STRATEGI ORANG TUA BEDA AGAMA DALAM MENDIDIK ANAK

advertisement
STRATEGI ORANG TUA BEDA AGAMA DALAM
MENDIDIK ANAK (Studi Kasus Tiga Keluarga Beda Agama
di Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota
Salatiga Tahun 2013)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan Islam
Oleh
FANI FARIDA
NIM 111 09 136
JURUSAN TARBIYAH
PROGAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2013
MOTTO
YATIM BUKANLAH YANG TELAH MENINGGAL ORANG TUANYA,
TETAPI SEBENARNYA YATIM ITU ADALAH YATIM ILMU DAN BUDI
PEKERTI
(Al-Mahfudzoh)
PERSEMBAHAN
Untuk Bapak dan Ibu yang menjadi motivasiku
Untuk mas Tri dan dek Yaya yang selalu menyemangatiku
Untuk mas Mirza Kamal yang menginspirasiku
Untuk teman-teman PAI 2009 yang luar biasa
Untuk Keluarga besar Pondok Pesantren ANNIDA
Untuk Keluarga besar LDK Darul Amal STAIN Salatiga
Untuk Keluarga besar Kelurahan Mangunsari
Untuk Keluarga besar TPQ ANNIDA Salatiga
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan
yang Maha Rahman dan Rahim yang dengan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya
skripsi dengan judul Strategi Orang Tua Beda Agama dalam Mendidik Anak
(Studi Kasus Tiga Keluarga di Kelurahan Mangunsari, Kecamatan Sidomukti,
Kota Salatiga Tahun 2013) bisa diselesaikan.
Sholawat dan salam penulis haturkan kepada Sang Teladan Utama, Nabi
Muhammad shalallahu’alaihi wassalam, juga kepada para shahabat, keluarga dan
orang yang istiqomah mengikuti petunjuk Beliau.
Penulisan skripsi ini tidak akan selesai tanpa motivasi, dukungan dan
bantuan dari berbagai pihak terkait. Sungguh menjadi kebahagiaan yang tiada tara
penulis rasakan setelah skripsi ini selesai. Oleh karena itu penulis ucapkan terima
kasih setulusnya kepada:
1. Dr. Imam Sutomo, M. Ag., selaku Ketua STAIN Salatiga.
2. Siti Asdiqoh, M. Si., selaku Ketua Prodi PAI.
3. Mufiq, M. Phil., selaku Pembimbing yang telah mengarahkan, membimbing,
memberikan petunjuk dan meluangkan waktunya dalam penulisan skripsi ini.
4. Winarno, M. Pd., selaku dosen pembimbing akademik penulis yang
membantu penulis selama menuntut ilmu di STAIN Salatiga.
5. Bapak dan Ibu dosen STAIN Salatiga yang telah memberikan ilmu, bagian
akademik dan staf perpustakaan yang telah memberikan layanan serta bantuan
kepada penulis.
6. Bapak Rohmad, Ibu Purwanti, mas Tri, dan dek Kamalia yang telah
memberikan dukungan, moril, materiil, dan spiritual kepada penulis dalam
penyusunan skripsi ini.
7. Mas Mirza Kamal pelipur laraku.
8. Bapak Nardi sekeluarga, terimaksih nasihat-nasihatnya.
9. Teman-teman PPL SMKN2 Salatiga.
10. Teman-teman KKN WIGRAMA.
11. Keluarga besar Wiyono Magelang yang memberiku banyak ilmu dan
pengalaman. Semoga ukhuwah kita selalu terjaga.
12. Bapak Sony sekeluarga, Bapak Iknasius sekeluarga, dan Bapak Budi
sekeluarga selaku keluarga beda agama di kelurahan Mangunsari yang
meluangkan waktu serta memberikan bantuan kepada penulis untuk penelitian.
13. Keluarga besar Pondok Pesantren AN-NIDA Jazakumullah ahsanul jaza‟ atas
dukungan, motivasi serta inspirasinya.
14. Keluarga Besar Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Darul Amal STAIN
Salatiga. Teruslah berkarya dan berjuang di jalan cinta para pejuang.
vi
15. Teman-teman senasib seperjuangan PAI 2009, khususnya Hima Nurusshofiati,
Khabibah Tri Nurlaili, dan Umi Khafidloh. Terima kasih atas dukungan dan
bantuannya.
16. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas
bantuan dan dorongannya.
Atas segala hal tersebut, penulis hanya bisa berdoa, semoga Allah Azza wa
Jalla mencatatnya sebagai amal sholeh yang akan mendapatkan balasan yang
berlipat ganda. Aamiin.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, masih banyak
kekurangan baik dalam isi maupun metodologi. Untuk itu saran dan kritik yang
membangun penulis harapkan dari berbagai pihak guna kebaikan penulisan di
masa yang akan datang. Semoga skripsi bermanfaat untuk penulis pada khususnya
dan bagi para pembaca pada umumnya.
Salatiga, 29 Juli 2013
Penulis
Fani Farida
ABSTRAK
Farida, Fani. 2013. Strategi Orang Tua Beda Agama dalam Mendidik Anak (Studi
Kasus Tiga Keluarga di Keluraha Mangunsari, Kecamatan Sidomukti,
Kota Salatiga Tahun 2013). Skripsi. Jurusan Tarbiyah. Program Studi
Pendidikan Agama Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga.
Pembimbing: Mufiq, M. Phil.
Kata Kunci: Strategi Mendidik dan Beda Agama.
Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama bagi anak-anak. Di dalam
keluarga mereka pertama kali berkenalan dengan nilai dan norma. Pendidikan
keluarga memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar, agama, nilai-nilai
moral, norma sosial, dan pandangan hidup yang diperlukan peserta didik untuk
dapat berperan dalam keluarga dan dalam masyarakat. Strategi yang digunakan
untuk mencapai tujuan pendidikan dalam satiap keluarga tentulah berbeda.
Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti ingin mengetahui lebih dalam
mengenai 1) variasi keberagamaan pada keluarga beda agama,2) bagaimana
strategi mendidik anak dalam keluarga beda agama, dan 3) apa saja faktor
pendukung dan penghambat keluarga beda agama dalam mendidik anak.
Metode yang digunakan yaitu metode penelitian kualitatif. Penelitian ini
dilakukan dengan metode observasi dengan mengamati secara langsung pada
sumber-sumber tertentu. Wawancara dengan bertanya secara langsung kepada
objek penelitian secara mendalam dan jujur untuk mendapatkan informasi yang
berkaitan dengan skripsi ini. Dan dokumentasi dengan mengambil data pada
sumber arsip, catatan, foto, dan sebagainya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi orang tua beda agama dalam
mendidik anak memiliki kesamaan dengan keluarga yang lainnya, yang
membedakan hanya dalam menentukan keyakinan agama anak. Namun para
orang tua beda agama tidak menjadikan perbedaan agama sebagai masalah yang
besar. Dengan adanya sikap dewasa, toleransi, dan kebebasan melakukan rutinitas
keagamaan masing-masing maka keutuhan dan keharmonisan keluarga dapat
terjalin dengan baik. Dari penelitian ini pendidikan anak dibebankan kepada ibu.
Sebab ibu sebagai figur dan pendidik dalam keluarga karena ayah banyak waktu
di luar untuk bekerja.
DAFTAR ISI
SAMPUL......................................................................................................
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................
ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ....................................................
iii
MOTO DAN PERSEMBAHAN..................................................................
iv
KATA PENGANTAR .................................................................................
v
ABSTRAK ...................................................................................................
viii
DAFTAR ISI ................................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .........................................................
1
B. Fokus Penelitian .....................................................................
7
C. Tujuan Penelitian ....................................................................
7
D. Penegasan Istilah ....................................................................
8
E. Manfaat Penelitian ..................................................................
9
F. Metode Penelitian ...................................................................
10
G. Sistematika Penulisan .............................................................
14
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Strategi Mendidik ...................................................................
15
1. Pengertian Strategi Mendidik .............................................
15
2. Tanggungjawab Keluarga dalam Proses Pendidikan..........
18
a. Pengenalan dan Pengembangan Sikap Sosial Awal .......
22
b. Bimbingan Awal Kepribadian........................................
24
c. Proses Pertumbuhan Afeksi dalam Keluarga .................
25
3. Keluarga dan Pembentukan Status .....................................
26
a. Pendidikan Akhlak .........................................................
26
b. Mandiri ..........................................................................
28
c. Toleransi ........................................................................
29
4. Peran Keluarga dalam Pendidikan Agama Anak................
30
5. Kendala dan Dampak Negatif Kegagalan dalam Mendidik
Anak ...................................................................................
33
B. Keluarga Beda Agama ............................................................
34
1. Pengertian Perkawinan Beda Agama .................................
34
2. Perkawinan Antara Orang yang Berlainan Agama
Menurut Hukum Islam .......................................................
i.
Perkawinan antara Perempuan Muslimah dan Laki-laki
Non-Muslim ..................................................................
ii.
35
Perkawinan antara Laki-laki Muslim dengan
Perempuan Musyrik.......................................................
iii.
35
38
Perkawinan antara Laki-laki Muslim dengan Perempuan
Ahli Kitab ......................................................................
39
3. Problem-Problem Perkawinan Beda Agama ......................
42
i.
Keabsahan Perkawinan ..................................................
43
ii.
Pencatatan Perkawinan ..................................................
44
iii.
Status Anak....................................................................
44
4. Problem Pengamalan Ibadah Anak pada Keluarga
Beda Agama .......................................................................
47
BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A.
B.
Deskriptif Objektif Penelitian ..............................................
51
1. Letak Geografis Kelurahan Mangunsari...........................
51
2. Struktur Pemerintahan Kelurahan Mangunsari ................
51
3. Keadaan dan Jumlah Penduduk Kelurahan Mangusari ....
57
4. Keadaan Sosial Agama .....................................................
58
5. Keadaan Sosial Pendidikan ..............................................
58
6. Keadaan Sosial Ekonomi ..................................................
59
Data Temuan Penelitian .......................................................
61
1. Data Umum ......................................................................
61
2. Data Khusus......................................................................
64
a. Strategi Orang Tua Beda Agama dalam Mendidik
Anak ..........................................................................
64
b. Interaksi dalam Pendidikan Agama Anak ...................
66
c. Faktor Pendukung dan Penghambat ............................
71
d. Tanggapan Anak dalam Didikan Pasangan Beda
Agama .......................................................................
74
BAB IV ANALISIS DATA
A. Strategi Orang Tua Beda Agama dalam Mendidik Anak .......
77
B. Interaksi dalam Pendidikan Agama Anak ..............................
79
C. Faktor Pendukung dan Penghambat .......................................
81
D. Tanggapan Anak dalam Didikan Pasangan Beda Agama ......
85
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................
86
B. Saran .......................................................................................
89
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
91
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1
Pedoman Wawancara
Lampiran
2
Transkip Wawancara
Lampiran
3
Foto
Lampiran
4
Surat Ijin Penelitian
Lampiran
5
Surat Keterangan Penelitian
Lampiran
6
Suran Keterangan Selesai Penelitian
Lampiran
7
Surat Tugas Pembimbing Skripsi
Lampiran
8
Daftar Nilai SKK
Lampiran
9
Lembar Bimbingan Skripsi
Lampiran
10
Riwayat Hidup Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan bentuk yang sempurna bila
dibandingkan dengan makhluk yang lain. Manusia juga dibekali akal agar
dapat menjalani kehidupan dan mengelola bumi dengan baik. Bekal
terakhir inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.
Bila ditinjau dari ajaran Islam, setidaknya ada dua tujuan dari
diciptakannya manusia di dunia ini, yakni sebagai abdi dan sebagai
khalifah di muka bumi ini. Sebagai abdi, manusia berkewajiban untuk
patuh dan taat kepada Tuhan yang menciptakannya, sedangkan sebagai
khalifah, manusia berperan sebagai wakil Tuhan untuk bisa mengelola
kehidupan di bumi ini dengan baik (Jalaluddin, 2001:32).
Termasuk salah satu peran manusia sebagai khalifah di bumi
adalah mengembangkan potensi kecerdasan yang telah diberikan oleh
Tuhan agar dapat dikembangkan dengan baik. Mengembangkan potensi
tersebut bisa dimulai dari awal membimbing dan mendidik anak-anak.
Anak-anak adalah anugerah yang Tuhan berikan kepada setiap orang tua
dan telah dibekali dengan potensi-potensi yang sangat penting untuk
dikembangkan demi kesuksesan kehidupannya pada masa mendatang.
Potensi yang diberikan Tuhan itu tidak bisa dibiarkan begitu saja agar anak
berkembang dengan sendirinya. Atau, dibiarkan saja potensi yang dahsyat
itu sehingga tidak berkembang dan akhirnya malah berakibat menjadi
tidak berguna bagi kehidupan mereka.
Di sinilah sesungguhnya dirasa perlu adanya pengasuhan dan
pendidikan bagi anak-anak. Di sinilah dibutuhkan perhatian yang
sungguh-sungguh bagi orang tua untuk bisa memberikan asuhan dan
pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Asuhan dan pendidikan yang
baik sudah tentu tidak hanya di sekolah, tetapi juga dalam lingkungan
keluarga. Di sini juga perlu ada keseimbangan antara pendidikan di
sekolah dan keuarga. Keseimbangan dalam arti pengembangan kecerdasan
dan penerapan nilai yang diterapkan di sekolah berbanding lurus dengan
pendidikan yang dibangun dalam keluarga (Jalaluddin, 2001:33-37).
Peran orangtua memang tidak bisa dipandang ringan atau kecil
dalam memberikan asuhan dan pendidikan bagi anak-anaknya agar dapat
tumbuh dan berkembang dengan baik. Bukan hanya dipercayakan kepada
sekolah yang favorit dan terbaik, melainkan juga di rumah pun perlu
asuhan dan pendidikan yang baik.
Sebelum
memahami
potensi
anak
dan
bagaimana
cara
mengembangkannya, perlu bagi kiranya untuk memahami teori dalam
perkembangan anak. Teori pertama yang perlu diketahui adalah teori
nativisme. Teori ini pertama kali digagas dan dikemukakan oleh
Schopenhauer. Menurut teori ini, perkembangan manusia ditentukan oleh
faktor-faktor natives, yaitu faktor-faktor keturunan yang merupakan faktor
yang dibawa pada waktu melahirkan.
Teori ini meyakini bahwa faktor yang paling memengaruhi dalam
perkembangan manusia adalah pembawaan sejak lahir atau boleh dibilang
ditentukan oleh bakat. Para ahli yang menganut teori ini mengklaim bahwa
unsur yang paling memengaruhi perkembangan anak adalah unsur genetik
individu yang diturunkan dari orang tuanya.
Keluarga memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan
anak. Ada banyak pendekatan yang baik dalam mendidik anak dan semua
orangtua melakukan kesalahan-kesalahan kecil dalam mendidik anak
mereka. Anak-anak bisa menerima kesalahan orang tua, mereka bahkan
tidak memperhatikan hal tersebut. Anak-anak yang merasa disayangi
orang tua bisa mengatasi hal tersebut. Pendidikan dalam keluarga haruslah
diterapkan dengan sebaik mungkin, agar anak tumbuh dengan baik dan
terjadi perubahan yang positif pada diri anak (Silvana Rimm: 258, 2003)
Dalam era globalisasi terjadi pertemuan dan gesekan nilai-nilai
budaya dan agama di seluruh dunia yang memanfaatkan jasa komunikasi,
transformasi dan informasi hasil modernisasi teknologi. Pertemuan dan
gesekan ini akan menghasilkan kompetisi liar yang berarti saling
dipengaruhi dan mempengaruhi; saling bertentangan dan bertabrakan nilainilai yang berbeda yang akan menghasilkan kalah atau menang; atau
saling kerjasama (ecletic) yang akan menghasilkan sintesa dan antitesa
baru (Qodri Azizi: 20, 2003).
