:
SalembaDiniyah, 2002
Munawar, Ahmad Warso, al-Munawir Kamus Arab- Indonesia, Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997
Mursyidi, Akutansi Zakat Kontemporer, Bandung: RemajaRosdaKarya, 2003
Pedoman Zakat 9 Seri, Jakarta: Proyek Peningkatan Sarana Keagamaan Islam
Zakat dan Wakaf, 1998
Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, 2006
73
Purnomo, Syaichul Hadi, Perumusan Zakat Dewasa ini: Sumber-Sumber
Penggalian, Pengelolaan, dan Sasaran Penggunaannya, Surabaya: C.V,
Blok, 1981
Qadir Abdurrachman, Zakat Dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial Jakarta: Raja
GrafindoPersada: 2001
Qardhawi, Yusuf, Fiqhaz-Zakah, Kairo: Maktabah Wahbah, 2006
Qardhawi, Yusuf, Fiqhu al-Zakah, Beirut: DarulIrsyad, 1969
Qardhawi, Yusuf, Musykilat al-Faqrwa Kaifa ‘AlaJoha al-Islam, Terj. A. Maimun
Syamsudin, dan A. Wahid Hasan, Teologi Kemiskinan, Yogyakarta: 2002
Qardhawi, Yusuf, Risalah Zakat Fitrah, Surabaya: Pustaka Progresif, 1991.
Qudamah, Ibnu, al-Mughni, Jakarta: PustakaAzzam, 2013.
Rahardjo, M. Darmawan, Islam dan Transformasi Ekonomi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999
Rofiq,
Ahmad, Fikih Kontekstual dari
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Normatif
ke
Pemaknaan
Sosial,
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2012
Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pedoman Zakat, Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 1999
Shihab, Quraish, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1994
Sugiono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Bandung: Alfabeta, 2004.
Syahhatih, Syauqi Isma’il, Penerapan Zakat dalam Dunia Modern, Metropos:
Pustaka Dian/Antar Kota, 1987
Ubaydin, Aby al-Qasimi Ibnu Sallam, Al-Amwal, Nwe York: Dar as-Salam, 2009
Undang-undang Republik Indonesia, Tentang Pengolaan Zakat, 1999
Z, Zurinal, dan Aminuddin, Fiqh Ibadah, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN, 2008.
Zuhayly, Wahbah, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 1995
Download