PERAN IKATAN ARSITEK INDONESIA (IAI) DALAM MENJAMIN KEANDALAN TEKNIS BANGUNAN GEDUNG Joko Adianto Badan Pengkajian Ikatan Arsitek Indonesia Nasional [email protected] Profesi Arsitek dan Peran Ikatan Arsitek Indonesia "Arsitek" berasal dari Latin architectus, dan dari bahasa Yunani: architekton (ketua pembangunan), arkhi (ketua) + tekton (pembangun, tukang kayu). Sebagai ketua pembangun, seorang arsitek haruslah memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk memandu beragam keputusan yang memiliki implikasi teknis, budaya, ekonomi dan social. Pengetahuan dan kemampuan ini menjadi sebuah keniscayaan, mengingat implikasi karyanya mempengaruhi kondisi lingkung binaan melampaui batas persil bangunan dan pemberi tugasnya. Kelahiran Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) pada tahun 1959 didasari semangat untuk menjaga integritas dalam menjalankan tanggung jawab yang diemban sesuai definisi profesi tersebut (Arisitiana & Mutiyoso, 1996). Pada tahun tersebut, para arsitek merasa sangat tidak puas karena kedudukan perencanaan dan perancangan tidaklah setara dengan pelaksanaan. Pekerjaan perancangan mencakup tanggung jawab moral dan kehormatan perorangan yang terlibat, sehingga tidak semata-mata berorientasi sebagai usaha mengejar keuntungan. Sementara pekerjaan pelaksanaan cenderung mengejar keuntungan finansial sebanyak mungkin. Guna mampu menjalankan tanggung jawab profesinya, IAI menetapkan kemampuan (kompetensi) yang harus dimiliki oleh seorang Arsitek untuk menjalankan profesinya, sebagai berikut: 1. Perancangan Arsitektur; 2. Pengetahuan Arsitektur; 3. Pengetahuan Seni; 4. Perencanaan & Perancangan Kota; 5. Hubungan Manusia-Bangunan-Lingkungan; 6. Pengetahuan Daya Dukung Lingkungan; 7. Peran Arsitek di Masyarakat; 8. Persiapan Pekerjaan Perancangan; 9. Pengertian Masalah Antar Disiplin; 10. Pengetahuan Fisik & Fisika Bangunan; 11. Penetapan Batas Anggaran & Peraturan Bangunan; 12. Pengetahuan Industri Konstruksi dalam Perancangan; 13. Pengetahuan Manajemen Proyek. Seiring dengan perkembangan masyarakat dan teknologi, ketiga belas kompetensi ini haruslah terus ditingkatkan guna mampu memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Untuk itu, IAI berperan meningkatkan kompetensi tersebut melalui berbagai kegiatan seperti: seminar, pelatihan, dan beragam diskusi dengan pihak-pihak terkait. Beragam kegiatan tersebut selaras dengan peraturan-peraturan bangunan terkait guna menjamin keandalan bangunan sehingga tidak merusak lingkungan serta memenuhi kebutuhan dan menjaga keselamatan pengguna bangunan. Merujuk pada daftar kompetensi di atas, kompetensi nomor 5), 6), 9), 11) dan 12) dapat terkait dengan pengetahuan mengenai penanganan hama untuk menjaga keandalan bangunan. Dengan demikian, pengetahuan dan pemahaman mengenai penanangan hama dalam menjaga keandalan bangunan dibutuhkan untuk meningkatkan kompetensi seorang Arsitek. 1-3 Globalisasi, Modernisasi dan Perkembangan Kompetensi Arsitek Di era tradisional, seluruh bangunan dan konstruksinya menggunakan bahan-bahan yang tersedia dari alam. Keterampilan para pembangun di masa tersebut mencakup mengolah kualitas bahan bangunan agar tahan terpaan ganasnya iklim tropis basah dan serbuan hama, termasuk rayap. Konsep rumah panggung, selain untuk menghindari serangan binatang buas serta memberi ruang tambahan untuk ternak dan penyimpanan barang, mampu menghindari bahaya laten rayap yang datang dari tanah. Bahan bangunan alam pada masa tersebut pun masih banyak tersedia, dari berbagai tingkat kualitasnya. Bahan bangunan yang berasal dari kayu dengan kualitas terbaik dalam menghadapi serangan hama masih mudah didapat, seperti kayu jati, merbau dan ulin. Jumlah populasi penduduk yang masih sangat kecil dan tradisi hidup keluarga bersama dalam sebuah rumah, memberi andil kemudahan akses bagi masyarakat untuk menggunakan bahan bangunan dengan kualitas terbaik tersebut. Penerapan nilai luhur dalam membangun rumah, mencakup pemilihan bahan bangunan yang tepat dan pantas untuk digunakan serta teknik pengolahan, menyebabkan kualitas arsitektur pada masa tersebut mampu bertahan lama dari terpaan iklim tropis basah dan serangan hama. Laju pertambahan penduduk yang tinggi seiring dengan kemajuan teknologi menyebabkan bahan bangunan alam dengan kualitas terbaik kian sukar diperoleh. Perubahan kondisi social budaya masyarakat tradisional agraris menjadi modern industrial dianggap banyak pakar sebagai salah satu penyebab lunturnya tradisi hidup bersama dalam rumah