PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK ATAS TANAH MASYARAKAT HUKUM ADAT DI KAWASAN HUTAN Dyah Ayu Widowati Ahmad Nashih Luthfi I Gusti Nyoman Guntur PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK ATAS TANAH MASYARAKAT HUKUM ADAT DI KAWASAN HUTAN Cetakan Pertama, Desember 2014 Penulis Penyunting Desain Sampul Tata Letak :Dyah Ayu Widowati Ahmad Nashih Luthfi I Gusti Nyoman Guntur :Ahmad Nashih Luthfi :Dani RGB :Eko Taufik Penerbit: Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Gedung Pengajaran Lantai II, Jalan Tata Bumi nomor 5, Banyuraden, Gamping, Sleman,Yogyakarta 55293 Telp : 0274-587239, e-mail : [email protected] website : http://pppm.stpn.ac.id ISBN: 602-7894-16-4 ISBN: 978-602-789416-7 PENGANTAR PENULIS Penelitian ini mengkaji berbagai konsep hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dan bentuk yang tersedia di dalam mengakui dan melindungi hak atas tanah tersebut terutama di dalam kawasan hutan. Penelitian ini dilatarbelakangi lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor 35/PUU-X/2012 (dikenal sebagai Putusan MK 35) yang melakukan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Peneliti ingin mengetahui lebih lanjut kepastian hukum dan hak masyarakat hukum adat mengakses tanah secara formal melalui proses pendaftaran tanah terhadap hutan adat di dalam kawasan hutan. Laporan ini merupakan bagian dari hasil Penelitian Sistematis STPN 2014, oleh sebab itu kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Ketua Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), Dr. Oloan Sitorus Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat STPN, Dr. Sutaryono Prof. Dr. Achmad Sodiki sebagai pembimbing penelitian, Myrna Safitri, Ph.D. dan Noer Fauzi Rachman, Ph.D. selaku steering committee yang telah memberikan masukan pada draft laporan, Kawan-kawan di Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat STPN (Ibu Sabatari, Pak Sugi, Mbak Wulan, Mas Nazir, Mbak Widhi) yang telah memfasilitasi dan membantu proses penelitian multipihak ini, Para narasumber yang telah bersedia meluangkan waktu dan berbagi pengetahuannya. Semoga laporan penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Kritik dan saran kami harapkan. Yogyakarta, Desember 2014 Tim Peneliti iv Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan DAFTAR ISI PENGANTAR PENULIS...........................................................iii DAFTAR ISI..............................................................................v BAB I. PENDAHULUAN................................................... 1 A.. Latar Belakang.....................................................1 B.. Rumusan Masalah ...............................................6 C.. Tujuan Penelitian.................................................6 D.. Hasil Penelitian....................................................6 E.. Metode Penelitian................................................6 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA............................................ 11 A.. Pengertian Hukum Kehutanan.............................11 B.. Hak-Hak Penguasaan atas Sumber Daya Agraria..12 1.. Pengertian Hak Penguasaan atas Sumber Daya Agraria...........................................................12 2. . Jenis (Sistematika) Hak Penguasaan atas Sumber Daya Agraria..................................................13 C.. Pendaftaran Tanah................................................22 1.. Pengertian, Asas-Asas dan Tujuan Pendaftaran tanah..............................................................22 2.. Kegiatan Pendaftaran Tanah...........................25 BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN......... 27 A.. Konsep-Konsep dan Bentuk Perlindungan Hak Penguasaan atas Tanah di Kawasan Hutan Adat . yang Ada di Indonesia..........................................27 1.. Konsep dan Bentuk Hak Penguasaan atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Indonesia ..........27 2.. Konsep dan Bentuk Perlindungan Hak . Penguasaan Hutan Adat Menurut Peraturan Perundang-Undangan ...................................40 B.. Mekanisme dan Prosedur Pendaftaran Hak . Penguasaan atas Tanah pada Kawasan Hutan Adat 62 1.. Urgensi Pendaftaran Hak Penguasaan . atas Tanah......................................................62 2.. Pelaksanaan Pendaftaran Hak Penguasaan atas Tanah di Kawasan Hutan Adat......................70 3.. Model Perlindungan dan Pengakuan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat....................75 BAB IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI................. 83 DAFTAR PUSTAKA..................................................................87 LAMPIRAN..............................................................................93 IDENTITAS PENULIS...........................................................105 vi Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan BAB I PENDAHULUAN “[R]ecently the Indonesian Constitutional Court has decided that customary forest, or hutan adat, is not part of the state forest zone. This decision marks an important step towards a full recognition of land and resources rights of adat community and forest-dependent communities. This will also enable Indonesia’s shift toward sustainable growth with equity in its forests and peatlands sector.” (Susilo Bambang Yudhoyono, 27 Juni 20131) A. Latar Belakang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan komitmennya untuk memulai proses pendaftaran dan pengakuan hak atas tanah dan wilayah adat masyarakat-hukum adat di Indonesia. Ia menyatakan dalam suatu forum internasional, Tropical Forest Alliance 2020: Promoting Sustainability and Productivity in the Palm Oil and Pulp & Paper Sectors Workshop, di Jakarta, 27 Juni 2013. Komitmen presiden merupakan respon atas putusan yang bersifat final dan mengikat Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia yang menetapkan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara, melainkan bagian dari wilayah adat. Putusan MK atas perkara nomor 35/PUU-X/2012 (dikenal dengan Putusan MK 35) keluar pada tanggal 16 Mei 2012. Mahkamah Konstitusi menghasilkan beberapa putusan penting yang Pidato ini bisa dilihat di website resmi presiden, http://www.presidenri.go.id/index.php/ eng/pidato/2013/06/27/2136.html 1 melakukan pengujian konstitusionalitas atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Diantara perubahannya yang mendasar adalah sebagai berikut. 1) Ketentuan Pasal 1 angka 6 yang berbunyi “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”, diubah menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. 2) Ketentuan Pasal 4 ayat (3) yang berbunyi “Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”, diubah menjadi “Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. 3) Ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi “Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: a. hutan negara, dan b. hutan hak”, diubah menjadi “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat”. 4) Menghapus ketentuan Pasal 5 ayat (2) yang berbunyi “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat”. 5) Ketentuan Pasal 5 ayat (3) yang berbunyi “Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”, diubah menjadi “Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”. Putusan MK tersebut merupakan hasil dari gugatan judicial review yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama dua anggotanya, yakni Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. 2 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan Putusan itu tidak hanya memiliki makna berupa pengakuan hakhak atas tanah dan wilayah masyarakat hukum adat untuk mewujudkan keadilan sosial namun juga sekaligus pengakuan atas kewarganegaraan yang inklusif, mengingat masyarakat-hukum adat telah sekian lama diabaikan eksistensinya.2 Meski demikian terdapat beberapa kendala dan langkah-langkah yang diperlukan dalam menyikapi putusan MK di atas. Presiden RI telah menyatakan komitmennya melakukan pendaftaran tanah hutan adat yang telah dikeluarkan dari hutan negara yang diperkirakan luasnya 40 juta hektar3, maka lembaga negara lain juga perlu menindaklanjuti dengan kebijakan yang senafas dengan putusan dan komitmen tersebut. Akan tetapi, dalam kenyataannya Kementerian Kehutanan sebagai pihak yang memiliki kewenangan atas penguasaan dan pengelolaan kawasan hutan melakukan kebijakan pemertahanan diri dengan mengeluarkan Surat Edaran Menteri dan Peraturan Menteri. Kementerian lain memberikan respon yang berbeda-beda. Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor SE.1/Menhut-II/2013 yang dikeluarkan pada 16 Juli 2013 menyatakan bahwa “pelepasan hutan adat dari kawasan hutan negara hanya dapat dilakukan oleh Kementerian Kehutanan apabila ada persetujuan dari pemerintah daerah”. Surat Edaran ini oleh kalangan ahli hukum dianggap sebagai upaya mempertahankan penguasaan negara atas hutan adat. Selain itu secara juridis ada cacat hukum bahwa Menteri Kehutanan melalui surat edaran tersebut tidak memiliki kewenangan untuk menghapus kata-kata dalam undang-undang karena kewenangan tersebut hanya dipunyai oleh legislator4. Juga muncul Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62/MenhutII/2013 tentang pengukuhan kawasan hutan. Peraturan ini mengharuskan masyarakat untuk memberikan bukti resmi (tertulis) soal klaim atas tanah. Permen ini menunjukkan bahwa logika penguasaan hutan oleh 2 Noer Fauzi Rachman dan Mia Siscawati, “Masyarakat Hukum Adat Adalah Penyandang Hak, Subjek Hukum, dan Pemilik Wilayah Adatnya: Memahami secara Kontekstual Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia atas Perkara Nomor 35/PUU-X/2012”, suplemen jurnal Wacana, InsistPress: 2014, hlm. 54. 3 “AMAN: Pasca Putusan MK, Negara Tidak Boleh Lagi Mengusir 40 Juta Masyarakat Adat di Area Hutan Adat.”, diakses pada 20 Agustus 2014. http://suaraagraria.com/detail-917-amanpasca-putusan-mk-negara-tidak-boleh-lagi-mengusir-40-juta-masyarakat-adat-di-area-hutan-adat. html#.U0kYqPmSwc8. 4 Maria Rita Roewiastoeti, “Dampak Sosial Politik Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012.” Wacana edisi 33, tahun XVI, 2014, hlm. 51–61. Pendahuluan 3 negara yang dinyatakan secara sepihak bernafaskan “domain verklaring” dalam kenyataannya masih diikuti oleh Kementerian Kehutanan. Padahal penguasaan secara sepihak atas tanah adat dengan sistem semacam inilah justru yang telah dinyatakan sebagai melanggar konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK 35 tersebut. Peraturan tersebut mempersulit masyarakat adat untuk mendapatkan hak konstitusional atas wilayah mereka. Singkatnya, peraturan tersebut bertentangan dengan semangat yang ada dalam Putusan MK 355. Adapun respon Badan Pertanahan Nasional RI yang sementara ini ada didasarkan pada Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Intinya adalah pada keberadaan masyarakat hukum adat, yang menurut Permen ini ditetapkan dengan peraturan daerah. Beberapa pasal Permen Agraria tahun 1999 ini masih senafas dengan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yakni tentang pengakuan eksistensi masyarakat hukum adat, tanah dan wilayah ulayat, tatanan hukum adat dan kelembagaannya dengan syarat-syarat tertentu yang sulit dipenuhi oleh masyarakat adat6. Selain hal itu, terdapat beberapa langkah lanjutan yang perlu disikapi oleh BPN RI. Tanah hutan adat yang telah dikeluarkan dari hutan negara memerlukan pengakuan dan perlindungan hukum serta pendaftarannya. Sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 19 UUPA terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Menteri negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Jika mengikuti mekanisme dan prosedur peraturan di atas, maka tanah adat atau yang didefiniskan sebagai tanah ulayat dapat didaftarkan dalam kegiatan ‘pendaftaran tanah pertama kali’ harus melalui ‘pembuktian 5 Yance Arizona, “Dibutuhkan Pengakuan Hukum Terintegrasi: Kajian Hukum Penerapan Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Malinau Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat di Kabupaten Malinau”, dalam Wacana edisi 33, tahun XVI, 2014, hlm. 143–165. 6 Kajian kritis mengenai Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 ini lihat, Siti Rachma Mary, Y. Arizona, dan N. Firmansyah, “Kajian Kritis atas Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Permasalahan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.” Kertas Kerja Epistema Institute No.01/2012. Jakarta: Epistema Institute. 4 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan hak’ dan ‘sertipikasi’. Peraturan ini memiliki keterbatasan dalam hal pembuktian hak yang diwujudkan dalam bentuk tertulis yang ada sebelumnya, dan bentuk pengakuan berupa sertipikasi dalam bentuk privat atau badan hukum. Tanah hutan adat dan masyarakat-hukum adat sebagai penyandang hak yang dimaksud dan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi tentu sangat berbeda dengan yang dimaksudkan oleh peraturanperaturan dari BPN di atas. Di dalam masyarakat-hukum adat terdapat hak-hak individual maupun hak-hak komunal. Persoalan komunalitas atas tanah inilah yang belum mendapat tempat dalam sistem pendaftaran tanah di lembaga BPN RI. Oleh sebab itu diperlukan bentuk pendaftaran tanah yang akan dilakukan oleh BPN RI untuk mengakui dan melindungi hak-hak atas tanah masyarakat-hukum adat atas wilayah (hutan) ulayatnya. Beberapa gagasan yang telah muncul dalam mengusulkan pengakuan hak-hak atas tanah komunal diantaranya adalah7: (1) memberikan hak atas tanah dengan sifat individual melalui wujud sertipikat, atau pengesahan sistem ‘semi formal’ bukti pemilikan masyarakat; (2) memberikan Hak Kelola, Izin Kelola, atau Perjanjian Penggunaan Tanah; (3) memberikan kepemilikan kolektif atau Hak pakai atas tanah kepada masyarakat adat; (4) memberi pengakuan hak ulayat (beschikkingrecht). Menyadari bahwa sistem pengakuan dalam hukum Indonesia ternyata penuh dengan rintangan, maka berbagai pilihan di atas memiliki kelebihan dan kekurangan. Selain itu adalah hanya dikenal bentuk ‘legalisasi’ hak atas tanah masyarakat oleh negara yang diwujudkan dalam bentuk ‘pengakuan’ dan ‘pemberian’ yang keduanya masih bersifat kabur dihadapkan pada beragam konsep hak atas tanah masyarakat8. 7 Berbagai gagasan ini dimuat dalam, Adriaan Bedner dan Ward Berenschot (ed.) Masa DepanHak-Hak Komunal atas Tanah: Beberapa Gagasan untuk Pengakuan Hukum, Rekomendasi Kebijakan. Van Vollenhoven Institute, Universitas Leiden dan BAPPENAS, 2010, lihat hlm. 5-8 8 Myrna Safitri, “Legalisasi Hak-Hak Masyarakat atas Tanah dan Kekayaan Alam dalam Peraturan Perundang-undangan Nasional Indonesia: Model, Masalah dan Rekomendasi”, dalam Adriaan Bedner dan Ward Berenschot (ed.) Masa DepanHak-Hak Komunal atas Tanah: Beberapa Gagasan untuk Pengakuan Hukum, Rekomendasi Kebijakan. Van Vollenhoven Institute, Universitas Leiden dan BAPPENAS, 2010, hlm. 15-16. Pendahuluan 5 B. Rumusan Masalah Atas berbagai pemikiran di atas, maka penelitian ini berangkat dari tiga pertanyaan utama: 1. 2. Apa sajakah konsep-konsep dan bentuk perlindungan hak penguasaan atas tanah di kawasan hutan adat yang ada di Indonesia? a. Bagaimanakah konsep dan bentuk perlindungan hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat di Indonesia? b. Bagaimanakah konsep dan bentuk perlindungan hak penguasaan hutan adat menurut peraturan perundangundangan? Bagaimanakah mekanisme dan prosedur pendaftaran tanah hutan adat? a. Mengapa tanah adat perlu didaftarkan? b. Apakah semua bentuk tanah adat dapat didaftarkan? c. Bagaimanakah pelaksanaan pendaftaran tanah hutan adat? C. Tujuan Penelitian 1. 2. Konsep dan bentuk perlindungan hak penguasaan atas tanah di kawasan hutan adat yang ada di Indonesia Mekanisme dan prosedur pendaftaran tanah hutan adat D. Hasil Penelitian 1. Pemetaan konsep hak penguasaan atas tanah di kawasan hutan adat yang ada di Indonesia dan mekanisme dan prosedur pendaftaran tanah hutan adat. Rekomendasi bentuk terbaik pengakuan dan perlindungan hak penguasaan masyarakat hukum adat di kawasan hutan adat serta mekanisme dan prosedur pendaftaran tanah hutan adat. 2. E. Metode Penelitian Metode penelitian adalah cara untuk menjawab dan memecahkan masalah yang muncul dalam perumusan masalah. 6 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan a) Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat yuridis normatif yaitu berupa pengumpulan bahan-bahan baik dari peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum, doktrin serta sumber-sumber terkait lainnya yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Penelitian hukum normatif mencakup: 1. 2. 3. 4. 5. Penelitian terhadap asas-asas hukum. Penelitian terhadap sistematika hukum Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal Perbandingan hukum Sejarah hukum9 Dari kelima jenis penelitian di atas, penulisan hukum ini menelaah sistematika hukum, sinkronisasi vertikal horizontal, dan juga melihat dari sejarah hukum. Dalam sistematika hukum, pengertian-pengertian dasar seperti; subjek hukum, hak, kewajiban, peristiwa hukum, dll, harus terdapat dalam perundang-undangan. Hal ini disebabkan karena suatu perundangundangan lazimnya mengatur bidang kehidupan tertentu yang dikaitkan dengan bidang-bidang tata hukum tertentu. Oleh karena itu, seharusnya tiap perundang-undangan seharusnya secara sistematis mengatur dalam pasal-pasal yang merupakan kaidah hukum.10 Dari sisi sinkronisasi, peneliti akan menelaah bagaimana kaitan antara peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tanah dan hutan. Kaitan itu berupa kesesuaian atau harmonisasi antara berbagai perundang-undangan tentang tanah dan hutan. Dari sisi sejarah, peneliti akan menelaah mengenai sejarah pembentukan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tanah dan hutan, serta sejarah mengenai masyarakat adat dan hak-haknya atas tanah. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm.12 10 ibid, hlm.74 9 Pendahuluan 7 b) Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yaitu suatu penelitian yang bertujuan mendapatkan data sekunder, dengan cara melakukan penelaahan terhadap peraturan perundang-undangan, literatur, karya-karya hukum, dan bahan-bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan penelitian. 1. Jenis Data Jenis data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data sekunder. 2. Bahan Penelitian Bahan kepustakaan dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu: a) Bahan hukum primer Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, antara lain: 1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; 2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; 3) Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 35/PUU-X/2012; 4) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah; 5) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat; 6) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62/MenhutII/2013 tentang pengukuhan kawasan hutan. 7) Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, dan Kepala BPN RI, Nomor 79 Tahun 2014, Nomor PB.3/ Menhut-11/2014, Nomor 17/PRT/M/2014, Nomor 8/ SKB/X/2014, tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada dalam Kawasan Hutan, tertanggal 17 Oktober 2014. 8 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan b) Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang yang memberi petunjuk dan menjelaskan bahan hukum primer, antara lain: 1) 2) 3) 4) c) Buku-buku mengenai perjanjian; Karya-karya ilmiah di bidang hukum; Majalah, artikel, jurnal, surat kabar dan website; Laporan-laporan penelitian yang relevan dengan bidang kajian. Bahan hukum tersier Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang melengkapi bahan hukum primer dan sekunder, antara lain: 1) Kamus Besar Bahasa Indonesia; 2) Kamus Hukum. 3. Cara Pengumpulan Data Penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan penelaahan terhadap peraturan perundang-undangan, literatur, karya-karya hukum, dan bahan-bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan penelitian. 4. Alat Pengumpulan Data Alat pengumpulan data untuk memperoleh data yang dibutuhkan berupa melakukan studi dokumen untuk mendapatkan gambaran secara umum mengenai hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. 