Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim i Pendahuluan S emestinya iklim bumi berubah secara alami, tapi karena keseimbangan alam terganggu akibat kegiatan manusia iklim pun menjadi kacau. Matahari, atmosfer, dan gas rumah kaca menjadi faktor dominan dalam perubahan iklim global. Jika keseimbangan alam terganggu, maka kita tinggal menunggu akibat yang ditimbulkannya. Contohnya kondisi di sejumlah wilayah di Indonesia yang iklimnya cenderung mulai ekstrim dan tidak beraturan seperti terjadi kemarau, terik disejumlah kawasan di pulau jawa, ternyata di Sulawesi Selatan dan Kalimantan terkena banjir bandang pada Juni 2007. Lebih lanjut efek rumah kaca menyebabkan gejala cuaca tadi menjadi ekstrim sehingga cuaca menjadi amburadul (tidak beraturan/anomali cuaca). Selain itu pemanasan global telah mencairkan gunung-gunung es di kedua kutub bumi dan menaikkan permukaan laut yang tak mudah dihentikan atau dihambat yang berakibat pada tenggelamnya pulau-pulau kecil diseluruh dunia. Semenjak disepakatinya Kyoto Protocol sampai dengan disetujuinya konsep REDD pada pertemuan COP 13 di Bali, perkembangan isu ini berlangsung sangat cepat. Sementara itu, pemahaman tentang masalah ini belum merata pada semua stakeholders (termasuk pejabat pemerintah, pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, tokoh masyarakat, pelaku usaha dibidang kehutanan, dan masyarakat lokal). Oleh sebab itu dirasa perlu untuk mempersiapkan materi yang dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman tentang isu yang terkait dengan perubahan iklim, dan pemanfaatan karbon hutan serta isu terkait lainnya. Saat ini banyak berkembang penawaran-penawaran dari dalam dan luar negeri untuk memanfaatkan karbon hutan kepada para stakeholders terkait langsung di daerah, masyarakat dan atau pengelola hutan. Potensi memanfaatkan peluang pendanaan dan perdagangan karbon hutan cukup besar. Bila dikelola dengan baik, peluang ini dapat dikembangkan untuk menyusun konsep-konsep perbaikan kondisi hutan, mengurangi tingkat kemiskinan dan mendorong pembangunan sosio ekonomi masyarakat sekitar hutan. Dilain pihak, kesiapan para stakeholders di daerah dalam menyikapi isu masih terbatas dan dalam persepsi yang berbeda-beda. ii Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim Masyarakat yang merupakan stakeholders penting dalam isu ini, juga perlu diberikan pemahaman yang benar mengenai peluang pendanaan dan pemanfaatan karbon hutan agar potensi yang besar tersebut dapat diwujudkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan ekonomi masyarakat. Dengan demikian pada akhirnya kelestarian hutan dapat tercapai bersamaan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan pemahaman kepada masyarakat belum dapat terlaksana sebagaimana mestinya karena belum tersedianya bahan-bahan atau materi yang dapat memberi penjelasan secara sederhana kepada masyarakat tentang manfaat karbon hutan. Peningkatan pemahaman dan sosialisasi mengenai isu perubahan iklim dan potensi pemanfaatan karbon hutan masih terbatas kepada stakeholders ditingkat pemerintahan dan akademisi, dimana materi yang disampaikan sangat sulit dipahami oleh masyarakat awam. Materi yang disusun dalam bentuk buku ini dimaksudkan sebagai bahan untuk meningkatkan pengetahuan khusus untuk masyarakat, disampaikan dalam bentuk informasi yang lebih mudah dipahami sehingga dapat dimengerti oleh masyarakat sampai pada tingkat lokal. Materi ini berasal dari berbagai sumber antara lain bahan-bahan pelatihan tingkat nasional/internasional, publikasi, artikel, hasil workshop dan lain-lain. Isi dan Materi yang tercantum dalam Buku Buku ini berisi informasi dan penjelasan yang disusun dalam bentuk bab-bab dikelompokkan berdasarkan pengetahuan dasar yang perlu dipahami, meliputi perubahan iklim dan dampaknya bagi kehidupan dimasa mendatang, serta peranan hutan dalam adaptasi dan memitigasi perubahan iklim tersebut. Disampaikan pula informasi mengenai kebijakan internasional dan nasional terkait perubahan iklim dan perdagangan karbon dari hutan. Dilanjutkan dengan informasi mengenai mekanisme dan peluang dalam perdagangan karbon hutan, Implikasi REDD terhadap komunitas masyarakat sekitar hutan, dan terakhir adalah informasi mengenai strategi perbaikan kondisi hutan oleh masyarakat. Bab penutup berisi daftar istilah dan penjelasannya. Materi yang disampaikan dalam buku ini merupakan pengetahuan dasar yang terkait dengan isu perubahan iklim dan pemanfaatan karbon hutan. Masih diperlukan referensi yang lebih banyak untuk memahami lebih lengkap dan lebih mendalam karena perkembangan isu ini sangat cepat dan masih dalam tahap penyusunan konsep yang bisa diterima dan diterapkan oleh semua Negara. Khusus untuk Indonesia proses ini juga masih terus berjalan, sehingga informasi harus terus diperbaharui. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim iii Penyusunan materi modul dibagi kedalam 5 Bab yaitu : Bab I. Peranan Hutan Dalam Adaptasi dan Mitigasi terhadap perubahan iklim. Ruang lingkup dan sasaran materi : Dalam materi ini disampaikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan perubahan iklim, apa saja penyebab perubahan iklim, dimana biasanya terjadi pelepasan emisi gas CO2, apa dampak dari perubahan iklim tersebut, serta bagaimana proyeksi ke depan jika terjadi perubahan iklim yang drastis. Bagaimana upaya-upaya pengurangan dampak perubahan iklim tersebut dan apa serta bagaimana peranan hutan dalam adaptasi & mitigasi terhadap perubahan iklim yang terjadi. Disampaikan pula penjelasan mengenai pengertian hutan, jenis-jenis hutan berdasarkan fungsinya (terutama fungsinya sebagai adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim), jenis-jenis hutan berdasarkan kondisi tempat tumbuh, serta peranan dan manfaat hutan bagi masyarakat/penduduk Indonesia. Dengan mengetahui apa dan bagaimana itu hutan serta banyak manfaat yang dapat diperoleh dari hutan, serta peran hutan dalam adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim, diharapkan masyarakat akan berusaha mempertahankan keberadaan hutan di wilayahnya masing-masing. Topik dan materi bahasan: 1. Apa yang dimaksud dengan perubahan iklim dan apa saja tanda-tanda akibat perubahan iklim tersebut. 2. Apa penyebab perubahan iklim (industri, deforestasi, degradasi, transportasi dll), dimana saja terjadinya pelepasan emisi gas CO2 yang paling banyak. 3. Bagaimana dampak perubahan iklim terhadap kehidupan dimasa mendatang. 4. Apa yang dimaksud dengan hutan dan ekosistem hutan (secara umum & ringkas). 5. Pembagian tipe hutan berdasarkan fungsi (Hutan lindung, hutan produksi, suaka margasatwa, taman nasional) 6. Pembagian tipe hutan berdasarkan kondisi tempat tumbuhnya 7. Peran Hutan bagi Perekonomian Indonesia dan manfaat hutan bagi masyarakat luas 8. Apa peran hutan terhadap dalam siklus karbon terutama dalam penyerap emisi (carbon conservation, carbon sequestration, carbon substitution) Bab II. Kebijakan Internasional dan Nasional Tentang Perubahan Iklim dan REDD. Ruang lingkup dan sasaran materi : 1. Dalam materi ini disampaikan mengenai kebijakan internasional dan nasional terkait dengan Perubahan Iklim dan REDD, kelembagaan yang iv Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim berperan di dalam pengambilan keputusan, hasil-hasil pertemuan internasional yang berpengaruh terhadap kebijakan kehutanan Indonesia dalam penanggulangan perubahan iklim, internalisasi dalam kebijakan nasional dan dampaknya terhadap kerjasama internasional di bidang kehutanan. 2. Disampaikan pula contoh-contoh kerjasama bilateral, mulitilateral dan juga inisiatif daerah untuk menjalin kerjasama di bidang perubahan iklim dan REDD yang dilakukan dengan skema inisiatif Pasar Karbon Sukarela (Voluntary Carbon Market). Topik dan materi bahasan: 1. Organisasi internasional yang menangani perubahan iklim dan mekanisme kerja organisasi. 2. Hasil-hasil pertemuan internasional tentang Perubahan Iklim dan REDD. 3. Internalisasi hasil-hasil pertemuan internasional kedalam kebijakan nasional 4. Bentuk kerjasama internasional baik bilateral maupun multilateral. 5. Inisiatif Daerah/Kerjasama Daerah dalam rangka memanfaatkan pasar karbon voluntary. Bab III. Mekanisme dan Peluang dalam Pendanaan dan Perdagangan Karbon Hutan. Ruang lingkup dan sasaran materi: Dalam materi ini disampaikan penjelasan mengenai pengertian perdagangan karbon, pendanaan karbon, offset karbon, pasar karbon (pasar regulatory dan pasar sukarela), perkembangan pasar karbon khususnya yang terkait dengan sektor hutan, cara memasarkan kredit karbón, proses dan persiapan dalam perdagangan karbon, persyaratan proyek dan prosedur dalam memanfaatkan pasar karbon, peluang masyarakat dalam memanfaatkan perdagangan karbon. Dengan mengetahui apa dan bagaimana mekanisme perdagangan karbon, diharapkan masyarakat luas dapat memahami tentang perdagangan karbon dan memanfaatkan peluang dalam perdagangan dan pendanaan karbon hutan. Topik dan materi bahasan: 1. Apa yang dimaksud dengan pendanaan dan perdagangan karbon. 2. Offset karbon dan perannya dalam perdagangan karbon 3. Pasar karbon apa saja yang telah ada? (Pasar regulatory dan Pasar sukarela) 4. Bagaimana perkembangan pasar karbon regulatory? 5. Bagaimana perkembangan pasar karbon sukarela? 6. Bagaimana memasarkan kredit carbón dari offset hutan? 7. Bagaimana proses dan persiapan dalam perdagangan karbon di pasar sukarela? Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim v 8. Bagaimana persyaratan proyek dan prosedur dalam pasar karbon sukarela? 9. Peran masyarakat dalam memanfaatkan perdagangan karbon khususnya pasar karbon sukarela. Bab IV. Implikasi REDD terhadap Komunitas Masyarakat di Sekitar Hutan Ruang lingkup dan sasaran materi: Dalam materi ini disampaikan penjelasan mengenai latar belakang munculnya konsep REDD di Indonesia (pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan), bagaimana REDD ini menjadi mekanisma penting dalam pengelolaan hutan lestari. Dengan mengetahui dan memahami tentang konsep REDD ini diharapkan masyarakat akan lebih memahami tentang manfaat pelaksanaan REDD dalam rangka penanganan perubahan iklim. Negosiasi internasional tentang REDD masih berlangsung sampai saat ini. Dengan mengetahui dan memahami proses debat mengenai kerangka kerja REDD di tingkat internasional maka diharapkan masyarakat juga dapat mengikuti dan memahami secara umum setiap proses dan negosiasi yang berlangsung yang akan berpengaruh terhadap arah dan bentuk kegiatan REDD di tingkat nasional dan sub-nasional. Oleh karena itulah dalam sesi ini juga disampaikan mengenai unsur penting REDD berdasarkan pedoman (protocol) internasional, dan aspek legal internasional dalam pelaksanaan REDD . Kegiatan REDD di tingkat nasional juga perlu disampaikan kepada target group (masyarakat) karena setiap negara mempunyai keunikan tersendiri dalam merancang kegiatan REDD nya disesuaikan dengan situasi dan keadaan negaranya, begitu pula di Indonesia. Namun yang terpenting dan perlu diketahui oleh masyarakat adalah terkait regulasi, kelembagaan dan mekanisme pelaksanaan kegiatan model percontohan REDD di Indonesia. Dalam bab ini disampaikan kegiatan model percontohan REDD untuk perdagangan karbon di tingkat proyek/tapak. Setiap kegiatan proyek REDD di Indonesia, mempunyai keunikan/perbedaan tersendiri dan rancangan proyek REDD harus berdasarkan kriteria sosial, budaya , ekonomi dan lingkungan sekitarnya dan masyarakat diharapkan ikut terlibat langsung dalam kegiatan REDD di tingkat tapak. Topik dan materi bahasan: 1. Latar Belakang tentang Isu REDD dan Perubahan Iklim 2. Pemanasan Global dan Perubahan Iklim 3. Peran Hutan Dalam Perubahan Iklim Global 4. Penyebab dan Akar Masalah Terjadinya Deforestasi dan Degradasi di Indonesia. 5. Strategy untuk Masyarakat Dalam Mengurangi Deforestasi. vi Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. Konsep REDD Pengertian REDD di tingkat Internasional Unsur Utama dalam Pelaksanaan REDD Aspek Legal REDD di tingkat Internasional Pengertian REDD di tingkat Nasional Isu Nasional tentang Deforestasi dan Degradasi Regulasi dan Kelembagaan yang diperlukan terkait REDD Pelaksanaan REDD ditingkat Tapak Implikasi pelaksanaan REDD terhadap masyarakat Bab V. Strategi Perbaikan Kondisi Hutan oleh Masyarakat. Ruang lingkup dan sasaran materi : Peranan hutan dan kehutanan dalam isu-isu perubahan iklim sangat penting, dan hampir dibahas dalam berbagai forum. Perkembangan terakhir mengenai peran hutan tersebut terdapat dalam konsep REDD dan skema lainnya, yang potensinya dalam pendanaan dan perdagangan karbon saat ini banyak dikembangkan. Potensi pendanan dan perdagangan karbon dari hutan ini tentu saja harus memenuhi persyaratan kondisi hutan yang dikelola dengan baik, serta upaya konservasi dan rehabilitasi kondisi hutan yang ada, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat. Dalam materi ini disampaikan hal-hal yang terkait dengan fungsi hutan, interaksi hutan dan masyarakat, faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan hutan (deforestasi atau degradasi hutan) sehingga diharapkan masyarakat dapat memahami fungsi-fungsi hutan sebagaimana yang diatur dalam undang-undang. Juga dapat menimbulkan perhatian yang lebih serius akan hal ini sehingga masyarakat dapat berperan aktif mencegah dan mengendalikan terjadinya kerusakan hutan. Disampaikan pula bagaimana peran pemerintah dan masyarakat dalam mencegah kerusakan hutan yang terjadi. Jika masyarakat telah memahami posisinya maka diharapkan masyarakat dapat berperan serta dalam menyusun strategi pengendalian dan perbaikan kondisi pengelolaan hutan dilingkungannya. Kegiatan pengelolaan hutan yang baik, dan kegiatan pencegahan terjadinya deforestasi dan degradasi hutan mempunyai potensi untuk dijadikan proyek-proyek karbon yang dapat dikembangkan oleh masyarakat sekitar hutan. Pengembangan hutan kemasyarakatan, hutan rakyat, hutan desa dan hutan tanaman rakyat adalah beberapa contoh dari kegiatan yang bisa dikembangkan dalam proyek-proyek karbon. Dalam upaya perbaikan kondisi hutan melalui rehabilitasi hutan, tata kelola hutan yang baik dan mencegah deforestasi memerlukan sumber-sumber pendanaan. Selain sumber pendanaan pemerintah dan donor, juga ada peluang sumber pendanaan dari kredit karbon hutan melalui mekanisme perdagangan Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim vii atau pendanaan karbon. Sumber pendanaan untuk rehabilitasi hutan dan potensi pemanfaatan dari kredit karbon hutan juga disampaikan dalam materi ini. Dengan demikian masyarakat diharapkan dapat menggali potensi ini dan memanfaatkannya untuk pengembangan dan pembangunan hutan di sekitar lingkungannnya. Topik dan materi bahasan: 1. Fungsi Pokok Hutan 2. Status Kawasan Hutan 3. Fungsi-fungsi Pokok Hutan 4. Implikasi Perubahan Fungsi Hutan 5. Faktor-faktor Penyebabn Kerusakan Hutan 6. Kerusakan pada hutan produksi 7. Kerusakan pada hutan lindung 8. Kerusakan pada kawasan konservasi 9. Strategi Untuk Mengurangi Terjadinya Kerusakan Hutan 10. Peran Kebijakan Pemerintah 11. Peran Serta Masyarakat 12. Strategi Rehabilitasi Hutan oleh Masyarakat 13. Potensi Sumber-sumber Pendanaan Rehabilitasi Hutan Bab VI. Daftar Istilah dan Penjelasannya Pada Bab terakhir ini menjelaskan istilah-istilah yang sering digunakan dalam kaitannya dengan isu perubahan iklim dan perdagangan karbon. viii Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim BAB 1 PERANAN HUTAN DALAM ADAPTASI DAN MITIGASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM Ruang Lingkup dan Sasaran dari Materi ini: Dalam materi ini disampaikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan perubahan iklim, apa saja penyebab perubahan iklim, dimana biasanya terjadi pelepasan emisi gas CO2, apa dampak dari perubahan iklim tersebut, serta bagaimana proyeksi ke depan jika terjadi perubahan iklim yang drastis. Bagaimana upaya-upaya pengurangan dampak perubahan iklim tersebut dan apa serta bagaimana peranan hutan dalam adaptasi & mitigasi terhadap perubahan iklim yang terjadi. Dalam materi ini disampaikan pula penjelasan mengenai pengertian hutan, jenis-jenis hutan berdasarkan fungsinya (terutama fungsinya sebagai adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim), jenis-jenis hutan berdasarkan kondisi tempat tumbuh, serta peranan dan manfaat hutan bagi masyarakat/penduduk Indonesia. Dengan mengetahui apa dan bagaimana hutan serta banyak manfaat yang dapat diperoleh dari hutan, serta peran hutan dalam adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim, diharapkan masyarakat akan berusaha mempertahankan keberadaan hutan di wilayahnya masing-masing. Topik dan materi bahasan: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Apa yang dimaksud dengan perubahan iklim dan apa saja tanda-tanda akibat perubahan iklim tersebut. Apa penyebab perubahan iklim (industri, deforestasi, degradasi, transportasi dll), dimana saja terjadinya pelepasan emisi gas CO2 yang paling banyak. Bagaimana dampak perubahan iklim terhadap kehidupan dimasa mendatang. Apa yang dimaksud dengan hutan dan ekosistem hutan (secara umum & ringkas). Pembagian tipe hutan berdasarkan fungsi (Hutan lindung, hutan produksi, suaka margasatwa, taman nasional) Pembagian tipe hutan berdasarkan kondisi tempat tumbuhnya a. Hutan pantai b. Hutan mangrove atau payau Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 1 c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. 7. Hutan rawa Hutan rawa gambut Hutan hujan dataran rendah Hutan hujan pegunungan bawh Hutan hujan pengunungan atas Hutan musim bawah Hutan musim tengah dan atas Hutan kerangas Hutan savana Hutan tanah kapur Hutan batuan ultra basa Hutan tepi sungai Apa peran dan manfaat hutan secara umum dan peran hutan dalam siklus karbon terutama dalam penyerap emisi (carbon conservation, carbon sequestration, carbon substitution) Manfaat setelah mengikuti sosialisasi materi ini adalah : 1. Memahami macam2 tipe dan jenis hutan berdasarkan fungsi maupun tempat tumbuhnya dan perannya dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. 2. Memahami sebab2 perubahan iklim 3. Memahami apa dampak perubahan iklim terhadap kehidupan mereka 4. Memahami bagaimana melakukan adaptasi & mitigasi terhadap perubahan iklim. I. PERANAN HUTAN DALAM PERUBAHAN IKLIM GLOBAL. 1.1 Apakah Perubahan iklim itu? • • 2 Perubahan Iklim adalah setiap perubahan nyata yang dapat diukur faktor iklimnya (seperti temperatur atau tingkat penguapan) dalam setiap periode waktu (contohnya setiap 1 dekade). Suatu Forum yang mengurusi soal perubahan iklim yaitu United Nations Forum Convention on Climate Change (UNFCCC) mendefinisikan perubahan iklim adalah perubahan yang berkontribusi secara langsung atau tidak langsung terhadap kegiatan manusia yang merubah komposisi atmosfir global. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim Beberapa contoh ekstrim akibat perubahan iklim a) Serangan Badai b) Kekeringan dan gelombang panas c) Hujan & Banjir Terjadinya perubahan iklim telah banyak dibuktikan secara ilmiah. Musim kemarau yang semakin panjang serta musim penghujan yang relative pendek dengan intensitas hujan yang tinggi merupakan bukti nyata adanya perubahan iklim. Hal ini berdampak pada berbagai aspek kehidupan manusia seperti kekeringan yang berkepanjangan, gagal panen, krisis pangan, air bersih, Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 3 pemanasan muka laut serta banjir dan longsor. Dampak dari perubahan iklim akan sangat dirasakan Negara berkembang yang paling menderita karena tidak mampu membangun struktur untuk beradaptasi, walaupun Negara maju juga merasakan dampak perubahan iklim. 1.2 Apakah yang menyebabkan perubahan iklim? Ketika bumi menerima panas dari matahari, secara alami sebagian panas akan terperangkap di atmosfir akibat adanya beberapa jenis gas. Gas-gas yang menangkap panas tersebut dikenal sebagai gas rumah kaca (GRK) karena cara kerjanya mirip rumah kaca (greenhouse), dimana suhu di dalamnya diatur agar cukup hangat sehingga tanaman dapat tumbuh. Terperangkapnya panas oleh gas-gas di atmosfir dikenal dengan istilah ’efek rumah kaca’. Sebenarnya efek rumah kaca diperlukan agar permukaan bumi cukup hangat untuk didiami. Sayangnya, aktivitas manusia membuat konsentrasi GRK semakin tinggi dan menyebabkan suhu permukaan bumi semakin panas sehingga terjadilah perubahan iklim. Emisi (gas yang dikeluarkan) dari pembangkit listrik dan kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil – seperti minyak bumi dan batubara – merupakan sumber utama karbondioksida (CO2). Gas ini merupakan GRK yang memiliki pengaruh terbesar terhadap terjadinya perubahan iklim. Karbondioksida juga terkandung dalam jumlah besar pada pohon sehingga kebakaran dan penebangan hutan menyebabkan meningkatnya konsentrasi GRK. Penggambaran terjadinya efek rumah kaca Sumber Gambar : IPCC Fourth AssessmentReport 2007 4 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim Panas matahari yang jatuh ke permukaan bumi sebagian dilepaskan kembali ke udara di atas permukaan tersebut. Artinya makin banyak panas yang jatuh maka makin banyak pula panas yang dilepaskan sehingga suhu udara di tempat tersebut pun menjadi bertambah pula. Ada 6 jenis GRK penting yang menyumbang terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim yaitu CO2 (karbon dioksida, penyumbang terbesar pemanasan global), N2O (nitro oksida), CH4 (metan), HFCs (hydrofluorocarbons), PFCs (perfluorocarbons), dan SF6 (sulphur hexafluorida). Pemakaian pupuk buatan pada pertanian menghasilkan N2O. Selan itu, pembusukan pakan ternak, kotoran hewan, dan sampah organik akan melepaskan gas metana (CH4). Proses serupa terjadi pada tanah yang tergenang air seperti daerah rawa-rawa dan persawahan. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa peternakan, sawah, dan tempat pembuangan sampah ikut meningkatkan GRK. Beberapa kegiatan lain menghasilkan GRK yang menyerap panas dengan kekuatan sangat tinggi walaupun konsentrasinya rendah. Penggunaan beberapa jenis gas untuk freon AC dan campuran produk kaleng semprot serta proses produksi beberapa industri, terutama peralatan listrik, juga mengasilkan GRK. Fakta menunjukkan bahwa industri di Negara maju telah menyumbang emisi GRK sebesar 70%, yang berasal dari sektor energi, transportasi, industri, bangunan dan energi lain. Sedangkan emisi yang dihasilkan negara berkembang hanya 30%. Ini lebih banyak berasal dari sektor non-energi seperti sampah, pertanian dan penggunaan lahan, termasuk penebangan hutan. 1.3 Sektor-sektor apa saja yang menyumbangkan emisi GRK? Source: IPCC Fourth Assessment Report, 2007 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 5 Dilihat dari gambar, sektor yang paling besar menyumbangkan emisi (pembuangan) gas rumah kaca adalah dari sektor energy : 25.9 %(energi yang menggunakan bahan bakar fosil seperti minyak bumi, dll). Kemudian disusul dengan sektor Industry: 19.4 %. Berikutnya adalah sektor Kehutanan : 17.4, sektor pertanian sebesar 13.5%, sektor transportasi : 13.1%, kegiatan pemukiman : 7.9 % dan terakhir dari limbah sebesar 2.8 %. Sektor kehutanan merupakan salah satu sumber pengemisi Gas Rumah Kaca yang cukup besar yaitu menyumbangkan 17-25 % dari emisi Gas Rumah Kaca global. Sekitar 75 % dari emisi ini berasal dari negara tropis dan umumnya merupakan hasil dari konversi hutan ke penggunaan lain (deforestasi) dan degradasi hutan. Akan tetapi, keberadaan hutan dalam konteks perubahan iklim global dapat berperan baik sebagai penyerap dan penyimpan karbon (carbon sink) maupun sebagai sumber emisi. Mengenai hal ini akan dijelaskan lebih lanjut di halamanhalaman berikut. 1.4 Apa dampak perubahan iklim pada kehidupan dimasa mendatang? Dampak perubahan iklim akan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan. Contohnya antara lain: 1. 2. 3. 6 Perubahan iklim dan cuaca akibat peningkatan suhu sejak tahun 1990, suhu rata-rata tahunan meningkat sekitar 0.3 derajat celcius. Akibatnya adalah peningkatan intensitas curah hujan, yang sudah Gambar Dampak perubahan iklim pada berbagai tentu meningkatkan sektor kehidupan resiko banjir secara Sumber gambar: IPCC Fourth Assessment Report 2007 signifikan; kenaikan permukaan air laut, yang akan menggenangi daerah produktif pantai. Mempengaruhi pertanian dan penghidupan pantai termasuk pertambakan ikan dan udang, produksi padi dan jagung. Ancaman terhadap keamanan pangan sebagai akibat perubahan iklim pada bidang pertanian. Pengaruh terhadap kesehatan manusia. Merebaknya penyakit yang berkembang biak lewat air dan vektor seperti malaria dan demam berdarah. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 4. 5. Menurunnya qualitas dan quantitas air. Jumlah persediaan air akan berkurang akibat musim kering berkepanjangan, yang akan berpengaruh terhadap produksi pertanian. Berkurangnya keanekaragaman hayati karena diperkirakan 20-30% jenisjenis tanaman dan hewan akan langka karena dampak kenaikan temperatur global. 1.5 Bagaimana peran hutan sebagai penyimpan dan pengemisi GRK? Emisi GRK yang terjadi di sektor kehutanan Indonesia bersumber dari deforestasi (konversi hutan untuk penggunaan lain seperti pertanian, perkebunan, pemukiman, pertambangan, prasarana wilayah) dan degradasi (penurunan kualitas hutan) akigat illegal logging, kebakaran, over cutting, perladangan berpindah dan perambahan. Sementara itu, vegetasi dan tanah menyimpan + 7.500 Gt CO2 (> 2 x CO2 di atmosfir). Hutan menyimpan ~ 4.500 CO2 (> CO2 di atmosfir). Deforestasi mengemisi sekitar 8 Gt CO2 per tahun (WRI, 2002). Apabila deforestatsi merupakan 17-18 % dari masalah (emisi GRK), maka bila kita melakukan pencegahan/pengurangan deforestasi dapat menjadi 17 – 18 % dari solusi pula -----à peluang REDD (peluang mendapatkan dana dari skema Reduce Emission from Deforestation and Forest Degradation). Jumlah karbon yang dapat diserap hutan sangat tergantung dari jenis/tipe dan karakteristik hutan. Hutan tropis dapat menyimpan karbon sekitar 40% dari hutan dunia. Tegakan di hutan tropis dapat menahan karbon sekitar 50 % lebih besar dari kapasitas tegakan di luar hutan tropis. Itulah sebabnya hutan tropis memainkan peranan penting dalam menstabilkan GRK karena kapasitasnya yang besar dalam menyimpan dan menyerap karbon, dan juga dalam melepas karbon akibat kegiatan deforestasi maupun degradasi hutan yang telah dijelaskan tadi. Karena peran hutan begitu penting dalam stabilisasi GRK dan pembangunan berkelanjutan, maka marilah kita kenali apa yang dimaksud dengan hutan dan berbagai jenis tipe hutan. 2. PENGERTIAN HUTAN Hutan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan kita. Hutan merupakan sumber kehidupan tidak hanya bagi penduduk di dalam atau di sekitar hutan tetapi bagi masyarakat luas bahkan bagi seluruh umat manusia. Menurut Undang-undang Kehutanan no. 41/1999, hutan adalah ”suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan sumberdaya alam hayati didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan”. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 7 Berdasarkan pengertian ini, hutan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut: ”Kesatuan Ekosistem, artinya suatu kumpulan yang terdiri dari sejumlah benda hidup dan benda mati yang saling berhubungan. Benda hidup disini merupakan isi hutan yang dapat berupa hewan maupun tumbuhan. Benda mati yang berupa tanah, air, dan udara menyediakan wadah serta topangan hidup bagi isi hutan. ”Hamparan lahan sumberdaya alam hayati, artinya tanah yang di atasnya terdapat tumbuhan dan hewan serta benda-benda mati. ”Dominasi Pepohonan”, artinya hutan sebagian besar terdiri dari pepohonan. Pohon-pohon ini tidak hanya menjadi isi hutan tapi juga menyediakan wadah dan topangan hidup bagi makhluk-makhluk lainnya. Kemusnahan satu jenis makhluk hidup lainnya di dalam hutan tidak secara langsung akan memusnahkan hutan, namun apabila yang musnah tersebut adalah pepohonan maka musnah pula hutan tersebut. ”Persekutuan alam lingkungan yang tidak dapat saling dipisahkan, artinya antara benda-benda yang ada di dalam hutan terjalin saling ketergantungan. Hilangnya satu jenis mahluk akan berpengaruh terhadap keberadaan makhlukmakhluk lainnya. Sebagai contoh, bila tidak ada pepohonhan maka binatangbiinatang hutan akan banyak yang mati. Di Indonesia, apakah suatu lahan itu termasuk dalam wilayah hutan ditentukan oleh pemerintah. Jadi bisa saja lahan yang tidak ada pohonnya dimasukkan dalam suatu wilayah hutan. Ini mungkin karena dulunya wilayah tersebut adalah hutan. Dalam wilayah seperti ini segala ketentuan yang berlaku untuk wilayah hutan juga diberlakukan. Di lain pihak, bisa saja ada lahan yang ditumbuhi pepohonan namun oleh pemerintah ditentukan bukan sebagai hutan, misalnya sebagai lahan pertambangan. 2.1. Jenis-jenis Hutan berdasarkan Fungsinya. Hutan dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa hal, diantaranya adalah fungsi hutan dan tempat tumbuhnya. Hutan memiliki banyak fungsi namun seringkali sebuah hutan hanya dimanfaatkan salah satu fungsinya saja. Fungsi hutan mana yang bisa dimanfaatkan harus diatur oleh pemerintah agar tidak terjadi tumpang tindih. Di Indonesia, berdasarkan fungsinya hutan dapat dikelompokkan menjadi: 8 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 2.1.1. Hutan Lindung Hutan lindung adalah kawasan hutan milik negara yang karena keadaan alamnya diperuntukkan bagi pengaturan tata air, pencegahan bencana banjir dan erosi serta pemeliharaan kesuburan tanah. Menurut Undang-undang Kehutanan no. 41 tahun 1999, di dalam kawasan hutan lindung tidak boleh dilakukan kegiatan pengambilan hasil hutan,penebangan, pemukiman, dan sebagainya yang dapat berpengaruh terhadap mutu lingkungan air di dalam dan sekitar hutan tersebut. 2.1.2. Hutan Produksi Hutan produksi adalah kawasan hutan yang diperuntukkan untuk menghasilkan hasil hutan khususnya yang berupa kayu. Namun ini bukan berarti di kawasan hutan produksi kita bisa seenaknya menebang kayu untuk mengambil hasil hutan lainnya. Kegiatan pemanfaatan hasil hutan di kawasan hutan produksi diatur oleh hukum agar tidak mengancam kelestarian hutan itu sendiri. 2.1.3. Suaka Margasatwa. Suaka margasatwa adalah kawasan hutan yang mempunyai keaneka-ragaman jenis hewan yang tinggi sehingga perlu dikelola agar tetaplestari. Di kawasan suaka margasatwa segala kegiatan yang mengancam kelestarian hewan yang dilindungi di wilayah tersebut, misalnya berburu, mengambil telur, menangkap hewan, tidak diperbolehkan. Di Indonesia terdapat cukup banyak suaka margasatwa. Yang terkenal diantaranya adalah Ujung Kulon di Propinsi Banten. 2.1.4. Taman Nasional Taman Nasional ditetapkan oleh Pemerintah pada suatu areal yang memiliki ekosistem yang masih asli. Yang dilindungi di areal Taman Nasional tidak hanya hewan atau tumbuhannya saja tetapi keseluruhan lahan. Contoh Taman Nasional Tanjung Puting, TN G.Gede-Pangrango-Halimun-Salak, TN Meru Betiri dll. 2.2. Jenis Jenis Hutan Berdasarkan Kondisi Tempat Tumbuh. Hutan terdapat di berbagai tempat di muka bumi dengan kondisi tanah, iklim, maupun ketiinggian yang berbeda. Kondisi tanah tersebut ada yang subur, asam, berpasir, berlumpur, dan sebagainya. Iklim juga ada bermacam-macam, misalnya iklim basah (curah hujan tinggi sepanjang tahun), iklim kering (curah hujan tahunan rendah), atau iklim musim (memiliki beberapa musim dengan Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 9 kondisi cuaca sangat berbeda ditiap musim). Demikian pula ketinggian, ada daerah pantai yang hampir sejajar dengan permukaan laut, ada daerah dataran rendah, pegunungan bawah, pegunungan menengah, dan pegunungan tinggi. Perbedaan ini membuat hutan-hutan tersebut memiliki ciri khas masing-masing. Pembagian hutan menurut kondisi tempat hutan itu berada menurut Whitmore (1990) dan Soerianegara (1977) dalam Barmawi dkk (2002), adalah sebagai berikut : 2.2.1. Hutan Pantai Yaitu hutan yang terdapat di daerah pantai berpasir. Jenis pohon yang biasa tumbuh di hutan seperti ini diantaranya adalah cemara laut, ketapang, serta kelapa. Hutan pantai di Indonesia banyak terdapat di Sumatera, Jawa, Bali dan Sulawesi. 2.2.2. Hutan Mangrove atau Payau Adalah hutan yang terdapat di daerah berair payau atau di muara sungai atau pantai. Biasanya hutan seperti ini terdiri dari pohon bakau sehingga sering pula disebut hutan bakau. Di pulau Kalimantan banyak sekali terdapat hutan bakau, baik di pesisir 10 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim pantainya maupun di tepi-tepi sungai. Hutan-hutan ini merupakan tempat yang bagus sekali untuk mencari ikan karena ikan-ikan senang sekali bertelur dan berkembang biak di antara akar-akar pohon bakau. 2.2.3. Hutan Rawa Hutan ini terdapat di rawa yang tergenang air terus menerus atau pasang surut. Jenis pohon yang sering tumbuh di hutan rawa misalnya pohon rambai dan aren. Di Indonesia hutan jenis ini banyak terdapat di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya. 2.2.4. Hutan Rawa Gambut Hutan ini tumbuh di daerah rawa gambut dengan kondisi tanah yang asam dan kurang subur. Jenis pohon yang sering terdapat di hutan rawa gambut adalah pohon galam, merapat dan ramin. Hutan jenis ini banyak terdapat di Sumatera dan Kalimantan. Dalam kondisi alami, lahan gambut berperan sebagai penyimpan karbon, mengumpulkan begitu banyak jumlah karbon di dalam tanah. Mereka menyimpan Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 11 karbon dalam jumlah setara dengan yang dihasilkan oleh emisi dari bahan bakar minyak bumi selama 100 tahun pada tingkat penggunaan saat ini. Sehingga dengan demikian, gambut berperan sangat penting terhadap terjadinya perubahan iklim. Pengelolaan yang tepat terhadap lahan gambut tropis sangat penting, karena kawasan ini lebih rawan terhadap kekeringan dan kebakaran 2.2.5. Hutan Hujan dataran rendah Hutan ini terdapat di tempat dengan ketinggian sampai 1000 meter dari permukaan laut dengan curah hujan yang tinggi. Hutan jenis ini merupakan jenis hutan yang paling subur dengan keanekaragaman hayati yang palling kaya. Banyak jenis pohon terdapat di sini, misalnya ulin, meranti, jabon, dan sebagainya. Di Indonesia, hutan hujan dataran rendah banyak terdapat di Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya. 2.2.6. Hutan Hujan pegunungan bawah. Hutan hujan pegurungan bawah terdapat di daerah dengan ketinggian antara 1000 sampai 2000 meter dari permukaan laut (dpl) dengan curah hujan yang tinggi. Jenis pohon yang biasa tumbuh disini misalnya kayu manis, agathis, dan manggis-manggisan. Hutan hujan pegunungan bawah banyak terdapat di Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Irian Jaya. 12 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 2.2.7. Hutan Hujan pegunungan atas. Hutan hujan pegunungan atas terdapat di daerah dengan ketinggian di atas 2000 meter dari permukaan laut dengan curah hujan yang tinggi. Hutan jenis ini banyak ditumbuhi perdu, sementara pohon-pohon yang masih bisa dijumpai biasanya berukuran lebih kecil. Hutan hujan pegunungan atas dapat ditemukan di Sumatera, Irian Jaya dan Sulawesi. 2.2.8. Hutan musim bawah. Hutan musim bawah terdapat di daerah beriklim kering atau musim dengan ketinggian di bawah 1000 meter dpl. Di Indonesia, hutan musim bawah terdapat di Jawa, Nusa Tenggara dan Sulawesi. