ZAKAT HASIL TANGKAPAN LAUT DI KELURAHAN KAMAL MUARA KECAMATAN PENJARINGAN JAKARTA UTARA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy.) Oleh : Saidah Hijriah NIM :1110043100037 KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H / 2015 M PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul “ZAKAT HASIL TAGKAPAN LAUT DI KELURAHAN KAMAL MUARA KECAMATAN PENJARINGAN JAKARTA UTARA” telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22 Oktober 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum. Jakarta, 22 Oktober 2015 Mengesahkan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Dr. Asep Saepudin Jahar, MA NIP. 196912161996031001 PANITIA UJIAN MUNAQASYAH Ketua : Fahmi Muhammad Ahmadi, MSi NIP. 197412132003121002 ( ............................. ) Sekretaris : Hj. Siti Hana, S.Ag, Lc, MA NIP.197402162008012013 ( ............................. ) Pembimbing I : Fahmi Muhammad Ahmadi, MSi NIP. 197412132003121002 ( ............................. ) Pembimbing II: Hj. Ummu Hana Yusuf Saumin,MA NIP.150277548 ( ............................. ) Penguji I : Drs. Sirril Wafa, MA NIP. 196003181991031001 ( ............................. ) Penguji II : Dr, H. Ahmad Tholabi Kharlie, MA NIP 197608072003121001 ( ............................. ) i 1437 H/2015 M ii ABSTRAK Saidah Hijriah, NIM 1110043100037, Zakat Hasil Tangkapan Laut di Kelurahan Kamal Muara Kec. Penjaringan Jakarta Utara, Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fiqih, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436/2015M. Nelayan di Kelurahan Kamal mempunyai beberapa metode dalam pencarian dilaut diantaranya pertambakan dan hasil tangkapan laut menggunakan perahu yang dimiliki oleh juragan. Dari pendapatan-pendapatan tersebut dapat digolongkan sebagai pendapatan yang berpotensi zakat atau tidak. Apabila pendapatan-pendapatan tersebut tergolong pendapatan yang berpotensi zakat, maka bagaimanakah cara penghitungan zakatnya. Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan instrumen penelitian lapangan (field research), dan penelitian kepustakaan yang didasarkan pada suatu pembahasan dengan menggunakan metode studi kepustakaan (library research), metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yakni penulis berusaha menyajikan fakta-fakta yang objektif sesuai dengan kondisi dan situasi yang sebenarnya terjadi pada saat penelitian dilakukan. Hasil analisis ini disimpulkan bahwa pendapatan nelayan di Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara belum dapat digolongkan sebagai pendapatan yang berpotensi zakat, khususnya untuk nelayan yang hasil tangkapan dari laut, karena pendapatan tersebut belum mencapai nishab (kuota), ada beberapa faktor diantaranya kondisi cuaca saat ini, dan pengaruh limbah terhadap air laut yang tercemar. Lain halnya dengan pendapatan yang di peroleh melalui pertambakan maka harus dikeluarkan zakatnya karena penghasilan yang besar dan mecapai nisab dan cara perhitungannya adalah dengan setiap kali panen kemudian diambil zakatnya tanpa harus menunggu setahun, hal itu di qiyaskan pada zakat pertanian, begitupun jika hasil nelayan yang menangkap ikan dilaut pengeluaran zakatnya sama dengan hasil pertambakan yaitu di qiyas-kan dengan zakat pertanian yang prosentasenya sebesar 5% - 10%. Pembimbing : Fahmi Muhammad Ahmadi, M. Si. Ummu Hana Yusuf Saumin, MA. Daftar Pustaka : Tahun 1969-2013. iv KATA PENGANTAR Dengan penuh kerendahan hati, kutengadahkan kedua tangan ini. Untuk sekedar meluapkan rasa, kemudian sujud syukur kepada Allah SWT. bibir dan hati ini seakan menyatu menyimpulkan kata “Alhamdulillah” segala puji kupersembahkan kepada-Nya. Karena penulis dapat menuntaskan kewajiban studinya, yaitu penulisan skripsi guna memenuhi syarat dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Syari’ah pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat teriring salam penulis haturkan kepada suri tauladan umat, sang baginda Rasulullah SAW, para keluarga, sahabat dan orang-orang yang tercerahkan untuk membumikan hukum-hukumnya. Dalam kesempatan ini pula, penulis menghaturkan banyak terimakasih atas kerjasama dan bantuannya, baik moril maupun materiil. Karena penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak mungkin terwujud tanpa orang-orang disekelilingku. Untuk itu penulis sepantasnyalah menyampaikan rasa terimakasih kepada: 1. Bapak, Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak (Abah) Fahmi Muhammad Ahmadi, M. Si, selaku ketua jurusan PMH dan dosen pembimbing sekaligus kyai dan guru yang telah rela meluangkan waktunya dan selalu sabar memberikan masukan, arahan dan kritikan yang konstruktif serta mendo’akan penulis, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan, dan Ibu Siti Hana Harun Lc, selaku sekeretaris Jurusan PMH yang telah memberikan arahan, bimbingan dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi. 3. Ibu Hj. Ummu Hanah Yusuf Saumin, MA, selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, meluangkan waktu dengan penuh keikhlasan, dan kesabaran serta dukungan do’a, waktu, dan motivasi sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. 4. Bapak/Ibu dosen Fakultas Syari’ah dan hukum yang telah memberi ilmu, pengalaman dan nasehat kepada penulis. Semoga ilmu yang penulis dapatkan dari Bapak/Ibu dapat bermanfaat dunia dan akhirat serta menjadi amal kebaikan bagi Bpak/Ibu dosen. 5. Seluruh staf karyawan Perpustakaan Utama dan staf karyawan fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas kerjasamanya dalam pelayanan yang terbaik dalam pengumpulan materi skripsi dan kelancaran administrasi. 6. Pejabat Kantor Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara, beserta jajarannya yang telah membantu proses kelancaran dalam memperoleh data-data yang diperlukan untuk penelitian ini. vi 7. Para relawan yang telah bersedia untuk diwawancarai sehingga membantu kelancaran dalam memperoleh data-data yang diperlukan untuk penelitian ini. 8. Ayahanda tercinta (Sanusi) dan Ibunda tersayang (Jubaedah) yang selalu menjadi penyejuk hati, penenang jiwa, penyemangat hidup, yang tak pernah kenal lelah untuk terus berkorban bagi anaknya. Senyum mu adalah penyemangat penulis dalam menjalani kehidupan ini, serta doa yang tak pernah terhingga sepanjang masa untuk keberhasilan studi penulis, mudahmudahan Allah SWT selalu memberikan limpahan rahmat dan kasih sayangNya, segala hormat dan cinta yang tak terhingga penulis persembahkan. Seluruh keluarga besarku, yang senantiasa memberikan motivasi dan dukungan agar penulis tetap semangat dalam menempuh studi di kampus tercinta ini dan selalu memberikan keceriaan dalam bingkai kebersamaan baik suka maupun duka. 9. Kepada sahabat-sahabat penulis dan teman-teman Perbandingan Mazhab Fikih angkatan 2010 yang telah memberikan bantuan berupa dorongan moral kepada penulis untuk menyelesaikan Skripsi ini dan memberikan kesan tersendiri bagi penulis selama menuntut ilmu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Besar harapan bagi penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang memerlukannya dan dapat memberikan khazanah baru dalam dunia akademik. Sebagai manusia yang dhoif, yang memiliki keterbatasan dan kekurangan, tentunya skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Akhirnya, hanya kepada Allah SWT juga kita memohon agar apa yang telah kita lakukan menjadi sesuatu investasi yang sangat berharga dan kelak dapat membantu kita di yaumil akhir. Jakarta, 16 Oktober 2015M 03 Muharram 1437H vi DAFTAR ISI PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .............................................................. ii LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iii ABSTRAK ........................................................................................................... iv KATA PENGANTAR ......................................................................................... v DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1 B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah ............................................. 7 C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ....................................................... 7 D. Review Study Terdahulu ................................................................ 8 E. Metode Penelitian ............................................................................ 10 F. Sistematika Penulisan ...................................................................... 11 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZAKAT A. Definisi dan Dasar Hukum Zakat .................................................... 13 1. Definisi Zakat .............................................................................. 13 2. Dasar Hukum Zakat .................................................................... 16 B. Syarat Wajib dan Rukun Zakat dalam Islam ................................... 19 1. Syarat Wajib ................................................................................ 19 2. Rukun Zakat.................................................... ............................ 22 3. Macam-Macam Zakat ................................................................. 23 4. Orang-Orang Yang Berhak Menerima Zakat ............................ 23 C. Jenis-jenis Harta Kekayaan yang Wajib Dikeluarkan Zakatnya ..... 32 1. Jenis Kekayaan ......................................................................... 32 2. Zakat Modal Usaha .................................................................... 37 vii 3. Zakat Rikaz ................................................................................ 37 4. Zakat ma’din .............................................................................. 38 5. Zakat Hasil Laut......................................................................... 49 D. Tujuan dan Hikmah Zakat ............................................................... 41 1. Tujuan Zakat .............................................................................. 41 2. Hikmah Zakat ............................................................................ 43 BAB III PENDAPATAN NELAYAN DI KELURAHAN KAMAL MUARA KECAMATAN PENJARINGAN JAKARTA UTARA A. Gambaran Umum Kelurahan Kamal Muara ..................... ............... 47 1. Letak Geografis.......................................................................... 47 2. Keadaan Demografis.................................................................. 49 3. Keadaan Sosiologis .................................................................... 49 B. Sistem Penangkapan Nelayan Kelurahan Kamal Muara........... ...... 50 BAB IV ANALISIS ZAKAT HASIL TANGKAPAN LAUT KELURAHAN KAMAL MUARA KECAMATAN PENJARINGAN JAKARTA UTARA A. Analisis Hukum Islam Tentang Zakat Hasil Tangkapan Laut ......... 53 B. Analisis Tentang Pendapatan Nelayan Yang Berpotensi Zakat ...... 61 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...................................................................................... 69 B. Saran-saran....................................................................................... 70 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 71 LAMPIRAN – LAMPIRAN viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Zakat merupakan salah satu rukun Islam, yang merupakan ibadah kepada Allah dan sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan, untuk mempersucikan dan mempertumbuhkan harta serta jiwa pribadi para wajib zakat, mengurangi penderitaan masyarakat, memelihara keamanan serta meningkatkan pembangunan. Pada hakikatnya bagian dari peraturan Islam tentang kehartabendaan (Nizamul Islam al-Mali wal Ijtima’i), dibahas dalam kitab as-siyasah asy-syar’iyyah. Adapun disebutkannya dalam ibadah adalah karena ia menjadi saudara kandung dari shalat.1 Zakat adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu, yang Allah SWT.mewajibkan kepada pemiliknya, untuk diserahkan kepada yang berhakmenerimanya, dengan persyaratan tertentu pula. 2 Zakat diwajibkan secara resmi di Mekah pada masa awal perkembangan Islam.Pada saat itu, zakat tidak dibatasi seberapa besar harta yang wajib dikeluarkan zakatnya dan tidak pula jumlah yang harus dikeluarkan zakatnya.Semua itu diserahkan kepada kesadaran dan kemurahan hati kaum muslimin. Pada tahun kedua setelah hijriah, menurut 1 Yusuf al-Qardhawi, Fiqhu al-Zakah, cet. ke-1 (Beirut: Darul Irsyad, 1969), hlm.7. 2 Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani, 2002, hlm. 7. 1 2 keterangan yang paling masyhur, mulai ditetapkan kadar dan jumlah dari setiap jenis harta yang harus dikeluarkan zakatnya.3 Zakat merupakan salah satu ibadah kepada Allah SWT setelah manusia dikarunia keberhasilan dalam bekerja dengan melimpahnya harta benda. Bagi orang muslim, pelunasan harta semata-mata sebagai cermin kualitas imannya kepada Allah SWT kepentingan zakat merupakan kewajiban agama seperti halnya sholat dan menunaikan ibadah haji. Islam memandang bahwa harta benda kekayaan adalah mutlak milik Allah SWT. sedangkan manusia dalam hal ini hanya sebatas pengurusan dan pemanfaatannya saja. Harta adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan pembelajarannya diakhirat nanti. Dengan demikian, setiap muslim yang kekayaannya telah mencapai nisab dan hawl berkewajiban untuk mengeluarkan zakat baik zakat fitrah maupun zakat mal.4 Yusuf Qardawi menyatakan bahwa zakat adalah kewajiban yang besifat tetap dan terus menerus. Ia akan berjalan terus selama islam dan kaum muslimin ada dimuka bumi ini, kewajiban tersebut tidak akan dapat dihapuskan oleh siapapun. Seperti halnya shalat, zakat merupakan tiang agama dan pokok ajaran islam. Ia merupakan ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT, karenanya memerlukan keikhlasan ketika menunaikannya. Disamping sebagai ibadah yang mengandung 3 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jakarta: Cakrawala Publishing, Cet, ke-3, 2012, hlm. 57. 4 Muhammad, Zakat Profesi: Wacana Pemikiran dalam Fiqh Kontemporer, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002, hlm. 2. 