BAB IV PERAN TASAWUF DALAM KEHIDUPAN MANUSIA MODERN A. Tasawuf dalam Pandangan Seyyed Hossein Nasr Menurut Nasr tasawuf yaitu bunga atau getah dari pohon Islam. Atau dapat pula dikatakan bahwa tasawuf adalah permata diatas mahkota tradisi Islam. Tetapi apapun perumpamaan yang diberikan terhadap taswuf tersebut, terdapat kenyataan yang tidak dapat disangkal bahwa apabila dikeluarkan dari konteks Islam maka sufisme tidak dapat dipahami dengan sepenuhnya dan metodemetodenya sudah tentu tidak dapat dipraktikkan dengan berhasil. Manusia tidak dapat bersifat adil kepada seluruh tradisi Islam beserta kemungkinn-kemungkinn spiritualnya yang sangat kaya dan mengesampingkan salah satu dimensinya tersebut. Jadi apabila berbicara mengenai sufisme maka sebenarnya berbicara mengenai aspek tradisi Islam yang paling dalam dan universal.1 Tradisi Islam yang di maksud Nasr yaitu terma tradisi yang menyiratkan sesuatu yang sakral, seperti disampaikan manusia melalui wahyu maupun pengungkapan dan pengungkapan peran sakral itu di dalam sejarah kemanusiaan tertentu untuk mana ia maksudkan, dalam satu cara yang mengimplikasikan baik kesinambungan horizontal dengan sumber maupun mata-rantai vertikal yang menghubungkan setiap denyut kehidupan dan tradisi yang sedang diperbincangkan dengan Realitas Transenden meta historikal. Tradisi bisa berarti ad-din dalam pengertian yang seluas-luasnya, yang mencakup semua aspek agama 1 Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, (Bandung: Pustaka, 1983). hal. 80. 62 63 dan percabangannya, bisa pula disebut as-sunnah, yaitu apa yang didasarkan pada model-model sakral sudah menjadi tradisi sebagaimana kata ini umumya dipahami; bisa juga diartikan as-silsilah, yaitu rantai yang mengkaitkan setiap periode, episode atau tahap kehidupan dan pemikiran di dunia tradisional kepada sumber, seperti tampak demikian gamblang di dalam sufisme. 2 Karenanya, tradisi mirip sebuah pohon, akar-akarnya tertanam melalui wahyu di dalam sifat Ilahi dan darinya tumbuh batang dan cabang-cabang sepanjang zaman. Di jantung pohon tradisi itu berdiam agama, dan saripatinya terdiri dari barakah yang, karena bersumber dari wahyu, memungkinkan pohon tersebut terus hidup. Tradisi menyiratkan kebenaran yang kudus, yang langgeng, yang tetap, kebijaksanaan yang abadi, serta penerapan bersinambung prinsipprinsipnya yang langgeng terhadap berbagai situasi ruang dan waktu.3 Sufisme merupakan tema terpenting dalam pemikiran Nasr, bahkan ia menjadi bagian integral dari wacana pemikirannya tentang masalah dunia modern. Sekurang-kurangnya dua aspek penting dalam pemikiran sufistiknya, yaitu teori Rim dan Axis serta kesatuan dan Insan Kamil. Pandangan Nasr tentang sufisme berangkat dari teori tentang Rim (periphery) dan Axis (centre) untuk membedakan dua kategori orientasi hidup manusia. Dua istilah pokok tersebut diartikan pusat dan lingkaran atau dalam bahasa al Qur’an disebut yang batin, yang merupakan kualitas-kualitas dasar.4 2 Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, (Bandung: Pustaka, 1994). hal. 4 3 Ibid. hal. 5 4 Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, hal. 6 64 Pemberian kualitas-kualitas ini secara langsung berdasarkan ayat al Qur’an Huwa al awwal wa al akhir wa al zahir wa al batin. Allah adalah realitas tertinggi, sekaligus Yang Zahir dan Yang Batin, pusat dan lingkaran. Lingkaran ini adalah syari’at yang keseluruhannya membentuk masyarakat muslim. Setiap muslim yang mengakui Tuhan adalah sebuah titik dalam lingkaran itu. Hanya dengan berdiri dalam lingkaran, yaitu menerima syari’ah, manusia dapat mencari jalan menuju pusat. Hanya dengan kehidupan spiritual yang disadari.5 Di pusat terletak hakikat atau kebenaran, yang menjadi sumber thariqah dan syari’ah. Syari’ah dan thariqah diciptakan Tuhan yang menjadi kebenaran. Keduanya mencerminkan hakikat dengan cara yang berbeda. Menjalani syari’at adalah hidup dalam mencerminkan hakekat, sebab lingkaran adalah refleksi pusat. Manusia suci menurut Nasr, memandang Allah sebagai Yang Batin dan Yang Zahir. Ia dapat menghubungkan fragmen-fragmen pengetahuan eksternal kepada pusat eksistensi, karena ia secara apriori menyadari adanya pusat eksistensi tersebut. Pandangan sufistik Nasr berkisar pada ajaran dasar kesatuan transenden Wujud dan Insan Kamil. Ajaran tentang kesatuan Wujud dan Insan Kamil telah membangun poros seluruh metafisika dari ajaran tasawuf Nasr. Dari keterangan diatas kita dapat dipahami bahwa definisi tasawuf yang diberikan Nasr yaitu: a. Tasawuf berbicara mengenai aspek tradisi Islam yang paling dalam. 