2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah dan Uraian Teh (Camellia sinensis) Penemuan dan penggunaan teh pertama kali dimulai oleh Shen-Nong pada masa China Kuno, sekitar 5000 hingga 6000 tahun yang lalu. Pada awalnya, penggunaan teh di China digunakan sebagai obat untuk berbagai jenis penyakit. Pengembangan teh sebagai minuman dimulai pada akhir Dinasti Zhou (1124 - 222 SM). Sejak saat itu, teh menjadi semakin dikenal, baik sebagai minuman maupun sebagai obat (Chen, 2002). Penyebaran teh ke negara lain dimulai sejak abad ke-6 Masehi, yaitu dengan Turki. Di Indonesia, tanaman teh pertama kali masuk pada tahun 1684, berupa biji teh dari Jepang yang dibawa oleh orang Jerman bernama Andreas Cleyer. Berhasilnya penanaman teh dalam luasan yang lebih besar di Wanayasa (Purwakarta) dan di Raung (Banyuwangi) membuka jalan bagi Jacobus Isidorus Loudewijk Levian Jacobson, seorang ahli teh, untuk membuka landasan bagi usaha perkebunan teh di Jawa. Tahun 1835, Indonesia untuk pertama kalinya mengekspor teh kering ke Amsterdam. Tahun 1877, diperkenalkan jenis teh baru, yaitu teh Assam dari Sri Lanka yang ditanam pertama kali oleh Kerkhoven di Kebun Gambung (Jawa Barat) (Setyamidjaja, 2000). Gambar tanaman teh dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Tanaman Teh (Anonim, 2005) Teh yang telah diproses dapat dikelompokkan dalam tiga jenis, yaitu teh hijau (tidak difermentasi), teh oolong (semifermentasi) dan teh hitam (fermentasi penuh). 3 Teh hijau dibuat melalui inaktivasi enzim polifenol oksidase di dalam daun teh segar sehingga senyawa katekin tidak teroksidasi. Metode inaktivasi enzim polifenol oksidase teh hijau dapat dilakukan melalui pemanasan (udara panas) dan penguapan (steam/uap air). Gambar ampas teh hijau dapat dilihat pada Gambar 2. Teh hitam dibuat melalui oksidasi katekin dalam daun segar dengan katalis polifenol oksidase atau disebut dengan fermentasi. Proses fermentasi ini dihasilkan dalam oksidasi polifenol sederhana, yaitu katekin teh diubah menjadi molekul yang lebih kompleks dan pekat sehingga memberi ciri khas teh hitam, yaitu berwarna, kuat dan berasa tajam. Teh oolong diproses melalui pemanasan daun dalam waktu singkat setelah penggulungan. Oksidasi terhenti dalam proses pemanasan, sehingga teh oolong disebut dengan teh semifermentasi. Karakteristik teh oolong berada di antara teh hitam dan teh hijau (Syah, 2006). Gambar 2. Ampas Teh Hijau 2.2. Kandungan Kimia dan Manfaat Teh Bahan-bahan kimia dalam daun teh dapat digolongkan menjadi empat kelompok besar, yaitu substansi fenol, substansi bukan fenol, substansi penyebab aroma dan enzim (Syah, 2006). Komposisi dari pucuk teh disajikan pada Tabel 1. Khasiat utama teh berasal dari senyawa polifenol yang dikandungnya. Polifenol teh atau sering disebut katekin terdiri dari senyawa epikatekin (EC), epikatekin galat (ECG), epigalokatekin (EGC), epigalokatekin galat (EGCG), katekin (C) dan galokatekin (GC) (Chu and Juneja, 1997 dalam Zaveri, 2006). Struktur senyawa katekin teh disajikan pada Gambar 3. 