3 berbagai hikmah yang sangat penting dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat.5 Ada banyak sekali usaha yang dilakukan oleh manusia untuk mendapatkan kekayaan. Salah satunya adalah mencari penghasilan di laut, di Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara, merupakan salah satu wilayah pesisir di Kecamatan Penjaringan,ditinjau dari letak geografisnya yang berhadapan dengan Laut Jawa menyebabkan Kelurahan Kamal Muara mempunyai potensi sumber daya kelautan yang cukup besar untuk dapat dimanfaatkan masyarakat pesisir khususnya nelayan. Di Kelurahan Kamal Muara, sebagian mata pencaharian penduduknya adalah nelayan yang menangkap ikan dilaut kemudian hasilnya dijual. Ada dua metode dalam pencarian nafkah dilaut diantaranya penangkapan ikan dengan menggunakan perahu dan pertambakan kerang hijau yang hanya menggunakan alat sederhana seperti tali dan bambu, yang mereka pasang di sekitar pinggir pantai Kamal Muara. Pertambakan di Kamal Muara hanya ada pertambakan kerang hijau, tidak ada pertambakan ikan, dikarenakan lokasinya yang tidak memadai untuk menjadikannya sebagai pertambakan ikan. Dari masing-masing pertambakan, nelayan mempunyai beberapa ternak dalam pertambakan kerang hijau, dari penghasilan yang didapat dari pertambkan sangat mencukupi kebutuhan mereka, bahkan bisa membiayai anak-anak mereka sampai ke jenjang perkuliahan. Sedangkan nelayan 5 Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani, 2002, hlm. 57. 4 yang menggunakan perahu dalam pencarian ikan terdiri dari dua macam yaitu juragan (pemilik perahu) dan nelayan buruh. Dengan adanya perbedaan tersebut, maka pendapatan yang diperoleh pun berbeda-beda, pendapatan juragan jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan pendapatan nelayan buruh, karena juragan adalah selaku pemilik modal, modal awal yang dibutuhkan untuk melaut didapatkan dari perorangan dalam hal ini didapatkan dari juragan/pemilik kapal. Tetapi dalam pembagian hasilnya, dibagikan sesuai dengan jumlah nelayan buruh, setelah dipotong dengan awal modal.Sedangkan nelayan yang mempunyai pertambakan kerang hijau mereka mempunyai anak buah untuk mengerjakan pertambakan tersebut.Kegiatan ini mampu mendatangkan keuntungan bagi para nelayan. Berdasarkan besarnya potensi laut dan didukung dengan pemanfaatan yang maksimal oleh para nelayan, maka dapat dikatakan bahwa para nelayan mendapatkan kesejahteraan yang cukup layak karena mereka menguasai laut yang berpotensi besar,Para nelayan tidak setiap musim melaut.Biasanya jika musim barat 6 tiba para nelayan tidak ada yang pergi melaut dikarenakan cuaca dilaut sangat buruk, gelombang tinggi, badai dan angin kencang hampir setiap saat terjadi pada musim ini. Musim barat biasanya dimanfaatkan oleh para nelayan untuk memperbaiki perahu, mesin dan jaring jika ada yang rusak, dan akan digunakan lagi pada saat musim barat telah usai. Pada saat melaut biasanya satu perahu diisi kurang lebih 3 sampai 5 orang 6 Musim barat yakni musim yang dipengaruhi oleh angin barat, artinya angijn yang bertiup dari arah barat, dan arus selatan, artinya arus yang menerjang arah selatan yang mengakibatkan perahu nelayan sulit berlayar. 5 dengan lama perjalanan 7-15 hari atau sedikitnya para nelayan melaut dua kali dalam satu bulan, dan ada juga nelayan yang setiap harinya pulang. Penghasilan yang didapat tidak menentu, kadang bisa mencapai puluhan juta rupiah, kadang juga hanya ratusan ribu rupiah dan bahkan bisa juga tidak mendapatkan hasil sama sekali. Disamping itu mayoritas penduduk Kelurahan Kamal, Kecamatan Penjaringan adalah muslim, bagi seorang muslim suatu kewajiban baginya untuk menunaikan perintah agama yaitu membayar zakat hasil penangkapan ikan dilaut, setelah ia mendapatkan keberhasilan dalam usahanya dengan melimpahkan harta benda. dengan pendapatan yang demikian selama ini para nelayan disana belum mengeluarkan zakat pendapatan nelayan, dikarenakan kurangnya pemahaman dan informasi mengenai zakat pendapatan itu sendiri. Pemahaman para nelayan di Kelurahan Kamal Muara tentang zakat hanya seputar zakat fitrah dan zakat mal yang sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat al Qu’randan hadits Nabi, yaitu meliputi pertanian, peternakan, perdagangan, emas dan perak, dan harta rikazatau harta terpendam. Padahal dengan menggunakan metode analogy (qiyas) zakat tidak hanya pada harta yang telah disebutkan diatas saja, akan tetapi terdapat pula sumber-sumber zakat baru yang sesuai dengan perekonomian modern saat ini, sumber zakat tersebut adalah zakat profesi, zakat perusahaan, zakat surat-surat berharga (saham dan obligasi), zakat perdagangan mata uang, zakat hewan ternak yang diperdagangkan, zakat madu dan produksi hewan, zakat investasi properti (pabrik, gedung dan yang sejenisnya), zakat asuransi syari’ah, zakat tanaman 6 anggrek, ikan hias, sarang burung wallet, dan sektor modern lainnya yang sejenis, dan zakat sektor rumah tangga modern.7 Akibat dari kurangnya pemahaman mengenai persoalan tersebut dan zakat pendapatan tidak disebutkan dalam al Qur’an dan hadits secara langsung sebagaimana zakat-zakat diatas, maka masyarakat Kamal Muara menganggap bahwa tidak ada zakat untuk penghasilan/pendapatan yang telah diperoleh dari pekerjaan/profesi mereka (nelayan). Akan tetapi, jika seseorang nelayan memperoleh pendapatan yang cukup banyak atau lebih dari biasanya, maka nelayan tersebut akan membagikan uang atau ikan hasil tangkapannya kepada kerabat dan para tetangga mereka yang kurang mampu. Namun perlu diingat bahwa pembagian tersebut bukan dimaksudkan untuk menunaikan zakat tetapi hanya untuk sadaqah. Dari kedua macam pendapatan diatas, apakah pendapatan-pendapatan tersebut dapat digolongkan sebagai pendapatan yang berpotensi zakat atau tidak. Apabila pendapatan-pendapatan tersebut tergolong pendapatan yang berpotensi zakat, maka bagaimanakah cara penghitungannya karena ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang muslim untuk menunaikan kewajiban membayar zakat agar sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Sehubungan dengan latar belakang diatas, penulis tertarik mengkaji masalah tersebut.Penulis berpendapat bahwa kasus tersebut layak untuk diteliti dan dikaji 7 Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm.93-123. 7 lebih lanjut. Dalam hal ini penulis mencoba menyusun sebagai karya skripsi penulis dengan judul: “ZAKAT HASIL TANGKAPANLAUT di Kel. Kamal Muara Kec. Penjaringan Jakarta Utara”. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Agar pembahasan skripsi ini tidak melebar dari yang diinginkan, maka penulis membatasi fokus pembahasan masalah hanya sebatas bagaimanacara pengeluaran zakat hasil tangkapan ikan laut pada masyarakat di Kel.Kamal muara Kec.penjaringan. Dari pembatasan masalah diatas, dan kemudian supaya pembahasan lebih terfokus sesuai dengan judul skripsi yang penuliskemukakan, maka dapat di rumuskan masalahnyasebagai berikut: 1. Apakah pendapatan nelayan di Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan dapat digolongkan sebagai pendapatan yang berpotensi zakat? 2. Apabila pendapatan nelayan tersebut dapat digolongkan sebagai pendapatan berpotensi zakat, maka bagaimanakah cara penghitungan zakatnya? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Dalam penulisan skripsi ini terangkum beberapa tujuan diantaranya: 1. Untuk mengetahui pendapatan nelayan di Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan yang dapat digolongkan sebagai pendapatan yang berpotensi zakat. 2. Memperoleh gambaran atau deskripsi mengenai bagaimana cara perhitungan zakatnya. 3. Untuk tercapainya pemberdayaan zakat secara benar. 8 Adapun manfaat penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk memenuhi perbendaharaan isi perpustakaan fakultas Syari’ah dan Hukum dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bagi kalangan akademisi dan masyarakat umum, penelitian ini diharapkan dapat memberiskan kontribusi besar keilmuan bagi yang berminat untuk mengkaji aspek-aspek yang berhubungan dengan dinamika perkembangan hukum Islam di Indonesia. 3. Sebagai informasi sekaligus menambah pengetahuan tentang kewajiban melaksanakan zakat pendapatan nelayan bagi para nelayan pada umumnya dan khususnya bagi para nelayan di Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara. D. Review Studi Terdahulu Untuk menghindari penelitian dengan objek yang sama, maka diperlukan kajian terdahulu. Berdasarkan pengamatan dan pengkajian yang telah dilakukan terhadap beberapa sumber kepustakaan terkait dengan permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini, penulis telah membaca skripsi, baik dari Fakultas Syari’ah dan Hukum, maupun Fakultas lain, bahkan Universitas lain yang terkait dengan permasalahan yang akan dibahas, namun karakteristiknya berbeda-beda. Adapun beberapa karya yang mempunyai korelasi dengan permasalahan yang akan diangkat oleh penulis antara lain sebagai berikut: Deni Jazuli, dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2005), pada tulisannya yang berjudul “Pembagian Hasil Nelayan di Desa Weru Kecamatan Paciran 9 Kabupaten Lamongan Jawa Timur Ditinjau dari Hukum Islam”. Pembahasan dalam penelitian ini tentang bagaimana kerjasama bagi hasil penangkapan ikan di Desa Weru yang berdasarkan adat istiadat yang berlangsung di sana. Selanjutnya juga dijelaskan mengenai cara-cara bagi hasil penangkapan ikan di desa Weru yang menurut Hukum Islam telah sesuai dengan syari’at islam. Muhammad Ali, dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2003) pada tulisannya yang berjudul “Praktek Jual Beli Hasil Laut Antara bakul dan Nelayan di Desa Gebang Mekar Kecamatan Babakan Kabupaten Cirebon. Tulisan ini memfokuskan bagaimana terajadinya praktek jual beli hasil laut antara bakul dan nelayan, kemudian dijelaskan pula dalam hal transaksi di anatara mereka dan bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap praktek tersebut. Sri Wahyuni, dari UIN Sunan Kalijaga (2006), “Etos Kerja Nelayan di Desa Torjek Kecamatan Kangayan Kabupaten Sumenep”.Tulisan ini membahas tentang pandangan nelayan terhadap pekerjaannya, nelayan di Desa Torjek memiliki pandangan bahwa kerja merupakan suatu keharusan dan kewajiban bagi setiap manusia untuk memenuhi kebutuhannya, kemudian mengenai perilaku nelayan dalam bekerja dilihat dari sikap kerjanya, ketekunan dalam bekerja, efisiensi kerjanya dan pemanfaatan hasilnya. Sedangkan yang membedakan dari penelitian ini membahas tentang zakat hasil tangkapan ikan laut, jika pendapatannya mencapai nishab maka wajib mengeluarkan zakat sesuai ketentuan syari’ah berdasarkan analogi qiyas. Dengan demikian sangat jelas terlihat beda antara penelitian yang penulis susun dengan penelitian-penelitian tersebut di atas. 10 E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan instrumen penelitian lapangan (field research), dan penelitian kepustakaan yang didasarkan pada suatu pembahasan dengan menggunakan metode studi kepustakaan (library research), yaitu suatu metode yang dilakukan dengan mengumpulkan data-data dan bahan-bahan penelitian melalui studi kepustakaan yang diperoleh melalui kajian undang-undang dan peraturan-peraturan yang ada dibawahnya serta bahan-bahan yang lainnya yang berhubungan dengan data-data penelitian.8 Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yakni penulis berusaha menyajikan fakta-fakta yang objektif sesuai dengan kondisi dan situasi yang sebenarnya terjadi pada saat penelitian dilakukan.9 2. Sumber Data a. Primer, adapun data primer berasal dari study kepustakaan, seperti: kitab-kitab Fiqh, seperti: Kitab Zakat karangan Yusuf Qardhawi, Wahbah al-Zuhayly, kitabkitab hadits seperti Shahih al-Bukhari. b. Sekunder yaitu didapat dari buku-buku yang berkaitan dengan tema dalam skripsi ini. 8 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006). 9 200. Sugiono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, (Bandung: Alfabeta, 2004), hlm. 11 3. Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data sebagai berikut: a. Teknik observasi adalah suatu cara mengumpulkan data dengan pengamatan dan pencatatan terhadap fenomena-fenomena yang diteliti. 10 Tujuan pengamatan ini adalah untuk memperoleh data sebagaimana mestinya. b. Teknik interview atau wawancara adalah metode pengumpulan data dengan menggunakan tanya jawab langsung, yang dikerjakan secara sistematik dan dilandaskan pada tujuan penelitian. 11 Interview yang digunakan adalah bebas terpimpin, artinya dilakukan dengan kerangka-kerangka pertanyaan baru yang berhubungan dengan permasalahan.Metode ini digunakan dalam melaksanakan wawancara dengan para nelayan di kelurahan Kamal Muara seputar pelaksanaan zakat hasil laut yang mereka praktekkan. 4. Teknik Penulisan Skripsi Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012”. F. Sistematika Penulisan Dalam skripsi ini penulis membagi pembahasan ke dalam (5) lima Bab, dimana masing-masing bab mempunyai sub bahasan, hal ini dimaksudkan untuk 10 Sutrisno Hadi, Metode Rised, Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1987, hlm. 62. 11 Sutrisno Hadi, Metode Rised, Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1987, hlm.. 193. 12 memberikan penekanan pembahasan mengenai topik-topik tertentu dalam penulisan skripsi ini sehingga mendapatkan gambaran dan penjelasan yang utuh. Lebih jelasnya, gambaran sistematika pembahasan penulisan skripsi ini sebagai berikut: BAB I Merupakan pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II Menguraikan kewajiban zakat secara umum yang terdiri dari pengertian, dan dasar hukum zakat,macam-macam zakat, harta yang wajib dizakati, orang-orang yang berhak menerima zakat, serta tujuan dan hikmah zakat. BAB III Dideskripsikan tentang gambaran umum wilayah yang dijadikan tempat penelitian, yang bertujuan untuk mengetahui keadaan masyarakat di daerah tersebut, juga akan diuraikan mengenai letak geografisnya agar dapat diketahui dengan jelas letak daerah tersebut, kemudian akan diuraikan pula mengenai pendapatan nelayan di Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara. BAB IV Adalah bagian yang berisi analisa dari data-data yang telah diperoleh sebagaimana diuraikan dalam bab tiga yaitu mengenai pendapatan nelayan di Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara. BAB V Merupakan kesimpulan penutup yang terdiri atas kesimpulan penelitian ini, saran-saran dan penutup. