BAB IV NASIB OBAT DALAM TUBUH Nasib obat dalam tubuh merupakan peristiwa-peristiwa yang di alami obat dalam tubuh. Aksi beberapa obat membutuhkan suatu proses untuk mencapai konsentrasi yang cukup dalam jaringan sasarannya. Dua proses penting yang menentukan konsentrasi obat di dalam tubuh pada waktu tertentu adalah : • Translokasi dari molekul obat • Transformasi senyawa obat Pada bab ini akan dibicarakan translokasi obat dan faktor yang menentukan proses absorpsi dan distribusi. Transformasi obat menerangkan proses metabolisme obat atau proses eliminasi lain yang terlibat dalam tubuh. A. TRANSPORT OBAT Transport merupakan suatu peristiwa perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain disertai dengan penembusan membran seluler. Kecuali metabolisme, proses farmakokinetika melibatkan transport membran tersebut. Obat berpindah-pindah dalam tubuh melalui dua jalan yaitu transfer difusional misalnya molekul ke molekul, dengan jarak yang pendek, transfer beraliran misalnya dalam aliran darah. Dalam aliran darah (sistem kardiovaskuler), transfer beraliran tidak dipengaruhi oleh sifat kimiawi obat. Sedangkan pada transfer difusi dipengaruhi oleh ukuran molekul obat dan kelarutannya dalam lipid. Semakin kecil ukuran partikel suatu obat maka proses transport obat juga semakin besar dan semakin larut dalam lipid maka transfer pada barrier hidrofobik semakin besar pula. Membran sel Barrier antara dua kompartemen dalam tubuh terdiri dari membran sel. Membran tersebut memisahkan antara kompartemen ekstraseluler dengan intraseluler. Yang dimaksud dengan membran sel adalah suatu organel yang memisahkan isi sel dari lingkungan sekitarnya. Komposisi dari membran sel dan fungsinya disajikan pada tabel V dan gambaran membran sel disajikan pada gambar 10. Tabel V. Komposisi membran sel dan fungsinya Komposisi membran sel Fungsi Ketebalan ( A ) Protein lapisan hidrofilik 20-25 Trigliserida lapisan lipofilik 25-35 Steroid (kolesterol) barier bimoleuler 25-35 Fosfolipida (lesitin) barier bimoleuler 25-35 Protein lapisan hidrofilik 20-25 Gambar 10. Diagran skematik struktur membran (Ritschel, 1992) Dari gambar 10 dan tabel V, mebran sel mempunyai gugus yang dapat membentuk ikatan ionik atau hidrogen dengan gugus yang sesuai dari suatu obat. Sehingga sifat dari suatu membran adalah semipermiabel, mempunyai tegangan permukaan yang rendah dan mempunyai tegangan listrik (potensial membran). Terdapat dua macam model membran sel yaitu model Davson Danielli dan Mosaik Cair. Pada model Davson Danielli, membran sel terdiri dari 2 lapis lipid yaitu gugus hidrofil pada permukaan mebran dan gugus hidrofob berada dalam membran sel. llustrasi membran ini seperti pada gambar 10, dimana kedua gugus tersebut diselubungi oleh protein. Bangunan membran pada model ini adalh statis. Di lain pihak, model mosaik cair terdiri dari matrik cair dengan dua lapis molekul lipid. Molekul protein terletak menyebar secara tidak merata. Protein membran ini dapat berfungsi sebagai pemerkuat membran, molekul pembawa, enzim, pori senyawa larut dalam air atau reseptor. Bangunan membran bersifat dinamis (gambar 11). Gambar 11. membran menu rut model mozaik cair (Albert et a/., 1994). Mekanisme transport Mekanisme transport disajikan pada tabel dan gambar berikut ini: Tabel VI. Mekanisme absorpsi (Ritschel, 1992) Mekanisme Karakteristik absorpsi Difusi pasif Contoh Obat bergerak searah gradien Asam organik lemah kadar – obat Basa organik lemah Keadaan seimbang tercapat jika Alkohol, urea, kadar obat kedua kompartemen sama Kecepatan difusi tergantung pH medium Tergantung koefisien partisi, pKa senyawa, ketebalan membran dan luas area. amidopirin Glikosida jantung Transport aktif Obat bergerak melawan gradien kadar atau potensial eiektrokimia Na+, K+, I-, heksosa, monosakarida, Mebutuhkan energi dan pembawa Proses dapat jenuh organik kuat, basa Proses satu arah organik kuat, fosfat Bersifat spesifik organic Berbagai obat dapat Inhibitor Glikosida jantung kompetitif Vit. B, testosteron, Racun metabolisme (sianida, asam amino, asam estradiol, vit 812 dinitrofenol) menghambat transport Transport Obat terlarut dalam medium berair konvektif Kecepatan tergantung pada koef. maupun anorganik Filtrasi dan terbalik dengan (150 - 400 MW) viskositas Ion organik yang Diameter pori 7 A bermuatan berbeda Tergantung ketebalan membran, dg pori jumlah pori, perbedaan tekanan hidrostatik Transport Elektrolit fasilitatif Obat bergerak searah gradien Sulfonamid terisonisiasi VitB12 