LEMBAR BACAAN 1 KOMUNIKASI DAN RELASI DALAM PEKERJAAN SOSIAL Membangun komunikasi dan relasi, melakukan wawancara, maupun membangun jejaring kemitraan merupakan ketrampilan teknis yang harus dimiliki oleh praktisi sosial, khususnya yang berkiprah di bidang Pekerjaan Sosial. Sesungguhnya; efektifitas praktik dalam pekerjaan sosial menuntut kompetensi komunikasi dari Praktisi sosial dalam membangun relasi, maupun dalam melakukan wawancara. Dalam konteks yang lebih luas dan menyeluruh, praktisi perlu memahami nilai-nilai kearifan lokal dari berbagai kultur di masyarakat yang heterogen dan unik, serta memahami pentingnya membangun jejaring kemitraan sosial secara komprehensif bagi perluasan dan aksesibilitas pelayanan sosial yang dilakukan. A. Komunikasi 1. Pengertian Komunikasi Komunikasi merupakan proses interaksi yang kompleks antara fikiran, bahasa dan tindakan. Proses komunikasi memerlukan serangkaian kegiatan timbal balik antar sumber dan penerima, melalui pengulangan siklus komunikasi yang diharapkan tujuan komunikasi dapat tercapai. Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian fikiran dan perasaan menggunakan lambang (symbol) berupa bahasa, isyarat, atau gambar yang mampu menerjemahkan pikiran dan perasaan sumber pada penerima. 2. Komunikasi Yang Efektif Efektif tidaknya komunikasi yang dibangun secara umum dalam sebuah proses dapat dipandang dari seberapa besar pencapaian tujuan dari komunikasi itu sendiri. Adapun tolok ukur keberhasilan komunikasi efektif dapat dilihat dari beberapa hal: a. Adanya kepercayaan dari penerima pesan (khalayak sasaran) terhadap penyampai pesan (dalam hal ini; Pekerja Sosial) serta ketrampilan komunikasi yang bersangkutan (menyajikan isi dan mengemas pesan sesuai tingkat nalar khalayak sasaran. b. Daya tarik pesan dan kesesuaian pesan dengan khalayak sasaran. c. Pengalaman yang sama tentang isi pesan antara Penyuluh Sosial dengan khalayak sasaran sebagai penerima pesan. d. Kemampuan khalayak sasaran dalam menafsirkan pesan, kesadaran dan perhatiannya terhadap kebutuhan terhadap pesan yang diterima. e. Setting komunikasi, baik fisik maupun sosial relatif kondusif (nyaman, menyenangkan, dan mendukung proses komunikasi yang diharapkan). f. Sistem saluran penyampai pesan (metode dan media yang dipakai) sesuai dengan jenis indera khalayak sasaran sebagai penerima pesan. Situasi dan kondisi komunikasi yang akan dibangun agar efektif dapat disiasati dengan mempertimbangkan tiga langkah awal; (1) menyusun perencanaan komunikasi, (2) memperhatikan empat unsur penting dalam komunikasi dan (3) evaluasi obyektif terhadap kredibilitas diri sebagai sumber informasi. 3. Unsur Komunikasi Efektif Komunikasi yang baik sangat ditentukan empat unsur berikut: Keahlian komunikasi; keahlian ini sangat menunjang bagi tercapainya komunikasi efektif dengan berbagai pertimbangan menyangkut strategi dan perencanaan komunikasi yang akan dibangun, pengemasan pesan dengan jelas, pemilihan media yang tepat, dan mampu membaca situasi fisik dan sosial yang mendukung proses komunikasi efektif. Sikap; didasari sikap-sikap yang sesuai dengan etika dan prinsip komunikasi yang mendukung proses penyuluhan yang efektif. Tingkat pengetahuan; memperhatikan tingkat pengetahuan khalayak sasaran agar pesan dapat dikemas sesuai dan difahami penerima pesan. Ketrampilan dan kemampuan menafsirkan pesan terkait dengan tingkat pengetahuan khalayak dalam menginterpretasi maksud dan isi pesan yang disampaikan. Sistem sosial budaya; latar belakang sosial budaya akan memberi pengaruh kuat terhadap gaya dan cara berkomunikasi seseorang. Oleh karena itu, pertimbangan sosial budaya pelaku komunikasi perlu difahami benar. Proses penyuluhan perlu disesuaikan dengan kerangka nilai, kebiasaan dan budaya khalayak sasaran, terutama dalam hal penggunaan bahasa, dialek, dan gaya bicara sesuai bentukan sistem sosial budaya khalayak sasaran. 