BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Cinta 2.1.1. Pengertian Cinta Cinta adalah hubungan sehat antara sepasang manusia yang melibatkan perasaan saling menghargai, menghormati, dan mempercayai (Alwisol, 2009). Ada dua jenis cinta (dewasa) menurut Maslow yakni Deficiency atau D-love dan Being atau B-love. Kebutuhan cinta karena kekurangan, itulah D-love; orang yang mencintai sesuatu yang tidak dimilikinya, seperti harga diri, seks atau seseorang yang membuat dirinya menjadi tidak sendirian. Misalnya, hubungan pacaran, hidup bersama atau perkawinan yang membuat seseorang terpuaskan kenyamanan dan keamanannya. D-love adalah cinta yang mementingkan diri sendiri, lebih memperoleh daripada memberi. Sedangkan B-love didasarkan pada penilaian mengenai orang lain apa adanya, tanpa keinginan mengubah atau memanfaatkan orang itu. Cinta yang tidak berniat memiliki, tidak mempengaruhi, dan terutama bertujuan memberi orang lain gambaran positif, penerimaan diri dan perasaan dicintai, yang membuka kesempatan orang itu untuk berkembang. Berbeda dengan skala cinta Rubin (dalam Sears, Freedman, & Peplau, 1985) yang mengkonsepkan cinta sebagai suatu 14 sikap terhadap orang lain, sebagai suatu himpunan pikiran yang khusus tentang orang yang dicintai. Menurut Rubin, ada tiga tema yang tercermin dalam pernyataan-pernyataan pada skalanya. Tema pertama, yang disebut Rubin sebagai kasih sayang (attachment), merupakan perasaan membutuhkan dan mendesak. Contoh pernyataan tentang tema ini adalah, “Rasanya sulit bagi saya untuk hidup tanpa .” Pernyataan ini mencerminkan kesadaran seseorang tentang ketergantungannya pada orang lain untuk mendapatkan ganjaran yang berharga. Tema yang kedua adalah keinginan untuk memberi perhatian pada seseorang seperti tergambar dalam pernyataan, “Saya ingin melakukan segala sesuatu untuk .” Hasrat untuk mengatakan kesejahteraan seseorang dan peka terhadap kebutuhan-kebutuhannya merupakan inti dari tema ini. Tema ketiga menekankan pada rasa percaya dan pengungkapan diri. Dalam The Psychology of Love, Sternberg & Barners sebagai editor memberikan kesimpulan yang menarik mengenai taxonomi dari cinta. Menurut mereka tidak ada satu definisi atau single definition yang berguna dan akurat mengenai arti cinta itu. Cinta memang pada dasarnya unik karena kompleksitas keadaan-keadaan yang dirasakan dan dipikirkan oleh individu ketika mengalami hal yang disebut dengan cinta. Sehingga taxonomi dari cinta dikembalikan menjadi definisi yang diartikan, dibuat dan dinilai oleh individu kepada pasangannya. 15 2.1.2. Teori Segitiga Cinta Robert Sternberg (The Triangular Theory of Love) Robert Sternberg dalam bukunya tentang The Triangular Theory of Love atau yang biasa dimaknai dengan Segitiga Cinta Sternberg menunjukkan bahwa ternyata cinta memiliki tiga dimensi, yakni intimacy, passion, dan decision dan (atau) commitment. KEINTIMAN Menyukai Cinta Romantis Cinta Persahabatan Cinta Sempurna GAIRAH Cinta Gila Cinta Bodoh KOMITMEN Cinta Kosong Figur 2.1 Segitiga Cinta Sternberg Intimacy. Unsur emosional, melibatkan pengungkapan diri, yang mengarah ke keterikatan, kehangatan, dan rasa percaya. Dimensi ini tertuju pada kedekatan perasaan antara dua orang dan kekuatan yang mengikat mereka untuk bersama. Sebuah hubungan akan mencapai keintiman emosional saat kedua pihak saling mengerti, 16 terbuka dan saling mendukung, dan dapat berbicara apa pun tanpa merasa takut ditolak. Mereka mampu untuk saling memaafkan dan menerima, khususnya ketika mereka tidak sependapat atau berbuat kesalahan. Passion. Unsur motivasional, didasari oleh dorongan yang mentranslasi rangsangan fisiologis menjadi hasrat seksual. Dimensi passion menekankan pada intensnya perasaan dan keterbangkitan yang muncul dari daya tarik fisik dan daya tarik seksual. Pada