pengakuan dan perlindungan hak atas tanah masyarakat hukum

advertisement
PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN
HAK ATAS TANAH MASYARAKAT HUKUM ADAT
DI KAWASAN HUTAN
Dyah Ayu Widowati
Ahmad Nashih Luthfi
I Gusti Nyoman Guntur
PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK ATAS TANAH MASYARAKAT
HUKUM ADAT DI KAWASAN HUTAN
Cetakan Pertama, Desember 2014
Penulis
Penyunting
Desain Sampul
Tata Letak
:Dyah Ayu Widowati
Ahmad Nashih Luthfi
I Gusti Nyoman Guntur
:Ahmad Nashih Luthfi
:Dani RGB
:Eko Taufik
Penerbit:
Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat,
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
Gedung Pengajaran Lantai II,
Jalan Tata Bumi nomor 5, Banyuraden, Gamping, Sleman,Yogyakarta 55293
Telp
: 0274-587239,
e-mail : [email protected]
website : http://pppm.stpn.ac.id
ISBN: 602-7894-16-4
ISBN: 978-602-789416-7
PENGANTAR PENULIS
Penelitian ini mengkaji berbagai konsep hak penguasaan atas tanah
masyarakat hukum adat dan bentuk yang tersedia di dalam mengakui dan
melindungi hak atas tanah tersebut terutama di dalam kawasan hutan.
Penelitian ini dilatarbelakangi lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi
atas perkara nomor 35/PUU-X/2012 (dikenal sebagai Putusan MK
35) yang melakukan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan. Peneliti ingin mengetahui lebih lanjut
kepastian hukum dan hak masyarakat hukum adat mengakses tanah
secara formal melalui proses pendaftaran tanah terhadap hutan adat di
dalam kawasan hutan.
Laporan ini merupakan bagian dari hasil Penelitian Sistematis STPN
2014, oleh sebab itu kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Ketua Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), Dr. Oloan
Sitorus
Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat STPN,
Dr. Sutaryono
Prof. Dr. Achmad Sodiki sebagai pembimbing penelitian,
Myrna Safitri, Ph.D. dan Noer Fauzi Rachman, Ph.D. selaku steering
committee yang telah memberikan masukan pada draft laporan,
Kawan-kawan di Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
STPN (Ibu Sabatari, Pak Sugi, Mbak Wulan, Mas Nazir, Mbak
Widhi) yang telah memfasilitasi dan membantu proses penelitian
multipihak ini,
Para narasumber yang telah bersedia meluangkan waktu dan berbagi
pengetahuannya.
Semoga laporan penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi
berbagai pihak. Kritik dan saran kami harapkan.
Yogyakarta, Desember 2014
Tim Peneliti
iv
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
DAFTAR ISI
PENGANTAR PENULIS...........................................................iii
DAFTAR ISI..............................................................................v
BAB I.
PENDAHULUAN................................................... 1
A.. Latar Belakang.....................................................1
B.. Rumusan Masalah ...............................................6
C.. Tujuan Penelitian.................................................6
D.. Hasil Penelitian....................................................6
E.. Metode Penelitian................................................6
BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA............................................ 11
A.. Pengertian Hukum Kehutanan.............................11
B.. Hak-Hak Penguasaan atas Sumber Daya Agraria..12
1.. Pengertian Hak Penguasaan atas Sumber Daya
Agraria...........................................................12
2. . Jenis (Sistematika) Hak Penguasaan atas Sumber
Daya Agraria..................................................13
C.. Pendaftaran Tanah................................................22
1.. Pengertian, Asas-Asas dan Tujuan Pendaftaran
tanah..............................................................22
2.. Kegiatan Pendaftaran Tanah...........................25
BAB III.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN......... 27
A.. Konsep-Konsep dan Bentuk Perlindungan Hak
Penguasaan atas Tanah di Kawasan Hutan Adat
. yang Ada di Indonesia..........................................27
1.. Konsep dan Bentuk Hak Penguasaan atas Tanah
Masyarakat Hukum Adat di Indonesia ..........27
2.. Konsep dan Bentuk Perlindungan Hak
. Penguasaan Hutan Adat Menurut Peraturan
Perundang-Undangan ...................................40
B.. Mekanisme dan Prosedur Pendaftaran Hak
. Penguasaan atas Tanah pada Kawasan Hutan Adat 62
1.. Urgensi Pendaftaran Hak Penguasaan
. atas Tanah......................................................62
2.. Pelaksanaan Pendaftaran Hak Penguasaan atas
Tanah di Kawasan Hutan Adat......................70
3.. Model Perlindungan dan Pengakuan Hak Atas
Tanah Masyarakat Hukum Adat....................75
BAB IV.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI................. 83
DAFTAR PUSTAKA..................................................................87
LAMPIRAN..............................................................................93
IDENTITAS PENULIS...........................................................105
vi
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
BAB I
PENDAHULUAN
“[R]ecently the Indonesian Constitutional Court has decided that
customary forest, or hutan adat, is not part of the state forest zone.
This decision marks an important step towards a full recognition of land
and resources rights of adat community and forest-dependent communities.
This will also enable Indonesia’s shift toward sustainable growth
with equity in its forests and peatlands sector.”
(Susilo Bambang Yudhoyono, 27 Juni 20131)
A.
Latar Belakang
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan komitmennya
untuk memulai proses pendaftaran dan pengakuan hak atas tanah dan
wilayah adat masyarakat-hukum adat di Indonesia. Ia menyatakan dalam
suatu forum internasional, Tropical Forest Alliance 2020: Promoting
Sustainability and Productivity in the Palm Oil and Pulp & Paper Sectors
Workshop, di Jakarta, 27 Juni 2013.
Komitmen presiden merupakan respon atas putusan yang bersifat
final dan mengikat Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia yang
menetapkan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara, melainkan bagian
dari wilayah adat. Putusan MK atas perkara nomor 35/PUU-X/2012
(dikenal dengan Putusan MK 35) keluar pada tanggal 16 Mei 2012.
Mahkamah Konstitusi menghasilkan beberapa putusan penting yang
Pidato ini bisa dilihat di website resmi presiden, http://www.presidenri.go.id/index.php/
eng/pidato/2013/06/27/2136.html
1
melakukan pengujian konstitusionalitas atas Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan. Diantara perubahannya yang mendasar
adalah sebagai berikut.
1)
Ketentuan Pasal 1 angka 6 yang berbunyi “Hutan adat adalah hutan
negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”, diubah
menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum adat”.
2) Ketentuan Pasal 4 ayat (3) yang berbunyi “Penguasaan hutan
oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat,
sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”, diubah menjadi
“Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat
hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang”.
3) Ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi “Hutan berdasarkan
statusnya terdiri dari: a. hutan negara, dan b. hutan hak”, diubah
menjadi “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, tidak termasuk hutan adat”.
4) Menghapus ketentuan Pasal 5 ayat (2) yang berbunyi “Hutan negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan
adat”.
5) Ketentuan Pasal 5 ayat (3) yang berbunyi “Pemerintah menetapkan
status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan
hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat
hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”,
diubah menjadi “Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut
kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada
dan diakui keberadaannya”.
Putusan MK tersebut merupakan hasil dari gugatan judicial review
yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama
dua anggotanya, yakni Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian
Kuntu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, dan Kesatuan Masyarakat
Hukum Adat Kasepuhan Cisitu, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
2
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
Putusan itu tidak hanya memiliki makna berupa pengakuan hakhak atas tanah dan wilayah masyarakat hukum adat untuk mewujudkan
keadilan sosial namun juga sekaligus pengakuan atas kewarganegaraan
yang inklusif, mengingat masyarakat-hukum adat telah sekian lama
diabaikan eksistensinya.2 Meski demikian terdapat beberapa kendala
dan langkah-langkah yang diperlukan dalam menyikapi putusan
MK di atas. Presiden RI telah menyatakan komitmennya melakukan
pendaftaran tanah hutan adat yang telah dikeluarkan dari hutan negara
yang diperkirakan luasnya 40 juta hektar3, maka lembaga negara lain juga
perlu menindaklanjuti dengan kebijakan yang senafas dengan putusan
dan komitmen tersebut. Akan tetapi, dalam kenyataannya Kementerian
Kehutanan sebagai pihak yang memiliki kewenangan atas penguasaan
dan pengelolaan kawasan hutan melakukan kebijakan pemertahanan
diri dengan mengeluarkan Surat Edaran Menteri dan Peraturan Menteri.
Kementerian lain memberikan respon yang berbeda-beda.
Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor SE.1/Menhut-II/2013
yang dikeluarkan pada 16 Juli 2013 menyatakan bahwa “pelepasan hutan
adat dari kawasan hutan negara hanya dapat dilakukan oleh Kementerian
Kehutanan apabila ada persetujuan dari pemerintah daerah”. Surat Edaran
ini oleh kalangan ahli hukum dianggap sebagai upaya mempertahankan
penguasaan negara atas hutan adat. Selain itu secara juridis ada cacat
hukum bahwa Menteri Kehutanan melalui surat edaran tersebut tidak
memiliki kewenangan untuk menghapus kata-kata dalam undang-undang
karena kewenangan tersebut hanya dipunyai oleh legislator4.
Juga muncul Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62/MenhutII/2013 tentang pengukuhan kawasan hutan. Peraturan ini mengharuskan
masyarakat untuk memberikan bukti resmi (tertulis) soal klaim atas
tanah. Permen ini menunjukkan bahwa logika penguasaan hutan oleh
2
Noer Fauzi Rachman dan Mia Siscawati, “Masyarakat Hukum Adat Adalah Penyandang
Hak, Subjek Hukum, dan Pemilik Wilayah Adatnya: Memahami secara Kontekstual Putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia atas Perkara Nomor 35/PUU-X/2012”, suplemen
jurnal Wacana, InsistPress: 2014, hlm. 54.
3
“AMAN: Pasca Putusan MK, Negara Tidak Boleh Lagi Mengusir 40 Juta Masyarakat Adat
di Area Hutan Adat.”, diakses pada 20 Agustus 2014. http://suaraagraria.com/detail-917-amanpasca-putusan-mk-negara-tidak-boleh-lagi-mengusir-40-juta-masyarakat-adat-di-area-hutan-adat.
html#.U0kYqPmSwc8.
4
Maria Rita Roewiastoeti, “Dampak Sosial Politik Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
35/PUU-X/2012.” Wacana edisi 33, tahun XVI, 2014, hlm. 51–61.
Pendahuluan
3
negara yang dinyatakan secara sepihak bernafaskan “domain verklaring”
dalam kenyataannya masih diikuti oleh Kementerian Kehutanan. Padahal
penguasaan secara sepihak atas tanah adat dengan sistem semacam inilah
justru yang telah dinyatakan sebagai melanggar konstitusi oleh Mahkamah
Konstitusi melalui Putusan MK 35 tersebut. Peraturan tersebut
mempersulit masyarakat adat untuk mendapatkan hak konstitusional
atas wilayah mereka. Singkatnya, peraturan tersebut bertentangan dengan
semangat yang ada dalam Putusan MK 355.
Adapun respon Badan Pertanahan Nasional RI yang sementara
ini ada didasarkan pada Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat. Intinya adalah pada keberadaan masyarakat
hukum adat, yang menurut Permen ini ditetapkan dengan peraturan
daerah. Beberapa pasal Permen Agraria tahun 1999 ini masih senafas
dengan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yakni tentang
pengakuan eksistensi masyarakat hukum adat, tanah dan wilayah ulayat,
tatanan hukum adat dan kelembagaannya dengan syarat-syarat tertentu
yang sulit dipenuhi oleh masyarakat adat6.
Selain hal itu, terdapat beberapa langkah lanjutan yang perlu disikapi
oleh BPN RI. Tanah hutan adat yang telah dikeluarkan dari hutan negara
memerlukan pengakuan dan perlindungan hukum serta pendaftarannya.
Sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 19 UUPA terdapat Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan
Peraturan Menteri negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Jika
mengikuti mekanisme dan prosedur peraturan di atas, maka tanah adat
atau yang didefiniskan sebagai tanah ulayat dapat didaftarkan dalam
kegiatan ‘pendaftaran tanah pertama kali’ harus melalui ‘pembuktian
5
Yance Arizona, “Dibutuhkan Pengakuan Hukum Terintegrasi: Kajian Hukum Penerapan
Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Malinau Nomor
10 Tahun 2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat di Kabupaten
Malinau”, dalam Wacana edisi 33, tahun XVI, 2014, hlm. 143–165.
6
Kajian kritis mengenai Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun
1999 ini lihat, Siti Rachma Mary, Y. Arizona, dan N. Firmansyah, “Kajian Kritis atas Peraturan
Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Permasalahan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.” Kertas Kerja Epistema Institute
No.01/2012. Jakarta: Epistema Institute.
4
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
hak’ dan ‘sertipikasi’. Peraturan ini memiliki keterbatasan dalam hal
pembuktian hak yang diwujudkan dalam bentuk tertulis yang ada
sebelumnya, dan bentuk pengakuan berupa sertipikasi dalam bentuk
privat atau badan hukum. Tanah hutan adat dan masyarakat-hukum adat
sebagai penyandang hak yang dimaksud dan diputuskan oleh Mahkamah
Konstitusi tentu sangat berbeda dengan yang dimaksudkan oleh peraturanperaturan dari BPN di atas. Di dalam masyarakat-hukum adat terdapat
hak-hak individual maupun hak-hak komunal. Persoalan komunalitas
atas tanah inilah yang belum mendapat tempat dalam sistem pendaftaran
tanah di lembaga BPN RI.
Oleh sebab itu diperlukan bentuk pendaftaran tanah yang akan
dilakukan oleh BPN RI untuk mengakui dan melindungi hak-hak atas
tanah masyarakat-hukum adat atas wilayah (hutan) ulayatnya. Beberapa
gagasan yang telah muncul dalam mengusulkan pengakuan hak-hak
atas tanah komunal diantaranya adalah7: (1) memberikan hak atas
tanah dengan sifat individual melalui wujud sertipikat, atau pengesahan
sistem ‘semi formal’ bukti pemilikan masyarakat; (2) memberikan Hak
Kelola, Izin Kelola, atau Perjanjian Penggunaan Tanah; (3) memberikan
kepemilikan kolektif atau Hak pakai atas tanah kepada masyarakat
adat; (4) memberi pengakuan hak ulayat (beschikkingrecht). Menyadari
bahwa sistem pengakuan dalam hukum Indonesia ternyata penuh
dengan rintangan, maka berbagai pilihan di atas memiliki kelebihan dan
kekurangan. Selain itu adalah hanya dikenal bentuk ‘legalisasi’ hak atas
tanah masyarakat oleh negara yang diwujudkan dalam bentuk ‘pengakuan’
dan ‘pemberian’ yang keduanya masih bersifat kabur dihadapkan pada
beragam konsep hak atas tanah masyarakat8.
7
Berbagai gagasan ini dimuat dalam, Adriaan Bedner dan Ward Berenschot (ed.) Masa
DepanHak-Hak Komunal atas Tanah: Beberapa Gagasan untuk Pengakuan Hukum, Rekomendasi
Kebijakan. Van Vollenhoven Institute, Universitas Leiden dan BAPPENAS, 2010, lihat hlm. 5-8
8
Myrna Safitri, “Legalisasi Hak-Hak Masyarakat atas Tanah dan Kekayaan Alam dalam
Peraturan Perundang-undangan Nasional Indonesia: Model, Masalah dan Rekomendasi”, dalam
Adriaan Bedner dan Ward Berenschot (ed.) Masa DepanHak-Hak Komunal atas Tanah: Beberapa
Gagasan untuk Pengakuan Hukum, Rekomendasi Kebijakan. Van Vollenhoven Institute, Universitas
Leiden dan BAPPENAS, 2010, hlm. 15-16.
Pendahuluan
5
B.
Rumusan Masalah
Atas berbagai pemikiran di atas, maka penelitian ini berangkat dari
tiga pertanyaan utama:
1.
2.
Apa sajakah konsep-konsep dan bentuk perlindungan hak
penguasaan atas tanah di kawasan hutan adat yang ada di Indonesia?
a. Bagaimanakah konsep dan bentuk perlindungan hak
penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat di Indonesia?
b. Bagaimanakah konsep dan bentuk perlindungan hak
penguasaan hutan adat menurut peraturan perundangundangan?
Bagaimanakah mekanisme dan prosedur pendaftaran tanah hutan
adat?
a. Mengapa tanah adat perlu didaftarkan?
b. Apakah semua bentuk tanah adat dapat didaftarkan?
c. Bagaimanakah pelaksanaan pendaftaran tanah hutan adat?
C.
Tujuan Penelitian
1.
2.
Konsep dan bentuk perlindungan hak penguasaan atas tanah di
kawasan hutan adat yang ada di Indonesia
Mekanisme dan prosedur pendaftaran tanah hutan adat
D.
Hasil Penelitian
1.
Pemetaan konsep hak penguasaan atas tanah di kawasan hutan adat
yang ada di Indonesia dan mekanisme dan prosedur pendaftaran
tanah hutan adat.
Rekomendasi bentuk terbaik pengakuan dan perlindungan hak
penguasaan masyarakat hukum adat di kawasan hutan adat serta
mekanisme dan prosedur pendaftaran tanah hutan adat.
2.
E.
Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara untuk menjawab dan memecahkan
masalah yang muncul dalam perumusan masalah.
6
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
a)
Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat yuridis normatif yaitu berupa pengumpulan
bahan-bahan baik dari peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum,
doktrin serta sumber-sumber terkait lainnya yang berkaitan dengan pokok
permasalahan.
Penelitian hukum normatif mencakup:
1. 2. 3. 4. 5.
Penelitian terhadap asas-asas hukum.
Penelitian terhadap sistematika hukum
Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal
Perbandingan hukum
Sejarah hukum9
Dari kelima jenis penelitian di atas, penulisan hukum ini menelaah
sistematika hukum, sinkronisasi vertikal horizontal, dan juga melihat dari
sejarah hukum.
Dalam sistematika hukum, pengertian-pengertian dasar seperti;
subjek hukum, hak, kewajiban, peristiwa hukum, dll, harus terdapat
dalam perundang-undangan. Hal ini disebabkan karena suatu perundangundangan lazimnya mengatur bidang kehidupan tertentu yang dikaitkan
dengan bidang-bidang tata hukum tertentu. Oleh karena itu, seharusnya
tiap perundang-undangan seharusnya secara sistematis mengatur dalam
pasal-pasal yang merupakan kaidah hukum.10
Dari sisi sinkronisasi, peneliti akan menelaah bagaimana kaitan
antara peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tanah dan
hutan. Kaitan itu berupa kesesuaian atau harmonisasi antara berbagai
perundang-undangan tentang tanah dan hutan.
Dari sisi sejarah, peneliti akan menelaah mengenai sejarah
pembentukan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
tanah dan hutan, serta sejarah mengenai masyarakat adat dan hak-haknya
atas tanah.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif, Rajagrafindo
Persada, Jakarta, hlm.12
10
ibid, hlm.74
9
Pendahuluan
7
b)
Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yaitu suatu
penelitian yang bertujuan mendapatkan data sekunder, dengan cara
melakukan penelaahan terhadap peraturan perundang-undangan, literatur,
karya-karya hukum, dan bahan-bahan tertulis lainnya yang berkaitan
dengan penelitian.
1.
Jenis Data
Jenis data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data sekunder.
2.
Bahan Penelitian
Bahan kepustakaan dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu:
a)
Bahan hukum primer
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat,
antara lain:
1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan;
3) Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 35/PUU-X/2012;
4) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah;
5) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor
5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat;
6) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62/MenhutII/2013 tentang pengukuhan kawasan hutan.
7) Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri
Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, dan Kepala
BPN RI, Nomor 79 Tahun 2014, Nomor PB.3/
Menhut-11/2014, Nomor 17/PRT/M/2014, Nomor 8/
SKB/X/2014, tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan
Tanah yang Berada dalam Kawasan Hutan, tertanggal 17
Oktober 2014.
8
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
b)
Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang yang
memberi petunjuk dan menjelaskan bahan hukum primer,
antara lain:
1)
2)
3)
4)
c)
Buku-buku mengenai perjanjian;
Karya-karya ilmiah di bidang hukum;
Majalah, artikel, jurnal, surat kabar dan website;
Laporan-laporan penelitian yang relevan dengan bidang
kajian.
Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang
melengkapi bahan hukum primer dan sekunder, antara lain:
1) Kamus Besar Bahasa Indonesia;
2) Kamus Hukum.
3.
Cara Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan penelaahan terhadap
peraturan perundang-undangan, literatur, karya-karya hukum, dan
bahan-bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan penelitian.
4.
Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data untuk memperoleh data yang dibutuhkan
berupa melakukan studi dokumen untuk mendapatkan gambaran
secara umum mengenai hal-hal yang berhubungan dengan
permasalahan yang diteliti.
5.Narasumber
Guna mendukung data sekunder, dalam penelitian ini juga dilakukan
wawancara kepada beberapa narasumber antara lain:
1)
2)
3)
4)
6.
Hakim Mahkamah Konstitusi
Badan Pertanahan Nasional
Lembaga Swadaya Masyarakat Epistema
Lembaga Swadaya Masyarakat Huma
Analisis Data
Pendahuluan
9
Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan selanjutnya
dianalisis secara kualitatif. Data yang terkumpul kemudian dikelompokkan
dan dipilah-pilah dicari yang relevan dan representatif yang berhubungan
dengan pokok permasalahan. Data tersebut selanjutnya dipelajari secara
mendalam, ditelaah dan dipaparkan secara deskriptif, kemudian dibuat
kesimpulan yang diharapkan dapat menjawab permasalahan yang diangkat
dan dibahas tersebut.
10
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian Hukum Kehutanan
Pengertian hutan dan kehutanan secara yuridis normatif memiliki
perbedaan, yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan
lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan. Sedangkan yang dimaksud dengan kehutanan adalah sistem
pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil
hutan yang diselenggarakan secara terpadu.