5 Maftukhin, Filsafat Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012). hal 208-209 65 b. Tasawuf (Nasr biasa menyebutnya tradisi Islam) tradisi yang menyiratkan sesuatu yang sakral. c. Menghubungkan dengan Realitas Transenden meta historikal. d. Bersumber dari wahyu. e. Tasawuf menyiratkan kebenaran yang kudus, yang langgeng, yang tetap, kebijaksanaan yang abadi, serta penerapan bersinambung prinsip-prinsipnya yang langgeng terhadap berbagai situasi ruang dan waktu. Melihat definisi tersebut nampak jelas ada perbedaan antara definisi tasawuf menurut para ahli dengan definisi tasawuf menurut Nasr. Sebagaimana diuraikan diatas, Nasr lebih menekankan pada aspek tradisi Islam yang paling dalam, yang bersembunyi di dalam agama. Dalam artian ini tasawuf menghubungkan manusia dengan realitas trasnsenden yang metahistoris, bersifat langgeng dan tidak terbatas ruang dan waktu. B. Tasawuf sebagai Solusi Permasalahan Manusia Modern Menurut Seyyed Hossein Nasr 1). Tasawuf Sebagai Pembebas bagi Kaum Tertindas Dari bab sebelumnya telah di bahas berbagai masalah yang dihadapi manusia modern, diantaranya yaitu manusia modern menjadi kaum yang tertindas. Maka dalam hal ini tasawuf mempunyai peran untuk membebaskan manusia modern dari berbagai penindasan yang dihadapinya. Untuk menghadapi persoalan 66 tersebut, salah satu konsep yang ada di dalam tasawuf dalam menghadapi permasalahan penindasan yaitu menggunakan konsep “Insan Kamil”. Insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata Insan dan Kamil. Secara harfiah, Insan berarti manusia dan Kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian Insan Kamil berarti manusia yang sempurna. Adapun secara istilah pengertian Insan Kamil yaitu manusia yang sempurna dari segi wujud dan pengetahuannya. Kesempurnaan dari segi wujudnya ialah karena dia merupakan manifestasi sempurna dari citra Tuhan secara utuh. Adapun kesempurnaan dari segi pengetahuannya ialah karena dia telah mencapai tingkat kesadaran tertinggi, yakni menyadari kesatuan esensinya dengan Tuhan, yang disebut ma,rifat.6 Kesempurnaan Insan Kamil itu pada dasarnya disebabkan karena pada dirinya Tuhan ber-tajalli secara sempurna melalui hakikat Muhammad. Hakikat Muhammad merupakan wadah tajalli Tuhan yang sempurna.7 Sementara al Jilli merumuskan Insan Kamil dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad yang demikian tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad SAW sebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur Ilahi yang menjadi pangkal dan proses kehidupan di jagad raya ini. Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping terdapat dalam diri Muhammad juga dipancarkan oleh Allah SWT ke dalam diri Nabi Adam AS. Al Jilli dengan karya monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi ma‟rifah al-Awakirwa al-Awa‟li (manusia dalam konsep 6 7 Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, (Jakarta: Paramadina, 1997). hal. 60 Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jkarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002). hal. 354 67 sempurna pengetahuan tentang misteri yang pertama dan terakhir) mengawali pembicaraanya dengan mengidentifikasikan Insan Kamil dengan dua pengertian: a. Insan Kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna. Dalam pengertian yang demikian, Insan Kamil terkait dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna. Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri pada sifat sempurna dari yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah dirinya. b. Insan Kamil terkait dengan keyakinan bahwa yang memiliki sifat mutlak dan sempurna itu mencakup Asam’ sifat dan hakikat-Nya.8 Insan Kamil jika dilihat dari segi fisik biologisnya tidak berbeda dengan manusia lainnya. Namun dari segi mental spiritual ia memiliki kualitas yang jauh lebih tinggi dan sempurna dibanding manusia lain. Karena kualitas dan kesempurnaan itulah Tuhan menjadikan Insan Kamil khalifah-Nya. Di sisi lain Insan Kamil dipandang sebagai orang yang mendapat pengetahuan esoterik