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZAKAT A. Definisi dan Dasar Hukum Zakat 1. Definisi Zakat Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat mempunyai beberapa arti, yaitu albarakatu “keberkahan”, al-namaa, “pertumbuhan dan perkembangan”, al-Taharah, “kesucian”, dan al-Salah, “keberesan”.1 Menurut terminologi istilah zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu pula yang diwajibkan oleh Allah SWT. untuk dikeluarkan dan diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya.2 Zakat menurut syara‟, Al-Mawardi dalam kitab Al-Hawi berkata: الزكا ة اسن صزيح ألخذ شي ء هخصىص هي ها ل هخصىص على أوصاف 3 هخصىصة لطا ئفة هخصىصة Artinya:“Zakat itu nama bagi pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu untuk diberikan kepada golongan yang tertentu.” Kata zakat merupakan kata dasar dari zaka memiliki beberapa arti, yaitu berkembang, bertumbuh, dan bertambah.4 Menurut lisan al Arab, kata zaka 1 Majma Lughah al-Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasith, (Mesir: daar al-Ma‟arif, 1972) Juz I, hlm.396. 2 Muhammad, Zakat Profesi: Wacana Pemikiran dalam Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), hlm. 10. 3 Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Hubaid, Al-Bishri, Al-Baghdadi, Cet.1 Juz 3, 1984, hlm. 71. 13 14 mengandung arti suci, tumbuh, berkah, dan terpuji. Zakat menurut istilah fiqh adalah sejumlah harta tertentu yang harus diserahkan kepada orang-orang yang berhak menurut syari‟at Allah SWT.5 Sedangkan secara istilah, meskipun para ulama mengemukakannya dengan redaksi yang agak berbeda antara satu dan lainnya, akan tetapi pada prinsipnya sama, yaitu bahwa zakat adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu, yang Allah SWT mewajibkan kepada pemiliknya, untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya, dengan persyaratan tertentu pula. Hubungan antara pengertian zakat menurut bahasa dengan pengertian menurut istilah sangat nyata dan erat sekali, yaitu bahwa setiap harta yang dikeluarkan zakatnya akan menjadi berkah, tumbuh, bertambah, suci dan beres (baik). Adapun definisi zakat yang telah dikemukakan oleh beberapa ulama, diantaranya: Ulama‟ Madzhab Maliki mendefinisikan dengan “mengeluarkan sebagian yang khusus pula yang telah mencapai nishab (batas kuantitas yang mewajibkan zakat) kepadaorang yang berhak menerimanya (mustahiqq)-nya.” Dengan catatan, kepemilikan itu penuh dan mencapai hawl(setahun), bukan barang tambang dan bukan pertanian.6 Ulama‟ Madzhab Hanafi mendefinisikannya dengan “pemilikan bagian tertentu dari harta tertentu yang dimiliki seseorang berdasarkan ketetapan Allah 4 Ahmad Warso Munawar, Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 577. 5 Mursyidi, Akutansi Zakat Kontemporer, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2003), hlm. 75 6 Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1995), cet. Ke-6 hlm. 83. 15 Ta‟ala.” Definisi inipun hanya untuk zakat harta karena pengertian “harta tertentu” dimaksudkan sebagai harta yang telah mencapai nisab. Ulama‟ Madzhab Syafi‟i mendifinisikan dengan “sesuatu yang dikeluarkan dari harta/jiwa dengan cara tertentu.” Dalam definisi ini secara jelas ditunjukkan bahwa zakat yang mereka maksudkan adalah zakat harta dan zakat fitrah. Ulama‟ Madzhab Hambali mendefinisikan dengan “hak wajib pada harta tertentu bagi (merupakan hak) kelompok orang tertentu pada waktu yang tertentu pula.” Definisi inipun hanya menyangkut harta saja.7 Dari definisi diatas jelaslah bahwa zakat menurut terminologi fuqoha, dimaksudkan sebagai penunaian, yakni penunaian hak yang wajib yang terdapat dalam harta.8 Zakat merupakan salah satu sendi agama Islam yang menyangkut harta benda dan bertujuan kemasyarakatan. Sedangkan zakat dalam undang-undang Republik Indonesia nomor 38 pasal 1 ayat 2 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat diformulasikan sebagai harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.9 Menurut Quraisy Shihab yang perlu diperhatikan bahwa zakat adalah satu ketetapan Tuhan menyangkut harta, bahkan saadaqah dan infaqpun demikian. Karena Allah menjadikan harta benda sebagai sarana kehidupan 7 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid 6 Cet I, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hove Ichtiar, 1996) 8 Muhammad, Zakat Profesi: Wacana Pemikiran dalam Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), hlm. 10. 9 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat. 16 untuk umat manusia seluruhnya maka harta harus diarahkan guna kepentingan bersama.10 Berdasarkan pendapat dan ketentuan diatas, zakat merupakan perintah Tuhan untuk menciptakan kesejahteraan umat manusia dan pemerataan ekonomi. Penulis memahami zakat sebagai sarana ibadah sosial, disitu dapat diambil pengertian bahwa zakat yang berarti kemurnian dan kebersihan. Islam menggunakan makna itu untuk menyebut tindakan menyisihkan sebagian kekayaan untuk diberikan kepada orangorang yang memerlukan termasuk untuk membiayai kebutuhan umat. Hal tersebut amatlah penting karena pada dasarnya di dalam harta benda yang kita miliki itu ada hak orang Islam. Dengan diberikan kepada orang yang berhak menerimanya itu, kekayaan tersebut menjadi bersih. 2. Dasar Hukum Zakat Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang lima. Zakat juga merupakan salah satu kewajiban yang ada didalamnya.11 Hukum mengeluarkan zakat adalah fardhu „ain. Zakat telah di wajibkan di Madinah, pada bulan Syawal tahun kedua Hijriah, yaitu setelah kepada umat Islam diwajibkan berpuasa Ramadhan.12 Tetapi, zakat tidak diwajibkan atas para nabi, pendapat yang terakhir ini disepakati para ulama karena zakat dimaksudkan sebagai penyucian untuk orang-orang yang berdosa 10 M. Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 23. 11 Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1995), cet. Ke-6 hlm. 89. 12 Zurinal Z dan Aminuddin, Fiqh Ibadah, (Jakarta: Lemabaga Penelitian UIN), hlm. 159. 17 sedangkan para nabi terbebas dari hal demikian.Lagi pula, mereka mengemban titipan Allah; disamping itu mereka tidak memiliki harta, dan tidak diwarisi.13 Zakat dalam Al-Qura‟an disebut sebanyak 82 kali.14Adapun mengenai dasar hukum banyak termaktub didalam Al-Quran‟an, Sunnah, dan Ijma‟/kesepakatan ulama.15 a. Al-Qur’an 1) Surat Al-Baqarah: 43 Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku. (QS. Al-Baqarah: 43) Wajhu Dalalah: Lafadz أَقِيْوُىالصَلَىةmerupakan perintah (amr) yang bermakna wajib, maka dari itu, dalam hal ini tidak ada perbedaan dikalangan para ulama terhadap kewajibannya sholat. Lafadz “َ ” َوءَاتُىالزَكَىةjuga bermakna perintah yang bermakna wajib, yang juga mempunyai arti menyerapkan dan memberi.16 13 Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1995), cet. Ke-6 hlm. 89. 14 Mohd. Salleh Hj. Din, Zakat dan Wirausaha, (Jakarta: CED, 2005), cet. Ke-1, hlm. 7. 15 Zakiah Daradjat, Zakat Pembersih Harta dan Jiwa, (Jakarta: YPI RUHAMA, 1993),cet ke- 4, hlm. 9. 16 Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Gholib, Tafsir At-Thobri, (Beirut: Daarul Fikr) hlm. 342. 18 Lafadz“”وَارْكَعُىهَعَ الزَكِعِيْيulama berbeda pendapat dalam mengartikan kalimat perintah, dalam ayat ini ada yang mengatakan bahwa makna kalimat perintah dalam ayat ini adalah sunnah dan ada yang mengatakan bahwa kalimat perintah ini adalah wajib. Ulama yang mengatakan ayat ini bermakna sunnah maka berpendapat bahwa sholat berjama‟ah itu sunnah tidak wajib, dan adapun ulama yang mengatakan kalimat perintah dalam ayat ini wajib, maka ulama itu berpendapat bahwa sholat jama‟ah itu wajib.17 b. As-Sunnah Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar Rasulullah bersabda: ، واقام الصالة،االسالم على خوس شهادة أى ال اله االاهلل وأى هحوذا رسىل ااهلل 18 . وصىم رهضاى، والحخ،وايتاءالزكاة Artinya: “Islam itu ditegakkan atas lima pilar: syahadat yang menegaskan bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, menunaikan haji dan berpuasa pada bulan ramadlan” (HR. Bukhari Muslim) c. Ijma’ Ulama’ Adapun dalil berupa ijma‟ ialah adanya kesepakatan semua (ulama) umat islam di semua negara kesepakatan bahwa zakat adalah wajib. Bahkan para sahabat Nabi SAW. sepakat untuk membunuh orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat. Dengan demikian barang siapa mengingkari kefardhuannya, 17 Abul Fada‟ Ismail bin Umar bin Katsir bin Al Qursy Ad Damsyiqi Tafsir Ibnu Katsier, (Beirut, Daarul Fikr) hlm.109. 18 Imam Al Bukhari, Shahih Al Bukhari, Kitab al- Iman, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), I:10. Hadits riwayat Bukhari dari Ibnu Umar. 19 berarti dia kafir atau jika sebelumnya dia merupakan seorang Muslim yang dibesarkan di daerah Muslim, menurut kalangan para ulama murtad. Kepadanya diterapkan hukum-hukum orang murtad. Seseorang hendaknya menganjurkannya untuk bertobat. Anjuran itu dilakukan sebanyak tiga kali.Jika dia tidak mau bertobat, mereka harus dibunuh. Barang siapa mengingkari kefardhuan zakat karena tidak tahu, baik karena baru memeluk Islam maupun karena dia hidup di daerah yang jauh dari tempat ulama, hendaknya dia beritahu tentang hukumnya. Dia tidak dihukumi sebagai orang kafir sebab dia memiliki uzur.19 B. Syarat Wajib dan Rukun Zakat dalam Islam Berbicara masalah zakat, maka perlu dibagi tentang syarat wajib zakat (muzakki) yaitu orang yang berdasarkan ketentuan hukum Islam diwajibkan mengeluarkan zakat atas harta yang dimilikinya dan rukun zakat.Menurut kesepakatan ulama, syarat wajib zakat adalah merdeka, Islam, baligh, berakal, memiliki harta kekayaan dengan persyaratan tertentu. Untuk lebih jelasnya penulis akan uraikan dibawah ini: 1. Syarat Wajib Zakat a. Islam Menurut ijma‟ zakat tidak wajib bagi orang kafir karena zakat merupakan ibadah mahdhah yang suci sedangkan orang kafir bukan orang yang suci.20 Hal ini 19 Wahbah Al-Zuhaily, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1995), cet. Ke-6, hlm. 90. 20 Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1995), cet. Ke-6, hlm.99. 20 sejalan dengan sabda Rasulullah SAW yang disampaikan kepada Muaz bin Jabal ketika diutus ke Yaman menjadi Kadi bahwasanya Rasul bersabda: “jika engkau berhadapan dengan ahlul kitab maka tindakan pertama adalah menyeru mereka agar bersyahadat. Jika mereka menyambut seruan itu, maka mereka bahwa Allah mewajibkan sholat lima kali sehari semalam, mewajibkan berzakat yang diambil dari harta orang-orang kaya dan diserahkan kepada fakir miskin.” Jadi jelaslah bahwa yang wajib dikenai zakat adalah orang kaya muslim.21 b. Merdeka Menurut ijma‟ para ahli fiqih, zakat tidak diwajibkan atas hamba sahaya karena secara hukum mereka tidak mempunyai hak milik, tidak memiliki harta.22 Begitu pula budak mukatab (budak yang dijanjikan kemerdekaannya) tidak wajib mengeluarkan karena kendatipun dia memiliki harta, hartanya tidak dimiliki secara penuh.23 Madzhab maliki berpendapat bahwa tidak ada kewajiban zakat pada harta milik seorang hamba sahaya baik atas nama hamba sahaya itu sendiri maupun atas nama tuannya karena harta milik hamba sahaya tidak sempurna (naqish), padahal zakat pada hakikatnya hanya diwajibkan pada harta yang dimiliki secara penuh.24 c. Baligh dan berakal 21 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, 1987. 22 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam,1987. 23 24 Ally As‟ad, Fathul Muin jilid 2, (Kudus: Menara Kudus), hlm. 2. Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1995),cet. Ke-6 hlm.99. 21 Syari‟at ini dikemukakan oleh madzhab Hanafi. Oleh sebab itu, anak kecil dan orang gila tidak dikenai kewajiban zakat. Karena keduanya tidak termasuk dalam ketentuan orang yang wajib mengerjakan ibadah seperti sholat dan puasa. Akan tetapi, jumhur ulama fiqh tidak menerima syarat ini dengan berpendirian bahwa apabila anak kecil atau orang gila memiliki harta satu nishab atau lebih maka wajib dikeluarkan zakatnya dengan alasan bahwa Al Qur‟an maupun hadits tidak membedakan apakah pemiliknya baligh dan berakal atau tidak.25 Menurut para ahli hukum Islam, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kewajiban zakat dapat dibebankan pada harta yang dipunyai oleh seorang muslim. Syarat-syarat itu adalah:26 a. Pemilikan yang pasti. Artinya sepenuhnya berada dalam kekuasaan yang punya, baik kekuasaan pemanfaatan maupun kekuasaan menikmati hasilnya. b. Berkembang. Artinya harta itu berkembang, baik secara alami berdasarkan sunnatullah maupun bettambah karena ikhtiar atau usaha manusia. c. Melebihi kebutuhan pokok. Artinya harta yang dipunyai oleh seseorang itu melebihi kebutuhan pokok yang diperlukan oleh diri dan keluarganya untuk hidup wajar sebagai manusia. 25 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam,1988. 26 Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat Dan Wakaf Indonesia UI-Press, 1988), cet. Ke-1, hlm. 41. (Jakarta:Universitas 22 d. Bersih dari hutang. Artinya harta yang dipunyai oleh seseorang itu bersih dari hutang, baik hutang kepada Allah (nazar, wasiat) maupun hutang kepada sesama manusia. e. Mencapai nishab. Artinya mencapai jumlah minimal yang wajib dikeluarkan zakatnya. f. Mencapai hawl. Artinya harus mencapai waktu tertentu pengeluaran zakat, biasanya dua belas bulan atau setiap kali menuai atau panen. Ada 2 kelompok benda zakat yaitu zakat modal dan zakat pendapatan, persyaratan “berlaku satu tahun” hanya diterapkan pada zakat modal, misalnya ternak, uang dan harta benda dagang. Sedangkan pada zakat pendapatan, persyaratan “berlaku satu tahun” tidak diberlakukan, karena zakat yang dikeluarkannya adalah pada saat pendapatan diterima.27 2. Rukun Zakat Rukun zakat ialah mengeluarkan sebagian dari nishab (harta), dengan melepaskan kepemilikan terhadapnya, menjadikannya sebagai milik orang fakir, dan menyerahkannya kepadanya, atau harta tersebut diserahkan kepada wakilnya; yakni imam atau orang yang bertugas untuk memungut zakat.28 27 Yusuf al-Qardhawi, Fiqh Az-Zakah, hlm. 161. 