Pembicaraan di atas menggambarkan bahwa Masyarakat kita
semakin kritis terhadap tatanan hukum formal yang ada di Indonesia.
Kehidupan beragama semakin terbuka dan longgar. Dengan alasan bahwa
semua agama mempunyai konsep ketuhanan dan konsep amal baik (dalam
Islam: amal sholih), maka ada yang berpendapat bahwa nikah dengan
orang yang beda agama adalah sesuatu yang dimungkinkan dalam Islam.
Mereka yang beragama Islam biasanya mendasarkan diri pada ayat
Alquran yang berbunyi:
          ...
....     
“ (Dan dihalalkan mengawini) …wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi al Kitab sebelum kamu,
bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud
menikahinya… “ (QS 5: 5).
Namun dari ayat ini pula perbedaan pendapat itu muncul, ada yang
menghalalkan ada yang mengharamkan pernikahan beda agama.
Kalau dicermati lebih dalam lagi, pendapat yang membolehkan
menikah beda agama itu lebih berlaku pada pernikahan antara pria muslim
dengan wanita non muslim. Sedangkan mengenai wanita muslim yang
mau menikah dengan pria non-muslim, sepengetahuan penulis masih
jarang ada ulama yang tegas-tegas berani memperbolehkannya. Keberatankeberatan pernikahan beda agama di Indonesia biasanya lebih banyak
berkaitan dalam masalah pendidikan anak nantinya.
Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, ternyata di tengahtengah masyarakat kita Indonesia banyak terjadi pernikahan beda agama.
Hal ini bisa dilihat dari adanya masyarakat yang melakukan pernikahan
beda agama. Berangkat dari kenyataan ini, peneliti bermaksud mengangkat
fenomena pernikahan beda agama ini dalam konteks transformasi strategi
orang tua beda agama dalam mendidik anak.
Strategi orang tua dalam mendidik anak tentulah berbeda-beda
antara orang tua yang satunya dengan yang lain. Cara yang digunakanpun
unik dan memiliki ciri yang khas meskipun dalam keluarga memiliki
keyakinan yang sama dan tentunya akan lebih unik dan menarik lagi
apabila dalam keluarga yang memiliki keyakinan yang berbeda.
Melihat fenomena keluarga yang memiliki keyakinan berbeda
dalam satu keluarga tentulah mereka dituntut untuk bersama-sama
menyatukan visi, terutama dalam masalah mendidik anak-anaknya.
Persoalan anak bukanlah hal yang sepele apalagi dalam lingkup keluarga
berbeda agama, sehingga penulis bermaksud menggali informasi
khususnya bagi mereka yang berbeda agama mengenai stretegi mereka
dalam mendidik anak. Maka dari itu penulis akan melakukan penelitian
secara deskriptif dan analitis melalui judul “Strategi Orang Tua Beda
Agama dalam Mendidik Anak (Studi Kasus Tiga Keluarga Beda Agama di
Kelurahan Mangunsari, Kec. Sidomukti, Kota Salatiga Tahun 2012/2013) .
B. Fokus Penelitian
Fokus penelitian menyatakan pokok persoalan yang menjadi pusat
perhatian dalam penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi fokus
penelitian adalah:
1. Bagaimana variasi keberagamaan pada keluarga beda agama?
2. Bagaimana strategi mendidik anak dalam keluarga beda
agama?
3. Apa saja faktor pendukung dan penghambat keluarga beda
agama dalam mendidik anak?
C. Tujuan Penelitian
Pasangan beda agama yang dimaksud adalah perkawinan antara
seorang pria dan wanita yang berbeda agama, yang kemudian membentuk
sebuah keluarga. Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui bagaimana variasi keberagamaan pada
keluarga beda agama.
2. Untuk mengentahui bagaimana stretegi mendidik anak dalam
keuarga beda agama.
3. Untuk mengetahui apa saja faktor pendukung dan penghambat
keluarga beda agama dalam mendidik anak.
D. Penegasan Istilah
Agar mempermudah pemahaman serta untuk menentukan arah
yang jelas dalam menyusun penelitian ini, maka penulis memberikan
penegasan dan maksud penulisan judul sebagai berikut.
1. Strategi Mendidik
Strategi merupakan rencana besar yang bersifat meningkat,
efisien, dan produktif guna mengefektifkan tercapainya tujuan. Strategi
merupakan rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai
sasaran khusus. ((kamus besar bahasa Indonesia,edisi ke tiga, balai
pustaka, Jakarta, 2007: 1092).
Mendidik berbeda makna dengan mengajar. Mengajar
lebih
khusus pada menyalurkan atau menyampaikan pengetahuan saja.
Sedangkan mendidik tidak hanya cukup dengan hanya memberikan
ilmu pengetahuan ataupun keterampilan, melainkan juga harus
ditanamkan pada anak didik nilai – nilai dan norma – norma susila yang
tinggi dan luhur. Sehingga di sini orang tua yang memiliki
tanggungjawab mendidik haruslah dapat mendidik secara menyeluruh.
(Sahlan, 2006:2)
Peneliti menyimpulkan strategi mendidik adalah kemampuan yang
dimiliki seseorang untuk mengambil keputusan untuk memecahkan
masalah secara menyeluruh hingga terjadi perubahan yang sesuai
dengan yang diharapkan.
2. Orang Tua Beda Agama
Orang tua adalah orang yang melahirkan, merawat, memelihara
dan mendidik anak-anaknya sejak dari buaian hingga dewasa. Orang tua
merupakan pembimbing dan pendidik dalam keluarga yang pertama dan
utama bagi anak-anaknya. Merekalah yang mula-mula menerima
kewajiban dan tanggungjawab atas pemeliharaan dan pendidikan putraputrinya (Sahlan, 2006:15).
Beda agama, berasal dari dua kata yaitu beda dan agama.
Pengertian beda secara bahasa yaitu yang menjadikan berlainan (tidak
sama) antara benda yang satu dengan benda yang lain (ketidaksamaan)
menurut WJS Poerwadarminta.
Sedangkan pengertian agama yaitu segenap kepercayaan (kepada
Tuhan, dewa, dan sebagainya) serta dengan ajaran kebaktian dan
kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu (WJS
Poerwadarminta ).
E. Manfaat Penelitian
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik
secara teoritis maupun praktis.
1. Manfaat Teoritis
Dapat memeperkaya kepustakaan, dan menambah khasanah ilmu
pengetahuan khususnya tentang strategi orang tua beda agama dalam
mendidik anak.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan
menambah wawasan kepada para pemabaca, dan pengetahuan bagi
masyarakat agar tidak melakukan pernikahan beda agama sebab
resikonya sangat besar bagi orang tua yang melakukan pernikahan beda
agama dan status anak.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Setiap penelitian memerlukan pendekatan dan jenis penelitian yang
sesuai dengan masalah yang dihadapi. Jenis penelitian yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan
pendekatan kualitatif.
Penelitian kualitatif mengkaji perspektif partisipan dengan multi
strategi. Strategi-strategi yang bersifat interaktif, seperti observasi
langsung, observasi partisipan, wawancara mendalam, dokumendokumen, teknik-teknik perlengkapan seperti foto, rekaman, dan lainlain (Nurul Zuriah, 2006:95).
Melalui metode kualitatif penulis dapat mengenal orang (subjek)
secara pribadi dan melihat mereka mengembangkan definisi mereka
sendiri tentang dunia ini. Penulis dapat merasakan apa yang mereka
alami dalam pergulatan dengan masyarakat mereka sehari-hari,
mempelajari kelompok-kelompok dan pengalaman-pengalaman yang
mungkin belum penulis ketahui sama sekali. Yang terakhir metode
kualitatif memungkinkan penulis menyelidiki konsep-konsep yang
dalam pendekatan penelitian lainnya intinya akan hilang. Konsepkonsep seperti keindahan, rasa sakit, keimanan, penderitaan, frustasi,
harapan, dan kasih sayang dapat diselidiki sebagaimana orang-orang
yang sesungguhnya dalam kehidupan mereka sehari-hari. (Sugiono,
2007:30).
2. Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian ini peneliti bertindak sebagai instrument
sekaligus pengumpul data. Peneliti datang dan secara langsung
berinteraksi di tengah-tengah objek penelitian dan melakukan
pengamatan, wawancara mendalam dan aktivitas-aktivitas lainnya
demi memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini. Peneliti
turun langsung ke kancah penelitian, tanpa mewakilkan pada orang
lain, agar kegiatan yang berkaitan dalam menggali, mengidentifikasi
data informasi dan fenomena yang muncul dilapangan dapat diperoleh
secara akurat.
3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Sesuai judul penelitian, lokasi penelitian ini dilaksanakan di
kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga. Waktu
penelitian antara 12 Juni- 19 Juli 2013.
4. Sumber Data
Sumber data diperoleh dari sumber primer dan sumber sekunder.
Sumber primer diantaranya orang tua beda agama di kelurahan
Mangunsari. Sedangkan sumber sekunder diantaranya orang-orang
terdekat keuarga beda agama seperti anak, ketua RT, serta sumber lain
yang bias dijadikan reverensi seperti dokumen-dokumen maupun
surat-surat penting.
5. Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah wawancara, observasi dan dokumentasi.
a. Wawancara
Wawancara adalah tanya jawab dengan seseorang yang
diperlukan untuk dimintai keterangan atau pendapat mengenai
suatu hal (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga,
2007:1270).
Teknik wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi
sebanyak mungkin secara jujur dan detail. Teknik wawancara
penulis gunakan untuk mengetahui strategi yang dilakukan orang
tua beda agama dalam mendidik anak.
b. Observasi
Observasi adalah peninjauan secara cermat (Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2007:794).
Sebagai metode ilmiah observasi biasa diartikan sebagai
pengamatan dan pencatatan dengan sistematika fenomenafenomena yang diselidiki (Sutrisno Hadi 1995). Metode observasi
adalah cara menghimpun bahan-bahan yang dilakukan dengan
mengadakan pengamatan fenomena-fenomena yang dijadikan
pengamatan (Anas Gudiyono:1996). Metode ini peneliti gunakan
untuk mengetahui dan mengamati secara langsung mengenai
strategi para orang tua beda agama dalam mendidik anak di
Mangunsari Sidomukti Kota Salatiga.
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah metode penelitian ditujukan pada
penguraian dan penjelasan apa yang telah lalu melalui sumbersumber dokumen (Surakhmad, 1985:132).
Metode ini dimaksudkan untuk
pengambilan data yang
diperoleh dengan bahan-bahan yang tersimpan (arsip). Arti lain
dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal variable yang
berupa catatan, transkip, buku, majalah, notulen rapat, lagger,
agenda dan sebagainya (Sutrisno Hadi:1998). Metode ini penulis
gunakan untuk mencari data para orang tua beda agama di
Mangunsari Sidomukti Kota Salatiga.
6. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif adalah proses pelacakan
dan pengaturan secara sistematis transkrip wawancara, catatan
lapangan,
dan
bahan-bahan
lain
yang
dikumpulkan
untuk
meningkatkan pemahaman terhadap bahan-bahan tersebut agar dapat
diinterpretasikan temuannya kepada orang lain (Nurul Zuriah, 2006,
217).
Prosedur analisis dalam penelitian ini adalah : penyusunan data,
pengolahan data dengan mengklasifikasikan data ke dalam kategori-
kategori yang jumlahnya lebih terbatas sesuai dengan data yang
diperlukan, organisasi data, pemilihan menjadi satuan-satuan tertentu
dan penemuan hal-hal yang penting untuk dipelajari. Dalam penelitian
ini analisis data dilakukan selama dan setelah pengumpulan data.
7. Pengecekan Keabsahan Data
Pada tahab pengecekan keabsahan data peneliti banyak terlibat
dalam kegiatan penyajian atau pengumpulan dari data yang
dikumpulkan dan dianalisis sebelumnya (Nurul Zuriah, 2006, 217).
Dalam pengecekan keabsahan data, peneliti melakukan cross check
dengan beberapa sumber lain yang terkait.
8. Tahap-tahap Penelitian
Tahap-tahap penelitian menguraikan proses pelaksanaan penelitian
di antaranya: penelitian pendahuluan yaitu penyusunan proposal dan
perencanaan penelitian, pengembangan desain, penelitian sebenarnya
di mana peneliti hadir langsung di lokasi penelitian, dan penulisan
laporan.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun dalam lima bab yang secara sistematis
penjabarannya sebagai berikut:
Bab I, berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, penegasan istilah, manfaat penelitian, metode penelitian.
Bab II, berisi tentang kajian pustaka penjabaran strategi orang tua beda
agama dalam mendidik anak.
Bab III, membahas tentang gambaran umum lokasi penelitian dan paparan
hasil penelitian.
Bab IV, analisis tentang strategi orang tua beda agama dalam mendidik
anak.
Bab V, penutup yang berisi kesimpulan dan saran
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Strategi Mendidik
1. Pengertian Strategi Mendidik
Strategi merupakan rencana besar yang bersifat meningkat, efisien,
dan produktif guna mengefektifkan tercapainya tujuan. Maksudnya
strategi merupakan rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk
mencapai sasaran khusus (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007:1092).
Pada sisi lain, setiap orang tua berkeinginan untuk mendidik
anaknya secara baik dan berhasil. Mereka berharap mampu membentuk
anak yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, berbakti terhadap orang tua, berguna bagi dirinya,
keluarga, masyarakat, nusa, bangsa, Negara, juga bagi agamanya, serta
anak yang cerdas memiliki kepribadian yang utuh.
Mendidik, tampak sederhana sekali. Akan tetapi, hal yang
menyangkut praktik mendidik itu sendiri tidak sesederhana sebagaimana
yang tertulis. Ada beberapa hal yang seyogyanya mendapat perhatian dari
para orang tua tentang perbuatan mendidik itu. Mendidik adalah
membantu
dengan
sengaja
pertumbuhan
anak
dalam
mencapai
kedewasaan melalui bimbingan. Bimbingan diartikan sebagai proses untuk
membantu anak mengenal dirinya sendiri dan dunianya. Pada dasarnya,
anak itu sendiri telah memiliki potensi dan kemampuan untuk menuju
kedewasaannya (Sahlan, 2006:2).
Hal-hal yang harus menjadi perhatian orang tua dalam strategi
mendidik adalah:
a. Mendidik dalam kedewasaan.
b. Mendidik dengan memberi teladan.
c. Mendidik dalam kedisiplinan.
d. Mendidik dalam kemandirian anak.
Dengan memperhatikan unsur-unsur tersebut hidarapkan agar
dalam mendidik anak dapat sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai,
tujuan umum dari semua kegiatan mendidik adalah kedewasaan, dan
dalam kedewasaan itu anak juga perlu adanya pendidikan yang lain yang
harus diterapkan dirumah agar berjalan seimbang (Sahlan,2006:12)
a. Mendidik dalam kedewasaan
Jika menyimak sebuah motto yang berasal dari buah
pemikiran seorang tokoh pendidikan nasional bangsa kita, Ki
Hajar Dewantara, yang berbunyi “Ing ngarso sung tulodo, ing
madyo mangun karso, tut wuri handayani”, yang artinya “Di
depan menjadi teladan, di tengah (bersama-sama anak)
membina kemauannya, mengikuti dari belakang”.
