BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Diabetes Melitus
2.1.1
Definisi Diabetes Melitus
Diabetes melitus merupakan sekelompok perubahan yang mengacu pada
kelainan yang ditandai dengan adanya kenaikan kadar gula dalam darah atau yang
dikenal dengan hiperglikemia (Smeltzer & Bare, 2002).
Menurut kriteria diagnostik dalam Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
(PERKENI, 2006) seseorang dikatakan menderita diabetes melitus jika memiliki
kadar gula darah puasa ≥126 mg/dL dan pada tes kadar gula darah sewaktu ≥200
mg/dL. Kadar gula darah sepanjang hari bervariasi dimana akan meningkat
setelah makan dan kembali normal dalam waktu 2 jam. Diabetes melitus
merupakan suatu sindrom terkait dengan berkurangnya sekresi insulin atau
penurunan sensitivitas jaringan terhadap insulin yang berdampak
pada
terganggunya metabolisme karbohidrat, lemak dan protein.
Jadi berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan
bahwa Diabetes Melitus adalah kumpulan dari suatu gejala penyakit metabolik
yang diakibatkan oleh penurunan jumlah insulin atau penurunan sensitivitas
jaringan terhadap insulin yang ditandai dengan kadar gula darah tinggi atau
hiperglikemia (Guyton and Hall, 2008).
2.1.2
Klasifikasi Diabetes Melitus
Terdapat 2 jenis diabetes melitus yang utama yaitu :
10
11
1. Diabetes melitus tipe I yang dikenal dengan diabetes melitus tergantung
insulin (IDDM), terjadi dikarenakn oleh kurangnya sekresi insulin.
2. Diabetes melitus tipe II yang juga dikenal dengan diabetes melitus tidak
tergantung insulin(NIDDM), terjadi dikarenakan oleh penurunan sensitivitas
jaringan target terhadap efek metabolik insulin, yang dikenal dengan istilah
resistensi insulin pada jaringan (Guyton and Hall, 2008).
2.1.3
Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe II
Diabetes Melitus tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan
dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya
insulin akan berikatan dengan reseptor khusus pada permukaan sel yang dikenal
dengan istilah RIS (receptor insulin substrate). Kemudian sebagai akibat
terikatnya insulin dengan reseptor tersebut terjadi suatu rangkaian reaksi yang
akan memberikan sinyal yang berguna dalam proses regulasi atau metabolisme
gula, dimana rangsangan sinyal ini akan berperan dalam meningkatkan jumlah
GLUT-4 (glucose transporter-4), dan sebagai pendorong dalam translokasi
GLUT-4 ke membrane sel, yang berfungsi seperti “kendaraan” bagi gula untuk
masuk ke dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes melitus tipe II disertai
dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak
efektif untuk menstimulasi penyerapan gula oleh jaringan (Smeltzer & Bare, 2002
; Sudoyo, 2006).
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah tertumpuknya gula dalam
darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan, sehingga
pankreas mengkompensasi kondisi ini dengan meningkatkan sekresi insulin
12
sehingga akan terjadi kondisi toleransi gula terganggu (TGT). Pada pasien TGT,
keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan, dan kadar gula akan
dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian,
setelah sel-sel beta pankreas sudah tidak dapat mengimbangi peningkatan
kebutuhan akan insulin maka kadar gula akan meningkat dan terjadilah diabetes
melitus tipe II. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri
khas diabetes melitus tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang
adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang
menyertainya, sehingga ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes melitus
tipe II (Smeltzer & Bare, 2002).
Diabetes Melitus Tipe II sering terjadi pada usia diatas 30 tahun dan
obesitas, akibat dari kondisi TGT yang berlangsung lambat (selama bertahuntahun) dan progresif maka kondisi DM tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi.
Walaupun pasien DM mengalami gejalanya, namun gejalnya sering bersifat
ringan seperti kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang lama
sembuhnya, infeksi vagina atau pandangan yang kabur (jika kadar glukosa terlalu
tinggi). Penanganan primer diabetes mellitus tipe II adalah dengan menurunkan
berat badan, karena resistensi insulin berkaitan dengan obesitas. Latihan
merupakan unsur yang penting untuk meningkatkan efektivitas insulin. (Smeltzer
& Bare, 2002).
Sedangkan pada DM tipe I, permasalahan utamanya adalah tidak adanya
insulin yang disekresikan terkait dengan kerusakan pada sel-sel beta pankreas.
Sel-sel beta pankreas yang merupakan salah satu dari empat pulau-pulau
13
Langerhans pankreas yang bertugas untuk mensekresikan insulin. Insulin
merupakan hormon anabolik atau hormon untuk menyimpan kalori (storage
hormone). Setelah seseorang memakan makanan maka akan terjadi pengeluaran
insulin atau sekresi insulin akan meningkat yang selanjutnya akan menggerakkan
gula ke dalam sel-sel otot, hati serta lemak. Insulin di dalam sel akan
menimbulkan beberapa efek, antara lain menstimulasi penyimpanan gula dalam
bentuk glikogen di hati dan otot, meningkatkan penyimpanan lemak dari makanan
dalam jaringan adipose, mempercepat pengangkutan asam-asam amino (yang
berasal dari protein makanan) ke dalam sel, dan menghambat pemecahan
pemecahan gula, protein dan lemak. Hal ini terjadi berkesinambungan sehingga
kebutuhan gula akan terpenuhi untuk metabolism sel, dalam proses menghasilkan
kalori atau energi (Smeltzer & Bare, 2002).
Patofisiologi Diabetes Tipe I terkait dengan ketidakmampuan untuk
menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses
autoimun. Hiperglikemia puasa pada DM tipe I ini terjadi akibat produksi glukosa
oleh hati yang tidak terukur. Asupan glukosa yang berasal dari makanan juga
tidak dapat disimpan dalam hati dan tetap berada dalam darah sehingga hal ini
menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah makan) (Smeltzer & Bare,
2002).
Konsentrasi glukosa darah yang tinggi menyebabkan ginjal tidak dapat
menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, yang mengakibatkan
glukosa muncul dalam urin (glukosuria). Saat glukosa dikeluarkan dalam urin, hal
ini akan disertai dengan pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebih yang
14
dikenal dengan diuresis osmotic. Kehilangan cairan yang berlebih pada pasien ini
akan berakibat pada peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus
(polidipsi) yang meningkat. Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme
protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Hal ini akan
berdampak pada penurunan simpanan kalori yang berdampak pada pasien yang
mengalami peningkatan selara makan
(polifagia) dimana gejalanya meliputi
kelelahan dan kelemahan (Smeltzer & Bare, 2002).
Insulin dalam kondisi normal berfungsi untuk mengendalikan jalannya
glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis
(pembentukan glukosa baru dari asam-asam amino serta substansi lain), namun
pada penderita defisisensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan, yang
lebih lanjut ikut berperan dalam menimbulkan kondisi hiperglikemia. Selain itu
akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi badan
keton sebagai hasil sampingan dari pemecahan lemak. badan keton merupakan
asam yang mengganggu keseimbangan asam-basa tubuh bila konsentrasinya
berlebih. Ketoasidosis yang diakibatkannya dapat menyebabkan beberapa tanda
yaitu nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, napas berbau aseton, dan bila
tidak ditangani akan mengakibatkan terjadiya penurunan kesadaran, koma bahkan
kematian. Pemberian insulin bersama dengan cairan dan elektrolit sesuai
kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan tersebut dan mengatasi gejala
hiperglikemia serta ketoasidosis. Diit dan latihan disertai pemantauan yang sering
merupakan komponen terapi yang penting (Smeltzer & Bare, 2002).
