BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Kesetaraan merupakan sendi utama proses demokrastisasi karena menjamin terbukanya akses dan peluang bagi seluruh elemen masyarakat. Tidak tercapainya cita-cita demokrasi seringkali dipicu oleh perlakuan yang diskriminatif dari mereka yang dominan baik secara struktural maupun secara kultural. Perlakuan diskriminatif ini merupakan konsekusensi logis dari suatu pandangan yang bias dan posisi asimetris dalam relasi sosial. Perlakuan diskriminatif dan ketidaksetaraan tersebut dapat menimbulkan kerugian dan menurunkan kesejahteraan hidup bagi pihak-pihak yang termarginalisasi dan tersubordinasi. Sampai saat ini diskriminasi berbasis pada gender masih terasakan hampir di seluruh dunia, termasuk di negara di mana demokrasi telah dianggap tercapai. Dalam konteks ini, kaum perempuan yang paling berpotensi mendapatkan perlakuan yang diskriminatif, meski tidak menutup kemungkinan lakilaki juga dapat mengalaminya. Pembakuan peran dalam suatu masyarakat merupakan kendala yang paling utama dalam proses perubahan sosial. Sejauh menyangkut persoalan gender di mana secara global kaum perempuan yang lebih berpotensi merasakan dampak negatifnya. Berbagai cara tengah dilakukan diupayakan untuk mengurangi ketidaksetaraan gender yang menyebabkan ketidakadilan sosial. Upaya tersebut dilakukan baik secara individu, kelompok bahkan oleh negara dan dalam lingkup lokal, nasioanal dan internasional. Upaya upaya tersebut diarahkan untuk, Menjamin Kesetaraan Hak-Hak Azasi, Penyusun Kebijakan Yang Pro Aktif Mengatasi Kesenjangan Gender, dan Peningkatan Partisipasi Politik. B. Rumusan Masalah Apa yang dimaksud dengan kesetaraan gender? Apa wujud ketidaksetaraan gender didalam masyarakat? Bagaimana pandangan etis agama terhadap kesetaraan laki-laki dan perempuan? C. Batasan Konseptual Definisi operasional Kesetaraan merupakan keadaan yang menunjukkan adanya tingkatan yang sama, kedudukan yang sama, tidak lebih tinggi atau tidak lebih rendah antara satu sama lain. Kesetaraan manusia bermakna bahwa manusia sebagai mahkluk Tuhan memiliki tingkat atau kedudukan yang sama. Tingkatan atau kedudukan yang sama itu bersumber dari pandangan bahwa semua manusia tanpa dibedakan adalah diciptakan dengan kedudukan yang sama, yaitu sebagai makhluk mulia dan tinggi derajatnya dibanding makhluk lain. Gender adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya.Gender itu sendiri adalah kajian perilaku atau pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang sudah dikonstruksikan atau dibentuk di masyarakat tertentu dan pada masa waktu tertentu pula. Gender ditentukan oleh sosial dan budaya setempat. Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan lakilaki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. BAB II DESKRIPSI DAN ANALISIS a. Kesetaraan Gender Pengertian Kesetaraan dan Keadilan gender Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidak adilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan lakilaki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan. Pengertian gender dan seks Gender adalah perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan Sehingga gender belum tentu sama di tempat yang berbeda, dan dapat berubah dari waktu ke waktu. Seks/kodrat adalah jenis kelamin yang terdiri dari perempuan dan laki-laki yang telah ditentukan oleh Tuhan. Oleh karena itu tidak dapat ditukar atau diubah. Ketentuan ini berlaku sejak dahulu kala, sekarang dan berlaku selamanya. Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan. Oleh karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada. Dengan demikian gender dapat dikatakan pembedaan peran, fungsi, tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk/dikonstruksi oleh sosial budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman. Dengan demikian perbedaan gender dan jenis kelamin (seks) adalah Gender dapat berubah, dapat dipertukarkan, tergantung waktu, budaya setempat, bukan merupakan kodrat Tuhan, melainkan buatan manusia. Lain halnya dengan seks, seks tidak dapat berubah, tidak dapat dipertukarkan, berlaku sepanjang masa, berlaku dimana saja, di belahan dunia manapun, dan merupakan kodrat atau ciptaan Tuhan. b. Ketidaksetaraan Gender didalam Masyarakat Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun, yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender termanifestasi dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni : Marginalisasi perempuan sebagai salah satu bentuk ketidakadilan gender Proses marginalisasi (peminggiran/pemiskinan) yang mengakibatkan kemiskinan, banyak terjadi dalam masyarakat terjadi dalam masyarakat di Negara berkembang seperti penggusuran dari kampong halaman, eksploitasi. Namun pemiskinan atas perempuan maupun laki-laki yang disebabkan jenis kelamin merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan gender. Sebagai contoh, banyak pekerja perempuan tersingkir dan menjadi miskin akibat dari program pembangunan seperti internsifikasi pertanian yang hanya memfokuskan petani lakilaki. Perempuan dipinggirkan dari berbagai jenis kegiatan pertanian dan industri yang lebih memerlukan keterampilan yang biasanya lebih banyak dimiliki laki-laki. Selain itu perkembangan teknologi telah menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang umumnya dikerjakan oleh tenaga laki-laki. Beberapa studi dilakukan untuk membahas bagaimana program pembangunan telah meminggirkan sekaligus memiskinkan perempuan (Shiva, 1997; Mosse, 1996). Seperti Program revolusi hijau yang memiskinkan perempuan dari pekerjaan di sawah yang menggunakan ani-ani. Di Jawa misalnya revolusi hijau memperkenalkan jenis padi unggul yang panennya menggunakan sabit. Contoh-contoh marginalisasi: Pemupukan dan pengendalian hama dengan teknologi baru laki-laki; yang dikerjakan Pemotongan padi dengan peralatan sabit, mesin yang hanya membutuhkan tenaga dan keterampilan diasumsikan laki-laki, menggantikan tangan perempuan dengan alat panen ani-ani; tenaga perempuan; Usaha konveksi lebih suka menyerap tenaga perempuan. Peluang menjadi pembantu rumah tangga Banyak pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan lebih banyak perempuan; seperti “guru taman kanak- kanak” atau perempuan “sekretaris” dan “perawat”. Subordinasi Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dahulu ada pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dari laki-laki. Banyak kasus dalam tradisi, tafsiran ajaran agama maupun dalam aturan birokrasi yang meletakan kaum perempuan sebagai subordinasi dari kaum laki-laki. Kenyataan memperlihatkan bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang gerak terutama perempuan dalam kehidupan. Sebagai contoh apabila seorang isteri yang hendak mengikuti tugas belajar, atau hendak berpergian ke luar negeri harus mendapat izin suami, tetapi kalau suami yang akan pergi tidak perlu izin dari isteri. Pandangan stereotype Setereotipe dimaksud adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu stereotipe yang berkembang berdasarkan pengertian gender, yakni terjadi terhadap salah satu jenis kelamin, (perempuan), Hal ini mengakibatkan terjadinya diskriminasi dan berbagai ketidakadilan yang merugikan kaum perempuan. Misalnya pandangan terhadap perempuan yang tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan pekerjaan domistik atau kerumahtanggaan. Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup rumah tangga tetapi juga terjadi di tempat kerja dan masyaraklat, bahkan di tingkat pemerintah dan negara. Apabila seorang laki-laki marah, ia dianggap tegas, tetapi bila perempuan marah atau tersinggung dianggap emosional dan tidak dapat menahan diri. Standar nilai terhadap perilaku perempuan dan laki-laki berbeda, namun standar nilai tersebut banyak menghakimi dan merugikan perempuan. Label kaum perempuan sebagai “ibu rumah tangga” merugikan, jika hendak aktif dalam “kegiatan laki-laki” seperti berpolitik, bisnis atau birokrat. Sementara label laki-laki sebagai pencari nafkah utama, (breadwinner) mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh perempuan dianggap sebagai sambilan atau tambahan dan cenderung tidak diperhitungkan. Beban Ganda Bentuk lain dari diskriminasi dan ketidak adilan gender adalah beban ganda yang harus dilakukan oleh salah satu jenis kalamin tertentu secara berlebihan. Dalam suatu rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki, dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi, menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja juga masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dalam proses pembangunan, kenyataannya perempuan sebagai sumber daya insani masih mendapat pembedan perlakuan, terutama bila bergerak dalam bidang publik. Dirasakan banyak ketimpangan, meskipun ada juga ketimpangan yang dialami kaum laki-laki di satu sisi. c. Pandangan Etis Agama terhadap kesetaraan Laki-laki dan Perempuan Kesetaraan gender dari sudut pandang agama khatolik Permasalahan gender dalam Katolik tidak terlepas dari konteks tradisi dan budaya, khususnya budaya agama Yahudi. Dalam agama Yahudi, laki-laki mempunyai posisi yang lebih dominan dibandingkan dengan perempuan. Dominasi ini menciptakan ketidakadilan gender. Ketika suatu perbuatan itu dilakukan oleh laki-laki, maka dianggap sebagai suatu kebenaran. Begitu juga di Indonesia, ajaran kristen tidak dapat terlepas dari budaya warga Indonesia. Dalam Kejadian 2 disebutkan bahwa Allah menciptakan manusia dari bumi. Manusia yang pertama kali diciptakan adalah Adam. Kemudian dari tulang rusuk Adam diciptakanlah Hawa. Kemudian disebutkan bahwa Adam jatuh ke dalam dosa karena Hawa. Teks ini memunculkan pandangan bahwa perempuan adalah manusia kedua. Perempuan juga dipandang sebagai sumber dosa. Gereja mengambil teks ini sebagai dasar pandangan hubungan (relasi) antara laki-laki dengan perempuan. Hubungan ini dipandang hanya berdasarkan jenis kelamin saja. Posisi sub ordinat perempuan seperti inilah yang menjadi dasar pandangan awal gereja mengenai perempuan. Namun dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan perkembangan zaman, Gereja menolak ketidakadilan gender, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Gereja memperhatikan dengan serius dasar-dasar ajaran agama, yaitu; tradisi, teologi dan filsafat, kitab suci serta ajaran gereja dengan pastoral lainnya. 1. Aspek Tradisi Salah satu sumber ajaran iman dan moral Katolik adalah tradisi. Tradisi gereja masih dipengaruhi oleh budaya yang bersifat patriarkhis. Suami merupakan penguasa dalam keluarga. Wanita diletakkan dalam posisi sub ordinat. Hal ini merupakan suatu bentuk ketidakadilan gender yang mendasar. Namun Perjanjian Baru memandang bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama, sehingga dengan jelas Perjanjian Baru menolak segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan hal tersebut maka perlu diadakan perubahan penafsiran kitab suci, terutama Kitab Perjanjian Lama. 2. Aspek Teologi dan Filsafat Dalam Kristen, baik itu Katolik maupun Protestan, pencitraan Allah adalah sebagai Bapak, sehingga muncul pandangan bahwa Allah adalah laki-laki. Hal ini mengontruksikan suatu pemikiran bahwa laki-laki adalah penguasa dalam keluarga sehingga sangat berpotensi menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga. Sesungguhnya hubungan manusia dengan Allah adalah bersifat personal sehingga Allah dapat mempersonifikasikan diri sebagai