kerjasama internasional indonesia dan jepang

advertisement
KERJASAMA INTERNASIONAL INDONESIA DAN
JEPANG: PERAN JEPANGTERHADAP ISU
DEFORESTASI DI INDONESIA DALAM SKEMA ASIA
FOREST PARTNERSHIP (AFP)
PERIODE 2008-2011
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
oleh
Starlet Rallysa Injaya
106083003674
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
i
ABSTRAK
Skripsi ini memaparkan kerjasama internasional antara pemerintah Indonesia
dan Jepang terhadap isu deforestasi di Indonesia dalam skema AFP periode
2008-2011. Skripsi ini bertujuan menganalisa peran Jepang terhadap isu
deforestasi di Indonesia dalam forum AFP, dan diharapkan mampu menjadi
informasi yang bermanfaat. Skripsi ini menggunakan metode kualitatif yang
dilakukan melalui studi kepustakaan dan menggunakan dokumen. Dalam proses
penelitian, informasi yang telah diperoleh kemudian dikaitkan dengan konsep
kerjasama internasional, pendekatan green thought, dan konsep kepentingan
nasional. Hasil dari proses penelitian tersebut selanjutnya dipaparkan menjadi
sebuah uraian penelitian.
Dari penelitian skripsi ini diketahui bahwa kerjasama internasional Indonesia
dan Jepang periode 2008-2011, dilatarbelakangi oleh deforestasi akibat
penebangan liar. Hutan bagi Indonesia merupakan sebuah kawasan yang terdiri
atas pepohonan dan tumbuh lebat, serta memiliki banyak manfaat sehingga perlu
dijaga kelestariannya. Namun permasalahan penebangan liar di hutan Indonesia
terus terjadi. Sehingga pemerintah Indonesia perlu menangani persoalan ini
dengan cara melakukan kerjasama dengan Jepang melalui AFP, yang tertera
dalam "The G8 Forest Expert Report on Illegal Logging" dan "The Second Round
of The Expert Meeting on Illegal Logging."
Peran Jepang sangat berpengaruh bagi Indonesia dengan alasan, membantu
Indonesia bertujuan guna mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari di Asia.
Dengan cara membentuk forum AFP dan menyumbangkan pinjaman dari ODA
dan dana bantuan yang disalurkan melalui JICA. Dalam hal ini, Jepang memiliki
kepentingan terhadap Indonesia. Disisi lain, Jepang memiliki motif ekonomi
dalam isu lingkungan yaitu, membeli kayu dari Indonesia dengan mendapatkan
harga murah. Karena Jepang merupakan negara pengimpor kayu terbesar di dunia.
Selain itu, Jepang mempunyai kepentingan besar atas perkembangan industri HTI
dan kertas Indonesia. Sebab, kebutuhan Jepang atas kayu dan dalam mendapatkan
bubur kertas dari Indonesia selalu dimanfaatkan dalam membuat rumah dan kertas
origami. Untuk itu, Jepang dan Indonesia diharapkan selalu menjaga hubungan
baik agar menciptakan kondisi yang stabil dalam menangani penebangan liar dan
menjaga wilayah jalur perdagangan antara Jepang dan Indonesia guna
melancarkan motif politik internasional Jepang. Dikarenakan Jepang merupakan
negara strategis bagi Indonesia dan sebagai salah satu investor terbesar bagi
Indonesia.
Keywords: Jepang, Indonesia, deforestasi, Illegal Logging.
ii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum. Wr. Wb.
Bismillahirrohmanirrohim. Syukur Alhamdulillah atas kemudahan dan
keberkahan yang Allah SWT telah berikan dalam proses pengerjaan skripsi dari
awal hingga akhir. Selanjutnya, kepada beberapa orang yang sangat berkontribusi
dan berpartisipasi dalam penyusunan skripsi saya, dengan tema “Kerjasama
Internasional Indonesia dan Jepang: Peran Jepang Terhadap Isu Deforestasi di
Indonesia dalam Skema Asia Forest Partnership (AFP) Periode 2008-2011.” Saya
telah menyelesaikan skripsi saya sebagai persyaratan untuk melewati Sarjana
Hubungan Internasional. Saat ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Untuk pembimbing skripsi saya Ibu Rahmi Fitriyanti, M.Si yang selalu
memotivasi dan memberikan masukan, agar cepat terselesaikannya skripsi
ini, serta mau mendengarkan keluh kesah saya. Terimakasih bu, semoga
Allah SWT membalas dengan keberkahan dan kasih sayang atas apa yang
telah ibu berikan kepada saya.
2. Untuk ketua Program Studi Hubungan Internasional, selaku penguji I Bapak
Kiky Rizky, M.Si. dan penguji II Bapak M. Adian Firnas, M.Si. Terimakasih
atas saran, hasil akhir (nilai) dan nasehatnya. Semoga Allah memberikan
kelancaran rizki dan kesehatan untuk bapak sekeluarga.
3. Untuk Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Prof. Dr. Bahtiar Effendy
terimakasih atas dukungannya kepada mahasiswa angkatan 2006.
4. Untuk semua dosen terbaik saya yang selalu mendukung saya dan waktu yang
berharga untuk berdiskusi dengan saya, Bapak Drs. Armein Daulay, M.Si. Ibu
Mutiara Pertiwi, MA. Bapak Agus Nilmada Azmi, M.Si. Ibu Friane Aurora,
M.Si. dan Ibu Eva Mushoffah, MHSPS.
5. Untuk Kedua Orang Tua (R. Yoviara Indri Novianthy Koesoemadinegara dan
M. Slamet Sanjaya Soenhadji, B.Sc) dan Ibu mertua saya (Hj. Muniah), yang
selalu memberikan do’a, motivasi dan memberikan pelajaran tentang
kesabaran. Terakhir terimakasih kepada nenek tercinta Ibu Sri Sundari
iii
Prawiroredjo, atas dukungan dan doanya. Ini adalah hadiah terbesar untuk
kalian.
6. Untuk pendamping hidup saya Dedi Hermawan, S.Pd. Terimakasih atas
dorongannya dan selalu berada disamping saya, jika saya senang maupun
sedih, serta anak-anakku tersayang Ghaisan Azfaar Sabir dan Aurora Raisha
Ramadhani, kalian adalah harta berharga bagi saya.
7. Saya juga ingin mengucapkan terimakasih untuk Bapak Jajang serta Bapak
Amali, Ibu Novi, Ibu Lily, Ibu Dewi, Bapak Basri, Bapak Nanda dan semua
Staf Departemen Hubungan Internasional, Universitas Islam Negeri Jakarta,
atas dukungannya.
8. Untuk adik-adik tercinta Vanya, Adrian, Ivy, Audy, dan keponakan tersayang
Adiva, terimakasih atas semangat, canda dan tawanya.
9. Terimakasih kepada teman-teman terdekat saya Rosi, Yeni, Susan,
Chairunnisa, Maya ndut, Lilis, Nadya, Sabriela, Prila, Iyul, Ibnu, Ade, Ikhsan,
Wibi, Firman, Viki, Kiss, Maya, Atik, Hazrina, Tia, Nanda, Hendrawan,
Maman, Umam, Adnan, Alfian, dan Insan. Saya ingin berterimakasih kepada
Puthi, Eno, Riri, Diana, Zaza, Awi, Ika Zahara, dan Fitriyanti atas
partisipasinya dalam peminjaman buku-buku yang saya butuhkan.
10. Selanjutnya, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada tante Tetri, om
Romi, Tasya, tante Lily, om Hakso, Zafira dan Abigael, atas doa, dukungan
serta semangatnya. Yang, terakhir kepada keluarga besar Koesoemadinegara,
keluarga besar Muntaha, keluarga besar Soenhadji, dr. Aisyah, Ph.D., ka
Herni, om Amax, Nihal, Melur, dan Zuhdayanti terimakasih atas supportnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Salam,
Starlet Rallysa Injaya
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK…………………………………………………………………
i
KATA PENGANTAR……………………………………………………..
ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………….
iv
DAFTAR AKRONIM……………………………………………………..
vi
DAFTAR TABEL………………………………………………………….
vii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………….................
viii
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………….
ix
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………
1
A. Latar Belakang Masalah………………………………………
1
B. Pertanyaan Penelitian……………………………….…………
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………..
6
D
7
Tinjauan Pustaka………………………………………………
E. Kerangka Pemikiran…………………………………………... 9
E.1 Konsep Kerjasama Internasional………………..………..
9
E.2 Pendekatan Green Thought ………………....……..……..
10
E.3 Konsep Kepentingan Nasional ………………….……….. 11
F. Metode Penelitian……………………………………………… 13
G. Sistematika Penulisan…………………………………..……… 14
BAB II ISU PENEBANGAN LIAR DI INDONESIA……………………... 16
A. Kondisi Hutan di Indonesia………………….…………...…… 16
A.1 Kondisi Hutan di Kalimantan Timur..…..………………..
18
A.2 Kondisi Hutan di Kalimantan Barat……...……………….
23
A.3 Kondisi Hutan di Sumatera dan Papua…………………… 28
B. Penyebab Penebangan Liar di Indonesia...……….……..…….. 30
B.1 Faktor Ekonomi……………………………..…………... 31
B.2 Faktor Geografis………….……………………….…….. 33
B.3 Faktor Penegakan Hukum………..………….………….. 35
v
C. Respon Pemerintah Indonesia terhadap Penebangan Liar…….. 36
D. Kebijakan Pemerintah Indonesia terhadap
Penebangan Liar di Hutan Indonesia………………………….. 38
BAB III PERAN JEPANG DALAM MENGATASI DEFORESTASI….. 42
A. Kerjasama Jepang di Bidang Lingkungan Hidup Internasional
guna Mengatasi Penebangan liar di Lingkungan Internasional... 42
B. Keterlibatan Jepang pada Sustainable Forest
Management….………………………………………………..
49
C. Tujuan Jepang dalam Mengatasi Penebangan Liar
di Indonesia……………………………………………………. 50
D. Kepentingan Jepang dalam Mengatasi
Penebangan Liar di Indonesia…………………………………. 52
BAB IV KERJASAMA INTERNASIONAL INDONESIA
DAN JEPANG TERHADAP ISU DEFORESTASI
DI INDONESIA DALAM SKEMA AFP
PERIODE 2008-2011…………………………………………….
A. Pertemuan Formal AFP……………………………………….
58
59
A.1 Fase Pertama Tahun 2002-2007.......................................... 60
A.2 Fase Kedua Tahun 2008-2011……………………………
66
B. Perkembangan Kesepakatan Indonesia dan Jepang
BAB V
dalam AFP periode 2008-2011……………………………….
69
C. Peran Jepang dalam Asia Forest Partnership (AFP)…………
71
PENUTUP………………………………………………………..
78
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….
x
LAMPIRAN-LAMPIRAN.…………………………………………………
xvi
vi
DAFTAR AKRONIM
AFP
APL
ASEAN
A/R
BRIK
CDM
CGI
CIFOR
FAO
FLEG
GDP
HL
HPT
HP
HPK
HTI
IGES
IJ-EPA
ITTC
ITTO
JBIC
JFWIA
JICA
KALBAR
KALTIM
KPA
KSA
KTT
LEI
LIPI
MRV
ODA
OECD
PHKA
RAPP
REDD
SDM
SFM
TNC
WALHI
WSSD
WWF
Asia Forest Partnership
Area Penggunaan Lain
Association of Southeast Asian Nations
Afforestaion and Reforestation
Badan Revitalisasi Industri Kehutanan
Clean Development Mechanism
Consultative Group on Indonesia
Center for International Forestry Research
Food and Agriculture Organization
Forest Law Enforcement and Governance
Gross Domestic Product
Hutan Lindung
Hutan Produksi Terbatas
Hutan Produksi
Hutan Tetap yang dapat Dikonversi
Hutan Tanaman Industri
Intsitute for Global Environmental Strategies
Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement
International Tropical Timber Council
The International Tropical Timber Organization
Japan Bank for International Coorperation
Japan Federation of Wood Industry Associations
Japan International Coorperation Agency
Kalimantan Barat
Kalimantan Timur
Kawasan Pelestarian Alam
Kawasan Suaka Alam
Konferensi Tingkat Tinggi
Lembaga Ekolabel Indonesia
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Measurement, Reporting and Verification
Official Development Assistance
Organisation for Economic Co-Operation and Development
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Riau Andalan Pulp and Paper
Reducing Emissions from Deforestation and Forest
Degradation
Sumber Daya Manusia
Sustainable Forest Management
The Nature Conservancy
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
World Summit on Sustainable Development
World Wide Fund
vii
DAFTAR TABEL
Tabel II.A.1.1. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 79/Kpts-II/2001…
20
Tabel II.A.1.2. Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Dalam dan
Luar Kawasan Hutan Berdasarkan Penafsiran Citra Satelit
Landsat 7 Etm+2009/2010…………………………………....
21
Tabel II.A.1.3. Angka Deforestasi di Dalam dan di Luar Kawasan Hutan
Per Provinsi Periode 2009/2010……………………….…...…
22
Tabel II.A.1.4. Luas Kawasan Hutan Kalimantan Timur………………….…
23
Tabel II.A.2.1. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 259/Kpts-II/2000…
24
Tabel II.A.2.2. Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Dalam dan
Luar Kawasan Hutan Berdasarkan Penafsiran Citra Satelit
Landsat 7Etm+2009/2010……...………………………….…..
25
Tabel II.A.2.3. Angka Deforestasi di Dalam dan di Luar Kawasan Hutan
Per Provinsi Periode 2009/2010 (Ha/Th) ……………………
27
Tabel II.A.2.4. Luas Kawasan Hutan Kalimantan Barat…………………….
27
Tabel II.A.3.1. Luas Kawasan Hutan Papua……………………………...….
28
Tabel II.A.2.2. Luas Kawasan Hutan Sumatera…….……………………….
29
Tabel III.A.2. Penyaluran ODA Jepang melalui JICA “Baru”...………..…..
48
Tabel III.C.1. Daftar Proyek/Program Kerjasama Luar Negeri (Kln)
di Lingkup Departemen Kehutanan Tahun 2008-2011……....
51
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.B.2.1. Peta Kalimantan Barat……………..………………………
34
Gambar II.B.2.2. Peta Kalimantan Timur……………….……………………
35
Gambar III.A.1. ODA (Bantuan Pembangunan Jepang yang Diberikan pada
Tingkat Pemerintah Tahun 2002) …………………………
46
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 The G8 Forest Expert Report on Illegal Logging ……….…..... xvi
Lampiran 2 The Second Round of The Expert Meeting on Illegal logging… xxv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia memiliki potensi besar terhadap hutan karena Indonesia pemilik
hutan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brazil danRepublik Demokrasi
Kongo. Hutan tropis dapat ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia
seperti, pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, bahkan di Papua.
Meskipun didera berbagai permasalahan seperti penebangan liar (illegal
logging), penambangan, dan kebakaran hutan, Indonesia tetap bertahan untuk
menjaga keragaman hutan.Manfaat hutan bagi Indonesia sedemikian rupa
sehingga tetap harus dijaga kelestariannya.Hutan adalah salah satu ekosistem
penyangga kehidupan, sehingga kelestariannya harus dijaga untuk memperkuat
ekonomi rakyat dan mendukung perekonomian nasional demi kesejahteraan
rakyat.
Menurut data Informasi Umum Kehutanan, sebelum tahun 2000, produksi
kayu bulat dari hutan alam dan hutan tanaman rata-rata per tahun sebesar
25,40 juta m3. Begitupun dengan keuntungan yang didapat Indonesia berupa
devisa dari ekspor komoditas primer kehutanan pada tahun 1998 yang
mencapai US $7.52 miliar.1 Tenaga kerja yang sangat menggantungkan
kehidupan dari sektor kehutanan ini berjumlah 183 ribu orang. Namun, pada
tahun 2000, produksi kayu bulat cenderung menurun akibat menurunnya
sumber daya hutan.2
Hutan merupakan sebuah kawasan yang terdiri atas pepohonan dan tumbuhan
lebat. Hutan dapat digunakan sebagai penampung karbondioksida, tempat tinggal
fauna, dan tempat pelestarian tanah. Kawasan ini terhampar luas di seluruh dunia.
1
BoenM Purnama.Informasi Umum Kehutanan. Jakarta.2002, h. 10
BoenM Purnama. 2002, h. 10
2
1
Hutan yang terdapat di seluruh dunia ini beragam jenisnya. Salah satunya adalah
hutan tropis di Indonesia.
Hutan tropis adalah hutan yang berada dalam kawasan tropika yang
mencakup tanah dan persembunyian bagi kekayaan hayati dunia (pepohonan,
tumbuh-tumbuhan, serangga dan aneka satwa).Selanjutnya, hutan tropis
memiliki beberapa karakteristik, yaitu, memiliki curah hujan tinggi,
perbedaan temperature rendah, kelembaban udara tinggi, selalu hijau, dan
tingkat keanekaragaman jenis tinggi.3
Sebagaimana kondisi hutan di Jepang yang memiliki hutan seluas 22,120 juta
ha, sekitar 80% wilayah Jepang terdiri dari pegunungan yang berhutan-hutan.
Namun, sebagai salah satu negara yang berpenduduk padat di dunia 120 juta
jiwa pada tahun 2005, luas perkapita hutan di Jepang sangatlah rendah.
Dengan kehidupan yang sangat membutuhkan kayu pertahun untuk
masyarakat Jepang, kebutuhan kayu mencapai 87 juta m3 yang sebagian besar
untuk membangun rumah dan 68 juta m3 untuk import.4
Dilihat dari kemampuan Jepang dalam mencukupi kebutuhan domestiknya
sangat berpengaruh pada kondisi hutan di Jepang. Sebagian besar kawasan hutan
Jepang terletak di daerah pegunungan, di mana fungsi hutan dan sebagai kawasan
perlindungan sangat diutamakan. Selain itu, biaya dan harga kayu yang cenderung
meningkat, menjadi salah satu alasan Jepang untuk memenuhi kebutuhan kayu
dari import.
Kondisi geografis di Jepang sangat mempengaruhi hutan di negaranya.
Seperti, gempa bumi, terdapatnya lereng-lereng, memiliki pegunungan, dan
memiliki empat musim. Sama halnya di Indonesia, hutan di Jepang sangat
membutuhkan perhatian. Akan tetapi, kebutuhan kayu domestik maupun import
setiap tahunnya terus meningkat, yang disertai adanya penebangan liar,
3
http://www.ut.ac.id/html/suplemen/biol4413/materi_02.swf. Diakses pada 4 Juli 2013
Forestry Agency (2008). AnnualReport on Trensd In Forest And Forestry Fiscal Year 2007
(Summarry)
4
2
penurunannya keanekaragaman hayati, dan pengurangan dampak perubahan
iklim.5
Penebangan liar juga telah menjadi praktek yang mendominasi hutan di
Indonesia sehingga menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi Indonesia.
Pada zaman rezim Soeharto, keuntungan perekonomian dihasilkan dari eksploitasi
hutan dan untuk mendapat dukungan politik tidak luput dari pemanfaatan alokasi
kawasan hutan.6
Namun, sangat disayangkan bahwa masyarakat umum sendiri tidak
merasakan adanya keuntungan yang diperoleh dari tebangan kayu untuk
wilayah yang ditebang, yang sebelumnya sangat berharap keuntungan dapat
diraih dari hasil tebangan di wilayah mereka. Selain itu, kerugian seperti
kekurangan air tanah, potensi banjir, dan penyakit yang berasal dari hama
tanaman dapat terjadi jika penebangan liar tidak dihentikan. Faktor kebutuhan
import yang sangat tinggi, sehingga membuat Jepang menjadi lebih
mementingkan bagaimana menjaga hubungan dengan negara lain dalam isu
kehutanan. Seperti diberitakan dalam Metro TV News adanya kontribusi
Jepang dalam penanaman pohon di Taman Nasional Way Kambas.7
Menurut Zain,penebangan liar adalah kegiatan penebangan, pengangkutan,
dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari pemerintah
setempat.8 Penebangan liar ini berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan kayu di
pasar internasional yang dilihat dari besarnya kapasitas industri kayu dalam
negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum, pemutihan kayu yang terjadi
di luar kawasan tebangan, dan wilayah perbatasan Indonesia.
Penebangan liar ini juga kerap terjadi di perbatasan wilayah Republik
Indonesia, meliputi penebangan kayu dan membuka jalan untuk mengangkut hasil
5
Forestry Agency (2008), Summarry
Luca Tacconi dkk. Proses Pembelajaran Promosi Sertifikasi Hutan dan Pengendalian
Penebangan Liar di Indonesia. CIFOR. 2004, h.10
7
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/04/3/128360/Jepang-BantuPelestarian-Hutan-Indonesia. Diakses pada 1 April 2013
8
Alam Zain. Hukum Lingkungan Konservasi Alam. Jakarta. 1997, h. 66-67
6
3
kayu dari penebang liar.9 Dengan adanya berbagai konvensi mengenai lingkungan
yang membahas sumber daya hutan dan beberapa negara yang memiliki
kepentingan atas wilayah hutan, Indonesia merupakan salah satu negara yang
berperan dalam beberapa pembentukan kerjasama dengan negara lain yang
menyangkut penebangan liar.
Di sisi lain, untuk menjaga keutuhan hutan, Indonesia merupakan negara
yang tergolong aktif dalam berbagai konvensi mengenai lingkungan. Pada
September 2001, Indonesia merupakan tuan rumah dari Deklarasi Bali, yang
menggambarkan keprihatinan belahan dunia terhadap maraknya penebangan liar
dan perdagangan ilegal kayu-kayu hasil penebangan liar atau yang dikenal dengan
nama ForestLawEnforcementandGovernance (FLEG).10
Deklarasi Bali ini merupakan komitmen pertama komunitas internasional
dalam memerangi perdagangan kayu ilegal. Deklarasi yang ditandatangani
dalam konferensi tingkat Menteri Asia Timur tentang "penegakan hukum dan
pengelolaan kehutanan ("Forest Law Enforcement and Government East Asia
Ministerial Conference") yang dilaksanakan di Bali, Indonesia, 11 -13
September 2001, juga memasukkan komitmen negara dari belahan dunia lain,
seperti, Amerika dan Eropa. Tujuan dari Deklarasi ini adalah memperkuat
usaha-usaha untuk mengatasi kejahatan kehutanan, terutama illegal logging,
yang bersisian dengan perdagangan liar dan korupsi, baik itu di tingkat
nasional, bilateral, regional, maupun internasional, yang mempunyai
pengaruh besar pada lemahnya penegakkan hukum. Deklarasi ini juga
menginginkan adanya aksi nyata kerja sama antarpenegak hukum, baik di
dalam negeri maupun antar negara untuk mencegah pergerakan kayu ilegal.11
Dengan waktu yang bersamaan dalam rangka mempromosikan Sustainable
Forest Management (SFM) dan sebagai tindak lanjut FLEG, maka perlu di bentuk
Asia Forest Partnership (AFP) yang merupakanforum kemitraan sukarelaserta
9
Suryadi. Ilegal Loging di Perbatasan Indonesia Malaysia. Majalah Kehutanan Indonesia.
Edisi X. Departemen Kehutanan. Jakarta. 2008, h. 26-27
10
http://arsip.gatra.com//2003-07-07/artikel.php?id=29675. Diakses pada 20 Maret 2013
11
http://www.cifor.org/ilea/_pf/1/_ref/ina/instruments/Law_Enforcement/antikorupsi/corrupti
on-interco.htm. Diakses pada 20 Maret 2013
4
merupakan kolaborasi dari berbagai pihak yang meliputi lembaga pemerintah,
organisasi antarpemerintah dan organisasi nonpemerintah dalam rangka
mempromosikan hutan lestari di Asia. Tujuan AFP adalah mempromosikan
pengelolaan hutan lestari di Asia, yang didasari atas adanya deforestasi di
Indonesia.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, AFP memiliki peran-peran
penting dalam isu lingkungan, yaitu, pengelolaan hutan lestari dan penebangan
liar. Oleh karena itu, Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki
permasalahan dalam hutan harus dapat bekerjasama dengan Jepang melalui AFP
sebagai salah satu sarana untuk mengatasi penebangan liar.
Dengan adanya AFP, diharapkan kepentingan Indonesia dalam tataran
internasional guna mengatasi penebangan liar sedikitnya dapat tercapai serta dapat
menekan kerugian akibat praktik penebangan liar. 12
Pada dasarnya, hubungan Indonesia dengan AFP lebih ditekankan untuk
mendapatkan sumber-sumber pengetahuan yang baru dengan cara berbagi
informasi dengan negara anggota yang lain.
Kajian ini akan difokuskan pada permasalahan penebangan liar di wilayah
Kalimantan Timur dan Barat. Latar belakang kajian ini didasari olehkerjasama
internasional Indonesia dan Jepang terhadap isu deforestasi dalamskema AFP.
Selain itu, penelitian ini juga akan memfokuskan analisanya terhadap seberapa
besar peran Jepang dalam forum AFP guna mengatasi penebangan liar di
Indonesia.
12
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/UMUM/KLN/AFP.htm. Diakses pada 24 Maret
2013
5
B. Pertanyaan Penelitian
Sebagaimana yang sudah dikemukakan di atas, maka pertanyaan penelitian
adalah:
1. “Bagaimana perkembangan kesepakatan antara Indonesia dan Jepang
dalam forum Asia Forest Partnershipperiode 2008-2011?”
2. “Seberapa besar peran Jepang dalam forum Asia Forest Partnership?”
Pertemuan AFP dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahun 2002-2007 pada tahap
pertama dan tahun 2008-2011 pada tahap kedua. Fokus kajian dalam skripsi ini
dibatasi pada kerjasama internasional Indonesia dan Jepang terhadap isu
deforestasi di Indonesia dalam skema AFP di Indonesia periode 2008-2011 yaitu
tahap kedua.
Alasan utama fokus penelitian diawali pada tahun 2008 karena tahun itu
merupakan tahap berkelanjutan yang dipelopori oleh Indonesia dan Jepang pada
tahap pertama.Sebab, pada masa sebelumnya, telah terjadi penebangan liar yang
merugikan Indonesia.
Untuk membatasi pembahasan kerjasama dalam forum AFP di kedua negara,
skripsi ini mengakhiri periodisasi waktu pada tahun 2011 yang menunjukkan telah
terlaksananya beberapa pertemuan antara mitra atau anggota AFP, termasuk
Indonesia dan Jepang.
