NILAI-NILAI ARSITEKTUR KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM) DI BULUTANA KECAMATAN TINGGI MONCONG KABUPATEN GOWA M. Taufik Ishak Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Hasanuddin Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 10 Tamalanrea Makassar Telp. (0411) 586265 Fax. (0411) 587707 Email : Abstract The development of architecture now associated with green architecture. Sustainable architecture, environment architecture, tropical architecture. By considering the system architecture development tiday then held research at the High muzzle Bulutana Gowa District is an element of sustainable and provide the values of local wisdom. The problem that arises is the extent to which society Bulutana, remain consistent to capture the values of local wisdom, in the lives and livelihoods of its people. This study used a phenomenological qualititative approach. Forms of local wisdom. In Bulutana is consistence with the natural environment of renewable utilization of local materials, saving anergy by using natural resources. Keywords ; architecture, green, consistent, fenemologis, natural materials, saving energy Abstrak Perkembangan arsitektur sekarang ini dihubungkan dengan arsitektur hijau, arsitektur berkelanjutan, arsitektur berwawasan lingkungan, arsitektur tropis. Dengan memperhatikan sistem arsitektur yang berkembang sekarang ini maka di adakan penelitian di Bulutana Kecamatan Tinggi Moncong Kabupaten Gowa merupakan unsur yang berkelanjutan dan memberikan nilai-nilai kearifan local. Permasalahan yang timbul adalah sejauh mana masyarakat Bulutana, tetap konsisten mengabadikan nilai-nilai kearifan lokal, dalam kehidupan dan penghidupan masyarakatnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologis. Bentuk kearifan local. Di Bulutana adalah hidup berdampingan dengan alam lingkungan Pemanfaatan material lokal yang terbaharukan, penghematan energi dengan menggunakan potensi alam, Kata Kunci; arsitektur, green, konsisten, fenemologis, material alam, penghematan energy, PENDAHULUAN Perkembangan arsitektur dewasa ini telah menuju suatu dekade sinergitas antara proses perancangan dan industri material serta teknologi membangun.Karya-karya arsitektur sekarang ini mengarah pada rancangan yang berkesinambungan/sustainable, rancangan tersebut diantaranya green architecture, sustainable architecture, dan lain sebagainya. Akhir-akhir ini arsitektur banyak dihubungkan dengan “energi”, lingkungan dan ekologi,semantik dan seni pahat (sculpture). Dan kondisi dunia yang kian mengarah ke krisis energi membuat orang kembali mendengungkan pentingnya berhemat energi. Muncullah beragam konsep desain bangunan mengacu iklim sekitar (bio-climatic) rancangan / design, untuk menghasilkan arsitektur hijau,yang 1 nyaman,namun juga hemat energi dan menerus (sustainable). Menurut Rapoport (1969), bahwa dalam arsitektur sudah seharusnya manusia memikirkan agar lingkungan binaan yang diciptakannya dapat memberikan kenyamanan “psikis”, merupakan pencerminan agama, kepercayaan, interaksi, keluarga (penghuni),organisasi sosial,hubungan antara individu, material yang tersedia dan iklim dimana bangunan tersebut berada. Rapoport juga menjelaskan selayaknya tetap dipertahankan untuk mewujudkan kesinambungan arsitektural yang bernilai kearifan lokal (local wisdom), yang terdapat dibeberapa pelosok tanah air. Salah satu kawasan peninggalan para pendahulu kita adalah, kawasan pemukiman yang berada didataran tinggi; yaitu kawasan situs bersejarah di Bulutana Kecamatan Tinggi Moncong Kabupaten Gowa. PERMASALAHAN Permukiman di Bulutana khususnya Balla Lompoa dan Balla