BAB II KAJIAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Cinta
2.1.1. Pengertian Cinta
Cinta adalah hubungan sehat antara sepasang manusia yang
melibatkan
perasaan
saling
menghargai,
menghormati,
dan
mempercayai (Alwisol, 2009). Ada dua jenis cinta (dewasa) menurut
Maslow yakni Deficiency atau D-love dan Being atau B-love.
Kebutuhan cinta karena kekurangan, itulah D-love; orang yang
mencintai sesuatu yang tidak dimilikinya, seperti harga diri, seks atau
seseorang yang membuat dirinya menjadi tidak sendirian. Misalnya,
hubungan pacaran, hidup bersama atau perkawinan yang membuat
seseorang terpuaskan kenyamanan dan keamanannya. D-love adalah
cinta yang mementingkan diri sendiri, lebih memperoleh daripada
memberi. Sedangkan B-love didasarkan pada penilaian mengenai
orang lain apa adanya, tanpa keinginan mengubah atau memanfaatkan
orang itu. Cinta yang tidak berniat memiliki, tidak mempengaruhi, dan
terutama bertujuan memberi orang lain gambaran positif, penerimaan
diri dan perasaan dicintai, yang membuka kesempatan orang itu untuk
berkembang. Berbeda dengan skala cinta Rubin (dalam Sears,
Freedman, & Peplau, 1985) yang mengkonsepkan cinta sebagai suatu
14 sikap terhadap orang lain, sebagai suatu himpunan pikiran yang khusus
tentang orang yang dicintai. Menurut Rubin, ada tiga tema yang
tercermin dalam pernyataan-pernyataan pada skalanya. Tema pertama,
yang disebut Rubin sebagai kasih sayang (attachment), merupakan
perasaan membutuhkan dan mendesak. Contoh pernyataan tentang
tema ini adalah, “Rasanya sulit bagi saya untuk hidup tanpa .”
Pernyataan
ini
mencerminkan
kesadaran
seseorang
tentang
ketergantungannya pada orang lain untuk mendapatkan ganjaran yang
berharga. Tema yang kedua adalah keinginan untuk memberi perhatian
pada seseorang seperti tergambar dalam pernyataan, “Saya ingin
melakukan segala sesuatu untuk .” Hasrat untuk mengatakan
kesejahteraan seseorang dan peka terhadap kebutuhan-kebutuhannya
merupakan inti dari tema ini. Tema ketiga menekankan pada rasa
percaya dan pengungkapan diri. Dalam The Psychology of Love,
Sternberg & Barners sebagai editor memberikan kesimpulan yang
menarik mengenai taxonomi dari cinta. Menurut mereka tidak ada satu
definisi atau single definition yang berguna dan akurat mengenai arti
cinta itu. Cinta memang pada dasarnya unik karena kompleksitas
keadaan-keadaan yang dirasakan dan dipikirkan oleh individu ketika
mengalami hal yang disebut dengan cinta. Sehingga taxonomi dari
cinta dikembalikan menjadi definisi yang diartikan, dibuat dan dinilai
oleh individu kepada pasangannya.
15 2.1.2. Teori Segitiga Cinta Robert Sternberg (The Triangular Theory of
Love)
Robert Sternberg dalam bukunya tentang The Triangular
Theory of Love atau yang biasa dimaknai dengan Segitiga Cinta
Sternberg menunjukkan bahwa ternyata cinta memiliki tiga dimensi,
yakni intimacy, passion, dan decision dan (atau) commitment.
KEINTIMAN
Menyukai
Cinta Romantis
Cinta Persahabatan
Cinta Sempurna
GAIRAH
Cinta Gila
Cinta Bodoh
KOMITMEN
Cinta Kosong
Figur 2.1 Segitiga Cinta Sternberg
Intimacy. Unsur emosional, melibatkan pengungkapan diri,
yang mengarah ke keterikatan, kehangatan, dan rasa percaya. Dimensi
ini tertuju pada kedekatan perasaan antara dua orang dan kekuatan
yang mengikat mereka untuk bersama. Sebuah hubungan akan
mencapai keintiman emosional saat kedua pihak saling mengerti,
16 terbuka dan saling mendukung, dan dapat berbicara apa pun tanpa
merasa takut ditolak. Mereka mampu untuk saling memaafkan dan
menerima, khususnya ketika mereka tidak sependapat atau berbuat
kesalahan.