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah, pertama, mendeskripsikan perkembangan
kesepakatan kerjasama internasional antara Indonesia dan Jepang terhadap isu
deforestasi di Indonesia dalam skema AFP periode 2008-2011. Dan seberapa
6
besarperan Jepang dalam forum AFP.Dikarenakan hutan Indonesia merupakan
hutan alam sangat penting dalam ekonomi politik global sehingga dapat
meningkatkan kredibilitasnya di mata dunia internasional.
Penelitian ini untuk memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan ekonomi politik internasional khususnya menangani deforestasi yang
diakibatkan penebangan liar di Indonesia.Dan memberikan masukan kepada
pihak-pihak tertentu dalam menangani dan menanggulangi penebangan liar.
D. Tinjauan Pustaka
Skripsi ini diinspirasikan oleh tesis sebelumnya yang ditulis Ferrytilova
Noviar berjudul “Hubungan AFP dengan Indonesia dalam Mengatasi Masalah
Illegal Logging(2002-2006).” Noviar menjelaskan bagaimana organisasi AFP ini
berkontribusi di Indonesia. Dengan melihat visi, misi, keanggotaan, struktur, dan
mekanisme serta ruang lingkup AFP.13
Termasuk terbentuknya AFP pada tahun 2002-2006 dan menciptakan
dinamika perkembangan AFP dalam menangani kasus illegal logging di
Indonesia. Dalam tesis ini juga menyatakan upaya internal pemerintah Indonesia,
upaya eksternal Indonesia, serta kerjasama dengan negara lainnya.
Penelitian lain tentang penebangan liar di Indonesia dilakukan oleh
Kusmayadi dalam tesisnya yang berjudul “Aktivitas Illegal Loggingdan
Pengendaliannya
di
Perbatasan
Kalimantan
Barat-Sarawak.”
Kusmayadi
menggambarkan bahwa aktivitas illegal logging dilihat dari fakta-fakta yang
13
Ferrytilova Noviar. Hubungan AFP dengan Indonesia dalam Mengatasi Masalah Illegal
Logging periode 2002-2006. Tesis Program Pascasarjana Universitas Indonesia. 2007, h. 25
7
terungkap melalui hasil operasi penertiban yang dilakukan oleh aparat kepolisian
maupun yang telah diproses sampai ke pengadilan.14
Dengan demikian, illegallogging dapat dibuktikan dengan melakukan
pengamatan melalui pos-pos pemeriksaan lintas batas yang ada di sepanjang
perbatasan, seperti, Entikong dan Nanga Badau.
Selain Noviar dan Kusmayadi, Siti zulfah juga membahas illegal logging
dalam skripsinya yang berjudul “Tindak Pidana Illegal Logging Perspektif
Hukum Islam dan Hukum Positif.” Zulfah menyatakan bahwa masalah illegal
logging erat kaitannya dengan hukum islam karena dua hal, yaitu, halal (yang
menguntungkan) dan haram (yang membahayakan).15
Illegal logging merusak bagi manusia dan sebaliknya, serta sanksi hukuman
yang patut diberikan pada pelaku illegal logging yang dinyatakan pada perusakan
terhadap lingkungan, yakni, hudud atau ta’zir. Selain itu, skripsi ini juga
memperjelas dengan menggunakan dalil-dalil Al-Qur’an Q.S. ALmaidah, ayat 33
dan 38 sebagai landasan Hukum Islam.
Dari ketiga penelitian yang telah dipaparkan di atas,terdapat perbedaan
dengan penelitian ini. Ketiganya lebih difokuskan pada cara menangani aktivitas
illegal loggingyang dilakukan oleh pemerintah dan berdasarkan hukum islam.
Bedanya, skripsi ini difokuskan pada perkembangan kesepakatan kerjasama
internasional antara Indonesia dan Jepang dalamskema AFP, serta peran Jepang
dalam AFP.
14
Kusmayadi. Aktivitas Illegal Logging dan Pengendaliannya di Perbatasan Kalimantan
Barat-Sarawak. Tesis Program Pascasarjana Universitas Indonesia. 2003, h. 93
15
Siti Zulfah. Tindak Pidana Illegal Logging Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif.
Skripsi UIN Syarif Hidayatullah. 2006, h. 6 dan 7
8
E. Kerangka Pemikiran
Analisa mengenai perkembangan kesepakatan antaraIndonesia dan Jepang
terhadap isu deforestasi di Indonesia dalam skema AFP periode 2008-2011,
kemudian menganalisa peran Jepang dalam AFP dengan menggunakan konsep
kerjasama internasional, pendekatan green thought, dan konsep kepentingan
nasional.
E.1 Konsep Kerjasama Internasional
Kerjasama internasional adalah hubungan antar bangsa yang memiliki tujuan
berlandaskan
kepentingan
nasional.Kerjasama
internasional
terdiri
dari,
seperangkat aturan, prinsip-prinsip, norma-norma, dan prosedur pembuat
keputusan yang mengatur jalannya rezim internasional.16 Selain itu, negara-negara
yang melakukan kerjasama internasional mempunyai tujuan bersama atau
kepentingan bersama karena, ketidakberadaan kepentingan bersama di dalam
kerjasama, merupakan sesuatu hal yang mustahil.17
Menurut Matthew Paterson dalam palgrave advances in environmental
international politics, bahwa “politik lingkungan internasional dalam kerjasama
internasional adalah ketergantungan antar aktor akan membuat mereka melakukan
kerjasama untuk menghadapi ancaman yang akan membahayakan kepentingan
nasional.”18Adanya kesamaan tujuan atau kepentingan bersama merupakan hal
yang wajib dalam kerjasama. Tidak dipungkiri bahwa dalam kerjasama selalu
16
Lisa L. Martin. Noe liberalism dalam Internasional Relations Theories:Discipline and
Diversity. 2007, h. 11
17
Robert O Keohane.Neoliberal Institutionalsm: a Prespektif in World Politics, in
Internasional Instituions and State Power. 1989, h.3
18
Michele M. Betsill et al. ed. Palgrave Advances in International Environmental Politics.
2006, h. 63
9
terdapat benturan kepentingan masing-masing negara, namun selama tujuan
bersama dapat disepakati, sejauh itu pula kerjasama dapat terus berjalan.
Kerjasama internasional menurut Thomas Bernauer di kutip dari Kate
O’Neill, change the behavior or states and other actors in the direction
intended by the cooperating parties, solve the environmental problem they
are designed to solve and do so in an efficient and equitable manner. Dalam
kerjasama internasional negara akan cenderung mengubah sikapnya sesuai
dengan kesepakatan yang diambil dalam institusi kerjasama tersebut,
kemudian para aktor akan memfokuskan masalah apa yang akan mereka
hadapi dan merencanakan skema penyelesaian masalah yang dianggap paling
efektif (terj. pen-).19
Sependapat dengan pemahaman di atas bahwa keefektifan suatu kerjasama
internasional, dilihat sebagaimana negara merespon suatu insentif guna memenuhi
kewajiban perjanjian internasionaldengan adanya mekanisme, seperti bantuan
lingkungan dan transfer teknologi dapat mengembangkan kapasitas negara guna
mencapai tujuan yang telah disepakati dalam perjanjian.20
E.2 Pendekatan GreenThought
Pendekatan greenthought (ekologisme) lebih kepada isu atau penyelesaian
masalah terhadap lingkungan hidup. Seperti, sistem negara kontemporer, struktur
utama perekonomian global, dan institusi global dilihat sebagai bagian dari
permasalahan.21
Greenthought merupakan hubungan antarmanusia dengan alam secara luas
dan menjelaskan krisis lingkungan hidup yang sedang terjadi saat ini. Berbagai
fase hubungan ini perlu disusun agar kehidupan yang akan datang lebih aman.22
19
Kate O’Neill. The Environment and Internasional Relations. 2009, h. 106
Kate O’Neill. 2009, h. 119
21
Jill Steans dan Lloyd Pettiford. Hubungan Internasional Perspektif dan Tema.2009,
h. 381
22
Jill Steans dan Lloyd Pettiford. 2009, h. 382
20
10
Asumsi dasar dari GreenThought sendiri, adalah:23
1. Para pemerhati lingkungan menekankan institusi global atau kerjasama
internasional, contohnya: nilai penting komunitas global sama diakuinya hakhak dari komunitas lokal untuk mengontrol sumber daya mereka sendiri dan
keberadaan komunitas-komunitas bioregional sebagai bangunan dasar bagi
bumi.
2. Para pemerhati lingkungan berangkat dari pemahaman implisit bahwa
kebiasaan manusia masa kini dalam beberapa pengertian tidak sejalan dengan
dunia nonmanusia.
3. Para pemerhati lingkungan menekankan bahwa kebiasaan manusia zaman
modern, yang didukung oleh sistem kepercayaan, filsafat, dan antroposentris,
sebagai penyebab utama dari krisis lingkungan hidup.
Penebangan liar juga mengakibatkan berkurangnya sumber mata air di daerah
hutan.Masyarakat bergantung pada air bersih dan air untuk irigasi.Oleh karena itu,
makin berkurangnya lapisan tanah yang subur, maka banjir di Indonesia tidak
dapat dicegah.24
Akibatnya, tanah yang subur semakin berkurang dan menyebabkan
musnahnya flora dan fauna. Penyebab krisis lingkungan sangat perlu dibatasi,
karena konsumsi sumber daya alam tidak pernah berhenti yang didasari oleh
kebebasan dan keegoisan. Permasalahan ini erat kaitannya terhadap
pemikiran politik hijau atau biasa disebut dengan Teori Hijau, dimana
memiliki dampak cukup besar terhadap politik global. Tujuan dari Teori
Hijau ini untuk memberikan penjelasan tentang krisis ekologi yang dihadapi
manusia dan memberikan pengertian bahwa krisis ini menjadi persoalan
utama.25
E.3 Konsep Kepentingan Nasional
Selanjutnya penelitian ini menggunakan konsep kepentingan nasional.
Melihat kerjasama internasional erat hubungannya dengan kepentingan nasional
dari beberapa negara yang bersangkutan.
Menurut Miroslav Nincic dikutip dari Jemadu, terdapat tiga asumsi dasar
dalam mendefinisikan kepentingan nasional. Pertama, kepentingan itu harus
23
Jill Steans dan Lloyd Pettiford. 2009, h. 395-396
Kenneth Chomitz. Laporan Penelitian Kebijakan Bank Dunia“Dalam sengketa?Perluasan,
pertanian, pengentasan kemiskinan dan lingkungan di hutan tropis”.Jakarta. 2007, h. 3
25
Burchill dan Linklater. Teori-teori Hubungan Internasional. Bandung.1996, h. 361
24
11
bersifat vital sehingga pencapaiannya menjadi prioritas utama pemerintah dan
masyarakat. Kedua, kepentingan tersebut harus berkaitan dengan lingkungan
internasional atau pencapaian kepentingan nasional dipengaruhi oleh
lingkunga internasional. Ketiga, kepentingan nasional harus melampaui
kepentingan yang bersifat partikularistik dari individu, kelompok atau
lembaga pemerintahan sehingga menjadi kepedulian masyarakat secara
keseluruhan.26
Untuk mencapai target serta tujuan yang diinginkan suatu negara haruslah
mengacu pada kepentingan nasional demi menciptakan kebijakan luar negeri
yang baik. Dapat dilihat dari kekuasaan dan negara, menurut Subadi adalah
mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang bertentangan satu
dengan yang lainnya supaya tidak menjadi hal yang membahayakan. Sehingga
tercapai kegiatan yang sesuai tujuan dari masyarakat menuju tujuan nasional.27
Begitu pula yang dikatakan oleh Joseph Frankel bahwa kepentingan nasional
merupakan aspirasi dari suatu negara yang bisa direalisasikan secara operasional
pada suatu kebijakan dalam upaya mencapai suatu tujuan yang spesifik.28
Menurut Olthon kepentingan nasional adalah kesejahteraan ekonomi, militer
keamanan dan pertahanan sebagai hasil dari bentuk adanya kepentingan nasional.
Sehingga kepentingan nasional dapat menjadi arahan para pembuat keputusan
dalam merumuskan kebijakan luar negeri dan konsep dasar untuk menjelaskan
perilaku luar negeri seperti yang terdapat dalam kamus hubungan internasional.29
Solusi untuk penebangan liar sudah menjadi masalah di tataran internasional,
dengan adanya kerjasama internasional diharapkan dapat menjaga kelestarian
hutan. Demikian konsep kerjasama internasional, pendekatan Green Thought dan
26
Aleksius Jemadu. Politik Global Dalam Teori Dan Praktek. Yogyakarta. 2008, h. 67
Subadi. Penguasaan dan Penggunaan Tanah Kawasan Hutan. Jakarta. 2010, h. 10
28
Joseph Frankel. Internasional Relations in Changing World. 1998, h. 93
29
Jack C. Plano&Olton R. Kamus Hubungan Internasional. Bandung. 1999, h. 11
27
12
konsep kepentingan nasional yang saling berkesinambungan kiranya relevan
untuk membahas lebih lanjut mengenai Kerjasama Internasional Indonesia dan
Jepang terhadap isu deforestasi di Indonesia dalam skema Asia Forest
Partnership Periode 2008-2011.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif
analitis. Pengertian deskriptif analitis, yaitu suatu cara untuk membuat gambaran
dan situasi yang menjadi bagian permasalahan yang akan diteliti.30
Menurut Creswell, pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan
pemahaman yang berdasarkan pada fenomena sosial dan masalah manusia.
Selanjutnya, untuk memaparkan tentang kerjasama pemerintah Indonesia dan
Jepang dalam forum AFP menangani isu penebangan liar di Indonesia periode
2008-2011 menggunakan penelitian kualitatif.
Pengumpulan data diambil dari beberapa dokumen untuk lebih memahami
kerjasama Pemerintah Indonesia dan Jepang dalam forum Asia Forest Partnership
(AFP) menangani masalah penebangan liar di Indonesia, seperti, buku rujukan
(textbook), artikel dalam buku, skripsi atau tesis, jurnal, surat kabar, majalah dan
internet.
Sumber tersebut diperoleh dari berbagai perpustakaan misalnya, perpustakaan
utama Universitas Islam Negeri Jakarta, perpustakaan utama Universitas
Indonesia,perpustakaan Ali Alatas Kementrian Luar Negeri, perpustakaan
30
John W. Creswell. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches.1994, h. 148
13
Kementrian Kehutanan, perpustakaan Harian KOMPAS, perpustakaan Nasional
Republik Indonesia, perpustakaan Center for International Forestry Research
(CIFOR), dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Dalam penelitian kualitatif ini meliputi empat tipe, yaitu: observasi,
wawancara, dokumen, dan gambar visual yang masing-masing mempunyai fungsi
dan keterbatasan.31 Dari keempat tipe tersebut penelitian menggunakan dokumen
atau arsip yang dikeluarkan dari Kementrian Kehutanan, Kementrian Luar Negeri
dan Kementrian Lingkungan Hidup Jepang untuk mengetahui permasalahan yang
tercatat dalam dokumen atau arsip yang menjadi topik dalam penelitian ini.
Diharapkan dengan adanya studi kepustakaan dan dokumen atau arsip dari
beberapa Kementrian dapat membantu analisa penelitian ini
mengupas dan
membahas lebih dalam mengenai peran Jepang dalam AFP dalam mengatasi
deforestasi di Indonesia.
G. Sistematika Penulisan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Pertanyaan Penelitian
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
D. Tinjuan Pustaka
E. Kerangka Pemikiran
E.1 Konsep Kerjasama Internasional
E.2 Green Thought
E.3 Konsep Kepentingan Nasional
F. Metode Penelitian
G. Sistematika Penulisan
BAB II
ISU PENEBANGAN LIAR DI INDONESIA
A. Kondisi Hutan di Indonesia
A.1 Kondisi Hutan di Kalimantan Timur
31
John W. Creswell.1994, h. 147
14
A.2 Kondisi Hutan di Kalimantan Barat
A.3 Kondisi Hutan di Sumatera dan Papua
B. Penyebab Penebangan Liar di Indonesia
B.1 Faktor Ekonomi
B.2 Faktor Geografis
B.3 Faktor Penegakan Hukum
C. Respon Pemerintah Indonesia terhadap Penebangan Liar
D. Kebijakan Pemerintah Indonesia terhadap Penebangan Liar di
Hutan Indonesia
BAB III PERAN JEPANG DALAM MENGATASI DEFORESTASI
A. Kerjasama Jepang di Bidang Lingkungan Hidup Internasional guna
Mengatasi Penebangan liar di Lingkungan Internasional
B. Keterlibatan Jepang pada Sustainable Forest Management
C. Tujuan Jepang dalam Mengatasi Penebangan Liar di Indonesia
D. Kepentingan Jepang
dalam Mengatasi Penebangan Liar di
Indonesia
BAB IV KERJASAMA INTERNASIONAL INDONESIA DAN JEPANG
TERHADAP ISU DEFORESTASI DI INDONESIA DALAM
SKEMA AFP PERIODE 2008-2011
A. Pertemuan Formal AFP
A.1 Fase Pertama Tahun 2002-2007
A.2 Fase Kedua Tahun 2008-2011
B. Perkembangan Kesepakatan Indonesia dan Jepang dalam AFP
periode 2008-2011
C. Peran Jepang dalam Asia Forest Partnership (AFP)
BAB V
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
15
BAB II
ISU PENEBANGAN LIAR DI INDONESIA
Bab ini memaparkan isu penebangan liar di Indonesia,khususnya kondisi
hutan di Kalimantan Barat (Kalbar) dan Kalimantan Timur (Kaltim). Alasan
utama memilih kawasan Kaltim dan Kalbar adalah, besarnya kasus deforestasi
terbesar terjadi di Kalimantan dan Sumatera dengan persentase masing-masing
36,32 persen dan 24,49 persen, sedangkan Papua menjadi wilayah paling kecil
dalam menyumbang deforestasi yaitu sebesar 4,15 persen.32Sehingga deforestasi
di Indonesia sampai pada tahun 2009 terkonsentrasi di Kalimantan dan Sumatera.
Bab ini selanjutnya dibagi menjadi empat sub-bab, yang diawali dengan
pembahasan kondisi hutan di Indonesia. Dilanjutkan, mengenai faktor-faktor
penebangan liar di Indonesia.Lalu, respon pemerintah Indonesia terhadap
penebangan liar.Terakhir, mengenai kebijakan pemerintah Indonesia terhadap
penebangan liar di hutan Indonesia.
A. Kondisi Hutan di Indonesia
Hutan Indonesia merupakan salah satu hutan tropis terluas di dunia dan
ditempatkan pada urutan kedua dalam hal tingkat keanekaragaman hayati. Selain
itu, hutan di Indonesia telah memberikan manfaat berlipat ganda, baik secara
32
Forest Watch Indonesia.Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode Tahun 2000-2009.
16
langsung maupun tidak langsung untuk memenuhi hampir semua kebutuhan
manusia.33
Akan tetapi, pertumbuhan sektor kehutanan yang sangat pesat dan
menggerakkan ekspor bagi perekonomian pada tahun 1980 dan 1990 telah
mengorbankan hutan. Karena, praktik kegiatan kehutanan yang tidak lestari.
Untuk itu, Indonesia tercatat sebagai negara penyumbang emisi terbesar ketiga di
dunia yang berasal dari penebangan hutan yang berlebihan dan cenderung liar
dengan laju deforestasiataukerusakan hutan mencapai dua juta ha per tahun.34
Selama sepuluh tahun terakhir, kerusakan hutan di Indonesia mencapai dua
juta hektar per tahun. Selain kebakaran hutan, penebangan liar adalah penyebab
terbesar kerusakan hutan. Bahkan, lebih dari itu, penebangan liar ini telah
melibatkan banyak pihak dan dilakukan secara terorganisir serta sistematis.
Kejahatan ini bukan hanya terjadi di kawasan produksi, melainkan juga sudah
sampai ke kawasan hutan lindung dan taman nasional.35
Istilah penebangan liar (illegal logging) mulai umum digunakan di Indonesia
sejak pertengahan tahun 1990-an yang diidentikan pada perusakan hutan.Log
berartikan batang kayu atau kayu gelondongan dan Logging artinya menebang
kayu dan membawa ke tempat gergajian.36
Penebangan liar ini memanfaatkan lahan hutan masyarakat setempat. Menurut
Undang-undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
hutan adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan kekayaan yang
33
http://fwi.or.id/wp-content/uploads/2013/02/PHKI_2000-2009_FWI_low-res.pdf. Diakses
pada 4 Juli 2013
34
http://www.hariansumutpos.com/2012/09/42591/hutan-ini-milik-siapa#axzz2Y81sSfoi.
Diakses pada 4 Juli 2013
35
http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/04/23/problematika-penanganan-illegallogging-di-indonesia-357287.html. Diakses pada 4 Juli 2013
36
Kbbi.web.id. Diakses pada 4 Juli 2013
17
dikuasai oleh negara dan bermanfaat bagi umat manusia serta dijaga
kelestariannya. Selain itu, sebagai salah satu penentu sistem penyanggah
kehidupan manusia dan sumber kemakmuran rakyat, maka keberadaannya
harus dipertahankan secara optimal.37
Kerusakan hutan di Indonesia terus menurun setiap tahunnya.Pada tahun
2003-2006 sebesar 1,15 juta hektar dan terus menurun menjadi 0,45 juta hektar
pada tahun 2009-2011. Meskipun masih banyak yang perlu dilakukan oleh
pemerintah untuk menurunkan aktivitas pengerusakan hutan yang salah satunya
dilakukan akibat penebangan liar.38
Dapat
disimpulkan
bahwa
kondisi
hutan
di
Indonesia
sudah
memprihatinkan.Hal ini dapat dilihat dari adanya kerusakan hutan dengan cara
penebangan liar yang telah menjadi akar permasalahan pada rendahnya kesadaran
masyarakat terhadap masalah lingkungan.
A.1 Kondisi Hutan di Kalimantan Timur
Propinsi di Pulau Kalimantan bagian timur atau disebut Kalimantan Timur
dengan luas wilayah 245.237,8 km2 atau seluas satu setengah kali Pulau Jawa dan
Madura, terletak antara 113’44” Bujur Timur dan 119’00” Bujur Barat serta
diantara 4’24” Lintang Utara dan 2’25” Lintang Selatan. Dengan adanya
pemekaran wilayah, propinsi terluas kedua setelah Papua ini dibagi menjadi
sembilan kabupaten, empat kota, seratus sembilan kecamatan, dan 1.299 desa atau
kelurahan.39
37
Undang-Undang R.I No 41 Tahun 1999. Tentang Kehutanan dan Illegal Logging. Dikutip
dalam Undang-Undang RI No.19 Tahun 2004. 2010, h. 3
38
http://reddkaltim.or.id/2012/08/kliping-berita-kemenhut-laju-deforestasi-indonesiamenurun.html. Diakses pada 29 April 2013
39
Bappeda Propinsi Kalimantan Timur
18
Pulau yang beribu kota Samarinda ini, memiliki beberapa suku bangsa, yaitu,
Daya (Tunjung, Kenyah, Medang, Benuaq, Bahau, Penihing, Punang, Basap),
Kutai dan Banjar.40 Lebih dari empat per lima wilayah daerah ini tertutup hutan
tropis yang memiliki berbagai macam tumbuh-tumbuhan, seperti, meranti, ulin,
keriung, damar, kayu kapur, lempung, agatis, rotan, bambu, dan pakis.41
Hasil utama dari hutan tropis ini adalah kayu karena merupakan salah satu
sumber sektor perekonomian dan memiliki nilai ekspor yang cukup tinggi. Guna
mencegah makin luasnya penghabisan hutan, maka pemerintah makin giat
menggalakkan pembangunan dengan wawasan lingkungan.42
Hutan Kalimantan Timur pada tahun 2002 mencapai luas sekitar 19,54 juta
hektar yang terbagi menjadi enam jenis hutan, yaitu, hutan lindung, hutan suaka
alam, hutan wisata, hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, hutan produksi
yang dapat dikonversi, dan hutan pendidikan atau penelitian. Dari enam jenis
hutan
tersebut, yang terluas adalah hutan tetap dan hutan produksi terbatas
masing-masing 4.597.809 ha dan 5.181.422 ha. Sedangkan daerah atau kota yang
mempunyai kawasan hutan terluas adalah kabupaten Kutai Timur dengan luas
area hutan mencapai 3,58 juta ha atau 18,32 persen dari luas hutan Kalimantan
Timur. 43
Kawasan hutan adalah hutan tetap dimana pada wilayah tertentu yang
ditunjuk dan ditetapkankeberadaannya oleh pemerintah. Untuk itu, wilayah
Kalimantan Timur memiliki tiga fungsi, yaitu, sebagai kawasan hutan konservasi,
40
Redaksi Ensiklopedi Indonesia. Ensiklopedi Indonesia Seri Geografi “Indonesia”. 1990, h.
173
41
Redaksi Ensiklopedi Indonesia. 1990, h. 175
Redaksi Ensiklopedi Indonesia. 1990, h. 175
43
Redaksi Ensiklopedi Indonesia. 1990, h. 175
42
19
kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan produksi. Surat Keputusan Menteri
Kehutanan No. 79/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001 menunjuk kawasan hutan
dan perairan di Provinsi Kalimantan Timur dengan rincian sebagai berikut:44
Tabel II.A.1.1. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 79/Kpts-II/200145
No
Penunjukan/Fungsi Hutan
Luas
Hutan Kawasan Konservasi
a.Cagar Alam
b.Taman Nasional
c.Hutan Wisata Alam
173.272 ha
1.930.076 ha
61.850 ha
2
Hutan Lindung
2.751.702 ha
3
Hutan Produksi Terbatas
4.612.965 ha
4
Hutan Produksi
5.121.688 ha
1
14.651.553 ha
JUMLAH
Sumber: Keputusan Menteri Kehutanan No. 79/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001.