Komplek anion organik dari suatu Asam sulfonat senyawa dengan kation dari Ammonium kuartener kadar – obat Membutuhkan karier Bersifat spesifik Proses dapat jenuh Berbagai obat dapat inhibitor kompetitif Racun metabolisme (sianida, dinitrofenol) menghambat transport Transport pasangan ion medium / membran Melalui difusi pasif Medium biasanya musin (seny. Endogen) Pinositosis Pergerakan dengan bantuan vesikel dalam membran sel Lemal, gliserin, vit ADEK, partikel plastik, insulin B. ABSORPSI Absoprsi menggambarkan kecepatan pada saat obat meninggalkan tempat / sisi pemberian. Obat agar dapat diabsorpsi harus dilepaskan dari bentuk sediaannya sebagai contoh apabila obat dalam bentuk tablet maka harus mengalami disintegrasi sediaan dan disolusi senyawa aktifnya. Pelepasan obat dari sediaannya tergantung dari faktor fisika kimiawi obat, bentuk sediaan, dan lingkungan dalam tubuh tempat obat diabsorpsi. Dalam hal ini, formulasi bentuk sediaan adalah faktor paling penting dalam pelepasan obat. Apabila molekul obat terikat pada permukaan kulit atau mukosa oleh ikatan ion, ikatan hidrogen atau van der Waal dinamakan adsorpsi. Sedangkan jika obat mencapai lapisan yang lebih dalam tapi tidak mencapai kapiler darah dinamakan peristiwa penetrasi. Kemudian, obat menembus melalui dinding kapiler dan menuju sirkulasi sistemik dinamakan absorpsi. Secara ringkas, Defmisi absorpsi adalah perpindahan obat dari tempat pemberian ke sirkulasi sistemik (peredaran darah). Obat harus berada dalam larutan air pada tempat absorpsi agar dapar dapat diabsorpsi. Absorpsi suatu obat dapat terjadi pada bagian bukal, sublingual (bawah lidah), gastrointestinal (saluran cerna), kulit (kutan), otot (muskular), rongga perut (peritoneal), mata (okular), nasal (hidung), paru atau rektal. Mekanisme absorpsi bisa dengan cara difusi pastf, transport aktif, transport konvektif, difusi terfasilitasi, transport pasangan ion dan pinositosis. Obat dapat diabsorpsi dengan beberapa jalur mekanisme. Area permukaan absorpsi Absorpsi topikal adalah terbatas karena struktur anatomi dari kulit yang menyebabkan obat tidak optimal diabsorpsi. Kulit kurang permeabel dibandingkan mukosa (mulut, gastrointestinal, rektal dan paru). Bahkan area kulit hanya 1,73 m2, sedangkan area permukaan absorpsi paru adalah 70 m2. Luas area permukaan absorpsi gastrointestinal adalah paling luas 120 m2 karena terdapat makrovili dan mikrovili pada usus halus. Dengan pertimbangan tersebut, banyak obat yang diberikan secara oral dengan harapan tempat absorpsinya terjadi pada traktus gastrointestinal. Gambaran absorpsi pada traktus gastrointestinal disajikan pada gambar 15. Gambar 15. Anatomi absorpsi di intestinal (usus) (Ritschel, 1992) Bioavailibilitas Bioavailibilitas atau ketersediaan hayati merupakan parameter keefektifan suatu obat diabsorpsi. Bioavailibilitas merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan kandungan obat dimana obat dapat mencapai tempat aksinya. Sebagai contoh obat yang diabsorpsi dari lambung dan usus (intestin) harus pertama kali melalui hati sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Apabila obat dimetabolisme di hati dan diekskresi pada empedu, beberapa obat aktif akan diinaktivasi sebelum mencapai tempat aksinya. Dan apabila kapasrtas metabolisme atau ekskresi hati terhadap obat adalah besar maka bioavailibilitas akan berkurang dan peristiwa ini disebut efek lintas pertama (first-pass effect). Bioavailibilitas merupakan fungsi dari dua hal yaitu kecepatan obat terabsorpsi dan jumlah obat yang diabsorpsi. Dua faktor tersebut dapat diukur dengan cara in vitro (metode kantong usus atau usus terbalik), in situ (metode Doluisio) dan in vivo (mengukur kadar obat baik dalam darah maupun urin pada waktu-waktu tertentu). Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat Proses awal farmakokinetika adalah absorpsi obat apabila obat diberikan secara ekstravaskuler. Pada proses absorpsi obat melibatkan transport melewati membran sel sebelum obat mencapai jaringan atau organ. Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat antara lain : 1. Kecepatan disolusi obat Kecepatan disolusi obat merupakan syarat utama bagi obat-obat dalam bentuk padatan misalnya tablet dan kecepatan disolusi ini dipengaruhi oleh luas permukaan obat yang melarut. 2. Ukuran partikel Untuk obat yang sukar larut dalam air, ukuran partikel sangat mmpengaruhi. Obat-obat dengan ukuran partikel kecil relatif mudah larut dalam cairan dibandingkan partikel dengan ukuran yang besar. 