DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR HERNY KARTIKA WATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ABSTRACT HERNY KARTIKA WATI. Investment Impact on The Economic Performance: A Comparative Study of Domestic and Foreign Investment in East Java (DEDI BUDIMAN HAKIM as Chairman and HERMANTO SIREGAR as member of Advisory Commiittee). Domestic and foreign investment play an important role in the East Java economy. However, within these past five years the growth of both types of investment has been fluctuated and tends to decrease. One of the objectives research is to analyze factors affected economic variables of East Java province: Gross Regional Domestic Product (GRDP), inflation and unemployment. This research is conducted using econometric model that formulated in simultaneously equation with approximated Two Stage Least Squares (2SLS). Results of this study show that GRDP is influenced by real domestic investment, a change in real foreign investment, time trend, dummy of decentralization and the last year GRDP. Inflation is influenced by GRDP, time trend and the last year inflation. Unemployment is affected by real domestic investment, time trend and the last year unemployment. The simulation also shows that an increase in domestic and foreign investment have the same positif impact on GRDP and inflation but negative impact on unemployment. Further, foreign invesment has a greater impact on GRDP and unemployment compared to domestic invesment, conversly. Keyword: domestic unemployment investment, foreign investment, GRDP, inflation, RINGKASAN Kinerja perekonomian di suatu wilayah dapat diketahui dari data Produk Domestik Bruto (PDB), inflasi dan tingkat pengangguran. Salah satu upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah melalui investasi. Investasi merupakan kunci utama dalam mencapai peningkatan pertumbuhan ekonomi. Selain itu investasi juga memperluas kesempatan kerja, mendorong kemajuan teknologi dan spesialisasi produksi, sehingga meminimalkan ongkos produksi dan penggalian sumberdaya alam, serta mendorong industrialisasi dan ekspansi pasar yang diperlukan bagi kemajuan perekonomian daerah (Machmud, 2002). Perkembangan investasi, khususnya investasi PMDN dan PMA di Jawa Timur tahun 2000-2006, belum menunjukkan perkembangan seperti yang diharapkan. Padahal sebagai pusat utama wilayah Kawasan Timur Indonesia untuk perkembangan sistem industry processing dan perdagangan nasional, Jawa Timur memiliki prospek yang sangat bagus untuk wilayah investasi (Badan Penanaman Modal (BPM) Provinsi Jawa Timur, 2004). Kondisi Investasi PMDN dan PMA yang tidak sesuai dengan harapan tersebut tidak menyebabkan pertumbuhan ekonomi turut menurun. Bahkan sebaliknya, terus mengalami peningkatan dari tahun 2001-2006, atau dengan kata lain terjadi anomali antara investasi dan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan inflasi Jawa Timur cenderung berfluktuasi dari tahun 2000-2006. Di sisi lain pertumbuhan pengangguran di Jawa Timur cenderung naik 11.8 persen per tahun. Oleh sebab itu tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, inflasi dan pengangguran di Jawa Timur, (2) mengetahui dampak investasi PMDN dan PMA terhadap pertumbuhan ekonomi, inflasi dan pengangguran di Jawa Timur dan (3) menganalisis investasi PMDN atau PMA yang mempunyai dampak terbesar dalam pertumbuhan ekonomi, inflasi dan pengangguran di Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan data time series tahun 1980-2006 yang bersumber dari publikasi resmi lembaga pemerintah daerah provinsi Jawa Timur IMF, BPS, harian terbitan Jakarta, internet, serta laporan dan publikasi lain. Sedangkan model yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian adalah model persamaan simultan dinamik dan dirumuskan dalam persamaan linear additive. Model terdiri dari 5 persamaan struktural dan 1 persamaan identitas. Berdasarkan syarat order, maka setiap persamaan struktural berstatus over identified. Oleh sebab itu metode pendugaan yang digunakan adalah 2SLS. Pengolahan data untuk menduga model digunakan program software komputer SAS versi 6.12. Sedangkan simulasi ex-post tahun 1993-2006 meliputi kebijakan peningkatan PMDN sebesar 15 persen, PMA sebesar 15 persen, Upah Minimum Provinsi sebesar 18 persen dan peningkatan suku bunga sebesar 1.5 persen, serta kombinasinya. Kesimpulan yang dapat diambil bahwa PDRB dipengaruhi oleh PMDN riil, perubahan PMA, dummy otonomi daerah, tren waktu dan PDRB tahun sebelumnya. Inflasi dipengaruhi secara nyata oleh PDRB, tren waktu dan inflasi tahun sebelumnya. Sedangkan pengangguran dipengaruhi oleh PMDN riil, tren waktu, dan pengangguran tahun sebelumnya. Berdasarkan hasil simulasi, maka peningkatan PMDN 15 persen berdampak positif terhadap PDRB dan negatif terhadap pengangguran, yaitu sebesar 0.01 dan -0.05. Dampak lain kenaikan PDRB tersebut mendorong naiknya inflasi sebesar 0.05 persen. Sedangkan peningkatan PMA 15 persen menstimulasi peningkatan PDRB sebesar 0.44 persen, mendorong naiknya inflasi sebesar 1.38 persen dan menurunkan pengangguran sebesar 0.44 persen. Dampak terbaik terhadap kinerja perekonomian Jawa Timur diperoleh dengan meningkatkan PMA sebesar 15 persen. Kenaikan PMA dapat mendorong peningkatan PDRB dan mengurangi pengangguran yang relatif lebih tinggi daripada PMDN. Pengembangan investasi PMA di Jawa Timur menjadi pilihan tepat untuk mengatasi masalah pengangguran, sekaligus meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Adapun upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam mengembangkan PMA antara lain (1) menyelaraskan dan mencabut Perda-Perda yang dinilai menjadi penyebab biaya ekonomi tinggi, (2) memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi investor dan (3) menyediakan sarana dan prasarana infrastruktur yang lebih memadai bagi investor. DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR HERNY KARTIKA WATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul: Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian: Studi Komparasi Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing di Jawa Timur Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri, atas bimbingan Komisi Pembimbing kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Juli 2008 Herny Kartika Wati Nrp A151040061 ABSTRAK HERNY KARTIKA WATI. Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian: Studi Komparasi Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing di Jawa Timur (DEDI BUDIMAN HAKIM sebagai Ketua dan HERMANTO SIREGAR sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) mempunyai peran penting dalam perekonomian Jawa Timur. Namun dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan kedua jenis investasi swasta tersebut berfluktuasi dan cenderung menurun. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perekonomian Jawa Timur, mengetahui dampak PMDN dan PMA serta menganalisis investasi mana yang mempunyai dampak terbesar dalam kinerja perekonomian Jawa Timur tersebut. Kinerja perekonomian dapat diketahui dari data PDRB, inflasi dan pengangguran. Model yang dirumuskan adalah model ekonometrika dalam bentuk persamaan simultan. Sedangkan metode analisis yang digunakan adalah 2 SLS dan simulasi kebijakan ekonomi. Berdasarkan hasil pendugaan parameter model diketahui bahwa PDRB dipengaruhi secara nyata oleh Penanaman Modal Dalam Negeri riil, Perubahan Penanaman Modal Asing, dummy otonomi daerah, tren waktu, dan PDRB tahun sebelumnya.Sedangkan inflasi dipengaruhi oleh PDRB, tren waktu, dan laju inflasi tahun sebelumnya. Pengangguran dipengaruhi oleh PMDN riil, tren waktu, dan pengangguran tahun sebelumnya. Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan PMDN dan PMA berdampak positif terhadap PDRB dan inflasi serta berdampak negatif terhadap pengangguran. Namun dampak PMA terhadap peningkatan PDRB dan penurunan pengangguran lebih besar daripada PMDN. Oleh sebab itu untuk menstimulasi peningkatan PDRB dan sekaligus menurunkan angka pengangguran di Jawa Timur maka pengembangan PMDN dan PMA merupakan pilihan yang tepat untuk dilakukan. Kata Kunci : PMDN, PMA, PDRB, inflasi, pengangguran, sistem persamaan simultan @ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR HERNY KARTIKA WATI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 Judul Tesis : Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian: Studi Komparasi Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing di Jawa Timur Nama Mahasiswa : Herny Kartika Wati Nomor Pokok : A151040061 Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian Menyetujui 1. Komisi Pembimbing Dr.Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec Ketua Anggota Mengetahui 2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr.Ir.Bonar M.Sinaga, M.A Prof. Dr.Ir.Khairil A.Notodiputro, M.S Tanggal Ujian: 18 Juni 2008 Tanggal Lulus: RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 2 Mei 1973 di Magetan, Provinsi Jawa Timur, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Drs. Soekarno, MM dan Kasini. Tahun 1985, Penulis lulus dari Sekolah Dasar Negeri (SDN) Karah II di Kotamadya Surabaya, Lulus SMPN 21 pada tahun 1989 di Kotamadya Surabaya dan Lulus SMA Negeri 5 di Kotamadya Surabaya tahun 1991. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya (UNIBRAW), Malang dan lulus pada tahun 1996. Kemudian pada tahun 2004, penulis mendapatkan beasiswa dari Badan Pengembangan SDM Pertanian (BPSDMP), Departemen Pertanian untuk melanjutkan pendidikan S2 Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan penulis menjadi asisten mata kuliah Teori Ekonomi Makro pada tahun ajaran 2004/2005 di Departemen Sosial Ekonomi Industri Peternakan, Fakultas Peternakan, IPB. Tahun 1997, Penulis diterima sebagai pegawai di Badan Agribisnis, Departemen Pertanian sampai dengan tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis dipindahtugaskan ke Direktorat Jenderal Bina Pemasaran dan Pengolahan Hasil Pertanian, Departemen Pertanian sampai saat ini. Pada tahun 2006, Penulis menikah dengan Wienny Wahyu Wijaya, ST dan dikaruniai seorang putra bernama Kevin Abiyyu Kartika Wijaya yang berusia 15 bulan pada saat penulisan tesis ini. Selain itu, pada saat yang sama penulis sedang menantikan kelahiran putra kedua. KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji syukur Kehadirat Allah SWT, atas Rahmat dan Hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat dalam rangka menyelesaikan pendidikan di sekolah pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada komisi pembimbing Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec selaku ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec sebagai Anggota Komisi Pembimbing atas kesungguhan, ketekunan, ketulusan dan kesabaran dalam memberikan bimbingan kepada penulis. Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S atas kesediaannya sebagai penguji luar komisi pada saat ujian tesis. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr.Ir. Herry Suhardiyanto, M.Sc selaku Rektor IPB, Prof. Dr. Ir. Bonar M Sinaga, M.A sebagai Ketua Program Studi EPN dan kepada segenap Pimpinan di Departemen Pertanian khususnya Dirjen Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian dan Kepala Badan Pengembangan SDM Pertanian, Departemen Pertanian yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi di sekolah pascasarjana, IPB. Terima (Drs. kasih Soekarno, yang MM sebesar-besarnya dan Kasini) kepada serta orang bapak tua ibu penulis mertua (Drs. Narto Soehardjo, M.Pa dan Dra. Sunarti ) atas dorongan semangat, ketulusan dan doa yang tiada henti-hentinya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas belajar ini dengan baik. Kepada suami tercinta Mas Wienny dan ananda Kevin, terima kasih atas pengertiannya, kasih sayang, dorongan semangat, inspirasi dan doa yang tulus kepada penulis. Ungkapan yang sama penulis sampaikan kepada adik-adik (Mayor Czi. Herfin Kartika Aji beserta keluarga dan Herdyane Kartika Dewi, SH) atas doa dan dukungannya selama ini. Terima kasih juga disampaikan kepada staf program studi EPN: Mbak Santi, Ruby, Yani dan Aam atas bantuan administrasinya sehingga penulis dapat menjalani tugas belajar dengan baik, teman-teman di Graha Matudhilipa terutama Dwi, Citra, Niken dan Fia atas kebersamaan dan bantuan yang sangat berarti yang telah diberikan kepada penulis selama ini. Demikian pula kepada teman-teman EPN satu angkatan khususnya Ilham, Iwan dan Ria atas dorongan semangat dan kebersamaan dalam menjalani perkuliahan di EPN. Tak lupa ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Mbak Niken.W dan Dian atas segala bantuannya serta Pak Darsono dan Pak Yundhy atas segala saran dan kritiknya. Kepada segenap staf di instansi pemerintah di Provinsi Jawa Timur terutama Disnaker, BPS dan BPM serta Ibu Wiwin di PSE Bogor, terima kasih atas kemudahan yang diberikan kepada penulis dalam mengumpulkan data dan informasi serta terima kasih kepada pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu dalam tesis ini. Kiranya Allah SWT sendiri yang dapat memberi balasan berkah kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun demikian penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi pengembangan investasi PMDN dan PMA di Jawa Timur. Bogor, Juli 2008 Herny Kartika Wati Judul Tesis : Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian : Studi Komparasi Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing di Jawa Timur Nama Mahasiswa : Herny Kartika Wati Nomor Pokok : A151040061 Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian Menyetujui 2. Komisi Pembimbing Dr.Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec Ketua Anggota Mengetahui Penguji Luar Komisi: Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S Tanggal Ujian : 18 Juni 2008 Tanggal Lulus: DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................ iv DAFTAR GAMBAR ................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN ............................................................... vii I. PENDAHULUAN ......................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ....................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah ............................................................... 9 1.3. Tujuan ................................................................................... 13 1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian .......................... 14 1.5. Kegunaan Penelitian ............................................................... 15 II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 16 2.1. Jenis-Jenis Investasi Swasta .................................................. 16 2.2. Perkembangan Perekonomian Jawa Timur ........................... 18 2.2.1. Pertumbuhan Ekonomi ............................................. 18 2.2.2. Perkembangan Penanaman Modal Dalam Negeri Dan Penanaman Modal Asing ................................... 21 2.2.3. Potensi Investasi di Jawa Timur ................................ 24 2.2.4. Inflasi ......................................................................... 26 2.2.5. Pengangguran ............................................................ 28 2.3. Tinjauan Studi Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian ......................................................................... 32 2.4. Tinjauan Studi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing ..................................................................................... 36 2.5. Posisi Penelitian ..................................................................... 39 III. KERANGKA TEORITIS ........................................................... 40 3.1. Produk Domestik Bruto.......................................................... 40 3.2. Investasi ................................................................................. 41 3.3. Inflasi ..................................................................................... 43 3.4. Pengangguran ......................................................................... 46 i 3.5. Hubungan Antar Variabel Makroekonomi ............................ 47 3.5.1. Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran ............................................................. 47 3.5.2. Trade-off Antara Inflasi dan Pengangguran ......... 48 3.6. Otonomi Daerah ..................................................................... 50 IV. METODOLOGI ......................................................................... 55 4.1. Kerangka Pemikiran .............................................................. 55 4.2. Jenis dan Sumber Data .......................................................... 56 4.3. Spesifikasi Model .................................................................. 57 4.4. Identifikasi Model .................................................................. 65 4.5. Pendugaan Parameter Model ................................................. 65 4.6. Pengujian Hipotesis ............................................................... 66 4.7. Validasi Model ...................................................................... 67 4.8. Simulasi Model ...................................................................... 68 4.9. Definisi Operasional ............................................................. 70 V. ANALISIS EKONOMETRIKA DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA TIMUR 72 5.1. Analisis Umum Pendugaan Model ......................................... 72 5.2. Hasil Pendugaan Model ......................................................... 72 5.2.1. Produk Domestik Regional Bruto ............................. 73 5.2.2. Penanaman Modal Dalam Negeri .............................. 75 5.2.3. Penanaman Modal Asing .......................................... 78 5.2.4. Inflasi ......................................................................... 81 5.2.5. Pengangguran ............................................................ 83 5.3. Sintesis Terhadap Hasil Analisis ........................................... 85 VI. HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN ALTERNATIF KEBIJAKAN ............................................................................... 91 6.1. Validasi Model ....................................................................... 91 6.2. Hasil Simulasi Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur .......................................................... 92 6.2.1. Peningkatan Penanaman Modal Dalam Negeri Sebesar 15 Persen ........................................................ 92 ii 6.2.2. Peningkatan Penanaman Modal Asing Sebesar 15 Persen ..................................................................... 93 6.2.3. Peningkatan Upah Minimum Provinsi Sebesar 18 Persen .......................................................................... 94 6.2.4. Peningkatan Suku Bunga Sebesar 1.5 Persen ............. 94 6.2.5. Kombinasi Kebijakan ................................................ 95 6.3. Studi Komparasi Peranan Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur ..................................................................... 100 6.4. Implikasi Kebijakan .............................................................. 102 VII. SIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 106 7.1. Simpulan .............................................................................. 106 7.2. Saran .................................................................................... 107 DAFTAR PUSTAKA ............................................................... 109 LAMPIRAN .............................................................................. 113 iii DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Perkembangan Persetujuan Rencana Investasi di Indonesia Tahun 1997-2005 ................................................................. 4 2. Nilai Neto Arus Penanaman Modal Asing ke Indonesia Tahun 1997-2004 ................................................................. 4 3. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri di Provinsi Jawa Timur Tahun 2000-2006 ... 5 4. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal Asing di Provinsi Jawa Timur Tahun 2000-2006 ................ 6 5. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri, Penanaman Modal Asing dan Produk Domestik Regional Bruto di Provinsi Jawa Timur Tahun 2001-2006 ............................................................................. 10 6. Jumlah Investasi, Tenaga Kerja yang Diserap dan Rasio Tenaga Kerja Terhadap Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing Tahun 1969-2004 ................................................................. 11 7. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja, Kesempatan Kerja dan Pengangguran Terbuka di Jawa Timur Tahun 2000-2006 ... 12 8. Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Tahun 2001-2006 ....... 20 9. Pertumbuhan PDRB Sektoral di Jawa Timur Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2002-2006 .............................. 21 10. Jenis dan Sumber Data ......................................................... 57 11. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produk Domestik Regional Bruto ..................................................................... 73 12. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penanaman Modal Dalam Negeri ....................................................................... 76 13. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penanaman Modal Asing .................................................................................... 78 14. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Inflasi ................... 82 15. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pengangguran ....... 84 16. Hasil Validasi Model Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur ................................................... 92 17. Hasil Simulasi Peningkatan Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing ................................... 93 18. Hasil Simulasi Peningkatan Upah Minimum Provinsi dan Suku Bunga .......................................................................... 95 iv Nomor Halaman 19. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing ....................... 96 20. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Penanaman Modal Dalam Negeri dan Upah Minimum Provinsi ........................ 97 21. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Penanaman Modal Dalam Negeri dan Suku Bunga ............................................ 97 22. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Penanaman Modal Asing dan Upah Minimum Provinsi ..................................... 98 23. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Penanaman Modal Asing dan Suku Bunga ......................................................... 99 24. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Upah Minimum Provinsi dan Suku Bunga ..................................................... 100 25. Perbandingan Hasil Simulasi PMDN dan PMA Terhadap PDRB, Inflasi dan Pengangguran ......................................... 100 v DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Perkembangan PDRB Riil Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Jawa Timur Tahun 1980-2006 ......................................... 19 2. Perkembangan PMDN Riil di Jawa Timur Tahun 1980-2006 ................................................................. 22 3. Perkembangan PMA Riil di Jawa Timur Tahun 1980-2006 22 4. Laju Inflasi Jawa Timur Tahun 1980-2006 .......................... 27 5. Perkembangan Jumlah Pengangguran Terbuka di Jawa Timur Tahun 1980-2006 ...................................................... 29 6. Tingkat Pengangguran Terbuka di Jawa Timur Tahun 1980-2006 ............................................................................. 30 7. Hubungan antara Tingat Bunga Riil dengan Kuantitas Investasi ................................................................................ 42 8. Trade-off Jangka Pendek antara Inflasi dan Pengangguran 49 9. Pergeseran dalam Trade-off Jangka Pendek ........................ 50 10. Kerangka Pemikiran Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur: Studi Komparasi Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing ............ 56 11. Pertumbuhan Ekonomi Akibat Pergeseran Kurva Penawaran Agregat .............................................................. 86 12. Pertumbuhan Ekonomi Akibat Pergeseran Kuva Permintaan Agregat .............................................................. 86 13. Pertumbuhan Yang Bersumber Pada AD Harus Diimbangi oleh Peningkatan AS ............................................................ 87 vi DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Nama dan Keterangan Variabel-Variabel yang Digunakan 114 2. Data Penelitian Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur ................................................... 115 3. Program dan Hasil Estimasi Model Ekonometrika DampakInvestasi Terhap dap Kinerja Perekonomian Jawa Timur dengan Menggunakan Metode 2SLS ........................ 117 4. Program dan Hasil Validasi Model Ekonometrika Dampak Investasi Terhap dap Kinerja Perekonomian Jawa Timur dengan Menggunakan Metode 2SLS ................................... 124 5. Beberapa Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang DinilaiMemberatkan Bagi Investor PMDN dan PMA ......... 131 vii I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kinerja perekonomian di suatu wilayah dapat diketahui dari perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB), inflasi, dan tingkat pengangguran. Sasaran yang ingin dicapai adalah tingginya pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan pertumbuhan PDB, stabilnya inflasi atau tercapainya inflasi yang sesuai dengan kemampuan ekonomi serta rendahnya tingkat pengangguran. Salah satu upaya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi yaitu melalui penyelenggaraan penanaman modal atau investasi. Investasi merupakan kunci utama untuk mencapai peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tercermin dari kemampuannya meningkatkan laju pertumbuhan dan tingkat pendapatan. Semakin besar investasi suatu negara akan semakin besar pula tingkat pertumbuhan ekonomi yang bisa dicapai. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi merupakan fungsi investasi (Haryanto, 2005). Selain itu investasi juga memperluas kesempatan kerja, mendorong kemajuan teknologi dan spesialisasi dalam produksi sehingga meminimalkan ongkos produksi serta penggalian sumberdaya alam, industrialisasi dan ekspansi pasar yang diperlukan bagi kemajuan perekonomian daerah (Machmud, 2002). Pendapat tersebut didukung dengan adanya UU Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa salah satu tujuan dari penyelenggaraan investasi baik investasi PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) maupun PMA (Penanaman Modal Asing) adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu, secara khusus Wiranata (2004) menyampaikan bahwa investasi asing dalam hal ini PMA dapat dianggap sebagai salah satu modal pembangunan 2 ekonomi yang penting. Semua negara yang menganut ekonomi terbuka pada umumnya memerlukan investasi asing, terutama perusahaan yang menghasilkan barang dan jasa untuk kepentingan ekspor. Di negara maju seperti Amerika, modal asing terutama dari Jepang dan Eropa Barat tetap dibutuhkan guna memacu pertumbuhan ekonomi domestik, menghindari kelesuan pasar dan penciptaan lapangan kerja. Apalagi di negara berkembang seperti Indonesia, modal asing sangat diperlukan sebagai akibat dari modal dalam negeri yang tidak mencukupi. Peran penting investasi terhadap pertumbuhan ekonomi dapat diketahui dari perkembangan ekonomi Indonesia pasca krisis ekonomi tahun 1997. Walaupun satu atau dua tahun setelah krisis ekonomi, Indonesia kembali menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang positif, namun sampai saat ini rata-rata pertumbuhan per tahunnya relatif masih lambat dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang juga terkena krisis, seperti Thailand dan Filipina. Pada Tahun 1999 Thailand mampu mendorong pertumbuhan ekonominya sebesar 4.4 persen sedangkan Indonesia hanya 0.8 persen Demikian juga dengan Filipina, pada tahun 2001 pertumbuhan ekonominya hanya 1.8 persen, tetapi tiga tahun kemudian pertumbuhan ekonominya menanjak hingga 6.1 persen sedangkan Indonesia hanya 5.1 persen. Salah satu penyebab rendahnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah belum intensifnya kegiatan investasi, termasuk arus investasi dari luar terutama dalam bentuk PMA. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), diketahui bahwa setelah krisis ekonomi tahun 1997, jumlah proyek baru PMA sempat mengalami peningkatan. Akan tetapi setelah tahun 2000 jumlahnya menurun dan cenderung berkurang terus kecuali pada tahun 2005 yang mengalami 3 peningkatan persetujuan investasi menjadi 1 648 proyek. Satu hal menarik dari data BKPM tersebut bahwa sejak krisis ekonomi tahun 1997, jumlah proyek baru PMA lebih tinggi dari PMDN (Tabel 1). Kondisi tersebut menandakan bahwa bagi perkembangan investasi langsung dalam negeri khususnya periode pasca krisis, peran PMA lebih penting daripada PMDN. Namun demikian apabila dilihat dari nilai nettonya (arus investasi masuk dikurangi arus keluar), kondisi PMA setelah krisis lebih memprihatinkan, walaupun pada tahun 2002 dan 2004 sempat kembali positif seperti yang terlihat dalam Tabel 2 (Tambunan, 2006). Lebih banyaknya arus PMA yang keluar daripada masuk mencerminkan buruknya iklim investasi di Indonesia, khususnya perusahaan-perusahaan asing di industri-industri yang sifat produksinya footloose seperti elektronik, tekstil dan pakaian jadi, sepatu dan lainnya yang tidak terlalu tergantung pada sumber daya alam atau bahan baku lokal di Indonesia. Perusahaan-perusahaan tersebut dengan mudahnya pindah ke negara-negara tetangga jika melakukan produksi di dalam negeri sudah tidak menguntungkan lagi. Beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap baik buruknya iklim investasi di Indonesia adalah (1) adanya stabilitas politik dan sosial, (2) stabilitas ekonomi, (3) kondisi infrastruktur dasar (listrik, telekomunikasi dan prasarana jalan dan pelabuhan), (4) berfungsinya sektor pembiayaan dan pasar tenaga kerja (termasuk isu-isu perburuhan), (5) regulasi dan perpajakan, birokrasi (dalam waktu dan biaya yang diciptakan), dan (6) masalah good governance termasuk korupsi, konsistensi dan kepastian dalam kebijakan pemerintah yang langsung maupun tidak langsung mempengaruhi keuntungan netto atas biaya resiko jangka 4 panjang dari kegiatan investasi dan hak milik mulai dari tanah sampai kontrak (Tambunan, 2006). Tabel 1. Perkembangan 1997-2005 Persetujuan Rencana Investasi di Indonesia Tahun PMDN Tahun Proyek 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 719 323 239 415 270 196 232 199 218 Nilai ( Rp. Milyar) 119 320.5 57 999.2 53 930.8 95 643.0 59 881.5 25 935.7 55 120.9 44 101.4 50 577.3 PMA Proyek 778 958 1 179 1 599 1 375 1 238 1 238 1 226 1 648 Nilai (US$ Juta) 33 665.7 13 635.0 10 894.3 16 014.9 15 201.9 9 955.4 14 278.1 10 415.6 13 579.2 Sumber: BKPM (2005) Tabel 2. Nilai Netto Arus Penanaman Modal Asing ke Indonesia Tahun 1997-2004 Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Nilai (US$ Juta) 4 667 -356 -2 745 -4 550 -2 978 145 -597 423 Sumber: Bank Indonesia dalam Tambunan (2006) Kondisi perkembangan investasi PMDN dan PMA di Provinsi Jawa Timur juga mengalami hal yang serupa dengan kondisi perkembangan investasi nasional. Perkembangan investasi tahun 2000-2006 belum menunjukkan kemajuan seperti yang diharapkan, padahal Jawa Timur mempunyai potensi untuk pengembangan investasi dengan beberapa alasan sebagai berikut, (1) sebagai pusat utama wilayah kawasan timur Indonesia untuk perkembangan sistem industry processing dan perdagangan nasional. Jawa Timur memiliki prospek yang sangat bagus untuk wilayah investasi, seperti investasi properti, pusat perbelanjaan dan hiburan, 5 perbankan dan lembaga keuangan bukan bank, transportasi dan lain sebagainya (Badan Penanaman Modal atau BPM Jatim dan Universitas Airlangga atau UNAIR, 2004), (2) posisi Jawa Timur yang relatif dekat dengan Jakarta tapi belum padat seperti Tangerang dan Bekasi, upah buruh yang rendah dibandingkan dengan Bandung dan Tangerang, serta dengan dukungan investasi lahan yang relatif masih murah merupakan daya tarik tersendiri bagi pengusaha (Wahyuni, 2007), (3) mempunyai fasilitas pelabuhan laut dan udara yang cukup memadai dan (4) adanya pelaksanaan otonomi daerah pada tahun 2001. Dengan otonomi tersebut diharapkan dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif melalui efisiensi dan kemudahan dalam prosedur perijinan sehingga dapat menarik investor lebih banyak daripada tahun-tahun sebelumnya ke Jawa Timur. Tabel 3. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri di Provinsi Jawa Timur Tahun 2000-2006 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Rata-rata Jumlah Proyek Rencana Realisasi 50 21 32 10 9 0 22 5 13 1 4 0 27 3 % 42 31 0 23 8 0 11 23 Investasi (Rp Juta) Rencana Realisasi 2 642 522 628 373 2 741 897 428 673 137 851 0 634 367 132 477 262 984 9 000 283 552 0 154 412 036 152 668 828 % 24 16 0 21 3 0 99 32.6 Sumber: BPM Provinsi Jawa Timur (2006) Pada Tabel 3, terlihat bahwa perkembangan realisasi investasi PMDN di Jawa Timur sejak tahun 2000-2006 berfluktuasi dan cenderung menurun kemudian berangsur-angsur naik. Penurunan yang cukup tajam terjadi pada tahun 2002 dan 2005, dari 21 proyek di tahun 2000 dengan nilai investasi sebesar Rp 628.37 milyar menjadi tidak ada proyek sama sekali. Akan tetapi, pada tahun 2006 kondisi investasi PMDN membaik dan mengalami peningkatan menjadi 3 proyek dengan nilai investasi sebesar Rp 152 668.83 milyar. Selain itu, realisasi 6 proyek PMDN tersebut lebih rendah daripada yang direncanakan yaitu rata-rata per tahunnya sebesar 23 persen sedangkan realisasi nilai investasinya sebesar 32.6 persen per tahun. Hal tersebut menandakan bahwa banyak proyek-proyek yang telah disetujui tidak jadi dilaksanakan atau dengan kata lain banyak investor yang membatalkan rencana investasinya. Serupa dengan PMDN, perkembangan PMA tahun 2000-2006 baik dari jumlah proyek maupun nilai investasinya cenderung menurun. Walaupun pada tahun 2005, sempat mengalami kenaikan yang cukup berarti yaitu dari 8 proyek pada tahun 2004 menjadi 13 proyek dengan nilai investasi sebesar US$ 617.47 juta. Secara umum realisasi investasi baik dari segi jumlah proyek maupun nilainya lebih rendah dari rencana investasi dan cenderung menurun yaitu 27.48 persen dan 66.99 persen per tahun. Perkembangan realisasi investasi PMA secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal Asing di Provinsi Jawa Timur Tahun 2000-2006 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Rata-rata Rencana 92 59 55 71 42 68 58 Jumlah Proyek Realisasi 34 27 22 16 8 13 5 % 37 46 40 23 19 19.11 8.26 27.48 Investasi (US$ Juta) Rencana Realisasi % 960.77 101.23 11 136.36 109.95 81 98.07 49.00 50 357.38 19.33 5 170.43 5.94 3 193.94 617.47 318.38 471.89 2.58 0.55 66.99 Sumber: BPM Provinsi Jawa Timur (2006) Rendahnya realisasi investasi PMDN dan PMA di Jawa Timur tersebut menunjukkan bahwa daya serap Jawa Timur terhadap investasi relatif rendah. Apabila dibandingakan realisasi antara PMDN dan PMA maka ternyata realisasi investasi PMA per tahun lebih tinggi daripada PMDN. Ini menandakan bahwa 7 bagi perkembangan investasi langsung di Jawa Timur khususnya pada periode tahun 2000-2006, peran PMA jauh lebih penting daripada PMDN dan menunjukkan bahwa perencanaan investor asing (PMA) lebih baik dan mantap dibandingkan PMDN dalam menanamkan modalnya di Jawa Timur. Sementara itu, dari segi penyebaran investasi berdasarkan lokasinya maka lokasi PMDN sebagian besar berada di wilayah Surabaya kemudian Gresik, Sidoarjo, Pasuruan, Mojokerto dan Malang. Wilayah yang tidak dimasuki PMDN adalah Trenggalek, Ngawi dan Pamekasan. Untuk PMA tidak jauh berbeda dengan PMDN, sebagian besar berlokasi di Surabaya kemudian Sidoarjo, Gresik dan Pasuruan. Wilayah yang tidak dimasuki PMA adalah Bojonegoro, Tulungagung, Nganjuk, Trenggalek, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan, Pamekasan dan Sampang. Apabila dibandingkan menurut pola penyebarannya maka penyebaran PMDN lebih merata daripada PMA. Berdasarkan bidang usaha yang diminati pada dasarnya antara PMDN dan PMA juga tidak jauh berbeda. Untuk PMDN bidang usaha yang diminati dari yang tertinggi jumlah proyeknya adalah industri kimia, makanan, barang logam, kayu dan industri tekstil. Sedangkan untuk PMA bidang usaha yang diminati adalah industri kimia, barang logam, perdagangan, industri makanan, kayu dan tekstil. Apabila dicermati ternyata industri tekstil menempati urutan ke-lima dalam Bidang usaha yang diminati PMDN dan urutan ke-enam dalam PMA. Ini menunjukkan bahwa PMA tidak hanya berinvestasi pada usaha yang padat modal saja tetapi juga turut berkontribusi pada bidang usaha yang relatif padat karya, seperti industri tekstil. 8 Penyebab fluktuatifnya PMDN dan menurunnya PMA di Jawa Timur antara lain ialah (1) adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan, kurang kondusifnya kehidupan politik, serta ancaman gangguan keamanan seperti meledaknya bom di Bali, kerusuhan di Ambon dan Poso. Walaupun hal ini bersifat nasional tapi turut berpengaruh terhadap besarnya investasi PMDN dan PMA di Jawa Timur, (2) kurs rupiah yang senantiasa berfluktuasi terhadap mata uang asing (cenderung depresiasi), (3) tidak adanya kepastian hukum maupun lemahnya perlindungan hukum bagi investor dalam negeri maupun asing, (4) rendahnya kapasitas calon investor atau rendahnya kemampuan modal sendiri untuk mendukung investasi yang direncanakan yang menyebabkan struktur modal investasinya terlalu didominasi oleh dana pinjaman. Sehingga apabila penerimaan yang diharapkan tidak lebih besar dari biaya modal maka calon investor akan cenderung membatalkan niat investasinya, (5) adanya peningkatan biaya melakukan bisnis yang timbul karena ekses pelaksanaan otonomi daerah. Contohnya pengenaan pungutan atas lalu lintas barang dan penumpang antar provinsi atau antar kabupaten dengan alasan untuk meningkatkan penerimaan asli daerah (BPM Jatim dan UNAIR, 2004), (6) terbatasnya informasi investasi bagi para investor, (7) menurunnya kondisi infrastruktur, misalnya banyaknya jalan yang berlubang serta bencana luapan lumpur Sidoarjo dan (8) belum terjaminnya kontinuitas bahan baku serta pasokan listrik (Wahyuni, 2007). Kondisi perkembangan Investasi PMDN dan PMA yang tidak sesuai dengan harapan tersebut pada kenyataanya tidak menyebabkan pertumbuhan ekonomi turut menurun, bahkan sebaliknya, terus mengalami peningkatan. Pertumbuhan ekonomi dalam tataran daerah diukur dengan pertumbuhan PDRB. Peningkatan 9 pertumbuhan ekonomi tersebut dapat dilihat dari perkembangan PDRB Jawa Timur atas dasar harga konstan (tahun 2000=100) yang mengalami kenaikan dari Rp 169 680 milyar pada tahun 2000 menjadi Rp 470 627 milyar pada tahun 2006. Hal ini menunjukkan adanya anomali antara investasi dan pertumbuhan ekonomi. Selain PDRB, indikator lain yang cukup penting dalam mengukur kinerja perekonomian adalah pengangguran. Jumlah penganggur di Provinsi Jawa Timur cenderung mengalami kenaikan dari 845 590 jiwa pada tahun 2000 meningkat menjadi 1 502 903 jiwa tahun 2006. Sedangkan kemampuan PMDN untuk menyerap tenaga kerja pada tahun 2006 sebesar 8 386 jiwa dan PMA sebesar 124 jiwa. Sehingga apabila dilihat dari segi jumlah maka peran kedua jenis investasi tersebut dalam mengurangi jumlah pengangguran relatif masih kecil. Dengan adanya peran penting investasi PMDN dan PMA dalam perekonomian khususnya pertumbuhan ekonomi, meskipun pada kenyataanya di Jawa Timur terjadi anomali, serta adanya peran investasi dalam menciptakan lapangan kerja yang diharapkan dapat menurunkan angka pengangguran di Jawa Timur, maka penelitian mengenai dampak investasi terhadap kinerja perekonomian di Jawa Timur merupakan sesuatu yang menarik untuk dilakukan. 1.2. Perumusan Masalah Investasi merupakan kunci utama dalam upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Haryanto, 2005). Pendapat tersebut dilengkapi dengan penjelasan mengenai arti penting investasi dalam menentukan pertumbuhan ekonomi oleh Rostow dan Domar (Todaro, 2000). Menurut Rostow, setiap upaya tinggal landas mengharuskan adanya mobilisasi tabungan dalam dan luar negeri dengan maksud untuk menciptakan investasi yang cukup untuk mempercepat 10 pertumbuhan ekonomi. Pada model pertumbuhan Harrod Domar, arti penting investasi lebih ditekankan, khususnya mengenai watak ganda yang dimiliki investasi. Pertama investasi menciptakan pendapatan dan kedua investasi memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan stok kapital. Pada kenyataannya perkembangan investasi PMDN dan PMA tahun 20002006 di Jawa Timur masih jauh dari harapan, yaitu berfluktuasi cenderung menurun. Namun demikian kondisi tersebut tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonominya seperti yang terlihat dalam Tabel 5. Pertumbuhan ekonomi Jawa Timur mengalami pertumbuhan positif dari tahun ke tahun. Pertumbuhan tersebut lebih banyak diakibatkan oleh meningkatnya pertumbuhan di semua sektor ekonomi terutama oleh sektor perdagangan, industri, pengangkutan dan sektor keuangan (Analisis Indikator Makro Provinsi Jatim, 2004). Sehingga pertanyaan yang muncul adalah seberapa besar peranan investasi PMDN dan PMA dalam pembentukan PDRB di Jawa Timur? Tabel 5. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri, Penanaman Modal Asing dan Produk Domestik Regional Bruto di Provinsi Jawa Timur Tahun 2001-2006 PMDN Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Jumlah Izin Usaha Tetap yang Dikeluarkan 10 0 5 1 0 3 Nilai Realisasi Investasi ( Rp Milyar) 428.67 0.00 132.48 9.00 0.00 152 668.83 PMA Jumlah Izin Usaha Tetap yang Dikeluarkan 27 22 16 8 13 5 Nilai Realisasi Investasi (US$ Juta ) 109.95 49.00 19.33 5.94 617 .47 2.58 Produk Domestik Regional Bruto (Harga Konstan Tahun 2000) 210 448.57 218 452.39 228 884.45 242 228.89 256 374.73 271 237.67 Pertumbuhan Ekonomi (%) 3.26 3.80 4.78 5.83 5.84 5.80 Sumber: BPM Provinsi Jatim (2004) dan Analisis Indikator Makro Provinsi Jatim (2004) Kenaikan PDRB atau pertumbuhan ekonomi tersebut diikuti dengan naiknya inflasi Jawa Timur walaupun kenaikannya cenderung berfluktuasi yaitu 11 berturut-turut dari tahun 2000-2006 adalah 9.62, 14.10, 9.38, 3.59, 6.24, 15.89, dan 6.76 persen ( BPS, berbagai tahun terbit). Inflasi yang tertingi terjadi pada tahun 2005 yang dipicu oleh inflasi pada kelompok perumahan, kesehatan dan pendidikan, rekreasi dan olah raga. Selain sebagai salah satu faktor dalam menunjang pertumbuhan ekonomi, investasi juga berperan dalam penyerapan tenaga kerja sehubungan dengan kemampuannya untuk menciptakan lapangan kerja seperti pada Tabel 6. Apabila dicermati pada Tabel 6, memperlihatkan bahwa rasio tenaga kerja PMDN dan PMA fluktuatif cenderung menurun. Secara agregat rasio tenaga kerja pada PMDN relatif sama dengan PMA. Ini berarti bahwa pada kurun waktu tujuh tahun kemampuan PMDN dan PMA dalam menyerap tenaga kerja hampir sama. Tabel 6. Jumlah Investasi, Tenaga Kerja yang Diserap dan Rasio Tenaga Kerja Terhadap Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing Tahun 2000-2006 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Total Jumlah Investasi Riil (Rp Juta) 628 435.84 485 900.85 0.00 178 963.18 12 963.60 0.00 265 170 487 266 476 751 PMDN Jumlah Tenaga Kerja (Jiwa) 9 734 5 472 0 1 767 17 035 0 8 386 2541 PMA Rasio Pekerja/ Investasi (Jiwa/Rp Juta) Jumlah Investasi Riil (Rp Juta) Jumlah Tenaga Kerja (Jiwa) Rasio Pekerja/ Investasi (Jiwa/Rp Juta) 0.015 0.011 0.000 0.010 0.005 0.000 0.000 0.041 850 322 1 221 714 544 725 206 581 68 302 8 240 002 35 883 11 167 529 4 936 3 745 2 698 1 266 987 4 664 124 18420 0.006 0.003 0.005 0.006 0.014 0.001 0.003 0.038 Sumber: BPM Provinsi Jawa Timur (2006) diolah Penyerapan tenaga kerja erat kaitannya dengan pengangguran. Semakin besar tenaga kerja yang terserap maka jumlah pengangguran makin menurun. Kombinasi rendahnya realisasi investasi PMDN dan PMA selama tahun 2000-2006 di Jawa Timur yang disertai dengan menurunnya nilai investasi menyebabkan lambannya penciptaan lapangan kerja baru dan perluasan 12 kesempatan kerja. Keadaan tersebut menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran yang tercermin pada meningkatnya tingkat pengangguran terbuka terutama pada tahun 2003, sebesar 8.68 persen seperti dalam Tabel 7. Tabel 7. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja, Kesempatan Pengangguran Terbuka di Jawa Timur Tahun 2000-2006 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (%) 65.16 68.22 68.87 66.64 69.20 69.17 67.36 Tingkat Kesempatan Kerja (%) 95.17 94.93 93.57 91.32 92.31 91.55 92.28 Kerja dan Tingkat Pengangguran Terbuka (%) 4.83 5.07 6.43 8.68 7.69 8.45 7.72 Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur (2004) Faktor lain yang mendorong tingginya angka pengangguran adalah (1) ketidaksesuaian antara pendidikan/ketrampilan pencari kerja dengan kebutuhan pasar tenaga kerja, (2) penyebaran informasi kesempatan kerja yang belum optimal, (3) kurangnya kepedulian dunia usaha dalam melaporkan dan mempublikasikan lowongan pekerjaan yang tersedia, (4) masih rendahnya angkatan kerja untuk menciptakan lapangan kerja secara mandiri, (5) adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari berbagai usaha seperti industri garmen, tekstil, sepatu dan kayu dan (6) pemulangan (deportasi) Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal. Banyaknya tenaga kerja yang bekerja ke luar negeri menggambarkan sulitnya mencari pekerjaan di negeri sendiri atau tingkat upah yang belum sepenuhnya memberikan kepuasan bagi mereka. Hal tersebut menyebabkan sebagian warga Indonesia memaksakan diri untuk menjadi TKI walaupun tidak memiliki persyaratan yang lengkap baik administrasi maupun keahlian (Pemprov Jatim dan BPS Jatim, 2005). Selanjutnya, pertanyaan yang muncul adalah 13 seberapa besar peran atau pengaruh investasi PMDN dan PMA terhadap pengurangan pengangguran? dan investasi mana yang paling berperan, apakah PMDN atau PMA? Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap kinerja perekonomian Jawa Timur yang tercermin dari pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pengangguran? 2. Seberapa besar dampak investasi PMDN dan PMA terhadap pertumbuhan ekonomi, inflasi dan pengangguran? 3. Investasi mana yang memberikan dampak paling besar terhadap pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pengangguran, investasi PMDN atau PMA? 1.3. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pengangguran di Jawa Timur. 2. Mengetahui dampak investasi PMDN dan PMA terhadap pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pengangguran di Jawa Timur. 3. Menganalisis investasi PMDN atau PMA yang mempunyai dampak terbesar dalam pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pengangguran di Jawa Timur. 14 1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Kinerja perekonomian Jawa Timur meliputi pertumbuhan ekonomi yang tercermin dari pertumbuhan PDRB, inflasi, dan tingkat pengangguran. Investasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah realisasi investasi swasta yang memperoleh fasilitas baik dari dalam negeri (PMDN) maupun luar negeri (PMA) di provinsi Jawa Timur. Cakupan analisis menggunakan data regional dengan rentang waktu tahun 1980-2006 (27 tahun). Model ekonometrik deret waktu yang digunakan adalah model persamaan simultan. Keterbatasan dalam penelitian ini adalah data realisasi investasi yang dianalisis belum menggambarkan seluruh kegiatan investasi yang terdapat di Jawa Timur. Hal ini disebabkan data realisasi investasi PMDN dan PMA yang tersedia belum memasukan investasi di sektor minyak dan gas bumi, perbankan, lembaga keuangan non bank, asuransi, sewa guna usaha, pertambangan dalam rangka kontrak karya, perjanjian karya perusahaan pertambangan batubara, investasi yang perizinannya dikeluarkan oleh instansi teknis/sektor, investasi portofolio (pasar modal) dan investasi rumah tangga. Selain itu, lemahnya dokumentasi data tentang investasi yang bersifat non fasilitas yaitu investasi yang dilakukan oleh pengusaha atau masyarakat yang umumnya berskala kecil dan menengah sehingga investasi tersebut tidak bisa diakomodir dalam penelitian ini. Walaupun diperkirakan investasi jenis ini mempunyai peranan yang cukup besar dalam perekonomian Jawa Timur. 15 1.5. Kegunaan Penelitian 1. Sebagai bahan pertimbangan dalam merencanakan kebijakan tentang investasi khususnya PMDN dan PMA dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan tingkat inflasi yang rendah dan mengurangi angka pengangguran di Jawa Timur. 2. Sebagai bahan pembanding untuk penelitian selanjutnya. 16 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jenis-Jenis Investasi Swasta Investasi swasta terdiri dari: investasi yang memperoleh fasilitas dan yang tidak memperoleh fasilitas (non fasilitas). Perbedaan ini mempunyai implikasi pada perbedaan prosedur dan perijinan serta perolehan fasilitas investasi terutama di bidang fiskal. Investasi yang memperoleh fasilitas menurut UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal adalah investasi yang sekurang-kurangnya memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut, (1) menyerap banyak tenaga kerja, (2) termasuk skala prioritas tinggi, (3) termasuk pembangunan infrastruktur, (4) melakukan alih teknologi, (5) melakukan industri pionir, (6) berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan, atau daerah lain yang dianggap perlu, (7) menjaga kelestarian hidup, (8) melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan dan inovasi, (9) bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi dan (10) industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri. Berdasarkan UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, bentuk fasilitas yang diberikan kepada investasi yang memenuhi syarat untuk memperoleh fasilitas adalah (1) pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan netto sampai tingkat tertentu terhadap penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu, (2) pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi dalam negeri, (3) pembebasan atau keringanan bea masuk bahan 17 baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu, (4) pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas impor barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri dalam jangka waktu tertentu, (5) penyusutan atau amortisasi yang dipercepat dan (6) keringanan pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu; serta kemudahan pelayanan dan/atau perijinan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh hak atas tanah, fasilitas pelayanan keimigrasian dan fasilitas perijinan impor. Berdasarkan kepemilikan dan sumber pendanaannya, investasi yang memperoleh fasilitas dibedakan menjadi dua, yaitu (1) PMDN adalah apabila kepemilikan dan sumber modalnya berasal dari dalam negeri, dan (2) PMA apabila kepemilikan dan modalnya lebih banyak bersumber dari modal asing atau luar negeri. Untuk PMDN dan PMA, perijinannya dilakukan melalui BKPM yang berada di pusat (Jakarta) atau Badan Penanaman Modal (BPM) yang terdapat di seluruh Provinsi di Indonesia. Menurut Salvatore (1997) PMA tediri atas (1) investasi portofolio (portfolio investment), yakni investasi yang melibatkan hanya aset-aset finansial saja, seperti obligasi dan saham yang didenominasikan atau ternilai dalam mata uang nasional. Kegiatan-kegiatan investasi portofolio atau finansial ini biasanya berlangsung melalui lembaga-lembaga keuangan seperti bank, perusahaan dana investasi, yayasan pensiun dan sebagainya, dan (2) investasi asing langsung (Foreign Direct Investment), merupakan PMA yang meliputi investasi ke dalam aset-aset 18 secara nyata berupa pembangunan pabrik-pabrik, pengadaan berbagai macam barang modal, pembelian tanah untuk keperluan produksi dan lain sebagainya. Investasi non fasilitas adalah investasi swasta yang tidak memerlukan fasilitas pemerintah dan mempunyai skala menengah dan kecil. Pada umumnya, jenis investasi ini dilakukan oleh pengusaha dalam negeri dimana usaha yang dilakukan sangat rendah kandungan impornya sehingga tidak memerlukan fasilitas impor bahan baku dan fasilitas lainnya. Perijinan investasi non fasilitas tersebar di berbagai instansi sesuai dengan jenis investasinya mulai dari departemen teknis hingga di bagian perekonomian Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota. 2.2. Perkembangan Perekonomian Jawa Timur 2.2.1. Pertumbuhan Ekonomi Untuk melihat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah digunakan suatu indikator yang disebut dengan PDRB. Menurut definisi, PDRB adalah total nilai produk barang dan jasa yang diproduksi di suatu wilayah tertentu dalam waktu tertentu tanpa melihat faktor kepemilikan (Analisis Indikator Makro Prov. Jawa Timur, 2004). Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah merupakan kenaikan PDRB atas dasar harga konstan yang mencerminkan kenakan produksi barang dan jasa di suatu wilayah. Berdasarkan data PDRB riil atas dasar harga konstan tahun 2000, maka pada tahun 1980 sampai dengan 1997 diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi Jawa Timur cukup baik, dengan rata-rata pertumbuhan 7.69 persen per tahun. Pada tahun 1997 Jawa Timur berhasil mencapai PDRB riil sebesar Rp 172.91 trilyun. Akan tetapi dengan adanya krisis ekonomi tahun 1998 telah membawa dampak 19 serius bagi pertumbuhan ekonomi Jawa Timur. PDRB riil turun drastis sebesar 14.33 persen menjadi Rp 148.13 trilyun (Gambar 1). 300 270 240 Trilyun Rupiah 210 180 PDRB Riil 150 120 90 60 30 0 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 Tahun Gambar 1. Perkembangan PDRB Riil Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 di Jawa Timur Tahun 1980-2006 Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur ( Berbagai Tahun Terbit) diolah Pada saat kondisi fundamental ekonomi yang lemah, tekanan-tekanan kenaikan harga justru semakin tinggi disertai pula oleh gejolak nilai tukar yang tajam dan ekspansi uang beredar yang tinggi maka membuat laju inflasi melonjak tinggi. Akibatnya kegiatan produksi dan investasi juga turut menurun dengan drastis. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa perekonomian Jawa Timur mengalami krisis yang mendalam yang mengakibatkan meluasnya pengangguran dan kemiskinan. Sejak tahun 1999, tejadi pemulihan ekonomi secara berangsur-angsur. PDRB riil pada tahun 1999 mengalami kenaikan sebesar 3.67 persen. Bahkan sejak tahun 2001-2006 PDRB Jawa Timur mengalami pertumbuhan yang positif seperti yang tercantum dalam Tabel 8. 20 Pada tahun 2005 terjadi pertumbuhan PDRB (atas dasar harga konstan) yang tertinggi sebesar 5.85 persen. Pertumbuhan tersebut lebih banyak diakibatkan oleh meningkatnya aktivitas hampir di semua sektor ekonomi terutama oleh sektor perdagangan, industri, pengangkutan, keuangan dan sektor pertanian. Tabel 8. Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Tahun 2001-2006 Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (Rp Milyar) 233 881.585 267 157.716 300 609.857 341 065.251 403 392.350 470 627.493 PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 (Rp Milyar) 210 448.570 218 452.389 228 884.458 242 228.892 256 374.726 271 237.674 Pertumbuhan Ekonomi (%) 3.26 3.80 4.78 5.83 5.85 5.80 Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur (Berbagai Tahun Terbit) Faktor lain yang menyebabkan peningkatan PDRB periode tahun 2001-2006 adalah diberlakukannya otonomi daerah sejak tahun 2001 yang memungkinkan setiap daerah menambah penerimaannya dari dana bagi hasil dan dana Alokasi umum (DAU). Dengan bertambahnya penerimaan daerah berarti bertambah juga pengeluaran daerah baik untuk keperluan rutin maupun pembangunan. Pengeluaran pemerintah yang lebih besar akan meningkatkan permintaan agregat yang pada gilirannya akan meningkatkan transaksi ekonomi yang bermuara pada meningkatnya PDRB atau pendapatan masyarakat. Apabila ditinjau dari pertumbuhan sektoral seperti yang tercantum dalam Tabel 9 dapat diketahui bahwa terdapat beberapa sektor yang mengalami penurunan dalam pembentukan PDRB selama periode tahun 2002-2006 yaitu sektor lisrik, gas dan air bersih serta sektor perdagangan, hotel dan restoran. Bahkan sektor indstri pengolahan pada tahun 2002 sempat mengalami kontraksi sebesar 0.73 persen sebagai akibat langsung dan tidak langsung dari kenaikan 21 cukai rokok. Sedangkan sektor yang mengalami peningkatan yaitu sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, pengangkutan serta komunikasi. Tabel 9. Pertumbuhan PDRB Sektoral di Jawa Timur Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2002-2006 Sektor 1. Pertanian 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Konstruksi 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 7. Pengangkutan dan Komunikasi 8. Keuangan, Sewa dan Jasa Perusahaan 9. Jasa-jasa 2002 2.02 2.76 -0.73 10.97 8.32 13.03 5.1 3.95 5.46 2003 1.91 2.21 4.46 10.01 7.92 5.78 3.58 3.41 4.89 Tahun 2004 2.82 1.84 5.28 12.23 9.25 6.77 6.76 3.44 6.02 2005 3.16 9.32 4.61 6.18 9.15 5.00 7.49 4.23 6.11 2006 3.92 8.58 3.05 4.07 9.65 6.77 7.46 5.27 6.06 Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur (Berbagai Tahun Terbit) 2.2.2. Perkembangan Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing Pada Gambar 2 dan 3 dapat diketahui bahwa sebelum krisis ekonomi, perkembangan investasi PMDN dan PMA sangat berfluktuasi. Investasi PMDN tertinggi dicapai tahun 1994 dengan nilai sebesar Rp 9.14 trilyun dan PMA tertinggi dicapai pada tahun 1995 dengan nilai sebesar US$ 3.18 milyar. Namun sejak krisis ekonomi tahun 1998 menyebabkan tekanan inflasi semakin tinggi dan daya beli masyarakat menurun. Ditambah dengan fungsi intermediasi perbankan praktis terhenti akibat memburuknya kepercayaan terhadap perbankan nasional dan kondisi ketidakpastian yang meningkat telah menyebabkan kegiatan produksi dan investasi di hampir seluruh sektor ekonomi mengalami penurunan nyata. Investasi PMDN riil mengalami penurunan dari Rp 4.4 trilyun menjadi Rp 0.29 milyar, sedangkan PMA dari US$ 630.31 juta menjadi US$ 393.92 juta. Walaupun apabila diriilkan dan dikonversi dalam mata uang Rupiah, justru PMA tahun 1998 mengalami kenaikan seiring dengan melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat yaitu dari Rp 620 milyar menjadi Rp 1.4 trilyun. 22 100 90 80 Trilyun Rupiah 70 60 PMDN Riil 50 40 30 20 10 0 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 Tahun Gambar 2. Perkembangan PMDN Riil di Jawa Timur Tahun 1980-2006 Sumber: BPM Provinsi Jawa Timur (2006) Penurunan masih terjadi pada tahun berikutnya dan meningkat kembali pada tahun 2000 baik untuk PMDN maupun PMA seiring dengan membaiknya kondisi perekonomian nasional dan Jawa Timur. Akan tetapi peningkatan tersebut tidak berlangsung lama karena pada tahun-tahun berikutnya perkembangan PMDN dan PMA berfluktuatif dan cenderung menurun. 10,000 9,000 8,000 Milyar Rupiah 7,000 6,000 PMA Riil 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 Tahun Gambar 3. Perkembangan PMA Riil di Jawa Timur Tahun 1980-2006 Sumber: BPM Provinsi Jawa Timur (2006) Perkembangan PMDN dan PMA yang berfluktuasi dan senderung menurun tidak terlepas dari iklim investasi yang belum kondusif seperti kondisi politik dan 23 keamanan yang belum sepenuhnya stabil, belum terwujudnya good governance, lemahnya jaminan dan kepastian hukum, adanya peningkatan biaya melakukan bisnis yang timbul karena ekses pelaksanaan otonomi daerah (BPM Jatim dan UNAIR, 2004), terbatasnya informasi investasi bagi para investor, menurunnya kondisi infrastruktur dan belum terjaminnya kontinuitas bahan baku serta pasokan listrik (Wahyuni, 2007). Selanjutnya apabila ditinjau berdasarkan lokasinya, maka sebagian besar lokasi PMDN berada di wilayah Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Pasuruan, Mojokerto dan Malang. Wiayah yang tidak dimasuki oleh PMDN adalah Trenggalek, Ngawi dan Pamekasan. Jumlah Proyek PMDN tahun 1980-2006 yang tersebar di 31 lokasi mencapai 449 proyek dengan nilai investasi sebesar Rp 187.17 trilyun. Jumlah tenaga kerja yang terserap adalah sebesar 291 352 jiwa tenaga kerja Indonesia dan 306 tenaga kerja asing. Bidang usaha yang diminati oleh PMDN adalah industri kimia, pengolahan makanan, industri barang logam, industri kayu dan industri tekstil. Untuk PMA, penyebarannya tidak merata dan sebagian besar berada di Surabaya, Sidoarjo, Gresik dan Malang. Wilayah yang tidak dimasuki oleh PMA adalah: Bojonegoro, Tulungagung, Nganjuk, Trenggalek, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan, Pamekasan dan Sampang. Jumlah proyek PMA di Jawa Timur Tahun 1980-2006 mencapai 501 proyek dengan nilai investasi mencapai US$ 11.99 milyar. Jumlah tenaga kerja yang terserap adalah sebesar 176 556 tenaga kerja Indonesia dan 989 tenaga kerja asing. Bidang usaha yang diminati oleh PMA adalah industri kimia, industri barang logam, perdagangan, pengolahan makanan, industri kayu dan industri tekstil. 24 Apabila ditinjau dari jumlah proyeknya maka Taiwan, Jepang, Korea Selatan, Singapura dan Hongkong menduduki peringkat 5 besar. Sedangkan bila dilihat dari nilai investasinya sejak tahun 1967 sampai 31 Maret tahun 2004, maka Inggris menduduki peringkat pertama dengan nilai investasi sebesar US$ 6.78 milyar dan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia sebesar 16.393 jiwa dan tenaga kerja asing sebesar 331 jiwa. Peringkat kedua adalah Hongkong dan berikutnya Jepang (BPM Jatim dan UNAIR, 2004). Apabila ditelaah lebih lanjut, ternyata baik investor asing maupun dalam negeri yang masuk ke Jawa Timur lebih tertarik menanamkan modalnya di wilayah Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Malang dan Pasuruan walaupun untuk PMDN penyebarannya lebih merata. Hal ini disebabkan oleh tersedianya sarana dan prasarana yang memadai seperti pelabuhan laut, terminal peti kemas, bandara internasional Juanda, lembaga keuangan perbankan, asuransi, jalan tol dan tersedianya tenaga kerja terampil dalam jumlah yang memadai. 2.2.3. Potensi Investasi di Jawa Timur Prospek investasi di Jawa Timur pada dasarnya cukup baik. Selain lokasinya yang strategis sebagai pintu gerbang wilayah Indonesia Timur, Jawa Timur juga mempunyai potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang cukup besar serta memiliki sarana dan prasarana untuk pengembangan investasi yang memadai. Potensi sumber daya alam tersebut antara lain kehutanan, pertanian, perkebunan, bahan-bahan tambang, perikanan laut, dan sumber daya minyak dan gas bumi yang potensial. Sarana dan prasarana yang tersedia untuk pengembangan investasi di Jawa Timur antara lain (1) bandar udara internasional Juanda, (2) pelabuhan laut 25 internasional Tanjung Perak Surabaya dan Banyuwangi serta pelabuhan laut Probolinggo dan Gresik, (3) stasiun kereta api, (4) terminal bis di berbagai kota, (5) terminal peti kemas, (6) jalan tol Surabaya-Gresik, (7) jaringan listrik, telepon, gas dan air minum, (8) Bursa Efek Surabaya dan (9) lembaga keuangan perbankan dan non perbankan. Dukungan yang lain, yaitu adanya investasi pemerintah dalam membangun jembatan nasional Suramadu (Surabaya-Madura), pasar induk agribisnis Jemundo, jalan lintas selatan Jawa Timur, jalan tol Waru-Mojokerto, pendirian PT Jatim Investment Management, terminal peti kemas, melanjutkan proyek KA komuter dan rencana menerapkan konsep East Java Incorporated dan East Java Integrated Industries Zone. Selain itu, Jawa Timur juga mempunyai potensi industri dengan produkproduk yang bisa dikembangkan sebagai produk yang mempunyai daya saing yang tinggi dalam pasar nasional maupun internasional. Industri tersebut antara lain (1) supporting industries, pada saat ini terdapat 169 unit usaha yang termasuk dalam supporting industries dan 71 di antaranya khusus memproduksi komponen otomotif roda dua. Lokasi dari unit usaha tersebut tersebar di beberapa kabupaten atau kota yaitu Surabaya, Pasuruan, Sidoarjo, Malang, Gresik, Kediri dan Mojokerto, (2) industri perhiasan, mulai dari perhiasan emas, perak dan batu mulia. Terdapat 19 perusahaan menengah besar dan 1 500 unit usaha kecil pada sentra-sentra industri perhiasan emas, perak dan batu mulia yang tersebar di Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Malang, Mojokerto, Lamongan, Pasuruan, Lumajang, Nganjuk, Pamekasan, Banyuwangi, Bangkalan, Ponorogo dan Pacitan. Sampai saat ini kontribusi produk perhiasan Jawa Timur terhadap nasional sebesar 25 26 persen, (3) industri kulit dan produk kulit, (4) industri makanan dan minuman dan (5) industri aromatik. Untuk industri kulit, produk yang menonjol antara lain penyamakan kulit, alas kaki, tas, jaket, dan hasil kerajinan, misalnya wayang. Lokasi untuk produk alas kaki (sandal) adalah di Wedoro, Sidoarjo. Sedangkan untuk produk tas di kecamatan Tanggulangin kabupaten Sidoarjo dan produk sepatu di Mojokerto dan Magetan. Produk industri makanan dan minuman yang mempunyai potensi untuk dikembangkan adalah produk olahan pertanian yaitu aneka kripik umbi-umbian dan buah-buahan, sari mengkudu dan kopi jahe serta produk olahan hasil laut yaitu krupuk udang, petis, terasi, teripang dan ikan asin. Jumlah industri makanan dan minuman tersebut berkisar 40 970 unit usaha yang tersebar di wilayah Surabaya, Sidoarjo, Kediri, Malang, Batu, Jombang, Pasuruan, Gresik, Lamongan, Banyuwangi, Pacitan, Jember dan Lumajang. Tenaga kerja yang terserap pada tahun 2004 sebesar 102 500 jiwa (BPM Jatim dan UNAIR, 2004). Selain itu dengan upah minimum provinsi yang relatif lebih rendah daripada Bandung dan Tangerang serta adanya pelaksanaan pelayanan satu atap dalam satu hari (one day service) sebagai akibat adanya otonomi daerah diharapkan dapat menambah daya tarik Jawa Timur sebagai wilayah investasi. 2.2.4. Inflasi Laju inflasi di Jawa Timur sejak tahun 1980-2006 berfluktuatif. Pada saat puncak krisis pada tahun 1998, inflasi melonjak mencapai 87.60 yang merupakan inflasi tertinggi pada kurun waktu 27 tahun tersebut. Bahkan lebih tinggi daripada inflasi nasional pada tahun yang sama yaitu sebesar 77.50 persen (Gambar 4). 27 100 90 80 70 Persen 60 Inflasi 50 40 30 20 10 0 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 Tahun Gambar 4. Laju Inflasi Jawa Timur Tahun 1980-2006 Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur (Berbagai Tahun Terbit) Inflasi pada tahun 1998, terutama bersumber dari terganggunya kegiatan produksi dan distribusi barang-barang kebutuhan pokok. Khususnya kelompok bahan makanan. Nilai tukar yang lemah sebesar Rp 9 804.30 per Dollar AS telah mengakibatkan mahalnya harga barang impor yang kemudian mendorong kanaikan harga secara umum. Apalagi cukup banyak industri yang menggunakan bahan baku impor. Kerusuhan Mei tahun 1998 juga telah mengakibatkan rusaknya sentra-sentra perdagangan dan terganggunya jalur distrbusi. Di samping ekspansi moneter yang sangat besar juga ikut memberikan tekanan terhadap inflasi (Yudhoyono, 2004). Walaupun kejadian kerusuhan tersebut terjadi di Jakarta tetapi dampaknya terasa sampai di daerah terutama Jawa Timur. Setelah sempat menurun pada tahun 1999 dan 2000, pada tahun 2001 inflasi di Jawa Timur meningkat kembali mencapai 14.10 persen. Meningkatnya tekanan inflasi ini bersumber dari semakin kuatnya pengaruh kebijakan pemerintah pusat di bidang harga dan pendapatan yang meliputi kenaikan beberapa jenis bahan 28 bakar minyak (BBM), angkutan, listrik, air, minuman, rokok, serta kenaikan upah minimum provinsi dan gaji pegawai negeri. Selanjutnya, pada tahun 2002 dan 2003 inflasi menurun menjadi 9.38 persen dan 3.59 persen. Kemudian naik kembali pada tahun 2004 dan bahkan pada tahun 2005 meningkat tajam menjadi 15.89. Kenaikan inflasi ini dipicu oleh kenaikan harga-harga di kelompok pendidikan, trasportasi dan kesehatan. 2.2.5. Pengangguran Jumlah pengangguran terbuka di Jawa Timur antara tahun 1882-1992 relatif konstan pada angka 300 ribu jiwa. Pada tahun 1994 dan 1995 sempat terjadi lonjakan jumlah pengangguran, tetapi pada tahun 1996 dan 1997 jumlah pengangguran berhasil ditekan. Hal tersebut tidak berlangsung lama, sebab sejak tahun 1998 jumlah pengangguran terus meningkat hingga pada tahun 2005 yang jumlahnya mencapai 1.6 juta jiwa. Pada tahun 2006 jumlah pengangguran mengalami penurunan menjadi 1.5 juta jiwa. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 menyebabkan lumpuhnya dunia usaha. Kenaikan biaya produksi akibat penggunaan bahan baku impor di satu sisi, serta melemahnya daya serap pasar di sisi lain, telah memaksa berbagai sektor mengurangi skala usahanya. Akibatnya banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga jumlah pengangguran meningkat. Jumlah pengangguran yang sempat menurun pada tahun 1996 dan 1997 meningkat kembali pada tahun 1998. Pada tahun yang sama pengangguran mencapai 720 ribu jiwa atau 4.10 persen dari total angkatan kerja lebih besar daripada jumlah peengangguran pada tahun 1997, yaitu 569 ribu jiwa atau 3.32 29 persen. Perkembangan jumlah pengangguran terbuka dan tingkat pengangguran terbuka di Jawa Timur tahun 1980-2006 dapat dilihat dalam Gambar 5 dan 6. 1.8 1.6 1.4 Juta Jiwa 1.2 1.0 Jumlah Pengangguran Terbuka 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 Tahun Gambar 5. Perkembangan Jumlah Pengangguran Terbuka di Jawa Timur Tahun 1980-2006 Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur (Berbagai Tahun Terbit) Pada tahun 2000 perekonomian Indonesia menunjukkan sedikit penguatan. Situasi ekonomi dunia membaik disertai dengan permintaan domestik yang meningkat telah memungkinkan sejumlah sektor ekonomi, termasuk usaha kecil dan menengah meningkatkan kegiatan usaha mereka. Akan tetapi dampak positif peningkatan perekonomian Indonesia tersebut kurang dirasakan di Jawa Timur terutama dari sisi penyerapan tenaga kerja. Hal ini terbukti dengan semakin meningkatnya jumlah pengangguran terbuka dari tahun 2000-2006. Pada tahun 2003, jumlah persentase jumlah pengangguran mencapai angka yang tertinggi yaitu 8.68 persen dari total angkatan kerja. Pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5.83 persen belum mampu menciptakan tambahan lapangan kerja, lapangan kerja atau kesempatan kerja malah menurun menjadi 485 814 jiwa. Walaupun pada tahun yang sama jumlah angkatan kerja juga menurun sekitar 179 973 jiwa. Oleh 30 karena penurunan kesempatan kerja lebih besar daripada penurunan angkatan kerja maka jumlah pengangguran meningkat. 10.0 9.0 8.0 7.0 Persen 6.0 Tingkat Pengangguran Terbuka 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 Tahun Gambar 6: Tingkat Pengangguran Terbuka di Jawa Timur Tahun 1980-2006 Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur (Berbagai Tahun Terbit) diolah Peningkatan jumlah pengangguran ini tidak terlepas dari faktor kurang kondusifnya kondisi dunia usaha dan iklim investasi di Indonesia terutama di Jawa Timur. Berbagai permasalahan struktural dan ketidakpastian aturan dan hukum di Indonesia maupun di daerah mengakibatkan investor enggan menanamkan modalnya sehingga berdampak pada lambatnya penciptaan lapangan kerja baru dan meningkatnya jumlah pengangguran. Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya realisasi PMDN dan PMA tahun 2003 sebesar 23 persen. Faktor lain yang menyebabkan tingginya angka pengangguran adalah (1) rendahnya kualitas tenaga kerja Jawa Timur yang disebabkan oleh terbatasnya sarana dan prasarana pelatihan yang dimiliki, terbatasnya kuantitas dan kualitas instruktur yang memenuhi kebutuhan pelatihan dan terbatasnya kompetensi tenaga kerja yang dibutuhkan. Kualitas angkatan kerja yang rendah ini berpengaruh pada rendahnya daya serap atau adaptabilitas teknologi dan berdampak pada kurang 31 berkembangnya teknologi, (2) ketidaktahuan pasar kerja akibat belum optimalnya penyebaran informasi pasr kerja, (3) kurangnya kepedulian dunia usaha dalam melaporkan dan mempublikasikan lowongan pekerjaan yang tersedia dan (4) masih rendahnya minat angkatan kerja untuk menciptakan lapangan kerja yang mandiri (Dinas Tenaga Kerja Jawa Timur, 2005). Secara keseluruhan kondisi tersebut berpengaruh pada rendahnya tingkat upah, tingginya tingkat PHK, serta rendahnya jaminan kesejahteraan karena tenaga kerja tidak memiliki bargaining power akibat keterbatasan kompetensi dan kualifikasi yang dimiliki. Rendahnya upah di Jawa Timur juga didukung oleh pernyataan Ritongga (2005) yang menyebutkan bahwa pada tahun 2006 dari 17 provinsi yang sudah menetapkan UMP-nya, DKI Jakarta mencatat UMP tertinggi yaitu Rp 819 100 dan Jawa Timur sebesar Rp 390 000 yang merupakan UMP terendah. Dengan keadaan UMP yang rendah tersebut di satu sisi menyiratkan tingginya pengangguran dan di sisi lain menunjukkan bahwa pada tingkat upah berapapun tenaga kerja di Jatim mau bekerja. Sehingga adanya kenaikan upah akan dapat meningkatkan jumlah pengangguran. Karena pemintaan tenaga kerja berkurang sementara penawarannya semakin bertambah. Namun apabila Pemprov Jatim dapat memanfaatkan peluang ini maka dengan infrastruktur (listrik dan jalan) yang lebih baik dan tenaga kerja yang lebih murah maka Jawa khususnya Jawa Timur menjadi lebih kompetitif bagi investor dibanding propinsi lain di luar Jawa terutama Sumatera yang dikenal mempunyai upah yang tinggi dengan kondisi infrastruktur yang kurang baik. Pada dasarnya sistem penetapan upah dilakukan untuk mengurangi eksploitasi buruh dan sebaliknya supaya pengusaha tidak mendapat tekanan dari 32 aktivis gerakan buruh. Ketentuan UMP itu sendiri hanya diberlakukan bagi pekerja dengan masa kerja kurang dari setahun. Sedangkan upah bagi pekerja lama diserahkan sepenuhnya kepada keputusan bipatrit (pekerja dan majikan). Secara logis UMP yang lebih tinggi akan mendorong pekerja senior meminta kenaikan upah. Ada yang menyebut dengan istilah upah sundulan. Oleh karena itu pengusaha berharap kenaikan UMP seminimum mungkin, karena akan membuat buruh lama menuntut upah yang lebih tinggi. Penetapan upah buruh di Indonesia dilaksanakan setiap tahun melalui proses yang panjang. Pada awalnya Dewan Pengupahan daerah (DPD) yang terdiri dari birokrat, akademisi, buruh dan pengusaha mengadakan pertemuan, membentuk tim survei dan turun ke lapang untuk mencari tahu harga kebutuhan pokok. Setelah survei di sejumlah kota dianggap representatif diperoleh angka Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang dulu disebut Kebutuhan Hidup Minimum (KHM). Berdasarkan KHL, DPD mengusulkan UMP ke Gubernur. Kemudian berdasarkan UMP baru ditetapkan pula upah minimum provinsi sektoral (UMPS). Setelah otonomi diberlakukan, dikenal pula istilah upah minimum kabupaten/kota (UMK). Angkanya merupakan hasil perhitungan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota (DPK). Selanjutnya DPK menggunakan UMP dan hasil survei KHL sebagai bahan pertimbangan menghitung dan mengusulkan UMK kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. 2.3. Tinjauan Studi Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian Tinjauan studi dampak investasi baik swasta maupun pemerintah terhadap kinerja perekonomian adalah sebagai berikut: studi yang dilakukan oleh Macmud (2002) mengenai Analisis Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera 33 Selatan dengan menggunakan model Rana Dowling. Dari hasil studi tersebut diketahui bahwa variabel Bantuan Pemerintah Pusat (BPP) dalam bentuk-bentuk program sektoral di Provinsi Sumatera Selatan, investasi swasta, tabungan daerah, ekspor daerah, pertumbuhan dan angkatan kerja mempunyai pengaruh positif dan nyata terhadap pertumbuhan ekonomi. Selain itu, berdasarkan hasil estimasi fungsi tabungan dapat dilihat bahwa variabel bantuan pemerintah pusat, investasi swasta, dan ekspor daerah mempunyai pengaruh positif dan signifikan (nyata) terhadap tabungan daerah Sumatera Selatan. Selanjutnya Susanti (2003) melakukan studi tentang Dampak Perubahan Investasi dan Produktivitas Sektor Perikanan terhadap Kinerja Ekonomi Makro dan Sektoral di Indonesia menyimpulkan bahwa pengaruh peningkatan investasi output sektor perikanan terhadap kinerja sektor perekonomian secara umum berpengaruh positif, yaitu meningkatkan output sektoral. Hasil yang sama diperoleh dari sisi perubahan produktivitas, perubahan produktivitas baik produktivitas total, kapital maupun tenaga kerja berpengaruh dalam peningkatan output sektor perekonomian. Apabila investasi dan produktivitas dirubah secara bersama-sama maka perubahan output yang terjadi di sektor perikanan relatif lebih besar dibandingkan bila dirubah secara parsial. Konsumsi rumah tangga sektoral juga mengalami peningkatan akibat peningkatan investasi dan produktivitas. Harga output pada sektor perikanan, mengalami penurunan akibat adanya peningkatan output. Harga output pada sektor perekonomian lain bergerak mengikuti mekanisme permintaan penawaran. Dalam perekonomian makro, peningkatan investasi dan produktivitas di sektor perikanan memberikan kontribusi positif bagi peningkatan GDP, laju 34 inflasi juga mampu ditekan dengan adannya peningkatan investasi dan produktivitas di sektor perikanan. Konsumsi agregat dan penyerapan tenaga kerja agregat juga mengalami peningkatan. Laju peningkatan ekspor meningkat jika dibandingkan dengan laju peningkatan impor akibat perubahan investasi dan produktivitas sektor perikanan sehingga neraca perdagangan positif. Panjaitan et. al. (2004) melakukan penelitian tentang Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Sumatera Utara: Pendekatan Ekonometrika. Berawal dari adanya pemikiran bahwa dengan munculnya UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai konsekuensi logis dari otonomi daerah memungkinkan daerah untuk menambah penerimaanya dari Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Umum (DAU). Dengan bertambahnya penerimaan daerah berarti bertambah juga pengeluaran daerah baik untuk keperluan rutin maupun pembangunan seperti pembangunan infrastruktur: jalan, jaringan listrik, sarana air bersih dan lain-lain. Pengeluaran pemerintah untuk pembangunan dikenal pula dengan istilah investasi pemerintah. Pengeluaran pemerintah yang lebih besar akan meningkatkan permintaan agregat yang pada gilirannya akan meningkatkan transaksi ekonomi. Peningkatan tersebut akan meningkatkan pendapatan masyarakat dan kesempatan kerja yang pada akhirnya akan memberikan kepastian ekonomi dan politik. Dari studi tersebut diperoleh hasil seperti yang diharapkan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal memberikan dampak positif terhadap PDRB, kesempatan kerja dan distribusi pendapatan antar daerah di Sumatera Utara serta memberikan dampak negatif terhadap tingkat inflasi di Sumatera Utara. Selain itu dapat 35 diketahui juga bahwa inflasi dipengaruhi oleh PDRB, tingkat investasi, tingkat upah daerah, defisit fiskal dan dummy krisis tahun 1998. Sedangkan tingkat investasi itu sendiri dipengaruhi secara positif tetapi tidak signifikan oleh PDRB, secara negatif dan signifikan dipengaruhi oleh tingkat upah dan tingkat suku bunga. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Riyanto dan H. Siregar (2005) dengan mengambil judul: Dampak Dana Perimbangan terhadap Perekonomian Daerah dan Pemerataan antar Wilayah. Hasil dari studi tersebut adalah (1) tidak berbeda dengan kondisi sebelum desentralisasi fiskal, porsi dana perimbangan rata-rata mencapai sekitar 80 persen dari penerimaan daerah. Jadi dana perimbangan masih merupakan sumber utama penerimaan daerah, (2) berdasarkan hasil analisis model ekonometrika ditemukan bahwa setelah desentralisasi fiskal, dampak dana perimbangan cukup signifikan meningkatkan anggaran pemerintah daerah (APBD), tetapi tidak berdampak secara signifikan terhadap perekonomian daerah. Hal ini disebabkan oleh belanja rutin yang masih dominan dalam komponen APBD, kemungkinan terjadinya birokrasi pemerintah yang tidak efisien, dan proses pembangunan perencanaan pembangunan di daerah yang kurang baik dan (3) dampak dana perimbangan belum mencapai kondisi pemerataan pembangunan wilayah walau secara fiskal terjadi pemerataan keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah, serta antar pemerintah daerah. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa kesenjangan perekonomian antara daerah bukan semata-mata di tentukan oleh besarnya kecilnya dana perimbangan di suatu daerah, penyebaran investasi yang sangat terbatas, juga merupakan faktor kesenjangan dan rendahnya pertumbuhan ekonomi daerah. 36 Kemudian Astuti (2005) melakukan penelitian yang menghubungkan antara investasi sektor pertanian dengan perekonomian dan kemiskinan. Dengan judul Dampak Investasi Sektor Pertanian terhadap Perekonomian dan Upaya Pengurangan Kemiskinan di Indonesia, maka hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah (1) hasil simulasi kebijakan menunjukkan bahwa apabila terjadi penurunan investasi di sektor pertanian maka memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan perekonomian Indonesia. Sebaliknya apabila terjadi kenaikan investasi di sektor pertanian akan memberikan dampak positif terhadap perekonomian terutama terhadap peningkatan penerimaan pendapatan sektor produksi, peningkatan pendapatan neraca institusi penerimaan pemerintah, perusahaan dan rumahtangga, serta penerimaan balas jasa faktor produksi tenaga kerja dan modal dan (2) hasil analisis kemiskinan menunjukkan apabila investasi di sektor pertanian menurun maka akan berdampak terhadap kenaikan insiden kemiskinan pada setiap kelompok rumah tangga sebaliknya, peningkatan investasi di sektor pertanian akan berdampak terhadap penurunan insiden kemiskinan pada setiap kelompok rumahtangga. Kelompok rumahtangga dengan insiden kemiskinan tertinggi adalah kelompok rumahtangga pertanian yang berada di perdesaan yang memiliki lahan seluas 0.5-1 hektar. 2.4. Tinjauan Studi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing Di samping penelitian yang meneliti tentang hubungan investasi dengan kinerja perekonomian, beberapa peneliti juga telah melakukan studi tentang faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi investasi seperti yang dilakukan Saad 37 dan Hidayatullah serta BPM Provinsi Jawa Timur yang bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, Surabaya. Hasil yang diperoleh dari kajian Saad (2002) mengenai Analisis Perkembangan Investasi Swasta di Subsektor Industri makanan adalah sampai sebelum terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997, perkembangan persetujuan dan realisasi investasi pada subsektor industri makanan sangat baik, bahkan di atas rata-rata investasi di sektor lainnya terutama di sektor pertanian sebagai sumber bahan bakunya. Namun sejak krisis terjadi, perkembangan investasi mengalami penurunan yang cukup signifikan, baik dalam PMDN maupun PMA. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan persetujuan investasi pada subsektor industri makanan dikelompokkan kedalam variabel kondisi negara yang bersangkutan (variabel ekonomi makro, kebijakan investasi, dan politik), variabel negara asal investasi dan variabel harga komoditas yang mencerminkan rental cost of capital dari investasi yang ditanam. Stabilitas nasional yang dicerminkan oleh kondisi perekonomian dan politik. Harga komoditas penting yang turut menentukan perkembangan invesatsi swasta pada industri makanan adalah komoditas olahan udang dan kelapa sawit (CPO). Kedua komoditas ini turut menentukan persetujuan dan realisasi investasi industri makanan swasta. Realisasi investasi swasta pada industri makanan baik PMDN maupum PMA masih sangat rendah. Oleh sebab itu, kebijakan pemerintah yang mendukung sangat di perlukan. Perumusan kebijaksanaan yang tepat akan dapat mendorong peningkatan investasi swasta pada industri makanan. Kebijakan yang di rumuskan tersebut pada dasarnya harus mencerminkan upaya peningkatan iklim yang 38 kondusif bagi berkembangnya investasi di antaranya melalui pemberian insentif investasi. Kemudian Hidayatullah pada Tahun 2003 melakukan studi mengenai Analisis Penyebaran Investasi Sektor Pertanian di Kawasan Timur Indonesia menyimpulkan bahwa (1) investasi domestik di Kawasan Timur Indonesia di pengaruhi oleh inflasi wilayah, tingkat suku bunga Indonesia, Produk Domestik Regional Bruto wilayah, jumlah pengeluaran pembangunan, rasio pengeluaran pembangunan dan PDRB, potensi sumberdaya alam sektor pertanian , investasi di dalam dan di luar wilayah serta kebijakan investasi tentang percepatan pembangunan di Kawasan Timur Indonesia, (2) investasi asing di Kawasan Timur Indonesia di pengaruhi oleh tingkat suku bunga dunia, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS, PDRB, jumlah pengeluaran pembangunan, panjang jalan, potensi sumberdaya alam sektor pertanian, investasi di dalam dan di luar serta kebijakan investasi tentang percepatan pembangunan di Kawasan Timur Indonesia, (3) perubahan faktor eksternal wilayah memberikan dampak peningkatan dan penurunan jumlah investasi asing dan domestik antar wilayah di Kawasan Timur Indonesia dan (4) perubahan faktor internal wilayah, kecuali inflasi wilayah memberikan dampak peningkatan dan penurunan jumlah investasi asing dan domestik antar wilayah dan antar jenis investasi di Kawasan Timur Indonesia. Kajian dari BPM Jatim dan UNAIR (2004) memperoleh hasil bahwa selain upah buruh terdapat tujuh faktor lain yang sangat menentukan investasi di Jawa Timur, yaitu (1) kemudahan mendirikan usaha, (2) apakah terdapat diskriminasi terhadap investasi asing yang baru masuk atau tidak?, (3) apakah ada perlakuan yang sama bagi investasi asing yang sudah masuk dengan pelaku usaha lokal atau 39 tidak?, (4) transparansi dalam persetujuan dan ijin investasi, (5) ramah atau tidaknya kebijakan imigrasi, (6) ada atau tidaknya mekanisme bagi investor untuk menyampaikan keluhannya kepada pemerintah dan (7) tingkat responsifitas (kepekaan) pemerintah dalam menanggapi keluhan-keluhan investor. 