Indonesia memiliki beberapa kategori kawasan hutan tetap yang terdiri atas,
Kawasan Suaka Alam (KSA), Kawasan Pelestarian Alam (KPA), Hutan Lindung
(HL), Hutan Produksi Terbatas (HPT), dan Hutan Produksi (HP). Sedangkan
Hutan Tetap yang dapat dikonversi (HPK) dan Area Penggunaan Lain (APL),
juga dimasukkan sebagai salah satu kategori untuk melihat sejauh mana
perubahan kawasan hutan di Indonesia.46Dapat dilhat pada tabel dibawah ini:
44
Heru Soekarno. Statistik Kehutanan BP2HP Kaltim. 2009, h. 15
Data tersebut diolah berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 79/Kpts-II/2001
tanggal 15 Maret 2001
46
Boen M Purnama. Informasi Umum Kehutanan. 2002, h. 19
45
20
Tabel II.A.1.2. Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Dalam dan Luar
Kawasan Hutan Berdasarkan Penafsiran Citra Satelit Landsat 7
Etm+2009/2010.47
KAWASAN HUTAN
PROVINSI
KALIMANTAN
TIMUR
TOTAL
HPK
HUTAN TETAP
Jumlah
Jumlah
%
1,824.7
13,491.8
69.2
5,970.9
242.9
6,213.8
31.9
-
5,293.2
1,442.0
6,735.2
34.5
402.9
-
402.9
139.9
542.8
2.8
2,196.4
2,984.0
-
2,984.0
3,030.4
6,014.4
30.8
-
-
-
-
-
-
-
-
4,613.0
5,121.7
14,651.1
14,651.1
4,855.1
19,506.2
100.0
KSAKPA
HL
HPT
HP
Jumlah
A. Hutan
1,761.2
2,606.6
4,374.0
2,925.3
11,667.0
-
11,667.0
- Hutan Primer
1,415.6
1,970.3
2,145.6
439.5
5,970.9
-
- Hutan Sekunder
307.2
625.8
2,224.0
2,136.3
5,293.2
- Hutan Tanaman *
38.5
10.5
4.5
349.5
B. Non Hutan
403.5
145.2
238.9
-
-
2,164.7
2,751.7
C. Tidak ada data
TOTAL
APL
-
Sumber:
• Hasil Penafsiran citra Landsat 7 ETM+ liputan tahun 2009/2010, Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber
Daya Hutan (Data Hasil Pencermatan per Desember 2011)
• Data digital kawasan hutan dan perairan berdasarkan SK Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan, TGHK serta
mutasi kawasan hutan per Desember 2010,
Perubahan kawasan hutan di Indonesia khususnya Kaltim pada tahun 2011,
telah ditetapkan bahwa KSA dan KPA memiliki luas 2,164.7 ha, HL memiliki
luas 2,751.7 ha, selanjutnya HPT seluas 4,613.0 ha, HP memiliki luas 5,121.7 ha,
terakhir adalah APL seluas 4,855.1 ha.Dapat disimpulkan bahwa Hutan Produksi
memiliki kawasan yang lebih luas dibandingkan Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam.
47
Data tersebut telah diolah berdasarkan Buku Statistik Kehutanan Tahun 2011,Kementerian
Kehutanan, Jakarta, Juli 2012
21
Luas kawasan hutan di Kaltim tidak terlepas dari deforestasiyang terjadi pada
provinsi tersebut, hal ini salah satunya diakibatkan oleh penebangan liar dan dapat
dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel II.A.1.3. Angka Deforestasi di Dalam dan di Luar Kawasan Hutan
Per Provinsi Periode 2009/2010 (Ha/Th).48
KAWASAN HUTAN
PROVINSI
KALIMANTAN
TIMUR
KSAKPA
A. Hutan Primer
HPK
HUTAN TETAP
HL
HPT
HP
Jumlah
APL
TOTAL
Jumlah
54.4
255.0
248.0
101.8
759.2
-
759.2
24.6
783.8
640.5
2,586.8
8,248.6
24,875.2
36,351.1
-
36,351.1
5 6,420.8
92,771.9
C. Hutan Lainnya
*
-
-
24.0
2,758.6
2 ,782.6
-
2,782.6
597.6
3,380.2
TOTAL
20,794.9
2,841.8
8,520.6
27,735.6
39,893.0
-
39,893.0
57,042.9
96,935.9
B. Hutan
Sekunder
Sumber:
• Data digital Hasil Penafsiran citra Landsat 7 ETM+ liputan tahun 2005/2006 dan 2009/2010, Direktorat Inventarisasi
dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (Data Hasil Pencermatan per Desember 2011)
• Data digital kawasan hutan dan perairan berdasarkan SK Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan, TGHK serta
mutasi kawasan hutan per Desember 2010,
Sesuai dengan tabel diatasdeforestasi atau pengrusakan yang terjadi di Kaltim,
pada KSA dan KPA seluas 20,794.9 m2, HL 2,841.8 m2, HPT8,520.6 m2, dan HP
27,735.6 m2. Dapat disimpulkan bahwa luas kawasan Hutan Produksi berkurang
sangat tinggi dibandingkan dengan kawasan yang lainnya.
48
Data tersebut telah diolah berdasarkan Buku Statistik Kehutanan Tahun 2011, Kementerian
Kehutanan, Jakarta, Juli 2012
22
TabelII.A.1.4. Luas Kawasan Hutan Kalimantan Timur49
Kalimantan Timur
Tahun 2001
Tahun 2009-2010
Tahun 2011
Luas (ha)
14,651,553 ha
14,651,100 ha
14,611,207 ha
Deforestasi
453,000 ha
39,893 ha
-
Persentase
3.10
0.27
Pada tahun 2001, luas kawasan hutan tetap di Indonesia, khususnya
Kalimantan Timur mencapai 14,651,553 ha,50 dan mengalami penurunan luas
kawasan pada tahun 2009 sampai 2010 menjadi 14,651,100 ha51akibat adanya
penurunan luas kawasan hutan sebesar 453,000 ha atau dengan persentase sebesar
3,10 persen. Namun, melihat kondisi kawasan hutan pada tahun 2011 itu, maka
telah terjadideforestasi atau kerusakan hutan yang mencapai 39,893 ha atau
dengan persentase sebesar 0.27 persen.52
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa luas kawasan hutan Indonesia mengalami
perubahan yang cukup banyak dan semakin berkurangnya kawasan hutan tetap
Indonesia, dimana jumlah luas kawasan pada tahun 2011 adalah 14,611,207 ha.
A.2 Kondisi Hutan di Kalimantan Barat
Selanjutnya adalah propinsi di bagian barat Pulau Kalimantan, yaitu
Kalimantan Barat yang memiliki luas daratan Indonesia sekitar 544.150,07 km2,
serta memiliki delapan kabupaten, satu kotamadya, 128 kecamatan, dan 1.444
49
Data tersebut telah diolah dari beberapa sumber yaitu, SK Menteri Kehutanan No. 79/KptsII/2001 dan Bambang.Statistik Kehutanan Indonesia 2011. Jakarta. 2012, h. 17,24
50
Bambang Soepijanto. Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2011. 2012, h. 11
51
Bambang Soepijanto. 2012, h. 17
52
Bambang Soepijanto. 2012, h. 24
23
desa, terletak antara 108’30” Bujur Timur dan 114’10” Bujur Barat serta diantara
2’05” Lintang Utara dan 3’05” Lintang Selatan.53
Wilayah Kalimantan Barat memiliki tiga fungsiyang sama dengan
Kalimantan Timur, yaitu, sebagai kawasan hutan konservasi, kawasan hutan
lindung, dan kawasan hutan produksi.54
Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 259/Kpts-II/2000
pada 23 Agustus 2000 menunjuk kawasan hutan dan perairan di Provinsi
Kalimantan Barat dengan rincian sebagai berikut:
Tabel II.A.2.1. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 259/Kpts-II/200055
No
Penunjukan/Fungsi Hutan
Kawasan Suaka Alam dan KAwasan Pelestarian Alam (darat dan perairan)
a.Cagar Alam
b.Taman Nasional
c.Taman Wisata Alam
d.Suaka Alam Laut
•
Dataran
•
perairan
1
Luas
153.275 ha
1.252.895 ha
29.310 ha
2
Hutan Lindung
22.215 ha
187.885 ha
2.307.045 ha
3
Hutan Produksi Terbatas
2.445.985 ha
4
Hutan Produksi
2.265.800 ha
5
Hutan produksi yang dapat dikonversi
514.350 ha
9.178.760 ha
JUMLAH
Sumber: SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 259/Kpts-11/2000. Tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan
di wilayah Provinsi Kalimantan Barat.
53
Sukaryadi. Potret Hutan Provinsi Kalimantan Barat. 2011, h. 1
http://humasplanologi.dephut.go.id/sekdit/index.php?option=com_content&view=article&i
d=102&Itemid=109&lang=en. Diakses pada 4 Juli2013
55
Data tersebut diolah berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.
259/Kpts-II/2000 pada 23 Agustus 2000
54
24
Kalimantan Barat memiliki beberapa suku bangsa, yaitu, Melayu dan Daya
(Iban, Kendayan, Kayan, Embaloh, Taman, Kantuk, Bugau, Bukat, Punan).
Wilayah Kalimantan Barat 65 persen terdiri dari hutan dan termasuk hutan tropis.
Oleh sebab itu, kawasan hutannya kaya akan berbagai jenis kayu. Beberapa
nama kayu hasil hutan tropis ini adalah ramin, meranti, jelutung, medang, dan
kayu besi.56
Indonesia memiliki beberapa kategori kawasan hutan tetap yang terdiri atas,
Kawasan Suaka Alam (KSA), Kawasan Pelestarian Alam (KPA), Hutan Lindung
(HL), Hutan Produksi Terbatas (HPT), dan Hutan Produksi (HP). Sedangkan
Hutan Tetap yang dapat dikonversi (HPK) dan Area Penggunaan Lain (APL)juga
dimasukkan sebagai salah satu kategori untuk melihat sejauh mana perubahan
kawasan hutan di Indonesia.57
Tabel II.A.2.2. Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Dalam dan Luar
Kawasan Hutan Berdasarkan Penafsiran Citra Satelit Landsat 7
Etm+2009/2010.58
KAWASAN HUTAN
PROVINSI
KALIMANTAN
BARAT
TOTAL
HUTAN TETAP
Jumla
h
HPK
APL
Jumlah
%
KSAKPA
HL
HPT
1,253.2
1,793.9
1,831.3
765.9
5,644.3
279.2
5,923.6
780.0
6,703.6
46.0
- Hutan Primer
957.3
966.5
575.0
24.5
2,523.4
3.4
2,526.7
18.4
2,545.1
17.5
- Hutan Sekunder
295.9
827.4
1,256.3
732.9
3,112.4
275.9
3,388.3
758.0
4,146.3
28.5
-
-
-
8.5
8.5
-
8.5
3.6
12.2
0.1
A. Hutan
- Hutan Tanaman*
HP
Jumlah
56
Redaksi Ensiklopedi Indonesia. Ensiklopedi Indonesia seri Geografi”Indonesia”. 1990, h.
154
57
Boen M Purnama. Informasi Umum Kehutanan. 2002, h. 19
Data tersebut telah diolah berdasarkan Buku Statistik Kehutanan Tahun 2011, Kementerian
Kehutanan, Jakarta, Juli 2012.
58
25
B. Non Hutan
C. Tidak ada data
TOTAL
315.3
513.2
614.7
1,499.9
2,943.1
235.1
3,178.2
4,690.8
7,868.9
54.0
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1,568.6
2,307.0
2,446.0
2,265.8
8,587.4
514.4
9,101.8
5,470.8
14,572.5
100.0
Sumber:
• Hasil Penafsiran citra Landsat 7 ETM+ liputan tahun 2009/2010, Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber
Daya Hutan(Data Hasil Pencermatan per Desember 2011)
• Data digital kawasan hutan dan perairan berdasarkan SK Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan, TGHK serta
mutasikawasan hutan per Desember 2010,
Perubahan kawasan hutan di Indonesia khususnya Kalbar pada tahun 2011,
telah ditetapkan bahwa KSA dan KPA memiliki luas 1,568.6 ha, HL memiliki
luas 2,307.0 ha, selanjutnya HPT seluas 2,446.0 ha, HP memiliki luas 2,265.8 ha,
terakhir adalah APL seluas 5,470.8 ha. Dapat disimpulkan bahwa Area
Penggunaan lain memiliki kawasan yang lebih luas dibandingkan Kawasan Suaka
Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Luas kawasan hutan di Kalbar tidak terlepas dari deforestasi yang terjadi pada
provinsi tersebut, hal ini salah satunya diakibatkan oleh penebangan liardapat
dilihat pada tabel dibawah ini:
26
Tabel II.A.2.3. Angka Deforestasi di Dalam dan di Luar Kawasan Hutan
Per Provinsi Periode 2009/2010 (Ha/Th).59
KAWASAN HUTAN
PROVINSI
HUTAN TETAP
KALIMANTAN
BARAT
KSA-
HL
KPA
A. Hutan Primer
B. Hutan Sekunder
HP
Jumlah
APL
TOTAL
Jumlah
-
-
-
-
-
-
-
-
-
17781.4
4,984.8
12,226.7
14,340.3
32,333.3
5,714.0
38,047.3
56,500.8
94,548.1
C. Hutan Lainnya *
TOTAL
HPT
HPK
-
-
-
-
-
-
-
-
-
17 781.4
4,984.8
12,226.7
14,340.3
32,333.3
5,714.0
38,047.3
56,500.8
94,548.1
Sumber:
•
Data digital Hasil Penafsiran citra Landsat 7 ETM+ liputan tahun 2005/2006 dan 2009/2010, Direktorat
Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan(Data Hasil Pencermatan per Desember 2011)
•
Data digital kawasan hutan dan perairan berdasarkan SK Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan, TGHK serta
mutasi kawasan hutan per Desember 2010,
Sesuai dengan tabel diatas bahwa deforestasi atau pengrusakan yang terjadi di
Kaltim, pada KSA dan KPA seluas 17,781.4 m2, HL 4,984.8 m2, HPT 12,226.7
m2, dan HP 14,340.3 m2. Dapat disimpulkan bahwa luas KSA dan KPA berkurang
sangat tinggi dibandingkan dengan kawasan yang lainnya.
Tabel II.A.2.4. Luas Kawasan Hutan Kalimantan Barat60
Kalimantan Barat
Luas (ha)
Deforestasi
Persentase
Tahun 2000
9,178,760 ha
591,360 ha
6.44
Tahun 2009-2010
8,587,400 ha
32,333 ha
0.38
Tahun 2011
85,550,67 ha
-
-
59
Data tersebut telah diolah berdasarkan Buku Statistik Kehutanan Tahun 2011, Kementerian
Kehutanan, Jakarta, Juli 2012
60
Data tersebut telah diolah dari beberapa sumber yaitu, SK Menteri Kehutanan dan
Perkebunan No. 259/Kpts-11/2000 danBambang.Statistik Kehutanan Indonesia 2011. Jakarta.
2012, h. 16,23
27
Pada tahun 2000, kawasan hutan di Kalimantan Barat mencapai 9,178,760
ha61 sampai pada akhirnya menurun hingga menjadi 8,587,400 ha62 pada tahun
2009 hingga 2010. Penurunan luas kawasan hutan inisebesar 591,360 ha atau
dengan persentase sebesar 6.44 persen. Namun, pada tahun 2011, luas kawasan
hutan di Kalimantan Barat tidak terlalu berkurang banyak dibanding tahun 2009.
Yaitu, mencapai 85,550,670 ha. Berkurangnya luas kawasan hutan tetap
diakibatkan karena adanya deforestasi atau kerusakan hutan sebesar 32,333 ha
atau dengan persentase sebesar 0.38 persen.63
A.3 KondisiHutan di Sumatera dan Papua
Kawasan yang menjadi wilayah deforestasi selain Kalimantan Timur dan
Kalimantan Barat adalah kawasan hutan Sumatera dan Papua.sehingga dapat
dilhat pada tabel berikut:
Tabel II.A.3.1. Luas Kawasan Hutan Papua64
Papua
Tahun 1999
Tahun 2009-2010
Tahun 2011
Luas (ha)
42,224,840.ha
24,626,600ha
24,605,607ha
Deforestasi
17,598,240ha
20,993 ha
-
Persentase
41.68
0.08
-
Pada tahun 1999, kawasan hutan di Papua mencapai 42,224,840 ha65 sampai
pada akhirnya menurun hingga menjadi 24,626,600 ha66 pada tahun 2009 hingga
2010.Penurunan luas kawasan hutan ini sebesar 17,598,240 ha atau dengan
61
Bambang Soepijanto. Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2011. 2012, h. 11
Bambang Soepijanto. 2012, h. 16
63
Bambang Soepijanto. 2012, h. 23
64
Datatersebut telah diolah dari beberapa sumber yaitu, SK Menteri Kehutanan dan
Perkebunan No.891/Kpts-II/1999 14 Oktober 1999 dan Bambang.Statistik Kehutanan Indonesia
2011. Jakarta. 2012, h. 11, 19, 25
65
Bambang Soepijanto. Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2011. 2012, h. 11
66
Bambang Soepijanto. 2012, h. 19
62
28
persentase sebesar 41.68 persen. Namun, pada tahun 2011, luas kawasan hutan di
Papua tidak terlalu berkurang banyak dibanding tahun 2009. Yaitu, mencapai
24,605,607 ha. Berkurangnya luas kawasan hutan tetap diakibatkan karena adanya
deforestasi atau kerusakan hutan sebesar 20,993 ha atau dengan persentase
sebesar 0.08 persen.67
Tabel II.A.3.2. Luas Kawasan Hutan Sumatera68
Sumatera
Tahun 2005
Tahun 2009-2010
Tahun 2011
Luas (ha)
3,742,120 ha
3,689,000ha
3,659,337 ha
Deforestasi
53,120ha
29,663 ha
-
Persentase
1.42
0.8
-
Pada tahun 2005, kawasan hutan di Sumatera mencapai3,742,120 ha69 sampai
pada akhirnya menurun hingga menjadi3,689,000ha70 pada tahun 2009 hingga
2010. Penurunanluas kawasan hutan inisebesar 53,120ha atau dengan persentase
sebesar 1.42 persen. Namun, pada tahun 2011, luas kawasan hutan di Sumatera
tidak terlalu berkurang banyak dibanding tahun 2009. Yaitu, mencapai 3,659,337
ha. Berkurangnya luas kawasan hutan tetap diakibatkan karena adanya deforestasi
atau kerusakan hutan sebesar29,663 ha atau dengan persentase sebesar 0.8
persen.71
Dapat disimpulkan bahwa penyumbang deforestasi paling kecil di Indonesia
pada tahun 2011 adalah wilayah Papua sebesar 0.08 persen, jika dibandingkan
67
Bambang Soepijanto. 2012, h. 25
Data tersebut telah diolah dari beberapa sumber yaitu, SK Menteri Kehutanan dan
Perkebunan No. 44/Menhut-II/2005 16 Februari 2005dan Bambang.Statistik Kehutanan Indonesia
2011. Jakarta. 2012, h. 11, 14, 21.
69
Bambang Soepijanto. Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2011. 2012, h. 11
70
Bambang Soepijanto. 2012, h. 14
71
Bambang Soepijanto. 2012, h. 21
68
29
dengan wilayah Sumatera, Kaltim dan Kalbar. Oleh karena itu, Kalbar menjadi
penyumbang deforestasi paling besar di Indonesia pada tahun 2011 sebesar 0.38
persen.
B. Penyebab Penebangan Liar di Indonesia
Masalah penebangan liar sudah menjadi berita umum yang merupakan
tindakan tidak baik yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi akan tetapi
penebangan liar ini sudah menjadi pekerjaan rutinitas dan kini bukan lagi
merupakan masalah kehutanan saja. Melainkan menjadi persoalan multipihak
yang dalam penyelesaiannya membutuhkan banyak pihak terkait.72
Ada tiga jenis penebangan liar, pertama, yang dilakukan oleh orang atau
kelompok orang, baik yang tinggal di sekitar hutan atau bahkan jauh berada dari
hutan yang tidak mempunyai hak legal untuk menebang pohon. Kedua, dilakukan
oleh perusahaan kehutanan yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam izin yang
dimilikinya. Ketiga, dilakukan oleh orang-orang tertentu yang mengatasnamakan
rakyat.73
Banyaknya kasus penebangan liar di Indonesia telah berdampak negatif
terhadap beberapa faktor, seperti, faktor ekonomi, faktor geografis, dan faktor
penegakan hukum. Adapun penjelasan yang akan dipaparkansebagai berikut:
72
http://www.wwf.or.id/?18621/Jon-Hendra-mantan-pembalak-liar-yang-menjadi-salahseorang-anggota-TPU/ . Diakses pada 4 Juli 2013
73
http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/04/23/problematika-penanganan-illegallogging-di-indonesia-357287.html . Diakses pada 4 Juli 2013
30
B.1 Faktor Ekonomi
Kerugian dari sisi ekonomi yang disebabkan penebangan liar tidak sedikit.
Setiap tahunnya diperkirakan negara Indonesia mengalami kerugian sebesar Rp35
triliun sampai Rp45 triliun. Jumlah ini selalu meningkat setiap tahunnya.74
Di bawah himpitan ekonomi yang semakin berat, tidak jarang mereka
menerima tawaran sebagai penebang liar dengan upah yang cukup menarik.
Namun, lain dengan kenyataan yang ada, upah mereka diberikan hanya sedikit.
Sedangkan keterlibatan mereka sebagai pemain lapangan semakin memperkuat
illegal loggersyang pada akhirnya mereka tergantung dengan satu sistem yang
telah diciptakan para pelaku mafia penebangan liar.75
Selain kerugian yang dialami masyarakat setempat, negara juga mengalami
kerugian yang cukup besar hingga Rp83 milyaratau setara dengan Rp30,3
triliun.76Guna
menanggulangi
permasalahan
ini,
diharapkan
pemerintah
membentuk satuan petugas pemberantasan mafia hutan karena Instruksi Presiden
tidak berpengaruh bagi pelaku penebangan liar.
Salah satu penyebab sulitnya memberantas penebangan liar adalah faktor
wilayah perbatasan, karena kuatnya kerjasama antara masyarakat dan para mafia
dari Malaysia dalam mendukung kelancaran aktifitas penebangan liar.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Barat
menengarai, pembalakan liar di wilayah perbatasan Kalimantan Barat yang
74
Siti Zulfah. Tindak Pidana Illegal logging Perspektif Hukum Islam dan Hukum positif.
2006, h. 43
75
http://www.kabarindonesia.com/beritaprint.php?id=20081028134227. Diakses pada 4 Juli
2013
76
http://news.detik.com/read/2010/07/29/153943/1409542/10/-negara-rugi-rp-83-miliar-hariakibat-illegal-logging. Diakses pada 29 April 2013
31
selanjutnya diselundupkan ke wilayah Serawak, Malaysia, hingga saat ini masih
terus terjadi. Modus yang digunakan adalah memanfaatkan kayu hasil tebangan
saat pembersihan lahan untuk perkebunan kelapa sawit skala besar yang dikelola
pihak swasta.77
Di sisi lain, adanya oknum aparat yang menjadi cukong kayu. Sebagimana di
beritakan oleh harian kompas bahwa Brigjen Nata Kesuma mendapat amanah
langsung dari Kapolri Jenderal Sutanto, menyusul pencopotan jabatan Kapolda
Brigjen Zainal yang dinilai gagal memberantas pembalakan liar. Zainal dicopot
Kapolri, bersama tiga perwira lainnya terkait kasus penebangan hutan secara liar
di Kabupaten Ketapang.
Zainal dituding turut melindungi cukong kayu. Nata Kesuma pun diberi
amanah untuk memangku jabatan Kapolda Kalbar, sejak 15 April 2008 lalu.
Kapolri
mengeluarkan
keputusan
perpindahan
jabatan
bernomor
Skep/133/IV/2008/15 April 2008 tentang Pemberhentian dari dan Pengangkatan
dalam Jabatan di lingkungan Polri.78
Hal ini terjadi karena kurangnya rasa nasionalisme bangsa Indonesia dan
merupakan akibat dari kesenjangan ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat di
perbatasan dibandingkan masyarakat di bagian wilayah Indonesia lainnya serta
masyarakat di negara tetangga Malaysia.