jenis cinta ini, seseorang mengalami ketertarikan fisik secara nyata, selalu memikirkan orang yang dicintainya sepanjang waktu, melakukan kontak mata secara intens saat bertemu, mengalami perasaan indah seperti melambung ke awan, mengagumi dan terpesona dengan pasangan, detak jantung meningkat, mengalami perasaan sejahtera, ingin selalu bersama yang dicintai, memiliki energi yang besar untuk melakukan sesuatu demi pasangan mereka, merasakan adanya kesamaan dalam banyak hal, dan tentu saja merasa sangat berbahagia. Decision dan (atau) Commitment. unsur kognitif, merupakan keputusan untuk mencintai dan bertahan dengan sang kekasih. Pada dimensi ini, seseorang berkeputusan untuk tetap bersama dengan seorang pasangan dalam hidupnya. Komitmen dapat bermakna mencurahkan perhatian, melakukan sesuatu untuk menjaga suatu hubungan tetap langgeng, melindungi hubungan tersebut dari bahaya, dan memperbaiki bila hubungan dalam keadaan kritis. Pada dimensi 17 ini, seseorang mulai memikirkan tentang pernikahan. Alasan utama untuk melakukan pernikahan adalah karena adanya cinta dan komitmen yang dibagi bersama pasangan. Pasangan memiliki hasrat untuk membagi dirinya dalam hubungan yang berlanjut dan hangat (Turner & Helms, 1995). Setiap komponen ini akan berada pada sisi dari segitiga yang akan menggambarkan cinta dari dua individu yang dibagi. Setiap komponen dapat bervariasi dalam hal intensitasnya, mulai dari rendah hingga tinggi, sehingga memungkinkan terbentuknya segitiga yang bervariasi ukuran dan bentuknya. Dalam kenyataannya, dapat terjadi bentuk yang tidak dapat tergambarkan karena adanya salah satu komponen yang sangat rendah atau bahkan semuanya tidak ada. Berdasarkan tingkatan dari tiap komponen, kita dapat melihat beberapa tipe cinta dari tabel berikut, yaitu: Tabel 2.1 Tipe Cinta Robert Sternberg Unsur Keintiman Tipe Tidak ada cinta (Non Love) Menyukai (Liking) Cinta Gila (Infatuation) Cinta Kosong (Empty Love) Cinta Romantis (Romantic Love) Cinta Persahabatan (Companionate Love) Cinta Bodoh (Fatuous Love) Cinta Sempurna (Consummate Love) 18 Gairah Komitmen Penjelasan dari tabel di atas dapat dijabarkan sebagai berikut. 1. Tidak ada cinta. Jika tidak terdapat ketiga komponen, yaitu intimacy, passion, dan commitment, maka cinta juga tidak ada. Hubungan jenis ini dapat diterima pada hubungan-hubungan yang superficial, seperti perkenalan, bukan pertemanan. 2. Menyukai, jika intimacy tinggi, namun passion dan commitment sangat rendah. Hubungan jenis ini dapat ditemui dalam pertemanan dengan kedekatan yang nyata dan kehangatan yang tidak membangkitkan gairah atau harapan bahwa kita akan menghabiskan sisa hidup kita dengan orang tersebut. Jika teman kita membangkitkan gairah dan kita merasakan kehilangan yang luar biasa jika ia pergi atau menghilang, maka hubungan tersebut tidap dapat digolongkan ke dalam tipe cinta ini. 3. Cinta Gila. Gairah yang kuat dalam ketiadaan intimacy dan decision atau commitment merupakan ciri dari jenis hubungan ini, yaitu saat seseorang mengalami rangsangan dari orang lain yang sulit mereka kenali. Contohnya, jika kita mengidam-idamkan seseorang yang satu sekolah dengan kita, namun kita jarang atau bahkan tidak pernah berbicara dengannya dan tidak punya kesempatan untuk mengenalnya. Kita tertarik, namun kita tidak berani untuk mendekat. Sternberg menjelaskan bahwa pada cinta ini terjadi pengalaman cinta pada pandangan pertama yang ditandai 19 dengan munculnya derajat passion yang tinggi, yaitu dari ketertarikan dan psychophysiological arousal. 4. Cinta Kosong. Komitmen tanpa intimacy atau passion disebut dengan cinta kosong. Dalam budaya barat, hal ini dapat dilihat dalam hubungan yang mengalami burned-out di mana kehangatan dan gairah telah mati dan keputusan untuk bersama atau komitmenlah yang merupakan satu-satunya hal yang tertinggal. Kondisi ini juga biasa terjadi pada pernikahan yang dijodohkan. Namun, dalam beberapa budaya lainnya, sebuah hubungan dapat saja dimulai dari cinta kosong. 