15
2.1.4
Etiologi Diabetes Melitus Tipe II
Mekanisme yang dapat menyebabkan resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin pada diabetes melitus tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik
diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Berikut penyebab dan faktor-faktor risiko tertentu yang diperkirakan berhubungan
dengan proses terjadinya diabetes melitus tipe II :
a.
Genetik
Factor keturunan atau genetik memang memegang peranan penting
terhadap penyakit ini. Bila terjadi mutasi gen yang menyebabkan kekacauan
metabolisme yang berujung pada timbulnya diabetes melitus tipe II (Kaban,
2007). Risiko seorang anak mendapat DM tipe II adalah 15% bila salah satu orang
tuanya menderita DM. Jika kedua orang tua memiliki DM maka risiko anak untuk
menderita DM akan meningkat mencapai 75%. Orang yang memiliki ibu dengan
DM memiliki risiko 10-30% lebih besar daripada orang yang memiliki ayah
dengan DM. hal ini dikarenakan penurunan gen sewaktu dalam kandungan lebih
besar dari ibu. Jika saudara kandung menderita DM maka risiko untuk menderita
DM adalah 10% dan 90% jika yang menderita adalah saudara kembar identik
(Diabetes UK, 2010)
b.
Usia
Resistensi insulin cenderung meningkat pada usia diatas 65 tahun sesuai
dengan hasil penelitian di Negara maju menunjukkan bahwa kelompok umur yang
berisiko terkena DM tipe II adalah usia 65 tahun keatas. Di ngara berkembang
kelompok umur yang berisiko untuk menderita DM tipe II adalah usian 46-64
16
tahun karena pada usia tersebut terjadi intoleransi gula atau TGT. Proses penuaan
menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan sel beta pankreas dalam
memproduksi insulin (Budhiarta dalam Sanjaya, 2009).
c.
Gaya Hidup
Gaya hidup yang dapat berdampak pada terjadinya diabetes melitus
khususnya yang tipe II adalah gaya hidup yang kurang gerak, konsumsi makanan
yang tinggi lemak, karbohidrat dan rendah serat dengan kata lain kesalahan pada
pola makan sehingga berdampak kegemukan, bahkan obesitas yang selanjutnya
mengurangi sensitivitas jaringan terhadap insulin (Nidia, 2012).
d.
Obesitas
Obesitas dapat didefinisikan sebagai kelebihan lemak tubuh. Penentu yang
digunakan adalah indeks massa tubuh (IMT). Sedangkan Overweight adalah tahap
sebelum dikatakan obesitas secara klinis (Guyton, 2007). Obesitas dikatakan
terjadi kalau terdapat kelebihan berat badan 20% karena lemak para pria dan 25%
pada wanita (Ganong,2002). Kondisi kelebihan lemak tubuh ini dapat
berpengaruh pada sensitivitas insulin terhadap jaringan yang berdampak jangka
panjang pada penumpukan gula dalam darah sehingga terjadi gula darah tinggi
atau hiperglikemia (Smeltzer & Bare, 2002).
Sedangkan diabetes melitus tipe I ditandai dengan penghancuran sel-sel
beta pankreas yang etiologinya kombinasi antara faktor genetik, imunologi dan
kemungkinan pula berkaitan dengan faktor lingkungan. Pasien DM tipe I tidak
mewarisi DM tipe I itu sendiri melainkan faktor predisposisi atau kecenderungan
genetik kearah terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada
17
individu yang memiliki tipe antigen HLA (human leucocyte antigen) tertentu.
HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen transplantai
dan proses imun lainnya (Smeltzer & Bare, 2002).
Faktor imunologi pada DM tipe I berkaitan dengan proses autoimun.
Autoimun merupakan respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan
normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang seola-olah
sebagai jaringan asing. Autoantibodi terhadap sel-sel pulau langerhans dan insulin
endogen (internal) terdeteksi pada saat diagnosis dibuat dan bahkan beberapa
tahun sebelum timbulnya tanda-tanda klinis DM tipe I (Smeltzer & Bare, 2002).
2.1.5
a
Komplikasi Diabetes Melitus Tipe II
Komlipasi akut, terdiri dari :
1) Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik (HHNK) merupakan keadaan yang
didominsi oleh hiperosmolaritas dan hiperglikemia yang disertai perubahan
tingkat kesadaran (sense of awerness). Pada saat yang sama tidak terjadi atau
kadang terjadi kondisi ketosis ringan. Keadaan hiperglikemia persisten
menyebabkan diuresis osmotik sehingga terjadi kehilangan cairan dan
elektrolit. Kekurangan jumlah insulin efektif merupakan kelainan mendasar
pada sindrom ini. Berbeda dengan KAD (ketoasidosis diabetik) yang tidak
terdapat insulin pada kasus HHNK masih ada insulin walau jumlahnya sedikit
dan tidak dapat mencegah terjadinya hiperglikemia, sehingga dapat mencegah
terjadinya
penguraian
simpanan
glukosa,
protein, dan lemak
menghasilkan badan keton (Smeltzer &Bare, 2002).
yang
18
2) Hipoglikemia
Hipoglikemia merupakan keadaan penurunan kadar glukosa darah kurang dari
60 mg/dL. Keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian insulin atau preparat
oral yang berlebihan, asupan karbohidrat kurang atau aktivitas fisik yang
berlebihan. Ditandai degan tremor, takikardi, palpitasi, gelisah, dan rasa lapar
pada tahap hipoglikemia ringan. Hipoglikemia sedang akan menimbulkan
dampak susah berkonsentrasi, sakit kepala, vertigo, penurunan daya ingat,
gerakan tidak terkoordinasi, perubahan emosional dan perasaan ingin pingsan.
Pada hipoglikemia berat terjadi disorientasi, serangan kejang, sulit
dibangunkan dari tidur atau bahkan kehingan kesadaran (Smeltzer &Bare,
2002).
b
Komplikasi
kronik
meliputi
penyakit
makrovaskuler
dan
penyakit
mikrovaskuler berupa neuropatik diabetik (gangguan pada saraf), nefropatik
diabetik (gangguan pada nefron atau ginjal), dan retinopati diabetik (gangguan
pada mata) (Smeltzer &Bare, 2002).
2.1.6
Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe II
Dalam penatalaksanaan atau pengelolaan modalitas bagi diabetes melitus,
terdiri dari dua poin utama yaitu yang pertama terapi non farmakologi dan yang
kedua adalah terapi farmakologi. Dimana terapi non farmakologis ini meliputi
perubahan gaya hidup dengan melakukan perencanaan diit, meningkatkan latihan
jasmani, edukasi berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit diabetes
melitus dan pemantauan gula darah yang dilakukan secara terus menerus dan
konsisten. Penanganan lebih lanjut adalah terapi farmakologi yang meliputi
19
pemberian obat anti diabetes oral dan juga injeksi insulin. Pemberian terapi
farmakologis ini, tetap tidak meninggalkan terapi non farmakologi yang telah
dijalani sebelumya, karena pada prinsipnya terapi farmakologis baru akan
diberikan jika penerapan terapi non farmakologis yang telah dilakukan tidak dapat
mengendalikan kadar gula darah seperti yang diharapkan (Yunir & Soebardi,
2009).