77
http://regional.kompas.com/read/2008/11/03/20481589/Pembalakan.Liar.di.Perbatasan.Kal
bar-Serawak.Masih.Terjadi. Diakses pada 5 Juli 2013
78
http://regional.kompas.com/read/2008/04/29/21550833/Kapolda.Kalbar.Pertaruhkan.Jabata
n. Diakses pada 5 Juli 2013
32
B.2 Faktor Geografis
Kalimantan Barat merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang
berbatasan langsung dengan negara asing. Dilihat dari banyaknya garis
perbatasan,maka hal ini merupakan salah satu faktor terjadinya praktik
penebangan liar. Sebab,banyaknya patok-patok perbatasan yang
dibuat telah
bergeser masuk ke wilayah Indonesia atau bahkan hilang sama sekali. Misalkan,
perbatasan darat dengan Malaysia yang sering hilangnya patok-patok pembatasan
wilayah. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus berupaya menyelesaikan
lintas batas Indonesia dan Malaysia dengan membuat kebijakan atau undangundang batas wilayah negara.79
Adapun batas-batas wilayah Kalimantan Barat, yaitu, bagian utara adalah
serawak (Malaysia), bagian selatan adalah Laut Jawa dan Kalimantan Tengah,
bagian timur adalah Kalimantan Timur, dan terakhir bagian barat adalah Laut
Natuna dan selat Karimata.80
Adanya jalan darat antara Kalimantan dan Malaysiatelah menjadi salah satu
perantara untuk menjalankan kegiatan yang ilegal.Sebab, hanya perlu menempuh
sekitar enam sampai delapan jam perjalanan dari Pontianak menuju Entinkong
dan terakhir sampai di Kuching, Malaysia. Hal ini dapat dilihat dalam peta
berikut:81
79
Awani Irewati. Jurnal Penelitian Politik:Sikap Indonesia dalam Menghadapi Kejahatan
Lintas Negara: Illegal logging di Kalbar dan Kaltim. 2005, h. 94
80
http://www.kalbarprov.go.id/profil.php?id=9. Diakses pada 29 April 2013
81
http://www.pu.go.id/publik/ind/produk/info_peta/infrastruktur/flash/html/images/kabupaten
/kalbar/kalbarrtrw.htm. Diakses pada 29 April 2013
33
GambarII.B.2.1. Peta Kalimantan Barat
Sumber: Bappeda Propinsi Kalimantan Barat dan RTRWN
Selain Kalimantan Barat, sebelah utara Kalimantan Timur berbatasan dengan
Sabah (Malaysia), bagian timur berbatasan dengan Laut Sulawesi dan Selat
Makasar, dan sebelah selatan berbatasan dengan Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Tengah.82Hal ini dapat dilihat dalam peta berikut:83
82
http://www.kaltimprov.go.id/halaman-20-kaltim-green.html. Diakses pada 29 April 2013
http://www.pu.go.id/publik/ind/produk/info_peta/infrastruktur/flash/html/images/kabupaten
/kaltim/kaltimrtrw.htm. Diakses pada 29 April 2013
83
34
Gambar II.B.2.2. Peta Kalimantan Timur
Sumber: Bappeda Propinsi Kalimantan Timur dan RTRWN
B.3 Faktor Penegakan Hukum
Permasalahan mendasar yang dihadapi bagi penegak hukum dalam
memberantas penebangan liar termasuk dalam kategori kejahatan yang
terorganisir adalahadanya pemeran utama (intelectual actor) dan pelaku
materialnya.84 Pelaku material adalah buruhpenebang kayu yang hanya dibayar
dengan upah kecil. Sedangkan pemeran utama adalah pemilik modal (cukong),
84
http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/04/23/problematika-penanganan-illegallogging-di-indonesia-357287.html. Diakses pada 4 Juli 2013
35
pembeli, penjual, dan TNI atau Polri, aparat pemerintah, maupun tokoh
masyarakat.85
Kerja sama yang dilakukan secara rapi dan teratur ini telah membuat praktik
penebangan liar sulit diberantas. Oleh karena itu, pemeran utama sangat susah
ditangkap dan hanya pelaku biasa seperti penebang kayu, pengemudi, atau
nakhoda kapal yang dapat ditangkap.86
Minimnya hukuman bagi pelaku kejahatan kehutanan dalam praktik ini,
menimbulkan suatu pemikiran bahwa tidak adanya ketidakadilan. Disatu sisi,
masyarakat kecil yang mengambil sejumlah kecil hasil hutan untuk penyambung
hidupnya. Disisi lain, mereka pun terlibat dalam membantu penebangan kayu dan
dikenakan sanksi hukuman penjara. Sementara itu, para mafia penebangan kayu
liar dan pihak-pihak lain justru mendapatkan keuntungan yang sangat besar dan
mereka dibiarkan bebas dan menikmati hasil kejahatannya.87
C. Respon Pemerintah Indonesia terhadap Penebangan Liar
Awal tahun 1970 hutan sudah mulai dimanfaatkan dan dipersiapkan untuk
masa yang akan datang. Hal ini tampak dari pendapatan devisa yang besar,
peningkatan pendapatan, mendorong pembangunan wilayah, dan penyerapan
tenaga kerja. Sedangkan jika dilihat dari segi negatif, hutan sudah menjadi hutan
yang rusak karena tingginya deforestasi atau pengrusakan hutan dengan sengaja,
85
http://regional.kompas.com/read/2008/04/29/21550833/Kapolda.Kalbar.Pertaruhkan.Jabata
n. Diakses pada 5 Juli 2013
86
http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/04/23/problematika-penanganan-illegallogging-di-indonesia-357287.html. Diakses pada 4 Juli 2013
87
http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/04/23/problematika-penanganan-illegallogging-di-indonesia-357287.html. Diakses pada 4 Juli 2013
36
kecilnya kawasan hutan primer, serta luasnya hutan.Disamping itu, terdapatnya
ketidakstabilan
perekonomian
rakyat
atau
ketimpangan
sosial
ekonomiantarkelompok masyarakat maupun antarwilayah.88
Penebangan liar sudah sangat memprihatinkan setelah berbagai upaya
perlindungan dan pengamanan hutan, baik itu berupa operasi pengamanan
fungsional, gabungan dan operasi khusus, serta berbagai tim koordinasi yang
bekerjasama melibatkan semua instasi terkait dan keahlian, namun tetap saja
pemerintah tidak dapat menanganinya.
Selain itu juga adanya keterbatasan dilingkungan pemerintah menjadi faktor
penghambat
penanggulangan
penebangan
liar.
Yaitu,
kurangnya
sarana
danprasarana operasi pengamanan hutan yang diperlukan serta sedikitnya tenaga
atau aparat yang mau menindaklanjuti permasalahan ini.
Oleh karena itu, meningkatnya penebangan liar telah menyebabkan tingginya
penyelundupan kayu ke luar negeri khususnya negara tetangga. Kegiatan liar ini
telah sampai ke kawasan hutan yang seharusnya tidak boleh tersentuh manusia
seperti, kawasan-kawasan konservasi dan hutan lindung (taman-taman nasional
Tanjung Puting dan Gunung Leuser).89
Kerugian pun tidak dapat dihindari dan berdampak kepada semua aspek
misalnya, ekonomi, sosial budaya, politik, lingkungan. Dan yang paling
memberatkan adalah hilangnya kesempatan untuk memanfaatkan keragaman hasil
hutan di masa depan. Selain itu, kerusakan lingkungan tidak dapat
88
Nursanti.Deforestasi dan Degradasi Hutan di Indonesia. Jurnal Agronomi Vol. 12 No. 1,
Januari - Juni 2008, h. 54
89
http://regional.kompas.com/read/2009/10/26/18431034/17.726.Hektar.Hutan.TNGL.Rusak.
Diakses pada 5 Juli 2013
37
disembunyikan. Yang paling utama adalah berubahnya iklim, menurunnya
produktivitas lahan, erosi, banjir, dan terakhir hilangnya keanekaragaman hayati.
Pemerintahtelahmengusahakan untuk menangani kasus penebangan liar
dengan cara operasi hutan (pemberantasan penebangan liar) sejak
dikeluarkannya PP No. 28 tahun 1985 tentang perlindungan hutan, antara
lain, operasi terpadu Wira Wanan Praja (Naraja) yang melibatkan unsur-unsur
militer, pembentukan TKPH dan TKK, operasi bersama bea cukai, dan
operasi-operasi rutin kehutanan di daerah. Akan tetapi, tetap saja operasi
tersebut tidak menghentikan kegiatan penebangan liar.90
Pemerintah hanya melihat penebangan liar sebagai permasalahan biasa.
Seharusnya, pemerintah dapat lebih tegas lagi terhadap pola-pola kegiatan
penebangan liar yang sering terjadi, yang didukung dengan jalur pengangkutan
kayu, terdapatnya pelaku atau pemeran penebangan liar, dan terciptanya sistem
jual beli. Sehingga perputaran ini dapat saling menguntungkan bagi masyarakat.
D. Kebijakan Pemerintah Indonesia terhadap Penebangan Liar di Hutan
Indonesia
Dalam sidang Consultative Group on Indonesia(CGI) di Jakarta tanggal 1-2
Februari 2000, pemerintah Indonesia menyampaikan delapan butir komitmen
menyangkut penebangan liar, salah satunya adalah, to invite cooperation and
coordination of other minister to Impose strong measures against illegal logger
especially those operating with in national park, and closure of illegal sawmills.91
Strategi penanggulangan penebangan liar yang dapat dilakukan antara lain:92
1. Komitmen nasional: Perlu dibangun suatu komitmen nasional untuk
menanggulangi penebangan liar dan bentuk-bentuk perusakan sumber
daya hutan lainnya.Sebab, hutan berperan sebagai sistem penyangga
kehidupan serta memiliki dampak kerusakan sumber daya yang luas.
90
Boen M Purnama dan Heru Bazuki. Masalah Penebangan Liar dari Prespektif Pemerintah.
2000, h. 4
91
http://storage.jak-stik.ac.id/ProdukHukum/kehutanan/lok_08-090800.pdf. Diakses pada 4
Juli 2013
92
Boen M. Purnama dan Heru Bazuki. 2000, h. 9-10
38
2. Meningkatkan keterlibatan masyarakat: Pengendalian penebangan liar
perlu dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara langsung dalam
pengelolaan hutan. Bukan sebagai buruh, tetapi sebagai bagian penting.
3. Penegakkan Hukum dan Penataan Kelembagaan: melakukan upaya
penegakan hukum secara tegas dan konsukuen sebagai dasar pengelolaan
sumber daya hutan yang menjamin terselenggaranya kelestarian fungsi dan
manfaat.
4. Peningkatan Kapasitas Pengamanan Hutan: selain meningkatkan intensitas
pengamanan, petugas pengaman perlu dilengkapi dengan fasilitas kerja
serta insentif berupa gaji dan tunjangan asuransi. Kecanggihan teknologi
dapat dijadikan saran untuk mendeteksi pencurian melalui satelit yang
akan dapat membantu dalam mendeteksi kecenderungan dan perubahan
yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut.
Departemen Kehutanan telah bekerjasama dengan Mabes Tentara Nasional
untuk membasmi penebangan liar pada 15 Januari 2003.Kerjasama ini diperluas
untuk Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan konservasi alam (PHKA) dan
Mabes
Angkatan
Laut.Yang
dihasilkan
dari
kerjasama
ini
adalah
keberhasilanmenangkap delapan kapal angkutan yang mengandung 26.564m3 log.
Tahun 2002 telah ditangkap lima kapal yang mengangkut 2.500 m3 dan delapan
kapal 26.564 m3 senilai Rp63,6 miliar.93
Berdasarkan Instruksi Presiden No. 4 tahun 2005 tentang pemberantasan
penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya,94pemerintah
memiliki tindakan tegas terhadap setiap orang atau badan yang melakukan
penebangan liar sehingga dapat terselesaikan dengan cepat untuk memberantas
penebangan kayu ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah
Republik Indonesia.
93
Tunas,vol.1,No.8,Februari2003.Dikutip
dalam
Herman
Hidayat.
Politik
Lingkungan:Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi. 2011, h. 190
94
Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 4 Tahun 2005. Tentang pemberantasan
penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik
Indonesia.
39
Selanjutnya, inpres itu juga ditujukan kepada Menteri Koordinator Bidang
Politik, Hukum, dan Keamanan, yakni dengan cara mengkoordinasi instasi terkait,
melaporkan setiap tiga bulan kepada presiden atas pelaksanaan pemberantasan
penebangan kayu secara liar, meningkatkan penegakan hukum dengan kepolisian
dan kejaksaan, memberikan
insentif bagi pihak-pihak yang berjasa dalam
menangani kasus ini, menginstrusikan kepada aparat bea cukai untuk
meningkatkan pengawasandan penindakan terhadap lalu lintas kayu serta
melakukan instruksi ini dengan penuh tanggung jawab.
Akan tetapi, peraturan tersebut tidak membuat takut para pelaku penebang
liar. Kesimpulannya, jika peraturan tertulis tidak membuat jera para pelaku, maka
harus ada tindakan langsung dari pemerintah atau aparat-aparat yang berada
dalam sektor kehutanan.
Kalimantan Timur memiliki cara sendiri untuk memperbaiki kerusakan hutan
yang diakibatkan oleh aktivitas penebangan liar. Seperti, kebijakan yang di
terapkan oleh Pemerintah Kalimantan Timur sebagai upaya menjaga lingkungan
dan menghijaukan kembali Kalimantan Timur (Kaltim).
Kebijakan tersebut dinamakan Kaltim Green untuk periode 2010-2013 yang
bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat Kaltim, baik itu secara
ekonomi, sosial, budaya, dan kualitas lingkungan hidupnya. Kedua,
mengurangi ancaman bencana ekologi, seperti, banjir, kebakaran, dan
penebangan liar di seluruh wilayah Kaltim. Ketiga, mengurangi terjadinya
pencemaran dan pengerusakan kualitas ekosistem darat, air, dan udara.
Keempat, meningkatkan pengetahuan dan melembagakankesadaran
dikalangan masyarakat Kaltim akan pentingnya sumber daya terbaharukan
dan pemanfaatan secara bijak bagi sumber daya alam tidak terbaharukan.95
Oleh karena itu, untuk menekan laju penebangan liar Ali Maskur (anggota
BPK Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup)
95
http://www.kaltimprov.go.id/halaman-20-kaltim-green.html Diakses pada 29 April 2013
40
menegaskan.Pertama, peningkatan pengawasan oleh aparat dinas kehutanan
terhadap izin pengusahaan hutan. Kedua, adanya komunikasi yang baik antara
pemerintah daerah dan pusat soal perizinan dengan melihat PP No. 26 Tahun
2008 tentang Perencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Ketiga, menindak
tegas aparat atau pejabat yang terlibat. Keempat, pengetatan sistem virifikasi
legalitas kayu. Kelima, adanya sinergi kerjasama antara dinas kehutanan,
lembaga audit, unit inteligen keuangan, penyedia jasa keuangan, dan
masyarakat sipil.96
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun sangat menginginkan persoalan
penebangan liar ini terselesaikan. Hal ini dilihat dari hasil teleconference dengan
gubernur Kalimantan Timur yang mengatakan bahwa“Ada sindikat yang
melakukan illegal logging. Saya ingatkan semua negara agar tidak menjadi tukang
tadah kayu hasil illegal logging.”97 Sampai saat ini pun Indonesia masih bekerja
keras dalam memerangi penebangan liar dan sangat mengharapkan negara-negara
lain untuk memberikan dukungannya dengan cara menolak masuknya kayuproduk
hasil olahan dari tindakan penebangan liar.
96
http://news.detik.com/read/2010/07/29/153943/1409542/10/-negara-rugi-rp-83-miliar-hariakibat-illegal-logging Diakses pada 29 April 2013
97
http://news.detik.com/read/2011/11/28/131618/1777138/10/sby-jangan-jadi-penadah-kayuillegal-logging. diakses pada 30 April 2013
41
BAB III
PERAN JEPANG DALAM MENGATASI DEFORESTASI
Bab ini memaparkan tentang peranan Jepang dalam mengatasi deforestasi di
Indonesia dari tahun 2008 sampai tahun 2011. Pada bab ini dibagi atas empat
bagian. Pada bagian pertama, akan menjelaskan kerjasama Jepang dibidang
lingkunganhidup internasional guna mengatasi penebangan liar di lingkungan
internasional. Kedua, sejauh mana keterlibatan Jepang pada Sustainable Forest
Management. Ketiga,membahas tujuan Jepang dalam mengatasi penebangan liar
di Indonesia.Terakhir, memaparkan kepentingan Jepang dalam mengatasi
penebangan liar di Indonesia.
A. Kerjasama Jepang di Bidang Lingkungan Hidup Internasional Guna
Mengatasi Penebangan liar di Lingkungan Internasional
Masalah lingkungan merupakan salah satu isu masa kini yang telah mengusik
perasaan semua orang di seluruh dunia karena membahayakan masa depan umat
manusia. Seusai era perang dingin, masalah lingkungan adalah salah satu agenda
politik internasional yang paling dinamis karena mempunyai hubungan yang
serius dengan masalah ekonomi, politik, sosial, budaya, dan teknologi.
Sebenarnya, bencana ekologi telah berdampak pada banyak negara saat ini,
tidak peduli apakah itu negara maju atau berkembang sehingga meningkatkan
kesadaran akan dan perhatian kepada pentingnya memperkuat kerjasama
internasional. Di antara negara maju,Jepang mempunyai posisi yang unik dalam
menangani masalah lingkungan.
42
Selama dua dekade terakhir, terutama sejak tahun 1980-an, Jepang
menghadapi citra negatif tentang sikap lingkungan negaranya dan mendapat
sebutan sebagai predator ekologi.98
Kemudian,Jepang mengubah posisinya yang unik dalam masalah lingkungan
dan memberi kontribusi kepada agenda solusi lingkungan global, terutama sejak
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi tahun 1992. Pasca KTT Bumi pada tahun
1992, Jepang telah berupaya untuk menjadi pemimpin dalam mengatasi masalah
lingkungan, seperti, mengutamakan laju penurunan keanekaragaman hayati,
penanggulangan illegallogging, dan penanggulangandampak perubahan iklim.
Sejak April2006, Pemerintah Jepang telah menerapkan Green Konyuhoo (Japan’s
Green Purchasing Policy).99
Kebijakan tersebut mensyaratkan agar kayu serta produk kayu yang
digunakan sebagai bahan baku harus berasal dari hasil tebangan legal dan
terverifikasi legalitasnya (Goho Wood). Hal ini juga merupakan salah satu upaya
dukungan
Jepang
terhadap
negara-negara
lain
dalam
menanggulangi
masalah illegal logging.100
Pemerintah Jepang terus mempromosikan inisiatif ”Cool Earth Partnership”
yang diluncurkan pada awal tahun 2008 dengan target mengurangi emisi CO2
sebanyak 50 % pada tahun 2050. Juni tahun 2008, Perdana Menteri Fukuda
meningkatkan angka pengurangan emisi jangka panjang menjadi 60-80%
pada tahun 2050, yang kemudian dikenal sebagai Fukuda Vision. Kemudian,
pemerintah menerjemahkan visi ini dengan menyusun Action Plan for
Achieving Low-Carbon Society.Komitmen Jepang dalam penanggulangan
masalah perubahan iklim semakin menonjol setelah Perdana Menteri Kunio
98
https://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=a&id=72219. Diakses pada 5 Mei
2013. Dikutip pada IsnaeniNurul. Jepang dan politik lingkungan global: tinjauan peran
internasional Jepang dalam isu lingkungan hidup. 2006, h. 203-218
99
http://www.indonesianembassy.jp/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=138.
Diakses pada 4 Juli 2013
43
Hatoyama yang terpilih pada 8 September2009 menetapkan midterm
target penurunan emisi CO2 hingga 25% tahun 2020 (berdasarkan tingkat
emisi ditahun 1990). Hal ini jauh lebih tinggi dari pada komitmen
pemerintahan Perdana Menteri Taro Aso yang disampaikan padaJuni 2009,
yaitu 8%.101
Jepang juga melakukan Soft Diplomacy Science and Technology dengan
meluncurkan program Global Environmental Leader untuk mencetak
500
mahasiswa program S2 atau S3 selama lima tahun pada periode 2008-2013 bagi
negara-negara berkembang.102
Dengan demikian, diakui bahwa Jepang telah berubah dari tidak melakukan
apa-apa menjadi melakukan tindakan kongkret dalam menanggapi masalahmasalah lingkungan. Sebagai bagian dari negara industri yang kaya, Jepang secara
konsisten telah berupaya menunjukkan komitmen politik dan ekonomi sesuai
dengan prinsip-prinsip keadilan yang mendasar dalam melindungi lingkungan
global, yaitu semakin memberikan kontribusi kepada permasalahan, maka
semakin besar pula yang harus dibayar.
Namun, seberapa penting Jepang memainkan perannya dalam permasalahan
ini, dapat dilihat dari perbandingan Jepang dalam memberikan bantuannya
kepadaOfficial Development Assistance(ODA) dan memberikan bagiannya untuk
101
http://cintahutan.wordpress.com/author/srimurniningtyas/. Diakses pada 5 Mei 2013.
Tulisan diatas merupakan pembaharuan informasi dari ”Gambaran Umum Kehutanan Jepang”
yang disusun oleh Atase Kehutanan pada tahun 1998/1999 dengan menggunakan informasi dari
sumber-sumber:
• Biodiversity Center of Japan (2009). Japan’s National Survey of the Natural
Environment
• Forestry Agency (2008). Annual Report on Trends in Forest and Forestry Fiscal Year
2007 (Summary)
• Forestry Agency (2009). Annual Report on Trends in Forest and Forestry Fiscal Year
2008 (Summary)
• Japan Overseas Forestry Consultants Association (2009). Forestry in Japan: Seven
items introducing Japanese Forests and Forestry
• Ministry of the Environment (2009. Nature Conservation in Japan (pamphlet)
102
http://cintahutan.wordpress.com/author/srimurniningtyas/. Diakses pada 5 Mei 2013
44
Gross Domestic Product (GDP) dunia serta adanya tanggung jawab historis
Jepang dalam kontribusinya bagi degradasi lingkungan global.Hal ini dapat
dicermati lebih lanjut dengan mempelajari konsistensi kebijakan baru ODA
Jepang dan praktik bisnis Jepang di seluruh dunia.
Jepang juga aktif dalam memberikan bantuan tingkat pemerintah untuk
pembangunan ODA kepada negara-negara sedang berkembang untuk membantu
pembangunan ekonomi dan sosial mereka. Kebijakan dasar dari ODA Jepang ini
meliputi dukungan bagi usaha-usaha mandiri yang dilakukan oleh negara-negara
yang sedang berkembang dan meningkatkan keamanan manusia. Jepang
merupakan salah satu donor terkemuka di dunia dalam hal ODA.103
ODA Jepang diberikan dalam berbagai bentuk. Bantuan hibah, yang tidak
perlu dibayar kembali, diberikan untuk membantu negara-negara yang sedang
berkembang agar dapat memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya di bidang-bidang
pangan, kesehatan, dan pendidikan. Sementara itu, pinjaman diberikan untuk
proyek-proyek besar dengan tujuan membantu pembangunan ekonomi di sebuah
negara, seperti membangun jembatan dan jalan.104
103
http://www.id.emb-japan.go.jp/expljp_14.html. Diakses pada 4 Juli 2013
http://www.id.emb-japan.go.jp/expljp_14.html. Diakses pada 4 Juli 2013
104
45
Gambar III.A.1 ODA (Bantuan Pembangunan Jepang yang Diberikan pada
Tingkat Pemerintah Tahun 2002).105
Bentuk lain dari ODA adalah pengiriman warga Jepang dalam kerangka
relawan kerjasama luar negeri Jepang(Japan Overseas Cooperation Volunteers)ke
negara-negara yang sedang berkembang. Salah satunya adalah Indonesia untuk
berbagi keterampilan dan keahlian mereka di bidang-bidang, seperti, teknologi,
kesehatan, dan pendidikan, kepada rakyat setempat.106
Seiring dengan berjalannya waktu, kerangka kerjasama teknik lebih
terstruktur dan akhirnya pemerintah mendirikan Japan International Cooperation
Agency (JICA) pada 1 Agustus 1974.JICA merupakan institusi resmi Jepang yang
bertanggungjawab atas pelaksanaan kerjasama teknis dengan negara-negara
berkembang berdasarkan atas kesepakatan bilateral antarpemerintah secara
resmi.107
105
http://www.id.emb-japan.go.jp/expljp_14.html. Diakses pada 4 Juli 2013
http://www.id.emb-japan.go.jp/expljp_14.html. Diakses pada 4 Mei 2013
107
http://www.jica.go.jp/english/about/oda/index.html. Diakses pada 5 Juli 2013
106
46
Pada awal berdirinya, JICA hanya memiliki fungsi sebagai lembaga
kerjasama yang secara khusus bertugas untuk menyalurkan bantuan teknik saja.
Namun, pada Oktober 2008, JICA melakukan merger dengan bagian operasi
kerjasama ekonomi luar negeri dari Japan Bank for International Cooperation
(JBIC) menjadi JICA baru.108
Sejak saat itu, JICA mendapatkan tugas untuk melaksanakan tiga Bantuan
Pembangunan Resmi atau Official Development Assistance (ODA), yaitu,
Bantuan Hibah, Kerjasama Teknik, dan Pinjaman ODA. Tujuan dari pembentukan
JICA sejak awal ialah untuk mempromosikan kerjasama internasional bagi
pembangunan ekonomi dan sosial negara-negara berkembang.109
Saat ini, JICA merupakan badan bantuan bilateral terbesar di dunia dengan
besaran anggaran sekitar 10 miliar dolar AS dan beroperasi di sekitar 150 negara
di dunia.110
108
http://www.jica.go.jp/english/publications/jbic_archive/annual/2008/pdf/03.pdf.Diakses
pada 4 Mei 2013
109
http://www.jica.go.jp/indonesia/indonesian/office/others/pdf/brochure01.pdf. Diakses pada
4 Mei 2013
110
http://www.jica.go.jp/indonesia/indonesian/office/others/pdf/brochure01.pdf. Diakses pada
4 Mei 2013
47
Tabel III.A.2. Penyaluran ODA Jepang melalui JICA “Baru”.111
Bantuan
Bilateral
ODA
Bantuan
Multilater
Bantuan Hibah
MOFA
Kerjasama
teknik
JICA
Pinjaman ODA
JBIC
JICA
‘baru”
Dari bagan di atas dapat dilihat bahwa JICA dengan format yang baru
bertanggungjawab dalam menyalurkan bantuan hibah, kerjasama teknik, serta
pinjaman ODA. Meskipun dalam bagan digambarkan bahwa bantuan hibah
disalurkan melalui JICA, akan tetapi beberapa jenis bantuan hibah akan tetap
diberikan langsung oleh Kementerian Luar Negeri Jepang melalui kantor
Kedutaan Besar dalam rangka menjalankan kebijakan diplomatik.112
Dalam perubahannya, JICA juga telah membuat visi serta misi yang baru
sebagai komitmen dalam mencapai tujuannya. Demi mencapai tujuannya ini,
maka JICA merumuskan visi serta misinya sebagai berikut :113
1. Visi Japan International Cooperation Agency adalah, pembangunan yang
inklusif dan dinamis. Berarti JICA akan berusaha mempromosikan
pembangunan yang berdampak pada pengurangan kemiskinan dan
meningkatnya pertumbuhan ekonomi.
2. Misi Japan International Cooperation Agency pertama, fokus pada
agenda global, pemanfaatan pengalaman, dan teknologi yang dimiliki
Jepang secara maksimal sebagai bagian dari masyarakat internasiona.l
111
http://www.jica.go.jp/indonesia/indonesian/office/others/pdf/brochure01.pdf. Diakses pada
4 Mei 2013
112
http://www.jica.go.jp/indonesia/indonesian/office/others/pdf/brochure01.pdf. Diakses pada
4 Mei 2013
113
http://www.jica.go.jp/indonesia/indonesian/office/others/pdf/brochure01.pdf. Diakses pada
4 Mei 2013
48
Dengan memfokuskan perhatiannya pada berbagai permasalahan global
yang dihadapi oleh negara-negara berkembang secara menyeluruh,
seperti, perubahan iklim, penyakit menular, terorisme, dan krisis ekonomi.