Jambua, sebagai bangunan panggung yang sudah dihuni 7 (tujuh) generasi, sampai saat masih berdiri kokoh bagaikan benda pusaka yang penuh makna. Permasalahan yang timbul adalah sejauh mana masyarakat Bulutana, tetap konsisten mengabadikan nilai-nilai kearifan lokal, dalam kehidupan dan penghidupan mereka; di tengah kencangnya arus globalisasi melanda seluruh pelosok negeri. KAJIAN PUSTAKA A. Arsitektur Tradisional Arsitektur tradisional adalah suatu fenomena bentukan manusia dengan alam lingkungan sekitarnya,alam telah menjadi sumberdaya material dan energi bagi manusia untuk hidup dan berkembang sesuai kodrat alam. Hakekat dari arsitektur tradisional yang lahir dari tempaan alam, yang telah tumbuh dan teruji dari waktu kewaktu,dari generasi ke generasi berikutnya dalam bentuk tradisi yang tidak terlalu banyak mengalami perubahan. Inti hakekat arsitektur tradisional yaitu “bagaimana menjawab tantangan alam”, alam dan lingkungan binaan sebagai bentuk persenyawaan yang abadi untuk menghargai keputusan alam sebagai sesuatu yang kodrati. Menurut Hidayatun (2008) pada seminar nasional jelajah arsitektur tradisional nusantara dalam “menemukenali teknologi berbasis kearifan lokal”,bahwa lingkungan dan manusia serta arsitektur adalah 3 (tiga) unsur yang saling terkait, dan saling mempengaruhi. Kalau ibaratkan sebuah segitiga samakaki,maka ujung atas posisi lingkungan,sedangkan ujung bawah kiri posisi manusia dan kanan adalah arsitektur. arsitektur tradisional yang selalu berorientasi pada lokalitas dengan konsep alami,telah banyak diterjemahkan oleh para “Panrita Balla” selaku arsitek alam; yang banyak menterjemahkan fenomena alam sebagai bahasa arsitekturalnya. Sanro bola yang melahirkan konsep arsitektur,bertutur menggunakan pengetahuan tersembunyi (tacid knowledge) dengan lebih banyak berbahasa lisan daripada tulisan pada setiap pemaknaan konsepnya. B. Arsitektur dan Kebudayaan Kata “arsitektur dan kebudayaan” merupakan dua kata yang paling sering dirangkai menjadi kalimat bermakna bangunan dan budaya penghuninya. Berbicara arsitektur tradisional maka pasti akan membahas kebudayaan, karena budaya akan menjadi sub sistem dari pola kehidupan sehari-hari masyarakat penggunanya. Budaya akan 2 melahirkan konsep-konsep yang berazaskan kearifan lokal, dan akan menjadi pengetahuan yang berbentuk bahasa tutur,bahasa gerak,bahasa seni dan sebagainya; dan telah diyakini masyarakat sebagai suatu komponen peradaban. Arsitektur dan kebudayaan bersepakat meletakkan sendi-sendi arsitektur dan budaya, pada bingkai yang sama; berarsitektur berarti berkebudayaan. Di dalam budaya terdapat unsur seni, dan di dalam arsitektur terdapat pula unsur seni (seni bangunan). Budaya dalam bentuk fisik akan lahirkan “arsitektur tradisional” yang dapat teraga (tangible), sedangkan budaya dalam bentuk nonfisik akan lahirkan karya-karya yang sifatnya dapat dituturkan atau didendangkan hal ini tidak teraga (intangible), kemudian disimak bersama-sama . pemaknaan holistik secara “filosofis”. Makna ini diterjemahkan ke dalam bentuk elemen-elemen bangunan secara “tacit knowledge”. Di mana setiap elemen bangunan didasari nilainilai argumentatif yang terkadang hanya “panrita balla” yang tahu maknanya. Kesemua kejadian dari prosesi tersebut di atas dapat dikategorikan salah satu bentuk pemaknaan kearifan lokal. C. Arsitektur dan Kearifan Lokal Arsitektur yang bermakna kearifan lokal lahir dan berkembang pada jajaran arsitektur tradisional,nilainilai kearifan lokal (local wisdom) telah menjadi khasanah perbendaharaan pemaknaan arsitektur tradisional. Bentuk kearifan lokal tampil secara bersahaja,sederhana dan