BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi Diabetes Melitus Diabetes melitus merupakan sekelompok perubahan yang mengacu pada kelainan yang ditandai dengan adanya kenaikan kadar gula dalam darah atau yang dikenal dengan hiperglikemia (Smeltzer & Bare, 2002). Menurut kriteria diagnostik dalam Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI, 2006) seseorang dikatakan menderita diabetes melitus jika memiliki kadar gula darah puasa ≥126 mg/dL dan pada tes kadar gula darah sewaktu ≥200 mg/dL. Kadar gula darah sepanjang hari bervariasi dimana akan meningkat setelah makan dan kembali normal dalam waktu 2 jam. Diabetes melitus merupakan suatu sindrom terkait dengan berkurangnya sekresi insulin atau penurunan sensitivitas jaringan terhadap insulin yang berdampak pada terganggunya metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Jadi berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Diabetes Melitus adalah kumpulan dari suatu gejala penyakit metabolik yang diakibatkan oleh penurunan jumlah insulin atau penurunan sensitivitas jaringan terhadap insulin yang ditandai dengan kadar gula darah tinggi atau hiperglikemia (Guyton and Hall, 2008). 2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus Terdapat 2 jenis diabetes melitus yang utama yaitu : 10 11 1. Diabetes melitus tipe I yang dikenal dengan diabetes melitus tergantung insulin (IDDM), terjadi dikarenakn oleh kurangnya sekresi insulin. 2. Diabetes melitus tipe II yang juga dikenal dengan diabetes melitus tidak tergantung insulin(NIDDM), terjadi dikarenakan oleh penurunan sensitivitas jaringan target terhadap efek metabolik insulin, yang dikenal dengan istilah resistensi insulin pada jaringan (Guyton and Hall, 2008). 2.1.3 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe II Diabetes Melitus tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan berikatan dengan reseptor khusus pada permukaan sel yang dikenal dengan istilah RIS (receptor insulin substrate). Kemudian sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut terjadi suatu rangkaian reaksi yang akan memberikan sinyal yang berguna dalam proses regulasi atau metabolisme gula, dimana rangsangan sinyal ini akan berperan dalam meningkatkan jumlah GLUT-4 (glucose transporter-4), dan sebagai pendorong dalam translokasi GLUT-4 ke membrane sel, yang berfungsi seperti “kendaraan” bagi gula untuk masuk ke dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes melitus tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi penyerapan gula oleh jaringan (Smeltzer & Bare, 2002 ; Sudoyo, 2006). Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah tertumpuknya gula dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan, sehingga pankreas mengkompensasi kondisi ini dengan meningkatkan sekresi insulin 12 sehingga akan terjadi kondisi toleransi gula terganggu (TGT). Pada pasien TGT, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan, dan kadar gula akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, setelah sel-sel beta pankreas sudah tidak dapat mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin maka kadar gula akan meningkat dan terjadilah diabetes melitus tipe II. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas diabetes melitus tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya, sehingga ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes melitus tipe II (Smeltzer & Bare, 2002). Diabetes Melitus Tipe II sering terjadi pada usia diatas 30 tahun dan obesitas, akibat dari kondisi TGT yang berlangsung lambat (selama bertahuntahun) dan progresif maka kondisi DM tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi. Walaupun pasien DM mengalami gejalanya, namun gejalnya sering bersifat ringan seperti kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang lama sembuhnya, infeksi vagina atau pandangan yang kabur (jika kadar glukosa terlalu tinggi). Penanganan primer diabetes mellitus tipe II adalah dengan menurunkan berat badan, karena resistensi insulin berkaitan dengan obesitas. Latihan merupakan unsur yang penting untuk meningkatkan efektivitas insulin. (Smeltzer & Bare, 2002). Sedangkan pada DM tipe I, permasalahan utamanya adalah tidak adanya insulin yang disekresikan terkait dengan kerusakan pada sel-sel beta pankreas. Sel-sel beta pankreas yang merupakan salah satu dari empat pulau-pulau 13 Langerhans pankreas yang bertugas untuk mensekresikan insulin. Insulin merupakan hormon anabolik atau hormon untuk menyimpan kalori (storage hormone). Setelah seseorang memakan makanan maka akan terjadi pengeluaran insulin atau sekresi insulin akan meningkat yang selanjutnya akan menggerakkan gula ke dalam sel-sel otot, hati serta lemak. Insulin di dalam sel akan menimbulkan beberapa efek, antara lain menstimulasi penyimpanan gula dalam bentuk glikogen di hati dan otot, meningkatkan penyimpanan lemak dari makanan dalam jaringan adipose, mempercepat pengangkutan asam-asam amino (yang berasal dari protein makanan) ke dalam sel, dan menghambat pemecahan pemecahan gula, protein dan lemak. Hal ini terjadi berkesinambungan sehingga kebutuhan gula akan terpenuhi untuk metabolism sel, dalam proses menghasilkan kalori atau energi (Smeltzer & Bare, 2002). Patofisiologi Diabetes Tipe I terkait dengan ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiperglikemia puasa pada DM tipe I ini terjadi akibat produksi glukosa oleh hati yang tidak terukur. Asupan glukosa yang berasal dari makanan juga tidak dapat disimpan dalam hati dan tetap berada dalam darah sehingga hal ini menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah makan) (Smeltzer & Bare, 2002). Konsentrasi glukosa darah yang tinggi menyebabkan ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, yang mengakibatkan glukosa muncul dalam urin (glukosuria). Saat glukosa dikeluarkan dalam urin, hal ini akan disertai dengan pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebih yang 14 dikenal dengan diuresis osmotic. Kehilangan cairan yang berlebih pada pasien ini akan berakibat pada peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsi) yang meningkat. Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Hal ini akan berdampak pada penurunan simpanan kalori yang berdampak pada pasien yang mengalami peningkatan selara makan (polifagia) dimana gejalanya meliputi kelelahan dan kelemahan (Smeltzer & Bare, 2002). Insulin dalam kondisi normal berfungsi untuk mengendalikan jalannya glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari asam-asam amino serta substansi lain), namun pada penderita defisisensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan, yang lebih lanjut ikut berperan dalam menimbulkan kondisi hiperglikemia. Selain itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton sebagai hasil sampingan dari pemecahan lemak. badan keton merupakan asam yang mengganggu keseimbangan asam-basa tubuh bila konsentrasinya berlebih. Ketoasidosis yang diakibatkannya dapat menyebabkan beberapa tanda yaitu nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, napas berbau aseton, dan bila tidak ditangani akan mengakibatkan terjadiya penurunan kesadaran, koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama dengan cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemia serta ketoasidosis. Diit dan latihan disertai pemantauan yang sering merupakan komponen terapi yang penting (Smeltzer & Bare, 2002). 15 2.1.4 Etiologi Diabetes Melitus Tipe II Mekanisme yang dapat menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes melitus tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Berikut penyebab dan faktor-faktor risiko tertentu yang diperkirakan berhubungan dengan proses terjadinya diabetes melitus tipe II : a. Genetik Factor keturunan atau genetik memang memegang peranan penting terhadap penyakit ini. Bila terjadi mutasi gen yang menyebabkan kekacauan metabolisme yang berujung pada timbulnya diabetes melitus tipe II (Kaban, 2007). Risiko seorang anak mendapat DM tipe II adalah 15% bila salah satu orang tuanya menderita DM. Jika kedua orang tua memiliki DM maka risiko anak untuk menderita DM akan meningkat mencapai 75%. Orang yang memiliki ibu dengan DM memiliki risiko 10-30% lebih besar daripada orang yang memiliki ayah dengan DM. hal ini dikarenakan penurunan gen sewaktu dalam kandungan lebih besar dari ibu. Jika saudara kandung menderita DM maka risiko untuk menderita DM adalah 10% dan 90% jika yang menderita adalah saudara kembar identik (Diabetes UK, 2010) b. Usia Resistensi insulin cenderung meningkat pada usia diatas 65 tahun sesuai dengan hasil penelitian di Negara maju menunjukkan bahwa kelompok umur yang berisiko terkena DM tipe II adalah usia 65 tahun keatas. Di ngara berkembang kelompok umur yang berisiko untuk menderita DM tipe II adalah usian 46-64 16 tahun karena pada usia tersebut terjadi intoleransi gula atau TGT. Proses penuaan menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan sel beta pankreas dalam memproduksi insulin (Budhiarta dalam Sanjaya, 2009). c. Gaya Hidup Gaya hidup yang dapat berdampak pada terjadinya diabetes melitus khususnya yang tipe II adalah gaya hidup yang kurang gerak, konsumsi makanan yang tinggi lemak, karbohidrat dan rendah serat dengan kata lain kesalahan pada pola makan sehingga berdampak kegemukan, bahkan obesitas yang selanjutnya mengurangi sensitivitas jaringan terhadap insulin (Nidia, 2012). d. Obesitas Obesitas dapat didefinisikan sebagai kelebihan lemak tubuh. Penentu yang digunakan adalah indeks massa tubuh (IMT). Sedangkan Overweight adalah tahap sebelum dikatakan obesitas secara klinis (Guyton, 2007). Obesitas dikatakan terjadi kalau terdapat kelebihan berat badan 20% karena lemak para pria dan 25% pada wanita (Ganong,2002). Kondisi kelebihan lemak tubuh ini dapat berpengaruh pada sensitivitas insulin terhadap jaringan yang berdampak jangka panjang pada penumpukan gula dalam darah sehingga terjadi gula darah tinggi atau hiperglikemia (Smeltzer & Bare, 2002). Sedangkan diabetes melitus tipe I ditandai dengan penghancuran sel-sel beta pankreas yang etiologinya kombinasi antara faktor genetik, imunologi dan kemungkinan pula berkaitan dengan faktor lingkungan. Pasien DM tipe I tidak mewarisi DM tipe I itu sendiri melainkan faktor predisposisi atau kecenderungan genetik kearah terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada 17 individu yang memiliki tipe antigen HLA (human leucocyte antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen transplantai dan proses imun lainnya (Smeltzer & Bare, 2002). Faktor imunologi pada DM tipe I berkaitan dengan proses autoimun. Autoimun merupakan respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang seola-olah sebagai jaringan asing. Autoantibodi terhadap sel-sel pulau langerhans dan insulin endogen (internal) terdeteksi pada saat diagnosis dibuat dan bahkan beberapa tahun sebelum timbulnya tanda-tanda klinis DM tipe I (Smeltzer & Bare, 2002). 2.1.5 a Komplikasi Diabetes Melitus Tipe II Komlipasi akut, terdiri dari : 1) Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik (HHNK) merupakan keadaan yang didominsi oleh hiperosmolaritas dan hiperglikemia yang disertai perubahan tingkat kesadaran (sense of awerness). Pada saat yang sama tidak terjadi atau kadang terjadi kondisi ketosis ringan. Keadaan hiperglikemia persisten menyebabkan diuresis osmotik sehingga terjadi kehilangan cairan dan elektrolit. Kekurangan jumlah insulin efektif merupakan kelainan mendasar pada sindrom ini. Berbeda dengan KAD (ketoasidosis diabetik) yang tidak terdapat insulin pada kasus HHNK masih ada insulin walau jumlahnya sedikit dan tidak dapat mencegah terjadinya hiperglikemia, sehingga dapat mencegah terjadinya penguraian simpanan glukosa, protein, dan lemak menghasilkan badan keton (Smeltzer &Bare, 2002). yang 18 2) Hipoglikemia Hipoglikemia merupakan keadaan penurunan kadar glukosa darah kurang dari 60 mg/dL. Keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian insulin atau preparat oral yang berlebihan, asupan karbohidrat kurang atau aktivitas fisik yang berlebihan. Ditandai degan tremor, takikardi, palpitasi, gelisah, dan rasa lapar pada tahap hipoglikemia ringan. Hipoglikemia sedang akan menimbulkan dampak susah berkonsentrasi, sakit kepala, vertigo, penurunan daya ingat, gerakan tidak terkoordinasi, perubahan emosional dan perasaan ingin pingsan. Pada hipoglikemia berat terjadi disorientasi, serangan kejang, sulit dibangunkan dari tidur atau bahkan kehingan kesadaran (Smeltzer &Bare, 2002). b Komplikasi kronik meliputi penyakit makrovaskuler dan penyakit mikrovaskuler berupa neuropatik diabetik (gangguan pada saraf), nefropatik diabetik (gangguan pada nefron atau ginjal), dan retinopati diabetik (gangguan pada mata) (Smeltzer &Bare, 2002). 