Bapak maupun sebagai Ibu. 3. Aspek Kitab Suci Untuk memahami Kitab Suci perlu dipahami latar belakang penulis. Dalam Kejadian 2 pasal 2 ayat (5) disebutkan bahwa perempuan merupakan manusia kedua, perempuan sebagai penggoda. Teks normatif ini sangat berpotensi memunculkan kekerasan dalam rumahtangga jika ditafsirkan secara salah. Padahal dalam Kejadian 1 ayat (26) disbutkan bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan sama secitra dengan Allah, keduanya adalah baik. Dalam Kitab Perjanjian Lama, banyak ketentuan-ketentuan yang menempatkan perempuan sebagai mahkluk kedua, dan diposisikan pada posisi yang sub ordinat. Hal ini sangat berpotensi memunculkan kekerasan psikologis dalam keluarga.Pencitraan perempuan yang cenderung terasa tidak adil gender ini diperbaharui dan diformulasikan kembali dalam Kitab Perjanjian Baru. Dalam Kitab Perjanjian Baru, perempuan mendapat posisi yang sejajar dengan laki-laki. Yesus menempatkan perempuan pada posisi yang harus dihormati. Bahkan karena dianggap terlalu memuliakan perempuan dan terlalu memperjuangkan perempuan inilah kemudian Yesus ditangkap dan kemudian dihukum salib oleh penguasa pada waktu itu yang memegang faham patriarkal. 4. Aspek Ajaran Gereja Dalam pandangan Gereja Katolik, perempuan dianggap mempunyai martabat yang sama dengan laki-laki. Mereka mempunyai hak untuk berperan dalam masyarakat. Pengakuan kesejajaran antara laki-laki dan perempuan haruslah dihormati. Gereja mengemukakan sikap keterbukaan dalam keluarga, sehingga interaksi dalam keluarga muncul kesejajaran. Gereja Katolik dengan jelas bersikap tidak toleran terhadap ketidakadilan, termasuk ketidakadilan gender yang berpotensi memicu kekerasan dalam keluarga. Dalam Katolik ada satu komisi yang melayani urusan keluarga yaitu pastoral keluarga yang bertugas melakukan pendampingan keluarga, untuk menanggulangi munculnya kekerasan dalam rumahtangga, termasuk perceraian. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Gereja Katolik menolak ketidakadilan gender. Tetapi untuk mewujudkan keadilan gender dalam masyarakat masih terdapat hambatan yaitu faktor tradisi patriarkhis. Kesetaraan gender dari sudut pandang agama Kristen Alkitab mengatakan bahwa Allah menciptakan perempuan dan laki-laki menurut gambar dan rupa Allah: “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej.1:27). Maksud dari ungkapan ‘menurut gambar Allah’ dalam ayat ini tidak dalam arti bahwa manusia itu sama hakekat dengan Sang Pencipta. Ungkapan itu lebih berarti bahwa Allah menciptakan manusia sebagai makluk mulia, kudus, dan berakal budi, sehingga manusia bisa berkomunikasi dengan Allah, serta layak menerima mandat dari Allah untuk menjadi pemimpin bagi segala makluk (Kej.1:28-30). Status se“gambar” dengan Allah dimiliki tidak hanya oleh laki-laki, tetapi juga oleh perempuan. Kedua pihak punya status yang sama. Sebab itu tidak dibenarkan adanya diskriminasi atau dominasi dalam bentuk apapun hanya karena perbedaan jenis kelamin. Alkitab mencatat bahwa hubungan yang timpang antara laki-laki dan perempaun itu terjadi setelah manusia memakan buah yang dilarang oleh Allah (Kej. 3:12dst). Adam mempersalahkan Hawa sebagai pembawa dosa, sedangkan Hawa mempersalahkan ular sebagai penggoda. Tetapi akhirnya Allah menghukum Adam. Adam dihukum bukan hanya karena Adam ikut-ikutan makan buah yang Allah larang, tetapi juga karena ketika Hawa berdialog dengan ular sampai memetik buah, Adam ada bersama Hawa. Adam hadir di sana tetapi ia bungkam. Dengan kata lain, perbuatan Hawa sebenarnya mendapat restu dari Adam. Karena itu kesalahan ada pada kedua pihak. Itu berarti bahwa Adam dan kaum laki-laki tidak bisa menghakimi Hawa dan kaumnya sebagai pembawa dosa. Dalam perkembangan selanjutnya peranan perempuan mulai dibatasi. Budaya Yahudi tidak banyak