Lap_Muh v PKS

advertisement
I. Judul Penelitian: Konflik Paradigmatik PKS dan Muhammadiyah
II. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Isu agama dan politik tetap relevan bagi umat Islam, baik mereka sebagai mayoritas
maupun minoritas, karena sebagaimana dikatakan oleh Karen Amstrong bahwa politik
merupakan bagian luar dari agama Islam. Hal ini tidak berarti Islam identik dengan politik,
tetapi Islam memiliki kepentingan mengarahkan kehidupan agar sesuai dengan nilai-nilai
universal Islam. Dengan demikian Islam berkepentingan dengan politik dalam arti luas,
bukan dalam pengertian politik sebagai suatu cara untuk merebut dan mempertahankan
kekuasaan. Hal ini terjadi karena Islam tidak hanya mengurusi masalah hubungan manusia
dengan Tuhan, tetapi juga mengatur masalah kehidupan di dunia ini, dimana manusia
mendapat posisi yang istimewa sebagai “penguasa di dunia” (khalifah fil ardhi). Sedangkan
yang menjadi perdebatan ialah sejauhmanakah al-Qur’an telah mengatur urusan dunia, dan
perbedaan pandangan inilah yang berimbas pada munculnya berbagai aliran dalam Islam.
Munculnya aliran dalam Islam terjadi segera setelah Nabi Muhammad SAW wafat
karena al-Qur’an memang tidak mengatur masalah pergantian suksesi kepemimpinan. Hal
ini sekedar untuk menunjukkan bahwa Islam tidak identik dengan politik. Namun demikian
selalu ada keterkaitan antara Islam dan politik, walaupun tidak secara langsung. Bila kita
lihat sejarah Islam maka dapat ditarik kesimpulan bahwa aspek “sosiologis” sangat
berpengaruh bagi terbentuknya “aliran-aliran ideologis”. Dalam kasus Indonesia, ada dua
aliran pemikiran yang dominan yang masing-masing mewakili dua kondisi sosiologis yang
berbeda. Mereka tidak memiliki keterkaitan politik secara langsung, yaitu Muhammadiyah
dan Nahdlatul Ulama (NU). Muhammadiyah dikenal sebagai sayap modern, sedangkan NU
dikenal sebagai sayap tradisional.
Dikotomi Muhammadiyah dan NU menjadi begitu goyah karena keduanya sudah
melakukan komunikasi intelektual baik secara langsung maupun lewat berbagai media yang
ada, sehingga akhir-akhir ini dikenal suatu aliran yang dikenal dengan MUNU, yaitu
“Muhammadiyah NU”. Ditengarai kelompok inilah yang menjadi pendukung berdirinya
“Partai Keadilan Sejahtera” (PKS). Memang bisa ada beberapa teori untuk menjelaskan
gejala eksodus warga Muhammadiyah ke dalam PKS. Bila melihat hasil penelitian yang
dilakukan AMM (Angkatan Muda Muhammadiyah) yang bekerjasama dengan Sugeng
Saryadi Syndicat maka tidak ada teori yang bisa mengklaim sebagai teori yang paling
absah. Penelitian itu mengungkapkan prosentasi anggota Muhammadiyah dalam suatu
partai sebagai berikut, Golkar 20,3%, PAN 57,9%, PPP 18,2%, PBB 52,1%, dan PKS
68,7%.1 Prosentasi terbesar masuk PKS, berarti ada kemungkinan orang Muhammadiyah
ini mendirikan PKS dan kemudian mencari anggota dari luar. Teori kedua, 33,3% orang
luar berhasil menarik keluar orang Muhammadiyah.
Dari penelitian itu orang Muhammadiyah merasa at home di PKS bukannya di PAN
sebagai partai yang dibidani oleh Muhammadiyah. Akan tetapi, apakah angka 68,7% bisa
mewakili anggota Muhammadiyah secara keseluruhan ataukah mencermin kelompok
menengah ke bawahnya? Angka itu cenderung mencerminkan kelompok menengah ke
bawahnya.2 Bila dilihat basis pimpinan PKS maka mereka termasuk kalangan pemuda
Muhammadiyah. Mereka kalangan terpelajar yang masih belum menduduki jabatan teras di
Muhammadiyah. Bisa saja mereka adalah putera/puteri anggota Muhammadiyah yang
datang dari daerah pedesaan, sehingga mereka merasa terpanggil untuk menyelamatkan
warisan tradisi, disamping mungkin ada juga ambisi kekuasaan. Atau mereka bermain
politik mendirikan (atau masuk) PKS, karena mereka tidak terwakili dalam PAN.
PKS memiliki potensi kuat untuk menjadi denominator, yaitu suatu kelompok
keagamaan yang mandiri dan diakui identitasnya oleh kelompok lainnya. Ada beberapa
faktor yang memungkinkan PKS menjadi denominator, seperti memiliki kekuatan politik
yang real dalam parlemen, para pendukungnya berasal dari kelas menengah Muslim, dan
bersifat akomodatif dan moderat baik dalam bidang agama maupun kehidupan. Tidak
mengherankan bila PKS mampu membangun komunikasi dan kerjasama dengan partai
politik lainnya dalam parlemen. Diperkirakan PKS bisa mempertahankan posisinya dalam
parlemen karena memiliki basis massa yang jelas dan juga berhasil menjalin komunikasi
politik yang intens dengan massa sebagaimana diungkapkan sebagai “partai kader”.
Penelitian ini didorong oleh munculnya konflik antara PKS dan Muhammadiyah.
Ini sangat mencengangkan karena Muhammadiyah bukanlah suatu partai politik. Dari sini
1
2
AMM, “Beberapa Catatan Pasca Pemilu”, hal. 2.
Ibid, hal. 2 “Sebagian besar adalah pekerja atau karyawan amal usaha Muhammadiyah”.
1
kita dapat menduga kalau konflik itu merupakan konflik dalam masalah agama. Sebagian
pihak dalam Muhammadiyah menuduh kalau PKS menyalahgunakan agama untuk
kepentingan politik. Sedangkan pihak PKS berkeyakinan kalau dirinya sudah melakukan
aktivitas politik secara benar karena memiliki suatu ideologi, dalam hal ini ideologi Islam.
Dengan kata lain, PKS berpolitik untuk membela agama, khususnya pemikiran agama yang
diyakini oleh kelompoknya.
B. Rumusan Masalah
Konflik PKS dan Muhammadiyah bermula dalam penentuan awal dan akhir bulan
Ramadhan dan sekaligus awal bulan Syawal dan Dzulhijah (Besar). PKS tidak mau
mengikuti keputusan PP Muhammadiyah karena dalam penentuannya menggunakan hisab
(melalui perhitungan matematika), sedangkan PKS mengadopsi pendekatan NU melalui
ru’yat (melihat dengan mata telanjang). Dari konflik di atas berasumsi bahwa PKS dan
Muhammadiyah tidak dapat bekerja sama dalam beberapa hal karena masalah “teologi”
yang sebenarnya bersumber dari faktor “kultural”.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka saya rumuskan permasalahan yang
akan diteliti, yaitu:
1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya konflik paradigmatik antara
PKS dan Muhammadiyah?
2. Sejauhmana PKS dapat dikatakan sebagai hasil dari dialektika pemikiran
Muhammadiyah dan NU?
3. Sejauhmanakah PKS berhasil dalam memainkan pendekatan politik tanpa jatuh ke
dalam politisasi agama?
III. Kajian Teori dan Historiografi yang Relevan
Pemilihan judul penelitian ini didasarkan pada wacana perubahan politik yang
terjadi sejak 22 Mei 1998 dengan turun tahtanya Soeharto yang telah memerintah selama
32 tahun. Situasi ini ini memicu kembali diskursus tentang Islam dan politik yang
tersumbat pada masa Orba mencuat kembali. Fenomena PKS menjadi sangat menarik
karena mampu sebagai representasi dari “Islam politik” tanpa jatuh ke dalam “politisasi
agama”. Bahkan PKS mengatakan secara tegas tidak ingin mendirikan “negara Islam” dan
mengakui eksistensi “Pancasila” sebagai dasar negara. Dengan demikian, penelitian tentang
PKS ini dimaksudkan agar kita dapat menempatkan permasalahan “Islam” dan “negara”
secara tepat, disamping dapat menentukan langkah yang tepat dalam merumuskan strategi
pembangunan politik.
Penelitian ini merupakan penelitian historis, yaitu ilmu yang mempelajari manusia
dalam dimensi waktu lampau-kini-yang akan datang. Eksistensi masa kini adalah produk
masa lampau, sedangkan kecenderungan masa kini akan menentukan masa depan (Sartono
Kartodirdjo, 1993: 34).3 Dengan demikian, sejarawan harus mampu menjawab persoalan
masyarakat kontemporer dengan historical mindiedness-nya, yaitu dia dapat
membanyangkan bagaimana suasana dan iklim budaya yang dipelajari dengan sentimensentimen, ide-ide, sistem kepercayaan, dan gaya hidup, serta mentalitasnya. Bahkan Croce
yakin bahwa setiap sejarah yang benar adalah sejarah masa kini (Sartono Kartodirdjo,
1993: 68).4 Hal ini berarti untuk menyusun sejarah yang baik, sejarawan harus memahami
permasalahan kontemporer (Carr, 1984: 41).5
Sebelum membahas keterkaitan agama dan politik dalam Islam, kita perlu
merumuskan sikap yang benar terhadap Islam atau sikap yang Islami, karena kita
mengalami kendala merumuskan pemahaman Islam yang monolitik, mengingat pluralitas
kemanusiaan itu sendiri yang ikut berpengaruh dalam memahami Islam. Dengan demikian
aliran-aliran ideologi dalam Islam dipandang sebagai manifestasi pluralitas kemanusian,
sehingga mereka akan mampu mencari titik temu; dan titik temu ini dapat diperluas kepada
semua agama. Hal ini sesuai dengan konsep religion of the heart (primordial religion)
(Schuon, 1994: vii dan 91).6
Yang paling inti dari suatu agama adalah konsep kesatuan (devine unity atau
tawhid) sebagaimana dijelaskan dalam kalimat syahadat tawhid, yaitu saya bersaksi tidak
ada Tuhan selain Allah. Memang konsep itu sangat sederhana, tetapi memiliki implikasi
3
Sartono Kartodirdjo, 1993,
Ibid,
5
E.H. Carr,
6
Fritjof Schuon, 1994,
4
2
yang sangat luas, yaitu mengisyaratkan suatu revolusi kemanusiaan yang permanen.
Manusia selalu dituntut berhijrah agar selalu menuju kepada sesuatu yang lebih baik, yang
dalam Islam diatur dalam kalimat syahadat Rasul bahwa umat Islam harus tunduk kepada
hukum yang diperkenalkan oleh Nabi Muhammad. Oleh karena itu, PKS memiliki landasan
hukum juga ketika mengkaitkan perjuangan politik dengan agama. Mengingat suatu
revolusi hendaknya berangkat dan dilihat dari pusat kebenaran ini, dan hal itu sejalan
dengan Hamid Dabashi (1993: 489) menjadi sangat bermakna bahwa Permanent revolution
is simply the political expression of a more abiding truth, which is permanent change in
one’s self-understanding.