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 13 2.2.9. Hutan Musim Tengah dan atas. Hutan musim tengah dan atas terdapat di daerah beriklim kering atau musim dengan ketinggian 1000 sampai 4100 meter dpl. Di Indonesia hutan hujan jenis ini terdapat di Nusa Tenggara, Sulawesi dan Irian Jaya. 2.2.10. Hutan Kerangas. Hutan kerangas terdapat di daerah dengan kondisi tanah berpasir, miskin unsur hara dan cendering asam. Di hutan kerangas cukup banyak tumbuh pohon dari jenis meranti, pelawan, bahkan ulin, namun biasanya berukuran agak kecil sebagai akibat kondisi tanah yang kurang subur. Hutan seperti ini terdapat di Kalimantan dan Sumatera. 2.2.11. Hutan Savana Hutan savana adalah hutan yang terdiri dari padang rumput dengan sejumlah pohon yang jarang berukuran besar. Di beberapa tempat pohon-pohon ini tumbuh cukup rapat sehingga terbentuk hutan yang cukup lebat pula. Hutan seperti ini terdapat di daerah yang kering seperti di Nusa Tenggara. 14 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 2.2.12. Hutan tepi sungai. Di sepanjang sungai-sungai besar di Kalimantan dan Sumatera juga banyak terdapat hutan yang tumbuh di tepian yang berlumpur. Di hutan seperti ini biasanya tumbuh pohon nipah, sagu atau rambai. 2.2.13. Hutan batuan ultra basa. Di beberapa bagian Kalimantan, Irian Jaya, Maluku dan Sulawesi, terdapat daerah yang tanahnya banyak mengandung batuan mineral dengan unsur logam yang cukup tinggi. Di daerah seperti ini juga banyak terdapat Hutan dengan jenis-jenis pohon diantaranya adalah kemiri dan beberapa jenis meranti. 2.2.14. Hutan tanah kapur. Di daerah dengan tanah kapur seperti di Irian Jaya, Maluku dan Sulawesi kadang-kadang juga terdapat hutan. Hutan seperti ini ditumbuhi pohon dengan keanekaragaman jenis yang lebih sedikit. Pohon jati dan pohon eboni merupakan jenis pohon yang sering terdapat di hutan kapur. Kita wajib bersyukur karena di Indonesia pada umumnya dan Kalimantan pada khususnya banyak terdapat hutan dari berbagai jenis. Dengan keanekaragaman jenis hutan tersebut berarti makin banyak pula jenis manfaat yang bisa kita ambil dari keberadaan hutan kita. Beberapa negara kurang beruntung karena hanya memiliki hutan dengan jenis yang kurang beragam. Di Australia, misalnya, yang sering kita jumpai hanyalah hutan savana. Rasa syukur tersebut harus kita wujudkan dengan menjaga kelestarian hutan kita. 3. PERANAN HUTAN BAGI PEREKONOMIAN INDONESIA Hutan sangat berperan dalam pembangunan Indonesia. Bahkan di awal-awal berdirinya negara kita, ketika kita belum memiliki industri dan pabrik seperti saat ini, hasil hutan berupa kayu merupakan penyumbang terbesar bagi pendapatan negara disamping pertambangan minyak dan gas. Dengan pendapatan inilah Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 15 kemudian pemerintah membiayai pembangunan sekolah, jalan, rumah sakit dan fasilitas lainnya yang bermanfaat bagi masyarakat. Kini meskipun Indonesia telah menghasilkan banyak barang industri untuk diekspor, namun ekspor barang-barang yang berasal dari kayu masih menjadi andalan untuk menambah pendapatan negara. Disamping itu, hutan kita juga merupakan obyek wisata yang sangat digemari oleh wisatawan mancanegara. Ribuan wisatawan setiap tahunnya datang ke Indonesia hanya untuk menikmati keindahan dan kesegaran berada di hutan tropis yang tidak ada di negara-negara mereka. Hutan juga menjadi sandaran hidup bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Pemanfaatan hutan oleh penduduk meliputi: Sebagai sumber bahan pangan. Banyak jenis hewan dan tumbuhan hutan yang dijadikan bahan makanan oleh penduduk, baik daging, telur daun, buah, maupun akarnya. (contoh2 gambar/foto). Sebagai sumber bahan untuk pembuatan rumah dan perabotan. Kayu, kulit, dan daun merupakan bahan utama untuk pembuatan rumah. Bahkan ada yang membangun rumahnya di atas pohon. Disamping itu hampir sebagian besar perabotan rumah dapat dibuat dari hasil hutan khususnya kayu. (contoh2 gambar/foto). Sebagai sumber energi. Masih banyak penduduk Indonesia, khususnya yang tinggal di dalam atau di sekitar hutan, yang menggunakan kayu bakar untuk keperluan memasak maupun mengolah hasil kebun atau pertanian mereka. (gambar: arang dan kayu bakar). Sebagai sumber bahan baku obat dan kosmetik. Sebelum meluasnya penggunaan obat kimia, bahkan sampai sekarang, banyak masyarakat kita yang menggunakan jenis-jenis tumbuhan atau hewan tertentu untuk pengobatan dan perawatan kecantikan. MANFAAT HUTAN BAGI MASYARAKAT LUAS 4.1 Manfaat Langsung Hutan Manfaat langsung hutan adalah adalah manfaat berupa hasil hutan yang bisa dimanfaatkan langsung bagi keperluan manusia. Manfaat ini mencakup: 4.1.1. Hasil Hutan Berupa Kayu. Hutan sebagai penghasil kayu merupakan hal yang lazim dipergunakan bagi 16 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Hasil hutan berupa kayu yang seharihari kita pergunakan adalah berupa kayu log, sebagai bahan bangunan, kayu bakar, bahan baku industri mebel kayu, pulp/kertas dan sebagainya. Hasil hutan berupa kayu merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, tetapi untuk mengembalikan hutan yang telah ditebang memerlukan waktu yang cukup lama, mulai dari puluhan tahun, bahka ada yang mencapai usia ratusan tahun lamanya untuk dapat ditebang kembali. 4.1.2. Hasil Hutan Bukan Kayu. Disamping kayu, hutan juga menghasilkan bahan-bahan lain yang tidak kalah bermanfaatnya bagi manusia : a. Bahan makanan dari hewan baik berupa daging, telor, bahkan sarang maupun tumbuhan. b. Bahan kosmetik dan obat-batan dari hewan atau tumbuhan yang ada di hutan. c. Bahan pakaian, misalnya kokon ulat sutra yang berkembang biak di hutan. d. Bahan perabotan, misalnya rotan. Dll. 4.2 Manfaat Tidak Langsung Hutan Disamping memiliki manfaat langsung dari bahan-bahan yang dihasilkannya baik itu berasal dari tumbuhan atau hewan, hutan juga memiliki sejumlah manfaat lainnya. Manfaat-manfaat ini berasal dari keberadaan hutan itu sendiri yang memberi pengaruh positif terhadap manusia maupun alam secara keseluruhan. Manfaat dari keberadaan hutan dapat dinikmati dengan tanpa mengambil sesuatu apapun, baik berupa hewan, tumbuhan, atau bahan-bahan lain dari hutan tersebut. Oleh karena itu manfaat-manfaat tersebut disebut manfaat tidak langsung dari hutan. 4.2.1 Hutan sebagai penjaga lingkungan. Lingkungan hidup kita terdiri atas: (1) Lingkungan Daratan, (2) Lingkungan air, dan (3) Lingkungan Udara. Hutan hanya merupakan sebagian dari lingkungan daratan, namun keberadaannya berpengaruh tidak hanya terhadap apa yang ada di darat namun juga segala yang ada di air dan di udara. Pengaruh-pengaruh tersebut timbul karena hutan memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut : a. b. Pengendali air. Pengatur suhu. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 17 c. Penghasil Udara bersih. d. Sebagai tempat tumbuh yang baik bagi hewan dan tumbuhan. e. Mencegah pengikisan tanah. Mari kita bahas satu persatu fungsi-fungsi tersebut. a. Pengendali air. Air adalah sumber kehidupan. Semua makhluk hidup yang ada di bumi, termasuk manusia, tidak akan dapat hidup tanpa air. Dan para ahli sependapat bahwa karena adanya airlah maka di bumi ini ada kehidupan, sementara di planet lain yang tidak ada airnya tidak terdapat sedikitpun mahluk hidup. Air tidak akan pernah habis, namun dia hanya akan berpindah tempat atau bentuk. Hutan, dalam hal ini berperan sebagai pengatur tata air. Caranya: Pada waktu hujan, air yang jatuh dilantai hutan tidak langsung mengalir ke sungai karena ditahan oleh akar-akar tanaman. Pada saat yang bersamaan, lantai hutan akan menyerap dan menahan sebagian dari air tersebut. Air ini akan masuk kedalam tanah dan keluar disuatu titik menjadi sumber air yang tidak akan kering bahkan dimusim kemarau. Dilain pihak, dengan tertahannya air yang jatuh di lantai hutan, maka jumlah air yang mengalir ke sungai atau ke tempat yang lebih rendah akan berkurang baik Gambar: siklus air. 18 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim jumlah maupun kecepatannya. Dengan demikian banjir dan tanah longsor yang seringkali disebabkan oleh aliran air yang berlebihan dapat dicegah. Air hujan yang jatuh ke tanah lalu langsung mengalir ke sungai akan membawa butiran-butiran tanah. Disatu pihak hal ini akan mengurangi kesuburan tanah, sementara disaat yang bersamaan juga menyebabkan air sungai menjadi keruh. Air yang keruh kurang layak untuk diperguanakan entah untuk memasak, minum, ataupun mencuci. Sungai yang airnya keruh biasanya juga kurang banyak ikannya. Disamping itu, bila tidak ada pohon-pohonan hutan yang menahan laju air, maka air dalam jumlah besar akan langsung mengalir ketempat yang lebih rendah. Bila air ini tidak dapat lagi ditampung oleh sungai-sungai atau danau maka terjadilah banjir. Kegiatan Manusia yang mempengaruhi Air Air tidak akan habis meskipun terus digunakan. Hal ini dikarenakan air mengalami proses pendauran. Daur air akan terus berlangsung selama ada sinar matahari. Kegiatan manusia sangat berpengaruh pada daur air. Pada Gambar berikut terlihat bahwa hutan menjadi gundul akibat penebangan liar. Apa yang akan terjadi, pada daur air jika hal itu di biarkan? Gambar Hutan menjadi gundul akibat penebangn secara liar. Penebangan hutan secara berlebihan dapat menyebakan tanah kering dan tandus. Air sulit meresap pada tanah tandus. Jika hujan terjadi, air hujan langsung mengalir ke tempat yang lebih rendah. Air ini terus mengalir hingga sampai ke laut. Air yang mengalir akan mengikis tanah lapisan atas bahkan dapat menyebabkan bencana banjir Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 19 b. Hutan sebagai pengatur suhu. Panas matahari yang jatuh ke permukaan bumi sebagian dilepaskan kembali ke udara di atas permukaan tersebut. artinya makin banyak panas yang jatuh maka makin banyak pula panas yang dilepaskan sehingga suhu udara di tempat tersebut pun menjadi bertambah pula. Namun di tempat yang hutannya masih bagus, panas matahari yang jatuh ke permukaan bumi sebagian akan diserap oleh daun-daun pohon yang menutupi permukaan tersebut sehingga panas pun menjadi berkurang. Karena panas yang diterima permukaan memang sudah berkurang, maka panas yang dilepaskan kembalipun menjadi lebih sedikit. Sebagai akibatnya suhu udara di tempat tersebut akan terkendali sehingga lebih nyaman bagi makhluk hidup. c. Hutan sebagai Penghasil udara bersih. Hutan juga berfungsi sebagai penghasil udara segar. Sebagian besar tumbuhan mengalami proses pembakaran zat-zat makanan yang disebut fotosintesis. Dalam proses ini tumbuhan menyerap zat karbondioksida (CO2) dan melepaskan zat oksigen (O2). 20 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim Karbondioksida adalah zat yang dihasilkan oleh pernapasan hewan dan manusia serta oleh proses pembakaran, entah di pabrik, dapur, mobil, dan sebagainya. Zat ini memiliki sifat menahan panas. Di tempat yang udaranya banyak mengandung karbondioksida, panas yang dilepaskan oleh permukaan bumi di tempat tersebut akan ditahan oleh zat tersebut untuk kemudian dipantulkan kembali ke permukaan bumi. Sebagai akibatnya, suhu di permukaan bumi akan meningkat. Oksigen adalah zat yang diperlukan hewan dan manusia untuk bernafas. Tanpa oksigen kita semua akan mati. Padahal setiap kali bernafas kita menghirup sekian banyak oksigen dan mengubahnya menjadi karbondioksida. Bayangkan di dunia ini sekarang hidup sekitar 2 milyar manusia, ditambah hewan yang jumlah keseluruhannya mungkin beberapa kali lipat jumlah manusia, dan mereka semua menghirup oksigen! Untunglah di dunia ini masih banyak tumbuhan sehingga pasokan oksigen selalu tersedia. Tetapi apa yang terjadi kalau tumbuh-tumbuhan tersebut semakin berkurang? Udara yang segar adalah udara yang banyak mengandung oksigen dan sedikit sekali mengandung bahan-bahan yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Udara semacam inilah yang dihasilkan tumbuh-tumbuhan yang ada di hutan. 5 .PERANAN HUTAN DALAM MENCEGAH ATAU PENYESUAIAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM. Seperti telah dijelaskan pada halaman sebelumnya, peran hutan sangat penting sebagai pengemisi GRK dan juga sekaligus sebagai penyerap dan penyimpan karbon. Hutan akan melepaskan GRK (terutama CO2) ke atmosfir ketika ditebang. Dengan menanam kembali tegakan dan mengembalikan keadaan hutan, maka karbon yang ada di udara akan diikat kembali ke dalam tanah dan tegakan melalui kegiatan fotosintesis. Karena pentingnya peran hutan dalam memitigasi perubahan iklim, maka tindakan-tindakan seperti praktek pengelolaan hutan produksi lestari, pengelolaan kawasan konservasi dan lindung, pembatasan konversi hutan, pemberantasan illegal logging dan penanggulangan kebakaran hutan akan mengurangi emisi CO2 dan meningkatkan resiliensi ekosistem hutan terhadap perubahan iklim. Rehabilitasi lahan dan hutan terdegradasi, pengembangan hutan tanaman industri dan perkebunan di lahan-lahan yang terdegradasi, serta kegiatan restorasi hutan akan meningkatkan kapasitas hutan dalam menyerap dan menyimpan carbon, yang pada akhirnya juga akan meningkatkan resiliensi ekosistem hutan terhdap perubahan iklim. Dengan demikian, pengelolaan hutan lestari berkontribusi positif terhadap upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 21 Pengelolaan Hutan Lestari merupakan kerangka kegiatan yang efektif untuk mengurangi dampak dan penyesuaian terhadap perubahan iklim. Bagan berikut ini dapat menjelaskan hubungan antara kegiatan pengelolaan hutan lestari sebagai bagian dari upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. MITIGASI ADAPTASI SFM SFM Konservasi Karbon Penyimpa­nan Karbon REED Restorasi Hutan Pemanenan hasil hutan kayu Reboisasi dan penghijauan Penanaman pohon-pohon di lahan pertanian Substitusi Substitusi produk kayu untuk baja, beton, plastik, almunium Bioenergi berbasis kayu Kemampuan hutam dan pohon, meliputi keaneka­ ragaman genetik yang tinggi Pemilihan Sistim silvikultur dan pendekatan pengelolaan Kapasitas masyarakat yang bergantung pada hutan Bagaimana Cara mengukur Karbon Hutan Mengukur jumlah karbon tersimpan di hutan cukup mudah dan dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri dari waktu ke waktu. Ada tiga tahap pengukuran yaitu : 1. 2. 3. Biomassa semua tanaman dan nekromasa yang ada pada suatu lahan Mengukur konsentrasi Karbon tanaman di laboratorium Menghitung kandungan karbon yang disimpan pada suatu lahan 22 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim BIOMAS ATAS PERMUKAAN Biomass di atas permukaan Necromas Understrorey Litter KARBON TANAH BIOMASS BAWAH PERMUKAAN Metode pengukuran karbon berdasarkan pada pengukuran perubahan dalam stok karbon.Tersedia sejumlah buku sumber dan panduan pengukuran karbon. Pengukuran pool karbon dengan menerapkan teknik-teknik pengukuran hutan (forest inventory), sampling tanah dan survey ekologi Apakah semua sumber karbon perlu diukur Tergantung pada: • Ketersediaan metode, ketelitian yang diinginkan dan biaya untuk mengukur dan memonitor • Tujuan pengukuran/ penaksiran • Laju perubahan Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 23 BAB 2 Kebijakan Internasional dan National Tentang Perubahan Iklim dan REDD Ruang Lingkup dan Sasaran dari Materi Dalam materi ini akan disampaikan mengenai kebijakan internasional terkait dengan Climate Change, kelembagaan yang berperan di dalam pengambilan keputusan, hasil-hasil pertemuan internasional yang berpengaruh terhadap kebijakan kehutanan Indonesia dalam penanggulangan perubahan iklim, internalisasi dalam kebijakan nasional dan dampaknya terhadap kerjasama internasional di bidang kehutanan. Sebagai contoh akan disampaikan kerjasama bilateral, mulitilateral dan juga inisiatif daerah untuk menjalin kerjasama di bidang perubahan iklim dan REDD baik yang dilakukan dengan skema inisiatif Voluntary Carbon Market. Topik dan Materi Bahasan: 1. 2. 3. 4. 5. Organisasi internasional yang menangani perubahan iklim dan mekanisme kerja organisasi. Hasil-hasil pertemuan internacional tentang Perubahan Iklim dan REDD. Internalisasi hasil-hasil pertemuan internasional kedalam kebijakan nasional Bentuk kerjasama internasional baik bilateral maupun multilateral. Inisiatif Daerah/Kerjasama Daerah dalam rangka memanfaatkan pasar karbon voluntary. Tujuan Instruksional Khusus Setelah mengikuti paparan ini, dapat: 1. Memahami peran organisasi internasional yang terkait dengan perubahan iklim dan kelembagaannya (UNFCCC, COP, SBSTA, Ratifikasi , dll) serta negara/aktor utamanya 2. Memahami kebijakan internasional terkait dengan Climate Change (REDD, LULUCF, KYOTO PROTOKOL dll) 3. Memahami kaitan kebijakan internasional yang berpengaruh terhadap hutan dan kehutanan Indonesia terkait dengan perubahan iklim. 4. Memahami internalisasi dalam kebijakan nasional 24 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 5. Memahami jenis dan proses kerjasama internasional di bidang kehutanan (bilateral dan multilateral etc.) 1. UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE/UNFCCC (Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim) 1.1 Latar Belakang Pada bulan Juni tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brasil - Pada Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development/UNCED), telah disepakati yang bersifat mengikat secara hukum (legally binding) tentang Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim/ UNFCCC yang mulai berlaku sejak 21 Maret 1994. Pada KTT Bumi tersebut UNFCCC telah ditandatangani oleh 154 wakil negara. Sejas tahun 1995, para pihak telah bertemu setiap tahun melalui Konferensi Para Pihak (Conference on Parties, COP) guna menerapkan dan mengimplementasikan kerangka kerja tersebut. UNFCCC bertujuan: Menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) antropogenik untuk menghindari ‘ancaman antropogonik yang berbahaya’ terhadap system iklim. Gas yang dikendalikan adalah metan, nitrogen oksida, dan karbon dioksida. Tujuan akhir Konvensi adalah: Mencapai stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir pada tingkat tertentu yang menghindari ’ancaman antropogenik yang berbahaya bagi sistem iklim 1.2 Kelembagaan Kelembagaan yang mendukung proses negosiasi dibawah payung UNFCCC adalah Conference of Parties (COP), Konferensi Para Pihak yang merupakan badan tertinggi, atau yang memiliki wewenang tertinggi membuat keputusan sekaligus merupakan asosiasi Para Pihak yang meratifikasi Konvensi. COP bertanggungjawab untuk menjaga konsistensi upaya internasional dalam mencapai tujuan utama konvensi, dengan demikian COP memiliki kesempatan untuk meninjau pengaruh dari tindakan yang dilakukan oleh Para Pihak dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan Konvensi. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 25 COP diselenggarakan setahun sekali, kecuali dalam kondisi tertentu jika para pihak menghendaki lain. Tempat penyelenggaraan COP didasarkan atas tawaran yang disampaikan oleh calon tuan rumah, jika tidak ada penawaran, secara otomatis COP akan diselenggarakan di secretarist UNFCCC di Bonn, Jerman. Kelembagaan di dalam COP adalah sebagai berikut: Presiden COP Posisi Presiden COP secara resmi bergiliran diantara negara di lima wilayah regional PBB, dan biasanya adalah Menteri Lingkungan Hidup di negara tersebut. Pemilikannya dilakukan secara aklamasi setelah pembukaan sesi COP. Perannya memfasilitasi pekerjaan COP dan mempromosikan persetujuan diantara para pihak. Presiden COP harus bersifat neutral. Biro COP Biro COP memandu pekerjaan COP dan badan di bawahnya. Biro COP tidak hanya bekerja pada satu sesi COP tapi juga pada peride antar sesi. Anggota Biro COP 11 orang , Biro COP dipilih untuk satu tahun, tetapi anggotanya dapat dipilih ulang untuk kedua kalinya. Subsiadiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) SBSTA merupakan penghubung antara penilaian informasi ilmiah, teknis dan teknologi yang disediakan oleh badan internasional yang kompeten, dan keperluan COP yang berorientasi kebijakan. Sumber-sumber yang dijadikan acuan COP diantaranya Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Subsiadiary Body for Implementation (SBI) SBI menyusun rekomendasi untuk membantu COP dalam hal mereview dan menilai implementasi konvensi yang efektif. Peran lainnya adalah memberikan saran kepada COP atas mekanisme keuangan yang dioperasikan oleh Global Environment Facility (GEF), administrasi dan masalah lain terkait anggaran. Ad Hoc Group Ad hoc adalah badan tambahan yang dibentuk sesuai kebutuhan dan bersifat sementara. Limited membership Bodies Badan khusus dengan keanggotaan terbatas juga dibentuk untuk membahas hal-hal khusus dan bersifat sementara diantaranya: 26 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim Expert Group on Technology Transfer The Consultative Group of Experts on National Communications from Parties not included in Annex I to the Convention (Consultative Group of Experts, or CGE) The Least Developed Countries Expert Group (LEG) Sekretariat Konvensi Sekretariat Konvensi berkedudukan di Bonn, Jerman dengan tugas utama yaitu: • Mengatur penyelenggaraan dan memberikan layanan dalam sesi di COP, pertemuan-pertemuan badan pembantu dan Biro, • Mengkompilasi dan meneruskan laporan yang diterima. - Membentuk para pihak khususnya negara berkembang dalam hal implementasi komitmennya. - Dukungan bagi negosiasi - Koordinasi dengan Global Environment Facility, United Nations Development Programme/UNDP, United Nations Environment Programme/UNEP dan Bank Dunia, IPCC> - Mempersiapkan dokumen resmi yang diperlukan COP dan badan pembantu - Mengkompilasi data inventarisasi GRK dan mengatur peninjauan Komunikasi Nasional negara-negara Annex 1. - Melakukan koordinasi review secara mendalam tentang komunikasi nasional pihak Annex I. 1.3 Negara-negara dan aktor utama Negara atau aktor utama dan kepentingannya. Dalam Konvensi Perubahan Iklim terdapat 2 blok besar yang terdiri atas Negara maju (developed atau industrialized countries) dan Negara berkembang (developing countries). Kedua kelompok ini merupakan kelompok Negara-negara yang memiliki hak suara dalam konvensi. Di samping itu terdapat pula organisasi non pemerintah (non government organization) dan lembaga international (international organization) yang tidak memiliki hak suara dalam setiap pertemuan tertutup konvensi tetapi dapat melakukan proses interaksi dengan setiap Negara baik secara individu maupun kelompok melalui kesempatan-kesempatan di luar acara formal (side events atau special events). a. Pihak dalam Konvensi b. Kelompok Pihak di bawah konvensi - Pihak Annex I - Pihak AnnexII - Pihak yang tidak termasuk ke dalam Annex 1 (Non-Annex Parties Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 27 - Negara Transisi Ekonomi - Negara-negara terbelakang (Least Developed Countries/LDCs) c. Kelompok Regional d. Kelompok-kelompok Negosiasi politik - Group 77 + China - Kelompok Africa - Kelompok Negara-negara Pulau Kecil (AOSIS) - Uni Eropa - Kelompok Payung - Environment Integrity Group (EIG) - OPEC - Negara-negara pengamat e. Organisasi Non Pemerintah f. Organisasi Internasional 2. HASIL COP Beberapa catatan penting dalam setiap persidangan COP dihasilkan dokumen yang merupakan keputusan penting yang memberikan arah perkembangan COP mulai dari COP 1 tahun 1995 hingga COP 12 tahun 2006. Perkembangan COP dan hasilnya sebagai berikut: a. COP 1 tahun 1995 Berlin Mandate Catatan penting adalah: • Fase uji coba kegiatan joint implementation (JI) yang dikenal Activities Jointly Implementation (AJI). • Komitment negara maju untuk mengurangi emisi mulai dibicarakan secara subsantial. • Tidak ada tuntutan komitmen bagi negara berkembang dalam protokol. • Koalisi G77 (minus OPEC) b. COP 2 tahun 1996 Geneva Declaration Deklarasi geneva antara lain: • Pengakuan dan penerimaan para menteri dan ketua delegasi atas Laporan IPCC sebagai laporan ilmiah yang dapat diandalkan sebagai pijakan untuk mengambil tindakan global, nasional dan lokal, khususnya oleh negara-negara Annex 1 dalam rangka menurunkan emisi Gas Rumah Kaca. • Ajakan untuk mengembangkan protokol dan instrumen legal lainnya berdasarkan temuan ilmiah. • Instruksi kepada para pihak untuk mempercepat negosiasi terhadap teks protokol yang secara hukum akan mengikat. 28 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim COP 3 COP 3 di Kyoto merupakan salah satu perhelatan paling besar dan istimewa yang melibatkan diplomasi lingkungan internasional yang canggih. Konferensi ini diikuti 2200 delegasi dari 58 negara anggota Konvensi, enam negara pengamat, 4000 LSM dan organisasi internasional dan 3700 perwakilan media. Presiden COP 3 adalah Menteri Badan Lingkungan Jepang, Hiroshi Ohki. Hasil penting dari COP 3 adalah diadopsinya Protokol Kyoto pada tanggal Desember 1997 setelah melalui perdebatan dan negoisasi yang panjang dan melelahkan. Kepemimpinan Dubes Estrada dari Argentina diakui sebagai faktor penting dapat diadopsinya Protokol Kyoto, sehingga dapat dianggap sebagai salah satu pahlawan COP3. Kyoto Protokol terdiri dari 28 pasal dengan pasal-pasal yang penting diantaranya: • Isu-isu metodologi • Pencapaian Komitmen bersama • Clean Development Mechanism/CDM atau Mekanisme Pembangunan Bersih (pasal 2) • Mekanisme keuangan (pasal 11) • Perdagangan emisi • GRK dan sektor/kategori sumbernya (Annex A) • Komitmen pembatasan dan pengurangan emisi tiap pihak. Dalam Protokol Kyoto, pihak Annex I Parties sepakat untuk menurunkan emisi enam gas rumah kaca secara keseluruhan paling tidak sebanyak 5% di bawah level tahun 1990 antara tahun 2008 dan 2012. Protokol Kyoto membangun mekanisme perdagangan emisi dan “joint implementation” (JI) diantara Negara maju dan mendorong proyek pengurangan emisi bersama antara negara maju dan negara berkembang yang disebut “clean development mechanism” (CDM) atau mekanisme pembangunan bersih. Protokol ini akan berlaku 90 hari setelah diratifikasi oleh 55 negara, termasuk Annex I yang mewakili paling tidak 55% persen dari emisi CO2 total oleh Annex I pada tahun 1990 COP 4 COP 4 diselenggarakan di Buenos Aires pada tahun 1998, merupakan COP yang pertama dilakukan di negara berkembang. Presiden COP adalah Maria Julia Alzogaray, Menteri Sumber Daya Alam dan Pembangunan Berkelanjutan Argentina. Tujuan utama COP 4 adalah untuk merancang tindak lanjut implementasi Protokol Kyoto, antara lain dalam alih teknologi dan mekanisme keuangan. Pada COP 4 ini Indonesia menjadi ketua dari G77+China. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 29 Elemen-elemen teknis yang dibahas dalam COP 4 dapat dikategorikan sebagai berikut: • “Land Use, Land Use Change and Forestry” (LULUCF) • riset dan observasi • metodologi serta pengembangan dan alih teknologi. • Penekanan utama pembahasan adalah tentang definisi hutan, aforestasi, reforestasi dan deforestasi. Dalam COP 4 ini negara berkembang mencatat banyak “kemenangan” terutama dalam hal yang terkait dengan alih teknologi dan mekanisme keuangan. Dalam COP ini telah berhasil diletakkan landasan bagi COP-COP berikutnya dan telah berhasil mengadopsi Buenos Aires Plan of Action (BAPA). Pada COP ini juga diperkenalkan istilah Voluntary Commitment oleh tuan rumah yang tidak terlalu didukung oleh negara-negara Annex 2. Kelak istilah tersebut lebih popular dan lebih diterima oleh negara Annex 2 sebagai mekanisme fleksibel. COP 5 COP 5 dilaksanakan pada tahun 2000 di Bonn. Negoisasi di fokuskan pada hal-hal teknis, beberapa hal diantaranya, antara lain : • Penyusunan Guideline untuk persiapan komunikasi nasional bagi negaranegara yang tergabung Annex 1, • Capacity building • Alih teknologi • Mekanisme fleksibel COP 6 COP yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda pada tanggal 3 – 24 Nopember 2000 ini tidak menghasilkan apapun. Penyebab utamanya adalah kompleksnya masalah yang dibahas dan konsultasi yang tidak transparan menyebabkan Presiden COP 6 JP Pronk (Menteri Perencanaan Tata Ruang dan Lingkungan Belanda) kurang popular di kalangan negara berkembang. Sehingga penyelesaian COP 6 di Den Haag di tunda dan dilanjutkan di Bonn pada tanggal 6 – 27 Juli 200. Di Bonn inilah akhirnya dihasilkan sebuah kesepakatan politik yang kemudian dikenal dengan nama “Bonn Agreement”. Agenda utama COP 6 adalah menyelesaikan rencana detail pengoperasian Protokol Kyoto yang diuraikan dalam BAPA (COP 4). Keberhasilan COP 6 akan diukur dari sampai berapa jauh pertemuan ini mampu mempersiapkan jalan bagi dioperasionalkannya Protokol Kyoto sedini mungkin. Isu-isu yang dibahas antara lain mekanisme keuangan dan pedoman bagi GEF, mekanisme fleksibel, LULUCF. 30 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim Elemen utama yang tertuang di dalam Bonn Agreement: • mekanisme pendanaan dalam skema konvensi dan dalam skema Protokol Kyoto; • meningkatkan dana GEF, • membentuk dana baru perubahan iklim, • mengefektifkan penyaluran dana bilateral dan multilateral • membentuk dana adaptasi dari CDM • dampak negatif perubahan iklim COP7 Pada COP 7 diadopsi Marrakech Accords yang menghasilkan target terhadap pelaksanaan Protokol yaitu sekitar Agustus/September 2002 bersamaan dengan pertemuan World Summit on Sustainable Development (WSSD) yang dilaksanakan di Johannesburg, South Africa. Beberapa keputusan penting dalam Sidang ini antara lain: • Regulasi operasional tentang jual beli emisi internasional antar pihak dalam Protokol dan bagi CDM serta implementasi bersama, • Regime yang secara garis besar mengatur konsekuensi akan kegagalan dalam pemenuhan target emisi tetapi ditunda bagi Negara yang menyetujui protokol sebelum diberlakukannya konsekuensi tersebut secara legally binding, • Prosedur akunting bagi mekanisme yang fleksibel. COP8 COP 8 diselenggarakan di New Delhi, India yang berlangsung dari 23 Oktober sampai dengan 1 November 2002. Hal-hal penting yang dibahas dan diputuskan diantaranya adalah: • panduan yang lebih baik bagi komunikasi nasional Negara-negara nonAnnex I; • berbagai isu tentang mekanisme finansial; • “good practices” dalam kebijakan dan prosedur (policies and measures); • Penelitian dan pengamatan yang sistematik; • Kerjasama dengan organisasi internasional terkait; dan • Isu-isu terkait metodologi Agenda yang tak terselesaikan: Protokol Kyoto belum efektif karena jumlah penurunan emisi dari negara-negara Annex yang meratifikasi protokol belum mencapai persyaratan 55 persen. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 31 Hasil dari COP 8 adalah Deklarasi New Delhi tentang Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan (Delhi Declaration on Climate Change and Sustainable Development) yang butir-butir pentingnya adalah sebagai berikut: • menekankan pembangunan dan penghapusan kemiskinan sebagai prioritas di negara berkembang, • memahami prinsip common but differentiated responsibilities, prioritas dan kondisi pembangunan nasional dalam implementasi komitmen UNFCCC COP 9 COP 9 dilaksanakan di Milan pada tanggal 1 – 13 Desember 2003. Kesepakatan yang diadopsi ber kaitan dengan kelembagaan dan prosedur implementasi Kyoto Protocol UNFCCC antara lain berhubungan dengan: - - - Definisi dan modalities bagi dimasukkannya kegiatan afforestasi dan reforestasi ke dalam CDM; Panduan “good practice” bagi penggunaan lahan, perubahan lahan dan kehutanan (guidance on land use, land-use change and forestry (LULUCF)); Dana Khusus Perubahan Iklim (Special Climate Change Fund (SCCF)); dan Dana bagi Negara-negara terbelakang (Least Developed Countries /LDC Fund). COP 10 COP 10 dilaksanakan di Buenos Aires, Argentina pada tanggal 6 -7 Desember 2004. Selama konferensi berbagai isu penting yang dibahas dan diputuskan diantaranya adalah: transfer teknologi; isu terkait penggunaan lahan, perubahan lahan dan kehutanan (biasa dikenal dengan land use, land-use change and forestry/LULUCF); mekanisme finansial UNFCCC; komunikasi nasional Annex I; pengembangan kapasitas/capacity building; pengaruh buruk dan adaptasi; dan Artikel 6 UNFCCC (pendidikan, pelatihan dan kepedulian publik). Sedangkan komitmen yang dihasilkan disebut sebagai Buenos Aires Programme of Work on Adaptation and Response Measures, yang hasilnya terbagi menjadi empat: • pengaruh buruk perubahan iklim; • impact of the implementation of response measures; • pekerjaan multilateral lanjutan terkait aktivitas di bawah keputusan 5/CP.7; dan • program kerja SBSTA tentang dampak, kerentanan, dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Namun demikian, beberapa isu tetap tidak terselesaikan, diantaranya tentang dana untuk Negara-negara terbelakang/ The Least Developed Countries (LDC) Fund, Dana Khusus Perubahan Iklim/ Special Climate Change Fund (SCCF) dan 32 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim Protocol Article 2.3 (pengaruh buruk dari kebijakan dan prosedur/adverse effects of policies and measures). COP 11 COP 11 dan Meeting of the Parties to Protokol Kyoto (COP/MOP 1) berlangsung di Montreal, Kanada, dari tanggal 28 November sampai dengan tanggal 10 Desember 2005. Pada COP/MOP , para pihak mendiskusikan dan mengambil keputusan tentang rincian operasional yang belum terselesaikan pada Protokol Kyoto, termasuk paket kesepakatan yang dikenal dengan nama “Marrakesh Accords.” Kesepakatan ini berisi panduan bagaimana Protokol berfungsi, seperti yang terkait dengan mekanisme fleksibel yang ditujukan untuk membantu para pihak memenuhi target pengurangan emisi dengan cara yang paling murah dan memenuhi persyaratan. COP/MOP juga mengadopsi keputusan tentang proses mendiskusikan komitmen pasca 2012 termasuk keputusan untuk membentuk badan subsider (subsidiary body) baru yaitu Ad Hoc Working Group on Further Commitments for Annex I parties under the Kyoto Protocol (AWG). COP membahas isu-isu terkait: - pembangunan kapasitas, - pengembangan dan transfer teknologi, - pengaruh buruk perubahan iklim terhadap Negara-negara berkembang dan Negara-negara terbelakang, dan - berbagai isu terkait financial dan penganggaran termasuk panduan bagi GEF yang berfungsi sebagai mekanisme financial UNFCCC. Setelah pembahasan yang panjang, COP sepakat tentang proses mempertimbangkan aksi di masa datang dalam UNFCCC, yang antara lain berupa workshop yang membahas masalah ini sampai dengan COP 13. Pada COP 11 beberapa pihak mendiskusikan proposal Papua New Guinea untuk memberikan insentif bagi Negara berkembang yang dapat menghindari deforestasi. Inilah cikal bakal dari mekanisme yang saat ini ramai dibahas, yaitu Reducing Emissions from Deforestation in Developing Countries (REDD). Pada COP ini pula disepakati Montreal Action Plan yang merupakan kesepakatan yang bertujuan untuk memperpanjang usia Protokol Kyoto setelah berakhirnya setelah tahun 2012 dan menegosiasikan pengurangan lebih jauh emisi gas rumah kaca. COP 12 Pada tanggal 6-17 November 2006, satu seri pertemuan perubahan iklim berlangsung di kantor PBB di Nairobi, Kenya. Konferensi Perubahan Iklim - Nairobi Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 33 2006 berisi COP 12 UNFCCC dan konferensi kedua COP yang berfungsi sebagai Meeting of the Parties to the Kyoto Protocol (COP/MOP 2). Pada COP/MOP 2, para pihak membahas isu terkait mekanisme fleksibel pada Protocol Kyoto, khususnya CDM dan Joint Implementation. Berbagai isu yang dibahas diantaranya terkait dengan: • mekanisme finansial, • komunikasi nasional, • transfer teknologi, • pembangunan kapasitas, dan • pengaruh buruk perubahan iklim terhadap negara berkembang dan negara terbelakang serta response measures dan kebutuhan khusus negara terbelakang (Article 4.8 and 4.9). Fokus utama baik COP/MOP 12 dan COP 2 adalah aksi jangka panjang terhadap perubahan iklim dan pengembangan kerangka kerja aksi setelah “periode komitmen pertama” Protokol Kyoto berakhir pada 2012. Pendekatan “multi-track” terhadap isu ini yang disepakati pada COP11 and COP/MOP 1 dilanjutkan di Nairobi. Isu tentang pengurangan deforestasi di Negara berkembang (reducing deforestation in developing countries) pertama kali disampaikan pada sesi pleno COP pada tanggal 7 November dan dibahas pada contact group meetings, konsultasi informal dan pertemuan kelompok drafting, diketuai oleh Audun Rosland (Norway) dan Hernán Carlino (Argentina). Para pihak segera menyetujui diadakannya workshop ke dua tentang insentif positif untuk mengurangi emisi dari deforestasi sebelum SBSTA 26. COP 13 COP 13 diselenggarakan di Bali pada tanggal 3 sampai 15 Desember 2007. Acara ini diikuti oleh 10,800 peserta, termasuk diantaranya lebih dari 3500 delegasi pemerintah, 5800 perwakilan dari badan-badan PBB, organisasi antara pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat, serta sekitar 1500 anggota media yang terakreditasi. Konferensi ini juga berfungsi sebagai Meeting of the Parties to the Kyoto Protocol ke tiga (COP/MOP3). Presiden COP 13 adalah Rachmat Witoelar, Menteri Lingkungn Hidup Republik Indonesia. Topik utama yang dibahas dalam COP 13 adalah kerjasama jangka panjang dan periode pasca 2012, ketika periode komitmen pertama Protokol Kyoto berakhir. 