Passion. Unsur motivasional, didasari oleh dorongan yang
mentranslasi rangsangan fisiologis menjadi hasrat seksual. Dimensi
passion menekankan pada intensnya perasaan dan keterbangkitan yang
muncul dari daya tarik fisik dan daya tarik seksual. Pada jenis cinta ini,
seseorang
mengalami
ketertarikan
fisik
secara
nyata,
selalu
memikirkan orang yang dicintainya sepanjang waktu, melakukan
kontak mata secara intens saat bertemu, mengalami perasaan indah
seperti melambung ke awan, mengagumi dan terpesona dengan
pasangan, detak jantung meningkat, mengalami perasaan sejahtera,
ingin selalu bersama yang dicintai, memiliki energi yang besar untuk
melakukan sesuatu demi pasangan mereka, merasakan adanya
kesamaan dalam banyak hal, dan tentu saja merasa sangat berbahagia.
Decision dan (atau) Commitment. unsur kognitif, merupakan
keputusan untuk mencintai dan bertahan dengan sang kekasih. Pada
dimensi ini, seseorang berkeputusan untuk tetap bersama dengan
seorang pasangan dalam hidupnya. Komitmen dapat bermakna
mencurahkan perhatian, melakukan sesuatu untuk menjaga suatu
hubungan tetap langgeng, melindungi hubungan tersebut dari bahaya,
dan memperbaiki bila hubungan dalam keadaan kritis. Pada dimensi
17 ini, seseorang mulai memikirkan tentang pernikahan. Alasan utama
untuk melakukan pernikahan adalah karena adanya cinta dan
komitmen yang dibagi bersama pasangan. Pasangan memiliki hasrat
untuk membagi dirinya dalam hubungan yang berlanjut dan hangat
(Turner & Helms, 1995).
Setiap komponen ini akan berada pada sisi dari segitiga yang
akan menggambarkan cinta dari dua individu yang dibagi. Setiap
komponen dapat bervariasi dalam hal intensitasnya, mulai dari rendah
hingga tinggi, sehingga memungkinkan terbentuknya segitiga yang
bervariasi ukuran dan bentuknya. Dalam kenyataannya, dapat terjadi
bentuk yang tidak dapat tergambarkan karena adanya salah satu
komponen yang sangat rendah atau bahkan semuanya tidak ada.
Berdasarkan tingkatan dari tiap komponen, kita dapat melihat beberapa
tipe cinta dari tabel berikut, yaitu:
Tabel 2.1 Tipe Cinta Robert Sternberg
Unsur
Keintiman
Tipe
Tidak ada cinta (Non Love)
Menyukai (Liking)
Cinta Gila (Infatuation)
Cinta Kosong (Empty Love)
Cinta Romantis (Romantic Love)
Cinta Persahabatan
(Companionate Love)
Cinta Bodoh (Fatuous Love)
Cinta Sempurna (Consummate
Love)
18 Gairah
Komitmen
























Penjelasan dari tabel di atas dapat dijabarkan sebagai berikut.
1. Tidak ada cinta. Jika tidak terdapat ketiga komponen, yaitu
intimacy, passion, dan commitment, maka cinta juga tidak ada.
Hubungan jenis ini dapat diterima pada hubungan-hubungan yang
superficial, seperti perkenalan, bukan pertemanan.
2. Menyukai, jika intimacy tinggi, namun passion dan commitment
sangat rendah. Hubungan jenis ini dapat ditemui dalam pertemanan
dengan kedekatan yang nyata dan kehangatan yang tidak
membangkitkan
gairah
atau
harapan
bahwa
kita
akan
menghabiskan sisa hidup kita dengan orang tersebut. Jika teman
kita membangkitkan gairah dan kita merasakan kehilangan yang
luar biasa jika ia pergi atau menghilang, maka hubungan tersebut
tidap dapat digolongkan ke dalam tipe cinta ini.
3. Cinta Gila. Gairah yang kuat dalam ketiadaan intimacy dan
decision atau commitment merupakan ciri dari jenis hubungan ini,
yaitu saat seseorang mengalami rangsangan dari orang lain yang
sulit mereka kenali. Contohnya, jika kita mengidam-idamkan
seseorang yang satu sekolah dengan kita, namun kita jarang atau
bahkan tidak pernah berbicara dengannya dan tidak punya
kesempatan untuk mengenalnya. Kita tertarik, namun kita tidak
berani untuk mendekat. Sternberg menjelaskan bahwa pada cinta
ini terjadi pengalaman cinta pada pandangan pertama yang ditandai
19 dengan munculnya derajat passion yang tinggi, yaitu dari
ketertarikan dan psychophysiological arousal.