4 Tabel 1. Komposisi Pucuk Teh Muda Senyawa Konsentrasi (% berat kering) Larut air Flavanols (-) - EGCG (-) - EGC (-) - ECG (-) - EC (+) - GC (+) - C Katekin minor Flavonol glukosida Proantosianidin Kafein Asam amino Karbohidrat Asam organik Saponin Pigmen Vitamin Mineral Sukar larut air Selulosa Lignin Polisakarida Lemak Pigmen Mineral Senyawa volatil 17,9 - 32 9 - 14 4-7 2-4 1-3 1-2 0,5 - 1 0,4 - 1 3-4 2-3 3-4 2-4 3-5 0,5 - 2 0,04 - 0,07 0,5 - 0,8 0,6 - 1 2-4 6-8 4-6 4 - 10 2-4 0,5 1,5 - 3 0,01 - 0,02 Sumber : Chen dkk. (2002) Di dalam tubuh, senyawa polifenol membantu kinerja enzim superoxide dismutase (SOD) yang berfungsi menyingkirkan radikal bebas. Secara medis, senyawa katekin dalam teh, terutama teh hijau, memiliki banyak manfaat seperti mampu mengurangi risiko kanker, tumor, stroke, menurunkan kolesterol darah, mencegah tekanan darah tinggi, mencegah arthritis, membunuh bakteri dan jamur, membunuh virus influenza dan menjaga napas dari bau busuk (halitosisi). Kemampuan katekin menangkap radikal bebas lebih efektif daripada vitamin C dan vitamin E, berturut-turut 100 dan 25 kali. 5 OH OH OH OH HO O HO O OH OH OH OH (a) (b) OH OH OH OH HO HO O O OH OH OH OH OH OH (c) (d) OH OH OH HO OH HO O O OH O OH OH O OH OH O OH OH O OH OH (e) (f) Gambar 3. Struktur Beberapa Senyawa Katekin (Shimamura dkk., 2007) (a) (+) catechin (b) (-) epicatechin (c) (+) gallocatechin (d) (-) epigallocatechin (e) (-) epicatechin gallate (f) (-) epigallocatechin gallate Selain senyawa polifenol, teh juga mengandung alkaloid dan mineral yang berkhasiat bagi kesehatan. Alkaloid kafein dalam teh mampu memperlancar keluarnya air seni. Sementara itu, mineral penting di dalam teh adalah fluor yang bagus untuk kesehatan gigi. Vitamin C mampu menurunkan stres dan mencegah flu, vitamin B-kompleks mampu membantu metabolisme karbohidrat, dan asam amino mampu menurunkan tekanan darah (Syah, 2006). 6 2.3. Antibakteri Antibakteri merupakan sifat dari suatu bahan yang menunjukkan efek penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri. Penghambatan pertumbuhan bakteri dibedakan menjadi 2 sifat, yaitu bakterisidal dan bakteriostatik. Suatu bahan disebut bersifat bakterisidal jika mampu membunuh bakteri, sedangkan sifat bakteriostatik hanya menghambat pertumbuhan bakteri. Bahan antibakteri dapat bersifat bakteriostatik pada konsentrasi rendah, namun bersifat bakterisidal pada konsentrasi tinggi (Lay, 1994). Bakteri merupakan sel prokariotik yang khas, uniseluler dan tidak mengandung membran inti. Terdapat beberapa bentuk dasar bakteri seperti batang, spiral dan bola yang umumnya berdiameter sekitar 0,5-1,0 µm dan panjangnya 1,5-2,5 µm. Bakteri memiliki peran penting dalam memelihara lingkungan, yaitu dengan menghancurkan bahan yang tertumpuk di atau dalam daratan dan lautan. Tetapi, di sisi lain bakteri juga dapat menimbulkan penyakit pada binatang (termasuk manusia), tumbuhan dan protista lainnnya (Pelczar dan Chan, 1986). Berdasarkan struktur dinding selnya, bakteri dibedakan menjadi bakteri Gram positif dan Gram negatif. Bakteri Gram negatif memiliki susunan dinding sel yang lebih rumit daripada bakteri Gram positif. Dinding sel bakteri Gram positif hanya tersusun dari satu lapisan saja, yaitu lapisan peptidoglikan yang relatif tebal. Sedangkan dinding sel bakteri Gram negatif mempunyai dua lapisan dinding sel, yaitu lapisan luar yang terdiri dari lipopolisakarida dan protein, dan lapisan dalam yang tersusun dari peptidoglikan tetapi lebih tipis dari daripada lapisan peptidoglikan pada bakteri Gram positif (Timotius, 1982). Aktivitas suatu bahan antibakteri dalam menghambat bakteri dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti kepadatan populasi bakteri, kepekaan terhadap bahan antibakteri, volume bahan antibakteri, lamanya bahan antibakteri yang diaplikasikan, konsentrasi bahan antibakteri, suhu dan kandungan bahan organik (Lay, 1994). Menurut Neal (2002), mekanisme kerja bahan antibakteri dibagi menjadi 3 jenis, yaitu antibakteri yang menghambat sintesis asam nukleat, menghambat sintesis dinding sel dan menghambat sintesis protein. 