Penelitian tentang PKS ini belum banyak dilakukan, namun ada sejumlah buku yang
dapat dijadikan referensi awal dalam penelitian ini yang dapat dikategorikan ke dalam
beberapa kategori.
Tim Litbang Kompas, 2004, Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 20042009 memberikan informasi yang berguna tentang Perspektif Ideologi dan Program Partai
PKS.
IV. Metoda dan Prosedur Penelitian
Penelitian ini menggunakan metoda sejarah kritis, yaitu meneliti peristiwa sejarah
tidak hanya secara deskriptif-naratif saja, melainkan mengkaji obyek sejarah secara kritis.
Oleh karena itu dipergunakan pendekatan multidimensional, yaitu mengkaji suatu peristiwa
dari berbagai sudut pandang, dengan menggunakan bantuan ilmu-ilmu sosial. Penelitian ini
menggunakan metoda kualitatif. Data dikumpulkan dari berbagai sumber, yaitu kajian
pustaka, dokumen partai, dan wawancara.
Dalam penulisan sejarah menggunakan metoda sejarah kritis, yaitu suatu metoda
yang menjamin tingkat obyektivitas yang tinggi. Menurut Louis Gottschalk ada empat
langkah yang ditempuh, yaitu:
1. Heuristik atau pengumpulan sumber
Penelitian ini mengambil data dari studi pustaka, dokumen partai, dan wawancara.
2. Kritik sumber
Ada dua jenis kritik sumber yang dilakukan, yaitu kritik intern dan kritik ekstern.
Kedua langkah ini dilakukan untuk menentukan autentisitas dan validitas data.
3. Interpretasi, yaitu kegiatan menghubungkan fakta-fakta sejarah ke dalam rangkaian
cerita yang logis agar mendapatkan kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan.
4. Penyusunan laporan.
Untuk menjawab pertanyaan pokok bahwa PKS sebagai hasil dari dialektika pemikiran NU
dengan Muhammadiyah maka peneliti akan berusaha mendapatkan data sosiologis tentang
wakil-wakil PKS di badan legislatif baik pada tingkat nasional maupun regional dan lokal,
khususnya di Jogjakarta. Data sosiologis ini sangat penting untuk mengetahui basis sosial
(massa) dari wakil-wakil rakyat itu, sehingga kita dapat mengetahui sejauhmanakah PKS
merepresentasikan diri sebagai hasil sintesa pemikiran keagamaan NU dengan
Muhammadiyah. Peneliti juga akan melakukan studi literatur untuk menjawab pertanyaan
historis yang berkaitan dengan PKS seperti pertanyaan “apa”, “siapa”, “kapan”, “dimana”,
“bagaimana” dan “mengapa”.
V. Tujuan Penelitian
Penelitian ini berpretensi untuk meraih tujuan-tujuan yang berkaitan dengan latar belakang
studi ini maupun berkaitan dengan asumsi bahwa PKS sebagai suatu hasil dari dialektika
pemikiran keagamaan NU dengan Muhammadiyah. Dengan demikian, penelitian ini
diharapkan dapat mengetahui:
1. Krisis paradigmatik yang terjadi antara PKS dengan Muhammadiyah.
2. Usaha PKS mengadopsi pendekatan yang dikembangkan oleh baik NU maupun
Muhammadiyah.
3. PKS dalam format sebagai hasil sintesa pemikiran keagamaan NU dan
Muhammadiyah.
4. Data sosiologis tentang wakil-wakil rakyat dari PKS dapat mendukung asumsi
bahwa PKS merupakan hasil sintesis pemikiran keagamaan NU dan
Muhammadiyah.
VI. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi sosial maupun kontribusi intelektual
sebagai berikut:
3
1. Studi ini akan dapa membantu mengatasi konflik yang terjadi antara PKS dengan
Muhammadiyah.
2. Studi ini akan membantu memahami saling kelindan antara permasalahan “teologi”
dengan permasalahan “duniawi (sekuler)”.
3. Studi ini akan membantu memahami permasalahan hubungan “Islam” dan “negara”,
sebagai mana diperankan oleh PKS.
4. Studi ini memberikan data sosiologis yang berguna untuk melihat sejauhmana PKS
dapat dilihat dari kacamata “sebagai hasil dialektikan pemikiran keagamaan NU dan
Muhammadiyah”.
AMM, “Beberapa Catatan Pasca Pemilu”, hal. 2.
Ibid, hal. 2 “Sebagian besar adalah pekerja atau karyawan amal usaha Muhammadiyah”.
Di atas dijelaskan kesamaan ideologi Muhammadiyah dengan PAN.
AMM, “Beberapa Catatan Pasca Pemilu”, hal 1.
Sartono Kartodirdjo, 1993,
Martin van Bruinessen, (1992), “Gerakan Sempalan di Kalangan Umat Islam Indonesia: Latar Belakang
Sosial Budaya”, Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 1, hal. 16.
Tim Litbang Kompas, 2004, Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009, Jakarta:
Kompas.
Tim Litbang Kompas, 2005, Wajah DPR dan DPD 2004-2009, Jakarta: Kompas.
Syamsuddin Haris (ed.), 2007, Partai dan Parlemen Lokal Era Transisi Demokrasi di Indonesia, Jakarta:
LIPI.
Schuon, Fritjof, 1994, Understanding Islam, Indiana: World Wisdom Books, Inc.
BAB 2
BERDIRINYA MUHAMMADIYAH
Kebangkitan Islam yang diperjuangkan umat Islam sejak permulaan abad ke-15 H
masih belum menampakkan hasil. Hal ini hendaknya menjadi perhatian para cendekiawan
Muslim, dengan cara melakukan studi kritis terhadap sejarah umat Islam. Dengan begitu
kita dapat melalui tahapan-tahapan kebangkitan Islam, dan tidak kehilangan arah di tengah
arus pusaran perubahan dan sekaligus dapat mengarahkan perubahan itu sendiri.
Interpretasi pemikiran keagamaan di dunia Islam dan Indonesia khususnya masih belum
dapat memberikan jawaban yang memuaskan terhadap persoalan modernitas, apalagi
merumuskan suatu inovasi yang kreatif, sebagai alternatif atas dekadensi peradaban
modern.
Sekarang ini umat Islam mempunyai tanggung jawab yang berat supaya dapat
menghadapi supremasi peradaban Barat, terutama sejak abad ke-19. Barat juga
membutuhkan waktu yang lama, yaitu sejak Renaissance (abad ke-16), supaya dapat
menggungguli kemajuan peradaban Islam.7 Serangan Barat semakin dirasakan ketika Barat
dapat menduduki sebagian besar dunia Islam melalui proyek kolonialisme dan
imperialisme.
Kita perlu belajar dari sejarah Islam masa awal yang mampu mengungguli
peradaban Yunani-Romawi sehingga Islam berhasil menjadi peradaban dunia. Pada waktu
itu Muslim tidak merasa takut belajar dari peradaban lain, karena mereka masih memiliki
semangat Islam yang murni. Islam maju karena mampu melakukan inovasi terhadap
peradaban-peradaban lain yang sudah lebih dulu maju. Mereka meniru dakwah Nabi
Muhammad SAW, yang mempunyai misi “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak
yang mulia”. Misi itu mengakui kalau peradaban-peradaban lain juga mengembangkan
suatu akhlak (sesuai dengan tradisinya), dan Islam datang untuk menyempurnakannya.
Sekarang ini Muslim juga harus berani mengadopsi nilai-nilai budaya modernitas
yang baik dan selanjutnya melakukan inovasi terhadapnya sehingga Islam dapat tampil
sebagai alternatif bagi peradaban Barat yang sudah tua ini. Pada tulisan ini akan
menganalisa peran Muhammadiyah dalam mentransformasi nilai-nilai modernitas di
kalangan umat Islam di Indonesia, yang tentunya akan berdampak kepada rakyat Indonesia
pada umumnya. Memang nilai-nilai modernitas sudah banyak yang menjadi nilai-nilai
universal, sehingga mereka dari kalangan fundamentalis yang anti-modernitas juga
merupakan akibat dari modernitas itu sendiri dan menggunakan instrumental budaya
7
Kuntowijoyo,1999, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Bentang, hal 44.
4
modern seperti telepon, mobil, dll.8 Memang dunia tidak berhenti, dunia berputar terus
mengikuti hukum dialektika.
A. MUHAMMADIYAH: ISLAM PERKOTAAN
Muhammadiyah didirikan pada tanggal 18 Nopember 1912 oleh KH Ahmad
Dahlan. Muhammadiyah merupakan gerakan pembaharuan dalam Islam dengan menempuh
jalan para modernis gerakan Salafiyah dari abad ke-19 seperti Jamaluddin al-Afghani
(1838-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), Rasyid Ridla (1856-1935). Gerakan
Salafiyah ini dipandang sebagai kelanjutan dari gerakan pembaharuan yang pertama kali
dicetuskan oleh Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan muridnya, yaitu Ibnu Qoyyim al-Jauziyah
(1292-1350), yang berusaha untuk membuka pintu ijtihad; dan dilanjutkan oleh Gerakan
Wahabi di Saudi Arabia yang dipimpin oleh Muhammad bin Abdul Wahad (1703-1787).9
Memang ada kritik kalau pembaharuan Muhammadiyah berbeda dengan pembaharuan
Muhammad Abduh. Berbeda dengan Muhammadiyah, Abduh menekankan pembaharuan
dalam bidang muamalah dan tidak menyentuh aspek akidah (purifikasi).
Dengan pembaharuan ini Muhammadiyah mengklaim sebagai pengikut salaf karena
merujuk kepada Al Qur’an dan Hadits. Hal ini untuk menandaskan dibukanya kembali
pintu ijtihad (pembaharuan agama) dan menolak taqlid. Namun demikian Nahdlatul Ulama
(NU) juga mengklaim dirinya sebagai pengikut salaf karena mengikuti Islam yang benar
sebagaimana dipahami oleh para sahabat Nabi Muhammad, pengikut dari generasi-generasi
berikutnya. Ketegangan antara Muhammadiyah dan NU berhasil diselesaikan dalam
Konggres Islam tahun 1924 di Surabaya. Keduanya sepakat kalau salaf hanya
diperuntukkan bagi mereka yang hidup sampai abad ke-3 Hijriah, di luar itu tidak tergolong
salaf; namun demikian keduanya mengklaim sebagai pengikut salaf.10 Dalam konggres ini
Muhammadiyah juga menolak dikatakan sebagai pengikut gerakan Muhammad bin Abdul
Wahab, walaupun keduanya memiliki karakteristik yang sama sebagaimana yang dikatakan
intelektualnya Mustafa Kamal.