2.1.6 Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe II Dalam penatalaksanaan atau pengelolaan modalitas bagi diabetes melitus, terdiri dari dua poin utama yaitu yang pertama terapi non farmakologi dan yang kedua adalah terapi farmakologi. Dimana terapi non farmakologis ini meliputi perubahan gaya hidup dengan melakukan perencanaan diit, meningkatkan latihan jasmani, edukasi berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit diabetes melitus dan pemantauan gula darah yang dilakukan secara terus menerus dan konsisten. Penanganan lebih lanjut adalah terapi farmakologi yang meliputi 19 pemberian obat anti diabetes oral dan juga injeksi insulin. Pemberian terapi farmakologis ini, tetap tidak meninggalkan terapi non farmakologi yang telah dijalani sebelumya, karena pada prinsipnya terapi farmakologis baru akan diberikan jika penerapan terapi non farmakologis yang telah dilakukan tidak dapat mengendalikan kadar gula darah seperti yang diharapkan (Yunir & Soebardi, 2009). Menurut Konsensus Perkeni (2011), ada empat penatalaksanaan diabetes melitus. a. Edukasi Pengelolaan mandiri diabetes secara optimal membutuhkan partisipasi aktif pasien dalam merubah prilaku yang tidak sehat. Tim kesehatan harus mendampingi pasien dalam perubahan perilaku tersebut, yang berlangsung seumur hidup. Keberhasilan dalam mencapai perubahan perilaku, membutuhkan edukasi, pengembangan keterampilan (skill), dan upaya peningkatan motivasi. b. Terapi gizi medis Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu. Perlu ditekankan pentingnya keteraturan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan terutama pada pasien yang menggunakan obat penurun glucosa darah dan insulin. c. Latihan Jasmani Kegiatan jasmani sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes karena efeknya dapat menurunkan kadar gula darah dan mengurangi risiko kardiovaskuler. Latihan akan menurunkan kadar gula darah dengan meningkatkan 20 pengambilan gula oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin. Sirkulasi darah dan tonus otot juga diperbaiki dengan berolahraga. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relative sehat latihan jasmani dapat ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan yang kurang gerak. d. Terapi Farmakologi Pada diabetes tipe II, insulin mungkin diperlukan sebagai terapi jangka panjang untuk mengendalikan kadar gula darah jika diet dan obat hipoglikemia oral tidak berhasil mengontrolnya. Disamping itu, sebagian pasien diabetes tipe II yang biasanya mengendalikan kadar gula darah dengan diet dan obat kadang membutuhkan insulin secara temporer selama mengalami sakit, infeksi, kehamilan, pembedahan atau beberapa kejadian stress lainnya. 2.2 Konsep Dasar Kadar Gula Darah 2.2.1 Definsi Kadar Gula Darah Menurut kamus kedokteran Dorland (2002), gula darah adalah produk akhir dan merupakan sumber energi utama organisme hidup yang kegunaannya dikontrol insulin. Gula darah adalah gula yang terdapat pada darah yang terbentuk dari karbohidrat dalam makanan dan disimpan sebagai glikogen di hati dan di otot rangka (Joyce LeeFever, 2007). Gula merupakan bentuk paling sederhana dari molekul gula, yang merupakan produk akhir dari pencernaan karbohidrat dan bentuk dimana karbohidrat diserap dari usus kedalam aliran darah. Terkadang orang menyebutnya gula anggur ataupun dekstrosa. Banyak dijumpai dialam, 21 terutama pada buah-buahan, sayur-sayuran, madu, sirup, jagung dan tetes tebu. Di dalam tubuh gula didapat dari hasil akhir pencernaan amilum, sukrosa, maltosa dan laktosa (Erliensty, 2009). Pada kondisi normal, tingkat gula darah diatur melalui umpan balik negatif untuk mempertahankana keseimbangan di dalam tubuh. Level gula di dalam darah dimonitor oleh pankreas. Bila konsentrasi gula menurun, karena dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh, pankreas melepaskan glukagon, hormon yang menargetkan sel-sel di lever (hati). Kemudian sel-sel ini mengubah glikogen menjadi gula (proses ini disebut glikogenolisis). Gula dilepaskan kedalam aliran darah, hingga meningktakan level gula darah (Herman dalam Purba, 2009). Apabila level gula darah meningkat, baik karena perubahan glikogen atau karena pencernaan makanan, hormon yang lain dilepaskan dari butir-butir sel yang terdapat didalam pankreas. Hormon ini yang disebut insulin, menyebabkan hati mengubah lebih banyak gula menjadi glikogen (proses ini disebut glikogenosis) yang mengurangi level gula (Herman dalam Purba, 2009). Sehingga dengan berjalannya kedua mekanisme ini dengan optimal maka akan terjadi keseimbangan gula darah yang dapat selalu terkontrol. 