Di samping pengertian hutan dan kehutanan, ada pengertian lain
yang tidak kalah pentingnya, yaitu kawasan hutan. Menurut pasal 1 angka
3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kawasan
hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh
pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
Menilik dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
hutan adalah pengertian dalam ranah ekologi atau yang terlihat secara
fisik, sedangkan kawasan hutan adalah pengertian dalam ranah yuridis,
karena dalam undang-undang kehutanan disebutkan bahwa suatu area
dapat dikatakan sebagai kawasan hutan apabila telah ditunjuk dan
atau ditetapkan oleh pemerintah. Dalam hal ini, maka dapat dikatakan
bahwa dengan adanya penunjukan dan atau penetapan dari pemerintah,
suatu area memiliki kepastian hukum menjadi hutan tetap. Adapun
yang dimaksud dengan kehutanan merupakan sistem manajemen dalam
pengelolaan segala hal yang berkaitan dengan hutan maupun kawasan
hutan.
Hukum kehutanan adalah kumpulan kaidah/ketentuan hukum yang
mengatur hubungan antara negara dengan hutan dan kehutanan, dan
hubungan antara individu (perseorangan) dengan hutan dan kehutanan.
Dalam rumusan hukum kehutanan terdapat tiga unsur yang tercantum,
yaitu:
(1) adanya kaidah hukum kehutanan, baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis;
(2) mengatur hubungan antara negara dengan hutan dan kehutanan;
dan
(3) mengatur hubungan antara individu (perseorangan) dengan hutan
dan kehutanan.11
B.
Hak-Hak Penguasaan atas Sumber Daya Agraria
1.
Pengertian Hak Penguasaan atas Sumber Daya Agraria
Hak penguasaan atas sumber daya agraria dapat diartikan sebagai
rangkaian kewenangan, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang
haknya untuk berbuat sesuatu mengenai sumber daya agraria yang dihaki.
Subyek hak dan kandungan kewenangan dan atau kewajiban atau larangan
pada masing-masing hak penguasaan inilah yang membedakan jenis hak
penguasaan yang satu dari hak penguasaan yang lainnya.
‘Penguasaan’ dan ‘Menguasai’ dapat mengandung aspek publik
dan/atau perdata. Aspek publik berisi kewenangan untuk mengatur
dan tugas/ kewajiban untuk mengelola, mengatur dan memimpin
penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaan sumber daya
agraria, sedangkan aspek perdata menunjuk pada unsur kepunyaan (dapat
menguasai tanah tersebut secara fisik dan bisa melakukan perbuatanperbuatan hukum perdata terhadap tanah tersebut, seperti menjual,
membeli, meyewakan). Penguasaan atau menguasai dapat secara yuridis
dan atau dapat pula secara fisik. Penguasaan yuridis dilandasi hak,
dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada
pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Tetapi
Salim, H.S., 2004, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 6
11
12
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
ada juga penguasaan yuridis yang meskipun memberi kewenangan untuk
menguasai secara fisik, tetapi penguasaan secara fisiknya berada pada
pihak lain.
Pihak lain itu dapat dengan sah menguasai tanah tersebut secara
fisik, seperti melalui hubungan sewa menyewa, tetapi dapat juga secara
tidak sah atau secara liar. Selain itu terdapat juga penguasaan yuridis yang
tidak memberikan kewenangan untuk menguasai tanah secara fisik, seperti
dalam hak tanggungan.
Hak Menguasai dari Negara juga berbeda dari jenis hak penguasaan
lainnya. Hak Menguasai dari Negara meliputi semua sumber daya agraria,
tanpa ada yang terkecuali (Pasal 33 ayat 3 UUD 45). Namun, Hak
Menguasai dari Negara tidak memberi kewenangan untuk menguasai
sumber daya agraria secara fisik dan menggunakannya seperti halnya hak
atas tanah, karena sifat Hak menguasai dari Negara semata-mata hukum
publik (semata-mata beraspek publik, yakni semata-mata kewenangan
mengatur), sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2. Dalam hal Negara
sebagai penyelenggara Negara memerlukan tanah untuk melaksanakan
tugasnya, tanah yang bersangkutan akan diberikan kepadanya selaku
Badan Penguasa, melalui Lembaga Pemerintah yang berwenang, seperti
dengan hak pakai. Tanah diberikan kepada lembaga tersebut dengan suatu
hak atas tanah, untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, bukan sebagai
Badan Penguasa yang mempunyai Hak Menguasai yang disebut dalam
pasal 2 UUPA, tetapi sebagai badan hukum seperti halnya perorangan
dan badan-badan hukum perdata yang diberi dan menjadi pemegang
hak atas tanah.
2. Jenis (Sistematika) Hak Penguasaan atas Sumber Daya
Agraria
Menurut UUPA, hak-hak penguasaan agraria itu secara sistematis,
bisa diurutkan sebagai berikut:
a.
Hak Bangsa Indonesia atas Tanah
Bangsa Indonesia merupakan satu kesatuan yang universal dan
merupakan subyek utama bagi penguasaan hak atas tanah, namun
dalam arti masih bersifat umum dan perlu diatur kemudian melalui
Tinjauan Pustaka
13
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) yang merupakan bentuk
implementasi Hak bangsa yang selanjutnya disebut hak Menguasai Negara.
Hak Bangsa merupakan hak yang paling tinggi dan meliputi semua
tanah yang ada di wilayah negara yang merupakan tanah bersama, bersifat
abadi, dan menjadi induk bagi hak-hak penguasaan lain atas tanah.
Pengaturan hak penguasaan atas tanah ini dimuat dalam pasal 1 ayat (1)
sampai ayat (3) UUPA. Hak bangsa Indonesia atas tanah ini mempunyai
sifat komunal, yang artinya semua tanah yang ada dalam wilayah negara
Indonesia merupakan tanah bersama rakyat indonesia yang telah bersatu
dengan bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (1) UUPA). Selain itu mempunyai
sifat religius artinya seluruh tanah yang ada dalam wilayah Negara
Republik Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa (Pasal 1
ayat (2) UUPA). Hubungan bangsa Indonesia dengan tanah bersifat abadi,
yang artinya selama rakyat Indonesia bersatu dengan bangsa Indonesia
hubungannya akan terus berlangsung tiada terputus untuk selamanya. Sifat
abadi pulalah yang menjadikan dalam keadaan apapun dan bagaimanapun
tidak ada sesuatu kekuasaan yang dapat memutuskan dan meniadakan
eksistensi hubungan tersebut(pasal 1 ayat(3) UUPA).
Subyek (Pemegang Hak) pada Hak Bangsa adalah seluruh rakyat
Indonesia sepanjang masa yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia, yaitu
generasi-generasi yang akan datang.12 Untuk tanah yang dihaki ialah
semua tanah yang ada dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. Tidak
ada tanah yang merupakan res nullius.13
Menurut Boedi Harsono, penyataan tanah yang dikuasai oleh Bangsa
Indonesia sebagai tanah bersama tersebut menunjukkan adanya hubungan
hukum di bidang Hukum Perdata. Hak Bangsa Indonesia dalam Hukum
Tanah nasional adalah hak kepunyaan, yang memungkinkan penguasaan
bagian-bagian tanah bersama dengan Hak Milik oleh warga negara secara
individual.14
Aspek perdata berkaitan dengan unsur kepunyaan, yang apabila
diletakkan pada hak bangsa berarti memberikan kewenangan untuk
Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta, hlm 267.
Ibid.
14
Boedi Harsono (II), Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional dalam Hubungannya
dengan TAP MPR RI IX/MPR/2001, Universitas Trisakti, Jakarta, Maret 2002, hlm 43, seperti
yang dikutip dalam Urip Santoso, 2006, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana,
Jakarta, hlm 77.
12
13
14
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
mempunyai (entitlement to possess) secara bersama-sama atas sumber daya
agraria di dalam wilayah Indonesia. Di samping memiliki aspek perdata,
hak bangsa juga memiliki aspek publik yang memiliki unsur tugas
kewenangan (entitlement to control). Hal ini merujuk pada kewenangan
untuk mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan sumber
daya agraria yang dipunyai bersama oleh seluruh bangsa.
b.
Hak Menguasai Negara
Di zaman kolonial, semua tanah tak bertuan atau tanah kosong
dikuasai oleh negara, sehingga negara bertindak sebagai dominum
(pemilik tanah). Hal ini dimungkinkan supaya negara dapat menjual
hak penguasaan tanah kepada swasta. Ketentuan ini dituangkan di dalam
Pasal 1 Agrarische Besluid tahun 1870 yang mengatur mengenai asas
domein verklaring, dengan ketentuan bahwa semua tanah yang tidak dapat
dibuktikan dengan hak eigendom-nya adalah domein negara.15
Setelah Indonesia merdeka, asas domein verklaring dihapuskan,
negara memiliki hak menguasai bukan memiliki. Hal ini dapat terlihat
di dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang sangat jelas
membuktikan adanya penguasaan oleh negara sepenuhnya terhadap
adanya sumberdaya alam yang ada di bumi dan seluruh kekayaan alam
yang ada di dalamnya termasuk ruang angkasa diatasnya. Menguasai dapat
diartikan sebagai tujuan untuk menentukan dan memanfaatkan serta
mengambil manfaat dalam bentuk pengelolaan oleh penguasa.
Hak menguasai negara diatur di dalam Pasal 2 ayat 2 UUPA, yang
memberi wewenang kepada Negara, yang bunyinya sebagai berikut:
(1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang
Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air,
dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya itu, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai
organisasi seluruh rakyat.
(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini
memberi wewenang untuk:
Muchsin, Imam Koeswahyono, dan Soimin, 2010, Hukum Agraria Indonesia dalam
Perspektif Sejarah, Refika Aditama, Bandung, hlm. 15
15
Tinjauan Pustaka
15
a.
Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa
tersebut.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai negara tersebut
pada ayat 2 pasal ini, digunakan untuk mencapai sebesar-besar
kemakmuran rakyat, dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang
merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.
(4) Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakatmasyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan
Peraturan Pemerintah.
Negara sebagai organisasi kekuasan tertinggi seluruh rakyat
melaksanakan tugas untuk mempimpin dan mengatur kewenangan bangsa
Indonesia (kewenangan publik). Subjek Hak Menguasai Negara adalah
Negara Republik Indonesia, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat
Indonesia.16 Tanah yang dihaki dalam Hak Menguasai Negara meliputi
semua tanah dalam wilayah Republik Indonesia, baik tanah-tanah yang
tidak atau belum maupun yang sudah dihaki dengan hak-hak perorangan.17
Negara sebagai penerima kuasa harus mempertanggungjawabkan
kepada masyarakat Indonesia sebagai pemberi kuasa. 18 Ada dua hal
yang dapat membatasi kewenangan negara atau Hak Menguasai Negara
ini. Pertama, pembatasan oleh konstitusi atau Undang-Undang Dasar
1945. Pembatasan ini berupa hal-hal yang diatur oleh negara tidak boleh
Boedi Harsono, Op.Cit, hlm 271.
Ibid.
18
Maria S.W., Sumardjono, 1998, Kewenangan Negara untuk Mengatur dalam Konsep
Penguasaan Tanah oleh Negara, dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas
Hukum UGM, Yogyakarta.
16
17
16
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
berakibat pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh UndangUndang Dasar 1945.
Kedua, pembatasan substantif, yaitu semua peraturan pertanahan
harus ditujukan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat sebesar-besarnya
sebagaimana diisyaratkan dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA. Kewenangan
ini tidak dapat didelegasikan kepada pihak swasta karena menyangkut
kesejahteraan umum yang sarat dengan misi pelayanan. Pendelegasian
kepada swasta yang merupakan bagian dari masyarakat akan menimbulkan
konflik kepentingan, dan karenanya tidak dimungkinkan.19
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 001-021022/PUU-I/2003 mengenai uji materi undang-undang ketenagalistrikan
memberikan penafsiran mengenai konsep hak menguasai negara atas
sumber daya alam. Penafsiran ini kemudian digunakan dalam memutus
uji materi undang-undang di bidang sumber daya alam dalam kaitannya
dengan hak menguasai negara.
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pengertian “dikuasai
oleh negara” tidak dapat diartikan hanya sebatas sebagai hak untuk
mengatur, karena hal dimaksud sudah dengan sendirinya melekat dalam
fungsi-fungsi negara tanpa harus disebut secara khusus dalam undangundang dasar. Sekiranyapun Pasal 33 tidak tercantum dalam UUD 1945,
sebagaimana lazim di banyak negara yang menganut paham ekonomi
liberal yang tidak mengatur norma-norma dasar perekonomian dalam
konstitusinya, sudah dengan sendirinya negara berwenang melakukan
fungsi pengaturan. Karena itu, perkataan “dikuasai oleh negara” tidak
mungkin direduksi pengertiannya hanya berkaitan dengan kewenangan
negara untuk mengatur perekonomian.20
Dalam menafsirkan makna frasa “dikuasai oleh negara” dari Pasal 33
ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi mengkonstruksi
5 (lima) fungsi negara dalam menguasai cabang-cabang produksi penting
yang menguasai hajat hidup orang banyak serta bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya.21
Ibid, hlm. 4-9
PUU Ketenagalistrikan, hlm 333
21
Yance Arizona, “Konstitusi Dalam Intaian Neoliberalisme: Konstitusionalitas Penguasaan
Negara Atas Sumberdaya Alam Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi”, makalah disampaikan
dalam Konferensi Warisan Otoritarianisme: Demokrasi Indonesia di Bawah Tirani Modal. Panel Tirani
Modal dan Ketatanegaraan, Selasa, 5 Agustus 2008 di FISIP Universitas Indonesia
19
20
Tinjauan Pustaka
17
Tabel 1.
No
1
2
3
4
5
Fungsi Negara dalam Menguasai Sumber Daya Alam
Fungsi
Penjelasan
Pengaturan (regelendaad) Fungsi pengaturan oleh negara dilakukan
melalui kewenangan legislasi oleh DPR
bersama dengan Pemerintah, dan regulasi
oleh Pemerintah (eksekutif ).
Kebijakan (beleid)
Dilakukan oleh pemerintah dengan
merumuskan dan mengadakan kebijakan
Pengelolaan (beheersdaad) Dilakukan melalui mekanisme pemilikan
saham (share-holding) dan/atau melalui
keterlibatan langsung dalam manajemen
Badan Usaha Milik Negara. Dengan kata
lain negara c.q. Pemerintah (BUMN)
mendayagunakan penguasaannya atas
sumber-sumber kekayaan untuk digunakan
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pengurusan
Dilakukan oleh pemerintah dengan
kewenangannya untuk mengeluarkan dan
(bestuursdaad)
mencabut fasilitas perizinan (vergunning),
lisensi (licentie), dan konsesi (concessie).
Pengawasan
Dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam
(toezichthoudensdaad)
rangka mengawasi dan mengendalikan agar
pelaksanaan penguasaan oleh negara atas
cabang produksi yang penting dan/atau
yang menguasai hajat hidup orang banyak
dimaksud benar-benar dilakukan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran seluruh
rakyat.
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa konsepsi penguasaan
oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan
prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang
politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi).
Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber,
pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan
bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
18
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut, tercakup pula
pengertian kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif.22
Namun, meskipun Mahkamah Konstitusi menafsirkan bahwa hak
menguasai negara lahir dari konsepsi hukum publik, seperti yang terdapat
di dalam bagian menimbang pada putusan uji materi undang-undang
ketenagalistrikan, Mahkamah Konstitusi tidak memberi penolakan bahwa
hubungan negara dengan sumberdaya alam juga merupakan mengandung
hubungan keperdataan. Pengakuan Mahkamah Konstitusi atas adanya
unsur perdata dalam hak menguasai negara terlihat di dalam pertimbangan
yang ada dalam putusan sebagai berikut:
-
-
-
Menimbang bahwa jika pengertian kata “dikuasai oleh negara” hanya
diartikan sebagai pemilikan dalam arti perdata (privat), maka hal
dimaksud tidak akan mencukupi dalam menggunakan penguasaan
itu untuk mencapai tujuan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”;
Namun demikian, konsepsi kepemilikan perdata itu sendiri harus
diakui sebagai salah satu konsekuensi logis penguasaan oleh negara
yang mencakup juga pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas
rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud;
Oleh karena itu, baik pandangan yang mengartikan perkataan
penguasaan oleh negara identik dengan pemilikan dalam konsepsi
perdata maupun pandangan yang menafsirkan pengertian
penguasaan oleh negara itu hanya sebatas kewenangan pengaturan
oleh negara, kedua-duanya ditolak oleh Mahkamah.23
c.
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat hukum adat diatur dalam pasal 3 UUPA, yaitu ”dengan
mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak
ulayat dan hak-hak pelaksanaan serupa itu masyarakat-masyarakat hukum
adat, sepanjang kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga
sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang
dan peraturan yang lebih tinggi”.24
PUU Ketenagalistrikan, hlm 333
Ibid
24
Pasal 3 Undang-undang Pokok Agraria
22
23
Tinjauan Pustaka
19
Masyarakat hukum adat dapat mempunyai hak atas tanah dalam
bentuk hak pengelolaan sebagai bagian dari pelaksanaan hak menguasai
negara pasal 2 ayat 4 UUPA, juga diakuinya hak komunal masyarakat
hukum adat (hak ulayat) sebagaimana pasal 3 UUPA.
Yang dimaksud dengan hak ulayat masyarakat hukum adat adalah
serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat,
yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan tanah
wilayahnya.25
Menurut Mochamad Tauchid26 hak ulayat merupakan hak daerah
atau suku bangsa atas selingkungan tanah, yang berisi kewenangan
untuk mengatur penguasaan dan penggunaan tanah dalam lingkungan
wilayahnya.
Pengertian hak ulayat menurut Depdagri-Fakultas Hukum UGM,
1978, hak ulayat adalah hak yang melekat sebagai kompetensi khas pada
masyarakat hukum adat, berupa wewenang/kekuasaan mengurus dan
mengatur tanah seisinya, dengan daya laku ke dalam maupun ke luar.
Menurut pasal 1 Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan
Nasional (Permen Agraria/Kepala BPN) Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Pedoman penyelesaian masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat,
bahwa yang dimaksud dengan Hak Ulayat adalah kewenangan yang
menurut adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah
tertentu yang merupakan lingkungan hidup warganya untuk mengambil
sumberdaya alam (SDA), termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi
kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul secara lahiriah dan
batiniah secara turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat
hukum adat tertentu dengan wilayah yang bersangkutan.
Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada menurut
Pasal 2 ayat (2) Permen Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 apabila
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a)
Jakarta
20
Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan
hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum
tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan
persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
25 Boedi Harsono, Op Cit, hlm.7
26 Tauchid Mohammad, 1953, Masalah Agraria, Bagian Pertama, Penerbit Cakrawala,
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
b)
c)
Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup warga
persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan
hidupnya sehari-hari dan;
Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan
dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh warga
persekutuan hukum tesebut.
d.
Hak-Hak Atas Tanah
Hak-hak atas tanah termasuk salah satu hak-hak perseorangan
atas tanah. Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada
pemegang haknya untuk menggunakan tanah atau mengambil manfaat
dari tanah yang dihakinya.27
Hak-hak Atas Tanah yakni hak-hak individual yang dalam Pasal
4 Ayat (1) UUPA dijelaskan sebagai hak yang dimiliki atau diberikan
kepada orang (atau orang-orang) dan badan hukum dan memberikan
wewenang menggunakan bagian permukaan bumi yang disebut tanah
kepada pemegang haknya. Hak atas tanah terdiri dari (Pasal 16 UUPA):
a)
b)
c)
d)
e)
f )
g)
h)
Hak Milik
Hak Guna Usaha (HGU)
Hak Guna Bangunan (HGB)
Hak Pakai
Hak Sewa
Hak Membuka Tanah
Hak Memungut Hasil Hutan
Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas
yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang
sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.
Menurut Sudikno Mertokusumo, wewenang yang dimiliki oleh
pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya terbagi menjadi dua, yaitu:
a.
Wewenang Umum
Wewenang ini bersifat umum, yaitu wewenang pemegang hak atas
tanah untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi,
27 Ibid, hlm 82.
Tinjauan Pustaka
21
b.
air dan ruang di atasnya sekadar diperlukan untuk kepentingan
yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah dalam
batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain
yang lebih tinggi.
Wewenang Khusus
Wewenang ini bersifat khusus, yaitu wewenang pemegang hak atas
tanah untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas
tanahnya.28
C.
Pendaftaran Tanah
1.
Pengertian, Asas-Asas dan Tujuan Pendaftaran tanah
Pendaftaran berasal dari kata cadastre, suatu istilah teknis untuk suatu
record (rekaman), enunjukkan kepada luas, nilai, dan kepemilikan (atau
lain-lain alas hak) terhadap suatu bidang tanah.
Kata ini berasal dari bahasa latin capistatrum yang berarti suatu
register atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah Romawi.
Dalam artian yang tegas, cadastre adalah record (rekaman daripada
lahan-lahan, nilai daripada tanah dan pemegang haknya dan untuk
kepentingan perpajakan). Dengan demikian cadastre merupakan alat
yang tepat yang memberikan uraian dan identifikasi dari lahan tersebut
dan juga sebagai continous recording (rekaman yang berkesinambungan
daripada hak atas tanah).29
Pengertian pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah seperti yang tercantum
dalam Pasal 1 angka 1, yaitu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur,
meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta
pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar,
mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk
pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah
Sudikno Mertokusumo, 1988, Hukum dan Politik Agraria, Universitas Terbuka, Jakarta,
28
hlm.445
A.P. Parlindungan, 1990, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm.
29
11-12
22
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu
yang membebaninya.
Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa dalam pendaftaran tanah
dikenal dua macam asas, yaitu:
a.Asas Specialiteit
Asas ini bermaksud bahwa pelaksanaan pendaftaran tanah itu
diselenggarakan atas dasar peraturan perundang-undangan tertentu,
yang secara teknis menyangkut masalah pengukuran, pemetaan,
dan pendaftaran peralihannya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan
pendaftaran tanah dapat memberikan kepastian hukum terhadap
hak atas tanah, yaitu memberikan data fisik yang jelas mengenai
luas tanah, letak, dan batas-batas tanah.
b.Asas Openbaarheid
Asas ini bermaksud bahwa dalam pendaftaran tanah harus mencakup
pemberian data yuridis tentang siapa yang menjadi subyek haknya,
apa nama hak atas tanahnya, serta bagaimana terjadinya peralihan
dan pembebanannya. Data ini bersifat terbuka untuk umum, artinya
setiap orang dapat melihatnya.30
Berdasarkan asas ini setiap orang berhak mengetahui data yuridis
mengenai subyek hak, nama hak atas tanah, peraliham hak,
dan pembebanan hak atas tanah yang ada di Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota, termasuk mengajukan keberatan sebelum
sertipikat diterbitkan, sertipikat pengganti, sertipikat yang hilang
atau sertipikat yang rusak
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah menyebutkan bahwa pendaftaran tanah dilaksanakan
berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka.