5. Cinta Romantis. Ketika intimacy dan passion ada secara bersamaan, maka seseorang akan merasakan cinta romantis. Salah satu cara untuk membayangkan mengenai cinta romantis adalah sebagai kombinasi dari menyukai dan cinta gila. Orang sering kali berkomitmen terhadap romansa mereka, namun Sternberg berargumen bahwa komitmen bukanlah hal yang menggambarkan karakteristik dari cinta romantis. Sebagai contoh, sebuah hubungan cinta lokasi dapat menjadi sangat romantis, bahkan ketika mereka mengetahui hubungan tersebut akan berakhir ketika mereka sudah tidak berada dalam satu lokasi. Cinta ini terjadi karena level keintiman emosi yang tinggi, selain itu pasangan merasakan kedekatan dan konektivitas satu dengan yang lainnya. 20 6. Cinta Persahabatan. Intimacy dan komitmen bersatu untuk membentuk cinta untuk pasangan dekat atau cinta persahabatan. Sepasang individu berusaha untuk menjaga pertemanan hingga jangka panjang. Tipe dari hubungan ini dapat diidentifikasikan dengan pernikahan yang langgeng dan bahagia di mana gairah pasangan muda yang dulu ada secara bertahap semakin padam. 7. Cinta Bodoh. Keberadaan passion dan komitmen yang disertai dengan ketiadaan intimacy yang dinamakan cinta bodoh akan menghasilkan pengalaman yang tidak bijak atau tidak masuk akal. Hubungan ini dapat terjadi pada hubungan yang singkat di mana sepasang individu menikah secara cepat dengan dasar gairah yang luar biasa, namun belum memahami pasangannya secara menyeluruh. 8. Cinta Sempurna. Pada cinta ini, ketiga komponen terpenuhi dengan derajat yang seimbang. Kondisi ini dinamakan “complete”. Hal ini merupakan tipe cinta yang selalu dicari oleh semua orang, namun Sternberg (1987) mengungkapkan bahwa hal ini serupa dengan menurunkan berat badan: mudah untuk dilakukan dalam waktu sesaat, namun sulit untuk mempertahankan sepanjang waktu. Maka, cinta yang “complete” agak sulit untuk dicapai oleh pasangan. 21 Saat orang-orang diminta mendefinisikan elemen-elemen yang merupakan ‘bumbu dasar’ cinta, mayoritas dari mereka menyetujui bahwa perasaan cinta merupakan gabungan dari hasrat (passion), keintiman (intimacy), dan komitmen (Aron dan Westbay, 1996; Lemieux dan Hale, 2000; Sternberg, 1997). Terdapat dua jenis cinta yang terkait dengan unsur-unsur cinta Sternberg (intimacy, passion, and commitment). Para psikolog yang meneliti perasaan cinta membedakan passionate love (cinta romantik), yang dicirikan oleh adanya emosi keintiman yang kuat dan ketertarikan seksual yang tinggi, dengan companionate love (cinta persahabatan) yang dicirikan oleh adanya afeksi, rasa percaya, dan perasaan tentram kala bersama orang yang dicintai (Hatfield dan Rapson, 1996). Passionate love merupakan situasi saat seseorang mengalami hasrat yang sangat kuat dan tidak bisa dijelaskan logika, “jatuh cinta pada pandangan pertama”, serta merupakan tahap awal dari hubungan cinta. Oleh Berscheid dan Walter hal ini dinamakan cinta birahi. Menurutnya (1985), cinta birahi dilukiskan sebagai “keadaan emosional yang menggebu-gebu: perasaan seksual dan perasaan yang lembut, relasi dan rasa nyeri, kecemasan dan perasaan lega, altruism, dan kecemburuan, yang muncul bersama dalam suatu kegalauan perasaan.” Emosi memainkan peranan utama dalam cinta birahi. Orang sering digoyahkan oleh nafsu yang tidak terkendalikan, yang mengarahkan mereka pada orang yang dicintai. 