View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
NILAI-NILAI ARSITEKTUR KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM) DI
BULUTANA KECAMATAN TINGGI MONCONG KABUPATEN GOWA
M. Taufik Ishak
Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Hasanuddin Makassar
Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 10 Tamalanrea Makassar
Telp. (0411) 586265 Fax. (0411) 587707
Email :
Abstract
The development of architecture now associated with green architecture. Sustainable
architecture, environment architecture, tropical architecture. By considering the system
architecture development tiday then held research at the High muzzle Bulutana Gowa District is
an element of sustainable and provide the values of local wisdom. The problem that arises is
the extent to which society Bulutana, remain consistent to capture the values of local wisdom,
in the lives and livelihoods of its people. This study used a phenomenological qualititative
approach. Forms of local wisdom. In Bulutana is consistence with the natural environment of
renewable utilization of local materials, saving anergy by using natural resources.
Keywords ; architecture, green, consistent, fenemologis, natural materials, saving energy
Abstrak
Perkembangan arsitektur sekarang ini dihubungkan dengan arsitektur hijau, arsitektur
berkelanjutan, arsitektur berwawasan lingkungan, arsitektur tropis. Dengan memperhatikan
sistem arsitektur yang berkembang sekarang ini maka di adakan penelitian di Bulutana
Kecamatan Tinggi Moncong Kabupaten Gowa merupakan unsur yang berkelanjutan dan
memberikan nilai-nilai kearifan local. Permasalahan yang timbul adalah sejauh mana
masyarakat Bulutana, tetap konsisten mengabadikan nilai-nilai kearifan lokal, dalam kehidupan
dan penghidupan masyarakatnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
fenomenologis. Bentuk kearifan local. Di Bulutana adalah hidup berdampingan dengan alam
lingkungan Pemanfaatan material lokal yang terbaharukan, penghematan energi dengan
menggunakan potensi alam,
Kata Kunci; arsitektur, green, konsisten, fenemologis, material alam, penghematan energy,
PENDAHULUAN
Perkembangan arsitektur dewasa
ini telah menuju suatu dekade
sinergitas antara proses perancangan
dan industri material serta teknologi
membangun.Karya-karya
arsitektur
sekarang ini mengarah pada rancangan
yang
berkesinambungan/sustainable,
rancangan tersebut diantaranya green
architecture,
sustainable architecture,
dan lain sebagainya.
Akhir-akhir ini arsitektur banyak
dihubungkan
dengan
“energi”,
lingkungan dan ekologi,semantik dan
seni pahat (sculpture). Dan kondisi
dunia yang kian mengarah ke krisis
energi
membuat
orang
kembali
mendengungkan pentingnya berhemat
energi. Muncullah beragam konsep
desain bangunan mengacu iklim sekitar
(bio-climatic) rancangan / design, untuk
menghasilkan arsitektur hijau,yang
1
nyaman,namun juga hemat energi dan
menerus (sustainable).
Menurut Rapoport (1969), bahwa
dalam arsitektur sudah seharusnya
manusia memikirkan agar lingkungan
binaan yang diciptakannya dapat
memberikan
kenyamanan
“psikis”,
merupakan
pencerminan
agama,
kepercayaan,
interaksi,
keluarga
(penghuni),organisasi sosial,hubungan
antara individu, material yang tersedia
dan iklim dimana bangunan tersebut
berada.
Rapoport
juga
menjelaskan
selayaknya tetap dipertahankan untuk
mewujudkan
kesinambungan
arsitektural yang bernilai kearifan lokal
(local
wisdom),
yang
terdapat
dibeberapa pelosok tanah air. Salah
satu
kawasan
peninggalan
para
pendahulu
kita adalah, kawasan
pemukiman yang berada didataran
tinggi; yaitu kawasan situs bersejarah
di Bulutana Kecamatan Tinggi Moncong
Kabupaten Gowa.