4. Cinta Kosong. Komitmen tanpa intimacy atau passion disebut
dengan cinta kosong. Dalam budaya barat, hal ini dapat dilihat
dalam hubungan yang mengalami burned-out di mana kehangatan
dan gairah telah mati dan keputusan untuk bersama atau
komitmenlah yang merupakan satu-satunya hal yang tertinggal.
Kondisi ini juga biasa terjadi pada pernikahan yang dijodohkan.
Namun, dalam beberapa budaya lainnya, sebuah hubungan dapat
saja dimulai dari cinta kosong.
5. Cinta Romantis. Ketika intimacy dan passion ada secara
bersamaan, maka seseorang akan merasakan cinta romantis. Salah
satu cara untuk membayangkan mengenai cinta romantis adalah
sebagai kombinasi dari menyukai dan cinta gila. Orang sering kali
berkomitmen
terhadap
romansa
mereka,
namun
Sternberg
berargumen bahwa komitmen bukanlah hal yang menggambarkan
karakteristik dari cinta romantis. Sebagai contoh, sebuah hubungan
cinta lokasi dapat menjadi sangat romantis, bahkan ketika mereka
mengetahui hubungan tersebut akan berakhir ketika mereka sudah
tidak berada dalam satu lokasi. Cinta ini terjadi karena level
keintiman emosi yang tinggi, selain itu pasangan merasakan
kedekatan dan konektivitas satu dengan yang lainnya.
20 6. Cinta Persahabatan. Intimacy dan komitmen bersatu untuk
membentuk cinta untuk pasangan dekat atau cinta persahabatan.
Sepasang individu berusaha untuk menjaga pertemanan hingga
jangka panjang. Tipe dari hubungan ini dapat diidentifikasikan
dengan pernikahan yang langgeng dan bahagia di mana gairah
pasangan muda yang dulu ada secara bertahap semakin padam.
7. Cinta Bodoh. Keberadaan passion dan komitmen yang disertai
dengan ketiadaan intimacy yang dinamakan cinta bodoh akan
menghasilkan pengalaman yang tidak bijak atau tidak masuk akal.
Hubungan ini dapat terjadi pada hubungan yang singkat di mana
sepasang individu menikah secara cepat dengan dasar gairah yang
luar biasa, namun belum memahami pasangannya secara
menyeluruh.
8. Cinta Sempurna. Pada cinta ini, ketiga komponen terpenuhi dengan
derajat yang seimbang. Kondisi ini dinamakan “complete”. Hal ini
merupakan tipe cinta yang selalu dicari oleh semua orang, namun
Sternberg (1987) mengungkapkan bahwa hal ini serupa dengan
menurunkan berat badan: mudah untuk dilakukan dalam waktu
sesaat, namun sulit untuk mempertahankan sepanjang waktu.
Maka, cinta yang “complete” agak sulit untuk dicapai oleh
pasangan.
21 Saat orang-orang diminta mendefinisikan elemen-elemen yang
merupakan ‘bumbu dasar’ cinta, mayoritas dari mereka menyetujui
bahwa perasaan cinta merupakan gabungan dari hasrat (passion),
keintiman (intimacy), dan komitmen (Aron dan Westbay, 1996;
Lemieux dan Hale, 2000; Sternberg, 1997). Terdapat dua jenis cinta
yang terkait dengan unsur-unsur cinta Sternberg (intimacy, passion,
and commitment). Para psikolog yang meneliti perasaan cinta
membedakan passionate love (cinta romantik), yang dicirikan oleh
adanya emosi keintiman yang kuat dan ketertarikan seksual yang
tinggi, dengan companionate love (cinta persahabatan) yang dicirikan
oleh adanya afeksi, rasa percaya, dan perasaan tentram kala bersama
orang yang dicintai (Hatfield dan Rapson, 1996). Passionate love
merupakan situasi saat seseorang mengalami hasrat yang sangat kuat
dan tidak bisa dijelaskan logika, “jatuh cinta pada pandangan
pertama”, serta merupakan tahap awal dari hubungan cinta. Oleh
Berscheid dan Walter hal ini dinamakan cinta birahi. Menurutnya
(1985), cinta birahi dilukiskan sebagai “keadaan emosional yang
menggebu-gebu: perasaan seksual dan perasaan yang lembut, relasi
dan rasa nyeri, kecemasan dan perasaan lega, altruism, dan
kecemburuan, yang muncul bersama dalam suatu kegalauan perasaan.”
Emosi memainkan peranan utama dalam cinta birahi. Orang sering
digoyahkan oleh nafsu yang tidak terkendalikan, yang mengarahkan
mereka pada orang yang dicintai.