Kedua, pengentasan kemiskinan melalui pertumbuhan yang berkeadilan
dengan menyediakan dukungan terhadap pengembangan sumber daya
manusia (SDM), pengembangan kapasitas, peningkatan kebijakan dan
institusi, serta penyediaan prasarana sosial dan ekonomi. Ketiga,
peningkatan tata pemerintahan, dengan menawarkan bantuan bagi
peningkatan berbagai pranata/perangkat dasar yang dibutuhkan oleh
sebuah pemerintahan dan berbagai sistem pelayanan umum yang
didasarkan atas kebutuhan masyarakat secara efektif, serta dukungan bagi
pengembangan institusi dan SDM yang diperlukan untuk mengelola
berbagai pranata tersebut. Selanjutnya keempat, pencapaian ketahanan
manusia, dengan mendukung berbagai upaya dalam rangka peningkatan
kapasitas sosial dan institusi serta peningkatan kemandirian dan
kemampuan diri manusia dalam menghadapi berbagai ancaman.
B. Keterlibatan Jepang pada Sustainable Forest Management
Pada tanggal 2 Mei 2002, Menteri Kehutanan Republik Indonesia menerima
kunjungan delegasi Jepang yang dipimpin oleh Ambassador for Global
Environment and International Economic Affairs. Dalam pembicaraannya, kedua
delegasi sepakat bahwa Deklarasi Bali sebagai tindak lanjut dari Forest Law
Enforcement and Governance (FLEG) pada September 2001 dan dilanjutkan
dalam rangka persiapan World Summit on Sustainable Development (WSSD),
maka perlu membentuk kerangka inisiatif atau partneship dalam rangka
mempromosikan Sustainable Forest Management (SFM) di Asia, yang kemudian
dinamai Asia Forest Partnership (AFP).114
Sejak diluncurkan sidang KTT Dunia tentang Pembangunan Berkelanjutan
atau World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg
pada tanggal 31 Agustus 2002, maka pada tahun 2002, AFP telah menjadi
forum kemitraan regional bidang kehutanan dengan empat "leading partners"
yakni, pemerintah Jepang dan Indonesia mewakili government atau
114
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:LAAZYTBIjJwJ:www1.dephut.g
o.id/index.php/news/details/457&client=firefox-a&hl=en&strip=1. Diakses pada 4 Juli 2013
49
pemerintah, The Center for International Forestry Research (CIFOR)
mewakili Inter-Governmental Organization atau organisasi antar pemerintah,
serta The Nature Conservancy (TNC) mewakili civil society atau organisasi
nonpemerintah atau masyarakat.115
C. Tujuan Jepang dalam Mengatasi Penebangan Liar di Indonesia
Indonesia juga memiliki hutan yang bagus dan luas sehingga Indonesia
disebut “paru-paru dunia”. Akan tetapi, hutan tersebut makin lama makin sempit
dengan pasti. Masalah kerusakan hutan di Indonesia bukan hanya merupakan
masalah
di
dalam negeri
saja,
namun
juga
sudah
menjadi
masalah
internasional. Kerusakan hutan ini terjadi berdasarkan alasan yang sederhana,
yaitu “daripada kayu luar negeri, lebih murah kayu Indonesia”.
Di Jepang dari dulu ramai reboisasi pohon sejenis daun berjari sebagai kayu
bahan bangunan. Akan tetapi, karena dikuasai kayu luar negeri yang lebih murah,
seperti kayu dari Indonesia, maka hutan yang di Jepang sendiri kurang
terawat. Karena pohon-pohon ditanami dalam jarak pendek dan pohon di
antaranya tidak ditebang padahal seharusnya ditebang agar pohon yang sisa
menjadi lebih subur, akibatnya pohon-pohon tersebut menjadi tinggi dengan
kondisi langsing.116
Pohon-pohon yang langsing dan tinggi tersebut sangat lemah jika turun hujan,
saljunya banyak atau datang angin topan besar. Akhirnya mengakibatkan tanah
longsor dan air bah yang terjadi di kota dan desa yang ada di lereng
115
http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/509. Diakses pada 29 April 2013
http://komunikasiij.web.fc2.com/Visi-misi.htm. Diakses pada 4 Mei 2013
116
50
gunung. Masalah ini juga boleh dikatakan sebagai deforestasi yang disebabkan
kayu luar negeri lebih murah daripada kayu Jepang.117
Dapat dilihat bahwa Jepang masih berusaha memenuhi kebutuhan kayu
dengan mengimpor dari negara-negara tropis terutama Indonesia. Jepang menjalin
kerja sama yang erat dengan Indonesia karena ketergantungan Jepang atas hasil
hutan Indonesia. Oleh karena itu, Jepang membantu kelestarian hutan tanaman
industri (HTI) di Indonesia melalui beberapa bentuk bantuan yang dapat dilihat
dari Tabel III.C.1 berikut ini:
Tabel III.C.1. Daftar Proyek/Program Kerjasama Luar Negeri (Kln) di
Lingkup Departemen Kehutanan Tahun 2008-2011118
No
1
2
3
4
5
6
Donor/Nama Proyek /Jangka Waktu Pelaksana/Lokasi
Forest Fire Prevention Project by Initiative of People in Buffer Zone in
Indonesia.
Jepang/ JICA
PHKA
Riau, Jambi Dan Kalimantan Barat
1 Desember 2006-30 Nopember 2009
Program of Community Development of Fire Control in Peat Land Area.
Jepang/JICA
Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan –Ditjen PHKA
Kab. Kubu raya dan kab. Bengkayang-Propinsi Kalbar serta Kab.SiakPropinsi Riau
Juli 2010-Juli 2015
The Project of Support on Forrest Resources Management Through
Leveraging Satelite Image Information.
Jepang/JICA
2008-2011
Strategy for Strengthening Biodiversity Conservation Through
Appropiate national Park Management and Human Resources
Development.
Jepang/JICA
2009-2012
Facilitating the Implementation of National Forestry Strategic Plan
Jepang-JICA
Desember 2009-Nopember 2012
Project on Capacity Building for Restoration Ecosystem in Restoration
Areas
Jepang-JICA
Maret 2010-maret 2015
117
Anggaran Bln
Yen 100.000.000
Yen 530.000
US $ 720.000
Rp 10.649.267.588
Rp 4.913.451.620
-
http://komunikasiij.web.fc2.com/Visi-misi.htm. Diakses pada 4 Mei 2013
Data tersebut telah diolah, berdasarkan Bambang. Buku Statistik Kehutanan Indonesia
tahun 2008-2011. 2012, h. 268-272
118
51
7
8
Forest Preservation Programme
Jepang-JICA
2010-2013
The Project for Mangrove Management Centre (MMC) Region I and II
as the Regional Mangrove Conservation Cooperation.
Jepang-jica
2010-2013
Yen 1.000.000.000
US $ 3.600.000
Sumber: Pusat Kerjasama Luar Negeri
Di antara tujuan batuan Jepang atas hutan Indonesia adalah dengan
memberikan sarana pengembangan perencanaan strategis danpengelolaan hutan,
mengkoordinasikan
dan
membantu
pengelolaanaktivitas,
pengembangan
kebijakan,perencanaan pengelolaanhutan dan mengembangkan dalam optimalisasi
pengelolaan hutan maupun meningkatkankegiatan monitoring pelaksanaan proyek
kerja sama luar negeri, serta pengembangan pembiayaan luar negeri.119
Adapun kegiatan pokok Jepang dan Indonesia dalam menjalankan kerjasama:
1) Operations and Strategies.
2) Membantu kegiatan-kegiatan dalam penyusunanpengembangan kebijakan dan
perencanaan.
3) Membantu kegiatan-kegiatan pengembangan inisiatif dilapangan dalam
penerapan kebijakan-kebijakan baru dalam eradesentralisasi.
4) Kegiatan lain yang diperlukan oleh Departemen Kehutanan.
D. Kepentingan Jepang dalam Mengatasi Penebangan Liar di Indonesia
Pada tahun 2002, lebih dari 200 delegasi menghadiri simposium perhutanan
(Forest Certification Symposiums) yang baru pertama kali diadakan di
Jepang.Dalam forum yang bertujuan memaparkan manfaat sertifikasi hutan, baik
119
http://www.jica.go.jp/english/about/mission/index.html. Diakses pada 4 Juli 2013
52
di dalam maupun di luar Jepang, disimpulkan bahwa kayu Jepang perlu
membenahi diri untukmengurangiketergantungan pada impor.
Data perdagangan kayu dunia menyatakan bahwa Jepang merupakan
negara pengimpor kayu terbesar di duniayang mendatangkan 80% kayu
dan produk kayu lainnya dari luar negeri. Sekitar 50% konsumsi kayu lapis dan
pulp negara tersebut diimpor dari Asia Pasifik.
Pertumbuhan impor kayu lapis Jepang melonjak 4.200 % selama kurun
waktu 10 tahun terakhir. Sementara itu, impor particle board meningkat
sebanyak 1.900 %. Total impor produk kayu tahunan bernilai sekitar 20 miliar
dolar AS.
Data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)
tahun 1992 menyatakan bahwa impor kayu Jepang dari Indonesia tahun 1990
tercatat 69,88 juta dolar AS. Sedangkan impor pulp dan limbah kertas dari
Indonesia tercatat 6,27 juta dolar AS.120
Sektor industri perkayuan di Jepang juga pada saat ini memiliki sekitar 140
asosiasi kehutanan dan perkayuan di tingkat nasional maupun daerah seperti
Japan Federation of Wood Industry Associations (JFWIA) yang telah menetapkan
masing-masing aturan secara spontan untuk memasok kayu dan produk kayu yang
terverifikasi legalitas dan sebagainya, dan dengan sungguh-sungguh berupaya
untuk mengatasi masalah penebangan liar.121
Jepang tampak begitu tergantung pada impor kayu. Kendati hutan
Jepang mencakup 68% dari kawasan teritorial negeri itu, namun industri domestik
120
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1996/09/13/0017.html. Diakses pada 5 Juli 2013
http://www.goho-wood.jp/world/guideline/id.html#wrapper. Diakses pada 8 Mei 2013
121
53
tidak berkembang. Dengan menggalakkan sertifikasi hutan (forest certification) di
Jepang sekarang ini, diharapkan akanmendorong industri kayu setempat dan
mengurangi ketergantungan pada impor.
Pada tahun 1981 dilaporkan, 12 perusahaan Jepang beroperasi di Indonesiadi
areal seluas 1.362.000 ha. Pada tahun 1980-an, impor kayu jenis plywood untuk
Jepang dari Indonesia mencapai sekitar 95 % dari semua impor negeriitu.122
Pada tahun 2012, PT Pleasure Life Create Indonesia, anak usaha dari J Cool
Internasional siap membangun pabrik pengolahan kayu lapis dengan nilai
investasi Rp100 miliar di Cianjur, Jawa Barat. Rencananya, pabrik tersebut
akan mengolah kayu sengon dan jabon menjadi triplek.Alasan Pleasure Life
membangun pabrik pengolahan di Cianjur adalah karena bahan bakunya
diambil dari lokasi dekat pabrik. Manfaat lainnya membangun pabrik di
Cianjur karena menghemat distribusi bahan baku."Bahan baku yang
digunakan dalam industri kayu lapis ini dipasok dari perusahaan perkebunan
di Cianjur," kata Katsuhito Segawa, Presiden Direktur PT. J Cool
International Indonesia, Minggu (24/2/2013).123
Namun, untuk menjaga pasokan bahan baku, pabrik juga akan mendatangkan
kayu sengon dan jabon dari Jawa Tengah. Perusahaan menargetkan bisa
memproduksi 130 meter kubik kayu lapis per hari. "Semuanya akan diekspor
ke Jepang untuk memenuhi permintaan pasar di sana yang memang terbilang
besar," jelas Segawa.Pabrik pertama perusahaan berdiri pada Juni 2012.
Sementara itu, pabrik kedua direncanakan selesai dibangun pada Agustus
2013.124
Negara Jepang punya kepentingan besar atas industri Hutan Tanaman Industri
(HTI) Indonesia. Itu sebabnya, sejumlah ilmuwan Jepang meneliti pengelolaan
HTI lestari dan berkelanjutan di lahan gambut.125
122
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1996/09/13/0017.html. diakses pada 5 Juli 2013
http://www.tribunnews.com/2013/02/24/jepang-bangun-pabrik-pengolahan-kayu-dicianjur. Diakses pada 8 Mei 2013
124
http://www.tribunnews.com/2013/02/24/jepang-bangun-pabrik-pengolahan-kayu-dicianjur. Diakses pada 8 Mei 2013
125
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/01/6/127638/-JepangBerkepentingan-Besar-atas-Industri-HTI-Indonesia. Diakses pada 4 Juli 2013
123
54
Hal tersebut diungkapkan pakar gambut dari Institut Pertanian Bogor (IPB)
Budi Indra Setiawan, Jumat (1/2). Budi yang juga Ketua Measurement, Reporting
and Verification (MRV) Kementrian Kehutananmengatakan Indonesia punya
potensi lahan gambut yang sangat besar.126
Budi Indra Setiawan mengatakan penelitian itu memperlihatkan besarnya
kepentingan Jepang terhadap perkembangan industri HTI dan kertas Indonesia.
"Negara Jepang sangat membutuhkan bahan baku berupa bubur kertas dari
Indonesia untuk memenuhi tingginya permintaan kertas di sana," jelasnya.127
Kebudayaan Jepang, lanjut Budi, tidak bisa lepas dari kertas seperti tradisi
origami atau seni melipat kertas 'Negeri Sakura' dan tingginya minat baca di
negeri 'Matahari Terbit' tersebut.Tiga ilmuwan Jepang sejak pertengahan 2012
hingga tiga tahun setelahnya akan meneliti pelepasan karbondioksida (Co2) di
lahan gambut yang dikelola untuk HTI.128
Tiga ilmuwan tersebut adalah Toshihide Nagano, Guru Besar Teknik
Lingkungan Universitas Utsunomiya, Jepang. Kemudian Kazutoshi Osawa,
kolega Nagano di Fakultas Pertanian Universitas Utsunomiya. Serta Kazuhito
Sakai, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Ryukyus, Jepang.129
Penelitian ini dilakukan di lahan gambut HTI PT Riau Andalan Pulp and
Paper (RAPP) di Estate Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan.Budi berkeyakinan,
126
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/01/6/127638/-JepangBerkepentingan-Besar-atas-Industri-HTI-Indonesia. Diakses pada 4 Juli 2013
127
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/01/6/127638/-JepangBerkepentingan-Besar-atas-Industri-HTI-Indonesia. Diakses pada 4 Juli 2013
128
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/01/6/127638/-JepangBerkepentingan-Besar-atas-Industri-HTI-Indonesia. Diakses pada 4 Juli 2013
129
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/01/6/127638/-JepangBerkepentingan-Besar-atas-Industri-HTI-Indonesia. Diakses pada 4 Juli 2013
55
penelitian ini akan membawa keuntungan sangat besar untuk Indonesia
Jepang."Jepang tidak ingin pasokan pulp dari Indonesia berkurang atau bahkan
terhenti," jelasnya.130
Sementara itu, Presiden Direktur PT RAPP Kusnan Rahmin mengatakan
pihaknya berkomitmen membuka akses seluas-luasnya bagi berbagai pihak
yang ingin meneliti tata kelola lahan gambut di area konsesi HTI
nya.Pihaknya berharap, hasil riset ini dapat menjadi pembelajaran bagi
perusahaan dalam meningkatkan aspek tata kelola lingkungan dalam
HTI."Kami tahu, dalam penelitian ini bisa saja ditemukan kekurangan dalam
pengelolaan HTI di lahan gambut. Tapi kami berharap ada rekomendasi dan
masukan untuk perbaikan agar lebih baik dalam mengelola gambut".131
Jadi sangat jelas, bahwa Jepang memiliki perhatian yang besar dalam
pemberantasan pembalakan liar karena memiliki kepentingan,antara lain:132
• Pertama, sumber daya alam. Sebagai contoh, Jepang mendapatkan harga
dari Indonesia dengan harga yang murah.
• Kedua, adanya bantuan pinjaman ODA dari Jepang telah memberikan
peluang bagi Jepang untuk melebarkan pangsa pasar produk-produk
Jepang di Indonesia di tengah persaingan global dengan negara lain.
• Ketiga, bantuan pinjaman ODA dari Jepang sebagai langkah Jepang untuk
menciptakan kondisi Indonesia sebagai wilayah yang relatif stabil bagi
jalur perdagangan Jepang.
Dari bantuan pinjaman ODA Jepang terhadap Indonesia mendorong hubungan
yang erat antara Jepang dan Indonesia. Hal ini dapat diidentifikasikan dari
perayaan ulang tahun emas Indonesia-Jepang yang menunjukkan bahwa Jepang
merupakan negara yang strategis bagi Indonesia.133
Seperti yang dijelaskan Ronny Prasetya Yuliantoro, selaku Pejabat Fungsi
Penerangan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Tokyo. Secara
ekonomi, Jepang menduduki posisi yang sangat strategis, yakni selain menjadi
130
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/01/6/127638/-JepangBerkepentingan-Besar-atas-Industri-HTI-Indonesia. Diakses pada 4 Juli 2013
131
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/01/6/127638/-JepangBerkepentingan-Besar-atas-Industri-HTI-Indonesia. Diakses pada 9 Mei 2013
132
http://www.parc-jp.org/parc_e/index.html. Diakses pada 20 Mei 2013
133
http://www.presidenri.go.id/index.php/pidato/2008/01/20/850.html. Diakses pada 4 Juli
2013
56
mitra dagang utama Indonesia, Jepang juga termasuk negara dengan investasi
terbesar di Indonesia.134
Dari pembahasan diatas, dapat diperoleh jawaban bahwa dalam bantuan
pinjaman ODA yang diberikan Jepang terdapat muatan kepentingan politik yang
ditujukan kepada Indonesia. Kepentingan politik tersebut adalah kepentingan
hubungan antara Jepang dan Indonesia yang dikonstruksikan Jepang, mengingat
posisi strategis Indonesia di kawasan Asia Timur, baik secara geografis maupun
sumber daya alamnya. Dengan adanya bantuan pinjaman ODA dari Jepang, telah
membentuk sebuah konstruksi bahwa Jepang adalah mitra strategis bagi
Indonesia.
Oleh
karena
itu,
Indonesia
dapat
membantu
Jepang
dalam
mengimplementasikan kepentingan-kepentingan praktis Jepang, baik secara
politik dan ekonomi di kawasan Asia Timur.
134
http://www.presidenri.go.id/index.php/pidato/2008/01/20/850.html. Diakses pada 4 Juli
2013
57
BAB IV
KERJASAMA INTERNASIONAL INDONESIA DAN JEPANG
TERHADAP ISU DEFORESTASI DI INDONESIA DALAM
SKEMA AFP PERIODE 2008-2011
Bab ini akan menganalisa perkembangan kesepakatan antara Indonesia dan
Jepang dalam forum Asia Forest Partnershipperiode 2008-2011 dengan
menggunakan konsep kerjasama internasional, pendekatan green thoughtdan
konsep kepentingan nasional. Konsep-konsep tersebut diharapkan mampu
menggambarkan kepentingan setiap negara dalam kerjasama untuk mengatasi
penebangan liar di Indonesia.
Pada2 Mei 2002, Menteri Kehutanan Republik Indonesia menerima
kunjungan delegasi Jepang yang dipimpin oleh Ambassador for Global
Environment and International Economic Affairs. Dalam pembicaraannya, kedua
delegasi sepakat menindaklanjutiForest Law Enforcement and Governance
(FLEG) pada September 2001, mengenai Deklarasi Bali.135
Dalam rangka persiapan World Summit on Sustainable Development
(WSSD), telah terbentuk kemitraan dalam rangka mempromosikan Sustainable
Forest Management (SFM) di Asiayang kemudian dinamakan sebagai Asia Forest
Partnership (AFP), di Johannesburg, pada 31 Agustus 2002.
Sampai saat ini, AFPpada tahun 2002telah menjadi forum kemitraan regional
bidang kehutanan dengan empat mitra utama (leading partners,) yakni,
pemerintah Jepang dan Indonesia (mewakiligovernment), Center for International
135
http://www1.dephut.go.id/index.php/news/details/457. Diakses pada 24 Maret 2013
58
Forestry Reseach (CIFOR) (mewakili inter-governmentalorganization), dan The
Nature Conservancy (TNC) (mewakili civil society).136
AFP adalah sebuah forum multipihak penting regional untuk berbagi
informasi dan memfasilitasi dialog-dialog informal. Keanggotaan AFP terdiri dari
beberapa negara pendukung dan lembaga dari luar kawasan Indonesia yang
berjumlah 42 mitra. Tujuan AFP adalah untuk menggalang kemitraan di antara
para pihak, baik itu di sektor pemerintah, swasta, maupun masyarakat guna
mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari di Asia.
Misi dari AFP adalah mempromosikan kerjasama dan mengkatalisasi
tindakan antara pemerintah, masyarakat sipil dan bisnis untuk mencapai
pengelolaan hutan lestari di Asia dan Pasifik. Selain itu juga mempertahankan dan
meningkatkan penyediaan produk hutan dan jasa ekonomi dan kontribusi mereka
terhadap kesejahteraan manusia.137
A. Pertemuan Formal AFP
Forum AFP merupakan forum multilateral yang fokus pada keberlangsungan
hutan secara lestari dengan tujuan untuk menggalang kemitraan di antara para
pihak, baik sektor pemerintah, swasta maupun masyarakat, guna mewujudkan
pengelolaan hutan secara lestari di Asia.Pertemuan-pertemuan formal AFP
136
http://www1.dephut.go.id/index.php/news/details/457. Diakses pada 24 Maret 2013
http://www.karbonhutanberau.org/id/2010/08/catatan-dari-pertemuan-ke-9-asia-forestpartnership-dialogue-2010/. Diakses pada 4 Mei 2013
137
59
berlangsung setiap tahun. Sehingga, pertemuan AFP terbagi berdasarkan
periodenya dan menjadi beberapa tahap diantaranya adalah:138
1. Tahap pertama,yaitu antara tahun 2002 sampai dengan tahun 2007 dan
telah mengadakan pertemuan formal sebanyak tujuh kali.
2. Tahap kedua, yaitu antara tahun 2008 sampai dengan tahun 2011 dan
telah mengadakan pertemuan formal sebanyak empat kali.
Dalam situs resmi Kementrian Kehutanan Republik Indonesia, terdapat tiga
poin penting dalam masalah hutan yang harus segera ditangani, yaitu,
penanggulangan penebangan liar, penanggulangan kebakaran hutan, serta
rehabilitasi hutan dan lahan.139
A.1 Tahap Pertama Periode 2002-2007
Dalam pertemuan ke-1 AFP pada 11 November 2002 di Tokyo, Jepang,
menyepakati tiga fokus kegiatan AFP, yakni,memberantas penebangan liar,
pencegahan kebakaran hutan, dan rehabilitasi lahan terdegradasi.140
Sedangkan pada pertemuan ke-2 di Yogyakarta pada9-10 Juli 2003 ditandai
dengan
kesepakatan
rencana
kemitraan
kerjasama
yang
nyata
untuk
menanggulangi penyebab utama kerusakan hutan, memberikan hasil yang
maksimal, melibatkan para pihak yang berkepentingan dengan memperhatikan
138
http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_workplan&task=completed&Itemid=32
3. Diakses pada 4 Juli 2013
139
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/UMUM/KLN/AFP.htm. Diakses pada 24 Maret
2013
140
http://www.mofa.go.jp/policy/economy/fishery/afp/summary0211.html. Diakses pada 4
Juli 2013
60
dari segi ekonomi, sosial, dan lingkungan, serta memberikan nilai tambah pada
ide baru.141
Tiga topik yang disepakati dalam pertemuan AFP ke-2 yang menjadi isu atau
concern utama dari AFP adalahillegal logging and its associated trade,forest fires
and transboundary haze pollution, andrehabilitation and reforestation of
degraded land and forest (penebangan liar dan kegiatan perdagangan, kebakaran
hutan dan polusi asap lintas batas, dan rehabilitasi serta reboisasi lahan hutan
terdegradasi) [terj. pen-].
Pada pertemuan ke-3 di Kisarazu City-Chiba, Jepang, pada 21 November
2003, membahas berbagai rencana kerja yang terkait dalamtiga fokus kegiatan
AFP seperti yang dipaparkan diatas dan telah disepakati, yakni Indonesia akan
menyelenggarakan lokakarya atau workshop tentang Strengthening the Asia
Forset Partnership sesuai the International Tropical Timber Council (ITTC)
Decision 3 (XXXIV).142
The International Tropical Timber Organization (ITTO) adalah organisasi
antar
pemerintah
mempromosikan
konservasi
dan
pengelolaan
yang
berkelanjutan, penggunaan dan perdagangan sumber daya hutan tropis. 59 anggota
yang mewakili sekitar 80% dari hutan tropis dunia dan 90% dari perdagangan
kayu tropis global.143
ITTO didirikan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun
1986 di tengah meningkatnya kekhawatiran di seluruh dunia untuk nasib hutan
141
http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_workplan&task=view_detail&agid=13
&year=2003&month=07&day=09&Itemid=323. Diakses pada 4 Juli 2013
142
http://www1.dephut.go.id/index.php/news/details/457. Diakses pada 24 Maret 2013
143
http://www.itto.int/about_itto/. Diakses pada 5 Juli 2013
61
tropis. Sementara hampir semua orang khawatir akan laju deforestasi yang terjadi
di banyak negara tropis, ada juga kesepakatan yang cukup bahwa perdagangan
kayu tropis adalah salah satu kunci bagi pembangunan ekonomi di negara-negara
yang sama. Rekonsiliasi dari dua fenomena yang tampaknya terpisah adalah cerita
ITTO.144
Regional Workshop on Strengthening the Asia Forest Partnership
diselenggarakan di Yogyakarta, 30 Agustus - 1 September 2004 yang didukung
dana dari The International Tropical Timber Organization (ITTO). Lokakarya
atau workshop diselenggarakan dengan tujuan menyusun cara kerja dan struktur
kemitraan secara lebih konkrit dan spesifikuntuk mengembangkan dan
memperkuat AFP. 145
Sehingga, telah menghasilkan rekomendasi untuk perumusan struktur AFP
sesuai dengan konsep yang diusulkan oleh Indonesiadan diharapkanrekomendasi
dalam bentuk pernyataan atau announcement tersebut, agar dapat didukung dalam
pertemuan AFP ke-4 di Tokyo, 8-10 Desember 2004 guna berfungsi seperti kode
etik/code of conduct bagi kemitraan di forum AFP.