yang dikenal dengan pemgetahuan rahasia („ilm al-asrar). Jika seseorang telah dapat mengosongkan akal dan hatinya dari egoisme, keakuan, keangkuhan, dengan keikhlasan total dan kemudian berusaha keras, dengan menyiapkan diri menjadi murid memohon Allah mengajarkan kepadanya kebenaran, dan dengan aktif ia mengikuti akal dan hatinya merangkaikn berbagai realitas yang hafdir dalam berbagai dimensinya maka tuhan hadir membuka pintu kebenaran dan ia masuk 8 Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, hal. 60 68 ke dalamnya, memasuki kebenaran itu, dan ketika keluar, maka ia mrnjadi dan menyatu dengan kebenaran yang telah dimasukinya.9 Dengan demikian, jika manusia modern mau mengamalkan tasawuf dengan bebagai maqam yang harus dilaluinya untuk menuju tahap Insan Kamil, niscaya penindasan yang dialami manusia modern tidak akan terjadi lagi dan dapat dibebaskan. Karena manusia menyadari bahwa kesempurnaan dari segi wujudnya ialah merupakan manifestasi sempurna dari citra Tuhan. Sehingga manusia menganggap satu dengan yang lainnya merupakan makhluk Tuhan yang sama tanpa dibeda-bedakan maka harus hidup saling toleransi dan berdampingan. 2). Tasawuf sebagai Pembebas Manusia dari berbagai bentuk Aleniasi Persoalan alienasi adalah persoalan kejiwaan, manusia berperan sebagai penyebab sebagai munculnya alienasi dan sekaligus manusia sebagai korban akibat derasnya laju perubahan sosial yang digeret modernisasi dan globalisasi. Mengingat posisi sentral yang diperankan oleh manusia di jagat alam raya ini sebagai khalifah di muka bumi, maka keagungan manusia sebenarnya tidak bisa dipahami tanpa keterkaitan denga Tuhannya. Bila kerelaan Tuhan tidak lagi menjadi pusat orientasi manusia menjadikan kualitas motivasi kehidupan manusia menjadi rendah dan hina. Dalam hal ini tasawuf mempunyai peran dalam pembebasan aleniasi yang dialami manusia modern dengan menawarkan konsepya melalui ittihad dan hulul. 9 hal. 74 Musa Asyari, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berfikir, (Yogyakarta: LESFI, 2002). 69 a. Itiihad Apabila seorang sufi telah berada dalam keadaan fana, maka pada saat itu ia telah dapat menyatu dengan Tuhan, sehingga wujudhiyahnya kekal atau baqa. Di dalam perubahan itu ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasl dari Tuhan. Itulah yang dimaksud dengan ittihad.10 Fana adalah lenyapnya inderawi atau kebasyariahan, yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat dari alam nyata ini, maka ia dinyatakan telah fana dalam alam makhluk. Sebagai akibat dari fana adalah baqa. Secara harfiah berarti kekal, sedang yang dimaksud para sufi baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena lenyap sifat-sifat basyariah maka yang abadi adalah sifatsifat Ilahiyah.11 Dengan demikian dapat diphami bahwa yang dimaksud fana adalah lenyapnya sifat-sifat basyariyah, akhlak tercela, kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri manusia. Sedangkan baqa adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terouji, ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Untuk mencapai baqa ini perlu dilakukan usaha-usaha seperti bertaubat, berdzikir, beribadah dan menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji. 10 A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: RajaGrafindoPersada, 1999). hal. 152 11 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindoPersada, 1996). hal. 232 70 Tokoh pembawa ittihad adalah Abu Yazid al-Busthami. Menurutnya manusia adalan pancaran Nur Ilahi, oleh karena itu manusia hilang kesadarannya (sebagai manusia) maka pada dasarnya ia telah menemukan asalmula yang sebenarnya.12 Menururt Abu Yazid al-Busthami „tajrid fana at-tauhid, yaitu perpaduan dengan Tuhan tanpa adaperantara apapun. Situasi ittihad itu diperjelas oleh Abu Yazid dalam ungkapannya, “Tuhan berkat: Semua mereka kecuali Engkau, adalah makhluk-Ku. Aku pun berkata: Aku adalah Engkau, Engkau adalah Aku” Secara harfiah, ungkapan Abu Yazid itu adalah pengakuan dirinya sebagai Tuhan atau sama dengan Tuhan. Akan tetapi sebenarnya bukan demikian maksudnya. Dengan ucapannya “Aku adalah Engkau” bukan ia maksudnya Abu Yazid pribadi. Dialog yang terjadi pada waktu itu pada hakikatnya adalah monolog. Kata-kata itu adalah sabda Tuhan yang disalurkanmelalui lidah Abu Yazid yang sedang dalam keadaan fana‟ dan nafs. Pada saat bersatunya Abu Yazid dengan Tuhan ia berbicara atas nama Tuhan karena yang ada pada ketika itu hanya satu wujud yaitu Tuha, sehingga ucapan-ucapan itu pada hakikatnya adalah kata-kata Tuhan.13 b. Hulul Secara terminologi kata hulul diartikan dengan paham bahwa Tuhan dapat menitis ke dalam makhluk atau benda. Di samping itu hulul hal. 82 12 Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang 1983). 