Asas sederhana dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar
ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah
dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para
pemegang hak atas tanah. Sedangkan asas aman dimaksudkan untuk
menunjukkan, bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara
Sudikno Mertokusumo, op cit, hlm. 9
30
Tinjauan Pustaka
23
teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian
hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.
Asas terjangkau dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak
yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan
kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam
rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh para
pihak yang memerlukan.
Asas mutakhir dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam
pelaksanaannya dan kesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data
yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir. Untuk itu perlu
diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang
terjadi di kemudian hari.
Asas mutakhir menuntut dipeliharanya data pendaftaran tanah secara
terus menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di
Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan, dan
masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar
setiap saat. Untuk itulah diberlakukan pula asas terbuka.
Undang-Undang Pokok Agraria telah meletakkan dasar-dasar
pemberian kepastian hukum sebagai tujuan dari pendaftaran tanah
yang tercantum dalam pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria. Tujuan
pendaftaran tanah di dalam UUPA dijabarkan lebih lanjut di dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
yaitu Pasal 3 yang menyebutkan bahwa tujuan pendaftaran tanah adalah
a.
b.
untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum
kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah
susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat
membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan;
untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat
memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan
hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan
rumah susun yang sudah terdaftar, untuk terselenggaranya tertib
administrasi pertanahan.
Untuk mencapai tujuan pendaftaran tanah, maka terdapat ketentuan
pelaksana yang harus dilakukan, yaitu dalam rangka mencapai tujuan
24
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada pemegang hak
yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah. Kemudian untuk
melaksanakan fungsi informasi data fisik dan data yuridis dari bidang tanah
dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar terbuka untuk umum. Dan
meskipun ketentuan mengenai terselenggaranya administrasi pertanahan
menjadi satu kesatuan dengan tujuan pendaftaran tanah untuk pemberian
informasi kepada pihak yang berkepentingan seperti yang tercantum di
dalam Pasal 3 huruf b, tetapi untuk mencapai tujuan tersebut memerlukan
pelaksanaan ketentuan tersendiri, yaitu setiap bidang tanah dan satuan
rumah susun termasuk peralihan, pembebanan, dan hapusnya hak atas
bidang tanah dan hak milik atas satuan rumah susun wajib didaftar.
2.
Kegiatan Pendaftaran Tanah
Kegiatan Pendaftaran Tanah (Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah) meliputi:
a.
Pendaftaran Tanah untuk Pertama Kali (initial registration):
Pengertian pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah
kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek
pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah atau
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.31
b.
Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah (maintenance)
Pengertian pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah
kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data
yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat
ukur, buku tanah, dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang
terjadi kemudian.32
Pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Pasal 1 angka 12 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
31
32
Tinjauan Pustaka
25
BAB III
HASIL PENELITIAN
DAN PEMBAHASAN
A.
Konsep-Konsep dan Bentuk Perlindungan Hak Penguasaan
atas Tanah di Kawasan Hutan Adat yang Ada di Indonesia
1.
Konsep dan Bentuk Hak Penguasaan atas Tanah Masyarakat
Hukum Adat di Indonesia
Hubungan antara masyarakat adat dengan tanahnya merupakan
pembahasan yang telah ada sejak dahulu di tingkat internasional, di negara
manapun masyarakat menganggap bahwa hubungannya dengan tanah
tidak hanya selalu mengenai masalah ekonomi, tetapi juga hubungan
secara sosial dan spiritual. Profesor Robert A.Williams menggambarkan
hubungan masyarakat adat dengan tanahnya sebagai berikut:
Masyarakat adat telah menekankan bahwa dasar spiritual dan
material dari identitas kultural mereka dipertahankan oleh hubungan
mereka yang unik dengan wilayah tradisional mereka yang turun
temurun. 33
Hubungan antara masyarakat adat dengan tanahnya juga diatur di
dalam United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples
yang berbunyi sebagai berikut:
33
Eddie Riyadi Terre, 2002 , Menganyam Kiat Memperjuangkan Hak-Hak Masyarakat Adat
di IndonesiaMasyarakat Adat di Indonesia (Sebuah Pendekatan Berperspektif Hukum InternasionalHak
Asasi Manusia), http://www.academia.edu/1475460/Hak_Masyarakat_Adat_dalam_Perspektif_
Hkm_Intl, diakses pada tanggal 30 Oktober 2014
Indigenous peoples have the right to maintain and strengthen their distinctive
spiritual relationship with their traditionally owned or otherwise occupied
and used lands, territories, waters and coastal seas and other resources and to
uphold their responsibilities to future generations in this regard.34
Dari paparan tersebut di atas, dapat terlihat bahwa Perserikatan
Bangsa-Bangsa mengakui hubungan masyarat adat dengan tanahnya. Di
dalam pengakuan yang tercantum di dalam deklarasi ini mencakup hak
dan kewajiban bagi masyarakat adat. Hak yang dimiliki oleh masyarakat
adat menurut deklarasi ini adalah hak untuk mempertahankan dan
mengembangkan hubungan khas mereka baik secara spiritual maupun
material dengan tanah, teritori, air dan wilayah-wilayah lepas pantai, dan
sumber-sumber lainnya yang secara tradisional telah mereka miliki atau
yang telah mereka duduki. Di samping hak-hak tersebut, masyarakat
adat juga diberi kewajiban untuk bertanggung jawab atas nasib generasi
masa depan.
Erica Irene Daes, seorang pelapor khusus untuk “Studi tentang
Masyarakat Adat dan Hubungan Mereka dengan Tanah”, menyimpulkan
sejumlah unsur yang unik pada masyarakat adat dalam hubungan mereka
dengan tanah, yaitu:
a.
b.
c.
Ada hubungan yang sangat erat antara masyarakat adat dengan tanah,
wilayah dan sumber daya mereka;
Bahwa hubungan ini memiliki berbagai dimensi dan tanggung jawab
sosial, budaya, spiritual ekonomi dan politik;
Bahwa dimensi kolektif dari hubungan ini adalah signifikan dan
bahwa aspek antar generasi dari hubungan semacam ini juga krusial
bagi identitas masyarakat adat, kelangsungan hidup dan budayanya.35
Hubungan hukum antara masyarakat adat dengan tanah ulayatnya
melahirkan hak ulayat. Hak ulayat ini merupakan hak komunal yang
dimiliki oleh masyarakat hukum adat dan harus diakui dan dilindungi
oleh negara. Sejalan dengan ini, negara-negara di dunia telah memiliki
kesepakatan mengenai pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak
Article 25 United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples
Rafael Edy Bosko, 2006, Hak-Hak Masyarakat Adat dalam Konteks Pengelolaan Sumber
Daya Alam, ELSAM, Jakarta, hlm. 70-71
34
35
28
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
masyarakat adat, yang jelas tercantum di dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2)
Konvensi ILO 169, yang berbunyi sebagai berikut:
1.
2.
The rights of ownership and possession of the peoples concerned over the
lands which they traditionally occupy shall be recognised. In addition,
measures shall be taken in appropriate cases to safeguard the right of
the peoples concerned to use lands not exclusively occupied by them, but
to which they have traditionally had access for their subsistence and
traditional activities. Particular attention shall be paid to the situation
of nomadic peoples and shifting cultivators in this respect.
Governments shall take steps as necessary to identify the lands which
the peoples concerned traditionally occupy, and to guarantee effective
protection of their rights of ownership and possession.
Dalam pasal 14 tersebut jelas tercantum bahwa hak-hak kepemilikan
dan penguasaan atas tanah yang secara tradisional ditempati harus diakui.
Selain itu, tindakan-tindakan harus diambil untuk melindungi hak
masyarakat adat dalam menggunakan tanah yang bukan hanya dikuasai
oleh mereka tetapi dimana mereka sudah lama mempunyai akses secara
tradisional atas tanah tersebut. Keadaan orang-orang nomaden dan
peladang berpindah perlu diberikan perhatian secara khusus. Pemerintah
harus melakukan identifikasi terhadap tanah yang secara tradisional telah
dikuasai oleh masyarakat adat dan menjamin perlindungan yang efektif
terhadap hak-hak kepemilikan dan penguasaan atas tanah mereka.
Di dalam hukum adat Indonesia dikenal dua jenis hak atas tanah,
yaitu hak persekutuan atas tanah, atau yang biasa disebut dengan hak
ulayat dan hak perorangan atas tanah.36
a.
Hak Ulayat
Hak Ulayat masyarakat hukum adat adalah serangkaian wewenang
dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan
tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya, guna kepentingan
persekutuan hukum itu sendiri dan anggota-anggotanya, atau untuk
kepentingan orang-orang di luar masyarakat hukum adat (orang asing/
Bambang Eko Supriyadi, 2013, Hukum Agraria Kehutanan, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hlm. 28
36
Hasil Penelitian dan Pembahasan
29
pendatang), dengan izin persekutuan hukum itu dengan membayar
recognitie (pengakuan).37
Profesor Van Vollenhoven, seorang ahli hukum adat, menamakan
hak dari persekutuan hukum (desa) ini ”beschikkingrecht”, artinya
dalam bahasa Indonesia adalah hak untuk menguasai tanah, tetapi
dalam pengertian tidak secara mutlak, sebab persekutuan hukum tidak
mempunyai kekuasaan untuk menjual tanah. Djojodigoeno menyebutnya
hak purba, sedangkan Soepomo menyebutnya hak pertuanan.38
UUD 1945 yang merupakan produk hukum tertinggi di dalam
hirarki perundang-undangan di Indonesia, memuat pasal-pasal yang
mempunyai relevansi terhadap masyarakat hukum adat. Pasal-pasal yang
mengatur mengenai masyarakat hukum adat adalah pasal 18B (2) yang
menyatakan: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang, dan
pasal 28I (3): Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati
selaras perkembangan zaman dan peradaban.
Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya
ini juga diatur di dalam peraturan lain di bawah konstitusi. UUPA yang
merupakan undang-undang pokok dalam pengaturan sumber daya alam
mengakui mengenai keberadaan hak ulayat melalui Pasal 3 yang bunyinya
sebagai berikut:
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan
hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat-masyarakat hukum
adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa
sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasar atas
persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang
dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”
Menilik dari ketentuan dalam Pasal 3 UUPA tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa menurut pasal ini hak ulayat berkaitan dengan dua
hal, yaitu:
Ibid, hlm 185-186
Ibid, hlm. 29
37
38
30
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
a)
b)
Eksistensi, yang dalam hal ini adanya pengakuan hak ulayat kalau
benar-benar masih ada atau masih eksis; dan
Pelaksanaannya, hak ulayat dalam pelaksanaannya harus mengikuti
3 syarat, yaitu sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang
berdasar atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Pengakuan hukum negara terhadap hak ulayat selanjutnya
ditindaklanjuti bukan dengan Peraturan Pemerintah, tetapi hanya melalui
peraturan menteri negara agraria, yaitu PMA/KBPN Nomor 5 Tahun
1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah-masalah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat.
Peraturan menteri ini memberikan penjabaran mengenai hak ulayat
dari yang sudah diatur di dalam UUPA, penjabaran ini tercantum dalam
pasal 2 yang menyebutkan bahwa:
1.
2.
Pelaksanan hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada
dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut
ketentuan hukum adat setempat.
Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila:
a. terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat
oleh tatanan hukm adatnya sebagai warga bersama suatau
persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerpkan
ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya
sehari-hari,
b. terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan
hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya
mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan
c. terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan,
penguaasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan
ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Melihat dari ketentuan pasal tersebut, dapat terlihat bahwa ayat (1)
menjelaskan mengenai eksistensi masyarakat adat, hal ini tentu saja selaras
dengan apa yang diatur di dalam Pasal 3 UUPA. Ayat (2) dari pasal di
atas memberikan penjelasan mengenai hak ulayat seperti apa yang diakui
eksistensinya oleh negara, yaitu yang memenuhi 3 syarat tersebut di atas.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
31
Alasan dikeluarkannya PMA ini dapat terlihat dari bagian
“Mempertimbangkan” yang terdiri atas lima butir, dua di antaranya
menyatakan:
“bahwa dalam kenyataannya pada waktu ini di banyak daerah masih
terdapat tanah-tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang
pengurusan, penguasaan dan penggunaannya didasarkan pada ketentuan
hukum adat setempat dan diakui oleh para warga masyarakat hukum adat
yang bersangkutan sebagai tanah ulayatnya’ dan ‘bahwa akhir-akhir ini di
berbagai daerah timbul berbagai masalah mengenai hak ulayat tersebut, baik
mengenai eksistensinya maupun penguasaan tanahnya”.
Peraturan Menteri ini menegaskan tentang realitas sosial bahwa
banyak pengelolaan, penguasaan dan penggunaan tanah dilakukan
berdasarkan pada hukum adat setempat, namun masih ada masalahmasalah berkaitan dengan hak ulayat atas tanah-tanah tersebut. Peraturan
Menteri itu juga menegaskan otoritas pemerintah daerah kabupaten di
dalam mengelola masalah pertanahan, mengacu pada Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian
digantikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Di pihak
lain, Peraturan Menteri itu membatasi pengakuan terhadap hak ulayat
atas tanah-tanah, tercantum di dalam pasal 3, yang menyatakan bahwa
pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum adat tidak dapat lagi dilakukan
terhadap bidang-bidang tanah yang: (a) telah dimiliki oleh perorangan
atau badan hukum yang memegang hak penguasaan tanah berdasarkan
UUPA, dan (b) dimiliki atau diserahkan oleh suatu dinas pemerintah,
badan hukum atau perorangan yang mengacu pada dan sesuai dengan
perundang-undangan dan peraturan yang ada.39
Ketentuan dalam Permenag mengenai bidang-bidang tanah tertentu
yang tidak dapat dilaksanakan hak ulayat masyarakat hukum adat di
atasnya tentu saja telah melanggar prinsip keadilan bagi masyarakat
hukum adat. Plato menggambarkan keadilan pada jiwa manusia dengan
membandingkannya pada kehidupan negara, mengemukakan bahwa jiwa
manusia terdiri dari 3 bagian, yakni pikiran (logistikon), perasaan dan nafsu
baik maupun jasmani (epithumatikon), rasa baik dan jahat (thumoeindes).
Keadilan terletak dalam batas yang seimbang antara ketiga bagian jiwa
Komnas HAM, 2013, Kertas Posisi Komnas HAM terhadap Keputusan Mahkamah
Konstitusi Nomor. 35/PUU-X/2012
39
32
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
sesuai dengan wujudnya masing-masing.40 Sebagaimana manusia, negara
pun harus diatur secara seimbang menurut bagian-bagiannya supaya adil.
Pendapat Plato tersebut merupakan pernyataan kelas, maka
keadilan Platonis berarti bahwa para anggota setiap masyarakat harus
menyelesaikan pekerjaan masing-masing. Pembuat peraturan harus
menempatkan dengan jelas posisi setiap kelompok masyarakat dimana
dan situasi bagaimana yang cocok untuk seseorang.41
Menurut John Rawls kebebasan dan kesamaan merupakan
unsur yang menjadi bagian inti teori keadilan. Rawls menegaskan bahwa
kebebasan dan kesamaan seharusnya tidak dikorbankan demi manfaat
sosial atau ekonomi, betapapun besarnya manfaat yang dapat diperoleh
dari sudut itu.42 Rawls merumuskan dua prinsip keadilan sebagai berikut:
1)
2)
setiap orang hendaknya memiliki suatu hak yang sama atas kebebasan
dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang.
Ketimpangan-ketimpangan sosial dan ekonomi hendaknya diatur
sedemikian rupa sehingga:
a. Dapat diharapkan memberi keuntungan semua orang;
b. Semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang.43
Sejalan dengan prinsip keadilan menurut John Rawls tersebut,
UUD 1945 telah memberikan sarana untuk mengatasi ketimpangan
posisi warga negaranya, seperti yang tercantum dalam pasal 28 H ayat (2),
yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama
guna mencapai persamaan dan keadilan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa
Negara dapat memberikan perlakuan khusus terhadap warga negaranya
untuk menciptakan persamaan dan keadilan.
Undang-Undang Pokok Agraria yang mengatur mengenai sumber
daya alam pun telah mengatur prinsip keadilan jika mengikuti pandangan
40
Sukarno Aburaera, Muhadar, dan Maskun, 2009, Filsafat Hukum, Bayumedia, Malang,
hlm. 207
41
Abdul Ghofur Anshori, 2006, Filsafat Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,
hlm 47
42
Ibid, hlm 49
43
John Rawls, 2006, Teori Keadilan (Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan
Kesejahteraan Sosial dalam Negara), terjemahan dari A Theory of Justice, diterjemahkan oleh Uzair
Fauzan dan Heru Prasetyo, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm 72
Hasil Penelitian dan Pembahasan
33
John Rawl, dimana di dalam UUPA terdapat asas perlindungan bagi
golongan warga negara yang lemah terhadap sesama warga negara yang
kuat kedudukan ekonominya, yang tercantum di dalam pasal 11. Asas ini
merupakan bentuk positive discrimination, dimana dalam peraturan ini,
diatur hal yang bersifat diskriminatif yang dilakukan untuk tercapainya
keadilan dan kesetaraan.
Kesamaan dimuka hukum tidak banyak gunanya selama perbedaan
dalam tingkat kesejahteraan sosial dan ekonomi masih cukup lebar dalam
kehidupan masyarakat. Itulah sebabnya, mengapa setiap kebijakan yang
dilakukan oleh negara yang rnenyangkut kepentingan yang kuat dan yang
lemah harus menguntungkan posisi yang lemah, agar dengan demikian
jurang perbedaan sosial ekonomi tidak semakin melebar.44
Menilik dari peraturan yang ada di dalam konstitusi dan UUPA yang
memuat adanya ketentuan yang sifatnya affirmatif, tentu dapat dikatakan
bahwa permenag nomor 5 tahun 1999 bertentangan dengan kedua
aturan yang di atasnya tersebut, karena dengan adanya permenag tersebut
menimbulkan praktek dimana masyarakat adat sering dikorbankan
oleh Negara demi kepentingan ekonomi. Padahal, jelas diatur dalam
konstitusi dan UUPA bahwa tindakan diskriminasi boleh dilakukan untuk
membantu orang yang berada pada golongan sosial dan ekonomi yang
lemah agar dapat setara dengan golongan yang kuat, tetapi permenag ini
justru bertindak sebaliknya.
Peraturan dapat dibuat dalam bentuk piramid, dari peraturan yang
rendah sampai yang tingkatnya lebih tinggi. Ketika peraturan-peratruan
berkonflik, peraturan yang lebih tinggi mengontrol peraturan yang lebih
rendah45, sehingga peraturan yang lebih tinggi memiliki tingkat validitas
yang lebih kuat.
44
Achmad Sodiki mengutip John Rawls dalam uraian ini, lihat Achmad Sodiki, “Hukum
Progresif untuk Mewujudkan Keadilan Substantif dalam Bingkai Nilai-Nilai Pancasila”,
disampaikan pada acara Sarasehan, Nasional 2011 Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam
Menegakkan Konstitusionalitas Indonesia yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pancasila Universitas
Gadjah Mada (PSP UGM), kerjasama antara Mahkamah Konstitusi dengan Universitas Gadjah
Mada, di Yogyakarta 2-3 Mei 2011
45
Lawrence M. Friedman, 2009, Sistem Hukum (Perspektif Ilmu Sosial), terjemahan dari
The Legal System, A social Science Perspective, diterjemahkan oleh M. Khozim, Nusa Media,
Bandung, hlm 52
34
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menjelaskan bahwa jenis
dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. b. c. d. e. f. g. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah Provinsi; dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pada ayat (2) diatur bahwa kekuatan hukum Peraturan Perundangundangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Merujuk dari ketentuan undang-undang tersebut di atas, peraturan
menteri tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundangan, sehingga
seharusnya peraturan menteri yang bertentangan dengan konstitusi dan
undang-undang sebaiknya tidak dapat diberlakukan lagi.
Menurut penulis, di dalam praktek, masyarakat hukum adat banyak
yang kehilangan hak ulayatnya karena Negara lebih banyak menggunakan
asas kepastian hukum dibandingkan asas keadilan. Hal ini nampak dalam
permenag nomor 5 tahun 1999 yang memuat ketentuan tanah yang
telah dimiliki oleh perorangan atau badan hukum yang memegang hak
penguasaan tanah berdasarkan UUPA, dan dimiliki atau diserahkan oleh
suatu dinas pemerintah, badan hukum atau perorangan yang mengacu
pada dan sesuai dengan perundang-undangan dan peraturan yang ada
tidak dapat dilaksanakan hak ulayat di atasnya. Masyarakat hukum adat
adalah masyarakat yang menggunakan hukum tidak tertulis, sehingga
mereka tidak memiliki bukti atas tanah ulayatnya. Sehingga, apabila
ada pihak lain yang memiliki bukti seperti sertipikat, maka pihak yang
memegang bukti tersebutlah yang dimenangkan, meskipun mungkin pada
kenyataannya tanah tersebut merupakan tanah ulayat.
Penegakan hukum sebagai “bussiness as usual” telah menjadi
pekerjaan rutin dan mekanis yang melupakan gerak masyarakat yang
terus berubah dalam berbagai segi kehidupan. Hukum dengan demikian
Hasil Penelitian dan Pembahasan
35
hanya dipandang dari segi statiknya tetapi dilupakan dari segi progressnya.
Padahal progress itu juga mencerminkan perubahan yang semakin tinggi
pada tuntutan, nilai-nilai dan harapan-harapan terhadap hukum.46
Mahkamah Konstitusi sebagai Guardian of Constitution telah
menggunakan hukum yang progresif, namun sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila. Salah satu hal yang menjadi perhatian Mahkamah Konstitusi
adalah hak ulayat masyarakat hukum adat, yang selama ini sering
terabaikan, padahal konstitusi sendiri mengakui keberadaan hak tersebut.