Dari motto tersebut, dapat diungkap satu pemahaman
bahwa dalam mendidik atau membimbing anak menuju
kedewasaan, anak tidak dijadikan sebagai objek atau sasaran
yang akan dikenai perbuatan. Malah sebaliknya, anak harus
ikut aktif dalam proses pendidikan itu. Anak menduduki status
yang sama dengan yang mendidik (orang tua), yakni sebagai
subjek atau pelaku kegiatan pendidikan.
Akan tetapi, dalam proses mendidik kedewasaan orang tua
harus selalu mengawasi pertumbuhan dan perkembangan anak.
Yang dimaksud pengawasan di sini adalah bahwa selama
dalam proses pendidikan itu, anak senantiasa berada dalam
kendali perilaku mendidik itu sendiri, di mana anak yang
dididik maupun orang tua yang mendidik tetap menduduki
statusnya yang benar serta tidak kehilangan haknya (Sahlan,
2006:2-5).
b. Mendidik dengan memberi teladan
Sebagai pendidik utama dan pertama dalam keluarga, hal
ini mengisyaratkan bahwa keberadaan seorang ibu begitu
penting dan strategis dalam proses pendidikan anak. Terutama
pada saat permulaan di mana seorang anak harus memperoleh
pendidikan bagi kepentingan pertumbuhan, perkembangan, dan
mendapatkan contoh perilaku yang baik. Keutamaan itu jelas
tidak bisa digantikan oleh orang lain.
Unsur-unsur keterikatan batin, keakraban pergaulan, dan
pengenalan terhadap individu anak merupakan beberapa faktor
pendukung kuat atas keberhasilan pendidikan terhadap anak
dalam keluarga, dan hal itu hanya dimiliki oleh seorang ibu.
Sikap keterbukaan pencurahan isi hati, pelampiasan emosi anak
cenderung lebih memperoleh tempat yang pas jika disampaikan
kepada ibu daripada kepada bapak. Dengan begitu, haruslah
diyakini secara jujur bahwa seorang ibu begitu menentukan
dalam mendidik anak di rumah atau dalam keluarga, dan dalam
rangka membentuk generasi penerus yang beriman dan
bertaqwa, berkualitas dalam moral, mental, dan intelektualnya.
Bisa jadi tak ada anak yang baik tanpa ibu yang baik.
Ibu sebagai penutan yang dapat diteladani secara ikhlas;
sebagai motivator terhadap pertumbuhan dan perkembangan
rasa, cita, dan karsa anak; sebagai pengawal hati nurani anak,
pengayom jiwa anak-anaknya. Hal tersebut merupakan bentuk
lain dari peranan yang perlu dibawakan oleh seorang ibu dalam
menjalankan fungsi dan tugas selaku pendidik dalam keluarga
(Sahlan, 2002:85-88).
c. Mendidik dalam kedisiplinan
Menurut kamus, kata “disiplin” memiliki beberapa makna
di antaranya, menghukum, melatih, dan mengembangkan
kontrol diri anak. Pendapat Marilyn E. Gootman, Ed. D dalam
bukunya Ibnu Nizar, bahwa disiplin akan membentuk anak
untuk mengembangkan kontrol dirinya, dan membantu anak
mengenali perilaku yang salah lalu mengoreksinya.
Disiplin bisa membentuk kejiwaan pada anak untuk
memahami peraturan sehingga anak pun mengerti kapan saat
yang tepat untuk melaksanakan peraturan, dan kapan pula harus
mengesampingkan. Sedangkan peraturan itu sendiri ada dalam
keseharian anak. Kondisi kejiwaannya memang masih butuh
untuk diatur sehingga seorang anak akan merasa tenteram bila
hidup teratur. Sebagai contoh adalah peraturan tentang makan,
beribadah, sekolah, bermain, dan belajar.
Akan lebih efektif dan berhasil secara maksimal jika
disiplin itu disosialisasikan kepada anak, dilaksanakan terlebih
dahulu oleh orang tuanya serta lingkungannya. Anak juga akan
mudah menerapkan peraturan tersebut bila ada penghargaan
atau hukuman yang jelas. Halangan yang paling sering
ditemukan dalam meningkatkan disiplin anak adalah pada
lemahnya penerapan peraturan. Dan hambatan itu kadang
sering dating dari orang tuanya, dengan kurangnya kesabaran,
konsostensi, dan kasih sayang dalam mendidik anak adalah hal
yang sering luput dicermati orang tua dalam mendidik anak dan
membuyarkan penerapan disiplin anak (Ahmad Ibnu Nizar,
2009:5-6)
d. Mendidik dalam kemandirian
Seseorang yang mampu menghargai prinsip mandiri akan
memperoleh status terhormat dari segi agama dan sosial, di
mana tangan yang berada di atas lebih terhormat dari tangan
yang di bawah. Status ini akan tumbuh apabila keluarganya
sejak dini memberikan peluang kepada anak untuk hanya dapat
memperoleh sesuatu melalui kemandirian, juga melalui
penghargaan terhadap sikap rajin bekerja terhadap berbagai
percobaan sebagai pengembangan bakat anak (Nur Ahid,
2010:150).
2. Tanggung Jawab Keluarga dalam Strategi Mendidik Anak.
Keluarga adalah sekolah tempat putra-putri bangsa belajar. Dari
sana mereka mempelajari sifat-sifat mulia, seperti kesetiaan, rahmat,
dan kasih saying, ghirah dan sebagainya. Dari kehidupan keluarga,
seorang ayah dan suami memperoleh dan memupuk sifat keberanian
dan keuletan sikap dan upaya dalam rangka membela sanak
keluarganya dan membahagiakan mereka pada saat hidupnya dan
setelah kematiannya.
Perkawinan menjadi salah satu bagian penting masalah keagamaan.
Sebab setiap agama berbicara tentang perkawinan dan memiliki
aturan-aturan khusus bagaimana pelaksanaan perkawinan para
pemeluknya. Tidak ada satu agamapun yang mengutuk dan melarang
perkawinan bagi pemeluknya. Pada dasarnya setiap agama menilai dan
menetapkan perkawinan itu sebagai suatu yang suci, agung, mulia,
indah dan sacral, serta merupakan bagian penting dalam kehidupan
keagamaan (Nur Ahid, 2010:75-76).
Anak-anak
di
lingkungan
keluarga
pertama
mendapatkan
pengaruh, karena itu keluarga merupakan lembaga pendidikan tertua,
yang bersifat informal dan kodrati. Lahirnya keluarga sebagai lembaga
pendidikan semenjak manusia itu ada. Ayah dan ibu di dalam keluarga
sebagai pendidiknya, dan anak sebagai si terdidiknya. Keluarga
merupakan pendidikan informal. Tugas keluarga adalah meletakkan
dasar-dasar bagi perkembangan anak, agar anak berkembang secara
baik. Anak yang karena satu dan lain hal tidak mendapatkan
pendidikan dasar secara wajar ia mengalami kesulitan dalam
perkembangan berikutnya (Sikun Pribadi,1981:87)
Keluarga memiliki tanggungjawab dalam membentuk pola
kepribadian anak, karena di dalam keluarga anak pertama kali
berkenalan dengan nilai dan norma. Pendidikan keluarga memberikan
pengetahuan dan keterampilan dasar, agama, dan nilai-nilai moral,
norma sosial, dan pandangan hidup yang diperlukan peserta didik
untuk dapat berperan dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Kedudukan suami sebagai pemimpin keluarga bukan semata-mata
berkewajiban menyediakan nafkah, tetapi dibebani mengendalikan
rumah tangga sehingga setiap anggota keluarga dapat menikmati
makna keluarga dan agar setiap anggota keluarga dapat secara terus
menerus maningkatkan kualitas pribadinya dalam berbagai segi, baik
segi hubungan dengan Tuhan, dengan sesama manusia, segi
penguasaan pengetahuan dan sebagainya.
Ayah sebagai pemimpin adalah menjadi panutan bagi anggota
keluarga terutama anak-anaknya. Bagi anak yang berusia tiga tahun
tumbuh pandangan bahwa ayahnya adalah manusia yang ideal yang
akhirnya membawa kepada pemikiran seolah-olah ayahnya itu Tuhan.
Kedudukan ayah dalam pribadi anak sungguh mengagumkan sebagai
seorang yang sempurna dan tidak akan mati. Anak memandang orang
tua dengan khayalannya bukan atas dasar kenyataan yang ada, dan ini
merupakan pertumbuhan awal dari rasa agama.
Kekaguman dan penghargaan terhadap ayahnya penting untuk
membina jiwa, moral, dan pikiran sampai usia lebih kurang lima tahun
dan inilah yang akan menumbuhkan kepercayaan terhadap Tuhan
(Zakiyah Daradjat, 1989:50)
Mengatur
keluarga
agar
selalu
tenteram
sehingga
tidak
mengganggu lingkungan pendidikan yang utama. Seorang ibu
hendaknya mengarahkan anaknya dalam pendidikan. Pengatuaran
kegiatan yang dilakukan ibu, harus melibatkan anggota keluarga
terutama anak-anak dalam rangka mendidik dan membiasakan mereka.
Anak yang lebih dewasa diberi tugas yang lebih berat, dan sebaliknya
anak yang masih kecil diberi tugas yang ringan.
Mengikutsertakan anak dalam berbagai kegiatan intelektual seperti
membaca, memperbaiki alat rumah tangga, perjalanan bersama dan
lain-lain, menurut berbagai peneliti dan ahli pendidikan merupakan
tindakan yang menunjang perkembangan intelektual anak. Partisipasi
anak seperti itu bukan hanya berguna bagi anak, tetapi juga
menguntungkan bagi orang tua, karena ia sendiripun melaksanakan
kegiatan tersebut dengan lebih bersungguh-sungguh dan lebih berhatihati yang pada akhirnya meningkatkan kualitas dan manfaat interaksi
antara keduanya.
Dilibatkannya anak dalam kegiatan rumahtangga adalah untuk
melatihnya agar rajin bekerja dan kemampuan melaksanakan tugas.
Anak diberi tugas tertentu, diberi wewenang dan tanggungjawab untuk
menyelesaikan tugas dengan baik. Anak jangan dibiarkan berpangku
tangan meskipun orang tuanya mampu menyediakan pembantu untuk
mengerjakan pekerjaan rumah. Tanpa terikat dengan tugas tertentu,
anak kurang memiliki bahkan dapat menumbuhkan sikap manja dan
kurang mandiri. Orang tua memang berkewajiban membantu anak
dalam memenuhi kebutuhan mereka, akan tetapi tidak boleh berlebihan
dalam menolongnya, sehingga kehilangan kemampuan untuk mandiri
(Sudardji, 1988:79).
a. Pengenalan dan pengembangan sikap sosial awal
Manusia pada dasarnya adalah individu-individu yang
mempunyai kecenderungan untuk bermasyarakat. Kehidupan
akan bermakna bilamana dia hidup ditengah-tengah manusia
lain. Oleh sebab itu, Imam Qastalani dalam bukunya Nur Ahid
menyatakan bahwa salah satu cabang dari iman seseorang
adalah kemampuannya bermasyarakat (Nur Ahid, 2010:106).
Kemampuan mengadakan kontak sosial dan bermasyarakat
tumbuh sejak masa kanak-kanak, yakni melalui hubungan
dengan orang tua dan saudara-saudaranya yang kemungkinan
berkembang melalui pergaulan dengan anak-anak di sekitarnya.
Keluarga adalah lingkungan pertama bagi proses pertumbuhan
sikap sosial dan kemampuan hubungan social anak. Dalam
keluarga berlangsung perkembangan sikap sosial awal yang
akan menopang perkembangan sikap sosial selanjutnya.
Kemampuan bergaul yang diperoleh di lingkungan keluarga
akan mendasari kemampuan bergaul yang lebih luas.
Keluarga sebagai suatu sistem sosial yang terdiri dari
subsistem yakni fungsi-fungsi hubungan ayah dengan anak, ibu
dengan anak, dan hubungan antara anak dengan anak yang lain.
Sebagai sebuah sistem sosial keluarga berhubungan dan punya
saling ketergantungan tertentu dengan keluarga dan sistem
sosial lain. Segala macam hubungan sosial itu mempunyai nilai
dan arti edukatif bagi anak-anak (Sudardji, 1988: 68-69)
Dalam hubungan sosial tersebut anak akan memahami
tentang bagaimana menghargai orang lain, mengetahui cara
berkomunikasi dengan orang lain, dan memahami bahwa
kebebasannya dibatasi oleh kebebasan orang lain. Dalam
berbagai kesempatan kegiatan keagamaan yang bercorak sosial.
Sebaiknya anak dilibatkan. Hal demikian akan menumbuhkan
sikap sosial sekaligus menumbuhkan sikap sosial yang
dimotivasi agama.
Prinsip keseimbangan harus ditumbuhkan di lingkungan
keluarga. Hal-hal yang memperkecil prinsip ini dihindarkan,
seperti orang tua yang bersikap pilih kasih, tidak adil,
memanjakan yang berlebihan, terlalu banyak menolong dalam
masalah yang tidak sewajarnya dan sebagainya.
Sejalan dengan kehidupan sosial, maka peran manusia
dititikberatkan pada upaya untuk menciptakan keharmonisan
hidup bermasyarakat. Masyarakat dalam ruang lungkup yang
paling sederhana yaitu keluarga, hingga ke ruang lingkup yang
lebih luas yaitu sebagai warga antar bangsa. Keluarga sebagai
unit sosial yang paling kecil, terdiri atas ayah, ibu, dan anakanaknya. Sedangkan dalam konteks bangsa dan umat, terdiri
atas kelompok komunitas, etnis, ras, maupun keluarga
(Jalaluddin, 2001: 23).
b. Bimbingan awal kepribadian
Keluarga sebagai tempat berlangsungnya sosialisasi yang
berfungsi dalam pembentukan kepribadian sebagai makhluk
individu, makhluk sosial, makhluk susila, dan makhluk
beragama.
Pergaulan hidup bersama di dalam keluarga akan memberi
andil yang besar bagi pembentukan kepribadian anak. Apakah
anak akan mempunyai kepribadian yang kuat dan menghargai
diri pribadinya atau menjadi anak yang berkepribadian lemah.
Hal ini tergantung dari latar belakang pengalaman di
lingkungan keluarga.
Pengaruh keluarga terhadap kepribadian anak itu besar,
meskipun dalam ukuran yang relatif tidak sama. Di dalam
masyarakat anak dengan sifat orang tuanya, baik dalam arti
positif atau negatif. Porsi keluarga dalam pembentukan
kepribadian lebih banyak dari segi pengalaman. Justru itu
keluarga harus memberikan pengalaman yang positif, baik
aspek pengembangan anak sebagai makhluk individu, social,
susila, maupun sebagai makhluk yang beragama. Dari segi
susila misalnya, anak menyaksikan penampilan susila yang
agung
di
rumah,
maka
memungkinkan
sekali
akan
berkepribadian yang agung pula.
Sehubungan dengan itu seorang wanita begitu menikah
sudah siap untuk menjadi istri atau ibu yang bertanggungjawab
terhadap keserasian rumah tangganya. Istri menjadi cermin
apakah rumah tangganya akan menjadi surga atau neraka bagi
keluarga. Jika lahir anak, maka tanggungjawabnya bertambah
berat, yakni sebagai pendidik utama bagi anaknya. Anak harus
menjadi pusat perhatian, lebih-lebih pada usia kanak-kanak.
Dari keterangan tersebut di atas, dapat diambil garis
besarnya, bahwa pengalaman yang dilalui anak di lingkungan
keluarga akan berpengaruh terhadap kepribadiannya. Oleh
sebab itu, situasi rumah tangga hendaknya dapat menunjang
terbentuknya kepribadian yang baik (Nur Ahid,2010:112-113).
c. Proses pertumbuhan afeksi dalam keluarga
Tidak
hanya
memperhatikan
perkembangan
pikiran
manusia tetapi juga memperhatikan perkembangan perasaan.