22 Keterbangkitan jasmaniah yang merupakan bahan bakar nafsu dalam jenis cinta ini, dapat muncul dari berbagai sumber. Nafsu seksual, kecemasan akan adanya kemungkinan penolakan, terlalu bergembira karena berkenalan dengan seseorang, frustasi karena gangguan dari luar, rasa marah sehabis bertengkar dengan kekasihnya, dapat menimbulkan keadaan emosi yang kuat dalam cinta birahi. Menurut Berscheid (1983), dorongan cinta birahi yang tidak terkendalikan dapat menjadi pembenaran yang tepat untuk melakukan perilaku yang umumnya tidak dapat diterima secara sosial seperti menjalin hubungan seksual di luar nikah. Mereka akan mengatakan “tidak mampu mengendalikan diri” sebagai usaha membela diri. Elemen lain dari cinta birahi adalah perasaan terhanyut bersama orang lain. Mereka terobsesi oleh pikiran-pikiran tentang orang cinta. Munculah kecenderungan untuk menganggap orang yang dicintai sebagai orang yang sempurna, melihat orang tersebut hanya dari segi yang indah dan sempurna. Banyak yang mengatakan bahwa cinta semacam ini akan muncul dengan tiba-tiba dan kemudian hilang begitu saja. Jenis cinta ini sangat kuat tetapi mudah hancur. Pada cinta persahabatan diartikan sebagai “afeksi yang kita rasakan terhadap seseorang yang kehidupannya saling berjalin dengan kehidupan kita” (Berscheid & Walter, 1978: 177). Ini merupakan bentuk cinta yang lebih praktis dan mengutamakan rasa saling mempercayai, saling memperhatikan, dan tenggang rasa terhadap 23 kekurangan dan keunikan pasangannya. Nada emosional dalam bentuk cinta ini lebih moderat. Kehangatan dan afeksi lebih sering muncul daripada nafsu yang menggebu. Kelley (1983) mengatakan, cinta persahabatan akan tumbuh perlahan-lahan sehingga kedua pihak mempunyai kesempatan untuk mengembangkan hubungan yang memuaskan. Dia juga menduga, bentuk cinta ini lebih sering muncul dalam hubungan yang adil, di mana kedua pihak merasa sama-sama memperoleh keuntungan yang kurang lebih setara. Banyak orang merasa yakin bahwa bentuk cinta ini merupakan landasan yang kokoh bagi suatu hubungan jangka panjang. Model cinta birahi dan cinta persahabatan menunjukkan adanya gambaran yang berbeda-beda tentang pengalaman cinta. Orang mempunyai anggapan yang berbeda tentang mana yang terbaik atau yang paling tepat di antara keduanya. Perbedaan yang menyolok di antara keduanya memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang menarik tentang pengalaman-pengalaman emosi yang dialami seseorang dalam hubungan yang erat. Mengapa tahap awal hubungan romantis biasanya dicirikan oleh adanya emosi yang ekstrim sedangkan tahap selanjutnya ditandai oleh ketenangan dan kelunakan emosional? Pada sebagian besar hubungan berjalan beberapa tahun dan sebaliknya keintiman justru meningkat. Keintiman didasari oleh pengetahuan yang mendalam mengenai pasangan kita, yang didapat secara bertahap, sedangkan 24 passion mencapai puncaknya pada tahapan awal suatu hubungan, saat kedua orang memulai membuka dirinya masing-masing, dan passion akan mencapai titik terendahnya saat kedua orang tersebut memiliki pengetahuan yang maksimal mengenai kepercayaan dan kebiasaan pasangannya, saat mereka cenderung merasa tidak ada satu hal pun yang dapat mereka pelajari lagi mengenai pasangan mereka. Faktorfaktor biologi seperti sistem opiat yang dimiliki oleh otak dapat memberikan kontribusi untuk passion pada masa awal, namun sebagian besar psikolog meyakini bahwa faktor yang berkontribusi pada hubungan cinta jangka panjang dan bersifat intim lebih berkaitan dengan sikap, nilai-nilai, temperamen, keseimbangan kekuatan serta kepribadian yang dimiliki oleh suatu pasangan, dan bukan semata-mata dipengaruhi hormon. Berscheid (1983) berpendapat bahwa sejalan dengan waktu, hal-hal yang pada mulanya terasa baru dan mengejutkan dalam suatu hubungan, perlahan-lahan akan memudar. Idealisasi tentang pasangannya akan mulai terbentuk pada kenyataankenyataan tentang ketidaksempurnaan manusia. Pasangan ini mulai mengembangkan bentuk interaksi yang rutin, dan pola kehidupan bersama menjadi