3. Kelarutan dalam lipid atau air Absorpsi obat juga dipengaruhi oleh koefisien partisi. Telah disampaikan bahwa medium absorpsi sebagian besar berupa air sedangkan membran sel lebih bersifat lipofilik. Oleh karena itu, suatu obat harus dapat larut dalam air maupun lipid. 4. lonisasi Sebagian besar obat merupakan suatu elektrolit lemah sehingga ionisasinya dipengaruhi oleh pH medium. Dalam mediumnya obat tersebut dalam dua bentuk yaitu bentuk terion yang lebih mudah larut dalam air dan bentuk tak terionkan yang mudah larut dalam lipid dan lebih mudah diabsorpsi. 5. Aliran darah pada tempat absorpsi Aliran darah pada tempat absorpsi adalah penting karena membantu proses absorpsi yaitu mengambil obat menuju sirkulasi sistemik. Semakin besar aliran darah maka absorpsi juga semakin besar. 6. Kecepatan pengosongan lambung Lambung merupakan bagian dari sistem absorpsi suatu obat. Obat yang diabsorpsi di usus akan meningkat proses absorpsinya jika kecepatan pengosongan lambung besar dan sebaliknya. 7. Motilitas usus Motilitias usus yang besar misalnya pada saat diare dapat mengurangi absorpsi obat karena waktu kontak antara obat dengan absorpsinya adalah pendek. 8. Pengaruh makanan atau obat lainnya. Beberapa makanan atau obat dapat mempengaruhi proses absorpsi suatu obat lainnya. Pemberian makanan atau obat dapat mempengaruhi variabel di atas sehingga mempengaruhi keefektivan absorpsi obat. 9. Cara pemberian Cara pemberian obat dapat dilakukan dengan jalur enteral dan parenteral. Pemberian enteral adalah pemberian obat melalui saluran cerna atau dari rongga mulut sampai poros usus contohnya adalah peroral, sublingual, bukal dan rektal, sedangkan pemberian parenteral adalah pemberian obat di luar saluran cerna misalnya topikal, suntikan dan inhalasi. Selain itu, pemberian obat dibedakan berdasarkan sistem vaskuler atau pembuluh darah menjadi pemberian intravaskuler dan ekstravaskuler. Pemberian intravaskuler adalah pemberian obat melalui sirkulasi sistemik (pembuluh darah) misalnya intravena, intraarteri dan intrakardial, sedangkan pemberian ekstravaskuler adalah pemberian obat diluar sirkulasi sistemik misalnya subkutan, peroral dan intramuskular. C. DISTRIBUSI Cairan tubuh didistibusikan ke empat kompartemen utama seperti disajikan pada gambar 16. Cairan tubuh total dalam prosentase berat badan adalah bervariasi 50 hingga 70 %. Pada wanrta lebih rendah dibandingkan pada pria. Gambar 16. Kompartemen cairan tubuh utama (daiam prosentase berat badan) (Rang eta/., 1999) Distribusi merupakan perpindahan obat dari sirkulasi sistemik menuju ke suatu tempat di dalam tubuh (cairan dan jaringan). Tempat distribusi adalah cairan pada berbagai jaringan yaitu protein plasma, hati, ginjal, tulang, lemak, barrier darah otak, barter plasenta. Tempat distribusi tersebut merupakan parameter kualitatif distribusi. Sedangkan mekanisme distribusi dapat melalui transport konvektif, pinosrtosis atau difusi pasif. Komposisi cairan tubuh meliputi caitan ekstraseluler dan intraseluler. Cairan ekstraseluler mengandung plasma darah (berkisar 4,5 % berat badan), cairan interstitial (16 %) dan getah bening (1,2 %). Cairan intraseluler (30-40 %) merupakan penjumlahan kandungan cairan dari seluruh sel tubuh. Cairan transeluler (2,5 %) meliputi cairan synovial, pleura!, peritoneal, intraokular, serebrospinal dan sekresi digestif. Supaya dapat masuk ke kompartemen transeluler dari kompartemen ekstraseluler, obat harus dapat menembus barter seluler. Barter darah-otak Barter mengandung beberapa lapisan sel endotelial yang digabungkan oleh tight junction. Otak sulit ditembus oleh beberapa obat misalnya beberapa obat antikanker dan antibiotik misalnya aminoglikosida karena barter tersebut bersifat lipid solubel. Pada kondisi inflamasi misalnya meningitis, dapat menggangu integritas barter sehingga beberapa obat dapat menembusnya. Penisilin diberikan pada meningitis karena pada kondisi penyakit tersebut dapat menembus barter otak. Beberapa peptida seperti bradikinin dan enkefalin dapat meningkatkan permeabilitas barter darah otak dengan meningkatkan proses pinosttosis. Hal ini dijadikan suatu pendekatan dalam strategi kemoterapi pada tumor otak. Volume distribusi Volume distribusi adalah volume cairan tubuh tempat suatu obat pada akhirnya terdistribusikan, dinotasikan Vd. Volume distribusi menggambarkan luas distribusi obat dalam tubuh. Volume distribusi merupakan parameter kuantitatif distribusi. Q Vd = ——— Cp Dimana Q adalah jumlah obat