Menurut Konsensus Perkeni (2011), ada empat penatalaksanaan diabetes melitus.
a.
Edukasi
Pengelolaan mandiri diabetes secara optimal membutuhkan partisipasi aktif
pasien dalam merubah prilaku yang tidak sehat. Tim kesehatan harus
mendampingi pasien dalam perubahan perilaku tersebut, yang berlangsung
seumur hidup. Keberhasilan dalam mencapai perubahan perilaku, membutuhkan
edukasi, pengembangan keterampilan (skill), dan upaya peningkatan motivasi.
b.
Terapi gizi medis
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai
dengan kebutuhan kalori masing-masing individu. Perlu ditekankan pentingnya
keteraturan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan terutama pada
pasien yang menggunakan obat penurun glucosa darah dan insulin.
c.
Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes karena
efeknya
dapat
menurunkan
kadar
gula
darah
dan
mengurangi
risiko
kardiovaskuler. Latihan akan menurunkan kadar gula darah dengan meningkatkan
20
pengambilan gula oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin. Sirkulasi darah
dan tonus otot juga diperbaiki dengan berolahraga. Latihan jasmani sebaiknya
disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang
relative sehat latihan jasmani dapat ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat
komplikasi dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan yang kurang gerak.
d.
Terapi Farmakologi
Pada diabetes tipe II, insulin mungkin diperlukan sebagai terapi jangka
panjang untuk mengendalikan kadar gula darah jika diet dan obat hipoglikemia
oral tidak berhasil mengontrolnya. Disamping itu, sebagian pasien diabetes tipe II
yang biasanya mengendalikan kadar gula darah dengan diet dan obat kadang
membutuhkan insulin secara temporer selama mengalami sakit, infeksi,
kehamilan, pembedahan atau beberapa kejadian stress lainnya.
2.2
Konsep Dasar Kadar Gula Darah
2.2.1
Definsi Kadar Gula Darah
Menurut kamus kedokteran Dorland (2002), gula darah adalah produk
akhir dan merupakan sumber energi utama organisme hidup yang kegunaannya
dikontrol insulin. Gula darah adalah gula yang terdapat pada darah yang terbentuk
dari karbohidrat dalam makanan dan disimpan sebagai glikogen di hati dan di otot
rangka (Joyce LeeFever, 2007). Gula merupakan bentuk paling sederhana dari
molekul gula, yang merupakan produk akhir dari pencernaan karbohidrat dan
bentuk dimana karbohidrat diserap dari usus kedalam aliran darah. Terkadang
orang menyebutnya gula anggur ataupun dekstrosa. Banyak dijumpai dialam,
21
terutama pada buah-buahan, sayur-sayuran, madu, sirup, jagung dan tetes tebu. Di
dalam tubuh gula didapat dari hasil akhir pencernaan amilum, sukrosa, maltosa
dan laktosa (Erliensty, 2009).
Pada kondisi normal, tingkat gula darah diatur melalui umpan balik negatif
untuk mempertahankana keseimbangan di dalam tubuh. Level gula di dalam darah
dimonitor oleh pankreas. Bila konsentrasi gula menurun, karena dikonsumsi untuk
memenuhi kebutuhan energi tubuh, pankreas melepaskan glukagon, hormon yang
menargetkan sel-sel di lever (hati). Kemudian sel-sel ini mengubah glikogen
menjadi gula (proses ini disebut glikogenolisis). Gula dilepaskan kedalam aliran
darah, hingga meningktakan level gula darah (Herman dalam Purba, 2009).
Apabila level gula darah meningkat, baik karena perubahan glikogen atau karena
pencernaan makanan, hormon yang lain dilepaskan dari butir-butir sel yang
terdapat didalam pankreas. Hormon ini yang disebut insulin, menyebabkan hati
mengubah lebih banyak gula menjadi glikogen (proses ini disebut glikogenosis)
yang mengurangi level gula (Herman dalam Purba, 2009). Sehingga dengan
berjalannya kedua mekanisme ini dengan optimal maka akan terjadi
keseimbangan gula darah yang dapat selalu terkontrol.
2.2.2
Metabolisme Gula Darah
Metabolisme gula berawal dari proses pemecahan karbohidrat menjadi
beberapa bentuk sederhana seperti gula, fruktosa dan galaktose. Dimana gula
merupakan perwakilan dari sekitar rata-rata 80 persen produk akhir dari
pemecahan karbohidrat. Terdapat dua macam transport gula melalui membrane
sel untuk masuk ke dalam sel dan dimetabolisme untuk menghasilkan energi. Di
22
membrane usus akan terjadi transport aktif dengan memanfaatkan ikatan dengan
natrium, yang dikenal dengan mekanisme active co-transfer natrium glucose,
yaitu transport aktif natrium menyediakan energi untuk mengabsorbsi gula
melawan perbedaan konsentrasi. Mekanisme difusi terfasilitasi yaitu gula
diangkut hanya dari konsentrasi yang lebih tinggi menuju ke konsentrasi yang
lebih rendah, yang dimungkinkan dengan ikatan khusus dari protein pembawa
gula di membrane. Kemudian peranan insulin dalam keterkaitannya yang sangat
erat dengan metabolism gula diamana insulin akan meningkatkan difusi gula
terfasilitasi. Kecepatan pengangkutan gula dan kecepatan pengangkutan
monosakarida lainnya sangat meningkat dengan keberadaan insulin. Kecepatan
pengangkutan gula ke dalam sel akan meningkat sampai 10 kali atau dalam
sebagian sel dibandingkan dengan pengangkutan tanpa adanya sekresi insulin.
Segera setelah masuk ke dalam sel gula akan bergabung dengan satu radikal fosfat
yang sesuai dengan reaksi berikut :
Gula
glukokinase atau heksokinase
Gula-6-Fosfat
+ATP
Fosforilasi ini ditingkatkan terutama oleh enzim glukokinase di dalam hati
dan heksokinase di dalam sel lainnya. Fosforilasi gula pada umumnya irreversible
kecuali di sel hati, epitel tubulus ginjal, dan sel epitel usus. Di dalam sel-sel
tersebut ada suatu enzim yang lain, glucose fosfatase dan bila enzim ini aktif
reaksi dapat berjalan berkebalikan.
Pada kondisi diabetes melitus tipe II yang berhubungan dengan rendahnya
sensitivitas insulin atau tingginya resistensi jaringan tubuh terhadap insulin, akan
berdampak pada regulasi gula darah, tidak hanya pada jaringan perifer tapi juga di
23
jaringan hepar. Dalam hal ini jaringan hepar berperan dalam mengatur
homeostasis gula tubuh. Peningkatan kadar gula darah puasa, lebih ditentukan
oleh peningkatan produksi gula secara endogen yang berasal dari proses
glukoneogenesis dan glikogenolisis di jaringan hepar. Saat jaringan (hepar)
resisten terhadap insulin, maka efek inhibisi hormon insulin terhadap mekanisme
produksi gula endogen secara berlebihan menjadi tidak lagi optimal (Manaf,
Asman 2009).