KH Ahmad Dahlan (1912-1923) telah melakukan terobosan dengan membentuk
“organisasi” sosial keagamaan --bukan politik-- untuk meningkatkan kualitas umat Islam di
Indonesia, dengan mengadopsi cara-cara modern yang diperkenalkan oleh penjajah
Belanda. Sehingga tidak mengherankan bila KH Ahmad Dahlan tidak menghasilkan
sejumlah buku keagamaan karena disamping tidak untuk menyerang pihak lain, juga dia
lebih menekankan pada usaha paksis untuk merebut urusan duniawi. Berikut komentar
Prof. Dr. M. Amin Abdullah.
…pilihan itu bukan didasarkan pada hasil cermatan kajian literatur Islam klasik dan juga
tidak memperoleh inspirasi dari konsep-konsep “teologis” atau “kalam” klasik yang telah
“baku” dan “mapan” dalam literatur-literatur khazanah intelektual lama.11
Serangan KH Ahmad Dahlan terhadap sufi dilakukan dalam bentuk amaliyah,
dengan mencoba ‘menerjemahkan sufisme dengan tafsiran etika sosial. Zikir atau wirid
yang sangat biasa yang dilakukan oleh para santri di pesantren-pesantren diganti dengan
upaya memikirkan secara sungguh-sungguh dalam menyelenggarakan santunan fakirmiskin, pengayoman kepada anak yatim piatu, melayani orang sakit, memberikan
konsultasi-konsultasi keagamaan dalam kerangka besar “al-mru bi al-ma’ruf wa al-wahyu
dan mungkar” lebih populer disebut amar ma’ruf nahi munkar.12
Serangan KH Ahmad Dahlan terhadap sufisme merupakan salah satu hal yang
mendasar di dalam gerakan Muhammadiyah, karena berkaitan dengan masalah tawhid.
Namun dia bersifat toleran terhadap tradisi yang ada dalam masyarakat, dimana dia
8
Tibi, Bassam, 2000, Ancaman Fundamentalisme: Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia
Baru, A.b. Imron Rosyidi dkk., Yogyakarta: Tiara Wacana, hal 129-131.
9
Kamal, Musthafa dkk., 1994, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, Yogyakarta: Persatuan, hal
6-7.
10
Haidar, M. Ali, 1998, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fiqih dalam Politik,
Jakarta: Gramedia, hal 52.
11
12
Abdullah, M Amin, 1995, “Pendekatan “Teologis” dalam Memahami Muhammadiyah”, dalam
Kelompok Studi Lingkaran (ed.), Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era
Baru, Bandung: Mizan & KSL, hal 27.
Abdullah, M Amin, 1996, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, hal 156.
5
berusaha melakukan pembaharuan agama secara bijaksana. Buktinya reaksi terhadap
gerakan Muhammadiyah dari kalangan tradisional baru terjadi belakangan setelah
meninggalnya KH A. Dahlan. Hal itu diperkuat dengan fakta kemunculan organisasi
rivalnya Nahdlatul Ulama (NU) yang baru didirikan pada 31 Januari 1926.13 Sebenarnya
serangan terhadap sufisme tidaklah menjadi monopoli gerakan Muhammadiyah, karena KH
Hasyim Asy’ari sebagai salah seorang pendiri NU juga mengkritik tarekat yang dipandang
telah melemahkan semangat umat Islam untuk merebut kemajuan dalam urusan duniawi.
Bedanya KH Hasyim Asy’ari memperbaharui sufisme dari dalam.
Setelah munculnya gerakan pembaharuan dalam Islam yang terutama ditujukan
kepada malpractice (kekeliruan) gerakan tarekat yang menjamur di seluruh wilayah
masyarakat Muslim, tanpa disadari banyak aspek-aspek ‘kehidupan batin’ daripada agama
Islam, ikut-ikut tercerabut dari akan kedalaman dan otentitasnya. Karenanya orang lebih
mengenal gerakan Muhammadiyah sebagai gerakan anti-TBC (Tahayul, Bid’ah dan
Churafat), dan bukan gerakan pembaharu sosial-budaya.14 Hal itu terjadi karena tidak
terjadi dialog yang konstruktif dengan organisasi NU yang menjadi rivalnya.
B. DILEMA MODERNISASI DAN BUDAYA
Dalam melakukan pembaharuan Muhammadiyah mengembangkan pendekatan
strukturalisme transendental dalam pemikiran keagamaannya, yaitu bertujuan ‘menerapkan
ajaran-ajaran sosial yang terkandung dalam teks lama pada konteks sosial masa kini tanpa
mengubah strukturnya’, sebagaimana diyakini oleh cendekiawan Muhammadiyah Prof. Dr.
Kuntowijoyo.15 Muhammadiyah meniru struktur masyarakat modern untuk
mengimplementasikan ajaran Islam itu. Muhammadiyah telah berhasil mengisi struktur
masyarakat modern di Indonesia dalam birokrasi, industri, perdagangan, pendidikan,
militer, dll.
Dalam kebudayaan pun Muhammadiyah meniru ide-ide kebudayaan modern
tentang pertumbuhan (growth) dan kemajuan (progress), yang merupakan turunan dari
materialisme. Muhammadiyah mencoba menyuntikan nilai-nilai materialisme ke dalam
masyarakat yang telah keropos, karena menganggap kehidupan materi-duniawi tidak
memiliki nilai secara religius-eskatologis. Arah perkembangan lain dari kebudayaan yang
dikembangkan Muhammadiyah adalah sistematisasi sebagai rumus turunan dari
rasionalisme. Sistematisasi tidak hanya mengarah pada gerak organisasional dengan
dibentuknya berbagai Majelis dan Organisasi Otonom, melainkan juga dalam kehidupan
beragama dengan dibentuknya Majelis Tarjih.
Cendekiawan dari Muhammadiyah Abdul Munir Mulkhan16 (2000: v-xiv) menyebut
ada dua konsekuensi dari arah kebudayaan seperti itu, yaitu: Pertama adalah sifat elitisme
yang telah menjadikan Muhammadiyah sebagai privilege golongan menengah-ke-atas.
Kedua adalah pergeseran dari gerakan pembaharu sosial budaya menjadi gerakan yang
terjebak pada persoalan-persoalan fiqhiah. Hal itu terjadi karena orang modernis telah
melangkah terlalu jauh dengan menjadikan materialisme dan rasionalisme bukan lagi
sekedar perangkat analisis, melainkan sebagai ideologi.
Lebih lanjut Kuntowijoyo menjelaskan dampak negatif lainnya bahwa
Muhammadiyah sebagai “gerakan kebudayaan tanpa kebudayaan”, karena kebudayaan
yang dikembangkan oleh Muhammadiyah bersifat elitis sehingga tidak dapat menjangkau
lapisan bawah umat Islam. Hal itu terjadi karena Muhammadiyah tidak berusaha merubah
tradisi dari dalam, melainkan dengan membentuk gerakan baru yang berbasis masyarakat
kota. Dan untuk waktu yang lama tidak mengakomodasi masyarakat di daerah pedesaan
yang masih memegang tradisi.
Kuntowijoyo menganalisa keringnya misi kebudayaan dalam Muhammadiyah pada
struktur yang melatar belakangi para pendukung awal Muhammadiyah, yaitu masyarakat
kampung-kota, yang perhatiannya lebih tertuju pada pemenuhan tuntutan modernisasi yang
bersifat materialistis. Muhammadiyah cenderung bersifat pragmatis, yaitu memenuhi
13
Ricklefs, M.C., 1994, Sejarah Indonesia Modern, A.b. Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 269-270.
14
Mulkan, A Munir, 2000, Menggugat Muhammadiyah, Yogyakarta: Fajar Pustaka, hal ix.
15
16
Kuntowijoyo, 2001, Muslim Tanpa Masjid, Bandung: Mizan, hal 9-29.
Mulkhan, Abdul Munir, 2002, Teologi Kiri: Landasan Gerakan Membela Kaum Mustadl'’fin,
Yogyakarta: Kreasi Wacana, hal v-xiv.
6
kebutuhan-kebutuhan sesaat dalam masyarakat modern dan belum sempat mengupas
hakekat kemanusiaan. Seolah-olah hidup ini hanya dapat dibereskan secara teknis formal
dan organisatoris.17
Setelah mengalami dialektika dengan realitas historis maka pendekatan
strukturalisme transendental dimodifikasi menjadi pendekatan strukturalisme historis
transendental. Pendekatan ini berusaha menafsirkan konsep-konsep transendental yang
bersifat normatif subyektif ke dalam realitas empiris historis; sedangkan pendekatan
strukturalisme juga digunakan secara bersama-sama. Melihat realitas historis berarti
melihat sasaran dakwah. Dalam berdakwah perlu memperhatikan kebudayaan (tradisi)
masyarakat sasaran, karena sebagai saluran yang dapat mengantarkan kepada bangunan
epistemologi pengetahuan beserta dengan norma-norma dan nilai-nilai yang diyakininya.
Bukankah keberhasilan dakwah Islam di Indonesia secara monumental baru terjadi
pada masa Walisongo, padahal Islam telah masuk ke Indonesia sejak tahun 674 M, yang
berhasil melakukan inovasi terhadap kebudayaan (tradisi) lokal. Memang apa yang telah
berhasil dilakukan oleh Walisongo tersebut sudah menjadi tradisi yang sulit diubah. Para
pendakwah harus mampu melakukan inovasi kebudayaan bila mereka ingin berhasil,
karena kebudayaan (tradisi) merupakan sarana untuk merefleksikan kesadaran religius
suatu masyarakat, disamping sebagai sarana untuk melakukan internalisasi/sosialisasi nilai
dalam masyarakat.
Memang sikap Muhammadiyah terhadap kebudayaan (tradisi) tidak seragam,
karena perbedaan persepsi dalam memandang gerakan TBC (Takhayul, Bid’ah dan
Churafat).18 Konsep tersebut masih ditampilkan dalam realitas subyektif, dan belum
ditampilkan secara empiris-obyektif, dimana kita berada dalam stuktur sosial yang berbeda.
Dengan demikian konsep klasik tentang TBC yang disusun dengan cara pikir deduktif yang
menekankan segi rasio perlu dilengkapi dengan cara pikir induktif yang bersifat empirishistoris.19 Fazlur Rahman, penggagas neo-modernisme Islam, berkeyakinan bahwa teologi
merupakan suatu usaha pemikiran, sehingga tidak haram untuk dilakukan interpretasi
ulang. Bahkan perumusan suatu teologi sering dipengaruhi oleh faktor ruang dan waktu,
disamping kepentingan politik yang selalu mewarnai urusan hidup berbangsa dan
bernegara.
Setelah mengalami dialektika dengan realitas historis, maka pandangan
Muhammadiyah terhadap sufi sudah mengalami perubahan, dimana pada awal
pendiriannya sangat menentang sufi dan sekarang menerima apa yang dinamakan sufi
modern. Proses dialektika tersebut harus dicermati supaya dapat membaca gejala
keberagamaan secara cerdas berdasarkan ruang dan waktu yang berbeda. Apakah sufisme
dulu dan sekarang berbeda? Apakah situasi dan kondisi baik ruang dan waktu dulu dan
sekarang berbeda sehingga sekarang Muhammadiyah mau menerima sufisme?