total dan Cp adalah konsentrasi obat dalam darah. Volume distribusi dari beberapa obat disajikan pada tabel VII. Volume plasma berkisar 0,05 L/kg BB. Beberapa obat misalnya heparin yang hanya didistribusikan pada kompartemen plasma karena molekulnya terlalu besar untuk menembus dinding kapiler. Di samping itu juga disebabkan karena ikatan yang kuat dengan protein plasma. Volume ekstraseluler berkisar 0,2 L/kg dan tepat untuk obat-obat yang bersifat polar misalnya vekuronium, gentamisin dan karbesilin. Obat tersebut sulit menembus sel karena kelarutan lipid-nya rendah sehingga tidak dapat menembus barier darah-otak dan plasenta. Cairan total tubuh berkisar 0,55 L/kg dan volume distribusi dicapai oleh obat yang larut dalam lipid misalnya fenitoin. Ikatan obat diluar kompartemen plasma seperti pada lemak tubuh akan meningkatkan volume distribusi. Tabel VII Volume distribusi beberapa obat dibandingkan volume kompartemen cairan tubuh (Ritschel, 1992) Volume (L/kg BB) Kompartemen Vd (L/kg BB) Obat 0,05 0,05-0,1 Heparin, Insulin 0,1 -0,2 Warfarin, Sulfametoksasol, Plasma Glibenklamid, Atenolol 0,2 0,55 Cairan 0,2 - 0,4 Tubokurarin ekstraseluler 0,4 - 0,7 Teofilin Cairan total <1 Etanol, Neostigmin, Fenitoin tubuh 1 -2 Metotreksat, Indometasin, Parasetamol, Diazepam, Lignokain 2-5 Morfin, Propranolol, Digoksin, Klorpropamid >10 Nortriptilm, Imipramin Ikatan obat pada material biologi Plasma darah mengandung 93 % air dan 7 % terdiri berbagai senyawa terlarit terutama protein. Fraksi protein utama adalah albumin (5 % dari total plasma). Protein tidak hanya ditemukan pada plasma namun juga pada jaringan. Obat biasanya terikat pada albumin meskipun beberapa obat terikat pada protein lainnya. Ikatan obat dengan albumin bersifat reversibel dan ikatan yang terlibat biasanya adalah lemah dan spesifik. Albumin serum manusia mempunyai BM sebesar 67.500 dan tersusun oleh 20 asam amino yang berbeda. Jenis asam amino dan posisinya dalam molekul protein menentukan ikatannya dengan obat. Kelompok basa misalnya arginin, histidin dan lisin bertanggung jawab mengikat obat asam, sedangkan kelompok asam amino basa misanya asam aspartat, asam glutamat dan tirosin mengikat obat basa. Pada pH 7,4 darah, kelompok karbonil asam terprotonasi menjadi ion positif dan membentuk muatan positif maupun negatif pada permukaannnya. Sehingga dapat menarik ion yang bermuatan ion beriawanan dengan kekuatan elektrostatik. Obat dapat terikat albumin melalui ikatan hidrogen, van der Waals dan hidrofobik. Obat asam terikat kuat pada albumin sedangkan obat basa terikat lemah pada albumin. Ikatan tersebut bersifat reversibel dan tidak spesifik. Gambar 17. Distribusi dan ikatan obat terhadap plasma dan protein jaringan (Ritschel, 1992) D = obat bebas; D-P = obat terikat protein plasma; D-T = obat terikat protein jaringan; D-R obat terikat reseptor biofase; [ ] = konsentrasi; seimbang, ↔= kondisi ↔ = rasio konstan distribusi dalam keadaan jenuh Faktor-faktoryang mempengaruhi distribusi Telah disampaikan bahwa efektivitas distribusi berkaitan langsung dengan derajat pengikatan pada protein plasma. Derajat pengikatan obat pada protein tergantung pada afinitas obat terhadap protein, jumlah tempat pengikatan, kadar protein dan kadar obat. Keempat faktor tersebut dipengaruhi oleh kondisi penyakit dan pendesakan. Penyakit seperti pada organ hati, ginjal, atau luka bakar dan trauma dapat mengakibatkan kondisi yang dinamakan hipoalbuminemia (kadar albumin mengalami penurunan di dalam plasma). Oleh sebab itu, kadar obat dalam bentuk bebas akan meningkat sehingga akan meningkatkan efek farmakologi obat bersangkutan. Pendesakan dapat terjadi manakala terdapat obat lain yang mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap protein plasma sehingga mengakibatkan kadar obat bebas meningkat dan pada akhirnya efek obat juga meningkat. Pendesakan akan bermakna klinik manakala ikatan obat dan protein sebesar lebih dari 80-90 % dan volume distribusinya kecil ( < 0,15 mL/g). Sebagai contoh warfarin dapat didesak oleh klofibrat atau asam mefenamat sehingga meningkatkan efek antikoagulasi warfarin sehingga penderita dapat mengalami pendarahan. D. METABOLISME ATAU BIOTRANSFORMASI Metabolisme mempunyai tiga tujuan utama yaitu (1) menyediakan energi bagi fungsi tubuh dan pemeliharaan, (2) memecah senyawa yang tercema misalnya katabolisme, menjadi senyawa yang lebih sederhana dan biosintesis molekul yang lebih komplek misalnya anabolisme, biasanya membutuhkan energi, dan (3) mengubah