Hak ulayat masyarakat hukum adat meliputi semua sumber daya alam,
termasuk tanah, yang ada dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum
yang bersangkutan, baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang
belum. Sehingga, dapat dikatakan bahwa hak ulayat merupakan “konsep
mini” dari hak bangsa, karena masyarakat adat merupakan pemilik utama
sumber daya agraria yang ada di wilayah adatnya, sehingga memiliki hak
untuk mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan sumber
daya agraria di wilayah adatnya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa
hak Ulayat mengandung dua aspek, yaitu:
a)
b)
Aspek keperdataan, yaitu berupa kewenangan mempunyai
(entitlement to posess) oleh masyarakat hukum adat terhadap wilayah
ulayat (yang meliputi tanah dan/atau perairan) termasuk sumber
daya alam yang terdapat di wilayah ulayat;
Aspek publik, yaitu berupa kewenangan mengatur penguasaan dan
penggunaan tanah ulayat dan sumber daya alam, baik oleh anggota
masyarakat hukum adat maupun oleh orang/pihak yang bukan
merupakan warga masyarakat hukum adat. Aspek ini melahirkan
dua sifat kekuatan keberlakuan kewenangan, yaitu kekuatan
ke dalam dan ke luar. Kekuatan yang berlaku ke dalam artinya
memberikan wewenang kepada penguasa masyarakat hukum adat
untuk mengatur penguasaan dan penggunaan wilayah ulayat itu
oleh warga dan untuk kepentingan masyarakat hukum adat yang
bersangkutan. Kekuatan yang berlaku ke luar artinya memberikan
kewenangan untuk mengatur penggunaan/akses oleh orang luar
terhadap tanah ulayat.
Achmad Sodiki, op cit, hlm 5
46
36
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
b.
Hak Perorangan
Hubungan hak ulayat dengan hak perseorangan adalah berbanding
terbalik, hal ini dikarenakan semakin kuat hak perseorangan atas tanah,
maka semakin lemah kekuatan berlaku hak ulayat. Kalau sebidang
tanah diusahakan secara intensif dan tidak diterlantarkan, maka tercipta
hubungan hak yang kuat, seperti hak milik, dan dalam hal ini, kekuatan
hak ulayat terhadap bidang tanah tersebut melemah atau bahkan hilang.
Pengaruh timbal balik ulayat terhadap hak milik semacam ini oleh ter
Haar diistilahkan dengan hubungan yang “menguncup-mengembang
bertimbal balik dengan tiada hentinya”.
c.
Hak Kolektif dan Komunal
Masyarakat Hukum Adat (MHA) mempunyai beranekaragam jenis
penguasaan tanah dan pengelolaan sumber daya alam. Di dalamnya terdapat
hak privat, hak kolektif, dan hak komunal. Ketiga karakter pemilikan tanah
ini dikenal di dalam masyarakat hukum adat. Sebagai contoh adalah di
Sumatera Barat dan di Kalimantan Timur. Penguasaan dan pemilikan tanah
adat dan perorangan sesuai dengan struktur sosial masyarakat hukum adat
nagari. Hubungan antara penguasaan dan pemilikan tanah dengan struktur
sosial masyarakat tersajikan dalam gambar berikut.
(Sumber: Kurnia Warman 2010: 93 [dengan penambahan keterangan])
Hasil Penelitian dan Pembahasan
37
Setiap kelompok dalam tatanan dan struktur nagari tersebut
menempati dan menguasai tanah dan kekayaan alam. Hubungan subyek
hukum di setiap level dengan tanah dan kekayaan alamnya diistilahkan
oleh orang Minangkabau sebagai ulayat. Semua level memiliki tanah
ulayat, jadi ada ulayat nagari, ulayat suku, ulayat kaum, ulayat jurai, hingga
ulayat perseorangan (keluarga). Maka, di dalam ulayat juga akan ditemukan
“hak perdata perorangan”. Dalam konteks ini “hak ulayat” yang sesuai
dengan UUPA (yakni hak publik persekutuan) hanyalah ulayat nagari,
sedangkan ulayat pada level di bawahnya adalah hak milik adat baik
bersifat komunal maupun privat.47
Contoh lain keanekaragaman hak milik dalam masyarakat hukum
adat adalah di masyarakat adat Mamahak Besar dan Long Bagun di
Kalimantan Timur. Hak membuka tanah untuk dijadikan ladang, hak
atas pohon dan tanaman yang diberikan tanda menurut ketentuan adat
merupakan hak perdata perorangan. Namun penguasaan tanah dan hasil
hutan merupakan penguasaan bersama berdasarkan hak ulayat, yang
kewenangan pengaturannya ada pada Kepala Adat. Pemuka adat memiliki
kewenangan dalam mengatur hubungan pemanfaatan tanah dan hasil
hutan kepada para anggotanya, namun tidak memiliki kewenangan untuk
memberikan tanah kepada masing-masing anggotanya secara individu.48
Mereka juga menggunakan berbagai istilah untuk berbagai jenis
kegiatan penggunaan dan pengolahan tanah, begitu pula yang berkaitan
dengan hak perorangan. Berikut ini adalah contoh bentuk hak perorangan
yang pada umumnya terdapat pada masyarakat hukum adat di Indonesia,
meskipun dengan nama yang berbeda-beda:
a.
b.
c.
d.
e.
Hak milik;
Hak memungut hasil tanah;
Hak wenang pilih atau hak pilih lebih dahulu;
Hak wenang beli;
Hak pejabat adat.
Kurnia Warman, “Hutan adat di ‘persimpangan jalan’: Kedudukan hutan adat di Sumatra
Barat pada era desentralisasi”, dalam: Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono (eds), Hukum Agraria
Dan Masyarakat Di Indonesia: Studi Tentang Tanah, Kekayaan Alam, Dan Ruang Di Masa Kolonial
Dan Desentralisasi, hlm. 93-94. Jakarta: HuMa, Van Vollenhoven Institute, KITLV-Jakarta.
48
Nurul Elmiyah, “Negara dan Masyarakat Adat; Studi Mengenai Hak Atas Tanah dan Hasil
Hutan di Mamahak Besar dan Long Bagun, Kalimantan Timur”, Disertasi di Fakultas Hukum,
Universitas Indonesia, 2003, hlm. 308
47
38
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
a.
Hak milik
Hak milik atas tanah adalah hak untuk memperlakukan suatu
benda (tanah) sebagai kepunyaan sendiri dengan beberapa pembatasan.
Hak untuk memperlakukan sebagai kepunyaannya itu meliputi hak
untuk memperoleh hasil sepenuhnya dari tanah dan pula hak untuk
mempergunakan tanah itu seolah-olah pemegang hak itu pemiliknya, yang
berarti ia boleh menjual, menggadaikan, atau menghibahkan tanah itu
kepada orang lain.49 Adapun pembatasan-pembatasan tersebut berkaitan
dengan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang ada, baik yang bersifat nasional maupun ketentuan hukum adat dan
kewajiban untuk menghormati kepentingan orang lain.
b.
Hak memungut hasil tanah
Makna dari hak ini adalah hak menikmati hasil, hak menggarap,
atau hak pakai. Hak ini merupakan hak yang dapat diperoleh oleh warga
persekutuan hukum sendiri maupun orang luar untuk mengolah sebidang
tanah selama satu atau beberapa kali panen.
Bagi warga persekutuan hukum dimungkinkan untuk
mengembangkan hak ini menjadi hak milik, sehingga ia diperkenankan
mengolah tanah selama beberapa kali berturut-turut, tanpa diselingi hak
wenang pilih.50
c.
Hak wenang pilih atau hak pilih lebih dahulu
Hak wenang pilih terbagi dalam 3 bentuk:
1.
Hak yang diperoleh seseorang, lebih utama dari yang lain,untuk
mengolah sebidang tanah yang telah dipilihnya.
Hak pengolahan yang diperoleh seseorang pemilik tanah pertanian
atas belukar yang berbatasan dengan tanahnya
Hak yang diperoleh pengolah tanah,lebih utama dari yang
lain,untuk mengerjakan sawah/ladangnya yang berangsur-angsur
membelukar kembali setelah panen.51
2.
3.
Bambang Eko Supriyadi, Op Cit, hlm. 30
Ibid, hlm. 35
51
Ibid, hlm. 35
49
50
Hasil Penelitian dan Pembahasan
39
d.
Hak wenang beli
Hak wenang beli ialah hak seseorang, lebih utama daripada yang lain,
untuk mendapat kesempatan membeli tanah (juga empang) tetangganya
dengan harga yang sama. Di berbagai lingkungan hukum, hak wenang
itu diberikan kepada :
1.
2.
3.
pemilik tanah atas bidang tanah yang berbatasan dengan tanah
miliknya (sempadan) ;
anggota-anggota sekerabat (parental, matrilineal,patrilineal) dari si
pemilik tanah ;
para warga sedesa.52
e.
Hak pejabat adat
Hak imbalan jabatan ialah hak seorang pamong Desa atas tanah
jabatan yang ditujukan untuknya dan yang berarti bahwa ia boleh
menikmati hasil dari tanah itu selama ia memegang jabatannya.
Maksud pemberian hak itu ialah untuk menjamin penghasilan
para pejabat tersebut. Isi hak itu ialah : pejabat yang bersangkutan boleh
mengerjakan tanah jabatan itu atau menyewakannya kepada orang lain,
tetapi tidak boleh menjual atau menggadaikannya.53
Merujuk dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
konsep hak penguasaan atas tanah oleh masyarakat adat pada dasarnya
terbagi atas dua bentuk hak penguasaan, yaitu hak ulayat dan hak
perorangan. Di dalam hak ulayat itu sendiri terdapat hak milik kolektif,
komunal, dan privat. Hubungan hak ulayat dengan hak perseorangan selalu
bertolak belakang, hal ini dikarenakan semakin kuat hak perseorangan atas
tanah, maka semakin lemah kekuatan berlaku hak ulayat.
2.
Konsep dan Bentuk Perlindungan Hak Penguasaan Hutan
Adat Menurut Peraturan Perundang-Undangan
Penguasaan hak atas tanah oleh masyarakat adat merupakan bagian
dari hak asasi masyarakat adat. Hal ini diakui tidak hanya di tingkat
nasional, tetapi juga secara internasional, seperti yang diatur di dalam pasal
Ibid, hlm. 37
Ibid, hlm. 36
52
53
40
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
17 ayat (1) The Universal Declaration of Human Rights yang berbunyi
sebagai berikut: “Everyone has the right to own property alone as well as in
association with others.” Di dalam paparan pasal tersebut dikatakan bahwa
semua orang berhak untuk memiliki harta benda baik secara sendiri
maupun bersama pihak lain. Hal ini sangat penting dalam kaitannya
dengan hak-hak masyarakat adat, karena hak memiliki secara bersama erat
kaitannya dengan masyarakat adat yang memiliki ciri khas hak komunal.
Ketentuan internasional ini di Indonesia kemudian diadopsi ke
dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Perwujudan mengenai pengakuan hak masyarakat adat atas
tanahnya merupakan bagian dari hak asasi manusia terdapat di dalam
pasal 6 ayat (1) dan (2), yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan
kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan
dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.
(2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah
ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
Ketentuan di dalam pasal 6 ini secara jelas telah menyebutkan
mengenai hak ulayat, yang mengamanahkan agar hak ulayat yang
menjadi bagian dari identitas budaya masyarakat hukum adat harus
dilindungi. Apabila menilik dari ketentuan tersebut, maka dapat dikatakan
bahwa keberadaan hak masyarakat hukum adat yang berkaitan dengan
penguasaan atas tanah tidak hanya sekedar diakui, tetapi juga harus
dilindungi, dan ini merupakan wujud tanggung jawab negara, dalam
hal ini pemerintah, kepada warga negaranya. Perlindungan terhadap hak
ulayat ini juga termasuk hak ulayat yang ada di wilayah hutan.
Pengakuan mengenai keberadaan masyarakat adat dalam kaitannya
dengan wilayah hutan baru jelas diatur melalui Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sebelum adanya undang-undang
ini, konsep hak penguasaan atas tanah di bidang kehutanan masih
memberlakukan domein verklaring. Asas domein verklaring memang
sudah dihapuskan oleh UUPA, tetapi asas domein verklaring yang dicabut
oleh UUPA sebagaimana tercantum pada angka 2 bagian “memutuskan”
adalah sebagai berikut:
Hasil Penelitian dan Pembahasan
41
a. “Domeinverklaring” tersebut dalam pasal 1 “Agrarisch Besluit”
(Staatsblad 1870 No. 118);
b. “Algemene Domeinverklaring” tersebut dalam Staatsblad 1875 No.
119A;
c. “Domeinverklaring untuk Sumatera” tersebut dalam pasal 1 dari
Staatsblad 1874 No. 94f;
d. “Domeinverklaring untuk keresidenan Menado” tersebut dalam
pasal 1 dari Staatsblad 1877 No. 55;
e. “Domeinverklaring untuk residentie Zuider en Oosterafdeling van
Borneo” tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1888 No. 58
Pengaturan mengenai kehutanan pada zaman kolonial menggunakan
Boschordonnantie voor Java en Madoera 1927 atau Ordonansi tentang
Kehutanan untuk Jawa dan Madura tahun 1927 yang berlaku untuk
wilayah jawa dan Madura, sedangkan di luar kedua wilayah itu belum
diatur ke dalam peraturan perundang-undangan.
Ordonansi tentang Kehutanan untuk Jawa dan Madura tahun
1927 merupakan satu produk hukum yang berada setingkat dibawah
UU-, yang menetapkan bahwa hutan negara adalah: tanah yang termasuk
tanah negara yang bebas dari hak-hak ulayat (beschikking recht, termasuk
tanah-tanah milik desa), pihak ketiga dan ditumbuhi tumbuh-tumbuhan
kayu-kayuan dan bambu yang timbul dari alam….. (pasal 2 klausul
a). Kedudukan Boschordonnantie 1927 yang lebih rendah daripada
Agrarische Wet 1870 dalam hirarki perundangan berakibat pada taatnya
ordonnantie pada wet. Asas domein verklaring yang dianut oleh Agrarische
Wet 1870 juga diikuti oleh Boschordonnantie 1927.54
Di dalam hukum terdapat asas lex specialis derogate legi generalis,
yang artinya hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum
yang bersifat umum, sehingga meskipun keberadaan domein verklaring
berasal dari Staatsblad 1870, tetapi ketika sudah diaplikasikan ke dalam
aturan yang khusus, maka bentuknya menjadi spesifik. Artinya, apabila
berkaitan dengan urusan khusus, seperti hutan, maka yang berlaku adalah
aturan yang ada ketika itu mengenai hutan, yaitu Boschordonantie. Hal ini
dapat diartikan meskipun Staatsblad 1870 sudah dicabut melalui UUPA,
Sandra Moniaga, Ketika Undang-Undang Hanya Diberlakukan Pada 39% Wilayah Daratan
Indonesia, Forum Keadilan: N0. 27, 12 November 2006
54
42
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
tetapi karena UUPA tidak mencabut keberadaan Boschordonantie, maka
peraturan yang ada di dalamnya masih berlaku, termasuk asas domein
verklaring.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kehutanan tidak mencabut Boschordonantie. Di dalam
pasal 21 undang-undang kehutanan ini berbunyi sebagai berikut: “Sambil
menunggu keluarnya peraturan peraturan pelaksanaan daripada Undangundang ini, segala peraturan dan perundang-undangan di bidang Kehutanan
yang telah ada sebelumnya, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan jiwa Undang-undang ini serta diberi tafsiran sesuai dengan itu.”
Di dalam paparan pasal tersebut, maka secara eksplisit dikatakan bahwa
peraturan yang ada sebelumnya mengenai kehutanan masih berlaku, yang
artinya ini juga berlaku untuk Boschordonantie.
Memang di dalam pasal tersebut terdapat frasa sepanjang tidak
bertentangan dengan jiwa undang-undang ini, tetapi pada kenyataannya
domein verklaring tetap berlaku, meskipun dengan konsep yang berbeda,
karena pada zaman kolonial, negara sebagai dominum (pemilik tanah),
sedangkan setelah adanya UUPA, negara memiliki hak menguasai.
Dalam hal ini yang berbeda hanya konsep kewenangan dari negara,
tetapi substansi dari domein verklaring dimana seseorang yang tidak dapat
membuktikan kepemilikan tanahnya, maka tanah tersebut akan dimiliki
negara, yang kemudian frasa dimiliki menjadi dikuasai.
Praktek ini dapat terlihat sejak pada zaman pemerintahan Orde
Baru yang secara sengaja membiarkan tumbuh dan berkembangnya
sektor kehutanan meskipun harus melanggar hak-hak masyarakat yang
tanah-tanahnya ditetapkan secara sepihak sebagai kawasan hutan negara,
termasuk melanggar peraturan perundangan yang sah masih berlaku
seperti UUPA.55 Pada zaman orde baru, UUPA dikesampingkan dalam
praktek kehutanan, dengan alasan hal-hal yang berkaitan dengan hutan
menggunakan undang-undang kehutanan. Padahal di dalam undangundang kehutanan, tidak ada satu pasal pun yang menetapkan bahwa
UUPA tidak berlaku dalam kawasan hutan, dan kondisi semacam ini
masih berlaku hingga zaman setelah reformasi. Hal inilah yang kemudian
memicu banyak konflik di sektor kehutanan.
Ibid
55
Hasil Penelitian dan Pembahasan
43
Boschordonantie baru dihapus oleh Undang-Undang nomor 41 tahun
1999 tentang Kehutanan, yang tertera di dalam pasal 83, yang berbunyi
sebagai berikut:
Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini maka dinyatakan
tidak berlaku:
1. Boschordonnantie Java en Madoera 1927, Staatsblad Tahun 1927
Nomor 221, sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad Tahun
1931 Nomor 168, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1934
Nomor 63
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor
8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823).
Pada penelitian ini konsep hak penguasaan hutan adat akan dibagi
menjadi dua pembahasan, yaitu konsep hak penguasaan hutan adat
berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
dan konsep hak penguasaan hutan adat pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi yang memutuskan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
a.
Konsep dan Bentuk Perlindungan Hak Penguasaan Hutan Adat
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan
UUPA memuat istilah masyarakat hukum adat, hak ulayat, dan
hukum adat, namun tidak secara jelas mendefinisikan pengertian dari
masing-masing istilah tersebut. Demikian juga, jenis-jenis hak atas tanah
dan sumber daya alam lainnya menurut pasal 16 (1) dan (2) dalam
UUPA tidak meliputi hak ulayat maupun jenis hak atas tanah dan sumber
daya alam lainnya yang dimiliki masyarakat hukum adat. Pengakuan
keberadaan hak-hak masyarakat hukum adat pada tanah dan sumber daya
alam juga menghadapi persoalan ketika akan dilakukan di kawasan yang
dikenal sebagai kawasan hutan. Banyak kelompok masyarakat hukum
adat selama ini bermukim di kawasan hutan, jauh sebelum penunjukan
dan/atau pengukuhan wilayah tersebut sebagai kawasan hutan pada masa
pemerintahan kolonial Belanda dan berlanjut selama ditetapkannya rezim
44
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
pengaturan kehutanan nasional setelah disahkannya Undang-undang
Pokok Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967.56
Ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum terhadap keberadaan
masyarakat hukum adat serta hak-haknya atas tanah, semakin bertambah
dengan disahkannya UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
sebagai pengganti UU Pokok Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967. Salah
satu klausul yang bermasalah dalam Undang-undang Kehutanan 1999 ini
adalah ketentuan yang yang mengatakan bahwa kawasan hutan adalah
wilayah yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah dengan tujuan
melestarikan keberadaannya sebagai hutan tetap (Pasal 1 ayat 3), dan
hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat
hukum adat (Pasal 1 ayat 6). UU Kehutanan ini juga menetapkan bahwa
pemerintah berwenang menunjuk kawasan hutan (Pasal 1(1), 1(2) dan
1(3). Penunjukan hutan adat dapat dilaksanakan sepanjang menurut
kenyataan masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan
diakui keberadaannya (Pasal 5(3)), dan pengukuhan keberadaan dan
hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud ditetapkan
dengan Peraturan Daerah (Pasal 67(2)).57
Pengukuhan kawasan hutan Negara diatur di dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan,
Peraturan Menteri Kehutanan No.44/Menhut-II/2012 tentang
Pengukuhan Kawasan Hutan, dan Peraturan Menteri Kehutanan No. 47/
Menhut-II/2010 tentang Panitia Tata Batas Kawasan Hutan. Menurut
kedua peraturan menteri tersebut ditentukan bahwa Dirjen Planologi
Kehutanan dapat menetapkan sepihak kawasan hutan, tanpa menunggu
persetujuan masyarakat yang menguasai wilayah setempat. Sedangkan
untuk penetapan dan perubahan status dan fungsi kawasan hutan
sebagian besar tercantum dalam Keputusan Menteri Kehutanan No.70/
Kpts-II/2001. Menurut Pasal 5 dan 16 PP No.44/2004, wewenang
pengukuhan kawasan hutan Negara berada di tangan Menteri Kehutanan.
Wewenang Pemerintah Daerah Kabupaten terbatas pada penentuan batasbatas kawasan hutan yaitu wewenang untuk membentuk Panitia Tata
Batas yang berfungsi memberikan klarifikasi tentang status tanah dalam
proses penyelenggaraan tata batas. Pemerintah daerah tidak mempunyai
Kertas Posisi, Op Cit, hlm. 6
Ibid, hlm 8
56
57
Hasil Penelitian dan Pembahasan
45
wewenang untuk mengukuhkan kawasan hutan, karena hal tersebut tetap
menjadi kewenangan Menteri Kehutanan.58
UU Kehutanan tahun 1999 mengatur tentang hutan adat sebagai
hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. UU
Kehutanan itu juga menetapkan bahwa kawasan hutan yang telah ditunjuk
dan atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku sebelum berlakunya undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku
berdasarkan undang-undang ini. Peraturan hukum yang berlaku secara
internasional maupun nasional yang menjamin keberadaan hak-hak atas
tanah dari masyarakat adat sebagai bagian dari hak asasi manusia memang
tidak bersifat mutlak. Artinya, hak tersebut dapat diambil asalkan melalui
proses hukum yang adil dan tanpa diskriminasi. Namun demikian, UU
Kehutanan tahun 1999 tidak memberi jaminan yang jelas bagi hak-hak
masyarakat hukum adat, terutama yang melindungi hak masyarakat adat
apabila wilayahnya ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan sebagai hutan tetap.