semakin mantap. Namun, Berscheid juga berpendapat bahwa sejalan dengan berlanjutnya hubungan dan tumbuhnya interdependensi, potensi timbulnya emosi yang kuat akan semakin meningkat. Semakin kuat ketergantungan kita, pada orang lain, semakin besar pengaruh orang 25 tersebut dalam kehidupan kita. Namun, berlawanan dengan kenyataan itu, karena pasangan yang sudah membina hubungan untuk waktu yang cukup lama telah belajar untuk menata pola kegiatan mereka, biasanya frekuensi aktual dari emosi yang kuat menjadi rendah. Seperti yang dikatakan oleh Wade dan Tavris (2007) bahwa passionate love dapat menghilang atau berevolusi menjadi companionate love. Sternberg (dalam Dayakisni dan Yuniardi, 2004) membagi companionate love menjadi dua komponen: intimacy (keintiman) dan commitment (komitmen). Keintiman mengacu pada kehangatan, kedekatan, dan sharing dalam suatu hubungan. Sedangkan, komitmen mengacu pada intens atau niat untuk mempertahankan hubungan meskipun muncul kesulitan-kesulitan. Sternberg (1988) juga mengatakan bahwa keintiman maupun komitmen merupakan komponen yang cenderung stabil dalam suatu hubungan cinta. Sedangkan hasrat cenderung berfluktuasi dan tidak stabil. Keutamaan dari setiap elemen tersebut bervariasi tergantung pada lama sebentarnya sebuah hubungan. Pada hubungan yang baru dibangun, khususnya pada hubungan yang romantis hasrat cenderung mendominasi. sedangkan pada hubungan yang telah lama terjalin, keintiman dan komitmen lebih mendominasi. Tidak hanya itu, faktor usia juga memiliki faktor dalam mempengaruhi kehadiran unsur-unsur cinta dalam suatu hubungan. Hubungan romantis cenderung menjadi lebih kuat dan lebih dekat sepanjang masa remaja (Bouchey & Furman, 2003). Di usia 16 tahun, remaja lebih 26 banyak berinteraksi dan berpikir mengenai pasangan romantis dibandingkan dengan orang tua, teman atau saudara kandung (Bouchery & Furman, 2003). Pada masa remaja akhir atau masa dewasa awal, hubungan romantis mulai untuk menjadi sumber kebutuhan emosional yang dapat diberikan oleh hubungan ini dan hanya ketika hubungan tersebut berorientasi untuk jangka panjang (Furman & Wehner, 1997). 2.2 Waria 2.2.1. Pengertian Waria Menurut Poerwadarminta (dalam Rahayuningsih, 2007) mengartikan waria adalah laki-laki yang bertingkah laku dan berpakaian sebagai perempuan atau sebaliknya. Atmojo (dalam Rahayuningsih, 2007) berpendapat bahwa waria (wanita pria) adalah laki-laki yang berdandan dan berperilaku sebagai wanita. Sejalan dengan pendapat Poerwadarminta dan Atmojo, menurut Rais (2012) bahwa waria adalah laki-laki yang bersifat dan bertingkah laku seperti perempuan; laki-laki yang mempunyai perasaan dan bertingkah laku seperti perempuan. Pada istilah sehari-hari, mereka inilah yang sering disebut sebagai “waria”, “wadam”, “banci”, “bencong”, ataupun istilah semacam itu (Fusiah Fitri & Julianti Widury, 2005). Secara umum bisa diartikan bahwa waria adalah seorang individu yang secara lahiriah dia terlahir dengan jenis kelamin laki-laki namun memiliki kecenderungan 27 sikap, sifat, kepribadian dan hasrat seperti seorang perempuan, dan untuk memenuhi hasratnya sebagai seorang perempuan maka dalam kehidupan sosialnya dia mengambil peran sebagai perempuan, mulai dari cara berpakaian, cara berjalan dan tingkah laku selayaknya perempuan (http://srikandisejati.wordpress.com/2009/02/27/waria-ohwaria/). Istilah waria diberikan bagi penderita transeksual yaitu seseorang yang memiliki fisik berbeda dengan jiwanya. Namun, kelompok ini menurut Yash (2003) sulit untuk dijelaskan secara tepat. Karena dari sejumlah pengamatan dan wawancara pada waria yang pernah dilakukan olehnya di Yogyakarta, terbukti dari penuturan mereka bahwa mereka tidak memenuhi kriteria untuk transeksual. Diantaranya adalah pengakuan mereka bahwa mereka tidak merasa