4. Karakteristik Komunikasi dalam Pekerjaan Sosial Komunikasi merupakan sarana dan juga proses untuk berbagi informasi dan pengetahuan. Komunikasi memiliki ciri diantaranya: a. Terjadi bila; (1) ada dua pihak yang memiliki kepentingan bersama untuk saling berbagi informasi dan pengetahuan. (2) dapat terjadi di mana saja dan kapan saja. Komunikasi dapat berlangsung sepanjang hari, pagi, siang maupun malam. (3) apa saja yang ingin dikomunikasikan dapat berbentuk verbal dan nonverbal. Yang verbal dapat disampaikan secara lisan ataupun tertulis, sedangkan yang nonverbal dapat dilakukan dengan isyarat, perilaku, gerak-gerik badan (kinesik). (4) pesan dan makna yang dikomunikasikan akan diterima secara utuh, apabila kesan verbal dan nonverbal diintegrasikan oleh pihak yang berkomunikasi. (5) komunikasi tidak dibatasi oleh waktu dan jarak, asal disampaikan dalam “bahasa” yang dipahami kedua belah pihak. b. Keterampilan berkomunikasi penting artinya bagi praktisi Pekerjaan Sosial karena (1) komunikasi adalah sebuah proses berbagi informasi baru yang berdaya untuk mengubah perilaku. (2) mereka diharapkan dapat menjadi pendengar yang baik atau responsif, saat berkomunikasi dengan kliennya. (3) Perlman; mengemukakan perlunya kita memahami social intelligence klien, yang mencakup (a) kedalaman pemahaman klien terhadap masalah; (b) kemampuan berkomunikasi dengan pihak lain maupun pada diri sendiri; (c) kemampuan memberikan perhatian pada masalah yang dihadapi. (d) kemampuan merangkum informasi secara sistematik dan tajam analisisnya. 5. Komunikasi Persuasif dalam Pekerjaan Sosial Tujuan memilih metode komunikasi ialah untuk memperoleh efek, sesuai dengan yang diinginkan secara sadar dan lestari. Untuk mencapai tujuan dari efek tersebut, metode persuasif menjadi pilihan yang tepat. Metode ini selalu ditunjukan kepada upaya yang sifatnya mendorong komunikan agar dapat merubah sikap, pendapat atau bahkan perilakunya dengan sadar atau atas dasar kesadarannya. Metode komunikasi persuasif ini sejalan dengan paradigma komunikasi menurut Lasswell, yaitu; “Who says what in which channel to Whom with What Effect?” (“Siapa mengatakan apa, dengan saluran apa kepada siapa dan dengan efek apa?”). Penerapan Komunikasi persuasif senantiasa menggunakan model pendekatan A-A procedure atau “from Attention to Action Procedure”; yaitu proses pentahapan persuasi yang dimulai dengan upaya membangkitkan perhatian untuk kemudian berupaya menggerakkannya untuk melakukan suatu kegiatan yang diharapkan. Prosedur A-A ini selanjutnya dioperasionalkan dalam proses pentahapan yang dikenal sebagai AIDDA, yaitu singkatan dari Attention (Perhatian), Interest (Minat), Desire (Hasrat), Decision (Keputusan) dan Action (Tindakan). Dalam proses pentahapan ini, komunikasi persuasif diawali dengan upaya membangkitkan perhatian terlebih dahulu. Ini tidak hanya dilakukan atas dasar gaya dan ketrampilan