28 Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1995), cet. Ke-6, hlm.97-98. 23 3. Macam-Macam Zakat Zakat terdiri dari dua macam yakni: 1. Zakat mal atau zakat harta adalah bagian dari harta kekayaan seseorang (juga badan hukum) yang wajib dikeluarkan untuk golongan orang-orang tertrentu setelah dipunyai selama jangka waktu tertentu dalam jumlah minimal tertentu. 2. Zakat Fitrah adalah zakat pengeluaran wajib dilakukan oleh setiap Muslim yang mempunyai kelebihan dari keperluan keluarga yang wajar pada malam dan hari raya Idulfitri.29 4. Orang-Orang yang Berhak Menerima Zakat (Mustahiq Zakat) Para ulama madzhab sependapat bahwa golongan yang berhak menerima zakat itu ada delapan, dari semuanya sudah disebutkan dalam al-Qur‟an Surat atTaubah (9) ayat 60, seperti berikut: Artinya:“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah (9): 60) 29 Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat Dan Wakaf, (Jakarta:Universitas Indonesia UI-Press, 1998), cet. Ke-1, hlm. 42. 24 Berdasarkan ayat diatas dapat kita ketahui golongan penerima zakat yaitu: 1. Fakir Menurut pandangan mayoritas (jumhur) ulama fikih, fakir adalah orang yang tidak memiliki harta dan penghasilan yang halal, atau yang mempunyai harta yang kurang dari nishab zakat dan kondisinya lebih buruk dari pada orang miskin.30 Oleh karena itu fakir menjadi prioritas utama dalam menyalurkan dana zakat. 2. Miskin Miskin adalah orang yang memiliki mata pencaharian tetap, tetapi penghasilannya belum cukup untuk keperluan minimal bagi kebutuhan diri dan keluarganya.31 Miskin menurut mayoritas (jumhur) ulama adalah orang yang tidak memiliki harta dan tidak mempunyai pencarian yang layak untuk memenuhi kebutuhannya.32 Secara umum pengertian yang dipaparkan oleh para ulama mazhab untuk fakir dan miskin tidak jauh dari indikator ketidakmampuan secara materi untuk memenuhi kebutuhannya, atau indikator (kemampuannya) mencari nafkah (usaha), dimana dalam hasil usaha tersebut belum bisa memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian, indikator umum yang ditekankan para imam mazhab adalah:33 30 Hikmat Kurnia, Ade Hidayat, Panduan Pintar Zakat (Jakarta: Qultum Media, 2008), hlm. 140. 31 Al-Furqon Hasbi, 125 Masalah Zakat (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2008), hlm. 155. 32 Hikmat Kurnia, Ade Hidayat, Panduan Pintar Zakat, hlm. 141. 33 M. Arief Mufraini, Akutansi dan Manajemen Zakat: Mengomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 183. 25 a. Ketidakmapuan pemenuhan kebutuhan materi. b. Ketidakmampuan dalam mencari nafkah. 3. Amil Para pemungut zakat atau amilin adalah orang yang ditugaskan oleh imam kepala pemerintah atau wakilnya untuk mengumpulkan zakat. Dengan demikian mereka adalah pemungut-pemungut zakat, termasuk para penyimpan, pengembalapengembala ternak, dan yang mengurus administrasinya.34 Oleh karena itu, amil zakat berhak mendapat bagian dari kuota amil yang diberikan oleh pihak mengangkat mereka dengan catatan bagian tersebut tidak melebihi dari upah yang pantas. Supaya total gaji para amil dan biaya administrasi itu tidak lebih dari seperdelapan zakat.35 Sehingga mustahik yang lain akan tetap mendapat bagian dari dana zakat sesuai dengan porsinya. 4. Muallaf Muallaf adalah orang yang sudah masuk Islam tetapi keislamannya masih lemah maka ia diberi zakat agar imannya semakin kuat. Jadi tujuan pemberian zakat terhadapnya adalah untuk melunakkan hatinyaagar tetap dalam Islam. Pada mulanya golongan ini terdiri dari orang-orang kafir Quraisy yang turut serta pada perang Hunain dan kepada mereka diberikan berbagai macam sedekah oleh Rasulullah SAW.terutama sekali harta rampasan, bahkan kadang-kadang bagian mereka lebih 34 Al-Furqon Hasbi, 125 Masalah Zakat (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2008),hlm. 163. 35 Hikmat Kurnia, Ade Hidayat, Panduan Pintar Zakat, hlm. 143. 26 besar dari bagian orang Islam sendiri. Gunanya ialah untuk membujuk dan menjinakkan hati mereka, agar mereka berniat masuk agama Islam. Sebagian ulama berpendapat, bahwa muallaf itu sendiri dari kaum Yahudi dan Nasrani yang telah memeluk Islam.Sebagiannya pula berpendapat, terdiri dari kepala-kepala orang-orang musyrik yang mempunyai pengaruh dan pengikut yang banyak.Kepada mereka diberikan zakat, agar mereka memeluk Islam, dan dengan itu ikut serta pula pengikut mereka yang banyak itu. Rasulullah SAW. pernah memberikan harta yang banyak kepada mereka seperti Abu Sufyan bin Harb, Haris bin Hisyam, Suhail bin Amru, Huwaitib bin Abdul Uzza, masing-masingnya mendapat 100 ekor unta. Apakah golongan muallaf itu masih didapati sampai akhir zaman? Umar bin Khattab, Hasan, Sya‟bi berkata, sudah habis masa muallaf itu, karena Islam telah menjadi kuat. Demikian pendapat yang kuat dalam mazhab Malik dan ahli rakyu.Menurut keterangan sebagian ulama dari kalangan Hanafiah, para sahabat telah ijmak mengatakan sebagaimana yang dikatakan Umar itu.Berkata jumhur ulama, bagian mereka tetap ada, karena kadang-kadang imam merasa perlu untuk membujuk mereka ke dalam Islam, seperti biaya dan perbelanjaan dakwah Islam yang amat diperlukan, istimewa pada masa sekarang ini. Kalau kita perhatikan alasan Umar yang menghentikan bagian golongan muallaf itu karena katanya Islam itu telah kuat, maka dengan alasannya itu juga, jika 27 Islam itu masih lemah atau telah lemah, tentu bagian mereka itu akan diperoleh kembali, karena umat perlu akan yang demikian itu.36 5. Riqab Riqab adalah pembebasan budak dan usaha menghilangkan segala bentuk perbudakan.37 Dalam kajian fikih klasik yang dimaksud dengan para budak, dalam hal ini jumhur ulama, adalah perjanjian seorang muslim (budak belian) untuk bekerja dan mengabdi kepada majikannya, dimana pengabdian tersebut dapat dibebaskan bila si budak belian memenuhi kewajiban pembayaran sejumlah uang, namun si budak belian tersebut tidak memiliki kecukupan materi untuk membayar tebusan atas dirinya tersebut. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk memberikan zakat kepada orang itu agar dapat memerdekakan diri mereka sendiri.38 Menurut Mawardi dalam kitabnya Ahkam Al-Sulthaniyah yang telah ditafsirkan, melihat kondisi sekarang ini tidak terdapatnya lagi budak-budak yang mesti dimerdekakan, karena perbudakan itu telah dihapuskan, tentulah untuk sementara bagiannya itu ditiadakan, tapi tidak berarti dihapuskan sama sekali. Karena andaikata perbudakan itu timbul pula kembali, maka dengan sendirinya bagian itu akan ada pula.39 36 Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. Ke-1,hlm. 494-495. 37 Peraturan Gubernur Provinsi daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 51 Tahun 2006, pasal 1, Ayat 24. 38 M. Arief Mufraini, Akutansi dan Manajemen Zakat:(Mengomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan), hlm. 200. 39 Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam,(Jakarta: Kencana, 2006), cet. Ke-1,hlm. 495-496. 28 Mengingat golongan ini sekarang tidak ada lagi, maka kuota zakat mereka dialihkan ke golongan mustahiq lain menurut pendapat mayoritas ulama fikih (jumhur). Namun sebagian ulama berpendapat bahwa golongan ini masih ada, yaitu para tentara muslim yang menjadi tawanan. 6. Gharimin Gharimin adalah orang-orang yang mempunyai hutang dan sulit untuk membayarnya.40 Orang yang berhutang berhak menerima bagian zakat golongan ini adalah: Orang yang berhutang untuk kepentingan pribadi yang tidak bisa dihindarkan, dengan syarat-syarat sebagai berikut:41 a. Utang itu tidak timbul karena kemaksiatan. b. Utang itu melilit pelakunya. c. Sudah tidak sanggup lagi melunasi utangnya. d. Utang itu sudah jatuh tempo, atau sudah harus dilunasi ketika zakat itu diberikan kepada orang yang berhutang. Untuk konteks kemaslahatan, tegas masdar perlu definisi kekinian atas konteks gharim yaitu tidak hanya dinisbahkan pada hutang perorangan atau kepailitan 40 Al-Furqon Hasbi, 125 Masalah Zakat(Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2008), hlm. 179. 41 Hikmat Kurnia, Ade Hidayat, Panduan Pintar Zakat Jakarta: (Qultum Media, 2008), hlm. 147. 29 perorangan, namun juga lembaga-lembaga Islam yang karena manajemennya tidak begitu baik jatuh pailit atau berhutang.42 7. Sabilillah Sabil artinya ialah jalan.43Sabilillah adalah usaha dan kegiatan perorangan atau badan yang bertujuan untuk menegakkan kepentingan agama atau kemaslahatan umat.44 Pada dasarnya sabilillah itu dimaknai dengan thariq at-taqarrub ila Allah (jalan mendekatkan diri kepada Allah) yang meliputi amalan kebajikan, baik untuk invidu maupun masyarakat, seperti yang telah disinggung dalam makna mufradat. Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat mengenai makna sabilillah yang terdapat dalam ashnaf mustahiq zakat ini. Perbedaan berikut ialah sebagai berikut: a. Mazhab Hanafi Para ulama Hanafiyah sebenarnya tidak sepakat dalam mendifinisikan sabilillah.Akan tetapi, secara umum dapat dikatakan bahwa sabilillah bagi mereka adalah orang yang berjuang dalam kebajikan, sperti menuntut ilmu dan tentara yang berjuang melawan musuh-musuh Islam.Mazhab ini juga membuat persyaratan sabilillah yang berhak menerima zakat, yaitu fakir ataupun miskin. b. Mazhab Maliki Masdar F. Mas‟udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, (Jakarta Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 150. 42 43 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Zakat, (Semarang: Rizki Putra, 1999), hlm. 185. 44 Pustaka Peraturan Gubernur Provinsi daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 51 Tahun 2006, pasal 1, Ayat 24. 30 Menurut kaum Malikiyah, sabilillah itu adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan perang, baik tentara maupun alat yang digunakan untuk berperang, dan mereka juga sepakat bahwa sabilillah berhak menerima zakat walaupun kaya. c. Mazhab Asy-Syafi’I dan Hambali Kedua mazhab ini berpendapat, sabilillah itu adalah para tentara yang melawan musuh Islam yang tidak mendapat gaji dari pemerintah, para pejuang diberi zakat walaupun mereka kaya. Yusuf Al-Qardhawi mengenai makna sabilillah yaitu sebagai berikut:45 a) Jihad termasuk dalam kategori sabilillah. b) Zakat itu diberikan pada individu para pejuang. c) Tidak boleh memberi zakat atas nama sabilillah kepada jalan kebajikan atau kemaslahatan umum, seperti membangun masjid, madrasah, ataupun jembatan. Akan tetapi, banyak ulama muta’akhkhirin yang memaknai sabilillah dengan arti yang lebih luas sesuai dengan makna dasarnya, seperti Rasyid Ridha, dan Saltut.Menurut mereka, sabilillah tidak hanya individu para pejuang tetapi segala kebajikan, seperti membangun masjid dan madrasah.Pendapat ini juga dipegang oleh Muhammad Mahmud Hijazi. Dengan demikian, menurut mereka masjid, madrasah, serta jalan kebajikan lainnya berhak mendapatkan bagian dari zakat atas nama sabilillah.46 45 46 Yusuf Al-Qardhawi, Fiqh Az-Zakah, hlm. 643-644. Kadar M. Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam, (Jakarta: Amzah, 2013), cet. Ke-1, hlm. 97-98. 31 8. Ibnu Sabil Ibnu sabil sebagaimana diterangkan dalam al-Qur‟an yang dimaksud ibnu sabil ialah musafir yang perjalanannya bukan untuk melakukan maksiat. Dalam hal ini ia boleh menerima zakat karena melakukan perjalanan ibadah atau perjalanan yang sifatnya adalah mubah seperti perjalanan untuk mencari barangnya yang hilang.47 Para fuqoha selama ini mengartikan ibnu sabil dengan musafir yang kehabisan bekal.Pengertian ini sampai saat sekarang masih sangat relevan. Tetapi pengertian yang telah ada belum mencakup seluruhnya. Kini ketika keadaan masyarakat sudah menjadi kompleks, maka perlu menengok arti awal dari ibnu sabil.Anak jalanan, sebagaimana yang difahami pada saat ini adalah mengacu pada pengertian orang-orang yang tengah dalam keadaan tuna wisma, atau terpental dari tempat tinggalnya.Bukan karena kefakiran dan kemiskinan yang dideritanya, melainkan lebih disebabkan oleh hal-hal yang bersifat kecelakaan. Pengertian tersebut tentunya lebih luas lagi dari sekedar hanya pelancong yang kehabisan bekal. Tentunya dalam konteks pentasarufan zakat untuk golongan ini dapat dialokasikan untuk para pengungsi, baik mereka mengungsi karena pergolakan politik dan perang maupun karena bencana alam.48 47 Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, (Surabaya: PT. Bina Ilmu,1997), cet. Ke-2, hlm. 405. 48 Masdar F. Mas‟udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (pajak) dalam Islam, Pustaka Firdaus),hlm.162. (Jakarta: 32 C. Jenis-Jenis Harta Kekayaan yang Wajib Dikeluarkan Zakatnya 1. Jenis Kekayaan Benda yang harus dizakati ialah emas, perak, harta simpanan, hasil bumi, binatang ternak, dagangan, hasil usaha, hasil jasa (honorarium) yang berjumlah besar, harta rikaz, harta makdin, dan hasil laut. a. Emas dan perak. Dasar hukum wajib zakat emas, perak, simpanan: Al-Qur‟an surat At-Taubah (9): 35. Artinya:“pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam nerakajahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan pinggang mereka (lalu dikatakan kepada mereka). inilah hartabendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.”(At-Taubah: 35). Tafsirnya Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Abbas yang bercerita, “Tatkala turun ayat “emas dan perak” ini menjadi resahlah sahabat Rasulullah dan mengeluh. “Tidak seorang di antara kami yang dapat meninggalkan harta untuk anaknya sekarang ini.” Maka pergilah Umar diikuti oleh Tsauban bertanya kepada rasulullah saw. “Ya Nabi Allah, menjadi resahlah para sahabatmu karena ayat ini.”49 49 Salim Bahreisy dan Said Bahreisy Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsier,(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1988), Jilid 4, hlm.. 46-47. 