Melaui perkembangan perasaan itulah seseorang akan mampu
menangkap dan menghayati makna keindahan, kesusilaan, dan
makna-makna lain yang berhubungan dengan nilai-nilai dalam
kehidupan. Keluarga muslim yang mencerminkan individu
muslim tidak terlepas dengan pengalaman nilai-nilai keislaman.
Hal-hal yang perlu diperankan oleh keluarga berkenaan
dengan pengembangan aspek perasaan atau afeksi anak
menurut pendapat Abdul Aziz El-Qussy dalam bukunya Nur
Ahid ialah kebutuhan rasa aman, kasih sayang, penghargaan,
kebebasan, rasa sukses, dan kebutuhan akan satu kekuatan
pembimbung atau pengendali.
Ibu sebagai orang yang paling dekat harus memahami hal
ini, sehingga mendekapnya di saat anak merasa kedinginan,
menyusu dan sebagainya. Hal demikian merupakan pelimpahan
kehangatan dan kasih saying. Degan terpenuhinya berbagai
kebutuhan, anak akan merasa bahagia, tenang, tenteram, dan
merasa aman. Keadaan yang demikian ini merupakan
permulaan dari kepercayaan diri (Nur Ahid, 2010:114-115)
3. Keluarga dan Pembentukan Status
Teori
empirisme,
berpendapat
bahwa
perkembangan
dan
pertumbuhan manusia sepenuhnya ditentukan oleh lingkungannya.
Dengan demikian aliran ini memandang pendidikan berperan penting
dan sangat menentukan arah perkembangan manusia (Jalaluddin dan
Ali Ahmad Zen, 1996:52).
a. Pendidikan Akhlak
Masalah akhlak adalah suatu masalah yang menjadi
perhatian orang di mana saja, baik dalam masyarakat yang
telah maju maupun dalam masyarakat yang masih terbelakang.
Karena kerusakan akhlak seorang mengganggu ketenteraman
yang lain, jika dalam suatu masyarakat banyak orang yang
rusak akhlaknya, maka akan guncanglah keadaan masyarakat
itu.
Keluarga lebih banyak berperan dalam pembinaan moral
terutama pada masa kanak-kanak. Pertama yang harus
diperhatikan adalah penyelamatan hubungan ibu bapak,
sehingga pergaulan dan kehidupan mereka dapat menjadi
contoh bagi anak-anaknya, terutama anak-anak yang masih
belum enam tahun, di mana mereka belum memahami katakata dan simbol yang abstrak (Zakiyah Daradjat, 1989:20).
Semua perbuatan anak merupakan cermin dari orang tuanya
atau pangkal pada perbuatan orang tua sendiri. Hal ini memberi
beberapa pengertian antara lain:
1) Orang tua mempunyai pengaruh dasar atas perkembangan anak
secara integral;
2) Kehidupan
etik
dan
agama
anak
merupakan
proses
pengoperasian dari etik dan agama orang tuanya;
3) Perkembangan
perasaan
etik
melalui
pengertian dan kesadaran tentang kesusilaan;
tahapan
menuju
4) Sebelum
anak
mengerti
kesusilaan,
orang
tua
perlu
mempersiapkan dengan memberi contoh perilaku yang etis
pula.
Keluarga seharusnya mentampakkan perasaan bangga terhadap
moral yang tinggi dan bangga terhadap keluarga yang menjalankan
perintah agama dengan baik, sebab dengan kebanggaan itu
mempermudah terbinanya moral status pada diri anak yang akan
dihormatinya dalam kehidupan anak (HM. Arifin, 1978:103).
Hasan
Langgulung
menambahkan
dinantara
kewajiban
keluarga dalam hal mendidik akhlak diantaranya yaitu:
a) Memberi contoh baik bagi anak-anaknya dalam berpegang
teguh kepada akhlak mulia. Sebab orang tua yang tidak berhasil
menguasai dirinya tentulah tidak sanggup meyakinkan anakanaknya untuk memegang akhlaknya yang diajarkannya. Di
antara kata-kata mutiara yang terkenal dari Sahabat Ali R.A
adalah: Medan perang pertama adalah dirimu sendiri, jika kamu
telah mengalahkannya, tentu kamu akan mengalahkan yang
lain. Jika kamu kalah di situ, niscaya di tempat lain kamu akan
lebih kalah. Jadi berjuanglah di situ lebih dahulu.
b) Menyediakan bagi anak-anaknya peluang-peluang dan sarana
praktis di mana mereka dapat mempraktekkan akhlak yang
diterima dari orang tuanya.
c) Memberikan tanggungjawab yang sesuai kepada anak-anaknya
supaya mereka bebas memilih dalam tindak-tanduknya.
d) Menunjukkan bahwa keluarga selalu mengawasi mereka
dengan sadar dan bijaksana.
e) Menjaga mereka dari teman-teman yang menyeleweng dan
tempat-tempat kerusakan dan lain-lain lagi cara di mana
keluarga
dapat
mendidik
akhlak
anak-anaknya
(Hasan
Langgulung,1979:78).
b. Memberikan ilmu yang wajib kepada anak
Keluarga berkewajiban mengajarkan ilmu fardhu’ain
kepada anak-anaknya yaitu yang menyangkut Al-Qur’an dan
ilmu ibadah dasar, seperti ihwal beribadah kepada Tuhan yaitu
shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya, yakni ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan kewajiban sehari-hari seorang muslim.
Al-Toumy
al-Syaibani
dalam
bukunya
Nur
Ahid
menegaskan bahwa termasuk ilmu yang benar adalah ilmu
yang merupakan cara untuk mencapai kemajuan ekonomi,
kemakmuran dan menambah produktivitas. Hal ini sekaligus
sebagai suatu persyaratan dalam pelaksanaan tugas sebagai
khalifah di bumi. Orang tua berkewajiban mengajarkan ilmu
yang bermanfaat dengan penekanan pada ilmu yang akan
menjadikan anak untuk mampu hidup mandiri (Nur Ahid,
2010:129-134).
c. Toleransi
UUD 1945 menjamin semua agama untuk berkembang.
Semua penganut agama mempunyai posisi yang sama di mata
Negara. Apaun agama yang dianut, mereka adalah bangsa
Indonesia. Mereka adalah saudara sebangsa yang juga punya
hak untuk menjalankan kegiatan-kegiatan ibadah menurut
keyakinan dan agama masing-masing. Parameter utama untuk
dapat memelihara keragaman adalah mengelola kemampuan
toleransi (KH. Abdurrahman Wahid, 2010:170).
Karena toleransi sudah kita jadikan nilai dan norma, dan
juga menyangkut sifat dan sikap untuk menghargai pendirian,
pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan dan kelakuan,
dan lain-lain yang berbeda bahkan bertentangan dengan
pendirian sendiri, maka sifat dan sikap sebagai nilai dan norma
itu mesti disosialisasikan. Maknanya, ialah proses memelajari
norma, nilai, peran, dan semua persyaratan lainnya yang
diperlukan untuk memungkinkan partisipasi yang efektif dalam
kehidupan sosial.
Sifat dan sikap toleran ini perlu disosialisasikan, agar setiap
individu mampu mengamalkan dalam kehidupan nyata di
masyarakat luas. Dalam lingkungan keluarga, kehidupan yang
toleran harus disosialisasikan sejak dini terhadap anggota
keluarga (anak-anak).
Sikap toleransi dan menghormati agama lain akan
menghindarkan ekstrimisme dalam beragama. Ekstrimisme
adalah sebuah tindakan membahayakan umat manusia. Sebab
akan menimbulkan prasangka, kekakuan, dan kebekuan.
Ekstrimisme awal perpecahan umat manusia, dan menggiring
pada perselisihan internal dan eksternal (Khotimatul Husna,
2006:54).
4. Peran Keluarga dalam Pendidikan Agama Anak
Perkembangan agama pada masa anak, terjadi melalui pengalaman
hidupnya sejak kecil dalam keluarga. Semakin banyak pengalaman
yang bersifat agamis, akan semakin banyak unsure agama, maka sikap
tindakan, kelakuan dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan
ajaran agama (Zakiyah Daradjat, 1989:55).
Pendidikan agama dan spiritual bagi anak-anak adalah termasuk
bidang-bidang yang harus mendapat perhatian penuh oleh keluarga.
Pendidikan agama dan spiritual ini berarti membangkitkan kekuatan
dan kesediaan spiritual yang bersifat naluri yang ada pada anak-anak
melalui bimbingan agama yang sehat dan mengamalkan ajaran-ajaran
agama. Membekali anak-anak dengan pengetahuan agama dan
kebudayaan yang sesuai dengan umurnya dalam bidang akidah,
ibadah, muamalah dan sejarah. Begitu juga dengan mengajarkan
kepadanya cara-cara yang betul untuk menunaikan syi’ar-syi’ar dan
kewajiban-kewajiban agama dan menolongnya mengembangkan sikap
agama yang benar, yang termasuk mula-mula sekali adalah iman yang
kuat kepada Tuhan, dan selalu mendapat pengawasan dari padanya
dalam segala perbuatan dan perkataan (Nur Ahid, 2010:140-141).
Ilmu pengetahuan hanya dapat mengisi dan mengembangkan
pikiran. Untuk mengisi perasaan diperlukan pengalaman dan
pendidikan yang diterima sejak kecil, yang akan dapat menjadikan
perasaan sejalan dengan pikiran. Apabila pengalaman dan pendidikan
yang dilalui di masa kecil kurang membawa ketenteraman, maka
perasaan orang itu akan guncang dan kemampuan berpikirnya akan
mejadi tidak tenang. Di sinilah pentingnya fungsi keimanan (Zakiyah
Daradjat, 1987:13).
Cara-cara praktis yang patut digunakan oleh keluarga untuk
menanamkan semangat keagamaan pada diri anak sebagai berikut:
a. Memberitahukan yang baik kepada mereka tentang kekuatan iman
kepada Tuhan dan berpegang kepada ajaran-ajaran agama dalam
bentuknya yang sempurna dalam waktu tertentu.
b. Membiasakan mereka menunaikan syiar-syiar agama semenjak
kecil hingga penunaian itu menjadi kebiasaan yang mendarah
daging, mereka melakukannya dengan kemauan sendiri dan merasa
tenteram sebab mereka melakukannya.
c. Menyiapkan suasana agama dan spiritual yang sesuai di rumah dan
di mana mereka berada.
d. Membimbing mereka membawa bacaan-bacaan agama yang
berguna dan memikirkan ciptaan-ciptaan Tuhan untuk menjadi
bukti kehalusan system ciptaan itu dan atas wujud dan
keagungannya.
e. Menggalakkan mereka turut serta dalam aktivitas-aktivitas agama,
dan lain-lainnya.
Dari keterangan tersebut di atas, memberi petunjuk kepada
keluarga agar melaksanakan pendidikan, mengharuskan orang tua
mendidik anak-anaknya akan iman dan akidah yang betul dan
membiasakan mengerjakan syariat agama (Hasan Langgulung,
1979:372).
5. Kendala dan Dampak Negatif Kegagalan dalam Mendidik Anak
Dalam melakukan suatu pekerjaan, kerap kali muncul kendalakendala yang dapat menghambat proses pelaksanaan pekerjaan
tersebut, juga dapat menggagalkan tujuan yang hendak dicapai.
Begitupun dalam mendidik anak, tidak sedikit kendala yang harus
dihadapi oleh orang tua, antara lain sebagai berikut.
a. Kendala internal
Kendala internal bersumber dari dalam diri anak. Kendalakendala itu dapat berupa anak malas untuk belajar, keinginan
bermain yang berlebihan, sikap tidak mau dididik atau sikap
melawan.
b. Kendala eksternal
Kendala eksternal bersumber dari luar diri anak. Kendalakendala itu dapat berupa perilaku orang tua yang terlalu keras,
terlalu otoriter, terlalu memanjakan, terlalu khawatir, terlalu lemah,
terlalu egois, terlalu pesimis, terlalu banyak aturan dan permintaan,
dan hubungan yang kurang harmonis dengan anak.
Kendala lain yang termasuk kendala eksternal ini adalah
kendala ekonomi keluarga yang kurang menguntungkan, hubungan
antara ayah dan ibu yang tampak di mata anak kurang harmonis
karena sering bertengkar di hadapan anak. Sementara itu,
hubungan dengan kakak atau adik yang kurang harmonis pun dapat
menjadi kendala eksternal. Tidak sedikit kasus keributan, konflik
di antara sesama anak di dalam sebuah keluarga dengan berbagai
penyebabnya.
Adapun dampak negatif kegagalan dalam mendidik anak
adalah;
1) Anak akan tumbuh dan berkembang tanpa terkendali, tidak
terarah sesuai dengan norma-norma pendidikan, susila, dan
agama.
2) Menjadi beban yang tidak ringan bagi keluarga, masyarakat,
dan Negara.
3) Menjadi ancaman dan gangguan terhadap integritas, persatuan,
dan kesatuan bangsa, serta keamanan dan kenyamanan
lingkungan (Sahlan, 2006:89-90).
B. Keluarga Beda Agama
1. Pengertian Perkawinan Beda Agama
Perkawinan beda agama pada dasarnya berarti perkawinan
yang dilangsungkan antara pasangan yang beda agama satu sama lain.
Perkawinan bernuansa keragaman ini banyak terjadi dan masih
dijumpai di dalam kehidupan bermasyarakat. Mungkin contoh yang
banyak terekspos ke masyarakat luas hanyalah pernikahan atau
perkawinan dari pasangan para selebritis saja. Beberapa contoh dari
pasangan suami istri, Nurul Arifin-Mayong, Ira Wibowo-Katon
Bagaskara, Dewi Yull-Rae Sahetapi (yang akhirnya Rae menjadi
Muslim, tetapi telah bercerai dengan Dewi), Nia Zulkarnaen-Ari
Sihasale. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka tidak lagi
didasarkan pada suatu akidah agama, melainkan hanya pada cinta.
Seolah cinta semata yang menjadi dasar suatu pernikahan. Masalah
agama dalam beberapa argumen pasangan-pasangan seperti itu kirakira dapat dirumuskan seperti ini, “Agama tidak boleh dibawa-bawa,
oleh karena agama adalah urusan pribadi seseorang. Yang terpenting
saling mencintai apa tidak?”. Berdasarkan hukum munakahat yang
diajarkan Islam kepada penganutnya ialah perkawinan (pernikahan)
yang dibenarkan oleh Allah SWT adalah suatu perkawinan yang
didasarkan pada satu akidah, di samping cinta dan ketulusan hati dari
keduanya. Dengan landasan dan naungan keterpaduan itu, kehidupan
suami-istri akan tenteram, penuh rasa sinta dan kasih saying. Keluarga
mereka akan bahagia dan kelak memperoleh keturunan yang sejahtera
lahir batin (http://raja1987.blogspot.com/2008/08/kajian-perkawinanbeda-agama-menurut.html).
Jadi yang dimaksud dengan perkawinan antar orang yang
berlainan agama ialah perkawinan orang Islam (pria atau wanita)
dengan orang bukan Islam (pria dan wanita) (Zuhdi, 1996:4).
2.