senyawa asing (obat) menjadi lebih polar, larut air dan terionisasi sehingga lebih mudah diekskresi. Metabolisme obat disebut juga biotransformasi meskipun antara keduanya juga sering dibedakan. Sebagian ahli mengatakan bahwa istilah metabolisme hanya ditujukan untuk perubahan-perubahan biokimiawi atau kimiawi yang dilakukan oleh tubuh terhadap senyawa endogen sedang biotransformasi peristiwa yang sama bagi senyawa eksogen (xenobiotika). Metabolisme obat atau biotransformasi adalah suatu perubahan secara biokimia atau kimiawi suatu senyawa di dalam organisme hidup. Definisi lainnya adalah perubahan suatu senyawa menjadi senyawa lainnya yang disebut metabolit yang terjadi pada sistem biologis. Reaksi metabolisme obat tersebut sebagian besar terjadi pada oragn hati khususnya pada sub-seluler retikulum endoplasma. Organ-organ yang bertanggung jawab dalam metabolisme obat adalah hati, paru, ginjal, mukosa dan darah merah (tabel VIII). Tabel VIII. Sel yang mengandung enzim metabolisme obat pada berbagai organ Organ Hati Sel Sel parenkim (hepatosit) Ginjal Sel tubulus proksimal (segmen S3) Paru Sel Clara, Sel jenis II Usus Sel batas mukosa Kulit Sel epitel Testis Tubulus seminrferus, set sertoli Metabolisme obat adalah sangat komplek. Biasanya, metabolit obat adalah lebih larut dalam air daripada obatnya karena mengandung gugus fungsional yang dapat berkonjugasi dengan gugus hidrofilik. Meskipum metabolit biasanya larut dalam air tetapi ada pengecualian pada p-asam klorofenaseturat (metabolit p-asam klorofenilasetat) atau N4-asetilsulfanilamid (metabolit sulfanilamid). Sering bahwa metabolit obat lebih diionisasi pada pH fisiologi daripada obatnya sehingga bentuk garam yang larut dalam air dapat menurunkan kelarutannya dalam lipid sehingga mudah untuk diekskresikan. Jalur metabolisme obat Telah disampaikan bahwa tempat metabolisme obat terutama pada hati. Enzim yang berperan dalam metabolisme obat terdapat pada fraksi mitokondrial atau mikrosomal. Bahkan metabolisme obat dapat terjadi manakala enzim metabolisme diproduksi oleh sel-sel di sirkulasi sistemik. Obat kemungkinan dimetabolisme dalam epitelium gastrointestinal selama absorpsi atau oleh hati sebelum mencapai sirkulasi sistemik, proses terakhir ini dinamakan efek lintas pertama (first-pass effect) yang mengakibatkan penurunan bioavailabilitas. Reaksi metabolisme obat atau biotransformasi dibagi menjadi 2 : 1. Metabolisme obat fase I (fase non sintetik) 2. Metabolisme obat fase II (fase sintetik) Metabolisme obat fase I Reaksi metabolisme obat ini disebut juga fase non sintetik atau reaksi fungsional. Reaksi metabolisme obat ini bukan reaksi sintesis atau pembentukan suatu senyawa yang baru tetapi menciptakan gugus fungsional reaktif bagi senyawa tersebut. Enzim reaksi metabolisme obat fase I biasanya terdapat pada mikrosomal (retikulum endoplasma). Makna dari reaksi metabolisme fase I ini adalah meningkatkan efek atau potensi bagi suatu senyawa dan memudahkan suatu senyawa untuk bereaksi dengan enzim-enzim metabolisme obat fase II. Contoh metabolisme obat fase I adalah reaksi oksidasi yang melibatkan sitokrom P-450, oksidasi, reduksi, hidrolisis dan dehalogenasi. Sistem mono-oksigenase P-450 Enzim sitokrom P-450 merupakan suatu haem protein. Enzim tersebut mempunyai sifat redoks yang khusus dalam fungsi sebagai pemetabolisme. Enzim P-450 juga mempunyai sifat spektral yang khusus dan bentuk tereduksi dari enzim tersebut dapat berkombinasi dengan karbon monooksida untuk membentuk senyawa berwarna merah muda (pink) sehingga disebut dengan " P " dengan absorsi maksimum pada panjang gelombang 450 (berkisar 447-452). Pada perkembangan selanjunya, observasi periakuan tikus dengan dengan 3metil-kolantren (senyawa penginduksi) mengakibatkan pergeseran pada enzim tersebut. Ini membuktikan bahwa terdapat lebih dari satu bentuk enzim sitokrom P-450. Sistem sitokrom P-450 hepatik merupakan suatu super familia yang luas yang terdiri dari berbagai enzim yang dibedakan oleh susunan asam aminonya, pengaturan suatu senyawa penginduksi atau pereduksi dan spesifikasi reaksi yang dikatalisnya. Purifikasi enzim P-450 dan klonining cDNA dapat mengklasifikasi P-450 menjadi beberapa sub-familia. Sebanyak 74 gen familia telah diketahui dan dikelompokkan menjadi 3 sub-familia yaitu CYP 1, 2 dan 3 yang tertibat dalam metabolisme hati pada manusia. Sebagai contoh adalah CYP1A2, CYP2A6, CYP3A4 dan CYP2D6. Sistem sitokrom P-450 terlibat pada reaksi metaoblisme obat oksidasi yang