22 Keterbangkitan jasmaniah yang merupakan bahan bakar nafsu
dalam jenis cinta ini, dapat muncul dari berbagai sumber. Nafsu
seksual, kecemasan akan adanya kemungkinan penolakan, terlalu
bergembira karena berkenalan dengan seseorang, frustasi karena
gangguan dari luar, rasa marah sehabis bertengkar dengan kekasihnya,
dapat menimbulkan keadaan emosi yang kuat dalam cinta birahi.
Menurut Berscheid (1983), dorongan cinta birahi yang tidak
terkendalikan dapat menjadi pembenaran yang tepat untuk melakukan
perilaku yang umumnya tidak dapat diterima secara sosial seperti
menjalin hubungan seksual di luar nikah. Mereka akan mengatakan
“tidak mampu mengendalikan diri” sebagai usaha membela diri.
Elemen lain dari cinta birahi adalah perasaan terhanyut
bersama orang lain. Mereka terobsesi oleh pikiran-pikiran tentang
orang cinta. Munculah kecenderungan untuk menganggap orang yang
dicintai sebagai orang yang sempurna, melihat orang tersebut hanya
dari segi yang indah dan sempurna. Banyak yang mengatakan bahwa
cinta semacam ini akan muncul dengan tiba-tiba dan kemudian hilang
begitu saja. Jenis cinta ini sangat kuat tetapi mudah hancur.
Pada cinta persahabatan diartikan sebagai “afeksi yang kita
rasakan terhadap seseorang yang kehidupannya saling berjalin dengan
kehidupan kita” (Berscheid & Walter, 1978: 177). Ini merupakan
bentuk cinta yang lebih praktis dan mengutamakan rasa saling
mempercayai, saling memperhatikan, dan tenggang rasa terhadap
23 kekurangan dan keunikan pasangannya. Nada emosional dalam bentuk
cinta ini lebih moderat. Kehangatan dan afeksi lebih sering muncul
daripada nafsu yang menggebu.
Kelley (1983) mengatakan, cinta persahabatan akan tumbuh
perlahan-lahan sehingga kedua pihak mempunyai kesempatan untuk
mengembangkan hubungan yang memuaskan. Dia juga menduga,
bentuk cinta ini lebih sering muncul dalam hubungan yang adil, di
mana kedua pihak merasa sama-sama memperoleh keuntungan yang
kurang lebih setara. Banyak orang merasa yakin bahwa bentuk cinta ini
merupakan landasan yang kokoh bagi suatu hubungan jangka panjang.
Model cinta birahi dan cinta persahabatan menunjukkan adanya
gambaran yang berbeda-beda tentang pengalaman cinta. Orang
mempunyai anggapan yang berbeda tentang mana yang terbaik atau
yang paling tepat di antara keduanya. Perbedaan yang menyolok di
antara keduanya memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang menarik
tentang pengalaman-pengalaman emosi yang dialami seseorang dalam
hubungan yang erat.
Mengapa tahap awal hubungan romantis biasanya dicirikan
oleh adanya emosi yang ekstrim sedangkan tahap selanjutnya ditandai
oleh ketenangan dan kelunakan emosional? Pada sebagian besar
hubungan berjalan beberapa tahun dan sebaliknya keintiman justru
meningkat. Keintiman didasari oleh pengetahuan yang mendalam
mengenai pasangan kita, yang didapat secara bertahap, sedangkan
24 passion mencapai puncaknya pada tahapan awal suatu hubungan, saat
kedua orang memulai membuka dirinya masing-masing, dan passion
akan mencapai titik terendahnya saat kedua orang tersebut memiliki
pengetahuan yang maksimal mengenai kepercayaan dan kebiasaan
pasangannya, saat mereka cenderung merasa tidak ada satu hal pun
yang dapat mereka pelajari lagi mengenai pasangan mereka. Faktorfaktor biologi seperti sistem opiat yang dimiliki oleh otak dapat
memberikan kontribusi untuk passion pada masa awal, namun
sebagian besar psikolog meyakini bahwa faktor yang berkontribusi
pada hubungan cinta jangka panjang dan bersifat intim lebih berkaitan
dengan sikap, nilai-nilai, temperamen, keseimbangan kekuatan serta
kepribadian yang dimiliki oleh suatu pasangan, dan bukan semata-mata
dipengaruhi hormon. Berscheid (1983) berpendapat bahwa sejalan
dengan waktu, hal-hal yang pada mulanya terasa baru dan
mengejutkan dalam suatu hubungan, perlahan-lahan akan memudar.
