KERENTANAN MANUSIA DAN KASIH KARUNIA TUHAN 1 KORINTUS 1 : 4-9 4 Aku senantiasa mengucap syukur kepada Allahku karena kamu atas kasih karunia Allah yang dianugerahkan-Nya kepada kamu dalam Kristus Yesus. 5 Sebab di dalam Dia kamu telah menjadi kaya dalam segala hal: dalam segala macam perkataan dan segala macam pengetahuan, 6 sesuai dengan kesaksian tentang Kristus, yang telah diteguhkan di antara kamu. 7 Demikianlah kamu tidak kekurangan dalam suatu karuniapun sementara kamu menantikan penyataan Tuhan kita Yesus Kristus. 8 Ia juga akan meneguhkan kamu sampai kepada kesudahannya, sehingga kamu tak bercacat pada hari Tuhan kita Yesus Kristus. 9 Allah, yang memanggil kamu kepada persekutuan dengan Anak-Nya Yesus Kristus, Tuhan kita, adalah setia. Pendahuluan Jogja, kota istimewa, ia adalah episentrum budaya Jawa (selain Surakarta). Dalam hal ini, mohon maaf, Bantul dan Wates atau Kulonprogo, agak berbeda. Namun, jika Anda ditanya di mana Anda tinggal di Jogja ini, lalu Anda bilang bahwa Anda tinggal di “Sarkem”....apa impresi orang? Apa yang terpikirkan di benak orang? Apa justifikasi moralitas dalam konstruksi sosio-kultural mereka tentang Sarkem dan Anda yang barangkali tinggal atau sering ke “Sarkem” ? Isi Apakah “Korintus” membanggakan? Agaknya, reputasi kota ini kurang oke. Disebut orang Korintus berarti dianggap orang yang hidup susilanya rendah (Suharyo, 1991: 138). Di ayat 4, Paulus menulis: “aku senantiasa mengucap syukur (eukharisto: present indicative active) kepada Allah karena kamu (jemaat Korintus)”. Ini pujian, namun bukan pada jemaat Korintus per se, pada dirinya sendiri. I. Suharyo (1991) mengkalimatkan situasi umat di Korintus dengan tandas:”Di satu pihak jemaat di Korintus dengan penuh semangat menjawab tawaran untuk percaya kepada Yesus Kristus. Di lain pihak mereka banyak memiliki kelemahan dan dilanda berbagai macam soal”. Paulus mendengar dari beberapa pihak (Stefanus, Fortunatus, Arkhaikus –psl 16; orang-orang dari keluarga Khloe dan mungkin juga dari Apolos), bahwa di jemaat Korintus ada banyak hal buruk, misalnya soal seksualitas, dan pandangan-pandangan yang ekstrim yang bertentangan (ps; 6 dan 7) –, namun soal pokok adalah pertikaian dan perpecahan dalam jemaat sendiri (lihat Jacobs, 1983: 144). Dalam suratnya yang mungkin di tulis antara tahun 54-56 M ini Paulus memberikan arahan dan pendapatnya terkait dengan masalah-masalah yang muncul di jemaat. Jemaat Korintus, agaknya memiliki potensi terpecah dalam favoritisme kepemimpinan rohani (ada kelompok-kelompok yang membentuk diri berdasarkan ketokohan atau kecocokan umat terhadap ketokohan seseorang). Dilihat dari segi demografi sosial yang lebih luas, jemaat Korintus berada di konteks sosial yang rawan. Kota Korintus sebagai kota pelabuhan dan ibukota propinsi adalah kota yang ramai, penduduknya sekitar 600.000 orang dan 2/3 di antaranya adalah kaum budak. Pembagian demografi sosial semacam ini juga tercermin di dalam gereja Korintus. Suharyo mencatat bahwa “sebagian dari jemaat Korintus terdiri dari kelas paling bawah (1 Kor 6: 9-11), dan sebagian lagi berasal dari lingkungan yang paling kaya, yang antara lain menjadikan Perjamuan Tuhan suatu pesta yang tidak memberi tempat pada orangorang yang miskin (1 Kor 11: 17-22). Jadi ada kerentanan yang menggelayuti jemaat Korintus, baik dari segi komposisi sosial anggotanya, dari segi potensi grouping yang ada di jemaat, juga soal-soal yang dihadapi umat dalam hidup bersama di tengah-tengah konteks sosial kota Korintus yang reputasinya secara moral kurang baik. Tambahan lagi, menurut Tom Jacobs. Ada juga soal yagn terkait dengan kehadiran dan pengaruh pada “lawan” Paulus :” Jika di konteks surat Galatia, para lawan Paulus mempersoalkan hal-hal yang terkait dengan adat istiadat Yahudi, khususnya Taurat dan Sunat, dalam surat Korintus yang dipermasalahkan oleh para lawan Paulus adalah pada gaya merasulya yanga kurang bersifat kharismatis. Paulus kurang memperlihatkan dalam seluruh cara bekerja dan gaya hidupnya, bahwa Roh berkarya di dalamnya. Ia terlalu lemah dan “kurang” rohani” (Jacobs. 