terganggu dengan penampilan/penampakan genital eksternal mereka, dan oleh karena itu mereka tidak menginginkan untuk melenyapkannya. Lebih jauh lagi, mereka sadar bahwa mereka dilahirkan sebagai laki-laki, meski berpenampilan dan berperilaku sebagai perempuan. Terdapat kemungkinan bahwa kelompok ini dapat disebut sebagai kelompok transgenderis. Mereka memenuhi ciri-ciri kelompok ini yakni bahwa mereka secara tipikal menginginkan untuk hidup sebagai anggota jenis kelamin berlawanan dari jenis kelamin berdasarkan genital mereka, namun tanpa menjalani operasi secara lengkap. Kelompok ini dapat dianggap sebagai sebuah titik tengah 28 antara Gender Motivated Transvestit dan Transeksual. Gender Motivated Transvestit ini dapat merupakan sebuah bentuk gender dysphoria, dan dapat juga tidak. Sekali lagi, bagaimanapun juga transvestite berbeda dengan transeksual; karena transvestite selalu memiliki identitas utama laki-laki, meski kadang-kadang melarikan diri kearah alter ego perempuannya, sementara transeksual laki-laki ke perempuan selalu memiliki identitas perempuan. Menurut Yash (2003) ciri lain kelompok waria adalah bahwa mereka lebih menginginkan dianggap sebagai waria dan bukan perempuan. Bahkan dalam kartu identitas mereka menginginkan untuk dicantumkan berjenis kelamin waria. Hal ini juga sesuai dengan ciri kelompok transgender yang menginginkan adanya jenis kelamin ketiga. Berbeda dengan transeksual yang jelas merasa bahwa diri mereka anggota salah satu gender yang ada, yakni laki-laki, atau perempuan, dan bukan yang lain. Menurut diagnosis medis konvensional, transeksualisme adalah salah satu bentuk Gender Dysphoria (kebingungan gender). Gender Dysphoria adalah sebuah term general bagi mereka yang mengalami kebingungan atau ketidaknyamanan tentang gender kelahiran mereka. Bentuk yang lebih ringan dari kondisi ini menyebabkan perasaan sebagai anggota jenis kelamin berlawanan dari jenis kelamin yang didasarkan pada genital fisik, akan tetapi hanya kadang-kadang ada, atau tidak sempurna. Transeksualisme adalah bentuk yang paling berat dari kondisi ini. 29 Transeksual adalah masalah identitas gender, kesadaran mental yang dimiliki seseorang tentang jenis kelaminnya, tentang apakah dirinya laki-laki atau perempuan. Dimana identitas gender yang dimiliki oleh seorang transeksual ini berlawanan dengan jenis kelamin yang “dikenakan” kepadanya berdasarkan genital fisiknya. Berdasarkan pendapat-pendapat para tokoh diatas, tampaknya tidak semua waria dapat dimasukkan dalam kelompok transeksual. Paling tidak dapat dikatakan bahwa tidak semua waria adalah transseksual, atau dengan kata lain terdapat kemungkinan individuindividu transseksual terdapat didalam komunitas kelompok waria ini. Kondisi yang cenderung memiliki kemiripan ini membuat kondisi waria dan transeksual mudah tertumpangtindih karena kemiripan penampakannya. Sehingga, berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa waria adalah seorang individu yang secara lahiriah dia terlahir dengan jenis kelamin laki-laki yang berdandan dan berperilaku sebagai wanita dan tidak merasa terganggu dengan penampilan atau penampakan genital eksternal mereka, dan oleh karena itu mereka tidak menginginkan untuk melenyapkannya. 