Idealisasi tentang pasangannya akan mulai terbentuk pada kenyataankenyataan tentang ketidaksempurnaan manusia. Pasangan ini mulai
mengembangkan bentuk interaksi yang rutin, dan pola kehidupan
bersama menjadi semakin mantap.
Namun, Berscheid juga berpendapat bahwa sejalan dengan
berlanjutnya hubungan dan tumbuhnya interdependensi, potensi
timbulnya emosi yang kuat akan semakin meningkat. Semakin kuat
ketergantungan kita, pada orang lain, semakin besar pengaruh orang
25 tersebut dalam kehidupan kita. Namun, berlawanan dengan kenyataan
itu, karena pasangan yang sudah membina hubungan untuk waktu yang
cukup lama telah belajar untuk menata pola kegiatan mereka, biasanya
frekuensi aktual dari emosi yang kuat menjadi rendah. Seperti yang
dikatakan oleh Wade dan Tavris (2007) bahwa passionate love dapat
menghilang atau berevolusi menjadi companionate love. Sternberg
(dalam Dayakisni dan Yuniardi, 2004) membagi companionate love
menjadi dua komponen: intimacy (keintiman) dan commitment
(komitmen). Keintiman mengacu pada kehangatan, kedekatan, dan
sharing dalam suatu hubungan. Sedangkan, komitmen mengacu pada
intens atau niat untuk mempertahankan hubungan meskipun muncul
kesulitan-kesulitan.
Sternberg
(1988)
juga
mengatakan
bahwa
keintiman maupun komitmen merupakan komponen yang cenderung
stabil dalam suatu hubungan cinta. Sedangkan hasrat cenderung
berfluktuasi dan tidak stabil. Keutamaan dari setiap elemen tersebut
bervariasi tergantung pada lama sebentarnya sebuah hubungan. Pada
hubungan yang baru dibangun, khususnya pada hubungan yang
romantis hasrat cenderung mendominasi. sedangkan pada hubungan
yang telah lama terjalin, keintiman dan komitmen lebih mendominasi.
Tidak hanya itu, faktor usia juga memiliki faktor dalam mempengaruhi
kehadiran unsur-unsur cinta dalam suatu hubungan. Hubungan
romantis cenderung menjadi lebih kuat dan lebih dekat sepanjang masa
remaja (Bouchey & Furman, 2003). Di usia 16 tahun, remaja lebih
26 banyak berinteraksi dan berpikir mengenai pasangan romantis
dibandingkan dengan orang tua, teman atau saudara kandung
(Bouchery & Furman, 2003). Pada masa remaja akhir atau masa
dewasa awal, hubungan romantis mulai untuk menjadi sumber
kebutuhan emosional yang dapat diberikan oleh hubungan ini dan
hanya ketika hubungan tersebut berorientasi untuk jangka panjang
(Furman & Wehner, 1997).
2.2 Waria
2.2.1. Pengertian Waria
Menurut
Poerwadarminta
(dalam
Rahayuningsih,
2007)
mengartikan waria adalah laki-laki yang bertingkah laku dan
berpakaian sebagai perempuan atau sebaliknya. Atmojo (dalam
Rahayuningsih, 2007) berpendapat bahwa waria (wanita pria) adalah
laki-laki yang berdandan dan berperilaku sebagai wanita. Sejalan
dengan pendapat Poerwadarminta dan Atmojo, menurut Rais (2012)
bahwa waria adalah laki-laki yang bersifat dan bertingkah laku seperti
perempuan; laki-laki yang mempunyai perasaan dan bertingkah laku
seperti perempuan. Pada istilah sehari-hari, mereka inilah yang sering
disebut sebagai “waria”, “wadam”, “banci”, “bencong”, ataupun istilah
semacam itu (Fusiah Fitri & Julianti Widury, 2005). Secara umum bisa
diartikan bahwa waria adalah seorang individu yang secara lahiriah dia
terlahir dengan jenis kelamin laki-laki namun memiliki kecenderungan
27 sikap, sifat, kepribadian dan hasrat seperti seorang perempuan, dan
untuk memenuhi hasratnya sebagai seorang perempuan maka dalam
kehidupan sosialnya dia mengambil peran sebagai perempuan, mulai
dari cara berpakaian, cara berjalan dan tingkah laku selayaknya
perempuan (http://srikandisejati.wordpress.com/2009/02/27/waria-ohwaria/). Istilah waria diberikan bagi penderita transeksual yaitu
seseorang yang memiliki fisik berbeda dengan jiwanya. Namun,
kelompok ini menurut Yash (2003) sulit untuk dijelaskan secara tepat.