2.2.3
Pengaturan Metabolisme Gula Oleh Insulin
Metabolisme karbohidrat dan diabetes melitus adalah mata rantai yang
tidak dapat dipisahkan. Keterkaitan antara metabolisme karbohidrat dan diabetes
melitus dijelaskan oleh keberadaan hormone insulin. Pasien diabetes melitus
mengalami kerusakan dalam produksi maupun system kerja insulin, sedangkan
insulin sangat dibutuhkan dalam melakukan regulasi metabolisme karbohidrat.
Akibatnya pasien diabetes melitus akan mengalami gangguan pada metabolisme
karbohidrat (Suriani, 2012).
Insulin berupa polipeptida yang dihasilkan oleh sel-sel β pankreas. Insulin
terdiri atas dua rantai polipeptida. Insulin manusia terdiri atas 21 residu asam
amino pada rantai A dan 30 residu pada rantai B. Kedua rantai ini dihubungkan
oleh adanya dua buah rantai disulfida. Insulin disekresi sebagai respon atas
meningkatnya konsentrasi gula dalam plasma darah. Konsentrasi ambang untuk
sekresi tersebut adalah kadar gula pada saat puasa yaitu antara 80-100 mg/dL.
Respon maksimal diperoleh pada kadar gula yang berkisar dar 300-500 mg/dL.
Insulin yang disekresikan dialirkan melalui aliran darah ke seluruh tubuh. Umur
24
insulin dalam aliran darah sangat cepat, waktu paruhnya kurang dari 3-5 menit
(Suriani, 2012).
Sel-sel tubuh menangkap insulin pada suatu reseptor glikoprotein spesifik
yang terdapat pada membran sel. Reseptor insulin tersebut merupakan suatu
kombinasi empat subunit yang dihubungkan bersama-sama oleh ikatan disulfide :
dua subunit alfa (α) yang terletak di luar membran sel dan dua subunit beta (β)
yang menembus membran dan menonjol ke dalam sel mengalami aktivitas tirosin
kinase dan autofosforilasi (Guyton and Hall, 2008).
Terikatnya insulin subunit (α) menyebabkan subunit (β)
mengalami
autofosforilasi pada residu tirosin. Reseptor yang terfosforilasi akan mengalami
perubahan bentuk, membentuk agregat, internalisasi dan menghasilkan lebih dari
satu sinyal. Dalam kondisi dengan kadar insuli tinggi, misalnya pada obesitas
ataupun akromegali, jumlah reseptor insulin berkurang dan terjadi resistansi
terhadap insulin. Resistansi ini mengakibatkan terjadinya regulasi ke bawah.
Reseptor insulin mengalami endositosis ke dalam vesikel berbalut klatrin. Insulin
mengatur metabolisme gula dengan memfosforilasi substrat reseptor insulin (RIS)
melalui aktivitas tirosin kinase subunit (β)
pada reseptor insulin. RIS
terfosforilasi memicu serangkaian rekasi kaskade yang efek nettonya adalah
mengurangi kadar gula dalam darah (Suriani, 2012).
Menurut Suriani (2012), pengaturan metabolisme gula oleh insulin melalui
berbagai mekanisme kompleks yang efek nettonya adalah peningkatan kadar gula
dalam darah. Oleh karena itu, pasien diabetes melitus yang jumlah insulinnya
25
tidak mencukupi atau bekerja tidak efektif akan mengalami hiperglikemia. Ada 4
mekanisme yang terlibat yaitu :
1)
Meningkatkan difusi gula ke dalam sel
Pengangkutan gula ke dalam sel melalui proses difusi dengan bantuan
protein pembawa. Protein ini telah diidentifikasi melalui teknik kloning
molekular. Ada 5 jenis protein pembawa tersebut yaitu GLUT1, GLUT2, GLUT3,
GLUT4 dan GLUT 5. GLUT1 merupakan pengangkut gula yang ada pada otak,
ginjal, kolon dan eritrosit. GLUT2 terdapat pada sel hati, pankreas, usus halus dan
ginjal. GLUT3 berfungsi pada sel otak, ginjal dan plasenta. GLUT4 terletak di
jaringan adiposa, otot jantung dan otot skeletal. GLUT5 bertanggung jawab
terhadap absorpsi gula dari usus halus. Insulin meningkatkan secara signifikan
jumlah protein pembawa terutama GLUT4. Sinyal yang ditransmisikan oleh
insulin menarik pengankut gula ke tempat yang aktif pada membran plasma.
Translokasi protein pengangkut ini bergantung pada suhu dan energi serta tidak
bergantung pada sintesis protein. Efek ini tidak terjadi pada hati.
2)
Peningkatan aktivitas enzim
Pada orang yang normal, sekitar separuh dari gula yang dimakan diubah
menjadi energi lewat glikolisis dan separuh lagi disimpan sebagai lemak atau
glikogen. Glikolisis akan menurun dalam keadaan tanpa insulin dan proses
glikogenesis ataupun lipogenesis akan terhalang.
Hormon insulin meningkatkan glikolisis sel-sel hati dengan cara meningkatkan
aktivitas enzim-enzim yang berperan termasuk glukokinase, fosfofruktokinase dan
piruvat kinase. Bertambahnya glikolisis akan meningkatkan penggunaan gula dan
26
dengan demikian secara tidak langsung menurunkan pelepasan gula ke plasma
darah. Insulin juga menurunkan aktivitas glucose-6-fosfatase yaitu enzim yang
ditemukan di hati dan berfungsi mengubah gula menjadi gula 6-fosfat.
Penumpukan glucose-6-fosfat dalam sel mengakibatkan retensi gula yang
mengarah pada diabetes melitus tipe II.
Banyak efek metabolik insulin, khususnya yang terjadi dengan cepat
dilakukan dengan mempengaruhi reaksi fosforilasi dan defosforilasi protein yang
selanjutnya mengubah aktivitas enzimatik enzim tersebut. Kerja insulin
dilaksanakan dengan mengaktifkan protein kinase, menghambat protein kinase
lain atau meransang aktivitas fosfoprotein fosfatase. Defosforilasi meningkatkan
aktivitas sejumlah enzim penting. Modifikasi kovalen ini memungkinkan
terjadinya perubahan yang hampir seketika pada aktivitas enzim tersebut.
Mekanisme defosforilasi enzim dilakukan melalui reaksi kaskade yang dipicu oleh
fosforilasi substrat reseptor insulin. Sebagai contoh adalah pengeruh insulin pada
enzim glikogen sintase dan glikogen fosforilase.
3)
Menghambat kerja cAMP
Dalam menghambat atau meransang kerja suatu enzim, insulin memainkan
peran ganda. Selain menghambat secara langsung, insulin juga mengurangi
terbentuknya cAMP yang memiliki sifat antagonis terhadap insulin. Insulin
meransang terbentuknya fosfodiesterase-cAMP. Dengan demikian insulin
mengurangi kadar cAMP dalam darah.