Selanjutnya, pertemuan ke-4 diselenggarakan di Tokyo pada tanggal 8-10
Desember 2004,berhasil mendeklarasikan Announcement for Strengthening the
AFP. Hal tersebut dapat diartikan sebagai keberhasilan Indonesia karena
pernyataan tersebut merupakan langkah awal untuk memperjelas struktur dan cara
kerja AFP untuk memperkuat forum tersebut di masa depan.
144
http://www.itto.int/about_itto/. Diakses pada 5 Juli 2013
http://www1.dephut.go.id/index.php/news/details/457. Diakses pada 24 Maret 2013
145
62
Sesuai agenda, maka pertemuan tersebut membahas enam materi yaitu: 146
• Establishing Reliable Production and Trade Chain, and Coordination of
International Effort (membangun produksi handal dan rantai perdagangan
dan koordinasi upaya internasional) [terj. pen-].
• Learning from Good Forest Management Practices and Building
Capacity(belajar dari praktik pengelolaan hutan dan membangun
kapasitas) [terj. pen-].
• Forest Fires Monitoring and Prevention(pemantauan dan pencegahan
kebakaran hutan) [terj. pen-].
• DemandDriven Market Forces/Contribution of Consumers(permintaan
didorong adanya angkatan pasar atau adanya kontribusi konsumen) [terj.
pen-].
• Good Governance and Better DecisionMaking for Sustainable Forest
management(tata kelola yang baik membuat keputusan untuk manajemen
hutan lestari) [terj. pen-].
• Rehabilitation of Degraded LandsLearning from the Past and Looking
into the Future(rehabilitasi lahan terdegradasi belajar dari masa lalu dan
melihat ke masa depan) [terj. pen-].
Dari hasil tersebut, langkah tindak lanjut yang perlu dilakukan oleh Indonesia
adalah:147
1. Mempersiapkan keikutsertaan delegasi Republik Indonesia untuk
mengikuti pembahasan lokakarya AFP di Kualalumpur terkait dengan
bahasan tentang produksi handal dan koordinasi perdagangan/reliable
production and trade coordination, khususnya legalitas kayu, serta
verifikasi asal-usul kayu (chain of custody/legal origin verification).
Diharapkan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dan Badan Revitalisasi
Industri Kehutanan (BRIK) juga dapat berperan aktif dalam pertemuan
tersebut.
2. Mempersiapkan penyelenggaraan pertemuan khusus yang akan
menindaklanjuti pernyataan yang sudah disepakati pada sidang pleno
pertemuan AFP ke-4 dan dideklarasikan pada tanggal 10 Desember 2004.
3. Departemen Kehutanan (Badan Planologi) segera menyusun proposal
tentang penyelenggaraan lokakarya desentralisasi terkait dengan isu
utama AFP dan dapat memberikan argumen arti pentingnya lokakarya
regional tersebut diselenggarakan di Indonesia. Untuk itu, diskusi intensif
dengan pemerintah Swiss diharapkan dapat segera dilakukan oleh
Indonesia.
Pertemuan ke-5 di Yokohama pada tanggal 13-15 November 2005
menyetujui untuk memperkuat AFP sesuai dengan struktur dan sistem promosi
146
http://www1.dephut.go.id/index.php/news/details/457. Diakses pada 24 Maret 2013
http://www1.dephut.go.id/index.php/news/details/457. Diakses pada 24 Maret 2013
147
63
dan pelaksanaan pengelolaan hutan lestari di Asia.Hal ini dilaksanakan melalui
kerjasama sukarela antara pemerintah, organisasi antarpemerintah, organisasi
masyarakat sipil, sektor swasta serta mitra donor, yang dilandaskan rasa saling
menghormati, tanggung jawab bersama, proses yang transparan, dan terbuka
untuk semua orang yang mendukung visi serta tujuan kemitraan.148
Sehingga, upaya memberantaspenebangan liar, perdagangan hasil hutan,
pengelolaan kebakaran hutan, rehabilitasi,serta reboisasi hutan dan lahan
terdegradasi diperoleh melalui berbagi informasi.Seperti, dialog dan aksi bersama
untuk membangun kapasitas untuk pengelolaan hutan yang efektif, penegakan
hukum kehutanan yang lebih baik dan pemerintahan yang baik serta dengan
caramenjamin operasi antara kemitraan AFP dan gagasan yang terkait lainnya di
wilayah tersebut.149
Kemitraan AFP tidak luput dari kontribusi CIFOR yangakan terus menjadi
tuan rumah sekretariat AFP. Secara teknis dan keuangan didukung oleh mitra atas
dasar sukarela. Lamanya tahap pertama AFP akan menjadi lima tahun, yaitu 20022007. Namun, mitra dapat memutuskan untuk memperpanjang atau mengakhiri
kemitraan tidak kurang dari tiga bulan sebelum akhir tahap pertama.150
Pertemuan ke-6 di Yogyakarta pada tanggal 6-8 September 2006 telah
membahas isu-isu teknis, salah satunya masa depan AFP dan pada masa setelah
tahap pertama yang akan berakhir pada tahun 2007 nanti.Di mana tim
148
http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_workplan&task=view_detail&agid=17
&year=2005&month=11&day=13&Itemid=323. Diakses pada 4 Juli 2013
149
http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_workplan&task=view_detail&agid=17
&year=2005&month=11&day=13&Itemid=323. Diakses pada 4 Juli 2013
150
http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_workplan&task=view_detail&agid=17
&year=2005&month=11&day=13&Itemid=323. Diakses pada 4 Juli 2013
64
akanmengevaluasi atau penilaian danmemberi petunjukpada perpanjangan pada
tahap ke-2.151
Sebagai negara penting di asia dalam bidang kehutanan, Indonesia mendapat
kesempatan menyampaikan perkembangan di tiga bidang utama AFP, seperti,
persoalan penebangan liar, kebakaran hutan dan lahan, reboisasi dan rehabilitasi
hutan serta lahan sebagai masalah yang kompleks, maupun skala persoalannya
begitu besar. Oleh karena itu, diperlukan dorongan dan kerjasama dari luar,
termasuk dari mitra AFP.
Usulan dari Kementrian Kehutanan yang telah dirintis pada AFP ke-6 adalah
membantu masyarakat yang daerahnya rawan penebangan liar serta
memasarkan produk legalnya. Usulan ini mendapat dukungan positif dari
pemerintah Jepang, World Wide Fund (WWF), Tropenbos International
(Belanda), Food and Agriculture Organization (FAO), Institute for Global
Environmental Strategies (IGES), sertaLembaga Ekolabel Indonesia (LEI).
Kelompok ini akan mengusahakan dukungan finansial melalui FAO dan
Jepang.152
Selanjutnya disepakati bahwa Jepang akan menjadi tuan rumah pertemuan
AFP ke-7, jika tidak ada negara kemitraan lain yang bersedia. Pertemuan ke-6 ini
diselenggarakan atas kerjasama Kementrian Kehutanan dengan AFP Sekretariat
yang berkedudukan di Center for International Forestry Research (CIFOR) di
Bogor.153
Pada pertemuan ke-7 di Yokohama pada tanggal 12-15 November
2007membahas tentang pentingnya kelanjutan dan hubungan kegiatan dari AFP
sebagai mekanisme multi-pihak untuk memfasilitasi dan mempromosikan
151
http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_workplan&task=view_detail&agid=18
&year=2006&month=11&day=06&Itemid=323. Diakses pada 4 Juli 2013
152
http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_workplan&task=view_detail&agid=18
&year=2006&month=11&day=06&Itemid=323. Diakses pada 4 Juli 2013
153
http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_workplan&task=view_detail&agid=18
&year=2006&month=11&day=06&Itemid=323. Diakses pada 4 Juli 2013
65
dialog,pertukaran informasi, serta tindakan kooperatif untuk mewujudkan
pengelolaan hutan lestari di kawasan Asia-Pasifik. 154
Hal ini didasarkan atas apresiasi karya kelompok kerja tim evaluasi AFPyang
terkandung dalam laporannya, yaitu, penilaianAFP tahap I dan rekomendasi untuk
tahap 2 pada November2007, evaluasi yang terdapat dalam dokumen tahap I
AFPserta saran untuk meningkatkan sukses ditahap II pada November2007.155
Selanjutnya, untuk tahap kedua AFP periode 2008-2015memperhitungkan
perkembangan keadaan dan peluang baru yang mempengaruhi hutan dan
pengelolaan hutan yang berkelanjutan di kawasan Asia-Pasifik.156
A.2 Pertemuan Formal AFP Fase Kedua Periode 2008-2011
Pertemuan formal AFP dilanjutkan pada pertemuan ke-8 di Hanoi, Vietnam.
Pada 24 April 2008 AFP membahasisu kebijakan seputar perdagangan kayu
global yang sedang dalam sorotan akhir-akhir ini. Berbagai ahli kehutanan dari
seluruh dunia berkumpul di Hanoi untuk menghadiri AFPdalam membahas
perdagangan kayu, kepatuhan terhadap hukum kehutanan, dan pemerintahan.157
Salah satu acara puncak pada Asia-Pasifik Kehutanan di Vietnam, lebih dari
500 undangan yang memiliki peran dalam kepentingan kehutanan turut membahas
154
http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_content&task=view&id=69&Itemid=9.
Diakses pada 4 Juli 2013
155
http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_content&task=view&id=69&Itemid=9.
Diakses pada 4 Juli 2013
156
http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_content&task=view&id=68&Itemid=9.
Diakses pada 4 Juli 2013
157
http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_content&task=view&id=68&Itemid=9.
Diakses pada 4 Juli 2013
66
keberlanjutan perdagangan kayu, hasil hutan, serta untuk mengembangkan strategi
yang bagus dalam lingkungan yang semakin luas.158
Selanjutnya, pertemuan AFP di Bali pada tanggal 28-29 Mei 2009,
pemerintah Indonesia bekerja sama dengan Asia Forest Partnershipdan
menyelenggarakan dialog regional untuk menguji hubungan antara skema untuk
mengkompensasi negara dalam pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi
hutan serta upaya memerangi pembalakan liar dan perdagangannya.159
Acara tersebut dihadiri oleh Cristian Kuchil, Kunio Shimizu, dan Menteri
Kehutanan RI M.S. Kaban.Kemudian, para pembicara membahas tentang aksi
untuk mengatasi penebangan liar dan perdagangan kayu liar dari berbagai
negara. Pembicaranya antara lain, Puspa Dewi Liman, Hapsoro, Hang Suntra,
Andy Roby, Ivy Wong Abdullah, dan Kristof Obidzinski.Kesepakatan yang
dihasilkan adalah:160
a) Kebutuhan akan pemahaman yang lebih baik tentang kerusakan
hutan/deforestasi, degradasi, dan hubungannya dengan penebangan liar.
b) Dibutuhkan jaringan pengaman/safety-netuntuk melakukan aktivitas
berdasarkan pentingnya kebutuhan masyarakat lokal.
c) Perlunya peraturan pemerintah yang jelas tentang verifikasi Reducing
Emissions from Deforestation and forest Degradation (REDD).
d) Mekanisme REDD juga harus bisa menjamin bahwa jangan sampai
dijadikan pendapatan pribadi oleh sekelompok orang.
Pertemuan hari kedua membahas tentang REDD dan tata hutan, dengan
pembicara antara lain, Christian Kuchli, Daniel Murdiyarso, Theo Yasause,
Nur Masripatin, dan Ralps Strabel. Dengan kesimpulan antara lain:161
a) Penebangan liar merupakan masalah nasional dan internasional. Pada
levelnasionalmasalah ini berhubungan erat dengan pemerintah setempat.
Dan instrumen yang ada saat ini dinilai belum efektif. Dengan
terdapatnya mekanisme REDD, maka perlu meninjau mengapa instrumen
yang ada tersebut tidak efektif.
b) Berbagai lembaga pemerintah memiliki pendekatan yang berbeda
terhadap REDD.
158
http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_content&task=view&id=68&Itemid=9.
Diakses pada 4 Juli 2013
159
http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_content&task=view&id=68&Itemid=9.
Diakses pada 4 Juli 2013
160
http://www.dephut.net/index.php?q=id/node/5421. Diakses pada 19 Mei 2013
161
http://www.dephut.net/index.php?q=id/node/5421. Diakses pada 19 Mei 2013
67
c)
Terdapat hubungan yang erat antara REDD dan Afforestation and
reforestation (A/R) dalamClean Development Mechanism (CDM). Dan
muncul pertanyaan, apakah REDD perlu dibedakan, lebih diinklusifkan
atau diekslusifkan.
d) REDD juga perlu mengikutsertakan para ahli dan organisasi sektor
kehutanan untuk menangani masalah sosial dan pengetahuan tentang
kehutanan.
Secara keseluruhan diperoleh kesimpulan bahwa kecenderungan pembahasan
dari keseluruhan sesi bersifat positif. Dengan adanya pertemuan AFP, terlihat
adanya pengalaman dan pandangan yang berbeda dari berbagai negara. Hal ini
memunnculkan berbagai inisatif baru REDD, baik itu pada level nasional maupun
internasional secara sukarela maupun instruksi atau wewenang.162
Pertemuan AFP di Bali pada 4-6 Agustus 2010 membahas tentang tantangan
tata kelola hutan luar Copenhagen, yang meneliti hubungan antara REDD plus (+)
dan tata kelola hutan. Pemerintahan sebagai pelaksana untuk REDD + untuk
memastikan jangka panjang, pengurangan emisi dan hasil yang adil, serta
diharapkan REDD + akan memberikan peluang baru untuk memperkuat tata
kelola hutan.163
Pada pertemuan AFP di Beijing, China, pada 8-9 November 2011 membahas
tentangdampak dari upaya memerangi pembalakan liar pada kebijakan
kehutanan, pasar kayu, industri kehutanan, dan masyarakat yang bergantung
pada hutan selama 10 tahun terakhir dengan hasil sebagai berikut:164
a. Untuk memperoleh data, negara harus memiliki pengalaman dalam
mengembangkan standar legalitas, sistem kebenaran laporan, dan tantangan
yang besar dalam mengurangi penebangan liar.
b. Melihat dari pengalaman beberapa negara konsumen dalam
mengembangkan dan menerapkan kebijakan untuk membatasi aliran kayu
162
http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_content&task=view&id=68&Itemid=9.
Diakses pada 4 Juli 2013
163
http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_content&task=view&id=221&Itemid=2
5. Diakses pada 4 Juli 2013
164
http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_content&task=view&id=252&Itemid=1
46. Diakses pada 4 Juli 2013
68
liarke pasar mereka selama dekade terakhirdan tantangan yang beredar dalam
mengurangi pasar kayu liar.
c. Selanjutnya, dampak yang muncul dalam pemberantasan pembalakan liar
dan pasarnya diharapkan menghasilkan perubahan dan menindaklanjuti
penyebab utama pembalakan liar.
B. Perkembangan Kesepakatan Indonesia dan Jepang dalam AFP Periode
2008-2011
Perkembangan dalam forum AFP telah disepakati beberapa hal guna
mengatasi deforestasi di Indonesia.Pertama, pada pertemuan AFP ke-5 di
Yokohama pada tanggal 13-15 November 2005, untuk memperkuat AFP melalui
kerjasama sukarela antara pemerintah, organisasi antarpemerintah, organisasi
masyarakat sipil, sektor swasta serta mitra donor, yang dilandaskan rasa saling
menghormati, tanggung jawab bersama, proses yang transparan, dan terbuka bagi
semua pihak yang mendukung visi serta tujuan kemitraan.165
Institusi kerjasama ini dilandaskan rasa saling menghormati dan tanggung
jawab, sesuai dengan kerjasama internasional menurut Thomas Bernauer, negara
akan cenderung mengubah sikapnya sesuai dengan kesepakatan yang diambil
dalam institusi kerjasama dan memfokuskan masalah apa saja serta merencanakan
penyelesaian masalah tersebut.
Kedua, pertemuan AFP ke-6 di Yogyakarta pada tanggal 6-8 September telah
disepakati bahwa dalam membantu masyarakat maupun wilayah yang rawan
penebangan liar, akan mendapatkan dukungan finansial melalui FAO dan
Jepang.166Dengan demikian hal tersebut sesuai dengan pendapat Kate O’Neill,
165
http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_workplan&task=view_detail&agid=17
&year=2005&month=11&day=13&Itemid=323. Diakses pada 4 Juli 2013
166
http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_workplan&task=view_detail&agid=18
&year=2006&month=11&day=06&Itemid=323. Diakses pada 4 Juli 2013
69
dalam memenuhi kewajiban perjanjian internasional, bantuan lingkungan dan
transfer teknologi dapat mengembangkan kapasitas negara untuk mencapai tujuan
yang telah disepakati dalam perjanjian.
Dalam hal ini transfer teknologi tertera dalam The G8 Forest Experts Report
on Illegal Logging, yaitu melaksanakan kerjasama untuk mengembangkan
teknologi pemantauan hutan dengan penggunaan satelit gambar. Dengan
demikian, dukungan Jepang dalam mendonorkan sejumlah uang untuk satelit
sebesar US $ 720.000 dapat dimanfaatkan sesuai perjanjian proyek atau program
kerjasama luar negeri antara Indonesia dan Jepang.167
Kerjasama internasional Indonesia dan Jepang dalam skema AFP, sesuai
dengan asumsi dasar green thought, bahwa untuk menjaga keselamatan
lingkungan diperlukan adanya kerjasama internasional yang dilakukan oleh
Indonesia dan Jepang, yaitu komunitas-komunitas lokal maupun regional, seperti,
AFP (forum internasional antar negara), JICA (badan kerjasama internasional
Jepang), ODA (bantuan pembangunan Jepang yang akan diberikan pada setiap
negara), sebagai penguat bangunan dasar bagi bumi serta dapat mengontrol
sumber daya mereka sendiri. Diharapkan, dengan adanya kerjasama internasional
antara pemerintah, masyarakat sipil, dan bisnis dapat mewujudkan pengelolaan
hutan lestari di Asia dan Pasifik.
Dapat disimpulkan bahwa Jepang dan Indonesia juga melakukan kerjasama
internasional melalui forum AFP dan telah menghasilkan beberapa kesepakatan
dalam isu deforestasi, yaitu, memberantas penebangan liar, pencegahan kebakaran
167
Data tersebut telah diolah, berdasarkan Bambang. Buku Statistik Kehutanan Indonesia
tahun 2008-2011. 2012, h. 268-272
70
hutan, rehabilitasi lahan terdegradasi, memperhatikan segi ekonomi, sosial, dan
lingkungan. Selain itu juga terdapatnya dialog dan aksi bersama untuk
pengelolaan hutan yang efektif, penegakan hukum kehutanan dan pemerintahan
yang lebih baik lagi, membantu masyarakat yang daerah rawan penebangan liar
serta memasarkan produk legalnya. Selanjutnya, pengurangan emisi dari
deforestasi dan degradasi hutan sebagai upaya memerangi pembalakan liar dan
ikatan perdagangannya.
C. Peran Jepang dalam Asia Forest Partnership(AFP)
Kerjasama internasional Indonesia dan Jepang terhadap isu deforestasi di
Indonesia periode 2008-2009 dapat terlihat dari berbagai kesepakatan antara dua
negara yang merupakan hasil dari komunikasi atau dialog-dialog dalam forum
AFP, tercantum dalam “The G8 Forest Expert’ Report on Illegal Logging”168 dan
“The Second Round of the International Expert Meeting on Illegal Logging”169
sebagai berikut:
1. Pada tahun 2003 Jepang menandatangani rencana aksi bersama
pengumuman dalam memberantas pembalakan liar dan perdagangan kayu
liar dan produk kayu dengan Indonesia.
2. Melaksanakan kerjasama untuk mengembangkan teknologi pemantauan
hutan dengan penggunaan satelit gambar.
3. Terdapatnya bantuan dana dari Jepang untuk pengadaan verifikasi
legalitas kayu.
4. Diadakannya acara yang dihadiri para ahli kehutanan untuk membahas
penebangan liar.
5. Memverifikasi legalitas kayu berkelanjutan untuk meningkatkan kinerja
sertifikasi serta mengembangkan legalitas nasional standar yang dapat
168
http://www.mofa.go.jp/policy/environment/forest/report0805.pdf . Diakses pada 4 Juli
2013
169
http://www.mofa.go.jp/policy/environment/forest/meet0803-s.pdf.
2013
71
Diakses pada 4 Juli
menciptakan kebijakan untuk pengadaan publik agar memilih kayu legal
dan lestari.
6. Memastikan transparansi pengelolaan hutan dalam perdagangan kayu bagi
negara-negara produsen pelaku ekspor maupun impor.
7. Melibatkan bea cukai untuk mengendalikan perdagangan kayu ilegal.
Penelitian ini menganalisa peran Jepang dalam AFP, diawali pada tanggal 24
April tahun 2008 di Hanoi Vietnam pertemuan ke-8 dalam forum AFP, telah
disepakati menanganiperdagangan kayu ilegal menjadi tanggung jawab bersama
dan kepatuhan terhadap hukum kehutanan, serta pemerintah.170Hasil kesepakatan
pertemuan ke-8 adalah The Second Round of the International Expert Meeting on
Illegal Logging.171Yaitu, memastikan transparansi pengelolaan hutan dalam
perdagangan kayu bagi negara-negara produsen pelaku ekspor maupun impor, dan
melibatkan bea cukai untuk mengendalikan perdagangan kayu ilegal.
Selanjutnya adalah, pertemuan ke-11 di Beijing China pada tanggal 8-9
November 2011, telah disepakati bahwa demi kepentingan bersama harus
mengembangkan standar legalitas.172 Seperti yang tertera pada The G8 Forest
Experts Report on Illegal Logging dan The Second Round of the International
Expert Meeting on Illegal Logging, yaitu, terdapatnya bantuan dana dari Jepang
untuk
pengadaan
verifikasi
legalitas
kayu
dan
meningkatkan
kinerja
sertifikasiserta mengembangkan legalitas nasional standar.
170
http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_content&task=view&id=68&Itemid=9.
Diakses pada 4 Juli 2013
171
http://www.mofa.go.jp/policy/environment/forest/meet0803-s.pdf. Diakses pada 4 Juli
2013
172
http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_content&task=view&id=252&Itemid=1
46. Diakses pada 4 Juli 2013
72
Kemudian, dilanjutkan menerapkan kebijakan untuk membatasi aliran kayu
liar ke pasar Jepang.Sejalan dengan The G8 Forest Experts Report on Illegal
Logging, adalah melaksanakan kerjasama untuk mengembangkanteknologi
pemantauan hutan dengan penggunaan satelit gambar.173
Jepang sebagai negara maju berperan atau memposisikan diri sebagai
pendonor bagi Indonesia.Selain itu, Jepang ikut berperan dalam pengelolaan
Hutan Tanaman Industri (HTI) lestari dan berkelanjutan di lahan gambut.174
Peran Jepang dalam segi ekonomi, pertama, memiliki perhatian besar dalam
menangani deforestasi.Motif ekonomi Jepang adalah mendapatkan sumber daya
alam Indonesia, yaitu mendapatkan kayu dan bahan baku bubur kertas dengan
harga murah. Dengan cara terus mengimpor kebutuhan kayunya dari Indonesia.
Dan berperan serta dengan menjalin kerjasama yang erat untuk membantu
kelestarian Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia melalui beberapa bentuk
bantuan finansial Jepang melalui Official Development Assistance (ODA).
Kedua, Selanjutnya peranan Jepang terlihat dalam kebijakan Green
Konyuhoo. Yang mensyaratkan agar kayu dan produk kayu yang digunakan
sebagai bahan baku harus berasal dari tebangan legal dan terverifikasi
legalitasnya, sebagai upaya dalam menangani isu deforestasi. Dengan demikian,
Green Konyuhoo telah menjadi prioritas utama pemerintah Jepang dan masyarakat
173
http://www.mofa.go.jp/policy/environment/forest/report0805.pdf . Diakses pada 4 Juli
2013
174
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/01/6/127638/-JepangBerkepentingan-Besar-atas-Industri-HTI-Indonesia. Diakses pada 4 Juli 2013
73
dalam mencapai kepentingan nasionalnya, yaitu lebih selektif lagi terhadap kayu
impor dari Indonesia dan harus dinyatakan legal.175
Selanjutnya adalah peran Jepang dalam segi poltik. Pertama,terdapatnya
bantuan pinjaman ODA yang diberikan Jepang, sebagai peluang Jepang untuk
melebarkan pangsa pasar produk-produk Jepang di Indonesia di tengah persaingan
global dengan negara lain.Dan menjaga jalur perdagangan antara Jepang dan
Indonesia, mengingat posisi strategis Indonesia di kawasan Asia Timur, baik
secara geografis maupun sumber daya alam.
Dilanjutkan dengan beberapa hal yang mempengaruhi hubungan kedua
negara selama ini adalah arah kebijakan luar negeri Jepang, dengan
memperhatikan
perkembangan
ekonomi
poltik
domestik
Indonesia
dan
perkembangan regional di Asia Timur.176
Dalam segi politik, pertama, Perdana Menteri Yasuo Fukuda dalam pidato
kebijakan tanggal 18 Januari 2008, menyatakan pemerintahnya memiliki
kebijakan luar negeri yang mewujudkan Jepang sebagai bangsa yang mendorong
terciptanya perdamaian (peace fostering nation). Pemerintah Jepang menyadari
kondisi internasional yang damai dan stabil merupakan aset berharga untuk
kemajuan Jepang.Hal yang positif ini tentunya juga dapat menjadi faktor
175
http://www.indonesianembassy.jp/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=138.
Diakses pada 4 Juli 2013
176
http://www.deplu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetailNewsLike.aspx?l=id&ItemID=e0f3be
c9-3b69-4b86-bfc0-e4a6f9b1a716. Diakses pada 4 Juli 2013
74
pendorong kerjasama lebih erat dengan Indonesia baik dalam konteks bilateral
maupun regional.177
Kedua, Perkembangan dinamis di Asia Timur mengarah pada semakin
eratnya
kerjasama
di
wilayah
ini.Association
of
Southeast
Asian
Nations(ASEAN), dimana Indonesia adalah negara terbesar di dalamnya, telah
memainkan peran penting dalam memperkuat kerjasama di Asia Timur,
khususnya kerjasama dengan Jepang, China, dan Korea Selatan. Suasana yang
kondusif ini juga akan membantu memperkuat hubungan bilateral antara
Indonesia dan Jepang.178
Mengenai hubungan di masa mendatang, tampaknya arah hubungan akan
dapat semakin erat mengingat terdapat beberapa keadaan positif yang dapat
membantu perluasan hubungan keduanya. Ketiga, kedua negara menjunjung nilainilai yang sama yaitu sebagai negara pencinta damai, negara yang menjunjung
nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan pemerintahan yang baik.
