Aktivitas antibakteri dan slrining fraksi etil asetat ekstrak ampas teh

advertisement
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah dan Uraian Teh (Camellia sinensis)
Penemuan dan penggunaan teh pertama kali dimulai oleh Shen-Nong pada masa
China Kuno, sekitar 5000 hingga 6000 tahun yang lalu. Pada awalnya, penggunaan
teh di China digunakan sebagai obat untuk berbagai jenis penyakit. Pengembangan
teh sebagai minuman dimulai pada akhir Dinasti Zhou (1124 - 222 SM). Sejak saat
itu, teh menjadi semakin dikenal, baik sebagai minuman maupun sebagai obat (Chen,
2002).
Penyebaran teh ke negara lain dimulai sejak abad ke-6 Masehi, yaitu dengan
Turki. Di Indonesia, tanaman teh pertama kali masuk pada tahun 1684, berupa biji
teh dari Jepang yang dibawa oleh orang Jerman bernama Andreas Cleyer.
Berhasilnya penanaman teh dalam luasan yang lebih besar di Wanayasa (Purwakarta)
dan di Raung (Banyuwangi) membuka jalan bagi Jacobus Isidorus Loudewijk Levian
Jacobson, seorang ahli teh, untuk membuka landasan bagi usaha perkebunan teh di
Jawa. Tahun 1835, Indonesia untuk pertama kalinya mengekspor teh kering ke
Amsterdam. Tahun 1877, diperkenalkan jenis teh baru, yaitu teh Assam dari Sri
Lanka yang ditanam pertama kali oleh Kerkhoven di Kebun Gambung (Jawa Barat)
(Setyamidjaja, 2000). Gambar tanaman teh dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Tanaman Teh (Anonim, 2005)
Teh yang telah diproses dapat dikelompokkan dalam tiga jenis, yaitu teh hijau
(tidak difermentasi), teh oolong (semifermentasi) dan teh hitam (fermentasi penuh).
3
Teh hijau dibuat melalui inaktivasi enzim polifenol oksidase di dalam daun teh
segar sehingga senyawa katekin tidak teroksidasi. Metode inaktivasi enzim polifenol
oksidase teh hijau dapat dilakukan melalui pemanasan (udara panas) dan penguapan
(steam/uap air). Gambar ampas teh hijau dapat dilihat pada Gambar 2.
Teh hitam dibuat melalui oksidasi katekin dalam daun segar dengan katalis
polifenol oksidase atau disebut dengan fermentasi. Proses fermentasi ini dihasilkan
dalam oksidasi polifenol sederhana, yaitu katekin teh diubah menjadi molekul yang
lebih kompleks dan pekat sehingga memberi ciri khas teh hitam, yaitu berwarna, kuat
dan berasa tajam.
Teh oolong diproses melalui pemanasan daun dalam waktu singkat setelah
penggulungan. Oksidasi terhenti dalam proses pemanasan, sehingga teh oolong
disebut dengan teh semifermentasi. Karakteristik teh oolong berada di antara teh
hitam dan teh hijau (Syah, 2006).
Gambar 2. Ampas Teh Hijau
2.2. Kandungan Kimia dan Manfaat Teh
Bahan-bahan kimia dalam daun teh dapat digolongkan menjadi empat kelompok
besar, yaitu substansi fenol, substansi bukan fenol, substansi penyebab aroma dan
enzim (Syah, 2006). Komposisi dari pucuk teh disajikan pada Tabel 1.
Khasiat utama teh berasal dari senyawa polifenol yang dikandungnya. Polifenol
teh atau sering disebut katekin terdiri dari senyawa epikatekin (EC), epikatekin galat
(ECG), epigalokatekin (EGC), epigalokatekin galat (EGCG), katekin (C) dan
galokatekin (GC) (Chu and Juneja, 1997 dalam Zaveri, 2006). Struktur senyawa
katekin teh disajikan pada Gambar 3.