tampil apa adanya, konsep kearifan lokal pada perancangan arsitektur tradisional telah dimiliki oleh seorang yang bergelar “Panrita Bola/Sanro Bola" (Bugis) atau “Panrita Balla” (Makassar). Kearifan lokal khususnya penerapannya di arsitektur tradisional,di mana “Panrita Balla” bekerja dengan prinsip yang mulia dan luhur;karena tujuan akhir dari setiap prosesi rancangannya selalu tertuju pada “kemuliaan, keluhuran, keharmonisan,kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akhirat”. Penerapan dari segala bentuk idealisme tersebut di atas diungkap dalam bentuk simbol-simbol dengan aturan Conference on Environment Development (UNCED) atau Konferensi D. Arsitektur Berkelanjutan Arsitektur berkelanjutan (sustainable architecture) merupakan slogan yang berkembang untuk memberikan image terhadap rancangan arsitektur yang tanggap terhadap lingkungan. Konservasi lingkungan dan pembangunan adalah merupakan kegiatan yang terintegrasi dan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Dalam konteks itu menurut Daryadi dkk (2002:4), United Nations Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro,Brazil pada tahun 1992 telah menghasilkan : Deklarasi Rio, Konservasi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biodiversity), Konvensi Iklim (Convention on Climatic Change), dan agenda 21. Kesepakatankesepakatan itu diharapkan dapat mencegah dan menanggulangi berbagai kerusakan lingkungan secara lebih serius termasuk menjaga dan menanggulangi berbagai permasalahan yang dihadapi bumi, serta perlu diketahui dan dipahami lebih mendalam. E. Arsitektur Terbaharukan Era global sekarang ini energi yang terbaharukan akan selalu menjadi topik permasalahan, karena ada indikasi yang menunjukkan bahwa sejak ribuan tahun manusia puas dengan sumber energi setempat. Tuntutan atas kenyamanan diatur 3 sesuai sumber energi yang tersedia tersebut. Namun demikian sudah sejak dulu hutan dimusnahkan untuk mendapat bahan bangunan maupun bahan bakar,tetapi eksplotasi tersebut masih terbatas dan tidak mengganggu keseimbangan ekologis global (Frick, 2006:161). Pada prinsipnya arsitektur terbaharukan memiliki ruang lingkup materi, dimulai dari kondisi lingkungan yang alamiah, penggunaan bahan – bahan lokal yang alamiah, kemampuan teknologi membangun dapat dilakukan oleh masyarakat setempat, sumber energi sedapat mungkin memanfaatkan ketersedian energi yang ada lingkungan setempat. Rancangan arsitektur terbaharukan adalah berupaya memaksimalkan energi yang telah disediakan oleh alam; misalnya, bagaimana potensi angin digunakan untuk pengudaraan dalam ruangan, potensi penerangan sinar matahari di siang hari, potensi material alam (kayu, bambu, rotan) untuk kekuatan bangunan dan lain sebagainya. F. Arsitektur Ekologis Arsitektur yang berwawasan lingkungan atau arsitektur yang ekologis menurut Frick Heinz (2006:4) bahwa patokan yang dapat digunakan dalam membangun rumah yang ekologis adalah sebagai berikut : a. Menciptakan kawasan penghijauan b. Memilih tapak bangunan yang bebas dari radiasi geobiologis dan meminimalkan medan elektromagnetik buatan. c. Menggunakan bahan bangunan alamiah. d. Menggunakan ventilasi alam untuk menyejukkan udara dalam bangunan. e. Menghindari kelembapan tanah naik ke dalam konstruksi bangunan. f. Memilih lapisan permukaan dinding dan langit-langit yang mampu mengalirkan uap air. g. Menjamin kesinambungan struktur antara bahan bangunan dan struktur bangunan. h. Menjamin bangunan yang direncanakan tidak menimbulkan masalah lingkungan dan mengutamakan energi terbaharukan. i. Menciptakan bangunan bebas hambatan sehingga gedung dapat dimanfaatkan oleh semua penghuni. Arsitektur ekologis/berwawasan lingkungan merupakan produk dialog antara manusia dengan alam. Alam tidak saja dianggap sebagai musuh yang harus ditaklukkan,akan tetapi alam diposisikan sebagai bagian pola kehidupan manusia itu sendiri. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologis , menurut Moleong, (2000 : 9), peneliti dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi – situasi tertentu. Penelitian kualitatif akan menghasilkan data deskrektif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Taylor dalam Moleong,1996). Karakteristik penelitian kualitatif antara lain berlatar alamiah (natural),manusia sebagai alat (instrumen), analisis datanya diolah secara induktif,deskriptif,data yang ditemukan berupa kata-kata (manuskrif) atau gambar,dan bukan angka-angka; dan lebih mementingkan proses daripada hasil, batas yang ditentukan oleh fokus obyek. Pendekatan fenomenologis yaitu berusaha mamahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi tertentu. Fenomenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang diteliti, yang ditekankan oleh kaum fenomenologis 4 ialah aspek subyektif dari perilaku orang (Moleong,2000). HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Lokasi Penelitian Lokasi penelitian berada di kelurahan Bulutana, kecamatan Tinggimoncong, kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.Bulutana atau sering disebut “buttatoa” dimaknai sebagai “tanah leluhur sangat tua” merupakan kawasan situs budaya, yang perlu dipertahankan dan dilindungi. Pada kawasan Bulutana terdapat 2 (dua) bangunan tua yaitu (1) Balla Lompoa (rumah besar) dan (2) Balla Jambua (rumah jambu), lokasi Bulutana berjarak sekitar 8 Km dari kota Malino atau sekitar 80 Km dari kota Makassar. Gambar 1 : Peta Kabupaten Gowa Sumber : Kantor Bappeda Kabupaten Gowa Gambaran lokasi memperlihatkan bahwa,sejak dahulu Bulutana merupakan kawasan yang terisolir dan terpencil, sehingga mungkin agak susah mengadakan kontak hubungan dengan daerah-daerah sekitarnya. Situasi dan kondisi tersebut menjadikan kawasan ini, masih menyisahkan situs-situs arsitektural yang masih berkarakter vernakular. B. Kearifan Lokal 1. Arsitektural Bangunan rumah tinggal secara umum berarsitektur panggung,yang diwujudkan ke dalam bentuk bangun geometris;berupa paduan bentuk persegi empat panjang dan segitiga (perhatikan tampak bangunan). Wujud bentuk persegi empat didasari filosofi “sulapa-appa” (sudut empat) di mana kajian filosofisnya sangat bermakna. Karakter arsitektur yang bergaya “rustic” (pedesaan) menyiratkan kesederhanan dan kepolosan dalam bersikap serta pendekatan naturalistik, yang selalu menjadi pedomannya. Gambar 2: “Balla Jambua” dan “Balla Lompoa” Pembagian ruangan secara vertikalis, disikapi dengan hirarki fungsional derajat manusia dalam beraktivitas; ruang bawah kolong “siring” dulunya difungsikan sebagai tempat menyimpan ternak piaraan, namun sekarang lebih berfungsi gudang. Ruang tengah “kale balla” untuk ruang aktivitas sehari-hari bagi keluarga,sedangkan ruang atas (bawah atap) difungsikan sebagai tempat menyimpan hasil bumi berupa padi ataupun terkadang untuk penempatan benda-benda yang disucikan. Gambar 3 : Memperlihatkan nilai kearifan lokal dalam fungsional ruang bawah rumah/siring, badan rumah/kaleballa, atas /pammakkang. 5 Fungsi kemampuan ruang berdasarkan kearifan lokal dalam “setting zoning space”. Bagian bawah dianggap ruang yang kotor sehingga difungsikan untuk meng-kandangkan ternaknya (pada saman lampau). Bagian tengah untuk bersosialisasi dengan keluarga dan lain sebagainya. Sedangkan ruang atas lebih berfungsi untuk menyimpan hasil panen dan benda-benda yang dipusakakan (disucikan). 