Tidak adanya perlindungan hukum yang jelas dari UU Kehutanan
tahun 1999 tentu saja merugikan masyarakat adat. Hal ini dikarenakan
di dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 melarang
sejumlah kegiatan dilakukan di kawasan hutan, seperti mengerjakan dan
atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah,
melanggar batas-batas suatu kawasan hutan di dalam radius atau jarak
tertentu, menebang pohon, memanen atau memungut hasil hutan di
dalam hutan tanpa memiliki hak atau surat ijin yang diterbitkan oleh
pejabat yang berwewenang dan menggembalakan ternak di dalam kawasan
hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh
pejabat yang berwenang. Pelanggaran terhadap salah satu ketentuan ini
akan berakibat dikenakannya hukuman penjara dan hukuman denda.
Adanya pengaturan dalam UU Kehutanan ini yang memasukkan
hutan adat menjadi bagian dari hutan negara tentu saja membatasi hak
dari masyarakat adat untuk mengakses hutan adatnya. Hal ini dikarenakan
dengan adanya penunjukan dan atau penetapan suatu wilayah dapat
menjadi hutan, jika wilayah hutan adat masyarakat adat ditunjuk dan
atau ditetapkan sebagai wilayah hutan negara, maka dalam mengakses
Ibid, hlm 9
58
46
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
hutan adatnya, masyarakat adat terhadang ketentuan pasal 50, seperti
tersebut di atas.
Meskipun, di dalam pasal 67 ayat (1) UU Kehutanan, negara
memberikan hak kepada masyarakat hukum adat sepanjang menurut
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berupa:
a.
b.
c.
melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan
hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat
yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraannya.
Namun di dalam ayat (2) pada pasal yang sama diatur bahwa
pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat
sebagaimana dimaksud (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Adanya
syarat masyarakat adat dapat dikukuhkan keberadaannya dalam Perda
inilah yang melemahkan masyarakat adat, karena hanya sedikit Perda yang
sudah dibuat untuk melaksanakan ketentuan pasal ini.
Apabila masyarakat adat belum dikukuhkan keberadaannya,
maka berimplikasi pula pada belum dikukuhkannya wilayah adatnya,
yang tentu saja dapat mengancam hak penguasaan masyarakat adat atas
wilayah adatnya jika pemerintah daerah tidak memiliki iktikad baik untuk
memberikan perlindungan.
Peraturan UU Kehutanan yang memberikan kewenangan kepada
pemerintah untuk menjadikan suatu wilayah hanya dengan melalui
penunjukan merupakan bentuk tindakan yang otoriter. Terlebih
lagi masyarakat adat sebagai pemilik dari hutan adat dapat diakui
keberadaannya secara formal jika sudah diatur di dalam peraturan daerah.
Hal ini memungkinkan negara memberikan hak-hak di atas tanah hak
ulayat kepada subyek hukum tertentu tanpa memperoleh persetujuan
masyarakat hukum adat dan tanpa memiliki kewajiban hukum untuk
membayar kompensasi kepada masyarakat hukum adat yang mempunyai
hak ulayat atas tanah tersebut.
Dari penjabaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa adanya UU
Kehutanan belum dapat memberikan posisi yang kuat bagi masyarakat
adat dalam pemenuhan hak penguasaan atas hutan adat. Sehingga,
Hasil Penelitian dan Pembahasan
47
meskipun Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
telah menghapus keberadaan Boschordonnantie Java en Madoera 1927,
tetapi di dalam praktek masih terdapat pelaksanaan asas domein verklaring
“modern”.
b.
Konsep dan Bentuk Perlindungan Hak Penguasaan Hutan Adat
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Konsepsi hak penguasaan atas tanah dalam putusan Mahkamah
Konstitusi adalah ingin membagi penguasaan tanah menjadi 3 status,
yaitu tanah negara, tanah ulayat dan tanah hak, dimana ketiganya
saling membatasi. Dalam putusan MK 35 pemegang hak hutan ada 3,
yaitu negara, masyarakat hukum adat dan perorangan. Dalam pasal 33
UUD 45 mengandung 2 unsur, yaitu dikuasai dan dipergunakan. Kata
dikuasai tafsirnya adalah pengaturan, pengurusan, kebijakan, pengelolaan
dan pengawasan. Kata dipergunakan dalam pasal 33 UUD 45, yaitu
kemanfaatan, pemerataan, partisipasi, penghormatan hak tradisional.59
Putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi terhadap UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan hingga penelitian
ini dilakukan telah dilaksanakan sebanyak tiga kali. Adapun putusannya
dapat terlihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.
Putusan MK atas uji materi terhadap Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Nomor Perkara
No. 45/PUU-IX/2011
No. 34/PUU-IX/2011
Sebelum Putusan MK
Sesudah Putusan MK
Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan
Kawasan hutan adalah wilayah
tertentu yang ditunjuk dan atau
ditetapkan oleh pemerintah untuk
dipertahankan keberadaannya
sebagai hutan tetap.
Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan
Kawasan hutan adalah wilayah
tertentu yang ditunjuk dan
ditetapkan oleh pemerintah
untuk dipertahankan
keberadaannya sebagai hutan
tetap.
Pasal 4 ayat 3 UU Kehutanan
Penguasaan hutan oleh Negara tetap
memperhatikan hak masyarakat
hukum adat, sepanjang kenyataannya
Pasal 4 ayat 3 UU Kehutanan
Penguasaan hutan oleh Negara
tetap wajib melindungi,
menghormati, dan memenuhi
Wawancara dengan Yance Arizona (Epistema Institute), Jakarta, 5 September 2014
59
48
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
Nomor Perkara
No. 35/PUU-X/2012
Sebelum Putusan MK
Sesudah Putusan MK
masih ada dan diakui
keberadaannya, serta tidak
bertentangan dengan kepentingan
nasional.
hak masyarakat hukum adat,
sepanjang kenyataannya masih
ada dan diakui keberadaannya,
hak masyarakat yang diberikan
berdasarkan ketentuan peraturan
perundangundangan, serta
tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional.
- Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan - Pa s a l 1 a n g k a 6 U U
Kehutanan
Hutan adat adalah hutan negara
yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum Adat
- Pasal 4 ayat 3 UU Kehutanan
Hutan adat adalah hutan
negara yang berada dalam
wilayah masyarakat hukum
Adat
Penguasaan hutan oleh Negara
tetap memperhatikan hak - Pasal 4 ayat 3 UU Kehutanan
masyarakat hukum adat,
penguasaan hutan oleh
sepanjang kenyataannya masih
negara tetap memperhatikan
ada dan diakui keberadaannya,
hak masyarakat hukum adat,
serta tidak bertentangan dengan
sepanjang masih hidup dan
kepentingan nasional.
sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam
undang-undang
- Pasal 5 ayat 1 UU Kehutanan
Hutan berdasarkan statusnya
terdiri dari:
a. hutan negara, dan
b. hutan hak.
- Pasal 5 ayat 1 UU Kehutanan
Hutan negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
huruf a, tidak termasuk
hutan adat
- Penjelasan Pasal 5 ayat 1 UU
Kehutanan
tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat
- Pasal 5 ayat 2 UU Kehutanan
tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat
- Pasal 5 ayat (3) UU Kehutanan - Pa s a l 5 a y a t ( 3 ) U U
Pemerintah menetapkan status
Kehutanan
hutan sebagaimana dimaksud
Hasil Penelitian dan Pembahasan
49
Nomor Perkara
Sebelum Putusan MK
pada ayat (1) dan ayat (2);
dan hutan adat ditetapkan
sepanjang menurut
kenyataannya masyarakat
hukum adat yang bersangkutan
masih ada dan diakui
keberadaannya.
Sesudah Putusan MK
Pemerintah menetapkan
status hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1);
dan hutan adat ditetapkan
sepanjang menurut
kenyataannya masyarakat
hukum adat yang
bersangkutan masih ada dan
diakui keberadaannya.
Putusan MK 45 merupakan sebuah koreksi terhadap “tindakan
otoriter” yang dilakukan oleh pemerintah dalam pengelolaan hutan, yang
dikarenakan pemerintah mendapatkan kewenangan dari undang-undang
untuk menjadikan suatu wilayah menjadi kawasan hutan hanya dengan
cara penunjukan. Kewenangan ini tentu berpotensi menafikkan hak-hak
masyarakat yang ada pada wilayah tersebut, karena tidak ada proses yang
dilaksanakan, sehingga tindakan tersebut hanyalah tindakan serta-merta
yang dilakukan secara sepihak. Dalam Putusan MK45 disebutkan pada
bagian pertimbangan Mahkamah sebagai berikut:
“Bahwa dalam suatu negara hukum, pejabat administrasi negara tidak
boleh berbuat sekehendak hatinya, akan tetapi harus bertindak sesuai
dengan hukumdan peraturan perundang-undangan, serta tindakan
berdasarkan freies Ermessen (discretionary powers). Penunjukan belaka
atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses
atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di
kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan,
merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter. Penunjukan kawasan
hutan merupakan sesuatu yang dapat diprediksi, tidak tiba-tiba, bahkan
harus direncanakan, dan karenanya tidak memerlukan tindakan freies
Ermessen (discretionary powers). Tidak seharusnya suatu kawasan hutan
yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, menguasai
hajat hidup orang banyak, hanya dilakukan melalui penunjukan.”
Pertimbangan Mahkamah yang tersebut di atas menyatakan bahwa
tindakan yang menjadikan penunjukan sebagai dasar untuk menegaskan
kawasan hutan definitif merupakan perbuatan otoriter yang tidak
dapat dipertahankan lagi, karena hutan merupakan sumber daya yang
50
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
menyangkut hajat hidup orang banyak, sehingga harus ditetapkan melalui
tahapan. Mahkamah Konstitusi juga telah menyatakan bahwa penunjukan
sepihak oleh Menteri Kehutanan itu dengan sendirinya tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat.
Pada Putusan MK45 di dalam putusannya pada bagian pertimbangan
[3.14] Mahkamah Konstitusi menyatakan:
“Menimbang bahwa adapun mengenai ketentuan peralihan dari UU
Kehutanan, khususnya Pasal 81 yang menyatakan, “Kawasan hutan yang
telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, sebelum berlakunya undang-undang ini
dinyatakan tetap berlaku berdasarkan undang-undang ini”, menurut
Mahkamah, meskipun Pasal 1 angka 3 dan Pasal 81 Undang-Undang
a quo mempergunakan frasa“ ditunjuk dan atau ditetapkan”, namun
berlakunya untuk yang“ ditunjuk dan atau ditetapkan” dalam Pasal 81
Undang-Undang a quo tetap sah dan mengikat”
Mahkamah Konstitusi tidak membatalkan frasa “ditunjuk dan atau”
dalam Pasal 81, karena jika Mahkamah Konstitusi membatalkan frasa
tersebut, maka semua penunjukan-penunjukan yang telah dilakukan
sebelum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 harus dinyatakan
batal. Dihapusnya frasa ditunjuk pada Pasal 1 angka 3 tidak berarti
semua wilayah yang telah menjadi kawasan hutan melalui penunjukan
yang telah dilakukan sebelum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
atau sebelum adanya putusan MK ini harus diperlakukan sama dengan
penetapan kawasan hutan. Penunjukan yang dilakukan sebelum adanya
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 harus diperlakukan sebagai tahap
awal dalam proses pengukuhan kawasan hutan, yang kemudian perlu
ditindaklanjuti dengan tahapan berikutnya dalam proses pengukuhan
kawasan hutan yaitu penatabatasan, pemetaan dan penetapan. Hal ini
sejalan dengan pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan ini, yang mengatur bahwa
penunjukan adalah tahap awal dalam pengukuhan kawasan hutan dan
perlu dilanjutkan dengan tahapan berikutnya.
Pada putusan Perkara No. 34/PUU-IX/2011, MK memperkuat
pandangannya bahwa pengukuhan kawasan hutan harus memperhatikan
keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat, termasuk hak-hak
perseorangan dan badan hukum.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
51
Putusan MK ini mengganti pasal 4 ayat (3) menjadi:
“Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan
memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih
ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan
ketentuan peraturan perundangundangan, serta tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional.”
Maksud kata wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi
adalah ketika pemerintah akan menetapkan kawasan hutan, berkewajiban
menyertakan pendapat masyarakat terlebih dahulu sebagai bentuk fungsi
kontrol terhadap Pemerintah untuk memastikan dipenuhinya hak-hak
konstitusional warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat, mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh
diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun, hal ini sesuai dengan
Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945.
Oleh karena itu, jika dalam proses pengukuhan kawasan hutan
Pemerintah menemukan keberadaan dan hak masyarakat adat ataupun
hak perseorangan berdasarkan peraturan perundang-undangan, maka
Pemerintah berkewajiban untuk melakukan penyelesaian terlebih dahulu
secara adil dengan para pemegang hak.60
Mahkamah konstitusi berpendapat bahwa di dalam UU Kehutanan
terdapat tiga subjek hukum yang memiliki hubungan hukum dengan
hutan, yaitu negara, masyarakat hukum adat dan pemegang hak atas
tanah yang di atasnya terdapat hutan. Pada putusan Perkara Nomor 35/
PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pemegang hak
atas tanah juga memegang hak atas hutan. Maka, dapat diartikan bahwa
masyarakat hukum adat selain memegang hak atas tanah ulayat sekaligus
memegang hak atas hutan adat. Perseorangan/badan hukum pemegang
hak atas tanah juga memegang hak atas hutan hak. Dengan demikian,
keberadaan hutan adat harus didahului dengan adanya tanah ulayat dari
masyarakat hukum adat, karena hutan adat berada di atas tanah ulayat.61
60Yance Arizona, Mahkamah Konstitusi dan Reformasi Tenurial Kehutanan, http://www.
academia.edu/5470629/Mahkamah_Konstitusi_dan_Reformasi_Tenurial_Kehutanan diakses
pada tanggal 1 November 2014
61
Ibid
52
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
Implikasi dari putusan No. 35/PUU-X/2012 yang mengakui hak
penguasaan masyarakat adat atas hutan adatnya, maka masyarakat adat
memiliki wewenang untuk mengatur peruntukan, fungsi dan pemanfaatan
tanah ulayat dan hutan adat yang ada wilayahnya. Oleh karena itu,
kewenangan Kementerian Kehutanan untuk mengatur, menentukan
fungsi dan mengawasi peredaran hasil hutan dari hutan adat baru dapat
dilaksanakan bila ada penetapan hutan adat.
Namun, Putusan MK 35 ini masih belum cukup karena masih harus
ditindaklanjuti dengan pengakuan sistem-sistem hukum adat, antara lain
dengan diakuinya transaksi adat sesuai dengan hukum adatnya. Tindak
lanjut putusan tersebut harus diwujudkan melalui undang-undang,
penguatan organisasi dan struktur kelembagaan.62
c.
Respon Berbagai Lembaga atas Putusan MK Nomor 35/
PUU-X/2012
Berbagai pihak memberi respon terhadap Putusan MK tersebut. Lahir
Nota Kesepakatan Bersama (NKB) 12 Kementerian/ Lembaga tentang
Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia, ditandatangani pada
tanggal 12 Maret 2013, yang bertujuan meningkatkan kerjasama dan
koordinasi para pihak dalam percepatan pengukuhan kawasan hutan.
i. Kementerian Kehutanan
Direktur Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan
secara berkala melakukan penetapan kawasan hutan. Di luar
persoalan hasil Putusan MK tersebut, Kementerian Kehutanan
sebenarnya menghadapi persoalan pada pelaksanaan tata
batas kawasan. Sampai dengan tahun 2009 telah dicapai
seluas 219.206 km (77,64%) tata batas, namun baru
menghasilkan penetapan kawasan hutan seluas 13.819.510,12
hektar atau 11,29% dari luas total kawasan hutan Indonesia
122.404.872,67 hektar.
Ada inkonsistensi angka resmi dari Kementerian
Kehutanan mengenai luas kawasan hutan Indonesia. Data
Statistik Kehutanan 2012 yang dikeluarkan Dirjen Planologi
Wawancara dengan Prof. Dr. Ahmad Sodiki, S.H. (Mantan Hakim Mahkamah
Konstitusi), Jakarta, 5 September 2014
62
Hasil Penelitian dan Pembahasan
53
Kemenhut pada Oktober 2013 menyebutkan kawasan hutan
di daratan dan perairan seluas 133.424.121,33 hektar. Seluas
128.225.146,02 kawasan hutan di daratan dan sekitar 5 juta
lebih berupa perairan (Kemenhut 2013)63.
Selain itu terdapat masalah berupa perspektif penetapan
kawasan hutan di Kementerian Kehutanan yang hanya
memenuhi syarat administratif (saat telah mencapai
‘temu gelang’) dan disahkan dalam Berita Acara Tata
Batas (BATB), sehingga dalam kenyataan lapangannya ia
melanggar penguasaan masyarakat yang telah mendiami dan
memanfaatkannya didalam lingkungan dan penanda alam
yang ada (sungai, pantai, dll).
Oleh sebab itu dilakukan penetapan kawasan sebagai
tindak lanjut MK 35 tersebut. Hal ini juga akibat desakan
dari Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menemukan
bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan
kajian Sistem Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan
Hutan di Direktorat Jenderal Planologi pada tahun 2010.
Ada tiga permasalahan yang ditemukan dari kajian ini;
1) disharmonisasi kebijakan dan regulasi antar sektor, 2)
pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan yang belum optimal,
3) belum adanya mekanisme penyelesaian konflik kawasan
hutan yang memberikan keadilan bagi seluruh pihak. Inilah
yang mendorong perlu adanya Nota Kesepahaman Bersama
Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan yang ditandatangani
oleh 12 Kementerian dan Lembaga (NKB 12 K/L) pada
tanggal 12 Maret 2013 di Jakarta tersebut64.
Sampai dengan tanggal 3 September 2014 seluas
58.154.230,24 hektar (47,51%) dari seluruh kawasan hutan
seluas 122.404.872,67 hektar telah berhasil dilakukan
penetapan kawasan hutan. Penetapan sebelum percepatan
penetapan kawasan hutan sampai dengan tahun 2009 seluas
13.819.510,12 hektar atau sebesar 11,29%, sehingga seluruh
63
Kasmita Widodo, “Hutan Adat dalam Tumpukan Penguasaan Hutan”, http://www.
mongabay.co.id/2014/01/09/hutan-adat-dalam-tumpukan-penguasaan-hutan/, diakses 9 Agustus
2014
64
ibid
54
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
penetapan kawasan hutan (sebelum dan setelah percepatan)
sampai dengan Agustus 2014 seluas 71.973.740,36 hektar
atau sebesar 58,80% hektar atau sebesar 56,99%.65
Pengukuhan itu merupakan pelaksanaan dari Permenhut
Nomor P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan
Hutan. Peraturan ini mengakomodasi keberadaan bukti tertulis
dan bukti tidak tertulis sebagai dasar hak masyarakat dalam
proses pengukuhan kawasan hutan. Di samping itu, peraturan
ini juga mengakomodasi batas virtual sebagai batas kawasan
hutan untuk lokasi tertentu yang tidak dapat dilakukan tata
batas fisik. Permenhut ini idealnya sejalan dengan putusan
MK, karena hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis,
sehingga dengan diakomodasinya bukti tidak tertulis, maka
hak masyarakat yang berasal dari hak adat dapat diakui.
Akan tetapi terdapat perubahan pada tahun 2013. Terbit
Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor SE.1/MenhutII/2013. Pada intinya surat edaran itu bertujuan untuk
memberikan informasi kepada seluruh Gubernur, Bupati dan
Kepala Dinas yang mengurus persoalan kehutanan di daerah.
Di dalam surat edaran ini terdapat kesalahan tafsir atas putusan
MK, karena dalam putusan MK dinyatakan bahwa hutan adat
merupakan bagian dari hutan hak, tetapi dalam angka II.1.c
surat edaran ini disebutkan bahwa hutan berdasar statusnya
ada tiga, yaitu hutan negara, hutan adat, dan hutan adat.
Kejanggalan itu dilanjutkan dengan Permenhut Nomor
P.62/Menhut-II/2013 yang merupakan perubahan terhadap
Permenhut Nomor P.44/Menhut-II/2012. Pasal 24A ayat
(3) Permenhut mengatur bahwa: “Dalam hal sebagian atau
seluruh wilayah masyarakat hukum adat berada dalam
kawasan hutan, dikeluarkan dari kawasan hutan.” Ketentuan
permenhut ini tidak sejalan dengan putusan MK, karena yang
dimaksud dalam putusan MK adalah hutan adat dikeluarkan
dari hutan negara, bukan berarti dikeluarkan dari kawasan
hutan. Salah satu pengabaian tampak dalam Pasal 17 berupa
Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Penetapan Kawasan Hutan, Menuju Kawasan
Hutan Indonesia yang Mantap, Jakarta, September 2014
65
Hasil Penelitian dan Pembahasan
55
pengingkaran masyarakat adat sebagai subjek hukum dengan
tidak memasukkannya ke dalam kategori pihak ketiga.
Padahal legalitas masyarakat adat sebagai subjek hukum atas
hutan adat telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi
dalam pertimbangan hukumnya untuk Putusan MK 35.
Singkatnya, Permenhut 62/2013 tersebut menguatkan kembali
Kemenhut yang melakukan belitan dan jerat teknis yang sulit
dilaksanakan oleh masyarakat dan para pihak untuk terjadinya
pengakuan hak-hak pihak ketiga dalam hal ini hutan adat
dalam pengukuhan kawasan hutan66.
Peraturan itu juga menyatakan bahwa pihak ketiga
yang mengklaim hak harus menunjukan bukti keberadaan
permukiman, fasilitas umum, dan fasilitas sosial yang sudah
ada sebelum penunjukan kawasan hutan maupun sesudah
penunjukan kawasan hutan. Ketiga syarat penguasaan fisik
ini tentunya sulit dipenuhi oleh masyarakat adat67 apalagi
mereka yang terusir dari wilayah adatnya serta mengalami
kriminalisasi.
Atas keluarnya Permenhut P.62 tersebut, Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sebagai salah satu
pihak yang mengajukan judical review ke MK melakukan
penolakan pada tanggal 21 Januari 2014. AMAN menuntut
agar peraturan menteri tersebut dicabut sebab (1) mengingkari
status masyarakat adat sebagai subjek hukum; (2) mengabaikan
putusan MK 45/2011 yang mengkoreksi aturan tentang
Pengukuhan Kawasan Hutan dalam UU Kehutanan;
(3) membatasi bukti klaim atas Hak Masyarat Adat; (4)
memberlakukan syarat berganda pengakuan Hutan Adat;
(5) melestarikan cara pandang yang salah mengenai Kawasan
dan Hutan Negara dengan mempersamakan keduanya; (6)
berpotensi pada semakin menguatnya ego sektor Kehutanan
dalam penyusunan Legislasi Daerah.