4
Tabel 1. Komposisi Pucuk Teh Muda
Senyawa
Konsentrasi (% berat kering)
Larut air
 Flavanols
(-) - EGCG
(-) - EGC
(-) - ECG
(-) - EC
(+) - GC
(+) - C
Katekin minor
 Flavonol glukosida
 Proantosianidin
 Kafein
 Asam amino
 Karbohidrat
 Asam organik
 Saponin
 Pigmen
 Vitamin
 Mineral
Sukar larut air
 Selulosa
 Lignin
 Polisakarida
 Lemak
 Pigmen
 Mineral
Senyawa volatil
17,9 - 32
9 - 14
4-7
2-4
1-3
1-2
0,5 - 1
0,4 - 1
3-4
2-3
3-4
2-4
3-5
0,5 - 2
0,04 - 0,07
0,5 - 0,8
0,6 - 1
2-4
6-8
4-6
4 - 10
2-4
0,5
1,5 - 3
0,01 - 0,02
Sumber : Chen dkk. (2002)
Di dalam tubuh, senyawa polifenol membantu kinerja enzim superoxide
dismutase (SOD) yang berfungsi menyingkirkan radikal bebas. Secara medis,
senyawa katekin dalam teh, terutama teh hijau, memiliki banyak manfaat seperti
mampu mengurangi risiko kanker, tumor, stroke, menurunkan kolesterol darah,
mencegah tekanan darah tinggi, mencegah arthritis, membunuh bakteri dan jamur,
membunuh virus influenza dan menjaga napas dari bau busuk (halitosisi).
Kemampuan katekin menangkap radikal bebas lebih efektif daripada vitamin C dan
vitamin E, berturut-turut 100 dan 25 kali.
5
OH
OH
OH
OH
HO
O
HO
O
OH
OH
OH
OH
(a)
(b)
OH
OH
OH
OH
HO
HO
O
O
OH
OH
OH
OH
OH
OH
(c)
(d)
OH
OH
OH
HO
OH
HO
O
O
OH
O
OH
OH
O
OH
OH
O
OH
OH
O
OH
OH
(e)
(f)
Gambar 3. Struktur Beberapa Senyawa Katekin (Shimamura dkk., 2007)
(a) (+) catechin
(b) (-) epicatechin
(c) (+) gallocatechin
(d) (-) epigallocatechin
(e) (-) epicatechin gallate
(f) (-) epigallocatechin gallate
Selain senyawa polifenol, teh juga mengandung alkaloid dan mineral yang
berkhasiat bagi kesehatan. Alkaloid kafein dalam teh mampu memperlancar
keluarnya air seni. Sementara itu, mineral penting di dalam teh adalah fluor yang
bagus untuk kesehatan gigi. Vitamin C mampu menurunkan stres dan mencegah flu,
vitamin B-kompleks mampu membantu metabolisme karbohidrat, dan asam amino
mampu menurunkan tekanan darah (Syah, 2006).
6
2.3. Antibakteri
Antibakteri merupakan sifat dari suatu bahan yang menunjukkan efek
penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri. Penghambatan pertumbuhan bakteri
dibedakan menjadi 2 sifat, yaitu bakterisidal dan bakteriostatik. Suatu bahan disebut
bersifat bakterisidal jika mampu membunuh bakteri, sedangkan sifat bakteriostatik
hanya menghambat pertumbuhan bakteri. Bahan antibakteri dapat bersifat
bakteriostatik pada konsentrasi rendah, namun bersifat bakterisidal pada konsentrasi
tinggi (Lay, 1994).
Bakteri merupakan sel prokariotik yang khas, uniseluler dan tidak mengandung
membran inti. Terdapat beberapa bentuk dasar bakteri seperti batang, spiral dan bola
yang umumnya berdiameter sekitar 0,5-1,0 µm dan panjangnya 1,5-2,5 µm. Bakteri
memiliki peran penting dalam memelihara lingkungan, yaitu dengan menghancurkan
bahan yang tertumpuk di atau dalam daratan dan lautan. Tetapi, di sisi lain bakteri
juga dapat menimbulkan penyakit pada binatang (termasuk manusia), tumbuhan dan
protista lainnnya (Pelczar dan Chan, 1986).