Pandangan beberapa tokoh Muhammadiyah dari sudut ruang dan waktu yang
berbeda akan dianalisa secara kritis, terutama yang menyangkut sufisme karena
berhubungan dengan dasar-dasar agama (teologi) dan berpengaruh terhadap pemikiran
keagamaan. Pendirian Muhammadiyah pada tahun 1912 memang menentang keberadaan
sufisme yang dianggap telah melumpuhkan elan vital bangsa Indonesia, namun sekarang
Muhammadiyah memberi tempat terhadap sufisme. Hal yang nampak kontradiktif dan sulit
dipahami itu dapat dijelaskan oleh hukum dialektika thesis-antithesis-synthesis. Sejarawan
Islam, Ibn Khaldun, telah menunjukkan hukum sejarah bahwa yang tetap dalam Islam
adalah perubahan itu sendiri. Dengan pula konsep sufisme mengalami perubahan seiring
dengan perubahan ruang (masyarakat agraris-industrial) dan waktu (dulu-sekarang).
Beberapa intelektual Muhammadiyah telah menulis sejumlah buku tentang sufisme.
Salah satunya adalah Prof. Dr. Hamka, yang bukunya telah dicetak ulang berkali-kali
Tasauf Modern (1995). Buku tersebut merupakan kumpulan artikel yang ditulis di majalah
Pedoman Masyarakat (sekarang menjadi majalah Panji Masyarakat), sehingga bukan
merupakan hasil pemikiran yang menyeluruh tentang sufisme, suatu pemikiran yang
melibatkan aspek emosi dalam berkomunikasi dengan Allah. Dia memberi tempat kepada
tasawuf dalam pengertian modern, yaitu tasawuf yang menekankan kepada aspek moral
untuk membangun suatu umat dalam rangka menghadapi tantangan dunia modern.
17
Kuntowijoyo, 1991, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan, hal 269.
Kuntowijoyo, 1991, op. cit., 269.
19
Kuntowijoyo, 1995, “Menggerakkan Kembali Khittah Muhammadiyah sebagai Organisasi Sosial
Keagamaan”, dalam Kelompok Studi Lingkaran (ed.), Intelektualisme Muhammadiyah:
Menyongsong Era Baru, Bandung: Mizan & KSL, 86-87.
18
7
Intelektual lainnya adalah Dr. Simuh, yang telah menulis sejumlah buku tentang
sufisme seperti: Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Suatu Studi
Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati (1988); Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke
Mistik Jawa (1999 cet-4); dan Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam (1997cet-2).
Kesemua buku tersebut menunjukkan bahwa dia memberi tempat kepada sufisme modern
sebagai cara untuk menanggulangi dampak negatif dari peradaban modern. Dan memang
lingkungan materialis Barat melahirkan pemikir Muslim seperti Hamid Algar dan Maryam
Jameelah yang menaruh perhatian terhadap sufisme dalam pengertian tradisional dengan
mengikuti suatu tarekat tertentu dan menentang gerakan modernisme dalam Islam yang
dianggap bersifat pragmatis dan fungsional.20
Simuh menawarkan tasawuf sebagai dasar dalam pembinaan akhlak. Tasawuf di
sini dalam pengertian tasawuf Islam (bukan mistik yang rumit seperti aliran kebatinan dan
gerakan tarekat Islam) untuk mengkaunter ekses-ekses peradaban modern dan KKN yang
telah mewabah di Indonesia. Simuh mengutip pendapat Ibnu Khaldun tentang tasawuf yang
Islami adalah mendidik menjadi ‘abid (tekun beribadah) dan zahid (sederhana / tidak
tamak), yang dilakukan dengan laku (cara) distansi (mengambil jarak dengan nafsu dan
ikatan dunia) dan konsentrasi (mawas diri/berdzikir). Cara-cara tersebut dapat dilakukan
oleh semua umat beragama.21
Akan tetapi tasawuf dalam pengertian tersebut masih belum mecukupi bagi mereka
yang ingin memperoleh pengalaman keagamaan. Tasawuf (tarekat) merupakan suatu cara
yang dapat dilakukan oleh semua orang untuk memperoleh pengalaman keagamaan, yang
dilakukan dengan menggunakan perantaraan perasaan/hati/emosi. Namun itu harus
dilakukan secara hati-hati supaya sejarah gelap sufisme dan tarekat tidak terulang lagi. Hal
itu perlu dilakukan karena kita sulit untuk memperoleh keyakinan agama hanya melalui
rasio, karena rasio dipengaruhi oleh ruang dan waktu serta sejarah. Apalagi rasio hanya
dapat digunakan terbatas kepada orang yang diberi kecerdasan. Dengan demikian yang
dapat menyatukan semua orang dalam penghayatan keagamaan adalah aspek perasaan,
buktinya mereka, baik kalangan intelektual maupun awam, dapat merasakan kesedihan
yang sama bila ditinggal mati saudaranya
Karakteristik umum dari semua agama memberikan perhatian kepada masalah
individual hubungan pribadi dengan Yang Mutlak (the Absolute/Ultimate Realituy), dimana
manusia mengakui kebesaran Tuhan dengan konsekuensi hidup mencari keselarasan
dengan hukum Tuhan tersebut. Komunikasi dengan Tuhan merupakan aspek intelektual
agama (tawhid, Keesaan Allah), yaitu manusia hanya mengakui supremasi Tuhan dan tidak
merasa tergantung kepada kekuatan selain dari Tuhan.22 Sufi merupakan cara berdialog
dengan Tuhan secara emosional. Namun Islam juga sangat menekankan kehidupan
duniawi, sehingga dikenal sebagai agama yang bersifat personal karena manusia diutus oleh
Tuhan untuk menjadi khalifah di muka bumi.23
BAB 3
PERLUASAN MUHAMMADIYAH
DAN KRISIS PARADIGMA
Peranan Muhammadiyah dalam menciptakan peradaban Indonesia yang modern
masih belum memenuhi harapan sebagian besar orang Indonesia. Memang Muhammadiyah
telah mengembangkan amal usaha yang fantastik, namun hal itu belum mengangkat
kualitas umat secara keseluruhan. Halangan pertama karena Muhammadiyah telah
menciptakan jarak dengan tradisi yang dianut oleh sebagian besar orang Indonesia (bukan
hanya Islam). Muhammadiyah perlu melakukan usaha yang tidak hanya reformatif tetapi
juga transformatif dengan melibatkan seluruh rakyat Indonesia.
Tugas khalifah di bumi adalah untuk menciptakan peradaban. Peradaban Islam juga
harus mampu merumuskan hubungan yang serasi dan harmonis di antara aspek agama,
kebudayaan dan politik. Hal itu tentu membutuhkan kerjasama dengan semua penganut
20
Madjid, Nurcholish (ed.), 1984, Khasanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, hal 77.
Simuh, 1999, Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, Yogyakarta: Bentang,
hal 31.
22
Rajaee, Farhang, 1983, Islamic Values and World View, Boston: University Press of America
Inc., hal 36-38.
23
Amstrong, Karen, 2002, Sejarah Tuhan, A.b. Zaimul Am, Bandung: Mizan.
21
8
agama, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi dalam Piagam Madinah. Hal itu hanya dapat
dicapai bila dikembangkan sikap toleransi di antara berbagai organisasi Islam untuk
mewujudkan masyarakat madani. Konsep religion of the heart24 perlu diperkenalkan
sebagai usaha untuk membangun sikap toleransi itu secara sebenar-benarnya dan tidak
terbatas pada konsep Trilogi Kerukunan yang diperkenalkan pada tahun 1978 oleh Menteri
Agama H. Alamsyah Ratu Prawiranegara. Jadi tidak hanya terbatas pada saling
menghormati, tetapi diciptakan sikap saling menghayati melalui dialog antar iman. Hal ini
yang dinamakan Passing Over (Melintas Batas Agama) yang dikembangkan melalui
pengembangan aspek spiritualitas.25
Dalam perkembangannya Muhammadiyah belum mengembangkan dialog dan
kerjasama secara aktif dengan organisasi-organisasi Islam lainnya seperti NU. Hal itu
terjadi karena pandangan teologis sebagian besar warga Muhammadiyah yang memandang
NU secara tawhid tidak murni lagi karena mentolerir TBC. Dengan demikian yang menjadi
penghambat dialog adalah hal yang mendasar dalam agama berupa teologi, yang
menyangkut masalah siapa yang Muslim maupun kafir, atau lebih tepatnya siapa yang
termasuk Muslim kaffah dan bukan-Muslim kaffah. Semua ormas keagamaan di Indonesia
mengatakan mereka sebagai golongan Sunni (ahl sunnah wal jama’ah), namun perbedaan
di antara mereka yang menyangkut masalah furu (cabang) telah menghalangi
berlangsungnya kerjasama yang harmonis, karena berkembangnya pandangan
kelompoknyalah yang melaksanakan Islam secara kaffah. Hal itu terjadi sepeninggalnya
KH Ahmad Dahlan.
Sikap tertutup semacam itu berlangsung lama, sampai mereka menyadari adanya
stagnasi pemikiran di dalam Muhammadiyah. Menurut cendekiawan muda Muhammadiyah
M. Thoyibi, stagnasi pemikiran disebabkan oleh sikap over confident, ortodoksi ajaran
agama, dan sikap menutup diri sendiri terhadap pengaruh perkembangan dan perubahan
zaman. Hal-hal tersebut berakibat tidak dikembangkannya hubungan kerjasama dengan
ormas keagamaan lain yang mempunyai dasar pemikiran berbeda. Padahal kerjasama dapat
merangsang tumbuhnya dialog yang konstruktif untuk memahami persoalan umat Islam
secara keseluruhan.26
Memang setiap organisasi keagamaan mempunyai titik perhatian yang berbeda
sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya ataupun kemampuan para pendukungnya.
Pluralitas ormas keagamaan merupakan suatu keharusan sejarah untuk memenuhi
kebutuhan kemanusiaan yang multidimensional, sebagaimana dikatakan Hossein Nasr:
Since every religion addresses a collectivity with varying psychological and spiritual
temperaments, it must possess within itself the possibility of different interpretations. By
bearing within itself, providentially, several modes of interpretation of the same truth it is
able to integrate a multiplicity into unity and to create a religious civilisation.27
Menguaknya persoalan tradisi dalam Muhammadiyah adalah konsekuensi logis dari
perluasan keanggotaan Muhammadiyah ke daerah pedesaan. Namun hasil dari dialektika
itu belum ditindaklanjuti dengan kebijakan organisasi untuk mengakomodasi peran tradisi.
Hal ini dapat dimaklumi mengingat kalangan elit Muhammadiyah hidup di daerah
perkotaan (atau di suatu komplek perumahan yang warganya para pendatang), sehingga
kebijakan menggalakkan tradisi dirasakan tidak banyak manfaatnya dan seakan mengadaada.