2.2.2 Metabolisme Gula Darah Metabolisme gula berawal dari proses pemecahan karbohidrat menjadi beberapa bentuk sederhana seperti gula, fruktosa dan galaktose. Dimana gula merupakan perwakilan dari sekitar rata-rata 80 persen produk akhir dari pemecahan karbohidrat. Terdapat dua macam transport gula melalui membrane sel untuk masuk ke dalam sel dan dimetabolisme untuk menghasilkan energi. Di 22 membrane usus akan terjadi transport aktif dengan memanfaatkan ikatan dengan natrium, yang dikenal dengan mekanisme active co-transfer natrium glucose, yaitu transport aktif natrium menyediakan energi untuk mengabsorbsi gula melawan perbedaan konsentrasi. Mekanisme difusi terfasilitasi yaitu gula diangkut hanya dari konsentrasi yang lebih tinggi menuju ke konsentrasi yang lebih rendah, yang dimungkinkan dengan ikatan khusus dari protein pembawa gula di membrane. Kemudian peranan insulin dalam keterkaitannya yang sangat erat dengan metabolism gula diamana insulin akan meningkatkan difusi gula terfasilitasi. Kecepatan pengangkutan gula dan kecepatan pengangkutan monosakarida lainnya sangat meningkat dengan keberadaan insulin. Kecepatan pengangkutan gula ke dalam sel akan meningkat sampai 10 kali atau dalam sebagian sel dibandingkan dengan pengangkutan tanpa adanya sekresi insulin. Segera setelah masuk ke dalam sel gula akan bergabung dengan satu radikal fosfat yang sesuai dengan reaksi berikut : Gula glukokinase atau heksokinase Gula-6-Fosfat +ATP Fosforilasi ini ditingkatkan terutama oleh enzim glukokinase di dalam hati dan heksokinase di dalam sel lainnya. Fosforilasi gula pada umumnya irreversible kecuali di sel hati, epitel tubulus ginjal, dan sel epitel usus. Di dalam sel-sel tersebut ada suatu enzim yang lain, glucose fosfatase dan bila enzim ini aktif reaksi dapat berjalan berkebalikan. Pada kondisi diabetes melitus tipe II yang berhubungan dengan rendahnya sensitivitas insulin atau tingginya resistensi jaringan tubuh terhadap insulin, akan berdampak pada regulasi gula darah, tidak hanya pada jaringan perifer tapi juga di 23 jaringan hepar. Dalam hal ini jaringan hepar berperan dalam mengatur homeostasis gula tubuh. Peningkatan kadar gula darah puasa, lebih ditentukan oleh peningkatan produksi gula secara endogen yang berasal dari proses glukoneogenesis dan glikogenolisis di jaringan hepar. Saat jaringan (hepar) resisten terhadap insulin, maka efek inhibisi hormon insulin terhadap mekanisme produksi gula endogen secara berlebihan menjadi tidak lagi optimal (Manaf, Asman 2009). 2.2.3 Pengaturan Metabolisme Gula Oleh Insulin Metabolisme karbohidrat dan diabetes melitus adalah mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. Keterkaitan antara metabolisme karbohidrat dan diabetes melitus dijelaskan oleh keberadaan hormone insulin. Pasien diabetes melitus mengalami kerusakan dalam produksi maupun system kerja insulin, sedangkan insulin sangat dibutuhkan dalam melakukan regulasi metabolisme karbohidrat. Akibatnya pasien diabetes melitus akan mengalami gangguan pada metabolisme karbohidrat (Suriani, 2012). Insulin berupa polipeptida yang dihasilkan oleh sel-sel β pankreas. Insulin terdiri atas dua rantai polipeptida. Insulin manusia terdiri atas 21 residu asam amino pada rantai A dan 30 residu pada rantai B. Kedua rantai ini dihubungkan oleh adanya dua buah rantai disulfida. Insulin disekresi sebagai respon atas meningkatnya konsentrasi gula dalam plasma darah. Konsentrasi ambang untuk sekresi tersebut adalah kadar gula pada saat puasa yaitu antara 80-100 mg/dL. Respon maksimal diperoleh pada kadar gula yang berkisar dar 300-500 mg/dL. Insulin yang disekresikan dialirkan melalui aliran darah ke seluruh tubuh. Umur 24 insulin dalam aliran darah sangat cepat, waktu paruhnya kurang dari 3-5 menit (Suriani, 2012). Sel-sel tubuh menangkap insulin pada suatu reseptor glikoprotein spesifik yang terdapat pada membran sel. Reseptor insulin tersebut merupakan suatu kombinasi empat subunit yang dihubungkan bersama-sama oleh ikatan disulfide : dua subunit alfa (α) yang terletak di luar membran sel dan dua subunit beta (β) yang menembus membran dan menonjol ke dalam sel mengalami aktivitas tirosin kinase dan autofosforilasi (Guyton and Hall, 2008). Terikatnya insulin subunit (α) menyebabkan subunit (β) mengalami autofosforilasi pada residu tirosin. Reseptor yang terfosforilasi akan mengalami perubahan bentuk, membentuk agregat, internalisasi dan menghasilkan lebih dari satu sinyal. Dalam kondisi dengan kadar insuli tinggi, misalnya pada obesitas ataupun akromegali, jumlah reseptor insulin berkurang dan terjadi resistansi terhadap insulin. Resistansi ini mengakibatkan terjadinya regulasi ke bawah. Reseptor insulin mengalami endositosis ke dalam vesikel berbalut klatrin. Insulin mengatur metabolisme gula dengan memfosforilasi substrat reseptor insulin (RIS) melalui aktivitas tirosin kinase subunit (β) pada reseptor insulin. RIS terfosforilasi memicu serangkaian rekasi kaskade yang efek nettonya adalah mengurangi kadar gula dalam darah (Suriani, 2012). Menurut Suriani (2012), pengaturan metabolisme gula oleh insulin melalui berbagai mekanisme kompleks yang efek nettonya adalah peningkatan kadar gula dalam darah. Oleh karena itu, pasien diabetes melitus yang jumlah insulinnya 25 tidak mencukupi atau bekerja tidak efektif akan mengalami hiperglikemia. Ada 4 mekanisme yang terlibat yaitu : 1) Meningkatkan difusi gula ke dalam sel Pengangkutan gula ke dalam sel melalui proses difusi dengan bantuan protein pembawa. Protein ini telah diidentifikasi melalui teknik kloning molekular. Ada 5 jenis protein pembawa tersebut yaitu GLUT1, GLUT2, GLUT3, GLUT4 dan GLUT 5. GLUT1 merupakan pengangkut gula yang ada pada otak, ginjal, kolon dan eritrosit. GLUT2 terdapat pada sel hati, pankreas, usus halus dan ginjal. GLUT3 berfungsi pada sel otak, ginjal dan plasenta. GLUT4 terletak di jaringan adiposa, otot jantung dan otot skeletal. GLUT5 bertanggung jawab terhadap absorpsi gula dari usus halus. Insulin meningkatkan secara signifikan jumlah protein pembawa terutama GLUT4. Sinyal yang ditransmisikan oleh insulin menarik pengankut gula ke tempat yang aktif pada membran plasma. Translokasi protein pengangkut ini bergantung pada suhu dan energi serta tidak bergantung pada sintesis protein. Efek ini tidak terjadi pada hati. 2) Peningkatan aktivitas enzim Pada orang yang normal, sekitar separuh dari gula yang dimakan diubah menjadi energi lewat glikolisis dan separuh lagi disimpan sebagai lemak atau glikogen. Glikolisis akan menurun dalam keadaan tanpa insulin dan proses glikogenesis ataupun lipogenesis akan terhalang. Hormon insulin meningkatkan glikolisis sel-sel hati dengan cara meningkatkan aktivitas