Berdasarkan struktur dinding selnya, bakteri dibedakan menjadi bakteri Gram
positif dan Gram negatif. Bakteri Gram negatif memiliki susunan dinding sel yang
lebih rumit daripada bakteri Gram positif. Dinding sel bakteri Gram positif hanya
tersusun dari satu lapisan saja, yaitu lapisan peptidoglikan yang relatif tebal.
Sedangkan dinding sel bakteri Gram negatif mempunyai dua lapisan dinding sel,
yaitu lapisan luar yang terdiri dari lipopolisakarida dan protein, dan lapisan dalam
yang tersusun dari peptidoglikan tetapi lebih tipis dari daripada lapisan peptidoglikan
pada bakteri Gram positif (Timotius, 1982).
Aktivitas suatu bahan antibakteri dalam menghambat bakteri dipengaruhi oleh
beberapa faktor, seperti kepadatan populasi bakteri, kepekaan terhadap bahan
antibakteri, volume bahan antibakteri, lamanya bahan antibakteri yang diaplikasikan,
konsentrasi bahan antibakteri, suhu dan kandungan bahan organik (Lay, 1994).
Menurut Neal (2002), mekanisme kerja bahan antibakteri dibagi menjadi 3 jenis,
yaitu antibakteri yang menghambat sintesis asam nukleat, menghambat sintesis
dinding sel dan menghambat sintesis protein.
7
Tumbuh-tumbuhan sebagai sumber senyawa fitokimia memiliki potensi untuk
mengobati penyakit infeksi akibat mikroba. Senyawa fitokimia yang berpotensi
sebagai antimikroba alami antara lain fenolik, polifenol, terpenoid, alkaloid, lektin
dan polipeptida (Cowan, 1999).
2.4. Metode Difusi Agar
Metode difusi agar diperkenalkan oleh William Kirby dan Alfred Bauer pada
tahun 1966. Selanjutnya, metode Kirby-Bauer digunakan untuk menentukan
keampuhan bahan antimikrobial (Lay, 1994). Pada uji ini, cakram kertas steril
berukuran 6 mm ditetesi ekstrak tanaman dengan konsentrasi tertentu. Beberapa
penelitian melakukan penetesan ekstrak tanaman sebelum cakram diletakkan pada
permukaan media yang telah disemai bakteri uji (Lourens dkk., 2004; Salie dkk.,
1996 dalam Das dkk., 2010), sedangkan pada penelitian yang lain dilakukan
setelahnya (Nostro dkk., 2000; Baris dkk., 2006 dalam Das dkk., 2010). Ketika
kertas cakram yang telah jenuh dengan bahan antibakteri berada pada media agar
maka bahan antibakteri akan mulai berdifusi ke sekitar media. Laju difusi bahan
antibakteri dalam media dipengaruhi oleh berat molekul bahan antibakteri dan
kelarutannya dalam media agar (Hudzicki, 2010).
Penghambatan pertumbuhan bakteri oleh bahan antibakteri terlihat sebagai
wilayah jernih di sekitar pertumbuhan bakteri. Luasnya wilayah jernih merupakan
petunjuk kepekaan bakteri terhadap bahan antibakteri. Luas atau ukuran wilayah
hambatan berkaitan dengan kecepatan difusi antibakteri dalam medium. Kecepatan
difusi ini harus dipertimbangkan dalam penentuan kemampuan antibakteri (Lay,
1994). Selain itu, ketebalan media juga dapat berpengaruh terhadap luas daerah
hambatan karena bahan antibakteri berdifusi secara 3 dimensi, sehingga lapisan
media agar yang tipis akan menghasilkan daerah hambatan yang lebih besar daripada
lapisan media yang tebal (Hudzicki, 2010). Faktor-faktor lain yang dapat
mempengaruhi luas daerah hambatan antara lain jenis dan kondisi bakteri uji,
kepadatan inokulum, jenis media, potensi dari bahan antibakteri, volume bahan
antibakteri yang diaplikasikan dan temperatur inkubasi (Hewitt, 1977).