66
Bernadinus Steni dan Yance Arizona, Analisa Hukum atas Permenhut No 62 Tahun 2013,
Desember 2013. Tidak diterbitkan, hlm 5.
67
Rilis Pers: Permenhut P.62 Melanggar Putusan MK35, http://www.aman.or.id/2014/01/22/
rilis-pers-permenhut-p-62-melanggar-putusan-mk35/#.U_VlyqNiTFw, diakses 21 Agustus 2014
56
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
ii.
National Inquiry oleh Komnas HAM dan Inistiatif Organisasi
Masyarakat
Pihak yang memberikan respon langsung dengan adanya
putusan Nomor 35/PUU-X/2012 adalah Komnas HAM dan
beberapa organisasi masyarakat sipil. Lembaga negara ini
langsung mengadakan National Inqury yang dilakukan karena
selama ini pemerintah dianggap telah melakukan banyak
kesalahan dan kekerasan yang telah mencerabut hak masyakat
adat atas wilayahnya, sehingga pemerintah harus memberikan
hak restitusi.
National Inquiry adalah salah satu bentuk penyelidikan
terhadap permasalahan tertentu yang memberi dampak pada
nasib masyarakat luas yang diduga akarnya dari satu bidang
yang sifatnya nasional. Berbeda dengan penyelidikan umum,
inkuiri nasional adalah melibatkan partisipasi masyarakat dan
juga pemberian pendidikan kepada masyarakat serta aparat
pemerintah mengenai hak-hak masyarakat adat.68 Kegiatan
ini dimaksudkan untuk melakukan penyelidikan atas satu
masalah terkait dengan HAM yang dilakukan secara sistematis
dan bersifat terbuka. Dapat dikatakan ia merupakan gabungan
antara penyelidikan, kajian, kampanye, dan rekomendasi
kebijakan.
National Inquiry memiliki metode penelitian dengan
mengumpulkan data yang dilakukan oleh 9 organisasi
masyarakat sipil seperti Sajogyo Institute, HuMa, AMAN,
The Samdhana Institute, Elsam, Kemitraan, JKPP, Epistema
Institute, dan Komnas Perempuan, selain Komnas HAM
sendiri. Verifikasi data dilakukan dalam stakeholder meeting
dan pertemuan dengan tim lokal untuk mempersiapkan
persiapan Dengar Kesaksian (Public Hearing) di tujuh
wilayah. Masyarakat adat sebagai korban yang mendapatkan
pelanggaran yang terindikasi pelanggaran berat atas Hak Asasi
Manusia dihadirkan secara convidential untuk memberikan
kesaksiannya. Dalam proses Dengar Kesaksian disajikan
Wawancara dengan Sandra Moniaga (Komisioner Komnas HAM), Jakarta, 8 September
68
2014
Hasil Penelitian dan Pembahasan
57
minimal 6 kasus konflik masyarakat adat di kawasan hutan
dan mendengarkan kesaksian sekurang-kurangnya 12 korban
dari anggota masyarakat adat.
Hasil dari Inkuiri National akan disusun dalam format
laporan lengkap yang menyajikan kesaksian korban dan
pemeriksaan dari saksi-saksi. Rekomendasi dari hasil Dengar
Kesaksian akan dimasukkan di dalam laporan dan digunakan
untuk lobby dan upaya perubahan kebijakan. Sampai dengan
saat ini proses National Inquiry masih berjalan.
Di luar national inquiry, masing-masing organisasi
masyarakat sipil tersebut memberikan perhatian yang
mendalam terhadap pengakuan dan perlindungan hak-hak
atas tanah dan kekayaan alam mayarakat hukum adat. Melalui
penelitian, pendampingan, dan advokasi yang sudah mereka
lakukan melalui perhatian kelembagaannya masing-masing,
mereka mendorong penguatan hak mayarakat adat baik
melalui pemetaan, hukum, dan analisa sosial-ekonomi-politik,
serta mempertemukan berbagai elemen kelembagaan.
Jaringan kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) telah
melakukan pemetaan terhadap wilayah hutan adat. Ini
dilakukan mengingat ketiadaan secara aktif pemerintah
(Kementerian Kehutanan) yang telah secara otoriter (istilah
resmi MK) menunjuk kawasan hutan dan memasukkan hutan
adat ke dalam hutan negara. Jika pasal mengenai hal itu sudah
dibatalkan oleh MK, maka logikanya adalah Kementerian
Kehutanan lah yang harus secara aktif mengkoreksi
kesalahannya dengan menetapkan dan mengeluarkan kawasan
hutan adat yang telah diapropriasi tersebut. Namun, dalam
kenyataannya tidaklah demikian.
JKPP sampai dengan Desember 2013 telah menguji
coba memetakan secara partisipatif wilayah adat yang diambil
secara sepihak oleh kementerian Kehutanan. Dari data yang
sudah dikumpulkannya, 5.263.058,28 hektar luas wilayah
hasil pemetaan partisipatif terdapat wilayah adat sekitar
4.973.711,79 hektar. Jika data peta wilayah adat tersebut
ditumpang susun dengan data peta Kawasan Hutan, maka
58
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
ada sekitar 81% atau sekitar 4.050.231,18 hektar kawasan
hutan berada di wilayah adat. Hanya tersisa 19% masyarakat
adat yang hidup dan mengelola wilayah adatnya. Inipun oleh
oleh Kementerian Kehutanan dikategorikan sebagai Areal
Penggunaan lain. Di kedua wilayah itu dikeluarkan ijin untuk
pemanfaatan hasil kayu, pertambangan, perkebunan sawit, dll.69
Kasmita Widodo, log.cit.
69
Hasil Penelitian dan Pembahasan
59
Gambar 1. Luas Kawasan Hutan dan APL di Wilayah Adat
(JKPP 2013)
60
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
Akan tetapi, ironisnya, di tengah tidak aktifnya koreksi
terhadap penunjukan kawasan hutan itu terjadi, tumpangtindih perizinan dan penguasaan sehingga memerlukan
kebijakan one map policy, serta persyaratan ketat baik secara
fisik dan yuridis untuk membuktikan klaim masyarakat adat;
munculnya inisiatif masyarakat sipil dalam membantu proses
penguatan klaim yang salah satunya adalah melalui peta tidak
kunjung pula diakui. Banyak kritik telah muncul yang melihat
kondisi negara yang tidak aktif bertindak, namun ketika ada
inisiatif masyarakat yang aktif melakukannya, tetap saja negara
tidak mengakui.
Data pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh JKPP
yang sudah diregistrasi sebagai wilayah adat (Badan Registrasi
Wilayah Adat/BRWA) sampai dengan tahun 2013 adalah seluas
2,4 juta hektar. Data ini telah diserahkan kepada Kepala UKP4
dan Kepala BIG. Tahapan dan tujuan pemetaan partisipatif
yang mereka rumuskan adalah: Pemetaan partisipatif untuk
1) penyelesaian konflik, 2) perencanaan wilayah adat. Hasil
pemetaan dimasukkan dalam registrasi wilayah adat di BRWA
untuk mendapatkan rekognisi.
Akan tetapi peta-peta partisipatif wilayah adat yang
dihasilkan JKPP belum dapat masuk sistem pemetaan resmi
pemerintah. Perpres No.85/2007 mengenai Jaringan Data
Spasial Nasional (JDSN) merupakan rujukan utama dalam
membuat Standar Operasional dan Prosedur (SOP) Pemetaan
Partisipatif yang dibuat oleh BIG. Dalam perpres ini tidak
memungkinkan peta wilayah adat menjadi bagian dalam
JDSN, karena pembuat peta atau wali data tidak menjadi
bagian dari Simpul Jaringan (Pasal 4-5 Perpres 85/2007).
Padahal mandat UU Informasi Geospasial No.4/2011 Pasal
23 angka 1, masyarakat mempunyai hak membuat informasi
geospasial tematik yang dapat menjadi bagian dalam JDSN
untuk dijadikan referensi mengurus hutan Indonesia70. Sudah
saatnya negara mengakui dan mengakomodir inisiatif dari
ibid
70
Hasil Penelitian dan Pembahasan
61
masyarakat sipil yang justru memudahkan kerja pemerintah
itu sendiri.
B.
Mekanisme dan Prosedur Pendaftaran Hak Penguasaan atas
Tanah pada Kawasan Hutan Adat
1.
Urgensi Pendaftaran Hak Penguasaan atas Tanah
Catatan tentang pemilikan/penguasaan dan penggunaan tanah yang
dihasilkan melalui kegiatan pendaftaran tanah pada hakekatnya hanya
merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan tertentu bagi kehidupan,
yaitu merupakan sarana atau alat bagi administrasi tanah yang baik. Fungsi
pendaftaran tanah dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) kelompok
utama yaitu untuk kepentingan publik dan untuk kepentingan privat.
Pertama, pendaftaran tanah bermanfaat bagi kepentingan publik/umum,
maksudnya ada hubungannya dengan kesejahteraan negara dan atau
masyarakat. Pemerintah perlu menginventarisasi sumber kekayaan tanah
untuk tujuan seperti pajak, menjamin perkembangan tanah yang tepat,
dan lain-lainnya. Misalnya untuk keperluan pajak di Prancis dikenal
“cadastre” yaitu catatan umum tentang jumlah, nilai dan pemilikan harta
kekayaan yang tak bergerak, dikumpulkan untuk dasar perpajakan.
Sedangkan di Indonesia untuk tujuan ini, dilakukan pencatatan tanah
oleh Ditjen Pajak Bumi dan Bangunan, Departemen Keuangan.
Kedua, pendaftaran tanah dapat berfungsi bagi kepentingan privat/
warga negara perseorangan/individu (termasuk kelompok) atau badan
hukum dalam rangka untuk menjamin hak-hak pemilikan/penguasaan
tanah sehingga memungkinkan untuk dilakukan transaksi dengan aman,
murah, dan cepat. Demikian halnya di Indonesia (fokus dalam penelitian
ini), pendaftaran tanah merupakan rangkaian kegiatan administratif yang
dilakukan oleh badan pemerintah sampai menerbitkan tanda bukti haknya
dan memelihara rekamannya, merupakan perwujudan dalam penetapan/
pengakuan status hukum tanah yang dimiliki/dikuasai perorangan atau
badan hukum. Sehingga badan yang memberikan/pengakuan hak atas
tanah hanya ada satu (monopoly function) yaitu Kementerian Agraria
dan Tata Ruang/BPN. Sekalipun dijumpai ada badan yang melakukan
pendaftaran tanah seperti kantor pajak, namun kantor pajak tidak dapat
memberikan hak atas kepemilikannya, berupa sertipikat hak atas tanah.
62
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
Berdasarkan pengertiannya, pendaftaran tanah merupakan satuan
sistem administrasi pertanahan yang mencakup keterpaduan awal sampai
pada perekaman informasi yang up to date data tanah dan hak-hak
tanah yang didaftarkan hingga pada pengawasannya. Untuk itu, dalam
pendaftaran tanah yang baik harus dilakukan pekerjaan antara kegiatan
teknis, kerangka kerja dan kelembagaan yang aspeknya tidak hanya
menyangkut pengaturan secara mekanik, survei, dan rekaman dari bagianbagian tanah tersebut tetapi juga hukum, financial, administrasi, aspek
sosial, dan issue politiknya yang dirangkai atau dipadukan dalam kegiatan
manajemen pertanahan.
Dalam Pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria (UU Nomor 5
Tahun 1960) telah ditetapkan bahwa tanah-tanah yang ada di seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus didaftarkan dalam
rangka untuk menjamin kepastian hukum atas tanah71. Hak-hak atas
tanah72 yakni hak-hak individual yang dalam Pasal 4 Ayat (1) UUPA
dijelaskan sebagai hak yang dimiliki atau diberikan kepada orang (atau
orang-orang) dan badan hukum dan memberikan wewenang untuk
menggunakan bagian permukaan bumi yang disebut tanah kepada
pemegang haknya. Pendaftaran hak atas tanah yaitu Hak Milik, Hak
Guna Usaha serta Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23, 32, dan 38 UUPA, merupakan alat pembuktian yang kuat
mengenai perolehan (adanya), peralihan, pembebanan serta hapusnya hak
yang bersangkutan73.
Konflik kepentingan masyarakat di atas sebidang tanah hanya bisa
diselesaikan dengan baik apabila kebijakan pembangunan di atas tanah
71
Pasal 19 ayat (1), menentukan bahwa: “Untuk menjamin kepastian hukum oleh
Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuanketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”
72
Menurut Pasal 16 UUPA, hak-hak atas tanah ini terdiri dari: a) Hak Milik; b) Hak
Guna Usaha; c) Hak Guna Bangunan; d) Hak Pakai; e) Hak Sewa; f ) Hak Membuka Tanah; g)
Hak Memungut Hasil Hutan; dan h) Hak-hak lain yang akan ditetapkan dengan UU dan hakhak sementara. Hak-hak lain tersebut seperti: Wakaf atas Tanah (UU Nomor 41 Tahun 2004),
Hak Milik Satuan Rumah Susun (UU Nomor 20 Tahun 2011, Hak Tanggungan (UU Nomor 4
Tahun 1996). Disamping hak atas tanah, dalam Pasal 16 ayat (2) UUPA juga diatur hak-hak atas
air dan ruang angkasa yaitu: a) hak guna air, b) hak pemeliharaan dan penangkapan ikan, dan c)
hak guna ruang angkasa.
73
Perolehan hak atas tanah dapat melalui konversi hak-hak lama atau pemberian hak (baru)
atas tanah negara. Peralihan hak atas tanah dapat berupa jual beli, tukar menukar, waris, hibah dan
sebagainya. Pembebanan hak atas tanah seperti Hak Tanggungan atau Hak Guna Bangunan atau
Hak Pakai atas Hak Milik. Hapusnya hak atas tanah berarti tanah kembali menjadi tanah negara.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
63
itu dirasakan menguntungkan semua pihak. Berbagai konflik kepentingan
mengindikasi adanya ketidakpastian hubungan penguasaan antara manusia
dengan tanah, sedangkan kepastian itu merupakan hal yang mendasar
untuk mengembangkan kehidupan dan penghidupan. Hak atas tanah
merupakan hak dasar bagi setiap warga negara yang dijamin konstitusi
oleh karena itu kepastian hukum kepemilikan atas tanah merupakan salah
satu kebutuhan yang hakiki. Kepastian hakiki terwujud apabila tidak ada
lagi keraguan dan kekhawatiran mengenai kepemilikan tanahnya yang
sudah terdaftar, baik keyakinan dari dirinya sendiri maupun pengakuan
dari pihak lain.74
Demikian pula halnya terhadap Hak Ulayat sebagaimana telah di
bahas di atas, maka sesuai dengan Surat Edaran Kepala BPN RI kepada
Kakanwil dan Kakantah di seluruh Indonesia Tanggal 4 April 2014
Nomor 3/SE/IV/2014 tentang Penetapan Eksistensi Masyarakat Hukum
Adat dan Tanah Ulayat, terhadap tanah ulayat yang sudah ditetapkan
dengan Peraturan Daerah ditindaklanjuti dengan pencatatan pada peta
dasar pendaftaran dengan membubuhkan suatu tanda kartografi, dan
menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah.
Berdasarkan ketentuan tersebut, terhadap tanah ulayat tidak dilakukan
pencatatan dalam buku tanah yang dilanjutkan dengan penerbitan
sertipikatnya. Hal ini dapat dimaknai bahwa tujuan pendaftaran/
pencatatan tanah ulayat dimaksud bukan untuk tujuan kepastian hukum,
karena tidak sampai pada penerbitan alat bukti kepemilikan (sertipikat),
tetapi ditujukan untuk tertib administrasi dan tersedianya data informasi
sebagaimana tujuan pendaftaran tanah (lihat Pasal 3 PP Nomor 24 Tahun
1997). Adapun penjelasannya sebagai ulasan berikut ini.
Dilaksanakannya pendaftaran hak atas tanah dengan tujuan kepastian
hukum, maknanya untuk memberikan kepastian yang menyangkut 3
(tiga) hal yaitu status tanah, subyek hak dan obyeknya:
1) Kepastian status hukum berupa hak pada tanah tersebut sesuai
dengan jenis hak yang dimohon.
Bila seseorang memohon HM, HGU atau HGB, maka dengan
pendaftaran tanah munculah status hukum atas tanah itu menjadi
Muchthar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Republika,
Jakarta, 2008, hal. 3
74
64
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
HM, HGB atau HGU atas nama pemohon yang disetujui. Dengan
didaftarkannya tanah seseorang baru ada/lahir HM atas tanah, HGU
atas tanah, HGB atas tanah dan hak-hak lainnya. Sebaliknya, jika
tidak dilakukan pendaftaraan maka tidak/belum ada HM, HGU,
HGB atau Hak Pakai dan lainnya.
Dengan dilakukannya pendaftaran tanah, akan terlindunglah
hak pemilik. Hak itu digunakan pemiliknya sebatas isi dan sifat
dari status tanah itu oleh pemilik hak. Pemilik hak yang terdaftar
akan dapat menggunakan dan memanfaatkan tanah tersebut untuk
kepentingan apa saja di atas tanah tersebut, untuk digunakan sebatas
hak miliknya itu, asal tidak dilarang oleh aturan atau ketentuan
lainnya. Misalnya, bila status tanah itu adalah Hak Guna Usaha
maka pemegang Hak Guna Usaha akan dapat mengunakan hak
tersebut sebagai mana peruntukan dari hak dimaksud sesuai dengan
yang ditetapkan oleh undang-undang yaitu untuk pertanian,
perikanan dan peternakan (lihat Pasal 28 ayat (1) UUPA). Hak
Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri,
dengan jangka waktu paling lama 30 tahun (lihat Pasal 35 ayat (1)
UUPA). Oleh karena dalam hukum positif kita tanah ulayat belum
jelas statusnya apakah termasuk hak atas tanah (sebagimana pasal 16
UUPA), hak pengelolaan atau semacam Hak Menguasai Negara yang
dilimpahkan pada masyarakat hukum tertentu? Artinya memang
keberadaan tanah ulayat sudah diakui, hanya saja isi dan sifat dari
tanah ulayat itu belum ada pengaturannya, sehingga tidak ada alas
an untuk menerbitkan sertipikatnya.
Demikian halnya dengan tanah ulayat, jika didaftarkan
pada buku tanah dan sampai diterbitkan sertipikatnya berarti
akan muncul/lahir haknya. Dalam pendaftaran ini akan muncul
permasalahan apa status haknya: Hak Ulayat? Sampai saat ini
lembaga hak ulayat belum ada pengaturannya, sehingga pencatatan
pada peta dasar pendaftaran sebagaimana surat edaran di atas
hanya dengan membubuhkan tanda/simbol kartografi tertentu saja
menurut peneliti sudah tepat.
Tanah (hak) ulayat beraspek publik dan perdata. Aspek publik
tersebut mengandung tugas kewajiban mengelola, mengatur dan
Hasil Penelitian dan Pembahasan
65
memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaan
tanah ulayat oleh Kepala Adat. Sedangkan aspek perdatanya
mengandung arti bahwa tanah ulayat merupakan hak kepunyaan
bersama masyarakat hukum adat.
Secara teoritis, hak kepemilikan berbeda dengan hak
menguasai. Pemegang hak milik atas suatu benda pastilah pemilik
dari benda tersebut sedangkan pemegang hak menguasai belum
tentu pemilik dari benda itu. Bila dikaitkan dengan hak ulayat, maka
hak ulayat termasuk ke dalam kategori hak menguasai. Karena hak
ulayat merupakan kepunyaan bersama masyarakat hukum adat di
mana penguasaannya dipimpin oleh Penguasa Adat.
Walaupun berdasarkan UUD 1945 dan putusan MK 35
mengakui hak penguasaan masyarakat adat atas hutan adatnya,
sehingga masyarakat adat memiliki wewenang untuk mengatur
peruntukan, fungsi dan pemanfaatan tanah ulayat dan hutan adat
yang ada wilayahnya, namun belum jelas siapa subyek (pemegang
hak) pada saat pendaftaran (pencatatan dalam daftar-daftar umum).
Nama-nama pemegang hak dapat beberapa kemungkinan, yaitu:
a)
Dalam hal pemegang haknya dimaknai sebagai pemilikan
individu (kelompok bersama masyarakat hukum adat),
maka pendaftaran hak ulayat akan beresiko hanya mencatat
nama-nama penduduk (yang mempunyai bukti identitas
kependudukan) dalam kelompok masyarakat hukum adat
tersebut, belum lagi kesulitan dalam pencatatan berapa porsi
bagian dari masing-masing orang (atau keluarga), sebagaimana
teknis administrasi pertelaan dalam pendaftaran pada Hak
Milik atas Satuan Rumah Susun. Sedangkan penduduk yang
belum mempunyai bukti identitas, misalnya masih belum
dewasa, bahkan bagi generasi yang akan datang baru akan
(ikut) diakui sebagai subyek hak jika dilakukan pendaftaran
peralihan (balik nama) karena pewarisan. Disini akan menemui
kesulitan dalam pendaftaran peralihan hak karena dinamika
pewarisan dalam masyarakat terus akan terjadi setiap saat.
b) Begitu juga atas tanah yang semula sudah ada hak atasnya,
bila terjadi pendaftaran balik nama tentu pula diberikan status
kepemilikan baru bagi yang memohon untuk balik namanya
66
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
berdasarkan bukti adanya perbuatan hukum di atas hak itu.
Perbuatan hukum dimaksud adalah perbuatan pengalihan
dari orang pertama yang telah mendaftarkan hak itu kepada
orang kedua (pihak lain) yang menerima hak atas tanah yang
disebut dengan pemindahan hak. Menurut ketentuan undangundang, pemindahan hak ini dapat dilakukan dengan jual beli,
tukar-menukar, hibah, waris, lelang, merger, dan pemasukan
dalam perusahaan (lihat Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor
24 tahun 1997). Jadi baik pendaftaran pertama maupun
pendaftaran balik nama yang dilakukan di Kantor Pertanahan
setempat merupakan pekerjaan administrasi Negara dalam
memberikan status hukum atas tanah dimaksud. Sehingga
dengan adanya pemberian status hukum ini di atas tanah yang
di daftar, pemilik tanah dengan pendaftaran ini menerima
status hak yang dilindungi oleh Negara sesuai jenis haknya.