enzim-enzim yang berperan termasuk glukokinase, fosfofruktokinase dan piruvat kinase. Bertambahnya glikolisis akan meningkatkan penggunaan gula dan 26 dengan demikian secara tidak langsung menurunkan pelepasan gula ke plasma darah. Insulin juga menurunkan aktivitas glucose-6-fosfatase yaitu enzim yang ditemukan di hati dan berfungsi mengubah gula menjadi gula 6-fosfat. Penumpukan glucose-6-fosfat dalam sel mengakibatkan retensi gula yang mengarah pada diabetes melitus tipe II. Banyak efek metabolik insulin, khususnya yang terjadi dengan cepat dilakukan dengan mempengaruhi reaksi fosforilasi dan defosforilasi protein yang selanjutnya mengubah aktivitas enzimatik enzim tersebut. Kerja insulin dilaksanakan dengan mengaktifkan protein kinase, menghambat protein kinase lain atau meransang aktivitas fosfoprotein fosfatase. Defosforilasi meningkatkan aktivitas sejumlah enzim penting. Modifikasi kovalen ini memungkinkan terjadinya perubahan yang hampir seketika pada aktivitas enzim tersebut. Mekanisme defosforilasi enzim dilakukan melalui reaksi kaskade yang dipicu oleh fosforilasi substrat reseptor insulin. Sebagai contoh adalah pengeruh insulin pada enzim glikogen sintase dan glikogen fosforilase. 3) Menghambat kerja cAMP Dalam menghambat atau meransang kerja suatu enzim, insulin memainkan peran ganda. Selain menghambat secara langsung, insulin juga mengurangi terbentuknya cAMP yang memiliki sifat antagonis terhadap insulin. Insulin meransang terbentuknya fosfodiesterase-cAMP. Dengan demikian insulin mengurangi kadar cAMP dalam darah. 27 4) Mempengaruhi ekspresi gen Kerja insulin yang dibicarakan sebelumnya semuanya terjadi pada tingkat membran plasma atau di dalam sitoplasma. Di samping itu, insulin mempengaruhi berbagai proses spesifik dalam nukleolus. Enzim fosfoenolpiruvat karboksikinase mengkatalisis tahap yang membatasi kecepatan reaksi dalam glukoneogenesis. Sintesis enzim tersebut dikurangi oleh insulin dengan demikian glukoneogenesis akan menurun. Hasil penelitian menunjukkan transkripsi enzim ini menurun dalam beberapa menit setelah penambahan insulin. Penurunan transkripsi tersebut menyebabkan terjadinya penurunan laju sintesis enzim ini. Pasien diabetes melitus memiliki jumlah protein pembawa yang sangat rendah, terutama pada otot jantung, otot rangka dan jaringan adiposa karena insulin yang mentranslokasikannya ke situs aktif tidak tersedia. Kondisi ini diperparah pula dengan peranan insulin pada pengaturan metabolisme gula. Glikolisis dan glikogenesis akan terhambat akan enzim yang berperan dalam kedua jalur tersebut diinaktivasi tanpa kehadiran insulin. Sedangkan tanpa insulin, jalur metabolisme yang mengarah pada pembentukan gula diransang terutama oleh glukagon dan epinefrin yang bekerja melalui cAMP yang memiliki sifat antagonis terhadap insulin. Oleh karena itu, pasien diabetes melitus baik tipe I atau tipe II kurang dapat menggunakan gula yang diperolehnya melalui makanan. Gula akan terakumulasi dalam plasma darah (hiperglikemia). Pasien dengan kadar gula yang sangat tinggi mengakibatkan tubuh berespon, maka gula tersebut akan dikeluarkan melalui urin. Gula disaring oleh glomerolus ginjal secara terus menerus, tetapi kemudian akan dikembalikan ke 28 dalam sistem aliran darah melalui sistem reabsorpsi tubulus ginjal. Kapasitas ginjal mereabsorpsi gula terbatas pada laju 350 mg/menit. Ketika kadar gula amat tinggi, filtrat glomerolus mengandung gula di atas batas ambang untuk direabsorpsi. Akibatnya kelebihan gula tersebut dikeluarkan melalui urin. Gejala ini disebut glikosuria, yang mrupakan indikasi lain dari penyakit diabetes melitus. Glikosuria ini megakibatkan kehilangan kalori yang sangat besar. Kadar gula yang amat tinggi pada liran darah maupun pada ginjal, mengubah tekanan osmotik tubuh. Secara otomatis, tubuh akan mengadakan osmosis untuk menyeimbangkan tekanan osmotik. Ginjal akan menerima lebih banyak air, sehingga pasien akan sering buang air kecil. Konsekuensi lain dari hal ini adalah, tubuh kekurangan air. Pasien mengalami dehidrasi (hiperosmolaritas) bertambahnya rasa haus dan gejala banyak minum (polidipsia). Gejala yang diterima oleh pasien diabetes tipe I biasanya lebih komplek, karena mereka kadang tidak dapat menghasilkan insulin sama sekali. Akibatnya gangguan metabolik yang dideritanya juga mempengaruhi metabolisme lemak dan bahkan asam amino. Pasien tidak dapat memperoleh energi dari katabolisme gula. Energi adalah hal wajib yang harus dimiliki oleh sel tubuh, sehingga tubuh akan mencari alternatif substrat untuk menghasilkan energi tersebut. Cara yang digunakan oleh tubuh adalah dengan merombak simpanan lemak pada jaringan adiposa. Lemak dihidrolisis sehingga menghasilkan asam lemak dan gliserol. Asam lemak dikatabolisme lebih lanjut dengan melepas dua atom karbon yang satu persatu menghasilkan asetil-KoA. Penguraian asam lemak terus menerus mengakibatkan terjadi penumpukan asam asetoasetat dalam tubuh. Asam 29 asetoasetat dapat terkonversi membentuk aseton, ataupun dengan adanya karbondioksida dapat dikonversi membentuk asam (β) -hidroksibutirat. Ketiga senyawa ini disebut sebagai badan keton yang terdapat pada urin pasien serta dideteksi dari bau mulut seperti keton. Pasien mengalami ketoasidosis dan dapat meninggal dalam keadaan koma diabetik. Ketidaktersediaan gula dalam sel juga mengakibatkan terjadinya glukoneogenesis secara berlebihan. Sel-sel hati akan meniungkatkan produksi gula dari substrat lain, salah satunya adalah dengan merombak protein. Asam amino hasil perombakan ditransaminasi sehingga dapat menghasilkan substrat atau senyawa antara dalam pembentukan gula. Peristiwa berlangsung terus-menerus karena insulin yang membatasi glukoneogenesis sangat sedikit atau tidak ada sama sekali. Gula yang dihasilkan kemudian akan terbuang melalui urin. Akibatnya, terjadi pengurangan jumlah jaringan otot dan jaringan adiposa secara signifikan. Pasien akan kehilangan berat tubuh yang hebat kendati terdapat peningkatan selera makan (polifagia) dan asupan kalori normal atau meningkat. Pasien diabetes tipe I juga mengalami hipertrigliseridemia, yaitu kadar trigliserida dan VLDL dalam darah yang tinggi. Hipertrigliseridemia terjadi karena VLDL yang disintesis dan dilepaskan tidak mampu diimbangi oleh kerja enzim lipoproteinlipase yang merombaknya. Jumlah enzim ini diransang oleh rasio insulin dan glukagon yang tinggi. Defek pada produksi enzim ini juga mengakibatkan hipersilomikronemia, karena enzim ini juga dibutuhkan dalam katabolisme silomikron pada jaringan adiposa. 