2.2.2. Kriteria Waria Waria adalah istilah yang sering kali hendak menjelaskan fenomena transeksualisme. Sehingga, di identikan dengan transeksual. Kriteria Gangguan transeksual dalam DSM IV-TR adalah: 30 1. Identifikasi yang kuat dan menetap terhadap lawan jenis 2. Pada anak-anak, terdapat empat atau lebih dari ciri, yaitu: A. Berulangkali menyatakan keinginan untuk menjadi atau memaksakan bahwa ia adalah lawan jenis B. Lebih suka memakai pakaian lawan jenis C. Lebih suka berperan sebagai lawan jenis dalam bermain atau terus-menerus berfantasi menjadi lawan jenis D. Lebih suka melakukan permainan yang merupakan stereotip lawan jenis E. Lebih suka bermain dengan teman-teman dari lawan jenis 3. Pada remaja dan orang dewasa, simtom-simtom seperti keinginan untuk menjadi lawan jenis, berpindah ke kelompok lawan jenis, ingin diperlakukan sebagai lawan jenis, keyakinan bahwa emosinya adalah tipikal lawan jenis 4. Rasa tidak nyaman yang terus-menerus dengan jenis kelamin biologisnya atau rasa terasing dari peran gender jenis kelamin tersebut A. Pada anak-anak, terwujud dalam salah satu hal di antaranya: pada laki-laki, merasa jijik dengan penisnya dan yakin bahwa penisnya akan hilang seiring berjalannya waktu; tidak menyukai permainan stereotip anak laki-laki. Pada anak perempuan, menolak untuk buang air kecil dengan cara duduk; yakin bahwa penis akan tumbuh; merasa tidak suka dengan 31 payudara yang membesar dan menstruasi; merasa benci/tidak suka terhadap pakaian perempuan yang konvensional B. Pada remaja dan orang dewasa, terwujud dalam satu hal diantaranya: keinginan kuat untuk menghilangkan karakteristik jenis kelamin sekunder melalui pemberian hormon dan/atau operasi; yakin bahwa ia dilahirkan dengan jenis kelamin yang salah 5. Tidak sama dengan kondisi fisik antarjenis kelamin 6. Menyebabkan distress atau hendaya dalam fungsi sosial dan pekerjaan 2.2.3. Penyebab Waria Terdapat beberapa kemungkinan faktor yang menjadi penyebab seseorang menjadi waria. Adanya faktor biologis memiliki pengaruh pada hormonal. Menurut Green dan Blanchard (dalam Gunawan, 2002) anak perempuan yang memproduksi androgen secara berlebihan, lebih menyukai permainan yang kasar dengan kontak fisik. Mereka juga tidak menyukai boneka serta ingin dianggap tomboi. Sedangkan anak laki-laki yang kurang memproduksi hormon androgen, merasa perlu berupaya keras untuk bergabung dalam kegiatan olah raga, terutama yang bersifat kompetitif. Mereka juga cenderung untuk menghindari kegiatan yang memerlukan kekuatan fisik (Wolman, 1977). Gender confusion akan timbul ketika terjadi produksi yang 32 abnormal dari hormon-hormon ini oleh otak. Keabnormalan yang timbul selama kehidupan fetal dan post-natal ini, mungkin akan terefleksikan pada masa dewasa (Yash, 2003). Faktor penyebab kedua adalah lingkungan atau teori pembelajaran sosial. Dalam Gunawan (2002) teori pembelajaran sosial memfokuskan pada perbedaan penguatan yang diberikan orang tua untuk jenis kelamin yang berbeda. Orang tua atau anggota keluarga lain yang dekat dengan anak menjadi figur teladan bagi pembentukan sikap dan tingkah laku anak. Teladan dari tokoh-tokoh lain merupakan contoh pelengkap. Penguatan itu bertujuan untuk membentuk sikap maskulin atau feminin (Green & Blanchard, 1995; Nealle, Davidson & Haaga, 1996; Wolman, 1977). Yash (2003) menyatakan, bahwa menurut teori lingkungan ini sekse di mana anak dibesarkan dan konsistensi yang mengikutinya adalah “peramal” terbaik dari identitas gendernya di masa depan. Dan faktor kemungkinan selain biologis dan lingkungan menurut Hidayanto (2010) adalah psikogenik. Seseorang menjadi waria juga ada yang disebabkan oleh faktor psikologis, dimana pada masa kecilnya, anak laki-laki menghadapi permasalahan psikologis yang tidak menyenangkan baik dengan orang tua, jenis kelamin yang lain, frustasi hetereseksual, adanya iklim keluarga yang tidak harmonis yang mempengaruhi perkembangan psikologis anak maupun keinginan orang tua memiliki anak perempuan namun kenyataannya anaknya 33 adalah seorang laki-laki. Kondisi tersebut, telah menyebabkan perlakuan atau pengalaman psikologis yang tidak menyenangkan dan telah membentuk perilaku laki-laki menjadi feminin bahkan kewanitaan. 