5.Narasumber Guna mendukung data sekunder, dalam penelitian ini juga dilakukan wawancara kepada beberapa narasumber antara lain: 1) 2) 3) 4) 6. Hakim Mahkamah Konstitusi Badan Pertanahan Nasional Lembaga Swadaya Masyarakat Epistema Lembaga Swadaya Masyarakat Huma Analisis Data Pendahuluan 9 Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Data yang terkumpul kemudian dikelompokkan dan dipilah-pilah dicari yang relevan dan representatif yang berhubungan dengan pokok permasalahan. Data tersebut selanjutnya dipelajari secara mendalam, ditelaah dan dipaparkan secara deskriptif, kemudian dibuat kesimpulan yang diharapkan dapat menjawab permasalahan yang diangkat dan dibahas tersebut. 10 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Kehutanan Pengertian hutan dan kehutanan secara yuridis normatif memiliki perbedaan, yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan yang dimaksud dengan kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Di samping pengertian hutan dan kehutanan, ada pengertian lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu kawasan hutan. Menurut pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Menilik dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hutan adalah pengertian dalam ranah ekologi atau yang terlihat secara fisik, sedangkan kawasan hutan adalah pengertian dalam ranah yuridis, karena dalam undang-undang kehutanan disebutkan bahwa suatu area dapat dikatakan sebagai kawasan hutan apabila telah ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah. Dalam hal ini, maka dapat dikatakan bahwa dengan adanya penunjukan dan atau penetapan dari pemerintah, suatu area memiliki kepastian hukum menjadi hutan tetap. Adapun yang dimaksud dengan kehutanan merupakan sistem manajemen dalam pengelolaan segala hal yang berkaitan dengan hutan maupun kawasan hutan. Hukum kehutanan adalah kumpulan kaidah/ketentuan hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan hutan dan kehutanan, dan hubungan antara individu (perseorangan) dengan hutan dan kehutanan. Dalam rumusan hukum kehutanan terdapat tiga unsur yang tercantum, yaitu: (1) adanya kaidah hukum kehutanan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis; (2) mengatur hubungan antara negara dengan hutan dan kehutanan; dan (3) mengatur hubungan antara individu (perseorangan) dengan hutan dan kehutanan.11 B. Hak-Hak Penguasaan atas Sumber Daya Agraria 1. Pengertian Hak Penguasaan atas Sumber Daya Agraria Hak penguasaan atas sumber daya agraria dapat diartikan sebagai rangkaian kewenangan, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai sumber daya agraria yang dihaki. Subyek hak dan kandungan kewenangan dan atau kewajiban atau larangan pada masing-masing hak penguasaan inilah yang membedakan jenis hak penguasaan yang satu dari hak penguasaan yang lainnya. ‘Penguasaan’ dan ‘Menguasai’ dapat mengandung aspek publik dan/atau perdata. Aspek publik berisi kewenangan untuk mengatur dan tugas/ kewajiban untuk mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaan sumber daya agraria, sedangkan aspek perdata menunjuk pada unsur kepunyaan (dapat menguasai tanah tersebut secara fisik dan bisa melakukan perbuatanperbuatan hukum perdata terhadap tanah tersebut, seperti menjual, membeli, meyewakan). Penguasaan atau menguasai dapat secara yuridis dan atau dapat pula secara fisik. Penguasaan yuridis dilandasi hak, dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Tetapi Salim, H.S., 2004, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 6 11 12 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan ada juga penguasaan yuridis yang meskipun memberi kewenangan untuk menguasai secara fisik, tetapi penguasaan secara fisiknya berada pada pihak lain. Pihak lain itu dapat dengan sah menguasai tanah tersebut secara fisik, seperti melalui hubungan sewa menyewa, tetapi dapat juga secara tidak sah atau secara liar. Selain itu terdapat juga penguasaan yuridis yang tidak memberikan kewenangan untuk menguasai tanah secara fisik, seperti dalam hak tanggungan. Hak Menguasai dari Negara juga berbeda dari jenis hak penguasaan lainnya. Hak Menguasai dari Negara meliputi semua sumber daya agraria, tanpa ada yang terkecuali (Pasal 33 ayat 3 UUD 45). Namun, Hak Menguasai dari Negara tidak memberi kewenangan untuk menguasai sumber daya agraria secara fisik dan menggunakannya seperti halnya hak atas tanah, karena sifat Hak menguasai dari Negara semata-mata hukum publik (semata-mata beraspek publik, yakni semata-mata kewenangan mengatur), sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2. Dalam hal Negara sebagai penyelenggara Negara memerlukan tanah untuk melaksanakan tugasnya, tanah yang bersangkutan akan diberikan kepadanya selaku Badan Penguasa, melalui Lembaga Pemerintah yang berwenang, seperti dengan hak pakai. Tanah diberikan kepada lembaga tersebut dengan suatu hak atas tanah, untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, bukan sebagai Badan Penguasa yang mempunyai Hak Menguasai yang disebut dalam pasal 2 UUPA, tetapi sebagai badan hukum seperti halnya perorangan dan badan-badan hukum perdata yang diberi dan menjadi pemegang hak atas tanah. 2. Jenis (Sistematika) Hak Penguasaan atas Sumber Daya Agraria Menurut UUPA, hak-hak penguasaan agraria itu secara sistematis, bisa diurutkan sebagai berikut: a. Hak Bangsa Indonesia atas Tanah Bangsa Indonesia merupakan satu kesatuan yang universal dan merupakan subyek utama bagi penguasaan hak atas tanah, namun dalam arti masih bersifat umum dan perlu diatur kemudian melalui Tinjauan Pustaka 13 Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) yang merupakan bentuk implementasi Hak bangsa yang selanjutnya disebut hak Menguasai Negara. Hak Bangsa merupakan hak yang paling tinggi dan meliputi semua tanah yang ada di wilayah negara yang merupakan tanah bersama, bersifat abadi, dan menjadi induk bagi hak-hak penguasaan lain atas tanah. Pengaturan hak penguasaan atas tanah ini dimuat dalam pasal 1 ayat (1) sampai ayat (3) UUPA. Hak bangsa Indonesia atas tanah ini mempunyai sifat komunal, yang artinya semua tanah yang ada dalam wilayah negara Indonesia merupakan tanah bersama rakyat indonesia yang telah bersatu dengan bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (1) UUPA). Selain itu mempunyai sifat religius artinya seluruh tanah yang ada dalam wilayah Negara Republik Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa (Pasal 1 ayat (2) UUPA). Hubungan bangsa Indonesia dengan tanah bersifat abadi, yang artinya selama rakyat Indonesia bersatu dengan bangsa Indonesia hubungannya akan terus berlangsung tiada terputus untuk selamanya. Sifat abadi pulalah yang menjadikan dalam keadaan apapun dan bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang dapat memutuskan dan meniadakan eksistensi hubungan tersebut(pasal 1 ayat(3) UUPA). Subyek (Pemegang Hak) pada Hak Bangsa adalah seluruh rakyat Indonesia sepanjang masa yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia, yaitu generasi-generasi yang akan datang.12 Untuk tanah yang dihaki ialah semua tanah yang ada dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. Tidak ada tanah yang merupakan res nullius.13 Menurut Boedi Harsono, penyataan tanah yang dikuasai oleh Bangsa Indonesia sebagai tanah bersama tersebut menunjukkan adanya hubungan hukum di bidang Hukum Perdata. Hak Bangsa Indonesia dalam Hukum Tanah nasional adalah hak kepunyaan, yang memungkinkan penguasaan bagian-bagian tanah bersama dengan Hak Milik oleh warga negara secara individual.14 Aspek perdata berkaitan dengan unsur kepunyaan, yang apabila diletakkan pada hak bangsa berarti memberikan kewenangan untuk Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta, hlm 267. Ibid. 14 Boedi Harsono (II), Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional dalam Hubungannya dengan TAP MPR RI IX/MPR/2001, Universitas Trisakti, Jakarta, Maret 2002, hlm 43, seperti yang dikutip dalam Urip Santoso, 2006, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, hlm 77. 12 13 14 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan mempunyai (entitlement to possess) secara bersama-sama atas sumber daya agraria di dalam wilayah Indonesia. Di samping memiliki aspek perdata, hak bangsa juga memiliki aspek publik yang memiliki unsur tugas kewenangan (entitlement to control). Hal ini merujuk pada kewenangan untuk mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan sumber daya agraria yang dipunyai bersama oleh seluruh bangsa. b. Hak Menguasai Negara Di zaman kolonial, semua tanah tak bertuan atau tanah kosong dikuasai oleh negara, sehingga negara bertindak sebagai dominum (pemilik tanah). Hal ini dimungkinkan supaya negara dapat menjual hak penguasaan tanah kepada swasta. Ketentuan ini dituangkan di dalam Pasal 1 Agrarische Besluid tahun 1870 yang mengatur mengenai asas domein verklaring, dengan ketentuan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan dengan hak eigendom-nya adalah domein negara.15 Setelah Indonesia merdeka, asas domein verklaring dihapuskan, negara memiliki hak menguasai bukan memiliki. Hal ini dapat terlihat di dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang sangat jelas membuktikan adanya penguasaan oleh negara sepenuhnya terhadap adanya sumberdaya alam yang ada di bumi dan seluruh kekayaan alam yang ada di dalamnya termasuk ruang angkasa diatasnya. Menguasai dapat diartikan sebagai tujuan untuk menentukan dan memanfaatkan serta mengambil manfaat dalam bentuk pengelolaan oleh penguasa. Hak menguasai negara diatur di dalam Pasal 2 ayat 2 UUPA, yang memberi wewenang kepada Negara, yang bunyinya sebagai berikut: (1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi seluruh rakyat. (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk: Muchsin, Imam Koeswahyono, dan Soimin, 2010, Hukum Agraria Indonesia dalam Perspektif Sejarah, Refika Aditama, Bandung, hlm. 15 15 Tinjauan Pustaka 15 a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut. b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa. c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. (3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai negara tersebut pada ayat 2 pasal ini, digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. (4) Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakatmasyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Negara sebagai organisasi kekuasan tertinggi seluruh rakyat melaksanakan tugas untuk mempimpin dan mengatur kewenangan bangsa Indonesia (kewenangan publik). Subjek Hak Menguasai Negara adalah Negara Republik Indonesia, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia.16 Tanah yang dihaki dalam Hak Menguasai Negara meliputi semua tanah dalam wilayah Republik Indonesia, baik tanah-tanah yang tidak atau belum maupun yang sudah dihaki dengan hak-hak perorangan.17 Negara sebagai penerima kuasa harus mempertanggungjawabkan kepada masyarakat Indonesia sebagai pemberi kuasa. 18 Ada dua hal yang dapat membatasi kewenangan negara atau Hak Menguasai Negara ini. Pertama, pembatasan oleh konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945. Pembatasan ini berupa hal-hal yang diatur oleh negara tidak boleh Boedi Harsono, Op.Cit, hlm 271. Ibid. 18 Maria S.W., Sumardjono, 1998, Kewenangan Negara untuk Mengatur dalam Konsep Penguasaan Tanah oleh Negara, dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta. 16 17 16 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan berakibat pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh UndangUndang Dasar 1945. Kedua, pembatasan substantif, yaitu semua peraturan pertanahan harus ditujukan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat sebesar-besarnya sebagaimana diisyaratkan dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA. Kewenangan ini tidak dapat didelegasikan kepada pihak swasta karena menyangkut kesejahteraan umum yang sarat dengan misi pelayanan. Pendelegasian kepada swasta yang merupakan bagian dari masyarakat akan menimbulkan konflik kepentingan, dan karenanya tidak dimungkinkan.19 Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 001-021022/PUU-I/2003 mengenai uji materi undang-undang ketenagalistrikan memberikan penafsiran mengenai konsep hak menguasai negara atas sumber daya alam. Penafsiran ini kemudian digunakan dalam memutus uji materi undang-undang di bidang sumber daya alam dalam kaitannya dengan hak menguasai negara. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pengertian “dikuasai oleh negara” tidak dapat diartikan hanya sebatas sebagai hak untuk mengatur, karena hal dimaksud sudah dengan sendirinya melekat dalam fungsi-fungsi negara tanpa harus disebut secara khusus dalam undangundang dasar. Sekiranyapun Pasal 33 tidak tercantum dalam UUD 1945, sebagaimana lazim di banyak negara yang menganut paham ekonomi liberal yang tidak mengatur norma-norma dasar perekonomian dalam konstitusinya, sudah dengan sendirinya negara berwenang melakukan fungsi pengaturan. Karena itu, perkataan “dikuasai oleh negara” tidak mungkin direduksi pengertiannya hanya berkaitan dengan kewenangan negara untuk mengatur perekonomian.20 Dalam menafsirkan makna frasa “dikuasai oleh negara” dari Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi mengkonstruksi 5 (lima) fungsi negara dalam menguasai cabang-cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak serta bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.21 Ibid, hlm. 4-9 PUU Ketenagalistrikan, hlm 333 21 Yance Arizona, “Konstitusi Dalam Intaian Neoliberalisme: Konstitusionalitas Penguasaan Negara Atas Sumberdaya Alam Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi”, makalah disampaikan dalam Konferensi Warisan Otoritarianisme: Demokrasi Indonesia di Bawah Tirani Modal. Panel Tirani Modal dan Ketatanegaraan, Selasa, 5 Agustus 2008 di FISIP Universitas Indonesia 19 20 Tinjauan Pustaka 17 Tabel 1. No 1 2 3 4 5 Fungsi Negara dalam Menguasai Sumber Daya Alam Fungsi Penjelasan Pengaturan (regelendaad) Fungsi pengaturan oleh negara dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif ). Kebijakan (beleid) Dilakukan oleh pemerintah dengan merumuskan dan mengadakan kebijakan Pengelolaan (beheersdaad) Dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara. Dengan kata lain negara c.q. Pemerintah (BUMN) mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengurusan Dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan (bestuursdaad) mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie). Pengawasan Dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam (toezichthoudensdaad) rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk 18 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut, tercakup pula pengertian kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif.22 Namun, meskipun Mahkamah Konstitusi menafsirkan bahwa hak menguasai negara lahir dari konsepsi hukum publik, seperti yang terdapat di dalam bagian menimbang pada putusan uji materi undang-undang ketenagalistrikan, Mahkamah Konstitusi tidak memberi penolakan bahwa hubungan negara dengan sumberdaya alam juga merupakan mengandung hubungan keperdataan. Pengakuan Mahkamah Konstitusi atas adanya unsur perdata dalam hak menguasai negara terlihat di dalam pertimbangan yang ada dalam putusan sebagai berikut: - - - Menimbang bahwa jika pengertian kata “dikuasai oleh negara” hanya diartikan sebagai pemilikan dalam arti perdata (privat), maka hal dimaksud tidak akan mencukupi dalam menggunakan penguasaan itu untuk mencapai tujuan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”; Namun demikian, konsepsi kepemilikan perdata itu sendiri harus diakui sebagai salah satu konsekuensi logis penguasaan oleh negara yang mencakup juga pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud; Oleh karena itu, baik pandangan yang mengartikan perkataan penguasaan oleh negara identik dengan pemilikan dalam konsepsi perdata maupun pandangan yang menafsirkan pengertian penguasaan oleh negara itu hanya sebatas kewenangan pengaturan oleh negara, kedua-duanya ditolak oleh Mahkamah.23 c. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Masyarakat hukum adat diatur dalam pasal 3 UUPA, yaitu ”dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak pelaksanaan serupa itu masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang lebih tinggi”.24 PUU Ketenagalistrikan, hlm 333 Ibid 24 Pasal 3 Undang-undang Pokok Agraria 22 23 Tinjauan Pustaka 19 Masyarakat hukum adat dapat mempunyai hak atas tanah dalam bentuk hak pengelolaan sebagai bagian dari pelaksanaan hak menguasai negara pasal 2 ayat 4 UUPA, juga diakuinya hak komunal masyarakat hukum adat (hak ulayat) sebagaimana pasal 3 UUPA. Yang dimaksud dengan hak ulayat masyarakat hukum adat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan tanah wilayahnya.25 Menurut Mochamad Tauchid26 hak ulayat merupakan hak daerah atau suku bangsa atas selingkungan tanah, yang berisi kewenangan untuk mengatur penguasaan dan penggunaan tanah dalam lingkungan wilayahnya. Pengertian hak ulayat menurut Depdagri-Fakultas Hukum UGM, 1978, hak ulayat adalah hak yang melekat sebagai kompetensi khas pada masyarakat hukum adat, berupa wewenang/kekuasaan mengurus dan mengatur tanah seisinya, dengan daya laku ke dalam maupun ke luar. Menurut pasal 1 Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional (Permen Agraria/Kepala BPN) Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman penyelesaian masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, bahwa yang dimaksud dengan Hak Ulayat adalah kewenangan yang menurut adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup warganya untuk mengambil sumberdaya alam (SDA), termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul secara lahiriah dan batiniah secara turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah yang bersangkutan. Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada menurut Pasal 2 ayat (2) Permen Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) Jakarta 20 Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. 25 Boedi Harsono, Op Cit, hlm.7 26 Tauchid Mohammad, 1953, Masalah Agraria, Bagian Pertama, Penerbit Cakrawala, Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan b) c) Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari dan; Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh warga persekutuan hukum tesebut. d. Hak-Hak Atas Tanah Hak-hak atas tanah termasuk salah satu hak-hak perseorangan atas tanah. Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk menggunakan tanah atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya.27 Hak-hak Atas Tanah yakni hak-hak individual yang dalam Pasal 4 Ayat (1) UUPA dijelaskan sebagai hak yang dimiliki atau diberikan kepada orang (atau orang-orang) dan badan hukum dan memberikan wewenang menggunakan bagian permukaan bumi yang disebut tanah kepada pemegang haknya. Hak atas tanah terdiri dari (Pasal 16 UUPA): a) b) c) d) e) f ) g) h) Hak Milik Hak Guna Usaha (HGU) Hak Guna Bangunan (HGB) Hak Pakai Hak Sewa Hak Membuka Tanah Hak Memungut Hasil Hutan Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53. Menurut Sudikno Mertokusumo, wewenang yang dimiliki oleh pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya terbagi menjadi dua, yaitu: a. Wewenang Umum Wewenang ini bersifat umum, yaitu wewenang pemegang hak atas tanah untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi, 27 Ibid, hlm 82. Tinjauan Pustaka 21 b. air dan ruang di atasnya sekadar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi. Wewenang Khusus Wewenang ini bersifat khusus, yaitu wewenang pemegang hak atas tanah untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas tanahnya.28 C. Pendaftaran Tanah 1. Pengertian, Asas-Asas dan Tujuan Pendaftaran tanah Pendaftaran berasal dari kata cadastre, suatu istilah teknis untuk suatu record (rekaman), enunjukkan kepada luas, nilai, dan kepemilikan (atau lain-lain alas hak) terhadap suatu bidang tanah. Kata ini berasal dari bahasa latin capistatrum yang berarti suatu register atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah Romawi. Dalam artian yang tegas, cadastre adalah record (rekaman daripada lahan-lahan, nilai daripada tanah dan pemegang haknya dan untuk kepentingan perpajakan). Dengan demikian cadastre merupakan alat yang tepat yang memberikan uraian dan identifikasi dari lahan tersebut dan juga sebagai continous recording (rekaman yang berkesinambungan daripada hak atas tanah).29 Pengertian pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah seperti yang tercantum dalam Pasal 1 angka 1, yaitu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah Sudikno Mertokusumo, 1988, Hukum dan Politik Agraria, Universitas Terbuka, Jakarta, 28 hlm.445 A.P. Parlindungan, 1990, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm. 29 11-12 22 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa dalam pendaftaran tanah dikenal dua macam asas, yaitu: a.Asas Specialiteit Asas ini bermaksud bahwa pelaksanaan pendaftaran tanah itu diselenggarakan atas dasar peraturan perundang-undangan tertentu, yang secara teknis menyangkut masalah pengukuran, pemetaan, dan pendaftaran peralihannya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan pendaftaran tanah dapat memberikan kepastian hukum terhadap hak atas tanah, yaitu memberikan data fisik yang jelas mengenai luas tanah, letak, dan batas-batas tanah. b.Asas Openbaarheid Asas ini bermaksud bahwa dalam pendaftaran tanah harus mencakup pemberian data yuridis tentang siapa yang menjadi subyek haknya, apa nama hak atas tanahnya, serta bagaimana terjadinya peralihan dan pembebanannya. Data ini bersifat terbuka untuk umum, artinya setiap orang dapat melihatnya.30 Berdasarkan asas ini setiap orang berhak mengetahui data yuridis mengenai subyek hak, nama hak atas tanah, peraliham hak, dan pembebanan hak atas tanah yang ada di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, termasuk mengajukan keberatan sebelum sertipikat diterbitkan, sertipikat pengganti, sertipikat yang hilang atau sertipikat yang rusak Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan bahwa pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka. Asas sederhana dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah. Sedangkan asas aman dimaksudkan untuk menunjukkan, bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara Sudikno Mertokusumo, op cit, hlm. 9 30 Tinjauan Pustaka 23 teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri. Asas terjangkau dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh para pihak yang memerlukan. Asas mutakhir dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan kesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir. Untuk itu perlu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi di kemudian hari. Asas mutakhir menuntut dipeliharanya data pendaftaran tanah secara terus menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan, dan masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat. Untuk itulah diberlakukan pula asas terbuka. Undang-Undang Pokok Agraria telah meletakkan dasar-dasar pemberian kepastian hukum sebagai tujuan dari pendaftaran tanah yang tercantum dalam pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria. Tujuan pendaftaran tanah di dalam UUPA dijabarkan lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yaitu Pasal 3 yang menyebutkan bahwa tujuan pendaftaran tanah adalah a. b. untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan; untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar, untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Untuk mencapai tujuan pendaftaran tanah, maka terdapat ketentuan pelaksana yang harus dilakukan, yaitu dalam rangka mencapai tujuan 24 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah. Kemudian untuk melaksanakan fungsi informasi data fisik dan data yuridis dari bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar terbuka untuk umum. Dan meskipun ketentuan mengenai terselenggaranya administrasi pertanahan menjadi satu kesatuan dengan tujuan pendaftaran tanah untuk pemberian informasi kepada pihak yang berkepentingan seperti yang tercantum di dalam Pasal 3 huruf b, tetapi untuk mencapai tujuan tersebut memerlukan pelaksanaan ketentuan tersendiri, yaitu setiap bidang tanah dan satuan rumah susun termasuk peralihan, pembebanan, dan hapusnya hak atas bidang tanah dan hak milik atas satuan rumah susun wajib didaftar. 2. Kegiatan Pendaftaran Tanah Kegiatan Pendaftaran Tanah (Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah) meliputi: a. Pendaftaran Tanah untuk Pertama Kali (initial registration): Pengertian pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah atau Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.31 b. Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah (maintenance) Pengertian pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian.32 Pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Pasal 1 angka 12 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah 31 32 Tinjauan Pustaka 25 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Konsep-Konsep dan Bentuk Perlindungan Hak Penguasaan atas Tanah di Kawasan Hutan Adat yang Ada di Indonesia 1. Konsep dan Bentuk Hak Penguasaan atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Indonesia Hubungan antara masyarakat adat dengan tanahnya merupakan pembahasan yang telah ada sejak dahulu di tingkat internasional, di negara manapun masyarakat menganggap bahwa hubungannya dengan tanah tidak hanya selalu mengenai masalah ekonomi, tetapi juga hubungan secara sosial dan spiritual. Profesor Robert A.Williams menggambarkan hubungan masyarakat adat dengan tanahnya sebagai berikut: Masyarakat adat telah menekankan bahwa dasar spiritual dan material dari identitas kultural mereka dipertahankan oleh hubungan mereka yang unik dengan wilayah tradisional mereka yang turun temurun. 33 Hubungan antara masyarakat adat dengan tanahnya juga diatur di dalam United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples yang berbunyi sebagai berikut: 33 Eddie Riyadi Terre, 2002 , Menganyam Kiat Memperjuangkan Hak-Hak Masyarakat Adat di IndonesiaMasyarakat Adat di Indonesia (Sebuah Pendekatan Berperspektif Hukum InternasionalHak Asasi Manusia), http://www.academia.edu/1475460/Hak_Masyarakat_Adat_dalam_Perspektif_ Hkm_Intl, diakses pada tanggal 30 Oktober 2014 Indigenous peoples have the right to maintain and strengthen their distinctive spiritual relationship with their traditionally owned or otherwise occupied and used lands, territories, waters and coastal seas and other resources and to uphold their responsibilities to future generations in this regard.34 Dari paparan tersebut di atas, dapat terlihat bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakui hubungan masyarat adat dengan tanahnya. Di dalam pengakuan yang tercantum di dalam deklarasi ini mencakup hak dan kewajiban bagi masyarakat adat. Hak yang dimiliki oleh masyarakat adat menurut deklarasi ini adalah hak untuk mempertahankan dan mengembangkan hubungan khas mereka baik secara spiritual maupun material dengan tanah, teritori, air dan wilayah-wilayah lepas pantai, dan sumber-sumber lainnya yang secara tradisional telah mereka miliki atau yang telah mereka duduki. Di samping hak-hak tersebut, masyarakat adat juga diberi kewajiban untuk bertanggung jawab atas nasib generasi masa depan. Erica Irene Daes, seorang pelapor khusus untuk “Studi tentang Masyarakat Adat dan Hubungan Mereka dengan Tanah”, menyimpulkan sejumlah unsur yang unik pada masyarakat adat dalam hubungan mereka dengan tanah, yaitu: a. b. c. Ada hubungan yang sangat erat antara masyarakat adat dengan tanah, wilayah dan sumber daya mereka; Bahwa hubungan ini memiliki berbagai dimensi dan tanggung jawab sosial, budaya, spiritual ekonomi dan politik; Bahwa dimensi kolektif dari hubungan ini adalah signifikan dan bahwa aspek antar generasi dari hubungan semacam ini juga krusial bagi identitas masyarakat adat, kelangsungan hidup dan budayanya.35 Hubungan hukum antara masyarakat adat dengan tanah ulayatnya melahirkan hak ulayat. Hak ulayat ini merupakan hak komunal yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat dan harus diakui dan dilindungi oleh negara. Sejalan dengan ini, negara-negara di dunia telah memiliki kesepakatan mengenai pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak Article 25 United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples Rafael Edy Bosko, 2006, Hak-Hak Masyarakat Adat dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam, ELSAM, Jakarta, hlm. 70-71 34 35 28 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan masyarakat adat, yang jelas tercantum di dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) Konvensi ILO 169, yang berbunyi sebagai berikut: 1. 2. The rights of ownership and possession of the peoples concerned over the lands which they traditionally occupy shall be recognised. In addition, measures shall be taken in appropriate cases to safeguard the right of the peoples concerned to use lands not exclusively occupied by them, but to which they have traditionally had access for their subsistence and traditional activities. Particular attention shall be paid to the situation of nomadic peoples and shifting cultivators in this respect. Governments shall take steps as necessary to identify the lands which the peoples concerned traditionally occupy, and to guarantee effective protection of their rights of ownership and possession. Dalam pasal 14 tersebut jelas tercantum bahwa hak-hak kepemilikan dan penguasaan atas tanah yang secara tradisional ditempati harus diakui. Selain itu, tindakan-tindakan harus diambil untuk melindungi hak masyarakat adat dalam menggunakan tanah yang bukan hanya dikuasai oleh mereka tetapi dimana mereka sudah lama mempunyai akses secara tradisional atas tanah tersebut. Keadaan orang-orang nomaden dan peladang berpindah perlu diberikan perhatian secara khusus. Pemerintah harus melakukan identifikasi terhadap tanah yang secara tradisional telah dikuasai oleh masyarakat adat dan menjamin perlindungan yang efektif terhadap hak-hak kepemilikan dan penguasaan atas tanah mereka. Di dalam hukum adat Indonesia dikenal dua jenis hak atas tanah, yaitu hak persekutuan atas tanah, atau yang biasa disebut dengan hak ulayat dan hak perorangan atas tanah.36 a. Hak Ulayat Hak Ulayat masyarakat hukum adat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya, guna kepentingan persekutuan hukum itu sendiri dan anggota-anggotanya, atau untuk kepentingan orang-orang di luar masyarakat hukum adat (orang asing/ Bambang Eko Supriyadi, 2013, Hukum Agraria Kehutanan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 28 36 Hasil Penelitian dan Pembahasan 29 pendatang), dengan izin persekutuan hukum itu dengan membayar recognitie (pengakuan).37 Profesor Van Vollenhoven, seorang ahli hukum adat, menamakan hak dari persekutuan hukum (desa) ini ”beschikkingrecht”, artinya dalam bahasa Indonesia adalah hak untuk menguasai tanah, tetapi dalam pengertian tidak secara mutlak, sebab persekutuan hukum tidak mempunyai kekuasaan untuk menjual tanah. Djojodigoeno menyebutnya hak purba, sedangkan Soepomo menyebutnya hak pertuanan.38 UUD 1945 yang merupakan produk hukum tertinggi di dalam hirarki perundang-undangan di Indonesia, memuat pasal-pasal yang mempunyai relevansi terhadap masyarakat hukum adat. Pasal-pasal yang mengatur mengenai masyarakat hukum adat adalah pasal 18B (2) yang menyatakan: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang, dan pasal 28I (3): Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras perkembangan zaman dan peradaban. Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya ini juga diatur di dalam peraturan lain di bawah konstitusi. UUPA yang merupakan undang-undang pokok dalam pengaturan sumber daya alam mengakui mengenai keberadaan hak ulayat melalui Pasal 3 yang bunyinya sebagai berikut: “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasar atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.” Menilik dari ketentuan dalam Pasal 3 UUPA tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa menurut pasal ini hak ulayat berkaitan dengan dua hal, yaitu: Ibid, hlm 185-186 Ibid, hlm. 29 37 38 30 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan a) b) Eksistensi, yang dalam hal ini adanya pengakuan hak ulayat kalau benar-benar masih ada atau masih eksis; dan Pelaksanaannya, hak ulayat dalam pelaksanaannya harus mengikuti 3 syarat, yaitu sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasar atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Pengakuan hukum negara terhadap hak ulayat selanjutnya ditindaklanjuti bukan dengan Peraturan Pemerintah, tetapi hanya melalui peraturan menteri negara agraria, yaitu PMA/KBPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah-masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan menteri ini memberikan penjabaran mengenai hak ulayat dari yang sudah diatur di dalam UUPA, penjabaran ini tercantum dalam pasal 2 yang menyebutkan bahwa: 1. 2. Pelaksanan hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat. Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila: a. terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukm adatnya sebagai warga bersama suatau persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerpkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari, b. terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan c. terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguaasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. Melihat dari ketentuan pasal tersebut, dapat terlihat bahwa ayat (1) menjelaskan mengenai eksistensi masyarakat adat, hal ini tentu saja selaras dengan apa yang diatur di dalam Pasal 3 UUPA. Ayat (2) dari pasal di atas memberikan penjelasan mengenai hak ulayat seperti apa yang diakui eksistensinya oleh negara, yaitu yang memenuhi 3 syarat tersebut di atas. Hasil Penelitian dan Pembahasan 31 Alasan dikeluarkannya PMA ini dapat terlihat dari bagian “Mempertimbangkan” yang terdiri atas lima butir, dua di antaranya menyatakan: “bahwa dalam kenyataannya pada waktu ini di banyak daerah masih terdapat tanah-tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang pengurusan, penguasaan dan penggunaannya didasarkan pada ketentuan hukum adat setempat dan diakui oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan sebagai tanah ulayatnya’ dan ‘bahwa akhir-akhir ini di berbagai daerah timbul berbagai masalah mengenai hak ulayat tersebut, baik mengenai eksistensinya maupun penguasaan tanahnya”. Peraturan Menteri ini menegaskan tentang realitas sosial bahwa banyak pengelolaan, penguasaan dan penggunaan tanah dilakukan berdasarkan pada hukum adat setempat, namun masih ada masalahmasalah berkaitan dengan hak ulayat atas tanah-tanah tersebut. Peraturan Menteri itu juga menegaskan otoritas pemerintah daerah kabupaten di dalam mengelola masalah pertanahan, mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian digantikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Di pihak lain, Peraturan Menteri itu membatasi pengakuan terhadap hak ulayat atas tanah-tanah, tercantum di dalam pasal 3, yang menyatakan bahwa pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum adat tidak dapat lagi dilakukan terhadap bidang-bidang tanah yang: (a) telah dimiliki oleh perorangan atau badan hukum yang memegang hak penguasaan tanah berdasarkan UUPA, dan (b) dimiliki atau diserahkan oleh suatu dinas pemerintah, badan hukum atau perorangan yang mengacu pada dan sesuai dengan perundang-undangan dan peraturan yang ada.39 Ketentuan dalam Permenag mengenai bidang-bidang tanah tertentu yang tidak dapat dilaksanakan hak ulayat masyarakat hukum adat di atasnya tentu saja telah melanggar prinsip keadilan bagi masyarakat hukum adat. Plato menggambarkan keadilan pada jiwa manusia dengan membandingkannya pada kehidupan negara, mengemukakan bahwa jiwa manusia terdiri dari 3 bagian, yakni pikiran (logistikon), perasaan dan nafsu baik maupun jasmani (epithumatikon), rasa baik dan jahat (thumoeindes). Keadilan terletak dalam batas yang seimbang antara ketiga bagian jiwa Komnas HAM, 2013, Kertas Posisi Komnas HAM terhadap Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 35/PUU-X/2012 39 32 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan sesuai dengan wujudnya masing-masing.40 Sebagaimana manusia, negara pun harus diatur secara seimbang menurut bagian-bagiannya supaya adil. Pendapat Plato tersebut merupakan pernyataan kelas, maka keadilan Platonis berarti bahwa para anggota setiap masyarakat harus menyelesaikan pekerjaan masing-masing. Pembuat peraturan harus menempatkan dengan jelas posisi setiap kelompok masyarakat dimana dan situasi bagaimana yang cocok untuk seseorang.41 Menurut John Rawls kebebasan dan kesamaan merupakan unsur yang menjadi bagian inti teori keadilan. Rawls menegaskan bahwa kebebasan dan kesamaan seharusnya tidak dikorbankan demi manfaat sosial atau ekonomi, betapapun besarnya manfaat yang dapat diperoleh dari sudut itu.42 Rawls merumuskan dua prinsip keadilan sebagai berikut: 1) 2) setiap orang hendaknya memiliki suatu hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Ketimpangan-ketimpangan sosial dan ekonomi hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga: a. Dapat diharapkan memberi keuntungan semua orang; b. Semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang.43 Sejalan dengan prinsip keadilan menurut John Rawls tersebut, UUD 1945 telah memberikan sarana untuk mengatasi ketimpangan posisi warga negaranya, seperti yang tercantum dalam pasal 28 H ayat (2), yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa Negara dapat memberikan perlakuan khusus terhadap warga negaranya untuk menciptakan persamaan dan keadilan. Undang-Undang Pokok Agraria yang mengatur mengenai sumber daya alam pun telah mengatur prinsip keadilan jika mengikuti pandangan 40 Sukarno Aburaera, Muhadar, dan Maskun, 2009, Filsafat Hukum, Bayumedia, Malang, hlm. 207 41 Abdul Ghofur Anshori, 2006, Filsafat Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm 47 42 Ibid, hlm 49 43 John Rawls, 2006, Teori Keadilan (Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara), terjemahan dari A Theory of Justice, diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm 72 Hasil Penelitian dan Pembahasan 33 John Rawl, dimana di dalam UUPA terdapat asas perlindungan bagi golongan warga negara yang lemah terhadap sesama warga negara yang kuat kedudukan ekonominya, yang tercantum di dalam pasal 11. Asas ini merupakan bentuk positive discrimination, dimana dalam peraturan ini, diatur hal yang bersifat diskriminatif yang dilakukan untuk tercapainya keadilan dan kesetaraan. Kesamaan dimuka hukum tidak banyak gunanya selama perbedaan dalam tingkat kesejahteraan sosial dan ekonomi masih cukup lebar dalam kehidupan masyarakat. Itulah sebabnya, mengapa setiap kebijakan yang dilakukan oleh negara yang rnenyangkut kepentingan yang kuat dan yang lemah harus menguntungkan posisi yang lemah, agar dengan demikian jurang perbedaan sosial ekonomi tidak semakin melebar.44 Menilik dari peraturan yang ada di dalam konstitusi dan UUPA yang memuat adanya ketentuan yang sifatnya affirmatif, tentu dapat dikatakan bahwa permenag nomor 5 tahun 1999 bertentangan dengan kedua aturan yang di atasnya tersebut, karena dengan adanya permenag tersebut menimbulkan praktek dimana masyarakat adat sering dikorbankan oleh Negara demi kepentingan ekonomi. Padahal, jelas diatur dalam konstitusi dan UUPA bahwa tindakan diskriminasi boleh dilakukan untuk membantu orang yang berada pada golongan sosial dan ekonomi yang lemah agar dapat setara dengan golongan yang kuat, tetapi permenag ini justru bertindak sebaliknya. Peraturan dapat dibuat dalam bentuk piramid, dari peraturan yang rendah sampai yang tingkatnya lebih tinggi. Ketika peraturan-peratruan berkonflik, peraturan yang lebih tinggi mengontrol peraturan yang lebih rendah45, sehingga peraturan yang lebih tinggi memiliki tingkat validitas yang lebih kuat. 44 Achmad Sodiki mengutip John Rawls dalam uraian ini, lihat Achmad Sodiki, “Hukum Progresif untuk Mewujudkan Keadilan Substantif dalam Bingkai Nilai-Nilai Pancasila”, disampaikan pada acara Sarasehan, Nasional 2011 Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Menegakkan Konstitusionalitas Indonesia yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada (PSP UGM), kerjasama antara Mahkamah Konstitusi dengan Universitas Gadjah Mada, di Yogyakarta 2-3 Mei 2011 45 Lawrence M. Friedman, 2009, Sistem Hukum (Perspektif Ilmu Sosial), terjemahan dari The Legal System, A social Science Perspective, diterjemahkan oleh M. Khozim, Nusa Media, Bandung, hlm 52 34 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menjelaskan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. b. c. d. e. f. g. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Pada ayat (2) diatur bahwa kekuatan hukum Peraturan Perundangundangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Merujuk dari ketentuan undang-undang tersebut di atas, peraturan menteri tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundangan, sehingga seharusnya peraturan menteri yang bertentangan dengan konstitusi dan undang-undang sebaiknya tidak dapat diberlakukan lagi. Menurut penulis, di dalam praktek, masyarakat hukum adat banyak yang kehilangan hak ulayatnya karena Negara lebih banyak menggunakan asas kepastian hukum dibandingkan asas keadilan. Hal ini nampak dalam permenag nomor 5 tahun 1999 yang memuat ketentuan tanah yang telah dimiliki oleh perorangan atau badan hukum yang memegang hak penguasaan tanah berdasarkan UUPA, dan dimiliki atau diserahkan oleh suatu dinas pemerintah, badan hukum atau perorangan yang mengacu pada dan sesuai dengan perundang-undangan dan peraturan yang ada tidak dapat dilaksanakan hak ulayat di atasnya. Masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang menggunakan hukum tidak tertulis, sehingga mereka tidak memiliki bukti atas tanah ulayatnya. Sehingga, apabila ada pihak lain yang memiliki bukti seperti sertipikat, maka pihak yang memegang bukti tersebutlah yang dimenangkan, meskipun mungkin pada kenyataannya tanah tersebut merupakan tanah ulayat. Penegakan hukum sebagai “bussiness as usual” telah menjadi pekerjaan rutin dan mekanis yang melupakan gerak masyarakat yang terus berubah dalam berbagai segi kehidupan. Hukum dengan demikian Hasil Penelitian dan Pembahasan 35 hanya dipandang dari segi statiknya tetapi dilupakan dari segi progressnya. Padahal progress itu juga mencerminkan perubahan yang semakin tinggi pada tuntutan, nilai-nilai dan harapan-harapan terhadap hukum.46 Mahkamah Konstitusi sebagai Guardian of Constitution telah menggunakan hukum yang progresif, namun sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Salah satu hal yang menjadi perhatian Mahkamah Konstitusi adalah hak ulayat masyarakat hukum adat, yang selama ini sering terabaikan, padahal konstitusi sendiri mengakui keberadaan hak tersebut. Hak ulayat masyarakat hukum adat meliputi semua sumber daya alam, termasuk tanah, yang ada dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang belum. Sehingga, dapat dikatakan bahwa hak ulayat merupakan “konsep mini” dari hak bangsa, karena masyarakat adat merupakan pemilik utama sumber daya agraria yang ada di wilayah adatnya, sehingga memiliki hak untuk mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan sumber daya agraria di wilayah adatnya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa hak Ulayat mengandung dua aspek, yaitu: a) b) Aspek keperdataan, yaitu berupa kewenangan mempunyai (entitlement to posess) oleh masyarakat hukum adat terhadap wilayah ulayat (yang meliputi tanah dan/atau perairan) termasuk sumber daya alam yang terdapat di wilayah ulayat; Aspek publik, yaitu berupa kewenangan mengatur penguasaan dan penggunaan tanah ulayat dan sumber daya alam, baik oleh anggota masyarakat hukum adat maupun oleh orang/pihak yang bukan merupakan warga masyarakat hukum adat. Aspek ini melahirkan dua sifat kekuatan keberlakuan kewenangan, yaitu kekuatan ke dalam dan ke luar. Kekuatan yang berlaku ke dalam artinya memberikan wewenang kepada penguasa masyarakat hukum adat untuk mengatur penguasaan dan penggunaan wilayah ulayat itu oleh warga dan untuk kepentingan masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Kekuatan yang berlaku ke luar artinya memberikan kewenangan untuk mengatur penggunaan/akses oleh orang luar terhadap tanah ulayat. Achmad Sodiki, op cit, hlm 5 46 36 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan b. Hak Perorangan Hubungan hak ulayat dengan hak perseorangan adalah berbanding terbalik, hal ini dikarenakan semakin kuat hak perseorangan atas tanah, maka semakin lemah kekuatan berlaku hak ulayat. Kalau sebidang tanah diusahakan secara intensif dan tidak diterlantarkan, maka tercipta hubungan hak yang kuat, seperti hak milik, dan dalam hal ini, kekuatan hak ulayat terhadap bidang tanah tersebut melemah atau bahkan hilang. Pengaruh timbal balik ulayat terhadap hak milik semacam ini oleh ter Haar diistilahkan dengan hubungan yang “menguncup-mengembang bertimbal balik dengan tiada hentinya”. c. Hak Kolektif dan Komunal Masyarakat Hukum Adat (MHA) mempunyai beranekaragam jenis penguasaan tanah dan pengelolaan sumber daya alam. Di dalamnya terdapat hak privat, hak kolektif, dan hak komunal. Ketiga karakter pemilikan tanah ini dikenal di dalam masyarakat hukum adat. Sebagai contoh adalah di Sumatera Barat dan di Kalimantan Timur. Penguasaan dan pemilikan tanah adat dan perorangan sesuai dengan struktur sosial masyarakat hukum adat nagari. Hubungan antara penguasaan dan pemilikan tanah dengan struktur sosial masyarakat tersajikan dalam gambar berikut. (Sumber: Kurnia Warman 2010: 93 [dengan penambahan keterangan]) Hasil Penelitian dan Pembahasan 37 Setiap kelompok dalam tatanan dan struktur nagari tersebut menempati dan menguasai tanah dan kekayaan alam. Hubungan subyek hukum di setiap level dengan tanah dan kekayaan alamnya diistilahkan oleh orang Minangkabau sebagai ulayat. Semua level memiliki tanah ulayat, jadi ada ulayat nagari, ulayat suku, ulayat kaum, ulayat jurai, hingga ulayat perseorangan (keluarga). Maka, di dalam ulayat juga akan ditemukan “hak perdata perorangan”. Dalam konteks ini “hak ulayat” yang sesuai dengan UUPA (yakni hak publik persekutuan) hanyalah ulayat nagari, sedangkan ulayat pada level di bawahnya adalah hak milik adat baik bersifat komunal maupun privat.47 Contoh lain keanekaragaman hak milik dalam masyarakat hukum adat adalah di masyarakat adat Mamahak Besar dan Long Bagun di Kalimantan Timur. Hak membuka tanah untuk dijadikan ladang, hak atas pohon dan tanaman yang diberikan tanda menurut ketentuan adat merupakan hak perdata perorangan. Namun penguasaan tanah dan hasil hutan merupakan penguasaan bersama berdasarkan hak ulayat, yang kewenangan pengaturannya ada pada Kepala Adat. Pemuka adat memiliki kewenangan dalam mengatur hubungan pemanfaatan tanah dan hasil hutan kepada para anggotanya, namun tidak memiliki kewenangan untuk memberikan tanah kepada masing-masing anggotanya secara individu.48 Mereka juga menggunakan berbagai istilah untuk berbagai jenis kegiatan penggunaan dan pengolahan tanah, begitu pula yang berkaitan dengan hak perorangan. Berikut ini adalah contoh bentuk hak perorangan yang pada umumnya terdapat pada masyarakat hukum adat di Indonesia, meskipun dengan nama yang berbeda-beda: a. b. c. d. e. Hak milik; Hak memungut hasil tanah; Hak wenang pilih atau hak pilih lebih dahulu; Hak wenang beli; Hak pejabat adat. Kurnia Warman, “Hutan adat di ‘persimpangan jalan’: Kedudukan hutan adat di Sumatra Barat pada era desentralisasi”, dalam: Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono (eds), Hukum Agraria Dan Masyarakat Di Indonesia: Studi Tentang Tanah, Kekayaan Alam, Dan Ruang Di Masa Kolonial Dan Desentralisasi, hlm. 93-94. Jakarta: HuMa, Van Vollenhoven Institute, KITLV-Jakarta. 48 Nurul Elmiyah, “Negara dan Masyarakat Adat; Studi Mengenai Hak Atas Tanah dan Hasil Hutan di Mamahak Besar dan Long Bagun, Kalimantan Timur”, Disertasi di Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 2003, hlm. 308 47 38 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan a. Hak milik Hak milik atas tanah adalah hak untuk memperlakukan suatu benda (tanah) sebagai kepunyaan sendiri dengan beberapa pembatasan. Hak untuk memperlakukan sebagai kepunyaannya itu meliputi hak untuk memperoleh hasil sepenuhnya dari tanah dan pula hak untuk mempergunakan tanah itu seolah-olah pemegang hak itu pemiliknya, yang berarti ia boleh menjual, menggadaikan, atau menghibahkan tanah itu kepada orang lain.49 Adapun pembatasan-pembatasan tersebut berkaitan dengan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, baik yang bersifat nasional maupun ketentuan hukum adat dan kewajiban untuk menghormati kepentingan orang lain. b. Hak memungut hasil tanah Makna dari hak ini adalah hak menikmati hasil, hak menggarap, atau hak pakai. Hak ini merupakan hak yang dapat diperoleh oleh warga persekutuan hukum sendiri maupun orang luar untuk mengolah sebidang tanah selama satu atau beberapa kali panen. Bagi warga persekutuan hukum dimungkinkan untuk mengembangkan hak ini menjadi hak milik, sehingga ia diperkenankan mengolah tanah selama beberapa kali berturut-turut, tanpa diselingi hak wenang pilih.50 c. Hak wenang pilih atau hak pilih lebih dahulu Hak wenang pilih terbagi dalam 3 bentuk: 1. Hak yang diperoleh seseorang, lebih utama dari yang lain,untuk mengolah sebidang tanah yang telah dipilihnya. Hak pengolahan yang diperoleh seseorang pemilik tanah pertanian atas belukar yang berbatasan dengan tanahnya Hak yang diperoleh pengolah tanah,lebih utama dari yang lain,untuk mengerjakan sawah/ladangnya yang berangsur-angsur membelukar kembali setelah panen.51 2. 3. Bambang Eko Supriyadi, Op Cit, hlm. 30 Ibid, hlm. 35 51 Ibid, hlm. 35 49 50 Hasil Penelitian dan Pembahasan 39 d. Hak wenang beli Hak wenang beli ialah hak seseorang, lebih utama daripada yang lain, untuk mendapat kesempatan membeli tanah (juga empang) tetangganya dengan harga yang sama. Di berbagai lingkungan hukum, hak wenang itu diberikan kepada : 1. 2. 3. pemilik tanah atas bidang tanah yang berbatasan dengan tanah miliknya (sempadan) ; anggota-anggota sekerabat (parental, matrilineal,patrilineal) dari si pemilik tanah ; para warga sedesa.52 e. Hak pejabat adat Hak imbalan jabatan ialah hak seorang pamong Desa atas tanah jabatan yang ditujukan untuknya dan yang berarti bahwa ia boleh menikmati hasil dari tanah itu selama ia memegang jabatannya. Maksud pemberian hak itu ialah untuk menjamin penghasilan para pejabat tersebut. Isi hak itu ialah : pejabat yang bersangkutan boleh mengerjakan tanah jabatan itu atau menyewakannya kepada orang lain, tetapi tidak boleh menjual atau menggadaikannya.53 Merujuk dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konsep hak penguasaan atas tanah oleh masyarakat adat pada dasarnya terbagi atas dua bentuk hak penguasaan, yaitu hak ulayat dan hak perorangan. Di dalam hak ulayat itu sendiri terdapat hak milik kolektif, komunal, dan privat. Hubungan hak ulayat dengan hak perseorangan selalu bertolak belakang, hal ini dikarenakan semakin kuat hak perseorangan atas tanah, maka semakin lemah kekuatan berlaku hak ulayat. 2. Konsep dan Bentuk Perlindungan Hak Penguasaan Hutan Adat Menurut Peraturan Perundang-Undangan Penguasaan hak atas tanah oleh masyarakat adat merupakan bagian dari hak asasi masyarakat adat. Hal ini diakui tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga secara internasional, seperti yang diatur di dalam pasal Ibid, hlm. 37 Ibid, hlm. 36 52 53 40 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan 17 ayat (1) The Universal Declaration of Human Rights yang berbunyi sebagai berikut: “Everyone has the right to own property alone as well as in association with others.” Di dalam paparan pasal tersebut dikatakan bahwa semua orang berhak untuk memiliki harta benda baik secara sendiri maupun bersama pihak lain. Hal ini sangat penting dalam kaitannya dengan hak-hak masyarakat adat, karena hak memiliki secara bersama erat kaitannya dengan masyarakat adat yang memiliki ciri khas hak komunal. Ketentuan internasional ini di Indonesia kemudian diadopsi ke dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Perwujudan mengenai pengakuan hak masyarakat adat atas tanahnya merupakan bagian dari hak asasi manusia terdapat di dalam pasal 6 ayat (1) dan (2), yang berbunyi sebagai berikut: (1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah. (2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. Ketentuan di dalam pasal 6 ini secara jelas telah menyebutkan mengenai hak ulayat, yang mengamanahkan agar hak ulayat yang menjadi bagian dari identitas budaya masyarakat hukum adat harus dilindungi. Apabila menilik dari ketentuan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa keberadaan hak masyarakat hukum adat yang berkaitan dengan penguasaan atas tanah tidak hanya sekedar diakui, tetapi juga harus dilindungi, dan ini merupakan wujud tanggung jawab negara, dalam hal ini pemerintah, kepada warga negaranya. Perlindungan terhadap hak ulayat ini juga termasuk hak ulayat yang ada di wilayah hutan. Pengakuan mengenai keberadaan masyarakat adat dalam kaitannya dengan wilayah hutan baru jelas diatur melalui Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sebelum adanya undang-undang ini, konsep hak penguasaan atas tanah di bidang kehutanan masih memberlakukan domein verklaring. Asas domein verklaring memang sudah dihapuskan oleh UUPA, tetapi asas domein verklaring yang dicabut oleh UUPA sebagaimana tercantum pada angka 2 bagian “memutuskan” adalah sebagai berikut: Hasil Penelitian dan Pembahasan 41 a. “Domeinverklaring” tersebut dalam pasal 1 “Agrarisch Besluit” (Staatsblad 1870 No. 118); b. “Algemene Domeinverklaring” tersebut dalam Staatsblad 1875 No. 119A; c. “Domeinverklaring untuk Sumatera” tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1874 No. 94f; d. “Domeinverklaring untuk keresidenan Menado” tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1877 No. 55; e. “Domeinverklaring untuk residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo” tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1888 No. 58 Pengaturan mengenai kehutanan pada zaman kolonial menggunakan Boschordonnantie voor Java en Madoera 1927 atau Ordonansi tentang Kehutanan untuk Jawa dan Madura tahun 1927 yang berlaku untuk wilayah jawa dan Madura, sedangkan di luar kedua wilayah itu belum diatur ke dalam peraturan perundang-undangan. Ordonansi tentang Kehutanan untuk Jawa dan Madura tahun 1927 merupakan satu produk hukum yang berada setingkat dibawah UU-, yang menetapkan bahwa hutan negara adalah: tanah yang termasuk tanah negara yang bebas dari hak-hak ulayat (beschikking recht, termasuk tanah-tanah milik desa), pihak ketiga dan ditumbuhi tumbuh-tumbuhan kayu-kayuan dan bambu yang timbul dari alam….. (pasal 2 klausul a). Kedudukan Boschordonnantie 1927 yang lebih rendah daripada Agrarische Wet 1870 dalam hirarki perundangan berakibat pada taatnya ordonnantie pada wet. Asas domein verklaring yang dianut oleh Agrarische Wet 1870 juga diikuti oleh Boschordonnantie 1927.54 Di dalam hukum terdapat asas lex specialis derogate legi generalis, yang artinya hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum, sehingga meskipun keberadaan domein verklaring berasal dari Staatsblad 1870, tetapi ketika sudah diaplikasikan ke dalam aturan yang khusus, maka bentuknya menjadi spesifik. Artinya, apabila berkaitan dengan urusan khusus, seperti hutan, maka yang berlaku adalah aturan yang ada ketika itu mengenai hutan, yaitu Boschordonantie. Hal ini dapat diartikan meskipun Staatsblad 1870 sudah dicabut melalui UUPA, Sandra Moniaga, Ketika Undang-Undang Hanya Diberlakukan Pada 39% Wilayah Daratan Indonesia, Forum Keadilan: N0. 27, 12 November 2006 54 42 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan tetapi karena UUPA tidak mencabut keberadaan Boschordonantie, maka peraturan yang ada di dalamnya masih berlaku, termasuk asas domein verklaring. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kehutanan tidak mencabut Boschordonantie. Di dalam pasal 21 undang-undang kehutanan ini berbunyi sebagai berikut: “Sambil menunggu keluarnya peraturan peraturan pelaksanaan daripada Undangundang ini, segala peraturan dan perundang-undangan di bidang Kehutanan yang telah ada sebelumnya, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa Undang-undang ini serta diberi tafsiran sesuai dengan itu.” Di dalam paparan pasal tersebut, maka secara eksplisit dikatakan bahwa peraturan yang ada sebelumnya mengenai kehutanan masih berlaku, yang artinya ini juga berlaku untuk Boschordonantie. Memang di dalam pasal tersebut terdapat frasa sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa undang-undang ini, tetapi pada kenyataannya domein verklaring tetap berlaku, meskipun dengan konsep yang berbeda, karena pada zaman kolonial, negara sebagai dominum (pemilik tanah), sedangkan setelah adanya UUPA, negara memiliki hak menguasai. Dalam hal ini yang berbeda hanya konsep kewenangan dari negara, tetapi substansi dari domein verklaring dimana seseorang yang tidak dapat membuktikan kepemilikan tanahnya, maka tanah tersebut akan dimiliki negara, yang kemudian frasa dimiliki menjadi dikuasai. Praktek ini dapat terlihat sejak pada zaman pemerintahan Orde Baru yang secara sengaja membiarkan tumbuh dan berkembangnya sektor kehutanan meskipun harus melanggar hak-hak masyarakat yang tanah-tanahnya ditetapkan secara sepihak sebagai kawasan hutan negara, termasuk melanggar peraturan perundangan yang sah masih berlaku seperti UUPA.55 Pada zaman orde baru, UUPA dikesampingkan dalam praktek kehutanan, dengan alasan hal-hal yang berkaitan dengan hutan menggunakan undang-undang kehutanan. Padahal di dalam undangundang kehutanan, tidak ada satu pasal pun yang menetapkan bahwa UUPA tidak berlaku dalam kawasan hutan, dan kondisi semacam ini masih berlaku hingga zaman setelah reformasi. Hal inilah yang kemudian memicu banyak konflik di sektor kehutanan. Ibid 55 Hasil Penelitian dan Pembahasan 43 Boschordonantie baru dihapus oleh Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, yang tertera di dalam pasal 83, yang berbunyi sebagai berikut: Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini maka dinyatakan tidak berlaku: 1. Boschordonnantie Java en Madoera 1927, Staatsblad Tahun 1927 Nomor 221, sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 168, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1934 Nomor 63 2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823). Pada penelitian ini konsep hak penguasaan hutan adat akan dibagi menjadi dua pembahasan, yaitu konsep hak penguasaan hutan adat berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan konsep hak penguasaan hutan adat pasca Putusan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. a. Konsep dan Bentuk Perlindungan Hak Penguasaan Hutan Adat Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan UUPA memuat istilah masyarakat hukum adat, hak ulayat, dan hukum adat, namun tidak secara jelas mendefinisikan pengertian dari masing-masing istilah tersebut. Demikian juga, jenis-jenis hak atas tanah dan sumber daya alam lainnya menurut pasal 16 (1) dan (2) dalam UUPA tidak meliputi hak ulayat maupun jenis hak atas tanah dan sumber daya alam lainnya yang dimiliki masyarakat hukum adat. Pengakuan keberadaan hak-hak masyarakat hukum adat pada tanah dan sumber daya alam juga menghadapi persoalan ketika akan dilakukan di kawasan yang dikenal sebagai kawasan hutan. Banyak kelompok masyarakat hukum adat selama ini bermukim di kawasan hutan, jauh sebelum penunjukan dan/atau pengukuhan wilayah tersebut sebagai kawasan hutan pada masa pemerintahan kolonial Belanda dan berlanjut selama ditetapkannya rezim 44 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan pengaturan kehutanan nasional setelah disahkannya Undang-undang Pokok Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967.56 Ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum terhadap keberadaan masyarakat hukum adat serta hak-haknya atas tanah, semakin bertambah dengan disahkannya UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagai pengganti UU Pokok Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967. Salah satu klausul yang bermasalah dalam Undang-undang Kehutanan 1999 ini adalah ketentuan yang yang mengatakan bahwa kawasan hutan adalah wilayah yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah dengan tujuan melestarikan keberadaannya sebagai hutan tetap (Pasal 1 ayat 3), dan hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat (Pasal 1 ayat 6). UU Kehutanan ini juga menetapkan bahwa pemerintah berwenang menunjuk kawasan hutan (Pasal 1(1), 1(2) dan 1(3). Penunjukan hutan adat dapat dilaksanakan sepanjang menurut kenyataan masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya (Pasal 5(3)), dan pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Pasal 67(2)).57 Pengukuhan kawasan hutan Negara diatur di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan, Peraturan Menteri Kehutanan No.