Perkawinan Antara Orang yang Berlainan Agama Menurut
Hukum Islam
Mengenai masalah perkawinan beda agama ini Islam
membedakan hukumnya menjadi tiga macam (Zuhdi, 1996:4).
a. Perkawinan antara Perempuan Muslimah dengan Laki-Laki
Non Muslim
Semua ulama telah sepakat bahwa perempuan muslimah tidak
diperbolehkan (haram) kawin dengan laki-laki non muslim, baik
Ahli Kitab maupun musyrik (Suhadi, 2006:36). Baik calon
suaminya itu termasuk pemeluk agama yang mempunyai kitab
suci, seperti Kristen dan Yahudi ataupun pemeluk agama yang
mempunyai kitab serupa kitab suci, seperti Budhisme dan
Hinduisme, maupun pemeluk agama dan kepercayaan yang tidak
punya kitab suci dan juga kitab yang serupa kitab suci. Termasuk
pula di sini penganut Animisme, Ateisme, Politeisme, dan
sebagainya (Zuhdi, 1996:6).
Adapun dalil yang menjadi dasar hukum untuk larangan kawin
antara wanita muslimah dengan pria non-muslim, ialah:
1. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221:
           …
....  
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahkan orangorang musyrik dengan wanita-wanita yang mukmin sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang beriman lebih baik
daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”.
2. Ijma’ para ulama tentang larangan perkawinan antara wanita
muslimah dengan pria non-muslim
Hikmah dilarangnya perkawinan antara seorang wanita
Islam dengan pria Kristen atau Yahudi karena dikhawatirkan
wanita Islam itu kehilangan kebebasan beragama dalam
menjalankan
ajaran-ajaran
agamanya,
kemudian
terseret
kepada agama suaminya. Demikian pula anak-anak yang lahir
dari hasil perkawinannya dikhawatirkan pula mereka akan
mengikuti agama bapaknya, karena bapak sebagai kepala
keluarga terhadap anak-anak melebihi ibunya (Zuhdi. 1996:67).
b. Perkawinan antara Laki-laki Muslim dengan Perempuan
Musyrik
Para ulama sepakat bahwa laki-laki muslim tidak halal
kawin dengan perempuan penyembah berhala, perempuan zindiq,
perempuan keluar dari Islam, menyembah sapi, perempuan
beragam politeisme (Sabiq, 1980:152). Hal ini berdasarkan firman
Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221:
           ...
.... 
Artinya:” Janganlah kamu mengawini wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak
yangberiman lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu” (Zuhdi: 1996:4).
Sementara antara perempuan Ahli Kitab dan laki-laki
mukmin tidak terdapat distansi jauh. Perempuan Ahli Kitab
mengimani Allah dan menyembah-Nya, beriman kepada para Nabi,
hari akhirat beserta pembalasannya, dan menganut agama yang
mewajibkan berbuat baik dan mengharamkan kemungkaran.
Distansi yang esensial hanyalah mengenai keimanan terhadap
kenabian Muhammad. Padahal orang yang beriman kepada
kenabian universal tidak akan mempunyai halangan mengimani
nabi penutup, yakni Muhammad S.A.W. kecuali kebodohannya.
Sehingga perempuan (Ahli Kitab) yang bergaul dengan suami yang
menganut agama dan syariat yang baik maka sangat terbuka
peluang baginya untuk mengikuti agama suaminya. Apa yang
dikuatkan oleh Allah berupa ayat-ayat Al-Qur’an yang jelas
niscaya akan mengantarkan kepada kesempurnaan, keimanan, dan
keislaman (Suhadi, 2006:38-39).
c. Perkawinan antara Laki-laki Muslim dengan Perempuan Ahli
Kitab
Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa seorang pria
muslim boleh kawin dengan wanita Ahli Kitab (Yahudi atau
Kristen), berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 5;
         ...
....      
Artinya:” Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi kitab suci sebelum kamu” (Zuhdi, 1996:5).
Secara redaksional dan dhahirnya ayat laki-laki muslim
diperbolehkan mengawini wanita Ahlul Kitab, namun Syaltut
dalam fatwanya menyatakan sebagai berikut:
Jika Allah telah melarang kepada wanita Muslimah kawin
dengan laki-laki Ahlul Kitab, karena menjaga (kekhawatiran)
pengaruh kekuasaan dan dominasi suaminya terhadapnya, maka
Islam juga memandang, bahwa sesungguhnya jika seorang muslim
itu telah bergeser dari posisinya yang semestinya dalam keluarga
(sebagai pemimpin), dan menyerahkan urusannya kepada istrinya
yang non Islam itu, sehingga ia hanya membebek saja, sudah
seharusnya ia dilarang mengawini wanita Ahlul Kitab itu (Salman
Arief, 2003:126).
Ibnu Umar berpendapat bahwa hukum perkawinan laki-laki
Muslim dengan perempuan Ahlul Kitab adalah haram. Sama
haramnya
dengan
perempuan
musyrik.
Alasannya
karena
perempuan Ahlul Kitab juga berlaku syirik dengan menuhankan
Isa. Alasan lain karena ayat yang membolehkan perkawinan ini
Q.S
AL-Maidah/5:5
Baqarah/2:221.
dianulir
(naskh)
dengan
Q.S
Al-
(http://raja1978.blogspot.com/2008/08/kajian-
perkawinan-beda-agama-menurut.html).
3. Poblem-Problem Perkawinan Beda Agama
Pasangan beda agama yang dimaksud adalah perkawinan
antara seorang pria dan wanita yang berbeda agama, yang
kemudian membentuk sebuah keluarga. Sebagaimana diketahui
bahwa pernikahan beda agama di Indonesia belum diakui. Merujuk
Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Perkawinan: “Perkawinan adalah sah apabila
dilaksanakan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. ”
Di Indonesia, dengan diberlakukannya Undang-Undang
Perkawinan No. 1 tahun 1974, secara de jure, pernikahan beda
agama tidak dibenarkan. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 2 ayat
(1) Undang-Undang Perkawinan: “Perkawinan adalah sah apabila
dilaksanakan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. ”Dari kalimat “menurut hukum masingmasing agamanya dan keprcayaannya itu”banyak diterjemahkan
bahwa perkawinan hanya sah dalam konteks pasangan suami istri
adalah seagama. Pemahaman ini yang menjadi rujukan formal para
pelaksana hukum di Indonesia (Suhadi, 2006: 20)
Namun pada prateknya, secara de facto, praktek pernikahan
beda agama ternyata banyak dilakukan oleh orang Indonesia,
seperti contoh-contoh para artis Indonesia belakangan banyak yang
melakukan pernikahan beda agama seperti Nia Zulkarnain (Islam)
dengan Ari Sehasale (non-Islam), Jamal Mirdad (Muslim) dengan
Lidya Kandauw (non-Islam), antara Katon Bagaskara (non-Islam)
dengan Ira Wibowo (Islam), Dewi Yul (Islam) dengan Ray
Sahetapi (non-Islam).
a. Keabsahan perkawinan
Mengenai sahnya perkawinan yang dilakukan sesuai agama
dan kepercayaannya yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UUP.
Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan keputusannya
sesuai
dengan
ajaran
agama
masing-masing.
Namun,
permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masingmasing pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya
perkawinan beda agama. Misalnya, dalam ajaran Islam wanita
tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama
Islam (Al-Baqara/2:221). Selain itu juga dalam ajaran Kristen
perkawinan beda agama dilarang. (Suhadi, 2006:23).
b. Pencatatan perkawinan
Apabila perkawinan beda agama tersebut dilakukan oleh
orang yang beragama Islam dan Kristen, maka terjadi
permasalahan mengenai pencatatan perkawinan. Apakah di
Kantor Urusan Agama atau di Kantor Catatan Sipil oleh karena
ketentuan pencatatan perkawinan untuk Agama Islam dan dan
di luar Agama Islam berbeda. Apabila ternyata pencatatan
perkawinan beda agama akan dilakukan di Kantor Catatan
Sipil, maka akan dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu apakah
perkawinan
beda
agama
yang
dilangsungkan
tersebut
memenuhi ketentuan dalam pasal 2 UUP tentang syarat sahnya
suatu perkawinan. Apabila pegawai pencatat perkawinan
berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan
menurut UUP maka ia dapat menolak untuk melakukan
pencatatan perkawinan (pasal 21 ayat (1) UUP). (Qodri Azizi,
2006:20)
c. Status anak
Apabila pencatatan perkawinan pasangan beda agama
tersebut ditolak, maka hal itu juga akan memiliki akibat hukum
terhadap status anak yang terlahir dalam perkawinan. Menurut
ketentuan pasal 43 UUP, anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Oleh karena tidak dilakukannya pencatatan perkawinan, maka
menurut hukum anak tersebut bukanlah anak yang sah dan
hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga
ibunya (pasal 2 ayat (2). Pasal 43 ayat (1) UUP).
(http://www.bphntv.net/index.php?option=com
content&view=article&id=312:masalah-perkawinan-bedaagama&catid=28:konsultasi-hukum&itemid=128,
20
Juni
2011).
Selain problem-problem di atas, penulis juga menemukan dari
sumber lain, yaitu:
1) Perkawinan beda agama lebih mengundang persoalanpersoalan
yang
dapat
mengguncangkan
kestabilan
kehidupan rumah tangga yang berakhir pada hancurnya
sendi-sendi
kehidupan
perkawinan
atau
pemutusan
perkawinan.
2) Kemungkina terjadi erosi iman
Pasangan kawin beda agama biasanya bukannya
semakin bertambah keimanan mereka terhadap agamanya,
tetapi sebaliknya semakin melemahkan iman mereka. Dan
demi “toleransi” dan “kerukunan” masing-masing mereka
melepaskan prinsip-prinsip aqidah agamanya sendiri dan
tanpa disadari telah terjadi “erosi iman”.
3) Terjadinya pola hidup sekuler
Dengan terjadinya erosi iman yang dialami oleh
pasangan suami istri tersebut akan berlanjut dengan
mengakibatkan pasangan tersebut melakukan perilaku
sekuler, yang berakibat pasangan tidak mengamalkan ajaran
agama yang dianutnya, karena menganggap bahwa agama
adalah urusan dengan Tuhan, tidak ada hubungannya
dengan
manusia,
sehingga
ajaran
agama
tidak
tersosialisasikan atau teramalkan dalam kehidupan seharihari.
4) Terjadinya konflik berlarut-larut tanpa adanya penyelesaian
Perkawinan beda agama menimbulkan terjadinya
konflik-konflik yang berlarut-larut tanpa adanya suatu
penyelesaian baik itu karena salah satu pasangan tidak mau
cerai. Karena salah satu pasangan tidak mau cerai, dan
ingin
mempertahankan
keutuhan
keluarga,
sehingga
hancurlah sendi-sendi kehidupan rumah tangga ini.
Termasuk di dalamnya mengenai persoalan terhadap pola
didikan terhadap anak, jika terjadi kesenjangan dengan
orangtuanya maka berdampak pula ke anak, karena
orangtua sebagai teladan bagi anak, jika memiliki
keyakinan yang berbeda tentu berdampak dalam cara
mereka mendidik anak.
5) Kemungkinan salah satu pasangan akan terkucil dalam
kelompok masyarakat agama.
Setiap agama menghendaki pemeluknya melakukan
perkawinan yang seagama atau seiman. Karena setelah
memasuki duni keluarga/berumah tangga diharapkan dalam
kehidupan sehari-hari ajaran agama yang dianutnya turut
mewarnai dan berperan dalam membentuk keluarga yang
sakinah, mawadah, warahmah, sesuai dengan tujuan pokok
perkawinan tersebut. perkawinan beda agama tidak akan
pernah memuaskan kedua pihak. Kedua agama tidak
merelakan terjadinya perkawinan beda agama. Maka
apabila perkawinan tersebut terjadi, kedua pihak akan
terucilkan di komunitas agama kedua belah pihak, terutama
sekali pihak masing-masing keluarga. Karena dalam
masyarakat kita perkawinan bukan hanya antara dua
individu, melainkan perkawinan yang melibatkan keluarga
kedua belah pihak, bahkan komunitas agama yang ikut
terlibat.
6) Kemungkinan terjadinya derita mental dari salah satu
pasangan kawin beda agama.
Sering
terjadi
demi
agar
perkawinan
dapat
berlangsung dan mengikuti tata cara Islam sewaktu
menikah, salah satu pasangan berpindah agama, namun
dalam perjalanan, suami berbalik kembali memeluk agama
yang semula dianutnya. Hal ini dapat menimbulkan derita
mental bagi si istri untuk bisa diterima dalam lingkungan
keluarganya karena ia telah kawin demi suami yang
berbeda agama, bahkan ini bisa berkaitan pemutusan
hubungan perkawinan (Mustafidah, 2008:33-35).
7) Terjadinya kesenjangan dan kecenderungan pilih kasih,
sebab jika anak yang mengikuti agama ibunya maka lebih
disayang ibunya, dari pada anak yang mengikuti agama
ayahnya.
4. Problem Pengamalan Ibadah Anak pada Keluarga Beda Agama
Problem akibat perbedaan keyakinan dalam perkawinan
cukup member dampak negative terhadap anak. Di antara kasus
yang terjadi adalah memudarnya rumah tangga yang telah dibina
belasan tahun, semakin hari serasa semakin kering, akibat
perbedaan agama. Misalkan saja, ketika seorang suami
(yang
beragama Islam) pergi umrah atau haji, adalah suatu kebahagiaan
jika istri dan anak-anaknya bisa ikut bersamanya. Tetapi alangkah
sedihnya ketika istri dan anak-anaknya lebih memilih pergi ke
Gereja. Salah satu kebahagiaan seorang ayah muslim adalah
menjadi imam salat berjamaah bersama anak istri.
Bagitupun ketika Ramadhan tiba, suasana ibadah puasa
menjadi perekat batin kehidupan keluarga. Tetapi keinginan itu
sulit terpenuhi ketika pasangannya berbeda agama. Di satu sisi
istrinya, yang kebetulan beragama Kristen misalnya, pasti akan
merasakan hal yang sama, betapa indahnya melakukan kebaktian di
gereja bersanding dengan suami. Namun itu hanya keinginan
belaka.
Ada seorang ibu yang beruntung karena anak-anaknya ikut
agama ibunya. Kondisi ini membuat ayahnya merasa kesepian
ketika ingin berbagi pengetahuan dan pengalaman beragama. Di
zaman yang semakin plural ini pernikahan beda agama
kelihatannya semakin bertambah. Terlepas dari persoalan teologis
dan keyakinan agama, perlu diingat bahwa tujuan berumah tangga
itu untuk meraih kebahagiaan. Untuk itu kecocokan dan saling
pengertian sangat penting terpelihara dan tumbuh. Karakter suami
dan istri masing-masing berbeda, itu suatu keniscayaan. Misalnya
saja perbedaan usia, perbedaan kelas social, perbedaan pendidikan,
semua itu hal yang wajar selama keduanya saling menerima dan
saling melengkapi.
Namun, untuk kehidupan keluarga di Indonesia, perbedaan
agama menjadi krusial karena peristiwa akad nikah tidak saja
mempertemukan suami-istri, melainkan juga keluarga besarnya.
Jadi perlu dipikirkan matang-matang ketika perbedaan itu
mengenai keyakinan agama. Problem itu semakin terasa terutama
ketika sebuah pasangan beda agama memiliki anak.
Orang tua biasanya berebut pengaruh agar anaknya
mengikuti agama yang diyakininya. Kalau ayahnya Islam, dia ingin
anaknya menjadi muslim. Kalau ibunya Kristen dia ingin anaknya
memeluk Kristen. Anak yang mestinya menjadi perekat orang tua
sebagai suami-istri, kadang kala menjadi sumber perselisihan.
Orang tua saling berebut menanamkan pengaruh masing-masing.
Agama ibarat pakaian yang digunakan seumur hidup.