PERMASALAHAN
Permukiman
di
Bulutana
khususnya Balla Lompoa dan Balla
Jambua, sebagai bangunan panggung
yang sudah dihuni 7 (tujuh) generasi,
sampai saat masih berdiri kokoh
bagaikan benda pusaka yang penuh
makna. Permasalahan yang timbul
adalah sejauh mana masyarakat
Bulutana,
tetap
konsisten
mengabadikan nilai-nilai kearifan lokal,
dalam kehidupan dan penghidupan
mereka; di tengah kencangnya arus
globalisasi melanda seluruh pelosok
negeri.
KAJIAN PUSTAKA
A. Arsitektur Tradisional
Arsitektur tradisional adalah suatu
fenomena bentukan manusia dengan
alam lingkungan sekitarnya,alam telah
menjadi sumberdaya material dan
energi bagi manusia untuk hidup dan
berkembang sesuai kodrat alam.
Hakekat dari arsitektur tradisional yang
lahir dari tempaan alam, yang telah
tumbuh
dan
teruji
dari
waktu
kewaktu,dari generasi ke generasi
berikutnya dalam bentuk tradisi yang
tidak
terlalu
banyak
mengalami
perubahan. Inti hakekat arsitektur
tradisional yaitu “bagaimana menjawab
tantangan alam”, alam dan lingkungan
binaan sebagai bentuk persenyawaan
yang
abadi
untuk
menghargai
keputusan alam sebagai sesuatu yang
kodrati.
Menurut Hidayatun (2008) pada
seminar nasional jelajah arsitektur
tradisional
nusantara
dalam
“menemukenali
teknologi
berbasis
kearifan lokal”,bahwa lingkungan dan
manusia serta arsitektur adalah 3 (tiga)
unsur yang saling terkait, dan saling
mempengaruhi. Kalau ibaratkan sebuah
segitiga samakaki,maka ujung atas
posisi lingkungan,sedangkan ujung
bawah kiri posisi manusia dan kanan
adalah arsitektur. arsitektur tradisional
yang selalu berorientasi pada lokalitas
dengan konsep alami,telah banyak
diterjemahkan oleh para “Panrita Balla”
selaku arsitek alam; yang banyak
menterjemahkan
fenomena
alam
sebagai bahasa arsitekturalnya. Sanro
bola
yang
melahirkan
konsep
arsitektur,bertutur
menggunakan
pengetahuan
tersembunyi
(tacid
knowledge) dengan lebih banyak
berbahasa lisan daripada tulisan pada
setiap pemaknaan konsepnya.
B. Arsitektur dan Kebudayaan
Kata “arsitektur dan kebudayaan”
merupakan dua kata yang paling sering
dirangkai menjadi kalimat bermakna
bangunan dan budaya penghuninya.
Berbicara arsitektur tradisional maka
pasti akan membahas kebudayaan,
karena budaya akan menjadi sub
sistem dari pola kehidupan sehari-hari
masyarakat penggunanya. Budaya akan
2
melahirkan
konsep-konsep
yang
berazaskan kearifan lokal, dan akan
menjadi pengetahuan yang berbentuk
bahasa tutur,bahasa gerak,bahasa seni
dan sebagainya; dan telah diyakini
masyarakat sebagai suatu komponen
peradaban.
Arsitektur
dan
kebudayaan
bersepakat meletakkan sendi-sendi
arsitektur dan budaya, pada bingkai
yang sama; berarsitektur berarti
berkebudayaan. Di dalam budaya
terdapat unsur seni, dan di dalam
arsitektur terdapat pula unsur seni (seni
bangunan). Budaya dalam bentuk fisik
akan lahirkan “arsitektur tradisional”
yang
dapat
teraga
(tangible),
sedangkan budaya dalam bentuk
nonfisik akan lahirkan karya-karya yang
sifatnya
dapat
dituturkan
atau
didendangkan
hal ini tidak teraga
(intangible),
kemudian
disimak
bersama-sama .
pemaknaan holistik secara “filosofis”.
Makna ini diterjemahkan ke dalam
bentuk
elemen-elemen
bangunan
secara “tacit knowledge”. Di mana
setiap elemen bangunan didasari nilainilai argumentatif yang terkadang
hanya “panrita balla” yang tahu
maknanya. Kesemua kejadian dari
prosesi tersebut di atas dapat
dikategorikan
salah
satu
bentuk
pemaknaan kearifan lokal.