34 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim Hal penting yang dihasilkan dalam COP 13 adalah: Bali Action Plan, yang diantaranya berisi: • REDD sebagai salah satu aksi mitigasi nasional/internasional yang perlu ditingkatkan • Jadwal pertemuan the Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention pada tahun 2008 Keputusan COP-13 tentang REDD : • Keputusan penting yang disepakati dalam COP 13 adalah tentang pendekatan kebijakan dan positive incentive untuk REDD, yang terkait dengan: • Pilot/demonstration activities, • Capacity building & technology transfer, • Indicative guidance untuk Pilot/demonstration activities. Indicative guidance untuk REDD pilot/demonstration activities merupakan panduan umum dalam pelaksanaan demonstration activities di negara berkembang yang berisi: 1. Demonstration activities harus mendapat persetujuan host Party/ Pemerintah, 2. Penghitungan pengurangan /peningkatan emisi harus sesuai hasil, terukur, tranparan, dapat diverifikasi, dan konsisten sepanjang waktu, 3. Pelaporan menggunakan panduan pelaporan/reporting guidelines (Good Practice Guidance for Land Use, Land-Use Change and Forestry) sebagai dasar penghitungan dan monitoring emisi, 4. Pengurangan emisi dari national demonstration activities dievaluasi berdasar emisi deforestasi dan degradasi nasional, 5. Subnational demonstration activities dievaluasi dalam batas kegiatan tersebut, termasuk evaluasi terhadap pengalihan emisi (displacement of emission atau kebocoran/leakage ) sebagai dampak dari kegiatan dimaksud, 6. Pengurangan /peningkatan emisi demonstration activity didasarkan pada emisi di masa lampau, dengan memperhatikan kondisi masing-masing negara, 7. Pemakaian pendekatan subnational harus merupakan suatu langkah menuju pendekatan nasional reference levels/baseline dan estimasi pengurangan emisi, 8. Demonstration activities harus konsisten dengan provisi di bawah United Nations Forum on Forests (UNFF), United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD), dan United Nations Convention on Biological Diversity (UNCBD), 9. Pengalaman dari implementasi demonstration activities dilaporkan dan tersedia melalui Web platform; 10. Pelaporan demonstration activities berisi tentang deskripsi kegiatan, efektivitas, dan informasi lain yang relevan, 11. Dianjurkan menggunakan independent expert review. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 35 Reducing Emisions from degradasi dan deforestasi (REDD) Reducing Emisions from degradasi dan deforestasi merupakan isu terbaru dalam pembahasan isu perubahan iklim. Indonesia telah berpartisipasi aktif dalam proses pembahasan dalam pertemuan para pihak COP sejak isu ini dimasukkan dalam agenda COP yaitu COP-11 di Montreal tahun 2005. Pada saat ini ada lima opsi kebijakan internasional terkait dengan REDD, yaitu: 1. Sistem kredit karbon sebagai kelanjutan dari Protokol Kyoto (compliance market),yang pelaksanaannya berbasis proyek atau wilayah geografis (nasional atau sub-nasional) 2. Sistem kredit karbon REDD yang diatur dalam protokol tersendiri di bawah UNFCCC 3. Mekanisme kompensasi REDD yang berbasis pendanaan bukan pasar (sama seperti GEF) dan 4. Sistem pendanaan berbasis pasar sukarela (voluntary market) 5. Sistem kredit karbon REDD yang mengikuti kerangka UNFCCC dengan model pelaporan yang sudah diadop oleh negara Annex 1. Dari semua ini, opsi yang dianggap paling bermanfaat bagi negara berkembang ialah opsi REDD yang berbasis pasar dengan aturan yang mengikat (compliance rules) sebagai kelanjutan dari Protokol Kyoto atau melalui protokol tersendiri di bawah UNFCCC yang pelaksanaannya tidak berbasis proyek tetapi pada tingkat wilayah geoprafis tertentu (nationl atau sub-nasional). Pertimbangannya ialah opsi ini akan menjamin pasar REDD yang tinggi karena kredit yang dihasilkan dapat digunakan oleh negara pemberi kompensasi untuk memenuhi dari target penurunan emisi dan masalah kebocoran karbon dapat diatasi. Sudah barang tentu besar pasar REDD melalui opsi ini akan sangat ditentukan oleh target penurunan emisi yang ditetapkan bagi negara maju setelah/ pasca Kyoto, jumlah negara yang ikut menetapkan target penurunan emisi dan kecendrungan besar penurunan emisi dari pelaksanaan proyek CDM dari sektor energi. Besar pendapatan negara dari kegiatan REDD akan ditentukan oleh besarnya volume penurunan emisi yang dicapai dan dijual oleh negara tersebut serta kemampuannya untuk menjamin pembeli bahwa penurunan emisi yang terjadi bersifat nyata (additional) dan memberikan dampak positif terhadap kondisi sosial dan lingkungan. Hal ini sangat terkait pada tingkat kemampuan pengelolaan hutan oleh daerah dan nasional sehingga dapat menjaminan dan membangun kepercayaan negara pembeli terhadap negara penjual kredit tentang kualitas dari kredit yang REDD yang akan dihasilkan. 36 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim Contoh-contoh keberhasilan tentang pelaksanaan pengelolaan hutan secara lestari perlu diungkapkan secara internasional untuk membangun kepercayaan internasional terhadap kemampuan Indonesia untuk melaksanakan REDD. Apapun keputusan yang dipilih berkaitan dengan REDD, efektifitas dan keberlanjutan dari pelaksanaan REDD baik di tingkat nasional maupun internasional akan sangat bergantung pada apakah sistem pembayaran dapat dilakukan secara adil dan transparan kepada yang berhak atau pihak yang terkait langsung dalam melaksanakan upaya perlindungan dan pencegahan kerusakan hutan dan lahan gambut. Dana kompensasi juga harus cukup tinggi dan dapat mendorong keberlanjutan upaya REDD. Isu penting berkaitan dengan REDD ialah sejauh mana kemampuan dari sistem pemerintahan yang ada dapat menjamin pelaksanaan REDD memiliki dampak sosial yang positif, bukan justru hanya memberikan manfaat bagi pihak-pihak tertenetu yang selama ini memanfaatkan keuntungan dari kegiatan eksploitasi hutan dengan memanfaatkan ketidakberdayaan masyarakat. COP 14 Pertemuan para pihak ke 14 mengenai perubahan iklim akan dilaksnakan pada tanggal 1-2 Desember 2008 di Poznan, Polandia. Pertemuan tersebut bermaksud memberikan desempatan dan menggambarkan kemajuan-kemajuan bersama yang diperoleh selama tahun 2008 dan akan melanjutkan diskusi serta negosiasi mengenai perubahan iklim selanjutnya pada tahun 2009 di Copenhagen, Denmark. Harapan-harapan yang ingin dicapai oleh para pihak dalam pertemuan di Poznan hádala sebagai berikut: Menyepakati rencana aksi dan program kerja untuk tahun terakhir negosiasi setelah satu tahun pembahasan-pembahasan yang lengkap dan luas mengenai isu-isu penting yang berhubungan dengan komitmen-komitmen, tindakantindakan dan kerjasama yang akan datang, Membuat kemajuan-kemajuan yang nyata pada sejumlah isu yang sedang berjalan yang membutuhkan implementasi lebih jauh pada masa datang dari konvensi dan Kyoto Protocol, Memajukan pemahaman dan kesamaan pandangan pada pembagian visi (shared vision) bagi rejim perubahan iklim baru, Memperkuat momentum dan komitmen pada proses dan batas waktu yang ditetapkan. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 37 Isu penting yang akan dibahas pada COP 14 adalah mengenai capacity building pada negara berkembang, REDD, transfer technology dan adaptasi. Pertemuanpertemuan pendahuluan sebelum pelaksanaan COP 14 telah dilaksanakan, yaitu di Bangkok, Bonn dan Accra. Pertemuan di Bangkok Pertemuan Bangkok Climate Change Talks dilaksanakan pada tanggal 31 Maret – 4 April 2008 di Bangkok Thailand dan diikuti oleh 162 negara. Bangkok Climate Change Talks merupakan sesi pertama dalam Ad Hoc Working Group on Long Term Cooperative Action (AWG-LCA 1). Pada pertemuan tersebut, kesepakatan yang dicapai adalah sebuah program kerja dimana struktur negosiasi mengenai kesepakatan internasional perubahan iklim pada jangka panjang akan diletakan dalam kerangka pertemuan COP 15 di Kopenhagen Denmark. Selain itu dalam pertemuan tersebut juga memberikan tanda-tanda yang jelas mengenai penggunaan mekanisme pasar, seperti Mekanisme Pembangunan Bersih Protokol Kyoto (CDM), untuk dilanjutkan dan diperbaiki oleh negara maju agar mencapai target-target pengurangan emisi. Isu penting yang dibahas dalam pertemuan Bangkok adalah mengenai shared vision dan peningkatan aksi mengenai mitigasi, adaptasi, teknologi dan pendanaannya. Pertemuan di Bonn Pertemuan Bonn Climate Change Talks dilaksanakan pada tanggal 2 – 12 Juni 2008 di Bonn Jerman. Pertemuan ini merupakan sesi ke-2 dari Ad Hoc Working Group on Long Term Cooperative Action (AWG-LCA 2) yang diluncurkan di Bali. Dalam pertemuan tersebut negosiasi perubahan iklim berkisar pada Kyoto Protocol’s Market-Based Mechanism dan carbon sinks. SBI telah mempersiapkan review ke dua mengenai Protokol Kyoto dibawah artikel 9 yang akan dilaksanakan pada bulan Desember 2009, sedangkan SBSTA juga telah membuat beberapa kemajuan mengenai metodologi untuk pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD). Secara umum, pertemuan tersebut telah berhasil mengadopsi 30 kesimpulan dan empat draft keputusan dalam pertemuan selanjutnya. SBSTA telah mengundang para pihak untuk mengirimkan pandangan mereka mengenai isu-isu metodologi yang menonjol, yaitu: penilaian terhadap perubahan tutupan tajuk hutan dan hubungannya dengan cadangan karbon, serta GRK, perubahan-perubahan tambahan dalam SFM, demonstrasi pengurangan emisi dari deforestasi (REDD), tingkat referensi emisi (REL), pendugaan dan demonstrasi REDD serta kriteria untuk mengevaluasinya. Negara-negara yang diundang untuk mengirimkan pandangannya terdiri atas Canada, Kolombia, Kosta Rica, Gabon mewakili kepentingan Kamerun, Republik Afrika Tengah, 38 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim Kongo, Guinea Equitorial, Gabon dan Republik Demokratik Kongo, India, Indonesia, Jepang, Nepal, Paraguay mewakili kepentingan Argentina, Honduras, Panama, Paraguay dan Peru, Slovenia mewakili Uni Eropa dan negara-negara anggotanya, Sri Lanka, Swiss, Amerika Serikat dan Vanuatu. Dalam pertemuan tersebut juga ditekankan tanggungjawab negara-negara industri untuk menunjukkan komitmennya pada target-target pengurangan emisi baru dan komitmen jangka menengah mereka dalam penurunan emisi sekitar 25% - 40% pada tahun 2020. Pertemuan di Accra Pertemuan mengenai climate change talks berikutnya sebelum diadakannya COP 14 di Poznan Polandia dilaksanakan pada tanggal 21 – 27 Agustus 2008 di Accra, Ghana. Pertemuan tersebut terdiri atas dua pertemuan paralel, yaitu Third Session Ad Hoc Working Group on Long-Term Cooperative Action Under Convention (AWG-LCA 3) dan The First Part of Sixth Session Ad Hoc Working Group on Further Commitments For Annex I Parties Under The Kyoto Protocol (AWG-KP 6-1). Dalam AWG-LCA ke-3 ini juga diselenggarakan dua sesi workshop mengenai “Cooperative Sectoral Approaches and Sector-Specific Actions, in order to enhance implementation of Article 4, paragraph 1 c, of the Convension” dan “Policy Approaches and Positive Incentives on issues relating to reducing emissions from deforestation and forest degradation in developing countries; and the role of conservation, sustainable management of forest and enhancement of forest carbon stocks in developing countries”. Mengenai sectoral approaches, negara-negara berkembang yang tergabung dalam G77 + Cina memiliki pandangan bahwa cooperative sectoral approaches hanya berkaitan dalam konteks enhancement implementation artikel 4.1.c dari Konvensi dengan lingkup promote and cooperate in the development and diffusion, including transfer of technologies khususnya untuk sektor-sektor yang relevan, misalnya energi, transportasi, industri, pertanian, kehutanan dan pengelolaan limbah. Negara-negara berkembang juga menekankan bahwa tidak akan menggunakan pendekatan tersebut dalam mencapai target nasional pengurangan emisinya. Isu-isu utama yang terkait dengan cooperative sectoral approaches tersebut terdiri atas beberapa hal berikut: 1. Dapat digunakan sebagai climate change instrument dalam pemenuhan tujuan Konvensi, 2. Diterapkannya prinsip Common but Differentiated Responsibility (CBDR) dan RC 3. Digunakan dalam konteks pembangunan dengan mempertimbangkan national circumstances Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 39 4. Merupakan climate change instrument pada pasar karbon global dan skema perdagangan emisi 5. Tidak akan diterapkan sebagai uniform international antar negara. Konsep sectoral approach ini pertama kali dikenalkan oleh Jepang sejak pertemuan Bangkok pada bulan April 2008 dan Bonn pada bulan Juni 2008 yang lalu. Jepang menegaskan bahwa konsep tersebut tidak akan digunakan dalam mencapai target nasional penurunan emisi para pihak, tidak akan membatasi (barriers) perdagangan nasional, dan tetap berpegangan pada prinsip CBDR dan RC. Namun selanjutnya, delegasi Jepang mengharapkan agar konsep tersebut dapat dikembangkan menjadi status internasional technology benchmark dari aktivitas sectoral approach. Pada pertemuan Informal Working Group on Interim Financing of REDD di Oslo bulan Mei tahun 2009 tercermin keinginan beberapa negara a.l. Brazil, Papua Nugini, Equador, dan Costarica untuk memunculkan REDD plus (memasukkan unsur konservasi, carbon enhanchemen dan SFM) kedalam skema REDD. Oleh karena itu Indonesia perlu menentukan posisi apakah mekanisme REDD ini hanya akan dibatasi untuk reforestasi dan degradasi hutan saja, atau akan memasukkan semuanya ke dalam wadah REDD. Penentuan posisi ini harus segera dikeluarkan mengingat hasil pertemuan WG IFR ini akan dituangkan dalam sebuah joint statement menjelang COP 15 di Copenhagen pada bulan Desember 2009. Dalam AWG-LCA ke-3 ini telah terbentuk 3 contact groups, yaitu: 1. Enhanced action on adaptation and its means of implementation, 2. Enhanced action on mitigation and its means of implementation, 3. Delivering of finance and technology including the consideration of institutional arrangement dan satu informal consultant untuk membahas work program 2009. UNCCD United Nations Convention to Combat Desertification Latar Belakang Dalam pertemuan di Rio de Janeiro tahun 1992 yang dikenal dengan pertemuan Bumi (Rio Earth Summit), United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) membahas bagaimana menanggulangi degradasi lahan dan akhirnya merekomendasikan pembentukan konvensi penanggulangan degradasi lahan. Konvensi terbentuk pada tanggal 26 Desember 1996 setelah diratifikasi oleh 50 negara dengan nama The United Nations Convention to Combat 40 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim Desertification in those Countries Experiencing Serious Drought and/or Desertification, Particularly in Africa/UNCCD1. Saat ini telah 193 negara meratifikasi konvensi tersebut. Pada awalnya, UNCCD dikhususkan bagi negara Afrika, namun pada perkembangannya tidak terbatas hanya pada negara Afrika, karena lahan kering dan permasalahan yang ditimbulkan akibat kerusakannya tidak hanya di Afrika saja bahkan di negara maju seperti Eropa dengan terjadinya migrasi besar-besaran. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut pada tanggal 28 Agustus 1998 dengan Keputusan Presiden No. 135/19982 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Memerangi Penggurunan di Negara-Negara yang Mengalami Kekeringan dan/atau Penggurunan yang Serius, terutama di Afrika. Misi pokok UNCCD adalah pendekatan dan teknik baru yang koordinatif melalui pelaksanaan program aksi, penelitian termasuk bantuan internasional untuk menanggulangi degradasi lahan. Tujuannya adalah menanggulangi degradasi lahan dan mengurangi dampak kekeringan melalui tindakan efektif pada semua tingkatan yang didukung oleh kerjasama internasional dan pengaturan kemitraan dalam suatu kerangka pendekatan yang integral dan konsisten dengan agenda 21, dengan suatu pemikiran untuk tercapainya pembangunan berkelanjutan di kawasan yang terkena masalah degradasi lahan Untuk mencapai tujuan ini diperlukan strategi-strategi secara terpadu jangka panjang yang secara simultan terfokus di kawasan yang terkena masalah, pada peningkatan produktivitas tanah, rehabilitasi, konservasi dan pengelolaan tanah dan air secara berkelanjutan, yang mengarah pada perbaikan kondisi kehidupan, terutama pada tingkat masyarakat. Merujuk pada Agenda 21 hasil KTT Bumi yang merupakan blueprint untuk aksi pembangunan berkelanjutan global pada abad 21, Bab 12 tentang Managing Fragile Ecosystems: Combating Desertification and Drought, diputuskan bahwa lingkup program National Action Programme/NAP (Program Aksi Nasional) yang relevan untuk Indonesia yaitu: 1. Mengintensifkan kegiatan konservasi tanah dan air; 2. Mengembangkan persiapan dan skema penanggulangan kekeringan; 3. Mendorong dan mengembangkan partisipasi masyarakat lokal serta pendidikan lingkungan dalam rangka pengendalian degradasi lahan dan dampak kekeringan. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 41 Convention On Biological Diversity – UNCBD Kesadaran masyarakat internasional terhadap perlindungan Keanekaragaman Hayati (KH) ditandai dengan pembentukan UN Convention on Biological Diversity (UN-CBD) pada Konferensi PBB mengenai Lingkungan dan Pembangunan”, Rio de Janeiro, Brazil, 1992. UNCBD mulai resmi berlaku sejak 29 Januari 1993, dan saat ini jumlah penanda tangan adalah 191 pihak. Indonesia telah meratifikasi UNCBD melalui UU No. 5 Tahun 1994 Tujuan dari Konvensi ini adalah : a. Mempromosikan konservasi Biodiversitas (Biodiversities), b. Pemanfaatan yang berkelanjutan dari komponen Biodiveristas, dan c. Sharing yang adil dan equitable dari keuntungan yang timbul akibat penggunaan genetic material. Pasal-pasal krusial dalam UNCBD : Pasal 6 : Tindakan Umum Bagi Konservasi dan Pemanfaatan secara Berkelanjutan Setiap pihak dengan kondisi dan kemampuan khususnya wajib mengembangkan Strategi Nasional dan Rencana Aksi Pasal 7 : Identifikasi dan Pemantauan Setiap pihak wajib mengidentifikasi dan memantau komponenkomponen keanekaragaman hayati, mengidentifikasi prosesproses dan kategori-kategori kegiatan yang berdampak merugikan terhadap keanekaragaman hayati Pasal 8 : Konservasi In-situ Konservasi keanekaragaman hayati in situ Pasal 10 : Pemanfaatan secara berkelanjutan berkelanjutan komponenkomponen Keanekaragaman hayati Pasal 11-14 : Upaya untuk meningkatkan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan Dimana upaya-upaya dimaksud adalah tindakan insentif, penelitian dan pelatihan, pendidikan dan kesadaran masyarakat, pengkajian dampak dan pengurangan dampak yang merugikan. Pasal 15-21 : Benefit sharing ;Mencakup akses pada sumber daya genetis, akses pada teknologi dan alih teknologi, pertukaran informasi, kerjasama teknis dan ilmiah, penangan bioteknologi dan pembagian keuntungan, sumber dana, mekanisme pendanaan. 42 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim Program Kerja Konvensi COP telah menyusun program kerja yang dibagi menjadi tujuh thematic programmes, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. Keanekaragaman hayati Pesisir dan Laut, Keanekaragaman hayati Pertanian, Keanekaragaman hayati hutan, Keanekaragaman hayati perairan darat, dan Keanekaragaman hayati kawasan kering dan sub humid. COP juga telah mengidentifikasi 17 cross-cutting issues (isu lintas tema dan lintas sektor) yang diperlukan untuk mengimplementasikan ketentuan-ketentuan substantive sesuai pasal Konvensi termasuk didalamnya adalah isu kawasan lindung (Protected Areas). 3. Internalisasi di Indonesia 3.1 Ratifikasi Dalam rangka internalisasi pada kebijakan pemerintah Indonesia maka ditunjuk Focal Point UNCCC di Indonesia adalah Kementrian Lingkungan Hidup. Indonesia aktif merespon isu perubahan iklim sejak pertama kali diadopsinya UNFCCC pada tahun 1992, yaitu dengan diterbitkannya peraturan-peraturan mulai dari tingkat UU sampai dengan peraturan Menteri seperti: 1. Indonesia meratifikasi UNFCCC pada tahun 1994 dengan diundangkannya UU No.6/1994 tentang Perubahan Iklim. (Lembaran Negara Republik Indonesia Republik Indonesia Tahun 1994 nomor 42, tambahan lembaran negara RI nomor 3557) 2. Undang undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara RI tahun 1997 nomor 68, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3699) 3. Protokol Kyoto disepakati pada tahun 1997, dan sudah diratifikasi pada tahun 2004 dengan UU No.17 tahun 2004 tentang Ratifikasi Protokol Kyoto. ( Lembaran Negara RI tahun 2004 nomor 72, Tambahan lembaran Negara RI nomor 4403) 4. Dan Menteri Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.14/Menhut-II/2004 tentang Tata Cara Aforestasi dan Reforestasi dalam kerangka Mekanisme Pembangunan Bersih sebagai sarana untuk memfasiltasi CDM sector kehutanan di Indonesia. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 43 5. Peraturan Presiden No.46 tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim, 6. Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.13/menhut-II/2009 tanggal 12 Januari 2009 tentang Pembentukan kelompok Kerja perubahan Iklim lingkup Departemen Kehutanan. 7. Penerbitan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.30/Menhut-II/2009 tanggal 1 Mei 2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD). 8. Penerbitan Peraturan Menteri Kehutanan no. P.36/Menhut-II/2009 tanggal 22 Mei 2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon Pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung. 3.2 Manfaat bagi Indonesia Indonesia sebagai negara kepulauan dengan luas hutan yang cukup luas memiliki posisi yang strategis dalam konvensi perubahan iklim. Beberapa manfaat yang dapat diambil oleh Indonesia dalam kaitannya dengan perubahan iklim, yaitu: 1. Mempromosikan penggunaan hutan untuk meningkatkan penyerapan karbon. 2. Membangun kebijakan untuk mendorong penggunaan energi terbarukan dan efisiensi energi. 3. Mendorong pemerintah daerah untuk bekerja sama dengan organisasi sejenis di tingkat internasional dalam kaitannya dengan perubahan iklim. 4. Mendorong pembangunan hutan rakyat dan pengelolaan hutan lestari. 4. Kerjasama Internasional Indonesia menganggap penting bahwa negara berkembang perlu segera mempersiapkan diri terhadap kemungkinan bencana terkait iklim (badai tropis, banjir, kekeringan, longsor, kesehatan dll) yang akan makin sering terjadi dengan resiko yang makin besar akibat terjadinya perubahan iklim. Negara berkembang akan menerima dampak terbesar meskipun kontribusinya terhadap emisi gas rumah kaca (GHGs) paling kecil. Negara berkembang dengan sumberdayanya sendiri tidak akan mampu melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Mitigasi adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk mencegah atau mengurangi laju perubahan iklim, sedangkan adaptasi adalah kegiatan dalam rangka antisipasi menghadapi perubahan iklim. Peran hutan dalam stabilisasi iklim dan sebagai sistem penyangga kehidupan belum memperoleh penilaian yang memadai dari sisi finansial baik di dalam 44 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim mekanisme yang tersedia di bawah konvensi perubahan iklim maupun dalam sistem pasar terhadap produk dan jasa hutan. Contoh a) A/R CDM : prosedur dan metodologinya kompleks, b) sertifikasi terhadap produk hutan belum memberikan insentif yang memadai antara SFM dan non SFM. Bagi negara produsen sertifikasi produk hutan lebih merupakan non-tariff barrier daripada insentif pasar. Diperlukan kebijakan internasional seluas mungkin untuk mendorong negara berkembang melakukan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan untuk memberikan kontribusi yang significant terhadap stabilisasi GHGs di atmosir. Selain itu, upaya pengurangan emisi dari deforestasi juga memerlukan pendekatan internasional yang tidak akan mengancam pembangunan ekonomi negara yang bersangkutan dan kehidupan masyarakat lokalnya. Selain itu, upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi perlu insentif yang setara dengan opportunity costs dari penggunaan lahan/hutan tersebut. Saat ini sudah ada inisiatif pelaksanaan proyek REDD sebelum kesepakatan internasional berkaitan dengan post Kyoto dicapai. Diantaranya ialah: • Pilot proyek yang dilaksanakan oleh negara berkembang sebelum mekanisme REDD diterima secara formal. • Organisasi atau sektor swasta yang independent yang melakukan kegiatan REDD melalui pasar karbon sukarela Jenis-jenis kerjasama yang saat ini telah terlaksana adalah: 4.1 Kerjasama dengan Pemerintah Jerman 1. Berdasarakan hasil G to G negosiasi di Bonn, Jerman tanggal 1-2 Oktober 2007, kegiatan kehutanan termasuk pada bidang kerjasama prioritas baru pemerintah Jerman, yaitu bidang Perubahan Iklim dengan tema utama (mainstreaming)-nya kehutanan. Terdapat 5 Kegiatan baru pada bidang ini yang meliputi 3 usulan Dep. Kehutanan dan 2 usulan dari KLH. Porsi bantuan kehutanan disepakati sejumlah 26 Juta Euro (20 juta bantuan keuangan dan 6 juta bantuan teknik) dari 35 juta Euro atau sekitar 74 % dari bantuan bidang perubahan iklim. 2. Kerjasama Indonesia dengan Jerman baru yang sudah commited atau sudah ada dalam summary record G to G negotiation yang telah ditandatangani kedua belah pihak pada tanggal 1-2 Oktober 2007 di Bonn Jerman disepakati pendanaan kehutanan sejumlah 26 juta Euro terbagi dalam skema kerjasama keuangan (Financial Cooperation / FC) dan kerjasama bantuan teknik (Technical cooperation/ TC). Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 45 3. Skema FC untuk kegiatan forestry and climate change `Reducing emissions from forest areas` dengan tujuan demonstration activities REDD mendapat alokasi dana 20 juta Euro, sedangkan skema TC berupa bantuan teknik adalah untuk kegiatan Penyempurnaan Rencana Strategi Kehutanan terkait REDD dengan alokasi dana 3,5 juta Euro dan dukungan Implementasi Heart of Borneo untuk pemerintah Indonesia dengan alokasi dana 2,5 juta Euro. 4.2 Kerjasama dengan Pemerintah Inggris 1. Arrangement antara Pemerintah Inggris dengan Departemen Kehutanan ‘Cooperation to Support Forest Governance and Multistakeholders Forestry Programme’ telah ditandatangani pada tanggal 11 Oktober 2007 oleh Sekretaris Jenderal. 2. Tujuan kerjasama ini adalah dukungan terhadap proses dan implementasi Voluntary Partnership Agreement (VPA), Forest Governance dan Multistakeholders Forestry Programme (MFP), ditambah dengan penjajakan peluang kerjasama dibidang Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD). 3. Jumlah dana awal sebesar 5 Juta Poundsterling, dengan jangka waktu 3 (tiga) tahun (2007 – 2010), sedangkan pelaksana kegiatan secara administrasi akan dilakukan oleh Service Provider. 4.3 Kerjasama dengan Pemerintah Australia 1. Dibawah Program Global Initiative Forests and Climate (GIFC) Pemerintah Australia telah menandatangani Subsiadiary Arrangement dengan pemerintah Indonesia pada tanggal 3 oktober 2007 di Jakarta. 2. Jumlah dana sebesar 40 juta US $ yang terdiri dari Indonesia Australisa Forest carbon partnership (IAFCP) sejumlah 10 juta US $ untuk initial support dan 30 juta US $ untuk Kalimantan Forest Climate partnership. 3. Jangka waktu 5 (lima ) tahun (2007 – 2012). 4.4 Kerjasama dengan Pemerintah Korea 1. Memorandum of Understanding antara pemerintah Korea dan pemerintah Indonesia di bidang Climate Change telah ditandatangani pada tanggal 25 Juli 2007. 2. Kerjasama di bidang Adaptation and Mitigation of climate Change in Forestry Through Afforestation Clean Development mechanism (A/R CDM) and Other related mechanism. 3. Jumlah dana sebesar 5 juta US $ dengan jangka waktu 5 tahun (2009-2012. 46 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim INISIATIF DAERAH/ KERJASAMA DAERAH DENGAN SKEMA VOLUNTARY CARBON MARKET (Pasar Karbon Sukarela). Skema pencegahan Deforestasi di Aceh Skema perdagangan karbon yang pertama di Indonesia akan dibangun di Aceh. Diumumkan di awal Pebruari, skema tersebut bertujuan untuk melindungi 750.000 Ha Hutan di Aceh Utara dari penebangan hutan dan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit. Sekitar 130.000 orang tinggal di dalam dan di sekitar Ekosistem Ulu Masen. Proyek merupakan kerjasama antara Pemerintah Provinsi Aceh, Organisasi Konservasi Flora dan Fauna International dan sebuah perusahaan Australia, Carbon Conservation. Proyek tersebut telah mendapat sumber dana senilai US $ 9 juta dari Bank AS, Merril Lynch. Skema dimaksud telah mendapat sertifikasi dari Climate, Community and Biodiversity Alliance (CCBA)-proyek pertama yang akan dijamin oleh sebuah badan yang berkedudukan di AS yang mencakup sejumlah Ornop Konservasi dan Perusahaan seperti Intel dan Weyerhauser. Proyek itu akan menjual kredit karbon ke pasar karbon sukarela dan akan mendapat keuntungan dari pasar karbon baru pasca 2012 yang kemungkinan akan disetujui dalam konferensi UNFCCC di Kopenhagen tahun depan. Carbon Conservation (CC) telah membantu meyakinkan Gubernur Aceh dan Papua akan masa depan yang cerah dari pasar karbon hutan. Tahun lalu, Gubernur Aceh mengumumkan penundaan (Moratorium) logging untuk hutan-hutan Aceh yang semakin kritis. Salah satu pelanggan CC di pasar karbon adalah perusahaan pertambangan internasional Rio Tinto yang berkedudukan di Inggris. Proyek Ulu Masen berencana untuk mengurangi penebangan hutan sebesar 85% dan untuk menggalang kredit karbon senilai US $ 16,5 juta. Proyek diharapkan dapat menggalang US $ 432 juta selama 30 tahun mendatang. Penduduk desa setempat yang dapat membuktikan bahwa hutannya tidak ditebang diperkirakan akan mendapat US $ 26 juta untuk lima tahun pertama. Kawasan proyek akan dipantau oleh pengawas kehutanan dan melalui citra satelit. FFI mengklaim bahwa para pemangku kepentingan akan diajak berkonsultansi dalam rancangan dan implementasi proyek, termasuk para pemimpin komunitas tradisional (mukim). Catatan rancangan proyek menyatakan bahwa seluruh keuntungan akan dibagikan secara adil diantara seluruh pemangku kepentingan, termasuk komunitas yang hidupnya bergantung pada hutan dan mereka yang mempunyai hak adat atas tanah hutan. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 47 Skema pencegahan Deforestasi di Papua Sementara itu di Papua, pada bulan Mei 2008, Gubernur Papua Barnabas Suebu menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan Emerald Planet serta mitranya dari Australia, New Forest Asset Management (NFAM), untuk menjajaki potensi perdagangan karbon di Papua. NFAM mengatakan bahwa pihaknya akan menanam investasi US $ 10 juta untuk mengadakan penelitian di Mimika, Mamberamo dan Merauke dan jumlah cadangan karbon di tiga kabupaten tersebut akan diumumkan pada akhir tahun. Suebu mengatakan bahwa dari 13,5 juta hektar hutan Papua, 50% adalah untuk konservasi, 20% untuk produksi dan 30% untuk diubah antara lain menjadi perkebunan dan pertanian. Meskipun demikian, penebangan hutan yang merusak dan penyelundupan kayu masih merajalela. (Endnotes) 1 http://www.unccd.int/ 2 http://www.unmit.org/legal/IndonesianLaw/keppres/k1998135.htm 48 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim BAB 3 Mekanisme dan Peluang dalam Perdagangan Karbon Hutan Ruang lingkup dan sasaran materi: Dalam materi ini disampaikan penjelasan mengenai pengertian perdagangan karbon, pendanaan karbon, offset karbon, pasar karbon (pasar regulatory dan pasar sukarela), perkembangan pasar karbon khususnya yang terkait dengan sektor hutan, cara memasarkan kredit karbón, proses dan persiapan dalam perdagangan karbon, persyaratan proyek dan prosedur dalam memanfaatkan pasar karbon, peluang masyarakat dalam memanfaatkan perdagangan karbon. Dengan mengetahui apa dan bagaimana mekanisme perdagangan karbon, diharapkan masyarakat luas dapat memahami tentang perdagangan karbon dan memanfaatkan peluang dalam perdagangan dan pendanaan karbon hutan. Topik dan materi bahasan: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Apa yang dimaksud dengan pendanaan dan perdagangan karbon. Offset karbon dan perannya dalam perdagangan karbon Pasar karbon apa saja yang telah ada? (Pasar regulatory dan Pasar sukarela) Bagaimana perkembangan pasar karbon regulatory Bagaimana perkembangan pasar karbon sukarela Bagaimana memasarkan kredit carbón dari offset hutan Bagaimana proses dan persiapan dalam perdagangan karbon di pasar sukarela 8. Bagaimana persyaratan proyek dan prosedur dalam pasar karbon sukarela 9. Peran masyarakat dalam memanfaatkan perdagangan karbon khususnya pasar karbon sukarela. Manfaat setelah mengikuti sosialisasi materi ini dapat: 1. Memahami pendanaan dan perdagangan karbon 2. Memahami dan menjelaskan jenis-jenis pasar karbon yang ada yaitu pasar regulatory dan pasar voluntary 3. Memahami proses persiapan dalam memasuki pasar karbon 4. Memahami persyaratan proyek dan prosedur dalam pasar karbon voluntary 5. Memahami peluang yang dapat dimanfaatkan masyarakat dalam perdagangan karbon Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 49 1. Penjelasan umum perdagangan karbon hutan Perubahan iklim telah memberi dampak antara lain pada perubahan pola hujan, perubahan pola tanam, naiknya permukaan air laut, penyebaran penyakit, peningkatan suhu bumi. Berbagai konvensi yang terkait dengan perubahan iklim telah digelar untuk membahas isu pengurangan emisi gas rumah kaca. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah pemberian insentif untuk Negara pemilik hutan, termasuk masyarakat tentunya, melalui pendanaan karbon dan perdagangan karbon. Berdasarkan berbagai data dan informasi dapat disimpulkan bahwa penyebab utama dari emisi karbon adalah pembakaran fossil fuel pada sektor energi, transportasi, tambang sebesar + 80%, sedangkan emisi karbon akibat deforestasi dan degradasi hutan sebesar + 20%. Hutan yang ditumbuhi pepohonan dapat berperan sebagai “obat” untuk mengurangi emisi karbon (CO2) karena selama pohon tumbuh akan menyerap karbon dan sekitar + 50% dari biomasa pohon adalah stok karbon yang dapat disimpan selamanya sepanjang tidak terbakar atau lapuk (terdekompisisi). Memelihara bumi adalah tanggung jawab bersama semua Negara dan masyarakat di dunia, namun harus berdasarkan prinsip “common but differentiated responsibilities”, yaitu semua negara memiliki tanggung jawab yang sama, namun secara khusus dibedakan sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena itu, negara yang mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih, apalagi yang telah menyumbangkan emisi karbon dalam jumlah besar, tentunya harus memberikan kontribusi yang lebih besar dalam pemeliharaan dan penyelamatan bumi. Negara-negara tersebut melalui kesepakatan global untuk mengatasi perubahan iklim, yaitu Protokol Kyoto, telah setuju untuk memenuhi kewajiban yang telah diatur dalam penanganan perubahan iklim dengan memberikan dananya diantaranya melalui pendanaan karbon. Perdagangan karbon merupakan bagian dari mekanisme penyelamatan bumi dari ancaman pemanasan global. Kandungan karbon mesti tetap terjaga di perut bumi agar tak menguap ke angkasa, mendidihkan suhu alam semesta, melelehkan es di kutub. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan untuk mengetahui kontribusi emisi karbon dari masing-masing sektor, dapat diketahui bahwa emisi dari sektor kehutanan adalah sebesar 17-18%. Selengkapnya dijelaskan di Bab I dan Bab IV. 1.1 Apa yang dimaksud dengan pasar karbon? Pasar karbon adalah sebuah pasar yang menjual sertifikasi penurunan emisi karbon yang didasari oleh komitmen moral dan formal untuk mengurangi emisi, terikat oleh sebuah kredibilitas sertifikasi. Biaya transaksi bisa menjadi tinggi, karena sertifikasi memerlukan penilaian penurunan emisi karbon. 50 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim Pasar karbon dihasilkan dari sistem “cap-and-trade”. Pemerintah membangun system “cap-and-trade” untuk mencapai pengurangan polutan dengan biaya yang rendah untuk masyarakat daripada peraturan yang berupa perintah dan pengawasan selama ini. Pasar karbon didasarkan pada premis bahwa perusahaan tertentu akan dapat mengurangi GRK dengan harga yang lebih rendah dibadingkan yang lain. Jika perusahaan tersebut dapat menjual kelebihan pengurangan emisi kepada perusahaan lain, semua biaya yang terkait dengan system ini akan menjadi lebih rendah. Bagian pertama dari system ini adalah apa yang disebut dengan “cap” yang merupakan batas emisi karbon yang diperkenankan untuk suatu entitas. Pemerintah akan menentukan batas jumlah GRK yang diemisi setiap tahun. Batas ini biasanya menurun setiap tahun berikutnya. Pemerintah kemudian menetapkan jumlah “cap” yang diperkenankan tiap tahun yang berupa kuota. Pada setiap jumlah yang diperkenankan tersebut memperbolehkan suatu entitas untuk mengemisi satu ton CO2 pada tahun tersebut. Entitas yang mampu mengemisi karbon kurang dari kuota ”cap”nya dapat menjual kelebihan kuota tersebut kepada emiter yang memerlukan ekstra karbon untuk memenuhi kuotanya. Lembaga Pemerintah yang akan bertindak sebagai bankir (pelaksana) lelang emisi tersebut (bahkan kadang-kadang diberikan cuma-cuma). Sumber-sumber emisi utama, seperti pabrik dan industri besar, serta industri perminyakan yang menghasilkan BBM dan panas, harus mencatat emisi yang dikeluarkan setiap tahun berjalan. Pada akhir tahun, mereka harus melaporkan kepada Pemerintah satu satuan jumlah emisi untuk tiap satu ton emisi yang dihasilkan. Selanjutnya ada yang bagian yang disebut dengan perdagangan pasar. Perusahaan akan memilih cara yang paling efektif untuk memenuhi persyaratan dalam pengurangan emisinya. Pada umumnya, mereka akan mengurangi emisi sampai dengan titik dimana dianggap sebagai cara yang paling efektif untuk membeli kuota emisi yang diperkenankan daripada melakukan pengurangan emisi selanjutnya. Selanjutnya, mereka akan membeli kuota dari perusahaan lain yang dapat mengurangi emisinya dibawah persayaratan yang ditentukan. Harga karbon dari kelebihan kuota tersebut akan ditentukan oleh permintaan dan penawaran di pasar. 1.2 Apa perbedaan antara pendanaan dan perdagangan karbon? Pendanaan karbon berkaitan dengan kewajiban negara-negara Annex 1 untuk menyediakan pendanaan sebagai kompensasi dalam upaya penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang diatur dalam Protokol Kyoto. Kompensasi ini diberikan melalui komitmen negara-negara tersebut untuk menyalurkan pendanaan dalam program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim baik secara bilateral maupun unilateral. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 51 Beberapa komitmen negara-negara Annex 1 dalam pendanaan karbon hutan dituangkan dalam bentuk pengelolaan dana melalui : • World Bank’s Forest Carbon Partnership Facility, didukung oleh beberapa donor international, dengan anggaran yang diusulkan sebesar US$300 juta dimana sebesar US$170 million telah dialokasikan. • World Bank’s Strategic Climate Fund, dengan komitmen pembiayaan dari kelompok Negara-negara G8 dan mencakup Forest Investment Programme (Program Investasi Hutan). • Norway Forest Fund, dengan komitmen sebesar US$2.8 juta untuk selama 5 tahun sejak 2008. • Congo Basin Fund, didukung oleh Norwegia dan Inggris, dengan pendanaan sebesar US$195 juta. • Japanese Government’s Cool Earth Partnership dirancang untuk mendukung program adaptasi perubahan iklim dan akses untuk energi bersih, dengan perhatian pada sector kehutanan, alokasi anggaran US$2 miliar per tahun dari total anggaran US$10 miliar. • Australian Deforestation Fund, ditujukan untuk mengurangi deforestasi di wilayah Asia Tenggara, dengan anggaran AUS$ 200 juta. • Komitmen pendanaan sebesar € 500 juta dari Jerman untuk keragaman hayati. • Usulan the European Commission untuk membentuk mekanisme Pendanaan Iklim Global, sebagian untuk pendanaan hutan tropis. • Brazil’s Fund untuk perlindungan hutan huan tropis Amazon telah menerima komitmen pendanaan awal sebesar US$130 juta dari Norwegia (diambil dari the Norwegian Forest Fund). Adapun perdagangan karbon terjadi pada pasar karbon yang lebih bersifat sukarela, dimana terdapat pembeli, penjual, produk dan kesepakatan antara pembeli dan penjual. Perdagangan karbon ini dilakukan melalui pasar saham yang menjual komoditi karbon. Beberapa pasar saham tersebut antara lain Chicago Climate Exchange (CCX), Australian Climate Exchange (ACX). 2. Bagaimana Mekanisme Pendanaan dan Perdagangan Karbon? Mekanisme pendanaan karbon diawali dengan adanya upaya untuk mengatur pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang diatur melalui perjanjian internasional untuk mengurangi emisi GRK global sebagaimana tertuang dalam Protokol Kyoto. Berdasarkan perjanjian tersebut, Negara-negara maju yang meratifikasi protocol ini wajib untuk menurunkan emisi GRK-nya sesuai target masing-masing yang telah ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama. Protokol Kyoto disepakati pada tanggal 12 Desember 1997 setelah Konvensi Perubahan Iklim menegosiasikan upaya pengurangan emisi GRK oleh Negaranegara yang meratifikasi konvensi tersebut. 52 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim Melalui Protokol Kyoto, negara-negara maju yang sering disebut sebagai Negara-negara ANNEX I wajib mengurangi emisi GRK-nya rata-rata sebesar 5,2% dari tingkat emisi tersebut pada tahun 1990. Dalam upaya mengurangi emisi diperlukan acuan atau baseline untuk menghitung emisi GRK, dan tahun 1990 ditetapkan sebagai baseline perhitungannya. Negara-negara selain ANNEX I yang disebut Negara-negara non-ANNEX I tidak diwajibkan untuk menurunkan emisi GRK-nya tetapi mekanisme partisipasi untuk pengurangan emisi tersebut terdapat didalam Protokol Kyoto yang dikenal dengan prinsip “common but differentiated responsibilities”, yaitu semua negara memiliki tanggung jawab yang sama, namun secara khusus dibedakan sesuai dengan kemampuannya. Protokol Kyoto mengatur semua ketentuan tersebut selama periode komitmen pertama dari tahun 2008 sampai dengan 2012. Melalui Global Forest Alliance (GFA) dan Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) yang dibentuk oleh Bank Dunia disalurkan pendanaan karbon untuk mengurangi emisi dari deforestasi yang dikenal dengan Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD). Mekanisme yang dibangun untuk membantu negara-negara yang melaksanakan REDD adalah: • Mekanisme ”readiness”, yang akan menyediakan bantuan teknis, alih tekonologi dan bantuan finansial untuk negara-negara dalam menyiapkan perhitungan stok karbon hutan secara nasional, sumber-sumber emisi hutan, biaya peluang (opportunity costs) untuk pelaksanaan REDD, dan untuk merancang strategi REDD yang mempertimbangkan prioritas dan kendala yang dihadapi. • Mekanisme pendanaan carbon, yang akan memberikan pembayaran kepada negara-negara yang mampu menurunkan emisi kabon melalui pelaksanaan REDD. Pembayaran ini digunakan untuk membiayai program-program pengelolaan dan konservasi hutan, termasuk reformasi kebijakan, penanggulangan dan pencegahan kebakaran hutan, insentif untuk petani hutan, masyarakat atau organisasi yang mencegah konversi hutan menjadi lahan pertanian. Selain itu, mekanisme perdagangan karbon dapat dilakukan melalui offset karbon. Adapun yang dimaksud dengan offset adalah pengurangan emisi yang disertifikasi (Certified Emission Reduction) yang diperoleh diluar sector yang telah diatur. Perusahaan yang diatur oleh system “cap-and-trade” kadang diperbolehkan untuk memberikan “offset” yang mencakup emisinya sebagai pengganti batas emisi yang dibuat oleh “cap”. Offset dapat diterbitkan untuk kegiatankegiatan yang berorientasi pada konservasi seperti penanaman pohon di areal yang sebelumnya berhutan (reforestasi), pengurangan emisi dari deforestasi, manajamen hutan yang lebih baik, dan perubahan-perubahan lainnya dalam praktek-praktek pengelolaan lahan seperti konservasi tanah garapan, serta proyek-proyek non-konservasi seperti penangkaran dan pembakaran metan Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 53 dari pengolahan lahan, tambang batubara, dan manajemen pupuk di lahan pertanian. Kegiatan-kegiatan yang dapat diukur pengurangan emisinya dari sektor-sektor tersebut berhak untuk menjual kredit offset. Beberapa keuntungan diperbolehkannya kredit offset dalam perdagangan karbon adalah: • Offset mempromosikan kegiatan pengurangan emisi pada sektor-sektor yang tidak dicakup oleh “cap”. Tanpa offset, akan terjadi insentif terbatas untuk mengurangi emisi dari sektor-sektor ini. • Offset dapat mengurangi semua biaya wajib, sehingga dapat mendorong lebih egresif tujuan pengurangan emisi karbon karena mengintrodusir fleksibilitas yang lebih besar dalam system dan membuka pasar untuk sektor-sektor dengan pengurangan emisi yang lebih murah. Beberapa pihak skeptis dengan diperbolehkannya offset dalam pasar karbon dengan alasan: • Pengurangan emisi dari offset mungkin sulit diukur dan diverifikasi karena mereka sering datang dari sumber-sumber yang ada di daerah. • Offfset secara internasional mengirim uangnya ke luar negeri, yang secara politik kurang disukai. • Kecuali dikawal oleh “cap” yang lebih ketat, offset mengurangi sejumlah pengurangan emisi suatu perusahaan yang harus dibuat sendiri. • Kredit dari pengurangan emisi dari deforestasi yang dapat dihindari di Negara-negara berkembang merupakan salah satu tipe offset yang memungkinkan. Contoh lain dari perdagangan karbon adalah mekanisme perdagangan emisi (emissions trading) yang diterapkan oleh Uni Eropa. Perdagangan emisi ini telah dimulai awal 2005 dengan melibatkan 14 negara anggotanya ditambah 11 negara Eropa Timur dan eks Uni Soviet. Masing-masing negara menerima jatah emisi karbon untuk dibagi ke instalasi industri yang keseluruhan berjumlah 12.000 unit. Hasilnya, sekitar 450 juta ton gas emisi ekuivalen karbon bisa dijualbelikan pada periode 2005-2007. Sedangkan, untuk periode kedua, 2008-2012, dengan target pengurangan gas setara CO2 sebanyak 10%, kredit karbon yang ditransaksikan bisa mencapai 2,2 milyar ton gas setara CO2. Industri di Eropa tidak harus mengkompensasikan kelebihan emisinya dengan cara membeli kredit karbon dari kawasan itu pula. Mengingat pasar karbon mengikuti hukum pasar bebas, maka industri tersebut bisa membeli kredit karbon dari kawasan lain seperti Asia. Skema yang digunakan bisa dengan Clean Development Mechanism (CDM) atau Joint Implementation (JI). 54 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 3. Pasar karbon apa saja yang telah ada? Sejak Protokol Kyoto ditandatangani, beberapa pasar karbon telah dibentuk. Beberapa pasar adalah regulatory, sedangkan lainnya ada yang voluntary. 3.1 Pasar Regulatory (Regulatory Market) Protokol Kyoto membentuk pasar International Emissions Trading (IET) yang merupakan system “cap-and-trade” yang memperkenankan Negara-negara Annex I untuk berdagang karbon dengan Negara-negara Annex I lainnya. • Mekanisme pengurangan emisi GRK yang diatur dalam Protokol Kyoto adalah: • Joint Implementation (JI), mekanisme yang memungkinkan negara-negara maju untuk membangun proyek bersama yang dapat menghasilkan kredit penurunan atau penyerapan emisi GRK; • Clean Development Mechanism (CDM), mekanisme yang memungkinkan Negara-negara non-ANNEX I untuk berperan aktif membantu penurunan emisi GRK melalu proyek yang diimplementasikan oleh sebuah Negara maju. Nantinya kredit penurunan emisi GRK yang dihasilkan dari proyek tersebut dapat dimiliki oleh Negara maju tersebut. CDM juga bertujuan agar Negara berkembang dapat mendukung pembangunan berkelanjutan, selain itu CDM adalah satu-satunya mekanisme dimana Negara berkembang dapat berpartisipasi dalam Protokol Kyoto. • Emission trading (ET), mekanisme yang memungkinkan sebuah negara maju untuk menjual kredit penurunan emisi GRK melebihi target negaranya. Negara-negara diperbolehkan untuk membentuk “gelembung” (bubble) untuk mendistribusikan kembali target awalnya sepanjang jumlah target pengurangan emisi semua Negara-negara individual tidak melampui yang ditetapkan. Saat ini, Uni Eropa adalah satu-satunya kelompok Negara yang membentuk gelembung ini. Mekanisme Kyoto dibentuk untuk merangsang pembangunan berkelanjutan melalui alih teknologi dan investasi, membantu Negara-negara yang berkomitmen untuk mencapai targetnya dengan cara yang efektif, dan mendorong sektor swasta dan Negara-negara berkembang untuk berkontribusi dalam upaya pengurangan emisi. European Union Missions Trading Schemes (EU ETS) (2005-2008) adalah uji coba skema cap-and-trade untuk membantu Negara-negara EU mencapai targetnya sesuai Protokol Kyoto. EU ETS memperbolehkan kredit dari CDM dan JI diperdagangkan di pasar. EU ETS adalah pasar karbon terbesar yang ada saat ini. New South Wales GHG Abatement Scheme (2003-2013) menciptakan benchmark emisi untuk pengguna listrik di Australia. Sistem ini akan segera dirubah Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 55 menjadi skema perdagangan emisi nasional di Australia. Regional Greenhouse Gas Initiative (RGGI) adalah kesepakatan diantara 10 Negara Bagian Northeastern dan Mid-Atlantic di Amerika Serikat untuk melaksanakansistem cap-and-trade berbasis pasar pada 2009, yang memandatkan cap dan penurunan emisi CO2 dari industri energi. RGGI adalah program cap-and-trade mandatory yang pertama di Amerika Serikat yang membahas emisi penyebab perubahan iklim dan dipandang sebagai model potensial dan preseden untuk program Federal dalam rangka membatasi emisi GRK. 3.2 Pasar Sukarela (Voluntary Market) Chicago Climate Exchange (CCX) merepresentasikan pasar system cap-and-trade yang pesertanya adalah sukarela; namun komitmen penurunan emisi adalah wajib sesuai dengan system tersebut. CCX memperkenankan anggotanya membuat komitmen untuk berdagang karbon diantara anggota dan juga membeli secara offset dari proyek-proyek di luar keanggotaan “cap”. Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap perubahan iklim mendorong banyak orang untuk mengambil tindakan dalam mitigasi dampaknya melalui pasar eceran sukarela (voluntary retail market) untuk offset karbon yang tumbuh sejalan dengan pasar regulatory. Banyak sumber emisi GRK, seperti transportasi perjalanan, penggunaan rumah tangga, dan kegiatan-kegiatan khusus, kurang cukup dibahas dalam instrumen kebijakan yang ada, dan yang terlibat ingin melakukan sesuatu untuk mitigasi emisi ini. Lebih lanjut, tidak mungkin menurunkan emisinya menjadi nol, sehingga membeli secara offset merupakan cara untuk “menetralisir” emisi yang tidak terelakkan. Pasar eceran terdiri dari perusahaan, pemerintah, organisasi, lembaga internasional dan perseorangan, yang membeli atau menjual kredit karbon untuk alasan selain compliance regulatory. Kredit eceran ini, yang umumnya mengacu pada Verified Emissions Reductions (VERs), sering membeli dari para pengecer, yaitu organisasi yang menanam investasi portfolionya pada proyek offset dan menjual sebagian pengurangan emisi yang dihasilkan kepada pelanggannya dalam jumlah yang relatif kecil. Ada sekitar 30-40 pengecer karbon di seluruh dunia yang sebagian besar berada di Eropa, Amerika Serikat dan Australia (Taiyab, 2006). Harganya sangat bervariasi, dari US$5 – US$35 atau lebih per tCO2eq, tergantung pada kualitas dan lokasi proyek dan mark-upnya disediakan oleh pengecer (Buztengeiger, 2005). Pasar seluruhnya tidak diatur, dan kreditnya tidak digunakan untuk memenuhi apapun target yang jadi kesepakatan wajib, walaupun pengembang proyek bisa memilih untuk mengikuti standar dan metoda verifikasi CDM atau bisa mengembangkan metodanya sendiri. Pasar voluntary merepresentasikan komplemen yang menjanjikan terhadap pasar compliance, karena mencakup banyak tipe proyek yang tidak diperbolehkan pada pasar compliance. Sebagai contoh, 86% proyek pasar voluntary 56 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim berukuran kecil sampai sedang, melakukan offset kurang dari 50,000 tCO2 per tahun (Harris, 2006). Di sisi lain, proyek-proyek CDM kurang menarik secara finansial di bawah batas ini. Oleh karena itu, pasar voluntary menciptakan peluang pasar untuk proyek-proyek skala kecil yang tidak ada sebelumnya. Untuk proyek-proyek kehutanan, yang sebagian besar tidak layak di bawah pasar compliance, telah mencapai 56% pasar voluntary (Harris, 2006) Tabel 1. Ringkasan Pasar Karbon Ukuran Pasar 2007 Pasar Voluntary Pasar Regulatory Tipe Mekanisme International Emission Trading (IET) Joint Implementation (JI) Clean Development Mechanism (CDM) Bubbles Unit yang diperdagangkan Peserta yang berhak Assigned Amount Units (AAUs) Negara-negara Annex I Nilai (m US$) - - 41 499 551 7,426 - - 2,061 50,097 Pengecer listrik 25 224 Negara-negara Bagian yang terlibat - - Semua pihak 23 72 Semua pihak 42 258 Emissions Reduction Negara-negara Units (ERUs) Annex I Certified Emissions Reductions (CERs) N/A European Union European Union Emissions Trading Allowances (EUAs) Scheme (EU ETS) Abatement New South Wales certificates Regional Greenhouse Gas Initiative (RGGI) Chicago Climate CFI contracts Exchange Retail Market Volume (MtCO2) Verified Emissions Reductions (VERs) Negara-negara Annex I dan nonAnnex I Negara-negara Annex I Negara-negara anggota Uni Europa Bagaimana perkembangan pasar voluntary? Amerika Serikat merupakan negara yang tidak meratifikasi Protokol Kyoto, karena dengan potensi 6 milyar kubik ton emisi per tahun berarti harus mem- Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 57 bayar $1,200 milyar per tahun jika mengikuti ketentuan dalam Protokol Kyoto. Namun, di dalam negeri ada desakan dari negara bagiannya seperti California, Illinois dll supaya Amerika Serikat terlibat dalam pengurangan emisi dengan memulai perdagangan karbon secara voluntary. Oleh karena itu, di Amerika Serikat telah dibentuk pasar karbon voluntary, seperti Chicago Climate Exchange (CCX). Anggota CCX secara voluntir mengurangi 1 persen per tahun dari baseline emisi perusahaan/organisasi Selain itu, Australia selaku kontributor emisi karbon per kapita terbesar, seperti AS yang khawatir akan kewajiban membayar emisi dalam jumlah besar, secara bertahap sejak 2004 telah mempersiapkan mekanisme perdagangan emisi domestik secara sukarela sebelum akhirnya berkomitmen meratifikasi Protokol Kyoto. US$ 331m CCX 72 OTC US$ 154m US$ 97m 154 US$ 42m US$ 22m 42 22 US$ 37m US$ 41m 3 3 34 38 258 38 58 4. Bagaimana cara memasarkan kredit karbon dari offset hutan? Untuk memasarkan kredit carbon dari offset hutan dapat dilakukan dengan berbagai cara (Guciano, 2008): Menerbitkan Carbon Financial Instruments (CFI) di bursa CCX, 1 CFI setara dengan 22,000 kubik ton CO2 = Indonesia bisa punya 282000000 CFI, jumlah sebanyak ini bisa mempengaruhi harga di pasar futures (CCFX) Memverifikasi dan di registrasi dari proyek reforestrasi. Proyek offset carbon hutan yang pertama merupakan transaksi kredit carbon hutan dari Costa Rica 58 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim oleh Precious Woods Group, sebuah perusahaan Swiss yang bergerak dalam manajemen hutan berkelanjutan. Meregistrasi pengurangan emisi karbon dari pengurangan illegal logging, kebakaran hutan dan pembukaan lahan ke CCAR, Conservation Fund, The Nature Conservancy, dimana mereka kemudian menjual ke dunia usaha yang mencari offset untuk pengurangan emisinya. Memasukkan proyek ke dalam lembaga multisektor seperti the National Carbon Offset Coalition (NCOC) atau Carbon Sequestration Units. Program NCOC dirancang untuk membantu pemilik tanah untuk merencanakan aktifitas pengumpulan carbon dan mendokumentasikan hasilnya sesuai standar dan protokol internasional sehingga memenuhi persyaratan bagi pembeli potensial. Menitipkan ke Carbonfund yang membeli dan menyimpan atas nama nasabah kredit karbon dari proyek pengurangan emisi hutan yang telah diverifikasi. Carbonfund tidak menjual atau memperdagangkan proyek pengurangan emisi. Meminta dana offset yang diberikan ke Climate Trust yang digunakan untuk memilih, mengontrak, membeli, dan mengelola proyek offset hutan sepanjang masa berlaku kontrak. Offset ini kemudian di transfer ke nasabah yang ingin memilikinya sebagai aset perusahaan dan dapat digunakan untuk mematuhi aturan dan persyaratan GRK atau di “tabung” untuk kegunaan dimasa depan. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 59 5. Bagaimana proses dan persiapan dalam perdagangan karbon di pasar sukarela? Beberapa hal yang perlu dilakukan dalam menyiapkan produk yang siap dijual adalah: • Menetapkan dan mendaftarkan lokasi dan hitung volume karbon, parsel/ cluster, lokasi (GIS), biomasa, total pengendapan, formula akutansi; • Menetapkan baseline berdasarkan pengukuran base tahunan dan perubahan stok karbon tiap tahun. Verifikasi dibutuhkan untuk proyek menengah dan besar; • Mendaftarkan proyek tersebut dan tentukan pengelola (misal, unit khusus di Dephut); • Mengasuransikan unit produk yang akan dijual; • Mengundang verificator dari pasar karbon (missal CCX); Menunjuk agen pemasaran yang sudah menjadi anggota pasar karbon (misal CCX) • Biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam proses persiapan antara lain adalah: • biaya asuransi, verifikasi, pemasaran dan biaya transaksi • biaya untuk membuat laporan tahunan dan verifikasi tahunan. • Proyek karbon hutan yang diperbolehkan di CCX antara lain adalah: • Hutan kecil yang bukan untuk industri, yaitu (i) hutan yang dikelola untuk diproduksi, habitat, konservasi, dll; (ii) hutan yang ikut dalam program bimbingan sertifikasi. Afforestation/Reforestation, yaitu (i) proyek aforestasi atau reforestasi yang dimulai setelah tahun 1989; (ii) lahan di wilayah kehutanan yang masuk dalam program pemeliharaan/Forest Land Enhancement Program (FLEP) ; (iii) lahan di wilayah program cadangan konservasi/ Conservation Reserve Program (CRP) atau peningkatan cadangan konservasi/Conservation Reserve Enhancement Program (CREP); (iv) lahan dalam perlindungan jangka panjang seperti wilayah konservasi dengan komitmen jangka panjang untuk menyimpan stok karbon di hutan dan lahan yang tercatat sebagai milik sah kehutanan. Proyek penghutanan dan pemeliharaan hutan yang dimulai setelah 1 Januari 1990 diatas lahan gundul atau hutan yang rusak Proyek konservasi hutan bisa mendapatkan kontrak CFI jika dilaksanakan dalam 60 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim kaitannya dengan penghutanan lahan yang sudah ditetapkan peruntukannya Selanjutnya perlu dilakukan kegiatan seperti: • Menetapkan peruntukan wilayah hutan yang dikelola secara berkelanjutan • Memperlihatkan komitmen jangka panjang untuk menjaga stok karbon di hutan • Menggunakan metoda yang disetujui dalam penghitungan stok karbon • Memverifikasi stok karbon yang dilakukan oleh pihak ketiga yang independen • Biaya yang terkait yang harus dikeluarkan setelah proyek disetujui yang tergantung pada lawas proyek dan jumlah karbon yang dihasilkan untuk diperdagangkan atau disimpan di”bank”, antara lain adalah: • Biaya inventarisasi hutan • Biaya untuk pihak ketiga dalam rangka sertifikasi keberlanjutan • Biaya persiapan proyek (kantor dll) • Biaya partisipasi atau biaya yang berkaitan dengan agregasi, perdagangan, laporan, verifikasi. 6. Bagaimana persyaratan proyek dan prosedur dalam pasar karbon sukarela? Langkah 1: Membuat studi kelayakan • Fase I: Menetapkan Carbon Baseline dan tingkat sekuestrasi • Fase II: Analisa Ekonomi Langkah 2: Project Development (dari proyek offset, verifikasi, registrasi, dan marketing/ perdagangan kredit karbon) • Fase III: Proposal Proyek • Fase IV: Komitmen Proyek • Fase V: Penghitungan Baseline dan pengembangan sistem akutansi karbon • Fase VI: Verifikasi proyek • Fase VII: Aggregasi proyek (untuk ukuran kecil), Pendaftaran Baseline, dan Perdagangan 7. Bagaimana peluang masyarakat dalam memanfaatkan pendanaan dan perdagangan karbon? Masyarakat dapat memanfaatkan peluang dari skema pendanaan dan perdagangan karbon, antara lain: Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 61 • • Adanya peluang dari skema pendanaan karbon untuk memperoleh dukungan dalam pengembangan kapasitas, bantuan teknis, dan transfer teknologi dalam menghitung stok karbon, database yang lebih akurat, sistem monitoring, dan pembangunan kelembagaan. Dalam skema REDD, masyarakat dapat terlibat dalam proses membangun model percontohan (demonstration activities) mulai tahun 2008 sampai dengan 2012. Adanya peluang untuk mendapatkan sertifikasi pada unit pengelolaan hutan yang dikelola masyarakat, khususnya untuk perdagangan karbon. Masyarakat dapat menerima offset dari perusahaan/sektor lain termasuk yang berdekatan lokasinya, sehingga terjalin kerjasama yang saling menguntungkan untuk memelihara lingkungan. Adanya insentif langsung selain hasil hutan yang diperoleh apabila masyarakat telibat dalam mekanisme pendanaan dan perdagangan karbon. Mendorong adanya legalitas unit pengelolaan hutan berbasis masyarakat. 62 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim • • • • BAB 4 Implikasi Redd Terhadap Komunitas Masyarakat Sekitar Hutan Ruang Lingkup dan Sasaran dari Materi ini: Dalam materi ini disampaikan penjelasan mengenai latar belakang munculnya konsep REDD di Indonesia (pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan) , bagaimana REDD ini menjadi mekanisma penting dalam penanganan perubahan iklim. Dengan mengetahui dan memahami tentang konsep REDD ini diharapkan masyarakat akan lebih memahami tentang pentingnya pelaksanaan REDD dalam rangka penanganan perubahan iklim Negosiasi internasional tentang REDD ini masih berlangsung sampai saat ini. Dengan mengetahui dan memahami proses debat mengenai kerangka kerja REDD di tingkat internasional maka diharapkan masyarakat juga dapat mengikuti dan memahami secara umum setiap proses dan negosiasi yang berlangsung yang akan berpengaruh terhadap arah dan bentuk kegiatan REDD di tingkat nasional dan proyek. Oleh karena itulah dalam sesi ini juga disampaikan mengenai elemen kunci REDD berdasarakan protocol internasional, perdagangan karbon dan aspek legal internasional dalam pelaksanaan REDD . Kegiatan REDD di tingkat nasional juga perlu disampaikan kepada target group (masyarakat) karena setiap negara mempunyai keunikan tersendiri dalam merancang kegiatan REDD nya disesuaikan dengan situasi dan keadaan negaranya, begitu pula Indonesia. Namun yang terpenting dan perlu diketahui oleh masyarakat adalah terutama terkait regulasi, kelembagaan dan mekanisme pelaksanaan kegiatan percontohan REDD di Indonesia. Dalam mater dasar ini juga disampaikan penjelasan kegiatan percontohan REDD dan initiative lain untuk perdagangan karbon di tingkat project/tapak. Setiap pelaksanaan kegiatan skema REDD di Indonesia, mempunyai keunikan/perbedaan tersendiri dan kegiatan REDD harus di desain disesuaikan berdasarakan kriteria sosial, budaya , ekonomi dan lingkungan sekitarnya dan masyarakat diharapkan ikut terlibat langsung dalam kegiatan REDD di tingkat tapak, Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 63 Manfaat setelah mengikuti sosialisasi materi ini : 1. mengetahui dan memahami tentang latar belakang mengapa issu REDD menjadi mekanisme penting dalam penanganan perubahan iklim 2. Mengetahui isu international tentang REDD diantaranya elemen kunci REDD berdasarkan protokol internasional, perdagangan karbon , aspek legal REDD 3. Mengetahui dan memahami proses proses di tingkat nasional terkait pelaksanaan REDD seperti pelaksanaan proyek REDD di tingkat tapak serta implikasi kegiatan REDD terhadap masyarakat sekitar hutan Topik dan materi bahasan: • Latar belakang tentang issu REDD dan perubahan iklim: - Pemanasan global dan perubahan iklim - Peran hutan dalam perubahan iklim global - Penyebab dan akar masalah terjadinya deforestasi dan degradasi di Indonesia - Strategi untuk masyarakat dalam mengurangi deforestasi - Reduce Emission and Deforestation and Degradation terdiri dari konsep REDD, biaya REDD, skema RED, potensi pasar dan manfaat REDD bagi Indonesia • Perkembangan REDD di tingkat nasional - Isu nasional tentang deforestasi dan degradasi - Regulasi dan kelembagaan yang diperlukan untuk pelaksanaan kegiatan REDD - Mekanisme pelaksanaan percontohan (Demonstration Activities) REDD - Pelaksanaan proyek REDD di tingkat lapangan (tapak) • Implikasi pelaksanaan kegiatan REDD terhadap masyarakat 1. Latar Belakang Tentang Issu REDD Dan Perubahan Iklim 1.1. Pemanasan Global dan Perubahan Iklim Sejak dimulainya era industri, konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer meningkat dari waktu ke waktu dengan cepat. Apabila tidak ada upaya untuk menekan emisi gas rumah kaca ini maka, diperkirakan dalam waktu 100 tahun (2100) atau bahkan bisa lebih cepat, konsentrasi gas rumah kaca, khususnya CO2 akan mencapai dua kali lipat dari konsentrasi saat ini. Peningkatan sebesar ini diperkirakan akan menyebabkan terjadinya peningkatan suhu global antara 1oC sampai 4.5oC dan tinggi muka air laut sebesar 60 cm. Naiknya muka air laut akan mempersempit luas daratan dan menenggelamkan beberapa negara kepulauan kecil, sementara peningkatan suhu global akan mengarah pada perubahan iklim. 64 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim Beberapa laporan menyebutkan bahwa effect pemanasan global akan mempe­ ngaruhi: 1. 2. 3. 4. 5. Perubahan iklim dan cuaca; • Peningkatan suhu sedang – sejak tahun 1990, suhu rata-rata tahunan telah meningkat sekitar 0.3 derajat Celsius pada seluruh musim; • Peningkatan intensitas curah hujan - curah hujan per tahun diperkirakan meningkat 2-3% di seluruh Indonesia, dalam periode yang lebih pendek, meningkatkan resiko banjir secara signifikan; Kenaikan Muka Air laut Naiknya permukaan air laut – ini akan menggenangi daerah produktif pantai, mempengaruhi pertanian dan penghidupan pantai, termasuk pertambakan ikan dan udang, produksi padi dan jagung; Pertanian dan Persediaan Makanan ancaman terhadap keamanan pangan sebagai akibat perubahan iklim pada bidang pertanian; Ekosistem naiknya permukaan air laut – ini akan menggenangi daerah produktif pantai, mempengaruhi pertanian dan penghidupan pantai, termasuk pertambakan ikan dan udang, produksi padi dan jagung; Kesehatan Manusia Merebaknya penyakit yang berkembang biak lewat air dan vektor– seperti malaria dan demam berdarah. 1.2 Peran hutan dalam perubahan iklim global Sektor kehutanan merupakan salah satu sumber pengemisi GRK yang cukup besar yaitu dengan sumbangan antara 18-25 % dari emisi GRK global. Sekitar 75 % dari emisi ini berasal dari negara tropis dan umumnya merupakan hasil dari konversi hutan ke penggunaan lain (deforestasi) dan degradasi hutan. Hutan dalam konteks perubahan iklim global dapat berperan baik sebagai penyerap dan penyimpan carbon (sink ) maupun sebagai sumber emisi (source) (Gambar 1). Praktik pengelolaan hutan produksi lestari, pengelolaan kawasan konservasi dan lindung, pembatasan konversi hutan, pemberantasan illegal logging dan penanggulangan kebakaran hutan akan mengurangi emisi CO2 dan meningkatkan resiliensi ekosistem hutan terhadap perubahan iklim. Rehabilitasi lahan dan hutan terdegradasi, pengembangan hutan tanaman industri dan perkebunan di lahan-lahan yang terdegradasi, akan meningkatkan kapasitas hutan dalam menyerap dan menyimpan carbon, yang pada akhirnya juga akan meningkatkan resiliensi ekosistem hutan terhadap perubahan iklim. Dengan demikian, pengelolaan hutan lestari berkontribusi positif terhadap upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 65 Gambar 1. Peran Hutan Dalam Perubahan Iklim. Sumber : UNFCCC Website Peran masyarakat dalam proses alih guna lahan dan tutupan sangat besar. Pada satu sisi, masyarkat berperan dalam menjaga fungsi hutan namun disi lain mereka juga ikut berkontribusi terhadap percepatan laju konversi dan degradasi hutan karena desakan akan kebutuhan ekonomi mereka. Oleh karena itu dalam menjaga dan mengembalikan kondisi hutan di Indonesia pelibatan masyarakat menjadi suatu keharusan dengan memperhatikan dan menciptakan sistem kompensasi yang adil bagi mereka karena ikut menjaga dan memperbaiki kondisi hutan. Didalam konteks perubahan iklim upaya ini disebut sebagai upaya mitigasi yaitu upaya untuk menekan laju emisi atau meningkatan penyerapan GRK ke dan dari atmosfer. Perbaikan kondisi hutan tidak hanya dapat menurunkan konsentrasi GRK di atmosfer tetapi juga dapat meningkatkan ketahanan ekosistem tersebut terhadap anomali dan perubahan iklim. Karena hal tersebut, upaya perbaikan kondisi hutan dikatakan juga sebagai kegiatan adaptasi terhadap perubahan iklim. Mekanisme perdagangan karbon di sektor kehutanan dalam rangka mitigasi perubahan iklim di bawah UNFCCC/Kyoto Protocol yang melibatkan Negara berkembang sampai saat ini baru terbatas pada A/R CDM (peningkatan kapasitas penyerapan/penyimpanan karbon melalui kegiatan tanaman menanam). Sedangkan REDD (pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan) baru dalam tahap persiapan pelaksanaan pilot percobaan/demonstration activities dan dalam proses penyiapan perangkat hukum pelaksanaan REDD. Baik A/R CDM maupun REDD merupakan kegiatan mitigasi perubahan iklim. 