2.5. Posisi Penelitian Berbagai penelitian tentang investasi terutama tentang dampak investasi baik investasi swasta maupun pemerintah terhadap perekonomian telah banyak dilakukan, akan tetapi yang secara khusus membandingkan investasi swasta mana (PMDN atau PMA) yang memberikan pengaruh terbesar terhadap kinerja perekonomian belum banyak dijumpai. Oleh karena itu, dalam penelitian ini memusatkan perhatian untuk membandingkan dampak dari PMDN dan PMA terhadap kinerja perekonomian Jawa Timur. Informasi yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan pertimbangan khususnya bagi Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur untuk menyusun kebijakan investasi. Karena dengan adanya otonomi daerah memungkinkan setiap daerah menyusun kebijakan investasi sendiri melalui Peraturan-Peraturan Daerah (Perda) yang dapat memberikan keuntungan bagi daerahnya sepanjang kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan kebijakan nasional. Dengan kata lain melalui kewenangan yang dimiliki, peran Pemda kini menjadi sama pentingnya dengan pemerintah pusat dalam upaya meningkatkan investasi. Pemda dituntut dapat berkreasi dalam menangani masalah iklim investasi di daerahnya masing-masing. 40 III. KERANGKA TEORITIS 3.1. Produk Domestik Bruto Produk Domestik Bruto (PDB) sering dianggap sebagai ukuran terbaik dari kinerja perekonomian (Mankiw, 2003). Apabila diterjemahkan dalam tataran daerah maka PDB disebut dengan PDRB. PDRB adalah total nilai produk barang dan jasa yang diproduksi di suatu wilayah tertentu dalam waktu tertentu tanpa melihat faktor kepemilikan (Pemerintah Provinsi atau Pemprov Jatim, 2004). Salah satu model yang menunjukkan bagaimana pertumbuhan persediaan modal, pertumbuhan angkatan kerja dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam perekonomian serta bagaimana pengaruhnya terhadap output barang dan jasa (PDRB) suatu wilayah secara keseluruhan adalah Model Solow (Mankiw, 2003). Dalam model Solow, output bergantung pada persediaan modal dan tenaga kerja. Dengan asumsi bahwa fungsi produksi mempunyai skala hasil konstan, maka fungsi produksinya dapat dirumuskan sebagai berikut : Y = F (K,L) .................................................................................. (3.1) dimana: Y = Output K = Persediaan modal L = Tenaga kerja Persediaan modal dipengaruhi oleh investasi dan depresiasi. Investasi mengacu pada pengeluaran untuk perluasan usaha dan peralatan baru yang dapat menambah persediaan modal, sedangkan depresiasi mengacu pada penggunaan modal, yang menyebabkan persediaan modal berkurang. Perubahan Persediaan Modal = Investasi - Depresiasi Δk = i - δk ..................................................................................... ( 3.2) 41 Dengan asumsi bahwa depresiasi=0 atau tidak ada depresiasi, maka Δk=i atau perubahan persediaan modal=investasi. Karena investasi merupakan perubahan persediaan modal (Δk) bukan persediaan modal (K) itu sendiri atau dengan kata lain pada kenyataanya data persediaan modal tidak tersedia, maka untuk menghitung output dengan model Solow digunakan data investasi PMDN dan PMA sebagai proksi dari persediaan modal (K). 3.2. Investasi Investasi disebut juga dengan penanaman modal atau pembentukan modal. Investasi dapat diartikan sebagai pengeluaran atau pengeluaran penanam-penanam modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal dan perlengkapanperlengkapan produksi untuk menambah kemampuan memproduksi barangbarang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian (Sukirno, 2006). Menurut Mankiw (2003) investasi juga dapat diartikan pembelian barangbarang yang digunakan untuk masa depan. Investasi terdiri dari (Dornbush dan Fischer, 1997; Mankiw, 2003; dan Sukirno, 2006): (1) investasi tetap bisnis adalah pembelian pabrik dan peralatan baru oleh perusahaan, (2) investasi residensi yaitu pembelian rumah baru oleh rumah tangga dan tuan tanah, dan (3) investasi persediaan yaitu peningkatan persediaan barang perusahaan (jika investasi gagal, persediaan negatif). Delong (2002) membedakan investasi menjadi empat jenis, yaitu (1) investasi residensi, (2) investasi non residensi, (3) investasi untuk membeli peralatan dan (4) investasi persediaan. Sedangkan menurut Mangkoesoebroto dan Algifari (1998) investasi terdiri dari dua jenis, yaitu investasi riil dan investasi finansial. Investasi riil adalah investasi terhadap barang-barang yang tahan lama (barang-barang modal) yang akan digunakan 42 untuk proses produksi. Tiga komponen investasi riil yaitu investasi tetap perusahaan (business fixed investment), investasi untuk perumahan, dan investasi perubahan bersih persediaan perusahaan (net change in business inventory). Selanjutnya yang dimaksud dengan investasi finansial merupakan investasi terhadap surat berharga misalnya pembelian saham, obligasi dan lain sebagainya. Pertimbangan-pertimbangan utama yang perlu dilakukan dalam memilih suatu jenis investasi adalah tingkat bunga yang berlaku, tingkat pengembalian (rate of return) dari proyek investasi dan prospek (harapan berkembang) dari proyek investasi pada waktu yang akan datang (Mangoesoebroto dan Algifari, 1998). Hal senada juga diungkapkan oleh Mankiw (2003) bahwa investasi bergantung pada tingkat bunga. Tingkat bunga yang dimaksud disini adalah tingkat bunga riil. Tingkat bunga riil mengukur biaya pinjaman yang sebenarnya sehingga menentukan jumlah investasi. Jadi ketika tingkat bunga riil naik, semakin sedikit proyek investasi yang menguntungkan. Sedangkan tingkat bunga nominal adalah tingkat bunga yang dilaporkan. Tingkat bunga inilah yang dibayar investor untuk meminjam uang Tingkat bunga riil, r Fungsi Investasi, I(r) Kuantitas investasi, I Gambar 7. Hubungan Antara Tingkat Bunga Riil dengan Kuantitas Investasi Sumber: Mankiw (2003) 43 Hubungan antara tingkat bunga riil dengan investasi yang berbanding terbalik antara satu dengan yang lain (bersifat negatif) dapat ditunjukkan secara grafis pada Gambar 7. Menurut Delong (2002) selain suku bunga, faktor lain yang menentukan suatu perusahaan untuk melakukan investasi adalah jumlah uang yang tersedia di perusahaan dan total keuntungan. Sukirno (2006) melengkapi apa yang telah dinyatakan oleh Mangosoebroto dan Delong, bahwa selain suku bunga dan keuntungan perusahaan, keputusan untuk berinvestasi ditentukan juga oleh (1) ramalan mengenai keadaan ekonomi di masa depan, (2) kemajuan teknologi, dan (3) tingkat pendapatan nasional dan perubahan-perubahannya. 3.3. Inflasi Inflasi didefinisikan sebagai kenaikan harga umum secara terus-menerus dan persisten dari suatu perekonomian (Susanti, Ikhsan dan Widayanti, 2000; dan Putong, 2003). Hal senada juga diungkapkan oleh Na'im (2001) yang menyatakan bahwa inflasi merupakan kecenderungan harga-harga barang dan jasa termasuk faktor-faktor produksi, diukur dengan satuan mata uang yang semakin naik secara umum dan terus-menerus. Menurut Sukirno (2006) berdasarkan sumber atau penyebabnya, maka inflasi dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu: 1. Inflasi desakan biaya, yaitu kenaikan harga-harga yang disebabkan oleh kenaikan dalam biaya produksi sebagai akibat kenaikan harga bahan mentah atau kenaikan upah. 44 2. Inflasi impor, yaitu kenaikan harga-harga yang disebabkan oleh kenaikan harga-harga barang impor yang digunakan sebagai bahan mentah produksi dalam negeri. 3. Inflasi tarikan permintaan, yaitu kenaikan harga-harga yang disebabkan oleh pertambahan permintaan yang besar yang tidak dapat dipenuhi oleh kemampuan memproduksi yang tersedia. Apabila berdasarkan sifatnya atau tingkat kelajuan harga-harga yang berlaku, inflasi dapat dibedakan menjadi inflasi merayap, inflasi sederhana (moderate) dan hiperinflasi. Inflasi merayap adalah proses kenaikan harga-harga yang lambat jalannya. Inflasi sederhana apabila tingkat inflasi mencapai 5 hingga 10 persen. Hal ini biasanya terjadi di negara-negara berkembang. Sedangkan yang dimaksud dengan hiperinflasi adalah proses kenaikan harga-harga yang sangat cepat, yang menyebabkan tingkat harga menjadi dua atau beberapa kali lipat dalam masa yang singkat. Berdasarkan asalnya inflasi dibagi menjadi dua yaitu (1) inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation) yang timbul karena terjadinya defisit dalam pembiayaan dan belanja negara yang terlihat pada anggaran belanja negara. Untuk mengatasinya biasanya pemerintah mencetak uang baru. Selain itu kenaikan harga tersebut juga bisa dikarenakan musim paceklik (gagal panen) serta bencana alam yang berkepanjangan dan (2) inflasi yang berasal dari luar negeri. Karena negara-negara yang menjadi mitra dagang suatu negara mengalami inflasi yang tinggi maka harga barang- barang dan ongkos produksi di negara tersebut juga tinggi atau relatif mahal. Sehingga bagi negara pengimpor terpaksa menjual barang tersebut di dalam negeri dengan harga yang mahal (Putong, 2003). 45 Inflasi umumnya memberikan dampak yang kurang menguntungkan dalam perekonomian. Akan tetapi, sebagaimana dalam salah satu prinsip ekonomi bahwa untuk jangka pendek terdapat trade off antara inflasi dan pengangguran. Hal ini menunjukkan bahwa inflasi dapat menurunkan tingkat pengangguran atau inflasi dapat dijadikan salah satu cara untuk menyeimbangkan perekonomian negara. Jadi sebenarnya inflasi mempunyai dampak positif dan negatif. Akibat negatif yang dapat ditimbulkan oleh inflasi adalah (1) menurunkan pendapatan riil orangorang yang berpendapatan tetap, (2) mengurangi nilai kekayaan yang berbentuk uang dan (3) memperburuk pembagian kekayaan khususnya kekayaan yang bersifat keuangan (Sukirno, 2006). Sedangkan dampak positif dari inflasi (Putong, 2003) adalah (1) bagi pengusaha barang-barang mewah (high end) yang mana barangnya lebih laku pada saat harganya semakin tinggi (masalah prestise), (2) masyarakat akan semakin selektif dalam mengonsumsi, produksi akan diusahakan seefisien mungkin dan konsumtifisme dapat ditekan, (3) inflasi yang berkepanjangan dapat menumbuhkan industri kecil dalam negeri menjadi semakin dipercaya dan tangguh dan (4) tingkat pengangguran cenderung akan menurun karena masyarakat akan tergerak untuk melakukan kegiatan produksi dengan cara membuka usaha. Menurut Putong (2003) angka inflasi dapat dihitung berdasarkan angka indeks yang dikumpulkan dari beberapa macam barang kebutuhan pokok atau utama bagi masyarakat yang diperjualbelikan di pasar dengan masing-masing tingkat harga. Angka indeks yang memperhitungkan semua barang yang dibeli oleh konsumen pada masing-masing harganya disebut sebagai indeks harga konsumen (IHK atau Consumer Price Index=CPI). Berdasarkan indeks harga 46 konsumen dapat dihitung berapa besarnya laju kenaikan harga-harga secara umum dalam periode tertentu. Biasanya setiap bulan, 3 bulan dan 1 tahun. Selain menggunakan IHK, tingkat inflasi juga dapat dihitung dengan menggunakan GNP atau PDB deflator, yaitu membandingkan GNP atau PDB yang diukur berdasarkan harga berlaku (GNP atau PDB nominal) terhadap GNP atau PDB harga konstan (GNP atau PDB riil). 3.4. Pengangguran Pengangguran adalah keadaan tanpa pekerjaan yang dihadapi oleh segolongan tenaga kerja, yang telah berusaha mencari pekerjaan, tetapi tidak memperolehnya. Individu yang menghadapi masalah tersebut dinamakan penganggur (Putong, 2003 dan Sukirno, 2006). Berdasarkan penyebabnya pengangguran dapat dibedakan menjadi (1) pengangguran struktural yaitu pengangguran yang diakibatkan perubahan struktur ekonomi, (2) pengangguran siklikal yaitu pengangguran yang disebabkan perkembangan ekonomi yang sangat lambat atau kemerosotan kegiatan ekonomi, (3) pengangguran normal/friksional yaitu pengangguran yang terwujud apabila ekonomi telah mencapai kesempatan kerja penuh dan (4) pengangguran teknologi yaitu pengangguran yang disebabkan perkembangan teknologi (Sukirno, 2006). Sedangkan apabila berdasarkan cirinya maka pengangguran dapat dibedakan menjadi (1) pengangguran terbuka. Pengangguran ini tercipta sebagai akibat pertambahan lowongan pekerjaan yang lebih rendah dari pertambahan tenaga kerja. Sebagai akibatnya dalam perekonomian semakin banyak jumlah tenaga kerja yang tidak dapat memperoleh pekerjaan, (2) pengangguran tersembunyi adalah keadaan pengangguran yang tidak secara nyata dapat dilihat 47 dan berlaku pada kegiatan yang jumlah pekerjaan melebihi dari yang di perlukan, (3) pengangguran musiman yaitu pengangguran yang tidak terjadi sepanjang waktu tetapi hanya terjadi ketika kegiatan ekonomi yang dijalankan sedang dalam keadaan tidak sibuk atau sedang tidak melakukan kegiatan. Pengangguran ini terutama terdapat di sektor pertanian dan perikanan dan (4) setengah pengangguran atau under employment: Tenaga kerja yang melakukan kerja-kerja atau jam kerja yang jauh lebih rendah dari masa kerja yang lazim dilakukan dlam sehari atau seminggu (Sukirno, 2006). Untuk mengetahui seberapa besar jumlah pengangguran di suatu negara atau wilayah dapat menggunakan ukuran tingkat pengangguran. Menurut Sukirno (2006) tingkat pengangguran adalah rasio di antara jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja pada suatu waktu tertentu dan dinyatakan dalam persen. Sedangkan menurut Dornbusch dan Fisher (1997), tingkat pengangguran adalah bagian dari angkatan kerja yang tidak memperoleh pekerjaan. 3.5. Hubungan Antar Variabel Makroekonomi Menurut Dornbusch dan Fisher (1997) terdapat hubungan yang sederhana antar variabel-variabel utama makroekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan inflasi. 3.5.1. Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran Pengangguran berhubungan dengan ketersediaan lapangan kerja, ketersediaan lapangan kerja berhubungan dengan investasi. Investasi didapat dari akumulasi tabungan, tabungan adalah sisa dari pendapatan yang tidak dikonsumsi. Semakin tinggi pendapatan nasional maka semakin besar harapan untuk pembukaan kapasitas produksi baru yang tentu saja akan menyerap tenaga kerja 48 baru. Dengan demikian, secara relatif semakin baik pertumbuhan ekonomi maka makin besar harapan untuk tidak menganggur, sebaliknya bila pertumbuhan ekonomi turun (apalagi negatif), maka tingkat pengangguran semakin besar. Hubungan antara laju pertumbuhan riil dan perubahan tingkat pengangguran dikenal sebagai hukum Okun. Hukum ini menyatakan ”apabila GNP tumbuh sebesar 2.5 persen di atas trend-nya, yang dicapai pada tahun tertentu, tingkat pengangguran akan turun sebesar 1 persen”. Apabila dicermati hukum Okun di atas, maka dapat ditarik kesimpulan baru bahwa apabila ekonomi tumbuh (GNP atau PDB) sebesar 1 persen di atas trend maka tingkat pengangguran akan turun sebesar ½.5 persen = 0.4 persen. Jadi bila pengangguran ingin diturunkan sebesar 2 persen maka pertumbuhan ekonomi haruslah dipacu hingga bisa tumbuh sebesar 5 persen di atas rata-rata. Berdasarkan hukum Okun, maka dapat dibuatkan suatu rumus mengenai tingkat pengangguran sehubungan dengan pertumbuhan ekonomi yaitu (Putong, 2003), UEn = UEn-1 - 0.4 (AG-ToG) ............................................................ (3.3) dimana: UEn UEn-1 AG ToG 0.4 = = = = = Tingkat pengangguran tahun sekarang Tingkat pengangguran tahun lalu Actual growth (pertumbuhan aktual) Trend of growth (tingkat pertumbuhan rata-rata) Konstanta pertumbuhan pengangguran apabila pertumbuhan ekonomi naik 1% di atas rata-rata Catatan: semua nilai dalam % 3.5.2. Trade Off Antara Inflasi dan Pengangguran Mankiw (2003) mengemukakan bahwa terdapat trade-off jangka pendek antara inflasi dan pengangguran. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan menggunakan kurva Philips seperti pada Gambar 8. Kurva Philips dapat 49 menggambarkan keterkaitan antara inflasi dan tingkat pengangguran, dimana semakin tinggi tingkat pengangguran, laju inflasi akan semakin rendah (Dornbusch dan Fisher, 1997). Kurva Philips dalam bentuk modernnya menyatakan bahwa tingkat inflasi tergantung pada tiga kekuatan yaitu (1) inflasi yang diharapkan, (2) deviasi pengangguran dari tingkat alamiah, yang disebut pengangguran siklis dan (3) guncangan penawaran (Mankiw, 2003). Tiga kekuatan tersebut dapat ditunjukkan pada persamaan berikut: π = πe - β (u - un ) + v ....................................................................... (3.4) dimana: π πe β (u - un ) v = Inflasi = Inflasi yang diharapkan = Parameter yang mengukur respon inflasi terhadap penganguran siklis = Pengangguran siklis = Guncangan penawaran Tanda minus sebelum simbol pengangguran siklis mengandung arti bahwa pengangguran yang tinggi cenderung mengurangi inflasi. Laju Inflasi Tingkat Pengangguran Gambar 8. Trade-off Jangka Pendek antara Inflasi dan Pengangguran Sumber: Dornbusch dan Fisher (1997) Pada persamaan 3.4 dapat diketahui bahwa kurva Philips jangka pendek juga tergantung pada tingkat inflasi yang diharapkan. Karena semua orang akan 50 menyesuaikan ekspektasi inflasi mereka sepanjang waktu maka trade-off antara inflasi dan pengangguran akan bertahan dalam jangka pendek. Pembuat kebijakan tersebut tidak bisa mempertahankan inflasi di atas inflasi yang diharapkan (dengan demikian pengangguran di bawah tingkat alamiah) selamanya. Secara berangsur-angsur, ekspektasi beradaptasi pada sebesar apapun tingkat inflasi yang dipilih pembuat kebijakan tersebut. Dalam jangka panjang, dikotomi klasik berlaku, pengangguran kembali ke tingkat alamiah dan tidak ada trade-off antara inflasi dan pengangguran. Inflasi, m Inflasi yang diharapkan tinggi Inflasi yang diharapkan rendah Pengangguran, u Gambar 9. Pergeseran dalam Trade-off Jangka Pendek Sumber: Mankiw (2003) 3.6. Otonomi Daerah Otonomi daerah menurut UU No. 22 Tahun 1999 adalah penyerahan wewenang oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berdasarkan penjelasan UU No. 25 Tahun 1999 disebutkan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, NKRI dibagi atas daerah-daerah provinsi, kabupaten dan kota. Dan tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan 51 pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dapat dipandang sebagai suatu strategi yang memiliki tujuan ganda, yaitu (1) merupakan suatu strategi untuk merespon tuntutan masyarakat daerah terhadap sharing of distribution income dan kemandirian sistem manajemen di daerah dan (2) memperkuat perekonomian daerah untuk memperkokoh perekonomian nasional dalam rangka menghadapi era perdagangan bebas. Selain itu, otonomi daerah yang diberlakukan sejak awal Januari tahun 2001 juga memberikan kesempatan yang luas bagi daerah untuk meningkatkan kinerja daerah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Prinsip otonomi bukanlah sistem sendiri, melainkan subsistem dari sistem pemerintahan nasional, dengan asas desentralisasi dilaksanakan secara bersama dengan dua asas lainnya dekonsentrasi dan perbantuan. Kebijakan nasional di seluruh wilayah negara adalah mengikat dan harus dipatuhi daerah-daerah. Ini berarti kebijakan pembangunan nasional dilakukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berhak menetapkan kebijakan daerah sebagai penjabaran dari kebijakan nasional. Dasar acuan dari pelaksanaan otonomi daerah adalah UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang selanjutnya direvisi menjadi UU No. 33 Tahun 2004. Pada intinya UU No. 32 Tahun 2004 mendesentralisasikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengambil keputusan mengenai perencanaan dan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan kepada pemerintah daerah, 52 sedangkan UU No. 33 tahun 2004 merubah secara mendasar keseimbangan keuangan pusat dan pemerintah daerah melalui pembagian hasil (revenue sharing) baik dari pendapatan pajak maupun non pajak. Berlakunya undang-undang tersebut akan memberikan tanggung jawab yang besar kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan daerah. Kebijakan lain yang dikeluarkan pemerintah adalah pemerintah daerah diberi kewenangan yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab dalam mengelola administrasi pemerintahan dan keuangan termasuk penanaman modal yang tertuang dalam UU No. 34 Tahun 2000. Undang-Undang tersebut lahir sebagai penyempurnaan dari UU No. 18 Tahun 1997, yang intinya memberikan peluang kepada kabupaten dan kota dalam menggali potensi sumber-sumber keuangannya dengan menetapkan jenis pajak dan retribusi daerah. Keleluasaan yang diberikan kepada pemerintah daerah untuk mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui pajak dan retribusi daerah bagi sejumlah daerah berhasil meningkatkan PAD-nya. Namun di sisi lain dapat menimbulkan pengaruh negatif yaitu akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy) apabila penerapan pajak dan retribusi dimaksud berlebihan dan tidak memperhitungkan daya dukung perekonomian lokal dan nasional. Contohnya (1) pengenaan pungutan atas lalu lintas barang dan penumpang antar provinsi atau antar kabupaten dan (2) munculnya peraturanperaturan daerah (Perda) yang disinyalir dapat menghambat perkembangan investasi misalnya yang terjadi di Jawa Timur. Menurut hasil studi yang dilakukan BPM Jawa Timur dan UNAIR (2004) dapat diketahui bahwa terdapat 9 Kabupaten/Kota yang mengeluarkan Perda-Perda yang dinilai memberatkan 53 investor, yaitu Kabupaten Gresik, Jombang, Blitar, Magetan, Probolinggo, Kediri, Bondowoso, Pasuruan dan Kota Surabaya.Total Perda yang dikeluarkan adalah 17 Perda seperti yang tercantum dalam Lampiran 5. Kabupaten yang mengeluarkan perda bermasalah terbanyak adalah Kabupaten Gresik. Salah satunya yaitu Perda No. 39 Tahun 2000 tentang Sumbangan Pihak Ketiga kepada Pemerintah Kabupaten Gresik. Permasalahannya adalah (1) tidak seharusnya sumbangan di-Perda-kan, mengingat sumbangan bersifat sukarela dan (2) makin diperkuatnya Perda tersebut dengan terbitnya surat Bupati Gresik Nomor 970/21/J/403.63/2003 tertanggal 23 Maret Tahun 2003 perihal Permintaan Sumbangan kepada para pengusaha di Kabupaten Gresik. Di sisi lain adanya otonomi daerah juga memberikan dampak positif khususnya terhadap peningkatan kualitas pelayanan dan kemudahan dalam hal perijinan. Dengan adanya otonomi daerah, perijinan penanaman modal dapat diselesaikan di daerah yang sebelumnya harus dilakukan di pusat, contohnya ijin untuk PMA. Pelimpahan wewenang ini diharapkan dapat mempermudah proses perijinan dengan biaya yang lebih murah sehingga iklim usaha di daerah menjadi lebih kondusif dan dapat menarik investor untuk berinvestasi di daerah tersebut. Beberapa kota/kabupaten yang mulai menerapkan sistem perijinan satu atap merupakan langkah awal untuk menuju proses perijinan yang cepat, transparan dan mudah. Tidak terkecuali provinsi Jawa Timur, pada tahun 2008 hampir 80 persen daerah di Jawa Timur telah menerapkan pelayanan satu atap dalam sehari atau one day service dalam pengurusan ijin berinvestasi (Dinas Informasi dan Komunikasi Jatim, 2007). Penciptaan iklim investasi yang kondusif juga didukung oleh regulasi pemerintah pusat yaitu dengan dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 54 2007 tentang Perpajakan dan Peraturan Mendagri No. 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelayanan Satu Pintu. Kemudahan-kemudahan tersebut diharapkan dapat menarik investor untuk berinvestasi di Jawa Timur, yang pada akhirnya dapat meningkatkan realisasi investasi baik PMDN maupun PMA. Adanya dampak positif dan negatif akibat pelaksanaan otonomi daerah juga didukung oleh Bahl (1998) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif dan negatif dari otonomi daerah atau desentralisasi. Kelebihan atau pengaruh positif desentralisasi adalah sebagai berikut (1) kesejahteraan akan lebih tinggi karena penyediaan jasa dan barang publik lebih cocok dengan permintaan penduduk, (2) pemerintah daerah lebih bertanggung jawab untuk kualitas barang dan jasa yang disediakan, (3) penduduk memiliki keinginan untuk membayar yang lebih tinggi atas barang dan jasa publik karena preferensi mereka lebih dihargai dan (4) meningkatkan pendapatan pemerintah karena pemerintah daerah mengenal objek pajak lebih baik sehingga pendapatan dari pajak lebih tinggi. Sedangkan kelemahan desentralisasi adalah (1) kontrol terhadap inflasi menjadi lebih sulit karena pengeluaran oleh pemerintah daerah lebih sulit dikendalikan, (2) usaha untuk mengoptimalkan sumber dana dalam pembangunan pertanian, industri dan infrastruktur publik akan lebih sulit dan (3) ketimpangan antar daerah menjadi lebih tinggi. Selanjutnya, Martinez (2001) menyatakan bahwa desentralisasi berhubungan dengan efisiensi, distribusi sumberdaya regional dan stabilisasi ekonomi makro. Pelaksanaan desentralisasi akan memperbaiki efisiensi ekonomi dan distribusi sumberdaya regional tapi mempersulit stabilitas ekonomi makro. 55 IV. METODOLOGI 4.1. Kerangka Pemikiran Berdasarkan studi literatur dan kerangka teoritis yang digunakan, Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur: Studi Komparasi Penanaman Modal Domestik (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) banyak melibatkan variabel-variabel yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari variabel endogen dan eksogen. Yang termasuk dalam variabel-variabel endogen dalam penelitian ini adalah variabel PDRB, PMDN, PMA, tenaga kerja, inflasi, dan pengangguran. Sedangkan variabel-variabel eksogennya adalah angkatan kerja, upah minimum provinsi, nilai tukar, suku bunga, produksi listrik yang dibangkitkan, panjang jalan dan dummy otonomi daerah. Keseluruhan variabelvariabel tersebut beserta keterkaitannya satu sama lain menjadi dasar perancangan model ekonometrika yang akan digunakan. Pada Gambar 10 menunjukkan hubungan ekonomi antara variabel yang terkait dengan kinerja perekonomian Jawa Timur. Adapun bentuk frame oval menunjukkan bahwa variabel-variabel tersebut termasuk ke dalam endogenous variables, sedangkan bentuk frame segi empat menggambarkan bahwa variabelvariabel tersebut adalah variabel eksogen (exogenous variables). Garis panah yang menuju ke suatu variabel menunjukkan bila variabel tersebut dipengaruhi variabel-variabel lainnya. Sedangkan garis panah yang meninggalkan variabel tersebut mengindikasikan bahwa variabel tersebut mempengaruhi variabel lainnya. Hubungan simultan terlihat ketika suatu variabel mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh variabel lainnya. 56 Otonomi Daerah Pengangguran Nilai Tukar Rp/US$ Upah Min Provinsi PMA Suku Bunga Inflasi PDRB Panjang Jalan PMDN Produksi Listrik Tenaga Kerja Angkatan Kerja Gambar 10. Kerangka Pemikiran Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian: Studi Komparasi Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing di Jawa Timur Keterangan : = Variabel endogen = Variabel eksogen 4.2. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan adalah data sekunder yang diambil dari lembaga pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur dan publikasi lain yang berkaitan dengan topik penelitian. Data tersebut merupakan data runtut waktu (time series) dari tahun 1980-2006. Jenis data dan sumber data dapat diketahui dengan jelas dalam Tabel 10. 57 Tabel 10. Jenis dan Sumber Data No. 1. 2. 3. 4. 5. 