7 Tumbuh-tumbuhan sebagai sumber senyawa fitokimia memiliki potensi untuk mengobati penyakit infeksi akibat mikroba. Senyawa fitokimia yang berpotensi sebagai antimikroba alami antara lain fenolik, polifenol, terpenoid, alkaloid, lektin dan polipeptida (Cowan, 1999). 2.4. Metode Difusi Agar Metode difusi agar diperkenalkan oleh William Kirby dan Alfred Bauer pada tahun 1966. Selanjutnya, metode Kirby-Bauer digunakan untuk menentukan keampuhan bahan antimikrobial (Lay, 1994). Pada uji ini, cakram kertas steril berukuran 6 mm ditetesi ekstrak tanaman dengan konsentrasi tertentu. Beberapa penelitian melakukan penetesan ekstrak tanaman sebelum cakram diletakkan pada permukaan media yang telah disemai bakteri uji (Lourens dkk., 2004; Salie dkk., 1996 dalam Das dkk., 2010), sedangkan pada penelitian yang lain dilakukan setelahnya (Nostro dkk., 2000; Baris dkk., 2006 dalam Das dkk., 2010). Ketika kertas cakram yang telah jenuh dengan bahan antibakteri berada pada media agar maka bahan antibakteri akan mulai berdifusi ke sekitar media. Laju difusi bahan antibakteri dalam media dipengaruhi oleh berat molekul bahan antibakteri dan kelarutannya dalam media agar (Hudzicki, 2010). Penghambatan pertumbuhan bakteri oleh bahan antibakteri terlihat sebagai wilayah jernih di sekitar pertumbuhan bakteri. Luasnya wilayah jernih merupakan petunjuk kepekaan bakteri terhadap bahan antibakteri. Luas atau ukuran wilayah hambatan berkaitan dengan kecepatan difusi antibakteri dalam medium. Kecepatan difusi ini harus dipertimbangkan dalam penentuan kemampuan antibakteri (Lay, 1994). Selain itu, ketebalan media juga dapat berpengaruh terhadap luas daerah hambatan karena bahan antibakteri berdifusi secara 3 dimensi, sehingga lapisan media agar yang tipis akan menghasilkan daerah hambatan yang lebih besar daripada lapisan media yang tebal (Hudzicki, 2010). Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi luas daerah hambatan antara lain jenis dan kondisi bakteri uji, kepadatan inokulum, jenis media, potensi dari bahan antibakteri, volume bahan antibakteri yang diaplikasikan dan temperatur inkubasi (Hewitt, 1977). 8 Penggolongan potensi atau kekuatan aktivitas suatu bahan antibakteri dapat ditinjau dari luas DDH (Diameter Daerah Hambat). Suatu senyawa dianggap memiliki sifat antibakteri yang kuat apabila DDH yang dihasilkan >8 mm; berkekuatan sedang bila DDH yang dihasilkan antara 6 hingga 8 mm dan tidak aktif bila DDH yang dihasilkan <6 mm (Ela dkk., 1996 dalam Elgayyar dkk., 2001). Berghe (1991) dalam Lestari (2011) menyatakan bahwa potensi senyawa antibakteri juga dapat diketahui melalui bentuk zona hambatan. Zona hambatan radikal adalah daerah di sekitar cakram yang sama sekali tidak ada pertumbuhan bakterinya. Sedangkan, zona iradikal adalah daerah di sekitar cakram dimana pertumbuhan bakteri terhambat, tetapi tidak dimatikan sehingga pertumbuhan bakteri kurang subur dibandingkan dengan daerah yang tidak dipengaruhi oleh bahan antibakteri. 2.5. Metode Bioautografi Bioautografi merupakan uji yang tepat dan sederhana dalam menguji efek ekstrak tanaman dan senyawa fitokimia murni terhadap mikroba penyebab penyakit pada manusia maupun tumbuhan (Hostettmann, 1999). Metode ini menggabungkan penggunaan teknik kromatografi lapis tipis dengan respons dari mikroorganisme uji berdasarkan aktivitas biologi dari suatu analit yang dapat berupa antibakteri, antikapang dan antiprotozoa. Bioautografi dapat digunakan untuk mencari antimikroba baru, kontrol kualitas antimikroba dan mendeteksi golongan senyawa