Memang sikap toleran terhadap tradisi dapat dilihat pada pemikiran para elit
Muhammadiyah secara individual. Bahkan mereka membolehkan anggotanya dari daerah
pedesaan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan tradisi. Akan tetapi pemikiran kritis
tersebut tidak menjadi sikap organisasi. Disamping alasan tidak menjadi interest kalangan
elit, hal ini akan nampak kontradiksi dengan sikap organisasi, dimana Muhammadiyah
telah menempuh langkah berperang melawan TBC (Takhayul, Bid’ah, dan Churafat).
Saya kira hal itu tidak akan mengurangi kredibilitas pembaharuan Muhammadiyah,
mengingat pemikiran keagamaan yang dikembangkan hendaknya mewakili kepentingan
para pendukungnya. Ketika ada perluasan keanggotaan sudah sewajarnya kepentingan
24
25
Schuon, Fritjof, 1994, Understanding Islam, Indiana: World Wisdom Books, Inc., hal vii dan 91.
Hidayat, Komaruddin dan Gaus AF, 1998, Passing Over: Melintas Batas Agama, Jakarta: Ahmad
Gramedia dan Paramadina, hal xiv.
Thoyibi, M., 2000, “How Gus Dur Open My Eyes”, dalam Harry Bhaskara Understanding Gus
Dur, Jakarta: The Jakarta Post, hal 160-163.
27
Nasr, Seyyed Hossein, 1994, Ideals and Realities of Islam, London: Allen and Unwin, hal 147.
26
9
mereka juga diakomodasi. Tanpa ada usaha konstruktif seperti itu, mereka riskan terhadap
pemikiran yang ditawarkan oleh pihak luar Muhammadiyah. Tuduhan PKS melakukan
infiltrasi ke dalam tubuh Muhammadiyah apakah tidak mengada-ada? Kenapa kaum muda
Muhammadiyah cenderung masuk gerakan Tarbiyah PKS? Lalu apakah salah bila PKS
menjajakan pemikirannya? Bukankah dunia sekarang ini merupakan tempat kontes segala
bentuk pemikiran, beda dengan zamannya Kyai Dahlan yang merasa tidak perlu menulis
sebuah kitab.
Sekarang beberapa tokoh Muhammadiyah sendiri (lihat Munir Mulkhan, 2000;
Thoyibi, 2000; Kuntowijoyo, 1991) sedang melakukan otokritik terhadap adanya gejala
stagnasi dalam gerakan pembaharuan Muhammadiyah, dimana Muhammadiyah yang
mendapatkan predikat gerakan modern justru sering bersikap konservatif dan tidak
akomodatif terhadap gejala modernitas. Setelah melihat realitas obyektif tersebut maka
sejak muktamar ke-42 di Yogyakarta pada tanggal 15-19 Desember 1990 dilakukan
langkah-langkah strategis seperti perampingan sistem kepemimpinan dan keorganisasian.
Proses pelembagaan tahapan rasional dan fungsional pada muktamar tahun 1995 di Aceh
telah mengubah bangunan dasar ideologisnya yang mulai mengakomodasi tradisi. Majelis
Tarjih kemudian diubah menjadi Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam.
Muhammadiyah sebagai gerakan modernis yang selama ini dikenal anti-tradisi rakyat mulai
mengembangkan sikap inklusif, seperti ketika mula pertama gerakan ini didirikan. Lahirlah
kemudian tafsir tematik yang meletakkan semua agama ke dalam kategorisasi “ahli
kitab”.28
Muhammadiyah relatif berhasil dalam percaturan di era modern dan aktivitas
dakwahnya sudah berhasil menjangkau ke daerah-daerah pedesaan. Ibarat dua sisi mata
uang, keberhasilan ini diikuti dengan munculnya krisis dalam tubuh Muhammadiyah.
Ditengarai ada dua penyebab terjadinya krisis ini. Pertama, paradigma lama dicobaterapkan
pada anggota baru yang memiliki latar belakang sosio-historis berbeda. Walaupun mereka
menerima modernisasi, anggota baru ini masih terikat pada tradisi karena mereka tinggal di
daerah pedesaan. Padahal pembaharuan Muhammadiyah selama ini hanya memberi
kerangka pemikiran bagi masyarakat perkotaan yang sudah tidak terikat lagi pada tradisi.
Dengan demikian, perluasan keanggotaan harus diikuti dengan perluasaan kerangka
pemikiran agar tidak terjadi gejolak dalam tubuh Muhammadiyah.
Kedua, krisis paradigma bisa terjadi karena dunia pemikiran sekarang semakin
canggih, sehingga pemikiran keagamaan yang sudah dilakukan Muhammadiyah menjadi
tidak mencukupi lagi. Pandangan seperti ini diyakini oleh Pak AR bahwa ada orang yang
mengusulkan kepada Kyai Dahlan agar menulis kitab untuk menjelaskan pemikirannya
yang inovatif itu, tetapi Kyai Dahlan menjawab “Apakah saudara ini menganggap saya
orang gila?” dan jawaban itu diulangi sampai tiga kali. Kyai Dahlan melihat sudah banyak
kitab yang ditulis, yang menyebabkan umat terpecah belah; dan ia tidak ingin menambah
satu kitab lagi karena dikhawatirkan dapat menambah runyam suasana. Model dakwah
Kyai Dahlan memang praktis.29
BAB IV
KONFLIK MUHAMMADIYAH DENGAN PKS
Dalam perkembangannya Muhammadiyah menempatkan diri dalam kubu
modernisme, karena ideologi modern itu dirasa cocok dengan komunitas warganya yang
berasal dari daerah perkotaan. Kemudian terbukti, pemikiran Islam modern ala
Muhammadiyah relatif berhasil mengangkat kelas menengah Islam untuk mengisi pos-pos
dalam struktur negara modern. Bahkan, amal usaha Muhammadiyah berhasil melakukan
ekspansi ke daerah pedesaan. Akan tetapi kesuksesan ini diikuti dengan munculnya krisis
dalam tubuh Muhammadiyah, dimana mereka yang dari daerah pedesaan tetap memegang
teguh tradisi. Mereka seolah menjadi anak tiri dalam keluarga besar Muhammadiyah karena
secara organisasi masih belum mengakomodasi tradisi.
Bila Muhammadiyah tidak menjawab kedua jenis tantangan tersebut, mereka yang
berasal dari daerah pedesaan akan merasa dianaktirikan oleh keluarga besar
Muhammadiyah sendiri. Dilihat dari latar belakang pendidikannya mereka akan mengalami
28
Mulkhan, 2002, op. cit., 31-32.
KH A.R. Fachruddin, 1990, “Dari KH. A.R. Fachruddin untuk DR. Nurcholish Madjij”, dalam Sujarwanto
dkk Muhammadiyah dan Tantangan Masa Depan: Sebuah Dialog Intelektual, Yogyakarta: Tiara Wacana,
hal. 420.
29
10
kesulitan dalam membela keyakinannya pada tradisi. Mereka memerlukan uluran tangan
kalangan elit Muhammadiyah agar bersedia mengakomodasi warisan tradisi itu.
A. EKSODUS WARGA MUHAMMADIYAH
Memang bisa ada beberapa teori untuk menjelaskan gejala eksodus warga
Muhammadiyah ke dalam PKS. Bila melihat hasil penelitian yang dilakukan AMM
(Angkatan Muda Muhammadiyah) yang bekerjasama dengan Sugeng Saryadi Syndicat
maka tidak ada teori yang bisa mengklaim sebagai teori yang paling absah. Penelitian itu
mengungkapkan prosentasi anggota Muhammadiyah dalam suatu partai sebagai berikut,
Golkar 20,3%, PAN 57,9%, PPP 18,2%, PBB 52,1%, dan PKS 68,7%.30 Prosentasi terbesar
masuk PKS, berarti ada kemungkinan orang Muhammadiyah ini mendirikan PKS dan
kemudian mencari anggota dari luar. Teori kedua, 33,3% orang luar berhasil menarik
keluar orang Muhammadiyah.
Dari penelitian itu orang Muhammadiyah merasa at home di PKS, tetapi apakah
angka 68,7% bisa mewakili anggota Muhammadiyah secara keseluruhan ataukah
mencermin kelompok menengah ke bawahnya? Angka itu cenderung mencerminkan
kelompok menengah ke bawahnya.31 Bila dilihat basis pimpinan PKS maka mereka
termasuk kalangan pemuda Muhammadiyah. Mereka kalangan terpelajar yang masih belum
menduduki jabatan teras di Muhammadiyah. Bisa saja mereka adalah putera/puteri anggota
Muhammadiyah yang datang dari daerah pedesaan, sehingga mereka merasa terpanggil
untuk menyelamatkan warisan tradisi, disamping mungkin ada juga ambisi kekuasaan. Atau
mereka bermain politik mendirikan (atau masuk) PKS, karena mereka tidak terwakili dalam
PAN, partai yang dibidani oleh Muhammadiyah.
Apakah mereka salah mendirikan (atau masuk) PKS? Bukankah Muhammadiyah
memberi kebebasan kepada warganya untuk memilih partai politik. Sebagai ormas
keagamaan, Muhammadiyah hendaknya menjaga jarak yang sama terhadap semua partai
politik. Memang orang partai tidak boleh memanfaatkan segala fasilitas amal usaha
Muhammadiyah, termasuk mereka yang masuk partai yang dibidani Muhammadiyah.
Mereka hendaknya secara mandiri mengembangkan aktivitas politiknya bersaing dengan
partai lainnya termasuk PKS. Bila orang PAN bisa memanfaatkan fasilitas amal usaha
Muhammadiyah, sedangkan mereka yang dipartai lain, terutama PKS, tidak diberi
kesempatan yang sama maka mereka merasa dianaktirikan.
Kita juga tidak boleh gegabah mengatakan bahwa buku yang ditulis Haedar Nashir
Manifestasi Gerakan Tarbiyah: Bagaimana Sikap Muhammadiyah? merupakan suara unsur
PAN di Muhammadiyah. Faktanya beliau bukan pengurus dan bukan anggota PAN,
melainkan pengurus PP Muhammadiyah, walaupun buku itu tidak bisa diklaim sebagai
suara seluruh jajaran PP Muhammadiyah. Paling tidak itu suatu cermin adanya kesamaan
ideologi antara Muhammadiyah dengan PAN.
Sebagaimana dikatakan Haedar Nashir hubungan Muhammadiyah dengan semua
partai tidak ada masalah, kecuali dengan PKS. Hal ini terjadi karena PKS sebagai Gerakan
Tarbiyah memiliki ideologi, mungkin lebih tepatnya saya katakan segi ideologi keagamaan,
karena setiap partai politik hendaknya memiliki ideologi tertentu. Selanjutnya konflik
Muhammadiyah dan PKS akan dilihat dari segi fiqihnya, sebagai aspek operasional
ideologi dalam kehidupan sehari-hari.