30 Berbeda dengan pasien diabetes tipe I, pada pasien diabetes tipe II, ketoasidosis tidak terjadi karena penguraian lemak (lipolisis) tetap terkontrol, namun terjadi hipertrigliseridemia yang menghasilkan peningkatan VLDL tanpa disertai hipersilomikronemia. Hal ini terjadi karena peningkatan kecepatan sintesis de novo dari asam lemak tidak diimbangi oleh kecepatan penyimpanannya pada jaringan lemak. Asam lemak yang dihasilkan tidak semuanya mampu dikatabolisme, kelebihannya diesterifikasi menjadi trigliserida dan VLDL. Hal ini diperparah oleh aktivitas fisik pasien diabetes melitus tipe II yang pada umumnya sangat kurang. Akibatnya kadar lemak dalam darah akan meningkat. Pada pasien yang akut, akan terjadi penebalan pada pembuluh darah terutama pada bagian mata, sehingga dapat menyebabkan rabun atau bahkan kebutaan. Kelainan tekanan darah akibat kadar gula yang tinggi menyebabkan kerja jantung, ginjal dan organ dalam lain untuk mempertahankan kestabilan tubuh menjadi lebih berat. Akibatnya pada pasien diabetes akan mudah dikenai berbagai komplikasi diantaranya penurunan sistem imune tubuh, kerusakan sistem kardivaskular, kealinan trombosis, inflamasi, dan kerusakan sel-sel endothelia serta kerusakan otak, yang biasanya ditandai dengan penglihatan yang kabur. 2.3 Diit Pasien Diabetes Melitus 2.3.1 Prinsip Diit Diabetes Melitus Terapi gizi medis pada pasien diabetes merupakan salah satu terapi nonfarmakologi yang dianjurkan, dimana terapi gizi ini dilakukan dengan melakukan pengaturan pola diit yang didasari oleh status gizi pasien diabetes, dan 31 melakukan modifikasi diit berdasarkan kebutuhan kalori perhari secara individu. Status gizi ini ditentukan berdasarkan dengan nilai IMT (indeks massa tubuh), dan kebutuhan kalori perhari dengan menggunakan rumus Brocca. Prinsip diit diabetes melitus adalah mengurangi dan mengatur konsumsi karbohidrat sehingga tidak menjadi beban bagi mekanisme pengaturan kadar gula darah dengan anjuran mengkonsumsi karbohidrat komplek dan makanan yang mengandung serat (Tjokroprawiro, 2001). Indeks massa tubuh (IMT) merupakan kalkulasi angka dari berat dan tinggi badan seseorang. Nilai IMT didapatkan dari berat dalam kilogram dibagi dengan kuardrat dari tinggi dalam meter (kg/m2). Nilai dari IMT pada orang dewasa tidak bergantung pada umur maupun jenis kelamin. Tetapi, IMT mungkin tidak berkorenspondensi untuk derajat kegemukan pada populasi yang berbeda, pada sebagian, dikarenakan perbedaan proporsi tubuh mereka (WHO, 2000). Menurut WHO (2000) dalam Sugondo (2006) berat badan dan Obesitas dapat diklasifikasikan berdasarkan IMT, yaitu : Tabel 1. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas Berdasarkan IMT Menurut Kriteria Asia Pasifik Klasifikasi obesitas Klasifikasi Berat badan kurang Kisaran normal Berat badan lebih Beresiko obes Obese I Obese II IMT <18,5 18,5-22,9 >23,0 23,0-24,9 25,0-29,9 >30,0 32 Kriteria di atas merupakan kriteria untuk kawasan Asia Pasifik. Kriteria ini berbeda dengan kawasan lain, hal ini berdasarkan meta-analisis beberapa kelompok etnik yang berbeda, dengan konsentrasi lemak tubuh, usia, dan gender yang sama, menunjukkan etnik Amerika berkulit hitam memiliki IMT lebih tinggi 4,5 kg/m2 dibandingkan dengan etnik kaukasia. Sebaliknya, nilai IMT bangsa Cina, Ethiopia, Indonesia, dan Thailand masing-masing adalah 1.9, 4.6, 3.2, dan 2.9 kg/m2 lebih rendah daripada etnik Kaukasia. Ini menunjukkan adanya nilai cut off IMT untuk obesitas yang spesifik untuk populasi tertentu (Sugondo, 2006) 2.3.2 Tujuan Diit Diabetes Melitus Tujuan diit penyakit Diabetes Melitus adalah membantu pasien diabetes memperbaiki kebiasaan makan dan olahraga untuk mendapatkan kontrol metabolik yang lebih baik. Tujuan diit diabetes melitus ini yaitu : 1) Mempertahankan kadar gula darah supaya mendekati normal. 2) Mencapai dan mempertahankan kadar lipida serum normal. 3) Memberi cukup energi untuk mempertahankan atau mencapai berat badan normal. 4) Menghindari atau menangani komplikasi akut pasien diabetes melitus. 5) Meningkatkan derajat kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang optimal (Instalasi Gizi RSCM, 2004). 2.3.3 Syarat Diit Diabetes Melitus Syarat – syarat diit penyakit diabetes melitus adalah : 33 1) Energi cukup untuk mencapai dan mempertahankan berat badan normal. Makanan dibagi dalam 3 porsi besar, yaitu makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi kecil untuk makanan selingan (masing-masing 10-15%). 2) Kebutuhan protein normal, yaitu 10-15% dari kebutuhan energy total. 3) Kebutuhan lemak sedang, yaitu 20-25% dari kebutuhan energy total, dalam bentuk <10% dari kebutuhan energi total berasal dari lemak jenuh, 10% dari lemak tidak jenuh ganda, sedangkan sisanya dari lemak tidak jenuh tunggal. Asupan makanan kolesterol dibatasi, yaitu ≤ 300 mg per hari. 4) Kebutuhan karbohidrat adalah sisa dari kebutuhan energi total, yaitu 60-70%. 5) Penggunaan gula murni dalam minuman dan makanan tidak diperbolehkan kecuali jumlahnya sedikit sebagai bumbu. Bila kadar gula darah sudah terkendali, diperbolehkan mengkonsumsi gula murni sampai 5% dari kebutuhan energy total. 6) Penggunan gula alternatif dalam jumlah terbatas. 7) Asupan serat dianjurkan 25 gr per hari dengan mengutamakan serat larut air yang terdapat didalam sayur dan buah. 8) Pasien DM dengan tekanan darah normal dapat mengkonsumsi natrium dalam bentuk garam dapur seperti orang sehat yaitu 3000 mg/hari. Jika pasien DM mengalami hipertensi, asupan garam harus dikurangi (lihat Diet Rendah Garam) 6) Cukup vitamin dan mineral (Instalasi Gizi RSCM, 2004). 