27
4)
Mempengaruhi ekspresi gen
Kerja insulin yang dibicarakan sebelumnya semuanya terjadi pada tingkat
membran plasma atau di dalam sitoplasma. Di samping itu, insulin mempengaruhi
berbagai proses spesifik dalam nukleolus. Enzim fosfoenolpiruvat karboksikinase
mengkatalisis tahap yang membatasi kecepatan reaksi dalam glukoneogenesis.
Sintesis enzim tersebut dikurangi oleh insulin dengan demikian glukoneogenesis
akan menurun. Hasil penelitian menunjukkan transkripsi enzim ini menurun
dalam beberapa menit setelah penambahan insulin. Penurunan transkripsi tersebut
menyebabkan terjadinya penurunan laju sintesis enzim ini.
Pasien diabetes melitus memiliki jumlah protein pembawa yang sangat
rendah, terutama pada otot jantung, otot rangka dan jaringan adiposa karena
insulin yang mentranslokasikannya ke situs aktif tidak tersedia. Kondisi ini
diperparah pula dengan peranan insulin pada pengaturan metabolisme gula.
Glikolisis dan glikogenesis akan terhambat akan enzim yang berperan dalam
kedua jalur tersebut diinaktivasi tanpa kehadiran insulin. Sedangkan tanpa insulin,
jalur metabolisme yang mengarah pada pembentukan gula diransang terutama
oleh glukagon dan epinefrin yang bekerja melalui cAMP yang memiliki sifat
antagonis terhadap insulin. Oleh karena itu, pasien diabetes melitus baik tipe I
atau tipe II kurang dapat menggunakan gula yang diperolehnya melalui makanan.
Gula akan terakumulasi dalam plasma darah (hiperglikemia).
Pasien dengan kadar gula yang sangat tinggi mengakibatkan tubuh
berespon, maka gula tersebut akan dikeluarkan melalui urin. Gula disaring oleh
glomerolus ginjal secara terus menerus, tetapi kemudian akan dikembalikan ke
28
dalam sistem aliran darah melalui sistem reabsorpsi tubulus ginjal. Kapasitas
ginjal mereabsorpsi gula terbatas pada laju 350 mg/menit. Ketika kadar gula amat
tinggi, filtrat glomerolus mengandung gula di atas batas ambang untuk
direabsorpsi. Akibatnya kelebihan gula tersebut dikeluarkan melalui urin. Gejala
ini disebut glikosuria, yang mrupakan indikasi lain dari penyakit diabetes melitus.
Glikosuria ini megakibatkan kehilangan kalori yang sangat besar.
Kadar gula yang amat tinggi pada liran darah maupun pada ginjal,
mengubah tekanan osmotik tubuh. Secara otomatis, tubuh akan mengadakan
osmosis untuk menyeimbangkan tekanan osmotik. Ginjal akan menerima lebih
banyak air, sehingga pasien akan sering buang air kecil. Konsekuensi lain dari hal
ini adalah, tubuh kekurangan air. Pasien mengalami dehidrasi (hiperosmolaritas)
bertambahnya rasa haus dan gejala banyak minum (polidipsia).
Gejala yang diterima oleh pasien diabetes tipe I biasanya lebih komplek,
karena mereka kadang tidak dapat menghasilkan insulin sama sekali. Akibatnya
gangguan metabolik yang dideritanya juga mempengaruhi metabolisme lemak dan
bahkan asam amino. Pasien tidak dapat memperoleh energi dari katabolisme gula.
Energi adalah hal wajib yang harus dimiliki oleh sel tubuh, sehingga tubuh akan
mencari alternatif substrat untuk menghasilkan energi tersebut. Cara yang
digunakan oleh tubuh adalah dengan merombak simpanan lemak pada jaringan
adiposa. Lemak dihidrolisis sehingga menghasilkan asam lemak dan gliserol.
Asam lemak dikatabolisme lebih lanjut dengan melepas dua atom karbon yang
satu persatu menghasilkan asetil-KoA. Penguraian asam lemak terus menerus
mengakibatkan terjadi penumpukan asam asetoasetat dalam tubuh. Asam
29
asetoasetat dapat terkonversi membentuk aseton, ataupun dengan adanya
karbondioksida dapat dikonversi membentuk asam (β) -hidroksibutirat. Ketiga
senyawa ini disebut sebagai badan keton yang terdapat pada urin pasien serta
dideteksi dari bau mulut seperti keton. Pasien mengalami ketoasidosis dan dapat
meninggal dalam keadaan koma diabetik. Ketidaktersediaan gula dalam sel juga
mengakibatkan terjadinya glukoneogenesis secara berlebihan. Sel-sel hati akan
meniungkatkan produksi gula dari substrat lain, salah satunya adalah dengan
merombak protein. Asam amino hasil perombakan ditransaminasi sehingga dapat
menghasilkan substrat atau senyawa antara dalam pembentukan gula. Peristiwa
berlangsung terus-menerus karena insulin yang membatasi glukoneogenesis
sangat sedikit atau tidak ada sama sekali. Gula yang dihasilkan kemudian akan
terbuang melalui urin. Akibatnya, terjadi pengurangan jumlah jaringan otot dan
jaringan adiposa secara signifikan. Pasien akan kehilangan berat tubuh yang hebat
kendati terdapat peningkatan selera makan (polifagia) dan asupan kalori normal
atau meningkat.
Pasien diabetes tipe I juga mengalami hipertrigliseridemia, yaitu kadar
trigliserida dan VLDL dalam darah yang tinggi. Hipertrigliseridemia terjadi
karena VLDL yang disintesis dan dilepaskan tidak mampu diimbangi oleh kerja
enzim lipoproteinlipase yang merombaknya. Jumlah enzim ini diransang oleh
rasio insulin dan glukagon yang tinggi. Defek pada produksi enzim ini juga
mengakibatkan hipersilomikronemia, karena enzim ini juga dibutuhkan dalam
katabolisme silomikron pada jaringan adiposa.
30
Berbeda dengan pasien diabetes tipe I, pada pasien diabetes tipe II,
ketoasidosis tidak terjadi karena penguraian lemak (lipolisis) tetap terkontrol,
namun terjadi hipertrigliseridemia yang menghasilkan peningkatan VLDL tanpa
disertai hipersilomikronemia. Hal ini terjadi karena peningkatan kecepatan sintesis
de novo dari asam lemak tidak diimbangi oleh kecepatan penyimpanannya pada
jaringan lemak. Asam lemak yang dihasilkan tidak semuanya mampu
dikatabolisme, kelebihannya diesterifikasi menjadi trigliserida dan VLDL. Hal ini
diperparah oleh aktivitas fisik pasien diabetes melitus tipe II yang pada umumnya
sangat kurang. Akibatnya kadar lemak dalam darah akan meningkat. Pada pasien
yang akut, akan terjadi penebalan pada pembuluh darah terutama pada bagian
mata, sehingga dapat menyebabkan rabun atau bahkan kebutaan.
Kelainan tekanan darah akibat kadar gula yang tinggi menyebabkan kerja
jantung, ginjal dan organ dalam lain untuk mempertahankan kestabilan tubuh
menjadi lebih berat. Akibatnya pada pasien diabetes akan mudah dikenai berbagai
komplikasi diantaranya penurunan sistem imune tubuh, kerusakan sistem
kardivaskular, kealinan trombosis, inflamasi, dan kerusakan sel-sel endothelia
serta kerusakan otak, yang biasanya ditandai dengan penglihatan yang kabur.