Apakah salah bila PKS mengembangkan ideologi keagamaan? Memang
Muhammadiyah pantas khawatir bila PKS mempolitisasi agama. Agaknya belum ada bukti
yang cukup kearah itu dan Muhammadiyah dapat saja menjalankan fungsi kontrolnya,
bukan melakukan serangan yang tidak proporsional. Cara dan sikap seperti itu jelas
bertentangan dengan cara dan sikap Kyai Dahlan dalam berdakwah, seperti yang
dicontohkan dalam diuraikan di atas.
Muhammadiyah juga boleh khawatir dengan pemikiran keagamaan yang
berkembang dalam PKS. Bukan hanya melakukan pengamatan dari luar saja, tetapi perlu
dikembangkan suasana dialogis agar diketahui pemikiran keagamaan dari mereka yang
masuk PKS, sehingga akan menjaminan tingkat obyektivitas.
Kecurigaan PKS mempolitisasi agama dan tidak toleran tidak terbukti, namun
demikian konflik antara Muhammadiyah dan PKS sungguh-sungguh nyata. Ini bisa dilihat
dalam kasus pemilihan Walikota Jogja, dimana PKS masuk Koalisi Merah Putih (KMP)
30
31
AMM, “Beberapa Catatan Pasca Pemilu”, hal. 2.
Ibid, hal. 2 “Sebagian besar adalah pekerja atau karyawan amal usaha Muhammadiyah”.
11
berhadap-hadapan dengan Koalisi Rakyat Jogja (KRJ) yang terdiri Golkar dan PAN32.
Terbentuknya koalisi Golkar dengan PAN karena Golkar tidak merepresentasikan sebagai
suatu ideologi agama. Sedangkan konflik politik PAN dengan PKS karena PKS
memerankan diri sebagai suatu ideologi agama.
Agaknya konflik PKS dengan Muhammadiyah berakar dari kesamaam peran
sebagai ideologi agama. PKS dianggap menggerogoti usaha pembaharuan Muhammadiyah,
sehingga harus dilawan sekuat tenaga. Bahkan caranya kadang melanggar etika sesama
gerakan Islam, seperti dengan menulis artikel yang mendeskreditkan PKS sebagai alat Gus
Dur dalam rangka memperlemah Muhammadiyah.33
Rongrongan terhadap gerakan pembaharuan Muhammadiyah berupa dukungan PKS
pada proyek TBC (Takhayul, Bid’ah, dan Churafat). Mereka menilai PKS telah menodai
agama Islam demi meraih dukungan politik. Tindakan PKS yang dianggap menyimpang
aqidah seperti memperbolehkan tahlilan, melakukan istighosah, dan menganjurkan ruqyah
untuk menentukan awal puasa dan awal hari raya.34
Dituduh kalau latar belakang PKS mendukung proyek ‘TBC’ adalah kepentingan
politik, dimana PKS ingin berada di semua segmen umat Islam. Saya kira pilihan membela
tradisi memiliki akar yang lebih dalam lagi pada tataran filosofis. Konsekuensinya PKS
melakukan akomodasi terhadap tradisi, sesuatu yang tidak ditolerir Muhammadiyah. Bagi
Muhammadiyah ajaran agama tidak bisa diakomodasikan dengan kehendak umat; baginya
patokan yang harus dirujuk adalah Al Qur’an dan Hadits.
Muhammadiyah menuduh PKS telah menyimpang dari rel jalannya partai politik
yang sebenarnya, karena memerankan diri sebagai Gerakan Tarbiyah dalam upayanya
melakukan pembinaan terhadap anggotanya. Muhammadiyah menginginkan PKS
menampilkan kinerja sebagai partai yang dapat menarik simpati warga Muhammadiyah,
jangan sampai partai menjadi ideologi agama.35
Tapi apa salah bila partai memiliki ideologi, termasuk ideologi agama. Memang
sudah seharusnya partai memiliki landasan ideologi yang akan diperjuangkan secara
demokratis. Yang menjadi masalah adalah PKS memilih ideologi agama, dan memaksanya
berhadap-hadapan dengan Muhammadiyah. Bila logika ini dibalik, berarti Muhammadiyah
juga memiliki ideologi. Walaupun Muhammadiyah bukan partai politik, tetapi
Muhammadiyah bermain politik, yang diistilahkan mantan Ketua PP Amien Rais sebagai
politik tingkat tinggi (high politic) karena Muhammadiyah tidak menjalankan intrik-intrik
politik praktis.
Memang urusan politik merupakan sesuatu yang inheren dalam setiap gerakan yang
bertujuan membangkitkan kesadaran, dan yang perlu dibedakan adalah politik praktis
(pendekatan politik) dalam bentuk partai politik dan non-politik praktis atau pendekatan
kultural. Apalagi kita di Indonesia, tidak mungkin melepaskan diri dari berpolitik, karena
kita bisa kena imbas permainan politik yang dimainkan oleh pihak luar. Hal ini terjadi
karena sektor publik (negara) tidak mau menggembangkan sektor private (Civil Society)
yang fungsinya sebagai check and balance yang akan menjamin tegaknya demokrasi.
Negara selalu campur tangan terhadap sektor private demi melanggengkan kekuasaannya.
Negara disini tidak melihat politik sebagai suatu seni, dimana berbagai aktor bisa saling
bergantian memerintah untuk memberikan pengabdian yang terbaik bagi negara.
Dari segi fiqih, Muhammadiyah dan PKS tentu memiliki perbedaan. Sebenarnya
perbedaan fiqih merupakan suatu yang manusiawi karena masing-masing mewakili suatu
komunitas yang berbeda, disamping tentunya situasi dan kondisi yang berbeda. Bila hal ini
disadari maka keduanya akan bisa mengembangkan suatu kerjasama yang tulus. Yang
sering terjadi pendekatan fiqih cenderung mendorong konflik dan cenderung eksklusif.
Sebab fiqih kemudian menjadi identitas golongan. Kalau fiqih anda tidak sama maka anda
di luar golongan saya.36
Gejala eksklusif organisasi-organisasi Islam muncul karena kesalahan memaknai
fiqih sebagai syari’ah. Padahal antara syari’ah dan fiqih itu berbeda. Islam itu identik
dengan syari’ah, dan tentunya setiap Muslim akan menjalankan syari’ah. Dan fiqih itu
adalah produk dari syari’ah dan karenanya fiqih mengundung unsur relatif, karena
32
Di atas dijelaskan kesamaan ideologi Muhammadiyah dengan PAN.
AMM, “Beberapa Catatan Pasca Pemilu”, hal 1.
34
Ibid., hal 3; juga Haedar Nashir, 2006, hal 25, 28, 45.
35
Haedar Nashir, 2006, hal 43.
36
Jalaluddin Rakhmat, 2000, “Dikotomi Sunni-Syi’ah Tidak Relevan Lagi”, dalam A. Rahman Zainuddin dan
M. Hamdan Basyar ed., Syi’ah dan Politik di Indonesia, Bandung: Mizan, hal 155.
33
12
dipengaruhi oleh faktor ruang dan waktu. Mengingat konteks ruang dan waktu itu masingmasing organisasi Islam berbeda maka mereka juga mengembangkan pemikiran fiqih yang
berbeda.
PKS juga mengembangan pemikiran keagamaan tersendiri. PKS sering dikatakan
sebagai pendukung syari’ah Islam, sekedar untuk membedakan dengan Muhammadiyah
yang dikatakan sebagai pembela konsep negara bangsa (nation state). Syari’ah di sini
dimaknai sebagai pemikiran fiqih klasik, suatu fiqih yang punya tendensius politik dengan
cita-cita mendirikan suatu negara Islam atau bahkan terwujudnya kekhalifahan Islam.
Namun PKS menghindari cara-cara radikal dalam mewujudkan cita-cita itu, sehingga PKS
tidak ragu maupun canggung dalam merumuskan tujuan politiknya, yaitu mendukung
Negara Pancasila dan tegaknya syari’ah Islam. Memang kalau kita lihat sejarahnya
penerapan fiqih klasik itu bisa dipisahkan dengan pemegang otoritas politik. Fiqih klasik
lebih berperan sebagai moral force.
Sikap PKS yang luwes dan fleksibel dalam menerapkan fiqih telah menjadikan PKS
mampu bergerak cepat dan gesit dalam berpolitik. Apalagi tendensi politik untuk
mendirikan Negara Islam sekarang ini tidak sekuat zaman dulu, karena memang
konteksnya sudah sangat berbeda. Sekarang partai-partai politik di Indonesia cenderung
bersifat pragmatis, dengan tidak mementingkan tercapainya tujuan ideologis masingmasing partai secara mutlak. Hal ini sangat positif menghindari pecahnya konflik horisontal
maupun vertikal. Yang dipentingkan oleh partai politik sekarang ini adalah keteladanan dan
kesediaan membela dan membantu rakyat kecil.
Dengan orientasi pada kepentingan rakyat kecil itulah PKS bersikat inklusif, karena
tidak ingin membenturkan rakyat kecil demi kepentingan ideologisnya. PKS lebih
mengedepankan terwujudnya nilai-nilai universal Islam sebagai substansi dari Islam itu
sendiri, seperti keadilan, kesejahteraan, dan keselamatan. Karena itu dalam kasus pemilihan
Walikota Jogja, PKS dapat menjalin aliansi politik dengan PDIP, Partai Demokrat dan PPP
dalam Koalisi Merah Putih (KMP), padahal mereka memiliki ideologi yang tidak mudah
disatukan. Hal itu wujud dari sikap PKS yang berpikir rasional dan pragmatis dalam
berpolitik dan berdakwah demi terciptanya kesejahteraan rakyat.
B. MEMPERLUAS PARADIGMA MUHAMMADIYAH
Dari uraian di atas diketahui kalau perselisihan Muhammadiyah dan PKS bermula
dari masalah ideologi agama. Ideologi agama berpusat pada masalah aqidah atau konsep
Keesaan Tuhan (the concept of the Oneness of God). Muhammadiyah menilai PKS sudah
menyimpang dari konsep aqidah yang dikenal dengan ‘Aqidah Anti-TBC’. Hal itu
dilakukan PKS demi meraih dukungan politik dari umat. Hal ini tidak bisa ditolerir oleh
Muhammadiyah. Bila ingin mendapatkan dukungan dari Muhammadiyah maka PKS
diminta meninggalkan muatan ideologi (Butir 6).
Apakah PKS betul-betul sudah menyimpang dari aqidah? Di kalangan
Muhammadiyah sendiri muncul perbedaan mengenai definisi TBC itu sendiri. Alm Prof Dr
Kuntowijoyo menyarankan Muhammadiyah meredefinisikan pengertian TBC agar tidak
bersifat subyektif tetapi bersifat obyektif.37 Untuk itu pengertian TBC perlu diklarifikasi
dengan obyek yang menjadi sasaran tuduhan itu, apakah mereka tidak percaya kepada
konsep Keesaan Tuhan? Apalagi penerimaan suatu kebenaran, lebih tepatnya kebenaran
relatif, itu ditentukan oleh mayoritas anggota suatu masyarakat. Temuan ini patut direspon
secara positif, disamping ada upaya-upaya yang kontinyu untuk meningkatkan kualitas
daya serap masyarakat terhadap kebenaran itu. Inilah yang dinamakan
pendidikan/tarbiyah/dakwah.