Spirit, keyakinan, dan tradisi agama senantiasa melekat pada setiap
individu yang beragama, termasuk dalam kehidupan rumahtangga.
Di sana terdapat ritual-ritual keagamaan yang idealnya dijaga dan
dilaksanakan secara kolektif dalam kehidupan rumahtangga.
Contoh pelaksanaan sholat berjamaah dalam keluarga muslim, atau
ritual berpuasa. Semua ini akan terasa indah dan nyaman ketika
dilakukan secara kompak oleh seluruh keluarga.
Setelah sholat berjamaah, seorang ayah yang bertindak
sebagai imam lalu menyampaikan kultum dan dialog, tukarmenukar pengalaman untuk memaknai hidup. Jika kedua orang tua
mempunyai agama yang berbeda, lantas mana yang seharusnya
pantas diikuti anak dalam beribadah, padahal kedua-duanya samasama berjasa dalam mendidik dan membesarkannya.
Suasana yang begitu indah dan religious itu sulit
diwujudkan ketika pasangan hidupnya berbeda agama. Kenikmatan
berkeluarga ada yang hilang. Secara psikologis pernikahan beda
agama menyimpan masalah yang bisa menggerogoti kebahagiaan.
Ini tidak berarti pernikahan satu agama akan terbebas dari masalah.
Namun perbedaan agama bagi kehidupan rumahtangga di
Indonesia selalu dipandang serius. Ada suatu kompetisi antara ayah
dan ibu untuk memengaruhi anak-anak sehingga anak jadi
bingung. Namun ada juga yang malah menjadi lebih dewasa dan
kritis.
Pasangan yang berbeda agama masing-masing akan
berharap dan yakin suatu saat pasangannya akan berpindah agama.
Ketika semakin menapaki usia lanjut, kebahagiaan yang dicari
tidak lagi materi, melainkan bersifat psikologis-spiritual yang
sumbernya dari keharmonisan keluarga yang diikat oleh iman dan
tradisi keagamaan. Ketika itu tidak ada, maka rasa sepi semakin
terasa. Bayangkan, bagi seorang muslim, ketika usia semakin
lanjut, tak ada yang diharapkan kecuali untaian doa dari anaknya.
Dan mereka yakin doa yang dikabulkan adalah yang datang dari
keluarga yang seiman. Dampak psikologis orangtua yang berbeda
agama juga akan sangat dirasakan oleh anak-anaknya.
Mereka bingung siapa yang harus diikuti keyakinannya.
Terlebih fase anak yang tengah memasuki masa pembentukan dan
perkembangan kepribadian di mana nilai-nilai agama sangat
berperan. Kalau agama malah menjadi sumber konflik, tentulah
kurang
bagus
bagi
anak.
(http://www.bantu-
nikah.com/2010/10/nikah-beda-agama.html#axzz1PbGBL5jl,20
Juni 2011).
BAB III
PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Deskripsi Objektif Penelitian
1. Letak geografis kelurahan Mangunsari, Kecamatan Sidomukti,
Kota Salatiga
Kelurahan Mangunsari merupakan salah satu kelurahan
yang ada di wilayah kecamatan Sidomukti Kodya Salatiga Propinsi
Jawa Tengah, dan luas wilayah 290.770 KM2 yang dibagi menjadi
14 RW dan 87 RT, dengan bentuk permukaan tanah daratan.
Adapun batas wilayah kelurahan Mangunsari adalah sebagai
berikut :
a. Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Sidorejo Lor
b. Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Kumpul Rejo
c. Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Kalicacing
d. Sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Dukuh
2. Struktur
pemerintahan
kelurahan
Mangunsari,
Kecamatan
Sidomukti, Kota Salatiga
Kelurahan Mangunsari secara administrasi berada di
wilayah
Kecamatan
Sidomukti
Kota
Salatiga.
Dalam
menyelenggarakan tugas pemerintahan, baik tugas rutin maupun
tugas pembangunan, seorang kepala kelurahan dibantu oleh
perangkat kelurahan, yaitu terdiri atas :
Kepala Kelurahan
: Siti Sulami, S.E
Sekretaris
: Anik Umi Widayati
Ka-Sie Pemerintahan
: Sri Mulyana Sumarningsih, S.H
Ka-Sie Trantib
: Sutrisno, S.E
Ka-Sie Ekonomi dan Pembangunan
: Proklamirta Sinto, S.H
Ka-Sie Sosial dan Kesra
: Kristi Handayani, S.E
Dengan Struktur Organisasi sebagai berikut :
Lurah
Siti Sulami,
S.E
Sekretaris
Anik Umi.W
Ka-Sie
Trantib
Sutrisno,S.E
Ka-Sie
EkBang
Proklamirta,
S.H
Ka-Sie Pemr.
Sri Mulyana,
S.H
DAFTAR NAMA KETUA RT DAN RW
YANG MENJADI FOKUS PENELITIAN di
Ka-Sie SosKes
Kristi H, S.E
KELURAHAN MANGUNSARI KECAMATAN SIDOMUKTI
TAHUN 2013
NO RT/RW
NAMA
JABATAN
1.
RW II
BAMBANG SOEDOWO
KETUA RW II
2.
RT 01
SUDARTO
KETUA RT 01
3.
RW IV
SLAMET GIARJO
KETUA RW IV
4.
RT 01
FX. JOKO SUKMONO
KETUA RT 01
5.
RW V
AGUS HARDJONO
KETUA RW V
6.
RT 01
AGUS KARYANTO
KETUA RT 01
3. Keadaan dan jumlah penduduk kelurahan Mangunsari, Kecamatan
Sidomukti, Kota Salatiga
a. Jumlah penduduk
: 17.060
1) Jumlah penduduk awal
: 17.074 orang
2) Total jumlah kelahiran
: 17 orang
3) Total jumlah kematian
: 15 orang
4) Total penduduk datang
: 25 orang
5) Total penduduk pindah
: 41 orang
6) Total WNA
: 36 orang
7) Jumlah penduduk akhir
: 17.060 orang
b. Jumlah penduduk total berdasarkan jenis kelamin
1) Jumlah penduduk laki-laki
: 8.422 orang
2) Jumlah penduduk perempuan
: 8.638 orang
c. Jumlah penduduk total berdasarkan DP4
1) Jumlah penduduk laki-laki
: 4.392 orang
2) Jumlah penduduk perempuan
: 5.170 orang
d. Jumlah kepala keluarga berasarkan jenise kelamin
1) Kepala keluarga laki-laki
: 4.297 orang
2) Kepala keluarga perempuan
: 886 orang
4. Keadaan sosial agama dan kepercayaan kelurahan Mangunsari,
Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga
a. Penduduk berdasarkan agama
1) Islam
: 12.625 orang
2) Kristen protestan
: 3.647 orang
3) Katolik
: 787 orang
4) Hindu
: 8 orang
5) Budha
: 33 orang
6) Kong hu cu
: 0 orang
7) Kepercayaan
: 0 orang
b. Sarana peribadatan
1) Masjid
: 17
2) Mushola
: 19
3) Gereja
:6
4) Vihara
:0
5) Pura
:0
5. Keadaan Sosial Pendidikan
Masyarakat Mangunsari bisa dikatakan baik dan peduli
terhadap pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari data statistic tingkat
pendidikan masyarakat kelurahan Mangunsari pada keterangan
berikut;
a.
Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan :
1) Tidak/ belum sekolah
: 2.272 orang
2) Tidak tamat SD/ sederajat
: 1.934 orang
3) Tamat SD
: 2.840 orang
4) Tamat SLTP
: 2.694 orang
5) Tamat SLTA
: 5.131 orang
6) Diploma I/II
: 172 orang
7) Diploma III
: 1.559 orang
8) Strata I/ Diploma IV
: 1.345 orang
9) Strata II
: 139 orang
10) Strata III
: 14 orang
b. Sarana pendidikan yang terdapat di kelurahan Mangunsari
adalah sebagai berikut:
1) TK
:5
2) SD
:7
3) SLTP
:2
4) SLTA
:4
5) Pondo Pesantren
:0
6) Madrasah
:1
7) Slb
:1
6. Keadaan Sosial Ekonomi
Keadaan penduduk Mangunsari berdasarkan mata pencaharian:
a. Belum/tidak bekerja
: 2.941 orang
b. Mengurus rumah tangga
: 2.1939 orang
c. Pelajar/mahasiswa
: 3.607 orang
d. Pensiunan
: 509 orang
e. PNS
: 628 orang
f. TNI
: 57 orang
g. POLRI
: 44 orang
h. Perdagangan
: 96 orang
i. Petani/pekebun
: 15 orang
j. Peternak
: 3 orang
k. Industri
: 8 orang
l. Konstruksi
: 4 orang
m. Transportasi
: 16 orang
n. Karyawan swasta
:3.358 orang
o. Karyawan BUMN
: 63 orang
p. Karyawan BUMD
: 20 orang
q. Karyawan honorer
: 85 orang
r. Buruh harian lepas
: 1.678 orang
s. Buruh
: 40 orang
t. Kesehatan
: 37 orang
u. Pastor/pendeta
: 22 orang
v.
: 1 orang
Anggota DPRD
w. Dosen
: 55 orang
x. Guru
: 169 orang
A. Data Temuan Penelitian
1. Data Informan
Dalam melakukan penelitian, penulis berhasil mendapatkan
informan tiga keluarga yang melakukan perkawinan beda agama, dari
ketiga keluarga tersebut berstatus sebagai orang biasa, artinya bukan
berasal dari status sosial pejabat atau pegawai negeri, mereka berstatus
sebagai pekerja swasta dan hanya sebagai pengurus rumah tannga.
Karena ketiga keluarga tersebut penulis jadikan objek penelitian,
kiranya penulis perlu cantumkan inisial nama, usia, dan inisial anak
kandung mereka.
Hal tesebut dapat dilihat dari table I dan II sebagai berikut:
Table I
No
SUAMI
ISTRI
AGAMA
USIA
1
SP
YT
K.J/I
36/35
tahun
2
IC
SY
K.K/I
39/36
tahun
3
BP
KT
K.P/I
47/43
tahun
Sumber: hasil wawancara dengan orang tua kawin beda agama pada
tanggal 28 Juni- 4 Juli 2013
Keterangan :
Responden I; Keluarga pasangan suami SP beragama Kristen Jawa
(KJ) dan istri YT beragama Islam (I).
Responden II; Keluarga pasangan suami IC beragama Kristen Katolik
(KK) dan istri SY beragama Islam (I).
Responden III; keluarga pasangan suami BP beragama Kristen
Protestan (KP) dan istri KR beragama Islam (I).
Table II
Daftar Nama, Usia, dan Keberagamaan Anak
No KELUARGA NAMA ANAK
USIA
AGAMA
1
YK
13 tahun
I
YH
10 tahun
I
JL
11 bulan
I
I
2
II
NI
6 tahun
I
3
III
BD
20 tahun
KP
KR
15 tahun
KP
Sumber: Hasil wawancara dengan orang tua beda agama pada
tanggal 28 juni-4 Juli 2013
2. Data Temuan Penelitian
a. Deskripsi Variasi Keagamaan pada Keluarga Beda Agama
Variasi keberagamaan pada keluarga beda agama yang peneliti
peroleh dari hasil wawancara terdapat berbeda-beda variasi, berikut
akan penulis paparkan dari hasil wawancara dengan ketiga
keluarga beda agama.
Hasil wawancara dengan keluarga I SP yang beragama Kristen
Jawa dengan YT yang beragama Islam.
“Kami dari awal memang sudah beda agama, kemudian dengan
keinginan dan cinta kami memutuskan untuk menikah, kami
menikah secara Islam suami disyahadat untuk Islam dulu,
kemudian setelah menikah suami saya belum tepanggil hatinya
untuk masuk Islam, saya yang diajak keagamanya tetapi saya yang
tidak mau, hingga kami punya anak pertama dan masih menjadi
perdebatan hingga memutuskan anak-anak ikut ke agama saya,
papanya yang mengalah. Keluarga kami ini kalau saya (SP)
agamanya Kristen Jawa dan istri saya Islam, dan saya juga jarang
ke Gereja karena sering ada kesibukan di hari minggu, sebagai
gantinya ya saya membaca Al-Kitab sendiri di rumah, anak-anak
ini kalau sholat sama mamanya yang JL saya ajak karena masih
kecil nanti malah mengganggu mama dan kakak-kakaknya sholat”.
(hasil wawancara dengan keluarga I (SP) dan (YT)pada tanggal
28 Juni 2013)
“Saya tadi habis nyekar ke makam orang tua saya dan mertua
juga, meskipun saya agamanya Nasrani tetapi tetap nyekar sebab
sudah tradisi, sebernya saya tidak terpaku hari atau apa mbak, ya
kalau saya lega ya saya ke makam, kadang ditanya sama tetangga
hari apa ini kok nyekar, ya saya jawab gak perlu hari khusus,
semua hari baik jadi kapanpun saya mau ya ke makam. Itu juga
sebagai pendidikan terhadap anak-anak saya bahwa semua hari
itu baik tidak perlu fanatik untuk melakukan apapun harus
terpatok hari” tambahan dari istrinya, “kalau saya kemaren
nyekar ke makamnya” (hasil wawancara dengan keluarga I (SP)
dan (YT)pada tanggal 5 Juli 2013)
Keberagamaan anak
“Saya sebagai ibu ya saya yang menuntun mereka ke jalan yang
baik, mengenai agama ya mereka tetap ikut saya sebab papanya
jarang di rumah, untuk kedepannya nanti ketika mereka sudah
dewasa dan mampu menentukan ya saya serahkan ke mereka,
untuk saat ini masih dalam didikan dan aturan saya sebab seorang
ibu itu cermin, jika ibunya baik ya anak-anak dan keluarga tentu
baik”. (hasil wawancara dengan keluarga I (YT)pada tanggal 28
Juni 2013)
Berikut juga penuturan dari keluarga yang lain.
Keluarga II pasangan IC yang beragama Kristen Protestan dengan
SY yang beragama Islam.
“Sejak awal kami memang berbeda agama, saya IC bertemu
dengan SY ini usianya sudah tidak muda lagi, dan kami merasa
cocok, saya melamar dan mengatakan yang sejujurnya dengan
keluarga besar SY selang beberapa hari kami diberi restu dengan
syarat nikah secara Islam dan saya disyahadat, setelah menikah
saya masih ikut kegiatan keagamaan di RT ini seperti pengajian
rutin RT maupun RW, tetapi tidak berjalan lama dan saya kembali
ke agama saya lagi. Istri saya beri kebebasan untuk tetap Islam
dan menjalankan rutinitas keagamaannya. Saya (SY) yang
beragama Islam biasanya menjalankan ibadah sholat isya‟
berjamaah dengan NI anak saya”.
“kalau saya (IC) yang beragama Kristen Katolik ya beribadahnya
di Gereja, ayah saya seorang pendeta dan saya juga sering ikut
kebaktian bersama bapak saya kalau pas lagi tidak bekerja”.
(Wawancara dengan keluarga II (IC) dan (YT), pada 1 juli 2013).
Keberagamaan anak
“NI ini sudah kelihatan aktif dalam agama Islam, kami masukkan
ke TPQ juga aktif tidak merasa minder, karena selalu kami didik
menjadi orang yang mandiri dan agama tidak kami
permasalahkan. Sehari saja NI tidak berangkat TPQ dia menyesal
dan nangis, sebab ketinggalan dengan tema-temannya. Kakek NI
yang dari Bapak juga mendudung NI TPQ dengan menanyai
mengenai keaktifan NI dan mengenai biaya administrasi Nuya juga
meskipun kakeknya beragama Nasrani. Tidak ada diskriminasi
terhadap NI dari keluarga besar Bapak sebab kami sudah
mengerti dan saling toleransi, NI juga pernah bertanya kalau pas
dia sholat sama ibunya „kok bapak gak sholat, ayo bapak sholat
bareng‟ dan saya ketawa dengan menjawab ya nanti bapak nyusul
NI sama ibuk duluan saja”
(Wawancara dengan keluarga II (IC) dan (YT), pada 1 juli 2013).