memberikan peluang kepada perempuan untuk berkiprah. Ada sejumlah tokoh perempuan yang muncul dalam sejarah Israel, tetapi peran mereka sangat terbatas. Di antara mereka ada Miryam, saudara perempuan nabi Musa. Miryam juga dipakai Allah sebagai nabiah. Ia dan Harun menegur Musa saat Musa kawin lagi dengan perempuan Kush. Meskipun Miryam dan Harun bersama-sama mengajukan protes namun Miryamlah yang mendapat hukuman. Terjadi semacam diskriminasi hukum antara laki-laki dan perempuan (Bil. 12). Diskriminasi itu juga terjadi ketika orang kawin. Dalam budaya Israel seorang suami bisa mengambil istri lebih dari satu orang (polygamy). Tetapi seorang istri tidak diperkenankan untuk mengambil suami lebih dari satu orang (poliyandry). Pada saat seorang perempuan melahirkan anak juga terjadi diskriminasi. Jika perempuan melahirkan anak laki-laki ia dianggap najis selama empat puluh hari. Sedangkan jika yang lahir adalah anak perempuan, maka ibu anak itu dianggap najis selama delapanpuluh hari (Imamat 12). Dua perempuan Israel yang dianggap mujur yakni Deborah menjadi nabiah dan hakim di Israel dan Ester sebagai permaisuri Raja Ahazweros (Hak. 4:4dst; Est 8). Pada masa hidup Yesus, diskriminasi dan dominasi laki-laki atas perempuan masih tetap berlangsung. Ketika Yesus mulai mengangkat tugas-Nya, Ia bersikap menentang disriminasi dan dominasi itu. Suatu ketika pemimpinpemimpin agama Yahudi menangkap seorang perempuan yang kedapatan berzinah lalu dibawa kepada Yesus. Mereka minta supaya perempuan ini dihukum rajam sesuai aturan Yahudi. Tetapi Yesus tidak peduli terhadap permintaan mereka. Pasalnya, mereka menangkap perempuan itu tapi tidak menangkap laki-laki yang tidur dengan dia. Yesus berkata kepada mereka: “Barangsiapa yang tidak berdosa hendaknya ia yang pertama kali merajam perempuan ini”. Tidak ada yang berani melakukannya. Akhirnya Yesus menyuruh perempuan itu pulang dengan nasihat supaya tidak berbuat dosa lagi (Yoh 8:2-11). Dalam pelayanan-Nya, Yesus banyak menaruh perhatian kepada orangorang yang dianggap sebagai ‘sampah’ masyarakat, termasuk di dalamnya beberapa perempuan. Salah satu di antaranya adalah Maria dari Magdala. Yesus menyembuhkan Maria dari ikatan roh jahat. Kemudian Maria dan beberapa perempuan lain mengiring Yesus dalam pelayanan-Nya (Luk 24:10). Lagi-lagi Yesus membela posisi perempuan ketika sejumlah orang Farisi datang kepadaNya dan bertanya:”Apakah seorang suami bisa menceraikan istrinya dengan alasan apa saja?” Yesus menjawab mereka kata-Nya: sejak semula perkawinan hanya terjadi antara seorang laki-laki dan seorang perempuan (Adam-Hawa). Perceraian hanya bisa terjadi jika salah satu di antaranya berbuat zinah. Lalu orang-orang itu bertanya lagi: “Kalau begitu mengapa Musa mengijinkan seorang suami membuat surat cerai (talak)”? Lalu Yesus menjawab: karena ketegaran hatimulah Musa melakukan hal itu. Tapi seharusnya tidak demikian (Mat 19:1-12). Karena komitment-Nya terhadap kesetaraan perempuan dan lakilaki, maka pada saat Yesus mati di salib, banyak perempuan ada bersama-sama dengan Dia serta mengunjungi kubur-Nya. Perjuangan menentang diskriminasi dan menegakkan hak-hak perempuan tidak berakhir pada saat Yesus terangkat ke langit. Perjuangan itu terus berlangsung dari abad ke abad. Umumnya orang mengakui bahwa perjuangan yang cukup sengit dimulai pada abad ke-18, terutama sesudah berakhirnya Revolusi Amerika (1775-1783) dan Revolusi Perancis (1789-1799). Kedua revolusi itu berhasil menanamkan nilai-nilai: kemerdekaan, kesetaraan, dan persaudaraan antara semua penduduk. Momentum ini dipakai oleh kaum perempuan untuk menuntut kesamaan hak dengan kaum lelaki. Selanjutnya pada tahun 1960-an terjadi gelombang protes anti perang dan perjuangan hak-hak sipil yang terjadi di Amerika Utara, berikut di Australia, dan di