13 A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, hal. 154 71 berasal dari kata halla yang berarti menempati suatu tempat. Jadi secara garis besarnya adalah menempati suatu tempat. Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiannya melalui fana. Dengan pengertian lain hulul merupakan paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.14 Pemahaman hulul pada selanjutnya bermuara pada sifat-sifat dasar manusia. Menurut al-Hallaj, manusia mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu sifat ketuhanan (lahut) dan sifat insaniyah (nasut). Dari ungkapan tersebut terlihat bahwa wujud manusia tetap ada dan sama sekali tidak hancur atau sirna. Dengan demikian nampaknya paham hulul ini bersifat figuratif, bukan riil karena berlangsung dalam kesadaran psikis dalam kondisi fana dalam iradat Allah. Bersatunya manusia dan Tuhan harus melalui proses bersyarat, dimana saat manusia berkeinginan bersatu dengan Tuhannya maka ia harus mampu melenyapkan sifat nasutnya, maka secara otomatis akan dibarengi dengan munculnya sifat lahut dan dalam keadaan seperti inilah terjadi pengalaman Hulul.15 Berdasarkan uraian tersebut, maka hulul dapat dikatakan suatu tahap dimana manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Dalam hal ini 14 15 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, hal. 239 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999). hal. 57 72 hulul pada hakikatnya adalah keberlanjutan dari ittihad. Tujuan dari hulul adalah mencapai persatuan secara batin. Dengan demikian jika manusia modern ingin terbebas dari aleniasi yang dialaminya, maka ittihad dan hulul yang merupakan salah satu konsep dari ajaran tasawuf merupakan solusi yang tepat untuk mengatasi problem tersebut. Karena dengan ittihad dan hulul manusia akan berusaha menghilangkan sifat-sifat basyariyah, akhlak tercela, kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri manusia. Sehingga muncul sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Dengan melakukan usaha-usaha seperti bertaubat, berdzikir, beribadah dan menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji. Sehingga keterasingan pada diri manusia dapat teratasi dengan memliki pegangan iman yang kuat yang berasal dari Tuhan. Walaupun Tuhan masuk ke dalam tubuh manusia namun wujud manusia tetap ada dan sama sekali tidak hancur atau sirna. Karena paham hulul ini bersifat figuratif, bukan riil sebab berlangsung dalam kesadaran psikis dalam kondisi fana dalam iradat Allah. 3). Tasawuf sebagai Alternatif Manusia Modern dari jeratan Ketidakadilan Secara garis besar gambaran kehidupan masyarakat saat ini tengah mengalami berbagai pergeseran karena terus berpacu dan bekerja keras memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga agama kurang diperhatikan karena selalu berhubungan dengan dunia materialistis. Begitu pula dengan kehidupan sosialnya antar manusia, nyaris hanya dilakukan bila ada kepentingan bisnis atau mendatangkan benefit berupa keuntungan material. 73 Untuk mengatasi ketidakadilan yang dihadapi manusia modern maka yang perlu dilakukan manusia modern yaitu menempuh jalan tasawuf dengan konsepnya yaitu Insan Kamil. Seperti yang sudah dijelaskan pada point pertama bahwa Insan Kamil yaitu manusia yang sempurna dari segi wujud dan pengetahuannya. Kesempurnaan dari segi wujudnya ialah karena dia merupakan manifestasi sempurna dari citra Tuhan secara utuh. Adapun kesempurnaan dari segi pengetahuannya ialah karena dia telah mencapai tingkat kesadaran tertinggi. Apabila manusia modern menempuh jalan tasawuf dan mempraktikkan Insan Kamil maka manusia modern kan mempunyai kesadaran tiinggi dalam memperlakukan sesamanya, karena mengetahui bahwa manusia meruakan citra Ilahi dan harus diperlakukan sama denganyang lainnya, sehingga timbul sikap adil antar sesama manusia tanpa ada diskriminasi antara satu dengan yang lainnya.