66 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 1.3 Penyebab dan akar masalah terjadinya deforestasi dan degradasi di Indonesia Hutan merupakan kekayaan yang sangat berharga bagi ekosistem dunia, dimana didalamnya terdapat lebih dari 60% keanekaragaman hayati dunia. Hutan memiliki banyak nilai, seperti nilai sosial-ekonomi, bermacam-macam fungsi ekologis yang penting dalam kaitannya dengan lahan dan perlindungan serta nilai budaya yang tidak bisa dilepaskan dari hutan. Hutan bagi masyarakat yang tinggal disekitarnya merupakan areal untuk mencari makan dan bertahan hidup. Bagi mereka hutan dapat menyediakan obat-obatan, madu, kayu bakar serta barang dan jasa lainnya seperti halnya nilai rohani dan budaya. Pada tataran global, hutan masih memegang peranan penting dalam pengaturan iklim dan menjadi reservoir karbon yang utama diatas permukaan bumi dan keberadaannya dapat mencegah peningkatan efek rumah kaca. Berkurangnya luasan dan turunnya kualitas hutan sampai saat sekarang ini masih menjadi permasalahan utama dunia kehutanan Indonesia. Hal ini dapat kita lihat dari masih besarnya angka deforestasi Indonesia setiap tahunnya. Tentu hal ini tidak terjadi begitu saja, banyak hal yang menyebabkan hutan alam Indonesia terdeforestasi setiap tahunnya. Banyak faktor yang apabila kita analisa lebih lanjut dapat di-indikasikan sebagai penyebab terjadinya deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia baik langsung maupun tidak langsung. Untuk mengetahui faktor-faktor tersebut, maka pada beberapa tahun lalu terbentuk sebuah inisiatif yang disebut dengan ”Underlying Causes of Deforestation and Forest Degradation”. Studi-studi yang berkaitan dengan inisiatif ini sudah sangat banyak membuah pemikiran dan skenario tentang pelaku, bagaimana dan apa saja faktor yang menyebabkan penyusutan hutan dunia, terutama hutan hujan tropis. Penyebab utama deforestasi dan degradasi hutan antara lain : 1. Konversi hutan 2. Kebutuhan pembangunan sektor lain (pertambangan, pertanian, pekerjaan umum, dll) 3. Pasar nasional dan internasional terhadap produk-produk hutan 4. Kebakaran hutan dan lahan 5. Perambahan hutan 6. Eksploitasi kayu berlebihan Hasil analisis menyimpulkan bahwa penyebab dan akar masalah terjadinya deforestasi dapat dikelompokkan kedalam 2 kategori (Geist and Lambin, 2007 ) yaitu: Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 67 Penyebab langsung (Proximate causes) adalah kegiatan manusia yang berpengaruh langsung terhadap kerusakan lingkungan di tingkat loka/tapak Penyebab tidak langsung, berupa akar masalah yang terkait dengan masalah sosial, ekonomi, politik , dan atau budaya yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap deforestasi 1.4 Strategi untuk masyarakat dalam mengurangi deforestasi Usulan-usulan untuk pencegahan deforestasi terbagi menjadi dua kelompok utama: • Pendekatan berbasis pasar yaitu mengaitkan skema-skema pengurangan deforestasi dengan sistem perdagangan karbon. Koalisi negara-negara yang memiliki hutan hujan (the Coalition for Rainforest Nations), sebagian besar LSM konservasi dan kalangan bisnis pendanaan karbon mendorong skema-skema dimana negara-negara yang memiliki hutan mendapat kredit penurunan emisi karbon bila tidak menebangi hutan mereka. Kredit ini dapat dijual di pasar karbon internasional kepada negara-negara yang memiliki industri beremisi karbon yang membutuhkan kredit untuk menjalankan operasi mereka. Hal ini menimbulkan masalah etika sebab negara dan perusahaan dapat membeli hak untuk tetap mencemari atmosfir bumi. • Pendekatan dana publik yaitu memakai dana bantuan dari negara-negara kaya untuk membayar negara-negara yang memiliki hutan di Selatan untuk mengurangi pembukaan hutan. Bantuan tersebut dikumpulkan melalui sumbangan sukarela dari negara-negara industri atau lewat pajak (sebagaimana dijelaskan dalam bab 3 sebelumnya) Strategi terkait kebijakan nasional dalam mengurangi deforestasi di sektor kehutanan harus didasarkan pada beberapa prinsip yaitu: • Semua negara memiliki tanggungjawab yang sama, namun secara khusus dibedakan sesuai dengan kemampuan. • Tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, dan kehidupan masyarakat Indonesia. Atas dasar prinsip tersebut, maka strategy untuk menurunkan emisi GRK dari sektor kehutanan adalah: 1. Intensifikasi pengelolaan hutan yang harus dicapai pada 2012. Beberapa langkah yang diambil adalah: • Penerapan pengelolaan hutan baik alam maupun tanaman yang memenuhi kriteria dan standard SFM. • Pembentukan lembaga pengelolaan hutan dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan yang harus mulai dibangun pada tahun 2008 dan harus selesai pada tahun 2012. 68 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim • • • • • Peningkatan upaya konservasi dan rahabilitasi pada type hutan rawa gambut yang mempunyai potensi besar menyerap GRK, wilayah coral (terumbu karang) pada kawasan TN laut, serta penguatan upaya konservasi dan rehabilitasi pada kawasan lindung (kawasan hutan konservasi, dan hutan lindung) yang menjadi kewenangan sektor kehutanan. Menanggulangi kebakaran hutan dan lahan, sehingga kebakaran hutan dan lahan dapat ditekan sebesar 95% yang dicapai pada tahun 2012. Beberapa langkah yang akan diambil adalah: Penegakan hukum sebagaimana mestinya. Pemberian insentif berupa tekhnologi tepat guna dan insentif materi. Pemberdayaan Manggala Agni dan partisipasi masyarakat. 3. Memberdayakan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan dalam pengelolaan hutan. Kegiatan pemberdayaan ini akan dilakukan melalui beberapa kegiatan: • Mengembangkan Hutan Tanaman Rakyat seluas 5,4 juta hektar yang akan dicapai pada tahun 2010. Pengembangan HTR diharapkan akan menghilangkan kegiatan perladangan berpindah yang tidak ramah lingkungan. • Pengembangan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), Hutan Kemasyarakatan (HKM), dan Sosial Forestry. 4. Konversi hutan untuk kepentingan HTI, pertanian, perkebunan, dan pemukiman diprioritaskan pada lahan-lahan yang telah terdegradasi, dan sesuai dengan tata ruang yang ada. 1.5 REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation in developing countries) REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation in developing countries) adalah mekanisme internasional yang dimaksudkan untuk memberikan insentif yang bersifat positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Mekanisma REDD bersifat sukarela (voluntary) dan menghormati kedaulatan negara (sovereignty). Untuk memahami hal-hal yang terkait dengan REDD maka perlu pemahaman akan hal-hal sebagai berikut: a. Konsep REDD Menurut data dari World Resource Insititute (WRI,2000) yang dikutip dalam Stern Report disebutkan bahwa deforestasi menyumbang sekitar 18% terhadap emisi gas rumah kaca (green house Gases/GHGs) global. Dari 18 % kontribusi emisi tersebut, 75 % diantaranya berasal dari deforestasi di negara berkembang. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 69 IPCC (2007) mencatat kontribusi dari deforestasi sebesar 17 % terhadap total emisi GHGs global. Gambar 3 a dan 3 b menunjukkan emisi GHGs dari berbagai sumber dan jenis GHGs. Apabila tidak ada intervensi kebijakan (policy approach and positive incentives) dan insentive yang memungkinkan negara berkembang mengurangi deforestasi dengan tetap menjamin keberlanjutan pembangunan nasionalnya, maka dikhawatirkan emisi dari deforestasi di negara berkembang akan terus meningkat sebagai konsekuensi dari pertambahan penduduk dan keperluan pembangunan lainnya sehingga target-target penurunan emisi secara global tidak akan pernah tercapai. Berdasarkan pertimbangan dua hal tersebut di atas, disusunlah konsep REDD dengan maksud dapat mengurangi emisi melalui pencegahan deforestasi dan degradasi di negara-negara yang memiliki hutan. Akan tetapi konsep REDD baru dalam tahap persiapan pelaksanaan pilot percobaan/demonstration activities dalam proses penyiapan perangkat hukum pelaksanaan REDD, dan diharapkan sudah dapat terealisasi pada tahun 2012. REDD adalah merupakan salah satu kegiatan mitigasi perubahan iklim. Pada saat COP-11 di Montreal tahun 2005, Costarica, Paua New Guinea (PNG) dan negara negara yang tergabung dalam Koalisis Pemilik Hutan Tropis (Coalition for Rain Forest Nations/CfRN) mengajukan proposal tentang insentif untuk pencegahan deforestasi (avoided deforestation). Kemudian pada COP 13 di Bali tahun 2007 lalu telah berhasil disepakati beberapa hal penting antara lain terkait aspek scientific, teknis dan metodologi, serta pertukaran informasi. Desember 2009. Diharapkan pada COP-15 tahun 2009 mendatang di Denmark dapat dicapai kesepakatan mengenai modality, aturan dan prosedur implementasi REDD. Box 1: Beberapa Catatan dari Kesepakatan/keputusan COP-13 tentang REDD COP-13 telah menghasilkan keputusan tentang pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD) di negara berkembang. REDD juga merupakan bagian penting dari aksi mitigasi perubahan iklim dalam “Bali Action Plan” Dalam “Bali Action Plan” disamping negara maju yang harus memenuhi kewajiban peningkatan target penurunan emisi dan mebantu negara berkembang (capacity building, technology transfer, finacial) dalam upaya mengurangi dampak negatif perubahan iklim, negara berkembang juga didorong melakukan aksi nyata dalam upaya mitigasi dan adaptasi 70 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim terhadap perubahan iklim dalam konteks pembangunan berkelanjutan, a.l. melalui integrasi upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim ke dalam perencanaan nasional dan sectoral planning. Beberapa butir penting dari keputusan COP 13 yang memerlukan tindak lanjut segera maupun terjemahan lebih lanjut untuk implementasinya di Indonesia antara lain : REDD dilaksanakan atas dasar sukarela (voluntary basis) dengan prinsip menghormati kedaulatan negara (sovereignty) Negara maju spekat memberikan dukungan untuk capacity building, transfer teknologi di bidang metodologi dan institutional, pilot/demonstration activities. Untuk pelaksanaan pilot/demonstration activities dan implementasi REDD, diperlukan penguasaan aspek metodologi sesuai standard internasional. Oleh karenanya COP-13 menyepakati indicative guidance untuk pilot/ demonstration activities dimana terdapat tanggung jawab internasional, nasional (Pemerintah Pusat) dan sub-national (pelaksana di daerah) Hal-hal yang terus menyebabkan berkembangnya konsep REDD tidak terlepas dari fakta sebagaimana data dan gambar yang disampaikan berikut ini: Perbandingan Emisi Gas Rumah Kaca (Green House Gases/GHGs) global antara tahun 1990 dan 2004 Sumber Emisi GHGs global (IPCC 2007) Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 71 Selanjutnya, hasil-hasil penelitian bahwa vegetasi dan tanah menyimpan ± 7500 Gt CO2 atau lebih dari dua kali lipat CO2 di atmosfir, sedangkan hutan menyimpan ~ 4500 Gt CO2, lebih besar dari GHGs di atmosfir. Beberapa sumber menyebutkan bahwa mempertahankan hutan yang ada lebih murah dari pada menanam tanaman baru, disamping memerlukan waktu yang cukup lama sampai mencapai kapasitas optimal dalam menyerap dan menyimpan carbon. Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa kontribusi aforestasi dan reforestasi dalam menyeimbangkan emisi dari deforestasi dan kegiatan lain, jauh lebih kecil dibandingkan dengan regenerasi alam (regrowth). 72 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim Saat ini telah berkembang konsensus tentang skema REDD yang diperluas menjadi REDD plus yang memasukan komponen Pengelolaan Hutan Lestari (Sustainable Forest Management), Konservasi dan peningkatan stok karbon dari dari upaya penanaman (Enhanching carbon stock from plantation). Namun demikian pemahaman tentang REDD Plus, komponen penopangnya seperti kelembagaan dan SDM di Indonesia sendiri masih perlu didiskusikan walaupun REDD Plus akan segera diputuskan pada COP 15 Di Copenhagen b. Biaya REDD Upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi memerlukan biaya yang di luar kemampuan dana dosmestik kebanyakan negara berkembang. Biaya biaya tersebut a.l opportinuty costs (biaya untuk kompensasi bagi pemilik hutan atas nilai kegiatan yang paling menguntungkan), implementation costs (biaya yang diperlukan untuk perbaikan perencanaan dan pengelolaan), administrative costs (biaya operasional) dan tarnsaction costs (biaya untuk penggalangan dana, negosiasi dengan partner, monitoring, approval). Berdasarkan hasil analisis Union of Concerned Scientist (UCS) tahun 2008, total biaya implementasi, adminstrasi dan biaya transaksi sekitar US$1 untuk penurunan emisi per ton CO2. Sedangkan opportunity costs menurut berbagai seumber berkisar antara US$1.84-18.86 per ton penurunan emisi CO2. c. Skema REDD REDD sampai saat ini masih dalam proses negosiasi di bawah SBSTA/COPKonvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) untuk aspek teknis/metodologis, sedang mengenai aspek kebijakan termasuk pendanaan masih menjadi bagian dari pembahasan di Ad Hock Working Group on Long Term Cooperative Action (AWGLCA). Dengan demikian perdagangan karbon dalam rangka pengurangan emisi dari deforestasi yang terjadi (bila ada) adalah melalui pasar sukareal (voluntary market). Inipun juga belum jelas apakah kredit yang diperoleh pembeli dapat diperjualbelikan dalam compliance market nantinya. UCS (2008) memperkirakan akan ada 3 macam pendekatan pendanaan REDD yaitu: • Direct Carbon Market, perusahaan di negara industry membeli kredit REDD untuk emission allowance dalam sistem cap and trade di negerinya. Dengan REDD perusahaan ini diperbolehkan mengemisi lebih dari kuota di dalam negerinya dan dikompensasi dengan pencegahan emisi dari deforestasi dan degradasi di negara berkembang. Pendekatan ini seperti untuk CDM (project baseline) dan kemungkinan akan memasukan REDD national baseline setelah REDD menjadi bagain dari pasar karbon pasca 2012. Potensi pendanaan diperkirakan mencapai puluhan milyar dollar per tahun. • Market Linked. Pendekatan ini mencipatakan pendanaan melalui pelelangan pendapatan atau alokasi allowance untuk REDD dari sistem cap and trade, Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 73 • atau dengan menciptakan dual market system dimana kredit REDD tidak fungible dengan allowance negara industry. Potensi pendanaan diperkirakan mencapai beberapa puluh milyar dollar per tahun Voluntary. Pendanaan sukarela yang berasal dari individu atau negara yang tidak dikaitkan dengan system cap and trade di negerinya. Kontribusi Norway $2.6 Milyar yang diumumkan di Bali merupakan salah satu contoh voluntary initiative. Perusahaan dan stakeholders lain juga dapat membeli kredit yang sekali kredit dibeli tidak lagi dapat digunakan untuk emmission compliance di pasar karbon. Potensi pendanaan diperkirakan hanya mencapai ratusan dollar per tahun. d. Manfaat REDD bagi Indonesia Manfaat REDD harus dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi tanggung jawab sebagai anggota komunitas internasional dan dari sisi kewajiban seluruh komponen bangsa untuk kepentingan nasional, terlepas ada tidaknya mekanisme internasional yang mendorong/memaksa Indonesia melakukannya. Berdasarkan data FAO (2005), diantara 8,22 juta ha pengurangan hutan per tahun di 10 negara berkembang (Tabel 1), Brazil dan Indonesia menyumbang masing-masing 3,10 juta ha/tahun dan 1,87 juta ha/tahun. Dengan demikian Indonesia menyumbang sekitar 22,86 % pengurangan luasan hutan di 10 negara berkembang tersebut. Dalam konvensi perubahan iklim (UNFCCC), negara berkembang belum terikat target kuantitatif untuk mengurangi emisi GHGs, namun tetap memiliki kewajiban berkontribusi terhadap upaya pencegahan dampak negatif perubahan iklim atas dasar common but differentiated responsibilities. Dengan peringkat di atas, meskipun secara internasional di bawah UNFCCC tidak berkewajiban menurunkan emisi, Indonesia sudah merasakan dampak negatif dari kerusakan hutannya baik dari sisi lingkungan (hilangnya keanekaragaman hayati termasuk sumberdaya genetik, bencana lingkungan sejalan dengan kerusakan hutan), sosial (rusaknya sumberdaya hutan dimana masyarakat yang tinggal di/sekitar hutan bergantung untuk sumber penghidupannya), dan ekonomi (menurunnya kontribusi sektor kehutanan dalam pembangunan ekonomi nasional). Untuk itu Indonesia dituntut untuk dapat meminimalkan kerusakan hutan yang antara lain dapat dilakukan melalui pengurangan deforestasi dan degradasi hutan. REDD dalam kaitan dengan upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi di negara berkembang, adalah merupakan mekanisme internasional yang dapat mendukung upaya Indonesia dalam mencapai tujuan reformasi yang telah/sedang dilakukan di sektor kehutanan, baik melalui aliran dana, peningkatan kapasitas maupun transfer teknologi 74 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim e. Potensi pasar REDD di Indonesia Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa skema REDD sampai saat ini masih dalam proses negosiasi di bawah COP -Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC). Dengan demikian, perdagangan carbon dalam rangka pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi yang terjadi (bila ada) adalah melalui pasar sukarela (voluntary market). Gambar 6 menunjukkan pasar carbon yang ada di tingkat global saat ini melalui berbagai mekanisme baik di bawah Kyoto Protocol (antar negara maju yaitu Joint Implementation/JI dan Emission Trading/JT), dan antara negara maju dengan negara berkembang yaitu Clean Development Mechanism/ CDM), maupun pasar sukarela. Sampai saat ini belum jelas berapa potensi pasar REDD, namun dilihat dari pasar carbon yang ada dan perkembangan negosiasi di COP, potensi pasar REDD diperkirakan berkisar antara USD 2-31 milyar dengan asumsi pengurangan emisi dari deforestasi antara 10 - 50 % dan harga carbon antara USD 7-20 per ton CO2. Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan dana ODA yang saat ini tersedia untuk sektor kehutanan di negara berkembang sebesar USD 1.5 milyar dan pasar A/R CDM sebesar USD 100 ribu dari total CDM sebesar USD 8 milyar (Studi IFCA 2007). Seberapa potensi Indonesia (REDDI/Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation in Indonesia), dapat dikalkulasi sebagai berikut : Di tingkat Global, emisi tahunan dari deforestasi sebesar 4.8 Gt CO2 (1.3 Gt C), potensi pengurangan emisi antara 10-50%, dan harga $7-20/tCO2, potensi pasar sebesar US $ 2-31 milyar per tahun. Indonesia, dengan menggunakan data laju Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 75 deforestasi antara tahun 2000-2005 sekitar 1,2 juta ha per tahun, dan asumsi stok carbon antara 100-300 ton per ha (~ 368 – 1104 ton CO2 per ha), maka potensi REDDI antara USD 0.31 - 13,25 Milyar. 2. Perkembangan REDD di tingkat nasional Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan adalah semua upaya pengelolaan hutan dalam rangka pencegahan dan atau penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon yang dilakukan melalui berbagai kegiatan untuk mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan . 2.1 Isu nasional tentang deforestasi dan degradasi Pemecahan masalah deforestasi dan degradasi hutan tidak dapat dipisahkan dari pemecahan masalah pembangunan nasional secara keseluruhan. Kehutanan merupakan sektor berbasis lahan (tata guna lahan), eksistensinya tidak terpisah dari keperluan pembangunan sektor lain seperti pertanian, infrastruktur, industri dll. Emisi dari deforestasi dan degradasi adalah isu internasional, yang memerlukan aksi nyata di tingkat nasional-lokal. Meletakkan isu ini ke dalam kebijakan pembangunan kehutanan dan nasionallokal sangat krusial untuk menjamin kesinambungan upaya dan dampak positif. Upaya ini memerlukan bantuan pendanaan, peningkatan kapasitas, dan transfer teknologi dari masyarakat global terutama negara maju sesuai mandat UNFCCC. Gambar dibawah ini memperlihatkan peran hutan yang dikelola secara lestari dalam stabilitas GRK dan pembangunan berkelanjutan 76 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim Sementara itu, penanganan isu perubahan iklim dalam Kebijakan Nasional dapat dilihat sebagaimana tabel di bawah ini: KEBIJAKAN PRIORITAS KONTRIBUSI TERHADAP PENANGANAN ISU PERUBAHAN IKLIM Pemberantasan pencurian dan perdagangan kayu illegal Pengurangan emisi • Pengurangan emisi, • Peningkatan sink, • Peningkatan sink, Rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan • Pengurangan emisi, • Mempertahankan carbon stock (carbon conservation), peningkatan resiliensi Pemberdayaan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan • Pengurangan emisi, • Peningkatan sink, Revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri kehutanan Pemantapan kawasan hutan Penciptaan kondisi pemungkin (enabling conditions) Sumber: Departemen Kehutanan 2.2 Regulasi dan Kelembagaan yang diperlukan untuk pelaksanaan kegiatan REDD Kebijakan nasional yang disusun untuk pengaturan pelaksanaan REDD (Penurunan Emisi dari deforestasi dan degradasi hutan) disusun dengan merujuk kepada keputusan internasional terkait dengan REDD karena pelaksanaan REDD akan menjadi bagian dari komitment Indonesia sebagai salah satu negara penandatangan konvensi perubahan iklim (UNFCCC) dalam mendukung upaya mengatasi masalah pemanasan global. Sampai saat ini kebijakan dan peraturan terkait dengan REDD masih terus berproses, matrik berikut ini memperlihatkan kebijakan nasional terkait REDD yang dikeluarkan oleh berbagai instansi. Kebijakan nasional terkait dengan REDD dan Perubahan Iklim. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 77 Instansi terkait Dephut (MoF) KLH (MoE) UU (Law) UU No 41 /1999 tentang kehutanan UU No1/2004 tentang kehutanan UU No 26/2007 tentang perencanaan spatial; menyatakn bahwa tutuoan hutan minimal 30% dari areal DAS PP (Government Regulation) KEPRES (Presidential Decree)/ Presidential Instruction (INPRES) PP 45/2004 ; tentang perlindungan Hutan PP6/2007 , diamandemen menjadi PP3/2008 ttg pengelolaan hutan Menko Perekonomian • Permenhut No 61 tahun 2008 ttg restorasi ekosistem • Permenhut No. 68 tahun 2008 tentang pelaksanaan demonstration activity REDD • Permenhut No. 30 tahun 2009 tentang tata cara pelaksanaan REDD • Permenhut No. 36 tahun 2009 tentang tata cara perijinan usaha pemanfaatan penyerapan dan/atau penyimpanan karbon pada hutan produksi dan hutan lindung UU No.6/1994 Pengesahan UNFCCC (UNFCC ratification) UU No. 23 /1997 tentang Pengelolaan Lingkungan hidup (Environment management) UU 17/2005 tentang ratifikasi Kyoto Protokol KEP /M.PPN/2008 tentang koordinasi kerjasama dalam bidang perubahan iklim UU 32/2004 tentang (Pemerintah Daerah) PERDA (Local Government Regulation) Peraturan lainnya Other Regulations • • • • Bappenas (National Dev Planning) Depdagri (MOHA) PERMEN (Ministrial Decree) INPRES 5/2008 ttg REDD • Renja Kehutanan 2006-2025 Renstra kehutanan RKTN (Rencana Kehutanan Tingkat Nasional) Reja nasional 2004-2009 National development planning: Indonesia responses to climate change Dalam rangka pelaksanaan kegiatan REDD, maka setidaknya diperlukan pengaturan dan penetapan sebagai berikut : • Pengaturan pengelolaan dana di tingkat national dan lokal (mekanisme penerimaan dana internasional, pendistribusian, up front financing bila diperlukan) • Penetapan Emissions Reference Level (nasional, sistem monitoring, pelaporan dan verifikasi (kriteria untuk menjamin kredibilitas, institusi yang bertanggung jawab dll) • National registry (institusi yang bertanggung jawab untuk me-record dan tracking kredit REDD) • Peraturan-perundangan (regulasi yang ada : nasional dan lokal, penyesuaian yang diperlukan dll) • Institusi penanggung jawab (penilaian usulan, pemberian approval dll) • Penjual (masyarakat, business community, pemerintah) Saat ini pembangunan kelembagaan untuk penangan issue REDD masih dalam proses namun demikian lembaga yang perlu dibentuk terkait dengan pelaksanaan REDD adalah sebagai berikut : • Dewan Perubahan Iklim betugas merumuskan kebijakan nasional, strategi, program dan kegiatan pengendalian perubahan iklim dan mengkoordinasikan kegiatan dalam pelaksanaan tugas pengendalian perubahan iklim yang meliputi kegiatan adaptasi, mitigasi, alih teknologi dan pendanaan • Komisi REDD adalah komisi yang dibentuk oleh Menteri dan bertugas dalam pengurusan pelaksanaan REDD • Lembaga Penilai Independent adalan lembaga yang berhak melakukan verifikasi laporan hasil kegiatan REDD • Registrasi Nasional adalah lembaga yang mempunyai tugas melakukan pencatatan atas semua kegiatan REDD • KPH (P/L/K) sebagai salah satu premakarsa kegiatan REDD 2.3. Mekanisme pelaksanaan percontohan (Demonstration Activities) REDD Mekanisme pelaksanaan kegiatan REDD di Indonesia diatur oleh Permenhut No. 30/Menhut-II/2009 tentang tatacara pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi dan Permenhut No. 68/Menhut-II/2008 tentang penyelenggaraan demonstration activities REDD 2.4 Pelaksanaan proyek REDD di tingkat lapangan (tapak). Menurut Permenhut No. 30/Menhut-II/2009, masyarakat pemilik atau pengelola hutan dapat mengajukan permohonan untuk kegiatan REDD. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 79 Keterlibatan masyarakat sebagai stakeholder dalam proses pengusulan kegiatan demonstrasi REDD sangat penting untuk menciptakan kepemilikan untuk menjamin komitmen dari para stakeholder. Komitmen stakeholder diperlukan untuk lancarnya implementasi kegiatan dan juga untuk menjamin keberlanjutan kegiatan. Dua hal ini sangat tergantung pada partisipasi aktif para stakeholder diantaranya masyarakat. Konsultasi dan partisipasi masyarakat lokal perlu dilakukan, mengingat keputusan COP 13 yang menyatakan bahwa kebutuhan masyarakat lokal harus diperhatikan ketika kegiatan untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan dilakukan. Matrik dibawah ini adalah kompilasi inisiative-inisiative yang muncul terkait dengan pelaksanaan kegiatan skema REDD dibawah program pendanaan internasional. 80 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim Negara Inggris Jerman No. 1 2 FORESTRY-CLIMATE CHANGE programme Issue Climate Change dan REDD Durasi 7 tahun, dimulai awal tahun 2009 2007-2010 Cooperation to Support Forest Governance and Multistakeholders Forestry Programme Financial Cooperation / FC Waktu (durasi) Judul 20 juta Euro 5 juta Poundsterling Jumlah Dana Through a multistakeholder approach, help build capacity of central and local government and civil society, support partnerships between government and civil society, promote policy analysis and development, and support poverty reduction through more equitable and sustainable management of natural resources, with a particular focus on the rights and opportunities through community forestry for disadvantaged and women’s groups; Explore the opportunities for governance reforms that are necessary for Reduced Emissions from Deforestation and Degradation (REDD). 2. 3. Location : Kabupaten Malinau dan Kapuas Hulu With activities : Investments in ReadinessActivities in REDD Demonstration Institutional Set-Up and Implementation Concept • Payment Distribusment Overal Objective: To support Indonesia with the reduction of Green House Gases (GHG) emission (mitigation) from deforestation and degradation.in demonstration projects in selected districts of Kalimantan ; targets will be defined for the specific demonstration activities and will be in accordance to the district emission baselines Specific Objective: Support governance reforms to reduce and eventually eliminate illegal logging and its associated timber trade, with a particular focus on support to negotiation and implementation of the EU-GoI FLEGT VPA and other international arrangements; 1. Tujuan Matrik kerjasama Pemerintah Indonesia dengan beberapa Negara untuk pelaksanaan kegiatan skema REDD (pembangunan Demonstration activities) 3 Australia Kalimantan Forests and Climate Partnership A Program of Bilateral Cooperation to Reduce Greenhouse Gas Emissions Associated with Deforestation in Indonesia under the Global Initiative on Forests and Climate Technical Cooperation / TC Supporting implementation of Ministry of Forestry’s strategic plan Oktober 2007 s.d Oktober 2012 Dimulai pertengahan 2008 untuk durasi 3 (tiga) tahun 30 juta dollar Australia 10 juta dollar Australia 3,5 juta Euro (3) FireWatch Indonesia FireWatch Indonesia is being implemented by Landgate and aims to provide fire fighting teams with timely access to information required to identify and suppress fires. This will be achieved through a system that transfers data from satellite receiving stations in Rumpin and Parepare to the Ministry of Forestry and Ministry of Environment offices in Jakarta and two pilot provinces: Central Kalimantan and Riau (nodes). Training of LAPAN and Ministry of Forestry staff has taken place in Perth and the nodes are being connected through the INHERENT network, a high speed internet and microwave link. Installation of computer servers and further training of support staff are planned over the coming months. In relation to the FireWatch Indonesia activity, Pak Darori (DG, Conservation) visited Landgate in Perth, Western Australia, from 29th June–2nd (2) Kalimantan Forests and Climate Partnership (KFCP) An intensive round of consultation on the KFCP design has taken place with central and local government agencie The targets for the KFCP is in central Kalimantan. The original targets of 70,000ha for avoided deforestation, 200,000ha peatland rehabilitation, and planting of 100 million trees were based on a total funding goal of A$100 million. It was noted that with current resources (A$30m) the KFCP is focusing on avoided deforestation over an area of 70,000ha, within a total project area of about 130,000ha. The KFCP is being designed so that it can be scaled up to the other targets as additional partner contributions are secured. (1) Forest Resources Information System / Indonesia National Carbon Accounting System The objective is to allow estimation of greenhouse emissions over time. In due course, this work will be used to help test policy scenarios around the setting of reference emissions levels and other practical issues relating to the implementation of a REDD mechanism in Indonesia. The goal of the program is to support GOI efforts to reduce greenhouse gas emissions associated with deforestation in Indonesia, through action to reduce rates of deforestation, support reforestation and promote sustainable forest management, delivering improvements in rural livelihoods and environmental benefits. Activities will be divided into 3 components/issues : 1.Policy and strategies 2.Implementation of strategic plan (REDD and FMU) 3. Conservation and sustainable development (HoB) Government agencies, local communities, civil society and private sector implement improved institutional and regulatory framework, approaches, methodologies, and services to promote conservation and sustainable development and reduction of greenhouse gas emissions from deforestation and forest degradation in selected districts in Kalimantan. World Bank Forest Carbon Pantership facilities Tropical forest conservation for reducing emission from deforestation and degradation and enhancing carbon stocks in Meru Betiri National Park Indonesia UN-REDD 2009-2011 2008-2012 4 years 5 juta dollar US Keterangan: Data diambil Pusat Kerjasama Luarnegeri Dephut sampai dengan Juli 2009 7. ITTO UN REDD Norwegian government 5. 6. Republik Korea 4 Korea-Indonesia Joint Program on Adaptation and Mitigation of Climate Change in Forestry through Afforestation/ Reforestation Clean Development Mechanism (A/R CDM) and other Related Mechanisms To analyze REDD application, one of the key issues in international climate change discussions, and to acquire framework in carbon credits by preventing forest conversion as a post-2012 preparative measure To implement capacity building programs including expert exchange and training courses 2. 3. To suport REDDI readineness (1) To improve livelihood local communities living inside and in surrounding of Meru Betiri Nationa park through oarticipation in avoiding deforestation, degradation and biodiversity loss and (2) to develop credible measurable, reportable, and verifiable sytem for monitoring emission from REDD and enhanchement carbon stock in the Meru Betiri National park east Java To suport REDD readiness and Demonstration activities The partnership will focus on supporting Indonesia’s efforts to reforesting the ex-mega rice project as well as conserving the rich bio-diversity of forested peatland, promoting sustainable forest management and addressing illegal logging and illegal timber trade. The partnership will, in turn, contribute also to the enhancement of livelihood for forest-dependent communities. To acquire cost-effective potential A/R CDM sites and to establish foundation for carbon credits in preparation of post-2012 emission commitment 1. (4) Second REDD demonstration At the Australia-Indonesia Ministerial Forum (AIMF), held in Canberra from 11th-12th November 2008, ministers agreed to develop a second REDD demonstration activity (Demo II) under the IAFCP. A broad set of principles to address in Demo II has been agreed and a shortlist of locations has been identified, comprising Jambi, Bengkulu-South Sumatra, Halmahera and Central Sulawesi. July. 5. Implikasi pelaksanaan REDD terhadap masyarakat Masalah kerusakan hutan menjadi sorotan dunia, khususnya dikaitkan dengan isu perubahan iklim. Sementara itu masalah kemiskinan pun menjadi persoalan yang semakin menjadi perhatian banyak pihak. REDD merupakan salah satu mekanisme yang ditawarkan untuk merespon permasalah tersebut dengan pemberian kompensasi yang cukup besar bila dapat mengurangi emisi karbon hutan. Bagi Indonesia pendapatan (revenue) yang didapat dari REDD ini dipercaya dapat mendukung pengelolaan hutan yang lebih berkelanjutan. Adanya revenue yang besar dari REDD ini menuntut persyaratan, kesiapan, kemampuan dan kerjasama berbagai pihak termasuk masyarakat untuk bisa meraihnya. Selain itu persyaratan penting lainnya adalah dipunyainya baseline data untuk tingkat nasional, mekanisme monitoring, mekanisme distribusi hasil pembayaran karbon yang saat ini dalam tahap persiapan. Peluang yang akan diperoleh stakeholder penting termasuk masyarakat adalah adanya dukungan pengembangan kapasitas, bantuan teknis dan tranfer teknologi yang dapat digunakan untuk memperkuat kemampuan dalam menghitung karbon, membuat database kehutanan yang lebih akurat dan membangun kelembagaan yang diperlukan termasuk lembaga kemasyarakatan. Selain itu masyarakat dilibatkan dalam proses membangun model percontohan “demonstration activities” yang akan mulai dilaksanakan. Skema REDD jika berjalan dengan baik dapat memberikan kesempatan masyarakat di sekitar hutan untuk dapat meningkatkan taraf hidupnya. Sehingga ada pemahaman yang berkembang terutama di daerah bahwa pemerintah/ masyarakat akan memperoleh keuntungan besar dari mekanisme ini, sementara banyak yang belum jelas tentang peran yang harus mereka mainkan, tanggung jawab yang harus mereka pikul, hak yang akan diterimakan dsb. Perlu diingat mekanisma REDD bukan untuk mendulang uang tapi merupakan investasi mendatang untuk perbaikan lingkungan. Penerapan pengelolaan hutan berbasis masyarakat adalah untuk menjaga kelestarian fungsi hutan yang seimbang dari sisi ekologi dan ekonomi merupakan kegiatan prinsip dalam Skema REDD dan itu bukan saja akan menguntungkan masyarakat itu sendiri tetapi juga kepentingan masyarakat secara lebih luas, termasuk masyarakat global. Dengan dukungan kebijakan yang baik diharapkan penerapan pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat dapat mempercepat penghutanan kembali dan sekaligus menguatkan ekonomi rakyat dalam mempercepat pengentasan kemiskinan. Meningkatkan skala praktik pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang berkelanjutan akan berdampak nyata terhadap mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dan secara simultan mengarah kepada pencapaian millenium development goals. 