membutuhkan molekul oksigen, NADPH dan flavoprotein (NADPH-P 450 reduktase). Efek dari reaksi tersebut adalah penambahan satu atom oksigen (dari oksigen rnolekular) terhadap obat untuk membentuk gugus hidroksi (D-OH). Lebih lanjut, senyawa hasil reaksi ini akan bersifat lebih polar sehingga mudah diekskresikan dan mudah bereaksi dengan enzim-enzim fase metabolisme obat fase II. Metabolisme obat fase II Reaksi metabolisme obat fase II disebut juga fase sintetik atau reaksi konjugasi. Reaksi metabolisme obat fase II ini merupakan jalur detoksifikasi. Pada reaksi ini menciptakan suatu senyawa yang baru dan biasanya metabolitnya berupa senyawa tidak aktif yang mudah dieksresikan. Makna dari reaksi metabolisme fase II adalah metabolit yang terbentuk umumnya bersifat polar atau mudah terionisasi pada pH fisiologi sehingga lebih mudah diekskresikan dan mengubah molekui obat yang aktif menjadi metabolit yang relatif kurang aktif. Contoh metabolisme obat fase II adalah reaksi konjugasi sulfat, konjugasi glukuronat dan konjugasi merkapturat. Gugus yang sering terlibat dalam reaksi konjugasi adalah sulfat, metil, asetil, glisil dan glukuronil. Pembentukan glukuronida melibatkan pembentukan senyawa fosfat energi tinggi, uridin difosfat asam glukuronat (UDPGA), dari bagian asam glukuronat ditransfer pada atom kaya elektron (N, O atau S) pada substrat membentuk suatu amida, ester atau tiol. Reaksi tersebut dikatalis oleh enzim UDP glukuronil transferase yang mempunyai spesifikasi substrat yang luas sehingga rekasi tersebut dapat terjadi pada beberapa obat dan juga pada senyawa endogen seperti bilirubin dan kortikosteroid adrenal. Reaksi asetilasi dan metilasi terjadi berturut-turut dengan asetil-KoA dan S-adenosil metionin beraksi sebagai senyawa donor. Beberapa reaksi metabolisme baik fase I maupun II beserta contoh obatobatnya disajukan pada tabel IX, dan Beberapa gugus fungsional obat beserta kemungkinan reaksi metabolismenya disajikan pada tabel X. Tabel X Beberapa gugus fungsiona! obat beserta kemungkinan reaksi metabolismenya Kelas kimia dan gugus fungsional obat Tipe metabolisme dapat terjadi Cincin aromatik Hidroksilasi Gugus hidroksil alifatik Oksidasi, konjugasi glukuronat atau sulfat pada rantainya Gugus hidroksil aromatik Hidroksilasi, konjugasi sulfat atau glukuronat, metilasi pada cincin Gugus karboksil alifatik Konjugasiasam asam amino atau glukuronat Gugus karboksil aromatik Hidroksilasi, konjugasi asam amino atau glukuronat, Amina primer alifatik Deam.nasi, metilasi Amina primer aromatik Hidroksilasi, konjugasi glukuronat atau sulfat, asetilasi atau metilasi Amina sekunder dan tersier Dealkilasi,metilasi Gugus Sulfhidnl Oksidasi, konjugasi glukuronat, metilasi Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat Metabolisme obat di dalam tubuh dapat mengalami perubahan dan hal ini membawa dampak pada perubahan efek farmakologi obat yang bersangkutan, Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat adalah : 1. Intrinsik obat Faktor intrinsik obat ini meliputi kelarutannya dalam lipid, ikatan protein plasma, dosis yang digunakan dan cara pemberian. 2. Fisiologi organisme Faktor fisiologi ini adalah jenis makhluk hidup, galur (ras), jenis kelamin, umur dan kondisi kehamilan. Malation suatu jenis pestisida, pada mamalia dan manusia diubah menjadi malation diasid dan mengalami dekarboksilasi dan dikonjugasikan dengan enzim metabolisme fase II untuk diekskresikan, sedangkan pada insektisida malation diubah menjadi malaokson yang bersifat toksik. Kasus serupa juga terjadi pada heksobarbital yang disajikan pada tabel XI. Tabel XI. Durasi, waktu paro dan aktivitas enzim metabolisme pada beberapa makhluk hidup (Gibson dan Skett, 1986) Spesies Durasi efek (menit) Waktu paro (menit) Aktivitas enzim (ng/g/jam) Mencit 12 19 598 Kelinci 49 60 196 Tikus 90 140 135 Anjing 315 260 36 Proses asetilasi sulfonilamid pada tikus jantan lebih efektif dibandingkan betina. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan faktor hormonal dari kedua jenis kelamin tersebut. Faktor perbedaan ras juga dapat mempengaruhi reaksi metabolisme misalnya pada asetilasi beberapa obat antara lain sulfonamida dan isoniasid. Perbedaan ras tersebut, proses metabolisme asetilasi pada manusia dibagi menjadi dua tipe yaitu asetilator cepat, dimana proses metabolisme asetilasinya relatif lebih cepat dan asetilastor lambat, sebaliknya. 