33 Emas simpanan dikenakan zakat baik berupa mata uang atau batangan asal dalam simpanan telah cukup satu tahun (haul) dan jumlahnya cukup senisab (yaitu 20 dinar atau kurang lebih 94 gram emas) zakatnya 2 ½ persen.Perak simpanan juga dikenakan zakat, baik berupa mata uang atau batangan yang dalam simpanan telah cukup satu tahun (hawl) dan jumlahnya cukup senisab (yaitu 200 dirham, sama dengan 27 7/9 real Mesir, sama dengan 555 ½ qurus Mesir atau lebih kurang 672 gram). Emas dan perak simpanan yang masing-masing kurang dari senisab tidak perlu dikumpulkan agar menjadi senisab yang kemudian dikeluarkan zakatnya.Misalnya seorang yang mempunyai simpanan 10 dinar emas, (setengah nisab) dan 100 dirham perak (setengah nisab) tidak dikenakan zakat pada keduaduanya. b. Harta Dagangan. Dasar hukum wajib zakat dagangan ialah Al-Qur‟an surat Al-Baqarah (2): 267. Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang 34 buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (QS. Al-Baqarah (2): 267). Syarat wajib zakat dagang adalah jumlah nilainya ada senisab emas (20 dinar) dan harus sudah berjalan setahun.Jadi zakat dagang harus dilakukan setiap setahun sekali.Cara pelaksanaannya ialah setelah dagang berjalan satu tahun, uang kontan yang ada dan segala macam barang dagangan ditaksir, kemudian jumlah yang didapat dikeluarkan zakatnya 2 ½ %. Dari hasil zakat dagangan ini, jika semua pedagang muslim berzakat akan terkumpul sejumlah zakat yang besar sekali. c. Hasil Bumi. Dasar hukum zakat hasil bumi ialah Al-Qur‟an surat Al-An‟am: 141. Artinya: “Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan ang tidak berjunjung, pohon korma,tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya(yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu 35 berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”. (QS. Al-An’am: 141). Tafsirnya: Ibnu Umar, Atha‟, Mujahid dan Sa‟id bin Jubair mengatakan ayat ini “muhkamat”. Wajiblah atas orang yang mengetam atau menuai, meberikan sedikit hasilnya itu kepada orang miskin yang datang meminta kepadanya. Namun Ibnu Abbas, Muhammad bin Hanafiah, Hasan, Nakha‟i, Thawus, Abu Tsa‟tsa‟, Qatadah, Dhahhak, dan Ibnu Juraih mengatakan, bahwa ayat ini telah di nasakhkan oleh ayat zakat. Itulah yang dipilih Ibnu Jarir, karena ayat adalah ayat makkiyah, sedang ayat zakat adalah ayat madaniah, jadi ayat madaniyah itu menasakh-kan ayat makkiyah.50 Zakat hasil bumi tanpa syarat hawl, sebab setiap kali panen harus dikeluarkan zakatnya. Sedangkan panen hasil bumi ada yang sekali setahun, ada yang dua kali, ada yang tiga kali, bahkan ada yang empat kali. Setiap kali panen jika hasilnya ada senisab dikeluarkan zakatnya dan jika tidak cukup senisab tidak usah hasil panen itu dikumpulkan dengan hasil panen yang lain guna mengejar nisab. d. Binatang ternak. Binatang ternak di Indonesia yang dikenakan zakat adalah sapi, kerbau dan kambing. Zakat ini harus dengan syarat haul. Adapun nisabnya sebagai berikut: 50 Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. Ke-1,hlm. 417-418. 36 Kambing 1) Mulai dikenakan zakat (senisab) setelah ada sejumlah 40 ekor 2) Dari jumlah 40 s/d 120 zakatnya seekor kambing 3) Dari jumlah 121 s/d 200 zakatnya dua ekor kambing 4) Dari jumlah 201 s/d 300 zakatnya tiga ekor kambing 5) Selebihnya setiap ada 100 ekor zakatnya satu kambing Sapi 1) Mulai dikenakan zakat (senisab) setelah ada sejumlah 30 ekor sapi. 2) Dari jumlah 30 s/d 39 zakat seekor sapi berumur setahun lebih, sapi ini diberi nama “Tabii”. 3) Dari jumlah 40 s/d 59 zakatnya seekor sapi berumur dua tahun lebih, sapi ini diberi nama “Musinnah”. 4) Dari jumlah 60 s/d 69 zakatnya dua ekor sapi berumur satu tahun lebih. 5) Dari jumlah 70 s/d 79 zakatnya dua ekor sapi, seekor berumur satu tahun lebih, seekor beumur dua tahun lebih. 6) Selebihnya dari itu setiap ada tambahan 30 zakatnya seekor sapi tabii, dan setiap ada tambahan 40 zakatnya seekor sapi musinnah. (jadi jika ada 120 ekor dapat dianggap 30 kali 4 atau 40 kali 3). Kerbau Zakat kerbau persis sama dengan zakat sapi. Unta Di Indonesia tidak ada unta, karena itu tidak perlu dibahas zakatnya disini. 37 2. Zakat Modal Usaha (Syirkah) Sejumlah orang mengumpulkan modal meskipun masing-masing tidak sama besarnya, untuk usaha misalnya mendirikan pabrik atau berdagang, jika harta usaha itu cukup senisab dan telah berjalan cukup setahun, harus dikeluarkan zakatnya. Zakat ini adalah zakat syirkah/koperasi.Oleh karena itu janganlah diperhitungkan besar kecilnya modal masing-masing anggota. Demikian disebutkan dalam Fikhussunnah jilid I halaman 371: “Menurut ulama syafi‟iyah, bahwa setiap bagian dari modal yang dicampur itu mempengaruhi dalam zakat, sehingga modal dua orang atau beberapa orang itu seperti modal seorang.Yang kemudian hal itu dapat memeprngaruhi ada tidaknya zakat.” Sekedar penjelasan misalnya: modal itu sekiranya dipecah-pecah tidak wajib zakat, karena masing-masing belum ada senisab, akan tetapi karena modal itu dikumpulkan menjadi satu dan jumlah itu cukup senisab , maka kesemuanya itu terkena zakat.51 3. Zakat Rikaz Rikaz adalah barang yang dikumpulkan tanpa mengeluarkan biaya dan kerja keras.Al-Babarty dibuku al-Inayah, menyatakan “Dan harta yang keluar dari dalam perut bumi terbagi menjadi tiga macam, yaitu barang simpanan, barang tambang, dan rikaz.Barang simpanan adalah barang yang ditimbun oleh manusia sendiri didalam 51 Pedoman Zakat 9 Seri, (Jakarta: Proyek Penigkatan Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan Wakaf, 1998) 38 tanah. Barang tambang adalah suatu benda yang diciptakan Allah SWT.yang biasa terdapat didalam perut bumi.Sedangkan rikaz merupakan gabungan diantara keduanya.52 Menurut Hukum Islam, rikaz ada permasalahannya sebagai berikut: “Kata Imam Malik: persoalan yang tidak ada perbedaan pendapat dikalangan Malikiyah dan saya mendengar para ahli ilmu mengatakan bahwa rikaz itu adalah barang terpendam yang ditemukan dari pendaman zaman kuno yang diperoleh tanpa pengeluaran uang, tidak dengan biaya dan tidak dengan daya upaya berat, itulah rikaz. Adapun yang ditemukan dengan pembayaran uang dan dengan kerja keras dan berat itupun kadang-kadang dapat dan kadangkadang tidak dapat, maka itu bukan rikaz.” Zakat rikaz adalah sebagai berikut: “Rikaz yang wajib dikeluarkan zakat seperlima (20 persen) ialah berupa apa saja yang ada harganya, seperti emas, perak, besi, timah, kuningan, barang berbentuk wadah/hiasan dan yang serupa itu.Kaidah itu adalah pendapat Imam Hanafi, Hambali, Ishak, Ibnu Mundir, riwayat dari Imam Malik dan salah satu daripendapat Syafi‟i.” Adapun zakat rikaz dan siapa yang memilinya adalah sebagai berikut: “Diatas telah diperjelas, bahwa rikaz itu barang terpendam orang-orang zaman kuno dan zakatnya seperlima. Adapun yang keempat perlima (80 persen) bagi pemilik tanah yang pertama jika ia masih ada, jika ia telah wafat maka bagi para ahli warisnya jika masih ada dan diketahui. Dan jika mereka sudah tidak ada maka yang empat perlima itu dimasukkan ke baitul mal, inilah pendapat Abu Hanifah, Maliki, Syafi‟I dan ahmad (4 mazhab). 4. Zakat Ma’din Harta Ma‟din ialah sebagaimana dijelaskan berikut ini: “Imam Ahmad berpendapat bahwa makdin itu ialah benda yang dikeluarkan dari bumi, terjadi dibumi, tapi bukan bumi (bukan dari tanah) sedangkan harta itu berharga. 52 Abdul Al-Hamid Mahmud Al-Ba‟iy, Ekonomi Zakat: sebuah kajian moneter dan keuangan syari‟ah, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2006), hlm. 42-43. 39 Harta ma‟din yang berupa besi, baja, tembaga, kuningan, timah, minyak, batu bara dan lain-lain di Indonesia dikuasai oleh Negara, oleh karena itu di sini tidak usah dibicarakan. Adapun yang berupa batu-batuan, emas dan perak, oleh pemerintah masyarakat masih diperbolehkan menambangnya. Makdin inilah yang dikenakan zakat, ialah 2 ½ %. Adapun nisabnya seharga nisab emas, ialah 20 dinar atau 94 gram. Zakat makdin tidak mempergunakan syarat haul. Demikian dasar hukumnya, “Syarat wajib zakat makdin ialah jika keadaan atau nilai harganya senisab emas dan zakatnya 2 ½ %., dan tasaruf zakat ini sama dengan tasaruf zakat yang lain-lain. Demikian pendapat Imam Maliki, Syafi‟i, dan Hambali.”53 5. Zakat Hasil Laut Imam Ahmad berpendapat, bahwa barang yang dihasilkan dari laut seperti ikan, mutiara dan lain-lain dikenakan zakat jika jumlah harganya sejumlah harga hasil bumi senisab. Pendapat itu diperkuat oleh Abu Yusuf dari mazhab Hanafi terutama mengenai batu-batuan.54 Sedangkan menurut Prof. Dr. Muhammad Abu Zahrah berpendapat bahwa ikanyang dihasilkan dari laut hendaknya diqiyaskan kepada hasil pertambangan. Karena kekuasaan Negara atas laut kini telah ditetapkan, khususnya perairan yang ada dipinggiran Negara maupun yang ada dalam wilayahnya. Dewasa ini perairan pinggiran itu telah ditetapkan 12 mil dari pantai suatu Negara.Sementara 53 Pedoman Zakat 9 Seri, (Jakarta: Proyek Penigkatan Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan Wakaf, 1998) 54 Pedoman Zakat 9 Seri, (Jakarta: Proyek Penigkatan Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan Wakaf, 1998), hlm. 135-150. 40 hasil ikan pun kini telah menjadi sumber kekayaan yang dinikmati orang banyak, yang kadang-kadang tidak kalah melimpahnya dibanding dengan hasil pertambangan. Jadi hasil dari ikan laut itu dipungut seperlimanya, dengan dasar qiyas kepada mutiara dan ambar, dan juga qiyas kepada hasil tambang. Memang setahu kita, Jumhur AlFuqoha tidak menganggap perlu dipungutnya seperlima dari hasil ikan. Tapi itu hukum di jaman mereka, karena kekuasaan atas lautan dimasa itu belum tetap, dan juga dikarenakan orang yang berburu ikan waktu itu hanyalah sekedar mencari makan untuk sehari. Lain dari ituperikanan belumlah menjadi sasaran perhatian dan pendidikan, dan hasilnya pun belum diatur secara sistematis seperti sekarang ini. Padahal seandainya para Fuqoha itu sempat hidup dizaman sekarang, mereka pasti mengambil keputusan seperti keputusan kita kini.Jadi perbedaan diantara kita dengan mereka hanyalah peerbedaan waktu dan jaman saja, bukan perbedaan dalil ataupun alasan.55 Adapun industri ikan ataupun lainnya yang menggunakan bahan dari kekayaan laut, zakatnya diqiaskan kepada zakat perniagaan seharga 2,5 % dari modal dan keuntungan, pada tiap-tiap akhir tahun apabila mencapai nishab.56 Bagi ulama yang mewajibkan zakat, ada tiga pendapat yang menetapkan besar zakat yang dikeluarkan. 55 Syauqi Isma‟il Syahhatih, Penerapan Zakat dalam Dunia Modern, (METROPOS: Pustaka Dian/Antar Kota. 1987), cet. Ke-1, hlm. 301-302. 56 Muhammad, Zakat Profesi Wacana Pemikiran dalam Fiqih Kontemporer, (Salemba Diniyah), hlm. 334. 41 1. Zakat 20 % diqiyaskan pada ghanimah dan barang tambang yang dihasilkan dari perut bumi. 2. Zakatnya 10 % diqiyaskan dengan zakat pertanian. 3. Zakat 2,5 % diqiyaskan dengan zakat perdagangan. Menurut pendapat Imam Malik dan Syafi‟i besar zakatnya harus dibedakan, sesuai dengan berat ringannya mengusahakannya, besar biaya atau tidaknya pengelolaannya, apakah 20 %, 10% atau 2,5 %.57 D. Tujuan dan Hikmah Zakat 1. Tujuan Zakat Zakat sebagai salah satu rukun Islam mempunyai kedudukan yang sangat penting.Hal ini dapat dilihat dari segi tujuan dan fungsi zakat dalam meningkatkan martabat hidup manusia dalam masyarakat.Zakat mempunyai tujuan yang banyak (multi purpose). Tujuan-tujuan itu dapat ditinjau dari berbagai aspek: a. Hubungan manusia dengan Allah Zakat sebagai sarana beribadah kepada Allah sebagaimana halnya saranasaranalain adalah berfungsi mendekatkan diri kepada Allah, makin taat manusia menjalankan perintah dan meninggalkan larangan Allah, maka ia makin dekat dengan Allah. nabi Muhammad melukiskan bagaimana dekatnya manusia dengan Allah, apabila ia suka menolong manusia lain.58 57 M. Ali Hasan, Tuntunan Puasa Dan Zakat, (Jakarta, PT. Grafindo Persada, 2001), hlm. 183-184. 58 Zakiyah Darajad Zakat Pembersih Harta dan Jiwa, (Jakarta: YPI RUHAMA, 1993), cet. Ke-4,hlm.233. 42 b. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri Dari satu segi zakat menggambarkan kaitan manusia dengan harta benda.Adakalanya manusia memandang harta benda itu sebagai alat mencapai tujuan hidup. Maka dari itu, zakat merupakan salah satu cara memberantas pandangan hidup materialistis. Manusia dididik untuk melepaskan sebagian harta benda yang dimilikinya, dan secara pelan-pelan menghilangkan pandangan yang menjadikan materi sebagai tujuan hidup.Islam benar-benar mengecam perilaku sombong, kikir boros, egois dalam pengertian hanya memikirkan dirinya saja.Setiap investasi, baik berupa materi, waktu maupun ucapan dinilainya sebagai amal. Jadi tidak ada yang sia-sia, dan dari situlah maka berbuat kebajikan kepada yang lain yang membutuhkan adalah merupakan amal dan seharusnya menjadi kepuasan batin dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak.59 c. Hubungan manusia dengan manusia lain (masyarakat) Di dalam masyarakat selalu terdapat perbedaan tingkat kemampuan dalam bidang ekonomi, sehingga melahirkan adanya golongan ekonomi lemah dan golongan ekonomi kuat.Dalam keadaan perbedaan ekonomi yang lebih menyolok terdapat pula dalam masyarakat adanya golongan fakir miskin, karena tujuan pertama dari zakat adalah memenuhi kebutuhan orang-orang fakir.Masyarakat fakir miskin 59 A. Qodri Azizy, Membangun Fondasi Ekonomi Umat (Meneropong Prospek Berkembangnya Ekonomi Islam). (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), cet. Ke-I, hlm. 140. 43 adalah pertama dari pengeluaran zakat.60 Dalam hal ini diharapkan akan timbul gairah usaha memperbaiki hidup bagi yang miskin, sehingga keadaan kehidupan didepan mereka lebih meningkat dari sebelumnya. Akhirnya dengan dorongan zakat, jurang perbedaan ekonomi antara yang kaya dan yang miskin makin berkurang dan pergaulan mereka dalam masyarakat bertambah baik, karena diantara mereka tumbuh rasa persaudaraan saling bantu membantu.61 d. Hubungan manusia dengan harta benda. Pada umumnya manusia beranggapan bahwa semua harta kekayaan yang dimilikinya di dunia ini adalah hak miliknya mutlak tidak dapat di ganggu gugat.Zakat merupakan sarana pendidikan bagi manusia bahwa harta benda atau materi itu bukanlah tujuan hidup dan bukan hak milik mutlak dari manusia yang memilikinya, tetapi merupakan titipan Allah. Zakat juga bertujuan menciptakan masyarakat yang berbahagia yang dapat merasakan keberkatan harta benda yang diperolehnya, karena hak-hak orang lain atau hak agama atas harta itu sudah diberikan. 