Keempat, perkembangan regional yang mengarah kepada integrasi regional di
Asia
Timur
akan
mendukung
peningkatan
hubungan
bilateral
kedua
negara.179Ketujuh, potensi kerjasama kedua negara tidak saja dalam konteks
bilateral, namun juga dalam konteks penanganan isu global seperti lingkungan
177
http://www.deplu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetailNewsLike.aspx?l=..&ItemID=e0f3bec
9-3b69-4b86-bfc0-e4a6f9b1a716. Diakses pada 4 Juli 2013
178
http://www.deplu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetailNewsLike.aspx?l=..&ItemID=e0f3bec
9-3b69-4b86-bfc0-e4a6f9b1a716. Diakses pada 4 Juli 2013
179
http://www.deplu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetailNewsLike.aspx?l=..&ItemID=e0f3bec
9-3b69-4b86-bfc0-e4a6f9b1a716. Diakses pada 4 Juli 2013
75
hidup.Jepang saat ini aktif mempromosikan konsep “Cool Earth 50” dengan
berupaya mengurangi emisi hingga 50% di tahun 2050.180
Kemudian dari segi ekonomi.Pertama, Indonesia setelah krisis ekonomi tahun
1997 telah tumbuh menjadi negara demokrasi baru.Perkembangan makro ekonomi
Indonesia juga menunjukkan tanda yang positif dan iklim investasi yang semakin
baik.Hal tersebut tentunya dapat menjadi dasar yang baik bagi peningkatan
hubungan Indonesia dan Jepang termasuk dalam upaya menarik kembali investor
Jepang ke Indonesia.181
Dengan ini, diharapkan tidak ada yang menghalangi peningkatan hubungan
lebih erat antar kedua negara.Kedua, hubungan Indoesia dan Jepang merupakan
hubungan saling yang membutuhkan dan melengkapi.Jepang merupakan sumber
modal, ilmu pengetahuan, dan teknologi bagi Indonesia.
Sedangkan Indonesia menjadi penyedia sumber daya alam bagi Jepang.Dapat
terlihat dalam upaya Jepang mempertahankan pengaruhnya di Asia terutama
Indonesia.Ketiga, kedua negara baru memiliki perjanjian perdagangan bebas,
yaitu
Indonesia-Japan
Economic
Partnership
Agreement
(IJEPA)
yang
diharapkan dapat menjadi pemicu peningkatan lebih erat hubungan ekonomi
keduanya.182Keempat, masih terbuka peluang peningkatan kerjasama antara
180
http://www.deplu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetailNewsLike.aspx?l=..&ItemID=e0f3bec
9-3b69-4b86-bfc0-e4a6f9b1a716. Diakses pada 4 Juli 2013
181
http://www.deplu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetailNewsLike.aspx?l=..&ItemID=e0f3bec
9-3b69-4b86-bfc0-e4a6f9b1a716. Diakses pada 4 Juli 2013
182
http://www.deplu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetailNewsLike.aspx?l=..&ItemID=e0f3bec
9-3b69-4b86-bfc0-e4a6f9b1a716. Diakses pada 4 Juli 2013
76
masyarakat secara langsung, terutama, di bidang sosial budaya, pendidikan, dan
pariwisata dengan mengingat potensi Jepang yang besar.183
Sementara itu, Indonesia juga baru saja menjadi tuan rumah Konferensi
Perubahan Iklim dan aktif dalam upaya memajukan perlindungan lingkungan.
Melalui kesamaan pandangan antara kedua negara ini, diharapkan keduanya dapat
lebih bekerjasama dan berkontribusi bagi penanganan isu global seperti
perlindungan lingkungan ini.Hal ini sejalan dengan konsep kerjasama
internasional.
183
http://www.deplu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetailNewsLike.aspx?l=..&ItemID=e0f3bec
9-3b69-4b86-bfc0-e4a6f9b1a716. Diakses pada 4 Juli 2013
77
BAB V
PENUTUP
Skripsi ini memaparkan deforestasi akibat praktik penebangan liar di
Indonesia serta perkembangan kerjasama Indonesia dan Jepang terhadap isu
deforestasi di Indonesia dalam skema AFP periode 2008-2011.Permasalahan yang
diangkat
adalah
peran
Jepang
dalam
AFPkhususnya
dilatarbelakangi
meningkatnya impor kayu ke Jepang yang terjadi di Kalbar dan Kaltim.Dengan
demikian, masalah penebangan liar menjadi perhatian Indonesia dan Jepang
dalam menciptakan pengelolaan hutan lestari dalam skema AFP.
Kerjasama bilateral Indonesia dan Jepang tersebut telah membentuk sebuah
forum Asia Forest partnership (AFP) yang bertujuan mempromosikan
pengelolaan hutan lestari di Asia dan merupakan kolaborasi lembaga pemerintah
atau beberapa negara anggota lain, organisasi antarpemerintah Centre for
Internastional Forestry Research (CIFOR), dan organisasi non pemerintah The
Nature Conservancy (TNC). AFP memiliki tugas untuk mendapatkan sumbersumber pengetahuan yang baru dengan cara berbagi informasi dengan negara
anggota lain. Selain itu, juga dapat menjaga hubungan baik antara Indonesia dan
Jepang dalam menangani kasus penebangan liar.
78
Kesepakatan yang dihasilkan oleh Indonesia dan Jepang, adalah cenderung
bersifat mengadopsi bantuan luarnegeri.Terutama Jepang dengan memposisikan
diri sebagai negara donordi Indonesia.Agar hubungan Indonesia dan Jepang terus
berlangsung dengan misi untuk keselamatan hutan di Indonesia yang memiliki
banyak manfaat bagi manusia, flora dan fauna.
Dapat disimpulkan bahwa Jepang dan Indonesia juga melakukan kerjasama
internasional melalui forum AFP sebagai tuan rumah dalam beberapa sesi
pertemuan dan telah menghasilkan beberapa kesepakatan, yaitu, memberantas
penebangan liar, pencegahan kebakaran hutan, rehabilitasi lahan terdegradasi,
memperhatikan segi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Selain itu juga terdapatnya
dialog dan aksi bersama untuk pengelolaan hutan yang efektif, penegakan hukum
kehutanan dan pemerintahan yang lebih baik lagi, membantu masyarakat yang
daerah rawan penebangan liar serta memasarkan produk legalnya. Selanjutnya,
pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan sebagai upaya memerangi
pembalakan liar dan ikatan perdagangannya.
Dalam mengatasi permasalahan penebangan liar di Indonesia, Jepang
memiliki tujuan yang sangat jelas, yaitu menekankan pentingnya negara-negara
produsen dan konsumen bekerjasama untuk memberantas penebangan liar, antara
lain:184Sebagai mitra dagang utama Indonesia, maka Jepang harus menghindari
keterlibatan dari penebangan liar. Oleh karena itu, Jepang sebagai negara pembeli
produk kayu Indonesia dalam jumlah besar harus mengeluarkan peraturan yang
melarang perdagangan kayu ilegal.
184
http://www.presidenri.go.id/index.php/pidato/2008/01/20/850.html. Diakses pada 4 Juli
2013
79
Jepang adalah negara yang memiliki kecanggihan teknologi, sehingga Jepang
dapat membantu Indonesia dengan menyumbangkan alat pemindai (satelit image)
untuk mendeteksi hasil tebangan berupa kayu-kayu yang akan di ekspor, sehingga
legalitas kayu dapat terjamin.
Tantangan atau hambatan selanjutnya adalah rendahnya tingkat kesadaran
hukum dan terbatasnya jumlah pos-pos perbatasan yang telah menyebabkan
pelanggaran lintas batas dan tindakan kriminal lainnya. Begitu juga dengan
terancam dan berkurangnya batas wilayah Republik Indonesia, terbatasnya sarana
dan prasarana dikawasan perbatasan Kalimantan, berkurangnya rasa nasionalisme
masyarakat perbatasan, serta rendahnya kesadaran politik.
Dalam
hal
inidapat
disimpulkan
bahwa
konsep
kerjasama
internasionalternyata mampu menjawab kedua pertanyaan penelitian ini.Sesuai
dengan asumsi dasar greenthought, bahwa untuk menangani masalah penebangan
liar di hutan Indonesia dan menjaga keselamatan lingkungan diperlukan adanya
kerjasama internasional yang dilakukan oleh Indonesia dan Jepang, yaitu
komunitas-komunitas lokal maupun regional. Antara lain,melalui AFP (forum
internasional antar negara), JICA (badan kerjasama internasional Jepang), serta
ODA (bantuan pembangunan Jepang yang akan diberikan pada setiap negara).
Hal ini bermanfaat sebagai penguat bangunan dasar bagi bumi serta dapat
mengontrol sumber daya mereka sendiri. Harapannya, dengan adanya kerjasama
internasional antara pemerintah, masyarakat sipil, dan bisnis juga dapat
mewujudkan pengelolaan hutan lestari di Asia dan Pasifik.
80
x
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Betsill, Michele M. et al. ed. 2006. Palgrave Advances in International
Environmental Politics. Palgrave Macmillan. New York.
Burchill, Scott dan Andew Linklater. 1996. Teori-teori Hubungan Internasional.
Bandung.
Chomitz, Kenneth 2007. Laporan Penelitian Kebijakan Bank Dunia “Dalam
Sengketa? Perluasan, Pertanian, Pengentasan Kemiskinan dan Lingkungan
di Hutan Tropis”. Salemba Empat. Jakarta.
Creswell, John W. 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative
Approaches. Thousand Oaks: SAGE Publications, Inc.
Frankel, Joseph. 1998. International Relations in Changing world. New York:
Oxford University Press.
Hidayat, Herman. 2011. Politik Lingkungan:Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru
dan Reformasi. Yayasan Pustaka Obor. Jakarta.
Irewati, Awani. 2005. Jurnal Penelitian Politik:Sikap Indonesia dalam
Menghadapi Kejahatan Lintas Negara: Illegal logging di Kalbar dan Kaltim.
LIPI. Jakarta.
Jemadu, Aleksius. 2008. Politik Global Dalam Teori dan Praktek. Graha Ilmu.
Yogyakarta.
Keohane, Robert O. 1989. Neoliberal Instititionalism: A Perspective in World
Politics, in Internasional Instituions and State Power. Westview Press.
Boulder.
Kusmayadi. 2003. Aktivitas Illegal Logging dan Pengendaliannya di Perbatasan
Kalimantan Barat-Sarawak. Tesis Program Pascasarjana Universitas
Indonesia.
M. Purnama, Boen dan Bazuki, Heru. 2000. Masalah Penebangan Liar dari
Ptrespektif Pemerintah. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta.
M. Purnama, Boen. 2002. Infomasi Umum Kehutanan. Departemen Kehutanan.
Jakarta.
Martin, Lisa L. 2007. Neo liberalism dalam International Relations Theories:
Dicipline and Diversity, Tim Dunne, Milka Kurki and Steve Smith. Oxford
University Press. Great Britain.
xi
Noviar, Ferrytilova. 2007. Hubungan AFP dengan Indonesia dalam Mengatasi
Masalah Illegal Logging periode 2002-2006. Tesis Program Pascasarjana
Universitas Indonesia.
O’Neill, Kate. 2009. The Environment and Internasional Relations. Cambrige
University Press. New York.
Plano,Jack. C dan Olton R. 1999. Kamus Hubungan Internasional. Abardin.
Bandung.
Redaksi Ensiklopedi Indonesia. 1990. Ensiklopedi Indonesia Seri Geografi
“Indonesia”. Intermasa. Jakarta.
Soekarno, Heru. 2009. Statistik Kehutanan BP2HP Kaltim. Kementerian
Kehutanan. Kalimantan Timur.
Soepijanto, Bambang. 2012. Statistik Kehutanan Indonesia tahun
Kementrian Kehutanan. Jakarta.
2011.
Steans, Jill dan Pettiford, Lloyd. 2009. Hubungan Internasional Perspektif dan
Tema. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Subadi. 2010. Penguasaan dan Penggunaan Tanah Kawasan Hutan. Prestasi
Pustaka. Jakarta.
Sukaryadi. 2011. Potret Hutan Provinsi Kalimantan Barat. BPKH Wilayah III
Pontianak.
Tacconi, Luca dkk. 2004. Proses Pembelajaran Promosi Sertifikasi Hutan dan
Pengendalian Penebangan Liar di Indonesia. CIFOR. Bogor.
Zain, Alam Setia. 1997. “Hukum Lingkungan Konservasi Alam”. Rieneka Cipta.
Jakarta.
Zulfah, Siti. 2006. Tindak Pidana Illegal logging Perspektif Hukum Islam dan
Hukum positif. Universitas Islam Negeri. Jakarta.
2.
Jurnal, Arsip dan Majalah
Bappeda Propinsi Kalimantan Timur.
Forest Watch Indonesia. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode Tahun
2000-2009.
Forestry Agency (2008). Annual Report on Trensd in Forest and Forestry Fiscal
Year 2007 (Summarry).
xii
Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 4 Tahun 2005. Tentang pemberantasan
penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di
seluruh wilayah Republik Indonesia.
Kementerian Kehutanan Juli 2012. Buku Statistik Kehutanan Tahun 2011. Jakarta.
Nursanti. Deforestasi dan Degradasi Hutan di Indonesia. Jurnal Agronomi Vol.
12 No. 1, Januari - Juni 2008. Jambi.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 259/Kpts-II/2000 pada
23 Agustus 2000.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 44/Menhut-II/2005 16
Februari 2005.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.891/Kpts-II/1999 14
Oktober 1999.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 79/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001.
Suryadi. 2008. “Ilegal Loging di Perbatasan Indonesia Malaysia”. Majalah
Kehutanan Indonesia. Edisi X. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999. Tentang Kehutanan dan
Illegal Logging. Dikutip dalam Undang-Undang RI No.19 Tahun 2004. 2010.
Citra Umbara. Bandung.
3.
Internet
http://arsip.gatra.com//2003-07-07/artikel.php?id=29675. Diakses pada 20 Maret
2013.
http://cintahutan.wordpress.com/author/srimurniningtyas/. Diakses pada 5 Mei
2013.
http://fwi.or.id/wp-content/uploads/2013/02/PHKI_2000-2009_FWI_low-res.pdf.
Diakses pada 4 Juli 2013.
http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/04/23/problematika-penanganan-i
llegal-logging-di-indonesia-357287.html. Diakses pada 4 Juli 2013.
http://humasplanologi.dephut.go.id/sekdit/index.php?option=com_content&view=
article&id=102&Itemid=109&lang=en. Diakses pada 4 Juli 2013.
http://komunikasiij.web.fc2.com/Visi-misi.htm.Diakses pada 4 Mei 2013.
http://news.detik.com/read/2010/07/29/153943/1409542/10/-negara-rugi-rp-83-mi
liar-hari-akibat-illegal-logging.html Diakses pada 29 April 2013.
xiii
http://news.detik.com/read/2011/11/28/131618/1777138/10/sby-jangan-jadi-penad
ah-kayu-illegal-logging. diakses pada 30 April 2013.
http://reddkaltim.or.id/2012/08/kliping-berita-kemenhut-laju-deforestasi-indonesia
-menurun.html Diakses pada 29 April 2013.
http://regional.kompas.com/read/2008/04/29/21550833/Kapolda.Kalbar.Pertaruhk
an.Jabatan. Diakses pada 5 Juli 2013.
http://regional.kompas.com/read/2008/11/03/20481589/Pembalakan.Liar.di.Perbat
asan.Kalbar-Serawak.Masih.Terjadi. Diakses pada 5 Juli 2013.
http://regional.kompas.com/read/2009/10/26/18431034/17.726.Hektar.Hutan.TN
GL.Rusak. Diakses pada 5 Juli 2013.
http://storage.jak-stik.ac.id/ProdukHukum/kehutanan/lok_08-090800.pdf. Diakses
pada 4 Juli 2013.
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:LAAZYTBIjJwJ:www1.
dephut.go.id/index.php/news/details/457&client=firefox-a&hl=en&strip=1.
Diakses pada 4 Juli 2013.
http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_content&task=view&id=68&It
emid=9. Diakses pada 4 Juli 2013
http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_content&task=view&id=221&
Itemid=25. Diakses pada 4 Juli 2013.
http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_content&task=view&id=252&
Itemid=146. Diakses pada 4 Juli 2013.
http://www.asiaforests.org/index.php?option=com_workplan&task=completed&It
emid=323. Diakses pada 4 Juli 2013.
http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/6193/.Diakses pada 4 Juli 2013.
http://www.cifor.org/ilea/_pf/1/_ref/ina/instruments/Law_Enforcement/antikorups
i/corruption-interco.htm. Diakses pada 20 Maret 2013.
http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/509. Diakses pada 29 April 2013.
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/UMUM/KLN/AFP.htm. Diakses pada 24
Maret 2013.
http://www.dephut.net/index.php?q=id/node/5421. Diakses pada 19 Mei 2013.
http://www.deplu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetailNewsLike.aspx?l=..&ItemID
=e0f3bec9-3b69-4b86-bfc0-e4a6f9b1a716. Diakses pada 4 Juli 2013.
http://www.goho-wood.jp/world/guideline/id.html#wrapper. Diakses pada 8 Mei
2013.
xiv
http://www.hariansumutpos.com/2012/09/42591/hutan-ini-milik-siapa#axzz2Y81
sSfoi. Diakses pada 4 Juli 2013.
http://www.id.emb-japan.go.jp/expljp_14.html. Diakses pada 4 Mei 2013.
http://www.indosiar.com/fokus/penurunan-suku-bunga-jepang-peluang-investasi_
52947.html. Diakses pada 4 Juli 2013.
http://www.itto.int/about_itto/. Diakses pada 5 Juli 2013.
http://www.jica.go.jp/english/about/mission/index.html. Diakses pada 4 Juli 2013.
http://www.jica.go.jp/english/about/oda/index.html. Diakses pada 5 Juli 2013.
http://www.jica.go.jp/english/publications/jbic_archive/annual/2008/pdf/03.pdf.
Diakses pada 4 Mei 2013.
http://www.jica.go.jp/indonesia/indonesian/office/others/pdf/brochure01.pdf.
Diakses pada 20 Mei 2013.
http://www.kabarindonesia.com/beritaprint.php?id=20081028134227.Diakses
pada 4 Juli 2013.
http://www.kalbarprov.go.id/profil.php?id=9.html. Diakses pada 29 April 2013.
http://www.kaltimprov.go.id/halaman-20-kaltim-green.html
April 2013.
Diakses
pada
29
http://www.karbonhutanberau.org/id/2010/08/catatan-dari-pertemuan-ke-9-asia-fo
rest-partnership-dialogue-2010/. Diakses pada 4 Mei 2013.
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1996/09/13/0017.html. Diakses pada 8
Mei 2013.
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/04/3/128360/Jepang-Bant
u-Pelestarian-Hutan-Indonesia. Diakses pada 1 April 2013.
http://www.mofa.go.jp/policy/economy/fishery/afp/summary0211.html.
pada 4 Juli 2013.
Diakses
http://www.mofa.go.jp/policy/environment/forest/meet0803-s.pdf. Diakses pada
4 Juli 2013.
http://www.mofa.go.jp/policy/environment/forest/report0805.pdf . Diakses pada 4
Juli 2013.
http://www.presidenri.go.id/index.php/pidato/2008/01/20/850.html. Diakses pada
4 Juli 2013.
http://www.pu.go.id/publik/ind/produk/info_peta/infrastruktur/flash/html/images/
kabupaten/kalbar/kalbarrtrw.htm. Diakses pada 29 April 2013.
xv
http://www.pu.go.id/publik/ind/produk/info_peta/infrastruktur/flash/html/images/
kabupaten/kaltim/kaltimrtrw.htm. Diakses pada 29 April 2013.
http://www.tribunnews.com/2013/02/24/jepang-bangun-pabrik-pengolahan-kayudi-cianjur. Diakses pada 8 Mei 2013.
http://www.ut.ac.id/html/suplemen/biol4413/materi_02.swf. Diakses pada 4 Juli
2013.
http://www.wwf.or.id/?18621/Jon-Hendra-mantan-pembalak-liar-yang-menjadi-sa
lah-seorang-anggota-TPU/ . Diakses pada 4 Juli 2013.
http://www1.dephut.go.id/index.php/news/details/457. Diakses pada 24 Maret
2013.
https://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=a&id=72219. Diakses pada
5 Mei 2013. Dikutip dalam Isnaeni Nurul. 2006. Jepang dan Politik
Lingkungan Global: Tinjauan Peran Internasional Jepang Dalam Isu
Lingkungan Hidup. Journal of Japanese Studies.Japan
Kbbi.web.id. Diakses pada 4 Juli 2013.
xvi
Lampiran 1
The G8 Forest Experts’ Report on Illegal Logging
May, 2008
1. Background
The G8 put illegal logging on the international agenda in 1998, when the G8
Foreign Ministers launched the Action Programme on Forests that featured illegal logging
as one of the five issues of particular importance to be addressed. In 2002, the G8 Action
Programme on Forests was formally brought to completion when the Final Report was
submitted to the G8 Foreign Ministers. In the Final Report, the G8 members were
committed to retain forest-related issues at a high level on a domestic and international
agenda, and to combat illegal logging and the use of illegally-harvested timber and
related products.
In 2005, the G8 Environment and Development Ministers committed themselves
to a range of different actions to combat illegal logging in the following areas (see Annex
1), with each country acting where it can contribute most effectively:
- Cooperation with partner countries (supporting forest law enforcement and
governance; enhancing transparency and access to information; and sharing
technical knowledge and tools)
- Trade-related measures (halting the import and marketing of illegally logged
timber; taking action through bilateral and regional trade-related arrangements;
and promoting public timber procurement policies)
- Engaging the public (working with the private sector; and informing consumers)
The outcome of the ministerial conference was endorsed by the G8 leaders at the
Gleneagles Summit. G8 leaders adopted the “Gleneagles Plan of Action: Climate Change,
Clean Energy and Sustainable Development,” in which they committed themselves to
take forward conclusions endorsed at the ministerial conference (see Annex 2).
Against this backdrop, G8 forest experts agreed to submit a report on illegal
logging to the G8 Environment Ministers Meeting in May 2008 in Japan. In this report,
the experts provide illustrative examples of the range of different actions taken by G8
members over the last decade, and consider the impacts of such actions and challenges
ahead to be addressed by G8 members in cooperation with public and private partners at
local, national, and international levels.
xvii
2. Actions taken and their impacts
Since 1998, a significant number of activities have been undertaken by members
of the G8, and the following is a number of examples of such activities, although not
comprehensive. It is worth pointing out that many of them involve joint actions between
timber producer and consumer countries.
During the last decade, we have witnessed encouraging progress in some areas,
and the G8 has shown that it can play a significant leadership role in combating illegal
logging and its associated trade.
(1) Cooperation with partner countries
Members of the G8 have been assisting developing countries through bilateral
and multilateral frameworks in enhancing law enforcement and improving governance,
enhancing transparency and access to information related to forests and the forest sector,
and developing legality verification schemes for timber and timber products.
In response to these actions taken by the G8, some improvements have been
observed in clear and transparent allocations of tenure and concessions, sustainable forest
management and land use, compliance with relevant laws by timber and forest products
companies, transparent customs procedures for export, and strengthening disciplines in
timber-exporting countries.
(a) Supporting forest law enforcement and governance / Enhancing transparency and
access to information
- Members of the G8 actively participated in a series of ministerial conferences on
Forest Law Enforcement and Governance (FLEG) coordinated by the World Bank
and hosted by Indonesia in 2001 (East Asia FLEG), by Cameroon in 2003 (Africa
FLEG), and by Russia in 2005 (Europe and North Asia FLEG). Each of those
conferences has contributed to raising political awareness of the issue in the regions.
- Japan, together with Indonesia, took the initiative to launch the Asia Forest
Partnership (AFP) in 2002 that aims at promoting sustainable forest management,
mainly in the Asia-Pacific region, through active study and exchange of views among
th
various stakeholders including the private sector and civil society. At the AFP’s 7
Meeting, held in 2007, Partners decided to keep focusing on illegal logging and
nd
associated trade during its 2 Phase (2008-2015), particularly considering improving
forest-related governance.
- The United States, together with South Africa, took the initiative to launch the Congo
Basin Forest Partnership (CBFP) in 2002, to support implementing the Convergence
Plan of the COMIFAC (Commission des Forêts d’Afrique centrale) that aims to
implement sustainable forest management and to reduce poverty. The United States,
followed by France and Germany, played a role as
xviii
facilitator of the CBFP. The United States has contributed to promoting sustainable
forest management in the region, including efforts to fight illegal logging by
providing local forest users and owners with tools to monitor and protect their forests
and by increasing community involvement in forest governance. Since 2003, France
has engaged in promoting sustainable forest management in the Congo Basin,
including law enforcement, management plans and technical assistance. One of the
main tasks of the German facilitation is to contribute to improving forest governance
and framework conditions in the region.
- In accordance with the EU Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT)
Action Plan adopted in 2003, the European Commission with the support and
assistance of France, Germany, the Netherlands, and the United Kingdom, have been
assisting producer countries in building a consensus among various stakeholders on
the definition of legality, in developing verification systems, in enhancing
transparency and governance in the forest sector, and other relevant activities such as
independent monitoring.
- Germany has developed a specific FLEGT-Strategy as part of the overall concept
“forests and sustainable development.” The goal of this strategy is to support partner
countries in designing FLEGT-related measures that effectively contribute both to
achieving legality and to sustainable forest management and development. German
Development Cooperation is contributing to support FLEGT-related measures in
almost 20 partner countries and regions.