3. Farmakologi Faktor ini meliputi induksi dan inhibisi enzim metabolisme. Beberapa obat yang dapat menginduksi senyawa lain misalnya fenobarbital, progesteron dan tolbutamid. Obat tersebut dapat menginduksi enzim metabolisme obat sehingga keberadaan obat dalam tubuh menjadi berkurang mengakibatkan penurunan efen klinik obat. Sedangkan inhibitor enzim misalnya aspirin, kloramfenikol, fenilbutason yang masing-masing menghambat metabolisme fase I klorpropamid, heksobarbital dan difenilhidantion. Adanya inhibitor tersebut akan menghambat reaksi metabolisme obat sehingga keberadaan obat dalam tubuh meningkat dan sebagai konsekuensi klinik adalah kenaikan efek farmakologinya. 4. Kondisi patologi Kondisi patologi meliputi jenis dan tingkat penyakit dapat mempengaruhi metabolisme suatu obat. Telah disampaikan bahwa hati merupakan organ utama bagi reaksi metabolisme obat sehingga apabila terjadi kondisi patologi pada organ tersebut misalnya nekrosis hepar atau hepatitis maka obat yang lebih dominan dimetabolisme di hati seperti tolbutamid dapat mengalami gangguan metabolisme sehingga efek farmakologinya dapat meningkat. Dalam hal ini, pengetahuan mengenai penyesuaian dosis pada penderita tersebut adalah penting bagi pada apoteker yang akan berkerja di rumah sakit. 5. Susunan makanan Unsur-unsur makanan meliputi protein, lemak, karbohidrat, vitamin, unsur runutan dan alkohol dapat mempengaruhi metabolisme obat. Ini terkait bahwa unsur makanan tersebut dapat memacu kemampuan baik secara kualitas maupun kapasitas enzim metabolisme obat khususnya P-450 untuk mengkatalisis reaksi metabolisme obat. 6. Lingkungan Faktor lingkungan meliputi produk petroleum, logam berat dan insektisida yang berasal dari cemaran lingkungan. Mekanisme dari faktor tersebut adalah juga terkait dengan kemampuannya menginduksi atau menghambat enzim pemetabolisme. E. EKSKRESI Ekskresi merupakan perpindahan obat dari sirkulasi sistemik (darah) menuju ke organ ekskresi. Obat mengalami ekskresi untuk keperluan detokstfikasi obat tersebut. Apabila obat tidak diekskresi maka obat akan tertinggal dalam tubuh dan mengakibatkan ketoksikan pada organisme bersangkutan. Tempat atau jalur ekskresi adalah melalui ginjal (organ utama), hati atau empedu, paru, kelenjar saliva, kelenjar susu dan kelenjar keringat, seperti disajikan pada tabel XII. Pada kesempatan ini hanya dibahas detail ekskresi melalui ginjal dan hati karena dua mekanisme tersebut merupakan mekanisme ekskresi dari kebanyakan obat. Tabel XII. Pola dan mekanisme ekskresi Pola ekskresi Jalur ekskresi Mekanisme Contoh Urin Filtrasi glomerulus, sekresi Semua obat dalam bentuk ion, tubular aktif penisilin, diuretik merkurat organic Transport aktif, difusi pasif dan Senaya ammonium striknin, kuartener, pinositosis kuinin, tetrasiklin Intestin / usus Difusi pasif dan sekresi empedu Asam organic terionisasi Saliva Difusi pasif dan transport aktif Penisilin, tetrasiklin, tiamin, etanol Empedu dan eter Difusi pasif Paru Kamfor, amonium klorida, iodida, natrium bikarbonat Keringat Difusi pasif Asam dan basa lemah organik, tiamin Susu Difusi pasif dan transport aktif Basa organik lemah, anastesi, eritromisin, streptomisin, kanamisin dan gentamisin Mekanisme ekskresi 1. Ekskresi melalui ginjal Organ utama dalam proses ekskresi adalah ginjal. Sebelum membahas tentang mekanisme mi, terlebih dahulu membahas anatomi dan fisiologi ginjal. Ginjal mempunyai panjang 10-12 cm dan panjang 5-6 cm, dengan berat 120-200 g. Fungsi organ ini adalah mengekskresikan senyawa dari darah guna memelihara atau mempertahankan miliu internal. Dalam ginjal dikenal suatu unit unit fungsional dimana proses ekskresi terjadi yaitu nefron. Tiap ginjal mengandung sekitar 1 juta nefron dan tiap nefron terdiri dari bagian kapiler dan pembuluh. Bagian pembuluh terdiri dari pembuluh proksimal, lengkung Henle dan pembuluh distal, sedangkan bagian kapiler terdiri dari glomerulus yang terdapat dalam jaringan ikat berbentuk kapsul yang dinamakan Bowman. Gambaran anatomi unit nefron disajikan pada gambar 18. Darah dari arteri masuk ke jaringan kapiler melalui arteri afferent. Apabila tekanan intra-kapiler lebih tinggi daripada tekanan dalam tubulus lumen, cairan yang mengandung senyawa teriarut pada plasma disaring menembus dinding kapiler dan melalui pori-pori epitelium kapsul Bowman menuju lumen tubulus. Filtrasi glomelurus dibatasi oleh suatu ukuran molekul senyawa yaitu kurang dari 20.000 dan dalam bentuk bebasnya. Selanjutnya filtrat akan melalui lumen tubulus proksimal, lengkung Henle dan tubulus distal memasuki duktus kolektifus. Selama proses ini