34 2.3.4 Contoh Daftar Menu Diabetes Melitus Tabel 2. Jenis Diit Diabetes Melitus menurut Kandungan Energi Protein, Lemak dan Karbohidrat Jenis Diit Energi Kkal Protein Gram Lemak gram Karbohidrat gram I II III IV V VI VII VIII 1100 1300 1500 1700 1900 2100 2300 2500 43 45 51.5 55.5 60 62 73 80 30 35 36.5 36.5 48 53 59 62 172 192 235 275 299 319 369 396 Tabel 3. Jumlah Bahan Makanan Sehari menurut Standar Diit Diabetes Melitus (dalam satuan penukar II) Golongan Bahan Makanan Nasi atau penukar Ikan atau penukar Daging atau penukar Tempe atau penukar Sayuran /penukar A Sayuran /penukar B Buah atau penukar Susu atau penukar Minyak atau penukar 1100 kkal 1300 Kkal 1500 Kkal Standar Diit 1700 1900 kkal kkal 21/2 2 1 2 S 2 4 3 3 2 1 2 S 2 3 4 4 2 1 21/2 S 2 4 4 5 2 1 21/2 S 2 4 4 51/2 2 1 3 S 2 4 6 2100 kkal 2300 Kkal 2500 kkal 6 2 1 3 S 2 4 7 7 2 1 3 S 2 4 1 7 71/2 2 1 5 S 2 4 1 7 35 Tabel 4. Pembagian Makanan Sehari tiap Standar Diit Diabetes Melitus dan Nilai Gizi (dalam satuan penukar II) Energy kkal 1300 1500 1700 1900 2100 2300 2500 /2 1 S 1 1 1 S 1 1 1 1 /2 S 1 1 1 1 /2 S 1 11/2 1 1 S 2 11/2 1 1 S 2 11/2 1 1 S 2 2 1 1 S 2 Pukul 10.00 Buah Susu 1 - 1 - 1 - 1 - 1 - 1 - 1 1 1 1 Siang Nasi Daging Tempe Sayuran A Sayuran B Buah Minyak 1 1 1 S 1 1 1 1 1 1 S 1 1 2 2 1 1 S 1 1 2 2 1 1 S 1 1 2 2 1 1 S 1 1 2 21/2 1 1 S 1 1 3 3 1 1 S 1 1 3 3 1 2 S 1 1 3 Pukul 16.00 Buah 1 1 1 1 1 1 1 1 Malam Nasi Ikan Tempe Sayuran A Sayuran B Buah Minyak 1 1 1 S 1 1 1 1 1 1 S 1 1 1 1 1 1 S 1 1 1 2 1 1 S 1 1 1 2 1 1 S 1 1 2 2 1 1 S 1 1 2 21/2 1 1 S 1 1 2 21/2 1 1 S 1 1 2 Nilai Gizi Energy (kkal) Protein (gram) Lemak (gram) KH (gram) 1100 43 30 172 1300 45 35 192 1500 51.5 36.5 235 1700 55.5 36.5 275 1900 60 48 299 2100 62 53 319 2300 73 59 369 2500 80 62 396 Pagi Nasi Ikan Tempe Sayur A Minyak 1100 1 Keterangan : S = sekehendak 36 Contoh Menu Sehari Diit DM 1900 kkal Ini berarti daftar menu berikut merupakan daftar menu yang dapat digunakan dalam sehari untuk menu makan oleh pasien diabetes yang membutuhkan jumlah kalori sebesar 1900 kkal. Tabel 5. Contoh Menu Makanan Sehari tiap Standar Diit Diabetes Melitus dan Nilai Gizi Waktu Pagi Bahan Makanan Nasi Telur ayam Tempe Sayuran A Minyak Penukar 11/2 p 1p 1p S 2p (urt) 1 gls 1 btr 2 ptg sdg Pukul 10.00 Siang Buah Nasi Ikan Tempe Sayuran B Buah Minyak 1p 2p 1p 1p 1p 1p 2p 1 ptg sdg 11/2 gls 1 ptg sdg 2 ptg sdg 1 gls 1 /4 bh sdg 1 sdm Papaya Nasi Pepes ikan Tempe goreng Lalapan kc. Pnjng + kol Nenas Pukul 16.00 Buah 1p 1 gls Pisang Malam Nasi Ayam tanpa kulit Tahu Sayuran B Buah Minyak 2p 1p 1p 1p 1p 2p 11/2 gls 1 ptg sdg 1 ptg bsr 1 gls 1 ptg sdg 1 sdm Nasi Ayam bkar bumbu kecap Tahu bacem Sup buncis + wortel Papaya Keterangan : bh = buah ptg = potong sdg =sedang Menu Nasi Telur dadar Oseng-oseng tempe Tumis kangkung +tomat 1 sdm gls = gelas (240 ml) sdm = 1 sendok makan bsr = besar btr = butr Bahan Makanan yang Dianjurkan Bahan makanan yang dianjurkan untuk diit dabetes melitus adalah sebagai berikut: 1) Sumber karbohidrat kompleks, seperti nasi, roti, mie, kentang, singkong, ubi dan sagu 37 2) Sumber protein rendah lemak, seperti ikan, ayam tanpa kulit, susu skim, tempe, tahu, dan kacang-kacangan 7) Sumber lemak dalam jumlah terbatas yaitu bentuk makanan yang mudah dicerna. Makanan terutama diolah dengan cara dipanggang, dikukus, direbus, disetup, dan dibakar (Instalasi Gizi RSCM, 2004). Bahan Makanan yang Tidak Dianjurkan (dibatasi / dihindari) Bahan makanan yang tidak dianjurkan, dibatasi, atau dihindari untuk diit diabetes melitus adalah makanan yang mengandung banyak gula sederhana, seperti gula pasir, gula jawa, sirop, jam, jelly, buah-buahan yang diawetkan dengan gula, susu kental manis, minuman ringan dan es krim serta kue-kue manis, dodol, cake, dan tarcis. Selain itu bahan makanan lain yang sebaiknya dihindari adalah makanan yang mengandung banyak lemak, seperti cake, makanan siap saji, (fast food), goreng-gorengan dan makanan yang mengandung banyak natrium, seperti : ikan asin, telur asin, serta makanan yang diawetkan (Sudoyo, 2006). 2.4 Konsep Dasar Senam Diabetes 2.4.1 Pengertian Senam Diabetes Senam diabetes adalah salah satu bentuk exercise untuk pasien diabetes melitus yang berupa senam khusus. Senam diabetes merupakan senam yang memilliki rangkaian gerakan yang dirancang khusus untuk pasien diabetes melitus oleh para ahli, baik dari ahli diabetes, kedokteran olahraga, ahli rehab medis serta sanggar senam yang mengatur olah gerak. Senam diabetes merupakan senam yang mudah dan enak dilakukan, memiliki gerakan yang ritmis, low impact 38 (rendah beban) serta dinamis dan senam diabetes ini sangat membantu dalam pengelolaan diabetes. Frekuensi olahraga sebaiknya dilakukan dengan teratur 3-5 kali dalam seminggu, dengan intensitas ringan sampai sedang (60-70% Maximum Heart Rate) (Yunir & Soebardi, 2009). 2.4.2 Tahapan Senam Diabetes Tahapan Senam Diabetes terdiri dari empat tahapan gerakan, yaitu gerakan yang meliputi gerakan pemanasan, inti, menuju pendinginan dan pendinginan. Selengkapnya disajikan pada lampiran lima. Terlampir 2.4.3 Prinsip Latihan Jasmani Diabetes Melitus Prinsip latihan jasmani bagi pasien diabetes melitus persis sama dengan latihan jasmani secara umum, yaitu memenuhi frekuensi, intensitas, durasi dan jenis yang tepat. Frekuensi olahrga perminggu sebaiknya dilakukan dengan teratur 3-5 kali perminggu dengan intensitas ringan sampai sedang ( mencapai 6070 % Maximum Heart Rate). Durasi olahraga yang dianjurkan adalah 30-60 menit, dengan jenis latihan jasmani endurans atau aerobik untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi seperti jalan, jogging, berenang, senam (senam diabetes) dan bersepeda (Yunir & Soebardi, 2009). Intensitas latihan dapat ditentukan dengan menghitung MHR (Maximum Heart Rate) yaitu 220 – umur. Setelah MHR didapatkan, dapat ditentukan THR (Target Heart Rate). Sebagai contoh : suatu latihan bagi seorang pasien diabetes yang berusia 50 tahun disasarkan sebesar 70%, maka THR = 70% X (220-50) = 39 119. Dengan demikian, sasaran denyut nadi pasien dalam melakukan latihan jasmani adalah sekitar 119/menit (Yunir & Soebardi, 2009). Menurut Soegondo (2008) ada beberapa hal yang harus diperhatikan saat berolah raga pada pasien Diabetes Melitus yaitu : 1. Jangan melakukan olahraga bila anda mengalami gangguan pada mata (retinopati). 