Karena dari sejumlah pengamatan dan wawancara pada waria yang
pernah dilakukan olehnya di Yogyakarta, terbukti dari penuturan
mereka bahwa mereka tidak memenuhi kriteria untuk transeksual.
Diantaranya adalah pengakuan mereka bahwa mereka tidak merasa
terganggu dengan penampilan/penampakan genital eksternal mereka,
dan
oleh
karena
itu
mereka
tidak
menginginkan
untuk
melenyapkannya. Lebih jauh lagi, mereka sadar bahwa mereka
dilahirkan sebagai laki-laki, meski berpenampilan dan berperilaku
sebagai perempuan.
Terdapat kemungkinan bahwa kelompok ini dapat disebut
sebagai kelompok transgenderis. Mereka memenuhi ciri-ciri kelompok
ini yakni bahwa mereka secara tipikal menginginkan untuk hidup
sebagai anggota jenis kelamin berlawanan dari jenis kelamin
berdasarkan genital mereka, namun tanpa menjalani operasi secara
lengkap. Kelompok ini dapat dianggap sebagai sebuah titik tengah
28 antara Gender Motivated Transvestit dan Transeksual. Gender
Motivated Transvestit ini dapat merupakan sebuah bentuk gender
dysphoria, dan dapat juga tidak. Sekali lagi, bagaimanapun juga
transvestite berbeda dengan transeksual; karena transvestite selalu
memiliki identitas utama laki-laki, meski kadang-kadang melarikan
diri kearah alter ego perempuannya, sementara transeksual laki-laki ke
perempuan selalu memiliki identitas perempuan.
Menurut Yash (2003) ciri lain kelompok waria adalah bahwa
mereka lebih menginginkan dianggap sebagai waria dan bukan
perempuan. Bahkan dalam kartu identitas mereka menginginkan untuk
dicantumkan berjenis kelamin waria. Hal ini juga sesuai dengan ciri
kelompok transgender yang menginginkan adanya jenis kelamin
ketiga. Berbeda dengan transeksual yang jelas merasa bahwa diri
mereka anggota salah satu gender yang ada, yakni laki-laki, atau
perempuan, dan bukan yang lain. Menurut diagnosis medis
konvensional, transeksualisme adalah salah satu bentuk Gender
Dysphoria (kebingungan gender). Gender Dysphoria adalah sebuah
term general bagi mereka yang mengalami kebingungan atau
ketidaknyamanan tentang gender kelahiran mereka. Bentuk yang lebih
ringan dari kondisi ini menyebabkan perasaan sebagai anggota jenis
kelamin berlawanan dari jenis kelamin yang didasarkan pada genital
fisik, akan tetapi hanya kadang-kadang ada, atau tidak sempurna.
Transeksualisme adalah bentuk yang paling berat dari kondisi ini.
29 Transeksual adalah masalah identitas gender, kesadaran mental yang
dimiliki seseorang tentang jenis kelaminnya, tentang apakah dirinya
laki-laki atau perempuan. Dimana identitas gender yang dimiliki oleh
seorang transeksual ini berlawanan dengan jenis kelamin yang
“dikenakan” kepadanya berdasarkan genital fisiknya.
Berdasarkan pendapat-pendapat para tokoh diatas, tampaknya
tidak semua waria dapat dimasukkan dalam kelompok transeksual.
Paling tidak dapat dikatakan bahwa tidak semua waria adalah
transseksual, atau dengan kata lain terdapat kemungkinan individuindividu transseksual terdapat didalam komunitas kelompok waria ini.
Kondisi yang cenderung memiliki kemiripan ini membuat kondisi
waria dan transeksual mudah tertumpangtindih karena kemiripan
penampakannya. Sehingga, berdasarkan penjelasan di atas dapat
dipahami bahwa waria adalah seorang individu yang secara lahiriah dia
terlahir dengan jenis kelamin laki-laki yang berdandan dan berperilaku
sebagai wanita dan tidak merasa terganggu dengan penampilan atau
penampakan genital eksternal mereka, dan oleh karena itu mereka
tidak menginginkan untuk melenyapkannya.
2.2.2. Kriteria Waria
Waria adalah istilah yang sering kali hendak menjelaskan
fenomena transeksualisme. Sehingga, di identikan dengan transeksual.