Kuntowijoyo menengarai Muhammadiyah terjangkit penyakit involusi berupa
ekstensifikasi, yaitu terjadi ekspansi aqidah yang sebenarnya bukan aqidah dipandang
aqidah.38 Kesenian dalam Muhammadiyah tidak bisa berkembang, karena imaginasi
berkesenian telah dipasung oleh aqidah yang mengatasnamakan gerakan purifikasi. Dia
menyarankan purifikasi membatasi diri pada yang benar-benar esensial. Dalam kasus
Wayang Sadat, dia menilai usaha-usaha rasionalisasi dan demitologisasi terhadap Wayang
Sadat sudah keluar dari patokan “yang benar-benar esensial”. Bila seorang dalang Wayang
Kuntowijoyo, 1995, “Menggerakkan Kembali Khittah Muhammadiyah sebagai Organisasi Sosial
Keagamaan”, dalam KSL, Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru, Bandung: Mizan dan
KSL, hal87.
38
Kuntowijoyo, 2000, “Islam dan Budaya Lokal”, dalam M Azhar dan Hamim Ilyas ed., Pengembangan
Pemikiran Keislaman Muhammadiyah: Purifikasi dan Dinamisasi, Yogyakarta: LPPI, hal 299.
37
13
Sadat tidak berani membuat cerita carangan karena tuntutan demitologisasi dan
rasionalisasi maka Wayang Sadat akan kehabisan napas. Kalau Wayang Sadat Mati maka
salah satu sistem simbol Islam akan hilang.
Lebih lanjut Kuntowijoyo menggugat, kalau semua dianggap sebagai aqidah (yang
hanya Allah dan Rasul-Nya yang mempunyai otoritas), lalu dimana letak urusan agama?39
Apalagi ada sebuah hadits “Kalian lebih tahu urusan dunia kalian.” Apakah kesenian bukan
“urusan dunia” sehingga perlu demitologisasi dan rasionalisasi? Agama tetap memerlukan
sistem simbol atau agama tetap memerlukan kebudayaan agama. Tanpa kebudayaan maka
agama akan menjadi agama pribadi. Tanpa kebudayaan, agama sebagai kolektivitas tidak
akan dapat tempat.
Adalah sulit menilai seseorang itu sudah tidak percaya pada konsep Keesaan Tuhan
hanya dengan melihat seseorang itu mengikuti suatu tradisi. Bukankah tradisi/budaya itu
lebih luas dari masalah aqidah? Budaya merupakan manifestasi dan implementasi dari
aqidah dalam suatu masyarakat dan karenanya merupakan gabungan antara unsur normatif
(aqidah) dan unsur situasional bagi penerapan prinsip-prinsip normatif tersebut. Dengan
demikian dalam budaya itu terkait suatu sistem yang mengatur kehidupan sesama
anggotanya baik itu berkaitan dengan prinsip-prinsip, norma-norma, aturan-aturan, dan
prosedur pengambilan keputusan yang akan menjamin prinsip keseimbangan di dalam
suatu masyarakat.
Apakah ideologi yang sedang menjadi mainstream di Muhammadiyah sekarang ini
merupakan sesuatu yang inheren sejak kelahirannya? Kalau dilihat pendirian KH Ahmad
Dahlan yang tidak mau menulis kitab dan lebih menekankan amal usaha maka pada
mulanya Muhammadiyah tidak terlalu konsen dengan masalah suatu paham. Hal ini
mengingat Islam bukanlah suatu ideologi, walaupun bisa diperankan sebagai suatu ideologi
kemanusiaan yang mengarah kepada kemajuan dengan metodanya demokrasi.
Selain aqidah, persoalan krusial umat Islam berikutnya adalah syariah. Apakah
persepsi Muhammadiyah terhadap syariah itu tidak pernah mengalami perkembangan?
Sebelum menjawab pertanyaan itu ada baiknya bila kita membandingkan syariah yang
diyakini Muhammadiyah dengan yang diyakini PKS. PKS meyakini syariah sebagaimana
yang terkodifikasi dalam fiqih hasil ulama klasik, yang menyatukan urusan agama dengan
urusan politik. Fiqh semacam ini merupakan produk dari sistem kekhalifahan Islam,
sehingga pemikiran politiknya bersifat negara theosentris. Dengan demikian cita-cita politik
PKS adalah terbentuknya Daulah Islamiah dan Kekhalifahan Islam.
Namun bila melihat AD/ART PKS tidak sampai ke arah terbentuknya negara Islam,
melainkan tegaknya syariah Islam dalam wadah NKRI. Hal ini berarti PKS menerima dasar
negara Pancasila. Landasannya Pancasila sebagai ideologi terbuka dapat diinjeksi dengan
visi dan nilai-nilai substantif Islam. Lebih praktisnya lagi, PKS bermain politik dengan
sasaran dapat menghasilkan produk hukum yang dapat melindungi kepentingan umat yang
menjadi konstituennya. PKS menyadari konstituen yang diwakilinya adalah masyarakat
menengah ke bawah yang masih membutuhkan perlindungan. Dengan demikian, syariah
yang diperjuangkan PKS tidak dimaksudkan sebagai satu-satunya tafsir syariah yang benar.
Untuk mencapai tujuan akhir itu PKS mengembangkan metoda demokrasi, sehingga
dalam merumuskan suatu pembaharuan disesuaikan dengan kemampuan konstituennya.
Artinya, pendekatan yang dikembangkan PKS bersifat humanis atau sesuai dengan
kemampuan manusia (konstituennya). Pendekatan ini menghindari penggunaan cara-cara
kekerasan untuk mencapai tujuan, sehingga kemajuan yang ditempuh melalui cara-cara
evolusi bukan dengan revolusi.
Sementara Muhammadiyah tidak berpretensi menegakkan syariah sebagaimana
tekodifikasi dalam fiqih klasik. Muhammadiyah membedakan Islam dengan fiqih. Islam
pada dasarnya adalah syariah, sedangkan fiqih adalah syariah sebagaimana yang diyakini
oleh ulama klasik. Muhammadiyah melihat ada perbedaan yang fundamental antara situasi
dan kondisi saat fiqih klasik dibuat dengan situasi sekarang ini.
Memang pada saat menjelang kemerdekaan Muhammadiyah memperjuangkan
berdirinya negara Islam sebagaimana yang dikehendaki oleh fiqih klasik.40 Pada saat itu Ki
Bagus Hadikusumo, Ketua PP Muhammadiyah saat itu, bahu membahu dengan wakil Islam
lainnya mengusahakan agar menjadi negara Islam; memang akhirnya hanya disetujui
Piagam Jakarta. Kesediaan wakil Islam berkompromi seperti itu karena syariah tidak
identik dengan negara Islam. Mereka membela negara Islam dan akhirnya hanya Piagam
39
40
Ibid, hal 299.
Noer, Deliar, 2000, Partai Islam di Pentas Nasional, Bandung: Mizan, hal 37-39.
14
Jakarta, sebagai suatu konsesi yang patut diberikan pada umat Islam yang banyak andilnya
dalam kemerdekaan tetapi posisi mereka masih lemah untuk dapat berpartisipasi secara
aktif dalam negara yang akan didirikan nantinya.
Sekarang ini jajaran PP Muhammadiyah mendukung penuh NKRI karena mereka
melihat struktur negara yang ada sekarang ini sudah banyak diisi oleh orang-orang
Muhammadiyah. Mereka dapat mempengaruhi kebijakan negara untuk mendukung
kegiatan dakwah Muhammadiyah. Mereka khawatir terjadi perubahan ideologi akan
mengakibatkannya tersingkir dalam lingkaran kekuasaan yang ada. Tentu, kebijakan ini
tidak bisa diterima sepenuhnya oleh lapisan kelas menengah ke bawah Muhammadiyah
yang belum menduduki posisi penting dalam struktur pemerintahan negara. Unsur terdidik
dari lapisan ini cenderung masuk ke dalam kancah politik, khususnya PKS, untuk
memperjuangkan dihargainya tradisi.
BAB V
KESIMPULAN
KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, memiliki pandangan yang cerdas dan
cukup jernih melihat kondisi umatnya, sehingga dalam berdakwah lebih menekankan amal
usaha. Dia tahu kalau Islam itu bisa dilihat baik dari kacamata filosofis maupun kacamata
praktis; dan dia memilih cara yang kedua. Dia tidak mau menulis satu kitab pun, takut
menambah perpecahan umat; dia tidak muluk-muluk mau mengganti sistem pemerintah
Belanda, dia mau bekerjasama dengan Belanda.
Dalam perkembangannya Muhammadiyah menempatkan diri dalam kubu
modernisme, karena ideologi modern itu dirasa cocok dengan komunitas warganya yang
berasal dari daerah perkotaan. Kemudian terbukti, pemikiran Islam modern ala
Muhammadiyah relatif berhasil mengangkat kelas menengah Islam untuk mengisi pos-pos
dalam struktur negara modern. Bahkan, amal usaha Muhammadiyah berhasil melakukan
ekspansi ke daerah pedesaan. Akan tetapi kesuksesan ini diikuti dengan munculnya krisis
dalam tubuh Muhammadiyah, dimana mereka yang dari daerah pedesaan tetap memegang
teguh tradisi. Mereka seolah menjadi anak tiri dalam keluarga besar Muhammadiyah karena
secara organisasi masih belum mengakomodasi tradisi.
Siapa pun yang melakukan pembaharuan hendaknya selalu menyadari sifat
keterbatasan yang melekat pada manusia. Sikap seperti itu menjadikan mereka berusaha
terus menyempurnakan usaha-usaha pembaharuan itu, disamping adanya kesediaan untuk
melakukan dialog konstruktif dengan berbagai kelompok lain dari kultur yang berbeda.
K.H. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah sudah menyadari sifat keterbatasan
pemikiran manusia, dan kareanya dia tidak mau menuliskan hasil pemikirannya itu, namun
dia lebih menekankan pada segi praksis dari agama demi mengangkat harkat dan martabat
manusia. Dia tidak mau terlibat perdebatan sengit persoalan teologi/ideologi, dan dia betul
dalam memandang teologi sebagai alat yang harus tunduk pada misi agama yang pada
prinsipnya menekankan segi amalan/praksis demi mengangkat harkat dan martabat
manusia.