antimikroba. Metode bioautografi dibedakan menjadi bioautografi kontak, bioautografi imersi atau bioautografi agar overlay dan bioautografi langsung. Pada bioautografi kontak, kromatogram hasil elusi diletakkan di atas media agar yang telah diinokulasi mikroba uji selama beberapa menit atau jam sehingga proses difusi dapat terjadi. Setelah itu kromatogram diambiil dan media agar diinkubasi. Daerah hambatan ditunjukkan dengan adanya spot antimikroba yang menempel pada permukaan media agar. Pada bioautografi imersi, kromatogram dilapisi dengan agar cair yang telah diinokulasi dengan mikroba uji. Setelah media agar memadat, kromatogram diinkubasi lalu diwarnai dengan tetrazolium. Penghambatan dapat dideteksi melalui terbentuknya spot atau pita (band). Bioautografi imersi merupakan gabungan dari metode bioautografi kontak dan bioautografi langsung. Bahan antimikroba berpindah dari plat KLT ke lapisan media agar sebagaimana yang terjadi 9 pada bioautografi kontak, tetapi selama proses inkubasi dan visualisasi, lapisan agar tetap berada di atas plat seperti pada bioautografi langsung. Bioautografi langsung dilakukan dengan menyemprotkan suspensi mikroba uji pada kromatogram lalu diinkubasi. Daerah hambatan yang terbentuk dapat diketahui dengan cara menyemprot garam tetrazolium pada kromatogram. Garam tetrazolium akan diubah oleh mikroba melalui enzim dehidrogenase menjadi pewarna formazan. Spot terang pada kromatogram merupakan penanda lokasi senyawa antibakteri atau daerah hambatan, karena dengan terbunuhnya bakteri maka tidak ada enzim dehidrogenase yang mengubah tetrazolium menjadi formazan (Choma, 2005). Reaksi perubahan garam tetrazolium menjadi formazan ditunjukkan pada Gambar 4. I N N I + H C N NH N N C N + N NO2 NO2 Gambar 4. Reaksi Garam Tetrazolium Menjadi Formazan (Sigma-Aldrich, 2011) 2.6. Teh Sebagai Antibakteri Manfaat teh sebagai antibakteri telah diuji di berbagai penelitian. Sejumlah besar penelitian tersebut menyatakan bahwa teh dapat menunjukkan penghambatan terhadap bakteri seperti Bacillus cereus, Campylobacter jejuni, Cl. perfringens, E. coli, Helicobacter pylori, Legionella pnuemophila, Mycobacterium tuberculosis, Mycoplasma pneumoniae, Streptococci mutans, Salmonella spp dan Staphylococci aureus (Friedman, 2007). Ekstrak kasar metanol dan ekstrak kasar air dari teh hijau juga memiliki sifat antibakteri terhadap Listeria monocytogenes. Ekstrak kasar metanol memiliki aktivitas antibakteri yang lebih kuat dibandingkan dengan ekstrak kasar air teh. Hal ini dibuktikan dari hasil diameter daerah hambat dan konsentrasi hambat minimum kedua jenis ekstrak teh. 10 Ekstrak kasar metanol teh menghasilkan diameter daerah hambat sebesar 20,1 mm dan 15 mm berturut-turut untuk metode difusi cakram kertas dan difusi agar gel. Untuk daya hambat minimumnya terhadap Listeria monocytogenes diperoleh konsentrasi sebesar 0,26 mg/mL. Sedangkan hasil yang diperoleh dari ekstrak kasar air teh, yaitu 10 mm untuk diameter hambatan dengan metode difusi cakram kertas, tanpa diameter hambatan dengan metode difusi agar gel dan 0,68 mg/mL untuk konsentrasi hambat minimum. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa metode difusi cakram kertas cenderung untuk menghasilkan diameter daerah hambat yang lebih besar dibandingkan metode difusi agar gel (Mbata dkk., 2008). Berdasarkan penelitian Erol dkk. (2009), ditunjukkan bahwa ekstrak kasar metanol, etanol dan air dari daun teh segar menghasilkan diameter daerah hambat masing-masing 12 mm, 12 mm dan 11,5 mm pada konsentrasi 2 mg/mL. Namun, untuk teh hijau hanya ekstrak kasar air yang menghasilkan diameter daerah hambat terhadap Staphylococcus aureus, yaitu sebesar 10 mm pada konsentrasi 2 mg/mL. Diameter daerah hambat yang lebih besar ditunjukkan oleh fraksi etil asetat dari semua ekstrak kasar baik pada daun teh segar maupun teh hijau. Selain itu, penghambatan juga dilakukan pada bakteri Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus. 2.7. Skrining Fitokimia Skrining fitokimia dilakukan untuk menentukan ciri atau kandungan senyawa aktif penyebab efek racun atau efek yang bermanfaat, yang ditunjukkan oleh ekstrak tumbuhan bila diuji dengan sistem biologi (Harborne, 1987). Senyawa yang diuji dalam skrining fitokimia antara lain meliputi alkaloid, kumarin, flavonoid, tanin, minyak atsiri, saponin, sterol dan triterpen. a. Alkaloid Senyawa alkaloid sebagai salah satu golongan zat tumbuhan hasil metabolit sekunder umumnya bersifat basa karena mengandung satu atau lebih atom nitrogen. Alkaloid memiliki ciri tidak berwarna, berbentuk kristal pada suhu kamar, seringkali beracun bagi manusia dan memiliki efek fisiologis yang menonjol sehingga digunakan dalam bidang pengobatan (Harborne, 1987). 11 Kafein merupakan alkaloid yang dapat ditemukan pada teh. Dalam dunia kedokteran, kafein sering digunakan sebagai perangsang kerja jantung dan meningkatkan produksi air seni (urine). Kafein juga berfungsi sebagai bahan pembangkit stamina, penghilang rasa lelah dan menstimulasi otak. Namun, dalam dosis besar kafein dapat menyebabkan rasa gelisah, bahkan kejangkejang (Syah, 2006). Struktur kimia kafein dan reaksinya dengan reagen Mayer dan Dragendorff dapat dilihat pada Gambar 5. O H3C H3C N N O O CH3 N N + HgI3 - CH3 N N O N N CH3 HgI3 CH3 (a) O H3C H3C N N O O CH3 N N + BiI 4 - O CH3 N N N N BiI 4 CH3 CH3 (b) Gambar 5. Reaksi Kafein Dengan Reagen Alkaloid (Mehta dkk., 2011) (a) Reagen Mayer (b) Reagen Dragendorff b. Kumarin Kumarin merupakan senyawa fenolik yang biasa terdapat dalam rerumputan dan tumbuhan makanan ternak. Kumarin memiliki bau yang khas, seperti bau wangi yang dilepaskan oleh jerami (Harborne, 1987). Beberapa kumarin merupakan senyawa fitoaleksin dan disintesis oleh tanaman, setelah diinfeksi oleh bakteri atau fungi, yang bersifat antimikroba. Sebagai contoh, kentang yang diinfeksi oleh fungi akan mensintesis skopoletin sebagai perlindungan baginya (Heinrich dkk., 2009). Struktur senyawa kumarin dapat dilihat Gambar 6. 12 O O Gambar 6. Struktur Kumarin c. Flavonoid Flavonoid merupakan senyawa polifenol yang banyak terkandung di alam dan dikategorikan menurut struktur kimianya menjadi flavonol, flavon, flavanon, isoflavon, flavanol, antosianidin dan kalkon. Keberadaan flavonoid dalam tanaman, khususnya daun, dipengaruhi oleh adanya proses fotosintesis sehingga daun muda belum terlalu banyak mengandung flavonoid (Markham, 1988). Senyawa flavonoid dianggap sangat bermanfaat karena bersifat sebagai antioksidan (Lampiran 1). Banyak penyakit yang diketahui bertambah parah oleh adanya radikal bebas, dan flavonoid memiliki kemampuan untuk menghilangkan spesies pengoksidasi ini (Heinrich dkk., 2009). Katekin yang terdapat dalam daun teh merupakan flavonoid jenis flavanol. Struktur dan reaksi katekin dengan logam Mg dan HCl dapat dilihat pada Gambar 7. Mg O OH O OH HO O HO + Mg + O + 2HCl OH 2HCl OH OH OH Gambar 7. Reaksi Katekin Dengan Logam Mg dan HCl (Pietta, 2000) d. Tanin Tanin terdapat secara luas dalam tumbuhan, khususnya dalam jaringan kayu. Tanin terdiri atas senyawa polifenol larut air yang memiliki bobot molekul tinggi. Secara garis besar, tanin terbagi atas dua golongan, yaitu tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. 