senyawa obat dapat mengalami reabsorpsi ke sirkulasi sistemik kembali. Secara ringkas, proses atau mekanisme ekskresi ginjal melalui 3 tahap yaitu : ¾ Filtrasi glomerulus ¾ Sekresi atau reabsorpsi tubulus aktif ¾ Difusi pasif menembus epitelium tubular Gambar 18. Struktur anatomi unit nefron dan fungsinya (Ritschel, 1992) 2. Ekskresi melalui emperdu Sel hati mentransfer beberapa senyawa dari darah menuju empedu dengan mekanisme yang mirip dengan tubulus renal, dan juga melibatkan Pglikoprotein. Berbagai konjugat obat hidrofilik (khususnya glukuronida) berada dalam empedu dan dipindahkan menuju usus dimana glukuronat dihidrolisis, menghasilkan obat bebas dan aktif. Obat aktif tersebut dapat mengalami reabsorpsi menuju sirkulasi sistemik, peristiwa ini dinamakan sirkulasi enterohepatik. Contort dari peristiwa ini adalah morfin dan etinilestradiol. Kliren (Clearance) Kliren renal (CLR) adalah volume plasma yang mengandung senyawa yang dipindahkan oleh ginja! per satuan waktu. Definisi lain adalah volume darah yang dibersihkan dari obat oleh ginjal per satuan waktu. Kliren merupakan tolok ukur keefektifan ekskresi suatu obat. Kliren tersebut dihitung berdasarkan konsentrasi obat dalam plasma (Cp) dan konsentrasi obat dalam urin (Cu) dan kecepatan alir urin (Vu) seperti pada persamaan berikut ini: CuVu CLR= ————— Cp Harga kliren renal bervariasi tergantung padsa obat yang bersangkutan dan bervariasi hingga 700 mUmenit. Kliren renal ini merupakan representasi dari kecepatan eliminasi obat melalui ginjal. Kecepatan eliminasi obat melalui ginjal adalahj jumlah kecepatan filtrasi glomerulus dan kecepatan sekresi tubular dikurangi kecepatan reabsorpsi tubular. Faktor-faktor yang mempengaruhi ekskresi Telah disebutkan sebelumnya bahwa kliren renal dipengaruhi oleh kecepatan filtrasi glomerulus, sekresi tubular dan kecepatan reabsorpsi tubular. Semakin besar kecepatan filtrasi glomerulus dan sekresi tubular maka ekskresi obat akan meningkat, namun semakin besar reabsorpsi tubular menurunkan ekskresi suatu obat. Selain ketiga faktor tersebut, ekskresi dipengaruhi oleh aliran darah di ginjal, ikatan dalam darah, pH urin dan aliran urin. Amfetamin suatu basa lemah akan mengalami reabsorpsi apabila pH urin dibuat basa karena terbentuk senyawa yang tidak terionisasi yang cenderung larut dalam lemak. Sebaliknya, pengasaman urin akan menyebabkan amfetamin menjadi terionisasi (bentuk garam). Bentuk garam lebih mudah larut dalam air dan sedikit direabsorpsi dan mempunyai kecenderungan diekskresi dalam urin lebih cepat. Pertanyaan 1. Mengapa pada metabolisme obat tidak melibatkan proses transport ? 2. Mengapa pada penderita pielonefrrtis obat-obat diekskresikan relatif lambat ? 3. Sebutkan beberapa tanaman obat yang dapat menginduksi atau menginhibisi enzim sitokrom P-450 ! REFERENSI Albert, B., Bray, D., Lewis, J., Raff, M., Robert, K. and Watson, J.D., 1994., Molecular Biology of The Cell, 3rd Ed., Garland Publishing Inc., New York. Bowman, W.C. and Rand, M.J., 1980, Textbook of Pharmacology, 2nd Ed., Blackwell Scientific Publications, Melbourne. Brody, T.M., Lamer, J.L., Minneman, K.P., and Neu, H.C. (Ed.), 1994, Human Pharmacology, 2nd Ed., Mosby, Sydney. Ganiswara, S.G. (Ed.), 1995, Farmakologi dan Terapi, Ed. IV, Bagian Farmakologi FK Ul, Jakarta. Gibson, G.G. and Skett, P., 1986, Introduction to Drug Metabolism, Chapman and Hall, London. Gilman, A.G., Rail, T.W., Nies, A.S., Taylor, P., (Eds.), 1996, The Pharmacological Basic of Therapeutics, 9th Ed., McGraw-Hill Inc., Singapore. Kenakin, T., 1997, Moleculer Pharmacology, Blackwell Science Inc, Oxford. Mutschler, E., 1986, Dinamika Obat, diterjemahkan oleh Widiyanto, M.B. dan Ranti, A.S., Ed. V, 88-93, Instrtut Teknologi Bandung. Neal, M.J., 1997, Medical Pharmacology at A Glance, 3rd Ed., Blackwell Science Inc, Oxford. Pratt, W.B. and Taylor, P., 1990, Principles of Drug Action, Churchill Livingstone, New York. Rang, H.P., Dale, M.M., and Ritter, J.M., 1999, Pharmacology, 4th Ed., Churchill Livingstone, Melbourne. Ritschel, 1992, Handbook of Basic Pharmacokinetics, 4th Ed., Hamilton, Illinois. Rowland, M. and Tozer., T.M., 1989, Clinical Pharmacokinetics : Concept and Application, 2nd Ed., 9-65, 246-266, Lea and Febiger, Philadelphia. Shargel, L. and Yu, A.B.C., 1999, Applied Biopharmaceutics and Pharmacokinetics, 4TH Ed, Appleton and Lange, Norwalk, Connecticut, New York. Stringer, J.L., 2001, Basic Consepts in Pharmacology, 2nd Ed., McGrawHill International, Singapore.