2. Hikmah Zakat Zakat mengandung hikmah dan manfaat yang demikian besar dan mulia, baik yang berkaitan dengan orang yang berzakat (muzaki), penerimanya (mustahiq), 60 Yusuf Qardhawi, Musykilat al-Faqr wa Kaifa’Ala Joha al-Islam, Ter. A. MaimunSyamsuddin, A. Wahid Hasan, “Theologi Kemiskinan : Doktrin Dasar dan Solusi Islam atasProblem Kemiskinan”.(Yogyakarta: 2002), cet. Ke-1, hlm.131. 61 Zakiyah Darajad Zakat Pembersih Harta dan Jiwa, (Jakarta: YPI RUHAMA, 1993), cet. Ke-4, hlm. 236-237. 44 harta yang dikeluarkan zakatnya, maupun bagi masyarakat keseluruhan.Hikmah dan manfaat tersebut antara lain tersimpul sebagai berikut:62 a. Sebagai perwujudan keimanan kepada Allah SWT, mensyukuri nikmat-Nya, menumbuhkan akhlak mulia dengan rasa kemanusiaan yang tinggi, menghilangkan sifat kikir, rakus dan materialistis, menumbuhkan ketenangan hidup, sekaligus membersihkan mengembangkan harta yang dimiliki. b. Karena zakat merupakan hak mustahik, maka zakat berfungsi untuk menolong, membantu, dan membina mereka, terutama fakir miskin kerah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup dengan layak, dapat beribadah kepada Allah SWT, terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki dan hasad yang mungkin timbul dari kalangan mereka, ketika mereka melihat orang kaya yang memiliki harta yang cukup banyak. Zakat sesungguhnya bukanlah sekedar memenuhi kebutuhan para mustahik, terutama fakir miskin yang bersifat konsumtif dalam waktu sesaat, akan tetapi memberikan kecukupan dan kesejahteraan kepada mereka, dengan cara menghilangkan atau memperkecil penyebab kehidupan mereka menjadi miskin dan menderita.Kebakhilan dan keengganan berzakat, disamping akan menimbulkan sifat hasad dan dengki dari orang-orang miskin dan menderita, juga akan mengundang azab Allah SWT. 62 Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam perekonomian Modern, (Jakarta: Gema 2002), h. 9-15. Insani, 45 c. Sebagai pilar amal bersama (jama‟i) antara orang-orang kaya yang berkecukupan hidupnya dan para mujahid seluruh waktunya digunakan untuk berjihad dijalan Allah SWT, yang karena kesibukannya tersebut, ia tidak memiliki waktu dan kesempatan untuk berusaha dan berikhtiar bagi kepentingan nafkah diri dan keluarganya. Disamping sebagai pilar amal bersama, zakat merupakan salah satu bentuk konkret jaminan sosial yang disyari‟atkan oleh ajaran Islam.Melalui zakat, kehidupan orang-orang fakir, miskin dan orang-orang menderita lainnya akan terpelihara dengan baik. Zakat merupakan salah satu bentuk perintah Allah SWT.untuk senantiasa melakukan tolong-menolong kebaikan dan takwa. d. Sebagai salah satu sumber bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang harus dimiliki umat Islam, seperti sarana ibadah, pendidikan, kesehatan, sosial maupun ekonomi, sekaligus sebagai sarana pengembangan kualitas sumber daya manusia muslim. Hampir semua ulama sepakat bahwa orang yang menuntut ilmu berhak menerima zakat atas nama golongan fakir dan miskin maupun sabilillah. e. Untuk memasyarakatkan etika bisnis yang benar, sebab zakat itu bukanlah membersihkan harta yang kotor, akan tetapi mengeluarkan bagian dari hak orang lain dari harta yang kita usahakan dengan baik dan benar sesuai dengan ketentuan Allah SWT yang terdapat dalam f. Dari sisi pembanguna kesejahteraan umat, zakat merupakan salah satu instrumen pemerataan pendapatan. Zakat yang dikelola dengan baik, memungkinkan terjadi pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan, economic with equity. Monzer Kahf menyatakan zakat dan sistem pewarisan Islam cenderung kepada 46 distribusi harta yang egaliter dan bahwa sebagai manfaat dari zakat, harta akan selalu beredar. Zakat akan mencegah akumulasi harta pada suatu tangan dan pada saat yang sama mendorong manusia untuk melakukan investasi dan mempromosikan distribusi. Zakat juga merupakan institusi yang komphrensif untuk distribusi harta karena hal ini menyangkut harta setiap muslim secara praktis, saat harta telah sampai melewati nishab. g. Dorongan ajaran Islam yang begitu kuat kepada orang-orang yang beriman untuk berzakat, berinfak dan bersedekah. Menunjukkan bahwa ajaran Islam mendorong umatnya untuk menjadi orang kaya, sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Zakat yang dikelola dengan baik akan mampu membuka lapangan kerja dan usaha yang luas, sekaligus penguasaan aset-aset oleh umat Islam.63 63 hlm. 9-15. Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani, 2002), BAB III PENDAPATAN NELAYAN DI KELURAHAN KAMAL MUARA KECAMATAN PENJARINGAN A. Gambaran Umum Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara 1. LetakGeografis Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No. 2561/2003 tanggal 30 Juli 2003 tentang pemecahan, penyatuan, penetapan batas perubahan nama Kelurahan di DKI Jakarta dan penegasan dari Walikota Jakarta Utara bahwa wilayah Kelurahan Kamal Muara merupakan pecahan dan gabungan dari Kelurahan Kapuk, Kelurahan Tegal Alur dan Kelurahan Kamal. Bahwa mengenai batas wilayah Kelurahan Kamal Muara mempunyai luas wilayah -+1.053 Ha dengan batas-batas sebagai berikut: Sebelah Utara : Pantai LautJawa SebelahTimur : Kali Cengkareng Drain Sebelah Selatan : Sepanjang jalan Kapuk Kamal Sebelah Barat : Desa Dadap Kabupaten Tangerang Banten Berdasarkan data dari badan pusat statistic Kelurahan Kamal Muara, 47 48 luas tanah dan proyek pertanahan akan dilampirkan sebagai berikut: 1. Luas Wilayah Menurut Status Tanah Wilayah Kelurahan Kamal Muara yang luasnya -+ 1.053 Ha tanahnya pada umumnya adalah tanah Negara dan tanah HGB, sedangkan sebagian adalah tanah garapan. Namun demikian tanah garapan sebagian sudah memiliki hak dengan mengurus Sertifikat baik secara perorangan maupun melalui prona. Untuk yang HGB sebagian sudah diurus peningakatannya menjadi SHM.1 2. Wilayah Menurut Peruntukannya Wilayah Kelurahan menurut peruntukannya adalah untuk pemukiman, perindustrian/pergudangan dan kawasan hutan lindung. Untuk kawasan pemukiman yang sudah lama adalah wilayah RW. 01 dan RW. 04 dan yang baru dan sedang berkembang ada diwilayah RW.03, 05, dan 06. Untuk kawasan perindustrian/pergudangan ada di wilayah RW. 06 yang tanamannya berupa pohon bakau yang dikenal dengan tamanWisata Alam (TWA). 3. Wilayah MenurutJenis Tanah Keadaan Wilayah Kelurahan Kamal Muara sebagian besar adalah berupa empang yang pada akhirnya diurug yang sekarang dijadikan pemukiman itu hampir disepanjang pesisir laut jawa yang masuk wilayah Kelurahan Kamal Muara. 4. PemindahanHakAtas Tanah Administrasi pertahanan yang dilakukan oleh Kasi Pemerintah dan Tramtib hanya sebatas pelayanan kepada masyarakat yang memiliki Surat Jual Beli Bangunan 1 BukuMonografiKelurahan Kamal Muara 2015 49 diatas Tanah Negara sedangkan yang memiliki Sertifikat HGB dan Sertifikat Hak Milik diarahkan pejabat PPAT/Notaris. 2. KeadaanDemografisKelurahan Kamal Muara Sebagai suatu wilayah yang terletak di pesisir pantai Laut Jawa sebagian wilayahnya berupa rawa dan banyak berdiri industry dan pergudangan maka sebagian besar penduduk Kelurahan Kamal Muara mata pencahariannya sebagian nelayan dan buruh pabrik. Dengan kondisi wilayah seperti itu maka menyebabkan banyaknya pendatang sehingga terbentuk masyarakat yang heterogen dengan suku dominan Bugis, Jawa, Sunda, Palembang, dan keturunan Cina.2 3. KeadaanSosiologisKelurahan Kamal Muara a. BidangSosial Dalam rangka pengumpulan Zakat, Infaq, dan Shodaqoh. Pemerintah Kelurahan Kamal Muara bekerjasama dengan pengurus RT/RW, memberikan sosialisasi kepada masyarakat, menghimbau para dermawan. Hal itu dilakukan guna menggugah kesadaran warga sehingga ZIS yang ditargetkan oleh Pemerintah Tingkat Kota Administrasi Jakarta Utara bisa tercapai bahkan bisa melampaui. Adapun target tahun 2015 ditetapkan sebesar Rp. 100.000.000,b. Bidang Agama Dengan Penduduk kelurahan Kamal Muara yang heterogen yakni bermacam suku, etnis, dan agama namun dalam kehidupan dalam bertoleransi antar umat sangat baik. Mayoritas penduduk untuk saat ini adalah beragama Islam. 2 BukuMonografiKelurahan Kamal Muara 2015 50 c. BidangKesehatan Dalam rangka meningkatkan taraf kesehatan maupun pengetahuan kesehatan Pemerintah Kelurahan Kamal Muara bekerja sama dengan Puskesmas Kelurahan Kamal Muara memberikan pembinaan dan penyuluhan kesehatan secara langsung dan juga melalui kader kesehatan yang dibina, dan juga telah diberikan Kartu Jakarta Sehat yang kemudian mulai bulan Januari diberikan JKN oleh BPJS untuk berobat kepada keluarga tidak mampu yang berguna untuk berobat dengan pembayaran iuran bulanan pembebasan dari biaya. d. KeadaanSosialPendidikan Tingkat pendidikan warga Kamal Muara tergolong cukup baik, yang dapat dilihat dengan adanya penduduk yang menyelesaikan pendidikannya ditingkat sarjana ( S-1 sampai S-2 ). Meskipun masih terdapat penduduk dengan status pendidikannya yang masih rendah atau bahkan putus sekolah. Masih ada remaja yang mengalami putus sekolah karena kurangnya motivasi yang kuat dari lingkungan keluarga ketika anak tidak mau sekolah dan seakan membiarkan, bahkan ada yang kurangnya mental yang disebabkan perekonomiannya terbatas.3 B. Sistem Penangkapan Nelayan di Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara Pada masa sekaran gini, ada beberapa hal yang memang menjadi bahan perbincangan mengenai modernisasi yang majemuknya profesi manusia. Salah satunya profesi manusia yang semakin beraneka ragam, yaitu industri-industri dan 3 BukuMonografiKelurahan Kamal Muara 2015 51 sejenisnya dari berbagai profesi yang dapat memberikan penghasilan tetap dan merupakan asset yang besar bagi sejumlah orang. Khususnya sebagian masyarakat Kamal Muara berprofesi sebagai nelayan, yang mencari penghasilan dilaut. Hasil tangkapan laut bias didapat melalui beberapa metode pertama melalui pertambakan kerang hijau yang menggunakan bamboo dan tali, dan kedua melalui tangkapan yang diperoleh dengan cara menggunakan perahu. Penulis terlebih dahulu menjelaskan tntang hasil tangkapan melalui pertambakan, tambak adalah kolam buatan, biasanya didaerah pantai, yang diisi air dan dimanfaatkan sebagai sarana budidaya perairan (akuakultur). Hewan yang dibudidayakan adalah hewan air, terutama ikan, udang, serta kerang. Jenis hewan air yang diperoleh melalui pertambakan di Kamal Muara adalah kerang hijau, dengan menggunakan alat sederhana yaitu bamboo dan tali. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak H. Lala, beliau adalah seorang yang mempunyai pertambakan kerang hijau di Kamal Muara, beliau mempunyai beberapa ternak pertambakan kerang hijau, yang setiap kali panen 5 bulan sekali, penghasilan yang di dapat dalam 1 bulan mencapai 60 juta.4 Selanjutnya H. Ile beliau juga mempunyai beberapa pertambakan kerang hijau yang penghasilanya dalam satu bulan mencapai 20 sampai 30 juta. Hanya dengan menggunakan modal awal 3 sampai 4 juta.5 Selanjutnya penjelasan mengenai hasil tangkapan laut yang dilakukan oleh paranelayan di Kamal Muara, dari hasil penelitian penulis terhadap para nelayan 4 WawancaradenganBapak H. Lalatgl 20 September 2015 5 WawancaradenganBapak H. Ile tgl 20 September 2015 52 Kamal Muara, seperti yang diungkapkan oleh Bapak Boy, selaku juragan (pemilik perahu) yang mempunyai beberapa anak buah, beliau memaparkan bahwa modal awal yang dikeluarkan untuk biaya melaut yaitu Rp. 1.055.000,-yang digunakan untuk beberapa keperluan yang ingin dibeli, seperti solar, es balok, dan lain sebagainya. Dengan membawa peralatan sederhana seperti jala, jaring, dan lainlain. Keuntungan bersih yang didapat oleh Bapak Boy selaku juragan (pemilikperahu) dalam sehari sebesar Rp. 70.000 itu sudah bersih dan sudah termasuk memberi upah kepada anak buahnya.6 Lain lagi menurut Bapak Sana selaku pemilik perahu, dan mempunyai beberapa awak kapal, yang berkontribusi kepada beliau sebesar Rp.200.000 per-orang sebagai ganti bahan bakar perahu. Modal awalnya sebesar Rp.1.000.000. Berbeda dengan Bapak Boy yang setiap harinya pulang dalam melaut, kalau Bapak Sana dan para awak kapalnya menempuh perjalan selama tiga hari, dengan tujuan dari pulau satu kepulau yang lain, beliau berangkat melaut delapan kali dalam satu bulan. Pendapatan kotor yang didapat oleh Bapak Sana sebesar Rp. 1.000.000,- dari pendapatan kotor tersebut, beliau membagi hasilnya menjadi tiga, dua untuk para awak kapal, dan yang satu untuk beliau sendiri, dikarenakan perahu ini milik Bapak sana, jadi beliaulah yang mendapatkan bagian terbesar dari hasil tangkapannya dilaut, dengan kisaran jumlah pendapatan bersih yang beliau terima yaitu Rp.500.000,- per tiga hari.7 6 WawancaradenganBapak Boy tgl 25 September 2015 WawancaradenganBapak Sana tgl 25 September 2015 7 BAB IV ANALISIS ZAKAT HASIL TANGKAPAN LAUT DI KELURAHAN KAMAL MUARA KECAMATAN PENJARINGAN JAKARTA UTARA A. Analisis Hukum Islam TentangZakat Hasil Tangkapan Laut Zakat secara harfiah berarti berkembang, kesucian, pengembangan, pembersih dan berkah bagi manusia, dikatakan bahwa tanaman dianggap berkembang jika telihat segar. Harta akan berkembang jika diberkati oleh Allah SWT. Sedangkan secara istilah zakat adalah: “sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah SWT. menyerahkan kepada orang-orang yang berhak”.1 Menurut Yusuf Al-Qardhawi, zakat juga bisa berarti mengeluarkan jumlah harta tertentu itu sendiri atau perbuatan seseorang untuk mengeluarkan hak wajib dari harta itu sendiri dan bagian tertentu yang dikeluarkan dari harta itupun dinamakan zakat.2 Dengan demikian, perintah untuk mengeluarkan zakat bukan hanya pada zakat hewan, tanaman, emas, dan perak, ataupun pada perdagangan. Akan tetapi, zakat mencakup semua harta kekayaan yang dihasilkan dengan usaha profesi dan usaha dari produk pembibitan hewan karena tujuan utama dari zakat itu sendiri adalah memenuhi kebutuhan orang-orang fakir.3 Hal ini berdasarkan firman Allah yang berbunyi: 1 M. Baghir Al-Habsyi, Fiqh Praktis: Menurut al-Qur‟an, as-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama (Bandung: Mizan Media Utama, 2002), hlm. 3. 