13 + H2 Tanin terhidrolisis terbentuk dari esterifikasi gula dengan asam fenolat sederhana, sedangkan tanin terkondensasi berasal dari reaksi polimerisasi (kondensasi) antar flavonoid (Heinrich dkk., 2009). Tanin dapat berekasi dengan protein membentuk polimer yang tak larut air. Di dalam tumbuhan letak tanin terpisah dari protein, tetapi bila jaringan rusak, misalnya dimakan hewan, maka reaksi penyamakan dapat terjadi. Reaksi ini menyebabkan protein lebih sukar dicerna oleh hewan (Harborne, 1987). Asam galat merupakan senyawa yang banyak ditemukan pada tanaman. Asam galat terdapat dalam dua bentuk, yaitu sebagai molekul bebas dan bagian dari tanin yang disebut galat (Fazary dkk., 2009). Struktur dan reaksi asam galat dengan Fe3+ dapat dilihat pada Gambar 8. HO HO O HO OH Fe HO O 3+ O + O HO OH Fe OH O HO HO HO O O O OH Fe HO O O O OH Gambar 8. Reaksi Asam Galat Dengan Fe3+ (Fazary dkk., 2009) e. Minyak Atsiri Minyak atsiri termasuk golongan terpenoid yang biasanya diperoleh dengan cara distilasi uap. Secara kimia, minyak atsiri dapat dibagi menjadi dua komponen, yaitu monoterpen (C10) dan seskuiterpen (C15) (Harborne, 1987). Monoterpen dan seskuiterpen memiliki aroma dan rasa yang khas, sehingga banyak digunakan dalam industri makanan dan kosmetik sebagai citarasa dan parfum. 14 Minyak atsiri dalam tanaman bersifat sangat kompleks, sehingga analisis campuran kompleks ini dilakukan dengan kromatografi gas (KG) atau teknik kombinasi kromatografi gas-spektrofotometri massa (KG-SM), yang memanfaatkan daya pemisahan KG dengan SM untuk menghasilkan ion molekular dalam komponen campuran tersebut (Heinrich dkk., 2009). Struktur salah satu senyawa dalam minyak atsiri pada tanaman teh dapat dilihat pada Gambar 9. CH3 OH H 3C CH 3 Gambar 9. Struktur Geraniol f. Saponin Saponin merupakan glikosida triterpen dan sterol yang memiliki sifat seperti sabun sehingga dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa (Harborne, 1987). Saponin ada pada seluruh tanaman dengan konsentrasi tinggi pada bagian-bagian tertentu, dan dipengaruhi oleh varietas dan tahap pertumbuhan tanaman. Fungsi saponin dalam tumbuhtumbuhan diperkirakan sebagai bentuk penyimpanan karbohidrat, atau merupakan hasil samping dari metabolisme tumbuhan. Kemungkinan lain adalah sebagai pelindung terhadap serangan serangga (Nio, 1989). Saponin juga dapat menimbulkan keracunan pada ternak, misalnya saponin alfalfa Medicago sativa, tetapi di sisi lain juga memiliki rasa manis, seperti glisirizin dari akar manis Glycyrrhiza glabra (Harborne, 1987). Struktur salah satu senyawa saponin dapat dilihat pada Gambar 10. 15 HOOC H H H O H H H COOH O O H H OH OH HOOC O O OH OH OH Gambar 10. Struktur Glisirizin g. Sterol dan Triterpen Triterpen merupakan senyawa terpenoid turunan C30 yang terdistribusi luas, tidak hanya pada tanaman tetapi termasuk juga pada fungi dan manusia. Kelompok triterpen meliputi steroid, misalnya testosteron. Tipe lainnya meliputi sterol, misalnya sitosterol, yang merupakan alkohol steroid tetrasiklik pada tanaman atau kolesterol, suatu komponen membran sel dan batu empedu pada hewan; dan triterpen pentasiklik, seperti asam glisiretat (Heinrich dkk., 2009). Struktur dan reaksi salah satu senyawa triterpenoid dengan asam asetat dan asam sulfat dapat dilihat pada Gambar 11. H3C H3C CH3 CH3 CH3 CH3 CH3 CH3 CH3 CH3 + HOAc + + H2SO 4 HOO 2S HO Gambar 11. Reaksi Kolesterol Dengan Asetat Anhidrida dan Asam Sulfat (Burke dkk., 1974) 16 SO2