seluruh Eropah. Kesempatan itu dianggap tepat untuk memperjuangkan kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Yang menarik perhatian kita sekarang, bahwa gerakan memperjuangkan kesetaraan gender sudah menjadi gerakan yang mendunia. Ia bukan hanya merupakan usaha dari kelompok agama tertentu, tetapi sudah menjadi gerakan bangsa-bangsa atas alasan kemanusiaan dan keadilan gender. Tentu kita mendukung semua perjuangan semacam itu. Kesetaraan gender menurut agama muslim Sejak 15 abad yang lalu Islam telah menghapuskan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Islam memberikan posisi yang tinggi kepada perempuan. Prinsip kesetaraan dan keadilan gender dalam Islam tertuang dalam Kitab Suci AlQuran. Dalam ajaran Islam tidak dikenal adanya isu gender yang berdampak merugikan perempuan. Islam bahkan menetapkan perempuan pada posisi yang terhormat, mempunyai derajat, harkat, dan martabat yang sama dan setara dengan laki – laki. Islam memperkenalkan konsep relasi gender yang mengacu kepada ayat – ayat Al-Qur an substantive yang sekaligus menjadi tujuan umum syariaiah. Adalah suatu kenyataan, masih banyak masyarakat, tidak terkecuali beberapa guru agama yang belum memahami makna qodrat, apabila berbicara soal jenis kelamin perempuan, dikaitkan dengan upaya mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender. Salah satu akibat dari salah memahami alasan untuk mempertahankan domestikasi, subordinasi, marginalisasi, dan diskriminasi terhadap perempuan. Al-Qur an sebagai “Hudan linnasi”, petunjuk bagi umat manusia, dan kehadiran Nabi Muhammad Rasulullah SAW dengan sunnahnya, sebagai “Rahmatan lil alamin”, tentu saja menolak anggapan di atas. Islam datang untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk ketidak-adilan. Sejak awal dipromosikan, Islam adalah agama pembebasan. Islam adalah agama ketuhanan sekaligus agama kemanusiaan dan kemasyarakatan. Dalam pandangan Islam, manusia mempunyai dua kapasitas, yaitu sebagai hamba dan sebagai representasi Tuhan (khalifah) tanpa membedakan jenis kelamin, etnik, dan warna kulit. Islam mengamanatkan manusia untuk memperhatikan konsep keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan keutuhan, baik sesama manusia maupun manusia dengan lingkungan alamnya. Kesetaraan gender dari sudut pandang agama Budha Dalam kehidupan bermasyarakat, sang budha tidak membedakan peran lakilaki maupun perempuan. Mereka memliki peran yang setara dan adil. Seperti laki-laki, perempuan juga bisa menjadi majikan, atasan, guru(brahmana) sesuai kotbah sang Budha. Mengacu pada perkembangan budha Dharma bahwa pemberdayaan dan kemitrasejajaran perempuan telah diperjuangkan dan ditumbhkembangkan oleh sang Budha. Hal ini dapat dikaji dari kisah-kisah siswa Budha yang sebagian adalah perempuan dan diterangkan pula bahwaperempuan membawa peran penting dalam perkembangan agama Budha Kesetaraan gender dalam agama Budha didasari kewajiban dan tanggungjawab bersama dalam rumah tangga dan adanya kehendak bersama dalam menjalankan kehidupan berumah tangga. Menurut agama Budha, manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan yang muncul bersama di muka bumi ini.dan dia dapat terlahir sesuai dengan karmanya masing-masing, sehingga kedudukan antara laki-laki maupun perempuan dalam agama budha tidak dipermasalahkan . agama budha membimbing umatnya untuk menghargai gender. Dalam Paninivana Sutta, sang Budha mengatakan seluruh umat manusia tanpa tertinggal memiliki jiwa Budha. Laki-laki dan perempuan memiliki tugas yang agung, karenanya agar terjadi keseimbangan dalam menjalanjan fungsi kehidupannya, maka keduanya memiliki karakter yang berlawanan, padahal justru dari sinilah muncul keseimbangan. Kesetaraan gender dari sudut pandang agama Hindhu Pengertian gender dalam agama Hindu merupakan