84 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim BAB 5 STRATEGI PERBAIKAN KONDISI HUTAN OLEH MASYAAKAT Ruang Lingkup dan Sasaran dari Materi ini: Peranan hutan dan kehutanan dalam isu-isu perubahan iklim sangat penting, dan hampir dibahas dalam berbagai forum. Perkembangan terakhir mengenai peran hutan tersebut terdapat dalam konsep REDD dan skema lainnya, yang potensinya dalam pendanaan dan perdagangan karbon saat ini banyak dikembangkan. Potensi pendanan dan perdagangan karbon dari hutan ini tentu saja harus memenuhi persyaratan kondisi hutan yang dikelola dengan baik, serta upaya konservasi dan rehabilitasi kondisi hutan yang ada, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat. Dalam materi ini disampaikan hal-hal yang terkait dengan fungsi hutan, interaksi hutan dan masyarakat, faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan hutan (deforestasi atau degradasi hutan) sehingga diharapkan masyarakat dapat memahami fungsi-fungsi hutan sebagaimana yang diatur dalam undang-undang. Juga dapat menimbulkan perhatian yang lebih serius akan hal ini sehingga masyarakat dapat berperan aktif mencegah dan mengendalikan terjadinya kerusakan hutan. Disampaikan pula bagaimana peran pemerintah dan masyarakat dalam mencegah kerusakan hutan yang terjadi. Jika masyarakat telah memahami posisinya maka diharapkan masyarakat dapat berperan serta dalam menyusun strategi pengendalian dan perbaikan kondisi pengelolaan hutan dilingkungannya. Kegiatan pengelolaan hutan yang baik, dan kegiatan pencegahan terjadinya deforestasi dan degradasi hutan mempunyai potensi untuk dijadikan proyek-proyek karbon yang dapat dikembangkan oleh masyarakat sekitar hutan. Pengembangan hutan kemasyarakatan, hutan rakyat, hutan desa dan hutan tanaman rakyat adalah beberapa contoh dari kegiatan yang bisa dikembangkan dalam proyek-proyek karbon. Dalam upaya perbaikan kondisi hutan melalui rehabilitasi hutan, tata kelola hutan yang baik dan mencegah deforestasi memerlukan sumber-sumber pendanaan. Selain sumber pendanaan pemerintah dan donor, juga ada peluang sumber pendanaan dari kredit karbon hutan melalui mekanisme perdagangan atau pendanaan karbon. Sumber pendanaan untuk rehabilitasi hutan dan potensi pemanfaatan dari kredit karbon hutan juga disampaikan dalam materi ini. Dengan demikian masyarakat diharapkan dapat menggali potensi ini dan Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 85 memanfaatkannya untuk pengembangan dan pembangunan hutan di sekitar lingkungannnya. Topik dan Materi Bahasan: 1. Fungsi pokok dan status kawasan hutan 2. Faktor-faktor Penyebab Kerusakan Hutan dan Pencegahannya. 3. Peranan Pemerintah dan Masyarakat Dalam Mencegah Kerusakan Hutan dan Memperbaiki Kondisi Hutan. 4. Strategi Rehabilitasi Hutan oleh Masyarakat. 5. Potensi sumber-sumber pendanaan perbaikan hutan. Setelah mengikuti sosialisasi terkait meteri ini maka diharapkan dapat 1. Memahami fungsi dan status kawasan hutan sebagaimana yang diamanahkan dalam undang-undang. 2. Mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya kerusakan hutan atau deforestasi dan degradasi hutan. 3. Mengetahui strategi perbaikan kondisi hutan dan upaya-upaya pencegahan terjadinya kerusakan hutan. 4. Memahami kegiatan-kegiatan rehabilitasi hutan dan potensi sumber pendanaan rehabiliatsi hutan. 1. Fungsi Pokok Hutan Hampir tidak ada manusia yang tidak berhubungan dengan hutan dalam kehidupan sehari-harinya. Langsung atau tidak langsung hutan telah menjadi bagian penting bagi kehidupan manusia. Akan tetapi seberapa jauh hutan berpengaruh terhadap kehidupan manusia dan lingkungannya? Tidaklah banyak yang menyadarinya. Juga bagaimana hutan itu dikelola atau dimanfaatkan oleh pemerintah atau badan usaha atau perorangan yang memperoleh izin, maka tidaklah semua kita dapat memahaminya. Hutan secara tradisional telah menyatu dalam kehidupan masyarakat sekitar hutan sedangkan perkembangan pengaturan pengelolaan hutan itu sendiri tidak banyak dipahami oleh masyarakat luas. Bagi masyarakat awam hutan itu lebih banyak diketahui sebagai pengatur tata air ketika musim hujan dan musim kering silih berganti, dan hutan sebagai sumber penghidupan subsisten (cukup untuk memenuhi kehidupan seharihari), dan atau hutan sebagai sumber ekonomi yang diekploitasi kayunya, dan atau hutan sebagai sumber lahan-lahan baru yang dapat dikonversi menjadi lahan pertanian, kebun dan sebagainya. Dan adanya kerusakan hutan biasanya langsung secara fisik dirasakan oleh masyarakat dengan perubahan-perubahan lingkungan mikro disekitarnya. Kampung atau desa yang menjadi lebih panas, kekeringan yang semakin dirasakan, atau banjir yang lebih sering terjadi, atau 86 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim satwa liar yang menjadi hama tanaman yang semakin sering merusak tanaman pertanian dsb. Itulah contoh-contoh indikator kerusakan hutan yang dirasakan oleh masyarakat. Sebaliknya masyarakat tidak pula menyadari bahwa keberadaan manusia dan meningkatnya populasi yang tinggal disekitar hutan telah mengakibatkan hutan selalu dibawah ancaman. Sebagian masyarakat juga tidak menyadari bahwa pengaturan-pengaturan tata ruang hutan telah diatur dalam perundangundangan yang dibuat pemerintah yang harus dipatuhi. Oleh karena itu adalah penting bagi masing-masing orang mengetahui bagaimana undang-undang telah mengatur fungsi-fungsi hutan tersebut. Dengan mengetahui hal ini diharapkan kepada semua orang atau pihak atau lembaga dapat menjadi mengerti dan tidak saling menyalahkan apabila terjadi sesuatu perubahan dalam hutan yang ada disekitarnya. Adapun peraturan perundangan yang mengatur hutan dan kehutanan di Indonesia adalah Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang undang ini adalah pengganti Undang-undang Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1967 yang terbit dan berlaku sejak tahun 1967. Dari UU 41/199 telah pula diterbitkan beberapa Peraturan Pemerintah (PP) yaitu PP No. 44 /2004 tentang Perencanaan Hutan, PP 6/2008, tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan dan perubahnnya sebagaimana PP 3/2008, PP No. 45/2004 tentang Perlindungan Hutan, serta beberapa Peraturan Menteri Kehutanan sebagai dasar pelaksanaannya. Konsideran Undang-Undang nomo 41 tahun 1999 menyebutkan bahwa hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, memberi manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang. Dalam konsideran ini terlihat bahwa hutan itu adalah kekayaan negara yang harus dimanfaatkan bagi kemakmuran rakyat dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan yang lestari. Selanjutnya disadari pula bahwa hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya, oleh karena itu keberadaanya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus dengan akhlak, adil, arif, bijaksana, terbuka, secara profesional serta bertanggung-gugat. Dengan menurunnya konsisi hutan itu maka berbagai upaya harus dilakukan untuk dapat mempertahankan dan memperbaiki kondisi hutan yang ada agar fungsinya sebagai penyangga kehidupan dapat pulih sebagaimana mestinya. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 87 Selanjutnya hutan didefenisikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Dalam defenisi ini terlihat bahwa pepohonan merupakan komponen penting dalam hutan dan lingkungannya, sehingga ketiadaan pohon dalam suatu kawasan hutan sering disebut sebagai hutan rusak, atau telah terjadinya deforestasi (deforestation), atau degradasi (degradation). 1.1. Status Kawasan Hutan Berdasarkan statusnya hutan terdiri dari Hutan Negara, dan Hutan Hak. Hutan Negara dapat pula berupa Hutan Adat. Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Hutan Hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Dalam istilah tata ruang maka dikenal istilah Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) dan Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK) atau biasa juga disebut sebagai Areal Penggunaan Lain (APL). Kawasan KBK itu adalah kawaan hutan tetap yang telah ditetapkan statusnya oleh pemerintah. Sedangkan kawasan KBNK atau APL adalah kawasan hutan yang telah dikeluarkan statusnya sebagai kawasan hutan dan biasanya akan digunakan untuk penggunaan lain seperti perkebunan, perluasan kota atau pemukiman, dan pengunaan lain untuk pembangunan sektor non kehutanan. Undang-undang juga mengakui keberadaan Hutan Adat yaitu hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Hutan Adat ini ditetapkan statusnya oleh Pemerintah sebagaimana diatur dalam undang-undang bahwa Pemerintah menetapkan status hutan dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Keberadaan masyarakat hukum adat ini harus didukung oleh pengakuan yang disahkan oleh pemerintah daerah setempat. 1.2. Fungsi-fungsi Pokok Hutan. Berdasarkan fungsinya pemerintah membedakan tiga fungsi pokok hutan yaitu: 1. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. 2. Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. 3. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. 88 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim Selanjutnya Hutan konservasi dibedakan lagi menjadi: • Kawasan hutan suaka alam. • Kawasan hutan pelestarian alam, • Taman buru. Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan. Kawasan pelestarian alam adalah huta dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Bagaimanan hutan dapat berfungsi sebagaimana yang diamanahkan oleh Undangundang tersebut? Tata ruang wilayah telah diatur oleh pemerintah sebagaimana dalam Undangundang No. 39/2008. Demikian pula hutan telah diatur tata ruangnya berdasarkan fungsi-fungsi yang telah dijelaskan diatas. Setiap orang atau pihak harus menghormati tata ruang yang telah dibuat. Dengan demikian maka kita telah berperan mempertahankan fungsi hutan sebagaimana mestinya. Jika ada pihak yang tidak menghormati tata ruang ini maka dengan demikian akan mempercepat perubahan terjadinya fungsi hutan secara tidak terencana. Fungsi hutan dapat saja berubah namun harus melalui pengkajian yang konfrehensif dan mempunyai alasan yang kuat mengapa perubahan fungsi hutan itu diperlukan. Hutan produksi berfungsi sebagai tempat memproduksi hasil-hasil hutan yang diperlukan oleh masyarakat baik berupa kayu ataupun non kayu. Pemerintah telah pula mengatur bagaimana cara-cara pengambilan hasil hutan kayu atau non kayu sehingga hutan produksi yang dimaksud dapat dikelola secara lestari, sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) no. 6/2008 dan PP no 3/2008, dan peraturan Menteri Kehutanan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari PP tersebut). Hutan lindung sebagaiman fungsinya harus diposisikan sebagai perlindungan. Perubahan fungsi hutan lindung memerlukan persyaratan dan pertimbangan teknis dan keilmuan yang ketat terutama yang dapat memperkirakan dampak jangka panjang dari perubahan terebut. Begitu pula halnya dengan perubahan fungsi kawasan konservasi dimana perubahan fungsi akan dapat mengakibatkan hilangnya suatu jenis atau berkurangnya keanekaragaman hayati yang dalam jangka panjang berdampak besar. Oleh karena itu perubahan fungsi pada hutan lindung dan hutan konservasi sedapat mungkin hendaknya dapat dihindari. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 89 1.3. Implikasi Perubahan Fungsi Hutan. Fungsi hutan yang begitu luas hampir tidak mungkin digantikan oleh bangunan atau sarana yang dibangun oleh manusia. Fungsi hutan sangat kompleks dan berjalannya suatu fungsi hutan telah terjadi secara evolusi dan beradaptasi dengan kondisi setempat dalam waktu yang relatif lama. Maka dari itu berubahnya fungsi hutan akan membawa dampak bagi lingkungan sekitarnya. Penetapan fungsi hutan tentu telah didasarkan oleh kaedah-kaedah keilmuan yang mempertimbangkan keadaan topografi, kekhususan hutan, lingkungan, tipe hutan dan lain sebagainya. Fungsi hutan tidak dapat begitu saja dirubah oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Perubahan fungsi hutan harus melalui pengkajian yang konfrehensif yang melibatkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan harus memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Banyak pelajaran yang dapat dilihat dari serangkaian bencana yang terjadi seperti banjir, longsor, kekeringan sebagai dampak dari menurunnya kondisi hutan, akibat perubahan fungsi yang tidak terkendali. Ini memperlihatkan betapa pentingnya fungsi hutan bagi lingkungan mikro maupun makro secara umum. Peranan hutan dalam perubahan iklim saat ini menjadi dalam perbahasan isu-isu global. (lihat Bab I dan Bab II dari Modul ini) 2. Faktor-faktor Penyebab Kerusakan Hutan Kerusakan hutan secara umum dapat didefenisikan sebagai penurunan fungsifungsi hutan yang dapat dilihat dari perubahan-perubahan yang terjadi dengan berkurangannya penutupan lahan, berubahnya komposisi jenis, penggundulan hutan serta bentuk lain, yang secara fisik dapat dilihat telah berubah dari kondisi awalnya. Didalam isu-isu perubahan iklim kerusakan hutan ini sering disebut dengan deforestasi dan atau degradasi, tergantung pada tingkat kerusakan hutan dan lahan yang terjadi. Memahami faktor yang menyebabkan kerusakan hutan adalah sangat penting untuk merancang kebijakan dan efekifitas kelembagaan untuk mengurangi laju kerusakan hutan. Banyak faktor penyebab kerusakan hutan dan satu sama lain saling terkait. Namun yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu, Pertama: penyebab langsung adalah adalah kegiatan manusia yang secara langsung berdampak kepada lingkungan pada tingkat lokal, dan Kedua: penyebab tidak langsung yaitu faktor sosial, ekonomi, politis yang secara tidak langsung mengakibatklan terjadinya deforestasi/kerusakan hutan. Melihat kerusakan hutan haruslah secara proporsional. Tidak semua kerusakan hutan yang terjadi akan berdampak buruk kepada hutan dan lingkungannya. Kerusakan hutan dapat pula terjadi secara alamiah, namun kerusakan hutan 90 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim seperti ini tidak menjadi perhatian karena kerusakannya akan dapat pulih kembali dengan sendirinya. Pemanenan kayu yang terjadi pada hutan produksi tidak dapat dikatakan sebagai kerusakan hutan apabila pemanenan itu telah dilakukan sesuai dengan perencanaan dan ilmu-ilmu pemanen hutan yang benar. Adapun kerusakan yang terjadi akibat pohon tumbang, bekas jalan sarad, tegakan tinggal yang rusak merupakan kerusakan yang diperkirakan dapat pulih kembali selama hutan produksi itu dapat dikelola dengan baik. Namun kerusakan hutan dapat terjadi pada hutan produksi yang dapat dikategorikan sebagai deforestasi atau degradasi bila pemegang izin IUPHHK/HPH tidak melaksanakan pengelolaan hutan sesuai ketentuan, atau pengelolaan hutan tidak menerapkan prinsip-prinsip hutan lestari. Adapun kerusakan yang timbul pada hutan-hutan konservasi atau hutan lindung lebih banyak diakibatkan oleh pencurian kayu atau pembalakan liar, karena penebangan pohon dilakukan secara tidak terkendali dan tidak dilakukan penanaman kembali. Kebakaran hutan dan bencana alam seperti longsor, banjir bandang, dan perambahan juga menjadi faktor penting kerusakan hutan yang terjadi pada hutan lindung dan hutan konservasi. Berikut ini dapat dilihat faktor-faktor yang potensial menyebabkan terjadinya kerusakan hutan pada berbagai fungsi hutan yang ada. 2.1. Kerusakan pada hutan produksi. Hutan produksi sebagaimana maksudnya adalah sebagai fungsi produksi hasil-hasil hutan yang selanjutnya dimanfaatkan bagi kepentingan ekonomi dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Hutan produksi di Indonesia dikelola dengan cara diberikan hak pemanfaatannya kepada badan usaha dalam bentuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK/HPH) baik di hutan alam maupun dalam bentuk hutan tanaman. Secara umum hutan produksi diharuskan dilekola dalam bentuk sistem pengelolaan hutan produksi yang lestari (PHPL), dan dengan demikian baik fungsi pokoknya secara ekonomi dan fungsi lainnya sebagai fungsi ekologi dan sosial akan dapat dipelihara pula secara lestari oleh badan usaha yang diberi izin pemanfaatannnya itu. Namun demikian potensi penurunan fungsi hutan produksi dapat saja terjadi. Berikut ini adalah kegiatan-kegiatan pada hutan produksi yang berpotensi mengakibatkan kerusakan hutan: 1. Kegiatan pembalakan liar/illegal logging. 2. Konversi lahan hutan yang tidak sesuai ketentuan. 3. Tebang yang melebihi jatah tebang tahunan (sebagaimana yang tertuang dalam Rencana Karya Tahunan) 4. Menebang jenis-jenis yang dilindungi 5. Tidak melaksanakan perencanaan hutan dengan baik sehingga kegiatan pemungutan hasil hutan dilakukan secara sporadis dan tidak terencana. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 91 6. Mengoperasikan alat-alat berat tidak sesuai dengan spesifikasinya. 7. Penebangan di kawasan lindung atau kawasan konservasi dan sepadan sungai. 8. Kebakaran hutan Tidak melakukan pemeliharaan hutan dan penanaman kembali sebagaimana yang diatur dalam Sistem Tebang Pilih dan Tanam Indonesia (TPTI) yang meliputi 11 tahap kegiatan pembinaan hutan yang harus dilaksanakan secara benar. 2.2. Kerusakan pada hutan lindung. Hutan lindung dikelola oleh pemerintah, dan atau pemerintah daerah. Sebagaimana fungsinya sebagai fungsi lindung bagi lingkungan sekitarnya, dan pada umumnya bercirikan topografi yang berat, dan berada dalan remote area. Tetapi pada umumnya juga telah ada masyarakat yang tinggal didalam kawasan hutan ini. Lemahnya pengawasan dan kelembagaan maka hutan lindung ini juga sangat rentan terjadi kerusakan hutan. Faktor-faktor potensial terjadinya kerusakan hutan diantaranya adalah: 1. Kegiatan pembalakan liar/illegal logging 2. Penyerobotan lahan 3. Perladangan berpindah 4. Pertambangan illegal (Catatan: hutan lindung umumnya mengandung potensi tambang yang besar, tidak dikelola oleh badan usaha, kurang pengawasan, sehingga potensi penambangan illegal cukup besar). 5. Kebakaran hutan 6. Bencana alam longsor dan banjir bandang. 2.3. Kerusakan pada kawasan konservasi: Sebagai kawasan konservasi karena kekhasannya, hutan ini kaya akan keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah yang potensial. Kawasan konservasi ini umumnya berada pada hutan-hutan dataran rendah yang tanahnya subur. Kondisi ini membuat potensi terjadinya kerusakan hutan juga sangat tinggi, dan diantaranya adalah karena: 1. Kegiatan penebangan liar 2. Penyerobotan lahan (Catatan: kawasan konservasi umumnya mempunyai kesuburan tanah yang baik, akses mudah, pengawasan kurang sehingga potensi penyerobotan lahan cukup tinggi). 3. Perladangan 4. Pertambangan illegal 5. Kebakaran hutan 6. Pencurian sumber-sumber plasma nuthfah untuk komersial. 7. Konversi lahan untuk penggunaan lain. 92 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 3. Strategi untuk Mengurangi Terjadinya Kerusakan Hutan Banyak faktor yang menentukan bagaimana menyusun strategi dalam mengurangi terjadinya kerusakan hutan. Keberhasilan suatu strategi penyelamatan kawasan hutan sangat tergantung kepada kebijakan pemerintah dan pelaksanaan ketentuan, dan penegakan hukum, serta keterlibatan masyarakat dalam penyelamatan kawasan hutan tersebut. 3.1. Peran Kebijakan Pemerintah Menyadari besarnya potensi penurunan kualitas hutan maka pemerintah mulai melaksanakan program rehabilitasi hutan sejak tahun 1960an, dan sejak itu program rehabilitasi hutan dilaksanakan dalam bentuk konsep yang sangat beragam. Setidaknya dalam waktu lima puluh tahun terakhir ini ada 150 model (konsep) proyek rahablitasi hutan pada sekitar 400 lokasi diseluruh Indonesia (Adiwinata Nawir, dkk). Namun proyek rehabilitasi hutan baru sangat intensif dilakukan pada dekade 1980 sampai sekarang sejalan dengan kesadaran bahwa laju kerusakan hutan sangat meningkat sejak dekade itu. Sejumlah model proyek telah dilaksanakan seperti progam reboisasi dan penghijauan sejak tahun 1970an, pengembangan hutan tanaman industri (timber estate) sejak tahun 1980an, pembangunan HTI dengan Dana Reboisasi (Pembentukan usaha-usaha patungan dalam membangun HTI) sejak tahun 1990an, dan Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL/Gerhan) sejak tahun 2003. Secara tata waktu, program rehabilitasi hutan di Indonesia dimulai sejak awal Orde Baru yang tertuang dalam berbagai bentuk kebijakan pemerintah (dalam hal ini Departemen Kehutanan) yang dipayungi dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum pelaksanaan kegiatan. Rentang waktu kebijakan-kebijakan utama pemerintah yang mempengaruhi kegiatan rehabilitasi hutan di Indonesia, sejak awal pemerintah Orde Baru sampai saat ini adalah sebagai berikut: (dari Kartodihardjo dan Supriono 2000 dalam Nawir, 2006: CIFOR). 1. Awal Orde Baru dengan Rencana Pembangunan 25 tahun. 2. Undang-undang Pokok Kehutanan tahun 1967 3. Dana Jaminan Reboisasi tahun 1980 4. Terbentuknya Depertemen Kehutanan tahun 1983 5. Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1984. 6. Program Hutan Tanaman Industri tahun 1985 7. Sistem Tebang Pilih dan Tanam Indonesia tahun 1989 8. Undang-undang No. 41 tentang Kehutanan tahun 1999 9. Undang-undang Otonomi Daerah tahun 1999 10. Peraturan Pemerintah tentang Dana Reboisasi tahun 2002 11. Program Perhutanan Sosial tahun 2002 12. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL/Gerhan) tahun 2003. 13. Indonesia Menanam tahun 2008. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 93 Evaluasi dari program rehabilitasi hutan yang dilaksanakan pemerintah tersebut memperlihatkan beberapa permasalahan yang mengakibatkan program tersebut menjadi tidak efektif antara lain adalah: 1. Target pemerintah yang mengandalkan sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan nasional telah mengakibatkan terjadinya exploitasi hutan yang berlebihan sehingga terjadi ketidak seimbangan antara kerusakan hutan dengan upaya hrehabilitasi hutan. 2. Perkembangan isu yang komplek mengenai penyebab langsung terjadinya deforestasi dan degradasi hutan, yang mengakibatkan terjadinya kerancuan dalam membuat kebijakan. 3. Transisi dan perubahan kebijakan tentang rehabilitasi hutan, sehingga memperlihatkan ketidak konsistenan kebijakan pada setiap terjadi pergantian pemerintahan. 4. Program kegiatan rehabilitasi hutan yang berorientasi kepada keproyekan, yang pada banyak kasus mengakibatkan tidak terlaksananya teknis-teknis rehabilitasi hutan secara benar. Secara umum, sebagaimana yang juga diterapkan oleh berbagai negara, ada beberapa kebijakan pemerintah yang dapat mengurangi terjadinya degradasi dan deforestasi, diantaranya adalah: 1. Menetapkan sebanyak-banyaknya kawasan lindung (Konsep Perlindungan hutan). Melindungi kawasan hutan secara tegas merupakan cara yang paling sederhana dalam mengurangi deforestasi atau degradasi hutan dengan cara menetapkan suatu kawasan sebagai kawasan lindung atau kawasan konservasi. Namun cara ini pada kenyataannya kebanyakan tidak efektif, khususnya pada kawasan-kawasan yang di dalam atau disekitarnya telah ada pemukiman atau dihuni oleh masyarakat yang cenderung akan berkembang. Untuk pola perlindungan hutan ini ada dua strategi yang biasa diterapkan yaitu penetapan suatu areal menjadi kawasan lindung, dan manajemen infrastruktur yang ada disekitar kawasan hutan tersebut. • Kawasan lindung bisa menjadi sangat efektif untuk konservasi ekosistem alam akan tetapi keberhasilannya sangat tergantung pada dukungan dan peran masyarakat lokal. Oleh karena itu adalah sangat penting untuk mendesain pengelolaan kawasan lindung dengan melibatkan partisipasi masyarakat yang ada disekitar kawasan itu. • Pengembangan infrastruktur khususnya pembangunan jalan-jalan baru melintasi kawasan hutan adalah faktor yang menjadi titik awal dari terjadinya percepatan kerusakan hutan. Oleh karena itu dalam pengembangan wilayah yang dimulai dengan pembangunan infrastruktur perlu mempertimbangkan semua aspek termasuk dampak kepada lingkungan dan sosial sebagai akibat pembangunan jalan. Dengan mempertimbangkan aspek tersebut maka kebijakan pengembanangan wilayah dan pembangnan infrastruktur akan lebih tepat 94 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim dengan mengantisipasi dampak negatif kepada hutan dan merancanakan pencegahannya dari awal. Hal demikian tidaklah mudah karena lemahnya penegakan hukum dan konflik kepentingan terhadap suatu kawasan sering kali mengalahkan pertimbangan rasional sebuah kebijakan sehingga hutan dan lingkungan selalu menjadi korban dari konflik kepentingan tersebut. 2. Penetapan kawasan hutan sesuai dengan tata ruang secara konsisten. Tidak semua hutan dijadikan sebagai kawasan konservasi dibawah ketentuan-ketentuan perlindungan hutan. Sebagian kawasan hutan diperlukan untuk penggunaan lain seperti pertanian, pengembangan wilayah, penggunaan untuk pengembangan sektor lain seperti pertambagan, perkebunan dan lain sebagainya. Peruntukan kawasan hutan demikian telah tertuang dalam rencana tata ruang wilayah yang telah dibuat. Oleh karena itu konsistensi kebijakan pemerintah pada tata ruang ini akan menentukan keberhasilan strategi mencegah dan mengurangi terjadinya kerusakan hutan. Menekan terjadinya perubahan fungsi kawasan hutan bersama dengan mendorong upaya rehabilitasi hutan merupakan pertimbangan pada setiap kebijakan yang harus diambil. Pemerintah dalam menyusun kebijakan harus selalu berupaya mengurangi terjadinya kerusakan hutan atau berkurangnya luas kawasan hutan yang masih baik. Intensifikasi lahan untuk tujuan produksi produk pertanian merupakan kebijakan yang dapat mengurangi laju konversi lahan yang ada. Saat ini dan dimasa yang akan datang ini pengelolaan kawasan hutan yang baik akan sangat berpotensi untuk mendapatkan dana pembanguan dari sumber-sumber dana internasional diantaranya adalah perdagangan karbon atau pendanaan karbon untuk perbaikan rahabilitasi hutan. (Lihat Bab III. Mekanisme dan Peluang Perdagangan dan Pendanaan Karbon). Potensi sumber dana pembangunan dari perdagangan karbon ini dapat berasal dari hutan produksi, kawasan lindung dan juga dari hutan-hutan rakyat. Oleh karena itu potensi ekonomi hutan tidak semata berasal dari kayu akan tetapi juga dari jasa-jasa lingkungan. Hal ini hanya bisa diperloleh dari hutan-hutan yang dikelola dengan baik. Adalah kewajiban pemerintah dan masyarakat untuk selalu menjaga hutan dan mengurangi terjadinya deforestasi dan degradasi hutan. 3.2. Peran Serta Masyarakat. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan telah diakomodasikan dan diatur dalam Undang-undang No. 41/1999 sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 68 yaitu bahwa: “Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 95 hidup yang dihasilkan hutan”. Dan hak yang dimaksud adalah hak masyarakat untuk dapat : 1. Memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. 2. Mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan. 3. Memberi informasi, saran dan pertimbangan dalam pembangunan kehutanan, dan 4. Melakukan pengawasan terhadap pelakasanaan pembangnan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung. Selain mengatur tentang hak masyarakat sebagaimana diatas, Undang-undang juga mengatur kewajiban masyarakat terhadap hutan, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 69 yaitu: Masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan dari gangguan dan perusakan. Kewajiban masyarakat ini tentunya diujudkan dalam kegiatan-kegiatan yang berupaya mendorong tidak terjadinya kerusakan hutan seperti terlibat dalam mengawasi pelaksanaan pengelolaan hutan disekitarnya, dan atau terlibat dalam kegiatan rehabilitasi hutan baik yang dilaksanakan melalui program pemerintah maupun program rehabilitasi hutan yang diinisiasi secara swadaya masyarakat. Dalam melaksanakan rehabilitasi hutan, masyarakat dapat meminta pendampingan, pelayanan dan dukungan kepada lembaga swadaya masyarakat, pihak lain atau pemerintah sebagimana yang juga diatur dalam undang-undang. Lebih lanjut upaya-upaya pemberdayaan masyarakat dan peningkatan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan diatur pula dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P 01/Menhut-II/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam dan atau Sekitar Hutan dalam rangka Social Forestry. Pada kebanyakan studi kasus proyek-proyek rehabilitasi hutan yang dilaksanakan pemerintah maka peran serta masyarakat merupakan faktor kunci keberhasilan suatu proyek. Untuk itu maka menjadi penting melibatkan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan ataupun kegiatan pengelolaan hutan secara umum. 4. Strategi Rehabilitasi Hutan oleh Masyarakat Rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan perannya mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Kegiatan rehabilitasi hutan dapat dilakukan melalui kegiatan reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman, dan penerapan teknik-teknik konservasi tanah dan air secara vegatatif dan atau sipil teknis. 96 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim Memperhatikan faktor-faktor terjadinya kerusakan hutan atau deforestasi maka semua pemangku kepentingan (stakeholder) dapat memainkan perannya dalam rehabilitasi hutan. Peran pemerintah dalam rehabilitasi hutan selain melalui kebijakan adalah secara langsung mempunyai tanggungjawab untuk menjaga dan merehabilitasi lahan-lahan pada hutan negara, sedangkan masyarakat dapat berperan pada rehabilitasi hutan negara dengan cara turut serta dalam program, tetapi juga dapat melakukan rehabilitasi hutan dengan pola swadaya melalui berbagai progam yang ada. Community forestry (CF) adalah salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam rehabilitasi hutan di Indoensia. Praktekpraktek CF ini dapat dilihat dalam bentuk pembangunan Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa, dan Hutan Rakyat, dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Hutan Kemasyarakatan (HKm): Dalam Undang-undang 41/1999, dan PP no 6/2008, Hutan Kemasyarakatan diartikan sebagai hutan negara yang pemanfaatannya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat. Pemberian izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan ini merupakan bagian dari upaya pemberdayaan masyarakat sekitar hutan, yang dapat diberikan pada hutan lindung dan hutan produksi. Pengelolaan hutan kemasyarakatan ini harus berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari dan tidak dapat dialihtangankan atau dirubah fungsinya. Hutan Rakyat: Istilah hutan rakyat sudah lama dikenal dalam program-program pembangunan kehutanan. Dalam undang-undang 41/1999 pengertian hutan rakyat dikenal dengan nama hutan hak yaitu hutan yang dibangun dalam areal yang dibebani hak atas tanah, dalam hal ini dibebani hak milik, dan berada diluar kawasan hutan negara. Pada era program reboisasi dan penghijauan, pembangunan hutan rakyat ini berada dalam program penghijauan yaitu penanaman pohon atas lahan milik diluar kawasan hutan. Saat ini pola yang terus dikembangakan dalam pengembangan hutan rakyat termasuk di dalam program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Kontribusi hutan rakyat ini dalam penutupan lahan hutan saat ini sudah cukup besar, dan tentu saja mempunyai potensi ekonomi, selain nilai konservasi yang berpotensi untuk dikembangkan dalam proyek-proyek karbon. Hutan Desa: Hutan desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. Peluang untuk pengembangan hutan desa ini telah dipayungi oleh peraturan Pemerintah sebagaimana yang tertuang dalam PP 6/2006 dimana disebutkan bahwa Pemerintah mengalokasikan hutan negara untuk kepentingan hutan kemasyarakatan, hutan desa, dan model-model kemitraan. Hutan desa dapat diberikan pada hutan lindung atau hutan produksi, dengan Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 97 persyaratan-persayatan tertentu. Namun sejauh ini belum banyak hutan desa yang diberikan, dan sepertinya terlindas oleh program-program penanaman yang digalakkan pemerintah dalam Gerhan. Padahal bila melihat struktur pemerintahan desa dan keterlibatan masyarakat akan lebih mudah mengatur dan pembagian manfaat bila model hutan desa dapat dikembangkan menjadi suatu potensi proyek-proyek karbon dari hutan. Hutan desa dapat pula menjadi model yang baik dimana masyarakat akan menikmati secara langsung manfaat dana yang diperoleh, dan memberikan peluang yang baik sebagai alat resolusi konflik di kawasan hutan. Hutan Adat: Hutan adat diakui keberadaannya sepanjang masyarakatnya masih mempunyai sistem nilai, dan sosial budaya yang melekat dengan wilayah hutan tertentu, dan keberadaannya harus ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi bila sekelompok masyarakat sekitar hutan ingin mempunyai hutan adat dan keberadaannya diakui secara legal oleh para pemangku kepentingan. Tanpa pengaturan sesuai ketentuan tentang hutan adat ini akan mengakibatkan kerancuan dalam pengakuan hak atas suatu kawasan dan itu berpotensi menjadi konflik kepentingan yang mengakibatkan kerawanan sosial. Kerancuan mengenai keberadaan hutan adat ini banyak menjadi faktor pemicu konflik kepentingan antar masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah dan pada banyak kasus tidak pernah dapat diselesaikan secara tuntas, sehingga berpotensi menjadi faktor kerusakan hutan. Hutan Tanaman Rakyat: Hutan tanaman rakyat adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh perorangan atau koperasi untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. HTR ini diberikan kepada perorangan atau koperasi dalam bentuk izin usaha IUPHHK hutan tanaman dimana alokasi dan penetapan arealnya dilakukan oleh Menteri Kehutanan dan diutamakan dekat dengan industri hasil hutan. HTR ini merupakan program pemerintah dalam rangka percepatan pembangunan hutan tanaman, dan sumber pendanaannya dapat berasal dari Dana Reboisasi yang dialokasikan untuk ini melalui Badan Layanan Umum (BLU) kehutanan. HTR dimaksudkan untuk memperbaiki tutupan lahan hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Pola HTR juga memberikan akses lebih kepada masyarakat untuk rehabilitasi hutan negara yang telah terdegradasi, dan dapat pula menjadi sarana resolusi konflik tenurial di kawasan hutan. 