dalam menyatakan pesan saja, tetapi juga harus didukung oleh penampilan yang meyakinkan, simpatik dan kredibel. Manakala perhatian telah tumbuh, selanjutnya kita berupaya mengembangkan minat, agar timbul hasrat untuk mengikuti pesan yang dikomunikasikan. Dengan hasrat yang telah tertanam kiranya dapat menguatkan untuk mengambil keputusan melakukan tindakan/kegiatan. Beberapa hal yang dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan komunikasi: a. Adanya kepercayaan dari orang lain (sasaran komunikasi) terhadap dirinya sebagai penyampai pesan, serta ketrampilan komunikasi yang bersangkutan (menyajikan isi dan mengemas pesan komunikasi sesuai tingkat nalar orang yang diajak berkomunikasi sebagai sasaran komunikasi. b. Daya tarik pesan dan kesesuaian pesan dengan kebutuhan klien. c. Pengalaman yang sama tentang isi pesan antara sumber dan penerima pesan. d. Kemampuan orang lain (sasaran komunikasi) dalam menafsirkan pesan, kesadaran dan perhatiannya terhadap kebutuhan terhadap pesan yang diterima. e. Setting komunikasi, baik fisik dan sosial relatif kondusif (nyaman dan menyenangkan dalam proses komunikasi yang diharapkan). f. Sistem saluran penyampai pesan (metode dan media yang dipakai) sesuai dengan karakteristik orang lain (sasaran komunikasi) sebagai penerima pesan. 6. Hambatan dalam Komunikasi Persuasif Dalam upaya membangun komunikasi persuasif perlu memperhatikan berbagai masalah dan hambatan yang mungkin dijumpai berkaitan dengan beberapa faktor berikut: Perbedaan status (Hambatan Sosiologis) Komunikasi sering tidak tercapai, bila orang yang terlibat memiliki perbedaan status sosial yang mencolok. Perbedaan Bahasa dan Budaya (Hambatan Antropologis) Proses komunikasi pada hakekatnya adalah proses transformasi nilai sosial budaya diantara orang yang terlibat. Komunikasi dapat berjalan lancar, bila dilakukan oleh mereka yang berlatar budaya sama, dimana penggunaan bahasa dan lambang yang sama akan mudah dipahami diantara mereka. Hambatan Psikologis Prasangka; menjadi pembatas dalam berkomunikasi secara terbuka, jujur, harmonis dan saling menghormati. Prasangka dalam komunikasi sosial biasanya karena stereotyping; Kepentingan pribadi (hidden agendas); komunikasi tidak berlangsung alamiah dengan aliran pesan saling pengertian, bila satu pihak memiliki kepentingan yang tidak mewakili kepentingan bersama. Apriori terhadap perubahan; komunikasi akan terhambat, bila khalayak apriori terhadap setiap gagasan perubahan yang dirancang sebagai tujuan komunikasi persuasif. Komunikasi ini harus dibangun atas dasar keterbukaan dan saling menghargai setiap gagasan inovatif diantara orang yang berkomunikasi. Pengalaman; Kepribadian dan perilaku umumnya dibentuk oleh pengalaman, baik yang dialami secara sadar maupun tak disadari. Mereka yang melalui pengalaman yang berbeda akan mengalami kesulitan dalam mencapai tujuan komunikasi. Hambatan Semantik Ketidakpahaman terhadap penguasaan perbendaharaan kata dan tata bahasa dapat menimbulkan miskomunikasi dan mispersepsi diantara orang yang berkomunikasi. Tujuan komunikasi pun akan mengalami kegagalan karena adanya kesalahan pemahaman tentang pesan yang disampaikan. Hambatan Ekologis Hambatan ini terjadi karena gangguan lingkungan terhadap proses berlangsungnya komunikasi. Hindarkan situasi dan kondisi lingkungan yang bising, tidak nyaman dan mengganggu saat membangun proses komunikasi.