2 Yusuf al-Qardhawi, Fiqh az-Zakah (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1969), hlm. 37. 3 Yusuf al-Qardhawi, Musykilatul Faqr Wakaifa „Alajaha, diterj. Maimun Syamsudin dan Wahid Hasan, Teologi Kemiskinan (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002), hlm. 133. 53 54 Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”(QS Al-Baqarah: 267) Menurut Saikh Sulaiman al-Ujaili kata “anfiqu” yang berasal dari kata infaq, yang maksudnya adalah zakat, dan kata “ma kasabtum” maksudnya adalah emas, perak, harta dagangan dan binatang ternak, jadi ayat diatas secara tekstual menegaskan bahwa empat macam harta tersebut wajib dikeluarkan zakatnya. Sedangkan Syaikh Khozin memberikan suatu pendapat bahwa secara tekstual dan melihat keumumannya, ayat diatas menjelaskan tentang kewajiban zakat dari semua hasil bumi dalam jumlah berapapun, namun menurut Imam Syafi‟i ayat diatas masih di takhshish (di khususkan) oleh hadits atau yang lain, sehingga menurut beliau hasil bumi yang wajib di zakati hanyalah biji-bijian yang bisa dijadikan makanan pokok serta buah anggur dan korma, yang semuanya harus sudah mencapai kadar satu nishab. Lain halnya dengan Imam Abu Hanifah, ayat diatas menurut beliau dibiarkan dalam keumumannya (tidak di takhshish) sehingga semua hasil bumi dalam jumlah 55 berapapun harus di zakati.Sementara ulama mufassir lainnya ada yang berpendapat maksud dari kata “anfiqu” diatas adalah shodaqoh sunnat.4 Yusuf al-Qardhawi menegaskan bahwa komoditi yang dihasilkan dari laut haruslah dikeluarkan zakatnya seperti halnya dengan ikan. Yusuf Al-Qardhawi melihat bahwa hasil ikan itu sangat besar dan menghasilkan uang yang sangat banyak, apalagi menggunakan teknologi canggih seperti yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan. Oleh karena itu tidak wajar sama sekali apabila ikan tidak terkena kewajiban zakat berdasarkan penganalogian terhadap barang tambang, hasil pertanian, dan lain-lain. Abu Ubaid meriwayatkan dari Yunus bin Ubaid. كتب عمز به عبد العزيز إلً عاملة:وقد روي أبى عبيد عه يىوس به عبيد قال 5 . أن ال يأخذ مه السمك شيأ حتً يبلغ مائي درهم: علً عمان Artinya:“Umar pernah mengirim surat kepada petugasnya di Oman agar ia tidak memungut apa pun dari ikan yang kurang harganya dari 200 dirham.Bila bernilai 200 dirham, yaitu sebesar nisab uang, maka harus di pungut zakatnya”. Imam Abu Ubaid sendiri dalam kitab Al-Amwal mengatakan, “kami tidak pernah mengetahui ada seorang ulama pun yang mempraktikan tentang pembayaran zakat ikan”. Beliau juga menulis pada zaman Rasulullah tidak ada penghasilan kekayaan yang dikeluarkan dari laut.6 Oleh karena itu kami Menurut pendapat Imam Malik dan Syafi‟i, besar zakatnya harus dibedakan, sesuai dengan berat ringannya 4 Fakhruddin, Muhammad bin Umar bin HusainAr-Rozi, Tafsir Al-Kabir (Lebanon: Darul Fikr, 1981), Juz 2, hlm. 10. 5 Yusuf al-Qardhawi, Fiqh az-Zakah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2006), hlm. 453. 6 Aby Ubaydin al-Qasimi Ibnu Sallam, Al-Amwal (New York: dar as-Salam, 2009), hlm. 347. 56 mengusahakannya, besar biaya atau tidaknya pengelolaannya, apakah 20% atau 2,5%.7 Menurut Yusuf al-Qardhawi meskipun tidak ada dalil yang secara ekspilit menjelaskan adanya kewajiban untuk zakat hasil laut namun ada metode pengambilan hukum dengan qiyas atau analogi yaitu mengaitkan sesuatu yang belum ada nashnya karena suatu illat sebab yang sama. Berdasarkan hal itu maka barang-barang yang dikeluarkan dari laut lebih beralasan apabila dikeluarkan zakatnya, berdasarkan analogi dengan kekayaan tambang dan hasil pertanian. Adapun mengenai berapa besar zakatnya haruslah diatur oleh yang berwenang sesuai dengan yang diterapkan oleh Umar. Hal ini karena syari‟at menggariskan bahwa besar kecilnya zakat dari bijian dan buah-buahan berdasarkan kesulitan dan berat atau ringannya usaha pengairannya, yaitu sebesar 5% dan bisa 10%. Hal ini berdasarkan hadis Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Saw. bersabda: نصفالعشر:وما سقي بالنضح، العشر:او كان عثريّا،فيما سقت السماء والعيون Artinya: “Pada pertanian yang tadah hujan atau mata air atau yang menggunakan penyerapan akar (Atsariyan) diambil sepersepuluh dan yang disirami dengan penyiraman maka diambil seperduapuluh.” (HR. al-Bukhari) 7 M. Ali Hasan, Tuntunan Puasa Dan Zakat, hlm. 183-184. 57 Demikian pula halnya dengan perolehan nelayan di kamal muara dalam penangkapan ikan, dilihat dari kondisi cuaca, dan menggunakan modal besar atau kecil. Sebagaimana telah penulis kemukakan pada paparan diatas, bahwasanya haditshadits pemikirannya Yusuf al-Qardhawi dalam menetapkan suatu hukum menggunakan 3 dasar hukum yaitu al-Qur‟an, as-Sunnah dan logika. Dengan demikian Yusuf al-Qardhawi mempunyai metode dalam menetapkan hukum syara‟ yang mana berdasarkan pada kaidah-kaidah hukum Islam. Dalam hal ini dalil-dalil tentang zakat hasil laut yang mana pertama menurut Yusuf al-Qardhawi adalah dengan menggunakan al-Qur‟an. Disini seperti halnya dengan ulama yang lainnya dimana al-Qur‟an adalah sumber dasar hukum yang pertama, hanya perbedaannya adalah pada penafsiran ayat istinbath hukumnya. Menurut Yusuf al-Qardhawi diwajibkan zakat hasil laut menggunakan metode dalalah aam, dan dalalah nash. Sebelum penulis menguraikan lebih lanjut, maka perlu penulis paparkan terlebih dahulu tentang dalalah „aam dan dalalah nash, sebagaimana telah disebutkan dalam ilmu ushul fiqh. Menurut Syekh al-Khudri, dalalah „aam adalah lafadz yang menunjukkan kepada pengertian yang didalamnya tercakup sejumlah obyek atau satuan yang banyak. “Al-„aam ialah lafadz yang menunjukkan kepada pengertian dimana didalamnya tercakup sejumlah obyek atau satuan yang banyak.8 8 Syeikh Muhammad al-Khudri, Ushul al-Fiqh, (Mesir: Dar al-Fikr, 1998), hlm. 142. 58 Dari pengertian tersebut, dapat dipahami hakekat itu sendiri dilihat dari segi karakteristik lafadz-lafadz itu adalah karena lafadz-lafadz itu sendiri dilihat dari segi karakteristik dan nilainya mengandung arti banyak dan tidak menunjuk kepada obyek tertentu saja. Dengan kata lain, suatu lafadz-lafadz dikategorikan kepada yang umum jika kandungan maknanya tidak memberikan batasan jumlah obyek yang tercakup didalamnya, yang menjadi permasalahannya sekarang adalah dalalah lafadz-lafadz al-„am itu qat‟I ataukah zany? Tentang hal ini, kalangan ulama ushul pun saling berbeda pendapat. Mazhab hanafi berpendapat bahwa adalah lafadz al-„aam itu qat‟i, bukan zanny, sama halnya dengan dalalah lafadz khas dari segi maknanya karena lafadz al-„aam itu mengandung makna pasti, tegas sampai ada dalil yang menyalahinya. Dalam hal ini mazhab Hanafi mengemukakan dengan dasar kaidah sebagai berikut: “Apabila terdapat sesuatu lafadz yang umum, maka maksud seluruh satuansatuannya yang terdapat di dalamnya adalah qathiy, sampai ada dalil yang mengkhususkan dan membatasi sebagian dari satuan-satuan yang mencakup di dalamnya”. Kemudian dari kalangan jumhur ulama. Seperti mazhab Syafi‟i menyatakan bahwa dalalah lafadz al-„am itu adalah zany, bukan qati, oleh karena itu, setiap lafadz al-„am harus di takhsis sebelum diamalkan, bahkan kalangan Syafi‟iyah menegaskan: “lafadz al-„am tidak dapat diamalkan, kecuali setelah dikhususkan sebagian dari satuan-satuannya”. Dalam hal ini, Yusuf al-Qardhawi menggunakan kaidah-kaidah yang pertama yaitu lafadz al-„aam, sebagaimana mereka beristinbath dari ayat-ayat berikut: 59 Artinya: “Ambillah zakat dari harta mereka guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka.Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. At-Taubah: 103) Tafsirnya: Allah SWT. dalam ayat ini memerintahkan Rasul-Nya memungut zakat dari umatnya untuk menyucikan dan membersihkan mereka dengan zakat itu. Juga diperintahkan agar beliau berdoa dan beristighfar bagi mereka yang menyerahkan bagian zakat. Ayat ini dijadikan alasan oleh orang-orang yang menolak menyerahkan zakat kepada Khalifah Abu Bakar sesudah wafatnya Rasulullah saw. mereka berpendapat bahwa hanya Rasulullah sendirilah yang patut menerima dan memungut zakat, karena perintah Allah dalam ayat ini ditujukan kepada beliau pribadi. Akan tetapi pendapat mereka itu ditolak oleh Abu Bakar dan bahkan mereka, karena penolakan menyerahkan zakat yang wajib itu dinyatakan sebagai orang-orang murtad yang patut diperangi. Maka karena sikap tegas Abubakar r.a. akhirnya menyerahlah orang-orang pembangkang itu dan kembali ke jalan yang benar. Berkata Abubakar r.a. mengenai peristiwa ini, “Demi Allah, andaikan mereka menolak menyerahkan 60 kepadaku seutas tali yang pernah mereka serahkannya sebagai kewajiban berzakat kepada Rasulullah niscaya akan kuperangi mereka karena penolakannya itu.9 Menurut Yusuf al-Qardhawi, ayat tersebut menunjukkan adanya keumuman tentang disyariatkannya kewajiban untuk mengeluarkan zakat atas harta benda yang dimiliki tanpa adanya pentakhsisan pada suatu harta benda tertentu.Sedangkan menurut hemat penulis, dalil-dalil tersebut sangatlah relevan untuk dijadikan hujjah bahwa hasil laut wajib dikeluarkan zakatnya.Karena dalil-dalil tersebut masih bersifat umum, maka dari itu suatu jenis kekayaan suatu harta tidak dapat membedakan antara satu jenis kekayaan terhadap kekayaan yang lainnnya. Dalam arti luas ahli tahqiq mengatakan bahwa “ijtihad ialah qiyas dan mengeluarkan (mengistinbathkan) hukum dari kaidah-kaidah syara‟ yang umum.10 Sedangkan ulama ushul menetapkan bahwa ijtihad itu artinya mempergunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan hukum syara dari kitabullah dan hadits Rasul.Hal inilah yang jadi landasan hukum bagi Yusuf al-Qardhawi dimana zakat hasil laut diqiyaskan dengan zakat barang tambang atau bisa juga dengan zakat pertanian karena merupakan penghasilan yang diperoleh dari bumi dinilai sama dengan penghasilan yang diperoleh dari laut. Yusuf al-Qardhawi juga berkeyakinan bahwa syariat islam tidak membeda-bedakan dua hal yang sama, dan tidak mempersamakan dua hal yang berbeda . 9 Abul Fada‟ Ismail bin Umar bin Katsir bin Al Qursy Ad Damsyiqi Tafsir Ibnu Katsier, (Beirut, Daarul Fikr), hlm. 677. 10 Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 50. 61 B. Analisis Tentang Pendapatan Nelayan yang Berpotensi Zakat Hasil Sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelumnya bahwa zakat mal adalah ibadah maaliyah ijtima‟iyyah, artinya ibadah di bidang harta yang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam membangun masyarakat. Karena ibadah maaliyah ijtima‟iyyah tidak dilaksanakan tersendiri, tetapi harus dalam hubungan dengan sesama manusia dalam masyarakat, dan tidak pula merupakan hubungan langsung antara manusia dengan Tuhannya, tetapi manusia sesama manusia, yaitu melalui amalnya terhadap sesama manusialah maka manusia dapat melaksanakan ibadah ijtima‟iyyah atau ibadah sosial. Seperti ibadah lainnya, seorang muslim dituntut untuk mencapai tingkat kesempurnaan tertentu dalam pelaksanaan ibadah zakat. Untuk itu dalam menentukan dan menghitung zakat adalah hal yang wajar jika seorang muslim diwajibkan untuk menentukan dan menghitung kewajiban zakat malnya dengan tingkat kepatutan dan kehati-hatian tertentu. Apalagi terdapat seperangkat prinsip-prinsip akutansi yang dapat dijadikan alat pendekatan kesempurnaan ibadah. Membayar zakat adalah kewajiban yang sangat penting bagi muslim bahkan agama Islam sangat menganjurkan kepada umat muslim untuk menjadi dermawan dalam membelanjakan setiap kekayaannya. Namun demikian dalam menjalankan kewajiban zakat, umat muslim tetap harus hati-hati dan bisa memastikan bahwa aset pendapatan yang dihitung tidak berlebihan dan pengeluarannya tidak terkurangi. 62 Yusuf al-Qardhawi mengatakan bahwa hasil laut hukumnya wajib dikeluarkan zakatnya karena hasil laut suatu kekayaan yang diberikan Allah SWT. kepada hamba-hamba-Nya dan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT. kepada Allah SWT. yang telah menganugrahkan kenikmatan-Nya. Sebagaimana Firman Allah dalam QS.an-Nahl: 14 Artinya: “Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karuniaNya, dan supaya kamu bersyukur.”(QS. an-Nahl: 14). Firman Allah tersebut di atas menguatkan pendapat Yusuf al-Qardhawi tentang wajibnya mengeluarkan zakat dari penghasilan hasil laut selain mengambil pendapat para ulama yang dianggapnya lebih kuat tentang zakat hasil laut berdasarkan beberapa alasan, pertama keumuman nash (ayat al-Qur‟an) diantara firman Allah SWT tersebut sebagai berikut: 63 Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103) Pada ayat pertama terdapat keumuman nash pada kata “ْ( ” َأمْىَاِلهِمharta benda mereka) yang merupakan bentuk jamak dari kata dasar “”مال, dimana mencakup semua macam dan jenis-jenis harta benda. “ ”امؤالdisini umum, yang mempunyai arti: sebagian dari tiap-tiap macam dan jenis harta benda. Jenis harta benda tersebut diantaranya adalah: emas dan perak, tanam-tanaman, hasil usaha dan hasil bumi serta menyeluruh, yang mencakup: 1. Perdagangan, 2. Peternakan, 3. Pertambangan, dan lain sebagainya.11 Jadi, memang benar apa yang diungkapkan oleh Yusuf al-Qardhawi bahwa pada ayat ini tidak membeda-bedakan satu jenis kekayaan suatu harta. Masyarakat nelayan adalah masyarakat yang memenuhi kebutuhan ekonominya dengan cara berlayar atau melaut. Ada beberapa metode bagi nelayan dalam mencari penghasilan dilaut, yang pertama dengan cara pertambakan, pertambakan disini yaitu ternak kerang hijau, yang hasilnya sangat menguntungkan, 11 Syaichul Hadi Purnomo, Perumusan Zakat Dewasa ini: Sumber-sumber penggalian, pengelolaan, dan sasaran Penggunaannya (Surabaya: C.V. Blok, 1981), hlm. 30. 