98 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim BOX : Penyebab Deforestasi. Deforestasi adalah perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia. Memahami faktorfaktor penyebab terjadinya deforestasi dan tekanan yang yang terjadi pada hutan adalah penting untuk merancang kebijakan yang efektif untuk menekan terjadinya konversi hutan. Melakukan kegiatan konservasi tanpa memahami penyebab deforestasi akan tidak bermanfaat karena tidak akan berpengaruh kepada terjadinya penurunan laju deforestasi. Faktor penyebab deforestasi sangat beragam, tetapi satu hal yang penting dan umum untuk semua type hutan adalah perambahan hutan dan penebangan hutan untuk kepentingan ekonomi, dimana hasil-hasil yang diperoleh langsung dari memanfaatkan lahan hutan itu jauh lebih besar daripada mempertahankannya berfungsi sebagai hutan (dimana manfaatnya tidak langsung). Adanya akses jalan yang baik, kesuburan tanah, dan harga yang tinggi untuk produk-produk pertanian semuanya menjadi motivasi untuk terjadinya konversi hutan atau deforestasi. Sementara itu lemahnya tata kelola sumber daya, rancunya hak-hak hukum adat, dan terjadinya konflik lahan akan mengancam suber daya hutan yang ada. Menentukan ada faktor utama penyebab deforestasi dari suatu kawasan adalah masalah yang kompleks. Dari studi-sudi kasus deforestasi dapat disimpulkan bahwa di daerah tropis penyebabnya merupakan interaksi dari berbagai faktor, dan interaksi faktor ini berbeda dari satu kawasan dengan kawasan lainnya. Secara umum penyebab deforestasi itu dapat dikategorikan yaitu penyebab utama berupa aktivitas manusia yang berdampak langsung kepada lingkungan pada tingkat lokal, dan penyebab/ faktor pendukung berupa faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya, yang secara tidak langsung berdampak pada terjadinya deforestasi. Geist dan Labai (2001, dalam Cortez dan Stephen, 2009) menyebutkan bahwa faktor penyebab yang populer dari deforestasi adalah faktor ekonomi, kelembagaan, kebijakan nasional, dan pengaruh tidak langsung dari faktor-faktor utama yaitu perluasan pertanian, exploitasi hutan, dan pengembangan infrastruktur. Pada tingkat global, perluasan pertanian adalah fator utama terjadinya konversi lahan pada hampir semua studi kasus. Konversi lahan yang dimaksud dapat berupa pencetakan lahan pertanian baru, peternakan, atau juga dalam bentuk perladangan berpindah dan lain sebagainya. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 99 Faktor Penyebab Langsung: Penyebab utama yang langsung dan segera terlihat adalah perubahan tutupan lahan hutan untuk berbagai keperluan. Pengembangan infrastruktur kedalam kawasan hutan yang didorong oleh tingginya nilai ekonomis kayu, pertanian menetap adalah faktor utama pendorong terjadinya deforestasi. Perluasan lahan-lahan pertanian merupakan faktor utama yang menyebabkan deforestasi di daerah tropis di seluruh dunia. Pengembangan pertanian yang dimaksud antara lain adalah pembangunan lahan pertanian baru, peternakan, perladangan berpindah dan pemukiman di kawasan pertanian. Ada beberapa faktor yang memotivasi terjadinya konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian yaitu: 1. Kondisi lahan hutan yang baik untuk pertanian. 2. Harga produk pertanian yang cukup tinggi dibandingkan dengan hasilhasil hutan. 3. Biaya tenaga yang rendah yang diperlukan untuk mengkonversi lahan hutan, dan 4. Terjadinya perubahan demografi penduduk disekitar kawasan hutan. Pembalakan hutan: Kegiatan pembalakan hutan (logging) itu sendiri tidaklah merupakan penyebab utama dari deforestasi, dan juga bukan menjadi penyebab utama terjadinya degradasi hutan. Akan tetapi dampak dari operasional logging yang membangun jaringan jalan, pemukiman dan kegiatan ekonomi dari operasional logging merupakan pemicu bagi terjadinya deforestasi di hutan produksi. Aktivitas ekonomi yang terjadi mendorong masyarakat untuk datang ke pusat-pusat operasonal logging, baik sebagai pekerja maupun pelaku ekonomi, dan ini dipermudah dengan adanya akses jalan. Dalam waktu yang tidak terlalu lama maka akan terbentuk suatu komunitas didalam hutan yang selanjutnya akan mengancam lahan-lahan hutan untuk dikonversi secara illegal untuk berbagai kepentingan. Faktor inilah yang paling banyak menyebabkan berkurangan kawasan hutan pada hutan-hutan produksi yang dikelola oleh suatu badan usaha, dibandingkan dengan akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan penebangan itu sendiri. Pengembangan infrastruktur: Pengembangan infrastuktur berupa jalan, pemukiman, saluran irigasi, tambang dan infrastruktur lainnya bukan merupakan faktor besar jika dilihat dari konteks luas lahan yang dikonversi, tetapi secara tidak langsung akan membuka akses ke hutan yang akan terkait dengan penyebab deforestasi lainnya. Tanpa adanya 100 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim akses jalan ke hutan tidak akan mungkin terjadinya perubahan lahan untuk pertanian dan industri dapat dilakukan, dan adanya akses jalan ini menjadi pemicu bagi berkembangannya faktor penyebab lainnya. Faktor pendorong atau penyebab tidak langsung terjadinya deforestasi adalah faktor ekonomi dalam pengertian luas luas, politik, teknologi, sosial dan demografi. Pada studi kasus deforestasi di daerah tropis maka faktor ekonomi merupakan faktor penting bagi terjadinya proses deforestasi. Faktor Ekonomi: Ekonomi global dan nasional memegang peranan penting dalam deforestasi. Pertumbuhan pasar kayu dan produk-produk pertanian lainnya di pasar global telah mendorong terjadinya konversi hutan. Didukung oleh faktor lain yaitu murahnya nilai lahan, tenaga kerja, bahan bakar juga menambah terjadinya percepatan deforestasi, serta perubahan tata guna lahan yang ada. Hal ini hampir terjadi pada semua negara tropis yang sumber daya alam hutannya masih cukup banyak. Faktor Kebijakan dan Kelembagaan. Kebijakan dan kelembagaan memegang peranan penting dalam deforestasi termasuk kerancuan tolok ukur deforestasi, land tenure, dan kegagalan kebijakan. Kesalahan kebijakan pemerintah dapat mempercepat terjadinya konversi lahan hutan melalui insentif pertanian, kebijakan perdagangan, kebijakan subsidi, adanya pembalakan liar dan lain-lain. Membuat kebijakan haruslah secara holistik dapat mempertimbangan dampak-dampak yang mungkin terjadi pada lingkungan. Banyak kebijakan yang dibuat hanya mempertimbangkan kepentingan ekonomi sesaat tetapi sangat buruk bagi kelestarian sumber daya hutan dimasa yang akan datang. Faktor Teknologi: Teknologi mengakibatkan meningkatnya produktivitas dibidang pertanian dan hal ini bisa menjadi pemicu perluasan-perluasan lahan pertanian dari hutan. Secara teori teknologi dapat saja meningkatkan efisiensi dan produktivitas pertanian, dan pernah diperkirakan bahwa kebutuhan lahan-lahan pertanian bisa saja berkurang dari yang ada saat ini oleh karena perkembangan bioteknologi dalam peningkatan produktivitas lahan-lahan pertanian. Namun hampir tidak ada bukti bahwa hal tersebut dapat mengurangi rencana perluasan lahan pertanian. Justru sebaliknya akan semakin banyak orang-orang ingin memanfaatkan lahan hutan menjadi lahan pertanian karena nilai ekonomi lahan pertanian lebih tinggi daripada nilai ekonomi lahan hutan. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 101 Faktor Budaya: Budaya masyarakat lokal yang tidak bisa berubah khusus dalam hal pemanfatan teknologi dan masih tetap menggunakan teknologi tradisional seperti kebiasaan membakar lahan akan menjadi faktor pemicu terjadinya deforestasi. Dilain pihak ada juga budaya yang ingin mempertahankan nilai-nilai sakral suatu kawasan hutan dapat menjadi faktor penyelamat hutan. Namun penyelamatan hutan karena faktor budaya ini relatif kecil dan tidak signifikan jika dibandingkan dengan laju deforestasi yang ada. Faktor Demografi: Faktor demografi sangat berpengaruh bagi terjadinya deforestasi. Pertumbuhan penduduk dan ketersediaan lahan yang ada membuat pola migrasi penduduk untuk memperoleh lahan-lahan pertanian baru yang berasal dari lahan-han hutan yang dikonversi baik secara legal melalui perubahan fungsi hutan maupun tidak legal melalui penyerobotan atau okupasi lahan hutan. Pertambahan penduduk karena kegagalan program kependudukan akan meningkatkan kebutuhan lahan untuk pertanian dan pemukiman. Lahan-lahan hutan sebagai satu-satunya sumber lahan akan menjadi tumpuan dan hal ini akan mempercepat laju deforestasi. Deforestasi di Indonesia: Cifor telah melakukan evaluasi terhadap program rehablitasi hutan yang dilakukan pemerintah semenjak tiga dasa warsa terakhir yaitu semenjak tahun 1970an sampai sekarang. Dan salah satu hasil studi tersebut juga melakukan identifikasi tentang terjadinya deforestasi dan degradasi lahan dan menganalisa faktor pendorong terjadinya. Dalam studi Cifor tersebut deforestasi didefenisikan sebagai hilangnya atau terdegradasinya habitat hutan yang disebabkan oleh alam atau ulah manusia. Pertanian, perkembangan pemukiman, kegiatan kehutanan yang tidak berdasarkan kelestarian, eksploitasi tambang dan minyak merupakan penyebab deforestasi. Sedangkan lahan dan hutan terdegradasi didefinisikan sebagai lahan bekas hutan yang rusak parah karena terganggu secara intensif dan atau terus menerus sehingga lahan tersebut menjadi kurang produktif, misalnya akibat kebakaran hutan dan pembalakan liar. Namun demikian defenisi ini hanya memberi gambaran apa yang dimaksud dalam studi tersebut karena belum ada suatu kesepakatan mengenai definisi deforestasi dan degradasi yang dapat diterima oleh berbagai pihak pemangku kepentingan (stakeholder). Hasil studi Cifor bahwa faktor pendorong deforestasi diidentifikasi dengan memahami penyebab langsung dan penyebab tidak langsung yang mendasari penurunan tutupan lahan dan pelaku yang bertanggungjawab atas hal itu. Penyebab langsung deforestasi sebagian besar karena kondisi alam dan kegiatan manusia. Studi ini selain mengidentifikasi dalam skala nasional juga mengi- 102 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim dentifikasi faktor-faktor penyebab deforestasi pada beberapa propinsi yang dijadikan lokasi studi kasus. Dan masing-masing wilayah memperlihatkan hasil interaksi faktor yang berbeda satu sama lainnya. Kondisi Alam/Penyebab alamiah: Geomorfologi dan tingginya curah hujan di Indonesia mempengaruhi tanah sehingga rentan terhadap bencana alam seperti longsor dan erosi yang langsung menyebabkan deforestasi. Akan tetapi sulit untuk memperkirakan berapa luas hutan yang terdeforestasi karena faktor alamiah seperti ini. Walaupun kontroversial. Contoh terjadinya deforestasi karena faktor alamiah ini adalah sebagaimana banjir bandang di Bahorok, Sumatera Utara dan bajir dan longsor yang terjadi di Sumatera Barat. Kegiatan Manusia dan Pelaku Deforestasi: Kegiatan yang berhubungan dengan pemanfaatan hutan yaitu berupa operasional pengusahaan hutan, pembalakan liar dan kebakaran hutan merupakan penyebab utama deforestasi. Konversi lahan hutan menjadi perkebunan, dan kegiatan penambangan terbuka di lahan-lahan hutan, juga merupakan penyebab utama deforestasi yang saat ini banyak terjadi di Kalimantan, dan Sumatera. Penyebab dasar/akar masalah dan pelaku deforestasi: Penyebab yang mendasari deforestasi lebih kompleks dan mencakup berbagai aspek antara lain kegagalan pasar, kebijakan yang tidak tepat, kapasitas pemerintah (pusat dan daerah) yang belum memadai serta persoalan ekonomi dan perubahan politik. Penyebab yang mendasari dan penyebab langsung tidak dapat dipisahkan dan saling terkait yang merupakan serangkaian kejadian yang panjang yang mengakibatkan deforestasi. Ekploitasi hutan berlebihan untuk pembangunan ekonomi telah terbukti menyebabkan tingginya laju kerusakan hutan pada banyak negara termasuk Indonesia. Ekstensifikasi pertanian pada kebanyakan negara berkembang juga merupakan faktor penyebab terjadinya deforestasi. Pelaku deforestasi tidak saja kelompok masyarakat yang terkait langsung dengan kehidupan di hutan tetapi juga kelompok-kelompok usaha yang berbasis kawasan yang selalu melakukan exspansi perluasan ke kawasan hutan dengan cara mengkonversi hutan menjadi lahan untuk keperluan lain. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 103 5. Potensi Sumber-sumber Pendanaan Rehabilitasi Hutan Selama ini sumber dana pemerintah merupakan sumber pendanaan utama dalam kegiatan rehabilitasi hutan. Sumber pendanaan lainnya juga dapat dari negara-negara donor yang umumnya diberikan dalam bentuk program kerjasama teknis antar negara. Kegiatan rehabilitasi hutan yang dilakukan dengan sumber pendanaan pemerintah atau donor ini umumnya dilaksanakan di kawasan hutan-hutan negara yang mempunyai fungi lindung atau konservasi. Sumber pendanaan pemerintah yang disalurkan diluar kawasan hutan negara (pada hutan milik) dahulu dilaksanakan dalam program pengijauan, tetapi sekarang dilaksanakan dalam program Gerhan. Peranan swasta dalam rehabilitasi hutan dan lahan juga cukup besar. Pembangunan Hutan Tanaman yang dilakukan dengan sumber-sumber pendanaan swasta merupakan contoh dari kegiatan rehabilitasi hutan oleh swasta. Tentu saja kegiatan ini mempunyai nilai komersial akan tetapi fungsi perbaikan lingkungan dari kegiatan penanaman ini juga sangat signifikan. Sementara itu penggunaan dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan swasta juga banyak yang dilakukan dalam bentuk kegiatan penanaman pada lahan-lahan hutan negara atau hutan milik. Perusahaan nasional dan multi nasional yang berkontribusi terhadap emisi CO2 umumnya mengalokasikan dana yang cukup besar untuk kegiatan penanaman pohon untuk memperbaiki image perusahaan. Seperti diketahui bahwa hutan memainkan dua peranan sekaligus dalam perputaran emisi karbon di alam. Pertama; hutan menangkap CO2 dari udara melalui proses fotosintesa, dan Kedua; dapat pula mengeluarkan emisi CO2, melalui konversi hutan, respirasi, kebakaran hutan dan dekomposisi biomasa yang ada di hutan. Dan dua hal yang yang kontradiksi inilah yang selalu menjadi topik pembahasan peran hutan dalam perubahan iklim. Komitmen negara-negara yang telah disepakati dan menjadi kewajiban untuk mengurangi emisi CO2 di atmosfir dalam rangka mencegah terjadinya perubahan iklim drastis, telah menjadikan komoditas ‘carbon offset’ atau ‘carbon sequestration’ ini menjadi penting dan berkembang menjadi sumber pendanaan dan sumber perdagangan karbon karena kewajiban tersebut. Utuk itu saat ini banyak bermuculan lembaga atau badan yang mencari peluang perdagangan karbon di negara-negara yang mempunyai hutan luas. Hutan yang baik dan atau dikelola dengan baik menjadi sumber untuk perdagangan karbon, sementara kegiatan rehabilitasi hutan untuk menjadikan kondisinya lebih baik, juga menjadi menarik sebagai lahan investasi yang nantinya potensial untuk diperdagangkan karbonnya. Pontensi ini terus dikembangkan dan telah difasilitasi oleh pemerintah melalui terbitnya Peraturan Menteri No. P30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD). 104 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim Kegiatan-kegiatan kehutanan yang potensial untuk memperoleh sumbersumber pendanaan dari kredit karbon hutan (forest carbon credit) ini antara lain adalah: • Reforestasi : Penanaman pohon pada areal yang dahulunya hutan tetapi telah tidak berhutan lagi dalam jangka waktu tertentu. • Afforestasi : Penanaman pohon pada areal dimana dahulunya bukanlah kawasan hutan alam. • Forest Management: Pengelolaan hutan yang baik dalam konsep Sustainable Forest Management (SFM) dimana target akhirnya adalah dapat membuat stok karbon dalam hutan bertambah dan memungkinkan untuk memperoleh forest carbon credit. • Mencegah deforestasi: kredit carbon hutan diperoleh dari kegiatan yang dapat mencegah terjadinya deforestasi akibat konversi hutan, dan memeliharan stok karbon yang ada di hutan (sebagaimana konsep REDD). • Meningkatkan pemanfaatan kayu dan pemanfaatan limbah dari kegiatan pemanenan dan industri. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 105 Vi. Daftar Istilah dan Penjelasannya Abatement Merujuk ke pengurangan derajat atau intensitas emisi gas rumah kaca Accession Tindakan dimana suatu Negara menjadi Fihak dalam suatu perjanjian yang telah dinegosiasikan dan ditandatangani oleh Negara-negara lainnya; mempunyai efek legal yang sama dengan ratifikasi. Activities Jointly Implementation (AJI) : Aktivitas yang dilaksanakan dibawah Konvensi untuk memitigasi perubahan iklim melalui kemitraan antara investor dari Negara maju dan counterpart dari Negara berkembang di suatu Negara tuan rumah/host country melalui fase pilot / pendahuluan yang berakhir pada tahun 2000. Tujuannya adalah untuk melibatkan dana dari fihak swasta dalam transfer ilmu pengetahuan dan teknologi. Lihat juga Joint Implementation Ad hoc Group on Article 13 (AG13) Komisi yang dibentuk oleh COP-1 untuk meneliti bagaimana membantu pemerintah menghadapi kesulitan yang dialami dalam memenuhi komitmen dalam Konvensi Perubahan Iklim (1995-1998) Ad hoc Group on Article 13 (AG13) Komisi yang dibentuk oleh COP-1 untuk meneliti bagaimana membantu pemerintah menghadapi kesulitan yang dialami dalam memenuhi komitmen dalam Konvensi Perubahan Iklim (1995-1998) Ad hoc Group on the Berlin Mandate (AGBM) Badan subsider yang dibentuk oleh COP-1 untuk melaksanakan pertemuan yang menuju ke adopsi Protokol Kyoto; AGBM menyelesaikan pekerjaannya pada tanggal 30 November 1997. Ad hoc Group on the Berlin Mandate (AGBM) Badan subsider yang dibentuk oleh COP-1 untuk melaksanakan pertemuan yang menuju ke adopsi Protokol Kyoto; AGBM menyelesaikan pekerjaannya pada tanggal 30 November 1997. Ad Hoc Working Group on Further Commitments for Annex I parties under the Kyoto Protocol (AWG). Kelompok kerja ad hoc tentang komitmen lebih lanjut bagi Fihak Annex I di bawah Protokol Kyoto (AWG). Kelompok ini dibentuk pada COP/MOP 1. Tugasnya adalah mendiskusikan komitmen pasca 2012. Adaptasi terhadap perubahan iklim : Tindakan penyesuaian oleh system alam atau manusia yang berupaya mengurangi 106 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim kerusakan terhadap dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. adalah kegiatan dalam rangka antisipasi menghadapi perubahan iklim. Penyesuaian dalam sistem alam atau sistem buatan manusia untuk menjawab rangsangan secara iklim (aktual atau perkiraan) atau pengaruhnya, yang mengontrol bahaya yang ditimbulkan atau memberikan kesempatan yang menguntungkan Adaptation Fund / Dana Adaptasi Dana adaptasi dibangun untuk membiayai proyek dan program adaptasi nyata di Negara berkembang yang merupakan Fihak-Fihak pada Protokol Kyoto. Dana ini dibiayai dari bagian keuntungan aktivitas proyek mekanisme pembangunan bersih dan dana dari sumber-sumber lainnya. Informasi lebih lanjut lihat: http://unfccc.int/ cooperation_and_support/financial_mechanism/items/3659.php Afforestation Penanaman hutan baru pada lahan-lahan yang secara historis bukan merupakan hutan Amendment. Modifikasi oleh COP pada teks Konvensi. Jika konsensus tidak dapat diraih, amandemen harus disetujui oleh tiga perempat dari suara semua Fihak yang hadir dan memasukkan suara. Annex II Parties Negara-negara yang terdaftar pada Lampiran/Annex II Konvensi yang mempunyai kewajiban khusus untuk menyediakan sumberdaya finansial dan memfasilitasi transfer teknologi untuk Negara berkembang. Negara-negara ini termasuk 24 anggota awal OECD ditambah dengan negara-negara Uni Eropa. Anthropogenic greenhouse emissions Emisi gas rumah kaca yang berasal dari aktivitas manusia. Article 4.1 Artikel Konvensi yang menyatakan komitmen umum bagi semua Fihak, baik negara berkembang maupun negara maju. Article 4.2 Artikel Konvensi yang menyatakan komitmen khusus bagi Fihak Negara maju (Annex I) saja – khususnya bahwa Fihak ini akan mengambil tindakan yang bertujuan untuk mengembalikan emisi gas rumah kaca ke tingkat tahun 1990 pada tahun 2000. Article 6 Supervisory Committee Komite yang melaksanakan pengawasan secara internasional tentang proyek Joint Implementation “track-two”. Proyek Joint Implementation dilaksanakan oleh Negara sponsor dan penerima Negara maju sebagaimana pada Artikel 6 Protokol Kyoto – kemungkinan besar dengan penerima Negara dengan “ekonomi transisi”. Track-two digunakan jika salah satu atau kedua negara tidak memenuhi persyaratan untuk program Joint Implementation standar (”track) Article 6 Supervisory Committee Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 107 Komite yang melaksanakan pengawasan secara internasional tentang proyek Joint Implementation “track-two”. Proyek Joint Implementation dilaksanakan oleh Negara sponsor dan penerima Negara maju sebagaimana pada Artikel 6 Protokol Kyoto – kemungkinan besar dengan penerima Negara dengan “ekonomi transisi”. Track-two digunakan jika salah satu atau kedua negara tidak memenuhi persyaratan untuk program Joint Implementation standar (”track-one”). Lihat track two. Assigned amount unit (AAU) Unit yang digunakan dalam Kyoto Protocol setara/ekuivalen dengan 1 metric ton CO2. Setiap anggota Annex I mengeluarkan AAU sampai dengan tingkat jumlah yang ditetapkan, sesuai dengan Artikel 3, paragraph 7 dan 8, Protokol Kyoto. AAU dapat ditukar melalui perdagangan emisi/emissions trading. Ad Hoc Working Group on Further Commitments for Annex I parties under the Kyoto Protocol (AWG). Kelompok kerja ad hoc tentang komitmen lebih lanjut bagi Fihak Annex I di bawah Protokol Kyoto (AWG). Kelompok ini dibentuk pada COP/MOP 1. Tugasnya adalah mendiskusikan komitmen pasca 2012. Bali Action Plan Rencana Aksi yang dihasilkan pada COP 13 tahun 2007 di Bali Berlin Mandate Diadopsi pada COP-1, mandat yang memunculkan negosiasi menuju ke adopsi Protokol Kyoto. bersifat mengikat secara hukum (legally binding) : bilateral kerjasama antar dua negara Biomass fuels or biofuels Bahan bakar yang diproduksi dari bahan organic kering atau minyak bakar yang dihasilkan oleh tumbuhan/ tanaman. Bahan bakar ini diyakini dapat diperbaharui selama vegetasi yang menghasilkannya dipelihara atau ditanam kembali, seperti misalnya kayu bakar, alcohol hasil fermentasi dari gula, dan minyak bakar yang dihasilkan dari sari kacang kedele. Kegunaannya dalam menggantikan bahan bakar fosil adalah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca karena tanaman yang merupakan sumber bahan bakar menangkap karbon dioksida dari atmosfer. Bonn agreements untuk kesepakatan politik yang dicapai pada COP-6 di Bonn, Jerman, pada tahun 2001, dimana pemerintah-pemerintah menyepakati sebagian besar isu kontroversial politik di bawah Rencana Aksi Buenos Aires. Kesepakatan Bonn membuka jalan bagi Marrakech Accords pada tahun yang sama. Bonn fund Dana khusus UNFCCC sumbangan dari Pemerintah Jerman untuk menutupi biaya kegiatan UNFCCC yang diselenggarakan di Bonn. 108 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim Brazilian proposal Usulan delegasi Brazil yang dibuat tahun 1997 sebagai bagian dari negosiasi Protokol Kyoto. Usulan ini berisi rumus untuk menetapkan target pengurangan emisi yang berbeda untuk para Fihak berdasarkan dampak kumulatif dari emisi para Fihak secara historis pada temperatur rata-rata permukaan bumi. Bunker fuels Istilah yang digunakan merujuk ke bahan bakar yang dikonsumsi oleh transportasi laut dan udara internasional. Bureau Badan yang bertanggung jawab mengarahkan kerja COP. Kesepuluh anggotanya merupakan delegasi yang dipilih oleh masing-masing dari lima kelompok regional. Badan ini terdiri dari Ketua/Presiden COP, enam wakil presiden, Ketua-ketua SBI dan SBSTA, dan rapporteur. Masing-masing Convention’s subsidiary bodies juga mempunyai sebuah badan. CACAM Koalisi negosiasi Negara-negara Asia Tengah dan Kaukasia, Albania dan Republik Moldova. Capacity building Dalam konteks perubahan iklim, pembangunan kapasitas adalah suatu proses mengembangkan keterampilan teknis dan kemampuan institusi di Negara berkembang dan Negara dalam transisi ekonomi untuk memudahkan Negara bersangkutan menangani secara efektif penyebab dan akibat perubahan iklim. carbon conservation penyimpanan karbon Carbon market Istilah yang popular tetapi menyesatkan untuk system perdagangan dimana Negaranegara dapat membeli atau menjual unit emisi gas rumah kaca dalam usaha untuk memenuhi batas emisi nasionalnya, baik di bawah Protokol Kyoto atau di bawah kesepakatan lain, seperti di antara Negara anggota Uni Eropa. Istilah ini berasal dari fakta bahwa karbon dioksida adalah gas yang dominan dan gas lainnya diukur dengan unit yang disebut “setara karbon-dioksida”. carbon sequestration : pengikatan /penyerapan karbon, Proses memindahkan karbon dari atmosfir dan menyimpannya dalam reservoir. Sekuestrasi merujuk ke “pemerangkapan” karbon dioksida dengan suatu cara yang dapat menghindari dilepaskannya ke atmosfer dalam suatu jangka waktu tertentu. carbon sinks : penyimpan carbon atau peningkatan kapasitas penyerapan/penyimpanan karbon melalui kegiatan tanaman menanam. carbon substitution penggantian/substitusi karbon Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 109 CBD :Convention on Biological Diversity. Konvensi Keanekaragaman Hayati CBDR : common but differentiated responsibilities semua negara memiliki tanggung jawab yang sama, namun secara khusus dibedakan sesuai dengan kemampuannya. CC TRAIN Metodologi pelatihan untuk menilai kerentanan terhadap perubahan iklim. Certified emission reductions (CER) Unit dalam Protokol Kyoto setara 1 metrik ton. CER dikeluarkan untuk pengurangan emisi dari aktivitas CDM. Dua jenis khusus CER disebut pengurangan emisi tersertifikasi temporer (tCERs) dan emisi tersertifikasi jangka panjang (lCERs) dikeluarkan untuk pemindahan emisi dari proyek CDM aforestasi dan reforestasi. CFC Chlorofluoracarbon CG-11 Kelompok Utama 11 (koalisi negosiasi Eropa Tengah Fihak Annex I) CGE Consultative Group of Experts on National Communications from Parties not included in Annex I to the Convention. Kelompok konsultatif tenaga ahli pada Komunikasi Nasional dari Fihak-fihak yang tidak termasuk pada Annex I Konvensi. CH4 Methane. Chair (or Chairman, Chairperson, etc.) Delegasi nasional yang dipilih oleh Negara peserta untuk memimpin pembahasan pada subsidiary body. Ketua berbeda bisa dipilih untuk kelompok-kelompok informal lainnya. Ketua bertanggung jawab untuk memfasilitasi kemajuan suatu persetujuan/kesepakatan dan bekerja selama periode antar waktu sampai dengan COP yang akan datang. Clean Development Mechanism (CDM) : Mekanisme Pembangunan Bersih Clearing house Pelayanan yang memfasilitasi atau mempermudah transaksi diantara berbagai fihak. Climate Change (perubahan iklim): Setiap perubahan nyata yang dapat diukur faktor iklimnya (seperti temperatur atau tingkat penguapan) dalam setiap periode waktu (contohnya setiap 1 dekade). CMS : Convention on the Conservation of Migratory Species of Wild Animals. Konvensi tentang Konservasi Jenis/Spesies Hewan Migrasi Liar 110 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim CO2 Karbon dioksida . Gas yang terdapat di atmosfer, dihasilkan sebagai produk sampingan dari pembakaran , contohnya bahan bakar fosil dan biomassa yang membusuk atau terbakar. Karbon dioksida juga dapat dilepaskan ketika terjadi kegiatan alih guna lahan dan kegiatan industry. Committee of the Whole Sering dibentuk pada suatu COP untuk membantu menegosiasikan teks. Komisi ini terdiri dari anggota yang sama dengan COP. Ketika Komisi menyelesaikan pekerjaannya, teks dikembalikan ke COP, yang memfinalisasi dan kemudian mengadopsi teks selama sesi sidang pleno. Common Reporting Format (CRF) Format standar pelaporan perkiraan emisi dan pemindahan gas rumah kaca dan informasi lain oleh Fihak Annex I Compliance Pemenuhan komitmen pengurangan dan pelaporan emisi di bawah UNFCCC dan Protokol Kyoto oleh Negara/ bisnis/individu. Compliance Committee Komisi yang membantu memfasilitasi, mempromosikan dan mengimplementasikan kesesuaian dengan persyaratan pada Protokol Kyoto. Komisi ini terdiri dari 20 anggota dengan keterwakilan menyebar di berbagai region, Negara berkembang pulau kecil, fihak Annex I dan non-Annex I, dan berfungsi melalui siding pleno, biro, cabang fasilitatif dan cabang enforcement. Conference of the Parties serving as the Meeting of the Parties (COP/MOP) Badan tertinggi Konvensi adalah COP, yang berfungsi sebagai pertemuan Fihakfihak pada Protokol Kyoto. Sesi COP dan COP/MOP dilaksanakan pada periode yang sama untuk mengurangi biaya dan meningkatkan koordinasi antara Konvensi dan Protokol. Conference room papers (CRPs) Kategori dokumen pada sesi pertemuan yang berisi proposal atau outcome/luaran pada kerja sesi yang bersangkutan. CRP hanya digunakan selama sesi ybs. Consultative Group of Experts on National Communications from non-Annex I Parties Panel yang dibentuk untuk meningkatkan persiapan komunikasi nasional dari Negara-negara berkembang. Komunikasi nasional merupakan kewajiban dari Fihakfihak terkait Konvensi Perubahan Iklim. Contact group Pertemuan terbuka yang dapat dilakukan oleh COP, badan subsider atau Komite secara Keseluruhan (Committee of the Whole) dimana para Fihak dapat bernegosiasi sebelum mengajukan teks yang disepakati untuk diadopsi secara formal. Para pengamat pada umumnya dapat menghadisi sesi ini. Convention on the Conservation of Migratory Species of Wild Animals. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 111 COP (Convention of the Party) : Konferensi Para Pihak yang merupakan badan tertinggi, atau yang memiliki wewenang tertinggi membuat keputusan sekaligus merupakan asosiasi Para Pihak yang meratifikasi Konvensi. Countries with Economies in Transition (EIT) Negara dengan Transisi Ekonomi Corporate Social Responsibility (CSR) atau Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan adalah kewajiban suatu Perseroaan yang bertujuan untuk menciptakan hubngan perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat. CSD United Nations Commission on Sustainable Development. Komisi Badan Persatuan Bangsa-bangsa dibidang pembangunan berkelanjutan. Dana Adaptasi Dana adaptasi dibangun untuk membiayai proyek dan program adaptasi nyata di Negara berkembang yang merupakan Fihak-Fihak pada Protokol Kyoto. Dana ini dibiayai dari bagian keuntungan aktivitas proyek mekanisme pembangunan bersih dan dana dari sumber-sumber lainnya. Informasi lebih lanjut lihat: http://unfccc.int/ cooperation_and_support/financial_mechanism/items/3659.php Dana Reboisasi atau DR adalah dana yang dipungut dari pemegang IUPHHK dalam hutan alam pada hutan produksi untuk mereboisasi dan merehabilitasi hutan. Decision Persetujuan formal yang (tidak seperti resolusi) menuju ke tindakan mengikat secara hukum. Ini menjadi bagian dari batang tubuh keputusuan yang mengarahkan kerja COP. Declaration Pernyataan politik yang tidak mengikat yang dibuat oleh menteri-menteri yang menghadiri pertemuan utama (misalnya Deklarasi Para Menteri di Geneva pada COP-2) deforestasi, : konversi hutan untuk penggunaan lain seperti pertanian, perkebunan, pemukiman, pertambangan, prasarana wilayah degradasi : penurunan kualitas hutan) akigat illegal logging, kebakaran, over cutting, perladangan berpindah dan perambahan. Demonstration Activities : Kegiatan percontohan REDD 112 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim Designated National Authority (DNA) Suatu kantor, kementrian, atau entitas resmi lainnya yang ditunjuk oleh Fihak terkait Protokol Kyoto untuk mereview and memberikan persetujuan nasional atas proyek yang diusulkan dibawah CDM. Dewan Internasional Inisiatif Lingkungan Lokal. Dibentuk pada tahun 1988 oleh Organisasi Meteorologi Dunia dan Program Lingkungan PBB (UNEP), IPPC melakukan survei literatur teknis dan ilmiah di seluruh dunia dan mempublikasikan laporan yang dikenal secara luas sebagai sumber informasi perubahan iklim yang paling dapat dipercaya. IPPC juga bekerja di metodologi dan menjawab permintaan khusus dari badan subsider Konvensi. IPPC merupakan institusi independen dan tidak terkait dengan Konvensi. Direct Carbon Market perusahaan di negara industry membeli kredit REDD untuk emission allowance dalam sistem cap and trade di negerinya. Dengan REDD perusahaan ini diperbolehkan mengemisi lebih dari kuota di dalam negerinya dan dikompensasi dengan pencegahan emisi dari deforestasi dan degradasi di negara berkembang. Pendekatan ini seperti untuk CDM (project baseline) dan kemungkinan akan memasukan REDD national baseline setelah REDD menjadi bagain dari pasar karbon pasca 2012. Potensi pendanaan diperkirakan mencapai puluhan milyar dollar per tahun. Documents Dokumen terdiri dari beberapa kategori. Dokumen resmi tersedia untuk semua orang dan menampilkan logo PBB dan Konvensi Perubahan Iklim. Dokumen ini berisi nomor referensi, misalnya FCCC/CP/1998/1. Dokumen pra-sesi tersedia sebelum pertemuan, sering dalam nam bahasa resmi PBB. Dokumen in-sesi dibagikan di tempat (lihat CRP, L docs, Misc. Doc, dan non-papers). Dokumen informal sering dibagikan di luar ruang pertemuan oleh pengamat. Drafting group Kelompok pengonsep Dual market system Kredit REDD tidak fungible dengan allowance negara industry. Potensi pendanaan diperkirakan mencapai beberapa puluh milyar dollar per tahun Efek rumah kaca : emisi gas-gas seperti CO2, Metan (CH4), Nitro, CFC dll yang dihasilkan industria, dan sector transportasi, kegiatan pertanian, penebangan hutan dll, yang menimbulkan efek panas di udara. Emission reduction unit (ERU) /Unit Pengurangan Emisi Unit dalam Protokol Kyoto yang setara dengan 1 metric ton CO2. Unit pengurangan emisi (ERU) didapatkan dari pengurangan emisi atau penghilangan emisi dari proyek Joint Implementation. Emissions trading /perdagangan emisi Salah satu dari tiga mekanisme yang ada di Protokol Kyoto, dimana negara Annex I dapat mentransfer unit Protokol Kyoto untuk membeli unit dari Fihak Annex I Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 113 lainnya. Suatu Fihak dalam Annex I harus memenuhi persyaratan spesifik eligibility untuk ikut serta dalam perdagangan emisi. Entry into force Saat dimana suatu perjanjian antar pemerintah menjadi mengikat secara hukum— terjadi pada suatu interval yang ditetapkan sebelumnya dan memerlukan ratifikasi dari sejumlah Negara. Konvensi Perubahan Iklim memerlukan 50 ratifikasi untuk dapat berlaku. Saat ini telah berlaku bagi setiap fihak baru 90 hari setelah Fihak yang bersangkutan meratifikasi Konvensi. Environmental Integrity Group (EIG) Aliansi koalisi atau negosiasi yang terdiri dari Meksiko, Republik Korea dan Swiss. ESCAP Economic and Social Commission for Asia and the Pacific. Komisi Sosial dan Ekonomi untuk Asia dan Pasifik. European Union (EU) Sebagai suatu organisai integrasi ekonomi, Uni Eropa merupakan Fihak Konvensi maupun Protokol Kyoto. Namun demikian, EU tidak memiliki suara terpisah dari negara-negara anggotanya. Karena EU menandatangani Konvensi ketika dikenal sebagai Masyarakat Ekonomi Eropa, EU memakai nama ini untuk semua tujuan terkait Konvensi secara formal. Negara-negara anggotanya adalah Austria, Belgia, Cyprus, Republik Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Jerman, Yunani, Hungaria, Irlandia, Italia, Latvia, Lithuania, Luxemburg, Malta, Belanda, Polandia, Portugal, Slovakia, Spanyol, Swedia dan Inggris. Executive Board of the Clean Development Mechanism Panel yang terdiri dari 10 anggota yang dipilih pada COP-7 yang mengawasi CDM dan beroperasi sebelum Protokol diberlakukan. Expert Group on Technology Transfer (EGTT) Kelompok tenaga ahli yang dibentuk pada COP7 dengan tujuan meningkatkan implementasi Artikel 4.5 Konvensi, dengan menganalisa dan mengidentifikasi caracara untuk memfasilitasi dan mempercepat kegiatan transfer teknologi di bawah Konvensi. Expert review teams Kelompok tenaga ahli, yang dinaminasikan oleh para Fihak, yang mereview laporan nasional yang dimasukkan oleh Fihak Annex I ke UNFCCC dan Protokol Kyoto. FAO Food and Agriculture Organization of the United Nations. Organisasi Pertanian dan Pangan PBB Financial Mechanism Fihak Negara maju (Fihak Annex II) diharuskan menyediakan sumberdaya financial untuk membantu Negara-negara berkembang mengimplementasikan Konvensi. Untuk memfasilitasi ini, Konvensi membentuk mekanisme financial untuk menyediakan dana bagi Fihak Negara berkembang. Para Fihak dalam Konvensi menugas- 114 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim kan pelaksanaan mekanisme financial ke Global Environment Facility (GEF) dengan on-going basis, yang direview tiap empat tahun, Mekanisme financial akuntabel terhadap COP. Friends of the chair Delegasi yang dipanggil/diajak oleh Ketua (yang mempertimbangkan keperluan keseimbangan politik diantara berbagai kepentingan) untuk membantu melaksanakan tugas khusus. Fugitive fuel emissions Emisi gas rumah kaca sebagai produk sampingan atau limbah atau sisa proses produksi, penyimpanan, atau pengangkutan bahan bakar, seperti gas metan yang menguap selama proses pengeboran atau penyaringan minyak dan gas, atau kebocoran gas alam dari jalur pipa. GATT General Agreement on Tariffs and Trade. Persetujuan Umum tentang Tarif dan Perdagangan, GCOS Global Climate Observing System. Sistem Pengamatan Iklim Global. GEF Global Environmental Facilities GEF adalah organisasi financial independent yang menyediakan hibah bagi Negaranegara berkembang untuk proyek yang memberi manfaat lingkungan global dan mempromosikan penghasilan/penghidupan yang lestari bagi masyarakat. Para Fihak Konvensi mengoperasikan mekanisme financial ke GEF berdasarkan kegiatan yang sedang berjalan, dan direview setiap empat tahun. Mekanisme finansial akuntabel terhadap COP. Informasi lebih lanjut lihat: http://www.thegef.org/ Gerhan/GNRHL merupakan dsingkatan dari Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang merupakan program pemerintah dalam rangka merehabiltasi hutan dan lahan kritis di Indonesia melalui suatu gerakan penanaman pohon di lahan-lahan kritis. Global warming potential (GWP) Indeks yang menunjukkan pengaruh kombinasi pada waktu yang berbeda gas rumah kaca yang berada di atmosfer dan efektifitas relatifnya dalam menyerap radiasi sinar infra merah yang ke luar. GOOS (Global Ocean Observing System.) Sistem Pengamatan Lautan Global Greenhouse gases (GHGs)/Gas Rumah Kaca Gas-gas di atmosfer yang bertanggung jawab sebagai penyebab pemanasan global dan perubahan iklim. Gas-gass rumah kaca yang utama adalah karbon dioksid (CO2), metan (CH4) dan Nitrogen oksida (N20). Gas-gas rumah kaca yang kurang Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 115 umum—tetapi sangat kuat—adalah hydrofluorocarbons (HFCs), perfluorocarbons (PFCts) and sulphur hexafluoride (SF6). Group of 77 (G-77) and China Aliansi besar negosiasi yang terdiri dari Negara-negara berkembang yang memfokuskan pada berbagai topic internasional, termasuk isu perubahan iklim. G-77 dibentuk pada tahun 1967 dengan dukungan Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD). Tujuannya adalah menyelarskan posisi negosiasi 131 negara anggotanya. GRULAC Group of Latin American and Caribbean States. Kelompok Negara-negara Amerika Latin dan Karibia. Global Environment Facility (GEF) GEF adalah organisasi financial independent yang menyediakan hibah bagi Negaranegara berkembang untuk proyek yang memberi manfaat lingkungan global dan mempromosikan penghasilan/penghidupan yang lestari bagi masyarakat. Para Fihak Konvensi mengoperasikan mekanisme financial ke GEF berdasarkan kegiatan yang sedang berjalan, dan direview setiap empat tahun. Mekanisme finansial akuntabel terhadap COP. Informasi lebih lanjut lihat: http://www.thegef.org/. GTOS Global Terrestrial Observing System. Sistem Observasi Terestrial Global GWP Global warming potential. Potensi pemanasan global. HFC Hydrofluorocarbons. Hidrofluorocarbon. “hot air” Merujuk ke kekhawatiran bahwa beberapa pemerintahan akan mampu memenuhi target emisi gas rumah kaca di bawah Protokol Kyoto dengan usaha minimal dan dapat membanjiri pasar dengan kredit emisi, mengurangi insentif bagi Negara lain untuk memotong emisi domestic mereka sendiri. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Hutan Adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. 116 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan Desa adalah hutan negara yang belum dibebani izin/hak yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. Hutan Tanaman Rakyat atau HTR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompk masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. ICAO International Civil Aviation Organization. Organisasi Penerbangan Sipil Internasional. ICCP International Climate Change Partnership. Kemitraan Perubahan Iklim Internasional. ICLEI International Council of Local Environmental Initiatives. Dewan Internasional Inisiatif Lingkungan Lokal. IEA International Energy Agency. Badan Energi Internasional. IGO Intergovernmental organization. Organisasi antarpemerintah. llegal logging : Pembalakan Liar IMO International Maritime Organization. Implementation Aksi (legislasi atau regulasi, keputusan hukum, atau aksi lainnya) yang diambil pemerintah untuk menerjemahkan perjanjian internasional ke dalam undangundang/peraturan dan kebijakan domestik. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 117 INC Intergovernmental Negotiating Committee for the UNFCCC (1990-1995). Komisi Negosiasi antarpemerintah untuk UNFCCC (1990-1995). In-depth review (IDR) Proses dimana implementasi Konvensi dan/atau Protokol Kyoto oleh Fihak Annex I dinilai (diassess) oleh tim tenaga ahli internasional. Informal contact group Sekelompok delegasi yang diperintahkan oleh Ketua untuk bertemu secara pribadi untuk membahas hal khusus untuk mengkonsolidasikan berbagai pandangan yang berbeda, dan menghasilkan proposal yang disepakati, sering dalam bentuk teks tertulis. Intergovernmental Negotiating Committee (INC) Komite yang dibentuk untuk menyusun konsep Konvensi. INC bertemu dalam lima sesi antara Februari 1991 dan Mei 1995. Setelah teks Konvensi diadopsi tahun 1992, INC bertemu enam kali lagi untuk mempersiapkan COP-1. INC menyelesaikan tugasnya pada Februari 1995. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Dibentuk pada tahun 1988 oleh Organisasi Meteorologi Dunia dan Program Lingkungan PBB (UNEP), IPPC melakukan survei literatur teknis dan ilmiah di seluruh dunia dan mempublikasikan laporan yang dikenal secara luas sebagai sumber informasi perubahan iklim yang paling dapat dipercaya. IPPC juga bekerja di metodologi dan menjawab permintaan khusus dari badan subsider Konvensi. IPPC merupakan institusi independen dan tidak terkait dengan Konvensi. International Climate Change Partnership Koalisi global perusahaan dan asosiasi yang berkomitmen untuk berpartisipasi secara konstruktif dalam penyusunan kebijakan tentang perubahan iklim. IOC Intergovernmental Oceanographic Commission. Komisi Oseanografi/Kelautan antarpemerintah. IUPHHK atau IUPHHBK adalah Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, atau bukan kayu yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu atau bukan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi memalui kegiatan pemanenan atau penebangan, pengayaan, pemeliharaan dan pemasaran. ISO International Standards Organization. Organisasi Standar Internasional. IUCN World Conservation Union. Badan Konservasi Dunia. 118 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim Joint Liaison Group (JLG). Kelompok perwakilan dari Sekretariat UNFCCC, CBD, dan UNCCD yang dibentuk untuk membahas kegiatan umum untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan perubahan iklim, keanekaragaman hayati dan penggurunan. Joint implementation (JI) Mekanisme dalam Protokol Kyoto dimana suatu Negara maju dapat menerima “unit pengurangan emisi” ketika membantu mendanai proyek yang mengurangi emisi gas rumah kaca bersih di Negara maju lainnya (dalam praktek, kemungkinan besar Negara penerima adalah Negara dengan “transisi ekonomi”). Fihak Annex I harus memenuhi persyaratan khusus untuk berpartisipasi dalam Joint Implementation. JUSSCANNZ Singkatan yang mewakili Negara-negara industri non Uni Eropa yang kadangkadang bertemu untuk membahas berbagai isu terkait perubahan iklim. Anggotanya adalah jepang, Amerika Serikat, Swiss, Kanada, Australia, Norwegia, dan Selandia Baru. Islandia, Meksiko dan Republik Korea mungkin juga menghadiri pertemuan JUSSCANZ. JWG Joint working group. Kelompok Kerja Sama International Climate Change Partnership (ICCP) Kemitraan Perubahan Iklim Internasional. Kawasan Budi Daya Kehutanan (KBK): adalah Istilah dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi yang menunjukkan kawasan tersebut adalah kawasan hutan negara yang diperuntukkan bagi kegiatan kehutanan. Kawasan Budi Daya Non Kehutanan (KBNK) adalah Istilah dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi yang menunjukkan kawasan tersebut adalah kawasan hutan negara yang telah berubah statusnya yang diperuntukkan bagi kegiatan non kehutanan, atau sektor lain, dan biasa juga disebut dengan Areal Penggunaan Lain (APL) Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Kawasan Hutan Pelestarian Alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari suber daya lam hayati dan ekosistemnya. KPH Kesatuan Pemangkuan Hutan Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 119 Kyoto mechanisms Tiga prosedur yang dibangun di bawah Protokol Kyoto untuk meningkatkan fleksibilitas dan mengurangi biaya pengurangan gas rumah kaca; mekanisme tersebut adalah Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB/CDM), perdagangan emisi (emission trading), dan implementasi bersama (joint implementation) KYOTO PROTOKOL : Mekanisme dalam Protokol Kyoto dimana suatu Negara maju dapat menerima “unit pengurangan emisi” ketika membantu mendanai proyek yang mengurangi emisi gas rumah kaca bersih di Negara maju lainnya (dalam praktek, kemungkinan besar Negara penerima adalah Negara dengan “transisi ekonomi”). Fihak Annex I harus memenuhi persyaratan khusus untuk berpartisipasi dalam Joint Implementation. Mekanisme di bawah Protokol Kyoto dimana Negara maju dapat mendanai proyek pengurangan atau pemindahan emisi gas rumah kaca di Negara berkembang, dan menerima kredit untuk pelaksanaannya yang dapat digunakan untuk memenuhi kewajiban pengurangan emisi Negara maju. L. docs Dokumen dalam sesi pertemuan yang berisi konsep laporan untuk diadopsi dalam COP atau badan turunannya. Biasanya dokumen semacam ini tersedia dalam enam bahasa resmi PBB. Land use, land-use change, and forestry (LULUCF) Sektor inventarisasi gas rumah kaca yang meliputi emisi dan pemindahan gas rumah kaca yang berasal dari aktivitas pemanfaatan lahan secara langsung oleh manusia, perubahan lahan dan kehutanan. Leakage /kebocoran Bagian dari pengurangan gas rumah kaca oleh negara berkembang – negara-negara yang mencoba memenuhi batas wajib di bawah Protokol Kyoto – yang mungkin timbul kembali di negara lain yang tidak terikat oleh batas tersebut. Misalnya perusahaan multinasional mungkin memindahkan pabriknya dari Negara maju ke Negara berkembang untuk menghindari pembatasan emisi. Least Developed Countries (LDCs) Negara-negara termiskin di dunia. Kriteria yang saat ini digunakan oleh Dewan Sosial dan Ekonomi (ECOSOC) sebagai dasar LDC adalah penghasilan yang rendah, kelemahan dalam sumberdaya manusia dan ketidakmampuan ekonomi. Saat ini terdapat sekitar 50 negara yang dimasukkan ke dalam kategori LDC oleh Sidang Umum PBB. Least Developed Country (LDC) Expert Group Panel yang terdiri dari 12 tenaga ahli yang menyediakan saran bagi LDC di dalam persiapan dan implementasi program aksi adaptasi nasional (NAPA) – rencana untuk menangani keperluan mendesak dan segera Negara tersebut untuk mengadaptasi perubahan iklim. Least Developed Country Fund (LDCF) LDCF adalah dana yang dibangun untuk mendukung program kerja untuk mem- 120 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim bantu Fihak LDC untuk melaksanakan, antara lain, persiapan dan implementasi program aksi adaptasi nasional (NAPA). GEF, sebagai entitas yang mengoperasikan mekanisme financial Konvensi, telah diberi kepercayaan untuk mengoperasikan dana ini. Untuk informasi lebih lanjut lihat: http://unfccc.int/cooperation_and_support/ financial_mechanism/least_developed_country_fund/items/3660.php Marrakesh Accords Kesepakatan/persetujuan yang dicapai pada COP-7 yang menetapkan berbagai aturan untuk “mengoperasikan” persyaratan Protokol Kyoto yang lebih kompleks. Kesepakan ini, diantara berisi pembangunan system perdagangan emisi gas rumah kaca; implementasi dan monitoring Mekanisme Pembangunan Bersih dan menetapkan dan mengoperasikan tiga jenis pendanaan untuk mendukung usaha-usaha adapatasi perubahan iklim. Meeting Pertemuan formal yang dilakukan selama “sesi”. Setiap sesi di dalam COP, misalnya, dibagi menjadi sejumlah pertemuan. Sebuah pertemuan pada umumnya dijadwalkan dari jam 10 pagi sampai dengan jam 1 siang atau dari jam 3 siang sampai dengan jam 6 sore. Mekanisme Pembangunan Bersih Protokol Kyoto (CDM) : mekanisme yang memungkinkan negara-negara maju untuk membangun proyek bersama yang dapat menghasilkan kredit penurunan atau penyerapan emisi GRK; mekanisme yang memungkinkan Negara-negara non-ANNEX I untuk berperan aktif membantu penurunan emisi GRK melalu proyek yang diimplementasikan oleh sebuah Negara maju. Nantinya kredit penurunan emisi GRK yang dihasilkan dari proyek tersebut dapat dimiliki oleh Negara maju tersebut mekanisme yang memungkinkan sebuah negara maju untuk menjual kredit penurunan emisi GRK melebihi target negaranya. Mitigasi terhadap perubahan iklim : Dalam konteks perubahan iklim, mitigasi adalah intervensi manusia untuk mengurangi sumber atau meningkatkan sink gas rumah kaca. Contohnya adalah menggunakan bahan bakar fosil secara lebih efisien untuk proses industri atau pembangkit tenaga listrik, beralih ke energi matahari atau tenaga angin, meningkatkan insulasi pada bangunan, dan membangun hutan dan sink lainnya untuk mengurangi lebih banyak lagi karbondioksida dari atmosfer. Modifikasi oleh COP pada teks Konvensi. Jika konsensus tidak dapat diraih, amandemen harus disetujui oleh tiga perempat dari suara semua Fihak yang hadir dan memasukkan suara. Miscellaneous documents (misc. docs) Dokumen yang dicetak di atas kertas biasa tanpa logo PBB. Dokumen ini biasanya berisi pandangan atau komentar yang dicetak sebagaimana aslinya dari delegasi tanpa edit formal. Mitigation Dalam konteks perubahan iklim, mitigasi adalah intervensi manusia untuk mengu- Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 121 rangi sumber atau meningkatkan sink gas rumah kaca. Contohnya adalah menggunakan bahan bakar fosil secara lebih efisien untuk proses industri atau pembangkit tenaga listrik, beralih ke energi matahari atau tenaga angin, meningkatkan insulasi pada bangunan, dan membangun hutan dan sink lainnya untuk mengurangi lebih banyak lagi karbondioksida dari atmosfer. Montreal Protocol Protokol Montreal tentang Substansi yang Mengurangi Lapisan Ozon, dan kesepakatan internasional yang diadopsi di Montreal tahun 1987. Multilateral kerjasama dengan beberapa negara dan badan-badan Internasional Multistakeholders Forestry Programme (MFP), Program Kerjasama Kehutanan Multipihak N20 Nitrous oxide. National adaptation programmes of action (NAPAs) Dokumen yang dipersiapkan oleh Negara terbelakang (LDC) yang mengidentifikasi kebutuhan penting dan mendesak untuk adaptasi terhadap perubahan iklim. NAPA disajikan ke komunitas donor internasional untuk mendapatkan dukungan. National communication Dokumen yang disusun dan dikirimkan sesuai dengan Konvensi (dan Protokol Kyoto) dimana suatu Fihak memberikan informasi ke Fihak lainnya tentang aktivitas yang dikerjakan untuk menangani perubahan iklim. Sebagian besar Negara maju saat ini telah memasukkan komunikasi nasional ke empat mereka; kebanyakan Negara berkembang telah menyelesaikan komunikasi nasional pertamanya dan sedang dalam proses persiapan komunikasi ke dua. National delegation Satu atau lebih petugas yang ditugaskan untuk mewakili dan bernegosiasi atas nama suatu Negara. Non-Annex I Parties Merujuk ke Negara-negara yang telah meratifikasi atau menyetujui Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim yang tidak termasuk ke dalam Annex I Konvensi. Non-governmental organizations (NGOs) Organisasi yang bukan merupakan bagian dari struktur pemerintah. Kelompok ini termasuk kelompok lingkungan, lembaga penelitian, kelompok bisnis, dan asosiasi pemerintah desa dan lokal. Banyak LSM menghadiri perbincangan tentang iklim sebagai pengamat. Agar dapat menghadiri pertemuan Konvensi, LSM haruslah nirlaba (non-profit). Non-paper Dokumen di dalam sesi pertemuan yang dikeluarkan secara informal untuk memfasilitasi negosiasi. Dokumen ini tidak memiliki simbol dokumen resmi. Dokumen dapat memiliki nomor identifikasi atau nama pengarangnya. 122 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim Non-Party Negara yang belum meratifikasi Konvensi tetapi menghadiri pertemuan sebagai pengamat. “No-regrets options” Teknologi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dimana manfaat lainnya (dalam bentuk efisiensi atau pengurangan biaya energi) sedemikian ekstensif sehingga investasi sangat masuk akal untuk alasan tersebut. Misalnya, combined-cycle gas turbines – dimana panas dari bahan bakar yang terbakar menggerakkan turbin uap sedangkan ekspansi termal dari gas yang terbuang menggerakkan turbin gas – dapat memperbesar efisiensi mesin generator listrik sampai dengan 70%. Observers Badan, LSM, dan pemerintah yang bukan merupakan Fihak Konvensi yang mendapatkan ijin untuk menghadiri, tetapi tidak untuk memilih, pada pertemuan COP dan badan-badan di bawahnya. Pengamat bisa termasuk PBB dan badan khususnya; organisasi antar pemerintah lainnya seperti Badan Energi Atom Internasional; dan LSM terakreditasi. offset karbon: adalah pengurangan emisi yang disertifikasi (Certified Emission Reduction) yang diperoleh diluar sector yang telah diatur. Offset dapat diterbitkan untuk kegiatankegiatan yang berorientasi pada konservasi seperti penanaman pohon di areal yang sebelumnya berhutan (reforestasi), pengurangan emisi dari deforestasi, manajamen hutan yang lebih baik, dan perubahan-perubahan lainnya dalam praktek-praktek pengelolaan lahan seperti konservasi tanah garapan, serta proyek-proyek nonkonservasi seperti penanggkaran dan pembakaran metan dari pengolahan lahan, tambang batubara, dan manajemen pupuk di lahan pertanian OECD Organisation for Economic Co-operation and Development. Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi. OPEC Organization of Petroleum Exporting Countries. Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak. Party Negara (atau organisasi gabungan ekonomi regional seperti Uni Eropa) yang sepakat untuk terikat dalam suatu perjanjian dan perjanjian tersebut telah berlaku. Pasar Karbon voluntary Pasar bebas untuk perdagangan karbon. Perdagangan karbon terjadi pada pasar karbon yang lebih bersifat voluntary, dimana terdapat pembeli, penjual, produk dan kesepakatan antara pembeli dan penjual. Perdagangan karbon ini dilakukan melalui pasar saham yang menjual komoditi karbon. Pasar carbón regulatory adalah sebuah pasar yang menjual sertifikasi penurunan emisi karbon yang didasari Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 123 oleh komitmen moral dan formal untuk mengurangi emisi, terikat oleh sebuah kredibilitas sertifikasi PHL Pengelolaan hutan lestari PFC Perfluorocarbon. Perfluorokarbon. Plenary Pertemuan formal seluruh COP atau salah satu badan di bawahnya. Keputusan atau kesimpulan formal hanya boleh diambil pada saat sesi ini. Policies and measures (PAMs) Frase/istilah yang sering dipakai – kadang-kadang disingkat PAM – merujuk ke tahapan yang diambil atau akan diambil oleh Negara-negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di bawah UNFCCC dan Protokol Kyoto. Beberapa kebijakan dan tindakan terdapat di Protokol dan dapat memberikan kesempatan bagi kerjasama antar pemerintah. President Perwakilan dari Negara anggota yang dipilih oleh para Fihak untuk mengetuai COP. Presiden seringkali adalah seorang birokrat senior atau menteri dari Negara atau regional yang menjadi tuan rumah pertemuan. Presiden tidak berpartisipasi dalam negosiasi sebagai perwakilan dari negara/pemerintah anggota selama masa kepresidenan. Protocol Persetujuan internasional terkait dengan konvensi, tetapi sebagai suatu persetujuan tambahan dan terpisah yang harus ditandatangani dan diratifikasi oleh para Fihak konvensi terkait. Protokol biasanya memperkuat suatu konvensi dengan menambah komitmen baru yang lebih detail. Quantified Emissions Limitation and Reduction Commitments (QELROs) Target dan jadwal waktu yang mengikat secara hukum di bawah Protokol Kyoto untuk pembatasan atau pengurangan emisi gas rumah kaca oleh Negara maju. Ratifikasi Persetujuan formal, seringkali oleh Parlemen/DPR atau badan legislatif nasional lainnya, terhadap suatu konvensi, protokol, atau perjanjian, sehingga memungkinkan suatu Negara menjadi suatu Fihak. Ratifikasi merupakan suatu proses terpisah yang dilakukan setelah suatu Negara menandatangani suat perjanjian. Instrumen ratifikasi harus diletakkan dengan suatu ”depositary” (dalam hal Konvensi Perubahan Iklim, Sekretaris Jenderal PBB) untuk mulai perhitungan awal menjadi suatu Fihak (dalam hal Konvensi, waktunya adalah 90 hari). Recommendation Tindakan formal COP yang lebih lemah dibandingkan dengan keputusan atau resolusi, dan tidak mengikat terhadap Fihak Konvensi. 124 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim Reducing Emission from Deforestation in Developing Countries (REDD) Pengurangan emsisi dari deforestasi di Negara berkembang. Isu ini muncul pada COP 11 di Montreal. Beberapa pihak mendiskusikan proposal Papua New Guinea untuk memberikan insentif bagi Negara berkembang yang dapat menghindari deforestasi. Reforestation Penanaman kembali lahan hutan yang sebelumnya berisi hutan tetapi telah dikonversi menjadi penggunaan lain. Regional groups Aliansi Negara-negara, pada umumnya berada di regional geografis yang sama, yang bertemu untuk membahas isu dan menominasikan anggota biro dan petugas lainnya bagi aktivitas di dalam Konvensi. Lima kelompok regional adalah Afrika, Asia, Eropa Timur dan Tengah (CEE), Amerika Latin dan Karibia (GRULAC), dan Eropa Barat dan Kelompok Lain (WEOG). Registries, registry systems Database elektronik yang akan melacak dan merekam semua transaksi di bawah sistem perdagangan emisi gas rumah kaca Protokol Kyoto (carbon market) dan di dalam mekanisme seperti Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM). Research and systematic observation Kewajiban bagi para Fihak Konvensi Perubahan Iklim; mereka diminta untuk mempromosikan dan bekerjasama dalam penelitian dan pengamatan sistematik tentang sistem iklim, dan diminta untuk membantu negara-negara berkembang dalam pelaksanaannya. Reservation Pengecualian atau concern yang dicatat oleh Fihak pada saat penerimaan keputusan COP. Reservasi tidak diperkenankan untuk Konvensi itu sendiri atau Protokol. Reservoirs Komponen dalam system iklim dimana gas rumah kaca atau asal usul gas rumah kaca tersimpan. Pohon merupakan reservoir bagi karbon dioksida. Resolution Arahan yang memandu kerja COP – lebih sebagai opini daripada aksi legal permanen. Tidak seperti keputusan, resolusi biasanya bukan merupakan bagian formal dari legislasi yang diputuskan oleh COP. Review of commitments Pengamatan/review regular oleh Fihak Konvensi tentang kecukupan Artikel 4.2(a) dan (b) yang berisi komitmen negara maju untuk membatasi emisi gas rumah kaca. Review pertama dilakukan pada COP-1 dan hasilnya menunjukkan bahwa kemajuannya “tidak mamadai” – sehingga negosiasi menuju ke Protokol Kyoto, yang mensyaratkan komitmen lebih ketat bagi Negara-negara maju. Rio Conventions Tiga konvensi lingkungan, dua diantaranya diadopsi pada Earth Summit tahun 1992 di Rio de Janeiro: Konvensi PBB tentang Konvensi Kerangka Perubahan Iklim Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 125 (UNFCCC), dan Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD), sedangkan yang ke tiga, Konvensi PBB untuk Menghindari Penggurunan (UNCCD) diadopsi tahun 1994. Isu yang ditangani oleh ketiga perjanjian saling terkait – khususnya, perubahan iklim dapat menimbulkan akibat buruk pada penggurunan dan keanekaragaman hayati – dan melalui Kelompok Joint Liaison, sekretariat ketiga konvensi mengkoordinasikan kegiatannya untuk mencapai kemajuan bersama. Removal unit (RMU) Unit dalam Protokol Kyoto setara dengan 1 ton karbon dioksida. RMU diambil di Fihak Annex I dengan aktivitas LULUCF yang menyerap karbon dioksida. Roster of experts Tenaga ahli yang dinominasikan oleh para Fihak dalam Konvensi Perubahan Iklim untuk membantu Sekretariat dalam pekerjaan terkait dengan review laporan nasional Fihak Annex I, persiapan laporan teknologi adaptasi, transfer teknologi ke negara-negara berkembang, dan perkembangan pengetahuan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Rules of procedure Aturan parlemen yang mengatur prosedur dalam COP, mencakup hal-hal seperti pengambilan keputusan dan partisipasi. COP belum mengadopsi aturan prosedur secara formal, tetapi semuanya kecuali satu (dalam hal pemungutan suara/voting) saat ini diterapkan. SF6 Sulphur hexafluoride. Second Assessment Report (SAR) Review menyeluruh penelitian di seluruh dunia tentang perubahan iklim yang dikumpulkan oleh IPCC dan dipublikasikan pada tahun 1995. Sekitar 2000 orang ilmuwan dan tenaga ahli ikut berpartisipasi. Laporan ini juga dikenal sebagai Perubahan Iklim 1995. SAR menyimpulkan bahwa “keseimbangan bukti yang ada menunjukkan bahwa terdapat pengaruh manusia yang nyata terhadap iklim global.” Laporan tersebut juga menyatakan bahwa terdapat “no-regrets options” dan strategi cost-effective lainnya untuk menanggulangi perubahan iklim. Secretariat Kantor yang berisi staf pegawai sipil internasional yang bertanggung jawab ”melayani” Konvensi UNFCCC dan menjamin kelancaran operasionalnya. Sekretariat menyusun jadwal pertemuan, mengumpulkan dan menyiapkan laporan, dan berkoordinasi dengan badan-badan internasional terkait lainnya. Sekretariat Perubahan Iklim, yang berada di Bonn, Jerman, secara institusional terkait dengan PBB. Sequestration Sekuestrasi merujuk ke “pemerangkapan” karbon dioksida dengan suatu cara yang dapat menghindari dilepaskannya ke atmosfer dalam suatu jangka waktu tertentu. Signature Penandatanganan oleh kepala Negara atau kepala pemerintahan, menteri luar negeri, atau pejabat lain yang mewakili untuk menandatangani persetujuan Negara terhadap teks perjanjian internasional seperti Konvensi atau Protokol, dan menunjukkan keinginan Negara untuk menjadi suatu Fihak dalam suatu persetujuan / perjanjian. 126 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim Sink Proses, aktivitas atau mekanisme yang menghilangkan gas rumah kaca, aerosol atau cikal bakal gas rumah kaca dari atmosfer. Hutan dan vegetation lainnya dianggap sebagai sinks karena memindahkan karbon diokasida melalui fotosintesa. sistem “cap-and-trade” : merupakan batas emisi karbon yang diperkenankan untuk suatu entitas Pemerintah kemudian menetapkan jumlah “cap” yang diperkenankan tiap tahun yang berupa kuota Entitas yang mampu mengemisi karbon kurang dari kuota ”cap”nya dapat menjual kelebihan kuota tersebut kepada emiter yang memerlukan ekstra karbon untuk memenuhi kuotanya. Special Climate Change Fund (SCCF) SCCF dibangun untuk mendanai proyek terkait dengan adaptasi; transfer teknologi dan pembangunan kapasitas; energi, transportasi, industri, pertanian, kehutanan dan pengelolaan limbah; dan diversifikasi ekonomi. Dana ini harus secara bersamasama dipakai dengan mekanisme pendanaan lainnya untuk implementasi Konvensi. Global Environment Facility (GEF), sebagai entitas yang mengoperasikan mekanisme pendanaan Konvensi, telah dipercaya untuk mengelola dana ini. “Spill-over effects” Gema di dalam Negara-negara berkembang yang disebabkan oleh tindakan yang diambil oleh Negara-negara maju untuk memotong emisi gas rumah kaca. Misalnya, pengurangan emisi di Negara-negara maju dapat menurunkan permintaan akan minyak sehingga harga minyak internasional naik, menyebabkan lebih banyak penggunaan minyak dan lebih besar emisi di Negara berkembang, sebagian menambah pengurangan yang sebenarnya. Perkiraan saat ini adalah bahwa implementasi penuh Protokol Kyoto mungkin menyebabkan pengurangan emisi di Negara maju sebesar 5 sampai dengan 20% bocor ke Negara berkembang. Subsidiary body Komite yang membantu COP. Dua buah badan subsider permanent dibentuk oleh Konvensi: Badan Subsider untuk Implementasi (SBI) dan Badan Subsider untuk Pertimbangan Ilmiah dan Teknologi (SABSTA). COP-1 juga membentuk dua badan termporer: Kelompok Ad-hoc untuk Mandat Berlin, yang merampungkan pekerjaanya pada 30 November 1997, dan Kelompok Ad-hoc untuk Artikel 13. Badan subsider tambahan dapat dibentuk jika diperlukan. Square brackets Simbol tipografi [--] yang ditempatkan di sekitar teks yang sedang dinegosiasikan untuk menandakan bahwa bahasa yang terletak di dalamnya sedang dibahas tetapi belum disepakati/disetujui. Subsidiary Body for Implementation (SBI) SBI menyusun rekomendasi untuk membantu COP dalam hal mereview dan menilai implementasi konvensi yang efektif. SBI menyusun rekomendasi untuk membantu COP dalam hal mereview dan menilai implementasi konvensi yang efektif. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 127 Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) SBSTA berfungsi sebagai penghubung antara informasi dan penilaian yang diberikan oleh sumber-sumber tenaga ahli (seperti IPCC) dan COP, yang berfokus ke penyusunan kebijakan. Sustainable development Pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Technology transfer Rangkaian proses yang meliputi aliran pengetahuan, pengalaman dan peralatan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim diantara berbagai fihak pemangku kepentingan. Third Assessment Report (TAR) Review menyeluruh penelitian ilmiah global ketiga tentang perubahan iklim, diterbitkan oleh IPCC tahun 2001. Laporan ini diantaranya menyatakan bahwa “sistem iklim bumi telah menunjukkan perubahan baik dalam skala global maupun regional sejak era pra-industri, dimana sebagian perubahan ini karena kegiatan manusia. Terdapat bukti baru yang lebih kuat bahwa pemanasan yang diamati selama 50 tahun terakhir karena kegaiatan/aktivitas manusia. TAR juga mempunyai focus pada pengaruh regional perubahan iklim. Track- two JI Satu diantara dua pendekatan untuk memverifikasi pengurangan atau penghilangan emisi di bawah mekanisme Joint Implementation, dimana setiap proyek JI diverifikasi melalui prosedur di bawah pengawasan Komite Pengawas JI. Prosedur Track Two mensyaratkan bahwa setiap proyek direview oleh entitas independent yang terakreditasi. Trust funds Funds earmarked for specific programmes within the UN system. Dana yang dialokasikan untuk program khusus dalam system PBB. TT:CLEAR Technology Transfer Information Clearing House. Umbrella group : Kelompok Payung Koalisi lepas Negara-negara maju non-Uni Eropa yang dibentuk mengikuti adopsi Protokol Kyoto. Meskipun tidak ada daftar keanggotaan formal, kelompok ini biasanya termasuk Australia, Canada, Iceland, Japan, New Zealand, Norway, the Russian Federation, Ukraine, and the United States. UN United Nations. Persatuan Bangsa-Bangsa UNCCD United Nations Convention to Combat Desertification. Konvensi PBB tentang Penanggulangan Penggurunan. 128 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim UNCED United Nations Conference on Environment and Development. Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan. UNCTAD United Nations Conference on Trade and Development. Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan. UNDP United Nations Development Programme. Program Pembangunan PBB. UNECE United Nations Economic Commission for Europe. Komisi Ekonomi PBB untuk Eropa. UNEP United Nations Environment Programme. Program Lingkungan PBB. UNFCCC United Nations Framework Convention on Climate Change. Konvensi Kerangka PPB tentang Perubahan Iklim. UNIDO United Nations Industrial Development Organization. Organisasi Pembangunan Industri PBB. Uniform report format Format standar dimana para Fihak memasukkan informasi tentang aktivitas yang dilaksanakan secara bersama-sama di bawah Konvensi. Voluntary commitments Konsep naskah yang dipertimbangkan selama negosiasi Protokol Kyoto yang memperbolehkan Negara-negara berkembang secara sukarela mengikat ke dalam target emisi yang mengikat secara hukum. Usulan ini dibuang pada tahap akhir negosiasi. Isu ini tetap penting bagi beberapa delegasi dan dapat dibahas pada sesi COP yang akan datang. Vulnerability Suatu derajat dimana sebuah system sensitive terhadap, atau tidak dapat menghadapi, pengaruh buruk perubahan iklim, termasuk variabilitas iklim dan iklim ekstrim. Vulnerability/kerentanan merupakan fungsi dari sifat, skala/derajat, dan tingkat variasi iklim dimana suatu sistem terkena sensitivitas, dan kemampuan adaptasinya. WCC World Climate Conference. Konferensi Iklim Dunia. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 129 WEOG Western European and Others Group (United Nations regional group). Kelompok Eropa Barat dan Kelompok lainnya (kelompok regional PBB). WHO World Health Organization. Organisasi Kesehatan Dunia. WMO World Meteorological Organization. Organisasi Meteorologi Dunia. WSSD World Summit on Sustainable Development. Pertemuan Tingkat Tinggi Dunia tentang Pembangunan Berkelanjutan. WTO World Trade Organization. Organisasi Perdagangan Dunia. Referensi dan Daftar Pustaka : -------- 2006. UNFCCC Handbook. Climate Change Secretariat. Bonn, Germany. -------- 2006. COP/MOP2 FINAL. iisd Reporting Services. Earth Negotiations Bulletin Vol 12 No 318, Monday, 20 November 2006. http://www.iisd.ca/climate/cop12/ Departemen Kehutanan.2007. Apa itu REDD. Jakarta Departemen Kehutanan. 2008. Glossary of Climate Change Acronyms. Jakarta Departemen Kehutanan. 2007. Indonesia Forest Climate Alliance (IFCA). http:// www.dephut.go.id/INFORMASI/LITBANG/IFCA/IFCA.htm Murdiyarso, D. 2003. Sepuluh tahun perjalanan negosiasi Konvensi Perubahan Iklim. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Informasi untuk buku ini juga dirangkum dan disarikan dari laporan delegasi RI yang terkait dengan sidang Conference of Parties dan Badan-Badan bawahan terkait UNFCCC; Dan dari situs : http://www. unfccc.int www.unfcccbali.org http://www.dephut.go.id www.carbonpositive.net Dan situs terkait REDD lainnya. Climate Change: A Glossary of Terrm. 4th Edition, April 2007. IPIECA. 79 hal. Eco Securities. The forest carbon offsetting survey 2008. 33 hal. Downloaded at:http:// www.ecosecurites.com. Executive Summary Voluntary Carbon Market. Directorate General of Forestry Planning, Ministry of Forestry. 2008. 31 hal. 130 Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim Nawir, A.A., Murniati, Rumboko, L. 2003. Rehabilitasi Hutan di Indonesia: Akan kemanakah arahnya setelah lebih dari tiga dasawarsa?.Cifor. Bogor 330 hal. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P 36/Menhut-II/2009 Tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon Pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung. Peraturan Perundangan Kehutanan di Era Reformasi. UU No. 41/1999, PP No. 25/2000, PP No. 34/2002, PP No. 35/2002. Research Institute for Forestry Decentralization Extention Service. RIFDEXTS Bogor. 235 Hal. Stephen, P. 2008. Introductory Course on Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD). A Participant Resource Manual. Draft – November 2008.IDSS Pty Ltd. 97 p. Kurniatun Hairiah dan Subekti Rahayu. Pengukuran Karbon tersimpan di berbagai macam penggunaan lahan.2007. ICRAF. Jakarta Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim 131