C. Arsitektur dan Kearifan Lokal
Arsitektur
yang
bermakna
kearifan lokal lahir dan berkembang
pada jajaran arsitektur tradisional,nilainilai kearifan lokal (local wisdom) telah
menjadi khasanah perbendaharaan
pemaknaan
arsitektur
tradisional.
Bentuk kearifan lokal tampil secara
bersahaja,sederhana dan tampil apa
adanya, konsep kearifan lokal pada
perancangan arsitektur tradisional telah
dimiliki oleh seorang yang bergelar
“Panrita Bola/Sanro Bola" (Bugis) atau
“Panrita Balla” (Makassar).
Kearifan
lokal
khususnya
penerapannya
di
arsitektur
tradisional,di mana “Panrita Balla”
bekerja dengan prinsip yang mulia dan
luhur;karena tujuan akhir dari setiap
prosesi rancangannya selalu tertuju
pada
“kemuliaan,
keluhuran,
keharmonisan,kesejahteraan
dan
kebahagiaan dunia dan akhirat”.
Penerapan dari segala bentuk idealisme
tersebut di atas diungkap dalam bentuk
simbol-simbol
dengan
aturan
Conference
on
Environment
Development (UNCED) atau Konferensi
D. Arsitektur Berkelanjutan
Arsitektur
berkelanjutan
(sustainable architecture) merupakan
slogan
yang
berkembang
untuk
memberikan image terhadap rancangan
arsitektur yang tanggap terhadap
lingkungan. Konservasi lingkungan dan
pembangunan
adalah
merupakan
kegiatan yang terintegrasi dan tidak
dapat dipisahkan satu dengan lainnya.
Dalam konteks itu menurut
Daryadi dkk (2002:4), United Nations
Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de
Janeiro,Brazil pada tahun 1992 telah
menghasilkan
:
Deklarasi
Rio,
Konservasi Keanekaragaman Hayati
(Convention on Biodiversity), Konvensi
Iklim (Convention on Climatic Change),
dan
agenda
21.
Kesepakatankesepakatan itu diharapkan dapat
mencegah dan menanggulangi berbagai
kerusakan lingkungan secara lebih
serius
termasuk
menjaga
dan
menanggulangi berbagai permasalahan
yang dihadapi bumi, serta perlu
diketahui
dan
dipahami
lebih
mendalam.
E. Arsitektur Terbaharukan
Era global sekarang ini energi
yang terbaharukan akan selalu menjadi
topik permasalahan, karena ada
indikasi yang menunjukkan bahwa
sejak ribuan tahun manusia puas
dengan sumber energi setempat.
Tuntutan atas kenyamanan diatur
3
sesuai sumber energi yang tersedia
tersebut. Namun demikian sudah sejak
dulu
hutan
dimusnahkan
untuk
mendapat bahan bangunan maupun
bahan bakar,tetapi eksplotasi tersebut
masih terbatas dan tidak mengganggu
keseimbangan ekologis global (Frick,
2006:161).
Pada
prinsipnya
arsitektur
terbaharukan memiliki ruang lingkup
materi, dimulai dari kondisi lingkungan
yang alamiah, penggunaan bahan –
bahan lokal yang alamiah, kemampuan
teknologi membangun dapat dilakukan
oleh masyarakat setempat, sumber
energi sedapat mungkin memanfaatkan
ketersedian energi yang ada lingkungan
setempat.
Rancangan
arsitektur
terbaharukan
adalah
berupaya
memaksimalkan energi yang telah
disediakan
oleh
alam;
misalnya,
bagaimana potensi angin digunakan
untuk pengudaraan dalam ruangan,
potensi penerangan sinar matahari di
siang hari, potensi material alam (kayu,
bambu,
rotan)
untuk
kekuatan
bangunan dan lain sebagainya.