Muhammadiyah didirikan di daerah perkotaan dan pemikirannya itu tentunya cocok
bagi mereka yang memiliki realitas sosi-historis yang sama. Dan Muhammadiyah kurang
mendapat sambutan di daerah pedesaan karena dalam Muhammadiyah belum dilakukan
modifikasi pemikiran yang memungkinkan mencakup realitas sosio-historis daerah
15
pedesaan. Memang Muhammadiyah mendapat pengikut juga di daerah pedesaan berkat
amalan Muhammadiyah, dan bukankah Islam mengharapkan umatnya melakukan amalan
yang bias kepentingan, sebagaimana misi Islam adalah rahmatan lil’alamin (memberi
manfaat bagi semua orang, terlepas dari pertimbangan agama yang mereka anut).
Keberhasilan suatu pembaharuan sangat ditentukan oleh tingkat kecanggihan suatu
pemikiran. Fakta mayoritas Muslim dari daerah pedesaan tidak masuk Muhammadiyah
menunjukkan bahwa pemikiran Muhammadiyah masih belum mengakomodasi realitas
sosio-historis daerah pedesaan. Bila fakta ini disadari dan memang hal itu dianggapnya
sebagai suatu ciri khas maka mereka akan dapat mengembangkan dialog yang konstruktif
dengan Nahdhatul Ulama (NU), suatu organisasi yang menjadi afiliasi mayoritas Muslim
daerah pedesaan. Bila semua organisasi atau kelompok Islam mampu memahami hal ini
maka mereka akan dapat menciptakan budaya Islam yang Indonesianis.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, H.M. Amin, 2000, “Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Keislaman”, in
Pengembangan Pemikiran Keislaman Muhammadiyah: Purifikasi dan Dinamisasi,
Yogyakarta: LPP.
Abdullah, M. Amin, 1995, “Pendekatan “Teologis” dalam Memahami Muhammadiyah”,
Dalam Kelompok Studi Lingkaran (ed.). Intelektualisme Muhammadiyah:
Menyongsong Era Baru. Bandung: Mizan & KSL.
Barnett, Tony, 1995, Sociology and Development, London: Routledge.
Fachruddin, KH A.R., 1990, “Dari KH. A.R. Fachruddin untuk DR. Nurcholish Madjij”,
dalam Sujarwanto dkk Muhammadiyah dan Tantangan Masa Depan: Sebuah
Dialog Intelektual, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Ghazali, Syaikh Muhammad Al-, 1996, Berdialog dengan Al-Qur’an: Memahami Pesan
Kitab Suci dalam Kehidupan Masa Kini, Bandung: Mizan.
Haskell, Thomas L., 1999, 3.
Huff, Toby E., 1998, The Rise of Modern Sciences, Cambridge: Cambridge University
Press.
Kamal, Musthafa (dkk.), 1994, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, Yogyakarta:
Persatuan.
Kuntowijoyo, 1991, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan.
Kuntowijoyo, 2001, Muslim Tanpa Masjid, Bandung: Mizan.
Lithman, Yngve Georg., 1983, The Practice of Underdevelopment and the Theory of
Development: the Canadian Indian Case. Stockholm: Stockholm Studies in Social
Anthropology.
Maarif, Syafi’i, 2000, “Antara Purifikasi dan Dinamisasi”, dalam Pengembangan
Pemikiran Keislaman Muhammadiyah: Purifikasi dan Dinamisasi, Yogyakarta:
LPPI.
Mulkhan, Abdul Munir, 2000, Menggugat Muhammadiyah, Yogyakarta: Fajar Pustaka.
16
Rochmat, Saefur, 2005, “Aspek Immaterial dalam Modernisasi”, Inovasi Vol. 17, No. 3.
Ross, Marc Howard, 1999, Culture and Identity in Comparative Political Analysis. In
Lichbach and Zuckerman (ed.) Comparative Politics: Rationality, Culture, and
Structure. New York: Cambridge University Press.
Wahid, Abdurrahman, 1998, “Islam, Anti-kekerasan, dan Transformasi Nasional”, dalam
Glenn D. Paige, Chaiwat Satha Anand, dan Sarah Gilliatt, Islam tanpa Kekerasan,
A.b. M. Taufik Rahman, Yogyakarta: LKIS.
Wahid, Abdurrahman, 1999, “Penafsiran Kembali Ajaran Agama: Dua Kasus Dari
Jombang”, dalam Muh. Shaleh Isre (ed.), Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta:
LkiS.
AMM, “Beberapa Catatan Pasca Pemilu”, hal. 2.
Sartono Kartodirdjo, 1993,
Martin van Bruinessen, (1992), “Gerakan Sempalan di Kalangan Umat Islam Indonesia: Latar Belakang
Sosial Budaya”, Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 1.
Tim Litbang Kompas, 2004, Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009, Jakarta:
Kompas.
Tim Litbang Kompas, 2005, Wajah DPR dan DPD 2004-2009, Jakarta: Kompas.
Syamsuddin Haris (ed.), 2007, Partai dan Parlemen Lokal Era Transisi Demokrasi di Indonesia, Jakarta:
LIPI.
Schuon, Fritjof, 1994, Understanding Islam, Indiana: World Wisdom Books, Inc.
Haedar Nashir, 2006, hal 25, 28, 45.
Jalaluddin Rakhmat, 2000, “Dikotomi Sunni-Syi’ah Tidak Relevan Lagi”, dalam A. Rahman Zainuddin dan
M. Hamdan Basyar ed., Syi’ah dan Politik di Indonesia, Bandung: Mizan.
Kuntowijoyo, 1995, “Menggerakkan Kembali Khittah Muhammadiyah sebagai Organisasi Sosial
Keagamaan”, dalam KSL, Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru, Bandung: Mizan dan
KSL.
Kuntowijoyo, 2000, “Islam dan Budaya Lokal”, dalam M Azhar dan Hamim Ilyas ed., Pengembangan
Pemikiran Keislaman Muhammadiyah: Purifikasi dan Dinamisasi, Yogyakarta: LPPI.
Noer, Deliar, 2000, Partai Islam di Pentas Nasional, Bandung: Mizan.
Abdullah, M. Amin, 2005, “Democracy and Authoritarianism in Islamic Text: The
Implication and the Consequences of having Bayani type of Islamic Epistemology
in the Political Arena”, in ICIP Journal, vol. 2, no. 2.
Abdurrahim, Musyaffa, 2006, Membangun Ruh Baru: Taujih Pergerakan untuk Para kader
Dakwah, Bandung: Harakatuna.
Al-Hilalli, Muhammad Taqi-ud-Din dan Muhammad Muhsin Khan, 1996, Interpretation of
the Meaning of the Noble Qur’an, Riyadh: Darussalam.
Amstrong, Karen, 2002, Sejarah Tuhan, translated by Mizan team, Bandung: Mizan.
_______, 2000, Sepintas Sejarah Islam, A.b. Ira Puspito Rini, Yogyakarta: Ikon Teralitera.
Aziz, Abdul dkk., 2006, Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia, Jakarta: Diva Pustaka.
_______, 2006, Varian-Varian Fundamentalisme Islam di Indonesia, Jakarta: Diva
Pustaka.
Bahul, Raja, 2003, “Toward an Islamic Conception of Democracy: Islam and the Notion of
Public Reason”, Critique: Critical Middle Eastern Studies, Vol. 12, No. 1.
Bastoni, Hepi Andi dkk., 2006, Penjaga Nurani Dewan, Bogor: Pustaka al-Bustan.
Bellah, Robert N., 1970, “Civil Religion in America”, dalam Beyond Belief: Essays on
Religion in a Post-Traditional World, New York: Harper & Row.
Carr, E.H. (1984). Apakah Sejarah? A.b. Rahman Haji Ismail. Kuala Lumpur. Dewan
Bahasa dan pustaka.
Casanova, Jose, 1994, Public Religions in the Modern World, Chicago: The University of
Chicago Press.
17
Edward, Djony, 2006, Efek Bola Salju Partai Keadilan Sejahtera, Bandung: Harakatuna.
DPP PKS, Profil Kader Partai Keadilan Sejahtera, 2006, Bandung: Harakatuna.
Funkenstein, Amos, 1986, Theology and the Scientific Imagination: from the Middle Ages
to the Seventeenth Century, Princeton: Princeton University Press.
Furkon, Aay Muhamad yang diterbitkan menjadi buku dengan judul Partai Keadilan
Sejahtera: Ideologi dan Praksis Politik Kaum Muda Muslim Indonesia
Kontemporer, Bandung: Teraju.
Geertz, Cliford, 1973, The Interpretation of Cultures, New York: Basic Books.
Hick, John, 1990, “The Conflicting Truth Claims of Different Religions,” dalam
Philosophy of Religion.
Intan, Benyamin Fleming, 2006, “Public Religion” and the Pancasila-Based State of
Indonesia, New York: Peter Lang.
Kartodirdjo, Sartono, 1993a, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta:
Gramedia.
_________, 1993b, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Jilid
II, Jakarta, Gramedia.
Monsma, Stephen V., 1996, Religious Nonprofit Organizations and Public Money: When
Sacred and Secular Mix, Maryland: Rowman & Littlefield Publishers.
Murata, Sachiko, 1996, The Tao of Islam, translated by Rahmani Astuti and M.S.
Nasrullah, bandung: Mizan.
Naim, Abdullahi an-, 2008, The Future of Shari’a, Harvard: Harvard University Press.
Naisbitt, John and Patricia Aburdane, 1990, Megatrend, a.b. Tim Penggebu Warta
Ekonomi, Jakarta: Tim Penggebu Warta Ekonomi.
Nasiwan, 2005, “Model Pendidikan Politik: Studi Kasus PKS DPD Sleman, Yogyakarta”,
dalam Cakrawala No. 3, Th. 24.
Nasr, Seyyed Hossein, 1994, Ideals and Realities of Islam, London: Allen and Unwin.
Qardhawi, Yusuf al-, 2006, Metodologi Hasan al-Banna dalam Memahami Islam, a.b. M.
Nurudin Usman, Solo: Media Insani.
Salim, Hairus dkkk., 1999, Tujuh Mesin Pendulang Suara, Yogyakarta: LkiS. Mahmudi,
Yon, 2006, Partai keadilan Sejahtera: Wajah Baru Islam Politik Indonesia,
Bandung: Harakatuna.
Sekjen DPP PKS, 2007, Sikap Kami: Kumpulan Sikap Dakwah Politik PK & PKS Periode
1998-2005, Bandung: Harakatuna.
Tim Litbang Kompas, 2004, Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 20042009, Jakarta: Kompas.
Tim Litbang Kompas, 2005, Wajah DPR dan DPD 2004-2009, Jakarta: Kompas.
Wahid, Abdurrahman, 2000, Tuhan Tidak Perlu Dibela, ed. Muhammad Isre, Yogyakarta:
LkiS.
Waluyo, Sapto, 2005, Kebangkitan Politik Dakwah: Konsep dan Praktek Politik PKS di
Masa Transisi, Bandung: Harakatuna.
Walzer, Michael, 1994, Thick and Thin: Moral Argument at Home and Abroad, Notre
Dame: University of Notre Dame.
Wink, Walter, 1992, Engaging the Powers: Discernment and Resistence in a World of
Domination, Minneapolis: Fortress Press.
18
Download