2. Masalah yang sering muncul saat berolahraga adalah terjadinya hipoglikemia (terutama pada penyandang diabetes tipe 1). Beberapa cara untuk mencegah hipoglikemi akibat olahraga adalah : a) Monitor kadar gula darah b) Kurangi dosis insulin sebelum melakukan aktivitas fisik dan atau tingkatkan asupan makanan pada waktu berolahraga (diberikan snack karbohidrat pada saat sebelum, sedang dan sesudah melakukan olahraga) c) Hindari pemberian insulin pada bagian yang aktif (sebaiknya insulin diberikan di bagian perut/abdomen) d) Lakukan aktivitas fisik secara teratur dan konsisten. Waktu yang tepat untuk melakukan aktivitas fisik yaitu kira-kira 60-90 menit setelah makan karena saat itu kadar gula berada di puncak dan cukup menyediakan kalori yang anda butuhkan e) Cepat tanggap bila timbul gejala hipoglikemi 3. Kenakan sepatu yang sesuai dan usahakan kaki agar selalu bersih dan kering. 4. Monitor kadar gula darah jangan sampai melebihi 300 mg/dl karena akan 40 meningkatkan kadar gula darah dan berisiko timbulnya ketoasidosis. 2.5 Pengaruh Kombinasi Pengaturan Diit DM dan Senam Diabetes terhadap Kadar Gula Darah Gerakan-gerakan senam diabetes bersifat ritmis, teratur, berirama bertujuan untuk memperbaiki metabolisme tubuh pasien diabetes melitus karena dapat mengatur dan mengendalikan gula darah, lemak darah (kolesterol) serta dapat memperbaiki sensitivitas otot terhadap insulin. Efek lain dari senam diabetes adalah mampu memperbaiki atau mencegah komplikasi yang terjadi pada sistem jantung, pembuluh darah mengontrol berat badan, serta saraf sehingga mampu mengurangi keluhan-keluhan komplikasi pasien diabetes melitus seperti kesemutan, pegal-pegal, rasa kebal (baal) pada kaki dan tangan serta sangat baik bagi pernafasan. Selain itu melakukan senam diabetes akan dapat menghilangkan stress, sehingga dapat menimbulkan rasa nyaman bagi pasien diabetes melitus. Olahraga secara umum bermanfaat bagi penatalaksanaan diabetes melitus, akan tetapi tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan program penatalaksanaan diabetes melitus, yaitu diet, olahraga, obat-obatan oral atau insulin, penyuluhan dan self control. Apabila kelima prosedur tersebut dijalankan, maka hasil optimal regulasi diabetes melitus akan tercapai (Santoso, 2002). Makan secara berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang dibutuhkan oleh tubuh dapat memicu timbulnya diabetes melitus. Terkait dengan hal ini, jika seorang pasien diabetes melitus tidak memperhatikan pola diitnya maka hal ini lambat laun dapat memperburuk kondisi kadar gula darah sehingga berdampak pada berbagai komplikasi. Kadar gula darah dalam tubuh manusia 41 terkait dengan fungsi pankreas yang mensekresikan insulin, namun pankreas tetap mempunyai kapasitas maksimum dalam mensekresikan insulin. Pada fase awal pankreas akan mengkompensasi dengan meningkatkan sekresi insulin, sehingga terjadi kondisi hiperinsulinemia, yaitu kadar insulin yang berlebih dalam tubuh. Namun perkembangan selanjutnya jika kondisi hiperglikemi terjadi dalam waktu lama maka pankreas pun akan mencapai kapasitas maksimalnya sehingga tubuh akan merespon dengan memperlihatkan gejala berupa trias Diabetes Melitus yaitu polidipsi, polifagi, dan poliuri. Pasien DM yang menjalani pengaturan diit DM yang tepat dapat mencegah terjadinya peningkatan kadar gula darah yang mendadak dan mencegah terjadinya lonjakan yang teralalu tinggi, dan dibarengi dengan palaksanaan senam diabetes yang teratur dapat meningkatkan masukan atau ambilan gula oleh otot yang aktif. Latihan fisik adalah stimulus yang kuat terhadap masuknya gula ke dalam otot skeletal. Pemberian intervensi kombinasi ini tentu juga memiliki risiko yang mungkin terjadi, baik dari segi diitnya maupun senam diabetesnya yang semuanya saling berkitan. Adapun beberapa risiko perlakuan yang mungkin dapat terjadi selama proses penelitian dan pengumpulan data yaitu pasien yang mengalami hipoglikemia, cidera saat melakukan senam, dan kelelaha otot. Pada kondisi hipoglikemia terdapat beragam keluhan yang menonjol diantara pasien dan pasien itu sendiri pada waktu yang berbeda-beda. Namun pada umumnya gejala atau keluhan biasanya timbul pada pola tertentu sehingga klien, peneliti, perawat, tenaga kesehatan lain, serta keluarga dapat menggunakannya sebagai peringatan awal dan dapat segera melakukan tindakan-tindakan koreksi yang tepat. 42 Tabel 6. Keluhan dan Gejala Hipoglikemia Akut yang Sering Dijumpai pada Pasien Diabetes Otonomik Berkeringat Jantung berdebar Tremor Merasa lapar Neurologic Bingung (confusion)icara Mengantuk Sulit berbicara Inkoordinasi Perilaku yang berbeda Gangguan visual Parestesi (perasaan ada yang menyimpang atau tidak normal) Malaise Mual Sakit kepala Beberapa risiko ini akan ditangani sesuai prosedur yang berlaku pada penanganan hipoglikemia pada diabetes adalah dengan pemberian glukosa oral. Sesudah terlihat tanda dan gejala yang mengarah pada kondisi hipoglikemia serta setelah dilakukan pengukuran kadar gula darah kapiler yang menegaskan diagnose hipoglikemia, maka pasien segera diberikan 10-20 g glukosa peroral. Idealnya pemberian glukosa dalam bentuk tablet, jelly atau 150-200 ml minuman yang mengandung glukosa seperti jus buah segar dan non diet cola. Sebaiknya coklat manis tidak diberikan karena lemak dalam coklat dapat menghambat absorbsi glukosa. Bila belum ada jadwal makan dalam 1-2 jam perlu diberikan tambahan 10-20 g karbohidrat kompleks. Bila glukosa oral tidak dapat diberikan, pemberian glucagon 1 mg IM atau 75-100 ml larutan glucagon intravena 20% merupakan terapi yang efektif (Soemadji, 2005).