2. Struktural Struktur bangunan berpanggung pada kasus “Balla Lompoa” dan Balla Jambua”,secara kasat mata terlihat unsur-unsur nilai logika,kejujuran dan kekuatan dimanifestasikan ke dalam wujud “rongga padat” yang stabil namun tetap fleksibel. Rangkaian tiang (benteng),pasak (pattodo) mewujudkan konstruksi yang layak disebut tahan gempa, karena kekuatannya terletak pada fleksibelitasnya. Struktural “tiang dan pasak” (sistem konstruksi paling kuno),masih mendominasi tampilan bangunan,malahan pada balok penyangga atas yang berfungsi sebagai pengaku (pengikat) ujung tiang bagian atas;dipasang balok bersegi 8 (delapan) berbentuk glondongan. Balok ini berfungsi menyalurkan gaya-gaya beban atap dan beban “pammakkang” beserta hasil panen yang disimpan di ruang bawah atas. Gambar 4. Sistem struktur pasak tiang, struktur balok “pammakkang” dan struktur lantai papan yang melekat pada balok Sistem pemerataan pembebanan pada lantai bangunan,disalurkan melalui papan lantai panggung yang dipasang secara sejajar dengan panjang rumah; melalui anak balok dan dilanjutkan ke pattodo lalu ke benteng. Sedangkan sistem pembebanan pada pammakkang disalurkan melalui lantai bambu,anak balok dan araseng. Untuk beban dinding luar yang mengelilingi bangunan langsung dipikul oleh benteng-benteng, tempatnya dinding tersebut dipasang. Gambar 5. Struktur lantai “pammakkang”, dinding papan panil, tiang “benteng” yang miring agar stabil. Tiang-tiang “benteng” hanya duduk di atas tanah (tidak ditanam dalam tanah), ini suatu bentuk kearifan, kalau ditanam maka tiang tersebut akan cepat lapuk. Kearifan lainnya adalah posisi kaki tiang yang tidak ditanam adalah sangat fleksibel menerima gaya mendadak,misalnya kalau terjadi gempa, maka tiang tersebut akan bergerak secara leluasa. 3. Elemen Bangunan Elemen-elemen bangunan yang diterapakan pada bangunan panggung di Bulutana, lebih mengutamakan fungsi daripada nilai estetisnya. Misalnya dinding bangunan akan lebih berfungsi sebagai penghalang angin kencang, tempat lubang cahaya (jendela) dan lubang penghawaan. Partisi atau penyekat ruang berfungsi sebagai pembatas fungsi ruang,sehingga secara abstrak terjadi perbedaan fungsi kegiatan. 6 Balla Lompoa dan Balla Jambua memakai atap bambu yang disusun mirip sirap kayu, material atap bambu sangat sustainable dan dianggap cukup mampu menahan termal panas ataupun terpaan hujan. Pemilihan bambu sebagai atap salah satu bentuk kearifan lokal, atap ini tergolong elemen yang terbaharukan,cukup mudah dipasang dan bahan tersebut terdapat di lingkungan sekitar. 4. Material Bangunan Dasar konsepsi pemilihan material yaitu memperhatikan segi struktural atau kekuatan untuk menerima beban ataupun ketahanannya terhadap iklim/cuaca yang sangat riskan. Kemampuan memilih dan memilah material tentunya telah berlangsung secara turuntemurun, disertai upaya teknis teknologis yang lebih baik. Peranan “Panrita Balla” sebagai arsitek rumah panggung, khususnya dalam pemilihan material bangunan sangat membantu menentukan jenis kayu yang cocok dipakai sebagai ramuan rumah. Material bangunan yang menjadi komponen bangunan, pada umumnya diambil di hutan; jenis material kayu yang diketahui cukup kuat, misalnya; Jati, Cendana, dan lain-lain. 5. Detail Bangunan Bangunan panggung yang banyak dijumpai di Bulutana dari segi detail bangunan,sangat bersahaja ditampilkan seadanya,namun untuk ukuran perkampungan yang terpencil;detail-detail yang ditampilkan dianggap cukup memadai. Gambar 6. Elemen jendela, dinding teras “dego-dego”, tangga ke “kale balla”, pintu, engsel tanam dan elemen atap dari bambu