Kriteria Gangguan transeksual dalam DSM IV-TR adalah:
30 1. Identifikasi yang kuat dan menetap terhadap lawan jenis
2. Pada anak-anak, terdapat empat atau lebih dari ciri, yaitu:
A. Berulangkali menyatakan keinginan untuk menjadi atau
memaksakan bahwa ia adalah lawan jenis
B. Lebih suka memakai pakaian lawan jenis
C. Lebih suka berperan sebagai lawan jenis dalam bermain atau
terus-menerus berfantasi menjadi lawan jenis
D. Lebih suka melakukan permainan yang merupakan stereotip
lawan jenis
E. Lebih suka bermain dengan teman-teman dari lawan jenis
3. Pada remaja dan orang dewasa, simtom-simtom seperti keinginan
untuk menjadi lawan jenis, berpindah ke kelompok lawan jenis,
ingin diperlakukan sebagai lawan jenis, keyakinan bahwa
emosinya adalah tipikal lawan jenis
4. Rasa tidak nyaman yang terus-menerus dengan jenis kelamin
biologisnya atau rasa terasing dari peran gender jenis kelamin
tersebut
A. Pada anak-anak, terwujud dalam salah satu hal di antaranya:
pada laki-laki, merasa jijik dengan penisnya dan yakin bahwa
penisnya akan hilang seiring berjalannya waktu; tidak
menyukai permainan stereotip anak laki-laki. Pada anak
perempuan, menolak untuk buang air kecil dengan cara duduk;
yakin bahwa penis akan tumbuh; merasa tidak suka dengan
31 payudara yang membesar dan menstruasi; merasa benci/tidak
suka terhadap pakaian perempuan yang konvensional
B. Pada remaja dan orang dewasa, terwujud dalam satu hal
diantaranya: keinginan kuat untuk menghilangkan karakteristik
jenis kelamin sekunder melalui pemberian hormon dan/atau
operasi; yakin bahwa ia dilahirkan dengan jenis kelamin yang
salah
5. Tidak sama dengan kondisi fisik antarjenis kelamin
6. Menyebabkan distress atau hendaya dalam fungsi sosial dan
pekerjaan
2.2.3. Penyebab Waria
Terdapat beberapa kemungkinan faktor yang menjadi penyebab
seseorang menjadi waria. Adanya faktor biologis memiliki pengaruh
pada hormonal. Menurut Green dan Blanchard (dalam Gunawan,
2002) anak perempuan yang memproduksi androgen secara berlebihan,
lebih menyukai permainan yang kasar dengan kontak fisik. Mereka
juga tidak menyukai boneka serta ingin dianggap tomboi. Sedangkan
anak laki-laki yang kurang memproduksi hormon androgen, merasa
perlu berupaya keras untuk bergabung dalam kegiatan olah raga,
terutama yang bersifat kompetitif. Mereka juga cenderung untuk
menghindari kegiatan yang memerlukan kekuatan fisik (Wolman,
1977). Gender confusion akan timbul ketika terjadi produksi yang
32 abnormal dari hormon-hormon ini oleh otak. Keabnormalan yang
timbul selama kehidupan fetal dan post-natal ini, mungkin akan
terefleksikan pada masa dewasa (Yash, 2003).
Faktor
penyebab
kedua
adalah
lingkungan
atau
teori
pembelajaran sosial. Dalam Gunawan (2002) teori pembelajaran sosial
memfokuskan pada perbedaan penguatan yang diberikan orang tua
untuk jenis kelamin yang berbeda. Orang tua atau anggota keluarga
lain yang dekat dengan anak menjadi figur teladan bagi pembentukan
sikap dan tingkah laku anak. Teladan dari tokoh-tokoh lain merupakan
contoh pelengkap. Penguatan itu bertujuan untuk membentuk sikap
maskulin atau feminin (Green & Blanchard, 1995; Nealle, Davidson &
Haaga, 1996; Wolman, 1977). Yash (2003) menyatakan, bahwa
menurut teori lingkungan ini sekse di mana anak dibesarkan dan
konsistensi yang mengikutinya adalah “peramal” terbaik dari identitas
gendernya di masa depan.
Dan faktor kemungkinan selain biologis dan lingkungan
menurut Hidayanto (2010) adalah psikogenik. Seseorang menjadi
waria juga ada yang disebabkan oleh faktor psikologis, dimana pada
masa kecilnya, anak laki-laki menghadapi permasalahan psikologis
yang tidak menyenangkan baik dengan orang tua, jenis kelamin yang
lain, frustasi hetereseksual, adanya iklim keluarga yang tidak harmonis
yang mempengaruhi perkembangan psikologis anak maupun keinginan
orang tua memiliki anak perempuan namun kenyataannya anaknya
33 adalah seorang laki-laki. Kondisi tersebut, telah menyebabkan
perlakuan atau pengalaman psikologis yang tidak menyenangkan dan
telah
membentuk
perilaku
laki-laki
menjadi
feminin
bahkan
kewanitaan.