F. Arsitektur Ekologis
Arsitektur yang berwawasan
lingkungan
atau
arsitektur
yang
ekologis menurut Frick Heinz (2006:4)
bahwa patokan yang dapat digunakan
dalam
membangun
rumah
yang
ekologis adalah sebagai berikut :
a. Menciptakan kawasan penghijauan
b. Memilih tapak bangunan yang bebas
dari
radiasi
geobiologis
dan
meminimalkan
medan
elektromagnetik buatan.
c. Menggunakan
bahan
bangunan
alamiah.
d. Menggunakan ventilasi alam untuk
menyejukkan
udara
dalam
bangunan.
e. Menghindari kelembapan tanah naik
ke dalam konstruksi bangunan.
f. Memilih lapisan permukaan dinding
dan langit-langit yang mampu
mengalirkan uap air.
g. Menjamin kesinambungan struktur
antara bahan bangunan dan struktur
bangunan.
h. Menjamin
bangunan
yang
direncanakan tidak menimbulkan
masalah
lingkungan
dan
mengutamakan energi terbaharukan.
i. Menciptakan
bangunan
bebas
hambatan sehingga gedung dapat
dimanfaatkan oleh semua penghuni.
Arsitektur ekologis/berwawasan
lingkungan merupakan produk dialog
antara manusia dengan alam. Alam
tidak saja dianggap sebagai musuh
yang harus ditaklukkan,akan tetapi
alam diposisikan sebagai bagian pola
kehidupan manusia itu sendiri.
METODE PENELITIAN
Penelitian
ini
menggunakan
pendekatan kualitatif fenomenologis ,
menurut Moleong, (2000 : 9), peneliti
dalam
pandangan
fenomenologis
berusaha memahami arti peristiwa dan
kaitan-kaitannya terhadap orang-orang
biasa dalam situasi – situasi tertentu.
Penelitian kualitatif akan menghasilkan
data deskrektif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati (Bogdan dan Taylor
dalam Moleong,1996). Karakteristik
penelitian kualitatif antara lain berlatar
alamiah (natural),manusia sebagai alat
(instrumen), analisis datanya diolah
secara induktif,deskriptif,data yang
ditemukan
berupa
kata-kata
(manuskrif) atau gambar,dan bukan
angka-angka; dan lebih mementingkan
proses daripada hasil, batas yang
ditentukan oleh fokus obyek.
Pendekatan fenomenologis yaitu
berusaha mamahami arti peristiwa dan
kaitan-kaitannya terhadap orang-orang
biasa
dalam
situasi
tertentu.
Fenomenologi tidak berasumsi bahwa
peneliti mengetahui arti sesuatu bagi
orang-orang yang sedang diteliti, yang
ditekankan oleh kaum fenomenologis
4
ialah aspek subyektif dari perilaku
orang (Moleong,2000).
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berada di
kelurahan
Bulutana,
kecamatan
Tinggimoncong,
kabupaten
Gowa,
Sulawesi Selatan.Bulutana atau sering
disebut “buttatoa” dimaknai sebagai
“tanah leluhur sangat tua” merupakan
kawasan situs budaya, yang perlu
dipertahankan dan dilindungi. Pada
kawasan Bulutana terdapat 2 (dua)
bangunan tua yaitu (1) Balla Lompoa
(rumah besar) dan (2) Balla Jambua
(rumah
jambu),
lokasi
Bulutana
berjarak sekitar 8 Km dari kota Malino
atau sekitar 80 Km dari kota Makassar.
Gambar 1 : Peta Kabupaten Gowa
Sumber : Kantor Bappeda Kabupaten Gowa
Gambaran lokasi memperlihatkan
bahwa,sejak
dahulu
Bulutana
merupakan kawasan yang terisolir dan
terpencil, sehingga mungkin agak susah
mengadakan kontak hubungan dengan
daerah-daerah sekitarnya. Situasi dan
kondisi tersebut menjadikan kawasan
ini, masih menyisahkan situs-situs
arsitektural yang masih berkarakter
vernakular.