yang disusun mirip sirap. Sebagai bangunan berpanggung “akses” yang menghubungkan antara “kale balla” dengan “siring” harus melalui tangga kayu dan pintu. Pintu pada Balla Lompoa dan Balla Jambua, menggunakan pintu panil yang cukup lebar dengan ukuran(85 cm x 170 cm). Pintu tersebut adalah papan tebal 3 cm, dan dipilih papan yang cukup lebar tanpa sambungan, engselnya memakai engsel tanam dari kayu;suatu penyelesaian yang arif dan konstruktif. Gambar 8. Bulutana. Detai-detail rumah di Detail bangunan yang ada merupakan karya (desain) daripada “panrita balla”,dengan menggunakan peralatan “manual” yang sederhana pula. Detail-detail tersebut dapat dilihat,misalnya; pada “anjong”,”timba sela”,”tralis jendela”, “nenas-nenasan” dan lain sebagainya. 6. Ukuran Bangunan Dalam penentuan ukuran dan dimensi didasari pengetahuan 7 “intangible” (tidak teraga),akan tetapi diaplikasikan ke fisik “tangible”. Penentuan satuan ukuran-ukuran lebih mengandalkan “skala/proporsi” dari pengguna atau pemilik rumah yang bersangkutan. Satuan ukuran terpanjang adalah “depa” (dihitung panjang rentang ke dua belah tangan dari ujung jari kanan ke kiri),sedangkan satuan ukuran terpendek adalah “seujung kuku” (dihitung panjang ujung kuku norma). Ukuran “depa” dapat mewakili ukuran metrik;ukuran “seujung kuku” mewakili ukuran mellimeter. Secara sederhana ukuran-ukuran yang mengambil proporsi anggota badan dapat diuraikan sebagai berikut; 1 (satu) depa = 5 (lima) hasta/siku, 1 (satu) hasta/siku = 2 (dua) jengkal, 1(satu) jengkal = 3(tiga) genggam jari (satu genggam = terdiri atas 4 (empat jari tangan), 1 (satu) jari tangan = 10 (sepuluh) ujung kuku dan seterusnya. 7. Sanitasi Lingkungan Pola sanitasi lingkungan yang terjadi di perkampungan Bulutana, dibuat sangat sederhana hampir tidak dijumpai adanya sanitasi yang memakai bahan semen untuk perkuatan. Dalam kesederhanaan tersebut nilai-nilai kearifan lokal diterapkan,artinya mereka hidup mengolah lahan di atas muka tanah secara bijak dan menganggap alam adalah ruang mahluk hidup, yang perlu dijaga kelestariannya. Gambar 9. Sistem sanitasi dari alam Perencanaan saluran air pada muka tanah yang agak miring,diselesaikan secara bentuk bertangga-tangga,sehingga air yang melewati tidak meluncur deras; akan tetapi melewati trap-trap tangga air dan bambu yang dibuat sebagai saluran/pipa air kotor, hal ini merupakan tanggap lingkungan. 8. Pola Lingkungan Sebagai perkampungan yang masih bergaya “rustic”,sehingga pola tatanan lingkungannya membentuk tipe linear dan memusat. Ada anggapan masyarakat setempat bahwa di Bulutana terdapat “pusat tanah”, yang menjadi pusat orientasi bangunan secara abstrak. Di pusat tanah ditandai dengan penanaman Pohon Beringin (Ficus benyamina),dan dipagar bambu mengelilingi pohon tersebut. Penerapan penataan lingkungan alami dapat dilihat dari penggunaan saluran air non permanen,sehingga air hujan dapat terserap lebih banyak kedalam air. Gambar 10. Pola lingkungan Bulutana, masih alami dan hijau. di Pola jalan lingkungan yang tidak beraspal (gambar 10 B),hanya hamparan batu gunung namun cukup layak dijalani, halaman dan pekarangan rumah dibiarkan tumbuh rumputnya; kesemuanya ini telah lama diterapkan oleh masyarakat Bulutana. Penataan lingkungan alami akan mewujudkan nilai-nilai kearifan lokal. 