2.3
Diit Pasien Diabetes Melitus
2.3.1
Prinsip Diit Diabetes Melitus
Terapi gizi medis pada pasien diabetes merupakan salah satu terapi
nonfarmakologi yang dianjurkan, dimana terapi gizi ini dilakukan dengan
melakukan pengaturan pola diit yang didasari oleh status gizi pasien diabetes, dan
31
melakukan modifikasi diit berdasarkan kebutuhan kalori perhari secara individu.
Status gizi ini ditentukan berdasarkan dengan nilai IMT (indeks massa tubuh), dan
kebutuhan kalori perhari dengan menggunakan rumus Brocca. Prinsip diit
diabetes melitus adalah mengurangi dan mengatur konsumsi karbohidrat sehingga
tidak menjadi beban bagi mekanisme pengaturan kadar gula darah dengan anjuran
mengkonsumsi karbohidrat komplek dan makanan yang mengandung serat
(Tjokroprawiro, 2001).
Indeks massa tubuh (IMT) merupakan kalkulasi angka dari berat dan
tinggi badan seseorang. Nilai IMT didapatkan dari berat dalam kilogram dibagi
dengan kuardrat dari tinggi dalam meter (kg/m2). Nilai dari IMT pada orang
dewasa tidak bergantung pada umur maupun jenis kelamin. Tetapi, IMT mungkin
tidak berkorenspondensi untuk derajat kegemukan pada populasi yang berbeda,
pada sebagian, dikarenakan perbedaan proporsi tubuh mereka (WHO, 2000).
Menurut WHO (2000) dalam Sugondo (2006) berat badan dan Obesitas
dapat diklasifikasikan berdasarkan IMT, yaitu :
Tabel 1. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas Berdasarkan IMT
Menurut Kriteria Asia Pasifik
Klasifikasi obesitas
Klasifikasi
Berat badan kurang
Kisaran normal
Berat badan lebih
Beresiko obes
Obese I
Obese II
IMT
<18,5
18,5-22,9
>23,0
23,0-24,9
25,0-29,9
>30,0
32
Kriteria di atas merupakan kriteria untuk kawasan Asia Pasifik. Kriteria
ini berbeda dengan kawasan lain, hal ini berdasarkan meta-analisis beberapa
kelompok etnik yang berbeda, dengan konsentrasi lemak tubuh, usia, dan gender
yang sama, menunjukkan etnik Amerika berkulit hitam memiliki IMT lebih tinggi
4,5 kg/m2 dibandingkan dengan etnik kaukasia. Sebaliknya, nilai IMT bangsa
Cina, Ethiopia, Indonesia, dan Thailand masing-masing adalah 1.9, 4.6, 3.2, dan
2.9 kg/m2 lebih rendah daripada etnik Kaukasia. Ini menunjukkan adanya nilai cut
off IMT untuk obesitas yang spesifik untuk populasi tertentu (Sugondo, 2006)
2.3.2
Tujuan Diit Diabetes Melitus
Tujuan diit penyakit Diabetes Melitus adalah membantu pasien diabetes
memperbaiki kebiasaan makan dan olahraga untuk mendapatkan kontrol
metabolik yang lebih baik. Tujuan diit diabetes melitus ini yaitu :
1) Mempertahankan kadar gula darah supaya mendekati normal.
2) Mencapai dan mempertahankan kadar lipida serum normal.
3) Memberi cukup energi untuk mempertahankan atau mencapai berat badan
normal.
4) Menghindari atau menangani komplikasi akut pasien diabetes melitus.
5) Meningkatkan derajat kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang optimal
(Instalasi Gizi RSCM, 2004).
2.3.3
Syarat Diit Diabetes Melitus
Syarat – syarat diit penyakit diabetes melitus adalah :
33
1) Energi cukup untuk mencapai dan mempertahankan berat badan normal.
Makanan dibagi dalam 3 porsi besar, yaitu makan pagi (20%), siang (30%),
dan sore (25%), serta 2-3 porsi kecil untuk makanan selingan (masing-masing
10-15%).
2) Kebutuhan protein normal, yaitu 10-15% dari kebutuhan energy total.
3) Kebutuhan lemak sedang, yaitu 20-25% dari kebutuhan energy total, dalam
bentuk <10% dari kebutuhan energi total berasal dari lemak jenuh, 10% dari
lemak tidak jenuh ganda, sedangkan sisanya dari lemak tidak jenuh tunggal.
Asupan makanan kolesterol dibatasi, yaitu ≤ 300 mg per hari.
4) Kebutuhan karbohidrat adalah sisa dari kebutuhan energi total, yaitu 60-70%.
5) Penggunaan gula murni dalam minuman dan makanan tidak diperbolehkan
kecuali jumlahnya sedikit sebagai bumbu. Bila kadar gula darah sudah
terkendali, diperbolehkan mengkonsumsi gula murni sampai 5% dari
kebutuhan energy total.
6) Penggunan gula alternatif dalam jumlah terbatas.
7) Asupan serat dianjurkan 25 gr per hari dengan mengutamakan serat larut air
yang terdapat didalam sayur dan buah.
8) Pasien DM dengan tekanan darah normal dapat mengkonsumsi natrium dalam
bentuk garam dapur seperti orang sehat yaitu 3000 mg/hari. Jika pasien DM
mengalami hipertensi, asupan garam harus dikurangi (lihat Diet Rendah
Garam)
6) Cukup vitamin dan mineral (Instalasi Gizi RSCM, 2004).