4.3. Uraian - PMA - PMDN - Suku bunga bank (IR) - Nilai tukar Rupiah/US$ (ER) - IHK Indonesia (IHKI) - IHK Amerika Serikat (IHKA) - Inflasi (INF) - IHK Jawa Timur (IHKJ) - PDRB - Produksi listrik yang dibangkitkan (LIS) - Panjang jalan (JLN) - Angkatan kerja (AK) - Jumlah pengangguran (UN) - Tenaga kerja (TK) - Upah Minimum Provinsi (UMP) Instansi Badan Penanaman Modal, Jawa Timur BPS IMF BPS, Jawa Timur Dinas Tenaga Kerja, Jawa Timur Spesifikasi Model Model yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian adalah model persamaan simultan yang bersifat dinamik dan dirumuskan dalam persamaan linear additive. Digunakan persamaan simultan karena dalam suatu variabel terdapat hubungan mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh variabel lainnya. Model dinamik adalah model yang diantara variabel eksogen dan atau variabel endogennya terdapat beda kala (lag). Distributed lag merupakan efek dari perubahan variabel bebas yang menyebar kepada periode sekarang dan beberapa periode mendatang. Penyebab terjadinya peristiwa lag antara lain (Koutsoyiannis, 1977): 1. Psikologis (fenomena kebiasaan). Kebiasaan mempunyai kelembaman yang tidak mudah segera dapat berubah. Misalnya pola konsumsi yang sudah mapan, biasanya akan sulit berubah meskipun sudah terjadi perubahan dalam pendapatan dan kekayaan. 58 2. Pengaruh teknologi. Contohnya jika harga relatif dari input berubah, maka untuk melakukan substitusi input memerlukan waktu agar tindakan tersebut “layak” secara ekonomis. 3. Antara penentuan keputusan dan pelaksanaannya memang membutuhkan waktu. Suatu perusahaan akan memerlukan waktu untuk mendeteksi terjadinya perubahan permintaan, pada awalnya harus meyakini bahwa perubahan tersebut bersifat permanen. Setelah itu akan membutuhkan waktu untuk merumuskan proyek investasi yang harus melalui proses evaluasi sebelum akhirnya proyek yang disetujui itu dilaksanakan. 4. Kekakuan institusional. Karena ada kontrak jangka panjang, sulit beralih kepada penggunaan barang dasar lain yang lebih baik atau murah. Berdasarkan tinjauan studi terdahulu (Bagian 2.2), kerangka teoritis pada Bab III, kerangka pemikiran (Bagian 4.1) dan hubungan antar variabel pada Gambar 4, maka formulasi dari persamaan-persamaan simultan tersebut adalah sebagai berikut: 4.3.1. Produk Domestik Regional Bruto PDRB dalam penelitian ini dipengaruhi oleh PMDN riil, perubahan PMA riil, perubahan tenaga kerja, dummy otda, tren waktu dan PDRB tahun sebelumnya. Model Solow menunjukkan bahwa pertumbuhan persediaan modal, pertumbuhan angkatan kerja dan kemajuan teknologi dapat berinteraksi dalam perekonomian dan mempengaruhi output barang dan jasa (PDRB) suatu wilayah. Oleh sebab itu dengan adanya interaksi pertumbuhan investasi PMDN, PMA dan tenaga kerja yang tinggi diharapkan dapat memperbesar output barang dan jasa 59 atau PDRB Jawa Timur. Kemajuan teknologi dalam penelitian ini direpresentasikan oleh tren waktu. Selain itu, dengan adanya otonomi daerah yang dilaksanakan pada tahun 2001 memungkinkan daerah untuk menambah penerimaannya dari dana bagi hasil dan DAU. Dengan bertambahnya penerimaan daerah berarti bertambah juga pengeluaran daerah baik untuk keperluan rutin maupun pembangunan. Pengeluaran pemerintah yang lebih besar akan meningkatkan permintaan agregat yang pada gilirannya akan meningkatkan transaksi ekonomi yang bermuara pada meningkatnya PDRB atau pendapatan masyarakat. Bentuk persamaan PDRB adalah sebagai berikut: PDRBt = a0 + a1PMDNRt + a2(PMARt-PMARt-1) + a3(TK t-TK t-1) + a4T + a5DD + a6PDRBt-1 + U1 …………………….......... (4.5) dimana: PDRBt PMDNRt PMARt PMARt-1 = = = = TKt TK t-1 PDRBt-1 = = = DD T U1 = = = Produk Domestik Regional Bruto tahun t (Rp milyar) Penanaman Modal Dalam Negeri Riil tahun t (Rp juta) Penanaman Modal Asing Riil tahun t (US$ ribu) Penanaman Modal Asing Riil tahun sebelumnya (US$ ribu) Jumlah tenaga kerja tahun t (Jiwa) Jumlah tenaga kerja tahun sebelumnya (Jiwa) Produk Domestik Regional Bruto tahun sebelumnya (Rp milyar) Dummy otda Tren waktu Peubah pengganggu Diharapkan bahwa a1, a2, a3, a4, a5 > 0 dan 0 < a6 <1 4.3.2. Tenaga Kerja Tenaga kerja (TKt) merupakan persamaan identitas, dimana tenaga kerja adalah angkatan kerja dikurangi pengangguran. Bentuk persamaan tenaga kerja adalah sebagai berikut: 60 TKt = AKt - UNt …………………..…….……………………......... (4.6) dimana: TKt AKt UNt = Tenaga kerja tahun t (Jiwa) = Angkatan kerja tahun t (Jiwa) = Pengangguran tahun t (Jiwa) 4.3.3. Penanaman Modal Dalam Negeri Persamaan PMDN dipengaruhi oleh PDRB, suku bunga riil, upah minimum provinsi riil, produksi listrik yang dibangkitkan, panjang jalan, tren waktu dan PMDN tahun sebelumnya. PDRB atau output yang tinggi akan memperbesar pendapatan masyarakat yang berarti memperbesar permintaan terhadap barang-barang dan jasa. Semakin besar permintaan barang dan jasa maka semakin besar keuntungan perusahaan. Hal ini akan mendorong perusahaan melakukan investasi yang lebih banyak (Sukirno, 2006). Selanjutnya, kenaikan tingkat bunga riil akan menurunkan jumlah investasi yang diminta. Karena tingkat bunga riil mengukur biaya pinjaman yang sebenarnya sehingga menentukan jumlah investasi. Upah merupakan salah satu komponen biaya dalam produksi. Apabila upah riil meningkat maka dapat mempengaruhi minat investor untuk berinvestasi sehingga dapat menurunkan jumlah investasi. Adanya ketersediaan infrastruktur yang memadai khususnya ketersediaan listrik dan panjang jalan yang memadai dapat menarik minat investor untuk berinvestasi sehingga dapat meningkatkan invesasi di suatu daerah. Dengan kata lain semakin tinggi ketersediaan listrik dan panjang jalan dapat meningkatkan 61 investasi. Oleh karena data ketersediaan listrik tidak tersedia maka data tersebut diproksi dengan data produksi listrik yang dibangkitkan. Selain itu, teknologi juga berperan penting dalam investasi. Semakin tinggi teknologi maka semakin tinggi investasi. Dalam penelitian ini teknologi direpresentasikan oleh tren waktu. Berdasarkan uraian di atas maka bentuk persamaan PMDN adalah: PMDNRt = b0 + b1(PDRBt-PDRBt-1) + b2(IRRt-IRRt-1) + b3UMPR1t + b4LISt-1 + b5(JLNt-JLNt-1) + b6T + b7PMDNRt-1 + U2 ................................................................................ (4.7) dimana: PMDNRt = PDRBt = PDRBt-1 = IRRt = IRRt-1 = UMPR1t = LISt-1 = JLNt = = JLNt-1 PMDNRt-1 = U2 = Penanaman Modal Dalam Negeri riil tahun t (Rp juta) Produk Domestik Regional Bruto tahun t (Rp milyar) Produk Domestik Regional Bruto tahun sebelumnya (Rp milyar) Suku bunga riil tahun t (Persen/tahun) Suku bunga riil tahun sebelumnya (Persen/tahun) Rasio Upah Minimum Provinsi riil per tenaga kerja dengan total upah tahun t (Rp/tahun) Produksi listrik yang dibangkitkan tahun sebelumnya (Kwh) Panjang jalan tahun t (Km2) Panjang jalan tahun seblumnya (Km2) Penanaman Modal Dalam Negeri riil tahun sebelumnya (Rp juta) Peubah pengganggu Diharapkan bahwa b1, b4, b5, b6 > 0; b2, b3 < 0 dan 0 < b7 < 1 4.3.4. Penanaman Modal Asing Sama halnya dengan PMDN, PMA juga dipengaruhi oleh PDRB, suku bunga bank riil, Upah Minimum Provinsi riil, produksi listrik yang dibangkitkan, panjang jalan, dummy otonomi daerah, tren waktu dan PMA tahun sebelumnya. Alasan penggunaan variabel dummy otonomi daerah karena untuk melihat perbedaan investasi sebelum dan sesudah otonomi daerah. Dummy otonomi 62 daerah diduga berpengaruh positif terhadap investasi PMA karena dengan adanya otonomi daerah memungkinkan para investor untuk mengajukan ijin investasi langsung ke daerah. Kemudahan ini diharapkan dapat meningkatkan jumlah investasi yang masuk ke Jawa Timur. Selain itu besarnya PMA juga dipengaruhi oleh nilai tukar riil. Semakin tinggi nilai tukar riil maka investasi makin menurun. Formula untuk memperoleh niai tukar riil adalah (Mankiw, 2003): Nilai tukar riil = Nilai tukar nominal x IHK Indonesia ....................... (4.8) IHK Amerika Serikat Bentuk persamaan dari PMA adalah sebagai berikut: PMARt = c0 + c1PDRBt-1 + c2IRRt + c3ERRt + c4UMPRt + c5LISt + c6JLNt + c7DD + c8T + c9PMARt-1 + U3 ........................ (4.9) dimana: PMARt IRRt ERRt UMPRt LISt JLNt PMARt-1 = = = = = = = U3 = Penanaman Modal Asing riil tahun t (US$ ribu) Suku Bunga riil tahun t (Persen/tahun) Nilai tukar riil tahun t (Rupiah/US$) Upah Minimum Provinsi riil tahun t (Rp/tahun) Produksi listrik yang dibangkitkan tahun t (Kwh) Panjang jalan tahun t (Km) Penanaman Modal Asing riil tahun sebelumnya (US$ ribu) Peubah pengganggu Diharapkan bahwa c1, c5, c6, c7, c8 > 0; c2, c3, c4 < 0 dan 0 < c9 < 1 4.3.5. Inflasi Besarnya inflasi dipengaruhi oleh tingkat upah riil dan PDRB. Tingkat upah merupakan salah satu komponen biaya produksi. Apabila upah riil meningkat berarti terjadi peningkatan biaya produksi bagi perusahaan. Peningkatan biaya produksi ini akan mendorong meningkatnya harga jual produk sehingga mendorong laju inflasi. Inflasi yang demikian disebut cost push inflation. 63 Sedangkan kenaikan pendapatan atau PDRB akan meningkatkan daya beli masyarakat sehingga masyarakat akan menambah permintaan akan barang dan jasa. Apabila kemampuan memproduksi barang terbatas atau telah mencapai kesempatan kerja penuh maka pertambahan permintaan tersebut akan menyebabkan kenaikan harga sehingga terjadilah inflasi. Inflasi yang diakibatkan oleh adanya kenaikan permintaan disebut inflasi tarikan permintaan. Selanjutnya inflasi juga berkaitan erat dengan pengangguran yang disebut dengan trade-off jangka pendek antara inflasi dan pengangguran. Dalam teori tersebut dijelaskan bahwa terdapat hubungan negatif antara pengangguran dan inflasi, apabila pengangguran tinggi maka inflasi rendah. Bentuk persamaan inflasi adalah sebagai berikut: INFt = d0 + d1PDRBt + d2 (UMPR t/UMPRt -1) + d3UN t + d4T + d5INFt -1 + U4 ................................................................. (4.10) dimana: INFt = Inflasi tahun t (Persen/tahun) UMPRt = Rasio Upah Minimum Provinsi riil tahun t (Rp/tahun) UMPRt-1 = Rasio Upah Minimum Provinsi riil tahun sebelumnya (Rp/tahun) UNt = Pengangguran tahun t (Jiwa) INFt-1 = Inflasi tahun sebelumnya (Persen/tahun) = Peubah pengganggu U4 Diharapkan bahwa d1, d2, > 0; d3, d4 < 0 dan 0 < d5 <1 4.3.6. Pengangguran Pengangguran berhubungan dengan ketersediaan kesempatan kerja dan kesempatan kerja berhubungan dengan investasi. Semakin tinggi investasi terutama investasi PMDN dan PMA yang bersifat padat karya maka diharapkan semakin banyak menyerap tenaga kerja baru. Semakin banyak tenaga kerja yang terserap maka jumlah pengangguran dapat menurun. 64 Pengangguran juga berkaitan erat dengan tingkat upah riil. Apabila upah riil meningkat akan menyebabkan penurunan permintaan tenaga kerja sedangkan penawaran tenaga kerja meningkat, akibatnya terjadi peningkatan jumlah pengangguran terpaksa (involuntary unemployment). Sedangkan apabila tingkat upah turun maka permintaan tenaga kerja meningkat dan penawaran tenaga kerja rendah, sehingga tenaga kerja bersedia menganggur sampai pada tingkat upah yang diinginkan (voluntary unemployment). Hubungan ini memerlukan suatu kondisi pasar tertentu yang belum terjadi di Indonesia, karena jumlah penawaran tenaga kerja di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan kesempatan kerja yang ada (Safrida, 1999). Sehingga kenyataan yang terjadi adalah pada tingkat upah berapapun tenaga kerja di Indonesia khususnya Jawa Timur bersedia untuk bekerja. Bentuk dari persamaan pengangguran adalah sebagai berikut: UNt = e0 + e1PMDNRt + e2(PMARt-PMARt-1) + e3UMPRt-1 + e4T + e5UNt-1 + U5 ................................................................... (4.11) dimana: = Pengangguran tahun t (Jiwa) UNt PMARt = Penanaman Modal Asing riil tahun t (US$ ribu ) PMARt-1 = Penanaman Modal Asing riil tahun sebelumnya (US$ ribu) UMPR t-1 = Upah Minimum Provinsi riil tahun sebelumnya (Rp/tahun) UNt-1 = Pengangguran tahun sebelumnya (Jiwa) U5 = Peubah pengganggu Diharapkan bahwa e1, e2 < 0; e3, e4 > 0 dan 0 < e5 < 1 65 4.4. Identifikasi Model Untuk memecahkan model yang bersifat simultan, tahap pertama adalah melakukan identifikasi model (Koutsoyiannis, 1977). Untuk dapat teridentifikasi, kondisi berikut harus di penuhi (order condition): K-M ≥ G-1 ............................................................................................. (4.12) dimana: K M G = Total variabel dalam model (variabel endogen dan predeterminan) = Jumlah variabel endogen dan eksogen yang dimasukkan dalam satu persamaan tertentu dalam model = Jumlah variabel endogen dalam model Bila K-M = G-1, maka persamaan tersebut dikatakan teridentifikasi secara tepat (exactly identified). Jika K-M < G-1, maka persamaan tersebut tidak teridentifikasi (under identified), sedangkan jika K-M > G-1, maka persamaan tersebut teridentifikasi berlebih (over identified). Model yang dirumuskan dalam penelitian ini terdiri 6 persamaan, yang terdiri dari 5 persamaan struktural dan 1 persamaan identitas. Jumlah variabel endogen (G) adalah 6 dan 22 variabel predeterminan, yang terdiri dari 15 variabel eksogen dan 7 variabel bedakala (lagged endogenous variables). Dengan demikian jumlah seluruh variabel yang tercakup dalam model (K) adalah 28 variabel. Jumlah variabel yang paling banyak dalam persamaan (M) adalah 10 variabel. Berdasarkan rumus identifikasi model dengan kriteria order condition, maka setiap persamaan model adalah over identified. 4. 5. Pendugaan Parameter Model Berdasarkan identifikasi model dapat diketahui bahwa masing-masing persamaan dalam model adalah over identified. Sehingga untuk menduga 66 parameternya dapat dilakukan dengan berbagai metode di antaranya 2SLS (Two Stage Least Squares), 3SLS (Three Stage Least Squares) dan FIML (Full Information Maximum Likehood). Metode yang dipilih disesuaikan dengan tujuan penelitian yaitu untuk memperoleh koefisien persamaan struktural secara simultan. Metode 2SLS dipilih untuk menduga model dalam penelitian ini karena penerapan metode ini menghasilkan taksiran yang konsisten, lebih sederhana dan lebih mudah, sedangkan metode 3SLS dan FIML lebih rumit, membutuhkan informasi yang lebih banyak, dan lebih sensitif terhadap kesalahan pengukuran maupun kesalahan spesifikasi model (Gujarati, 1999). Pengolahan data untuk menduga model dilakukan dengen menggunakan program software komputer Statistical Analysis System atau SAS versi 6.12. Metode 2SLS dilakukan dengan dua tahap yaitu, pertama menduga setiap persamaan dengan semua variabel eksogen yang ada dalam model. Sehingga diperoleh nilai dugaan setiap variabel endogen. Nilai dugaan variabel endogen dari tahap pertama tersebut selanjutnya dimasukkan sebagai variabel penjelas (menggantikan nilai aktual variabel tersebut) dalam persamaan-persamaan yang relevan. 4.6. Pengujian Hipotesis Model yang dirumuskan dalam penelitian ini mengandung variabel endogen bedakala (lagged endogenous variables), maka pengujian korelasi serial dengan menggunakan Durbin Watson Statistic menjadi tidak valid untuk digunakan. Oleh karena itu untuk menguji apakah model mengalami korelasi serial atau tidak, digunakan Durbin-h Statistic (Gujarati,1999) sebagai berikut: 67 h = [ 1- 1 d] 2 n 1 – n [(var α2) ] .................................................... (4.13) dimana: h d n Var α2 = = = = Nilai Durbin-h satistik Nilai statistik Durbin-Watson Jumlah pengamatan Varians dari koefisien lag endogen variabel Apabila h yang dihitung lebih kecil dari nilai kritis h dari tabel distribusi normal, maka dalam persamaan tidak mengalami serial korelasi dalam data. Selanjutnya, untuk mengetahui dan menguji apakah variabel penjelas atau eksogen secara bersama-sama berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka pada setiap persamaan digunakan uji statistik F, dan untuk menguji apakah masing-masing variabel penjelas berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka pada setiap persamaan digunakan uji statistik t. 4.7. Validasi Model Validasi model dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis sejauhmana model tersebut dapat mewakili dunia nyata. Hal ini berguna untuk mengetahui apakah model cukup valid untuk membuat suatu simulasi alternatif kebijakan atau non kebijakan dan peramalan. Kriteria statistik untuk validasi nilai pendugaan model ekonometrika dalam penelitian ini digunakan ( Pindyck and Rubinfield, 1991) Root Means Squares Error (RMSE), Root Means Squares Percent Error (RMSPE) dan Theil’s Inequality Coefficient (U). Kriteria-kriteria dirumuskan sebagai berikut: RMSE = 1 n ( n∑ Yt − Yt t =1 s ) a 2 ................................................................ (4.14) 68 1 RMSPE = ⎛Y s −Y a n∑ ⎜⎜ t a t Yt t =1 ⎝ n ⎞ ⎟⎟ ⎠ 2 ....................................................... (4.15) 1 n ∑ Yts − Yta ) 1 1 n ( 2 t =1 U= n ( ) n∑ Y t =1 s 2 t + n ................................................. (4.16) ( ) n ∑ Yta 2 t =1 dimana: Yts Yta N = = = Nilai hasil simulasi dasar dari variabel observasi Nilai aktual variabel observasi Jumlah periode observasi Statistik RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai peubah endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya dalam ukuran relatif (persen) atau seberapa dekat nilai dugaan itu mengikuti perkembangan nilai aktualnya. Sedangkan nilai statistik U bermanfaat untuk mengetahui kemampuan model untuk analisis simulasi. Nilai koefisien Theil (U) berkisar 1 dan 0. Jika U=0 maka pendugaan model sempurna, jika U=1 maka pendugaan model naif. Untuk melihat keeratan arah (slope) antara aktual dengan hasil yang disimulasi dilihat dari nilai koefisien determinasinya (R2). Pada dasarnya makin kecil nilai RMSPE dan U-Theil’s serta makin besar nilai R2, maka pendugaan model semakin baik. 4.8. Simulasi Model Simulasi dilakukan untuk mengetahui dampak investasi terhadap variabel- variabel endogen seperti PDRB, inflasi dan pengangguran. 69 Setelah model divalidasi dan memenuhi kriteria secara statistik, maka model tersebut dapat dijadikan model dasar simulasi. Analisis simulasi diterapkan untuk periode tahun 1993-2006. Karena mencakup periode yang sudah lampau maka simulasi ini dinamakan simulasi historis. Namun demikian, hal tersebut masih cukup relevan untuk mensimulasi dampak investasi terhadap PDRB, inflasi, pengangguran dan kemiskinan. Kebijakan yang dilakukan untuk melakukan simulasi adalah kebijakan upah minimum Provinsi, suku bunga dan kenaikan investasi baik PDMN maupun PMA. Beberapa skenario kebijakan yang disimulasi adalah: 1. Peningkatan investasi PMDN sebesar 15 persen 2. Peningkatan investasi PMA sebesar 15 persen 3. Peningkatan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 18 persen 4. Peningkatan suku bunga sebesar 1.5 persen 5. Kombinasi (1) dan (2) 6. Kombinasi (1) dan (3) 7. Kombinasi (1) dan (4) 8. Kombinasi (2) dan (3) 9. Kombinasi (2) dan (4) 10. Kombinasi (3) dan (4) Pemilihan kenaikan investasi PMDN dan PMA sebesar 15 persen didasarkan pada target pertumbuhan investasi nasional sebesar 15.5 persen untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 6.8 persen pada tahun 2008 yang disampaikan 70 oleh Menko Perekonomian Boediono (Kompas, 2007) 1 . Sedangkan pemilihan kenaikan UMP sebesar 18 persen dan suku bunga 1.5 persen didasarkan pada tren atau pertumbuhan UMP dan suku bunga sebesar 18.09 persen dan 1.52 persen. 4.9. Definisi Operasional 1. Perubahan kapital diproksi dari data realisasi investasi PMDN dan PMA baik realisasi proyek awal maupun perluasan dari tahun 1980-2006. 2. Data realisasi investasi adalah data kegiatan investasi yang direalisasikan oleh perusahaan yang telah memperoleh Izin Usaha Tetap dalam bentuk kegiatan nyata yang sudah menghasilkan produksi barang atau jasa. 3. PDRB adalah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di Provinsi Jawa Timur selama satu tahun atas dasar harga konstan (tahun 2000=100). 4. Penduduk Usia Kerja (PUK) adalah penduduk berusia 15 tahun ke atas. Penduduk ini dapat dikelompokkan kedalam 2 golongan, yaitu mereka yang termasuk dalam Angkatan Kerja dan mereka yang Bukan Angkatan Kerja. 5. Angkatan Kerja (AK) adalah PUK yang selama seminggu sebelum pencacahan mempunyai pekerjaan baik yang bekerja atau sementara tidak bekerja, termasuk yang tidak mempunyai pekerjaan dan mencari pekerjaan. 6. Tenaga kerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan paling sedikit selama 1 jam dalam seminggu lalu. Bekerja selama satu jam tersebut harus dilakukan berturut-turut dan tidak terputus. 1 Kompas. 2007. Pertumbuhan Belum Mendasar: Hambatan Pengembangan Sektor Riil Belum Tertangani. Rabu, 16 Mei 2007, Halaman 1 dan 15. Kompas, Jakarta. 71 7. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) digunakan untuk melihat perbandingan jumlah angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja (umur 15 tahun ke atas). Dengan melihat TPAK dapat ditunjukkan perbandingan presentase penduduk yang telah dan siap untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi. Jumlah Angkatan Kerja TPAK = Jumlah Penduduk Usia Kerja (15+) x 100 ..................... (4.17) 8. Tingkat Kesempatan Kerja (TKK) adalah perbandingan antara pendudk usia kerja yang bekerja, baik sedang bekerja atau sementara sedang tidak bekerja dengan total penduduk usia kerja yang termasuk dalam angkatan kerja. Jumlah Tenaga Kerja TKK = x 100 ................................ (4.18) Jumlah Angkatan Kerja 9. Tingkat Pengangguran terbuka (TPT) adalah perbandingan antara penduduk usia kerja yang tidak mempunyai pekerjaan dan sedang mencari pekerjaan dengan total penduduk usia kerja yang termasuk ke dalam angkatan kerja. Jumlah Pencari Kerja TPT = x 100 ............................... (4.19) Jumlah Angkatan Kerja V. ANALISIS EKONOMETRIKA DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA TIMUR 5.1. Analisis Umum Pendugaan Model Dalam proses spesifikasi, model yang digunakan dalam penelitian ini telah mengalami beberapa modifikasi karena adanya ketidakkonsistenan hasil dugaan dengan teori. Hasil pendugaan parameter model memberikan nilai koefisian determinasi (R2) pada masing-masing persamaan cukup besar yaitu berkisar antara 0.64 hingga 0.98. Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel penjelas di dalam model dapat menjelaskan variasi setiap variabel endogen secara baik. Pada setiap persamaan, variabel penjelas secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel endogen yang ditunjukkan oleh nilai F berkisar antara 4.619 sampai dengan 234.735 yang lebih besar dari F tabel yaitu antara 3.68 dan 4.045 dengan α=0.01. Selain itu, variabel endogen di dalam persamaan juga dipengaruhi secara nyata oleh sebagian besar variabel-variabel penjelas secara individu pada taraf nyata (α) 0.05, 0.10, 0.15 dan 0.20. Tanda parameter dugaan yang sesuai dengan harapan dan berdasarkan teori maupun logika ekonomi menjadi orientasi utama dalam penelitian ini. Harapan tersebut terpenuhi pada semua parameter hasil dugaan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa model cukup baik dan dapat digunakan untuk melakukan analisis Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian di Jawa Timur. 5.2. Hasil Pendugaan Model Berikut ini disajikan hasil pendugaan model persamaan simultan dengan nilai R2, statistik DW, nilai p dari statitik uji-t dan elastisitas jangka pendek maupun jangka panjang. 73 5.2.1. Produk Domestik Regional Bruto Hasil pendugaan parameter persamaan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produk Domestik Regional Bruto Variabel Parameter Dugaan - Intercept -22 714 - Penanaman Modal Dalam Negeri Riil (PMDNR) 0.002 - Perubahan Penanaman Modal Asing Riil (PMAR1) 0.013 - Perubahan Tenaga Kerja (TK1) 32 247 - Dummy Otda 19 371 - Tren Waktu (T) 2 040.919 - Produk Domestik Regional Bruto Tahun Sebelumnya 0.642 (LPDRB) R2 = 0.9867; Fhitung = 234.735; Dw = 1.736 t-hitung Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang 1.553** 0.049 0.137 1.606** - - 0.132 2.268**** 1.603** - - 3.677**** - - Keterangan: **** ** : : nyata pada taraf α=5 persen nyata pada taraf α=15 persen Hasil pendugaan parameter persamaan PDRB menunjukkan bahwa 98.67 persen variasi variabel-variabel PMDN riil, perubahan PMA riil, perubahan tenaga kerja, dummy Otda, tren waktu, dan PDRB tahun sebelumnya dapat menjelaskan dengan baik variasi variabel PDRB Jawa Timur. Sisanya sebesar 1.33 persen dijelaskan oleh variabel lainnya di luar model. Variabel endogen di dalam persamaan PDRB dipengaruhi secara nyata oleh variabel-variabel penjelas secara bersama-sama pada taraf α=0.01 yang ditunjukkan oleh nilai statistik F= 234.74 yang lebih besar dari F tabel yaitu 3.87. Berdasarkan hasil pendugaan parameter model dapat diketahui nilai dugaan parameter PMDNR bernilai positif yaitu sebesar 0.003 dan berpengaruh nyata pada taraf α=15 persen. Hal ini berarti dengan adanya kenaikan PMDN sebesar 74 Rp 1 juta, akan menyebabkan kenaikan PDRB sebesar 0.003 milyar ceteris paribus. Jadi semakin tinggi PMDNR maka semakin tinggi pula PDRB Jawa Timur. Selain PMDNR, Perubahan PMA riil juga berpengaruh positif dan nyata terhadap PDRB dengan nilai koefisien sebesar 0.013. Hasil temuan tersebut serupa dengan yang diteliti Machmud (2002), Susanti (2003) dan Panjaitan (2004) yang menyatakan bahwa investasi berpengaruh positif terhadap PDRB. Walaupun di dalam penelitian Machmud dan Panjaitan tidak dilakukan disagregasi investasi. Dampak positif investasi terhadap PDRB tersebut erat kaitannya dengan peran investasi dalam meningkatkan laju pertumbuhan dan tingkat pendapatan, memperluas kesempatan kerja dan mendorong kemajuan teknologi. Hal serupa yang dinyatakan BKPM (2005) bahwa peran PMA secara makro adalah meningkatkan kegiatan investasi nasional dan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, variabel dummy Otda juga berpengaruh positif terhadap PDRB. Hal ini disebabkan dengan adanya otonomi daerah memungkinkan daerah untuk menambah penerimaannya dari dana bagi hasil dan DAU. Dengan bertambahnya penerimaan daerah berarti bertambah juga pengeluaran daerah baik untuk keperluan rutin maupun pembangunan. Pengeluaran pemerintah yang lebih besar akan meningkatkan permintaan agregat yang pada gilirannya akan meningkatkan transaksi ekonomi yang bermuara pada meningkatnya PDRB atau pendapatan masyarakat Variabel tren waktu sebagai representasi teknologi juga mempunyai hubungan yang positif dengan PDRB dan berpengaruh secara nyata pada taraf α=15 persen. Sehingga seiring dengan berjalannya waktu dan teknologi yang 75 berkembang diharapkan dapat meningkatkan output perekonomian yang berarti pula dapat meningkatkan PDRB Jawa Timur. Atau dengan kata lain peningkatan PDRB ini diakibatkan peningkatan dari sisi penawaran agregat (supply side) Variabel lain yang berpengaruh terhadap PDRB adalah variabel bedakala PDRB. Hal ini menunjukkan bahwa PDRB memerlukan tenggang waktu yang cukup lama untuk kembali pada keseimbanganya akibat perubahan variabel ekonomi dan non ekonomi. Untuk variabel perubahan tenaga kerja, walaupun berdampak positif terhadap PDRB dan tandanya sesuai dengan harapan, tetapi berdasarkan hasil uji t diketahui bahwa variabel perubahan tenaga kerja memperlihatkan respon yang tidak nyata. 5.2.2. Penanaman Modal Dalam Negeri Dari hasil pendugaan persamaan PMDN yang tercantum dalam Tabel 12, diketahui bahwa sebesar 64.24 persen variasi variabel-variabel perubahan PDRB, perubahan suku bunga riil, perubahan upah minimum provinsi riil, produksi listrik yang dibangkitkan tahun sebelumnya, pajang jalan, tren waktu, dan PMDN riil tahun sebelumnya dapat menjelaskan dengan baik variasi variabel PMDN. Sisanya sebesar 35.76 persen dijelaskan oleh variabel lainnya di luar model ini. Variabel endogen dalam persamaan PMDN dipengaruhi secara nyata oleh variabel-variabel penjelas secara bersama-sama pada taraf α=0.01 yang ditunjukkan oleh nilai statistik F sebesar 4.619 yang lebih besar dari F tabel yaitu sebesar 3.77. Berdasarkan hasil pendugaan parameter, maka variabel perubahan PDRB mempunyai hubungan yang positif (62.436) terhadap PMDN dan nyata pada taraf 76 α=10 persen. Ini berarti bahwa kenaikan perubahan PDRB sebesar Rp 1 milyar akan mengakibatkan kenaikan PMDN sebesar Rp 62.436 juta ceteris paribus. Hasil tersebut sesuai dengan temuan Hidayatullah (2003) yang menyatakan bahwa Investasi domestik di Kawasan Timur Indonesia dipengaruhi salah satunya oleh PDRB. Tabel 12. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penanaman Modal Dalam Negeri Variabel - Intercept - Perubahan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB1) - Perubahan Suku Bunga Riil (IRR1) - Rasio Upah Minimum Provinsi Riil per Tenaga kerja dengan Total Upah (UMPR1) - Produksi Listrik yang Dibangkitkan Tahun Sebelumnya (LLIS) - Perubahan Panjang Jalan (JLN1) - Tren Waktu (T) - Penanaman Modal Dalam Negeri Riil Tahun Sebelumnya (LPMDNR) R2 = 0.642; Fhitung = 4.619; Dw = 1.863 Parameter Dugaan 10 973 977 62.436 -21 092 -1.31E+14 0.215 4 912.249 -198 945 0.477 t-hitung 1.398 1.739*** -0.379 -1.357* 1.104 1.309* -1.107 2.694**** Keterangan : **** : nyata pada taraf α=5 persen *** : nyata pada taraf α=10 persen * : nyata pada taraf α=20 persen Upah merupakan salah satu komponen biaya produksi. Oleh sebab itu adanya kenaikan upah dapat menurunkan investasi. Hal ini dapat ditunjukkan dengan hasil pendugaan variabel rasio upah minimum propinsi riil per tenaga kerja dengan total upah mempunyai hubungan yang negatif dan nyata pada taraf α=15 persen. Hasil temuan penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Panjaitan (2004) yang menyatakan bahwa investasi di daerah dipengaruhi secara negatif dan nyata oleh tingkat upah. Selain itu, hasil ini juga sejalan dengan apa 77 yang dinyatakan Salvatore (1997) bahwa para pengusaha Jepang pada akhir-akhir ini banyak merelokasikan atau memindahkan pusat-pusat produksi mobilnya di berbagai negara, khususnya di Kawasan Asia Timur dan Tenggara. Penyebabnya adalah tingginya biaya produksi khususnya tenaga kerja di Jepang sehingga menjadikan kegiatan produksi domestik di sektor tersebut relatif mahal dan kurang efisien. Salah satu komponen daya dukung investasi adalah ketersediaan infrastruktur dalam hal ini panjang jalan. Tersedianya jalan yang memadai dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi investor sehingga dapat meningkatkan minat investor untuk berinvestasi. Dengan adanya jalan akan memudahkan transportasi dan distribusi bahan baku dan output yang dihasilkan . Variabel panjang jalan dalam penelitian ini mempunyai mempunyai hubungan yang positif terhadap PMDN dengan nilai dugaan sebesar 4 912.249 dan nyata pada taraf α=20 persen. Oleh karena itu, apabila panjang jalan mengalami kenaikan sebesar 1 Km2 maka PMDN meningkat sebesar Rp 4 912.249 juta ceteris paribus. Temuan tersebut sesuai dengan hasil studi Masitoh (2007) yang menyatakan bahwa infrastruktur berpengaruh positif terhadap PMDN di Indonesia. Selain itu, perkembangan PMDN Jawa Timur juga dipengaruhi oleh variabel bedalaka atau besarnya PMDN tahun sebelumnya dengan taraf nyata α=20 persen. Ini berarti terdapat tenggang waktu yang relatif lambat bagi PMDN Jawa Timur untuk menyesuaikan diri kembali pada tingkat keseimbangannya. Dalam hal ini PMDN relatif tidak stabil. 78 Dari hasil uji t diketahui bahwa variabel suku bunga riil, produksi listrik yang dibangkitkan dan tren waktu memperlihatkan respon yang tidak nyata, walaupun tanda masing-masing variabel sesuai dengan harapan. 5.2.3. Penanaman Modal Asing Hasil pendugaan parameter persamaan Penanaman Modal Asing (PMA) seperti yang tercantum dalam Tabel 13, menunjukkan bahwa sebesar 79.21 persen variasi variabel-variabel PDRB tahun sebelumnya, suku bunga riil, nilai tukar riil, upah minimum provinsi riil, produksi listrik yang dibangkitkan, panjang jalan, dummy Otda, tren waktu, dan PMA riil tahun sebelumnya dapat menjelaskan dengan baik variasi variabel PMA. Sisanya sebesar 20.79 persen dijelaskan oleh variabel lainnya di luar model. Tabel 13. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penanaman Modal Asing Variabel - Intercept - Produk Domestik Regional Bruto Tahun Sebelumnya (LPDRB) - Suku Bunga Riil (IRR) - Nilai Tukar Riil (ERR) - Upah Minimum Provinsi Riil (UMPR) - Produksi Listrik yang Dibangkitkan (LIS) - Panjang Jalan (JLN) - Dummy Otda - Tren Waktu (T) - Penanaman Modal Asing Riil Tahun Sebelumnya (LPMAR) 2 R = 0.7921 ; Fhitung = 6.774; Dw = 2.025 Keterangan : **** : nyata pada taraf α=5 persen *** : nyata pada taraf α=10 persen * : nyata pada taraf α=20 persen Parameter Dugaan -3 277 834 0.007 -23 869 -122.073 t-hitung Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang -0.999 0.001 -2.055**** -1.938*** -0.157 -0.599 0.023 1084.014 732 797 35 863 0.309 0.686 1.064 1.355* 0.543 1.092 -1.539 -1.913 -2.226 -2.768 - - 79 Variabel endogen di dalam persamaan PMA dipengaruhi secara nyata oleh variabel penjelas secara bersama-sama pada taraf α=0.01 yang ditunjukkan oleh nilai statistik F=6.774 yang lebih besar dari F tabel yaitu 3.68. Dari hasil pendugaan parameter, PMA dipengaruhi secara nyata oleh suku bunga riil , nilai tukar riil, dan dummy Otda. Suku bunga riil mempunyai hubungan yang negatif dan nyata pada taraf α=5 persen dalam mengurangi PMA dengan nilai dugaan sebesar -23 869. Artinya peningkatan suku bunga riil sebesar 1 persen, maka akan menurunkan PMA sebesar US$ 23 869 ribu ceteris paribus, dengan respon yang elastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang yaitu sebesar -1.539 dan -2.226. Nilai elastisitas yang elastis tersebut menunjukkan bahwa perubahan suku bunga membawa perubahan yang cukup besar terhadap PMA. Karena keuntungan yang diharapkan dari investasi akan menurun dengan cepat apabila terjadi kenaikan suku bunga. Hal ini sesuai dengan teori investasi yang menyatakan bawa suku bunga riil mempunyai hubungan yang terbalik dengan investasi. Selain itu temuan ini serupa dengan hasil penelitian Hidayatulah (2003) yang menyatakan bahwa investasi asing di Kawasan Timur Indonesia dipengaruhi oleh tingkat suku bunga Indonesia. Sama halnya dengan suku bunga riil, nilai tukar riil juga mempunyai hubungan yang negatif dengan PMA, dengan nilai parameter dugaan sebesar -122.073. Hal ini berarti bahwa peningkatan nilai tukar riil sebesar Rp 1 Rp/US$, maka akan menurunkan PMA sebesar US$ 122.073 ribu ceteris paribus, dengan respon yang elastis baik dalam jangka pendek (-1.913) maupun jangka panjang 80 (-2.768). Jadi semakin tinggi nilai tukar maka PMA akan semakin menurun. Temuan ini serupa dengan hasil penelitian Hidayatullah (2003) yang menyatakan bahwa investasi asing (PMA) di Kawasan Timur Indonesia dipengaruhi salah satunya oleh nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS. Faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap PMA adalah Dummy Otda. Dummy Otda dalam penelitian ini dianggap representasi efisiensi atau kemudalan dalam pelayanan perijinan investasi. Otonomi daerah dapat mendorong kepercayaan investor akan adanya peningkatan kualitas pelayanan dan kemudahan dalam pengurusan perijinan investasi contohnya dengan pelaksanaan pelayanan perijinan satu atap dalam satu hari (one day service) oleh kabupaten/kota di Jawa Timur. Kemudahan tersebut diharapkan dapat mendorong investor untuk berinvestasi. Hal ini dapat ditunjukkan dari hasil dugaan persamaan PMA bahwa otonomi daerah mempunyai hubungan yang positif dengan PMA dengan nilai dugaan sebesar 732 797. Yang artinya dengan adanya otonomi daerah dapat meningkatkan PMA sebesar US$ 732 797 ribu, ceteris paribus. Temuan ini juga sejalan dengan hasil penelitian Ferdiyan (2006) yang menyebutkan bahwa otonomi daerah berpengaruh positif terhadap PMDN maupun PMA di Jawa Barat. Berdasarkan hasil uji t dapat diketahui bahwa variabel PDRB tahun sebelumnya, upah minimum provinsi riil, produksi listrik yang dibangkitkan, panjang jalan, tren waktu dan PMA riil tahun sebelumnya menunjukkan respon yang tidak nyata, meskipun tanda dari masing-masing variabel tersebut merupakan tanda yang diharapkan. Variabel bedakala yang tidak berpengaruh nyata terhadap PMA menunjukkan bahwa terdapat tenggang waktu yang relatif cepat bagi PMA untuk kembali pada tingkat keseimbangannya. 81 Selain itu variabel produksi listrik yang dibangkitkan dan panjang jalan yang tidak berpengaruh terhadap PMA disebabkan bahwa sebagian besar lokasi PMA dekat dengan pelabuhan baik laut dan udara dan dekat dengan pusat kota yaitu Surabaya. Hal ini didukung dari hasil studi BPM Jatim dan UNAIR (2004) bahwa penyebaran proyek-proyek PMA tidak merata dan sebagian besar berada di Surabaya, Sidoarjo, Gresik dan Pasuruan. Hal ini sedikit berbeda dengan PMDN yang penyebarannya relatif lebih merata, walaupun senagian besar tetap berada di Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan dan Gresik. Wilayah yang tidak dimasuki PMDN adalah wilayah Trenggalek, Ngawi dan Pamekasan sedangkan yang tidak dimasuki PMA adalah Bojonegoro, Tulungagung, Nganjuk, Trenggalek, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan, Pamekasan dan Sampang. 5.2.4. Inflasi Hasil pendugaan parameter persamaan inflasi, seperti yang tercantum dalam Tabel 14, memperlihatkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 66.54 persen. Hal ini menunjukkan bahwa variasi variabel-variabel PDRB, upah minimum provinsi riil, pengangguran tahun sebelumnya, tren waktu dan inflasi tahun sebelumnya dapat menjelaskan sebesar 66.54 persen keragaman variabel inflasi di Jawa Timur. Sisanya sebesar 33.46 persen dijelaskan oleh variabel lainnya di luar model. Inflasi dipengaruhi oleh variabel penjelas secara bersama-sama dan nyata pada taraf α=0.01 yang ditunjukkan oleh nilai statistik F hitung=7.953 yang lebih besar dari F tabel yaitu 4.045. Inflasi secara nyata dipengaruhi oleh PDRB, tren waktu, dan inflasi tahun sebelumnya. Nilai masing-masing dugaan parameternya adalah 0.0001, -1.012, 82 dan 0.898. Sehingga apabila terjadi kenaikan PDRB sebesar 1 miliar rupiah akan meningkatkan inflasi sebesar 0.0001 persen ceteris paribus. Hal tersebut bisa terjadi karena dengan meningkatnya PDRB menyebabkan meningkatnya daya beli masyakat. Peningkatan daya beli mendorong peningkatan konsumsi yang berarti meningkatnya permintaan akan barang dan jasa. Apabila peningkatan tersebut tidak dapat diimbangi oleh penawaran maka yang terjadi adalah naiknya harga barang dan jasa sehingga mengakibatkan terjadinya inflasi. Atau dengan kata lain peningkatan inflasi tersebut disebabkan oleh meningkatnya permintaan agregat. Respon inflasi terhadap PDRB adalah elastis, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang dengan nilai elastisitas sebesar 2.405 persen dan 23.68 persen. Ini berarti bahwa PDRB mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap inflasi. Tabel 14. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Inflasi Variabel - Intercept - Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) - Rasio Upah Minimum Provinsi Riil Tahun t dengan Tahun Sebelumnya (UMPR2) - Pengangguran Tahun t (UN) - Tren Waktu (T) - Inflasi Tahun Sebelumnya (LINF) R2 = 0.6654 ; ; Fhitung = 7.953; Dw = 1.516 Keterangan: **** : Parameter Dugaan t-hitung -4.118 -0.750 0.0002 2.572**** 0.207 -0.000 -1.012 0.898 0.056 -0.883 -2.355**** 2.625**** Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang 2.405 23.68 - - nyata pada taraf α = 5 persen Selanjutnya, seiring dengan berjalannya waktu atau perkembangan teknologi, inflasi mempunyai kecenderungan menurun. Karena dengan adanya teknologi maka diharapkan output yang dihasilkan semakin bertambah sehingga dapat mengimbangi naiknya permintaan sebagai akibat dari kenaikan PDRB. Apabila permintaan dapat diimbangi oleh penawarannya maka tingkat harga diharapkan dapat turun sehingga inflasi juga turun. 83 Selain itu, besarnya inflasi saat ini juga dipengaruhi oleh inflasi tahun sebelumnya atau laju inflasi saat ini ditentukan oleh laju inflasi tahun sebelumnya. Hal ini berkaitan dengan proses penyesuaian upah. Umumnya upah ditetapkan sebelum pekerjaan dilakukan. Upah biasanya ditentukan berdasarkan upah nominal atau upah menurut nilai rupiahnya. Dalam beberapa kasus tertentu, upah ditentukan untuk jangka waktu tiga tahun ke depan dan kasus lainnya upah disesuaikan atau ditentukan setahun sekali. Pada penyesuaian upah ini inflasi yang diharapkan masuk ke dalam upah. Oleh karena inflasi mendasari penetapan upah maka upah yang ditetapkan setiap periode yang berturut- turut akan lebih tinggi dari yang ditetapkan sebelumnya. Tuntutan kenaikan upah ini mengakibatkan perusahaan meningkatkan harga outputnya (Syafrida, 1999). Variabel rasio upah minimum provinsi riil tahun t dengan tahun sebelumnya dan pengangguran berdasarkan uji t menunjukkan respon yang tidak nyata, walaupun tanda dari masing-masing variabel tersebut telah sesuai dengan harapan. 5.2.5. Pengangguran Hasil pendugaan parameter persamaan pengangguran menunjukkan bahwa sebesar 90.55 persen variasi variabel-variabel PMDN riil, perubahan PMA riil, upah minimum provinsi riil tahun sebelumnya, tren waktu, dan pengangguran tahun sebelumnya dapat menjelaskan dengan baik variasi variabel Pengangguran. Sisanya sebesar 9.45 persen dijelaskan oleh variabel lainnya di luar model. Hasil pendugaan parameter persamaan pengangguran secara lengkap dapat dilihat dalam Tabel 15. 84 Variabel pengangguran dipengaruhi secara nyata oleh variabel penjelas secara bersama-sama pada taraf α = 0.01 yang ditunjukkan oleh nilai statistik F = 38.346 yang lebih besar dari F tabel yaitu 4.045. Tabel 15. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pengangguran Variabel - Intercept - Penanaman Modal Dalam Negeri Riil (PMDNR) - Perubahan Penanaman Modal Asing Riil (PMAR1) - Upah Mimimun Provinsi Riil Tahun Sebelumnya (LUMPR) - Tren Waktu (T) - Pengangguran Tahun Sebelumnya (LPDRB) R2 = 0.9055 ; Fhitung = 38.346; Dw = 1.963 Parameter Dugaan t-hitung 36560 0.473 -0.057 -1.805*** -0.014 -0.086 0.033 0.321 24447 0.644 Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang -0.202 -0.568 1.599** - - 3.295**** - - Keterangan: **** *** ** : : : nyata pada taraf α=5 persen nyata pada taraf α=10 persen nyata pada taraf α=15 persen Peran penting investasi dalam hal ini PMDN selain meningkatkan pertumbuhan ekonomi juga menciptakan lapangan kerja baru. Oleh karena itu, dengan adanya peningkatan PMDN maka lapangan kerja baru yang tercipta makin besar. Penciptaan lapangan kerja ini diharapkan dapat meningkatkan jumlah orang yang bekerja sehingga dapat mengurangi pengangguran. Peran PMDN dalam mengurangi pengangguran terebut tercermin dari nilai dugaan PMDN riil sebesar -0.057. Artinya apabila ada peningkatan PMDN riil sebesar 1 juta rupiah, maka akan menurunkan tingkat pengangguran sebesar 0.057 jiwa ceteris paribus. Sehingga untuk menurunkan tingkat pengangguran 57 jiwa, maka diperlukan PMDN sebesar Rp 1 milyar. Dengan respon tidak elastis dalam jangka pendek dan cukup elastis dalam jangka panjang. Jadi apabila terdapat kenaikan PMDN sebesar 1 persen akan menurunkan jumlah pengangguran sebesar 0.202 persen dalam jangka pendek dan 0.568 persen dalam jangka panjang. 85 Faktor lain yang berpengaruh terhadap pengangguran adalah tren waktu dan ekspektasi jumlah pengangguran tahun sebelumnya. Variabel tren waktu sebagai representasi teknologi yang berhubungan positif dengan pengangguran menunjukkan bahwa semakin maju teknologi yang digunakan maka semakin besar jumlah pengangguran. Karena dengan adanya teknologi terutama yang menggunakan mesin dan komputer maka tenaga kerja manusia yang digunakan makin sedikit, sehingga jumlah pengangguran makin bertambah. Sedangkan variabel pengangguran tahun sebelumnya yang berpengaruh nyata terhadap pengangguran menunjukkan bahwa diperlukan waktu yang relatif lama bagi variabel pengangguran untuk kembali pada tingkat keseimbangannya. Berdasarkan uji t diketahui bahwa variabel perubahan PMA riil tahun sebelumnya dan rasio upah minimum provinsi riil tahun t dengan tahun sebelumnya tidak berpengaruh nyata terhadap pengangguran, walaupun tanda dari masing-masing variabel sesuai dengan harapan. 5.3. Sintesis Terhadap Hasil Analsisis Ekonometrika Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur Pertumbuhan ekonomi dapat bersumber dari pertumbuhan permintaan agregat (agregat demand/AD) dan atau pertumbuhan penawaran agregat (agregat supply/AS). Demikian halnya dengan pertumbuhan ekonomi atau PDRB Jawa Timur juga bersumber dari sisi permintaan dan penawaran agregat. Komponen PDRB Jawa Timur terdiri dari PMDN, PMA, Dummy otonomi Daerah, tren waktu dan PDRB sebelumnya. Dengan meningkatnya PMDN dan PMA maka dapat mendorong peningkatan output dalam perekonomian dalam arti akan menggeser supply barang dan jasa ke kanan. Pertambahan output tersebut tentunya akan berakibat pada meningkatnya PDRB. Peningkatan PDRB dari sisi 86 supply/penawaran ini lebih baik daripada peningkatan dari sisi permintaan karena tidak akan memicu inflasi atau kenaikan harga seperti halnya peningkatan yang diakibatkan oleh sisi permintaan seperti yang terlihat pada Gambar 11 dan 12. Oleh karena itu pertumbuhan yang bersumber pada Agregat Demand harus diimbangi oleh peningkatan dari sisi Agregat Supply. Dengan demikian maka inflasi/harga dapat menurun sedangkan pendapatan atau PDRB tetap meningkat (Gambar 13). P AS0 AD AS1 P0 P1 0 Y0 Y1 Y Gambar 11. Pertumbuhan Ekonomi Akibat Pergeseran Kurva Penawaran Agregat Sumber: Tambunan (2006) P AS0 P1 AD1 P0 AD0 0 Y0 Y1 Y Gambar 12. Pertumbuhan Ekonomi Akibat Pergeseran Kurva Permintaan Agregat Sumber: Tambunan (2006) 87 Inflasi di Jawa Timur bersumber dari kenaikan permintaan agregat oleh sebab itu harus diupayakan untuk mengimbangi peningkatan permintaan tersebut dengan meningkatkan supply. Salah satu cara yang dapat ditempuh yaitu dengan meningkatkan PMDN dan PMA di Jawa Timur. Selama ini perkembangan PMDN dan PMA di Jawa Timur belum memenuhi harapan karena terbentur dengan beberapa kendala, yaitu kondisi politik dan keamanan yang belum sepenuhnya stabil, belum terwujudnya good governance, lemahnya jaminan dan kepastian hukum, adanya peningkatan biaya melakukan bisnis yang timbul karena ekses pelaksanaan otonomi daerah (BPM Jatim dan UNAIR, 2004), terbatasnya informasi investasi bagi para investor, menurunnya kondisi infrastruktur dan belum terjaminnya kontinuitas bahan baku serta pasokan listrik (Wahyuni, 2007). Padahal banyak sekali potensi Jawa Timur yang belum dikembangkan diantaranya potensi sumberdaya alam (kehutanan, pertanian, perkebunan, bahan-bahan tambang, perikanan laut, dan sumber daya minyak dan gas bumi yang potensial) dan potensi industri. AS0 1 P1 2 P2 AS1 P0 AD1 AD0 0 Y0 Y1 Y2 Gambar 13. Pertumbuhan Yang Bersumber Pada AD Harus Diimbangi Oleh Peningkatan AS 88 Potensi industri yang dapat dikembangkan untuk mengasilkan produk yang mempunyai daya saing baik di pasar lokal, nasional dan internasonal adalah (1) industri perhiasan di wilayah Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Malang, Mojokerto, Lamongan, Pasuruan, Lumajang, Nganjuk, Pamekasan, Banyuwangi, Bangkalan, Ponorogo dan Pacitan, (2) industri kulit dan produk kulit di Kabupaten Sidoarjo, Mojokerto, dan Magetan, (3) industri makanan Di Kota Surabaya, Sidoarjo, Kediri, Malang, Batu, Jombang, Pasuruan, Gresik, Lamongan, Banyuwangi, Pacitan, Jember dan Lumajang, (4) industri aromatik dan (5) supporting industries. Sarana dan prasarana yang telah dan akan dilakukan oleh pemerintah Provinsi Jatim untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi investor di antaranya adalah (1) pembangunan jembatan Suramadu, (2) pasar induk agribisnis Jemundo di Kabupaten Sidoarjo, (3) pembangunan kawasan khusus perhiasan di Juanda, (4) pembangunan jalan tol: Waru-Mojokerto, Gempol-Bangil-Pasuruan dan tol tengah kota Surabaya, (5) terminal peti kemas dan pelabuhan laut di Tanjung Bumi atau Sepulu Kabupaten Bangkalan-Madura, (6) pembangunan kawasan ekonomi terpadu di Arosbaya, Kabupaten Bangkalan-Madura, (7) pembangunan jalan lintas selatan yang mencakup 8 kabupaten dan (8) merealisasikan ring road Surabaya timur hingga jembatan Suramadu ( BPM Jatim Dan UNAIR, 2004). Upaya yang lain yang dilakukan Pemprov Jatim untuk menarik investor adalah: melakukan efisiensi birokrasi terutama dalam hal pelayaan perijinan investasi dengan menyelenggarakan pelayanan satu atap dalam sehari (one day service). Dengan kemudahan ini diharapkan banyak investor yeng tertarik untuk berinvestasi di Jawa Timur. 89 Dampak lain dari perkembangan PMDN dan PMA yang belum memenuhi harapan adalah rendahnya lapangan kerja baru yang tercipta sehingga hanya sedikit pencari kerja yang terserap. Sedikitnya jumlah tenaga kerja yang bekerja akan menyebabkan jumlah pengangguran di Jawa Timur semakin meningkat. Namun, apabila dibandingkan antara PMDN dan PMA maka PMDN lebih berperan untuk mengurangi pengangguran. Hal ini disebabkan: (1) Proyek- proyek PMDN lokasinya lebih tersebar sehingga banyak pencari kerja di Kabupaten di luar Surabaya mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan pekerjaan dengan pencari kerja di Surabaya dan sekitarnya, serta (2) Proyek PMDN relatif padat karya dibandingkan dengan PMA. Seperti yang telah diuaraikan pada sub bab 2.2. bahwa industri pengolahan makanan dan tekstil yang relatif banyak menyerap tenaga kerja menduduki peringkat kedua dan kelima dalam PMDN sedangkan di PMA kedua bidang usaha tersebut menduduki urutan ketiga dan keenam. Jadi dapat dikatakan bahwa selama ini proyek PMA lebih bersifat padat modal daripada PMDN. Tingkat upah memang mempunyai kedudukan yang strategis bagi pekerja, pengusaha dan pemerintah. Akan tetapi di Jawa Timur upah tidak dapat digunakan sebagai instrumen untuk mengurangi pengangguran. Karena tingginya angka pengangguran maka pada tingkat upah berapapun para pekerja tetap mau bekerja. Keadaan tersebut didukung oleh pernyataan Ritongga (2005) yang menyebutkan bahwa pada tahun 2006 dari 17 provinsi yang sudah menetapkan UMP-nya, DKI Jakarta mencatat UMP tertinggi yaitu Rp 819 100 dan Jawa Timur sebesar Rp 390 000 yang merupakan UMP terendah. Dengan keadaan UMP yang rendah tersebut di satu sisi menyiratkan tingginya pengangguran dan 90 di sisi lain menunjukkan bahwa pada tingkat upah berapapun tenaga kerja di Jatim mau bekerja. Oleh karena itu, upaya yang dapat dilakukan oleh Pemprov Jatim untuk menekan pengangguran adalah dengan meningkatkan PMDN dan PMA terutama yang bergerak dalam bidang usaha yang relatif padat karya seperti industri pengolahan makanan, industri tekstil dan perdagangan. Peningkatan PMDN dapat dilakukan dengan menyediakan infrastruktur yang memadai yaitu jalan dan menetapkan upah minimum provinsi secara hati-hati. Sedangkan untuk PMA adalah melalui eifisiensi pelayanan perijinan investasi dengan melakukan one day service di seluruh wilayah Jawa Timur. 91 VI. HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN ALTERNATIF KEBIJAKAN 6.1. Validasi Model Simulasi dilakukan untuk menganalisis dampak perubahan berbagai skenario kebijakan ekonomi dan faktor-faktor lainnya terhadap kinerja perekonomian Jawa Timur periode tahun 1993-2006. Kinerja perekonomian Jawa Timur tercermin dalam tiga indikator ekonomi yaitu PDRB, inflasi dan pengangguran. Simulasi dirancang dalam 4 skenario awal yaitu peningkatan PMDN, PMA, peningkatan upah minimum provinsi dan peningkatan suku bunga. Selain itu juga dilakukan 6 skenario simulasi lainnya yang merupakan kombinasi kebijakankebijakan pada skenario awal tersebut. Sebelum melakukan simulasi, terlebih dahulu dilakukan validasi model. Validasi ini untuk mengetahui kualitas model dalam menduga perilaku data aktual yang digunakan. Indikator validasi statistik yang digunakaan adalah Root Mean Square Percent Error (RMSPE) dan Statistik Theil’s inequality coefficient (U). RMSPE digunakan untuk mengukur persentase penyimpangan nilai dugaan dari nilai aktualnya selama periode pengamatan, sedangkan statistik U-Theil digunakan untuk mengevaluasi kemampuan model bagi analisis simulasi dalam hal ini adalah simulasi historis (ex-post simulation). Hasil validasi menunjukkan bahwa dari 6 persamaan yang membentuk model, terdapat 4 persamaan yang memiliki nilai RMSPE di bawah 50 persen dan 2 persamaan memiliki nilai RMSPE antara 50 persen sampai 100 persen. Artinya nilai prediksi dapat mengikuti kecenderungan data historisnya dengan baik. 92 Sedangkan berdasarkan nilai U-Theil, semua persamaan memiliki nilai U-Theil di bawah 0.2. Artinya bahwa simulasi model mengikuti data aktualnya dengan baik. Hasil validasi secara lengkap dapat dilihatpada tabel 16. Tabel 16. Hasil Validasi Model Dampak Perekonomian Jawa Timur Variabel Endogen PMDNR PDRB PMAR Inflasi Pengangguran Tenaga Kerja Mean % Error 4.116 18.440 22.449 24.887 0.393 0.156 RMS % Error 6.714 33.304 61.135 52.402 18.044 0.996 Bias (UM) 0.387 0.333 0.017 0.144 0.024 0.024 Investasi Terhadap Reg (UR) 0.003 0.207 0.004 0.009 0.006 0.043 Dist (UD) 0.610 0.460 0.979 0.847 0.970 0.932 Kinerja U 0.028 0.117 0.139 0.161 0.080 0.005 Berdasarkan semua kriteria yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa model yang dibangun mempunyai daya ramal yang cukup valid atau layak untuk melakukan simulasi berbagai skenario kebijakan yang dirancang sebelumnya. 6.2. Hasil Simulasi Kebijakan Ekonomi Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur Periode Tahun 1998-2006 6.2.1. Peningkatan Penanaman Modal Dalam Negeri Sebesar 15 Persen Berdasarkan hasil studi BPM Jatim dan UNAIR (2004) diketahui bahwa realisasi investasi baik PMDN maupun PMA di Jawa Timur selama kurun waktu tahun 2001-2004 hanya sepertiga dari yang seharusnya. Padahal PMDN dan PMA merupakan sarana penting dalam mendukung peningkatan PDRB dan penyerapan tenaga kerja. Oleh karena itu, skenario pertama yang dilakukan adalah melakukan simulasi terhadap kebijakan peningkatan PMDN sebesar 15 persen dan skenario kedua melakukan peningkatan PMA sebesar 15 persen. Hasil simulasi pada Tabel 17 menunjukkan bahwa peningkatan PMDN sebesar 15 persen akan menstimulasi kenaikan PDRB Jawa Timur sebesar 0.012 93 persen. Peningkatan PDRB ini akan meningkatkan daya beli masyarakat. Peningkatan daya beli tersebut akan mendorong meningkatnya permintaan barang dan jasa. Apabila besarnya permintaan tersebut tidak diimbangi oleh penawarannya maka akan terjadi kenaikan harga-harga barang dan jasa atau terjadi inflasi. Oleh sebab itu, sudah sewajarnya apabila inflasi Jawa Timur juga akan mengalami kenaikan seiring dengan meningkatnya PDRB. Di sisi lain, PMDN yang meningkat akan mendorong peningkatan kebutuhan tenaga kerja baru, sehingga kebutuhan jumlah tenaga kerja di Jawa Timur meningkat sebesar 0.003 persen dan pengangguran menurun sebesar 0.053 persen. Tabel 17. Hasil Simulasi Peningkatan Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing Variabel Endogen PDRB PMDN PMA Inflasi Pengangguran Tenaga Kerja Simulasi Dasar PMDN Naik 15% 194 060 4 463 617 517 814 11.5936 942 843 16 770 331 194083 517 814 11.5996 942 342 16 770 832 Perubahan (%) 0.012 0.000 0.052 -0.053 0.003 PMA Naik 15% 194 916 4 518 980 11.7534 938 678 16 774 495 Perubahan (%) 0.441 1.240 1.378 -0.442 0.025 6.2.2. Peningkatan Penanaman Modal Asing Sebesar 15 Persen Simulasi kebijakan peningkatan PMA sebesar 15 persen akan menstimuasi peningkatan PDRB Jawa Timur sebesar 0.441 persen, dan sekaligus mendorong peningkatan inflasi di Jawa Timur sebesar 1.378 persen, seperti yang tercantum dalam Tabel 17. Dengan meningkatnya PMA diharapkan akan terjadi peningkatan penciptaan lapangan kerja baru. Sehingga dengan adanya lapangan kerja baru tersebut akan meningkatkan kebutuhan jumlah tenaga kerja sebesar 0.25 persen dan menurunkan pengangguran sebesar 0.442 persen. 94 6.2.3. Peningkatan Upah Minimum Provinsi Sebesar 18 Persen Dalam kegiatan ekonomi, upah merupakan salah satu komponen biaya produksi. Oleh karena itu, peningkatan UMP akan menurunkan investasi. Simulasi kebijakan peningkatan UMP sebesar 18 persen akan mengakibatkan penurunan investasi PMDN sebesar 2.082 persen dan PMA sebesar 15.795 persen atau sebesar US$ 81 788.72 ribu. Prosentase penurunan PMA yang relatif lebih besar daripada PMDN menunjukkan bahwa upah merupakan salah satu faktor yang menentukan atau berpengaruh dalam perkembangan PMA daripada PMDN. Investasi yang menurun di satu sisi akan menurunkan output yang dihasilkan dalam perekonomian yang berarti juga dapat menurunkan PDRB dan di sisi lain akan menurunkan kesempatan kerja. Penurunan kesempatan kerja ini akan menyebabkan permintaan tenaga kerja di Jawa Timur berkurang sebesar 0.135 persen dan jumlah pengangguran meningkat sebesar 2.400 persen atau 22 628 jiwa. Hasil simulasi peningkatan upah minimum provinsi secara lengkap dapat dilihat dalam Tabel 18. 