Penuturan dari keluarga III pasangan BP yang beragama Kristen
Protestan dengan KT yang beragama Islam.
“saya (istri) yang beragama Islam sendiri di rumah mbak, jadi
melaksanakan ibadah sendirian, anak-anak kalau hari minggu ke
Gereja sama bapaknya, saya juga kadang mengingatkan dan
membantu mempersiapkan untuk berangkat ke Gereja.” Tambahan
dari suami “saya Kristen Protestan mbak, dan anak-anak memang
ikut ke agama saya”.
“Saya (istri) yang beragama Muslim sendiri di rumah ya tetap
memberikan contoh yang baik terhadap mereka. Anak saya kadang
mengingatkan saya dalam hal sholat, sebab mereka tidak
mengetahui jika dalam Islam ketika wanita menstruasi tidak
melaksanakan sholat. Kalau saya (bapak) ya tetap selalu
memberikan contoh yang baik terhadap anak, saya ajak mereka ke
Gereja ketika hari minggu saya libur”.
(Wawancara dengan bapak Budi dan ibu Kuntari, pada 4 Juli
2013).
Keberagamaan anak
“dari awal kami membina rumah tangga sudah menjadi
kesepakatan bahwa anak-anak nantinya ikut ke agama saya
semua”. (hasil wawancara dengan BP pada tanggal 4 Juli 2013).
b. Strategi Orang Tua Beda Agama dalam Mendidik Anak
Strategi orang tua beda agama dalam mendidik anak adalah
dengan memberikan pendidikan dan bimbingan yang baik dan
layak sesuai yang diinginkan.
Hal ini berdasarkan penuturan YT dari keluarga I:
“Anak saya berikan arahan untuk masuk di Sekolah yang
umum, saya masukkan ke TPQ juga karena untuk saat ini anak ikut
agama saya (Islam), jadi yang mengatur masalah pendidikan saya,
karena menurut saya penanaman pendidikan pertama itu ya
seorang ibu, jadi saya bimbing mereka sesuai agama saya dan
saya beri mereka pendidikan yang baik”
“Kami selalu memberikan contoh yang baik terhadap anak-anak
kami, sebab orang tua kan sebagai figur bagi mereka, jadi apapun
yang kami lakukan sebagai contoh mereka. Apalagi mereka masih
anak-anak dan butuh arahan dari kami terutama saya sebagai
ibu”. (hasil wawancara dengan SP dan YT pada tanggal 28 Juni
2013).
Begitu pula penuturan dari keluarga II;
“NI anak kami ini karena masih kecil ya saya suruh dididik
sesuai keinginan ibunya, sebab dia (istri) yang lebih tahu tentang
kebutuhan Nuya, ibunya yang meilih untuk menyekolahkan di SD
Muhammadiyah plus sebab, yang paling dekat rumah dan agar
mendapatkan pendidikan keagamaan yang untuk proses awal
pertumbuhannya, Nuya juga dimasukkan ke TPQ sebab NI yang
minta, ya kami menuruti sebab itu baik untuk NI”
(Wawancara dengan IC, pada tanggal 1 Juli 2013).
Tambahan penuturan dari keluarga II hampir sama dengan
keluarga I, yang berbeda pada keluarga III dimana seorang ibu
beragama Islam dan anak-anaknya Nasrani. Berikut kutipan hasil
wawancaranya.
“walaupun anak-anak berbeda agama dengan saya, akan tetapi
dalam hal pendidikan saya tetap bertanggungjawab dan ikut
mendidik mereka, seperti memberikan tambahan bimbingan untuk
ikut les. Saya ajarkan untuk selalu menghormati orang tua
meskipun kami berbeda agama, saya berikan pemahaman
terhadap mereka agar dapat memahami dan dewasa dalam
menanggapi perbedaan dalam keluarga kami, anak-anak sudah
bisa mengatur waktunya sendiri antara jam sekolah, bermain,
membantu orang tua dan kegiatan-kegiatan lainnya”. (hasil
wawancara dengan keluarga III (BP) dan (KT) pada tanggal 4 Juli
2013)
c. Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Mendidik Anak
Mengenai faktor yang menjadi pendukung dan penghambat
dalam mendidik anak pada keluarga beda agama, ternyata dari
ketiga keluarga yang penulis teliti hampir semua sama.
Berikut hasil wawancara peneliti dengan para informan.
Keluarga I.
“anak-anak kami yang pertama dan kedua ini tidak hanya
sekolah umum saja akan tetapi juga saya masukkan ke TPQ karena
menurut saya perlu dengan tambahan pelajaran keagamaan, dan
mereka juga menyadari. Awal-awal dulu saya dan papanya yang
sering mengingatkan jam berangkat TPQ, makan, bermain,
belajar, dan kegiatan lain. Tetapi sekarang mereka sudah bisa
mengetahui dan membedakan kapan waktunya bermain, sekolah,
belajar, dan makan. Jadi kami hanya memantau saja, kalaupun
kadang nakal dan kelewatan itu papanya yang mengatasi karena
yang mereka segani papanya”. (hasil wawancara dengan keluarga
I (SP) dan (YT) pada tanggal 28 Juni 2013)
Hambatan dalam mendidik yang penulis temukan pada
wawancara dengan keluarga I, berikut hasil wawancaranya.
“Pada saat itu anak kami sedang mendapatkan tugas
Pendidikan Agama Islam yaitu membaca ayat al-Qur‟an, bertanya
pada saya SP, saya jawab saja “Kamu itu orang Indonesia, bukan
orang Arab jadi kalau tidak bisa baca arab ya tidak apa-apa sebab
tidak wajib, saya sebagai ibunya ya saya ajari kalau nilainya jelek
kan ya saya juga merasa rugu”. (hasil wawancara dengan
keluarga I (SP) dan (YT) pada tanggal 28 Juni 2013)
Penuturan dari keluarga II
“NI meskipun masih kecil dan belum punya adik, dia sudah
menunjukkan sikap dewasa dan mandiri, seperti, berangkat
sekolah sendiri, persiapan juga sendiri meskipun tetap saya awasi
dan bantu, tahu waktu kapan dia bermain, belajar dan makan juga
sendiri bisa rapi tanpa harus saya suapi. NI ini kadang juga
menanyakan kenapa bapak tidak pernah sholat”. (hasil
wawancara dengan keluarga II (IC) dan (SY) pada tanggal 1 Juli
2013)
Tambahan dari bapak IC mengenai sekolah anaknya.
“karena saya beragama Kristen di KTP saya juga Kristen,
sehingga ada kendala ketika kemaren mendaftarkan sekolah NI ini,
ibunya berkeinginan masuk di SD Muhammadiyah Plus karena
dekat dengan rumah, jadi saya mengurus sayrat-syarat itu sangat
kesulitan, saya menghadap ke Kepala Sekolahnya langsung dan
kemudian saya diberi ijin sehingga NI dapat sekolah disana”.
(hasil wawancara dengan keluarga II (IC) dan (SY) pada tanggal 1
Juli 2013)
Penuturan keluarga III mengenai hambatan dan pendukung
“anak-anak kami kan sudah besar semua dan mereka bisa
memahami perebadaan di keluarga kami ini, mereka sudah bisa
mengendalikan dirinya sendiri dan mengatur waktu, sekolah, les,
dan kebutuhan lain yang sesuai dengan kebutuhan mereka seharihari, baik urusan sekolah maupun pribadi, kalau mau main
kerumah teman atau kemana juga pamit dan tahu waktu, bisa
diandalkan untuk urusan rumah seperti bersih-bersih dan
membantu yang lain, karena saya dan bapak kan kerja sering
pulang malam”. (hasil wawancara dengan keluarga III (BP) dan
(KT) pada tanggal 4 Juli 2013)
Tambahan dari ibu KT mengenai keluhan dalam keberagamaan di
keluarganya.
“ya mau gimana lagi mbak, kalau anak-anak harus ikut agama
Bapaknya, ya terpaksa saya sendiri menjalankan agama saya”
BAB IV
ANALISIS DATA
A. Deskripsi Variasi Keberagamaan pada Keluarga Beda Agama
Berdasarkan hasil wawancara dengan tiga keluarga beda agama,
peneliti menyimpulkan bahwa variasi keberagamaan pada setiap keluarga
berbeda-beda.
1. Kristen Jawa dengan Islam
Pada keluarga satu varisai keagamaannya adalah Kristen
Jawa suami dan istri Islam, sedangkan anak-anak pada keluarga
satu beragama Islam semua mengikuti agama ibunya. (Kode
wawancara kel. I (SP), (YT), 28-06-2013)
Rutinitas keagamaan yang dijalankan keluarga satu seperti
keluarga pada umumnya yaitu menjalankan kewajiban agama
sesuai ajaran agama masing-masing seperti sholat, puasa, dan
sebagainya bagi yang Islam, dan ke Gereja bagi yang Kristen.
Melestarikan tradisi ziarah ke makam leluhur yang telah
meninggal dunia dan suami yang memimpin ke makam akan
tetapi untuk berdoa masing-masing. (Kode wawancara kel. I
(SP), (YT), 05-07-2013).
2. Kristen Katolik dengan Islam
Keluarga dua memiliki variasi keberagamaan yang berbeda
dengan keluarga satu, yaitu pada keluarga dua suami beragama
Kristen Protestan dan istri Islam. Anak mengikuti agama
istrinya. Rutinitas keagamaan berjalan dengan baik seperti
sholat, puasa, dan ke Gereja. (Kode wawancara kel. II (IC),
(SY), 01-07-2013)
3. Kristen Protestan dengan Islam
Varisai yang terdapat pada keluarga tiga Kristen
Protestan dan Islam, pada keluarga ini terdapat kesepakatan
bahwa anak-anak harus ikut ke agama ayah yaitu Kristen
Protestan. Sehingga istri sendiri yang beragama Islam dan
tetap menjalankan rutinitas keagamaan sesuai ajarannya.
(Kode wawancara kel. III (BP),(KT), 04-07-2013).
B. Strategi Orang Tua Beda Agama dalam Mendidik Anak
Dari hasil wawancara dengan orang tua yang melakukan
perkawinan beda agama, mengenai strategi dalam mendidik anak yang
diberikan orang tua kepada anak-anak mereka antara lain:
1. Menyekolahkan anaknya di sekolah formal yaitu sekolah yang sesuai
kebutuhan anaknya. Diberi tambahan sekolah nonformal yaitu sekolah
untuk menambah pengetahuan keagamaan anaknya (untuk yang
Muslim) dan bimbingan belajar mata pelajaran tertentu bagi yang
muslim maupun non-muslim. Sekali waktu diberikan pendidikan
tambahan di rumah (misalnya diberi bimbingan belajar ketika ada
tugas dari sekolah). (Kode wawancara (SP,YT, 28-062013), (IC,SY,
01-07-2013), (BP,KT, 04-07-2013)).
2. Memberikan contoh teladan yang baik bagi anak-anaknya dalam
menjalankan aturan di rumah dan masyarakat (misalnya berperilaku
yang sopan terhadap orang tua, teman, dan tetangga) (Kode wawancara
(SP,YT/ 28-062013), (IC,SY/ 01-07-2013), (BP,KT,/04-07-2013)).
3. Kedewasaan yang dimiliki oleh anak sehingga dapat menyikapi
perbedaan keberagamaan pada keluarganya. (Kel. III/BP,KT/ 04-072013)
4. Kemandirian yang tertanam pada diri anak melalui strategi orang tua
dalam mendidik anak-anaknya. (Kode wawancara (SP,YT, 28062013), (IC,SY, 01-07-2013), (BP,KT, 04-07-2013)).
5. Sikap disiplin yang diajarkan kepada anak dalam kehidupan seharihari. (Kode wawancara (SP,YT, 28-062013), (IC,SY, 01-07-2013),
(BP,KT, 04-07-2013)).
Keluarga sebagai pendidikan pertama bagi anak, dalam hal ini
menggambarkan betapa pentingnya memberikan pendidikan yang baik
bagi anak-anaknya, sebab mereka butuh pendidikan yang baik,
bimbingan yang baik, dan figur teladan yang baik, karena mereka
hidup dalam keluarga yang berkeyakinan berbeda. Dengan pendidikan
yang baik diharapkan dapat menjadikan anak berperilaku yang baik
sesuai norma-norma yang diajarkan di Sekolah maupun di rumah.
Ibu sebagai panutan yang dapat diteladani secara ikhlas; sebagai
motivator terhadap pertumbuhan dan perkembangan rasa, cita, dan
karsa anak; sebagai pengawal hati nurani anak, pengayom jiwa anakanaknya. Hal tersebut merupakan bentuk lain dari peranan yang perlu
dibawakan oleh seorang ibu dalam menjalankan fungsi dan tugas
pendidik dalam keluarga.
Keluarga sebagai lingkungan pertama bagi proses pertumbuhan
sikap sosial dan kemampuan berhubungan sosial anak. Disini orang tua
sebagai teladan dalam kehidupan sehari-hari yang sudah tentu harus
mengajarkan kemandirian, kedisiplinan, dan kedewasaan.
Berlangsungnya hubungan sosial ada kaitannya dengan pembinaan
kepribadian anak sebagai makhluk individu. Ia harus mengerti secara
objektif tentang dirinya agar mudah menempatkan dirinya di dalam
pergaulan. Sebab, memiliki jiwa sosial yang tinggi, serta sikap toleran
agar keharmonisan hubungan antar sesama manusia dapat berjalan
secara harmonis.
Dengan adanya sikap sosial awal yang baik dalam keluarga akan
tercipta keharmonisan hidup masyarakat. Masyarakat dalam ruang
lingkup yang sederhana yaitu keluarga, hingga ke masyarakat yang
lingkupnya lebih luas.
Terbukti pada anak dari keluarga I yang dapat menciptakan sikap
sosial yang baik sehingga dapat menjadi bagian dari badan hukum
pada salah satu Gereja di Jakarta, meskipun mamiliki latar belakang
keluarga yang berbeda agama tidak membuat minder dan malu dengan
rekan pengurus Gereja.
Begitupula dengan anak-anak pada keluarga yang lain, mereka
tumbuh dan bersosial dengan baik terhadap lingkungan sekitarnya,
baik dengan teman-teman dilingkungan tempat tinggal maupun dengan
teman-teman sekolahnya. Perbedaan kayakinan orang tua tidak
membuat anak mendapatkan diskriminasi dari lingkungan sekitar,
terbukti anak mereka dapat mendapatkan pendidikan yang baik dan
berteman dengan baik pada sekolah formal yaitu SD Muhammdaiyah
Plus dan lembaga pendidikan non-formal yaitu pada Taman
Pendidikan Al-Qur’an (TPQ).
C. Faktor Pendukung dan Penghambat
Dari hasil penelitian yang telah penulis laksanakan, diperoleh data
bahwa terdapat beberapa faktor pendukung dan penghambat dalam
menjalankan pendidikan dan interaksi dalam pendidikan agama anak.
1.