34
2.3.4
Contoh Daftar Menu Diabetes Melitus
Tabel 2. Jenis Diit Diabetes Melitus menurut Kandungan Energi Protein, Lemak dan Karbohidrat
Jenis Diit
Energi
Kkal
Protein
Gram
Lemak
gram
Karbohidrat
gram
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
1100
1300
1500
1700
1900
2100
2300
2500
43
45
51.5
55.5
60
62
73
80
30
35
36.5
36.5
48
53
59
62
172
192
235
275
299
319
369
396
Tabel 3. Jumlah Bahan Makanan Sehari menurut Standar Diit Diabetes Melitus
(dalam satuan penukar II)
Golongan Bahan Makanan
Nasi atau penukar
Ikan atau penukar
Daging atau penukar
Tempe atau penukar
Sayuran /penukar A
Sayuran /penukar B
Buah atau penukar
Susu atau penukar
Minyak atau penukar
1100
kkal
1300
Kkal
1500
Kkal
Standar Diit
1700 1900
kkal kkal
21/2
2
1
2
S
2
4
3
3
2
1
2
S
2
3
4
4
2
1
21/2
S
2
4
4
5
2
1
21/2
S
2
4
4
51/2
2
1
3
S
2
4
6
2100
kkal
2300
Kkal
2500
kkal
6
2
1
3
S
2
4
7
7
2
1
3
S
2
4
1
7
71/2
2
1
5
S
2
4
1
7
35
Tabel 4. Pembagian Makanan Sehari tiap Standar Diit Diabetes Melitus dan Nilai Gizi (dalam
satuan penukar II)
Energy
kkal
1300
1500
1700
1900
2100
2300
2500
/2
1
S
1
1
1
S
1
1
1
1
/2
S
1
1
1
1
/2
S
1
11/2
1
1
S
2
11/2
1
1
S
2
11/2
1
1
S
2
2
1
1
S
2
Pukul 10.00
Buah
Susu
1
-
1
-
1
-
1
-
1
-
1
-
1
1
1
1
Siang
Nasi
Daging
Tempe
Sayuran A
Sayuran B
Buah
Minyak
1
1
1
S
1
1
1
1
1
1
S
1
1
2
2
1
1
S
1
1
2
2
1
1
S
1
1
2
2
1
1
S
1
1
2
21/2
1
1
S
1
1
3
3
1
1
S
1
1
3
3
1
2
S
1
1
3
Pukul 16.00
Buah
1
1
1
1
1
1
1
1
Malam
Nasi
Ikan
Tempe
Sayuran A
Sayuran B
Buah
Minyak
1
1
1
S
1
1
1
1
1
1
S
1
1
1
1
1
1
S
1
1
1
2
1
1
S
1
1
1
2
1
1
S
1
1
2
2
1
1
S
1
1
2
21/2
1
1
S
1
1
2
21/2
1
1
S
1
1
2
Nilai Gizi
Energy (kkal)
Protein (gram)
Lemak (gram)
KH (gram)
1100
43
30
172
1300
45
35
192
1500
51.5
36.5
235
1700
55.5
36.5
275
1900
60
48
299
2100
62
53
319
2300
73
59
369
2500
80
62
396
Pagi
Nasi
Ikan
Tempe
Sayur A
Minyak
1100
1
Keterangan : S = sekehendak
36
Contoh Menu Sehari Diit DM 1900 kkal
Ini berarti daftar menu berikut merupakan daftar menu yang dapat digunakan
dalam sehari untuk menu makan oleh pasien diabetes yang membutuhkan jumlah
kalori sebesar 1900 kkal.
Tabel 5. Contoh Menu Makanan Sehari tiap Standar Diit Diabetes Melitus dan Nilai Gizi
Waktu
Pagi
Bahan Makanan
Nasi
Telur ayam
Tempe
Sayuran A
Minyak
Penukar
11/2 p
1p
1p
S
2p
(urt)
1 gls
1 btr
2 ptg sdg
Pukul 10.00
Siang
Buah
Nasi
Ikan
Tempe
Sayuran B
Buah
Minyak
1p
2p
1p
1p
1p
1p
2p
1 ptg sdg
11/2 gls
1 ptg sdg
2 ptg sdg
1 gls
1
/4 bh sdg
1 sdm
Papaya
Nasi
Pepes ikan
Tempe goreng
Lalapan kc. Pnjng + kol
Nenas
Pukul 16.00
Buah
1p
1 gls
Pisang
Malam
Nasi
Ayam tanpa kulit
Tahu
Sayuran B
Buah
Minyak
2p
1p
1p
1p
1p
2p
11/2 gls
1 ptg sdg
1 ptg bsr
1 gls
1 ptg sdg
1 sdm
Nasi
Ayam bkar bumbu kecap
Tahu bacem
Sup buncis + wortel
Papaya
Keterangan :
bh = buah
ptg = potong
sdg =sedang
Menu
Nasi
Telur dadar
Oseng-oseng tempe
Tumis kangkung +tomat
1 sdm
gls = gelas (240 ml)
sdm = 1 sendok makan
bsr = besar
btr = butr
Bahan Makanan yang Dianjurkan
Bahan makanan yang dianjurkan untuk diit dabetes melitus adalah sebagai
berikut:
1) Sumber karbohidrat kompleks, seperti nasi, roti, mie, kentang, singkong, ubi
dan sagu
37
2) Sumber protein rendah lemak, seperti ikan, ayam tanpa kulit, susu skim,
tempe, tahu, dan kacang-kacangan
7) Sumber lemak dalam jumlah terbatas yaitu bentuk makanan yang mudah
dicerna. Makanan terutama diolah dengan cara dipanggang, dikukus, direbus,
disetup, dan dibakar (Instalasi Gizi RSCM, 2004).
Bahan Makanan yang Tidak Dianjurkan (dibatasi / dihindari)
Bahan makanan yang tidak dianjurkan, dibatasi, atau dihindari untuk diit
diabetes melitus adalah makanan yang mengandung banyak gula sederhana,
seperti gula pasir, gula jawa, sirop, jam, jelly, buah-buahan yang diawetkan
dengan gula, susu kental manis, minuman ringan dan es krim serta kue-kue manis,
dodol, cake, dan tarcis. Selain itu bahan makanan lain yang sebaiknya dihindari
adalah makanan yang mengandung banyak lemak, seperti cake, makanan siap saji,
(fast food), goreng-gorengan dan makanan yang mengandung banyak natrium,
seperti : ikan asin, telur asin, serta makanan yang diawetkan (Sudoyo, 2006).
2.4
Konsep Dasar Senam Diabetes
2.4.1
Pengertian Senam Diabetes
Senam diabetes adalah salah satu bentuk exercise untuk pasien diabetes
melitus yang berupa senam khusus. Senam diabetes merupakan senam yang
memilliki rangkaian gerakan yang dirancang khusus untuk pasien diabetes melitus
oleh para ahli, baik dari ahli diabetes, kedokteran olahraga, ahli rehab medis serta
sanggar senam yang mengatur olah gerak. Senam diabetes merupakan senam
yang mudah dan enak dilakukan, memiliki gerakan yang ritmis, low impact
38
(rendah beban) serta dinamis dan senam diabetes ini sangat membantu dalam
pengelolaan diabetes. Frekuensi olahraga sebaiknya dilakukan dengan teratur 3-5
kali dalam seminggu, dengan intensitas ringan sampai sedang (60-70% Maximum
Heart Rate) (Yunir & Soebardi, 2009).
2.4.2
Tahapan Senam Diabetes
Tahapan Senam Diabetes terdiri dari empat tahapan gerakan, yaitu gerakan
yang meliputi gerakan pemanasan, inti, menuju pendinginan dan pendinginan.
Selengkapnya disajikan pada lampiran lima.
Terlampir
2.4.3
Prinsip Latihan Jasmani Diabetes Melitus
Prinsip latihan jasmani bagi pasien diabetes melitus persis sama dengan
latihan jasmani secara umum, yaitu memenuhi frekuensi, intensitas, durasi dan
jenis yang tepat. Frekuensi olahrga perminggu sebaiknya dilakukan
dengan
teratur 3-5 kali perminggu dengan intensitas ringan sampai sedang ( mencapai 6070 % Maximum Heart Rate). Durasi olahraga yang dianjurkan adalah 30-60
menit, dengan jenis latihan jasmani endurans atau aerobik untuk meningkatkan
kemampuan kardiorespirasi seperti jalan, jogging, berenang, senam (senam
diabetes) dan bersepeda (Yunir & Soebardi, 2009).