1983:145). Di sini kita mendapati setidaknya ada dua jenis kerentanan : kerentanan karena gaya kerasulan Paulus, dan kerentanan dalam lokasi sosio-eklesiastikal umat sebagai mereka yang dinaungi oleh perbedaan kelas sosial dan kerentanan karena macam-macam soal hidup moral, etis dan teologis yang nyata dan tidak remeh. Tak heran jika Paulus memindai soal empiris dijemaat ini dengan mengetengahkan perspektif yang baru mengenai hikmat Allah dalam karya kerentanan salib Kristus. Hidup umat dan hidup Paulus sebagai rasul adalah hidup yang mengandung dan merayakan kerentanannya dalam iman kepada Allah dan malah merayakan kerentanan Allah dalam salib Yesus yang bagi orang Yahudi adalah suatu batu sandungan dan bagi orang non Yahudi (Yunani) adalah kebodohan. Namun, justru disitulah letak rahmat Tuhan: ada kesungsangan teologi di sini: apa yang lemah dan rentan adalah kekuatan dan tanda pelawatan Allah. Bukan hanya tentang salib itu saja, bahkan pelayanannya yakni Paulus adalah ia yang rentan, dan umat yang kepadanya sang pelayanan menyurat adalah umat yang rentan. Demikianlah kerentanan itu ada, bukan untuk dipamer-pamerkan, namun untuk diakui sebagai fakta dan sebagai perantara tersalurkannya rahmat Tuhan. Itulah sebabnya (jika kembali ke ayat 1), Paulus menulis “Aku senantiasa mengucap syukur kepada Allahku, karena kamu, atas kasih karunia Allah (epi te kariti tou Theou) yang dianugerahkannya kepada kamu dalam Kristus Yesus”). Yang membuat Paulus mengucap syukur adalah ketika ia mendapati adanya kasih karunia Allah yang berlimpah bagi umat Korintus yang rentan ini. Di sini Paulus mengetengahkan suatu kejutan dan kesungsangan. Ini pokok teologis yang penting dibagikan pada awal surat yang bernada eulogis ini, sebab umat Korintus yang memiliki banyak noktah, kerentanan, masalah dan segregasi sosial itu disebut Paulus sebagai umat yang kaya dalam segala sesuatu karena berada di dalam Dia (ay 5). Lawatan rahmat (kasih karunia: karis/kariti tou Theou) Allah inilah mengatasi kerentanan umat karena kasih karunia itu memperkaya umat yang rentan itu dalam perkataan (logoo/logos: wacana), pengetahuan (gnosei/gnosis: hikmat), dan (marturion) kesaksian dari /milik Kristus (tou Kristou: genitif), bukan “tentang Kristus” (TB LAI) yang telah diteguhkan di antara mereka (ayat 5). Jadi rahmat yang memperteguh umat yang rentan adalah dalam bentuk keterlibatan wacana, hikmat dan kesaksian Sang Kristus sendiri. Inilah yang menyebabkan Paulus dengan berani mengatakan: kalau Kristus dalam wacana (sabda), hikmat dan kesaksian sedemikian melawat kamu, maka walau umat penuh dengan kekurangan dan naik turun dalam berdinamika, mereka sebenarnya tidak kekurangan satu karunia pun. Dengan kata lain : karya dan keterlibatan Kristus yang merahmatkan diriNya pada umat sudahlah cukup (ay 7). Ini tidak berarti umat kebal dari persoalan. Nyatanya khan tidak, mereka penuh dengan soal, di tengah-tengah konteks sosial yang juga tidak oke. Itu tentu terjadi. Masalahnya begini, keterpanggilan untuk menggarap hidup komunitas yang rentan janganlah