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan, dan Peraturan Menteri Kehutanan No. 47/ Menhut-II/2010 tentang Panitia Tata Batas Kawasan Hutan. Menurut kedua peraturan menteri tersebut ditentukan bahwa Dirjen Planologi Kehutanan dapat menetapkan sepihak kawasan hutan, tanpa menunggu persetujuan masyarakat yang menguasai wilayah setempat. Sedangkan untuk penetapan dan perubahan status dan fungsi kawasan hutan sebagian besar tercantum dalam Keputusan Menteri Kehutanan No.70/ Kpts-II/2001. Menurut Pasal 5 dan 16 PP No.44/2004, wewenang pengukuhan kawasan hutan Negara berada di tangan Menteri Kehutanan. Wewenang Pemerintah Daerah Kabupaten terbatas pada penentuan batasbatas kawasan hutan yaitu wewenang untuk membentuk Panitia Tata Batas yang berfungsi memberikan klarifikasi tentang status tanah dalam proses penyelenggaraan tata batas. Pemerintah daerah tidak mempunyai Kertas Posisi, Op Cit, hlm. 6 Ibid, hlm 8 56 57 Hasil Penelitian dan Pembahasan 45 wewenang untuk mengukuhkan kawasan hutan, karena hal tersebut tetap menjadi kewenangan Menteri Kehutanan.58 UU Kehutanan tahun 1999 mengatur tentang hutan adat sebagai hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. UU Kehutanan itu juga menetapkan bahwa kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum berlakunya undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku berdasarkan undang-undang ini. Peraturan hukum yang berlaku secara internasional maupun nasional yang menjamin keberadaan hak-hak atas tanah dari masyarakat adat sebagai bagian dari hak asasi manusia memang tidak bersifat mutlak. Artinya, hak tersebut dapat diambil asalkan melalui proses hukum yang adil dan tanpa diskriminasi. Namun demikian, UU Kehutanan tahun 1999 tidak memberi jaminan yang jelas bagi hak-hak masyarakat hukum adat, terutama yang melindungi hak masyarakat adat apabila wilayahnya ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagai hutan tetap. Tidak adanya perlindungan hukum yang jelas dari UU Kehutanan tahun 1999 tentu saja merugikan masyarakat adat. Hal ini dikarenakan di dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 melarang sejumlah kegiatan dilakukan di kawasan hutan, seperti mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah, melanggar batas-batas suatu kawasan hutan di dalam radius atau jarak tertentu, menebang pohon, memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau surat ijin yang diterbitkan oleh pejabat yang berwewenang dan menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang. Pelanggaran terhadap salah satu ketentuan ini akan berakibat dikenakannya hukuman penjara dan hukuman denda. Adanya pengaturan dalam UU Kehutanan ini yang memasukkan hutan adat menjadi bagian dari hutan negara tentu saja membatasi hak dari masyarakat adat untuk mengakses hutan adatnya. Hal ini dikarenakan dengan adanya penunjukan dan atau penetapan suatu wilayah dapat menjadi hutan, jika wilayah hutan adat masyarakat adat ditunjuk dan atau ditetapkan sebagai wilayah hutan negara, maka dalam mengakses Ibid, hlm 9 58 46 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan hutan adatnya, masyarakat adat terhadang ketentuan pasal 50, seperti tersebut di atas. Meskipun, di dalam pasal 67 ayat (1) UU Kehutanan, negara memberikan hak kepada masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berupa: a. b. c. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Namun di dalam ayat (2) pada pasal yang sama diatur bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Adanya syarat masyarakat adat dapat dikukuhkan keberadaannya dalam Perda inilah yang melemahkan masyarakat adat, karena hanya sedikit Perda yang sudah dibuat untuk melaksanakan ketentuan pasal ini. Apabila masyarakat adat belum dikukuhkan keberadaannya, maka berimplikasi pula pada belum dikukuhkannya wilayah adatnya, yang tentu saja dapat mengancam hak penguasaan masyarakat adat atas wilayah adatnya jika pemerintah daerah tidak memiliki iktikad baik untuk memberikan perlindungan. Peraturan UU Kehutanan yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menjadikan suatu wilayah hanya dengan melalui penunjukan merupakan bentuk tindakan yang otoriter. Terlebih lagi masyarakat adat sebagai pemilik dari hutan adat dapat diakui keberadaannya secara formal jika sudah diatur di dalam peraturan daerah. Hal ini memungkinkan negara memberikan hak-hak di atas tanah hak ulayat kepada subyek hukum tertentu tanpa memperoleh persetujuan masyarakat hukum adat dan tanpa memiliki kewajiban hukum untuk membayar kompensasi kepada masyarakat hukum adat yang mempunyai hak ulayat atas tanah tersebut. Dari penjabaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa adanya UU Kehutanan belum dapat memberikan posisi yang kuat bagi masyarakat adat dalam pemenuhan hak penguasaan atas hutan adat. Sehingga, Hasil Penelitian dan Pembahasan 47 meskipun Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan telah menghapus keberadaan Boschordonnantie Java en Madoera 1927, tetapi di dalam praktek masih terdapat pelaksanaan asas domein verklaring “modern”. b. Konsep dan Bentuk Perlindungan Hak Penguasaan Hutan Adat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Konsepsi hak penguasaan atas tanah dalam putusan Mahkamah Konstitusi adalah ingin membagi penguasaan tanah menjadi 3 status, yaitu tanah negara, tanah ulayat dan tanah hak, dimana ketiganya saling membatasi. Dalam putusan MK 35 pemegang hak hutan ada 3, yaitu negara, masyarakat hukum adat dan perorangan. Dalam pasal 33 UUD 45 mengandung 2 unsur, yaitu dikuasai dan dipergunakan. Kata dikuasai tafsirnya adalah pengaturan, pengurusan, kebijakan, pengelolaan dan pengawasan. Kata dipergunakan dalam pasal 33 UUD 45, yaitu kemanfaatan, pemerataan, partisipasi, penghormatan hak tradisional.59 Putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi terhadap UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan hingga penelitian ini dilakukan telah dilaksanakan sebanyak tiga kali. Adapun putusannya dapat terlihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2. Putusan MK atas uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Nomor Perkara No. 45/PUU-IX/2011 No. 34/PUU-IX/2011 Sebelum Putusan MK Sesudah Putusan MK Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Pasal 4 ayat 3 UU Kehutanan Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya Pasal 4 ayat 3 UU Kehutanan Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi Wawancara dengan Yance Arizona (Epistema Institute), Jakarta, 5 September 2014 59 48 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan Nomor Perkara No. 35/PUU-X/2012 Sebelum Putusan MK Sesudah Putusan MK masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. - Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan - Pa s a l 1 a n g k a 6 U U Kehutanan Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum Adat - Pasal 4 ayat 3 UU Kehutanan Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum Adat Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak - Pasal 4 ayat 3 UU Kehutanan masyarakat hukum adat, penguasaan hutan oleh sepanjang kenyataannya masih negara tetap memperhatikan ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat hukum adat, serta tidak bertentangan dengan sepanjang masih hidup dan kepentingan nasional. sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang - Pasal 5 ayat 1 UU Kehutanan Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: a. hutan negara, dan b. hutan hak. - Pasal 5 ayat 1 UU Kehutanan Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat - Penjelasan Pasal 5 ayat 1 UU Kehutanan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat - Pasal 5 ayat 2 UU Kehutanan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat - Pasal 5 ayat (3) UU Kehutanan - Pa s a l 5 a y a t ( 3 ) U U Pemerintah menetapkan status Kehutanan hutan sebagaimana dimaksud Hasil Penelitian dan Pembahasan 49 Nomor Perkara Sebelum Putusan MK pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Sesudah Putusan MK Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Putusan MK 45 merupakan sebuah koreksi terhadap “tindakan otoriter” yang dilakukan oleh pemerintah dalam pengelolaan hutan, yang dikarenakan pemerintah mendapatkan kewenangan dari undang-undang untuk menjadikan suatu wilayah menjadi kawasan hutan hanya dengan cara penunjukan. Kewenangan ini tentu berpotensi menafikkan hak-hak masyarakat yang ada pada wilayah tersebut, karena tidak ada proses yang dilaksanakan, sehingga tindakan tersebut hanyalah tindakan serta-merta yang dilakukan secara sepihak. Dalam Putusan MK45 disebutkan pada bagian pertimbangan Mahkamah sebagai berikut: “Bahwa dalam suatu negara hukum, pejabat administrasi negara tidak boleh berbuat sekehendak hatinya, akan tetapi harus bertindak sesuai dengan hukumdan peraturan perundang-undangan, serta tindakan berdasarkan freies Ermessen (discretionary powers). Penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter. Penunjukan kawasan hutan merupakan sesuatu yang dapat diprediksi, tidak tiba-tiba, bahkan harus direncanakan, dan karenanya tidak memerlukan tindakan freies Ermessen (discretionary powers). Tidak seharusnya suatu kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, menguasai hajat hidup orang banyak, hanya dilakukan melalui penunjukan.” Pertimbangan Mahkamah yang tersebut di atas menyatakan bahwa tindakan yang menjadikan penunjukan sebagai dasar untuk menegaskan kawasan hutan definitif merupakan perbuatan otoriter yang tidak dapat dipertahankan lagi, karena hutan merupakan sumber daya yang 50 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan menyangkut hajat hidup orang banyak, sehingga harus ditetapkan melalui tahapan. Mahkamah Konstitusi juga telah menyatakan bahwa penunjukan sepihak oleh Menteri Kehutanan itu dengan sendirinya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pada Putusan MK45 di dalam putusannya pada bagian pertimbangan [3.14] Mahkamah Konstitusi menyatakan: “Menimbang bahwa adapun mengenai ketentuan peralihan dari UU Kehutanan, khususnya Pasal 81 yang menyatakan, “Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, sebelum berlakunya undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku berdasarkan undang-undang ini”, menurut Mahkamah, meskipun Pasal 1 angka 3 dan Pasal 81 Undang-Undang a quo mempergunakan frasa“ ditunjuk dan atau ditetapkan”, namun berlakunya untuk yang“ ditunjuk dan atau ditetapkan” dalam Pasal 81 Undang-Undang a quo tetap sah dan mengikat” Mahkamah Konstitusi tidak membatalkan frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 81, karena jika Mahkamah Konstitusi membatalkan frasa tersebut, maka semua penunjukan-penunjukan yang telah dilakukan sebelum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 harus dinyatakan batal. Dihapusnya frasa ditunjuk pada Pasal 1 angka 3 tidak berarti semua wilayah yang telah menjadi kawasan hutan melalui penunjukan yang telah dilakukan sebelum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 atau sebelum adanya putusan MK ini harus diperlakukan sama dengan penetapan kawasan hutan. Penunjukan yang dilakukan sebelum adanya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 harus diperlakukan sebagai tahap awal dalam proses pengukuhan kawasan hutan, yang kemudian perlu ditindaklanjuti dengan tahapan berikutnya dalam proses pengukuhan kawasan hutan yaitu penatabatasan, pemetaan dan penetapan. Hal ini sejalan dengan pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan ini, yang mengatur bahwa penunjukan adalah tahap awal dalam pengukuhan kawasan hutan dan perlu dilanjutkan dengan tahapan berikutnya. Pada putusan Perkara No. 34/PUU-IX/2011, MK memperkuat pandangannya bahwa pengukuhan kawasan hutan harus memperhatikan keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat, termasuk hak-hak perseorangan dan badan hukum. Hasil Penelitian dan Pembahasan 51 Putusan MK ini mengganti pasal 4 ayat (3) menjadi: “Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.” Maksud kata wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi adalah ketika pemerintah akan menetapkan kawasan hutan, berkewajiban menyertakan pendapat masyarakat terlebih dahulu sebagai bentuk fungsi kontrol terhadap Pemerintah untuk memastikan dipenuhinya hak-hak konstitusional warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun, hal ini sesuai dengan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945. Oleh karena itu, jika dalam proses pengukuhan kawasan hutan Pemerintah menemukan keberadaan dan hak masyarakat adat ataupun hak perseorangan berdasarkan peraturan perundang-undangan, maka Pemerintah berkewajiban untuk melakukan penyelesaian terlebih dahulu secara adil dengan para pemegang hak.60 Mahkamah konstitusi berpendapat bahwa di dalam UU Kehutanan terdapat tiga subjek hukum yang memiliki hubungan hukum dengan hutan, yaitu negara, masyarakat hukum adat dan pemegang hak atas tanah yang di atasnya terdapat hutan. Pada putusan Perkara Nomor 35/ PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah juga memegang hak atas hutan. Maka, dapat diartikan bahwa masyarakat hukum adat selain memegang hak atas tanah ulayat sekaligus memegang hak atas hutan adat. Perseorangan/badan hukum pemegang hak atas tanah juga memegang hak atas hutan hak. Dengan demikian, keberadaan hutan adat harus didahului dengan adanya tanah ulayat dari masyarakat hukum adat, karena hutan adat berada di atas tanah ulayat.61 60Yance Arizona, Mahkamah Konstitusi dan Reformasi Tenurial Kehutanan, http://www. academia.edu/5470629/Mahkamah_Konstitusi_dan_Reformasi_Tenurial_Kehutanan diakses pada tanggal 1 November 2014 61 Ibid 52 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan Implikasi dari putusan No. 35/PUU-X/2012 yang mengakui hak penguasaan masyarakat adat atas hutan adatnya, maka masyarakat adat memiliki wewenang untuk mengatur peruntukan, fungsi dan pemanfaatan tanah ulayat dan hutan adat yang ada wilayahnya. Oleh karena itu, kewenangan Kementerian Kehutanan untuk mengatur, menentukan fungsi dan mengawasi peredaran hasil hutan dari hutan adat baru dapat dilaksanakan bila ada penetapan hutan adat. Namun, Putusan MK 35 ini masih belum cukup karena masih harus ditindaklanjuti dengan pengakuan sistem-sistem hukum adat, antara lain dengan diakuinya transaksi adat sesuai dengan hukum adatnya. Tindak lanjut putusan tersebut harus diwujudkan melalui undang-undang, penguatan organisasi dan struktur kelembagaan.62 c. Respon Berbagai Lembaga atas Putusan MK Nomor 35/ PUU-X/2012 Berbagai pihak memberi respon terhadap Putusan MK tersebut. Lahir Nota Kesepakatan Bersama (NKB) 12 Kementerian/ Lembaga tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia, ditandatangani pada tanggal 12 Maret 2013, yang bertujuan meningkatkan kerjasama dan koordinasi para pihak dalam percepatan pengukuhan kawasan hutan. i. Kementerian Kehutanan Direktur Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan secara berkala melakukan penetapan kawasan hutan. Di luar persoalan hasil Putusan MK tersebut, Kementerian Kehutanan sebenarnya menghadapi persoalan pada pelaksanaan tata batas kawasan. Sampai dengan tahun 2009 telah dicapai seluas 219.206 km (77,64%) tata batas, namun baru menghasilkan penetapan kawasan hutan seluas 13.819.510,12 hektar atau 11,29% dari luas total kawasan hutan Indonesia 122.404.872,67 hektar. Ada inkonsistensi angka resmi dari Kementerian Kehutanan mengenai luas kawasan hutan Indonesia. Data Statistik Kehutanan 2012 yang dikeluarkan Dirjen Planologi Wawancara dengan Prof. Dr. Ahmad Sodiki, S.H. (Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi), Jakarta, 5 September 2014 62 Hasil Penelitian dan Pembahasan 53 Kemenhut pada Oktober 2013 menyebutkan kawasan hutan di daratan dan perairan seluas 133.424.121,33 hektar. Seluas 128.225.146,02 kawasan hutan di daratan dan sekitar 5 juta lebih berupa perairan (Kemenhut 2013)63. Selain itu terdapat masalah berupa perspektif penetapan kawasan hutan di Kementerian Kehutanan yang hanya memenuhi syarat administratif (saat telah mencapai ‘temu gelang’) dan disahkan dalam Berita Acara Tata Batas (BATB), sehingga dalam kenyataan lapangannya ia melanggar penguasaan masyarakat yang telah mendiami dan memanfaatkannya didalam lingkungan dan penanda alam yang ada (sungai, pantai, dll). Oleh sebab itu dilakukan penetapan kawasan sebagai tindak lanjut MK 35 tersebut. Hal ini juga akibat desakan dari Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menemukan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan kajian Sistem Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Hutan di Direktorat Jenderal Planologi pada tahun 2010. Ada tiga permasalahan yang ditemukan dari kajian ini; 1) disharmonisasi kebijakan dan regulasi antar sektor, 2) pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan yang belum optimal, 3) belum adanya mekanisme penyelesaian konflik kawasan hutan yang memberikan keadilan bagi seluruh pihak. Inilah yang mendorong perlu adanya Nota Kesepahaman Bersama Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan yang ditandatangani oleh 12 Kementerian dan Lembaga (NKB 12 K/L) pada tanggal 12 Maret 2013 di Jakarta tersebut64. Sampai dengan tanggal 3 September 2014 seluas 58.154.230,24 hektar (47,51%) dari seluruh kawasan hutan seluas 122.404.872,67 hektar telah berhasil dilakukan penetapan kawasan hutan. Penetapan sebelum percepatan penetapan kawasan hutan sampai dengan tahun 2009 seluas 13.819.510,12 hektar atau sebesar 11,29%, sehingga seluruh 63 Kasmita Widodo, “Hutan Adat dalam Tumpukan Penguasaan Hutan”, http://www. mongabay.co.id/2014/01/09/hutan-adat-dalam-tumpukan-penguasaan-hutan/, diakses 9 Agustus 2014 64 ibid 54 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan penetapan kawasan hutan (sebelum dan setelah percepatan) sampai dengan Agustus 2014 seluas 71.973.740,36 hektar atau sebesar 58,80% hektar atau sebesar 56,99%.65 Pengukuhan itu merupakan pelaksanaan dari Permenhut Nomor P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Peraturan ini mengakomodasi keberadaan bukti tertulis dan bukti tidak tertulis sebagai dasar hak masyarakat dalam proses pengukuhan kawasan hutan. Di samping itu, peraturan ini juga mengakomodasi batas virtual sebagai batas kawasan hutan untuk lokasi tertentu yang tidak dapat dilakukan tata batas fisik. Permenhut ini idealnya sejalan dengan putusan MK, karena hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis, sehingga dengan diakomodasinya bukti tidak tertulis, maka hak masyarakat yang berasal dari hak adat dapat diakui. Akan tetapi terdapat perubahan pada tahun 2013. Terbit Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor SE.1/MenhutII/2013. Pada intinya surat edaran itu bertujuan untuk memberikan informasi kepada seluruh Gubernur, Bupati dan Kepala Dinas yang mengurus persoalan kehutanan di daerah. Di dalam surat edaran ini terdapat kesalahan tafsir atas putusan MK, karena dalam putusan MK dinyatakan bahwa hutan adat merupakan bagian dari hutan hak, tetapi dalam angka II.1.c surat edaran ini disebutkan bahwa hutan berdasar statusnya ada tiga, yaitu hutan negara, hutan adat, dan hutan adat. Kejanggalan itu dilanjutkan dengan Permenhut Nomor P.62/Menhut-II/2013 yang merupakan perubahan terhadap Permenhut Nomor P.44/Menhut-II/2012. Pasal 24A ayat (3) Permenhut mengatur bahwa: “Dalam hal sebagian atau seluruh wilayah masyarakat hukum adat berada dalam kawasan hutan, dikeluarkan dari kawasan hutan.” Ketentuan permenhut ini tidak sejalan dengan putusan MK, karena yang dimaksud dalam putusan MK adalah hutan adat dikeluarkan dari hutan negara, bukan berarti dikeluarkan dari kawasan hutan. Salah satu pengabaian tampak dalam Pasal 17 berupa Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Penetapan Kawasan Hutan, Menuju Kawasan Hutan Indonesia yang Mantap, Jakarta, September 2014 65 Hasil Penelitian dan Pembahasan 55 pengingkaran masyarakat adat sebagai subjek hukum dengan tidak memasukkannya ke dalam kategori pihak ketiga. Padahal legalitas masyarakat adat sebagai subjek hukum atas hutan adat telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya untuk Putusan MK 35. Singkatnya, Permenhut 62/2013 tersebut menguatkan kembali Kemenhut yang melakukan belitan dan jerat teknis yang sulit dilaksanakan oleh masyarakat dan para pihak untuk terjadinya pengakuan hak-hak pihak ketiga dalam hal ini hutan adat dalam pengukuhan kawasan hutan66. Peraturan itu juga menyatakan bahwa pihak ketiga yang mengklaim hak harus menunjukan bukti keberadaan permukiman, fasilitas umum, dan fasilitas sosial yang sudah ada sebelum penunjukan kawasan hutan maupun sesudah penunjukan kawasan hutan. Ketiga syarat penguasaan fisik ini tentunya sulit dipenuhi oleh masyarakat adat67 apalagi mereka yang terusir dari wilayah adatnya serta mengalami kriminalisasi. Atas keluarnya Permenhut P.62 tersebut, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sebagai salah satu pihak yang mengajukan judical review ke MK melakukan penolakan pada tanggal 21 Januari 2014. AMAN menuntut agar peraturan menteri tersebut dicabut sebab (1) mengingkari status masyarakat adat sebagai subjek hukum; (2) mengabaikan putusan MK 45/2011 yang mengkoreksi aturan tentang Pengukuhan Kawasan Hutan dalam UU Kehutanan; (3) membatasi bukti klaim atas Hak Masyarat Adat; (4) memberlakukan syarat berganda pengakuan Hutan Adat; (5) melestarikan cara pandang yang salah mengenai Kawasan dan Hutan Negara dengan mempersamakan keduanya; (6) berpotensi pada semakin menguatnya ego sektor Kehutanan dalam penyusunan Legislasi Daerah. 