B. Kearifan Lokal
1. Arsitektural
Bangunan rumah tinggal secara
umum berarsitektur panggung,yang
diwujudkan ke dalam bentuk bangun
geometris;berupa
paduan
bentuk
persegi empat panjang dan segitiga
(perhatikan tampak bangunan). Wujud
bentuk persegi empat didasari filosofi
“sulapa-appa” (sudut empat) di mana
kajian filosofisnya sangat bermakna.
Karakter arsitektur yang bergaya
“rustic”
(pedesaan)
menyiratkan
kesederhanan dan kepolosan dalam
bersikap serta pendekatan naturalistik,
yang selalu menjadi pedomannya.
Gambar 2: “Balla Jambua” dan “Balla
Lompoa”
Pembagian
ruangan
secara
vertikalis, disikapi dengan hirarki
fungsional derajat manusia dalam
beraktivitas; ruang bawah kolong
“siring” dulunya difungsikan sebagai
tempat menyimpan ternak piaraan,
namun sekarang
lebih berfungsi
gudang. Ruang tengah “kale balla”
untuk ruang aktivitas sehari-hari bagi
keluarga,sedangkan ruang atas (bawah
atap) difungsikan sebagai tempat
menyimpan hasil bumi berupa padi
ataupun terkadang untuk penempatan
benda-benda yang disucikan.
Gambar 3 : Memperlihatkan nilai
kearifan lokal dalam fungsional ruang
bawah
rumah/siring,
badan
rumah/kaleballa, atas /pammakkang.
5
Fungsi
kemampuan
ruang
berdasarkan
kearifan lokal dalam
“setting zoning space”. Bagian bawah
dianggap ruang yang kotor sehingga
difungsikan untuk meng-kandangkan
ternaknya (pada saman lampau).
Bagian tengah untuk bersosialisasi
dengan keluarga dan lain sebagainya.
Sedangkan ruang atas lebih berfungsi
untuk menyimpan hasil panen dan
benda-benda
yang
dipusakakan
(disucikan).
2. Struktural
Struktur bangunan berpanggung
pada kasus “Balla Lompoa” dan Balla
Jambua”,secara kasat mata terlihat
unsur-unsur nilai logika,kejujuran dan
kekuatan dimanifestasikan ke dalam
wujud “rongga padat” yang stabil
namun tetap fleksibel. Rangkaian tiang
(benteng),pasak (pattodo) mewujudkan
konstruksi yang layak disebut tahan
gempa, karena kekuatannya terletak
pada fleksibelitasnya.
Struktural “tiang dan pasak”
(sistem konstruksi paling kuno),masih
mendominasi
tampilan
bangunan,malahan
pada
balok
penyangga atas yang berfungsi sebagai
pengaku (pengikat) ujung tiang bagian
atas;dipasang balok bersegi 8 (delapan)
berbentuk glondongan. Balok ini
berfungsi
menyalurkan
gaya-gaya
beban atap dan beban “pammakkang”
beserta hasil panen yang disimpan di
ruang bawah atas.
Gambar 4. Sistem struktur pasak
tiang, struktur balok “pammakkang”
dan struktur lantai papan yang
melekat pada balok
Sistem pemerataan pembebanan
pada
lantai
bangunan,disalurkan
melalui papan lantai panggung yang
dipasang
secara
sejajar
dengan
panjang rumah; melalui anak balok dan
dilanjutkan ke pattodo lalu ke benteng.
Sedangkan sistem pembebanan pada
pammakkang disalurkan melalui lantai
bambu,anak balok dan araseng. Untuk
beban dinding luar yang mengelilingi
bangunan
langsung
dipikul
oleh
benteng-benteng, tempatnya dinding
tersebut dipasang.
Gambar
5.
Struktur
lantai
“pammakkang”, dinding papan panil,
tiang “benteng” yang miring agar
stabil.
Tiang-tiang “benteng” hanya
duduk di atas tanah (tidak ditanam
dalam tanah), ini suatu bentuk
kearifan, kalau ditanam maka tiang
tersebut akan cepat lapuk. Kearifan
lainnya adalah posisi kaki tiang yang
tidak ditanam adalah sangat fleksibel
menerima gaya mendadak,misalnya
kalau terjadi gempa, maka tiang
tersebut akan bergerak secara leluasa.