8
Penggolongan potensi atau kekuatan aktivitas suatu bahan antibakteri dapat
ditinjau dari luas DDH (Diameter Daerah Hambat). Suatu senyawa dianggap
memiliki sifat antibakteri yang kuat apabila DDH yang dihasilkan >8 mm;
berkekuatan sedang bila DDH yang dihasilkan antara 6 hingga 8 mm dan tidak aktif
bila DDH yang dihasilkan <6 mm (Ela dkk., 1996 dalam Elgayyar dkk., 2001).
Berghe (1991) dalam Lestari (2011) menyatakan bahwa potensi senyawa antibakteri
juga dapat diketahui melalui bentuk zona hambatan. Zona hambatan radikal adalah
daerah di sekitar cakram yang sama sekali tidak ada pertumbuhan bakterinya.
Sedangkan, zona iradikal adalah daerah di sekitar cakram dimana pertumbuhan
bakteri terhambat, tetapi tidak dimatikan sehingga pertumbuhan bakteri kurang subur
dibandingkan dengan daerah yang tidak dipengaruhi oleh bahan antibakteri.
2.5. Metode Bioautografi
Bioautografi merupakan uji yang tepat dan sederhana dalam menguji efek
ekstrak tanaman dan senyawa fitokimia murni terhadap mikroba penyebab penyakit
pada manusia maupun tumbuhan (Hostettmann, 1999). Metode ini menggabungkan
penggunaan teknik kromatografi lapis tipis dengan respons dari mikroorganisme uji
berdasarkan aktivitas biologi dari suatu analit yang dapat berupa antibakteri,
antikapang dan antiprotozoa. Bioautografi dapat digunakan untuk mencari
antimikroba baru, kontrol kualitas antimikroba dan mendeteksi golongan senyawa
antimikroba.
Metode
bioautografi dibedakan menjadi bioautografi
kontak,
bioautografi imersi atau bioautografi agar overlay dan bioautografi langsung.
Pada bioautografi kontak, kromatogram hasil elusi diletakkan di atas media agar
yang telah diinokulasi mikroba uji selama beberapa menit atau jam sehingga proses
difusi dapat terjadi. Setelah itu kromatogram diambiil dan media agar diinkubasi.
Daerah hambatan ditunjukkan dengan adanya spot antimikroba yang menempel pada
permukaan media agar. Pada bioautografi imersi, kromatogram dilapisi dengan agar
cair yang telah diinokulasi dengan mikroba uji. Setelah media agar memadat,
kromatogram diinkubasi lalu diwarnai dengan tetrazolium. Penghambatan dapat
dideteksi melalui terbentuknya spot atau pita (band). Bioautografi imersi merupakan
gabungan dari metode bioautografi kontak dan bioautografi langsung. Bahan
antimikroba berpindah dari plat KLT ke lapisan media agar sebagaimana yang terjadi
9
pada bioautografi kontak, tetapi selama proses inkubasi dan visualisasi, lapisan agar
tetap berada di atas plat seperti pada bioautografi langsung. Bioautografi langsung
dilakukan dengan menyemprotkan suspensi mikroba uji pada kromatogram lalu
diinkubasi. Daerah hambatan yang terbentuk dapat diketahui dengan cara
menyemprot garam tetrazolium pada kromatogram. Garam tetrazolium akan diubah
oleh mikroba melalui enzim dehidrogenase menjadi pewarna formazan. Spot terang
pada kromatogram merupakan penanda lokasi senyawa antibakteri atau daerah
hambatan, karena dengan terbunuhnya bakteri maka tidak ada enzim dehidrogenase
yang mengubah tetrazolium menjadi formazan (Choma, 2005). Reaksi perubahan
garam tetrazolium menjadi formazan ditunjukkan pada Gambar 4.