66 Bernadinus Steni dan Yance Arizona, Analisa Hukum atas Permenhut No 62 Tahun 2013, Desember 2013. Tidak diterbitkan, hlm 5. 67 Rilis Pers: Permenhut P.62 Melanggar Putusan MK35, http://www.aman.or.id/2014/01/22/ rilis-pers-permenhut-p-62-melanggar-putusan-mk35/#.U_VlyqNiTFw, diakses 21 Agustus 2014 56 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan ii. National Inquiry oleh Komnas HAM dan Inistiatif Organisasi Masyarakat Pihak yang memberikan respon langsung dengan adanya putusan Nomor 35/PUU-X/2012 adalah Komnas HAM dan beberapa organisasi masyarakat sipil. Lembaga negara ini langsung mengadakan National Inqury yang dilakukan karena selama ini pemerintah dianggap telah melakukan banyak kesalahan dan kekerasan yang telah mencerabut hak masyakat adat atas wilayahnya, sehingga pemerintah harus memberikan hak restitusi. National Inquiry adalah salah satu bentuk penyelidikan terhadap permasalahan tertentu yang memberi dampak pada nasib masyarakat luas yang diduga akarnya dari satu bidang yang sifatnya nasional. Berbeda dengan penyelidikan umum, inkuiri nasional adalah melibatkan partisipasi masyarakat dan juga pemberian pendidikan kepada masyarakat serta aparat pemerintah mengenai hak-hak masyarakat adat.68 Kegiatan ini dimaksudkan untuk melakukan penyelidikan atas satu masalah terkait dengan HAM yang dilakukan secara sistematis dan bersifat terbuka. Dapat dikatakan ia merupakan gabungan antara penyelidikan, kajian, kampanye, dan rekomendasi kebijakan. National Inquiry memiliki metode penelitian dengan mengumpulkan data yang dilakukan oleh 9 organisasi masyarakat sipil seperti Sajogyo Institute, HuMa, AMAN, The Samdhana Institute, Elsam, Kemitraan, JKPP, Epistema Institute, dan Komnas Perempuan, selain Komnas HAM sendiri. Verifikasi data dilakukan dalam stakeholder meeting dan pertemuan dengan tim lokal untuk mempersiapkan persiapan Dengar Kesaksian (Public Hearing) di tujuh wilayah. Masyarakat adat sebagai korban yang mendapatkan pelanggaran yang terindikasi pelanggaran berat atas Hak Asasi Manusia dihadirkan secara convidential untuk memberikan kesaksiannya. Dalam proses Dengar Kesaksian disajikan Wawancara dengan Sandra Moniaga (Komisioner Komnas HAM), Jakarta, 8 September 68 2014 Hasil Penelitian dan Pembahasan 57 minimal 6 kasus konflik masyarakat adat di kawasan hutan dan mendengarkan kesaksian sekurang-kurangnya 12 korban dari anggota masyarakat adat. Hasil dari Inkuiri National akan disusun dalam format laporan lengkap yang menyajikan kesaksian korban dan pemeriksaan dari saksi-saksi. Rekomendasi dari hasil Dengar Kesaksian akan dimasukkan di dalam laporan dan digunakan untuk lobby dan upaya perubahan kebijakan. Sampai dengan saat ini proses National Inquiry masih berjalan. Di luar national inquiry, masing-masing organisasi masyarakat sipil tersebut memberikan perhatian yang mendalam terhadap pengakuan dan perlindungan hak-hak atas tanah dan kekayaan alam mayarakat hukum adat. Melalui penelitian, pendampingan, dan advokasi yang sudah mereka lakukan melalui perhatian kelembagaannya masing-masing, mereka mendorong penguatan hak mayarakat adat baik melalui pemetaan, hukum, dan analisa sosial-ekonomi-politik, serta mempertemukan berbagai elemen kelembagaan. Jaringan kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) telah melakukan pemetaan terhadap wilayah hutan adat. Ini dilakukan mengingat ketiadaan secara aktif pemerintah (Kementerian Kehutanan) yang telah secara otoriter (istilah resmi MK) menunjuk kawasan hutan dan memasukkan hutan adat ke dalam hutan negara. Jika pasal mengenai hal itu sudah dibatalkan oleh MK, maka logikanya adalah Kementerian Kehutanan lah yang harus secara aktif mengkoreksi kesalahannya dengan menetapkan dan mengeluarkan kawasan hutan adat yang telah diapropriasi tersebut. Namun, dalam kenyataannya tidaklah demikian. JKPP sampai dengan Desember 2013 telah menguji coba memetakan secara partisipatif wilayah adat yang diambil secara sepihak oleh kementerian Kehutanan. Dari data yang sudah dikumpulkannya, 5.263.058,28 hektar luas wilayah hasil pemetaan partisipatif terdapat wilayah adat sekitar 4.973.711,79 hektar. Jika data peta wilayah adat tersebut ditumpang susun dengan data peta Kawasan Hutan, maka 58 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan ada sekitar 81% atau sekitar 4.050.231,18 hektar kawasan hutan berada di wilayah adat. Hanya tersisa 19% masyarakat adat yang hidup dan mengelola wilayah adatnya. Inipun oleh oleh Kementerian Kehutanan dikategorikan sebagai Areal Penggunaan lain. Di kedua wilayah itu dikeluarkan ijin untuk pemanfaatan hasil kayu, pertambangan, perkebunan sawit, dll.69 Kasmita Widodo, log.cit. 69 Hasil Penelitian dan Pembahasan 59 Gambar 1. Luas Kawasan Hutan dan APL di Wilayah Adat (JKPP 2013) 60 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan Akan tetapi, ironisnya, di tengah tidak aktifnya koreksi terhadap penunjukan kawasan hutan itu terjadi, tumpangtindih perizinan dan penguasaan sehingga memerlukan kebijakan one map policy, serta persyaratan ketat baik secara fisik dan yuridis untuk membuktikan klaim masyarakat adat; munculnya inisiatif masyarakat sipil dalam membantu proses penguatan klaim yang salah satunya adalah melalui peta tidak kunjung pula diakui. Banyak kritik telah muncul yang melihat kondisi negara yang tidak aktif bertindak, namun ketika ada inisiatif masyarakat yang aktif melakukannya, tetap saja negara tidak mengakui. Data pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh JKPP yang sudah diregistrasi sebagai wilayah adat (Badan Registrasi Wilayah Adat/BRWA) sampai dengan tahun 2013 adalah seluas 2,4 juta hektar. Data ini telah diserahkan kepada Kepala UKP4 dan Kepala BIG. Tahapan dan tujuan pemetaan partisipatif yang mereka rumuskan adalah: Pemetaan partisipatif untuk 1) penyelesaian konflik, 2) perencanaan wilayah adat. Hasil pemetaan dimasukkan dalam registrasi wilayah adat di BRWA untuk mendapatkan rekognisi. Akan tetapi peta-peta partisipatif wilayah adat yang dihasilkan JKPP belum dapat masuk sistem pemetaan resmi pemerintah. Perpres No.85/2007 mengenai Jaringan Data Spasial Nasional (JDSN) merupakan rujukan utama dalam membuat Standar Operasional dan Prosedur (SOP) Pemetaan Partisipatif yang dibuat oleh BIG. Dalam perpres ini tidak memungkinkan peta wilayah adat menjadi bagian dalam JDSN, karena pembuat peta atau wali data tidak menjadi bagian dari Simpul Jaringan (Pasal 4-5 Perpres 85/2007). Padahal mandat UU Informasi Geospasial No.4/2011 Pasal 23 angka 1, masyarakat mempunyai hak membuat informasi geospasial tematik yang dapat menjadi bagian dalam JDSN untuk dijadikan referensi mengurus hutan Indonesia70. Sudah saatnya negara mengakui dan mengakomodir inisiatif dari ibid 70 Hasil Penelitian dan Pembahasan 61 masyarakat sipil yang justru memudahkan kerja pemerintah itu sendiri. B. Mekanisme dan Prosedur Pendaftaran Hak Penguasaan atas Tanah pada Kawasan Hutan Adat 1. Urgensi Pendaftaran Hak Penguasaan atas Tanah Catatan tentang pemilikan/penguasaan dan penggunaan tanah yang dihasilkan melalui kegiatan pendaftaran tanah pada hakekatnya hanya merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan tertentu bagi kehidupan, yaitu merupakan sarana atau alat bagi administrasi tanah yang baik. Fungsi pendaftaran tanah dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) kelompok utama yaitu untuk kepentingan publik dan untuk kepentingan privat. Pertama, pendaftaran tanah bermanfaat bagi kepentingan publik/umum, maksudnya ada hubungannya dengan kesejahteraan negara dan atau masyarakat. Pemerintah perlu menginventarisasi sumber kekayaan tanah untuk tujuan seperti pajak, menjamin perkembangan tanah yang tepat, dan lain-lainnya. Misalnya untuk keperluan pajak di Prancis dikenal “cadastre” yaitu catatan umum tentang jumlah, nilai dan pemilikan harta kekayaan yang tak bergerak, dikumpulkan untuk dasar perpajakan. Sedangkan di Indonesia untuk tujuan ini, dilakukan pencatatan tanah oleh Ditjen Pajak Bumi dan Bangunan, Departemen Keuangan. Kedua, pendaftaran tanah dapat berfungsi bagi kepentingan privat/ warga negara perseorangan/individu (termasuk kelompok) atau badan hukum dalam rangka untuk menjamin hak-hak pemilikan/penguasaan tanah sehingga memungkinkan untuk dilakukan transaksi dengan aman, murah, dan cepat. Demikian halnya di Indonesia (fokus dalam penelitian ini), pendaftaran tanah merupakan rangkaian kegiatan administratif yang dilakukan oleh badan pemerintah sampai menerbitkan tanda bukti haknya dan memelihara rekamannya, merupakan perwujudan dalam penetapan/ pengakuan status hukum tanah yang dimiliki/dikuasai perorangan atau badan hukum. Sehingga badan yang memberikan/pengakuan hak atas tanah hanya ada satu (monopoly function) yaitu Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN. Sekalipun dijumpai ada badan yang melakukan pendaftaran tanah seperti kantor pajak, namun kantor pajak tidak dapat memberikan hak atas kepemilikannya, berupa sertipikat hak atas tanah. 62 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan Berdasarkan pengertiannya, pendaftaran tanah merupakan satuan sistem administrasi pertanahan yang mencakup keterpaduan awal sampai pada perekaman informasi yang up to date data tanah dan hak-hak tanah yang didaftarkan hingga pada pengawasannya. Untuk itu, dalam pendaftaran tanah yang baik harus dilakukan pekerjaan antara kegiatan teknis, kerangka kerja dan kelembagaan yang aspeknya tidak hanya menyangkut pengaturan secara mekanik, survei, dan rekaman dari bagianbagian tanah tersebut tetapi juga hukum, financial, administrasi, aspek sosial, dan issue politiknya yang dirangkai atau dipadukan dalam kegiatan manajemen pertanahan. Dalam Pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria (UU Nomor 5 Tahun 1960) telah ditetapkan bahwa tanah-tanah yang ada di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus didaftarkan dalam rangka untuk menjamin kepastian hukum atas tanah71. Hak-hak atas tanah72 yakni hak-hak individual yang dalam Pasal 4 Ayat (1) UUPA dijelaskan sebagai hak yang dimiliki atau diberikan kepada orang (atau orang-orang) dan badan hukum dan memberikan wewenang untuk menggunakan bagian permukaan bumi yang disebut tanah kepada pemegang haknya. Pendaftaran hak atas tanah yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha serta Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, 32, dan 38 UUPA, merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai perolehan (adanya), peralihan, pembebanan serta hapusnya hak yang bersangkutan73. Konflik kepentingan masyarakat di atas sebidang tanah hanya bisa diselesaikan dengan baik apabila kebijakan pembangunan di atas tanah 71 Pasal 19 ayat (1), menentukan bahwa: “Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuanketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah” 72 Menurut Pasal 16 UUPA, hak-hak atas tanah ini terdiri dari: a) Hak Milik; b) Hak Guna Usaha; c) Hak Guna Bangunan; d) Hak Pakai; e) Hak Sewa; f ) Hak Membuka Tanah; g) Hak Memungut Hasil Hutan; dan h) Hak-hak lain yang akan ditetapkan dengan UU dan hakhak sementara. Hak-hak lain tersebut seperti: Wakaf atas Tanah (UU Nomor 41 Tahun 2004), Hak Milik Satuan Rumah Susun (UU Nomor 20 Tahun 2011, Hak Tanggungan (UU Nomor 4 Tahun 1996). Disamping hak atas tanah, dalam Pasal 16 ayat (2) UUPA juga diatur hak-hak atas air dan ruang angkasa yaitu: a) hak guna air, b) hak pemeliharaan dan penangkapan ikan, dan c) hak guna ruang angkasa. 73 Perolehan hak atas tanah dapat melalui konversi hak-hak lama atau pemberian hak (baru) atas tanah negara. Peralihan hak atas tanah dapat berupa jual beli, tukar menukar, waris, hibah dan sebagainya. Pembebanan hak atas tanah seperti Hak Tanggungan atau Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas Hak Milik. Hapusnya hak atas tanah berarti tanah kembali menjadi tanah negara. Hasil Penelitian dan Pembahasan 63 itu dirasakan menguntungkan semua pihak. Berbagai konflik kepentingan mengindikasi adanya ketidakpastian hubungan penguasaan antara manusia dengan tanah, sedangkan kepastian itu merupakan hal yang mendasar untuk mengembangkan kehidupan dan penghidupan. Hak atas tanah merupakan hak dasar bagi setiap warga negara yang dijamin konstitusi oleh karena itu kepastian hukum kepemilikan atas tanah merupakan salah satu kebutuhan yang hakiki. Kepastian hakiki terwujud apabila tidak ada lagi keraguan dan kekhawatiran mengenai kepemilikan tanahnya yang sudah terdaftar, baik keyakinan dari dirinya sendiri maupun pengakuan dari pihak lain.74 Demikian pula halnya terhadap Hak Ulayat sebagaimana telah di bahas di atas, maka sesuai dengan Surat Edaran Kepala BPN RI kepada Kakanwil dan Kakantah di seluruh Indonesia Tanggal 4 April 2014 Nomor 3/SE/IV/2014 tentang Penetapan Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan Tanah Ulayat, terhadap tanah ulayat yang sudah ditetapkan dengan Peraturan Daerah ditindaklanjuti dengan pencatatan pada peta dasar pendaftaran dengan membubuhkan suatu tanda kartografi, dan menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah. Berdasarkan ketentuan tersebut, terhadap tanah ulayat tidak dilakukan pencatatan dalam buku tanah yang dilanjutkan dengan penerbitan sertipikatnya. Hal ini dapat dimaknai bahwa tujuan pendaftaran/ pencatatan tanah ulayat dimaksud bukan untuk tujuan kepastian hukum, karena tidak sampai pada penerbitan alat bukti kepemilikan (sertipikat), tetapi ditujukan untuk tertib administrasi dan tersedianya data informasi sebagaimana tujuan pendaftaran tanah (lihat Pasal 3 PP Nomor 24 Tahun 1997). Adapun penjelasannya sebagai ulasan berikut ini. Dilaksanakannya pendaftaran hak atas tanah dengan tujuan kepastian hukum, maknanya untuk memberikan kepastian yang menyangkut 3 (tiga) hal yaitu status tanah, subyek hak dan obyeknya: 1) Kepastian status hukum berupa hak pada tanah tersebut sesuai dengan jenis hak yang dimohon. Bila seseorang memohon HM, HGU atau HGB, maka dengan pendaftaran tanah munculah status hukum atas tanah itu menjadi Muchthar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Republika, Jakarta, 2008, hal. 3 74 64 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan HM, HGB atau HGU atas nama pemohon yang disetujui. Dengan didaftarkannya tanah seseorang baru ada/lahir HM atas tanah, HGU atas tanah, HGB atas tanah dan hak-hak lainnya. Sebaliknya, jika tidak dilakukan pendaftaraan maka tidak/belum ada HM, HGU, HGB atau Hak Pakai dan lainnya. Dengan dilakukannya pendaftaran tanah, akan terlindunglah hak pemilik. Hak itu digunakan pemiliknya sebatas isi dan sifat dari status tanah itu oleh pemilik hak. Pemilik hak yang terdaftar akan dapat menggunakan dan memanfaatkan tanah tersebut untuk kepentingan apa saja di atas tanah tersebut, untuk digunakan sebatas hak miliknya itu, asal tidak dilarang oleh aturan atau ketentuan lainnya. Misalnya, bila status tanah itu adalah Hak Guna Usaha maka pemegang Hak Guna Usaha akan dapat mengunakan hak tersebut sebagai mana peruntukan dari hak dimaksud sesuai dengan yang ditetapkan oleh undang-undang yaitu untuk pertanian, perikanan dan peternakan (lihat Pasal 28 ayat (1) UUPA). Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun (lihat Pasal 35 ayat (1) UUPA). Oleh karena dalam hukum positif kita tanah ulayat belum jelas statusnya apakah termasuk hak atas tanah (sebagimana pasal 16 UUPA), hak pengelolaan atau semacam Hak Menguasai Negara yang dilimpahkan pada masyarakat hukum tertentu? Artinya memang keberadaan tanah ulayat sudah diakui, hanya saja isi dan sifat dari tanah ulayat itu belum ada pengaturannya, sehingga tidak ada alas an untuk menerbitkan sertipikatnya. Demikian halnya dengan tanah ulayat, jika didaftarkan pada buku tanah dan sampai diterbitkan sertipikatnya berarti akan muncul/lahir haknya. Dalam pendaftaran ini akan muncul permasalahan apa status haknya: Hak Ulayat? Sampai saat ini lembaga hak ulayat belum ada pengaturannya, sehingga pencatatan pada peta dasar pendaftaran sebagaimana surat edaran di atas hanya dengan membubuhkan tanda/simbol kartografi tertentu saja menurut peneliti sudah tepat. Tanah (hak) ulayat beraspek publik dan perdata. Aspek publik tersebut mengandung tugas kewajiban mengelola, mengatur dan Hasil Penelitian dan Pembahasan 65 memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaan tanah ulayat oleh Kepala Adat. Sedangkan aspek perdatanya mengandung arti bahwa tanah ulayat merupakan hak kepunyaan bersama masyarakat hukum adat. Secara teoritis, hak kepemilikan berbeda dengan hak menguasai. Pemegang hak milik atas suatu benda pastilah pemilik dari benda tersebut sedangkan pemegang hak menguasai belum tentu pemilik dari benda itu. Bila dikaitkan dengan hak ulayat, maka hak ulayat termasuk ke dalam kategori hak menguasai. Karena hak ulayat merupakan kepunyaan bersama masyarakat hukum adat di mana penguasaannya dipimpin oleh Penguasa Adat. Walaupun berdasarkan UUD 1945 dan putusan MK 35 mengakui hak penguasaan masyarakat adat atas hutan adatnya, sehingga masyarakat adat memiliki wewenang untuk mengatur peruntukan, fungsi dan pemanfaatan tanah ulayat dan hutan adat yang ada wilayahnya, namun belum jelas siapa subyek (pemegang hak) pada saat pendaftaran (pencatatan dalam daftar-daftar umum). Nama-nama pemegang hak dapat beberapa kemungkinan, yaitu: a) Dalam hal pemegang haknya dimaknai sebagai pemilikan individu (kelompok bersama masyarakat hukum adat), maka pendaftaran hak ulayat akan beresiko hanya mencatat nama-nama penduduk (yang mempunyai bukti identitas kependudukan) dalam kelompok masyarakat hukum adat tersebut, belum lagi kesulitan dalam pencatatan berapa porsi bagian dari masing-masing orang (atau keluarga), sebagaimana teknis administrasi pertelaan dalam pendaftaran pada Hak Milik atas Satuan Rumah Susun. Sedangkan penduduk yang belum mempunyai bukti identitas, misalnya masih belum dewasa, bahkan bagi generasi yang akan datang baru akan (ikut) diakui sebagai subyek hak jika dilakukan pendaftaran peralihan (balik nama) karena pewarisan. Disini akan menemui kesulitan dalam pendaftaran peralihan hak karena dinamika pewarisan dalam masyarakat terus akan terjadi setiap saat. b) Begitu juga atas tanah yang semula sudah ada hak atasnya, bila terjadi pendaftaran balik nama tentu pula diberikan status kepemilikan baru bagi yang memohon untuk balik