9. Pola Lansekap. Pada umumnya pola lensekap (soft scape) yang telah terbentuk di Bulutana, lebih bergaya “pekarangan” tanaman tumbuh secara bebas dan alami. Tanaman yang produktif dan 8 dapat dikonsumsi buahnya biasanya ditanam pada pekarangan rumah atau kebun (misalnya; Mangga, Pisang, Nangka, Jambu biji, Jambu air,Pepaya,kelapa dan lain-lain). Untuk tanaman-tanaman yang berkayu pada umumnya ditanam pada pinggir kampung atau kebun dan hutan. sekitarnya mengangkut hasil panen dari sawah atau ladang, ialah memakai jasa hewan ternaknya seperti kuda sebagai alat transfortasi. Hal ini dapat saja dimaklumi karena kondisi topografi Bulutana tergolong berkontur, maka memilih kuda untuk mengangkut berbagai keperluan sudah tepat. Maka nilai kearifan lokal pun dapat terjadi di sini. 11. Alat Komunikasi Untuk berkomunikasi sesama anggota masyarakat pada umumnya, adalah menggunakan bahasa Makassar; Gambar 11. Pola Lansekap alami yang membentuk panorama Bulutana. Pola lansekap dengan material keras (hard scape), terbentuk sangat sederhana dan memanfaatkan potensi material yang ada pada lingkungan setempat; kelihatan cukup sustainable dan berwawasan lingkungan. Gambar 12. Material “hard scape” di perkampungan Bulutana. Fungsi dari hard scape ini sesuai dengan kebutuhan masyarakat Bulutana; dapat berfungsi sebagai tempat istirahat pada siang hari, tempat duduk-duduk bersama anggota keluarga,tempat berkumpul sesama anggota warga apabila ada acara-acara tertentu dan lain sebagainya. 10. Alat Transportasi Alat transfortasi yang masih banyak digunakan oleh masyarakat Bulutana, khususnya untuk Gambar 13. tergantung di Jambua. Kentongan dego-dego yang Balla sebagai bahasa daerah lokal di Bulutana. Akan tetapi apabila masyarakat ingin memberi tanda atau sinyal terhadap sesuatu hal yang sangat penting, maka ia membunyikan “kentongan”. Fungsi kentongan sebagai alat komunikasi klasik yang berguna untuk memberi informasi pada masyarakat sekitarnya, apabila kentongan dibunyikan boleh jadi ada sesuatu yang perlu disampaikan kepada masyarakat sekitarnya. KESIMPULAN Bentuk kearifan lokal yang mewarnai sendi-sendi kehidupan masyarakat Bulutana, dapat dilihat dari berbagai aspek arsitektural maupun aspek nonarsitektural. Hidup berdampingan dengan alam lingkungan sekitar, serta mengolah dan memanfaatkan potensi alam sebagai tindak lanjut untuk 9 mewujudkan nilai-nilai kearifan lokal. Alam lingkungan yang subur dan diolah selayaknya sehingga tetap mempertahankan kelestarian lingkungan hidup, maka cara ini dapat disebut sebagai bentuk kehidupan dan penghidupan yang berkesinambungan (sustainable). Pemanfaatan material lokal yang terbaharukan, penghematan energi dengan menggunakan potensi alam, mengindikasikan bahwa masyarakat Bulutana ikut berperan melanjutkan nilai-nilai kearifan lokal yang telah lama dikembangkan oleh masyarakat pendahulu mereka. Hal ini sejatinya dipertahankan di tengah derasnya arus globalisasi sekarang ini. Nilai-nilai arsitektur kearifan lokal yang telah lama diaplikasikan masyarakat Bulutana, dapat dikembangkan menjadi situs budaya etnik Makassar dan menjadi kawasan yang dilindungi sebagai cagar budaya. Rapoport, Amos, 1969. House Form and Culture, Prentice Hall. New Jersey : Englewood Clifft. Syarif, 2004. Arsitektur Rumah Bodo dalam Kajian Karakteristik Bangunan Tropis di Kota Watampone dan sekitarnya, Tesis tidak diterbitkan Pascasarjana Unhas. Program DAFTAR PUSTAKA Daryadi dkk (2002:4), United Nations Conference Development on Environment (UNCED) atau Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro,Brazil Frick, Heinz dan Tri Hesti Mulyani, 2006. Arsitektur Ekologis,konsep arsitektur ekologis di iklim tropis,penghijauan kota dan kota ekologis,serta energi terbaharukan. Yogyakarta : Kanisius. Hidayatun, 2008. Seminar nasional jelajah arsitektur tradisional nusantara dalam “Menemukenali Teknologi Berbasis Kearifan Lokal” 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. Moleng, Lexy j, 10 11