3. Elemen Bangunan
Elemen-elemen bangunan yang
diterapakan pada bangunan panggung
di Bulutana, lebih mengutamakan
fungsi
daripada
nilai
estetisnya.
Misalnya dinding bangunan akan lebih
berfungsi sebagai penghalang angin
kencang,
tempat
lubang
cahaya
(jendela) dan lubang penghawaan.
Partisi atau penyekat ruang berfungsi
sebagai
pembatas
fungsi
ruang,sehingga secara abstrak terjadi
perbedaan fungsi kegiatan.
6
Balla Lompoa dan Balla Jambua
memakai atap bambu yang disusun
mirip sirap kayu, material atap bambu
sangat sustainable dan dianggap cukup
mampu menahan termal panas ataupun
terpaan hujan. Pemilihan bambu
sebagai atap salah satu bentuk kearifan
lokal, atap ini tergolong elemen yang
terbaharukan,cukup mudah dipasang
dan bahan tersebut terdapat di
lingkungan sekitar.
4. Material Bangunan
Dasar
konsepsi
pemilihan
material yaitu memperhatikan segi
struktural
atau
kekuatan
untuk
menerima
beban
ataupun
ketahanannya terhadap iklim/cuaca
yang sangat riskan. Kemampuan
memilih dan memilah material tentunya
telah
berlangsung
secara
turuntemurun,
disertai
upaya
teknis
teknologis yang lebih baik. Peranan
“Panrita Balla” sebagai arsitek rumah
panggung, khususnya dalam pemilihan
material bangunan sangat membantu
menentukan jenis kayu yang cocok
dipakai
sebagai
ramuan
rumah.
Material bangunan yang menjadi
komponen bangunan, pada umumnya
diambil di hutan; jenis material kayu
yang diketahui cukup kuat, misalnya;
Jati, Cendana, dan lain-lain.
5. Detail Bangunan
Bangunan
panggung
yang
banyak dijumpai di Bulutana dari segi
detail
bangunan,sangat
bersahaja
ditampilkan seadanya,namun untuk
ukuran
perkampungan
yang
terpencil;detail-detail yang ditampilkan
dianggap cukup memadai.
Gambar 6. Elemen jendela, dinding
teras “dego-dego”, tangga ke “kale
balla”, pintu, engsel tanam dan
elemen atap dari bambu yang disusun
mirip sirap.
Sebagai bangunan berpanggung
“akses” yang menghubungkan antara
“kale balla” dengan “siring” harus
melalui tangga kayu dan pintu. Pintu
pada Balla Lompoa dan Balla Jambua,
menggunakan pintu panil yang cukup
lebar dengan ukuran(85 cm x 170 cm).
Pintu tersebut adalah papan tebal 3 cm,
dan dipilih papan yang cukup lebar
tanpa sambungan, engselnya memakai
engsel
tanam
dari
kayu;suatu
penyelesaian yang arif dan konstruktif.
Gambar 8.
Bulutana.
Detai-detail
rumah
di
Detail bangunan yang ada
merupakan karya (desain) daripada
“panrita balla”,dengan menggunakan
peralatan “manual” yang sederhana
pula. Detail-detail tersebut dapat
dilihat,misalnya; pada “anjong”,”timba
sela”,”tralis jendela”, “nenas-nenasan”
dan lain sebagainya.
6. Ukuran Bangunan
Dalam penentuan ukuran dan
dimensi
didasari
pengetahuan
7
“intangible” (tidak teraga),akan tetapi
diaplikasikan
ke
fisik
“tangible”.
Penentuan satuan ukuran-ukuran lebih
mengandalkan “skala/proporsi” dari
pengguna atau pemilik rumah yang
bersangkutan.
Satuan ukuran terpanjang adalah
“depa” (dihitung panjang rentang ke
dua belah tangan dari ujung jari kanan
ke kiri),sedangkan satuan ukuran
terpendek adalah “seujung kuku”
(dihitung panjang ujung kuku norma).