I
N
N
I
+
H
C
N
NH
N
N
C
N
+
N
NO2
NO2
Gambar 4. Reaksi Garam Tetrazolium Menjadi Formazan (Sigma-Aldrich, 2011)
2.6. Teh Sebagai Antibakteri
Manfaat teh sebagai antibakteri telah diuji di berbagai penelitian. Sejumlah
besar penelitian tersebut menyatakan bahwa teh dapat menunjukkan penghambatan
terhadap bakteri seperti Bacillus cereus, Campylobacter jejuni, Cl. perfringens, E.
coli, Helicobacter pylori, Legionella pnuemophila, Mycobacterium tuberculosis,
Mycoplasma pneumoniae, Streptococci mutans, Salmonella spp dan Staphylococci
aureus (Friedman, 2007).
Ekstrak kasar metanol dan ekstrak kasar air dari teh hijau juga memiliki sifat
antibakteri terhadap Listeria monocytogenes. Ekstrak kasar metanol memiliki
aktivitas antibakteri yang lebih kuat dibandingkan dengan ekstrak kasar air teh. Hal
ini dibuktikan dari hasil diameter daerah hambat dan konsentrasi hambat minimum
kedua jenis ekstrak teh.
10
Ekstrak kasar metanol teh menghasilkan diameter daerah hambat sebesar 20,1 mm
dan 15 mm berturut-turut untuk metode difusi cakram kertas dan difusi agar gel.
Untuk daya hambat minimumnya terhadap Listeria monocytogenes diperoleh
konsentrasi sebesar 0,26 mg/mL. Sedangkan hasil yang diperoleh dari ekstrak kasar
air teh, yaitu 10 mm untuk diameter hambatan dengan metode difusi cakram kertas,
tanpa diameter hambatan dengan metode difusi agar gel dan 0,68 mg/mL untuk
konsentrasi hambat minimum. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa metode difusi
cakram kertas cenderung untuk menghasilkan diameter daerah hambat yang lebih
besar dibandingkan metode difusi agar gel (Mbata dkk., 2008).
Berdasarkan penelitian Erol dkk. (2009), ditunjukkan bahwa ekstrak kasar
metanol, etanol dan air dari daun teh segar menghasilkan diameter daerah hambat
masing-masing 12 mm, 12 mm dan 11,5 mm pada konsentrasi 2 mg/mL. Namun,
untuk teh hijau hanya ekstrak kasar air yang menghasilkan diameter daerah hambat
terhadap Staphylococcus aureus, yaitu sebesar 10 mm pada konsentrasi 2 mg/mL.
Diameter daerah hambat yang lebih besar ditunjukkan oleh fraksi etil asetat dari
semua ekstrak kasar baik pada daun teh segar maupun teh hijau. Selain itu,
penghambatan juga dilakukan pada bakteri Staphylococcus aureus dan Bacillus
cereus.
2.7. Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia dilakukan untuk menentukan ciri atau kandungan senyawa
aktif penyebab efek racun atau efek yang bermanfaat, yang ditunjukkan oleh ekstrak
tumbuhan bila diuji dengan sistem biologi (Harborne, 1987). Senyawa yang diuji
dalam skrining fitokimia antara lain meliputi alkaloid, kumarin, flavonoid, tanin,
minyak atsiri, saponin, sterol dan triterpen.
a. Alkaloid
Senyawa alkaloid sebagai salah satu golongan zat tumbuhan hasil
metabolit sekunder umumnya bersifat basa karena mengandung satu atau
lebih atom nitrogen. Alkaloid memiliki ciri tidak berwarna, berbentuk kristal
pada suhu kamar, seringkali beracun bagi manusia dan memiliki efek
fisiologis yang menonjol sehingga digunakan dalam bidang pengobatan
(Harborne, 1987).