Dengan pendaftaran inilah, baik pendaftaran yang
pertama sekali maupun pendaftaran peralihannya untuk terus
menjaga terpeliharanya informasi atas kepemilikan, serta telah
terjadinya peralihan dari pemilik semula kepada pemilik baru
tetap terjaga data atau rekaman peristiwanya. Secara taknis
administrasi, dilakukan pencatatan pada buku tanah dan surat
ukurnya (lihat Pasal 29 dan 30 PP Nomor 24 Tahun 1997),
nama pemilik terdahulu dicoret dengan tinta yang masih
dapat dibaca, sehingga diketahui benar asal-usul tanah ini
sebelumnya, sampai setelah menjadi milik pembeli terakhir
atau penjual hak yang terdaftar belakangan pada buku tanah.
Dengan demikian pendaftaran tanah yang berkesinambungan
(continuous recording) ini juga disebut pendaftaran hak, artinya
di atas tanah itu telah ada hak (baik Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan dan lain-lain) namun karena
terjadi peralihan lalu dibuat pendaftaran peralihan tersebut
atau sering disebut balik nama atau pendaftaran balik nama
dari hak atas tanah.
Dengan demikian jelas bahwa tujuan diadakan
pendaftaran tanah oleh pemerintah adalah menjamin kepastian
hukum, dengan adanya kepastian hukum maka masyarakat
tidak perlu merasa cemas dan takut serta khawatir dengan
Hasil Penelitian dan Pembahasan
67
adanya persoalan-persoalan yang dapat merugikan masyarakat
itu sendiri. Apabila adanya persengketaan dikemudian
hari dengan adanya bukti otentik maka masyarakat dapat
membuktikan bahwa tanah tersebut mempunyai bukti kuat
yang berbentuk tertulis sehingga dapat dipergunakan sewaktuwaktu apabila terjadi persengketaan baik itu di dalam maupun
diluar pengadilan.
Saat ini sudah ada contoh tanah-tanah adat (awalnya
termasuk tanah ulayat), yang setelah didaftarkan oleh
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN menjadi
kepemilikan bersifat individual, misalnya di Sumatera Barat.
Tanah Ulayat di Minangkabau dimiliki secara bersama
oleh masayarakat adat yang menguasai dan pengaturan
pengelolaannya diserahkan pada penghulu. Berdasarkan Perda
Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2008, klasifikasi tanah ulayat
terdiri atas 4 (empat) jenis tanah ulayat, yakni tanah ulayat rajo,
tanah ulayat nagari, tanah ulayat suku, dan tanah ulayat kaum.
–
–
–
–
68
Tanah Ulayat Rajo, dapat didaftarkan sebagai subjek
pemegang hak adalah anggota kaum dan pihak ketiga,
diketahui oleh laki-laki tertua pewaris rajo, dengan status
hak pakai dan hak kelola;
Tanah Ulayat Nagari, dapat didaftarkan dan yang
bertindak sebagai subjek pemegang hak adalah ninik
mamak KAN diketahui oleh Pemerintah Nagari
dengan status Hak Guna Usaha, Hak Pakai atau Hak
Pengolahan;
Tanah Ulayat Suku, yaitu tanah yang dipunyai secara
bersama oleh seluruh anggota suku yang diwarisi secara
turun temurun dalam keadaan utuh. Penguasanya
adalah penghulu suku. Terhadap tanah ulayat suku
dapat didaftarkan sebagai subjek pemegang hak adalah
penghulu-penghulu suku dengan status hak milik.
Tanah Ulayat Kaum, yaitu tanah yang dimiliki secara
bersama dalam garis keturunan matrilineal yang diwarisi
secara turun temurun dalam keadaan utuh yang tidak
terbagi-bagi. Penguasanya adalah penghulu kaum. Tanah
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
Ulayat kaum ini sering juga disebut tanah pusako tinggi.
Terhadap tanah ulayat kaum dapat didaftarkan sebagai
subjek pemegang hak adalah anggota kaum dan mamak
kepala waris dengan status hak milik.
c)
2)
Dari ketentuan tersebut di atas, dipahami bahwa jika
tanah ulayat didaftarkan pada Kantor Pertanahan, maka
statusnya diubah menjadi HGU, Hak Pakai, Hak Milik, HPL
dan hak kelola. HM, HGU, Hak Pakai, dan HPL merupakan
status tanah yang dikenal dalam hukum pertanahan Indonesia,
sedangkan “hak kelola” merupakan istilah baru yang tidak
lazim dalam hukum positif pertanahan Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam mekanisme
pendaftaran tanah ulayat yang diatur oleh Perda Nomor 6
Tahun 2008 berimplikasi terhadap berubahnya status hukum
tanah ulayat, yang bertolak belakang dengan asas utama tanah
ulayat.
Jika pemegang haknya bukan orang, tetapi lembaga (organisasi)
berarti harus ada penunjukan dari pemerintah, seperti
halnya badan hukum pada umumnya. Contohnya badan
hukum perdata, atau badan keagamaan, misalnya terhadap
tanah masyarakat adat Bali yang digunakan untuk tempat
sembahyang (pura) maka subyek haknya adalah lembaga “
Pura” itu sendiri, misalnya Pura Besakih, dan lainnya.
Kepastian obyek tanah ulayat
Kepastian tentang tanah atau obyek haknya, berkaitan dengan
kepastian dimana letak tanah, berapa luasnya dan bagaimana batasbatasnya. Kiranya mudah dipahami, bahwa orang menginginkan
kepastian juga mengenai hal-hal tersebut, karena tidak adanya
kepastian tanahnya itu akan mudah menimbulkan sengketa di
dalam pemanfaatan dan penggunaan atas bidang tanah tersebut.
Untuk itulah diperlukan adanya kegiatan teknis yaitu pengukuran
dan pemetaan setelah dilakukan penetapan batas-batas bidang tanah
(tanah ulayat).
Dengan demikian, perlu adanya tindak lanjut putusan MK
35 tersebut yang diwujudkan melalui undang-undang, penguatan
Hasil Penelitian dan Pembahasan
69
organisasi dan struktur kelembagaan masyarakat hukum adatnya.
Agar dapat dilakukan pendaftaran tanah, perlu ada Peraturan Daerah
tentang Penetapan Masyarakat Hukum Adat dan Tanah Ulayat, yang
merupakan kewenangan darti Pemda setempat, yang didasarkan
hasil penelitian yang dilakukan oleh pakar hukum adat, masyarakat
adat yang bersangkutan, lembaga swadaya masyarakat, dan instansi
yang terkait. Dalam draf RUU Pertanahan, BPN mengusulkan agar
ketentuan mengenai tanah ulayat/hak ulayat masyarakat hukum adat
diatur secara lebih rinci, khususnya mengenai syarat, serta hak dan
kewajiban yang berkaitan dengan tanah ulayat/masyarakat hukum
adat.
2.
Pelaksanaan Pendaftaran Hak Penguasaan atas Tanah di
Kawasan Hutan Adat
Pendaftaran tanah (hak atas tanah), bertujuan untuk memberikan
kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak atas suatu
bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar
dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang
bersangkutan, yang merupakan amanat Pasal 19 yang obyeknya berupa
HM, HGU dan HGB (lihat Pasal 23, 32, dan 38 UUPA). Pendaftaran
tanah pada hakikatnya bertujuan untuk memberikan kepastian hak kepada
pemilik tanah terdaftar agar dengan mudah membuktikan dirinya sebagai
pemilik tanah. Kepada pemilik tanah diberikan sertifikat sebagai surat
tanda bukti. Terbitnya sertipikat merupakan pemberi rasa aman kepada
pemilik tanah akan haknya kepada tanah itu, sertifikat merupakan tanda
bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data
fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data tersebut
sesuai dengan data yang terdapat dalam surat ukur dan buku tanah yang
bersangkutan.75
Disadari bahwa tujuan pendaftaran tanah selain untuk menjamin
kepastian hukum tersebut, juga dapat sekaligus untuk menyediakan data/
informasi pertanahan (lihat Pasal 3 PP Nomor 24 Tahun 1997). Dengan
demikian, obyek pendaftaran76 yang dimaksud Pasal 19 serta Pasal 23, 32,
Adrian Sutedi, 2011, Sertifikat Hak Atas Tanah, Sinar Grafika , Jakarta, hlm 176
Menurut Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, dinyatakan bahwa:
75
76
70
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
dan 38 UUPA baru sebagian hak atas tanah yaitu permukaan bumi baik
terhadap tanah yang sudah ada haknya (hak lama) maupun terhadap tanah
yang belum ada haknya (tanah negara), dan pendaftaran (dalam daftar
tanah) terhadap tanah negara bertujuan untuk menyediakan informasi
kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah serta
untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Dari ketentuan
Pasal 9 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997, tanah ulayat tidak termasuk
ke dalam obyek pendaftaran tanah. Terhadap tidak dimasukkannya tanah
ulayat sebagai obyek pendaftaran tanah, Boedi Harsono berpendapat
bahwa hak ulayat tidak akan didaftar. UUPA tidak memerintahkan
pendaftarannya, dan dalam PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, hak ulayat secara sadar tidak dimasukkan dalam obyek pendaftaran
tanah. Secara teknis tidak mungkin, karena batas-batas tanahnya tidak
mungkin dipastikan tanpa menimbulkan sengketa antar masyarakat
hukum yang berbatasan. Ringkasnya, terhadap hak penguasaan atas tanah
(hak ulayat) di kawasan hutan adat belum diamanatkan untuk dilakukan
pendaftarannya sebagaimana UUPA, padahal eksistensi hak ulayat tersebut
diakui oleh peraturan perudang-undangan.
Di atas sudah dijelaskan bahwa hak penguasaan atas tanah di
kawasan hutan adat merupakan hubungan hukum antara masyarakat adat
dengan tanah ulayatnya melahirkan hak ulayat. Hak ulayat ini merupakan
hak kolektif yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat dan juga harus
diakui dan dilindungi oleh Negara. Eksistensi Masyarakat Hukum Adat
dan Tanah Ulayat (hak penguasaan atas tanah di kawasan hutan adat) di
Indonesia diakui secara tegas dalam konstitusi Negara. Pasal 18B ayat
2 UUU 1945 menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Eksistensi tersebut
lebih dipertegas lagi dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/
PUU-X/2012, yang menetapkan bahwa masyarakat hukum adat selain
(1) Obyek pendaftaran tanah meliputi: a. bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik,
hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai; b. tanah hak pengelolaan; c. tanah
wakaf; d. hak milik atas satuan rumah susun; e. hak tanggungan; f. tanah Negara.
(2) Dalam hal tanah Negara sebagai obyek pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf f, pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah yang
merupakan tanah Negara dalam daftar tanah.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
71
memegang hak atas tanah ulayat sekaligus memegang hak atas hutan
adat. Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu
masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak
dalam wilayahnya.77
Bertitik tolak dari arti penting pendaftaran (hak atas tanah)
sebagaimana amanat Pasal 19 UUPA yaitu mewajibkan pada pemerintah
untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah
Republik Indonesia, sudah sewajarnya terhadap hak penguasaan atas
tanah (tanah ulayat) juga perlu dilakukan pengadministrasian dengan
melakukan kegiatan pendaftarannya minimal pencatatan pada daftar
tanah sebagaimana pendaftaran terhadap tanah negara. Menurut peneliti,
pendaftaran terhadap hak penguasaan atas tanah (tanah ulayat) pada buku
tanah (dan pencatatan pada surat ukur) sampai diterbitkannya sertipikat,
akan mengalami terkendala dari sisi subyek (pemegang tanah ulayat)
maupun dari sisi status tanahnya( isi dan kewenangannya).
UUPA mengakui keberadaan hak ulayat. Hal ini menjadi dasar
dikeluarkannya Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 5 tahun
1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat. Peraturan Menteri agraria tersebut mengatur mengenai kriteria ada
atau tidaknya keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat. Setelah
melalui penelitian yang melibatkan stakeholders, keberadaan hak ulayat
yang masih ada dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan
membubuhkan suatu tanda kartografi dan apabila memungkinkan,
menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah.
Dalam hal ini, tanah ulayat tersebut tidak diterbitkan sertipikat.
Dalam rangka menjamin eksistensi tanah ulayat, pemetaan tanah
ulayat merupakan keniscayaan. Penentuan batas-batas tanah ulayat tidak
cukup hanya berdasarkan “peta ingatan” dari penguasa-penguasa adat.
Perlu kejelasan siapa pemilik/penguasa tanah ulayat beserta dengan
batas-batas yang melingkupinya. Ketidakjelasan tersebut, cenderung
akan menjadi sumber konflik dimasa mendatang, yang sewaktu-waktu
dapat menggeliat. Untuk itu, dalam waktu secepatnya perlu dilakukan
pemetakan tanah ulayat sebagaimana surat edaran dari otoritas pertanahan,
dengan langkah-langkah:
Boedi Harsono, op cit, hlm. 185.
77
72
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
a.
b.
Upaya percepatan penetapan keberadaan tanah ulayat sebagaimana
diatur Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun
1999.
Membukukan/mencatat tanah ulayat ke dalam daftar tanah,
sebagaimana mekanisme pendaftaran tanah negara yang diatur dalam
Pasal 9 ayat (2) PP No. 24 tahun 1997, dengan prosedur yang tidak
rumit dan tidak memerlukan biaya besar, karena kegiatannya hanya
melakukan pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah (lihat
Pasal 19 ayat (2) huruf a, yang juga disebut kegiatan fisik kadaster
(tanpa dilakukan pendaftaran haknya).
Berdasarkan Pasal 19 UUPA78 junto PP Nomor 24 Tahun 199779,
ditentukan bahwa kegiatan pendaftaran tanah meliputi kegiatan
di bidang teknis geodesi dan teknis hukum serta diakhiri kegiatan
pengadministrasiannya dalam daftar-daftar umum. Kegiatan teknis
meliputi pekerjaan pengukuran dan pemetaan. Kegiatan di bidang hukum
berupa ajudikasi dan penetapan haknya baik melalui lembaga konversi
(penegasan hak atau pengakuan hak) dari tanah adat atau lembaga
pemberian hak jika berasal dari tanah Negara. Berdasarkan penetapan hak
tersebut, barulah kegiatan pendaftaran tanah diakhiri dengan kegiatan
administrasi berupa pendaftaran haknya dalam daftar-daftar umum,
termasuk penerbitan sertipikat hak atas tanahnya.
Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menentukan
bahwa pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui
pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara
sporadik. Pendaftaran Tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran
tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi
semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah.
Dalam Pasal 19 ayat (2) ditentukan bahwa Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini
meliputi: a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah; b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan
peralihan hak-hak tersebut; dan c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai
alat pembuktian yang kuat.
79
Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, pengertian pendaftaran
tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus,
berkesinambungan dan teratur yang meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan
penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai
bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti
haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun
serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
78
Hasil Penelitian dan Pembahasan
73
Dalam melaksanakan pendaftaran tanah secara sistematik kepala kantor
pertanahan dibantu oleh panitia Ajudikasi yang dibentuk oleh Menteri
atau Pejabat yang ditunjuk. Pada pendaftaran tanah pertama kali secara
sistematik kegiatan pendaftaran tanah menurut Pasal 46 sampai dengan
Pasal 72 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1997 adalah:
a. Penetapan lokasi oleh Menteri atas usulan Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional.
b. Penyiapan peta pendaftaran berupa peta dasar yang berbentuk peta
garis atau peta foto serta biaya pendaftaran dibiayai dari anggaran
pemerintah swadaya.
c. Pembentukan panitia ajudikasi dan satuan tugas.
d. Penyuluhan.
e. Pengumpulan data fisik dan Pengumpulan data yuridis.
f. Pengumuman data fisik dan data yuridis.
g. Penegasan konversi, pengakuan hak, dan pemberian hak.
h. Pembukuan hak dan penerbitan sertifikat.
i. Penyerahan hasil kerja.
Sedangkan pendaftaran tanah secara sporadik menurut Pasal 73
sampai dengan Pasal 93 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a. b. c. d. e. f. g. Permohonan pendaftaran tanah oleh pemohon.
Pengukuran.
Pengumpulan dan penelitian data yuridis bidang tanah.
Pengumuman data fisik dan data yuridis serta pengesahannya.
Penegasan konversi pengakuan hak.
Pembukuan hak.
Penerbitan sertifikat.
Dari uraian di atas, baik dalam pendaftaran tanah sistematik ataupun
pendafataran tanah sporadis, maka terkait dengan pendaftaran tanah ulayat
cukup dilakukan kegiatan teknis dan administrasinya yang tahapannya:
74
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Penelitian eksistensi masyarakat hukum adat dan tanah ulayat oleh
Pemerintah Daerah dengan melibatkan pakar hukum adat setempat,
masyarakat hukum adat setempat, LSM serta Instansi Pertanahan
dan Kehutanan;
Penetapan masyarakat hukum adat dan tanah ulayat melalui
Peraturan Daerah;
Permohonan pengukuran ke Kantor Pertanahan;
Penetapan batas-batas tanah adat (jika memungkinkan disetujui
pemilik tanah yang berbatasan: Contradiktur delimitatie)
Pengukuran tanah ulayat, dituangkan pada gambar ukur;
Pengolahan hasil pengukuran, dan pembutan peta bidang tanah
serta pemetaan pada peta dasar pendaftaran tanah;
pembukuan tanah pada daftar tanah
Beberapa kendala yang berasal dari masyarakat dimana hak ulayat
atas tanah itu berada terutama pada anggota persekutuan yang akan
mendaftarkan tanah ulayatnya diantaranya:
1.
2.
Atas nama siapa tanah hak ulayat itu didaftarkan,
Batas tanah, sebab sebelum tanah hak ulayat itu didaftarkan perlu
diketahui secara pasti dengan tanah siapa saja tanah hak ulayat yang
didaftarkan itu berbatas.
3.
Model Perlindungan dan Pengakuan Hak Atas Tanah
Masyarakat Hukum Adat
a.
Naskah dalam seri “Akses terhadap Keadilan”
Naskah yang dihasilan van Vollenhoven Institute, Universitas
Leiden dan BAPPENAS tahun 2010 itu telah menghasilkan rekomendasi
kebijakan mengenai pengakuan hukum terhadap hak-hak komunal.
Dalam naskah tersebut, Myrna Safitri mengusulkan berbagai model
legalisasi hak-hak masyarakat80. Di antara berbagai pilihan yang bisa
dilakukan untuk mengakui hak atas tanah masyarakat hukum adat adalah:
Lihat, Myrna Savitri, op.cit., hlm 20-28
80
Hasil Penelitian dan Pembahasan
75
i) Sertifikat Hak Individual dan Kolektif atas Tanah
Hak atas tanah yang dikenal dalam Pasal 16 UUPA
dapat diberikan atas tanah adat dengan asumsi bahwa hak-hak
masyarakat baik yang tergolong sebagai masyarakat hukum
adat atau bukan dapat diakui setelah disesuaikan dengan
hak-hak atas tanah yang diakui oleh UUPA. Sertifikat dapat
berupa perorangan maupun kolektif dan komunal seperti yang
dicontohkannya dalambanyak kasus di Sumatera Barat. Di
sini problemnya adalah soal representasi dalam pencantuman
nama sertifikat.
ii) Hak Pengelolaan bagi Masyarakat Hukum Adat
Hak Menguasai Negara (HMN) dapat dilimpahkan
kepada pemerintah daerah dan masyarakat hukum adat.
Ini sesuai dengan tugas pembantuan (medebewind). Hak
Pengelolaan (HPL) sebagai hak publik adalah pengejawentahan
dari HMN tersebut. Karena ia bukan hak privat melainkan
hak publik maka masyarakat hukum adat tidak akan dapat
mengalihkan hak pengelolaannya ini kepada pihak lain.
Persoalannya adalah dengan HPL maka masyarakat hukum
adat menerimanya sebagai tanah negara yang diberikan haknya
kepada mereka.
iii) Pengakuan atas Hak Ulayat sesuai dengan PMA/KBPN No.
5/1999
Pengakuan ini memerlukan pengakuan terhadap hak
ulayat yang diberikan melalui Peraturan Daerah (Perda)
Kabupaten setelah melalui sejumlah tahapan penelitian.
Hasil penelitian itu untuk menilai apakah hak yang diakui
oleh masyarakat itu telah memenuhi kriteria hak ulayat yang
ditetapkan oleh PMA/KBPN No. 5/1999. Peraturan menteri
ini memiliki beberapa kelemahan dalam hal batas yang tanah
ulayat yang diakui: bukan tanah ulayat yang telah dikuasai
orang/badan hukum dengan hak atas tanah dalam UUPA; dan
bukan pada bidang tanah yang telah dibebaskan.
76
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
iv) Pengakuan terhadap wilayah adat dengan menggunakan UU
No. 26/2007
Pengakuan dapat dilakukan melalui dua cara, yakni
pengakuan wilayah adat sebagai wilayah dengan nilai strategis,
dan pengakuan wilayah adat sebagai wilayah perdesaan.
Undang-undang ini dinilai memiliki kelebihan yakni
mengatur ruang dalam arti lebih umum, sehingga berlaku
atas kawasan hutan dan bukan kawasan hutan. Akan tetapi
kendalanya adalah terpisahnya antara ruang/wilayah dengan
hak atas tanah, sehingga meski ada penetapan wilayah strategis/
perdesaan yang memberi perlindungan pada masyarakat
hukum adat, tidak dengan sendirinya terdapat kejelasan hak
atas tanah pada mereka.
b.
Peraturan Bersama 4 Kementerian/Lembaga Negara, 2014
Pada penghujung pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, tertanggal 17 Oktober 2014 keluar Peraturan Bersama
Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan
Umum, dan Kepala BPN RI, Nomor 79 Tahun 2014, Nomor PB.3/
Menhut-11/2014, Nomor 17/PRT/M/2014, Nomor 8/SKB/X/2014,
tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada dalam
Kawasan Hutan. Peraturan Bersama ini merupakan salah satu upaya
mngakhiri dualisme administrasi pertanahan di Indonesia. Peraturan
bersama ini merupakan kesempatan baru terhadap pengakuan dan
pendaftaran penguasaan dan pemilikan tanah oleh masyarakat (perorangan
maupun masyarakat hukum adat) di dalam kawasan hutan. Kebijakan
ini merupakan langkah maju sebab memungkinkan pendaftaran hak
atas tanah (privat dan adat) di wilayah kehutanan yang semula dipahami
bahwa kawasan hutan merupakan hutan negara.