keluarga. Merebaknya semangat individualisme menyebabkan kebutuhan rumah keluarga individual meningkat, seiring dengan laju pertambahan penduduk. Pembangunan rumah yang terus bertambah menyebabkan sumber bahan bangunan tersebut kian berkurang. Hal ini menyebabkan harga bahan bangunan tersebut menjadi tidak lagi ekonomis bagi pemilik rumah, sehingga kerap menggunakan bahan bangunan bukan dengan kualitas terbaik. Kemajuan teknologi memberikan harapan untuk mengatasi hal ini. Bahan bangunan fabrikasi yang diproduksi massal mampu menghasilkan bahan bangunan dengan ketahanan akan iklim tropis basah dan serangan hama yang sama bahkan lebih baik daripada bahan bangunan alam. Metode fabrikasi dan produksi massal mampu menurunkan harga bahan bangunan lebih rendah daripada bahan bangunan alam dengan kualitas terbaik yang kian langka, sehingga bangunan dapat diproduksi lebih cepat dan ekonomis. Kemajuan teknologi, termasuk informasi, menjadi pintu masuk globalisasi yang menyebabkan kualitas produksi karya arsitektur diukur tidak hanya ketahanannya terhadap kejamnya iklim tropis basah dan serangan hama, tetapi juga efisiensi waktu dan biaya pembangunan. Langkanya bahan bangunan alam berkualitas yang menyebabkan waktu dan biaya pembangunan menjadi lama dan mahal berimplikasi pada terlupakannya teknik penerapan dan perawatan bahan bangunan alam tersebut. Perubahan ini berimplikasi pada perubahan kompetensi Arsitek dalam menjalankan profesinya melayani masyarakat. Seiring dengan berkembangnya kompleksitas kebutuhan pengguna jasa, muncul spesialisasi bidang dalam memberi jasa konstruksi. Dalam hal penanganan hama dalam bidang jasa konstruksi, Arsitek memanfaatkan teknik modern yang ditawarkan para spesialis untuk menyelesaikannya. Sebagai konsekuensinya, penguasaan teknik penangkal hama pada konstruksi bangunan oleh Arsitek kian berkurang. Pada prakteknya, Arsitek kerap menggunakan jasa spesialis pencegah hama untuk memberikan intervensi khusus pencagah hama pada lokasi proyek dan memilih bahan bangunan fabrikasi yang tahan akan hama. Dewasa ini, teknik tersebut (mungkin) hanya dimiliki oleh para Arsitek yang beruntung memperoleh pekerjaan yang berkenaan dengan bangunan cagar budaya, yang masih menggunakan bahan bangunan alami. Teknik tersebut haruslah dipahami dan mampu didemonstrasikan melalui praktek seorang Arsitek, guna memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Bangunan Cagar Budaya. 2-3 Guna mengenalkan, menambah pengetahuan dan kemampuan praktek anggotanya, IAI kerap mengadakan pelatihan, seminar dan diskusi mengenai kemampuan memahami serta mempraktekan pengetahuan dan keterampilan menggunakan bahan bangunan alam, khususnya tipe bangunan cagar budaya. Tantangan Masa Depan Terlepas dari kemajuan teknologi bahan bangunan tahan hama dan berkembangnya spesialis jasa anti-hama untuk bangunan, pengetahuan mengenai penanganan hama pada bangunan tetap harus dimiliki oleh seorang Arsitek. Perkembangan jenis hama yang mampu mengganggu kehandalan bangunan tetap perlu diketahui dan dipahami guna menjaga kualitas karya arsitektur yang dihasilkan. Terlebih lagi, maraknya konsep Urban Farming/ Agriculture, terlebih di dalam atau atap bangunan, sebagai hasil pemikiran penambahan menjaga ketahanan pangan masyarakat kota yang terus bertambah jumlahnya dengan lahan pertanian yang kian berkurang. Selain itu, praktek lainnya seperti fungsi campuran rumah tinggal dengan sarang burung walet yang marak di beberapa daerah di Indonesia kerap menjadi dilema dalam praktek perencanaan dan perancangan kota. Walau hal ini ditengarai banyak pihak akan mendatangkan hama ke dalam bangunan, namun konsep ini mampu meningkatkan pendapatan masyarakat lokal. Perubahan iklim serta ekosistem dalam skala makro dan mikro memberi kemungkinan munculnya jenis hama baru yang membutuhkan penanganan yang berbeda daripada sebelumnya. Tentunya, hal ini akan memicu perkembangan teknik penanganan hama yang layak diinformasikan kepada Arsitek, agar dapat menjaga kualitas pelayanan jasa kepada masyarakat. Untuk itu, IAI menyambut baik segala usaha dan bentuk kolaborasi dari berbagai pihak, seperti asosiasi terkait, penyedia jasa penanganan hama pada bangunan gedung, institusi penelitian dan pendidikan, Pemerintah Pusat dan Daerah, untuk menciptakan lingkung bangun yang lebih baik. Referensi Arisitiana A.A.R., Murtiyoso, S. 1996. Perkembangan Arsitek Sebagai Profesi dan Lahirnya Ikatan Arsitek Indonesia. Bandung: Badan Sistem Informasi Arsitektur IAI-Jawa Barat 3-3