- The United States launched the President's Initiative Against Illegal Logging (PIAIL)
in 2003 to help tropical countries combat illegal logging and the export of illegally
harvested timber and timber products. Under the PIAIL framework, the United States
has supported a wide range of actions in collaboration with public and private
partners, including the launch of the Liberia Forest Initiative (LFI) in 2004 to help put
the country’s forest sector on a legal, transparent, and sustainable footing. The LFI
led to Liberia’s Forest Reform Act in 2006.
- The United Kingdom concluded a Memorandum of Understanding on illegal logging
with Indonesia in 2002.
- Japan signed the Joint Announcement and the Action Plan on cooperating in
combating illegal logging and trade in illegally logged timber and wood products
with Indonesia in 2003.
- In 2006, the United States and Indonesia concluded a Memorandum of Understanding
(MOU) on combating illegal logging and associated trade. In 2007, the United States
concluded a similar MOU with China to combat illegal logging and associated trade
and promote transparent timber markets and use of legally-sourced timber.
- Much of Canada’s effort to combat illegal logging has aimed at addressing its
underlying causes, such as immature infrastructure, inadequate capacity, and
xix
lack of transparency in governance, among others. Canadian official development
assistance has supported sustainable forest management in a number of developing
countries. These resources, along with Canadian expertise, support capacity-building
and governance, particularly in the areas of forestry policy and administrative
management. Experience has shown that improved forestry management often
reduces the incidence of illegal logging and associated trade, and helps ensure the
transparency of forest management.
- G8 member countries have been supporting producer countries in their efforts by
carrying out a number of projects and activities that address the illegal logging issue
through International organizations such as the International Tropical Timber
Organization (ITTO) and the World Bank.
(b) Sharing technical knowledge and tools
- Some members of the G8 have been supporting developing countries in their efforts
to create adequate conditions (review and clarification of laws, legality criteria and
indicators, traceability schemes, improvement of statistics, control by independent
third party for tax payments, tax sharing with local communities, etc.) for
implementing forest certification and other chain-of-custody verification schemes
(FSC, PEFC, PAFC, MTCC, LEI and FLEGT-licensing scheme etc.) that verify
legality and/or sustainability of timber and timber products.
- In accordance with the Joint Announcement and the Action Plan signed in 2003,
Japan, in collaboration with Indonesia and NGOs, has been implementing
cooperation for developing forest monitoring technology with the use of satellite
images and a log traceability system with the use of 2D bar code.
- Since 2007, Japan has been providing images put together from observation data of
the Amazon region by “Daichi,” the Advanced Land Observing Satellite (ALOS), to
the Brazilian government and thereby cooperating in identifying the areas of
deforestation, including those involving illegal logging.
- Under its Memorandum of Understanding with Indonesia, and working through
partnerships with NGOs and the private sector, the United States supported the
implementation of the Indonesian Forest Monitoring and Assessment System
(FOMAS) as well as efforts to develop a remote sensing-based alert system for
protected areas.
- The United States Geological Survey has initiated aggressive steps to make access to
its entire Landsat data archive — an unrivaled, 35-year record of the Earth’s surface
and a useful tool for forest management worldwide — freely available to the public
by February 2009.
- Germany, jointly with the WWF, organized an international scientific expert meeting
on chemical and genetic methods to verify origins of traded timber (“timber
fingerprinting”) in 2007. The meeting concluded that development of concrete
tracking systems for most important traded timber species was
xx
feasible and achievable within a reasonable time frame. Follow-up action has been
initiated.
(2) Trade-related measures
Steps taken by members of the G8 to control illegal logging and associated trade,
including wildlife trafficking, have included voluntary bilateral trade agreements,
bilateral and regional arrangements related to trade, and public timber procurement
policies.
(a) Halting the import and marketing of illegally logged timber
- In accordance with the EU FLEGT Action Plan, the European Commission launched
negotiations with some producer countries in South-East Asia and Africa on Voluntary
Partnership Agreements (VPAs) with a view to limiting the import of timber and timber
products from partner countries to the EU, only to the verified legal timber and timber
products.
- To strengthen the FLEGT Action Plan, and in recognition of the potential for
circumvention of the Partnership Agreements, the EU is considering additional legislation
to exclude illegal timber from the European market.
- Canada has proposed and promoted the adoption of a taxonomic classification system for
International Customs authorities to standardize, organize, and capture wildlife trade data.
- G8 member countries, as parties to the Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Fauna and Flora (CITES), have enhanced control of trade in endangered
timber species listed in Appendices such as Big Leaf Mahogany and Ramin in accordance
with the provisions of the Convention.
(b)Taking action through bilateral and regional trade-related arrangements
- Japan took initiatives to address the illegal logging issue in forums related to FTA/EPA in
negotiations with timber-exporting countries initiated recently (e.g. the forum on forestry
issues established under the ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership
(AJCEP) Agreement).
- The United States has supported efforts to combat illegal logging through its free trade
agreements (FTAs), by including the core obligation to effectively enforce environmental
laws as well as provisions on transparency, customs cooperation, and rules of origin.
FTAs are complemented by parallel agreements that include specific mechanisms for
enhanced cooperation on environmental matters.
(c) Promoting public timber procurement policies
xxi
- Since 2000, some G8 and EU member countries (Belgium, Denmark, France, Germany,
Japan, the Netherlands, the United Kingdom, and others) have introduced government
procurement policies that favour verified legal and/or sustainable timber and timber
products. The introduction of these policies has contributed to improving the practices of
the private sector by showing the preference for legal and/or sustainable timber and
timber products. Although the scale and the share of the public sector differ from country
to country (e.g. 15-20% in the United Kingdom and 2-3% in Japan), public procurement
policies created and influenced markets for verified legal and/or sustainable timber and
timber products.
(3) Engaging the public (working with the private sector; and informing consumers)
Members of the G8 have been working with the private sector and civil society to
improve business practices and raise public awareness on the issue.
- In many timber-exporting countries, dialogues on national legislations related to land
use and the utilization of forest resources among multi-stakeholders, including
governments, the private sector, forest-dependent local communities, and NGOs,
have been initiated and activated with the support of G8 members.
- In line with the introduction of its government procurement policy, Japan has issued a
guideline that provides verification modalities for legality and sustainability of wood
and wood products in 2006. The guideline has facilitated voluntary initiatives by
forest products industry associations and individual companies.
- Members of the G8 have worked with forest product companies and their suppliers
worldwide to promote responsible forest management, reduce illegal logging, and
improve the well-being of local communities in developing countries.
- The actions taken by the G8 contributed to improving the practices of the private
sector and raising consumers’ and local population’s awareness on the issue. They
also served as an incentive for timber-exporting countries to take voluntary actions to
address the issue. Thus, a variety of voluntary initiatives by the private sector,
including adopting and implementing voluntary codes of conduct and traceability
schemes, has been launched and developed in both producer and consumer countries.
(4) Other actions
- As members of the United Nations Forum on Forests and the UN General Assembly,
all G8 members joined in adopting the Non-Legally Binding Instrument on All Types
of Forests, which provides a framework for national action and international
cooperation of forests, including combating illegal logging and timber trafficking,
through 2015.
xxii
- Canada organized a series of like-minded countries meetings to explore developing a
Legally-binding Agreement on Sustainable Forest Management that also addresses
the issue of illegal logging.
- Since 2005 Canada and the Russian Federation have worked together pursuant to a
Joint Statement of Technical Cooperation to improve sustainable management of
forests in Russia. Cooperation focuses on forest fire management, forest carbon
accounting, certification, and model forests.
- Canada has promoted environmental stewardship through the International Model
Forest Network, the Secretariat of which is housed and supported by Canada, which
now links over 20 countries and nearly 50 landscape-level sites around the world to
develop, apply, and share innovative sustainable forest management practices based
on inclusive partnerships.
- Japan organized a series of International Experts Meetings on Illegal Logging to
promote dialogue among major timber-producing and -consuming countries,
international organizations, institutions, and civil society on the issue.
- The United States co-sponsored, with Australia, Indonesia, the Philippines, and
Thailand, a resolution adopted in 2007 by the UN Commission on Crime Prevention
and Criminal Justice on "International cooperation in preventing and combating illicit
international trafficking in forest products," and supported a follow-up resolution in
2008 at the Crime Commission. These resolutions are important tools to engage the
law enforcement community internationally to address forest and wildlife crimes, in
line with one of the Crime Commission’s priorities to promote the role of criminal
law in protecting the environment.
- The United States has concluded 13 innovative debt-for-nature agreements with
partner countries in Africa, Asia, and Latin America, which will generate funds over
10-25 years for forest conservation, including improved law enforcement.
- The United States, Canada, and the United Kingdom, together with Australia, Chile,
and India, have worked through the Coalition Against Wildlife Trafficking launched
in 2007 to address the black market in wildlife and wildlife parts, which often is
associated with illegal logging and organized crime.
3. Challenges ahead and ways to move forward
G8 member countries are home to much of the world’s forests and account for a major
proportion of international trade in timber and timber products as well as bilateral and
multilateral forest-related assistance. Therefore they can significantly impact illegal
logging as development and trading partners, and they should continue to address the
issue collectively and individually.
G8 forest experts shared the view that G8 members, in close cooperation with interested
countries, organizations, and public and private partners, should
xxiii
continue to take a range of different actions, with each member acting where it can
contribute most effectively.
G8 forest experts have identified a number of possible ways to move forward
in efforts to combat illegal logging and its associated trade. The following is a
preliminary list of options developed to date:
- Promote transparent timber markets and trade in legal and sustainably- produced
timber and timber products through creating incentives and partnerships among
timber-exporting and -importing countries. This may include voluntary measures to
encourage application of timber verification and labeling schemes.
- Promote expansion and development of bilateral and multilateral frameworks and
dialogues between timber-exporting and -importing countries, involving
timber-processing countries.
- Encourage, adopt, improve or extend public timber procurement policies that favor
legal timber, where they can influence the private sector to use legally sourced
timber, and share experience of this with others.
- Encourage and support voluntary initiatives by the private sector in both
timber-exporting and -importing countries including such efforts as adoption and
implementation of voluntary codes of conduct, and improvement of its business
practices and market transparency.
- Promote and disseminate knowledge about sustainable forest management to all
stakeholders and encourage the development of sustainable forest management plans
in consultation with stakeholders.
- Promote cooperation with civil society, including NGOs and consumer groups in
raising consumers’ and local population’s awareness on the issue.
- Support actions identified through regional Forest Law Enforcement and Governance
(FLEG) ministerial processes in Africa, Europe-North Asia, and East Asia, and
actively engage the International Tropical Timber Organization (ITTO) and other
relevant multilateral fora that can bring resources to bear in addressing the illegal
logging issue.
- Promote coordination of efforts being made by G8 members in assisting producer
countries.
- Continue to work with the forest products industry, NGOs, international
organizations, and partner countries to build the capacity of timber-producing and
-exporting countries to stop illegal logging, including supporting efforts to comply
with CITES obligations.
xxiv
- Improve public access to forest-related information and enhance transparency of the
forest sector through assistance to producer countries in developing necessary
measures. Increase public awareness, including in producer countries, on the
environmental, social and financial impact of illegal logging.
- Explore with partner countries developing and using systems for tracking origins and
the flow of timber.
- Utilize information obtained from satellites to detect, report, prevent, and prosecute
illegal activities in forests through cooperation and capacity building of producer
countries.
- Explore developing a global monitoring network for forests, deforestation, forest
degradation and illegal logging based on ongoing national and international earth
observation initiatives and forest monitoring and assessment processes.
- Reflect discussion of and lessons learnt from combating illegal logging in the
discussion on Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation
(REDD) as appropriate, recognizing that substantial progress on forest governance
can contribute significantly to making progress on REDD. Strengthen coordination
with relevant policies, in particular land use policies, including agriculture and
bio-fuel policies.
- Identify ways to enhance cooperation between customs and law enforcement
authorities in producer and consumer countries.
- Consider possible measures to promote better due diligence of investments by the
private sector to contribute to efforts to combat illegal logging and its associated
trade, promoting measures against money laundering, and enhancing transparent
accounting in timber and forest products companies.
4. Follow up
G8 forest experts pointed out that worldwide deforestation and forest degradation
continue at an alarming rate and that illegal logging remains a significant contributory
factor. Yet, there has been considerable progress, too. The experts are committed to
further meeting challenges and pursuing ways to move forward with a view to curbing
illegal logging and its associated trade. In addition, the experts recognize that the
international community is continuously in need of political momentum in dealing with
the issue.
G8 forest experts will keep close contact with each other and meet occasionally
and again in 2010 to review progress in realizing the commitments made, share lessons,
and continue exploring options for coordinated action against illegal logging and its
associated trade involving other relevant partners, in efforts to identify national, regional
and global solutions to the issue.
xxv
Lampiran 2
The Second Round of the International Experts Meeting on Illegal Logging
Chairpersons’ Summary
The Second Round of the International Experts Meeting on Illegal Logging took
place in Tokyo, Japan, on 3-4 March 2008. The Meeting was hosted by the Government
of Japan and attended by 51 senior level experts on the illegal logging issue as well as 11
observers. Participating countries were 18 major timber-producing and timber-consuming
countries, namely, Australia, Canada, France, Gabonese Republic, Germany, Republic of
Ghana, Indonesia, Italy, Japan, Malaysia, the Netherlands, New Zealand, Papua New
Guinea, Romania, Russian Federation, Solomon Islands, the United Kingdom and the
United States, and European Commission, as well as representatives from international
organizations and institutions, namely FAO, ITTO, the World Bank, Chatham House,
IGES, Lembaga Ekolabel Institute, TRAFFIC International and World Resources
Institute, that are actively involved in initiatives to combat against illegal logging.
Representatives from the private sector and civil society also participated as observers.
The first day of the meeting consisted of 13 presentations divided into sessions on
actions to tackle illegal logging and their impacts, verifying legality and sustainability,
ensuring transparency of forest management, and further options to eliminate illegal
logging and its associated trade.
1. Opening Remarks
The Meeting was opened by the co-chairs, H.E. Mr. Kyoji Komachi, Ambassador
for Global Environmental Affairs, Ministry of Foreign Affairs, Japan and Mr. Salman Al
Farisi, Director for Development, Economic and Environmental Affairs, Ministry of
Foreign Affairs, Indonesia.
The co-chairs welcomed the participants from producer and consumer countries,
international organizations and the private sector. Ambassador Komachi emphasized the
importance of SFM especially with the recognition of the critical role of forests to the
efforts to address global challenges such as climate change. He stressed that as President
of the G8, Japan will take initiative to tackle forest issues, including illegal logging, and
he stressed the importance of producer and consumer countries working together to
combat illegal logging. He explained that the outcome of the Meeting should contribute
to the G8 Hokkaido-Toyako Summit.
Mr. Salman Al Farisi expressed appreciation to the Government of Japan for
organizing the meeting and noted efforts at the international level to promote SFM and
combat illegal logging such as the UNFF’s MYPOW and the NLBI.
The co-chairs explained that China was unable to send a representative but that
Japan was pleased to welcome the Solomon Islands, Gabon, Ghana and Romania as new
participants in this meeting.
xxvi
The co-chairs explained that the Meeting would review developments on illegal
logging at the national and international levels, the effects of measures taken and discuss
how further progress can be made.
2. Actions to Tackle Illegal Logging and their Impacts
This session consisted of presentations on i) developments since 2002 in forest
law enforcement, governance and trade, ii) policies of Gabon to tackle illegal logging,
and iii) FLEG initiatives, specifically in East Asia.
During the discussion one participant warned that the new issue of climate
change may soon replace illegal logging as the next theme for forests, as yet another shift
in the forests agenda, but without significant impacts on deforestation rates.
Further elaboration was provided of the study by Chatham House on indicators of
progress in dealing with illegal logging. The study will initially cover 12 countries, the
indicators are not yet fully decided and there may be scope for social issues to be
included.
The 11 steps for Indonesia to tackle illegal logging that had been developed by
the World Bank and others also generated interest. Some of the steps may now be
reflected in some aspects of national policy but it appears that these steps have not
become a truly national programme. The WB, together with others, is supporting
Indonesia in promoting the development of national efforts.
One participant asked whether we could reflect on the recommendations of the
last meeting in our discussions, i.e. whether they are still valid or whether we can build
upon these. The co-chair stated that this would be touched upon in session 4.
Logging, whether legal or illegal, was recognized as very important in the
Solomon Islands. As part of its development policy the government is reviewing its
logging legislation and is putting in place a code of ethics of logging. The Solomon
Islands would like further assistance from G8 countries for these initiatives.
A participant felt that the FLEG discussion lacked a result focus, i.e. a
mechanism to assess whether countries are moving forward. Due diligence (prosecutions
etc.) can be measured and could be used to reward countries through ODA. One
participant felt that market incentives such as favourable prices from consumer countries
that can be channeled back to producer countries would work better to enhance progress
in forest management in a country such as Malaysia that does not receive ODA.
Another participant emphasized that illegal logging was a livelihood strategy of
poor communities in countries that had experienced colonialism and that the Meeting
needed to take up this issue in its discussion. It was noted that there is a need for different
policy responses according to whether illegal logging is driven by poverty or by greed
A participant explained that the partnership agreement approach of EU-FLEGT is
based on a dialogue between parties, identification of what needs to be done, a program
of action, agreement of what support is required and measurement of results.
xxvii
3. Challenges Ahead and Ways to Move Forward
3.1 Verifying Legality and Sustainability
The three presentations in this session were on i) the experience of Indonesia in
timber legality verification, ii) public procurement policies for legal and sustainable
timber, and iii) initiatives by the private sector in Japan.
A question was raised as to whether governments should develop their own
criteria or use what is available in certification schemes for public procurement. In
response, it was suggested that governments should develop their own standards to
explain what they mean by legality and sustainability and that these could raise the
performance of certification schemes. One participant felt that principles from
certification, which are broadly accepted, could be used to develop national legality
standards that could then be used for public procurement.
A problem noted of certification is that it was introduced to improve forest
management in tropical countries but it has progressed most in the temperate zone
countries because of their longer experience with SFM. A concern raised was that while
Japan’s current procurement system is useful, timber rejected by countries with
procurement policies will be consumed elsewhere. The need for additional measures was
discussed.
One participant argued that if Indonesia develops a good verification scheme, it
should be accepted by all countries. A concern that VPAs might be discriminatory trade
measures was raised. Another participant responded that these are voluntary agreements
and that discussions with Latin American countries are now underway, i.e. that there is no
intention to limit the VPAs to Asia and Africa. The issue of changing forest agendas
again stimulated interest with one participant arguing that without fundamental changes
in forest governance climate change objectives cannot be met.
One participant explained that in Indonesia the legality verification standard has
been elaborated to distinguish between planted forests, community forests and natural
forests and that this will help in combating illegal logging. He felt that a global scheme
may be ideal but it is unrealistic; therefore, mutual recognition agreements between
important producing and consuming countries to ensure that only verified legal products
from the producing countries are permitted entry to the consuming countries may be a
more practical and important measure.
Another participant explained that because forest certification has progressed
further in temperate forests most governments have included alternative verification
modalities in their procurement policies, allowing the purchase of verified legal
products from tropical countries. Public procurement policies that only use the two global
forest certification schemes may be discriminating against tropical countries.
The concern that public procurement policies will merely shift the flow of illegal
wood to countries without policies is also relevant for the substitute of wood materials,
according to one participant. To reduce these risks, he argued that there is a need to bring
in cost effective systems and to promote harmonization amongst consumer countries.
xxviii
3.2 Ensuring Transparency of Forest Management
i) Improvement of international trade statistics, ii) multi-stakeholder initiatives
to promote transparency, and iii) forest governance initiatives in Ghana were the three
topics of presentations in this session.
A question was asked as to whether there is evidence that transfer pricing
continues to be a significant source of revenue loss for producer countries.
One participant felt that there is a need for information to be connected with a
clear process for informed action, but that for transparency we need a lot of data that may
not be available.
The issue of discrepancies in trade statistics was a point of interest for
participants. One participant explained that some discrepancies are to be expected, but
that we need to identify which of these are due to forest crime, and that in such cases
there is a need for further investigation. He felt that this is the responsibility of national
governments; therefore, we need to build the capacity of governments to follow up on
some of the clues from these discrepancies. He explained that ITTO studies have shown
that this follow up is very inadequate.
Another participant noted that if information is in the public domain, the public
can play a role in forest monitoring. Several participants raised the issue of the need for
making the counterfactual available to the public.
The participants noted that information sharing is very important. Cooperation
between Japan and Brazil under which Japan is providing information from its satellite
system was given as an example. One participant recommended that such cooperation
could be extended to other countries and suggested to the G8.
Whether FLEGT had a positive impact from the perspective of producer
countries was discussed. A participant explained that his country’s experience with
FLEGT had been very positive. He noted that the country had undertaken policy reforms
from 1994, but that it struggled to implement these and that FLEGT provided support for
this reform process. He argued that FLEGT should be viewed as a mutually beneficial
process.
Another participant noted that developing a standard of legality involving forest
stakeholders could have a positive outcome in terms of broad buy in, but explained that
this takes much longer than a unilateral process. He felt that additional necessary
elements are adequate possession of information and a larger system of information
governance including freedom of the press.
On information sharing, one participant felt that it could be very useful for G8
countries to make information available to producer countries, thereby reducing costs,
and that informal multi-stakeholder processes can also be very useful (e.g. the process
behind the amendment of the Lacey Act). He explained that multi-stakeholder processes
have to be chosen and should be inclusive.
One participant explained the experience of a producer country included the
following lessons:
xxix
--To define the stakeholders for a multi-stakeholder process is difficult.
--Building trust is important but difficult.
--Governments with many different agencies, businesses and the representatives of local
people must all decide their positions to be presented in the multi-stakeholder forum.
--Local people need the assistance of local NGOs that can communicate in local
languages.
-- The issue is not just about transparency, it is also about building trust amongst the
stakeholders.
3.3 Further Options to Eliminate Illegal Logging and its Associated Trade
The four presentations in this session covered i) emerging lessons from VPAs
and prospects for additional legislative measures, ii) efforts by Malaysia to combat illegal
logging, iii) engaging Customs to curb the trade in illegal wood, and iv) US actions to
combat illegal logging.
The suggestion of using Customs declaration forms to combat the international
trade in illegal wood generated a lot of interest. A question as to whether they were easy
to tamper with and defraud was raised. In response it was noted that there are some
measures used by Customs to determine whether documents are accurate, but that there
needs to be further analysis of documentation processes to determine if export
declarations can be used at the importer end. Another participant felt that further work on
the awareness of Customs of illegal logging is needed. He asked how high illegal logging
is on their agenda, given that they are very busy people. Another participant noted that the
strength of using a Customs declaration form is that if it does not accompany a shipment
it will not be imported.
Another participant asked what the most effective disincentives and incentives
are for businesses in relation to illegal logging and also whether the VPA schemes could
address the issue of countries importing from non-VPA countries.
xxx
Appreciation for the study by TRAFFIC on Customs was expressed and the
need to seriously consider how exporting and importing countries can exchange
information on trade statistics was emphasised. One participant felt that before taking
action we need to discuss what timber items should be included when a producer country
decides to implement export bans. He felt that we must consider how markets can provide
incentives for legal timber and noted that most countries do not yet have a market for
verified legal and sustainable timber. He felt that the focus should be on increasing supply
and that action should start with the developed countries that can most easily provide
timber verified as legal to the market and that this could be used as an incentive for
developing countries.
A participant explained that the Cebu workshop in 2005 on promoting
cooperation among Customs and forest authorities showed that there was little action by
Customs on illegal trade. The workshop found that international action was focused on
forest departments and that the role of Customs was not being addressed. He explained
that they lack expertise on forest crime and need other agencies to work with them.
Another participant noted that a strength of the proposed amendment to the
Lacey Act is that an existing system is being used and that overall this is a significant step
to tackle illegal trade.
Several participants expressed the view that timber should be perceived as a free
trade commodity. A concern was raised that there appears to be no mention of the
FLEGT VPAs in the public procurement policies and that expecting case by case
assessment of evidence for public procurement would be too much, especially after
countries had gone through the VPA process. One participant noted that the VPAs cannot
stand on their own and that they need market incentives. He explained that the additional
legislative options discussion should result in legislative options to support the VPAs. He
also noted that the procurement policies in Europe prefer certified timber and hoped that
they will acknowledge the VPAs. Another participant explained that the FLEGT license
will be the only legality verification used by the UK from 2009 and that the licensing
system needs to be elaborated to deal with laundering, and that there are two studies on
this issue underway. He noted that the FLEGT licensing system would offer an easy way
to ensure that any banned exports from VPA partner countries (e.g. logs or sawnwood)
could not be imported into EU countries.
The desirability of reciprocal action was again raised in the discussion with one
participant stating that this would be useful in relation to the Indonesia log and sawn
timber export ban.
It was noted that there are three tools that could be considered in relation to the
role of Customs: i) UNEP Green Customs Initiative, ii) International Network for
Environmental Compliance and Enforcement, which tries to professionalise law
enforcement in the realm of the environment, and iii) international law enforcement
academies, which are regional training centres that have law enforcement tools and can
include environmental issues.
One participant suggested that the new focus on REDD should be viewed
positively as it would increase attention towards the same governance issues that the
illegal logging agenda is attempting to deal with.
xxxi
In commenting on the discussion that had taken place throughout the day one
participant felt that the keys to success are good governance, effective verification, an
appropriate legal framework and enforcement, and that the participation of communities
is essential. He noted a shift in the global agenda from SFM as a whole to its parts - on
illegal logging and moving on to REDD - and stressed that there is a need to return to a
holistic SFM approach that engages local communities and that incorporates international
approaches. He felt that many lessons are offered by bilateral approaches that would
allow us to develop a broader multilateral approach, and that an effective legal
arrangement is the best approach to SFM and would include recognition of the problem
of illegal logging.
Co-chair summary of discussion
The co-chairs briefly summarised the day’s discussion noting that participants
had discussed many lessons from existing initiatives and best practices, but that they had
also identified issues for further discussion such as timber as a free trade commodity and
incentives for legal timber and timber products.
4. The G8 Forest Experts Meeting Report on Illegal Logging
Participants made suggestions that may be considered in preparation of the G8
Forest Experts Meeting Report on Illegal Logging. It was announced that the Draft
Report will be drawn up by the Government of Japan in consideration of the discussion
held at the Meeting with the intention of forwarding it to the G8 Environment Ministers
Meeting to be held in May this year.
Download