Faktor Pendukung
a. Adanya sikap kedewasaan
Dengan adanya sikap kedewasaan dalam keluarga beda
agama akan menjadikan kehidupan keluarga menjadi harmonis,
terutama dalam keluarga beda agama. Akan sangat menjadi faktor
pendukung jika sikap dewasa dijalankan dengan baik dan benar,
sebab, dalam keluarga yang berbeda keyakinan akan mungkin
sekali terjadi percekcokan dalam menentukan agama anak, jika dari
pihak orang tua tidak ada rasa untuk mengalah dan memahami
kemauan anak maka akan memicu ketidak harmonisan dalam
keluarga, belum lagi jika orang tua (misal ayah) yang beragama
Nasrani berkeinginan mengajak pasangannya untuk masuk ke
agamanya,
sedangkan
pasangannya
tetap
mempertahankan
keyakinannya sendiri. Sehingga perlu sekali menanamkan sikap
kedewasaan dalam kehidupan rumah tangga pada pasangan beda
agama.
Dengan kedewasaan yang dimiliki masing-masing individu
dalam keluarga diharapkan dapat saling mengendalikan emosi,
dapat mengatur kemauannya, dapat membedakan antara fantasi dan
kenyataan,
dan
sudah
dapat
melakukan
pertimbangan-
pertimbangan.
Peranan sikap dewasa dalam keluarga beda agama menjadi
hal terpenting dalam mewujudkan keutuhan keluarga, sebab jika
tidak maka keluarga tidak akan berjalan dengan baik. Dengan
adanya saling dewasa orang tua dapat mengendalikan emosi
masing-masing demi kepentingan keluarga dan anak-anak, dapat
mempertimbangkan dengan baik mengenai pendidikan yang
dibutuhkan anak dan status keberagamaan anak. (Kode wawancara
(SP,YT, 28-062013), (IC,SY, 01-07-2013), (BP,KT, 04-07-2013)).
b. Menanamkan sikap toleransi
Toleransi yang diterapkan dalam keluarga beda agama tentu
menjadi hal terpenting, sebab dengan adanya toleransi akan
terwujud kehidupan keluarga yang harmonis, damai, dan sejahtera.
Tidak saling mengolok-olok keyakinan anggota keluarga lain.
Keharmonisan dan keutuhan keluarga beda agama jika di
dalamnya tertanam rasa toleransi yang tinggi, dengan toleransi
masing-masing
individu
dapat
menjalankan
agama
sesuai
ajarannya. (Kode wawancara (SP,YT, 28-062013), (IC,SY, 01-072013))
c. Tidak terjadi pola hidup sekuler dalam keluarga beda agama
Dengan adanya sikap dewasa dan toleransi yang diterapkan
dalam kehidupan berkeluarga, maka sangat minim sekali akan
terjadi pola hidup sekuler. Masing-masing anggota keluarga tetap
menjalankan rutinitas keagamaan masing-masing. Bagi yang
memeluk agama Islam tetap menjalankan kewajibannya, begitu
pula dengan yang Nasrani tetap menjalankan ibadahnya sesuai
ajarannya.
Terbukti,
menjalankan
masing-masing
agama
sesuai
anggota
keluarga
saling
ajarannya.
Bahkan,
saling
mengingatkan satu sama lain, hal tersebut tentu tidak luput dari
adanya sikap dewasa dan toleransi. (Kode wawancara (SP,YT, 28062013), (IC,SY, 01-07-2013), (BP,KT, 04-07-2013)).
2. Faktor Penghambat
a. Tidak toleransi
Mengarungi kehidupan rumah tangga tidaklah mudah, tidak
menutup kemungkinan akan senantiasa berjalan sesuai yang
diharapkan meskipun memiliki keyakinan yang sama sudah tentu
pasti terdapat masalah-masalah. Begitu pula dalam keluarga yang
berkeyakinan berbeda. Konflik tersebut dipicu oleh keinginan salah
satu orang tua yang menginginkan anaknya mengikuti agamanya,
akan tetapi ayahnya tidak memberikan ijin. Sebab ayahnya sangat
otoriter sehingga semua anaknya harus mengikuti agama ayahnya.
Hal tersebut menbuat seorang ibu merasa didiskriminasi. (BP,KT,
04-07-2013)).
b. Kurangnya perhatian terhadap pendidikan agama anak.
Berdasarkan data di awal, terlihat bahwa anak dari dua
keluarga sangat kritis terhadap orang tuanya, yaitu dengan
menanyakan kenapa ayahnya tidak sholat dan mencoba mengajak
ayahnya sholat, dan tidak hanya itu tetapi juga menanyakan
mengenai tugas dari sekolahnya perihal pelajaran membaca ayat
Alquran.
Hal tersebut membuat anak merasa malas, kurang
bersemangat, dan termotivasi. Peranan orang tua sangat penting
untuk member semangat, bimbingan, dan teladan yang baik dalam
hal memberikan pendidikan secara menyeluruh agar anak-anaknya
menjadi manusia yang beragama dan giat menjalankan ajaran
agamanya. (SP,YT, 28-062013)
c. Terjadinya hambatan dalam mendaftarkan anak sekolah ke sekolah
Islam, karena bapaknya beragama Non-Islam. (IC,SY, 01-07-2013)
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian tentang “Strategi Orang Tua Beda Agama
dalam Mendidik Anak (Studi Kasus Tiga Keluarga di Kelurahan
Mangunsari, Kec. Sidomukti, Kota Salatiga Tahun 2013)”, maka dapat
penulis simpulkan sebagai berikut:
1. Deskripsi Variasi Keberagamaan pada Keluarga Beda Agama
Berdasarkan hasil wawancara dengan tiga keluarga beda
agama, peneliti menyimpulkan bahwa variasi keberagamaan
pada setiap keluarga berbeda-beda.
a. Kristen Jawa dengan Islam
b. Kristen Katolik dengan Islam
c. Kristen Protestan dengan Islam
2. Strategi Orang Tua Beda Agama dalam Mendidik Anak
a. Menyekolahkan anaknya di sekolah formal yaitu sekolah
yang sesuai kebutuhan anaknya. Diberi tambahan sekolah
nonformal yaitu sekolah untuk menambah pengetahuan
keagamaan anaknya (untuk yang Muslim) dan bimbingan
belajar mata pelajaran tertentu bagi yang muslim maupun
non-muslim. Sekali waktu diberikan pendidikan tambahan
di rumah (misalnya diberi bimbingan belajar ketika ada
tugas dari sekolah).
b. Memberikan contoh teladan yang baik bagi anak-anaknya
dalam menjalankan aturan di rumah dan masyarakat
(misalnya berperilaku yang sopan terhadap orang tua,
teman, dan tetangga).
c. Kedewasaan yang dimiliki oleh anak sehingga dapat
menyikapi perbedaan keberagamaan pada keluarganya.
d. Kemandirian yang tertanam pada diri anak melalui strategi
orang tua dalam mendidik anak-anaknya.
e. Sikap disiplin yang diajarkan kepada anak dalam kehidupan
sehari-hari.
3. Faktor Pendukung dan Penghambat
Dari hasil penelitian yang telah penulis laksanakan,
diperoleh data bahwa terdapat beberapa faktor pendukung dan
penghambat dalam menjalankan pendidikan dan interaksi
dalam pendidikan agama anak.
a. Faktor Pendukung
1) Adanya sikap kedewasaan
Dengan kedewasaan yang dimiliki masing-masing
individu dalam keluarga diharapkan dapat saling
mengendalikan emosi, dapat mengatur kemauannya,
dapat membedakan antara fantasi dan kenyataan, dan
sudah dapat melakukan pertimbangan-pertimbangan.
2) Menanamkan sikap toleransi
Toleransi yang diterapkan dalam keluarga beda
agama tentu menjadi hal terpenting, sebab dengan
adanya toleransi akan terwujud kehidupan keluarga
yang harmonis, damai, dan sejahtera. Tidak saling
mengolok-olok keyakinan anggota keluarga lain.
3) Tidak terjadi pola hidup sekuler dalam keluarga beda
agama
Dengan adanya sikap dewasa dan toleransi yang
diterapkan dalam kehidupan berkeluarga, maka sangat
minim sekali akan terjadi pola hidup sekuler. Masingmasing anggota keluarga tetap menjalankan rutinitas
keagamaan masing-masing. Bagi yang memeluk agama
Islam tetap menjalankan kewajibannya, begitu pula
dengan yang Nasrani tetap menjalankan ibadahnya
sesuai ajarannya.
b. Faktor Penghambat
1) Tidak toleransi
Mengarungi kehidupan rumah tangga tidaklah
mudah, tidak menutup kemungkinan akan senantiasa
berjalan sesuai yang diharapkan meskipun memiliki
keyakinan yang sama sudah tentu pasti terdapat
masalah-masalah. Begitu pula dalam keluarga yang
berkeyakinan berbeda. Konflik tersebut dipicu oleh
keinginan salah satu orang tua yang menginginkan
anaknya mengikuti agamanya, akan tetapi ayahnya
tidak memberikan ijin. Sebab ayahnya sangat otoriter
sehingga semua anaknya harus mengikuti agama
ayahnya. Hal tersebut menbuat seorang ibu merasa
didiskriminasi.
2) Kurangnya perhatian terhadap pendidikan agama
anak.
Berdasarkan data di awal, terlihat bahwa anak
dari dua keluarga sangat kritis terhadap orang tuanya,
yaitu dengan menanyakan kenapa ayahnya tidak
sholat dan mencoba mengajak ayahnya sholat, dan
tidak hanya itu tetapi juga menanyakan mengenai
tugas dari sekolahnya perihal pelajaran membaca
ayat al-Qur’an.
3) Terjadinya hambatan dalam mendaftarkan anak
sekolah ke sekolah Islam, karena bapaknya beragama
Non-Islam.
B. Saran-Saran
Berdasarkan kesimpulan yang penulis paparkan di atas, di mana
sedemikian kompleksnya strategi yang diberikan orang tua dalam
mendidik anak dari keluarga beda agama, berkaitan dengan strategi
mendidik oleh orang tua dan interaksi dalam memberikan pendidikan
agama anak, maka saran-saran yang dapat penulis sampaikan adalah:
1. Penulis sarankan agar memberikan pendidikan yang baik dan
bimbingan sesuai kebutuhan dan kondisi anak, maka sebagai
orang tua yang bijak dan juga sebagai pendidik utama bagi anakanaknya sangatlah memiliki pengaruh
yang besar dalam
meletakkan dasar-dasar bagi perkembangan anak berikutnya, agar
anak dapat berkembang dengan baik. Dan sangat penting dalam
keluarga membentuk pola kepribadian anak melalui nilai dan
norma yang diberikan oleh orang tuanya.
2. Bagi mereka yang sudah mempunyai suami atau istri yang bukan
Islam, bawalah dia masuk Islam, dan kalau dia tidak mau,
sadarilah bahwa setiap pilihan sudah pasti membawa resiko, tetapi
resiko karena berpihak pada Allah, sudah ada jaminan tertentu dari
Allah. Karena Allah sudah menjanjikan bahwa bagi siapa yang
bersungguh-sungguh dengan Allah, Dia akan menunjukkan jalan
keluar untuk mengatasi resiko dari sikap yang diambilnya. Dalam
islam, pintu taubat senantiasa terbuka, tetapi hanya satu kali. Lebih
dari satu tidak akan diterima.
3. Untuk menghindari dan meminimalisir konflik yang berdampak
pada anak, maka penulis sarankan agar kedua orang tua harus:
menciptakan suasana keluarga yang harmonis, berkomunikasi
dengan anak sesuai dengan taraf berpikir anak, memberikan
keteladanan yang baik, memberikan gambaran-gambaran tentang
masing-masing agama, serta memberikan kebebasan pada anak
untuk berpikir dan memilih.
4. Jangan sampai ada pernikahan beda agama, karena terdapat unsur
pendidikan yang tidak baik di dalamnya sehingga menjadikan
anak terbiasa berbohong karena terdapat pendidikan tersembunyi
yang tidak disadari yaitu member contoh untuk berbuat bohong,
dan hal tersebut selalu bahkan harus dilakukan oleh mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Adi wikarta, Sudardji. 1988. Sosiologi Pendidikan: Isu dan Hipotesis
tentang Hubungan Pendidikan dengan Masyarakat. Jakarta:
Depdikbud.
Ahid, Nur. 2010. Pendidikan Keluarga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ahmad Azhar, Basyir. 2003. Falsafah Ibadah dalam Islam. Yogyakarta:
UII Press.
Ahmad Ibnu Nizar, Imam. 2009. Membentuk dan Meningkatkan Disiplin
Anak Sejak Dini. Yogyakarta: DIVA Press
Arief, Salman. 2003. Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam: Antara
Fakta dan Realita. Jakarta: LESFI.
Arifin, HM. 1978. Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di
Lingkungan Sekolah dan Keluarga. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Arikunto, Suharsini. 2005. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Ash Shidieqi, Hasbi. 1994. Kuliah Ibadah: Ibadah Ditunjau dari Segi
Hukum dan Hikmah. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Bahreisj, Husein. 1992. Himpunan Fatwa. Surabaya: Al-Ikhlas.
Biddulph, Steve. 2006. Mendidik Anak dengan Cinta. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Bungin, Burhan. 2010. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta:
Rajawali Pers.
Daradjat, Zakiah. 1989. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Daradjat, Zakiah. 1978. Islam dan Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung
Agung.
Hasyim, Umar. 1991. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam
Islam sebagai Dasar Menuju Dialog Kerukunan Antar Agama.
Surabaya: Bina Ilmu.
Hilma Hadi, Kusuma. 1990. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung:
Mandiri Maju.
Husain, Khairiah. 1996. Konsep Ibu Teladan. Surabaya: Risalah Gusti.
Husna,Khotimatul. 2006. 40 Hadits Shahih Pedoman Membangun
Toleransi. Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara.
Jalaluddin. 2003. Teologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Langgulung, Hasan. 1979. Pendidikan Islam: Suatu Analisa SosioPsikologi. Kuala Lumpur: Pustaka Antara.
Pribadi, Sikun. 1981. Menuju Keluarga Bijaksana. Bandung: Yayasan
Sekolah Istri Bijaksana.
Purwanto, Ngalim. 1989. Ilmu Pendidikan. Bandung: Remadja Karya.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: balai Pustaka.
Salamullah, Alaika. 2008. Akhlak Hubungan Vertikal. Yogyakarta:
Pustaka Insani Madani.
Salamullah, Alaika. 2008. Akhlak Hubungan Horizontal. Yogyakarta:
Pustaka Insani Madani.
Shihab, Quraish. 1999. Wawasan A-Qur‟an: Tafsir Mudhu‟I atas
Berbagai Permasalahan Umat. Bandung: Mizan.
Sugiono. 2007. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeda.
Suhadi. 2006. Kawin Lintas Agama. Yogyakarta: Lkis.
Surakhmad, Winarno. 1986. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung:
Tarsito.
Syafei, Sahlan. 2006. Bagaimana Anda Mandidik Anak. Bogor: Ghalia
Indonesia.
Tabroni, Suproyogo Imam. 2003. Metodologi Penelitian Sosial Agama.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Zuhdi, Musjfuk. 1996. Masail Fiqhiyah. Jakarta: PT Toko Gunung
Agung.
Zuriah, Nurul. 2007. Metodologi Pendidikan Sosial dan Pendidikan.
Jakarta: Sinar Grafika.
http://raja1987.blogspot.com/2008/08/kajian-perkawinan-beda-agamamenurut.html.
http://raja1978.blogspot.com/2008/08/kajian-perkawinan-beda-agamamenurut.html.
http://www.bphntv.net/index.php?option=com
content&view=article&id=312:masalah-perkawinan-bedaagama&catid=28:konsultasi-hukum&itemid=128, 20 Juni 2011.
http://www.bantu-nikah.com/2010/10/nikah-bedaagama.html#axzz1PbGBL5jl,20 Juni 2011.
Download