Pemohon yang dapat mengajukan hak atas tanah di dalam kawasan
hutan adalah “orang perorangan, pemerintah, badan sosial/keagamaan,
masyarakat hukum adat yang memiliki bukti hak atas tanah datau
bukti penguasaan atas tanah” (Pasal 1, poin 7). Masyarakat hukum adat
secara tegas diakui sebagai subyek hukum yang legal. Pemerintah dalam
melakukan penerbitan hak atas tanah berlaku prinsip sebagaimana tanah
non-kawasan hutan, yakni pemberian hak (Pasal 1 poin 11) dan pengakuan
Hasil Penelitian dan Pembahasan
77
hak (pasal 1 poin 12); ditambah dengan penegasan hak sebagaimana yang
telah disebutkan dalam Pasal 60 ayat (2) Permenag Nomor 3 Tahun 1997.
Peraturan Bersama ini menempatkan Kepala BPN sebagai Ketua
Tim Identifikasi Penguasaan Pemilikan, Penggunaan, dan pemanfaatan
Tanah (IP4T) di dalam kawasan hutan, yang beranggotakan unsur dinas
kabupaten/kota, unsur balai pemantapan kawasan hutan, unsur dinas/
badan kabupaten/kota yang menangani urusan di bidang tata ruang, camat
dan lurah setempat atau dengan sebutan lain (Pasal 2 ayat [2]). Dalam Pasal
4 dinyatakan bahwa tugas utama Tim IP4T adalah untuk menghasilkan
analisis berupa rekomendasi yang melampirkan peta P4T Non-kadastral
dan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (SP2FBT). Hasil
analisa tersebut diserahkan kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota untuk diproses lebih lanjut.
Kebijakan ini akan menghasilkan perubahan kawasan hutan.
Atas hasil analisis di atas, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota tidak langsung menerbitkan sertipikat
namun menyerahkan hasil analisa itu kepada Kementerian Kehutanan cq.
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan (Pasal 11). Lalu Direktur Jenderal
Planologi Kehutanan melakukan kajian terhadap hasil analisis tersebut
dan melaksanakan tata batas kawasan hutan di lapangan dalam waktu
paling lama 14 hari jam kerja (Pasal 12). Dari hasil tata batas tersebut
terbit Surat Keputusan Perubahan Batas Kawasan Hutan sebagai dasar
penerbitan sertipikat hak atas tanah (Pasal 13 ayat [1]) yang dikeluarkan
oleh BPN RI. Hasil perubahan kawasan tersebut diintegrasikan dalam
rencana tata ruang wilayah (Bab V).
78
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
Hasil Penelitian dan Pembahasan
79
Gambar 2. Alur penyelesaian penguasaan tanah yang berada di dalam kawasan hutan menurut Peraturan
Bersama Empat Kementerian/Badan, tertanggal 17 Oktober 2014
Terdapat titik krusial yang tidak dijelaskan dalam Peraturan
ini mengenai sejauh mana Direktur Jenderal Planologi Kehutanan
mempertimbangkan dan menerima hasil analisis yang diserahkan oleh
Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
sehingga mau mengeluarkan bidang/wilayah yang dimohonkan hak atas
tanahnya dari kawasan kehutanan.
Selain hal itu, Peraturan Bersama ini masih menyisakan pertanyaan
mengenai pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat yang sebagaimana
Permenag No. 5/1999 harus melalui adanya peraturan daerah; dan
persoalan mengenai konstruksi kepemilikan kolektif dan komunal selain
kepemilikan privat. Beberapa kendala lain yang dapat dicatat adalah81,
pertama belum jelasnya tugas dan fungsi antar keanggotaan IP4T yang
beragam. Kedua, belum jelasnya objek reforma agraria di dalam kawasan
hutan, dimungkinkannya kawasan Hutan Produksi Konversi (HKP)
sebagai objek, ataukah hanya di atas lahan-lahan izin yang diterlantarkan.
Ketiga, mengenai belum diaturnya adanya keberatan dari pemohon yang
tidak menerima hasil rekomendasi dari Tim IP4T. Keempat, adalah hal
yang paling krusial, yakni persoalan pembuktian adanya masyarakat
hukum (Perda ataukah SK Bupati). Kelima, tentang status hutan hak dan
hutan adat. Perber ini masih memahami kawasan hutan
81
Sebagaimana catatan dalam diskusi “Membedah Peraturan Bersama Menteri Tentang
Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di dalam Kawasan Hutan”, Epistema,
jakarta, 5 Desember 2014
80
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
Hasil Penelitian dan Pembahasan
81
Klaim MHA
Klaim
badan sosial
keagamaan
Klaim badan
pemerintahan
Hutan Adat dalam
kawasan hutan
Wilayah adat di luar
kawasan hutan
Dikeluarkan dari
kawasan hutan,
diberikan hak
atas tanah sesuai
subjeknya
Kurang dari 20 tahun
Pemberdayaan Masy
(HKm, Hutan Desa,
HTB, Kemitraan)
Penegasan Hak
Kurang dari 20 tahun,
pada tanah yang dapat
jadi objek RA
Sumber: Myrna. A Safitri, Presentasi Bedah Perber 4 Menteri, 5 Desember 2014
Analisis data yuridis dan data
fisik terhadap penguasaan tanah
di dalam kawasan hutan
Klaim
perorangan
Penegasan/
Pengakuan Hak
20 tahun atau lebih
Gambar 3. Berbagai bentuk penyelesaian penguasaan tanah
di kawasan hutan
Hutan Negara
Non-Hutan
Hutan Hak
Dari penjabaran di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya
Mahkamah Konstitusi telah memberikan perlindungan terhadap hak
masyarakat adat atas kawasan hutan. Konsep hak penguasaan atas tanah
di kawasan hutan bagi masyarakat adat berdasarkan keputusan Mahkamah
Konstitusi telah sejalan dengan Undang-Undang Dasar 1945, karena
telah mengakomodasi hak masyarakat adat atas penguasaan hutan adat.
Keputusan Mahkamah Konstitusi perlu tindak lanjut dari eksekutif, dan
peraturan yang dibuat untuk merespon putusan Mahkamah Konstitusi ini
harus lebih tinggidari setingkat peraturan menteri. Pengakuan masyarakat
adat seharusnya dibuat dalam bentuk undang-undang, hal ini sesuai
dengan amanah konstitusi. Namun, jika undang-undang membutuhkan
waktu yang lama untuk membuatnya, karena harus ada koordinasi dan
kemauan yang sejalan antara pemerintah dan DPR, maka setidaknya dapat
diwujudkan dalam bentuk peraturan pemerintah.
Peraturan pemerintah ini diperlukan setidaknya sebagai respon
adanya putusan Mahkamah Konstitusi terhadap hak penguasaan kawasan
hutan oleh masyarakat adat, sehingga putusan Mahkamah Konstitusi tidak
hanya putusan di atas kertas yang tidak dijalankan oleh pemerintah dalam
pelaksanaan pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan
hak masyarakat adat atas penguasaan hutan adat.
82
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
BAB IV
KESIMPULAN DAN
REKOMENDASI
1.
2.
3.
Hak penguasaan masyarakat adat atas hutan adat belum mendapatkan
posisi yang kuat berdasarkan UU Kehutanan. Konsep dan bentuk
perlindungan hak penguasaan atas tanah di kawasan hutan bagi
masyarakat adat berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi
telah sejalan dengan konstitusi, karena telah mengakomodasi hak
masyarakat adat atas penguasaan hutan adat.
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengakuan hak penguasaan
masyarakat adat di bidang kehutanan seharusnya ditindak lanjuti
dengan peraturan pemerintah dan peraturan operasional untuk
menjalankannya. Di dalam UU Kehutanan sendiri terdapat amanat
untuk membuat Peraturan Pemerintah mengenai masyarakat adat
dan hutan adat. Amanat ini tentu perlu ditaati. Demikian pula
Permenag 5/1999 perlu diubah menjadi Peraturan Pemerintah
sehingga lebih tinggi kewenangannya sebagai sarana memastikan
mengenai pengakuan terhadap tanah ulayat sekaligus hutan adat.
Dengan adanya Peraturan Pemerintah itu akan menjalankan amanat
UUPA 1960 sekaligus amanat UU Kehutanan yang ada.
Bentuk pengakuan dan perlindungan hak atas tanah masyarakat
hukum adat di kawasan hutan adat dapat melalui dua cara. Pertama,
pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan harus melakukan
koreksi secara aktif atas kesalahan yang dilakukannya memasukkan
hutan adat kedalam kawasan hutan yang dikategorikan hutan negara.
Penunjukan secara sepihak harus segara dikoreksi dengan lebih
4.
5.
84
lanjut melakukan penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan
hutan bersama-sama dengan masyarakat adat atau masyarakat sipil.
Dengan demikian sekaligus memetakan dan mengukuhkan serta
mengakui keberadaan wilayah hutan adat. Kedua, perlindungan
hak atas bidang tanah masyarakat hukum adat pertama-tama harus
disertai dengan pengakuan negara (pemerintah) secara aktif oleh
Pemda.
Terbuka peluang pendaftaran tanah hutan adat melalui Peraturan
Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri
Pekerjaan Umum, dan Kepala BPN RI, Nomor 79 Tahun 2014,
Nomor PB.3/Menhut-11/2014, Nomor 17/PRT/M/2014, Nomor
8/SKB/X/2014, tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan
Tanah yang Berada dalam Kawasan Hutan. Peraturan Bersama ini
merupakan kesempatan baru terhadap pengakuan dan pendaftaran
penguasaan dan pemilikan tanah oleh masyarakat (perorangan
maupun masyarakat hukum adat) di dalam kawasan hutan.
Kebijakan ini merupakan langkah maju sebab memungkinkan
pendaftaran hak atas tanah (perseorangan dan adat) di wilayah
kehutanan yang semula dipahami bahwa kawasan hutan merupakan
hutan negara. Pendaftaran hak atas tanah dalam Peraturan Bersama
itu melalui mekanisme dan proses yang sama seperti pendaftaran
tanah umumnya di kawasan non-hutan dan subyek yang selama
ini telah dikenal. Bedanya pemeriksaan dan analisa dilakukan oleh
Tim IP4T yang merupakan gabungan lintas-sektor. Jenis hak yang
diberikan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UUPA. Yang lebih
penting adalah bahwa tanah yang dapat diteruskan permohonannya
adalah melalui penegasan hak. Akses tanah dalam kawasan hutan
ini merupakan bentuk nyata dari pelaksanaan reforma agraria
yang terbuka bagi beragam subyek hak, yakni perorangan, badan
pemerintah, badan sosial keagamaan, dan masyarakat hukum adat,
dan bukan badan hukum privat yang aksesnya melalui perijinan
sebagaimana biasa di luar Perber ini.
Ada beberapa kendala dalam Peraturan Bersama di atas. Ia masih
menempatkan masyarakat adat sejajar dengan subyek hak lain
(personal, dan badan usaha), dan belum dilihat sebagai pihak
yang dapat menjalankan peran pemegang Hak Menguasai Negara
(HMN), sehingga dapat menerima tugas pembantuan (medebewind)
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
6.
7.
dari negara. Selain itu, kategori hak yang dikenal hanyalah hak
perseorangan, padahal di masyarakat adat mengenal hak ulayat yang
di dalamnya terdapat hak perseorangan, kolektif, dan komunal. Perlu
lahir jenis hak baru pengembangan dari Hak Pengelolaan (HPL)
sebagai hak publik atas HMN tersebut. Disebut pengembangan
dari HPL sebab melalui mekanisme pengakuan dan penegasan hak
dan bukan pemberian dari tanah negara kepada masyarakat adat
sebagaimana yang dikenal dalam HPL.
Dalam melakukan perlindungan dan pengakuan tersebut, perlu
penyatuan perspektif keruangan wilayah adat dengan perspektif
bidang atas tanah masyarakat adat. Hal ini sekaligus untuk
mempertahankan fungsi hutan adat yang telah dimasukkan dalam
kawasan hutan dalam fungsi-fungsi yang telah ada (misalnya hutan
lindung). Dengan demikian masyarakat hukum adat berkontribusi
dalam mempertahankan fungsi hutan yang status penguasaan dan
pemilikannya ada di tangan mereka, hanya saja pengelolaan fungsi
tersebut diserahkan pada Kementerian Kehutanan. Keberadaan
lembaga baru berupa Kementerian Agraria dan tata Ruang/BPN
diharapkan mampu mengatasi problem dualisme pengaturan yang
memisahkan ruang dan bidang di dalam kawasan hutan tersebut.
Di tengah keterbatasan pemerintah dalam melakukan penetapan
dan pemetaan kawasan hutan itu terjadi, tumpang-tindih perizinan
dan penguasaan, pembuktian fisik dan yuridis untuk membuktikan
klaim masyarakat adat, maka munculnya inisiatif masyarakat
sipil dalam membantu proses penguatan klaim (misalnya melalui
pemetaan partisipatif ) penting untuk diakomodir, diakui, dan
dijadikan dasar kebijakan lebih lanjut.
Kesimpulan dan Rekomendasi
85
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Aburaera, Sukarno, Muhadar, dan Maskun, 2009, Filsafat Hukum,
Bayumedia, Malang
Berdner, Adriaan, Ward Berenschot (ed.), 2010, Masa Depan Hak-Hak
Komunal atas Tanah: Beberapa Gagasan untuk Pengakuan Hukum,
Rekomendasi Kebijakan. Van Vollenhoven Institute, Universitas Leiden
dan BAPPENAS
Bosko, Rafael Edy, 2006, Hak-Hak Masyarakat Adat dalam Konteks
Pengelolaan Sumber Daya Alam, ELSAM, Jakarta
Ghofur Anshori, Abdul , 2006, Filsafat Hukum, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta
Harsono, Boedi, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta
Mertokusumo, Sudikno, 1988, Hukum dan Politik Agraria, Universitas
Terbuka, Jakarta
M. Friedman, Lawrence, 2009, Sistem Hukum (Perspektif Ilmu Sosial),
terjemahan dari The Legal System, A social Science Perspective,
diterjemahkan oleh M. Khozim, Nusa Media, Bandung
Mohammad, Tauchid, 1953, Masalah Agraria, Bagian Pertama, Penerbit
Cakrawala, Jakarta
Muchsin, Imam Koeswahyono, dan Soimin, 2010, Hukum Agraria
Indonesia dalam Perspektif Sejarah, Refika Aditama, Bandung
Parlindungan, A.P., 1990, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju,
Bandung
Rawls, John, 2006, Teori Keadilan (Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk
Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara), terjemahan dari A
Theory of Justice, diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Safitri, Myrna, 2010, Legalisasi Hak-Hak Masyarakat atas Tanah dan
Kekayaan Alam dalam Peraturan Perundang-undangan Nasional
Indonesia: Model, Masalah dan Rekomendasi, dalam Adriaan Bedner
dan Ward Berenschot (ed.) Masa Depan Hak-Hak Komunal atas Tanah:
Beberapa Gagasan untuk Pengakuan Hukum, Rekomendasi Kebijakan,
Van Vollenhoven Institute, Universitas Leiden dan BAPPENAS
Salim, Hasanu Simon, 2004, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Sinar
Grafika, Jakarta
Santoso, Urip, 2006, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana,
Jakarta
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif,
Rajagrafindo Persada, Jakarta
Sumardjono, Maria S.W., 1998, Kewenangan Negara untuk Mengatur
dalam Konsep Penguasaan Tanah oleh Negara, dalam Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta
Supriyadi, Bambang Eko, 2013, Hukum Agraria Kehutanan, Raja Grafindo
Persada, Jakarta
Sutedi, Adrian, 2011, Sertifikat Hak Atas Tanah, Sinar Grafika, Jakarta
Wahid, Muchthar, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah,
Republika, Jakarta, 2008
Warman, Kurnia, “Hutan adat di ‘persimpangan jalan’: Kedudukan hutan
adat di Sumatra Barat pada era desentralisasi”, dalam: Myrna A. Safitri
dan Tristam Moeliono (eds), Hukum Agraria Dan Masyarakat Di
Indonesia: Studi Tentang Tanah, Kekayaan Alam, Dan Ruang Di Masa
Kolonial Dan Desentralisasi, Jakarta: HuMa, Van Vollenhoven Institute,
KITLV-Jakarta.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
88
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
PMA/KBPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian
Masalah-masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Permenhut Nomor P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan
Hutan
Permenhut Nomor P.62/Menhut-II/2013 tentang perubahan terhadap
Permenhut Nomor P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan
Kawasan Hutan
Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor SE.1/Menhut-II/2013 tentang
Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 tanggal 16 Mei 2013
United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples
The Universal Declaration of Human Rights
International Labour Organisation on Indigenous and Tribal Peoples
Convention, 1989
Artikel, Buletin, Penelitian, Makalah, Dokumen, Skripsi,
Disertasi, Tesis, dan Jurnal
Arizona, Yance, 2014, Dibutuhkan Pengakuan Hukum Terintegrasi: Kajian
Hukum Penerapan Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 terhadap
Peraturan Daerah Kabupaten Malinau Nomor 10 Tahun 2012 tentang
Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat di Kabupaten
Malinau, dalam Wacana edisi 33, tahun XVI
Arizona, Yance, Konstitusi Dalam Intaian Neoliberalisme: Konstitusionalitas
Penguasaan Negara Atas Sumberdaya Alam Dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi, Makalah disampaikan dalam Konferensi
Warisan Otoritarianisme: Demokrasi Indonesia di Bawah Tirani
Modal. Panel Tirani Modal dan Ketatanegaraan, Selasa, 5 Agustus
2008 di FISIP Universitas Indonesia
Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Penetapan Kawasan Hutan,
Menuju Kawasan Hutan Indonesia yang Mantap, Jakarta, September
2014
Elmiyah, Nurul, “Negara dan Masyarakat Adat; Studi Mengenai Hak Atas
Tanah dan Hasil Hutan di Mamahak Besar dan Long Bagun, Kalimantan
Timur”, Disertasi di Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 2003
Daftar Pustaka
89
Komnas HAM, 2013, Kertas Posisi Komnas HAM terhadap Keputusan
Mahkamah Konstitusi Nomor. 35/PUU-X/2012
Mary, Siti Rachma, Y. Arizona, dan N. Firmansyah, “Kajian Kritis atas
Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Permasalahan Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat.” Kertas Kerja Epistema Institute
No.01/2012. Jakarta: Epistema Institute
Moniaga, Sandra, Ketika Undang-Undang Hanya Diberlakukan Pada
39% Wilayah Daratan Indonesia, Forum Keadilan: Nomor 27, 12
November 2006
Rachman, Noer Fauzi Mia Siscawati, 2014, Masyarakat Hukum Adat
Adalah Penyandang Hak, Subjek Hukum, dan Pemilik Wilayah Adatnya:
Memahami secara Kontekstual Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia atas Perkara Nomor 35/PUU-X/2012, suplemen jurnal
Wacana, Insist Press
Roewiastoeti, Maria Rita, 2014, Dampak Sosial Politik Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, Wacana edisi 33, tahun XVI
Sodiki, Achmad, Hukum Progresif untuk Mewujudkan Keadilan
Substantif dalam Bingkai Nilai-Nilai Pancasila, Disampaikan pada
acara Sarasehan, Nasional 2011 “Implementasi Nilai-Nilai Pancasila
dalam Menegakkan Konstitusionalitas Indonesia” yang diselenggarakan
oleh Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada (PSP UGM),
kerjasama antara Mahkamah Konstitusi dengan Universitas Gadjah
Mada, di Yogyakarta 2-3 Mei 2011
Steni, Bernadinus dan Yance Arizona, Analisa Hukum atas Permenhut No
62 Tahun 2013, Desember 2013. Tidak diterbitkan
Internet
AMAN: Pasca Putusan MK, Negara Tidak Boleh Lagi Mengusir 40 Juta
Masyarakat Adat di Area Hutan Adat.
Anonim, http://suaraagraria.com/detail-917-aman-pasca-putusan-mknegara-tidak-boleh-lagi-mengusir-40-juta-masyarakat-adat-di-areahutan-adat.html#.U0kYqPmSwc8.
90
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
Arizona, Yance, Mahkamah Konstitusi dan Reformasi Tenurial Kehutanan,
http://www.academia.edu/5470629/Mahkamah_Konstitusi_dan_
Reformasi_Tenurial_Kehutanan
http://www.presidenri.go.id/index.php/eng/pidato/2013/06/27/2136.
html
Rilis Pers: Permenhut P.62 Melanggar Putusan MK35, http://www.aman.
or.id/2014/01/22/rilis-pers-permenhut-p-62-melanggar-putusanmk35/#.U_VlyqNiTFw, diakses 21 Agustus 2014
Terre, Eddie Riyadi, 2002 , Menganyam Kiat Memperjuangkan Hak-Hak
Masyarakat Adat di IndonesiaMasyarakat Adat di Indonesia (Sebuah
Pendekatan Berperspektif Hukum InternasionalHak Asasi Manusia),
http://www.academia.edu/1475460/Hak_
Widodo, Kasmita, “Hutan Adat dalam Tumpukan Penguasaan Hutan”,
http://www.mongabay.co.id/2014/01/09/hutan-adat-dalamtumpukan-penguasaan-hutan/, diakses 9 Agustus 2014
Daftar Pustaka
91
LAMPIRAN
Lampiran
93
94
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
Lampiran
95
96
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
Lampiran
97
98
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
Lampiran
99
100
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
Lampiran
101
102
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
Lampiran
103
104
Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
IDENTITAS PENULIS
Dyah Ayu Widowati, S.H., M.Kn., dosen hukum agraria di Fakultas
Hukum, Universitas Gadjah Mada, email: [email protected]
Ahmad Nashih Luthfi, S.S., M.A., dosen Sekolah Tinggi Pertanahan
Nasional dan Manajer Penelitian Sistematis STPN, email: anasluthfi@
gmail.com
I Gusti Nyoman Guntur, A.Ptnh., M.Si, dosen Sekolah Tinggi Pertanahan
Nasional dan Pembantu Ketua III Bidang Kemahasiswaan STPN, email:
[email protected]
Download