2.2.4. Waria dalam Pandangan Masyarakat
Menurut Ramadhani (2012) eksistensi waria yang merupakan
bagian
dari
fenomena
transgender,
istilah
umum
untuk
menggambarkan aktivitas peran gender yang berkebalikan dengan nilai
gender konvensional telah melekat secara historikal di Tanah Air. Di
Makasar, misalnya, ada yang disebut bissu, sosok spiritual yang
berperilaku feminin, kontras dengan fisiknya yang laki-laki. Mereka
sangat dihormati dan menjadi bagian penting dalam sebuah ritual
budaya bugis.
Tidak semua orang bisa menerima keberadaan waria. Para
bissu di Makasar pun pernah mengalami masa-masa sulit: dicemooh,
dianggap murtad, dan tidak sedikit pula yang dibunuh. Waria
dipandang abnormal, nyeleneh, tabu, dan melanggar norma-norma.
Banyak yang akhirnya diusir dari keluarga dan putus sekolah. Karena
tak memiliki keterampilan memadai dan ada desakan kebutuhan
finansial, maka tidak sedikit yang terjun ke dunia prostitusi alias
nyebong atau jual diri. Sektor formal seperti kerja kantoran, sulit untuk
menerima mereka.
34 Keberadaan waria belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat,
meski sebenarnya menjadi waria adalah satu proses historis yang
dimulai dari masa kanak-kanak, remaja hingga seseorang benar-benar
dapat mempresentasikan secara total perilakunya sebagai waria.
Perilaku waria, dengan identitas laki-laki dengan dandanan perempuan,
di pandang masyarakat sebagai perilaku menyimpang secara kultural
maupun dalam praktik-praktik relasi seksualnya.
Menurut Koeswinarno (2004) sebagai sebuah kepribadian,
kehadiran seorang waria merupakan satu proses yang panjang, baik
secara individual maupun sosial. Secara individu antara lain, lahirnya
perilaku waria tidak lepas dari satu proses atau dorongan yang kuat
dari dalam dirinya, bahwa fisik mereka tidak sesuai dengan kondisi
psikis. Hal ini menimbulkan konflik psikologis dalam dirinya. Mereka
mempresentasikan perilaku yang jauh berbeda dengan laki laki normal,
tetapi bukan sebagai perempuan yang normal pula. Permasalahannya
tidak sekadar menyangkut masalah moral dan perilaku yang dianggap
tidak wajar, namun merupakan dorongan seksual yang sudah menetap
dan memerlukan penyaluran (Kartono, 1989: 257).Namun demikian,
berbagai dorongan seksual waria belum sepenuhnya dapat diterima
oleh masyarakat. Secara normatif, tidak ada kelamin ketiga di antara
laki laki dan perempuan.
Salah satu dorongan seksual yang dianggap menyimpang dari
nilai dan tradisi adalah masalah relasi seksual yang dilakukan oleh
35 waria. Seperti halnya relasi seksual yang dilakukan oleh kaum
homoseksual dan lesbian, waria juga mengalami konflik yang sama
dengan manusia “normal” lainnya, yang pada suatu fase tertentu
memerlukan penyaluran (Lerner dan Spanier, 1980: 308-310).
Di lain pihak, akibat penyimpangan perilaku yang mereka
tunjukkan sehari-hari juga dihadapkan pada konflik sosial dalam
berbagai bentuk pelecehan. Belum semua anggota masyarakat,
termasuk keluarga mereka sendiri, dapat menerima kehadiran seorang
waria dengan wajar sebagaimana jenis kelamin lainnya. Kehadiran
seorang waria di dalam sebuah keluarga sering kali dianggap sebagai
sebuah aib, sehingga waria senantiasa mengalami tekanan-tekanan
sosial. Di dalam pergaulan mereka juga menghadapi konflik-konflik
dalam berbagai bentuk dari cemoohan, pelecehan hingga pengucilan.
Konflik-konflik di atas menyebabkan dunia waria semakin
terisolasi dari lingkungan sosial, sementara waria dituntut harus tetap
mampu survive dalam lingkungan yang mengisolasikan dirinya itu.
Dengan sendirinya konflik konflik itu pulalah yang pada gilirannya
menjadi realitas objektif kehadiran waria. Akibat masalah masalah
tersebut persoalan dunia waria akhirnya berada dalam konteks sulitnya
mensosialisasikan perilaku mereka di dalam lingkungan sosial. Uraian
tersebut menunjukkan bagaimana sebenarnya seorang dihadapkan
kepada kenyataan, bahwa mereka harus mampu menjadi waria, bukan
laki laki atau perempuan.
36 
Download