2.2.4. Waria dalam Pandangan Masyarakat Menurut Ramadhani (2012) eksistensi waria yang merupakan bagian dari fenomena transgender, istilah umum untuk menggambarkan aktivitas peran gender yang berkebalikan dengan nilai gender konvensional telah melekat secara historikal di Tanah Air. Di Makasar, misalnya, ada yang disebut bissu, sosok spiritual yang berperilaku feminin, kontras dengan fisiknya yang laki-laki. Mereka sangat dihormati dan menjadi bagian penting dalam sebuah ritual budaya bugis. Tidak semua orang bisa menerima keberadaan waria. Para bissu di Makasar pun pernah mengalami masa-masa sulit: dicemooh, dianggap murtad, dan tidak sedikit pula yang dibunuh. Waria dipandang abnormal, nyeleneh, tabu, dan melanggar norma-norma. Banyak yang akhirnya diusir dari keluarga dan putus sekolah. Karena tak memiliki keterampilan memadai dan ada desakan kebutuhan finansial, maka tidak sedikit yang terjun ke dunia prostitusi alias nyebong atau jual diri. Sektor formal seperti kerja kantoran, sulit untuk menerima mereka. 34 Keberadaan waria belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat, meski sebenarnya menjadi waria adalah satu proses historis yang dimulai dari masa kanak-kanak, remaja hingga seseorang benar-benar dapat mempresentasikan secara total perilakunya sebagai waria. Perilaku waria, dengan identitas laki-laki dengan dandanan perempuan, di pandang masyarakat sebagai perilaku menyimpang secara kultural maupun dalam praktik-praktik relasi seksualnya. Menurut Koeswinarno (2004) sebagai sebuah kepribadian, kehadiran seorang waria merupakan satu proses yang panjang, baik secara individual maupun sosial. Secara individu antara lain, lahirnya perilaku waria tidak lepas dari satu proses atau dorongan yang kuat dari dalam dirinya, bahwa fisik mereka tidak sesuai dengan kondisi psikis. Hal ini menimbulkan konflik psikologis dalam dirinya. Mereka mempresentasikan perilaku yang jauh berbeda dengan laki laki normal, tetapi bukan sebagai perempuan yang normal pula. Permasalahannya tidak sekadar menyangkut masalah moral dan perilaku yang dianggap tidak wajar, namun merupakan dorongan seksual yang sudah menetap dan memerlukan penyaluran (Kartono, 1989: 257).Namun demikian, berbagai dorongan seksual waria belum sepenuhnya dapat diterima oleh masyarakat. Secara normatif, tidak ada kelamin ketiga di antara laki laki dan perempuan. Salah satu dorongan seksual yang dianggap menyimpang dari nilai dan tradisi adalah masalah relasi seksual yang dilakukan oleh 35 waria. Seperti halnya relasi seksual yang dilakukan oleh kaum homoseksual dan lesbian, waria juga mengalami konflik yang sama dengan manusia “normal” lainnya, yang pada suatu fase tertentu memerlukan penyaluran (Lerner dan Spanier, 1980: 308-310). Di lain pihak, akibat penyimpangan perilaku yang mereka tunjukkan sehari-hari juga dihadapkan pada konflik sosial dalam berbagai bentuk pelecehan. Belum semua anggota masyarakat, termasuk keluarga mereka sendiri, dapat menerima kehadiran seorang waria dengan wajar sebagaimana jenis kelamin lainnya. Kehadiran seorang waria di dalam sebuah keluarga sering kali dianggap sebagai sebuah aib, sehingga waria senantiasa mengalami tekanan-tekanan sosial. Di dalam pergaulan mereka juga menghadapi konflik-konflik dalam berbagai bentuk dari cemoohan, pelecehan hingga pengucilan. Konflik-konflik di atas menyebabkan dunia waria semakin terisolasi dari lingkungan sosial, sementara waria dituntut harus tetap mampu survive dalam lingkungan yang mengisolasikan dirinya itu. Dengan sendirinya konflik konflik itu pulalah yang pada gilirannya menjadi realitas objektif kehadiran waria. Akibat masalah masalah tersebut persoalan dunia waria akhirnya berada dalam konteks sulitnya mensosialisasikan perilaku mereka di dalam lingkungan sosial. Uraian tersebut menunjukkan bagaimana sebenarnya seorang dihadapkan kepada kenyataan, bahwa mereka harus mampu menjadi waria, bukan laki laki atau perempuan. 36