6.2.4. Peningkatan Suku Bunga Sebesar 1.5 Persen Suku bunga berkaitan erat dengan kegiatan investasi. Suku bunga yang meningkat akan mengurangi minat investor untuk melakukan investasi atau dengan kata lain akan menurunkan investasi. Oleh karena itu, kebijakan peningkatan suku bunga sebesar 1.5 persen akan menyebabkan PMDN menurun sebesar 0.042 persen dan PMA menurun sebesar 0.486 persen atau sebesar US$ 2 516.576 ribu. Sama halnya dengan simulasi kebijakan peningkatan upah minimum provinsi sebesar 18 persen, dampak kenaikan suku bunga 1.5 persen 95 juga relatif lebih dirasakan oleh PMA. Ini ditunjukkan dengan prosentase penurunan PMA yang relatif lebih besar daripada PMDN. Dengan adanya penurunan investasi tersebut akan berdampak pada penurunan PDRB sebesar 0.020 persen. Tabel 18. Hasil Simulasi Peningkatan Upah Minimum dan Suku Bunga Variabel Endogen PDRB PMDN PMA Inflasi Pengangguran Tenaga Kerja Simulasi Dasar 194 060 4 463 617 517 814 11.594 942 843 16 770 331 UMP Naik 18% 192739 4370666 436023 11.282 965 469 16 747 705 Perubahan (%) -0.681 -2.082 -15.795 -2.689 2.400 -0.135 Suku Bunga Naik 1.5% 194 021 4 461 728 515 295 11.5867 942 951 16 770 223 Perubahan (%) -0.020 -0.042 -0.486 -0.060 0.011 -0.001 Selain itu, penurunan PMDN maupun PMA juga mempunyai dampak pada berkurangnya tenaga kerja yang diserap. Hal ini akan menyebabkan permintaan tenaga kerja berkurang sebesar 0.001 persen dan pengangguran meningkat sebesar 0.011 persen. Hasil simulasi selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel 18. 6.2.5. Kombinasi Kebijakan Simulasi-simulasi terdahulu merupakan simulasi untuk melihat pengaruh perubahan salah satu faktor terhadap model. Sementara simulasi - simulasi berikut ini dilakukan untuk melihat pengaruh kombinasi beberapa faktor atau kebijakan terhadap kinerja perekonomian Jawa Timur. 6.2.5.1. Peningkatan Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing Masing-Masing Sebesar 15 Persen Krisis ekonomi tahun 1998 telah menyebabkan kehancuran dunia usaha Indonesia tidak terkecuali di Jawa Timur. Kondisi ketidakpastian disertai berbagai hambatan strutural lainnya, masih membuat investor enggan menanamkan modalnya di Jawa Timur. Padahal investasi swasta terutama PMDN dan PMA 96 sangat dibutuhkan untuk menggerakkan sektor riil agar mampu mengatasi masalah penganggguran dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Tabel 19. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing Variabel Endogen PDRB Inflasi Pengangguran Tenaga Kerja Simulasi Dasar 194 060 11.594 942 843 16 770 331 PMDN naik 15% dan PMA naik 15 % 194 788 11.721 941 351 16 771 823 Perubahan (%) 0.375 1.101 -0.158 0.009 Berdasarkan hasil simulasi pada Tabel 19, dapat diketahui bahwa kombinasi kebijakan peningkatan PMDN dan PMA sebesar 15 persen akan mendorong terciptanya peningkatan output dalam kegiatan ekonomi. Output yang meningkat akan menyebabkan terjadinya peningkatan PDRB Jawa Timur sebesar 0.375 persen. Peningkatan PDRB akan menstimulasi peningkatan daya beli masyarakat sehingga inflasi akan meningkat sebesar 1.101 persen. Selain peningkatan output, adanya peningkatan PMDN dan PMA akan mengakibatkan peningkatan jumlah tenaga kerja yang diserap. Hal ini menyebabkan kenaikan jumlah tenaga kerja yang bekerja sebesar 0.009 persen dan menurunkan pengangguran sebesar 0.158 persen. 6.2.5.2. Peningkatan Penanaman Modal Dalam Negeri sebesar 15 Persen dan Upah Minimum Provinsi Sebesar 18 Persen Hasil simulasi kombinasi kebijakan penigkatan PMDN sebesar 15 persen dan upah minimum provinsi sebesar 18 persen akan menurunkan PDRB Jawa Timur sebesar 0.537 persen dan mengakibatkan penurunan PMA sebesar 15.795 persen. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa PMA relatif peka terhadap perubahan upah, sehingga dengan kenaikan upah minimum provinsi akan menyebabkan penurunan PMA yang cukup besar yaitu sebesar US$ 81 788.72 97 ribu. Kombinasi penurunan PMA dan PDRB akan menyebabkan penurunan inflasi sebesar 2.086 persen. Tabel 20. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Penanaman Modal Dalam Negeri dan Upah Minimum Provinsi Variabel Endogen PDRB PMA Inflasi Pengangguran Tenaga Kerja Simulasi Dasar 194 060 517 814 11.594 942 843 16 770 331 PMDN Naik 15 % dan UMP Naik 18 % 193 017 436 023 11.3517 959 640 16 753 534 Perubahan (%) -0.537 -15.795 -2.086 1.782 -0.100 Dampak lain yang ditimbulkan dari penurunan PMA adalah menurunnya kesempatan kerja sehingga mendorong kenaikan pengangguran sebesar 1.782 persen. Hasil simulasi secara lengkap dapat dilihat dalam Tabel 20. 6.2.5.3. Peningkatan Penanaman Modal Dalam Negeri Sebesar 15 Persen dan Suku Bunga Sebesar 1.5 Persen Kombinasi kebijakan peningkatan PMDN sebesar 15 persen dan suku bunga sebesar 1.5 persen seperti yang tercantum dalam Tabel 21, akan menurunkan PMA sebesar 0.486 persen. Hal ini dikarenakan investasi dan suku bunga mempunyai hubungan yang terbalik sehingga dengan meningkatnya suku bunga akan menyebabkan menurunnya investasi. Pada simulasi ini, ternyata dampak penurunan PMA relatif besar terhadap PDRB. Sehingga walaupun PMDN naik sebesar 15 %, tetapi PDRB turun sebesar -0.006 persen. Tabel 21. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Penanaman Modal Negeri dan Suku Bunga Variabel Endogen PDRB PMA Inflasi Pengangguran Tenaga Kerja Simulasi Dasar 194 060 517 814 11.594 942 843 16 770 331 PMDN Naik 15 % dan Suku Bunga Naik 1.5 % 194 049 515 295 11.5939 942 342 16 770 832 Dalam Perubahan (%) -0.006 -0.486 0.003 -0.053 0.003 98 Di samping menurunnya PDRB, dampak lain dari penurunan PMA adalah menurunnya output perekonomian. Apabila permintaan output lebih besar dari penawarannya maka akan mengakibatkan kenaikan harga output yang dapat mendorong naiknya inflasi sebesar 0.003 persen. Pengaruh kenaikan PMDN lebih terlihat pada tenaga kerja, dengan naiknya PMDN maka tenaga kerja yang terserap meningkat sebesar 0.003 persen sehingga pengangguran turun sebesar 0.053 persen atau sebesar 499 jiwa. 6.2.5.4. Peningkatan Penanaman Modal Asing sebesar 15 Persen dan Upah Minimum Provinsi Sebesar 18 Persen Hasil simulasi kombinasi kebijakan peningkatan PMA sebesar 15 persen dan UMP sebesar 18 persen ini, mempunyai dampak langsung terhadap peningkatan PDRB Jawa Timur sebesar 0.449 persen yang sekaligus juga meningkatkan inflasi sebesar 0.784 persen. Tabel 22. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Penanaman Modal Asing dan Upah Minimum Provinsi Variabel Endogen PDRB PMDN Inflasi Pengangguran Tenaga Kerja Simulasi Dasar 194 060 4 463 617 11.594 942 843 16 770 331 PMA Naik 15 % dan UMP Naik 18 % 194 931 4 511731 11.6845 956 392 16 756 782 Perubahan 0.449 1.078 0.784 1.437 -0.081 Di sisi lain, kenaikan upah yang tinggi menyebabkan biaya produksi meningkat dan pada akhirnya permintaan tenaga kerja akan berkurang. Hasil simulasi menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja berkurang sebesar 0.081 persen yang berdampak pada meningkatnya pengangguran sebesar 1.437 persen. Akan tetapi peningkatan UMP tersebut tidak terlalu mempengaruhi PMDN, sehingga PMDN meningkat sebesar 1.078 persen. Hasil simulasi secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 22. 99 6.2.5.5. Peningkatan Penanaman Modal Asing Sebesar 15 Persen dan Suku Bunga Sebesar 1.5 Persen Pada Tabel 23, dapat diketahui bahwa kombinasi kebijakan peningkatan PMA sebesar 15 persen dan suku bunga sebesar 1.5 persen mempunyai dampak positif terhadap peningkatan PDRB Jawa Timur sebesar 0.442 persen. Akan tetapi, seiring dengan peningkatan PDRB tersebut inflasi juga meningkat sebesar 1.383 persen. Dampak positif lainnya sebagai akibat kenaikan PMA adalah meningkatnya jumlah tenaga kerja yang terserap sebesar 0.025 persen dan menurunkan pengangguran sebesar 0.446 persen. Tabel 23. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Penanaman Modal Asing dan Suku Bunga Variabel Endogen PDRB PMDN Inflasi Pengangguran Tenaga Kerja Simulasi Dasar 194 060 4 463 617 11.594 942 843 16 770 331 PMA Naik 15 % dan Suku Bunga Naik 1.5 % 194 918 4 519 734 11.7539 938 635 16 774 539 Perubahan (%) 0.442 1.257 1.383 -0.446 0.025 6.2.5.6. Peningkatan Upah Minimum Provinsi Sebesar 18 Persen dan Suku Bunga Sebesar 1.5 Persen Simulasi peningkatan UMP sebesar 18 persen dan suku bunga sebesar 1.5 persen akan mempengaruhi pos biaya produksi, sehingga berdampak langsung pada menurunnya PMA dan PMDN masing-masing sebesar 16.282 persen atau setara dengan US$ 6638.375 ribu dan 2.125 persen. Penurunan PMA dan PMDN tersebut selain mempunyai dampak terhadap PDRB di satu sisi juga berdampak pada penyerapan tenaga kerja di sisi lain. Oleh karena itu, dengan menurunnya PMA dan PMDN akan menyebabkan penurunan PDRB Jawa Timur sebesar 0.701 persen dan penurunan jumlah tenaga kerja yang diserap sebesar 0.136 persen. 100 Berkurangnya tenaga kerja yang terserap tersebut mengakibatkan meningkatnya pengangguran sebesar 2.411 persen. Hasil simulasi secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Upah Minimum Provinsi dan Suku Bunga Variabel Endogen PDRB PMDN PMA Inflasi Pengangguran Tenaga Kerja Simulasi Dasar 194 060 4 463 617 517 814 11.594 942 843 16 770 331 UMP Naik 18 % dan IR Naik 1.5 % 192 700 4 368 778 433 504 11.275 965 577 16 747 597 Perubahan (%) -0.701 -2.125 -16.282 -2.750 2.411 -0.136 6.3. Studi Komparasi Peranan Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur Analisis ini dimaksudkan untuk mengetahui perbandingan peranan PMDN dan PMA terhadap kinerja perekonomian Jawa Timur yang tercermin dalam tiga indikator ekonomi yaitu PDRB, inflasi dan pengangguran. Untuk membandingkan peran investasi PMDN dan PMA dapat dilakukan dengan cara membandingkan hasil simulasinya terhadap PDRB, inflasi dan pengangguran. Tabel 25. Perbandingan Hasil Simulasi PMDN dan PMA Terhadap PDRB, Inflasi dan Pengangguran Simulasi % PMDN Naik 15 % PMA Naik 15 % Rp Milyar PDRB Rp % Milyar Perubahan Inflasi Perubahan % (%) Pengangguran % Jiwa 651.94 0.012 1 940.60 0.052 0.58 -0.053 47 142 566. 99 0.441 85 386.40 1.376 15.99 -0.442 416 736 Pada Tabel 25, dapat diketahui bahwa pada saat PMDN dinaikkan sebesar 15 persen maka akan menstimulasi kenaikan PDRB sebesar 0.012 persen yang menyebabkan naiknya inflasi sebesar 0.052 persen dan dampak penting lainnya yaitu menurunnya pengangguran sebesar 0.053 persen. 101 Selanjutnya apabila PMA yang ditingkatkan 15 persen maka PDRB akan meningkat menjadi 0.441 persen, yang akhirnya memicu kenaikan inflasi sebesar 1.376 persen. Di sisi lain kenaikan PMA tersebut mendorong terciptanya lapangan kerja baru sehingga jumlah pengangguran turun sebesar 0.442 persen. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dampak kenaikan PMA sebesar 15 persen relatif lebih besar daripada kenaikan PMDN. Karena dengan naiknya PMA dapat mendorong kenaikan PDRB dan penurunan pengangguran yang relatif lebih besar daripada PMDN yaitu sebesar 0.441 persen atau setara dengan Rp 85 386, 40 milyar dan 0.442 persen atau setara dengan 416 736 jiwa. Dengan memperhatikan kemampuan PMA untuk mengurangi pengangguran yang relatif lebih besar maka selanjutnya pengembangan PMA perlu diarahkan kepada usaha-usaha yang relatif padat karya seperti bidang usaha perdagangan dan tekstil. Selama ini kedua bidang usaha tersebut telah diminati oleh PMA, tetapi berdasarkan urutannya masih di bawah industri kimia dan barang logam. Kemudian, apabila dikaitkan dengan target pertumbuhan investasi nasional sebesar 15.5 persen untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 6.8 persen pada tahun 2008 yang disampaikan oleh Menko Perekonomian Boediono 2 maka dapat dinyatakan bahwa peningkatan investasi baik PMDN maupun PMA di Jawa Timur sebesar 15 persen belum mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 6.8 persen seperti yang diperkirakan oleh pemerintah pusat. Hal ini ditandai dengan relatif rendahnya kenaikan PDRB akibat kenaikan PMDN atau PMA sebesar 15 persen atau dengan kata lain peran investasi dalam pembentukan PDRB relatif 2 Kompas. 2007. Pertumbuhan Belum Mendasar: Hambatan Pengembangan Sektor Riil Belum Tertangani. Rabu, 16 Mei 2007, Halaman 1 dan 15. Kompas, Jakarta. 102 rendah. Pernyataan ini didukung dengan data dari BPS Jatim Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa investasi baru menyumbang 37.46 persen dari total PDRB atas harga berlaku sebesar Rp 469.23 trilyun. Sebaliknya sektor konsumsi mempunyai peran yang cukup besar yaitu dengan menyumbang sekitar 60 persen dari total PDRB. 6.4. Implikasi Kebijakan Berdasarkan hasil pendugaan parameter dapat diketahui bahwa PDRB dipengaruhi PMDN riil, perubahan PMA, dummy otonomi daerah, tren waktu dan PDRB tahun sebelumnya. PMDN dipengaruhi oleh Perubahan PDRB, rasio UMP riil per tenaga kerja dengan total upah, perubahan panjang jalan dan PMDN riil tahun sebelumnya. Selanjutnya PMA dipengaruhi oleh suku bunga riil, nilai tukar riil dan dummy otonomi daerah (Otda). Sedangkan apabila berdasarkan hasil simulasi diketahui bahwa peningkatan PMDN dan PMA masing-masing sebesar 15 persen mempunyai dampak positif terhadap PDRB dan negatif terhadap pengangguran, walaupun dampak PMA relatif lebih besar daripada PMDN. Oleh karena itu, berdasarkan hasil dugaan parameter dan hasil simulasi maka implikasi kebijakan yang dapat diambil adalah mengembangkan investasi PMDN dan PMA untuk mendorong pertumbuhan ekonomi atau PDRB. Upayaupaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan PMDN adalah (1) menyediakan infrastruktur yang memadai khususnya panjang jalan. Jalan mempunyai peran yang sangat penting baik dalam proses produksi maupun dalam menunjang distribusi komoditi dan ekspor. Adanya fasilitas transportasi memungkinkan orang, barang dan jasa diangkut dari satu tempat ke tempat lain dalam satu propinsi maupun dalam satu negara bahkan antar negara dan (2) menetapkan 103 besarnya upah minimum provinsi secara hati-hati dan bijaksana sehingga kepentingan pekerja dan pengusaha dapat terlindungi. Secara umum upah mempunyai kedudukan yang strategis bagi diri pekerja dan keluarganya, bagi perusahaan dan bagi kepentingan nasional. Bagi pekerja, upah merupakan salah satu sarana utama untuk meningkatkan kesejahteraan diri dan keluarganya. Jadi besar kecilnya upah yang diterima pekerja, di satu sisi berpengaruh langsung terhadap perubahan kesejahteraan hidup dan terhadap daya beli pekerja itu sendiri. Bagi perusahaan upah mempengaruhi biaya produksi. Semakin tinggi upah yang harus dibayarkan maka semakin tinggi pula biaya produksi yang harus ditanggung perusahaan, sehingga pada akhirnya dapat berpengaruh terhadap harga produk yang dijual dan dapat menurunkan investasi. Sedangkan bagi pemerintah, upah merupakan sarana pemerataan pendapatan dan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat. Oleh sebab itu, keseimbangan upah dengan kebutuhan hidup pekerja maupun dengan kemajuan perusahaan perlu dijaga dan dikondisikan (Syafrida, 1999). Dengan adanya otonomi daerah diharapkan pemerintah daerah dapat mewujudkan kondisi tersebut. Sehingga kebijakan upah ini dapat menjadi salah satu sarana untuk menarik investor. Selanjutnya, upaya-upaya yang dilakukan untuk mengembangkan PMA adalah meningkatkan efisiensi birokrasi perijinan investasi akibat adanya otonomi daerah. Walaupun saat ini Pemprov Jatim telah melaksanakan pelayanan satu atap dalam sehari (one day service), akan tetapi belum semua daerah melakukannya. Masih tersisa 20 persen wilayah di Jawa Timur yang belum melakukan kebijakan tersebut (Dinas Informasi dan Komunikasi Jatim, 2007). Oleh sebab itu perlu diupayakan agar pelaksanaan pelayanan satu atap tersebut dapat dilakukan oleh 104 semua wilayah di Jatim, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan investor dalam menanamkan modalnya dan memperluas kesempatan dalam menarik investor asing. Karena hasil penelitian membuktikan bahwa dengan adanya otonomi daerah dapat meningkatkan investasi PMA sebesar US$ 737 797 ribu, ceteris paribus. Ini menunjukkan bahwa otonomi daerah mampu mendorong kepercayaan investor akan adanya peningkatan kualitas pelayanan dan kemudahan dalam pengurusan ijin investasi. Rekomendasi ini sejalan dengan yang disampaikan Syafrida (1999) bahwa untuk meningkatkan investasi di Indonesia baik investasi asing maupun domestik maka pemerintah harus dapat meningkatkan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Sebenarnya berdasarkan hasil dugaan parameter perkembangan PMA tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh dummy otonomi daerah tetapi dipengaruhi juga oleh suku bunga riil dan nilai tukar riil. Akan tetapi karena suku bunga riil dan nilai tukar riil merupakan kebijakan nasional maka pemerintah daerah tidak berwenang melakukan perubahan terhadap kebijakan tersebut. Selain itu, dengan memperhatikan kondisi jumlah pengangguran di Jawa Timur yang terus meningkat dari waktu ke waktu dengan pertumbuhan sebesar 11.8 persen per tahun dan kemampuan PMA untuk menurunkan pengangguran yang lebih tinggi daripada PMDN, maka pengembangan PMA lebih diarahkan kepada proyek-proyek yang padat karya, contohnya di bidang perdagangan dan tekstil. Pada dasarnya PMA telah malkukan investasi dalam kedua bidang usaha tersebut tetapi berdasarkan urutannya kedua bidang usaha tersebut masih dibawah industri kimia dan barang logam. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengembangkan PMA di sektor perdagangan dan industri tekstil yang relatif 105 padat karya dibanding bidang usaha lainnya adalah dengan memberikan insentif investasi non fiskal, misalnya: insentif lokasi atau penyediaan lokasi oleh pemerintah daerah. 106 VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan 1. Ukuran kinerja perekonomian di Jawa Timur dapat dilihat dari perkembangan PDRB, inflasi dan pengangguran. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa yang mempengaruhi perkembangan ketiga variabel ekonomi tersebut adalah sebagai berikut: a. PDRB dipengaruhi secara nyata oleh PMDN riil, perubahan PMA riil, dummy Otda, tren waktu dan PDRB tahun sebelumnya. Perkembangan PMDN dipengaruhi oleh perubahan PDRB, rasio UMP riil per tenaga kerja dengan total upah, perubahan panjang jalan dan PMDN riil tahun sebelumnya. Sedangkan perkembangan PMA dipengaruhi oleh suku bunga riil, nilai tukar riil dan dummy Otda. b. Inflasi dipengaruhi secara nyata oleh PDRB dengan respon yang elastis baik dalam jangka pendek maupun panjang, tren waktu dan laju infasi tahun sebelumnya. Jadi ekspektasi inflasi turut berperan dalam mendorong peningkatan laju inflasi di Jawa Timur. c. Pengangguran dipengaruhi oleh PMDN riil dengan respon elastis dalam jangka pendek, tren waktu dan pengangguran tahun sebelumnya. 2. Berdasarkan hasil simulasi dapat diketahui bahwa peningkatan PMDN 15 persen mempunyai dampak positif terhadap PDRB dan negatif terhadap pengangguran yaitu sebesar 0.012 dan -0.053. Dampak yang lain, kenaikan PDRB tersebut mendorong naiknya inflasi sebesar 0.052 persen. Sedangkan 107 peningkatan PMA 15 persen akan menstimulasi peningkatan PDRB sebesar 0.441 persen yang mendorong naiknya inflasi sebesar 1.378 persen dan dapat menurunkan pengangguran sebesar 0.442 persen. 3. Dampak terbesar terhadap kinerja perekonomian Jawa Timur diperoleh dengan meningkatkan PMA sebesar 15 persen. Karena dengan kenaikan PMA tersebut dapat mendorong peningkatan PDRB dan mengurangi angka pengangguran yang relatif lebih tinggi daripada PMDN. 7.2. Saran 1. Berdasarkan hasil analisis ekonometrika, hasil simulasi alternatif kebijakan dan implikasi kebijakan dapat disarankan bahwa pengembangan investasi PMDN dan PMA perlu dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi jumlah pengangguran di Jawa Timur. 2. Upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam mengembangkan PMDN adalah menyediakan infrastruktur yang memadai khususnya panjang jalan dan menetapkan upah minimum provinsi secara hati-hati sehingga dapat melindungi kepentingan pekerja dan pengusaha. 3. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mendorong peningkatan PMA adalah meningkatkan efisiensi birokrasi dalam hal perijinan investasi sebagai akibat pelaksanaan otonomi daerah melalui pelaksanaan pelayanan satu atap dalam sehari (one day service) di seluruh wilayah di Jawa Timur. 4. Mengembangkan PMA yang bersifat padat karya (umumnya bergerak di bidang usaha perdagangan dan industri tekstil) untuk mengurangi jumlah pengangguran di Jawa Timur dengan cara menyediakan insentif lokasi. 108 5. Model yang disusun dalam penelitian ini masih dapat terus dikembangkan. Analisis yang dilakukan sifatnya masih makro regional dan agregat. Perbaikan dapat dilakukan untuk memperluas sifat penelitian menjadi makro nasional dan dalam bentuk disagregasi PMDN dan PMA yang lebih rinci berdasarkan sub sektornya yaitu sektor primer, sekunder dan tersier. Selain itu, hasil pendugaan parameter model kemungkinan akan semakin tajam apabila data investasi portofolio (pasar modal) dan investasi non fasilitas yang dinilai mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perekonomian disertakan dalam penelitian. DAFTAR PUSTAKA Astuti, E. 2005. Dampak Investasi Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian dan Upaya Pengurangan Kemiskinan di Indonesia. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Bahl, R. W. 1998 Fiscal Desentralization and Intergovernmental Relations in Transitions Economics: Towards A Systematics Framework of Analysis. The World Bank, Washington, D.C. BPM Provinsi Jawa Timur dan UNAIR. 2004. Laporan Akhir: Aktualisasi Pengembangan Bisnis dan Investasi di Jawa Timur. Badan Penanaman Modal Provinsi Jawa Timur Kerja Sama dengan Universitas Airlangga, Surabaya. BPM Provinsi Jawa Timur. 2006. Data Realisasi Investasi Proyek PMDN dan PMA Tahun 1967-2006. Badan Penanaman Modal Provinsi Jawa Timur, Surabaya. BKPM. 2005. Laporan Perkembangan Penanaman Modal Desember 2005. Biro Perencanaan dan Informasi, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Jakarta. BPS Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. 2004. Analisis Indikator Makro Provinsi Jawa Timur 2004. Biro Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Surabaya. BPS Provinsi Jawa Timur. Berbagai Tahun Terbitan. Jawa Timur Dalam Angka. Biro Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur, Surabaya. BPS. Berbagai Tahun Terbit. Buletin Ringkasan. Biro Pusat Statistik, Jakarta. Dinas Tenaga Kerja Jawa Timur. 2005. Informasi Ketenagakerjaan Jawa Timur 2005. Dinas Tenaga Kerja Jawa Timur, Surabaya. Dinas Informasi dan Komunikasi Jawa Timur. 2007. Tahun 2008, Investasi di Jatim Diprediksi Meningkat. www.jatimprov.go.id. Delong, J. B. 2002. Macroeconomics. Updated Edition. Mc Graw-Hill, New York. Dornbusch, R. dan S. Fischer. 1997. Makroekonomi. Terjemahan. Edisi Keempat. Erlangga, Jakarta. Ferdiyan, A. 2006. Analsisis Pengaruh Otonomi Daerah Terhadap Pertumbuhan Investasi di Propinsi Jawa Barat. Skripsi Sarjana. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 110 Gujarati, D. 1999. Ekonometrika Dasar. Terjemahan. Erlangga, Jakarta. Haryanto, J. 2005. Analisis Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Investasi Pemerintah di Kabupaten Musi Banyuasin. Kajian Ekonomi, 4(1):56-80. Hidayatullah. 2003. Analisis Penyebaran Investasi Sektor Pertanian di Kawasan Timur Indonesia. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Koutsoyiannis, A. 1997. Theory of Econometrics, An Introductory Exposition of Econometric Methods. Second Edition Herper & Row Publishers, Inc, Barner & Noble Import Division, New York. Kompas. 2007. Pertumbuhan Belum Mendasar: Hambatan Pengembangan Sektor Riil Belum Tertangani, Rabu, 16 Mei 2007, Halaman 1 dan 15. Kompas, Jakarta. _______. 2007. Indikator Investasi Belum Mendorong Ekonomi Jatim. Rabu, 27 Juni 2007. www.kompascetak.com. Mangkoesoebroto, G. dan Algifari. 1998. Teori Ekonomi Makro. Edisi Ketiga. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN, Yogyakarta. Martinez, J. V. and M. Robert. 2001. Fiscal Desentralization and Economic Growth International Studies Program. Working Paper Series No 977. Andrew Youngs Schools of Polycies Studies, Georgia States University, Georgia. Machmud, S. 2002. Analisis Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Selatan. Kajian Ekonomi, 1(1):40-57. Mankiw, N. G. 2003. Teori Makroekonomi. Terjemahan. Edisi Kelima. Erlangga Jakarta. Masitoh, I. 2007. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi di Indonesia. Skripsi Sarjana. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Panjaitan, M., B. M. Sinaga, K. Mudikdjo, R. S. Sinaga dan E. M. Lokollo. 2004. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Pertanian Daerah Sumatera Utara: Pendekatan Ekonometrika. Forum Pascasarjana, 27(1):11-25. Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Terjemahan. Erlangga, Jakarta. Na’im, A. 2001. Akuntansi Inflasi. Badan Penerbitan Fakultas Ekonomi, Yogyakarta. 111 Pemprov Jatim dan BPS Jatim, 2005. Analisis Indikator Makro Provinsi Jawa Timur 2005. Pemerintahan Provinsi Jawa Timur, Surabaya. Pindyck, R. S. and D. L. Rubinfeld. 1991. Econometric Model and Economic Forecast, Third Edition. Mc Graw Hill International Editions, New York. Putong, I. 2003. Pengantar Ekonomi Mikro dan Makro. Edisi Kedua. Ghalia Indonesia, Jakarta. Riyanto dan H. Siregar. 2005. Dampak Dana Perimbangan terhadap Perekonomian Daerah dan Pemerataan Antar Wilayah. Jurnal Kebijakan Ekonomi, 1(1):15-35. Safrida. 1999. Dampak Kebijakan Upah Minimum dan Makroekonomi Terhadap Laju Inflasi, Kesempatan Kerja serta Keragaan Permintaan dan Penawaran Agregat. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Saad, M. 2002. Analisis Perkembangan Investasi Swasta di Subsektor Industri Makanan. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sukirno, S. 2006. Makroekonomi. Teori Pengantar. Edisi Ketiga. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Susanti, H., M. Ikhsan dan Widyanti. 1995. Indikator-Indikator Makroekonomi. Edisi Kedua. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia Kerja Sama dengan Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta. Susanti, E. N. 2003. Dampak Perubahan Investasi dan Produktivitas Sektor Perikanan Terhadap Kinerja Ekonomi Makro dan Sektoral di Indonesia. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tambunan, T. 2003. Perekonomian Indonesia: Beberapa Masalah Penting. Ghalia Indonesia, Jakarta. . 2006. Iklim Investasi di Indonesia: Masalah, Tantangan dan Potensi. www.kadin-indonesia.or.id. Wahyuni, D. 2007. Investasi di Jawa Timur ”Berenang” dalam Lumpur. www.bisnis.co.id. Wiranata, S. 2004. Pengembangan Investasi di Era Globalisasi dan Otonomi Daerah. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, 3(12):10-15. Yudhoyono, S. B. 2004. Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pangangguran: Analisis Ekonomi-Politik 112 Kebijakan Fiskal. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. LAMPIRAN 114 Lampiran 1. Nama dan Keterangan Variabel-Variabel yang Digunakan PDRB = Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan Tahun Dasar 2000 (Rp Milyar) PMDNR = Penanaman Modal Dalam Negeri Riil (Rp Juta) PMAR = Penanaman Modal Asing Riil (US$ Ribu) INF = Inflasi (%) TK = Tenaga Kerja (Jiwa) AK = Angkatan Kerja (Jiwa) UN = Pengangguran (Jiwa) IRR = Suku Bunga Investasi Riil (%) UMPR = Upah Minimum Provinsi Riil (Rp/Thn) ERR = Nilai Tukar Riil (Rp/US$) LIS = Produksi Listrik yang Dibangkitkan (Kwh) JLN = Panjang Jalan (Km) DD = Dummy Otonomi Daerah (Otda) LPDRB = Produk Domestik Regional Bruto Tahun Sebelumnya (Rp Milyar) LPMDNR = Penanaman Modal Dalam Negeri Riil Tahun Sebelumnya (Rp Juta) LPMAR = Penanaman Modal Asing Riil Tahun Sebelumnya (US$ Ribu) LINF = Inflasi Tahun Sebelumnya (%) LUN = Pengangguran Tahun Sebelumnya (Jiwa) LLIS LUMPR PDRB1 = = = Produksi Listrk yang Dibangkitkan Tahun Sebelumnya (Kwh) Upah Minimum Provinsi Riil Tahun Sebelumnya (Rp/tahun) Perubahan Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan Tahun Dasar 2000 (Rp Milyar) TK1 = Perubahan Tenaga Kerja (Jiwa) UMPR1 = Rasio Upah Minimum Provinsi Riil Per Tenaga Kerja dengan Total Upah (Rp/tahun) UMPR2 = Rasio UMPR Tahun t dengan Tahun Sebelumnya PMAR1 = Perubahan Penanaman Modal Asing Riil (US$ Ribu) IRR1 = Perubahan Suku Bunga Investasi Riil (%) JLN 1 = Perubahan Panjang Jalan (Km) T = Tren Waktu Lampiran 2. Data Penelitian Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur TAHUN 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Satuan: AK 11 559 159 11 766 068 12 990 629 13 223 161 13 459 856 13 571 231 14 996 142 14 875 673 15 577 403 15 669 913 14 729 599 15 903 310 15 843 438 15 980 415 16 853 601 16 358 420 17 007 171 17 157 788 17 554 032 17 865 703 17 515 372 17 828 897 18 179 973 18 097 118 18 822 218 19 298 199 19 465 527 Jiwa Disnaker Jatim UN 162 429 194 968 355 534 394 749 435 169 218 625 270 483 328 306 345 099 349 756 396 320 336 623 354 237 390 646 548 281 787 793 592 893 569 238 720 234 883 478 845 590 904 067 1 168 461 1 571 420 1 447 263 1 629 882 1 502 903 Jiwa Disnaker Jatim IR 12.30 12.30 12.30 12.30 12.30 19.50 18.20 18.70 19.60 19.40 20.30 20.90 19.20 17.10 14.90 15.80 16.42 17.34 23.16 22.93 16.59 17.90 17.82 15.68 14.05 15.43 15.10 % BPS UMP ER 80 325 627 85 025 632 90 000 661 144 000 909 198 000 1 026 228 600 1 111 296 820 1 283 292 680 1 644 325 884 1 686 479 200 1 770 507 240 1 843 739 716 1 950 783 000 2 030 986 289 2 087 1 044 000 2 161 1 245 996 2 249 1 346 400 2 347 1 492 500 2 909 1 773 180 10 014 2 046 000 7 855 2 574 000 8 396 3 179 952 10 247 3 939 900 9 314 4 537 212 8 575 5 446 476 8 933 5 926 200 9 705 6 246 816 9 266 Rp/Thn Rp/USD Disnaker Jatim IMF INF 23.31 9.24 9.84 12.10 7.82 4.53 8.48 9.26 6.46 6.73 9.69 9.97 5.28 10.19 8.25 7.98 5.83 9.78 87.60 1.06 9.62 14.10 9.38 3.59 6.24 15.89 6.76 % BPS Jatim 115 Sumber: PDRB PMA PMDN TK 49 477 11 828 162 800 11 396 730 52 799 13 056 57 265 11 571 100 54 048 249 1 102 916 11 396 730 61 926 23 306 43 367 11 571 100 65 709 3 200 284 301 11 748 138 69 257 40 593 70 930 13 352 606 74 150 2 916 297 609 14 725 659 76 798 111 643 225 650 14 547 367 82 087 176 132 564 207 15 232 304 90 261 197 512 1 279 024 15 320 157 98 614 1 079 408 1 526 609 14 333 279 106 338 283 572 2 688 375 15 566 687 111 563 204 034 1 134 264 15 489 201 129 636 2 827 252 516 786 15 589 769 139 487 1 138 436 9 142 788 16 305 320 145 982 3 186 915 2 013 232 15 570 627 157 985 630 311 1 116 134 16 414 278 172 913 393 917 2 261 875 16 588 550 148 130 168 276 263 508 16 833 798 153 567 156 510 689 065 16 982 225 169 669 209 590 1 275 145 16 669 782 206 329 218 117 603 655 16 924 830 210 841 109 735 1 988 739 17 011 512 222 525 33 805 452 725 16 525 698 236 778 16 788 274 288 17 374 955 257 279 706 125 1 318 179 17 668 317 270 951 44 064 155 814 051 17 962 624 Milyar Rp USD ribu Rp Juta Jiwa 2000=100 BPS Jatim BPM Jatim BPM Jatim Disnaker Jatim Lampiran 2. Lanjutan TAHUN 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Satuan: BPS Jatim PNJG JLN 3 228.00 3 228.00 3 232.60 3 243.10 3 243.10 3 243.10 3 417.90 3 417.90 3 528.43 3 525.68 3 451.10 3 622.10 3 622.10 3 622.10 3 622.10 3 654.19 3 24.22 3 624.22 3 716.80 3 731.81 3 731.81 3 338.39 3 338.39 3 338.39 3 338.39 3 338.39 3 338.39 Km BPS Jatim IHKJ IHKA IHKI 162.20 47.84 12.74 191.24 52.81 14.30 209.53 56.06 15.65 235.95 57.83 17.50 260.21 60.36 19.33 273.28 62.49 20.24 288.31 63.63 21.42 317.20 65.98 23.41 343.27 68.69 25.29 367.99 71.98 26.91 115.91 75.88 29.02 125.72 79.08 31.74 135.64 81.48 34.12 148.83 83.90 37.43 160.75 86.08 40.62 177.08 88.50 44.45 190.16 91.10 47.56 201.44 93.23 50.50 189.10 94.67 79.80 202.29 96.74 96.36 206.35 100.00 100.00 233.90 102.82 111.50 261.45 104.45 124.66 278.74 106.84 133.10 113.68 109.69 141.17 123.74 113.40 155.93 137.08 117.48 176.27 2000=100 2000 = 100 2000=100 BPS Jatim IMF IMF T DD 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 116 Sumber: LIS 1 410 332.39 1 568 255.74 1 951 058.99 2 317 087.30 2 693 330.28 2 819 181.84 2 920 971.40 3 274 969.41 3 736 158.58 4 280 564.56 9 858 310.32 5 921 050.04 6 955 675.22 6 893 635.01 7 705 015.86 8 380 566.84 9 303 938.72 10 451 712.03 11 662 473.53 11 784 452.86 13 080 024.31 14 366 545.50 15 628 023.53 10 279 353.47 17 062 929.63 18 358 042.86 19 468 061.82 Kwh 117 Lampiran 3. Program dan Hasil Estimasi Model Ekonometrika Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur dengan Menggunakan Metode 2 SLS Lampiran 3a. Program Estimasi Model Ekonometrika Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA INVEST; SET ANALISIS; /*CREATE DATA*/ TK = AK - UN; /*MERILKAN DATA NOMINAL*/ PMDNR = (PMDN/IHKJ)*100; PMAR = (PMA/IHKJ)*100; ERR = ((ER*IHKI)/IHKA); IRR = (IR-INF); UMPR = (UMP/IHKJ)*100; /*MEMBUAT VARIABEL LAG*/ LPDRB = LAG(PDRB); LPMDNR = LAG(PMDNR); LPMAR = LAG(PMAR); LINF = LAG (INF); LUN = LAG(UN); LTK TK1 TK2 LIRR IRR1 LUMPR UMPR1 UMPR2 PDRB1 PMAR1 LJLN JLN1 LLIS = = = = = = = = = = = = = LAG(TK); (AK/TK); (TK/LTK); LAG(IRR); (IRR/LIRR); LAG(UMPR); (UMPR/(UMPR*TK)); (UMPR/LUMPR); (PDRB-LPDRB); (PMAR-LPMAR); LAG(JLN); (JLN-LJLN); LAG(LIS); /*MEMBUAT DESKRIPSI VARIABEL*/ LABEL PDRB = 'PROD DMSTK REG BRUTO (RP MILYAR)' PMDNR = 'PNNMAN MDL DLM NEGERI RIIL (RP JUTA)' PMAR = 'PNNMAN MDL ASING RIIL (USD RIBU)' INF = 'INFLASI(%/TAHUN)' TK = 'TENAGA KERJA (JIWA)' AK = 'ANGKATAN KERJA (JIWA)' UN = 'PENGANGGURAN (JIWA)' IRR = 'SUKU BUNGA RIIL BANK (%/TAHUN)' UMPR = 'UPAH MIN PROVINSI RIIL (RP/TAHUN)' ERR = 'NILAI TUKAR RIIL (RP/USD)' 118 Lampiran 3a. Lanjutan LIS = 'PENGGUNAAN LISTRIK (Kwh)' JLN = 'PANJANG JALAN (KM)' DD = 'DUMMY OTDA' DK = 'DUMMY KRISIS' LPDRB = 'PDRB t-1' LPMDNR = 'PMDNR t-1' LPMAR = 'PMAR t-1' LINF = 'INFLASI t-1' LUN = 'PNGGURAN t-1' LUMPR = 'UPAH MIN. PROV RIIL t-1' LLIS = 'PENGGUNAAN LISTRIK t-1' T = 'TREN WAKTU' JLN1 = '(JLN-LJLN)' TK1 = '(AK/TK)' IRR1 = '(IRR-LIRR)' UMPR1 = '(UMPR/(UMPR*TK))' UMPR2 = '(UMPR/LUMPR)' PDRB1 = '(PDRB-LPDRB)' PMAR1 = '(PMAR-LPMAR)'; RUN; PROC SYSLIN 2SLS DATA=INVEST OUTEST=HASIL; ENDOGENOUS PDRB PMDNR PMAR INF UN TK; INSTRUMENTS AK IRR ERR UMPR DD LPDRB LPMDNR LPMAR LINF LUN LIS JLN T; PD_BRUTO: MODEL PDRB MODAL_DN: MODEL PMDNR MODAL_AS: MODEL PMAR INFLASI : MODEL INF PNGGURAN: MODEL UN IDENTITY TK = TK+0; RUN; = = = = = PMDNR PMAR1 TK1 DD T LPDRB/DW; PDRB1 IRR1 UMPR1 LLIS JLN1 T LPMDNR/DW; LPDRB IRR ERR UMPR LIS JLN DD T LPMAR/DW; PDRB UMPR2 UN T LINF/DW; PMDNR PMAR1 LUMPR T LUN/DW; 119 Lampiran 3b. Hasil Estimasi Model Ekonometrika Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: PD_BRUTO Dependent variable: PDRB PROD DMSTK REG BRUTO (RP MILYAR) Analysis of Variance Sum of Squares Mean Square Source DF Model Error C Total 6 107435206984 17905867831 19 1449344769.1 76281303.639 25 108388919948 Root MSE 8733.91686 Dep Mean 137139.30769 C.V. 6.36865 R-Square Adj R-SQ F Value Prob>F 234.735 0.0001 0.9867 0.9825 Parameter Estimates Variable DF Parameter Estimate Standard Error T for H0: Parameter=0 Prob > |T| INTERCEP PMDNR PMAR1 TK1 DD T LPDRB 1 1 1 1 1 1 1 -22714 0.002855 0.013466 32247 19371 2040.919344 0.641687 246750 0.001838 0.008383 244484 8541.348619 1273.080545 0.174499 -0.092 1.553 1.606 0.132 2.268 1.603 3.677 0.9276 0.1369 0.1247 0.8965 0.0352 0.1254 0.0016 Variable DF INTERCEP PMDNR PMAR1 TK1 DD T LPDRB 1 1 1 1 1 1 1 Variable Label Intercept PNNMAN MDL DLM NEGERI RIIL (RP JUTA) (PMAR-LPMAR) (AK/TK) DUMMY OTDA TREN WAKTU PDRB t-1 Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation 1.736 26 0.120 120 Lampiran 3b. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: MODAL_DN Dependent variable: PMDNR PNNMAN MDL DLM NEGERI RIIL (RP JUTA) Analysis of Variance Sum of Squares Mean Square Source DF Model Error C Total 7 5.6194891E13 8.0278415E12 18 3.1284944E13 1.7380525E12 25 8.7479835E13 Root MSE1318352.17428 Dep Mean3246489.18942 C.V. 40.60855 F Value Prob>F 4.619 0.0041 R-Square Adj R-SQ 0.6424 0.5033 Parameter Estimates Variable DF Parameter Estimate Standard Error T for H0: Parameter=0 Prob > |T| INTERCEP PDRB1 IRR1 UMPR1 LLIS JLN1 T LPMDNR 1 1 1 1 1 1 1 1 10973977 62.435934 -21092 -1.305425E14 0.215034 4912.249631 -198945 0.476616 7847676 35.908952 55587 9.6176775E13 0.194741 3753.261625 179736 0.176905 1.398 1.739 -0.379 -1.357 1.104 1.309 -1.107 2.694 0.1790 0.0992 0.7088 0.1915 0.2840 0.2071 0.2829 0.0148 Variable DF INTERCEP PDRB1 IRR1 UMPR1 LLIS JLN1 T LPMDNR 1 1 1 1 1 1 1 1 Variable Label Intercept (PDRB-LPDRB) (IRR-LIRR) (UMPR/(UMPR*TK)) PENGGUNAAN LISTRIK t-1 (JLN-LJLN) TREN WAKTU PMDNR t-1 Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation 1.863 26 0.069 121 Lampiran 3b. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: MODAL_AS Dependent variable: PMAR PNNMAN MDL ASING RIIL (USD RIBU) Analysis of Variance Sum of Squares Mean Square Source DF Model Error C Total 9 2.1899714E12 243330156981 16 574735608292 35920975518 25 2.764707E12 Root MSE 189528.29741 Dep Mean 468568.37564 C.V. 40.44838 F Value Prob>F 6.774 0.0005 R-Square Adj R-SQ 0.7921 0.6752 Parameter Estimates Variable DF Parameter Estimate Standard Error T for H0: Parameter=0 Prob > |T| INTERCEP LPDRB IRR ERR UMPR LIS JLN DD T LPMAR 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 -3277834 0.007453 -23869 -122.073270 -0.156605 0.023290 1084.014463 732797 35863 0.308812 3279855 5.380075 11075 62.996321 0.261355 0.033960 1018.380230 540992 65992 0.282848 -0.999 0.001 -2.155 -1.938 -0.599 0.686 1.064 1.355 0.543 1.092 0.3325 0.9989 0.0467 0.0705 0.5574 0.5027 0.3029 0.1944 0.5943 0.2911 Variable DF INTERCEP LPDRB IRR ERR UMPR LIS JLN DD T LPMAR 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Variable Label Intercept PDRB t-1 SUKU BUNGA RIIL BANK (%/TAHUN) NILAI TUKAR RIIL (RP/USD) UPAH MIN PROVINSI RIIL (RP/TAHUN) PENGGUNAAN LISTRIK (Kwh) PANJANG JALAN (KM) DUMMY OTDA TREN WAKTU PMAR t-1 Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation 2.025 26 -0.045 122 Lampiran 3b. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: INFLASI Dependent variable: INF INFLASI(%/TAHUN) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square Model Error C Total 5 20 25 323.83925 162.87702 471.84834 Root MSE Dep Mean C.V. 2.85374 9.28846 30.72353 F Value Prob>F 64.76785 8.14385 7.953 0.0003 R-Square Adj R-SQ 0.6654 0.5817 Parameter Estimates Variable DF Parameter Estimate Standard Error T for H0: Parameter=0 Prob > |T| INTERCEP PDRB UMPR2 UN T LINF 1 1 1 1 1 1 -4.118334 0.000167 0.207020 -0.000004036 -1.011961 0.898440 5.490376 0.000064850 3.699452 0.000004571 0.429708 0.342271 -0.750 2.572 0.056 -0.883 -2.355 2.625 0.4619 0.0182 0.9559 0.3877 0.0288 0.0162 Variable DF INTERCEP PDRB UMPR2 UN T LINF 1 1 1 1 1 1 Variable Label Intercept PROD DMSTK REG BRUTO (RP MILYAR) (UMPR/LUMPR) PENGANGGURAN (JIWA) TREN WAKTU INFLASI t-1 Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation 1.516 26 0.131 123 Lampiran 3b. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: PNGGURAN Dependent variable: UN PENGANGGURAN (JIWA) Analysis of Variance Sum of Squares Mean Square Source DF Model Error C Total 5 4.6255483E12 925109659096 20 482504085907 24125204295 25 4.9656558E12 Root MSE 155322.90332 Dep Mean 674693.00000 C.V. 23.02127 R-Square Adj R-SQ F Value Prob>F 38.346 0.0001 0.9055 0.8819 Parameter Estimates Variable DF Parameter Estimate Standard Error T for H0: Parameter=0 Prob > |T| INTERCEP PMDNR PMAR1 LUMPR T LUN 1 1 1 1 1 1 36560 -0.057318 -0.013849 0.033121 24447 0.644506 77320 0.031750 0.161121 0.103328 15291 0.195581 0.473 -1.805 -0.086 0.321 1.599 3.295 0.6414 0.0861 0.9324 0.7519 0.1255 0.0036 Variable DF INTERCEP PMDNR PMAR1 LUMPR T LUN 1 1 1 1 1 1 Variable Label Intercept PNNMAN MDL DLM NEGERI RIIL (RP JUTA) (PMAR-LPMAR) UPAH MIN. PROV RIIL t-1 TREN WAKTU PNGGURAN t-1 Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation 1.963 26 0.010 117 Lampiran 3. Program dan Hasil Estimasi Model Ekonometrika Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur dengan Menggunakan Metode 2 SLS Lampiran 3a. Program Estimasi Model Ekonometrika Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA INVEST; SET ANALISIS; /*CREATE DATA*/ TK = AK - UN; /*MERILKAN DATA NOMINAL*/ PMDNR = (PMDN/IHKJ)*100; PMAR = (PMA/IHKJ)*100; ERR = ((ER*IHKI)/IHKA); IRR = (IR-INF); UMPR = (UMP/IHKJ)*100; /*MEMBUAT VARIABEL LAG*/ LPDRB = LAG(PDRB); LPMDNR = LAG(PMDNR); LPMAR = LAG(PMAR); LINF = LAG (INF); LUN = LAG(UN); LTK TK1 TK2 LIRR IRR1 LUMPR UMPR1 UMPR2 PDRB1 PMAR1 LJLN JLN1 LLIS = = = = = = = = = = = = = LAG(TK); (AK/TK); (TK/LTK); LAG(IRR); (IRR/LIRR); LAG(UMPR); (UMPR/(UMPR*TK)); (UMPR/LUMPR); (PDRB-LPDRB); (PMAR-LPMAR); LAG(JLN); (JLN-LJLN); LAG(LIS); /*MEMBUAT DESKRIPSI VARIABEL*/ LABEL PDRB = 'PROD DMSTK REG BRUTO (RP MILYAR)' PMDNR = 'PNNMAN MDL DLM NEGERI RIIL (RP JUTA)' PMAR = 'PNNMAN MDL ASING RIIL (USD RIBU)' INF = 'INFLASI(%/TAHUN)' TK = 'TENAGA KERJA (JIWA)' AK = 'ANGKATAN KERJA (JIWA)' UN = 'PENGANGGURAN (JIWA)' IRR = 'SUKU BUNGA RIIL BANK (%/TAHUN)' UMPR = 'UPAH MIN PROVINSI RIIL (RP/TAHUN)' ERR = 'NILAI TUKAR RIIL (RP/USD)' 118 Lampiran 3a. Lanjutan LIS = 'PENGGUNAAN LISTRIK (Kwh)' JLN = 'PANJANG JALAN (KM)' DD = 'DUMMY OTDA' DK = 'DUMMY KRISIS' LPDRB = 'PDRB t-1' LPMDNR = 'PMDNR t-1' LPMAR = 'PMAR t-1' LINF = 'INFLASI t-1' LUN = 'PNGGURAN t-1' LUMPR = 'UPAH MIN. PROV RIIL t-1' LLIS = 'PENGGUNAAN LISTRIK t-1' T = 'TREN WAKTU' JLN1 = '(JLN-LJLN)' TK1 = '(AK/TK)' IRR1 = '(IRR-LIRR)' UMPR1 = '(UMPR/(UMPR*TK))' UMPR2 = '(UMPR/LUMPR)' PDRB1 = '(PDRB-LPDRB)' PMAR1 = '(PMAR-LPMAR)'; RUN; PROC SYSLIN 2SLS DATA=INVEST OUTEST=HASIL; ENDOGENOUS PDRB PMDNR PMAR INF UN TK; INSTRUMENTS AK IRR ERR UMPR DD LPDRB LPMDNR LPMAR LINF LUN LIS JLN T; PD_BRUTO: MODEL PDRB MODAL_DN: MODEL PMDNR MODAL_AS: MODEL PMAR INFLASI : MODEL INF PNGGURAN: MODEL UN IDENTITY TK = TK+0; RUN; = = = = = PMDNR PMAR1 TK1 DD T LPDRB/DW; PDRB1 IRR1 UMPR1 LLIS JLN1 T LPMDNR/DW; LPDRB IRR ERR UMPR LIS JLN DD T LPMAR/DW; PDRB UMPR2 UN T LINF/DW; PMDNR PMAR1 LUMPR T LUN/DW; 119 Lampiran 3b. Hasil Estimasi Model Ekonometrika Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: PD_BRUTO Dependent variable: PDRB PROD DMSTK REG BRUTO (RP MILYAR) Analysis of Variance Sum of Squares Mean Square Source DF Model Error C Total 6 107435206984 17905867831 19 1449344769.1 76281303.639 25 108388919948 Root MSE 8733.91686 Dep Mean 137139.30769 C.V. 6.36865 R-Square Adj R-SQ F Value Prob>F 234.735 0.0001 0.9867 0.9825 Parameter Estimates Variable DF Parameter Estimate Standard Error T for H0: Parameter=0 Prob > |T| INTERCEP PMDNR PMAR1 TK1 DD T LPDRB 1 1 1 1 1 1 1 -22714 0.002855 0.013466 32247 19371 2040.919344 0.641687 246750 0.001838 0.008383 244484 8541.348619 1273.080545 0.174499 -0.092 1.553 1.606 0.132 2.268 1.603 3.677 0.9276 0.1369 0.1247 0.8965 0.0352 0.1254 0.0016 Variable DF INTERCEP PMDNR PMAR1 TK1 DD T LPDRB 1 1 1 1 1 1 1 Variable Label Intercept PNNMAN MDL DLM NEGERI RIIL (RP JUTA) (PMAR-LPMAR) (AK/TK) DUMMY OTDA TREN WAKTU PDRB t-1 Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation 1.736 26 0.120 120 Lampiran 3b. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: MODAL_DN Dependent variable: PMDNR PNNMAN MDL DLM NEGERI RIIL (RP JUTA) Analysis of Variance Sum of Squares Mean Square Source DF Model Error C Total 7 5.6194891E13 8.0278415E12 18 3.1284944E13 1.7380525E12 25 8.7479835E13 Root MSE1318352.17428 Dep Mean3246489.18942 C.V. 40.60855 F Value Prob>F 4.619 0.0041 R-Square Adj R-SQ 0.6424 0.5033 Parameter Estimates Variable DF Parameter Estimate Standard Error T for H0: Parameter=0 Prob > |T| INTERCEP PDRB1 IRR1 UMPR1 LLIS JLN1 T LPMDNR 1 1 1 1 1 1 1 1 10973977 62.435934 -21092 -1.305425E14 0.215034 4912.249631 -198945 0.476616 7847676 35.908952 55587 9.6176775E13 0.194741 3753.261625 179736 0.176905 1.398 1.739 -0.379 -1.357 1.104 1.309 -1.107 2.694 0.1790 0.0992 0.7088 0.1915 0.2840 0.2071 0.2829 0.0148 Variable DF INTERCEP PDRB1 IRR1 UMPR1 LLIS JLN1 T LPMDNR 1 1 1 1 1 1 1 1 Variable Label Intercept (PDRB-LPDRB) (IRR-LIRR) (UMPR/(UMPR*TK)) PENGGUNAAN LISTRIK t-1 (JLN-LJLN) TREN WAKTU PMDNR t-1 Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation 1.863 26 0.069 121 Lampiran 3b. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: MODAL_AS Dependent variable: PMAR PNNMAN MDL ASING RIIL (USD RIBU) Analysis of Variance Sum of Squares Mean Square Source DF Model Error C Total 9 2.1899714E12 243330156981 16 574735608292 35920975518 25 2.764707E12 Root MSE 189528.29741 Dep Mean 468568.37564 C.V. 40.44838 F Value Prob>F 6.774 0.0005 R-Square Adj R-SQ 0.7921 0.6752 Parameter Estimates Variable DF Parameter Estimate Standard Error T for H0: Parameter=0 Prob > |T| INTERCEP LPDRB IRR ERR UMPR LIS JLN DD T LPMAR 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 -3277834 0.007453 -23869 -122.073270 -0.156605 0.023290 1084.014463 732797 35863 0.308812 3279855 5.380075 11075 62.996321 0.261355 0.033960 1018.380230 540992 65992 0.282848 -0.999 0.001 -2.155 -1.938 -0.599 0.686 1.064 1.355 0.543 1.092 0.3325 0.9989 0.0467 0.0705 0.5574 0.5027 0.3029 0.1944 0.5943 0.2911 Variable DF INTERCEP LPDRB IRR ERR UMPR LIS JLN DD T LPMAR 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Variable Label Intercept PDRB t-1 SUKU BUNGA RIIL BANK (%/TAHUN) NILAI TUKAR RIIL (RP/USD) UPAH MIN PROVINSI RIIL (RP/TAHUN) PENGGUNAAN LISTRIK (Kwh) PANJANG JALAN (KM) DUMMY OTDA TREN WAKTU PMAR t-1 Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation 2.025 26 -0.045 122 Lampiran 3b. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: INFLASI Dependent variable: INF INFLASI(%/TAHUN) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square Model Error C Total 5 20 25 323.83925 162.87702 471.84834 Root MSE Dep Mean C.V. 2.85374 9.28846 30.72353 F Value Prob>F 64.76785 8.14385 7.953 0.0003 R-Square Adj R-SQ 0.6654 0.5817 Parameter Estimates Variable DF Parameter Estimate Standard Error T for H0: Parameter=0 Prob > |T| INTERCEP PDRB UMPR2 UN T LINF 1 1 1 1 1 1 -4.118334 0.000167 0.207020 -0.000004036 -1.011961 0.898440 5.490376 0.000064850 3.699452 0.000004571 0.429708 0.342271 -0.750 2.572 0.056 -0.883 -2.355 2.625 0.4619 0.0182 0.9559 0.3877 0.0288 0.0162 Variable DF INTERCEP PDRB UMPR2 UN T LINF 1 1 1 1 1 1 Variable Label Intercept PROD DMSTK REG BRUTO (RP MILYAR) (UMPR/LUMPR) PENGANGGURAN (JIWA) TREN WAKTU INFLASI t-1 Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation 1.516 26 0.131 123 Lampiran 3b. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: PNGGURAN Dependent variable: UN PENGANGGURAN (JIWA) Analysis of Variance Sum of Squares Mean Square Source DF Model Error C Total 5 4.6255483E12 925109659096 20 482504085907 24125204295 25 4.9656558E12 Root MSE 155322.90332 Dep Mean 674693.00000 C.V. 23.02127 R-Square Adj R-SQ F Value Prob>F 38.346 0.0001 0.9055 0.8819 Parameter Estimates Variable DF Parameter Estimate Standard Error T for H0: Parameter=0 Prob > |T| INTERCEP PMDNR PMAR1 LUMPR T LUN 1 1 1 1 1 1 36560 -0.057318 -0.013849 0.033121 24447 0.644506 77320 0.031750 0.161121 0.103328 15291 0.195581 0.473 -1.805 -0.086 0.321 1.599 3.295 0.6414 0.0861 0.9324 0.7519 0.1255 0.0036 Variable DF INTERCEP PMDNR PMAR1 LUMPR T LUN 1 1 1 1 1 1 Variable Label Intercept PNNMAN MDL DLM NEGERI RIIL (RP JUTA) (PMAR-LPMAR) UPAH MIN. PROV RIIL t-1 TREN WAKTU PNGGURAN t-1 Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation 1.963 26 0.010 124 Lampiran 4. Program dan Hasil Validasi Model Ekonometrika Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur dengan Menggunakan Metode 2SLS Lampiran 4a. Program Validasi Model Ekonometrika Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA INVEST; SET ANALISIS; /*CREATE DATA*/ TK = AK - UN; /*MERILKAN DATA NOMINAL*/ PMDNR = (PMDN/IHKJ)*100; PMAR = (PMA/IHKJ)*100; ERR = ((ER*IHKI)/IHKA); IRR = (IR-INF); UMPR = (UMP/IHKJ)*100; /*MEMBUAT VARIABEL LAG*/ LPDRB = LAG(PDRB); LPMDNR = LAG(PMDNR); LPMAR = LAG(PMAR); LINF = LAG (INF); LUN = LAG(UN); LTK TK1 LIRR IRR1 LUMPR UMPR1 UMPR2 PDRB1 PMAR1 PMDNR1 LJLN JLN1 LLIS = = = = = = = = = = = = = LAG(TK); (AK/TK); LAG(IRR); (IRR/LIRR); LAG(UMPR); (UMPR/(UMPR*TK)); (UMPR/LUMPR); (PDRB-LPDRB); (PMAR-LPMAR); (PMDNR-LPMDNR); LAG(JLN); (JLN-LJLN); LAG(LIS); /*MEMBUAT DESKRIPSI VARIABEL*/ LABEL PDRB = 'PROD DMSTK REG BRUTO (RP MILYAR)' PMDNR = 'PNNMAN MDL DLM NEGERI RIIL (RP JUTA)' PMAR = 'PNNMAN MDL ASING RIIL (USD RIBU)' INF = 'INFLASI(%/TAHUN)' TK = 'TENAGA KERJA (JIWA)' AK = 'ANGKATAN KERJA (JIWA)' UN = 'PENGANGGURAN (JIWA)' IRR = 'SUKU BUNGA RIIL BANK (%/TAHUN)' UMPR = 'UPAH MIN. PROVINSI RIIL (RP/TAHUN)' ERR = 'NILAI TUKAR RIIL (RP/USD)' LIS = 'PENGGUNAAN LISTRIK (KWH)' JLN = 'PANJANG JALAN (KM)' DD = 'DUMMY OTDA' DK = 'DUMMY KRISIS' LPDRB = 'PDRB t-1' 125 Lampiran 4a. Lanjutan LPMDNR LPMAR LINF LUN LUMPR LLIS T JLN1 TK1 IRR1 UMPR1 UMPR2 PDRB1 PMAR1 = = = = = = = = = = = = = = 'PMDNR t-1' 'PMAR t-1' 'INFLASI t-1' 'PNGGURAN t-1' 'UPAH MIN. PROV RIIL t-1' 'PENGGUNAAN LISTRIK t-1' 'TREN WAKTU' '(JLN-LJLN)' '(AK/TK)' '(IRR-LIRR)' '(UMPR/(UMPR*TK))' '(UMPR/LUMPR)' '(PDRB-LPDRB)' '(PMAR-LPMAR)'; /*TITLE 'SIMULASI SATU=1 (KENAIKAN PMDN 15%)'; PMDNR=1.15*PMDNR; LPMDNR=1.15*LPMDNR;*/ /*TITLE 'SIMULASI DUA=2 (KENAIKAN PMA 15%)'; PMAR=1.15*PMAR; LPMAR=1.15*LPMAR;*/ /*TITLE 'SIMULASI TIGA=3 (KENAIKAN UMPR 18%)'; UMPR=1.18*UMPR; LUMPR=1.18*LUMPR;*/ /*TITLE 'SIMULASI EMPAT=4 (KENAIKAN SUKU BUNGA RIIL BANK 1.5%)'; IRR=1.015*IRR; LIRR=1.015*LIRR;*/ /*TITLE 'SIMULASI LIMA=5 (KOMBINASI 1 DAN 2)'; PMDNR=1.15*PMDNR; LPMDNR=1.15*LPMDNR; PMAR=1.15*PMAR; LPMAR=1.15*LPMAR;*/ /*TITLE 'SIMULASI ENAM=6 (KOMBINASI 1 DAN 3)'; PMDNR=1.15*PMDNR; LPMDNR=1.15*LPMDNR; UMPR=1.18*UMPR; LUMPR=1.18*LUMPR;*/ /*TITLE 'SIMULASI TUJUH=7 (KOMBINASI 1 DAN 4)'; PMDNR=1.15*PMDNR; LPMDNR=1.15*LPMDNR; IRR=1.015*IRR; LIRR=1.015*LIRR;*/ /*TITLE 'SIMULASI DELAPAN=8 (KOMBINASI 2 DAN 3)'; PMAR=1.15*PMAR; LPMAR=1.15*LPMAR; UMPR=1.18*UMPR; LUMPR=1.18*LUMPR;*/ /*TITLE 'SIMULASI SEMBILAN=9 (KOMBINASI 2 DAN 4)'; PMAR=1.15*PMAR; LPMAR=1.15*LPMAR; IRR=1.015*IRR; LIRR=1.015*LIRR;*/ /*TITLE 'SIMULASI SEPULUH=10 (KOMBINASI 3 DAN 4)'; UMPR=1.18*UMPR; LUMPR=1.18*LUMPR; IRR=1.015*IRR; LIRR=1.015*LIRR;*/ RUN; PROC SIMNLIN STATS SIMULATE OUTPREDICT THEIL OUT=HASIL MAXITER=5000; ENDOGENOUS PDRB PMDNR PMAR INF UN TK; INSTRUMENTS AK IRR ERR UMPR DD LPDRB LPMDNR LPMAR LINF LUN LIS JLN T; 126 Lampiran 4a. Lanjutan PARM a0 -22714 b0 10973977 c0 -3277834 d0 -4.118334 e0 36560 PDRB = a0 + + PMDNR = b0 + + PMAR = c0 + + INF = d0 + UN = e0 + TK = AK - a1 0.002855 a6 0.641687 b1 62.435934 b6 -198945 c1 0.007453 c6 1084.014463 d1 0.000167 e1 -0.057318 a1*PMDNR a6*LPDRB; b1*(PDRB-LPDRB) b7*LPMDNR; c1*LPDRB c6*JLN d1*PDRB e1*PMDNR UN; a2 0.013466 b2 b7 c2 c7 d2 e2 -21092 0.476616 -23869 732797 0.207020 -0.013849 a3 32247 a4 19371 a5 2040.919344 b3 -1.305425E14 b4 0.215034 b5 4912.249631 c3 -122.073270 c8 35863 d3 -0.000004036 e3 0.033121 c4 -0.156605 c9 0.308812 d4 -1.011961 e4 24447 d5 0.898440 e5 0.644506; + a2*PMAR + a3*(AK/TK) + b2*(IRR-LIRR) + b3*(UMPR/(UMPR*TK)) + b4*LLIS + b5*(JLN-LJLN) + b6*T + + + + + + + + RANGE TAHUN=1993 TO 2006; RUN; c2*IRR c7*DD d2*(UMPR/LUMPR) e2*LPMAR c3*ERR c8*T d3*UN e3*UMPR + a4*DD c5 0.023290 + a5*T + c4*UMPR + c5*LIS + c9*LPMAR; + d4*T + d5*LINF; + e4*T + e5*LUN; 127 Lampiran 4b. Hasil Validasi Model Ekonometrika Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur The SAS System SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters RANGE Variable Equations 6 6 37 TAHUN 6 Number of Statements 6 The SAS System SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Solution Summary Dataset Option DATA= OUT= Variables Solved Solution RANGE First Last Dataset INVEST HASIL 6 TAHUN 1993 2006 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E-8 Maximum CC 2.1176E-10 Maximum Iterations 2 Total Iterations 28 Average Iterations 2 Observations Processed Read 14 Solved 14 First 14 Last 27 Variables Solved For: PDRB PMDNR PMAR INF UN TK 128 Lampiran 4b. Lanjutan The SAS System SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 1993 To 2006 Descriptive Statistics Actual Variable PDRB PMDNR PMAR INF UN TK Predicted Nobs N Mean Std Mean Std 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 187291 3889003 495889 10.1250 968725 16744449 46300 768460 369752 5.7257 419477 679033 194060 4463617 517814 11.5936 942843 16770331 44788 784629 337476 4.7596 371038 694203 Statistics of Fit Variable PDRB PMDNR PMAR INF UN TK N Mean Error Mean % Error Mean Abs Error Mean Abs % Error RMS Error RMS % Error R-Square 14 14 14 14 14 14 6769 574614 21925 1.4686 -25882 25882 4.1163 18.4401 22.4485 24.8875 0.3931 0.1564 8493 844391 124868 3.2038 139893 139893 4.96426 24.98530 34.41996 39.71857 15.74847 0.84013 10888 995781 170045 3.8683 165470 165470 6.7143 33.3038 61.1348 52.4021 18.0448 0.9958 0.9404 -0.8083 0.7722 0.5084 0.8324 0.9360 Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Variable PDRB PMDNR PMAR INF UN TK Inequality Coef N MSE Corr (R) Bias (UM) Reg (UR) Dist (UD) Var (US) Covar (UC) U1 U 14 14 14 14 14 14 118542930 9.91581E11 2.89152E10 14.96406 2.73804E10 2.73804E10 0.982 0.410 0.881 0.764 0.915 0.970 0.387 0.333 0.017 0.144 0.024 0.024 0.003 0.207 0.004 0.009 0.006 0.043 0.610 0.460 0.979 0.847 0.970 0.932 0.018 0.000 0.033 0.058 0.080 0.008 0.596 0.667 0.950 0.798 0.896 0.968 0.0566 0.2515 0.2785 0.3355 0.1576 0.0099 0.0278 0.1173 0.1391 0.1612 0.0804 0.0049 129 Lampiran 4b. Lanjutan The SAS System SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 1993 To 2006 Theil Relative Change Forecast Error Statistics Relative Change Variable PDRB PMDNR PMAR INF UN TK N 13 13 13 13 13 13 MSE Decomposition Proportions MSE 0.00444 0.07346 0.16405 0.20645 0.04268 0.0001051 Corr (R) 0.764 0.670 0.709 0.124 0.282 0.937 Bias (UM) 0.388 0.283 0.067 0.139 0.039 0.031 Reg (UR) 0.087 0.001 0.041 0.256 0.031 0.041 Dist (UD) 0.524 0.715 0.892 0.606 0.930 0.928 Var (US) 0.314 0.114 0.035 0.033 0.299 0.141 Inequality Coef Covar (UC) 0.298 0.603 0.898 0.829 0.663 0.827 U1 0.6899 0.8641 0.7089 1.1464 0.8448 0.3360 U 0.3237 0.4459 0.3623 0.5441 0.5521 0.1759 Lampiran 4. lanjutan Lampiran 4c. Hasil Simulasi Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur Variabel PDRB PMDNR PMAR INF Simulasi Dasar Simulasi 1 Simulasi 2 194 060 0.012 0.441 4 463 617 - 517 814 0.000 Simulasi 3 Simulasi 4 Simulasi 5 Simulasi 6 Simulasi 7 Simulasi 8 Simulasi 9 Simulasi 10 -0.681 -0.020 0.375 -0.537 -0.006 0.449 0.442 -0.701 1.240 -2.082 -0.042 - - - 1.078 1.257 -2.125 - -15.795 -0.486 - -15.795 -0.486 - - -16.282 11.594 0.052 1.378 -2.689 -0.060 1.101 -2.086 0.003 0.784 1.383 -2.750 UN 942 843 -0.053 -0.442 2.400 0.011 -0.158 1.782 -0.053 1.437 -0.446 2.411 TK 16 770 331 0.003 0.025 -0.135 -0.001 0.009 -0.100 0.003 -0.081 0.025 -0.136 Keterangan : Simulasi 1 : Simulasi 2 : Simulasi 3 : Simulasi 4 : Simulasi 5 : Simulasi 6 : Simulasi 7 : Simulasi 8 : Simulasi 9 : Simulasi 10 : Peningkatan PMDN sebesar 15 % Peningkatan PMA sebesar 15 % Peningkatan upah Minimum Provinsi sebesar 18 % Peningkatan Suku Bunga sebesar 1.5 % Kombinasi (1) dan (2) Kombinasi (1) dan (3) Kombinasi (1) dan (4) Kombinasi (2) dan (3) Kombinasi (2) dan (4) Kombinasi (3) dan (4) 130 131 Lampiran 5. Beberapa Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang Dinilai Memberatkan Bagi Investor PMDN dan PMA 1. Peraturan Daerah Kabupaten Gresik : a. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000 tentang Retribusi Ijin Gangguan (HO). b. Peraturan Daerah Nomor 39 Tahun 2000 tentang Sumbangan Pihak Ketiga kepada Pemerintah Kabupaten Gresik. c. Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pengenaan Pajak Parkir. d. Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2002 tentang Ijin Pemanfaatan Air Bawah Tanah (ABT) dan Air Pemukiman. e. Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pegelolaan Sumber Energi dan Ketenagalistrikan. 2. Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 1 Tahun 2003 tertanggal 18 Januari 2003 tentang Retribusi Pelayanan di Bidang Ketenagakerjaan. 3. Peraturan Daerah Kabupaten Jombang : a. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Retribusi Ijin Penggunaan Jalan. b. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2001 tentang Retribusi Ijin Masuk Kota. 4. Peraturan Daerah Kabupaten Blitar : a. Peraturan Daerah Nomor 23 Tahun 2000 tentang Retribusi Kartu Ternak. b. Peraturan Daerah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Pemeriksaan Daging yang Berasal dari Luar Daerah dan Dipasarkan di Kabupaten Blitar. 5. Peraturan Daerah Kabupaten Magetan : a. Peraturan Daerah Nomor 23 Tahun 2000 tentang Retribusi Kepemilikan Kartu Ternak. b. Peraturan Daerah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Retribusi Pemeliharaan Jalan. 6. Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo : a. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Retribusi Kartu Ternak b. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Retribusi Ijin Dispensasi Penggunaan Jalan Kabupaten Probolinggo. 7. Peraturan Daerah Kabupaten Kediri Nomor 18 Tahun 2001 tentang Retribusi Ijin Dispensasi Kelas Jalan. 132 Lampiran 5. Lanjutan 8. Peraturan Daerah Kabupaten Bondowoso Nomor 10 Tahun 2000 tentang Retribusi Kartu Identitas Ternak. 9. Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 18 Tahun 2001 tentang Retribusi Kartu Ternak.