11
Kafein merupakan alkaloid yang dapat ditemukan pada teh. Dalam dunia
kedokteran, kafein sering digunakan sebagai perangsang kerja jantung dan
meningkatkan produksi air seni (urine). Kafein juga berfungsi sebagai bahan
pembangkit stamina, penghilang rasa lelah dan menstimulasi otak. Namun,
dalam dosis besar kafein dapat menyebabkan rasa gelisah, bahkan kejangkejang (Syah, 2006). Struktur kimia kafein dan reaksinya dengan reagen
Mayer dan Dragendorff dapat dilihat pada Gambar 5.
O
H3C
H3C
N
N
O
O
CH3
N
N
+
HgI3
-
CH3
N
N
O
N
N
CH3
HgI3
CH3
(a)
O
H3C
H3C
N
N
O
O
CH3
N
N
+
BiI 4
-
O
CH3
N
N
N
N
BiI 4
CH3
CH3
(b)
Gambar 5. Reaksi Kafein Dengan Reagen Alkaloid (Mehta dkk., 2011)
(a) Reagen Mayer
(b) Reagen Dragendorff
b. Kumarin
Kumarin merupakan senyawa fenolik yang biasa terdapat dalam
rerumputan dan tumbuhan makanan ternak. Kumarin memiliki bau yang
khas, seperti bau wangi yang dilepaskan oleh jerami (Harborne, 1987).
Beberapa kumarin merupakan senyawa fitoaleksin dan disintesis oleh
tanaman, setelah diinfeksi oleh bakteri atau fungi, yang bersifat antimikroba.
Sebagai contoh, kentang yang diinfeksi oleh fungi akan mensintesis
skopoletin sebagai perlindungan baginya (Heinrich dkk., 2009). Struktur
senyawa kumarin dapat dilihat Gambar 6.
12
O
O
Gambar 6. Struktur Kumarin
c. Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa polifenol yang banyak terkandung di
alam dan dikategorikan menurut struktur kimianya menjadi flavonol, flavon,
flavanon, isoflavon, flavanol, antosianidin dan kalkon. Keberadaan
flavonoid dalam tanaman, khususnya daun, dipengaruhi oleh adanya proses
fotosintesis sehingga daun muda belum terlalu banyak mengandung
flavonoid (Markham, 1988).
Senyawa flavonoid dianggap sangat bermanfaat karena bersifat sebagai
antioksidan (Lampiran 1). Banyak penyakit yang diketahui bertambah
parah oleh adanya radikal bebas, dan flavonoid memiliki kemampuan untuk
menghilangkan spesies pengoksidasi ini (Heinrich dkk., 2009). Katekin yang
terdapat dalam daun teh merupakan flavonoid jenis flavanol. Struktur dan
reaksi katekin dengan logam Mg dan HCl dapat dilihat pada Gambar 7.
Mg
O
OH
O
OH
HO
O
HO
+
Mg
+
O
+
2HCl
OH
2HCl
OH
OH
OH
Gambar 7. Reaksi Katekin Dengan Logam Mg dan HCl (Pietta, 2000)
d. Tanin
Tanin terdapat secara luas dalam tumbuhan, khususnya dalam jaringan
kayu. Tanin terdiri atas senyawa polifenol larut air yang memiliki bobot
molekul tinggi. Secara garis besar, tanin terbagi atas dua golongan, yaitu
tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi.
13
+
H2
Tanin terhidrolisis terbentuk dari esterifikasi gula dengan asam fenolat
sederhana, sedangkan tanin terkondensasi berasal dari reaksi polimerisasi
(kondensasi) antar flavonoid (Heinrich dkk., 2009). Tanin dapat berekasi
dengan protein membentuk polimer yang tak larut air. Di dalam tumbuhan
letak tanin terpisah dari protein, tetapi bila jaringan rusak, misalnya dimakan
hewan, maka reaksi penyamakan dapat terjadi. Reaksi ini menyebabkan
protein lebih sukar dicerna oleh hewan (Harborne, 1987).
Asam galat merupakan senyawa yang banyak ditemukan pada tanaman.