namanya 66 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan berdasarkan bukti adanya perbuatan hukum di atas hak itu. Perbuatan hukum dimaksud adalah perbuatan pengalihan dari orang pertama yang telah mendaftarkan hak itu kepada orang kedua (pihak lain) yang menerima hak atas tanah yang disebut dengan pemindahan hak. Menurut ketentuan undangundang, pemindahan hak ini dapat dilakukan dengan jual beli, tukar-menukar, hibah, waris, lelang, merger, dan pemasukan dalam perusahaan (lihat Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997). Jadi baik pendaftaran pertama maupun pendaftaran balik nama yang dilakukan di Kantor Pertanahan setempat merupakan pekerjaan administrasi Negara dalam memberikan status hukum atas tanah dimaksud. Sehingga dengan adanya pemberian status hukum ini di atas tanah yang di daftar, pemilik tanah dengan pendaftaran ini menerima status hak yang dilindungi oleh Negara sesuai jenis haknya. Dengan pendaftaran inilah, baik pendaftaran yang pertama sekali maupun pendaftaran peralihannya untuk terus menjaga terpeliharanya informasi atas kepemilikan, serta telah terjadinya peralihan dari pemilik semula kepada pemilik baru tetap terjaga data atau rekaman peristiwanya. Secara taknis administrasi, dilakukan pencatatan pada buku tanah dan surat ukurnya (lihat Pasal 29 dan 30 PP Nomor 24 Tahun 1997), nama pemilik terdahulu dicoret dengan tinta yang masih dapat dibaca, sehingga diketahui benar asal-usul tanah ini sebelumnya, sampai setelah menjadi milik pembeli terakhir atau penjual hak yang terdaftar belakangan pada buku tanah. Dengan demikian pendaftaran tanah yang berkesinambungan (continuous recording) ini juga disebut pendaftaran hak, artinya di atas tanah itu telah ada hak (baik Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan lain-lain) namun karena terjadi peralihan lalu dibuat pendaftaran peralihan tersebut atau sering disebut balik nama atau pendaftaran balik nama dari hak atas tanah. Dengan demikian jelas bahwa tujuan diadakan pendaftaran tanah oleh pemerintah adalah menjamin kepastian hukum, dengan adanya kepastian hukum maka masyarakat tidak perlu merasa cemas dan takut serta khawatir dengan Hasil Penelitian dan Pembahasan 67 adanya persoalan-persoalan yang dapat merugikan masyarakat itu sendiri. Apabila adanya persengketaan dikemudian hari dengan adanya bukti otentik maka masyarakat dapat membuktikan bahwa tanah tersebut mempunyai bukti kuat yang berbentuk tertulis sehingga dapat dipergunakan sewaktuwaktu apabila terjadi persengketaan baik itu di dalam maupun diluar pengadilan. Saat ini sudah ada contoh tanah-tanah adat (awalnya termasuk tanah ulayat), yang setelah didaftarkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN menjadi kepemilikan bersifat individual, misalnya di Sumatera Barat. Tanah Ulayat di Minangkabau dimiliki secara bersama oleh masayarakat adat yang menguasai dan pengaturan pengelolaannya diserahkan pada penghulu. Berdasarkan Perda Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2008, klasifikasi tanah ulayat terdiri atas 4 (empat) jenis tanah ulayat, yakni tanah ulayat rajo, tanah ulayat nagari, tanah ulayat suku, dan tanah ulayat kaum. – – – – 68 Tanah Ulayat Rajo, dapat didaftarkan sebagai subjek pemegang hak adalah anggota kaum dan pihak ketiga, diketahui oleh laki-laki tertua pewaris rajo, dengan status hak pakai dan hak kelola; Tanah Ulayat Nagari, dapat didaftarkan dan yang bertindak sebagai subjek pemegang hak adalah ninik mamak KAN diketahui oleh Pemerintah Nagari dengan status Hak Guna Usaha, Hak Pakai atau Hak Pengolahan; Tanah Ulayat Suku, yaitu tanah yang dipunyai secara bersama oleh seluruh anggota suku yang diwarisi secara turun temurun dalam keadaan utuh. Penguasanya adalah penghulu suku. Terhadap tanah ulayat suku dapat didaftarkan sebagai subjek pemegang hak adalah penghulu-penghulu suku dengan status hak milik. Tanah Ulayat Kaum, yaitu tanah yang dimiliki secara bersama dalam garis keturunan matrilineal yang diwarisi secara turun temurun dalam keadaan utuh yang tidak terbagi-bagi. Penguasanya adalah penghulu kaum. Tanah Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan Ulayat kaum ini sering juga disebut tanah pusako tinggi. Terhadap tanah ulayat kaum dapat didaftarkan sebagai subjek pemegang hak adalah anggota kaum dan mamak kepala waris dengan status hak milik. c) 2) Dari ketentuan tersebut di atas, dipahami bahwa jika tanah ulayat didaftarkan pada Kantor Pertanahan, maka statusnya diubah menjadi HGU, Hak Pakai, Hak Milik, HPL dan hak kelola. HM, HGU, Hak Pakai, dan HPL merupakan status tanah yang dikenal dalam hukum pertanahan Indonesia, sedangkan “hak kelola” merupakan istilah baru yang tidak lazim dalam hukum positif pertanahan Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, maka dalam mekanisme pendaftaran tanah ulayat yang diatur oleh Perda Nomor 6 Tahun 2008 berimplikasi terhadap berubahnya status hukum tanah ulayat, yang bertolak belakang dengan asas utama tanah ulayat. Jika pemegang haknya bukan orang, tetapi lembaga (organisasi) berarti harus ada penunjukan dari pemerintah, seperti halnya badan hukum pada umumnya. Contohnya badan hukum perdata, atau badan keagamaan, misalnya terhadap tanah masyarakat adat Bali yang digunakan untuk tempat sembahyang (pura) maka subyek haknya adalah lembaga “ Pura” itu sendiri, misalnya Pura Besakih, dan lainnya. Kepastian obyek tanah ulayat Kepastian tentang tanah atau obyek haknya, berkaitan dengan kepastian dimana letak tanah, berapa luasnya dan bagaimana batasbatasnya. Kiranya mudah dipahami, bahwa orang menginginkan kepastian juga mengenai hal-hal tersebut, karena tidak adanya kepastian tanahnya itu akan mudah menimbulkan sengketa di dalam pemanfaatan dan penggunaan atas bidang tanah tersebut. Untuk itulah diperlukan adanya kegiatan teknis yaitu pengukuran dan pemetaan setelah dilakukan penetapan batas-batas bidang tanah (tanah ulayat). Dengan demikian, perlu adanya tindak lanjut putusan MK 35 tersebut yang diwujudkan melalui undang-undang, penguatan Hasil Penelitian dan Pembahasan 69 organisasi dan struktur kelembagaan masyarakat hukum adatnya. Agar dapat dilakukan pendaftaran tanah, perlu ada Peraturan Daerah tentang Penetapan Masyarakat Hukum Adat dan Tanah Ulayat, yang merupakan kewenangan darti Pemda setempat, yang didasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh pakar hukum adat, masyarakat adat yang bersangkutan, lembaga swadaya masyarakat, dan instansi yang terkait. Dalam draf RUU Pertanahan, BPN mengusulkan agar ketentuan mengenai tanah ulayat/hak ulayat masyarakat hukum adat diatur secara lebih rinci, khususnya mengenai syarat, serta hak dan kewajiban yang berkaitan dengan tanah ulayat/masyarakat hukum adat. 2. Pelaksanaan Pendaftaran Hak Penguasaan atas Tanah di Kawasan Hutan Adat Pendaftaran tanah (hak atas tanah), bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan, yang merupakan amanat Pasal 19 yang obyeknya berupa HM, HGU dan HGB (lihat Pasal 23, 32, dan 38 UUPA). Pendaftaran tanah pada hakikatnya bertujuan untuk memberikan kepastian hak kepada pemilik tanah terdaftar agar dengan mudah membuktikan dirinya sebagai pemilik tanah. Kepada pemilik tanah diberikan sertifikat sebagai surat tanda bukti. Terbitnya sertipikat merupakan pemberi rasa aman kepada pemilik tanah akan haknya kepada tanah itu, sertifikat merupakan tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data tersebut sesuai dengan data yang terdapat dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.75 Disadari bahwa tujuan pendaftaran tanah selain untuk menjamin kepastian hukum tersebut, juga dapat sekaligus untuk menyediakan data/ informasi pertanahan (lihat Pasal 3 PP Nomor 24 Tahun 1997). Dengan demikian, obyek pendaftaran76 yang dimaksud Pasal 19 serta Pasal 23, 32, Adrian Sutedi, 2011, Sertifikat Hak Atas Tanah, Sinar Grafika , Jakarta, hlm 176 Menurut Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dinyatakan bahwa: 75 76 70 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan dan 38 UUPA baru sebagian hak atas tanah yaitu permukaan bumi baik terhadap tanah yang sudah ada haknya (hak lama) maupun terhadap tanah yang belum ada haknya (tanah negara), dan pendaftaran (dalam daftar tanah) terhadap tanah negara bertujuan untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah serta untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Dari ketentuan Pasal 9 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997, tanah ulayat tidak termasuk ke dalam obyek pendaftaran tanah. Terhadap tidak dimasukkannya tanah ulayat sebagai obyek pendaftaran tanah, Boedi Harsono berpendapat bahwa hak ulayat tidak akan didaftar. UUPA tidak memerintahkan pendaftarannya, dan dalam PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, hak ulayat secara sadar tidak dimasukkan dalam obyek pendaftaran tanah. Secara teknis tidak mungkin, karena batas-batas tanahnya tidak mungkin dipastikan tanpa menimbulkan sengketa antar masyarakat hukum yang berbatasan. Ringkasnya, terhadap hak penguasaan atas tanah (hak ulayat) di kawasan hutan adat belum diamanatkan untuk dilakukan pendaftarannya sebagaimana UUPA, padahal eksistensi hak ulayat tersebut diakui oleh peraturan perudang-undangan. Di atas sudah dijelaskan bahwa hak penguasaan atas tanah di kawasan hutan adat merupakan hubungan hukum antara masyarakat adat dengan tanah ulayatnya melahirkan hak ulayat. Hak ulayat ini merupakan hak kolektif yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat dan juga harus diakui dan dilindungi oleh Negara. Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan Tanah Ulayat (hak penguasaan atas tanah di kawasan hutan adat) di Indonesia diakui secara tegas dalam konstitusi Negara. Pasal 18B ayat 2 UUU 1945 menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Eksistensi tersebut lebih dipertegas lagi dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/ PUU-X/2012, yang menetapkan bahwa masyarakat hukum adat selain (1) Obyek pendaftaran tanah meliputi: a. bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai; b. tanah hak pengelolaan; c. tanah wakaf; d. hak milik atas satuan rumah susun; e. hak tanggungan; f. tanah Negara. (2) Dalam hal tanah Negara sebagai obyek pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah yang merupakan tanah Negara dalam daftar tanah. Hasil Penelitian dan Pembahasan 71 memegang hak atas tanah ulayat sekaligus memegang hak atas hutan adat. Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam wilayahnya.77 Bertitik tolak dari arti penting pendaftaran (hak atas tanah) sebagaimana amanat Pasal 19 UUPA yaitu mewajibkan pada pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, sudah sewajarnya terhadap hak penguasaan atas tanah (tanah ulayat) juga perlu dilakukan pengadministrasian dengan melakukan kegiatan pendaftarannya minimal pencatatan pada daftar tanah sebagaimana pendaftaran terhadap tanah negara. Menurut peneliti, pendaftaran terhadap hak penguasaan atas tanah (tanah ulayat) pada buku tanah (dan pencatatan pada surat ukur) sampai diterbitkannya sertipikat, akan mengalami terkendala dari sisi subyek (pemegang tanah ulayat) maupun dari sisi status tanahnya( isi dan kewenangannya). UUPA mengakui keberadaan hak ulayat. Hal ini menjadi dasar dikeluarkannya Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan Menteri agraria tersebut mengatur mengenai kriteria ada atau tidaknya keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat. Setelah melalui penelitian yang melibatkan stakeholders, keberadaan hak ulayat yang masih ada dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi dan apabila memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah. Dalam hal ini, tanah ulayat tersebut tidak diterbitkan sertipikat. Dalam rangka menjamin eksistensi tanah ulayat, pemetaan tanah ulayat merupakan keniscayaan. Penentuan batas-batas tanah ulayat tidak cukup hanya berdasarkan “peta ingatan” dari penguasa-penguasa adat. Perlu kejelasan siapa pemilik/penguasa tanah ulayat beserta dengan batas-batas yang melingkupinya. Ketidakjelasan tersebut, cenderung akan menjadi sumber konflik dimasa mendatang, yang sewaktu-waktu dapat menggeliat. Untuk itu, dalam waktu secepatnya perlu dilakukan pemetakan tanah ulayat sebagaimana surat edaran dari otoritas pertanahan, dengan langkah-langkah: Boedi Harsono, op cit, hlm. 185. 77 72 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan a. b. Upaya percepatan penetapan keberadaan tanah ulayat sebagaimana diatur Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999. Membukukan/mencatat tanah ulayat ke dalam daftar tanah, sebagaimana mekanisme pendaftaran tanah negara yang diatur dalam Pasal 9 ayat (2) PP No. 24 tahun 1997, dengan prosedur yang tidak rumit dan tidak memerlukan biaya besar, karena kegiatannya hanya melakukan pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah (lihat Pasal 19 ayat (2) huruf a, yang juga disebut kegiatan fisik kadaster (tanpa dilakukan pendaftaran haknya). Berdasarkan Pasal 19 UUPA78 junto PP Nomor 24 Tahun 199779, ditentukan bahwa kegiatan pendaftaran tanah meliputi kegiatan di bidang teknis geodesi dan teknis hukum serta diakhiri kegiatan pengadministrasiannya dalam daftar-daftar umum. Kegiatan teknis meliputi pekerjaan pengukuran dan pemetaan. Kegiatan di bidang hukum berupa ajudikasi dan penetapan haknya baik melalui lembaga konversi (penegasan hak atau pengakuan hak) dari tanah adat atau lembaga pemberian hak jika berasal dari tanah Negara. Berdasarkan penetapan hak tersebut, barulah kegiatan pendaftaran tanah diakhiri dengan kegiatan administrasi berupa pendaftaran haknya dalam daftar-daftar umum, termasuk penerbitan sertipikat hak atas tanahnya. Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menentukan bahwa pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. Pendaftaran Tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah. Dalam Pasal 19 ayat (2) ditentukan bahwa Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi: a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah; b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; dan c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. 79 Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, pengertian pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur yang meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. 78 Hasil Penelitian dan Pembahasan 73 Dalam melaksanakan pendaftaran tanah secara sistematik kepala kantor pertanahan dibantu oleh panitia Ajudikasi yang dibentuk oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk. Pada pendaftaran tanah pertama kali secara sistematik kegiatan pendaftaran tanah menurut Pasal 46 sampai dengan Pasal 72 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 adalah: a. Penetapan lokasi oleh Menteri atas usulan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional. b. Penyiapan peta pendaftaran berupa peta dasar yang berbentuk peta garis atau peta foto serta biaya pendaftaran dibiayai dari anggaran pemerintah swadaya. c. Pembentukan panitia ajudikasi dan satuan tugas. d. Penyuluhan. e. Pengumpulan data fisik dan Pengumpulan data yuridis. f. Pengumuman data fisik dan data yuridis. g. Penegasan konversi, pengakuan hak, dan pemberian hak. h. Pembukuan hak dan penerbitan sertifikat. i. Penyerahan hasil kerja. Sedangkan pendaftaran tanah secara sporadik menurut Pasal 73 sampai dengan Pasal 93 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut: a. b. c. d. e. f. g. Permohonan pendaftaran tanah oleh pemohon. Pengukuran. Pengumpulan dan penelitian data yuridis bidang tanah. Pengumuman data fisik dan data yuridis serta pengesahannya. Penegasan konversi pengakuan hak. Pembukuan hak. Penerbitan sertifikat. Dari uraian di atas, baik dalam pendaftaran tanah sistematik ataupun pendafataran tanah sporadis, maka terkait dengan pendaftaran tanah ulayat cukup dilakukan kegiatan teknis dan administrasinya yang tahapannya: 74 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan a. b. c. d. e. f. g. Penelitian eksistensi masyarakat hukum adat dan tanah ulayat oleh Pemerintah Daerah dengan melibatkan pakar hukum adat setempat, masyarakat hukum adat setempat, LSM serta Instansi Pertanahan dan Kehutanan; Penetapan masyarakat hukum adat dan tanah ulayat melalui Peraturan Daerah; Permohonan pengukuran ke Kantor Pertanahan; Penetapan batas-batas tanah adat (jika memungkinkan disetujui pemilik tanah yang berbatasan: Contradiktur delimitatie) Pengukuran tanah ulayat, dituangkan pada gambar ukur; Pengolahan hasil pengukuran, dan pembutan peta bidang tanah serta pemetaan pada peta dasar pendaftaran tanah; pembukuan tanah pada daftar tanah Beberapa kendala yang berasal dari masyarakat dimana hak ulayat atas tanah itu berada terutama pada anggota persekutuan yang akan mendaftarkan tanah ulayatnya diantaranya: 1. 2. Atas nama siapa tanah hak ulayat itu didaftarkan, Batas tanah, sebab sebelum tanah hak ulayat itu didaftarkan perlu diketahui secara pasti dengan tanah siapa saja tanah hak ulayat yang didaftarkan itu berbatas. 3. Model Perlindungan dan Pengakuan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat a. Naskah dalam seri “Akses terhadap Keadilan” Naskah yang dihasilan van Vollenhoven Institute, Universitas Leiden dan BAPPENAS tahun 2010 itu telah menghasilkan rekomendasi kebijakan mengenai pengakuan hukum terhadap hak-hak komunal. Dalam naskah tersebut, Myrna Safitri mengusulkan berbagai model legalisasi hak-hak masyarakat80. Di antara berbagai pilihan yang bisa dilakukan untuk mengakui hak atas tanah masyarakat hukum adat adalah: Lihat, Myrna Savitri, op.cit., hlm 20-28 80 Hasil Penelitian dan Pembahasan 75 i) Sertifikat Hak Individual dan Kolektif atas Tanah Hak atas tanah yang dikenal dalam Pasal 16 UUPA dapat diberikan atas tanah adat dengan asumsi bahwa hak-hak masyarakat baik yang tergolong sebagai masyarakat hukum adat atau bukan dapat diakui setelah disesuaikan dengan hak-hak atas tanah yang diakui oleh UUPA. Sertifikat dapat berupa perorangan maupun kolektif dan komunal seperti yang dicontohkannya dalambanyak kasus di Sumatera Barat. Di sini problemnya adalah soal representasi dalam pencantuman nama sertifikat. ii) Hak Pengelolaan bagi Masyarakat Hukum Adat Hak Menguasai Negara (HMN) dapat dilimpahkan kepada pemerintah daerah dan masyarakat hukum adat. Ini sesuai dengan tugas pembantuan (medebewind). Hak Pengelolaan (HPL) sebagai hak publik adalah pengejawentahan dari HMN tersebut. Karena ia bukan hak privat melainkan hak publik maka masyarakat hukum adat tidak akan dapat mengalihkan hak pengelolaannya ini kepada pihak lain. Persoalannya adalah dengan HPL maka masyarakat hukum adat menerimanya sebagai tanah negara yang diberikan haknya kepada mereka. iii) Pengakuan atas Hak Ulayat sesuai dengan PMA/KBPN No. 5/1999 Pengakuan ini memerlukan pengakuan terhadap hak ulayat yang diberikan melalui Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten setelah melalui sejumlah tahapan penelitian. Hasil penelitian itu untuk menilai apakah hak yang diakui oleh masyarakat itu telah memenuhi kriteria hak ulayat yang ditetapkan oleh PMA/KBPN No. 5/1999. Peraturan menteri ini memiliki beberapa kelemahan dalam hal batas yang tanah ulayat yang diakui: bukan tanah ulayat yang telah dikuasai orang/badan hukum dengan hak atas tanah dalam UUPA; dan bukan pada bidang tanah yang telah dibebaskan. 