hubungan sosial yang membedakan perilaku antara perempuan secara proposional menyangkut moral, etika, dan budaya, bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan diharapkan untuk berperan dan bertindak sesuai ketentuan sosial, moral, etika, dan budaya di mana mereka berada. Ada yang pantas dikerjakan oleh laki-laki ditinjau dari sudut sosial, moral, dan budaya, tetapi tidak pantas dikerjakan oleh perempuan,demikian pula sebaliknya.Sesuai ajaran agama hindu, gender bukan merupakan perbedaan sosial antara laki-laki dan perempuan. agama hindu mengajarkan bahwa seluruh umat manusia di perlakukan sama di hadapan tuhan sesuai dengan dharma baktinya. Manusia yang dilahirkan ke dunia merdeka dan mempunyai martabat serta hak yang sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, baik laki-laki maupun perempuan. Istilah dewa-dewi lingga yoni dalam ajaran hindu menggambarkan bahwa dualism ini sesungguhnya ada dan saling membutuhkan karena tuhan yang maha esa menciptakan semua mahluk hidup selalu berpasangan.di dalam kitab suci hubungan suami dan istri dalam ikatan perkawinan disebut sebagai satu jiwa dari dua badan yang berbeda . Lebih jauh di dalam manapadharmasastra di uraikan bahwa tuhan yang maha esa menciptakan alam semesta beserta segala isinya dalam wujud “ardha-nariisvari”,sebagai sebagian laki-laki dan sebagian lagi sebagai perempuan. BAB III KESIMPULAN Pada dasarnya semua agama di Indonesia memaparkan bagaimana Tuhan mewujudkan kasihnya terhadap manusia tanpa memandang jenis kelamin, dari golongan mana, berapa usianya, terang kasih Tuhan tidak ada yang mendominasi. Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan dibentuk sedemikian rupa menurut rupa dan gambarnya dan Tuhan melihat bahwa ciptaannya itu sungguh amat baik. Pada dasarnya perbedaan kodrat laki-laki dan perempuan berkaitan dengan fungsi biologis dan perbedaan itu adalah untuk saling melengkapi agar menjadi utuh. Dalam agama mengajarkan bahwa laki-laki maupun perempuan memiliki kesamaan kondisi untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Dalam hal ini berarti agama menolak ketidakadilan gender. Tetapi untuk mewujudkan keadilan gender dalam masyarakat masih terdapat hambatan yaitu faktor tradisi patriarkhis. Munculnya diskriminasi terhadap perempuan biasanya dipengaruhi oleh keadaan dan adat istiadat masyarakat setempat, baik sosial maupun ekonomi termasuk untuk tujuan politik. Kultur patriarkhi ini secara nyata turut menghambat proses perjuangan kesetaraan gender di tengah kehidupan bermasyarakat. Dalam kondisi tertentu perempuan seringkali dianggap sebagai warga negara kelas dua. Dalam masyarakat jawa misalnya, perempuan seringkali digambarkan sebagai “konco wingking”. Artinya, perempuan hanya ikut laki-laki, sehingga tidak memiliki daya tawar yang kuat dalam suatu rumah tangga. DAFTAR PUSTAKA Sumber: http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/2164767-pengertian-dan-maknakesetaraan-manusia/#ixzz0Sv1pqTkS http://androsexo.wordpress.com/2009/06/11/pengertian-gender/ http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/gender/gender2.htm http://anomalisemesta.blogspot.com/2008/04/pemikiran-keadilan.html http://usupress.usu.ac.id/files/PEREMPUAN%20DALAM%20KEMELUT%20G ENDER_Final_normal_bab%201.pdf http://ajhierikhapunya.wordpress.com/2011/04/23/marginalisasi-kaumperempuan/ HUBUNGAN AGAMA DENGAN GENDER MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN SEMESTER I/2011-2012 Dosen Pengampu : Tony Tampake, S.Th Disusun Oleh : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Stefany Widya Ayu Wulandari Venny Fillicyano Panda Anjas Yanuar Imanuel Yosafat H.M. Tri Dewi Astuti Dennys Christovel Dese 802009037 802009106 202008031 202008012 292010237 802010038 UNIVESRSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2011