Asam galat terdapat dalam dua bentuk, yaitu sebagai molekul bebas dan
bagian dari tanin yang disebut galat (Fazary dkk., 2009). Struktur dan reaksi
asam galat dengan Fe3+ dapat dilihat pada Gambar 8.
HO
HO
O
HO
OH
Fe
HO
O
3+
O
+
O
HO
OH
Fe
OH
O
HO
HO
HO
O
O
O
OH
Fe
HO
O
O
O
OH
Gambar 8. Reaksi Asam Galat Dengan Fe3+ (Fazary dkk., 2009)
e. Minyak Atsiri
Minyak atsiri termasuk golongan terpenoid yang biasanya diperoleh
dengan cara distilasi uap. Secara kimia, minyak atsiri dapat dibagi menjadi
dua komponen, yaitu monoterpen (C10) dan seskuiterpen (C15) (Harborne,
1987). Monoterpen dan seskuiterpen memiliki aroma dan rasa yang khas,
sehingga banyak digunakan dalam industri makanan dan kosmetik sebagai
citarasa dan parfum.
14
Minyak atsiri dalam tanaman bersifat sangat kompleks, sehingga analisis
campuran kompleks ini dilakukan dengan kromatografi gas (KG) atau teknik
kombinasi kromatografi gas-spektrofotometri massa (KG-SM), yang
memanfaatkan daya pemisahan KG dengan SM untuk menghasilkan ion
molekular dalam komponen campuran tersebut (Heinrich dkk., 2009).
Struktur salah satu senyawa dalam minyak atsiri pada tanaman teh dapat
dilihat pada Gambar 9.
CH3
OH
H 3C
CH 3
Gambar 9. Struktur Geraniol
f. Saponin
Saponin merupakan glikosida triterpen dan sterol yang memiliki sifat
seperti sabun sehingga dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya
membentuk busa (Harborne, 1987). Saponin ada pada seluruh tanaman
dengan konsentrasi tinggi pada bagian-bagian tertentu, dan dipengaruhi oleh
varietas dan tahap pertumbuhan tanaman. Fungsi saponin dalam tumbuhtumbuhan diperkirakan sebagai bentuk penyimpanan karbohidrat, atau
merupakan hasil samping dari metabolisme tumbuhan. Kemungkinan lain
adalah sebagai pelindung terhadap serangan serangga (Nio, 1989).
Saponin juga dapat menimbulkan keracunan pada ternak, misalnya
saponin alfalfa Medicago sativa, tetapi di sisi lain juga memiliki rasa manis,
seperti glisirizin dari akar manis Glycyrrhiza glabra (Harborne, 1987).
Struktur salah satu senyawa saponin dapat dilihat pada Gambar 10.
15
HOOC
H
H
H
O
H
H
H
COOH
O
O
H
H
OH
OH
HOOC
O
O
OH
OH
OH
Gambar 10. Struktur Glisirizin
g. Sterol dan Triterpen
Triterpen merupakan senyawa terpenoid turunan C30 yang terdistribusi
luas, tidak hanya pada tanaman tetapi termasuk juga pada fungi dan
manusia. Kelompok triterpen meliputi steroid, misalnya testosteron. Tipe
lainnya meliputi sterol, misalnya sitosterol, yang merupakan alkohol steroid
tetrasiklik pada tanaman atau kolesterol, suatu komponen membran sel dan
batu empedu pada hewan; dan triterpen pentasiklik, seperti asam glisiretat
(Heinrich dkk., 2009). Struktur dan reaksi salah satu senyawa triterpenoid
dengan asam asetat dan asam sulfat dapat dilihat pada Gambar 11.
H3C
H3C
CH3
CH3
CH3
CH3
CH3
CH3
CH3
CH3
+
HOAc
+
+
H2SO 4
HOO 2S
HO
Gambar 11. Reaksi Kolesterol Dengan Asetat Anhidrida dan Asam Sulfat
(Burke dkk., 1974)
16
SO2
Download