Ukuran “depa” dapat mewakili ukuran
metrik;ukuran “seujung kuku” mewakili
ukuran mellimeter.
Secara sederhana ukuran-ukuran
yang mengambil proporsi anggota
badan dapat diuraikan sebagai berikut;
1 (satu) depa = 5 (lima) hasta/siku, 1
(satu) hasta/siku = 2 (dua) jengkal,
1(satu) jengkal = 3(tiga) genggam jari
(satu genggam = terdiri atas 4 (empat
jari tangan), 1 (satu) jari tangan = 10
(sepuluh) ujung kuku dan seterusnya.
7. Sanitasi Lingkungan
Pola sanitasi lingkungan yang
terjadi di perkampungan Bulutana,
dibuat sangat sederhana hampir tidak
dijumpai adanya sanitasi yang memakai
bahan semen untuk perkuatan. Dalam
kesederhanaan
tersebut
nilai-nilai
kearifan
lokal
diterapkan,artinya
mereka hidup mengolah lahan di atas
muka
tanah
secara
bijak
dan
menganggap alam adalah ruang
mahluk hidup, yang perlu dijaga
kelestariannya.
Gambar 9. Sistem sanitasi dari alam
Perencanaan saluran air pada
muka
tanah
yang
agak
miring,diselesaikan
secara
bentuk
bertangga-tangga,sehingga air yang
melewati tidak meluncur deras; akan
tetapi melewati trap-trap tangga air
dan bambu yang dibuat sebagai
saluran/pipa
air
kotor,
hal
ini
merupakan tanggap lingkungan.
8. Pola Lingkungan
Sebagai perkampungan yang
masih bergaya “rustic”,sehingga pola
tatanan lingkungannya membentuk tipe
linear dan memusat. Ada anggapan
masyarakat
setempat
bahwa
di
Bulutana terdapat “pusat tanah”, yang
menjadi pusat orientasi bangunan
secara abstrak.
Di pusat tanah ditandai dengan
penanaman Pohon Beringin (Ficus
benyamina),dan
dipagar
bambu
mengelilingi pohon tersebut. Penerapan
penataan lingkungan alami dapat dilihat
dari penggunaan saluran air non
permanen,sehingga air hujan dapat
terserap lebih banyak kedalam air.
Gambar 10. Pola lingkungan
Bulutana, masih alami dan hijau.
di
Pola jalan lingkungan yang tidak
beraspal
(gambar
10
B),hanya
hamparan batu gunung namun cukup
layak dijalani, halaman dan pekarangan
rumah dibiarkan tumbuh rumputnya;
kesemuanya ini telah lama diterapkan
oleh masyarakat Bulutana. Penataan
lingkungan alami akan mewujudkan
nilai-nilai kearifan lokal.
9. Pola Lansekap.
Pada umumnya pola lensekap (soft
scape) yang telah terbentuk di
Bulutana, lebih bergaya “pekarangan”
tanaman tumbuh secara bebas dan
alami. Tanaman yang produktif dan
8
dapat dikonsumsi buahnya biasanya
ditanam pada pekarangan rumah atau
kebun (misalnya; Mangga, Pisang,
Nangka,
Jambu
biji,
Jambu
air,Pepaya,kelapa dan lain-lain). Untuk
tanaman-tanaman yang berkayu pada
umumnya
ditanam
pada
pinggir
kampung atau kebun dan hutan.
sekitarnya
mengangkut hasil panen dari sawah
atau ladang, ialah memakai jasa hewan
ternaknya seperti kuda sebagai alat
transfortasi. Hal ini dapat saja
dimaklumi karena kondisi topografi
Bulutana tergolong berkontur, maka
memilih kuda untuk mengangkut
berbagai keperluan sudah tepat. Maka
nilai kearifan lokal pun dapat terjadi di
sini.
11. Alat Komunikasi
Untuk berkomunikasi sesama
anggota masyarakat pada umumnya,
adalah menggunakan bahasa Makassar;
Gambar 11. Pola Lansekap alami yang
membentuk panorama Bulutana.