diletakkan pada pandangan bahwa mereka (umat) tidak difasilitasi oleh Allah dengan apa yang mereka sungguh perlukan. Allah berkarya dengan cara memberikan kasih karunia dalam perkataan, kebijaksanaan dan kesaksian Kristus. Dengan itu Allah tidak mengangkat beban komunitas dengan menjadikan mereka menjadi kebal dari segala soal, namun yang dilakukan Allah adalah memberi peneguhan senantiasa bagi umat untuk sendiri –dalam hal ini, dengan pertolongan surat sang rasul- menggarap dinamika eklesiologis mereka. Intervensi Illahi tidak hadir dengan mengambil soal, juga tidak hadir dalam bentuk kekebalan di dalam persoalan, namun dengan meneguhkan ( bebaioosai-future dari bebaiooo: to confirm, secure) sampai akhir narasi : datangnya hari Tuhan Yesus Kristus. Jaminan diletakkan pada kesetiaan Allah yang memberikan peneguhan, bukan pada ketiadaan kerentanan dan alpanya soal-soal kehidupan. Tak heran di ayat 9, Paulus menyatakan hal ini dalam bahasa yang performatif: pistos ho Theos....” faithful is God ( through whom you were called to the fellowship of His Son Jesus Christ our Lord). Rahmat Allah memainkan peran mendasar dalam dinamika gereja Korintus. Di atas di dalam rahmat Allah (yakni sabda, hikmat dan kesaksian sang Kristus yang rentan namun mencintai dengan penuh itulah) umat diminta “menarikan” tarian eklesiologis mereka sedalam, sebermutu dan sekreatif mungkin. Berbagai soal digarap atau bahasa kerennya dielaborasi dengan dan sembari menempatkan rahmat Allah (kasih karunia Allah) sebagai grounding dan koordinat batin sekaligus. Kerentanan senantiasa ada dlam realitas umat Korintus dan bahkan menjadi pusat dasar teologi kasih karunia (tentang salib yang adalah kebodohan dan batu sandungan bagi dunia), namun di situlah persis terjadi a theological twist, perputaran atau pembalikan realitas teologis : yang rentan itu menjadi sumber kekuatan dan suri teladan. Penutup Bagi kita, hal yang amat penting adalah bahwa ketika kita mengolah pergumulan hidup, pribadi maupun sosial yang sarat kerentanan dan kemungkinan (dalam bahasa yang lebih “positif”) yang multidimensional dalam konteks senyatanya sebagai orang Indonesia atau Asia dalam skopa yang lebih luas yakni : pluralitas agama, kemiskinan, ketidakadilan, dan bencana: dalam konteks paling dekat dengan kita sekarang adalah bencana gunung meletus di Sinabung, banjir dan longsor di pesisir utara Jawa dan Jombang), kita seyogyanya terpanggil untuk membangun wacana teologi, perenungan dan juga menindakkan kontemplasi dalam aksi (contemplatio in actione) secara nyata dan mendalam dengan senantiasa menjadikan Kristus senantiasa menjadi sumber peneguhan, mata air hidup dan karya beriman, serta senantiasa menjadi koordinat batin hingga akhir, sebab Ia yang setia meminta kesetiaan kita dalam mengolah berbagai dimensi hidup (ayat 9). Pendasaran nilai dan koordinat batin dalam hidup dan karya adalah amat mendasar dalam hidup beriman. Itulah yang memberikan makna dan warna dalam spiritualitas hidup kristiani. Seperti terungkap dalam doa terakhir hir dari St. Richard Chicester yang begitu termashyur dan oleh karenaya diingat orang dan dikemas dalam bentuk lagu agar doa yang devotif dan menggariskan minat paling mendalam dalam sanubari itu mudah diingat dan dibagikan. Judul dari Doa itu adalah : Day by Day, demikian untaian kalimat indah dari Chicester: Day by day, Day by day, O dear Lord, Three things I pray: To see Thee more clearly, Love Thee more dearly, Follow Thee more nearly, day by day Follow Thee more nearly, day by day.... Amin. Jogjakarta, 4 Peb 2014 daniel k listijabudi