Intensitas latihan dapat ditentukan dengan menghitung MHR (Maximum
Heart Rate) yaitu 220 – umur. Setelah MHR didapatkan, dapat ditentukan THR
(Target Heart Rate). Sebagai contoh : suatu latihan bagi seorang pasien diabetes
yang berusia 50 tahun disasarkan sebesar 70%, maka THR = 70% X (220-50) =
39
119. Dengan demikian, sasaran denyut nadi pasien dalam melakukan latihan
jasmani adalah sekitar 119/menit (Yunir & Soebardi, 2009).
Menurut Soegondo (2008) ada beberapa hal yang harus diperhatikan saat
berolah raga pada pasien Diabetes Melitus yaitu :
1.
Jangan melakukan olahraga bila anda mengalami gangguan pada mata
(retinopati).
2.
Masalah
yang sering muncul
saat
berolahraga
adalah
terjadinya
hipoglikemia (terutama pada penyandang diabetes tipe 1). Beberapa cara
untuk mencegah hipoglikemi akibat olahraga adalah :
a)
Monitor kadar gula darah
b)
Kurangi dosis insulin sebelum melakukan aktivitas fisik dan atau tingkatkan
asupan makanan pada waktu berolahraga (diberikan snack karbohidrat pada
saat sebelum, sedang dan sesudah melakukan olahraga)
c)
Hindari pemberian insulin pada bagian yang aktif (sebaiknya insulin diberikan
di bagian perut/abdomen)
d)
Lakukan aktivitas fisik secara teratur dan konsisten. Waktu yang tepat untuk
melakukan aktivitas fisik yaitu kira-kira 60-90 menit setelah makan karena saat
itu kadar gula berada di puncak dan cukup menyediakan kalori yang anda
butuhkan
e)
Cepat tanggap bila timbul gejala hipoglikemi
3.
Kenakan sepatu yang sesuai dan usahakan kaki agar selalu bersih dan
kering.
4.
Monitor kadar gula darah jangan sampai melebihi 300 mg/dl karena akan
40
meningkatkan kadar gula darah dan berisiko timbulnya ketoasidosis.
2.5
Pengaruh Kombinasi Pengaturan Diit DM dan Senam Diabetes
terhadap Kadar Gula Darah
Gerakan-gerakan senam diabetes bersifat ritmis, teratur, berirama
bertujuan untuk memperbaiki metabolisme tubuh pasien diabetes melitus karena
dapat mengatur dan mengendalikan gula darah, lemak darah (kolesterol) serta
dapat memperbaiki sensitivitas otot terhadap insulin. Efek lain dari senam
diabetes adalah mampu memperbaiki atau mencegah komplikasi yang terjadi pada
sistem jantung, pembuluh darah mengontrol berat badan, serta saraf sehingga
mampu mengurangi keluhan-keluhan komplikasi pasien diabetes melitus seperti
kesemutan, pegal-pegal, rasa kebal (baal) pada kaki dan tangan serta sangat baik
bagi pernafasan. Selain itu melakukan senam diabetes akan dapat menghilangkan
stress, sehingga dapat menimbulkan rasa nyaman bagi pasien diabetes melitus.
Olahraga secara umum bermanfaat bagi penatalaksanaan diabetes melitus, akan
tetapi tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan program penatalaksanaan diabetes
melitus, yaitu diet, olahraga, obat-obatan oral atau insulin, penyuluhan dan self
control. Apabila kelima prosedur tersebut dijalankan, maka hasil optimal regulasi
diabetes melitus akan tercapai (Santoso, 2002).
Makan secara berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang
dibutuhkan oleh tubuh dapat memicu timbulnya diabetes melitus. Terkait dengan
hal ini, jika seorang pasien diabetes melitus tidak memperhatikan pola diitnya
maka hal ini lambat laun dapat memperburuk kondisi kadar gula darah sehingga
berdampak pada berbagai komplikasi. Kadar gula darah dalam tubuh manusia
41
terkait dengan fungsi pankreas yang mensekresikan insulin, namun pankreas tetap
mempunyai kapasitas maksimum dalam mensekresikan insulin. Pada fase awal
pankreas akan mengkompensasi dengan meningkatkan sekresi insulin, sehingga
terjadi kondisi hiperinsulinemia, yaitu kadar insulin yang berlebih dalam tubuh.
Namun perkembangan selanjutnya jika kondisi hiperglikemi terjadi dalam waktu
lama maka pankreas pun akan mencapai kapasitas maksimalnya sehingga tubuh
akan merespon dengan memperlihatkan gejala berupa trias Diabetes Melitus yaitu
polidipsi, polifagi, dan poliuri. Pasien DM yang menjalani pengaturan diit DM
yang tepat dapat mencegah terjadinya peningkatan kadar gula darah yang
mendadak dan mencegah terjadinya lonjakan yang teralalu tinggi, dan dibarengi
dengan palaksanaan senam diabetes yang teratur dapat meningkatkan masukan
atau ambilan gula oleh otot yang aktif. Latihan fisik adalah stimulus yang kuat
terhadap masuknya gula ke dalam otot skeletal.
Pemberian intervensi kombinasi ini tentu juga memiliki risiko yang
mungkin terjadi, baik dari segi diitnya maupun senam diabetesnya yang semuanya
saling berkitan. Adapun beberapa risiko perlakuan yang mungkin dapat terjadi
selama proses penelitian dan pengumpulan data yaitu pasien yang mengalami
hipoglikemia, cidera saat melakukan senam, dan kelelaha otot. Pada kondisi
hipoglikemia terdapat beragam keluhan yang menonjol diantara pasien dan pasien
itu sendiri pada waktu yang berbeda-beda. Namun pada umumnya gejala atau
keluhan biasanya timbul pada pola tertentu sehingga klien, peneliti, perawat,
tenaga kesehatan lain, serta keluarga dapat menggunakannya sebagai peringatan
awal dan dapat segera melakukan tindakan-tindakan koreksi yang tepat.
42
Tabel 6. Keluhan dan Gejala Hipoglikemia Akut yang Sering Dijumpai pada Pasien Diabetes
Otonomik
Berkeringat
Jantung berdebar
Tremor
Merasa lapar
Neurologic
Bingung (confusion)icara
Mengantuk
Sulit berbicara
Inkoordinasi
Perilaku yang berbeda
Gangguan visual
Parestesi (perasaan ada yang
menyimpang atau tidak normal)
Malaise
Mual
Sakit kepala
Beberapa risiko ini akan ditangani sesuai prosedur yang berlaku pada penanganan
hipoglikemia pada diabetes adalah dengan pemberian glukosa oral. Sesudah
terlihat tanda dan gejala yang mengarah pada kondisi hipoglikemia serta setelah
dilakukan pengukuran kadar gula darah kapiler yang menegaskan diagnose
hipoglikemia, maka pasien segera diberikan 10-20 g glukosa peroral. Idealnya
pemberian glukosa dalam bentuk tablet, jelly atau 150-200 ml minuman yang
mengandung glukosa seperti jus buah segar dan non diet cola. Sebaiknya coklat
manis tidak diberikan karena lemak dalam coklat dapat menghambat absorbsi
glukosa. Bila belum ada jadwal makan dalam 1-2 jam perlu diberikan tambahan
10-20 g karbohidrat kompleks. Bila glukosa oral tidak dapat diberikan, pemberian
glucagon 1 mg IM atau 75-100 ml larutan glucagon intravena 20% merupakan
terapi yang efektif (Soemadji, 2005).
Download