Pola lansekap dengan material
keras (hard scape), terbentuk sangat
sederhana dan memanfaatkan potensi
material yang ada pada lingkungan
setempat; kelihatan cukup sustainable
dan berwawasan lingkungan.
Gambar 12. Material “hard scape” di
perkampungan Bulutana.
Fungsi dari hard scape ini sesuai
dengan
kebutuhan
masyarakat
Bulutana; dapat berfungsi sebagai
tempat istirahat pada siang hari,
tempat duduk-duduk bersama anggota
keluarga,tempat berkumpul sesama
anggota warga apabila ada acara-acara
tertentu dan lain sebagainya.
10. Alat Transportasi
Alat transfortasi yang masih
banyak digunakan oleh masyarakat
Bulutana,
khususnya
untuk
Gambar
13.
tergantung
di
Jambua.
Kentongan
dego-dego
yang
Balla
sebagai bahasa daerah lokal di
Bulutana.
Akan
tetapi
apabila
masyarakat ingin memberi tanda atau
sinyal terhadap sesuatu
hal yang
sangat penting, maka ia membunyikan
“kentongan”. Fungsi kentongan sebagai
alat komunikasi klasik yang berguna
untuk
memberi
informasi
pada
masyarakat
sekitarnya,
apabila
kentongan dibunyikan boleh jadi ada
sesuatu yang perlu disampaikan kepada
masyarakat sekitarnya.
KESIMPULAN
Bentuk kearifan lokal yang
mewarnai
sendi-sendi
kehidupan
masyarakat Bulutana, dapat dilihat dari
berbagai aspek arsitektural maupun
aspek nonarsitektural.
Hidup berdampingan dengan
alam
lingkungan
sekitar,
serta
mengolah dan memanfaatkan potensi
alam sebagai tindak lanjut untuk
9
mewujudkan nilai-nilai kearifan lokal.
Alam lingkungan yang subur dan diolah
selayaknya
sehingga
tetap
mempertahankan
kelestarian
lingkungan hidup, maka cara ini dapat
disebut sebagai bentuk kehidupan dan
penghidupan yang berkesinambungan
(sustainable).
Pemanfaatan material lokal yang
terbaharukan, penghematan energi
dengan menggunakan potensi alam,
mengindikasikan bahwa masyarakat
Bulutana ikut berperan melanjutkan
nilai-nilai kearifan lokal yang telah lama
dikembangkan
oleh
masyarakat
pendahulu mereka. Hal ini sejatinya
dipertahankan di tengah derasnya arus
globalisasi sekarang ini.
Nilai-nilai arsitektur kearifan lokal
yang
telah
lama
diaplikasikan
masyarakat
Bulutana,
dapat
dikembangkan menjadi situs budaya
etnik Makassar dan menjadi kawasan
yang dilindungi sebagai cagar budaya.
Rapoport, Amos, 1969. House Form
and Culture, Prentice Hall. New
Jersey : Englewood Clifft.
Syarif, 2004. Arsitektur Rumah Bodo
dalam
Kajian
Karakteristik
Bangunan
Tropis
di
Kota
Watampone dan sekitarnya, Tesis
tidak
diterbitkan
Pascasarjana Unhas.
Program
DAFTAR PUSTAKA
Daryadi dkk (2002:4), United Nations
Conference
Development
on
Environment
(UNCED)
atau
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
Bumi di Rio de Janeiro,Brazil
Frick, Heinz dan Tri Hesti Mulyani,
2006. Arsitektur Ekologis,konsep
arsitektur
ekologis
di
iklim
tropis,penghijauan kota dan kota
ekologis,serta energi terbaharukan.
Yogyakarta : Kanisius.
Hidayatun, 2008.
Seminar nasional
jelajah
arsitektur
tradisional
nusantara dalam “Menemukenali
Teknologi Berbasis Kearifan Lokal”
2000. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung :
Remaja Rosdakarya.
Moleng,
Lexy
j,
10
11
Download