76 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan iv) Pengakuan terhadap wilayah adat dengan menggunakan UU No. 26/2007 Pengakuan dapat dilakukan melalui dua cara, yakni pengakuan wilayah adat sebagai wilayah dengan nilai strategis, dan pengakuan wilayah adat sebagai wilayah perdesaan. Undang-undang ini dinilai memiliki kelebihan yakni mengatur ruang dalam arti lebih umum, sehingga berlaku atas kawasan hutan dan bukan kawasan hutan. Akan tetapi kendalanya adalah terpisahnya antara ruang/wilayah dengan hak atas tanah, sehingga meski ada penetapan wilayah strategis/ perdesaan yang memberi perlindungan pada masyarakat hukum adat, tidak dengan sendirinya terdapat kejelasan hak atas tanah pada mereka. b. Peraturan Bersama 4 Kementerian/Lembaga Negara, 2014 Pada penghujung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tertanggal 17 Oktober 2014 keluar Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, dan Kepala BPN RI, Nomor 79 Tahun 2014, Nomor PB.3/ Menhut-11/2014, Nomor 17/PRT/M/2014, Nomor 8/SKB/X/2014, tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada dalam Kawasan Hutan. Peraturan Bersama ini merupakan salah satu upaya mngakhiri dualisme administrasi pertanahan di Indonesia. Peraturan bersama ini merupakan kesempatan baru terhadap pengakuan dan pendaftaran penguasaan dan pemilikan tanah oleh masyarakat (perorangan maupun masyarakat hukum adat) di dalam kawasan hutan. Kebijakan ini merupakan langkah maju sebab memungkinkan pendaftaran hak atas tanah (privat dan adat) di wilayah kehutanan yang semula dipahami bahwa kawasan hutan merupakan hutan negara. Pemohon yang dapat mengajukan hak atas tanah di dalam kawasan hutan adalah “orang perorangan, pemerintah, badan sosial/keagamaan, masyarakat hukum adat yang memiliki bukti hak atas tanah datau bukti penguasaan atas tanah” (Pasal 1, poin 7). Masyarakat hukum adat secara tegas diakui sebagai subyek hukum yang legal. Pemerintah dalam melakukan penerbitan hak atas tanah berlaku prinsip sebagaimana tanah non-kawasan hutan, yakni pemberian hak (Pasal 1 poin 11) dan pengakuan Hasil Penelitian dan Pembahasan 77 hak (pasal 1 poin 12); ditambah dengan penegasan hak sebagaimana yang telah disebutkan dalam Pasal 60 ayat (2) Permenag Nomor 3 Tahun 1997. Peraturan Bersama ini menempatkan Kepala BPN sebagai Ketua Tim Identifikasi Penguasaan Pemilikan, Penggunaan, dan pemanfaatan Tanah (IP4T) di dalam kawasan hutan, yang beranggotakan unsur dinas kabupaten/kota, unsur balai pemantapan kawasan hutan, unsur dinas/ badan kabupaten/kota yang menangani urusan di bidang tata ruang, camat dan lurah setempat atau dengan sebutan lain (Pasal 2 ayat [2]). Dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa tugas utama Tim IP4T adalah untuk menghasilkan analisis berupa rekomendasi yang melampirkan peta P4T Non-kadastral dan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (SP2FBT). Hasil analisa tersebut diserahkan kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota untuk diproses lebih lanjut. Kebijakan ini akan menghasilkan perubahan kawasan hutan. Atas hasil analisis di atas, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota tidak langsung menerbitkan sertipikat namun menyerahkan hasil analisa itu kepada Kementerian Kehutanan cq. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan (Pasal 11). Lalu Direktur Jenderal Planologi Kehutanan melakukan kajian terhadap hasil analisis tersebut dan melaksanakan tata batas kawasan hutan di lapangan dalam waktu paling lama 14 hari jam kerja (Pasal 12). Dari hasil tata batas tersebut terbit Surat Keputusan Perubahan Batas Kawasan Hutan sebagai dasar penerbitan sertipikat hak atas tanah (Pasal 13 ayat [1]) yang dikeluarkan oleh BPN RI. Hasil perubahan kawasan tersebut diintegrasikan dalam rencana tata ruang wilayah (Bab V). 78 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan Hasil Penelitian dan Pembahasan 79 Gambar 2. Alur penyelesaian penguasaan tanah yang berada di dalam kawasan hutan menurut Peraturan Bersama Empat Kementerian/Badan, tertanggal 17 Oktober 2014 Terdapat titik krusial yang tidak dijelaskan dalam Peraturan ini mengenai sejauh mana Direktur Jenderal Planologi Kehutanan mempertimbangkan dan menerima hasil analisis yang diserahkan oleh Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sehingga mau mengeluarkan bidang/wilayah yang dimohonkan hak atas tanahnya dari kawasan kehutanan. Selain hal itu, Peraturan Bersama ini masih menyisakan pertanyaan mengenai pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat yang sebagaimana Permenag No. 5/1999 harus melalui adanya peraturan daerah; dan persoalan mengenai konstruksi kepemilikan kolektif dan komunal selain kepemilikan privat. Beberapa kendala lain yang dapat dicatat adalah81, pertama belum jelasnya tugas dan fungsi antar keanggotaan IP4T yang beragam. Kedua, belum jelasnya objek reforma agraria di dalam kawasan hutan, dimungkinkannya kawasan Hutan Produksi Konversi (HKP) sebagai objek, ataukah hanya di atas lahan-lahan izin yang diterlantarkan. Ketiga, mengenai belum diaturnya adanya keberatan dari pemohon yang tidak menerima hasil rekomendasi dari Tim IP4T. Keempat, adalah hal yang paling krusial, yakni persoalan pembuktian adanya masyarakat hukum (Perda ataukah SK Bupati). Kelima, tentang status hutan hak dan hutan adat. Perber ini masih memahami kawasan hutan 81 Sebagaimana catatan dalam diskusi “Membedah Peraturan Bersama Menteri Tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di dalam Kawasan Hutan”, Epistema, jakarta, 5 Desember 2014 80 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan Hasil Penelitian dan Pembahasan 81 Klaim MHA Klaim badan sosial keagamaan Klaim badan pemerintahan Hutan Adat dalam kawasan hutan Wilayah adat di luar kawasan hutan Dikeluarkan dari kawasan hutan, diberikan hak atas tanah sesuai subjeknya Kurang dari 20 tahun Pemberdayaan Masy (HKm, Hutan Desa, HTB, Kemitraan) Penegasan Hak Kurang dari 20 tahun, pada tanah yang dapat jadi objek RA Sumber: Myrna. A Safitri, Presentasi Bedah Perber 4 Menteri, 5 Desember 2014 Analisis data yuridis dan data fisik terhadap penguasaan tanah di dalam kawasan hutan Klaim perorangan Penegasan/ Pengakuan Hak 20 tahun atau lebih Gambar 3. Berbagai bentuk penyelesaian penguasaan tanah di kawasan hutan Hutan Negara Non-Hutan Hutan Hak Dari penjabaran di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya Mahkamah Konstitusi telah memberikan perlindungan terhadap hak masyarakat adat atas kawasan hutan. Konsep hak penguasaan atas tanah di kawasan hutan bagi masyarakat adat berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi telah sejalan dengan Undang-Undang Dasar 1945, karena telah mengakomodasi hak masyarakat adat atas penguasaan hutan adat. Keputusan Mahkamah Konstitusi perlu tindak lanjut dari eksekutif, dan peraturan yang dibuat untuk merespon putusan Mahkamah Konstitusi ini harus lebih tinggidari setingkat peraturan menteri. Pengakuan masyarakat adat seharusnya dibuat dalam bentuk undang-undang, hal ini sesuai dengan amanah konstitusi. Namun, jika undang-undang membutuhkan waktu yang lama untuk membuatnya, karena harus ada koordinasi dan kemauan yang sejalan antara pemerintah dan DPR, maka setidaknya dapat diwujudkan dalam bentuk peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah ini diperlukan setidaknya sebagai respon adanya putusan Mahkamah Konstitusi terhadap hak penguasaan kawasan hutan oleh masyarakat adat, sehingga putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya putusan di atas kertas yang tidak dijalankan oleh pemerintah dalam pelaksanaan pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat atas penguasaan hutan adat. 82 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. 2. 3. Hak penguasaan masyarakat adat atas hutan adat belum mendapatkan posisi yang kuat berdasarkan UU Kehutanan. Konsep dan bentuk perlindungan hak penguasaan atas tanah di kawasan hutan bagi masyarakat adat berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi telah sejalan dengan konstitusi, karena telah mengakomodasi hak masyarakat adat atas penguasaan hutan adat. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengakuan hak penguasaan masyarakat adat di bidang kehutanan seharusnya ditindak lanjuti dengan peraturan pemerintah dan peraturan operasional untuk menjalankannya. Di dalam UU Kehutanan sendiri terdapat amanat untuk membuat Peraturan Pemerintah mengenai masyarakat adat dan hutan adat. Amanat ini tentu perlu ditaati. Demikian pula Permenag 5/1999 perlu diubah menjadi Peraturan Pemerintah sehingga lebih tinggi kewenangannya sebagai sarana memastikan mengenai pengakuan terhadap tanah ulayat sekaligus hutan adat. Dengan adanya Peraturan Pemerintah itu akan menjalankan amanat UUPA 1960 sekaligus amanat UU Kehutanan yang ada. Bentuk pengakuan dan perlindungan hak atas tanah masyarakat hukum adat di kawasan hutan adat dapat melalui dua cara. Pertama, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan harus melakukan koreksi secara aktif atas kesalahan yang dilakukannya memasukkan hutan adat kedalam kawasan hutan yang dikategorikan hutan negara. Penunjukan secara sepihak harus segara dikoreksi dengan lebih 4. 5. 84 lanjut melakukan penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan bersama-sama dengan masyarakat adat atau masyarakat sipil. Dengan demikian sekaligus memetakan dan mengukuhkan serta mengakui keberadaan wilayah hutan adat. Kedua, perlindungan hak atas bidang tanah masyarakat hukum adat pertama-tama harus disertai dengan pengakuan negara (pemerintah) secara aktif oleh Pemda. Terbuka peluang pendaftaran tanah hutan adat melalui Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, dan Kepala BPN RI, Nomor 79 Tahun 2014, Nomor PB.3/Menhut-11/2014, Nomor 17/PRT/M/2014, Nomor 8/SKB/X/2014, tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada dalam Kawasan Hutan. Peraturan Bersama ini merupakan kesempatan baru terhadap pengakuan dan pendaftaran penguasaan dan pemilikan tanah oleh masyarakat (perorangan maupun masyarakat hukum adat) di dalam kawasan hutan. Kebijakan ini merupakan langkah maju sebab memungkinkan pendaftaran hak atas tanah (perseorangan dan adat) di wilayah kehutanan yang semula dipahami bahwa kawasan hutan merupakan hutan negara. Pendaftaran hak atas tanah dalam Peraturan Bersama itu melalui mekanisme dan proses yang sama seperti pendaftaran tanah umumnya di kawasan non-hutan dan subyek yang selama ini telah dikenal. Bedanya pemeriksaan dan analisa dilakukan oleh Tim IP4T yang merupakan gabungan lintas-sektor. Jenis hak yang diberikan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UUPA. Yang lebih penting adalah bahwa tanah yang dapat diteruskan permohonannya adalah melalui penegasan hak. Akses tanah dalam kawasan hutan ini merupakan bentuk nyata dari pelaksanaan reforma agraria yang terbuka bagi beragam subyek hak, yakni perorangan, badan pemerintah, badan sosial keagamaan, dan masyarakat hukum adat, dan bukan badan hukum privat yang aksesnya melalui perijinan sebagaimana biasa di luar Perber ini. Ada beberapa kendala dalam Peraturan Bersama di atas. Ia masih menempatkan masyarakat adat sejajar dengan subyek hak lain (personal, dan badan usaha), dan belum dilihat sebagai pihak yang dapat menjalankan peran pemegang Hak Menguasai Negara (HMN), sehingga dapat menerima tugas pembantuan (medebewind) Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan 6. 7. dari negara. Selain itu, kategori hak yang dikenal hanyalah hak perseorangan, padahal di masyarakat adat mengenal hak ulayat yang di dalamnya terdapat hak perseorangan, kolektif, dan komunal. Perlu lahir jenis hak baru pengembangan dari Hak Pengelolaan (HPL) sebagai hak publik atas HMN tersebut. Disebut pengembangan dari HPL sebab melalui mekanisme pengakuan dan penegasan hak dan bukan pemberian dari tanah negara kepada masyarakat adat sebagaimana yang dikenal dalam HPL. Dalam melakukan perlindungan dan pengakuan tersebut, perlu penyatuan perspektif keruangan wilayah adat dengan perspektif bidang atas tanah masyarakat adat. Hal ini sekaligus untuk mempertahankan fungsi hutan adat yang telah dimasukkan dalam kawasan hutan dalam fungsi-fungsi yang telah ada (misalnya hutan lindung). Dengan demikian masyarakat hukum adat berkontribusi dalam mempertahankan fungsi hutan yang status penguasaan dan pemilikannya ada di tangan mereka, hanya saja pengelolaan fungsi tersebut diserahkan pada Kementerian Kehutanan. Keberadaan lembaga baru berupa Kementerian Agraria dan tata Ruang/BPN diharapkan mampu mengatasi problem dualisme pengaturan yang memisahkan ruang dan bidang di dalam kawasan hutan tersebut. Di tengah keterbatasan pemerintah dalam melakukan penetapan dan pemetaan kawasan hutan itu terjadi, tumpang-tindih perizinan dan penguasaan, pembuktian fisik dan yuridis untuk membuktikan klaim masyarakat adat, maka munculnya inisiatif masyarakat sipil dalam membantu proses penguatan klaim (misalnya melalui pemetaan partisipatif ) penting untuk diakomodir, diakui, dan dijadikan dasar kebijakan lebih lanjut. Kesimpulan dan Rekomendasi 85 DAFTAR PUSTAKA Buku Aburaera, Sukarno, Muhadar, dan Maskun, 2009, Filsafat Hukum, Bayumedia, Malang Berdner, Adriaan, Ward Berenschot (ed.), 2010, Masa Depan Hak-Hak Komunal atas Tanah: Beberapa Gagasan untuk Pengakuan Hukum, Rekomendasi Kebijakan. Van Vollenhoven Institute, Universitas Leiden dan BAPPENAS Bosko, Rafael Edy, 2006, Hak-Hak Masyarakat Adat dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam, ELSAM, Jakarta Ghofur Anshori, Abdul , 2006, Filsafat Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Harsono, Boedi, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta Mertokusumo, Sudikno, 1988, Hukum dan Politik Agraria, Universitas Terbuka, Jakarta M. Friedman, Lawrence, 2009, Sistem Hukum (Perspektif Ilmu Sosial), terjemahan dari The Legal System, A social Science Perspective, diterjemahkan oleh M. Khozim, Nusa Media, Bandung Mohammad, Tauchid, 1953, Masalah Agraria, Bagian Pertama, Penerbit Cakrawala, Jakarta Muchsin, Imam Koeswahyono, dan Soimin, 2010, Hukum Agraria Indonesia dalam Perspektif Sejarah, Refika Aditama, Bandung Parlindungan, A.P., 1990, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung Rawls, John, 2006, Teori Keadilan (Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara), terjemahan dari A Theory of Justice, diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Safitri, Myrna, 2010, Legalisasi Hak-Hak Masyarakat atas Tanah dan Kekayaan Alam dalam Peraturan Perundang-undangan Nasional Indonesia: Model, Masalah dan Rekomendasi, dalam Adriaan Bedner dan Ward Berenschot (ed.) Masa Depan Hak-Hak Komunal atas Tanah: Beberapa Gagasan untuk Pengakuan Hukum, Rekomendasi Kebijakan, Van Vollenhoven Institute, Universitas Leiden dan BAPPENAS Salim, Hasanu Simon, 2004, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Sinar Grafika, Jakarta Santoso, Urip, 2006, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif, Rajagrafindo Persada, Jakarta Sumardjono, Maria S.W., 1998, Kewenangan Negara untuk Mengatur dalam Konsep Penguasaan Tanah oleh Negara, dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta Supriyadi, Bambang Eko, 2013, Hukum Agraria Kehutanan, Raja Grafindo Persada, Jakarta Sutedi, Adrian, 2011, Sertifikat Hak Atas Tanah, Sinar Grafika, Jakarta Wahid, Muchthar, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Republika, Jakarta, 2008 Warman, Kurnia, “Hutan adat di ‘persimpangan jalan’: Kedudukan hutan adat di Sumatra Barat pada era desentralisasi”, dalam: Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono (eds), Hukum Agraria Dan Masyarakat Di Indonesia: Studi Tentang Tanah, Kekayaan Alam, Dan Ruang Di Masa Kolonial Dan Desentralisasi, Jakarta: HuMa, Van Vollenhoven Institute, KITLV-Jakarta. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan 88 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah PMA/KBPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah-masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Permenhut Nomor P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan Permenhut Nomor P.62/Menhut-II/2013 tentang perubahan terhadap Permenhut Nomor P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor SE.1/Menhut-II/2013 tentang Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 tanggal 16 Mei 2013 United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples The Universal Declaration of Human Rights International Labour Organisation on Indigenous and Tribal Peoples Convention, 1989 Artikel, Buletin, Penelitian, Makalah, Dokumen, Skripsi, Disertasi, Tesis, dan Jurnal Arizona, Yance, 2014, Dibutuhkan Pengakuan Hukum Terintegrasi: Kajian Hukum Penerapan Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Malinau Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat di Kabupaten Malinau, dalam Wacana edisi 33, tahun XVI Arizona, Yance, Konstitusi Dalam Intaian Neoliberalisme: Konstitusionalitas Penguasaan Negara Atas Sumberdaya Alam Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, Makalah disampaikan dalam Konferensi Warisan Otoritarianisme: Demokrasi Indonesia di Bawah Tirani Modal. Panel Tirani Modal dan Ketatanegaraan, Selasa, 5 Agustus 2008 di FISIP Universitas Indonesia Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Penetapan Kawasan Hutan, Menuju Kawasan Hutan Indonesia yang Mantap, Jakarta, September 2014 Elmiyah, Nurul, “Negara dan Masyarakat Adat; Studi Mengenai Hak Atas Tanah dan Hasil Hutan di Mamahak Besar dan Long Bagun, Kalimantan Timur”, Disertasi di Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 2003 Daftar Pustaka 89 Komnas HAM, 2013, Kertas Posisi Komnas HAM terhadap Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 35/PUU-X/2012 Mary, Siti Rachma, Y. Arizona, dan N. Firmansyah, “Kajian Kritis atas Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Permasalahan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.” Kertas Kerja Epistema Institute No.01/2012. Jakarta: Epistema Institute Moniaga, Sandra, Ketika Undang-Undang Hanya Diberlakukan Pada 39% Wilayah Daratan Indonesia, Forum Keadilan: Nomor 27, 12 November 2006 Rachman, Noer Fauzi Mia Siscawati, 2014, Masyarakat Hukum Adat Adalah Penyandang Hak, Subjek Hukum, dan Pemilik Wilayah Adatnya: Memahami secara Kontekstual Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia atas Perkara Nomor 35/PUU-X/2012, suplemen jurnal Wacana, Insist Press Roewiastoeti, Maria Rita, 2014, Dampak Sosial Politik Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, Wacana edisi 33, tahun XVI Sodiki, Achmad, Hukum Progresif untuk Mewujudkan Keadilan Substantif dalam Bingkai Nilai-Nilai Pancasila, Disampaikan pada acara Sarasehan, Nasional 2011 “Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Menegakkan Konstitusionalitas Indonesia” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada (PSP UGM), kerjasama antara Mahkamah Konstitusi dengan Universitas Gadjah Mada, di Yogyakarta 2-3 Mei 2011 Steni, Bernadinus dan Yance Arizona, Analisa Hukum atas Permenhut No 62 Tahun 2013, Desember 2013. Tidak diterbitkan Internet AMAN: Pasca Putusan MK, Negara Tidak Boleh Lagi Mengusir 40 Juta Masyarakat Adat di Area Hutan Adat. Anonim, http://suaraagraria.com/detail-917-aman-pasca-putusan-mknegara-tidak-boleh-lagi-mengusir-40-juta-masyarakat-adat-di-areahutan-adat.html#.U0kYqPmSwc8. 90 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan Arizona, Yance, Mahkamah Konstitusi dan Reformasi Tenurial Kehutanan, http://www.academia.edu/5470629/Mahkamah_Konstitusi_dan_ Reformasi_Tenurial_Kehutanan http://www.presidenri.go.id/index.php/eng/pidato/2013/06/27/2136. html Rilis Pers: Permenhut P.62 Melanggar Putusan MK35, http://www.aman. or.id/2014/01/22/rilis-pers-permenhut-p-62-melanggar-putusanmk35/#.U_VlyqNiTFw, diakses 21 Agustus 2014 Terre, Eddie Riyadi, 2002 , Menganyam Kiat Memperjuangkan Hak-Hak Masyarakat Adat di IndonesiaMasyarakat Adat di Indonesia (Sebuah Pendekatan Berperspektif Hukum InternasionalHak Asasi Manusia), http://www.academia.edu/1475460/Hak_ Widodo, Kasmita, “Hutan Adat dalam Tumpukan Penguasaan Hutan”, http://www.mongabay.co.id/2014/01/09/hutan-adat-dalamtumpukan-penguasaan-hutan/, diakses 9 Agustus 2014 Daftar Pustaka 91 LAMPIRAN Lampiran 93 94 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan Lampiran 95 96 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan Lampiran 97 98 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan Lampiran 99 100 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan Lampiran 101 102 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan Lampiran 103 104 Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan IDENTITAS PENULIS Dyah Ayu Widowati, S.H., M.Kn., dosen hukum agraria di Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, email: [email protected] Ahmad Nashih Luthfi, S.S., M.A., dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Manajer Penelitian Sistematis STPN, email: anasluthfi@ gmail.com I Gusti Nyoman Guntur, A.Ptnh., M.Si, dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Pembantu Ketua III Bidang Kemahasiswaan STPN, email: [email protected]