64 memang terkadang pendapatannya tidak selalu besar. Yang kedua dalam pencarian melaut dengan menggunakan perahu, untuk perolehan dnegan menggunakan perahu ini kadang-kadang nelayan memperoleh hasil yang tidak banyak, karena tergantung kondisi cuaca. Dalam bab sebelumnya telah dipaparkan tentang pendapatan hasil tangkapan laut, hasil observasi dan wawancara dengan para nelayan di Kelurahan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan, bahwa pendapatan nelayan yang berpotensi zakat hanya dilakukan oleh nelayan yang mempunyai pertambakan karena hasil keuntungan yang sangat besar. Sedangkan pendapatan nelayan yang pencarian hasil tangkapan melalui perahu tidak dikenakan zakat, karena mencapai nisab dan memang belum sesuai syariat hukum Islam, tetapi jika pendapatan nelayan melaui perahu ini hasilnya mencapai nishab, maka menurut penulis hasil tangkapan laut tersebut di qiyas-kan dengan zakat hasil bumi karena sifatnya sama. Dari hasil bumi ada barang yang tumbuh dengan sendirinya dan ada juga yang diproses melalui usaha terlebih dahulu begitupun hasil laut. Dalam hal ini, penulis lebih sependapat dengan ungkapan Yusuf al-Qardhawi dimana hasil laut yaitu di qiyas-kan dengan zakat hasil pertanian. Karena penulis memandang bahwa hasil laut banyak macamnnya dan ada yang didapat dengan mudah dan ada yang melalui proses penambangan. Adapun mengenai besar dan nishab zakat hasil laut menurut Yusuf alQardhawi itu harus ditetapkan berdasarkan sulit, mudah, banyak dan harga barang itu. Jadi Yusuf al-Qardhawi menyerahkan berpendapat bahwa besar kecilnya jumlah zakat yang dikeluarkan itu diserahkan kepada ijtihad dan keputusan para ahli, apakah 20% atau 5%. Menurut penulis pendapat Yusuf al-Qardhawi tersebut terkesan kurang 65 jelas namun penulis menyadari bahwa penetapan zakat hasil laut memang terlalu sukar karena disamping tidak adanya dalil yang khusus juga banyak barang ragam dari hasil eksploitasi laut, namun demikian zakat hasil laut seperti di ungkapkan Yusuf al-Qardhawi bisa di qiyas-kan (dianalogikan) dengan zakat pertanian, baik dalam nishab maupun kadar dan prosentasenya. Menurut Yusuf al-Qardhawi hasil ikan yang ditangkap itu sangat besar dan menghasilkan uang yang sangat banyak apa lagi di zaman sekarang ini penangkapan ikan bukan saja oleh para nelayan tetapi juga dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar dan menggunakan peralatan canggih. Oleh karenanya menurut Yusuf al-Qardhawi berpendapat bahwa sangat tidak wajar apabila ikan tidak dikenakan zakat berdasarkan penganalogian barang tambang, hasil pertanian, dan lain-lain. Dengan demikian penulis berpendapat bahwa ungkapan Yusuf al-Qardhawi tentang wajibnya zakat hasil laut sangatlah relevan dengan kondisi saat ini, dimana perkembangan zaman dan teknologi semakin canggih sehingga masyarakat saat ini sangat mudah menagkap ikan bahkan dalam jumlah yang relative besar dan menghasilkan milyaran rupiah tiap tahunnya. Seperti pendapatan yang diperoleh oleh Bapak H. Lala dan Bapak H. Ile pendapatan mereka sangat besar jadi pendapatan mereka di qiyas-kan dengan zakat pertanian, dimana halnya pertanian yang tadah hujan diambil sepersepuluh zakatnya, begitu juga untuk ikan tergantung cuaca yang bagus, berdasarkan landasan hadits berikut ini. 66 وصفالعشز:وما سقي بالىضح، العشز:او كان عثزيّا،فيما سقت السماء والعيىن Artinya: “Pada pertanian yang tadah hujan atau mata air atau yang menggunakan penyerapan akar (Atsariyan) diambil sepersepuluh dan yang disirami dengan penyiraman maka diambil seperduapuluh.” (HR. al-Bukhari) Ijtihad menurut Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy ialah kesanggupan mengistinbathkan hukum syar‟i dari dalil syara (kitabullah dan sunnatur Rasul), dan ijtihad ini terbagi terbagi dua. Pertama, mengambil hukum dari dharir nash, yaitu penetapan hukum yang dilengkapi oleh nash; kedua penetapan hukum dari memahamkan nash,umpamanya sesuatu nash mempunyai „illat, maka disamakan nash itu hukum inilah yang dinamai qiyas.12 Hal ini juga sesuai dengan kaidah hukum: “Hukum itu berputar atas „illat hukumnya, ada tidak adanya hukum”.13Artinya dalam kaidah tersebut jika „illatnya ada, hukum ada dan jika „illatinya tidak ada (situasi dan kondisi telah berubah), maka hukumnya tidak ada, dengan ini penulis memandang bahwa adanya kewajiban untuk mengeluarkan zakat terhadap hasil laut seperti ambar, mutiara, rumput dan juga ikan terdapat „illat hukum yang mewajibkannya dan penganalogian dengan zakat barang tambang dan pertanian.Yang terpenting di sini adalah bahwa tujuan zakat yang utama adalah memenuhi kebutuhan orang-orang fakir. 12 Muhammad hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm.51. 13 Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994. hlm. 124. 67 Cara menentukan kadar nishab zakat hasil laut (setara dengan harga 520 kg beras),dan besaran harta yang dizakatkan antara 5 - 10%, dan dilaksanakan setiap kali panen, contoh cara perhitungan zakat yang harus dikeluarkan oleh Bapak H.Lala sebagai berikut:Pendapatan yang diperoleh selama satu bulan sebesar Rp. 60.000.000,- dikurangi biaya operasioanl Rp.4000.000,- sisa Rp. 56.000.000,- sedangkan kadar zakatnya 10%. Jadi Rp. 56.000.000 x 10 : 100 = Rp. 5.600.000,-. Jadi Bapak H. Lala harus mengeluarkan zakat sebesar Rp.5.600.000,- pada setiap kali panen ( perhitungannya 5 bulan sekali dalam memanen kerang hijau). Selanjutnya penulis akan menjelaskan perhitungan zakat yang harus dikeluarkan oleh nelayan yang mencari ikannya dilaut meskipun pendapatannya belum mencapai nisab,jika pendapatannya besar maka wajib dikeluarkan zakatnya, prosentase perhitungannya sama dengan zakat hasil pertambakan diatas yang di qiyas-kan dengan zakat pertanian, cara perhitungannya sebagai berikut: Jika pendapatan juragan sudah bersih dan sudah termasuk dihitung modal yang berjumlah Rp.4.900.000,- x 10 : 100 = Rp. 490.000,-. Jadi zakat yang harus dikeluarkan oleh nelayan selaku juragan yaitu sebesar Rp. 490.000,-. Karena zakat bukan hanya sekedar kreatifitas positif atau amal shaleh yang bersifat individual, lebih dari itu zakat adalah usaha membangun tatanan masyarakat yang teratur di bawah naungan negara, dengan departemen khusus yang bertugas untuk menghimpun dan mendistribusikannya, sebab zakat merupakan bagian dari pendapatan dan kekayaan masyarakat yang berkecukupan yang menjadi hak dan karena itu harus diberikan kepada yang berhak, terutama untuk memberantas kemiskinan dan penindasan. Dengan taraf yang berbeda-beda pendapatan yang 68 diperoleh dari usaha diberbagai sektor seperti pertanian, pertambangan, perindustrian, jasa dan perdagangan perlu dipotong dengan biaya produksinya setiap panennya atau dalam hitungan setahun, tetapi didistribusikannya dapat dilakukan sepanjang waktu.14 Dalam hal ini, menurut penulis zakat hasil laut di analogikan dengan zakat pertanian karena kalau kita lihat bahwa zakat pertanian besar zakatnya disesuaikan dengan tingkat kesusahan dan harga barang tersebut memang benar bahwa meng-istinbathkan hukum dari kaidah-kaidah syara yang bersifat umum. 14 M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 446. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah penyusun mendeskripsikan dan menganalisa pendapatan nelayan di Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara dalam pembahasan penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Dalam Al-Quran dan Hadis tidak disebutkan secara jelas tentang zakat hasil ikan laut dan pertambakan, dasar hukumnya masih bersifat umum sehingga harus dianalisis menurut konteksnya. Zakat hasil laut memang terlalu sukar karena disamping tidak adanya dalil yang khusus juga banyak barang ragam dari hasil eksploitasi laut, namun demikian zakat hasil laut seperti di ungkapkan Yusuf alQardhawi bisa di qiyas-kan (dianalogikan) dengan zakat pertanian, baik dalam nishab maupun kadar dan prosentasenya. 2. Pendapatan nelayan di Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara belum dapat digolongkan sebagai pendapatan yang berpotensi zakat, khususnya untuk nelayan yang hasil tangkapan dari laut, karena pendapatan tersebut belum mencapai nishab (kuota), ada beberapa faktor diantaranya kondisi cuaca saat ini, dan pengaruh limbah terhadap air laut yang tercemar. Lain halnya dengan pendapatan yang di peroleh melalui pertambakan maka harus dikeluarkan zakatnya karena penghasilan yang besar dan mecapai nisab dan cara 69 70 perhitungannya adalah dengan setiap kali panen kemudian diambil zakatnya tanpa harus menunggu setahun, hal itu di qiyaskan pada zakat pertanian, begitupun jika hasil nelayan yang menangkap ikan dilaut pengeluaran zakatnya sama dengan hasil pertambakan yaitu di qiyas-kan dengan zakat pertanian dengan prosentase 5% - 10%. B. Saran-saran 1. Dengan adanya karya ini diharapkan dapat membantu para nelayan pada umumnya dan khususnya nelayan di Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara, menentukan apakah pendapatan yang diperolehnya telah memenuhi persyaratan kewajiban mengeluarkan zakat atau belum. Apabila pendapatan tersebut telah memenuhi persyaratan, maka seyogyanya para nelayan mengeluarkan zakat untuk setiap pendapatan yang diperolehnya, karena mengeluarkan zakat untuk umat muslim yang telah memenuhi syarat adalah wajib hukumnya. 2. Kepada insan akademisi (mahasiswa, peneliti, dan lain sebagainya), sedianya hasil penelitian ini bisa dijadikan rujukan awal dan sementara, untuk kemudian dikembangkan dengan penelitian-penelitian yang lebih mendalam, sehingga berguna, baik bagi pengembangan keilmuan fiqh Islam, maupun bagi kesejahteraan dan keadilan ekonomi masyarakat, terutama masyarakat Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara, sesuai dengan kehendak dan tujuan syari’at (maqashid al-syari’ah). DAFTAR PUSTAKA Ali, Abu Hasan bin Muhammad bin Hubaid, al-Bishri, al-Baghdadi, 1984 Ali, Muhammad Daud, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: (UI Press) 1988 Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta, 2006 Azizy, A. Qodri, Membangun Fondasi Ekonomi Umat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004 Ba’iy, Abdul al-Hamid Mahmud, Ekonomi Zakat, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2006 Bahreisy, Salimdan Said Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsier, Surabaya: PT. BinaIlmu, 1988 Bakry, Nazar, Fiqhdan Ushul Fiqh, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994 Bukhari, Imam, Shahih al-Bukhari Kitab al-Imam, Beirut: Daar al-Fikr, 1991 Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hove, 1996 Daradjat, Zakiah, Zakat Pembersih Hartadan Jiwa, Jakarta: YPI RUHAMA, 1993 Din, Mohd SallehHj, Zakat dan Wira usaha, Jakarta: CED, 2005 Fakhruddin, Fiqhdan Manajemen Zakat di Indonesia. UIN-Malang Press, Malang: 2008. Habsyi, M. Baghir, Fiqh Praktis, Bandung: Mizan Media Utama, 2002 Hadi, Sutrisno, Metode Riset, Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1987. Hafidhuddin, Didin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 2002 Hasan, Abdul Halim, Tafsir al-Ahkam, Jakarta: Kencana, 2006 71 72 Hasan, M. Ali, TuntunanPuasadan Zakat, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2001 Hasbi, Furqon, 125 Masalah Zakat, Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2008. Husaini, Imam Taqiyuddin Abu Bakar, Kifayatul Akhyar, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997 Ismail, Abu Fada’ bin Umar bin Katsir bin al-Qursy ad-Damsyiqi, Tafsir Ibnu Katsier, Beirut: DaarulFikr Katsier, Ibnu, Shahih tafsir Ibnu Katsier, Riyadh: Pustaka Ibnu katsir, 2001 Khudri, Syeikh Muhammad, Ushul al-Fiqh, Mesir: Daar al-Fikr, 1998 Kurnia, Hikmat, dan Ade Hidayat, Panduan Pintar Zakat, Jakarta: Qultum Media, 2008 Lughah al-Aarabiyah, Majma, al-Mu’jam al-Wasith, Mesir: Daar al-Ma’arif, 1972 Mas’udi, Masdar F, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993 Mufraini, M. Arief, Akutansidan Manajemen Zakat, Jakarta: Kencana, 2006 Muhammad, Abu Ja’far bin Jarir bin Yazid bin Gholib, Tafsir at-Thobri, Beirut: DaarulFikr Muhammad, Fakhruddin bin Umar bin Husain ar-Rozi, Tafsir al-Kabir, Lebanon: DarulFikr, 1981 Muhammad, ZakatProfesi, Wacana Pemikiran dalam Fikih Kontemporer, Jakarta: SalembaDiniyah, 2002 Munawar, Ahmad Warso, al-Munawir Kamus Arab- Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997 Mursyidi, Akutansi Zakat Kontemporer, Bandung: RemajaRosdaKarya, 2003 Pedoman Zakat 9 Seri, Jakarta: Proyek Peningkatan Sarana Keagamaan Islam Zakat dan Wakaf, 1998 Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, 2006 73 Purnomo, Syaichul Hadi, Perumusan Zakat Dewasa ini: Sumber-Sumber Penggalian, Pengelolaan, dan Sasaran Penggunaannya, Surabaya: C.V, Blok, 1981 Qadir Abdurrachman, Zakat Dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial Jakarta: Raja GrafindoPersada: 2001 Qardhawi, Yusuf, Fiqhaz-Zakah, Kairo: Maktabah Wahbah, 2006 Qardhawi, Yusuf, Fiqhu al-Zakah, Beirut: DarulIrsyad, 1969 Qardhawi, Yusuf, Musykilat al-Faqrwa Kaifa ‘AlaJoha al-Islam, Terj. A. Maimun Syamsudin, dan A. Wahid Hasan, Teologi Kemiskinan, Yogyakarta: 2002 Qardhawi, Yusuf, Risalah Zakat Fitrah, Surabaya: Pustaka Progresif, 1991. Qudamah, Ibnu, al-Mughni, Jakarta: PustakaAzzam, 2013. Rahardjo, M. Darmawan, Islam dan Transformasi Ekonomi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999 Rofiq, Ahmad, Fikih Kontekstual dari Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004 Normatif ke Pemaknaan Sosial, Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2012 Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pedoman Zakat, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999 Shihab, Quraish, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1994 Sugiono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Bandung: Alfabeta, 2004. Syahhatih, Syauqi Isma’il, Penerapan Zakat dalam Dunia Modern, Metropos: Pustaka Dian/Antar Kota, 1987 Ubaydin, Aby al-Qasimi Ibnu Sallam, Al-Amwal, Nwe York: Dar as-Salam, 2009 Undang-undang Republik Indonesia, Tentang Pengolaan Zakat, 1999 Z, Zurinal, dan Aminuddin, Fiqh Ibadah, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN, 2008. Zuhayly, Wahbah, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1995